BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.1 Gambaran Identitas Subjek Subjek dalam penelitian ini terdiri dari empat orang subjek, yang terdiri dari 2 pasang suami istri.
Table 4.1 Data demografi subjek penelitian
Pasangan Subjek 1 Keterangan
Pasangan Subjek 2
A (Istri)
B (Suami)
C (Istri)
D (Suami)
Nama inisial
AL
SS
SL
MR
Usia
53
58
47
52
Suku bangsa
Jawa
Jawa
Betawi
Betawi
Pendidikan
SMP
S1 Ekonomi
SMP
SLTA
Pekerjaan
Ibu rumah tangga
Pedagang
Ibu Rumah Tangga
Wiraswasta
Agama
Islam
Islam
Islam
Islam
Lama Pernikahan
34 Tahun
23 Tahun
4.2 Gambaran dan Analisis Intra Subjek 4.2.1 Gambaran Umum Pasangan Subjek 1 [Subjek A (Istri) dan Subjek B (Suami) ] 4.2.1.1 Hasil Observasi Wawancara Pertama Peneliti bertemu dengan subjek A dan subjek B dirumah yang berada di daerah Tangerang Selatan, tanggal 8 Agustus 2012 pukul 15.30. Subjek A dan subjek B adalah pasangan suami istri dewasa madya tidak memiliki anak hingga diusia pernikahan mereka mencapai 34 tahun. Rumah subjek A dan B terlihat asri, dibagian depan rumah tampak banyak tanaman hias yang berada pada taman kecilnya, ditaman tersebut terdapat air terjun buatan mini dengan beberapa ikan mas berenang dikolam. Peneliti disambut oleh subjek A untuk memasuki ruang tamunya. Subjek A pada saat itu sedang memakai baju daster dominasi berwarna ungu motif bunga besar dengan lengan terbuka, rambut pendeknya diikat kebelakang, dan sambil memegang telepon genggam. Ruang tamunya sama seperti taman mininya, penuh dengan bunga-bunga namun disini subjek A memakai bunga plastik untuk menghiasi ruang tamunya, salah satunya yang kecil ditempatkan pada meja ruang tamu. Pada dinding ruang tamu terdapat foto besar, foto subjek A menggunakan kebaya merah dan suami
menggunakan jas, kemeja putih dan dasi
berwarna biru tua dengan posisi subjek A duduk dan subjek B berdiri dibelakang subjek A. Waktu wawancara sudah mulai sore, subjek A sebelum duduk menyalakan lampu diruang tamu terlebih dahulu. Penerangannya cukup, tidak menyilaukan dan suhu ruangannya tidak terlalu panas karena subjek A menempatkan kipas angin besar dilangitlangitnya. Subjek A mempersilahkan duduk peneliti, senyumnya tidak pernah lepas dari
bibirnya sejak subjek A menyambut didepan rumahnya. Terlihat beberapa rambut berwarna putih menghiasai rambutnya yang hitam, namun subjek A masih terlihat segar ini karena subjek memakai sedikit lipstik berwarna orange muda. Kursi ruang tamunya berwarna coklat tua terbuat dari kayu jati dengan bantalan berwarna hijau bermotif pada bagian duduknya, jadi nyaman untuk diduduki. Tak lama keluarlah Subjek B dari kamarnya, Subjek B menggunakan baju putih polos dan celana pendek berwarna abu-abu tua. Subjek B memiliki beberapa kerutan disekitar mata, jenggot menjuntai dari dagunya berwarna putih yang senada dengan rambut-nya. Namun, senyum dari bibirnya tidak lepas semenjak ia keluar dari kamar, lalu subjek B menyapa peneliti sebentar sebelum ia menuju keruang TV.
Subjek A adalah seorang ibu rumah tangga, berusia 53 tahun dengan tinggi sekitar 154 cm dan berkulit kuning langsat, dan subjek B adalah seorang pedagang sapi, berusia 58 tahun dengan tinggi 175 cm dan berkulit coklat. Sebelum wawancara dimulai peneliti menjelaskan maksud dan tujuan peneliti akan mewawancarai subjek A dan B, setelah itu peneliti menunjukan informed concent penelitian (surat persetujuan atau perjanjian penelitian), sebelum membaca subjek A masuk ke kamar untuk mencari kacamatanya, sedangkan subjek B sudah memakai kacamata plusnya yang sudah berada di meja tamu lalu subjek A dan B menyetujui surat perjanjian itu. Tak lupa peneliti-pun meminta izin untuk menggunakan alat perekam suara dengan meletakannya ditengah antara peneliti dan subjek A.
Wawancara kepada subjek A dan B dilakukan dua kali, sebelumnya peneliti sering melakukan rapport dan observasi kepada subjek A dan B. Rumah peneliti dengan
subjek tidak terlalu jauh, dan bertetangga jadi sudah mengenal lama. Wawancara dilakukan kepada subjek A terlebih dahulu, sambil menunggu subjek A diwawancarai subjek B menunggu diruang TV sambil membaca koran. Selama wawancara subjek A sudah 2 kali ia berhenti sejenak untuk membalas SMS yang masuk ke dalam handphonenya, namun walau begitu subjek A masih tetap melanjutkannya. Beberapa kali subjek A melontarkan lelucon pada saat menjawab wawancara, tetapi itu tidak mengganggu jalannya wawancara. Pembawaan subjek A yang ceria dan humoris membuat suasana wawancara menyenangkan dan tidak membosankan, suaranya lembut dan jelas, susunan kata-kata rapih sehingga memudahkan proses wawancara.
Wawancara Kedua
Wawancara kedua dilakukan tanggal 7 september 2012 sekitar jam 16.00. Dilakukannya wawancara kedua ini dikarenakan perlunya informasi tambahan untuk melengkapi kekurangan wawancara sebelumnya. Wawancara kedua ini peneliti menemui kesulitan untuk bertemu dikarenakan kesibukan dari subjek A dan B. Baru sekitar 1 minggu berikutnya peneliti berhasil menemui kedua subjek dirumahnya.
Suasana rumah subjek A dan B tidak rapih dari wawancara sebelumnya, subjek A menyambut peneliti yang berdiri didepan pagar rumah mereka untuk memasuki rumahnya sambil berteriak dari dalam. Peneliti melihat beberapa kertas berserakan dilantai ruang tamunya, subjek A duduk dilantai sedangkan subjek B duduk dibangku tak jauh dari subjek A, mereka sama-sama sedang memegang salah satu kertas yang berserakan. Subjek A memakai pakaian lebih formal, ia memakai baju kaftan biru tua dengan hiasan emas di dada nya, jilbab warna senada dengan baju dihiasi bros berkilau
dilekatkan pada dada atas sebelah kanan, subjek A juga sedang memakai blush on, eyeshadow, dan lipstik sehingga subjek A terlihat lebih menarik. Sedangkan subjek B hanya memakai kaos putih dan celana pendek berwarna coklat muda, penampilannya tidak seformal subjek A.
Sebelum memulai wawancara, peneliti menanyakan kedua kalinya kepada sebjek A dan B mengenai kedatangan peneliti guna mengetahui apakah peneliti datang pada situasi dan kondisi yang tepat karena dilihat dari kondisi dan situasi yang ada mereka sedang terburu-buru dan sibuk tidak begitu santai seperti wawancara sebelumnya. subjek A mengatakan tidak masalah karena mereka akan pergi setelah maghrib jadi tidak mengganggu jalannya wawancara. Peneliti menjelaskan diperlukan adanya wawancara kedua guna melengkapi informasi dari wawancara sebelumnya dan mereka tidak mempermasalahkan
untuk
dilakukan
wawancara
kembali.
Seperti
wawancara
sebelumnya, Subjek A yang terlebih dahulu dilakukan diruang tamu, sebelumnya subjek A merapihkan kertas-kertas tersebut dengan dibagi dua tumpukan. Sedangkan subjek B sambil menunggu giliran wawancara maka ia berpindah tempat keruang TV disertai membawa beberapa kertas yang telah dirapihkan subjek A.
Selama wawancara subjek A sibuk menjawab beberapa telepon yang masuk sehingga beberapa kali wawancara terhenti. Walau subjek A sibuk dengan beberapa telepon yang masuk namun subjek A tetap dengan lancar menjawab beberapa pertanyaan yang diberikan. Untuk subjek B seperti dalam wawancara pertama, pembawaannya tenang dan menjawab pertanyaan dengan santai.
4.2.1.2 Hasil Wawancara Subjek A
4.2.1.2a Gambaran Pernikahan Subjek A Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal dari keluarga, sifat, kebiasaan dan budaya yang berbeda. Pernikahan juga memerlukan penyesuaian secara terus-menerus. Setiap pernikahan, selain cinta juga diperlukan saling pengertian yang mendalam, kesediaan untuk saling menerima pasangan masing-masing dengan latar belakang yang merupakan bagian dari kepribadiannya. Hal ini berarti mereka juga harus bersedia menerima dan memasuki lingkungan sosial budaya pasangannya, dan karenanya diperlukan keterbukaan dan toleransi yang sangat tinggi, serta saling penyesuaian diri yang harmonis (dalam Anjani, Cinde & Suryanto, 2006).
Subjek A dan B menikah pada tahun 1978 bulan September, mereka bertemu karena dikenalkan oleh teman sekolah subjek A dengan Om-nya yang tak lain adalah subjek B sewaktu bersekolah di Sekolah Menengah Pertama. Proses mereka akhirnya menikah menemui tantangan, dikarenakan subjek B sedang kuliah dan subjek A masih bersekolah SMP, menimbulkan pertentangan dari orangtua subjek A yang melarang anaknya menikah sebelum selesai sekolah. “Ibu ketemu bapak tadinya ga boleh ma orang tua karena masih sekolah, setelah lulus baru boleh. Alhamdulilah nikah.” Diusia subjek A yang sudah memasuki usia dewasa madya dan dilihat dari lamanya pernikahan menjadikan subjek lebih bijak dalam mengarungi mahligai rumah tangga bersama suami. Selama pernikahannya diakui subjek A mengalami kesepian. Ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hurlock (1999), mengungkapkan karakteristik dewasa madya terdapat masa sepi. Masa sepi ini cenderung terjadi jika anak-anak tidak lagi dengan orang tua, untuk pasangan yang memiliki anak dengan pasangan tidak
memiliki anak tentu saja berbeda responnya dan cara menyikapi masa tersebut. Untuk subjek A yang mengalami masa tersebut diatasinya dengan mendekatkan diri kepada Tuhan, bersyukur dan membuktikan bahwa pernikahan mereka bahagia walau tidak hadirnya anak. “Saya sering ibadah jadi ga ngerasa gimana-gimana..yaa sering kasih contoh tetangga juga, walau kita ga punya anak, kita tetep cinta. Buat contoh pasutri yang lain, anak bukanlah yang bikin kebahagiaan..buktinya tanpa anak saya bahagia. Kalau sedih yaa manusiawi. Saya punya temen dia punya anak, eh anaknya ga nyenengin malah bikin dosa mulu”. “Sedihnya..anak itu bikin rame ya, mungkin juga bikin semangat juga..tapi toh liat tetangga ma anaknya begitu kayaknya ga happy mending saya..pacaran mulu ma suami kan”.
4.2.1.2b Gambaran Kepuasan Pernikahan dan ketidakhadiran anak kepada subjek A
Chappel dan Leigh (dalam Pujiastuti dan Retnowati, 2004) menjelaskan kepuasan pernikahan sebagai evaluasi subyektif terhadap kualitas pernikahan secara keseluruhan. Apabila seseorang merasa puas terhadap pernikahan yang telah dijalani, maka ia beranggapan bahwa harapan, keinginan dan tujuan yang ingin dicapai pada saat ia menikah telah terpenuhi, baik sebagian ataupun seluruhnya.
Pernikahan selama 34 tahun yang dialami subjek A menurutnya terasa bahagia tetapi ada pernyataan yang mengatakan bahwa didalam rumah ada yang kurang lengkap yaitu kehadiran anak maka mereka pun pernah mengangkat anak untuk melengkapi pernikahan mereka tersebut
“Perkawinan ibu sama bapak happy-happy aja ga ada masalah, sama-sama suka, sama-sama cinta” “Yaa..biasa rumah tangga ada kendala nya ekonomi, pengen punya anak..tapi masalahnya dikendalikan dengan ikhlas. Pernah bapak nyuruh buat ibu nikah lagi, karena sampe tua belum punya anak. Tapi ibu ga mau. Pernah sih angkat anak cuma sampe 6 tahun karena orangtua nya ambil lagi..yaa saya sih ga pa-pa ibaratnya saya ga mau bahagia diatas penderitaan orang lain.” Masyarakat memandang bahwa pernikahan merupakan jalan terbaik untuk mengembangkan keturunan dan dengan adanya kehadiran anak hubungan suami istri akan semakin dekat (Papalia, 2008). Pernyataan tersebut sesuai dengan yang diungkapkan subjek A mengenai pentinganya kehadiran anak. Walau diakhir pernyataan subjek A membahas mengenai perceraian yang apabila pasangan tidak memiliki anak tidak terbebani dengan adanya ketidakhadiran anak. “Pentinglah mba..anak itu kan buat generasi. Banyak keluarga mau cerai tapi ada alasan punya anak. Saya suka kasihan anak jadi korban. Jadinya saya bersyukur ga punya anak. Jadi kalau saya cerai ga ada berat ma anak”.
Usaha dalam perolehan anak banyak dilakukan oleh subjek AL dan suami, walau belum menandakan hasil hingga sekarang ini. Tetapi subjek A kembali dengan sikapnya yang pasrah dan ikhlas. “Saya sudah minum jamu, terus kata temen saya, temen saya professor..suruh minum kunyit, temulawak suruh ini itu segala macem. Kalau lagi campur disuruh banyak model, ya model kakinya diatasin, diganjel pantatnya. Yaa pokoknya udah banyak model..kalau Allah belum kasih gimana”. Subjek A merasakan kebahagiaan pada pernikahan walau ketidakhadiran anak, subjek A mengatasinya dengan ketegaran walau banyak cemooh dan pandangan sebelah mata dari beberapa orang termasuk dari keluarga besar suami. “ Yaa..pernah suami saya disuruh kawin lagi ma keluarganya dan disuruh cerai ma saya. Tapi kan suami saya suka, cinta pe mati yaa pe sekarang cinta ma saya”.
Selain subjek A mengatasinya dengan keikhlasan dan ketegaran, subjek menyerahkan ketidakhadiran anak kepada Tuhan dengan pasrah, walau pembicaraan dengan pasangan tidak jauh mengenai anak. “Ada, klo lagi nonton tv, suka cerita orang yang baru nikah berapa bulan, berapa tahun udah punya anak. Yaa balik lagi sikapinya dengan ikhlas, pasrah sama Allah. Mau gimana lagi kalau emang belum dikasih, seandainya tidak dikasih itu mungkin udah takdir bapak dan ibu harus begini”. Karena istri sudah mengerti walau suami dari subjek A tertutup mengenai kesuburannya tetapi suami cukup membantu untuk menjadi pendengar yang baik “Bapak sih ngasih saran, suka-suka mau dengerin klo ibu curhat. Suka-suka bantu nyeleseiin..yaa suka-suka.. Kalau masalah ekonomi atau dana suka-suka disuruh disediain diselesaiin cepet-cepet jadi ga kebanyakan pikiran, ga ada utang. Ada tetangga ngeliat ibu dan bapak koq biasa aja ga punya anak, ibu sih yaa mau gimana biasa aj abis mw gimana”.
Sebagai berikut adalah beberapa aspek kepuasan pernikahan, yaitu:
Aspek Kepuasan Pernikahan Kepuasan pernikahan dapat diukur dengan melihat aspek-aspek dalam pernikahan sebagaimana yang dikemukakan oleh Olson & Fower dalam Vidaya (2007). Adapun aspek-aspek tersebut, antara lain : a. Communication
Aspek ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam berkomunikasi dengan pasangannya. Subjek A memiliki komunikasi yang cukup baik walau kadang terhambat dengan sifat suami yang pendiam, namun begitu subjek A dapat membicarakan apa saja kepada sang suami karena suami dapat menjadi pendengar yang baik. “Susah yah mba…bapak itu pendiem, males ngomong orangnya. Tapi klo ibu mw curhat apa aja bapak dengerin. Klo punya masalah yaa disuruh selesaiin sendiri, klo masalah uang bapak selalu ngasih cepet”. Ketidakterbukaan suami yang paling membuat subjek A resah mengenai kesuburan suaminya, karena hingga saat ini suaminya belum mengetahuinya meskipun sudah beberapa kali subjek A membicarakannya dengan baik. “Pernah sih ibu berobat ke dokter kandungan jawabannya selalu subur, nah kendalanya di bapak..bapak itu ga mau di tes-tes. Pernah mau di tes spermanya bapak, saya pernah tinggal di Guntur ada dokter namanya Lukman dia ahli soal sperma. Saya pernah kesana 2 kali, keadaan saya baik tapi giliran bapak diperiksa ga mau. Mungkin yaa, ga tau lah minder apa ga ngerti apa malu ga ngertilah punya rahasia sendiri. Kalau diajak yaa bapak bilang‟kamu aja..gak pa-pa masuk aja‟. Bapak juga ga pernah nganterin, ibukan selalu sendirian”.
b. Leisure Activity Aspek ini menilai pilihan kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu luang yang mengrefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal atau bersama. Subjek A merupakan seorang yang aktif dalam kehidupan sosialnya sehingga waktu luangnya dihabiskan untuk mengurusi organisasi. “Ibukan punya majelis taklim jadi aktif disitu..yaa kalau lagi bulan puasa begini ibu suka cari dana untuk nyantunin anak yatim. Ambilnya dari kesejahteraan majelis taklim antara anggota-anggota dan tetangga aja lah mba, nggak minta-minta kayak orangorang..jadi temen-temen aja”.
Selain subjek A sibuk dengan organisasinya, tetapi subjek A juga menghabiskan waktunya saat suami libur, dalam menikmati waktu luangnya, subjek tetap mengharapkan kehadiran anak untuk mengisi waktu luangnya. “Kalo bapak libur..makan keluar, kalau siang pas libur jalan-jalan aja terus malemnya makan keluar mau ngajak anak ga ada anak-kan”.
c. Religious Orientation Aspek ini menilai makna keyakinan beragama serta bagaimana pelaksanaanya dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan beragama subjek A sering dilakukan bersamasama dengan suami, dan dalam waktu aktifitas sehari-hari pun beribadah masih dilakukan karena subjek A merasa wajib untuk tetap beribadah walau sibuk. “Kalau pas bapak ada dirumah yaa sholatnya bareng, kalau ga ada yaa sendirisendiri githu aja” “Pagi shalat dhuha, baca Al-Waqiah. Yaa sholat, baca Al-Quran, Dzikir. Walau sibuk saya sempet-sempetin”. d. Conflict Resolution Aspek ini berfokus untuk menilai persepsi suami istri terhadap suatu masalah serta bagaimana pemecahannya. Dalam pemecahan masalah subjek A sedikit memiliki kendala dikarenakan suami merupakan seorang yang pendiam sehingga kurangnya peranan dari suami sebagai kepala keluarga. “Begini bapak itukan orangnya pendiem, tapi kalau pas ngomel ya ngomel, pengeng juga kuping. Tapi yaa karena sudah hafal kan udah kenal lama ma bapak”. “Kadang-kadang jengkel juga ma diemnya bapak, suka tidak sesuai dengan harapan ibu cuma kembalikan lagi kan.. walau kita rambut sama hitam tapi isi nya beda..yaa bapak punya pikiran sendiri tapi ibu ga tau. Jadi klo ada masalah yaa usahain nyelesein sendiri” e. Financial Management
Aspek ini menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan, bentuk-bentuk pengeluaran, dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Subjek A menerima semua
uang yang diberikan oleh semua tanpa banyak berbicara, namun subjek A merasakan kekurangan uang yang diberikan dari suami untuk pengeluaran harian rumah tangga karena pengeluaran lebih banyak daripada yang diberikan, walau kekurangan subjek A menyikapi dengan bersyukur. “Yaa saya kalau dikasih sama bapak yaa sudah saya kelola..saya ga banyak ngomong.bapakan bukan orang kantoran jadi ga gajian..saya dapetnya harian”. “Ada, kurang uangnya. Tapi wajar sih kalo kurang, manusia kan emang selalu kurang aja..walau uda dikasih 1 truk uang masih aja kurang. Cuma yang pertama bersyukur, kalau dikasih lebih bersyukur tapi kalau dikasih kurang saya ngomel”. f.
Sexual Orientation
Aspek ini berfokus pada refleksi sikap yang berhubungan dengan masalah seksual, tingkah laku seksual, serta kesetiaan terhadap pasangan. Subjek mengalami perbedaan kuantitas waktu kegiatan seksual dilihat dari awal-awal pernikahan hingga umur pernikahan mencapai 34 tahun. Walau ada perbedaan dari beberapa puluh tahun sebelumnya yang lalu subjek tetap menikmatinya. Hingga umurnya 53 tahun, subjek mengaku belum mengalami menopause. “Yaa ada bedanya dulu ma sekarang, kalau dulu bisa sehari 4x berhubungan. Sekarang paling dua hari sekali itu juga kalau saya lagi mau”. “Nggak, masih pengen aja. Enak aja”. Mengenai kegiatan seksual, subjek A pernah mengalami kejadian yang tidak mengenakan dari suami, kejadian itu menguji masing-masing dari mereka mengenai kesetiaan terhadap pasangan dan proses penerimaan ketidakhadiran anak. Kejadian tersebut terjadi kurang lebih 10 tahun yang lalu, dan kejadian tersebut tidak mudah subjek A untuk melupakan. “Kalau saya sih gini aja, kalau suami saya bikin ulah saya bikin ulah, kalau suami saya baik-baik aja, saya juga baik-baik aja. Saya istri yang baik. Mba, percaya ga? Saya
pernah disuruh selingkuh sama temennya. Tapi saya ga mau, katanya biar punya anak..tetep saya ga mau, saya tantangin kalau kamu masih begitu mending saya cerai. Ternyata suami cuma ngetes saya. Suami bawa temen jauh-jauh dari luar kota jawa buat nidurin saya, saya dikunciin dikamar. Saya ga tau lagi tidur, kamar kan gelap, lampu dimatiin, saya ga tau kalau itu temannya dia..tidur ngelonin saya..suami pergi. Saya sadar pas tau gerakannya koq beda dari suami saya ini agak kasar..kalau suami saya kan lembut. Temen itu mau ngurus pasport dijakarta, tuh temen mw keluar negeri..jadi nginep tidurnya dirumah saya ada seminggu. Dua hari sebelum tuh temen pergi ternyata suami saya bikin sandiwara ma temennya. Namanya saya sudah nikah lama saya hafal sampai nafasnya, gerakannya, pas itu tuh temennya meluk saya dari belakang. Dalam hati saya ini bukan suami saya, saya panggil “Mas..mas” dia cuma jawab “hmm”. Kebetulan emang semuanya mirip, bentuk muka nya mirip, ada jenggotnya juga, model rambutnya sama. Saya ngerasa ini bukan suami saya, saya tendang trus saya lari kebawah..ternyata bener itu bukan suami saya. Saya kaget, suami saya pulang saya marahin..maksudnya suami biar saya hamil. Saya ga mau, kemungkinan kalau saya mau saya hamil kali. Itu udah 10 tahun yang lalu. Saya setia sama suami, suami saya juga setia..dia begitu karena dari pihak keluarganya udah maksa dia buat ceraiin saya, karena ga punya anak. Keluarganya bilang kalau dia masih bisa punya istri lagi 2, cuman suami saya ga mau nyakitin saya. Kami punya komitmen berdua, cinta sampai mati”.
g. Family and Friends Aspek ini melihat bagaimana perasaan dan perhatian pasangan terhadap hubungan kerabat, mertua serta teman-teman. Aspek ini mereflesikan harapan dan perasaan senang akan menghabiskan waktu bersama keluarga besar dan teman-teman. Hubungan subjek A dengan keluarga besar nya maupun keluarga besar suaminya tidak terlalu dekat dikarenakan keduanya berada diluar kota, dan hanya orangtua dari subjek A yang dekat lokasinya. “Keluarga besar suami saya di jawa, sukoharja daerah munter, kalau keluarga besar saya di wonogiri jadi jauh. Karena orangtua ibu sudah ada dijakarta lebih sering. Tapi memang dari keluarga saya sedikit punya anaknya paling dua, kalau dari keluarga suami banyak anaknya. Tapi ga tau kenapa nih belum juga ada anak”.
Subjek sering mencaritau silsilah keluarganya maupun keluarga suaminya mengenai ketidakhadiran anak, subjek menemukan salah satu dari kerabatnya sendiri yang memiliki nasib serupa. Tetapi dari pihak keluarga besar suami hampir semua sudah
memiliki anak dengan jumlah yang banyak. Pencarian tersebut membuat subjek A sering berkecil hati dan merasakan sedih, karena dari pihak keluarga besar suami sering memberikan masukan untuk sang suami agar menikah lagi dan menceraikan dirinya. “Dari keluarga besar saya sih biasa saja, soal saya ga punya anak. Pernah sih saya tanya ada ga dalam keluarga yang turunannya ga punya anak..ternyata ada budeh saya ga punya anak sampai sekarang. Sekarang budeh saya ikut keponakan..yaa kasihan juga sama budeh saya. Saya pernah ambil anak 6 tahun tapi diambil lagi ma orang tuanya..jadinya trauma ya udah biarin aja begini aja berdua pe sekarang”. “Yaa..pernah suami saya disuruh kawin lagi dan disuruh cerai ma saya. Tapi kan suami saya suka, cinta pe mati yaa pe sekarang cinta ma saya”.
Hubungan subjek A dengan pihak keluarga berbeda dengan hubungannya dengan teman-teman. Subjek A berkomunikasi dengan teman-teman bukan hanya dengan tatap muka namun subjek A juga menggunakan sosial media untuk tetap berkomunikasi. “Lancar aj, sering ketemu saya kan FB-an ma temen-temen..OL chating”.
h. Personality Issues Aspek ini melihat penyesuaian diri dengan tingkah laku, kebiasaan-kebiasaan serta kepribadian pasangan. Menurut pengakuannya subjek A dalam
pernikahannya
dengan suami memiliki masalah yang berarti kecuali sifat pendiemnya, subjek A membiarkan sifat suaminya tersebut. Menurut subjek A sifat pendiem suaminya dapat diimbangi dari sifat cerewet dirinya, sehingga subjek A tidak mempermasalahkan. “Begini bapak itukan orangnya pendiem, tapi kalau pas ngomel ya ngomel, pengeng juga kuping. Tapi yaa karena sudah hafal kan udah kenal lama ma bapak. yaa jadi kalau bapak cerewet kayak perempuan. Tapi lebih cerewet ibu, mungkin bapak suka bosen ma ibu gara-gara saya cerewet banget”. “Pernah nanya ma bapak „kenapa kamu kesel, bosen sama istrimu cerewet gini‟…‟yaa nggak justru aq kangen sama cerewetnya‟ githu jawabnya, kalau ibu ga ngomel sehari bapak malah bingung”. Subjek A juga mengetahui kesukaan suaminya, ini sesuai dengan pernyataanya.
“Saya ke pasar, beli sayur sop, beli ayam, nyambel trs klo suami saya pulang tapi suami sukanya tempe. Kalau ayam saya yang suka. Bapak kalau dikasih ayam cuma diambil dagingnya aja”.
i. Egalitarian Role Aspek ini menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam dalam kehidupan pernikahan. Fokusnya adalah pada pekerjaan, tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin. Kurangnya kerjasama antara subjek A dan suami dalam pembagian peran antara pekerjaan didalam rumah tangga dengan pekerjaan yang berkaitan dengan jenis kelamin. Suami dinilai susah untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, sedangkan subjek A sering membantu suami dengan melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan jenis kelaminnya “Kalau bapak males, paling dia kalau lagi pengen bikin nasi goreng yaa dia buat nasi goreng sendiri gaya nya dia..rasanya dia. Saya bisa betulin gosokan rusak, saya buka tuh kabel terus dibetulin,,ngecek antena sampe naik genteng..makanya bapak punya istri saya enak..bisa ngapa-ngapain”.
4.2.1.3 Hasil wawancara Subjek B 4.2.1.3a Gambaran Pernikahan Subjek B Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal dari keluarga, sifat, kebiasaan dan budaya yang berbeda. Pernikahan juga memerlukan penyesuaian secara terus-menerus. Setiap pernikahan, selain cinta juga diperlukan saling pengertian yang mendalam, kesediaan untuk saling menerima pasangan masing-masing dengan latar belakang yang merupakan bagian dari kepribadiannya. Hal ini berarti mereka juga harus bersedia menerima dan memasuki lingkungan sosial budaya pasangannya, dan karenanya diperlukan keterbukaan dan toleransi yang sangat tinggi, serta saling penyesuaian diri yang harmonis (dalam Anjani, Cinde & Suryanto, 2006).
Subjek B menikah pada tahun 1978 bulan September, masa pacaran mereka cukup lama mencapai 2 tahun, mereka tidak bisa menikah lebih awal dikarenakan istri masih sekolah di sekolah menengah pertama dan subjek B sendiri masih kuliah, orangtua istri mengizinkan apabila sudah lulus. Setelah lulus tak lama subjek B langsung melamar. “Perjuangan buat nikah sama ibu berat juga, ketemu kucing-kucingan. Pas waktunya sudah cocok akhirnya langsung saya lamar”. Selama pernikahannya sudah 34 tahun, subjek B mengalami perasaan jenuh di saat usia-nya memasuki dewasa madya. Perasaan jenuh itu dialaminya 5 tahun yang lalu, subjek B merasa pekerjaannya menjadi pedagang sapi sedang merugi, sehingga pada masa itu subjek B memerlukan hiburan agar ia tidak stres. Selain stress yang pernah dialaminya, ia juga mengalami kejenuhan. Hurlock (1999), mengungkapkan karakteristik dewasa madya terdapat masa jenuh. Pria mengalami masa jenuh dengan kegiatan rutin dan kehidupan keluarga yang hanya sedikit hiburan. Subjek B merasakan masa jenuh tersebut sampai 2 tahun, untuk mengatasinya maka pekerjaannya sekarang memiliki asisten dan subjek B banyak melakukan traveling dengan istri. “Saya bisa marah-marah terus, habis kayaknya gak ada yang bener ma usaha saya. Syukurnya ada jalan, sering jalan-jalan ma ibu kemana aja, trus dagangan juga ada orang kepercayaan..tenang aja”.
4.2.1.3b Gambaran Kepuasan Pernikahan dan ketidakhadiran anak kepada subjek B
Chappel dan Leigh (dalam Pujiastuti dan Retnowati, 2004) menjelaskan kepuasan pernikahan sebagai evaluasi subyektif terhadap kualitas pernikahan secara keseluruhan. Apabila seseorang merasa puas terhadap pernikahan yang telah dijalani, maka ia beranggapan bahwa harapan, keinginan dan tujuan yang ingin dicapai pada saat ia menikah telah terpenuhi, baik sebagian ataupun seluruhnya.
Bagi subjek B kurang semaraknya rumah tanpa kehadiran anak sangat dirasakan waktu 10 tahun yang lalu. Subjek B memang mengimpikan pulang berdagang dapat disambut oleh anak-anaknya. “Dulu saya uring-uringan..pengen banget punya anak, hambar nih rumah tanpa anak. Klo liat anak bayi orang lain suka sekali saya”. Masyarakat memandang bahwa pernikahan merupakan jalan terbaik untuk mengembangkan keturunan dan dengan adanya kehadiran anak hubungan suami istri akan semakin dekat (Papalia, 2008). Demi kehadiran anak, subjek SS banyak melakukan usaha seperti mengasuh anak walau hanya sampai 6 tahun, hingga memaksa istri agar berselingkuh dengan temannya sendiri. Pemaksaan dengan istri tersebut merupakan hal yang paling ia sesali seumur hidupnya. Sewaktu ia memaksa istrinya tersebut, subjek B dalam kondisi sangat tertekan karena desakan yang hebat dari pihak keluarga besar, apabila ia dan istri tidak mendapatkan anak keturunan sendiri maka keluarga besar akan memaksa subjek B agar berpoligami. Kejadian itu tidak mudah subjek B lupakan, bahkan subjek B sangat depresi diwaktu itu “Saya serasa gila..keluarga maksa sekali. Serasa dosa saya sama istri sampai sekarang belum terbayar gara-gara itu..istri saya pasti sudah cerita. Makanya sekuat tenaga saya hidup bahagiain istri, nyenengin istri”.
Sebenarnya bagi subjek B kehadiran anak didalam pernikahannya tidak menjadi patokan baginya. Hidup berdua dengan istri yang terpenting baginya sekarang, rasa bersalah dan penyesalan apa yang sudah ia lakukan kepada istri sekitar 10 tahun yang lalu. “Udah cukuplah mba, istri harus bahagia..gini yaa..klo istri bahagia, rumah tangga juga bahagia. Rumah tuh tentrem..adem ayem..apalagi sih yang dimau-in buat seumuran segini mba”.
Sebagai berikut adalah beberapa aspek kepuasan penikahan, yaitu : Aspek Kepuasan Pernikahan Kepuasan pernikahan dapat diukur dengan melihat aspek-aspek dalam pernikahan sebagaimana yang dikemukakan oleh Olson & Fowers dalam Vidaya (2007). Adapun aspek-aspek tersebut, antara lain : a.
Communication Aspek ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam berkomunikasi
dengan pasangannya. Subjek B mengakui bahwa ia seseorang yang pendiam dan senang menjadi pendengar yang baik untuk istrinya. “Yaa..saya tipe gak banyak bicara yah, kadang-kadang diwakilkan sama ibu klo orang lain nanya apa aja. Untungnya saya punya istri yang banyak bicara, rame lah rumah jadinya heheh…tapi saya seneng loh klo denger istri cerita” Pembicaraan mengenai anak sering kali membuat subjek B kesal, maka dari itu ia sering menolak untuk dites mengenai kesuburan dirinya. Terkadang pembahasan mengenai itu membuat dirinya dan istri bertengkar diwaktu beberapa tahun yang lalu.
“Bagi saya yaa sudah yah..klo memang sudah takdir Allah kami tidak dikasih yo wiss..ora opo-opo. Ndak mau dibuat mumet lagi..lah wong berpuluh-puluh tahun saya kesel…”
b.
Leisure Activity Aspek ini menilai pilihan kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu luang
yang mengrefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal atau bersama. Subjek B senang mengajak istrinya jalan-jalan apabila subjek B sedang libur dari pekerjaannya. “Klo lagi libur jalan-jalan ma istri, bikin seneng istri mba”. c.
Religious Orientation Aspek ini menilai makna keyakinan beragama serta bagaimana pelaksanaanya
dalam kehidupan sehari-hari. Bagi subjek B kehidupan beragama sangat penting diterapkan dalam pernikahan karena tanpa agama dirumah tangga maka pernikahan akan terasa hampa dan tidak bahagia. “Tentunya penting ..lah klo kita ga beragama mw jadi apa kita ini. Perkawinan tanpa agama gampang cerai, bawaanya marah-marah panas-lah rumah. Makanya saya sering klo libur ngajak sholat berjamaah ma ibu”. d.
Conflict Resolution Aspek ini berfokus untuk menilai persepsi suami istri terhadap suatu masalah
serta bagaimana pemecahannya. Dalam pemecahan masalah subjek B memilih untuk menyendiri, baginya masalahnya hanya subjek B saja mengetahui, untuk berbagai masalah dengan istri, baginya istrinya sudah punya masalah sendiri sehingga subjek B merasa sanggup untuk menanganinya sendiri. “Saya tuh senang sendirian..ibu tau koq kebiasaan saya. Masalah saya yaa masalah saya ..ibu jangan dibawa-bawa. Laki-laki tuh harus kuat, mandiri gak perlulah bawabawa istri..istri saya udah berat hidupnya moso saya sebagai suami ngasih masalah”. e.
Financial Management
Aspek ini menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan, bentuk-bentuk pengeluaran, dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Baginya keuangan sudah dipercayakan semuanya oleh istrinya, menurutnya keuangan bukan bagian laki-laki. “Semua saya kasih ke istri..saya gak megang sama sekali. Istri saya pinter ngelola…soal dagangan sapi aja istri yang ngelola. Laki-laki tuh gak bisa megang uang bisa-bisa belanja mulu…ngatur uang perempuan ahlinya”. f.
Sexual Orientation
Aspek ini berfokus pada refleksi sikap yang berhubungan dengan masalah seksual, tingkah laku seksual, serta kesetiaan terhadap pasangan. Hubungan seksualnya dengan istri dari tahun ke tahun memiliki peningkatan yang semakin baik, walau secara kuantitas tidak sesering dahulu sekitar 10 tahun yang lalu. “Aman dan normal-normal aja. Apa yaa…semakin kesini semakin enak, istri-pun makin suka. Dulu walau sering ga seenak sekarang, yaa dulu saya mikirnya biar dapet anak”. g.
Family and Friends Aspek ini melihat bagaimana perasaan dan perhatian pasangan terhadap hubungan
kerabat, mertua serta teman-teman. Aspek ini mereflesikan harapan dan perasaan senang akan menghabiskan waktu bersama keluarga besar dan teman-teman. Menurut subjek B hubungannya dengan keluarga besar nya sudah lebih baik dibanding dahulu, dan hubungannya dengan keluarga istri semakin dekat. “Dulu saya gak suka sama keluarga saya sendiri, mungkin ibu udah cerita ke mba kenapa. Klo bisa gak usah kumpul-kumpul keluarga, sekarang sih udah mendingan mereka..saya sih gak suka ribut-ribut apalagi sama keluarga sendiri. Malahan saya sama ibu, bapak mertua lebih deket”.
Hubungan subjek B dengan teman-teman bisa dibilang baik-baik saja. Subjek B merupakan seseorang yang giat bekerja sehingga waktunya untuk pergi bersama temantemannya tidak banyak.
“Sama temen-temen ketemunya ditempat dagang, klo main saya jarang yah..paling ngbrol-ngobrol”.
h.
Personality Issues Aspek ini melihat penyesuaian diri dengan tingkah laku, kebiasaan-kebiasaan
serta kepribadian pasangan. Subjek B yang pendiam sudah terbiasa dengan kepribadian istrinya yang lebih vocal dibanding dirinya. “ Yaa..mba tau sendiri kan istri saya gimana, istri saya rame orangnya..saya nya diem..mungkin emang udah takdir Allah..yang satu cerewet yang satu diem…seimbang. Saya gak ada masalah sama tingkah laku ato kepribadian istri ya..suka-suka aja…pokoknya gak ada apa-apalah”. i. Egalitarian Role Aspek ini menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam dalam kehidupan pernikahan. Fokusnya adalah pada pekerjaan, tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin. Menurut subjek B pekerjaan dirinya selaku suami adalah mencari uang sebanyak-banyaknya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan menyenangkan istri. “Saya emang ga bisa nyuci ato nyapu …gitu-gitu ga bisa..itu kan kerjaan orang perempuan mba. Suami konsennya nyari duit mba..biar dapur ngebul, sama kebutuhan istri yaa kayak beli lipstick, baju ..apalagi istri saya suka pergi sama temen-temennya butuh ongkos ma uang jajan kan…yang penting istri saya seneng, saya klo liat istri seneng yaa seneng”.
4.2.2 Gambaran Umum Pasangan Subjek 2 [Subjek C (Istri) dan Subjek D (Suami)] 4.2.2.1 Hasil Observasi Wawancara Pertama Untuk mewawancarai pasangan subjek 2 ini peneliti mengalami kendala dikarenakan pasangan subjek 2 mengalami musibah, salah satu saudara dari keluarga
subjek C meninggal dunia sehingga mereka menunggu 40 hari dikampung halaman subjek C yang terletak di serang. Setelah menunggu akhirnya peneliti mendapatkan waktu untuk mewawancarai dan observasi. Tanggal 6 september peneliti datang untuk kerumah pasangan subjek 2 sekitar jam 17.00 sesuai dengan perjanjian. Pasangan subjek 2 bertempat tinggal dalam lingkungan masyarakat betawi dimana bentuk rumah mereka khas rumah betawi, memiliki pelataran yang lebar dan depan rumah mereka diberikan dua kursi letaknya didepan pintu, kursi tersebut terbuat dari kayu bergaya khas betawi. Setiba peneliti didepan rumah disambut oleh subjek C, subjek C terlihat segar dengan memakai baju kotak-kotak dominasi hijau, berjilbab hijau dan celana abu-abu tua. Peneliti dipersilahkan duduk pada salah satu kursi didepan pintu rumahnya, sedangkan subjek C duduk di kursi sebrangnya. Beberapa kali subjek melihat kearah dalam rumahnya, terlihat dari raut wajahnya kekhawatiran. Tak lama kemudian subjek C mengajak peneliti untuk bersama kerumah saudaranya. Peneliti-pun menyetujui, sebelum pergi subjek C masuk kerumahnya terlebih dahulu kurang lebih 2 menit subjek C keluar kembali.
Rumah saudara subjek C terletak tak jauh sekitar 20 meter dari rumahnya, rumah tersebut tak beda jauh dari gaya rumah subjek c hanya dindingnya berbeda warna, rumah subjek C dinding warna kuning muda, sedangkan rumah saudara nya tersebut berwarna hijau pucat. Didalam rumah tersebut terdapat sepupu dari subjek D dan dua anak kecil berjenis kelamin perempuan. Berbeda raut wajah subjek C setibanya dirumah saudaranya tersebut terlihat tidak setegang sebelumnya, subjek C mempersilahkan peneliti duduk beralaskan karpet disalah satu ruangan dimana terdapat akuarium besar yang didalamnya ikan-ikan kecil yang berenang. Saudara sepupu subjek D menyuguhkan minum dan
beberapa makanan ringan kepada peneliti. Keramahtamahan saudara subjek D membuat suasana lebih santai dari yang diperkirakan peneliti, subjek C diajak bercanda oleh kedua anak perempuan tersebut, mereka saling mengejar satu sama lain. Melihat kegembiraan tersebut peneliti tidak langsung memulai wawancarai. Selang 15 menit datang subjek D kerumah tersebut, subjek D memakai kemeja panjang berwarna putih pucat, sarung berkotak-kotak biru, menggunakan peci, dan ditangannya memegang 3 bungkus rokok. Subjek D langsung menghampiri subjek C sekaligus ikut bercanda dengan kedua anak perempuan kecil tersebut.
Wawancara dimulai setelah kami sholat maghrib bersama, subjek D berperan menjadi imam dan kami semua makmum-nya. Wawancara dimulai dari subjek C terlebih dahulu, kami lakukan diruangan yang terdapat akuarium tadi. Sebelum wawancara dimulai subjek C menerangkan alasan mereka melakukan wawancara dirumah saudara subjek D daripada dirumah mereka. Didalam rumah pasangan subjek 2 terdapat seorang anak perempuan dengan umur sekitar 20 tahun, anak tersebut adalah anak dari kakak subjek C yang mengalami perceraian, anak tersebut diasuh mereka bersama ibu kandungnya yang rumahnya-pun terletak disebelah rumah pasangan subjek 2. Anak tersebut sudah menganggap pasangan subjek 2 sebagai orangtuanya walau orangtua kandungnya pun masih ada, pasangan subjek 2 ingin menjaga perasaan anak tersebut karena sebelumnya ada kejadian yang tidak mengenakan mereka perihal status anak tersebut.
Subjek C adalah ibu rumah tangga sekaligus partner kerja suaminya selaku ketua RT, berusia 47 tahun, tinggi badan 157cm dan memiliki kulit kuning langsat. Sedangkan
subjek D adalah ketua RT dilingkungan rumahnya, berusia 52 tahun, tinggi badan 165cm dan memiliki kulit sawo matang. Wawancara dengan subjek C berlangsung agak terhambat karena berulangkali subjek C menerima SMS ke handphone nya dari anak tersebut. Anak tersebut meminta pasangan subjek 2 untuk pulang kerumah. Selesai mewawancarai subjek C, peneliti tidak langsung mewawancarai subjek D karena mereka bergegas pulang, dan peneliti kembali membuat perjanjian untuk melakukan wawancara kembali dirumah saudara subjek D diesok harinya pada jam yang sama.
Wawancara Kedua Tanggal 7 september 2012, sekitar jam 18.15 peneliti telah sampai dirumah saudara subjek D. Didalam rumah tersebut sudah ada pasangan subjek 2, subjek D sedang menikmati rokoknya yang sudah berpuluh-puluh batang ia hisap terlihat pada wadah putung rokok didepannya, dan disebelahnya terdapat secangkir kopi hitam pekat menemaninya merokok. Subjek C dan saudara subjek D mengajak peneliti masuk, subjek D pun mempersilahkan peneliti duduk diantara mereka. Kami kembali duduk diruangan yang terdapat akuarium besar, kali ini suasana sedikit berbeda karena dua anak perempuan kecil tidak dirumah sehingga terasa lebih sepi. Pada saat itu, terlihat pakaian subjek D lebih formal dibandingkan hari sebelumnya, subjek D memakai batik berlengan panjang, celana hitam tetapi tetap mengenakan peci, untuk subjek C menggunakan pakaian lebih santai daripada kemarin dengan memakai baju berlengan panjang dan rok panjang, tak lupa jilbab berwarna putih pucat.
Cukup sekitar 15 menit peneliti duduk, subjek D mengajak untuk memulai wawancara dikarenakan subjek D sekitar jam 20.00 memiliki acara. Tanpa ada kendala
berarti subjek D dapat menjawab beberapa pertanyaan dengan lugas, beberapa lelucon dilontarkan oleh subjek D sehingga suasana wawancara lebih menyenangkan. Selama peneliti mewawancarai subjek D sudah sekitar 1 bungkus rokok ia habiskan dan berulangkali subjek C menuangkan kopi kedalam gelasnya. Walaupun berulangkali subjek C datang untuk mengisi kopi kedalam gelas subjek D, namun wawancara tetap dilakukan dan subjek D tidak terganggu. Suara subjek D cukup jelas, dan berkonsentrasi untuk menjawab pertanyaan walau ia menjawab sambil menikmati rokok dan kopi. Setelah cukup selesai mewawancarai subjek D, subjek D pamitan kepada peneliti untuk pergi, didepan rumah saudara nya sudah ditunggu beberapa bapak-bapak berpakaian batik seperti subjek D. Subjek D adalah pengurus RT (rukun tetangga) yang berpengaruh dilingkungannya, sehingga setiap harinya ia sibuk mengurusi permasalahan dan administrasi warganya, subjek C-pun sangat berperan dalam tugasnya sehingga mereka saling berkerjasama. Subjek D lebih sering pergi ke kantor kelurahan, sedangkan subjek C mengurus bagian pengetikan dirumah, walau begitu mereka sering bergantian bertugas.
4.2.2.2 Hasil Wawancara Subjek C 4.2.2.2a Gambaran Pernikahan Subjek C Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal dari keluarga, sifat, kebiasaan dan budaya yang berbeda. Pernikahan juga memerlukan penyesuaian secara terus-menerus. Setiap pernikahan, selain cinta juga diperlukan saling pengertian yang mendalam, kesediaan untuk saling menerima pasangan masing-masing dengan latar belakang yang merupakan bagian dari kepribadiannya. Hal ini berarti mereka juga harus bersedia menerima dan memasuki lingkungan sosial budaya
pasangannya, dan karenanya diperlukan keterbukaan dan toleransi yang sangat tinggi, serta saling penyesuaian diri yang harmonis (dalam Anjani, Cinde & Suryanto, 2006).
Subjek C dan D menikah pada tahun 1989 bulan Oktober untuk tanggal mereka tidak ingat pasti. Sebelumnya mereka bertemu karena masing-masing dari kakak-kakak mereka menikah, karena seringnya bertemu selaku adik-adik dari kakak-kakak mereka yang telah menikah, akhirnya saling tertarik dan mencintai. Tantangan untuk mereka menikah adalah tidak disetujui oleh semua keluarga karena kepercayaan adat yang mengatakan apabila masing-masing kakak dan adik menikah dari kedua keluarga yang sama maka terjadi perceraian atau musibah. Walau pertentangan begitu keras merekapun tetap memutuskan menikah. “Gimana yaa ceritanya, saya bukan orang sini..tapi pondok pinang. Jadi kakak saya nikah sama kakak nya suami, karena kakak saya nikah jadi sering ketemu juga sama adiknya …nyebutnya cinlok lah heheheh..Cuma kan kata orang-orang tua tuh pamali klo abang ma adiknya nikah..jadi sempet susah mw nikah. Eh, tau-taunya bener..kakak saya cerai”.
Pengalaman awal pernikahan dirasakan tidak semanis yang dibayangkan karena kakak mereka akhirnya bercerai meninggalkan 4 orang anak, dengan dua orang perempuan dan dua orang laki-laki. Bapak dari anak-anak tersebut meninggalkan mereka, sehingga hanya ada ibu kandung-nya saja. Mereka hidup bersebelahan, ibu dari anak-anak tersebut sering menitipkan anak-anaknya tersebut kepada kedua subjek. “Kakak saya pisah sama suaminya, ninggalin anak 4 masih kecil-kecil ke saya. Rumah saya ma kakak kan sebelah-sebelahan jadi anak-anaknya suka sama saya. Suaminya ga tau kemana pokoknya pergi aja githu..saya sama suami kan kasihan ma anak-anaknya yaa ga pa-pa kita asuh padahal masih ada ibunya cuma anak-anaknya suka nginep, makan dirumah saya. Anaknya ada dua cewek ma dua cowok, klo sekarang sih dua udah nikah anak pertama dan kedua, yang ketiga cowo lagi kerja..yang keempat ini masih kuliah udah semester 5. Mau nikah ma pacarnya klo udah lulus kuliah itu anak”.
Kedua subjek mengasuh anak-anak tersebut bersama ibu kandungnya, dan dari keempat anak tersebut anak bungsu-lah yang paling dekat dengan kedua subjek. Pada saat ditinggal anak bungsu itu berumur 3 tahun, hingga anak itu mengenal orangtuanya adalah subjek C dan D. Sibuknya mereka mengasuh, sehingga awal pernikahan mereka kurang mengalami indahnya menjadi pengantin baru. “ Iyah..punya kakak..tapi yang kecil mana mau dibilang anaknya kakak saya. Yang kecil sebenarnya tau ibu aslinya tapi ga tau dia gam au ma ibu nya. Dia ditinggal waktu umur 3 tahun, klo ibunya pergi dia ga nangis tapi kalo saya ma suami pergi dia nangis ga mau ditinggal. Pernah waktu sekolah mau masuk SMP kan dia liat akte lahir namanya ibu kandungnya terus dia nangis-nangis dilempar akte nya ga mau nama ibunya minta diganti sama nama saya dan suami..yaa udah sama si kecil aja akte nya diganti nama saya dan suami”.
Subjek C selain menjadi istri dari subjek D, ia juga berperan sebagai partner kerja dalam pengurusan administrasi mengenai kebutuhan warga di lingkungannya, sehingga diumurnya sudah memasuki 40 tahun-an ia senang menekuni kegiatannya itu. Apa yang dilakukan subjek C sesuai dengan tugas dari dewasa madya yang mempergunakan waktunya untuk mengevaluasi kembali, tujuan, aspirasi, sejauh mana mereka telah memenuhinya dan memutuskan bagaimana cara terbaik untuk menggunakan waktu yang tersisa dalam hidup mereka (Lachman dalam Sari, 2010). “Yaa..saya kan cuma lulusan SMP, suami ngajarin buat ngurus-ngurus dikelurahan. Saya seneng jadi pinter..emang suami pengennya saya pinter gak cuma jadi ibu rumah tangga. Seumuran segini kan saya udah gak bisa kerja dimana-mana, jadi seneng aja ngerjain urusan suami”. Kegiatan subjek C dalam kepengurusan RT untuk warganya membuatnya sering ditunjuk untuk menjadi ketua berbagai acara yang berlangsung di lingkungannya, seperti ketua PKK, ketua pengajian RT, dan masih banyak lagi. Ini berkaitan juga dengan tugas perkembangan dewasa madya, yaitu tugas yang berasumsi terhadap tanggung jawab
negara dan sosial, minat pada waktu luang yaitu orientasi kedewasaan dan tempat kegiatan (Havighurst dalam Hurlock, 1999). “Banyak mba acara saya, tiap malem keliling-keliling rumah ke rumah buat ngurusin warga. Apalagi sih yang bisa saya buat kan buat lingkungan sendiri”. 4.2.2.2b Gambaran Kepuasan Pernikahan dan ketidakhadiran anak kepada subjek C
Chappel dan Leigh (dalam Pujiastuti dan Retnowati, 2004) menjelaskan kepuasan pernikahan sebagai evaluasi subyektif terhadap kualitas pernikahan secara keseluruhan. Apabila seseorang merasa puas terhadap pernikahan yang telah dijalani, maka ia beranggapan bahwa harapan, keinginan dan tujuan yang ingin dicapai pada saat ia menikah telah terpenuhi, baik sebagian ataupun seluruhnya.
Pernikahan yang sudah memasuki lebih dari 20 tahun terasa bahagia sehingga subjek C berpendapat bahwa kurun waktu 20 tahun dirasakan baru sebentar, berikut pengakuannya. “Gimana yah..rasanya baru belum lama githu kemarin nikahnya tau-tau udah 20 tahun lebih. Abis jalaninnya happy enjoy aja. Gak ada apa-apa”. Dalam pernikahannya yang sudah lama tersebut kehadiran anak memang sangat ditunggu-tunggu. Subjek C pernah menunda kehadiran anak kandung hingga usia pernikahannya ke 3 tahun karena mereka masih mengasuh 4 orang anak pada masa itu. Selama menunda kehadiran anak, subjek C tidak menggunakan alat KB satu-pun. Namun, sampai sekarang disaat ia sudah tidak menunda, kehadiran anak pun tidak
kunjung tiba. Karena lamanya subjek C dan suami tidak memiliki anak, subjek C pernah menyatakan bahwa ia mengizinkan suami untuk menikah lagi. “Saya pernah ajuin ke bapak buat nikah lagi..‟ayah mau punya anak? Kalo mau pengen punya anak hasil sendiri..silahkan aja ibu izinin koq ayah nikah lagi‟. Tapi gak mau, katanya sampai kapan-pun gak mau..tetap kita harus jalanin berdua”. Berbagai cara untuk kehadiran anak dari cara medis kedokteran hingga cara alternatif sudah dilakukan oleh subjek C, sayangnya suami tidak ingin dites secara medis. Berdasarkan hasil medis, subjek C mendapatkan jawaban yang tidak mengenakan hingga sekarang terkadang subjek C merasa bersalah terhadap suami. Selain itu, subjek C pernah berkeinginan mengangkat salah satu anak dari adik iparnya tetapi sang suami tidak menyetujuinya. “Berobat mulu..sering banget malah kedokter, alternatif juga. Sering minum obat, minum jamu. Emang ada masalahnya di saya..kata dokter Rahim saya jauh. Yah usaha dulu mah sering ke dokter tapi sekarang udah nggak”. “Dinikahan 5 tahunan pengen rasanya hamil, melahirkan anak..klo ngasuh anak pernah kan. Ngerawat anak kan udah pernah. Suami suka nyabarin „y udah sabar ajah gak apa-apa kalau gak punya anak‟ ..suka ngeluh..suami suka kasih masukan yang enak. Saya pengen banget pake baju hamil..klo liat daster-daster ibu hamil..mungkin saya cakep klo pake”. Keinginan subjek C untuk memiliki anak untuk pernikahannya sekarang ini tidak semangat dahulu sewaktu masih pernikahan berusia 5 tahunan. Hanya ada perasaan ikhlas sambil menunggu cucu-cucu dari keponakannya yang sudah besar. “Nah klo sekarang udah gak ada kepengen lagi..udah ilang pengennya, kemarin ada adik ipar melahirkan anaknya cowo..saya nya udah gak mau. Yaa kita ngarepinnya cucu-cucu dari keponakan aja, ngeliat keponakan aja udah mau nikah kan. Walau ada yang bilang ada harapsn tapi udah akh saya udah ga ngarep lagi..udah nikmatin aja berdua ma suami”.
Sehingga bagi subjek C kehidupan pernikahannya sudah cukup. “Nggak gimana-gimana, bagi saya sudah cukup..saya nikmatin pernikahan begini. Yaa anak yang kita asuh juga udah cukup, anaknya cewe jadi ga bikin masalah..kita kerjasamalah ma ibunya. Anaknya nyenengin walau bukan anak kita, kita juga udah anggep anak sendiri ..walau masih ada ibunya disebelah rumah malah. Jadinya udah cukup lah bagi saya kehidupan begini..suami saya sayang terus mau apa lagi mba..”.
Sebagai berikut adalah beberapa aspek kepuasan penikahan, yaitu : Aspek Kepuasan Pernikahan Kepuasan pernikahan dapat diukur dengan melihat aspek-aspek dalam pernikahan sebagaimana yang dikemukakan oleh Olson & Fowers dalam Vidaya (2007). Adapun aspek-aspek tersebut, antara lain : a. Communication
Aspek ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam berkomunikasi dengan pasangannya. Subjek C dapat membicarakan berbagai macam hal kepada suaminya, dan suami juga bersedia untuk menjadi pendengar ketika subjek C memiliki masalah. “Yaa.. itu yang membuat kita bertahan, saling terbuka apalagi masalah keuangan, masalah suami istri. Saya orangnya ga suka bohong, ga bisa bohong. Misalnya kita bohong nih akhirnya lama-lama kita ngaku..pokoknya terbuka. Kalau ada masalah juga suka dengerin”. b. Leisure Activity
Aspek ini menilai pilihan kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu luang yang mengrefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal atau bersama. Subjek C memiliki waktu luang yang menarik yang subjek C melakukan kegiatan suami dengan
perasaan yang senang, subjek C menggantikan suami apabila suami berhalangan dan belajar berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakat sebagai teman kerja suami yaitu sebagai ibu RT, selain itu subjek C juga suka mengaji untuk mengisi waktu luangnya. “Itu ngaji, saya suka ngaji. Juga saya kan suka bantu-bantu bapak dikelurahan, kebetulan saya kan ibu kader kelurahan. Jadi disitu di cari kesibukannya, emang saya gak boleh kerja ma suami dari dulu..kayak kerja diluar rumah githu kan itu lama diluar rumahnya, kalo biasa ngurus kelurahan kan cuma sebentar..itu aktifnya yang suami ajarin yaa gak hanya jadi ibu rumah tangga biasa. Dilepas ma suami tapi diajarin ngerjain soal warga ..suka ngurus surat tanah, surat-surat warga..ibu yang jalan suami yang ngetik-ngetik dirumah. Saya pergi kekantor ..biar saya tambah pengalaman, tambah wawasan. Kata suami walau lulusan SMP walau ibu rumah tangga tapi pinter..kita dilepas buat ngrus urusan itu..banyak orang-orang bilang „ih pak RT masa istri nya yang pergi-pergi ga takut apa diambil orang istrinya‟ „ibu RT nya aktif nih‟ yaa emang suami yang nyuruh biar pinter. Itu lah mba kesibukan saya, apa yang saya lakukan suami tau”
Selain penuh dengan aktifitas dari pekerjaan suami, subjek C juga suka menghabiskan waktu luang bersama suami. Seperti menemani suami menekuni hobi nya memancing. “Suka ngajak jalan-jalan..makan, suka kadang-kadang ngajak anak yang itu. Hobi bapakkan mancing saya suka bawain nasi klo dia dipemancingan. Sampe tementemennya pada iri „pak RT mah enak suka dibawain nasi, istri saya malah marah-marah klo saya mancing. Mancingkan lama tapi say amah gak pernah marahin..mau mincing ..yang penting ga ngerugiin kita, uang selalu dikasih. Ada kan orang ngumpet-ngumpet buat istri gak ada tapi buat mincing gak ada..kalau suami mah nggak. Tetep istri yang di nomer satukan”.
c. . Religious Orientation Aspek ini menilai makna keyakinan beragama serta bagaimana pelaksanaanya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan beragama subjek C menerapkan kedalam kehidupannya sehari-hari dengan beribadah bersama suami dan suami-pun senang melakukan ibadah berdua dengan subjek C dibandingkan ibadah sendiri.
“Suka banget, karena itu suami gak terlalu sering ke masjid karena sholat jamaah ma saya. Maunya bareng-bareng ma istrinya. Saya kan suka baca Al-Quran..ngaji githu mba.. tiap pagi walau cuma beberapa ayat”.
d. Conflict Resolution Aspek ini berfokus untuk menilai persepsi suami istri terhadap suatu masalah serta bagaimana pemecahannya. Suami subjek C dalam membantu subjek C dalam menyelesaikan masalahnya mengarahkan dengan nasihat, tetapi untuk tindakan selanjutnya hanya subjek C yang lakukan dan putuskan. “Suka bantu, dari omongannya ngasih masukan yang baik. Suami ga pernah nanggepin marah, suami selalu kasih solusi…tapi saya yang nyelesein katanya biar istri gak manja. Jadi suami nasihatin..klo ada masalah ma adik ipar dia nengahin ga belain ..ngademin lah. Apalagi sama mertua suka cerewet..suka curhat suami mah nanggepinnya „ya udah namanya juga orang tua kita yang ngalah..ngenengahin‟”. Cara penyelesaian masalah subjek C dan suami menarik yaitu dengan mengikuti anjuran dari agama yang mereka anut. Cukup 3 hari saja mereka saling diam ataupun saling marah, setelah 3 hari maka salah satu dari mereka yang memang melakukan kesalahan akan meminta maaf. Berikut penuturan subjek C. “Sesuai ajaran agama Islam, gak boleh lebih dari 3 hari. Jadi kalau-pun kesel tapi klo udah 3 hari harus maafan. Kadang klo saya yang salah saya duluan yang minta maaf, klo suami yaa suami duluan. Pokonya gak boleh lewat 3 hari aja. Padahal yaa..namanya perempuan kadang gengsi”. e. Financial Management
Aspek ini menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan, bentuk-bentuk pengeluaran, dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Keuangan yang diterima subjek C tidak dalam pendapatan bulanan, karena menyangkut dengan pekerjaan suami sebagai ketua RT sehingga pendapatan didapatkan sesuai dengan pekerjaan yang ada, apabila tidak ada pekerjaan maka sering subjek C tidak memegang keuangan. Namun,
dari pengalaman itu subjek C tidak memiliki masalah dengan keuangan yang seperti itu, subjek C akan menerima berapa-pun yang diberikan suami, dan mereka mengaturnya untuk memenuhi kebutuhan mereka. “ Kalau suami emang ga gajian bulanan, jadi kalau ada pasti dikasih ma suami klo gak ada yaa ditunggu aja ntar juga ada..pokoknya pintar-pintar kita ngaturnya. Gak ada masalah sih. Yaa ada bagiannya klo suami bagiannya kayak bayar listrik githu, kalau saya yaa bagian buat masak..buat anak yang itu, sebagaian besar ke saya sih”. Walau pemasukan keuangan mereka tidak pasti datangnya, tetapi suami subjek C selalu mengajarkan agar uang yang didapat walau sedikit tetap diharuskan beramal. “Nggak, bapak malah suka bilang sisain buat amal, sedekah sekalipun kita gak punya uang. Pas kita gak punya malah masih disuruh ngasih ke orang yang susah..katanya suami justru itu yang bikin pahalanya besar. Suami mah percaya aja ma saya, kan bagian dia juga udah dia ambiltuk pengeluaran, dan pembuatan keputusan tentang keuangan”.
f.
Sexual Orientation
Aspek ini berfokus pada refleksi sikap yang berhubungan dengan masalah seksual, tingkah laku seksual, serta kesetiaan terhadap pasangan. Pengalaman awal pernikahan yang kurang manis ditambah dengan subjek C menikah diusia muda membuatnya dulu tidak total menikmati hubungan seksualnya. Semakin berumur subjek C menemukan kenikmatan hubungan seksualnya dengan suami, karena itu hubungan dengan suami semakin mesra dan romantis dibandingkan dulu.
“Normal-normal aja..malah makin kesini makin bergairah. Lebih sering. Kalau dulu kan masih muda banget ga ngerti..jadi ga seenak sekarang. Pokoknya sekarang lebih enjoy. Saya juga belum menopause jadi makin..hm…enak deh..lebih banyak gaya nya daripada awal nikah”.
g. Family and Friends Aspek ini melihat bagaimana perasaan dan perhatian pasangan terhadap hubungan kerabat, mertua serta teman-teman. Aspek ini mereflesikan harapan dan perasaan senang akan menghabiskan waktu bersama keluarga besar dan teman-teman. Subjek C tinggal dilingkungan suami dimana rumah mereka saling berdekatan sehingga kuantitas bertemu dengan keluarga suami tinggi, tak jarang subjek C mendapatkan hal-hal tak mengenakan dari saudara suami, namun subjek mencoba menghiraukan hal tersebut. “Ga ada masalah yah. Saya kan tinggal dikeluarga suami..ga ada masalah..apalagi banyak ipar-ipar..kalau ada omongan gak usah dimasukin kedalam hati, gak dipendem dan ga ngadu ke suami..yaa buat apa. Pokoknya baik-baik aja”. “Keluarga saya kan jauh-jauh, saya 5 bersaudara beda ibu..jadinya saya anak kedua. Kakak saya di kebun kacang, adik dibintaro, ada diserang, ada di cengkareng. Ayah ibu saya kan udah gak ada jadinya waktu itu tinggal ma kakak. Lebih sering deket ma keluarga suami jadinya. Kalau yang deket mah suka datang tapi kalau yang jauh paling datang pas lebaran mah kakak ma adik saya”.
Hubungan subjek C dengan teman-temannya selama ini ia rasakan tidak ada masalah, justru mereka sering melakukan hal bersama-sama seperti belanja. “Paling hang out bareng, shoping bareng..saya juga gak ada masalah ma tementemen”. h. Personality Issues Aspek ini melihat penyesuaian diri dengan tingkah laku, kebiasaan-kebiasaan serta kepribadian pasangan. Kepribadian suami yang keras dan apabila berbicara pedas bahasanya sering membuat subjek C bersedih hati, subjek C mencoba untuk memahami
makna dan hikmah apabila suaminya melontarkan kata-kata yang tidak mengenakan, guna menenangkan hati. “Dulu saya kan gak ngerti masih muda ga tau harus gimana ma sikapnya. Koq begini banget yaa orangnya dulu mikirnya githu, orangnya sih gak galak tapi tegas banget ..gak pernah sih bapak mukul apalagi main tangan. Dia punya prinsip gak mau didik istri pakai kekerasan, cuma omongannya pedes banget..bikin sakit hati..tapi klo lagi kita hayatin emang bener sih omongannya. Buat kita tambah dewasa, jadi intropeksi”.
i. Egalitarian Role Aspek ini menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam dalam kehidupan pernikahan. Fokusnya adalah pada pekerjaan, tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin. Subjek C memang membantu suami dalam menjalani pekerjaan suaminya sebagai pelayan masyarakat, terkadang subjek C dapat mewakili suaminya. “Kalau ada yang ga ngerti emang suami sih jalan, pokoknya saya jalan klo ada surat yang selesai diketik. Pernah sampai jauh-jauh ke BSD sono-an ..klo ayah ga sempet ibu yaa yg jalan..githu”. Untuk pekerjaan rumah tangga suami cukup membantu. “Klo nyambel suami yang buat, tapi kayak nyuci baju kagak mau dia..paling nyapu, ngepel githu”.
4.2.2.3 Hasil wawancara Subjek D 4.2.2.3a Gambaran Pernikahan Subjek D
Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal dari keluarga, sifat, kebiasaan dan budaya yang berbeda. Pernikahan juga memerlukan penyesuaian secara terus-menerus. Setiap pernikahan, selain cinta juga diperlukan saling pengertian yang mendalam, kesediaan untuk saling menerima pasangan masing-masing dengan latar belakang yang merupakan bagian dari kepribadiannya. Hal ini berarti mereka juga harus bersedia menerima dan memasuki lingkungan sosial budaya pasangannya, dan karenanya diperlukan keterbukaan dan toleransi yang sangat tinggi, serta saling penyesuaian diri yang harmonis (dalam Anjani, Cinde & Suryanto, 2006).
Subjek D merupakan warga asli dilingkungannya, seluruh keluarganya pun tinggal disana. Bertemunya subjek D dengan istri sama seperti yang diungkapkan subjek C. Selama mereka berpacaran banyak pertentangan dari keluarganya sendiri dikarenakan kepercayaan adat yang mengatakan tidak boleh kakak beradik menikah dengan keluarga yang sama karena bisa mengakibatkan perceraian ataupun musibah. Namun, perihal kepercayaan itu dihiraukan alhasil subjek MR tetap menikahi subjek C. “Ketemunya disini, istrikan pindahan dari pondok pinang, kalo saya kan asli sini. Yaa ketemunya begitu ajah..sering ketemu..cinlok lah. Deket-deket, ketemu mulu..yaa namanya jodoh. Mang dari awal pacaran udah sepakat buat selalu bareng-bareng mulu. Ada tantangan sih..yaa namanya hidup..namanya percintaan tapi selama kita berjalan sesuai syariat Islam..walau adat yang ga sesuai itu tantangannya. Barangkali ibu juga udah cerita dengan status ma anak yang suka ada dirumah…jadi yaa ketemu disini”. Pengalaman diawal pernikahan tidak semanis pengatin baru, karena banyak hal, seperti pertentangan dari keluarga besarnya sendiri, perceraian kakaknya yang masih memiliki anak 4, sehingga subjek D dan istri-pun mengasuh ke-4 anak tersebut bersama ibu kandungnya yang tak lain kakak ipar nya sendiri. Subjek D tidak merasakan indahnya
bulan madu dan romantis nya disaat mereka memadu kasih dirumah mereka sendiri. Kehadiran anak-anak dari kakak-nya membuat hubungan dengan istri tidak harmonis, sehingga diawal pernikahan tersebut subjek D dan istri banyak masalah. “Ada tantangan, yaa pernikahan saya kan kurang disetujui yaa karena adat itu. Klo bicara awal nikah mah jarang ada manisnya, karena gak ada kebebasan..yaa itu ngasuh anak 4. Pacaran ngumpet-ngumpet walau udah nikah..suka duka nya banyak”. Mengasuh dan merawat anak-anak dari kakaknya dijadikan pelajaran apabila subjek D dan istri diberikan anak kandung. Subjek D merasa bertanggung jawab atas masa depan para keponakannya tersebut. Maka tak jarang subjek D sangat berkerja keras untuk mendapatkan penghasilan lebih banyak dikarenakan membiayai pendidikan, dan kesehatan 4 anak keponakannya tersebut hingga mereka dapat mencari penghasilan sendiri. Apa yang dilakukan subjek D sesuai dengan tugas perkembangan dewasa madya yang berkaitan dengan kehidupan keluarga yaitu membantu remaja menjadi dewasa, bertanggung jawab dan berbahagia (Havighurst dalam Hurlock, 1999). “Sekarang alhamdulilah tinggak yang bontot lagi kuliah udah semester 5 tuh…kakakkakak nya mah udah pada nikah 2 orang sama yang cowo no. 3 kerja. Dulu mah banting tulang nyari uang buat sekolah nya semua, buat makan..pan ibu sama bapaknya kadangkadang datang ketemu anaknya..gak tau ada aja rejeki yang dateng”.
4.2.2.3b Gambaran Kepuasan Pernikahan dan ketidakhadiran anak kepada subjek D
Chappel dan Leigh (dalam Pujiastuti dan Retnowati, 2004) menjelaskan kepuasan pernikahan sebagai evaluasi subyektif terhadap kualitas pernikahan secara keseluruhan. Apabila seseorang merasa puas terhadap pernikahan yang telah dijalani, maka ia beranggapan bahwa harapan, keinginan dan tujuan yang ingin dicapai pada saat ia menikah telah terpenuhi, baik sebagian ataupun seluruhnya.
Perjalanan pernikahan subjek D hingga mencapai usia 23 tahun dirasakan semakin hari semakin indah saja, dikarenakan sudah besarnya keponakan yang mereka asuh sehingga subjek D mengakui memiliki kebebasan dan lebih menikmati pernikahannya sekarang ini. “Udah pada gede nih keponakan..jadinya rasanya kita tuh bebas aja..malah sekarang kita makin tua harus makin sayang, makin deket sama istri. Orang yang kita cintai harus kita cintai selamanya. Ada yang malah udah tua sama istri dianggap saudara bukan istri..ada tuh yang kayak githu”.
Kehadiran anak menurut subjek D didalam sebuah pernikahan merupakan sesuatu yang penting karena untuk meneruskan keturunan dirinya dan istri. Tetapi itu bukanlah tolak ukur atas kebahagiaan pernikahannya. Sesuai yang diyakini subjek D bahwa memiliki anak bukanlah kewajiban sehingga subjek D tidak berambisi yang berlebihan untuk memperolehnya. “Emang anak dalam pernikahan merupakan yang diidam-idamkan. Anak merupakan penerus generasi, ada anjuran dalam agama perbanyaklah anak..tapi itukan anjuran gak ada kata haram klo gak punya anak. Dibilang penting ya penting buat keturunan, amanat buat kita”.
Subjek D juga mengkhawatirkan apabila ia diberikan anak kandung oleh Tuhan belum tentu subjek D dan istri dapat merawat, melindungi, dan memberikan perhatian sebesar kepada keponakannya. Yaa itu tadi ..dihati saya terutama tidak menggebu-gebu gak punya anak. Saya gak pernah mw nyalahin istri..Walau beda adanya anak kandung sama keponakan, nanti klo ada anak belum tentu perhatian, kasih sayang saya sama. Makanya saya jaga perasaan anak keponakan itu.
Walau subjek D dan istri sibuk mengasuh ke-4 keponakannya bukan berarti mereka tidak melakukan usaha untuk memiliki anak kandung sendiri. Usaha yang dilakukan subjek D baru sebatas sampai pengobatan alternatif, menurutnya apabila subjek D diperiksa secara medis akan menyakiti perasaan istrinya maka subjek D selalu menolak untuk pemeriksaan dan pengobatan medis. Bahkan istrinya sudah menyuruhnya untuk menikah lagi agar subjek D mendapatkan keturunan nya sendiri, tetapi baginya hidup bersama dengan istrinya sudah cukup ia nikmati. “Saya maunya alternatif, diurut tradisional. Secara medis cuma konsultasi ga pake di cek. Yaa itu saya jaga perasaan istri, istri pasti udah cerita. Saya pernah disuruh nikah lagi tapi yang saya tahu pernikahan sakinah mawadah waromah ..saling cinta mencintai, sayang menyayangi dari muda sampai tua pernikahan itu harus dijalani sampai akhir hayat bersama ma istri. Emang anak menyemarakan rumah, jadi rame nambah bumbu, tapi dari itu semua kita nikah bukan hanya untuk mendapatkan anak kan. Jangan sampe hanya mau punya anak jadi ambisi. Saya berprinsip menjalani pernikahan sampai hayat sama istri, sekalipun tidak ada keturunan kita harus ikhlas. Tapi alhamdulilah ga sepisepi banget, ada keponakan padahal masih punya orangtua kandung”.
Sebagai berikut adalah beberapa aspek kepuasan penikahan, yaitu : Aspek Kepuasan Pernikahan Kepuasan pernikahan dapat diukur dengan melihat aspek-aspek dalam pernikahan sebagaimana yang dikemukakan oleh Olson & Fowers dalam Vidaya (2007). Adapun aspek-aspek tersebut, antara lain :
a. Communication
Aspek ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam berkomunikasi dengan pasangannya. Kelancaran dan keterbukaan komunikasi dengan istri membuat hubungan mereka semakin kuat. Tidak boleh adanya kecurigaan diantara mereka, segala masalah apapun harus diutarakan sehingga menimbulkan intropeksi diri masing-masing dari mereka. “Kalo secara signifikan gak ada..lancar-lancar aja komunikasi sama ibu. Curhat juga sering..namanya kita udah usia lanjut, untuk menjalin rumah tangga yang rukun, harmonis, Indah curhat itu butuh. Trus juga biar tau apa kekurangan saya sebagai suami..saling intropeksi.Menghindari dari masalah..klo kita gak terbuka bisa curiga. Ibu tau semua kesibukan saya, hobi saya. Kejujuran sangat penting, apalagi soal keuangan. Bahasa lunaknya saya nih klo istri minta uang saya bilang „ambil aja dikantong, dipelorotin aja kantongnya klo ada ambil‟..klo ada yang emang itu yang ada”.
Peningkatan komunikasi diantara subjek D dan istri dari tahun ke tahun semakin baik, sehingga keduanya semakin mengerti dan mengenal satu sama lain. “Hm..klo kita ngobrol berdua intropeksi. Apalagi saya tuh emosian, emosinya misalnya saya kesel dari luar terus sampe rumah masih kesel jangan dibuat kesel..ato disaat kita lagi pailit ada permintaan yang gak penting yaa sebenarnya gak pa-pa tapikan timingnya gak tepat..sering saya sampaikan. Kalo dari mana-mana pas sampe jangan langsung disampein..saya tuh emosian jadi maunya klo kita udah adem baru deh sampein..ibu udah tau. Klo saya lagi emosi jangan dilawan..tunggu reda dulu adem dulu..jangan pas panas-panasnya. Alhamdulilah sekarang udah bisa, walau emang udah hak nya dia buat nyampein pendapatkan..sekarang klo saya lagi emosi didiemin dulu ma ibu.Yaa namanya laki kan klo emosian bahaya, laki tuh egonya tinggi..bahaya klo lagi emosi ..bahaya..takutnya malah jadi ribut. Begitu pula sama ibu, klo dia lagi ngapa-ngapa saya diemin dulu..ntar klo dia udah mandi udah sholat baru deh..itu strategi nya..menghindari takutnya masalah sepele malah ribut..yaa namanya kita suka nanganin masalah warga. Komunikasi itu penting. Makin tau makin lancar, makin ngerti. Yaa jangan kita paling benar namanya kita manusia biasa pasti ada salah. Kekurangan kita sebagai suami istri ga boleh kita keluar-keluarin..suami istri itu harus saling mengisi”.
b. Leisure Activity
Aspek ini menilai pilihan kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu luang yang mengrefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal atau bersama. Pekerjaan subjek D yang tidak rutin membuatnya tidak memakan waktunya. Keluangan waktunya subjek D menyalurkan dengan hobi yang baru yaitu memancing. “Saya kan emang ga begitu sibuk, ga kerjanya rutin jadi banyak emang waktu luangnya. Kadang-kadang klo lagi ga ngapain-ngapain nyalurin hobi..mancing dan termasuk bulutangkis. Jadi siangnya mancing malemnya bulu tangkis”.
Begitupula dengan penyaluran keluangan waktunya apabila bersama istri. Subjek D sangat memanfaatkan untuk membersihkan rumah, memperbaiki rumah, dan apabila memiliki waktu yang sangat luang maka subjek D mengajak istrinya untuk pergi keluar kota bisa sekedar jalan-jalan ataupun silahturahmi kerumah keluarganya. “Paling bersihin rumah..kayak kemarin kita bongkar-bongkar ngeliat tempat tidur udah usang kita cat biar bagus. Sering sama-sama kayak jalan-jalan. Kemarin aja dari tasik naik kereta ma istri”. c. . Religious Orientation
Aspek ini menilai makna keyakinan beragama serta bagaimana pelaksanaanya dalam kehidupan sehari-hari. Subjek D melaksanakan ibadah sesuai dengan agama yang ia yakini dengan rutin dan tepat waktu. “Iya sering banget lah sholat kan wajib…ngaji juga, saya suka ajarin istri” Kegiatan beragama subjek D selain kepada dirinya sendiri dan bersama istrinya juga kepada warga sekitarnya, seperti mengaji, dan ceramah agama. “Emang dari awal kita tanamkan terapin berdoa..apalagi dulu ada anak kecil jadi baca-baca doa. Tapi emang saya kan suka ngasih pengajian ibu-ibu malem jumat…biasanya abis maghrib pasti saya keliling ngajar pengajian. Tadinya sih
saya rutin ngaji bareng sama istri, tapi karena saya ada tanggung jawab ma masyarakat jadi ga sesering dulu. Tapi tetep harus diterapin beragama dirumah” d. Conflict Resolution Aspek ini berfokus untuk menilai persepsi suami istri terhadap suatu masalah serta bagaimana pemecahannya. Penyelesian konflik subjek D menerapkan apa yang dianjurkan oleh agamanya, batas marah dengan orang lain ataupun dengan istri ada waktunya tidak boleh berlangsung lebih dari 3 hari, sebaiknya sebelum 3 hari itu-pun harus saling memaafkan. “Kan ada batas waktu..kita pan udah tau dalam agama kagak boleh lebih dari 3 hari. Kadang-kadang jujur klo kesalahan pribadi saya, kita yang harus minta maaf begitu juga sama istri. Jangan merasa gengsi mentang-mentang laki-laki, ga ada namanya gengsi. Jangan merasa bener sendiri”. e. Financial Management
Aspek ini menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan, bentuk-bentuk pengeluaran, dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Subjek D mempercayai istri yang mengelola keuangan untuk kebutuhan rumah tangganya. Bahkan pernah istri tidak diberikan uang sama sekali, namun sang istri tidak mengeluh ataupun marah kepadanya itu karena subjek D menerapkan kepada istrinya bahwa rezeki nya diatur oleh Allah SWT. “Alhamdulilah gak ada, percaya sama istri. Dia juga gak nuntut, pernah sebulan bahkan 2 bulan gak ada kerjaan jadi ga ada masukan alhamdulilahnya rumah tangga ga goyang. Kayak puasa sering saya lakukan, sering di masjid daripada rumah, jadi pas hari raya saya gak pusingin. Istri saya bilangin jangan sedih Allah Maha Kuasa. Kadang-kadang sedikit kadang banyak, yang penting jangan kita ngeluh sama apa yang kita dapat. Yang namanya miskin dan kaya itu semua ujian, klo miskin ujian kesabaran, klo kaya ujian gimana ita ngelola harta”. f.
Sexual Orientation
Aspek ini berfokus pada refleksi sikap yang berhubungan dengan masalah seksual, tingkah laku seksual, serta kesetiaan terhadap pasangan. Bagi subjek D hubungan
intimnya
hingga
saat
ini
berjalan
normal,
dan
subjek
D
tidak
mempermasalahkan perubahan fisik dari sang istri terhadap aktifitasnya berhubungan intim, dan subjek D membiasakan mempertanyakan perasaan sang istri setelah mereka berhubungan intim. “Hubungan intim normal-normal aja, kayaknya ga ada perubahan. Dari dulu pe sekarang masih enak-enak aja. Jangan dipermasalahin masalah fisik..saya anggep semua sama untuk menghibur diri dan menyenangkan istri. Saya juga tanya ma istri bagaimana tadi eh..istri jawab Mantab”.
g. Family and Friends Aspek ini melihat bagaimana perasaan dan perhatian pasangan terhadap hubungan kerabat, mertua serta teman-teman. Hubungan subjek D dengan keluarga istri dan keluarga besar dirinya sendiri dirasakan baik-baik saja, walau ada kendala jarak untuk silaturahmi kepada keluarga istrinya. “Baik alhmadulilah ..terutama dengan keluarga saya rukun-rukun aja. Emang awal nya, ada tantangan di awal nikah ma encing tapi sekarang udah baik. Klo sama keluarga istri masih komunikasi, klo lebaran ya silahturahmi”.
Silaturahmi subjek D dengan teman-temannya sekarang ini terjalin dari hobi nya, mereka bertemu pada saat sama-sama memancing. Bagi subjek D menjalin silaturahmi dengan teman-temannya dan tetangganya merupakan hal wajib yang harus dilakukan, walau subjek D memiliki watak yang keras dan gaya bicara yang pedas, ia menghindari untuk bermasalah karena hal tersebut, subjek D juga bersedia meminta maaf apabila memang ia bersalah.
“Yang menonjol banget sekarang ya hobi saya mancing, emaang saya tuh orangnya maunya sama-sama. Kalo bisa jangan ada jarak. Guna menjalin silahturahmi RT sama warganya pan. Alhmdulilah saya ga pernah ribut sama orang walaupun saya orangnya keras. Kalo saya rasa benar yaa itu benar..kita harus tunjukan kebenaran”.
h. Personality Issues Aspek ini melihat penyesuaian diri dengan tingkah laku, kebiasaan-kebiasaan serta kepribadian pasangan. Penyesuaian diri yang dilakukan subjek D mengenai tingkah laku dan kepribadian istrinya masih terus berlangsung hingga sekarang, walau subjek D masih menyesuaikan dari hari ke hari namun dan penyesuaian itu justru membuat mereka semakin harmonis. “Tidak, semua aman. Ibu belajar karakter saya, saya pun githu. Kalau kurang ngerti yaa kita kasih tau lagi, klo toh faktor usia ibu lupa..yaa kita ingetin lagi..kita maklumin”.
i. Egalitarian Role Aspek ini menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam dalam kehidupan pernikahan. Fokusnya adalah pada pekerjaan, tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin. Istri subjek D senang mewakili dan membantu dirinya menyangkut jabatan dirinya sebagai ketua RT, begitu pula subjek D senang membantu istrinya didapur terutama dalam hal mengulek sambal, tujuan subjek D melakukan hal bersama dengan istri untuk meningkatkan kemesraan dalam kebersamaan mereka, berikut pengakuannya. “Suka,,saya suka masak, nyambel, ngulek sendiri kalo lagi mau..biasanya kan ulekan perempuan kurang halus. Biasanya saya lakukan itu untuk kebersamaan, biar mesra. Yaa kita makin tua harus makin sayang, makin deket sama istri. Orang yang kita cintai harus kita cintai selamanya. Ada yang malah udah tua sama istri dianggap saudara bukan istri..ada tuh yang kayak githu”.
4.3 Analisis Inter Subjek 4.3.1 Pasangan subjek 1 [Subjek A (istri) dan subjek B (suami)] Pernikahan -
Subjek A mengalami masa sepi karena selama lebih dari 20 tahun pernikahan tidak adanya kehadiran anak, dan subjek B mengalami masa jenuh karena masalah pekerjaannya dan desakan keluarga besar karena dalam pernikahannya belum dikarunai anak, namun subjek B mengatasinya dengan mencari jalan keluar dari usahanya dan pergi jalan-jalan dengan subjek A.
Kepuasan pernikahan dan ketidakhadiran anak -
Pernikahan selama 34 tahun yang dialami ssubjek A merasakan kebahagiaan pada pernikahan walau ketidakhadiran anak, ia mengatasinya dengan ketegaran walau banyak cemooh dan pandangan sebelah mata dari beberapa orang termasuk dari keluarga besar suami. Walau ada permasalahan ketidakterbukaan subjek B terhadap kesuburannya yang hingga sekarang subjek A masih tidak mengetahui. Bagi subjek B kurang semaraknya rumah tanpa kehadiran anak sangat dirasakan diwaktu usia pernikahan memasuki 10 tahun yang lalu. Demi kehadiran anak, subjek B sudah melakukan usaha seperti mengasuh anak sampai 6 tahun, hingga memaksa istri agar berselingkuh dengan temannya sendiri. Kejadian itu tidak mudah subjek B lupakan, dam ia sangat menyesalinya hingga sekarang. Namun dari masalah ketidakhadiran anak itu bagi subjek A dan subjek B mereka mengakui tidak mempengaruhi indahnya pernikahan mereka, dan kemesraan mereka.
Aspek kepuasan pernikahan
-
Berdasarkan dari hasil wawancara dari aspek-aspek kepuasan pernikahan yang dialami dua orang subjek tersebut tidak semua aspek terpenuhi. Aspek-aspek kepuasan pernikahan yang dianggap tidak terpenuhi antara lain: aspek communication, kurangnya kejujuran dan keterbukaan berkomunikasi antara keduanya membuat salah satu pihak terutama pihak subjek A merasakan kerugian terutama ketika istri mengatasi masalah, sehingga itu mempengaruhi aspek berikutnya yaitu conflict resolution. Confilct resolution ini berdampak kepada pemecahan masalah yang terjadi keduanya atau dari pihak luar rumah tangganya terutama pihak keluarga besar tidak terselesaikan secara tuntas, conflict resolution yang dimaksud karena ketidakhadiran anak yang masih dipermasalahkan hingga sekarang kehadirannya oleh keluarga besar subjek B. Selain conflict resolution, aspek yang kurang terpenuhi berikutnya adalah personality issue, merasa kecewa dengan kebiasaan dan tingkah laku diam dan pasif dari subjek B apabila subjek A memiliki masalah. Aspek berikutnya yang kurang terpenuhi adalah egalitarian role, dimana subjek B kurang kerjasama dengan subjek A dalam urusan pekerjaan rumah tangga, menurutnya urusan pekerjaan rumah tangga semuanya tanggungjawab istri, kewajiban suami hanya mencari uang. Selanjutnya, aspek yang termasuk kurang terpenuhi adalah aspek family and friends, terutama dengan family, ini disebabkan masih adanya permasalahan dari keluarga besar subjek B yang belum terselesaikan sehingga hubungan kedua subjek tersebut dengan keluarganya tidak terbina dengan baik, silahturahmi antara keduanya tidak terjalin dengan baik begitu juga dengan komunikasi yang sengaja untuk dihindari dari kedua pihak.
-
Untuk aspek-aspek yang terpenuhi dari kedua subjek tersebut diantaranya, Leissure activity mereka saling mengisi waktu luang yang ada dengan melakukan kegiatan
bersama seperti jalan-jalan dan makan, kegiatan bersama yang mereka lakukan bukan hanya dalam mengisi waktu luang tetapi termasuk dalam aspek religious orientation dimana kedua subjek melakukan ibadah bersama-sama seperti sholat berjamaah dan mengaji bersama. Aspek terpenuhi lainnya adalah sexual reliantionship, dimana keduanya mengakui semakin bertambahnya umur, hubungan seksual mereka semakin baik dan menyenangkan dibandingakan sekitar 10 tahun yang lalu, walau ada pengurangan kuantitas dari sebelumnya 4x dalam sehari dalam usia keduanya memasuki dewasa madya dilakukan 2x sehari. Selanjutnya, aspek yang terpenuhi terakhir adalah financial management, walau subjek B pribadi yang pendiam dan pasif namun rasa kepercayaan ia dengan subjek A untuk mengelola keuangannya baik keuangan dagang dan keuangan rumah tangga sangat tinggi sehingga membuat subjek A tidak merasa khawatir dalam pengelolaannya.
4.3.2 Pasangan subjek 2 [Subjek SL (istri) dan subjek MR (suami)] Pernikahan -
Tantangan kedua subjek agar menikah karena tidak disetujui oleh semua keluarga disebabkan karena kepercayaan adat yang mengatakan apabila masing-masing kakak dan adik menikah dari kedua keluarga yang sama maka terjadi perceraian atau musibah. Pengalaman awal pernikahan dirasakan tidak semanis yang dibayangkan karena kakak mereka akhirnya bercerai meninggalkan 4 orang anak. Keduanya menjadi bertanggung jawab atas masa depan ke-4 keponakannya tersebut sehingga membuat subjek D berkerja
keras untuk pemenuhan sandang, pangan dan pendidikan keponakannya. Dimasa awal pernikahannya, hubungan pasangan tersebut tidak harmonis penuh konflik, dan amarah.
Kepuasan pernikahan dan ketidakhadiran anak
-
Pernikahan yang sudah memasuki lebih dari 20 tahun ini terasa bahagia sehingga subjek C berpendapat bahwa kurun waktu 20 tahun dirasakan baru sebentar . Berbagai cara untuk kehadiran anak dari cara medis kedokteran hingga cara alternatif sudah dilakukan oleh subjek C, sayangnya suami tidak ingin dites secara medis. Dari hasil medis, subjek C mendapatkan jawaban yang tidak mengenakan. Karena ada masalah di rahimnya, hingga sekarang subjek C merasa bersalah terhadap suami. Kehadiran anak menurut subjek D didalam sebuah pernikahan merupakan sesuatu yang penting karena untuk meneruskan keturunan dirinya dan istri, karena itu subjek D tidak berambisi yang berlebihan untuk memperolehnya. Keinginan subjek C untuk memiliki anak dipernikahannya sekarang ini tidak sesemangat dahulu sewaktu masih pernikahan berusia 5 tahunan. Walau subjek D tidak mendapatkan keturunan nya sendiri, namun baginya hidup bersama dengan istrinya sudah cukup ia nikmati.
Aspek kepuasan pernikahan -
Berdasarkan hasil wawancara diatas, aspek-aspek kepuasan pernikahan yang kurang terpenuhi hanya diaspek personality issue, kurangnya penyesuaian kepribadian lebih dialami olek subjek C terhadap kepribadian subjek D yang keras dan cara bicaranya yang pedas, subjek C seringkali merasakan sakit hati hingga sekarang subjek C measih belum berani untuk mengemukakan ketidaknyamanan tersebut.
-
Untuk kedua subjek ini aspek-aspek lain kecuali personality issue yang dinilai telah terpenuhi antara lain : Communication, dimana keduanya dapat saling terbuka, jujur dan saling mendengarkan satu sama lain. Leisure activity, dilakukan bersama-sama seperti jalan-jalan dan menjalankan hobi. Religius Orientation, sama seperti leisure activity keduanya juga melakukannya bersama-sama dalam beribadah seperti sholat berjamaah dan mengaji bersama. Conflict resolution, apabila keduanya memiliki masalah maka penyelesaikan masalahnya dengan menjalankan aturan agama mereka yaitu masalah tersebut tidak boleh lebih dari 3 hari, apabila salah satu dari mereka melakukan salah maka harus meminta maaf. Apabila mereka memiliki masalah dari pihak luar maka keduanya akan menyelesaikannya bersama. Sama juga dengan masalah financial management, dimana subjek C tidak memiliki penghasilan rutin sehingga keduanya bersama mengatur keuangan rumah tangganya agar semuanya dapat terpenuhi dengan baik. Aspek berikutnya, sexual relationship dimana keduanya mengakui bahwa hubungan seksualnya semakin baik dan lebih mesra dibanding 5-10 tahun yang lalu. Selanjutnya dalam aspek family and friends, keduanya-pun tidak memiliki masalah walau keduanya tinggal dalam lingkungan keluarga besar subjek D yang terkadang ada omongan tidak menyengangkan dari saudara mereka mengenai kehadiran anak. Aspek yang terpenuhi terakhir adalah egalitarian role, dimana masing-masing keduanya bersedia untuk berbagi peran sehingga kerjasama keduanya dalam pekerjaan dan urusan pekerjaan rumah tangga terselesaikan dengan baik.
4.3.3 Analisis inter kedua pasangan (Pasangan subjek 1 dan Pasangan subjek 2)
Berdasarkan analisis dari dua pasangan sebelumnya, maka dengan ini peneliti melakukan analisis inter dari kedua pasangannya, sebagai berikut :
-
Pernikahan yang dialami kedua pasangan memiliki pengalaman tidak indah diawal pernikahan dengan kisah yang berbeda dimana dapat mempengaruhi tahapan pernikahan. Pertama, pasangan subjek 2 mengalami ketidaksetujuan keluarga besar membuat hambatan bagi mereka di tahap pernikahan I, dimana seharusnya kedua subjek dapat saling menyesuaikan baik untuk pasangannya sendiri, seksual, keuangan maupun terhadap keluarga pasangan. Apabila dilihat dari tahapan pernikahan seharusnya pasangan subjek 2 melewati tahap I terlebih dahulu namun pasangan subjek 2 terpaksa langsung mengalami tahap 2 yaitu membesarkan anak. Karena hal tersebut kehidupan pernikahan awal mereka tidak seindah dibayangkan, sesuai dengan yang dikemukakan oleh Duvall & Miller (dalam Daeng, 2010) menyatakan bahwa masa-masa awal dari pernikahan adalah puncak kepuasan pernikahan.
Kedua, pasangan subjek 2, pasangan subjek 1 masih melewati tahapan pernikahan 1, hanya saja ada kendala di bagian penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan. Konflik
terhadap keluarga hingga saat ini belum terselesaikan sehingga mengakibatkan tidak harmonisnya hubungan mereka dengan keluarga. Selain itu, pasangan subjek 1 mengalami tahapan ke III dimana tahapan pernikahan mereka mengalami kekosongan, diusia nya mereka yang sudah masuk dewasa madya memandang ketidakhadiran anak di kehidupan pernikahannya mereka dirasakan kurang lengkap sehingga mereka mengalami perasaan sepi dan jenuh menunggu hadirnya seorang anak dari tahun ke tahun.
Mempertahankan pernikahan bagi pasangan subjek 1 yang memiliki usia pernikahan lebih lama sangat berat dibandingkan yang dialami pasangan subjek 2, dimana mereka mengalami adanya percobaan perselingkuhan dan perencanaan perceraian dari masingmasing subjek. Sehingga lamanya usia pernikahan pasangan subjek 1 memiliki lebih banyak pengalaman dalam mengatasi berbagai masalah pernikahan.
Usaha dalam memiliki anak, masing-masing pasangan subjek telah melakukan tes medis (dilakukan hanya pihak istri) dan alternative. Pasangan subjek 1 sempat mengasuh anak hanya sampai selama 6 tahun, dimana selama rentang waktu dari masa mengasuh anak tersebut hingga sekarang tidak mencoba untuk mengasuh anak kembali. Sedangkan pasangan subjek 2 tidak melakukan apa yang dilakukan pasangan subjek 1 karena mereka telah mengasuh 4 anak kakak nya, dimana bagi mereka sudah cukup merasakan membesarkan anak.
-
Kepuasan pernikahan merupakan proses evaluasi suami dan istri terhadap hubungan pernikahan yang cenderung berubah sepanjang perjalanan pernikahan (Lemme dalam Julinda, 2008). Dilihat dari aspek-aspek kepuasan pernikahan dapat disimpulkan pasangan subjek 2 lebih memenuhi setiap aspeknya dibanding pasangan subjek 1. Walau
pembicaraan anak terus dibahas oleh mereka disepanjang perjalanan pernikahannya namun ketidakhadiran anak tetap membuat mereka bisa tetap semakin rukun, harmonis dan mesra. Aspek communication yang baik, leisure activity, religious orientation, conflict resolution, lalu peningkatan kualitas dalam sexual orientation mendorong pasangan subjek 2 semakin kuat menjalani segala masalah yang datang, seperti yang dikemukakan oleh Hurlock (1999) bahwa kemampuan pasangan untuk menyatukan aspek yang berbeda akan menentukan tingkat keharmonisasi suatu keluarga. Walau pada aspek financial kurang terpenuhi itu tidak dijadikan penghalang keduanya untuk tetap bahagia.
Untuk pasangan subjek 1, aspek komunikasi menjadi penghalang bagi keduanya karena aspek komunikasi dapat mempengaruhi aspek penting lainya seperti conflict resolution, egalitarian role, dan hubungan dengan keluarga besar yang belum diselesaikan. Dalam aspek egalitarian role dan financial management sang suami berpendapat bahwa urusan rumah tangga dari pekerjaan hingga keuangan sepenuhnya urusan istri tidak sependapat dengan sang istri, sang istri membutuhkan adanya peranan dan kehadiran sang suami untuk menjalani segala sesuatu untuk urusan rumah tangganya. Dari beberapa aspek yang kurang terpenuhi tersebut penyesuaian dan kerjasama antara keduanya kurang terjalin baik sehingga dalam hubungannya kedua subjek kurang harmonis padahal kemampuan suami istri dalam menyatukan perbedaan sangat ditentukan oleh kematangan penyesuaian diri diantara mereka sehingga mereka dapat membina hubungan yang akan mempengaruhi tingkat kepuasan mereka dalam pernikahan (Hurlock,1999). Selanjutnya, bagi kedua subjek bahwa diumurnya mereka sekarang.
ketidakhadiran anak sudah tidak menjadi penting lagi
Sebagai berikut adalah hasil analisis dari kedua pasangan dilihat dari beberapa aspek kepuasan penikahan, yaitu :
Aspek kepuasan pernikahan Aspek
Pasangan subjek
Communication
Terdapat hambatan karena ketidaksesuain kepribadian pada pasangan subjek 1.
Leisure Activity
Religious Orientation
Kedua subjek pada pasangan subjek 2 dalam hal komunikasi tidak ada hambatan, keduanya saling merndengarkan, terbuka, dan jujur. Kedua pasangan sama-sama dapat meluangkan waktu untuk dirinya sendiri maupun bersama pasangannya masin g-masing seperti menjalankan hobi dan jalan-jalan bersama. Kedua pasangan dapat beribadah bersama dengan pasangan dan meningkatkan religiusnya bersama pasangannya, seperti sholat berjamaah, dan mengaji bersama.
Conflict Resolution Pada aspek ini pasangan subjek 1 tidak harmonis karena subjek D tidak berperan aktif apabila mereka mengalami masalah.
Financial
Untuk pasangan subjek 2 menggunakan batas waktu sesuai dalam ajaran agamanya tidak lebih dari 3hari dan akan saling memaafkan apabila ada yang salah. Pada pasangan subjek 1 pengelolaan keuangan semua dilakukan oleh subjek A.
Management
Sexual Orientation
Family and Friends Personality Issue Egalitarian Role
Berbeda dengan pasangan subjek 2 dimana pengelolaan lebih banyak oleh subjek C, namun subjek D tetap ikut andil. Bagi kedua pasangan subjek kualitas hubungan intimnya diusia dewasa madya ini semakin baik, dan mereka semakin menikmati meskipun masing-masing dari mereka telah mengalami perubahan fisik. Pasangan subjek 1 tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan keluarga, berbeda dengan pasangan subjek 2 yang memiliki hubungan yang baik. Dalam aspek ini pasangan subjek 1 dan 2 ini memiliki permasalahan dan ketidaksesuaian kepribadian. Pasangan subjek 1 ini kurang kerjasama karena dari pihak subjek B pekerjaan rumah tangga murrni hanya dilakukan
oleh seorang subjek A. Berbeda dengan pasangan subjek 2 yang memiliki kerjsama yang baik untuk melakukan pekerjaan dan urusan rumah tangga. Dari hasil analisis diatas, aspek kepuasan pernikahan pasangan yang paling banyak memberikan jawaban positif terhadap pasangan dan kehidupan pernikahan dialami oleh pasangan subjek 2, karena dari setiap aspeknya terpenuhi dengan baik. Sedangkan pada pasangan subjek 1 terdapat pernyataan yang kurang positif dalam memenuhi aspek kepuasan pernikahan, seperti aspek communication, dan conflict resolution ini berkaitan dengan sikap pendiam dan tertutupnya suami mengakibatkan sang istri merasakan kurangnya peranan suami ketika ada masalah ataupun berkomunikasi. Ada kesamaan positif pada kedua pasangan yaitu di aspek religious orientation dan sexsual orientation mereka sama-sama memiliki peningkatan yang baik dari tahun ke tahunnya. Selain kesamaan positif terhadap kedua pasangan terdapat kesamaan negatif terutama di aspek hubungan dengan keluarga, masing-masing subjek masih memiliki masalah yang belum terselesaikan terhadap keluarga besar pasangannya ataupun keluarga nya sendiri.