perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Naskah Ketoprak “Rembulan Wungu” Karya Bondan Nusantara Naskah ketoprak “Rembulan Wungu” merupakan salah satu naskah karya Bondan Nusantara. Naskah ketoprak “Rembulan Wungu” dibuat oleh penulisnya pada tahun 2005. Naskah ketoprak ini memiliki 33 halaman dan terdiri dari 5 babak. Terdapat kurang lebih 15 tokoh yang ditampilkan dalam naskah ketoprak ini, yaitu Prabu Amangkurat Agung, Pangeran Pekik, Ratu Wandan, Adipati Anom Tejaningrat, Bei Wirareja, Nyi Wirareja, Rara Hoyi, Ki Mangunjaya, Nyi Mangunjaya, Tumenggung Wiranala, Tumenggung Wirakerti, Galengsong dan teman-temannya, Patih Sindureja, Tumenggung Alap-Alap, serta Panji Karsula. Naskah ketoprak ini bercerita tentang kehidupan kerajaan Mataram saat diperintah oleh Prabu Amangkurat Agung. Rakyat Mataram dibuat menderita dan sengsara di bawah pemerintahan Prabu Amangkurat Agung yang
dengan
sewenang-wenangnya
memberikan
perintah
tanpa
mempertimbangkan keadaan rakyat Mataram. Sang Prabu memberikan perintah untuk membangun bendungan segarayasa dengan membendung sungai Opak dan membangun keraton baru di Pleret. Adapun yang terjadi pada waktu itu rakyat sedang dilanda musim paceklik dan rakyat Mataram pun habis karena pada masa pemerintahan ayah Prabu Amangkurat Agung yaitu Kanjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma, rakyat Mataram banyak yang berperang melawan penjajah dari Jakarta. Pangeran Pekik dan Ratu Wandan menyampaikan ketidaksetujuannya namun Sang Prabu terlalu sombong untuk mau menerima pendapat orang lain, dan bahkan tidak segan-segan untuk menghukum mati siapapun yang menentangnya. Kehidupan di dalam istana pun juga tidak lepas dari konflik, bahkan Prabu Amangkurat Agung berselisih dengan anaknya sendiri, Pangeran Adipati to user Anom Tejaningrat karena commit Rara Hoyi yang akan dijadikan selir oleh Prabu
43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
44
Amangkurat ternyata dinikahi oleh Pangeran Adipati Anom. Sikap arogan dari Prabu Amangkurat Agung mendatangkan banyak pemberontakan baik pemberontakan dari penghuni keraton maupun pemberontakan dari luar keraton. Pangeran Pekik dan Ratu Wandan sebagai mertua Prabu Amangkurat Agung pun berulang kali mengingatkan tentang sikapnya yang tidak mencerminkan sebagai raja pelindung rakyat. Prabu Amangkurat Agung dengan congkaknya menghukum mertuanya sendiri. Hingga pada akhirnya pemberontakan terakhir yang terjadi bahkan dipimpin oleh anaknya sendiri yaitu Pangeran Adipati Anom, Prabu Amangkurat Agung tidak menyangka jika hal tersebut akan terjadi, namun tidak ada yang bisa dilakukan karena prajurit sudah kalang kabut menghadapinya. Prabu amangkurat Agung yang tidak bisa membendung arus pemberontakan akhirnya tersadar bahwa sikap dan sifatnya telah menyengsarakan banyak orang terutama rakyat Mataram, dan beliau seketika wafat. Setiap tokoh dalam naskah ini tentu memiliki wataknya masingmasing, ada yang berperan sebagai protagonis sebagai pendukung cerita, tentu ada pula peran antagonis sebagai penentang cerita. Setiap perbedaan watak dalam tokoh ini menggambarkan kehidupan yang sesungguhnya, ketika manusia memiliki berbagai macam watak dan perangai, dalam cerita naskah ini watak baik dan jahat tentu dihadirkan agar para pembaca dapat meneladani dan mengambil amanat serta nilai yang disajikan. Kagunan basa yang dimasukkan dalam naskah mencerminkan keindahan bahasa dan memberikan warna dalam naskah tersebut. Seperti diketahui, sebuah karya sastra Jawa tidak terlepas dari keindahan bahasa yang
diberikan
oleh
penulisnya.
Lewat
kagunan
basa,
penulis
menampilkan kekayaan budaya Jawa dalam rangkaian kata-kata yang indah. Naskah ketoprak ini memiliki keunggulan yaitu terletak pada nilai pendidikan karakter yang ada di dalamnya. Naskah ini juga banyak commit to useratau penontonnya jika ditampilkan memberikan amanat bagi para pembaca
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
45
dalam sebuah pementasan ketoprak. Yang menarik dalam sebuah naskah ketoprak yaitu ketika konflik-konflik hingga mencapai puncaknya, maka pihak yang baiklah yang akan menang, dimana kebaikan selalu mengalahkan kejahatan. B. Deskripsi Hasil Penelitian 1. Kawruh Kagunan Basa Dalam Naskah Ketoprak “Rembulan Wungu” Kawruh dalam bahasa Indonesia berarti ilmu. Adapun kebudayaan yang lahir dengan isi keindahan disebut kagunan adi luhung atau kagunan edi peni, terkadang hanya disebut kagunan saja. Dalam kamus Bausastra Jawa, kata kagunan diartikan: 1. Kapinteran, kalantipan; 2. gegawean sing edi peni; 3. wudharing pambudi kang nganakake kaendahan. Adapun kagunan basa berarti kebudayaan dengan keindahan yang mengacu pada bahasanya. Oleh karena itu, kawruh kagunan basa dapat diambil keimpulan bahwa berarti ilmu kebudayaan yang terdapat pada keindahan bahasanya. Kagunan basa ini sangat penting untuk dipelajari karena seperti yang kita tahu kebudayaan Jawa merupakan kebudayaan yang sangat kaya dengan keindahan bahasanya, dan anak muda sekarang sudah mulai melupakan bahkan tidak paham lagi dengan kawruh kagunan basa. Dalam naskah ini, penulis menyajikan kagunan basa untuk lebih memperindah dan menekankan tata krama bahasa Jawa dalam dialogdialognya. Berikut ini deskripsi kagunan basa dalam naskah ketoprak “Rembulan Wungu”. a. Tembung Saroja Tembung Saroja yang berarti dua kata yang ‘arti’nya sama atau hampir sama dipakai secara bersamaan. Tembung saroja yang dipakai didalam penulisan sebuah dialog dimaksudkan agar dialog tersebut memiliki nyawa dengan kesan untuk lebih me’yakin’kan dan sebagai unsur estetis pula tentunya. Di dalam naskah “Rembulan Wungu” ini ditemukan beberapa tembung saroja yang digunakan oleh penulis. Hal user tersebut dapat dilihat padacommit kutipantoberikut:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
46
12.RATU WANDAN Rehne wis ora ana meneh perkara liya sing kudu dirembug, dhawuh timbalanku marang sliramu kabeh, adicara jumenengan ndak keparengake diwiwiti (RW: 3) ‘sepertinya tidak ada lagi masalah yang harus didiskusikan, perintahku kepadamu semua, acara jumenengan aku ijinkan untuk dimulai’. Pada kata yang dicetak tebal terdapat kata dhawuh-timbalan yang berarti perintah. Dalam bausastra Jawa, kata dhawuh dan timbalan sebenarnya memiliki arti yang sama, yaitu perintah. Kedua kata ini digabung untuk memenuhi unsur estetis dan me’lebih’kan kalimat. Dalam dialog tersebut kata dhawuh timbalan digunakan oleh Ratu Wandan untuk memerintahkan kepada seluruh yang hadir pada pertemuan kerajaan tersebut untuk memulai acara Jumenengan, karena memang penggunaan kata dhawuh timbalan dalam kebudayaan Jawa lumrah digunakan oleh seorang ratu kepada bawahannya atau digunakan oleh orang yang derajatnya lebih tinggi untuk memberikan perintah kepada bawahannya. Hal tersebut juga terdapat dalam kutipan: 49.AMANGKURAT Kaya rembugingsun wingi, sak-bubare pisowanan sira ingsun keparengake lumawat menyang Mbanyuwangi, sakperlu nindakke dhawuh timbalaningsun.(RW: 6) ‘seperti pembicaraanku kemarin, setelah acara pisowanan kamu aku ijinkan pergi ke Banyuwangi, untuk menjalankan perintahku’ Kata dhawuh-timbalan kembali digunakan oleh penulis, untuk menggambarkan bahwa kata dhawuh-timbalan hanya digunakan untuk memberikan perintah dari atasan kepada orang yang derajatnya lebih rendah, seperti yang dilakukan oleh Prabu Amangkurat untuk memberikan perintah kepada Tumenggung Wiranala dan Wirakerti untuk menjalankan tugas ke Banyuwangi. 33.RATU WANDAN Pemanggih kula mila mekaten, Sinuwun. Awit, mbotena kula monjuk, Sampeyan Ndalem temtu priksa. Sak sampunipun Bapak Dalem Kanjeng Sultan Agung Hanyakrakesuma ngetabaken wadyabala nundhung Kumpeni saking Njakarta, Metaram ketelasan tiyang. Sabin tuwin pategalan samicommit njembrung jalaran mboten wonten ing nanemi to user (RW: 4)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
47
‘pendapat saya seperti ini, Sinuwun (panggilan raja). Meskipun saya tidak mengatakannya, sampeyan ndalem (panggilan raja) pasti mengetahui. Setelah ayah dalem (Prabu Amangkurat Agung) Kanjeng Sultan Agung Hanyakrekesuma mengirimkan prajurit untuk melawan kumpeni (penjajah) dari Jakarta, Mataram kehabisan orang. Sawah dan tegal kotor ditumbuhi oleh rumput karena tidak ada yang menanami’. 62.AMANGKURAT (mantep) Alas Demung dijegi para kraman seka Mekasar sing dipandhegani dening Kraeng Galengsong. Mula dhawuhingsun marang sira, ketabnya wadyabala Metaram, rangketen Kraeng Galengsong sak kancane (RW: 7) ‘(mantab) Alas demung diduduki oleh para kraman (orang-orang yang melawan penguasa) dari Makasar yang dipimpin oleh Kraeng Galengsong. Maka perintahku kepadamu, kirim prajurit Mataram, ringkus Kraeng Galengsong dan teman-temannya’. Pada data di atas, kata yang dicetak tebal yaitu kata wadyabala. Dalam bausastra Jawa, kata wadya dan bala sebenarnya juga memiliki arti yang sama yaitu prajurit. Dalam dialog Ratu Wandan dan Prabu Amangkurat, keduanya menggunakan kata wadya bala untuk menyebut prajurit kerajaan Mataram. Tembung saroja dipakai dalam dialog tersebut untuk memenuhi unsur estetis dan menghidupkan dialog. 10.MALEWA (nesu) Kurangajar! Suwaramu ngabangke kuping! Wuwusmu tanpa suba sita! Apa kok kira wulu githokku bakal njegrig krungu kandhamu! ... (ngguyu) Ora! Aku lan wong-wong Mekasar ora bakal mundur sak jangkah ngadhepi tandange prajurit Metaram!!(RW: 12) ‘(marah) Kurangajar! Kata-katamu memerahkan telinga! Perkataanmu tanpa tata-krama! Apa kamu kira bulu kudukku akan merinding mendengar kata-katamu!... (tertawa) tidak! Aku dan orang-orang Makasar tidak akan mundur satu langkah menghadapi prajurit Mataram!!!’ Dalam kutipan dialog Malewa di atas, kata yang tercetak tebal merupakan tembung saroja yang berarti aturan atau tata krama yang dianut. Dalam dialog tersebut tokoh Malewa sedang menghina dan menantang para prajurit Mataram yang siap menyerangnya. Penulis menggunakan kata suba-sita untuk lebih menekankan makna kalimat dan commit to user memperindah kalimat.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
48
12.ADIPATI ANOM Hoyi (mesem). …. Apik jenengmu Laras karo pasuryan lan solah bawamu sing merak ati. (ngguyu) Ngertiya yen Wirareja duwe anak sliramu, aku mesthi kerep tindak mrene supaya bisa sak patemon karo sliramu. (RW: 14) ‘Hoyi (senyum)... bagus namamu, sesuai dengan wajah dan tingkah lakumu yang indah. (tertawa) Seandainya aku tahu jika Wirareja memiliki anak yaitu kamu, aku pasti sering datang kesini supaya dapat bertemu denganmu’ Dalam kutipan dialog di atas terdapat kata dicetak tebal yaitu solah-bawa yang termasuk dalam tembung saroja. Kata solah-bawa dapat diartikan sebagai tingkah laku, sifat, dan tindakan. Kutipan dialog Pangeran Adipati Anom diatas, kata solah-bawa digunakan ketika sang pangera sedang memuji Rara Hoyi dengan mengatakan bahwa solah-bawa Rara Hoyi yang merak-ati, disini penulis tidak memilih kata tindak-tanduk yang artinya hampir sama dengan tingkah laku, mungkin karena untuk memuji seorang wanita, kata solah-bawa yang lebih halus dan luwes dianggap lebih sesuai untuk menggambarkan tingkah-laku seorang Rara Hoyi. 86.PEKIK (nyaut) Mula saka iku, Beine lan kowe Nyi. Yen atimu sakloron lega lila, Hoyi bakal ndak pundhut. Ndak boyong menyang Kasatriyan kareben nambani gerahe wayah Pengeran Tejaningrat. Piye, kowe ora kabotan ta Beine?(RW: 20) ‘(menyaut) Maka dari itu, Bei dan kamu Nyi. Bila hatimu berdua sudah rela, Hoyi akan aku ambil. Akan ku boyong ke Kasatriyan untuk mengobati sakitnya cucuku Pangeran Tejaningrat. Bagaimana, kamu tidak keberatan kan, Bei?’ Pada data tersebut tembung saroja terdapat pada kata lega lila yang berarti sangat rela. Kata lega lila yang dipakai dalam dialog pangeran Pekik berfungsi untuk meyakinkan Bei Wirareja, agar mau menyerahkan Rara Hoyi untuk diserahkan kepadanya dan dinikahkan dengan Pangeran Adipati Anom Tejaningrat sehingga Pangeran Adipati Anom Tejaningrat dapat sembuh dari sakitnya. Kata lega dan lila memiliki arti yang hampir sama, yaitu rela, namun ketika kedua kata ini digabung membentuk commit user tersebut memiliki makna yang tembung saroja, gabungan keduato kata
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
49
terkesan “lebih’, yaitu menjadi sangat rela. Adapun dalam bausastra Jawa, kata lega lila berarti marem, ora duwe getun, seneng, rila ‘puas, tidak kecewa, senang, rela’. 100.PNG PEKIK Blaka suta wae ya Beine. Lelakon iki ora bakal rampung yen kowe lan aku ora cawe-cawe. Malah yen ora kepeneran, kawula bakal saya okeh sing dadi kurban merga dipeksa nyambut gawe yasa bendungan lan gawe kraton anyar ing Plered. Yen kahanan iki ora enggal didandani, sapa sing bakal rugi?(RW: 21) ‘Sejujurnya saja ya Bei. Masalah ini tidak akan selesai jika kamu dan aku tidak ikut campur. Bahkan jika tidak seperti yang diharapkan, rakyat akan semakin banyak yang menjadi korban karena dipaksa bekerja membangun bendungan dan membuat keraton baru di Plered. Jika keadaan ini tidak segera dibenahi, siapa yang akan rugi?’ Kata blaka-suta termasuk dalam tembung saroja karena terdiri dari kata blaka dan suta yang jika digabungkan memiliki kesan arti ‘lebih’ yaitu dalam kata tersebut memiliki arti ‘sejujur-jujurnya’. Penulis menggunakan kata blaka-suta dalam dialog pangeran Pekik sehingga mengesankan bahwa pada situasi tersebut, pangeran Pekik mengatakan secara terang-terangan kepada Bei Wirareja bahwa yang dikatakannya memang benar apa adanya dan jujur. Penggunaaan tembung saroja pada kutipan-kutipan diatas tidak bisa digunakan secara asal-asalan, karena penggunaan tembung saroja harus digunakan sebagaimana lumrahnya dan tidak boleh susunan katanya dibolak-balik seenaknya, hal ini sudah menjadi aturan yang baku dalam penggunaannya. Penggunaan tembung saroja pada beberapa kutipan diatas cenderung untuk menjadikan kata dalam dialog memiliki kesan makna ‘lebih’. b. Tembung garba Tembung garba adalah penyambungan dua kata kemudian dari dua kata tersebut terdapat suku kata yang dihilangkan. Adapun tembung garba biasanya ditemukan dalam sebuah tembang, ketika terdapat baris yang commit to user memiliki kelebihan suku kata dalam tembang dan tidak memenuhi aturan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
50
tembang maka biasanya pencipta tembang akan mengurangi jumlah suku katanya dengan menggabungkan dua kata atau lebih dalam baris tersebut, namun dalam naskah ketoprak “Rembulan Wungu” terdapat tembung garba yang digunakan oleh penulis. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut: 45.AMANGKURAT (wibawa) Wiwit sesuk, para kawula didhawuhi nyambutgawe yasa kedhaton lan bendungan! Sapa sing wani mbadal dhawuhingsun kudu diukum pati! Dene yen ana nayaka sing ora sarujuk, enggal dibanda lan dipepe neng ngalun-alun Metaram!(RW: 6) ‘(berwibawa) Mulai besok, para rakyat diperintah untuk bekerja membangun keraton dan bendungan! Siapa yang berani menentang perintahku harus dihukum mati! Sedangkan jika ada nayaka penghuni keraton yang tidak setuju, segera diikat tangannya dan dijemur di alun-alun Mataram!’ 22.HOYI (ngadeg radi tebih) Ana apa ta Pak kok ngundang aku? Aku ki lagi masak neng pawon, nyepakke dhahar. …. (maju) Ana apa ta Pak? (RW: 9) ‘(berdiri agak jauh) Ada apa sih Pak kok memanggilku? Aku ini sedang memasak di dapur, menyiapkan makan... (maju) Ada apa sih Pak?’ 52.WIRAREJA Seka sowan. Terus weruh kowe nggejejer neng kono kaya reca.(RW: 17) ‘Dari menghadap. Terus melihatmu berdiri di situ seperti arca’ 57.NYI WIRAREJA Mbok sampeyan niku kelingan dhek isih teng ndesa! Saben sore ming kemul sarung karo njedhodhog neng pinggir buk! Upama mboten kula kukup, dadi napa sampeyan?(RW: 17) ‘kamu itu ingatlah ketika masih di desa! Setiap sore hanya berselimut sarung dan duduk diam di pinggir buk pembatas jalan air yang ada di jalan! Seandainya tidak aku selamatkan, jadi apa kamu?’ 64.WIRAREJA (rada gugup) Haiya kowe, wong sing neng kene kowe! Ning ora Nyi Kandhanmu mau tenan apa piye?(RW: 18) ‘(agak gugup) Ya kamu, yang disini Cuma kamu! Tapi tidak Nyi, perkataanmu tadi apakah benar?’ commit to user 82.NYI WIRAREJA
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
51
Alaaaah,… neng kene muni ngisin-isini, saru! (ngece) Ning engko tekan njero, … “bagianku endi?” …….. Ngono ta? (RW: 19) ‘alaaaaah, disini bilang memaluka, tidak pantas! (menghina) tapi nanti sampai didalam, ... “bagianku mana?”..... begitu kan?’ Dalam kutipan tersebut terdapat kata neng yang bercetak tebal, kata neng termasuk dalam tembung garba karena terdiri dari dua kata yang digabung dan dihilangkan suku katanya. Kata neng berasal dari kata ana ‘ada’ dan ing ‘di’ yang jika digabung akan membentuk kata aneng dan kemudian dihilangkan suku kata terdepannya yaitu [a-]. Dalam beberapa kutipan dialog tersebut digunakan tembung garba dengan kata neng karena tujuan dari naskah ketoprak ini memang untuk dipraktekan sehingga kata dalam dialognya merupakan bahasa pengucapan yang lumrah diucapkan oleh orang Jawa sehari-hari. Dalam kutipan dialog Prabu Amangkurat, Rara Hoyi, Wirareja, dan Nyi Wirareja, kata neng dalam dialog tersebut bermakna ‘di’. 32.WIRANALA (nyaut) Hoyi! Kowe pancen isa kandha kaya ngono. Ning minangka jejering kawula, kowe ora bisa mbadal dhawuhing Ratu. Semono uga Bapakmu. Mula sak iki, kowe kudu gelem tak boyong neng Metaram! (Wiranala nggeret Hoyi, Hoyi mberot – nyedhaki Mangunjaya) (RW: 10). ‘(menyahut) Hoyi! Kamu memang bisa berkata seperti itu. Tetapi sebagai rakyat, kamu tidak bisa menentang perintah Raja. Begitu juga bapakmu. Jadi sekarang, kamu harus mau aku boyong ke Mataram! (Wiranala menyeret Hoyi, Hoyi berusaha meloloskan-mendekati Mangunjaya) 38.WIRAKERTI (nggetak) Cukup!….Uwis cukup! Rembug iki ora perlu digawe dawa! (maju) Hoyi! Mung kari sepisan iki aku ngendika! Gelem apa ora kowe diboyong neng Metaram!? (RW: 11) ‘(membentak) Cukup!... Sudah cukup! Pembicaraan ini tidak perlu dibuat panjang! (maju) Hoyi! Hanya tinggal sekali ini aku berbicara! Mau atau tidak kamu diboyong ke Mataram?!’ 20.AMANGKURAT (duka) Sindureja! Netraningsun sepet nyawang uwong iki! Age digawa neng ngalun-alun lan to dipidana commit user pati! (RW: 25)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
52
‘(marah) Sindureja! Mataku sepat melihat orang ini! Segera dibawa ke alun-alun dan dipidana mati!’ 79.AMANGKURAT Wiranala, Wirakerti!… Paman Pekik lan Bibi Wandan, digawa neng ngalun-alun! (RW: 31) ‘Wiranala, Wirakerti!... Paman Pekik dan Bibi Wandan, dibawa ke alun-alun!’ Adapun dalam kutipan dialog Wiranala, Wirakerti, dan Prabu Amangkurat kata neng jika dilihat dari konteks kalimatnya maka kata tersebut berubah menjadi bermakna ‘ke’ dan bukan lagi ‘di’.
c. Tembung Plutan Tembung plutan juga hampir sama dengan tembung garba, penggunaannya biasa ditemukan dalam tembang untuk memenuhi aturan yang mengikat dalam tembang. Dalam pembuatan tembang khususnya macapat terdapat aturan-aturan yang harus dipenuhi seperti penentuan huruf vokal dalam akhir baris, jumlah suku kata, dan baris, di sinilah fungsi digunakannya tembung plutan. Plutan sendiri berasal dari kata pluta yang berarti rangkap, sedangkan dipluta berarti dirangkap, kata yang dipluta maka dinamakan tembung plutan. yang membedakan tembung plutan dengan tembung garba yaitu jumlah kata yang dirangkap, jika dalam tembung garba jumlah kata yang dirangkap bisa dua kata atau lebih, sedangkan dalam tembung plutan yang dirangkap adalah suku kata dari satu kata itu sendiri. Dalam naskah ini ditemukan konjungsi yang memang sengaja dirangkap suku katanya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut: 39.AMANGKURAT (kesenggol atine) Paman Pekik! ... Sampeyan ampun minteri kula! Senajan kula luwih enom timbang sampeyan, ning Ratune niku kula, Man! (RW: 5) ‘(tersenggol hatinya) Paman Pekik!.. kamu jangan menggurui aku! Meskipun saya lebih muda daripada kamu, tapi rajanya itu aku, commit to user Man!’
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
53
41.AMANGKURAT (nyaut – kemaki) Nek Ratune kula,... sampeyan manut kula! Karo malih nggih Man, senajan jejer sampeyan niku Pengeran Sentana, ning olehe dadi piyayi rak merga diparingi triman Bibi Ratu Wandan dening Bapak Ingkang Sinuwun. Nek sampeyan mboten nampa triman Bibi Ratu, napa klakon sampeyan dadi bapa paman kula lan maratuwa kula? (nylekit) Mboten Man!.... Mboten klakon!(RW: 5) ‘(menyahut-sombong) kalau rajanya itu aku.. kamu mengikutiku! Lagipula ya Man, meskipun kedudukanmu itu Pangeran Sentana, tapi bisa jadi piyayi kan karena diberikan ijin menikahi Bibi Ratu Wandan oleh Bapak Sinuwun. Kalau kamu tidak menerima ijin menikahi Bibi Ratu, apa bisa kamu jadi pamanku dan mertuaku? (nyelekit) Tidak Man!... Tidak akan terjadi!’ 17.MANGUNJAYA (nyaut) Ning menika mboten nyata Dhi. Toya ing sumur kula ngganda wangi menika jalaran kula nandur wit cendhana wonten ing celak sumur. (RW: 9) ‘(menyahut) Tapi itu tidak nyata Dhi. Air yang ada di sumurku itu berbau wangi karena aku menanam pohon cendana di dekat sumur’. 19.MANGUNJAYA (ribet) Kula ngertos. Lan kula injih lila. Ning yen anak kula mboten purun lajeng dospundi? (RW: 9) ‘(ribet) aku tahu dan aku juga rela. Tapi kalau anakku tidak mau lantas bagaimana?’ 28.HOYI (mrengut) Ning kula mboten saged nglampahi Ndara Nggung! Kula mboten purun dipun pundhut selir Ingkang Sinuwun, jalaran kula teksih remen gesang wonten ndhusun sareng kaliyan Bapak lan Simbok kula!(RW: 10) ‘(cemberut) Tapi aku tidak bisa melaksanakannya Ndara Nggung! Aku tidak mau dijadikan selirnya Sinuwun, karena aku masih suka hidup di dusun bersama bapak dan simbokku!’ 32.WIRANALA (nyaut) Hoyi! Kowe pancen isa kandha kaya ngono. Ning minangka jejering kawula, kowe ora bisa mbadal dhawuhing Ratu. Semono uga Bapakmu. Mula sak iki, kowe kudu gelem tak boyong neng Metaram! (Wiranala nggeret Hoyi, Hoyi mberot – nyedhaki Mangunjaya) (RW:commit 10) to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
54
‘(menyaut) Hoyi! Kamu memang bisa berkata seperti itu. Tapi kedudukanmu sebagai rakyat, kamu tidak bisa menentang perintah Raja. Begitu pula dengan bapakmu. Maka sekarang kamu harus mau aku bawa ke Mataram! (Wiranala menyeret Hoyi, Hoyi memberontak-mendekati Mangunjaya)’ 36.NYI MANGUNJAYA (nesu) Pak! Sampeyan niku pripun ta?! Anake wedok niki njaluk direwangi! Ning kena napa sampeyan malah ming meneng mawon! Sampeyan niku Bapakne lho! Mosok ora isa ngewangi anak sing lagi ketaman perkara!! Mbok omong ta Pak! Omong!!(RW: 10) ‘(marah) Pak! Kamu itu bagaimana? Anak perempuannya ini minta dibantu! Kenapa bapak hanya diam saja! Kamu itu bapaknya lho! Masa tidak bisa membantu anaknya yang sedang dirundung masalah!! Bicaralah Pak! Bicara!!’ 37.MANGUNJAYA (nyaut – jengkel) Ning nek perkara siji iki aku ora isa Nyi! Ora isa!!! (RW: 11) ‘(menyahut-jengkel) Tapi kalau masalah yang satu ini aku tidak bisa Nyi! Tidak bisa!!!’ 01B. ADIPATI ANOM Anu Nyi. Sekawit aku ya mung arep sanja wae. Ning bareng weruh kowe lagi gladhen karo wanita iki, penggalihku kok banjur kepranan. Mula, kowe ndak keparengake semingkir dhisik, aku kepengin rembugan karo momonganmu. (RW: 13) ‘Begini Nyi. Tadinya aku ya hanya ingin datang kesini saja. Tapi setelah melihatmu berlatih dengan wanita ini, hatiku jadi tertarik. Oleh karena itu, kamu aku ijinkan untuk pergi dahulu, aku ingin berbincang dengan asuhanmu’. 20.ADIPATI ANOM Arepa sliramu dipingit, ning yen sing nimbali aku, Bapak lan Biyungmu ora bakal kabotan. Sebab aku iki Pengeran Adipati Anom calon Ratu ing Metaram. Malah iki mau, sakwise aku priksa sliramu, penggalihku dadi kepranan marang sliramu.(RW: 15) ‘Meskipun kamu dipingit, tapi jika yang memanggilmu aku, bapak dan biyungmu tidak akan keberatan. Sebab aku ini Pangeran Adipati Anom, calon raja di Mataram. Bahkan ini tadi, setelah aku mengertimu, perasaanku jadi tertarik denganmu’. 64.WIRAREJA (rada gugup) Haiya kowe, wong sing neng kene kowe! Ning ora commit user Nyi Kandhanmu mau tenantoapa piye?(RW: 18)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
55
‘(agak gugup) Ya kamu, kan yang disini kamu! Tapi tidak Nyi katamu tadi benarkah?’ 72.WIRAREJA (ribet) Coba sak iki pikiren. Nek Njeng Pengeran Tejaningrat mundhut Hoyi, awake dhewe kudu wangsulan piye? Ora entuk cilaka, entuk ya cilaka! Nek sak iki Hoyi dikukuhi, nek Njeng Pengeran klakon jumeneng Ratu, awake dhewe mesthi cilaka! Ning nek diulungke sak iki awake dhewe ya rekasa Nyi! (RW: 19) ‘(ribet) Sekarang coba dipikirkan. Jika Pangeran Tejaningrat membawa Hoyi, kita harus menjawab apa? Tidak dapat celaka, dapat ya celaka. Jika sekarang kita mempertahankan Hoyi, kalau Pangeran benar-benar jadi raja, kita pasti celaka! Tapi kalau diserahkan sekarang kita juga susah Nyi!’ 82.NYI WIRAREJA Alaaaah,… neng kene muni ngisin-isini, saru! (ngece) Ning engko tekan njero, … “bagianku endi?” …….. Ngono ta?(RW: 19) ‘Alaaaah,... disini bilang memalukan, tidak pantas! (menghina) Tapi nanti sampai didalam...”bagianku mana?” .. iya kan?’ 88.RATU WANDAN (nyaut) Aku ngerti Beine. Ning kowe ora sah wedi. Yen mengko Kanjeng Sunan duka, matura wae. Sing mundhut aku karo Kangmas Pengeran Pekik. Rak ya ngono ta Nyi? (RW: 20) ‘(menyahut) aku tau bei. Tapi kamu tidak usah takut. Kalau nanti Kanjeng Sunan marah, bilang saja. Yang mengambil aku dan Kangmas Pangeran Pekik. Bukan begitu kan Nyi?’ 91.NYI WIRAREJA (manteb) Lhaenggih dicaoske Kanjeng Ratu! Wong Kanjeng Ratu lan Kanjeng Pengeran empun kersa nanggung perkarane! Karo malih nggih Pak, nek kula entuk kandha nyata, wong wedok kalih wong lanang niku sejatine rak duwe hak padha. Mula nek onten wong lanang, klebu Kanjeng Sunan, ajeng meksa wewenange wong wedok, kaya ngoten niku kleru. Sebab mboten ming nglanggar paugeraning para bangsa, ning nggih nyalahi kodrating jagad! (RW: 20) ‘(mantap) ya diberikan Kanjeng Ratu! Kan Kanjeng Ratu dan Kanjeng Pangeran Pekik sudah mau menanggung perkaranya! Lagipula ya pak, kalau aku bisa bicara yang sebenarnya, perempuan dan laki-laki itu mempunyai hak yang sama. Maka kalau ada laki-laki, termasuk Kanjeng Sunan, mau memaksa wewenang perempuan, seperti itu keliru. Sebab tidak hanya menyalahi aturan para bangsa tapi juga menyalahi kodratnya jagad!’ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
56
92.WIRAREJA (sengol) Aku ngerti Nyi, Ngerti! Ning kowe ya kudu ngerti nek sing nitipke lan arep mundhut garwa Hoyi kuwi Ingkang Sinuwun!(RW: 20) ‘(membentak) Aku tahu Nyi, tahu! Tapi kamu juga harus tahu kalau yang menitipkan dan akan menjadikan istri Hoyi itu Sinuwun!’ 93.NYI WIRAREJA (nyaut) Ning napa enggih Ingkang Sinuwun duka, wong sing ajeng mundhut Hoyi niku putrane dhewe! Mosok, Bapak kok ora gelem ngalah karo anak! (RW: 20) ‘(menyahut) Tapi apa Sinuwun akan marah, kalau yang akan memperistri Hoyi itu anaknya sendiri! Masa, bapak kok tidak mengalah dengan anak!’
94.PEKIK Bojomu bener, Beine. Ora-orane Kanjeng Sunan duka marang kowe. Sing luwih wigati. Aku nyurung dhaupe Tejaningrat karo Hoyi kuwi ora mung kanggo aku. Ning ya kanggo kawigatene Metaram. …Coba pikiren, Kanjeng Sunan kae Ratu sing angel dingerteni sipat lan pikirane! Lha wong Metaram lagi paceklik malah ngundha layangan karo tindak besiyar tekan sak jabaning rangkah Metaram! (RW: 20) ‘Istrimu benar, Bei. Tidak akan Kanjeng Sunan marah kepadamu. Yang lebih penting. Aku mendorong bersatunya Tejaningrat dengan Hoyi itu tidak hanya untukku. Tapi juga untuk kepentingan Mataram.. Coba pikirkan, Kanjeng Sunan itu raja yang tidak bisa dimengerti sifat dan pikirannya! Rakyat Mataram sedang paceklik malah menerbangkan layang-layang dan pergi berjalan-jalan hingga keluar wilayah Mataram!’ 13.WIRAREJA (mangkel banget) Owalah, bola bali nek wong wedok lancang! Senengane mesthi ndhisiki karepe wong lanang! Kowe ki rak ngerti ta! Hoyi kae sengkeran ndalem Kanjeng Sunan! Olehe dititipke ana kene supaya diwulang suba sitaning putri!! …Ning sak iki?! Hoyi maalh kok caosake Kanjeng Pengeran Pekik! Apa kaya ngono kuwi aku ora entuk muni: “Edan! Gendheng! Kenthir! Pethuk? Slewah?” (RW: 22) (jengkel sekali) Oalah, berulang kali kalau perempuan itu lancang! Sukanya pasti mendahului keinginannya laki-laki! Kamu itu kan tahu! Hoyi itu putri pingitan Kanjeng Sunan! Bisanya dititipkan commit to usersifat putri!!... tapi apa sekarang?! disini supaya diajari bagaimana
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
57
Hoyi malah kamu berikan pada Kanjeng Pangeran Pekik! Apa kalau seperti itu aku tidak boleh bilang: “Gila! Gila! Gila! Bodoh! Gila? 114.NYI WIRAREJA (manteb) Entuk! Entuk mawon Pak! Nek ming muni-muni, napamalih nganggo nesu kalih bojo niku ora papa! …. Ning nggih niku. Nek empun nganggo mara tangan,ohhh,… aja takon dosa! Tekan pundi mawon mesthi kula larag! Sebab wong lanang kalih wong wedok niku duwe hak padha! Enggih mboten?!(RW: 22) ‘(mantap) Boleh! Boleh saja pak! Kalau hanya bilang kasar apalagi pakai marah dengan istri itu tidak apa-apa!... Tapi ya itu. Kalau sudah menggunakan tangan, oohh jangan tanya dosa! Sampai kemanapun pasti akan aku kejar! Sebab laki-laki dan perempuan itu punya hak yang sama! Iya tidak?!’
08.AMANGKURAT (duka) Sira iku piye ta Beine?! Hoyi Ingsun titipake ana ing Wirarejan iku supaya digulawentah trapsilaning putri Metaram! Ning kena apa dadi bojone Pengeran Dipati Anom? Sira sing wani nggathukke Hoyi karo putraningsun? Hiya?! (RW: 24) ‘(marah) Kamu itu bagaimana Bei?! Hoyi aku titipkan di Wirarejan itu supaya diasuh dan diajari tatacara putri Mataram! Tapi kenapa menjadi istrinya Pangeran Adipati Anom? Kamu yang berani mempertemukan Hoyi dengan putraku? Iya?!’ 12.AMANGKURAT (duka) Ning sing titip Hoyi iku sapa Beine?! Ingsun!.... Kena apa sira ulungake Paman Pekik lan Bibi Wandan?! (RW: 25) ‘(marah) tapi yang menitipkan Hoyi itu siapa Bei?! Aku!.. kenapa kamu berikan Paman Pekik dan Bibi Wandan?!’ 14.AMANGKURAT (nyaut) Wedi marang Paman Pekik, ning wani marang ingsun?! Ngono?! (RW: 25) ‘(menyahut) Takut dengan paman Pekik, tapi berani kepadaku?! Begitu?!’ 29.AMANGKURAT (jengkel) Hemmm, sira iku piye, ta, Tejaningrat, Tejaningrat! Bocah enom, bagus, mangka ya Pengeran Pati, calon Ratu Metaram, …lha kok golek bojo wae ora isa! Arepa ingsun ora commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
58
ngendika, ning mesthine sira rak ngerti! Hoyi kae sapa? … Kae kagunganingsun Ngger! (RW: 26) ‘(jengkel) hemmm, kamu itu bagaimana Tejaningrat, Tejaningrat! Anak muda, tampan, padahal ya Pangeran Adipati, calon raja Mataram,... lha kok mencari istri saja tidak bisa! Meskipun aku tidak berbicara, tapi kan seharusnya kamu tahu! Hoyi itu siapa? Dia itu punyaku Ngger!’ 35.AMANGKURAT (nyaut) Uga kanggo piranti ngedu sira karo ingsun! Mula yen sira prayitna! Katresnane Hoyi marang sira iku ora bakal tulus! Jalaran sira mung kanggo piranti ngleksanani karepe Eyangira! Mula saka iku, sira kudu wani milih. Abot Hoyi, apa abot kalengahan Pangeran Pati. Yen Sira abot Hoyi, kalenggahan Pangeran Pati ingsun pundhut! Ning yen sira abot kalenggahan Pangeran Pati, sira kudu tegel mateni Hoyi! (RW: 27) ‘(menyahut) Juga sebagai alat untuk mengadu kamu denganku! Maka kalau kamu waspada! Kasih sayang Hoyi kepadamu tidak akan tulus! Karena kamu hanya sebagai alat untuk melaksanakan keinginan eyangmu! Maka dari itu, kamu harus berani memilih. Berat Hoyi atau berat kedudukanmu sebagai Pangeran Adipati. Jika kamu berat ke Hoyi, kedudukanmu sebagai Pangeran Adipati aku ambil! Tapi jika kamu lebih berat kedudukanmu sebagai Pangeran Adipati, kamu harus tega membunuh Hoyi! 40.AMANGKURAT (kemaki) Ning yen sira abot ingsun, uga abot kalengguhan Pangeran Pati, (ngunus keris) Pusaka iki ditampani! Ingsun mundhut patine Hoyi! (RW: 27) ‘(sombong) Tapi jika kamu berat kepadaku, juga pada kedudukanmu, (mengeluarkan keris) Pusaka ini terimalah! Aku menginginkan kematian Hoyi!’ 64.AMANGKURAT (nglulu) Mboten Man! Sampeyan niku parampara pinujul, tilas senapati Metaram sing ampuh!…..Nek mboten merga sampeyan, napa klakon Rama Sultan Agung mbedhah Nggiri Prapen lan nungkulake Kadipaten Surabaya, saktemah sampeyan diparingi triman Bibi Ratu Wandan dan disengkakake ngaluhur dadi parampara Metaram! ....(kemaki – nylekit) Ning nggih niku, merga sampeyan duwe watak keminter, mula njur ajeng minteri kula! Merga sampeyan mboten sarujuk nek kula jumeneng Ratu Metaram! Enggih ta? (RW: 29) ‘(menyindir) Tidak Man! Kamu itu parampara yang unggul, bekas senapati Mataram yang ampuh!... Kalau bukan karena kamu, apa bisa Rama Sultan Agung Giri Prapen dan mengalahkan commitmembedah to user kadipaten Surabaya, sehingga kamu diberikan ijin menikahi Bibi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
59
Ratu Wandan dan diangkat derajatnya menjadi parampara Mataram!... (sombong-menyakitkan) Tapi ya itu, karena kamu punya watak sok pintar, maka kamu jadi menggurui aku! Karena kamu tidak setuju jika aku menjadi raja Mataram! Iya kan?’ 77.AMANGKURAT (duka) Paman Pekik! Kena napa sampeyan meneng mawon?! Kuping sampeyan mboten krungu nek sampeyan ajeng kula ukum gantung?! Enggih?! … (marang Ratu Wandan) Bibi Ratu?! Bibi badhe kula ukum pejah! Ning kenging menapa Bibi mendel kemawon?! Kenging menapa mboten nyuwun pengenthengentheng lan nyuwun welas dhateng kula?! Penjenengan menika badhe seda! Seda dipun gantung wonten ing Ngalun-alun, sareng kaliyan Paman Pekik! (RW: 31) ‘(marah) Paman Pekik! Kenapa kamu diam saja?! Telingamu tidak dengar jika kamu akan aku hukum gantung?! Iya?! (kepada Ratu Wandan) Bibi Ratu?! Bibi akan aku hukum mati! Tapi kenapa bibi diam saja?! Kenapa tidak meminta keringanan dan belas kasihan padaku?! Kamu itu mau mati! Mati digantung di alun-alun dengan Paman Pekik!’ Kata yang tercetak tebal pada kutipan-kutipan dialog di atas adalah kata ning yang memiliki arti ‘tetapi’, kata ning berasal dari kata nanging yang kemudian dipluta atau dirangkap suku katanya dan menjadi tembung plutan ning. Naskah “Rembulan Wungu” ini memang berorientasi untuk dipentaskan sehingga penggunaan kata ning lebih luwes dan fleksibel ketika diucapkan, kata ning lebih dipilih daripada kata nanging terlihat dari banyaknya kata ning yang ditemukan dalam naskah ini. Dalam naskah “Rembulan Wungu” ini juga terdapat tembung plutan yang memang berada di dalam tembang dan digunakan untuk memenuhi aturan di dalam tembang tersebut. Tampak pada kutipan berikut ini. 60.AMANGKURAT (pucung) Atur ulun. Mring Sang Prabu ing matarum. Ndadosna pamriksa. Ing Ndemung mengsah ngejegi. …..Para Kraeng king Makasar asalira. (marang Panji Karsula) Karsula.(RW: 7) ‘(Tembang Pocung) Atur ulun. …..Mring Sang Prabu ing matarum. Ndadosna pamriksa. Ing Ndemung mengsah ngejegi. …..Para Kraeng king Makasar asalira. (kepada Panji Karsula) commit to user Karsula.’
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
60
Pada kata yang tercetak tebal pada kutipan diatas terdapat kata mring. Kata mring berasal dari kata maring yang berarti ‘kepada. Kata tersebut dipluta agar bisa memenuhi aturan dalam tembang Pocung tersebut karena jika kedua kata tersebut tidak kurangi suku katanya maka aturan dalam tembang tidak terpenuhi, pengurangan suku kata pada kedua kata tersebut tidak mengubah arti kata itu sendiri. Dalam naskah ini ditemukan tembung plutan yang lain. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut. 41.AMANGKURAT (nyaut – kemaki) Nek Ratune kula,... sampeyan manut kula! Karo malih nggih Man, senajan jejer sampeyan niku Pengeran Sentana, ning olehe dadi piyayi rak merga diparingi triman Bibi Ratu Wandan dening Bapak Ingkang Sinuwun. Nek sampeyan mboten nampa triman Bibi Ratu, napa klakon sampeyan dadi bapa paman kula lan maratuwa kula? (nylekit) Mboten Man!.... Mboten klakon!(RW: 5) ‘(menyahut-sombong) kalau rajanya itu aku.. kamu mengikutiku! Lagipula ya Man, meskipun kedudukanmu itu Pangeran Sentana, tapi bisa jadi piyayi kan karena diberikan ijin menikahi Bibi Ratu Wandan oleh Bapak Sinuwun. Kalau kamu tidak menerima ijin menikahi Bibi Ratu, apa bisa kamu jadi pamanku dan mertuaku? (nyelekit) Tidak Man!... Tidak akan terjadi!’ 18.WIRANALA (nyaut) Napa nek ngoten sampeyan ngowel bakal diboyonge anak sampeyan? Eling lho Kang. Nek anak sampeyan klakon dipundhut selir, sampeyan kalih bojo sampeyan bakal melu mukti onten Metaram.(RW: 9) ‘(menyahut) apa kalau begitu kamu menolak dengan dibawanya anakmu? Ingat lho Kang. Kalau anakmu benar-benar dijadikan selir, kamu dan istrimu yang akan ikut bahagia hidupnya di Mataram’. 72.WIRAREJA (ribet) Coba sak iki pikiren. Nek Njeng Pengeran Tejaningrat mundhut Hoyi, awake dhewe kudu wangsulan piye? Ora entuk cilaka, entuk ya cilaka! Nek sak iki Hoyi dikukuhi, nek Njeng Pengeran klakon jumeneng Ratu, awake dhewe mesthi cilaka! Ning nek diulungke sak iki awake dhewe ya rekasa Nyi! (RW: 19) ‘(ribet) Coba sekarang ini kamu pikir. Kalau Kanjeng Pangeran Tejaningrat megambil Hoyi, kita menjawab apa? Tidak dapat bisa celaka, dapat ya bisa celaka! Kalau sekarang Hoyi dipertahankan, kalau Kanjeng Pangeran benar-benar jadi raja, kita juga pasti celaka! commit tokita user Tapi kalau diberikan sekarang juga yang susah Nyi!’
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
61
64.AMANGKURAT (nglulu) Mboten Man! Sampeyan niku parampara pinujul, tilas senapati Metaram sing ampuh!…..Nek mboten merga sampeyan, napa klakon Rama Sultan Agung mbedhah Nggiri Prapen lan nungkulake Kadipaten Surabaya, saktemah sampeyan diparingi triman Bibi Ratu Wandan dan disengkakake ngaluhur dadi parampara Metaram! ....(kemaki – nylekit) Ning nggih niku, merga sampeyan duwe watak keminter, mula njur ajeng minteri kula! Merga sampeyan mboten sarujuk nek kula jumeneng Ratu Metaram! Enggih ta? (RW: 29) ‘(menyindir) Tidak Man! Kamu itu parampara yang unggul, bekas senapati Mataram yang ampuh!... Kalau bukan karena kamu, apa bisa Rama Sultan Agung membedah Giri Prapen dan mengalahkan kadipaten Surabaya, sehingga kamu diberikan ijin menikahi Bibi Ratu Wandan dan diangkat derajatnya menjadi parampara Mataram!... (sombong-menyakitkan) Tapi ya itu, karena kamu punya watak sok pintar, maka kamu jadi menggurui aku! Karena kamu tidak setuju jika aku menjadi raja Mataram! Iya kan?’ Kata yang dicetak tebal pada kutipan dialog di atas yaitu kata klakon yang berasal dari kata kalakon yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah ‘terjadi’ kemudian dipluta menjadi kata klakon. Penggunaan tembung plutan klakon pada naskah “Rembulan Wungu” ini sama fungsinya dengan tembung plutan lain yang ditemukan pada naskah ini yaitu agar dialognya lebih fleksibel ketika diucapkan dalam pementasan. 25.WIRAKERTI (sengol) Sing arep perlu perlu aku Nyi. …. Ngertiya Nyi,… lan kowe Hoyi…. Aku karo Adhi Wiranala iki sejatine diutus dening sing kagungan panguwasa Metaram. Rehne kowe bisa dadi srana saya moncere Metaram, mula aku didhawuhi mboyong kowe. Jalaran kowe arep dipundhut selir Ingkang Sinuwun Amangkurat Agung ing Metaram!(RW: 9) (membentak) Yang ada perlu aku Nyi. ... Ketahuilah Nyi... dan kamu Hoyi... aku dan adik Wiranala ini sejatinya diutus oleh yang menguasai Mataram. Karena kamu bisa menjadi sarana semakin jayanya Mataram, oleh karena itu aku diperintah untuk membawamu. Sebab kamu akan dijadikan selir oleh Sinuwun Amangkurat Agung di Mataram’ Kata srana yang dicetak tebal pada kutipan dialog diatas berasal dari kata sarana yang artinya sama jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia hanya padacommit pengucapannya to user saja berbeda. Tembung plutan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
62
kembali digunakan pada kutipan dialog di atas, karena pengucapan tembung yang dipluta lebih fleksibel jika digunakan dalam pementasan. 91.NYI WIRAREJA (manteb) Lhaenggih dicaoske Kanjeng Ratu! Wong Kanjeng Ratu lan Kanjeng Pengeran empun kersa nanggung perkarane! Karo malih nggih Pak, nek kula entuk kandha nyata, wong wedok kalih wong lanang niku sejatione rak duwe hak padha. Mula nek onten wong lanang, klebu Kanjeng Sunan, ajeng meksa wewenange wong wedok, kaya ngoten niku kleru. Sebab mboten ming nglanggar paugeraning para bangsa, ning nggih nyalahi kodrating jagad! (RW: 20) ‘(mantap) Lha iya diberikan Kanjeng Ratu! Kanjeng Ratu dan Kanjeng Pangeran saja sudah mau menanggung perkaranya! Lagipula ya pak, kalau aku boleh bicara yang sebenarnya, perempuan dan lakilaki itu sejatinya kan punya hak yang sama. Maka dari itu kalau ada laki-laki termasuk Kanjeng Sunan, ingin memaksa wewenangnya perempuan, seperti itu keliru. Sebab tidak hanya melanggar aturan para bangsa yapi juga menyalahi kodrat jagad’.
102.NYI WIRAREJA (nyaut – sengol) Klebu sampeyan barang niku! (RW: 21) ‘(menyahut-marah) termasuk kamu juga itu!’ Adapun kata yang dicetak tebal pada kutipan dialog di atas adalah kata klebu yang berasal dari kata kalebu yang berarti ‘termasuk’. Tembung plutan yang digunakan pada banyak kutipan dialog dalam naskah “Rembulan Wungu” ini menunjukkan bahwa penggunaan bahasa pengucapan banyak digunakan oleh penulisnya daripada bahasa tulis untuk lebih mempermudah tokoh dalam mendalami dialog-dialog yang ada dalam naskah.
d. Tembung Wancahan Tembung wancahan masih termasuk dalam tembung plutan, hanya saja pada tembung wancahan, suku kata yang dikurangi dengan cara dibuang dan tidak dipakai bukan digabungkan. Tembung wancahan pada commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
63
naskah “Rembulan Wungu” banyak ditemukan pada penyebutan kata panggilan untuk memanggil sesorang. Hal tersebut terlihat pada kutipan. 02.WIRANALA & WIRAKERTI (gembira) Enggih, Kang. (RW: 8) ‘(gembira) iya, Kang.’ 04.WIRANALA (ngguyu) Omah kula rika nggih padha mawon, Kang! (RW: 8) ‘(tertawa) Rumahku disana juga sama saja Kang!’ 05.WIRAKERTI (ngguyu) Metaram kalih Mbanyuwangi niku pun mboten onten bedane, Kang.(RW: 8) ‘(tertawa) Mataram dengan Banyuwangi itu sudah tidak ada bedanya, Kang’. 07.WIRAKERTI (dhehem) Anu, Kang. Kula tak matur blaka mawon. Nek sejatine, sowan kula niki diutus dening Ingkang Sinuwun.(RW: 8) ‘(berdehem) Begini, Kang. Aku akan bilang sejujurnya saja. Sejatinya kedatanganku ini diperintah oleh Sinuwun’
11.WIRANALA (manteb) Enggih Kang! Anak sampeyan Hoyi niku rak ajeng dipundhut selir. Kula kalih Kakang Wirakerti didhawuhi mriki, …… mboyong anak sampeyan! (RW: 8) ‘(mantab) Iya Kang! Anakmu Hoyi itu akan dijadikan selir. Aku dan kakang Wirakerti diperintah kesini, untuk membawa anakmu!’ 18.WIRANALA (nyaut) Napa nek ngoten sampeyan ngowel bakal diboyonge anak sampeyan? Eling lho Kang. Nek anak sampeyan klakon dipundhut selir, sampeyan kalih bojo sampeyan bakal melu mukti onten Metaram.(RW: 9) ‘(menyahut) apa kalau begitu kamu tidak mau kalau Hoyi sampai dibawa? Ingat lho Kang. Kalau anakmu dijadikan selir, kamu dan istrimu pasti hidupnya akan bahagia di Mataram’. 03.MANGUNJAYA (gembira) Nyuwun pangapunten,…. wonten ndhusun Dhi. Papanipun reged tur mboten mitayani.(RW: 8) ‘(gembira) Minta maaf... di dusun Dhi. Tempatnya kotor dan tidak commit to user meyakinkan’.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
64
06.MANGUNJAYA (sareh) Ning anu Dhi. Kula kepeksa badhe nyuwun priksa. …… Wonten wigatos menapa dene Adhi Tumenggung kekalih rawuh wonten nggriya kula. Mangka tanpa kabar langkung rumiyin. (ngingset lingguhe) Wonten menapa ta Dhi? (RW: 8) ‘(sabar) Tapi Dhi. Aku terpaksa ingin tahu.... ada kepentingan apa Adhi Tumenggung berdua datang ke rumahku. Bahkan tanpa kabar terlebih dahulu (membenarkan duduknya) Ada apa Dhi?’ 14.MANGUNJAYA Ingkang criyos sinten Dhi?(RW: 9) ‘Yang bercerita siapa Dhi?’ 17.MANGUNJAYA (nyaut) Ning menika mboten nyata Dhi. Toya ing sumur kula ngganda wangi menika jalaran kula nandur wit cendhana wonten ing celak sumur. (RW: 9) ‘(menyahut) tapi itu tidak nyata Dhi. Air di sumurku itu berbau wangi karena aku menanam pohon cendana di dekat sumur’ Tampak pada kutipan di atas, kata yang dicetak tebal adalah kata kang yang berasal dari kata kakang yang berarti ‘kakak’ dalam bahasa Indonesia. Dalam tembung wancahan terdapat 5 cara untuk mengurangi suku kata dalam sebuah kata, salah satunya adalah dengan mengurangi suku kata terdepan dalam sebuah kata. Kata kang yang berasal dari kata kakang kemudian diwancah dengan mengurangi suku kata terdepan dalam kata tersebut. Adapun hal tersebut juga tampak pada kata dhi yang berasal dari adhi yang berarti ‘adik’, kata adhi dikurangi suku kata terdepannya sehingga berubah menjadi dhi. Tembung wancahan yang memuat kata panggilan lain juga ditemukan dalam naskah ini. Berikut kutipan dialog yang dimaksud. 06.SINDUREJA (nyembah) Punapi, Njeng Pengeran. (RW: 2) ‘(menyembah) Apa, Kanjeng Pangeran. 11.ALAP-ALAP (manteb) O, nantang pati kowe!! (marang Karsula) Njeng Pengeran, mangga sami dipun adhepi sesarengan! (RW: 12) ‘(mantap) o, nantang mati kamu!!! (kepada Karsula) Kanjeng Pangeran, ayo dihadapi bersama-sama!’ 01.JURUBEKSA
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
65
(nyembah) Punten ndalem sewu Njeng Pengeran. Kok kadingaren tindak Katumenggungan. Kagungan kersa menapa.(RW: 13) ‘(menyembah) Maaf Kanjeng Pangeran. Kok tumben pergi ke Katumenggungan. Ada apa’. 02. JURUBEKSA (nyembah) Sendika Njeng Pengeran. (RW: 13) ‘(menyembah) Baik Kanjeng Pangeran.’ 07.HOYI (lungguh – nyembah) Punten ndalem sewu, Njeng Pengeran. (RW: 13) ‘(duduk-menyembah) Maaf, Kanjeng Pangeran’. 09.HOYI (ngadeg - nyembah) Kula ajrih Njeng Pengeran. (RW: 13) ‘(berdiri-menyembah) Aku takut Kanjeng Pangeran’. 35.NYI WIRAREJA Injih. (nyembah) Kok sajak ketingal goreh, wonten menapa Njeng Pengeran? (RW: 16) ‘Iya. (menyembah) Kok terlihat gelisah, ada apa kanjeng Pangeran?’ 37.NYI WIRAREJA Badhe mundhut priksa menapa Njeng Pengeran? (RW: 16) ‘Ingin menanyakan apa Kanjeng Pangeran?’ 41.NYI WIRAREJA (nyembah) Punten ndalem sewu,…. Manah kula sakestu bingah, dene Njeng Pengeran badhe mundhut Hoyi. Namung kemawon,….. (ribet) kula,..kula,… (RW: 16) ‘(menyembah) Maaf,.. hati saya sebenarnya bahagia, jika Kanjeng Pangeran ingin mengambil Hoyi. Hanya saja,... (ribet) saya,..saya,..’ 43.NYI WIRAREJA Mboten Njeng Pengeran. (RW: 16) ‘Tidak Kanjeng Pangeran’. 60.WIRAREJA (santai) Kowe ki ya aneh. Uwong ketemu uwong ki rak ya lumrah ta. Lha nek uwong ketemu macan terus diklethak ki jenenge aneh. …. Karo meneh, nek Njeng Pengeran ketemu anakmu ki njur piye? Rak ya lumrah ta? (RW: 18) ‘(santai) Kamu itu aneh. Orang ketemu orang itu kan ya lumrah. Lha kalau orang ketemu macan terus dimakan itu namanya aneh. Lagipula, kalau Kanjeng Pangeran ketemu anakmu itu terus bagaimana?’ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
66
61.NYI WIRAREJA (rada sengol) Lumrah pripun? Genah niki wau, bareng Njeng Pengeran priksa anak sampeyan terus kepranan penggalihe. (RW: 18) ‘(agak marah) Lumrah bagaimana? Ini tadi, setelah Kanjeng Pangeran tahu anakmu langsung jatuh cinta’. 68. WIRAREJA Karang le mati malem minggu, apa le ngabari disemayani Senin! … Wis, sak iki ora sah ngrembug Surti. Aku butuh ngerti perkarane Njeng Pengeran Tejaningrat. (RW: 18) ‘Memang meninggalnya malam minggu, apa iya mengabarinya dijanjikan Senin! Sudah, sekarang tidak usah membicarakan Surti. Aku ingin tahu masalahnya Kanjeng Pangeran Tejaningrat’. 69.NYI WIRAREJA Ngeten lho Pak. Sak empune Njeng Pengeran ngendika nek kepranan kalih Hoyi, kula rak njur matur. Nek Hoyi niku calon garawane Ingkang Sinuwun. Bareng ngerti kaya ngoten niku,… Njeng Pengeran terus jengkar tanpa pamit!(RW: 18) ‘Begini lho pak. Setelah kanjeng Pangeran mengatakan kalau tertarik dengan Hoyi, aku terus bilang kalau Hoyi itu calon istrinya Sinuwun. Setelah tahu begitu Kanjeng Pengeran pergi tanpa pamit!’ 72.WIRAREJA (ribet) Coba sak iki pikiren. Nek Njeng Pengeran Tejaningrat mundhut Hoyi, awake dhewe kudu wangsulan piye? Ora entuk cilaka, entuk ya cilaka! Nek sak iki Hoyi dikukuhi, nek Njeng Pengeran klakon jumeneng Ratu, awake dhewe mesthi cilaka! Ning nek diulungke sak iki awake dhewe ya rekasa Nyi! (RW: 19) ‘(ribet) Coba sekarang kamu pikir. Kalau Kanjeng Pangeran Tejaningrat mengambil Hoyi, kita harus menjawab apa? Tidak dapat ya bisa celaka, kalau dapat ya celaka! Kalau sekarang Hoyi dipertahankan, kalau pangeran benar-benar jadi raja, kita pasti celaka! Tapi kalau diberikan sekarang kita juga susah Nyi!’ 73.NYI WIRAREJA Nek ngoten, apike Hoyi dicaoske Njeng Pengeran Tejaningrat mawon Pak.(RW: 19) ‘Kalau begitu bagusnya Hoyi diberikan Kanjeng Pangeran Tejaningrat saja pak’. 75.NYI WIRAREJA (manteb) Kula niki omong tenan Pak! Wong dhek Hoyi sak patemon kalih Njeng Pengeran wau, kula weruh kok. Lan sajake, Hoyi nggih kepranan kalih Njengcommit Pengeran. Napamalih kiyambake kerep kandha to user kula, mboten duwe tresna kalih Ingkang Sinuwun!(RW: 19)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
67
(mantap) Aku ini bicara sesungguhnya pak! Tadi saat Hoyi bertemu dengan Kanjeng Pangeran, aku melihat dan kelihatannya Hoyi juga jatuh cinta dengan Kanjeng Pangeran. Apalagi dia sering bilang padaku, tidak punya rasa cinta pada Sinuwun!’ 77.WIRAREJA (gembira) Waah, mangga, mangga lenggahipun Njeng pengeran. (RW: 19) ‘(gembira) Waah, silakan, silakan duduk Kanjeng Pangeran’. Kata yang dicetak tebal pada kutipan-kutipan dialog di atas adalah kata njeng yang berasal dari kanjeng kemudian dihilangkan suku kata terdepannya. Kata kanjeng adalah sebutan untuk bangsawan Jawa atau untuk sebutan priyayi. Pada naskah ini panggilan kanjeng diberikan oleh orang yang kedudukannya lebih rendah dan ditujukan untuk pangeran dan raja di kerajaan Mataram. 28.HOYI (mrengut) Ning kula mboten saged nglampahi Ndara Nggung! Kula mboten purun dipun pundhut selir Ingkang Sinuwun, jalaran kula teksih remen gesang wonten ndhusun sareng kaliyan Bapak lan Simbok kula!(RW: 10) ‘(cemberut) tapi aku tidak bisa melaksanakannya Ndara Tumenggung! Aku tidak mau dijadikan Selirnya Sinuwun, karena aku masih suka hidup di dusun bersama bapak dan simbokku! Terdapat kata panggilan lain selain kanjeng yang penggunaannya dihilangkan suku kata terdepannya, dalam kutipan dialog Rara Hoyi di atas, Rara Hoyi memanggil Tumenggung Wiranala dengan sebutan nggung saja, penggunaannya sama dengan kata kanjeng yang kemudian diwancah menjadi njeng saja. Jabatan Tumenggung biasa digunakan untuk menyebut pimpinan prajurit atau bupati dalam kerajaan-kerajaan di Jawa. Dalam kutipan dialog Prabu Amangkurat dengan Pangeran Pekik, Prabu Amangkurat juga lebih sering memanggil Pangeran Pekik dengan sebutan man yang berasal dari panggilan paman yang kemudian suku kata terdepannya
dihilangkan,
namun
panggilan
man
tersebut
justru
mengesankan jika Prabu Amangkurat kurang menghargai Pangeran Pekik dan pendapat-pendapat yang disampaikannya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan dialog berikut. commit to user 37.AMANGKURAT
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
68
(keminter) Kula caosi priksa nggih Man. Kula ajeng yasa kedhaton anyar onten Plered niku merga duwe penggayuh. Penggayuh kula, punjering peprentahan cedhak kalih Kali Opak! Pamrihe, para among dagang seka mancanegara luwih gampang olehe sesambungan kalih Metaram!.... Lha nek laku dagang niku lancar, sing ajeng kepenak sinten? (kemaki) Kawula Metaram, Man! ….Kejaba niku nggih Man, kula dhawuh gawe bendungan niku merga kula mikir butuhe kawula! Nek bendungan niku maujud, kawula sing padha among tani gampang olehe entuk banyu kanggo ngileni sawahe! … Cetha?(RW: 5) ‘(sok pintar) Aku beritahu ya, Man. Aku mau membangun keraton baru di Plered itu karena punya cita-cita. Cita-citaku, pusat pemerintahan dekat dengan sungai Opak! Supaya mitra dagang dari mancanegara lebih mudah dalam menjalin komunikasi dengan Mataram! Kalau kegiatan berdagang itu lancar, yang ingin merasakan enak siapa? (sombong) Rakyat Mataram, Man! Kecuali itu ya Man, aku memerintahkan untuk membangun bendungan itu karena aku memikirkan kebutuhan rakyat! Kalau bendungan terwujud, rakyat yang bertani dapat mudah mendapatkan air untuk mengairi sawahnya! Jelas?
39.AMANGKURAT (kesenggol atine) Paman Pekik! ... Sampeyan ampun minteri kula! Senajan kula luwih enom timbang sampeyan, ning Ratune niku kula, Man!(RW: 5) ‘(tersenggol hatinya) Paman Pekik! Kamu jangan menggurui aku! Meskipun aku lebih muda daripada kamu, tapi rajanya itu saya, Man!’ 41.AMANGKURAT (nyaut – kemaki) Nek Ratune kula,... sampeyan manut kula! Karo malih nggih Man, senajan jejer sampeyan niku Pengeran Sentana, ning olehe dadi piyayi rak merga diparingi triman Bibi Ratu Wandan dening Bapak Ingkang Sinuwun. Nek sampeyan mboten nampa triman Bibi Ratu, napa klakon sampeyan dadi bapa paman kula lan maratuwa kula? (nylekit) Mboten Man!.... Mboten klakon!(RW: 5) ‘(menyahut-sombong) kalau rajanya itu aku.. kamu mengikutiku! Lagipula ya Man, meskipun kedudukanmu itu Pangeran Sentana, tapi bisa jadi piyayi kan karena diberikan ijin menikahi Bibi Ratu Wandan oleh Bapak Sinuwun. Kalau kamu tidak menerima ijin menikahi Bibi Ratu, apa bisa kamu jadi pamanku dan mertuaku? (nyelekit) Tidak Man!... Tidak akan terjadi!’ 45.AMANGKURAT commit to user (nyawang – sinis – mlengos) O,…Sampeyan, Man!(RW: 28)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
69
‘(memandang-sinin-melengos) O, kamu, Man!’ 50.AMANGKURAT (sinis - lirih) Mboten Man!…. Mboten aneh! (RW: 28) ‘(sinis) Tidak Man! Tidak aneh!’ 54.AMANGKURAT (ngalem – sinis) Pinter! Sampeyan pancen pinter, Man!(RW: 28) ‘(memuji-sinis) Pintar! Kamu memang pintar, Man!’ 58.AMANGKURAT (nyaut) Nggih mesthi tekan riku Man!…. Nek dede sampeyan sing nuduhke papan dununge Hoyi, lan Mangunjaya dede abdi kinasih sampeyan,…. pandakwa kula mboten ajeng tekan riku! ….(sinis – ngenyek) Sampeyan niku pripun ta Man, Man?! Kula teksih megermeger urip, lha kok sampeyan, dudu Bapakne Tejaningrat, wani ndhaupke anak kula kalih Hoyi! ….. Napa mang kira kula mboten isa mantokke anak kula?! (kemaki) Kula niki Ratu Man! …Sugih kula timbang sampeyan! (RW: 29) ‘(menyahut) Ya pasti sampai situ Man! Kalau bukan kamu yang menunjukkan tempatnya Hoyi, dan Mangunjaya bukan abdi kesayanganmu, tuduhanku tidak akan sampai situ! (sinis-menghina) Kamu itu bagaimana, Man, Man?! Aku masih hidup sehat begini, kok kamu bukan bapak Tejaningrat, berani menyatukan anakku dengan Hoyi! Apa kamu kira aku tidak bisa menikahkan anakku?! (sombong) Aku ini raja Man! Lebih kaya aku daripada kamu!’ 64.AMANGKURAT (nglulu) Mboten Man! Sampeyan niku parampara pinujul, tilas senapati Metaram sing ampuh!…..Nek mboten merga sampeyan, napa klakon Rama Sultan Agung mbedhah Nggiri Prapen lan nungkulake Kadipaten Surabaya, saktemah sampeyan diparingi triman Bibi Ratu Wandan dan disengkakake ngaluhur dadi parampara Metaram! ....(kemaki – nylekit) Ning nggih niku, merga sampeyan duwe watak keminter, mula njur ajeng minteri kula! Merga sampeyan mboten sarujuk nek kula jumeneng Ratu Metaram! Enggih ta?(RW: 29) ‘(memuji sindiran) Tidak Man! Kamu itu parampara yang unggul, bekas senapati Mataram yang ampuh!... Kalau bukan karena kamu, apa bisa Rama Sultan Agung membedah Giri Prapen dan mengalahkan kadipaten Surabaya, sehingga kamu diberikan ijin menikahi Bibi Ratu Wandan dan diangkat derajatnya menjadi parampara Mataram!... (sombong-menyakitkan) Tapi ya itu, karena kamu punya watak sok pintar, maka kamu jadi menggurui aku! Karena kamu tidak setuju jika aku menjadi raja Mataram! Iya kan?’ commit to user 68.AMANGKURAT
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
70
(manteb) Naaa! Mbok ngoten!…. Sing satriya mawon Man!(RW: 30) ‘(mantap) Naaa! Begitu! Selayaknya satriya saja Man!’ 70.AMANGKURAT Kula Ratu sing kagungan panguwasa gedhe, Man!(RW: 30) ‘Aku raja yang punya kekuasaan besar, Man! Dalam naskah ini juga terdapat dialog tembang Pocung yang memuat tembung wancahan. Tampak pada kutipan berikut. 60.AMANGKURAT (pucung) Atur ulun. …..Mring Sang Prabu ing matarum. ….Ndadosna pamriksa Ing Ndemung mengsah ngejegi. …..Para Kraeng king Makasar asalira. (marang Panji Karsula) Karsula.(RW: 7) ‘(Pocung) Atur ulun. …..Mring Sang Prabu ing matarum. ….Ndadosna pamriksa Ing Ndemung mengsah ngejegi. …..Para Kraeng king Makasar asalira. (kepada Panji Karsula) Karsula’. Pada kutipan dialog di atas kata yang dicetak tebal adalah kata king yang berasal dari kata saking yang memiliki arti ‘dari’. Penggunaan kata saking yang diwancah menjadi kata king bukan tanpa alasan, pemilihan kata king dalam tembang tersebut berfungsi untuk memenuhi aturan yang mengikat pada tembang. Adapun jika kata saking yang digunakan, maka baris dalam tembang Pocung tersebut akan memiliki jumlah suku kata yang lebih dari seharusnya sehingga dikurangilah suku kata terdepan dari kata saking. Pada naskah “Rembulan Wungu” ini juga ditemukan konjungsi yang termasuk dalam tembung wancahan. Tampak pada kutipan berikut. 60.WIRAREJA (santai) Kowe ki ya aneh. Uwong ketemu uwong ki rak ya lumrah ta. Lha nek uwong ketemu macan terus diklethak ki jenenge aneh. …. Karo meneh, nek Njeng Pengeran ketemu anakmu ki njur piye? Rak ya lumrah ta? (RW: 18) ‘(santai) Kamu itu aneh. Orang ketemu orang itu kan ya lumrah. Lha kalau orang ketemu macan terus dimakan itu namanya aneh. Lagipula, kalau Kanjeng Pangeran ketemu anakmu itu terus bagaimana?’ 69.NYI WIRAREJA Ngeten lho Pak. Sak empune Njeng Pengeran ngendika nek kepranan kalih Hoyi, kula rak njur matur. Nek Hoyi niku calon garawane commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
71
Ingkang Sinuwun. Bareng ngerti kaya ngoten niku ,… Njeng Pengeran terus jengkar tanpa pamit! (RW: 18) ‘Begini lho pak, setelah Kanjeng Pangeran berkata jika sudah jatuh cinta pada Hoyi, aku terus bilang. Kalau Hoyi itu calon istri Sinuwun. Setelah tahu seperti itu, Kanjeng Pangeran pergi tanpa pamit!’ 99.NYI WIRAREJA Ribet mang gawe dhewe kok njur nyalahke kula!!(RW: 21) ‘Ribet dibuat sendiri kok terus menyalahkanku!!’ 122.NYI WIRAREJA (nesu) Nek kula pinter omong njur sampeyan ajeng napa?! Ajeng ngejak pegatan, engghih!… Mbok ayo, nek nyata sampeyan wani megat,..kula mang pegat sakniki!(RW: 23) ‘(marah) kalau aku pintar bicara terus kamu mau apa?! Apa mengajak pisah,iya!... ayo, kalau kamu benar berani pisah, aku dipisah sekarang!’ 127.NYI WIRAREJA (menjeb) Heh, ora pandak! Angger kalah eyel njur lunga! Nesu! … Ora wurung ming ora pandak! …Titen-titenan! Engko bengi mesthi nyedhak karo nganyih-anyih! …. “Turu jejer kowe ya Nyi.”(RW: 23) (mulut mencos) Heh, tidak betah! Setiap kalah berdebat terus pergi! Marah! Tidak bisa cuma tidak betah! Kita lihat! Nanti malam pasti dekat-dekat sambil bisik-bisik! “tidur dekat kamu ya Nyi.’ 56.AMANGKURAT (sinis) Contone sampeyan, enggih ta? Rehne sampeyan mendem kuwasa, kepengin nguwasani Metaram, sampeyan njur ngedu kula kalih Tejaningrat nganggo piranti Rara Hoyi! Enggih ta?!(RW: 22) (sinis) contohnya kamu, iya kan? Karena kamu mabuk kekuasaan, ingin menguasai Mataram, kamu terus mengadu aku dan Tejaningrat dengan alat Rara Hoyi! Iya kan?’ 64.AMANGKURAT (nglulu) Mboten Man! Sampeyan niku parampara pinujul, tilas senapati Metaram sing ampuh!…..Nek mboten merga sampeyan, napa klakon Rama Sultan Agung mbedhah Nggiri Prapen lan nungkulake Kadipaten Surabaya, saktemah sampeyan diparingi triman Bibi Ratu Wandan dan disengkakake ngaluhur dadi parampara Metaram! ....(kemaki – nylekit) Ning nggih niku, merga sampeyan duwe watak keminter, mula njur ajeng minteri kula! Merga sampeyan mboten sarujuk nek kula jumeneng Ratu Metaram! Enggih ta? (RW: 29) ‘(menyindir) Tidak Man! Kamu itu parampara yang unggul, bekas senapati Mataram yang ampuh!... Kalau bukan karena kamu, apa bisa commit to user Rama Sultan Agung membedah Giri Prapen dan mengalahkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
72
kadipaten Surabaya, sehingga kamu diberikan ijin menikahi Bibi Ratu Wandan dan diangkat derajatnya menjadi parampara Mataram!... (sombong-menyakitkan) Tapi ya itu, karena kamu punya watak sok pintar, maka terus mau menggurui aku! Karena kamu tidak setuju jika aku menjadi raja Mataram! Iya kan?’ Dalam kutipan-kutipan dialog di atas terlihat kata yang dicetak tebal yaitu njur yang berasal dari kata banjur. Kata banjur jika diartikan dalam bahasa Indonesia yaitu ‘terus’ atau ‘kemudian’. Dalam percakapan masyarakat Jawa penggunaan kata njur lebih sering digunakan karena lebih luwes dan singkat. Dalam naskah ini, Bondan Nusantara pun menggunakan cukup banyak kata njur daripada kata banjur itu sendiri. 16. SINDUREJA (nyembah – mantep) Sendika! (nyembah – ngadeg ing pojok madhep penonton - wibawa) Para ingkang padha sowan kabeh wae.(RW: 3) ‘(menyembah-mantap) Baiklah! (menyembah-berdiri di pojok menghadap penonton-berwibawa) Kepada semua saja yang hadir menghadap.’ 18.SINDUREJA (wibawa) Adhedhasar unjuk rembuge Hastha Nayaka, kadang Sentana lan para Pengeran, dina iki, aku, iya badal wakil dalem kanjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma sarta para Parampara Metaram, byawara marang para kang padha sowan kabeh! ………………(wibawa) Sepisan, wiwit dina Respati manis iki, Raden Mas Jibus, iya Kanjeng Pengeran Adipati Anom Arya Metaram, putra dalem Kanjeng Sultan Agung ingkang angka sepuluh, resmi jumeneng Nata jejuluk, Kanjeng Susuhunan Ingalaga, iya Kanjeng Sunan Prabu Amangkurat Agung ing Metaram!…….(wibawa) Kapindhone, Kanjeng Sunan Prabu Amangkurat Agung, kepareng amisudha putra dalem Kanjeng Pengeran Tejaningrat minangka Pangeran Adipati Anom! Sapa kang ora sarujuk marang byawara iki bakal adu arep karo Kanjeng Pangeran Pekik sarta para senapati Metaram liyane!(RW: 3) ‘(berwibawa) berdasarkan pembicaraan dari para pejabat keraton, abdi keraton, dan para pangeran, hari ini aku sebagai wakil dari Kanjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma serta para juru bicara Mataram, diumumkan kepada semua yang hadir menghadap. (berwibawa) Yang pertama, mulai hari Kamis manis ini, Raden Mas Jibus sebagai Kanjeng Pangeran Adipati Anom Arya Mataram, putra dari Kanjeng Sultan Agung yang kesepuluh resmi diberi gelar Kanjeng Susuhunan Ingalaga dan diangkat menjadi Kanjeng Sunan Prabu Amangkurat Agung di Mataram. (berwibawa) Yang kedua, Kanjeng Sunan Prabu commitmenjadikan to user Amangkurat Agung resmi putranya Kanjeng Pangeran
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
73
Tejaningrat sebagai Pangeran Adipati Anom! Siapa yang tidak setuju dengan pengumuman ini akan beradu tanding dengan Pangeran Pekik serta para Senapati Mataram yang lain.’ Pada kutipan dialog di atas tampak perbedaan pada kata yang dicetak tebal, pada dialog Sindureja yang pertama kata yang dicetak tebal yaitu ingkang sedangkan kata yang dicetak tebal pada dialog Sindureja yang kedua adalah kang. sebenarnya kedua kata yang dicetak tebal tersebut tidak memiliki perbedaan makna, hanya saja kata ingkang sudah dihilangkan suku kata terdepannya sehingga berubah menjadi tembung wancahan dan bentuknya menjadi kang. Adapun arti dari kata ingkang atau kang pada kutipan dialog di atas yaitu ‘yang’. Berikut bentuk kata kang ‘yang’ pada kutipan dialog yang lain. 27. AMANGKURAT Yoh, ingsun nedha nrima Sindureja. Awit, ingsun pancen ngersakake kraton Metaram kang mapan ana ing Kerta iki dipindhah menyang Plered. Uga nambak kali Opak kanggo gawe bendungan Segarayasa. (RW: 4) ‘Ya, aku menerimanya Sindureja. Memang aku menginginkan Keraton Mataram yang ada di Kerta ini dipindah ke Plered. Juga menambak sungai Opak untuk dibuat bendungan Segarayasa. e. Kerata Basa Dikerata berarti diartikan sesuai urutan suku kata atau pengucapannya, dengan di otak atik agar sesuai. Kerata basa berarti bahasa atau kata yang dikerata. Dalam naskah “Rembulan Wungu” ini terdapat beberapa kerata basa yang ditemukan. Tampak pada kutipan berikut. 41.AMANGKURAT (nyaut – kemaki) Nek Ratune kula,... sampeyan manut kula! Karo malih nggih Man, senajan jejer sampeyan niku Pengeran Sentana, ning olehe dadi piyayi rak merga diparingi triman Bibi Ratu Wandan dening Bapak Ingkang Sinuwun. Nek sampeyan mboten nampa triman Bibi Ratu, napa klakon sampeyan dadi bapa paman kula lan maratuwa kula? (nylekit) Mboten Man!.... Mboten klakon!(RW: 5) ‘(menyahut-sombong) kalau rajanya itu aku.. kamu mengikutiku! Lagipula ya Man, meskipun kedudukanmu itu Pangeran Sentana, tapi bisa jadi piyayi kan karena diberikan ijin menikahi Bibi Ratu Wandan oleh Bapak Sinuwun. Kalau kamu tidak menerima ijin menikahi Bibi Ratu, apa bisa kamu jadi pamanku dan mertuaku? (nyelekit) Tidak commit to user Man!... Tidak akan terjadi!’
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
74
Pada kutipan dialog di atas kata yang dicetak tebal adalah kata maratuwa yang berarti mertua yaitu orang tua dari istri atau suami. Dalam kerata basa, kata maratuwa berarti mara-mara bareng wis tuwa ‘datang-datang sudah tuwa’. Maksud dari ‘datang-datang sudah tuwa’ ini terlihat memang mertua itu datang dan hadir dalam hidup kita saat mereka sudah sepuh atau tua. Dalam mengartikan kata maratuwa ini sebenarnya hanya diotak-atik saja katanya dan dicarilah kata yang pas, itulah kepintaran masyarakat Jawa, kata sederhanapun bisa diartikan dalam kata yang bermacam-macam dan disesuaikan dengan makna kata tersebut. 09.WIRAKERTI Enggih! (ngingset lingguhe) Dene wigatine,….. Ingkang Sinuwun dhawuh kula, mboyong anak sampeyan.(RW: 8) ‘Iya! (membenarkan posisi tempat duduk) sedangkan masalah yang penting, Sinuwun memerintahkanku untuk membawa anakmu.’ Kerata basa yang ada pada kutipan di atas ada pada kata yang dicetak tebal yaitu kata anak. Kerata basa dari kata anak yaitu samubarang kekarepane kudu ana lan sarwa kepenak ‘apapun keinginannya harus ada dan serba nyaman’. Kerata basa ini memang sangat cocok sekali artinya bahwa sebagai anak itu sering meminta kepada orang tua dan keinginannya harus terpenuhi serta ingin hidup nyaman dibawah asuhan orang tua. 20.WIRANALA Sampeyan niku rak Bapakne. Mosok ora isa ngandhani anak supaya manut wong tuwa.…. Ngendi ana pandhe kalah karo wesi. ….Pun sakniki Hoyi mang undang, mang takoni onten ngarep kula kalih Kakang Wiranala.(RW: 9) ‘Kamu itu kan bapaknya, masa tidak bisa memberitahu anak supaya patuh pada orang tuwa.... mana ada pandai besi kalah dengan besi. Sudah sekarang panggilkan Hoyi, ditanya didepanku dan Kakak Wiranala.’ Pada kutipan dialog di atas kerata basa yang ditunjukkan pada kata bapak. Kerata basa dari kata bapak yaitu bab apa-apa sarwa pepak ngelmune lan pengalamane ‘bab apapun selalu lengkap ilmu dan pengalamannya’. Memang sosok bapak adalah sosok orang yang selalu membimbing dan melindungi kita, orang pertama yang selalu kita tanyai commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
75
masalah apapun dan juga pengalaman dalam hidupnya yang selalu diajarkan pada kita dengan kasih sayang. 21.HOYI (nyembah) Punten ndalem sewu. Ngendika dalem kraos aneh wonten ing kuping kula.(RW: 15) ‘(menyembah) Maaf, perkataan Pangeran terasa aneh di kuping saya.’ Dalam kutipan dialog di atas kata yang dicetak tebal yaitu kata kuping ‘telinga’. Kerata basa dari kata kuping yaitu kaku tur jepiping ‘kaku dan bentuknya pipih’. Kerata basa dari kuping atau telinga ini mengacu pada bentuk dan tekstur telinga yang agak kaku kemudian bentuknya yang pipih berdiri. 28.ADIPATI ANOM (nyedhaki gandrung sarampunge) Sliramu aja mbebeda atiku ta. Ming matur “gelem” wae kok angel. Mbok uwis,… “Injih,Pengeran kula sagah” … rampung ta? Mula sak iki ayo, dherekna aku ketemu wong tuwamu. Mengko aku sing bakal ngendika yen sliramu ndak kersakake dadi garwaku.(RW: 15) ‘(mendekati jatuh cinta hingga akhir) Kamu jangan mempermainkan hatiku, hanya bilang “mau”saja kok susah. Sudahlah, “iya Pangeran saya mau”.. selesai kan? Maka sekarang ayo, temani aku bertemu orang tuamu. Nanti aku yang bilang kalau dirimu aku inginkan menjadi istriku.’ Kerata basa yang ditemukan dalam kutipan dialog tersebut tampak pada kata yang dicetak tebal yaitu kata garwa, dalam bahasa Indonesia bisa berarti suami atau istri. Kerata basa dari garwa yaitu sigaraning nyawa ‘belahan jiwa’, dapat diartikan bahwa pasangan suami dan istri yang sudah menikah diharapkan bahwa pasangan tersebut merupakan belahan jiwa mereka, yang akan hidup bersama dengan disertai kasih sayang. 48.AMANGKURAT (ngampet duka - sinis) Heh, aneh! Sampeyan kok dha ngaturke bekti kalih kula? Teksih kelingan napa, .... nek kula niki Ratu Gusti Sampeyan?(RW: 28) ‘(menahan marah-sinis) Heh, aneh! Kamu kok pada memberikan bakti kepadaku? Masih ingat apa, kalau aku ini Raja Gustimu?’ Kata yang dicetak tebal pada kutipan dialog diatas menunjukkan kerata basa, yaitu pada commit kata gusti. Kerata basa dari kata gusti yaitu to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
76
bagusing ati ‘hati yang bagus’. Maksud dari kata gusti ini adalah, siapapun yang menyebut dirinya gusti, maka harus mencerminkan sifat mereka dan mempunyai hati yang baik, serta memiliki keluhuran budi. Seorang raja biasa dipanggil dengan sebutan gusti, karena diharapkan raja mereka memiliki hati yang baik, dapat memberikan contoh yang baik kepada rakyatnya, dan dapat memberikan kesejahteraan pada rakyatnya. 106.RATU WANDAN Lha sak iki bocahe ana ngendi ta Nyi?(RW: 21) ‘lha sekarang anaknya ada dimana Nyi?’ Dalam kutipan dialog di atas, kata yang dicetak tebal adalah kata bocah yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah anak yang umurnya masih kecil dan belum bisa disebut dewasa. Kerata basa dari kata bocah adalah mangane kaya kebo, penggawene ora kena dicacah ‘makannya seperti kerbau(rakus), pekerjaannya tidak bisa dihitung. Maksud dari kerata basa ini adalah sifat yang ada pada anak-anak umumnya masih seenaknya sendiri dan tidak mau diatur, kemudian pada anak-anak sedang mengalami fase pertumbuhan sehingga nafsu makannya tidak terkontrol sehingga terkesan berlebihan.
f. Tembung Entar Tembung entar dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai kata kiasan atau konotatif, karena dalam mengartikan tembung entar ini tidak bisa diartikan secara mentah namun harus dilihat pada konteks kalimatnya. Dalam naskah “Rembulan Wungu” ini ditemukan beberapa tembung entar yang turut menjadikan dialog dalam naskah ini menjadi lebih indah. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan dialog berikut. 10.MALEWA (nesu) Kurangajar! Suwaramu ngabangke kuping! Wuwusmu tanpa suba sita! Apa kok kira wulu githokku bakal njegrig krungu kandhamu! ... (ngguyu) Ora! Aku lan wong-wong Mekasar ora bakal mundur sak jangkah ngadhepi tandange prajurit Metaram!! (RW: 12) ‘(marah) Kurangajar! Omonganmu membuatku telingaku merah! Keakuanmu tanpa tata krama! Apa kamu kira bulu kudukku akan commit to user berdiri mendengar omonganmu!... (tertawa) tidak! Aku dan orang-
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
77
orang Makassar tidak akan mundur selangkah menghadapi prajurit Mataram!!’ Dalam kutipan dialog di atas terdapat beberapa kata yang termasuk dalam tembung entar, yaitu suwaramu ngabangke kuping ‘suaramu memerahkan telinga’, wulu githokku bakal njegrig krungu kandhamu ‘bulu kudukku akan berdiri mendengar omonganmu’, dan ora bakal mundur sak jangkah ‘tidak akan mundur satu langkah’. Tembung entar yang pertama dari kutipan di atas adalah suwaramu ngabangke kuping, jika dilihat dari makna denotatif tidak mungkin jika suara dapat membuat telinga menjadi merah, makna dari tembung entar ini adalah bahwa perkataan prajurit mataram pada Malewa telah membuat dirinya menjadi emosi dan geram. Tembung entar yang kedua adalah wulu githokku bakal njegrig krungu kandhamu, maksud dari tembung entar yang kedua ini adalah bulu kuduk berdiri identik dengan perasaan takut, jadi kalimat di atas bermakna Malewa tidak akan takut dengan ancaman yang diberikan oleh prajurit Mataram. Tembung entar yang selanjutnya dari kutipan di atas adalah ora bakal mundur sak jangkah, dalam konteks kalimat tersebut mundur satu langkah dapat diartikan menjadi menyerah, jadi Malewa tidak akan pernah menyerah dan takut untuk menghadapi dan bertempur dengan prajurit Mataram. 39a.AMANGKURAT (sengol) Ayo ditampani! Pengeran Pati, calon Ratu kok miyur atine!(RW: 27) ‘(marah) Ayo terimalah! Pangeran Adipati calon Raja kok lembek hatinya! Dalam kutipan dialog di atas yang dicetak tebal adalah tembung entar yang ditemukan dalam kutipan di atas. Miyur atine jika diartikan secara denotatif adalah lembek hatinya, namun dalam konteks kalimat di atas kata tersebut tidak bisa diartikan secara denotatif bahwa hati Pangeran Adipati Anom adalah lembek namun tembung entar tersebut bermakna bahwa Prabu Amangkurat Agung mengatakan tentang sifat Pangeran Adipati Anom yang kurang tegas dan penakut dalam mengambil keputusan commit to user padahal dia adalah seorang calon raja.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
78
75.PNG PEKIK (saya manteb) Emut Sinuwun!! Ratu menika pindha srengenge lan rembulan ingkang suka panggesangan lan raos tentrem! Nanging ingkang kula sumerepi, srengenge lan rembulan sampun kinemulan cahya wungu, cahyaning sedhih ingkang kebak panandhang! Menawi Sampeyan Ndalem mboten mboten mulat, cahwa wungu menika badhe saya surem saktemah dados cemeng, kados dene cemenging penggalih dalem ingkang sampun kerem ing kongas lan kumalungkunging panguwaos! (RW: 30) ‘(semakin mantab) Ingat Sinuwun!! Raja itu seperti matahari dan rembulan yang menyukai kehidupan dan rasa tentram! Namun yang saya lihat, matahari dan rembulan sudah terselimuti cahaya ungu, cahaya kesedihan yang penuh dengan pilu! Jika raja sudah tidak bisa mengendalikan, cahaya ungu itu bisa bertambah suram menjadi hitam, seperti halnya hitam hatimu yang sudah termakan kekuasaan dan keserakahan.’ Dalam kutipan dialog di atas kata yang dicetak tebal adalah cemenging penggalih yang berarti ‘hitamnya hati’, kata tersebut merupakan kata yang berarti konotatif. Dalam konteks kalimat di atas, bukan berarti bahwa hati dari Prabu Amangkurat Agung warnanya adalah hitam, namun hitam disini adalah warna yang identik dengan kejahatan dan kebencian. Hitamnya hati Prabu Amangkurat Agung mencerminkan sifatnya yang penuh dengan keserakahan, egoisme yang tinggi, kebencian, dan dibutakan oleh kekuasaan sehingga kodrat sejatinya sebagai raja yang harusnya melindungi dan mensejahterakan rakyatnya menjadi diabaikan hanya demi kepentingannya sendiri. g. Saloka Saloka masih termasuk dalam tembung entar, namun jika dalam tembung entar, kata yang digunakan di dalamnya dapat diganti dengan kata lain, namun dalam saloka dalam penggunaannya kata yang digunakan adalah tetap dan tidak bisa digantikan menjadi kata yang lain dan di dalamnya terkandung makna perumpamaan. Sesuatu yang dijadikan perumpamaan dalam saloka adalah sifat dan keadaan manusia, oleh karena itu isi perumpaan manusia ini berada di kata paling depan. Dalam naskah “Rembulan Wungu”, terdapat saloka yang digunakan dalam dialog. Tampak pada kutipan berikut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
79
20.WIRANALA Sampeyan niku rak Bapakne. Mosok ora isa ngandhani anak supaya manut wong tuwa.…. Ngendi ana pandhe kalah karo wesi. ….Pun sakniki Hoyi mang undang, mang takoni onten ngarep kula kalih Kakang Wiranala.(RW: 9) ‘Kamu itu kan Bapaknya. Masa tidak bisa menasehati anak agar patuh dengan orang tua... mana ada pandai besi kalah dengan besinya. Sudah sekarang panggilkan Hoyi, tanyakan didepanku dan kakak Wiranala.’ Dalam kutipan dialog di atas kata-kata yang dicetak tebal adalah pandhe kalah karo wesi. Pandhe dalam bahasa Indonesia berarti pandai besi jadi pandhe kalah karo wesi berarti seorang pandai besi yang kalah dengan besi yang dibuatnya. Hal ini tidak mungkin jika besi yang benda mati bisa mengalahkan pandai besi yang membuatnya. Dalam kutipan dialog di atas makna yang ingin yang disampaikan adalah Wiranala mengatakan pada Wirareja untuk menasehati anaknya Roro Hoyi agar mau diboyong ke Keraton Mataram untuk dijadikan selir Prabu Amangkurat Agung. Wiranala mengatakan mosok pandhe kalah karo wesi untuk mengibaratkan wirareja seperti pandhe sedangkan rara Hoyi adalah wesi atau besinya, sehingga Wiranala mencibir Wirareja dengan kalimat tersebut. h. Panyandra Nyandra berarti menggambar atau keadaan yang digambarkan melalui perumpamaan, jadi bukan perumpamaannya yang disebut candra, namun perumpamaannya itu ada hanya sebagai sarana untuk mendapatkan gambaran keindahan atau keadaan tertentu(Padmoesoekotjo, 1958: 101). Dalam naskah ketoprak “Rembulan Wungu” terdapat panyandra yang terdapat dalam dialog Pangeran Adipati Anom kepada Rara Hoyi. Tampak pada kutipan berikut. 12.ADIPATI ANOM Hoyi (mesem). …. Apik jenengmu Laras karo pasuryan lan solah bawamu sing merak ati. (ngguyu) Ngertiya yen Wirareja duwe anak sliramu, aku mesthi kerep tindak mrene supaya bisa sak patemon karo sliramu. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
80
‘Hoyi (tersenyum) bagus namamu sesuai dengan wajah dan tingkah lakumu yang menarik. (tertawa) jika tahu Wirareja memiliki anak seperti kamu, aku pasti sering kesini supaya bisa bertemu denganmu.’ Dalam kata di atas kata yang dicetak tebal adalah merak ati yang berarti menarik hati. Merak adalah burung yang cantik dan sangat indah bulunya. Dalam kutipan dialog tersebut, Pangeran adipati Anom yang memuji Rara Hoyi mengatakan bahwa wajah dan tingkah lakunya merak ati. Seperti kita tahu bahwa Merak adalah burung yang cantik dengan bulunya yang sangat indah dan mengagumkan maka Pangeran memuji Rara Hoyi dengan mengumpamakan Hoyi menjadi Merak karena kecantikan dan tingkah lakunya yang sudah menarik hati sang pangeran dan membuatnya jatuh cinta. i. Parikan Parikan dapat disebut pula sebagai pantun Jawa, dalam parikan terdiri dari 3 aturan yaitu terdiri dari dua kalimat yang menggunakan purwakanthi guru swara, tiap satu kalimat terdiri dari dua baris, dan kalimat yang pertama merupakan purwaka atau pembuka sedangkan yang kedua merupakan isi (Padmosoekotjo, 1960: 16). Dalam naskah ketoprak “Rembulan Wungu” terdapat parikan pada dialog peperangan antara prajurit Mataram dan para Kraeng dari Makassar. Perhatikan kutipan berikut. 13.GALENGSONG (manteb) Caaaa,…..! Sekethi mburi sak yuta ngarsa!(RW: 12) 14.PARA KRAENG (koor - bareng) Luwih becik mati katimbang dibanda!(RW: 12) 15.KARSULA (mantep) Kudhi pacul singa landhepa!(RW: 12) 16.PRAJURIT MATARAM (koor – bareng) Sapa lena ndhepani bantala!(RW: 12) 17.PARA KRAENG (bareng) Sak kridhamu tak ladeni! (RW: 12) 18.PRAJURIT MATARAM (bareng) Sak budimu tak kembari!(RW: 13) Dalam kutipan beberapa dialog diatas terlihat sebuah pantun dengan 2 commit to user dialog yang saling membentuk sampiran dan isi pantun. Dalam dialog di
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
81
atas terjadi keindahan bunyi karena dalam sampiran dan isi memiliki akhiran huruf vokal yang sama atau yang disebut dengan purwakanthi guru swara. Dalam dialog galengsong dan para kraeng berikut: (manteb) Caaaa,…..! Sekethi mburi sak yuta ngarsa!(RW: 12) (koor - bareng) Luwih becik mati katimbang dibanda!(RW: 12) Terlihat bahwa terdapat kesamaan vokal /i/ dan /a/ dalam dua dialog tersebut menunjukkan purwakanthi guru swara, dan kedua kalimatnya membentuk pantun. Sama halnya dengan dialog Karsula dn para prajurit mataram yang membentuk keindahan bunyi dengan kesamaan vokal /a/, seperti berikut: (mantep) Kudhi pacul singa landhepa!(RW: 12) (koor – bareng) Sapa lena ndhepani bantala!(RW: 12) Adapun 2 dialog yang terakhir antara para kraeng dan prajurit mataram, seperti berikut: (bareng) Sak kridhamu tak ladeni! (RW: 12) (bareng) Sak budimu tak kembari!(RW: 13) Terlihat persamaan keindahan bunyi vokal /a/, /u/, dan /i/. 2. Nilai Pendidikan Karakter dalam naskah ketoprak “Rembulan Wungu” Sebuah jurnal yang ditulis oleh Suryaman (2010: 114) menyatakan bahwa sastra memiliki potensi yang besar untuk membawa masyarakat ke arah perubahan, termasuk perubahan karakter. Dalam karya sastra, terlebih pada drama ketoprak memiliki banyak nilai pendidikan karakter yang dapat diambil. Contohnya pada naskah ketoprak “Rembulan Wungu” yang memiliki nilai pendidikan terutama nilai pendidikan karakter yang bisa kita teladani. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Chafit Ulya bahwa dalam naskah ketoprak “Rembulan Wungu” banyak ditemukan nilai pendidikan karakter. Saya kira pertunjukan drama sangat kaya dengan muatan pendidikan karakter, meskipun saya tidak bisa menyebutkan satu per satu dari 18 unsur pendidikan karakter. Tetapi bahwa proses mementaskan naskah commit to user drama saja sudah mengandung banyak nilai pendidikan karakter,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
82
seperti tanggung jawab, kejujuran, kerja sama, toleransi, rasa hormat, dan sebagainya. Sedangkan dari cerita, kita bisa meneladani karakter tokoh dalam naskah, bagaimana belajar menjadi ksatria, belajar jujur pada diri sendiri, berani menyatakan kebenaran, berani membela dan mempertahankan kebenaran meskipun nyawa taruhannya, perasaan cinta, dan banyak lagi yang lainnya. Sangat banyak nilai pendidikan karakter yang dapat diambil dari naskah drama dan proses pertunjukan drama tersebut. (Catatan lapangan hasil wawancara pada lampiran ke 5 halaman 181) Menurut Chafit Ulya, dalam naskah ketoprak “Rembulan Wungu” menyajikan nilai-nilai pendidikan karakter yang dapat diambil seperti, kejujuran, sifat berani ksatria, berani membela kebenaran dan jujur kepada diri sendiri. Chafit Ulya juga menambahkan jika dalam proses pementasan drama saja, banyak nilai-nilai pendidikan karakter yang kita terapkan seperti tanggung jawab, kejujuran, kerjasama, toleransi, dan sebagainya. Adapun pendapat tersebut diperkuat oleh Endang Wahyuti berikut ini. Dalam ketoprak ini kan jelas sekali pendidikan karakternya mbak, misalkan pada saat abdi berbicara kepada raja dengan menggunakan krama inggil tentu beda pada saat abdi itu berbicara dengan sesama abdi, itu juga mengajarkan anak-anak unggah-ungguh dan menghargai orang yang lebih tua, dalam cerita ini juga diajarkan tentang keberanian, tanggung jawab dalam melaksanakan tugas serta sikap disiplin dalam menyelesaikan tugas, ya naskah ini cukup bagus untuk diterapkan dalam pembelajaran.(Catatan lapangan hasil wawancara lampiran ke 5 halaman ke 156). Endang wahyuti menambahkan bahwa ketoprak mengajarkan kita tentang bagaimana menghormati seseorang yang kedudukannya lebih tinggi daripada kita melalui cara berbicara dengan bahasa yang lebih halus, kemudian naskah ketoprak “Rembulan Wungu” ini memberikan nilai-nilai pendidikan karakter yang dapat diterapkan untuk pembelajaran seperti tanggung jawab dalam menyelesaikan tugas, kedisiplinan dalam bertindak dan keberanian. Pendapat lain juga dikemukakan oleh Endang Palupi berikut ini. ya seperti kita tahu ya mbak, kalau memang sebenarnya cerita dan dialog-dialog dalam naskah ketoprak itu sangat bisa dijadikan sebagai suatu contoh pendidikan karakter, saya disini menemukan 16 pendidikan karakter dalam cerita “rembulan Wungu” ini mbak, ada kejujuran, kedisiplinan, kerukunan, kerjasama, commitnasionalisme, to user tanggung jawab, persatuan, patriotisme, ketaqwaan, keimanan,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
83
kebersamaan, ketertiban, tenggang rasa, kepedulian, kesopanan, dan yang terakhir itu sportifitas. Itu yang saya temukan dalam cerita tersebut mbak. (Catatan lapangan hasil wawancara lampiran ke 5 halaman 167) Dalam kutipan di atas, Endang Palupi menemukan banyak sekali nilai pendidikan karakter dalam naskah ketoprak “Rembulan Wungu”. Hal ini membuktikan bahwa naskah ketoprak “Rembulan Wungu” memang memiliki kebermanfaatan yang tinggi dengan mengandung nilai-nilai positif yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari siswa serta dapat memotivasi mereka untuk menjadi generasi muda yang berkarakter dan mencintai kebudayaannya sendiri. Nilai pendidikan karakter menurut peneliti, sangat penting esensinya dalam
kehidupan
dan
Kementerian
Pendidikan
Nasional
telah
merumuskan 18 nilai karakter yang akan ditanamkan dalam diri peserta didik sebagai upaya membangun karakter bangsa. Berikut akan dikemukakan 18 nilai karakter versi Kementerian Pendidikan Nasional yang disusun Kementerian Pendidikan Nasional melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum yang meliputi: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan dan nasionalisme, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, (18) tanggung jawab (Suyadi, 2013: 7). Berikut deskripsi nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam naskah ketoprak “Rembulan Wungu”. a. Religius Religius yakni ketaatan dan kepatuhan dalam memahami dam melaksanakan ajaran agama (aliran kepercayaan) yang dianut, termasuk dalam hal ini adalah sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama (aliran kepercayaan) lain, serta hidup rukun dan berdampingan (Suyadi, 2013: 8). Peneliti menghadirkan nilai pendidikan karakter melalui tokoh Pangeran Pekik yang menjelaskan kepada Prabu Amangkurat Agung commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
84
bahwa menjadi raja berarti mengemban kewajiban untuk menebar kebenaran dan keadilan karena raja adalah wakil dari Bathara atau dewa di bumi. Pangeran Pekik menunjukkan sisi kereligiusannya dengan mengingatkan Prabu Amangkurat Agung agar tidak menjauhi sifat bathara yang seharusnya karena sifat Prabu Amangkurat Agung yang sangat arogan dalam memerintah sudah menyebabkan rakyat hidup sengsara. Perhatikan kutipan berikut. 53. PANGERAN PEKIK Punten ndalem sewu. Panguwaos menika wewenang. Dene Ratu mekaten wakiling Bethara ing madyapada. Gadhah kuwajban mbabar leres saha adil.(RW: 28) ‘Maafkan saya. Penguasa adalah wewenang. Sedangkan Raja seperti wakilnya Bathara di bumi. Mempunyai kewajiban menebar kebenaran dan keadilan.’ b. Jujur Jujur yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan kesatuan antara pengetahuan, perkataan, dan perbuatan (mengetahui yang benar, mengatakan yang benar, dan melakukan yang benar), sehingga menjadikan orang yang bersangkutan sebagai pribadi yang dapat dipercaya (Suyadi, 2013: 8). Dalam naskah ketoprak “Rembulan Wungu” ini, ada nilai pendidikan karakter yang ditampilkan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Chafit Ulya berikut. Saya kira pertunjukan drama sangat kaya dengan muatan pendidikan karakter, meskipun saya tidak bisa menyebutkan satu per satu dari 18 unsur pendidikan karakter. Tetapi bahwa proses mementaskan naskah drama saja sudah mengandung banyak nilai pendidikan karakter, seperti tanggung jawab, kejujuran, kerja sama, toleransi, rasa hormat, dan sebagainya. Sedangkan dari cerita, kita bisa meneladani karakter tokoh dalam naskah, bagaimana belajar menjadi ksatria, belajar jujur pada diri sendiri, berani menyatakan kebenaran, berani membela dan mempertahankan kebenaran meskipun nyawa taruhannya, perasaan cinta, dan banyak lagi yang lainnya. Sangat banyak nilai pendidikan karakter yang dapat diambil dari naskah drama dan proses pertunjukan drama tersebut. (Catatan lapangan hasil wawancara lampiran ke 5 halaman 181) Chafit Ulya menjelaskan bahwa dalam naskah ketoprak “Rembulan Wungu” bisa ditemukan nilai pendidikan karakter jujur. Ketika Rara Hoyi hendak diboyong ke Mataram oleh Wiranala dan commit to menolak user Wirakerti, Rara Hoyi dengan berani dan mengatakan dengan jujur
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
85
bahwa dia tidak mau dijadikan selir oleh Prabu Amangkurat Agung meskipun ayahnya sendiri yaitu Mangunjaya takut dan tidak berani menolak permintaan dari Wiranala dan Wirakerti. Berikut kutipannya. 28.HOYI (mrengut) Ning kula mboten saged nglampahi Ndara Nggung! Kula mboten purun dipun pundhut selir Ingkang Sinuwun, jalaran kula teksih remen gesang wonten ndhusun sareng kaliyan Bapak lan Simbok kula!(RW: 10) ‘(cemberut) tapi aku tidak bisa melakukannya Ndara Tumenggung! Aku tidak mau dijadikan selirnya Sinuwun, karena aku masih suka hidup di dusun bersama bapak dan simbokku!’ Rara Hoyi selain jujur tidak mau dijadikan selir oleh Prabu Amangkurat Agung dia juga jujur kepada Pangeran Adipati Anom jika dia mau diajak bertemu kembali dengan Pangeran Adipati Anom. 16.ADIPATI ANOM (nyedhak) Ora sah wedi. Matur wae apa anane. Yen pancen sliramu gelem, matur apa anane wae. …..(ngrayu) Piye, gelem apa ora?(RW: 14) ‘(mendekat) Tidak usah takut. Bilang saja apa adanya. Kalau kamu mau, bilang apa adanya. (merayu) bagaimana, mau atau tidak?’ 17.HOYI (isin - remen) Purun, Pengeran. (RW: 14) ‘(malu-mau) Mau, Pangeran. Dalam kutipan dialog di atas terlihat bahwa Rara Hoyi sebenarnya juga menyukai Pangeran Adipati Anom dengan dia mengatakan bahwa dia mau untuk diajak bertemu kembali dengan Pangeran meskipun dia terlihat malu-malu mau saat menjawabnya. Karakter jujur yang lain ditampilkan oleh Pangeran Pekik ketika berhadapan dengan Prabu Amangkurat Agung. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan dialog berikut. 66.AMANGKURAT (nylekit) Ampun meneng mawon Man! Nek pancen pandakwa kula mboten nyata,….diwangsuli mawon!(RW: 30) ‘(menyakitkan) Jangan diam saja Man! Kalau memang tuduhanku tidak nyata, dijawab saja!’ 67.PANGERAN PEKIK (nyembah) Kula akeni Sinuwun.(RW: 30) ‘(menyembah) Saya akui Sinuwun.’ 68.AMANGKURAT commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
86
(manteb) Naaa! Mbok ngoten!…. Sing satriya mawon Man!(RW: 30) ‘(Mantap) Naaa! Seperti itu!... Yang satria saja Man!’ 69.PANGERAN PEKIK (nyembah – manteb) Punten ndalem sewu. Kula mila mboten sarujuk dhateng jumeneng Ndalem! Anggen ndalem yasa kraton ing Plered mboten namung ngrisak lestarining wana! Nanging ugi damel cintrakaning kawula! Jalaran kawula Metaram Sampeyan Ndalemyan peksa nyambut damel mbangun kedhaton!(RW: 30) ‘(menyembah-mantap) Maafkan saya. Saya memang tidak setuju dengan pemerintahan Prabu! Keputusan Prabu untuk membangun keraton di Pleret tidak hanya merusak kelestarian hutan! Tapi juga membuat rakyat sengsara! Sebab rakyat Mataram Prabu paksa untuk membangun keraton!’ Dalam dialog di atas Pangeran Pekik dengan sifat kesatrianya mengakui dan menjawab dengan jujur apa yang telah dituduhkan Prabu Amangkurat Agung kepada Pangeran Pekik bahwa itu benar. Pangeran Pekik memang tidak setuju dengan cara memerintah dari Prabu Amangkurat Agung, bukan karena iri tapi cara sang Prabu dalam memerintah sungguh tidak mempedulikan rakyat-rakyatnya. Beberapa kutipan dialog naskah ketoprak “Rembulan Wungu” di atas mewakili karakter jujur. Karakter tersebut dapat berupa jujur dengan perasaannya sendiri seperti yang dilakukan oleh Rara Hoyi yang memang dari awal tidak mau diboyong ke Mataram dan dijadikan selir sang Prabu Amangkurat Agung, kemudian kejujuran yang dilakukan Pangeran Pekik yang memiliki keberanian yang besar dalam mengakui bahwa dirinya memang tidak setuju dengan cara memerintah yang dilakukan oleh Prabu Amangkurat Agung kepada rakyat Mataram. Kejujuran Pangeran Pekik mengajarkan kepada kita bahwa kita tidak perlu takut untuk berkata jujur selama itu benar meskipun yang kita hadapi adalah penguasa kita sendiri.
c. Disiplin Disiplin adalah kebiasaan dan tindakan yang konsisten terhadap segala bentuk peraturan atau tata tertib yang berlaku (Suyadi, 2013: 8). Ketika Rara Hoyi akan diboyong ke Mataram untuk dijadikan selir, Mangunjaya sebagai ayahnya Rara Hoyi tidak bisa mencegah hal tersebut meskipun commit to user Rara Hoyi adalah anaknya sendiri, karena Mangunjaya menganggap
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
87
dirinya hanya sebagai rakyat yang harus patuh terhadap perintah rajanya. Hal tersebut tergambar dalam kutipan berikut. 30.MANGUNJAYA Nek sepisan iki aku ora isa apa-apa, Nyi. Merga aku iki punggawa sing kecencang pernatan kudu manut lan nituhu dhawuhing Ratu. Nek aku cawe-cawe perkara iki, aku bakal dianggep luput marang sing kagungan panguwasa, Nyi.(RW: 10) ‘Kalau yang pertama ini aku tidak bisa berbuat apa-apa Nyi. Karena aku ini punggawa yang terikat peraturan dan harus patuh terhadap perintah raja. Kalau aku ikut campur dalam masalah ini, aku akan dianggap salah oleh yang punya kuasa, Nyi.’ Ketaatan Mangunjaya terhadap keraton Mataram sangat terlihat, meskipun dia sebenarnya juga tidak ingin membiarkan anaknya diboyong ke Mataram karena memang Hoyi juga tidak mau tapi sebagai rakyat yang terikat aturan dan harus mematuhi perintah sang raja, Mangunjaya menyerahkan anaknya untuk dibawa oleh Wiranala dan Wirakerti. Karakter disiplin juga diperlihatkan oleh Alap-alap saat meringkus para Kraeng dari Makassar di alas demung, dia mengatakan kepada para Kraeng bahwa kepulangannya ke Mataram harus bisa membawa para Kraeng karena memang perintah dari sang Prabu Amangkurat Agung seperti itu. Perhatikan kutipan berikut. 09.ALAP-ALAP (nyaut – manteb) Kuwi dudu urusanku! Sebab wanter dhawuh dalem Ingkang Sinuwun, baliku meyang Metaram kudu bisa ngrangket kowe sak kanca!(RW: 12) ‘(menyahut-mantap) Itu bukan urusanku! Sebab berdasarkan perintah Sinuwun, pulangku ke Mataram harus bisa meringkus kamu dan teman-temanmu!’ Selain kutipan di atas, berikut ini juga menunjukkan kedisiplinan yaitu dalam menerima perintah dari Prabu Amangkurat Agung. 45.AMANGKURAT (wibawa) Wiwit sesuk, para kawula didhawuhi nyambutgawe yasa kedhaton lan bendungan! Sapa sing wani mbadal dhawuhingsun kudu diukum pati! Dene yen ana nayaka sing ora sarujuk, enggal dibanda lan dipepe neng ngalun-alun Metaram!(RW: 5) ‘(berwibawa) Mulai besok, rakyat diperintahkan untuk bekerja membuat keraton dan bendungan! Siapa yang berani menolak commit to user perintahku harus dihukum mati! Sedangkan jika ada abdi keraton yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
88
tidak setuju, segera diikat dengan tali dan dijemur di Alun-alun Mataram!’ 46.SINDUREJA (nyembah) Sendika.(RW: 5) ‘(menyembah) Baiklah.’ 49.AMANGKURAT Kaya rembugingsun wingi, sak-bubare pisowanan sira ingsun keparengake lumawat menyang Mbanyuwangi, sakperlu nindakke dhawuh timbalaningsun.(RW: 6) ‘Seperti pembicaraan kemarin, setelah selesainya pertemuan kamu aku ijinkan pergi ke Banyuwangi, untuk menjalankan perintahku.’ 50.WIRANALA & WIRAKERTI (nyembah – mantep) Sendika!(RW: 6) ‘(menyembah-mantap) Baiklah.’ Kutipan tersebut memperlihatkan kedisiplinan seorang prajurit dalam menjalankan perintah yang diberikan oleh sang raja. Walaupun resiko di depan menghadang namun harus tetap dijalankan dengan sungguhsungguh. Jadi, karakter-karakter yang ada pada kutipan di atas sudah mewakili disiplin dalam mematuhi peraturan dan menjalankan perintah.
d. Kerja keras Kerja keras adalah perilaku yang menunjukkan upaya secara sungguhsungguh (berjuang hingga titik darah penghabisan) dalam menyelesaikan berbagai tugas, permasalahan, pekerjaan, dan lain-lain dengan sebaikbaiknya (Suyadi, 2013: 8). Dalam naskah ketoprak “Rembulan Wungu” terdapat nilai pendidikan karakter kerja keras yang ditampilkan. Karakter kerja keras ada dalam diri banyak tokoh salah satunya adalah Wiranala. Wiranala yang mendapat tugas dari Prabu Amangkurat Agung berusaha sekuat mungkin untuk membujuk Mangunjaya agar mau untuk menasihati anaknya Rara Hoyi agar mau diboyong ke Mataram. Perhatikan kutipan dialog berikut. 20.WIRANALA Sampeyan niku rak Bapakne. Mosok ora isa ngandhani anak supaya manut wong tuwa.…. Ngendi ana pandhe kalah karo wesi. ….Pun commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
89
sakniki Hoyi mang undang, mang takoni onten ngarep kula kalih Kakang Wiranala.(RW: 9) ‘Kamu itu kan bapaknya. Masa tidak bisa menasehati anak supaya patuh dengan orang tua. Mana ada pandai besi kalah dengan besinya. Sudah sekarang Hoyi panggilkan, kamu tanyakan di depanku dan kakang Wiranala.’ Selain sosok Wiranala yang bekerja keras untuk meyakinkan Mangunjaya agar mau membujuk Rara Hoyi agar mau diboyong ke Mataram, Nyi angunjaya juga sekuat tenaga berusaha meyakinkan suaminya, agar bisa mempertahankan Rara Hoyi agar tidak diboyong ke Mataram. Perhatikan kutipan di bawah. 36.NYI MANGUNJAYA (nesu) Pak! Sampeyan niku pripun ta?! Anake wedok niki njaluk direwangi! Ning kena napa sampeyan malah ming meneng mawon! Sampeyan niku Bapakne lho! Mosok ora isa ngewangi anak sing lagi ketaman perkara!! Mbok omong ta Pak! Omong!!(RW: 10) ‘(marah) Pak! Kamu itu bagaimana?! Anak perempuannya ini minta dibantu! Tapi kenapa kamu hanya diam saja! Kamu itu bapaknya lho! Masa tidak bisa membantu anaknya yang terkena masalah!! Bicaralah Pak! Bicara!’ Beberapa kutipan di atas menunjukkan karakter kerja keras tokoh dalam meyakinkan seseorang untuk mau melakukan apa yang diinginkannya, meskipun memang tidak semua usaha kerja keras tersebut dapat menghasilkan sesuatu yang diinginkan. e. Kreatif Kreatif adalah sikap dan perilaku yang mencerminkan inovasi dalam berbagai segi dalam memecahkan masalah sehingga selalu menemukan cara-cara baru, bahkan hasil-hasil baru yang lebih baik dari sebelumnya (Suyadi, 2013: 8). Karakter kreatif ditunjukkan Nyi Wirareja saat berdebat dengan Ki Wirareja membicarakan Rara Hoyi akan diserahkan kepada Prabu Amangkurat Agung atau Pangeran Adipati Anom, dengan mantapnya Nyi Wirareja menjatuhkan pilihan kepada Pangeran Adipati Anom, karena dia tahu bahwa Rara Hoyi sesungguhnya mencintai to userAmangkurat Agung yang sifatnya Pangeran Adipati Anom, commit bukan Prabu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
90
sungguh tidak bisa dijadikan contoh. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut. 73.NYI WIRAREJA Nek ngoten, apike Hoyi dicaoske Njeng Pengeran Tejaningrat mawon Pak.(RW: 19) ‘Kalau begitu, bagusnya Hoyi diserahkan kepada Pangeran Tejaningrat saja Pak.’ Tidak hanya sampai disitu tapi juga Nyi Wirareja juga mendukung Pangeran Pekik dan Ratu Wandan untuk menjodohkan Rara Hoyi dan Pangeran Adipati Anom untuk demi kepentingan keraton Mataram, meskipun Ki Wirareja berusaha untuk menghalanginya karena takut kepada Prabu Amangkurat Agung namun Nyi Wirareja tetap membela dengan segala pemikiran-pemikirannya. Perhatikan kutipan berikut.
93.NYI WIRAREJA (nyaut) Ning napa enggih Ingkang Sinuwun duka, wong sing ajeng mundhut Hoyi niku putrane dhewe! Mosok, Bapak kok ora gelem ngalah karo anak!(RW: 20) ‘(menyahut) Tapi apa iya Sinuwun akan marah, yang ingin mengambil Hoyi saja putranya sendiri! Masa, bapak tidak mau mengalah dengan anak!’ Uraian di atas menunjukkan sisi kreatif dari seorang Nyi Wirareja, meskipun dirinya hanya sebagai abdi dalem namun pemikiranpemikirannya tak terduga dan dia tetap menjunjung tinggi kebenaran yang seharusnya ditegakkan oleh siapapun tidak peduli memiliki pangkat ataukah tidak. Hal tersebut mengajarkan kita, walaupun kita tidak memiliki kedudukan dan berada di bawah penguasaan seorang yang besar tapi kita harus tetap berani untuk menyuarakan kebenaran dengan pemikiran- pemikiran kita. f. Mandiri Mandiri adalah sikap dan perilaku yang tidak tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan berbagai tugas maupun persoalan (Suyadi, 2013: 8). Dalam naskah ketoprak “Rembulan Wungu”, Nyi Wirareja istri dari Ki Wirareja menunjukkan kemandiriannya ketika sedang berdebat dengan suaminya. Dia bahkan mengatakan kalau dia tidak takut diceraikan kalau memang dia berkata benar. Hal tersebut tampak pada kutipan commit to user berikut.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
91
122.NYI WIRAREJA (nesu) Nek kula pinter omong njur sampeyan ajeng napa?! Ajeng ngejak pegatan, engghih!… Mbok ayo, nek nyata sampeyan wani megat,..kula mang pegat sakniki!(RW: 23) ‘(marah) Kalau aku pintar berbicara terus kamu mau apa?! Mau mengajak pisah,iya! Ayolah kalau memang kamu berani mau mengajak pisah, aku diceraikan sekarang!’ Karakter mandiri yang lain juga ditunjukkan oleh Rara Hoyi ketika masih di kampung bersama bapak dan ibunya. Meskipun dia dirumah bersama orang tuanya tapi tidak serta merta dia menggantungkan segala pekerjaan rumah kepada orang tuanya, di rumah dia juga memasak sendiri untuk menyiapkan makan. Hal tersebut tergambar pada kutipan berikut. 22.HOYI (ngadeg radi tebih) Ana apa ta Pak kok ngundang aku? Aku ki lagi masak neng pawon, nyepakke dhahar. …. (maju) Ana apa ta Pak?(RW: 9) ‘(berdiri agak menjauh) Ada apa Pak kok memanggilku? Aku ini sedang emmasak di dapur, menyiapkan makanan. (maju) Ada apa Pak?’ Dari beberapa kutipan dialog di atas menunjukkan kemandirian wanita-wanita di naskah ketoprak “Rembulan Wungu”. Bukan berarti karena mereka wanita kemudian selalu menggantungkan hidup kepada lelaki atau orang tua. Nyi Wirareja yang tidak takut untuk dipisah oleh suaminya bukan berarti karena dia berani melawan suami namun karena dia ingin mempertahankan pendapatnya yang benar. Adapun Rara Hoyi juga termasuk anak yang mandiri, dengan tidak menggantungkan pekerjaan rumahnya kepada kedua orang tuanya meskipun kedua orang tuanya ada di rumah. Karakter mandiri pada naskah ketoprak “Rembulan Wungu” tersebut patut menjadi contoh. g. Demokratis Demokratis adalah sikap dan cara berpikir yang mencerminkan persamaan hak dan kewajiban secara adil dan merata antara dirinya dengan orang lain (Suyadi, 2013: 8). Pada saat acara jumenengan mengangkat Prabu Amangkurat Agung dan Pangeran Adipati Anom, semua keputusan itu dilakukan berdasarkan musyawarah demokratis oleh semua pangeran, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
92
saudara-saudara, dan juru bicara yang ada di keraton Mataram. Tampak pada kutipan berikut. 18.SINDUREJA (wibawa) Adhedhasar unjuk rembuge Hastha Nayaka, kadang Sentana lan para Pengeran, dina iki, aku, iya badal wakil dalem kanjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma sarta para Parampara Metaram, byawara marang para kang padha sowan kabeh! ………………(wibawa) Sepisan, wiwit dina Respati manis iki, Raden Mas Jibus, iya Kanjeng Pengeran Adipati Anom Arya Metaram, putra dalem Kanjeng Sultan Agung ingkang angka sepuluh, resmi jumeneng Nata jejuluk, Kanjeng Susuhunan Ingalaga, iya Kanjeng Sunan Prabu Amangkurat Agung ing Metaram!…….(wibawa) Kapindhone, Kanjeng Sunan Prabu Amangkurat Agung, kepareng amisudha putra dalem Kanjeng Pengeran Tejaningrat minangka Pangeran Adipati Anom! Sapa kang ora sarujuk marang byawara iki bakal adu arep karo Kanjeng Pangeran Pekik sarta para senapati Metaram liyane!(RW: 3) ‘(berwibawa) Berdasarkan musyawarah dari Juru bicara, saudarasaudara, dan para pangeran, hari ini aku sebagai wakil dari Kanjeng Sultan Agung Hanyakrakusuma serta para juru bicara Mataram, mengumumkan kepada semua yang hadir! (Berwibawa) Pertama, mulai di hari Kamis manis ini, Raden Mas Jibus atau Kanjeng Pangeran Adipati Anom Arya Mataram, putra dari kanjeng Sultan Agung yang ke sepuluh, resmi naik tahta bergelar Kanjeng Sunan Ingalaga Kanjeng Sunan Prabu Amangkurat Agung ing Mataram! (berwibawa) Kedua Kanjeng Sunan Prabu Amangkurat Agung akan diijinkan untuk menjadikan putranya Pangeran Tejaningrat sebagai Pangeran Adipati Anom! siapa yang tidak setuju dengan pengumuman ini akan bertanding dengan Kanjeng Pangeran Pekik dan para senapati Mataram yang lain.’ Dari kutipan tersebut, ditemukan wujud demokrasi yaitu memutuskan sesuatu secara bersama-sama atau musyawarah. Keputusan yang diambil secara bersama-sama atau musyawarah memungkinkan untuk terjadinya kesepakatan yang adil dan tidak merugikan pihak-pihak yang lain. h. Semangat kebangsaan atau nasionalisme Semangat kebangsaan atau nasionalisme adalah sikap dan tindakan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau individu dan golongan (Suyadi, 2013: 9). Dalam naskah ketoprak “Rembulan Wungu” terdapat wujud karakter semangat commit to user kebangsaan atau nasionalisme yaitu ketika Pangeran Pekik dan Ratu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
93
Wandan menentang Prabu Amangkurat Agung demi kepentingan rakyat Mataram. Perhatikan kutipan berikut. 94.PEKIK Bojomu bener, Beine. Ora-orane Kanjeng Sunan duka marang kowe. Sing luwih wigati. Aku nyurung dhaupe Tejaningrat karo Hoyi kuwi ora mung kanggo aku. Ning ya kanggo kawigatene Metaram. …Coba pikiren, Kanjeng Sunan kae Ratu sing angel dingerteni sipat lan pikirane! Lha wong Metaram lagi paceklik malah ngundha layangan karo tindak besiyar tekan sak jabaning rangkah Metaram!(RW: 20) ‘Istrimu benar, Bei. Tidak akan Kanjeng Sunan marah kepadamu. Yang lebih penting aku mendorong bersatunya Tejaningrat dengan Hoyi itu bukan hanya untukku tapi juga untuk kepentingan Mataram. Coba sekarang pikir, Kanjeng Sunan itu Raja yang susah dimengerti sifat dan pikirannya! Mataram sedang paceklik kok malah bermain layang-layang dan pergi bertamasya keluar wilayah Mataram!’ Keputusan Pangeran Pekik mungkin akan melanggar keinginan Prabu Amangkurat Agung, tapi untuk kepentingan rakyat Mataram Pangeran Pekik rela melakukannya. Karakter semangat kebangsaan yang lain juga ditunjukkan oleh istrinya yaitu Ratu Wandan yang juga mendrorong keputusan Pangeran Pekik. Perhatikan kutipan berikut. 104.RATU WANDAN (nyaut) Mula Beine, amrih Metaram iki bisa dadi becik,Tejaningrat kudu enggal jumeneng. Mangka Tejaningrat duwe penjaluk, gelem jumeneng yen sing nyisihi minangka garwa prameswari, anakmu Hoyi. …Lha yen nganti Tejaningrat kagol, ora gelem jumeneng, sing bakal kelangan gedhe Metaram. Merga nasibe Metaram ing mbesuke, gumantung wayah Pengeran Tejaningrat.(RW: 21) ‘(menyahut) Maka Bei, supaya Mataram ini bisa menjadi baik, Tejaningrat harus segera naik tahta. Sedangkan Tejaningrat punya keinginan, mau naik tahta jika yang menjadi istrinya adalah anakmu Rara Hoyi. Kalau sampai tejaningrat tidak mau naik tahta maka yang akan rugi besar adalah Mataram. Karena nasib Mataram di masa depan tergantung pada Pangeran Tejaningrat. Karakter semangat kebangsaan dan nasionalisme ditunjukkan oleh Pangeran Pekik dan Ratu Wandan dengan menentang Prabu Amangkurat dan menjodohkan Pangeran Adipati Anom dan Rara Hoyi demi kepentingan Mataram. Sikap Prabu Amangkurat Agung yang semkin menjadi-jadi dengan menyengsarakan rakyat Mataram, user tinggal diam. Karakter yang membuat keduanya commit tidak tobisa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
94
ditampilkan di atas merupakan karakter kebangsaan atau nasionalisme yang ditunjukkan dengan tidak takut menentang penguasa jika yang dilakukan adalah benar dan demi negaranya. i. Cinta tanah air Cinta tanah air adalah sikap dan perilaku yang mencerminkan rasa bangga, setia, peduli, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya, sehingga tidak mudah menerima tawaran bangsa lain yang dapat merugikan diri bangsa sendiri (Suyadi, 2013: 9). Ratu Wandan digambarkan begitu cinta dengan Negara Mataram sehingga mereka berdua rela mati demi kesetiaannya dengan Mataram. Tampak pada kutipan berikut. 78.RATU WANDAN (tatag) Sinuwun. Wiwit badhe sowan kala, manah lan pikiran kula sampun kula tata!!Kula mboten badhe ngraes, nyuwun sih pangapunten ndalem! Semanten ugi Kangmas Pengeran Pekik! Jalaran kula ngertos, Sampeyan Ndalem sampun ketlikung dening kumalungkunging panguwaos! Penggalih dalem sampun ketruwu dhateng gebyaring kadonyan, saktemah sepi dhateng sih katresnan, lan tebih saking raos kamanungsan!(RW: 31) ‘(teguh) Sinuwun. Sejak akan datang kesini, hati dan pikiran saya sudah tertata! Saya tidak akan mengemis minta pengampunanmu! Begitu juga dengan kangmas Pangeran Pekik! Sebab saya tahu, kamu itu sudah melenceng dan dibutakan oleh kesombongan kekuasaan! Hatimu juga sudah dipenuhi dengan kesilauan dunia, yang sangat jauh dari rasa kasih sayang dan kemanusiaan!’ Wujud dari kesetiaan Pangeran Pekik dan Ratu Wandan terhadap Mataram, keduanya rela menerima hukuman mati dari Prabu Amangkurat Agung yang kejam. Wujud rasa cinta tanah air dari Pangeran Pekik dan Ratu Wandan patut menjadi teladan untuk kita agar kita juga bisa mencintai negeri kita Indonesia dan mau menjaganya dari orang-orang yang punya rencana jahat merusak negeri kita. j. Komunikatif Komunikatif adalah senang bersahabat atau proaktif yakni sikap dan tindakan terbuka terhadap orang lain melalui komunikasi yang santun sehingga tercipta kerja sama secara dengan baik(Suyadi, 2013: commit to kolaboratif user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
95
9). Dalam naskah ketoprak “Rembulan Wungu” wujud karakter komunikatif tergambar dalam kutipan berikut ini. 01.MANGUNJAYA (gembira) Mangga mangga, lenggahipun dipun agem sekeca kemawon.(RW: 8) ‘(gembira) silakan silakan.. duduknya dibuat yang nyaman saja.’ 02.WIRANALA & WIRAKERTI (gembira) Enggih, Kang.(RW: 8) ‘(gembira) iya, Kang.’ 03.MANGUNJAYA (gembira) Nyuwun pangapunten,…. wonten ndhusun Dhi. Papanipun reged tur mboten mitayani.(RW: 8) ‘(gembira) Minta maaf, di dusun Dhi, tempatnya kotor dan tidak bagus.’ 04.WIRANALA (ngguyu) Omah kula rika nggih padha mawon, Kang!(RW: 8) ‘(tertawa) rumahku disana juga sama saja, Kang!’ 05.WIRAKERTI (ngguyu) Metaram kalih Mbanyuwangi niku pun mboten onten bedane, Kang.(RW: 8) ‘(tertawa) Mataram dan Banyuwangi itu sudah tidak ada bedanya, Kang.’ Dari kutipan dialog antara Ki Mangunjaya, Wiranala, dan Wirakerti di atas menunjukkan karakter komunikatif yang senang bersahabat dan proaktif. Meskipun Wiranala dan Wirakerti adalah tumenggung keraton Mataram, mereka tidak menunjukkan kesombongan sedikitpun kepada Mangunjaya yang hanya seorang rakyat biasa yang tinggal di desa. Kutipan di atas menunjukkan karakter komunikatif yang bersahabat dan proaktif dalam naskah ketoprak “Rembulan Wungu” yang patut kita tiru. k. Peduli lingkungan Peduli lingkungan adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar (Suyadi, 2013: 9). Pada saat Prabu Amangkurat Agung memerintahkan untuk membangun keraton dan bendungan, Pangeran Pekik dan Ratu Wandan tidak setuju karena hal tersebut akan merusak kelestarian hutang yang dibabat untuk kepentingan pembuatan keraton baru. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut. 69.PANGERAN PEKIK commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
96
(nyembah – manteb) Punten ndalem sewu. Kula mila mboten sarujuk dhateng jumeneng Ndalem! Anggen ndalem yasa kraton ing Plered mboten namung ngrisak lestarining wana! Nanging ugi damel cintrakaning kawula! Jalaran kawula Metaram Sampeyan Ndalemyan peksa nyambut damel mbangun kedhaton! (RW: 30) ‘(menyembah-mantap) Maafkan saya. Saya memang tidak setuju dengan pemerintahan Prabu! Dalam pembangunan keraton di Pleret tidak hanya merusak kelestarian hutan tapi juga membuat sengsara rakyat! Karena rakyat Prabu paksa untuk membangun keraton!’ Karakter peduli lingkungan yang lain juga ditampilkan oleh sosok Ratu Wandan yang sejak awal sudah tidak setuju dengan keputusan Prabu Amangkurat Agung memerintahkan rakyat dalam membangun keraton baru di Pleret. Perhatikan kutipan berikut. 33.RATU WANDAN Pemanggih kula mila mekaten, Sinuwun. Awit, mbotena kula monjuk, Sampeyan Ndalem temtu priksa. Sak sampunipun Bapak Dalem Kanjeng Sultan Agung Hanyakrakesuma ngetabaken wadyabala nundhung Kumpeni saking Njakarta, Metaram ketelasan tiyang. Sabin tuwin pategalan sami njembrung jalaran mboten wonten ing nanemi.(RW: 4) ‘Pendapat saya seperti ini, Sinuwun. Meskipun tidak saya katakan, tentu Sinuwun tahu bahwa setelah Bapak Sinuwun Kanjeng Sultan Agung Hanyakrakusumu memerintahkan untuk mengirim prajurit untuk melawan penjajah dari Jakarta, Mataram kehabisan orang. Sawah dan tegal kotor ditumbuhi rumput karena tidak ada yang menanami.’ Beberapa kutipan di atas menunjukkan karakter peduli lingkungan yang sesuai dengan 18 nilai pendidikan karakter yang patut untuk kita tiru dan teladani. l. Peduli sosial Peduli sosial adalah sikap dan perbuatan yang mencerminkan kepedulian sosial terhadap orang lain maupun masyarakat yang membutuhkan (Suyadi, 2013: 9). Pangeran Pekik dan Ratu Wandan menunjukkan kepedulian sosialnya terhadap rakyat Mataram. Tampak pada kutipan berikut. 34.PNG PEKIK (nyembah) Kanjeng Ratu leres. Metaram sakmangke mboten namung user paceklik. Para kawula dalem ringkih. Nanging ugicommit saweg to ketaman
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
97
sami kirang tedha saha kecalan panggesanganipun…. Lha menawi sakmangke Sampeyan Ndalem dhawuhi yasa kedhaton – damel bendungan, lajeng mbenjing menapa anggenipun sami badhe nanem pantun, Sinuwun.(RW: 4) ‘(menyembah) Kanjeng Ratu benar. Mataram sekarang tidak hanya ringkih. Tapi juga sedang terkena paceklik. Para rakyat sedang tidak berdaya dan kehilangan hidupnya. Kalau nanti Prabu memerintahkan untuk membangun keraton dan bendungan, kemudian besok bagaimana dengan yang akan menanam padi, Sinuwun.’ Karakter peduli sosial yang lain juga kembali ditunjukkan oleh Pangeran pekik ketika sedang meyakinkan Ki Wirareja agar mau mendukung rencanany untuk menyelamatkan rakyat Mataram dari pemerintahan Prabu Amangkurat Agung. Perhatikan kutipan berikut. 100.PNG PEKIK Blaka suta wae ya Beine. Lelakon iki ora bakal rampung yen kowe lan aku ora cawe-cawe. Malah yen ora kepeneran, kawula bakal saya okeh sing dadi kurban merga dipeksa nyambut gawe yasa bendungan lan gawe kraton anyar ing Plered. Yen kahanan iki ora enggal didandani, sapa sing bakal rugi?(RW: 21) ‘Jujur saja ya Bei, keadaan ini tidak akan selesai jika kamu dan aku tidak ikut campur. Malah jika tidak sesuai, rakyat akan semakin banyak yang menjadi korban karena dipaksa bekerja untuk membuat bendungandan keraton baru di Pleret. Jika keadaan ini tidak segera diperbaiki, siapa yang akan rugi?’ 101.WIRAREJA Injih kawula Metaram, Pengeran.(RW: 21) ‘Ya rakyat Mataram, Pangeran.’ 73.PNG PEKIK (manteb) Nanging menapa sampun leres, wewenanging Ratu mekaten kedah damel sangsaraning kawula?! Kurban awit saking pambanguning kedhaton lan bendungan sampun mboten saged ipun etang! Mboten ngemungna wujud beya lan arta, nanging ugi gesangipun para kawula Metaram! Ingkang langkung kesangeten malih, Sampeyan ndalem mentala paring pidana dhateng nayaka ingkang wani nduwa kersa dalem ingkang mboten leres!(RW: 30) ‘(mantap) Tapi apa sudah benar, wewenang ratu seperti ini harus membuat sengsara rakyat?! Korban dari pembangunan keraton dan bendungan sudah tidak bisa dihitung! Tidak hanya wujud biaya dan uang, tapi juga kehidupan rakyat Mataram! Yang lebih keterlaluan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
98
lagi, Prabu tega memberikan hukuman terhadap siapapun yang menentang keinginan Prabu yang tidak benar!’ Beberapa kutipan dari naskah ketoprak “Rembulan Wungu” di atas sudah mewakili karakter peduli sosial. Karakter tersebut berupa keinginan untuk memperjuangkan kehidupan rakyat Mataram yang sudah sengsara hidupnya akibat pemerintahan Prabu Amangkurat Agung yang tidak bijaksana. m. Tanggung jawab Tanggung jawab adalah sikap dan perilaku sesorang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, baik yang berkaitan dengan diri sendiri, sosial, masyarakat, bangsa, negara, maupun agama (Suyadi, 2013: 9). Pangeran Pekik dan Ratu Wandan yang mendorong untuk dijodohkannya Rara Hoyi dan Pangeran Adipati Anom sudah berjanji untuk menanggung segala konsekuensi yang akan diterimanya. Hal tersebut tergambar dalam kutipan berikut. 88.RATU WANDAN (nyaut) Aku ngerti Beine. Ning kowe ora sah wedi. Yen mengko Kanjeng Sunan duka, matura wae. Sing mundhut aku karo Kangmas Pengeran Pekik. Rak ya ngono ta Nyi?(RW: 20) ‘(menyahut) Aku tau Bei. Tapi kamu tidak usah takut. Kalau nanti Kanjeng Sunan marah, bilang saja. Yang mengambil aku dan Kangmas Pangeran Pekik. Bukan begitu kan Nyi?’ Dari kutipan di atas Ratu Wandan dan Pangeran Pekik menunjukkan karakter tanggung jawab dengan masalah perjodohan Pangeran Adipati Anom dan Rara Hoyi. Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam naskah ketoprak “Rembulan Wungu”
memiliki nilai-nilai
pendidikan karakter yang sesuai dengan nilai pendidikan karakter yang dikemukakan oleh kemeterian pendidikan nasional yang sangat bermanfaat untuk pembaca. Pembaca kemudian bisa meneladani nilai-nilai pendidikan karakter yang ada pada tokoh-tokoh untuk diimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari dan untuk memperluas ilmu. 3. Relevansi dengan Pembelajaran Bahasa Jawa Di SMP commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
99
Materi pembelajaran bahasa Jawa di SMP disusun dengan disesuaikan dengan isi kurikulum. Kurikulum merupakan pedoman untuk guru menentukan pokok-pokok yang akan diajarkan kepada peserta didik. Terdapat dua kurikulum yang digunakan dalam pembelajaran SMP saat ini yaitu Kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kurikulum 2013 tergantung dari sekolah yang bersangkutan. Dalam kurikulum 2013 menyertakan kompetensi dasar memahami sandiwara tradisional Jawa sebagai pembelajaran yang harus dilakukan siswa. Hal tersebut terlihat pada kutipan kurikulum 2013 berikut ini. Tabel 2. Kutipan Kurikulum 2013 SMP kelas IX semester II Kompetensi Inti
Kompetensi Dasar
Pengetahuan 3. Memahami dan menerapkan 3.4 Memahami sandiwara tradisional jawa pengetahuan konseptual,
(faktual, dan
prosedural) berdasarkan rasa
ingin
tentang
tahunya ilmu
pengetahuan, teknologi, seni,
budaya
terkait
dengan fenomena dan kejadian nyata. ___________________________________________________________ Tabel 3. Kutipan kurikulum 2013 SMP Kelas IX Semester II Kompetensi Inti
Kompetensi Dasar
Pengetahuan 3. Memahami dan menerapkan 3.4 Menelaah naskah sandiwara commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
100
pengetahuan
(faktual,
konseptual,
dan
prosedural) berdasarkan rasa
ingin
tahunya
tentang
ilmu
pengetahuan, teknologi, seni,
budaya
terkait
dengan fenomena dan kejadian nyata. _________________________________________________________
Pada Kurikulum 2013 untuk bahasa Jawa di SMP mencantumkan pembelajaran
apresiasi
naskah
drama
sandiwara
sebagai
materi
pembelajaran di kelas IX. Kawruh kagunan basa yang terdapat dalam naskah ketoprak “Rembulan Wungu” cukup lengkap sehingga dapat digunakan sebagai materi ajar naskah drama sandiwara di sekolah. Khususnya untuk siswa SMP, seperti yang diungkapkan oleh Endang Wahyuti berikut ini. Iya bisa itu mbak, saya rasa juga dalam mengajarkan kepada siswa juga akan menjadi lebih mudah, karena siswa dapat langsung melihat contoh pengaplikasiannya dalam bentuk kalimat ya mbak. (Catatan lapangan hasil wawancara, lampiran ke 5, halaman 157) Pendapat lain juga dikemukakan oleh Endang Palupi tentang kawruh kagunan basa yang terdapat dalam naskah ketoprak “Rembulan Wungu”. Perhatikan kutipan berikut. ya saya menemukan kawruh kagunan basa secara umum dalam naskah ini mbak, ada tembung saroja, tembung entar, tembung garba, tembung wancahan, tembung plutan, kerata basa, saloka, dan bisa dicari lagi lebih mendalam mbak. (Catatan lapangan hasil wawancara lampiran ke 5 halaman 167) Nilai pendidikan karakter yang disampaikan melalui naskah ketoprak “Rembulan Wungu” juga sudah cukup mewakili nilai-nilai pendidikan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
101
karakter yang diajarkan di sekolah seperti yang diungkapkan oleh Endang Palupi berikut ini. ya seperti kita tahu ya mbak, kalau memang sebenarnya cerita dan dialog-dialog dalam naskah ketoprak itu sangat bisa dijadikan sebagai suatu contoh pendidikan karakter, saya disini menemukan 16 pendidikan karakter dalam cerita “rembulan Wungu” ini mbak, ada kejujuran, kedisiplinan, nasionalisme, kerukunan, kerjasama, tanggung jawab, persatuan, patriotisme, ketaqwaan, keimanan, kebersamaan, ketertiban, tenggang rasa, kepedulian, kesopanan, dan yang terakhir itu sportifitas. Itu yang saya temukan dalam cerita tersebut mbak.(Catatan lapangan hasil wawancara lampiran ke 5 halaman 167) Endang wahyuti mengungkapkan bahwa naskah ketoprak “Rembulan Wungu” relevan dengan pembelajaran bahasa Jawa di SMP. Perhatikan kutipan berikut. Sebenarnya ya itu bisa sekali mbak, mengingat bahwa anak-anak itu harus dikenalkan dengan budaya dan bahasa ibunya dengan baik sejak dini, lewat pembelajaran naskah ketoprak ini kan anak-anak dapat lebih mengenal dan memahami suatu karya sastra. (Catatan lapangan hasil wawancara lampiran ke 5 halaman 158) Pendapat tentang relevansi naskah ketoprak “Rembulan Wungu” dengan pembelajaran bahasa Jawa di SMP juga diungkapkan oleh Endang Palupi. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut. iya bisa sekali mbak, naskah ini bisa diterapkan dalam pembelajaran di SMP mbak, hanya saja nanti bahasanya bisa agak lebih disederhanakan mbak supaya anak-anak lebih memahami dan mendalami. saya rasa ya dari segi ceritanya itu, anak-anak jadi bisa memetik amanat dan mengetahui pendidikan karakter dalam naskah kemudian juga anak-anak jadi lebih mengenal, oh ketoprak itu seperti ini... menyenangkan jika dijadikan bahan ajar praktik, anak-anak juga jadi lebih bisa melafalkan bahasa jawa menjadi lebih baik lagi. (Catatan lapangan hasil wawancara lampiran ke 5 halaman 168) Berdasarkan wawancara dengan informan-informan dapat disimpulkan bahwa memang naskah ketoprak “Rembulan Wungu” dapat dijadikan menjadi alternatif bahan ajar untuk pembelajaran bahasa Jawa di SMP. Pendidikan karakter yang terdapat dalam naskah ketoprak “Rembulan Wungu” patut dijadikan contoh yang bisa diteladani oleh siswa dalam proses pembelajaran.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
102
C. Pembahasan a. Kawruh kagunan basa dalam naskah ketoprak “Rembulan Wungu” kawruh kagunan basa berarti ilmu kebudayaan yang terdapat pada keindahan bahasanya. Kagunan basa ini sangat penting untuk dipelajari karena seperti yang kita tahu kebudayaan Jawa merupakan kebudayaan yang sangat kaya dengan keindahan bahasanya, dan anak muda sekarang sudah mulai melupakan bahkan tidak paham lagi dengan kawruh kagunan basa. Dalam naskah ketoprak “Rembulan Wungu”, kawruh kagunan basa dapat ditemukan dalam kata-kata atau kalimat yang terdapat dalam dialogdialog yang ditampilkan. Kawruh kagunan basa yang ditemukan dalam naskah ketoprak “Rembulan Wungu” antara lain: (1) Tembung saroja sebanyak 8 data, (2) tembung garba sebanyak 10 data, (3) tembung plutan sebanyak 36 data , (4) tembung wancahan sebanyak 48 data, (5) kerata basa sebanyak 7 data, (6) tembung entar sebanyak 5 data, (7) saloka sebanyak 1 data, (8) panyandra sebanyak 1 data, (9) parikan sebanyak 3 data. Dari kawruh kagunan basa yang ditemukan dalam naskah ketoprak “Rembulan Wungu”, yang paling dominan ditemukan adalah tembung wancahan yaitu sebanyak 48 data. b. Nilai pendidikan karakter dalam naskah ketoprak “Rembulan Wungu” Naskah ketoprak “Rembulan Wungu” menampilkan cukup banyak nilai pendidikan karakter di dalamnya. Nilai pendidikan karakter ini dapat digunakan dan diterapkan dalam proses pembelajaran siswa di sekolah. Nilai pendidikan karakter yang ditemukan dalam naskah ketoprak “Rembulan Wungu” antara lain: (1) religius, (2) jujur, (3) disiplin, (4) kerja keras, (5) kreatif, (6) mandiri, (7) demokratis, (8) semangat kebangsaan atau nasionalisme, (9) cinta tanah air, (10) komunikatif, (11) peduli lingkungan, (12) peduli sosial, (13) tanggung jawab. Karakter religius ditampilkan oleh Pangeran Pekik ketika Pangeran Pekik sedang menghadap Prabu Amangkurat Agung. Pangeran Pekik commit to user Agung bahwa kedudukannya berusaha menyadarkan Prabu Amangkurat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
103
sebagai raja merupakan wakil dari Bathara atau dewa di bumi, jadi sudah seharusnya sifat dan kelakuan sang raja adalah menebarkan kebaikan dan keadilan bukan malah sebaliknya, bahkan menyengsarakan rakyat dengan sifat kejam dan arogannya. Karakter jujur juga ditampilkan oleh Rara Hoyi ketika akan dibawa ke Mataram untuk dijadikan selir, dengan tegas Rara Hoyi menunjukkan kejujurannya bahwa dia tidak mau dijadikan selir Prabu Amangkurat Agung dan lebih memilih hidup di Banyuwangi bersama ibu dan bapakknya. Rara Hoyi juga menunjukkan perasaannya yang jujur pada saat dia bertemu dengan Pangeran Adipati Anom Tejaningrat bahwa sebenarnya dia juga tertarik dengan putra mahkota Keraton Mataram tersebut. Salah satu karakter yang menonjol lainnya adalah karakter disiplin yang ditampilkan oleh tokoh Ki Mangunjaya pada saat Rara Hoyi akan diboyong ke Mataram dia sama sekali tidak mencegah atau menolak perintah tersebut meskipun anak dan istrinya menolak keras. Ki Mangunjaya bersikeras bahwa dia sebagai rakyat biasa terikat dengan peraturan keraton dan hanya berusaha menjalankannya. Adalagi Alap-alap ketika diperintah untuk meringkus para Kraeng dari Makassar juga menampilkan karakter disiplin ini bahwa kepulangannya ke Mataram harus bisa membawa para Kraeng karena memang itu sudah menjadi tugas yang diberikan Prabu Amangkurat Agung. Sindureja dan para prajurit juga menampilkan karakter disiplinnya ketika diberikan perintah oleh sang raja. Karakter kerja keras ditampilkan oleh Wiranala saat dia berusaha untuk meyakinkan Ki Mangunjaya untuk meyakinkan Rara Hoyi agar mau diboyong ke Mataram, kemudian Nyi Mangunjaya juga menunjukkan kerakter ini pula agar suaminya mau menolak permintaam Wiranala dan Wirakerti. Selanjutnya karakter kreatif ditunjukkan oleh Nyi Wirareja dengan pemikiran-pemikiran pintarnya. Nyi Wirareja juga menampilkan karakter mandirinya, dengan tidak bergantung pada lelaki juga Rara Hoyi commit to user yang menampilkan karakter mandiri pada saat hidup di desa dengan orang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
104
tuanya, dia tetap menunjukkan baktinya dengan menjalankan pekerjaanpekerjaan rumah. Naiknya tahta Prabu Amangkurat Agung dengan diadakannya musyawarah juga termasuk dalam nilai pendidikan karakter demokratis. Karakter semangat kebangsaan atau nasionalisme ditunjukkan oleh Pangeran Pekik dan Ratu Wandan, keduanya tidak mementingkan pribadi dan terus memperjuangkan kebaikan untuk Mataram dan rakyatnya. Keduanya juga menunjukkan karakter cinta tanah air dengan tidak takut dihukum mati untuk memperjuangkan kesejahteraan Mataram beserta rakyatnya. Karakter komunikatif dapat dilihat pada Wiranala dan Wirakerti pada saat berkunjung ke Banyuwangi bahwa keduanya tidak menyombongkan kehidupannya di Mataram yang serba ada dengan kehidupan Ki Mangunjaya di desa. Selanjutnya karakter peduli lingkungan ditunjukkan oleh Pangeran Pekik dan Ratu Wandan karena keduanya menolak pembangunan keraton baru di Pleret yang bisa merusak kelestarian hutan. Keduanya juga kembali menunjukkan karakter peduli sosial saat membela kepentingan rakyat Mataram dan juga keduanya menunjukkan kerakter tanggung jawab dengan bersedia menanggung segala permasalahan yang diakibatkan karena menjodohkan Pangeran Adipati Anom Tejaningrat dengan Rara Hoyi. Penelitian ini relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Syafaat astiyanto dengan judul “Ketulusan Hati Tokoh dalam Naskah Drama RAMBAT RANGKUNG Karya Trisno Santoso (Sebuah Tinjauan Psikologi Sastra)”. Hasil dari penelitian ini drama Rambat-Rangkung menunjukkan nilai-nilai moral yaitu sikap bertanggung jawab, rela berkorban, dan kebijaksanaan, namun yang membedakan dalam naskah ketoprak “Rembulan Wungu” karya Bondan Nusantara terdapat nilai-nilai pendidikan karakter yaitu (1) religius, (2) jujur, (3) disiplin, (4) kerja keras, (5) kreatif, (6) mandiri, (7) demokratis, (8) semangat kebangsaan commit to user atau nasionalisme, (9) cinta tanah air, (10) komunikatif, (11) peduli
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
105
lingkungan, (12) peduli sosial, (13) tanggung jawab. Nilai-nilai pendidikan karakter yang ditemukan dalam naskah ketoprak tersebut sesuai dengan yang dijabarkan dalam jurnal yang ditulis oleh Maman Suryaman bahwa pembelajaran
sastra
memiliki
beberapa
kepentingan
diantaranya
menjadikan peserta didik mahir membaca dan menulis serta mahir mendengarkan dan melisankan. Jika kepentingan ini tercapai, belajar bersastra akan dirasakan manfaatnya oleh peserta didik oleh karena mereka dipermudah untuk mempelajari bidang-bidang lainnya di sekolah. Dampak ikutan lainnya adalah tumbuhnya kebiasaan membaca yang akhirnya mampu meningkatkan pemahaman dan pengertian tentang manusia dan kemanusiaan, mengenal nilai-nilai, mendapatkan ide baru, meningkatkan pengetahuan sosial budaya, berkembangnya rasa dan akrsa, serta terbinanya watak dan kepribadian. Di sinilah esensi pendidikan karakter teridentifikasi dengan jelas di dalam pembelajaran sastra. c. Relevansi naskah ketoprak “Rembulan Wungu” karya Bondan Nusantara sebagai materi ajar pembelajaran drama sandiwara di sekolah menengah pertama (SMP) Nilai pendidikan karakter yang cukup banyak dalam naskah ketoprak “Rembulan Wungu” menjadikannya layak untuk dijadikan sebagai alternatif bahan ajar pembelajaran apresiasi drama sandiwara di SMP. Hal tersebut diperkuat oleh wawancara yang dilakukan dengan Chafit Ulya bahwa naskah ketoprak memiliki banyak sekali nilai pendidikan karakter yang ada di dalamnya seperti belajar menjadi ksatria, belajar jujur pada diri sendiri, berani menyatakan kebenaran, berani membela dan mempertahankan kebenaran meskipun nyawa taruhannya, perasaan cinta, dan banyak lagi yang lainnya. Sangat banyak nilai pendidikan karakter yang dapat diambil dari naskah drama dan proses pertunjukan drama tersebut. Selaras dengan jurnal yang ditulis oleh Ucik Fuadhiyah (2013: 25) bahwa penelitian yang menggunakan objek naskah drama berbahasa Jawa perlu dilakukan untuk meningkatkan eksistensi dan mendekatkan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
106
drama berbahasa Jawa kepada generasi muda sehingga dalam hal ini dapat menyalurkan kebermanfaatan dan nilai-nilai positif yang banyak terkandung dalam naskah drama tradisional. Naskah ketoprak “Rembulan Wungu” relevan sebagai materi pembelajaran bahasa Jawa di SMP. Naskah ketoprak ini penuh dengan nilai pendidikan karakter dan juga menjadikan siswa antusias belajar praktik drama sandiwara. Oleh karena itu naskah ketoprak ini relevan sebagai materi ajar SMP khususnya kelas IX semester II. Pada kurikulum 2013
yang
mewajibkan
nilai
pendidikan
karakter
pada
semua
pembelajaran membuat naskah ketoprak “Rembulan Wungu” sesuai jika dijadikan materi ajar.
commit to user