45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data Meski terkesan datar, novel Ibuk, merupakan novel sederhana yang menginspirasi bagi pembacanya. Tidak hanya menitikberatkan perjuangan seorang ibu, tetapi juga perjuangan sebuah keluarga untuk terus berjuang tanpa mengenal putus asa. Adalah Tinah yang kelak menjadi ibu yang luar biasa bagi kelima anaknya, Isa, Nani, Bayek, Rini dan Mira. Bayek, anak laki satu-satunya dalam keluarga itu kelak akan mengubah nasib. Tidak hanya nasib dirinya sendiri. Tapi juga nasib Ibuk, Bapak, dan semua saudara perempuannya. Bayek anak ketiga dari lima bersaudara, hasil perkawinan antara gadis desa yang lugu si Tinah dan Sim sang playboy pasar. Tinah dan Sim berasal dari keluarga yang sederhana. Karena cinta mereka yang kuat, mereka berani melakukan pelayaran hidup bersama Isa, Nani, Bayek, Rini dan Mira. Tinah yang berperan sebagai Ibuk selalu merelakan apapun demi kebahagian keluarga sederhana mereka. Begitu pula dengan Bapak yang selalu gigih membanting tulang untuk menghidupi anak-anak dan istrinya. Keluarga sederhana itu tidak pernah mengeluh atas kekurangan mereka. Walaupun hanya dengan nasi goreng terasi, tempe dan empal seadanya, anak-anak Ibuk terus tumbuh menjadi anak yang mandiri, pintar dan begitu memaknai arti kehidupan mereka yang seadanya. Waktu kecil, Ibuk berhenti sekolah karena jatuh sakit. Ibuk pun tak tamat SD. Begitu pula dengan Bapak, Bapak hanya mengenyam pendidikan sampai SMP. Hal ini membuat Ibuk bertekad untuk mengubah takdir anak-anaknya kelak. Ibuk ingin anak-anaknya sekolah sampai jenjang yang lebih tinggi, sampai sarjana. Tidak seperti kedua orangtua mereka yang berpendidikan rendah. Ibuk berusaha menjadi yang terbaik untuk kelima anaknya. Ibuk selalu memasak di dapur kecil mereka tiap hari. Suatu ketika, Ibuk memandang dapur rumah. Dapur ini penuh jelaga. Begitu juga kehidupan, namun anak-anak Ibuk telah menerangi hidup Ibuk. Mereka adalah 45
46
harta Ibuk. Kini saatnya, semua yang keluar dari rahim Ibuk hidup bahagia tanpa jelaga. Hingga di suatu pagi yang cerah, ketika matahari dengan hangat menyinari bumi dan awan-awan tampak cantik di tempatnya, Ibuk bertemu dengan Mbah Carik. Nenek tua yang dipercaya sebagai orang pintar. Mbah Carik melihat Bayek, anak laki-laki Ibuk satu-satunya berjalan di belakang Ibuk seraya berkata “Nah, sabar, sekarang hidupmu susah. Kelak anak lanangmu itu yang membahagiakan keluarga kalian”. Pekerjaan Bapak adalah menarik angkot. Dengan ketekunan Ibuk menyisihkan uang, akhirnya keluarga Bayek dapat membeli angkot tua sendiri. Namun, angkot tua itu ternyata mendatangkan kesusahan. Uang yang harusnya dapat disetor Bapak untuk belanja Ibuk, malah habis untuk membetulkan kerusakankerusakan yang terus muncul di angkot tua itu. Keadaan itu membuat Ibuk sedih dan menangis sesenggukan. Melihat Ibuk seperti itu, Bayek pun berjanji kalau sudah besar akan membahagiakannya, janji Bayek dalam hati. Berkat kegigihan dan keuletan, anak-anak Ibuk terus maju mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, dengan bantuan sana-sini, pinjaman dari Bang Udin dan keseriusan janji Ibuk mengantarkan Bayek pada langkah kesuksesan. Empat tahun Bayek mengenyam pendidikan di IPB Bogor jurusan Statistika dengan beasiswa. Setelah lulus, berkat doa Ibuk, Bayek bekerja di Jakarta selama tiga tahun. Doa Ibuk mampu menguatkan keteguhan hati Bayek untuk terus melangkah maju tanpa mengenal lelah. Hingga pada suatu hari, Bayek mendapatkan apresiasi atas kerjanya selama ini. Tawaran bekerja di New York. Dengan restu keluarga Bayek di kampung, Bayek melangkah menuju pelayaran hidupnya. Dia ingin membangun kebahagian untuk dirinya dan keluarga tercintanya. Dan itu dia mulai dari New York. New York memberikan banyak pelajaran untuk hidup Bayek. Manis pahit kehidupan dia rasakan disana. Hingga pada akhirnya setelah 9 musim panas dan 10 musim dingin yang Bayek lalui disana, Bayek memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Sudah cukup dia membahagiakan keempat saudara perempuannya, Bapak dan tak luput pula Ibuk yang selalu memberi semangat dalam perjalan hidup Bayek.
47
Tuhan Maha Adil. Kebahagiaan tidak akan sepenuhnya ada. Kesedihan itu datang ketika Sabtu 4 Februari 2012 Bapak dipanggil Tuhan. Sungguh terpukul hati Ibuk, perempuan tangguh itu sangat kehilangan. Kehilangan belahan jiwanya yang selama 40 tahun belakangan selalu menemani Ibuk membangun keluarganya dengan segala suka duka. Perjalanan cinta yang sederhana namun kokoh. Cinta mereka yang tak pernah luntur. Cinta Ibuk yang menyelamatkan keluarga. Demikianlah kisah yang diceritakan dalam novel Ibuk,. Novel ini merupakan novel yang sangat menginspirasi dan memotivasi.
B. Hasil Penelitian 1. Struktur Novel Ibuk, Karya Iwan Setyawan a. Tema Tema adalah gagasan pokok dan utama yang mendasari sebuah cerita. Tema berperan sangat penting dalam sebuah cerita, karena tema merupakan latar belakang sebuah penceritaan. Dari seluruh cerita pada novel Ibuk, karya Iwan Setyawan ini permasalahan yang menonjol adalah tentang keprihatinan, kerja keras dan sebuah kesederhanaan. Dari ketiga permasalahan yang menonjol tersebut, menjadikan novel ini sebagai novel yang dapat menginspirasi dan memotivasi, karena banyak hal-hal yang dapat diteladani di dalam novel ini. Novel Ibuk, karya Iwan Setyawan ini bercerita tentang kehidupan sebuah keluarga pada zaman dulu hingga masa sekarang. Diceritakan, Tinah, seorang gadis kecil yang hidup sederhana bersama orang tua dan saudarasaudaranya di Gang Buntu kota Batu di Jawa Timur. Tinah tidak dapat menamatkan SD nya kerena menjelang ujian ia sakit. Kegiatannya sehari-hari ikut berdagang baju bekas Mbok Pah, neneknya, di pasar Batu. Tinah diasuh oleh Mbok Pah, sampai pada suatu hari, ia berkenalan dengan seorang kenek angkot. Abdul Hasyim namanya atau akrab dipanggil Sim. Dengan bermodalkan cinta dan keberanian mereka memutuskan untuk hidup berumah tangga. Kehidupan rumah tangga mereka pada awalnya dipenuhi dengan lika-liku. Permasalahan
48
yang sering muncul yakni perekonomian rumah tangga. Sim yang hanya seorang kenek angkot dan Tinah seorang ibu rumah tangga sering dibuat kewalahan oleh kebutuhan-kebutuhan rumah tangga. Pada awalnya masih belum terasa, namun setelah mereka mempunyai lima orang anak, yakni Isa, Nani, Bayek, Rini, dan Mira, beratnya biaya hidup semakin dirasakan oleh mereka. Permasalahan ekonomi rumah tangga itu semakin terasa ketika anakanak mereka menginjak usia sekolah. Bukan saja mengurus kebutuhan untuk makan sehari-hari, tetapi mereka juga harus mulai memikirkan biaya sekolah. Tak jarang untuk menutupi semua kebutuhan itu, Tinah yang belakangan dipanggil dengan sebutan Ibuk, harus menggadaikan barang-barang yang ia miliki, mulai dari cangkir, kain jarik sampai perhiasan, bahkan sampai meminjam uang kepada tukang kredit barang-barang peralatan rumah tangga. Kehidupan rumah tangga mereka dipenuhhi dengan keprihatinan. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut “Yang penting, pastiin ada uang buat makan besok ya, Pak!” Kata Ibuk selalu memastikan. Dari uang belanja ini, Ibuk berusaha untuk menyisakan sebagian untuk membayar SPP dan keperluan sekolah. Bapak terkadang juga memakai uang tabungan Ibuk untuk memperbaiki angkot yang rusak atau ketika kena tilang polisi (Setyawan, 2012:46) Buku baru. “Ah, kamu coba peke buku bekas kakakmu, Yek! Yang penting besok bawa buku dulu. Buku baru nanti saja kalau ada rezeki, ya. Insya Allah, Ibuk belikan di toko buku pelajar. Sabaro sik, Le.” Sepatu jebol. “Nan, coba minta lem ke Bapakmu! Jik iso digawe iku!” kata Ibuk sembari memeriksa sepatu Bata yang belum setahun dipakai Nani (Setyawan, 2012:59). Dari kutipan di atas, dapat dilihat betapa keluarga Ibuk dalam keadaan yang sangat prihatin, namun dengan usaha yang keras, akhirnya Sim yang belakangan dipanggil Bapak, dapat membeli angkot sendiri dari uang tabungan yang dikumpulkan selama ini. Ia dapat menarik angkotnya sendiri. Namun, permasalahan tidak sampai di situ saja. Angkot tua yang mereka beli sering rusak. Setoran uang belanja untuk kebutuhan sehari-hari
49
sering tidak ada. Uang sekolah sering menunggak. Tetapi Ibuk selalu berusaha untuk membuat dapur mengepul. Entah bagaimana caranya. Ibuk selalu mempunyai cara untuk mengaturnya. Mulai dari menghemat sabun, shampoo, air dan listrik. Anak-anak ibuk selalu diajarkan untuk disiplin dan hemat. Makan sehari-hari juga dengan lauk yang seadanya. Kadang kalau ada rezeki lebih, bisa makan enak. Hidup keluarga Ibuk dipenuhi dengan perjuangan dan kerja keras. Untungnya semua anak Bapak dan Ibuk rajin dan pintar. Keprihatinan tidak hanya sampai di situ saja, sampai pada saat Bayek diterima kuliah di IPB Bogor, Ibuk memutuskan untuk menjual angkot mereka yang saat itu sebagai sumber nafkah keluarga. Hingga saat itu Bapak harus menjadi sopir truk. Tetapi itu semua tidak memutuskan harapan mereka. Mereka terus berjuang dan bekerja keras. Usaha keras mereka tidak sia-sia, setelah lulus dari IPB dengan IP yang membanggakan, akhirnya Bayek diterima kerja di NYC. Inilah yang menjadi sebuah awal keadaan perekonomian yang baru di keluarga Ibuk. Semenjak Bayek
bekerja di
NYC, perekonomian keluarganya
berangsur-angsur membaik. Hutang-hutang tetangga untuk biaya kuliah Bayek dapat Bayek ganti dengan uang gajinya. Selain membahagiakan kedua orang tuanya, Bayek juga menyenangkan keempat saudaranya. Ia membantu kuliah kakak dan adiknya. Membantu biaya pernikahan dan membelikan rumah untuk saudaranya. Bukan itu saja, ia yang tak tega melihat Bapak menjadi supir truk, membuatkan usaha kos untuk Bapak. Kerja keras Bayeklah yang telah membawa perubahan di keluarganya. Keprihatinan dan kesederhanaan hidup merekalah yang membawa mereka pada keadaan yang lebih baik. Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa tema utama novel Ibuk, karya Iwan Setyawan adala perjuangan dalam mengarungi hidup yang tidak mudah, demi untuk mencapai impian dan cita-cita hidup yang lebih baik dengan segenap keprihatinan dan kesederhanaan serta dengan kerja keras.
50
Pengalaman tokoh dalam novel ini mengajarkan bahwa segala sesuatu dapat kita raih dengan perjuangan, keprihatinan, kerja keras dan tentunya dengan doa.
b. Tokoh dan Penokohan Penokohan pada novel Ibuk, karya Iwan Setyawan meliputi tokoh sentral dan tokoh tambahan. Terdapat delapan belas tokoh yang muncul dalam novel Ibuk, karya Iwan Setyawan. Satu tokoh utama, enam tokoh utama tambahan dan yang lainnya tokoh sampingan sebagai pendukung cerita. Tokoh sentral atau tokoh utama dari novel ini adalah Ibuk, karena tokoh tersebut mempunyai peran yang penting dalam cerita dan menentukan gerak tokoh lain, sedangkan tokoh utama tambahan dalam novel ini adalah Bapak, Isa, Nani, Bayek, Rini, dan Mira. Tokoh sampingan yang mendukung cerita yakni Mbok Pah, Mak Gini, Bapak Mun, Mbak Gik, Cak Ali, Mbak Ati, Bang Udin, Mbah Carik, Pak Lurah, Rachel, dan Lek Giono. Tokoh-tokoh yang dimunculkan oleh pengarang dalam novel ini sebagian besar dilukiskan secara eksplisit baik dari kondisi fisik maupun psikisnya. Tokoh yang diciptakan pengarang hampir semua bersifat mendukung cerita atau protagonis. 1. Tinah (Ibuk) Ibuk adalah tokoh utama yang paling penting dalam cerita ini. Sosok Ibuk dikenal sebagai perempuan yang lugu dan lembut. Hidupnya dipenuhi dengan kesederhanaan. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut. Tinah tumbuh menjadi gadis lugu. Ia tidak banyak bergaul di pasar. Rambut panjangnya diikat karet gelang. Tanpa poni. Anting-anting emas kecil menggantung di telinga, memberikan sedikit kemewahan di wajahnya yang sederhana (Setyawan, 2012:2). Selain itu, Ibuk adalah perempuan pekerja keras dan rajin. Sebagai ibu rumah tangga, ia tak pernah lelah untuk selalu mengurus keluarganya. Semua pekerjaan rumah mulai dari memasak, mencuci, dan mengasuh kelima anaknya,
51
ia lakukan sendiri. Ia adalah pribadi yang tabah dalam menghadapi keadaan keluarganya dalam hal ini adalah perekonomian yang selalu menghimpit. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut. Ibuk sudah bangun dari jam 4 tadi pagi. Ia langsung menuju dapur, mencuci piring kotor semalam, membuatkan kopi untuk Bapak, dan mencuci pakaian di belakang rumah (Setyawan, 2012:40). Setelah mengerjakan PR, baru mereka tidur siang. Jam 2 siang rumah mereka sepi. Gang Buntu juga sepi. Ibuk masih sibuk di dapur. Selalu ada yang ia kerjakan. Entah itu mencuci piring, menata peralatan dapur, mengepel lantai dapur, membersihkan lemari, menyiapkan bumbu buat masak besok, atau menyetrika baju. Isa menemani Mira yang tertidur di kamar Ibuk. Setelah melihat lima anaknya sudah kenyang, melihat mereka tidur siang, Ibuk baru menikmati makan siangnya (Setyawan, 2012:51). Tokoh Ibuk juga merupakan tokoh yang religius. Ia selalu beribadah (Sholat) dengan rajin dan juga mengaji. Ia juga selalu mengingatkan anakanaknya untuk rajin sholat dan berdoa. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut. Tiga tahun bayek di Jakarta. Tiga tahun sudah ia berusaha membangun hidup baru. Tiga tahun penuh tantangan. Ibuk menjaga Bayek lewat doa (Setyawan, 2012:143). “Alhamdulillah, Le. Kamu hati-hati ya. Jangan lupa salat,” pesan Ibuk (Setyawan, 2012:161) Dari kutipan-kutipan di atas, dapat disimpulkan tokoh Ibuk mempunyai watak yang lembut, keibuan, rajin bekerja mengurus keluarga, dan pekerja keras. 2. Sim (Bapak) Sim adalah adalah seorang pemuda berumur 23 tahun. Semenjak putus SMP, Sim menjadi kenek angkot. Ia digambarkan sebagai tokoh yang playboy. Ia dikenal punya banyak pacar. Saat berpacaran dengan anak juragan angkotnya, ia dengan beraninya mendekati Tinah. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut. Namun malam harinya, ya, malam harinya, entah darimana Sim mendapatkan alamat Tinah, playboy pasar bernama lengkap Abdul Hasyim itu mengetuk rumah Mbok Pah. Padahal saat itu ia sudah punya
52
pacar di Malang! Namanya Suci, dan ia bukan pacar pertama. Betapa beraninya! Betapa nekatnya! (Setyawan, 2012:7). Sejak kecil. Sim diasuh oleh orang tua angkatnya di Malang. Ia belum pernah melihat orang tua kandungnya di Jogja. Semenjak orang tua angkatnya meninggal, Sim tinggal bersama kakak angkatnya ia tidak dapat menamatkan SMP nya dan bekerja menjadi sopir angkot dengan kakak iparnya. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. Sim belum pernah melihat wajah orang tua kandungnya yang tinggal di Yogya. Ketika berumur 3 bulan Sim diasuh oleh saudara bapaknya di Malang. Ketika kelas dua SMP, orang tua angkatnya meninggal dunia. Sim tak bisa meneruskan sekolah lagi. Semenjak itu ia menjadi kenek angkot untuk menghidupi dirinya. Di usia yang masih belia, Sim sudah mencari makan sendiri, sudah mandiri (Setyawan, 2012:10). Sifat playboy Sim ternyata juga diberengi dengan rasa tanggung jawab yang tinggi. Semenjak memutuskan untuk menikahi Tinah, Sim menjadi suami yang penuh tanggung jawab bagi keluarganya. Semenjak anak-anaknya lahir, tanggung jawab Sim sebagai bapak semakin besar. Ia juga merupakan suami yang penuh kerja keras. Pekerjaannya sebagai sopir angkot membuatnya harus bekerja banting tulang mencari rupiah untuk keluarganya. Berangkat pagi-pagi buta dan pulang larut malam telah menjadi kebiasaannya setiap hari. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. Sebelum ayam berkokok, Bapak sudah terbangun. Ia masih mengenakan baju yang dipakai tadi malam. Sandal jepit swallow warna biru tua menanti di depan pintu rumahnya. Ia segera menghidupkan mesin mobil. Pukul 10 Bapak kembali kerumah. Tak seperti biasanya. “Nah, ini segera ke sekolah Bayek. Bayar uang buku dan minta rapornya,” kata Bapak. Ia menyerahkan beberapa lembar uang lima ratusan dan seribuan yang ia kumpulkan sejak pagi (Setyawan, 2012:69). Jam 11 malam Bapak masih di jalan. Bapak belum pulang Jam 11.30 malam, Ibuk terbangun dan menyusui Mira. Bapak belum pulang juga. Makan malam sudah disiapkan Ibuk di atas meja marmer semenjak jam 8 tadi. Nasi di bakul warna putih sudah dingin. Ibuk
53
menengok jam dinding satu-satunya di ruang tamu dan kembali tidur (Setyawan, 2012:109). Di hari pertama kerja, Bayek mengingat Bapak yang tak pernah berhenti berjuang dalam hidup. Berpuluh-puluh tahun Bapak menelusuri jalanan untuk menghidupi keluarga. Ia tidak pernah berhenti. Ia tidak pernah menyerah. Terus berjuang untuk anak-anak dan keluarga. Tidak lulus SMP, beliau menjadi kenek angkot. Setelah menjadi kenek angkot, Bapak ingin menjadi sopir angkot. Menjadi sopir angkot untuk orang lain saja tidak cukup, Bapak mencoba menabung untuk membeli angkot bekas. Ia tidak pernah berhenti berjuang menghidupi kelima anaknya. Dengan apa pun yang ia miliki. Hidup Bapak penuh dengan gelombang besar. Tidak mudah, tapi Bapak selalu memikul tanggung jawab dengan berani (Setyawan, 2012:141). Bapak adalah seorang ayah yang penuh tanggung jawab. Ia adalah pejuang keluarga. Ia juga sangat mencintai semua anak-anaknya dan juga cucucucunya. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. Bapak juga yang mengantar-jemput cucu-cucunya ke sekolah. Bapak bisa bolak-balik sampai lima-enam kali dari Gang Buntu ke sekolah. Ketika pembantu di salah satu rumah anaknya sedang libur, Bapaklah yang membantu memandikan dan menyiapkan sarapan untuk cucucucunya. Ibu mereka harus berangkat kerja di pagi hari. Bapak selalu bangun sebelum azan subuh berkumandang dan membersihkan rumah. Ia kemudian jalan pagi bersama Ibuk. Tiap bulan, Bapak mengurusi tagihan listrik, air, internet di semua rumah anak-anaknya. Ia juga yang selalu siap siaga ketika ada atap yang bocor, tabung LPG yang sudah kosong, membeli susu buat cucu, membuang sampah, atau menghijaukan taman di rumah anak-anaknya (Setyawan, 2012:242243). Dari kutipan-kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa sifat tokoh Bapak adalah seorang yang tangguh, bertanggung jawab, pekerja keras dan penyayang. 3. Isa Isa adalah anak perempuan pertama Bapak dan Ibuk. Ia adalah gadis kecil yang baik. Perawakannya mirip dengan Ibuk. Isa adalah gadis yang pintar.
54
Ia sering menjadi guru les bagi adik-adiknya. Ia sangat rajin belajar. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut. Setelah makan siang, Isa langsung mengerjakan PR dan mempersiapkan buku-buku untuk pelajaran besok. Nani dan Bayek mengikuti kebiasaan ini (Setyawan, 2012:51). Tak banyak yang mereka lalukan di ruang tamu. Isa mengerjakan PR dengan tekun. Adik-adiknya kadang mengerubutinya. Mereka ingin tahu apa dan bagaimana Isa mengerjakan PR-nya (Setyawan, 2012:74). Isa adalah gadis yang rajin. Setiap hari ia membantu Ibuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Ia adalah gadis yang pekerja keras. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut. Setengah jam setelah Bayek dan Rini menghabiskan makan siang, Nani dan Isa pulang dari sekolah. Seperti biasa, Nani membersihkan rumah dulu. Ia menyapu lantai dan mengepel. Isa membersihkan kaca jendela dan meja kaca kecil di ruang tamu (Setyawan, 2012:50). Isa juga merupakan anak yang sangat berbakti pada orang tuanya. Ia sangat mencintai kedua orang tuanya. Seiring bertambahnya umur, sifat kedewasaannya semakin terlihat. Tamat SMA, Isa tidak langsung kuliah, Ia bekerja sebagai guru les untuk membantu biaya hidup keluarga dan sekolah adikadiknya. Dari berbagai kutipan di atas, dapat disimpulkan Isa adalah anak yang rajin dan pekerja keras. Ia juga gadis yang pandai. Ia sangat berbakti dan menyayangi orang tuanya. Ia juga peduli terhadap adik-adiknya. 4. Nani Nani adalah anak perempuan kedua Bapak dan Ibuk. Sama halnya dengan Isa, Nani juga merupakan gadis yang rajin dan pekerja keras. Ia juga anak yang sangat pintar. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. Cahaya mulai menerangi rumah Ibuk. Isa masih memberikan les privat. Rini bekerja membantu adik Ibuk yang menjadi bidan desa. Nani bahkan bisa melanjutkan S2 (Setyawan 2012:140)
55
Nani mulai belajar berdagang. Ia menjual pisang goreng, keripik atau Citos di sekolah…(Setyawan, 2012:118) Dari kutipan di atas, Nani adalah seorang gadis yang pandai dan juga pekerja keras. Nani adalah gadis yang berbakti pada orang tuanya. Ia sangat rajin membantu Ibuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Ia adalah anak yang tangguh. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. Bayek dan Rini bermain dengan Mira. Nani, anak Ibuk yang paling gagah, membersihkan got di depan rumah di tengah hujan deras. Nani mengepel lantai rumah, bocoran air hujan membuat rumah becek (Setyawan, 2012:74-75). Nani adalah anak yang rajin membatu Ibuk. Dari kutipan-kutipan di atas dapat disimpulkan, Nani adalah anak yang rajin juga pintar. Ia juga anak yang berbakti pada orang tuanya. 5. Bayek Bayek adalah anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga Bapak dan Ibuk. Sebagai anak laki-laki, semasa kecilnya Bayek dapat dibilang cukup manja. Ia juga anak yang penyendiri di sekolahnya. Ia tidak bisa jauh dari keluarganya. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. Bayek anak penyendiri. Ia selalu merasa takut akan dunia di luar sana. Rumahnya begitu nyaman. Ia merasa terlindung oleh kehangatan saudara dan orangtuanya. Rini malah sudah bisa ditinggal Ibuk di kelas (Setyawan, 2012:43). Bayek masih belum bisa bermain dengan teman-teman barunya. Ia masih ingin menempel dengan Ibuk. Jam 9 pagi, Ibuk meninggalkan Bayek sejenak dan menjemput Rini. Jarak sekolah Bayek dan TK Rini hanya lima menit jalan kaki. Kadang Bayek merengek keluar kelas dan ikut Ibuk menjemput Rini. Baru sekitar jam 10, mereka meninggalkan areal sekolah (Setyawan, 2012:44). Begitulah Bayek. Tak hanya malam itu saja ia merengek minta dibelikan sepatu baru. Siang pulang sekolah, bangun tidur di sore hari, malam hari sebelim tidur, dan begitu lagi besoknya. Tiga minggu sudah Bayek meminta sepatu baru. Tiga minggu pula Ibuk harus bersabar menghadapi permintaan Bayek (Setyawan, 2012:92).
56
Di Bogor Bayek berjuang melawan rasa takut, rasa kangen akan rumah kecil di gang Buntu. Hampir setiap hari Bayek menelepon Ibuk. Ibuk selalu meguatkannya. Seminggu di Bogor, Bayek bahkan sudah sangat ingin pulang (Setyawan, 2012:134). Dari kutipan di atas, kita tahu bahwa Bayek adalah anak yang sedikit manja dan tidak bisa berpisah lama dari orang tuanya, terutama Ibuk. Bayek adalah anak yang rajin. Ia sering membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Ia juga anak yang pandai. Ia selalu mendapat rangking yang baik. Bahkan saat kuliah di IPB Bogor, ia lulus dengan IPK yang bagus dan merupakan lulusan terbaik. Dalam dunia kerja, Bayek juga sering mendapat penghargaan di kantornya. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. Bayek melewati tahun pertama di SMP Negeri 1 Batu dengan lancar. Ia bahkan meraih ranking 1 di semester 2. Tubuh Bayek masih sekecil waktu kelas 6 SD. Seragamnya terlihat kebesaran. Ia masih penyendiri, masih penakut. Masih selalu merengek kalau minta apa-apa, apalagi buku (Setyawan, 2012:125). Ini sudah menjadi kebiasaan Bayek setiap pulang sekolah. Ia langsung menyapu ruang tamu, mengepel lantai, dan mengelap kaca jendela. Bayek tidak akan menyentuh makan siang sebelum semua terlihat bersih. Berkilau. Bayek meniru kebiasaan Isa dan Nani (Setyawan, 2012:87). Sewaktu wisuda, Bayek memberi kejutan kepada Ibuk dan Isa yang datang ke Bogor untuk menghadiri upacara wisudanya. Upacara kemenangan atas perjuangan empat tahun keluarganya. Ibuk terlihat bangga sekali melihat Bayek memakai baju toga. Tak disangka, anak lelaki satu-satunya yang di tahun pertama dulu sudah ingin kembali ke Batu sekarang menjadi sarjana. “Dan, lulusan terbaik dari jurusan MIPA, Bayek Setyawan dari jurusan Statistika dengan IPK 3.52”! seru pembawa acara memanggil Bayek (Setyawan, 2012:136). Di bulan keempat Bayek mendapat kejutan. Ia menerima penghargaan “Employee of the Month” di rapat mingguan bersama semua rekan sekantornya. Di Indonesia dulu ia pernah mendapat penghargaan yang
57
sama, setelah dua tahun bekerja. Malam itu juga Bayek menelepon Ibuk dan membagikan kabar gembiranya (Setyawan, 2012:152). Kutipan di atas menujukkan Bayek adalah anak yang pandai dan berprestai di sekolah maupun dalam pekerjaan, ia juga anak yang rajin. Bayek juga sangat berbakti pada orang tuanya dan sangat menyayangi semua keluarganya. Semenjak lulus kuliah, ia diterima bekerja di Jakarta. Setelah itu perjalanan karirnya dilanjutkan ke NYC. Ini adalah awal kesuksesannya. Ia adalah anak yang pekerja keras. Ia melalukan itu semua untuk membahagiakan keluarga-keluarganya. Dengan gajinya ia berusaha untuk membahagiakan kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya. Dengan kerja kerasnya, Bayek mendapatkan jabatan yang bagus di kantornya. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. Malu kalau aku tak bisa bekerja keras seperti Bapak. Malu kalau aku tidak bisa membahagiakan beliau kelak, janji Bayek untuk Bapaknya. Bayek bertekad untuk maju. Ia tak keberatan bekerja lebih lama dari rekan kerja lain. Kadang Bayek lembur sampai jam 10 bahkan jam 2 pagi. Bayek juga sering bekerja di akhir pekan dan membaca buku Statistika lagi (Setyawan, 2012:142). “Buk, aku sudah nabung banyak. Kebetulan, bonus juga lumayan tahun ini. Bosku apik, Buk. Aku barusan transfer buat bangun rumah kita, Buk.” (Setyawan, 2012:175). Setelah satu setengah tahun di SoHo, Bayek berpikir untuk kembali ke Indonesia dan bekerja di Jakarta atau Singapura. Tapi ia juga berpikir, misinya belum selesai. Tiba-tiba sebuah kejutan datang dari atasannya. Sesuatu yang besar dalam perjalanan karirnya. Bayek dipromosikan menjadi Director Internal Client Management (Setyawan, 2012:218). Dari kutipandi atas, dijelaskan Bayek adalah pekerja keras, ia tidak mudah menyerah, ia juga selalu berusaha untuk membahagiakan Ibuknya. Beyek juga sangat religius. Sebagai orang Islam, ia termasuk muslim yang taat. Ia selalu menjalankan perintah agama dan taat beribadah. hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
58
Air mata Bayek meleleh setelah salat Isya. Terlintas bayangan orangorang yang terjebak dalam gedung saat pesawat menabrak (Setyawan, 2012:158). Dari kutipan-kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa Bayek semasa kecilnya mempunyai sifat yang manja, namun ia juga anak yang rajin dan pandai. Ia adalah pekerja keras dan seorang yang religius. 6. Rini Rini adalah anak perempuan keempat Bapak dan Ibuk. Sama halnya dengan kakak-kakaknya, ia juga anak yang rajin dan pintar. Ia juga anak yang sangat berbakti pada orang tuanya. Rini adalah anak yang sangat mencintai kedua orang tuanya. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. Air mata Ibuk tumpah ketika mencium pipi suaminya. Air matanya menetes di pipi Bapak. Isa mencium Bapak dan memeluknya. Demikian juga Nani, Rini, dan semua cucunya. Mereka semua terisak-isak. Rini memeluk kaki Bapak erat. “Rin, kamu jangan nangis, Kamu pulang dulu Rin,” ucap pelan Bapak sambil melempar tisu ke Rini. Rini sesenggukan, pergi ke luar kamar (Setyawan, 2012:268). “Kamu coba cari tiket yang paling pagi, Yek. Bapak sudah kritis ini,” kata Nani mencoba menenangkan Bayek. Jerit tangis Rini terdengar memanggil-manggil Bapak. Bayek kini tahu, Bapaknya telah berpulang. Ia segera berangkat ke bandara, jam 4 pagi (Setyawan, 2012:273). Dari kutipan di atas terlihat Rini adalah anak yang sangat mencintai Bapaknya. Ia tidak tega melihat Bapaknya dalam keadaan sakit sehingga ia selalu meneteskan air mata jika melihat Bapak. Apalagi saat Bapak berpulang, Rini adalah anak yang sulit untuk tabah. Ia bahkan menangis menjerit-jerit karena merasa sangat kehilangan Bapaknya. 7. Mira Mira adalah anak perempuan kelima Bapak dan Ibuk. Sebagai anak terakhir, Mira bukanlah gadis yang manja. Sama halnya dngan kakak-kakaknya, Mira juga merupakan gadis yang rajin dan pekerja keras. Hal itu dapat dilihat
59
dalam kutipan berikut. Mira adalah gadis yang pintar. Ia juga gadis yang sangat berbakti dan menyayangi orang tuanya. Saat Mira menikah, ia tinggal jauh dari orang tua yakni di Karawang mengikuti suaminya. Walaupun jauh dari orang tua, Mira selelu menyempatkan telepon ke rumah. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. Sudah menjadi kebiasaan anak-anak Ibuk selalu meminta doa. Isa dan adik-adiknya baru berangkat ke sekolah setelah Ibuk menjawab, iya, Ibuk doakan, semoga semua bisa mengerjakan ujian dengan lancar. Semua dapat nilai bagus (Setyawan, 2012:131). Dua cucu Ibuk, anak Mira, tinggal di karawang. Hampir setiap hari mereka menelepon Ibuk dan Bapak. Kadang, Arti, cucu yang paling kecil, masih belum setahun, hanya bisa merengek di telepon. Ibuk dan Bapak kadang mengunjungi mereka meskipun tak sering (Setyawan, 2012:245). Kutipan di atas menunjukkan Mira adalah anak yang berbakti pada orang tuanya. Dari kutipan-kutipan di atas, dapat diambil kesimpulan Mira adalah gadis yang rajin, pekerja keras, dan juga pandai. Ia juga gadis yang sangat berbakti pada orang tuanya. 8. Mbok Pah Mbok Pah adalah nenek Ibuk. Ia yang mengasuh Ibuk semenjak putus sekolah. Sehari-hari pekerjaan Mbok Pah adalah sebagai pedagang baju bekas di pasar Batu. Mbok Pah sangat peduli dan sayang terhadap Tinah. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut. “Nah, entar kalau kamu sudah gede, kamu yang ngurus kios kecil ini ya,” kata Mbok Pah. Tinah hanya diam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Mbok Pah mengajarinya mulai dari cara membuka kios, melipat baju, sampai tawar menawar (Setyawan, 2012:2). “Nah, ini ada sedikit rezeki buat membantu pernikahanmu nanti,” kata Mbok Pah yang tergeletak lemas di dipan kayu. “sebentar lagi kamu akan menikah, Nah. Doakan Mbok bisa menemanimu,” mata Mbok Pah menatap Tinah dalam-dalam.
60
Itulah pesan terakhir Mbok Pah. Ia tak lagi bisa mengucapkan sepatah kata pun. Kondisinya semakin lemah. Mbok Pah meninggal seminggu kemudian (Setyawan, 2012:24). Mbok Pah adalah nenek yang perhatian terhadap cucunya. Sakit pun ia masih memikirkan masa depan cucunya. Dari kutipan di atas, terlihat Mbok Pah adalah nenek yang sangat peduli dengan cucunya. Bahkan di sakit kerasnya ia masih sangat peduli dengan Tinah dan memikirkan masa depan Tinah. 9. Mak Gini Mak Gini adalah ibu dari Tinah (Ibuk). Sehari-hari Mak Gini bekerja di pegadaian. Ia adalah ibu yang baik. Ia peduli dengan anak-anaknya dan selalu giat bekerja untuk menghidupi keluarga dan anak-anaknya. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut. Ketika itu Ibuk hanya melihat bagaimana Mak Gini membesarkannya dan saudara-saudaranya. Mak Gini menyusui semua anaknya dengan air susunya sendiri, memasak tiap pagi, dan memastikan anaknya tidak kelaparan. Mak Gini pun bekerja untuk menambah nafkah keluarga. Hidup begitu sederhana. Mereka makan bersama di dapur berlantai tanah, di depan tungku perapian yang menjadi tempat memasak, juga untuk menghangatkan diri dari udara dingin Kota Batu. Di dapur inilah kebersamaan itu tumbuh. Rezeki yang didapat hari ini untuk makan besok. Kalau kurang, Mak Gini menjual atau menggadaikan barangnya. Mak Gini menjauhi hutang (Setyawan, 2012:29-30). Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan Mak Gini adalah Ibu yang bertanggung jawab pada anak dan keluarganya. Sebagai ibu, ia juga masih bekerja membantu suaminya untuk mencari nafkah bagi keluarga. Mak Gini adalah perempuan tangguh dan ulet. 10. Bapak Mun Bapak Mun, adalah suami Mak Gini. Ia adalah ayah Ibuk. Sehari-hari pekerjaannya sebagai tukang reparasi jam di pasar Batu. Ia adalah kakek yang sangat menyayangi cucu-cucunya. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut. Nani dan Isa berdiri di depan pintu dapur. Kedua cucunya ini lebih mengerti dari pada Bayek dan Rini. Bapak Mun yang rambutnya telah
61
dipenuhi uban baru bisa menikmati makan siangnya setelah membagikan uang jajan kepada cucu-cucunya. Setelah makan siang, ia menghabiskan sore hari di ruang tamu. Di malam hari Bapak Mun menikmati kesendirian di kursi rotan, tenggelam dalam keheningan malam (Setyawan, 2012:114). Bapak Mun selalu memberi jatah jajan pada cucu-cucunya. Meskipun tak banyak, namun itu membuat cucu-cucunya merasa senang. Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Bapak Mun adalah kakek yang menyayangi cucucucunya. Ia selalu memberikan jatah uang jajan untuk semua cucu-cucunya. 11. Cak Ali Cak Ali adalah penjual tempe di pasar batu. Kios tempenya di pasar batu berdekatan dengan kios baju bekas Mbok Pah. Dari sinilah tumbuh kesukaan Cak Ali pada Tinah (Ibuk). Cak Ali adalah orang yank baik, hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut. Di sebelah kios Mbok Pah ada penjual tempe, Cak Ali namanya. Matanya tak pernah terlepas dari Tinah. Ia sering memberi tempe untuk Tinah sebelum menutup kiosnya. Tinah kadang membawakan sarapan untuk Cak Ali. Tempe goreng atau sambal goreng tempe masakannya. Tapi Tinah pemalu, ia jarang sekali berbincang dengan pemuda itu. Ia selalu tenggelam di balik tumpukan baju dagangan Mbok Pah hingga sore hari. Makan siang pun di balik tumpukan baju itu. Cak Ali pernah menawarkan untuk mengantar Tinah pulang dengan sepeda pancalnya, tapi Tinah memilih pulang berjalan kaki dengan Mbok Pah (Setyawan, 2012:3). Sim tak lagi menemui Suci, anak juragannya di Malang. Kini ada gadis desa lugu yang selalu menghangatkan dan menyegarkan hidup Sim yang sendiri. Cak Ali masih sering memberi tempe kepada Tinah maskipun ia tahu, sang playboy pasar telah memenangkan hati Tinah (Setyawan, 2012:15). Dari kutipan-kutipan di atas dapat disimpulkan Cak Ali adalah orang yang baik. ia selalu memberi Tinah tempe, kerena ia menyukai Tinah. Ia tidak merasa sakit hati walaupun pada akhirnya Tinah lebih memilih Sim, sang playboy pasar. Cak Ali tetap bersikap baik padanya.
62
12. Mbak Gik Mbak Gik adalah kakak angkat Sim (Bapak). Semenjak orang tua angkat Bapak meninggal, Bapak tinggal dengan Mbak Gik. Mbak Gik adalah orang yang baik. Seusai Bapak menikah dengan Ibuk, Mbak Gik mengizinkan mereka untuk sementara menumpang di rumahnya, Mbak Gik juga sering memberikan nasihat pada Sim, hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. “Aku tinggal di jalan Darsono, Desa Ngaglik. Sama kakak angkatku, Mbak Gik. Baru empat tahun ini. Sebelumnya aku di Malang, ikut orang tua angkat. Setelah mereka meninggal, baru ikut kakak angkat di Batu,” jelas Sim (Setyawan, 2012:9). Hari demi hari, Sim berusaha membulatkan tekadnya. Ia ingin segera menanyakan Ngatinah kepada keluarganya. Ia ingin meminang Tinah. Orangtua kandung Sim jauh di Yogya dan ia sendiri belum pernah bertemu mereka. Sementara, orang tua angkatnya yang tinggal di Malang telah tiada. Sim hanya bisa meminta tolong kepada kakak angkatnya, Mbak Gik. “Sim, orang berumah tangga itu nggak gampang. Kamu sudah siap tah punya istri dan anak kelak? Kamu kan baru saja bisa narik angkot sendiri?” Tanya Mbak Gik. “Si Ngatinah iki wonge apikan. Gak macem-macem. Bisa hidup susah seperti aku,” jawab Sim. “Lah! Ya jangan sampai diajak hidup susah Sim…,” timpal Mbak Gik (Setyawan, 2012:23). Dari kutipan-kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Mbak Gik adalah orang yang baik. ia suka menolong terhadap sesama. Ia juga sering menasihati hal-hal yang baik pada Sim. Walaupun sebagai kakak tiri, tapi Mbak Gik juga menganggap Sim sebagai adik kandungnya sendiri. 13. Mbak Ati Mbak Ati adalah rekan Bayek yang tinggal di NYC. Ia jugalah yang membantu Bayek saat awal-awal kedatangannya di NYC. Mbak Ati memberikan tumpangan di apartemennya. Ia membantu Bayek dalam segala hal, mulai dari berbelanja dan mengantarkannya jalan-jalan di kota yang asing bagi Bayek. hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
63
Dari ruang tamu apartemen yang dia tumpangi inilah Bayek memulai hidup baru. Mbak Ati, yang membuka jalan Bayek di Amerika, memperkenalkan kehidupan di New York mulai dari grocery shopping sampai jadi tourist guide selama beberapa bulan pertama. Mbak Ati juga yang membimbing Bayek memulai karirnya di sana (Setyawan, 2012:148). Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Mbak Ati adalah orang yang baik, ia suka menolong. Ia membimbing Bayek, rekannya untuk menemukan karir di negeri yang asing bagi Bayek. ia juga memberikan apartemennya untuk Bayek dapat menginap. 14. Pak Lurah Dalam novel ini, pak lurah diceritakan sebagai orang yang tegas. ia bahkan tidak segan-segan menegur warganya yang tidak menjalankan tugas dengan baik. hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. “Wah, saya tidak bisa tanda tangani ini, Bu,” kata Pak Lurah singkat setelah melihat semua surat pengantar. “Loh, bukanya semua sudah lengkap, Pak,” jawab Ibuk. Ketiga anaknya diam menunggu di depan kantor. “Begini. Saya dengar ketua RT di sana, Pak Hasyim, suami Ibu, tidak melaksanakan tugas sebagai ketua RT sebagaimana mestinya,” kata Pak Lurah Berkopiah hitam. “Pak, suami saya mesti kerja narik angkot siang malam. Ia hanya bisa mengurusi kampung setelah bekerja. Gotong royong masih rutin. Pengajian juga masih jalan,” balas Ibuk dengan tegas. “Harusnya, Pak Hasyim lebih bisa mengurusi kampungnya,” kilah Pak Lurah. ….. “Lain kali, Pak Hasyim mesti melaksanakan tugasnya dengan benar ya Bu,” kata Pak Lurah sambil membubuhkan tanda tangan dan kemudian stempel kelurahan. Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bawa Pak Lurah adalah orang yang sangat tegas. Semua warganya harus menjalankan tugas dengan baik, tidak peduli latar belakangnya apa. Namun, dibalik ketegasannya, beliau juga orang
64
yang baik karena tetap mau memberikan tanda tangannya untuk surat keterangan yang akan digunakan untuk keringanan biaya SPP. 15. Rachel Rachel adalah rekan kerja Bayek di NYC. Ia berasal dari Thailand. Rachel sangat dekat dengan Bayek. Mereka sering menghabiskan waktu istirahat dengan makan siang bersama. Rachel adalah orang yang baik. Ia sering memberi nasihat pada Bayek. Hal itu dalap dilihat dalam kutipan berikut. Siang hari, Bayek dan Rachel makan siang di restoran Korea di Mercer Street yang terletak satu blok di sebelah gedung kantor mereka. Mereka sering makan siang di tempat kecil ini sambil membicarakan keluarga masing-masing, kehidupan di Manhattan, atau pernak-pernik pekerjaan (Setyawan, 2012:181-182). Semenjak hari itu Bayek mencoba untuk lebih mengerti rekan-rekan kerjanya, terutama anak buahnya. Ia bukan lagi Bayek yang pertama kali datang ke New York beberapa tahun yang lalu. Ia sekarang mempunyai anak buah yang tersebar di berbagai wilayah. Bayek mendengarkan Rachel. Bayek mendengarkan lagi hatinya. New York dipenuhi orang-orang dari berbagai belahan dunia dan mereka membawa budaya yang berbeda dalam keseharian dan dalam kerja (Setyawan, 2012:190-191). Kepergian Rachel mengguncang Bayek. Semenjak di Pleasantville dulu Rachel adalah salah satu orang paling dekat dengan hidupnya. Mereka tahu hidup satu sama lain. Selain sebagai partner in crime di tempat kerja, Rachel dan Bayek juga sering bertemu di luar urusan kantor. Bayek memperkenalkan Rachel ke teman-teman Indonesianya. Demikian juga Rachel. Ia sering mengajak Bayek berkumpul dengan teman-teman Thailandnya. Mungkin dalam beberapa tahun belakangan ini, Bayek juga mempunyai hati untuk Rachel tapi ia tak berani mengungkapkan. Mungkin Bayek tak ingin merusak persahabatan mereka (Setyawan, 2012:213:214). Kutipan di atas menjelaskan betapa Bayek begitu dekat dengan Rachel. Dari kutipan-kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa Rachel adalah orang yang sangat peduli dengan Bayek. Ia baik pada Bayek. Sering memberikan nasihatnasihat tentang hidup juga untuk pekerjaannya. Bayek pun selalu mendengarkan
65
nasihat Rachel, dan benar, nasihat-nasihat Rachel membuat hidupnya lebih baik. Karena kedekatan mereka berdua, kepergian Rachel untuk kembali ke negara asalnya sangat mengguncang Bayek. Tidak akan ada lagi teman sedekat Rachel. Bahkan karena kepedulian Rachel pada Bayek, sempat membuat Bayek menyukainya. Namun Bayek enggan mengungkapkan, karena takut akan merusak persahabatan mereka. 16. Lek Giyono Lek Giyono adalah tetangga Bapak dan Ibuk di Gang Buntu. Dalam hidupnya, Lek Giyono pernah dibantu oleh Bapak. Ia merasa berhutang budi pada Bapak. Saat Bapak meninggal, Lek giyono juga yang menjemput Bayek ke bandara. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. “Yek, Bapak kamu itu amalnya banyak. Satu hal yang saya nggak akan pernah lupa. Bapakmu dulu pernah mengajari saya menyetir,” kata Lek Giyono sambil menarik napas panjang. “Dia mengajari saya nyetir, sampai saya bisa narik angkot sendiri. Saat itu, setelah berminggu-minggu narik angkot, saya nabrak mobil dan hampir dipecat sama juragan. Bapakmu bilang, kalau Giono dipecat, saya juga keluar,” kata lek Giono (Setyawan, 2012:274). Dari kutipan di atas, kita tahu bahwa watak Lek Giyono adalah orang yang baik. ia tak pernah melupakan jasa orang yang pernah menolongnya menyelamatkan pekerjaannya. 17. Bang Udin Bang Udin adalah tukang kredit langganan di kampung Ibuk. Ia biasa menjajakan dagangannya yang berupa peralatan dapur dan pelanggannya biasanya membayar dengan cara mencicil. Ibuk sering meminjam uang pada Bang Udin. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. “Mbak Nah lagi setrika ya?” sapa Bang Udin yang tiba-tiba muncul di depan pintu ruang tamu. “Ah, silakan masuk Bang. Langsung ke dapur saja!” jawab Ibuk. Bayek dan Nani sibuk mengerjakan PR, tidak menghiraukan kedatangan Bang Udin, tukang kredit asli Bandung. Dari Bang Udin, Ibuk selalu
66
berbelanja peralatan dapur. Ibuk membayar dengan cicilan setiap hari. Mulai dari dandang, bak kecil untuk mandi, sampai penggorengan. “Ini pembayaran untuk hari ini Bang,” kata Ibuk memberikan uang seribu lima ratus rupiah. Bang Udin mencatat pembayaran itu dan pamit lewat pintu belakang. Ibuk kembali menyetrika baju. “Ah…Ada yang lupa,” desah Ibuk beberapa menit setelah Bang Udin meninggalkan rumah,”Nan, tolong panggilkan Bang Udin lagi!” …. “Bang Udin, saya tadi kelupaan. Sebelumnya minta maaf ya. Cicilan kemarin belum lunas semua, tapi…” Ibuk menghela napas sejenak. “Sepatu Nani jebol. Dan saya mau pinjam lagi sama Bang Udin. Bisa kan?” Pinta Ibuk dengan sungkan. “Insya Allah ada, Mbak Nah. Butuh berapa?” Tanya Bang Udin. Ada sedikit kelegaan di wajah Ibuk. “Lima belas ribu ya, Bang.” (Setyawan, 2012:87-88). “Nah ini buat bayar SPP Bayek dan Rini besok. Untuk belanja, kamu hutang dulu ke Bang Udin,” kata Bapak (Setyawan, 2012:117). Dari kutipan-kutipan di atas dapat disimpulkan Bang Udin adalah orang yang baik. Ia banyak membantu Ibuk. Bang Udin selalu memberikan pinjaman jika Ibuk memerlukannya, dan ia juga tidak mengharuskan untuk segera membayarkan. Ibuk melunasi hutangnya dengan cicilan setiap hari. 18. Mbah Carik Mbah Carik adalah nenek tua yang yang tinggal di Gang Buntu. Rumahnya dekan dengan rumah Ibuk. Ia baik pada Ibuk juga pada semua orang. Mbah Carik adalah orang yang disegani di Gang Buntu. Ia suka memberi petuahpetuah dan nasihat-nasihat. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. Mbah Carik dikenal sebagai orang pintar di Gang Buntu. Dia konon bisa menyembuhkan beberapa penyakit dan juga bisa membaca orang. Meskipun sudah berumur dan rambutnya putih beruban, Mbah Carik terlihat cantik dan segar. Ia selalu mengunyah sirih. Di usia senjanya Mbah carik sangat disegani. Seseorang yang selalu didengar oleh semua orang. Rumahnya selalu dikunjungi oleh tamu-tamu yang datang untuk memohon doa restu, mencari obat untuk penyakit, atau hanya ingin berbincang tentang hidup. Mbah Carik jarang keluar rumah. Hanya sekali atau dua kali dalam seminggu. Ia berjalan-jalan di sekitar Gang Buntu. “Nah, gimana kabarmu? Yo opo anak-anakmu?” sapa Mbah
67
Carik setiap kali melewati rumah Ibuk. Mbah Carik sering ke dapur. Ia mengamati Ibuk memasak sambil memberikan petuah-petuah yang bijak. Selain Ibuk, Mbah Carik selalu menyentuh hati orang-orang yang ia jumpai di sepanjang perjalanan (Setyawan, 2012:80). Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Mbah Carik adalah orang yang dituakan di Gang Buntu. Mbah Carik sangat disegani dan dihormati oleh masyarakat sekitar, hal itu dilakukan karena Mbag Carik dianggap orang pintar yang dapat menyembuhkan beberapa penyakit, juga Mbah Carik sering memberikan petuah-petuah bagi orang-orang disekitarnya. Ia baik pada semua orang. c. Alur Alur yang digunakan dalam novel Ibuk, karya Iwan Setyawan adalah alur campuran (maju-mundur). Kisah demi kisah tidak selalu diceritakan secara kronologis namun terkadan ada flash-back kejadian masa lalu tokoh, karena pada novel ini bercerita kehidupan sebuah keluarga yang bergerak maju. Cerita ini berawal dari tahap pengenalan. Pada tahap pengenalan. Pengarang mengenalkan karakter tokoh utama, yaitu seorang tokoh yang bernama Tinah. Baru setelah itu dimunculkan tokoh-tokoh lain yang mendukung jalannya cerita. Mulai dari Mbok Pah, nenek Tinah, yang mengasuh Tinah semenjak ia putus sekolah, Sim Seorang kenek angkot yang berhasil memenangkan hati Tinah dan akhirnya mereka menikah. Kemudian lahirlah kelima anak mereka. Setelah itu masih banyak tokoh-tokoh yang dimunculkan sebagai pendukung cerita. Pada awalnya penceritaan berjalan maju, namun saatsaat di tengah penceritaan, ingatan Tinah yang belakangan disebut dengan panggilan Ibuk, kembali menceritakan zaman dulu, dan akhirnya kembali ke masa kini. Hal itu dapat dilihat kutipan berikut. “Iya, nggak apa-apa. Padahal dulu bocornya nggak sebanyak ini, Nduk. Entar ya, Ibuk cerita bagaimana kita membangun rumah ini,” jawab Ibuk. ….
68
Hujan belum reda. Matahari mulai merangkak ke ufuk barat hendak tenggelam tapi sinarnya masih kelihatan di balik awan yang mulai gelap. Ibuk menyalakan lampu di ruang tamu. Semua anaknya telah berkumpul di sana. Mira di gendongannya. “Begini ceritanya…” (Setyawan, 2012:76). Mulai dari kutipan itu, Ibuk mulai menceritakan zaman-zaman membangun rumahnya dulu. Zaman yang begitu membutuhkan perjuangan. Saat anak ibuk nomer satu sampai tiga masih kecil-kecil dan juga saat itu Ibuk hamil anak keempat. Perjuangan Ibuk begitu keras, dalam keadaan hamil, Ibuk bolakbalik menggotong air dari sumur tetangga dan menyiapkan makanan untuk semua tukang. Proses pembangunan rumah berjalan selama tiga bulan. Akhirnya Ibuk mengakhiri ceritanya, dan alur cerita kembali ke masa kini. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. Ah, begitulah rumah ini dibangun. Ibuk mengakhiri ceritanya. Hujan mulai reda. Mata Ibuk menerawang ke langit-langit (Setyawan, 2012:79). Selesai bercerita tentang masa lalunya saat membangun rumah kecil mereka, Ibuk mengingat seseorang yang memberinya wejangan saat proses pembangunan rumah berlangsung. Orang itu adalah Mbah carik. Disini Ibuk kembali akan menceritakan sosok Mbah Carik pada anak-anaknya. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. “Ibuk hampir lupa! Ketika membangun rumah ini, Ibuk mendapat wejangan dari wong pinter di Gang Buntu. Tentang si Bayek,” kata Ibuk setelah mematikan lampu di dapur. Anak-anak bengong. Mereka tidak mengerti apa yang baru saja Ibuk katakan. “Besok malam ya, Ibuk cerita tentang Mbah Carik,”janji Ibuk. Besok malanmya ingatan Ibuk mulai menerawang lagi ke kejadian yang sudah lampau. Hal inilah yang membuat alur kembali mundur. Malam itu sesuai janjinya pada anak-anak, Ibuk menceritakan Mbah Carik yang memberikan
69
wejangan saat membangun rumah mereka. Beginilah wejangan Mbah Carik kala itu. “Nah, kamu ini hamil kok angkat-angkat air,” sapa Mbah Carik. Ibuk yang sedang hamil Rini mengangkat air di dua ember plastik warna merah dari rumah Lek Sanik ke rumah kecil yang sedang dibangun. “Mboten nopo-nopo, Mbah. Sudah tiap hari seperti ini,”kata Ibuk menarik napas panjang. Bayek di belakang Ibuk, menarik-narik daster batiknya. “Nah, Nah…Sing ati-ati yo,”Pesan Mabah Carik sambil menepuk pundak Ibuk. “Yang sabar dulu ya. Hidupmu sekarang susah. Tapi percaya aku, Nah. Anak lanang yang ada dibelakangmu itu kelak akan membahagiakanmu,” pesan Mbah Carik. Raut wajahnya kalem. “Ke sini Le, Mbah cium!” (Setyawan, 2012:81). Begitulah seterusnya Ibuk mulai menceritakan Mbah Carik. Mbah Carik adalah orang yang sangat disegani di gang Buntu. Setelah menceritakan semua tentang Mbah Carik, Ibuk mengakhiri ceritanya. Alur cerita kemudian berjalan maju. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. Begitulah Mbah Carik. Ibuk menceritakan pada anak-anaknya. …. Ibuk kemudian pergi ke dapur. Di pintu menuju dapur, ia melihat deretan sepatu anaknya. Sepatu Nani sudah mau jebol. Mulai dari itu, alur cerita kembali bergerak maju sampai akhir cerita. Pengarang mulai menceritakan kehidupan keluarga Ibuk. Kejadian demi kejadian diceritakan runtut, mulai dari kelima anak-anaknya yang selesai sekolah, masuk kuliah, dan Bayek, anak laki-laki Bapak dan Ibuk kerja di NYC, anak-anak perempuan semua menikah, sampai Bayek kembali ke Indonesia, dan pada akhir cerita, diceritakan Bapak berpulang. Sebuah ending cerita yang mengharukan, namun juga sarat akan nilai-nilai yang dapat dipetik dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Sebuah cerita yang penuh inspirasi dan memotivasi. Berikut adalah tahapan plot dalam novel Ibuk,:
70
1. Tahap situation (penyituasian) Pada tahap ini, pengarang melukiskan tokoh dan situasi cerita. Pada awalnya tokoh utama dimunculkan dengan ciri-cri fisiknya, begitu juga situasi yang melatarinya. Hal itu napak dalam kutipan berikut. Anak kecil itu duduk sendiri di sudut ranjang sambil melipat seragam warna kuning dan hijau pelan-pelan. Ia kemudian menyimpan ke dalam lemari. Ada kekecewaan di matanya yang bening. Besok ia tidak akan kembali ke sekolahnya di Taman Siswa Batu. Matanya menerawang ke sandal jepit yang biasa ia pekai ke sekolah. Air matanya menetes. Anak itu, Tinah, harus mengubur harapan untuk menyelesaikan sekolah. Ia tak pernah kembali ke sekolah. Buat anak perempuan, tidak apa-apa tidak sekolah, kata Mak Gini, ibunya. Tinah kehilangan harapan (Setyawan, 2012:1). Pagi yang biasa. Pagi yang ramai di pasar Batu. Di depan kios Mbok Pah, jajaran angkot mulai menurunkan penumpang. Sebagian besar adalah ibu-ibu yang akan berbelanja Hampir semua memakai sandal jepit dan menenteng tas kresek kosong. Para sopir angkot dan kenek pun banyak yang turun untuk sarapan. Salah satunya, anak muda berusia sekitar 23 tahun. Seorang kenek yang telah lebih dari setahun datang dan pergi bersama angkotnya di pasar Batu. Ia terlihat berbeda dari sopir atau kenek lain. Pakaiannya selalu rapi. Tatapan matanya melankolis tapi tajam. Badannya tidak tinggi tapi gagah, gayanya flamboyan. Alisnya tebal dan bibirnya penuh. Ia dekat dengan semua orang, dari ibu-ibu sampai preman. Ia dicap sebagai playboy pasar (Setyawan, 2012:4). Kutipan di atas adalah pengenalan awal tokoh dan situasi dalam novel Ibuk. Pengarang mengenalkan tokoh dengan ciri-ciri fisiknya dan situasi yang melatarinya. 2. Tahap generating circimtantes (pemunculan konflik) Pada tahap ini, pengarang mulai memunculkan peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan terjadinya konflik. Salah satunya adalah konflik batin yang dialami oleh tinah tentang percintaannya dengan kenek angkot. Permasalahan yang munncul adalah, Mbok Pah menginginkan Tinah memilih laki-laki yang lebih mapan. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
71
“Nah…masa’ kamu gak mau orang yang sudah mateng dan sebaik dia?” kata Mbok Pah meyakinkan. “Apa kamu masih pilih Sim itu? Ganteng iya, tapi Mbok rasa dia belum mateng, Nah. Belum siap. Masa’ kamu mau nunggu? Tinah, terdiam. Mbok Pah merasa kasihan juga melihat cucunya kebingungan. “Gini Nah, kamu pikirkan ya. Iki serius. Iki uripmu. Mbok suka sama Sim, tapi Mbok juga belum yakin. Lek Hari entar malam mau kerumah, mau nanya ke kamu langsung.” Tinah masih terdiam. Ia tak berani menyangkal Mboknya. Ia teringat permintaan Sim setelah pulang dari Pujon kemarin. Nah…kamu mau gak hidup susah sama aku. Kita, hidup berdua. “Mbok aku gak mau pilih-pilih,” Jawab Tinah akhirnya. “Sim itu hidupnya gak seperti Lek Hari tapi orangnya apikan.” Kini justru Mbok Pah yang diam. Ia sudah tahu apa yang menjadi pilihan cucunya (Setyawan, 2012:21-22). Kutipan di atas merupakan konflik awal yang muncul, yakni pertentangan jodoh antara Tinah dengan Mbok Pah. Namun pada akhirnya hati Tinah lebih memilih Sim seorang kenek angkot. Mbok Pah pun sepakat dengan pilihan Tinah. 3. Tahap rising action (peningkatan konflik) Pada tahap ini, pengarang mulai memunculkan konflik yang lebih kompleks dan pengembangan dari konflik sebelumnya, yakni setelah memutuskan hidup berumah tangga dengan Sim, rumah tangga Tinah selalu dipenuhi dengan permasalahan-permasalahan ekonomi yang terus menghimpit. Apalagi setelah kelima anaknya terlahir. Hal itu dapat terlihat dalam kutipan berikut. Tahun berlalu. Anak-anak Ibuk dan Bapak tumbuh semakin besar. Beban hidup semakin berat. Kebutuhan semakin banyak. Setahun setelah Mira lahir, Ibuk jatuh sakit karena kecapekan dan sering telat makan. Setiap kali buang air selalu ada darah. Ibuk terkena sakit maag akut dan tak bisa beranjak dari ranjang selama berminggu-minggu. Mira dijaga oleh Isa. Nani menjaga Bayek dan Rini. Bapak membantu mempersiapkan sekolah Isa dan Nani sebelum menarik angkot. Bayek dan Rini sendiri untuk sementara meliburkan diri dari sekolah. Mak Gini membantu memasak. Rumah begitu sedih tanpa senyum Ibuk (Setyawan, 2012:37).
72
Semenjak saat itu, permasalahan yang lebih kompleks selalu saja muncul, mulai dari anaknya yang meminta buku baru, sepatu jebol, bayaran untuk SPP yang sering menunggak, dan lagi angkot bekas yang dibeli Bapak sering rusak. Uang untuk makan sehari-hari harus terganggu untuk membetulkan angkot. Permasalahan-permasalahan itu nampak pada kutipan berikut. Buku baru. “Ah, kamu coba pake buku kakakmu, Yek! Yang penting besok bawa buku dulu. Sepatu jebol.”Nan, coba minta lem ke Bapakmu! Uang SPP.” Oh, besok tanggal 10? Besok ya, Yek. Besok. Pasti ono kok!” “Buk, tahun depan aku ke SMP!”. Kali ini pertanyaan Isa. Ibuk tak langsung menjawab. Malam mulai larut. Obrolan ruang tamu telah usai. Ibu tak menangis, hanya nelangsa. Ia menidurkan Mira. Bapak masih belum pulang. Masih banyak pertanyaan lain yang belum terjawab. Tapi ada satu hal yang tiba-tiba Ibuk ingat. Tiga hari lagi, ia harus mengambil rapor Bayek (Setyawan, 2012:59-61). “Aduh Nah, capek sekali badan ini! Angkot rusak lagi. Uang habis buat benerin angkot. Aduh Nah, yo opo iki?” keluh Bapak (Setyawan, 2012:68). “Anak-anak tambah gedhe. Kebutuhan kita tambah banyak. Angkot rusak nggak ada hentinya sudah tiga hari berturut-turut, Nah. Ada saja yang rusak. Sudah tiga hari ini narik angkot hanya untuk beli onderdil. Belanja buat besok masih ada tah?” Tanya Bapak (Setyawan, 2012:111). Dari kutipan-kutipan di atas menunjukkan konflik yang selalu muncul dalam keluarga Ibuk dan Bapak. Permasalahan ekonomi selalu membelit mereka. 4. Tahap climax (klimaks) Pada tahap ini, pengarang semakin mengerucutkan permasalahan. Permasalahan yang muncul sudah pada puncaknya. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
73
“Wah, kok sudah pulang , Pak!” sapa Nani menyambut Bapak. Tidak seperti biasa, bapak pulang lebih awal. Wajah Bapak ltih. Lengan tangannya belepotan oli. Bajunya lusuh sekali. Rambut Bapak tidak serapi di pagi hari. Ia selalu memakai minyak rambut Brisk sebelum berangkat kerja. Mata Bapak sedikit merah. Bajunya basah berkeringan. Ah, Bapak begitu lemas. “Pak, besok loh bayar SPP paling telat,” Bayek mengingatkan. Bapak hanya diam menuju Dapur. “Wah kok sudah pulang, Pak?” sambut Ibuk. Bapak tak menghiraukan Ibuk dan membersihkan tangannya di dapur. “mau teh panas tah? Atau kopi?” Tanya Ibuk. Tak ada balasan dari Bapak. Keduanya diam. Bapak mengganti baju dengan kaos yang masih bersih. Mira tidur pulas di kamar. “Kenapa lagi mobilnya?” Tanya Ibuk. “Sudah empat hari ini Nah, angkot mogok lagi! Kesel aku, Nah. Mbuh ini!” kata Bapak gusar. Bayek dan Rini bergabung dengan Isa di kamar depan. Nani juga. Tidak biasanya Bapak terdengar secapek ini. Ia terdengar hampir putus asa. “Sudah empat hari ini, Nah. Mangan opo arek-arek mene? SPP juga mesti dibayar besok. Kalau begini terus, pingin segera jual angkot saja. Gak ngerti maneh aku!” ujar Bapak di sudut dapur sambil membanting sandal jepit biru tipisnya dengan keras. Ibuk terkejut. Anak-anak yang ada di kamar depan terdiam. “Wis, Mbuh Nah!” lanjut bapak singkat. Suaranya pelan. Matanya berkaca-kaca. “Sing sabar sik. Sing sabar, kata Ibuk menghibur Bapak. “itu tehnya diminum dulu.” Bapak masih diam. Ia tidak menyentuh teh yang ada di atas meja marmer. “Aku capek, Nah. Iki godaan datang terus. Aku berangkat lagi ya! Gak bisa lihat anak-anak seperti ini. Saaken!” (Setyawan, 2012:114-116). Kutipan di atas menunjukkan klimaks dari konflik yang sering muncul. Permasalahan ekonomi yang selalu menghimpit membuat Bapak sang kepala keluarga hampir putus asa menghadapinya. Uang hasil narik angkot yang selalu habis hanya untuk membetulkan angkot yang rusak, padahal masih banyak sekali kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi, sampai-sampai Bapak tidak dapat menahan emosinya, dan melampiaskannya dengan membanting sandal.
74
5. Tahap denouement (penyelesaian) Pada tahap ini, pengarang mulai memunculkan solusi-solusi dari konflik yang muncul. Mulai ada penyelesaian dari setiap konflik. Kerena kebutuhan yang terus menghimpit, dan Bayek diterima kuliah di IPB Bogor, maka Ibuk dan Bapak memutuskan untuk menjual angkot karena biaya kuliah yang tidak murah. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. Di hari ketiga sebelum tenggat pembayaran uang masuk, Ibuk mengejutkan anak-anaknya. Saat itu Bayek sedang menonton TV di ruang tamu bersama empat saudaranya. “Yek, kita jual angkot kita…,” kata Ibuk. Anak-anak terdiam. Bapak yang juga ada di sana tak bisa berkata-kata. “Iya, kita jual angkot untuk kuliah ke Bogor,” tegas Ibuk lagi meyakinkan Bayek. semuanya masih diam, terkejut dengan kenekatan Ibuk. “Entar kita mau makan apa kalau angkot dijual?” Tanya Bayek. Ibuk menarik napas panjang. Beberapa saat kemudian Bapak menimpali, ”Bapak akan kerja di tetangga sebelah menjadi sopir truk. Akhirnya Bayek pergi ke Bogor. Kuliah. Tidak menjadi sopir angkot seperti Bapak tetapi menjadi mahasiswa. Dari sebuah keputusan menjual angkot untuk biaya kuliah Bayek itulah, permasalahan demi permasalahan terselesaikan. Bayek dapat lulus kuliah sebagai lulusan terbaik. Kemudian ia bekerja sampai ke NYC. Dari situlah keadaan perekonomian keluarga Ibuk terangkat. Bayek dapat melunasi semua hutang keluarga dan menyenangkan Ibuk serta Bapak, juga saudara-saudaranya. d. Latar atau setting Latar atau setting meliputi tempat, waktu dan suasana terjadinya suatu peristiwa atau kejadian dalam sebuah cerita. Adapun latar dalam novel Ibuk karya Iwan Setyawan adalah latar tempat, waktu. Selain itu, latar suasana juga digambarkan pengarang dalam novel ini. Menurut Nurgiyantoro (2005:233234), latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam
75
lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual seperti dikemukakan sebelumnya. Di samping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas. 1. Tempat Latar tempat merupakan tempat dimana terjadinya peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh. Tempat terjadinya
peristiwa dalam novel Ibuk yakni
berada di dua Negara, Indonesia tepatnya di Kota Batu, Jawa Timur, Bogor, Jakarta, Jogja, dan Karawang, dan di New York City. Latar tempat di Kota Batu, meliputi pasar batu, di rumah di Gang Buntu, di sekolah, di bandara, di rumah sakit, di kelurahan dan di pemakaman. Latar tempat di NYC, saat Bayek bekerja di sana meliputi apartement, kompleks perkantoran di Manhattan, taman, restoran, dan groceries shopping. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut. Pagi yang biasa. Pagi yang ramai di Pasar Batu. Di depan kios Mbok Pah, jajaran angkot mulai menurunkan penumpang (Setyawan, 2012:4). Meskipun harus bolak-balik dari satu sekolah ke sekolah yang lain, Ibuk tak pernah meminta bantuan orang lain untuk mengambilkan rapor anak-anaknya. Dari SD Negeri Ngaglik 1, tempat Bayek dan Rini sekolah, Ibuk jalan kaki ke sekolah Nani, SD Ngaglik 2. Tempat Isa sekolah di SD Ngaglik 3, yang paling jauh (Setyawan, 2012:63). Di pegadaian, Ibuk segera mencari Mak Gini yang bekerja di sana sebagai perantara antara petugas pegadaian dan orang-orang yang ingin menggadaikan barang (Setyawan, 2012:119). Malam pertama mereka berada di rumah Mbak Gik. Tak ada selimut di atas dipan kayu mereka (Setyawan, 2012:25). “Ni, beli sepatu yang agak gedean ya, biar bisa dipakai sampai kamu kelas 6 entar,” pesan Ibuk sembari memilihkan sepatu untuk Nani di Toko bata yang terletak di alun-alun Batu (Setyawan, 2012:89).
76
Ibuk dan Bayek menyusuri gang-gang kecil di sebelah rumah, tangan Ibuk menggenggam tangan Bayek. Matanya sembab. Tak ada percakapan. Sesampainya di hutan bambu, Ibuk diam sebentar. Air matanya mengalir kembali. Bayek menatap mata Ibuk. Matanya pun mulai basah (Setyawan, 2012:117). Siang harinya Ibuk mengurus surat-surat untuk keringanan uang bangunan sekolah. Dengan sandal jepit dan daster batik, Ibuk mengajak Bayek, Mira dan Rini ke kantor kelurahan di dekat SD Ngaglik 1 Batu (Setyawan, 2012:122). Di Bogor Bayek berjuang melawan rasa takut, rasa kangen akan rumah kecil di Gang Buntu (Setyawan, 2012:134). Tiga tahun sudah Bayek di Jakarta. Tiga tahun sudah ia berusaha membangun hidup baru (Setyawan, 2012:143). Ia sesekali mengunjungi keluarga adiknya, Mira, yang tinggal di Karawang. Bulan September 2011, Bayek dan Ibuk mengunjungi Mira yang telah melahirkan anak kedua, Arti (Setyawan, 2012:247). Dua minggu penuh cinta dan kehangatan, Bayek pun harus kembali ke New York. Bapak dan Ibuk mengantarkan ke Bandara Juanda Surabaya (Setyawan, 2012:171). Keesokan paginya Bayek langsung ke Manhattan. Sendirian ia menelusuri jalanan di daerah itu dan merasakan hawa kota yang sebelumnya sangat hidup berganti menjadi melankolis. Grand Central yang biasanya hiruk-pikuk di pagi hari tenggelam dalam kebisuan dan dipenuhi wajah-wajah yang berkabung. Tak ada kebisingan sepanjang 42nd Street. Bayek kemudian menyusuri Madison Ave. kantor-kantor sepi. Took-toko sepi. Sesampainya di Madion Square Park, Bayek tak lagi melihat pemusik jalanan yang biasanya menggelar konser musik di udara musim gugur yang cerah. East Village tak terlihat hidup seperti biasanya. SoHo hampa dari turis-turis berbelanja. Pintu depan restoran dan butik-butik tertutup. Hanya terlihat beberapa orang yang lalu lalang di China Town yang biasanya berdesakan. Orang-orang menaruh bunga di depan kantor pemadam kebakaran di daerah TriBeCa. Daerah sekitar WTC ditutup (Setyawan, 2012:161). Akhirnya atas rekomendasi dokter saraf, Bapak dibawa ke rumah sakit di Malang dan menginap beberapa hari di sana (Setyawan, 2012:260).
77
Pagi yang cerah di kaki Gunung Panderman. Satu per satu, pelayat meninggalkan pemakaman. Tinggal Ibuk dan keluarga dekatnya (Setyawan, 2012:277). Dari beberapa kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa latar tempat yang digunakan dalam novel Ibuk antara lain adalah di pasar batu, di SD Ngaglik, di pegadaian, di kelurahan, di Bogor, di Jakarta, di Karawang, di rumah Mbak Gik, di toko sepatu, di hutan bambu dan di pemakaman, dan beberapa lokasi di NYC.
2. Waktu Latar waktu merupakan waktu kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh. Latar waktu dalam novel ini menggunakan hari, bulan, tahun, pagi, siang, malam, selepas sholat, di waktu subuh, dan menunjukkan jam. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut. Pagi yang biasa. Pagi yang ramai di pasar Batu. Di depan kios Mbok Pah, jajaran angkot mulai menurunkan penumpang (Setyawan, 2012:4). Jam 11 malam. Gang Buntu senyap. Semua pintu tertutup rapat. Korden menyelimuti jendela di setiap rumah. Hampir semua rumah gelap, hanya lampu depan yang menyala. Redup. Bulan hanya separuh tapi terangnya benderang. Cahaya putih terpantul dari awan di arah barat. Sunyi (Setyawan, 2012:67). Sore itu, seperti janjinya, sopir angkot baru itu menunggu Tinah di Gang Buntu. Beberapa penumpang di angkotnya juga menunggu. Ada sekitar tujuh orang langganan Sim di dalam mobil Mitsubishi Colt T tua itu (Setyawan, 2012:18). Minggu depannya, Sim menjemput Tinah selepas azan magrib. Untuk pertama kalinya Tinah memberanikan diri keluar dengan lelaki yang baru saja ia kenal (Setyawan, 2012:13). Namun Mbok Pah jatuh sakit dua minggu setelah acara lamaran (Setyawan, 2012:24).
78
Bulan berikutnya, Sim bersama keluarga Mbak Gik berjalan dari Jalan Darsono ke Gang Buntu. Mereka menanyakan Ngatinah kepada keluarganya (Setyawan, 2012:23). Setelah mengerjakan PR, baru mereka tidur siang. Jam 2 siang rumah mereka sepi. Gang Buntu juga sepi. Ibuk masih sibuk di dapur (Setyawan, 2012:51). Sebelum ayam berkokok, Bapak sudah terbangun. Ia masih mengenakan baju yang dipakai tadi malam. Sandal jepit swallow warna biru tua menanti di depan pintu rumahnya. Ia segera menghidupkan mesin mobil (Setyawan,2012:69). Di akhir pekan Bapak sering mengajak Bayek untuk narik angkot (Setyawan, 2012:103). Air mata Bayek meleleh setelah salat Isya. terlintas bayangan orangorang yang terjebak dalam gedung saat pesawat menabrak (Setyawan, 2012:158). Pagi itu gelap dan dingin. Hujan deras mengguyur Kota Batu. Jam setengah tujuh pagi segelap jam lima pagi. Lampu ruang tamu sudah dimatikan Ibuk setelah salat subuh tadi (Setyawan, 2012:258). Di Bulan Januari Bayek dipromosikan menjadi senior data processing executive. Gajinya bertambah. Bonusnya bertambah. Usaha kerasnya selama setahun ini mendapat penghargaan (Setyawan, 2012:167). Di musim semi ketujuh, Bayek pulang ke Indonesia. Kali ini untuk menghadiri pernikahan Mira. Pernikahan kedua yang Bayek hadiri dalam keluarganya (Setyawan, 2012:217). Di musim gugur kesepuluh Bayek kembali mengirimkan surat pengunduran diri. Hatinya kini telah bulat. Meskipun atasannya menawarkan jabatan yang lebih tinggi, manjadi salah satu direktur di North America, Bayek akhirnya mengepak barang-barangnya dan pulang ke Indonesia (Setyawan, 2012:222). Sabtu, 4 Februari 2012, pukul 2 dini hari. Rini bangun dan memeriksa kondisi Bapak. Tangan rini mengelus tangan Bapak. Juga dadanya. Bapak masih tertidur pulas. Rini kebali tidur di kursi di samping ranjang Bapak. Tangan kiri Rini masih memegang tangannya dan tangan kanan memegang dada Bapak (Setyawan, 2012:271).
79
Dari beberapa kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa latar waktu yang digunakan dalam novel Ibuk antara lain adalah pagi hari, siang hari, sore hari, malam hari, menunjukkan jam, menunjukkan hari, menunjukkan minggu, menunjukkan bulan, menunjukkan tahun, menunjukkan musim, sehabis salat, waktu subuh, dan sebelum ayam berkokok. 3. Suasana Suasana yang diangkat oleh Iwan Setyawan dalam novelnya Ibuk yakni mengangkat kehidupan masyarakat menengah kebawah yang menampilkan keprihatinan dan kesederhanaan. Suasana yang khas pada waktu dahulu yang diselimuti dengan kisah-kisah sederhana khas kehidupan pedesaan, sampai kehidupan pada masa kini yang serba modern. Hal ini nampak dalam kutipan berikut. Minggu berikutnya, mereka kembali nonton layar tancep. Mereka berjalan kaki menuju lapangan bola di samping kantor koramil Batu. Kali ini Tinah membawa makanan di dalam tas kresek warna hitam. Isinya kacang rebus, pisang goreng, juga teh hangat yang dibungkus kantong plastik kecil (Setyawan, 2012:14). Tinah berpikir sejenak. Selama hidupnya, ia belum pernah naik mobil. Ia belum pernah keluar dari kota Batu. Hidupnya dihabiskan di antara Gang Buntu dan pasar sayur Batu (Setyawan, 2012:15). “Gini Nah, sudah lama Mbok Pah mau ngomong ini, tapi ora enak. Sudah beberapa minggu ini ada yang nanyain kamu terus. Namanya Lek Hari. Mungkin seumuran sama Sim. Dia sudah punya rumah sendiri di Oro-Oro Ombo. Sudah punya usaha sendiri, mencetak batu bata,” jelas Mbok Pah (Setyawan, 2012:21). Dari beberapa kutipan di atas mencerminkan suasana pada zaman dahulu sebelum keadaan seperti sekarang. Suasana kehidupan desa yang begitu khas dengan kesederhanaan. Namun pada bagian akhir novel, suasananya sudah berubah, dari desa yang masih belum modern, berubah menjadi zaman yang lebih
80
modern, namun tetap memperlihatkan suasana desa yang penuh dengan kesederhanaan. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan beriku. Kegiatan Ibuk di luar rumah hanya pengajian atau kalau ada hajatan. Ibuk tidak lagi harus pergi berhutang ke Bang Udin atau ke pegadaian. Anak-anaknya tak lagi meminta sepatu baru, baju sekolah, uang kuliah, atau baju lebarang. Kini, anak-anak Ibuk yang selalu berusaha untuk menyenangkan kedua orang tua mereka. Ibuk dan Bapak, setelah 40 tahun berjuang, akhirnya melihat cahaya di atap rumahnya (Setyawan, 2012:244). Semenjak itu Bayek meluangkan waktu di Batu, di rumah kecilnya di Gang Buntu. Ia rutin melakukan yoga di pagi hari dan jalan kaki bersama Bapak dan Ibuk ke kaki Gunung Panderman. Siangnya Bayek bermain bersama keponakan. Kadang mengajar saudara-saudaranya yoga. Menikmati masakan Ibuk dan membaca buku-buku Fyodor Dostoevsky yang ia bawa dari New York. Ah, Bayek kadang tidur siang juga (Setyawan, 2012:226). Dari kutipan-kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa latar suasana yang diangkat dalam novel Ibuk adalah suasana khas pedesaan yang penuh dengan kesederhanaan dan keprihatinan sampai pada masa sekarang, yakni hidup yang penuh dengan kemodernan namun pengarang tetap menampilkan suasana pedesaan yang khas. e. Sudut pandang Ada tiga jenis sudut pandang (point of fiew), yakni: (1) pengarang sebagai orang pertama dan menyatakan pelakunya dengan sebutan “aku”, teknik ini disebut teknik akuan, (2) pengarang sebagai orang ketiga dan menyebut pelaku utama dengan sebutan “dia”, teknik ini disebut teknik diaan, (3) pengarang serba tahu (omniscient narratif) yakni pengarang yang menceritakan segalanya atau memasukka peran. Dalam novel ini menggunakan sudut pandang orang ketiga, pengarang sebagai tokoh sampingan. Gaya penceritaannya menggunakan teknik diaan. Orang yang bercerita dalam hai ini adalah seorang tokoh sampingan yang menceritakan peristiwa yang bertalian terutama dengan tokoh utama cerita.
81
Sesekali peristiwa itu juga menyangkut tentang dirinya sebagai pencerita. Cara penyampaian cerita itu juga menggunakan sapaan “aku” pada dirinya dalam menceritakan tentang peristiwa yang menyangkut tentang dirinya sebagai tokoh pendamping, namun sering pula ia bercerita sebagai orang ketiga yang mengamati peristiwa dari jauh tentang tokoh utama cerita. Hal itu nampak dalam bab 15 “Sedikit tentang Aku” bab 21 “Hidup Baruku”, dan bab 49 “Aku” dalam bab tersebut pengerang menceritakan dirinya dengan menyebut dirinya “aku”. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. “Le, ini Ibuk sudah terima rapormu!” tak hanya melegakan Bayek tapi juga melegakanku! Aku tarik napas panjang setelah menuliskannya. Ah, sampai di sini, mungkin kau akan bertanya siapa diriku. Tapi apa perlunya kau tahu? Aku hanya bagian kecil dari cerita ini. Aku hanya seseorang yang berusaha mencatat sedikit kenangan agar tak hilang begitu saja ditelan zaman (Setyawan, 2012:72). Dalam novel ini, Bayek sebagai anak laki-laki di keluarga Ibuk dan Bapak sebenarnya merupakan pengarang yang menceritakan kehidupan nyatanya dan diangkat menjadi sebuah novel. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. Sampai saat ini, aku masih terngiang-ngiang kata-kata Ibuk kepada Mbak Isa. Cintanya melahirkan tekad untuk kehidupan yang lebih baik, untuk anak-anaknya (Setyawan, 2012:73). Dua belas tahun yang lalu, aku mengikuti perjalanan Bayek selama di New York. Ketika ia jauh dari keluarga. Ketika ia melalui 9 musim panas, 10 musim gugur. Ketika ia mengumpulkan kepingan-kepingan masa lalu dan membangun hidupnya. Ketika ia berlayar untuk keluarganya. Ketika ia menemukan dirinya. Ketika ia jauh dari surga kecilnya di Batu. Ketika kesederhanaan dan cinta keluarga menyelamatkannya (Setyawan, 2012:287). Malam telah larut. Aku ingin segera pulang. Mengunjungi makam Bapak. Memeluk Ibuk. Menatap matanya. Aku ingin membelikan daster batik. Aku ingin memberikan hatiku (Setyawan, 2012:289). Dari kutipan-kutipan di atas, jelaslah bahwa pengarang sebetulnya adalah salah satu tokoh di dalam novel, yakni Bayek, namun ia memosisikan
82
dirinya sebagai orang ketiga, pengarang sebagai tokoh sampingan. Dalam novel ini adalah kisah nyata yang dialami oleh pengarang. Sesekali ia juga memunculkan dirinya sebagai tokoh aku dalam novel.
2. Tanda-tanda Semiotik dalam Novel Ibuk, Karya Iwan Setyawan Sesuatu dapat disebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain. Hal itu sejalan dengan pendapat Mukarovsky yang menyebutkan karya sastra khususnya dan karya seni umumnya sebagai fakta semiotik. Dalam novel Ibuk, karya Iwan Setyawan ini banyak ditemukan tanda-tanda yang mewakili makna yang akan disampaikan oleh pengarang. teknik analisis tanda menggunakan teknik heuristik dan hermeneutik. Tanda-tanda tersebut terlihat dalam kutipan berikut. a. Kajian Secara Fisik 1. Sampul Sampul novel Ibuk, berwarna cokelat dengan motif batik yang sedikit samar-samar, dan bergambarkan seorang perempuan dengan pakaian batik, juga dipenuhi tulisan-tulisan tegak bersambung yang tidak beraturan. Perempuan itu digambarkan sederhana dengan rambut digelung di belakang. Terlihat perempuan itu sedang meracik sesuatu, seperti sedang memasak. Perempuan itu mengilustrasikan seorang Ibu. Judul novel itu tertulis “ibuk,”. Di sini ibu adalah seseorang yang telah melahirkan seorang anak. Dalam novel ini, seorang ibu tersebut dipanggil dengan “Ibuk” karena pada umumnya orang jawa yang bahasa kesehariannya menggunakan bahasa jawa glotalnya sangat terlihat, sehingga sebutan ibu menjadi Ibuk. Sampul Novel Ibuk, sederhana tapi memikat, representasi dari isi novelnya. Jenis font dan jarak antar paragraf yang pas membuat nyaman untuk membacanya. b. Analisis Unsur Representamen, Object, dan Interpretant 1. Representamen, ground, tanda itu sendiri, sebagai perwujudan gejala umum:
83
a. Qualisigns, terbentuk oleh kualitas, tanda ini berdasarkan suatu sifat, sebagai contoh adalah sifat dari warna. Hal itu nampak dalam kutipan berikut. Baju putihnya yang usang tak mengurangi ketampanannya (Setyawan, 2012:4) Seragam putih Isa tak terlihat putih lagi (Setyawan, 2012:55) Dari kutipan di atas ditampilkan sebuah tanda baju putih yang tak lagi berwarna putih dan sudah usang. Hal itu menunjukkan betapa baju putih itu sudah tidak baru lagi dan warnanya sudah berubah. Tanda ini identik dengan keprihatinan, dimana tokoh tersebut tidak dapat membeli baju yang baru, yang berwarna lebih cerah. Warna putih biasanya diidentikkan juga dengan kebaikan, kebersihan dan kesucian. Hal itu nampak dalam kutipan berikut. Dan Ngatinah, seorang gadis desa yang lugu dan berhati putih, telah memberikan hatinya menjadi seorang istri (Setyawan, 2012:26). Dalam kutipan di atas disebutkan Ngatinah adalah seorang yang berhati putih, yang dimaksudkan putih di sini adalah sebuah tanda bahwa Ngatinah mempunya hati yang bersih, baik dan suci, hal itu dapat menjelaskan bahwa Ngatinag adalah orang yang tidak neko-neko. Warna merah juga mempunya tanda tertentu. Warna merah biasanya diidentikkan dengan beberapa hal, seperti keberanian, kemarahan, ketegasan, dan perasaan cinta. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. Ah, matanya memerah. Uangnya belum cukup untuk membayar buku dan kalender Bayek (Setyawan, 2012:62). Warna merah pada mata berarti menandakan ada sesuatu yang sedang dirasakan, dalam kutipan di atas, Ibuk tidak dapat mengambil rapor Bayek karena uangnya belum cukup, hal itu membuat matanya memerah yang menandakan ada kesedihan yang mendalam dan menahan untuk
84
menangis. Warna merah pada wajah sering diidentikkan dengan perasaan marah dan malu. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut Tinah duduk di kursi rotan dekat Mbok Pah yang segera memberi isyarat agar ia menjabat tangan Sim. Keringat dingin Sim menempel di tangan Tinah. Wajah Tinah sedikit memerah. Mulutnya terkunci (Setyawan, 2012:8) Dari kutipan di atas, dapat dijelaskan bahwa tanda yang dapat di ambil dari muka Tinah yang merah adalah Tinah sedang merasakan perasaan malu dan tersipu. Perasaan malu Tinah dari kutipan di atas dikarenakan gejolak perasaannya yang saat itu dia masih remaja dan ada seorang lelaki yang sedang mengunjunginya. Hal itu membuat perasaan Tinah menjadi gugup sehingga mukanya memerah. b. Sinsigns, tokens, terbentuk melalui realitas fisik. Sebuah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. Jalannya sedikit terburu-buru menuju warung langganan yang terletak sekitar lima kios dari kios kecil Mbok Pah (Setyawan, 2012:4-5) Tanda dalam kutipan di atas dapat dilihat dalam langkah Sim yang terburu-buru menuju warung langganannya. Tanda itu mempunyai makna bahwa Sim ingin segera sampai di warung langganannya untuk sarapan karena ia sudah lapar. c. Legisigns, types, merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, dan sebuah kode. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. “Nah, kamu sudah pernah nonton film belum?” Tanya Sim sebelum pulang. Tinah menggelengkan kepala sambil menyenderkan badan di sudut pintu ruang tamu (Setyawan, 2012:13).
85
Tanda yang diperoleh dari kutipan di atas yakni saat Tinah menggelengkan kepala. Menggelengkan kepala sering dilakukan untuk mengungkapkan pernyataan “tidak” atau “belum”. Hal itulah yang ingin diungkapkan oleh Tinah kepada Sim, bahwa ia belum pernah menonton film. Tanda fisik yang lain dapat dijumpai dalam kutipan berikut. Muka Bayek semakin muram (Setyawan, 2012:90). Muka bayek cemberut, matanya memandang jauh ke malam yang makin larut. (Setyawan, 2012:91). Tanda yang diperoleh dari kutipan di atas yakni muka yang muram dan cemberut. Muka yang muram dan cemberut mempunya makna sebuah masalah telah terjadi pada diri tokoh, dan itu membuatnya marah atau kesal. Hal itu juga yang nampak pada tokoh Bayek yang keinginannya tidak terpenuhi sehingga membuat ia merasa kesal, dan terlukiskan dengan tanda pada wajahnya yang terlihat muram dan cemberut. Sebuah tanda juga merupakan isyarat, seperti berjabat tangan, hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. Tinah duduk di kursi rotan dekat Mbok Pah yang segera memberi isyarat agar ia menjabat tangan Sim (Setyawan, 2012:8). Tanda yang tergambar dalam kutipan di atas adalah berjabat tangan. Berjabat tangan adalah sebuah tanda bahwa tokoh tersebut menghormati seseorang. Berjabat tangan biasanya diartikan dengan makna penerimaan, yakni bahwa seseorang diterima dengan baik oleh orang lain. 2. Object (designatum, denotatum, referent), yaitu apa yang diacu: a. Ikon, Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dengan petandanya. Selepas menerima telepon dari Bayek, Ibuk masuk ke kamar. Ia duduk sebentar di sudut ranjang kemudian mencari foto Bayek di bawah tumpukan baju di lemari tua. Matanya masih basah. Beberapa menit kemudian, Ibuk kembali ke ruang tamu,
86
membawa foto wisuda Bayek dan ditaruhnya di atas TV. Matanya kini sembab (Setyawan, 2012:144). Dari kutipan di atas, foto merupakan sebuah penanda yang serupa dengan bentuk objeknya. b. Indeks, Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (Sebab-akibat) antara penanda dan petandanya. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. Asap mengepul di atas dapur rumah bambu Mak Gini dan Bapak Mun (Setyawan, 2012:53). Asap dari dapur masih mengepul di sela-sela genting dan dinding rumah (Setyawan, 2012:55). Dari kutipan di atas yang merupakan tanda adalah adanya asap. Adanya asap berarti menandakan adanya api. Dari kutipan di atas menandakan di rumah Mak Gini sedang ada aktivitas menggunakan api yaitu memasak. Mereka bermain-main dengan abab, uap udara yang diembuskan dari mulut mereka, yang bergumpal keluar seperti kabut kecil. Rini bahkan menirukan gaya Bapak yang sedang merokok. “Tuh, asap keluar juga dari mulutku,” khayal Rini (Setyawan, 2012:55-56). Dari kutipan di atas, asap yang keluar dari mulut juga menandakan suatu makna yakni bahwa daerah tempat tinggal para tokoh merupakan daerah yang sangat dingin, hingga mengakibatkan uap yang menyerupai asap keluar dari mulut. c. Simbol, Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbitrer atau mana suka. Tanda-tanda yang merupakan simbol seperti dalam kutipan berikut, seperti bendera. “Ibuk hampir lupa! Ketika membangun rumah ini, Ibuk mendapat wejangan dari wong pinter di Gang Buntu (Setyawan, 2012:79).
87
Dia sudah punya kios sendiri buat jualan tempe, loh. Wis mateng wong-e (Setyawan, 2012:3). Dari kutipan di atas sebuah tanda dengan menggunakan kata “mateng” yang berarti sudah masak dan “pinter” yang berarti pintar, dalam hal ini seseorang yang dikatakan mateng berarti sudah mapan. Sudah mempunyai pekerjaan dan penghasilah tetap. Kata “pinter” dalam bahasa jawa yang berarti orang yang pintar. Makna yang ingin disampaikan bukanlah orang yang mempunyai kemampuan akademik yang baik, namun makna yang terkandung dalam ungkapan “wong pinter” adalah seseorang yang dianggap mempunyai ilmu mistis dan dapat menyembuhkan beberapa penyakit tanpa melalui langkah medis. Sebuah air mata yang menetes dari mata juga merupakan sebuah simbol yang mengisyaratkan sebuah tanda, hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. “Mbah, bagaimana kalau Bayek tidak bangun sampai Zuhur?” Tanya Ibuk. Air mata Ibuk menetes di pipi Bayek (Setyawan, 2012:84) Ada air mata di sudut mata Bayek. Ia diam. Hening di ruang tamu. Bayek dan kakak adiknya tahu bagaimana Bapak dulu bekerja keras dari hari ke hari untuk membeli angkot itu (Setyawan, 2012:134). Ibuk menyelamatkan kami. Aku ingin ibuk bahagia, ikrar Bayek. matanya berkaca-kaca di depan layar komputer tempatnya bekerja (Setyawan, 2012:143). Beberapa keluarga korban terlihat diwawancarai di TV. Air mata mulai menggenang di sudut mata Ibuk. Nani mengelus-elus pundak Ibuk (Setyawan, 2012:160). “Yek, gimana Bapakmu?” Tanya Ibuk kepada Bayek yang baru nyekar ke makam Bapak. “Bapak kangen Buk. Pingin ngurusi cucu lagi,” kata Bayek bercanda. Ibuk dan Bayek tersenyum tapi mata mereka berkacakaca (Setyawan, 2012:283).
88
Dari kutipan di atas, air mata merupakan sebuah tanda yang mempunyai makna suatu kesedihan. Para tokoh mengekspresikan kesedihan mereka dengan air mata. Sebuah elusan pada pundak juga menandakan kepedulian seseorang terhadap seseorang yang tengah mengalami kesedihan. Sebuah senyuman yang dibarengi dengan air mata ternyata juga belum cukup untuk menutupi kesedihan itu. Walaupun Ibuk dan Bayek tersenyum tetapi matanya berkaca-kaca karena air mata, itu merupakan kesedihan yang berusaha mereka tutup-tutupi dengan sebuah senyuman. Air mata ternyata tidak selalu bermakna kesedihan. Sebuah perasaan haru juga sering diekspresikan dengan air mata. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut Air mata Ibuk menetes mendengar tangis bayi pecah (Setyawan, 2012:31). “Aku barusan transfer buat bangun rumah kita Buk”. Air mata Ibuk mengalir di tengah kebahagiaan, “Le, jangan banyakbanyak.” (Setyawan, 2012:175-176). Dari kutipan di atas menunjukkan air mata merupakan sebuah tanda yang menunjukkan rasa keharuan. Rasa haru juga sering diluapkan dengan air mata. Sebuah keadaan yang menunjukkan waktu juga sering disimbolkan dengan berbagai tanda alam. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. Matahari perlahan muncul dari balik Gunung Semeru dan terangnya mulai mewarnai tubuh Gunung Arjuno yang gagah (Setyawan, 2012:39). Ayam mulai berkokok. Cahaya matahari menyelinap melalui jendela di dapur yang telah Ibuk buka sebelum azan Subuh berkumandang (Setyawan, 2012:40). Sebelum ayam berkokok, Bapak sudah terbangun (Setyawan, 2012:69).
89
Warna pagi mulai merona di balik Gunung Semeru (Setyawan, 2012:69). Hujan belum reda. Matahari mulai merangkak ke ufuk barat hendak tenggelam tapi sinarnya masih kelihatan di balik awan yang mulai gelap (Setyawan, 2012:76). Bapak kemudian menghidupkan TV hitam putih di ruang tamu tapi yang ada tinggal lagu “Indonesia Raya” (Setyawan, 2012:69). Dari beberapa kutipan diatas mengandung tanda-tanda yang bermaksud menunjukkan suatu makna berupa waktu, seperti matahari mulai muncul merupakan tanda pagi hari telah datang, ayam mulai berkokok merupakan sebuah tanda yang bermakna hari hampir pagi, warna pagi mulai merona bermakna bahwa matahari mulai terbit dan menandakan pagi telah datang, juga matahari mulai merangkak ke ufuk barat berati menandakan bahwa matahari mulai tenggelam dan hari mulai malam, sedangkan tanda yang terakhir yakni sebuah TV tinggal memutar lagu Indonesia Raya menyampaikan makna bahwa malam telah larut. Sebuah simbol kebahagiaan juga diungkapkan melalui tanda-tanda sebagai ekspresi kebahagiaan. Tanda-tanda tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut. “Bapak Mun, jatah yang kemarin belum dikasih ya? Jadi jatah hari ini dobel!” seru Bayek dengan wajah berbunga-bunga (Setyawan, 2012:113). Matanya bersinar-sinar melihat kedua anaknya makan dengan lahap (Setyawan, 2012:47). “Wah, gak percaya Isa bisa masuk SMA!” ucap ibuk dengan Bangga. Wajah Ibuk merekah. Satu jalan terjal telah ia lalui bersama Bapak (Setyawan, 2012:121). Dari beberapa kutipan di atas terdapat tanda-tanda sebagai ekspresi ungkapan kebahagiaan, seperti wajah yang berbunga-bunga, wajah yang merekah dan mata yang bersinar. Kebahagiaan sering
90
disimbolkan dengan hal-hal yang indah, seperti bunga yang sedang merekah, dan sebuah sinar. Sebuah tanda yang menunjukkan perjuangan juga dijumpai dalam novel Ibuk. Seperti terlihat dalam kutipan beikut. Membesarkan lima orang anak membutuhkan napas yang panjang (Setyawan, 2012:37-38). Selama menjadi sopir pribadi, Bapak lebih bisa bernapas (Setyawan, 2012:95). Hidup adalah perjalanan untuk membangun rumah untuk hati. Mencari penutup lubang-lubang kekecewaan, penderitaan, ketidakpastian, dan keraguan. Akan penuh dengan perjuangan. Dan itu yang akan membuat rumah indah (Setyawan, 2012:79). Dari kutipan di atas tanda-tanda yang dimunculkan yaitu napas. Napas yang panjang disini mempunyai makna perjuangan yang tidak mudah, jadi dalam membesarkan lima orang anak dengan keadaan ekonomi yang tidak menentu, membuat Ibuk dan Bapak melalui perjuangan yang tidak mudah. Begitu juga dalam kutipan kedua, bernapas dalam kutipan itu bermakna bahwa Bapak bisa sedikit longgar. Tenaganya tidak terkuras di jalanan seperti saat menjadi sopir angkot. Bapak bisa sedikit bersantai. Pada kutipan yang terakhir, makna yang ingin disampaikan melalui tanda hidup adalah membangun rumah untuk hati yakni, sebuah kehidupan adalah perjalanan untuk mengarungi hidup. Selalu ada senang, sedih, duka, bahagia, dan kekecewaan. Namun itu semua adalah sebuah cambukan yang akan membuat hati lebih tabah menerima segala keadaan dan membuat hati kita semakin kokoh bagaikan membangun sebuah rumah. Tanda-tanda yang dimunculkan sebagai sebuah ungkapan dalam mengarungi kehidupan juga terlihat dalam kutipan berikut. Bukan hanya nasi goreng, mereka juga berbagi hati (Setyawan, 2012:96).
91
Lima orang anak pada suatu pagi. Kicau burung pun tak terdengar. Sebuah pesta kehidupan yang dipimpin seorang perempuan sederhana tapi perkasa (Setyawan, 2012:42). Dari kutipan di atas makna dari ungkapan berbagi hati adalah berbagi kasih sayang. Kata hati sering diidentikkan dengan sebuah kasih sayang dan perasaan. Pada kutipan kedua makna yang ingin disampaikan dari ungkapan “sebuah pesta kehidupan yang dipimpin oleh perempuan sederhana tapi perkasa” yakni, sebuah perjalanan kehidupan sebuah rumah tangga yang beranggotakan tujuh orang dengan tokoh Ibuk sebagai ibu rumah tangga yang bertanggung jawab terhadap kelima anakanaknya, walaupun ia adalah seorang ibu yang sederhana, namun juga merupakan perempuan yang perkasa karena mampu bertahan di tengah gejolak perekonomian keluarga yang terus menghimpit. Sebuah tanda juga digunakan untuk mengungkapkan perpisahan. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. “Nah, Nah, ke sini Nah. Ambungen aku, Nah…,” kata Bapak terbata-bata setelah melihat foto-foto itu (Setyawan, 2012:268). “Ni, Ni…itu foto siapa di sampul buku Yasin?” Tanya Bapak setelah mereka membaca Yasin. … “Ni, pasang foto bapak ya nanti…,”kata Bapak dengan lirih (Setyawan, 2012:268). Rini bangun kembali untuk memeriksa Bapak. Tangannya masih memegang tangan Bapak. Ia melihat wajah Bapak. Ada air mata yang meleleh di mata kiri Bapak. Rini kemudian memerikasa napasnya. Bapak yang tidur di sampingnya sudah tidak bernapas lagi…(Setyawan, 2012:271). Kutipan-kutipan
di
atas
mengandung
tanda-tanda
yang
diungkapkan sebagai makna perpisahan. Pada kutipan pertama, Bapak yang meminta Ibuk untuk menciumnya, itu merupakan ungkapan perpisahan dari Bapak, kerena saat itu Bapak sedang sakit keras, dan ia
92
merasa bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Kutipan kedua juga menandakan bahwa Bapak merasa umurnya tidak akan lama lagi, yakni dari permintaannya pada anaknya untuk memasang fotonya pada buku Yasin. Kutipan di atas juga mengandung makna perpisahan yang menandakan sebuah kesedihan, yakni saat Bapak sudah tidak bernapas yang berarti menandakan bahwa Bapak sudah meninggal, dan air mata di sudut kiri matanya menandakan perpisahan dengan keluarganya dalam kesedihan. Sebuah simbol berupa tanda-tanda juga dimunculkan pengarang dalam kutipan-kutipan berikut ini. Kusaksikan tangan-tangan politik mulai kotor, meraih kemenangan demi kepentingan sendiri. Pemimpin saling berebut nasi (Setyawan, 2012:106). Makna yang terkandung dalam kutipan di atas yakni tangantangan politik yang kini sudah dipenuhi dengan kejahatan yang dilambangkan dengan kata “kotor”, kejahatan berupa korupsi, dan kejahatan lainnya, juga para pemimpin bangsa yang saling berebut kekuasaan yang dilambangkan dengan berebut nasi, yakni nasi diibaratkan sebagai sumber penghidupan. Simbol yang menunjukkan usia juga nampak dalam kutipan berikut. Bapak Mun yang rambutnya telah dipenuhi uban baru bisa menikmati makan siang setelah membagikan uang jajan kepada cucu-cucunya (Setyawan, 2012:114). Dari kutipan di atas, Bapak Mun digambarkan sebagai seseorang yang rambutnya sudah dipenuhi uban. Rambut yang penuh uban berarti menyimbolkan seseorang yang sudah tua. Data itu diperkuat dengan pernyataan pengarang yang menyebutkan cucu Bapak Mun. Novel Ibuk, juga menampilkan sebuah tanda yang mewakili perasaan gugup. Hal itu nampak dalam kutipan berikut.
93
Bayek mulai bertanya, bagaimana kalau aku adalah mereka? Keringat dingin pun menetes. Di Batu orang tak pernah mati sendiri! pikir Bayek (Setyawan, 2012:200). “Yek, how can I say this,” kata Rachel sambil menarik napas panjang. Mata Bayek terperangah. Jarang-jarang Rachel bicara seserius ini (Setyawan, 2012:212). Dari kutipan di atas, sebuah tanda yang dialami tokoh berupa keringat dingin yang muncul merupakan keadaan di mana seseorang sedang gugup dan dalam ketakutan. Hal itulah yang dialami tokoh Bayek bahwa ia sedang dalam keadaan gugup dan ketakutan karena cerita dari rekan-rekan kerjanya tentang kematian karena bunuh diri. Kegugupan juga dialami tokoh Rachel, kali ini ia menandakan kegugupannya dengan sebuah tarikan napas panjang. Hal itu ia lakukan karena ada sebuah pembicaraan yang membuatnya tidak tahu harus dengan cara apa untuk mengungkapkannya. Hal itulah yang membuat Rachel menjadi gugup. Sebuah tanda berupa kekecewaan juga nampak dalam kutipan berikut. Di sesi terapi pertama, Bapak diantar ke dokter dengan kursi roda. Wajahnya selalu menunduk selama perjalanan menuju mobil, dari rumah ke Gang Buntu (Setyawan, 2012:265). Dari kutipan di atas sebuah tanda yang dimunculkan yaitu berupa tundukan kepada Bapak. Bapak menundukkan kepala karena ia merasa kecewa. Ia yang dulu gagah dan sebagai pejuang dalam keluarga, kini harus menyerah duduk di kursi roda. Pengarang dalam novel ini juga menyuguhkan sebuah puisi yang sarat makna. Berikut adalah kutipan puisinya. Sajak Musim Gugur Malam-malam berguguran… Kenangan berguguran… Hanya sajak ini yang tumbuh
94
Kau selalu berdiri, ketika matahari mengoyak langit Ketika panas, mengoyak-ngoyak hidup! Kau pernah ajak aku berjalan Melalui pagi dan senja, berbasah hujan Melalui kali. Luka dan suka mengalir di sana Tanpa jeda Bertahan! Kau harus bertahan… Jangan gugur sebelum musim dingin tiba Ini kuberikan napasku! (Setyawan, 2012:264). Makna keseluruhan yang ingin disampaikan pengarang dalam puisinya adalah sebuah puisi yeng bertemakan kesedihan. Judul “Sajak Musim Gugur” dipilih karena musim gugur sering diidentikkan dengan sebuah kesedihan dan kepiluan. Diceritakan, puisi itu dibuat oleh tokoh Bayek saat Bapak tengah sakit keras, dan saat itu ia harus meninggalkan rumah untuk suatu pekerjaan. Bait pertama bermakna hari-hari yang dilewati penuh dengan kesedihan, kenangan-kenangan menyisakan kesedihan, hanya puisi ini yang membuatnya indah. Bait kedua ingin mengungkapkan bahwa Bapak adalak laki-laki yang kuat, yang selalu berdiri melawan rintangan dan kesulitan yang diibaratkan dengan ungkapan “matahari mengoyak langit, katika panas mengoyak hidup”. Bait ketiga juga menceritakan bagaimana perjuangan Bapak sebagai kepala rumah tangga yang mengajarkan anak-anaknya untuk hidup dalam perjuangan untuk menghadapi permsalahan-permasalahan hidup yang semakin kompleks, yang dalam puisi dilukisakan dengan berbasah hujan dan luka. Pada bait terakhir, berisi harapan Bayek agar Bapak dapat bertahan dalam sakitnya, jangan sampai meninggal sebelum Bapak merasakan kebahagiaan, dan ia akan selalu memberikan kasih sayang dan cintanya pada Bapak yang diungkapkan dengan kata-kata “ini kuberikan napasku”.
95
3. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Ibuk, Karya Iwan Setyawan a. Nilai Pendidikan Religius Nilai religius merupakan nilai yang mengarah pada Ketuhanan. Nilai religius ini sangat berhubungan dengan agama dan kepercayaan. Karena agama merupakan suatu keyakinan atau kepercayaan yang dianut oleh seseorang dan seseorang tersebut menjadikannya sebagai pegangan dalam hidup. Nilai keagamaan ini akan menuntun manusia ke arah kehidupan yang lebih baik dan menyelaraskan kehidupan manusia. Nilai-nilai religius merupakan tuntunan dalam mengarungi hidup. Karya sastra merupakan hasil ciptaan manusia yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana penyampaian nilainilai religius tersebut. Nilai pendidikan religius juga termasuk dalam nilai karakter. Berikut ini nilai-nilai religius yang ditemukan peneliti dalam novel Ibuk,. 1. Berdoa kepada Tuhan Manuasia adalah cipta Tuhan yang paling sempurna. Manusia diberikan akal budi yang lebih dari makhluk hidup yang lain. Dengan akal budi yang lebih manusia akan lebih menghargai dan mempercayai adanya Tuhan. Sebagai bentuk kepercayaan pada Tuhan manusia akan lebih dapat menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Manusia berdoa pada Tuhan untuk meminta pertolongan dalam mengarungi kehidupan. Manusia juga memohonkan segala permohonannya kepada Tuhan dan mempercayai bahwa selalu ada pertolongan di dalam Tuhan. Hal tersebut juga terdapat dalam novel Ibuk, dimana tokoh-tokohnya selalu menyertakan Tuhan di dalam kehidupannya. Mereka selalu berdoa sebagai bentuk permohonan terhadap Tuhannya. Berikut kutipan cerita yang menggambarkan hal tersebut. “ kamu jangan lupa sholat, jangan lupa bersyukur. Banyak anak-anak sopir, teman-teman SMA kamu hanya bisa membantu bapaknya menyopir. Kamu jangan lupa sholat ya, Le. Bersyukur,” Ibuk selalu mengingatkan Bayek. (Setyawan, 2012:141).
96
Kutipan di atas menyatakan kecintaan tokoh Ibuk terhadap Tuhannya, dan ia mengajarkan hal tersebut juga pada anaknya, bahwa anaknya juga harus selalu ingat akan keberadaan Tuhan yang selalu memberikan jalan bagi umatnya yang mau berusaha dan senantiasa bersyukur. Kutipan tersebut mengandung nilai religius yaitu bahwa manusia harus selalu beribadah pada Tuhan dan harus selalu bersyukur pada Tuhan. Dalam novel ini tokoh Ibuk sangat berjiwa religius. Ia sangat rajin berdoa pada Tuhan. Tidak untuk berdoa untuk dirinya sendiri tetapi juga memohonkan bagi orang lain dalam hal ini anak-anaknya dan keluarganya. Hal itu nampak dalam kutipan berikut. “iyo, Le. Ibuk doakan. Ibuk terus doakan. Sering-sering telepon nang omah, yo, Le.” (Setyawan, 2012: 148). Dalam kutipan di atas nampak bahwa tokoh Ibuk selalu mendoakan anak-anaknya. Itulah ekspresi cinta seorang ibu yang selalu menyebut anaknya dalam komunikasinya dengan Tuhan. Ibuk juga selalu menyuruh anak-anaknya untuk selalu berdoa dan juga mendoakan orang lain. Hal itu nampak dalam kutipan berikut yang menggambarkan hal tersebut. Isa tidak muda lagi, doakan segera dapat jodoh ya Le, pesan Ibuk. (Setyawan, 2012:148). Ibuk meminta Bayek anak lelakinya untuk mendoakan kakak perempuan pertamanya agar segera mendapat jodoh karena usianya tidak muda lagi. Ibuk selalu berusaha membiasakan anak-anaknya agar selalu berdoa untuk memohonkan keinginan sendiri maupun mendoakan orang lain. Nampaknya sikap Bayek anak lelaki Ibuk juga mewarisi sikap yang sama yakni sikap Ibuk yang selalu berdoa pada Tuhan dalam keadaan apapun. Kutipan berikut ini menunjukkan hal tersebut. Air mata Bayek meleleh setelah salat Isya. Terlintas bayangan orangorang yang terjebak dalam gedung saat pesawat menabrak. (Setyawan, 2012:158).
97
Dalam kutipan tersebut diceritakan bahwa Bayek yang tengah berada di NYC baru saja selesai salat Isya, sebelumnya juga diceritakan bahwa pada siang hari telah terjadi kejadian yang sangat memilukan yaitu adanya pesawat yang menabrak Twins Tower di kompleks perkantoran tempat kerja Bayek. dalam bayangan Bayek terlintas orang-orang yang sedang terjebak di dalamnya dan itu yang membuatnya haru. dalam keadaan seperti itu Bayek selalu ingat untuk berdoa pada Tuhannya agar selalu diberikan keselamatan di mana pun. Hal itu juga dilakukan Ibuk. Ia selalu mendoakan anaknya yang sedang berada di belahan bumi yang ia sendiri tidak tahu dimana itu. Tapi ia selalu menyapa anaknya dalam doa seusai salat. Hal itu nampak dalam kutipan berikut. Ibuk tak bisa membayangkan, bagaimana kehidupan Bayek di New York City. Ia hanya bisa mengirimkan doa kepada anaknya seusai salat. (Setyawan, 2012:163). Kutipan di atas menyatakan bahwa Ibuk selalu rajin berdoa dan beribadah (salat) serta selalu mendoakan anak-anaknya seusai salat. Keluarga Ibuk memang keluarga yang sangat religius. Tiada hari yang dilalui tanpa beribadah. sholat lima waktu selalu dijalankan. Dari mulai subuh sampai isya, seperti terlihat dalam kutipan berikut. Pagi itu gelap dan dingin. Hujan deras mengguyur Kota Batu. Jam setengah tujuh pagi segelap jam lima pagi. Lampu ruang tamu sudah dimatikan Ibuk setelah salat subuh tadi. (setyawan, 2013:285). Dalam kutipan tersebut diceritakan bahwa Ibuk selalu bangun saat waktunya salat subuh. Begitu taatnya ia pada agamanya. Begitu juga sifatnya itu menurun pada anak-anaknya. Apalagi semenjak Bapak sakit, Ibuk dan anakanaknya selalu berdoa untuk kesembuhan Bapak. Bahkan semenjak Bapak meninggal, kedekatan keluarga Ibuk dengan Tuhan semakin terasa. Setiap hari selalu dipenuhi dengan doa-doa, terutama mengirim doa untuk arwah Bapak yang telah tiada. Hal itu nampak dalam kutipan berikut.
98
“Ni, Ni…itu foto siapa di sampul buku Yasin?” Tanya Bapak setelah mereka membaca Yasin. (Setyawan, 2012:268). Nani selalu mengaji di kamar Bapak. Ibuk setiap malam selalu memimpin pengajian kecil bersama anak cucunya dan mengirim doa kepada Bapak. Ibuk selalu mengingatkan anak-anaknya untuk tabah. Ibuk selalu bilang bapak tidak butuh apa-apa sekarang. hanya doa. Hanya doa. (Setyawan, 2012:285). Dari kutipan di atas cukup menjelaskan bahwa keluarga Ibuk sangat dekat dengan Tuhan. Mereka selalu mengutamakan beribadah dan mencari pertolongan dalam Tuhan. Nilai religius yang dapat dipetik dari kutipan-kutipan di atas adalah, kita sebagai manusia yang beriman sudah selayaknya kita harus selalu mendekatkan diri pada Tuhan. Kita harus selalu berusaha untuk menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya, karena pada akhirnya, manusia juga akan kembali kepada Sang Pencipta. 2. Menjalankan perintah agama Sebagai manusia yang taat pada agama, selalu dalam hidupnya pasti ingin menjalankan perintah agama dengan sebaik-baiknya. Setiap orang beriman pasti selalu berlomba-lomba untuk selalu berusaha menjalankan setiap perintah dalam agamanya. Tak terkecuali yang diceritakan dalam novel Ibuk ini. Setting agama dalam novel ini adalah Muslim. Dan sebagai muslim yang baik Ibuk ingin selalu menjalankan syariat islam yang mengharuskan laki-laki yang sudah akil balik harus di sunat. Itu menjadi hukum yang wajib di dalam Agama Islam. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. “Le, kamu sudah besar. Ingat, tahun ini kamu mesti disunat juga. Ibuk mesti mengumpulkan duit buat itu. Udah besar, Le. Masa’ mau nunggu kelas 3? Sudah susah dipotong loh,” canda Ibuk (Setyawan, 2012:126). Dalam kutipan di atas walaupun nampak kata-kata yang diucapkan ibuk diselingi dengan candaan, namun makna yang ingin diungkapkan adalah bahwa dalam ajaran Agama Islam, seorang laki-laki yang sudah akil balik wajib melakukan sunat. Hal itu sebagai bentuk kepercayaan manusia terhadap Tuhan
99
untuk selalu menjalankan perintah agamanya. Setiap manusia yang beriman pasti ingin melakukan hal terbaik dalam menganut suatu agama. Setiap ajaran agama selalu mengharapkan umatnya untuk hidup prihatin dan sederhana. Keprihatinan dalam hidup beragama misalnya tertuang lewat ajaran berpuasa. Dalam menjalankan puasa, seseorang tidak hanya diwajibkan menahan lapar dan harus, tetapi juga harus dapat menahan amarah dan hawa nafsu. Selain itu dalam bertindak dan bertutur hendaknya juga dilakukan dengan lebih bijaksana. Dalam novel Ibuk, ini, juga diceritakan tentang hal berpuasa sebagai ketaatan manusia terhadap Tuhannya. Hal itu dapat kita lihat dalam kutipan berikut. Sudah beberapa kali lebaran Bayek tidak bisa pulang kampung. Puasa di New York City. Setiap kali sahur, Bayek selalu menelepon Ibuk. Ia ingin ditemani meskipun hanya lewat telepon. Puasa tahun ini di NYC terasa lebih berat buat Bayek. Matahari tenggelam sekitar jam 6.30 sore di musim panas. Bayek harus bekerja seperti biasa. “hey, are you still fasting?”Tanya Rachel yang baru datang di kantor. “Of course! I am a good moslem,” jawab Bayek dengan bangga. (Setyawan, 2012:197). Dalam kutipan di atas diceritakan betapa Bayek sangat taat terhadap ajaran agamanya. Ia tetap menjalankan ibadah puasa walaupun sedang berada di dunia barat yang notabene wilayah itu banyak dihuni oleh orang-orang nonmuslim. Bayek tetap menjalankan ibadah puasa dengan taat walaupun saat itu sedang musim panas, dan puasa menjadi lebih berat dari biasanya. Ia tetap menjalankannya walaupun mungkin hanya ia sendiri diantara teman-temannya yang lain tidak menjalankannya. Nilai religius yang dapat dipetik dalam kutipan di atas adalah, dimanapun kita berada, sebagai umat yang beriman kita tetap harus teguh menjunjung tinggi ajaran agama yang kita anut. Setiap manusia selalu berusaha agar setiap ajaran agama dapat teramalkan dengan baik. Manusia juga akan menghormati hari besar agama yang telah ditetapkan oleh suatu agama. Karena mereka percaya hari besar agama merupakan hari dimana peristiwa sejarah agama lahir. Dalam novel Ibuk, ini juga diceritakan bahwa para tokoh sedang merayakan hari besar Agama Islam yaitu Lebaran
100
yang diperingati setiap tahunnya. Cerita tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut. Seminggu setelah mendengar cerita kematian dari Enzu, Bayek merayakan lebaran sendiri di NYC. Di belahan dunia yang lain, semua saudara Bayek salat Ied bersama, makan ketupat dan tape ketan hitam. Sehabis salat mereka berkumpul di ruang tamu dan saling bermaafmaafan. “aduh, Sa…Kasihan Bayek. Sendirian anak lanangku,” kata Ibuk terisak-isak. Isa memeluk Ibuk yang memakai kerudung putih. Ia kemudian menelepon Bayek. “Buk, aku njaluk sepuro yo, gak bisa pulang. Sepurane yo Buk, lahir batin,” kata Bayek, air matanya meleleh. “sama-sama, Le. Ibuk juga. Kamu yang tabah ya. Semoga tahun depan kita bisa lebaran bersama,” kata Ibuk. “Bapak, Isa, Nani, Rini, Mira, Daanii, dan menantu-menantu Ibuk kemudian bergiliran bermaaf-maafan dengan Bayek Setelah salat Ied di Mesjid Indonesia di Queens, Bayek kembali ke kantor dan bekerja seperti biasa (Setyawan, 2012:202). Dalam kutipan di atas diceritakan bahwa bahwa Bayek tengah manjalankan hari raya Lebaran seorang diri. Sedangkan di rumahnya di kampung keluarganya sedang merayakan lebaran bersama-sama. Tetapi hal itu tidak mengecilkan hati Bayek. Saat lebaran adalah moment untuk saling memaafkan, dan itu tetap dapat mereka lakukan melalui telepon. Bayek menelepon rumah untuk meminta maaf pada Ibuk, Bapak dan saudarasaudaranya yang lain. Memang berat saat menjalankan hari raya seorang diri. Tetapi Bayek tetap tabah dan selalu taat pada agamanya. Ia tetap melakukan salad Ied di belahan dunia yang minoritas kaum muslim, dan selanjutnya bekerja seperti biasa di kantor. 3. Bersyukur atas anugerah Tuhan Bersyukur merupakan ungkapan atas rasa gembira atau bahagia yang dialami oleh seseorang. Ungkapan syukur biasanya dilakukan jika mendapatkan rezeki atau nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia harus senantiasa bersyukur atas segala
101
anugerah yang telah diberikan Tuhan. Hal itu juga nampak dalam kutipan novel ibuk, seperti berikut. “Alhamdulillah, Buk. Kantorku jauh dari kompleks WTC itu. Tadi mau telepon juga gak bisa,”kata Bayek. “Alhamdulillah, Le. Kamu hati-hati ya. Jangan lupa salat,”pesan Ibuk. (Setyawan, 2012:161). Kutipan di atas menceritakan bahwa Bayek sangat bersyukur atas keadaannya yang terhindar dari tragedi yang sedng terjadi di NYC yaitu sebuah pesawat yang menabrak gedung pencakar langit yang merupakan kompleks perkantoran. Bayek mengucapkan “Alhamdulillah” sebagai ungkapan syukur atas berkat yang masih dilimpahkan padanya berupa keselamatan. Begitu juga dengan Ibuk. Ibuk juga mengucap syukur pada Tuhan atas berkat keselamatan yang telah diberikan Tuhan pada anaknya. 4. Berbakti kepada orang tua Salah satu bentuk ketakwaan manusia pada Tuhan yaitu dengan cara berbakti dan menghormati orang tua. Semua agama pasti mengajarkan dan memerintahkan hal yang sama yaitu harus berbakti pada orang tua. Sudah selayaknya seorang anak harus berbakti pada orang tuanya, dan itu merupakan suatu kewajiban. Berbakti kepada orang tua merupakan bentuk terima kasih dan penghormatan kepada orang tua yang telah melahirkan, merawat dari kecil, sampai membimbing seseorang dalam mengarungi kehidupan. Seperti tergambar dalam kutipan berikut. “Buk doakan aku. Besok ujian!” teriak Nani. “aku juga ya Buk, doakan dapat 10!” teriak Bayek juga. Sudah menjadi kebiasaan anak-anak Ibuk selalu meminta doa. Isa dan adik-adiknya baru berangkat ke sekolah setelah Ibuk menjawab, iya, Ibuk doakan. (Setyawan, 2012:131 ). Buk, doakan ujianku lancar ya. Doakan aku bisa, begitulah pinta Bayek kepada Ibuk, semenjak SD sampai kuliah. Bayek tidak hanya meminta doa ketika musim ujian tiba. Bayek juga meminta doa ketika naik Gunung Panderman, ketika pergi belajar renang, ketika mengikuti lomba paduan suara, lomba baca puisi, ketika menaiki panggung untuk
102
pementasan teater pertama kali, ketika mengikuti lomba menyanyi keroncong se-Jawa Timur atau ketika akan berpuasa. (Setyawan, 2012:138). “ Buk, doakan ya, Buk,” kata Bayek lirih menahan tangis. Ia tidak bisa berkata banyak. (Setyawan, 2012:144). Dari tiga kutipan diatas menceritakan bahwa semua anak-anak Ibuk selalu meminta restu pada orang tuanya dalam segala hal. Meminta restu adalah salah satu bentuk sikap berbakti pada orang tua. Restu orang tua merupakan doa bagi anak-anaknya, maka dari itu sudah selayaknya setiap orang berbakti pada orang tuanya. Dalam novel ini diceritakan Bayek adalah orang yang sangat mencintai orang tuanya. Setiap rezeki yang ia dapat pasti selalu diberikan pada orang tuanya. Bahkan dari kecil sikap ini sudah tertanam dalam diri Bayek. seperti terlihat dalam kutipan berikut. “Udah Yek, uangnya kamu bawa saja. Ibuk masak dulu ya!” jawab Ibuk singkat. Sudah menjadi kebiasaan Bayek ketika memegang uang banyak, ia selalu memberikan pada Ibuk. Ketika kecil, Bayek sering ikut menarik angkot dan banyak pelanggan Bapak yang memberikan uang jajan. Bayek selalu menyetorkan kepada Ibuk (Setyawan, 2012:127). Semenjak menerima gaji pertama, Bayek rajin mengirim sedikit dari penghasilannya untuk membantu keluarga di Batu. Tidak banyak tapi cukup meringankan beban orang-orang yang ia cintai di kaki Gunung Panderman (Setyawan, 2012:139). Dalam kutipan di atas, diceritakan bahwa sejak kecil Bayek sudah memupuk sikap berbaktinya pada orang tua. Rezeki sedikit yang ia dapat dari ikut menarik angkot Bapak selalu diserahkan pada Ibuk. Hal itu juga berjalan sampai ia tumbuh dewasa dan telah bekerja. Sebagian dari gaji pertamanya ia kirimkan pada Ibuk. Tidak untuk Ibuk saja, tetapi ia juga berusaha untuk membantu keluarga-keluarganya yang lain. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.
103
“Buk, aku juga barusan transfer. Buat bayar hutang ke Tante Bewah, uang yang aku pakai untuk berangkat ke sini. Sisanya buat Ibuk dan Bapak ya, “kata Bayek (Setyawan, 2012:152-153). “Buk, wis taktransfer lagi ya!” tukas Bayek. Hutang pada Lek Tukeri untuk biaya kuliah telah ia kembalikan. “Buk, sisa uangnya untuk Mira kuliah dan nabung buat bangun rumah kita nanti,” kata Bayek (Setyawan, 2012:165). “Buk, aku transfer maneh. Jangan kaget…,” kata Bayek di telepon. “Wah, kaget gimana Yek? Jangan ngaget-ngagetin! Kamu jauh dari orangtua ya,” balas Ibuk. “Buk, aku sudah nabung banyak. Kebetulan, bonus juga lumayan tahun ini. Bosku apik, Buk. Aku barusan transfer buat bangun rumah kita, Buk.” (Setyawan, 2012:175). “Buk… aku wis transfer lagi!” kata Bayek dengan semangat. “Lah, kemarin kan baru transfer. Kamu juga harus nabung buat hidupmu Le. Buat siap-siap kalau punya keluarga entar. Sudah punya pacar tah?” Tanya Ibuk. “Ah, kalau itu gampang. Entar saja Buk…Buk, Bapak kan ada sedikit tanah warisan di Yogya. Daripada dianggurin, Mbak Nani menyarankan untuk dibuat kos-kosan. Uang yang aku transfer buat itu ya, Buk!” kata Bayek (Setyawan, 2012:186-187). Dari semua kutipan di atas menunjukkan bahwa Bayek adalah anak yang sangat berbakti pada orang tua. Ia selalu berusaha untuk membahagiakan dan meringankan beban orang tuanya. Mengirim uang untuk membantu ekonomi keluarga. Membayarkan hutang-hutang keluarga. Membuatkan koskosan Bapak agar bapaknya tidak bekerja menjadi sopir lagi. Itu semua ia lakukan karena kecintaannya pada keluarga dan rasa hormatnya pada orangtua. Bukan saja ingin membahagiakan orang tuanya, Bayek juga membantu semua saudara-saudara perempuannya. Dari mulai biaya kuliah sampai biaya untuk membangun rumah saudara-saudaranya. Bukan hanya Bayek yang berbakti pada orang tua, tetapi semua anak-anak Ibuk berbakti pada orang tua. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.
104
Bayek juga sering pulang ke Batu. Nani selalu siap siaga mengurus Bapak ke dokter, menebus resep, dan membantu Bapak meminum obat. Demikian juga Isa dan Rini, bergantian menjaga Bapak. Cucucucu pun selalu setia menemani Bapak sepulang mereka dari sekolah (Setyawan, 2012:275). Dari kutipan di atas, jelas bahwa sebua anak-anak Ibuk dan Bapak yakni, Isa, Nani, Bayek, Rini, dan Mira, semua sangat menyayangi orang tuanya. Mereka semua ingin membahagiakan orang tua yang selama ini telah berjuang untuk menghidupi mereka.
b. Nilai pendidikan Moral Nilai moral adalah nilai-nilai yang berkaitan erat dengan nilai-nilai etika dalam berperilaku, bertindak dan berpikir. Nilai moral dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk yang harus dilakukan dan dihindari oleh seseorang agar tercipta suatu lingkungan yang serasi, selaras dan harmonis. Nilai moral yag terkandung dalam karya sastra sangat bermanfaat untuk mendidik seseorang agar berperilaku lebih baik dan mengenal nilai-nilai etika. Nilai pendidikan moral termasuk ke dalam nilai karakter yakni seperti disiplin, kerja keras, mandiri dan lain-lain. Berikut nilai-nilai moral yang terkandung dalam novel Ibuk,. 1. Kesederhanaan Kesederhanaan merupakan gaya hidup dan itu merupakan pilihan. Seseorang dapat menentukan gaya hidupnya ingin sederhana ataupun berlebihan. Bukan hanya orang yang berkekurangan saja yang harus hidup sederhana. Tetapi dalam keadaan apapun kita, baik miskin ataupun kaya hendaknya hidup sederhana. Kesederhanaan merupakan keadaan dimana seseorang menjalani hidupnya dengan tidak berlebihan. Memanfaatkan segala sesuatu dengan sebaik mungkin, dan sebisa mungkin prihatin. Seperti terlihat dalam kutipan cerita berikut.
105
Hidup begitu sederhana. Mereka makan bersama di dapur berlantai tanah, di depan tungku perapian yang menjadi tempat memasak, juga untuk menghangatkan diri dari udara dingin Kota Batu. Di dapur inilah kebersamaan tumbuh. Rezeki yang didapat hari ini untuk makan besok. Kalau kurang Mak Gini menjual atau menggadaikan barangnya. Mak Gini menjauhi hutang (Setyawan, 2012:30). “Buk… udah masak tah!” teriak Rini dari belakang rumah. “Sebentar… lima menit lagi. Udah mau mateng iki. Sebentar lagi ya, “jawab Ibuk sambil menggoreng Empal. Empal daging itu kesukaan Bapak. Lauk yang sangat Mewah dan hanya Ibuk Hidangkan kalau ada bonus dari Bapak (Setyawan, 2012:47). Dari kutipan di atas dpat dilihat betapa sederhananya kehidupan Ibuk. Dari kecil pun Ibuk sudah hidup penuh dengan kesederhanaan. Keadaan yang membuat mereka hidup sederhana. Namun kesederhanaan itu tidak mengurangi rasa kebersamaan, justru memperkuat tali kekeluargaan di antara mereka. 2. Kesadaran diri Sebagai manusia ciptaan Tuhan yang diberikan akal budi sudah selayaknya harus selalu sadar diri dengan keadaan yang kita alami. Kita harus selalu sadar akan kemampuan yang kita miliki. Ibuk dan Bapak tidak pernah menentuka aturan kapan dan berapa lama anak-anak harus belajar. Isa dan adik-adiknya telah membuka hati mereka sendiri. Membuka buku mereka sendiri. Ibuk dan Bapak telah bekerja sepenuh hati untuk memenuhi kebutuhan sekolah mereka. Mungkin, anak-anak ini melihat kesungguhan hati orang tua mereka yang telah berjuang tak kenal lelah untuk lima anaknya. Mungkin anak-anak ini telah merasakan keringat bapaknya menetes di kulit mereka. Mungkin cinta Ibuk telah memasuki darah mereka, lewat bubur beras merah dan sinar matahari yang syahdu. Mungkin, anakanak ini tersentuh oleh hidup Bapak dan Ibuk yang sederhana dan penuh keprihatinan. Isa dan adik-adiknya ingin berjuang seperti mereka. Ingin memberikan cinta yang penuh pada orang tuanya.(Setyawan, 2012:64-65). Dari kutipan di atas diceritakan bahwa anak-anak Ibuk sangat sadar akan kondisi sulit yang tengah mereka alami. Mereka masih hidup dalam kekurangan, oleh sebab itu, mereka sadar betul apa yang harus mereka lakukan.
106
Hal itu mungkin tidak mudah bagi anak-anak seusia mereka. Tapi pengalaman hiduplah yang mendorong mereka untuk berbuat demikian. Dengan usia mereka yang dapat dibilang masih kecil, mereka dapat melihat betapa perjuangan orang tua untuk kehidupan mereka sangat keras. Inilah ajaran moral yang dapat dipetik, yakni harus slalu sadar akan kehidupan sekitar kita dan harus dapat memaknai setiap kejadian yang terjadi agar tidak salah dalam bertindak. 3. Kerja keras Untuk menuju kesuksesan diperlukan kerja keras. Kerja keras merupakan usaha seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Tujuan yang didapat dengan kerja keras tersebut biasanya berhubungan dengan kesuksesan atau hal-hal baik dan memang diharapkan dapat tercapai. Seperti dalam kutipan berikut. Seperti kedua kakaknya, Ibuk memberikan ASI semenjak Bayek lahir. Ibuk memasak bubur beras merah ketika Bayek sudah menginjak umur 6 bulan. Ia semakin sibuk mengurus tiga anaknya dari pagi sampai larut malam. Sering kali ibu muda ini harus menyusui Bayek sekaligus menyuapi Nani. Untungnya, Isa mulai mandiri. Ia bahkan sudah bisa menjaga Bayek ketika Ibuk harus mencuci baju atau memasak (Setyawan, 2012:36). Dari kutipan di atas diceritakan perjuangan Ibuk dalam menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga. Menjadi ibu rumah tangga memang tidak mudah seperti kelihatannya, justru peran inilah yang membutuhkan kerja keras dan ketulusan dari hati. Kerja keras seorang Ibuk untuk anak-anaknya tak lekang oleh waktu, bahkan dari pagi sampai larut malam pun ia lakukan semuanya dengan tulus. Kerja keras Ibuk dan Bapak ternyata menurun pada semua anak-anaknya, seperti terlihat dalam kutipan berikut. Inilah saatnya menanam benih untuk masa depanku. Buahnya mungkin tidak akan aku petik dalam dua tiga bulan lagi. Mungkin lima atau sepuluh tahun lagi. Aku malu kalau tidak bisa bekerja seperti Bapak, pikir Bayek selanjutnya. (Setyawan, 2012:143). Nani mulai belajar berdagang. Ia menjual pisang goreng, keripik, atau Citos di sekolah. Isa semakin Rajin mengajari adik-adiknya mengerjakan PR sepulang sekolah. Rini mulai bisa membantu mencuci
107
piring. Mira kecil sudah bisa berjalan. Tahun depan, ia masuk TK (Setyawan, 2012:118). Dari kutipan di atas, diceritakan Bayek adalah seorang yang pekerja keras. Ia mempunyai pendirian yang kuat bahwa ia harus menjadi seperti Bapaknya yang selalu bekerja banting tulang untuk keluarganya. Begitu juga dengan Nani, Isa dan Rini. Semenjak kecil mereka sudah akrab dengan kerja keras. Dari kecil sudah belajar mencari uang, sudah dibiasakan dengan pekerjaan rumah tangga. Dalam hal pekerjaan pun Bayek selalu bekerja keras untuk hasil yang maksimal, seperti terlihat dalam kutipan berikut. Sebagai pegawai yang baru masuk, Bayek sedikit frustasi. Tapi ia tak ingin mengecewakan rekan kerjanya. Ia terus berusaha. Ia sering menonton TV. Belajar mendengarkan percakapan dan berita bahasa inggris. Ia mulai membaca buku pelajaran bahasa inggris. Tapi tiga bulan berjalan bahasa inggrisnya masih belum lancar. Ia sedikit kecewa. Bayek kemudian melihat tabungannya. Ah, cukup untuk membangun kamar kecil di rumah kecilku dan pulang. Pulang ke Indonesia, pikirnya. Tapi, aku tak ingin pulang hanya membawa kamar saja. Aku harus bertahan di sini dan membawa sesuatu yang lebih besar, pikirnya lagi (Setyawan, 2012:151). Dari kutipan di atas, diceritakan kerja keras bayek dalam dunia kerjanya. Bayek yang belum terlalu belajar bahasa inggris selalu berusaha keras untuk dapat berkomunikasi dalam bahasa inggris degan lebih baik lagi, karena ia tidak ingin mengecewakan rekan kerjanya, terutama keluarganya di kampung yang selalu memberi dukungan.
Bayek ingin membahagiakan orang-orang
tercinta melalui kerja kerasnya. 4. Meminta restu Meminta restu pada orang tua juga merupakan perbuatan moral yang baik. kita sebagai anak harus selalu menghormati orang tua, salah satunya yakni dengan selalu meminta restu dan doa dari orang tua, karena restu orang tua merupakan doa bagi anak-anaknya. Seperti pada novel ini, anak-anak Ibuk tidak
108
lupa untuk selalu meminta restu pada orang tuanya. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut. Sebelum memutuskan untuk pulang ke Indonesia, Bayek meminta restu berkali-kali kepada Ibuk. Ibuk selalu bilang, ini hidupmu, Le. Kamu tahu apa yang terbaik untuk mu. Kembali ke New York tak pernah mudah. “Doakan Bayek cepat pulang ya Buk,”kata Bayek sambil mencium tangan Ibuk (Setyawan, 2012:210). Dari kutipan di atas, diceritakan saat Bayek meminta restu pada orang tuanya. Apapun yang akan dilakukan Bayek ia selelu meminta restu pada Ibuk. Seperti saat akan kembali ke New York, ia meminta restu pada Ibuk sambil mencium tangannya. Hal yang dapat dijadikan sebagai teladan yakni, dalam kegiatan apapun atau pekerjaan yang akan kita lakukan, hendaknya kita selalu memohon restu pada orang tua. 5. Keteguhan hati dan komitmen Keteguhan hati dan komitmen adalah pendidikan moral yang baik untuk membentuk mental yang positif. Komitmen membuat seseorang bertahan dalam mencapai cita-cita, pekerjaan seseorang dan orang lain. Komitmen merupakan janji yang dipegang teguh terhadap keyakinan dan memberi dukungan serta setia kepada keluarga dan teman. Keteguhan hati dapat membuat seseorang mencapai cita-citanya. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. Ah, demikian. Sebuah tatapan mata di pagi yang biasa di pasar sayur Batu telah mengubah hidup dua anak manusia. Abdul Hasyim, sang playboy pasar, menjadi seorang suami, menjadi seorang nahkoda untuk sebuah pelayaran. Dan ngatinah, seorang gadis desa yang lugu dan berhati putih, telah memberikan hatinya menjadi seorang istri. Tak ada janji yang terungkap dari mulut mereka. Tapi hati mereka telah berikrar untuk mencintai satu sama lain, dengan sederhana. Mereka tidak saling memberikan harapan tapi mereka akan memperkuat satu sama lain (Setyawan, 2012:26). Dalam kutipan di atas, diceritakan bagaimana Ibuk dan Bapak saat memulai rumah tangganya. Dengan berbekal keteguhan hati untuk memulai
109
hidup bersama, mereka ingin mewujudkan cita-cita mereka sebagai pasangan suami istri yang mampu melalui suka duka hidup dalam kedaan apapun. Keteguhan hati dan komitmen dalam mencapai cita-cita juga dirasakan oleh Bayek, dalam menempuh studinya, dimana ia jauh dari keluarga, Bayek tetap berusaha untuk mewujudkan cita-citanya menyelesaikan kuliah dengan baik. Empat tahun di Bogor. Empat tahun penuh dengan kerinduan. Empat tahun dengan keprihatinan. Empat tahun penuh dengan perjuangan. Bayek akhirnya lulus (Setyawan, 2012:135). Dari kutipan di atas diceritakan bagaimana keteguhan hati Bayek dalam menempuh studinya yang tidak mudah. Tahun-tahun pertama ia lalui dengan penuh kerinduan pada keluarganya di Batu. Bahkan ia sempat memutuskan untuk pulang. Tetapi dengan komitmen dan keteguhan hati yang kuat untuk menyelesaikan studinya, Bayek pun berhasil menyelesaikan semuanya. Ia menjadi lulusan terbaik dan kebanggaan keluarga. Dalam pekerjaan pun Bayek selalu berteguh hati dan memegang erat komitmennya untuk terus berjuang agar dapat membahagiakan keluarganya. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. Malu kalau aku tak bisa bekerja keras seperti Bapak. Malu kalau aku tidak bisa membahagiakan beliau kelak, janji Bayek untuk Bapaknya. Bayek bertekad untuk maju. Ia tak keberatan bekerja lebih lama dari rekan kerja yang lain. Kadang Bayek lembur sampai jam 10 bahkan jam 2 pagi. Bayek juga sering bekerja di akhir pekan dan membaca buku Statistika lagi (Setyawan, 2012:142). “Buk, aduh, bahasa inggrisku masih kacau. Banyak yang gak ngerti kalau aku ngomong. Masih blon lancar,”keluh Bayek di telepon. “Wis belajar terus ae. Jangan takut ngomong,”jawab Ibuk. “Iya Buk, tapi masih nggak lancar-lancar iki,”lanjut Bayek. “Bisa, Le. Percaya sama Ibuk. Kamu udah dipercaya ke sana, pasti kamu bisa,”kata Ibuk meyakinkan Bayek. “Aku gak pingin mereka kecewa, Buk. Sudah datang jauh-jauh tapi gak bisa ngomong lancar. Gini ae wis Buk, aku akan buktikan kalau aku bisa kerja dulu,”tekad Bayek (Setyawan, 2012:151-152).
110
Aku ingin mewujudkan misiku segera. Menabung untuk membantu kakak adikku,”kata Bayek (Setyawan, 2012:205). Dari ketiga kutipan di atas, dapat dilihat betapa besar komitmen Bayek serta keteguhan hatinya untuk mencapai cita-citanya membahagiakan Bapak. Ibuk, dan semua keluarganya. Ia berjuang sendiri jauh dari keluarga demi mewujudkan janjinya untuk kebahagiaan orang-orang di sekitarnya. Ia tidak pernah putus asa, ia selalu mencoba dan mencoba. Sesulit apapun hidup di negeri orang dengan bahasa dan budaya berbeda ia tetap berpegang teguh pada komitmennya untuk mewujudkan cita-citanya. 6. Tanggung jawab Tanggung jawab adalah perilaku yang menentukan seseorang untuk berbuat dan bereaksi terhadap situasi setiap hari yang memerlukan beberapa keputusan. Dengan mengambil keputusan dan bersikap disiplin, seseorang terlatih untuk bertanggung jawab dalam setiap tindakan yang dilakukan dan keputusan yang diambil. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. Lulus SD, Isa dengan mudah masuk ke Sekolah Menengah Pertama paling bagus di Batu. Ibuk menjual cincin emas satu-satunya untuk membayar uang pangkal. Untuk membeli seragam dan membayar SPP di bulan pertama. Cincin emas yang dulu ia beli di Toko Emas Agung dari hasil tabungan bertahun-tahun. Meskipun uang belanjanya tak seberapa, Ibuk selalu berusaha menyisakan sedikit uang. Ia menyisihkan nafkah dari Bapak yang disimpannya di bawah lipatan baju-baju di lemari pakaian satu-satunya. Ibuk hanya memakai cincin kalau ada hajatan saudara atau tetangga. Dari uang tabungan ini Ibuk membeli anting-anting emas untuk setiap anak perempuannya (Setyawan, 2012:65). Dari kutipan di atas diceritakan tanggung jawab Ibuk sebagai orang tua yang harus memberikan pendidikan layak bagi anak-anaknya. Ibuk rela menjual cincin emas satu-satunya, semua itu demi anaknya agar mereka dapat mengenyam pendidikan yang layak seperti anak-anak yang lain. Demi tanggung jawabnya pada hidup anak-anaknya, Ibuk selalu menabung dari sedikit uang
111
yang diberikan Bapak. Begitu juga Bapak, tanggung jawabnya pada anak-anak dan keluarganya sangat besar, terlihat dalam kutipan berikut. Pukul 10 pagi Bapak kembali ke rumah. Tak seperti biasanya.”Nah, ini segera ke sekolah Bayek. Bayar uang buku dan minta rapornya,” kata Bapak. Ia menyerahkan beberapa lembar uang lima ratusan dan seribuan yang ia kumpulkan sejak pagi (Setyawan, 2012:69). Aku capek, Nah. Iki godaan datang terus. Aku berangkat lagi, ya! Gak bisa lihat anak-anak seperti ini, saaken!” (Setyawan, 2012:116). Malam harinya Bapak pulang larut lagi, sekitar jam 11. “Nah, ini buat bayar SPP Bayek dan Rini Besok. Uang belanja, kamu hutang dulu ke Bang Udin,”kata Bapak (Setyawan, 2013:117). Demi tanggung jawabnya dalam menghidupi anak-anak dan istrnya, Bapak selalu bangun pagi untuk menarik angkot dan selalu pulang larut malam. Ia bekerja banting tulang karena sebagai kepala keluarga harus menghidupi semua anggota keluarganya. Mencari uang untuk makan sehari-hari, dan untuk membayar uang sekolah anak-anaknya. Itu semua Bapak lakukan demi rasa tanggung jawabnya terhadap keluarga. Hai itu nampak dalam kutipan berikut. Di hari pertama kerja, Bayek mengingat Bapak yang tak pernah berhenti berjuang dalam hidup. Berpuluh-puluh tahun Bapak menelusuri jalanan untuk menghidupi keluarga. Ia tidak pernah berhenti. Ia tidak pernah menyerah. Terus berjuang untuk anak-anak dan keluarga. Tidah lulus SMP, beliau menjadi kenek angkot. Setelah menjadi kenek angkot, Bapak ingin menjadi sopir angkot. Menjadi sopir angkot untuk orang lain saja tidak cukup, Bapak mencoba menabung untuk membeli angkot bekas. Ia tak pernah berhenti berjuang menghidupi kelima anaknya. Dengan apa pun yang ia miliki. Hidup Bapak penuh dengan gelombang besar. Tidak mudah, tapi Bapak selalu memikul tanggung jawab dengan berani (Setyawan, 2012:141). Betapa besar tanggung jawab yang Bapak pikul dalam keluarganya yiatu untuk menghidupi istri dan kelima anaknya. Tapi Bapak tidak pernah menyerah, semua ia lakukan dengan penuh perjuangan, nilai moral yang dapat dipetik yakni, memikul sebuah tanggung jawab memang tidak mudah, namun
112
jika semua itu diperjuangkan dengan sungguh-sungguh maka semuanya akan berjalan dengan baik sesuai yang diharapkan.
7. Keprihatinan Keprihatinan merupakan keadaan hidup dimana hidup dipenuhi dengan hal-hal yang menyedihkan dan mengibakan. Hal itu nampak dalam kutipan berikut. Ketika Bayek terkena pilek atau batuk, kakak dan adiknya sering tertular sakit. Ibuk yang kadang ikut sakit juga membelikan Bodrexin untuk semua anaknya. Satu tablet buat berdua. Ia sendiri selalu membiarkan sakitnya. Alam akan menyembuhkan, kata ibuk. Anakanaknya jarang dibawa ke dokter karena biaya yang tidah murah. Ketika Bayek sakit amandel atau Isa sesak napas, Ibuk baru membawa mereka ke dokter. Ketika Bapak sakit dan tak ada uang setoran uang belanja, Ibuk biasanya menggadaikan barang-barang di rumah, seperti piring, cangkir, atau jariknya. Dapur harus terus mengepul. Anak-anak harus makan (Setyawan, 2012:37). Dari kutipan di atas terlihat keprihatinan dalam keluarga Ibuk. Anakanak yang sakit tidak pernah di bawa ke dokter kalau sakitnya tidak serius. Ibuk sendiri tidak pernah memperhatikan sakitnya. Semua itu dilakukan karena memang tidak ada biaya untuk berobat. Sakit yang tidak terlalu membahayakan hanya dibelikan obat di warung. Hal itu untuk menghemat biaya pengobatan. Jika tidak ada uang belanja dari Bapak, Ibuk harus menggadaikan barang-barang yang ia punya, hal itu semata-mata untuk dapat memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Semua serba dihemat, seperti terlihat dalam kutipan berikut. Sudah hampir dua bulan semenjak Ibuk dari pegadaian. Ibuk semakin irit berbelanja. Makan empal, daging, atau ayam goreng mulai jarang. Tempe hampir menjadi menu setiap hari. Pagi, siang dan malam. Tapi, Ibuk selalu berusaha agar anak-anaknya tidak sampai bosan makan tempe. Ia mencoba semua variasi, dari tempe goreng, pecel tempe, tumis tempe, sambal goreng tempe, tempe penyet, sampai keripik tempe. Ibuk semakin cerewet kalau ada yang lupa mematikan lampu di malam hari. Bayek dan Rini semakin sering rajin menodong Bapak
113
Mun. Hari demi hari, Ibuk manabung untuk biaya sekolah kedua anaknya, Isa dan Bayek. bapak semakin sering pulang larut malam. Bapak jarang membawa nasi goreng merah (Setyawan, 2012:120-121). Dari kutipan di atas dapat dilihat keprihatinan yang dijalani oleh keluarga Ibuk. Setiap hari makan hanya dengan lauk tempe. Tetapi semua itu mereka jalani dengan lapang dada. Makan dengan tempe pun sudah lebih dari cukup, yang terpenting ada makanan yang dapat di makan dan pendidikan untuk anak-anaknya tidak terganggu. c. Nilai pendidikan Sosial Nilai sosial merupakan nilai yang berkaitan erat dengan perilaku manusia dalam lingkungan. Nilai sosial menyangkut perilaku seseorang dalam bertindak, menyikapi peristiwa yang muncul, dan hubungan sosial bermasyarakat antar individu. Nilai pendidikan sosial menumbuhkan kesadaran manusia, bahwa manusia hidup selalu berdampingan dengan orang lain dan saling membutuhkan satu sama lain. Nilai karakter yang termasuk ke dalam nilai pendidikan sosial antara lain toleransi, demokratis, cinta damai, peduli lingkungan, dan peduli sosial. Berikut nilai-nilai sosial yang terkandung dalan novel Ibuk,. 1. Kepedulian terhadap sesama Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa orang lain. Manusia cenderung hidup berkelompok untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dalam hidup berkelompok, diperlukan rasa sosial yang tinggi. Manusia yang hidup di lingkungan masyarakat harus memupuk rasa kepedulian terhadap sesama, mengingat manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan orang lain. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. “Buk, ini uang dari tamu-tamu tadi,” kata Bayek yang mendatangi Ibuk di dapur. Bapak masih sibuk menjamu tamu yang berdatangan. Isa, Nani, dan Rini sibuk mondar-mandir menyajikan nasi rawon dan teh manis kepada tamu-tamu. Mira juga ikutan sibuk (Setyawan, 2012:127). Dari kutipan di atas diceritakan tetangga-tetangga serta teman-teman Ibuk dan Bapak yang datang di acara khitanan Bayek. mereka datang sebagai bentuk
114
kepedulian terhadap sesama.
Saat Bapak sakit di rumah sakit, banyak juga
tetangga-tetangga yang datang menjenguk untuk mengetahui keadaan Bapak. Seperti dalam kutipan berikut. Tetangga dan teman-teman Bapak datang silih berganti menjenguknya di jam-jam besuk. Buah dan kue-kue menumpuk di kamar. Ibuk akhirnya membagi-bagikannya kepada perawat-perawat disana (Setyawan, 2012:260). Kutipan di atas menceritakan kepedulian tetangga-tetangga Bapak yang datang untuk mengunjunginya di rumah sakit. Nilai sosial mengenai kepedulian terhadap sesama yang dapat dipetik dari kutipan-kutipan di atas yakni kepedulian terhadap sesama dilakukan bukan hanya saat dalam kondisi senang saja, namun dalam kondisi yang sedang susah kepedulian dari sesama sangat membantu dalam meringankan beban. 2. Saling membantu sesama manusia Suka menolong adalah kebiasaan menolong dan membantu orang lain. Kebiasaan menolong ini juga merupakan suatu perilaku yang dapat ditanamkan dengan selalu siap mengulurkan tangan dan dengan cara aktif mencari kesempatan untuk menyumbangkan sesuatu. Tahun berlalu. Anak-anak Ibuk dan Bapak tumbuh semakin besar. Beban hidup semakin berat. Kebutuhan semakin banyak. Setahun setelah Mira lahir, Ibuk jatuh sakit karena kecapekan dan sering telat makan. Setiap kali buang air selalu ada darah. Ibuk terkena sakit maag akut dan tak bisa beranjak dari ranjang selama berminggu-minggu. Mira dijaga oleh Isa. Nani menjaga Bayek dan Rini. Bapak membantu mempersiapkan sekolah Isa dan Nani sebelum menarik angkot. Bayek dan Rini sendiri untuk sementara meliburkan diri dari sekolah. Mak Gini membantu memasak. Rumah begitu sedih tanpa senyum Ibuk (Setyawan, 2012:37). Dari kutipan di atas diceritakan keadaan keluarga Ibuk dimana saat itu Ibuk sedang sakit. Karean Ibuk sakit, maka banyak sekali pekerjaan rumah yang terbengkelai. Tetapi semua anggota keluarga Ibuk saling membantu untuk menyelesaikan semua pekerjaan yang biasa Ibuk lakukan sendiri. Mereka semua saling membagi tugas agar semua pekerjaan dapat terselesaikan, mulai dari Bapak,
115
anak-anaknya, sampai Mak Gini, Ibu Ibuk mendapatkan tugas untuk membantu pekerjaan Ibuk. Sikap saling membantu selalu tertanam dalam keluarga Ibuk. Seperti dalam kutipan berikut ini. …Setelah beberapa kali menghidupkan mesin, ternyata tak menyala juga. Ia memanggil Nani dan Ibuk untuk mendorong Colt T itu. Bayek dan Rini ikut-ikutan mendorong mobil. Kira-kira enam sampai tujuh meter mendorong, mesin mobil belum menyala juga. Akhirnya, Cak Gi, adik Ibuk datang membantu. Mesin mobil akhirnya menyala setelah keluar dari Gang Buntu. Mereka semua tertawa! Bapak terlihat menyala juga (Setyawan, 2012:56). Empat adik laki-laki Ibuk, Cak Gi, Cak Lus, Cak membantu banyak dalam pembangunan rumah ini. bangunan, fondasi dikerjakan dalam waktu empat tetangga ikut membantu ketika kita genting…(Setyawan, 2012:78).
Yit, dan Cak Cocok Bersama tiga tukang hari saja….tetanggamulai memasang
“Yek, Bapak kamu itu amalnya banyak. Satu hal yang nggak akan pernah lupa. Bapakmu dulu pernah mengajari saya menyetir,”kata Lek Giono sambil menarik napas panjang. “Dia mengajari saya nyetir, sampai saya bisa narik angkot sendiri. Saat itu, setelah berminggu-minggu narik angkot, saya nabrak mobil dan hampir dipecat sama juragan. Bapakmu bilang, kalau Giono dipecat, saya juga kaluar,”kata Lek Giono (Setyawan, 2012:274). Dari ktipan di atas diceritakan bagaimana perilaku saling membantu dalam kehidupan keluarga Ibuk. Dari hal sekecil apapun sikap saling membantu sesama sangat diutamakan. Mulai dari mendorong angkot yang mogok, Bapak membantu saudara Ibuk supaya mempunyai keahlian dalam menyetir, sampai proses pembangunan rumah Ibuk, semua dilakukan dengan bantuan dari orang lain, karena memang manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan pertolongan orang lain. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. Dari ruang tamu apartemen yang dia tumpangi inilah Bayek memulai hidup baru. Mbak Ati, yang membuka jalan Bayek di Amerika, memperkenalkan kehidupan di New York mulai dari grocery shopping sampai jadi tourist guide selama beberapa bulan pertama. Mbak Ati juga yang membimbing Bayek memulai kariernya di sana (Setyawan, 2012:148).
116
Dari kutipan di atas, diceritakan, Mbak Ati rekan Bayek dari Indonesia yang juga bekerja di NYC, telah membantu Bayek yang saat itu diterima kerja di NYC. Mbak Ati lah yang memperkenalkan Bayek pada kota New York. Dari Bayek yang belum mengetahui apa-apa tentang NYC, Mbak Ati dengan senang hati membimbinggnya disana. 3. Saling menghargai sesama manusia Sikap saling menghargai sangat diperlukan dalam menjalani hidup di dunia ini. Mengingat betapa majemuk masyarakat di seluruh dunia, mulai dari agama, suku, ras, dan golongan, sikap saling toleransi sesama manusia sangat menunjang dalam kehidupan sosial manusia. Dengan sikap saling menghargai dan toleransi terhadap sesama, diharapkan akan tercipta kehidupan yang rukun dan harmonis. Seperti pada kutipan berikut. Bayek kembali ke ruang tamu sambil memegang sarung hijaunya. Bapak melayani tamu-tamu. Berjabat tangan dan mengajak ngobrol setiap orang yang datang. Tamu semakin banyak. Tidak disangka sama sekali akan datang tamu sebanyak ini. Mereka datang karena Bapak dan Ibuk selalu berusaha hadir ke setiap pesta nikahan atau khitanan tetangga….(Setyawan, 2012:128). Dari kutipan di atas, diceritakan tamu-tamu yang datang saat acara khitanan Bayek. tamu-tamu yang datang merupakan bentuk saling menghargai terhadap sesama dan merupakan saling toleransi, karena jika ada acara hajatan atau khitanan Bapak dan Ibuk juga berusaha untuk selalu hadir untuk menghargai sesama. Sikap saling menghargai dan toleransi memang dibutuhkan di berbagai belahan dunia manapun, mengingat semua manusia diciptakan tidak sama. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. Semenjak hari itu Bayek mencoba untuk lebih mengerti rekan-rekan kerjanya, terutama anak buahnya. Ia bukan lagi Bayek yang pertama kali datang ke New York beberapa tahun lalu. Ia sekarang mempunyai anak buah yang tersebar di berbagai wilayah. Bayek mendengarkan Rachel. Bayek mendengarkan lagi hatinya. New York dipenuhi orang-orang dari
117
berbagai belahan dunia dan mereka membawa budaya yang berbeda dalam keseharian dan dalam kerja (Setyawan, 2012:191). Dari kutipan di atas, Bayek berusaha untuk memahami dan menghargai rekan kerjanya. Memang sulit hidup dengan orang yang berbeda budaya, namun dengan kesadaran diri untuk menumbuhkan rasa saling menghargai dan toleransi dalam diri Bayek, akhirnya segala perselisihan pun dapat dicegah. d. Nilai Pendidikan Budaya Nilai budaya berkaitan erat dengan tradisi atau adat-istiadat yang berjalan di masyarakat. Tradisi dan adat-istiadat tersebut biasanya dipandang baik dan berharga oleh suatu masyarakat. Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam suatu karya sastra memberikan gambaran sekaligus informasi terhadap para pembaca mengenai budayabudaya yang masih berjalan di suatu masyarakat. Berikut nilai-nilai budaya yang terkandung dalam novel Ibuk. “Ayo, Nah..ke sini,”bujuk Mbok Pah. Tinah duduk di kursi rotan dekat Mbok Pah yang segera memberi isyarat agar ia menjabat tangan Sim. (Setyawan, 2012:8). Dari kutipan di atas diceritakan Mbok Pah memberi isyarat Tinah (Ibuk) untuk menjabat tangan Sim (Bapak). Hal itu merupakan budaya orang Indonesia, yakni setiap bertemu dengan rekan atau orang yang dikenal, sebisa mungkin harus mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Hal itu merupakan budaya untuk menghormati satu sama lain. Budaya ini masih berlaku dan dijunjung tinggi sampai sekarang. selain itu, budaya masyarakat jawa yang ditampilkan dalam novel Ibuk, antara lain menganggap perempuan yang sudah berusia 17 tahun agar segera menikah supaya tidak menjadi perawan tua dan membuat selamatan untuk ucapan syukur atas anugerah yang telah diterima. Seperti pada kutipan berikut. “Nah, kamu sudah 17 tahun sekarang. Wis Perawan,” kata Mbok Pah sembari memberikan teh hangat yang ia pesan dari warung sebelah. Uap putih mengepul dari mulut gelas. “Perawan seusiamu sudah mulai berumah tangga,” lanjutnya. “ kamu mau tah aku jodohin dengan Cak Ali. Dia sudah punya kios sendiri buat jualan tempe, loh. Wis mateng wong-e.” (Setyawan, 2012:3)
118
Ibuk membuat selamatan kecil-kecilan. Tanggal 1 Januari. Nasi kuning dibagi-bagikan ke saudara dan tetangga. Bapak berhasil melewati masa-masa kritis. Sakit kepala yang mencekam hidup Bapak selama beberapa hari, akhirnya menghilang (Setyawan, 2012:261). Kutipan di atas menceritakan budaya orang jawa zaman dulu yang sampai sekarang masih ada sebagian orang yang menganutnya. Tinah yang telah berusia 17 tahun diminta untuk segera menikah, karena zaman dulu, perempuan 17 tahun sudah lumrah untuk menikah. Begitu juga dengan membuat selamatan unuk ucapan syukur atas sesuatu yang telah diterima. Ibuk membuat selamatan karena ucapan syukurnya Bapak dapat melewati masa-masa kritis sakitnya.
4. Kesesuaian Novel Ibuk, Karya Iwan Setyawan sebagai Materi Pembelajaran di SMA Sampai saat ini, siswa belum mempunyai tingkat antusiasme yang tinggi terhadap pembelajaran sastra, khususnya novel. Materi pembelajaran sastra dianggap membosankan bagi sebagian besar siswa, sehingga dibutuhkan strategi dan inovasi baru dalam menyampaikannya. Selain metode penyampaian yang harus bervariasi, pemilihan bahan ajar untuk materi sastra khususnya novel juga harus diperhatikan. Sebisa mungkin novel yang dipilih haruslah novel-novel yang sarat nilai didik, sehingga dari situ, diharapkan siswa dapat memetik nilai didiknya dan diaplikasikan dalam dunia nyata. Untuk siswa SMA sudah seharusnya memakai novel yang berbobot. Sebuah karya yang berbobot berarti karya itu harus mengedepankan nilai-nilai kehidupan yang bermakna, memotivasi, kreatif dan imajinatif. Sesuai dengan kompetensi dasar yang terdapat dalam silabus di SMA, novel Ibuk, karya Iwan Setyawan dapat dijadikan sebagai materi ajar untuk meningkatkan minat siswa. Novel Ibuk, karya Iwan Setyawan merupakan salah satu novel yang mempunyai aspek-aspek yang telah disebutkan sebelumnya. Kisah keluarga Ibuk yang merupakan kisah nyata memuat nilai-nilai pendidikan yang
119
dapat dipetik. Penyampaian kejadian demi kejadian yang menunjukkan kesederhanaan dan keprihatinan mampu memotivasi siswa untuk berjuang lebih giat, karena saat ini kehidupan sudah lain seperti zaman dahulu yang masih serba kekurangan dan susah. Hal itu dapat membuat pembaca bukan hanya sekadar membaca, namun juga mengembangkan imajinasinya. Jika dikaitkan dengan materi pembelajaran apresiasi sastra di SMA, novel Ibuk sangat tepat untuk digunakan, karena secara struktural, unsurnya lengkap. Selain itu tema kehidupan yang diangkat menarik karena merupakan kisah nyata yang sangat menginspirasi dari pengarang. Hal itu sejalan dengan pendapat Budiyono selaku guru di SMA Negeri 1 Surakarta, menurutnya novel Ibuk, sangat dapat dijadikan sebagai materi pembelajaran, berikut jawaban saat ditanya apakah novel tersebut dapat dijadikan sebagai materi pembelajaran “Sangat dapat. Novel ini mengandung nilai-nilai dalam masyarakat yang sangat pantas dijadikan cermin kehidupan keluarga yang sesungguhnya. Siswa dapat belajar dari masing-masing tokoh untuk menghadapi permasalahan yang mungkin timbul dalam kehidupan keluarga. Saat membaca novel ini saya jadi teringat pada serial “Keluarga Cemara” yang disiarkan di TVRI, saat saya masih kecil. Ceritanya mirip. Permasalahan umum dalam rumah tangga disajikan apa adanya, tanpa dilebihlebihkan. Apalagi keluarga yang disajikan adalah keluarga sederhana. Sangat tepat menjadi bahan pengajaran moral dan budi pekerti bagi siswa. Menurutnya novel yang baik digunakan dalam pembelajaran di sekolah adalah novel-novel yang mengandung nilai-nilai edukatif, religius, sosial, dan kekeluargaan, bukan novelnovel bergaya pop yang sarat dengan nuansa percintaan di kalangan remaja. Alasannya sederhana. Meskipun sudah menjadi rahasia umum dan bahkan mungkin sangat banyak dari kita mengalami masalah ini, tetapi tidak ada satu SMA pun yang memperbolehkan siswanya berpacaran. Dengan demikian sudah sepatutnya novel yang berisi cinta muda-mudi tidak diajarkan di SMA, meskipun kita semua tahu bahwa novel-novel tersebut sangat banyak di pasaran. Barangkali
120
kita tidak dapat melarang siswa mengonsumsi novel-novel tersebut, tetapi alangkah arifnya jika tidak diajarkan di sekolah. Pada kurikulum 2013 di SMA kelas XII, terdapat Kompetensi Inti “Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam memahami, menerapkan, dan menganalisis informasi lisan dan tulisan melalui teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan novel, dengan Kompetensi dasar yang harus dipenuhi diantaranya memahami struktur dan kaidah teks novel baik melalui lisan maupun tulisan, menganalisis teks novel baik melalui lisan maupun tulisan, memproduksi teks novel yang koheren sesuai dengan karakteristik teks baik secara lisan maupun tulisan, menyunting teks novel sesuai dengan struktur dan kaidah teks baik secara lisan maupun tulisan, dan menginterpretasi makna teks novel baik secara lisan maupun tulisan. Novel Ibuk memiliki jalan cerita yang menarik dan inspiratif, karakter tokoh yang pada umumnya protagonis, serta mempunyai konflik yang cukup kompleks. Novel ini telah memenuhi syarat untuk digunakan dalam KD tersebut. Dalam buku pegangan siswa, biasanya cuplikan-cuplikan novel yang diangkat merupakan novel yang tidak mutakhir atau sudah terlalu kuno. Padahal saat ini, sudah banyak sekali novel-novel modern karya pengarang-pengarang ternama yang menyajikan karya-karya yang berbobot serta sarat akan nilai-nilai pendidikan. Konflik kehidupan yang cukup kompleks serta struktur yang lengkap serta banyaknya pengalaman-pengalaman hidup yang dapat dijadikan sebagai tuntunan dalam novel Ibuk, ini, menjadikannya novel yang baik digunakan sebagai bahan ajar sastra di tingkat SMA dan siswa dapat dengan maksimal mengembangkan daya imajinasi dan kreasinya dalam kegiatan apresiasi sastra novel. Nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Ibuk, ini dapat diaplikasikan siswa dalam kehidupan sehari-hari, seperti ketakwaan terhadap Tuhan, berbakti pada orang tua, kerja keras dan kesederhanaan, serta kepedulian terhadap sesama.
121
C. Pembahasan 1. Struktur Novel Ibuk Karya Iwan Setyawan Unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Ibuk karya Iwan Setyawan antara lain: (1) tema, (2) penokohan, (3) alur, (4) latar, (5) sudut pandang. Unsur intrinsik tersebut merupakan hal utama yang membangun cerita dalam novel. a. Tema Melalui cerita pengarang dan dialog-dialog yang dilontarkan oleh para tokoh pada novel Ibuk, yang diangkat dengan tokoh Ibuk sebagai tokoh utama dalam novel ini bertemakan kesederhanaan dalam keprihatinan dan kerja keras. Keprihatinan dan kesederhanaan Ibuk dalam menjalani hidup sudah ia alami semasa kecil. Saat itu ia tidak dapat menamatkan SD dan ikut neneknya berjualan pakaian bekas di pasar. Saat beranjak dewasa dan memutuskan untuk menikah, keluarga Ibuk masih sangat dipenuhi dengan keprihatinan dan kesederhanaan. Kelima anak Ibuk mau tidak mau juga harus mengenyam keprihatinan dan kesederhanaan yang sama. Mereka diajarkan hidup mandiri, disiplin, dan penuh kerja keras. Usaha keras dan perjuangan keluarga mereka menuai sukses. Semua anak Ibuk dapat lulus SMA bahkan melanjutkan di bangku kuliah dan ada yang sampai S2. Tentu itu dengan perjuangan yang tidak mudah. Namun dengan kerja keras yang dilakukan para tokoh, akhirnya semua tujuan dapat tercapai dan sukses dapat diraih. Jadi, tema utama dalam novel Ibuk adalah sebuah kesederhanaan, keprihatinan, dan kerja keras demi menatap masa depan yang lebih baik. kesesuaian pendapat antara pengarang dengan penulis tentang tema novel Ibuk sejalan dengan pendapat Waluyo (2002:24-25) yang mengemukakan bahwa tema cerita bersifat objektif, lugas, dan khusus. b. Penokohan Terdapat delapan belas tokoh yang terlibat dalam penceritaan di novel Ibuk, karya Iwan Setyawan. Namun dari sekian tokoh yang ada, tokoh sentral atau tokoh utama hanya ada satu orang, yakni Tinah atau Ibuk. Tokoh ini sangat mempengaruhi jalannya cerita. Ibuk adalah tokoh yang selalu ditampilkan di
122
setiap bagian cerita. Selain itu ada enam tokoh yang berperan sebagai tokoh utama tambahan. Tokoh-tokoh tersebut yakni, Sim atau Bapak dan kelima anaknya, Isa, Nani, Bayek, Rini dan Mira. Mereka juga sebagai tokoh penentu jalannya cerita, namun keberadaannya tidak lebih penting dari tokoh Ibuk. Selain itu ada sebelas tokoh tambahan yang mendukung jalannya cerita. Hampir semua tokoh dalam novel Ibuk, berwatak protagonis. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Waluyo (2002:14) yang menyatakan bahwa tokoh sentral merupakan tokoh yang paling menentukan jalannya cerita. c. Alur Alur merupakan rangkaian jalannya cerita. Dalam novel Ibuk alur cerita disusun secara tidak teratur. Alur yang terjadi adalah alur campuran yakni maju dan mundur. Pada awal penceritaan, alur berjalan teratur dan maju, namun di tengah-tengah penceritaan, tokoh Ibuk kembali menceritakan kejadian yang sudah lampau yaitu saat ia menceritakan bagaimana proses pembangunan rumahnya dahulu kepada lima anaknya. Setelah cerita selesai, alur kembali menuju alur maju sampai akhir cerita. Penjabaran alur dalam novel Ibuk, meliputi lima tahap plot yang menjalin sebuah cerita. Hal itu sependapat dengan Nurgiyantoro (2005:149-150) yang membagi alur menjadi lima bagian yaitu: (1) tahap situation; (2) tahap generating circimtances; (3) tahap rising action; (4) tahap climax; (5) tahap denouement. d. Latar/Setting Latar yang dilukiskan dalam novel Ibuk, meliputi tiga latar yaitu latar waktu, latar tempat dan latar sosial. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Nurgiyantoro (2005:227) yang membedakan latar ke dalam tiga unsur pokok yaitu latar waktu, latar tempat, dan latar sosial. Latar tempat pada mulanya terjadi di Kota Batu di jawa Timur dengan spesifikasi di pasar Batu, rumah Mbak Gik, pasar malam, SD Ngaglik, pegadaian, kelurahan, rumah sakit, toko sepatu, hutan bambu, pemakaman, Jakarta, Bogor di IPB, karawang, dan di NYC di kantor
123
Bayek, di apartemen, di jalanan kota. Latar waktu yang muncul antara lain pagi, siang, sore, malam, tanggal, hari, minggu, bulan, tahun, musim, sebelum ayam berkokok dan sehabis salat. Latar suasana yang ditampilkan yakni suasana khas pedesaan zaman dulu yang penuh dengan kesederhanaan dan juga suasana pedesaan di zaman masa kini. e. Sudut Pandang Sudut pandang dalam novel Ibuk menggunakan sudut pandang orang ketiga diaan, pengarang sebagai tokoh sampingan, yakni orang yeng bercerita dalam hal ini adalah tokoh sampingan yang menceritakan peristiwa yang bertalian terutaman dengan tokoh utama cerita. Sesekali peristiwa dalam penceritaan menyangkut dirinya sebagai pencerita. Cara penyampaiannya dengan sapaan “Aku” dalam menceritakan bagian yang menyangkut tentang dirinya, namun dalam novel ini tokoh aku tidak berinteraksi dengan tokoh lain, ia hanya menunjukkan dirinya sebagai bagian dari salah satu tokoh yakni Bayek. pada dasarnya tokoh aku sebagai orang ketiga yang mengamati peristiwa dari jauh tentang tokoh utama cerita.
2. Tanda-Tanda Semiotik Novel Ibuk Karya Iwan Setyawan Dalam novel Ibuk, tanda-tanda yang ditemukan berupa representamen dan object yang meliputi qualisigns, sinsigns, legisign, ikon, indeks dan simbol. Qualisigns merupakan tanda yang berdasarkan suatu sifat. Dalam novel Ibuk ditemukan tanda ini yang berupa sifat warna, yakni warna putih yang sudah usang menunjukkan keprihatinan, warna putih yang berarti bersih dan berarti kebaikan, warna merah pada mata yang menunjukkan adanya kesedihan, dan warna merah pada wajah yang menunjukkan adanya perasaan malu. Sinsigns merupakan penanda yang bertalian dengan kenyataannya. Sinsign dalam novel Ibuk, ditemukan berupa langkah kaki yang terburu-buru merupakan sebuah pernyataan individual yang tidak dilambangkan. Legisigns merupakan penanda yang bertalian dengan kaidah yang biasanya berupa gerakan atau
124
isyarat. Dalam novel Ibuk, ini ditemukan beberapa tanda itu seperti gelengan kepala yang bermakna “tidak” atau “belum”, muka yang muram dan cemberut yang bermakna kesal, juga sbuah jabatan tangan yang berarti penerimaan seseorang terhadap orang lain. Ikon dalan novel Ibuk, ini ditemukan dalam bentuk foto, yakni foto Bayek. Foto merupakan ikon karena foto merupakan penanda yang serupa dengan bentuk objeknya. Indeks merupakan sebuah tanda yang merupakan sebab-akibat. Dalam novel Ibuk, ini ditemukan tanda indeks berupa asap yang menandakan adanya api, dan sebuah uap yang menyerupai asap yang keluar dari mulut yang menandai bahwa ada suhu udara yang begitu dingin. Simbol ditemukan paling banyak, simbol kesedihan dan rasa haru ditandai dengan air mata, simbol kebahagiaan ditandai dengan bunga dan cahaya, simbol yang menunjukkan waktu ditandai dengan kokok ayam dan matahari, simbol kegugupan ditandai dengan keringat dingin dan tarikan napas panjang, simbol perpisahan ditandai dengan sebuah ciuman dan air mata, simbol usia yang sudah tua ditandai dengan rambut yang penuh uban dan simbol kekecewaan yang ditandai dengan tundukan kepala. 3. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Ibuk Karya Iwan Setyawan a. Nilai Pendidikan Agama/Religius Dalam novel Ibuk, nilai pendidikan yang dapat diambil yaitu diajarkan untuk selalu berdoa, apapun keadaannya baik itu sedih gembira, senang ataupun susah, selalu taat menjalankan perintah agama di manapun kita berada, senantiasa bersyukur atas anugerah Tuhan, karena hanya dengan pertolongan Tuhan, keselamatan hidup kita terjamin, dan juga berbakti pada orang tua, karena bakti pada orang tua adalah salah satu cara menghormati Tuhan. b. Nilai Pendidikan Moral Dalam novel Ibuk, nilai moral yang dapat dipetik yakni tentang kesederhanaan, kesadaran diri, kerja keras, meminta restu pada orang tua,
125
keteguhan hati dan komitmen, tanggung jawab dan keprihatinan. Itu semua merupakan perbuatan moral yang patut untuk dicontoh. Kesederhanaan sangat penting diterapkan dalam masyarakat, dengan bersikap sederhana dan tidak berlebihan, hidup akan menjadi lebih bersahaja. Kesadaran diri, kerja keras , keteguhan hati dan komitmen membuat kita belajar akan perjuangan untuk menggapai tujuan dan sukses yang diinginkan dan membuat kita lebih menjadi pribadi yang bertanggung jawab, dan yang paling utama adalah meminta restu pada orang tua, karena orang tua adalah tumpuan bagi anakanaknya. c. Nilai Pendidikan Sosial Nilai pendidikan sosial yang dapat dipetik dalam novel Ibuk antara lain adalah kepedulian terhadap sesama, saling membantu sesama manusia, saling menghargai sesama manusia. Manusia adalah makluk sosial, sehingga dalam menjalani hidupnya tidak dapat sendiri. Manusia selalu membutuhkan bantuan orang lain. Saling membantu sesama manusia adalah salah satu perbuatan yang mencerminkan sifat sosial sebagai manusia, dimana siapapun saja dianjurkan untuk saling membantu, juga kepeduliah terhadap sesama. Manusia harus mempunyai rasa kepedulian terhadap sesama, karena kita hidup di dunia memang terdiri dari beragam suku, ras, agama, dan budaya, dengan saling memahami, maka akan terhindar dari segala perselisihan dan akan tercermin sikap saling menghargai sesama manusia. d. Nilai Pendidikan Budaya Nilai-nilai budaya daerah memang perlu untuk dilestarikan selagi budaya itu baik dan tidak menyalahi aturan-aturan keagamaan. Nilai budaya yang diangkat dalam novel ini yaitu budaya masyarakat jawa zaman dahulu yaitu gadis yang berumur tujuh belas tahun harus segera menikan, namun saat ini, agaknya budaya itu sudah tidak banyak yang menerapkan, dan hanya di bagian-bagian daerah yang masih sangat primitif dan pandangan orang-orang tertrntu. Selain itu adalah budaya selamatan yang dilakukan untuk mengucap
126
syukur karena telah mendapatkan anugerah dari Tuhan. Hal yang patut untuk diteladani yakni kita harus selalu mengucap syukur atas segala anugerah yang diberikan Tuhan.
4. Kesesuaian Novel Ibuk, Karya Iwan Setyawan sebagai Materi Pembelajaran Apresiasi Sastra di SMA Penyusunan materi pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia tidak terlepas dari kurikulum, karena kurikulum adalah acuan yang menjadi pedoman guru untuk menentukan pokok-pokok materi yang akan diberikan pada siswa. Kurikulum yang berlaku saat ini adalah kurikulum 2013. Kurikulum ini masih sangat baru. Dalam kurikulum ini, pembelajaran sastra mendapatkan porsi yang lebih kecil dibandingkan pembelajaran bahasa. Sehingga guru harus pandaipandai untuk memberikan pembelajaran sastra semaksimal mungkin. Dalam pembelajaran sastra di kelas XII kegiatan siswa meliputi memahami strukur dan kaidah teks novel, membandingkan teks novel, menganalisis teks novel, mengevaluasi teks novel berdasarkan kaidah-kaidah, menginterpretasi teks novel, memproduksi teks novel, menyunting teks novel, dan mengonversi teks novel ke dalam bentuk lain.