BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Sejarah dan Status Hutan Mangrove Teluk Jakarta 1. Muara Angke Hutan mangrove Muara Angke adalah bagian dari kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di pantai utara Jakarta. Pada mulanya kelompok hutan ini seluas 1.114 ha, namun karena kegiatan pembangunan luasnya menurun menjadi 327,7 ha. Pembangunan kawasan Kapuk-Angke digagas oleh Pemerintah Daerah DKI
Jakarta,
sesuai
arahan
RUTR
DKI
1965-1985
bertujuan
untuk
mengembangkan areal tambak dan ”eks-hutan” Angke-Kapuk yang terbengkalai, untuk perumahan dan fungsi kota lainnya. Wilayah tanah hutan Angke-Kapuk seluas ±1.114 ha berada di bawah pengelolaan Dinas Kehutanan DKI Jakarta (berdasarkan Piagam Kerjasama antara Pemda DKI dengan Departemen Pertanian cq Direkorat Jendral Kehutanan yang ditandatangani tanggal 24 Juni 1977, dan didalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah). Tujuan kerjasama dimaksud adalah untuk mengelola, memanfaatkan dan membina kawasan hutan seluas ±1.114 ha yang terletak di Kelurahan Kapuk Muara, Muara Kamal dan Muara Angke. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 161/Kpts/Um/6/1977 tanggal 10 Juni 1977, ditetapkan kembali fungsi kawasan hutan Tegal Alur, Angke Kapuk dan sekitarnya sebagai berikut: a) sebagai hutan lindung, 5 km sepanjang pantai selebar 100 meter; b) sebagai cagar alam Muara Angke; c) sebagai kebun pembibitan; dan d) sebagai ”lapangan dengan tujuan istimewa”. Kawasan delta Sungai Angke pertama kali ditetapkan sebagai Cagar Alam dengan keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda (GB) No 24 tanggal 18 Juni 1939 seluas 15,40 ha. Berkaitan dengan adanya kegiatan pembangunan permukiman di kawasan ini, maka pada tahun 1984 Departemen Kehutanan melakukan pengukuran dan pemancangan batas ulang yang antara lain menghasilkan kawasan hutan yang tetap dikuasai pemerintah yakni 322.6 ha. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 097/Kpts-II/1998 tanggal 29 Februari 1988 yang menetapkan bahwa kawasan hutan yang dipertahankan adalah seluas
56 335,50 ha. Kemudian berdasarkan hasil tata batas di lapangan dan Berita Acara Tata Batas yang ditandatangani pada tanggal 25 Juli 1994 oleh Panitia Tata Batas yang diangkat dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Ibukota Jakarta Nomor 924 tahun 1989, diketahui bahwa hutan yang dipertahankan adalah seluas 327,70 ha. Secara detil disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Perubahan luas peruntukan lahan di Kawasan Muara Angke (ha) Kawasan
Menhut (1984)
Menhut (1988)
Gub DKI (1989)
Hutan lindung
49,25
50,80
44,76
Cagar alam Muara Angke
21,45
25,00
25,02
Hutan wisata
91,45
101,60
99,85
Kebun pembibitan kehutanan
10,47
10,47
10,52
Cengkareng Drain
29,05
28,36
28,93
Jalur transmisi PLN
29,90
25,90
23,07
Jalur tol dan jalur hijau
91,37
91,37
95,50
322,60
335,50
327,70
Jumlah
2. Muara Gembong Sejarah pengelolaan mangrove di Muara Gembong Kabupaten Bekasi pada awalnya dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda, kemudian setelah masa kemerdekaan Negara Republik Indonesia maka pengelolaan mangrovenya dilakukan oleh Jawatan Kehutanan Daerah Swatantra Tingkat I Jawa Barat. Perkembangan berikutnya pada tahun 1976, dengan terbentuknya Unit III Perum Perhutani maka pengelolaan mangrove di kawasan Muara Gembong dilakukan oleh Resort Pemangkuan Hutan Muara Gembong Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Ujung Karawang Kesatuan Pemangkuan Hutan Bogor Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Sebagai
konsekuensi
daerah
penyangga
DKI
Jakarta,
aktivitas
pembangunan di DKI mengakibatkan permintaan lahan di Kabupaten Bekasi meningkat sehingga dari luasan mangrove 9.764,45 ha yang tersisa menjadi hutan hanya 330,24 ha (3,4%), sedangkan yang lainnya telah beralih fungsi menjadi pertambakan (68,85%), persawahan (22,30%) dan bentuk penggunaan lainnya (Kantor Pertanahan Kabupaten Bekasi, 2000). Kondisi penggunaan kawasan hutan mangrove di Kabupaten Bekasi adalah: hutan sekitar 1.093,28 ha, sawah sekitar 1.225,95 ha, permukiman
57 sekitar 365,45 ha, empang sekitar 7.434,77 ha, kebun campuran sekitar 159,65 ha dan abrasi mencapai 202,05 ha (KPH Bogor, 2004). Kerusakan mangrove pada kawasan ini juga diprediksi terus meningkat, sejalan dengan diterbitkannya Perda Kabupaten Bekasi No. 5 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Khusus Pantai Utara. Dalam Perda ini, kawasan mangrove dapat dimanfaatkan bagi kawasan pelabuhan, industri, pariwisata dan perikanan dimana sektor-sektor tersebut telah dijadikan sektor andalan bagi penggerak perekonomian di Kabupaten Bekasi. Pengelolaan hutan mangrove yang dilakukan oleh Perum Perhutani difokuskan kepada usaha persewaan lahan garapan, demikian halnya pelayanan publik yang dilakukan Pemda lebih memfokuskan kepada penerimaan pajak atas lahan garapan. Situasi ini yang mendorong pergerakan politik penggarap untuk tidak membayar kedua jenis pajak. Persoalan ketidaktaatan terhadap kontrak dan duplikasi pajak, telah menimbulkan konflik baik antara penggarap dan Perum Perhutani maupun konflik peran antara Pemda dengan Perum Perhutani. Kondisi ini mempengaruhi kerusakan hutan mangrove, sehingga pada periode tahun 1943 – 2002 kerusakan hutan mangrove mencapai 15.058,23 ha (Suhaeri, 2005). 3. Teluk Naga Sejak dikembangkan budidaya udang pada tahun 1986 dengan membuka tambak-tambak baru, pengelolaan lingkungan di Kecamatan Teluk Naga semakin tidak terarah. Seiring dengan pengembangan usaha tambak, penambangan pasir laut
yang
dimaksudkan
untuk
membangun
prasarana
tambak
ternyata
menyebabkan terjadinya abrasi pantai, yang berakibat pada rusaknya lingkungan di kawasan hutan mangrove yang semula luasnya 1.192 ha, kini tidak ada lagi (Bappeda Kabupaten Tangerang, 2004).
4.2 Kondisi Hutan Mangrove Teluk Jakarta 1. Hasil analisis vegetasi Hutan mangrove di Teluk Jakarta saat ini dalam kondisi yang rusak dan luasnya makin berkurang. Hasil kajian pada tiga lokasi penelitian (Muara Angke, Muara Gembong, dan Teluk Naga) menggambarkan variasi jenis mangrove mulai berkurang setiap tahun. Di wilayah Teluk Naga tidak ditemukan ekosistem
58 hutan mangrove, karena lahan hutan mangrove telah dikonversi menjadi lahan tambak, aktifitas penambangan pasir laut, dan pariwisata. Hasil analisis sistem informasi geografis menunjukkan perubahan tutupan lahan mangrove pada tahun 1997, 2002, dan 2006 yang signifikan. Kawasan pesisir Teluk Jakarta selama 10 tahun telah mengalami perubahan tutupan lahan yang relatif tinggi. Laju perubahan luas hutan mangrove pada tiga wilayah berbeda-beda. Hasil analisis sistem informasi geografis tentang perubahan luas hutan mangrove disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Perubahan luas hutan mangrove di lokasi penelitian Lokasi
Luas hutan mangrove (ha)
Persentase perubahan (%)
1997
2002
2006
Muara Angke
122,04
102,37
117,60
3,63
Muara Gembong
174,49
121,27
108,19
37,99
44,37
12,62
6,25
85,91
236,26
232,04
42,52
Teluk Naga
Total 340,90 Sumber: Hasil analisis SIG (2007)
Hutan mangrove di lokasi penelitian mengalami perubahan luasan. Dalam waktu 10 tahun mencapai 42,52%. Perubahan luas hutan mangrove berbedabeda antar lokasi sesuai dengan karakteristik ekologis dan sosial masyarakat. Hutan mangrove di Muara Angke relatif tidak berubah selama 10 tahun. Hal ini karena adanya perhatian pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat dalam melestarikan hutan mangrove. Penetapan status kawasan lindung Muara Angke mendorong pemerintah untuk senantiasa menjaga kelestarian hutan mangrove. Lembaga swadaya masyarakat bersama masyarakat telah melakukan berbagai kegiatan rehabilitasi kawasan dan pendidikan lingkungan bagi masyarakat untuk menjaga hutan mangrove di Muara Angke. Fakor ini merupakan hal positif yang dapat dijadikan model pengelolaan kawasan mangrove. Hutan mangrove di Muara Gembong mengalami degradasi fisik. Alih fungsi lahan menjadi tambak dan kerusakan habitat akibat abrasi dan sedimentasi menyebabkan kerusakan mangrove terus berlanjut. Selain itu terjadi konflik pemanfaatan antara masyarakat dengan Perum Perhutani dan Pemda sehingga para pemangku kepentingan kurang bertanggung jawab terhadap kelestarian hutan mangrove.
59 Hutan mangrove di Teluk Naga mengalami perubahan yang sangat signifikan selama 10 tahun, yakni mencapai 85,91%. Luas kawasan mangrove yang tersisa adalah 6,25 ha. Perubahan luas hutan mangrove ini disebabkan oleh alih fungsi lahan menjadi tambak dan kawasan industri. Tidak jelasnya sistem pengelolaan dan penatagunaan lahan di kawasan pesisir mendorong pemanfaatan kawasan yang berlebih. Selain faktor pengelolaan, kerusakan ekosistem mangrove juga disebabkan oleh kegiatan penambangan pasir laut di sekitar pantai sehingga ekosistem mangrove menjadi terdegradasi. Secara visual kondisi tutupan lahan di Teluk Jakarta di sajikan pada Gambar 4, Gambar 5, dan Gambar 6. Selain perubahan luas tutupan lahan, hutan mangrove Teluk Jakarta juga mengalami penurunan kualitas habitat berupa pengurangan kerapatan vegetasi (Gambar 7). Hal ini terlihat rendahnya persentase tutupan lahan yang masih tergolong hijau. Laju perubahan kerapatan vegetasi pada Teluk Jakarta semakin tinggi. Hal ini mengindikasikan adanya degradasi lingkungan mangrove. Hasil pengamatan vegetasi mangrove di Teluk Jakarta menunjukkan bahwa jenis mangrove yang tumbuh sesuai dengan karakteristik tanah dan air. Selain itu juga dipengaruhi kebijakan penanaman mangrove oleh instansi pemerintah dan lembaga swadaya. Jenis vegetasi mangrove di Teluk Jakarta secara rinci disajikan berdasarkan tiga wilayah studi. Jenis mangrove di Muara Angke yang ditemukan adalah jenis api-api, bakau, dan pidada. Berdasarkan kawasan, jenis mangrove di Muara Angke adalah: (1) hutan lindung Angke-Kapuk didominasi oleh api-api dan bakau; (2) suaka margasatwa Muara Angke didominasi oleh pidada; (3) taman wisata alam ditanami dengan jenis bakau; dan (4) Lahan dengan tujuan istimewa (LDTI) mencakup: kebun pembibitan kehutanan yang didominasi oleh jenis api-api dan bakau, Cengkareng drain ditanami dengan jenis ketapang, jalur transmisi PLN didominasi jenis api-api, dan jalur hijau tol Sedyatmo didominasi oleh jenis apiapi, bakau, dan pidada. Kondisi ini menunjukkan bahwa jumlah jenis tumbuhan di Muara Angke semakin berkurang. Hal ini terlihat dari kondisi tahun sebelumnya, seperti terlihat dari hasil penelitian Kusmana (1983) yang menyatakan bahwa di Muara Angke terdapat 11 spesies dan penelitian Sukardjo (1981) yang menyatakan bahwa vegetasi mangrove yang terdapat di Muara Angke di dominasi oleh Avicennia
60 mariana, A. alba, A. officinalis, Rhizophora apicullata, R. mucronata, Bruguiera parviflora, Someratia alba, dan Excoecasia aglocha. Berkurangnya
spesies
mangrove
dari
tahun-tahun
sebelumnya
disebabkan oleh adanya perubahan lahan sekitar kawasan Muara Angke yang dialihkan menjadi pertokoan dan perindustrian, perumahan dan beberapa fungsi lainnya yang menyebabkan hilangnya daerah resapan air dan aliran air di muara sungai semakin melambat karena jalur yang ditempuh semakin panjang, sehingga laju sedimentasi di muara semakin meningkat. Jenis mangrove di Muara Gembong yang ditemukan adalah jenis api-api, bakau, dan pidada. Berdasarkan wilayah adminisitrasi, jenis mangrove yang dominan di setiap desa adalah: (1) Desa Pantai Sederhana didominasi oleh bakau dan terdapat pula tanaman sela yaitu jeruju dan piai; (2) Desa Pantai Mekar didominasi oleh bakau dan api-api; (3) Desa Pantai Harapan Jaya didominasi oleh pidada dan bakau; (4) Desa Bakti didominasi oleh didominasi oleh bakau; (5) Desa Pantai Bahagia didominasi oleh bakau; dan (6) Desa Jayasakti didominasi oleh bakau dan api-api. Kegiatan usaha pertambakan telah menyebabkan berkurangnya jenis mangrove. Selain itu faktor alam di beberapa lokasi berupa pantai terbuka menyebabkan anakan mangrove tidak dapat tumbuh dengan baik di wilayah tersebut. Kondisi ini mendorong perlunya kegiatan rehabilitasi mangrove sehingga jenis mangrove yang ditemukan lebih homogen. Pada tahun 1998 telah dilakukan kegiatan rehabilitasi jalur hijau dengan luasan 5 ha. Dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh LPP Mangrove (survey lapang pada Juli 2000), diketahui bahwa kondisi terakhir areal hasil penanaman pada kegiatan rehabilitasi pada tahun 1998 cukup baik (LPP Mangrove, 2000). Komposisi jenis pohon yang terdapat di areal jalur hijau hasil penanaman tahun 1998 terdiri dari jenis Avicennia sp. (permudaan alam), Rhizophora mucronata, R. apiculata, R. stylosa dan Bruguiera gymnorrhiza (hasil penanaman). Jenis pohon yang mendominasi areal ini adalah jenis Avicennia sp. Hutan mangrove di Teluk Naga yang seluas 6,25 ha terletak di Desa Teluk Naga. Jenis mangrove yang ditemukan adalah bakau dan nipa. Saat ini berkembang usaha pembibitan bakau di beberapa lokasi. Hal ini karena masih sesuainya lahan untuk pembibitan bakau
61
Gambar 4. Luas hutan mangrove di Muara Angke
62
Gambar 5. Luas hutan mangrove di Muara Gembong
63
Gambar 6. Luas hutan mangrove di Teluk Naga
64
Kerapatan rendah Kerapatan sedang Kerapatan tinggi
Gambar 7. Tingkat kerapatan vegetasi di Teluk Jakarta
65 Hasil penelitian Pusat Studi Kelautan Universitas Indonesia (2002) menyatakan bahwa vegetasi hutan mangrove di Kabupaten Bekasi masih alami. Jenis-jenis vegetasi yang ada sebanyak 13 jenis, yaitu Avicenna alba, Avicenna officinalis, Rhizophora mucronata, Sonneratia alba, Excocaria agallocha, Acanthus ilicifolius, Acrostichum aureum, Derris trifoliate, Chromolaena odorate, Cyperus maritime, Nypa fruticans, Sesuvum portulacastum dan Wedelia biflora. Komposisi jenis tumbuhan dan komponen utama penyusun kawasan hutan mangrove adalah api-api (Avicennia spp), bakau (Rhizophora mucronata) dan pidada (Sonneratia alba). Tumbuhan yang mendominasi adalah Avicenna officinalis dan Rhizophora mucronata. Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa Avicenna officinalis memiliki kerapatan relatif (KR) sebesar 30,5% dengan frekuensi relatifnya (FR) sebesar 49,5%, sedangkan Rhizophora mucronata memiliki kerapatan relatif (KR) sebesar 44,2% dan frekuensi relatif (FR) 12,3% (PSK-UI, 2002). Berkurangnya meningkatnya
limbah
spesies rumah
mangrove tangga
ini
dan
diduga industri
sebagai yang
akibat
dari
mengakibatkan
menurunnya kualitas air yang akhirnya mengganggu pertumbuhan dan kehidupan berbagai spesies mangrove dan berbagai tingkatan pada setiap spesies mangrove. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kadar logam berat dan amonia yang melebihi standar baku mutu yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta (1995), yakni melebihi standar baku mutu lingkungan perairan. Vegetasi hutan mangrove di Kecamatan Muara Gembong berbeda berdasarkan tingkatan vegetasi. Vegetasi hutan mangrove pada tingkat semai didominasi oleh mangrove dari jenis piyae (Acrostichum aureum) dan jenis nipa (Nypa fructicans), dan bakau (Rhizophora mucronata). Vegetasi hutan mangrove tingkat pancang dijumpai didominasi oleh Rhizophora mucronata, Acrostichum auereum dan Acanthus Illicifolius. Vegetasi hutan mangrove tingkat pohon didominasi oleh Rhizophora mucronata dan Avicennia marina. Kondisi vegetasi mangrove tersebut menggambarkan bahwa hutan mangrove di Teluk Jakarta masih baik dan layak untuk dilestarikan. Masih terdapat variasi sejumlah spesies mangrove di lokasi penelitian. Namun jika pertumbuhan hutan mangrove yang ada tidak dijaga dengan baik, maka akan terjadi pengurangan kuantitas maupun kualitas hutan mangrove itu. Secara umum jenis vegetasi mangrove yang terdapat di Teluk Jakarta disajikan pada Tabel 10.
66
Tabel 10. Spesies mangrove yang ditemukan di Muara Angke, Muara Gembong, Teluk Naga Muara Angke
Spesies Mangrove Jeruju putih (Acanthus ebracteatus) Jeruju hitam (Acanthus ilicifolius) Piai raya (Acrostichum aureum) Piai lasa (Acrostichum speciosum) Teruntun (Aegiceras corniculatum) Api-api (Avicennia alba) Api-api putih (Avicennia marina) Lenggadai (Bruguiera cylindrical) Tancang merah (Bruguiera gymnorrhiza) Buta-buta (Excoecaria agallocha) Nipah (Nypa fructicans) Bakau minyak (Rhizopora apiculata) Bakau merah (Rhizopora mucronata) Bakau (Rhizopora stylosa) Pidada (Sonneratia alba) Pidada (Sonneratia caseolaris)
Muara Gembong √
√ √ √ √ √ √
√
√
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
Teluk Naga
√ √ √ √
√
Sumber: LPP-Mangrove (2004)
2. Hasil analisis kualitas air Kajian mengenai kualitas air difokuskan pada faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove dan kualitas air untuk perairan umum dan perikanan. Parameter yang digunakan adalah paramater fisika dan kimia. Hasil analisis kualitas air disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Kualitas air di Teluk Jakarta Satuan
Muara Angke
Muara Gembong
Teluk Naga
Baku Mutu
Suhu
Parameter
°C
26,44 – 27,41
28,15 – 28,23
26,10 – 26,49
21,0 – 32,0
Salinitas
‰
26,34 – 26,67
24,73 – 26,00
24,43 – 26,56
0,0 – 35,0
-
7,39 – 7,83
6,78 – 7,70
7,06 – 7,23
6,5 – 8,5
μmhos/cm
1162 – 2300 0,43 – 0,85
79 – 1524
1000 – 3022
-
0,60 – 0,94
0,50 – 0,110
≤ 6,00
pH DHL CO2 bebas
mg/liter
DO
mg/liter
0,21 – 0,13
3,34 – 7,60
3,00 – 4,11
≤ 25,00
BOD
mg/liter
446,10 – 329,12
20,00 – 28,45
25,23 – 39,00
40 – 80
COD
mg/liter
45,22 – 789,0
93,00 – 193,00
56,67 – 180,00
-
Amonia
mg/liter
7,11 – 3,32
0,15 – 0,30
1,98 – 4,23
≤ 0,16
Merkuri
mg/liter
-
0,0004 – 0,0009
-
≤ 0,32
Kadmium
mg/liter
0,001
0,005 – 0,04
0,008 – 0,015
≤ 0,001
Timbal
mg/liter
0,021 – 0,034
0,02 – 0,09
0,07 – 1,00
≤ 0,03
Sumber: Hasil analisis (2005)
67 Stasiun pengamatan di Kecamatan Penjaringan, tepatnya di Desa Muara Angke terdapat di kawasan suaka marga satwa Muara Angke. Kawasan hutan mangrove yang masih tersisa di wilayah Muara Angke dan merupakan lahan basah (wet land) yang lebih dipengaruhi luapan Sungai Angke pada saat pasang surut air laut. Rata-rata suhu di Sungai Angke maupun lahan mangrove adalah 27,4oC pada saat pasang dan 26,4oC pada saat surut. Rata-rata salinitas air adalah 26,3‰ saat surut dan saat pasang mencapai 26,7‰. pH air saat surut adalah 7,4 dan saat pasang adalah 8,3 dengan rata-rata 7,8. Jika dibandingkan dengan baku mutu kualitas air sesuai PP No. 48 tahun 1990 parameter suhu, salinitas dan pH masih dalam batas yang ditolerir namun BOD, COD, amonia, dan logam berat telah melampaui ambang batas. Rendahnya kualitas air tersebut diduga menjadi penyebab langkanya kehidupan biota perairan di kawasan suaka marga satwa Muara Angke. Rusaknya hutan mangrove di kawasan Muara Angke ini juga menyebabkan langkanya air tawar di daratan, karena mengakibatkan terjadinya intrusi air laut ke daratan Penjaringan dan sekitarnya. Muara Gembong merupakan salah satu wilayah yang berada di Teluk Jakarta, yang merupakan daerah yang cukup terlindung dari hempasan ombak dan gelombang pantai Teluk Jakarta. Hal ini menyebabkan kawasan hutan mangrove yang berada di wilayah tersebut masih cukup baik, namun kerusakan terjadi karena perubahan fungsi dari kawasan hutan mangrove menjadi daerah pertambakan. Rendahnya salinitas air ini karena ke lokasi ini banyak masuk air tawar. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah tingginya BOD dan COD yang telah melebihi batas ambang untuk air minum baku (lebih dari 6 mg/l). Demikian pula untuk perikanan laut yaitu >20 mg/l (SK Gubernur DKI Jakarta, 1995). Nilai BOD5 relatif tinggi yaitu di muara sungai Citarum yang disebabkan karena buangan rumah tangga dari pemukiman nelayan di perairan estuaria tersebut, serta adanya penimbunan bahan organik yang tidak terbawa arus pada saat pasang. Kadar amonia dan logam berat juga menyebabkan terjadinya hambatan pada pertumbuhan hutan mangrove. Tipe pasut di Kecamatan Muara Gembong sama dengan di Muara Angke yakni tipe pasut tunggal. Sifat fisik tanah pada hutan mangrove Muara Gembong secara umum adalah tipe liat berlempung, permiabilitas lambat, dan drainae
68 terhambat. Kondisi perairan terganggu akibat aktivitas manusia mengubah hutan mangrove menjadi tambak. Kecamatan Teluk Naga dulunya merupakan lokasi hutan mangrove, namun pada tahun 1986 dikembangkan menjadi daerah pertambakan seluas 4.740,8 ha. Akibat konversi lahan tersebut, selain mengakibatkan terjadinya abrasi juga mengakibatkan terjadinya intrusi air laut yang menghancurkan sebagian besar usaha petani. Namun kondisi wilayah yang ada masih memungkinkan untuk menyelamatkan hutan mangrove guna menghindari terjadinya abrasi pantai yang lebih luas. Suhu perairan di hutan mangrove Teluk Naga pada saat pasang yaitu o
26,5 C dan terendah 26,1oC. pH pada saat pasang 7,2 dan pada saat surut 7,1 dengan pH rata-rata 7,2. Parameter BOD, COD, amonia, sangat tinggi sehingga menimbulkan pencemaran perairan. Di lokasi penelitian juga terdapat logam berat kadmium dan timbal yang kadarnya sudah tinggi. Kandungan Cd di perairan berkisar 0,0009 – 0,104 mg/l dengan rata-rata 0,022 mg/l pada saat pasang dan saat surut berkisar 0,008 – 0,013 mg/l dengan rata-rata 0,010 mg/l. Nilai rata-rata ini telah melebihi baku mutu air untuk air minum (Saeni, 2004). Selain logam berat Cd, Logam berat timbal (Pb) juga telah melebihi baku mutu. Kandungan Pb berkisar 0,08 – 1,00 mg/l dengan rata-rata 0,49 mg/l pada saat pasang dan saat surut berkisar 0,07 – 1,00 mg/l dengan rata-rata 0,18 mg/l. Kadar logam berat Pb telah melewati ambang batas sehingga perairan tidak layak untuk air minum, kegiatan perikanan, pertanian, dan peternakan. Kondisi perairan Teluk Naga tersebut memerlukan perhatian terhadap masalah kualitas air guna penyelamatan hutan mangrove yang telah rusak. Terjadinya peningkatan kadar orto-fosfat di perairan disebabkan oleh meningkatnya buangan limbah industri dan rumah tangga, begitu pula halnya dengan parameter logam berat seperti kadmium dan timbal yang meningkat sebagai akibat adanya aktivitas kegiatan industri, gedung tinggi, jalan sempit, dan kemacetan lalu lintas (Saeni, 2004). Selain hal tersebut suhu perairan juga terindikasi meningkat sehingga bisa mengganggu proses fisiologis (metabolisme) tumbuhan mangrove. Pertumbuhan dan perkembangan mangrove sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Kusmana (2005) menyatakan bahwa berdasarkan berbagai hasil penelitian dapat disimpulkan penyebaran jenis mangrove sangat berkaitan
dengan
salinitas,
tipe
pasang
dan
frekuensi
penggenangan.
69 Supriharyono (2000) menyatakan bahwa walaupun tumbuhan mangrove dapat berkembang pada kondisi lingkungan yang buruk, akan tetapi setiap tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mempertahankan diri terhadap kondisi lingkungan fisik-kimia. Dinyatakan bahwa ada empat faktor utama yang menentukan penyebaran tumbuhan mangrove yaitu: frekuensi arus pasang, salinitas tanah, air tanah, dan suhu air. Berdasarkan nilai-nilai kisaran parameter lingkungan tersebut diketahui bahwa mangrove masih dapat tumbuh dengan baik. Dengan nilai kisaran suhu yang diperoleh memungkinkan semua jenis tumbuhan mangrove dapat tumbuh, sehingga memungkinkan untuk menjumpai jenis-jenis mangrove antara lain: Rhizophora racemosa,
apiculata, Bruguera
Xylocarpus ganatum, Sonneratia alba, Limnitzera rymnorhiza,
Rhizophora
stylosa,
dan
Rhizophora
mucronata. Walsh (1974) menyatakan bahwa suhu merupakan pembatas kehidupan mangrove, dengan suhu yang baik tidak kurang dari 20 0C sedangkan kisaran suhu musiman tidak melebihi 50C. Namun demikian suhu yang tinggi (400C), cenderung tidak mempengaruhi pertumbuhan dan kehidupan tumbuhan mangrove. Faktor lain yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan mangrove adalah salinitas. Kusmana (2000) menyatakan bahwa salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10 - 30‰. Nilai salinitas memungkinkan tumbuhan mangrove dengan beberapa jenis dapat tumbuh dengan baik. Faktor lingkungan lain yang menjadi pembatas dalam pertumbuhan mangrove adalah kadar oksigen rendah. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai kisaran kadar oksigen terlarut (DO) yaitu 0,21 – 7,26 mg/l. Nilai tersebut tergolong ideal untuk kebutuhan pertumbuhan mangrove. Apabila kandungan oksigen terlarut rendah maka mangrove memiliki tingkat adaptasi dengan sistem perakaran khas yang dimiliki. Sistem perakaran mangrove dua tipe yakni: tipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora dan tipe tongkat yang mempunyai lentisel. Tingkat kandungan oksigen terlarut yang tinggi memungkinkan bagi tumbuhan mangrove untuk tumbuh dengan baik, dan apabila habitat mengalami kandungan oksigen terlarut yang rendah, maka sistem perakaran tersebut berfungsi untuk mengambil dan mengikat oksigen dari udara.
70 Hasil pengukuran pH diperoleh bahwa rata-rata nilai pH yaitu 6,7 – 7,8. Nilai tersebut merupakan pH netral. Kisaran pH tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove, hal tersebut disebabkan karena pH yang terukur merupakan pH netral dan masih mampu ditolerir atau masih dalam batas toleransi.
4.3 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kondisi sosial ekonomi masyarakat pada ketiga wilayah kajian berbedabeda, baik dari struktur perekonomian maupun karakteristik sosial budaya masyarakatnya. Wilayah kecamatan terluas adalah Kecamatan Muara Gembong tetapi memiliki kepadatan penduduk yang paling rendah. Persentase penduduk Kecamatan Muara Gembong juga relatif kecil (1,78%). Kecamatan Penjaringan merupakan wilayah yang terpadat dari tiga lokasi kajian. Kecamatan Teluk Naga relatif kecil dibanding luas wilayah Kabupaten Tangerang. Secara rinci masingmasing wilayah dideskripsikan pada Tabel 12. Tabel 12. Luas wilayah dan kepadatan penduduk di Kecamatan Penjaringan, Muara Gembong, dan Teluk Naga tahun 2004 Luas wilayah Kecamatan Penjaringan Muara Gembong
Luas (km2)
% terhadap Kabupaten
Penduduk Jumlah (jiwa)
% terhadap Kabupaten
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2)
35,48
25,42
176.586
15,04
4.977
140,09
11,00
36.109
1,78
258
Teluk Naga 40,58 3,65 106.162 3,20 2.616 Sumber: BPS Jakarta Utara (2006); BPS Bekasi (2006); BPS Tangerang (2006) 1. Muara Angke Secara administratif kawasan hutan mangrove Muara Angke termasuk wilayah Kelurahan Kamal Muara, Kelurahan Kapuk Muara dan Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Luas wilayah Jakarta Utara 139,55 km2, dengan jumlah penduduk tahun 2005 sekitar 1.173.935 jiwa dengan rincian jumlah laki-laki 601.567 jiwa (51,43%) dan jumlah perempuan 572.368 jiwa (48,57%). Tingginya tingkat kepadatan penduduk di Jakarta Utara ini dikarenakan tingkat urbanisasi yang tinggi (Jakarta Utara Dalam Angka, 2005).
71 Luas wilayah Kecamatan Penjaringan 35,49 km2, dengan jumlah penduduk 176.586 jiwa (91.502 jiwa laki-laki dan 85.084 jiwa perempuan), kepadatan penduduk 4.976 jiwa/km2.
Penduduk yang tinggalnya berdekatan
dengan hutan mangrove Muara Angke adalah penduduk yang berada di Kelurahan Pluit, Kelurahan Angke dan Kelurahan Kamal Muara. Disamping itu beberapa anggota masyarakat juga ikut memberikan pengaruh terhadap keberadaan hutan mangrove Muara Angke, seperti Kelurahan Tegal Alur dan Kelurahan Teluk Gong. Penduduk di Kelurahan Pluit mempunyai tingkat pendidikan yang merata mulai tingkat SD sampai dengan Perguruan Tinggi. Mata pencaharian masyarakat di Kelurahan Pluit sebagian besar adalah karyawan (pegawai negeri dan swasta), pedagang, dan nelayan. Keberadaan perumahan Pantai Indah Kapuk dengan segenap sarana prasarananya (rumah sakit, lapangan golf, pertokoan dan lain-lain) telah memberikan dampak langsung terhadap pengembangan wilayah Kelurahan Pluit termasuk pengembangan wilayah Kecamatan Penjaringan.
Di samping itu
adanya Tempat Pelelangan Ikan di Muara Angke, pengolahan ikan asin dan kerang hijau, terminal dan restoran juga merupakan pusat-pusat kegiatan yang memberikan pengaruh besar terhadap kondisi pengembangan wilayah dan peningkatan pendapatan masyarakat. Di samping itu, terbukanya akses dari beberapa potensi obyek wisata di wilayah DKI Jakarta (Taman Impian Jaya Ancol, Mangga Dua, Glodok, Mega Mall Pluit, Anggrek Mall, Senayan Plaza, Bandara Sukarno Hatta) menuju wilayah Kelurahan Pluit dan SM Muara Angke, memberikan peluang besar untuk dapat mengembangkan kegiatan pendidikan lingkungan dan wisata terbatas, serta mengembangkan kegiatan ekonomi yang mendukung kegiatan wisata di Kelurahan Pluit dan Kecamatan Penjaringan. 2. Muara Gembong Kecamatan Muara Gembong berada di utara Kabupaten Bekasi yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa, memiliki luas wilayah 140,09 km2 dan merupakan kecamatan terbesar di Kabupaten Bekasi.
Jumlah penduduknya
mencapai 36.108 jiwa dengan kepadatan 258 jiwa /km2. Panjang pantai di Kecamatan Muara Gembong adalah 17 km. Hutan mangrove yang dimiliki saat ini luasnya 330,24 ha. Luas tambak yang ada di
72 kecamatan ini seluas 6.714,94. Sarana dan prasarana yang ada di kecamatan ini adalah satu buah Tempat Pelelangan Ikan. Kabupaten Bekasi yang merupakan penyangga DKI Jakarta mempunyai nilai lokasi strategis untuk rencana pembangunan di masa yang akan datang. Kegiatan ekonomi yang diselenggarakan di DKI Jakarta akan mempunyai dampak langsung maupun tidak langsung 3. Teluk Naga Kecamatan Teluk Naga terletak di daerah pesisir Teluk Jakarta. Sebagian wilayahnya berada di pinggir pantai, sedangkan sebagian wilayah berupa dataran.
Jumlah penduduk di Kecamatan Teluk Naga adalah 113.696 jiwa,
dengan kepadatan adalah 2.399 jiwa per km2, dimana kepadatan tertinggi terdapat di Desa Kampung Melayu Barat dan kepadatan terendah di Desa Muara. Pendapatan per kapita penduduk adalah Rp4.585,07. Luas areal hutan di Kecamatan Teluk Naga adalah 620 ha dimana hutan milik negara seluas 10 ha, tanah adat 223 ha dan hutan milik Perum Perhutani 387 ha.
Luas pertambakan di kecamatan ini adalah 527 ha. Sarana dan
prasarana transportasi yang ada di kecamatan ini adalah jalan desa 36.907,86 m, jalan penghubung antar desa sepanjang 596 m. Dermaga kapal sebanyak 4 buah, yang mendukung kelancaran akses ke pulau-pulau yang terletak di Kepulauan Seribu (BPS Kabupaten Tangerang, 2005). Struktur perekonomian di wilayah sekitar Teluk Jakarta bervariasi pada setiap lokasi. Namun demikian, ketiga lokasi memiliki karakteristik yang sama yakni peran sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan relatif kecil. Sektor yang memberikan sumbangan terbesar adalah industri pengolahan dan perdagangan, hotel, dan restoran. Di Jakarta Utara, peran sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan hanya mencapai 0,16%. Demikian pula dengan sumbangan sektor ini terhadap
perekonomian
Kabupaten
Bekasi
yang
hanya
2,25%.
Laju
pertumbuhan sektor ini di ketiga wilayah semakin menurun. Hal ini merupakan ancaman terhadap kelestarian kawasan mangrove yang memiliki fungsi ekologis penting. Distribusi PDRB pada tiga lokasi penelitian disajikan pada Tabel 13.
73 Tabel 13. PDRB Jakarta Utara, Bekasi, dan Tangerang tahun 2004 atas harga dasar konstan tahun 2000 Lapangan usaha Pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan
Jakarta Utara Juta Rupiah
Bekasi
%
Juta Rupiah
Tangerang %
Juta Rupiah
%
86.096
0,16
841.132
2,25
1.470.664
9,76
Pertambangan dan penggalian
-
-
482.680
0,13
12.597
0,08
Industri pengolahan
24.802.860
47,10
30.023.618
80,33
805.809
1,53
681.015
1,82
946.300
0,06
Bangunan
4.578.281
8,69
406.365
1,09
285.067
1,89
Perdagangan, hotel, dan restoran
9.487.044
18,02
3.353.750
8,97
1.878.403 12,46
Pengangkutan dan komunikasi
5.886.604
11,18
520.089
1,39
1.084.697
7,20
Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
3.105.511
5,90
350.431
0,94
381.079
2,53
Jasa-jasa
3.907.100
7,42
718.565
1,92
641.731
4,26
Listrik, gas, dan air bersih
Jumlah
52.659.305 100,00
37.377.649 100,00
8.370.263 55,54
15.070.780 100,00
Sumber: BPS Jakarta Utara (2006); BPS Bekasi (2006); BPS Tangerang (2006)
4.4 Permasalahan Pengelolaan Hutan Mangrove Berdasarkan hasil penelitian lapangan di tiga lokasi yaitu Muara Angke Muara Gembong dan Teluk Naga dan berdasarkan hasil data sekunder yang relevan dengan topik penelitian, ditemukan beberapa permasalahan pokok yang dapat mengancam kelestarian hutan Mangrove. 1. Degradasi hutan mangrove Hutan mangrove di kawasan Muara Angke yang berstatus hutan lindung tahun 1995 seluas 50,80 ha dan tahun 1999 luasan menyusut menjadi 44,76 ha atau berkurang 6,04 ha selama 5 tahun atau 1,21 ha per tahun. Demikian juga hutan wisata Muara Kamal dari 101,60 ha berkurang 99,82 ha atau menyusut 1,78 ha atau 0,36 ha per tahun. Hutan mangrove cagar alam Muara Angke relatif tetap yaitu 25,25 ha. Di Muara Gembong luasan hutan mangrove dari 9.749,9 ha menjadi 3.320 ha berarti menyusut menjadi 6.429,90 ha. Rusaknya hutan mangrove berarti terganggunya penyediaan serasah dalam perairan yang sangat dibutuhkan untuk tumbuhnya mikroorganisme. Disamping itu terganggunya daerah pengasuhan (nursery ground), daerah
74 mencari pakan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spanning ground) bagi berbagai jenis ikan, udang dan biota air lainnya. Lokasi Muara Angke, Muara Gembong dan Teluk Naga yang memiliki hutan mangrove menjadi sangat rentan terhadap meningkatnya jumlah penduduk, terutama untuk pemukiman dan pemenuhan kebutuhan hidupnya misalnya untuk tambak. Akibatnya pantai terancam terjadi abrasi dan sedimentasi, bahkan pencemaran dari sampah rumah tangga dan domestik tidak dapat
dikendalikan.
Hal
ini
akan
mengganggu
kelestarian
lingkungan.
Berdasarkan hasil penelitian lapangan di tiga lokasi dapat dilacak, ditemukan permasalahan lingkungan hutan mangrove sebagaimana tertera pada Tabel 14. Tabel 14. Permasalahan lingkungan hutan mangrove di Teluk Jakarta Muara Angke
Muara Gembong
Teluk Naga
- Dikonversi menjadi permukiman. - Di sebelah timur ada pemukiman nelayan dan di selatan pantai indah kapuk, - Abrasi dan sedimentasi - Pencemaran dari sampah dan limbah industri.
- Luas hutan mangrove menyusut - Kawasan pantai yang berhadapan dengan ombak dan gelombang besar sehingga terjadi abrasi dan sedimentasi - Eksploitasi hutan mangrove untuk kepentingan ekonomi sesaat.
- Hutan mangrove telah rusak - Terjadi abrasi dan sedimentasi - Pencemaran air, akumulasi sampah dan limbah - Wilayah pesisir dari utara ke selatan tidak ada hutan mangrove - Kualitas air rendah, kotor, warna hitam dan bau - Penambangan pasir laut. - Pembangunan fasilitas wisata
Sumber: Hasil survey lapangan (2006) 2. Permasalahan sosial ekonomi Persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan mangrove, yang menilai mangrove tidak memiliki nilai berharga, sehingga keberadaan pohon mangrove dibabat untuk kepentingan kayu bakar, bahan bangunan, bahan arang dan bahan kertas (pulp). Pada umumnya hutan mangrove seperti di Muara Gembong dan Teluk Naga digunakan usaha tambak, bahkan ada anggapan dengan semakin luas membabat mangrove, areal tambak menjadi luas dan produksinya meningkat. Hutan mangrove sangat rentan terhadap kegiatan manusia untuk tambak, persawahan dan pemukiman. Faktor sosial lain yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan hutan mangrove adalah aspek kepemilikan lahan. Di Muara Gembong, sebagian besar lahan budidaya telah menjadi milik pengusaha dari luar Muara Gembong untuk
75 dijadikan lahan budidaya perikanan. Tenaga kerja di usaha budidaya perikanan tersebut adalah masyarakat Muara Gembong yang belum memiliki lahan. Petani juga menggarap lahan hutan milik Perum Perhutani dengan sistem sewa lahan. Pendapatan petani masih relatif rendah. Keuntungan lebih banyak diperoleh pedagang dan pemilik lahan. Dukungan pendanaan untuk melestarikan hutan mangrove relatif kurang karena apresiasi penentu kebijakan terhadap pelestarian hutan mangove masih rendah. Pada umumnya pertimbangan pendanaan lebih diarahkan pada sektorsektor yang memberikan hasil ekonomi secara langsung. Berdasarkan hasil penelitian lapangan di tiga lokasi ditemukan permasalahan sosial ekonomi masyarakat hutan mangrove secara rinci sebagaimana tertera pada Tabel 15. Tabel 15. Permasalahan sosial ekonomi hutan mangrove di Teluk Jakarta Muara Angke
Muara Gembong
- Tingginya permintaan sumber daya lahan untuk pemukiman. - Pembabatan mangrove untuk kayu bakar, konstruksi, dan pembuatan arang. - Partisipasi masyarakat rendah. - Belum memiliki data dan informasi mangrove yang lengkap - Keterbatasan wawasan terhadap manfaat dan fungsi hutan mangrove
- Tidak taatnya petambak terhadap kontrak dengan Perum Perhutani - Tingginya kebutuhan masyarakat untuk lahan tambak. - Kesenjangan ekonomi antara penduduk Jakarta dengan penduduk Muara Gembong.
Teluk Naga - Terjadi penggalian pasir laut untuk kepentingan ekonomi - Keinginan Pemda guna meningkatkan PAD sehingga mengkonversi hutan mangrove - Tekanan jumlah penduduk mengganggu lahan hutan mangrove
Sumber: Hasil survey lapangan (2006) 3
Konflik pemanfaatan dan alih fungsi lahan Pengelolaan hutan mangrove terdiri atas dua fungsi utama yaitu pertama
sebagai fungsi lindung yang diselenggarakan dengan tujuan untuk meningkatkan fungsi pengaturan tata air, pencegahan intrusi air laut, polusi, perlindungan terhadap angin, abrasi pantai dan mempertahankan habitat biota akuatik dan terrestrial. Kedua, pengelolaan hutan mangrove dengan fungsi pelestarian diselenggarakan
dengan
tujuan
untuk
menjaga
kemurnian,
keunikan
keanekaragaman genetik, spesies dan ekosistem hutan mangrove. Dalam kegiatan perlindungan dan pelestarian hutan mangrove diupayakan dapat terintegrasi dengan kepentingan dan hak masyarakat sekitarnya.
76 Permasalahan utama dalam pengelolaan hutan mangrove yang berkaitan dengan upaya kelestarian fungsinya adalah perambahan hutan mangrove dalam bentuk perubahan status kawasan untuk keperluan perluasan tambak yang dilakukan secara besar-besaran oleh pihak swasta atau secara sporadis oleh masyarakat untuk keperluan permukiman, kawasan industri dan keperluan lain serta pengambilan kayu oleh masyarakat. Luas kawasan hutan mangrove di Muara Angke, kondisinya banyak mengalami tekanan berupa pencemaran dan perambahan. Selain itu belum ditemukan formula yang cukup memadai untuk menghentikan atau menghambat upaya perambahan yang dilakukan secara sistematis dan sporadis. Pemanfaatan lahan di wilayah pesisir Teluk Jakarta mengalami konflik antar
stakeholder.
Konflik
pemanfaatan
terjadi
secara
horisontal
antar
masyarakat dan pengusaha, dan konflik vertikal antar pemerintah daerah. Konflik di Muara Gembong dan di Teluk Naga akibat belum memiliki status hutan yang jelas. Sosialisasi kebijakan bagi para petambak dan masyarakat kurang efektif sehingga tetap menimbulkan pola pemanfaatan yang berlebihan. Pantai Utara Jakarta yang terbentang sepanjang 32 km, akan direklamasi dengan mengambil lebar dari bibir pantai ke arah laut sejauh 1,5 km dan kedalaman maksimal 8 m. Artinya seluruh lahan reklamasi akan menghabiskan lahan seluas 2.500 ha. Rencananya, diatas lahan reklamasi itu, selain untuk pembangunan kegiatan industri, juga untuk fasilitas kegiatan pariwisata, perkantoran, pusat bisnis, sarana transportasi dan perumahan penduduk untuk 750. 000 jiwa. Kawasan ini meliputi Kabupaten Bekasi di timur hingga Kabupaten Tangerang di sebelah barat. Kawasan reklamasi tersebut diapit dua sungai besar yang berpotensi sebagai sumberdaya air, yakni sungai Citarum di timur dan sungai Cisadane di barat. Juga terdapat 13 sungai kecil lainnya yang bermuara ke teluk Jakarta. Untuk mereklamasinya dibutuhkan 335 juta meter kubik bahan urukan, termasuk pasir. Untuk pemenuhan deposit pasir laut ini, berdasarkan studi terdapat di Tanjung Burung, pulau Tidung, TanjungKait,TanjungPontang, pantai Cemara, pasir Putih, serta bekas pertambangan timah di pulau Bangka dan Belitung. Kawasan
reklamasi
tengah
diperuntukkan
sebagai
pusat
bisnis,
perkantoran, industri, pergudangan dan apartemen yang akan dimulai dari sekarang hingga 2010, dan untuk perumahan dan pariwisata, lahan reklamasi
77 yang disediakan adalah bagian barat dan timur, yang akan dibangun mulai 2005 sampai 2015. Pemda DKI Jakarta belum menilai biaya kerusakan ekosistem seperti mangrove, padang lamun, terumbu karang, ikan dan ekosistem laut yang akan hilang dari kawasan ini. Hilangnya cagar alam Muara Angke yang selama ini berfungsi
ekologis
strategis
bagi
Jakarta.
Hilangnya
mata
pencarian
pembudidaya ikan yang memanfaatkan teluk Jakarta selama ini, tidak menjadi bahan pertimbangan. Sementara keahlian mayoritas di kawasan itu adalah budidaya dan menangkap ikan. Dalam peraturan daerah tentang RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) 1960 - 1985 maupun RUTR 1985 – 2005 tidak terdapat rencana reklamasi pantura. Landasan hukum reklamasi Pantura adalah Keppres No. 52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantura. Dalam Peraturan Daerah No. 6 tahun 1999 tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW) 2010 muncul ketentuan tentang reklamasi pantura. Alih fungsi lahan terjadi karena tidak tegasnya penegakan hukum mengenai ketaatan terhadap rencana tata ruang yang telah disusun. Alih fungsi lahan terjadi khususnya untuk hutan mangrove di Muara Angke untuk permukiman dan pedagangan, di Muara Gembong untuk kegiatan pertambakan, dan di Teluk Naga untuk kegiatan pertambakan dan industri. Permasalahan konflik pemanfaatan dan alih fungsi lahan hutan mangrove di Teluk Jakarta disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Permasalahan konflik pemanfaatan dan alih fungsi lahan hutan mangrove di Teluk Jakarta Muara Angke - Konflik pemanfatan untuk permukiman dan kawasan lindung - Reklamasi kawasan Pantura Jakarta
Muara Gembong - Terjadi konflik pemanfaatan kepentingan lahan antar petambak dengan Perum Perhutani, dan Perum Perhutani dengan Pemda. - Belum ditetapkan status dan fungsi hutan mangrove
Teluk Naga - Dikonversi menjadi lahan tambak dan penambangan pasir laut - Terjadi penggalian pasir laut untuk kepentingan ekonomi
4. Permasalahan kelembagaan dan kebijakan Penentu dan pembuat kebijakan yang kurang mempertimbangkan nilai dan fungsi hutan mangrove merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kerusakan mangrove di Teluk Jakarta. Salah satu indikasi dari hal tersebut
78 adalah pemanfaatan ruang yang tidak konsisten dengan RTRW. Disamping itu sosialisasi
kebijakan
dalam
pelestarian
hutan
mangrove
belum
diimplementasikan secara tepat sehingga masyarakat belum sepenuhnya mengetahui adanya kebijakan tersebut. Kelembagaan pemerintah di Muara Angke, Muara Gembong, dan Teluk Naga belum berperan secara tepat, untuk itu perlu ditingkatkan kapasitasnya. Sampai saat ini belum ada kelembagaan yang memiliki kewenangan dan tugas pokok dalam mengelola dan melestarikan hutan mangrove pada wilayah Teluk Jakarta secara terpadu. Hal ini menyebabkan terjadinya tumpang tindih kegiatan di tingkat lapangan dan tidak jelasnya penanggung jawab jika terjadi permasalahan. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan permasalahan kelembagaan hutan mangrove di Teluk Jakarta sebagai berikut: (1) Belum ada lembaga yang terpadu mengelola Teluk Jakarta; (2) Lembaga sosial ekonomi belum berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (3) Belum didukung data dan informasi tentang hutan mangrove; (4) Belum ada kebijakan mendorong pemanfaatan
lahan
secara
optimal
dan
berkelanjutan
dengan
tetap
memperhatikan kelestarian ekosistem mangrove; (5) Adanya egoisme sektoral, tugas dan kewenangan dari masing-masing instansi terkait; (6) Peran pemerintah dalam menyelesaikan konflik antar instansi, pengusaha, dan masyarakat belum optimal; dan (7) Rencana tata ruang wilayah pesisir yang disepakati oleh tiga wilayah administrasi di Teluk Jakarta belum ada. Peraturan berfungsi stakeholder
dalam
sebagai faktor yang
melakukan
pemanfaatan
mempengaruhi perilaku
hutan
mangrove.
Kinerja
pengelolaan hutan mangrove merupakan output dari peraturan. Terdapat 67 peraturan yang terkait secara langsung dan tidak langsung dengan pengelolaan hutan mangrove. Hirarki peraturan mulai dari UU hingga peraturan desa, yang berdasarkan pengaturannya terdiri atas: pengalokasian distribusi kewenangan pengelolaan hutan mangrove; pengaturan substansi penentuan kawasan hutan mangrove dan konversi mangrove; pengaturan pemanfaatan hutan mangrove; pengaturan rehabilitasi hutan mangrove; dan perlindungan serta pengamanan hutan mangrove. Secara garis besar pengaruh berbagai peraturan terhadap kinerja pengelolaan hutan mangrove disajikan pada Tabel 17.
79 Tabel 17. Pelaksanaan peraturan dan kinerja pengelolaan mangrove di sekitar Teluk Jakarta Peraturan PP Nomor 69 Tahun 1996
PP Nomor 70 Tahun 1996
PP Nomor 15 Tahun 1990 jo. No. 141/2000 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45/2000 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 09/Men/2001
Bidang isi Pelaksanaan hak dan kewajiban, serta bentuk dan tata cara peran serta masyarakat dalam penataan ruang Pelabuhan
Usaha perikanan Perijinan usaha perikanan
Intensifikasi budidaya udang pada rawa dan payau Keputusan Menteri Penentuan Keuangan No 174/KMK. klasifikasi dan 04/1993 besarnya nilai jual objek pajak sebagai dasar pengenaan PBB Keputusan Gubernur Penguasaan, Jawa Barat No. 593/Kep peruntukkan dan 518/Huk/1988 penggunaan tanah timbul di Provinsi Jawa Barat
Pelaksanaan PERDA No. 5 tahun 2003 tidak melibatkan masyarakat sekitar hutan mangrove, Relokasi pelabuhan Tanjung Priok ke wilayah pantai utara Kab. Bekasi Diimplementasikan pada areal garapan dan penggarap memperoleh insentif Dalam tataruang mangrove dialokasikansebagai kawasan pelabuhan Mangrove dikategorikan sebagai tanah yang tidak terlalu produktif,nilai jualnya sdh sama dengan kelas terendah. Duplikasi pengaturan kawasan mangrove terutama yang tidak ada tanamannya karena dianggap sebagai tanah timbul
SK Dirut Perum Perhutani
Pengelolaan hutan Diterapkan pada bersama masyarakat kegiatan pengelolaan hutan mangrove
Perda Kabupaten No.44 Bekasi No5 2003. SK Kepala Unit III No. 2201/Kpts/III/1997 SKB Bupati Bekasi, dan KKPH Bogor No.5 /SPK/Ek/236.3/VIII19 85 dan No. 059.7/Bgr/Ill. PERDES Harapan Jaya, Panti Bahagia, Pantai Bakti, Pantai Mekar dan Pantai Sederhana
Tata ruang kawasan Mangrove tidak khususnya Pantura dijadikan sebagai kawasan lindung Petunjuk kerja GRPKH Kerjasama pelestarian mangrove Penolakan program pengelolaan hutan mangrove yang diinisiasi Perhutani
Sumber: Suhaeri (2005)
Dilaksanakannya sejak tahun 1999. Merehabilitasi 5.700 ha lahan kritis di kawasan hutan mangrove Penebangan mangrove pada lahan garapan dan penggarap tidak menanam mangrove pada lahan garapan
Kinerja Menimbulkan keraguan status hutan mangrove dan peluang bagi free rider untuk memperjualbelikan lahan garapan. Kawasan ini termasuk dalam daerah lingkungan kepentingan pelabuhan. Perubahan pola pemanfaatan dari tambak tumpangsari menjadi tambak intensif. Kuota pemanfaatan melewati 4 kali lebih besar dari 2.156,71 ha menjadi 8.431,55 ha. Mangrove dianggap bernilai apabila bermanfaat dalam jangka pendek
Tanah timbul yang berbatasan dengan lahan objek land reform. Terjadi dualisme lembaga hak pemilikan dan tidak bisa diekslusinya 530 penggarap illegal Hutan mangrove yang tersisa antara 330,24 – 1.195,28 ha, karena hak kepemilikan menimbulkan ketidakpastian Penggarap tidak taat aturan main kontrak Hasil reboisasi 21,68 ha/tahun dengan laju pemanfaatan mangrove 255,44 ha/tahun. Hutan yang tersisa 386,21 ha. Tanaman mangrove hanya disisakan pada pematang tambak berkisar antara 5 – 10 pohon/lahan garapan
80 Permasalahan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta yaitu: (a) adanya interaksi yang tinggi dari masyarakat karena kebutuhan akan lahan menyebabkan alih fungsi lahan hutan menjadi tambak, sawah, pemukiman, dan kebun; (b) lebih dominannya pertimbangan ekonomi sehingga terjadi perubahan penggunaan lahan; (c) kurangnya dukungan Pemda dalam hal penegakan hukum; (d) belum samanya persepsi tentang eksistensi hutan mangrove, baik status maupun fungsi; dan (e) rendahnya tingkat pendapatan masyarakat di sekitar hutan mangrove.
4.5 Persepsi dan Keinginan Masyarakat Aspirasi para pihak (pemerintah, pengusaha, LSM, dan masyarakat) perlu dikumpulkan dan dikaji secara bersama-sama melalui. Mekanisme penyaringan aspirasi perlu dipandu fasilitator atau tenaga ahli yang menguasai permasalahan tentang pengembangan kebijakan dan kapasitas kebijakan secara tepat yang dapat menyelamatkan hutan mangrove serta prinsip-prinsip pengusahaan yang mampu mendorong peran serta para pihak secara adil, transparan dan berwawasan lingkungan kebijakan pembangunan daerah dan pengembangan kapasitas kebudayaan dalam penyelamatan hutan mangrove. 1. Muara Angke Hasil wawancara terhadap keinginan 100 responden di kawasan Hutan Muara Angke dan wilayah sekitarnya menunjukkan bahwa diperlukan adanya penanaman kembali berbagai jenis mangrove yang layak tumbuh guna menjaga kelestarian hutan mangrove pada saat ini dan di masa yang akan datang. Persepsi masyarakat terhadap pengelolaan hutan mangrove di Muara Angke, 30,0% responden menyatakan sangat setuju untuk menjaga dan melindungi hutan mangrove guna menghindari kerusakan, 65,6% menyatakan setuju, 3,2% kurang setuju, 1,0% tidak setuju, serta 0,2% menyatakan sangat tidak setuju secara rinci seperti tertera pada Tabel 18. Kenyataan ini menggambarkan bahwa dalam mengembangkan hutan mangrove di kawasan suaka marga satwa dan wilayah sekitarnya diperlukan peran serta masyarakat. Untuk itu maka sangat diharapkan adanya upaya perlindungan hutan mangrove secara efisien dan efektif guna menghindari kerusakan yang berkepanjangan yang pada akhirnya akan berakibat pada perubahan situasi lingkungan.
81 Tabel 18. Persepsi masyarakat tentang penyelamatan hutan mangrove di Muara Angke Jumlah Responden Pertanyaan
Sangat Kurang Tidak Setuju Setuju Setuju Setuju
Penyelamatan hutan mangrove Zonasi dalam mangrove
Sangat Tidak Setuju
50
46
4
0
0
pemanfaatan
hutan
20
72
5
3
0
mangrove
bagi
19
79
1
1
0
Perlu sangsi bagi yang merusak ekosistem hutan mangrove dan habitat yang ada didalamnya
36
61
2
1
0
Partisipasi masyarakat dibutuhkan dalam penyelamatan hutan mangrove
25
70
4
0
1
Jumlah
150
328
16
5
1
Persentase (%)
30,0
65,6
3,2
1,0
0,2
Manfaat hutan masyarakat
Sumber: Hasil analisis (2006) Persepsi masyarakat tentang penyelamatan hutan mangrove tergolong tinggi yakni mencapai 96%. Hal ini menunjukkan besarnya ketergantungan masyarakat pesisir terhadap sumberdaya hutan mangrove. Dalam kegiatan pengelolaan,
masyarakat
perlu
dilibatkan
secara
substantif.
Persentase
masyarakat yang menyatakan bahwa partisipasi masyatakat dibutuhkan mencapai 95%. Kondisi ini menunjukkan perlunya pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove dari waktu ke waktu. Selain itu secara langsung juga akan berpengaruh terhadap kualitas lingkungan pada lokasi tersebut. Untuk itu perlu diupayakan kembali peningkatan luas dan kerapatan hutan mangrove dalam rangka mengantisipasi perubahan lingkungan yang menyebabkan rusaknya hutan mangrove tersebut. Penyebaran hutan mangrove secara baik dapat ditentukan oleh kondisi ekologi hutan dan habitat dari jenis hutan mangrove tersebut (Istomo, 1992; Dahuri, 2003). Kawasan hutan mangrove Muara Angke merupakan salah satu jenis hutan kota yang masih relatif terpelihara dengan baik di wilayah Jakarta Utara. Oleh karena itu diharapkan adanya perlindungan guna penyelamatan hutan pada masa yang akan datang.
82 Tabel 19.
Keinginan stakeholder terhadap pengembangan kawasan hutan mangrove di Muara Angke Jumlah Responden
Persentase (%)
Perlu menjaga kelestarian kawasan hutan mangrove
26
26,0
Perlu penanaman kembali berbagai jenis mangrove yang layak tumbuh di lokasi tersebut
31
31,0
Perlu dikembangkan hutan lindung pada lokasi tersebut
18
18,0
Perlu peningkatan sarana dan prasarana penunjang pembangunan
11
11,0
Meningkatkan lapangan kerja
6
6,0
Melibatkan masyarakat dalam pengelolaan
8
8,0
100
100,0
Keinginan Stakeholder
Jumlah
Sumber: Hasil analisis (2006) Kegiatan pembangunan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung kegiatan pembangunan dalam berbagai sektor cukup menentukan keberhasilan suatu pembangunan. Pada penelitian ini terlihat bahwa masyarakat yang berkeinginan meningkatkan sarana pembangunan hanya 11,0%. Rustiadi et al., (2004)
menyatakan
bahwa
semakin
meningkat
sarana
dan
prasarana
infrastruktur penunjang pembangunan merupakan suatu pertanda bahwa daerah tersebut maju dan berkembang dari waktu ke waktu, serta dalam berbagai sektor pembangunan juga meningkat. Hal ini sejalan dengan pendapat Susilo (2003) bahwa peningkatan sarana dan prasarana pembangunan di desa yang berdekatan tidak sama, sehingga perkembangan
desa tersebut juga beda.
Untuk itu pada penelitian ini selain kondisi lingkungan yang diperlukan dalam peningkatan suatu kawasan hutan mangrove, faktor penting lain yang
perlu
diperhatikan adalah peningkatan sarana dan prasarana untuk pengembangan kawasan hutan tersebut. Terpeliharanya kawasan hutan mangrove di Muara Angke dan wilayah sekitarnya yang ditunjang dengan peningkatan sarana dan prasarana yang ada di dalamnya, maka diharapkan akan dapat menggenjot subsektor tenaga kerja melalui ketersediaan lapangan kerja. Keadaan ini sangat diharapkan oleh masyarakat yang berada di sekitar wilayah kawasan hutan mangrove, seperti yang terlihat pada Tabel 19 yang menunjukkan adanya persentase responden sebesar 26,0%.
83 Partisipasi
masyarakat
secara
langsung
dalam
setiap
kegiatan
pembangunan merupakan bentuk interaksi sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat juga sangat penting dalam menentukan suatu keberhasilan dalam pembangunan di setiap subsektor. Soetrisno (1995) menyatakan bahwa partisipasi
masyarakat dalam pembangunan merupakan
kerjasama yang erat antara perencana dan masyarakat dalam merencanakan, melestarikan, dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. 2. Muara Gembong Hasil wawancara di Kecamatan Muara Gembong secara umum terlihat bahwa keinginan stakeholder untuk menyelamatkan hutan mangrove cukup besar. Sebanyak 60% responden menginginkan perlunya menjaga kelestarian hutan mangrove dan melakukan rehabilitasi mangorve yang sesuai dengan kondisi lokasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Keinginan stakeholder terhadap penyelamatan hutan mangrove Muara Gembong Jumlah Responden
Persentase (%)
Perlu menjaga kelestarian kawasan hutan mangrove
30
30,0
Perlu penanaman kembali berbagai jenis mangrove yang layak tumbuh di lokasi tersebut
29
29,0
Perlu dikembangkan hutan lindung pada lokasi tersebut
5
5,0
Perlu peningkatan sarana dan prasarana penunjang pembangunan
10
10,0
Meningkatkan lapangan kerja
11
11,0
Dalam pengelolaan melibatkan masyarakat
15
15,0
100
100,0
Keinginan Stakeholder
Jumlah
Sumber: Hasil analisis (2006) Tabel 21 menunjukkan bahwa dalam upaya penyelamatan hutan mangrove di Kecamatan Muara Gembong, maka kelestarian hutan mangrove perlu dijaga dengan mencegah terjadinya konversi lahan menjadi peruntukan lain secara berlebihan, kualitas perairan perlu dijaga dari buangan limbah rumah tangga mengingat umumnya masyarakat Kecamatan Muara Gembong hidupnya di pesisir pantai Kecamatan Muara Gembong. Aktifitas lain yang diinginkan masyarakat adalah melakukan penanaman kembali anakan berbagai jenis
84 mangrove guna mencegah berkurangnya berbagai jenis hutan mangrove di pesisir Muara Gembong. Dalam rangka penyelamatan hutan mangrove, pelibatan masyarakat sangat dibutuhkan baik sebagai penyedia tenaga kerja maupun untuk mengambil keputusan dalam pelaksanaan setiap kegiatan di wilayah pesisir. Tabel 21. Persepsi masyarakat tentang penyelamatan hutan mangrove di Muara Gembong Jumlah Responden Pertanyaan
Sangat Kurang Tidak Setuju Setuju Setuju Setuju
Sangat Tidak Setuju
Penyelamatan hutan mangrove
27
68
2
2
1
Zonasi dalam pemanfaatan hutan mangrove
22
70
5
2
1
Manfaat hutan mangrove bagi masyarakat
22
74
2
1
1
Perlu sangsi bagi yang merusak ekosistem hutan mangrove dan habitat yang ada didalamnya
23
58
11
3
5
Partisipasi masyarakat dibutuhkan dalam penyelamatan hutan mangrove
15
75
10
0
0
Jumlah
109
345
30
8
8
Persentase (%)
21,8
69, 0
6,0
1,6
1,6
Sumber: Hasil analisis (2006) Persepsi responden masyarakat (90,8%) Kecamatan Muara Gembong menginginkan adanya perhatian yang serius terhadap kelestarian hutan mangrove. Persepsi ini berkembang karena lahan yang semulanya merupakan lahan hutan mangrove dialihkan menjadi peruntukan lainnya. Peralihan lahan hutan mangrove menjadi peruntukan lainnya semakin berkembang di Kecamatan Muara Gembong sejalan dengan keluarnya Perda Kabupaten Bekasi No. 5 tahun 2003 tentang rencana tata ruang kawasan
khusus pantai
utara.
Penilaian
secara ekonomis yang hanya sesaat, Perda ini sangat menguntungkan karena membuka lapangan kerja baru, meningkatnya basis-basis pertumbuhan ekonomi untuk sub sektor perhubungan, industri, pariwisata, dan perikanan
namun
secara ekologis menimbulkan kerusakan pada lahan hutan mangrove yang berdampak pada terjadinya abrasi pantai.
85 Menurut McNelly (1992) dan Suhaeri (2005) peranan hutan mangrove belum mendapat penghargaan sebagaimana mestinya, sebagaimana terlihat di Kecamatan Muara Gembong. Total PDRB yang bersumber dari mangrove terus mengalami peningkatan, namun penghargaan mangrove baru dinilai dari kontribusi langsung komoditas kehutanan dan belum dinilai secara utuh sebagai ekosistem. Tingkat kerusakan hutan mangrove semakin meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan perubahan lahan hutan mangrove menjadi peruntukan lain sekaligus peningkatan lapangan usaha. 3. Teluk Naga Kondisi kawasan pesisir pantai utara (Pantura) Kabupaten Tangerang, DKI Jakarta dan Bekasi telah lama memburuk serta tampak tak terurus dan cenderung
terabaikan sehingga telah kehilangan kemampuannya
sebagai
agen perlindungan ekosistem pantai. Adanya reklamasi pantai di lokasi tersebut yang dirintis sejak jaman pemerintahan Soeharto, Sejalan dengan itu, dalam rangka
memperbaiki pantai yang rusak ke kondisi semula, telah dilakukan
kegiatan
membersihkan
tumbuhannya,
sampah
khususnya
yang
berlebihan
mengembalikan
dan
kemampuan
memperkaya
fungsi
sebagai
penyangga ekosistem dan perlindungan pantai, maka pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) nomor 32 tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 47 tahun 1997 merupakan kawasan lindung sempadan pantai. Kenyataannya kebijakan tersebut disalahartikan karena dengan adanya reklamasi, dengan tujuan untuk pembangunan water front city serta pusat bisnis, bahkan secara illegal diikuti oleh pengembang dengan dalih adanya ijin seperti pemerintah Kabupaten Tangerang untuk membangun pusat wisata. Dengan perubahan ini, maka sebagian besar lahan di pesisir Kabupaten Tangerang menjadi rusak berat dan secara langsung berakibat pada rusaknya lahan hutan mangrove. Hal ini sudah disadari oleh masyarakat setempat (pesisir Kabupaten Tangerang),
sehingga
95%
diantara
mereka
mengatakan
perlunya
menyelamatkan kondisi kawasan pesisir dan ekosistem hutan mangrove dari kerusakan yang berkepanjangan. Hanya
sebagian
masyarakat
yang
mempunyai
keinginan
untuk
menyelamatkan hutan mangrove di Teluk Naga. Dari Tabel 22 juga terlihat adanya sejumlah responden yang tidak
memahami manfaat dari pelestarian
hutan mangrove. Hal ini terjadi karena didesak oleh keterbatasan lapangan
86 kerja dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sehingga meskipun kawasan pesisir pantai utara Kabupaten Tangerang telah memburuk di Kecamatan Teluk Naga masih ada responden yang kurang mendukung upaya penyelamatan hutan mangrove, secara rinci seperti tertera pada Tabel 22. Tabel 22. Persepsi masyarakat tentang penyelamatan hutan mangrove di Teluk Naga Jumlah Responden Sangat Setuju
Setuju
Kurang Setuju
Tidak Setuju
Sangat Tidak Setuju
Penyelamatan hutan mangrove
15
85
0
0
0
Zonasi dalam pemanfaatan hutan mangrove
20
64
5
6
5
Manfaat hutan masyarakat
bagi
23
70
3
4
0
Perlu sangsi bagi yang merusak ekosistem hutan mangrove dan habitat yang ada di dalamnya
33
55
8
1
3
Partisipasi masyarakat dibutuhkan dalam penyelamatan hutan mangrove
40
60
0
0
0
Jumlah
131
334
16
11
8
Persentase (%)
26,2
66,8
3,2
2,2
1,6
Pertanyaan
mangrove
Sumber: Hasil analisis (2006) Data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang (2005) luas abrasi di pantai utara Kabupaten Tangerang telah mencapai
193 ha
lebih.
Kawasan yang terkena abrasi membentang sepanjang 52 km dengan garis pantai yang telah bergeser antara 15 sampai 50 m ke arah daratan. Abrasi pantai di pesisir utara Kabupaten Tangerang terjadi sangat parah, mulai dari Tanjung Kait di bagian barat sampai Tanjung Pasir dan Teluk Naga di bagian timur tak luput dari penggalian pasir yang membuahkan abrasi pantai. Hal ini juga terlihat dari pemandangan di sepanjang jalan raya pantai utara Kabupaten Tangerang sepanjang kurang lebih 15 km dari Tanjung Kait menuju Tanjung Pasir banyak didapati empang-empang maupun cekungan bekas penambangan pasir. Stakeholder di Kecamatan Teluk Naga pada umumnya menginginkan adanya perhatian khusus pada kawasan hutan mangrove yang telah mengalami kerusakan serius (Tabel 23).
87 Tabel 23. Keinginan stakeholder terhadap penyelamatan hutan mangrove di Kecamatan Teluk Naga Jumlah Responden
Persentase (%)
Perlu menjaga kelestarian kawasan hutan mangrove
46
46,0
Perlu penanaman kembali berbagai jenis mangrove yang layak tumbuh di lokasi tersebut
21
21,0
Perlu dikembangkan hutan lindung pada lokasi tersebut
14
14,0
Perlu peningkatan sarana dan prasarana penunjang pembangunan
2
2,0
Meningkatkan lapangan kerja
7
7,0
Melibatkan masyarakat dalam pengelolaan
10
10,0
Jumlah
100
100,0
Keinginan Stakeholder
Sumber: Hasil analisis (2006)
Masyarakat di pesisir Kecamatan Teluk Naga telah menyadari bahwa kawasan hutan mangrove di pesisir Kecamatan Teluk Naga telah rusak berat. 46% responden masyarakat mengharapkan adanya perhatian serius terhadap perbaikan kawasan hutan mangrove, dan 21% dari mereka perlu menanam kembali jenis mangrove yang layak tumbuh di lokasi tersebut, disamping itu 10% dari mereka mengharapkan adanya keterlibatan masyarakat
dalam setiap
aktivitas kegiatan pembangunan.
4.6 Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Teluk Jakarta Sebagai salah satu negara yang memiliki tekanan penduduk dan ekonomi yang tinggi di daerah pantai, pemerintah Indonesia memandang bahwa wawasan dan kesepakatan mangrove harus di dasarkan pada pertimbangan nilai ekologi, sosial dan budaya (Alikodra, 2000). Permasalahan utama dalam pengelolaan mangrove secara lestari sangat tergantung pada keharmonisan diantara ketiga komponen tersebut. Manfaat mangrove secara terhadap kepentingan bangsa dan masyarakat setempat sudah didokumentasikan dengan baik sekalipun masih belum sepenuhnya diakui oleh ilmuwan lain yang berhubungan dengan pengumpulan data dan penelitian sumberdaya pantai. Demikian juga sudah diketahui tentang kondisi adanya tekanan sosial ekonomi terhadap sumberdaya mangrove, status
88 hukum dan kelembagaan yang belum jelas sehingga berbagai instansi mengembangkan sumberdaya mangrove. Keseimbangan kepentingan perlu dijaga untuk mencapai peningkatan pengembangan ekonomi, di satu pihak, dan usaha perlindungan ekosistem hutan mangrove di lain pihak. Peningkatan kesadaran akan fungsi perlindungan, produksi dan sosial ekonomi dari ekosistem mangrove tropis, serta konsekuensi kerusakan
hutan
dipertimbangkan
mangrove
dalam
merupakan
pengelolaan
pokok-pokok
sumberdaya
secara
yang
harus
terpadu
untuk
konservasi dean pelestarian. Memperhatikan berbagai fungsi tersebut, maka dalam pengelolaan mangrove dengan didasari ekosistem daratan dan lautan, perlu menggunakan konsep perencanaan pengelolaan wilayah pesisir yang terpadu. Pada prinsipnya ada tiga pilihan dalam pengelolaan dan pengembangan mangrove: (1) perlindungan ekosistem secara alami; (2) pemanfaatan ekosistem untuk berbagai penggunaan barang dan jasa atas dasar kelestarian; (3) konservasi ekosistem alami, khususnya untuk kepentingan tertentu. Dalam melaksanakan ketiga pilihan diatas belum didukung oleh ketersediaan data yang lengkap. Fungsi dan manfaat hutan mangrove dapat menempatkan peranannya yang cukup besar dalam kelestarian mutu dan tatanan lingkungan serta pengembangan ekonomi kerakyatan dan pendapatan negara. Oleh karena itu pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya hutan mangrove perlu dilakukan melalui suatu sistem pengelolaan yang dapat menjaga serta meningkatkan fungsi dan peranannya bagi kepentingan generasi masa kini maupun masa datang serta perlunya dibangun institusi pengelola yang profesional. Prinsip kelestarian menjadi tujuan utama dalam pengelolaan hutan mangrove yang diindikasikan oleh tiga tujuan pokok yang saling terkait dan tidak dapat terpisahkan antara satu dengan yang lainnya, yaitu tujuan ekologis, ekonomis, dan sosial. Tujuan ekologis, yaitu sebagai suatu sistem penyangga kehidupan antara lain merupakan pengatur tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi dan abrasi, menjaga keseimbangan iklim mikro, penghasil udara bersih,
menjaga
siklus
makanan
serta
sebagai
tempat
pengawetan
keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Tujuan ekonomis, yaitu sebagai sumber yang menghasilkan barang dan jasa baik yang terukur seperti hasil hutan berupa kayu dan non kayu, maupun
89 yang tidak terukur seperti ekoturisme. Tujuan sosial, yaitu sebagai sumber penghidupan dan lapangan kerja serta kesempatan berusaha bagi sebagian masyarakat terutama yang hidup di dalam dan sekitar hutan mangrove, serta untuk kepentingan pendidikan dan penelitian demi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengelolaan
hutan
mangrove
merupakan
bagian
pengembangan
kawasan pesisir secara keseluruhan sehingga selalu mempertimbangkan kepentingan dan manfaat yang lebih luas, dengan tetap mengutamakan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. UU No. 32 tahun 2004 memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah sebagai daerah otonom dalam pengelolaan lingkungan, termasuk didalamnya pengelolaan mangrove. Langkah yang perlu dilakukan untuk menanggulangi kerusakan hutan mangrove melalui: (a) komitmen dan konsistensi Pemerintah Daerah Provinsi atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam pengembangan wilayahnya untuk tetap mengacu kepada Tata Ruang Daerah dengan prinsip konservasi untuk kawasan jalur hijau mangrove dan tetap menjaga fungsi pelestarian untuk kawasan hutan mangrove yang telah ditetapkan peruntukannya sebagai suaka alam atau suaka margasatwa; (b) penetapan jalur hijau pantai dengan mangrove untuk kawasan-kawasan yang sesuai secara ekologis (Keppres 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung), yaitu 130 kali perbedaan pasang-surut melalui Peraturan Daerah; dan (c) menetapkan lokasi prioritas rehabilitasi dan melaksanakan rehabilitasi untuk kawasan hutan mangrove yang telah mengalami degradasi melalui kemitraan antara pemerintah dan masyarakat. Secara umum permasalahan yang perlu diatasi agar kerusakan hutan mangrove tidak berkelanjutan adalah: (1) data dan informasi serta pengetahuan dam teknologi yang berkaitan dengan sumberdaya alam mangrove masih terbatas, sehingga belum mendukung tata ruang, pembinaan, pemanfaatan yang lestari dan perlindungan serta rehabilitasinya, (2) belum berkembangnya pengelolaan hutan mangrove, baik dalam hal silvikultur, sumberdaya manusia, perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan maupun pengawasannya, (3) kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di sekitar kawasan hutan mangrove belum sepenuhnya mendukung pengelolaan hutan mangrove secara lestari, terutama dalam hal pendidikan, pengetahuan, kesadaran, keterbatasan, dan kesempatan
berusaha,
(4) pengelolaan
kawasan hutan mangrove
merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat, namun
90 keikutsertaan secara aktif dari masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pemanfaatannya masih terbatas, sehingga pesepsi dan kepedulian antara pengelola dan pengguna hutan mangrove berbeda-beda, dan (5) mekanisme pendanaan yang belum memadai untuk program-program pengelolaan hutan mangrove yang meliputi perlindungan, pelestarian, penelitian, dan pemanfaatan yang lestari dengan melibatkan berbagai aspek pokok seperti sarana dan prasarana (Alikodra, 1999). Dalam wilayah penelitian, diidentifikasi empat permasalahan utama dalam pengelolaan hutan mangrove yaitu degradasi ekosistem mangrove, persepsi dan pola hidup masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mangrove, konflik pemanfaatan dan laih fungsi lahan, kelembagaan pengelolaan dan kebijakan yang sifatnya sektoral. Berdasarkan hasil analisis vegetasi mangrove, analisis kebutuhan masyarakat dan stakeholder, kebijakan pembangunan wilayah pesisir Teluk Jakarta, hasil diskusi dengan pakar dan stakeholder diperoleh lima alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta secara berkelanjutan berdasarkan permasalahan yang ada seperti yang disajikan pada Gambar 8.
Degradasi ekosistem mangrove
P E R M A S A L A H A N
Penerapan Teknologi
Pemberdayan Masyarakat Persepsi dan pola hidup masyarakat Pengelolaan Terpadu
PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN
Konflik Pemanfaatan dan alih fungsi lahan Penguatan Kelembagaan Kelembagaan dan Kebijakan Sektoral
Penegakan Hukum
Gambar 8. Permasalahan dan alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove Teluk Jakarta
91 Deskripsi alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta adalah: 1. Kebijakan penegakan hukum mencakup penyediaan perangkat hukum yang tepat, melakukan penegakan hukum melalui mekanisme pemberian sanksi yang konsisten dan reward. Guna menghindari terjadinya ketimpangan dan konflik kepentingan serta aktualisasi pelaksanaan kebijakan dan strategi dalam pengelolaan lingkungan maka perlu ada koordinasi dan sinkronisasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan di pusat dan di daerah dengan memperhatikan hukum adat dan kearifan lokal. Penegakan hukum (law enforcement) dimaksudkan untuk menjamin pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan dapat dilaksanakan secara konsisten, menghindari konflik kepentingan horizontal dan vertikal. 2. Pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan partisipasi dan akses masyarakat dalam pembangunan. Dalam kaitan itu, pemberdayaan dan peningkatan
partisipasi
masyarakat
sekitar
hutan
mangrove
sangat
diperlukan dan merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam upaya melestarikan hutan mangrove sekaligus mensejahterakan masyarakat. Mengingat,
masyarakat
pesisir
merupakan
komunitas
yang
pola
kehidupannya sebagian besar sangat tergantung dengan sumberdaya hutan mangrove, dan sebaliknya masyarakat di sekitar hutan mangrove yang akan merasakan dampak dari kerusakan hutan mangrove.
Dalam pengelolaan
lingkungan diperlukan keterlibatan dan partisipasi aktif masyarakat sejak proses perencanaan sampai dengan pelaksanaan dan evaluasi. Hal ini dilakukan agar pengelolaan lingkungan untuk menjaga ekosistem kelautan lebih sesuai dengan proses demokratisasi dan penerapan prinsip people centre
development.
Strategi
pemberdayaan
masyarakat
(community
empowerment) diarahkan bagi masyarakat lokal agar dapat mengakses sumberdaya
informasi,
politik,
ekonomi,
teknologi
dan
sosial
untuk
kesejahteraannya dan untuk pemeliharaan kualitas lingkungan. Upaya yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan potensi sumberdaya lokal sehingga akan terbangun rasa memiliki akan sumberdaya yang ada. 3. Melakukan pengembangan dan penerapan teknologi kelautan yang efisien, efektif, dan ramah lingkungan melalui investasi pemerintah dan swasta dengan kolaborasi lembaga riset dan partisipasi masyarakat. Pengembangan dan penerapan teknologi mencakup adopsi teknologi ramah lingkungan yang
92 produktif dan efisien. Arah pengembangan teknologi yang dikembangkan adalah pada pengembangan dan penerapan teknologi budidaya perikanan, mitigasi bencana, pencegahan abrasi pantai, dan penanggulangan illegal fishing. Pengembangan dan penerapan teknologi ini harus dapat menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat, pertumbuhan ekonomi nasional, dan kelestarian lingkungan. Untuk itu diperlukan kemitraan dengan dunia usaha, kolaborasi dengan lembaga riset dan partisipasi masyarakat. 4. Pengelolaan terpadu dari aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan yang bersifat lintas sektor dan multistakeholder. Pengelolaan lingkungan untuk menjaga ekosistem kelautan dilakukan secara terpadu dan komprehensif (integrated management) dari berbagai aspek pembangunan sehingga terwujud suatu mekanisme pengelolaan lingkungan yang
optimal
dan
berkelanjutan
dengan
mengintegrasikan
berbagai
kepentingan. Keterpaduan mencakup pengelolaan pada level birokrasi, keterpaduan wilayah, dan keterpaduan antar stakeholder yakni masyarakat, pemerintah,
pengusaha,
dan
lembaga
swadaya
masyarakat
yang
menggunakan prinsip-prinsip sistem manajemen nasional. 5. Penguatan kapasitas kelembagaan mencakup kelembagaan pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan dunia usaha. Kelembagaan ini perlu ditingkatkan baik kualitas maupun peransertanya dalam pembangunan. Peningkatan kapasitas kelembagaan (capacity building) untuk menegaskan mekanisme kerjasama antar lembaga guna menghindari konflik kewenangan dan konflik pemanfaatan. Peningkatan kapasitas kelembagaan diarahkan dalam rangka kerjasama yang harmonis diantara semua institusi serta kemampuan dalam pengelolaan lingkungan di wilayahnya masing-masing. Perangkat hukum yang memadai, penegakan hukum yang tegas, dan kapasitas kelembagaan yang sesuai akan berdampak positif secara ekonomi, politik, sosial budaya, dan pertahanan dan keamaman.
4.6.1 Prioritas kebijakan pengelolaan Penentuan prioritas kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta disusun menurut urutan prioritas berdasarkan hasil analisis yang melibatkan pakar dan praktisi yang berkompeten dibidangnya. Analisis yang digunakan adalah analytical hierarchy process (AHP) yang merupakan salah satu metodologi paling efektif dalam penentuan prioritas-prioritas yang strategis
93 karena datanya merupakan representasi dari aspirasi para expert yang juga mewakili instansi-instansi dan kepakaran-kepakaran yang terkait dengan substansi kajian. Ada sembilan expert sebagai responden yang mewakili instansi-instansi terkait, yaitu perguruan tinggi (IPB), Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Kehutanan, serta individual pakar. Hirarki analisis AHP disajikan pada Gambar 9.
LEVEL 1
PENENTUAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI TELUK JAKARTA
FOKUS
LEVEL 2
AKTOR
PEMERINTAH (PUSAT DAN DAERAH) (0,637)
PENGUSAHA DAN INVESTOR (0,105)
MASYARAKAT DAN LSM (0,258)
Kelestarian Ekosistem (0,250)
Kesejahteraan Masyarakat (0,500)
Pertumbuhan ekonomi (0,250)
LEVEL 3
TUJUAN
LEVEL 4
Terpeliharanya habitat mangrove
KRITERIA
LEVEL 5
KEBIJAKAN
Tercukupinya luas lahan mangrove
Penegakan Hukum (0,092)
Terjaganya fungsi ekosistem
Peningkatan Pendapatan masyarakat
Pemberdayaan Masyarakat (0,314)
Terciptanya kesempatan kerja dan berusaha
Peningkatan pendidikan dan kesehatan
Penerapan Teknologi (0,270)
Peningkatan PAD
Meningkatnya investasi
Pengelolaan Terpadu (0,220)
Berkembangnya sektor informal
Penguatan Kelembagaan (0,104)
Gambar 9. Hasil AHP penentuan kebijakan pengelolaan hutan mangrove Teluk Jakarta Analisis AHP dalam kajian ini memperhatikan aktor dalam pengelolaan hutan mangrove. Hasil judgement pakar dan stakeholder menunjukkan bahwa aktor yang paling berperan dalam penentuan kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta adalah pemerintah dan pemerintah daerah (bobot 0,637). Hal ini berkaitan dengan fungsi dan kewenangan pemerintah untuk mengatur sumberdaya milik bersama seperti hutan mangrove. Di samping itu, hutan
mangrove
memiliki
fungsi
yang
sangat
vital
sehingga
apabila
keberadaannya terganggu dapat menghambat proses pembangunan yang akan merugikan semua pihak. Aktor yang juga memiliki peran penting adalah masyarakat (bobot 0,258). Masyarakat dalam hal ini adalah pihak yang langsung memanfaatkan hutan mangrove untuk kegiatan sehari-hari. Dengan demikian sangat terkait dengan kebijakan pengelolaan hutan mangrove.
94 Pada level tujuan, yang menjadi prioritas utama adalah kesejahteraan masyarakat (bobot 0,500). Hal ini menunjukkan indikasi bahwa kesejahteraan masyarakat sangat berperan dalam keberhasilan pengelolaan hutan mangrove. Masyarakat sebagai penerima manfaat terbesar dari keberadaan hutan mangrove
memerlukan
perhatian
khusus
terkait
dengan
tingkat
kesejahteraannya. Kelestarian pemanfaatan hutan mangrove berkaitan erat dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Tingginya pengetahuan tentang konservasi dan tingkat pendapatan masyarakat akan menunjang keberlanjutan pengelolaan mangrove. Tujuan kelestarian ekologi dan pertumbuhan ekonomi memiliki bobot yang sama yakni 0,250. Hal ini menunjukkan bahwa kelestarian ekologi dan pertumbuhan ekonomi harus didorong untuk memenuhi tujuan kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat, kriteria yang paling utama adalah peningkatan pendapatan masyarakat dan peningkatan pendidikan dan kesehatan. Untuk mencapai tujuan kelestarian ekologi faktor terpeliharanya habitat mangrove dan terjaganya fungsi ekosistem merupakan kriteria yang harus diperhatikan. Sedangkan untuk mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi, faktor yang paling utama adalah perkembangan sektor informal dan tumbuhnya investasi swasta. Hasil analisis AHP pada level alternatif kebijakan berdasarkan judgement pakar dan stakeholder diperoleh hasil seperti pada Gambar 10.
Gambar 10. Hasil analisis AHP Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemberdayaan masyarakat merupakan prioritas tertinggi dalam pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta dengan bobot 0,314. Kebijakan ini perlu dilaksanakan secara menyeluruh dengan didukung oleh seluruh stakeholder. Prioritas kedua adalah
95 penerapan teknologi dengan bobot 0,270 dan ketiga adalah pengelolaan terpadu dengan bobot 0,220. Kebijakan penerapan teknologi dan pengelolaan terpadu ini perlu dilakukan untuk mendukung kegiatan pemberdayaan masyarakat.
4.6.2 Strategi implementasi kebijakan pengelolaan Secara
operasional
diperlukan
suatu
strategi
implementasi
guna
memudahkan perwujudan kebijakan yang menjadi prioritas pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta. Strategi implementasi ini dirumuskan melalui FGD yang melibatkan pakar dan praktisi. Pada saat FGD disepakati bahwa kelima kebijakan yang dirumuskan harus dilakukan secara konsisten dan terpadu dengan melibatkan stakeholder pada ketiga wilayah kajian. Pada tahap operasional, strategi dan program harus disesuaikan dengan karakteristik ketiga wilayah kajian dengan memperhatikan aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, dan teknologi. Guna menyelamatkan hutan mangrove yang masih ada dan memperluas kawasan hutan mangrove sesuai dengan yang dibutuhkan untuk dapat berfungsi secara optimal, maka terdapat empat program yang perlu dilakukan yaitu rehabilitasi kawasan mangrove, perbaikan kualitas perairan, penanganan sampah dan limbah, dan pengendalian abrasi dan sedimentasi.
1. Strategi pemberdayaan masyarakat Masyarakat pesisir dapat dibedakan menjadi dua kelompok menurut jenis kegiatan utamanya yaitu nelayan penangkap ikan dan nelayan petambak. Nelayan penangkap ikan adalah seseorang yang pekerjaan utamanya di sektor perikanan laut dan mengandalkan ketersediaan sumberdaya ikan di alam bebas. Petambak adalah nelayan yang kegiatan utamanya membudidayakan ikan atau sumberdaya laut lainnya yang berbasis pada daratan dan perairan dangkal di wilayah pantai (Soewito, 1984). Namun untuk wilayah Teluk Jakarta, selain sebagai nelayan, masyarakat di wilayah pesisir juga ada yang menjadi buruh, pedagang, dan karyawan untuk kegiatan di sekitar pantai. Beberapa
strategi
pemberdayaan
masyarakat
dalam
pengelolaan
sumberdaya hutan mangrove di Teluk Jakarta yang cukup efektif dan efisien untuk diterapkan dan dikembangkan adalah: pendekatan kelompok, penguatan kelembagaan, pendampingan, pengembangan sumberdaya manusia, dan
96 pemberian stimulan. Kelima strategi tersebut merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dan saling mempunyai kerkaitan yang erat satu sama lain. Dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat, dapat dilakukan dengan cara: (a) pemberian motivasi untuk menciptakan kondisi yang membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya dan berupaya mengembangkannya; (b) penguatan untuk memperkuat potensi dan daya yang dimiliki masyarkat dengan memberikan input dan membuka peluang untuk berkembang; dan (c) pemberian potensi untuk memberikan perlindungan agar mempunyai kemampuan bersaing. Upaya pemberdayaan masyarakat sekitar hutan mangrove, akan dapat dilakukan secara baik jika masyarakat yang bersangkutan didukung oleh: (1) taraf pendidikan yang memadai, baik secara kuantitatif maupun kualitatif; (2) Tingkat kesehatan yang memadai baik secara kualitas maupun kuantitas; (3) Penguasaan/akses sumber-sumber kemajuan ekonomi yang memadai seperti modal, teknologi, lapangan kerja, pasar, dsb; (4) Keberadaan faktor-faktor sosial budaya yang mendukung baik yang berkaitan dengan tata nilai, kelembagaan sosial, maupun interaksi sosial antar kelompok. Pendidikan masyarakat umumnya masih rendah dan bersifat non-captive, sehingga
upaya
peningkatan
sumberdaya
manusia
dilakukan
melalui
pendekatan kelompok (penyuluhan interpretatif, demonstrasi, pelatihan dan studi banding)
maupun
perorangan
(pendampingan).
Agar
masyarakat
dapat
mengapresiasikan kegiatan dengan baik, maka perlu dilibatkan dalam seluruh tahap manajemen yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi. Dengan demikian masyarakat dapat merasakan bahwa masalah yang ada merupakan masalah yang bersama yang perlu dipecahkan sendiri. Pengenalan
masalah
dilakukan
bersama-sama
masyarakat
dengan
menggunakan teknik participatory rural appraisal (PRA). Pendekatan sosial budaya pada dasarnya untuk mengubah perilaku masyarakat yang bersifat negatif menjadi positif serta mengembangkan budaya positif yang telah ada pada sebagian anggota masyarakat sehingga bisa memasyarakat. Pengubahan perilaku merupakan bukan hal yang mudah karena berkaitan dengan sistem nilai yang berlaku dan telah mengakar dalam masyarakat serta mengubah sikap masyarakat tersebut sesuai dengan yang diharapkan. Metode yang dapat digunakan adalah metode penyuluhan atau interpretasi sosial budaya yang disertai dengan penyediaan sarana sosial budaya
97 yang mendukung perilaku masayarakat tersebut. Hal yang penting adalah bahwa perubahan perilaku tersebut terjadi secara sukarela atas kepentingannya sendiri. Masyarakat mengetahui bahwa apabila ia berperilaku sebagaimana yang disarankan, maka ia akan memperoleh insentif dan apabila tidak melakukan hal tersebut akan rugi dibanding dengan orang yang melakukannya. Upaya pelestarian terhadap keberadaan suaka margasatwa Muara Angke akan sulit dilakukan, mengingat tekanan yang begitu besar dan permasalahan yang sedemikian kompleks. Untuk itu diperlukan upaya bersama antara stakeholder dan pihak-pihak lain yang bersifat terus menerus, terkonsentrasi yang dituangkan dalam bentuk upaya konkrit pengelolaan dan rehabilitasi hutan mangrove di kawasan tersebut. Disamping itu perlu adanya monitoring terhadap mangrove yang telah ditanam, agar rehabilitasi yang telah dilakukan benar-benar sesuai dengan rencana, selain itu perlunya tindak lanjut kegiatan tersebut dikaitkan dengan kegiatan lainnya seperti penelitian, wisata dan pendidikan lingkungan. Dalam kaitan dengan rencana reklamasi Pantura, perlu melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Proses partisipatif ini akan lebih
menjamin
kesejahteraan
masyarakat,
kelestarian
ekosistem,
dan
keberlanjutan pembangunan yang dilaksanakan di Teluk Jakarta. Pada proses ini, dapat disepakati bersama berbagai kegiatan pembangunan yang dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat. Selain peningkatan kualitas pendidikan, langkah-langkah strategis pemberdayaan masyarakat yang harus dilakukan adalah: 1) Mentransformasi
nelayan
tradisional
menjadi
nelayan
modern
untuk
memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir yang ada yang sekaligus dapat memainkan peran ganda dalam membantu menjalankan fungsi pengawasan terhadap berbagai praktek ilegal yang dilakukan di sekitar hutan mangrove. Kegiatan transformasi nelayan dilakukan secara spesifik lokasi yakni nelayan dapat diarahkan pada kegiatan yang tidak bergantung pada sumberdaya mangrove misalnya nelayan Muara Angke ke arah budidaya perairan, nelayan Muara Gembong ke arah pengolahan hasil perikanan, dan nelayan Teluk Naga ke arah jasa wisata. 2) Peningkatan keberpihakan pemerintah dan pengusaha terhadap nelayan kecil dan masyarakat di wilayah pantai yang tingkat kesejahteraannya masih relatif rendah. Upaya ini dilakukan dengan peningkatan aktivitas nelayan
98 dalam kegiatan produksi dengan memberikan wilayah tangkapan yang sesuai dengan kemampuannya dengan mengubah rezim pengelolaan perikanan dari quasi open acces menjadi limited entry. Penentuan sistem ini harus disepakti oleh semua stakeholder di wilayah Teluk Jakarta. Untuk nelayan di Muara Gembong dan Teluk Naga, perlu perhatian yang lebih serius karena sulitnya mencari alternatif usaha sehingga dapat mengancam keberlanjutan program. Dengan demikian perlu pendampingan dan sosialisasi kegiatan yang intensif pada awal program. 3) Memberikan aksesibilitas yang tinggi kepada generasi muda nelayan untuk memperoleh pendidikan yang terjangkau, akses terhadap pelayanan kesehatan yang murah, dan akses terhadap lembaga keuangan yang mudah khususnya lembaga keuangan mikro di pedesaan. Upaya ini tentu saja harus dimulai dengan program pemberdayaan ekonomi dan sosial masyarakat (pembinaan, pendampingan, penyuluhan) secara bertahap hingga mencapai tingkat mandiri. Selain itu perlu fasilitasi pemerintah untuk pemasaran dan pengolahan hasil perikanan yang dapat menjamin peningkatan kesejahteraan nelayan.
2. Strategi penerapan teknologi Jenis teknologi yang dikembangkan di masing-masing lokasi adalah jenis teknologi yang prospektif, yaitu: secara ekonomis menguntungkan, secara teknis mudah dilakukan oleh masyarakat, secara sosial budaya dapat diterima (tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku), dan secara lingkungan tidak menimbulkan kerusakan ekosistem. Pengembangan dan peningkatan penguasaan teknologi dilakukan melalui berbagai pendekatan yaitu introduksi inovasi, perbaikan teknologi yang ada, introduksi metode, memperbaiki dan mengembangkan kembali pengetahuan lokal yang ada, merekayasa teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat, atau introduksi alat. Metodologi yang digunakan adalah demonstrasi cara dan pembangunan proyek percontohan (demonstrasi plot) seperti metode rehabilitasi di Teluk Naga. Upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mewujudkan strategi ini adalah: 1) Pengembangan teknologi perlindungan wilayah pantai dan mitigasi bencana. Teknologi ini dapat memanfaatkan sumberdaya lokal seperti penanaman mangrove yang dikombinasi dengan break waters. Untuk kawasan tertentu
99 yang telah mengalami abrasi, dilakukan dengan bangunan tanggul yang kokoh kemudian melakukan program rehabilitasi dan reboisasi kawasan menjadi hutan mangrove. Program ini perlu dilakukan khususnya di Muara Gembong dan Teluk Naga yang sangat rentang terhadap abrasi dan sedimentasi. Luas hutan mangrove yang dipersyaratkan yakni sesuai dengan keputusan Menteri Lingkungan Hidup. Selain itu perlu pengembangan teknik konservasi yang ekonomis, efektif, dan dapat dilakukan oleh masyarakat secara berkelanjutan. 2) Pengembangan dan adopsi teknologi pengolahan hasil perikanan. Upaya ini dimulai dengan penyediaan coldstorage dengan kapasitas yang besar di setiap sentra penghasil perikanan guna menjamin ketersediaan bahan baku dan kepastian harga, menambah jumlah sarana dan prasarana pelabuhan perikanan dan pusat pendaratan ikan. Selanjutnya perlu dikembangkan teknologi pengolahan hasil perikanan yang ekonomis dan berdasarkan permintaan pasar. Meningkatkan fasilitas laboratorium pengujian mutu hasil perikanan (laboratorium), baik yang terdapat di pusat maupun di daerah, agar mampu melaksanakan pengujian mutu sesuai standar yang berlaku terhadap produk perikanan yang akan dipasarkan ke pasar lokal maupun ekspor. Untuk menjamin keberlanjutan upaya ini, perlu dikembangkan pula sistem agribisnis yang dapat menunjang pemasaran hasil produksi perikanan dan produk olahannya. 3) Penerapan teknologi budidaya perikanan untuk komoditi potensial. Sistem yang tepat untuk pengembangan budidaya laut adalah sea farming. Sistem ini mengkombinasikan kegiatan restocking (rehabilitasi stok ikan), budidaya dalam keramba jaring apung, budidaya dalam kadang sekat, dan penyediaan sarana seperti hacthery. Sistem sea farming dapat digunakan untuk wilayah di sekitar Teluk Jakarta dan telah dilakukan di Kepulauan Seribu. Teknik budidaya yang sesuai dengan fungsi dan pemanfaatan ekosistem mangrove adalah sistem sylvofishery (tumpangsari) antara budidaya perikanan dan pelestarian mangrove. Teknik ini dapat digunakan di wilayah Muara Gembong yang kualitas airnya relatif masih mendukung. 5) Pembinaan dan pendampingan penggunaan teknologi tepat guna secara bertahap sesuai dengan tingkat adopsinya. Pembinaan ini dilakukan untuk masyarakat
agar
dapat
terus
meningkatkan
kemampuannya
dalam
menerapkan teknologi yang sesuai sehinga tingkat kesejahteraannya dapat
100 meningkat sejalan dengan produktivitasnya. Lembaga yang diharapkan berperan dalam upaya ini adalah lembaga pendidikan dan lembaga swadaya masyarakat. Upaya ini difokuskan pada kawasan yang memiliki potensi perikanan tinggi tetapi kualitas SDM yang rendah seperti di Muara Gembong dan Teluk Naga.
3. Strategi pengelolaan terpadu Dalam
rangka
mengimplementasikan
strategi
pengelolaan
hutan
mangrove Teluk Jakarta secara berkelanjutan diperlukan dukungan programprogram berbagai instansi terkait dari tingkat pusat sampai tingkat desa dan lembaga-lembaga lainnya. Kegiatan pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana merupakan kewenangan instansi sektoral. Seringkali berbagai macam kegiatan tersebut sebenarnya sudah direncanakan tetapi dalam waktu dan atau tempat yang berbeda, sehingga seolah-olah masing-masing berjalan sendiri. Apabila kegiatan tersebut dapat dilaksanakan secara bersama-sama menangani permasalahan yang ada, maka akan terjadi kerjasama yang sinergis. Untuk itu diperlukan koordinasi yang baik sampai di tingkat lokasi kegiatan, baik pada tahap perencanaan maupun dalam tahap implementasinya di lapangan. Berdasarkan penelitian di lapangan, instansi yang berperan penting di tingkat kabupaten/kota yaitu Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kimpraswil, Dinas Perindag, Dinas Pertanian, Dinas Pertambangan dan Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan, Dinas Koperasi UKM, dan PT Perhutani. Lembaga-lembaga penunjangnya
adalah
Kadin,
Lembaga
Asuransi,
Perbankan,
Lembaga
Penjamin, BUMN dan BUMD, LSM dan berbagai stakeholder. Dinas
Perikanan
dan
Kelautan
berperan
dalam
membina
dan
mengembangkan usaha dan produksi perikanan, termasuk pertambakan. Dinas Kimpraswil berperan dalam penyediaan dan perbaikan sarana dan prasarana, pembuatan jalan, saluran, pengerukan, dan pencegahan abrasi. Dinas Perindag berperan dalam penyediaan informasi pasar dan harga. Dinas Pertanian berperan dalam pengembangan produksi pertanian, termasuk mengawasi konversi lahan pertanian. Dinas Pertambangan dan Lingkungan Hidup berperan dalam membina dan memantau lingkungan hidup. Dinas Kehutanan dan PT Perhutani berperan dalam menjaga kelestarian hutan mangrove dan mengawasi pengelolaan dan penyelamatan hutan mangrove. Dinas Koperasi UKM membina
101 koperasi dan UKM. Bappeda mengendalikan prasarananya, dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat membantu masyarakat untuk mandiri. Lembaga-lembaga penunjang seperti bank dan lembaga keuangan bukan bank berperan membina kelembagaan yang ada. Perbankan berperan dalam penyediaan perkreditan dan pinjaman, lembaga penjamin dan asuransi berperan dalam memberikan konsultasi dan penjamin BUMN dan BUMD, swasta dan LSM berperan sebagai mitra usaha yang saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Peran
Camat
dipertegas
dengan
Peraturan
Daerah
dalam
mengkoordinasikan kepala desa dan berbagai stakeholder. Kepala Desa berperan penting sebagai ujung tombak dalam meningkatkan pengetahuan, pengawasan kemampuan dan kesejahteraan warganya. Untuk itu, camat dan kepala desa perlu dibekali wawasan dan pengetahuan tentang penyelamatan hutan mangrove melalui pendidikan dan latihan sesuai dengan yang dibutuhkan dengan dukungan dari berbagai instansi secara lintas sektoral dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, kecamatan, dan desa. Keterpaduan pengelolaan lingkungan merupakan necessary condition untuk mencapai kelestarian lingkungan kelautan dan keberlanjutan usaha perikanan. Keterpaduan ini mencakup antara pusat dan daerah dan antar wilayah. Upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mewujudkan strategi ini adalah: 1) Menyusun mekanisme kerjasama antar instansi dan sistem koordinasi kelembagaan yang transparan di pusat dan antar daerah. Mekanisme ini menjadi blue print pengelolaan sumberdaya hutan mangrove yang disusun dan disepakati secara bersama-sama semua stakeholder yang dilengkapi dengan mekanisme kerjasama, tata laksana dan aspek insentif/disinsentif serta seleksi. 2) Penataan ruang kawasan budidaya agar terhindar dari eksternalitas yang dapat mengganggu kualitas lingkungan perairan sehingga usaha budidaya yang dilakukan dapat berkelanjutan. Selanjutnya membangun komitmen pelaksanaan program pembangunan kelautan dan pantai sesuai RTR dan kemudian penyediaan jaringan infrastruktur penunjang budidaya seperti jaringan listrik, jalan, dan komunikasi. 3) Peningkatan kapasitas stakeholder pembangunan khususnya di daerah sehingga semua pelaku pembangunan dapat memahami dan menjalankan
102 tugas fungsi dan kewenangannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku tanpa konflik dengan pihak lain. 4) Mengembangkan sistem informasi eksekutif pengelolaan mangrove yang terkait dengan semua sektor lainnya di seluruh wilayah Teluk Jakarta. Sistem ini berbasis teknologi informasi yang dapat di akses oleh semua instansi, baik untuk memperoleh informasi maupun untuk memberikan informasi. Potensi dan kondisi wilayah perairan dapat diketahui dengan cepat dan akurat sehingga dapat meningkatkan efektivitas perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pembangunan wilayah Teluk Jakarta.
4. Penguatan kelembagaan Pemanfaatan hutan dan ekosistem hutan mangrove melibatkan berbagai instansi. Setiap instansi sudah ditentukan perannya, namun penjabarannya terkadang tidak jelas dan seringkali terlihat adanya peranan dan tanggung jawab yang terisolir. Banyak duplikasi dan tumpang tindih antara tanggung jawab dan peranan pada berbagai instansi pemerintah. Terdapat instansi kunci yang berperan dan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar dari instansi lainnya, yaitu Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Dalam Negeri, dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Departemen Kehutanan mempunyai tanggung jawab dalam pengelolaan seluruh kawasan hutan pantai termasuk hutan mangrove tetapi tidak menyebutkan tanggung jawab dan otoritas lintas sektoral untuk menjamin keharmonisan dalam pelaksanaan dengan berbagai instansi. Kekosongan kewenangan ini merupakan kewenangan Departemen Dalam Negeri untuk sinkronisasi kegiatan lintas sektor dan lintas wilayah. Departemen Kelautan dan Perikanan mempunyai peranan dalam pengelolaan sumberdaya mangrove khususnya yang berhubungan dengan produksi perikanan. Kementerian Negara Lingkungan Hidup melakukan penyelamatan lingkungan dari kerusakan akibat kegiatan pemanfaatan hutan mangrove. Paradoks kelembagaan yang mendasar dalam pengelolaan mangrove dan sumberdaya wilayah pantai adalah instansi masing-masing bertindak menurut kepentingan sektoralnya dan secara umum tidak memandang situasi secara jernih meskipun pemisahan kepentingan sektoral di wilayah pantai bertentangan dengan prinsip pengelolaan sumberdaya secara lestari. Adanya kepentingan multisektoral memerlukan peran Depdagri untuk melaksanakan
103 kebijakasanaan
lintas
sektoral.
Dengan
demikian
Depdagri
mempunyai
kewenangan dalam pengelolaan mangrove di Teluk Jakarta, yang harus bertanggung jawab dalam pengelolaan sumberdaya hutan mangrove. Kerangka kerja instansi sektoral harus terkait secara baik dangan kebijakan yang dibuat oleh lembaga koordinasi seperti Bappenas pada tingkat nasional dan Bappeda untuk tingkat daerah. Kelemahan yang ada saat ini adalah: (1) Kejelasan tentang peranan dan tanggung jawab masing-masing instansi di dalam pengelolaan sumberdaya mangrove secara lestari; (2) Kurangnya pemahaman terhadap peranan pentingnya strategi dan rencana pengelolaan sumberdaya mangrove secara lestari dan wilayah pantai diantara instansi sektor dan bahkan instansi koordinator yang dapat menentukan strategi dan rencana tersebut; dan (3) Kurangnya tenaga perencana dan pakar di Kantor Bappeda dalam memberikan input penting untuk perencanaan tata ruang provinsi dan kabupaten, serta menyiapkan data base sumberdaya alam. Urusan yang menjadi kewenangan pusat adalah penyelenggaraan konservasi alam karena fungsi dan karakteristik pengelolaannya akan lebih aman jika ada di Pusat. Di luar konservasi sumberdaya alam urusan yang termasuk administrasi dan teknis operasional menjadi kewenangan daerah Kabupaten dan Kota, sedangkan daerah provinsi kewenangannya dalam perencanaan makro provinsi, pedoman, pengawasan dan hal-hal lain yang cakupannya melintas batas kabupaten. Pada tingkat provinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten), belum sepenuhnya menjabarkan dan mengimplementasikan kelembagaan yang dapat berperan dalam pelestarian atau penyelamatan hutan mangrove di wilayahnya. Demikian juga lembaga seperti BPN, Dinas Tata Kota, Bappeda, perlu mengatur penataan ruang dan penggunaan lahan yang berwawasan lingkungan. Guna membantu pelaku usaha kecil mengatasi masalah permodalan diperlukan suatu lembaga keuangan satu lembaga keuangan mikro yang dapat memberi pinjaman dengan persyaratan yang sederhana sehingga mereka dapat segera mendapatkan modal pada saat yang diperlukan. Pelaku usaha tersebut harus tetap dididik untuk selalu bertanggung jawab sehingga mereka dapat mengembalikan pinjamannya dan meningkatkan usahanya. Karena penghasilan mereka tidak tetap dan beragam maka sistem pengembalian sebaliknya dilakukan secara periodik dengan jumlah yang tidak ditentukan tetapi mereka harus melunasi pinjamannya dalam jangka waktu maksimum yang ditentukan.
104 Upaya-upaya yang dapat ditempuh adalah 1) mengembangkan lembaga keuangan yang telah ada dengan memperluas jangkauan sampai ke lokasi sasaran. Lembaga keuangan yang telah ada adalah Bank Rakyat Indonesia, Bank Perkreditan Rakyat, atau Perum Pegadaian atau 2) menciptakan suatu sistem dana bergulir yang dilengkapi dengan kelembagaan kelompok yang dibuat oleh kelompok sendiri, misalnya untuk dana yang bersumber dari pengurangan subsidi BBM atau program lainnya. Peningkatan mutu kelembagaan masyarakat yang dilakukan oleh keluarga, perlu diberi pengetahuan tentang prinsip-prinsip usaha, yaitu pengelolaan sumberdaya modal, bahan baku, dan tenaga kerja untuk menghasilkan suatu produk dan pemasarannya secara berkelanjutan. Walaupun usaha tersebut tetap dilaksanakan dalam lembaga keluarga, tetapi pelaku usaha perlu diberi pengertian tentang pentingnya administrasi usaha dengan baik sehingga perkembangan usahanya dapat dimonitor. Untuk itu, diperlukan pelatihan dan bimbingan secara kontinu sampai mereka menyadari, memahami serta mau dan dapat melaksanakan sendiri. Metode yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut adalah penyuluhan, pelatihan, pendampingan, dan pemagangan. Peningkatan peran perluasan jaringan usaha seperti koperasi, usaha patungan, kelompok usaha, bersama baik di bidang produksi, pengolahan, distribusi dan pemasaran. Upaya lainnya adalah mengintroduksi lembaga perkreditan seperti lembaga keuangan mikro. Lembaga perkreditan yang diintroduksikan harus dapat memberikan pinjaman dengan prosedur yang sederhana dan dalam waktu cepat serta besar pinjaman yang sesuai kelayakan usaha tani. Lembaga yang dapat berfungsi seperti itu adalah lembaga keuangan pemerintah, misalnya Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank DKI, Bank Jabar, atau Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Perum pengadaian, termasuk koperasi. Meningkatkan kekuatan lembaga yang telah ada di masyarakat (penguatan internal) dengan membangun dan mengembangkan unsur-unsur lembaga sosial kemasyarakatan yang ada di masyarakat, misalnya kebiasaan orang tua menabung di sekolah, lembaga arisan, lembaga keuangan yang terbentuk dalam pengajian, majelis taklim, organisasi masyarakat, atau mengubah paradigma dan memperbaiki kinerja koperasi yang telah ada agar sesuai dengan sendi-sendi koperasi.
105 5. Penegakan hukum Regulasi mengenai kawasan pesisir belum banyak. Regulasi yang ada sebagian besar tidak khusus mengenai kawasan mangrove. Beberapa regulasi yang berkenaan dengan ekosistem pesisir, pantai dan pulau kecil yaitu regulasi dalam hal perikanan, sumberdaya alam, lingkungan, dan tata ruang. Kekurangan regulasi ini berlanjut dengan pelaksanaannya di lapangan. Secara umum bisa dikatakan bahwa implementasi regulasi masih sangat lemah yang ditujukan oleh banyaknya pelanggaran dan ketidakpatuhan hukum. Kelemahan implementasi hukum ini juga karena sistem peradilan yang tidak efisien yang tidak memberikan dorongan bagi masyarakat untuk memenuhi regulasi yang ada. Dengan demikian maka kelemahan implementasi hukum merupakan kelemahan sistem atau kelembagaan yang memang merupakan prasyarat pelaksanaan hukum secara efisien. Akibat kelemahan regulasi serta kelembagaan maka sumberdaya hutan mangrove tidak tertata dengan baik. Tumpang tindih kegiatan dalam hal pemanfaatan ruang masih terjadi. Dampak eksternalitas negatif pemanfaatan sumberdaya masih tetap berlangsung namun tidak dapat dihentikan karena kelembagaan yang ada tidak memiliki kapasitas untuk mengatasinya. Demikian pula, transfer dan alokasi hasil pemanfaatan sumberdaya cenderung tidak adil dan hanya menguntungkan beberapa pihak yang memiliki kekuatan sosial, ekonomi dan politik. Kelemahan dalam aspek hukum dan kelembagaan ini membuat proses pemiskinan di satu sisi serta pengkayaan di sisi lain tetap berlangsung. Dengan kata lain, akibat hukum dan kelembagaan yang lemah maka distribusi manfaat serta disparitas status sosial ekonomi tetap berlangsung di antara masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hutan mangrove. Hukum
pengelolaan
hutan
mangrove
meliputi
semua
peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkan secara resmi oleh lembaga-lembaga pemerintah untuk mengatur hubungan antara manusia dengan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. Dari sudut hirarkinya, peraturan perundang-undangan yang memiliki tingkat lebih tinggi akan ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Semua permasalahan seperti benturan kepentingan antara lembaga harus diselesaikan dengan mengacu kepada peraturan perundangundangan yang mempunyai tingkatan lebih tinggi.
106 Peraturan tentang pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir, seperti Undang-Undang Nomor 41 tahun 2005 tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 41 tentang 1999 Kehutanan, dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengatur mengenai pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan. Namun demikian kerusakan wilayah pesisir dan degradasi habitat masih terjadi. Hal ini merupakan indikasi lemahnya penegakan hukum. Untuk penegakan hukum tentunya perlu memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap citra dan peranan aparatur negara dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Upayaupaya yang harus dilakukan untuk mewujudkan strategi ini adalah: 1) Menelaah dan mengkaji materi yang terkandung dalam setiap peraturan yang ada mengenai validitasnya jika dihadapkan pada tuntutan
kebutuhan
masyarakat dalam rangka mengembangkan stabilitas politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam. Juga perlu merevitalisasi kebijakan–kebijakan maupun aturan–aturan yang selama ini memberikan peluang tindak pidana korupsi, kolusi
dan
nepotisme
dengan
mengedepankan
pengetatan
fungsi
pengawasan dan pemeriksaan. 2) Penegakan aturan hukum dan sanksi yang tegas terhadap para pelaku IUU (illegal, unreported, and unrated) fishing; Masih banyaknya kegiatan IUU fishing baik oleh nelayan Indonesia maupun oleh kapal-kapal ikan asing selain disebabkan oleh kurangnya pengawasan juga disebabkan oleh lemahnya penegakan aturan hukum dan kurang beratnya sanksi yang dikenakan terhadap para pelanggar. Hal ini diperparah lagi oleh adanya pihak-pihak tertentu yang menjadi backing kegiatan IUU fishing tersebut. Oleh karena itu menjadi tugas DKP, dalam hal ini Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Kejaksaan, Kepolisian dan Pengadilan untuk menegakkan aturan hukum dan sanksi yang tegas terhadap para pelanggar. 3) Mengembangkan sistem pengawasan berbasis teknologi informasi sehingga informasi pelanggaran dapat diperoleh lebih akurat, cepat, efisien, dan efektif. Pengembangan teknologi ini diharapkan saling sinergi dengan teknologi penangkapan ikan dan mitigasi bencana. Diharapkan perhatian dari Departemen Kelautan dan Perikanan, LIPI, perguruan tinggi, dan pengusaha untuk memberi dukungan dalam pengembangan sistem ini.
107 4.6.3 Arahan program pengelolaan hutan mangrove Teluk Jakarta Dalam konteks pengembangan mangrove, rencana pengelolaan hutan mangrove tersebut dibuat untuk lokasi-lokasi mangrove yang telah ditetapkan. Rencana pengelolaan ini harus dijadwalkan dan diakomodir secara resmi di dalam rencana tata ruang daerah tersebut, dan merupakan bagian dari rencana tata ruang kabupaten. Rencana-rencana tersebut harus disusun berdasarkan survey yang akurat untuk mengetahui potensi sumberdaya yang ada. Untuk aspirasi masyarakat perlu dinilai dan di dengar melalui komunikasi langsung dan dipertimbangkan didalam rencana pengelolaan. Tanpa persetujuan, pengertian, dan kerjasama dengan masyarakat setempat maka rencana pengelolaan tersebut tidak akan berfungsi dengan baik (Alikodra, 2000). Dalam kaitan dengan kondisi mangrove di tiga lokasi, maka terdapat emapt program utama yang harus dilakukan yakni rehabilitasi mangrove, penanganan sampah, perbaikan kualitas air, dan pengendalian abrasi dan sedimentasi. 1. Rehabilitasi mangrove Beberapa prinsip-prinsip rehabilitasi yang merupakan bagian dari strategi nasional diantaranya: (1) masyarakat mempunyai hak untuk memanfaatkan/ menggunakan
mangrove
dalam
rangka
memperoleh
produksi
yang
berkesinambungan, (2) keanekaragaman hayati harus dipertahankan atau ditingkatkan, (3) areal mangrove tidak boleh berkurang, dan (4) melestarikan mangrove harus dilakukan dengan jalan melestarikan habitat, tidak sekadar dengan penanaman saja. Dalam ekosistem pesisir, secara alami hutan mangrove mempunyai peran ekologis yang sangat penting dan tidak dapat tergantikan. Walaupun manusia dapat
merekayasa, akan tetapi memerlukan biaya yang tinggi dan
sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Oleh karena itu, dalam jangka panjang keberlangsungan usaha kecil, baik pertanian, tambak, nelayan, pembuatan terasi, pembuatan ikan asin maupun usaha pembesaran nener ditentukan oleh kuantitas (luas) dan kualitas hutan mangrove. Untuk melindungi sumberdaya lahan sawah diperlukan kebijakan yang dapat mencegah konversi lahan sawah menjadi tambak (misalnya dengan kebijakan insentif-disinsentif), pembuatan tanggul penangkal (break water) yang dapat mencegah masuknya air (pasang) laut sekaligus sebagai pembatas antara
108 areal persawahan dengan pertambakan, dan pembuatan saluran irigasi sehingga mampu memenuhi kebutuhan air sawah, terutama pada musim kemarau. Dalam kaitannya dengan perlindungan sumberdaya hutan mangrove, tata ruang kabupaten/kota yang ada saat ini perlu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan pelestarian hutan mangrove. Rencana penanaman tidak dapat dipisahkan dari penyusunan rencana pengembangan sumber daerah pantai secara keseluruhan dan juga tidak dapat dipisahkan dari rencana pengelolaan wilayah tersebut, karena sangat penting ditinjau dari tipe program rehabilitasinya, faktor ekologis dan sosial ekonominya. Beberapa arahan prinsip yang terpenting adalah: (1) perlunya penyesuaian (kecocokan) antara rencana penanaman dan prinsip-prinsip ekologis yang berlaku pada perencanaan sumberdaya pantai dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan, dan (2) upaya penanaman mangrove pada tempat-tempat yang tidak pernah ada mangrovenya tidak akan bermanfaat. Kegiatan ini kemungkinan akan gagal karena kondisi lapangan tidak sesuai dengan pertumbuhan mangrove. Rehabilitasi kerusakan hutan mangrove harus menjadi salah satu program kerja prioritas, meliputi: (1) koordinasi dan pendekatan sosial dengan masyarakat untuk mensosialisasikan dan menyamakan persepsi arti pentingnya hutan mangrove dalam kaitannya dengan produktivitas usaha; (2) partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok, sekolah-sekolah, dan acara-acara khusus (pengajian, arisan) dalam menghutankan kembali mangrove; (3) insentif kepada
masyarakat
yang
melaksanakan
memanfaatkan dana-dana crash programme
rehabilitasi dari BUMN
hutan
mangrove
dan swasta; (4)
peningkatan jaringan kemitraan dengan melakukan pendekatan ke instansi pemerintah
dalam
peningkatan
usaha
tambak
yang
dikaitkan
dengan
penanaman hutan mangrove; (5) penyuluhan, pembinaan dan menyebarluaskan informasi melalui leaflet, brosur, dan buku-buku saku tentang arti dan pentingnya mangrove; (6) pendekatan ke sekolah-sekolah untuk melakukan praktek bersama antara siswa dengan anggota dan masyarakat dalam rehabilitasi mangrove atas dasar saling membutuhkan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan; dan (7) tenaga pendamping yang ahli dalam bidang hutan mangrove untuk membantu koperasi dan masyarakat.
109 2. Penanganan sampah dan limbah Program yang perlu diprioritaskan dalam penanganan sampah dan limbah, meliputi: (1) penyuluhan dan pembinaan kepada anggota dan masyarakat
tentang
jenis-jenis
limbah
dan
dampak
negatifnya
melalui
pendekatan sosial dari penggunan pakan dan pestisida; (2) pelatihan tentang teknik-teknik budidaya tambak atas usaha lain yang cepat mengurangi terjadinya limbah
dan
teknik
penanganan
limbah
yang
ramah
lingkungan;
(3)
penyebarluasan brosur-brosur dan leaflet tentang jenis-jenis limbah, tanda-tanda (indikator) adanya limbah, bahaya yang ditimbulkan dan cara mengatasinya; (4) partisipasi anggota dan masyarakat dalam mengatasi limbah dengan sistem insentif dan menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab; (5) petak-petak percontohan tentang teknik penanganan limbah di lingkungannya; (6) jaringan kemitraan dengan instansi pemerintah dan swasta yang terkait dengan usahausaha seperti pemberian dan pestisida dan penanganan limbah yang ditimbulkan; dan (7) informasi pada lembaga kelompoknya tentang bencana limbah di wilayah kinerja yang disebabkan oleh usaha perorangan/kelompok, perusahaan yang menghasilkan limbah dan membahayakan. 3. Perbaikan kualitas perairan Program penanganan kualitas perairan untuk mendukung penyelamatan hutan mangrove yang perlu diprioritaskan melalui: (1) koordinasi dan pendekatan sosial dengan tokoh-tokoh masyarakat, kelompok, dan lembaga-lembaga yang ada untuk menyamakan persepsi arti dan pentingnya menangani kualitas perairan yang terkena pencemaran; (2) jaringan kemitraan dan pendekatan dengan instansi Pemerintah dan swasta dalam mengadakan sosialisasi dan teknik penanganan pencemaran; (3) partisipasi dan kesadaran anggota dan masyarakat
dalam
menangani
pencemaran,
misalnya
tidak
membuang
sampah/limbah ke sungai, laut, saluran tambak, tetapi mengolah yang lebih bermanfaat/mendaur ulang limbah yang dihasilkan; (4) kerjasama dengan lembaga-lembaga penelitian secara periodik dalam pemeriksaan kondisi perairannya; dan (5) pembinaan, penyuluhan, dan penyebarluasan informasi melalui brosur, leaflet atau media lainnya tentang jenis-jenis pencemaran, baku mutu lingkungan, dan teknik-teknik penanganannya.
110 4. Pengendalian abrasi dan sedimentasi Program yang perlu diprioritaskan dalam penanganan abrasi pantai dan sedimentasi meliputi: (1) koordinasi dan pendekatan sosial dengan tokoh-tokoh masyarakat, pemuka agama, dan lembaga lainnya untuk menyamakan persepsi, arti dan pentingnya pengendalian abrasi pantai dan sedimentasi dengan sistem insentif; (2) jaringan kemitraan dan pendekatan dengan instansi pemerintah dan swasta berkaitan dengan bencana alam abrasi pantai dan sedimentasi, misalnya pembuatan break water, penanaman hutan mangrove secara bersama seperti gotong royong; (3) pembinaan, penyuluhan dan penyebarluasan informasi yang berkaitan dengan abrasi, sedimentasi dan teknik-teknik pengendalian langsung dan tak langsung pada anggota dan masyarakat; (4) informasi kepada instansi dan lembaga yang tugas dan kewenangannya berkaitan dengan pengendalian abrasi pantai dan sedimentasi khususnya yang terjadi di wilayah kerjanya; dan (5) partisipasi dan kesadaran anggota dan masyarakat dalam pengendalian abrasi pantai dan sedimentasi dengan sistem insentif (bonus).