BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.1. Gambaran Umum Subyek penelitian Penelitian ini tentang pertumbuhan ekonomi, inflasi dan tingkat kesempatan kerja terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten/kota Di Jawa Tengah tahun 2007 – 2010. Data yang diperoleh dalam penelitian ini berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah Jl. Pemuda (Simpang Lima), Semarang dari tahun 2007 – 2010. Data pertumbuhan ekonomi di Jawa tengah meningkat pada tahun 2007, namun pada tahun 2008 dan 2009 pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah mengalami penurunan. Tingkat inflasi di Jawa Tengah mengalami kenaikan dan penurunan disetiap tahunnya, sehingga dalam grafik terlihat jelas fluktuatifnya. Tingkat kemiskinan di Jawa Tengah dari tahun 2007 sampai 2010 selalu mengalami penurunan. Penurunan tingkat kemiskinan di Jawa tengah pada tahun 2007 sampai 2010 diikuti dengan kenaikan tingkat kesempatan kerja pada tahun tersebut. Penelitian ini menggunakan jenis data panel (pooled data) yang terdiri antara data cross section dan data time series yaitu terdiri dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah selama 4 tahun. Analisis yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda karena variabel independen dalam penelitian ini lebih dari satu.
51
1.2. Analisis Data 1.2.1. Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah yang menyangkut banyak aspek karena berkaitan dengan pendapatan yang rendah, rendahnya angka melek huruf, derajat kesehatan yang rendah, kondisi lingkungan yang tidak menyehatkan dan kumuh serta ketidaksamaan derajat antar jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Selain itu kemiskinan juga merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain tingkat pendapatan, pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi, geografis, gender, dan lokasi lingkungan. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar (kebutuhan dasar) dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat di masyarakat. Selain itu masalah pendistribusian yang tidak merata sehingga hanya sebagian orang saja yang dapat menikamati manfaatnya. Oleh karena itu, pemerintah sangat berupaya keras untuk mengatasi permasalahan kemiskinan tersebut sehingga pembangunan dilakukan secara terus menerus termasuk dalam menentukan batas ukur untuk mengenali siapa si miskin tersebut. Berikut disajikan data tentang kemiskinan yang terjadi menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah tahun 2007-2010
52
Tabel 4.1. Persentase Kemiskinan di 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2007 – 2010 (dalam satuan persen) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 . 35
Kabupaten / Kota Kabupaten Cilacap Kabupaten Banyumas Kabupaten Purbalingga Kabupaten Banjarnegara Kabupaten Kebumen Kabupaten Purworejo Kabupaten Wonosobo Kabupaten Magelang Kabupaten Boyolali Kabupaten Klaten Kabupaten Sukoharjo Kabupaten Wonogiri Kabupaten Karanganyar Kabupaten Sragen Kabupaten Grobogan Kabupaten Blora Kabupaten Rembang Kabupaten Pati Kabupaten Kudus Kabupaten Jepara Kabupaten Demak Kabupaten Semarang Kabupaten Temanggung Kabupaten Kendal Kabupaten Batang Kabupaten Pekalongan Kabupaten Pemalang Kabupaten Tegal Kabupaten Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal
2007 22.59 22.46 30.24 27.18 30.25 20.49 32.29 17.37 18.06 22.27 14.02 24.44 17.39 21.24 25.14 21.46 30.71 19.79 10.73 10.44 23.5 12.34 16.55 20.7 20.79 20.31 22.79 18.5 27.93 10.01 13.64 9.01 5.26 6.62 9.36
2008 21.40 22.93 27.12 23.34 27.87 18.22 27.72 16.49 17.08 21.72 12.13 20.71 15.68 20.83 19.84 18.79 27.21 17.9 12.58 11.05 21.24 11.37 16.39 17.87 18.08 19.52 23.92 15.78 25.98 11.16 16.13 8.47 6 10.29 11.28
Sumber: Data dan Informasi Kemiskinan Jateng 2008
53
2009 19.88 21.52 24.97 21.36 25.37 17.02 25.91 15.19 15.96 19.68 11.51 19.08 14.73 19.70 18.68 17.70 25.86 15.92 10.80 9.60 19.70 10.66 15.05 16.02 16.61 17.93 22.17 13.93 24.39 10.11 14.99 7.82 4.84 8.56 9.88
2010 18.11 20.20 24.58 19.17 22.70 16.61 23.15 14.14 13.72 17.47 10.94 15.67 13.98 17.49 17.86 16.27 23.40 14.48 9.01 10.18 18.76 10.50 13.46 14.47 14.67 16.29 19.96 13.11 23.01 10.51 13.96 8.28 5.12 9.36 10.62
4.2.2 Pertumbuhan Ekonomi Tabel 4.2. Laju Pertumbuahan Ekonomi berdasarkan Harga konstan 2000 di 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2007-2010 (dalam satuan persen)
No. Kabupaten / Kota 2007 2008 2009 2010 1 Kabupaten Cilacap 2,64 4,92 5,25 5,65 2 Kabupaten Banyumas 5,30 5,38 5,49 5,77 3 Kabupaten Purbalingga 6,19 5,30 5,89 5,67 4 Kabupaten Banjarnegara 5,01 4,98 5,11 4,89 5 Kabupaten Kebumen 4,52 5,80 3,94 4,15 6 Kabupaten Purworejo 6,08 5,62 4,96 5,01 7 Kabupaten Wonosobo 3,58 3,69 4,02 4,29 8 Kabupaten Magelang 5,21 4,99 4,72 4,51 9 Kabupaten Boyolali 4,08 4,04 5,16 3,60 10 Kabupaten Klaten 3,31 3,93 4,24 1,73 11 Kabupaten Sukoharjo 5,11 4,84 4,76 4,65 12 Kabupaten Wonogiri 5,07 4,27 4,73 3,14 13 Kabupaten Karanganyar 5,74 5,30 5,54 5,42 14 Kabupaten Sragen 5,73 5,69 6,01 6,06 15 Kabupaten Grobogan 4,37 5,33 5,03 5,05 16 Kabupaten Blora 3,95 5,62 5,08 5,19 17 Kabupaten Rembang 3,81 4,67 4,46 4,45 18 Kabupaten Pati 5,19 4,49 4,69 5,11 19 Kabupaten Kudus 3,23 3,92 3,95 4,16 20 Kabupaten Jepara 4,74 4,49 5,02 4,52 21 Kabupaten Demak 4,15 4,11 4,08 4,12 22 Kabupaten Semarang 4,72 4,26 4,37 4,90 23 Kabupaten Temanggung 4,03 3,54 4,09 4,31 24 Kabupaten Kendal 4,28 4,23 5,58 5,95 25 Kabupaten Batang 3,49 3,67 3,72 4,97 26 Kabupaten Pekalongan 4,59 4,78 4,30 4,27 27 Kabupaten Pemalang 4,47 4,99 4,78 4,94 28 Kabupaten Tegal 5,51 5,32 5,29 4,83 29 Kabupaten Brebes 4,79 4,81 4,99 4,94 30 Kota Magelang 5,17 5,05 5,11 6,12 31 Kota Surakarta 5,82 5,69 5,90 5,94 32 Kota Salatiga 5,39 4,98 4,48 5,01 33 Kota Semarang 5,98 5,59 5,34 5,87 34 Kota Pekalongan 3,80 3,73 4,78 5,51 35 Kota Tegal 5,21 5,15 5,02 4,61 Sumber: PDRB Jawa Tengah 2007-2010
54
4.2.3
Inflasi
Tabel 4.3. Laju Inflasi di 35 Kabupaten/Kota Di Jawa Tengah tahun 2007 – 2010 (dalam satuan persen) No. Kabupaten / Kota 2007 2008 2009 2010 1 Kabupaten Cilacap 6,18 9,97 4,63 5,65 2 Kabupaten Banyumas 5,30 12,06 2,83 6,04 3 Kabupaten Purbalingga 6,36 9,51 3,35 7,82 4 Kabupaten Banjarnegara 6,49 11,09 4,37 7,13 5 Kabupaten Kebumen 6,42 14,21 5,01 8,36 6 Kabupaten Purworejo 7,75 11,28 3,98 7,56 7 Kabupaten Wonosobo 9,78 9,06 3,01 6,06 8 Kabupaten Magelang 5,90 9,53 3,83 8,25 9 Kabupaten Boyolali 4,61 6,51 2,05 7,34 10 Kabupaten Klaten 13,26 10,33 0,30 7,90 11 Kabupaten Sukoharjo 4,43 11,39 2,59 6,67 12 Kabupaten Wonogiri 8,45 11,54 2,89 6,66 13 Kabupaten Karanganyar 4,09 10,83 2,98 7,26 14 Kabupaten Sragen 4,16 10,82 2,82 6,77 15 Kabupaten Grobogan 4,37 13,59 4,26 7,45 16 Kabupaten Blora 5,67 12,79 2,91 7,17 17 Kabupaten Rembang 6,64 10,04 3,09 6,61 18 Kabupaten Pati 6,33 13,01 3,05 6,36 19 Kabupaten Kudus 6,79 11,99 3,00 7,65 20 Kabupaten Jepara 6,33 12,76 2,83 6,24 21 Kabupaten Demak 5,98 12,64 3,10 6,87 22 Kabupaten Semarang 5,60 11,03 3,18 7,07 23 Kabupaten Temanggung 6,89 12,36 4,16 7,35 24 Kabupaten Kendal 6,78 12,74 1,23 5,89 25 Kabupaten Batang 5,64 10,44 -0,04 6,62 26 Kabupaten Pekalongan 5,35 10,61 3,39 6,54 27 Kabupaten Pemalang 6,48 8,71 4,10 7,38 28 Kabupaten Tegal 6,16 9,57 4,50 6,44 29 Kabupaten Brebes 7,18 11,81 4,25 6,04 30 Kota Magelang 6,49 9,53 3,48 6,80 31 Kota Surakarta 3,28 6,96 2,63 6,65 32 Kota Salatiga 7,22 10,20 3,28 6,65 33 Kota Semarang 6,75 10,34 3,19 7,11 34 Kota Pekalongan 4,16 10,03 3,39 6,77 35 Kota Tegal 6,05 8,52 5,83 6,73 Sumber: Jawa Tengah Dalam Angka 2008-2011
55
4.2.4
Kesempatan Kerja Tabel 4.4. Jumlah Kesempatan Kerja di 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2007 – 2010
No. Kabupaten / Kota 2007 2008 1 Kabupaten Cilacap 810174 743290 2 Kabupaten Banyumas 722264 715841 3 Kabupaten Purbalingga 423566 410516 4 Kabupaten Banjarnegara 478644 457930 5 Kabupaten Kebumen 629175 576829 6 Kabupaten Purworejo 391250 355702 7 Kabupaten Wonosobo 409515 387335 8 Kabupaten Magelang 678500 624413 9 Kabupaten Boyolali 572381 536845 10 Kabupaten Klaten 636135 612644 11 Kabupaten Sukoharjo 471155 447875 12 Kabupaten Wonogiri 568927 557492 13 Kabupaten Karanganyar 465240 451144 14 Kabupaten Sragen 504199 476316 15 Kabupaten Grobogan 773425 705696 16 Kabupaten Blora 489864 458223 17 Kabupaten Rembang 313301 298475 18 Kabupaten Pati 663864 630524 19 Kabupaten Kudus 444378 442341 20 Kabupaten Jepara 571282 528555 21 Kabupaten Demak 570007 536053 22 Kabupaten Semarang 519840 511770 23 Kabupaten Temanggung 424531 386504 24 Kabupaten Kendal 559532 515053 25 Kabupaten Batang 379462 359965 26 Kabupaten Pekalongan 451487 425144 27 Kabupaten Pemalang 653731 606901 28 Kabupaten Tegal 737636 627460 29 Kabupaten Brebes 899804 824748 30 Kota Magelang 63525 62193 31 Kota Surakarta 287450 277675 32 Kota Salatiga 86608 87089 33 Kota Semarang 748302 744439 34 Kota Pekalongan 138963 141671 35 Kota Tegal 126160 121315 Sumber: Jawa Tengah dalam Angka 2006 - 2011
56
2009 778660 740042 421467 453660 606340 359011 395068 631689 542533 617172 451417 580035 455446 494956 767310 491863 320318 639265 439215 558008 524939 510942 389255 518428 347665 430475 647167 650691 839546 65970 275546 88342 787565 145890 121753
2010 762347 792012 435598 467074 584684 353027 397392 648484 527581 574549 432526 519702 457756 483526 721475 466977 320291 620602 420513 562402 522266 536204 410860 473515 377700 418843 581757 632931 884757 61945 258573 81670 796186 145149 125452
1.3. Hasil Uji Asumsi Klasik Pengujian asumsi klasik merupakan syarat utama dalam persamaan regresi. Maka dari itu harus dilakukan 4 pengujian yaitu: (1) data berdistribusi normal (Uji Normalitas) (2) tidak terdapat autokorelasi (Uji Autokorelasi) (3) tidak terdapat multikolinearitas antar variabel independen (Uji multikolinearitas) (4) tidak terdapat heteroskedastisitas (Uji Heteroskedastisitas). Dalam analisis regresi perlu di perhatikan adanya penyimpangan – penyimpangan atas asumsi klasik, jika tidak di penuhi maka variabel – variabel yang menjelaskan akan menjadi tidak efisien. Tabel 4.5. Hasil Regresi Utama Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, inflasi dan tingkat kesempatan kerja terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah Tahun 2007 – 2010. C PE IF KK R-Squared F-statistic Prob(F- Statistic) Durbin Watson Sumber: lampiran A
Coefficient
t-Statistic
Prob.
14.51697 -0.757224 0.208095 1.04E-05 0.139340 7.339441 0.000135 0. 539896
4.152595 -1.211653 1.320119 4.245308
0.0001 0.2277 0.1890 0.0000
1.3.1. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui data variabel penelitian berdistribusi normal atau tidak. Pengujian normalitas dalam penelitian ini menggunakan
teknik
analisis
Jarque-Bera
dan
untuk
perhitungannya
menggunakan program Eviews 5. Hasil Uji J-B test dapat dilihat pada Gambar 4.1 Berikut.
57
Gambar 4.1 Hasil Uji Jarque-Bera Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, inflasi dan tingkat kesempatan kerja terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah Tahun 2007 – 2010.
Tabel 4.6 Hasil Uji Normalitas Variabel Pertumbuhan Ekonomi, inflasi dan tingkat kesempatan kerja terhadap tingkat kemiskinan Sumber: lampiran B
Sig.
Kesimpulan
0.319711
Normal
Hasil uji Normalitas dengan Uji Jarque-Bera menunjukan bahwa residual model penelitian mempunyai nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 (sig>0,05). Sehingga dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa semua variabel penelitian berdistribusi normal. Pada model persamaan pengaruh pertumbuhan ekonomi, inflasi dan tingkat kesempatan kerja terhadap kemiskinan di Jawa Tengah tahun 2007 - 2010 dengan n = 140 dan k = 3, maka diperoleh degree of freedom (df) = 137 (n-k), dan menggunakan α = 5 persen diperoleh nilai χ2 tabel sebesar 165.316. Dibandingkan dengan nilai Jarque Bera pada Gambar 4.1 sebesar 2,280, dapat
58
ditarik kesimpulan bahwa probabilitas gangguan μ1 regresi tersebut terdistribusi secara normal karena nilai Jarque Bera lebih kecil dibanding nilai χ2 tabel. 1.3.2. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas merupakan suatu keadaan dimana terdapat hubungan linier atau terdapat korelasi anatar variabel Independen. Dalam penelitian ini, untuk mengkaji ada tidanya multikolinearitas dapat dilihat darai perbandingan antara nilai R2 Regresi Parsial (auxiliary regression) dengan nilai R2 regresi utama. Jika nilai dari R2 Regresi Parsial (auxiliary regression) lebih besar dari pada R2 regresi utama, maka dapat disimpulkan bahwa dalam persamaan tersebut terjadi multikolinearitas. Berikut tabel 4.7 yang menunjukan perbandingan antara R2 Regresi Parsial (auxiliary regression) dengan nilai R2 regresi utama. Tabel 4.7 R2 Auxiliary Regression Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, inflasi dan tingkat kesempatan kerja terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah Tahun 2007 – 2010. No.
Persamaan
R2*
R2
Kesimpulan
Non Multikolinearitas Non Multikolinearitas Non Multikolinearitas
1.
PE IF KK
0.006863
0.139340
2.
IF PE KK
0.008197
0.139340
3.
KK PE IF
0.001373
0.139340
Sumber: lampiran C Dari tabel 4.7 diatas menunjukan bahwa semua variabel independen mempunyai nilai R2 Regresi Parsial (auxiliary regression) lebih kecil dari R2 regresi utama, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas.
59
1.3.3. Uji Heteroskedastisitas Pengujian heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varience dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Model regresi yang baik adalah tidak terjadi heteroskedastisitas dan untuk mengetahui adanya heteroskedastisitas dengan menggunakan uji White. Jika variabel independen tidak signifikan secara statistik tidak mempengaruhi variabel dependen, maka ada indikasi tidak terjadi heteroskedastisitas. Berikut ini adalah hasil uji heteroskedastisitas terhadap model regresi pada penelitian ini. Tabel 4.8 Hasil Uji White Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, inflasi dan tingkat kesempatan kerja terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah Tahun 2007 – 2010. Obs*R-Squared
Sig.
Kesimpulan
4.011029 Sumber: Lampiran D
0.675184
Non Heteroskedastisitas
Tabel di atas menunjukkan bahwa uji white menghasilkan kesimpulan tidak ada masalah heteroskedastisitas, hal ini dibuktikan dengan nilai signifikansinya sebesar 0.675184 lebih besar dari 0,05. 1.3.4. Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi atau hubungan yang terjadi antara anggotaanggota dari serangkaian pengamatan yang tersusun dalam rangkaian waktu (data time series) maupun tersusun dalam rangkaian ruang atau disebut data cross sectional. Salah satu uji formal yang paling populer untuk mendeteksi autokorelasi adalah uji Durbin-Watson. Uji ini sesungguhnya dilandasi oleh
60
model error yang mempunyai korelasi sebagaimana telah ditunjukkan di bawah ini: Gambar 4.2 Hasil Uji Durbin-Watson
Ada Autokorelasi positif dan menolah H0
Tidak ada Keputusan
dl=1,68
tidak ada keputusan tidak ada Autokorelasi dan tidak menolah Ho
du=1,76
4-du=2,24
ada Autokorelasi negatif dan menolak H0
4-dl=2,32
4
Hasil dari Durbin-Watson menunjukkan bahwa nilai d-hitung atau DW sebesar 0,53. Hasil dari Durbin-Watson statistik adalah du=1,76 dan dl=1,68. Sehingga d-hitung atau DW terletak pada 0 < d < dl atau 0 < 0,53 < 2,24. kesimpulan yang dapat ditarik adalah ada autokolerasi positif didalam model dan menolak H0. 1.4. Pengujian Statistik Analisis Regresi 1.4.1.
Uji Signifikansi parameter Individual (Uji t) Uji signifikansi parameter individual (Uji t) merupakan pengujian untuk
menunjukkan pengaruh secara individu variabel independen yang ada di dalam model terhadap variabel terikat. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh satu variabel bebas menjelaskan variasi variabel terikat. Apabila nilai t hitung lebih besar dari t tabel dan nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05
61
(sig<0,05), maka dapat disimpulkan bahwa variabel bebas secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat. Dengan α = 5% dan degree of freedom (df) = 136 (n-k =140-4), maka diperoleh nilai t tabel sebesar 1,645 dan dengan α = 10 persen diperoleh nilai t-tabel sebesar 1,282. Penjelasan hasil uji t untuk masing-masing variabel bebas adalah sebagai berikut: Tabel 4.9 Nilai T-Statistik Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, inflasi dan tingkat kesempatan kerja terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah Tahun 2007 – 2010. Variabel Pertumbuhan ekonomi (PE) Inflasi (IF) Kesempatan Kerja (KK) Sumber: Lampiran A 1.4.2.
Koefisien regresi -0.757224 0.208095 1.04E-05
thitung -1.211653 1.320119 4.245308
Ttabel
Ttabel
(ɑ=5%)
(ɑ=10%)
1,645 1,645 1,645
1,282 1,282 1,282
Sig. 0.2277 0.1890 0.0000
Uji Signifikansi Simultan (Uji F) Uji F (Fisher) digunakan untuk menguji signifikansi model regresi. yaitu
untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh semua variabel bebas pertumbuhan ekonomi, inflasi dan tingkat kesempatan kerja secara bersama-sama terhadap kemiskinan di Jawa Tengah. Apabila nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 (p<0,05) maka model regresi signifikan secara statistik. Analisis regresi dilakukan dengan menggunakan Eviews 5. Tabel 4.10 Hasil Uji Signifikansi Simultan (Uji F) Koefisien regresi (b) Pertumbuhan ekonomi -0.757224 Inflasi 0.208095 Kesempatan Kerja 1.04E-05 Sumber: Data diolah 2012 Variabel
Konstanta (a)
R2
F Hitung
Sig.
14.51697
0.139340
7,33
0.0000
62
Dari regresi pengaruh pertumbuhan ekonomi, inflasi dan tingkat kesempatan kerja terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah tahun 2007 - 2010 yang menggunakan taraf keyakinan 95 persen (α = 5 persen), dengan degree of freedom for numerator (dfn) = 3 (k-1 = 4-1) dan degree of freedom for denominator (dfd) = 137 (n-k = 140-3), maka diperoleh F-tabel sebesar 2,67 dengan F-statistik sebesar 7,33 dan nilai probabilitas F-statistik 0,00000. Maka dapat disimpulkan bahwa variabel independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen (Fhitung > F-tabel). 1.4.3.
Uji Koefisien Determinasi (Uji R2) Koefisien determinasi (R2) merupakan alat untuk mengukur besarnya
persentase pengaruh variabel independen terhadap variabel Dependen. Besarnya koefisien determinasi berkisar antara angka 0 sampai dengan 1, semakin mendekati nol besarnya koefisien determinasi, maka semakin kecil pengaruh semua variabel independen terhadap variabel dependen. Sebaliknya semakin besar koefisien determinasi mendekati angka 1, maka semakin besar pula pengaruh semua variabel independen terhadap variabel dependen. Dari Hasil uji R2 pada penelitian pengaruh pertumbuhan ekonomi, inflasi dan tingkat kesempatan kerja di jawa Tengah tahun 2007-2010 diperoleh nilai R2 sebesar 0,1393. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Jawa Tengah dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, inflasi dan tingkat kesempatan kerja sebesar 13,93%; sedangkan sisanya sebesar 86,07% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak termasuk dalam penelitian ini.
63
1.5. Pembahasan 1.5.1.
Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Kemiskinan Pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap
variabel tingkat kemiskinan. Hal ini dibuktikan dari uji t diperoleh hasil uji t untuk variabel pertumbuhan ekonomi diperoleh nilai t hitung sebesar – 1.211653 dengan nilai signifikansi sebesar 0,2277 dan koefisien regresi sebesar – 0,757224. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa dalam penelitian ini pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Hasil tersebut tidak sesuai dengan teori yang menjadi landasan teori dalam penelitian ini. Menurut Kuznet dalam Tulus Tambunan (2001), pertumbuhan dan perekonomian mempunyai korelasi yang sangat kuat, karena pada tahap awal proses kemiskinan cenderung meningkat dan pada saat mendekati tahap akhir pembangunan jumlah orang – orang miskina berangsur – angsur berkurang. Selain itu, yang menyebabkan ketidaksignifikansinya pertumbuhan ekonomi dalam mempengaruhi kemiskinan dikarenakan pertumbuhan ekonomi tersebut belum efektif dalam mengurangi tingkat kemiskinan. Arinya, pertumbuhan ekonomi yang terjadi belum menyentuh disetiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin. 1.5.2.
Inflasi dan Tingkat Kemiskinan Variabel Inflasi berpengaruh positif terhadap variabel tingkat kemiskinan
tetapi tidak signifikan. Hal tersebut dibuktikan dari nilai t hitung sebesar 1,320119 dengan nilai signifikansi sebesar 0,1890 dan koefisien regresi memiliki arah positif sebesar 0,208095. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa dalam penelitian ini inflasi tidak berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan.
64
Hal tersebut dapat terjadi karena adanya keadaan daya beli antara golongan yang ada di masyarakat tidak sama (heretogen), hal tersebut akan mengakibatkan realokasi barang-barang yang tersedia dari golongan masyarakat yang memilik daya beli yang relatif rendah kepada golongan masyarakat yang memiliki daya beli yang lebih besar. Kejadian ini akan terus terjadi di masyarakat. Sehingga, laju inflasi akan berhenti hanya apabila salah satu golongan masyarakat tidak bisa lagi memperoleh dana (tidak lagi memiliki daya beli) untuk membiayai pembelian barang pada tingkat harga yang berlaku, sehingga permintaan efektif masyarakat secara keseluruhan tidak lagi melebihi supply barang (inflationary gap) menghilang. Selain itu, efek inflasi tidak sama pada semua kelompok masyarakat. Masyarakat miskin terkonsentrasi di wilayah pedesaan, lebih dari 60 persen dari total penduduk miskin tinggal di pedesaan. Tingkat inflasi di pedesaan secara persisten lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Perubahan harga-harga memberikan tekanan yang lebih besar bagi perekonomian daerah pedesaan dibandingkan daerah perkotaan. Dengan demikian tingkat inflasi juga akan memberikan tekanan yang berbeda terhadap tingkat kemiskinan. Masyarakat miskin di pedesaan relatif lebih rentan akan guncangan ekonomi, khususnya inflasi. Pada semua level, peningkatan harga pada komoditi makanan memiliki dampak yang relatif jauh lebih besar terhadap kemiskinan dibandingkan dengan inflasi yang terjadi pada komoditi non pangan. Masyarakat miskin pedesaan yang secara relatif akan merasakan dampak inflasi komoditi makanan lebih besar.
65
1.5.3.
Tingkat kesempatan kerja dan kemiskinan Dari penelitian ini menyatakan bahwa tingkat kesempatan kerja
berpengaruh positif namun signifikan. Hal ini dapat terbukti dari nilai t hitung sebesar 4.245308, dengan nilai signifikansi 0,000 dan koefisien regresi memiliki arah yang positif yaitu sebesar 1.04E-05. Hal ini menunjukan bahwa tingkat kesempatan kerja belum efektif dalam mengurangi tingkat kemiskinan. Arinya, setiap penambahan tingkat kesempatan kerja, belum tentu diikuti dengan pengurangan kemiskinan. Kesempatan kerja yang sempit di bandingkan angkatan kerja, akan menimbulkan Masalah pengangguran yang menyebabkan tingkat pendapatan nasional dan tingkat kemakmuran masyarakat tidak mencapai potensi maksimal. Ketidakseimbangan tersebut terjadi apabila jumlah angkatan kerja lebih besar daripada kesempatan kerja yang tersedia. Di bidang ketenagakerjaan, kurang adanya keahlian manajerial dan secara keseluruhan rendahnya pendidikan tenaga kerja menjadi penyebab meningkatnya kemiskinan. Rendahnya permintaan tenaga kerja dan tingginya penawaran tenaga kerja mengakibatkan banyaknya pengangguran, rendahnya produktivitas dan rendahnya pendapatan. Dampak selanjutnya dari meningkatnya jumlah pengangguran adalah peningkatan angka kemiskinan. 1.5.4.
Pengaruh Pertumbuhan ekonomi, Inflasi, dan Tingkat kesempatan kerja terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah 2007-2010. Pertumbuhan ekonomi, inflasi dan tingkat kesempatan kerja secara
bersama-sama berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah tahun 2007 – 2010. Hal ini dibuktikan dari nilai F hitung sebesar 7,33 dengan nilai
66
signifikansi
sebesar 0,000. Dengan demikian dapat
dinyatakan
bahwa
pertumbuhan ekonomi, inflasi dan tingkat kesempatan kerja sangat menentukan besar kecilnya tingkat kemiskinan di provinsi Jawa Tengah tahun 2007 - 2010. Dalam regresi tersebut diperoleh nilai koefisien regresi untuk setiap variabel dapat dilihat dengan persamaan sebagai berikut: Y = 14,51– 0,75 (PE) – 0,20(IF) – 1,04(KK)+e..........................................(4.1) Menurut Jhingan, terdapat 3 (tiga) komponen dalam pertumbuhan ekonomi:
pertama,
pertumbuhan
ekonomi
suatu
bangsa
terlihat
dari
meningkatnya secara terus-menerus persediaan barang; kedua, teknologi maju merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat pertumbuhan kemampuan dalam penyediaan aneka macam barang kepada penduduk; dan ketiga, penggunaan teknologi secara luas dan efisien memerlukan adanya penyesuaian di bidang kelembagaan dan idiologi sehingga inovasi yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan umat manusia dapat dimanfaatkan secara tepat. Keberhasilan suatu rencana pembangunan sangat tergantung pada kemampuan menyediakan tenagatenaga yang melaksanakannya. Dasar pemikiran kesempatan kerja adalah rencana investasi dan target hasil yang direncanakan, atau secara umum rencana pembangunan. Tiap kegiatan mempunyai daya serap yang berbeda akan tenaga kerja, baik dalam kuantitas maupun kualitas. Daya serap tersebut berbeda secara sektoral dan menurut penggunaan teknologi. Sektor kegiatan yang dibangun secara padat karya pada dasarnya akan menciptakan kesempatan kerja yang relatif besar dan tidak terlalu terikat kepada persyaratan keterampilan yang tinggi.
67