BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan dan Pelaksaan Penelitian Moleong (2010) mengemukakan beberapa tahap dalam melakukan penelitian yang terdiri dari tiga tahapan yaitu: 1. Tahap Pra-Lapangan Ada enam tahap kegiatan yang harus dilakukan penulis, dalam tahapan ini ditambah dengan satu pertimbangan yang perlu dipahami yaitu etika penelitian lapangan. a. Menyusun rancangan penelitian Persiapan penelitian yang dilakukan meliputi penyusunan bab 1 hingga bab 3 yang berisi tentang latar belakang penelitian, tinjauan pustaka serta metode penelitian dan mempersiapkan alat pengumpul data. Alat pengumpul data yang digunakan berupa serangkaian panduan pertanyaan yang akan diajukan kepada partisipan penelitian. b. Memilih lapangan penelitian Sesuai dengan tempat penelitian yang sudah tercantum dalam bab 3 yakni di kota Pemalang, Jawa Tengah, maka penulis menyusun alokasi waktu guna melakukan penelitian di lokasi penelitian. c. Mengurus perizinan Izin penelitian dilakukan dengan meminta surat izin dari kantor fakultas Psikologi dengan persetujuan dari dekan serta kedua
pembimbing.
menguraikan
Setibanya
gambaran
42
tentang
di
Pemalang,
penelitian
yang
penulis akan
43
dilakukan oleh penulis kepada paman dan bibi penulis sehingga nantinya hal tersebut dapat disampaikan kepada partisipan penelitian. Untuk dapat memperkenalkan diri kepada partisipan, pada kunjungan pertama, penulis ditemani oleh paman penulis. d. Menjajaki dan menilai lapangan Pada tahap ini, penulis memberikan surat izin dari kantor fakultas kepada partisipan serta mengungkapkan gambaran singkat apa yang akan dilakukan selama proses pengambilan data. Penulis belum menggunakan alat perekam dalam tahap ini. Alat perekam digunakan ketika pengambilan data mulai dilakukan di rumah saudara maupun rumah partisipan sendiri. e. Memilih dan memanfaatkan informan Informan merupakan orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian (Moleong,
2010).
Adapun
informan dalam
penelitian ini adalah paman, bibi serta teman-teman paman dan bibi penulis yang merupakan warga asli lokasi penelitian. Berdasarkan informasi
yang diperoleh dari
informan,
diperoleh informasi penting mengenai latar belakang calon partisipan yang sesuai dengan kriteria yang penulis sebutkan. Selain karena paman dan bibi penulis sudah lama tinggal di lokasi penelitian, paman dan bibi yang bekerja sebagai guru di desa juga memudahkan penulis untuk memperoleh informasi mengenai siswa-siswi yang putus sekolah lantaran menikah di usia muda.
44
f. Menyiapkan perlengkapan penelitian Persiapan
perlengkapan
penelitian
dilakukan
dengan
menyediakan alat-alat yang dibutuhkan selama proses pengambilan data seperti buku catatan, alat tulis serta handphone yang digunakan sebagai alat perekam selama proses pengambilan data. g. Persoalan etika penelitian Pada tahap ini, secara terbuka penulis menjelaskan identitas penulis kemudian memberitahukan tentang maksud dan tujuan penelitian serta menunjukkan surat izin dari kantor fakultas. Penulis juga menanyakan kesediaan partisipan dalam proses penelitian ini. Kesediaan partisipan ditunjukkan dengan memberikan persetujuan pada lembar pernyataan yang sudah penulis buat terlebih dahulu. 2. Tahap Pekerjaan Lapangan a. Memahami latar penelitian dan persiapan diri Sebelum bertemu langsung dengan partisipan, penulis mempersiapkan terlebih dahulu segala sesuatu yang akan diperlukan selama pengambilan data. Persiapan pertama yang penulis lakukan adalah memahami latar belakang partisipan. Hal ini penulis lakukan agar ketika melakukan pengambilan data, penulis dapat menyesuaikan diri dengan keadaan partisipan. Diharapkan ketika penulis mampu menyesuaikan diri, partisipan tidak merasa canggung atau tidak senang dengan kehadiran penulis. Setelah
mengetahui
latar
belakang
partisipan,
persiapan kedua yang penulis lakukan yaitu mempersiapkan
45
penampilan penulis selama pengambilan data. Ketika bertemu dengan partisipan, penulis mengenakan celana panjang jeans, kaos serta jaket. Penulis berusaha untuk tidak berpenampilan mencolok sehingga tidak menimbulkan kesan bahwa posisi penulis lebih tinggi daripada posisi partisipan. b. Memasuki lapangan Persiapan penelitian dilakukan sejak tanggal 17 Agustus 2013. Tanggal 17 Agustus 2013, penulis berangkat menuju Pemalang bersama paman dan bibi penulis. Perjalanan menggunakan
kendaraan
pribadi
dari
Klaten
menuju
Pemalang memakan waktu kurang lebih sekitar tujuh jam. Setiba di Pemalang, penulis mulai mencari partisipan yang sesuai dengan kriteria penelitian. Penulis mencari calon partisipan dibantu oleh paman, bibi serta teman-teman paman dan bibi penulis yang merupakan warga asli Pemalang maupun pendatang yang sudah lama tinggal di Pemalang. Berkat bantuan informan, penulis memperoleh lima calon partisipan wanita yang menikah di usia remaja awal. Dari kelima calon partisipan akhirnya terpilih dua partisipan yang sesuai dengan berbagai karakteristik penelitian serta bersedia menjadi partisipan penelitian. Tereliminasinya tiga partisipan karena berbagai penyebab antara lain adalah ketidaksetujuan calon partisipan menjadi partisipan penelitian, calon partisipan yang saat pengambilan data dilakukan mengikuti suami bekerja di Jakarta, usia pernikahan lebih dari lima tahun dan usia pernikahan kurang dari lima tahun namun belum memiliki anak.
46
Setelah memperoleh calon partisipan yang sesuai dengan kriteria, pada tanggal 20 Agustus 2013, paman penulis sudah bertemu terlebih dahulu dengan partisipan untuk memberi gambaran kepada partisipan tentang penelitian yang akan dilakukan. Sebelum bertemu dengan partisipan, penulis sudah menyiapkan berbagai hal yang nantinya akan diperlukan selama proses pengambilan data seperti alat tulis, buku catatan, handphone sebagai alat perekam, surat izin dari fakultas serta surat pernyataan kesediaan menjadi partisipan. Wawancara pertama dengan partisipan 1 dilakukan pada tanggal 21 Agustus 2013. Sebelum wawancara dimulai, pertama-tama penulis memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud serta tujuan penulis datang menemui partisipan. Dalam memberikan penjelasan serta mengajukan pertanyaan, penulis menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa utama ketika berkomunikasi dengan partisipan. Penggunaan bahasa Jawa sebagai bahasa utama dalam berkomunikasi dengan partisipan
karena
lingkungan
partisipan
yang
selalu
menggunakan bahasa Jawa namun dengan logat yang berbeda. Setelah mendengar penjelasan penulis, partisipan memutuskan
bersedia
menjadi
partisipan
penelitian.
Berdasarkan persetujuan dari partisipan, penulis memberikan lembar pernyataan kesediaan menjadi partisipan penelitian dan melakukan wawancara pertama. Pada pertemuan kedua, tanggal 27 Agustus 2013, penulis bertemu kembali dengan partisipan guna mengajukan beberapa pertanyaan tambahan terkait pernyataan partisipan pada pertemuan pertama
47
wawancara. Member check dilakukan pada tanggal 30 Agustus 2013. Penulis kembali bertemu dengan partisipan 1 pada tanggal 13 November 2013 guna mendalami kembali pernyataan partisipan pada dua wawancara sebelumnya. Untuk pertemuan berikutnya, penulis bertemu dengan partisipan pada tanggal 18 November 2013. Pada pertemuan tersebut, penulis juga meminta partisipan untuk membaca transkrip wawancara sebelumnya dan kembali mengajukan sedikit pertanyaan. Penulis bertemu dengan partisipan 2 pada tanggal 19 Agustus untuk menjalin rapport. Selain menjalin rapport, penulis juga memberikan gambaran mengenai penelitian yang penulis lakukan. Kesediaan menjadi partisipan penelitian akhirnya diberikan oleh partisipan 2. Setelah partisipan 2 memberikan persetujuannya, penulis mengutarakan untuk menghubungi kembali partisipan untuk menentukan jadwal wawancara. Pertemuan pertama dengan partisipan 2 berlangsung pada tanggal 23 September 2013. Pada pertemuan ini, penulis mengutarakan tujuan kedatangan penulis serta kembali menjalin
rapport.
Pengambilan
data
dilakukan
pada
pertemuan kedua yakni tanggal 24 September 2013 dan pertemuan ketiga tanggal 26 September 2013. Pertemuan ke empat dilakukan pada tanggal 29 September 2013. Pertemuan terakhir untuk member check dilakukan pada tanggal 1 Oktober 2013.
48
Tanggal
11
November
2013,
penulis
kembali
menemui partisipan 2 untuk mendalami kembali pernyataanpernyataan sebelumnya dari partisipan. Pertemuan selanjutnya pada tanggal 15 November 2013. Member check partisipan dua dilakukan pada tanggal 22 November 2013. c. Berperan-serta sambil mengumpulkan data Peran serta yang dapat penulis lakukan adalah membaur dengan keluarga partisipan. Ketika pengambilan data, penulis tidak hanya bertemu dengan partisipan saja namun dengan keluarganya juga. Ketika penulis berkumpul dengan keluarga partisipan,
penulis
dapat
mengamati
lingkungan tempat partisipan menghabiskan waktunya. Selain dapat mengamati lingkungan partisipan, penulis juga dapat memperoleh informasi dari keluarga partisipan. Selama pengambilan data, penulis berusaha untuk mencatat beberapa hal yang terkait dengan situasi maupun kondisi wawancara. Selain mencatat, penulis juga mengambil gambar
lingkungan
partisipan.
Pengambilan
gambar
dilakukan setelah penulis meminta izin kepada para partisipan penelitian. 3. Tahap Analisis Data Menurut Moleong (2010) tahap analisis data terdiri dari penelaahan seluruh data yang sudah terkumpul dan mereduksi data tersebut. Langkah selanjutnya adalah melakukan kategorisasi kemudian menafsirkan data. Penulis
memulai
tahap
analisis
data
dengan
mengumpulkan semua catatan maupun rekaman selama proses
49
pengambilan data. Rangkaian analisis data sesuai dengan yang sudah penulis paparkan pada bab sebelumnya (bab 3). Pada tahap awal analisis data, penulis menelaah seluruh data yang sudah terkumpul kemudian menyalin rekaman wawancara ke dalam bentuk transkrip wawancara. Penulis mengetik kata demi kata sesuai dengan isi rekaman wawancara. Setelah dirasa sesuai dengan isi rekaman, penulis mulai memberi kode pada setiap baris transkrip wawancara secara manual. Kode tersebut berupa angka (1, 2, 3, dst) yang berada di sebelah kanan transkrip wawancara. Untuk
memudahkan
dalam
merujuk
wawancara
partisipan, penulis memberi kode sesuai urutan wawancara serta nomor baris pada transkrip wawancara. Pada partisipan 1, kode P1W1 merujuk pada transkrip partisipan 1 wawancara 1. P1W2 merujuk pada transkrip partisipan 1 wawancara 2. Partisipan 2 dengan kode P2W1 merujuk pada transkrip partisipan 2 wawancara 1, P2W2 merujuk pada transkrip partisipan 2 wawancara 2 dan P2W3 merujuk pada transkrip partisipan 2 wawancara 3. Langkah selanjutnya yang penulis
lakukan adalah
membaca transkrip wawancara berulang kali untuk menemukan makna atau tema dalam setiap jawaban partisipan. Penulis mencantumkan makna atau tema dibagian kanan transkrip wawancara. Setelah menemukan makna atau tema, penulis mulai mengkategorisasikan
dan
menghubungkan
tersebut menjadi sebuah narasi.
kategori-kategori
50
B. Deskripsi Penelitian 1. Partisipan Penelitian 1 a. Gambaran umum Nama
: Rani (nama samaran)
Tempat, tanggal lahir
: Pemalang, 12 April 1995
Pendidikan terakhir
: SD
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Status pernikahan
: Menikah
Usia saat menikah
: 14 tahun
Tahun menikah
: 2009
Usia pernikahan
: 4 tahun
Selisih usia dengan suami : 8 tahun Jumlah anak
: 1 orang
Tinggal di
: rumah sendiri
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Alamat
: Guci, Gunung Jaya
Anak ke
: 1 dari 3 bersaudara
Partisipan
merupakan
anak
pertama
dari
tiga
bersaudara dalam pernikahan pertama orang tuanya. Saat penelitian ini dilakukan, partisipan berusia 18 tahun. Partisipan lahir dan besar di kota Pemalang. Sejak kecil hingga menikah dan dikarunia seorang putra berusia tiga tahun, partisipan tinggal di Desa Guci, Gunung Jaya. Partisipan menikah saat berusia 14 tahun dan memiliki anak ketika berusia 15 tahun. Sejak menikah, partisipan tetap tinggal di rumahnya bersama suami, anak, adik serta
51
neneknya. Selisih usia partisipan dengan suami saat menikah adalah delapan tahun. Suami partisipan merupakan warga Kuta yang pindah ke Gunung Jaya setelah menikahi partisipan. Suami partisipan bekerja sebagai buruh di Pangandaran. Partisipan tidak bekerja selama menikah karena tidak mendapat izin dari suami bekerja jauh dari rumah. Sejak partisipan berusia sembilan bulan, partisipan sudah diasuh oleh neneknya. Hal ini terjadi karena orang tua partisipan bekerja di Jakarta, ibu sebagai asisten rumah tangga sedangkan sang ayah bekerja di SPBU. Bukan hanya partisipan saja yang diasuh neneknya sejak kecil, adik partisipan juga demikian. Bahkan setelah orang tua partisipan bercerai saat partisipan berusia sembilan tahun, partisipan tetap tinggal bersama neneknya di Desa Guci. Menurut partisipan, alasan orang tua partisipan bercerai karena ayah partisipan berselingkuh. Setelah bercerai, orang tua partisipan memutuskan untuk menikah kembali dengan calonnya masing-masing. Saat ini, ibu kandung partisipan sudah menikah selama tujuh tahun dengan pria asal Kuta dan menetap di sana. Dari pernikahan ibu kandung partisipan dengan ayah tirinya, partisipan memiliki dua adik tiri. Menurut partisipan, hubungan partisipan dengan ayah tirinya jauh lebih harmonis dibandingkan hubungan partisipan dengan ibu tirinya. Setelah ayah kandungnya menikah lagi, hubungan partisipan dengan sang ayah sempat terganggu karena perselisihannya dengan ibu tiri partisipan. Dari pernikahan
52
ayah kandung dan ibu tirinya, partisipan belum memiliki adik tiri. Partisipan mengaku bahwa selama ini, hubungannya dengan ibu tiri kurang berjalan baik sehingga membuat partisipan jarang menemui ayahnya yang menetap di Majakerta. Ketidakharmonisan dengan ibu tiri partisipan berawal dari masalah keuangan. Ibu tiri partisipan tidak suka jika suaminya mengeluarkan uang terlalu banyak untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Sampai saat penelitian dilakukan, partisipan mengaku masih enggan bila harus berkunjung ke rumah ayah kandungnya. Partisipan yang juga seorang buruh tani harus menanggung kehidupan adik-adik serta neneknya. Sang nenek yang saat ini berusia kurang lebih 70 tahun sudah sakit sejak tiga tahun yang lalu. Menurut diagnosis dokter, sang nenek menderita kanker rahim. Melihat sang nenek kesakitan, partisipan berusaha untuk mengobati dengan membawanya berobat ke berbagai rumah sakit namun tak kunjung sembuh. Sekarang partisipan hanya mampu merawat nenek di rumah. Partisipan mengaku sudah tidak tega karena neneknya selalu merintih kesakitan. b. Laporan observasi Secara fisik, partisipan merupakan wanita berkulit sawo matang dengan tinggi kurang lebih 160 cm. Dengan tubuh yang agak gemuk maka partisipan terkesan lebih pendek dari tinggi sebenarnya. Setiap bertemu dengan partisipan, partisipan selalu mengikat bergelombangnya.
rambut panjang
53
Pada pertemuan pertama, ketika penulis datang ke rumah saudara partisipan, partisipan mengenakan pakaian tidur dengan rambut yang diikat ke belakang dan sedang duduk di depan rumah bersama lilike (paman atau bibi, penj.), sepupu serta anaknya. Pertama berbincang, penulis merasa bahwa partisipan merupakan orang yang supel. Hal ini tampak ketika penulis memperkenalkan diri, partisipan tidak sungkan bertanya tentang penelitian yang akan dilakukan serta meminta penulis berbicara dengan bahasa Jawa ngoko saja, bukan bahasa Jawa krama alus. Alasan partisipan adalah agar lebih mudah berkomunikasi. Di awal wawancara dilakukan, partisipan seringkali tidak melihat mata penulis secara langsung saat menjawab pertanyaan. Saat partisipan merasa ragu dalam memberikan jawaban, mata partisipan tidak mengarah pada penulis tetapi melihat ke luar rumah. Selama wawancara berlangsung, partisipan terlihat santai dalam menjawab setiap pertanyaan. Tidak jarang pula partisipan seperti ceplas-ceplos ketika menjawab. Selama wawancara, suara partisipan terdengar nyaring dan cepat dalam berbicara. Ketika penulis bertanya mengenai aspek aktivitas waktu luang dengan item pertanyaan waktu bersama pasangan, partisipan spontan tertawa dan tersipu malu saat memberikan jawaban. Wawancara sempat terhenti sejenak karena
anak
partisipan
mulai
merajuk.
Agar
tidak
mengganggu jalannya wawancara maka partisipan berinisiatif mengantarkan anaknya ke papine. Setelah mengantarkan
54
anaknya, wawancara kembali berjalan lancar. Selama wawancara, tidak jarang partisipan tertawa ketika menjawab pertanyaan. Ketika ditanya mengenai hubungan suami istri, pertama-tama partisipan terlihat sedikit malu namun akhirnya menjawab pertanyaan yang diajukan dengan lancar. Saat bercerita tentang masa sebelum menikah dengan suami, raut wajah partisipan terlihat bahagia. Pada pertanyaan ini, partisipan sering tersenyum ketika bercerita. Sebelum wawancara berakhir, partisipan sempat bertanya kepada sepupunya dimana salah satu anak kembar sepupunya. Ketika wawancara berakhir, partisipan bercerita bahwa sepupunya memiliki anak perempuan kembar yang saat ini berusia tiga bulan. Saat anak kembar sepupunya datang
digendong
ibunya,
partisipan
mengambil
alih
gendongan. Partisipan tampak luwes ketika menimang salah satu
bayi
kembar
tersebut.
Partisipan
juga
sempat
memberitahu penulis bahwa kata “mantuk” di daerahnya merupakan kata yang tergolong kasar. Partisipan yang tahu perbedaan arti kata tersebut tidak tersinggung atau marah pada penulis. Pada pertemuan kedua, ketika bertemu dengan penulis di rumah partisipan, partisipan masih mengenakan baju tidur berwarna coklat dengan rambut diikat ke belakang. Saat penulis datang, partisipan sedang duduk mengobrol di teras rumah lilike yang berada di sebelah kiri rumahnya. Partisipan
55
kembali menyapa ramah penulis dan mempersilakan penulis masuk ke rumahnya. Rumah
partisipan
tergolong
sangat
sederhana.
Bangunan rumah terbuat dari kayu dengan lantai yang masih dalam bentuk tanah. Dalam rumah tersebut terdapat satu kamar tidur besar dengan sekat terbuat dari kayu. Ruang tamu rumah partisipan hanya tampak dua kursi panjang yang ditempatkan saling berhadapan dan mengapit sebuah meja panjang. Dalam rumah terdapat tiga buah jendela. Sebuah jendela berkaca menghadap depan rumah serta dua buah jendela yang ditutup dengan anyaman bambu dan kain berwarna biru berada di samping kanan kiri. Wawancara yang dilakukan di ruang tamu membuat penulis dapat melihat kondisi nenek partisipan yang sedang sakit. Meskipun dalam kondisi sakit, nenek selalu duduk meringkuk menghadap tembok kayu rumah. Selama proses pengambilan data berlangsung,
terdengar
suara rintih
kesakitan nenek partisipan. Sebelum penulis menanyakan beberapa pertanyaan terkait wawancara sebelumnya, penulis menanyakan beberapa hal mengenai kehidupan keluarganya. Ketika partisipan bercerita tentang kondisi neneknya sambil menatap tempat tidur sang nenek yang berada tidak jauh dari tempat wawancara berlangsung, raut wajah partisipan terlihat sedih. Berbeda halnya saat partisipan bercerita tentang keadaan orang tuanya, raut wajah partisipan terlihat biasa. Pada pertemuan ini, partisipan yang duduk berhadapan dengan
56
penulis sudah lebih sering menatap langsung mata penulis ketika bercerita. Selesai menanyakan tentang keluarga partisipan, wawancara
segera
dimulai.
komunikasi,
dapat
dijawab
Pertanyaan partisipan
pada
aspek
dengan
lancar,
partisipan sempat memberi penekanan pada kata “aku percaya dia, dia percaya aku” Ketika pertanyaan mengenai aspek hubungan seksual diajukan, partisipan menjawab dengan wajah tersipu malu sambil tertawa. Partisipan juga sempat menimpali ucapan teman penulis meski partisipan baru pertama kali bertemu dengan teman penulis. Ketika penulis bertanya mengapa partisipan lebih nyaman bercerita pada lilike daripada mamane, suara partisipan terdengar sedikit melemah namun tetap dapat terdengar jelas. Pertanyaan seputar penyesuaian diri partisipan dalam keluarga pasangan membuat wajah partisipan terlihat lebih senang dan selalu tersenyum ketika bercerita. Saat penulis menanyakan pernyataan partisipan puas tidak puas pada aspek kondisi keuangan, wawancara sempat terhenti karena partisipan menghampiri neneknya yang merintih kesakitan di tempat tidur beliau. Dari tempat penulis duduk,
terdengar
bahwa
partisipan
mengatakan
pada
neneknya untuk tidak merintih terlalu keras karena ada temannya datang. Saat ditanya tentang pengaruh kelahiran anak dalam hubungan suami dan partisipan, wawancara sempat terhenti sejenak karena anak partisipan minta dibuatkan minuman.
57
Wawancara kembali berjalan. Ketika penulis menanyakan tentang peran suami dalam pekerjaan rumah tangga, partisipan menjawab
dengan
memberikan
penekanan
pada
kata
“rewang-rewang apa, tanpa disuruh” diikuti posisi badan yang sedikit maju ke depan. Pada pertemuan kali ini, partisipan jarang tertawa ketika menjawab pertanyaan yang diajukan oleh penulis. Selama pertemuan kedua, partisipan menjawab setiap pertanyaan yang diajukan dengan suara nyaring namun sempat melemah pada saat pertanyaan tertentu diajukan seperti ketika membahas kondisi neneknya. Saat melakukan member check pada pertemuan berikutnya, penulis datang lebih awal ke rumah partisipan. Sesampainya penulis di rumah partisipan, penulis tidak langsung menjumpai partisipan karena partisipan sedang berbelanja di pasar. Suasana rumah agak ramai karena keluarga partisipan berkumpul. Untuk pertama kalinya penulis bertemu dengan paman, bibi serta adik-adik partisipan. Kali ini penulis bertemu kembali dengan suami serta anak partisipan. Penulis juga bertemu dengan nenek partisipan dengan kondisi yang tidak begitu sehat. Kondisi nenek yang tidak begitu sehat dibenarkan oleh adik partisipan yang menemani penulis di ruang tamu menunggu kedatangan partisipan. Beberapa hari sebelumnya, kondisi nenek menurun hingga menyebabkan partisipan menghubungi keluarga yang lain, termasuk adiknya yang sedang bekerja di Bintaro, Tangerang.
58
Selama berada di rumah partisipan, penulis melihat bahwa anak partisipan sangat dekat dengan ayahnya. Ini terlihat dari sikap anak yang tidak mau berpisah dari ayahnya. Saat sang ayah hendak pergi menjemput partisipan, anak partisipan bergelayut di sekitar ayahnya sambil terus merengek ingin ikut. Akhirnya, sang ayah mengizinkan anaknya untuk ikut dan mengambilkan sandal anaknya di dalam rumah. Ketika bertemu di rumah, partisipan menggunakan celana panjang dan kaos lengan pendek berwarna abu-abu. Saat membaca transkrip sambil mendengarkan rekaman wawancara, beberapa kali partisipan tersenyum dan memberi koreksi pada transkrip wawancara. Koreksi sempat terhenti sejenak karena nenek partisipan yang merintih merasa kepanasan. Dari dua transkrip wawancara yang diberikan penulis, partisipan memberi sekitar lima atau enam koreksian pada transkrip. Transkrip yang sudah selesai di koreksi oleh partisipan dikembalikan sesaat sebelum ibu kandung, ayah tiri serta adik tiri partisipan datang untuk menjenguk nenek partisipan. Setelah berbincang sejenak dengan ibu partisipan, penulis meminta izin untuk pulang. Penulis kembali bertemu dengan partisipan pada tanggal 13 November 2013 untuk mendalami pernyataan partisipan
pada
dua
wawancara
sebelumnya.
Penulis
berangkat dari rumah sekitar pukul 09.15 WIB naik kendaraan umum. Sesampai penulis di rumah partisipan, partisipan
59
sedang sibuk memasak di dapur. Partisipan yang mengenakan kaos lengan pendek warna hijau dipadu celana pendek selutut segera
mempersilakan
penulis
masuk
ke
rumahnya.
Wawancara dilakukan di rumah bibi partisipan yang terletak di sebelah kiri rumah partisipan. Pemilihan rumah bibi partisipan
sebagai
partisipan
yang
tempat sedang
wawancara
lantaran rumah
direnovasi
sehingga
tidak
memungkinkan untuk melakukan wawancara di rumah partisipan. Wawancara dilakukan tepatnya di ruang tamu rumah bibi partisipan dengan posisi duduk penulis dan partisipan yang saling berhadapan. Partisipan yang berada di depan penulis, duduk di kursi kayu panjang yang menghadap pintu masuk. Untuk menghemat waktu, setelah bertukar kabar, penulis mulai mengajukan pertanyaan kepada partisipan. Seperti
pertemuan-pertemuan
sebelumnya,
partisipan
menjawab pertanyaan penulis dengan suara nyaring. Sejak awal wawancara, saat menjawab maupun mendengarkan pertanyaan yang diajukan, partisipan sudah menatap langsung mata penulis. Selama proses wawancara, partisipan tidak mengalami kendala dalam menjawab pertanyaan yang diajukan. Hal ini ditunjukkan dengan kelancaran partisipan saat menjawab pertanyaan. Partisipan sempat berhenti sebentar untuk mengingat kebiasaan pasangan yang ditiru oleh partisipan. Saat menjawab pertanyaan, partisipan terlihat santai, tak jarang partisipan tertawa ketika memberikan jawaban.
60
Setelah dirasa cukup, penulis mengakhiri wawancara dengan partisipan. Sebelum pamit pulang, partisipan kembali berbincang sejenak dengan partisipan. Partisipan bercerita bahwa empat hari setelah pertemuan terakhir dengan penulis di bulan Agustus, nenek partisipan meninggal dunia. Dari cerita partisipan tentang neneknya, nampak partisipan sangat kehilangan sosok nenek yang sudah merawatnya sejak masih bayi. Partisipan sudah menganggap neneknya sebagai ibu kandung yang sudah membesarkannya sejak bayi. Saat bercerita tentang neneknya, suara partisipan terdengar lirih dengan wajah agak sedih. Mimik wajah serta volume suara ini sangat berbeda ketika proses wawancara berlangsung. Meski merasa kehilangan, partisipan mengaku cukup puas karena semasa neneknya masih hidup, partisipan sudah menjaga serta merawat neneknya sebaik mungkin. Pertemuan selanjutnya pada tanggal 18 November 2013 berlangsung singkat karena partisipan sedang sibuk mengurus rumah dan tukang yang merenovasi rumah partisipan. Partisipan menyempatkan bertemu penulis pagi hari sekitar pukul 08.45 WIB. Sesampainya di rumah partisipan, partisipan yang masih mengenakan baju tidur segera mempersilakan penulis masuk ke rumahnya terlebih dahulu. Disana penulis bertemu dengan ibu kandung serta suami partisipan. Setelah berbincang sejenak, partisipan mengajak penulis pindah ke rumah bibinya yang berada di sebelah rumah partisipan.
61
Di rumah bibi partisipan, penulis duduk berhadaphadapan dengan partisipan. Ada pun posisi duduk partisipan menghadap pintu masuk dan penulis membelakangi pintu masuk. Rumah bibi partisipan hanya terdiri dari dua ruang, satu ruang tamu yang letaknya bersebelahan dengan ruang tidur. Kedua ruang ini hanya disekat oleh papan kayu sedangkan antara kamar tidur dengan dapur disekat oleh tembok permanen. Dari ruang tamu, penulis tidak melihat perabot rumah tangga selain meja dan kursi kayu yang digunakan untuk menerima tamu. Selama partisipan menunggu penulis menyiapkan perlengkapan wawancara, partisipan duduk tegak dengan kedua tangan berada di atas meja. Melihat sang anak mendatangi
partisipan
dan
penulis,
partisipan
segera
menyuruhnya agar bermain di luar bersama temannya dan tidak mengganggu proses wawancara. Setelah perlengkapan siap, wawancara pun segera dimulai. Saat penulis mengajukan pertanyaan mengenai alasan suami mengajak partisipan tinggal bersama keluarga suami, partisipan menyimak sambil menganggukkan kepala. Dengan suara nyaring, partisipan menjawab pertanyaan yang penulis ajukan. Pertanyaan tentang hubungan partisipan dengan keluarga suami disimak partisipan dengan sungguh-sungguh hingga
kening
partisipan
berkerut.
Pada
pertanyaan
selanjutnya tentang rencana kelahiran anak setelah menikah, partisipan menjawab pertanyaan sambil menahan anaknya yang mau naik ke atas meja. Tak berapa lama kemudian, sang
62
anak berteriak minta jajan ketika melihat sepupu partisipan keluar
rumah.
Partisipan
memarahi
anaknya
dan
menyuruhnya keluar menyusul jajan. Setelah anaknya keluar, partisipan kembali melanjutkan jawabannya dengan suara nyaring. Pertanyaan mengenai kapan mulai menggunakan alat kontrasepsi membuat partisipan menjawab sambil mengingatingat. Hal ini nampak dari jawaban partisipan yang sedikit mengambang ketika bercerita. Masih dalam topik tentang rencana memiliki anak kedua, sambil tertawa partisipan mengatakan dengan tegas belum ada rencana untuk hamil lagi. Kening partisipan kembali berkerut saat penulis menanyakan tentang perubahan dalam diri partisipan maupun pasangan setelah kelahiran anak. Jawaban partisipan diberikan sambil mengingat-ingat kembali. Menjelang akhir wawancara, tepatnya
saat
penulis
mengajukan pertanyaan tentang
hubungan suami istri, partisipan dipanggil ibunya karena ada telpon. Wawancara sempat terhenti sejenak dan dimulai lagi setelah partisipan kembali. Penulis
mengulang
kembali
pertanyaan tentang
pengaruh ketidakteraturan hubungan suami istri terhadap hubungan pernikahan partisipan. Dengan mantap partisipan menjawab tidak ada pengaruh dari hal tersebut. Setelah menerima telpon, wajah partisipan berubah sedikit muram dan suara partisipan juga melemah, tidak seceria sebelumnya.
63
Ketika
membaca
kembali transkrip wawancara,
partisipan menyimak sungguh-sungguh rekaman yang penulis putar melalui laptop. Selama partisipan membaca transkrip, partisipan tidak banyak memberi koreksi pada transkrip. Saat penulis menanyakan tentang kalimat yang penulis ketik dengan ragu-ragu, partisipan membenarkan bahwa kalimat itu sudah benar. Dirasa sudah sesuai antara rekaman dengan transkrip
wawancara,
partisipan
menyerahkan
kembali
transkrip kepada penulis. c. Analisis verbatim Analisis verbatim P1W1 Verbatim yaa..mo gimana lagi (tertawa)..cukup nggak cukup harus cukup. Jadi bisa mengatur sendiri aja, disaat mendapat banyak, kita harus menabung buat entar, gitu aja. (P1W1 2326) (tertawa) iya. ya anggerane duite wis dinehne aku, kon nukokno rokok, yo emoh.. wong wis dinehno aku kon nukokna rokok (tertawa). (P1W1 609-611) yaa..puas nggak puas sih, mungkin udah jodoh mo gimana lagi..hihihihi.. (P1W1 29-30) ya sing njaga yo aku dewek, sing momong yo aku dewek. Ora ana sing ngasuh. (P1W1 34-35) yo kan bojone kan kerjane
Makna Rani berusaha mengatur keuangan rumah tangganya ditengah pendapatan yang kurang memadai.
Merasa sudah berjodoh dengan suami, Rani menerima keadaan ekonomi saat ini. Pengasuhan anak dilakukan Rani sendiri karena suami kerja diluar kota.
64
adoh. Ora neng desane dewek, kerjane neng Pangandaran. Jadikan balike kan telung wulan pisan, kadang rong wulan sepisan, ora mesti kaya kui kan..jadi sing ngasuh yo aku dewek. Ngatur waktu dewek neng omah. (P1W1 37-41) yaa.. (tertawa) ya jenenge karo lanange ya (suara anak partisipan sedang bernyanyi) dilayani lah opo karepe lanange. (P1W1 6264) ya biasa.. setiap hari ya telpon, sms (Short Messages Service), telpon, sms. (P1W1 69-70) ya ono masalah.. masalah e ya (berbicara lirih dengan anak) masalah e kan (tersenyum sambil menegur anak dengan memberi tanda diam pada anak) masalah e kadang ya cemburu kan karena mungkin aku sayang. Kayak kue, jadi ya akeh gitu kan.. dadi ya mungkin nek sue ora balik yo pada bae cemburu, ngapa sih sue-sue ora bali. Kayak kue kan. (P1W1 72-78) ya aku lah (tertawa). Sing sering cemburu ya akune. (P1W1 80) ya ngomong, keprimen kayak kue kan. (P1W1 82) kadang seminggu sepisan merana, kadang nek
Rasa bakti Rani ditunjukkan dengan melayani kebutuhan suami ketika berada di rumah.
Rani setiap hari melakukan komunikasi dengan suami yang berada di luar kota melalui telpon atau SMS. Rasa sayang terhadap suami sering membuat Rani merasa cemburu. Perasaan cemburu muncul terutama jika suami lama tidak pulang ke rumah.
Rani lebih sering merasa cemburu terhadap suaminya. Bila cemburu, Rani akan mengatakannya pada suami. Tidak ada jadwal tetap bagi Rani pergi mengunjungi
65
sungkan, ora merana. (P1W1 100-101) yo pasti.. kadang kan ki lho mas anake njajane akeh kayak kie. Wong jenenge yo wis due anak kan yo anake pengen kie, dolanan kie.. anu apa.. ono bakul apa kan lah anake jajan bae, wong rewel.. dadine yah anu..kayak kue. (P1W1 107-111) yaa..serius-serius aja.. (tertawa) inyong kemarin ngomong ya sesuai bae keprimen njawabe..umpama ngomong apa ya jawab apa kue kan..intine kan sing penting nyambung kan omongane. (P1W1 122125) ya paling aktivitas ibu rumah tangga bae neng omah, ora pernah ngapangapa..paling ya nyuci, ya masak kayak kue tok..ngurus anak, ya nggosok kui tok..kerja yakan karo lanangane inyong ora oleh kerja jadi ya ora kerja. (P1W1 129-133) yaa.. mengijinkan tapi kan asal jangan maksudte adohadoh, paling kan neng desane dewek apa ya kui kan..ya neng desane aku ki kan akeh umpama buruh nyeti mlinjo, yo nyetini mlinjo, terusane apa buruh apalah sing sekirane ora
keluarga suami di lain desa. Untuk urusan anak, Rani selalu menceritakannya pada suami.
Rani mencoba menjadi pendengar yang baik ketika suami bercerita tentang permasalahannya.
Sebagian besar aktivitas Rani di rumah adalah mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Suami mengizinkan Rani bekerja asal tidak meninggalkan desa.
66
lunga sing desa yo oleh.. (P1W1 136-141) yaa.. yo selayaknya hubungan suami istri ya yen seumpama balik Pangandaran neng omah yo biasa, melakukan hubungan..gitu kan. (P1W1 152-154) yo sakarepe wong lanang.. di masa dia minta ya saya melayani, gitu lho. (P1W1 156-157) iya..dadi senyuwune yo diwei, nek ora yo ora, keprimen meneh. (P1W1 161-162) apa ya?? Yah pelukan (suara sepupu korban tertawa), ya pelukan, ya ciuman.. ya pokoke jenenge saling mencintai gimana sih. (P1W1 173-175) yo merencanakan.. pengene sih ya telu bae, ojo akehakeh. (P1W1 178-179) oo..KB. KBne KB suntik sing untuk tiga bulan sekali. (P1W1 187-188) yaa keprimen sih ya.. keprimen (tersenyum).. yah sing penting kan setia karo wong lanang, ngenteni wong lanang kapan baline, sing penting yah menjaga awake dewek lah supaya ning omah juga terpandang men lanange balik yoh ora ana omongan sih iki mah
Hubungan suami istri dilakukan ketika suami berada di rumah dan ingin melakukannya.
Bentuk cinta Rani pada suami ditunjukkan dengan kedekatan intim secara fisik.
Rani merencanakan untuk melahirkan tiga anak saja. Alat kontrasepsi jenis suntik dipilih untuk menghindari kehamilan yang tidak direncanakan. Selama ditinggal suami, tetap setia menunggu suami dan berusaha menjaga diri agar tidak menimbulkan gunjingan di masyarakat.
67
dolane karo iki kie lah dadine njaga awake dewek lah supaya neng omah aja..yo mungkin meh aja lanange diomong uwong ah bojone koe neng omah tukang dolan..ngene ngene..kue kan. Dadine kan menjaga dewek lah keprimen.. supaya men wong lanange mbok kane ah apa aku dene neng omah dewek koh ditinggal inyong gaweane dolan iku.. jadine inyong jaga sikap aja marang dewek keprimen. (P1W1 195-208) ya..dolan sih bisa dolan tapi ya dolan ketemu. Paling ya neng sekitar apa neng lingkungane dewek, sing adoh-adoh yo ora. Adoh juga paling pasar, kebutuhane dewek, ya uwis. Kebutuhan penuh ya mbalek. (P1W1 211-215) ya kenal kabeh..dadi ya umpama lunga, lunga karo sapa, misal karo Ani ya ngerti, karo Ani lungane. Lunga karo sapa, karo Isah, Isah ya ngerti. (P1W1 219221) yo aku juga ora pernah sih ya lunga karo wong lanang.. dadi ya (tertawa).. dadi ya umpamane lunga karo wong lanang juga paling sapa ya lanange kie berhubung sodara dadine apa ya yuh
Kecuali untuk membeli kebutuhan sehari-hari di pasar, Rani jarang pergi jauh, paling hanya di sekitar rumah.
Suami mengenal temanteman Rani dan tahu dengan siapa Rani pergi.
Rani membatasi pergaulannya dengan lawan jenis, kecuali dengan saudaranya.
68
lunga apa nggone makne aku dadi paling kaya kue..ora pernah maksudte dolan karo wong lanang kaya kue, ora. (P1W1 224229) iyo, ngerti..karna aku kan pernah mrana dadine kan paham si A si B ne.. dadi nak umpama aku lunga maring Pantai Pangandaran karo si umpama karo Games kayak kue,oo si Games.. kui paham. kayak iku. marang lunga aku kerja na tempat kie karo si kie..yo berarti aku ngerti wong neng kana aku juga madhan suwe kan dadi ngerti kahanane. (P1W1 232-238) yoo.. sering..sing sering yo karo wong-wong sing sering njagong neng kene kadang curhat primen-primen jare rika yo anggeraning koe primen-primen ya gari ngomong bae engko direwangi rika.. daripada nek urusan rumah tangga primen kui lik aku diseng maring Pangandaran tapi inyong ora kepeingin, akire jarene lilike aku yowis gari ngomong bae lirih-lirih supaya engko lanange koe terus memahami kaya kui tok..ora pernah sih njaluk bantuan maring wong sing seliyane wong kui sih miki neng kene.. paling yo karo
Rani mengenal teman-teman suami karena pernah ikut suami di Pangandaran. Ia pulang ke Pemalang ketika merasa tidak betah.
Rani tidak pernah menceritakan masalah rumah tangga pada ibunya tetapi pada saudara iparnya.
69
wong kiye, karo mamane aku juga ora pernah..ora pernah curhat karo mamane aku..paling yo kui tok miki..yo sering sih inyong tah kadang..apa sih lanange aku pengen ya aku kon melu nggone mertuane, aku ora gelem terusan padahal apa sih lananganku jengkel terusan lunga nggone mamane, yo tak jorna dening aku..engko angger dening mari jengkel jur balek dewek maring mene..(tertawa) engko mari jengkel bali dewek mene. (P1W1 252-271) ora, karo mamak ora pernah..lik juga bukan lilik asli tapi lilik ipar e. (P1W1 293-294) Alhamdulillah akur.. perekh terus ya. Primen sih ya Alhamdulillah perekh kabeh, ora ono masalah sih. Aku juga ngger ono masalah karo wong lanang ora pernah nggawa-nggawa keluarga gitu. Keluargane lanange aku yo ora pernah, jadi masalah e aku yo wis masalahe aku. (P1W1 274279) ya anggeraning weruh kanca-kancane aku pada neng Jakarta, pada kerja, kadang oiya ya aku ngapain nikah isih muda..haruse inyong apa..kerja sih ya,
Hubungan dengan keluarga suami berjalan harmonis. Rani tidak pernah membawabawa keluarga jika ada masalah dalam rumah tangganya.
Tetap dapat mengambil sisi positif dari pernikahannya ketika Rani merasa menyesal menikah muda. Rani merasa bersyukur ada suami yang mampu mencukupi
70
angger kerja aku mungkin seneng. Yo mungkin ana rasane kaya kue, tapi mensyukuri juga ana, oiya aku duwe lanangan ngene ya Alhamdulillah ono sing mencukupi aku..kan kaya kue. Ana sing nyandangi aku, ana sing ngazabna aku kaya kui. (P1W1 297-304) sikap e yo mungkin berubah ya, sedurunge menikah kan yo mungkin jenenge wong pacaran ya mlakune gandengan, siki kan wis ora ngapain mlaku gandenggandengan isin..nek mbiyen mlaku rangkulan, siki ngapain jare rangkulan siki kan gantian ngrangkul anake..mungkin mbiyen kan angger lunga, lunga bareng siki angger lunga-lunga bareng kon mlaku disit mana, inyong neng mburi bae, inyong isin (tertawa).. yo perubahane mungkin kaya kue. Sing masalah perubahan sayang sih mungkin ora lah ya, sing jenenge wong seneng wis dilakoni yo ora tapi masalah neng.. apa sih di muka umum, nek mlaku biasane gandengan saiki ora, biasane rangkulan saiki ora..yo kui tok perubahane, ora ono perubahan lain-lain sih. Ya mungkin kan siki wis duwe anak, dadi
kebutuhannya.
Setelah menikah, suami merasa malu terlihat mesra di depan umum dan menjadi lebih rajin bekerja setelah kelahiran anak. Selain itu, Rani tidak merasakan adanya perubahan rasa sayang suami terhadap dirinya.
71
perubahane lah inyong no ngomah orasahan sedelosedelo, inyong arep mangkat cepet kan kebutuhane wis luwih akeh..paling kui tok. (P1W1 309-327) yo perubahane lebih sayang maring aku kan, maksudte luwih perhatian, engko anggerane umpamane neng Pangandaran yo telpon, anake primen-primen, kaya kue.. sehat pora, koe sehat pora, gitu..ngono tok. (P1W1 330-334) ya pengaruh e apa sih ya.. ya mungkin karena aku isih umur muda ya, dadi nek lunga-lunga ya pingine aku dewek, ya kadang angger mlaku bareng anake, ngapa sih repot nggendong bocah.. ganu kan inyong mlaku dewekan, siki kan nggendongi bocah, kaya kui tok, kadang..tapi yo kadang apa sering ngganyami, kadang..primen sih jenenge emosi (tertawa)..maring anake kadang iyolah inyong egin enom wis duwe anak yo resikone kaya kie ya, arep dolan ora bisa kaya kue..arep ngapa-ngapa kudune anake diseng, wade kaya kue.. yo dening lanange, iyo yo..anggeraning donge ojo gidih bae lah duwe anak ya,
Rani merasakan bahwa suaminya semakin sayang dan perhatian padanya setelah menikah.
Memiliki anak di usia muda menimbulkan penyesalan dalam diri Rani. Tidak dapat bebas bepergian merupakan resiko yang disadari oleh Rani karena sudah memiliki anak di usianya yang masih muda.
72
anggeraning duwe anake emben kan, bisa dolandolan disit ya..ya mungkin kui resikone maring aku..yo wis. (P1W1 337-352) yo sing umpama luwih kenceng yo lanange sih..umpama wadul aku arep dolan we angger aku oleh naha..oh aja angger kae aja berarti lanange melarang yang nggak boleh kaya kue lho..nek aku kan umpama lagi batuk, jare lanange aku, ana tukang es kan, jare kon ojo maemi es, anake nangis kan ya dening aku tumbasaken, ya akire aku diganyami (tertawa).. kan aku weruh melas ya, nangis ya ditumbasaken, dening lanange aku, koe tah iya..bocah lagi watuk malah ditumbasi es dadine mangani es dadi tambah watuk..sing penting kan sama-sama sayang wong anake, sama-sama menyayangi lah. (P1W1 356-368) yaa ana sih, kebiasaan ngrokok neng ngarepe aku..aku paling wade. Nek njagong bareng i pasti ngrokok, wade pasti inyonge. (P1W1 371-373) ya minggir lih, nek ngrokok aja neng kene lih. (P1W1 376) yo jare “koe lah iya, angger
Rani akan segera mengabulkan keinginan anak bila melihat anaknya menangis. Meski terkadang berbeda pendapat dengan suami, sebenarnya mereka sama-sama menyayangi anak.
Kebiasaan suami merokok sering membuat Rani merasa jengkel.
Rani akan mengusir suaminya bila merokok didekatnya. Suami menyadari bahwa
73
ana wong ngrokok neng ngarepe lha ora ulih.. wis lah inyong ya lunga” trus inyong ngekek tok (tertawa). (P1W1 379-381) kebiasaan apik apa ya? Ya kebiasaan sing disenengi neng omah, wonge rajin sih ya dadi nyapu-nyapu kan yo membantu aku dadine kan inyong wis ora nyapu, biasane ya apa.. mberesi bajune dewek yo diberesi dewek, sing kotor dipisah sing bersih dipisah kaya kue dadine inyong kan seneng. Umpama aku arep nyuci, ngerti kui sing kotor kui sing bersih..yo kaya kue. Senenge wonge bersihan trus apa sih memahami iki lho apa membantu istri. Di dalam rumah tangga kui memahami membantu..memasak yen aku kerepotan ngurusi anak yo direwangi. (P1W1 384395) kebiasaan ngono ya? Mbiyen aku ki kebiasaane, kebiasaan mangan sih ya..nek mangan aku kan mbiyen ora seneng duren, saiki dadi melu-melu seneng.. terus kebiasaan apa sih ya.. kan akih sing ditiru tapi apa ora ngerti..ya kebiasaan apa..kebiasaan apa sih ya.. kebiasaan ngomong Sunda, ya, karena
Rani tidak tidak suka dirinya merokok dan memilih untuk pergi menjauh.
Suami mau membantu pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak membuat Rani merasa tidak kerepotan dalam pengerjaannya.
Rani mulai terbiasa menggunakan bahasa Sunda karena suami menggunakan bahasa Sunda.
74
apa..neng omah ya sering komunikasi karo orang Pangandaran kan ya dadi orang ngomonge sunda..karena kepingin tau kan..kadang mas aku warai dadine aku nek neng ngomah dek e ngomong Sunda, aku melu-melu ngomong Sunda (tertawa). (P1W1 403-414) iya..seumpama sebulan sekali. (P1W1 434) yaa..kadang sih ora..umpama kan takon disit, aku arep ngirim duit koe butuh opo ora..kadang neng omah durung terlalu butuh, simpen bae disit sih ya, aku durung terlalu butuh..tapi yen agepan kirim, terserah kirim ora ka iki. (P1W1 436-440) iya.. ya nemplok banget.. ora gelem pisah, malahan angger bapakne lunga ya nangis..kelangan. tapi ya mo gimana lagi, karena di desa Gunung Jaya kan kekurangan apa sih..kurang tenaga kerja ya..maksudte usahane neng kene kurang lah, ora kaya neng Pangandaran..neng Pangandaran kapan saja kita mau disitu ada pekerjaan. Tapi yo neng Gunung Jaya kan angel, nek masa terang iki kerja apa. Dadi ya sing akeh wong Gunung Jaya
Suami mengirim uang satu bulan sekali. Bila belum terlalu membutuhkan, Rani tidak meminta kiriman uang.
Berpisah dengan ayah membuat anaknya menangis kehilangan. Sedikitnya pekerjaan di desa membuat warganya bekerja di luar daerah.
75
mesti pokok e keluar dari desa sendiri lah kerjane. (P1W1 442-451) ketemunee no yo neng desane dewek sih..mbiyen kan sing jenenge bocah enom mlaku-mlaku kaya kue terus akire ketemu, jarene deweke njaluk nomer hapene maring kancane..akire telpon-telpon terus ketemuan, ee.. jadian..ee..mbojo.. (tertawa). (P1W1 461-465) oo..pacarane..yo ora pacaran, wong pacaran setengah taun. (P1W1 468469) lha daripada sekolah ora duwe biaya mending mbojo (tertawa) (P1W1 473-474) yo tekan lulus kelas enem sih ya.. trus lulus kelas 6 SD kan jare mamake, aku kerja bae wong sekolah ora duwe biaya..tapi nyong kerja ora betah-betah ya akire kan mumet-mumet..grang grong dolanan.. (tertawa) jare makne daripada neng omah nganggur, yo wis kenalan karo wong lanang, jare arep lamaran yo wis lah mana mbojo bae. (P1W1 478484) yaa..mau kan sing penting aku ya rutin KB bae lah..siki kan cilik, lha uwis angger kepingin siki, arep duwe
Sebelum pacaran, suami mendapatkan nomor telpon Rani dari teman dan mulai menjalin komunikasi. Rani berpacaran selama enam bulan.
Ketiadaan biaya membuat Rani tidak melanjutkan sekolah dan memutuskan untuk menikah. Lulus SD, Rani diminta ibunya untuk bekerja tapi tidak betah. Ibu mengizinkan untuk menikah saja.
Rani rutin menggunakan alat kontrasepsi dan memeriksa tanggalnya bila suami pulang agar tidak terjadi kehamilan
76
keturunan pira-pira tergantung karo awake dewek..yo ngatur bae lah. Wong sing penting kan jare siki KB naha ben ora kebobolan.. pokok e diatur KBne, pokok e jangan sampe telat kaya kui tok. Nek baline suwe sing dari tiga bulan sekali, angger arep bali, yo mengko dingin inyong tak ndeleng tanggal KB, engko ngger sampeyan balik primen, engko kebobolan (tertawa sambil berbincang dengan sepupunya). (P1W1 493503) yaa..apa sih..kalo ngaku puas ya mungkin puas ada puasnya, terus nyesel ada juga nyeselnya sih. (P1W1 506-507) yo maksudte disaat ndeleng batire seng seumurane aku pada kaya kae ya, pada jalan-jalan, pada senengseneng, aku kon neng omah karo ngurus bocah he. (P1W1 509-511) yo puas e ya ngapain kesirian batire sing pada maring Jakarta, wong aku be lanange kerja, ana sing aweh duit we (tertawa).. siki puas e kui tok, mbak.. (P1W1 513-515) ya wong lagi kasmaran yo tanpa..ndean ora duwe gambaran wong angger
setelah berhubungan seksual dengan suami.
Rasa menyesal menikah muda terkadang muncul dalam pikiran Rani.
Penyesalan menikah di usia muda timbul ketika Rani melihat teman-temannya dapat bebas bermain.
Merasa puas karena ada yang menafkahi dirinya.
Keputusan Rani menikah di usia muda tanpa disertai gambaran tentang kehidupan
77
inyong mengko wis duwe anak keprimen ya.. kayonge yo ora, kepikirane ah anakanak mengko mburi bae lah.. kaya kue lah..(tertawa). (P1W1 520524) ya sih..kalo ajaran maksudte ya..ya apa sih..wong inyong be wong muslim ya setiap..disaat mo sholat suami apa sih yo ya pada sembahyang..seperjanjian sholat ya wong jenenge wong muslim ya harus dilakoni terus..wong jenenge wong muslim yo wayah sembahyang yo di sembahyang eh wong sembahyang disembahyangi..wayah sembahyang yo dilakoni..gitu..wong kewajiban yo ditetepi. (P1W1 536-543) iya.. dadi sama-sama muslim gitu kan..Islam kan dadi nggak ada pengaruhnya sih. Palingan kadang wong lanang, batire pada pengajian mana sih melu pengajian. Dadi pada madhan wayah sembahyang mana sembahyang pada sembahyang.. kaya kue tok. (P1W1 549-553) ya luwih sregep saiki lah..mungkin kan saiki ana sing luwih ngingetna kadang nek lagi kober
pernikahan.
Memiliki keyakinan yang sama, tidak memberi pengaruh pada kehidupan rumah tangga. Suami lebih sering mengingatkan Rani untuk lebih giat beribadah.
Setelah berumah tangga dan memiliki anak, Rani menjadi rajin beribadah. Hal ini karena muncul kekhawatiran
78
sungkan..embuh lah sungkanan temen lah.. wong madan sembahyang ye sungkan. Dadi nek lagi lengohan kan lagi urung.. urung mbojo kan, lah ora ana sing ngurusi iki kaya kui (tertawa)..arep sembahyang ora sembahyang kan bodo amat..tapi sih ya..aku sing ngalami ya..apa..disaat rumah tangga, iya ya inyong wis rumah tangga, wis duwe anak berarti aku wis tuwek..nek ora njalani apa..ora sembahyang, apa nek inyong anggeraning mati enom keprimen? Ngono kepikirane.. Ora due amal ibadah secuil inyong keprimen matine, ora ana sangune. (P1W1 557-570) ya rencana sih..umpama kan..ya siki-siki kan anak e aku kan baru telung tahun ya, limang taun ya insya allah angger aku teyeng ya arepan TK..TK disit, angger wis TK nembe pan SD..ya mungkin angger suk mben sih yah, arep ngomong tekan sarjana, mbokan ora duwe biaya..ya keprimen ya..yang ada dijalani dulu. Yang penting intinya, saya punya, saya nabung buat besok dewasa dia. (P1W1 575-582) Sembarang.. sembarang dari
dalam diri Rani bila di usianya yang sudah tidak muda lagi, ia meninggal dunia dan tidak mempunyai amal ibadah sebagai bekal di kehidupan selanjutnya.
Rencana Rani untuk masa depan anaknya didasarkan pada kondisi ekonomi keluarga saat ini. Rani berprinsip bahwa bila ada penghasilan berlebih akan ditabung untuk masa depan anaknya.
Kebiasaan merokok suami
79
pacaran yo wis ngomong.. sejak muda sudah diketahui kan aku ngomong, Rani sejak masa pacaran. sampeyan kok ngrokok e kuat.. angger ana..angger ana ya pokok e sedina mangguwa terus..tapi angger ora ana ya ora kaiki.. ya emang dasare iya, nek ora ana ya ora ngrokok (P1W1 602-607) Analisis verbatim P1W2 Verbatim ya..kayane sih langka ya..mungkin ya sms (Short Messages Service) sih..apa telpon sih mungkin jarang..sms juga jarang tapi ya tetep sih lancar-lancar aja..umpama telung dina pisan apa limang dina pisan kan. (P1W2 6-10) oo..ya kan saling percaya aja kaya kue..terus ya umpama..umpama ngapangapa ya ngomong, umpama lanange telpon ya wong aku mau terus kie kie kie. (P1W2 16-19) saling percaya aja lah pokok e intine..aku percaya dia, dia percaya aku..gitu aja. (P1W2 21-22) (tertawa) yo njaluk..iya bener. Bener iyo njaluk, madhan keprimen.. ngomong dadine lha inyong kepengen e..(suara teman peneliti) berarti ya ngomong, sama, suami juga
Makna Komunikasi dengan suami tetap berjalan lancar meski hanya dilakukan tiga atau lima hari sekali.
Rani memegang prinsip saling terbuka dan percaya dengan suami.
Suami juga mau melayani hubungan seksual ketika Rani menginginkannya.
80
mau melayani (P1W2 27-30) yaa pasti ana lah ya.. wong kan ora mungkin rukun terus..pastine kadang..wong kadang kan apa ya kanca wadon e ana sing nelpon, apa..dadine kan aku sering wade lah karo lanange..engko wis dadi bojone aku mosok kancane isih nelpon-nelpon bae..masalah cemburu apa sih ya, ora pernah lah. Maksudte cemburu tekan lunga-lunga kaya kue, ora pernah. Paling juga ngomong, kaya kue tok. (P1W2 38-45) yo meneng bae..hehehe. kan ngerti karna dewek salah yo meneng bae, ora ngapangapa. (P1W2 49-50) ya kan..kalo apa ya..nganggo sing telung taun pisan, nganggo susuk kan ya..kan ora bisa kerja berat, nek kaya aku kan kerjane tani, ngangkati gabah, jagung, segala kan diangkat..dadine kan nek nganggo tiga taun sekali ya wedhi karena ora bisa njunjung berat-berat..karena aku kan kerjane juga berat, kaya kue. Nak sing sawah, kayu ya apa..dadine kan mbokan primen-primen (menimpali perkataan teman peneliti)..arep
Rani sering merasa kesal bila ada teman wanita suami yang menelepon suaminya. Kecemburuan Rani tidak membuat Rani memutuskan untuk meninggalkan suami, biasanya akan ia ungkapkan rasa cemburunya pada suami.
Suami akan penjelasan bila sedang cemburu,
memberi istrinya
Memilih alat kontrasepsi berupa suntik karena khawatir bila menggunakan susuk tidak dapat bekerja berat dan sayang jika uangnya hanya digunakan untuk penggunaan alat kontrasepsi.
81
nganggo sing sewulan pisan, masak iya arep suntik bae (suara teman peneliti)..duite bola bali nggo suntik. (P1W2 61-71) ya mamane..kan kalo angger karo mamane kan nyong..inyonge wedhi mbok mbebani mama..nek karo lilike kan, lilike juga bukabukaan maksudte apa sih menerangkane luwih..luwih jare aku luwih pinter lilike daripada mamane aku. Aku ora pingin ya.. membebani wong tuane aku kan maksudte wah iya anake inyong wis nikah kok dadine kaya kie kaya kie..dadine inyong emoh, isih mending aku cerita karo lilike..daripada karo mama kan inyong pikirane engko mama ngerti kisah e aku kaya kie mama nyesel nikahno aku isih enom..kaya kui. (P1W2 75-85) ya Alhamdulillah akrab terus ya, dasare sebelum.. sebelum kenal karo calon lananganku wis kenal karo keluargane akrab, dadi kanca karo mamane kui kan. Dadi yo wis akrab mbarang maune..kaya kue lho. Dadi ya..apa sih menyesuaikan dirine ya lebih mudah lah daripada karo mungkin ya sing urung kenal..sing wis kenal kan dadine inyonge ah
Tidak ingin menceritakan masalah rumah tangganya pada ibu agar tidak membebani pikiran ibu.
Sebelum mengenal suami, sudah lebih dulu akrab dengan keluarga suami. Penyesuaian diri dengan keluarga pasangan menjadi lebih mudah.
82
sifate wonge kaya iki iki iki dadine..ngana yo wis ngerti sifate aku kaya iki iki iki..dadi kan mudah lah menyesuaikan diri..ya Alhamdulillah ya wis ora menyesuaikan diri. Bisane kaya wong tuane dewek, ngana ya kaya anak wadon e dewek, kaya kui.. (P1W2 89-100) iya.. puas nggak puas.. puas e kan disaat lagi ana kan, Alhamdulillah aku ana sing ngazabna, ana sing nggetekna duit..dadi nek saat aku butuh apa-apa ya ana sing aweh iku kan. Disaat tidak puas e, disaat wong lanange pada ora oleh duit, bingung, pengen apaapa ya ora ana sing ditukokna, kaya kue. (P1W2 107-112) ya wonge ora gelem..maksudte nak koe kerja engko keprimen anake melas..langka sing njagani, gitu. Juga neng omah, umpama aku balik kerja langka uwong kan aku kesuh, jare kui..(berbincang dengan anak) (P1W2 118121) ya alesane ngono iki..karena aku kan due anak cilik, masak iya harus kerja..terus alesane ya saiki kan mbahku kaya kae..dadi ya..ya mungkin saat ini aku nggak
Perasaan puas dan tidak puas dirasakan Rani terhadap keadaan ekonomi rumah tangganya. Disatu sisi, Rani merasa puas karena ada orang yang dapat mencukupi kebutuhannya sedangkan rasa tidak puas dirasakan Rani ketika ia sedang ingin membeli sesuatu namun suami tidak mempunyai uang. Larangan untuk bekerja karena tidak ada yang mengurus anak dan keperluan suami saat pulang.
Berharap suatu saat dapat bekerja karena sekarang masih harus mengurus anak dan nenek yang sakit.
83
boleh kerja tapi nggak tau di masa depan nanti..nak untuk saat ini aku nggak boleh kerja alesane ya anake masih cilik, terus mbah e ya melune aku, berhubung mbah e kaya kae, kan ora bisa lunga-lunga, ora bisa ngapa-ngapa, ya neng ngomah bae.. (P1W2 123130) (terhenti sejenak karena anak merajuk) pengaruhe sih.. apa ya sing mempengaruhi..kadang ya nek ngomong kadang aku nek wis due anak kan sering kesuh karo anake dadinekan lanange madhan apalah dadi nesu-nesu karo lanange..dadine ya lanange madhan njengkel, gitu kan..terus ya kalo pengaruh sayange mungkin kan uwis dibagi..kadang kan luwih sayang nang anak kaya kue. (P1W2 138-145) ya kalo pembagian tugas ngurus anak sih ya, nggak ditugas ya, mbak, ya..karena kewajiban. Ngurus anak kan bagiane wong wadon kaya kie. Bisa nggak bisa ya ngatur apa sih pekerjaan rumah tangga karo ngurus anak ya harus bisa, gitu. Nek ngurus rumah tangga, umpama anake rewel, ya mending ngasuh disik lah, anake turu nembe pekerjaan
Rasa jengkel terhadap anak dilampiaskan pada suami.
Rani menganggap, selain berkewajiban mengurus anak, wanita juga harus mampu membagi waktu dalam mengerjakan pekerjaan rumah lainnya.
84
rumah dikerjain, kaya gitu. (P1W2 148-155) o yo ora, paling juga bojone aku ya apa sih perhatian dewek lah, bojone aku lagi sibuk ngurusi anak. paling ya bantu-bantu apa, rewangrewang apa, tanpa disuruh. Nek lagi sungkan yo pada bae ndableg. Ora dilakoni ..hehehe (P1W2 157-161) ya nek lanange madhan sungkan, ora ngrewangi ya ra papa, kan ya wong lanang kan, wis iki istilahe wong lanang kan ora mungkin ngurus pekerjaan rumah. Tapi nek lagi gelem, tanpa disuruh pun dia mau.. (P1W2 163-166)
Bila sedang tidak malas, suami mau membantu Rani mengerjakan pekerjaan rumah tanpa diminta.
Rani menyadari bahwa tugas mengurus rumah adalah kewajiban istri sehingga ia tidak menyalahkan suami bila tidak membantunya.
Analisis Verbatim P1W3 Verbatim Makna ya pantes sing lanang ndisit Suami lebih sering minta ya (tertawa) (P1W3 11) untuk melakukan hubungan suami istri. ya lagi urung due anak kan Sebelum memiliki anak, sama-sama mau, dadi nak Rani selalu mau bila diajak wong lanang omong, ya ayo melakukan hubungan suami kaya kui. Tapi nek pas tes istri. Setelah kehadiran anak, due anak se rong taun, koyo bila diajak berhubungan madan sungkan ya nek suami istri, Rani kadang diajaki, lah sungkan kaya merasa enggan untuk kue (tertawa) (P1W3 17- melakukannya. 20) yo embuh (tertawa) ora ngerti (tertawa) primen sih ya, wong sungkan (P1W3 23-24) yo ora kaiki, paham kaya Suami tidak memaksa
85
kue (P1W3 27) saling memahami..nek sungkan yo ora kaiki, kue (P1W3 29) lekase mbarang wis due anak ana setaun ya. Dadi kaya madan..madan jarang smsan, jarang nelpon kaya kui lho. Dadi paling yah rong dina nembe sms, nembe telpon kaya kue. Ora..dadi urung due anak kan sering, mben dina terus smsan, telponan kaya kue. Tapi mbarang wis due anak akire dasare nek angger lagi dolanan hape anake rewel sih ya, keprimen (tertawa). Kadang hapene dijaluk manding anake, yowis. (P1W3 43-51) melu pindah neng kana. Mulo aku emoh kan melu urip neng kana, neng nggone mertuane dadi aku emoh. Ya masalah dolan sih umpama neng kana sedina rong dina aku gelem tapi yen dodok neng kana, umpama pindah neng kana, aku emoh. Kaya kue. (P1W3 59-64) embuh (tertawa) ora betah sih ya nginthil mertua primen (P1W3 66-67) dadi seakan-akan ya..kaya primen sih..jenenge kaya..kaya wong numpang yen melu mertua dadi ngapa-ngapa yo ora kepenak
melakukan hubungan suami istri ketika Rani sedang tidak ingin melakukannya. Setiap hari Rani menggunakan handphone untuk berkomunikasi dengan suami yang berada di luar kota. Setelah memiliki anak, Rani jarang berkomunikasi dengan suami karena anaknya rewel saat Rani memegang handphone.
Rani tidak keberatan bila diajak pergi berkunjung ke rumah orang tua suami namun Rani enggan bila hidup satu rumah bersama keluarga suaminya.
Rani merasa tidak betah serta sungkan bila harus tinggal bersama mertua karena seolah-olah hidup menumpang.
86
(tertawa) (P1W3 69-71) ya kan lagi isih enom kan gandengan napa kan dadine ora isin karo tangga..lah nek wis due anak kan anggeraning gandengan tangan kan isin diluruhi tangga kui lho (tertawa). Siki malahane bareng wis mbojo kui adoh, ora tau gandengan, ora tau apa. Dadi pas dadi pacaran mah yo gandengan, lunga nengdi bareng tapi nek siki ora. Isin lah, wong jeneng wong urip neng ndesa, pastikan di luruhi uwong. Lho kae uwong koh ndadakan gandeng-gandengan kaya lanange dijaluk (tertawa) (P1W3 87-96) apa sih ya? Kebiasaan..apa sih, kaya wong langka ya. Paling ngomong-ngomong kui, ngomong Sunda kaya kue, dadi ditiru. Kan wong lanange aku kan kerjane neng Pangandaran sering ngomong Sunda ya, dadi pengen ngerti ya tironan (tertawa) (P1W3 101-105) ya tujuane (tertawa), kan kaya aku.. (P1W3 118) orang wong ora kui ya..opo arane wong ora mampu terus lorone karena aku wong tuwane pisahan dadine tujuane aku ya supaya ana sing nanggung jawabi uripe aku kaya kui
Setelah menikah, Rani justru tidak pernah bergandengan tangan saat pergi bersama suami karena malu ditegur tetangga.
Sambil belajar, lama-lama Rani mulai mengikuti kebiasaan suami menggunakan bahasa Sunda saat bercakap-cakap.
Tujuan Rani menikah adalah agar ada orang yang dapat mencukupi kebutuhannya.
87
lho. Kan lagi mamane cerai kan arep sekolah ora due biaya, arepane kerja, kerjane apa wong secara lulusan, lulusan SD ya kan, paling juga rumah tangga, gajiane sepira kaya kui kan. Lha akire pelarian maring pernikahan kaya kue men supaya uripe aku ana sing nanggung jawabi aku, ana sing mbiayani, kaya kui lho (P1W3 120-129) ya Alhamdullilah (tertawa) Saat ini, tujuan Rani menikah sudah terpenuhi. (P1W3 131) Analisis Verbatim P1W4 Verbatim ya anggerane neng kana..apa...ndesane lanange aku kan kerjaane luwih penak tapine akune emoh kaya kue, emoh sing mana. Ya emang anggeraning neng desane lanange aku kan kerjaane perek tur wau ngetan ngulon maksude kerjaane tapi inyonge emoh diseng mana kaya kue. (P1W4 7-12) Netep neng anu sih..neng Bangkok tapi inyong ora gelem. (P1W4 19-20) ora pernah sih (tertawa) urung ana (P1W4 23) he’em (P1W4 25) iya. Lancar aja. (P1W4 27) ya sih mending due anak sisan daripada menunda (tertawa) (P1W4 32-33)
Makna Rani tetap tidak ingin tinggal bersama keluarga suami meski disana pekerjaan mudah diperoleh.
Suami akan menetap di Bangkok bila Rani mau tinggal bersama keluarganya. Selama menikah, Rani belum pernah mengalami konflik dengan keluarga suami. Rani tidak memiliki keinginan untuk menunda kehamilan setelah resmi
88
maksude..(berbicara kepada anaknya) ya kan angger wis due anak kan tenang, ora due beban, ah kok nyong rung due anak-anak sih, kaya kue, dadinekan apa sih, angger wis due anak wis tenang maksude (tertawa) (P1W4 35-39) ya mulai dari anak udah..sebulan. (P1W4 42) he’em. Berarti ya setaun ntes nikahan lah berarti. Ya ora lah, setaun luwih (P1W4 44-45) he’em, wis lair umur satu bulan, njuk aku nembe KB. (P1W4 47-48) yo urung lah (tertawa). Anake isih cilik (tertawa) (P1W4 51) yaa.. (P1W4 53) urung..urung ana rencana (tertawa) (P1W4 55) urung ana rencana, pingine ya engko anake wis gedhe dingin terus akune maksude bebas usaha dingin. (P1W4 57-59) ya maksude ya melu wong lanang ngko anak egin wis gedhe umpama arep tani arep apa kan anake wis gedhe ora rewel kaya kue. (P1W4 61-63) apa ya? Ora sih, perubahan apik biasa-biasa aja (P1W4 68) ora sih, ora ana pengaruh
menikah. Rani ingin segera memiliki anak setelah menikah agar merasa tenang karena tidak terbebani pemikiran mengenai kehadiran anak dalam pernikahannya.
Satu bulan setelah kelahiran anak, Rani memutuskan untuk menggunakan alat kontrasepsi.
Saat ini, Rani belum berencana memiliki anak kedua karena anak pertamanya masih kecil. Alasan lain Rani menunda kehamilan karena Rani masih ingin bekerja membantu suami.
Rani berencana bekerja membantu suami mencari nafkah bila anak pertamanya sudah tidak rewel saat ditinggal bekerja. Tidak ada perubahan dalam diri Rani maupun suaminya setelah kelahiran anak. Tidak adanya jadwal tertentu
89
apa-apa ya (tertawa) (P1W4 dalam melakukan hubungan seksual tidak berpengaruh 82) terhadap kehidupan rumah tangga Rani. yo sing lanang (P1W4 89) Selama tidak bekerja di ya kerjane tani, biasa, pada Pangandaran, suami Rani bae kaya nang Pangandaran tetap bekerja sebagai tani di Pemalang. (P1W4 91-92) d. Kategori data partisipan 1 Langkah selanjutnya setelah memberi makna pada jawaban partisipan, penulis mulai membuat kategorisasi. Proses kategorisasi menghasilkan beberapa kategori yakni: 1. Pengaturan keuangan dalam rumah tangga 2. Komunikasi dengan suami 3. Pembagian tugas suami dan istri dalam rumah tangga 4. Hubungan Rani dengan keluarga, baik keluarga kandung maupun keluarga pasangan 5. Hubungan Rani dengan teman 6. Pemenuhan kebutuhan seksual 7. Perencanaan kelahiran anak 8. Konflik rumah tangga 9. Penyelesaian konflik yang terjadi 10. Kehidupan beragama 11. Timbul penyesalan menikah muda saat melihat teman sebaya belum menikah e. Kesimpulan partisipan 1 Rani merupakan anak pertama dari pernikahan ibu dan ayah kandungnya. Sejak orang tuanya bercerai, Rani diasuh oleh nenek yang merupakan ibu dari ibu kandungnya. Setelah
90
menyelesaikan bangku sekolah dasar, Rani tidak melanjutkan pendidikannya karena ketiadaan biaya. Akhirnya, ibu Rani pun
menyarankan
untuk
mencari
pekerjaan
daripada
menganggur di rumah. Bermodalkan ijazah SD Rani berangkat ke Jakarta untuk bekerja. Dengan alasan tidak betah bekerja di Jakarta, Rani memutuskan berhenti bekerja dan pulang ke Pemalang. Sesampainya di Pemalang, Rani pun kembali menganggur hingga akhirnya bertemu Hasan, suaminya saat ini. Perkenalan Rani dan Hasan terjadi ketika mereka sedang jalan-jalan di sekitar desa. Hasan yang tertarik pada Rani mulai berusaha mencari nomor telepon Rani melalui teman-temannya. Komunikasi mulai terjalin ketika Hasan sudah menemukan nomor telepon Rani dari seorang teman. Seiring berjalannya waktu, Hasan dan Rani akhirnya memutuskan bertemu langsung. Setelah merasa saling cocok, Hasan dan Rani memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih serius. Setelah berpacaran selama kurang lebih enam bulan, Rani dan Hasan mengutarakan keinginan mereka unutk menikah kepada orang tua masing-masing. Izin menikah Rani peroleh dari ibunya dengan alasan daripada anaknya menganggur di rumah maka lebih baik dinikahkan saja. Setelah resmi menikah, suami pernah meminta Rani untuk tinggal bersama keluarga suami. Jika tinggal bersama mertua, suami tidak akan kembali bekerja di Pangandaran karena di sekitar rumah keluarga suaminya tersedia lapangan pekerjaan bagi suami. Rani pun menolak ajakan tersebut dan
91
lebih memilih tetap tinggal bersama nenek di rumah yang sudah ditempatinya sejak masih kecil. Merasa hidup menumpang di rumah mertua membuat Rani merasa tidak nyaman dalam melakukan aktivitasnya. Keengganan Rani tinggal bersama mertua tidak membuat hubungannya dengan keluarga suami bermasalah. Setiap satu minggu sekali Rani akan mengunjungi rumah mertuanya yang berjarak kurang lebih dua kilometer. Saat diajak menginap satu atau dua hari di rumah mertuanya pun Rani tidak akan menolak, asal tidak tinggal menetap disana. Keluarga suami yang merupakan tetangga dekat rumah ibu kandungnya membuat Rani merasa tidak kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri. Hal ini membuat Rani merasa bersyukur karena Rani sudah mengenal dekat keluarga suaminya jauh sebelum mereka menikah. Meski dekat dengan keluarga suami, Rani dan hasan sepakat tidak akan melibatkan keluarga ketika ada masalah dalam rumah tangga mereka. Tidak ada campur tangan keluarga
dalam
masalah rumah tangga
menyebabkan
hubungan Rani maupun Hasan dengan mertua tetap berjalan harmonis, begitu pula dengan hubungan kedua keluarga. Saat masalah tidak kunjung selesai, Rani hanya akan meminta saran kepada bibi iparnya mengenai penyelesaian masalah yang baik. Dengan bercerita kepada orang terdekatnya, Rani berharap agar masalah cepat selesai dan tidak membebaninya. Rani tidak ingin menceritakan masalahnya pada ibu kandungnya karena tidak ingin ibu merasa terbebani dengan
92
permasalahan rumah tangga Rani hingga merasa bersalah sudah mengizinkan Rani menikah muda. Hasan yang sudah menjadi suami memutuskan tidak mengizinkan Rani bekerja dengan alasan agar fokus mengurus rumah serta anaknya kelak. Ketika Rani merasa bosan berada di rumah, Rani akan meminta izin bekerja kepada suaminya. Jika lokasi tempat Rani bekerja berada tidak jauh dari rumah dan masih berada di sekitar desa tempat tinggal mereka, suami akan memberi Rani izin bekerja di luar rumah. pekerjaan yang biasa Rani kerjakan adalah sebagai buruh pengupas kulit melinjo atau tani di sawah tetangganya. Satu tahun menikah, Rani akhirnya dikarunia seorang putra. Sejak awal menikah, Rani dan suami memang sudah merencanakan segera memiliki anak. Setelah anak berusia sekitar satu bulan, Rani dan suami sepakat menggunakan alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan. Rani memilih menggunakan alat kontrasepsi berupa suntik setiap tiga bulan sekali. Rani lebih memilih suntik setiap tiga bulan sekali karena lebih murah dan tidak menghambat aktivitas sehariharinya. Kehadiran anak membuat Rani memiliki kesibukan baru yakni mengurus putranya. Sementara suami kembali bekerja di Pangandaran, sekarang sebagian besar waktu Rani dihabiskan untuk mengurus anak dan neneknya yang jatuh sakit. Rani pun menyadari jika larangan bekerja dari suami adalah untuk kebaikan putra mereka yang masih kecil dan membutuhkan perhatian orang tuanya. Selain itu, kondisi
93
kesehatan nenek yang tidak stabil juga menjadi pertimbangan Rani tidak bekerja di luar rumah. Rani yang sudah diasuh neneknya sejak usia sembilan tahun, tepat ketika kedua orang tuanya bercerai, membuat Rani sangat dekat dengan neneknya. Ketika neneknya sering sakit, Rani selalu berusaha mengobati neneknya dengan membawa ke rumah sakit. Namun, keterbatasan biaya serta usia nenek yang sudah tua membuat Rani memutuskan merawat sendiri neneknya di rumah. Rani mengaku ikhlas melakukan semua pekerjaan rumah tangga karena Rani sadar bahwa tugas utama seorang istri adalah mengurus anak dan rumah. Saat suami pulang ke rumah, Rani tidak memaksa suami agar membantunya menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Rani berusaha membagi waktu sebaik mungkin antara mengurus anak dan rumah. Suami yang terkadang mau terlibat dalam pekerjaan rumah atau mengasuh anak cukup membuat Rani merasa lebih ringan dalam melakukan tugasnya. Hingga sekarang usia anak menginjak tiga tahun, Rani belum berencana melepas alat kontrasepsinya karena ingin membantu suami bekerja setelah usia anak pertamanya cukup besar untuk ditinggal bekerja. Rani tetap berharap agar dapat bekerja untuk membantu suami mencukupi kebutuhan seharihari. Suami Rani merupakan seorang buruh yang bekerja di Pangandaran dan pulang setiap satu atau tiga bulan sekali. Sumber penghasilan yang hanya berasal dari suami membuat Rani harus pandai dalam mengatur keuangan rumah
94
tangganya. Bila sedang ada pendapatan berlebih atau ada sisa uang untuk membeli keperluan sehari-hari, Rani akan menyimpannya sebagai tabungan. Keperluan sehari-hari biasa Rani
beli
di
pasar
sedangkan
jajan
anak
biasanya
menggunakan uang untuk membeli rokok suami ketika berada di rumah. Hal ini Rani lakukan selain untuk menghemat pengeluaran juga agar kebiasan merokok suami dapat berkurang. Rani menyadari bahwa sulit untuk menghilangkan kebiasan merokok suami sudah dilakukan sejak mereka masih pacaran. Kebiasan tersebut sering membuat Rani merasa jengkel pada suaminya. jika suami merokok didekatnya, Rani tidak
segan
menegur
atau
bahkan
menyuruh
suami
menyingkir dulu. Mengetahui Rani sering marah bila suami merokok, Hasan memilih untuk merokok di tempat yang letaknya jauh dari Rani berada. Rani dan Hasan yang sejak awal menikah sudah tinggal terpisah menjadikan komunikasi sebagai faktor penting dalam menjaga kelanggengan rumah tangga. Rani yang tetap berada di Pemalang sedangkan Hasan tinggal dan bekerja di Pangandaran sering melakukan komunikasi melalui handphone dengan bertukar pesan (SMS) atau telpon. Dengan demikian, Rani dan Hasan tetap dapat saling mengabarkan keadaan masing-masing setiap saat. Di awal pernikahan, komunikasi lebih sering dilakukan saat Rani dan Hasan belum dikaruniai
anak.
Komunikasi
dengan
menggunakan
handphone hampir dilakukan setiap waktu. Rani dan Hasan
95
biasa saling menceritakan aktivitas masing-masing serta mengenalkan teman pada pasangan. Setelah kehadiran anak, komunikasi mulai jarang dilakukan karena Rani sibuk mengurus anak hingga jarang menggunakan handphone. Saat anak menginjak usia balita, Rani tetap jarang menggunakan handphone bila sedang bersama anaknya. Selama Hasan berada
di
Pangandaran,
Rani
selalu
mengabarkan
perkembangan anak kepada suami. Selama ditinggal suami bekerja di Pangandaran, Rani juga berusaha selalu menjaga nama baik suami saat bersosialisasi di masyarakat. Rani mulai membatasi diri dengan tidak bepergian jauh bersama lawan jenis yang bukan saudaranya. Hal ini Rani lakukan untuk menghindari prasangka di masyarakat. Setelah menikah, Rani juga mulai jarang pergi bersama teman-teman wanitanya. Dengan temantemannya, Rani biasa pergi ke pasar bersama untuk berbelanja kemudian segera pulang. Selain pergi bersama ke pasar, Rani pun terkadang ikut pengajian bersama mereka. Mengenai ibadah, setelah menikah Rani merasa bahwa dirinya lebih rajin beribadah terutama sholat wajib. Resmi menikah tidak membuat Rani dan Hasan bebas mengekspresikan rasa sayang pada pasangan di depan umum. Saat pergi bersama, Rani dan Hasan sudah tidak pernah bergandengan tangan lagi seperti saat masih pacaran. Sikap ini dilakukan Rani agar tidak menjadi bahan omongan serta mendapat teguran dari tetangga. Teguran biasa ditunjukkan dengan ucapan seperti “lho kae uwong koh ndadakan
96
gandeng-gandengan kaya lanange dijaluk”. Ketika berada di rumah, rasa sayang Rani pada suami ditunjukkan dalam bentuk pelukan maupun ciuman. Semua itu Rani lakukan untuk menjaga kelanggengan rumah tangganya. Tinggal terpisah dengan suami juga berdampak pada kehidupan seksual Rani dan suami. Hubungan seksual hanya dilakukan ketika suami pulang ke Pemalang yakni setiap satu atau tiga bulan sekali. Sebelum memiliki anak, Rani akan melayani kebutuhan biologis suaminya, begitu pula dengan suami yang mau melayani kebutuhan biologis Rani. Perubahan mulai terjadi semenjak kehadiran anak. Saat suami berada di rumah, Rani selalu memastikan tanggal jadwalnya suntik agar tidak terjadi kehamilan yang tidak direncanakan. Rani pun terkadang enggan melakukan hubungan seksual meski suami sudah memintanya. Suami tidak memaksa ketika Rani sedang tidak ingin melakukan hubungan seksual. Tidak terjadwalnya hubungan seksual antara Rani dan Hasan tidak berpengaruh dalam kehidupan rumah tangga mereka. Rani pun tetap merasa puas dengan kehidupan seksualnya bersama suami. Selama menikah, Rani pernah ikut bekerja membantu suami di Pangandaran namun hanya sebentar. Selama di Pangandaran, Rani tinggal bersama suami yang menetap di rumah saudaranya disana. Pengalaman sempat tinggal di Pangandaran membuat Rani akhirnya mengenal lingkungan tempat tinggal suami, termasuk teman-teman suami selama berada di Pangandaran. Dalam pergaulan sehari-hari, baik
97
suami maupun teman-temannya sering menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa utama. Kebiasaan tersebut akhirnya berpengaruh dalam komunikasi suami dengan Rani. Suami terkadang juga menggunakan bahasa Sunda ketika berbincang dengan Rani. Akhirnya Rani mulai terbiasa mendengarkan bahasa Sunda dan meminta suami mengajari bahasa Sunda. Meski sudah mengenal lingkungan tempat tinggal suami di Pangandaran, cemburu tetap dirasakan Rani ketika suaminya tidak kunjung pulang atau saat suami berada di Pemalang
ada
wanita
yang
menghubungi
suaminya.
Kecemburuan tersebut diakui Rani karena rasa sayangnya pada suami. Ketika istrinya cemburu, Hasan hanya akan menjelaskan kepada Rani wanita yang menghubunginya adalah temannya di Pangandaran. Dalam berumah tangga, Rani memiliki prinsip untuk saling terbuka dan percaya dengan pasangan. Selama hampir empat tahun menikah, rasa menyesal menikah di usia muda pernah dialami Rani. Keputusan Rani menikah di usianya yang masih muda tanpa memiliki gambaran kehidupan pernikahan akhirnya membuat Rani menyesal saat melihat teman sebayanya yang belum menikah. Disaat teman sebayanya masih bebas pergi main dan bekerja, Rani sudah memiliki kewajiban mengurus keluarga. Memiliki anak di usia yang relatif muda memerlukan kesabaran dalam pengasuhannya. Rani yang terkadang jengkel atau marah dengan
kelakuan
anak
seringkali
melampiaskan
rasa
marahnya pada suami. Sikap Rani tersebut seringkali akhirnya
98
membuat suami juga merasa jengkel. Di sisi lain, kehadiran anak juga dirasakan Rani semakin membuat Hasan semakin perhatian dan sayang pada Rani serta putra mereka. Seiring berjalannya waktu, rasa menyesal menikah muda pun perlahan memudar berganti dengan rasa puas terhadap pernikahannya. Kepuasan timbul disaat Rani merasa tujuannya menikah sudah tercapai yaitu ada orang yang selalu memperhatikan
serta
menafkahinya.
Rani
juga
mulai
merencanakan masa depan untuk anaknya. Saat anak berusia lima tahun, Rani berencana memasukkan anaknya ke taman kanak-kanak.
Selepas
dari
taman
kanak-kanak,
Rani
berencana menyekolahkan anaknya ke sekolah dasar. Hingga saat
ini
Rani
tidak
ingin
terlalu
berharap
mampu
menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi melihat kondisi ekonomi rumah tangganya sekarang. Rani hanya ingin melakukan yang terbaik untuk masa depan anaknya. f. Triangulasi partisipan 1 Nama
: Hasan (nama samaran)
Tempat, tanggal lahir
: Pemalang, 28 Oktober 1987
Pendidikan terakhir
: SD
Pekerjaan
: buruh
Status pernikahan
: menikah
Usia saat menikah
: 22 tahun
Tahun menikah
: 2009
Usia pernikahan
: 4 tahun
Selisih usia dengan istri : 8 tahun Jumlah anak
: 1 orang
99
Tinggal di
: rumah sendiri
Alamat
: Guci, Gunung Jaya
Anak ke
: 1 dari 2 bersaudara
Agama
: Islam
Suku
: Jawa Triangulasi dengan suami partisipan dilakukan tiga
kali yakni pada tanggal 30 Agustus dan 23 November 2013. Triangulasi terakhir dilakukan pada tanggal 1 Februari 2014. Sebelumnya penulis sudah menghubungi langsung Hasan guna menanyakan kesediannya untuk diwawancara mengenai kehidupan pernikahan. Ketika persetujuan wawancara sudah penulis terima, penulis berjanji akan mengabari kembali kapan akan dilakukan wawancara. Pertemuan pertama untuk triangulasi dilakukan sore hari tanggal 30 Agustus 2013 di rumah partisipan. Saat penulis datang, Hasan berada di belakang rumah sedang mengurus hewan peliharaannya. Wawancara dimulai setelah penulis memberitahu Hasan bahwa identitas Hasan akan disamarkan dalam laporan penelitian dan selama proses wawancara, penulis akan menggunakan handphone sebagai alat perekam. Hasan pun tidak keberatan dengan penggunaan alat perekam. Hasan pertama kali melihat partisipan saat Hasan sedang pergi ke rumah temannya di Gunung Jaya. Dari temannya, Hasan akhirnya mengetahui nama dan nomor telpon partisipan. Setelah berpacaran beberapa bulan, Hasan dan partisipan akhirnya
memutuskan untuk
menikah.
100
Keinginan Hasan untuk menikah adalah untuk memiliki rumah tangga sendiri bersama istri dan anaknya. Sebelum hingga setelah menikah, Hasan bekerja di Pangandaran sebagai pencari buah dan menjualnya di toko buah. Selama bekerja di Pangandaran, tidak ada jadwal tertentu pulang ke Pemalang. Terkadang Hasan pulang ke Pemalang setiap satu bulan sekali atau dua bulan sekali. Di Pangandaran, Hasan berusaha mengirim uang keperluan sehari-hari satu bulan sekali, tergantung pendapatan yang diperoleh. Keadaan ekonomi diakui Hasan sering menjadi sumber masalah dalam rumah tangganya. Pekerjaan Hasan sebagai pencari buah membuat penghasilan Hasan tidak menentu karena tergantung musim. Untuk mengatasi masalah tersebut, Hasan mencari pekerjaan sambilan dengan bertani. Dalam rumah tangganya, Hasan merupakan tulang punggung keluarga karena Hasan tidak mengizinkan istri bekerja. Menurutnya, bila sudah menikah, mencari nafkah merupakan kewajiban suami bukan istri. Selama berpisah dengan istri, Hasan mengaku tidak mengalami kendala dalam hal komunikasi. Komunikasi biasa dilakukan dengan menggunakan handphone. Hasan dan istri biasa saling mengabari aktivitas masing-masing sehingga sama-sama tahu apa yang sedang dilakukan pasangan bila sedang tidak bersama. Meski tidak dapat sering bertemu, istri selalu mencoba membantu suami bila sedang mengalami masalah. Istri akan berusaha untuk membantu Hasan mencari jalan keluar. Selain tidak mengalami kendala mengenai
101
komunikasi, Hasan juga tidak merasa memiliki kendala dalam kehidupan seksualnya. Bila ingin melakukan hubungan seksual, Hasan memilih untuk segera pulang ke Pemalang. Meski demikian, Hasan mengaku bahwa tidak ada jadwal khusus untuk melakukan hubungan seksual. Sejak awal menikah, Hasan sudah merencanakan untuk segera memiliki anak. Setelah menikah dan memiliki anak, Hasan mengaku semakin bahagia dan sayang dengan keluarganya. Kehadiran anak juga membuat rumah tangga Hasan menjadi semakin ramai. Hasan memiliki keinginan untuk memiliki banyak anak karena menurutnya, banyak anak akan mendatangkan banyak rejeki. Namun, melihat ekonomi keluarga bergantung pada pekerjaannya yang serabutan, Hasan dan partisipan memutuskan untuk menggunakan alat kontrasepsi. Pemasangan alat kontrasepsi mulai dilakukan setelah kelahiran anak pertama sedangkan untuk kelahiran anak kedua, Hasan mengaku belum berencana untuk memiliki anak kedua. Ketika berada di rumah, Hasan menyediakan waktu khusus untuk istri dan anaknya. Terkadang mereka pergi jalan-jalan bersama untuk refreshing. Selama berada di Pemalang, tidak banyak pekerjaan yang dilakukan Hasan. Bila sedang tidak ada yang membutuhkan jasa sopir carteran, Hasan memilih menghabiskan waktu luangnya dengan pergi memancing, mengurus burung peliharaan atau mengasuh anak di rumah. Kebiasaan Hasan memancing hingga lupa waktu sering membuat sang istri marah. Bila istrinya sudah marah
102
karena masalah tersebut, Hasan berusaha untuk mengurangi kegiatannya memancing. Dalam mengungkapkan rasa sayangnya pada istri, Hasan mengaku tidak mengalami kendala. Rasa sayang biasa ditunjukkan
Hasan
dengan
mencium
kening
istri,
mengajaknya jalan-jalan bersama hingga memasakkan nasi goreng untuk sang istri. Ketika sedang ada masalah dalam rumah tangganya, Hasan pun memilih untuk tidak meminta bantuan orang lain karena menurutnya, masalah rumah tangga harus diselesaikan mereka berdua. Untuk hubungan pertemanan, Hasan dan istrinya sudah saling mengenal teman masing-masing. Hasan tidak melarang istrinya untuk pergi bersama teman-temannya dan tidak masalah bila istri pergi bersama temannya. Berbeda dengan dirinya, istri akan marah saat mengetahui Hasan pergi bersama teman perempuannya. Agar kemarahan istri segera mereda, Hasan berusaha membujuknya dan mengajak istrinya pergi makan bakso bersama. Setelah resmi menikah, saat berada di Pangandaran, Hasan jarang pergi bersama teman karena harus bekerja. Bila sedang berada di rumah, Hasan masih sering main bersama temannya, bahkan terkadang temannya main ke rumah Hasan. Dalam rumah tangga Hasan, terdapat pembagian tugas antara dirinya dan istri. Istri bertugas untuk memasak dan mencuci sedangkan suami bertugas untuk membersihkan rumah. Adanya pembagian tugas mungkin merupakan sebagai upaya menjaga kelanggengan pernikahannya. Cara lain yang
103
Hasan terapkan agar pernikahannya langgeng adalah dengan menumbuhkan sikap saling percaya terhadap pasangan serta menjaga komunikasi. Ketika Hasan ingin mengajak istrinya tinggal
bersama
keluarganya,
Hasan
mengungkapkan
keinginannya serta mempertimbangkan keinginan istri juga. Keinginan Hasan untuk pindah ke rumah keluarganya karena disana ada pekerjaan yang dapat dikerjakan oleh Hasan tanpa perlu kembali ke Pangandaran. Menjaga komunikasi dengan baik juga Hasan terapkan dalam hubungannya dengan keluarga pasangan. Selama menikah, Hasan mengaku tidak pernah memiliki masalah dengan keluarga istrinya. Sekali waktu Hasan akan pergi mengunjungi rumah mertuanya. Berusaha untuk selalu berpartisipasi dalam acara keluarga pasangan merupakan cara Hasan untuk menyesuaikan diri dengan keluarga pasangan. Secara keseluruhan, Hasan merasa puas dengan pernikahannya karena tujuannya menikah sudah tercapai yakni memiliki anak dan istri. Kepuasan juga dirasakan Hasan dalam pembagian tugas rumah tangga serta kehidupan seksualnya. Setelah menikah pun, Hasan dan istrinya menjadi semakin rajin beribadah. Triangulasi ketiga dilakukan pada tanggal 1 Februari 2014. Sebelum bertemu dengan Hasan, penulis mengabari terlebih dahulu tentang maksud dan tujuan pertemuan. Hasil wawancara mengungkapkan bahwa Hasan merasa bahwa istrinya sudah merasa puas dengan kehidupan pernikahannya. Menurut
Hasan,
komunikasi
dan
rasa
sayang
yang
104
ditunjukkan dengan adanya rasa saling pengertian membuat istrinya merasa puas dengan pernikahan yang dijalaninya. g. Member check Penulis melakukan member check pada partisipan 1 tanggal 30 Agustus 2013. Penulis menyerahkan transkrip beserta rekaman pembicaraan untuk di koreksi kembali oleh partisipan. Koreksi di berikan pada dua transkrip wawancara yang sudah dilakukan. Jumlah koreksi yang diberikan ada sekitar lima hingga enam kata. Koreksi diberikan pada kata yang dirasa tidak sesuai dengan yang diucapkan oleh partisipan. Setelah dirasa cocok oleh partisipan, partisipan mengembalikan
lembar
transkrip
dan
bersedia
menandatangani surat pernyataan persetujuan tentang laporan verbatim. Member check kedua penulis lakukan pada tanggal 18 November 2013. Member check kembali dilakukan di rumah bibi partisipan. Seperti pada member check sebelumnya, penulis menyerahkan transkrip wawancara beserta rekaman wawancara. Pada member check kali ini, partisipan setuju dengan hasil transkrip wawancara yang sudah penulis buat. 2. Partisipan penelitian 2 a. Gambaran umum Nama
: Devi (nama samaran)
Tempat, tanggal lahir
: Pemalang, 8 Oktober 1993
Pendidikan terakhir
: SD
Pekerjaan
: ibu rumah tangga
Status pernikahan
: Menikah
105
Usia saat menikah
: 15 tahun
Tahun menikah
: 2008
Usia pernikahan
: 5 tahun
Selisih usia dengan suami : 10 tahun Jumlah anak
: 1 orang
Tinggal di
: rumah sendiri
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Alamat
: Jurang Jero, Kuta
Anak ke
: 1 dari 2 bersaudara
Partisipan
merupakan
anak
pertama
dari
dua
bersaudara. Saat ini, adik partisipan masih duduk di bangku SD kelas 2. Devi lahir dan besar di Pemalang dengan kedua orang tua yang juga merupakan warga asli Pemalang. Ayahnya bekerja sebagai buruh di Jakarta sedangkan ibunya hanya sebagai ibu rumah tangga. Menurut cerita Devi, sejak ibunya mengandung Devi, ayah sudah bekerja di Jakarta dan jarang pulang. Meski jarang pulang, setiap beberapa bulan sekali, ayahnya mengirim uang untuk kebutuhan sehari-hari. Ketika Devi lahir, ayahnya masih bekerja di Jakarta dan baru bertemu Devi ketika sudah berusia dua setengah bulan. Keadaan ekonomi orang tua yang pas-pasan membuat Devi tidak mampu melanjutkan sekolah. Tamat SD, Devi memutuskan untuk bekerja di Jakarta. Bersama teman, Devi berangkat ke Jakarta dan bekerja sebagai pengasuh anak di sebuah keluarga. Saat di Jakarta, Devi berkenalan dan menjalin hubungan serius dengan seorang pria asal Karawang,
106
Jawa Barat. Hubungan Devi dengan pacarnya tidak direstui oleh keluarga Devi karena daerah asal keluarga pacar yang jauh dari rumah Devi. Meski merasa kecewa, Devi tetap mengakhiri hubungannya dengan pacar karena tidak ingin dianggap sebagai anak durhaka. Devi bertahan kerja di Jakarta selama satu tahun sebagai pengasuh anak. Setelah berhenti bekerja, Devi kembali ke Pemalang dan menganggur di rumah. Selama tidak bekerja, kegiatan Devi di rumah hanya bermain-main. Perkenalan Devi dengan Karso (nama samaran), suami saat ini, terjadi setelah Devi pulang dari Jakarta. Devi mengenal Karso
dari
temannya
yang
diminta
Karso
untuk
mengenalkannya. Pada awal pertemuan, Devi merasa tidak tertarik pada Karso. Setelah lama mengenal, Devi pun akhirnya jatuh hati pada sosok Karso yang penyabar dan penyayang. Tiga bulan menjalin kedekatan dengan Devi, Karso merasa mantap untuk meminangnya sebagai istri. Orang tua Devi yang sudah mengenal keluarga Karso menyetujui lamaran tersebut. Devi menikah secara resmi pada tahun 2009 di usianya yang ke 16 tahun. Saat menikah, selisih usia Devi dengan karso adalah 10 tahun. Di tahun sebelumnya, Devi sudah terlebih dahulu menikah siri. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, Karso bekerja sebagai tukang ojek di pasar. Selain bekerja di pasar, Karso juga bekerja sebagai buruh bangunan maupun membuka usaha kredit barang maupun
107
kredit uang. Tak jarang pula, Karso dan Devi bertani di sawah. Selama satu tahun pertama pernikahan, pasangan ini masih tinggal bersama orang tua Devi kemudian di tahun berikutnya, mereka pindah ke rumah orang tua Karso. Di tahun ketiga pernikahannya, Devi pindah ke rumah mereka sendiri yang letaknya berdekatan dengan rumah orang tua serta sanak keluarga Karso. Setelah satu tahun menikah, Devi dan Karso dikarunia seorang putri yang saat ini berusia sekitar empat tahun. Tinggal dekat bersama keluarga pasangan tidak jarang membuat Devi berselisih paham dengan keluarga Karso. Perselisihan tersebut terkadang membuat Devi sakit hati sehingga sulit baginya untuk melupakan masalah tersebut. b. Laporan observasi Pertemuan
pertama
penulis
dengan
partisipan
berlangsung di rumah partisipan pada tanggal 23 September 2013. Pada pertemuan tersebut, penulis datang lebih awal dan bertemu dengan suami partisipan. Suami partisipan dengan ramah mempersilakan penulis masuk ke rumah dan menunggu di ruang tamu. Di ruang tamu yang didominasi warna putih dengan sebuah jendela yang berada di sebelah meja kursi panjang untuk tamu. Meja dan kursi tersebut terbuat dari kayu dengan letak saling berhadapan. Saat penulis tiba di rumah partisipan, partisipan sedang tidak berada di rumah dan masih dalam perjalanan pulang. Sambil meunggu kedatangan partisipan, penulis
108
berbincang sejenak dengan suami partisipan. Dengan posisi duduk penulis yang membelakangi pintu masuk, penulis dapat melihat ruang keluarga partisipan. Ruang keluarga tersebut juga didominasi warna putih dan dibiarkan tanpa ada meja kursi. Beberapa saat kemudian, partisipan datang bersama anak perempuan mereka yang berusia empat tahun. Partisipan yang mengenakan kaos warna hijau dengan jaket serta celana panjang menyambut ramah kedatangan penulis. Di ruang tamu, partisipan nampak santai ketika mendengarkan penjelasan penulis tentang maksud kedatangan penulis. Kesan santai nampak dari sikap duduk partisipan yang menyandar pada sandaran kursi sambil sesekali mengangguk-angguk atau tersenyum. Partisipan setuju untuk menjadi partisipan penelitian dan bertemu kembali guna pengambilan data. Wawancara pertama dilakukan tanggal 24 September 2013, penulis datang ke rumah partisipan bersama bibi partisipan. Penulis bertemu langsung dengan partisipan yang saat itu berada di rumah sendiri. Keadaan rumah partisipan sepi karena putri partisipan ikut ayahnya membantu teman yang sedang membangun rumah. Setelah dipersilakan masuk dan
mengobrol
sebentar,
penulis
mulai
mengajukan
pertanyaan mengenai kehidupan pernikahan partisipan. Posisi duduk partisipan dan penulis sama seperti hari sebelumnya yakni saling berhadapan, penulis duduk membelakangi pintu sedangkan partisipan duduk menghadap pintu ruang tamu.
109
Di awal penulis mengajukan pertanyaan, raut wajah partisipan terlihat serius menyimak pertanyaan penulis namun dengan posisi duduk yang santai. Tiba giliran partisipan memberikan jawaban, bibi ipar partisipan yang sedang menggendong anaknya tiba-tiba masuk ke rumah. Kedatangan bibi ipar tidak mengganggu konsentrasi partisipan. Partisipan tetap melihat wajah penulis sambil menjawab pertanyaan penulis. Ketika penulis bertanya alasan partisipan yang akhirnya tertarik pada Karso, partisipan tidak segera menjawab dan terlihat mengerutkan kening sambil menatap bibi partisipan yang duduk di sebelah penulis. Beberapa saat kemudian partisipan mengajukan pertanyaan dengan bahasa asli Pemalang yang maksudnya sama seperti pertanyaan yang diajukan oleh penulis. Setelah penulis membenarkan maksud pertanyaan tersebut, partisipan dapat menjawab dengan lancar. Suara partisipan mulai
berubah ketika penulis
menanyakan tentang perubahan sikap keluarga pasangan sebelum dan setelah menikah. Dalam memberikan jawaban, suara partisipan terdengar sedikit melemah. Partisipan kembali
merasa
bingung
ketika
penulis
mengajukan
pertanyaan tentang penyesuaian diri terhadap keluarga pasangan setelah menikah. Kebingungan ini ditunjukkan partisipan dengan kening yang mengerut serta kembali menatap bibinya, seolah-olah meminta bantuan untuk menjelaskan.
110
Pertanyaan tentang kebiasaan pasangan membuat partisipan menjawab agak lama karena harus mengingat kembali kebiasaan-kebiasaan pasangan. Pada pertanyaan lain tetapi masih tentang kebiasaan pasangan, bibi partisipan membantu penulis untuk menjelaskan kepada partisipan tentang kebiasaan pasangan yang setelah menikah ditiru oleh partisipan.
Ini
dilakukan
ketika
partisipan
kembali
menunjukkan wajah bingung saat penulis bertanya. Memasuki pertanyaan tentang pemicu konflik dalam rumah tangga, partisipan mampu bercerita dengan lancar meski terkadang harus penulis dorong dengan pertanyaan lanjutan. Ketika penulis bertanya mengenai usaha partisipan bila pendapatan suami tidak mencukupi kebutuhan seharihari, partisipan terlihat agak malu dalam menjawab. Butuh beberapa saat sebelum partisipan menjawab dan mempertegas kembali jawabannya sambil tersenyum. Saat
membahas
mengenai
rasa
cemburu
yang
dirasakan partisipan ketika tahu suaminya berboncengan dengan wanita lain, partisipan bercerita sambil menatap langsung penulis dan sesekali tertawa. Di pertanyaan lain ketika partisipan merasa bingung dengan pertanyaan yang diajukan penulis, partisipan sudah tidak ragu untuk bertanya langsung pada partisipan meski dengan suara lirih. Peristiwa ini terjadi ketika partisipan merasa bingung dengan maksud pertanyaan penulis mengenai usaha dalam mengatur kelahiran anak.
111
Partisipan menjawab dengan mantap namun lirih bahwa kehadiran anak tidak membawa pengaruh dalam kehidupan pernikahannya. Partisipan nampak bersemangat ketika bercerita tentang kebiasaan suami yang mau membantu istri bila sedang kerepotan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ketika bercerita bahwa suami mau menyapu rumah, tangan partisipan menunjuk sekeliling rumah seolah-olah memberitahu penulis bahwa itu adalah hasil pekerjaan suaminya. Pertemuan menggunakan
berikutnya
bahasa
partisipan
Indonesia
selama
mengusulkan wawancara
berlangsung. Alasan partisipan mengajukan penggunaan bahasa Indonesia adalah untuk menghindari perbedaan persepsi antara penulis dan partisipan yang meskipun terbiasa menggunakan bahasa Jawa namun memiliki perbedaan makna. Pertemuan berikutnya dilakukan pada tanggal 26 September 2013. Pada pertemuan ini, partisipan mengenakan kaos pendek berwarna abu-abu serta celana pendek. Rumah partisipan dalam keadaan ramai ketika penulis datang. Pagi itu sekitar pukul 08.00 WIB, suami serta anak partisipan masih berada di rumah. Pertanyaan mengenai masalah yang ditimbulkan oleh keadaan ekonomi keluarga mampu dijawab partisipan dengan lancar. Berbeda halnya ketika penulis mengajukan pertanyaan mengenai cara mengekspresikan rasa sayang pada pasangan. Partisipan berpikir lama dan secara lirih meminta penulis
112
untuk mengulang kembali pertanyaan tersebut. Setelah pertanyaan diulang, partisipan mampu menjawab dengan lancar. Ketika kehidupan
penulis
seksual
mengajukan
pertanyaan
partisipan dengan pasangan,
tentang perlu
beberapa saat bagi partisipan untuk menjawab. Sebelum memberikan jawaban tentang frekuensi hubungan seksual dengan suami selama satu bulan terakhir, partisipan berusaha untuk mengingatnya. Ini tampak dari perilaku partisipan, mata partisipan beberapa saat melirik ke atas kemudian tertawa sebelum akhirnya memberi jawaban. Hal serupa kembali terjadi ketika penulis menanyakan sejak kapan partisipan dan pasangan tidak melakukan hubungan seksual dengan jadwal tertentu. Mata partisipan kembali melirik ke atas sambil berusaha mengingat. Ketika sudah menemukan jawabannya, tangan
partisipan
melambai
ke
belakang
seolah-olah
memperagakan jawabannya. Partisipan kembali memerlukan waktu agak lama untuk menjawab pertanyaan mengenai sifat buruk pasangan. Sebelum menjawab tidak ada sifat buruk pasangan, partisipan sempat memegang keningnya sambil berusaha mengingat kebiasaan
buruk
pasangan.
Jawaban
partisipan
pada
pertanyaan tentang perbedaan sifat pasangan saat masih pacaran dan setelah menikah, suara partisipan terdengar sedikit melemah. Pertanyaan berikutnya mampu partisipan jawab dengan lancar.
113
Masuk pada pertanyaan tentang bagaimana partisipan menanggapi keluh kesah pasangan, partisipan memberi kode pada penulis. Dengan suara lirih, partisipan meminta penulis untuk mengulang pertanyaan. Penulis kembali mengulang pertanyaan ketika partisipan masih tampak bingung. Setelah diulang dua kali, akhirnya partisipan mampu menjawab pertanyaan tersebut. Mata partisipan kembali melirik ke atas ketika penulis bertanya tentang hubungan partisipan dengan keluarga pasangan dan agak ragu saat menjawab. Keraguan ini nampak dari jawaban partisipan yang menjawab “nggak ada kayaknya”. Ketika penulis meminta partisipan untuk mencoba mengingat kembali, partisipan bertanya kepada penulis apakah boleh bertanya kepada suaminya terlebih dahulu. Di saat yang sama. partisipan sempat menyuruh anaknya agar bermain dengan ayahnya dulu kemudian kembali berusaha mengingat sambil menatap ke luar jendela dan tangan yang memegang wajah seperti bertopang dagu. Pertanyaan mengenai respon keluarga pasangan saat partisipan diperkenalkan sempat membuat partisipan meminta penulis untuk mengulang pertanyaan. Setelah pertanyaan diulang, partisipan berusaha menjawab sambil menatap ke luar jendela. Hal ini membuat penulis memutuskan untuk mengulang kembali penjelasan mengenai maksud pertanyaan tersebut. Selama
proses
wawancara,
partisipan
duduk
menghadap partisipan dengan tubuh bersandar pada bahu
114
kursi. Sejak awal wawancara, mata partisipan sudah memandang langsung penulis ketika mendengar pertanyaan maupun menjawabnya. Jika partisipan merasa belum paham dengan maksud pertanyaan penulis, partisipan tidak sungkan meminta penulis mengulang pertanyaan. Bila belum paham atau masih berpikir tentang jawaban dari pertanyaan penulis, mata partisipan akan memandang ke luar jendela atau melirik ke atas. Pertemuan selanjutnya Minggu, 29 September 2013. Pertemuan berlangsung di rumah bibi partisipan. Atas keinginan partisipan, wawancara dilakukan di rumah bibi partisipan yang letaknya bersebelahan dengan rumah bibi penulis. Partisipan yang saat itu mengenakan kemeja warna ungu dan rok panjang hitam, datang bersama putrinya sekitar pukul 08.15 WIB. Berbeda dengan posisi duduk saat di rumah partisipan, di rumah bibi partiispan, posisi duduk penulis dan partisipan seperti huruf L. Wawancara
dibuka
dengan
pertanyaan
seputar
aktivitas partisipan ketika suami sedang bekerja. Partisipan menjawab lancar pertanyaan tersebut dengan suara yang cukup nyaring. Berbeda halnya ketika partisipan bercerita tentang hubungannya dengan keluarga pasangan, suara partisipan terdengar sedikit melemah. Membahas tentang hubungannya dengan suami, partisipan nampak lebih sering tersenyum ketika bercerita. Selain lebih sering tersenyum, partisipan juga jarang melirik ke atas sebelum memberikan jawaban. Selanjutnya, partisipan
115
berusaha untuk mengingat kembali bagaimana perasaan partisipan ketika usia 15 tahun sudah menikah. Hal ini terlihat dari kebiasaan partisipan melirik ke atas ketika lupa atau bingung dalam menjawab pertanyaan penulis. Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya mampu dijawab partisipan dengan lancar termasuk saat membahas tentang usaha partisipan untuk menjaga kelanggengan hubungan dengan pasangan. Partisipan meminta penulis mengulang pertanyaan mengenai bagaimana partisipan bercerita tentang masalahnya pada orang lain tanpa membuka aib pasangan. Pertemuan selanjutnya tanggal 1 Oktober 2013 untuk melakukan member check bersama partisipan. Kembali atas permintaan partisipan, pertemuan kembali dilakukan di rumah bibi partisipan. Partisipan kembali datang bersama putrinya yang memakai baju berwarna merah. Partisipan sendiri mengenakan atasan berwarna coklat yang dipadu dengan celana jeans hitam dan tas kecil berwarna hitam. Selama melakukan member check, partisipan sering tersenyum ketika mendengar hasil rekaman sebelumnya. Pada beberapa bagian, partisipan membenarkan verbatim penulis yang masih salah. Pembenaran tersebut partisipan tulis pada bagian yang salah dengan menggunakan pensil dan bolpoin yang sudah penulis sediakan. Partisipan juga sempat bertanya apakah tidak apa-apa bila dalam rekaman tersebut ada ucapannya yang salah. Saat membaca verbatim dua wawancara sebelumnya, sambil membaca verbatim, tangan partisipan menyusuri setiap
116
kata dengan menggunakan pensil yang sudah penulis siapkan. Untuk verbatim wawancara terakhir, partisipan hanya membaca verbatim sambil bergumam, tanpa menggerakkan tangannya menyusuri kata demi kata. Setelah dirasa sesuai, partisipan menyerahkan verbatim pada penulis dan bertanya apakah masih ada lagi. Selesai dengan verbatim, partisipan dan penulis sempat mengobrol sejenak sebelum partisipan pamit pulang karena masih ada urusan. Penulis kembali bertemu dengan partisipan pada tanggal 11 November 2013 di rumah bibi partisipan. Hari itu partisipan datang seorang diri dengan menggunakan sepeda motor. Partisipan mengenakan kaos lengan panjang hijau yang dipadu dengan kerudung warna senada serta celana panjang hitam. Sebelum memulai proses wawancara, penulis dan partisipan saling menanyakan kabar masing-masing. Sekitar pukul 08.55 WIB, penulis mulai mengajukan beberapa pertanyaan terkait pernyataan terdahulu partisipan. Di
awal
wawancara
berlangsung,
menjawab
pertanyaan
dengan
partisipan
lancar.
Ketika
mampu penulis
mengajukan pertanyaan tentang konflik dengan keluarga pasangan, partisipan sempat memberi tanda dengan jari telunjuk yang diletakkan di depan mulut partisipan sambil bergumam lirih “alon-alon mbak”. Sambil bergumam demikian, partisipan menunjuk ke dalam rumah dimana bibi partisipan sedang menyetrika baju. Selama partisipan bercerita tentang hubungannya dengan keluarga pasangan, penulis meminta partisipan
117
memegang handphone penulis yang berfungsi sebagai alat perekam. Hal ini penulis lakukan agar suara partisipan tetap dapat terdengar jelas. Untuk pertanyaan yang lain, partisipan menjawab dengan santai sambil terkadang memainkan tali gantungan kunci sepeda motornya. Wawancara diakhiri sekitar pukul 09.15 WIB. 15
November
2013,
penulis
kembali
bertemu
partisipan di rumah bibinya. Partisipan tiba di rumah bibi sekitar pukul 09.50 WIB dengan menggunakan sepeda motor. Pada pertemuan kali ini, partisipan datang bersama putrinya. Siang itu, partisipan memakai kerudung warna coklat serta atasan lengan panjang warna serupa dan rok panjang warna hitam. Penulis segera memulai wawancara karena partisipan masih ada pekerjaan lain. Ketika penulis mengajukan pertanyaan mengenai seberapa sering partisipan berhutang, partisipan nampak agak ragu dalam menjawab. Sambil mencoba mengingat, partisipan menjawab sebulan sekali mungkin berhutang. Memasuki pertanyaan kedua tentang intimasi seksual, awalnya partisipan menjawab malu-malu kemudian partisipan mampu menjawab dengan lancar. Pada aspek ini, partisipan lebih sering tertawa dibandingkan saat menjawab aspek lainnya. Pada melakukan
wawancara kontak
mata
kelima dengan
ini,
partisipan
penulis
sejak
sudah awal
wawancara. Hal ini berbeda dengan saat wawancara pertama maupun kedua dimana partisipan masih belum melakukan
118
kontak mata di awal sesi wawancara. Dalam menjawab pertanyaan yang penulis ajukan, partisipan terkadang duduk bersandar pada kursi namun lebih sering duduk tegak. Saat bercerita tentang hubungan partisipan dengan keluarga pasangan, partisipan sering berbicara sambil menutup mulutnya dengan menggunakan kerudung yang dikenakannya. Suara partisipan masih terdengar jelas meski terkadang partisipan menutup mulut dengan kerudung. Posisi duduk partisipan sudah berubah saat penulis bertanya mengenai hubungan suami dengan keluarganya. Saat menjawab, partisipan mulai duduk bersandar di kursi dan memangku putrinya. Beberapa kali pandangan mata partisipan melirik ke atas. Ketika partisipan menjawab pertanyaan apakah suami juga menunjukkan rasa marahnya ke keluarga partisipan, partisipan menjawab iya sambil menganggukkan kepala. Masih
sambil
duduk
bersandar,
partisipan
menunjukkan wajah serius ketika bercerita tentang lingkungan rumahnya yang kini marak anak SMA tinggal menginap di rumah pacarnya. Sambil mengusap kepala anaknya yang tidur di
pangkuan
ibunya,
partisipan
bercerita
tentang
kekhawatirannya tentang masa depan anak bila tumbuh di lingkungan seperti itu. Atas inisiatif partisipan, member check dilakukan pukul 5 pagi tanggal 22 November 2013 di rumah bibi partisipan. Partisipan berinisiatif bertemu pagi karena siang harinya partisipan akan pergi bertani di sawah. Pertimbangan
119
lainnya adalah bila pertemuan dilakukan sore hari, cuaca Pemalang yang tidak menentu membuat partisipan khawatir tidak dapat menepati janji untuk melakukan koreksi transkrip wawancara. Partisipan tiba sekitar pukul 05.20 WIB diantar suaminya.
Saat
datang
bersama
putrinya,
partisipan
mengenakan atasan lengan panjang warna coklat dengan bawahan rok panjang warna hitam serta kerudung warna hijau yang diikat dibagian depannya. Sebelum berbincang di rumah bibinya, partisipan terlebih dahulu menghampiri penulis di rumah bibi penulis. Pelaksanaan member check berjalan hanya sekitar satu jam karena segera setelah bertemu penulis, partisipan akan pergi ke sawah bersama mertuanya. Sebelum member check dilakukan, partisipan sempat bercerita bahwa dirinya kurang tidur akibat sibuk membantu bibi iparnya memasak untuk pengajian dan kenduri memperingati 1000 hari meninggalnya sang anak. Seperti pada member check sebelumnya, partisipan mendengarkan rekaman dengan seksama sambil membaca transkrip verbatim. Partisipan menyusuri setiap kalimat dengan jari telunjuknya sambil bergumam membaca transkrip. Partisipan
meminta
penulis
memutar
ulang
rekaman
wawancara di menit ke 05:50 dan 06:53 karena partisipan belum mendengar jelas. Pada menit tersebut, partisipan menyerahkan transkrip wawancara agar penulis membenarkan kalimat yang salah.
120
Setelah partisipan merasa puas dengan pembenaran transkrip, partisipan segera mengembalikan transkrip kepada penulis. Sambil menunggu jemputan suami, partisipan kembali bercerita mengenai persiapan peringatan kematian 1000 hari. Partisipan nampak bersemangat saat menceritakan kesibukannya akhir-akhir ini. Selain beberapa hari sibuk membantu memasak bibinya, partisipan juga sibuk di sawah. Sejak sering hujan, partisipan sudah kembali bertani di sawah bersama mertuanya. Beberapa saat sebelum pulang, partisipan juga sempat mengeluhkan kondisinya yang akhir-akhir ini mudah lelah dan sering mual di pagi hari. Saat penulis menanyakan apakah partisipan sedang hamil, partisipan menjawab tidak tahu pasti sambil tersenyum. Partisipan bercerita bahwa dirinya sudah tidak memakai alat kontrasepsi sejak bulan puasa kemarin dan sampai saat ini belum memeriksakan diri ke dokter. c. Analisis verbatim partisipan 2 Analisis verbatim P2W1 Verbatim ya karena wis anu..kenal. Kayane sih ora..wonge tipene penyabar, penyayang. (P2W1 22-23) yo merestui bae kui, karena wis anu..mantep pikirane (tersenyum) (P2W1 33-34)
Makna Figur suami ideal dan rasa cinta yang dirasakan Devi pada pacar membuatnya mantap untuk menikah. Orang tua merestui pernikahan Devi melihat kemantapannya untuk menikah. perubahane ora.. langka. Sifat keluarga pasangan tidak berubah setelah Devi (P2W1 44) sifate yo menerima apa menikah dengan Karso. adane bae (tertawa) (P2W1 51)
121
bar wis nikah ya pada bae. (P2W1 53) ya masalah ya mesti ana, Perselisihan pernah dialami wong urip ya. (P2W1 56) Devi dengan keluarga pasangan. perubahane ya mesti ana, Terjadi perubahan sikap kaya kui. (P2W1 80) suami setelah menikah ya ket mbiyen kan angger namun akhirnya berubah lagi pacaran kan maksudte kembali seperti saat masih ora tau keprimen, ana pacaran. masalah apa-apa jenenge kan wong pacaran ya disayang-sayang ya (tertawa). Ya siki kan kadang ana masalah bae. (P2W1 82-85) sifate sih ajeg. (P2W1 87) ya kui tetep balik kaya semula ya, tetep penyayang penyabar. (P2W1 91-92) (berpikir sebentar) langka Devi tidak merasakan adanya ya, kayane langka. (P2W1 kebiasaan buruk pasangan di awal pernikahan. 100) Mboten. (P2W1 102) langka. (P2W1 107) (suara bibi partisipan) ya Setelah menikah, suami kui wingi sih sing selalu mengingatkan Devi diomongna inyong kae agar beribadah tepat waktu. masalah sembahyang. (P2W1 120-121) ya kadang kan angger aku neng wetan kan sembahyang ora tepat waktu, angger neng kene kan kadang-kadang dioprakoprak men tepat waktu kaya kui lho (tertawa) (P2W1 123-126) ya faktor ekonomi bae. Ya Faktor ekonomi menjadi misale mas e ngojek, engko pemicu permasalahan dalam
122
sedina olehe semene kadang kan ana sing ora terima, kui bae. Jujur terus terang ae. (P2W1 130-132) (berpikir sejenak) utang.. utang neng warung. (P2W1 140) ya mas Karso ne. (P2W1 142) ya mesti he’e. kadang kan angger di.. ora takon batire kan ora bisa diselesekna dengan cara yang baik. (P2W1 146-148) oo..kalo ada masalah sih sering terbuka, e maksudnya terbuka aja gitu. Ya saling cerita kalo ada masalah. (P2W1 159-161) ya di musyawarahkan, bersama, supaya cepet selesai, dengan cara yang bagus. (P2W1 163-164) ya jadi (tertawa) pengurus rumah tangga. Ngurusin anak, ngurusin itu (tertawa) (P2W1 173-174) ya suami (tertawa) (P2W1 176) banyakan mengurus rumah. (P2W1 184) jarang.. anu.. waktu ini sih jarang tapi asalkan udah ada hujan mungkin ke sawah. (P2W1 178-179) ee..sering. (P2W1 187) iya bareng-bareng kalo maen gitu (P2W1 189) udah kenal semua (tersenyum) (P2W1 192)
rumah tangga. Pendapatan suami yang tidak mencukupi kebutuhan sering membuat Devi tidak puas. Untuk mencukupi kebutuhan, Devi akan berhutang di warung. Keuangan rumah tangga diatur oleh suami Devi. Agar dapat menyelesaikan masalah sebaik mungkin, Devi akan mencari masukan dari saudaranya. Devi dan suami saling terbuka jika ada masalah.
Penyelesaian masalah dilakukan secara musyawarah antara Devi dengan suaminya. Aktivitas Devi sehari-hari adalah mengurus keperluan anak dan suami.
Di waktu tertentu, Devi akan pergi ke sawah untuk bertani.
Setelah menikah, Devi masih sering pergi bersama teman ditemani suaminya. Devi dan suami sudah saling mengenal teman-teman
123
he’eh iya (tersenyum) (P2W1 194) kenal semuanya. (P2W1 196) ya sering cemburu (tertawa). Ya mungkin karena saya terlalu cinta (tertawa) (P2W1 202-203) ya kadang kalo..kalo mas Karso ne udah berangkat, pulang kadang saya diemin gitu (tertawa) (P2W1 205206) iya ngerti. (P2W1 208) ya kadang malah dianya ini apa ngetawain gitu (tertawa), biar katanya cepet selesai mutungnya (tertawa) (P2W1 210-212) oo.. pertama nikah, itu nggak mengikuti KB, dadi langsung punya anak. (P2W1 219-220) iya, mengikuti itu program KB. (P2W1 222) berarti yang tiga bulan sekali, suntik. (P2W1 224) ya karena lebih aman. (P2W1 226) ya aman biar nggak ada anak lagi. Menunda dulu gitu (P2W1 229-230) ya pasti (tertawa) (P2W1 232) ya mungkin kalo anak saya udah sekolah, kalo udah TK, he’eh. (P2W1 234-235) nggih kaliyan (mas e) (P2W1 242)
pasangan.
Rasa cinta menyebabkan Devi sering merasa cemburu pada suaminya. Saat suami pulang kerja, Devi akan mengacuhkannya ketika sedang cemburu.
Respon suami ketika Devi ngambek adalah menggodanya agar tidak ngambek lagi.
Setelah lahir anak pertama, Devi menggunakan alat kontrasepsi.
Devi menganggap dengan menggunakan alat kontrasepsi suntik setiap tiga bulan sekali mampu menunda kehamilan.
Setelah anak pertama masuk TK, Devi berencana untuk memiliki kedua.
Keputusan menggunakan alat kontrasepsi kesepakatan bersama pasangan.
124
perubahan sikap suami, ya ana. (P2W1 247) yaa.. apa.. dia itu ketok e tambah sayang kepada saya (tertawa). Ya mungkin karena udah punya anak. (P2W1 249-251) ora ana, pada bae. (P2W1 263)
biasanya.. ya kalo nggak saya, ya mas Karso. Barengbareng. (P2W1 268-269) ya sama-sama itu, samasama tegasnya. (P2W1 272) nggak ada. (P2W1 278) ya Alhamdulillah puas (tertawa) (P2W1 282) ya dari mas Karso (P2W1 295) kadang kalo itu tani gitu. Kerjane apa aja, yang penting bisa meringankan kerja suami. (P2W1 297298) ya.. kalo ada.. itu apa, orang derep, ya ikut gitu. (P2W1 302) berarti kalo dia kan kalo misalnya dapet uang banyak, nggak sekalian dikasih ke saya tapi ngasihnya itu tiap hari segini, kadang sepuluh ribu gitu. Ntar kalo kurang lha minta lagi, katanya gitu. (P2W1 307-310)
Kelahiran anak membuat sikap suami berubah, semakin menyayangi Devi.
Devi tidak merasakan adanya pengaruh kelahiran anak terhadap hubungannya dengan suami. Untuk urusan mengasuh anak, Devi dan suami saling bekerja sama. Aturan untuk anak diterapkan secara tegas oleh Devi dan suami. Devi tetap merasa puas pada kehidupan seksualnya meski tidak ada jadwal untuk melakukannya. Sumber penghasilan keluarga berasal dari suami Devi. Untuk meringankan kerja suami, terkadang Devi ikut membantu bekerja.
Suami biasanya memberi jatah per hari bagi Devi untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
125
ya buat jajan anak, buat beli bumbu, segala macam kui lah. (P2W1 314-315) udah.. (P2W1 318) ya taun depan mau nyekolahin anak. (P2W1 320) TK, mungkin PAUD dulu. (P2W1 322) ntar kalo udah PAUD baru TK (P2W1 324) kalo saya sih mungkin sampe.. eh entar dimasukin ke pondok aja, ntar kalo udah gede gitu. (P2W1 329330) ya nggak papa asal jangan yang jauh-jauh katanya gitu. Ya biar ketemu anak sama suami, tiap hari. (P2W1 335-336) nggak.. suka bareng-bareng. (P2W1 342) iya, puas. (P2W1 345) ra. (P2W1 368) karena uda sama-sama Islam gitu aja (tersenyum) (P2W1 370) nggak ada masalah. (P2W1 374) ya berjamaah di mushola. Yang sering sih di mushola, jarang banget di rumah karena deket itu (tertawa sambil menunjuk ke arah luar) (P2W1 378-380) sekarang. (P2W1 382) iyo, karena dulu kan saya kerja jadi sibuk. (P2W1 384)
Sejak anaknya masih kecil, Devi sudah mulai merencanakan masa depan untuknya.
Suami mengizinkan Devi bekerja asal tidak jauh dari keluarga.
Devi merasa puas dengan pengerjaan tugas rumah yang dilakukan bersama-sama. Sama-sama muslim membuat agama tidak berpengaruh dalam kehidupan pernikahan Devi dan suami. Dalam menerapkan agama, tidak terjadi masalah. Devi dan suami biasa beribadah di mushola dekat rumah.
Sejak menikah, suami selalu mengajarkan kepada Devi untuk beribadah tepat waktu.
126
ya sibuk tapi kan suami saya mengajarnya.. mengajarnyama ksudnya jangan sampai telat sholat. Karena sholat itu cuma lima waktu. (P2W1 386-388) Analisis verbatim P2W2 Verbatim nek misale, kan kadang, kan di balik seperti semula, kadang mas e kan ngojek durung tentu oleh semene. Kan kebutuhan rumah tangga kan akeh. Yo sing dadi masalahe kaya kue. (P2W2 5-8) ngatasine.. ya kadang ya utang disit lah angger durung duwe duit kaya kui lah, neng warung. (P2W2 10-11) cara lain ya misale anggeranu utang duit marang batire anggeranu utang blanja sisan. (P2W2 13-14) angger ora utang blanja neng warung disit kadang ya nyilih batire disit duit lah nembe nggo tuku maring warung. (P2W2 16-18) ya kadang angger mas e telat mam ya diingetin, men aja sakit. (P2W2 29-30) selain ituu.. nggak ada. (P2W2 32) baru-baru ini saja. (P2W2 42) berarti mulai.. tahun.. dua
Makna Pendapatan suami yang tidak menentu menjadi penyebab timbulnya masalah dalam rumah tangga Devi.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Devi akan berhutang uang pada saudara atau barang di warung.
Rasa sayang Devi pada suami ditunjukkan dengan mengingatkan suami agar tidak telat makan. Frekuensi hubungan seksual mulai tidak terjadwal sejak tahun ketiga pernikahan Devi
127
ribuu.. dua belas yang deket tahun sekarang (tangan partisipan memberi tanda mundur) (P2W2 45-47) ya itu..momong anak kadang bareng-bareng. (P2W2 64)
yaitu tahun 2012
Kegiatan mengasuh anak dilakukan bersama ketika Devi dan suami tidak bekerja. Devi berencana menyekolahkan anaknya di pondok hingga tingkat SMA agar terhindar dari pergaulan bebas. Setelah lulus SD, Devi tidak melanjutkan sekolah karena keterbatasan biaya.
ya mungkin sampe SMA. (P2W2 69) ya biar nggak terpengaruh oleh pergaulan bebas. (P2W2 72) SD. (P2W2 78) ee.. ya suka milih ini sih. Kadang kan kerja punya uang. Kalo sekolah lagi orang tua saya kan nggak mampu. (P2W2 80-82) berangkat ke Jakarta itu, Tidak melanjutkan he’e. (P2W2 85) pendidikan, Devi setahun. (P2W2 87) memutuskan berangkat ke Jakarta untuk bekerja di sana selama satu tahun. ya karena suami saya kan Figur suami ideal dan rasa lebih tua dari saya, mungkin cinta yang dirasakan Devi kan suami saya udah mapan. pada pacar membuatnya mantap untuk menikah. (P2W2 120-121) ya karena cinta ya (tertawa). Karena udah cinta (P2W2 124) orang tua ya setuju aja. Orang tua mengizinkan Devi untuk menikah muda. Rasa (P2W2 127) ya karena mungkin orang percaya terhadap Karso tua udah percaya sama mas membuat orang tua Karso bisa jaga saya gitu. mengizinkan Devi menikah. (P2W2 136-137) nggak ada. (P2W2 145) Devi tidak memiliki gambaran kehidupan pernikahan sebelum
128
ya mungkin mantep gitu. (P2W2 148) ya mungkin karena terlalu cinta jadi gitu. (P2W2 151) iya he’e, ikut kemauan orang tua dulu. (P2W2 156) saya sih tadinya untuk menikah itu milih kalo udah dua puluh tahun ke atas tapi ya jadinya sekitar lima belas tahun ya nggak papa, Alhamdulillah sampe sekarang masih ini bahagia aja. (P2W2 162-165) kalo dulu kan waktu belum nikah, mau masak kan nggak ada yang beliin belanja, sekarang kan udah ada yang nyukupin gitu (tertawa) (P2W2 177-179) selain itu, bisa punya rumah sendiri juga gitu. Dulu kan masih ikut orang tua. (P2W2 181-182) puas, Alhamdulillah (tertawa) (P2W2 192) kalo dukanya nggak ada.. (P2W2 184) iya, Alhamdulillah (tertawa) (P2W2 189) ya itu kalo misalnya ada orang ngojek, kadang kan saya cemburuan gitu. Tapi kan sekarang udah enggak karena udah mengerti pekerjaan suami tiap hari gitu. (P2W2 198-201)
memutuskan menikah. Merasa sangat mencintai pasangannya, Devi mantap untuk menikah meski belum memiliki gambaran kehidupan pernikahan. Keputusan untuk menikah merupakan keinginan dari orang tua. Devi menerima keadaannya yang sudah menikah di usia 15 tahun padahal rencana Devi untuk menikah saat sudah berusia 20 tahun lebih.
Devi puas dengan pernikahannya karena suami mampu memenuhi kebutuhan sehari-harinya serta memiliki rumah pribadi.
Selama menikah, Devi tidak pernah merasa tidak puas dengan pernikahannya. Pada awal menikah, pekerjaan suami sebagai tukang ojek terkadang membuat Devi merasa cemburu. Kesadaran Devi tentang pekerjaan suami membuat Devi tidak mudah
129
cemburu lagi. sifat buruk e mas.. nggak Setelah menikah, Devi masih ada kayaknya. (P2W2 209) belum menemukan sifat buruk pasangan. ya waktu pacaran kan Devi merasa setelah menikah mungkin disayang-sayang, dan belum dikarunia anak, sekarang kan bisa berbeda suaminya sering marahaja gitu. (P2W2 218-219) marah. ya mungkin sekarang sering.. apa.. kadang marahmarah gitu (tertawa) (P2W2 221-222) kalo saya sih diem aja, Ketika suami marah, Devi diemin aja. (P2W2 228) memilih untuk mendiamkannya. biasanya minta bantuan ke Untuk membantu mengatasi ini tetangga..uwaknya. masalah yang dihadapi, Devi memilih bercerita pada (P2W2 239) ya karena kan uwaknya uwaknya. udah tua, jadi bisa ngerti masalah saya, mengatasi masalah saya. (P2W2 242243) sering, terbuka. (P2W2 246) Devi dan suami saling terbuka jika ada masalah. ya kalo saya sih Devi mendengarkan cerita mendengarkan aja gitu. suami tentang masalah yang sedang dihadapinya. (P2W2 259) nggak ada kayaknya (P2W2 Untuk hubungan dengan keluarga pasangan, Devi 283) pernah, iya. (P2W2 295) merasa pernah berselisih dengan keluarga pasangan. nggak pengaruh (P2W2 Masalah dengan keluarga pasangan tidak berpengaruh 298) terhadap hubungan Devi dengan suaminya. membiasakan diri.. ya Setelah menikah, Devi kadang bertani bareng- membiasakan diri untuk bareng, sama orang tuane pergi bertani bersama orang mas Karso. Kalo ke sawah tua pasangan.
130
bareng. (P2W2 305-307) bersikapnya sih ya malah Ketika masih pacaran, Devi menghormati gitu, merasa keluarga suami menghormati saya. (P2W2 menghormatinya. 321-322) Analisis verbatim P2W3 Verbatim pergi kebun untuk cari kayu bakar. (P2W3 3) motongin batang singkong untuk ditanam lagi, biar kalo sudah musim hujan mulai bersemi. (P2W3 5-6) kalo dengan teman-teman yang sudah menikah dan sudah mempunyai anak, sering cerita tentang anak. ntar kalo udah waktunya sekolah, mau disekolahkan dimana, barangkali mau disekolah di tempat yang sama gitu. (P2W3 18-22) perasaan saya sih sedikit menyesal kali (tertawa) waktu saya menikah dulu lima belas taun karena seumuran saya masih bisa bermain dengan temanteman. (P2W3 29-32) mulai berarti.. sekitar dua tahun yang lalu mungkin. (P2W3 258) karena itu kan suami saya kan ngojek, kadang bawa cewek, ya bawa itu. Kadang yang bikin merasa ya itu..suami saya. (P2W3 3840) diemin aja, ntar kan kalo
Makna Di waktu tertentu, Devi akan pergi ke sawah untuk bertani atau mencari kayu bakar.
Bersama teman-teman yang sudah menikah, Devi sering bercerita tentang rencana ke depan untuk anak.
Pada tahun ketiga pernikahannya Devi merasakan penyesalan sudah menikah muda.
Devi marah bila saat ngojek suami membawa penumpang perempuan.
Ketika suami marah, Devi
131
udah waktunya juga balik seperti semula (P2W3 4748) yo udah baikan gitu, kalo ee dibalas dengan rasa marah ya kan tambah marah (tertawa) (P2W3 51-52) itu suami saya. (P2W3 57)
bisanya saling cerita, terbuka bae. Itu katanya biar cepet selesai (P2W3 59-60) ya misalnya minum diambilin, kadang kalo makan ya disiapin gitu. (P2W3 74-75) berarti itu sebelum pacaran orang tua sudah bertemu dulu (P2W3 85-86) berarti orang tua bertemu dulu baru saya menjalankan pacaran selama tiga bulan akhirnya, katanya kan kalo pacaran lama-lama buat apa mendingan di nikahkan aja daripada terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan, begitu. (P2W3 89-93) kalo itu kemauan orang tua. Kalo saya mah belum kepingin nikah di umur lima belas tahun. (P2W3 100101) ya mungkin kan biar ada yang menjaga gitu, kalo kan kebutuhan nggak usah minta orang tua lagi, jadi mungkin jodohnya gitu. (P2W3 104106)
memilih mendiamkan agar suasana tidak semakin memanas.
Inisiatif menyelesaikan masalah biasa berasal dari suami Devi. Agar masalah cepat selesai, Devi dan suami saling terbuka. Sebelum menikah, keluarga pasangan sangat memperhatikan Devi. Saat masih pacaran, kedua orang tua sudah saling bertemu untuk membahas kelanjutan hubungan Devi dan suami.
Keputusan menikah muda merupakan kemauan orang tua Devi.
Rasa percaya terhadap Karso membuat orang tua mengizinkan Devi menikah.
132
kalo ada masalah, saling terbuka, saling.. jangan saling membuka aib kejelekan suami, begitu pula suami jangan sering membuka kejelekan istrinya (P2W3 109-111) enggak, kan saling cerita (P2W3 127)
Saling terbuka dan tidak membuka kejelekan pasangan pada orang lain merupakan usaha Devi agar pernikahannya langgeng.
Devi tidak mengalami kendala dalam menceritakan masalahnya karena sudah saling terbuka. untuk dukanya.. karena Konflik dengan keluarga kadang.. terkadang ada suami sempat membuat Devi masalah yang mengganjal di merasa sakit hati. pikiran di hati saya, yang tidak pernah terlupakan seumur hidup (P2W3 147149) masalah dengan itu, keluarganya? Jadi gini ceritanya, lebaran kemarin kan berarti udah dua tahun ini, kalo itu masalahnya karena makanan. Waktu itu suami saya kan beli ayam, lha kan ini suami saya udah ngasih uang ke bibi saya itu yang kemarin lho, katanya untuk beli ayam sendirisendiri. kok kenapa saya udah masak ayam itu terus bibi saya itu suka nggak dikasi, itu marahnya di situ, karena makanan berarti. Terus waktu itu, saya sampe pulang ke rumah orang tua selama seminggu nggak balik ke sana, begitu. (P2W3 163-173) tanggapannya, saya malah Suami berusaha menasihati
133
dinasihatin. Kalo ada masalah kan udah rumah sendiri ya jangan suka pulang ke rumah orang tua karena emang sifat keluarga saya seperti itu. (P2W3 185-188) setelah punya anak, sekarang sikapnya ya tiap hari makin sayang (P2W3 197-198) sebelum punya anak, ya kadang sering marah-marah mungkin kok nggak dapetdapet momongan, kalo sekarang kan udah terbukti, jadinya ya sekarang tambah sayang gitu (tertawa). (P2W3 203-206) oo..sifat buruk. Kalo sifat buruk suami saya, kadang kalo ada masalah dengan keluarga masnya, kadang justru masnya itu sukanya membela keluarganya tapi itu nggak tau mana yang salah mana yang bener, kadang keluarga..keluarga itu di posisi yang salah. Mungkin karena..karena sama orang tua kan, ee biar nggak ada ini.. nggak disebut anak durhaka mungkin. Karena sering membela keluarganya walaupun salah (P2W3 211219) ya saya kadang merenungi..hehehe (P2W3 221)
Devi agar tidak pergi dari rumah bila ada masalah.
Kelahiran anak membuat suami yang dulu sering marah-marah menjadi semakin menyayangi Devi.
Devi menganggap kebiasaan suami yang lebih membela keluarganya lantaran tidak mau disebut anak durhaka.
Kebiasaan buruk suami terkadang membuat Devi merenung kenapa suaminya
134
yah..kok suami saya kenapa sih ya kalo ada masalah kadang kan di pihak keluarganya..ee keluarganya ada di pihak yang salah kok malah mbelani, bukannya bela istri sendiri kadang malah bela yang salah, keluarga (P2W3 223-227) kadang di teliti dulu, kadang kalo udah itu mengambil kesimpulan, ee yang salah.. kadang suka bertanya-tanya ke saya, tadi itu siapa yang salah, keluarga saya apa kamunya dulu, gitu. (P2W3 231-234) sikapnya mas ya itu memohon ampun katanya.. (P2W3 237) Alhamdulillah puas. (P2W3 244) merasa puas itu karena kalo masak ada yang bantuin, kalo nyuci baju ya ada yang nyuciin kadang gitu. Kalo ini apa.. butuh kayu bakar, ada yang nyariin gitu (tertawa) (P2W3 247-250) kalo sekarang penyesalan itu udah dibuang jauh-jauh (tertawa). Karena saya sudah memiliki anak juga dan begitu suami saya juga sifatnya udah nggak seperti dulu lagi (P2W3 260-263) saya sih rencananya mau punya anak lagi (tertawa) (P2W3 271) ya kemarin sih sesuai yang
berbuat demikian.
Suami akan meminta maaf bila terbukti keluarganya bersalah pada Devi.
Perasaan puas terhadap pernikahan yang dijalani karena suami mampu mencukupi kebutuhan Devi.
Kehadiran anak dan perubahan sifat suami menyebabkan Devi tidak lagi merasakan penyesalan menikah muda.
Devi mulai tidak menggunakan alat kontrasepsi karena sudah berencana memiliki anak
135
saya cerita ke mbak, kalo anak saya udah TK tapi kan mulai sekarang saya kan udah nggak itu lagi, mengikuti KB lagi. (P2W3 273-275) merencanakan kehamilan.. ya ntar kalo misalnya udah umur kehamilannya udah pas, udah berapa taun, rencananya anu apa kadang sudah membeliin itu yo pakaian bayi apa gitu lah udah dibeli gitu (P2W3 289-292) kalo itu.. ada, kadang waktu saya mengandung ini, ya ditanya udah kerasa mules apa belum. Karena kan biasanya kalo orang mau ngelahirin kan ini mules kan. Ditanya-tanya gitu, kadang lebih penting memikir..memikirkan yang di rumah daripada pekerjaan (P2W3 297-302) nggak ada (P2W3 307) sikap suami ya biar katanya nikah cepet punya anak (P2W3 309) he’em. Untuk mengatur jarak antara anak saya nanti kalo udah mau punya anak lagi kan, jaraknya harus diatur. (P2W3 312-314) ya mungkin sekitar.. seumuran yang ini, jaraknya gitu. Ini kan udah empat tahun. Mungkin bulan bulan ini berarti (tertawa) (P2W3
kedua.
Ketika Devi hamil, suami lebih perhatian terhadap kondisi Devi dan keperluan untuk bayi mereka.
Suami tidak berperan dalam mengendalikan kelahiran anak karena suami memang ingin cepat punya anak. Devi sudah mengatur jarak kelahiran anak pertama dengan kelahiran anak keduanya.
136
316-318) enggak. Nggak Kelahiran anak tidak berpengaruh. (P2W3 322) berpengaruh terhadap hubungan Devi dengan keluarga suami. Analisis Verbatim P2W4 Verbatim melunasinya kadang kalo saya ada uang dikumpulin, ya kalo nggak ya bilang sama mas Karso-nya aja (P2W4 5-6) kalo masnya sering terbuka kalo masalah hutang ke siapa aja (P2W4 13-14) nggak ada. (P2W4 19)
Makna Untuk melunasi hutang, Devi akan mengumpulkan uang atau mengatakan pada suami agar melunasi hutangnya.
Dengan Devi, suami juga terbuka tentang hutangnya pada orang lain. Tidak ada pengaruh ketidakteraturan hubungan seksual terhadap hubungan Devi dengan suami. Pernah (P2W4 24) Devi pernah dimarahi orang Misalnya kalo.. kan kadang tua suami karena melakukan ke sawah, nanemme itu kesalahan saat bertani di nggak bener ya kadang sawah. sering diomeli gitu lho (P2W4 32-33) ya sekarang udah baik-baik Hubungan Devi dengan aja gitu. (P2W4 39) keluarga suami saat ini sudah membaik. sifatnya sih dulunya ya Sifat keluarga suami yang baik-baik aja tapi kan kalo dulu baik pada Devi mulai udah itu, berubah ada. berubah semenjak ada masalah. (P2W4 50-51) mungkin ada perasaan benci Devi merasa bahwa ada ato gimana. (P2W4 53) masalah tertentu yang ya mungkin ada masalah menyebabkan timbulnya rasa yang nggak jelas gitu benci dalam keluarga suami kadang. (P2W4 55-56) terhadap dirinya. ya kalo saya sih nggak tau. Kan saya tadi bilang kan
137
masalah yang benar kadang bisa salah. (P2W4 58-59) tanggapan saya, tanggapan saya sih ya dibiarin aja ntar juga ini sendiri, balik sendiri (P2W4 67-68) Enggak (P2W4 74)
Devi memilih tidak memikirkan perubahan sikap keluarga suami terhadap dirinya. Permasalahan antara keluarga Devi dengan keluarga suami tidak berpengaruh terhadap hubungan Devi dengan suami. nggak, baru. Baru menikah Kegiatan bertani baru ini (P2W4 78) dilakukan Devi setelah ya karena kan dulu saya menikah, sebelum menikah kerjanya di kota, bukannya Devi bekerja di luar kota. di rumah (P2W4 80-81) keinginan dari orang tua Orang tua pasangan suami. (P2W4 84) menginginkan Devi ikut ya mungkin kalo misalnya bertani di sawah. Dari hasil nggak ada beras, biar ada panen dapat digunakan untuk beras gitu disuruh kerja apa memenuhi kebutuhan aja. (P2W4 86-87) pangan. saya sih mencoba aja gitu, Awal pernikahan, Devi siapa tau bisa. (P2W4 91) mencoba bertani di sawah ya akhirnya bisa sampe hingga sekarang sudah sekarang, pengalaman terampil bekerja di sawah. (tertawa) (P2W4 93-94) kalo kadang ada istirahatnya Selama musim kering, Devi pas waktu musim itu lho tidak pergi ke sawah dan kering..musim kering hanya pergi ke kebun saja. (P2W4 97-98) Enggak (P2W4 100) ya pergi ke kebun, he’em. (P2W4 103) kadang sih ke anak yang Anak kadang menjadi jadi sasarannya gitu (P2W4 sasaran kemarahan saat Devi merasa menyesal sudah 114) ya misalnya kalo liat temen- menikah muda. temen seusia saya belum
138
menikah saya kadang oiya ya dulu kok menikah muda (tertawa). Kadang ya anak jadi sasarannya dijewer (tertawa) padahal harusnya marahnya ke suami (P2W4 116-120) nggak pernah (P2W4 123) ya nggak berani aja (tertawa) (P2W4 125) ya mungkin.. ya secara kasarnya ya kurang ajar mungkin, kalo istri ngapangapain suami. (P2W4 127128) ya masalah sama orang tua saya. (P2W4 133) enggak. Dimulai dari keluarga saya dulu rah, tadinya. (P2W4 137-138) ya..yang itu misalnya, waktu itu kan saya rumahnya udah mau jadi. Bapak saya kan udah menjanjiin katanya ntar kalo udah mau jadi mau dibeliin itu, klakah. Tapi ternyata enggak jadi, itu yang jadi..jadi masalah sampe sekarang. (P2W4 140-144) kalo sekarang sih mungkin ya udah nggak ada masalah lagi, karenakan kalo ada masalah saya diemin aja, ntar juga baik sendiri. (P2W4 155-157) oo..itu sih sama-sama. (P2W4 166)
Devi tidak berani melampiaskan rasa marahnya kepada suami karena akan dianggap kurang ajar.
Konflik antara Devi dengan mertua berawal dari masalah suami dengan orang tuanya.
Hubungan Devi dengan keluarga suami saat ini sudah membaik karena tidak ada masalah lagi. Jika ada masalah, Devi memilih mengacuhkannya. Rencana memiliki anak kedua merupakan keinginan Devi dan suami. kalo saya sih dulunya ingin Setelah menikah, Devi
139
menunda dulu tapi karena suaminya maunya gitu ya saya ikut aja (P2W4 173174) ya karena kan mungkin belum bisa ngurusin gitu (P2W4 176)
enggak, enggak pernah bilang (P2W4 179) ya nggak enak aja (tersenyum) (P2W4 181) nggak beranilah saya (P2W4 183) ya mungkin karena suami saya umurnya udah tua, kan biar entar kalo udah punya anak kan ada yang buat main gitu lho (tertawa) nggak sepi (P2W4 186-188) biar kalo ada kebutuhan saya ada yang nyukupin gitu, udah nggak minta sama orang tua lagi gitu (P2W4 193-194) Alhamdulillah (tersenyum) udah (tersenyum) (P2W4 196) kalo sebelum menikah, keluarga saya itu keluarga dengan mas Karso baik-baik aja tapi sesudah itu, sesudah menikah.. itu ada masalah, itu ya berubahlah. (P2W4 205-208) Ada (P2W4 214) kadang gini, kalo dulu waktu belum ada masalah,
mengikuti keinginan suami untuk segera memiliki anak meski sebenarnya Devi ingin menunda kehamilan terlebih dahulu. Devi ingin menunda memiliki anak setelah menikah karena khawatir belum mampu mengurus anak. Devi tidak berani mengutarakan keinginannya menunda kehamilan kepada suami karena merasa tidak enak hati. Menurut Devi, usia suami yang sudah tidak muda membuat suaminya ingin segera memiliki anak.
Devi menikah agar ada orang yang dapat mencukupi kebutuhannya sehingga tidak perlu meminta lagi kepada orang tuanya. Tujuan Devi menikah sudah tercapai saat Devi resmi menikah dengan Karso. Sebelum menikah, hubungan keluarga Devi dan Karso baik-baik saja namun setelah menikah dan ada masalah, hubungan kedua keluarga berubah. Semenjak ada masalah dengan menantunya, orang tua Devi jarang berkunjung
140
orang tua saya kan sering ke sana tapi kadang sering jarang, sebulan sekali baru ke sana. (P2W4 216-218) iya, ke rumah saya (P2W4 220) ya masalah tentang itu, yang uang buat beli klakah. (P2W4 222) mungkin benci gitu lah. Kadang kan nggak mau ke rumah orang tua saya (P2W4 238-239) sikapnya ya kadang nggak mau berkunjung ke orang tua saya lah gitu. Sampe sekarang itu jarang (P2W4 261-262) kalo tanggapan saya sih biarin aja lagi, ya penting saya sama mas Karso-nya baik-baik aja (P2W4 264265) ya kalo..dibujuk ya gitu-gitu ya gimanalah, ya mending dibiarin aja, nggak tambah panjang masalahnya (P2W4 267-269) nggak. Nggak ada. (P2W4 276) he’em. (P2W4 278)
ke rumah Devi.
Devi merasa bahwa suaminya membenci keluarganya hingga kadang tidak mau berkunjung ke rumah orang tua Devi.
Devi memilih mendiamkan masalah antara keluarganya dengan suami asal masalah tidak bertambah panjang dan berpengaruh pada hubungannya dengan suami.
Devi merasa tidak ada pengaruh dari masalah antara keluarga dan suaminya terhadap hubungan Devi dengan keluarga suami.
Analisis Verbatim P2W5 Verbatim Makna sebulan sekali mungkin, Setiap bulan, Devi pasti kadang. (P2W5 10) berhutang sayuran di warung he’em. (P2W5 12) atau ke uwaknya. Pasti (P2W5 14)
141
hutang sayuran (P2W5 16) ke warung, ke uwak saya. (P2W5 18) kadang bilang suami dulu, Sebelum berhutang, Devi ntar baru minta uang akan mengatakannya kepada suami kemudian meminta (P2W5 21) uang untuk melunasi hutang. kalo sekarang sih udah Saat ini, Devi sudah merasa (tersenyum) (P2W5 26) puas dengan keadaan ekonomi rumah tangganya. dulu kan jarang ngasih uang Di awal pernikahan, Devi ke saya. (P2W5 28) dan suami yang masih ya mungkin karena masih tinggal satu rumah dengan ikut dengan keluarga mas keluarga suami membuat Karso, masih barengan gitu suami lebih sering lho. Kalo sekarang kan udah memberikan uang keperluan sendiri. (P2W5 30-32) rumah tangga kepada bibi ke bibi saya (tersenyum) daripada Devi. (P2W5 36) karena kesibukan (tertawa) Tidak teraturnya hubungan seksual disebabkan karena (P2W5 48) ya mungkin ngurus rumah, faktor kesibukan. Terlalu bertanam juga gitu, kadang capek bekerja membuat Devi ya ada malesnya (tertawa) capek dan lebih memilih tidur. (P2W5 50-51) Kan nggak mungkin sering kan (tertawa) (P2W5 53) ya mungkin capek aja gitu kadang. Karena abis kerja kadang capek, ya udah tidur aja (tertawa) (P2W5 55-56) kalo itu udah pasti, kalo pun Bila suami ingin ngantuk ya OK (tertawa) berhubungan seksual, Devi tetap akan melayaninya (P2W5 58-59) hehehe..ya terjadi gitulah meski mengantuk. (tertawa) (P2W5 62) ya di..paksa (tertawa) Saat Devi ingin berhubungan seksual namun suami sedang (P2W5 64) ya akhirnya mau (tertawa) capek, Devi akan memaksa suami agar mau. (P2W5 66)
142
enggak, lewat saya dulu rah. (P2W5 75) ya..bencinya ke saya gitu, padahal bencinya sama orang tua saya. (P2W5 7879) he’em, gitu (P2W5 81) kalo sama aku sih, itu dulunya dieeem aja gitu kalo marah gitu. (P2W5 8182) nggak nunjukin rasa bencinya sih ya tapi kan dieeem aja, seharian nggak ditanyain gitu (tersenyum) (P2W5 86-87) berarti ibunya mas Karso (P2W5 89) ya nunjukinnya itu apa lewat suara gitu, kadang ya diomel-omelin gini gini. (P2W5 102-103) ya karena itu tadi (P2W5 105) dulunya sikapnya ya sering marah ke saya (P2W5 144) he’em (P2W5 146) nggak ada. (P2W5 145) tapi kalo mas Karso di rumah nggak berani (P2W5 151) kalo sekarang sih Alhamdulillah udah baikbaik aja (P2W5 140) Sikap suami saya kadang..sering ini.. yah menunjukkan ini..apa..rasa nggak ini lah, nggak pas ke keluarga saya. Kadang ya sering ini, marah. (P2W5
Ibu mertua Devi sempat mengacuhkan Devi sebagai akibat dari masalah antara suami dengan ayahnya.
Saat suami tidak berada di rumah, ibu mertua sering memarahi Devi karena masalah suami dengan ayahnya.
Saat ini hubungan Devi dengan mertua mulai membaik. Kemarahan suami pada keluarga Devi tidak ditujukan langsung pada orang tuanya namun dilampiaskan pada Devi.
143
167-169) Marahnya ke saya, cuman kan..Cuma perantara doang. Marahnya sih aslinya ke keluarga saya tapi jadinya ke saya. (P2W5 171-173) He’em (P2W5 182) Kalo sekarang sih..ya agak gimana maksudnya lah (terkekeh) (P2W5 176-177) Ya, masih. (P2W5 179) Iya, he’e. (P2W5 185) Ya kadang kalo main ke sana nggak mau makan nggak mau minum di situ. (P2W5 186-187) Ya jaman sekarang kan kalo di desa saya kan banyak ini anak masih sekolah SMAnan main dari pagi sampe sore dan sampe nginep di situ. (P2W5 213-215) Iya nginep di tempatnya apa..ya temen cowoknya gitu lah (P2W5 217-218) Ya mungkin biar nggak sal..kalo kata orang kan..ini apa..biar nggak hamil duluan gitu, mbak (tertawa). Nah yang saya kuatirkan itu, kan jaman sekarang anak nggak tentulah..nggak jauh, ini apa, nggak laki nggak perempuan kayaknya sama (tertawa) (P2W5 224-228)
Sampai saat ini, hubungan Karso dengan keluarga Devi masih belum membaik. Bila berkunjung ke rumah orang tua Devi, suami menolak untuk makan dan minum disana. Keinginan Devi menyekolahkan anaknya di pondok adalah agar terhindar pergaulan bebas yang ada di desanya. Devi khawatir bila putrinya mengalami kehamilan sebelum resmi menikah.
144
d. Kategorisasi partisipan 2 Setelah memberi makna pada jawaban partisipan, penulis mulai membuat kategorisasi yang menghasilkan beberapa kategori yakni: 1. Hubungan dengan keluarga 2. Komunikasi dengan pasangan 3. Pengaturan keuangan 4. Konflik dalam rumah tangga 5. Penyelesaian konflik yang terjadi selama menikah 6. Hubungan dengan teman 7. Pembagian peran istri dan suami dalam kehidupan rumah tangga 8. Kehidupan seksual 9. Perencanaan kelahiran anak 10. Kehidupan beragama setelah resmi menikah 11. Munculnya penyesalan menikah muda ketika melihat teman sebaya masih bebas bermain 12. Konflik menantu-mertua e. Kesimpulan partisipan 2 Devi adalah anak pertama dari dua bersaudara yang lahir dan besar di Pemalang. Ketiadaan biaya membuat Devi tidak dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat sekolah menengah pertama. Selepas dari sekolah dasar, Devi memutuskan bekerja di Jakarta dengan bermodalkan ijazah SD. Bersama temannya, Devi berangkat ke Jakarta dan bekerja sebagai pengasuh anak di sana selama satu tahun. Selama satu tahun bekerja di Jakarta, Devi pernah menjalin
145
hubungan dengan seorang pria asal Jawa Barat. Oleh orang tuanya, hubungan tersebut tidak direstui karena kecemasan orang tua bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan menimpa anaknya. Akhirnya Devi memutuskan hubungan dengan pria tersebut. Satu tahun bekerja sebagai pengasuh anak membuat Devi merasa tidak betah dan memutuskan kembali ke Pemalang. Setibanya
di
Pemalang,
Devi
pun
kembali
menganggur dan hanya bermain-main saja. Saat kembali ke Pemalang inilah awal kedekatannya dengan Karso, suaminya saat ini. Karso yang ingin menjalin hubungan serius dengan Devi berusaha meminta bantuan temannya untuk meneruskan niat tersebut kepada orang tua Devi. Awalnya Devi merasa tidak senang karena belum mengenal Karso secara dekat. Rasa sayang pada Karso mulai muncul ketika Devi merasa bahwa Karso adalah seorang pria yang penyayang dan penyabar.
Ketika
kedua
keluarga
bertemu
untuk
membicarakan kelanjutan hubungan mereka, Devi pun tidak menolak saat dipinang oleh Karso. Setelah berpacaran selama tiga bulan, Devi dan Karso akhirnya menikah sirri terlebih dahulu karena usia Devi yang belum memenuhi syarat menikah menurut undang-undang perkawinan di Indonesia. Setelah menikah, Devi yang sebelumnya tidak pernah bertani berusaha menyesuaikan diri dengan orang tua suami yang juga seorang petani. Devi mulai terbiasa pergi bertani dengan mertuanya di sawah. Selama awal bertani di sawah, tak jarang Devi dimarahi mertuanya ketika melakukan
146
kesalahan. Seiring berjalannya waktu, Devi pun semakin mahir bertani. Perubahan lain yang terjadi pada Devi setelah menikah adalah mengenai ibadah. Devi yang selama tinggal bersama orang tuanya masih sering malas sholat setelah menikah menjadi lebih rajin. Suami yang selalu mengingatkan serta menasihati Devi mengenai kewajiban seorang muslim untuk sholat tepat waktu membuat Devi akhinya lebih rajin beribadah. Sekitar satu tahun setelah menikah, Devi dikaruniai seorang putri. Devi yang diawal pernikahan belum siap memiliki anak tetap merasa bahagia karena kehadiran anak membuat suami lebih sayang padanya. Ketidaksiapan Devi memiliki anak merupakan dampak dari perasaan khawatir jika nantinya Devi tidak dapat mengurus anak. Devi pun menyetujui keinginan suami segera punya anak karena Devi tidak berani mengungkapkan perasaannya yang nantinya akan mengecewakan suaminya. Setelah kelahiran anak pertama, Devi kemudian menggunakan alat kontrasepsi guna mencegah kehamilan yang
belum
direncanakan.
Devi
dan
suami
sepakat
menggunakan alat kontrasepsi berupa suntik setiap tiga bulan sekali. Devi lebih memilih suntik dengan alasan suntik lebih mampu mencegah kehamilan berikutnya. Sejak putrinya masih kecil, Devi sudah memiliki rencana mengenai masa depannya. Saat usia anak menginjak lima tahun, Devi berencana memasukkan anaknya ke PAUD kemudian
147
melanjutkan
ke
taman
kanak-kanak.
Devi
berencana
menyekolahkan putrinya di pondok hingga tingkat SMA agar mendapat pendidikan agama yang memadai serta terhindar dari pergaulan bebas. Devi khawatir bila putrinya hamil sebelum terikat pernikahan yang sah. Kekhawatiran berawal saat melihat pergaulan remaja di lingkungan rumahnya yang kini mulai marak remaja putri menginap di rumah pacarnya. Rencana memiliki anak kedua sudah mulai dipikirkan oleh Devi dan suami. Mengingat usia anak saat ini sudah hampir lima tahun, Devi mulai melepas alat kontrasepsinya agar segera memiliki anak kedua. Meski ingin segera memiliki anak kedua, Devi mengaku bahwa semenjak beberapa tahun belakangan ini hubungan seksualnya dengan suami mulai tidak teratur dan tidak sesering ketika baru menikah. Di awal pernikahan, saat salah satu pihak ingin melakukan hubungan seksual maka Devi atau Karso pun akan memenuhi keinginan tersebut. Devi pun terkadang malas melakukan hubungan seksual akibat lelah setelah beraktivitas seharian. Namun bila Devi ingin melakukan hubungan seksual, Devi akan mengungkapkannya pada suami dan membujuk suami saat suami tidak ingin berhubungan. Ketika keinginan unutk melakukan hubungan seksual berasal dari suami,
Devi
juga
akan memenuhi
keinginan suami.
Ketidakteraturan Devi dan Karso dalam melakukan hubungan seksual tidak membawa pengaruh yang signifikan dalam rumah tangga keduanya.
148
Jika ada konflik dengan pasangan, itu pun bukan karena kehidupan seksual Devi dan suami namun akibat kecemburuan Devi pada suami. Pada awal pernikahan, Devi sering merasa cemburu ketika mengetahui suami membawa penumpang wanita saat bekerja. Suami yang tidak tahu jika Devi cemburu hanya akan menggoda istrinya agar tidak marah. Seiring berjalannya waktu, tidak seperti saat Devi yang
dahulu
hanya
memendam
keinginan
menunda
kehamilan, sekarang Devi mulai berani mengungkapkan perasaannya pada suami. Meski harus melalui proses Devi mengacuhkan suami ketika pulang ke rumah, akhirnya Devi pun mengatakan kecemburuannya pada suami. Menurut Devi rasa cemburunya pada suami kerena Devi menyayangi suaminya. Rasa sayang pada suami terkadang juga Devi tunjukkan dengan selalu mengingatkan suami agar tidak telat makan. Dalam menjaga kelanggengan rumah tangga, Devi dan Karso berusaha saling terbuka satu sama lain serta tidak menceritakan keburukan pasangan kepada orang lain. Bila salah satu pihak sedang marah maka pihak lain akan mendiamkan terlebih dahulu agar amarahnya mereda. Inisiatif untuk menyelesaikan masalah lebih sering berasal dari Karso. Devi pun mulai menyadari bahwa pekerjaan suami sebagai tukang ojek mengharuskan suaminya untuk tidak memilih-milih penumpang saat bekerja. Selain bekerja sebagai tukang ojek, suami Devi juga memiliki pekerjaan sampingan sebagai buruh bangunan dan tukang kredit. Penghasilan suami bekerja yang terkadang
149
masih belum mencukupi kebutuhan sehari-hari menyebabkan permasalahan tersendiri. Tidak jarang Devi dan suami memutuskan berhutang ke teman maupun saudaranya. Pelunasan dilakukan Devi ketika jumlah uang yang terkumpul sudah mencukupi untuk melunasi hutang. Biasanya Devi akan melunasi hutang dengan nominal kurang dari Rp. 100.000,00, lebih dari nominal tersebut, hutang akan dilunasi oleh suaminya. Sebelum memutuskan berhutang dengan jumlah banyak
untuk
modal kredit,
Devi dan suami
akan
membicarakannya bersama. Saat akan berhutang dengan nominal yang tidak banyak seperti untuk kebutuhan seharihari, Devi terkadang akan membicarakan dengan suami setelah melakukan pinjaman. Suami yang bertugas mengelola keuangan rumah tangga biasanya akan memberikan jatah setiap hari kepada Devi untuk membeli kebutuhan sehari-hari dan membayar arisan maupun hutang. Walau terkadang berhutang,
Devi
tetap
merasa
puas
dengan keadaan
ekonominya karena suami selalu memberikan uang untuk keperluan sehari-hari. Sebelumnya, saat Devi masih tinggal bersama mertua, suami lebih sering memberikan uang tersebut kepada bibinya dengan alasan mereka masih hidup satu rumah. Selama menikah, pasangan tidak pernah melarang Devi bekerja asal tidak terlalu sibuk dan lokasi tempat kerja tidak berada jauh dari rumah sehingga Devi tetap dapat bertemu keluarga seriap hari. Akhirnya untuk meringankan beban suami, pada waktu tertentu seperti ketika musim
150
penghujan tiba, Devi akan membantu bekerja di sawah atau kebun milik tetangganya. Selain bekerja di luar rumah, Devi tetap melakukan pekerjaan rumah tangga seperti mengasuh anak, menyiapkan keperluan suami dan mengurus rumah. Saat suami berada di rumah, suami juga bersedia membantu Devi melakukan pekerjaan rumah tangga seperti menyapu, mencuci bahkan memasak. Keterlibatan suami dalam urusan domestik membuat Devi merasa puas dengan pernikahannya. Selain mengerjakan pekerjaan rumah tangga, suami juga mau mengurus anak ketika Devi sedang sibuk. Dalam rumah tangganya, pengasuhan anak seringkali dilakukan Devi bersama suami. Untuk urusan mendisiplinkan anak, Devi dan suami pun sama-sama tegas dalam menerapkan peraturan. Ketika tidak sibuk bekerja, sebagian besar waktu Devi dan Karso akan digunakan untuk berkumpul bersama dan mengasun anak mereka di rumah. Setelah menikah dan punya anak, Devi mengaku sudah tidak memiliki waktu khusus bersama pasangan. Jika putrinya sedang pergi main ke rumah tetangga, waktu akan digunakan Devi dan Karso untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Meski sudah jarang menghabiskan waktu bersama pasangan karena sibuk bekerja dan mengasuh anak, kehadiran anak tetap membuat Devi merasa bahagia. Semenjak memiliki anak, Devi merasa suami semakin menyayanginya dan jarang marah. Walau demikian, Devi sempat merasa kecewa dengan sikap suami ketika Devi mengalami masalah dengan keluarga suaminya, termasuk dengan ibu mertua. Devi merasa ketika
151
ada masalah antara dirinya dengan mertua, suami selalu membela keluarganya meski mereka berada di pihak yang salah. Pasang surut dalam hubungan Devi dengan keluarga suami sudah terjadi sejak tahun-tahun awal pernikahan ketika mereka masih tinggal satu rumah dengan mertua. Konflik dengan mertua berawal dari permasalahan antara ayah dengan suami
Devi.
Ketika
Devi
dan
suaminya
berencana
membangun rumah, ayah Devi menawarkan diri mencarikan seng kualitas baik di Jakarta. Suami Devi menyambut baik keinginan ayah mertuanya dan memberikan sejumlah uang untuk membeli seng disana. Namun hingga seng akan digunakan, ayah mertuanya belum juga mengirimkan barang tersebut dan beralasan bahwa uang yang akan digunakan membeli seng dibawa lari majikan tempatnya bekerja. Masalah ini pun akhirnya membawa pengaruh dalam hubungan Devi dengan mertuanya. Ibu mertua Devi sempat mengacuhkannya dan terkadang memarahi Devi ketika suami tidak berada di rumah. Sikap suami pun mulai berubah kepada keluarga Devi. Suami mulai jarang berkunjung ke rumah mertuanya dan jika berkunjung pun akan menolak makan atau minum disana. Tidak jarang suami melampiaskan rasa marahnya dengan memarahi Devi. Semenjak ada masalah dengan suami Devi, orang tua Devi juga menjadi jarang menemui Devi di rumah barunya. Devi sendiri memilih mengacuhkan masalah tersebut agar tidak bertambah panjang dan tidak mengganggu hubungannya dengan suami.
152
Beberapa waktu kemudian setelah rumah selesai dibangun dan Devi pindah ke rumah barunya, hubungan Devi dengan ibu mertuanya mulai membaik. Setelah menempati rumah sendiri, Devi juga sempat mengalami masalah dengan bibi iparnya yang terjadi di tahun ketiga pernikahan. Permasalahan berawal ketika suami memberikan uang untuk membeli ayam kepada bibi dan Devi. Devi yang merasa bahwa suami sudah memberikan uang pada bibinya untuk membeli ayam akhirnya tidak memberi hantaran masakan ayam kepada bibi iparnya. Hal ini lah yang membuat bibi iparnya
marah
kepada
Devi
hingga
membuat
Devi
memutuskan pulang ke rumah orang tuanya selama satu minggu. Akhirnya, suami berusaha menasihati Devi agar tidak pulang ke rumah bila ada masalah dalam rumah tangga mereka. Dalam menyelesaikan masalah rumah tangga, diakui Devi bahwa suami lebih sering memiliki inisiatif untuk menyelesaikannya dengan mengajak Devi bicara baik-baik. Jika terjadi masalah antara Devi dan mertua, suami juga akan berusaha mencari penjelasan dari kedua pihak dan bersedia meminta maaf pada Devi bila keluarganya bersalah. Saat ini hubungan Devi dengan bibi iparnya sudah membaik. Perubahan ini tampak dari kebiasaan Devi yang menceritakan masalah dalam rumah tangga pada bibi iparnya. Selain menceritakan masalahnya pada suami, terkadang Devi juga menceritakan masalahnya pada bibi iparnya. Usia bibi yang lebih dewasa serta sudah lama berumah tangga dianggap
153
lebih mampu membantu Devi menyelesaikan masalah rumah tangga. Devi yang berencana menikah setelah berusia diatas 20 tahun serta sudah memiliki pekerjaan tetap sempat merasa menyesal dengan keputusannya menikah di usia muda. Penyesalan timbul ketika Devi iri melihat teman sebaya yang belum menikah masih bebas pergi main dan bekerja sedangkan dirinya sudah memiliki kewajiban mengurus anak dan keluarga. Meski suami tidak melarang Devi pergi bersama teman namun Devi tetap merasa sudah tidak dapat bebas pergi bersama teman-temannya. Jika pergi bersama teman ditemani suami, Devi tetap memiliki kewajiban mengawasi anaknya. Terkadang rasa marah karena frustasi tidak bebas beraktivitas seperti teman-teman sebaya akan Devi lampiaskan dengan memarahi anaknya. Devi tidak berani melampiaskan rasa marahnya pada suami karena nanti akan dianggap istri yang kurang ajar. Seiring berjalannya waktu, Devi mulai belajar untuk menerima keadaan dan bersyukur bahwa di usianya saat ini Devi sudah memiliki anak dan suami yang menyayanginya. Bahkan, ketika Devi bertemu dengan teman yang sudah menikah dan memiliki anak, Devi akan membicarakan mengenai perkembangan serta masa depan anak dengan teman tersebut. Perlahan-lahan rasa menyesal pun menghilang digantikan perasaan puas dengan kehidupan rumah tangganya.
154
f. Triangulasi partisipan 2 Nama
: Karso (nama samaran)
Tempat, tanggal lahir
: Pemalang, 22 Oktober 1983
Pendidikan terakhir
: SD
Pekerjaan
: buruh
Status pernikahan
: menikah
Usia saat menikah
: 25 tahun
Tahun menikah
: 2008
Usia pernikahan
: 5 tahun
Selisih usia dengan istri : 10 tahun Jumlah anak
: 1 orang
Tinggal di
: rumah sendiri
Alamat
: Jurang Jero, Kuta
Anak ke
: 1 dari 2 bersaudara
Agama
: Islam
Suku
: Jawa Triangulasi dilakukan pada tanggal 1 Oktober 2013
pada sore hari sekitar pukul 16.00 WIB. Sebelum penulis mendatangi rumah partisipan, penulis menghubungi partisipan terlebih dahulu untuk memastikan bahwa suaminya, Karso (nama samaran), sudah pulang bekerja. Sesampainya penulis di rumah partisipan, suami partisipan sedang menonton televisi bersama putri serta keponakannya. Saat bertemu penulis, Karso mengenakan kemeja coklat dengan celana kain panjang berwarna hitam. Sebelum wawancara dimulai, Karso menyiapkan rokok dan asbaknya di meja tamu. Di awal wawancara, Karso menjawab
155
pertanyaan dari penulis sambil merokok namun segera ditegur oleh Devi. Teguran dari Devi membuat Karso akhirnya mematikan rokok yang sudah separuh dihisapnya. Wawancara diawali dengan permintaan dari penulis kepada Karso untuk menceritakan awal kedekatannya dengan Devi. Menurut cerita Karso, pertemuan pertamanya dengan Devi terjadi saat Karso sedang menarik kredit di rumah orang tua Devi. Karso yang tahu bahwa usia Devi masih sangat muda dibanding dirinya, merasa tidak yakin bahwa cintanya akan diterima Devi. Karso pun meminta bantuan temannya untuk menyampaikan kepada keluarga Devi tentang niatnya menjalin hubungan dengan Devi. Orang tua Devi meminta Karso untuk menunggu jawaban dari Devi selama lima belas hari. Akhirnya, Devi menerima Karso sebagai pacarnya. Ketika berpacaran dengan Devi, Karso sering pergi ke rumah Devi dan disambut baik oleh keluarga Devi. Sambutan baik dari kedua keluarga berakhir pada keputusan untuk segera menikahkan Karso dan Devi. Pernikahan segera dilakukan karena kedua keluarga sudah saling bertemu dan mengenal baik karena sebelumnya ada anggota keluarga Devi yang hampir menikah dengan keluarga Karso. Resmi menikah dengan Devi, Karso merasa bahwa dirinya sudah tidak sebebas dulu namun Karso juga merasa bahwa sekarang sudah dapat bebas bercerita apa pun pada Devi. Setelah menikah, Karso membenarkan pernyataan Devi bahwa mereka tidak langsung menggunakan alat kontrasepsi. Menurut Karso, bila sudah siap menikah maka
156
harus siap untuk memiliki anak. Pemakaian alat kontrasepsi dilakukan setelah anak pertama lahir. Kehadiran anak dalam hubungan pernikahannya dengan Devi berpengaruh pada kebahagiaan yang dirasakan Karso. Agar penggunaan alat kontrasepsi berhasil, Karso sering mengingatkan Devi untuk kembali menggunakan alat kontrasepsi bila sudah mendekati tanggal suntik alat kontrasepsinya. Semakin lama usia pernikahan, Karso merasa bahwa sudah tidak ada lagi jadwal dalam melakukan hubungan seksual. Dalam bersama-sama,
hal pengasuhan anak, Devi
lebih
meski dilakukan
bertanggung
jawab
untuk
mengasuh anak dan Karso yang akan bekerja. Bila Devi sibuk mengurus rumah, Karso tidak segan untuk membantu Devi mengasuh anak.Selain itu, Karso merasa bahwa Devi lebih tegas dalam mengatur anak daripada dirinya.Menurut Karso, lebih tegasnya Devi dalam mengatur anak disebabkan Devi lebih sering bersama anak dibandingkan dengan dirinya yang lebih sering bekerja di luar rumah. Selama menerapkan peraturan untuk anak, jarang terjadi perbedaan pendapat antara Karso dan Devi. Menyangkut pendidikan anak, Karso dan Devi satu kata untuk menyekolahkan putri mereka hingga tingkat SMA serta diiringi dengan pendidikan agama Islam yang memadai. Tahun pertama pernikahan, pekerjaan Karso sebagai tukang ojek seringkali membuat Devi cemburu bila Karso membawa penumpang perempuan. Hal ini sering menjadi pemicu pertengkarsan antara Karso dengan Devi. Bila Devi
157
marah, Karso akan mendiamkan hingga emosinya mereda atau menggoda istrinya dengan cara dirayu. Selain mudah cemburu jika Karso membawa penumpang perempuan, Devi juga sering marah bila Karso pergi diajak teman keluar kota atau mengantar penumpang. Saat Karso pamit pergi, Devi juga ingin ikut. Diakui Karso bahwa semakin bertambahnya usia pernikahan, kecemburuan Devi bila Karso membawa penumpang perempuan sudah mulai berkurang. Karso sependapat dengan Devi bahwa untuk menjaga kelanggengan rumah tangga, Karso dan Devi mencoba saling terbuka dan berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga kelanggengan rumah tangga mereka. Saat salah satu sedang marah maka yang lain mencoba menghibur serta saling menjaga. Salah satu bentuk keterbukaan Karso dan Devi adalah terbuka tentang teman-teman mereka. Karso yang sudah mengenal semua teman Devi sudah tidak merasa cemburu bila Devi pergi bersama temannya, termasuk teman akrab pria. Berbeda halnya dengan Devi yang masih sering cemburu dengan Karso. Sepengetahuan Karso, setelah menikah Devi sudah jarang pergi bersama teman-temannya. Devi dan temanteman biasanya pergi bersama untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari di pasar. Jika ada masalah dalam rumah tangganya, Karso akan bercerita kepada orang tua atau temannya. Ini dilakukan Karso agar segera mendapat jalan keluar dari masalah yang sedang dihadapinya. Karso juga terkadang menceritakan masalahnya pada istri yang dengan setia mendengarkan keluh
158
kesahnya. Menurut Karso, bila bercerita pada sang istri nanti ujung-ujungnya akan bercanda juga. Pekerjaan Karso sebagai tukang ojek terkadang tidak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga kecilnya. Selain ngojek, Karso juga memiliki pekerjaan sampingan sebagai tukang kredit yang biasa dilakukan setelah selesai ngojek di pasar. Aktivitas Devi sehari-hari yang biasa mengurus rumah hingga siang atau main ke rumah teman membuat Karso terkadang meminta bantuan Devi membantu bekerja sebagai tukang kredit. Harapan Karso, dengan bantuan Devi menarik uang kredit ke rumah tetangga akan membuat pekerjaannya cepat selesai. Selain membantu menarik uang kredit, setelah menikah Devi juga mulai mau pergi bertani di sawah bersama teman atau keluarga Karso. Selama menikah, Karso tidak melarang Devi bekerja asal tidak kerja berat atau terlalu sibuk bekerja sehingga tidak ada waktu untuk keluarga. Penghasilan keluarga sebagian besar berasal dari Karso. Selain itu, keuangan keluarga juga diatur oleh Karso dan Devi akan diberi jatah setiap hari untuk keperluan jajan anak maupun kebutuhan dapur. Alasan Karso belum menyerahkan urusan keuangan rumah tangga pada Devi karena Karso merasa kasihan bila Devi juga harus mengurus keuangan keluarga. Karso sependapat dengan Devi mengenai hutang. Mereka akan berhutang ke warung atau pinjam uang pada teman bila pendapatan tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.
159
Selama menikah dengan Devi, Karso membenarkan bahwa Devi pernah berselisih paham dengan keluarganya. Devi yang marah langsung memutuskan pulang ke rumah orang tuanya. Hal yang bisa dilakukan Karso adalah membujuk
Devi
agar
marahnya
segera
mereda.
Ketidakdewasaan Devi terkadang membuat Karso merasa putus asa namun Karso berusaha tetap kuat sebab dalam sebuah keluarga akan selalu ada cobaan. Secara keseluruhan, Karso tetap merasa puas dengan pernikahannya dengan Devi. Karso merasa bahwa keluarga kecilnya masih lebih beruntung dibandingkan keluarga lain yang kondisi rumah tangganya lebih sulit lagi. Karso juga mengakui bahwa selama menikah, dirinya juga pernah berselisih dengan keluarga istrinya. Perselisihan tersebut berawal tentang masalah uang yang melibatkan Karso dan keluarga Devi. Bila Karso dan Devi sedang marah, permasalahan tersebut akan diungkit-ungkit lagi namun bila marah sudah mereda, masalah tersebut tidak akan dibahas lagi. Karso dan Devi yang sama-sama muslim tidak merasakan adanya pengaruh agama dalam kehidupan rumah tangga. Menurut Karso, setelah menikah Devi sudah lebih rajin beribadah. Seusai sholat Isya’ di mushola dekat rumah, Karso akan mengingatkan Devi untuk sholat dulu sebelum tidur. Karso dan Devi berusaha untuk saling mengingatkan agar beribadah tepat waktu.
160
Triangulasi
kedua
dilakukan
pada
tanggal
23
November 2013 sekitar pukul 17.15 WIB. Pada triangulasi kedua, Karso mengungkap tujuannya menikah adalah agar tidak keluyuran lagi. Di masa masih bujangan, Karso ingin segera menikah agar hidupnya lebih tenang karena selama belum menikah Karso masih sering keluyuran tidak jelas. Semasa masih hidup sendiri, Karso juga ingin memiliki rumah sendiri maka setelah menikah, Karso berusaha untuk memiliki rumah sendiri yang akan ditempati bersama keluarganya. Hubungan Karso dengan keluarga Devi saat mereka masih pacaran sangat baik. Kedua keluarga sudah saling mengenal baik karena dulu ayah Karso pernah menjadi menantu nenek Devi yakni saat ayah Karso masih menjadi suami kakaknya ibu Devi. Hubungan kedua keluarga mulai merenggang saat ada masalah yang berkaitan dengan uang. Karso berpendapat bahwa awal masalah diantara dua keluarga karena keluarga Devi. Berawal ketika ayah Devi meminta sejumlah uang dengan alasan membeli seng untuk rumah yang sedang Karso dan Devi bangun namun hingga seng akan digunakan, seng tidak juga dikirim dari Jakarta. Tidak ada alasan jelas uang dari Karso tersebut digunakan untuk keperluan apa. Dari masalah tersebut, Karso merasa marah pada keluarga Devi. Selain soal seng, Karso juga marah saat tanaman cengkeh yang ditanam di tanah mertuanya terpaksa harus dicabut karena mertua menyuruh Karso agar menanam di tanah miliknya. Karso ingin menanam cengkeh agar kelak
161
jika bukan Karso, anak-anaknya lah yang dapat menikmati hasilnya. Kemarahan Karso tidak pernah ditunjukkan secara langsung kepada keluarga istrinya. Bila Karso bertemu dengan mertuanya, Karso akan bersikap biasa meski Karso merasa sakit hati. Ketika ayah mertuanya pulang dari Jakarta dan membawa banyak barang oleh-oleh, Karso merasa semakin sakit hati. Sakit hati Karso lantaran ayah mertuanya mampu membeli banyak barang untuk oleh-oleh namun tidak mampu membayar hutang padanya. Adanya masalah antara Karso dan ayah mertuanya berpengaruh juga terhadap hubungan Devi dengan keluarga Karso. Karso mengaku Devi sering marah akibat keluarga Karso yang ikut campur dalam urusan tersebut. Bila ada katakata yang menyinggung soal masalah tersebut, Devi juga akan marah. Menurut Karso, kemarahan Devi lebih disebabkan karena Devi merasa dikecewakan oleh keluarganya sendiri. Karso merasa bahwa sifat keluarganya dan keluarga istrinya sebenarnya baik. Namun, kebaikan tersebut berubaha setelah ada masalah diantara keduanya. Setelah masalah berlalu, Karso menganggap hubungannya dengan kelaurga istrinya sudah baik-baik saja. Sedangkan untuk kehidupan ekonomi, ketika pendapat tidak mencukupi, Karso dan Devi akan hutang pada teman atau tetangga. Sebelum berhutang, terkadang Karso akan bercerita dulu pada istrinya. Untuk pelunasan hutang, bila mereka berhutang dalam jumlah kecil, pelunasan dilakukan oleh Devi sedangkan bila hutang mereka lebih dari Rp.
162
100.000,00 maka Karso yang melunasinya. Banyaknya masalah terkadang mengharuskan Karso untuk bercerita pada istrinya meski terkadang hal itu membuat Devi khawatir. Triangulasi ketiga partisipan 2 dilakukan pada tanggal 1
Februari
2014.
Pada
pertemuan
tersebut,
Karso
menceritakan bahwa menurutnya Devi sudah merasa bahagia dan puas dengan pernikahannya. Menurut Karso, Devi sudah merasa puas dengan pernikahan karena ada perbedaan setelah menikah
dan
saat
masih
pacaran.
Saat
wawancara
berlangsung, penulis lupa menanyakan maksud pernyataan Karso mengenai perbedaan setelah dan saat masih pacaran. Setelah wawancara selesai, penulis menanyakan maksud pernyataan tersebut pada Karso. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan sikap Karso dan kehidupan Devi setelah memiliki suami. Pada beberapa hal, Karso merasa tidak begitu yakin bahwa istrinya sudah puas dengan pernikahannya. Karso merasa bahwa dalam urusan ekonomi, istrinya masih belum terlalu puas dengan keadaan ekonomi rumah tangga. Ketidakpuasan lain juga terjadi dalam hal pengasuhan anak. Menurut Karso, usia anak yang masih kecil membuat anak masih sulit diatur oleh Devi. g. Member check Pertemuan
penulis
dengan
partisipan
2
untuk
melakukan member check dilakukan pada tanggal 1 Oktober 2013 sekitar pukul 08.30 WIB. Penulis bertemu kembali di rumah bibi partisipan. Pada pertemuan ini, partisipan datang
163
bersama putrinya yang memakai baju berwarna merah. Partisipan sendiri mengenakan atasan berwarna coklat yang dipadu dengan celana jeans hitam dan tas kecil berwarna hitam. Dari tiga verbatim yang penulis serahkan pada partisipan, partisipan memberikan beberapa koreksi pada masing-masing
verbatim.
Koreksi
verbatim
dilakukan
partisipan dengan menulis kembali kalimat yang tidak sesuai dengan rekaman menggunakan pensil dan bolpoin yang penulis
sediakan.
partisipan
Setelah
selesai
menyerahkan kembali
membaca lembar
verbatim,
tersebut
dan
menandatangani surat pernyataan. Member check kedua dengan partisipan 2 dilakukan tanggal 22 November 2013 di rumah bibi partisipan. Partisipan datang sekitar pukul 05.20 WIB bersama putrinya diantar suami. Seperti pada member check sebelumnya, partisipan membaca transkrip sambil mendengarkan rekaman dengan sungguh-sungguh. Selama membaca verbatim, jari telunjuk
partisipan
menyusuri
setiap
kalimat
sambil
bergumam. Partisipan meminta mengulang rekaman pada menit ke 05:50 dan 06:53 dan kemudian menyerahkan transkrip pada penulis untuk dibenarkan. Partisipan kembali melanjutkan membaca transkrip. Setelah dirasa sesuai, transkrip pun dikembalikan pada penulis.
164
C. PEMBAHASAN Kedua partisipan merupakan penduduk asli Pemalang yang lahir dan besar di sana. Para partisipan tinggal di daerah pedesaan yang ada di kota Pemalang. Aktivitas sehari-hari masyarakat di lingkungan tempat tinggal para partisipan adalah bertani atau berkebun. Sebagian besar penduduknya hanya lulus SD atau SMP. Pendapatan orangtua dari bertani atau berkebun yang kadang kala tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup membuat banyak remaja di desa memilih tidak melanjutkan sekolah dan bekerja di luar kota. Selain bekerja, menikah adalah pilihan lain bagi para remaja yang tidak melanjutkan sekolah. Ketika memutuskan menikah, partisipan yang masih berusia remaja belum memiliki gambaran tentang kehidupan berumah tangga. Rasa sayang serta cinta yang dirasa partisipan dan adanya kepercayaan keluarga terhadap calon pasangan merupakan penguat bagi kedua partisipan dalam memutuskan menikah. Di lingkungan tempat tinggal kedua partisipan, pernikahan di usia remaja bukan menjadi hal baru. Kekhawatiran anak terjerumus perilaku seks pranikah menyebabkan orang tua mendukung atau bahkan mengusulkan anak remaja mereka segera menikah. Remaja putri yang sudah menikah kemudian akan ikut suaminya yang bekerja di luar kota atau tetap tinggal di Pemalang bersama orangtua mereka. Para remaja putri di negara berkembang yang hidup di daerah pedesaan memiliki kecenderungan dua kali lipat untuk menikah dibandingkan dengan teman sebaya mereka yang tinggal di daerah perkotaan (UNFPA, 2012). Pernikahan pada anak dialami oleh satu atau bahkan kedua individu yang masih usia anak-
165
anak dan dilakukan dengan atau tanpa registrasi formal serta hanya dinikahkan secara agama atau hukum adat (IPPF, 2006). Partisipan 1 (Rani) menikah dengan seorang pria asli Pemalang saat berusia 14 tahun dengan selisih usia 8 tahun. Sedangkan partisipan 2 (Devi) menikah saat berusia 15 tahun, selisih usia antara Devi dengan suaminya adalah 10 tahun. Seperti yang dijelaskan oleh UNICEF (2001) mengenai pernikahan dini yang merupakan sebuah bentuk pernikahan yang dilakukan oleh anak dan remaja yang berusia di bawah usia 18 tahun, kedua partisipan dapat digolongkan sebagai pelaku nikah muda. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 tahun 1974 mengenai pernikahan, sudah ditetapkan batas usia bagi setiap warga negaranya baik pria maupun wanita yang ingin melangsungkan pernikahan. Berusia minimal 16 tahun merupakan syarat wajib bagi wanita yang ingin menikah sedangkan pada pria sekurang-kurangnya berusia 19 tahun. Bila usia sudah sesuai ketentuan, pasangan dapat melangsungkan pernikahan di kantor urusan agama bagi umat Islam atau di kantor catatan sipil bagi penganut agama lain. Namun, bagi pasangan yang belum memenuhi ketentuan usia tersebut, nikah siri merupakan pilihan yang diambil, begitu pula yang dilakukan oleh Devi. Konsep nikah siri yang dipahami oleh masyarakat adalah pernikahan yang dilakukan oleh calon pasangan pengantin yang dilakukan di luar kantor urusan agama (Sukaryanto, 2010). Tujuan menikah baik pada pelaku nikah siri maupun yang menikah sah secara hukum dan agama adalah sama yaitu membentuk keluarga yang bahagia. Sudah dijelaskan oleh Fatima dan Ajmal (2012) pada bab sebelumnya, perasaan bahagia yang dirasakan oleh
166
suami maupun istri ditimbulkan dari perasaan puas terhadap pernikahan yang dijalaninya. Untuk mengetahui gambaran kepuasan pernikahan yang dirasakan setiap partisipan, penulis menggunakan aspek-aspek kepuasan pernikahan dari oleh Fowers dan Olson (1989; 1993) yakni: Komunikasi dengan pasangan Komunikasi merupakan salah satu cara bagi pasangan dalam menjaga kelanggengan hubungannya. Menurut Coupland, Giles dan Wiemann (dalam Van den Troost, n.d.) komunikasi yang baik penuh dengan
keterbukaan
dan
kejujuran
sedangkan
komunikasi
permusuhan (hostile communication) mengindikasikan kurangnya kemampuan berkomunikasi. Keterbukaan dalam berkomunikasi merupakan strategi untuk mendiskusikan dan saling berbagi pikiran serta perasaan mengenai hubungan yang dijalani menuju kepuasan yang lebih besar serta untuk memelihara hubungan (Weigel & Ballard-Reisch dalam Van den Troost, n.d.). Keterbukaan dalam komunikasi diterapkan dalam pernikahan Rani maupun Devi. Setelah menikah Rani tetap tinggal di Pemalang sedangkan suami kembali bekerja ke Pangandaran membuat mereka jarang bertemu langsung. Selama berpisah, Rani dan suami setiap waktu selalu komunikasi menggunakan handphone, baik dengan berkirim pesan singkat maupun telepon. Melalui handphone, Rani maupun suami saling menceritakan aktivitas di tempat masingmasing. Suami biasa bercerita tentang pekerjaan selama di Pangandaran dan teman-teman di lingkungan tempatnya tinggal. Selama suami bekerja di luar kota, Rani juga bercerita tentang
167
kegiatan apa saja yang dilakukannya, termasuk mengungkapkan keinginannya bekerja ketika Rani merasa bosan di rumah. Seiring berjalannya waktu, komunikasi dengan suami melalui handphone mulai menurun sejak kelahiran anak. Saat usia anak menginjak satu tahun, komunikasi dengan berkirim pesan singkat maupun telepon berkurang karena Rani sibuk mengurus anaknya. Saat Rani sedang memegang handphone, terkadang anaknya rewel dan meraih handphone tersebut. Akhirnya komunikasi dengan suami dilakukan hanya beberapa hari sekali. Selain bercerita tentang aktivitasnya di Pemalang, Rani sering menceritakan masalah tumbuh kembang anak pada suaminya. Dengan demikian, suami tetap dapat mengikuti perkembangan putranya. Masalah lain yang Rani ungkapkan pada suami adalah rasa cemburu terhadap hubungan suami dengan teman-teman wanitanya. Saat merasa cemburu, Rani pun mengutarakan perasaannya pada suami. Selain masalah kecemburuan Rani dengan suami, Rani tidak sungkan menolak keinginan suami saat mengajaknya tinggal bersama keluarga suami. Rasa tidak nyaman karena hidup menumpang membuat Rani pun enggan tinggal bersama mertua. Komunikasi bukan hanya berbicara tentang peristiwa yang terjadi dengan pasangan namun juga seluruh ekspresi nonverbal serta isyarat-isyarat tertentu (Koerner & Fitzpatrick, 2002). Selain komunikasi
verbal
yang
dilakukan
oleh
partisipan
dengan
pasangannya dalam bentuk bertukar cerita atau berbagi masalah, bentuk komunikasi lain yang dilakukan dengan komunikasi nonverbal. Komunikasi nonverbal dilakukan oleh partisipan untuk menunjukkan rasa sayang pada pasangan.
168
Ungkapan rasa sayang Rani pada suami biasa ditunjukkan dalam bentuk pelukan maupun ciuman. Bentuk komunikasi nonverbal seperti sentuhan fisik yang dilakukan oleh Rani dipercaya mampu meningkatkan perasaan puas terhadap hubungannya (Spott, Pyle & Punyanunt-Carter, 2010). Selain itu, rasa sayang pada pasangan juga dapat diekspresikan dengan cara lain seperti adanya perhatian dari masing-masing pihak. Rasa sayang dalam bentuk perhatian inilah yang biasa ditunjukkan Devi dengan cara selalu mengingatkan suami untuk makan teratur. Dalam hubungan Devi dengan suami, keterbukaan juga coba diterapkannya dengan suami. Ketika di awal pernikahan, Devi masih belum berani mengungkapkan perasaannya kepada pasangan. Seperti saat Devi sebenarnya belum ingin memiliki anak akibat rasa khawatir kelak tidak dapat mengurus anaknya. Kekhawatiran tersebut tidak Devi sampaikan kepada suami karena Devi takut mengecewakan suaminya. Akhirnya, Devi mengikuti keinginan suami untuk menunda penggunaan alat kontrasepsi dan segera memiliki anak. Saat merasa cemburu dengan suami, Devi pun tidak langsung mengatakannya pada suami. Kecemburuan tersebut Devi lampiaskan dengan mengacuhkan suami. Setelah sekian lama menikah, Devi mulai terbuka mengenai perasaannya pada suami. Meski awalnya mengacuhkan suami, Devi akhirnya mengutarakan rasa cemburunya pada suami. Permasalahan dengan keluarga suami pun Devi ceritakan pada suaminya. Setelah mendengar cerita Devi, suami akan menasihati dan meminta Devi untuk tidak pulang ke rumah ketika ada masalah dalam rumah tangga mereka. Devi juga berusaha menjadi pendengar yang
169
baik saat suami menceritakan masalah atau hal yang mengganggu pikirannya, baik itu mengenai pekerjaan maupun rumah tangga. Saling menceritakan masalah diharapkan mampu mengurangi beban serta dapat saling memberikan dukungan. Dalam sebuah interaksi, dukungan dari pasangan memiliki kaitan positif dengan rasa puas terhadap pernikahan (Fincham, 2004). Individu yang mengaku mendapat banyak dukungan dari pasangan merasa lebih puas terhadap pernikahannya serta lebih sedikit mengalami gejala depresi dan lebih mampu mengelola tingkat stres (Purdom, Lucas & Miler dalam Hess, 2008). Aktivitas di waktu luang Hubungan pernikahan tidak
membuat
individu
selalu
menghabiskan waktunya bersama pasangan. Ada waktu-waktu tertentu ketika individu diharuskan beraktivitas tanpa pasangan seperti ketika sedang bekerja atau ketika sedang ingin menikmati aktivitas tanpa pasangan. Meski demikian, melakukan aktivitas bersama pasangan di waktu luang diprediksi mampu meningkatkan kepuasan pernikahan. Sangat penting bagi pasangan untuk mencari aktivitas yang sekiranya menarik serta menyenangkan bagi keduanya (Crawford, Houts, Huston & George dalam Knowles, 2004). Tidak semua pasangan dapat menghabiskan waktu luang bersama. Semisal dengan Rani, sejak belum menikah suami Rani sudah bekerja di Pangandaran. Memiliki pekerjaan di luar kota menyebabkannya lebih banyak menghabiskan waktu di Pangandaran dan jarang pulang ke Pemalang. Setelah menikah pun suami tetap bekerja disana dan berpisah dengan istri yang menetap di Pemalang. Saat suami berada di Pangandaran, Rani lebih banyak menghabiskan
170
waktu luangnya bersama anak dan keluarga. Aktivitas partisipan ketika tidak bersama pasangan pun beragam. Sebagian besar kegiatan Rani adalah mengurus rumah dan mengasuh anaknya yang berusia tiga tahun. Selain mengurus anak, Rani juga harus mengurus neneknya yang sakit. Bila pekerjaan rumah sudah selesai, Rani terkadang pergi ke rumah bibinya yang terletak tidak jauh dari rumah. Disana Rani biasa mengobrol bersama bibi serta sepupunya yang baru melahirkan anak pertama. Ketika suami pulang ke Pemalang, aktivitas Rani akan bertambah yaitu melayani kebutuhan suami selama di rumah. Di waktu tertentu seperti saat musim panen melinjo atau musim hujan, terkadang Rani ingin bekerja karena bosan di rumah. Setelah mendapat izin bekerja dari suami, Rani akan bekerja sebagai pengupas kulit melinjo atau menjadi buruh tani di sawah milik tetangga.
Sedikitnya
waktu
berkumpul
dengan
pasangan
memungkinkan Rani merasa kurang puas dengan waktu yang dihabiskannya bersama pasangan. Padahal menurut Knowles (2004) interaksi serta komunikasi yang terjalin selama melakukan aktivitas bersama pasangan diprediksi mampu meningkatkan kepuasan dalam pernikahan. Devi dan suami yang sama-sama bekerja dan tinggal di Pemalang dapat lebih sering melakukan aktivitas bersama di waktu luang. Pada pasangan ini, ketika tidak bekerja di luar rumah, mengasuh anak merupakan aktivitas yang sering di lakukan bersama. Ketika tidak bersama pasangan dan tidak bekerja di sawah, Devi biasa menghabiskan waktunya dengan mengasuh anak atau mengobrol bersama teman di lingkungan rumahnya. Setelah menikah,
171
Devi sudah tidak memiliki waktu khusus bersama suaminya tanpa ada anak mereka. Sedikitnya waktu bersama pasangan setelah kehadiran anak menurut Voorpostel, Gershuny dan van der Lipper (2007) adalah hal yang wajar dalam sebuah pernikahan. Kehidupan beragama dalam pernikahan Menurut Hünler dan Gençöz (2005), agama memiliki banyak pengaruh dalam sebuah pernikahan. Pengaruh tersebut antara lain dalam hal komunikasi, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, komitmen, kehidupan seksual serta pengasuhan. Lebih lanjut, pasangan dengan keyakinan yang sama, beribadah atau mengikuti acara keagamaan bersama diyakini memiliki kemungkinan lebih rendah untuk bercerai, bahkan memikirkan atau mendiskusikan mengenai perceraian pun cenderung lebih rendah. Oleh karena itu praktek keagamaan seringkali dihubungkan dengan hasil positif dari kualitas dan kestabilan pernikahan (Ahmadi & Hossein-abadi, 2009). Kedua partisipan dan pasangan yang sama-sama beragama Islam mengaku tidak mengalami kendala dalam menerapkan ajaran agama dalam pernikahan. Setelah menikah kedua partisipan mengaku mengalami peningkatan dalam hal pelaksanaan ibadah. Kehadiran suami yang selalu mengingatkan para partisipan untuk beribadah, terutama sholat wajib merupakan salah satu alasan terjadinya peningkatan tersebut. Sebelum menikah Rani sering menunda bahkan melewatkan waktu sholat namun setelah menikah Rani menjadi rajin beribadah. Bahkan terkadang suami pun menyuruh Rani ikut pengajian bersama teman dan tetangga. Rani yang sebelum menikah masih lalai dalam ibadah sekarang berusaha untuk taat beribadah. Mengingat usianya yang
172
semakin menua, Rani merasa khawatir bila selama sisa hidupnya tidak rajin beribadah dan sewaktu-waktu meninggal dunia, Rani tidak memiliki amal ibadah. Di usianya yang masih tergolong pada masa remaja, kecemasan Rani tentang kematian bertentangan dengan pendapat
dari
Hurlock
(1999).
Dalam
bukunya,
Hurlock
mengungkapkan bahwa rasa cemas akan kematian biasa dialami oleh individu dewasa sehingga membuat mereka lebih memperhatikan ibadahnya. Kecemasan akan kematian yang timbul dalam diri Rani kemungkinan karena Rani sudah berkeluarga. Umumnya individu yang sudah berkeluarga akan kembali pada agama atau setidaktidaknya menaruh cukup perhatian (Hurlock). Ibadah bersama seperti sholat berjamaah juga biasa dilakukan oleh partisipan bersama suami di rumah masing-masing. Menurut Hünler dan Gençöz (2005) melakukan ibadah bersama mampu meningkatan kepuasan pernikahan dan juga dalam resolusi konflik. Sholat berjamaah bersama suami tidak dapat dilakukan Rani setiap hari karena suami yang bekerja di luar kota. Ibadah bersama hanya dilakukan ketika suami pulang ke Pemalang sedangkan Devi lebih mungkin melakukan sholat berjamaah dengan suami karena suaminya tidak bekerja di luar kota. Peningkatan dalam pelaksaan ibadah terutama sholat wajib pun dirasakan Devi setelah resmi menikah. Suami selalu mengingatkan Devi agar selalu meluangkan waktu untuk menunaikan ibadah sholat wajib tepat waktu. Berdasarkan cerita di atas, tampak bahwa kehadiran suami memiliki pengaruh besar terhadap peningkatan aktivitas keagamaan para partisipan. Hal ini kemungkinan terjadi karena suami yang sudah pada tahap usia dewasa mulai lebih memperhatikan hal-hal
173
keagamaan. Pada masa dewasa, individu mulai memiliki pandangan hidup yang didasarkan pada agama serta memberi kepuasan baginya (Hurlock, 1999). Kepercayaan spiritual merupakan dasar dari perilaku dan nilai-nilai yang dianut oleh individu maupun pasangan. Pasangan dengan keyakinan dan praktek spiritual kuat menyatakan bahwa keyakinan memberikan dasar yang dapat meningkatkan rasa cinta serta membantu untuk tumbuh bersama mencapai impiannya (Olson, Olson-Sigg dan Larson, 2008). Islam memandang pernikahan sebagai peristiwa penting serta berharga dan merupakan komitmen seumur hidup (Hünler & Gençöz, 2005). Untuk menjaga komitmen yang sudah tercipta, setiap pasangan memiliki cara tersendiri. Selama suami berada di Pangandaran, Rani berusaha menjaga nama baik suami di masyarakat. Ketika suami tidak berada di rumah, Rani jarang pergi jauh dari rumah dan tidak pernah pergi dengan pria yang bukan saudaranya. Kadang kala Rani pergi ke pasar yang letaknya jauh dari rumah untuk membeli kebutuhan sehari-hari bersama teman-teman wanita. Keputusan ini diambil Rani agar tidak menimbulkan prasangka dari tetangga. Tindakan tersebut sesuai dengan ajaran agama yang dianut oleh Rani. Dalam agama Islam tidak diperkenankan seorang wanita bepergian dengan pria yang bukan mahramnya. Mahram diartikan sebagai orang-orang yang selamanya diharamkan untuk dinikahi karena sebab-sebab tertentu. Seorang wanita diizinkan bepergian hanya dengan pria yang sudah menjadi suami mereka, ayah kandung, ayah mertua, putra dan putri kandung, putra putri tiri, saudara laki-
174
lakinya, anak dari saudara laki-laki dan sudara perempuannya serta para perempuan (Q.S An Nur: 31). Islam mengajarkan setiap umatnya untuk selalu menjaga kemulian pasangan. Cara menjaga kemulian tersebut adalah dengan tidak membuka keburukan seseorang pada orang lain. Ajaran tersebut selalu Devi dan suami terapkan dalam kehidupan rumah tangga mereka. Pada pasangan yang sudah resmi menikah, membuka keburukan pasangan kepada orang lain adalah hal yang tidak diperbolehkan. Selain itu, saling percaya dan terbuka terhadap pasangan juga diterapkan oleh kedua partisipan. Penyelesaian konflik rumah tangga Masalah merupakan sesuatu yang biasa terjadi serta tidak dapat dihindari dalam sebuah hubungan. Menurut Olson dkk. (2008), suatu hubungan tidak selamanya berjalan harmonis karena adanya perbedaan setiap individu. Begitu pula dalam hubungan para partisipan dengan pasangannya. Di usia pernikahan Rani dan Devi yang saat ini menginjak tahun ke-4 dan ke-5 memungkinkan lebih sering terjadinya masalah dibanding saat baru menikah. Hal senada juga diungkapkan oleh Pimentel, Robb dan Houser (n.d.) bahwa pernikahan yang berusia lebih dari satu tahun, akan mengalami lebih banyak kesulitan serta tantangan di dalamnya. Permasalahan rumah tangga cenderung berasal dari pihak wanita namun wanita biasa menganggap suami adalah penyebab munculnya masalah (Faulkner, Davey & Davey, 2005). Pada kedua partisipan, kecemburuan terhadap pasangan merupakan salah satu penyebab permasalahan dalam rumah tangga. Rani mengaku merasa cemburu ketika mengetahui ada wanita yang
175
menelpon suaminya.
Kecemburuan tersebut
Rani ungkapkan
langsung pada suaminya. Untuk meredam kecemburuan Rani, suami memberikan penjelasan bahwa wanita tersebut merupakan temannya. Penyelesaian konflik seperti ini biasa disebut dengan model collaborating behavior yang diidentifikasikan dengan adanya pihak yang mengajukan ketidaksetujuan serta adanya pemecahan masalah (Thomas dalam Greef & Bruyne, 2000). Sejak awal menikah hingga menginjak usia pernikahan yang ke empat tahun, Rani dan suami sepakat tidak melibatkan keluarga masing-masing saat terjadi masalah dalam rumah tangga mereka. Mengungkapkan suatu hal yang dianggap menjadi masalah kepada pasangan merupakan cara untuk dapat menyelesaikan konflik rumah tangga. Keberhasilan suatu hubungan ditentukan dari cara berkomunikasi dengan pasangan, kemampuan mengambil keputusan serta berunding terhadap masalah yang dihadapi (Dindia dalam Britt, Grable, Goff & White, 2008). Sikap berbeda ditunjukkan Devi ketika merasa cemburu saat tahu suaminya membawa penumpang wanita ketika
ngojek.
Rasa
cemburu
Devi
dilampiaskan
dengan
mengacuhkan suami ketika pulang kerja. Saat diacuhkan Devi, suami tidak marah tapi akan menggoda istrinya. Usaha ini dilakukan suami untuk
meredakan
emosi
Devi
hingga
akhirnya
Devi
mau
menceritakan masalahnya pada suami. Sikap suami yang berusaha menenangkan amarah istri merupakan ciri dari penyelesaian konflik model accommodating behavior dari Thomas (dalam Greef & Bruyne, 2000). Sikap suami dengan menggoda Devi yang sedang cemburu adalah salah satu bentuk humor guna meredakan ketegangan akibat
176
suatu masalah. Hal ini didukung oleh penelitian dari Ziv dan Diem (dalam Ziv & Gadish, 2001) yang menyatakan bahwa humor memberi kontribusi positif terhadap kehidupan pernikahan. Ini mengindikasikan bahwa humor adalah salah satu faktor penting tercapainya kepuasan pernikahan. Selain dengan humor, ketika salah satu pasangan sedang marah maka yang lain akan mendiamkan terlebih dahulu hingga amarah mereda. Bila suami sedang marah, Devi lebih memilih untuk mendiamkannya hingga kemarahannya mereda. Menurut Devi, marah yang dibalas dengan kemarahan hanya akan membuat situasi semakin memanas. Inisiatif menyelesaikan masalah rumah tangga lebih sering berasal dari suami Devi. Suami menjadi pihak pertama yang mengajak Devi membicarakan baik-baik masalah yang sedang dihadapi. Salah satu contohnya adalah ketika Devi marah dengan keluarga suami. Devi yang langsung memutuskan pulang ke rumah orang tua akhirnya dinasihati oleh suami. Suami mengingatkan kepada Devi agar jangan selalu pulang ke rumah orangtua bila ada masalah dalam rumah tangga mereka. Fakta ini bertolak belakang dengan pernyataan Johnson (dalam Faulkner dkk., 2005) yang mengungkapkan bahwa pria memiliki kemungkinan lebih besar untuk menarik diri ketika ada masalah sementara para wanita lebih besar kemungkinannya untuk memulai percakapan mengenai masalah yang terjadi. Jika usaha suami dalam menyelesaikan masalah dikaitkan dengan usia suami saat menikah maka tampak bahwa suami sudah memiliki kematangan emosi dalam menghadapi masalah rumah
177
tangga. Menurut Walgito (2004) orang yang sudah matang secara emosi akan bersifat sabar, penuh pengertian dan pada umumnya cukup mempunyai toleransi yang baik. Emosi yang lebih stabil dibandingkan para remaja merupakan salah ciri individu dalam masa dewasa. Usia dewasa menurut Mönks dkk. (2002) terjadi ketika individu sudah berusia lebih dari 21 tahun. Pada tahap ini, salah satu tugas perkembangan individu menurut Havingrust (dalam Mönks dkk.) adalah mempersiapkan kehidupan berumah tangga. Ditinjau dari pembagian usia menurut Mönks dkk. maka usia para suami saat menikah yakni 24 dan 25 tahun sudah termasuk dalam usia dewasa yang layak membina rumah tangga. Pada kedua partisipan, kestabilan emosi suami terlihat dari kesabaran suami memberikan penjelasan kepada para partisipan ketika sedang cemburu. Suami lebih memilih menggunakan cara baik-baik
yaitu dengan berdiskusi dan tidak emosi dalam
menyelesaikan masalah dengan pasangan. Dengan cara demikian maka konflik dapat teratasi tanpa perlu menimbulkan konflik baru. Permasalahan yang dihadapi oleh para partisipan terkadang membuat mereka meminta bantuan orang lain, selain pasangan masing-masing.
Bantuan tersebut
lebih sering berupa saran
bagaimana menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Rani sering bercerita tentang masalahnya kepada bibi iparnya. Dengan bercerita pada orang lain, selain mendapat solusi, Rani juga merasa tidak terlalu terbebani dengan masalahnya. Hal serupa juga diakui oleh Devi yang juga biasa bercerita pada bibi iparnya dengan harapan akan mendapat solusi mengenai masalah yang dihadapinya.
178
Pengaturan keuangan dalam rumah tangga Puas terhadap keadaan ekonomi mampu meningkatkan kepuasan dalam pernikahan, lebih jauh lagi yaitu kepuasan dalam hidup (Mugenda, Hira & Fanslow dalam Parrota & Johnson, 1998). Fakta tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Kerkman dkk., pada tahun 2000 yang mengungkap bahwa faktor ekonomi turut menyumbang 15% tercapainya kepuasan pernikahan. Namun, kurangnya komunikasi tentang keadaan ekonomi rumah tangga dapat memicu kesalahpahaman dengan pasangan mengenai perilaku-perilaku yang dianggap boros sehingga dapat mengurangi kualitas hubungan (Britt dkk., 2008). Masih dalam Britt dkk., Terling-Watt mengutarakan bahwa perilaku yang berhubungan dengan ekonomi dianggap sebagai alasan untuk bercerai. Kerkman dkk. (2000) memandang perceraian sebagai indikasi utama dari kurangnya kepuasan dalam pernikahan. Sejak awal menikah, keuangan dalam rumah tangga kedua partisipan sebagian besar dikelola oleh suami. Individu yang mengelola keuangan rumah tangga memiliki beberapa tugas seperti membayar tagihan, menjaga alur pengeluaran serta menyusun dan menggunakan
anggaran
sesuai
dengan
yang
sudah
dibuat
sebelumnya. Ketika pengaturan keuangan rumah tangga dipegang oleh salah satu pasangan, sangat penting bagi keduanya untuk saling percaya satu sama lainnya (Skogrand, Johnson, Horrocks & DeFrain, 2010). Meski pengaturan keuangan rumah tangga dipegang oleh suami, para partisipan tetap dapat mengetahui bagaimana keadaan ekonomi rumah tangga mereka. Adanya komunikasi diantara
179
pasangan
memungkinkan
pasangan
tahu
mengenai
berbagai
pengeluaran dan pendapatan rumah tangga. Suami Rani yang merupakan tulang punggung keluarga tidak mengizinkan Rani bekerja menyebabkan penghasilan rumah tangga hanya berasal dari suaminya. Penghasilan suami sebagai buruh yang tidak menentu membuatnya tidak teratur mengirim uang untuk Rani. Akibatnya adalah Rani harus pandai mengatur keuangan rumah tangga sebaik mungkin. Salah satu caranya adalah dengan mengalihkan uang untuk membeli rokok suami ketika dirumah yang digunakan untuk jajan anak di warung. Rani juga selalu berusaha menyisihkan uang dari suami untuk ditabung. Nantinya tabungan tersebut akan digunakan untuk masa depan anaknya. Bagi pasangan dengan penghasilan rendah, pengelolaan keuangan akan terasa jauh lebih penting dan sulit sebab membutuhkan keterampilan yang lebih baik (Pahl dalam Parrota & Johnson, 1998). Rani merasa cukup puas dengan kondisi ekonomi rumah tangganya hingga saat ini. Meski tergolong berpenghasilan rendah, Rani tetap bersyukur dan merasa puas karena suami selalu menafkahinya. Disisi lain, terbatasnya pendapatan suami membuat Rani tidak dapat membeli barang sesuai keinginannya. Hal ini merupakan pemicu timbulnya rasa tidak puas mengenai kondisi ekonomi rumah tangga Rani. Sama seperti keuangan rumah tangga Rani yang dikelola oleh suami, suami Devi yang mengelola keuangan biasanya akan memberi jatah setiap hari bagi istrinya untuk memenuhi kebutuhan harian. Uang tersebut akan dipergunakan untuk jajan anak, membeli bahan makanan seperti sayur-sayuran dan lauk di pasar atau warung serta
180
membayar arisan. Saat uang yang diberikan ternyata tidak mencukupi kebutuhan tersebut, Devi kembali akan meminta kepada suaminya. Menurut Boyle (2012) dalam rumah tangga yang hanya ada satu pihak yang mengelola keuangan rumah tangga bukan berarti pihak lain tidak dapat menggunakan uang tersebut. Selama menikah, suami tidak melarang Devi membantu bekerja asal tidak terlalu sibuk dalam bekerja. Penghasilan Devi bekerja di sawah akan digabung penghasilan suami dari ngojek digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kadangkala Devi dan suami berhutang ke tetangga atau teman bila pendapatan ternyata tidak mencukupi kebutuhan setiap bulan. Menurut Olson dan OlsonSigg (dalam Skogrand dkk., 2010), hutang merupakan hal yang menghalangi tercapainya kepuasan pernikahan. Pernyataan tersebut bertentangan dengan apa yang dirasakan oleh Devi. Devi tetap merasa puas dengan kondisi keuangan rumah tangganya meski Devi dan suami terkadang berhutang ke orang lain. Rasa puas muncul setelah mereka tinggal di rumah sendiri. Tahuntahun awal pernikahan saat masih tingggal bersama mertua, Devi merasa tidak puas karena suami lebih sering memberi uang kepada bibinya dengan alasan masih tinggal satu rumah dengan ibu dan bibinya. Setelah tinggal terpisah dengan mertua, suami mulai memberi uang untuk keperluan sehari-hari kepada Devi. Mengenai pelunasan hutang, terkadang Devi melunasi hutang menggunakan uang yang sudah dikumpulkannya atau meminta uang dari suami. Cara pelunasan tersebut dibenarkan juga oleh suami Devi. Hutang dengan nominal dibawah Rp. 100.000,00 dilunasi oleh Devi sedangkan hutang diatas Rp. 100.000,00 merupakan tanggung jawab
181
suami dalam pelunasannya. Sebelum memutuskan untuk berhutang, Devi dan pasangan akan berdiskusi terlebih dahulu, terutama bila akan berhutang dalam jumlah banyak. Intimasi seksual Kehidupan seksual merupakan salah satu bagian penting dalam pernikahan. Banyak pihak mengungkapkan bahwa kepuasan dalam kehidupan seksual berpengaruh terhadap kepuasan pada pernikahannya. Agar rasa puas terhadap pernikahan selalu terjaga, dibutuhkan adanya komunikasi terbuka dengan pasangan mengenai berbagai hal, termasuk dalam kehidupan seksual mereka (Litzinger & Gordon, 2005). Hubungan seksual dengan pasangan hanya dapat dilakukan oleh Rani ketika suami pulang dari Pangandaran. Namun, ketika Rani enggan melakukan hubungan seksual, Rani pun mengungkapkan kepada suaminya dengan baik-baik. Suami tidak akan memaksa bila Rani tidak ingin melakukan hubungan seksual. Banyak pasangan yang lebih setuju bila pasangan menolak berhubungan intim dengan cara yang wajar (Olson dkk., 2008). Seperti halnya ketika suami mengutarakan keinginan untuk berhubungan intim, saat Rani ingin melakukan hubungan seksual, Rani juga akan mengutarakan keinginannya. Suami pun mau melayani kebutuhan biologis istrinya. Kehidupan seksual Devi dengan suami tidak berbeda jauh dengan Rani dan suaminya. Saat suami ingin melakukan hubungan seksual, Devi akan memenuhi kebutuhan biologis suaminya dan ketika keinginan tersebut berasal dari Devi, suami pun mau melayani. Bila ternyata suami sedang tidak ingin melakukan hubungan seksual maka Devi akan merayu suaminya hingga bersedia.
182
Baik Rani maupun Devi mengaku setelah beberapa tahun menikah, tidak ada waktu-waktu tertentu melakukan hubungan seksual. Setelah melahirkan, Rani mengaku mulai agak malas melakukan hubungan seksual dengan suami. Sebelum memiliki anak, Rani selalu bersedia melakukan hubungan seksual saat suami ingin melakukannya. Namun setelah memiliki anak dan memasuki usia pernikahan ketiga, Rani mulai enggan melakukan hubungan seksual. Hal serupa juga terjadi pada kehidupan seksual Devi. Di awal pernikahan, Devi mengaku sering melakukan hubungan seksual dengan suaminya. Seiring bertambahnya aktivitas Devi, keinginan melakukan hubungan seksual mulai menurun. Rasa lelah setelah beraktivitas seharian membuat Devi lebih memilih tidur daripada meminta untuk melakukan hubungan seksual. Devi tetap akan memenuhi kebutuhan biologis suaminya bila memang suami menginginkannya. Mengenai usaha mengontrol kelahiran anak, Rani dan Devi sama-sama memilih menggunakan alat kontrasepsi setelah kelahiran anak pertama. Rani menggunakan alat kontrasepsi setelah usia anak pertama menginjak satu bulan sedangkan Devi mulai menggunakan alat kontrasepsi satu tahun sejak kelahiran anak pertama. Pemakaian alat kontrasepsi berupa suntik merupakan kesepakatan kedua patisipan dengan pasangan masing-masing. Bagi Rani, pilihan menggunakan alat kontrasepsi berupa suntik setiap tiga bulan sekali lebih disebabkan oleh faktor ekonomi. Dengan memilih suntik tiga bulan sekali, Rani dapat menghemat biaya pengeluaran rumah tangga. Alasan berbeda dikemukakan oleh Devi mengenai pemakaian alat kontrasepsi suntik. Menurutnya alat kontrasepsi berupa suntik
183
dianggap lebih dapat menunda kehamilan. Devi dan suami sudah berencana untuk memiliki anak kedua ketika putri mereka sudah berusia sekitar lima tahun. Saat ini Devi dan suami sudah merencanakan untuk memiliki anak kedua. Agar rencana tersebut berhasil, mulai bulan Agustus 2013 Devi sudah tidak melakukan suntik lagi. Untuk perencanaan kelahiran anak kedua, Rani mengaku belum merencanakan kehamilan anak kedua. Usia anak pertama yang baru tiga tahun membuat Rani masih menunda kehamilan hingga anak pertamanya sudah lebih besar. Alasan lain Rani menunda kehamilan adalah ingin membantu suami mencari tambahan penghasilan setelah anak pertamanya dapat ditinggal bekerja ibunya. Hubungan dengan keluarga serta teman-teman Menurut Ross, Mirowsky dan Goldsteen (1990) ikatan pernikahan mampu memberikan dukungan sosial dalam segala aspek kehidupan bagi individu yang terlibat. Pernikahan bukan hanya melibatkan dua individu namun juga menyatukan dua keluarga dengan tradisi berbeda. Tidak jarang perbedaan-perbedaan tersebut mampu
memicu
konflik
dalam
rumah
tangga.
Berusaha
menyesuaikan diri adalah salah satu cara menghindari pertentangan dengan keluarga pasangan. Hubungan Rani dengan keluarga suami tergolong harmonis. Hal ini nampak dari pengakuan Rani yang menyatakan tidak pernah berselisih dengan keluarga pasangan. Setelah menikah Rani juga tidak mengalami kendala dalam menyesuaikan diri dengan keluarga suami. Ini kemungkinan terjadi karena Rani sudah mengenal dekat keluarga suami jauh sebelum menikah. Perkenalan Rani dengan
184
keluarga suami terjadi karena letak rumah keluarga suami dekat dengan rumah ibu kandungnya. Hubungan sebagai tetangga membuat Rani akhirnya mengenal dekat keluarga suami. Meski sudah dekat dengan keluarga suami, Rani tidak ingin tinggal satu rumah bersama keluarga suaminya. Keengganan tersebut berasal dari ketidaknyamanan Rani saat beraktivitas di rumah mertua karena merasa hidup menumpang. Meski demikian, Rani tidak keberatan jika hanya menginap satu atau dua hari. Jarak rumah Rani dengan rumah mertua yang tergolong cukup jauh, sekitar dua kilometer, membuat Rani jarang berkunjung. Bila sedang tidak malas, satu minggu sekali Rani akan mengunjungi rumah mertuanya. Lain halnya dengan Devi. Rumahnya yang berdekatan dengan rumah mertua membuatnya bebas berkunjung setiap waktu. Sebelum tinggal terpisah dari mertua, Devi sempat tinggal satu rumah dengan keluarga suami. Di awal pernikahan, hubungan Devi dengan keluarga suaminya masih berjalan harmonis. Keluarga Devi sudah mengenal baik keluarga suami sejak Devi belum menikah dengan suaminya. Hubungan baik tersebut terjalin ketika salah satu anggota keluarga suami pernah menikah dengan anggota keluarga Devi. Keharmonisan perlahan memudar setelah adanya konflik Devi dengan ibu mertua dan bibi iparnya. Akibat perselisihan tersebut, Devi sempat memutuskan pulang ke rumah orang tuanya selama satu minggu. Hubungan Devi dengan keluarga suami mulai membaik setelah Devi dan suami tinggal terpisah dari orang tua suami. Membaiknya hubungan tersebut tampak dari kebiasaan Devi menceritakan masalah rumah tangga kepada sang bibi.
185
Kedekatan dengan bibi ipar juga dirasakan oleh Rani. Rani merasa tidak sungkan menceritakan masalah rumah tangga pada bibinya karena dianggap lebih mampu memberikan solusi tentang masalah yang dihadapi. Rani memilih bercerita pada bibi daripada ibu kandungnya karena tidak ingin membebani ibu mengenai masalah rumah tangganya. Setelah menikah, baik Rani maupun Devi masih sering berhubungan dengan teman-temannya. Rani masih sering bertemu dengan teman-teman wanitanya. Dengan teman wanitanya, Rani biasa pergi berbelanja bersama di pasar atau hanya mengobrol di lingkungan sekitar rumah. Dengan teman lawan jenis, Rani sudah tidak pernah bepergian. Hubungan pertemanan Devi pun masih terjalin baik setelah Devi menikah. Devi sering berpergian bersama teman-teman ditemani suaminya. Selain itu, Devi juga masih sering bertemu dengan temannya sekedar untuk mengobrol. Saat bersama teman-teman yang sudah menikah dan memiliki anak, Devi biasa membicarakan tentang perkembangan dan masa depan anak. Di sisi lain, saat melihat teman sebaya yang masih bebas bermain dan bekerja di luar kota membuat kedua partisipan merasa iri. Rasa iri sempat membuat kedua partisipan menyesal sudah menikah di usia muda. Penyesalan timbul ketika para partisipan merasa tidak bebas bepergian bersama teman sebaya tanpa adanya tanggung jawab mengawasi anak. Tanggung jawab sebagai seorang istri dan seorang ibu serta berkurangnya mobilitas para remaja merupakan pengaruh tak kasat mata dari pernikahan usia muda (UNICEF, 2001).
186
Pelampiasan rasa menyesal sudah memiliki anak di usia muda dilakukan kedua partisipan dengan memarahi anak saat merasa jengkel. Seiring berjalannya waktu, penyesalan pun semakin berkurang. Menikah di usia muda membuat Rani akhirnya merasa bersyukur karena ada suami yang menafkahinya. Dengan demikian Rani tidak tergantung lagi kepada orang tuanya. Penyesalan dalam diri Devi memudar saat Devi mulai merasa bersyukur di usianya saat ini, sudah memiliki anak serta suami yang menyayangi serta mampu menafkahinya. Anak dan pengasuhan Kehadiran anak dalam sebuah ikatan pernikahan merupakan dambaan setiap pasangan. Meski anak-anak akan menyita energi serta perhatian yang besar, namun kehadiran anak juga berperan penting dalam kelangsungan sebuah pernikahan. Dambaan segera memiliki anak setelah menikah dirasakan juga oleh Rani. Oleh karena itu, setelah resmi menikah Rani tidak berencana menunda kehamilan. Tidak demikian dengan Devi, merasa khawatir tidak mampu mengurus anaknya membuat Devi memiliki keinginan menunda kehamilan terlebih dahulu. Namun, Devi tidak mengungkapkan keinginan tersebut pada suami dan memilih untuk mengikuti keinginan suami yang ingin segera memiliki anak. Mengasuh dan mendidik anak merupakan peran tradisional seorang wanita dalam pembagian pekerjaan domestik (Faulkner dkk., 2005). Peran tersebut juga dijalani oleh para partisipan. Menurut masing-masing pasangan, mengasuh anak merupakan kewajiban utama seorang ibu. Meski menjadi kewajiban utama seorang ibu, para partisipan mengaku bahwa ketika mereka sedang sibuk, pasangan
187
mau membantu mengasuh anak. Bagi setiap pasangan, pengasuhan merupakan tantangan terbesar dan penuh tekanan yang dapat mengurangi rasa puas pada pernikahan (Olson dkk., 2008). Sejak kelahiran anak, pengasuhan sebagian besar dilakukan Rani seorang diri karena suami yang bekerja di Pangandaran jarang pulang ke rumah. Keterlibatan suami dalam mengasuh anak hanya ketika suami berada di rumah. Meski demikian, mengenai penerapan peraturan untuk anak, Rani mengaku bahwa suaminya lebih tegas dibandingkan dirinya. Hal sebaliknya terjadi pada Devi, kedua pihak bersikap sama tegasnya dalam mendisiplinkan anak. Urusan mengasuh anak pun dilakukan bersama suaminya. Keterlibatan pasangan dalam mengasuh anak menurut Twenge dkk. (2003) mampu meningkatkan rasa puas wanita terhadap pernikahannya. Tidak hanya mengurangi beban pada wanita sebagai caregiver tetapi juga mengurangi kemarahan serta ketidakpuasan dalam pernikahannya. Kestabilan rasa puas istri terhadap pernikahan dapat dijaga bila selama masa transisi sebagai orangtua, suami bersikap mesra dan penuh perhatian, tidak hanya pada istri tapi juga pada hubungannya (Shapiro, Gottman & Carrère, 2000). Kelahiran anak diakui para partisipan membawa pengaruh dalam hubungan pernikahannya. Pada pasangan yang pertama kali memiliki anak dan merupakan pengalaman pertama sebagai orangtua, kelahiran anak mampu meningkatkan rasa puas terhadap pernikahan (Guttman & Lazar, 2004). Di sisi lain, penelitian dari Shapiro dkk., (2000) melaporkan bahwa istri yang menjadi seorang ibu mengalami penurunan kepuasan pernikahan bila dibandingkan dengan istri yang tidak memiliki anak. Penurunan ini sebagian besar terjadi mengingat
188
kehadiran anak yang mengubah pola kebiasan serta pemecahan masalah lama harus secepatnya diubah dengan pola kebiasaan serta pemecahan masalah terbaru. Perubahan ini dianggap mempengaruhi interaksi orangtua, fungsi, peran serta level masalah, bahkan kepuasan terhadap pernikahannya (Guttman & Lazar, 2004). Bagi Devi yang di awal pernikahan ingin menunda kehamilan, hadirnya anak pun membuat Devi lebih merasa bahagia. Rasa bahagia tersebut dikarenakan adanya perubahan sikap suami setelah memiliki anak. Diakui Devi, sebelum memiliki anak sikap suami terkadang mudah marah dan sering bertanya-tanya kapan memiliki anak. Semenjak kelahiran anak, sikap tersebut berubah menjadi lebih sayang pada Devi. Di tahun ketiga pernikahan, kehadiran anak sempat membuat Devi merasa menyesal sudah menikah muda. Penyesalan dirasakan Devi tatkala melihat teman-teman seusianya yang belum menikah dan punya anak dapat bebas bepergian. Marah pada anak terkadang dilakukan Devi untuk melampiaskan penyesalannya. Devi tidak berani melampiaskan pada suami karena takut dianggap istri yang tidak berbakti pada suami. Meski membutuhkan waktu lama, penyesalan perlahan menghilang dalam diri Devi saat Devi mampu bersyukur sudah memiliki anak dan suami yang perhatian padanya. Perubahan sikap pasangan juga dirasakan oleh Rani setelah memiliki anak. Menurut Rani, suami menjadi lebih giat bekerja dan lebih perhatian pada Rani serta putra mereka. Bentuk perhatian tersebut diwujudkan dengan sering menanyakan kabar Rani dan anak ketika suami berada di Pangandaran. Di sisi lain, kehadiran anak terkadang membuat Rani merasa menyesal karena di usianya yang
189
masih muda sudah harus mengurus anak. Sama seperti Devi, penyesalan tersebut timbul ketika Rani melihat teman-teman seusianya yang belum memiliki anak masih bebas pergi dan mainmain
tanpa
ada
beban
mengurus
anak.
Ketika
menyesali
keputusannya, Rani biasa melampiaskan rasa marahnya kepada anak bahkan terkadang suami pun menjadi sasaran kemarahannya. Mengenai masa depan anak, baik Rani maupun Devi sudah mulai merencanakan pendidikan untuk anak mereka. Rani berencana memasukkan anaknya ke taman kanak-kanak saat sudah berusia lima tahun. Selepas dari taman kanak-kanak, Rani ingin memasukkan anaknya ke sekolah dasar yang letaknya tidak jauh dari rumah. Melihat kondisi ekonomi keluarga saat ini, Rani tidak terlalu berharap mampu menyekolahkan anaknya hingga bangku kuliah. Bagi kedua partisipan, pendidikan bagi anak merupakan hal penting yang perlu direncanakan sejak anak masih kecil. Di usia putrinya yang ke empat tahun, Devi sudah berencana untuk menyekolahkannya hingga ke tingkat SMA. Devi dan suami memiliki keinginan menyekolahkan putri mereka ke pondok. Keinginan tersebut timbul lantaran kekhawatiran Devi pada pergaulan yang ada di desanya. Dengan pendidikan agama yang memadai, Devi berharap putri mereka tidak terjebak pergaulan bebas hingga hamil. Agama dianggap dapat dijadikan sarana mendidik remaja mengenai konsekuensi dari kegiatan seksual pranikah (Inyang dalam Ahmadi & Hossein-abadi, 2009). Masalah yang berkaitan dengan kepribadian Kepribadian menjadi salah satu faktor penentu dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis. Pada beberapa kasus, masa
190
pacaran merupakan saat dimana individu saling mengenal dan memahami kepribadian masing-masing. Selama masa perkenalan sangat mungkin untuk berlanjut ke hubungan yang lebih serius bila lawan jenis memiliki kepribadian yang dianggap baik. Individu dengan pasangan yang menunjukkan rasa empati, peduli serta hangat relatif akan merasa lebih puas terhadap pernikahannya bila dibanding dengan pasangan yang tidak menunjukkan karakter tersebut (Charania, 2006). Pada pernikahan Devi, rasa ragu sempat dirasakan Devi sebelum menerima lamaran suami. Selama berpacaran tiga bulan, sifat suami yang penyayang serta penyabar akhirnya membuat Devi yakin menerima lamaran suaminya. Setelah menikah pun Devi merasa sifat tersebut tidak berubah. Selama menikah, Devi tidak suka dengan sikap suami yang selalu membela keluarganya bila Devi berselisih dengan keluarga suami. Menurut Devi, terkadang suami membela keluarganya meski berada di pihak yang salah. Sikap tersebut terkadang membuat Devi merenungi
mengapa
suaminya
selalu
membela
keluarganya.
Akhirnya Devi pun memaklumi bila suami bersikap demikian karena tidak ingin dianggap durhaka oleh orangtua, terutama ibu karena ayahnya sudah meninggal dunia. Perilaku suami yang sering membela keluarganya dibanding istri dapat dirasakan Devi sebagai bentuk kurangnya dukungan suami terhadap dirinya. Padahal menurut Lawrence, Bunde, Barry, Brock, Sullivan, Pasch, White, Dowd dan Adams (2008) hadirnya dukungan dari orang lain, terutama pasangan, mampu
meningkatkan
persepsi
global
seseorang
mengenai
191
tersedianya dukungan, kepercayaan seseorang dan kepuasan terhadap hubungan yang dijalani. Berbeda dengan Devi yang tidak keberatan dengan kebiasaan merokok pasangan, bagi Rani kebiasaan merokok suami sering membuatnya jengkel. Sebelum resmi menikah, Rani dan pasangan sudah berpacaran selama enam bulan. Saat masih pacaran hingga sudah menikah, kebiasaan merokok suami seringkali membuat Rani merasa jengkel. Kebiasaan tersebut sering dilakukan di sembarang tempat, termasuk saat bersama Rani. Tidak jarang Rani mengusir atau memarahi suami saat merokok di dekatnya. Suami yang menyadari bahwa Rani tidak suka dirinya merokok akan menyingkir dulu. Rani menyadari bahwa suaminya sulit untuk berhenti merokok karena sudah terbiasa sejak masih muda (sebelum mengenal Rani). Selama masih memiliki rokok, suami akan selalu merokok hingga sudah tidak ada rokok lagi. Untuk menyiasatinya, Rani tidak akan membelikan suami rokok dengan alasan uang beli rokok digunakan untuk jajan putra mereka. Kesetaraan peran suami dan istri Kesetaraan peran antara suami dan istri dalam rumah tangga dapat tercapai meski diperlukan banyak usaha. Dibutuhkan kemampuan yang baik untuk mengembangkan serta memelihara kesetaraan dalam hubungan karena ada banyak hal yang harus dirundingkan dan disetujui bersama. Dalam hubungan pernikahan dengan kesetaraan peran setiap individu, baik suami maupun istri bersedia melakukan penyesuaian serta memiliki tanggung jawab yang sama dalam rumah tangga (Olson dkk., 2008). Kesetaraan tersebut tercermin dengan tidak adanya pembagian tugas berdasarkan peran
192
tradisional gender tertentu. Pembagian tugas yang umum dilakukan yaitu berdasarkan gender dimana wanita diidentikkan dengan tugas mengurus rumah serta mengasuh anak dan pria bertanggung jawab mencari nafkah. Pembagian seperti itu sedikit banyak juga terjadi dalam rumah tangga partisipan. Sejak awal menikah, kedua partisipan lebih bertanggung jawab terhadap urusan rumah tangga dan mengasuh anak sedangkan suami mereka bertugas mencari nafkah. Pada rumah tangga Rani, agar dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, suami memilih tetap bekerja di Pangandaran. Selain itu, suami juga melarang Rani bekerja agar fokus mengurus anak. Suami yang bekerja dan istri bertugas mengurus rumah merupakan ciri pernikahan tradisional (Berk, 2012). Ketika sedang bosan dengan rutinitas ibu rumah tangga, Rani akan meminta izin suami untuk bekerja. Suami akan mengizinkan bekerja bila lokasi tempat kerja tidak jauh dari rumah mereka. Hal serupa juga dialami oleh Devi. Suami tidak melarang Devi bekerja untuk membantunya mencukupi kebutuhan rumah tangga namun dengan syarat lokasi tempat kerja tidak jauh dari rumah dan tidak terlalu sibuk bekerja. Syarat ini diajukan suami agar Devi tetap dapat mengurus dan bertemu keluarga setiap hari. Untuk urusan mengasuh anak, bagi Rani akan terasa lebih berat karena dilakukan seorang diri ketika suami berada di Pangandaran. Pekerjaan suami yang berada di luar kota membuat suami tidak dapat selalu membantu Rani mengasuh anak maupun melakukan pekerjaan rumah lainnya. Meski ketika berada di rumah suami tidak banyak terlibat dalam tugas domestik namun keterlibatan
193
suami dalam mengasuh anak sementara Rani menyelesaikan pekerjaan rumah tangga mampu meringankan tugas-tugas Rani. Sebagian besar pekerjaan rumah tangga dilakukan oleh Rani. Rani tidak memaksa suami membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga karena Rani menyadari bahwa urusan domestik dalam rumah tangga merupakan kewajiban utama istri. Dalam kesetaraan peran suami dan istri, kurangnya partisipasi suami dalam melakukan pekerjaan domestik mampu memicu ketidakpuasan istri. Ketidakpuasan dalam pernikahan tidak selamanya berakibat pada perceraian. Menurut Lundberg dan Pollack (dalam Carriero, 2011) respon istri menanggapi kurangnya partisipasi suami dilakukan dengan cara mengurangi pemenuhan dalam tugas rumah tangga. Ini bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh Rani. Meski mengerjakan pekerjaan rumah tangga seorang sendiri, Rani tetap berusaha memberikan yang terbaik bagi keluarganya. Dalam pernikahan Devi, suami tetap bersedia mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Selain mau membantu mengasuh anak, suami juga bersedia memasak, menyapu dan mencuci pakaian. Terkadang ketika suami tidak bekerja, Devi dan suami bersama-sama mengerjakan pekerjaan rumah tangga sementara putri mereka bermain dengan temannya. Setelah kehadiran anak, keterlibatan suami dalam pengerjaan rumah tangga yang identik dengan tugas wanita ternyata memiliki kontribusi terhadap terhadap kepuasan istri mereka (Antill dalam Van Den Troost, n.d.). Selain gambaran kepuasan pernikahan mengenai 10 aspek, terdapat faktor lain yang berpengaruh terhadap kepuasan pernikahan partisipan yaitu:
194
Konflik menantu-mertua Selama menikah, konflik tidak hanya terjadi dengan suami namun juga dengan keluarga suami. Konflik tersebut juga pernah dialami Devi di awal pernikahan. Menurut DeGenova dan Rice (2005) perselisihan dengan keluarga pasangan merupakan peristiwa yang biasa terjadi di awal pernikahan. Pertama kali bertani, ibu mertua sering memarahi Devi saat melakukan kesalahan. Devi yang tidak terbiasa bercocok tanam berusaha menyesuaikan diri dengan keluarga suami yang biasa bertani hingga sekarang Devi mengaku sudah lebih terampil dalam bertani. Perselisihan lain terjadi saat Devi masih tinggal bersama mertua. Adanya masalah antara suami dengan ayahnya sempat membuat hubungan Devi dengan mertua merenggang. Di awal pernikahan ketika belum terjadi konflik, Devi merasa bahwa sikap mertua sangat baik padanya. Kebaikan tersebut biasa ditunjukkan dengan berusaha memenuhi keperluan Devi. Setelah terjadi konflik, selama beberapa waktu Devi sempat diacuhkan dan dimarahi oleh ibu mertuanya saat suami tidak berada di rumah. Devi yang merasakan perubahan
sikap
keluarga
suami
lebih
memilih
untuk
mengacuhkannya, selama tidak berpengaruh pada hubungannya dengan suami. Sekarang hubungan Devi dengan mertua sudah kembali membaik. Saat Devi berselisih dengan keluarga suami, Devi merasa bahwa suami lebih sering membela keluarganya dibandingkan Devi. Padahal menurut Wu, Yeh, Cross, Larson, Wang dan Tsai (2010), adanya konflik dengan mertua tidak akan mempengaruhi kepuasan pernikahan istri bila suami berada di pihak istri. Dengan berada di sisi
195
istri maka istri merasa memiliki dukungan besar dari keluarga mertuanya. Hal ini disebabkan karena sebagai pria dalam masyarakat yang masih menganut patrilineal, suami memiliki peran besar dalam keluarga inti (Pimentel dalam Wu dkk.). Meski Devi merasa suami lebih sering membela keluarganya namun sepertinya kehadiran suami juga berperan terhadap keberanian ibu mertua saat akan memarahi Devi. Berbeda halnya dengan hubungan Rani dan mertua. Selama menikah Rani merasa tidak pernah berselisih dengan keluarga suaminya. Hal ini kemungkinan terjadi karena ibu kandung Rani adalah tetangga ibu mertuanya sehingga Rani sudah mengenal lama keluarga suami, jauh sebelum mereka menikah. Selain itu, penyebab konflik jarang terjadi karena Rani tinggal terpisah dengan mertuanya. Menurut Fischer (dalam DeGenova & Rice, 2005) individu yang tinggal berdekatan dengan mertua mempunyai kecenderungan lebih sering mengalami konflik dibandingkan bila tinggal bersama keluarga kandung. Masih dalam DeGenova dan Rice, Timmer dan Veroff menjelaskan bahwa adanya konflik dengan mertua memiliki pengaruh besar bagi pasangan merasa kurang bahagia dengan pernikahannya.