perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Makna Semiotik Aspek Heuristik yang Terkandung dalam Serat Tripama Karya K.G.P.A.A. Mangkunagara IV Berdasarkan buku Tripama Watak Satria dan Sastra (Mulyono, 1978) dan buku Menyingkap Serat Wedha Tama (Any, 1983) dijelaskan bahwa sejarah KGPAA Mangkunegara IV adalah sebagai berikut ini. K.P.H. Hadiwidjojo di Kartosuro, terkenal dengan sebutan Hadiwidjojo Seda Kaliabu, meninggalkan putera dan puteri antara lain P.H. Hadiwidjojo I. Beliau kawin dengan puteri Sri Mangkunagara II, dan dari hasil perkawinannya lahir putera dan puteri antara lain R.M. Soediro ialah putera ke tujuh, lahir hari sabtu malam menjelang Akhad Legi tanggal 1 Sapar tahun Jumakir 1736 atau tahun Masehi 1809. Sejak kecil R.M. Soediro diasuh langsung kakeknya Sri Mangkunagara II. Tetapi setelah usia 10 tahun lalu diserahkan kepada B.R.M. Sarengat alias Kanjeng Pangeran Rio, juga cucu Sri Mangkunagara II yang kelak naik tahta menjadi K.G.P.A.A Mangkunagara III. Kanjeng Pangeran Rio mendapat tugas dari kakeknya untuk mengajar membaca dan menulis huruf Jawa serta cabang cabang kesenian dan kebudayaan lain. Lima tahun lamanya beliau menekuni pelajaran di bawah bimbingan langsung kakaknya. Pada usia 15 tahun R.M. Soediro masuk menjadi taruna Infanteri Legiun Mangkunagaran dan tiga tahun kemudian sudah diangkat menjadi Kapten, lalu dikawinkan dengan puteri K.P.H. Soerjomataram dan diberi sebutan R.M.H. Gondokusumo. Bakat kepemimpinan yang dipancarkan oleh R.M.H Gondokusumo menyebabkan beliau mendapat kepercayaan, terpilih menjadi pembantu terdekat dan terpercaya dari Sri Mangkunagara III. Mula Dalam,
dan
mula diangkat menjadi Pepatih Dalem kemudian Kapten Ajudan terakhir
ditetapkan
menjadi
Komandan
Infanteri
Legiun
Mangkunagaran dengan pangkat Mayor. Selanjutnya diambil menantu dan dikawinkan dengan puteri sulung K.G.P.A.A. Mangkunagara III yang bernama B.R. Ajeng Doenoek. Ketika Sri Mangkunagara III wafat, R.M.H Gondokusumo diangkat menjadi penggantinya pada tanggal 14 Rabiul awal tahun Jimawal 1781
commit to user 56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
57 atau 24 Maret 1853 dan sementara masih bergelar K.G.P.A.A. Prabu Prangwadana Letnan Kolonel Infanteri Legiun Mangkunagaran. Ketetapan memangku gelar K.G.P.A.A Mangkunagara IV ialah pada waktu beliau berusia 47 tahun, jatuh pada hari Rabu Kliwon tanggal 27 Sura tahun Jimakir 1786 berdasarkan Serat Kakancingan tertanggal 16 Agustus 1857. Terhitung sejak tahun 1853 hingga wafatnya, masa pemerintahan beliau selama 28 tahun. Beliau mengalami zaman keemasan baik dalam bidang ekonomi social maupun kebudayaan. Dalam masa pemerintahan beliau disebut zaman Kala Sumbaga. Sumbaga berarti termasyur dan sangat sejahtera, maka dikatakan bahwa Sri Mangkunagara IV adalah pembina utama kemasyuran nama, serta peletak dasar daripada kekayaan kerabat Mangkunagaran, baik di dalam maupun di luar negeri. Pada masa itu perkebunanperkebunan kopi dan tebu mulai diselenggarakan hampir di seluruh wilayah Mangkunagaran, kemudian didirikan pabrik gula di Colomadu. K.G.P.A.A. Mangkunagara IV wafat dalam usia 72 tahun, tepatnya tahun 1810 Jawa atau 1880 Masehi, dengan meninggalkan 11 putra-putri (Kamajaya, 1992: 8). Karya-karya Mangkunagara IV hingga sekarang masih menyebar dan berakar kuat di lingkungan kebudayaan Jawa. Semasa hidupnya, beliau memerintah Mangunegaran selama 25 tahun sejak 24 Maret 1853 dengan catatan prestasi di antaranya : a. Mangkunegara
IV
pada
masa
pemerintahannya
menitikberatkan
pada
pembangunan ekonomi, dengan latar belakang tanah-tanah yang telah ditanami dan dikerjakan semasa Tanam Paksa. b. Mangkunegara
IV
merintis
pembangunan
perusahaan-perusahaan
milik
Mangkunegaran dalam bentuk perkebunan, khususnya perkebunan tebu, pabrik gula dan perkebunan kopi. Pabrik Bungkil di Polokarto, pabrik genteng c. Mangkunegara IV melakukan restrukturisasi pemerintahan dengan menambah 9 Kawedanan yang membidangi semua urusan di dalam istana dan luar istana. d. Mangkunegara IV kembali mengangkat Patih Jaba dan Patih Jero dengan pangkat Bupati. e. Mangkunegara IV mengangkat Kapitein Ajudan sebagai penghubung antara raja dan Kolonel Komandan Legiun Mangkunegaran. f. Di bidang pemerintahan, beliau mempertegas batas wilayah batas Kasunanan Mangunegaran.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
58 g. Di bidang pertahan dan militer, beliau menerapkan kewajiban mengikuti pendidikan selama 6-9 bulan bagi para kerabat dewasa, yang kemudian harus menjadi pegawai negara dalam berbagai bidang. h. Di bidang sosial budaya, menghasilkan karya sastra, tarian jawa, pembaharuan dalam musik gamelan Jawa dan sebagainya. Karya Sastra terkenal dari Mangkunegara IV adalah Serat Wedhatama dan Serat Tripama. Serat Wedhatama terdiri dari tiga suku kata, yaitu: serat, wedha dan tama. Serat berarti tulisan atau karya yang berbentuk tulisan, wedha artinya pengetahuan atau ajaran, dan tama berasal dari kata utama yang artinya baik, tinggi atau luhur. Dengan demikian maka Serat Wedhatama memiliki pengertian: sebuah karya yang berisi pengetahuan untuk dijadikan bahan pengajaran dalam mencapai keutamaan dan keluhuran hidup dan kehidupan umat manusia. Dari pemahaman di atas maka jelaslah bahwa Sri Mangkunagara IV adalah seorang negarawan dan sekaligus ekonom. Lebih dari itu beliau adalah juga seorang seniman dan filosof besar. Dalam kemampuannya sebagai seorang seniman, filosof, dan sebagai pujangga, beliau telah mewariskan karya-karya sastra yang sangat berharga, tidak hanya bagi kerabat Mangkunagaran tetapi juga bagi masyarakat di luar Mangkunagaran. Warisan berharga tersebut berupa karya
karya sastra seperti
: Serat Wedha Tama, Sendhon Langen Swara, Babad Wanagiri, Babad Giripura, Babad Tegalganda, Babad Tasikmadu, Babad Ngalamat, Babad Serenan, Werdining Bangsal Tosan, Bendungan Tambak Agung, Bendungan Tirtaswara, Srikaton Tawangmangu,Nyanjata Sangsam, Wanagiri Prangwadanan, Werdining Pandel Mangkunagaran, Pasanggrahan Langenharja, Piwulang Warayagnya, Piwulang Wirawiyata, Piwulang Sriyatna, Piwulang Nayakawara, Piwulang Paliatma, Piwulang Salokatama, Piwulang Darmawasita, Piwulang Salokantara, Serat Tripama, Serat Yogatama, Serat Paraminta, Serat Paliwara, Serat Pariwara, Rerepan Manuhara, Pralambang Rara Kenya, Pralambang Kenya Candhala, Jaka Lola, Prayangkara, Prayasmara, Rerepen Dhalang, Namining Ringgit Semarang, Sendhon Langen Swara, Sekar Ageng Citramengeng, Langen Gita, Sekar Ageng Kumudasmara, Gendhing
Walagita,
Sekar
Ageng Pamularsih,
Gendhing
Rajaswala, Sekar Ageng Kusumastuti, Sita Mardawa, Sekar Ageng Mintajiwa, Gendhing Puspawarna, Sekar Tengahan Palungon, Gendhing Puspanjala, Sekar Tengahan Pranasmara, Gendhing Tarupala, Sekar Tengahan Pangajabsih,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
59 Gendhing Puspa Giwang, Kinanthi Sekar Gadhung, Gendhing Lebdasari, Sekar Sari Gadhing, dan Ladrang Manis Widara Kuning. Serat Tripama karya K.G.P.A.A. Mangkunagara IV ditulis dalam bentuk Tembang Macapat yaitu Dhandhanggula. Secera lengkap teks Serat Tripama tersebut dapat dicermati pada lampiran. Serat Tripama (tiga suri tauladan) ditulis dalam tembang Dhandanggula sebanyak 7 pada (bait), mengisahkan keteladanan Patih Suwanda (Bambang Sumantri), Kumbakarna dan Suryaputra (Adipati Basukarna). a. Patih Suwanda (Bambang Sumantri) Patih Suwanda dalam melaksanakan tugasnya selalu menepati atau menempatkan dirinya sebagai orang yang mempunyai sifat-sifat utama, yaitu sifat ksatria (trah utama). Gambaran orang semacam ini adalah orang yang selalu melaksanakan tugasnya, dapat mencari akal untuk memecahkan masalah. Dilukiskan pula bahwa Patih Suwanda tidak mau mengambil harta rampasan dari negara yang ditaklukannya, melainkan harta tadi diberikan kepada negara. Inilah yang disebut kaya di dalam diri Patih Suwanda. Ia juga tidak takut mati dalam peperangan membela negara, bangsa dan rajanya (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994: 112). Hal ini dilukiskan dalam tembang sebagai berikut ini. Yogyanira kang para prajurit Lamun bisa sira anulada Duk ingune caritane Andelira Sang Prabu Sasrabahu ing Maespati Aran Patih Suwanda Lalebuhanipun Kang ginelung tri pakara Guna karya purun ingkang dan antepi Nuhoni trah utama Lire lelabuhe tri prakawis Guna; bisa saniskareng karya Budi dadya nanggule Kaya; sayektinipun Duk bantu prang Magada Nagri Amboyong putri dhomas Katur ratunipun Purune sampun tetela Aprang tandhing lan ditya Ngalengka nagri Suwandra mati ngrana
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
60 Terjemahan: Seyogianya para prajurit, Andai bisa kamu meniru, Pada masa dahulu, Andalan sang Prabu, Sasrabau di Maespati, Bernama Patih Suwanda, Jasa-jasanya, Yang dipadukan dalam tiga hal, Pandai, kaya/mampu dan berani yang menjadi tekadnya, Menepati sifat keturunan (orang) utama. Arti jasa bakti yang tiga macam itu, Pandai, mampu di dalam segala pekerjaan, Diusahakan keunggulannya, Sugih seperti kenyataannya, Waktu membantu perang negeri Manggada, Memboyong delapan ratus orang puteri, Dipersembahkan kepada rajanya, (tentang) keberaniannya sudahlah jelas, Perang tanding melawan raja raksasa Ngalengka, Suwanda gugur dalam perang. b. Raden Kumbakarna Raden Kumbakarna merupakan adik raja Alengka, Prabu Dasamuka. luhur. Sifat-sifat cinta tanah air dan perjuangannya tergambar dalam tembangan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994: 113) berikut ini. Wonten malih tuladha prayogi Satriya gung negari ing Alengka Sang Kumbakarna arena Tur iku warna ditya Supradene nggayuh utami Duk wiwit prang Alengka Dennya darbe atur Maring saka amrih raharja Dasamuka tan keguh ing atur yekti Dene mungsuh wanara Kumbakarna kinen mangsah jurit Mring kang raka sira pan nglenggana Nglungguhi kasatriya Ingtekaddatan sujud Amungcipta labuh negeri Myang Leluhuripun Wusmukti aneng Alengka Mangka arsarinusak ing balakapi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
61 Punapi matingrana Terjemahan: Ada lagi teladan baik, Satria agung negeri Ngalengka, Sang Kumbakarna namanya, Tetapi (ia) berwujud raksasa, Meskipun demikian (ia) berusaha meraih keutamaan, Sejak perang Ngalengka (melawan Sri Ramawijaya), Ia mengajukan pendapat, Kepada kakandanya agar selamat, (tetapi) Dasamuka tak tergoyahkan oleh pendapatnya, Karena hanya melawan (barisan) kera. Kumbakaran diperintah maju perang, Oleh kakandanya ia tidak menolak, Menepati (hakekat) kesatriaannya, (sebenarnya) dalam tekadnya (ia) tak mau, (kecuali) melulu membela negara, Dan mengingat ayah-bundanya, Telah hidup nikmat di negeri Ngalengka, (yang) Sekarang akan dirusak oleh barisan kera, (Kumbakarna) bersumpah mati dalam perang. c. Adipati Basukarna Adipati Karna adalah putra Dewi Kunti dengan Batara Surya. Oleh sebab itu, ia juga disebut dengan Surya Atmaja atau Surya Putra. Sedangkan Dewi Kunthi dengan Prabu Dewanata menurunkan Punta Dewa, Werkudara dan Arjuna. Berdasarkan silsilah di atas ternyata Adipati Karna masih bersaudara dengan Pandawa. Namun saat besar dia mengabdikan dirinya pada Negara Astina. Sifat kepribadiannya digambarkan pada tembang berikut ini. Wonten maleh kinarya palupi Surya putra Narpati Ngawangga Lan pendawa tur kadange Yayah tunggil ibu Suwitra mring Sang Kurupati Aning nagri Ngatina Kinarya gulagul Manggala golong aning prang Bratayuda ingadeken senapati Ngalaga ing Kurawa Den mungsuhken kadange pribadi Aprang tandhing lan sang Dananjaya Sri Karna suka manahe De nggonira pikantuk commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
62 Marga dennya arsa males-sih Ira sang Duryudana Marmanta kalangkung Dennya ngetog kasudiran Aprang rame Karna mati jinemparing Sumbaga wiratama. Terjemahan: Ada pula untuk teladan, Suryaputera raja Ngawangga, Dan Pandawa saudaranya sendiri, Berlainan ayah tunggal ibu, Mengabdi kepada Sri Kurupati, Dijadikan andalan, Panglima di dalam perang Bratayuda, (ia) diangkat menjadi senapati, Perang di pihak Korawa. Dihadapkan dengan saudaranya sendiri, Perang tanding melawan Dananjaya, Sri Karna suka hatinya, Karena (dengan demikian) ia memperoleh jalan untuk membalas cinta kasih, Sang Duryudana, Maka ia dengan sangat, Mencurahkan segala keberaniannya, (dalam) perang ramai Karna mati dipanah (musuhnya), (akhirnya ia) mashur sebagai perwira utama. Serat Tripama diakhiri dengan sebuah tembang Dhandhanggula sebagai berikut ini. Katri mangka sudarsa neng jawi Pantes sagung kang para prawira Amirida sakadare Lung lelabuhipun Ajwa kongsi buang palupi Manawa sibeng nista ing estinipun Senadyan sekadhing buda Tan prabeda budi panduming dumadi Marsudi ing kotaman Terjemahan: Ketiganya sebagai contoh orang Jawa Sepantasnya sekalian para perwira Menirulah sebisanya Dalam hal pengabdian Jangan sampai membuang tauladan Jika terjatuh dalam kenistaan commit to user Hina sebenarnya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
63 Walaupun tekad jaman dahulu Tiada beda budi masing-masing manusia Jalan mencari kebenaran Berdasarkan wawancara dengan beberapa guru di sekolah yang ada di Kebumen seperti: SMPN 3 Kebumen (Suwarno Putro, S.Pd. M.Pd, tanggal 30 April 2015), SDN 1 Kaibon (Turiyo Ragil Putro, S.Pd, tanggal 22 April 2014), SMPN 2 Kutowinangun (Supartini, S.Pd., tanggal 24 April 2015), SDN 1 Bonorowo (Tuti Utami, S.Pd., tangal 29 April 2015), dan SMAN 1 Kutowinangun (Waluyo, S.S., tanggal 6 Mei 2015) didapatkan informasi bahwa mereka pernah membaca Serat Tripama. Hal ini seperti yang mereka ungkapan dari hasil wawancara seperti berikut ini. Bukan hanya pernah, saya sering membaca. Meskipun berkali-kali membaca saya tidak merasa bosan, karena keindahannya. Serat Tripama buah karya KGPAA Mangkunagara IV itu berwujud tembang Dhandhanggula, bahkan pada waktu-waktu tertentu untuk menghilangkan kejenuhan saya sering bersenandung tembang Dhandhanggula tersebut (dalam bahasa Jawa rengeng-rengeng untuk menghilangkan kejenuhan) (Suwarno Putro, wawancara 20 April 2015). Turiyo bahkan ketika saya SD tahun 1975 sudah diajarkan tentang tembang Tripama. Sampai sekarang tembang ini masih hidup dan pada waktu-waktu tertentu juga 24 April 2015) mengatakan Pernah, terdiri dari 7 padha atau bait. Itu menceritakan tiga kepahlawanan antara Bambang Sumantri, Kumbakarno dan Adipati Karno . Tuti Utami (wawancara, Pernah, berupa tembang yang terdiri dari 7 bait. Mengisahkan tiga tokoh yaitu Patih Sumantri, Kumbakarno dan Adipati Karno. yang memiliki sifat yang pantas diteladani . Waluyo (wawancara, 6 Mei 2015)
Selain pernah membaca Serat Tripama, para guru juga pernah mengajarkan isi Serat tripama
kepada anak didiknya. Hal ini seperti yang
diungkapkan seperti berikut ini. Suwarno Putro (wawancara, 23
Pernah melalui
materi tembang macapat Dhandhanggula, dan anak merasa senang karena ada cerita yang terkandung di dalamnya. Kangen saya kepada tembang macapat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
64 Dhandhanggula dalam Tripama terasa terobati . Turiyo Ragil Putro (wawancara, 22 April 2015) mengatak menasehati anak, dan diajarkan dengan cara menembangkan di kelas dan saya
tetapi tidak secara utuh dan digabung dengan bahan cerita seperti Ramayana dan Tuti Utami saya mengajarkan kepada anak didik tentang intisari dari isi Serat Tripama yang patut diteladani, seperti sifat-sifat yang dimiliki oleh para tokoh dalam Serat Tripama
Waluyo (wawancara, 6 Mei 2015) mengatakan
agian terkecil dari Serat Tripama yaitu tentang bela negara. Bahwa dalam bela negara seperti Kumbakarno yang selalu setia kepada negaranya tidak peduli pemimpinya seperti apa. Jadi apabila negara sedang terancam, kita harus ikut membela
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa para guru pernah mengajarkan Serat Tripama kepada anak didiknya, namun kedalaman materi yang diberikan antara guru yang satu dengan yang lain cukup berbeda. Ada yang hanya sebagai selingan saat memberikan nasehat, mengajarkan dengan cara mengambil intisari, sampai mengajarkan secara utuh Serat Tripama.
2. Makna Semiotik Aspek Hermeneustik Isi Serat Tripama Karya K.G.P.A.A. Mangkunagara IV Penafsiran Serat Tipama oleh beberapa guru di beberapa sekolah di Kebumen adalah sebagai berikut ini. Serat Tripama, buah karya pujangga ternama sekaligus raja Mangkunegaran KGPAA Mangkunagara IV (1809-1881 M) dilukiskan di dalam karangannya yang berjudul Tripama. Karangan itu berbahasa dan berhuruf Jawa, berbentuk tembang macapat Dhandhanggula sebanyak tujuh bait (pitung pada), memuat kisah, sifat, watak, dan tekad tiga tokoh atau pahlawan di dalam cerita wayang. Yang pertama adalah tokoh Bambang Sumantri yang kemudian bergelar Patih Suwanda di negeri Maespati yang masyhur keberaniannya yang mampu menyelesaikan tugas berat dengan penuh tanggungjawab. Yang kedua adalah tokoh Kumbakarna, raksasa berwatak satria tidak mau membela kakandanya Dasamuka, raja Alengka (Ngalengka mengorbankan jiwa raga untuk membela tanah airnya yang diserang musuh, yaitu balatentara kera yang dipimpin oleh Sugriwa. Yang ketiga adalah tokoh Karna Basusena, Suryaputra, atau Adipati Karna, raja Awangga
commitraja to user membalas budi Prabu Kurupati, Astina dengan mengorbankan jiwa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
65 raganya melawan Arjuna, adindanya satu ibu (Suwarno Putro, wawancara 23 April 2015). Turiyo
Isi
Serat Tripama adalah piwulang luhur untuk generasi sekarang, karena mengandung pelajaran atau nasehat tentang budi pekerti tentang tanggung jawab juga tentang pengabdian kepada bangsa . Supartini (wawancara, 24 April 2015) mengatakan Isinya (Serat Tripama) menceritakan tentang keutamaan tiga tokoh, Bambang Sumantri, Kumbakarno adik Prabu Dasamuka dan Adipati Karno. Isi Adapun menurut Tuti Utami dijelaskan bahwa: Isinya (Serat Tripama) mengisahkan tentang tiga tokoh Bambang Sumantri Prabu Dasamuka memiliki sifat berani, loyal atau setia. dan Adipati Karno memiliki sifat yang tahu akan balas budi, berani, loyal dan tanggung jawab
Kemudian menurut Waluyo (wawancara, 6 Mei 2015) Serat Tripama itu tentang ajaran KGPAA Mangkunegara IV kepada anak cucunya dan kepada bawahannya tentang sifat-sifat atau tokoh-tokoh yang perlu diteladani
Berdasarkan hasil wawancara di atas, maka pada dasarnya secara kronologis (aspek heuristik) bahwa isi Serat Tripama oleh beberapa guru dijelaskan hampir sama yaitu menceritakan tiga tokoh yang patut diteladi, yaitu Kumbakarno, patih Suwanda dan Adipati Karno, sedangkan secara interpretatif (aspek hermeneustik) dimaknai secara berbeda oleh setiap guru. Hal tersebut dapat dimaklumi karena setiap guru memiliki sudut pandang yang berbeda dan minta yang berbeda terhadap Serat Tripama.
3. Nilai Nilai Pendidikan Karakter yang
Terkandung dalam Serat Tripama
Karya K.G.P.A.A. Mangkunagara IV Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa guru didapatkan penjelasan sebagai berikut ini. Tokoh Bambang Sumantri (Patih Suwanda), putra Begawan Suwandagni. Sesudah dewasa ia mengabdikan diri kepada Prabu Arjunasasrabahu, Raja Maespati. Sebagai abdi negara ia telah menunjukkan loyalitasnya dengan mengorbankan jiwa dan raganya. Yogyanira kang para prajurit, lamun bisa sira anulada, kadya nguni caritane, andelira Sang commit to user Prabu, Sasrabau ing Mahespati, aran Patih Suwanda, lelabuhanipun, kang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
66 ginelung triprakara, guna kaya purun ingkang den-antepi, nuhoni trah guna kaya purun ingkang denberarti ahli, pandai, dan terampil. Dalam mengabdi kepada bangsa dan negaranya, Sumantri selalu membekali diri dengan berbagai ilmu dan keterampilan. Dia bekerja tidak asal-asalan agar segalanya bisa berhasil. berarti kaya, serba kecukupan. Sewaktu Bambang Sumantri diutus oleh rajanya, dia kembali memperoleh harta rampasan perang yang berlimpah-limpah. Banyaknya hasil rampasan itu tidak disimpan sendiri, tetapi diserahkan kepada negara. berarti pemberani, bersemangat dan dinamis sebagai pemuka negara. Bambang Sumantri selalu tampil dengan semangat menyala-nyala tanpa disertai pamrih. Bahkan bila diperlukan jiwa raganya pun dikorbankan. Hal itu terbukti ketika ia berperang melawan Dasamuka, raja Alengka dan ia gugur di medan laga. Tokoh pahlawan yang kedua adalah Raden Kumbakarna. Dia adalah adik raja Alengka, Prabu Dasamuka. Raden Kumbakarna bertubuh raksasa, tetapi jiwanya tidak seburuk raganya. Dalam menilai watak Kumbakarna, harus berhati-hati. Hendaknya kita dapat membedakan peran Kumbakarna sebagai saudara Dasamuka dan peran Kumbakarna sebagai seorang ksatria. Kumbakarna perang melawan prajurit kera, tidak bermaksud membela kesalahan kakaknya. Dia sangat tidak setuju dengan ideologi dan kepribadian Dasamuka. Dia berperang hanya semata-mata menjalankan kewajibannya sebagai satria dan warga negara. Di sinilah bisa dilihat rasa nasionalisme yang dimiliki Kumbakarna. Sifat seperti ini mungkin juga tecermin dengan istilah benar salah adalah negaraku. Apapun alasannya, tanah tumpah darah memang seharusnya dibela, mengingat di sinilah orang tua, leluhur dan semua orang dilahirkan, dibesarkan dan kelak dikubur. Tokoh pahlawan yang ketiga adalah Karna Basusena, Suryaputra, atau Adipati Karna, raja Awangga (Angga), seperti yang tercantum pada bait kelima Serat Tripama; Yogya malih kinarya palupi, (baik pula untuk teladan), Suryaputra Narpati Ngawangga, (Suryaputra raja Ngawangga), Lan Pandhawa tur kadange, (dengan Pandawa (ia) adalah saudaranya), Len yayah tungggil ibu, (berlainan ayah satu ibu), Suwita mring Sri Kurupati, ((ia) mengabdi kepada Sri Kurupati), Aneng nagri Ngastina, (di negara Astina), Kinarya agul-agul, (dijadikan andalan), Manggala golonganing prang, (panglima di dalam perang), Bratayuda ingadegen senapati, (bratayuda diangkat menjadi senapati), Ngalaga ing Korawa (perang di pihak Korawa). Dalam bait kelima tadi dapat dimaknai bahwa Karna Basusena, Suryaputra, atau Adipati Karna, raja Awangga (Angga) mampu mengorbankan jiwa raganya melawan Arjuna, adindanya satu ibu . (Suwarno Putro, wawancara 23 April 2015). Turiyo Ragil Putro (wawancara, 22 April 2015) mengatakan bahwa Serat Tripama mengajarkan budi pekerti yaitu selama hidup ini harus bisa membuat orang lain merasa enak atau senang . Menurut Supartini yang hanya mengajarkan sebagian dari Serat Tripama kepada anak didik (wawancara, 24 April 2015) mengatakan bahwa:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
67 Contoh Adipati Karno itu saudara dengan Pandawa satu ibu, tetapi dia tidak membela Pandawa. Dia lebih mengutamakan kepentingan negara dan bukan kepentingan pribadinya. Jadi kepentingan negara itu di atas segalanya, karena ia merasa bahwa walaupun Kurawa itu musuh dari Pandawa tetapi Kurawa telah memberikan tanggung jawab kepada dirinya, maka dia lebih membela Kurawa karena Kurawa yaitu Duryudana telah mengangkat derajat Adipati Karno . Adapun Tuti Utami (wawancara, 29 April 2015) menjelaskan bahwa: Serat Tripama adalah terkait dengan pendidikan karakter bagi anak didik, terutama pendidikan karakter seperti Suwanda atau Sumantri. Karakter loyal atau setia dan berani yang ditunjukkan oleh Kumbakarno. Karakter tahu balas budi, berani, loyal dan
Kemudian Waluyo (wawancara, 6 Mei 2015) mengatakan bahwa: Sejauh pengamatan saya, pendidikan karakter untuk siswa adalah siswa itu harus pinter dan bukan bodoh. Siswa harus trampil, kreatif. Siswa juga harus tertib yaitu tertib waktu dan manajemen dan lain-lain. Selain itu, siswa harus berani menampilkan dirinya sendiri, agar orang lain tahu karakternya dia atau dirinya. Setiap orang yang mempunyai cita-cita harus selalu fokus apa yang dicitaBerkaitan dengan hal tersebut di atas, maka Serat Tripama mengandung nilai-nilai pendidikan yang dapat digunakan sebagai sarana pendidikan karakter bangsa. Bentuk dan makna filosofis Serat Tripama memiliki banyak penafsiran. Hal ini dikarenakan suatu ajaran memiliki makna lebih dari satu, sesuai dengan yang memaknai.
4. Pembelajaran Apresiasi Sastra Jawa (Serat Tripama) di Sekolah Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa guru didapatkan keterangan terkait dengan pentingnya atau kelebihan Serat Tripama sebagai materi pembelajaran sastra Jawa di sekolah seperti sebagai berikut ini. Suwarno Putro (wawancara 23 April 2015) mengatakan bahwa: Serat Tripama buah karya KGPAA Mangkunagara IV, berwujud tembang yang di dalamnya berisi cerita wayang. Fakta menunjukan cerita wayang yang sudah dimodifikasi disiarkan melalui televisi sangat digemari oleh bangsa Indonesia terbukti setiap ada acara temu para tokoh yang berperan dalam Mahabarata di sejumlah kota besar di Indonesia dibanjiri oleh penggemarnya .
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
68 Turiyo Ragil Putro (wawancara, 22 April 2015) mengatakan bahwa: melalui bahasa yang indah, tanpa kehilangan bahasa, Serat Tripama dapat
24 April 2015) mengetakan bahwa: kepada anak, apabila peserta didik bisa memahami dan bisa menjalankan, bisa menjadikan siswa tersebut mempunyai landasan kehidupan untuk masa yang akan -nilai pendidikan karakter yang ada dalam Serat Tripama dapat menjadi landasan yang kuat bagi anaak didik untuk mementingkan kepentingan umum atau negara di atas kepentingan pribadi, apabila kelak nanti dia bekerja sebagai pegawai atau : Serat tripama kelebihannya menurut saya, di situ tidak memandang bahwa kepada siapapun, manusia Jawa umumnya harus meneladani atau harus meniru sikap tokoh-tokoh dalam Serat tripama karena sikap tokoh Tripama mempunyai kelebihan. Dia memiliki keutamaan dibanding dengan tokoh yang lain, seperti orang harus setia, orang harus jujur, orang harus berani.
Pada dasarnya ketiga tokoh dalam Serat Tripama memiliki karakter yang sangat mulia, artinya sangat pantas untuk dijadikan suri tauladan. Nilai yang dapat diambil
diantaranya:
nilai
kepahlawanan,
nilai
kesetiaan,
nasionalisme,
pengorbanan dan jiwa kesatria yang selalu diutamakan. Nilai-nilai inilah sangat relavan apabila dikolerasikan sebagai perspektif pendidikan karakter bagi generasi muda dewasa ini khususnya, sebab peranan generasi muda sangat berpengaruh besar bagi kemajuan atau kemundurun suatu bangsa. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa guru bahwa manfaat pembelajaran apresiasi sastra Jawa Serat Tripama bagi anak didik adalah sebagai berikut ini. Suwarno Putro (wawancara, 23 April 2015) menjelaskan bahwa: Serat tripama terhadap anak didik sangat banyak untuk melatih menanamkan karekter budi pekerti seperti yang dimiliki oleh ketiga toko dalam Serat tripama. Patih Suwanda jasa-jasanya Kang ginelung tri prakara (yang dipadukan dalam tiga hal), Guna kaya purun ingkang den antepi (pandai mampu dan berani (itulah yang ditekuninya) Nuhoni trah utama (menepati sifat keturunan orang utama). Lire lelabuhan tri prakawis , (arti jasa-bakti yang 3 macam itu), Guna bisa saniskareng karya (pandai mampu dalam segala pekerjaan) Binudi dadi unggule (diusahakan memenangkannya).Kaya sayektinipun (seperti kenyataannya). Duk mbantu prang Magada nagri (ketika membantu perang negeri commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
69 Magada) mboyong putri dhomas memboyong 800 orang putri) Katur ratunipun (dipersembahkan kepada rajanya). Kumbakarna kinen mangsah jurit (Kumbakarna diperintah maju perang) Mring kang raka sira tan lenggana (oleh kakandanya ia tidak dapat menolak), Nglugguhi kasatriyane (menepati (hakikat) kesatriaannya), ng tekad datan purun (sebenarnya dalam tekadnya ia tak mau), Amung cipta labuh nagari (kecuali hanya membela negara), Lan noleh yayah rena (dan mengingat ayah bundanya), Myang leluhuripun (juga para pendahulunya). Adipati Karno, Lan Pandhawa tur kadange (dengan Pandawa (ia) adalah saudaranya), Len yayah tungggil ibu (berlainan ayah satu ibu), Suwita mring Sri Kurupati (ia mengabdi kepada Sri Kurupati), Aneng nagri Ngastina (di negara Astina) Sri Karna suka manahe (Sri Karna suka hatinya), Dene sira pikantuk (karena (dengan demikian ia memperoleh), Marga dennya arsa males-sih (jalan untuk membalas cinta-kasih) ra Sang Duryudana (Sang Duryudana), Marmanta kalangkung (maka ia dengan sangat), Dennya ngetog kasudiran (mencurahkan segala keberaniannya). Itulah karakter luhur yang
Turiyo Ragil Putro (wawancara, Manfaat yang pertama yaitu dengan Serat itu kita bisa menghibur anak-anak. Yang kedua, nguri-uri kebudayaan Jawa. Yang ketiga, sebagai sarana untuk mendidik (wawancara,
24
April
2015) menjelaskan
bahwa:
Serat tripama banyak karakter-karakter yang bagus untuk diteladani. Kalu itu diajarkan dengan benar, anak akan memiliki landasan yang kuat untuk mengembangkan diri untuk tami (wawancara, 29 April 2015) mengetakan bahwa:
menjadi pelestari peninggalan budaya nenek moyang. Dapat memberikan wawasan kepada anak didik tentang nilai-nilai luhur yang terd Adapun menurut Waluyo (wawancara 6 Mei 2015) dijelaskan bahwa: -peninggalan dari kesenaian ataupun budaya Jawa, itu manfaatnya anatara lain kita bisa mengathui bahwa orang Jawa itu punya banyak peninggalan kebudayaan, salah satunya dengan adanya peninggalan berupa buku-buku kuno atau kitab kuno, yang di situ sarat dengan ajaran moral. Sarat dengan arahan bagaimana manusia itu menjadi lebih baik. Di situ kita memperoleh manfaat bahawa siswa itu terbuka pikirannya bahwa ternyata orang Jawa itu memiliki ajaran yang luhur. Namun karena orang sekarang kurang memahami isi dari kitab-kitab kuno, maka terkadang salah dalam mengartikan maknanya seperti ada persatu kita jalani. Urutannya danto aturannya harus dijalani, buka asal commit user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
70 terlaksana. Oleh karena itu, sebenarnya akan sangat bermanfaat apabila kita menggali kebudayaan kita sendiri, mengenalkan kepada anak didik kita bahwa orang Jawa itu kaya dengan peninggalan sejarah seperti karya sastra. Karya sastra orang Jawa itu luar biasa. Itu manfaat yang dapat kita petik, selain nguriPada dasarnya isi Serat Tripama mengandung nilai pendidikan karakter yang dapat diteladani oleh anak didik saat ini. Nilai-nailai pendidikan karakter tersebut masih relavan dengan jaman sekarang, karena dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan. Untuk itu, pembelajaran apresiasi sastra Jawa seperti halnya menggunakan materi Serat tripama, diharapkan memiliki keterkaitan dengan pendidikan budi pekerti anak didik. Kendala pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra Jawa seperti halnya Serat Tripama di setiap sekolah berbeda antara satu dengan yang lain. Hal ini dapat dicermati dari hasil wawancara dengan beberapa guru sebegai berikut ini. Suwarno Putro (wawancara, 23 April 2015) menjelaskan bahwa: Dewasa ini generasi muda khususnya para pelajar baik di tingkat SD, SMP, SMA bahkan para mahasiswa sudah tidak tertarik lagi pada cerita wayang. Cerita wayang yang mengandung ajaran nilai-nilai luhur bangsa mulai ditinggalkan, di samping karena terkikis budaya global, juga dianggap sudah ketinggalan zaman. Sehingga generasi muda tercerabut dari akar budayanya yang menjadikan kehilangan jati dirinya .
pertama dari siswa, karena bahasanya rumit. Kedua dari guru yaitu harus benarbenar mengetahui lebih dahulu makna mengenai tembang itu. Kadangkala gurunya agak kesulitan untuk menerjemahkan tembang-tembang itu ke dalam bahasa sehari-
waktunya kurang, dalam kurikulum juga terbatas, sehingga porsi pembelajaran apresiasi sastra seperti Serat Tripama sangat kurang untuk dapat diberikan kepada :
ya
porsinya jam pembelajaran masih kurang, sehingga banyak karya sastra seperti Serat Tripama Waluyo (wawancara, 6 Mei 2015) dijelaskan bahwa: -anak sekarang berbeda jauh dengan dunia para tokoh wayang seperti pada Serat Tripama seperti pengabdian kepada pimpinan. Menurut anakanak hal tersebut bisa saja dianggap tidak sesuai. Jadi mereka sudah berbeda pandangan,. Mereka berpandangan bahwa segala sesuatu itu diukur dari sesuatu yang terlihat yang berbau material. Berbeda dengan Kumbakarno commit to user tidak peduli dengan seperti apa pemimpinnya. Tetapi dalam pendangan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
71 siswa sekarang, mengapa saya harus repot-repot padahal pemimpinnya tidak benar. Orang yang di atas saja tidak benar. Itu mereka akan terjadi pertentangan, karena nak-anak sekarang semakin kritis. Hal ini akan beda dengan Serat Tripama Berdasarkan hasil wawancara di atas maka diketahui bahwa kendala yang dihadapi guru dalam pembelajaran apresiasi sastra Jawa terutama dengan materi Serat Tripama antara lain: minat siswa saat ini terhadap karya sastra Jawa dan budaya wayang sudah berkurang, bahasa yang ada dalam Serat Tripama sulit dipahami karena menggunakan bahasa Jawa kuno, waktu atau porsi pembelajaran apresiasi sastra Jawa di sekolah terbatas dan kurang. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa guru didapatkan penjelasan bahwa materi Serat Tripama masih memiliki relevansi dengan pembelajaran apresiasi sastra Jawa di sekolah. Hal ini seperti yang diungkapkan sebagai berikut ini. Suwarno Putro (wawancara, 23 April 2015) menjelaskan bahwa: Menurut saya masih sangat relevan. Dalam dekade terakhir, dunia pendidikan Indonesia mendapat sorotan negatif dari banyak kalangan. Mulai dari kasus perkelaian pelajar, miras obat-obatan terlarang, dan tindakanSaya masih ingat kasus di beberapa SLTP di Pati, Surabaya, Purwokerto (1997), dan yang terakhir saya ingat kasus perkelaian pelajar SMAN 6 Jakarta dengan SMAN 70 Jakarta pada hari Senin 24 September 2012 yang menewaskan Alawy Yusianto (15) pelajar kelas X SMAN 6 Jakarta. Pada hari Rabu, 26 September 2012 peristiwa serupa terjadi antara siswa SMK Yayasan Karya (Yake) 66, Manggarai, Jakarta dengan siswa SMK Kartika Zeni yang menewaskan Deny Yanuar (17) siswa kelas XII SMK Yayasan Karya (Yake) 66 (seperti yang dilansir Suara Merdeka, 27 September 2012 halaman dua kolom satu). Dengan adanya kasus tersebut di atas tampak bahwa terjadi proses degradasi moralitas para pelajar. Oleh sebab itu sangat perlu diberikan pendidikan budi pekerti kepada para pelajar. Orang tua dan guru perlu membantu anak-anak megembangkan kepribadian yang tangguh, yang dapat membantu mereka bertahan terhadap pengaruh-pengaruh negatif yang kuat, baik dari teman sebaya, maupun dari peradaban dan masyarakat sendiri. Bagi orang tua tidak ada kebanggaan kecuali mempunyai anak yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berbudi pekerti luhur .
dengan kurikulum, apabila tidak tercakup dalam pembelajaran inti karena ada tembang yang harus diajarkan dan pengayaan, yang penting tidak melenceng dalam kurikulum itu. Tripama di kurikulum SD itu hanya sebagai pengayaan, ketika ada nasehat-
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
72 Relevansi Serat Tripama dalam pembelajaran apresiasi sastra oleh Supartini (wawancara, 24 April 2015) dikelatan bahwa: : banyak, siswa dapat menghargai karya sastra peninggalan nenek moyang yang sarat dengan ajaran budi pekerti seperti Serat Tripama. Nilai yang terkandung dalam Serat Tripama Waluyo (wawancara, 6 Mei 2015) dijelaskan bahwa: -nilai yang ada dalam Tripama dengan kehidupan anak SMA pada khususnya dan kehidupan sekarang pada umumnya menurut saya masih relevan, karena nilai dalam Serat Tripama bisa dipakai sepanjang masa, karena di situ menanamkan pendidikan kepada anak cucu bahwa semua orang ketika punya keinginan punya kesetiaan, itu sampai kapanpun harus dipegang. Contohnya, Adipati Karno mengabdi kepada Kurawa, walaupun dia tahu bahwa Pandawa itu saudaranya sendiri, tetapi karena dia sudah membuat keputusan bahwa dia harus bertanggung jawab atau punya komitmen. Dan itu kepada siswa, saya juga tegaskan bahwa kalau kita sudah memilih sesuatu, biar apapun yang terjadi, kita harus bertanggung jawab. Jadi nilai-nilai edukatif dalam Serat Tripama itu masih bisa dipakai sampai
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa materi Serat Tripama masih memeiliki relevansi dengan pembelajaran apresiasi sastra Jawa di sekolah, karena di dalamnya mengandung nilai-nilai luhur atau budi pekerti yang baik yang dapat diteladani dan diajarkan kepada siswa. Nilai-nilai budi luhur yang terdapat dalam Serat Tripama bisa dipakai kapanpun dan sepanjang masa, hanya saja penerapannya dapat berbeda menurut tempat, waktu dan situasi. Berdasarkan hasil wawancara dengan para guru didapatkan keterangan sebagai berikut ini. Suwarno Putro (wawancara 23 April 2015) menjelaskan bahwa: Serat Tripama buah karya KGPAA Mangkunagara IV dapat dan perlu diajarkan kepada anak didik. Alasannya karena cerita tokoh wayang Sumantri, Kumbakarna, dan Karna Basusena di atas terdapat piwulang dan piweling luhur yang berisi nilai-nilai luhur bangsa. Seperti yang saya uraikan tadi bahwa, ketiga tokoh tadi dapat menjadi cermin yang pantas diteladani oleh generasi muda khususnya siswa di sekolah . Turiyo dengan kurikulum, apabila tidak tercakup dalam pembelajaran inti karena ada tembang yang harus diajarkan dan pengayaan, yang penting tidak melenceng dalam kurikulum itu. Tripama di kurikulum SD itu hanya sebagai pengayaan, ketika ada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
73 nasehat-
Supartini (wawancara, 24 April 2015) Dapat, agar anak memiliki landasan yang kuat untuk masa
depannya bahwa kepentingan negara itu lebih dari segalanya dibanding dengan kepentingan pribadi. Jika mereka sudah besar nanti menjadi abdi negara, apapun yang terjadi, ia harus mementingkan negara, menjadi seorang ABRI atau menjadi seorang politisi tidak boleh mementingkan pribadi . Tuti Utami (wawancara, 29 April 2015) menjelaskan bahwa: Serat Tripama masih relevan untuk diajarkan, karena karakter yang terdapat dalam Serat Tripama dapat diteladani oleh genarasi sekarang ini. Hanya saja penerapannya bisa berbeda. Contohnya, anak harus bertanggung jawab sebagai seorang murid yang tugasnya adalah belajar. Anak harus pandai, berani membela kebenaran, disiplin atau loyal terhadap pencapaian cita-
Kemudian Waluyo (wawancara, 6 Mei 2015) menjelaskan bahwa: Serat Tripama kepada siswa adalah membentuk karakter siswa, karena siswa itu akan keluar dari dunia pendidikan dan mereka harus menghadapi kehidupan di luar sekolah. Ketika anak itu tidak pintar ataupun tidak berani untuk berekspresi, tidak berkreasi dan tidak mempunyai cita-cita yang kuat dan dia harus mewujudkan setelah pendidikan, mereka akan bingung mencari jati diri. Siapa saya? Saya bisa
Setiap guru memiliki alasan yang berbeda saat memberikan materi Serat Tripama kepada anak didik. Namun pada dasarnya memiliki kesamaaan yaitu ingin memberikan pelajaran tentang pentingnya kepentingan umum di atas kepentingan pribadi seperti yang dapat diteladani dari para tokoh yang ada dalam Serat tripama. Para berpendapat bahwa karakter yang ditunjukkan oleh ketiga tokoh dalam Serat tripama dapat dijadikan suri tauladhan oleh para generasi muda sekarang ini.
B. Pembahasan 1.
Makna Semiotik Aspek Heuristik dan Hermeneustik yang Terkandung dalam Serat Tripama Karya K.G.P.A.A. Mangkunagara IV Serat Tripama karya K.G.P.A.A. Mangkunagara IV ditulis dalam bentuk Tembang Macapat yaitu Dhandhanggula. Serat Tripama (tiga suri tauladan) ditulis dalam tembang Dhandanggula sebanyak 7 pada (bait), mengisahkan keteladanan Patih Suwanda (Bambang Sumantri), Kumbakarna dan Suryaputra (Adipati Basukarna).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
74 Karangan itu berbahasa dan berhuruf Jawa, berbentuk tembang macapat Dhandhanggula sebanyak tujuh bait (pitung pada), memuat kisah, sifat, watak, dan tekad tiga tokoh atau pahlawan di dalam cerita wayang. a. Patih Suwanda Tokoh Bambang Sumantri (Patih Suwanda), putra Begawan Suwandagni. Sesudah dewasa ia mengabdikan diri kepada Prabu Arjunasasrabahu, Raja Maespati. Sebagai abdi negara
ia
telah menunjukkan loyalitasnya dengan mengorbankan jiwa dan raganya. Seperti Yogyanira kang para prajurit, lamun bisa sira anulada, kadya nguni caritane, andelira Sang Prabu, Sasrabau ing Mahespati, aran Patih Suwanda, lelabuhanipun, kang ginelung triprakara, guna kaya purun ingkang den-
Pada
guna kaya purun ingkang den-
berarti ahli,
pandai, dan terampil. Dalam mengabdi kepada bangsa dan negaranya, Sumantri selalu membekali diri dengan berbagai ilmu dan keterampilan. Dia bekerja tidak asal-asalan agar segalanya bisa berhasil.
berarti kaya, serba kecukupan.
Sewaktu Bambang Sumantri diutus oleh rajanya, dia kembali memperoleh harta rampasan perang yang berlimpah-limpah. Banyaknya hasil rampasan itu tidak disimpan sendiri, tetapi diserahkan kepada negara.
berarti pemberani,
bersemangat dan dinamis sebagai pemuka negara. Bambang Sumantri selalu tampil dengan semangat menyala-nyala tanpa disertai pamrih. Bahkan bila diperlukan jiwa raganya pun dikorbankan. Hal itu terbukti ketika ia berperang melawan Dasamuka, raja Alengka dan ia gugur di medan laga. Dalam Serat Tripama tersebut Patih Suwanda digambarkan memiliki watak, yaitu: (a) Guna berarti ahli, pandai dan terampil dalam mengabdi kepada bangsa dan negaranya. Suwanda selalu membekali diri dengan berbagai ilmu dan keterampilan. Dia bekerja tidak asal-asalan agar segalanya bisa sukses; (b) Kaya berarti serba kecukupan. Sewaktu Patih Suwanda diutus oleh raja, dia kembali memperoleh harta rampasan tidak disimpan sendiri, tetapi diserahkan kepada Negara; (c) Purun berarti pemberani, bersemangat dan dinamis sebagai pemuka negara. Suwanda selalu tampil semangat menyala-nyalatanpa disertai pamrih. Bahkan jika perlu jiwa raganya pun dikorbankan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
75 b. Raden Kumbakarna Tokoh Kumbakarna, raksasa berwatak satria tidak mau membela kakandanya Dasamuka, raja Alengka (Ngalengka) yang angkara murka. Kumbakarna tanah airnya yang diserang musuh, yaitu balatentara kera yang dipimpin oleh Sugriwa. Raden Kumbakarna adalah adik raja Alengka, Prabu Dasamuka. Raden Kumbakarna bertubuh raksasa, tetapi jiwanya tidak seburuk raganya. Dalam menilai watak Kumbakarna, harus berhati-hati. Hendaknya kita dapat membedakan peran Kumbakarna sebagai saudara Dasamuka dan peran Kumbakarna sebagai seorang ksatria. Kumbakarna perang melawan prajurit kera, tidak bermaksud membela kesalahan kakaknya. Dia sangat tidak setuju dengan ideologi dan kepribadian Dasamuka. Dia berperang hanya semata-mata menjalankan kewajibannya sebagai satria dan warga negara. Di sinilah bisa dilihat rasa nasionalisme yang dimiliki Kumbakarna. Sifat seperti ini mungkin juga tecermin dengan istilah
benar salah adalah
negaraku. Apapun alasannya, tanah tumpah darah memang seharusnya dibela, mengingat di sinilah orang tua, leluhur dan semua orang dilahirkan, dibesarkan dan kelak dikubur. Dalam Serat Tripama tokoh Kumbakarna digambarkan memiliki karakter tanggung jawab, rela berkorban dan mengedepankan jiwa nasionalismenya. Tokoh Kumbakarna mengajarkan nilai kepahlawanan dan patriotisme yang sangat baik untuk ditiru bagi kita khususnya generasi muda. c. Adipati Basukarna Karna Basusena, Suryaputra, atau Adipati Karna, raja Awangga (Angga), seperti yang tercantum pada bait kelima Serat Tripama; Yogya malih kinarya palupi, (baik pula untuk teladan), Suryaputra Narpati Ngawangga, (Suryaputra raja Ngawangga), Lan Pandhawa tur kadange, (dengan Pandawa (ia) adalah saudaranya), Len yayah tungggil ibu, (berlainan ayah satu ibu), Suwita mring Sri Kurupati, ((ia) mengabdi kepada Sri Kurupati), Aneng nagri Ngastina, (di negara Astina), Kinarya agul-agul, (dijadikan andalan), Manggala golonganing prang,(panglima di dalam perang), Bratayuda ingadegen senapati, (bratayuda diangkat menjadi senapati), Ngalaga ing Korawa (perang di pihak Korawa).
commitbahwa to userKarna Basusena, Suryaputra, atau Dalam bait kelima tadi dapat dimaknai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
76 Adipati Karna, raja Awangga (Angga) mampu memegang teguh janjinya sebagai a dengan mengorbankan jiwa raganya melawan Arjuna, adindanya satu ibu. Dalam Serat Tripama tersebut karakter Basukarna menggambarkan tokoh yang memiliki karakter tanggung jawab, jiwa satriya dan tidak melupakan jasa atau kebaikan orang lain. Hal ini, nampak jelas bahwa pembelaan Karna dipihak Kurawa karena disatu sisi selain membela tanah yang telah membesarkannya, Karna juga merasa berhutang budi pada Duryudana yang telah menerima Karna apa adanya hingga akhirnya Karna mampu hidup makmur di Astina dan menjadi Senapati dipihak Kurawa, sehingga Karna memiliki tanggung jawab harus membalas budi semua kebaikan yang telah diberikan Duryudana kepadanya. Nilai yang terkandung adalah nilai Kepahlawanan dan kesetiaan.
2.
Relevansi Karakter Tokoh dalam Serat Tripama Karya K.G.P.A.A. Mangkunagara IV dengan Nilai-nilai Pendidikan Karakter Menurut G. J. Ranier, heuristik adalah suatu keterampilan untuk menemukan, mengenal dan memerinci sejarah. Heuristik merupakan usaha untuk menemukan, menyelidiki, mengumpulkan sumber- sumber sejarah atau penelitian. Heuristik seringkali merupakan suatu keterampilan untuk menemukan, mengenai dan memperinci bibliografi (Abdurraman, 2011: 105). Menurut Zygmunt Bauman, hermeneutik berarti menafsirkan dan melakukan interpretasi. Berkaitan dengan hal tersebut, berikut ini disampaikan tentang sejarah kehidupan K.G.P.A.A. Mangkunagara IV, bahasa normatif teks Serat Tripama dan interpretasi isi Serat Tripama (Faiz, 2003:22). Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegoro IV terlahir dengan nama Raden Mas Sudira pada hari Senin Paing, tanggal 8 Sapar, tahun Jimakir, Windu Sancaya, tahun Jawa 1738 atau tahun Masehi 3 Maret 1811 adalah salah satu cucu dari Mangkunegoro II. Sejak kecil ia memiliki intelektual yang lebih jika dibanding dengan beberapa pendahulunya. Sebelum Ia menduduki jabatan sebagai raja, ia pernah diangkat sebagai patih Jero (patih kedua) di dalam Istana sebelum Mangkunegoro III menyederhanakan struktur pemerintahan. Mangkunegoro IV juga merupakan tokoh yang sangat dekat dengan Pemerintah Hindia Belanda, bahkan pernikanannya dengan putri sulung Mangkunegoro III pun
commit to user adalah hasil campur tangan Pemerintah Hindia Belanda.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
77 Sri Mangkunegara wafat pada hari Jumat tanggal 8 September 1881 pada usia 70 tahun. Beliau telah meninggalkan warisan yang tak ternilai harganya. Namun seiring dengan perjalanan waktu, nilai budaya luhur yang ditinggalkannya secara pelan dan pasti semakin tergerus budaya asing dalam perjalanan waktu. Hal ini terjadi karena generasi muda penerus budaya dan kehidupan bangsa ini lebih pada kenyataannya banyak yang budaya manca dalam berbagai bentuknya, yang kebanyakan justru menjauhi esensi hidup dan kehidupan umat manusia dan alam semesta (Mangkunegara IV, 1995: 5). Isi Serat Tripama mengisahkan kepahlawanan tiga ksatria dalam tiga jaman yang berbeda yang diangkat oleh Sri Mangkunegara IV dalam Serat Tripama yang terdiri dari 7 bait tembang Dhandanggula: Bait pertama dan ke dua mengisahkan kepahlawanan Patih Suwanda, bait ketiga dan empat tentang Kumbakarna, bait kelima dan enam mengenai Adipati Basukarna dan bait ketujuh adalah kesimpulan/penutup. a. Patih Suwanda Patih Suwanda atau Bambang Sumantri adalah tokoh dalam cerita Ramayana, Sumantri merupakan anak Begawan Suwandagni dari pertapan Jatisrana. Sumantri memiliki adik yang bernama Sukrasana, keduanya saling mencintai dan menyayangi meskipun Sukrasana berwujud raseksa atau buta bajang dan Sumantri berparas tampan namun Sumantri tetap tulus mengasihi Sukrasana. Sumantri sejak kecil sudah mendapatkan berbagai ilmu wigati dari ayahnya Begawan Suwandagni, hingga setelah dewasa Sumantri memiliki tekad untuk mengabdi kepada Prabu Harjuna Sasrabahu. Perjalanan Sumantri ketika akan mengabdi dengan Prabu Harjuna Sasrabahu inilah yang menurut KGPAA Mangkoenegara IV merupakan karakter tokoh wayang yang patut untuk dijadikan suri tauladan. Bambang Sumantri yang setelah menjadi patih disebut Patih Suwanda adalah patih dari Raja Harjunasasrabahu dari Negara Maespati pada era sebelum Sri Rama tokoh dalam kisah Ramayana. Patih Suwanda termasyhur dalam kegagah-beraniannya,
mampu
melaksanakan
semua
tugas
dari
Prabu
Harjunasasrabahu dengan penuh tanggungjawab dan akhirnya gugur di palagan melawan Dasamuka. Pada Serat Tripama ditemukan tiga sifat keprajuritan Patih Suwanda,
commit userterampil dalam mengabdi kepada antara lain: (1) Guna berarti ahli, pandaitodan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
78 bangsa dan negaranya. Suwanda selalu membekali diri dengan berbagai ilmu dan keterampilan. Dia bekerja tidak asal-asalan agar segalanya bisa sukses; (2) Kaya berarti serba kecukupan. Sewaktu Patih Suwanda diutus oleh raja, dia kembali memperoleh harta rampasan tidak disimpan sendiri, tetapi diserahkan kepada Negara; (3) Purun berarti pemberani, bersemangat dan dinamis sebagai pemuka negara. Suwanda selalu tampil semangat menyala-nyalatanpa disertai pamrih. Bahkan jika perlu jiwa raganya pun dikorbankan. Serat Tripama di atas secara garis besar berisi tentang karakter dan tekad yang dimiliki Sumantri ketika akan mengabdi dengan Prabu Harjuna Sasrabahu, penulis menggaris-bawahi kata atau cakepan dalam tembang tersebut yang juga ditekankan oleh KGPA Mangkoenegara IV yaitu kata Guna, kaya dan purun. Guna memiliki arti bahwa Sumantri memiliki karakter yang penuh tanggung jawab dan mampu melaksanakan tugas dengan lancar, mampu membuat solusi terhadap permasalahan yang sedang dihadapinya atau permasalahan pada bangsanya. Hal ini, nampak ketika Sumantri diutus Prabu Harjuna Sasrabahu untuk memboyong Dewi Citrawati dari Magada, akhirnya Sumantri mampu melaksanakan tugas tersebut dengan baik. Kaya atau dalam bahasa Indonesia berarti kekayaan, memiliki arti bahwa Sumantri memiliki kaya yang cukup baik secara jasmani maupun rohani. Secara jasmani Sumantri kaya akan kemampuan olah batin, kaya akan rohani selain pandai dalam ilmu perang juga nampak ketika Sumantri mampu membedhah manggada kemudian memperoleh putri dhomas dan raja brana semua diserahkan pada Prabu Harjuna Sasrabahu, jelas ini menggambarkan karakter Sumantri yang ikhlas menyerahkan semua kekayaan yang dimilikinya pada Prabu Harjuna Sasrabahu sebagai Raja yang sangat Sumantri hormati. Purun dalam bahasa Indonesia berarti mau atau bersedia, artinya Sumantri memiliki karakter yang ikhlas dan tulus dalam melaksanakan semua tanggung jawabnya. Kesanggupan yang tulus dari dalam hati Sumantri inilah yang patut kita contoh sebagai sebuah karakter yang mulia. Ketiga inti dari karakter yang dimiliki Sumantri tersebut apabila disimpulkan, artinya Sumantri adalah tokoh yang memiliki karakter setia atau mengandung nilai kesetiaan. Hal ini, sangat nampak dalam jiwa Sumantri ketika dia baru mengabdi pada Harjuna Sasrabahu dan akhirnya harus gugur oleh
to user kepada Harjuna Sasrabahu. Rahwana semua dilakukan atas commit dasar kesetiaannya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
79 b. Raden Kumbakarna Kumbakarna adalah adik dari Prabu Dasamuka raja Ngalengkadiraja (Alengka), walaupun berbentuk raksasa tetapi tidak mau membenarkan tindakan kakaknya yang angkara murka dengan menculik Dewi Shinta. Walaupun demikian pada saat kerajaan Ngalengkadiraja diserang oleh musuh, yaitu Sri Rama dan pasukannya, Kumbakarna memenuhi panggilan sifat ksatrianya, mengorbankan jiwa untuk membela tanah air. Kumbakarna gugur membela negara, bukan membela kakaknya. Kumbakarna adalah salah satu pelaku dalam kisah Ramayana. Kumbakarna perang melawan prajurit kera, tidak bermaksud membela kakaknya (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994: 235). Dia sangat tidak setuju idiologi dan kepribadian Dasamuka. Kumbakarna selalu mengingatkan kakaknya untuk menyerahkan Dewi Sinta yang telah kakaknya culik dari Rama. Walaupun tidak sepaham dengan kakaknya yang sekaligus sebagai rajanya, Kumbakarna tetap maju ke medan perang. Dia berperang hanya semata-mata menjalankan kewajiban sebagai satria dan warga negara. Dalam Serat tripama tersebut kita melihat rasa nasionalisme yang ditunjukkan oleh Kumbakarna. Sifat seperti ini mungkin juga tercermin dengan wrong right my country
n
alasannya, tanah tumpah darah harus dibela (Purwadi, 2006: 398), mengingat di sinilah orang tua, leluhur dan kita dilahirkan, dibesarkan dan kelak dikubur. Raden Kumbakarna juga masuk dalam salah satu tokoh Tripama, artinya menurut KGPA Mangkoenegara IV terdapat karakter baik dalam diri Kumbakarna yang juga patut untuk dijadikan cantoh. Kumbakarna adalah tokoh wayang yang terdapat dalam serat Ramayana, Kumbakarna merupakan adik dari Rahwana raja Alengka, Kumbakarna juga memiliki adik yang bernama Gunawan dan Sarpakenaka. Mengenai jiwa Kumbakarna berdasarkan asumsi KGPA Mangkoenegara IV disuratkan dalam Serat Tripama. Tembang Dandanggula di atas secara garis besar memiliki arti bahwa Kumbakarna adalah tokoh yang memiliki karakter atau jiwa kesatriya (jw: jiwa utama). Hal ini nampak, ketika Kumbakarna selalu berusaha menasihati Rahwana agar mengembalikan Sinta kepada Rama, sebab Sinta adalah milik Rama. Apabila, Rahwana tetap ingin memiliki Sinta dengan cara yang demikian
commitberada to userdalam posisi yang salah, dalam maka bagaimannapun juga Rahwana
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
80 bahasa jawa ada istilah yang menyebutkan: Akan tetapi, Rahwana sama sekali tidak menggubris perkataan Kumbakarna, hingga akhirnya Kumbakarna pergi dari Alengka dan melakukan Tapa Nendra untuk mendapatkan petunjuk dari sang Ilahi. Perang akhirnya terjadi antara Alengka dengan bala kera prajurit dari Prabu Rama, setelah prajurit Alengkka sudah terosak-asik oleh pasukan prabu Rama, lalu Rahwana menyuruh Indrajid anaknya agar membangunkan Kumbakarna bahwa perang sudah terjadi dan menyuruh Kumbakarna untuk berperang, sebab jika Kumbakarna tak mau perang maka tak lama lagi Alengka akan dihancurkan oleh Rama dan prajuritnya. Pada awalnya, Kumbakarna tetap menolak untuk berperang melawan Prabu Rama, namun karena Kumbakarna memiliki jiwa kesatriya dan nasionalisme yang tinnggi akhirnya Kumbakarna maju perang menghadapi bala kera. Perlu diingat, bahwa Kumbakarna ketika berperang ini sama sekali bukan membantu Rahwana yang jelas-jelas berada dipihak yang salah melainkan membela bangsanya atau tanah kelahirannya beserta leluhurnya yang telah membesarkan Kumbokarna dan mendirikan bangsa Alengka. Penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Kumbakarna memiliki karakter yang tanggung jawab, rela berkorban dan mengedepankan jiwa nasionalismenya. Sehingga, kisah mengenai tokoh Kumbakarna ini mengandung nilai kepahlawanan dan patriotisme yang sangat baik untuk ditiru bagi kita khususnya generasi muda penerus bangsa. c. Adipati Basukarna Adipati Basukarna adalah tokoh dalam Mahabharata. Ia tidak membela Pandawa yang saudara satu ibu melainkan membela Prabu Suyudana (Kurupati) raja Hastina untuk membalas budi baik sang raja yang telah mengangkat derajatnya. Adipati Basukarna yang saat kelahirannya dibuang di sungai kemudian ditemukan dan diangkat anak oleh kusir Adirata, dijadikan adipati oleh Prabu Suyudana. Oleh sebab itu dalam perang besar Bharatayuda Adipati Karna berada di pihak Kurawa yang ia tahu bahwa Kurawa adalah pihak yang angkara murka. Sang Suryaputra gugur dalam perang tanding melawan Harjuna, adiknya, satu ibu. Adipati basukarna atau ketika masih muda bernama Suryaputra merupakan
to usermenurut KGPA Mangkoenegara tokoh yang juga termasuk dari commit tokoh Tripama
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
81 IV, tokoh Basukarna adalah anak dari Dewi Kunthi dengan Batara Surya. Akan tetapi, karena Basukarna adalah anak yang tercipta diluar ikatan resmi maka akhirnya Basukarna dibuang ke sungai hingga akhirnya ditemukan oleh kusir dari Astina bernama Adirata yang kemudian membesarkan Suryaputra hingga dewasa dan menjadi Senopati di Astina. Berdasarkan tembang macapat tersebut pada intinya berisi tentang tokoh Suryaputra atau Adipati Karno yang juga patut untuk dijadikan contoh bagi kita, hal demikian dapat kita lihat dari pengorbanan Basukarna terhadap Duryudana dan negara Astina yang talah memuliakan hidupnya. Pengorbanan yang dilakukan Basukarna adalah ketika dia tetap maju perang Baratayuda dipihak Kurawa dan harus melawan Pandawa yang jelas-jelas Karna mengetahui bahwa Pandawa masih saudaranya sendiri, sama-sama anak dari Dewi Kunthi. Namun, semua tentunya dilakukan Basukarna dengan penuh pertimbangan, Basukarna lebih memilih dipihak Kurawa daripada Pandhawa karena menurut Basukarna Kurawa adalah sosok yang menerima Basukarna apa adanya hingga akhirnya mengangkat Karna mejadi Senapati. Sikap yang diambil oleh Basukarna ini menggambarkan bahwa Basukarna adalah tokoh yang memiliki karakter tanggung jawab, jiwa satriya dan tidak melupakan jasa atau kebaikan orang lain. Hal ini, nampak jelas bahwa pembelaan Karna dipihak Kurawa karena disatu sisi selain membela tanah yang telah membesarkannya, Karna juga merasa berhutang budi pada Duryudana yang telah menerima Karna apa adanya hingga akhirnya Karna mampu hidup makmur di Astina dan menjadi Senapati dipihak Kurawa, sehingga Karna memiliki tanggung jawab harus membalas budi semua kebaikan yang telah diberikan Duryudana kepadanya. Nilai
yang terkandung adalah
nilai
Kepahlawanan dan kesetiaan. Bentuk dasar makna pertama dari hermeneuein adalah to express (mengungkapkan), to assert (menegaskan) atau to say (menyatakan). Ketiga makna ini berkaitan dengan fungsi pemberitahuan dari Hermes. Signifikan teologis hermeneutika merupakan etimologi berbeda yang mencatat bahwa bentuk dari herme berasal dari bahasa Latin sermo, to say (menyatakan) dan bahasa latin lainnya menyatakan verbum, word (kata). Ini mengasumsikan bahwa utusan, di dalam memberitakan kata adalah mengumumkan dan menyatakan sesuatu.
commit totetapi user untuk menyatakan (proclaim). Fungsinya tidak hanya untuk menjelaskan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
82 Interpretasi dalam pengertian ini merupakan bentuk dari perkataan. Demikian juga perkataan lisan atau nyanyian adalah sebuah interpretasi. Pemikiran tentang bentuk makna pertama kata hermeneuein dalam penggunaan asalnya interpretasi sebagai perkataan dan ekspresi melahirkan pernyataan prinsip-prinsip fundamental dari interpretasi, baik sastra maupun teologi. Interpretasi mengarahkan kembali pada bentuk primordial dan fungsi bahasa sebagai suara hidup yang dipenuhi dengan kekuatan ungkapan yang penuh makna. Bahasa seperti lahir dari ketiadaan, bukanlah tanda melainkan suara. Bahasa kehilangan beberapa kekuatan ekspresifnya ketika direduksi ke dalam gambaran visual tempat yang sunyi. Interpretasi teologi dan sastra harus mentrasformasikan kembali tulisan ke dalam pembicaraan. Prinsip-prinsip pemahaman yang memungkinkan transformasi ini merupakan perhatian utama dari teori hermeneutika modern. Arti makna kedua dari kata hermeneuein adalah to explain (menjelaskan). Interpretasi sebagai penjelasan menekankan aspek pemahaman diskursif yang menitikberatkan pada penjelasan daripada dimensi interpretasi ekspresif. Persoalan yang paling penting dari kata-kata bukanlah mengatakan sesuatu saja (meskipun hal ini juga terjadi dan ini merupakan tindakan utama interpretasi), akan tetapi menjelaskan sesuatu dan merasionalisasikan, yaitu membuat kata-kata menjadi lebih jelas. Makna ketiga dari kata hermeneuein adalah to translate. Implikasi dimensi ketiga hampir senada dengan dua makna sebelumnya dari hermeneutika dan teori interpretasi sastra.
Interpretasi dalam dimensi ini to interpret (menafsirkan)
bermakna to translate (menerjemahkan). Sebuah teks ketika berada pada bahasa pembaca, benturan antara dunia teks dengan pembaca dapat menjauhkan perhatian. Menerjemahkan (to translate) merupakan bentuk khusus dari proses interpretasi dasar membawa sesuatu untuk dipahami. Seperti Hermes, penerjemah menjadi media antara satu dunia dengan dunia yang lain. Tindakan penerjemah bukanlah persoalan mekanis tentang menemukan kata-kata sinonim karena penerjemah menjadi mediator antara dua dunia yang berbeda. Penerjemah membuat sadar akan kenyataan bahwa bahasa memuat interpretasi tentang dunia. Penerjemah harus sensitif seperti menerjemahkan ekspresi individu. Bahasa adalah perbendaharaan nyata dari pengalaman kultural. Penerjemah membuat sadar terhadap benturan dunia kesadaran dengan karya yang sedang dibuat. Sementara rintangan bahasa
commit to user membuat dua dunia pemahaman lebih kelihatan. Dua dunia pemahaman ada dalam
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
83 beberapa interpretasi karya tulis di dalam bahasa dan beberapa dialog khususnya antara partner yang dipisah oleh perbedaan letak geografis. Hermeneutika dalam sejarah awal selalu terlibat dengan penerjemah linguistik baik sebagai filsafat hermeneutik klasik atau hermeneutik Bibel. Fenomena penerjemahan adalah jantung dari hermeneutik. Interpretasi penerjemah mengonfrontasikan situasi dasar hermeneutik untuk mendamaikan bersama-sama makna teks, gramatikal, historis, dan perangkat lain dalam menguraikan teks asli. Tiga bentuk makna dasar hermeneuein atau hermeneutik yang dikemukakan Palmer dapat dikatakan bahwa ketiganya adalah satu rangkaian. Rangkaian di sini lebih mendekati pada sebuah tahapan. Seseorang ketika mengeinterpretasi sastra sebagai to say, mengingatkan kepada tindakan membaca sebagai awal pemahaman. Membaca teks sastra bukan hanya sekedar untuk mengekspresikan sesuatu tetapi pembaca juga harus memahaminya. di sinilah penjelasan (explain) diaplikasikan. Interpretasi terjemahan (translate) dapat dijadikan awal pemahaman untuk mengetahui makna filosofis tertentu pada sebuah karya
sastra dengan
menerjemahkan bahasa satu dengan bahasa lain yang lebih mudah dipahami atau diterima pembaca (Palmer, 2003:16-36). Hermeneutika atau teori penafsiran dapat dilacak kembali ke peradaban barat klasik yang berasal dari Judea, meskipun pandangan modern mengenai hal tersebut cenderung dengan dimulainya karya Scleiermacher, salah seorang tokoh romantik Jerman yang terkenal. Sebelum masa modern hermeneutika mencurahkan perhatian pada cara bagaimana membaca teks-teks keagamaan seperti Alkitab (Newton, 2011 : 9). Nugroho (2006 : 14) menyatakan hermeneutika sebagai salah satu model pendekatan yang paling awal terhadap teks pada mulanya bermakna sebagai seni penafsiran. Perkembangan selanjutnya hubungan hermeneutika menjadi lebih dekat dengan semiotika. Prinsip menerangkan, menafsirkan dan menerjemahkan menjadikan penelitian yang memanfaatkan model hermeneutika berusaha menemukan makna sekunder yang melampaui makna teks. Perhatian utama studi hermeneutika adalah ketika masalah-masalah teks yang ditulis pada masa lampau terus ada, akan tetapi penulis dan kaitan historis yang menghasilkan karya-karya tersebut sudah tidak ada. Dalam perkembangan hermeneutika terdapat beberapa pembahasan. Joseph
commit to user Bleicher membagi pembahasan hermeneutika menjadi tiga, yaitu hermeneutika
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
84 sebagai metodologi, hermeneutika sebagai filsafat, hermeneutika sebagai kritik. Sementara Richard E. Palmer menggambarkan pemikiran hermeneutika menjadi enam bahasan, yaitu hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci (Bibel), hermeneutika sebagai metode filologi, hermeneutika sebagai pemahaman linguistik, hermeneutika sebagai fondasi dari ilmu sosial budaya (geisteswissenschaften), hermeneutika sebagai fenomenologi dasein, dan hermeneutika sebagai sistem interpretasi (Comte dkk, dalam Indriati 2011 : 10) Hermeneutika sebenarnya sebuah paradigma yang berusaha menafsirkan teks atau dasar logika linguistik. Logika linguistik akan membuat penjelasan teks sastra dan pemahaman makna dengan menggunakan makna kata, selanjutnya makna bahasa. Makna kata lebih berhubungan dengan konsep-konsep semantik sastra dan makna bahasa lebih bersifat kultural. Makna kata akan membantu pemahaman makna bahasa, oleh karena itu dari kata-kata tercermin makna kultural teks sastra (Endraswara, 2003 : 42). Sumaryono (2009 : 26) sependapat dengan pernyataan di atas. Hermeneutika
pada dasarnya berhubungan dengan bahasa. Manusia berpikir
melalui bahasa, berbicara dan menulis juga melalui bahasa. Bahkan mengerti dan membuat interpretasipun dengan menggunakan bahasa. Hermeneutika adalah cara baru bergaul dengan bahasa. Ricoeur (1981: 146) menjelaskan bahwa teks adalah sebuah wacana yang dibakukan lewat bahasa. Apa yang dibakukan oleh tulisan adalah wacana yang dapat diucapkan, tetapi wacana ditulis karena tidak diucapkan. Teks merupakan wacana yang disampaikan dengan tulisan. Ratna (2004 : 46) menambahkan bahwa model hermeneutika tidak mencari makna yang benar, melainkan makna filosofis yang paling optimal. Keragaman pandangan pada gilirannya menimbulkan kekayaan makna dalam kehidupan manusia, menambah kualitas estetika, etika, dan logika. Tripama adalah penampilan tiga tokoh yang patut dan dianjurkan untuk dijadikan teladan bagi orang yang ingin mengabdikan diri dalam bidang keprajuritan dan keperwiraan. Tokoh wayang tersebut adalah Mahapatih Sumantri dari Maespati, Mahawira Kumbakarna dari Alengka, dan Adipati Basukarna dari Astina (Saputra. 2005: 115). Serat Tripama menceritakan tentang tiga tauladan utama keprajuritan dan warga negara yang mengabdi hidup dan perjuangannya di garisnya masing-masing.
to user Dalam serat ini dibahas tiga tokohcommit utama yang patut dijadikan teladan bagi orang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
85 yang ingin mengabdikan diri dalam bidang keprajuritan dan kewiraan. Serat ini juga dikatakan sebagai serat yang ditujukan kepada prajurit. Tokoh-tokoh yang dimaksud adalah Sumatri dari Maespati, Mahawira Kumbakarna dari Alengka dan Adipati Basukarna dari Astina (Purwadi, 2006: 395).
3. Relevansi Nilai nilai Luhur Serat Tripama Karya K.G.P.A.A. Mangkunagara IV dengan Aspek-aspek Pendidikan Secara Umum Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan pada umumnya berarti daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi pekerti, pikiran dan tubuh anak. Crow and Crow menyatakan bahwa pendidikan adalah proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya serta kelembagaan sosial dari generasi ke generasi. John Dewey dalam bukunya Democracy and Education menyebutkan bahwa pendidikan adalah proses yang berupa pengajaran dan bimbingan, bukan paksaan, yang terjadi karena adanya interaksi dengan masyarakat (Munib dkk, 2006: 32). Berdasarkan pendapat di atas maka dapat dikemukakan bahwa pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis yang dilakukan oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi peserta didik agar mempunyai sifat dan tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan. Pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha manusia melestarikan hidupnya (Syam, 1981 :2). Tujuan pendidikan itu sendiri merupakan suatu gambaran dari falsafah hidup atau pandangan hidup manusia, baik secara perorangan ataupun secara kelompok (bangsa dan negara). Tujuan pendidikan di suatu negara akan berbeda dengan negara yang lain, karena disesuaikan dengan dasar negara, falsafah hidup bangsa, dan ideologi negara tersebut (Munib dkk, 2003: 29). Kehidupan suatu bangsa dalam pertumbuhan dan perkembangannya dipengaruhi oleh berbagai faktor yang bersifat timbal balik, baik bersifat fisik maupun nonfisik. Sejalan dengan pemikiran tersebut suatu bangsa akan berusaha untuk menempatkan dirinya sehingga dapat mencapai cita-cita nasionalnya secara maksimal. Bangsa yang bersangkutan harus mempunyai pandangan tentang dirinya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
86 dalam hubungan dengan lingkungan yang memungkinkan berlangsungnya berbangsa Bangsa Indonesia dalam kehidupan negaranya mempunyai cara pandang terhadap keberadaan bangsa dan negara. Cara pandang ini sering disebut dengan wawasan nusantara. Dapat dikemukakan bahwa wawasan nusantara merupakan cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya yang serba beragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan dengan tetap menghargai dan menghormati kebhinekaan di dalam setiap aspek kehidupan nasional untuk mencapai tujuan nasional Indonesia (Sunarto dkk, 2010 : 55). Makna yang dapat ditangkap dari pengertian tersebut, bahwa wawasan nusantara mengajarkan cara pandang dan sikap yang benar terhadap keberadaan negara dan bangsa Indonesia yang diwarnai oleh berbagai macam perbedaan agar dalam kondisi perbedaan itu dapat mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa serta dapat mencapai tujuan nasional. Adapun persatuan dan kesatuan yang diwujudkan bukanlah persatuan dan kesatuan yang dibangun di atas penyeragaman melainkan persatuan dan kesatuan yang dibangun dengan tetap menghargai adanya perbedaan (Sunarto dkk, 2010 : 56). Untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia diperlukan adanya rasa kebangsaan (nasionalisme). Nasionalisme merupakan kata lain dari kebangsaan. Meskipun demikian, ada sedikit perbedaan antara dua kata tersebut. Kebangsaan mengacu pada sikap berbangsa, sedangkan nasionalisme mengacu pada paham berbangsa. Nasionalisme secara umum dimaknai dengan wujud kecintaan terhadap tanah air. Menurut Ensiklopedia Nasional (dalam Tasai 2002 : 1) dikatakan bahwa nasionalisme merupakan sikap politik dan sosial dari kelompok masyarakat yang mempunyai kesamaan kebudayaan, bahasa, dan wilayah, serta kesamaan cita-cita. Sementara itu Sukarno (dalam Tasai 2002 : 1) menyatakan bahwa nasionalisme adalah suatu iktikad, suatu keinsafan rakyat bahwa rakyat itu adalah satu slogan, satu bangsa. Tasai (2002 : 1) mengatakan bahwa semangat kebangsaan suatu bangsa mengarah pada tujuan atau hasrat tertentu yang ingin dicapai bangsa tersebut. Bagi bangsa Indonesia yang memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika tujuan utama yang ingin dicapai tentu saja persatuan dan kesatuan bangsa. Berdasarkan paparan di atas mengenai pendidikan dan kebangsaan, dapat
to user dirumuskan pengertian mengenai commit pendidikan kebangsaan. Pendidikan kebangsaan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
87 adalah usaha sadar dan sistematis yang dilakukan oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi peserta didik agar mempunyai sikap berbangsa dan mewujudkan rasa nasionalisme sesuai dengan tujuan negara Indonesia. Tujuan yang ingin dicapai dari pendidikan kebangsaan yaitu agar terwujudnya rasa persatuan dan kesatuan bukan melalui penyeragaman, tetapi dengan tetap menghargai adanya perbedaan (kebhinekaragaman). Nilai-nilai pendidikan moral dalam karya sastra berfungsi untuk membentuk kepribadian manusia yang halus, yaitu kepribadian manusia yang dapat menciptakan keselarasan dalam hidup (Suseno, 1991:212). Sebuah karya sastra memberikan manfaat yang berupa keseriusan yang bersifat didaktis (Wellek dan Warren, 1989: 27). Keseriusan didaktis yang dimaksud adalah keseriusan yang bersifat pendidikan. Karya sastra Jawa yang mengandung unsur didaktis biasanya secara eksplisit dinyatakan sebagai sastra wulang, etika, moral. a.
Pesan Karya Sastra Serat Tripama Karya sastra seperti halnya Serat Tripama memiliki fungsi penting di dalam membangun budi pekerti atau karakter anak bangsa. Itu tidak lain karena salah satu definisi sastra secara etimologis berarti alat untuk mendidik, alat untuk mengajar, dan alat untuk memberi petunjuk. Terkait dengan fungsi sastra, Norman Podhoretz, mengatakan bahwa tidak bisa diragukan lagi dalam memberi pengaruh cara berpikir setiap orang mengenai hidup dan kehidupan, baik dan buruk, benar dan salah, dan cara hidup baik diri sendiri dan maupun bangsanya (Wibowo, 2013: 127). Endraswara (2003:38-41) menjabarkan nilai-nilai pendidikan budi pekerti ke dalam tiga bagian, yaitu moral yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama dan alam sekitarnya, serta hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Menurut Haryadi ada sembilan manfaat yang dapat diambil dari satra lama, yaitu (1) dapat berperan sebagai hiburan dan media pendidikan, (2) isinya dapat menumbuhkan kecintaan, kebanggaan berbangsa dan hormat pada leluhur, (3) isinya dapat memperluas wawasan tentang kepercayaan, adatistiadat, dan peradaban bangsa, (4) pergelarannya dapat menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan, (5) proses penciptaannya menumbuhkan jiwa kreatif, responsif, dan dinamis, (6) sumber inspirasi bagi penciptaan bentuk seni yang
commit to usercontoh tentang cara kerja yang lain, (7) proses penciptaannya merupakan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
88 tekun, profesional, dan rendah hati, (8) pergelarannya memberikan teladan kerja sama yang
kompak dan harmonis, (9) pengaruh asing yang ada di
dalamnya memberi gambaran tentang tata pergaulan dan pandangan hidup yang luas (Wibowo, 2013:128-129). Berdasarkan pendapat di atas, maka terkait dengan pendidikan budi pekerti atau karakter, sastra bisa sebagai media pembentuk watak moral anak didik; dengan sastra para guru bisa memengaruhi anak didik. Selanjutnya, karya sastra dapat menyampaikan pesan-pesan moral baik secara implisit maupun eksplisit. Nilai-nilai kejujuran, kebaikan, persahabatan, persaudaraan, kekeluargaan, keikhlasan, ketulusan, kebersamaan, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan pendidikan karakter, bisa kita terapkan kepada anak didik melalui sastra. Secara umum, isi Serat Tripama mengandung pesan yaitu: (1) Tiap-tiap warga Negara mempunyai kewajiban membela tanah airnya; (2) Ajaran tentang cintatanah air dan wajib bela Negara itu juga bisa kita temu dalam ungkapanungkapan tradisional; (3) Dalam menilai suatu hal kita perlu cermat dan hatihati, harus bisa membedakan baik buruknya secara tepat; (4) Kepentingan bangsa dan Negara harus lebih diutamakan dari pada kepentingan pribadi dan golongan; (5) Demi kepentingan bangsa dan Negara kita melakukan dengan sepenuh hati; (6) Seseorang akan tumbuh sikap hidup jika selalu memperlakukan orang lain secara manusiawi (Prabowo, 2003: 44). Berdasarkan uraian di atas, maka karya sastra Serat Tripama memiliki fungsi penting di dalam membangun budi pekerti atau karakter anak bangsa, karena karya sastra dapat menyampaikan pesan-pesan moral seperti kejujuran, kebaikan, persahabatan, persaudaraan, kekeluargaan, keikhlasan, ketulusan, kebersamaan, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan pendidikan karakter, bisa kita terapkan kepada anak didik melalui sastra. b. Serat Tripama dan Nilai Pendidikan Setiap karya sastra luhur mengandung nilai edukatif atau nilai pendidikan, yang bisa menuntun dan sebagai dasar bagi penikmat karya sastra tersebut. Sesungguhnya ada beberapa nilai yang ada di karya sastra, yaitu nilai estetika, nilai moral, nilai adat, nilai religi, nilai sejarah dan lain-lain. Nilainilai tersebut diperlukan sebagai pembangunan peradaban anak-anak atau
commit to di user generasi muda sebagai keselarasan hidup masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
89 Nilai dalam sastra bisa menuntun karakter di hati anak-anak. Supaya dirinya bisa menjadi orang dan menjadi warga masyarakat mengarah pada keselamatan lahir batin (Amadi lan Ubiyati, 1991: 69). Nilai edukatif bisa ditemukan dalam karya sastra, termasuk cerita rakyat (foklor), yaitu pada kejadian, karakter tokoh, dan hubungan antar tokoh. Bab yang baik atau jelek bisa diketahui setelah menikmati karya sastra tersebut. Nilai edukatif tersebut bisa menambah khasanah batin para penikmanya. Kalau diteliti dengan jeli cerita rakyat (foklor) mengandung teladan, petunjuk bijaksana dan nilai-nilai yang arif bijaksana. Nilai-nilai dalam cerita rakyat yang umum bisa dijelaskan seperti di bawah ini. 1) Nilai Pendidikan Moral Nilai pendidikan moral yaiku sebagai ajaran hal yang baik dan jelek, benar dan salah. Moralitas sebagai kesesuaian sikap, tindakan, dan norma hukum batiniah yang dipandang sebagai kewajiban. Moral berhubungan erat dengan tindakan, sikap, kewajiban, budi pekerti (Susena, 2002: 143). Nurgiyantoro (2000: 321) menjelaskan moral dalam cerita biasanya sebagai sarana yang ada hubungannya dengan ajaran tertentu yang sifatnya praktis. Karya sastra moral biasanya menggambarakan pandangan hidup penciptanya dan nilai-nilai kebaikan. Cerita-cerita yang mengandung nilai kebaikan, nilai baik harus dipahami dan dilaksanakan, atau nilai-nilai yang jelek juga harus dipahami namun dijauhi. Dalam Serat tripama tokoh yang dapat diteladani dalam hal moral adalah adalah Kumbakarna. Kumbakarna adalah tokoh yang memiliki jiwa nasionalisme tinggi. Hendaknya karakter seperti ini selalu tertanam dalam diri rakyat Indonesia, rasa nasionalisme dapat diwujudkan dengan selalu menjaga perdamainan, menjunjung tinggi idealisme bangsa seperti Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Sebab, akhir-akhir ini nasionalisme mulai kurang diperhatikan sehingga ini menjadi tanggung jawab besar bagi rakyat Indonesia. Wujud nyata nasionalisme juga dapat dilakukan dengan turut mendukung serta mencintai aset-aset bangsa termasuk kebudayaan tradisi yang memiliki filosofi luhur. Tokoh Kumbakarna memiliki pedoman
a mampu
commitdalam to userdiri Kumbakarna untuk kita mengambil nilai nasionalisme
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
90 aplikasikan sebagai rakyat Indonesia, agar selalu berjuang secara sungguhsungguh menjaga keutuhan serta melestarikan kebudayaan tradisi yang luhur. 2) Pendidikan Budi Pekerti Pendidikan budi pekerti merupakan salah satu aspek pendidikan yang mengajarkan tentang sikap dan tingkah laku manusia dalam menjalani kehidupan, baik sebagai makhluk individu maupun sosial. Pendidikan budi pekerti perannya sangat penting dalam dunia pendidikan. Generasi muda apabila tidak dibekali dengan pendidikan budi pekerti maka akan menjadikan generasi tersebut tidak dapat bersikap dengan baik dan tidak bermoral. Sebagai akibatnya, dalam berinteraksi dengan anggota masyarakat akan sering menimbulkan konflik. Pada Serat tripama pendidikan budi pekerti ditunjukkan oleh tokoh
pimpinannya. Selain itu juga ditunjukkan oleh tokoh Adipatikarno yang berusaha membalas budi baik Kurawa yang telah memberikan kehormatan kedpa dirinya. Ia rela mengorbankan nyawa demi membela Kurawa dan berperang melawan Pandawa saudaranya sendiri. 3) Nilai Pendidikan Adat Nilai pendidikan adat (tradisi) sebagai kebiasaan yang ada di masyarakat yang memiliki nilai pendidikan bagi masyarakat, seperti tatacara atau aturan yang dianut dan dilaksanakan secara turun-tumurun, salah satunya adat yang saat ini dilakukan yaitu gotong royong. Tradisi ini diilhami atas keterbatasan manusia dalam kehidupan sehari-hari, sebagai anggota masyarakat, adat tradisi ini memiliki nilai-nilai pendidikan bagi masyarakat dan generasi muda sebagai pendidikan. Nilai-nilai pendidikan tersebut
mengajarakan hal norma di
masyarakat, contoh nilai-nilai dalam masyarakat Jawa, anak harus hormat kepada orang yang lebih tua, anak menurut perintah orang tuanya dan agama. Nilai sopan santun harus dijunjung dalam masyarakat Jawa supaya bisa menjadi orang yang rendah hati. Nilai pendidikan adat sebagai nilainilai yang harus didukung dalam adat tradisi wilayah tertentu. Nilai-nilai
to user dalam masyarakat tertentu. yang dilaksanakan secaracommit turun-temurun
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
91
merasa ikut memiliki alam sekitarnya. Dalam Serat tripama, karakter yang terkait dengan nilai adat adalah tergambar pada tokoh Sumantri. Sumantri adalah tokoh yang memiliki karakter percaya diri, tanggung jawab, pemberani, jiwa kesatriya yang tinggi dan rela berkorban. Sumantri inilah yang hendaknya mampu ditiru oleh rakyat Indonesia dewasa ini. Berkaitan dengan karakter yang perlu dimiliki setiap rakyat Indonesia, maka rakyat Indonesia harus memiliki karakter percaya diri untuk dapat mengelola rumah tangganya sendiri, bertanggung jawab terhadap tugas dan pekerjaannya. Pemberani artinya rakyat Indonesia selalu berani seperti Sumantri dalam menghadapi segala rintangan maupun halagan yang dihadapinya, memiliki disiplin diri yang tinggi dan memiliki motivasi yang tinggi untuk maju. Setiap rakyat Indonesia juga harus memiliki karakter rela berkorban, rela berkorban ini tentunya dapat dihubungkan dengan empat pilar utama tadi yaitu pilar mengenai NKRI, setiap rakyat Indonesia harus rela berkorban untuk menjaga keutuhan NKRI entah itu dalam wujud apapun. Sumantri yang selalu menjujunjung tinggi kesetiaan terhadap Rajanya juga dapat kita contoh dengan selalu bertindak sesuai dengan aturan hokum, karena Indonesia adalah Negara hukum. 4) Pendidikan Sosial Pendidikan sosial merupakan salah satu aspek pendidikan yang meitikberatkan pada pelajaran mengenai hubungan manusia dengan masyarakat. Manusia selain sebagai makhluk individu, juga merupakan makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk sosial inilah yang menyebabkan manusia harus berinteraksi dengan manusia yang lain. Pendidikan sosial inilah yang memberikan pengajaran mengenai cara bersosial di masyarakat dengan tujuan agar terwujud masyarakat yang harmonis, serta tercipta persatuan dan kesatuan antar anggota masyarakat, berbangsa dan bernegara. Pada aspek pendidikan sosial, ditunjukkan oleh ketiga tokoh dalam Serat Tripama yang telah rela berkorban demi negaranya. Ketiga tokoh telah menunjukkan perilaku yang loyal terhadap negaranya. Sebagai rakyat
commit to user atau warga negara, ketiga tokoh dalam Serat Tripama merasa terpanggil dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
92 bertanggung jawab untuk membela negaranya demi kesejahteraan rakyat banyak dan kejayaan negaranya. Ketiga tokoh dalam Serat tripama memiliki kepedualian sosial yang tinggi terhadap nasib orang lain. 5) Pendidikan Berbangsa dan Bernegara Pendidikan berbangsa dan bernegara dalam konteks ini yaitu adanya kesanggupan seseorang untuk membela negaranya dengan sekuat tenaga. Pendidikan berbangsa dan bernegara telah ditunjukkan oleh ketiga tokoh dalam Serat Tripama yang dengan gagah berani mengorbankan jiwa dan raga demi kepentingan banhgsa dan negaranya. Keriga tokoh senantiasa mengendepankan sikap kenegaraan yang tinggi di atas kepentingan pribadinya. Patih Suwanda dengan gagah berani dan memiliki kepandaian yang dapat diandalkan telah mengornankan dirinya melawan raja Ngalengko. Adipati Karno telah mengedepankan kepentingan negaranya di atas kepentingan pribadinya, iang tetap setia memebela Kurawa yang telah memberi kepercayaan kepada dirinya untuk melawan Pandawa saudranya sendiri. Iapun rela mengorbankan jiwa dan raganya demi kehormatan negaranya. Kumbokarno walaupun
tidak sependapat dengan rajanya
Dasamuka atau kakaknya sendiri, tetapi demi kehormatan negaranya iapun rela mengorbankan jiwa dan raga untuk membela negaranya. 6) Nilai Pendidikan Agama (Religi) Agama sebagai fenomena yang rumit dan memiliki aspek individual dan sosial (Russell, 1993: 78-79). Nilai pendidikan agama sebagai nilai-nilai hubungan antara manusia dengan Tuhan sebagai individu atau sosial, nilainilai dalam pendidikan agama yaitu manusia harus melaksanakan taqwa kepada Tuhan yaitu melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi laranganNya. Berhubungan erat dengan kepercayaan tertentu, Wisdirana (2004:60) menyatakan bahwa orang-orang dahulu khususnya orang pedesan memiliki sifat religius, ditandai dengan adanya upacara-upacara keagamaan, upacara tradisi leluhur yaitu slametan, bersih desa, sesaji roh halus, atau doa dari tokoh agama. Apabila dicermati agama-agama jaman dahulu bersifat individual dan sosial, buktinya zaman dahulu sampai sekarang masih ada
to user orang yang percaya dengancommit roh-roh halus.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
93 Serat tripama yang berkaitan dengan nilai religi seperti tergambar pada tokoh Basukarna. Tokoh Basukarna adalah tokoh yang memiliki jiwa kepahlawanan, kesetiaan, selalu mengingat jasa orang lain serta keteguhan hati yang tinggi. Karakter tersebut juga mampu dijadikan perspektif bagi rakyat Indonesia. Setiap rakyat Indonesia hendaknya memiliki jiwa kepahlawanan yang tinggi, hal ini dapat dilakukan dengan selalu menjaga persatuan dan kesatuan kemajemukan bangsa seperti yang terdapat dalam empat pillar
Indonesia hendaknya juga menempatkan karakter Basukarna yang setia membela negaranya ke dalam jiwanya, sehingga setiap tindakan yang dilakukan akan selalu berorientasi terhadap rasa cintanya terhadap negara untuk selalu menjaga, melestarikan dan mengembangkannya. Selain itu, setiap rakyat Indonesia hendaknya juga harus selalu menghormati dan menghargai jasa para pahlawannya yang telah rela berkorban demi kemerdekaan Negara Indonesia. c. Nilai-nilai Budi Pekerti dalam Serat Tripama Ajaran yang ada dalam Serat tripama dapat digunakan oleh para orang tua untuk mendidik anaknya yang dimulai sejak dini, karena mengadung perilaku yang baik. Menurut Leah Davies, nilaisangat penting untuk diajarkan kepada anak sejak mereka berusia dini adalah sebagai berikut (Andrianto, 2011: 100-104). 1) Nilai Keharuan, merupakan kepekaan anak pada hal-hal yang menyentuh aspek kemanusiaan. 2) Nilai Kedermawanan, merupakan kepekaan anak pada lingkungan sosial di sekitarnya. 3) Nilai Suka Menolong, merupakan kebiasaan yang melekat dalam diri seorang anak. Anak yang terbiasa suka menolong ia akan bersifat ringan tangan membantu orang lain yang memerlukannya. Hal yang merupakan kebalikannya adalah bagi anak yang terbiasa bersikap cuek (masa bodo). Ia akan bersikap cuek juga terhadap lingkungan sekitarnya. 4)
Nilai Kebebasan, merupakan kebebasan yang bertanggung jawab terhadap semua yang dilakukannya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
94 5) Nilai Pemaaf, merupakan kemampuan untuk mengendalikan diri dan menghargai orang lain. 6) Nilai
Kesopansantunan,
merupakan
perilaku
dalam
kehidupan
bermasyarakat yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari. 7) Nilai Ketepatan Waktu, mencerminkan kedisiplinan dan tanggung jawab pribadi. 8) Nilai Kehematan, merupakan perilaku sifat hemat. 9) Nilai Kemandirian, ditanamkan sejak dini akan bermanfaat pada kehidupannya kelak di tengah-tengah masyarakat. 10) Nilai Kebenaran, anak sejak dini mulai diperkenalkan dengan tepat halhal yang benar dan yang salah sehingga dalam kehidupan anak memiliki sikap positif. 11) Nilai Respek Pribadi, anak perlu mengenal dirinya semenjak berusia dini. Hal ini penting agar anak mengetahui kekurangan maupun kelebihan atau potensi yang dimilikinya. 12) Nilai Kesabaran, anak dapat dilatih dan dipengaruhi, terutama oleh faktor lingkungan. Seorang anak yang terbiasa dilatih bersabar, baik dalam keluarga maupun di sekolah atau masyarakat, akan memiliki nilai kesabaran yang berguna dalam kehidupan kelak. 13) Nilai Kepatuhan, sewaktu mengajarkan nilai kepatuhan kepada anak terkadang berkesan mengekang pada anak. Namun, nilai kepatuhan ini kelak akan bermanfaat bagi anak, terutama berkaitan dengan loyalitas anak terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya. Kebalikannya dengan hal tersebut, yaitu untuk anak yang terbiasa dibebaskan tanpa tanggung jawab, kelak anak akan hidup secara liar. Tentunya, hal itu tidak dikehendaki oleh para orangtuannya. 14) Nilai Tanggung Jawab, berkaitan erat dengan komitmen pada diri anak. Anak yang terbiasa mengerjakan pekerjaan dengan sebaik-baiknya akan menguntungkan bagi kehidupannya. Kebalikannya, anak yang terbiasa melakukan pekerjaan seenaknya atau setengah-setengah akan merugikan dirinya sendiri. Secara umum, nilai tanggung jawab ini sangat berkaitan erat dengan hak dan kewajiban. 15) Nilai Kerja Sama, apabila semenjak anak berusia dini telah dikenalkan
to user dengan nilai kerja sama commit yang baik, kelak nilai-nilai ini akan senantiasa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
95 tertanam pada diri anak sehingga membuahkan hasil berupa adanya aktivitas kebersamaan dengan sesamanya. 16) Nilai Keberanian, di dalam hal ini bukan keberanian bertengkar, membantah perintah orangtua, melanggar peraturan pemerintah, dan lainlain. namun, yang dimaksudkan keberanian di sini adalah keberanian dalam aspek positif. Misalnya, keberanian menyampaikan pendapat atau mempertahankan pendapatnya. 17) Nilai Keterbukaan, perlu diajarkan kepada anak semenjak anak berusia dini agar anak terbiasa bisa berbagi dengan sesamanya. Selain hal itu, nilai keterbukaan yang diajarkan kepada anak akan mendidik anak memiliki kecenderungan beradaptasi dengan lingkungannya lebih mudah karena anak tidak bersifat tertutup. 18) Nilai Persahabatan, nilai yang diajarkan dalam hal ini sebenarnya adalah melatih anak memiliki kepekaan sosial yang tinggi untuk kehidupannya di masyarakat. Sebab, melalui persahabatan, anak menjadi terbiasa ikut merasakan apa yang dialami oleh teman atau sahabatnya. 19) Nilai Toleransi, anak yang diajarkan oleh orangtua (orang dewasa) tentang nilai-nilai toleransi akan terbiasa berbagi dengan orang lain dan dapat menghargai orang lain. dengan kalimat pernyataan lain, anak mampu bersikap toleran terhadap situasi yang terjadi. Sedangkan, anak yang bersikap kaku (kurang fleksibel) mempunyai kecenderungan bersifat mengeksklusifkan diri dalam lingkungannya. 20) Nilai Kerendahan Hati, anak yang memiliki sifat rendah hati lebih mudah diterima dalam kelompoknya dan dihargai. Kelak, anak yang pembawaan dirinya senantiasa bersikap rendah hati akan sangat membantu dalam aktivitas kehidupan sosialnya. 21) Nilai Kegembiraan, semenjak anak berusia dini perlu ditanamkan agar dapat memandang hidup ini secara optimis dan mantap dengan penuh keterbukaan. Dengan begitu, akan membawa perubahan yang berarti ke arah kebaikan bagi anak. Upaya itu dapat dilakukan oleh orangtua kepada anaknya dengan menanamkan nilai-nilai kegembiraan semenjak anak masih berusia dini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
96 22) Nilai Motivasi, sangat penting dimiliki oleh anak semenjak masih berusia dini. Senakin kuat motivasi dalam diri anak, semakin kuat pula anak berupaya untuk mencapai tujuannya. 23) Nilai Ketekunan, ciri anak yang tekun antara lain anak tidak mudah berputus asa. Ketekunan yang dilatihkan pada anak semenjak berusia dini akan sangat berguna bagi anak di kemudian hari. 24) Nilai Kepercayaan, penting ditanamkan kepada anak semenjak anak berusia dini. Dalam hal ini, anak tidak hanya dibiasakan untuk mudah percaya, tetapi yang paling penting anak dapat menilai sesuatu untuk mendapatkan kepercayaan sehingga nantinya anak akan merasa yakin tentang kebenaran sesuatu. 25) Nilai Pengetahuan, semenjak anak berusia dini, perlu diberikan pengertian agar senantiasa belajar untuk meningkatkan wawasan pengetahuannya. Sebab, yang namanya pengetahuan itu terus berkembang dari waktu ke waktu. Anak perlu ditanamkan arti pentingnya nilai pengetahuan dalam kehidupan sehingga anak akan berupaya secara terus-menerus untuk bisa meraup pengetahuan sejalan dengan perkembangan zaman. 26) Nilai Kepekaan, s sesuatu mengenai diri dan lingkungannya, pada anak perlu ditanamkan nilai kepekaan semenjak berusia dini. Apabila kita cermati, nilai-nilai yang baik (budi pekerti) tersebut di atas terdapat kesesuaian dengan ajaran yang terdapat dalam Serat tripama. Nilainilai pendidikan karakter yang terdapat dalam Serat tripama antara lain: 1) Nilai Kedermawanan, ditunjukkan oleh Patih Suwanda yang berwatak arta rampasan perang. 2) Nilai Kemandirian, dalam Serat tripama ditunjukkan oleh Patih Suwanda yang dengan
kepandaiannya
sehingga
mampu di
dalam
segala
pekerjaannya untuk memenangkan peperang waktu membantu Negeri Manggada. 3) Nilai Kesabaran, ditunjukkan oleh Kumbakarno dalam Serat tripama. Ia dengan sabar memberi saran kepada kakaknya agar kakaknya (Dasamuka) selamat dalam peperangan. Namun Kumbakarno tidak marah walaupun kakaknya tidak mau mendengar sarannya dan iapun tetap rela membela kakaknya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
97 4) Nilai Kepatuhan, dalam Serat Tripama ditunjukkan oleh ketiga tokoh dalam Serat Tripama. Mereka patuh terhadap perintah rajanya atau pimpinannya. Mereka dengan gagah berani dan rela berkorban jiwa dan raga demi kehormatan negaranya. 5) Nilai Tanggung Jawab, ditunjukkan oleh ketiga tokoh dalam Serat Tripama. Mereka bertanggung jawab atas jabatan yang mereka pegang. Sebagai satria atau perwira negara, mereka bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan bangsa dan negaranya. Mereka dengan sekuat tenaga membela negaranya dan selalu mementingkan kepetingan negara di atas kepentingan pribadinya sendiri. 6) Nilai Keberanian, ditunjukkan oleh ketiga tokoh dalam Serat Tripama. Mereka dengan gagah dan berani membela kepentingan bangsa dan negaranya walaupun harus mengorbankan jiwa dan raganya. Mereka tidak takut dan gentar terhadap musuh, mereka mencurahkan seluruh kekuatannya untuk membela negaranya. 7) Nilai Keterbukaan, dalam Serat tripama ditunjukkan oleh Patih Suwanda. Ia memiliki sikap terbuka terhadap seluruh harta rampasan perang yang ia bawa untuk diserahkan kepada rajanya. Ia tidak menyembunyikan sebagain harta rampasan tersebut untuk kepentingan dirinya sendiri. 8) Nilai Kerendahan Hati, ditunjukkan oleh ketiga tokoh dalam Serat Tripama. Mereka rendah hati untuk selalu menunjukkan kesetiaan dan kehormatan kepada rajanya atau pimpinannya. Mereka selalu siap sedia melaksanakan perintah rajanya tanpa membantah. 9) Nilai Motivasi, ditunjukkan oleh ketiga tokoh dalam Serat Tripama. Mereka dengan semangat yang tinggi atau menunjukkan motivasi yang tinggi untuk berupaya dengan sekuat tenaga untuk membela negaranya dan bangsanya. Mereka pantang menyerah untuk membela negaranya dan bangsanya. 10) Nilai Ketekunan, ditujukkan oleh ketiga tokoh dalam Serat Tripama. Mereka dengan tekun dan tidak gampang menyerah dengan keadaan. Mereka berusaha terus menerus untuk membela negaranya, berusaha memenangkan peperangan walaupun akhirnya mereka harus gugur dalam perang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
98 11) Nilai Kepercayaan, ditunjukkan oleh ketiga tokoh dalam Serat Tripama. Mereka menjunjung kepercayaan yang telah diberikan kepada dirinya. Mereka tidak mau menyia-nyiakan kepercayaan yang telah diberikan oleh bangsa dan negaranya atas jabatan yang diberikan kepadanya. Mereka tetap membela negaranya apapaun resiko yang harus ditanggungnya. 12) Nilai Pengetahuan, ditunjukkan oleh Patih Suwanda dalam Serat Tripama. Ia memiliki karakter yang pandai dan banyak akalnya dalam melakukan tugas yang diberikan, sehingga dirinya tidak gampang putus asa dan selalu mencari solusi atau cara untuk menyelesaikan tugas dan pekerjaannya. 13) Nilai Kepekaan, ditunjukkan oleh ketiga tokoh dalam Serat Tripama. Mereka memiliki kepekaan yang tinggi atas posisi dirinya. Mereka menyadari bahwa keberadaan dirinya di dalam negara sangat penting dan mereka harus menunjukkan sikap ksatria Mereka tidak boleh tinggal diam atas permasalahan negaranya. Untuk itu, mereka memimpin peperangan demi untuk membela negaranya.
4.
Relevansi Serat Tripama karya
K.G.P.A.A. Mangkunagara IV dengan
Pembelajaran Apresiasi Sastra Jawa di Sekolah Mata pelajaran Bahasa Jawa menjadi media penyampaian nilai-nilai pendidikan budi pekerti kepada siswa, misalnya melalui pembelajaran tembangtembang macapat (Depdiknas Jateng, 2004,14-18). Salah satu tembang macapat adalah Serat Tripama. Sebuah karya sastra memberikan manfaat yang berupa keseriusan yang bersifat didaktis (Wellek dan Warren, 1989: 27). Keseriusan didaktis yang dimaksud adalah keseriusan yang bersifat pendidikan. Karya sastra Jawa yang mengandung unsur didaktis biasanya secara eksplisit dinyatakan sebagai sastra wulang, etika, moral. Setiap karya satra luhur mengandung nilai edukatif atau nilai pendidikan, yang bisa menuntun dan sebagai dasar bagi penikmat karya sastra tersebut. Sesungguhnya ada beberapa nilai yang ada di karya sastra, yaitu nilai estetika, nilai moral, nilai adat, nilai religi, nilai sejarah dan lain-lain. Nilai-nilai tersebut diperlukan sebagai pembangunan peradaban anak-anak atau generasi muda sebagai keselarasan hidup di masyarakat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
99 Nilai dalam sastra bisa menuntun karakter di hati anak-anak. Supaya dirinya bisa menjadi orang dan menjadi warga masyarakat mengarah pada keselamatan lahir batin (Amadi lan Ubiyati, 1991: 69). Nilai edukatif bisa ditemukan dalam karya sastra, termasuk cerita rakyat (foklor), yaitu pada kejadian, karakter tokoh, dan hubungan antar tokoh. Bab yang baik atau jelek bisa diketahui setelah
menikmati karya sastra tersebut. Nilai
edukatif tersebut bisa menambah khasanah batin para penikmanya. Kalau diteliti dengan jeli cerita rakyat (foklor) mengandung teladan, petunjuk bijaksana dan nilainilai yang arif bijaksana. Nilai-nilai dalam cerita rakyat yang umum bisa dijelaskan seperti di bawah ini. a. Nilai Edukatif dalam Serat Tripama 1) Nilai Pendidikan Moral Nilai pendidikan moral yaiku sebagai ajaran hal yang baik dan jelek, benar dan salah. Moralitas sebagai kesesuaian sikap, tindakan, dan norma hukum batiniah yang dipandang sebagai kewajiban. Moral berhubungan erat dengan tindakan, sikap, kewajiban, budi pekerti (Susena, 2002: 143). Nurgiyantoro (2000: 321) menjelaskan moral dalam cerita biasanya sebagai sarana yang ada hubungannya dengan ajaran tertentu yang sifatnya praktis. Karya sastra moral biasanya menggambarakan pandangan hidup penciptanya dan nilai-nilai kebaikan. Cerita-cerita yang mengandung nilai kebaikan, nilai baik harus dipahami dan dilaksanakan, atau nilai-nilai yang jelek juga harus dipahami namun dijauhi. Dalam Serat tripama tokoh yang dapat diteladani dalam hal moral adalah adalah Kumbakarna. Kumbakarna adalah tokoh yang memiliki jiwa nasionalisme tinggi. Hendaknya karakter seperti ini selalu tertanam dalam diri rakyat Indonesia, rasa nasionalisme dapat diwujudkan dengan selalu menjaga perdamainan, menjunjung tinggi idealisme bangsa seperti Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Sebab, akhir-akhir ini nasionalisme mulai kurang diperhatikan sehingga ini menjadi tanggung jawab besar bagi rakyat Indonesia. Wujud nyata nasionalisme juga dapat dilakukan dengan turut mendukung serta mencintai aset-aset bangsa termasuk kebudayaan tradisi yang memiliki filosofi luhur. Tokoh Kumbakarna memiliki pedoman bahwa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
100 nasionalisme dalam diri Kumbakarna untuk kita aplikasikan sebagai rakyat Indonesia, agar selalu berjuang secara sungguh-sungguh menjaga keutuhan serta melestarikan kebudayaan tradisi yang luhur. 2) Nilai Pendidikan Adat Nilai pendidikan adat (tradisi) sebagai kebiasaan yang ada di masyarakat yang memiliki nilai pendidikan bagi masyarakat, seperti tatacara atau aturan yang dianut dan dilaksanakan secara turun-tumurun, salah satunya adat yang saat ini dilakukan yaitu gotong royong. Tradisi ini diilhami atas keterbatasan manusia dalam kehidupan sehari-hari, sebagai anggota masyarakat, adat tradisi ini memiliki nilai-nilai pendidikan bagi masyarakat dan generasi muda sebagai pendidikan. Nilai-nilai pendidikan tersebut mengajarakan hal norma di masyarakat, contoh nilai-nilai dalam masyarakat Jawa, anak harus hormat kepada orang yang lebih tua, anak menurut perintah orang tuanya dan agama. Nilai sopan santun harus dijunjung dalam masyarakat Jawa supaya bisa menjadi orang yang rendah hati. Nilai pendidikan adat sebagai nilai-nilai yang harus didukung dalam adat tradisi wilayah tertentu. Nilai-nilai yang dilaksanakan secara turun-temurun dalam masyarakat tertentu. Contohnya anak dikenalkan
sekitarnya. Dalam Serat tripama, karakter yang terkait dengan nilai adat adalah tergambar pada tokoh Sumantri. Sumantri adalah tokoh yang memiliki karakter percaya diri, tanggung jawab, pemberani, jiwa kesatriya yang tinggi dan rela berkorban. Sumantri inilah yang hendaknya mampu ditiru oleh rakyat Indonesia dewasa ini. Berkaitan dengan karakter yang perlu dimiliki setiap rakyat Indonesia, maka rakyat Indonesia harus memiliki karakter percaya diri untuk dapat mengelola rumah tangganya sendiri, bertanggung jawab terhadap tugas dan pekerjaannya. Pemberani artinya rakyat Indonesia selalu berani seperti Sumantri dalam menghadapi segala rintangan maupun halagan yang dihadapinya, memiliki disiplin diri yang tinggi dan memiliki motivasi yang tinggi untuk maju. Setiap rakyat Indonesia juga harus memiliki karakter rela berkorban,
commit to user dengan empat pilar utama tadi rela berkorban ini tentunya dapat dihubungkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
101 yaitu pilar mengenai NKRI, setiap rakyat Indonesia harus rela berkorban untuk menjaga keutuhan NKRI entah itu dalam wujud apapun. Sumantri yang selalu menjujunjung tinggi kesetiaan terhadap Rajanya juga dapat kita contoh dengan selalu bertindak sesuai dengan aturan hokum, karena Indonesia adalah Negara hukum. 3) Nilai Pendidikan Agama (Religi) Agama sebagai fenomena yang rumit dan memiliki aspek individual dan sosial (Russell, 1993: 78-79). Nilai pendidikan agama sebagai nilai-nilai hubungan antara manusia dengan Tuhan sebagai individu atau sosial, nilainilai dalam pendidikan agama yaitu manusia harus melaksanakan taqwa kepada Tuhan yaitu melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Berhubungan erat dengan kepercayaan tertentu, Wisdirana (2004:60) menyatakan bahwa orang-orang dahulu khususnya orang pedesan memiliki sifat religius, ditandai dengan adanya upacara-upacara keagamaan, upacara tradisi leluhur yaitu slametan, bersih desa, sesaji roh halus, atau doa dari tokoh agama. Apabila dicermati agama-agama jaman dahulu bersifat individual dan sosial, buktinya zaman dahulu sampai sekarang masih ada orang yang percaya dengan roh-roh halus. Serat Tripama yang berkaitan dengan nilai religi seperti tergambar pada tokoh Basukarna. Tokoh Basukarna adalah tokoh yang memiliki jiwa kepahlawanan, kesetiaan, selalu mengingat jasa orang lain serta keteguhan hati yang tinggi. Karakter tersebut juga mampu dijadikan perspektif bagi rakyat Indonesia. Setiap rakyat Indonesia hendaknya memiliki jiwa kepahlawanan yang tinggi, hal ini dapat dilakukan dengan selalu menjaga persatuan dan kesatuan kemajemukan bangsa seperti yang terdapat dalam empat pillar
Indonesia hendaknya juga menempatkan karakter Basukarna yang setia membela negaranya ke dalam jiwanya, sehingga setiap tindakan yang dilakukan akan selalu berorientasi terhadap rasa cintanya terhadap negara untuk selalu menjaga, melestarikan dan mengembangkannya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
102 Selain itu, setiap rakyat Indonesia hendaknya juga harus selalu menghormati dan menghargai jasa para pahlawannya yang telah rela berkorban demi kemerdekaan Negara Indonesia. b. Relevansi Serat Tripama dan Kearifan Lokal Sikap keteladhanan tokoh Tripama merupakan bentuk kearifan lokal yang perlu dijunjung tinggi oleh para generasi muda, karena ketiga tokoh Tripama telah bersedia berkorban demi negaranya. Kearifan lokal berasal dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal (Sartini, 2006). Menurut Ridwan (2010) kearifan-kearifan lokal dalam masyarakat kita dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitabkitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal lebih menggambarkan satu fenomena spesifik yang biasanya akan menjadi ciri khas komunitas kelompok tersebut, misalnya alonalon asal klakon (masyarakat Jawa Tengah), rawerawe rantas malang-malang putung (masyarakat Jawa Timur), ikhlas kiaine manfaat ilmune, patuh gurune barokah uripe (masyarakat pesantren), dan sebagainya. Serat tripama merupakan salah satu kitab kuno yang di dalamnya mengandung banyak petuah. Walaupun cerita yang digambarkan dalam Tripama merupakan tokoh lokal yang terkait dengan budaya lokal (Wayang), namun nilai yang terkandung di dalamnya sangat universal, karena berkaitan dengan sikap nasionalisme. Kearifan lokal memiliki banyak fungsi, antara lain: (1) berfungsi untuk konservasi
dan
pelestarian
sumber
daya
alam;
(2)
berfungsi
untuk
pengembangan sumber daya manusia; (3) berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan; (4) berfungsi sebagai petuah, kepercayaan,
commit to misalnya user sastra dan pantangan; (5) bermakna sosial upacara integrasi komunal /
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
103 kerabat; (6) bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian; (7) bermakna etika dan moral; dan (8) bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan patron client (Sartini (2006). Berkaitan dengan fungsi kearifan lokal di atas, maka sikap budi luhur tokoh Tripama bisa berfungsi sebagai petuah, karena sikap budi luhur tersebut dapat diteladhani oleh para generasi muda. Selain sebagai petuah, keteladhanan ketiga tokoh Tripama juga memiliki makna etika dan moral yang luhur yang patut dijunjung tinggi oleh mayarakat, terutama para generasi muda Indonesia. Sutarno (2008: 7-10) berpendapat bahwa ada tiga macam model pembelajaran berbasis budaya, yaitu: (1) Model pembelajaran berbasis budaya melalui permainan tradisional dan lagu-lagu daerah; (2) Model pembelajaran berbasis budaya melalui cerita rakyat; (3) Model pembelajaran berbasis budaya melalui penggunaan alat-alat tradisional. Berdasarkan pendapat Sutarno, maka materi Tripama dapat digunakan sebagai model pembelajaran berbasis budaya melalui cerita rakyat. Terkait dengan pembelajaran nilai-nilai kearifan lokal, seperti halnya keteladhanan tokoh dalam Serat tripama, menurut Sutarno (2008: 7-6) ada empat macam pembelajaran berbasis budaya, yaitu: a. Belajar tentang budaya, yaitu menempatkan budaya sebagai bidang ilmu. Budaya dipelajari dalam program studi khusus, tentang budaya dan untuk budaya. Dalam hal ini, budaya tidak terintegrasi dengan bidang ilmu; b. Belajar dengan budaya, terjadi pada saat budaya diperkenalkan kepada siswa sebagai cara atau metode untuk mempelajari pokok bahasan tertentu. Belajar dengan budaya meliputi pemanfaatan beragam untuk perwujudan budaya. Dalam belajar dengan budaya, budaya dan perwujudannya menjadi media pembelajaran dalam proses belajar, menjadi konteks dari contoh-contoh tentang konsep atau prinsip dalam suatu mata pelajaran, serta menjadi konteks penerapan prinsip atau prosedur dalam suatu mata pelajaran; c. Belajar melalui budaya, merupakan strategi yang memberikan kesempatan siswa untuk menunjukkan pencapaian pemahaman atau makna yang diciptakannya dalam suatu mata pelajaran melalui ragam perwujudan budaya; d. Belajar berbudaya, merupakan bentuk mengejawantahkan budaya itu dalam perilaku nyata sehari-hari siswa. Misalnya, anak dibudayakan untuk selalu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
104 menggunakan bahasa krama inggil pada hari Sabtu melalui Program Sabtu Budaya. Berdasarkan keempat macam pembelajaran berbasis budaya di atas, maka keteladhanan tokoh dalam Serat tripama dapat dijadikan bentuk belajar berbudaya, yaitu sikap budi luhur ketiga tokoh Tripama diwujudkan ke dalam perilaku sehari-hari. c. Relevansi Serat Tripama dan Sikap Nasionalisme Teladhan yang ada dalam Serat tripama berkaitan dengan rasa nasionalme, karena ketiga tokoh yang digambarkan dalam Serat tripama menggambarkan sikap seseorang yang cinta terhadap negaranya. Nasionalisme pada mulanya terkait dengan rasa cinta sekelompok orang pada bangsa, bahasa dan daerah asal usul semula. Rasa cinta seperti itu dewasa ini disebut semangat patriotisme. Jadi pada mulanya nasionalisme dan patriotisme itu sama maknanya. Menurut Ensiklopedia Nasional Indonesia (2011:3), nasionalisme adalah paham kebangsaan yang tumbuh karena adanya persamaan nasib dan sejarah serta kepentingan untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, demokratis dan maju dalam satu kesatuan bangsa dan negara serta cita-cita bersama guna mencapai, memelihara dan mengabdi identitas, persatuan, kemakmuran, dan kekuatan atau kekuasaan negara bangsa yang bersangkutan. Suatu kepribadian turut membentuk identitas seorang individu atau suatu komunitas, oleh karena itu kepribadian berakar pada sejarah pertumbuhannya. Di sini, kesadaran sejarah amat esensial bagi pembentukan kepribadian. Analog dengan sosiogenesis individu, kepribadian bangsa juga secara inhern memuat kesadaran sejarah itu. Implikasi hal tersebut di atas bagi national building ialah tak lain bahwa sejarah dan pendidikan memiliki hubungan yang erat dalam proses pembentukan kesadaran sejarah. Dalam rangka
nation building
pembentukan solidaritas, inspirasi dan aspirasi mengambil peranan yang penting, di satu pihak untuk system-maintenance negara nasion, dan dipihak lain memperkuat orientasi atau tujuan negara tersebut. Tanpa kesdaran sejarah, kedua fungsi tersebut sulit kiranya untuk dipacu, dengan perkataan lain semangat nasionalisme tidak dapat ditumbuhkan tanpa kesadaran sejarah (Kartodirdjo, 1993: 53).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
105 Untuk itu, rasa nasionalime akan tumbuh dalam jiwa seseorang apabila mereka memiliki kesadaran yang tinggi atas sejarah bangsa dan negaranya. Ada
menghargai para pahlawannya, berarti ia memiliki kesadaran sejarah yang tinggi. Hal ini juga mengindikasikan bahwa dirinya akan memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Kesadaran sejarah ini juga di dalamnya mengandung arti bahwa seseorang bersedia menghargai karya adiluhung para pendahulunya, seperti halnya Serat tripama, karena Tripama merupakan karya pendahulu kita yaitu KGPA Mangkoenegoro IV dari Surakarta, yang di dalamnya banyak mengandung sikap luhur yang patut diteladhani oleh generasi sekarang ini. Menurut Musa (2010:11) nasionalisme mengandung prinsip dan nilai-nilai pendidikan sebagai berikut: 1) Persatuan Cinta tanah air berimplikasi pada setiap orang berkewajiban menjaga dan memelihara semua yang ada di atas tanah airnya, sehingga muncul kesadaran akan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa. Persatuan inilah yang menurut Bung Hatta sebagai prinsip nasionalisme yang pertama. Kemudian prinsip ini pula yang memotivasi bangsa Indonesia untuk bersatu padu dan berlomba-lomba memajukan Indonesia melalui nilai-nilai pendidikan. 2) Pembebasan Nasionalisme merupakan kemerdekaan perseorangan dari kekuasaan atau pembebasan manusia dari penindasan perbudakan. Nasionalisme dalam konteks inilah yang membangun segenap keadaan realita manusia tertindas menuju manusia yang utuh. Ketertindasan yang berawal dari rendahnya daya pikir dan wawasan yang bermuara pada rendahnya kualitas pendidikan, sehingga mudah dipecundangi oleh bangsa asing. 3) Patriotisme Patriotisme adalah semangat cinta tanah air, sikap seseorang yang bersedia mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah airnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
106 Dari ketiga prinsip di atas, khususnya yang terkait dengan sikap tokoh dalam Serat tripama adalah prinsip patriotisme. Ketiga tokoh dalam serat tripama telah memberikan contoh kepada kita tetang patriotism tersebut. Ketiga tokoh Tripama rela berkorban untuk kejayaan negaranya, sebagai wujud dari semangat cinta kepada tanah airnya. Lebih lajut Musa (2010: 21) menjelaskan bahwa ada beberapa ciri khas nasionalisme Indonesia yaitu: (a) Bhineka Tunggal Ika, tidak uniform, monolit dan totaliter, mengakui keragaman; (b) Etis dalam memahami etika pancasila; (c) Universalistik dalam arti pengakuannya terhadap harkat martabat manusia yang universal dan mendunia; (d) Terbuka dalam arti secara kultural dan religius Indonesia terbentuk dari pertemuan dari bermacam budaya dan agama; (e) Percaya diri dalam arti menjalin komunikasi dengan tetangga dan warga masyarakat dunia. d. Keterkaitan Pembelajaran Apresiasi Sastra Jawa Serat Tripama dan Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah Nilai-nilai luhur (budi pekerti) yang terkandung dalam Serat Tripama dapat digunakan sebagai pendidikan budi pekerti di sekolah, karena pada dasarnya setiap mata pelajaran di sekolah memiliki keterakaitan dengan pendidikan budi pekerti. Keterkaitan antara mata pelajaran dengan aspek budi pekerti yang dapat dikembangkan dapat dicontohkan seperti pada tabel di bawah ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
107 Tabel 2 Distribusi Budi Pekerti dalam Mata Pelajaran di Sekolah No 1.
Mata Pelajaran Pendidikan Agama
Nilai Utama Religius, jujur, santun, disiplin, bertanggung jawab, cinta ilmu, ingin tahu, percaya diri, menghargai keberagaman, patuh pada aturan social, bergaya hidup sehat, sadar akan hak dan kewajiban, kerja keras, peduli 2. PKn Nasionalis, patuh pada aturan sosial, demokratis, jujur, menghargai keragaman, sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain 3. Bahasa Indonesia Berfikir logis, kritis, kreatif dan inovatif, percaya diri, bertanggung jawab, ingin tahu, santun, nasionalis 4. IPS Nasionalis, menghargai keberagaman, berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, peduli social dan lingkungan, berjiwa wirausaha, jujur, kerja keras 5. IPA Ingin tahu, berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, jujur, bergaya hidup sehat, percaya diri, menghargai keberagaman, disiplin, mandiri, bertanggung jawab, peduli lingkungan, cinta ilmu 6. Bahasa Inggris Menghargai keberagaman, santun, percaya diri, mandiri, berkerjasama, patuh pada aturan sosial 7. Seni Budaya Menghargai keberagaman, nasionalis, dan menghargai karya orang lain, ingin tahu, jujur disiplin, demokratis 8. Penjasorkes Bergaya hidup sehat, kerja keras, disiplin, jujur, percaya diri, mandiri, menghargai karya dan prestasi orang lain 9. TIK/Keterampilan Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, mandiri, bertanggung jawab, dan menghargai karya orang lain 10. Muatan Lokal Menghargai keberagaman, menghargai karya orang lain, nasionalis, peduli (Wibowo, 2013: 18). Pengembangan pembelajaran apresiasi sastra Jawa terutama karya sastra yang mengandung ajaran budi pekerti seperti Serat Tripama dapat dilakukan melalui berbagai sikap dan perilaku baik pada tingkat sekolah dan tingkat kelas dapat dilihat pada tabel 3 terlampir. Hasil penelitian ini melengkapi penelitian Sebesta & Stewig dalam Andayani (2007) Literature
Literature Across the Curriculum-Using
in
Elementary
Classroom
pengintegrasian
karya-karya
sastra
dalam
yang
menyimpulkan
pembelajaran
bahasa
bahwa dapat
commit to pada userumur 7-10 tahun dan 178% pada meningkatkan minat anak membaca 185%
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
108 anak umur 11-12 tahun. Dari hasil temuan tersebut dapat diketahui bahwa pengkajian karya sastra dapat dilakukan sejak siswa menduduki sekolah dasar, bahkan akan dapat menghasilkan peningkatan minat baca siswa. Persamaannya dengan penelitian Sebesta & Stewig adalah sama-sama meneliti karya sastra. Perbedaannya, penelitian sekarang meneliti tentang nilai edukatif Serat Tripama dan relevansinya dengan pembelajaran apresiasi sastra Jawa, sedangkan penelitian Sebesta & Stewig berkaitan dengan pembelajaran karya sastra di sekolah. Peneltiian ini melengkapi penelitian Koch and Feingold (2006) pada Engineering a Poem: An Action Research Study menyimpulkan bahwa perencanaan pembelajaran puisi yang baik dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk: (1) Memahami bahwa puisi yang digunakan untuk mengekspresikan emosi dan perasaan, dan memberitahu cerita; (2) Memahami bahwa puisi dapat mengambil berbagai bentuk; (3) Menulis puisi deskriptif yang menciptakan deskriptif gambar untuk khalayak; (4) Memahami bahwa metafora adalah perangkat sastra yang menciptakan hubungan dengan membuat perbandingan antara dua yang berbeda ide-ide; (5) Memahami bahwa satu persamaan perangkat sastra yang perbandingan antara dua ide-ide yang berbeda atau menggunakan konsep kata "seperti" atau "sebagai"; (6) Memahami bahwa proses desain adalah proses yang berulang yang bisa berfungsi sebagai sebuah metafora untuk puisi karena siswa membuat dan memperbaiki konsep dan konstruksi dengan menguji puisi dan produk desain seperti sedang mereka buat. Persamaan penelitian Koch and Feingold dan penelitian sekarang adalah sama-sama meneliti karya sastra terutama puisi. Perbedaannya, penelitian sekarang meneliti tentang nilai edukatif Serat Tripama dan relevansinya dengan pembelajaran apresiasi sastra Jawa, sedangkan penelitian Koch and Feingold berkaitan dengan pembelajaran karya sastra di sekolah. Hasil penelitian ini melengkapi peneltiian Barroqueiro & Sprouse (2012)
images send meaningful messages to children
pulkan bahwa anak-anak
yang diberi pembelajaran sastra multikultural dapat membuat mereka dapat menjelajahi warisan dan nilai-nilai dari berbagai kehidupan masyarakat, sehingga dapat mengembangkan karakter dan kepekaan mereka terhadap realitas kehidupan.
commitBarroqueiro to user & Sprouse dan penelitian Persamaan penelitian
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
109 sekarang adalah sama-sama meneliti karya sastra. Perbedaannya, penelitian sekarang meneliti tentang nilai edukatif Serat Tripama dan relevansinya dengan pembelajaran apresiasi sastra Jawa, sedangkan penelitian Barroqueiro & Sprouse berkaitan dengan pembelajaran karya sastra di sekolah. Hasil penelitian ini melengkapi penelitian Inderawati (2012) yang The Development of Literary Appreciation Instrument in Building pulkan bahwa membaca karya sastra tidak hanya berfungsi di menghibur, tapi juga memberikan nilai-nilai moral untuk mempengaruhi siswa perilaku dan memperkuat pembentukan karakter dan kepribadian. Instrumen yang efektif untuk membangun karakter siswa dengan membaca dan menanggapi karya sastra dalam program pengembangan kepribadian, berkembang secara signifikan untuk meningkatkan apresiasi sastra siswa yang mencapai kategori sangat baik sebanyak 95.3% dari siswa dapat mengidentifikasi nilai-nilai dalam instrumen apresiasi ketika mereka menjawab pertanyaan yang berkenaan dengan membaca cerita, dan persepsi terhadap pentingnya menghargai sastra bekerja untuk membangun mereka karakter positif dirasakan (97%). Persamaan penelitian Inderawati dan penelitian sekarang adalah sama-sama meneliti karya sastra. Perbedaannya, penelitian sekarang meneliti tentang nilai edukatif Serat Tripama dan relevansinya dengan pembelajaran apresiasi sastra Jawa, sedangkan penelitian Inderawati berkaitan dengan pembelajaran karya sastra dan pembentukan karakter anak. Penelitian ini melengkapi penelitian Hwang and Embi (2007) yang ber
Approaches Employed By Secondary School Teachers To Teaching
The Literature Component In English
kaedah pengajaran
paraphrastic merupakan kaedah popular yang digunakan oleh guru, kemudian diikuti oleh kaedah pengajaran information-based dan moral-philosophical. Kajian ini menunjukkan bahwa kaedah pengajaran kebanyakan dipengaruhi tahap penguasaan bahasa oleh murid, sikap, budaya, bahan bacaan dan ukuran kelas. Implikasi kajian ini menunjukkan bahwa pokok pengajaran sastra adalah untuk menggalakkan respons dan penghayatan murid terhadap sastra mungkin tidak tercapai jika isu-isu tersebut tidak ditangani dengan sewajarnya. Persamaan penelitian Hwang and Embi dan penelitian sekarang adalah sama-sama meneliti karya sastra. Perbedaannya, penelitian sekarang meneliti tentang nilai edukatif
commit to user Serat Tripama dan relevansinya dengan pembelajaran apresiasi sastra Jawa,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
110 sedangkan penelitian Hwang and Embi berkaitan dengan pembelajaran karya sastra pada pembelajaran bahasa Inggris. Penelitian ini melengkapi peneltian Ajaran
yang pernah diterbitkan di Pura Pustaka Yogyakarta
menyimpulkan bahwa dalam Serat Wedha Tama terdapat piwulang dan piweling luhur yang berisi tentang konsep Ketuhanan, kemasyarakatan, dan kemanusiaan. Konsep
Ketuhanan
dirumuskan
dengan
istilah
agama
ageming
aji.
Pelaksanaannya melalui empat tahap yaitu sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa. Konsep kemasyarakatan diungkapkan dengan istilah memangun karyenak tyasing sasana. Sedangkan nilai kemanusiaan bertujuan untuk mencapai derajat jalma pinandhita yang berbudi luhur. Hampir semua budayawan dan seniman Jawa pernah mengutip syair
syair Serat Wedha Tama.
Tidak mengherankan bila ajaran yang dikandung dalam susastra agung karya Sri Mangkunagara IV menyebar ke berbagai pelosok sebagai bahan refleksi dan pedoman hidup. Persamaan penelitian Jatmiko dan penelitian sekarang adalah sama-sama meneliti karya sastra Sri Mangkunagara IV yang banyak mengandung ajaran luhur. Perbedaannya, penelitian sekarang meneliti tentang nilai edukatif Serat Tripama dan relevansinya dengan pembelajaran apresiasi sastra Jawa, sedangkan penelitian Jatmiko berkaitan dengan Wedha Tama dan tidak dikaitkan dengan pembelajaran apresiasi sastra Jawa. Hasil penelitian ini melengkapi penelitian Supanta (2008) dengan judul Serat Wedha Tama Karya K.G.P.A.A. Mangkunagara IV Serta Sumbangannya menyimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Serat Wedha Tama karya K.G.P.A.A. Mangkunagara IV sebanyak 10 macam. Pada pirinsipnya bernilai baik dan menarik. Ada satu nilai pendidikan yang anti budaya asing, berarti nilai pendidikan kepribadian yang sulit ditemukan pada Serat atau naskah lain. Nilai itu bergabung dengan nilai profesionalisme. 10 macam nilai itu adalah : (1) nilai kehidupan, (2) nilai kebersamaan, (3) nilai profesionalisme dan kepribadian, (4) nilai kejiwaan, (5) nilai keindahan, (6) nilai kebijaksanaan, (7) nilai kesucian, (8) nilai agama, (9) nilai pendidikan budi pekerti, dan (10) nilai Ketuhanan. Persamaan penelitian Supanta dan penelitian sekarang adalah sama-sama meneliti karya sastra Sri Mangkunagara IV yang banyak mengandung ajaran
to meneliti user luhur. Perbedaannya, penelitiancommit sekarang tentang nilai edukatif Serat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
111 Tripama dan relevansinya dengan pembelajaran apresiasi sastra Jawa, sedangkan penelitian Supanta berkaitan dengan Wedha Tama dan tidak dikaitkan dengan pembelajaran apresiasi sastra Jawa. Hasil penelitian ini juga melengkapi penelitian Setyaningsih (2010)
pembelajaran puisi dilaksanakan secara terpadu dengan pembelajaran berbahasa. Hal ini tidak dapat dihindari karena bahasa merupakan media yang digunakan dalam menciptakan puisi dan hal ini sesuai dengan salah satu fungsi pembelajaran sastra yakni, bahwa pembelajaran sastra dapat meningkatkan kemampuan berbahasa. Hambatan dalam pembelajaran puisi adalah kurangnya waktu yang tersedia, terbatasnya sarana dan prasarana sepertti buku buku puisi, DVD atau tape recorder. Persamaan penelitian Setyaningsih dan penelitian sekarang adalah sama-sama meneliti tentang apresiasi karya sastra. Perbedaannya, penelitian sekarang meneliti tentang nilai edukatif Serat Tripama dan relevansinya dengan pembelajaran apresiasi sastra Jawa, sedangkan penelitian Setyaningsih tentang pembelajaran puisi secara umum. Dibandingkan dengan penelitian terdahulu, maka penelitian sekarang ini memiliki konstribusi yaitu: (1) hasil penelitian ini melengkapi penelitian Sebesta & Stewig, penelitian Koch and Feingold, penelitian Barroqueiro & Sprouse berkaitan dengan pembelajaran karya sastra di sekolah; (2) hasil penelitian ini melengkapi penelitian Inderawati berkaitan dengan pembelajaran karya sastra dan pembentukan karakter anak; (3) hasil penelitian ini melengkapi penelitian Hwang and Embi berkaitan dengan pembelajaran karya sastra pada pembelajaran bahasa Inggris; (4) hasil penelitian ini melengkapi penelitian Jatmiko dan Supanta yang berkaitan dengan Wedha Tama; (5) hasil penelitian melengkapi penelitian Setyaningsih tentang pembelajaran puisi secara umum.
5. Strategi Pembelajaran Nilai-nilai Pendidikan Karakter Serat Tripama Karya K.G.P.A.A. Mangkunagara IV di Sekolah Menurut karya sastra dengan karya-karya (tulis) lain yang bukan sastra, yaitu sifat khayali (fictionality), adanya nilai-nilai seni (esthetic values), dan adanya cara penggunaan
commit to user bahasa yang khas (special use of language
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
112 Sifat khayali karya sastra merupakan akibat dari kenyataan bahwa sastra dicipta dengan daya khayal. Walaupun sastra hendak berbicara tentang kenyataan dan masalah kehidupan yang nyata, karya sastra terlebih dahulu menciptakan dunia khayali sebagai latar belakang tempat kenyataan-kenyataan dan masalah-masalah itu dapat direnungkan dan dihayati oleh oleh pembaca. Melalui dunia khayal itu pembaca dapat menghayati kenyataan-kenyataan dan masalah-masalah di dalam bentuk kongkretnya, dan yang tersentuh oleh masalah-masalah itu bukan hanya pikirannya saja, akan tetapi juga perasaan dan khayalannya. Dengan demikian pembaca dapat menjawab (merespon) kenyataan atau masalah dengan seluruh kepribadainnya. Respon seperti itu berbeda dengan yang diberikan pembaca kepada karya-karya yang bukan sastra seperti karya ilmiah atau filsafat. Adanya nilai-nilai seni (estetik) bukan saja merupakan persyaratan yang membedakan karya sastra dari yang bukan sastra. Melalui nilai-nilai seni (estetis) itu sastrawan dapat mengungkapkan isi hatinya dengan sejelas-jelasnya, sedalam-dalamnya, sejelasjelasnya. Nilai-nilai seni itu adalah keutuhan (unity) atau kesatuan dalam keragaman (unity in variety), keseimbangan (balance), keselarasan (harmony), dan tekanan yang tepat (righ emphasis). Pembelajaran sastra tidak dapat dipisahkan dengan pembelajaran bahasa. Namun, pembelajaran sastra tidaklah dapat disamakan dengan pembelajaran bahasa. Perbedaan hakiki keduanya terletak pada tujuan akhirnya. Menurut (Oemarjati, 1992)
gajaran sastra pada dasarnya mengemban misi efektif, yaitu
memperkaya pengalaman siswa dan menjadikannya (lebih ) tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya. Tujuan akhirnya adalah menanam, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormatnya terhadap tata nilian
baik dalam konteks
individual, maupun sos Jika disimak ketiga pendapat di atas, dapat diungkapkan bahwa pembelajaran sastra sangatlah diperlukan. Hal itu bukan saja ada hubungan dengan konsep atau pengertian sastra, tetapi juga ada kaitan dengan tujuan akhir dari pembelajaran sastra. Dewasa ini sama-sama dirasakan, kepekaan manusia terhadap peristiwa-peristiwa di sekitar semakin tipis, kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi semakin berkurang. Apakah ada celah alternatif melalui pembelajaran sastra untuk mengobatai kekurangpekaan itu?
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
113 Inilah barangkali yang perlu menjadi bahan renungan sebagai dasar untuk mempersiapkan pembelajaran sastra di kelas. Pembelajaran sastra adalah
mengakrabi karya sastra secara sungguh-sungguh. Di dalam mengakrabi tersebut terjadi proses pengenalan, pemahaman, penghayatan, penikmatan, dan setelah itu n terhadap karya sastra dapat dilakukan melalui membaca, mendengar, dan menonton. Hal itu tentu dilakukan secara bersungguh-sungguh. Kesungguhan dalam kegiatan tersebut akan bermuara kepada pengenalan secar bertahap dan akhirnta sampai ke tingkat pemahaman. Pemahaman terhadap karya sastra yang dibaca, didengar, atau ditonton akan mengantarkan peserta didik ke tingkat penghayatan. Indikator yang dapat dilihat setelah menghayati karya sastra adalah jika bacaan, dengaran, atau tontonan sedi ia akan ikut sedih, jika gembira ia ikut gembira, begitu seterusnya. Hal itu terjadi seolah-olah ia melihat, mendengar, dan merasakan dari yang dibacanya. Ia benarbenar terlibat dengan karya sastra yang digeluti atau diakrabinya. Setelah menghayati karya sastra, peserta didik akan masuk ke wilayah penikmatan. Pada fase ini ia telah mampu merasakan secara mendalam berbagai keindahan yang didapatkannya di dalam karya sastra. Perasaan itu akan membantunya menemukan nilai-nilai tentang manusia dan kemanusiaan, tentang hidup dan kehidupan yang
mengalami pengalaman pengarang yang tertuang di dalam karyanya dapat
timbul karena: (1) merasa berhasil dalam menerima pengalaman orang lain; (2) bertambah pengalaman sehingga dapat menghadapi kehidupan lebih baik; (3)
dalam pembelajaran sastra adalan penerapan. Penerapan merupakan ujung dari penikmatan. Oleh karena peserta didik merasakan kenikmatan pengalaman pengarang melalui karyanya, ia mencoba menerapkan nilia-nilai yang ia hayati dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan itu akan menimbulkan perubahan perilaku.
Hal yang dikmukakan di atas ternyata sangat relevan dengan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia yang tertuang pada standar isi (Permendiknas
commit user berikut: (5) menikmati dan Nomor 22/2006) nomor lima dan enamtosebagai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
114 memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa (6) Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik memiliki kemapuan yaitu: (1) Berkomunikasi secara efektif dan efesien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis; (2) Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa Negara; (3) Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan; (4) Menggunakan bahasa Indonesia unutk meningkatkan keampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial; (5) Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; (6) Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Dari keenam tujuan itu, tujuan nomor lima dan nomor enam langsung
nghargai
Keempat kata kerja itu merupakan kata kunci untuk mencapai mata pelajaran sastra Indonesia di sekolah. Melalui pembelajaran sastra, peserta didik dapat menikmati, memanfaatkan, menghargai, dan membanggakan karya sastra. Dengan demikian, semua aktifitas pembelajaran sastra hendaklah mendukung pencapaian tujuan itu. Dukungan itu akan dapat diawali dengan membaca dan memahami standar isi (standar kompetensi dan kompetensi dasar) sastra. Menurut Suprastowo (1999) budi pekerti merupakan bagian terpadu dari kepribadian (personality) dan cenderung mengacu pada kualitas dalam diri individu. Budi pekerti luhur merupakan aspek sosialisasi dari kepribadian. Ciri watak, akhlak,dan atau perangai berisi seperangkat nilai-nilai tentang hal-hal yang baik, yang terpuji, yang positif, yang sesuai dan pantas, yang susila, yang beradab. Dari seperangkat nilai tersebut yang paling penting dalam pendidikan budi pekerti ada dua hal yakni, hormat (respect), dan tanggung jawab (responsibility) (Oemarjati, 1992).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
115 Hormat dalam hal ini terbagi dalam dua sub aspek, yakni hormat kepada yang lebih tua, dan hormat pada teman sebayanya. Tanggungjawab juga dibagi dalam dua sub aspek, yakni tanggung jawab pada diri sendiri, yakni mengerjakan tugas-tugasnya tepat waktu, menjaga milik pribadinya sendiri, menjaga kerapian dan kebersihan dirinya sendiri dan tanggung jawab pada lingkungan yakni mematuhi peraturan sekolah dengan datang tepat waktu, menjaga kebersihan dan kerapian kelas setelah belajar. Rasa hormat terhadap yang lebih tua antara lain, memberi salam bila berpapasan dengan guru atau warga sekolah yang lebih tua, mendengarkan bila guru mengajar dengan tidak bermain-main, dan berkata-kata dengan bahasa yang sopan. Dalam lingkup pendidikan budi pekerti Ki Hadjar Dewantara memilki metode pengajaran dan pendidikan tersendiri yang terdiri atas tiga macam metode yang didasrkan pada urutan pengambilan keputusan berbuat, yang artinya ketika kita bertindak haruslah melihat dan mencermati urutan-urutan yang benar sehingga tidak terdapat penyesalan di kemudian hari. Metode tersebut antara lain adalah: ngerti (mengerti), ngrasa (merasakan)dan ngelakoni (melaksanakan). Dari tiga macam metode pengajaran budi pekerti yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara dapat dijelaskan sebagai berikut (Tauchid, 1963: 57): a. Metode Ngerti Metode Ngerti dalam pendidikan budi pekerti yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara, mempunyai maksud memberikan pengertian yang sebanyakbanyaknya kepada anak. Didalam pendidikan budi pekerti anak diberikan pengertian tentang baik dan buruk. Berkaitan dengan budi pekerti ini seorang pamong (guru) ataupun orang tua harus berusaha menanamkan pengetahuan tentang tingkah-laku yang baik, sopan-santun dan tata krama yang baik kepada peserta didiknya. Dengan harapan peserta didik akan mengetahui tentang nilainilai kebaikan dan dapat memahami apa yang dimaksud dengan tingkah- laku yang buruk yang dapat merugikan mereka dan membawa penyesalan pada akhirnya. Selain itu pamong juga memiliki tugas untuk mengajarkan tentang hakikat hidup bermasyarakat, berbangsa dsan bernegara serta beragama. Dengan tujuan akhir peserta didik dirahkan untuk mampu menjadi manusia yang merdeka dan memahami pengetahuan tentang perilaku baik dan buruk serta memliki budi pekerti (akhlak) yang luhur (mulia).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
116 b. Metode Ngrasa Metode yang kedua adalah metode Ngrasa yang merupakan kelanjutan dari metode Ngerti, metode pendidikan budi pekerti merupakan metode yang bertahap yang merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.yang dimaksud dengan metode Ngrasa adalah berusaha semaksimal mungkin memahami dan merasakan tentang pengetahuan yang diperolehnya. Dalam hal ini peserta didik akan dididik untuk dapt memperhitungkan dan membedakan antara yang benar dan yang salah. c. Metode Nglakoni Metode Nglakoni merupakan tahapan terakhir dalam metode pengajaran budi pekerti yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara, yang dimaksud dengan metode Ngelakoni adalah mengerjakan setiap tindakan, tanggung jawab telah dipikirkan akibatnya berdasarkan pengetahuan yang telah didapatnya. Jika tindakan telah dirasakan mempunyai tanggungg jawab, tidak mengganggu hak orang lain, tidak menyakiti orang lain maka dia harus melakukan tindakan tersebut. Di lingkungan pendidikan, ruang lingkup pendidikan budi pekerti menjadi tiga komponen (Puskur, 1997), berikut ini. a. Keberagamaan, terdiri dari nilai-nilai: kekhusukan hubungan dengan Tuhan, kepatuhan kepada agama, niat baik dan keikhlasan, perbuatan baik, serta pembalasan atas perbuatan baik dan buruk. b. Kemandirian, terdiri dari nilai-nilai: harga diri, disiplin, etos kerja (kemauan untuk berubah, hasrat mengejar kemajuan, cinta ilmu, teknologi dan seni), rasa tanggung jawab, keberanian dan semangat, keterbukaan, pengendalian diri. c. Kesusilaan, terdiri dari nilai-nilai: cinta dan kasih sayang, kebersamaan, kesetiakawanan, tolong menolong, tenggang rasa, hormat-menghormati, kepatuhan, rasa malu, kejujuran, rasa tahu diri (pernyataan maaf, terimakasih). Pendidikan karakter secara garis besar terdiri dari empat pilar, yaitu: UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, Pancasila dan NKRI. Keempat pilar tersebut pada hakikatnya adalah sebuah pedoman atau idealisme yang seharusnya memang menjadi sebuah impian yang sangat perlu dilakukan tindakan secara nyata. Pendidikan karakter yang terdiri dari empat pilar utama tersebut berdasarkan asumsi bahwa seorang generasi muda perlu mencontoh dan menjadikan karakter-
commit to userpendidikan karakter. karakter tokoh Tripama sebagai sebuah perspektif
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
117 a. Keberagamaan Komponen budi pekerja yang pertama berkaitan dengan keberagamaan. Keberagamaan terdiri dari nilai-nilai: kekhusukan hubungan dengan Tuhan, kepatuhan kepada agama, niat baik dan keikhlasan, perbuatan baik, serta pembalasan atas perbuatan baik dan buruk. Serat
tripama
yang
berkaitan
dengan
komponen
budi
pekerti
keberagamaan khususnya aspek: niat baik dan keikhlasan, perbuatan baik, serta pembalasan atas perbuatan baik dan buruk adalah tokoh Basukarna. Tokoh Basukarna adalah tokoh yang memiliki jiwa kepahlawanan, kesetiaan, selalu mengingat jasa orang lain serta keteguhan hati yang tinggi. Karakter ini, juga mampu dijadikan perspektif bagi generasi muda khususnya para pelajar. Seorang generasi muda hendaknya memiliki jiwa kepahlawanan yang tinggi, hal ini dapat dilakukan dengan selalu menjaga persatuan dan kesatuan kemajemukan bangsa seperti yang terdapat dalam empat pillar utama pada
hendaknya juga menempatkan karakter Basukarna yang setia membela negaranya ke dalam jiwanya, sehingga setiap tindakan yang dilakukan akan selalu berorientasi terhadap rasa cintanya terhadap negara untuk selalu menjaga, melestarikan dan mengembangkannya. Selain itu, setiap pelajar hendaknya juga harus selalu menghormati dan menghargai jasa para gurunya yang telah mendidik dan membekali ilmu demi meraih masa depannya. b. Kemandirian Komponen budi pekerti yang kedua adalah kemandirian. Kemandirian ini terdiri dari nilai-nilai: harga diri, disiplin, etos kerja (kemauan untuk berubah, hasrat mengejar kemajuan, cinta ilmu, teknologi dan seni), rasa tanggung jawab, keberanian dan semangat, keterbukaan, pengendalian diri. Dalam Serat Tripama, karakter kemandirian tersebut tergambar pada tokoh Sumantri. Sumantri adalah tokoh yang memiliki karakter percaya diri, tanggung jawab, pemberani, jiwa kesatriya yang tinggi dan rela berkorban. Karakter tokoh Sumantri inilah yang hendaknya mampu ditiru oleh generasi muda
to user karakter hendaknya seorang (pelajar) dewasa ini. Berkaitan commit dengan pendidikan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
118 generasi muda harus memiliki karakter tanggung jawab, artinya tanggung jawab terhadap tugasnya sebagai pelajar yang memiliki tugas pokoknya adalah belajar atau menuntut ilmu, sehingga seorang pelajar harus menjalankan kewajibannya sebagai pelajar dengan benar. Pemberani artinya generasi muda harus selalu berani seperti Sumantri dalam menghadapi segala rintangan maupun halagan yang dihadapinya, memiliki disiplin diri yang tinggi dan memiliki motivasi belajar yang tinggi,, sehingga ia
benar-benar mampu mengerjakan tugas
kewajibannya sebagai seorang pelajar yang berhasil. Seorang generasi muda juga harus memiliki karakter rela berkorban, rela berkorban ini tentunya dapat dihubungkan dengan empat pilar utama tadi yaitu pilar mengenai NKRI, seorang generasi muda harus rela berkorban untuk menjaga keutuhan NKRI entah itu dalam wujud apapun. Sumantri yang selalu menjujunjung tinggi kesetiaan terhadap Rajanya juga dapat kita contoh dengan selalu bertindak sesuai dengan aturan-aturan yang ada di sekolah. c. Kesusilaaan Komponen ketiga nilai budi pekerti adalah kesusilaan. Kesusilaan ini terdiri dari nilai-nilai: cinta dan kasih sayang, kebersamaan, kesetiakawanan, tolong menolong, tenggang rasa, hormat-menghormati, kepatuhan, rasa malu, kejujuran, rasa tahu diri (pernyataan maaf, terimakasih). Dalam Serat Tripama tokoh yang dapat diteladani adalah Kumbakarna. Kumbakarna adalah tokoh yang memiliki jiwa nasionalisme tinggi. Hendaknya karakter seperti ini selalu tertanam dalam diri generasi muda, rasa nasionalisme dapat diwujudkan dengan selalu menjaga perdamainan, menjunjung tinggi idealisme bangsa seperti Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Sebab, akhir-akhir ini nasionalisme mulai kurang diperhatikan sehingga ini menjadi tanggung jawab besar bagi generasi muda. Wujud nyata nasionalisme juga dapat dilakukan dengan turut mendukung serta mencintai aset-aset bangsa termasuk kebudayaan tradisi yang
pernyataan ini tentunya kita mampu mengambil nilai nasionalisme dalam diri Kumbakarna untuk kita aplikasikan sebagai generasi muda khususnya generasi muda agar selalu berjuang secara sungguh-sungguh menjaga keutuhan serta
commit melestarikan kebudayaan tradisi yang luhur.to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
119 Pengetahuan kemampuan dasar dalam bidang kesustraan para guru sangat terbatas. Materi kesastraan yang mereka peroleh selama mengikuti pendidikan formal di LPTK yang sangat terbatas. Materi kesastraan yang mereka peroleh selama mengikuti pendidikan formal di perguruan tinggi (PT) sangat terbatas. Materi pembelajaran kesastraan yang mereka peroleh lebih bersifat teoritis, sedangkan yang mereka butuhkan di lapangan lebih bersifat praktis. (Alfansyah dalam Wahyudi, 2007:25). Selain itu buku dan bacaan penunjang pembelajaran sastra di sekolah, khususnya di SLTP dan SMU juga terbatas, lain halnya dengan keterbatasan buku penunjng ini sedikit terjadi di SD, di daerah perkotaan khususnya, setiap tahun menerima kiriman buku bacaan dari proyek perbukuan Nasional Depdikbud, hanya saja pemanfaatan buku bacaan tersebut tampaknya belum maksimal karena ada faktor lain yaitu faktor minat siswa atau subjek didik. Minat belajar dan minta membaca para siswa masih sangat rendah, factor kesediaan waktu, manajemen perpustakaan sekolah, dan dorongan dari guru menjadi ikut penyebab dalam hal ini (Rosidi, 1997:19-25). Pembelajaran sastra belum mendapat porsi yang sesuai dalam pendidikan bahasa. Diabaikannya sastra dalam pengejaran sastra berawal dari asumsi bahwa sastra berkontribuasi negatif terhadap kemampuan berbahasa siswa (John, 1986:18). Dalam prakteknya, pengajaran bahasa dan linguistik sangat diutamakan. di seluruh jenjang pendidikan. Kenyataan ini terjadi karena munculnya asumsi bahwa sastra hanya merupakan pelajaran untuk kesenangan, bahwa sastra tidak berpotensi mengembangkan kemampuan berbahasa siswa. Pengajaran sastra akan bermakna bila diajarkan berdampingan dengan pengajaran bahasa dan linguistik. Berbagai kendala di atas menyebabkan pengajaran sastra di berbagai jenjang pendidikan formal hingga saat ini belum mencapai sasaran sebagaimana yang diharapkan. Tujuan akhir pembelajaran sastra, penumbuhan dan peningkatan apresiasi pada subjek didik belum menggembirakan. Tulisan ini mencoba membahas secara ringkas akibat yang muncul dari berbagai faktor di atas beserta alternatif pemecahan untuk kita diskusikan lebih lanjut. Hal ini tentu saja dimaksudkan untuk mencoba mencari titik temu dan kesamaan persepsi kita ke arah peningkatan kualitas pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal pada masa yang akan datang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
120 Rendahnya nilai dan apresiasi siswa, akibat kelemahan proses pembelajaran rendahnya apresiasi siswa terhadap sastra; sudah atau dicarikan jalan jeluarnya. Perbaikan kepercayaan dan moral masyarakat adalah mengintensifkan pendidikan sastra dan kesenian (Depdiknas, 2000). Dikatakan oleh Atmazaki (1991:124) bahwa karya sastra yang baik memberikan nilai-nilai yang bersifat mendidik, estetis, moral dan sosial. Dengan demikian melalui pembelajaran sastra, para siswa diharapkan dapat menemukan nilai-nilai, baik nilai moral, pendidikan, estetis, sosial, dan manfaat lain yang bersifat mendidik. Selain itu berdasarkan tujuan pembelajaran Bahasa dan Sastra Jawa, seharusnya pengajaran sastra di sekolah direalisasikan secara tepat sehingga dapt memberikan manfaat yang besar kepada siswa, terutama dalam menambah pengetahua, pengalaman, dan wawasan tentang hidup dan kehidupan. Dalam realitasnya antara apa yang diajarkan guru kepada peserta didik di sekolah dengan apa yang diajarkan oleh orang tua di rumah, sering kali kontra produktif atau terjadi benturan nilai. Untuk itu agar proses pendidikan budi pekerti di sekolah dapat berjalan secara optimal dan efektif, pihak sekolah perlu membangun komunikasi dan kerjasama dengan orang tua murid berkenaan dengan berbagai kegiatan dan program pendidikan budi pekerti yang telah dirumuskan atau direncanakan oleh sekolah. Tujuannya ialah agar terjadi singkronisasi nilai-nilai pendidikan budi pekerti yang diajarkan di sekolah dengan apa yang ajarkan orang tua di rumah. Selain itu, agar pendidikan budi pekerti di sekolah dan di rumah dapat berjalan searah, sebaiknya bila memungkinkan orang tua murid hendaknya juga dilibatkan dalam proses identifikasi kebutuhan program pendidikan budi pekerti di sekolah. Dengan pelibatan orang tua murid dalam proses perencanaan program pendidikan budi pekerti di sekolah, diharapkan orang tua murid tidak hanya menyerahkan proses pendidikan budi pekerti anak-anak mereka kepada pihak sekolah, tetapi juga dapat ikut serta mengambil tanggung jawab dalam proses pendidikan budi pekerti anak-anak mereka di keluarga. Untuk mengantisipasi kendala pembelajaran apresiasi sastra Jawa (Serat Tripama) sekaligus untuk menerapkan pendidikan budi pekerti (karakter) kepada
commit to user anak didik di sekolah dapat dilakukan sebagai berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
121 Secara teknis, penerapan pendidikan budi pekerti di sekolah setidaknya dapat ditempuh melalui empat alternatif strategi secara terpadu (Haidar, 2004: 30). 1) Strategi pertama ialah dengan mengintegrasikan konten kurikulum pendidikan budi pekerti yang telah dirumuskan ke dalam seluruh mata pelajaran yang relevan, terutama mata pelajaran agama, kwarganegaraan, dan bahasa (baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah). 2) Strategi kedua ialah dengan mengintegrasikan pendidikan budi pekerti ke dalam kegiatan sehari-hari di sekolah. 3) Strategi ketiga ialah dengan mengintegrasikan pendidikan budi pekerti ke dalam kegiatan yang diprogramkan atau direncanakan. 4) Strategi keempat ialah dengan membangun komunikasi dan kerjasama antara sekolah dengan orang tua peserta didik. Contoh kegiatan ini adalah berbaris masuk ruang kelas untuk mengajarkan budaya antri, berdoa sebelum dan sesudah kegiatan, mengucapkan salam bila bertemu dengan orang lain, dan membersihkan ruang kelas tempat belajar. Berkaitan dengan implementasi strategi pendidikan budi pekerti di lingkungan sekolah, secara teknis dapat dilakukan melalui: 1) Keteladanan Dalam kegiatan sehari-hari guru, kepala sekolah, staf administrasi, bahkan juga pengawas harus dapat menjadi teladan atau model yang baik bagi muridmurid di sekolah. Sebagai misal, jika guru ingin mengajarkan kesabaran kepada siswanya, maka terlebih dahulu guru harus mampu menjadi sosok yang sabar dihadapan murid-muridnya. Begitu juga ketika guru hendak mengajarkan tentang pentingnya kedisiplinan kepada murid-muridnya, maka guru tersebut harus mampu memberikan teladan terlebih dahulu sebagai guru yang disiplin dalam menjalankan tugas pekerjaannya. Tanpa keteladanan, murid-murid hanya akan menganggap ajakan moral yang disampaikan sebagai sesuatu yang omong kosong belaka, yang pada akhirnya nilai-nilai moral yang diajarkan tersebut hanya akan berhenti sebagai pengetahuan saja tanpa makna. 2) Kegiatan spontan Kegiatan spontan yaitu kegiatan yang dilaksanakan secara spontan pada saat itu juga. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada saat guru mengetahui
commit user baik, seperti berkelahi dengan sikap/tingkah laku peserta didik yang to kurang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
122 temannya, meminta sesuatu dengan berteriak, mencoret dinding, mengambil barang milik orang lain, berbicara kasar, dan sebagainya. Dalam setiap peristiwa yang spontan tersebut, guru dapat menanamkan nilai-nilai moral atau budi pekerti yang baik kepada para siswa, misalnya saat guru melihat dua orang siswa yang bertengkar/berkelahi di kelas karena memperebutkan sesuatu, guru dapat memasukkan nilai-nilai tentang pentingnya sikap maaf-memaafkan, saling menghormati, dan sikap saling menyayangi dalam konteks ajaran agama dan juga budaya. 3) Teguran Guru perlu menegur peserta didik yang melakukan perilaku buruk dan mengingatkannya agar mengamalkan nilai-nilai yang baik sehingga guru dapat membantu mengubah tingkah laku mereka. 4) Pengkondisian lingkungan Suasana sekolah dikondisikan sedemikian rupa melalui penyediaan sarana fisik yang dapat menunjang tercapainya pendidikan budi pekerti. Contohnya ialah dengan penyediaan tempat sampah, jam dinding, slogan-slogan mengenai budi pekerti yang mudah dibaca oleh peserta didik, dan aturan/tata tertib sekolah yang ditempelkan pada tempat yang strategis sehingga mudah dibaca oleh setiap peserta didik. 5) Kegiatan rutin Kegiatan rutinitas merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat (Haidar (2004: 31). Agar implementasi pendidikan karakter di sekolah dapat berhasil, maka syarat utama yang harus dipenuhi, di antaranya: (1) teladan dari guru, karyawan, pimpinan sekolah dan para pemangku
kebijakan di sekolah; (2) pendidikan
karakter dilakukan secara konsisten dan secara terus menerus; dan (3) penanaman nilai-nilai karakter yang utama. Karena semua guru adalah guru pendidikan, maka mereka memiliki kewajiban untuk memasukkan atau menyelipkan nilai-nilai pendidikan karakter dalam kegiatan pembelajarannya (intervensi). Pendek kata, pendidikan karakter itu tidak hanya menjadi tugas guru agama, guru PKn, atau guru-guru yang mengajar tentang moral; tetapi menjadi kewajiban semua guru di sekolah. Hal ini menjadi penting agar di tengah proses pendidikan karakter tidak terjadi saling lempar tanggung jawab. Nilai-nilai pendidikan karakter juga harus
commitkeseharian to user di sekolah (hobituasi), melalui ditumbuhkan lewat kebiasaan kehidupan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
123 budaya sekolah; karena budaya sekolah (school culture) merupakan kunci dari keberhasilan pendidikan karakter itu sendiri (Wibowo, 2012: 45). Sedangkan Koesoema (2007: 212-217) mengajukan lima metode pendidikan karakter dalam penerapan di sekolah, yaitu : a. Pengajaran Pemahaman konseptual tetap dibutuhkan sebagai bekal konsep-konsep nilai yang kemudian menajdi rujukan karakter tertentu. Mengajarkan karakter berarti memberikan pemahaman pada peserta didik tentang struktur nilai tertentu,
keutamaan
(bila
dilaksanakan)
dan
maslahatnya
(bila
tidak
dilasanakan). Mengajarkan nilai memiliki dua faedah, pertama memberikan pengetahuan konseptual baru, kedua menjadi pembanding atas pengetahuan yang telah dimiliki oleh peserta didik. Karena itu, maka proses tidaklah monolog, melainkan melibatkan peran serta peserta didik. b. Keteladanan Manusia lebih banyak belajar dari apa yang mereka lihat. Keteladanan menempati posisi yang sangat penting. Guru harus terlebih dahulu memiliki karakter yang hendak diajarkan. Guru adalah yang digugu dan ditiru, peserta didik akan meniru apa yang dilakukan gurunya daripada yang dikatakan guru. Bahkan sebuah pepatah kuno memberikan peringatan pada para guru bahwa peserta didik akan meniru karakter negatif secara lebih ekstrem daripada guru, Keteladanan tidak hanya bersumber dari seorang guru, melainkan juga dari seluruh manusia yang ada di lembaga pendidikan tersebut. Juga bersumber dari orang tua, karib kerabat, dan siapapun yang sering berhubungan dengan peserta didik. Pada titik ini, pendidikan karakter membutuhkan lingkungan pendidikan yang utuh, saling mengajarkan karakter. c. Menentukan Prioritas Penentuan prioritas yang jelas harus ditentukan agar proses evaluasi atas berhasil tidaknya pendidikan karakter dapat menjadi jelas. Tanpa prioritas, pendidikan karakter tidak dapat terfokus karena tidak dapat dilihat berhasil atau tidak berhasil. Pendidikan karakter menghimpun nilai yang dianggap penting bagi pelaksana dan realisasi visi lembaga.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
124 d. Prioritas Karakter Unsur lain yang sangat penting setelah prioritas karakter adalah bukti dilaksanakannya prioritas karakter tersebut. Lembaga pendidikan harus mampu membuat verifikasi sejauh mana prioritas yang telah ditentukan telah dapat direalisasikan dalam lingkup pendidikan melalui berbagai unsur yang ada dalam lembaga pendidikan itu. e. Refleksi Refleksi berarti dipantulkan ke dalam diri. Apa yang telah dialami masih tetap terpisah dengan kesadaran diri, sejauh ia belum dikaitkan, dipantulkan dengan isi kesadaran seseorang. Refleksi juga dapat disebut proses bercermin, mematut-matutkan diri pada peristiwa/konsep yang telah dialami : apakah saya seperti itu? Apakah ada karakter baik seperti itu pada diri saya? Menurut Lickona, pendidikan karakter dapat berjalan secara efektif jika para pendidik dan pemangku kebijakan pendidikan memperhatikan dan melaksanakan prinsip-prinsip berikut: (1) nilai-nilai etika inti hendaknya dikembangkan, sementara nilai-nilai kinerja pendukungya dijadikan sebagai dasar atau fondasi; (2) karakter hendaknya didefinisikan secara komprehensif, sehingga mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku; (3) pendekatan yang digunakan hendaknya komprehensif, disengaja, dan proaktif; (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian; (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral; (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu mereka untuk berhasil; (7) usahakan mendorong morivasi diri siswa; (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral; (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral; (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra; dan (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana anak didik memanifestasikan karakter yang baik (Wibowo, 2012:48).
commit to user