BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini, penulis menyajikan data hasil penelitian dan triangulasi data dari sumber lain mengenai kekerasan dalam pacaran yang dialami oleh perempuan di kota Salatiga. Analisis data dan pembahasan dilakukan terpisah antara subyek satu dengan yang lainnya karena kedua subyek memiliki latar belakang keluarga yang berbeda sehingga analisis perlu dilakukan kasus per kasus. A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian 1. Persiapan Penelitian Pada tahap persiapan penelitian ini, peneliti mengacu pada konsep pra-penelitian menurut Bogdan (dalam Moleong, 2006) yaitu meliputi: a) Penyusunan rancangan penelitian Tahap ini meliputi, penyusunan bab 1 hingga bab 3 yang mencakup latar belakang, landasan teori, metode penelitian, kemudian mempersiapkan alat pengumpul data berupa penuntun wawancara (interview guide). b) Pemilihan lokasi penelitian Lokasi penelitian yang telah ditetapkan oleh peneliti dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu sehingga pengambilan data yang dimaksud dilaksanakan di kota Salatiga sesuai dengan tempat domisili subyek penelitian. Dengan demikian, peneliti segera menyusun alokasi waktu serta menghubungi subyek dan informan dalam penelitian ini. c) Memilih dan memanfaatkan informan Dalam hal ini informan pertama adalah subyek penelitian yang berjumlah 2 orang. Subyek dipilih berdasarkan tujuan penelitian, yakni perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam pacaran (KDP). Kedua subyek merupakan mahasiswi dari salah satu universitas di Jawa Tengah yang berusia 24 tahun. Pemilihan subyek
ditetapkan dari kesediaan subyek untuk diwawancarai terkai kekerasan yang dialaminya. d) Mengurus perijinan Perijinan dilakukan peneliti dengan cara informal, artinya tidak memerlukan surat ijin dari fakultas, dikarenakan subyek merasa tidak membutuhkan surat tersebut. e) Tahap penjajakan dan penilaian lapangan Tahap ini dilakukan melalui perbincangan santai dengan subyek tanpa alat rekam untuk membangun rapport dan kepercayaan subyek terhadap peneliti. Tahap ini dilakukan di kediaman masingmasing subyek selama 3 kali hingga subyek merasa nyaman dan siap untuk melakukan wawancara dengan peneliti. Interview awal ini tidak menggunakan alat perekam. Peneliti mengajak subyek bercerita dengan santai dan diselingi dengan percakapan-percakapan yang ringan. Berikut ini adalah tujuan dari masing-masing interview awal dengan subyek: 1. Interview awal - 1 Interview awal 1 dilakukan peneliti untuk mendapatkan gambaran umum tentang subyek saat ini. Peneliti memposisikan diri sebagai teman subyek yang dapat mendengarkan setiap cerita subyek. Pada interview awal - 1 ini, subyek menceritakan tentang kebiasaan dan rutinitas yang dijalaninya setiap hari. 2. Interview awal - 2 Interview awal - 2 dilakukan peneliti sebagai tindak lanjut dari interview awal-1. Pada tahap ini, peneliti mulai menggali informasi tentang keluarga dan tempat subyek dibesarkan, kesan yang diberikan subyek terhadap setiap anggota dalam keluarga dan lingkungan pergaulan subyek selama dibesarkan sepanjang hidup. 3. Interview awal - 3 Interview awal - 3 dilakukan peneliti sebagai tindak lanjut dari interview awal - 2. Peneliti mulai menggali informasi yang
lebih bersifat pribadi, yakni terkait dengan relasi pacaran subyek dengan pacar yang menjadi pelaku kekerasan. f) Persiapan perlengkapan Penelitian dilakukan dengan menyediakan alat-alat yang dibutuhkan dalam proses pengambilan data mencakup in-depth interview guide, alat perekam, alat tulis, dan notes. g) Mengetahui persoalan etika Penelitian dengan memberitahukan maksud dan tujuan penelitian secara terbuka kepada calon subyek, hal ini telah dilakukan peneliti di awal pertemuan dengan kedua subyek. 2. Pelaksanaan Penelitian Pengambilan data melalui wawancara dilakukan sebanyak dua kali terhadap subyek pertama dan subyek kedua. Pelaksanaan wawancara terhadap seluruh subyek dimulai pada bulan Maret 2016 Mei 2016. Kedua subyek merupakan teman peneliti yang diketahui telah mengalami kekerasan berulang kali baik secara fisik, psikis, verbal dan seksual selama berpacaran bertahun-tahun dengan pasangannya. Penggalian informasi dalam penelitian ini bersifat sangat pribadi dan sensitif, oleh sebab itu peneliti dengan perlahan membangun kepercayaan kedua subyek agar mempercayakan kerahasiaan informasi kepada peneliti. Selain itu, penggunaan alat rekam selama wawancara berlangsung juga sesuai dengan perijinan dan kesepakatan dengan kedua subyek. Penggalian informasi dilakukan di kediaman masing-masing subyek. Pada subyek pertama, peneliti mendatangi kos tempat subyek berdomisili di Salatiga, sedangkan untuk subyek kedua, peneliti mendatangi subyek di Solo, tempat subyek mengasingkan diri dari lingkungan yang dianggap menekannya. Untuk selanjutnya, subyek pertama akan disebut dengan Sari, sedangkan subyek kedua disebut dengan Dinda. Berikut ini ialah jadwal pelaksanaan interview dengan Sari dan Dinda:
Interview 1 Interview 2 Interview 3
SARI 26 Maret 2016 5 April 2016 25 April 2016
DINDA 9 April 2016 23 April 2016 11 Mei 2016
Tabel 4.1 Jadwal Interview Subyek
Setelah peneliti mendapatkan informasi yang diperlukan melalui tiga kali wawancara dengan subyek, peneliti mulai membuat verbatim atau transkrip wawancara, tabel analisa transkrip wawancara, dan analisa serta pembahasan kasus secara lengkap dalam bentuk print out. Di samping itu, peneliti juga mencari data sekunder melalui orang-orang terdekat subyek sebagai berikut:
Informan 1 Informan 2 Informan 3
SARI Teman kos A Teman kos B Ibu
DINDA Teman dekat Pacar Ayah
Tabel 4.2 Sumber data sekunder
B. Hasil Penelitian Setelah peneliti mendapatkan data-data empiris melalui proses wawancara mendalam, kemudian peneliti mulai menganalisis data-data tersebut sehingga menjadi suatu pemahaman yang utuh tentang kedua subyek. Pada sub-bab ini, peneliti membahas analisis subyek satu per satu dengan rinci. 1. Analisis Deskriptif Subyek Pertama (Sari) a) Identitas Diri Sari Nama : Sari (bukan nama sebenarnya) Usia : 24 tahun Kota Asal : Solo Kota Domisili : Salatiga Pendidikan Terakhir : Sekolah Menengah Atas (SMA) Pendidikan Berjalan : Strata 1 Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga Jurusan : Ekonomi Manajemen dan Bisnis Agama : Kristen Protestan
Status Perkawinan Urutan Kelahiran
: Belum Menikah : Anak ke-2 dari 2 bersaudara
b) Hasil Observasi Peneliti melakukan observasi yang sifatnya menambah keterangan data yang diperoleh dari interview. Sepanjang proses interview, peneliti mengamati perilaku Sari yang menunjukkan rasa malu ketika membicarakan mengenai aktivitas seksual yang dilakukan bersama pacarnya. Rasa malu ini dilihat dari wajah Sari yang ditundukkan, volume suara yang mengecil, dan gestur tubuh yang menghindar saat menjelaskan tentang aktivitas seksualnya. Tidak ada perubahan lain yang signifikan ketika membahas tentang sang pacar, termasuk hal-hal yang terkait kekerasan yang dialaminya, Sari dapat menceritakannya dengan nada yang santai dan diiringi tawa sesekali. Kemudian, ekspresi marah ditunjukkan Sari ketika membahas tentang perselingkuhan yang dilakukan ayahnya. Volume suara Sari menjadi keras dan memberi penekanan pada kata-kata seperti ‘selingkuh’, ‘wanita idaman lain’, ‘kawin lagi’. c) Latar Belakang Sari Sari merupakan anak dari perkawinan darah Medan yang dilahirkan 24 tahun yang lalu. Meskipun kedua orang tua berasal dari Medan, namun Sari dan keluarga tidak tinggal menetap di Medan. Mereka memutuskan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Dari Medan, Sari melalui masa SD hingga SMP Sari di kota Bandung, Jawa Barat. Lalu, ketika ia beranjak ke bangku sekolah berikutnya, ia pindah ke Solo, Jawa Tengah hingga ia menempuh jalur pendidikan di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Salatiga dan mengambil jurusan Ekonomi dengan konsentrasi di bidang Manajemen Bisnis. Sari dan keluarga selalu tinggal dalam satu atap hingga Sari memutuskan untuk berkuliah di
luar kota Solo dan membuat dirinya harus berada dalam situasi berjarak dengan orang tua untuk pertama kalinya. Oleh karena jarak kota Solo dan Salatiga dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 2 jam perjalanan, Sari menyempatkan diri untuk pulang ke Solo di setiap akhir minggu. Kebiasaan ini dilakukan hingga kurang lebih ia menduduki semester 4 di perkuliahannya. Bungsu dari dua bersaudara ini selalu mendapatkan perhatian khusus dari ayah, ibu, dan kakaknya karena ia satusatunya anak perempuan dan kedua orang tua menganggap Sari perlu pengawasan yang ekstra ketat agar ia tidak terjerumus dalam pergaulan yang tidak sehat. Latar belakang kepercayaan Kristen yang begitu kuat dipegang teguh oleh sang ibu, membuat ibu justru cenderung over-protective dengan setiap tindakan dan Sari. Sari cenderung dibatasi dalam memilih pergaulan dengan teman sebaya, baju yang dikenakan, dan aktivitas rutin yang dijalani. Hal ini membuat Sari tumbuh menjadi pribadi yang sangat bergantung pada keputusan orang tua dan sulit untuk mengambil keputusan dalam situasi mendesak. Keadaan ekonomi keluarga Sari dapat dikatakan fluktuatif. Keluarga Sari pernah berada dalam situasi berlebihan dari segi materi dan finansial, yakni masa ketika Sari dan keluarganya menetap beberapa waktu di Bandung. Pada masa itu, Sari dapat bersekolah di salah satu sekolah swasta yang bergengsi dan segala kebutuhannya terpenuhi, bahkan berlebihan. Setiap permintaan Sari selalu dikabulkan dan membentuk dirinya menjadi pribadi yang suka memberi. Semasa SMP, Sari memiliki banyak sekali teman karena Sari dikenal sangat murah hati dan mudah memberi barangbarang pada teman-temannya yang membutuhkan. Namun demikian, tidak semua teman yang ditolongnya bersikap baik terhadap Sari. Beberapa diantaranya justru menyalahgunakan kebaikan dan kelebihan materi yang dimiliki Sari. Setiap uang yang dipinjam oleh teman-temannya tidak pernah dikembalikan dan Sari
justru disingkarkan dari pergaulan ketika keluarganya mengalami krisis ekonomi yang cukup drastis. Krisis ekonomi yang dialami keluarga Sari diakibatkan oleh kondisi ayahnya yang saat itu memiliki perempuan idaman lain dan menghasilkan keturunan dari perempuan tersebut. Sebagian besar uang dari penghasilan ayahnya dialihkan pada perempuan itu beserta anaknya. Semenjak itu, keluarga Sari menjadi tidak harmonis dan penuh dengan konflik serta kekerasan yang terjadi antara ayah dan ibu. Kekerasan di dalam rumah terus berangsur terjadi selama sang ayah menjalin hubungan dengan perempuan tersebut. Oleh sebab itu, sang ibu memaksa keluarga untuk pindah ke Jawa Tengah dan menetapkan Solo sebagai tempat tinggal berikutnya. Ibu berencana membawa kedua anak bersamanya. Hal tersebut membuat sang ayah menceraikan perempuan tersebut dan ikut bersama keluarga untuk pindah ke Solo. Sari pun melanjutkan pendidikannya di Solo semasa SMA, dan berkuliah di Salatiga sejak tahun 2007. Hingga 2016 ini, Sari belum menuntaskan pendidikan tingginya dan berungkali berencana untuk meninggalkan perkuliahannya karena merasa tidak mampu untuk mengerjakan tugas akhir. d) Analisis Kasus Sari 1. Gambaran Kekerasan dalam Relasi Pacaran Sari-Doni a) Identifikasi Jenis Kekerasan Sari berkenalan dengan Doni, pacarnya hingga saat ini, melalui game online yang sering dimainkannya. Mereka menjalin pertemanan kurang lebih satu tahun, saling melihat satu dengan yang lain melalui foto-foto yang diunggah ke jejaring sosial Facebook, bertukar pesan melalui Short Messenger Service (SMS), dan menelepon satu dengan yang lain. Keduanya merasa memiliki kecocokan dan menjalani hubungan yang semakin dekat. Selama satu tahun Sari dan Doni saling mengenal satu
dengan yang lain, keduanya memutuskan untuk bertemu dan bersepakat untuk menjadi pacar. Selisih usia keduanya ialah 4,5 tahun lebih tua Doni dibandingkan Sari. Pada awal masa pacaran, Doni menunjukkan sikap yang perhatian dan sangat penyayang. Hal ini membuat Sari merasa begitu nyaman menjalani hubungan pacaran dengan Doni. Sari yang berdomisili di kota Salatiga pun tidak merasa berat dijalani karena Doni yang tinggal di Semarang selalu menghampirinya setiap akhir pekan. Masa pacaran Sari dan Doni kini tengah memasuki usia 4 tahun. Namun, memasuki usia 2 tahun pacaran, Doni mulai menunjukkan sifat aslinya yang kasar dengan dirinya. Meskipun Sari pernah mengalami pengalaman yang menyenangkan pada awal pacaran, namun setelah menjalaninya beberapa waktu, Sari mulai mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan bersama Doni. Setelah beberapa waktu pacaran, Sari merasa bahwa yang ditunjukkan pada awal kenalan hingga pendekatan dengan Doni bukan merupakan sifat asli dari Doni. Sifat asli pasangannya ialah sifat yang kasar dan seringkali melukai dirinya. “Wah.. saya bisa katakan masa-masa awal saya pacaran itu sangat berbanding terbalik. Jadi sangat drastis kalo ibaratnya statistik itu indah sekali... dan lalu menjadi yah.. malapetaka ya..” “Mungkin emmm... parahnya aja ya.. sebenernya itu kan proses. Maksudnya sedikit demi sedikit, sedikit demi sedikit mulai ya ada satu dua satu dua yang tadinya awalnya seperti ini kok jadi kaya gini.. kok aslinya kaya gini ya.. tapi yang bener-bener saya rasakan ini saya udah nggak kenal lagi nih.. kayaknya bukan seperti yang saya pikirkan...”
Kekerasan baik secara verbal maupun fisik dan seksual kerap terjadi pada hubungan Sari dan Doni yang berusia 3 tahun. Kekerasan dimulai sejak usia pacaran memasuki usia 2 tahun. Kekerasan yang dialami Sari mencakup kekerasan fisik, verbal, dan seksual. Kekerasan seksual merupakan kekerasan pertama
yang ditunjukkan oleh Doni dengan mengajak Sari melakukan sexual intercourse dengan landasan cinta dan ingin memiliki seutuhnya. Penolakan yang dilontarkan Sari tidak dihiraukan oleh Doni dan hal tersebut membuat Sari melakukannya dengan keterpaksaan. Kekerasan fisik dialami Sari ketika Doni sedang berada dalam masalah atau terlibat pertengkaran dengan Sari. Doni seringkali menggunakan kata-kata kasar seperti ‘anjing’, ‘bangsat’, ‘babi’, dan lainnya yang melukai hati Sari. Dalam beberapa pertengkaran, Doni juga melemparkan barang-barang yang ada di kamar kos Sari, seperti buku, piring, meja laptop, dan lainnya. Perlakuan kasar tersebut terus berulang dan membuat Sari terkadang ingin mengakhiri hubungan tersebut. Namun, setiap kali Sari ingin memutuskan Doni, Doni selalu mengatakan kepada Sari bahwa tidak akan ada lagi laki-laki yang ingin bersama dirinya karena ia sudah tidak perawan lagi dan menjadi ‘bekas’ Doni. Selain itu, Doni juga melunturkan konsep diri Sari dengan mengatakan bahwa Sari itu tidak cantik, berkelakuan buruk, dan hanya Doni yang dapat menerima dirinya. Perkataan-perkataan seperti itu membuat Sari takut untuk memutuskan Doni dan memilih untuk terus melanjutkan hubungan tersebut. Kata ‘putus’ hanya diungkapkan Sari maupun Doni ketika mereka sedang bertengkar dan cenderung menggunakan emosi sesaat. Ketika pertengkaran telah selesai, Sari dan Doni akan saling merindukan dan kembali bersama lagi. Namun, setelah itu kekerasan tetap terjadi. “Ya.. Bisa dibilang gini.. Eee saya waktu berpacaran sama dia, saya tidak hanya kata-kata, mendapatkan kata-kata yang berintonasi nada tinggi ya, tapi saya malah mendapatkan kasar atau kata-kata yang tidak pantas yang kotor gitu.. misalnya ya mbak tau lah.. kebun binatang, terus udah gitu makian misalnya kata-kata bajingan lah apa lah pokoknya makian seperti itu atau bahkan mungkin dia tidak melakukan percakapan dengan katakata yang kasar, tapi dia melakukan tindakan di depan saya yang
membuat saya sedikit terancam seperti membanting barang, merusak barang, atau hp-nya dibanting ya sering beberapa kali kalo emosi sama saya hp dibanting sampe rusak beberapa kali, terus dia pernah mukul pintu atau emm apa... tembok.. di depan saya.. sampe berdarah tangannya. Lalu kalo sedang di atas motor, dia sedang mengendarai motor, emm dia juga pernah istilahnya emm apa sih namanya.. kalo dia ada jengkel sama, trus dia ngendarain motornya ugal-ugalan kaya dikencengin gitu seolaholah kayak nantang bahaya gitukan seperti itu..” “Itu yang pernah saya alami, saya pernah ditampar, saya pernah ditendang, saya pernah emmm... dicekik juga, ya semacam kekerasan yang apa yaa... bentuk fisik yang bener-bener itu kekerasan gitu.. nggak cuma sekedar kesenggol atau apa, memang secara sengaja..” “Aduh… Gimana ya.. Nggak etis lah bahasnya kan.. Pokoknya intinya ya begitu dulu awal-awalnya ya semi-semi diperkosa gitu rasanya… Karena dia maksa, saya udah nggak mau.. Takut sama mama kan kalo ketauan.. Dulu aja ampe saya trauma…Padahal itu kan nggak ngapai-ngapain”
Sangat jauh berbeda dengan masa di awal pacaran, Doni yang dikenal sangat penyayang, mulai bersikap over-protective dan posesif terhadap Sari. Doni melarang Sari untuk bergaul dan bepergian dengan teman laki-laki, meskipun untuk mengerjakan tugas kelompok dalam mata kuliah tertentu. Tidak hanya teman laki-laki, Sari juga diminta untuk membatasi pergaulan dengan teman perempuannya. Doni selalu mengingatkan Sari untuk tidak terlalu akrab dan percaya terhadap teman perempuannya dengan menggeneralisasikan pengalaman pertemanan Sari sebelumnya. Doni meyakinkan Sari untuk terus mempercayainya dan menjadikannya satu-satunya orang yang dapat dipercaya oleh Sari. Kekerasan tersebut dialami oleh Sari tanpa Sari mengetahui dengan jelas alasan atau konflik yang menyebabkan kekerasan itu dilakukan Doni terhadap dirinya. Menurut Sari, sikap Doni yang posesif adalah salah satu alasan yang sering dijadikan konflik oleh Doni. Kecemburuan, sikap posesif, dan over protective Doni yang berlebihan berimplikasi pada sempitnya pergaulan
Sari di lingkungan sosial. Hal ini turut membuat Sari sangat bergantung pada kehadiran Doni disisinya. “Saya sendiri bingung sampe sekarang ya, maksudnya kadang halhal yang menurut saya itu tidak masalah menurut pandangan orang umum pun misalnya saya tanyain kalo saya begini tuh salah atau ngga gitu, dimata saya dan dimata orang-orang yang saya tanyakan itu sebenarnya bukan sesuatu harusnya dipermasalahkan misalnya seperti itu tapi bagi dia itu masalah begitu. Misalnya nih saya lagi kerja kelompok, saya kerja kelompok saya ga mungkin dong saya nolak misalnya kalo dosennya sudah menentukan ini ada cowoknya gitu kan.. padahal bukan saya yang milih gitu kan, misalnya dia merasa kamu ga boleh sekelompok yang ada cowonya, kamu harusnya sama cewe semua. Tapi kalo misalnya kita mau ngerjain kelompok emm yang dimana itu sudah diatur gitu kan, ya kita tidak bisa dong maksudnya ngubah sembarangan dan lagi tuhu posisinya saya mengerjakan tugas kelompok, saya bukan jalan-jalan, saya bukan hangout atau acara-acara bebas yang seperti itu.. dan dia marah misalnya, dia itu jengkel karena saya tetep pergi untuk kerja kelompok, dia bilang kerjain sendiri aja, tapi kan tetap ga mungkin saya kerjakan semua sendiri, ada kalanya saya memang membutuhkan bantuan orang lain. Sedikit posesif yang berlebihan lah seperti itu..”
Kekerasan berulang yang dialami Sari terus-menerus dalam kurun waktu kurang lebih 2 tahun membuat Sari merasa terbiasa dengan rasa sakit yang dirasakannya. Sari mulai bisa beradaptasi dengan situasi yang menyakitkan tersebut. Namun demikian, Sari masih merasa dirinya terancam, takut dan tidak nyaman karena Doni bisa ‘kumat’ sewaktu-waktu. “Emm.. sebenernya lebih banyak itu... emm terlalu banyak mungkin ya (tertawa kecil), saya jadi tidak bisa emm apa ya gimana ya.. sepertinya segala sesuatunya jadi kasar dia, seperti jadi sesuatu yang biasa, dari ngomong pun udah udah kasar terus, dari cara ngomong nggak ada lemah lembutnya gitu.. dari intonasi dari apa, terus dari tindakan juga.. ya seperti itulah..” “Jadi banyak hal-hal yang ekstrim yang dia lakukan untuk membuat kita tuh rasanya takut atau apa.. terancam gitu.. Kaya ngelemparin barang… Itu membuat saya terancam juga, maksudnya emm walaupun itu tidak mengarah kepada saya, tapi saya merasa itu satu tindakan yang sudah kasar ya.”
Melalui klasifikasi yang dikemukakan oleh Murray (2007) terkait jenis kekerasan, dapat diidentifikasi jenis-jenis kekerasan yang diterima Sari dalam relasi pacarannya dengan Doni sebagai berikut: Kekerasan Verbal
Kekerasan Seksual
Kekerasan Fisik
Name Calling (‘gendut’, ‘jelek’, ‘anjing’, ‘bangsat’, ‘babi’) Monopolizing Time (tidak ada waktu bermain dengan teman-teman) Making feel insecure (dengan menggunakan kata ‘bekas pakai’, ‘nggak laku lagi’) Blaming (melimpahkan kesalahan, menuduh) Manipulation (meyakinkan korban bahwa sang pacar yang terbaik) Making threats (diancam akan ditinggalkan) Interrogating (pencemburu, posesif, suka mengatur) Breaking items (melempar piring, memukul tembok dan lemari, memecahkan gelas) Pemaksaan untuk melakukan sexual intercourse dengan janji akan dinikahi di kemudian hari dan sebagai bukti cinta di antara keduanya. Ditampar, ditendang, dicekik
Tabel 4.3 Identifikasi Kekerasan Relasi Sari-Doni
b) Jerat Lingkaran Kekerasan dalam Relasi Pacaran Sari-Doni Kekerasan yang kerap terjadi dalam relasi intim Sari dan Doni membentuk suatu pola tarik menarik dan terhubung erat seperti lingkaran. Selama kurang lebih dua tahun Sari berada dalam lingkaran kekerasan yang terus berputar seperti siklus yang rutin. Pertimbangan untuk meneruskan atau mengakhiri hubungan tersebut juga tidak jarang terlintas dalam pikiran Sari. Sari berpikir untuk mengakhiri hubungannya dengan Doni setiap kali Doni melakukan kekerasan terhadap dirinya. Tidak hanya itu, Sari bahkan degan lugas mengutarakan hal tersebut kepada Doni sebagai ultimatum agar Doni berhenti melakukan kekerasan. Keputusan untuk berpisah juga berulang kali dilontarkan baik dari Sari maupun Doni. Namun, keputusan itu disadari oleh kedua pihak hanya bentuk pelampiasan dari emosi sesaat. Sari dan Doni
akan saling mencari dan menghubungi satu dengan yang lain ketika ada rasa rindu yang mengingatkan keduanya akan kenangan mereka. Ketika mereka memutuskan untuk kembali, tindak kekerasan akan terulang lagi. Seperti lingkaran kekerasan yang digambarkan oleh Walker (1979), lingkaran kekerasan pun terus mengikat kedua Sari dan Doni sebagai berikut: RESPONS SARI: Menutup wajah dari lemparan barang, menangis, memberikan ultimatum, mengancam akan meninggalkan Doni.
2. BATTERING - DONI Melempar barang, mendorong, memaki, mengintimidasi, melecehkan
1. TENSION BUILDING- DONI Cemburu dengan teman laki-laki Sari, waktu Sari terbagi dengan tugas kuliah, Sari tidak menuruti keinginannya
RESPONS SARI: Membela diri, mengutarakan alasan, memberikan penjelasan yang logis
POWER & CONTROL DENIAL
Pergi ke gereja, meyakinkan Sari bahwa Doni adalah laki-laki terbaik untuknya, mengingatkan Sari akan janji mereka tentang pernikahan
3. CONTRITION STAGE DONI Meminta maaf, mohon ampun, Berjanji akan berubah,
RESPONS SARI: Memaafkan, sepakat untuk kembali mempercayai, merasa senang dan penuh harapan.
Gambar 4.1 Lingkaran Kekerasan Relasi Sari-Doni
Pada kasus relasi Sari dan Doni, kekerasan terus berlanjut menjadi sebuah siklus yang tak terputus karena relasi yang terjalin diantara keduanya cenderung bersifat tertutup, dalam artian tidak ada orang lain yang dilibatkan dalam relasi tersebut. Rutinitas yang dilalui Sari dan Doni setiap kali mereka bertemu lebih banyak dihabiskan di kos Sari yang terbilang sangat sepi. Kos tempat Sari berdomisili di Salatiga hanya terdiri dari 4 kamar, satu kamar ialah milik empunya kos, 3 kamar lain disewakan ke penghuni kos, salah satunya Sari. Situasi kos Sari dari pagi hingga malam hari sangat sepi karena pemilik kos
bekerja setiap hari, sedangkan 2 orang teman kos lainnya lebih sering menghabiskan waktu di kampus. Situasi kos yang sepi itu tak jarang membuat Doni berani untuk melampiaskan kemarahannya jika sedang bekonflik dengan Sari. Selain itu, tidak ada teman atau kerabat Sari maupun Doni yang mengetahui tentang tindak kekerasan yang kerap terjadi dalam relasi mereka. Sikap Doni yang cenderung posesif membuat Sari terus menerus dijauhi oleh teman-temannya dan menjauhkan Sari dari pergaulan dan komunitas manapun. Doktrinasi Doni tentang pertemanan yang buruk juga meyakinkan Sari bahwa dirinya tidak memerlukan teman untuk berbagi pengalaman atau cerita. Bagi Sari, kehadiran Doni sudah cukup untuk mengisi hari-harinya. Relasi yang tertutup dan jauh dari jangkauan orang-orang di sekitar ini turut membuat lingkaran kekerasan dalam relasi pacaran Sari dan Doni terus berlanjut dan menguat dari waktu ke waktu. a) Kebertahanan Sari dalam Lingkaran Kekerasan Kekerasan yang dialami Sari dalam relasinya dengan Doni selama bertahun-tahun lamanya tidak melunturkan keinginan Sari untuk tetap mempertahankan relasi pacarannya dengan Doni. Ada beberapa hal yang ditelaah penulis terkait kehendak Sari untuk tetap bertahan dalam relasi yang menyakitkan baginya, yakni: 1. Adanya rasa mencintai dan dicintai Salah satu alasan kuat yang membuat Sari terus bertahan dalam relasi pacaran dengan Doni ialah rasa cinta yang begitu besar yang dimilikinya terhadap Doni. Ada keyakinan yang dipegang oleh Sari bahwa perasaan cinta terhadap Doni jauh lebih besar daripada perasaan sakit karena menerima perlakuan yang kasar dari Doni, sehingga Sari tidak mampu untuk memutuskan hubungan dengannya. Sari
beranggapan bahwa kerelaannya untuk disakiti merupakan bentuk pengorbanan yang dapat ia lakukan untuk Doni dan juga sebagai upaya mengerti keadaan Doni yang sedang mengalami konflik. “Aduh gimana ya.. Saya tuh merasa saya sayang banget sama dia.. Jadi saya rasa tuh kalo saya putus dengan dia tuh saya yang nggak kuat sendiri gitu, saya yang kehilangan, saya yang kangen, saya yang sedih... gitu kan yang galau. Pernah sih mencoba untuk ya... coba break lah mungkin ya lebih ke menenangkan pikiran dan lain sebagainya, tapi rasa sayang saya sama dia lebih besar daripada rasa sakit yang apa ya... ya saya sakit waktu saya dikasarin, tapi saya lebih sakit waktu saya nggak ada dia..”
Melalui pernyataan tersebut, sangat terlihat pula bahwa Sari meyakini bahwa sumber kekuatannya berasal dari Doni sehingga ia merasa tidak memiliki kekuatan untuk menjalani hari tanpa Doni. Ada indikasi ketidaknyamanan yang ditunjukkan Sari ketika berada dalam situasi terpisah dengan Doni. Hal ini membuat Sari lebih memilih untuk tetap menjaga agar relasi tersebut terus berlanjut. Selain itu, Sari mempercayai kata-kata Doni yang menyatakan bahwa ia mencintainya. Namun, tidak terlihat bahwa Sari benar-benar merasakan cinta dari Doni. “Ya cinta lah mbak.. Emmm… Ya dia sih bilangnya cinta.. Katanya dia nggak pernah seserius ini sama cewe.. Nggak pernah sampe mikir nikah juga. Tapi ya mungkin bener sih, soalnya kita sempet putus berkali-kali, tetep dia pasti baliknya ke saya lagi ke saya lagi.. Gatau ya tapi kenapa dia jahat sama saya, kadang saya mikir dia tuh nggak cinta sama saya”.
Keraguan Sari dalam merasakan cinta Doni menunjukkan bahwa Sari merasa kebingungan dalam mengidentifikasi dan memahami konsep cinta. Keyakinan Sari bahwa Doni mencintainya hanya ditegakkan dengan kehendak Doni yang terus mendekatkan diri padanya dan menginginkan relasi tersebut berlanjut ke pernikahan.
2. Adanya kecemasan tentang ‘mitos keperawanan’ Alasan lain yang membuat Sari bertahan ialah karena Sari merasa kecemasan setiap kali ia memikirkan ancaman dari pasangan bahwa tidak akan ada pria lain yang menerimanya karena Sari telah memiliki hubungan yang ‘jauh’ dengan Doni. Ada keyakinan terkait stereotip gender yang dianut Sari tentang perilaku seksual. Sari menganggap bahwa seorang perempuan yang belum menikah namun sudah tidak perawan, tidak berharga lagi di mata laki-laki karena dianggap tidak dapat menjaga kekudusan tubuhnya. Sedangkan, menurut Sari, laki-laki akan lebih mudah mendapatkan pasangan lagi meskipun ia sudah tidak perjaka karena tidak ada jejak yang membekas pada tubuh laki-laki tersebut. Oleh sebab itu, Sari merasa bahwa Doni ialah satusatunya laki-laki yang harus menjadi suaminya karena ia telah memberikan keperawanannya kepada Doni. “Soalnya gini lah mbak, saya kan sudah jauh pacarannya gitu kan, saya juga ditekan sama dia.. misalnya, kamu tuh sama saya sudah sejauh ini.. siapa yang mau sama kamu kalo misalnya saya tinggal? Gitu.. Kalo yang namanya cewe kan istilahnya kan sekali seumur hidup kan ya mbak ya.. Kalo misalnya cowok kan ya nggak masalah mau berkalikali kek dia mah nggak ada bekasnya gitu kan.. Tapi kalo kita kan belum tentu. Nah itu yang saya pikirkan juga, saya sudah sejauh itu jadi saya kalo mau lepas dari dia saya merasa saya rugi juga mbak”.
Kecemasan ini muncul karena intimidasi dari Doni yang terus-menerus meyakini dirinya bahwa Sari tidak akan mendapatkan laki-laki lain yang mau menerimanya jika ia melepaskan Doni. Sari merasa dirinya sudah tidak berharga lagi sebagai perempuan karena ia merasa gagal menjaga kekudusan tubuhnya. Melalui pernyataan Sari, dapat dilihat bahwa ada indikasi rasa tidak aman yang dialami Sari jika ia mengakhiri hubungannya dengan Doni terkait dengan isu penerimaan oleh pasangan berikutnya terhadap dirinya yang sudah tidak perawan. Konsep diri Sari juga menjadi negatif
karena intimidasi yang terus dilakukan Doni. Hal ini membuat Sari tidak pernah yakin untuk meninggalkan lingkaran kekerasan yang terus berulang dalam relasinya dengan Doni. 3. Adanya rasa nyaman dalam menjalani relasi Alasan lain yang menjadi pertimbangan Sari untuk bertahan dalam relasi tersebut ialah karena Sari merasakan kenyamanan ketika bersama dengan Doni selama 4 tahun ini. Doni merupakan sosok yang dapat mengisi kekosongan dalam hati dan keseharian Sari. Hampir dalam semua kebutuhan, mulai dari kebutuhan finansial (pemberian uang untuk makan sehari-hari dan belanja), kebutuhan fisik (kebutuhan untuk disentuh), kebutuhan untuk dicintai. “Susah mba cari yang lain mah.. Apa ya.. Udah nyaman banget saya sama dia.. Sekarang dia perhatian banget orangnya kan, care gitu lho sama hal-hal kecil aja care, saya makan apa, ada uang nggak, mau belanja apa.. Ya untungnya dia udah kerja juga..”
Meskipun setelah dua tahun relasi tersebut berjalan dan Doni mulai menunjukkan perilaku kekerasan terhadap Sari, namun Sari masih dapat merasakan kenyamanan jika Doni berada di dekatnya. Namun demikian, ada indikasi kuat yang menunjukkan bahwa kenyamanan yang dirasakan Sari dipicu oleh rasa bergantung pada pemenuhan kebutuhan yang selama ini diberikan oleh Doni. 4. Adanya harapan akan perubahan sikap Doni Menerima perlakuan kekerasan dari Doni hamper setiap waktu, tidak mengurungkan harapan Sari untuk menunggu Doni berubah menjadi sosok laki-laki yang lebih baik. Sari memiliki keyakinan bahwa setiap manusia bisa berubah dan Sari yakin Doni cepat atau lambat akan berubah menjadi baik kembali seperti Doni yang dikenalinya ketika pertama kali
mereka bertemu. Sari menganggap bahwa jika di tahun-tahun pertama relasi pacaran mereka, Doni bisa memperlakukannya dengan sangat baik, maka ada kemungkinan Doni dapat menjadi baik kembali. Keyakinan ini terus member kekuatan bagi Sari untuk mempertahankan relasinya dengan Doni. “Itu bukan hanya pikiran ya, itu harapan yang setiap harinya gitu.. saya berharap dia bisa kembali seperti dulu.. dimana dia tidak kasar seperti itu. Karena saya sempet merasakan dia yang baik gitu.. walaupun itu mungkin hanya sandiwara gitu untuk memenangkan hati saya. Ya.. saya nggak tau sampe kapan ya tapi saya percaya suatu saat dia akan berubah begitu”. “Iya, ini nih kasarannya takdir yang saya harus jalani mbak..”
Sari memiliki keyakinan bahwa keadaan yang dijalani sekarang bersama pasangan adalah sebuah takdir yang harus dihadapi dengan sabar dan ikhlas. Melalui pernyataan ini, dapat dilihat pula bahwa Sari merasa tidak berdaya untuk keluar dari situasi yang mengancam dan membuatnya terluka. Sari menunjukkan sikap pasrah terhadap apapun yang dilakukan Doni terhadap dirinya dan menyerahkan seluruh kendali dalam relasi tersebut seutuhnya di tangan Doni. 2. Gambaran Kelekatan Sari dan Orang Tua Lingkaran kekerasan yang menjerat Sari dalam relasi pacaran dengan Doni yang menempatkan dirinya sebagai korban bertahuntahun lamanya membuat penulis perlu mengaji lebih dalam mengenai relasi lekat antara Sari dan kedua orangtuanya di masa lampau hingga kini. Telaah ini penting untuk mendapatkan pemahaman mengenai ikatan emosi yang terjalin antara Sari dengan orang tua sebagai figur lekat pertama dalam kehidupannya, karena aktif atau tidaknya ikatan emosi yang terjalin di awal-awal masa
kehidupan tersebut terekam dalam memori jangka panjang dan menghasilkan pola lekat yang serupa dengan relasi Sari dengan siapapun di rentang kehidupan berikutnya. Namun, sebelum penulis menggambarkan pola kelekatan antara Sari dengan kedua orangtuanya, penulis menggambarkan terlebih dahulu relasi yang terjalin antara ayah dan ibu Sari dalam rumah tangga dan peran keduanya sebagai suami-istri. a) Gambaran Relasi Ayah-Ibu Sari Sari tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang tidak harmonis atau dapat dikatakan ‘broken home’ sejak ia berusia kurang lebih 5 tahun atau ketika Sari masih menginjak Taman Kanak-Kanak (TK). Pada usia tersebut, Sari seringkali menyaksikan pertengkaran yang berupa adu mulut hingga kekerasan yang dilakukan oleh ayah terhadap ibunya. Sari seringkali melihat ibunya dipukul, dimaki-maki, dan diancam dengan menggunakan pisau oleh sang ayah. Bagi Sari yang ketika itu masih berusia 5 tahun, pengalaman menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga ayah dan ibunya merupakan kenangan yang menyakitkan baginya, namun ia tidak dapat melakukan apapun untuk menolong ibunya karena ia masih terlalu kecil sehingga Sari hanya menyimpan dan memendam kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan hingga ia kini dewasa. Selain itu, sang ayah juga berselingkuh dengan perempuan lain hingga akhirnya menikah dan memiliki anak dari perempuan tersebut. Relasi ayah dan ibu semakin memburuk ketika sang ayah menikah lagi. Kekerasan yang diterima ibu semakin memburuk, namun ibu tidak melakukan pembelaan diri ataupun melaporkan kejadian tersebut ke pihak yang berwenang. Sang ibu tetap setia dan mencintai ayahnya meskipun sang ayah telah mengkhianatinya. Sang ibu meyakini bahwa ayah Sari yang ia nikahi puluhan tahun silam ialah sosok yang sangat baik, namun ia telah berubah drastis ketika bertemu dengan perempuan lain.
Meskipun Sari tidak pernah mengalami kekerasan langsung dari sang ayah terhadap dirinya, namun sang ayah memberikan pemahaman yang negatif tentang figur laki-laki di mata Sari karena ia telah berlaku tidak setia dan tidak bertanggung jawab pada istrinya. b) Gambaran Relasi Lekat Sari-Orang Tua Kelekatan yang terjalin antara Sari dan kedua orangtuanya dapat dilihat dari ada atau tidaknya perilaku lekat yang ditunjukkan oleh Sari maupun kedua orangtuanya. Relasi lekat ini berlaku dua arah, yakni dari Sari sebagai anak yang mencari figur lekat sebagai basis aman dirinya dan orang tua sebagai figur lekat yang berperan penting dalam pembentukan konsep ‘aman’ tentang dunia dan lingkungan di sekitar Sari. Pada dasarnya, perilaku lekat memiliki tiga komponen dasar yang diungkapkan oleh Bowlby (1982). Penulis mencoba menggambarkan perilaku lekat dengan menggunakan perspektif kelekatan Bowlby, namun tidak menutup kemungkinan munculnya hal baru yang ditemukan penulis dalam proses penggalian data dengan Sari. 1. Proximity Maintenance (Mencari Kedekatan) Proximity maintenance mencakup perilaku anak yang terus mencari kedekatan dengan figur lekat dan memelihara kedekatan tersebut. Perilaku ini dapat diamati pula melalui protes yang ditunjukkan anak ketika berada dalam situasi terpisah dari orang tua. a) Sari-Ayah: Relasi Sari dengan sang ayah dapat terbilang jauh atau tidak intim secara fisik maupun emosional sejak kecil hingga Sari beranjak dewasa. Kedekatan fisik dan emosional tidak pernah terjalin dengan sang ayah, melainkan kebutuhan finansial yang mendekatkan dirinya dengan ayah. Dengan kata lain, Sari menjadi terbuka dengan ayah terkait dengan kebutuhannya akan biaya-biaya yang harus dipenuhinya,
bukan tentang hal-hal yang mencakup pikiran dan perasaannya terhadap sesuatu. Tidak ada upaya untuk mencari kedekatan dan membina relasi lekat dengan sang ayah karena Sari merasa ayah telah mengecewakan dirinya dengan perilaku kekerasan yang dilakukan terhadap ibunya, juga karena penelantaran yang dilakukan ayah terhadap keluarga dengan perempuan lain.
keputusannya
menikah
lagi
dengan
“Yah.. Kalo sama papa sih paling minta duit aja… Itu juga dulu pas jaman masih kaya..” “Nggak.. Nggak ada itu dipeluk apa dicium sama papa.. Dingin.. Ya nggak akrab sih sama papa mah.. Cuma ya itu urusan bayar-bayaran kuliah aja, sama uang makan baru ngehubungin papa..” “Ya kalo dulu mah yaaa… Pas kecil masih lumayan sering lah diajakin belanja kan ke mall, beli baju-baju baru gitu kan.. Itu juga diem-diem dari mama… Itu yaa.. Apa ya.. Dulu banget lah.. Jaman bokap sehat! Hahaha… Pas dia udah ada istri lagi ya ngomong aja males..”
Sari menutup diri dari berbagai percakapan atau diskusi dengan sang ayah ketika ayah menikah lagi dan memiliki anak dari istri kedua. Penilaian Sari terhadap sang ayah sangat buruk dan hal itu membuat Sari juga tidak pernah melibatkan ayah dalam pengambilan keputusan yang dibuatnya. Bagi Sari, ayah adalah sosok yang tidak dapat ia percayai karena sang ayah telah mengkhianati ibunya. Penolakan dan sikap menghindar yang ditunjukkan Sari kepada ayahnya sekaligus menunjukkan kekecewaan dan luka yang amat besar dirasakan Sari sehingga kepercayaannya terhadap sang ayah pun hilang seketika saat mengetahui sang ayah berlaku kasar terhadap ibunya dan menikah serta memiliki anak lagi.
“Nggak… nggak ngomong.. Taunya kan juga dari si mama cerita kalo si papa teh kawin lagi…” “Yah boro-boro curhat, Mbak… Ngomong aja nggak pernah lagi kalo di rumah… Rasanya teh sakit ati gimana gitu kalo keinget kasarnya papa ke si mama..” “Ya.. Jadi kalo ketemu di rumah yaudah lewat aja gitu… Ini gegara si papa sakit aja jadi saya juga jadi sering balik Solo.. Itu juga disuruh mama, ceunah kesian si papa sakit parah, terus anak perempuannya nggak pulang-pulang”. “Kalo dulu sih pas kecil ya kadang nanya papa ada.. Kalo misalnya tuh ya pas mau beli baju.. ‘Pa, bagus nggak baju yang ini?’ Gitu.. Itu juga jarang.. Kalo sekarang kan saya udah segede gini yaa… Nggak pernah sama sekali tanya-tanya lagi soal apapun yaa Mbak.. Gatau rasanya kaya asing aja.. Bener deh asing.. Ya meskipun sekarang papa udah balik sama keluarga ya cuma kok saya yang malah jadi kayak nggak kenal papa lagi.. Beda Mbak soalnya…”
Sari mengungkapkan bahwa dirinya dan sang ayah tidak pernah bercerita tentang hal-hal yang mendalam terkait dengan pikiran dan perasaan atau rencana-rencana jangka pendek maupun panjang. Perkembangan Sari pada masa remaja hingga dewasa juga hilang dari pengamatan sang ayah karena ayah terlalu fokus pada pernikahan dan keluarga barunya. Seluruh perhatian ayah diberikan pada keluarga barunya sehingga Sari dan keluarga terbengkalai. Hal tersebut menyebabkan Sari merasa sangat jauh dengan keberadaan ayah sehingga ketika sang ayah kembali pada keluarga, Sari masih merasakan canggung dan sakit hati yang mendalam pada perlakuan ayah terhadap keluarga, terkhusus kepada ibunya. Sari berpikir bahwa ia tidak berdaya untuk menolong ibunya dari perlakuan kasar sang ayah. Ketika Sari berada dalam situasi terpisah dengan sang ayah pun Sari tidak merasakan ada sesuatu yang hilang. Hal itu membuat Sari tidak berkeinginan untuk menjalin komunikasi dengan
sang ayah via telepon atau Short Messenger Service (SMS) ketika mereka berada dalam situasi yang berjauhan. “Tentang perasaan saya gitu? Emmm… Nggak ya.. Nggak bisa berkutik saya juga.. Bisa apa coba.. Anak bawang kan saya mah, Mbak….” “Bukannya gimana yah Mbak.. Bukannya emmm.. Bukan nggak maapin… Cuman canggung aja.. Terus keinget gitu tindak tanduk dia kepada ibu saya itu jauh lebih menyakitkan.. daripada ibu saya disiksa mungkin lebih baik saya yang dipukul daripada ibu saya yang dibikin begitu..” “…Apa.. Pas awal kuliah? Nggak sih.. Nggak nyari.. nggak kangen juga.. Ya biasa-biasa aja lah, lah kalo ketemu aja nggak ngobrol, apalagi di telfon, Mbak.. “
b) Sari-Ibu: Sari memiliki kedekatan yang lebih erat kepada ibu daripada kepada ayah karena ayah jarang pulang ke rumah dan Sari melihat ayah menyiksa ibu, membuat ibu menangis. Kedekatan yang dimiliki Sari dengan ibunya mencakup kedekatan emosional dan kedekatan fisik. Sari merasa sangat menyayangi ibunya dan ia merasa tidak bisa berada dalam situasi yang terpisah dari ibunya. Pengalaman pertama Sari berpisah dengan ibunya ialah ketika Sari memutuskan berkuliah di luar kota. Hal tersebut membuat Sari setiap malam harus tetap berkomunikasi dengan sang ibu melalui telepon atau Short Messenger Service (SMS). Bahkan, Sari kerap menangis ketika merasa rindu dengan ibunya, namun hanya bisa mendengarkan suaranya melalui telepon. “Wah.. kalo sama mama sih saya baper banget deh mba.. Mama saya telfon saya tiap malem aja saya bisa nangis, saking kangennya, terus sedih kalo pas mama bilang lagi nggak ada uang atau belum bayar listrik lah apa lah, nggak bisa bayar kuliah saya lah. Rasanya saya mending berhenti kuliah aja biar langsung kerja bantuin mama saya. Kalo keadaannya mama saya yang sakit kayak papa saya, saya rela deh mba biar saya aja yang gantiin sakitnya asal jangan mama saya yang sakit”.
Rasa sayang Sari kepada selalu diungkapkan secara terbuka dalam bentuk kata-kata, perhatian, dan pengertian. Ada keinginan untuk melindungi ibu dari hal-hal buruk yang dapat menimpanya. Sari pun mencari ibu ketika ia membutuhkan pertolongan atau sekedar berbagi cerita tentang pengalamannya sehari-hari. Namun demikian, meskipun Sari tergolong dekat dengan ibunya, Sari tidak menunjukkan keterbukaan kepada ibunya. Ia memilih untuk tidak menceritakan persoalan yang bersifat pribadi kepada ibunya agar tidak menjadi masalah. “No…. Nggak semua bisa diceritain mbak.. Apalagi soal pacar-pacaran.. Hehh mending diem aja deh daripada ntar diocehin males.. Paling kalo soal kuliah ya terbuka. Ini kan saya juga terhambat banget ya mbak skripsi nggak kelar-kelar. Sampe bayar orang buat ngerjain juga malah kabur orangnya, ketipu 3 juta saya. Kaya gitu-gitu saya nggak bilang sama mama saya.. Ya saya cuma mau mama taunya saya baek-baek aja lah disini…”
Melalui pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa Sari berupaya untuk membuat sang ibu tenang dengan mengetahui dirinya baik-baik saja. Sari menampilkan diri yang baik dan patuh di hadapan ibunya. Tidak semua aturan yang diberikan oleh ibu diikutinya. Dalam hal berpacaran, ia menyembunyikannya dari kedua orangtuanya. Hal ini disebabkan karena sosok ibu dalam pandangan Sari merupakan sosok yang over-protective. Sejak kecil, ibu mengambil semua keputusan dalam hidup Sari, mulai dari hal kecil hingga hal besar. Sari tidak diijinkan untuk main bersama teman-temannya sepulang sekolah, harus memakai baju yang ‘cantik’ menurut ibunya, tidak boleh datang ke acara ulang tahun teman-temannya. Kemanapun Sari pergi selalu diantar jemput oleh ibunya. Sari hanya boleh mengikuti acara gereja dengan pendampingan ibunya. Hal itu dialami hingga Sari duduk di bangku SMA.
Sang ibu memiliki pandangan bahwa kegiatan yang bersifat positif dan baik bagi anaknya ialah kegiatan-kegiatan yang mengandung unsur kerohanian. Sari menganggap bahwa dirinya sulit sekali mendapatkan ijin dari sang ibu jika ia menemukan hal baru yang menarik untuk dilakukan. Kekhawatiran sang ibu yang berlebihan membuat Sari membatasi ruang gerak untuk eksplorasi. Ia memilih untuk menjadi pasif dan tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan di kampus. Banyak larangan yang diberikan oleh sang ibu demi kebaikan Sari, dan Sari merasa tidak keberatan dengan hal itu karena Sari meyakini bahwa aturan tersebut dibuat untuk kebaikan Sari. “Saya anak baik.. anak manis dan penurut. Ya itu sih yang diketahui sama papa mama saya..” “Mereka taunya ya saya ikutin, tapi pada kenyataannya saya banyak mangkir juga (tertawa).. Ya itu tadi.. Saya kan dilarang pacaran, tapi saya bolak-balik pacaran backstreet gitu.. Itu sih yang menurut saya paling nakal” “Ya… Misal kegiatan di gereja, ikut retreat, latihan nyanyi atau nari di gereja. Di luar itu sih bakal diinterogasi dulu kegiatannya kayak gimana, sama siapa, waktunya kapan, macem-macem lah..”
2. Safe Haven (Menjadi Tempat Perlindungan) Salah satu perilaku lekat lainnya yang dapat ditelaah dari relasi Sari dan kedua orang tua ialah perilaku safe haven. Safe haven merupakan perilaku yang ditunjukkan oleh figur lekat sebagai respons dalam menanggapi perilaku anak yang mencari kedekatan dengannya. Respons tersebut dalam berbentuk pemberian rasa nyaman, kehangatan, ketenangan, atau jaminan akan keselamatan pada waktu dibutuhkan. a) Ayah-Sari: Ayah tidak berperan dalam pemenuhan kebutuhan emosional maupun fisik bagi Sari sejak kecil. Sosok ayah
dikenal pekerja keras yang selalu memenuhi kebutuhan rumah tangga dan merupakan satu-satunya pencari nafkah di dalam rumah. Ada masa dalam kehidupan Sari dimana sang ayah masih memenuhi keinginan dan kebutuhannya. Ayah bukan sosok yang menunda untuk menyenangkan anaknya dan ia tidak ingin melihat anaknya menginginkan sesuatu hingga memohon. Ayah Sari cenderung royal dalam memberikan sesuatu kepada anaknya. “Ayah saya dari saya kecil tuh nggak bisa ngelihat saya ngerengek kalo mau sesuatu. Misal kan saya diajak jalanjalan gitu, terus ada barang yang saya mau beli, kayak baju gitu, pasti ayah langsung belikan. Dulu tapi itu jaman saya masih kaya.. Cuma ayah kadang diem-diem kasih saya jangan sampai mama saya tau. Ayah tuh kalo beliin baju saya nggak sembarangan dulu, brand bagus, mahal-mahal… Jaman dulu saya SD aja dibeliin celana harganya 300.000. Jaman dulu lho itu, mbak…”
Melalui pernyataan di atas dapat dilihat bahwa kebutuhan Sari yang dipenuhi oleh sang ayah hanya kebutuhan finansial. Sari tidak mendapatkan kehangatan atau rasa nyaman dari sang ayah karena Sari sangat jarang menerima sentuhan fisik dari ayah seperti dipeluk, digendong, dicium, dan lainnya. Hal ini juga menyebabkan Sari seringkali merasa canggung dengan sang ayah dan merasa jauh dengan ayah. Selain itu, ayah menunjukkan inkonsistensi dalam hal pemenuhan kebutuhan finansial Sari setelah sang ayah menikah lagi. Hal ini kerap menimbulkan kecemasan bagi Sari untuk membiayai hidupnya sendiri. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa sosok ayah bukan tempat Sari mencari perlindungan ketika Sari berada dalam situasi yang sulit dan menekan dirinya. b) Ibu-Sari: Berbanding terbalik dengan sang ayah, ibu Sari lebih memenuhi kebutuhan fisik dan emosional Sari. Sang ibu
cenderung hangat dan mudah mengungkapkan rasa sayangnya melalui kata-kata maupun sentuhan fisik seperti pelukan atau ciuman. Bagi Sari, sejak kecil sang ibu merupakan sosok yang dapat diandalkan karena ibu selalu hadir dalam setiap Sari membutuhkan pertolongan. Perhatian sang ibu kepada Sari juga membuat Sari merasa disayang oleh ibunya. Ibunya selalu berusaha memperhatikan Sari mulai dari hal-hal kecil, seperti kegiatan Sari, kebutuhan makan, kebutuhan bercerita. “Ya… Lengket kalo sama mama sih.. Sampe dibilang tuh.. apa.. anak mamih… Hahaha.. Ya emang anaknya mamih kan, cuek aja saya sih.. Romantis saya mah kalo sama mama… Ya pelukan, dicium.. Mama jauh lebih hangat lah dari papa..“
Namun, ibu Sari tidak dapat memenuhi kebutuhan Sari dalam hal finansial karena sang ibu tidak bekerja dan hanya mengandalkan uang dari ayah Sari yang cenderung tidak stabil penghasilannya. Terlebih, ketika sang ayah telah sakit kanker, Sari tidak lagi dibiayai oleh ayah maupun ibunya. Hal itu membuat Sari setiap harinya merasa cemas dan sangat sedih hanya kareana ia memikirkan kelanjutan hidupnya. Konsentrasi Sari terhadap perkuliahan juga menjadi terpecah dan Sari kebingungan untuk membayar uang kuliah, uang makan, uang kos atau uang fotocopy dan lainnya. “Harus.. harus banget.. Mama perhatian banget, selalu nelfon, tanya udah makan belom, makan apa, kegiatannya apa… Tapi ya cuma bisa tanya aja.. Kalo soal duit mama nggak bisa bantu soalnya.. Mama kan nggak kerja kaya papa, papa juga sekarang sakit udah nggak kerja.. Mama akhirnya kerja pabrikan, sekali dateng Cuma dibayar 20 rebu.. Itu buat pengobatan papa.. Jadi yah… Yah… Gini deh saya.. Bingung juga besok makan apaan… ”
3. Secure Base (Menjadi Basis Aman)
Perilaku lekat lain yang dimunculkan oleh orang tua sebagai figur lekat sebagai tanda kelekatan yang terjalin ialah dengan tersedia atau tidak tersedianya orang tua sebagai basis aman bagi Sari untuk eksplorasi. Figur lekat yang peka melihat dunia dari sudut pandang anak dan memperlakukan anak dengan pemahaman yang mendalam, pemberian kebutuhan dan kasih sayang. Selain itu, figur lekat juga menunjukkan respons menerima anak secara utuh. a) Ayah-Sari: Melalui pengalaman bersama ayah dari kecil hingga dewasa ini, Sari menunjukkan bahwa sosok ayah tidak dapat dijadikan basis aman oleh Sari. Selain karena relasi keduanya tidak dekat, Sari juga merasa tidak aman dengan keberadaan ayah karena Sari telah menanamkan persepsi negatif tentang figur ayah yang erat dengan kekerasan terhadap perempuan. Meskipun kekerasan tersebut tidak ditujukan kepada dirinya, namun hal tersebut tetap membuat Sari merasa tidak aman karena ia dapat menyaksikan ibunya dilukai oleh sang ayah kapanpun. “Iya saya ini merasa ayah saya ini negatif walau pada akhirnya dia kembali dan saya sudah berdamai, sudah memaafkan, ayah saya juga sudah baik, tapi ya sedikit banyak apa yang dialami ibu saya sangat berpengaruh dalam em.. cara saya menilai lawan jenis.. dalam saya juga dasar-dasar pertimbangan saya memilih pasangan.. Ya gatau juga ya.. Liat ntar deh sambil jalan aja..”
Melalui pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa Sari menjadikan ayah sebagai tolak ukur penetapan standar dalam pemilihan pasangan di kemudian hari. Ada indikasi rasa cemas dan kebingungan yang ditunjukkan Sari tentang kriteria pasangan yang ideal karena Sari tidak dapat melihat figur laki-laki baik dari ayahnya. b) Ibu-Sari:
Meskipun Sari memiliki kedekatan dengan ibunya, namun Sari juga tidak nampak menjadikan ibu sebagai basis aman bagi dirinya. Ibu dianggap sebagai sosok yang over-protective. Namun sikap tersebut diinterpretasikan oleh Sari sebagai wujud rasa sayang yang berlebihan sehingga sang ibu tidak ingin anaknya mendapatkan kesulitan. Hal ini menunjukkan bahwa sang ibu sebenarnya membatasi ruang eksplorasi Sari, yang dinyatakan oleh Bowlby bahwa hal ini memicu pandangan bahwa dunia tidak aman untuk dieksplorasi. Sikap ibu yang over-protective membuat Sari tertekan, dan merasa tidak dapat menjadi diri sendiri. Sari memiliki keinginan untuk memberontak dan bebas. Hal ini juga membuat Sari menutupi atau menyembunyikan diri yang sebenarnya dan berharap agar dapat secepatnya lepas dari pengawasan ibunya. “Itu mengajarkan saya untuk tidak terbuka sebenarnya. Tidak bisa menjadi diri sendiri, apa yang kita mau kita nggak bisa ya kan, kita tertekan.. Ada rasa ingin memberontak, ingin bebas, ingin seperti orang yang lain.. Kaya ‘aduh temen aku enak banget masa-masa muda, masa-masa remaja itu kan masa yang paling happy.. ya kan bisa menikmati jalan-jalan lah sama temen, nonton sama temen, hangout gimana lah party sama temen.. itu nggak saya alami. Makanya saya sedikit merasa gimana sih caranya secepetnya saya tuh bisa lepas gitu..”
Dapat disimpulkan, pola kelekatan yang terjalin antara Sari dan kedua orangtuanya tergolong dalam jenis ambivalent-insecure attachment. Hal ini dapat dilihat dari pola perilaku lekat yang tidak konsisten ditunjukkan oleh orang tua sebagai figur lekat maupun Sari. Pemenuhan kebutuhan yang inkonsisten dari kedua orang tua terhadap Sari baik dari segi emosional, fisik, maupun finansial turut memicu munculnya kecemasan yang berkelanjutan untuk menjalankan hidupnya. Selain itu, inkonsistensi emosi juga ditunjukkan oleh Sari terhadap ibunya. Di satu waktu, Sari merasa sangat menyayangi ibunya dan rela berkorban demi kebahagiaan
ibunya, namun di sisi lain Sari merasa sangat terkekang dan tidak suka dengan cara ibu memperlakukannya seperti anak kecil. Pola lekat yang insecure ini membuat Sari tumbuh dengan kebingungan. Sari tidak pernah yakin apakah ekspresi kecemasan atau stress yang dirasakannya perlu untuk ditunjukkan. Ada hambatan dari pola perilaku lekat dan perlindungan yang konsisten oleh orang tua sehingga muncul perasaan pada Sari bahwa mengeksplorasi dunia dan lingkungan sekitar bukanlah pilihan yang tepat. Hal ini berdampak pada rendahnya keinginan Sari untuk mengeksplorasi hal-hal baru dan sempitnya cara pandang Sari terhadap sesuatu.
3. Dinamika Pola Kelekatan Sari dengan Orang Tua dan Kebertahanan Sari dalam Lingkaran Kekerasan Setelah mendapatkan gambaran tentang pola kelekatan Sari dengan orang tua sejak kecil hingga dewasa dan juga melihat alasan di balik kebertahanan Sari dalam lingkaran kekerasan, penulis melihat fenomena ini sebagai satu rangkaian pola sebab-akibat yang berkesinambungan. Bowlby (1983) mengemukakan bahwa pola kelekatan yang terjalin antara anak dan orang tua sebagai figur lekat membentuk internal working models dalam persepsi anak sepanjang hidup terkait respons emosional dan pertimbangan-pertimbangan yang dibuatnya. Untuk dapat melihat dialektika antara keduanya, penulis menguraikan terlebih dahulu tentang karakteristik serupa yang dimiliki oleh ayah dan ibu Sari dengan Doni. AYAH SARI-DONI
IBU SARI-DONI
Ayah Sari dan Doni memiliki karakteristik yang serupa, yakni keduanya melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan. Sang ayah melakukan kekerasan pada ibunya, sedangkan Doni melakukan kekerasan terhadap dirinya. Respons yang ditunjukkan Sari kepada Doni dalam situasi kekerasan yang dialaminya juga
Ibu Sari sebagai figur lekat memiliki karakteristik dengan Doni, yakni sifat yang over-protective terhadap Sari. Ibu sejak kecil melarang Sari untuk bermain bersama teman-temannya, bahkan dilarang untuk hadir di acara ulang tahun temannya. Hal kecil seperti pemilihan baju yang hendak dikenakan pun diatur oleh sang ibu. Sari meyakini
serupa dengan respons ibu menanggapi kekerasan oleh sang ayah, yakni diam, tidak ada perlawanan, dan berharap bahwa suatu hari pasangannya pasti berubah. Melihat sang ibu mengalami kekerasan dari ayahnya juga hanya membuat Sari diam, meskipun Sari merasa sangat sedih dan ada keinginan untuk menggantikan posisi ibunya. Kemiripan lainnya ialah sosok kedua laki-laki ini merupakan sosok yang dapat memenuhi kebutuhan finansialnya. Interpretasi: 1.Ayah memberikan model pencetakan (imprint) yang buruk tentang konsep laki-laki yang baik sehingga Sari tidak mendapatkan pemahaman yang benar tentang pemilihan pasangan. 2. Ada rasa bersalah terhadap figur ibu karena Sari tidak berdaya menolong ibu ketika mengalami kekerasan. Rasa bersalah ini termanifestasi dalam bentuk penerimaan diri sebagai korban kekerasan. 3.Adanya internalisasi terhadap konsep stereotip gender dalam persepsi Sari yang meletakkan perempuan sebagai pihak yang tidak berdaya untuk keluar dari lingkaran kekerasan.
bahwa hal tersebut dilakukan ibunya demi kebaikan dirinya. Sifat tersebut juga ditunjukkan Doni terhadap Sari. Doni melarang Sari untuk bermain dengan teman-teman kuliahnya, dan tidak boleh satu kelompok dengan teman laki-laki dalam mengerjakan tugas kuliah. Sari juga diminta untuk membatasi pergaulannya. Situasi terpisah yang dimunculkan antara relasi Sari dengan ibu maupun Doni membuat Sari merasakan kesedihan yang mendalam dan terbawa dalam perasaan kehilangan. Interpretasi: 1.Ibu membentuk konsep ‘aman’ dengan perlunya proteksi atau perlindungan yang berlebihan. Proteksi berlebih yang juga diberikan Doni dapat diterima dengan mudah oleh Sari sebagai wujud dari cinta dan perhatian. 2.Sari tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk eksplorasi. Tidak ada dukungan eksternal dari para figur lekat bagi Sari untuk dapat mengeksplor lingkungan sekitar. 3.Adanya kecemasan dan sikap depresif dalam merespons situasi terpisah dengan figur lekat sehingga Sari terus mencari cara untuk mendekatkan diri dengan figur lekat.
Tabel 4.4 Karakteristik Figur Lekat Sari
Dapat dilihat, Doni memiliki kemiripan karakteristik dengan ayah dan ibu Sari, mulai dari perlakuan yang diberikan terhadap Sari hingga respons Sari menghadapi perlakuan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa relasi lekat yang dijalin oleh Sari dengan kedua orangtuanya di masa lampau hingga saat ini turut membentuk persepsi Sari tentang proses membangun dan mempertahankan relasi dengan Doni. Keserupaan ciri yang dimiliki oleh Doni dengan kedua orangtuanya membuat Sari merasa nyaman berada
dalam relasi pacaran dengan Doni karena melalui relasi tersebut, Sari mendapatkan representasi kehadiran orang tua didekatnya. Dengan kata lain, Sari membentuk proses pembiasaan dengan perlakuan orang tua, khususnya ibu terhadap dirinya dan menjadikannya ‘standar basis aman’ yang harus dimilikinya, meskipun sebenarnya sikap over-protective dan kekangan yang diberikan oleh itu justru berdampak buruk bagi optimalisasi perkembangan kognisi dan afeksi Sari. Sari menjadi cemas jika berhadapan dengan situasi baru karena Sari tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk eksplorasi dan membentuk pemahaman subjektif bahwa dunia adalah tempat yang aman untuk bereksplorasi dan mengembangkan diri. Hal ini menyebabkan Sari sulit untuk mengambil keputusan-keputusan penting untuk kebaikan dirinya sendiri karena ‘rasa aman’ hanya dapat dirasakan Sari ketika berada dalam proteksi dan perlindungan ketat dari ibu dan Doni sebagai figur lekat, bukan melalui proses eksplorasi. Kesulitan dalam pengambilan keputusan membuat Sari juga rentan terhadap kegagalan untuk menghadapi situasi yang sulit, seperti persoalan perkuliahan, pertemanan, dan percintaan. Sari juga menjadi mudah tertekan jika menghadapi situasi terpisah dengan ibu maupun Doni. Hal ini disebabkan karena Sari menganggap ibu dan Doni ialah basis aman yang melindunginya dari berbagai ancaman. Namun, penulis melihat bahwa ‘rasa aman’ yang dirasakan Sari ketika berada dengan figur lekat merupakan bentuk dari rasa ketergantungan yang berlebihan terhadap figur lekat karena jika ditelaah lebih mendalam, tidak ada basis aman (secure base) bagi Sari untuk eksplorasi dan menjadi diri sendiri. Kesedihan mendalam dan sikap depresif yang ditunjukkan Sari sebagai respons menghadapi perpisahan merupakan indikasi kuat bahwa Sari tumbuh menjadi individu yang insecure sehingga Sari merasakan kecemasan untuk keluar dari relasi pacaran yang mengandung unsur kekerasan didalamnya.
Oleh karena sejak kecil Sari tidak pernah diberi kesempatan untuk melakukan eksplorasi, proses adaptasi dan kemampuan mengelola konflik internal (terkait pikiran dan perasaan) maupun eksternal (relasi dengan orang lain dan lingkungan sekitar) juga menjadi tumpul. Ketumpulan ini berimplikasi pada kegagalan untuk mengatasi situasi sulit yang menekan dan menyakitkan. Situasi keterpisahan dengan Doni sebagai figur lekat pengganti juga menimbulkan kecemasan yang mendalam pada diri Sari meskipun Sari menyadari bahwa relasinya dengan Doni yang mengandung kekerasan tidak baik untuk diteruskan. Kecemasan terhadap perpisahan ini tidak dapat dikelola dengan baik oleh Sari sehingga lebih mudah bagi Sari untuk merasionalisasikan kecemasan tersebut menjadi bentuk pengorbanannya dalam mencintai Doni. Disimpulkan bahwa pola kelekatan Sari dengan ibu sebagai figur lekat pertama membuat Sari tumbuh menjadi individu yang insecure dan tidak berdaya untuk keluar dari jerat lingkaran kekerasan yang dialaminya dengan Doni. e) Pembahasan Kasus Sari Melalui paparan jerat lingkaran kekerasna yang dialami Sari dan pola kelekatan yang terjalin antara Sari dengan kedua orang tua dari masa anak hingga remaja, berikut ialah rincian dinamika pola kelekatan Sari dengan orang tua dan pacar: KOMPONEN KELEKATAN Proximity Maintenance
Safe Haven
Ada (mengarah kepada ibu) Pencarian kedekatan beserta upaya menjaga relasi hanya ditunjukkan Sari kepada figur ibu. Tidak ada upaya untuk mendekatkan diri kepada figur ayah karena ayah dianggap sebagai figur yang tidak baik. Ada (diberikan oleh ibu) Figur ibu merupakan tempat perlindungan bagi Sari ketika ia berada dalam situasi yang mengancam. Ibu memberikan kehangatan melalui kontak fisik seperti pelukan, ciuman, dan dukungan kepada Sari untuk melalui situasi sulit yang dihadapinya. Sebaliknya, figur ayah tidak dapat dijadikan tempat perlindungan bagi Sari
Secure Base
Pola Kelekatan
karena Sari merasa tidak aman dengan kekerasan yang dilakukan ayah terhadap ibunya. Tidak ada Kedua figur lekat tidak dapat dijadikan basis aman untuk Sari mengeksplorasi dunianya. Figur ibu yang overprotective cenderung membatasi ruang gerak Sari. Hal ini berdampak pada kurangnya kemampuan Sari untuk menghadapi situasi sulit dan mengambil keputu-san tertentu. Ambivalent-insecure
INFORMASI PENDUKUNG Kebutuhan yang tidak terpenuhi oleh ayah Kebutuhan yang tidak terpenuhi oleh ibu Kebutuhan yang dipenuhi pacar Riwayat Kekerasan dalam Keluarga Riwayat kekerasan dalam Pacaran
Kebutuhan fisik, kebutuhan emosional Kebutuhan finansial Kebutuhan fisik, kebutuhan emosional, kebutuhan finansial Sari tidak mengalami secara langsung, melainkan berlaku sebagai pengamat perilaku kekerasan yang dilakukan ayah terhadap ibunya. Sari mengalami kekerasan verbal, kekerasan fisik, dan kekerasan seksual dari Doni.
Tabel 4.5 Kerangka Pola Lekat dan Kebutuhan Sari
Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh penulis terhadap Sari yang memilih untuk bertahan dalam relasi pacaran yang mengandung jerat lingkaran kekerasan didalamnya, maka penulis memiliki beberapa temuan terkait dengan kebertahanan Sari yang terjerat dalam lingkaran kekerasan di dalam relasi pacaran: Temuan 1: Kebertahanan sebagai Korban Kekerasan Merupakan Manifestasi Kecemasan dari Pola Lekat Ambivalent-Insecure dengan Orang Tua Ketidaktersediaan basis aman yang konsisten bagi Sari untuk eksplorasi dan memahami bahwa dunia adalah tempat yang aman untuk dieksplorasi memunculkan kecemasan yang berlebihan terhadap situasi terpisah dengan orang tua sebagai figur lekat dari masa anak hingga remaja. Kecemasan tersebut beralih dari orang tua sebagai figur lekat pertama ke pacar sebagai figur lekat di masa dewasa seiring dengan beralihnya perilaku lekat secara berangsur. Inkonsistensi dari
pengadaan basis aman ini berimplikasi pada kurangnya minat untuk keluar dari situasi yang telah dianggap nyaman, meskipun tidak aman. Terbatasnya ruang eksplorasi yang diberikan kepada Sari juga turut berimplikasi pada kurangnya kemampuan untuk mengatasi kecemasan atas situasi perpisahan dengan pacar yang dijadikan sebagai figur lekat. Hal ini dijelaskan oleh Bowlby (1973) bahwa ketika relasi dengan orang yang dicintai terancam perpisahan, emosi yang muncul ialah kecemasan dan juga kemarahan. Sebagai respons atas risiko kehilangan, kecemasan dan kemarahan ini berlangsung bergantian. Ketika pasangan mulai terlihat menjauh, pemanggilan memori atas kejadian-kejadian positif yang membuat individu mencintai dan peduli terhadap pasangan tersebut dapat memulihkan situasi berjarak yang terjadi. Akibat dari insekuritas yang dimunculkan dari pola lekat dengan orang tua, kecemasan terhadap perpisahan ini tidak dapat diregulasi dengan baik oleh Sari sehingga ia memilih untuk bertahan dalam relasi yang merugikan. Temuan 2: Mitos Keperawanan Berimplikasi pada Konsep Keberhargaan Diri Pada kasus Sari, ditemukan bahwa ideologi tentang keperawanan turut membuat Sari menjeratkan diri dalam lingkaran kekerasan. Konstuksi nilai yang ditanamkan oleh ibu tentang pentingnya menjaga ‘kekudusan’ kepada Sari sejak ia kecil menyebabkan hilangnya rasa berharga atas diri sendiri karena hubungan sexual intercourse yang dilakukannya dengan pacar. Ada indikasi rasa bersalah dan rasa malu mendalam yang dirasakan oleh Sari dan berdampak pada terbentuknya persepsi tentang konsep diri yang negatif. Hal ini diperkuat dengan intimidasi pacar terkait dengan keberhargaan seorang perempuan yang diletakkan pada keperawanan. Ideologi tentang keperawanan menjadi hal yang sangat mencemaskan bagi Sari sehingga itu menjadi alasan kuat Sari bertahan dalam relasi tersebut. Ideologi tentang keperawanan merupakan bentuk konstruksi nilai-nilai sosial yang ditanamkan oleh
ibu sehingga membentuk persepsi atau keyakinan-keyakinan yang dipegang teguh oleh Sari. Ketika keyakinan akan pentingnya keperawanan tersebut tidak berjalan sesuai dengan pengalaman yang dijalani, konsep keberhargaan diri turut menurun drastis. Temuan 3: Adanya Dorongan Pemenuhan Kebutuhan Kontak Fisik dan Emosional sebagai Implikasi dari Ketiadaan KontakKontak Tersebut dengan Figur Lekat Pertama Laki-Laki Selain itu, ‘kekosongan’ yang dialami Sari akan kebutuhan fisik seperti sentuhan juga turut berkontribusi terhadap kebertahanan keduanya dalam relasi pacaran. Ketiadaan sentuhan dari orang tua – khususnya ayah sebagai figur lekat yang belainan gender – sejak kecil, membuat Sari merasa asing dengan rasa nyaman yang dimunculkan dari sentuhan itu sendiri sehingga ketika sang pacar memberikan kepadanya, rasa nyaman yang tidak pernah dirasakan sebelumnya menjadi sebuah ketergantungan yang sulit untuk dilepaskan. Persepsi yang buruk tentang figur ayah sebagai figur lekat laki-laki pertama dalam kehidupan Sari pun turut membentuk ekspektasi yang tinggi tentang karakteristik laki-laki ideal bagi Sari. Namun demikian, keserupaan karakteristik yang dimunculkan oleh Doni dan ayah Sari yang cenderung melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan nampaknya menjadi cetakan (imprint) yang dipelajari secara tidak sadar dan menjadi proses penerimaan berulang. Temuan 4: Adanya Proses Habituasi yang Terbentuk dari Relasi dengan Figur Lekat Pertama Perempuan Pada situasi yang menuntut korban untuk menentukan kebertahanan dalam relasi kekerasan yang dialami oleh korban, relasi lekat dengan ibu sebagai figur lekat pertama perempuan memiliki implikasi yang kuat dalam membentuk proses pembiasaan (habituasi) dalam merespons stimulus tertentu. Proses habituasi ini dialami Sari dengan relasinya bersama Doni yang bersifat over-protective terhadap dirinya. Perlakuan Doni tersebut sama dengan perlakuan ibu Sari yang
juga over-protective sejak Sari kecil hingga dewasa sehingga Sari merasa bahwa perilaku over-protective merupakan hal yang lazim dilakukan oleh orang yang mencintai dirinya. Temuan 5: Adanya Proses Pembelajaran Sosial Melalui Latar Belakang Keluarga ‘Broken Home’ Latar belakang keluarga memiliki peran krusial dalam membentuk pengalaman belajar Sari tentang konsep keluarga. Keluarga yang ‘broken’ dan tindak kekerasan dari ayah kepada ibu yang terus diamatinya perlahan dan dikuatkan oleh tindak kekerasan yang dilakukan pacar terhadap dirinya turut membentuk skema tentang relasi interpersonal dengan lawan jenis. Bandura (1977) menjelaskan tentang observational learning yang dapat terbentuk dari proses modeling (meniru figur yang dijadikan panutan). Dalam kondisi Sari yang sejak kecil terbiasa melihat tindak kekerasan terjadi terhadap ibunya, dan respons ibu Sari yang diam ketika menerima perlakuan tersebut, membuat Sari belajar bahwa ketika ia mengalami kekerasan serupa dari sang pacar, ia juga meniru respons yang ditampilkan ibu kepada ayahnya. Ibu menjadi model pembelajaran bagi Sari dalam mengatasi situasi serupa. Hal ini yang juga membuat Sari bertahan dalam relasinya dengan Doni. 2. Analisis Deskriptif Subyek Kedua (Dinda) a) Identitas Diri Dinda Nama : Dinda (bukan nama sebenarnya) Usia : 25 tahun Kota Asal : Lampung Kota Domisili : Solo Pendidikan Terakhir : Sekolah Menengah Atas (SMA) Pendidikan Berjalan : Strata 1 Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga Jurusan : Psikologi Agama : Katolik
Status Perkawinan Urutan Kelahiran
: Belum Menikah : Anak ke-2 dari 3 bersaudara
b) Hasil Observasi Observasi juga dilakukan peneliti terhadap Dinda selama proses interview dilangsungkan. Dinda cenderung menjawab setiap pertanyaan yang diajukan peneliti dengan emosi yang stabil dan nada suara yang tenang. Dinda tampak menjadikan pertanyaanpertanyaan yang diajukan sebagai refleksi bagi dirinya, khususnya ketika menanggapi pertanyaan terkait kenangan masa kecil bersama kedua orangtuanya. Hal ini terlihat dari jawaban Dinda yang seketika terpenggal-penggal dan memberi pertanyaan refleksi pada dirinya sendiri. Gejolak emosi Dinda hanya terlihat ketika menjawab pertanyaan seputar perselingkuhan pacarnya. Dinda menunjukkan perubahan respons emosional yang drastis, seperti kening yang dikernyitkan, pipi yang memerah, nada suara yang meninggi dan memekik, tangan yang dikepal serta gestur jari yang menunjuk-nunjuk ketika menyebutkan nama-nama perempuan yang menjadi selingkuhan pacarnya. c) Latar Belakang Dinda Dinda merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak pertamanya perempuan dan adiknya ialah seorang laki-laki. Jarak usia Dinda dengan kakak perempuannya sekitar 3 tahun dan 2 tahun selisih usia dirinya dengan adik laki-laki. Dinda dibesarkan dalam keluarga Katolik, namun ritual keagamaan jarang dilakukan bersama-sama dengan keluarga. Dinda lahir dan besar di Lampung bersama keluarganya. Sejak kecil, Dinda beserta dua saudaranya dirawat oleh masing-masing satu baby sitter. Hal ini dikarenakan ayah dan ibu seringkali meninggalkan anak-anaknya di rumah ketika sedang sibuk bekerja di luar rumah. Situasi tersebut berlangsung
hingga Dinda berusia kurang lebih 8 tahun. Peran pendampingan orang tua dalam urusan sekolah, ibadah, dan kursus tertentu juga digantikan oleh baby sitter masing-masing anak. Ayah dan ibu Dinda tidak pernah hadir dalam acara-acara sekolah karena kesibukannya mencari uang untuk keluarga. Kegigihan ayah dan ibu dalam mengumpulkan uang di setiap waktunya membuat Dinda dan keluarga memiliki status ekonomi yang jauh di atas rata-rata. Untuk menggantikan waktu yang hilang dengan anak-anak, ayah dan ibu Dinda selalu mengajak Dinda beserta saudara-saudaranya dan para baby sitter-nya untuk berlibur ke Jakarta di setiap akhir pekan. Selain itu, makan malam juga merupakan waktu yang tepat bagi Dinda dapat berkumpul dengan keluarganya lengkap. Namun demikian, hal tersebut tidak cukup bagi Dinda untuk membuka diri terhadap orangtuanya dan sangat sulit bagi Dinda untuk melakukan kontak fisik dengan orang tua. Dinda lebih dekat dan nyaman menceritakan apapun dengan baby sitter yang mengasuhnya dari kecil. Kedekatan dengan baby sitter ini berlangsung hingga Dinda SMP. Seiring berjalannya waktu, Dinda tumbuh menjadi anak yang berani, tegar, mandiri dan mencintai kebebasan. Dinda dapat melakukan semuanya sendiri dan juga mengambil keputusan sendiri tanpa bantuan orangtuanya. Dinda dapat bergaul dengan temanteman yang ia kehendaki. Kepenuhannya dalam hal finansial membuatnya dapat melakukan dan membeli apa saja yang ia inginkan. Namun demikian, konsep keluarga dalam diri Dinda cenderung samar-samar karena ia merasa tidak memiliki kedekatan yang intim dengan keluarganya, terkhusus dengan sang ibu dan kakak pertamanya. Relasi Dinda dengan sang kakak cenderung buruk. Dinda terus mengalami konflik dengan sanga kakak sejak kecil hingga ia duduk di bangku SMP. Sang kakak seringkali membully Dinda dengan ejekan ‘anak pungut’ hingga membuat Dinda yang kala itu berusia 5 tahun kabur dari rumah. Rumah yang ‘dingin’
membuat Dinda memutuskan untuk menempuh pendidikan tinggi di salah satu universitas di Salatiga agar ia jauh dari keluarganya. Ia mengambil jurusan Psikologi tahun 2006 dan menamatkan gelar kesarjaannya tahun 2013. d) Analisis Kasus Dinda 1. Gambaran Kekerasan dalam Relasi Pacaran Dinda-Rendi a) Identifikasi Jenis Kekerasan Dinda telah menjalani relasi pacaran dengan Rendi selama kurang lebih 5 tahun. Dinda dan Rendi berkenalan di kampus. Mereka belajar di satu fakultas yang sama, namun selisih 2 angkatan. Dinda 2 angkatan lebih awal dibandingkan Rendi. Namun jika dilihat dari usia, Dinda 3 tahun lebih tua daripada Rendi. Pada awalnya, Dinda tidak tertarik kepada Rendi secara fisik. Mereka saling mengenal sebagai teman main sehingga terbiasa menghabiskan waktu luang bersama. Rendi yang juga berasal dari kota yang sama dengannya juga membuatnya merasa cocok untuk berteman dengannya. Kedekatan mereka di awal juga dikarenakan teman-teman Rendi meminta Dinda untuk memantau dan memberikan nasihat tentang perkuliahan Rendi yang seringkali absen hingga melebihi batas. Dinda memutuskan untuk menjalin hubungan pacaran karena beberapa alasan, yakni adanya rasa nyaman dan terbiasa melakukan kegiatan bersama-sama dan adanya rasa kasihan dengan Rendi karena Rendi terlihat lemah dan tidak dapat menghandle dirinya sendiri. Tidak ada komitmen berpacaran yang disepakati oleh Dinda dan Rendi. Keduanya terbiasa bersamasama hingga muncul rasa memiliki dan mengikat satu dengan lain. Namun seiring berjalannya relasi pacaran diantara mereka, Dinda menemukan bahwa Rendi seringkali berselingkuh. Rendi berselingkuh dengan mantannya dan seorang perempuan lain dalam teman perkumpulan-nya.
“Ooo.. ya ada. Emm.. Dia suka selingkuh. Kalo menyakiti hati, itu, dia suka selingkuh. Terus, ada hal yang, ada hal yang waktu pas dia awal ngajak pacaran juga, saya ngomong sama dia, emm “Bener apa enggak?” Karena ketika kita pacaran dan kita temenan itu akan beda. Ketika, ketika saya sudah, ketika dia jadi pacar saya akan beda ketika saya jadi temennya dia. Kalo saya jadi temennya dia, lu mau ngapain juga gua ga akan peduli, nah tapi kalo udah jadi pacar, saya, saya ngomong pasti akan ada halhal, kebutuhan-kebutuhan yang lebih. Dia bilang, yaudah gak papa, gini-gini, bla-bla-blablabla.. Tapi ternyata, emm.. Dia mungkin nyakitin-nya lebih ke, sebenernya nyakitinnya tuh bukan dia yang nyakitin sih, lingkungannya dia sih, yang mulai agak aneh”.
Dinda membangun keyakinan dan membuat rasionalisasi bahwa Rendi menjadi individu yang seperti itu karena temanteman yang ada di lingkungannya. Bagi Dinda, teman-teman Rendi membawa pengaruh yang buruk bagi perilaku Rendi. Selain itu, Dinda menganggap bahwa dalam setiap perselingkuhan yang terjadi antara Rendi dan perempuanperempuan yang lain, kesalahan dilimpahkan pada sang selingkuhan yang terus mengajak Rendi bertemu berulang kali. Dinda menganggap bahwa Sinta, mantan Rendi, adalah kunci permasalahan dari perilaku Rendi yang sering bolos kuliah dan berselingkuh dari dirinya. Selama lima tahun berpacaran dengan Rendi, Dinda mengaku bahwa dirinya sudah 4 kali diselingkuhi oleh Rendi. Sepengetahuan Dinda, 2 kali Rendi selingkuh dengan Sinta dan 2 kali lainnya Rendi selingkuh dengan Becca, teman perempuan sekumpulannya. “Bolaaaak-balikkk. Ada kali empat kali saya diginiin… Yang ketauan itu juga kan… Diem-diem dia ke Jogja lah nyamper si Sinta, lha itu kan temen-temennya pada bilang sama gue.. Terus, nemu si Becca pagi-pagi dikosannya baru bangun tidur masih pake tanktop-an gitu… Ngapain lagi coba..”
Menurut penuturan Dinda, Rendi berselingkuh setiap kali ia mengalami konflik dan bertengkar hebat dengan Dinda. Dapat dilihat, Rendi cenderung melarikan diri dari masalah yang
sedang dihadapi. Adanya ketidaksiapan dan ketidakmatangan dari Rendi untuk menjalani sebuah komitmen berpacaran. Selain kekerasan emosional yang dialami oleh Dinda, Rendi juga seringkali menyakiti Dinda dengan kata-kata yang kasar seperti ‘anjing’, ‘babi’, ‘bego’. Namun, Dinda merasa bahwa itu adalah hal yang biasa dilakukan kepada teman-temannya juga. Jadi, Dinda tidak terlalu memasukkannya ke dalam hati. “Yah.. Apa.. Kapan sih? ‘Bego’ itu sih mah biasa, Teh! Sepergaulannya emang kalo ngomong begitu modelnya. Ke saya juga gitu.. Cuma saya sih biasa aja ya.. Eh tergantung deh.. Kalo lagi badmood biasa jadi saya ributin”
Rendi cenderung menyakiti Dinda ketika Dinda dianggap mengangkat isu tertentu yang membuat mereka bertengkar. Perilaku selingkuh berulang kali yang dilakukan Rendi bertujuan untuk membuat Dinda jera dan tidak mencari malasah dengannya. Dinda pun cenderung menyalahkan dirinya setiap kali Rendi menyakiti dirinya. Ia berpikir bahwa Rendi melakukan kekerasan tersebut karena ada yang salah dengan perilaku Dinda. Oleh sebab itu, Dinda selalu memaafkan dan memaklumi perilaku Rendi yang menyakiti dirinya. “Menurutnya kalo pas kita lagi berantem, dia bakal langsung cari cewek laen, biar saya sadar biar saya kapok gitu biasanya… Bilangnya dia, itu pelajaran karena gue cari masalah mulu sama dia…” “Hal yang saya pikir adalah.. Mungkin ada kelakuan saya yang salah yang saya gak tau. Walaupun saya gak tau itu apa”.
Selain itu, Rendi juga menunjukkan perilaku agresinya ketika sedang bertengkar dengan Dinda melalui perusakan barang-barang yang ada disekitarnya, misalnya membanting hand phone, memukul pintu. Kekerasan tersebut dilakukan Rendi dalam keadaan mabuk karena Rendi seringkali minum alkohol bersama teman-temannya sehingga Rendi selalu meminta Dinda untuk memakluminya jika ia menyakiti Dinda saat ia sedang
dalam keadaan mabuk. Oleh karena Dinda pun terkadang juga ikut dalam acara minum bersama dengan teman-teman Rendi, maka Dinda pun mencoba mengerti bahwa efek yang muncul pada masing-masing orang yang berada di bawah pengaruh alkohol berbeda satu dengan lainnya. Karena itu, Dinda selalu memaafkan Rendi dan terus menjalani relasi tersebut. “Dia alesannya gini pasti… ‘Ya kan gua lagi mabok.. Orang mabok lo reken.. Mana juga gua sadar, Din! Maklumin aja sih lo kaya nggak pernah mabok aja..’ Ya gitu.. Selalu gitu excusenya dia.. Saya juga mau complain juga nggak nyampe mulu”
Relasi Dinda dan Rendi yang telah berlangsung selama 5 tahun tidak seutuhnya langgeng. Keduanya seringkali menghadapi situasi ‘putus nyambung’ dalam menjalani relasi mereka. Dinda beberapa kali memutuskan Rendi karena Rendi telah berselingkuh darinya. Namun, ketika Dinda mengetahui bahwa Rendi telah berhubungan intim (sexual intercourse) dengan Sinta maupun Becca, Dinda terus mengurungkan niat untuk meninggalkan Rendi. Hal ini disebabkan karena Dinda merasa cemburu, marah, dan tidak terima Rendi melakukan hubungan intim dengan perempuan lain ketika Dinda telah memberikan keperawanannya untuk Rendi di tahun-tahun pertama mereka berpacaran. Tidak ada perubahan yang signifikan ketika awal-awal melakukan hubungan intim. Dinda tidak merasa mengalami ketergantungan untuk melakukan hubungan intim pada awal masa pacaran. Perubahan baik dari segi emosional dan sikap terhadap Rendi baru muncul setelah tahun ketiga pacaran, tepatnya setelah pacar didapati selingkuh dari dirinya. Dinda baru merasakan bahwa hubungan intim telah berubah menjadi suatu kebutuhan biologis baginya ketika ia sempat putus dari Rendi. Dinda menyadari bahwa yang dapat melengkapi kebutuhan biologis tersebut hanya Rendi, sehingga ia terus kembali padanya.
“Waktu pas di awal sih, enggak ya, maksudnya masih yang.. Masih yang biasa aja, dan saya, saya juga tidak merasa saya ketergantungan dia karena emm, sexual intercouse-nya itu. Pas di awal malah enggak” “Setelah, emm, setelah tiga tahun pacaran, malah setelah dia selingkuhin gitu malah baru itu..” “He’eh. Karena.. Sexual intercouse saya sama dia. Jadi pas begitu saya putus sama dia kan saya udah nggak, kan saya udah gak melakukan sexual intercouse lagi, dan disana saya baru tau ternyata, setelah kamu pernah mengalami itu, itu akan menjadi suatu kebutuhan. Dan saya gak mudah untuk ngelakuin itu sama orang. Jadi saya jadi merasa saya butuh dia ya karena itu.”
Sexual intercourse terus dilakukan oleh Dinda dan Rendi meskipun Dinda mengetahui bahwa Rendi juga melakukan hal serupa dengan beberapa perempuan lain. Namun, Dinda lebih tidak menghiraukan itu selama Rendi juga memenuhi kebutuhan biologisnya tersebut. Dinda merasa bahwa ia perlu ‘melayani’ kebutuhan biologis Rendi lebih dari sebelumnya agar Rendi tidak ‘bermain’ lagi dengan perempuan lain. Namun, hal itu tidak membuat Rendi berhenti mengkhianati Dinda. Kini, Dinda sedang hamil 7 bulan dan Rendi tidak dapat diketahui keberadaannya. Pernah ada niat baik untuk menikahi Dinda di awal kehamilan sekitar usia kandungan Dinda 3 bulan, namun sang pacar berubah pikiran. Sang pacar sempat memintanya untuk menggugurkan kandungan, namun Dinda menolak. Sang pacar memberikan syarat untuk menikah ialah Dinda harus pindah agama, Dinda pun menolak dan memilih untuk menjadi single mother. Melalui klasifikasi yang dikemukakan oleh Murray (2007) terkait jenis kekerasan, dapat diidentifikasi jenis kekerasan yang dialami Dinda ialah sebagai berikut: Kekerasan Verbal
Name Calling (‘bego’, ‘anjing’, ‘babi’) Blaming (melimpahkan kesalahan, menuduh) Making threats (mengancam akan ‘balikan’ dengan mantan) Interrogating (pencemburu, posesif, suka mengatur)
Kekerasan Emosional Kekerasan Seksual
Breaking items (melempar hand phone, memukul atau membanting pintu, melempar botol) Diselingkuhi berulang kali, dibohongi. Meninggalkan Dinda dalam keadaan hamil, permintaan untuk menggugurkan kandungan.
Tabel 4.6 Identifikasi Kekerasan Relasi Dinda-Rendi
b) Jerat Lingkaran Kekerasan dalam Relasi Pacaran DindaRendi Selama lima tahun Dinda berada dalam lingkaran kekerasan yang terus berputar seperti siklus yang rutin, namun Dinda tidak menyadarinya. Menurut Dinda, konflik seperti yang dialami Dinda akan terjadi pada semua pasangan. Meskipun demikian, pertimbangan untuk meneruskan atau mengakhiri hubungan tersebut juga tidak jarang terlintas dalam pikiran Dinda. Dinda berpikir untuk mengakhiri hubungannya dengan Rendi setiap kali Rendi berselingkuh dari dirinya. Perselingkuhan berulang sebenarnya bukanlah hal yang dapat ditolerir oleh Dinda, namun rasa cinta Dinda kepada Rendi lebih besar sehingga Dinda memutuskan untuk terus memaafkan Rendi. Sekitar 4 atau 5 kali Dinda memutuskan Rendi karena tidak kuat tersakiti oleh ketidaksetiaan Rendi, namun Rendi terus kembali padanya dengan berbagai alasan. Mengacu pada lingkaran kekerasan Walker (1979), kekerasan yang dialami Dinda dalam relasinya dengan Rendi dapat digambarkan sebagai berikut: RESPONS DINDA: Menangis, mengejar Rendi, mencoba mengajak bicara baik-baik
2. BATTERING - RENDI Memaki, merusak barang, pergi dari Dinda, minum alkohol dengan teman, tidur dengan perempuan lain
1. TENSION BUILDING- RENDI Minum alkohol, mencari-cari kesalahan Dinda, tidur dengan perempuan lain
RESPONS DINDA: Marah, menyalahkan diri sendiri, mengalah, mengadu argumen
POWER & CONTROL DENIAL
Membawakan makanan atau snack, membelikan barang, ‘melayani’ kebutuhan biologis Dinda
3. CONTRITION STAGE RENDI Mencari Dinda, meminta maaf, mengajak nongkrong,
RESPONS DINDA: Membuat kesepakatan baru, menyambut ajakan sexual intercourse
Gambar 4.2 Lingkaran Kekerasan Relasi Dinda-Rendi
Pada kasus Dinda dan Rendi, lingkaran kekerasan terus berlanjut karena keduanya telah merasa nyaman dengan keberadaan satu sama lain. Relasi Dinda dan Rendi bukanlah relasi yang tertutup. Mereka memiliki lingkungan pergaulan yang luas dan seringkali mereka terlibat dalam kegiatan-kegiatan lingkungan. Namun, ada beberapa hal yang membuat kekerasan terus berulang. Pertama, baik Dinda maupun Rendi tidak menyadari bahwa mereka berada dalam jerat lingkaran kekerasan. Dinda meyakini bahwa setiap relasi percintaan memiliki pengorbanannya masing-masing. Rendi pun merasa bahwa yang dilakukan terhadap Dinda merupakan hal yang biasa terjadi dalam setiap relasi berpasangan. Perselingkuhan yang dilakukan Rendi juga dianggap ganjaran atas kesalahan yang dilakukan Dinda. Hal tersebut dilakukan Rendi untuk membuat Dinda jera dan tidak mengulangi kesalahannya lagi. Rendi sangat mengetahui bahwa Dinda sangat pencemburu dan akan jera jika melihat Rendi meninggalkannya bersama perempuan lain. Menurut Rendi, setiap pasangan juga tentu pernah memberi ganjaran kepada pasangannya, dan inilah cara yang diambil Rendi. Kedua, relasi Dinda dan Rendi bersifat transaksional, dalam artian keduanya saling melengkapi kebutuhan masingmasing. Dinda yang sejak kecil merasakan kesepian dan kekosongan mendalam tentang figur yang dapat memperhatikannya menjadi terisi dengan kehadiran Rendi yang sangat perhatian pada dirinya dan membuatnya begitu nyaman.
Kehadiran Rendi menjadi dasar pemuasan kebutuhan Dinda baik dari sisi emosional dan fisik yang membuat Dinda sangat bergantung dengan sosok Rendi. Di sisi lain, sosok Dinda juga melengkapi sisi kekanak-kanakan yang dimiliki oleh Rendi. Usia Dinda yang 3 tahun lebih tua dari Rendi dan keterpisahan Rendi dari sang ibu (sosok lekatnya) membuat Rendi merasa diasuh oleh Dinda. c) Kebertahanan Dinda dalam Lingkaran Kekerasan Kekerasan yang dialami Dinda dalam relasinya dengan Rendi selama 5 tahun lamanya tidak melunturkan keinginan Dinda untuk tetap mempertahankan relasi pacarannya dengan Rendi. Ada beberapa hal yang ditelaah penulis terkait kehendak Dinda untuk tetap bertahan dalam relasi yang menyakitkan baginya, yakni: 1. Adanya rasa mencintai Dinda merasa ia mencintai Rendi dan hal tersebut mampu membuatnya rela berkorban dan merasakan sakit hati karena diselingkuhi berulang kali. Dinda merasa dirinya telah terbiasa dengan perlakuan Rendi dan Dinda berusaha untuk menerima Rendi apa adanya beserta dengan kelebihan dan kekurangannya. Dinda meyakini bahwa setiap manusia pasti memiliki kekurangan dan sebagai pasangan, Dinda berusaha untuk menerima kekurangan Rendi. Meskipun merasa tidak terima dan menyesal, namun Dinda tetap memilih untuk bertahan dan kembali dalam hubungan. “Ya saya sayang banget sama dia, tapi untuk ngarepin da kayanya udah nggak lah.. Nyesel juga saya… Kenapa ini harus terjadi harusnya terakhir putus itu yaudah saya move on aja..”
Melalui pernyataan tersebut, dapat dilihat bahwa Dinda tidak memiliki cukup keteguhan hati untuk mengakhiri hubungannya dengan Rendi sehingga Dinda lebih memilih untuk mengabaikan konflik yang terjadi dan terus-menerus luluh kembali dengan rayuan Rendi. Penyesalan Dinda baru sungguh-sungguh dirasakannya ketika ia mendapatinya dirinya hamil dan Rendi pergi meninggalkannya. 2. Adanya ketergantungan atas pemenuhan kebutuhan biologis Dinda merasa sangat sulit untuk melepaskan Rendi karena Dinda merasa ia telah ketergantungan untuk melakukan sexual intercourse bersama dengan Rendi. Dinda merasa bahwa ia tidak akan pernah bisa lagi melakukan hal tersebut dengan laki-laki lain karena Dinda pertama kali melakukannya kepada Rendi. Dinda mengakui bahwa dirinya ialah sosok yang setia sehingga tidak mudah tertarik lagi dengan laki-laki lain. “Jadi pas begitu saya putus sama dia kan saya udah nggak, kan saya udah gak melakukan sexual intercouse lagi, dan disana saya baru tau ternyata, setelah kamu pernah mengalami itu, itu akan menjadi suatu kebutuhan. Dan saya gak mudah untuk ngelakuin itu sama orang. Jadi saya jadi merasa saya butuh dia ya karena itu..”
Dorongan untuk melakukan sexual intercourse dengan Rendi terus dirasa oleh Dinda sebagai suatu adiksi yang mengikatnya dalam relasi berpacaran dengan Rendi. Hal itu juga yang menyebabkan Dinda masih menerima Rendi meskipun Rendi juga berselingkuh dan melakukan sexual intercourse dengan Devi maupun Becca. 3. Adanya rasa nyaman karena terbiasa bersama Menurut Dinda, ia mempertahankan Rendi bukan karena tidak ada lelaki lain yang lebih baik dari Rendi. Dinda menyadari
bahwa pasti sangat banyak laki-laki di luar yang lebih baik dari Rendi, namun Dinda merasa sulit untuk membuka hati bagi laki-laki karena Dinda merasa sudah nyaman dengan Rendi. Kenyamanan yang dirasakan oleh Dinda disebabkan karena Dinda merasa sudah terlalu terbiasa bersama-sama dengan Rendi. Selama 5 tahun Dinda selalu menghabiskan waktu dengan Rendi, makan, tidur, kuliah, bermain, jalan-jalan, belanja kebutuhan, dan lainnya. Rendi pun menjadi teman cerita bagi Dinda yang sangat baik dan sabar mendengarkan setiap keluh kesah Dinda. Sentuhan fisik yang menguatkan dukungan terhadap Dinda melalui pelukan, ciuman, usapan, juga terus membuat Dinda nyaman dengan Rendi. Keterikatan inilah yang membuat Dinda merasa bahwa dirinya sudah membentuk kebiasaan harus ditemani oleh Rendi sehingga jika tidak Rendi dalam hidupnya, Dinda akan merasa sangat kehilangan dan kesepian. Perasaan inilah yang juga menuntun Dinda untuk mentolerir seluruh kesalahan Rendi dan memaafkannya berulang kali “Bikin nyamannya itu yang emm… itu kali yah yang bikin saya juga susah lepas dari dia.. Nyaman gatau nyaman apa kebiasa sama-sama ya.. Ya pokoknya gitu…” “Mungkin karna kebiasaan bareng. Karena kebiasaan bareng itu jadi kita jadiii biasa bareng, dan kebetulan kita samasama dari luar Jawa, dia lebih nyaman”. “Apa ya.. Perhatian dan penyayang dia sih.. Orangnya hangat kalo ke saya sih.. Kalo lagi bener, supportive banget.. Kalo saya cerita tuh sabar dengerin, kasih saran.. Dan anehnya kalo dia yang nyaranin, saya bisa dengerin.. Kan saya juga itungannya keras kepala ya Mbak! Hhehe… Nyaman juga tuh kalo udah mulai affectionate gitu dianya.. Misalnya kaya meluk apa nyium. Kalo pas lagi sedih saya bisa langsung lega gitu rasanya..”
Dinda merasa bahwa dirinya sangat bodoh den gan mempertaruhkan perasaannya terus disakiti dan kini masa depan diri dan anak yang sedang dikandungnya juga menjadi terancam. Keinginan Dinda untuk meninggalkan Rendi berulang kali kini harus ditiadakan karena Dinda akan terus
berurusan dengan Rendi dan keluarganya terkait kehidupan sang anak. Namun demikian, Dinda merasa siap untuk menghadapi berbagai kesulitan yang muncul jika ia menjadi seorang single parent kelak. 2. Gambaran Kelekatan Dinda dan Orang Tua Lingkaran kekerasan yang menjerat Dinda dalam relasi pacaran dengan Rendi yang menempatkan dirinya sebagai korban lima tahun lamanya hingga Dinda kini tengah hamil, perlu dikaji lebih dalam mengenai relasi lekat antara Dinda dan kedua orangtuanya di masa lampau hingga kini. Telaah ini penting untuk mendapatkan pemahaman mengenai ikatan emosi yang terjalin antara Dinda dengan orang tua sebagai figur lekat pertama dalam kehidupannya, karena aktif atau tidaknya ikatan emosi yang terjalin di awal-awal masa kehidupan tersebut terekam dalam memori jangka panjang dan menghasilkan pola lekat yang serupa dengan relasi Dinda dengan siapapun di rentang kehidupan berikutnya. Namun, sebelum penulis menggambarkan pola kelekatan antara Dinda dengan kedua orangtua, penulis menggambarkan terlebih dahulu relasi yang terjalin antara ayah dan ibu Sari dalam rumah tangga dan peran keduanya sebagai suami-istri. a) Gambaran Relasi Ayah-Ibu Dinda Dinda lahir sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dalam keluarga yang memiliki status ekonomi menengah ke atas. Setiap minggu Dinda beserta keluarganya dan pengasuh selalu menyempatkan diri untuk berlibur ke Jakarta. Selain di Lampung, mereka memiliki rumah di Jakarta. Orang tua Dinda juga mampu membayar 3 orang baby sitter sekaligus untuk mengasuh ketiga anaknya sehingga masing-masing anak mendapatkan satu baby sitter pribadi. Ayah maupun ibu Dinda merupakan tipe pekerja keras dan hal tersebut berimplikasi pada kegiatan keduanya yang sangat sibuk dan minimnya waktu yang
diberikan terhadap anak-anak. Ayah maupun ibu pergi kerja dari pagi dan pulang sangat malam sehingga tidak ada waktu bercerita tentang keseharian diantara anggota keluarga. Mereka juga jarang sekali makan bersama di meja makan, semua anggota keluarga makan sendiri-sendiri. Dalam penilaian Dinda, relasi antara ayah dan ibunya dapat dikatakan harmonis. Dinda tidak pernah melihat ayah dan ibunya bertengkar hebat. Setiap pertengkaran yang pernah terjadi hanya disebabkan oleh hal-hal kecil saja dan dapat segera diatasi dengan cepat sehingga tidak memberikan dampak buruk yang berkepan-jangan bagi keluarga. Namun demikian, meskipun kedua orang tua Dinda tergolong harmonis, baik ayah maupun ibu tidak pernah menunjukkan kasih sayang diantara mereka di depan anak-anaknya. Keduanya cenderung kaku dan dingin satu dengan yang lain. Menurut penuturan Dinda, tipe ayah dan ibunya memang seperti itu. Jadi, anak-anak tidak terbiasa melihat baik ayah atau ibunya saling memeluk atau memberikan ciuman. Dinginnya relasi ayah dan ibu juga dirasakan oleh anak-anaknya. b) Gambaran Relasi Lekat Dinda-Orang Tua Kelekatan yang terjalin antara Dinda dan kedua orangtuanya dapat dilihat dari ada atau tidaknya perilaku lekat yang ditunjukkan oleh Dinda maupun kedua orangtuanya. Relasi lekat ini berlaku dua arah, yakni dari Dinda sebagai anak yang mencari figur lekat sebagai basis aman dirinya dan orang tua sebagai figur lekat yang berperan penting dalam pembentukan konsep ‘aman’ tentang dunia dan lingkungan di sekitar Sari. Pada dasarnya, perilaku lekat memiliki tiga komponen dasar yang diungkapkan oleh Bowlby (1982), yakni ada proximity maintenance (pencarian kedekatan), safe haven (menjadi tempat berlindung), secure base (menjadi basis aman). Penulis mencoba menggambarkan perilaku lekat dengan
menggunakan perspektif kelekatan Bowlby, namun tidak menutup kemungkinan munculnya hal baru yang ditemukan penulis dalam proses penggalian data dengan Dinda. 1. Proximity Maintenance (Mencari Kedekatan) Proximity maintenance mencakup perilaku anak yang terus mencari kedekatan dengan figur lekat dan memelihara kedekatan tersebut. Perilaku ini dapat diamati pula melalui protes yang ditunjukkan anak ketika berada dalam situasi terpisah dari orang tua. a) Dinda-Ayah: Di mata Dinda, sosok ayah adalah tipe penyayang dan berhati lembut, namun cenderung kaku dan sulit untuk mengekspresikan rasa sayang melalui sentuhan fisik seperti memeluk atau mencium. Oleh karena kesibukan ayah yang sangat padat, Dinda tidak memiliki banyak waktu untuk dihabiskan dengan sang ayah. Kedekatan yang terjalin dengan sang ayah juga hanya seputar kedekatan dalam perihal finansial. Dinda tidak pernah mendapatkan kesulitan jika hendak meminta ayahnya untuk membelikan sesuatu untuknya. Ayah juga selalu berusaha untuk memenuhi seluruh kebutuhan dan keinginan anak-anaknya. “Emm.. Penyayang! Emm.. Dia typical seorang ayah yang penyayang, jadi memang dia sayang sama anak-anaknya dan.. Tapi kaku jadi dia memang bukan orang yang typical yang bisa meluk gitu susah, nyium juga nggak” “Kalau dicium sih kita kan selalu pamit gitu kan salim, cium tangan gitu. tapi kalau dicium dalam hal-hal yang ada hal apa gitu dicium enggak. Tapi penyayang-penyayang gitu, dan dia familly man banget. Dia selalu stay dirumah untuk keluarganya, terus dia berusaha apa yang anaknya mau dikasih, jadi kadang kalau dia abis marah-marah gitu, selesai marah-marah kita.. karena anak-anak suka pura-pura sedih, pura-pura nangis.. Nanti sama dia yang, dia ajak kita kemana untuk dibeliin apa”
Melalui pernyataan Dinda, ia beserta saudara-saudara dapat melakukan manipulasi perasaan sedih ketika dimarahi sang ayah untuk mendapatkan kompensasi atas kemarahan ayahnya itu. Dinda menyadari bahwa sang ayah berhati lembut dan tidak tega jika melihat anaknya sedih atau menangis. Hal tersebut digunakan oleh Dinda untuk mendapatkan rasa bersalah ayahnya sehingga ayah menebus kemarahannya dengan membelikan barang-barang yang diinginkan Dinda. Tidak ada upaya yang ditunjukkan oleh Dinda untuk mendekatkan diri dengan sang ayah sejak ia masih kecil. Dinda tidak pernah menceritakan pengalamannya di sekolah, hubungannya dengan saudaranya, dengan temantemannya karena Dinda merasa ayahnya sudah terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan tidak memiliki waktu untuknya. Ketika Dinda sedang merasa sedih atau berada dalam situasi sulit, Dinda hanya dapat bercerita dengan baby sitter pribadinya, itu pun hanya untuk melegakan perasaannya saja. “Saya lebih sering ngobrol sama pembantu saya dibanding orang tua. Biasa sih enggak memberikan sesuatu juga sih pembantu ini, cuma memang kadang kalau saya bisa komplain gitu ya udah, dan saya bukan typical orang yang.. Saya suka menceritakan hal-hal apa gitu, enggak. jadi emang ya udah saya pendem sendiri saja”.
Oleh karena tidak pernah terjalinnya kedekatan fisik dan emosional dengan sang ayah, Dinda merasa dalam situasi yang berjarak jauh dengan sang ayah pun Dinda tidak merasakan kehilangan karena kebutuhan yang selama ini dicukupi oleh sang ayah ialah kebutuhan finansial, sehingga dalam jarak jauh pun sang Dinda masih mendapatkannya melalui transaksi transfer antar rekening. Ketika Dinda mulai berkuliah di Salatiga, yang berada cukup jauh dengan kediaman orang tua di Lampung, Dinda sama sekali tidak merasa kehilangan sosok ayah. Bahkan, Dinda
mengungkapkan bahwa ia lupa bagaimana caranya untuk merindukan ayahnya karena ketika masih berada dalam situasi dekat, relasi Dinda dan sang ayah cenderung dingin. “Biasa aja sih.. Apa ya.. Emmm.. Karena dari dulu juga serumah kan kita itu ya emm apa ya.. jarang juga sih ada kontak emosional.. jadi pas jauh ya biasa aja..” “Saya enggak tahu, dulu saya kangen apa enggak ya, saya enggak tahu deh saya lupa deh”
Meskipun demikian, Dinda masih dapat mengingat satu momen masa kecil yang membuatnya sangat bahagia ketika berada dekat ayahnya. Kenangan tersebut terus teringat dengan jelas hingga Dinda telah dewasa. Dinda mengingat dirinya masih berusia 2 tahun ketika ia yang masih mengantuk karena bangun tidur diajak jalan-jalan dan digendong oleh sang ayah. Dinda bahkan masih dapat mengingat pakaian apa yang ia kenakan waktu itu. “Emm... Ada satu kenangan yang saya inget banget itu mungkin usia saya baru dua tahun, pokoknya saya inget benget. Jadi itu tuh saya lagi pergi sama orang tua saya jalan-jalan gitu di mall di supermarket. Terus saya digen-dong gitu, itu saya masih kecil masih dua tahunan gitu, saya digendong gitu sama papa.. Terus saya masih pake baju sweater pake piyama, piyama-piyama batita gitu, apa celana panjang, ya itu sih kayaknya... kenangan itu saja yang tersisa”
Kenangan ini sangat sederhana, namun sangat diingat oleh Dinda hingga saat ini meskipun pada waktu itu ia masih berusia 2 tahun. Dapat dilihat bahwa momen ketika sang ayah menunjukkan rasa sayangnya melalui tindakan yang melibatkan kontak fisik seperti menggendong, merupakan pengalaman penting yang bermakna bagi Dinda. Dapat teramati bahwa Dinda tidak menunjukkan upaya untuk mendekatkan diri dan tidak menunjukkan protes atas situasi perpisahan dengan sang ayah.
b) Dinda-Ibu: Ibu di mata Dinda adalah sosok yang dominan dan keras. Sama dengan halnya sang ayah, ibu juga bukan tipe orang yang dapat mengekspresikan rasa sayangnya dengan sentuhan fisik. Tidak pernah ada kedekatan fisik dan emosional yang terjalin antara Dinda dan ibunya. Pengajarannya terhadap Dinda tentang menjadi sosok yang kuat, tidak lemah, dan tidak boleh menangis terus mempengaruhi hidup Dinda hingga saat ini. Dinda sangat jarang menangis karena baginya menangis adalah hal yang tabu. Selain itu, sosok ibu lebih memiliki peran sentral dalam pengambilan keputusan rumah tangga dan cenderung lebih ditakuti daripada sosok ayah. “Dominan! Terus keras. Orangnya keras tapi juga sama dia juga bukan typical orang yang bisa menunjukan hal-hal yang emosional gitu dan dia selalu bilang.. Saya inget ada satu kalimat dia yang bikin saya.. even sampai sekarang pun untuk nangis di depan dia itu kayaknya tabu. Karena dia pernah ngomong "Ngapain nangis anak mama itu enggak ada yang lemah, enggak boleh nangis, karena nangis itu tidak menyelesaikan masalah" Jadi typical mama saya begitu, keras orangnya dominan. Jadi apapun yang terjadi di keluarga ya, dia yang ambil andil”.
Dinda merasa bahwa sang ibu tidak pernah hadir secara emosional maupun dukungan tentang kehidupan Dinda. Bahkan, Dinda tidak dapat mengingat kenangan manis yang pernah dilalui bersama ibunya. Hanya ada pengalaman pahit yang membekas dalam pikiran Dinda terkait relasi dirinya dengan sang ibu. Pengalaman pahit yang diingat oleh Dinda ketika ia masih kecil ialah pengalaman saat ia di-bully oleh kakak dan adiknya. Pada saat ia di-bully, sang ibu turut serta memojokkan dan menyalahinya. Pengalaman tersebut mengikis kepercayaan Dinda terhadap ibunya dan membuat Dinda enggan menceritakan apapun kepada kedua orangtuanya.
“Ada.. Ada!! Ada hal yang bikin saya enggak, kenapa saya enggak pernah ngomong apapun dengan mama papa saya, karena... dulu waktu di-bully nih sama kakak, sama adek saya, kalau saya ngomong gitu ya.. Mereka akan kompakan untuk nyalahin saya, dibikin saya yang salah gitu, jadi saya memutuskan untuk “Enggak usah deh, engak usah cerita" gitu.
Selain itu, Dinda juga mengalami kekerasan verbal dari ibunya sejak kecil yang sangat melukai perasaannya. Dinda mengingat salah satu contohnya pada waktu ia saat itu masih duduk di bangku SMP, sang ibu seringkali mengatakan kepada Dinda bahwa Dinda sangat menjengkelkan dan selalu membuatnya ingin marah atau memukulnya. Perkataan seperti itu didengar langsung oleh Dinda dan saudara-saudaranya dan membuat Dinda semakin di-bully oleh kedua saudaranya. Selain kekerasan verbal yang diterima Dinda dari sang ibu, Dinda juga mengalami kekerasan fisik dari adik kandungnya dalam bentuk tamparan. Dalam situasi pertengkaran antar saudara, Dinda selalu menjadi pihak yang disalahkan oleh sang ibu. Hal tersebut membuat Dinda hingga dewasa menjadi individu yang takut untuk mengambil langkah tertentu dan kurang terbuka terhadap teguran. “Kayaknya dulu pernah, kayaknya SMP deh, itu saya pernah berantem apa gitu sama mama saya, terus mama saya pernah ngomong “Eh...kamu selalu menjengkelin mama, dari dulu tuh rasanya pengen marah aja gitu kalau enggak marah mukul” “He'em.. Dulu tuh waktu jaman kecil saya `pernah ditampar dengan adek saya.. Dari kecil saya sering main-main gitu cuma gara-gara apa gitu saya lupa, cuma gara-gara bangun.. bangun tidur kan kita mau pergi atau gimana gitu, terus saya ngomong ke mama saya juga tetap saya juga yang disalahin, jadi mungkin karena itu kali ya? Karena saya selalu... selalu jadi... saya kalau salah jadi saya, ya udahlah diem, dan saya juga jadi takut untuk teguran. Saya takut salah! Jadinya.. Saya sekarang juga jadi mau ngelakuin apa-apa takut jadinya”.
Dinda sendiri mengakui bahwa sejak saat itu Dinda merasa semua yang dilakukannya adalah kesalahan dan ia
menjadi takut untuk melakukan sesuatu. Bahkan, pada usia 5 tahun, Dinda telah mengalami tekanan dari keluarga yang membuatnya kabur meninggalkan rumah. Hal ini menunjukkan bahwa sejak kecil Dinda telah membentuk ide untuk menghindar dari situasi yang membuatnya merasa terancam. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Dinda merasa kedua orangtua menolak dan tidak memihak dirinya yang membuat dirinya merasakan kesendirian. Dinda merasa sedih atas perlakuan yang diterimanya dan membuat ia meragukan dirinya sendiri. Namun, Dinda cenderung mengabaikan atau merepresi perasaan tersebut. Melalui penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa Dinda tidak menunjukkan perilaku mencari kedekatan dengan ayah maupun ibunya. Dinda tidak menunjukkan upaya untuk berada dalam situasi yang dekat dengan keduanya dan tidak menunjukkan protes dalam bentuk keberatan maupun kesedihan atas situasi terpisah dari kedua orang tua. Dinda lebih berupaya untuk menjadi mandiri sejak kecil dan berusaha untuk menyelesaikan persoalan-persoalannya sendiri. 2. Safe Haven (Menjadi Tempat Perlindungan) Salah satu perilaku lekat lainnya yang dapat ditelaah dari relasi Sari dan kedua orang tua ialah perilaku safe haven. Safe haven merupakan perilaku yang ditunjukkan oleh figur lekat sebagai respons dalam menanggapi perilaku anak yang mencari kedekatan dengannya. Respons tersebut dalam berbentuk pemberian rasa nyaman, kehangatan, ketenangan, atau jaminan akan keselamatan pada waktu dibutuhkan. a) Ayah-Dinda: Ayah tidak berperan dalam pemenuhan kebutuhan emosional maupun fisik bagi Dinda sejak kecil. Jarang dan
hampir tidak pernah Dinda mendapatkan sentuhan fisik dari sang ayah baik berupa pelukan atau ciuman. Sosok ayah dikenal pekerja keras dan lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Kehadiran ayah dalam kehidupan Dinda berfungsi sebagai dasar pemenuhan kebutuhan finansial bagi Dinda, misalnya dalam pembayaran uang sekolah, uang jajan, uang makan, pembelian barang-barang yang diinginkan serta dibutuhkan. “Ya itu tadi mbak.. Keberadaannya buat saya tuh ya mungkin ya kalo bisa dibilang kasarannya ya urusan finansial aja.. Haah.. Untuk masalah emosional sih nggak..”
Tidak ada dukungan secara fisik maupun emosi untuk segala sesuatu yang Dinda lakukan, baik dari hal pendidikan, kegiatan-kegiatan lain di luar sekolah. Ayah tidak hadir dalam menemani Dinda menjalani aktivitasnya sejak kecil karena Dinda sudah ditemani oleh baby sitter-nya, bahkan untuk antarjemput sekolah, ke gereja, kebutuhan makan, ayah tidak hadir dalam momen-momen penting yang Dinda lalui. Ayah cenderung memberi kebebasan pada Dinda untuk melakukan apapun yang Dinda inginkan tanpa peraturan ketat yang harus dipenuhi. Hal tersebut diterapkan dari Dinda kecil hingga besar. “Nggak sih, mereka itungannya malah ngebebasin yaa.. Apa nggak peduli ya (tertawa) Nggak tau deh mbak..” “Kapan ya? Kalo pas kecil dulu sih nggak ya.. Sama pembantu semua saya minta tolongnya, karena ya itu, pada sibuk kerja semua papa mama..”
Kebebasan yang diberikan kepada Dinda tidak jarang membuat Dinda justru merasa diabaikan atau tidak dipedulikan oleh sang ayah. Terlebih, sosok ayah juga tidak pernah tersedia ketika Dinda membutuhkan pertolongan saat menghadapi situasi yang dianggapnya mencemaskan atau mengancam.
b) Ibu-Dinda: Berbanding terbalik dengan sang ayah, ibu tidak berperan dalam pemenuhan kebutuhan emosional maupun fisik, melainkan hanya kebutuhan finansial bagi Dinda sejak kecil. Ibu lebih banyak melukai perasaan Dinda dengan kekerasan verbal yang diucapkan dan penolakan terhadap kedekatan yang terjalin diantara mereka. Ibu menunjukkan ketidaknyamanan dan pengabaian sesekali Dinda mencoba untuk mendekatkan diri kepadanya pada waktu Dinda kecil. Hal ini disebabkan karena ibunya lebih menyayangi adiknya dan membuat Dinda merasa terpinggirkan. Bahkan, ketika Dinda menangis pun sang ibu tidak menunjukkan upaya untuk menenangkan atau membuatnya merasa nyaman kembali. Ibu justru membentak Dinda untuk berhenti menangis karena menangis merupakan simbol kelemahan. Doktrin sang ibu bahwa perempuan harus mandiri dan tidak lemah membuatnya terbentuk menjadi individu yang kuat dan cenderung mengabaikan perasaan sedih. “Saya enggak pernah untuk menceritakan masalah-masalah saya waktu itu pada keluarga saya, apapun itu, karena balik lagi karena mama ngajarinnya untuk mandiri harus bisa apa-apa sendiri, enggak boleh lemah. Rasanya lemah banget sih, kalau hal kayak gini bikin sedih tuh kok.. Malu-maluin banget sih.."Gini doang" gitu..”
Relasi Dinda dan kedua orangtuanya tidak menunjukkan bahwa kedua orang tua adalah tempat yang aman untuk berlindung. Hal ini teramati dari perilaku Dinda yang justru memendam dan menutup diri untuk bercerita kepada ayah dan ibunya karena Dinda tidak ingin mendapatkan pelabelan ‘anak yang lemah’ oleh orang tuanya. Selain itu, Dinda juga tidak terlihat menjadikan ayah atau ibunya sumber pertolongan pertama yang perlu dicari ketika ia menghadapi situasi sulit.
3. Secure Base (Menjadi Basis Aman) Perilaku lekat lain yang dimunculkan oleh orang tua sebagai figur lekat sebagai tanda kelekatan yang terjalin ialah dengan tersedia atau tidak tersedianya orang tua sebagai basis aman bagi Sari untuk eksplorasi. Figur lekat yang peka melihat dunia dari sudut pandang anak dan memperlakukan anak dengan pemahaman yang mendalam, pemberian kebutuhan dan kasih sayang. Selain itu, figur lekat juga menunjukkan respons menerima anak secara utuh. a) Ayah-Dinda: Melalui pengalaman bersama ayah dari kecil hingga dewasa ini, Dinda menunjukkan bahwa sosok ayah tidak dapat dijadikan basis aman oleh Sari. Meskipun ayah memberikan Dinda kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengeksplorasi dunianya, namun Dinda tidak dapat menemukan sosok ayah sebagai basis aman yang dapat ia datangi ketika ia menemukan kegagalan dalam eksplorasi karena sang ayah lebih sibuk memperhatikan dengan pekerjaannya daripada berada di samping Dinda dan memperhatikannya. “Nggak lah nggak ada ribet-ribet. Bebas lah pokoknya, resiko ditanggung sendiri yang penting mah..”
Melalui pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa Sari sejak kecil hingga dewasa telah dibentuk menjadi sosok yang bertanggung jawab pada kekebasan yang diberikan oleh sang ayah. d) Ibu-Dinda: Relasi Dinda dengan ibunya sejak kecil juga tidak menunjukkan bahwa sang ibu merupakan basis aman untuk Dinda eksplorasi. Perlakuan ibu yang selalu menyalahkan dan menuduh Dinda sebagai ‘biang masalah’
membuat Dinda menjadi selalu takut untuk melangkah dan membuat keputusan tertentu. Namun demikian, ada perubahan sikap yang ditunjukkan Dinda dalam hal menyampaikan kekecewaan atau kemarahan kepada ibunya. Pada waktu kecil, Dinda terbiasa diam jika menemukan tindakan ibu yang tidak sesuai dengan harapannya. Namun, ketika Dinda dewasa, ia cenderung menunjukkan sikap yang berani untuk menegur jika ibunya salah dan ia tidak merasa sungkan untuk mengutarakan pendapatnya. “Kalo dulu emm… Ya dulu itu kalo saya kecil saya biasanya Cuma diem karena ya kan itu ya… Mama juga pasti nyalahin.. Tapi kalo udah gede kaya sekarang ya beda.. Saya kalo nggak suka ya tinggal ngomong, gentian saya yang sering ngomelin papa mama kalo mereka lupa minum obat lah ato mama lagi cerewet lah, trus kalo urusan apotik teledor.. Udah lebih kaya omongan dewasa sih sekarang saya kalo sekarang…”
Dapat disimpulkan, pola kelekatan yang terjalin antara Dinda dan kedua orangtuanya tergolong dalam jenis avoidantinsecure attachment. Hal ini dapat dilihat melalui sikap penghindaran yang dilakukan oleh Dinda terhadap kedua orangtuanya sebagai bentuk. strategi ‘pemberontakan’ bagi kedua orang tua yang tidak mendukung terjalinnya kontak afeksi dan tidak menunjukkan simpati maupun rasa nyaman. Sebagaimana dikatakan bahwa anak yang tergolong dalam avoidant attachment jarang menangis ketika dikondisikan terpisah dari figur lekat dan menghindari kontak ketika figur lekat kembali, begitupun halnya Dinda terhadap kedua orangtuanya. Dinda tidak menunjukkan protes terhadap situasi terpisah dari orangtuanya.
3. Dinamika Pola Kelekatan Dinda dengan Orang Tua dan Kebertahanan Dinda dalam Lingkaran Kekerasan Berdasarkan data empiris yang diperoleh, penulis melihat fenomena ini sebagai satu rangkaian pola sebab-akibat
berkesinambungan yang terjadi pada relasi Sari dengan ayah dan ibu serta Sari dengan pacar. Bowlby (1983) mengemukakan bahwa pola kelekatan yang terjalin antara anak dan orang tua sebagai figur lekat membentuk internal working models dalam persepsi anak sepanjang hidup terkait respons emosional dan pertimbanganpertimbangan yang dibuatnya. Untuk dapat melihat dialektika antara keduanya, penulis menguraikan terlebih dahulu tentang karakteristik serupa yang dimiliki oleh ayah dan ibu Dinda dengan Rendi. AYAH DINDA-RENDI
IBU DINDA-RENDI
Ayah Dinda dan Rendi memiliki karakteristik yang serupa, yakni keduanya merupakan figur yang penyayang dan selalu sigap memenuhi kebutuhan Dinda. Meskipun sang ayah tidak dapat mengungkapkan perasaan sayangnya dengan sentuhan fisik, namun Dinda dapat melihat bahwa setiap kerja keras dan kesungguhan ayahnya dalam bekerja merupakan bentuk dari kasih sayangnya terhadap keluarga. Rendi pun menunjukkan hal yang serupa. Meskipun Rendi berselingkuh, namun Dinda merasakan bahwa Rendi ialah sosok yang penyayang dan selalu ada menemani hari-hari Dinda. Terlebih, Rendi dapat menunjukkan kasih sayangnya melalui sentuhan fisik yang selama ini tidak diperolehnya dari ayah.
Ibu Dinda dan Rendi memiliki karakteristik yang serupa, yakni keduanya selalu melimpahkan kesalahan pada Dinda dan menuduh bahwa Dinda yang menyebabkan munculnya konflik tertentu dalam relasi tersebut atau relasi dengan orang lain. Sejak kecil, ibu yang terlihat tidak menyayangi Dinda selalu menyalahkan Dinda atas setiap pertengkaran Dinda dengan saudaranya. Tidak ada pembelaan yang didapatkan oleh Dinda dari sang ibu. Begitupun dengan Rendi yang selalu menyalahkan Dinda untuk setiap perselingkuhan yang dilakukan-nya dengan perempuanperempuan lain. Dinda selalu merasa setiap perbuatannya ialah kesalahan.
Interpretasi: 1. Dinda mencari sosok laki-laki sesuai dengan figur ayah yang penyayang dan sigap dalam menanggapi kebutuhannya. 2. Ada indikasi pemenuhan kebutuhan kontak fisik yang diberikan oleh Rendi. 3. Rasa nyaman yang dicari Dinda dari relasinya dari Rendi merupakan bentuk substitusi dari kebutuhan
Interpretasi: 1. Ada indikasi rasa inferior yang dirasakan oleh Dinda karena sejak kecil Dinda selalu disalahkan oleh sang ibu, dan rasa inferior tersebut diperuncing dengan perlakuan Rendi terhadap dirinya. 2. Adanya proses pembiasaan dari rasa inferior, sehingga Dinda tidak lagi merasa itu hal yang buruk dan mengganggu baginya.
akan rasa nyaman yang hilang dari relasinya dengan sang ayah. Tabel 4.7 Karakteristik Figur Lekat Dinda
Dapat dilihat, Rendi memiliki kemiripan karakteristik dengan ayah dan ibu Dinda, mulai dari perlakuan yang diberikan terhadap Dinda hingga respons Dinda menghadapi perlakuan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa relasi lekat yang dijalin oleh Dinda dengan kedua orangtuanya di masa lampau hingga saat ini turut membentuk persepsi Dinda tentang proses membangun dan mempertahankan relasi dengan Rendi. Tanpa disadari, Dinda beradaptasi dengan sangat baik terhadap pengabaian yang diterimanya sejak kecil, khususnya ibu yang membentuk rasa bersalah dan membuat Dinda merasa inferior dan tidak beguna dengan apapun yang dikerjakannya. Hal tersebut berimplikasi pada kerelaan Dinda yang terus disalahkan oleh Rendi atas perselingkuhan yang berulang kali dilakukannya. Intimidasi semacam itu seharusnya membuat Dinda merasa terluka, namun oleh karena indtimidasi tersebut telah diterima Dinda sejak kecil dari ibunya, Dinda merasa itu merupakan hal yang biasa dan Dinda telah beradaptasi dengan baik menghadapi intimidasi tersebut. Maka dari itu, Dinda membentuk persepsi bahwa Rendi dapat berselingkuh dari dirinya memang bersumber dari kesalahannya yang sering membuat keributan kecil, yang kurang cantik, kurang menarik, dan lainnya. Tidak adanya basis aman yang diberikan oleh kedua orangtua Dinda membuat Dinda eksplorasi secara mandiri tentang dirinya dan kebutuhannya. Tidak adanya pendekatan emosional yang pernah terjalin antara Dinda dan kedua orang tua juga membuat Dinda terus mencari kekosongan tersebut hingga Dinda bertemu dengan Rendi. Rendi merupakan sosok yang dapat mengisi kekosongan Dinda dalam hal sentuhan fisik dan emosi. Hal ini
terlihat dari kenangan paling bahagia yang dapat diingat Dinda ialah suatu kali ketika ayahnya menggendong dirinya yang baru bangun tidur. Kenyamanan dan rasa bahagia sangat dirasakan Dinda hanya di satu waktu itu karena sang ayah tidak pernah menggendong atau menyentuhnya lagi setelah itu. Pertemuannya dengan Rendi yang dapat dengan mudah menunjukkan rasa sayangnya melalui sentuhan-sentuhan fisik membuat Dinda sangat nyaman dan bahagia, sama seperti yang dirasakan Dinda ketika sang ayah dulu menggendongnya. Melalui hal ini dapat dilihat bahwa Dinda mencari sosok pengganti ayah yang dapat dijadikannya basis aman untuk eksplorasi. Kebutuhan Dinda akan sentuhan fisik menjadi salah satu alasan kebertahanan Dinda dengan Rendi meskipun dirinya harus berulang kali sakit hati karena dikhianati. Hal ini mengindikasikan bahwa ketiadaan dukungan melalui sentuhan fisik dan emosi dari kedua orangtua membuat Dinda menjadi rentan terhadap segala bentuk sentuhan fisik dan pendekatan emosi yang diberikan oleh Rendi. Sebagaimana diketahui bahwa ikatan emosi sepanjang hidup dapat dimulai melalui kontak fisik dan rasa aman yang diberikan oleh figur lekat pertama, Dinda pun merasakan bahwa ikatan emosinya terikat terlampau dalam kepada Rendi sehingga ia merasa sangat nyaman bertahan dalam relasi yang menyakitkan. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa pola kelekatan Dinda dengan orang tua membuat Dinda tumbuh menjadi individu yang insecure dan menjadikan Rendi sebagai satu-satunya pemuas kebutuhan fisik dan emosional Dinda sehingga sangat sulit bagi Dinda untuk keluar dari jerat lingkaran kekerasan yang dialaminya dengan Rendi. e. Pembahasan Kasus Dinda Melalui penjabaran kasus kekerasan yang dialami oleh Sari dan Dinda dalam relasi berpacaran, dapat dipahami bahwa kebertahanan Sari maupun Dinda dalam relasi yang mengandung kekerasan
didalamnya memiliki keterkaitan dengan pola lekat yang terjalin dengan orang tua di masa lampau, baik itu sebagai upaya pemenuhan kebutuhan yang terabaikan, maupun pengulangan kebutuhan yang telah terpenuhi. Berikut ini digambarkan tentang perbandingan kedua kasus Sari dan Dinda yang dikaji oleh penulis: KOMPONEN KELEKATAN Proximity Maintenance
Tidak ada Tidak ada perilaku Dinda yang menunjukkan upaya pencarian kedekatan dengan kedua figur lekat karena baik ayah dan ibu terlalu sibuk bekerja sehingga Dinda banyak menghabiskan waktu dengan baby sitter.
Safe Haven
Tidak ada Figur ayah dan ibu tidak dapat dijadikan tempat perlindungan yang aman bagi Dinda setiap kali Dinda menghadapi situasi yang membuatnya merasa tertekan. Tidak ada pembelaan atau dukungan yang diberikan kedua orang tua kepada Dinda saat Dinda mengalami konflik dengan kedua saudaranya. Tidak ada Kedua figur lekat tidak dapat dijadikan basis aman bagi Dinda untuk eksplorasi. Ketia-daan figur lekat dalam waktu yang lama membuat Dinda merasa tidak lagi memerlukan figur lekat di dekatnya. Avoidant-insecure
Secure Base
Pola Kelekatan
INFORMASI PENDUKUNG Kebutuhan yang tidak terpenuhi oleh ayah Kebutuhan yang tidak terpenuhi oleh ibu Kebutuhan yang dipenuhi pacar Riwayat Kekerasan dalam Keluarga Riwayat Kekerasan dalam Pacaran
Kebutuhan fisik, kebutuhan emosional
Kebutuhan fisik, kebutuhan emosional
Kebutuhan fisik, kebutuhan emosional Dinda mengalami kekerasan langsung dari ibunya berupa kekerasan verbal dan emosional. Dinda mengalami kekerasan verbal, kekerasan emosional, dan kekerasan seksual dari Rendi.
Tabel 4.8 Kerangka Pola Lekat dan Kebutuhan Dinda
Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh penulis terhadap dua orang korban yang memilih untuk bertahan dalam relasi pacaran yang mengandung jerat lingkaran kekerasan didalamnya, maka penulis memiliki beberapa temuan terkait dengan kebertahanan korban yang terjerat dalam lingkaran kekerasan di dalam relasi pacaran. Temuan 1: Pola Kelekatan Avoidant-Insecure dengan Orang Tua Merupakan Dasar Kebertahanan Korban Kekerasan Pola lekat yang dimiliki Dinda terhadap orangtuanya tergolong insecure-avoidant. Poin penting yang melekat dalam pola lekat insecure ini terletak pada ketidaktersediaan basis aman bagi keduanya untuk eksplorasi dan memahami bahwa dunia adalah tempat yang aman untuk dieksplorasi. Ketiadaan basis aman ini berimplikasi pada kurangnya minat untuk keluar dari situasi yang telah dianggap nyaman, meskipun tidak aman. Selain itu, kurangnya kemampuan bagi Dinda untuk mengatasi kecemasan atas situasi perpisahan dengan pacar yang dijadikan sebagai figur lekat. Hal ini dijelaskan oleh Bowlby (1973) bahwa ketika relasi dengan orang yang dicintai terancam perpisahan, emosi yang muncul ialah kecemasan dan juga kemarahan. Sebagai respons atas risiko kehilangan, kecemasan dan kemarahan ini berlangsung bergantian. Ketika pasangan mulai terlihat menjauh, pemanggilan memori atas kejadian-kejadian positif yang membuat individu mencintai dan peduli terhadap pasangan tersebut dapat memulihkan situasi berjarak yang terjadi. Akibat dari insekuritas yang dimunculkan dari pola lekat dengan orang tua, kecemasan terhadap perpisahan ini tidak dapat diregulasi dengan baik oleh Dinda sehingga keduanya memilih untuk bertahan dalam relasi yang merugikan. Temuan 2: Adanya Dorongan Pemenuhan Kebutuhan Kontak Fisik dan Emosional sebagai Implikasi dari Ketiadaan KontakKontak Tersebut dengan Figur Lekat Pertama Laki-Laki
Selain itu, ‘kekosongan’ yang dialami Dinda akan kebutuhan fisik seperti sentuhan juga turut berkontribusi terhadap kebertahanan keduanya dalam relasi pacaran. Sari dan Dinda keduanya pertama kali disentuh oleh pacarnya hingga melakukan hubungan sexual intercourse. Ketiadaan sentuhan dari orang tua – khususnya ayah sebagai figur lekat yang belainan gender – sejak kecil, membuat Dinda merasa asing dengan rasa nyaman yang dimunculkan dari sentuhan itu sendiri sehingga sang pacar memberikannya kepada mereka, rasa nyaman yang mereka tidak pernah rasakan sebelumnya menjadi sebuah ketergantungan yang sulit untuk dilepaskan, khususnya bagi Dinda yang sama sekali tidak pernah mengalami sentuhan kasih sayang dari ayah dan ibunya. ‘Kekosongan’ afeksi juga dirasakan oleh Dinda karena Dinda tidak pernah mendengar ayah atau ibunya menyatakan rasa sayang terhadap dirinya. Hal ini menyebabkan seluruh kata-kata dan tindakan penuh afeksi yang ditunjukkan oleh Rendi membuat Dinda merasa ‘kekosongan’ yang dirasakannya sejak kecil telah terisi dengan sosok Rendi. Maka dari itu, Dinda bertahan diselingkuhi berulang kali oleh Rendi selama Rendi masih dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya tersebut. Temuan 3: Adanya Proses Habituasi yang Terbentuk dari Relasi dengan Figur Lekat Pertama Perempuan Pada situasi yang menuntut korban untuk menentukan kebertahanan dalam relasi kekerasan yang dialami oleh korban, relasi lekat dengan ibu sebagai figur lekat pertama perempuan memiliki implikasi yang kuat dalam membentuk proses pembiasaan (habituasi) dalam merespons stimulus tertentu. Proses habituasi ini dialami Dinda dengan peilaku yang menunjukkan bahwa dirinya menjadi terbiasa dengan posisi ‘yang bersalah’ atas perilaku negatif Rendi yang gemar berselingkuh sama halnya dengan Dinda yang selalu berada di posisi ‘yang bersalah’ atas kemarahan ibunya di masa lampau. model perilaku yang telah terbentuk dan relatif menetap. Proses pembiasaan ini yang disebut dengan istilah “working models” atau “internal
representations” tentang diri dan pasangan, yang merupakan komponen sentral dari kepribadian yang mengatur tentang aspek kesadaran dan ketidaksadaran tentang pengaturan dan pemaknaan informasi terkait dengan kelekatan, pengalaman kelekatan, dan perasaan (Main, Kaplan & Casidy, 1985). Representasi internal tersebut: 1) berisi tentang model dari konsep diri terkait layak atau tidak layak individu mendapatkan cinta atau perhatian; 2) menghasilkan ekspektasi yang tidak disadari tentang konsekuensi dari kelekatan masa lampau; 3) menyediakan pola dalam membangun relasi sosial di masa mendatang.