BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

88

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Analisis tentang pendapat empat madzhab tentang cara berpuasanya sopir bus Para ulama madzhab dalam menetapkan hukum atas masalahmasalah yang ada menggunakan ijtihad, ijtihad sendiri menurut etimologi ialah bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga baik fisik maupun pikiran, seperti yang dikemukakan oleh al-Ghazali, biasanya tidak digunakan kecuali pada hal-hal yang mengandung kesulitan. Sedangkan ijtihad secara umum itu seperti apa yang dikemukakan oleh Abu Zahra ijtihad ialah mencurahkan seluruh kemampuan secara maksimal, baik untuk meng-Istinbathkan hukum syara’ maupun dalam penerapannya1. Dalam berijtihad dasar-dasar yang dipakai ulama madzhab ialah: 1. Imam Abu Hanifah Secara teoritis ijtihad Abu Hanifah secara berurutan didasarkan kepada: Al-Qur’an, sunnah, ijmak, qiyas, istihsan dan urf, tetapi karena Abu Hanifah menerapkan syarat yang begitu ketat maka pada

1

Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009, cet, k3, hlm. 245-246

89

kenyataannya penggunaan dasar-dasar itu ialah: Al-Qur’an, qiyas, ijmak, sunnah, istihsan dan urf. 2. Imam Malik Sesuai dengan volume penggunaannya maka urutan dasar-dasar yang digunakan ialah: Al-Qur’an, ijmak, hadits, qiyas dan mashalih mursalah. 3. Imam Syafi’i Baik menurut urutan-urutan secara teoritis maupun dalam kenyatan penggunaan volume penggunaannya dalil-dalil yang dipakai ialah: AlQur’an, hadits, ijmak, qiyas dan kemudian istidlal. 4. Imam Ahmad bin Hambal Secara berurutan dalil yang digunakan ialah: Al-Qur’an, hadits, ijmak dan qiyas2. Dari pendapat para ulama Imam Madzhab terdapat pendapat yang berbeda-beda antara ulama satu dengan yang lainnya, dimana dengan adanya perbedaan pendapat tersebut menunjukkan betapa banyaknya pemikir-pemikir islam yang dapat kita jadikan pedoman atau sandaran dalam menjalankan ibadah kita, dimana para ulama-ulama tersebut pastinya telah memiliki dasar-dasar yang tidak perlu diragukan lagi untuk kita anut.

2

Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, Yogyakarta: Titian Ilahi Pers, 2000. Cet, k2, hlm. 74-80

90

Dari pemikiran-pemikiran ulama madzhab tersebut mulai dari Imam Hambal, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan juga Hanafi dapat dianalisis sebagai berikut. Allah Ta’ala berfirman guna menyuruh umat ini berpuasa. Puasa artinya menahan diri dari makan, minum dan berjimak disertai niat yang ikhlas karena Allah yang maha mulia dan agung, karena puasa mengandung manfaat bagi kesucian, kebersihan dan kecemerlangan diri dengan keburukan dan akhlak

yang rendah. Allah menuturkan

sebagaimana Dia menuturkan puasa kepada umat Islam, Diapun telah mewajibkan pada orang-orang sebelumnya yang dapat dijadikan teladan. Maka hendaklah puasa itu dilakukan dengan sungguh-sungguh dan lebih sempurna dari pada yang dilakukan oleh orang terdahulu3. Disini puasa ditekankan pada semua umat Islam tetapi puasa ini tidak ditekankan bahkan dilarang pada orang-orang yang dalam keadaan tertentu (uzur) seperti orang yang sedang dalam perjalanan, sakit, hamil, menyusui, lanjut usia, lapar dan dahaga yang tak tertahankan lagi, dalam keadaan dipaksa, pekerja berat, haid, nifas. Dalam hal ini agama Islam memberikan rukhshah, rukhshah sendiri kebalikan dari tasydid, ialah keringanan yang diberikan karena ada

3

Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, diterjemahkan oleh Syihabbudin, dari kitab Taisiru al-AliyyulQadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir jilid I, Jakarta: Gema Insani, 2005, cet. k8, hlm. 286

91

suatu uzur yang membolehkan untuk berbuka puasa4. Dengan adanya rukhshah ini islam tidak mempersulit tetapi memberikan kemudahan kepada umatnya. Dan juga dengan adanya rukhsah tersebut dapat kita lihat bahwa islam adalah suatu agama yang tidak memberatkan umatnya dan selalu mencari titik dimana suatu kemaslahatan tersebut dapat tercapai dan tidak membebani sehingga umat islam bisa menjalankan ibadah sesuai keadaan dan kemampuannya masing-masing tanpa adanya suatu beban untuk menjalankannya. Dengan adanya kemudahan ini memberikan kesan pada hati yang merasakannya tentang adanya kemudahan dalam menjalankan kehidupan ini secara keseluruhan dan mencetak jiwa muslim dengan cetakan khusus yang berupa kelapangan jiwa, tidak memberatkan diri dan tidak mempersukar. Suatu kelapangan yang menyertai suatu taklif (tugas), setiap kewajiban, dan setiap aktifitas hidup yang serius seakan-akan mengalirkan air yang mengalir dengan menumbuhkan pohon ketinggian yang tenang penuh percaya diri dan rela hati. Dan senantiasa disertai perasaan adanya rahmat atau kasih sayang Allah atau kehendak-Nya terhadap kemudahan bagi hamba-hamba-Nya5.

4

Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Iktikaf, diterjemahkan oleh Agus Efendi dan Bahruddin Fannany, dari kitab Al-Fiqh al-Islam wa-‘Adillatuh, Bandung: Dar al-Fikr, 1996, cet, k2, hlm. 269 5 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilali Qur’an diBawah Naungan Al-Qur’an, diterjemahkan oleh As’ad Yasin dkk, dari kitab Fi Zilalil Qur’an, Depok: Gema Insani, 2008, cet k7, jilid 1 hlm. 205

92

Begitu

halnya

orang–orang

yang

dalam

perjalanan

juga

mendapatkan keringanan atau kemudahan untuk menjalankan puasa sesuai dengan kemampuan diri mereka. Dalam suatu tafsir dijelaskan mengenai firman Allah yang artinya “ barang siapa diantara kamu sakit atau dalam perjalanan maka hendaklah menguranginya pada hari-hari yang lain”, yakni orang yang sakit dan dalam perjalanan tidak perlu berpuasa, namun boleh berbuka dan mengqadha dengan cara mengulanginya pada hari-hari yang lain. Adapun orang-orang yang sehat dan berada ditempat, bila dia mau maka berpuasalah dan bila mau berbukalah , namun dia harus memberi makan kepada seorang miskin untuk tiap-tiap hari ia berbuka. Berpuasa lebih baik dari pada memberi makan begitulah menurut pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dan ulama salaf lainnya, ini didasarkan pada firman Allah, “ Dan orang-orang yang merasa berat untuk melakukannya, wajib baginya membayar fidyah dengan memberi makan pada orang-orang miskin. Barang siapa yang mengerjakan kebajikan dengan kerelaan hati, maka hal itu lebih baik baginya. Dan berpuasa adalah baik bagimu bila kamu mengetahui”6. Dalam penjelasan Hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Abu Daud yang berbunyi “Tidak baik berpuasa dengan bepergian”, Syarih berkata: ini menunjukkan, bahwa berpuasa dalam perjalanan tetapi

6

Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Op. Cit, hlm.287-286

93

dengan susah payah itu kurang baik7. Hal ini sama halnya seperti yang disebutkan dalam Hadist Jabir “Sesungguhnya Rasulullah saw pernah menjumpai kerumunan orang yang sedang menaungi seseorang. Beliau lalu bertanya ‘ mengapa orang ini’ mereka menjawab ‘dia sedang berpuasa’, maka nabi bersabda ‘ tidak baik berpuasa ketika bepergian”8. Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, dimana disana dijelaskan tentang pahala bagi orang yang berbuka dalam perjalanan jauh dan mereka melakukan pekerjaan. Yang berbunyi:

‫ﺻﻠﱠﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ِﰲ اﻟ ﱠﺴ َﻔﺮ‬ َ ‫ﱯ‬ ‫ ُﻛﻨﱠﺎ َﻣ َﻊ اﻟﻨﱠِ ﱢ‬:‫ﺲ َر ِﺿ ﱠﻰ اﷲُ َﻋْﻨﻪُ ﻗَﺎ َل‬ ٍ َ‫َﻋ ْﻦ اَﻧ‬ ‫ﺐ اﻟْ ِﻜ َﺴﺎ ِء‬ ُ ‫ﺻﺎ ِﺣ‬ َ ‫ﺼﺎﺋِ ُﻢ َوِﻣﻨﱠﺎ اﻟْ ُﻤ ْﻔ ِﻄ ُﺮ ﻗَﺎ َل ﻓَـﻨَـَﺰﻟْﻨَﺎ َﻣْﻨ ِﺰ ًﻻِﰲ ﻳـَ ْﻮﳏٍَﺎ ﱟراَ ْﻛﺜُِﺮﻧﱠﺎ ِﻇ‬ ‫ﻓَ ِﻤﻨﱠﺎاﻟ ﱠ‬ ‫ﻀَﺮﺑُﻮا ْاﻷَﺑْﻨِﻴَ ِﺔ‬ َ َ‫ﺼ َﻮا ُم َوﻗَﺎ َم اﻟْ ُﻤ ْﻔ ِﻄ ُﺮْو َن ﻓ‬ ‫ﻂ اﻟ ﱡ‬ َ ‫ ﻓَ َﺴ َﻘ‬:‫ﺲ ﺑِﻴَ ِﺪﻩِ ﻗَﺎ َل‬ َ ‫َوِﻣﻨﱠﺎ َﻣ ْﻦ ﻳـَﺘﱠ ِﻘﻲ اﻟ َﺸ ْﻤ‬ ‫ﺐ اﻟْ ُﻤ ْﻔ ِﻄ ُﺮْو َن اﻟﻴَـ ْﻮَم‬ َ ‫ﺻﻠَﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ" ذَ َﻫ‬ َ ِ‫ب ﻓَـ َﻘﺎ َل َرﺳ ُْﻮ ُل اﷲ‬ َ ‫اﻟﺮَﻛﺎ‬ ‫َو َﺳ ُﻘﻮا ﱢ‬ "‫ﺑِ ْﺎﻷَ ْﺟ ِﺮ‬ Yang artinya: Anas r.a berkata. “ kami pernah menyertai rosulullah dalam perjalanan jauh, sebagian kami ada yang berpuasa, dan sebagian lain ada yang berbuka, lalu kami berhenti disuatu tempat pada hari yang panas, kebanyakan kami membuat naungan dengan kain yang kita bawa dan sebagian yang lain bernaung dengan tangan. Orang-orang yang berpuasa tergeletak, sedang orang yang berpuasa tetap tegar. Lalu mereka membuat tempat teduh dan mereka memberi minum hewan-hewan tunggangan. Maka

7

Faishal bin Aziz al-Mubarak, Nailul Athar, diterjemahkan oleh Mu’ammal Hamidy dkk, Surabaya: PT Bina Ilmu, 2009, hlm. 1275 8 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Op. Cit, hlm. 292

94

bersabdalah Rasulullah. “ Pada hari ini orang-orang yang berbuka mendapat pahala”. (Muslim 3/144)9. Tetapi disini bila memang seseorang yang berada dalam perjalanan itu merasa sangat berat untuk menjalankan puasa maka diperbolekan untuk berbuka, sebagaimana disebutkan bahwa orang-orang yang berat menjalankannya disini dimaknai bahwa mereka sebetulnya pada awalnya mampu untuk melakukannya, tetapi kemudian menjadi lemah dan tidak mampu. Maka diwajibkan atas mereka untuk setiap hari yang tidak berpuasa, memberikan fidyah yaitu memberikan makan satu orang miskin10. Dalam asbabun nuzul surat al-Baqarah ayat 184 yang berkenaan dengan keringanan saat berpuasa, yaitu orang yang dalam perjalanan, sakit dan orang-orang yang berat menjalankannya, disini diriwatkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan maula (budak yang telah dimerdekakan) Qais bin as-Sa-ib yang memaksakan diri bershaum, padahal ia sudah tua sekali. Dengan turunnya ayat ini (Q.S 2 al-Baqarah: 184), ia berbuka dan membayar fidyah dengan memberi makan seorang miskin selama tidak bershaum itu11. Dijelaskan bahwa yang lebih baik ialah mana yang lebih mudah. Maka bagi orang yang berbuka itu dipandangnya lebih mudah baginya

9

Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim, diterjemahkan oleh Elly Lathifah, dari kitab Mukhtasar Shahih Muslim, Jakarta: Gema Insani, 2005, hlm. 289 10 Usmah Abdul Karim Ar-Rifa’i, Tafsirul Wajiz, diterjemahkan olehTajuddin, dari kitab At-Tafsirul Wajiz li Kitabillah ‘Aziz, Depok: Gema Insani, 2008, hlm. 648 11 Mahali, A Mujab, Asbabun Nuzul studi pendalaman al-Qur’an, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 60

95

tetapi waktu mengqadhanya itu memberatkan maka pada waktu itu puasa dalam safar adalah lebih baik12. Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhori dijelaskan sebagai berikut:

‫ﱠﱮ‬ ‫َاﻻَ ْﺳﻠَ ِﻤ ﱠﻰ ﻗَﺎ َل ﻟِﻠﻨِ ﱟ‬ ْ ‫ اَ ﱠن ﲪََْﺰةَ ﺑْ ِﻦ َﻋ ْﻤ ٍﺮ و‬:‫َﻋ ْﻦ َﻋﺎﺋِ َﺸﺔَ َر ِﺿ َﻰ اﷲُ َﻋْﻨـ َﻬﺎ ﻗَﺎ َل‬ ‫ﺼ ْﻢ‬ ُ َ‫ْﺖ ﻓ‬ َ ‫َﺎم ﻓَـ َﻘﺎ َل اِ ْن ِﺷﺌ‬ ِ ‫ﺼﻴ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ اَﺻ ُْﻮُم ِﰱ اﻟ ﱠﺴ َﻔ ِﺮ َوﻛَﺎ َن َﻛﺜِْﻴـَﺮااﻟ ﱢ‬ َ ‫ْﻂ‬ ِ ‫ْﺖ ﻓَﺎَﻓ‬ َ ‫َواِ ْن ِﺷﺌ‬ Yang artinya: “ Dari Aisyah r. a, ia berkata: Bahwa sahnya Hamzah bin Amr Al Aslamy bertanya pada nabi saw: ‘ Apakah aku harus berpuasa dalam perjalanan? ‘Sedangkan dia sedang sering berpuasa, Maka beliau bersabda: ‘ Jika kamu ingin berpuasa , maka berpuasalah dan jika kamu ingin berbuka maka berbukalah”.13 Dalam pemaknaan lain tentang “berpuasa adalah lebih baik bagi kamu” ialah berpuasa itu lebih baik dari pada membayar fidyah dengan suka rela yang hukumnya sunnah, sesuatu yang lebih baik dari sunnah adalah wajib, namun hal itu terkesan sangat memaksa, selain itu klaim bahwa ayat itu secara khusus mewajibkan puasa juga tidak jelas, bahwa kewajiban dalam ayat tersebut adalah mukhayyar (kewajiban yang boleh memilih dalam melaksanakannya). Barang siapa ingin berpuasa , maka ia boleh berpuasa, dan barang siapa tidak ingin berpuasa, maka ia boleh

12 13

156

Faishal bin Aziz al-Mubarak, Loc. Cit Labib Muhtadin, Himpunan Hadits Shohih Bukhori, Surabaya: Tiga Dua, 1993, hlm.

96

untuk tidak berpuasa, tetapi memberi makan orang miskin. Maka ayat tersebut menyatakan secara tekstual berpuasa adalah lebih baik14. B. Persamaan pendapat para imam madzhab 1. Ulama madzhab sepakat jarak yang ditempuh hingga diperbolehkan berbuka ialah sama seperti jarak diperbolehkannya mengqashar shalat 2. Perjalanan itu harus berangkat sebelum terbit fajar 3. Bagi orang mempunyai penyakit sangat kehausan atau lapar atau menjalankan dengan susah payah maka ia diperbolehkan berbuka tetapi harus mengganti selama puasa yang ditinggalkan15. 4. Orang yang dalam perjalanan boleh tidak berpuasa, tetapi bila ia berpuasa puasanya tetap sah, tetapi bila mereka puasa dan membahayakan diri mereka maka hukum puasanya makruh16. C. Perbedaan pendapat para imam madzhab 1. Imam Syafi’i berpendapat yang mendapat keringanan bukan musafir yang sering melakukan perjalanan17. 2. Imam

Hambali

berpendapat

boleh

membatalkan

puasa

dan

memakruhkan berpuasa sekalipun tidak ada masyaqqah (kesulitan)18.

14

Ibnu Hajar Asqalani, Fathul Bari Syarah: Shahih Bukhari,diterjemahkan oleh Amiruddin, dari Fathul Baari Syarah Shahih Al Bukhari, Jakarta: Pustaka Azam, 2011, cet, ke 4, hlm. 285-286 15 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, diterjemahkan oleh Masykur A.B dkk, dari kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khomsah, Jakarta: PT Lentera Baristami, 2001. Cet k7, hlm. 158-159 16 Al-Alamah Muhammad, Fiqih Emapat Madzhab, diterjemahkan oleh Abdullah Zaki Alkaf, dari kitab Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al- Aimmah, Bandung: Hasyimi, 2012, cet k13, hlm. 147 17 Muhammad Jawad Mughniyah, Op. Cit, hlm. 159 18 Arifin, Fiqih Puasa, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2013, hlm. 129

97

3. Imam Hanafi berpendapat bahwa tetap diperbolehkan berpuasa jika puasa yang diniatinya merupakan puasa wajib, puasanya menjadi puasa yang diniati. Karena, ketika itu, bulan ramadhan dibolehkan untuk berbuka saat terjadi kepayahan untuk berpuasa. Oleh sebab itu ia boleh puasa wajib pada saat itu, seperti pada bulan ramadhan19. 4. Imam Maliki berpendapat boleh untuk tidak berpuasa karena perjalanan dengan empat syarat, yaitu: jaraknya sejauh jarak yang membolehkan untuk shalat qashar, perjalanan itu harus mubah, berangkat sebelum terbit fajar apabila itu adalah hari pertama, dan meniatkan untuk tidak puasa pada malam hari20. D. Analisis data–data lapangan yang telah didapat Dari data-data lapangan yang telah didapatkan maka diketahui bahwa dalam sehari bus yang beroperasi sangatlah banyak sedangkan untuk jadwal keberangkatan bus-bus yang ada telah diatur oleh dinas terkait dan untuk keberangkatan bus itu sendiri dimulai dari sebelum subuh sekitar pukul 04.00 dan juga setelah subuh, adapun pengoperasian bus-bus tersebut hingga sebelum maghrib ataupun setelah maghrib sesuai jadwal masing-masing yang dimiliki oleh bus. Dalam sehari bus dalam memcapai rute bisa satu setengah pulang pergi (PP) bisa juga dua setengah pulang pergi (PP) dimana bila dihitunghitung jatak tersebut telah mencapai jarak dimana shalat dapat di jamak maupun qashar yaitu sekitar jarak 86 km, tetapi yang dimaksud jarak 86 19 20

Wahbah Al-Zuhayly, Op. Cit, hlm. 213 Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit, hlm. 90

98

km bukanlah jarak bolak balik dan itu berarti keringanan puasapun tidak dapat diberikan kepada orang yang dalam perjalanan seperti pekerjaan seorang sopir bus tersebut, sehingga orang yang dalam perjalanan tersebut tidak diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Bila kita lihat dan kita simpulkan dari wawancara yang didapat, kebanyak para sopir dan juga para kenek serta kondektur bus saat bulan puasa tidak menjalankan ibadah puasa dengan berbagai alasan diantaranya tidak kuat, mereka berada dalam perjalanan, dan lain sebagainya. Mereka menjalankan puasa semampunya tetapi kebanyakan mereka menjalankan puasa pada saat awal dan akhir bulan puasa. Hal ini tidak bisa semata-mata kita salahkan dan juga kita cemooh, bila kita lihat dilapangan, pekerjaan sebagai sopir bus tidaklah suatu bekerjaan yang ringan, dimana mereka harus bersentuhan langsung dengan kerasnya cuaca yang ada baik dengan panas maupun hujan sesuai dengan kondisi cuaca saat itu, kejar setoran, dihantui dengan polisi, membawa keselamatan penumpang dan lain-lain. Dimana dengan keadaan seperti itu orang yang berprofesi sebagai sopir bus dan juga pekerja bus terasa berat menjalankan puasanya ditambah lagi dengan salah kaprah yang telah membudaya di lingkungan supir dan juga pekerja bus sehingga membuat ia tidak berpuasa, walaupun tidak semua sopir dan pekerja bus seperti itu. Tetapi bila dikembalikan pada niat dan keinginan insyaAllah para pekerja tersebut mampu menjalankan puasa yang menjadi rukun Islam tersebut walaupun satu dua hari ada yang

99

terlewatkan itu suatu hal yang maklum melihat beratnya kondisi yang dialami. E. Cara sopir bus mengganti puasa yang ditinggalkannya Berpuasa saat bulan Ramadhan merupakan salah satu rukun dari beberapa

rukun

agama

Islam.

Kewajiban

menjalankannya

tidak

membutuhkan dalil, dan orang telah mengingkarinya berarti telah keluar dari Islam, karena ia seperti shalat, ditetapkan dengan keharusan. Dan ketetapan itu telah diketaui baik oleh orang yang bodoh orang yang alim, dewasa maupun anak-anak21. Dengan demikian telah jelas bahwa puasa itu diwajibkan atas semua umat islam terkecuali bagi orang-orang yang mendapat keringanan ataupun yang tidak mampu memjalankan puasa tersebut. Walaupun demikian tetap bagi orang-orang yang meninggalkannya harus tetap menggantinya, dimana mengingat puasa wajib ini adalah suatu ibadah yang wajib bagi umat islam. Hal-hal yang membatalkan puasa ada dua kelompok. Pertama yang mewajibkan qadha saja (tanpa kaffarah). Kedua yang mengharuskan qadha dan kaffarah.

21

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, diterjemahkan oleh Masykur dkk,dari Al-Fiqh ‘ala al-madzahib al-khamsah, Jakarta: PT Lentera Basritami, 2001, cet, k7, hlm. 157

100

Qadha sendiri ialah kewajiban mengerjakan salah satu perintah agama namun tidak bisa mengerjakannya pada waktu yang telah ditentukan karena berbagai sebab22. Menurut kesepakatan ulama qadha diwajibkan atas orang yang membatalkan puasa ramadhan selama sehari atau lebih karena ada uzur, seperti sakit, melakukan perjalanan, haid dan lain-lain. Adapun waktu mengqadha puasa Ramadhan ialah semenjak bulan Ramadhan berakhir sampai bulan Ramadhan berikurnya23. Kaffarah sendiri adalah denda bagi orang yang melanggar kewajiban agama dengan ketetapan yang telah ditentukan24. Untuk membayar kaffarah sendiri ada tiga macam, yaitu: 1. Memerdekakan budak, atau 2. Berpuasa dua bulan berturut-turut jika tidak menemukan budak, atau 3. Memberi makan enam puluh (60) fakir miskin jika tidak mampu berpuasa. Oleh karena itu sekarang ini perbudakan sudah tidak ada, cukup berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu (karena sakit atau hal-hal yang

22

Arifin, Op. Cit, hlm. 97 Wahbah Al-Zuhayly, Op. Cit, hlm. 268-270 24 Arifin, Loc. Cit 23

101

menghalangi lainnya), maka harus memberi makan enam puluh (60) fakir miskin25. Para Imam Madzhab berbeda pendapat mengenai qadha dan juga kaffarah, berikut pendapat-pendapat para Imam Madzhab mengenai qadha dan juga kaffarah: 1. Menurut madzhab Hanafi Perkara yang mewajibkan qadha saja tanpa kaffarah itu digolongkan menjadi tiga, yaitu: a. Mengkonsumsi sesuatu yang bukan makanan dan tidak semakna makanan, yaitu obat, artinya memasukkan makanan yang tidak biasa dimakan26. b. Memakan atau meminum atau menelan makanan atau obat-obatan karena ada uzur, baik itu berupa penyakit, dipaksa, makan atau meminum atau menelan secara keliru karena menyepelekan atau karena samar. c. Melampiaskan nafsu seks secara tidak sempurna27. Perkara yang mewajibkan qadha dan juga kaffarat itu digolongkan menjadi dua, yaitu:

25

Ibid, hlm. 107 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie alkattani dkk, Depok: Darul Fikir, 2007, cet K 10, hlm. 98 27 Arifin, Op. Cit, hlm. 98-99 26

102

a. Mengkonsumsi makanan dan minuman atau obat-obatan tanpa ada uzur yang sah. b. Melampiaskan nafsu seksual secara sempurna, yaitu berhubungan seksual melalui alat kelamin atau anus meskipun hanya bersentuhan alat kelamin tanpa keluar mani28. 2. Menurut madzhab Maliki Perkara yang mewajibkan qadha saja tanpa kaffarah itu bila seseorang yang membatalkan puasa (semua jenis puasa) dengan sengaja wajib mengqadhanya dan tidak wajib membayar kaffarah kecuali pada puasa Ramadhan. Barang siapa batal puasanya (puasa apa saja) karena lupa, wajib baginya mengqadha (tidak kaffarah), kecuali pada puasa sunnah (tidak wajib qadha dan juga kaffarah)29. Adapun perkara yang wajib qadha dan juga kaffarah itu ada lima, yaitu: a. Berjimak dengan sengaja. b. Mengeluarkan mani dan madzi dalam keadaan sadar. c. Makan dan minum dengan sengaja. d. Berniat untuk berbuka pada pagi hari, meskipun ia berniat lagi untuk berbuka. e. Sengaja berbuka tanpa adanya uzur kemudiam ia sakit atau bepergian ataupun haid30.

28

Ibid, hlm. 107-108 Ibid, hlm. 100 30 Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit. hlm. 106-107 29

103

3. Menurut Madzhab Syafi’i Perkara yang mewajibkan qadha saja tanpa adanya kaffarah itu ada tujuh macam, yaitu: a. Masuknya sesuatu kedalam rongga dalam tubuh walaupun itu kecil. b. Menelan dahak. c. Masuknya air yang digunakan untuk berkumur atau yang dihisap dari hidung. d. Muntah dengan sengaja. e. Onani. f. Mengetahui kelirunya dengan makan pada siang hari karena fajar telah terbit atau matahari belum terbenam. g. Kondisi menjadi gila, murtad, nifas dan haid31. Adapun yang mewajibkan qadha dan juga kaffarah serta ta’zir (hukuman), serta tetap menahan (dari apa yang membatalkan puasa) selama sisa hari ia membatalkan puasanya, yaitu bersenggama pada siang hari saat puasa bulan Ramadhan dengan kriteria: ia telah berniat puasa pada malam harinya, sengaja, tanpa paksaan, terjadi pada siang hari, tidak mengerjakan hal yang membatalkan puasanya sebelum bersenggama, ia seorang mukalaf yang tidak punya udzur berpuasa, yakin puasanya sah, tidak keliru, tidak menjadi gila atau mati setelah

31

Ibid, hlm. 109-112

104

bersenggama, atas dasar suka sama suka, senggama itu benar-benar terjadi, dilakukan pada lubang kemaluan32. 4. Menurut Madzhab Hambali Yang mewajibkan qadha tanpa kaffarah itu ialah: a. Masuknya suatu benda kedalam perut atau bembuluh nadi dari lubang atau rongga badan dengan kesengajaan. b. Memakai celak mata hingga zat celak tersebut sampai ketenggorokan. c. Muntah dengan sengaja. d. Berbekam. e. Berciuman, onani, bersentuhan, bersetubuh tanpa penetrasi baik yang keluar mani atau madzi. f. Murtad secara mutlak33. Adapun yang mewajibkan qadha dan juga kaffarah itu hanya satu perkara yautu jimak pada siang hari pada bulan Ramadhan, tanpa ada udzur sebelumnya (misal orang yang menderita penyakit) dilubang kemaluan atau anus milik manusia atau lainnya (hewan misalnya), mahluk hidup maupun mati, keluar mani ataupun tidak34. Melihat pendapat para ulama madzhab tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa seorang yang dalam perjalanan itu boleh tidak berpuasa tetapi bila memang masih bisa berpuasa agar tetap berpuasa dan bila

32

Arifin, Op. Cit, hlm. 111-112 Ibid, hlm. 105-106 34 Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit. hlm 33

105

terdapat kepayahan maka diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan mereka dapat mengganti puasa yang ditinggalkan tanpa membayar kaffarah tetapi hanya dengan mengqadhanya dihari lain sebagaimana di jelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 185 telah dijelaskan:

‫… َوَﻣ ْﻦ ﻛَﺎ َن َﻣ ِﺮﻳْﻀًﺎ ا َْو َﻋﻠَﻰ َﺳ َﻔ ٍﺮ ﻓَﻌِ ﱠﺪةً ِﻣ ْﻦ اَﻳﱠﺎ ِﻣ ْﻦ اُﺧََﺮ‬.. Yang artinya: “Barang siapa diantara kamu dalam keadaan sakit atau dalam bepergian dia boleh meninggalkan puasa dan menggantinya dihari yang lain”. (Al-Baqarah:185)35 Puasa qadha hendaknya segera dilakukan untuk membebaskan diri dari beban hutang dan bila tidak mampu melakukan qadha dengan segera maka wajib berniat dengan sungguh-sungguh untuk mengqadhanya dan boleh mengakhirkan puasa qadha karena waktunya yang sangat luas dan sebaiknya puasa qadha dilakukan secara berturut-turut tetapi boleh juga dilakukan secara terpisah. Dan tidak diperbolehkan mengakhirkan qadha puasa sampai bulan ramadhan berikutnya tanpa ada uzur, dan bila ia mengganti puasa setelah puasa ramadhan berikutnya tanpa adanya uzur maka ia wajib mengqadha puasa dan juga memberi makan orang miskin satu sha’ tiap sebanyak puasa yang belum ia ganti36. Dan bila dilihat dari data yang ada bahwa pekerja supir ataupun kondekturnya memang bergelut dijalan setiap hari dan tidak semua

35

Arifin, Op. Cit, hlm. 127-128 Sholeh al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, diterjemahkan oleh Abdul Hayyi al-Kattani dkk, dari kitab Al-Mulakkasul Fiqhi, Depok: Gema Insani, 2006, hlm. 301-302 36

106

melakukan sistem yang sama yaitu ada yang dalam satu bulan hanya masuk dua hingga tiga minggu dan kemudian bergantian dengan temannya, maka ia bisa mengganti puasanya dengan mengqadha pada hari dimana ia mengambil libur atau istirahat dan ada juga yang masuk tiap hari dan hanya mengambil waktu libur satu hari atau dua hari saja maka ia bisa mengganti puasanya dengan mengqadha pada hari-hari ia libur secara rutin. F. Argumentasi hukum Islam yang membahas perihal puasa sopir bus (bepergian) Seperti yang kita tahu bahwa pekerjaan menjadi seorang sopir itu pastinya berhubungan dengan suatu berjalanan dan itu dilakukan setiap hari mengingat hal tersebut adalah pekerjaannya, begitu pula dengan sopir bus yang tiap hari bersinggungan langsung dengan jalan raya yang tak kenal panas maupun hujan. Meskipun demikian mereka tidak boleh melalaikan suatu ibadah dimana ibadah adalah kodrat dan juga kebutuhan untuk kita semua sebagai mahluk ciptaan Allah, begitu juga dengan ibadah puasa. Disini para ulama banyak yang berpendapat tentang puasa seseorang yang dalam perjalanan. Diantaranya ialah: 1. Pendapat

yang

dikemukakan

oleh

Imam

Azh-Zhahiri

serta

diriwayatkan dari Umar, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Az-Zuhri, Ibrahim An-Nakha’i dan selain mereka.

107

Mereka berpendapat bahwa hukum puasa fardhu saat safar adalah tidak sah, bahwa orang yang berpuasa wajib mengganti berdasarkan makna zhahir firman-Nya,

‫( ﻓَﻌِ ﱠﺪةَ ِﻣ ْﻦ اَﻳﱠﺎ ٍم اُ َﺧَﺮ‬maka hendaklah ia berpuasa pada hari-hari yang lain), dan berdasarkan sabda nabi

‫ﺼ ْﻮُم ِﰲ اﻟ َﺴ َﻔ ِﺮ‬ ‫ﺲ ِﻣ َﻦ اﻟْﱪِﱠ اﻟ ﱠ‬ َ ‫( ﻟَْﻴ‬bukan

kebaikan puasa saat safar), lawan kebaikan adalah dosa. Oleh karena itu bila seseorang berdosa dengan sebab mengerjakan puasa saat safar, maka puasanya tidak sah. 2. Pendapat Al-Auza’i, Ahmad dan Ishaq Mereka berpendapat bahwa tidak berpuasa adalah lebih utama

karena

mempraktikkan

keringanan

(rukhshah)

yang

diberikan37. Sedangkan Al-Auza’i sendiri berpendapat bahwa tidak berpuasa bagi orang yang berpergian adalah lebih utama secara mutlak38. 3. Pendapat Umar bin Abdul Aziz dan dipilih oleh Abu Mundzir Sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang safar diberi kebebasan secara mutlak untuk berpuasa ataupun tidak. Sedangkan pendapat yang lain berpendapat bahwa yang termudah berdasarkan firman Allah

37 38

‫ﻳُِﺮﻳْﺪُاﷲَ ﺑِ َﻜ َﻢ اﻟْﻴَﺴَْﺮ‬

(Allah menginginkan bagi kamu

Ibnu Hajar Asqalani, Op. Cit, hlm. 269-270 Al-Alamah Muhammad, Op. Cit, hlm. 147-148

108

kemudahan), apabila berpuasa saat safar lebir mudah bagi seseorang maka hal ini lebih utama baginya. Sedangkan apabila berpuasa lebih mudah, seperti seseorang yang lebih mudah puasa dibulan ramadhan dan terasa lebih sulit mengerjakan puasa dibulan yang lain maka berpuasa itu lebih utama39. 4. Pendapat Imamiyah Kalau musafir telah memenuhi syarat-syarat melakukan sholat qashar, lalu ia berpuasa maka puasanya tidak diterima, dan kalau berpuasa harus mengqadha, tapi tidak perlu membayar kaffarah, ketetapan ini berlaku, kalau perjalanan itu berangkat sebelum matahari tergelincir (condong kebarat), tetapi bila berangkat pada waktu zawal (matahari tergelincir) atau sesudahnya, maka ia harus tetap berpuasa, dan bila berbuka maka ia harus membayar kaffarah, seperti orang yang sengaja berbuka40. 5. Pendapat dari fatwa-fatwa kontemporer Disini para ulama tidak mensyaratkan jarak sama sekali, disini bagi musafir yang mengalami masyaqah yang berat jika berpuasa ia dimakruhkan berpuasa bahkan mungkin saja diharamkan (melihat kondisinya), hal ini mengingat sabda nabi mengenai seseorang yang dikerumuni orang banyak ketika mengalami kepayahan ketika puasa, lalu nabi saw bertanya “ mengapa orang itu

39

Ibnu Hajar Asqalani,Op. Cit, hlm. 271 Muhammad Jawad Mughniyah, Op. Cit, hlm. 159

40

109

begitu keadannya?” Para sahabat menjawab “ dia sedang berpuasa”. Kemudian nabi bersabda:

( ‫ﺼﻴَﺎ ُم ِﰲ اﻟ ﱠﺴ َﻔ ِﺮ) رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى‬ ‫ْﱪ اَﻟ ﱢ‬ ‫ْﺲ ِﻣ َﻦ اﻟِﱢ‬ َ ‫ﻟَﻴ‬ Yang artinya: “ Tidak baik berpuasa ketika safar” (HR Bukhari) Hukum ini berlaku bagi orang yang kepayahan, sedangkan bagi yang tidak mengalaminya boleh memilih sebagaimana yang saya jelaskan, boleh berpuasa dan boleh berbuka. Mengenai mana yang lebih utama para ulama berbeda pendapat, sebagian menganggap puasa lebih utama dan sebagian menganggap berbuka lebih utama41. 6. Pendapat dari fatwa MUI Dalam fatwa MUI tidak dijelaskan tentang orang yang dalam perjalanan sebagai sopir bus tetapi disana dijelaskan tentang puasa bagi penerbang, dimana profesi penerbang dan juga sopir bus sama-sama profesi yang dalam perjalanan hanya bedanya jarak yang ditempuh dam juga medan yang dilalui. Disitu dijelaskan bahwa ijma’ ulama yang menyepakati bolehnya

musafir

untuk

tidak

berpuasa

Ramadhan

dan

mengqadhanya dilain hari, sebagaimana kaidah fiqhiyah

‫ْﺴْﻴـَﺮ‬ ِ ‫ﺐ اﻟﺘَـﻴ‬ ُ ِ‫( اَﻟْ َﻤ َﺸ َﻘﺔُ َْﲡﻠ‬kesulitan dapat menarik kemudahan). 41

Yusuf Al-Qordhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jakarta: Gema Insani, 2005, jilid 1, cet k5, hlm. 429

110

Untuk ketentuan hukumnya ialah: penerbang boleh meninggalkan puasa Ramadhan sebagai rukshah safar (keringanan dalam bepergian), dengan ketentuan: a. Penerbang yang berstatus musafir tetap dapat mengganti dengan membayar fidyah, b. Penerbang yang bersetatus musafir tidak tetap wajib mengganti puasa dihari lain42. 7. Pendapat Daud Zhohiriy dan Syiah Imamiyah Mereka berpendapat bahwa orang yang dalam perjalanan tidak diperbolehkan untuk berpuasa, ini berdasarkan firman Allah dalam

surat

Al-Baqarah

ayat

184

yang

artinya:

“maka

perhitungannya pada hari-hari yang lain”. Dan juga sabda nabi yang artinya: “ bukan termasuk kebaikan melakukan puasa dalam perjalanan”43.

42 43

636-637

Makmun Arif dkk, Himpunan Fatwa MUI sejak 1975,Erlangga, 2011, hlm. 265-266 Abu Bakar Muhammad, Terjemahan Subulussalam, Surabaya: Al- Ikhlas, 1991, hlm.