53
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Sekilas tentang Kecamatan Toili Barat Toili Barat merupakan sebuah kecamatan pemekaran dari kecamatan toili, yang terletak di kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Kabupaten Banggai terdiri dari 18 kecamatan yaitu Toili Barat, Toili,Moilong, Batui Selatan, Batui, Kintom, Luwuk, Luwuk Timur, Lamala, Balantak Selatan, Masama, Balantak, Bualemo, Pagimana, Lobu, Bunta, dan Nuhon. Toili Barat merupakan salah satu kecamatan yang memiliki laju pertumbuhan pembangunannya terbilang sangat cepat. Bahkan Kecamatan Toili Barat dan Toili di kenal sebagai lumbung padi di Kabupaten Banggai. Tidak bisa disalahkan karena sebagian besar penduduk Toili Barat bermatapencaharian sebagai petani, selain itu juga di dukung oleh persediaan lahan yang luas. Toili Barat merupakan daerah trasmigrasi yang dibuka oleh pemerintah dan dijadikan daerah tujuan transmigrasi dengan penduduk dari daerah Bali, Jawa dan Nusatenggara. Penduduk yang dominan berasal dari daerah Jawa dan Bali. Tujuan resmi program transmigrasi adalah untuk mengurangi kemiskinan dan kepadatan penduduk yang ada di pulau Jawa dan Bali, serta memberikan kesempatan bagi orang yang mau bekerja, dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk mengelola sumber daya alam di pulau-pulau seperti sulawesi Tengah. Transmigrasi yang pertama yang di datangkan adalah suku Bali pada akhir
54
Desember 1976. Kemudian transmigrasi yang kedua pemerintah mendatangkan transmigrasi dari pulau Jawa pada tahun 1984. Pembentukan Kecamatan Toili Barat merupakan penterjemahan dari aspirasi masyarakat setempat dan juga telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimagsud dalam keputusan Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 2000 tentang pedoman kecamatan. Terbentuknya Kecamatan Toili Barat sebagai pemekaran dari kecamatan Toili yang ditetapkan dengan peraturan daerah Kabupaten Banggai No. 5 tahun 2003 (seri D No.3. Toili Barat diresmikan di desa Sindang Sari pada tanggal 24 Desember 2003. Kecamatan Toili Barat semula terdiri dari 15 desa, dengan adanya pemekaran desa sampai saat ini kecamatan Toili Barat terdiri dari 17 desa dan 64 dusun antara lain: desa Sindang Sari, desa Kami Wangi, desa Makapa, desa Dongin, desa Pandan Wangi, desa Karya Makmur, desa Mantawa, desa Bone Bae, desa Pasir Lamba, desa Bukit Makarti, desa Uwelolu, desa Bumi Harapan, desa Lembah Keramat, desa Gunung Keramat, desa Rata, desa Mekar Sari, dan Desa Mekar Jaya. 4.1.1
Kondisi Geografis Toili Barat yang terletak di kabupaten Banggai memiliki luas wilayah
kerja seluas 1.003,66 Km persegi dengan batas-batas sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Bunta Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Toili Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Tomini Sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten Morowali.
55
Jarak ibu kota kecamatan sampai ibu kota kabupaten Banggai kurang lebih 111 Km. Dengan kondisi jalan yang cukup memadai, jarak tersebut bisa ditempuh kurang lebih 2 jam perjalanan. 4.1.2
Keadaan penduduk Penduduk merupakan faktor penting, karena penduduk adalah subyek dan
obyek dari aktifitas pembangunan disegala bidang. Tanpa peran serta penduduk, pelaksanaan kegiatan pemerintahan, pembangunan serta kemasyarakatan niscaya tidak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan. Keadaan penduduk toili barat sampai dengan tahun 2010 adalah 20.708 jiwa yang terdiri dari 4.980 KK( sumber Badan Statistik Kabupaten Banggai tahun 2010) Penduduk adalah salah satu faktor penunjang keberhasilan suatu pembangunan, karena penduduk merupakan salah satu modal dasar pembangunan nasional dan daerah yaitu sumber daya manusia yang handal. Penduduk akan menjadi
sumber
daya
manusia
yang
sangat
menentukan
keberhasilan
pembangunan jika memiliki kualitas yang baik. Untuk mengetahui jumlah penduduk di kecamatan Toili Barat, lihat Tabel 1, terlampir. 4.1.3
Pendidikan Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam proses
modernisasi masyarakat dalam arti sebuah sikap pandangan serta pola pikir tradisional dan sulit menerima hal-hal yang bersifat baru. Pendidikan adalah salah satu faktor penting dalam keberhasilan pembangunan bangsa. Faktor pendidikan tergantung pada sumber daya manusia yang berkualitas dan mempunyai keahlian serta diikuti oleh sarana dan fasilitas yang mendukung. Dukungan dan partisipasi
56
masyarakat sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh masyrakat. Berdasarkan hasil penelitian, pendidikan di kecamatan Toili barat sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini di dukung oleh peran orang tua yang menginginkan anaknya untuk mengenyam bangku pendidikan formal. Dari tabel 4(terlampir) menunjukan bahwa pendidikan yang ada di kecamatan Toili Barat sudah cukup baik, walaupun sarana dan prasarana pendidikan belum memadai. 4.1.4
Keadaan sosial ekonomi Tingkat kehidupan suatu masyarakat dapat dinilai dari sosial ekonominya,
karena keadaan sosial ekonomi akan mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemerintah, pembangunan dan kehidupan masyarakat. Keadaan sosial ekonomi juga erat hubungannya dengan mata pencaharian penduduk, karena setiap mata pencaharian penduduk mempunyai jenis yang berbeda-beda dengan tingkat penghasilan atau pendapatan yang juga berbeda sehingga dapat diketahui tingkat kesejahteraan masyarakat. Sesuai dengan hasil penelitian, sebagian besar
mata pencaharian
penduduk di Kecamatan Toili Barat adalah sebagai petani (Tabel 2) Terlampir . Dengan kondisi alam yang mendukung, pertanian merupakan mata pencaharian yang menjanjikan di kecamatan toili barat. Namun sebagian besar penduduk dalam mengerjakan lahannya masih menggunakan alat tradisional. Oleh karena itu, tingkat perekonomian masyarakat Toili Barat masih terbilang rendah.
57
Lebih lanjut lagi Ferdi (42 tahun) (wawancara 3 April 2012) mengemukakan bahwa” hasil yang di peroleh setelah panen tidak menentu, karena sangat dipengaruhi oleh cuaca dan perawatan serta ketersediaan pupuk yang merupakan kebutuhan yang sangat penting terhadap hasil panen”. Mengacu pada penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kondisi ekonomi masyarakat di Kecamatan Toili Barat masih terbilang rendah, walaupun ketersediaan lahan cukup, namun masih terbatas oleh sentuhan perkembangan teknologi yang ada. 4.1.5
Keadaan agama. Negara Indonesia merupakan Negara yang multikultural, yang terdiri dari
beberapa agama, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha. Kelima agama ini sangat membawa pengaruh terhadap kebudayaan dan peradaban di Indonesia. Begitu juga di Kecamatan Toili Barat, yang terdiri dari beberapa agama diantaranya Islam, Protestan, Katolik, dan Hindu. Namun yang mayoritas adalah agama Islam dan Hindu, karena kecamatan Toili Barat merupakan daerah trasmigrasi yang mayoritas dari Jawa dan Bali.(Tabel 3)terlampir. Menurut Nengah Jaya (wawancara 3 April 2012) mengatakan bahwa” keberagaman yang ada di Toili barat tidak menimbulkan perpecahan, malahan mereka bisa saling berinteraksi dengan mengedepankan aspek toleransi beragama. Sehingga sampai sekarang kehidupan beragama yang ada di Toili Barat masih terjalin dengan baik. Hal tersebut juga didukung oleh komunikasi yang lancar oleh pemimpin-pemimpin agama setempat”.
58
4.2 Pembahasan. 4.2.1
Pelaksanaan ritual Melasti di kecamatan Toili Barat. Acara
dalamnya
agama merupakan bentuk pelaksanaan Ajaran Hindu yang di
tercermin
kegiatan
praktis
bagaimana
seharusnya
manusia
menunjukkan rasa kasih dan bhakti kepada Tuhan (Hyang Widhi), kepada alam semesta, kepada sesama manusia, kepada leluhur/roh nenek moyang, dan kepada orang-orang suci. Dalam masyarakat manusia yang senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan tempat, waktu dan keadaan, caracara yang ditempuh dalam menunjukkan rasa kasih dan bhakti tersebut dapat berbeda-beda menurut waktu, tempat dan keadaan. Tiga hari sebelum Nyepi diadakan upacara Melasti atau Melis dan ini dilakukan sebelum upacara Tawur Kesanga. Dalam ritual melasti, terdapat beberapa rangkaian ritual lainnya yang sangat berkaitan erat, diantaranya yaitu ritual Memben, ritual inti yaitu Melasti, ritual mepiak, ritual pengrupukan dan yang terakhir yaitu nyepi. Dalam penelitian ini, penulis lebih berfokus pada upacara ritual melasti. Tetapi penulis juga akan menjelaskan sedikit mengenai rangkaian ritual lainnya. Untuk lebih jelasnya, maka akan dipaparkan runtutan pelaksanaan upacara melasti, yaitu sebagai berikut: a. Ritual Memben Mengenai pelaksanaan upacara Memben dilaksanakan sehari sebelum Ritual Melasti, yaitu pada hari “panglong 12, bulan Caitra” (sasih kesanga). Pada ritual Memben ini para pemangku (pemimpin ritual) Pura Khayangan Tiga, Pura Swagina Pura Dadia bersama dengan masyarakat desa pakeraman,
59
berkemas-kemas untuk membersihkan arca-arca dan pretima-pretima kemudian masing-masing dihias dan disucikan. Setelah selesai dihias, selanjutnya diusung dan distanakan di Pura desa yaitu di Bale Agung, yang diikuti dengan menghaturkan upacara berupa ayaban serta karama desa (umat) menghaturkan sembah baktinya. Menurut Made Mertha (wawancara 5 April 2012) mengatakan bahwa” memben ini merupakan prosesi persiapan. Selain, menghias dan membersihkan arca-arca dan pretima-pretima, umat juga mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk ritual Melasti”. Jadi, inti dari upacara ini adalah membersihkan dan menghias pretimapretima serta mempersiapkan segala sesuatu yang nantinya pada saat ritual Melasti akan dibawa ke sumber air dalam hal ini adalah laut yang dipusatkan di desa Pandan Wangi. b. Ritual Melasti Keesokan harinya sesudah ritual Memben, yaitu pada hari “Panglong 13, bulan Caitra” (sasih Kesanga) atau sekitar bulan Maret, pada jam tertentu (jam 00.07 an), ritual Melasti dilakukan. Adapun tata cara pelaksanaannya yaitu sebagai berikut: Pertama,dilaksanakan prosesi iring-iringan, yang mana Pretima/Jempana yang sudah dihias pada saat Memben tersebut serta perlengkapan lainnya diarak menggunakan kendaraan truk menuju ke Sumber air. Sumber air yang menjadi tujuan prosesi Melasti ini adalah laut yang letaknya tidak jauh dari Pura , yang dalam hal ini dipusatkan di desa Pandan wangi yang merupakan daerah kawasan pantai. Umat yang hadir berjalan beriringan dengan membawa sarana-sarana
60
upacara menuju sumber air
dengan diiringi tabuh beleganjur ( musik khas
upacara Hindu). Menurut
Drs. I Nengah Bagia (wawancara 5 April 2012) “dalam
pelaksanaan Melasti ini, iring-iringan merupakan hal yang wajib dilakukan, karena kegiatan tersebut merupakan simbol umat untuk mengantarkan Ida Batara (Tuhan Yang Maha Esa) menuju ke laut”. Disamping itu prosesi iring-iringan ini juga merupakan pembelajaran terhadap umat tentang pentingnya nilai kesabaran dan kebersamaan dalam kehidupan beragama. Prosesi iring-iringan di Bali disebut dengan Mapeed. Mapeed ini sendiri sesungguhnya memiliki makna tersendiri yakni menyucikan secara spiritual lingkungan desa . Penyucian ini dilakukan dengan menghadirkan pretima dan simbol-simbol suci lainnya. Kehadiran pretima ini diyakini menghadirkan vibrasi spiritual kepada umat disekitarnya. Terkait dengan hal tersebut, mungkin ada fenomena menarik yang terjadi dalam kurun waktu belakangan pada beberapa desa adat dimana mapeed dalam Melasti tidak lagi terjadi. Untuk menuju pantai sebagai tempat Melasti, umat ngiring sesuhunannya dengan menggunakan kendaraan truk. Berbagai alasan melatarbelakangi berubahnya tradisi ini, mulai karena lokasi pantai yang dituju cukup jauh kalau ditempuh dengan jalan kaki, sampai dengan alasan kemacetan yang diakibatkan karena mapeed ini. Kedua, Sesampainya di depan pintu masuk Pura Segara, Simbol-simbol sakral yang diarak tersebut disucikan dengan melakukan prosesi mebiya kala dan dan prayascita durmenggala (pembersihan). Setelah proses pembersihan selesai,
61
selanjutnya dibawa masuk ke area Pura segara , sebelum distanakan, simbolsimbol sakral ini harus berputar ke kanan mengelilingi asagan (linggih/tempat) sebanyak 3 kali. Prosesi ini melambangkan kehadiran dan sekaligus adaptasi dengan tempat itu. Dan selanjutnya distanakan di tempat yang sudah disediakan oleh panitia. Menurut Nyoman Artini (35 tahun), menjelaskan bahwa” pembersihan ini mutlak dilakukan sebelum masuk area pura segara, karena pretima-pretima yang yang baru melakukan perjalanan jauh ini, dianggap masih banyak mengandung unsur-unsur negatif yang dapat menggagu pelaksanaan ritual Melasti ini”. Lebih lanjut lagi dijelaskan” selain dilakukan prosesi pembersihan, Pretima-pretima ini juga disambut oleh tarian dan alunan gong. Hal ini menandakan sebagai penyambutan bahwa yang datang ini adalah tamu istimewa dari jauh”. Setelah prosesi di atas, barulah simbol-simbol tersebut disthanakan (wawancara 5 April 2012). Sehubungan
dengan
penempatan
Pretima-Pretima
tersebut,
harus
dilakukan dengan posisi “adu muka” (Anungswari). Adapun tujuan dari posisi menghadap ke segara adalah memiliki tujuan sekala dan niskala yaitu sebagai berikut: 1) Tujuan Sekala (nyata) yaitu secara logika dengan akal yang sehat, bahwa pretima tersebut dibuat dari kayu, sudah sepatutnya memerlukan pemeliharaan yang baik agar kayunya tidak cepat rapuh dimakan rayap, sehingga dihadapkan ke laut, karena angin yang berasal dari laut mengandung zat garam yang bisa memberi kekuatan
62
dan tahan lama terhadap kondisi kayu tersebut. Oleh karena itulah pretima diletakan pada posisi menghadap ke segara. 2) Tujuan Niskala ( Spiritual) yaitu sesungguhnya pretima tersebut adalah bersifat dan berfungsi sebagai Yoni, sedangkan manifestasi Tuhan yang distanakan pada pretima berada di tengah samudera, di puja oleh sulinggih atau pemangku melalui Sanggah Surya, bersifat dan berfungsi sebagai Lingga. Dengan demikian untuk bias bertemunya Lingga dengan Yoninya maka memerlukan posisi adu muka atau anungswari. Setelah terjadinya proses itu barulah para umat hindu melaksanakan persembahyangan, kemudian memohon Thirta serta wija. Ketiga, setelah simbol-simbol suci tersebut distanakan, dilanjutkan dengan menghaturkan doa-doa Pemelastian. Dalam prosesi ini, Ida Pedanda Made Manggis sebagai pemuput ritual Pemelastian melantunkan doa-doa sesuai dengan kitab suci Weda, dan semua sesajen yang dibawa dari pura dihaturkan kepada Sanghyang Baruna (penguasa laut). Keempat, Mekobok yaitu prosesi mencelupkan simbol-simbol suci ke dalam air laut. Sebelum dicelupkan simbol-simbol
yang berada di asagan,
kembali diarak menuju bibir pantai , berbaris dan berjejer di sepanjang pantai menghadap ke laut kurang lebih dua meter dari air. Selanjutnya Jero mangku (pemuput dan jero mangku masing-masing pura)menghaturkan banten (sesajen) ke hadapan Hyang Baruna (penguasa laut) dengan memohon anugerah untuk pensucian Pratima/Pralingga dan Uparengga lainnya yang dibawa dari
63
khayangan
(pura)
masing-masing
yang
disimbolkan
dengan
nirtain
(mencipratkan) Pralingga dengan air laut dan mencelupkan (mekekobok). Bersamaan dengan menghaturkan banten di pantai, Pemangku pemuput lainnya berangkat ke tengah laut dengan menggunakan perahu menghaturkan sesajen pekelem dan nunas Tirta Amertha Khamandalu. Setelah selesai mekobok dan mendapat Tirta Amerta, selanjutnya bersama-sama menuju ke pura untuk membawa Tirta tersebut. Menurut winarti S. (26 tahun), menjelaskan bahwa” menghaturkan sesajen pekelem ini merupakan tanda bahwa segala leteh (kotor) diharapkan tenggelam dan dapat dinetralisir oleh asinnya air garam. Ini sesuai dengan namanya pekelem, dari asal kata kelem yang artinya tenggelam”. Kelima, persembahyangan bersama. Dalam prosesi ini, seluruh umat Hindu di Kecamatan Toili Barat mengambil tempat duduk yang sudah disediakan oleh panitia. Dengan mengambil sikap yang benar, persembahyangn dimulai yang dipimpin langsung oleh Ida Pendita Made Manggis. Adapun sarana-sarana individu yang diperlukan yaitu, bunga, dupa, kuangen, air dan bija. Setelah persembahyangan selesai, pratima dan segala perlengkapannya diusung kembali ke Balai Agung di Pura Desa masing-masing dan selanjutnya menghaturkan sembah bhakti. Kemudian umat Hindu pulang ke rumah masingmasing untuk memercikan Tirtha yang diperoleh di Segara pada pekarangan, dimulai dari pemerajan (tempat suci), ke bangunan-bangunan rumah, dan terakhir ke lebuh (pintu masuk rumah). Etika pada saat memercikan tirtha itu berputar ke arah kiri, dengan tujuan pengelukatan (pembersihan) segala leteh sebel (kotor)
64
yang ada di Bhuana Agung (alam semesta), dalam hal ini di memakai simbol pekarangan rumah. Keenam, Pada sore harinya umat Hindu kembali datang ke Pura untuk menghaturkan banten Prani. Banten Prani merupakan sebuah sesajen yang di dalamnya terdapat berbagai macam kue dan buah-buahan. Upacara peperanian memiliki makna dan tujuan untuk memberikan kesempatan kepada umat Hindu untuk berkarma yang baik sebagai jalan pelebur dosa. Karena banten prani tersebut adalah merupakan simbol seluruh isi alam semesta, dan sebagai simbol dari bahasa isyarat ke hadapan Tuhan
yang
mengandung nilai permohonan dan nilai pengampunan ke hadapan Tuhan, karena manusia ( umat Hindu) memakan dan meminum hasil dari ciptaan_NYA. Oleh karena itu supaya jangan sampai dikategorikan sebagai pencuri. Lebih lanjut lagi dijelaskan dalam Bhagawadgita III.12 menyebutkan sebagai berikut: “Istan bhogan hi wo dwa Dasyante yajna bhawitah Tair dattan apradayahibhyo Yo bhunkte stena ewa sah” Artinya: “sesungguhnya keinginan untuk mendapatkan kesenangan telah diberikan kepadamu oleh dewa-dewa karena yadnyamu, sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberikan yajna, sesungguhnya adalah pencuri, (Bhagawadgita III.12)”. Dari isi sloka di atas, dapat dipahami bahwa pelaksanaan upacara peperanian adalah merupakan esensi dari petunjuk weda. Dengan demikian pelaksanaan upacara peperanian yang telah dilaksanakan oleh umat Hindu dari
65
sejak dahulu hingga sekarang sudah benar sesuai dengan petunjuk dari Weda. Pada waktu hari Melasti, di masing-masing rumah bagi umat Hindu, menghaturkan banten sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Pada umumnya banten perani tersebut berbentuk lingkaran memanjang ke atas. Magsud dan tujuan dari bentuk lingkaran dikarenakan pada hari itu disebut Hari Kesanga. Dari kata kesangan di hubungkan dengan Tattwa Samkya maka mendapat angkat 9(Sembilan), dan angka Sembilan itu menurut Tattwa agama Hindu merupakan angka tertinggi dari perjuangan umat dalam mengarungi kehidupannya. Tujuan dari hidup ini adalah untuk mencapai kebahagiaan yang kekal abadi. Oleh karena itulah dibuat simbol sebagai bentuk lingkaran, dan lingkaran tersebut mengandung makna kebahagiaan yang kekal abadi. c.
Ritual Mepiak Ritual Mepiak merupakan upacara yang pada intinya adalah pengembalian
pretima ke tempat masing-masing. Ritual dilaksanakan pada sore hari dengan melakukan persembahyangan bersama, yang selanjutnya semua pretima-pretima di diusung dari Bale Agung menuju puranya masing-masing. d. Ritual Pengerupukan Ritual Pengerupukan merupakan upacara penetralisir kekuatan-kekuatan yang bersifat keburukan, melalui pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya,(I.B. Putu Sudarsana, 2003 :141). Upacara Bhuta Yadnya sendiri merupakan suatu upacara yang ditujukan kepada kekuatan-kekuatan yang bersifat membawa bencana, agar tidak mengganggu kehidupan manusia. Jadi setelah melalui ritual Melasti, umat
66
Hindu harus melakukan ritual ini dengan tujuan menyomya (menetralisir) kekuatan-kekuatan negative tersebut, agar tidak menggangu umat manusia. Proses ritual Pengerupukan yang dilaksanakan di kecamatan Toili Barat dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh. Dalam masyarakat Hindu ogoh-ogoh itu di ibaratkan sebagai pembawa malapetaka. Oleh karena itu setelah pawai, ogoh-ogoh tersebut dibakar. Hal tersebut mempunyai makna untuk melenyapkan segala malapetaka yang ada di muka bumi ini. e.
Ritual Nyepi Pada hari nyepi, umat Hindu melakukan catur brata penyepian yang
diantaranya yaitu sebagai berikut: 1) Brata Amati Geni artinya tidak boleh menyalakan api. 2) Brata Amati Karya yaitu tidak bekerja atau tidak melakukan aktivitas fisik, terutama aktivitas-aktivitas yang mengganggu ketenangan lahir maupun bathin. 3) Brata Amati lelungan, yaitu tidak bepergian melainkan tinggal di rumah atau di pura melakukan yoga-samhadi. 4) Brata Amati lelanguan yaitu tidak memuaskan nafsu keduniawian misalnya tidak berpesta pora, berjudi dan lain sebagainya. 4.2.2 Tujuan Melasti Tujuan upacara ritual Melasti pada umumnya adalah untuk pembersihan alam semesta beserta isinya. Hal ini tertuang dalam Lontar Sang Hyang Aji Swamandala yang di kutip oleh Drs. I Ketut Wiana adalah sebagai berikut:
67
“Melasti ngarania ngiring prewatek Dewata anganyutaken laraning jagat papa klesa, letuhing bhuwana. (Lontar Sang Hyang Aji Swamandala). Maksudnya: Melasti adalah meningkatkan Sraddha dan Bhakti pada para Dewata manifestasi Tuhan Yang Mahaesa untuk menghanyutkan penderitaan masyarakat, menghilangkan papa klesa dan mencegah kerusakan alam.” Setiap Sasih Kesanga umat Hindu mengadakan Upacara Yadnya yang disebut Melasti yang dilanjutkan dengan Nyejer. Ritual melasti dan nyejer ini sebagai pendahuluan dari Hari Raya Nyepi. Melasti, Nyejer dan Nyepi sebagai kegiatan keagamaan Hindu untuk memperingati Tahun Baru saka. Hakikat semua perayaan
keagamaan
Hindu
tersebut
sebagai
suatu
proses
evaluasi
penyelenggaraan kehidupan yang dilakukan setiap tahun. Proses evaluasi ini amat dibutuhkan untuk mencermati penyelenggaraan kehidupan di bumi ini agar senantiasa berada dalam jalur yang benar sesuai dengan ketentuan pustaka suci Weda. Kutipan Lontar Sang Hyang Aji Swamandala di atas itu, menjelaskan empat tujuan Melasti, yaitu:
1. Ngiring Prawatek Dewata. Artinya membangun sikap hidup untuk senantiasa menguatkan sraddha bhakti serta patuh pada tuntunan para Dewata sinar suci Tuhan. Umat Hindu di Bali melakukan Upacara Melasti dengan melakukan pawai keagamaan yang di Bali disebut mapeed untuk melakukan perjalanan suci menuju sumber air seperti laut dan sungai atau mata air lainnya yang dianggap memiliki nilai sakral secara keagamaan Hindu. Saat perjalanan suci dengan mapeed itu umat diharapkan melakukan bhakti pada Dewata manifestasi Tuhan dengan simbol-simbol
68
sakral yang lewat di depan rumahnya atau sembahyang bersama saat sudah di tepi laut atau sungai. 2. Anganyutaken Laraning Jagat. Ini artinya dengan Upacara Melasti umat dimotivasi secara ritual untuk membangkitkan spiritual kita untuk berusaha menghilangkan Laraning Jagat (Sosial care). Istilah Laraning Jagat ini memang sulit sekali mencari padanannya agar ia tidak kehilangan makna. Kata Lara dan Jagat sudah sangat dipahami oleh umat Hindu di Bali. Lara ini agak mirip dengan hidup menderita. Hanya yang disebut dengan Lara tidaklah semata-mata orang yang miskin materi. Banyak juga orang kaya, orang berkuasa, orang yang berpendidikan tinggi, keturunan bangsawan hidupnya
Lara.
Orang
kaya
menggunakan
kekayaannya
untuk
membangkitkan kehidupan yang mengumbar hawa nafsu. Kekuasaan dijadikan media untuk mengembangkan ego untuk bersombongsombongria, atau menggunakan kekuasaan untuk mengeruk keuntungan pribadi bukan untuk mengabdi pada mereka yang menderita. Demikian juga banyak ilmuwan menjadi sombong karena merasa diri pintar. Banyak juga orang yang meninggi-ninggikan kewangsaannya. Sifat-sifat yang negatif itulah yang akan menimbulkan disharmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Jadinya menghilangkan Laraning Jagat hendaknya diaktualisasikan untuk menghilangkan sumber penderitaan masyarakat baik yang bersifat Niskala maupun yang bersifat Sekala.
69
3. Anganyutaken Papa Klesa. Para Pinandita maupun Pandita dalam mengantarkan Upacara Keagamaan Hindu selalu mengucapkan Mantram: Om Papa Klesa Winasanam. Mantram ini hampir tidak pernah dilupakan. Arti Mantram tersebut adalah: Ya Tuhan semoga Papa Klesa itu terbinasakan. Hidup yang ”papa” disebabkan oleh sifat-sifat klesa yang mendominasi diri pribadi manusia. Mengenai Klesa sebagai lima kekuatan negatif yang dibawa oleh Unsur Predana . Lima klesa (Awidya, Asmita, Raga, Dwesa dan Abhiniwesa) inilah yang harus diatasi agar jangan hidup ini menjadi papa. Hidup yang papa itu adalah hidup yang berjalan jauh di luar garis Dharma yang membawa orang semakin jauh dari Tuhan. 4. Anganyuntaken Letuhing Bhuwana. Yang dimaksud dengan Bhuwana yang ”Letuh” adalah alam yang tidak lestari. Letuh artinya kotor lahir batin. Atau dalam istilah Sarasamuscaya disebut Abhuta Hita artinya alam yang tidak lestari. Bhuta artinya unsur yang ada. Bhuta itu ada lima sehingga disebut Panca Maha Bhuta. Lima Bhuta tersebut adalah: pertiwi, apah, bayu, teja dan akasa. Lima unsur alam itulah yang wajib kita jaga kesejahteraannya. Dilarang untuk mengganggu kelestariannya. Jadi, Upacara Melasti itu adalah untuk menanam nilai-nilai filosofis tersebut, sehingga setiap orang termotivasi untuk melakukan tiga langkah tersebut dalam hidupnya secara sadar dan terencana sebagai wujud bhakti pada Tuhan. Selanjutnya tujuan ritual Melasti yang tertinggi dinyatakan dalam Lontar Sunarigama yang dinyatakan dalam bahasa Jawa Kuno sbb:
70
”Melasti ngaran amet sarining amertha kamandalu ring telenging segara. ” Maksudnya: Dengan Melasti mengambil sari-sari kehidupan di tengah samudra. Dua kutipan Lontar ini, sudah amat jelas makna ritual Melasti itu sebagai proses untuk mengingatkan umat manusia akan makna tujuan hidupnya di bumi ini. Tuhan telah menciptakan berbagai sumber alam sebagai wahana dan sarana kehidupan bagi umat manusia hidup di bumi ini. Untuk hidup di bumi ini hendaknya menggunakan sari-sari alam ciptaan Tuhan. Ini artinya hendaknya dihindari mengeksploitasi sumber alam ini secara berlebihan. Untuk melakukan hal itu, umat manusia dimotivasi dengan ritual sakral tiap tahun dengan Upacara Melasti. Tentunya Upacara Melasti akan menjadi mubazir kalau bhakti kita pada Tuhan tidak diwujudkan untuk membenahi diri dengan menjadikan informasi agama sebagai kekuatan melakukan transformasi diri menghilangkan Panca Klesa. Dari diri yang berubah itulah, kita meningkatkan kepedulian kita pada perbaikan sosial (Sosial Care) yang disebut ”Anganyutaken laraning jagat”. Selanjutnya Melasti untuk memotivasi umat melakukan upaya pelestarian alam lingkungan. 4.2.3 Upakara (sesajen) yang Digunakan Dalam Upacara Melasti Menurut Surayin dalam Bukunya Langkah-Langkah Ke Arah Persiapan Upakara-Upakara Yajna menyebutkan secara umum bebanten atau upakara mempunyai arti dan fungsi yaitu:
71
a.
Upakara adalah merupakan cetusan hati umat Hindu untuk menyatakan rasa terima kasihnya baik kehadapan Ida Sanghyang Widhi dengan manifestasi-Nya.
b.
Upakara merupakan perwujudan simbol-simbol dari Ida Sanghyang Wenang beserta manifestasi-Nya mislnya “daksina” adalah linggih atau tapakan Ida Sanghyang Widhi atau sebagai pesaksi dalam karya-karya penting
c.
Upakara/bebanten adalah merupakan pelajaran atau alat konsentrasi pikiran untuk memuja Ida SangHyang Widhi beserta manifestasiNya. Misalnya bagi seseorang yang sedang membuat banten maka dengan tidak sengaja dia telah membayangkan kehadapan siapa/ke pura mana banten tersebut akan dipersembahkan.
Upakara (sesajen) Pokok dalam pelaksanaan pemelastian yaitu: “Banten untuk pebersihan (prayascita, durmengala), Suci, Pedatengan, Daksina. Pada hari pengrupukan di Pemerajan (Sanggah) yaitu di pelinggih Ida Bhatara Hyang Guru menghaturkan: Peras, sodan, ketupat kelanan, daksina, canang lenga wangi, burat wangi, disertai nunas tirtha dan bija beras”. (Surayin, 2004:96) Untuk lebih jelasnya, upakara yang dipergunakan dalam upacara Melasti akan diuraikan satu persatu, sebagai berikut: a.
Banten Suci Ada beberapa ketentuan dalam membuat banten suci, antara lain:
72
Sebagai alasnya dipakai beberapa buah tamas, banyak sedikitnya tamas yang dipergunakan tergantung pada tingkatan banten suci yang dibuat. Warna jajannya adalah putih dan kuning. Pada waktu menata, jajan yang berwarna putih ditempatkan disebelah kanan dan yang kuning di sebelah kiri. Diantara jajan tersebut ada yang dinamakan sesamuhan, terbuat dari tepung beras dicampur sedikit tepung ketan, parutan kelapa serta air, dibuat bentuk lalu digoreng. Jajanjajan tersebut ada yang bernama: kekeber, kuluban, puspa, karna, katibubuan udang, panji, ratu-magelung, bungan temu dan masih banyak yang lainnya. Ada kalanya nama tersebut berbeda-beda dibeberapa tempat walaupun bentuknya sama. Tetapi yang perlu diperhatikan disini adalah perbandingan antara jajan yang berwarna putih hendaknya lebih banyak daripada jajan yang berwarna kuning, misalnya: 12:6; 9:5; 7:5; 5:4 dan seterusnya. Selain jajan yang tersebut di atas, ada juga jajan yang namanya raka-raka, misalnya jaja gina, jaja uli, sirat, kaliadrem dan sebagainya. Jajan ini juga berwarna putih dan kuning. Pemakaian gula dalam hal ini hendaknya gula tebu/gula pasir atau gula aren. Di samping jajan-jajan yang telah dikemukakan di atas, ada dua jajan yang disebut jaja saraswati dan jaja dodol maduparka.
73
Ada beberapa jenis pisang yang dianggap kurang baik dipakai pada banten suci yaitu pisang raja, pisang kapuk, pisang dakwarangan, dan pisang batu/pisang klutuk. Pada banten suci tiap tempat diisi perlengkapan yang jumlahnya telah ditentukan, umpama: tempat yang paling di bawah berisi pisang, tape, buah-buahan, masing-masing 5 biji/iris, jaja sesamuhannya 1 biji tiap jenis; tamas yang kedua berisi 2 biji/iris dst. Secara sederhana satu soroh(tempat) suci terdiri dari: suci, daksina, peras, ajuman, tipat kelanan, duma (sejenis banten), pebersihan, canang lengawangi, buratwangi, canang sari, dan dua buah pisang. Pada upacara yang agak besar dilengkapi dengan perayunan. Rerasmen (lauk pauk) wajib menggunakan daging bebek (itik) dilengkapi dengan ikan air tawar, air laut, ikan yang hidup di sawah misalnya: udang, kepiting, teri, gurita, belut, siput dan yang sejenis. Perlu diingat bahwa pada banten suci tidak boleh menggunakan terasi dan jeroan kecuali hati. Dalam tingkat madya dan utama dilengkapi daging hewan yang hidup di danau dan hutan, yang dianggap suci, umpama: rusa, daging, burung belibis, daging rusa, menjangan dan sebagainya.
74
b.
Prayascita Sesajen ini ditujukan kehadapan Sang Hyang Aji Saraswati, Sang Hyang Agni, untuk memohon agar Beliau berkenan menyucikan tempat, peralatan upacara ataupun diri seseorang. Selain adanya sarana penyucian yang terdapat pada pengeresikan dan penyeneng, maka diperlukan pula tiga jenis air yaitu: Tirtha anyar, tirtha prayascita dan air dari sebutir kelapa gading (merah) yang muda (cengkir) sebagai penglukatan. Kelapa gading dikasturi, demikian pula beberapa peralatannya dibuat dari janur kelapa gading misanya: Sampyan nagasari, penyeneng, bebuhu, padma, dan lis senjata. Banten prayascita ini termasuk banten yang memiliki mutu kedewataan (Daiwi Sampad), oleh karena itu banten prayascita memiliki fungsi “sebagai pebersihan dan merupakan simbol yang mengandung nilai religius sebagai kekuatan Siwa Guru. Dengan demikian air sucinya dipercikan ke arah ubun-ubun (Siwa Dwara), dan ngayab (natab) juga ke arah kepala karena kekuatan Siwa yang ada pada Bhuana Alit bersemayam melalui ubun-ubun (Siwa Dwara)”. (Sudarsana, 1998:46).
c.
Durmenggala Sesajen ini hampir sama fungsinya dengan byakala yaitu sebagai korban kepada unsur kekuatan alam/bhuta kala yang mungkin bisa menimbulkan gangguan serta bencana karena tidak sesuai dengan tempatnya. Pengorbanan ini merupakan usaha secara spiritual untuk mengembalikan unsur kekuatan tersebut kepada kodratnya semula.
75
Oleh karena itu dipakai sebagai penyucian terhadap bangunan yang baru selesai, penyucian disebabkan adanya bencana alam serta munculnya binatang serta tumbuh-tumbuhan yang aneh, disebut kedurmengalaan. Banten bayekaonan ini termasuk banten yang memiliki mutu Asuri Sampad, yang memiliki fungsi sebagai penyomya (penetralisir) kekuatan bhuta kala yang bersifat negatif. “Bayekawonan berasal dari suku kata bayed an kawon, dapat akhiran an, menjadilah kata bayekawonan,
yang
mengandung
arti
membersihkan
yang
menyebabkan bahaya atau menetralisir kekuatan bhuta kala yang bersifat negatif untuk dijadikan bhuta hita”. d.
Daksina Kata daksina mengandung arti Brahma, dan Brahma menjadi Brahman yaitu Sang Hyang Widhi”. (sudarsana, 1998:25). Daksina tersebut dirangkai dari beberapa komponen yang menjadi simbul-simbol yaitu: Bebedogan (tempatnya). Bebedogan ini dibuat dari janur muda atau janur tua, daun rontar berbentuk silinder memiliki dua penampang atas, bawah, dan penampang di bawah tertutup rapat sehingga menyerupai alas atau dasar. Bentuk ini merupakan simbol bumi, cerminan dari Sang Hyang Ibu Pertiwi. Pada dasar Bebedogan tersebut diisi bentuk tapak dara merupakan simbol Swastika sebagai sumber pengatur seisi alam, menjadi
76
cerminan Sang Hyang Rwa Bhineda, sehingga kelihatan ada siang dan ada malam, laki-laki dan wanita, baik dan buruk. Diisi pangi, menjadi simbol sarwa pala bungkah cerminan Sang Hyang Baruna. Diisi beras menjadi simbol udara sebagai cerminan Sang Hyang Bayu. Berisi pepeselan (daun-daunan) menjadi simbol tumbuh-tumbuhan sebagai cerminan Sang Hyang Sangkara. Berisi gegantusan (biji-bijian yang dibungkus dengan daun pisang yang kering) menjadi simbol segala biji-bijian alam semesta, sebagai cerminan adanya Jiwatma (Rokh). Tingkih menjadi simbol bintang atau nada merupakan cerminan Sang Hyang Parama Siwa. Berisi telur itik, menjadi simbol bulan atau arda candra merupakan cerminan Sang Hyang Siwa. Berisi kelapa, menjadi simbol matahari atau windu, merupakan cerminan Sang Hyang Sadha Siwa. Berisi uang kepeng bolong (andel-andel) menjadi simbol windu sunia merupakan cerminan Sangkanparan. Berisi porosan menjadi simbol silih asih merupakan cerminan dari Sang Hyang Semarajaya Semara Ratih. Berisi canang sari menjadi simbol Asta Aiswarya merupakan simbol Sang Hyang Dewata Nawa Sanga.
77
Menyimak dari makna simbol-simbol di atas yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda-beda merupakan manifestasi Sang Hyang Widhi sebagai saksi dari semua bentuk karma dari segala makhluk di dunia.
Kalau dari perhitungan unsur-unsur tersebut berjumlah tiga
belas macam dan merupakan suatu kekuatan pesaksi yang disebut Trio Dasa Saksi. Kalau dilihat dan diperhatikan, penyusunan isi daksina di masyarakat akan terlihat beraneka ragam seolah-olah tidak ada sesuatu pedoman, dikarenakan dari pengaruh tradisi di masing-masing desa yang sangat kuat. Di samping itu kurangnya tentang pemahaman mengenai makna dari isi daksina tersebut sehingga sering terjadi perbedaan pendapat hanya karena melihat luarnya saja tanpa mengetahui makna yang terkandung di dalamnya. Demikian juga tentang pemakaian telor ayam sesungguhnya tidak boleh, karena setiap persembahan adalah merupakan cerminan karma yang dilandasi oleh gerak kendalinya yang luhur. Dari gerak kendali tersebut memiliki dua kecenderungan, yaitu: “1) Daiwi Sampad adalah suatu kecenderungan buddhi yang memiliki mutu kedewataan serta mutu ini akan tercermin ke dalam persembahan sebagai simbol, dan 2) Asuri Sampad, adalah suatu kecenderungan buddhi yang memiliki mutu keraksaan serta mutu ini akan tercermin ke dalam persembahan sebagai simbol”.
78
Oleh karena itu, jika membuat daksina seharusnya menggunakan telor itik karena mengandung mutu Daiwi Sampad, di lihat juga disaat makan itik tersebut dapat memisahkan antara lumpur dengan makanan hal inilah yang disebut bijaksana. Demikian juga memakai telor itik dalam daksina,
seolah-olah
persembahan
itu
memohon
kebijaksanaan
kehadapan Sang Hyang Widhi. Untuk lebih jelasnya berkaitan dengan mutu Daiwisampad dan Asuri Sampad, dalam Bhagavadgita diuraikan sebagai berikut: Tejah ksama dhrtih saucam Adroho na timanita Bhavanti sampadam daivim Abhijatasya bhatara (BG. XVI.3) Artinya: Cekatan, suka memaafkan, teguh iman, budi luhur, tidak iri hati, tanpa keangkuhan, semua ini adalah harta, dari dia yang dilahirkan dengan sifat-sifat dewata (Daiwi Sampad) wahai Arjuna. Dambho darpo „bhimanas ca Krodhah parusyam eva ca Ajnam cabhijatasya Partha sampadam asurim (BG. XVI.4) Artinya: Berpura-pura, angkuh, membanggakan diri, marah, kasar, bodoh, semuanya ini adalah keadaan mereka yang dilahirkan dengan sifatsifat raksasa (Asuri Sampad), wahai Arjuna. (Pudja, 2004:373). Memperhatikan isi sloka di atas, sudah jelas sekali tentang mutu Asuri Sampad dengan Daiwi Sampad, yang terkandung di dalam material yang dipersembahkan sebagai simbol religius. Oleh karena itu
79
disimpulkan bahwa daksina itu adalah merupakan simbol Brahman atau Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). e.
Banten Peras Upakara ini memiliki tatanan sebagai berikut: Sebuah alas yang disebut taledan berisi reringgitan menempel pada taledan tersebut, disebut kulit peras berisi raka-raka antara lain: jaja uli, jaja begina warna merah dan putih, berisi tebu, porosan, pisang dll. Memakai kojong tabuan 3 buah dalam tangkih sebagai tempat kacang saur dan sambal garam. sampian metangga Memakai nasi tumpeng dua buah. Dari masing-masing simbol banten peras di atas mengandung makna sebagai berikut: 1) Taledan berbentuk segi empat panjang sebagai simbol catur loka. 2) Kulit peras sebagai kekuatan Panca Maga Bhuta yang memegang kekuatan dunia. 3) Sampian metangga menjadi simbol alam fana dan alam baka, adalah tunggal
dilihat dari bentuknya bundar dan besar
penampangnya sama. Sampian metangga juga merupakan simbol cara berhubungan dengan dunia adalah melalui penyatuan pelaksanaan ajaran Catur Yoga. Secara simbolis adanya tangkai
80
(lidi) empat katih menghubungkan dasar sampaian dengan ujung sampian tersebut. 4) Kojong tabuan tiga buah berisi kacang, saur dan sambal adalah merupakan simbol Tri Kona yaitu cerminan dari Tri Guna, adanya Sattwam, Rajas dan Tamas. 5) Jajan begina merah dan putih menjadi simbol permohonan kehadapan Sang Hyang Widhi baik yang bersifat purusa maupun prakrti. 6) Jajan uli warna merah dan putih merupakan simbol permohonan kedamaian kehadapan Sang Hyang Widhi baik secara sekala maupun niskala. 7) Tebu, merupakan simbol permohonan amertha kehadapan Sang Hyang Widhi. 8) Buah-buahan merupakan simbol permohonan kehadapan Sang Hyang Widhi, apa yang dipersembahkan oleh umat agar dianugerahi sesuai dengan buah karmanya (pahala). 9) Porosan, merupakan simbol permohonan kehadapan Sang Hyang Widhi, agar dianugerahi silih asih antara semua makhuk di dunia dan silih asih antara makhluk ciptaan-Nya dengan Sang Pencipta. 10) Tumpeng dua buah merupakan simbol gunung, dan cerminan dari kekuatan Purusanya Sang Hyang Widhi, sekala dan niskala.
81
f.
Banten Soda Upakara ini memiliki tatanan yang hampir sama dengan banten peras, bedanya pada bentuk nasinya yang berbentuk penek (soda) dengan sampian uras. Nasi penek merupakan simbol danau atau laut sebagai cerminan kekuatan predana (prakerti) dari kekuatan Sang Hyang Widhi. Dengan demikian seperangkat banten daksina adalah merupakan simbol stananya Sang Hyang Widhi beserta dengan manifestasinya. Di samping itu daksina tersebut mengandung makna permohonan kehadapan Sang Hyang Widhi, sebagai saksi dari segala perbuatan makhluk di dunia ini khususnya manusia.
g.
Canang Lengewangi Buratwangi Bentuk banten ini seperti canang genten tetapi ditambahkan buratwangi dan dua jenis lengewangi yang khusus untuk maksud tersebut. Ketiga perlengkapan tersebut masing-masing dialasi kojong atau tangkih. Ada beberapa cara untuk membuat canang buratwangi dan lengawangi antara lain: buratwangi dibuat dari beras dan kunir yang dihaluskan dicampur dengan air cendana atau majegau; ada kalanya dicampur dengan akar-akaran yang berbau wangi. Lengawangi (minyak wangi) yang berwarna putih dibuat dari menyan, malem sejenis lemak pada sarang lebah, disampur dengan minyak kelapa. Lengawangi (minyak wangi) yang berwarna kehitam-hitaan dibuat dari minyak kelapa dicampur dengan kacang putih, komak yang digoreng
82
sampai gosong lalu dihaluskan; Adakalanya campuran tersebut dilengkapi dengan ubi dan keladi (talas) yang juga digoreng sampai gosong. Untuk memperoleh campuran yang baik, terlebih dahulu minyak kelapa dipanaskan, kemudian barulah dicampur dengan perlengkapan lainnya. Secara keseluruhan lengawangi dan buratwangi melambangkan Hyang Sambhu. Lebih lanjut dikemukakan bahwa “menyan melambangkan Hyang Siwa, majegau melambangkan Sada Siwa dan Cendana melambangkan Hyang Paramasiwa”. h. Canang Sari Bentuk banten ini agar berbeda dengan banten/canang yang sudah diuraikan di atas, yaitu dibagi menjadi dua bagian. Bagian bawahnya bisa berbentuk bulat ataupun segi empat seperti ceper, atau taledan; sering pula diberi hiasan trikono/pekir pada pinggirnya. Pada bagian ini terdapat pelawa, porosan, tebu, kekiping, pisang emas/yang sejenis dan beras kuning yang dialasi dengan tangkih; dapat pula ditambahkan dengan buratwangi dan lengawangi seperti pada canang buratwangi. Selanjutnya di atasnya barulah diisi bermacam-macam bunga diatur seindah mungkin dialasi dengan sebuah uras sari/sampian uras. Bentuk uras sari ini kadang-kadang sangat indah bahkan bisa dibuat bersusun. Di samping komponen yang telah disebutkan, pada Canang Sari hendaknya dilengkapi sesari berupa uang kertas, uang logam atau uang kepeng yang jumlahnya disesuaikan dengan situasi dan kondisi seseorang.
83
Adapun perlengkapan seperti tebu, kekiping, dan pisang emas disebut raka-raka, walaupun dalam hal ini jumlah serta jenisnya sangat terbatas. Raka-raka melambangkan Hyang Widiadara Widiadari. Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa pisang emas melambangkan Dewa Mahadewa, tetapi secara umum pisang melambangkan Hyang Kumara, sedangkan tebu melambangkan Dewa Brahma. Canang sari dapat dipergunakan sebagai persembahan tersendiri pada upacara-upacara piodalan disuatu pura atau dipakai untuk melengkapi persembahan lainnya baik berupa materi maupun berupa non materi. 4.2.4
Arti dan makna simbol sarana yang digunakan dalam ritual Melasti. Umat Hindu Bali dalam melaksanakan upacara Ritual Melasti, memakai
beberapa sarana yang merupakan simbol dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kata simbol sendiri mengandung arti: untuk sesuatu atau juga menggambarkan sesuatu, khususnya untuk menggambarkan sesuatu yang immaterial, abstrak, suatu idea, kualitas, tanda-tanda suatu obyek, proses, dan lain-lain, Coulson, (dalam I Made Titib, 2001: 63). Simbol mempunyai peranan yang sangat penting dalam kebudayaan. Kebudayaan dan simbol diibaratkan sebagai satu mata uang dengan dua sisi. Pemikiran Geertz, (dalam Y Sumandiyo Hadi, 2006: 26-27) tentang kebudayaan dan simbol menjelaskan bahwa sisitem sismbol yang diciptakan manusia, dan secara
konvensional
digunakan
bersama,
teratur
dan
benar-benar
dipelajari,memberi manusia suatu kerangka yang penuh dengan arti untuk mengorientasikan dirinya kepada yang lain, kepada lingkungannyan dan pada
84
dirinya sendiri; sekaligus juga sebagai produk dan ketergantungan dengan interaksi sosial. Simbol berfungsi sebagai proses kehidupan sosial, sehingga sistem sosial diibaratkan sebuah program komputer yang berfungsi sebagai pengoperasian. Simbol merupakan suatu rumusan yang nampak dari segala pandangan, abstraksi dari pengalaman yang telah ditetapkan dalam bentuk yang dapat dimengerti, perwujudan kongkrit dari gagasan, sikap, putusan, kerinduan atau keyakinan. Ritual Melasti merupakan suatu upacara yang tergolong ke dalam upacara Dewa Yadnya. Dalam pelaksanaannya, umat Hindu tidak bisa terlepas dari saranasarana yang digunakan dalam upacara tersebut. Beberapa sarana yang digunakan dalam upacara ritual Melasti adalah sebagai berikut: 1. Dangsil Dangsil adalah bangunan berbentuk meru, memakai atap tumpang 1 sampai 11, terbuat dari kayu dengan atap janur atau daun pohon enau yang dihias dari jajan dari beras (jajan gina, kiping, bekayu, dan lain-lain) sedemikian rupa Nampak seperti bangunan meru. Dangsil ini sifatnya sementara (memakai satu tiang) dan digunakan pada saat menstanakan para dewa dan leluhur pada bangunan pura yang baru selesai di Plaspas, disucikan dan difungsikan dengan upacara sebagaimana mestinya. Dewa yadnya ini terbatas pada upacara-upacara besar, karena logikanya, hanya pada upacara- upacara besar saja para dewata yang tidak distanakan secara permanen di pura tersebut dimohon hadir untuk menghadiri dan menghadiri upacara yang dimagsud. Oleh karena itu, fungsi dari Dangsil adalah sebagai
85
gedong atau meru yang bersifat sementara. Umat Hindu percaya bahwa pada Dangsil-Dangsil itulah para dewata dan leluhur sesuai tingkatannya dimohon berkenan untuk tinggal sementara untuk menyaksikan acara yang dimagsud yaitu Melasti. Setelah acara selesai dan Dangsil yang telah dipakai tidak difungsikan kembali (di-lukar). Menurut Suarmika (wawancara 7 April 2012) mengatakan bahwa “jumlah Dangsil yang digunakan dalam upacara Yadnya tidak terbatas, tergantung dari kesepakatan umat dan Pandita yang memimpin upacara”. Dalam pemakaiannya. Dangsil ini dijajarkan di jeroan (halaman dalam) Pura atau di jaba tengah (halaman tengah) sesuai dengan urutan dan tingkatannya. 2. Sanggar Tawang, Sanggar Surya dan Sanggah Cucuk. Sanggar Tawang atau Sanggar Agung adalah bentuk bangunan temporer dari bambu petung dan batang pinang yang telah dikupas kulit luarnya. Bentuknya menjulang tinggi dengan tangga dengan ruang atas terbagi tiga ruangan. Dalam bentuknya yang sederhana, hanya memakai satu ruangan disebut Sanggar Surya. Sesuai dengan namanya, maka sanggar Tawang berarti sthana di angkasa, oleh karena itu sarananya selalu memakai bambu atau batang pinang dan kedua pohon ini tidak memiliki daya tahan yang kuat seperti pohon-pohon kayu. Sanggar Tawang atau Sanggar agung difungsikan untuk mensthanakan Sanghyang Widhi ( Tuhan Yang Maha Esa) dalam aspeknya sebagai Tri Murti, dan umat Hindu meyakini bahwa Sthana-NYA yang abadi ada di atas angkasa raya, oleh karena itu dimohonkan hadir dengan membuat replika atas angkasa dengan bangunan temporer tersebut.
86
Ciri khas bangunan sanggar Surya adalah senantiasa pada tiang sanggar Surya terutama dalam rangkaian upacara yang menengah sampai yang besar (utama) selalu diikatkan 2 jenis tumbuhan yang dianggap suci yakni: pisang dengan buah,bunga dan jantung, peji uduh (sejenis palma) yang rupanya merupakan simbolis dari pohon surga. Dengan demikian baik bangunan suci berupa meru, gedong, Dangsil, dan sanggar tawang merupakan replika bangunanbangunan yang terdapat di sorga dan umat yang hadir mengikuti acara persembahyangan di pura tersebut, hakekatnya menuju alam sorga untuk menghadap dengan Tuhan Yang Maha Esa, para Dewata dan leluhur. Disamping Sanggar Tawang dan Sanggar Surya, dikenal pula adanya sarana pemujaan terbuat dari bambu yang disebut sanggah Cucuk. Sanggah Cucuk ini memakai tiang satu dan terdiri dari satu ruangan, dan berbentuk segitiga sama sisi. Sanggah Cucuk umumnya digunakan pada waktu atau upacara Panca Yadnya khususnya untuk memuja dewata dari Bhuta/ Kala yang diberikan persembahan pada saat upacara berlangsung. 3. Jempana Jempana atau joli adalah bangunan berupa gedong atau singasana dari padmasana, terbuat dari kayu diukir dan dicat warna emas yang penggunaannya dengan mengusung bangunan tersebut. Jempana dihias dengan sepasang ukiran berbentuk naga yang ditempatkan di bawah bagian depan, menunjukan pula bahwa wujud bangunan dari kayu melambangkan puncak gunung mahameru atau Kailasa sebagai sthana para dewata.
87
Pada waktu prosesi Melasti ini, Jempana-Jempana sebagai sthana para dewata diusung ke tempat Melasti, seperti dalam rangkaian upacara Turun Kabeh di pura Agung Besakih, maka Jempana-Jempana di seluruh komplek pura Agung Besakih diusung menuju mata air Arca, di desa Mananga Karangasem. Tujuannya adalah untuk mengambil Thirta Amertha sebagai pembersih yang natinya di bagikan kepada umat. 4. Umbul-Umbul dan Pangawin. Umbul-Umbul disebut pula dengan Lelontek atau lontek, yang terbuat dari kain warna putih, kuning, hitam atau merah berisi lukisan naga sehingga bentuknya
juga
memanjang
(dipancang
denagn
bambu
melengkung),
menggambarkan para naga kedewataan seperti Vasuki, Anantabhoga dan Taksaka sebagai penjaga, memberikan perlindungan dan kemakmuran kepada umat manusia di bumi. Selanjutnya, di samping keempat sarana di atas, pada waktu Melasti umat Hindu juga mempergunakan sarana-sarana lainnya, sebagai persembahan baktinya kepada Tuhan Yang Maha Esa. DR. I Made Titib, dalam bukunya Teologi dan simbol-simbol agama Hindu, menjelaskan sarana-saran yang dipakai dalam upacara ritual Melasti. Sarana-sarana tersebut diantara berupa: bunga, buahbuahan, daun tertentu seperti sirih, dan makanan seperti nasi dan lauk pauk, jajan dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya, akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Bunga Bagi umat Hindu bunga dipakai untuk menunjukan kesucian hati didalam memuja Tuhan Yang Maha Esa, para dewata dan leluhur. Oleh karena itu,
88
diharapkan bunga yang dipakai adalah bunga yang baru mekar, berbau wangi, sebaliknya tidak memakai bunga-bunga yang terlalu mekar dan bekas dimakan ulat, ataupun dianggap ternoda. Penggunaan bunga bagi umat Hindu dikaitkan dengan dewata yang akan dipuja, misalnya merah untuk memuja Brahma dan sebagainya. 2. Buah-buahan Buah -buahan yang dipersembahkan adalah buah yang masak, yang ranum dan enak dinikmati. Sesuai dengan kepercayaan agama Hindu, apapun yang dinikmati atau dimakan, hendaknya terlebuh dahulu
dipersembahkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu dapat disaksikan persembahan atau sesajen yang akan dipersembahkan terdiri dari buah-buahan seperti pisang, anggur, apel dan lain sebagainya. 3. Makanan berupa nasi, lauk-pauk, jajan dan lain-lain. Seperti yang di jelaskan bahwa makanan apapun yang dinikmati mesti dipersembahkan terlebih dahulu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebab menurut kepercayaan agama Hindu, menikmati makanan tanpa dipersembahkan terlebuh dahulu, disebut pencuri yang menikmati dosanya sendiri. 4. Air Semua mkhluk hidup tentunya memerlukan air. Namun air yang dimagsud dalam hal ini adalah air yang digunakan untuk upacara-upacara ritual. Dalam agama Hindu air yang telah disucikan disebut Tirtha atau Jala, istilah lainnya yaitu wangsuh-pada dan yeh anyar.
89
Fungsi Tirtha dalam ritual agama Hindu adalah sebagai penyucian tempattempat, bangunan, alat-alat upacara, ataupun diri seseorang. Cara memakai tirtha ini adalah dengan jalan dicipratkan tiga kali pada tempat, bangunan, upakaraupakara, serta banten-banten yang dipergunakan pada suatu upacara. Tetapi bila diberikan kepada seseorang, disamping dicipratkan, juga akan diminum serta dipakai mencuci muka masing-masing tiga kali serta diakhiri dengan memakai bunga. Pencipratan Tirtha di atas ubun-ubun adalah sebagai tanda sujud terhadap kesucian dan kekuatan yang dimiliki-NYA; minum serta mencuci muka adalah sebagai penyucian lahir bathin, sedangkan pemakaian bunga adalah sebagai tanda sujud kehadapan sanghyang Samara. Hal ini mempunyai pengharapan agar orang yang telah tersucikan itu bisa memiliki rasa cinta kasih terhadap sesama manusia dan ciptaan Tuhan. 5. Api Bagi umat Hindu, api memegang peranan yang sangat penting. Setiap upacara keagamaan didahului dengan menyalakan api. Menurut sumber-sumber yang ada, penggunaan api sangat menonjol itu disebabkan sifat-sifat yang dimiliki seperti panasnya meresap kesegala pelosok, baik di dalam tanah, air, udara, tumbuh-tumbuhan ataupun mahluk hidup lainnya, asapnya dapat terangkat sendiri ke angkasa memancarkan cahaya putih berkilauan, kemudian menyebar ke sagala penjuru. Sifat-sifatnya yang demikian menyebabkan api dianggap sebagai perantara bumi dengan langit, manusia dengan pencipta.
90
6. Bija Bija disebut pula gandhaksata, berasal dari kata gandha dan aksata yang berarti biji padi-padian yang utuh serta berbau wangi. Bija adalah salah satu perlengkapan yang diperlukan dalam upacara-upacara keagamaan. Pemakaian Bija dapat di umpamakan sebagai penabur benih, anugerah daripada Tuhan Yang Maha Esa, dan diharapkan agar kesucian dan kesempurnaannya dapat tumbuh memancar pada tempat atau diri seseorang. Dari penjelasan di atas terlihat bahwa, betapa tingginya nilai-nilai kebudayaan yang terdapat di Indonesia khususnya dalam upacara ritual Melasti yang dilakukan oleh Umat Hindu. Nilai kebudayaan ini memegang peranan yang sangat penting dalam mempertahankan kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya memupuk dan membentuk kepribadian umat manusia dengan moralitas yang tinggi. Dapat disimpulkan bahwa fungsi nilai-nilai yang terdapat dalam simbolsimbol dan sarana-sarana dalam ritual Melasti adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan dan memantapkan keimanan dan keyakinan umat dalam rangka menumbuhkan ketaqwaan, yang akan membentuk kepribadian umat manusia dengan moralitas yang tinggi yang pada akhirnya akan meningkatkan akhlak luhur masyarakat. 2. Menumbuh kembangkan dan tetap terpeliharanya nilai seni budaya baik melalui seni arca, seni lukis dan seni kriya.
91
3. Memupuk
rasa
kebersamaan
dikalangan
umat
Hindu
dalam
mewujudkan sarana pemujaan, utamanya dalam kaitan dengan sakralisasi dan memfungsikan simbol-simbol yang dibuat tersebut. 4.4.6
Nilai yang terkandung dalam upacara Ritual Melasti Upacara ritual Melasti merupakan suatu cara untuk menyatakan rasa
bhaktinya kehadapan
Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) beserta
manifestasinya. Nilai adalah konsep abstrak mengenai masalah dasar yang amat penting dan berguna dalam sikap dan prilaku yang selalu berpegang teguh pada adat istiadat. Nilai adalah salah satu unsur kebudayaan yang dianggap penting dalam kehidupan manusia. Upacara yadnya, khususnya dalam pelaksanaan ritual Melasti kalau dianalisis banyak nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Nilai luhur itu secara nyata tidak langsung bisa dilihat, namun ada di balik prilaku pendukung upacara tersebut dan di balik upakara (sesajen) yang dipersembahkan. Seperti dalam perencanaan upacara, sudah ada suatu keyakinan masyarakat Hindu terhadap konsep Tri Rna (tiga hutang yang harus dibayar). Salah satu keyakinan dari Tri Rna itu adalah hutang kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian muncul suatu keyakinan yadnya (korban suci) yang dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bagi
umat
Hindu,
korban
suci
tersebut
dilakukan
dengan
mempersembahkan banten (upakara). Upakara merupakan salah satu wujud persembahan untuk menyatakan rasa terima kasih ke hadapan Hyang Widhi
92
(Tuhan Yang Maha Esa) dengan manifestasi beliau. Dalam Bhagawadgita dinyatakan: Istan bhogan hi vo deva Dasyante yajnah bhawitah Tuir dattan apradayanty bhyo Yo bhunkte stena eva sah Artinya: Dipelihara oleh yajna, para dewa aku memberikan kamu kesenangan yang kamu inginkan. Ia yang menikmati pemberian-pemberian ini, tanpa memberikan balasan kepadanya adalah pencuri. Yajnasstasinah santo Muyante sarva kilbisaih Bhunjate te ti agham papa Ye pacanty atmakaranah Artinya: Orang-orang yang baik yang makan dari yadnya, mereka itu terlepas dari segala dosa. Akan tetapi mereka yang jahat, yang menyediakan makanan untuk kepentingannya sendiri, mereka itu adalah makan dosanya sendiri (Bhagawadgita, III, 12 dan 13). Mengacu pada sloka di atas, mengandung nilai luhur budaya, nilai religius dimana umat Hindu dalam segala perbuatannya dipersembahkan paling pertama kepada Tuhan Yang Maha Esa. Nilai rasa hormat kehadapan Tuhan yang telah memberikan segala isi alam semesta untuk kesejahteraan umatnya. Dapat disimpulkan dalam ritual Melasti ini, nilai Filsafat (kebenaran) menurut Hindu sangat di junjung tinggi, dimana nilai Filsafat itu disebut dengan Panca Sradha yang artinya lima keyakinan atau kepercayaan menurut ajaran Hindu. Kelima keyakinan itu adalah: 1) Percaya akan adanya SangHyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). 2) Percaya akan adanya Atman atau roh. . 3) Percaya terhadap adanya Karmaphala (hukum karma).
4) Percaya terhadap adanya
93
Punarbhawa (Samsara/reinkarnasi). 5) Percaya terhadap adanya Moksa (Tujuan akhir umat Hindu). Umat
hindu melaksanakan upacara Ritual Melasti ini sebagai rasa
bhaktinya kepada sang Pencipta beserta segala manifestasi Beliau. Dengan demikian upacara yajna sarat dengan nilai religius yang tinggi. Selanjutnya, dalam ritual Melasti juga terkandung nilai-nilai etika yang tak kalah pentingnya dalam mengembangkan nilai agama. Prinsip dasar budi pekerti dan etika umat Hindu, dalam upanisad dijelaskan bahwa atman atau roh adalah satu, yakni satu kehidupan bergetar dan berkembang dalam semua aspek hidup, jiwa, rokh, termasuk pribadi dari pada rokh itu, baik itu dalam kehidupan binatang maupun manusia. Jadi, yang tidak kalah penting ditekankan di sini adalah rasa kesamaan kemanusiaan yang disampaikan melalui ajaran Tat Twam Asi mereka akan dapat menghayati secara menyeluruh dalam kesadaran mulia melalui alur pikiran yang dikaji secara pragmatis dan rasional (Pudja, 1983:13). Sebagai kebenaran agama yang menjadi pondasi dari etika, moral, atau prilaku yang benar, maka sehubungan dengan hal tersebut poin-poin yang digaris bawahi dalam prinsip yang dimaknai dan disikapi adalah : Jangan membunuh, Jangan merugikan orang lain, Sayangi tetangga seperti menyayangi diri sendiri. Prinsip-prinsip seperti tersebut di atas tentu merupakan intisari dari berbagai ragam istilah Hindu seperti: dwi marga, tri kaya parisda, catur dharma,
94
panca yama brata, sad atatayi, sapta timira, asta dustha, sanga widha bhakti, dasa dharma, dan yang lainnya. Konsepsi ini perlu disentuhkan dan dipahami oleh masyarakat karena di dalamnya terkandung nilai-nilai dan pengertian yang isensial yakni: a) Bila kita membunuh orang lain, sebenarnya kita membunuh diri sendiri. b) Bila kita merugikan orang lain, sebenarnya kita merugikan diri sendiri. c) Bila kita menyayangi tetangga, sebenarnya kita telah menyayangi diri sendiri. Penanaman pengertian seperti itu sangat diperlukan, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai kebenaran spiritual, bahwa segenap alam ini adalah diri kita sendiri. Inilah budi pekerti dan etika Hindu yang menjadi prinsip dasar kebenaran metaphisik yang melandasi seluruh kode etik Hindu, yang hidup bergetar menjiwai seluruh aspek kehidupan manusia. Proses pemurnian sebagai Prinsip dasar budi pekerti meliputi poin-poin seperti tersebut di atas, maka akar dari pada budi pekerti adalah pemurnian mental melalui penahanan diri, dari semua prilaku dan perbuatan hina, serta melakukan kebajikan secara aktif dan terus-menerus. Melakukan kebajikan kepada semua pihak, meliputi segala ruang dan waktu dalam bentuk ahimsa, satya, dan brahmacarya. Semuanya itu melambangkan proses pelenyapan dosa. Dalam hal ini, sifat-sifat keakuan harus benar-benar dijauhi. Dikatakan demikian karena bila seseorang sedikit saja mendapat pengaruh keakuan, ia tidak akan dapat mengetahui apa yang benar dan apa yang salah.
95
Untuk dapat mewujudkan proses pemurnian ini diperlukan kecerdasan yang sangat halus dan tajam, yang sesungguhnya proses pemurnian dimaksud secara mentradisi telah disampaikan secara turun-temurun oleh masyarakat pendukungnya kepada generasi penerus dengan berbagai cara, baik secara oral, yakni dengan teknik (matuturan satua), maupun dengan cara tertulis yakni berupa penyuratan dan pembacaan naskah sastra agama. Nilai yang paling menonjol dalam pelaksanaan ritual Melasti adalah nilai sosialnya, umat Hindu selalu diajarkan tentang nilai-nilai kebersamaan. Hal ini terlihat dalam sistem sosial yang terwujud dalam berbagai bentuk lembaga tradisional seperti banjar, desa adat, subak (organisasi pengairan), sekaa (perkumpulan), dan dadia (klen). Keterikatan orang Bali terhadap lembaga-lembaga tradisional tersebut baik secara sukarela maupun wajib, telah mampu berfungsi secara struktural bagi ketahanan budaya Hindu Bali. Menurut Wayan Letus “orang Bali sangat terikat oleh beberapa lembaga sosial seperti tersebut di atas. Lembaga tradisional seperti desa adat dianggap benteng terakhir dari kebertahanan budaya Hindu Bali”. Kebudayaan Hindu Bali juga mengandung nilai-nilai yang mengakui adanya perbedaan atau pluralitas. Nilai-nilai tersebut terefleksi dalam konsep Rwa bhineda (dua hal yang berbeda atau oposisi biner). Perbedaan dalam kebudayaan Bali diakui karena adanya faktor desa (tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan/kondisi). Konsep desa, kala, dan patra ini sering dijadikan pembenar oleh masyarakat Hindu Bali mengenai adanya perbedaan adat-istiadat atau kebudayaan antara daerah yang satu dengan daerah lain. Hal ini sangat terlihat
96
ketika Prosesi ritual Melasti, yang di ikuti oleh beberapa desa di kecamatan Toili Barat. Setiap desa menampilkan kelabihan yang dimilikinya, misalnya dalam hal memainkan alat kesenian gamelan. Lebih lanjut, dalam kebudayaan Bali juga terdapat nilai-nilai toleransi dan persamaan yang didasarkan atas konsep Tat twam asi (dia adalah kamu). Dengan konsep Tat Twam Asi masyarakat Hindu Bali toleran kepada orang lain karena mereka beranggapan bahwa orang lain juga sama dengan dirinya. Fenomena ini mencerminkan tingginya toleransi dalam masyarakat Bali. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya konsep Tri Kaya Parisudha yaitu berpikir, berkata, dan berbuat yang baik dan benar. Merujuk pada aspek keseimbangan dan harmonisasi dengan Tuhan, sesama manusia, dan hubungannya dengan lingkungan fisik umat Hindu Bali mengenal konsep Tri Hita Karana. Tri Hita Karana secara arfiah artinya adalah tiga faktor yang memnyebabkan kesejahteraan yaitu hubungan yang harmonis dan seimbang dengan Tuhan (parhyangan), hubungan yang harmonis dan seimbang dengan sesama manusia ( pawongan ), dan hubungan yang harmonis dan seimbang dengan lingkungan alam sekitar ( palemahan ). Hubungan sesama manusia dalam masyarakat Hindu Bali dikenal pula dengan konsep nyama braya . Nyama adalah kerabat dekat, dan braya adalah kerabat jauh. Sebagaimana diketahui bahwa kecamatan Toili Barat merupakan daerah trasnmigrasi yang di dalamnya terdapat beberapa etnis. Seperti jawa, Lombok, saluan, bali, dan yang lainnya. Sehingga melalui konsep menyame
97
braya, hubungan harmonis umat Hindu dengan etnis dan agama yang lain bisa terjaga dengan baik. Sehubungan pelaksanaan upacara ritual yajna, umat Hindu tidak bisa lepas dari unsur kesenian. Karena disadari atau tidak di dalam kehidupan seharihari semua umat manusia yang masih terikat dengan keduniawian membutuhkan keindahan. Ketika manusia tampil dan mengekspresikan diri di depan sesamanya ia akan melakukan dan mewujudkannya ke dalam bentuk-bentuk yang mempunyai nilai estetis. Kebutuhan manusia akan rasa kenikmatan estetis telah mendorong mereka untuk terus menciptakan objek-objek bernilai estetis. Ketika
ritual Melasti, nilai keindahannya sudah terlihat ketika ritual
Memben. Dimana pada saat ritual tersebut, umat Hindu ngayah (gotong royong) menghias Pretima dan Jempana yang nantinya akan di usung ke laut. Bahanbahan yang digunakan untuk menghias Pretima tersebut berasal dari alam, misalnya pelawa(daun-daunan khusus), bunga, buah dan reringgitan (ukir-ukiran dari daun kelapa). Bahan- bahan tersebut disusun rapi, sehingga menampilkan karya yang indah dipandang. Selain itu, Banten (sesajen) yang dibuatpun mengandung nilai seni yang tinggi. Banten adalah bahasa untuk menjelaskan ajaran agama Hindu dalam bentuk simbol. Unsur-unsur banten terdiri dari berbagai jenis jajan, buah (pisang, apel, jeruk dan lain-lain), canang sari, bunga. Kesemua unsur tersebut dirangkai dengan etika yang benar menyerupai bentuk lingkaran memanjang ke atas, sehingga dari rangkaian jajan, buah tersebut akan terlihat rapi dan indah dipandang.
98
Penilaian terhadap kualitas keindahan juga sering kali ditentukan oleh etika (norma baik buruk) yang berlaku di lingkungan budaya tempat asal seseorang. Pada saat mengias Pretima, dilakukan dengan etika sesuai dengan ajaran weda. Kualitas keindahan suatu objek sering kali akan kehilangan makna jika ternyata di dalamnya terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan etika yang ada. Oleh sebab itu, di lingkungan budaya tertentu kenikmatan keindahan juga memberikan kesenangan sesuai dengan norma-norma baik-buruk yang berlaku. Estetika Hindu pada intinya merupakan cara pandang mengenai rasa keindahan (lango) yang diikat oleh nilai-nilai agama Hindu yang didasarkan atas ajaran-ajaran kitab suci weda. Kemanunggalan agama dan seni sebagai potensi pembentukan budi pekerti, telah dijelaskan bahwa nilai agama meresap dan menjiwai seluruh aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan dalam berkesenian. Sebaliknya seni dapat dimanfaatkan sebagai media, baik untuk mendekatkan manusia dengan dewa yang dipuja maupun untuk menginformasikan dan mengkomunikasikan nilai-nilai agama kepada masyarakat. Ini bentuk kemanunggalan agama dan seni. Realitanya tampak jelas ketika agama berbicara masalah unsur-unsur ritual, kehadiran seni dalam ritual agama tidak dapat dielakkan lagi, menjadi satu kesatuan yang akrab dan padu (Sumandiyo Hadi,2006:297). Dalam konteks ritual agama, khususnya dalam agama Hindu, tampak jelas bahwa polanya benar-benar alamiah. Kegiatan semacam ini dapat dilihat dalam pola-pola kepercayaan mitos dengan jenis-jenis ritus magis. Dalam hal ini seni diyakini mengandung kekuatan untuk dapat menghubungkan kehendak manusia dengan penguasa-Nya. atau untuk
99
menyiasati perjalanan alam, dan mempengaruhi kekuatan lainya. Karena itu seni dimanfaatkan atau difungsikan sebagai media dalam kegiatan dimaksud, yang secara fungsional memiliki dimensi vertikal dan horisontal. Secara vertikal terkait antara hubungan munusia dengan Sang Pencipta atau Penguasa alam. Hal ini tampak jelas ketika seorang penari sering terjadi kontaks dengan Sang Pencipta dan terjadi trans (kerauhan). Sedangkan secara horizontal kaitannya, antara manusia dengan manusia, dalam hal ini seni berfungsi sebagai media informasi dan komunikasi untuk menyampaikan nilai-nilai ajaran agama, yang seakaligus berfungsi sebagai potensi pembentuk moral dan budi pekerti. 4.2.6
Beberapa kekeliruan pemaknaan Ritual Melasti. Pelaksanaan dari upacara Melasti sesungguhnya memiliki tujuan yang
luhur, yaitu untuk menuntun umat agar senantiasa ingat untuk mempertahankan, malahan meningkatkan kesucian dirinya baik yang bersifat Nimita Karma (setiap saat) maupun bersifat Nimitika Karma ( secara berkala) seperti pelaksanaan upacara Melasti). Pada umumnya persepsi dari umat Hindu bahwa Melasti ke Segara adalah ngiring Ida Bethara melakukan pensucian, melihat dari persepsi demikian adalah kurang tepat. Menurut petunjuk dari sastra agama, Bethara tidak perlu disucikan, karena Bethara sudah memiliki sifat yang Maha Suci. Tetapi yang perlu disucikan adalah Pretimanya agar kesakralannya tetap terjaga. Selanjutnya Sujaya (wawancara 9 April 2012)menjelaskan bahwa: “yang lebih penting dari pelaksanaan ritual Melasti adalah kesadaran umat atas dirinya
100
yang memiliki kewajiban untuk menyucikan diri pada hari itu walaupun tidak ada Pretima, karena kewajiban tersebut adalah merupakan kepentingan dari diri pribadi belum dipahami”. Sehingga tidak salah para pendahulu kita memiliki cara untuk mendidik umatnya yaitu dengan mempergunakan pretima sebagai alat pemersatu dan sebagai alat pendidikan umat Hindu dalam hal meningkatkan penyucian dirinya. Umat Hindu yang dapat Ngiring Melasti ke Segara memiliki pengertian bahwa melasti ke Segara hanya Ngiring Bethara, bukan merasa berkewajiban untuk kepentingan sendiri. Pengertian umat Hindu yang demikian dari sejak dahulu kala hingga sekarang akibat dari tidak pernah diungkapkan tentang makna dan tujuan yang sebenarnya. Sesungguhnya memiliki makna dan tujuan penyucian diri, atau menyucikan “ Dewa di Bhuana Alit” (Dewa diraga). (wawancara 9 April 2012). Kebersamaan umat dilakukan dengan cara menginstruksikan
kerama
(masyarakat) untuk Ngiring Melasti melalui suara kulkul (kentongan), maka semua lapisan masyarakat Hindu secara berduyun-duyun Ngiring ke Segara. Namun setelah sampai di Segara kedisiplinan etika agamanya dari umat seringkali sangat kurang, dengan nyata dapat dilihat sebagian besar dari umat tidak menyiapkan diri terutama mengenai upakara (sesajen) yang harus dibawa, atau tidak membawa perlengkapan untuk sembahyang. Kadang-kadang umat menjelang akan sembahyang baru minta bunga kepada pemangku, sehingga pemangku memberikan bunga yang sudah dihaturkan. Hal ini sebenarnya tidak boleh dilakukan karena disebut dengan
101
“kelayuan”, yang artinya sembah yang hampa, disamping itu sudah jelas mengandung nilai karma yang tidak ikhlas. (wawancara 9 April 2012). Semestinya umat Hindu yang melaksanakan upacara pemelastian ke Segara, membawa perlengkapan untuk sembahyang dan membawa seperangkat banten sesayut. Dari beberapa pendapat di atas terlihat bahwa pelaksanaan upacara ritual melasti yang ada di kecamatan Toili Barat masih diwarnai dengan kesalahankesalahan kecil.