BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian Desa Surokonto Wetan terletak di Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah, dengan wilayah sebelah utara berbatasan dengan Desa Pagergunung, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Pageruyung, sebelah timur berbatasan dengan Desa Gebangan dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Kebongembong. Luas wilayah Desa Surokonto Wetan yaitu 646 ha yang sebagian besar digunakan sebagai lahan pertanian (tanah sawah, tanah tegalan dan hutan), pekarangan (lahan untuk bangunan dan halaman sekitar), dan lain-lain.1 Tabel 4.1 Luas Wilayah Desa Surokonto Wetan Berdasarkan Penggunaan Lahannya No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Penggunaan Lahan tegalan/kebun lahan bangunan/rumah Lahan Perkebunan Lahan sawah Hutan Negara Lahan untuk kolam/tebat/empang Lain-lain Total
Luas (ha) 204,20 54,13 125,22 103 125,7 0,66 33,09 646,86
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kendal, Kecamatan Pageruyung dalam Angka Tahun 2016.
1
Badan Pusat Statistik Kabupaten Kendal, Kecamatan Pageruyung dalam Angka Tahun 2016, hal. 4-12.
Desa Surokonto Wetan terdiri dari 5 dusun yaitu Dusun Krajan, Dusun Sekecer, Dusun Sempulawang, Dusun Watudono, dan Dusun Dadapayam. Yang terlibat langsung dalam pemanfaataan lahan yang sekarang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut ada tiga dusun yaitu Dusun Krajan, Dusun Sekecer, dan Dusun Sempulawang.2 Jumlah Rukun Warga sebanyak 5 RW dan jumlah Rukun Tetangga sebanyak 17 RT. Jumlah penduduk Desa Surokonto Wetan tahun 2015 sebanyak 2175 jiwa, dengan kepadatan penduduk 337 per Km2 yang terdiri dari 1107 jiwa laki-laki dan 1068 jiwa perempuan dan laju pertumbuhan penduduk sebesar 9,79 %. 3 Pertanian merupakan sektor lapangan usaha
bagi mayoritas penduduk
di Desa Surokonto Wetan. Jenis utama tanaman yang diusahakan adalah padi dan jagung. Desa Surokonto Wetan merupakan desa dengan luas panen padi sawah terluas di Kecamatan Pageruyung yaitu mencapai 246 ha dengan produksi mencapai 1.506,75 ton sedangkan untuk luas panen tanaman jagung sebesar 330 ha dengan produksi sebesar 2.194,53 ton, dan untuk luas Ubi Kayu sebesar 2 ha dengan produksi sebesar 47,78 ton. Selain di sektor pertanian penduduk Desa Surokonto Wetan juga begerak disektor peternakan seperti kambing sebanyak 221, domba sebanyak 62, sapi potong sebanyak 173, ayam kampung sebanyak 3255, ayam petelur sebanyak 5000, itik sebanyak 120, burung 35, dan angsa 4. 4
2
Rasyono, Kepala Desa Surokonto Wetan, wawancara, Selasa, 2 Agustus 2016. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kendal, Kecamatan Pageruyung dalam Angka Tahun 2016, hal. 30-33. 4 Badan Pusat Statistik Kabupaten Kendal, Kecamatan Pageruyung dalam Angka Tahun 2016, hal. 79-92. 3
Gambar 4.1. Peta Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal.
SSumber: dokumentasi pada Kelurahan Desa Surokonto Wetan
4.1.2 Pelaksanaan Pengukuhan Kawasan Hutan dari Lahan Pengganti Tukar Menukar Kawasan Hutan atas Nama PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. yang Terletak di Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaaannya sebagai hutan tetap.5 Kawasan hutan negara, statusnya secara hukum bahwa hutan tersebut hutan milik negara. Kewenangan untuk menetapkan status hutan berada ditangan pemerintah, hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: hutan negara dan hutan hak, hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah, sedangkan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.6 Kawasan hutan negara tidak selalu berhutan, sehingga peningkatan kawasan hutan dapat berarti secara hukum kawasan hutan negara naik jumlahnya, tetapi luas yang berhutan dapat menurun.7 Dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik, dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya, tanpa dilakukan kajian yang mendalam dan komprehensif. Dalam pemanfaatan kawasan hutan sejauh mungkin dihindari teerjadinya konversi dari hutan alam yang masih produktif dialihfungsikan untuk kepentingan diluar bidang kehutanan, guna
5
Bambang Eko Supriyadi, Hukum Agraria Kehutanan, Loc.cit. Ibid., hal.72. 7 Iskandar, Hukum Kehutanan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup dalam Kebijakan Pengelolaan Kawasan Hutan Berkelanjutan , Op. Cit ., hal. 1. 6
menghindari kerusakan kawasan hutan, meski secara normatif, konversi atau perubahan kawasan hutan dimaksud tidak dilarang oleh undang-undang.8 Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, mengenai perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan diatur dalam Pasal 19, dan tentang penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan diatur dalam Pasal 38. Didalam Pasal 38, pada ayat (1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung, pada ayat (2) disebutkan bahwa Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Mekanisme pemanfaatan kawasan hutan untuk kepentingan non kehutanan dapat ditempuh melalui prosedur: perubahan peruntukan kawasan hutan (tukar menukar kawasan hutan) dan penggunaan kawasan hutan (pinjam pakai kawasan hutan). Kebijakan perubahan kawasan hutan dilakukan untuk memenuhi tuntutan dinamika pembangunan nasional dan aspirasi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada optimalisasi distribusi fungsi, manfaat kawasan hutan secara lestari dan berkelanjutan, serta keberadaan kawasan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional. Kebijakan perubahan peruntukan kawasan hutan, terdiri dari atas perubahan peruntukan secara parsial, kebijakan peruntukan untuk wilayah provinsi, dan kebijakan perubahan peruntukan yang berdampak
8
Iskandar, Hukum Kehutanan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup dalam Kebijakan Pengelolaan Kawasan Hutan Berkelanjutan , Op. Cit ., hal. 2.
penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis. Perubahan peruntukan kawasan hutan secara parsial dilakukan dengan cara tukar menukar kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan.9 4.1.2.1 Tukar Menukar Kawasan Hutan Atas Nama PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. untuk Lokasi Plant Site di Kabupaten Rembang Tukar menukar kawasan hutan adalah perubahan kawasan hutan produksi dan/atau hutan produksi terbatas menjadi bukan kawasan hutan yang diimbangi dengan memasukkan lahan pengganti dari bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan. Lahan pengganti yang bukan hutan nantinya akan dijadikan sebagai kawasan hutan. Suatu wilayah yang berstatus bukan kawasan hutan untuk kemudian menjadi kawasan hutan dilakukan melalui proses atau kegiatan yang dinamakan pengukuhan kawasan hutan. Pengukuhan kawasan adalah suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk memperoleh kepastian hukum tentang status, batas, letak, dan luas suatu kawasan hutan.10 Aturan yang digunakan dalam tukar menukar kawasan hutan atas nama PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. antara lain:11 a. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Kehutanan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2012; b. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.32/Menhut-II/2010 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
9
Ibid,. hal. 29-31. Bambang Eko Supriyadi, Hukum Agraria Kehutanan, Op.cit., hal. 88. 11 Fadllun , Staff Legal dan Kepatuhan Perum Perhutani Unit I Jateng, wawancara, Selasa, 16 Agustus 2016. 10
Menteri Kehutanan Nomor P.41/Menhut-II/2012 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan; dan c. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-II/2012 tentang pengukuhan kawasan hutan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/Menhut-II/2013 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Kawasan hutan yang dapat dilakukan tukar menukar untuk kegiatan di luar kehutanan harus memenuhi persyaratan, diprioritaskan untuk yang tidak berhutan, berupa tanah kosong, padang ilalang dan semak belukar serta tidak dibebani izin. Hal ini dalam rangka tetap menjaga kelesarian hutan dan tetap memberdayakan hutan yang dalam kondisi tidak bagus untuk dimanfaatkan demi kepentingan umum.12 Perubahan peruntukan yang dilakukan melalui tukar menukar kawasan hutan hanya dapat dilakukan pada hutan produksi tetap dan/atau hutan produksi terbatas. Tukar-menukar kawasan hutan sebagaimana dimaksud, dilakukan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang bersifat permanen dan untuk menghilangkan enclave dalam rangka memudahkan pengelolaan kawasan hutan, serta untuk memperbaiki batas kawasan hutan. Tukar-menukar kawasan hutan dilakukan dengan ketentuan tetap terjaminnya luas kawasan hutan paling sedikit 30% persen (tiga puluh per seratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau
12
Iskandar, Iskandar, Hukum Kehutanan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup dalam Kebijakan Pengelolaan Kawasan Hutan Berkelanjutan , Op. Cit ., hal. 31.
provinsi dengan sebaran yang proporsional dan mempertahankan daya dukung kawasan hutan tetap layak kelola.13 Sesuai dengan wawancara yang dilakukan dengan Kepala Seksi Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, Bapak Suparno, yaitu: “Apabila kawasan hutan kurang dari 30% dari luas daratan maka, kebijakan penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan diluar kegiatan non kehutanan adalah dengan kompensasi minimal 1:1 atau untuk kepentingankepentingan tertentu yang bersifat permanen yang diatur dalam Permenhut No. 32 Tahun 2010 adalah menggunkan mekanisme tukar menukar dengan lahan pengganti”.14 Dalam hal luas kawasan hutan kurang dari 30 % (tiga puluh per seratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional, tukar-menukar kawasan hutan dengan lahan pengganti yang bukan kawasan hutan dilakukan dengan rasio paling sedikit 1:2, kecuali tukar-menukar kawasan hutan untuk menampung korban bencana alam dan untuk kepentingan umum terbatas dapat dilakukan dengan ratio paling sedikit 1:1. Dalam hal luas kawasan hutan di atas 30% (tiga puluh per seratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional, tukar-menukar kawasan hutan dengan lahan pengganti yang bukan kawasan hutan dilakukan dengan rasio paling sedikit 1:1. Tahun 2012 berdasarkan surat PT. Semen Gresik (Persero) Nomor: 12004800/PP.00.01/1940/04.12 tanggal 30 April 2012 PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. mengajukan permohonan pertimbangan pinjam pakai kawasan hutan dan tukar menukar kawasan hutan di Kabupaten Rembang. Untuk Tukar Menukar
13
Pasal 12 ayat (1) PP No. 10 Tahun 2010 Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Kehutanan. 14 Suparno, Kepala Seksi Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan, wawancara, Rabu, 16 Maret 2016.
Kawasan Hutan (TMKH) berdasarkan Surat Direktur Litbang dan Operasional PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. No: 12011391/ PP.00.01/9410/09.2012 tanggal 11 September 2012 mengajukan permohonan tukar menukar kawasan hutan untuk lokasi plant site di Kabupaten Rembang. Lokasi plant site TMKH disetujui seluas ± 57 ha dengan lahan pengganti berupa areal penggunaan lain (APL) seluas ±125.53 ha di Kabupaten Kendal.15 Tukar menukar kawasan hutan PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. dilakukan dengan alasan kawasan hutan yang dimohon akan digunakan untuk pembangunan tapak pabrik di Kabupaten Rembang letaknya di KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Mantingan seluas ± 56,8 ha karena sifatnya permanen maka, mekanismenya menggunakan tukar menukar kawasan hutan dengan lahan penggganti. Sebagai lahan penggantinya PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. adalah mengusulkan lahan pengganti yang berada di Kabupaten Kendal di Desa Surokonto Wetan Kecamatan Pageruyung .16 Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan Sub Pengukuhan Kawasan Hutan Wilayah I, Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan kawasan Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Bapak Basri mekanisme tukar menukar kawasan hutan atas nama PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk., secara garis besar prosedur tukar menukar kawasan hutan atas nama PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. dapat dilihat pada bagan 4.1 dibawah ini:
15
Nuni Harijanto dan Basri, Sub Pengukuhan Kawasan Hutan Wilayah I, wawancara, Rabu, 25 Mei 2016 16 Suparno, Kepala Seksi Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan, wawancara, Rabu, 16 Maret 2016.
Bagan 4.1 Permohonan Tukar Menukar Kawasan Hutan Indonesia (Persero) Tbk.
September 2012
Januari 2012
Juni 2014
• Tahap 3 7 bulan
• Tahap 1
• Tahap 2 8 bulan
PT. Semen
April 2013
• Tahap 4 2 bulan
• 11 bulan Mei 2014
Total : 2 tahun 4 bulan Tahap 1 Pengajuan Aplikasi
Tahap 2 Penerbitan Persetujuan Prinsip
Tahap 3 Pemenuhan Kewajiban
Tahap 4 Penerbitan Keputusan Mengenai Perubahan
Pengajuan pertama dimasukan pada 31 Januari 2012 Dokumen yang lengkap dikumpulkan pada 11 September 2012 Dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehutanan SK No. 687/Menhut-II/2012 tentang Pembentukan Tim Terpadu pada 29 November 2012. Studi lapangan oleh Tim Terpadu pada 8 sampai 16 Januari 2013. Paparan hasil penelitian dan rekomendasi Tim Terpadu pada 18 Februari 2013. Dikeluarkannya persetujuan prinsip S.279/Menhut-II/2013 pada 22 April 2013. Diterbitkannya Berita Acara Tukar Menukar Kawasan Hutan (BATM) pada 21 Juni 2013 Penerbitan surat keputusan Menteri Kehutanan SK No.643/Menhut-II/2013 tentang penunjukan lahan pengganti pada 25 September 2013. Berita Acara Tata Batas (BATB) untuk Pelepasan dan penetapan kawasan hutan diterbitkan pada 26-28 November 2013. Keputusan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan atas nama Menteri Kehutanan
tentang Penetapan Hutan Produksi Tetap dari lahan pengganti pada 17 April 2014. Keputusan Menteri Kehutanan tentang Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Tetap atas kawasan hutan yang dimohon pada 13 Mei 2014. Tahap pertama dari pelakasanaan tukar menukar kawasan hutan adalah
Peruntukan Kawasan Hutan
pengajuan permohonan kepada Menteri oleh PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. sebagai pemohon dengan memenuhi persyaratan administrasi dan persyaratan teknis. Persyaratan administrasi meliputi: 1. Surat Permohonan Direktur Litbang dan Operasional PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. No:12011391/ PP.00.01/9410/09.2012 tanggal 11 September 2012 mengajukan permohonan tukar menukar kawasan hutan untuk lokasi plant site di Kabupaten Rembang yang dilampiri dengan peta lokasi kawasan hutan yang dimohonkan peta usulan lahan pengganti pada peta dengan skala minimal 1:100.000; 2. Izin lokasi dari bupati/walikota/gurbernur sesuai dengan kewenangannya; 3. Izin usaha; 4. Rekomendasi lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan oleh Bupati Kendal dengan Rekomendasi Nomor: 522/309.4/2013 tertanggal 18 Februari 2013 tentang Pemberian Rekomdasi Lahan Pengganti Tukar Menukar Kawasan Hutan dan Kompensasi Pinjam Pakai Kawasan Hutan Kepada PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. dalam rekomendasi tersebut, calon lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan dan kompensasi pinjam pakai kawasan hutan yang disediakan oleh PT.Semen Indonesia (Persero) Tbk. seluas ± 438,452 hektar, dengan status hak guna usaha
(HGU) Nomor 9, Nomor 15, Nomor 36, Nomor 37, Nomor 38, Nomor 39, Nomor 40 (yang semula HGU Nomor 1) yang berlokasi di Desa Sidomukti Kecamatan Weleri, Desa Surokonto Wetan dan Desa Pagergunung Kecamatan Pageruyung Kabupaten Kendal. Lahan pengganti tersebut telah dilakukan peninjauan lapangan pada tanggal 1 Mei 2012 oleh Tim yang dibentuk berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah Nomor 188.4/192.1/ tanggal 2 Februari 2012 tentang Pembentukan Tim Kelayakan Teknis Lahan Pengganti Penggunaan Kawasan Hutan Provinsi JawaTengah; 5. Pernyataan untuk tidak mengalihkan kawasan hutan yang dimohon kepada pihak lain dan kesanggupan untuk memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dalam bentuk akta notaris. Sedangkan untuk persyaratan dokumen teknis meliputi: 1. Proposal, rencana teknis atau rencana induk termasuk rencana lahan pengganti dan reboisasi/penanaman 2. Pertimbangan teknis dari Direktur Utama Perum Perhutani, Pertimbangan teknis
dari
Direktur
Utama
Perum
Perhutani
dengan
Nomor:
515/044.3/Can/Dir tanggal 10 September 2012 Perihal: Pertimbangan teknis atas permohonan tukar menukar kawasan hutan untuk plant site seluas ± 71 ha a.n PT. Semen Gresik (Persero) di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan Surat PT. Semen Gresik (Persero) Nomor: 12004800/PP.00.01/1940/04.2012, tanggal 30 April 2012 perihal permohonan pertimbangan pinjam pakai kawasan hutan dan tukar menukar
kawasan hutan di wilayah Kabupaten Rembang untuk lokasi plant site seluas ± 92 ha di Provinsi Jawa Tengah. Lokasi yang dimohon oleh PT. Semen Gresik (Persero) untuk lokasi plant site seluas ± 92 ha adalah kawasan hutan berdasarkan Peta Lampiran Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Jawa Tengah Nomor:359/Menhut-II/2004 tanggal 1 Oktober 2004 dan perkembangan tata batas kawasan hutan Provinsi Jawa Tengah. Kawasan hutan yang dimohon PT. Semen Gresik (Persero) untuk lokasi plant site seluas ± 92 ha terletak di 2 (dua) wilayah Resort Pemangkuan Hutan (RPH) dengan rician sebagai berikut: a) RPH Sandang 1) Fungsi hutan: Hutan produksi 2) Petak: 107a1, 107a2,107b, 107c, 107d,110f 3) BKPH : Kebon 4) BH : Sulang Timur 5) KPH : Mantingan b) RPH Timbrangan 1) Fungsi hutan: Hutan produksi 2) Petak: 102a, 103f, 103g 3) BKPH : Kebon 4) BH : Sulang Timur 5) KPH : Mantingan
Menurut wilayah administrasi terletak di Desa Kadiwono dan Desa Pasucen, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang. PT. Semen Gresik (Persero) menyediakan lahan seluas ± 578,091 ha terletak di Kabupaten Grobongan seluas ± 139,600 ha dan Kabupaten Kendal ± 438,491 ha. Dari luas kawasan hutan yang dimohon seluas ± 92 ha dipertimbangankan seluas ±71 ha. 3. Hasil penafsiran citra satelit 2 tahun terakhir atas kawasan hutan yang dimohon dan usulan lahan pengganti atas kawasan hutan yang dimohon dijamin kebenarannya dengan surat pernyataan dari pemohon. Setelah diterimanya disposisi dari Menteri, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan melakukan penelaahan terhadap persyaratan administrasi dan teknis, selanjutnya Direktur Jenderal Planologi Kehutanan melakukan penelaahan terhadap: 1. Fungsi kawasan hutan berdasarkan peta penunjukkan kawasan hutan dan/atau penetapan provinsi berikut perubahannya 2. Peruntukkan kawasan hutan 3. Perizinan penggunaan kawasan hutan 4. Perizinan pemanfaatan hutan 5. Persyaratan lahan pengganti Dalam hal penelaahan memenuhi persyaratan administrasi dan teknis, Menteri membentuk Tim Terpadu dan Sekertaris Jenderal atas nama Menteri membentuk Tim Tukar Menukar Kawasan Hutan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.687/MenhutII/2012 tentang Pembentukan Tim Terpadu Pengkajian Lapangan dalam Rangka Tukar Menukar Kawasan Hutan atas Nama PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. untuk
Lokasi Plant Site di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Menteri membentuk Tim Terpadu dan Sekertaris Jenderal atas nama Menteri membentuk Tim Tukar Menukar Kawasan Hutan. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.36/Menhut-II/2010 tentang Tim Terpadu Dalam Rangka Penelitian Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan. Tim Terpadu adalah Tim yang ditetapkan Menteri, terdiri dari lembaga Pemerintah yang mempunyai kompetensi dan memiliki otoritas ilmiah (scientific authority) dan instansi terkait bersifat independen yang bertugas melakukan penelitian dan memberikan rekomendasi kepada Menteri terhadap rencana/usulan perubahan kawasan hutan. Keanggotaan Tim Terpadu dalam melaksanakan penelitian perubahan peruntukan kawasan hutan secara parsial melalui tukar menukar kawasan hutan anggotanya berasal dari unsur: a. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia; b. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan unit EselonI terkait lainnya lingkup kementerian yang membidangi urusan kehutanan; c. Kementerian yang membidangi urusan lingkungan hidup; d. Pemerintah daerah; dan e. Lembaga/instansi terkait lainnya. Sedangkan Tim Tukar Menukar Kawasan Hutan adalah Tim yang ditetapkan Menteri, terdiri unsur Kementerian Kehutanan yang bertugas melakukan penelitian dan memberikan rekomendasi kepada Menteri terhadap permohonan tukar menukar kawasan hutan dengan luas paling banyak 2 (dua) hektar dan untuk kepentingan umum terbatas yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah. Tim Tukar Menukar Kawasan Hutan, anggotanya berasal dari unsur:
a. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan; b. Sekretariat Jenderal; c. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan; d. Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan; e. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam; dan f. Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial Tim Terpadu dan Tim Tukar Menukar Kawasan Hutan mempunyai tugas: 1. menyusun metodologi penelitian terpadu berdasarkan aspek biofisik, sosial, ekonomi dan budaya serta hukum dan kelembagaan; 2. menyusun
kriteria
perubahan
peruntukan
kawasan
hutan
yang
menimbulkan pengaruh terhadap kondisi biofisik serta dampak sosial dan ekonomi masyarakat serta memilah perubahan peruntukan kawasan hutan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis berdasarkan karakteristik wilayah setempat; 3. melakukan pengolahan dan analisis terhadap permohonan tukar menukar kawasan hutan; dan 4. melaporkan hasil penelitian terpadu dan rekomendasi kepada Menteri dengan tembusan kepada Direktur Jenderal. Studi lapangan dilakukan oleh Tim Terpadu pada 8-16 Januari 2013, Tim Terpadu dan Tim Tukar Menukar kawasan hutan, memaparkan hasil Penelitian dan Rekomendasi Tim Terpadu pada 18 Februari 2013 kepada Menteri.
Tahap kedua Menteri menerbitkan Surat Persetujuan Prinsip S.279/ Menhut-II/2013 pada 22 April 2013 dan peta lampiran. Permohonan Tukar Menukar Kawasan Hutan untuk Lokasi Plant Site seluas ± 57 ha, yang berdasarkan peta lampiran Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 359/Menhut-II/2004 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi Jawa Tengah, merupakan hutan produksi yang terletak di Desa Kajar dan Desa Pasucen, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Lahan pengganti berupa Areal Penggunaan Lain (APL) seluas ± 125,53 ha, secara administrasi pemerintahan terletak di Desa Sidomukti Kecamatan Weleri, Desa Surokonto wetan dan Desa Pagergunung Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah. Persetujuan prinsip diberikan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya persetujuan prinsip dan dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali masing-masing dengan jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Persetujuan Prinsip diberikan paling lama 2 tahun sejak diterbitkan dan dapat diperpanjang paling lama 2 kali masing-masing untuk jangka waktu paling lama 1 tahun. Persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan memuat kewajiban bagi pemohon untuk : a. Menyelesaikan clean and clear usulan lahan pengganti. Persyaratan clean and clear harus memenuhi ketentuan: 1) Terhadap tanah-tanah hak untuk usulan lahan pengganti, baik yang terdaftar maupun yang belum terdaftar dilakukan pelepasan hak dengan memberikan ganti rugi;
2) Terhadap tanah-tanah hak untuk usulan lahan pengganti yang sudah terdaftar dilakukan pencoretan di buku tanah dan sertifikatnya; 3) Terhadap tanah-tanah hak usulan lahan pengganti yang belum terdaftar ( leter C/girik) dilakukan pencoretan di buku dan peta desa, serta harus ada keterangan dari instansi pertanahan kabupaten/kota yang menyatakan bahwa lahan tersebut belum terdaftar. b. Membuat dan menyerahkan pernyataan berbentuk akta notaris berisi: 1) Menanggung biaya tata batas terhadap kawasan hutan yang disetujui; 2) Menyediakan biaya dan melaksanakan reboisasi serta pemelihaaan tanaman; 3) Menyerahkan garansi bank dari Bank pemerintah sebagai jaminan biaya pelaksanaan reboisasi dan pemeliharaannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali pemohon pemerintah dan/atau pemerintah daerah; 4) Membayar nilai tegakan dan pungutan Provisi sumber daya hutan (PSDH) atas hutan alam atas kawasan hutan yang dimohon sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 1. Menyerahkan surat jaminan berbentuk akata notaris yang berisi bahwa apabila dikemudian hari usulan lahan pengganti terdapat cacat tersembunyi bersedia untuk mengganti lahan pengganti 2. Menandatangani Berita Acara Tukar Menukar Kawasan Hutan (BATM)
Kemudian dalam hal pemegang persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan telah menyelesaikan kewajiban, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan atas nama Menteri bersama pemohon menandatangani BATM kawasan hutan. Tahap ketiga Berita Acara Tukar Menukar Kawasan Hutan antara Kementerian Kehutanan dengan PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. untuk lokasi plant site di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah, ditandatangani dalam dokumen Berita Acara Tukar Menukar Kawasan Hutan Nomor: BA.3/MenhutVII/KUH/2013, PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. menyerahkan lahan pengganti seluas ± 125,53 ha terletak di Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah kepada Kementerian Kehutanan. Berita Acara Tukar Menukar Kawasan Hutan (BATM) memuat: a. Serah terima dokumen usulan lahan pengganti untuk dijadikan kawasan hutan b. Kewajiban bagi pemohon untuk : 1) Menaggung biaya tata batas terhadap kawasan hutan yang dimohon dan lahan pengganti yang telah ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan keputusan Menteri; 2) Menyediakan biaya dan melaksanakan reboisasi serta pemeliharaan tanaman terhadap lahan pengganti yang telah ditunjuk sebagai kawasan hutan; 3) Membayar nilai tegakkan dan pungutan PSDH dan DR atas hutan alam atas kawasan hutan yang dimohon berdasarkan hasil inventarisasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Berita Acara Tukar Menukar Kawasan Hutan (BATM), Direktur Jenderal Planologi Kehutanan menyampaikan usulan penertiban keputusan Menteri tentang penunjukan usulan lahan pengganti sebagai kawasan hutan dan peta lampiran kepada Sekretaris Jenderal. Kemudian Sekretaris Jenderal melakukan kajian hukum dan menyampaikan konsep keputusan Menteri tentang penunjukkan usulan lahan pengganti sebagai kawasan hutan dan peta lampiran kepada Menteri. Selanjutnya, Menteri menerbitkan keputusan tentang penunjukkan lahan pengganti sebagai kawasan hutan peta lampiran, melalui Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor. 643/Menhut-II/ 2013 tanggal 25 September 2013. Tentang Penunjukan Kawasan hutan produksi tetap yang berasal dari lahan pengganti dalam rangka tukar menukar kawasan hutan atas nama PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. Berdasarkan berita acara tata batas kawasan hutan, pemohon melakukan tata batas kawasan hutan yang dimohon dan inventarisasi terhadap tegakkan dan sarana prasarana yang berada di atasnya. Kegiatan tata batas dilaksanakan oleh panitia tata batas kawasan hutan, panitia tata batas kawasan hutan diatur didalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.47/Menhut-II/2010 tentang Panitia Tata Batas Kawasan Hutan. Panitia Tata Batas dibentuk oleh Menteri, wewenang pembentukan Panitia Tata Batas oleh Menteri dilimpahkan kepada Gubernur. Persiapan administrasi pembentukan Panitia Tata Batas dilakukan oleh Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan disampaikan kepada Kepala Dinas Provinsi Kehutanan untuk diusulkan kepada Gubernur. Berdasarkan Keputusan Gurbernur Jawa Tengah Nomor: 522/63/2011 tentang Panitia Tata Batas Kawasan
Hutan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah, Panitia Tata Batas Kawasan Hutan bertanggung jawab kepada Menteri melalui Gubernur. Panitia Tata Batas Kawasan Hutan mempunyai tugas: 1. Melakukan persiapan pelaksanaan penataan batas dan pekerjaan pelaksanaan di lapangan; 2. Memantau pekerjaan dan memeriksa hasil-hasil pelaksanaan pekerjaan tata batas di lapangan; 3. Mengidentifikasi dan menginventarisasi hak-hak pihak ketiga di sepanjang trayek batas dan di dalam kawasan hutan; 4. Memberi arahan kepada pelaksana dalam membuat trayek batas berdasarkan peta penunjukan kawasan hutan (dan perairan) provinsi dan hasil inventarisasi hak-hak pihak ketiga; 5. Mengesahkan rencana trayek batas dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah rapat pembahasan trayek batas; 6. Menilai hasil tata batas luar kawasan hutan dan tata batas fungsi kawasan hutan. Dalam melaksanakan tugasnya, Panitia Tata Batas berwenang untuk : 1. Menetapkan trayek batas kawasan hutan; 2. Menentukan langkah penyelesaian terhadapvmasalah-masalah terkait hakhak atas lahan/tanah di sepanjang trayek batas dan hak-hak atas lahan/tanah di dalam kawasan hutan; 3. Menandatangani berita acara tata batas kawasan hutan dan peta tata batas kawasan hutan; dan
4. Mengesahkan hasil tata batas luar kawasan hutan dan tata batas fungsi kawasan hutan. Susunan keanggotaan Panitia Tata Batas Kabupaten Rembang dan Kabupaten Kendal berdasarkan Keputusan Gurbernur Jawa Tengah Nomor: 522/63/2011 adalah sebagai berikut: a.
Bupati
b.
Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah yang membidangi kehutanan
c.
Kepala Bappeda
d.
Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI
e.
:
Ketua merangkap anggota
:
Sekretaris merangkap anggota
:
Anggota
:
Anggota
:
Anggota
:
Anggota
Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan untuk kawasan hutan produksi dan hutan lindung
f.
Kepala UPT Kementerian Kehutanan yang memangku kawasan konservasi (untuk hutan konservasi)
Hasil kegiatan tata batas dituangkan dalam berita acara tata batas (BATB) dan peta hasil tata batas yang ditandatangani oleh panitia tata batas kawasan hutan. Penataan Batas Kawasan Hutan yang dimohon seluas ± 57 ha terletak di kawasan hutan produksi di Desa Kajar dan Desa Pasucen, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah, dilakukan penataan batas oleh Panitia Tata Batas Kawasan Hutan Kabupaten Rembang yang diangkat berdasarkan Keputusan Gurbernur Jawa Tengah Nomor: 522/63/2011 tanggal 10 Oktober 2011, diketahui seluas 56,850 ha, sebagaimana berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan Produksi Tetap Bagian Hutan Sulang Timur, Kecamatan Gunem dan Bulu,
Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah tanggal 26 November 2013, yang disahkan oleh Direktur Jenderal Planologi Kehutanan atas nama Menteri Kehutanan. Berdasarkan Keputusan Menteri tentang penunjukkan lahan pengganti sebagai kawasan hutan, pemegang persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan wajib melaksanakan tata batas kawasan hutan yang berasal dari lahan pengganti, berikut adalah Panitia Tata batas Kawasan Hutan Produksi Tetap Bagian Hutan Kalibodri Kecamatan Pageruyung Kabupaten Kendal Provinsi Jawa Tengah: a.
Bupati (Ketua merangkap anggota)
: dr. Hj. Widya Kandi Susanti, MM.CD
b.
Kepala Dinas Pertanian, Peternakan,
: Ir. Sri Purwanti, M.si
Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten Kendal (Sekretaris merangkap anggota) c.
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten
: Ir.Usman
Kendal (anggota) d.
Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Jawa-Madura (anggota)
e.
Kepala Badan Perencanaan Daerah
: Ir. Totong Budiman, M.si. : Moh.Toha, ST,M.si.
Kabupaten Kendal (anggota)
f.
Kepala Administratur/KKPH Kendal
: Ir. Sunarto
Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah (anggota)
g.
Camat Pageruyung (anggota)
: Sugianto, BA
h.
Kepala Desa Surokonto Wetan (anggota)
: Sudari, S.Pd.
Penataan Batas Kawasan Hutan Lahan Pengganti Kawasan hutan produksi tetap yang berasal dari lahan pengganti dalam rangka tukar menukar kawasan hutan, menempel pada bagian hutan produksi kalibodri di kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah, telah dilakukan penataan batas kawasan hutan sesuai berita acara tata batas tanggal 28 November 2013 seluas 127,821 ha dan ditetapkan dengan keputusan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan atas namaMenteri Kehutanan sesuai Keputusan Nomor SK.3021/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 14 April 2014. Tahap keempat, BATB (Berita Acara Tata Batas) dan peta hasil tata batas atas kawasan hutan yang di mohon dan kawasan hutan yang berasal dari lahan pengganti) yang telah ditandatangani oleh panitia tata batas kawasan hutan disampaikan kepada Direktur Jenderal oleh Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan pada 22-28 November 2013. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan menyampaikan usulan penerbitan Keputusan Menteri tentang penetapan kawasan hutan yang berasal dari lahan pengganti dan pelepasan kawasan hutan yang dimohon dan peta lampiran kepada Sekretaris Jenderal, kemudian Sekretaris Jenderal melakukan kajian hukum dan menyampaikan konsep Keputusan Menteri tentang penetapan kawasan hutan yang berasal dari lahan pengganti dan pelepasan kawasan hutan yang dimohon beserta peta lampiran kepada Menteri. Menteri menerbitkan Keputusan Menteri tentang penetapan kawasan hutan yang berasal dari lahan pengganti (SK.3021/Menhut-VII/KUH/2014) tanggal 17 April 2014 dan pelepasan kawasan hutan (SK.471/Menhut-II/2014) tanggal 13 Mei 2014 yang dimohon dan peta lampiran.
Pelaksanaan tukar menukar kawasan hutan atas nama PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. telah sesuai dengan prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang tukar menukar kawasan hutan, hal ini ditunjukan dari hasil penelitian di Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah. Hasil wawancara peneliti dengan Bapak Suparno, Kepala Seksi Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah menyatakan bahwa: “Secara ketentuan sudah selesai karena sudah ada penetapan dan pelepasan kawasan hutan. Jadi dari aspek legalitas hukumnya sudah selesai karena kawasan hutan yang di Rembang itu sudah di lepas menjadi bukan lagi kawasan hutan dan ada penetapan lahan pengganti sebagai kawasan hutan di ganti dengan luasan ± 125 ha”.17 Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan tukar menukar kawasan hutan atas nama PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. sudah sesuai dengan prosedur yang diatur peraturan yang berlaku. Setelah lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan ditetapkan sebagai kawasan hutan, kawasan hutan yang dimohon oleh pemohon dilepas menjadi bukan kawasan dan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL). 4.1.2.2 Pengukuhan Kawasan Hutan dari Lahan Pengganti Tukar Menukar Kawasan Hutan Atas Nama PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. yang Terletak di Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyug, Kabupaten Kendal Keberadaan kawasan hutan tidak dapat dilepaskan dari proses pengukuhan kawasan hutan, mulai dari penunjukan, penataan batas kawasan, dan penetapan
17
Suparno, Kepala Seksi Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan, wawancara, Rabu, 16 Maret 2016.
kawasan hutannya. Suatu wilayah yang berstatus bukan kawasan hutan untuk kemudian menjadi kawasan hutan dilakukan melalui proses atau kegiatan yang dinamakan pengukuhan kawasan hutan. Pengukuhan kawasan adalah suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk memperoleh kepastian hukum tentang status, batas, letak, dan luas suatu kawasan hutan.18 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, untuk memberikan kepastian hukum mengenai status, fungsi, letak, batas, dan luas wilayah kawasan hutan. Menteri menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.19 Termasuk dalam lahan pengganti dari tukar menukar kawasan hutan yang sebelumnya bukan kawasan hutan untuk ditetapkan sebagai kawasan hutan dilakukan melalui mekanisme pengukuhan kawasan hutan. Kegiatan pengukuhan kawasan hutan merupakan kegiatan yang sangat penting dalam bidang kehutanan. Karena kegiatan ini merupakan dasar untuk menentukan status hukum hutan, apakah menjadi hutan lindung, hutan produksi, hutan suaka alam, maupun hutan wisata. Pengukuhan hutan merupakan kegiatan yang berhubungan dengan penataan batas suatau wilayah yang telah ditunjuk sebagai wilayah hutan guna memperoleh kepastian hukum mengenai status dan batas kawasan hutan Perintah pengukuhan hutan diatur dalam Pasal 14 UndangUndang Nomor: 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yang berbunyi: “Berdasarkan inventarisasi hutan, pemerintah menyelenggarakan Pengukuhan Kawasan Hutan,
18 19
Bambang Eko Supriyadi, Hukum Agraria Kehutanan, Loc.cit. Ibid., hal.91.
kegiatan pengukuhan kawasan hutan dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan”. Dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor: 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa pengukuhan kawasan hutan diselenggarakan oleh menteri untuk memberikan kepastian hukum mengenai status, fungsi, letak, batas dan luas kawasan hutan.20 Menurut Bapak Suparno, selaku Kepala Seksi Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, di Jawa Tengah luas kawasan hutannya baru ± 20% artinya menggunakan kebijakan dengan lahan pengganti untuk tukar menukar kawasan hutan atau lahan kompensasi untuk pinjam pakai kawasan hutan dengan rasio minimal 1:1. Ketentuan kompensasi lahan dengan ratio paling sedikit 1:1 untuk non komersial dan paling sedikit 1:2 untuk komersial. “Apabila kawasan hutan kurang dari 30% dari luas daratan maka, kebijakan penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan diluar kegiatan nonkehutanan adalah dengan kompensasi minimal 1:1 atau untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang bersifat permanen yang diatur dalam Permenhut No. 32 Tahun 2010 menggunakan mekanisme tukar menukar dengan lahan pengganti. Untuk kawasan hutan pada provinsi, yang luas kawasan hutannya di bawah 30% dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi, mempunyai ketentuan kompensasi lahan dengan ratio paling sedikit 1:1 untuk non komersial dan paling sedikit 1:2 untuk komersial. Ketentuan proposional luas kawasan hutan untuk mempertahankan 30 % dari luas daerah daerah dengan skala provinsi bukan kabupaten. Di Jawa Tengah luas kawasan hutannya baru ± 20% artinya menggunakan kebijakan dengan lahan pengganti untuk tukar menukar kawasan hutan atau lahan kompensasi untuk pinjam pakai kawasan hutan dengan rasio minimal 1:1”.21
20
Iskandar, et al., Kebijakan Perubahan Kawasan Hutan dalam Pengelolaan Berkelanjutan, Op.Cit., hal.87. 21
Suparno, Kepala Seksi Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan, wawancara, Rabu, 16 Maret 2016.
Lahan pengganti dimaksud wajib memenuhi persyaratan:22 1. Letak, luas, dan batas lahan penggantinya jelas; 2. Dihapus; 3. Terletak dalam daerah aliran sungai, provinsi atau pulau yang sama; 4. Dapat dihutankan kembali dengan cara konvensional; 5. Tidak dalam sengketa dan bebas dari segala jenis pembebanan dan hak tanggungan; dan 6. Rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Bapak Fadllun Staff Legal dan Kepatuhan Perum Perhutani Unit I Jateng, Lokasi yang dimohon oleh PT. Semen Gresik (Persero) untuk lokasi plant site seluas ± 92 ha adalah kawasan hutan di Desa Kadiwono dan Desa Pasucen, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, dengan usulan lahan pengganti seluas ± 578,091 ha terletak di Kabupaten Grobongan seluas ± 139,600 ha dan Kabupaten Kendal ± 438,491 ha. ”Lokasi yang dimohon oleh PT. Semen Gresik (Persero) untuk lokasi plant site seluas ± 92 ha adalah kawasan hutan berdasarkan Peta Lampiran Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Jawa Tengah Nomor:359/Menhut-II/2004 tanggal 1 Oktober 2004 dan perkembangan tata batas kawasan hutan Provinsi Jawa Tengah. Kawasan hutan yang dimohon PT. Semen Gresik (Persero) untuk lokasi plant site seluas ± 92 ha terletak di 2 (dua) wilayah Resort Pemangkuan Hutan (RPH) dengan rician sebagai berikut: Tabel 4.2 Lokasi Plant Site Resort Pemangkuan Hutan (RPH) yang dimohon PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. Nama RPH Fungsi hutan 22
RPH Sandang Hutan produksi
RPH Timbrangan Hutan produksi
Pasal 12 (ayat) 4 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Fungsi Kawasan Hutan.
Petak
107a1, 107a2,107b, 107c, 107d,110f Kebon
102a, 103f, 103g
Kebon BKPH (Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan) Sulang Timur Sulang Timur BH Mantingan Mantingan KPH Sumber: Dokumen Sekunder, Pertimbangan Teknis Perum Perhutani, diolah. Menurut wilayah administrasi terletak di Desa Kadiwono dan Desa Pasucen, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang”.23 PT. Semen Indonesia (Persero) menyediakan lahan seluas ± 578,091 ha terletak di Kabupaten Grobongan seluas ± 139,600 ha dan Kabupaten Kendal ±438,491 ha. Dari luas kawasan hutan yang dimohon seluas ± 92 ha dipertimbangankan seluas ± 71 ha. Sebagai lahan penggantinya PT.Semen Indonesia (Persero) Tbk. mengusulkan lahan pengganti yang berada di Kabupaten Kendal di Desa Surokonto Wetan Kecamatan Pageruyung.24 Ketentuan lahan pengganti dalam tukar menukar kawasan hutan berdasarkan Peraturan Menteri kehutanan No.P.41/Menhut-II/2012 tentang Tukar menukar Kawasan Hutan lahan pengganti letak, luas, dan batasnya harus jelas tidak dalam sengketa. Letak lahan pengganti terletak dalam DAS (daerah aliran sungai) yang sama, atau dalam provinsi atau pulau yang sama dan harus mendapat rekomendasi dari gurbernur atau Bupati setempat.25 Status hak atas tanah yang dapat dijadikan sebagai lahan pengganti dalam proses tukar menukar kawasan hutan menurut Bapak Mulyadi Suharno, Kepala
23
Fadllun , Staff Legal dan Kepatuhan Perum Perhutani Unit I Jateng, wawancara, Selasa, 16 Agustus 2016 24 Suparno, Kepala Seksi Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan, wawancara, Rabu, 16 Maret 2016. 25 Nuni Harijanto, Kepala Sub Pengukuhan Kawasan Hutan Wilayah I, wawancara, Rabu, 25 Mei 2016.
Subsi Pendaftaran Hak Kantor Pertanahan Kabupaten Kendal, adalah Hak Guna Usaha, seperti yang dikutip dari hasil penelitian. “Hak atas tanah yang dapat dijadikan sebagai kawasan hutan atau lahan pengganti untuk tukar menukar kawasan hutan yaitu, HGU (hak guna usaha) yang secara konvensional dapat dijadikan hutan memenuhi sebagai lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan, selain itu luasan tanah Hak Guna Usaha memenuhi untuk dijadikan sebagai kawasan hutan, menurutnya hak atas tanah lain seperti Hak milik luasannya sangat sedikit sedangkan untuk menjadi kawasan hutan luasan tanah yang dibutuhkan sangat luas. Berdasarkan PP No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, tanah-tanah hak untuk calon lahan pengganti, baik yang terdaftar maupun yang belum terdaftar dilakukan pelepasan hak dengan memberikan ganti rugi, sedangkan terhadap tanah hak untuk calon lahan pengganti yang sudah terdaftar dilakukan pencoretan di buku tanah dan sertifikatnya, peran Kantor Pertanahan dalam tukar menukar kawasan hutan disini adalah, penghapusan atau pencoretan sertifikat HGU No. 9 atas nama PT. Sumur Pitu Wringinsari sebagai lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan yang akan dikukuhkan menjadi kawasan hutan. Tanah-tanah hak calon lahan pengganti yang belum terdaftar (leter c/girik) dilakukan pencoretan di buku dan peta desa, serta ada keterangan dari instansi pertanahan yang menyatakan bahwa lahan tersebut belum terdaftar. Pelepasan hak dengan ganti rugi untuk lahan pengganti mekanismenya yang pertama mengajukan permohonan dahulu ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) permohonan izin pelepasan hak dengan ganti rugi sebagai lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan. Setelah itu serifikat HGU No.9 menjadi hapus berdasarkan surat dari kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Tengah No.0731/9-33/1/2013 tanggal 7 Februari 2013 perihal permohonan izin peralihan hak atas nama PT.Sumur Pitu Wringinsari berkedudukan di Kota Semarang yang melepaskan hak atas tanah Hak Guna Usaha No.9/Desa Surokonto Wetan, seluas 1.255.300 m2 kepada PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. berkedudukan di Kabupaten Gresik, untuk dipergunakan sebagai lahan pengganti tukar menukar kawasan antara PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. dengan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia sebagai kawasan hutan. Berdasarkan Akta Pelepsan Hak Atas Tanah dengan Ganti Rugi No.14 tanggal 14 Maret 2013. Lahan pengganti dari proses tukar menukar kawasan hutan tersebut setelah dikukuhkan menjadi kawasan hutan tanah pengganti tersebut menjadi kewenangan Kementerian Kehutanan”.26
26
Mulyadi Suharno, Kepala Subsi Pendaftaran Hak Kantor Pertanahan Kabupaten Kendal, wawancara, Senin, 1 Agustus 2016.
Dari wawancara tersebut, dapat disimpulkan bahwa Hak atas tanah yang dapat dijadikan sebagai kawasan hutan atau lahan pengganti untuk tukar menukar kawasan hutan yaitu, HGU (hak guna usaha) yang secara konvensional dapat dijadikan hutan dan memenuhi sebagai lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan, karena luas tanah Hak Guna Usaha memenuhi untuk dijadikan sebagai kawasan hutan sedangkan hak atas tanah lain seperti Hak Milik luasannya sangat sedikit sedangkan untuk menjadi kawasan hutan luasan tanah yang dibutuhkan sangat luas. Berdasarkan PP No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, tanah-tanah hak untuk calon lahan pengganti, baik yang terdaftar maupun yang belum terdaftar dilakukan pelepasan hak dengan memberikan ganti rugi. Sertifikat lahan pengganti untuk tukar menukar kawasan hutan yang berada di Kabupaten Kendal yaitu, serifikat HGU No.9/Desa Surokonto Wetan yang terdaftar atas nama PT. Sumur Pitu Wringinsari berkedudukan di Kota Semarang, sertifikat HGU No. 9 tersebut menjadi hapus karena dilepaskan berdasarkan pelepasan hak dengan ganti rugi, berdasarkan surat dari kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Tengah No.0731/933/1/2013 tanggal 7 Februari 2013 perihal permohonan izin peralihan hak atas nama PT.Sumur Pitu Wringinsari berkedudukan di Kota Semarang yang melepaskan hak atas tanah Hak Guna Usaha No.9/Desa Surokonto Wetan, seluas 1.255.300 m2 kepada PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. berkedudukan di Kabupaten Gresik, untuk dipergunakan sebagai lahan pengganti tukar menukar kawasan antara PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. dengan Kementerian
Kehutanan Republik Indonesia sebagai kawasan hutan. Berdasarkan Akta Pelepasan Hak Atas Tanah dengan Ganti Rugi No.14 tanggal 14 Maret 2013. Hasil wawancara dengan Staff Legal dan Kepatuhan Perum Perhutani Unit I Jateng, Bapak Fadllun, proses pengukuhan kawasan hutan dari lahan pengganti yang bukan kawasan hutan dari tukar menukar kawasan hutan di Desa Surokonto Wetan adalah sebagai berikut: “Pengukuhan Kawasan Hutan adalah kegiatan lanjutan dengan penataan batas suatu wilayah yang telah ditunjuk sabagai kawasan hutan untuk mendapatkan kepastian hukum mengenai status, batas, luas dan letak kawasan hutan. Langkah-langkahnya meliputi : 1) Penunjukan Kawasan Hutan 2) Penataan Batas Kawasan Hutan 3) Penetapan Kawasan Hutan Pengukuhan kawasan hutan menghasilkan : Secara fisik di lapangan berupa: pal batas kawasan hutan, rintis batas, papan pengumuman kawasan hutan, tugu batas. Dokumen pengukuhan kawasan hutan berupa BATB, dan Surat Keputusan pengesahan/penetapan hasil tata batas kawasan hutan”.27 Penunjukan kawasan hutan merupakan proses awal suatu wilayah tertentu menjadi kawasan hutan. Penunjukan kawasan hutan meliputi: a. wilayah provinsi; dan b. wilayah tertentu secara parsial.28 Penunjukan wilayah tertentu secara parsial merupakan penunjukan areal bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan, salah satunya berasal dari lahan pengganti dari tukar menukar kawasan hutan.29 Berikut adalah bagan alir kelayakan teknis dan hukum calon lahan pengganti:
27
Fadllun , Staff Legal dan Kepatuhan Perum Perhutani Unit I Jateng, wawancara, Selasa, 16 Agustus 2016 28 Bambang Eko Supriyadi, Hukum Agraria Kehutanan, Op.Cit, hal. 92. 29 Pasal 4 (ayat) 2 Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan.
Bagan 4.2 Bagan Alir Kelayakan Teknis dan Hukum Calon Lahan Kompensasi/Pengganti
Sumber : Materi Sosialisasi Penetapan Kawasan Hutan di Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal, 27 Mei 2015. Setelah Menteri menerbitkan surat persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan, pemohon berkewajiban untuk menyelesaikan clean and clear usulan lahan pengganti dan Tim meninjau kelayakan teknis dan hukum calon lahan pengganti, yang selanjutnya menyampaikan hasil penilaian kepada Dirjen Planologi Kehutanan. Setelah pemegang persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan telah menyelesaikan kewajiban, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan atas nama Menteri bersama pemohon menandatangani berita acara tukar menukar kawasan hutan yang memuat serah terima lahan pengganti kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Berdasarkan Berita Acara Tukar Menukar Kawasan Hutan (BATM), Sekretaris Jenderal melakukan kajian hukum dan menyampaikan konsep keputusan Menteri tentang penunjukkan usulan lahan pengganti sebagai kawasan hutan dan peta lampiran kepada Menteri. Selanjutnya, Menteri menerbitkan
keputusan tentang penunjukkan lahan pengganti sebagai kawasan hutan peta lampiran, melalui Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor. 643/Menhut-II/ 2013 tanggal 25 September 2013. Tentang Penunjukan Kawasan hutan produksi tetap yang berasal dari lahan pengganti dalam rangka tukar menukar kawasan hutan atas nama PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. yang kemudian ditetapkan sebagai kawasan hutan melalui kegiatan pengukuhan kawasan hutan. Proses selanjutnya berdasarkan penunjukan kawasan hutan, dilakukan penataan batas kawasan hutan. Penataan batas kawasan hutan adalah kegiatan yang meliputi proyeksi batas, pemancangan patok batas, pengumuman, inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga, pemasangan pal batas, pengukuran dan pemetaan serta pembuatan Berita Acara Tata Batas. Tahapan pelaksanaan pentaan batas kawasan hutan mencakup kegiatan: 1. Pemancangan patok sementara; 2. Pengumuman hasil pemancangan patok batas sementara; 3. Inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga yang berada disepanjang trayek batas dan didalam kawasan hutan; 4. Penyusunan berita acara pengakuan oleh masyarakat disekitar trayek batas hasil pemancangan patok batas sementara; 5. Penyusunan berita acara tata batas pemancangan batas sementara yang disertai dengan peta pemancangan patok batas sementara; 6. Pemasangan pal batas yang dilengkapi dengan lorong batas; 7. Pemetaan hasil penataan batas; 8. Pembuatan dan penandatangan berita acara tata batas dan peta tata batas; dan
9. Pelaporan kepada menteri dengan tembusan kepada gurbernur. Penyelenggaraan penataan batas dilakukan oleh Panitia Tata Batas. Panitia Tata Batas Kawasan Hutan bertugas : a. Melakukan persiapan pelaksanaan penataan batas dan pekerjaan pelaksanaan di lapangan; b. Memantau pekerjaan dan memeriksa hasil-hasil pelaksanaan pekerjaan tata batas di lapangan; c. Mengidentifikasi dan menginventarisasi hak-hak pihak ketiga di sepanjang trayek batas dan di dalam kawasan hutan; d. Memberi arahan kepada pelaksana dalam membuat trayek batas berdasarkan peta penunjukan kawasan hutan (dan perairan) provinsi dan hasil inventarisasi hak-hak pihak ketiga; e. Mengesahkan rencana trayek batas dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah rapat pembahasan trayek batas; f. Menilai hasil tata batas luar kawasan hutan dan tata batas fungsi kawasan hutan. Penataan batas dilakukan terhadap batas luar kawasan hutan dan batas fungsi kawasan hutan, Panitia Tata Batas Luar Kawasan Hutan terdiri dari: a. Bupati/Walikota sebagai ketua merangkap anggota; b. Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi kehutanan sebagai sekretaris merangkap anggota untuk kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung atau Kepala Unit Pelaksana Teknis yang menangani urusan kawasan hutan konservasi ;
c. Unsur Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, sebagai anggota; d. Unsur Balai Pemantapan Kawasan Hutan, sebagai anggota; e. Unsur Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten/Kota, sebagai anggota; f. Camat setempat, sebagai anggota; dan g. Kepala Desa/Lurah setempat, sebagai anggota. Penataan batas luar kawasan hutan yang berasal dari lahan pengganti dalam rangka tukar menukar kawasan hutan dilakukan dengan tahapan kegiatan: 1. Pembuatan peta trayek batas; 2. Pengukuran batas dan pemasangan tanda batas; 3. Pemetaan hasil penataan batas; 4. Pembuatan dan penandatanganan berita acara tata batas dan peta tata batas; 5. Pelaporan kepada menteri. Sedangkan panitia penataan batas fungsi kawasan hutan terdiri dari: a. Bupati/Walikota sebagai ketua merangkap anggota; b. Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi kehutanan sebagai sekretaris merangkap anggota untuk kawasan hutan produksi dan hutan lindung atau Kepala Unit Pelaksana Teknis yang menangani urusan hutan konservasi sebagai sekretaris merangkap anggota untuk hutan konservasi; c. unsur Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten/Kota sebagai anggota; dan d. Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan, sebagai anggota. dilakukan dengan tahapan kegiatan:
a. Pembuatan peta trayek batas; b. Pengukuran batas dan pemasangan tanda batas; c. Pemetaan hasil penataan batas; d. Pembuatan dan penandatanganan berita acara tata batas dan peta tata batas; dan e. Pelaporan kepada menteri. Dalam melaksanakan tugasnya Panitia Tata Batas berwenang: a. Menetapkan trayek batas kawasan hutan; b. Menentukan langkah penyelesaian terhadapmasalah-masalah terkait hakhak atas lahan/tanah di sepanjang trayek batas dan hak-hak atas lahan/tanah di dalam kawasan hutan; c. Menandatangani berita acara tata batas kawasan hutan dan peta tata batas kawasan hutan; dan d. Mengesahkan hasil tata batas areal kerja izin pemanfaatan hutan yang berimpit dengan batas fungsi kawasan hutan yang belum ditata batas, dilakukan oleh pemegang izin yang bersangkutan. Hasil penataan batas kawasan hutan dituangkan dalam Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan dan Peta Batas Kawasan Hutan, yang ditandatangani oleh Panitia Tata Batas Kawasan Hutan dan diketahui oleh Bupati/Walikota. Hasil penataan batas kawasan tersebut kemudian disampaikan kepada Menteri Kehutanan untuk disahkan oleh Menteri. Menteri kemudian menetapkan Kawasan Hutan
didasarkan atas Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan dan Peta Tata Batas Kawasan Hutan telah temu gelang.30 Dalam hal penataan batas kawasan hutan telah temu gelang tetapi masih terdapat hak-hak pihak ketiga yang belum diselesaikan, maka kawasan hutan tersebut ditetapkan oleh Menteri dengan memuat penjelasan hak-hak yang ada didalamnya untuk diselesaikan oleh Panitia Tata Batas Kawasan Hutan yang bersangkutan. Hasil penetapan kawasan hutan tersebut terbuka untuk diketahui oleh masyarakat.31 Menteri menerbitkan Keputusan Menteri tentang penetapan kawasan hutan yang berasal dari lahan pengganti di Desa Surokonto Wetan dalam SK.3021/Menhut-VII/KUH/2014 pada tanggal 17 April 2014.
4.1.3 Hambatan dalam Pelaksanaan Pengukuhan Kawasan Hutan dari Lahan Pengganti Tukar Menukar Kawasan Hutan atas Nama PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. yang Terletak di Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal Pelaksanaan Tukar Menukar Kawasan Hutan atas Nama PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk yang Terletak di Desa Surokonto Wetan secara keseluruhan telah sesuai dengan prosedur peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sudah dijalankan dengan baik, ini ditujukan dari hasil penelitian di Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah. Hasil wawancara peneliti dengan Bapak Suparno, S.sos Kepala Seksi Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan, bahwa:
30 31
Bambang Eko Supriyadi, Hukum Agraria Kehutanan, Op.Cit, hal. 93. Ibid., hal. 93.
“Selama proses pengukuhan kawasan hutan dari salah satu lahan pengganti yang disediakan oleh PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk di Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal, tidak ada masalah, dan itu dilakukan oleh panitia tata batas dan ada juga rapat-rapat terkait dengan panitia tata batas itu dan diketuai oleh Bupati dan SKPD terkait termasuk BPN (Kantor Pertanahan), pelaksanaan tukar menukar kawasan hutan PT. Semen Indonesia terhitung cepat sesuai dengan aturan yang berlaku” . 32
Demikian pula menurut Ibu Nuni Harijanto Kepala Sub Pengukuhan Kawasan Hutan Wilayah I dan Bapak Fadllun Staff Legal dan Kepatuhan Perum Perhutani Unit I Jateng, prosedur pengukuhan kawasan hutan pengganti tukar menukar kawasan hutan di Desa Surokonto Wetan ataupun prosedur tukar menukar kawasan hutan untuk plant site di Kabupaten Rembang tidak terdapat kendala dan telah sesuai dengan peraturan yang berlaku, hambatan yang dialami yaitu dalam pengelolaan lahan pengganti setelah ditetapakan sebagai kawasan hutan. Hasil penelitian dengan ibu Nuni Kepala Sub Pengukuhan Kawasan Hutan Wilayah I, menyatakan bahwa : ”Dalam penataan batas tidak ada kendala, karena sudah keluar SK penetapan kawasan hutan. Sehingga lahan pengganti sudah clean and clear tentunya” Selanjutnya Bapak Fadllun Staff Legal dan Kepatuhan Perum Perhutani Unit I Jateng, menyatakan bahwa: “Selama proses penataan batas kawasan hutan dari lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan di Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung tidak ada kendala, semua prosedur telah sesuai dengan aturan yang berlaku. Kendala yang dialami dalam melakukan pengelolaan lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan setelah ditetapkan sebagai kawasan hutan adanya penolakan sekelompok warga, perwakilan warga meminta agar Perum 32
Suparno, Kepala Seksi Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan, wawancara, Rabu, 16 Maret 2016.
Perhutani tidak boleh melaksanakan kegiatan apapun ditanah masuk dari proses TMKH (tukar menukar kawasan hutan) dengan PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. karena tanah tersebut bukan milik Perhutani (tanah milik negara) dan tanah tersebut sebagian digarap oleh warga” .33 Dari pernyataannya, dapat dikatakan pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan yang berasal dari lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan ini sudah terlaksana dengan baik dan sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku, hambatan yang dialami yaitu, dalam melakukan pengelolaan lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan setelah ditetapkan sebagai kawasan hutan terjadi penolakan sekelompok warga masyarakat Desa Surokonto Wetan. Menurut, Bapak Rasyono Kepala Desa Surokonto Wetan selama proses penataan batas kawasan hutan dari lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan di Desa Surokonto Wetan terdapat pal batas yang menurut warga tidak sesuai namun sudah dilakukan pembetulan sebagaimana dikutip peneliti dalam wawancara. “Dalam penanaman patok tapal batas itu dilakukan sepihak dari pihak perhutani tidak melibatkan warga sebelahnya (warga yang berbatasan langsung dengan lahan pengganti), karena saya tahu demikian banyak warga yang komplain tapal batasnya masuk ke tanah warga juga memang sudah dilakukan pembetulan ada komunikasi artinya tapal batas tersebut sudah ditanam perhutani ketika dibetulkan istilahnya perhutani juga menerima. Pada saat penanaman pertama tapal batasnya itu tidak melibatkan warga makannya banyak terjadi protes walaupun tidak semuannya. Iya dalam proses penataan batas kawasan hutan kendalanya itu masih ada beberapa batas yang menurut warga tidak sesuai, dan ini sudah ada pembetulan walaupun ada yang belum dilakukan pembetulan karena takut nanti juga melanggar hukum yang ada tentang penataan batas makanya ada warga yang tidak berani untuk mencabut batas yang merasa dia itu tidak pas atau belum tepat begitu. Solusinya sudah diadakan komunikasi dari perwakilan pihak Perhutani dengan warga yang berbatasan dengan lahan milik Perhutani dan itu sudah dilakukan pembetulan walaupun belum semuanya dan itu ketika sudah 33
Fadllun ,Staff Legal dan Kepatuhan Perum Perhutani Unit I Jateng, wawancara, Selasa, 16 Agustus 2016
dilakukan pembetulan warga yang tadinya komplain itu untuk menandatangani berita acara kesepakatan bahwa tapal batas yang sekarang sudah ditanam itu sudah sesuai artinya biar dikemudian hari tidak komplain lagi tapi itu belum semuanya kenapa belum semuannya itu karena warga yang merasa keberatan itu lapornya baru kemarin belum lama ketika tapal batas dipasang mereka tidak langsung protes tidak langsung lapor ke desa akhirnya desa terlambat dalam menjembatani. Tapi pada intinya memang itu lahan milik Perhutani tidak menutup kemungkinan bahwa besok akan dilakukan perbenahan atau pembetulan begitu. Jadi untuk saat ini saya belum bisa memediasi karena laporan itu datang terlambat artinya tidak sekalian”.34 Terkait dengan adanya penolakan sekelompok warga agar Perum Perhutani tidak boleh melaksanakan kegiatan apapun di lahan pengganti dari proses TMKH (tukar menukar kawasan hutan) dengan PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. setelah ditetapkan sebagai kawasan hutan dijelaskan dalam kronologi berikut ini: Tabel 4.3 Kronologi Kegiatan PT.Semen Indonesia (Persero) Tbk. (Tukar Menukar Kawasan Hutan) di KPH Kendal Tanggal Keterangan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: 17 April SK.3021/Menhut-VII/KUH/2014 2014 Penetapan sebagian kawasan hutan kalibodri seluas 127,821ha di Kabupaten Kendal Nomor: 379/044.3/Ren-5/RenSDH&P/Divre Jtg/2015 Pengelolaan Lahan Pengganti dan Lahan Kompensasi dalam 4 Mei Rangka Tukar Menukar Kawasan Hutan dan Pinjam Pakai 2015 Kawasan Hutan a.n. PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. di Kabupaten Kendal. Hasil tindaklanjut dari lahan eks PT.Sumurpitu 11 Mei Pembahasan lahan terkait masalah lahan pengganti PT. Semen 2015 Indonesia (Persero) Tbk. Rapat koordinasi dengan DPRD Komisi A terkait tindaklanjut klarifikasi tanah PT. Sumurpitu Wringin Sari dengan hasil 2 Juli monitoring oleh Anggota Dewan sampai dengan didapat solusi 2015 terbaik oleh para pihak dan mempersilahkan kepada Nurazis untuk menempuh jalur hukum.
34
Rasyono , Kepala Desa Surokonto Wetan, wawancara, Selasa, 2 Agustus 2016.
Pemeriksaan oleh Tim Divre Jateng dengan hasil bahwa perwakilan warga meminta agar Perum Perhutani tidak boleh melaksanakan kegiatan apapun di tanaha masuk dari proses TMKH dengan PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. karena tanah tersebut bukan milik Perhutani (tanah milik negara) dan tanah tersebut sebagian digarap oleh warga tersebut BAP Nomor 01/Divre Jateng/X/2015. 10 Permohonan peninjauan kembali terhadap lahan di Desa September Surokonto Wetan 2015 Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.643/Menhut-II/2013 25 Penunjukan Kawasan Hutan Produksi Tetap yang berasal dari September Lahan Pengganti Tuar Menukar Kawasan Hutan Atas Nama PT. 2015 Semen Indonesia (Persero) Tbk yang terletak di Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah Seluas ± 125,3 Ha 06/Pem/2015 Tanah HGU PT. Sumurpitu luas 127 ha (tanah 28 negara) yang terlantar di garap warga Desa Surokonto Wetan Oktober sejak 1972. 2015 Permasalahan tanah pengganti PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk 2 Tindak lanjut terhadap permasalahan lahan pennganti TMKH di November bagian hutan Kalibodri seluas 127,821 ha di Kabupaten Kendal. 2015 12 Keputusan mengenai penetapan kawasan hutan November 2015 Patroli Pamhut (pengamanan hutan) di wilayah Surokonto Wetan tanggal 17 dan 19 Desember 2016 dengan hasil terjadi penolakan sekelompok warga yang diwakili oleh Sdr. Nur Aziz dan Sdr. Ahmad Gufron menyampaikan beberapa hal terait dengan tanah tersebut. Saudara Kasto melakukan intimidasi kepada petugas siapa saja yang melakukan penggarapan/pengelolaan di lahan tersebut akan dilakukan perlawanan oleh sekelompok warga tersebut. Laporan hasil rapat dengan Setda Provinsi Jawa Tengah tanggal 20 Januari 2016 dengan hasil lahan pengganti tersebut sudah merupakan kawasan hutan yang pengelolaannya kewenangan Perhutani KPH Kendal dan Perhutani KPH Kendal wajib
melaporkan kejadian di lokasi tersebut kepada pihak keamanan (Polres Kendal) PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. bersama Perhutani KPH Kendal akan segera melaksanakan ground breaking penanaman yang didukung oleh aparat keamanan Polres dan Kodim Kendal. Pemprov segera membuat surat ke Menteri Kehutanan terkait penegasan status clear and clear di lokasi tanah pengganti tersebut. Rapat Koordinasi dengan PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. terkait pelaksanaan kegiatan seremonial penanaman bersama yang dikemas dalam konsep Groundbreaking 2016 dengan agenda pemasangan dan pembutan patok batas pembuatan lubang penanaman tanaman tepi jenis mahoni yang akan dilaksanakan pada tanggal 22-25 Februari 2016. 26 Januari Penetapan Lahan Pengganti menjadi kawasan hutan dengan 2016 fungsi hutan produksi Kegiatan sosialisasi dan penanaman simbolis bersama di lahan 30 Maret pengganti Desa Surokonto Wetan, ditanami pohon jati dan 2016 mahoni penanaman dilakukan pihak Perhutani, KPH Kendal bersama jajaran Forkompinda Kendal, dan PT Semen Indonesia Sumber: Dokumen Sekunder, Kronologi Kegiatan PT.Semen Indonesia (Persero) Tbk. (Tukar Menukar Kawasan Hutan) di KPH Kendal, diolah. Hasil wawancara dengan Bapak Rasyono Kepala Desa Surokonto Wetan terkait pengukuhan kawasan hutan dari lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan di Desa Surokonto Wetan yang masih terjadi penolakan dari beberapa masyarakat sebagai berikut: “Tanggapan masyarakat setelah lahan pengganti menjadi kawasan hutan, di tahun 2015 dengan adanya SK Kemenhut itu sebenarnya sudah sah menjadi milik Perhutani tetapi sampai saat ini Perhutani belum mengolahnya, sampai saat ini masih diolah oleh warga sepenuhnya. Cuman dari luas 125 ha, 47 ha nya tidak bisa diolah jadi sisanya itu diolah oleh warga. Sosialiasi sampai saat ini belum diterima oleh masyarakat artinya pengukuhan kawasan hutan tersebut belum diterima oleh masyarakat kalau lahan tersebut menjadi milik Perhutani. Sosialisasi ada, tetapi sosialisasi ini ketika tanah itu sudah ditukar gulingkan, jadi sosialisasi dilakukan ketika tanah tersebut sudah menjadi milik Perhutani sebelumnya itu belum. Setahu saya itu belum karena sosialisasi itu dilakukan di bulan dua di tahun 2015 karena itu banyak warga
yang kaget dari kekagetan mereka akhirnya bisa dipastikan bahwa pada proses tukar guling ini belum ada sosialisasi, sosialisasi ada tetapi setelah terjadi dan melibatkan warga dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Proses pengukuhan kawasan hutan ini artinya memang ada tindakan dari Perhutani yang melibatkan masyarakat itu memang dilakukan tetapi ditolak atau tidak diterima oleh masyarakat pengukuhan kawasan hutan itukan artinya pihak Perhutani menyampaikan ‘ini lho ini sudah menjadi lahan kami’ menyampaikan tetapi warga tidak mau menerima alasannya karena itu lahan yang dimanfaatkan oleh warga dan menjadi lahan ekonomi yang digantungkan oleh sebagian warga. Saya bilang sebagian karena warga selain memiliki lahan juga ada yang memiliki lahan persawahan artinya tidak semuanya itu disana semua, kalau bicara Surokonto Wetan yang menjadi penggarap dilahan itu hanya tiga dusun, di Surokonto Wetan ada lima dusun Krajan, Sekecer, Sempulawang, Watudono, dan Dadapayam. Yang terlibat langsung dalam pemanfaataan lahan tersebut tiga dusun yaitu Dusun Krajan, Sekecer, dan Sempulawang. Terkait dengan peran pemerintah desa, dalam kegiatan penanaman tapal tesebut dilakukan perwakilan tidak dilakukan oleh semua perangkat ataupun dimasing-masing dusun. Pada tahun 2013 informasinya mengajak perwakilan dari salah satu perangkat desa untuk menyaksikan hanya menyaksikan dalam penanaman tapal batas, batasnya kawasan hutan Perhutani sudah mengetahui sudah tahu desa hanya menyaksikan penanaman tapal batasnya saja”.35 Dari wawancara dengan Bapak Rasyono Kepala Desa Surokonto Wetan, peneliti menyimpulkan bahwa sampai saat ini beberapa masyarakat belum menerima kalau lahan pengganti dari tukar menukar kawasan hutan tersebut menjadi kawasan hutan produksi yang dikelola oleh Perhutani. Saat ini lahan yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.3021/Menhut-VII/KUH/2014 masih sepenuhnya dikelola oleh masyarakat setempat. Sosialisasi telah dilakukan beberapa kali oleh pihak dari Perhutani selaku pengelola kawasan hutan produksi dalam proses pengukuhan kawasan hutan ini ada tindakan dari Perhutani yang melibatkan masyarakat, beberapa batas yang menurut warga tidak sesuai sudah dilakukan
35
Rasyono , Kepala Desa Surokonto Wetan, wawancara, Selasa, 2 Agustus 2016.
pembetulan oleh pihak Perhutani dengan menandatangani berita acara kesepakatan bahwa tapal batas yang saat ini sudah ditanam sudah sesuai. Sosialisasi penawaran menjadi mitra Perhutani bagi masyarakat sekitar kawasan hutan atau masyarakat yang bergantung dengan lahan tersebut sebelumnya sudah ditawarkan oleh pihak Perhutani namun belum terjadi kesepakatan. Wawancara dengan Bapak F.X. Redi, Petani (Bayan Tani) Desa Surokonto Wetan menyatakan: “Sebelum Perhutani datang itu lahan perkebunan yang digarap warga, setelah ada Perhutani karena ada tukar guling dengan Semen Indonesia sekarang menjadi kawasan hutan miliknya Perhutani. Tetapi saat ini lahan tersebut masih dikelola oleh warga. lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan sebelum ditetapkan sebagai kawasan hutan ini dulu miliknya PT. Sumur Pitu perusahaan perkebunan sertifikatnya hak guna usaha, lahan tersebut sudah lama dikelola warga dengan perjanjian bagi hasil 1/3 untuk perusahaan (Sumur Pitu) 2/3 untuk penggrap. Sebagian besar ditanami jagung dan singkong oleh warga tahun 2015 Perhutani ada sosialisasi kalau lahan perkebunan ini sudah beralih ke Perhutani KPH Kendal. Waktu kemarin perangkat desa diminta untuk menyaksikan proses penanaman patok batas tapi itu tidak semua perangkat desa diikutkan hanya perwakilan saja, patok batas itu untuk menjadikan lahan perkebunan menjadi kawasan hutan karena ada tukar guling, seharusnya ada koordinasi dengan perangkat desa dan masyarakat yang berbatasan dengan lahan itu. Ketika sudah jadi kawasan hutan banyak warga sini yang kaget kalau lahan perkebunan sekarang menjadi kawasan hutan. Sosialisasi ada dari Perhutani sebanyak empat kali, di Balai Desa, di Kecamatan. Di rumah bu Mirna, dan terakhir di Pendopo. Tapi sampai saat ini belum ada titik temu bagaimana enaknya. Kalau saya jika lahan itu memang sudah menjadi Perhutani saya mengikuti saja yang penting program dari Perhutani itu bisa membuat ekonomi masyarakat desa semakin baik masyarakat masih bisa berkebun, tapi iya itu sampai saat ini masyarakat masih menolak Perhutani, dan lahan yang menjadi kawasan hutan itu masih dikelola masyarakat”.36
36
F.X Redi, Petani (Bayan Tani) Desa Surokonto Wetan, wawancara, Selasa, 2 Agustus 2016.
Sesuai yang disampaikan oleh Bapak Rasyono Kepala Desa Surokonto Wetan, yang dalam wawancaranya mengatakan: “Sementara ini sosialisasi penawaran warga menjadi mitra Perhutani sudah ditawarkan oleh pihak Perhutani sudah empat kali di Kecamatan, Balai Desa, rumah Bu Mirna, dan Pendopo Kendal. Program-program dari Perhutani yang artinya warga yang memang bergantung dengan lahan kemudian mereka ada rasa ketakutan kehilangan mata pencaharian dalam mengolah lahan tersebut sudah disampaikan oleh Perhutani artinya Perhutani tidak akan mengusir masyarakat yang memanfaatkan lahan tersebut warga masih boleh memanfaatkan lahan tersebut tetapi nantinya ada jarak tertentu karena nantinya Perhutani juga akan menanam tanaman produksi mereka dengan jarak tertentu, nantinya jarak itu nanti akan dikomunikasikan dengan warga enaknya seperti apa. Artinya Perhutani/ KPH Kendal masih bisa mengolah lahan tersebut mematuhi perintah dari Kemenhut dan warga masyarakat juga masih bisa menggarap lahan tersebut Perhutani tidak akan mengusir masyarakat tetapi masyarakat tidak mau mereka sudah nyaman sudah cocok dengan keadaan yang terbuka mereka menolaknya dengan alasan yang pertama, dengan Perhutani masuk menanami lahan tersebut nantinya lahan akan berkurang cahanyanya karena terhalang oleh tanaman yang ditanam oleh Perhutani. Yang kedua, dikhawatirkan akan menjadi tempat bersarangnya hewan yang merusak tanaman pertanian untuk keadaan sekarang kan bersih dalam artian tidak ada tanaman pohon walaupun sebenarnya dari luas lahan yang 125 ha itu yang 47 ha sudah ada tanamannya karet. Masyarakat itu dengan pengalaman yang 47 ha karet makanya warga menolak Perhutani masuk. Walaupun masyarakat menolak adanya Perhutani untuk mengolah lahan tersebut tetapi warga masih menghormati aturan hukum disini dibuktikan bahwa tanaman yang sudah ada karet tidak terjadi perubahan atau tidak terjadi kerusakan. Artinya masyarakakat meskipun menolak tetapi mereka masih menaati hukum.”37 Wawancara serupa dilakukan dengan Bapak Wahyudi, Petani (Jagabaya) Desa Surokonto Wetan yang menyatakan bahwa: “Itu lahan perkebunan dulunya yang digarap oleh masyarakat milik Sumur Pitu yang sekarang jadi milik Perhutani karena tukar guling sejak tahun 2015 jadi kawasan hutan. Dulunya milik PT. Sumur Pitu Wringinsari, yang digarap oleh masyarakat, saya sudah lama menggarap lahan tersebut ya sudah lama gampangannya sekitar sepuluh tahun lalu saya menggarap sebelum ada kaitan sama tukar guling aja saya sudah menggarap. Dulu digarap warga semua itu kan namanya ada tumpang sari atau bagi hasil atau 37
Rasyono , Kepala Desa Surokonto Wetan, wawancara, Selasa, 2 Agustus 2016.
bagaimana itu kan ada walaupun berapa pembagiannya kan ada kaitannya dengan Sumur Pitu tumpang sari bagi hasil 1/3 lah gampangannya pembagianya tapi itu intern tergantung masing-masing kesepakatannya dengan Sumur Pitu jadi beda-beda sebagai rasa terimakasih karena itu bukan lahan milik kita. Sosialisasi dari Perhutani menjadi mitra Perhutani memang ada tapi masyarakat masih menolak, karena masyarakat masih ingin meminta lahan tersebut menjadi lahan milik masyarakat sepenuhnya”.38 Meski telah ditetapkan menjadi kawasan hutan, namun masyarakat masih bisa bercocok tanam di lahan yang akan diatur penanamannya. Perhutani memberikan akses kepada masyarakat untuk tetap dapat manfaatkan lahan hutan, dengan tujuan ikut merasa memiliki. Pengukuhan kawasan hutan telah diatur secara jelas didalam Peraturan Menteri Kehutanan dan telah dilakukan sesuai prosedur masih ada masyarakat yang menolak bahwa lahan perkebunan yang dijadikan lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan, kurangnya pemahaman memunculkan stigma negatif yang menjadikan ketidakpercayaan masyarakat terhadap instansi kehutanan seperti Perhutani dan program-program yang dicanangkan oleh Perhutani sehingga menghambat Perhutani untuk mengelola lahan pengganti tersebut.
4.1.4 Status Hak Atas Tanah dari Lahan Pengganti Tukar Menukar Kawasan Hutan atas Nama PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk yang Terletak di Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal Setelah Ditetapkan Sebagai Kawasan Hutan
38
Wahyudi , Petani (jagabaya) Desa Surokonto Wetan, wawancara, Selasa, 2 Agustus 2016.
Dalam prakteknya di dalam kawasan hutan legalitas pemanfaatan tanah adalah melalui izin dari Kementerian Kehutanan, sedangkan diluar kawasan kehutanan, atau yang disebut dengan Area Penggunaan Lain (APL) administrasi dan penguasaan tanah merupakan kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan pemilikan, tetapi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, menetapkan kawasan hutan dan/atau mengubah status kawasan hutan, mengatur dan menetapkan hubungan antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan. Selanjutnya pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan dibidang kehutanan. Di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pada Pasal 5 ayat 3 UU No. 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa penetapan status hutan dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah yang dimaksud di sini adalah pemerintah pusat (Pasal 1 angka 14 UU No. 41 Tahun 1999). Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanan Kehutanan pada Pasal 15 dinyatakan bahwa pengukuhan kawasan hutan diselenggarakan oleh Menteri (dalam hal ini Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Setelah ditetapkan sebagai kawasan hutan melalui Keputusan Menteri tentang penetapan kawasan hutan
yang berasal
dari lahan pengganti
(SK.3021/Menhut-VII/KUH/2014), lahan pengganti dari tukar menukar kawasan
hutan tersebut menjadi wewenang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2010 tentang Perum Kehutanan Negara, kawasan hutan tersebut dikelola oleh Perum Perhutani. Sesuai yang disampaikan oleh Ibu Nuni Harijanto Kepala Sub Pengukuhan Kawasan Hutan Wilayah I, yang dalam wawancaranya mengatakan bahwa: “Dalam kawasan hutan, hutan itu dibagi menjadi dua, hutan negara dan hutan hak. Hutan negara hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah sedangkan Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Hutan negara, hak atas tanahnya tanah negara yang dikelola oleh Kementerian Kehutanan. Setelah ditetapkan sebagai kawasan hutan, lahan pengganti tersebut dikelola oleh Perhutani karena berada di wilayah Jawa berdasarkan kewenangan untuk mengelola hutan jawa menurut PP No.72 Tahun 2010 tentang Perum Kehutanan Negara. Perum Perhutani diberi pelimpahan kewenangan mengelola hutan negara di Jawa untuk hutan produksi dan hutan lindung”.39 Lebih lanjut lagi, Bapak Fadllun, Staff Legal dan Kepatuhan Perum Perhutani Unit I Jateng mengatakan bahwa: “Kawasan hutan negara merupakan wilayah kerja Perum Perhutani merupakan suatu wilayah yang telah ditunjuk dan ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan sebagai hutan tetap. Perum Perhutani diberi pelimpahan kewenangan mengelola hutan negara yang berada di jawa kecuali hutan konservasi. Kewenangan untuk mengelola hutan jawa ini berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2010 pasal 3. Setelah ditetapkan sebagai kawasan hutan maka lahan tersebut beralih menjadi kewenangan Kementerian Kehutanan, berdasarkan UU No.41 Tahun 1999 semua hutan di dalam wilayah Indonesia termasuk kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penguasan hutan oleh memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan”.40
39
Nuni Harijanto, Kepala Sub Pengukuhan Kawasan Hutan Wilayah I, wawancara, Rabu, 25 Mei 2016. 40 Fadllun ,Staff Legal dan Kepatuhan Perum Perhutani Unit I Jateng, wawancara, Selasa, 16 Agustus 2016.
Dari wawancara tersebut, dapat disimpulkan jika memperhatikan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dapat diketahui bahwa rumusan hak menguasai negara atas hutan artinya negara melalui pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan penggunaan, pemanfaataan dan hak atas sumber daya alam yang berupa hutan tersebut dalam lingkup mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Jika merujuk ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dihubungkan dengan teori tentang kewenangan maka pemerintah mendapatkan kewenangan untuk menguasai, mengatur, dan mengurus hutan berdasarkan wewenang atribusi yang diberikan oleh Pembentuk Undang-Undang Kehutanan. Pemerintah atau eksekutif yang direpresentasikan oleh Presiden dalam menjalankan tugas pemerintahannya dibantu oleh para Menteri. Khusus untuk urusan dibidang kehutanan diserahkan kepada Menteri atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sedangkan pengelolaan hutan jawa oleh Perum Perhutani yaitu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara. Perum Perhutani adalah BUMN bidang kehutanan yang diberi pelimpahan kewenangan pengelolaan hutan negara yang berada di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat serta Provinsi Banten kecuali hutan konservasi. Landasan hukum pelimpahan kewenangan pengelolaan hutan ini dapat dilihat pada Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara yang menyatakan sebagai berikut: “dengan Peraturan Pemerintah ini, Pemerintah melanjutkan penugasan kepada Perusahaan untuk
melakukan Pengelolaan Hutan di Hutan Negara yang berada di Provinsi Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Provinsi Banten, kecuali hutan konservasi, berdasarkan prinsip pengelolaan hutan lestari dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik”. Sedangkan untuk pengelolaan kawasan lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan di Desa Surokonto Wetan berdasarkan data sekunder yang didapatkan oleh peneliti adalah sebagai berikut: 1. Kegiatan pengelolaan kawasan hutan: a. Tanaman; b. Pemeliharaan; c. Produksi; d. Keamanan. 2. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan a. Tenaga kerja 1. Tenaga kerja penanaman dan pemeliharaan; 2. Tenaga penyadap karet; 3. Tenaga kerja tebangan. b. Kerjasama pemanfaatan 1) Tumpangsari, tanaman tahun pertama sampai lepas kontrak; 2) Pemanfaatan lahan dibawah tegakan, setelah lepas kontrak. Bagan 4.3 Bagan Hubungan Sinergitas Pendampingan LMDH
Materi Sosialisasi Penetapan Kawasan Hutan di Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal, 27 Mei 2015. 3. Lokasi Gambar 4.2 Lokasi Kawasan Hutan di Desa Surokonto Wetan
Materi Sosialisasi Penetapan Kawasan Hutan di Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal, 27 Mei 2015. 4. Kondisi areal 127,821 Ha a. Tanaman :
No
Jenis Tanaman
1 1 2
2 Karet Karet
Tahun Tanam
Luas (Ha)
3 2011 2009
4 40,30 9,75
Rata-rata Jumlah Pohon Keliling Diameter Tinggi per Ha (cm) (cm) (m) 5 6 7 8 578 23,3 7,4 7,1 660 38,9 12,4 10,9
3 4 5
Jabon Jabon Jabon Jumlah
2009 2009 2009
4,70 1,00 0,90 56,65
1.365 510 390
27,2 38,3 36,4
9,0 12,2 11,6
11,0 15,0 17,7
b. Lahan kosong seluas 71,17 Ha, ditanam palawija jenis jagung. c. Rencana tanaman 2015 67,2 Ha: Gambar 4.3 Rencana Tanam di Kawasan Hutan Desa Surokonto Wetan
Sumber: Materi Sosialisasi Penetapan Kawasan Hutan di Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal, 27 Mei 2015. Kondisi lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan di Desa Surokonto Wetan sampai dengan 2 Agustus 2016 masih berupa ladang jagung dan tanaman karet.
Gambar 4.4 Kawasan Hutan Produksi Tetap di Desa Surokonto Wetan
Sumber: data sekunder, dokumentasi peneliti.
Sumber: data sekunder, dokumentasi peneliti.
Sumber: data sekunder, dokumentasi peneliti.
Sumber: data sekunder, dokumentasi peneliti.
Sumber: data sekunder, dokumentasi peneliti
Sumber: data sekunder, dokumentasi peneliti
4.2 Pembahasan 4.2.1 Pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan dari lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan atas nama PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. yang terletak di Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal Hutan merupakan sumber daya alam yang memiliki nilai strategis dalam pembangunan bangsa dan negara, keterlibatan negara dalam penataan dan pembinaan serta pengurusannya sangat dibutuhkan. Hal ini disebabkan karena hutan merupakan kekayaan alam yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan bahwa, semua hutan didalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kawasan hutan sebagai obyek pengelolaan merupakan aset penting pembangunan nasional, dimana dalam pengelolaannya memiliki dua peran strategis, yaitu: pertama, peran hutan dalam pembangunan ekonomi terutama dalam menyediakan barang dan jasa baik secara langsung maupun tidak langsung yang memberikan kontribusi terhadap pembangunan perekonomian nasional. Kedua, peran hutan dalam pelestarian lingkungan hidup dengan menjaga keseimbangan sistem tata air, tanah dan udara sebagai unsur utama daya dukung lingkungan dalam sistem penyangga kehidupan.
Berdasarkan fungsi pokoknya, Pemerintah menetapkan kawasan hutan menjadi 3 fungsi, yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Dalam perkembangannya, adanya tuntutan pembangunan nasional, dimana kawasan hutan tidak hanya dimanfaatkan untuk pembangunan sektor kehutanan tetapi juga sektor di luar kehutanan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan untuk memenuhi tuntutan tersebut dibatasi pada kawasan hutan dengan fungsi produksi dan lindung sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 pasal 38 ayat (1). Intensitas dan kuantitas penggunaan kawasan hutan dari waktu ke waktu semakin tinggi, sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan nasional, tekanan terhadap sumber daya hutan semakin meningkat. Pemanfaatan hutan merupakan sebuah kegiatan yang berkaitan langsung dengan penggunaan hutan sebagai aset yang dapat dipergunakan atau diambil oleh perorangan atau kelompok dalam masyarakat. Oleh karena itu, khusus pemanfaatan hutan diatur dalam Pasal 21 huruf b Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999, dinyatakan bahwa, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan dengan tujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999, dinyatakan bahwa, pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Dinamika pembangunan nasional berkorelasi terhadap perubahan kawasan hutan, antara lain: a) kebutuhan akan lahan kawasan hutan untuk pembangunan non kehutanan yang semakin luas; b) kebutuhan untuk mengubah fungsi kawasan hutan
sesuai dengan kondisi terkini fungsi kawasan hutan; c) bertambahnya kawasan hutan sebagai akibat sikap konservasionis dan keinginan beberapa pihak terkait untuk menambah luasan kawasan hutan; d) bertambahnya kawasan hutan sebagai konsekuensi kompensasi dari kegiatan sektor nonkehutanan dalam kawasan hutan; e) perubahan kawasan hutan sebagai akibat dari review tata ruang suatu daerah.41 Kebijakan perubahan kawasan hutan dilakukan untuk memenuhi tuntunan dinamika pembangunan nasional dan aspirasi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada optimalisasi distribusi fungsi, manfaat kawasan hutan secara lestari dan berkelanjutan, serta keberadaan kawasan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional. Kebijakan perubahan kawasan hutan dalam pelaksanaannya dapat berbentuk perubahan peruntukan (tukar menukar dan pelepasan), perubahan fungsi (kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan atau sebaliknya), dan penggunaan (izin pinjam pakai) terhadap suatu kawasan hutan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, perubahan peruntukan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang bersifat permanen, dapat dilakukan melalui mekanisme tukar menukar kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan. Pelepasan kawasan hutan dilakukan pada provinsi yang luas kawasan hutannya lebih dari 30% (tiga puluh perseratus), sedangkan untuk provinsi yang luas kawasan hutannya kurang dari 30% (tiga puluh perseratus) dilakukan dengan cara tukar menukar kawasan hutan. Dalam konteks kehutanan, perubahan kawasan hutan
41
Iskandar, Hukum Kehutanan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup dalam Kebijakan Pengelolaan Kawasan Hutan Berkelanjutan , Op.Cit,. hal.155.
tersebut prosedur pemenuhannya telah diatur didalam peraturan perundangundangan sampai dengan peraturan ataupun surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pada Pasal 19 ayat 9 (1) secara tegas menyebutkan bahwa untuk melakukan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan harus didasarkan atas penelitian terpadu yang secara operasional prosedurnya diatur melalui peraturan menteri. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa luas kawasan hutan negara di Provinsi Jawa Tengah ± 20%, dalam hal luas kawasan hutan kurang dari 30% (tiga puluh per seratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional, tukar-menukar kawasan hutan dengan lahan pengganti yang bukan kawasan hutan dilakukan dengan rasio paling sedikit 1:2. Tukar menukar kawasan hutan merupakan perubahan kawasan hutan produksi tetap dan/atau hutan produksi terbatas menjadi bukan kawasan hutan yang diimbangi dengan memasukkan lahan pengganti dari bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan. Tukar menukar kawasan hutan hanya dapat dilakukan pada hutan produksi tetap; dan/atau hutan produksi terbatas. Pada tanggal 11 September 2012 PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. mengajukan permohonan tukar menukar kawasan hutan untuk lokasi plant site di Kabupaten Rembang, lokasi yang dimohon digunakan untuk pembangunan tapak pabrik karena sifatnya permanen maka, mekanismenya menggunakan tukar menukar kawasan hutan dengan lahan pengganti karena luas kawasan hutan di Provinsi Jawa Tengah ± 20% (dua puluh perseratus) atau kurang dari 30% (tiga puluh perseratus). Lokasi plant site TMKH (tukar menukar kawasan hutan)
disetujui seluas ± 57 ha dengan lahan pengganti berupa areal penggunaan lain (APL) seluas ± 125.53 ha di Kabupaten Kendal. Sehingga ratio tukar menukar kawasan hutan yang dilakukan PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. yaitu 1:2, lokasi yang dimohon merupakan kawasan hutan produksi yang terletak di KPH (Kesatuan Pemangku Hutan) Mantingan yang secara administrasi terletak di Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang. Tukar menukar kawasan hutan PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. Sebagai lahan penggantinya PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. mengusulkan lahan pengganti yang berada di Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal. Sesuai dengan Pasal 12 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan letak lahan pengganti terdapat dalam provinsi yang sama dengan lokasi yang dimohon, yaitu di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Prosedur tukar menukar kawasan hutan atas nama PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. dilakukan dalam jangka waktu 2 tahun 4 bulan, dari pengajuan permohonan sampai pada penetapan kawasan hutan lahan pengganti dan pelepasan kawasan hutan yang dimohon. Mekanisme tukar menukar kawasan hutan atas nama PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. menurut hasil penelitian sudah sesuai dengan prosedur yang diatur didalam peraturan perundang-undangan tentang tukar menukar kawasan hutan antara lain: Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Kehutanan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2012, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.32/Menhut-II/2010 tentang Tukar Menukar
Kawasan Hutan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.41/Menhut-II/2012 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan, dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-II/2012 tentang pengukuhan kawasan hutan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/Menhut-II/2013 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Segala persyaratan terkait dengan tukar menukar kawasan hutan telah diuraikan didalam hasil penelitian segala tahapan prosedur menurut peraturan perundang-undangan telah dipenuhi oleh pemohon yaitu, PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. Perubahan kawasan hutan merupakan suatu proses perubahan terhadap suatu kawasan hutan tertentu menjadi bukan kawasan hutan atau menjadi kawasan hutan dengan fungsi hutan lainnya. Perubahan kawasan hutan terjadi akibat perubahan fungsi kawasan hutan menjadi fungsi lainnya, atau perubahan fungsi dalam fungsi pokok kawasan hutan, dan perubahan peruntukan kawasan hutan dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan serta penunjukan parsial areal penggunaan lain menjadi kawasan hutan. Ruang lingkup perubahan kawasan hutan meliputi: a. Perubahan fungsi kawasan hutan; b. Perubahan peruntukan kawasan hutan; c. Penunjukan parsial areal penggunaan lain menjadi kawasan hutan. Tujuan perubahan fungsi kawasan hutan yaitu terwujudnya optimalisasi dan manfaat fungsi kawasan hutan secara lestari dan berkesinambungan. Merujuk pada batasan istilah kebijakan, kawasan hutan dan perubahan kawasan hutan sebagaimana diuraikan di atas, dapat dikemukakan bahwa batasan atau ruang lingkup kebijakan perubahan kawasan hutan yang dimaksudkan yaitu,
suatu tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah terkait dengan pengelolaan kawasan hutan, khususnya tindakan mengubah peruntukan, mengubah fungsi dan atau mengubah penggunaan suatu kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan atau bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan, dan atau mengubah penggunaan suatu kawasan hutan untuk kepentingan lain di luar bidang kehutanan, dengan maksud agar dapat dicapai manfaat yang optimal dari suatu kawasan hutan dan atau lahan yang bukan kawasan hutan. Secara yuridis perubahan peruntukan, fungsi, dan penggunaan kawasan hutan memang dimungkinkan, kawasan-kawasan lindung yang sebelumnya sudah ditetapkan, diubah menjadi kawasan budidaya yang dapat digunakan untuk permukiman dan pemanfaatan lain. Misalnya saja di Pulau Jawa, perubahan tata ruang terjadi secara besar-besaran hingga kawasan hutan hanya tinggal 18% dari luas total Pulau Jawa, padahal Kementerian Kehutanan mensyaratkan minimal terdapat 30% kawasan hutan dalam satu wilayah.42 Pembangunan yang terus berjalan guna mencapai kesejahteraan bangsa, sangat penting untuk diperhatikan yaitu bagaimana mengatur pemanfaatan kawasan hutan yang tepat, terkait dengan manfaat secara ekonomi dan sosialnya tanpa meninggalkan fungsi ekologisnya. Dalam kebijakan, harus betul-betul dipertimbangkan seberapa besar nilai manfaat yang bisa didapatkan dengan adanya perubahan peruntukan, fungsi dan penggunaan kawasan hutan, karena bila tidak, maka yang terjadi justru mendatangkan bencana lingkungan yang lebih besar. Aspek lain yang tidak kalah pentingnya yaitu
42
Iskandar, et al., Kebijakan Perubahan Kawasan Hutan dalam Pengelolaan Berkelanjutan, Op.Cit., hal.22.
penegakan
hukum
terhadap
pelanggaran
peraturan
perundang-undangan,
penyalahgunaan wewenang dan atau perbuatan melanggar prinsip hukum pelestarian fungsi lingkungan hidup. Berkenaan dengan kebijakan perubahan kawasan hutan dimaksud, para pengambil keputusan hendaknya mengubah cara pandang dan tindakan dalam pengelolaan kawasan hutan, sehingga kebijakan perubahan kawasan hutan tidak hanya berorientasi pada aspek ekonomi semata, tapi juga memperhatikan aspek sosial dan yang lebih penting lagi yaitu aspek lingkungan hidup. Secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Dengan perkataan lain proses pembangunan merupakan proses memanusiakan manusia. Di Indonesia dan di berbagai negara berkembang, istilah pembangunan seringkali lebih berkonotasi fisik, artinya melakukan kegiatan membangun yang bersifat fisik, bahkan seringkali secara lebih sempit diartikan sebagai membangun infrastruktur/fasilitas fisik. Pengertian dari "pemilihan alternatif yang sah" dalam definisi pembangunan diatas diartikan bahwasannya upaya pencapaian aspirasi tersebut dilaksanakan sesuai dengan hukum yang berlaku atau dalam tatanan kelembagaan atau budaya yang dapat diterima. Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Jadi pada hakikatnya
pembangunan ini harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok sosial yang ada di dalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material maupun spiritual.43 Pada masa sekarang dan yang akan datang, diperlukan adanya pendekatan perencanaan pembangunan pada umumnya dan pembangunan kawasan hutan pada khususnya yang berbasis pada hal- hal berikut: 1. Sebagai bagian dari upaya memenuhi kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan; 2. Menciptakan keseimbangan pembangunan antarwilayah; 3. Menciptakan keseimbangan pemanfaatan sumber daya hutan pada masa sekarang dan masa yang akan datang (pengelolaan hutan berkelanjutan); dan 4. Disesuaikan dengan kapasitas pemerintah dan masyarakat untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun secara konsisten. Dengan demikian, kiranya dalam pengelolaan kawasan hutan termasuk pemanfaatan hutan, pendekatan sistem ini menjadi penting. Hal ini mengingat persoalan kehutanan, terlebih lagi terkait dengan kebijakan perubahan peruntukan, fungsi, dan penggunaan kawasan hutan, sudah dapat dipastikan akan berpengaruh pada berbagai komponen sistem yang lain. Oleh karena itu, pertimbangan
43
Ibid., hal.27-28.
lingkungan dengan segala aspek terkait di dalamnya harus senantiasa menjadi perhatian seluruh stakeholders sebagai pelaku pembangunan dan pengambil keputusan. Pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan dari lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan atas nama PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. yang terletak di Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal yang sebelumnya bukan kawasan hutan ditetapkan sebagai kawasan hutan dilakukan melalui mekanisme pengukuhan kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan merupakan kegiatan yang sangat penting dalam bidang kehutanan. Pengukuhan kawasan hutan bertujuan untuk memberikan kepastian hukum mengenai status, fungsi, letak, batas, dan luas kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan merupakan cara untuk membentuk hutan tetap yang legal dan legitimate. Legalitas kawasan hutan terpenuhi ketika seluruh proses pengukuhan kawasan hutan yang meliputi penunjukan, penataan batas, hingga penetapan telah diselesaikan. Ini berarti bahwa yang disebut kawasan hutan secara hukum adalah kawasan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, bukan sekedar kawasan yang ditunjuk. Ada tiga tahap dalam melakukan pengukuhan kawasan hutan, yaitu: tahap penunjukan, tahap penataan, dan tahap penetapan. Pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan dari lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan yang terletak di Desa Surokonto Wetan berdasarkan tahapan kegiatan pengukuhan kawasan hutan yang telah diuraikan dalam hasil penelitian jika dikaitkan dengan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti, peneliti menyimpulkan bahwa secara yuridis
pengukuhan kawasan hutan dari lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan telah sesuai dengan tahapan yang diatur didalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-II/2012 tentang pengukuhan kawasan hutan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/Menhut-II/2013 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.3021/Menhut-VII/KUH/2014 mengenai penetapan lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan yang terletak di Desa Surokonto Wetan, bahwa lahan tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi pada bagian hutan kalibodri seluas 127,821 hektar. Berdasarkan hasil penelitian, hak atas tanah yang dapat dijadikan sebagai lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan adalah hak guna usaha sebab, hak guna usaha dapat secara konvensional dapat dijadikan hutan, selain itu luasan tanah hak guna usaha memenuhi untuk dijadikan sebagai kawasan hutan. Namun, dalam peraturan menganai ketentuan lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan tidak diatur secara spesifik jenis hak atas tanah yang dapat dijadikan lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan hanya dalam Pasal 12 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2012, lahan pengganti wajib memenuhi persyaratan: a. letak, luas, dan batas lahan penggantinya jelas; b. dihapus; c. terletak dalam daerah aliran sungai, provinsi atau pulau yang sama; d. dapat dihutankan kembali dengan cara konvensional; e. tidak dalam sengketa dan bebas dari segala jenis pembebanan dan hak tanggungan; dan f. rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota. Berbeda dengan hutan hak yang disebutkan secara jelas jenis hak atas tanah hak yang diakui
sebagai hutan hak, Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 menyebutkan hak atas tanah yang dimaksud hak milik, hak guna usaha dan hak pakai. Lahan pengganti tukar menukar di Desa Surokonto Wetan tersebut pada awalnya merupakan hak atas tanah dengan sertifikat hak guna usaha atas nama PT. Sumur Pitu Wringinsari. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Kehutanan, tanah hak untuk calon lahan pengganti baik yang terdaftar maupun yang belum terdaftar dilakukan pelepasan hak dengan memberikan ganti rugi, sedangkan terhadap tanah hak untuk calon lahan pengganti yang sudah terdaftar dilakukan pencoretan di buku tanah dan sertifikatnya. Pelepasan hak atas tanah dilakukan setelah ada kesepakatan dalam musyawarah mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi. Pelepasan hak atas tanah oleh pemegang haknya dibuat dengan akta Notaris. Dengan pelepasan hak atas tanah tidak berakibat hak atas tanah berpindah kepada perusahaan swasta, akan tetapi hak atas tanah menjadi hapus dan kembali menjadi tanah Negara. Ketentuan hukum positif yang menunjukan bahwa pelepasan hak atas tanah merupakan hapusnya hak atas tanah dan tanahnya kembali menjadi tanah negara, yaitu44: a. Pasal 27 huruf a angka 2 UUPA, Hak Milik hapus bila tanahnya jatuh kepada Negara karena penyerahan secara sukarela oleh miliknya;
44
Urip Santoso, Pelepasan Hak Atas Tanah untuk Kepentingan Perusahaan Swasta, Jurnal Perspektif Volume XV No.3 Tahun 2010 Edisi Juli, hal. 332.
b. Pasal 34 huruf c UUPA, Hak Guna Usaha hapus karena dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; c. Pasal 40 huruf c UU Hak Guna Bangunan hapus karena dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; d. Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Hak Guna Usaha hapus karena dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangaka waktunya berakhir; e. Pasal 35 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, Hak Guna Bangunan atas tanah negara hapus karena dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; Namun dalam praktik pemegang hak atas tanah berkedudukan sebagai pihak yang melepaskan hak atas tanah sedangkan pihak lain sebagai pihak yang menerima pelepasan hak atas tanah. Begitu juga dengan ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam akta pelepasan hak atas tanah yang dibuat oleh notaris yaitu (a) Judul akta pelepasan hak atas tanah; (b) Nomor akta pelepasan hak atas tanah; (c) saat dilakukan pelepasan hak atas tanah (hari, tanggal, bulan, dan tahun); (d) Nama notaris yang membuat akta pelepasan hak atas tanah; (e) Pihak yang melepaskan hak atas tanah yaitu, nama, tempat tanggal lahir, pekerjaan, alamat, nomor kartu tanda penduduk; (f) pihak yang menerima pelepasan hak atas tanah yaitu, nama, tempat tinggal, lahir, pekerjaan, alamat, nomor kartu tanda penduduk; (g) hak atas tanah yang dilepaskan oleh pegang haknya, yaitu status hak atas tanah, tanda bukti hak atas tanah (bersertifikat atau belum bersertifikat), luas tanah (m2), letak tanah
(Jalan, Kelurahan/Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi), dan batas-batas tanah yang dilepasan (utara, selatan, timur, dan barat); (h) Besarnya ganti kerugian yang diserahkan; (i) Akibat hukum pelepasan hak atas tanah adalah hak atas tanah selanjutnya dapat diberikan kepada penerima yang memberi ganti kerugian; (j) Jaminan dari pihak yang melepaskan hak atas tanah, yaitu pihak melepaskan hak atas tanah adalah benar-benar pemilik atau pemegang hak atas tanah, tanah yang dilepaskan tidak sedang dalam keadaan sengketa (gugatan), tidak sedang dalam jaminan kepada pihak lain, dan tidak dalam sitaan pihak lain; (k) Pihakpihak yang menandatangani akta pelepasan hak atas tanah yaitu notaris, pihak yang melepaskan hak atas tanah, pihak yang menerima pelepasan hak atas tanah, dan dua orang saksi.45 Berdasarkan Akta Pelepasan Hak Atas Tanah dengan Ganti Rugi No.14 tanggal 14 Maret 2013 PT. Sumur Pitu Wringinsari berkedudukan di Kota Semarang yang melepaskan hak atas tanah Hak Guna Usaha No.9/Desa Surokonto Wetan, seluas 1.255.300 m2 kepada PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. berkedudukan di Kabupaten Gresik, untuk dipergunakan sebagai lahan pengganti tukar menukar kawasan antara PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. dengan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia sebagai kawasan hutan. Setelah itu serifikat HGU No.9 menjadi hapus berdasarkan surat dari kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Tengah No.0731/9-33/1/2013 tanggal 7 Februari 2013 perihal permohonan izin peralihan hak atas nama PT. Sumur Pitu Wringinsari yang melepaskan hak atas tanah Hak Guna Usaha No.9/Desa Surokonto Wetan, seluas 1.255.300 m2 kepada PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk.
45
Ibid., hal.333.
Tanah milik atau tanah hak lainnya yang diserahkan kepada Kementerian Kehutan sebagai lahan pengganti dalam tukar menukar yang akan dijadikan kawasan hutan, maka Menteri langsung menunjuk sebagai kawasan hutan untuk menjamin kepastian hukum atas status lahan pengganti. Penyerahan ini menandakan bahwa dalam kawasan hutan yang telah ditunjuk tidak ada hak atas tanah lagi. Penataan batas dilakukan dengan dua cara. Cara pertama adalah pembuatan batas antara kawasan hutan dan bukan kawasan hutan, atau dikenal dengan batas luar. Yang kedua adalah penataan batas antar fungsi kawasan hutan atau dikenal sebagai batas fungsi. Penataan batas meliputi dua tahap. Yang pertama dimulai dengan pembuatan peta trayek batas dan pemancangan batas sementara. Hal ini kemudian diikuti dengan pengumuman hasil pemancangan batas sementara kepada masyarakat di sekitarnya. Inventarisasi, identifikasi dan penyelesaian hak-hak masyarakat dilakukan setelah itu. Hasil dari negosiasi terhadap klaim itu dituangkan kedalam berita acara pembahasan dan persetujuan hasil pemancangan batas sementara yang ditandatangani para pihak. Tahap kedua kemudian berlanjut dengan pengukuran batas tetap yang telah disetujui para pihak. Setelah itu pemerintah memasang tanda batas tetap dan memetakan batas-batas tersebut. Berita acara acara tata batas (BATB) dan peta tata batas yang lain ditandatangani. Setelah proses ini selesai dan dilaporkan, Menteri Kehutanan mengesahkannya kedalam keputusan menteri mengenai penetapan kawasan hutan. Kewenangan menetapkan kawasan hutan berada pada Menteri (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan) sesuai laporan yang disampaikan oleh Panitia Tata Batas Kawasan Hutan.
Dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 dinyatakan bahwa, Menteri menetapkan Kawasan Hutan didasarkan atas Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan dan Peta Tata Batas Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada yang telah temu gelang. Dalam hal penataan batas kawasan hutan temu gelang tetapi masih terdapat hak-hak pihak ketiga yang belum diselesaikan, maka kawasan hutan tersebut ditetapkan oleh Menteri dengan memuat penjelasan hak-hak yang ada di dalamnya untuk diselesaikan oleh Panitia Tata Batas yang bersangkutan. Hasil penetapan kawasan hutan dimaksud terbuka untuk diketahui masyarakat. Tahap penetapan kawasan hutan merupakan momentum yang sangat penting didalam penentuan status hukum kawasan hutan. Status hukum kawasan hutan dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan. Surat keputusan itu memuat status hukum kawasan hutan, apakah hutan lindung, hutan produksi, atau hutan konservasi. Di samping itu juga memuat tentang luas, batas, dan lokasi kawasan hutan. Ada dua ciri khas kawasan hutan, yaitu: (1) adanya penetapan dari Menteri Kehutanan yang dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan, dan (2) telah ada penetapan batas kawasan hutan. Ada dua konsekuensi logis adanya penetapan Menteri Kehutanan. Pertama, mewajibkan Pemerintah c.q. Menteri Kehutanan untuk mengurus dan melindungi kawasan hutan sehingga kawasan itu dapat berfungsi dengan baik. Kedua, mewajibkan kepada masyarakat untuk berperan serta dalam perlindungan hutan. Tujuan pengaturan penetapan kawasan hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan yaitu: a). Menjaga dan mengamankan keberadaan dan kebutuhan kawasan hutan sebagai penggerak perekonomian lokal, regional dan nasional, serta
sebagai penyangga kehidupan lokal, regional, nasional dan global; b). Terwujudnya kepastian hukum atas kawasan hutan, serta optimalisasi pemanfaatan lahan/hutan dalam rangka pembangunan nasional, sektoral dan daerah.
4.2.2
Hambatan dalam pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan dari lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan atas nama PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk yang terletak di Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal Pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan dari lahan pengganti tukar
menukar kawasan hutan atas nama PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk yang terletak di Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal secara umum telah sesuai dengan prosedur peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hambatan yang dialami yaitu pada tahap pengelolaan lahan pengganti setelah ditetapkan sebagai kawasan hutan, terjadi penolakan oleh sekelompok masyarakat Desa Surokonto Wetan. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian, ketika dilakukan pemancangan batas sementara, sebagian besar masyarakat menolak. Hal ini disebabkan patok batas itu berada di lahan-lahan dimana terdapat sawah dan kebun mereka, namun telah dilakukan pembetulan yang dicantumkan berita acara kesepakatan bahwa tapal batas yang saat ini ditanam telah sesuai. Penataan batas dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan masyarakat, kegiatan penanaman tapal batas hanya melibatkan perwakilan perangkat desa yaitu Kepala Desa. Menurut informasi dari masyarakat, sebelum adanya tukar menukar
kawasan hutan antara PT. Semen Indonesia dengan Perhutani lahan pengganti tersebut merupakan lahan perkebunan milik PT. Sumur Pitu Wringinsari dengan sertifikat hak guna usaha yang sudah lama dikelola warga dengan perjanjian bagi hasil 1/3 untuk perusahaan (PT. Sumur Pitu Wringinsari) dan 2/3 untuk penggarap, dari luas lahan ± 125 ha, 47 ha merupakan tanaman karet kemudian sisanya dikelola oleh masyarakat Desa Surokonto Wetan. Sebagian warga Desa Surokonto Wetan menggantungkan hidupnya pada lahan perkebunan tersebut, terdapat tiga dusun dari total lima dusun di Desa Surokonto Wetan yang terlibat langsung dalam pemanfaatan lahan perkebunan yaitu, Dusun Krajan, Dusun Sekecer, dan Dusun Sempulawang. Diadakannya sosialisasi setelah lahan pengganti tersebut telah ditukar gulingkan, sehingga masyarakat kaget ketika lahan perkebunan tersebut akan menjadi kawasan hutan. Setelah dilakukan penataan batas sementara di lapangan. Proses ini membuat masyarakat yang terkena penataan batas resah karena tempat mereka mencari penghidupan di lahan pengganti tersebut. Meskipun sosialisasi telah diadakan sebanyak 4 kali namun sebagian masyarakat masih menolak kalau lahan tersebut menjadi kawasan hutan. Ketergantungan sebagian masyarakat terhadap lahan pengganti tersebut yang menimbulkan ketakutan kehilangan mata pencaharian dalam mengolah lahan tersebut telah disampaikan oleh Perhutani selaku pengelola kawasan hutan dari lahan pengganti, Perhutani tidak akan mengusir masyarakat yang memanfaatkan lahan tersebut warga masih dapat memanfaatkan lahan tersebut tetapi nantinya ada jarak tertentu karena nantinya Perhutani juga akan menanam tanaman produksi mereka dengan jarak tertentu,
artinya Perhutani/KPH Kendal masih bisa mengolah lahan tersebut mematuhi perintah dari Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan dan masyarakat juga masih bisa menggarap lahan tersebut Perhutani tidak akan mengusir masyarakat tetapi masyarakat tidak mau mereka sudah nyaman sudah cocok dengan keadaan yang terbuka. Dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.3021/Menhut-VII/KUH/2014 tentang penetapan kawasan hutan lahan pengganti, sebenarnya sudah sah menjadi kawasan hutan yang di kelola oleh Perhutani tetapi, namun pada waktu peneliti melakukan penelitian di kawasan hutan dari lahan pengganti Desa Surokonto Wetan Perhutani belum mengolahnya dan masih diolah oleh warga sepenuhnya, lahan yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut masih berupa hamparan ladang jangung, tanaman karet, dan singkong. Sosialiasi yang diadakan sampai saat ini belum diterima oleh masyarakat artinya masyarakat belum menerima kalau lahan pengganti tersebut menjadi kawasan hutan. Peneliti menyimpulkan bahwa pada pengukuhan kawasan hutan, masalah terbesar dalam peraturan yang ada adalah soal penyampaian informasi dan penanganan keberatan dari masyarakat. Pengumuman tentang penataan batas kawasan hutan dilakukan setelah pemancangan batas sementara. Semestinya untuk menghindari konflik penyampaian informasi ini dilakukan sebelumnya, atau paling tidak pada saat rencana penataan batas dibuat. Penanganan keberatan terhadap hasil penataan batas kawasan hutan tidak diatur secara rinci. Dengan demikian tidak ada standar penanganan keberatan dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Penyampaian informasi mengenai penataan batas diatur oleh Permenhut No.
P.44/Menhut-II/2012. Setelah batas sementara dipancangkan barulah dilakukan pengumuman kepada masyarakat di sekitarnya. Dengan cara ini maka negara menyatakan terlebih dahulu klaimnya terhadap tanah yang akan dijadikan kawasan hutan setelah itu warga negara membuktikan hak-haknya atas tanah untuk memperoleh kembali tanah itu. Tidak ada pengaturan yang mewajibkan penyampaian informasi rencana tata batas di awal kegiatan atau sebelum batas sementara dipancangkan. Dan tidak ada pengaturan mengenai waktu serta media yang digunakan untuk penyampaian informasi atau pengumuman. Meskipun telah diadakan beberapa kali sosialisasi yang menjelaskan pengalihan hak pengelolaan dan akibat hukum dari penetapan lahan pengganti menjadi kawasan hutan karena tukar menukar kawasan yang dilakukan PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. namun belum mencapai kesepakatan antara masyarakat dengan Perum Perhutani. Belum adanya kesepakatan penyelesaian terhadap masyarakat yang sudah lama tergantung pada lahan pengganti menjadikan hambatan bagi Perum Perhutani untuk mengelola kawasan hutan produksi tersebut sehingga membuat transfer persoalan sosial dari PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Panitia Tata Batas yang kurang melibatkan masyarakat memicu keresahan warga yang menimbulkan lahirnya pertentangan. Dalam kegiatan tata batas, kepentingan masyarakat hanya direpresentasikan oleh kepala desa/kepala lurah. Konflik sosial antara masyarakat dan pemerintah dalam hal legitimasi terletak pada soal penyampaian informasi dan penanganan keberatan dari masyarakat.
Pengumuman tentang penataan batas kawasan hutan dilakukan setelah pemancangan batas sementara. Sementara antar anggota Panitia Tata Batas adalah persoalan informasi dan pengetahuan fakta lapangan. Tata batas secara sepihak oleh pemerintah memberi bukti bahwa proses pengukuhan kawasan hutan kurang menghargai hak-hak dan keberadaan masyarakat, padahal kepastian penguasaan dan kepemilikan hak-hak masyarakat menjadi faktor paling ampuh untuk mengelola sumberdaya alam. Dan Tidak adanya pengaturan yang jelas dan rinci mengenai mekanisme keberatan dari masyarakat atau pihak ketiga terhadap hasil penataan batas. Permenhut No. P.44/Menhut-II/2012 jo Permenhut No. P.62/Menhut-II/2013 mengatur mengenai penyelesaian hak-hak pihak ketiga, tetapi dalam pengaturan itu tidak diatur bagaimana keberatan ditangani. Peraturan Menteri ini hanya mengatur tentang bukti-bukti klaim dan cara penyelesaian klaim. Informasi mengenai status pengukuhan kawasan hutan, perubahan peruntukan dan perubahan fungsi termasuk ke dalam kategori informasi yang tersedia setiap saat (Permenhut No. P.7/Menhut-II/2011). Informasi mengenai penunjukan kawasan hutan telah tersedia. Demikian pula informasi perihal penetapan kawasan hutan meskipun masih terbatas. Meskipun demikian, Permenhut No. P.7/Menhut-II/2011 menyatakan pula adanya informasi yang dikecualikan yaitu data dan informasi yang masih dalam tahap pengolahan atau penyelesaian. Data mengenai berita acara tata batas kawasan hutan yang belum ditetapkan dianggap sebagai data yang dikecualikan. Hal ini menyulitkan publik mengetahui proses penataan batas termasuk persetujuan atau keberatan masyarakat terhadap penataan batas yang biasanya terekam dalam berita acara tata batas.
Kompleksitas yang terjadi dalam pengelolaan kawasan hutan ini merupakan fakta yang merupakan keniscayaan yang dapat menjadi pertimbangan dalam hal menentukan pilihan kebijakan yang mengesampingkan unsur pelanggaran pidana. Kondisi ini tentunya menyulitkan aparat kehutanan dan aparat penegak hukum dalam menyelesaikan secara tuntas pelanggaran dan pidana dalam pengelolaan kawasan hutan, di satu sisi kegiatan menduduki kawasan hutan berdimensi pidana, di sisi lain karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan agar tidak berindikasi pada perampasan hak-hak lokal, maka memberi peluang untuk diselesaikan melalui kepentingan publik, sosial dan keperdataan. Kepastian hukum
dan legitimasi dapat
ditempuh apabila diikuti
pengelolaan dan pengawasan yang baik dari pemerintah, penguatan kapasitas masyarakat, membangun kemitraan antara masyarakat dengan pemerintah untuk memperbaiki rezim kepemilikan dan melibatkan institusi sosial yang ditumbuhkan oleh komunitas atau kelompok. Pengelolaan sumberdaya alam berbasis pada pengetahuan masyarakat lokal jauh lebih baik dibandingkan dengan penguasaan hutan berbasis tata kelola negara karena tindakan negara didasarkan atas dualisme kepentingan, yaitu kelestarian hutan dan pemanfaatan hutan sesuai mekanisme pasar.46 Dengan demikian, diperlukan kemitraan antara negara dan masyarakat, pelibatan masyarakat dalam proses tata batas dan perbaikan rezim kepemilikan untuk mewujudkan kepastian hukum dan pengakuan para pihak atas kawasan hutan.
46
Rahmawati dalam Kepastian Hukum dan Pengakuan Para Pihak Hasil Pengukuhan Kawasan Hutan Negara di Provinsi Riau, Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 12 No. 1, April 2015, hal. 28
Peneliti berpandangan bahwa legitimasi akan diperoleh melalui proses yang adil dan terbuka, yaitu proses yang menghormati semua hak atas tanah. Selain itu, pengukuhan juga perlu dilakukan dengan basis data dan informasi yang transparan menunjukkan betapa pentingnya perbaikan proses pengukuhan kawasan hutan dengan memperhatikan pelibatan penuh masyarakat, perlindungan hak masyarakat disekitar kawasan hutan, penyelesaian konflik tenurialnya dan perbaikan koordinasi dan komunikasi antar institusi pemerintah. Tanpa itu, tidak akan ada kawasan hutan yang legal dan legitimate. Legal berarti secara hukum sudah mengikuti tata aturan yang sudah ditetapkan (baik secara prosedural maupun subtansinya) dan legitimate artinya adanya pengakuan dan penerimaan dari pihak lain atas tata batas dan keberadaan kawasan hutan tersebut. Kawasan hutan yang legal dan legitimate ini memberikan kepastian hukum tidak hanya nagi negara c.q. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tetapi juga bagi masyarakat sekitar hutan dan pemegang izin usaha kehutanan. Identifikasi penggunaan dan kepemilikan lahan oleh masyarakat di sekitar kawasan hutan wajib dilakukan, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat sendiri.
4.2.3
Status hak atas tanah dari lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan atas nama PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk yang terletak di Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal setelah ditetapkan sebagai kawasan hutan Lahan pengganti dari tukar menukar kawasan hutan atas nama PT. Semen
Indonesia (Persero) Tbk yang terletak di Desa Surokonto Wetan, setelah ditetapkan
sebagai kawasan hutan produksi melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.3021/Menhut-VII/KUH/2014, menjadi kewenangan Kementerian Kehutanan, selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2010 tentang Perusahaan Kehutanan Negara, kawasan hutan tersebut dikelola oleh Perum Perhutani. Penetapan lahan pengganti menjadi kawasan hutan produksi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan, memliki arti bahwa kawasan hutan tersebut merupakan hutan negara dengan fungsi pokok sebagai hutan produksi. Hutan negara merupakan hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah, lahan pengganti tukar menukar kawasan hutan yang sebelumnya merupakan hak atas tanah dengan Hak Guna Usaha status hak atas tanah telah dihapus menjadi tanah negara, sehingga sudah tidak dibebani hak atas tanah lagi. Pada prinsipnya status tanah negara baik pada masa pemerintah Hindia Belanda maupun pada masa pemerintahan RI, wewenang pemberian hak atas tanah negara ada pada negara, jika masa pemerintahan Hindia Belanda yang diwakili oleh Gubernur Jenderal, setelah merdeka wewenang pemberian hak atas tanah negara ada pada Menteri selaku pejabat Negara yang mendapatkan wewenang pendelegasian dari Presiden. Dan selanjutnya menteri atau pejabat yang memperoleh delegasi dari presidan melimpahkan tugas dan wewenang tersebut kepada pejabat jajaran yang ada dibawahnya. Terkait dengan kebijakan pertanahan di Indonesia terdapat dualisme kepengurusan, didalam kawasan hutan legalitas pemanfaatan tanah adalah melalui izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sedangkan diluar
kawasan kehutanan, atau yang disebut dengan Areal Penggunaan Lain (APL) administrasi dan penguasaan tanahnya merupakan kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sehingga sering muncul pendapat dari kalangan pakar Hukum Tanah nasional yang mengatakan bahwa penguasaan hutan oleh Kementerian Kehutanan hanya terbatas pada penguasaan pohonnya/tegakannya saja dan bukan pada tanahnya, salah satu pendapat tersebut dikutip dibawah ini: “Dengan adanya Undang-Udang Nomor 5 Tahun 1967, yang telah diganti dengan undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hukum tanah nasional ditafsirkan sebagai tidak berlaku terhadap tanah-tanah yang berada di kawasan hutan. Padahal hukum tanah nasional menurut hukum berlaku untuk semua tanah di wilayah negara, seperti dapat disimpulkan dari Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan Tugas Keagrariaan dengan Bidang Tugas Kehutanan, Pertambangan, Transmigrasi, dan Pekerjaan Umum. Hak pengusahaan yang ada pada Menteri yang membidangi kehutanan, sebenarnya hanya mengenai hutan, dalam arti tegakan-tegakan, yang ada di kawasan hutan. Tidak meliputi kewenangan mengenai tanahnya. Kiranya kewenangan mengenai tanah kawasan hutan yang sekarang kenyataannya dilaksanakan oleh Menteri Tersebut, dapat diberikan landasan hukumnya dengan diberikan hak pengelolaan kepada Departemen yang bidangnya meliputi urusan kehutanan”47 Menurut pendapat peneliti, bahwa pengelolaan hutan beserta tanah yang berada di kawasan hutan merupakan kewenangan Kementerian yang membidangi urusan kehutanan. Kewenangan mengatur oleh Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dapat diketahui bahwa rumusan hak menguasai negara atas hutan artinya negara melalui pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan penggunaan, pemanfaataan dan hak atas sumber daya alam yang berupa hutan tersebut dalam lingkup mengatur, mengurus,
47
Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2007) hal. 52-53, seperti dikutip oleh Bambang Eko Supriyadi, Hukum Agraria Kehutanan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014), hal.79.
mengelola, dan mengawasi pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Jika merujuk ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dihubungkan dengan teori tentang kewenangan maka pemerintah mendapatkan kewenangan untuk menguasai, mengatur, dan mengurus hutan berdasarkan wewenang atribusi yang diberikan oleh Pembentuk Undang-Undang Kehutanan. Pemerintah atau eksekutif yang direpresentasikan oleh Presiden dalam menjalankan tugas pemerintahannya dibantu oleh para Menteri. Khusus untuk urusan dibidang kehutanan diserahkan kepada Menteri atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Memang dalam Undang-Undang Kehutanan tidak ditemukan rumusan yang secara tegas menyatakan bahwa Menteri atau Kementerian Kehutanan menguasai tanah hutan, jika merujuk pada konstruksi Undang-Undang Kehutanan, penguasaan hutan (tentu termasuk tanahnya) adalah domain negara, bukan pemerintah.48 Pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia mengacu pada ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam, sebagaimana tercermin dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Negara menguasai sumber daya alam yang terkandung didalamnya termasuk hutan yang dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 2 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang menegaskan hak menguasai dari negara. Pelaksanaan hak menguasai oleh negara ini, sebagian kewenangannya dapat diberikan dengan penguasaan
48
Bambang Eko Supriyadi, Hukum Agraria Kehutanan, Op.cit, hal.78.
kepada daerah (medebewind) dan kepada pejabat pusat yang berada di daerah (dekonsentrasi), dan sebagian kewenangan yang bersumber pada hak menguasai oleh negara dapat dilimpahkan kepada, Departemen, Lembaga Pemerintah NonDepartemen, masyarakat hukum adat, badan hukum tertentu dengan hak pengelolaan, salah satunya adalah dilimpahkan kepada Departemen Kehutanan/ Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dalam prinsip hak menguasai negara, berkenaan dengan hubungan antara negara dan masyarakat, maka masyarakat tidak dapat disubordinasikan kedudukannya dibawah negara karena negara justru menerima kuasa dari masyarakat untuk mengatur tentang peruntukan, persediaan dan penggunaan tanah, serta hubungan hukum dan perbuatan hukum yang bersangkutan dengan tanah. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa: “Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan”. Pada pasal ini menjelaskan adanya suatu hamparan lahan. Lahan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pula tanah. Selain itu merujuk kepada pengertian hutan dalam Pasal 1 angka 2 tersebut, antara lahan dan pepohonan merupakan bagian yang tidak terpisahkan, karena dikatakan dalam rumusan itu sebagai “suatu kesatuan ekosistem”. Selanjutnya pada Pasal 1 anga 3 disebutkan bahwa49:
49
Ibid., hal.85.
“Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”. Kata/istilah wilayah juga menunjukan suatu daerah. Pengertian daerah jelas pula terkandung adanya tanah. Lebih lanjut dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 disebutkan: 1) Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 2) Penguasaan hutan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada Pemerintah untuk: a) Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan. b) Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan. c) Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Dari ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Kehutanan ini kita bisa melihat bahwa semua hutan diwilayah Republik Indonesia dikuasai oleh negara. Penguasaan oleh negara ini kemudian dilimpahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini adalah eksekutif (Presiden). Presiden dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh sebuah Kabinet yang terdiri atas menteri-menteri. 50
50
Ibid., hal.86.
Menafsirkan dan menyimpulkan Hukum Tanah Nasional menurut hukum yang berlaku untuk semua tanah di wilayah negara, termasuk tanah dalam kawasan hutan, dengan mendasarkan pada Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan Tugas Keagrariaan dengan Bidang Tugas Kehutanan, Pertambangan, Transmigrasi, dan Pekerjaan Umum, kurang tepat tidak seyogianya ketentuan yang mengatur tentang penguasaan tanah kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan yang sudah tercantum dengan tegas dalam Undang-Undang Kehutanan, dikesampingkan dengan Instruksi Presiden, suatu produk hukum yang hierarkinya di bawah Undang-Undang.51 Perbedaan sudut pandang tersebut disebabkan karena masing-masing pihak berpijak mengacu pada ketentuan dan dasar hukum yang berbeda. Disatu sisi dasar hukum yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan peraturan pelaksanaannya, sedangkan disisi Kementerian Kehutanan didasarkan kepada ketentuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan beserta peraturan pelaksanaannya. Perbedaan pandangan tersebut lebih disebabkan dari penerapan Hak Menguasai Negara yang ada pada undang-undang sektoral yang mengatur sumber daya alam. Seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan lain-lain. Lebih lanjut lagi menurut Achmad Sodiki menjelaskan bahwa inti masalah adalah pada Hak Menguasai Negara yang diterapkan pada undang-undang
51
Ibid.,
sektoral tidak menunjukkan kesamaan penafsiran tentang isi dan batas-batasnya. Sehingga terkesan adanya tumpang tindih kewenangan. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum, baik yang berupa kepastian dalam hukum dan kepastian karena hukum.52 Karena status kawasan hutan menjadi kawasan hutan produksi dan letaknya di Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah. Maka pengelolaan hutan dilakukan oleh Perum Perhutani berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara. Perum Perhutani diberi pelimpahan kewenangan pengelolaan hutan negara yang berada di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, serta Provinsi Banten kecuali hutan konservasi. Selain Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara, landasan hukum Perum Perhutani dalam melaksanakan pengelolaan hutan dapat ditemukan dalam penjelasan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang meyatakan: “Pengelolaan hutan pada dasarnya merupakan kewenangan pemerintah (pusat) dan atau pemerintah daerah, namun mengingat berbagai kekhasan daerah serta kondisi sosial dan lingkungan yang sangat berkaitan dengan kelestarian hutan dan kepentingan masyarakat luas yang membutuuhkan kemampuan pengelolaan secara khusus, maka pelaksanaan pengelolaan hutan diwilayah tertentu dapat dilimpahkan kepada BUMN yang bergerak dibidang kehutanan, baik berbentuk perusahaan
52
Achmad Sodiki, 40 Tahun Perjalanan UUPA, hal.14, seperti dikutip oleh Bambang Eko Supriyadi, Hukum Agraria Kehutanan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014), hal.87.
umum (Perum), perusahaan jawatan (Perjan), maupun perusahaan perseroan (Persero), yang pembinaannya dibawah Menteri Kehutanan”. Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta pemanfaatan
Hutan,
juga
disebutkan:
“Pemerintah
dapat
melimpahkan
penyelenggaraan pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bidang kehutanan”. Ditinjau dari perspektif hukum administrasi negara, khususnya terkait sumber kewenangan, jika merujuk bunyi Pasal 3 PP Nomor 72 Tahun 2010 juncto penjelasan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, maka wewenang pengelolaan hutan di Jawa tersebut diperoleh Perum Perhutani atas dasar delegasi atau pelimpahan kewenangan. Pengelolaan hutan yang dilimpahkan kepada BUMN berbentuk Perum ini meliputi kegiatan: (a) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, (b) pemanfaatan hutan, (c) rehabilitasi dan reklamasi, dan (d) perlindungan hutan dan konservasi alam, yang tidak termasuk kewenangan publik.53 Apabila membaca penjelasan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007, dalam lingkup kewenangan pengelolaan hutan tersebut, Perum Perhutani (sebagai BUMN) sebenarnya menjalankan suatu wewenang yang pada dasarnya adalah kewenangan pemerintah menurut hukum publik. Perhutani merupakan BUMN berbentuk Perum yang didirikan pemerintah untuk melaksanakan kemanfaatan
53
Bambang Eko Supriyadi, Hukum Agraria Kehutanan, Op.Cit, hal. 104.
umum dan melakukan usaha sebagai implementasi kewajiban pemerintah guna menyediakan barang dan jasa tertentu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.