perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye Novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah merupakan salah satu novel karya Tere Liye yang menarik perhatian pembaca. Novel ini pertama diterbitkan pada Januari 2012 oleh PT. Gramedia Pustaka Utama dan kini sudah mengalami beberapa kali cetakan kembali. Novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah berjumlah 512 halaman dengan tebal 20 cm dan terdiri dari 37 bab. Bab yang terdapat dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah, antara lain: Riwayat Pekerjaanku; Pelampung vs Sepit; Wasiat Bapak;
;
Barang yang Tertinggal di Sepit; Pertemuan Pertama; Turis dari Kuching dan Istana Kadariah; Namaku Mei Abang; Perpisahan Pertama; Tetap Semangat Abang; Petuah Cinta Ala Pak Tua; Montir Bengkel; Uang Receh dan Buku Telepon; Ruang Tunggu Klinik Alternatif; Jalan-Jalan di Surabaya; Satpam Rumah yang Galak; Kisah Cinta Bang Togar; Teman Sejati; Kejutan! Mei Kembali; Sepotong Cokelat yang Tertolak; Janji yang Tidak Ditepati; Dokter Sarah dan Kenangan Lama; Hadiah Buku Selalu Spesial; Tempat Duduk Kosong di Sepit; Berbaikan; Bangkit Kembali Daeng; Jaket dan Striker; Berhentilah Menemuiku; Tetapi Kenapa?; Pesta Pernikahan; Berasumsi dengan Perasaan; Lomba Balap Sepit; Pesan Secarik Kertas; Mei Memutuskan Pergi; Hampir Enam Bulan Mei Pergi; Hampir Setahun Mei Pergi; dan yang terakhir Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah. Novel Tere Liye kali ini mengambil latar kehidupan nyata nan bersahaja di tepian Sungai Kapuas. Kehidupan para pengemudi perahu kayu kecil bermotor di Sungai Kapuas yang dikenal dengan istilah sepit (diambil dari kata speed) berikut penduduk yang melingkupinya. Para tokoh yang multi ras (penduduk asli Pontianak, warga keturunan Cina, Batak, Dayak, dan Melayu) yang hidup berdampingan dalam suasana kekerabatan yang erat menjadi salah satu pesan yang dikirimkan sang penulis.
commit to user 53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
54 Novel yang mengusung sosok Borno (berasal dari kata Borneo) sebagai tokoh sentralnya, seorang pemuda yang digambarkan penulis sebagai bujang berhati paling lurus sepanjang tepian Kapuas . Dalam novel setebal 512 halaman ini, pembaca yang sejak awal sudah berekspektasi bahwa tema cinta akan menjadi bahasan utama dalam novel ini, mungkin harus membangun ekstra kesabaran untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Novel ini tidak hanya melulu bicara soal cinta, melainkan juga menyajikan beragam kisah akan perjuangan hidup, pengorbanan, dan sisi-sisi kehidupan masyarakat Pontianak khususnya masyarakat tepian Kapuas. Dalam novel ini juga menceritakan seputar tokoh-tokoh lain yang turut mewarnai novel ini. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah ini bukan hanya bercerita tentang kisah cinta si Borno dan Mei yang menarik untuk disimak, melainkan juga kisah kisah para tokoh yang menjadi penunjang cerita, bila dikisahkan secara terpisah atau ada kelanjutannya bukan tak mungkin dapat menjadi suatu kisah tersendiri dalam sebuah buku yang lain. Tak ketinggalan pula interaksi Borno dengan tokoh-tokoh lainnya dalam novel ini. Hikmah yang didapat Borno dari peristiwa demi peristiwa yang dia alami bersama tokoh-tokoh tersebut, turut dijadikan sarana penulis untuk menyampaikan nilai-nilai inspiratif melalui penuturan yang ringan, deskripsi peristiwa yang lekat dengan kehidupan sehari-hari hingga terasa akrab dan jauh dari kesan menggurui. Seperti yang telah dipaparkan di atas, setiap tokoh dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah memiliki watak yang masing-masing unik. Misalnya, tokoh Bang Togar yang dikenal sangat keras kepala, namun memiliki jiwa kepemimpinan. Di dalam diri setiap tokoh tersebut memiliki watak yang positif dan ada juga yang negatif. Watak yang positif adalah watak yang bisa diteladani oleh pembaca, sedangkan watak yang negatif ditunjukkan pengarang agar pembaca tidak meniru watak tersebut. Watak-watak tersebut ditampilkan melalui tiga aspek, meliputi keadaan fisik, keadaan psikis, dan keadaan sosial. Akan tetapi, tidak semua tokoh ditampilkan dengan menggunakan ketiga aspek tersebut. Perwatakan para tokoh ditampilkan melalui teknik langsung dan tidak langsung.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
55 Dibandingkan novel-novel sebelumnya, novel Tere Liye kali ini
dibumbui oleh humor-humor
menggelitik saat memarodikan kehidupan,
bernuansa lokalitas yang sangat kental sehingga dalam keseluruhan paketnya, novel ini berhasil mengajak pembaca mengalami beragam pergantian emosi, tersenyum, tertawa geli, tertegun, kagum, juga terharu. Dalam novel ini, penulis mampu menghadirkan penggambaran setting secara detail, natural, melebur harmonis dengan segenap unsur pembangun cerita lainnya sehingga pembaca akan merasa seolah-olah benar-benar berada di lokasi cerita, memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru tentang kultur masyarakat setempat dalam hal ini masyarakat yang tinggal di tepian Kapuas termasuk sekilas pengetahuan
akan
hal-hal
terkait
profesi-profesi
Borno
yang
berhasil
dideskripsikan secara apik oleh penulis. Novel ini, boleh jadi menjadi antitesis terhadap pakem novel cinta (roman) pada umumnya yang kini menyerbu pasaran novel populer, yaitu novel
kehadiran konflik serta alur lain di luar urusan cinta hanya memegang peran sebagai pendukung cerita saja. Demikian pula pada konsentrasi tokoh-tokohnya. Novel cinta (roman) pada umumnya berfokus pada interaksi tokoh-tokoh utama yang terlibat dalam kisah cinta tersebut dan hanya memberi ruang secukupnya saja pada peran tokoh-tokoh lain. Namun, hal sebaliknya dilakukan penulis pada novel ini. Novel yang justru dengan bebas dan lentur bergerak ke sana ke mari, membiarkan konflik dan alur cerita tokoh-tokoh lain terurai dalam lembarlembarnya sehingga jalinan kisah cinta kedua tokoh utama dalam novel ini pun menjadi tak lagi dominan. Bagi pembaca yang menginginkan sajian kisah cinta dalam kemasan berbeda, atau pun menginginkan ramuan kisah cinta yang lebih bergizi dan sarat makna, serta tidak peduli akan standar romantisme dan pakem sebuah cerita cinta, novel ini adalah pilihan yang tepat. Adapun bagi para pembaca novel-novel Tere Liye khususnya, novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah tetap tidak kehilangan ciri khas seorang Tere Liye. Ciri yang selama ini eksis dalam karya-
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
56 karya beliau termasuk saat bertutur tentang cinta. Menjadikan novel ini, lebih dari sekadar sebuah kisah cinta biasa.
B. Deskripsi Hasil Penelitian 1.
Penokohan dalam Novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau merah Karya Tere Liye Dalam mengkaji suatu karya sastra yang memanfaatkan pendekatan psikologi sastra biasanya di dalamnya juga akan ditemukan unsur-unsur intrinsik yang meliputi tema, penokohan, alur, latar, sudut pandang, dan amanat. Penulis akan mengkaji novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah ini dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra yang tidak hanya menempatkan penokohan sebagai unsur intrinsik yang paling dominan, melainkan penulis juga akan membahas unsur-unsur intrinsik lainnya sehingga akan membentuk satu kesatuan yang utuh. Keputusan yang diambil penulis tersebut dikarenakan pada dasarnya untuk mengkaji novel dengan psikologi sastra adalah dengan memanfaatkan ilmu psikologi sastra untuk mengetahui hubungan kepribadian tokoh-tokoh dengan sikap dan tingkah laku yang menyertainya. Novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye memiliki keterjalinan kuat antara unsur-unsur intrinsiknya. Unsur-unsur intrinsik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. a.
Tema Setiap karya fiksi tentu saja mempunyai atau menawarkan sebuah tema kepada setiap pembacanya. Menurut Aminuddin (2010: 91) tema adalah kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa fiksi oleh pengarangnya, maka untuk memahami tema, pembaca terlebih dahulu harus memahami unsur-unsur signifikan yang membangun suatu cerita, menyimpulkan makna yang dikandungnya, serta mampu menghubungkannya dengan tujuan penciptaan pengarangnya. Oleh karena itu, tema harus didapat melalui penarikan kesimpulan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu saja.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
57 Eksistensi atau kehadiran tema adalah terimplisit dan merasuki seluruh cerita. Pada novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye ini terdapat sebuah tema pokok, yaitu cinta. Apabila selama ini kita disuguhkan cerita-cerita cinta yang begitu rumit, bertele-tele tetapi tidak banyak mengaduk-aduk emosi, maka novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah ini layak menjadi referensi. Novel ini mampu menggali kisah sederhana menjadi kisah yang mampu mengaduk-aduk perasaan pembaca dan
sangat menarik untuk dibaca. Banyak nilai-nilai
kebijaksanaan yang terangkum dalam setiap pesan yang ingin penulis sampaikan, yakni merangkaikan cinta dengan kesederhanaan, tidak hanya sekadar cinta antarsepasang kekasih, melainkan rangkaian cinta di antara semua tokoh-tokohnya dan juga cinta kepada tanah air khususnya kepada tempat di mana dia dibesarkan. Cinta yang tidak melulu diungkapkan melalui pesan-pesan gombal, tetapi cinta sejatilah yang akan memiliki tempat tersendiri meskipun memakan waktu yang amat panjang. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut. Ibu dan Pak Tua masuk ke ruang gawat darurat, mendengarkan penjelasan dokter. Cik Tulani dan Koh Acong bersama nelayan yang pergi melaut bersama Bapak berdiri di ujung lorong mendesah resah, berbisik. (Liye, 2013: 14)
telah membaca surat dalam angpau merah itu ribuan kali, tahu masa lalu yang menyakitkan, itu tidak akan mengubah apapun. Bahkan walau satpam galak rumah ini mengusirku, menghinaku, itu juga tidak akan mengubah perasaanku. Aku akan selalu mencintai kau, Mei. Astaga, Mei, jika kau tidak percaya janjiku, bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian Kapuas, maka siapa lagi yang Mei menangis bahagia mendengar kalimat itu. (Liye, 2013: 507) Orang tua ini terlalu cinta pada Kapuas. Tak kurang puluhan kota pernah kukunjungi, ratusan tempat pernah kusinggahi, tapi tidak ada yang selalu membuatku rindu macam Pontianak. (Liye, 2013: 210)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
58 Kutipan pertama di atas menunjukkan rasa cinta kepada sesama. Para tokoh memiliki rasa kepedulian yang besar. Mereka bahkan rela ikut menunggu di lorong rumah sakit untuk mengetahui kabar bapak Borno yang jatuh dari perahu dan tersengat ubur-ubur. Di kutipan kedua menunjukkan bahwa Borno sangat mencintai Mei, meskipun ia akhirnya mengetahui bahwa Mei adalah putri dari dokter yang sudah membelah dada bapak Borno sehingga Borno harus kehilangan bapak tercintanya. Namun, ternyata kenyataan akan masa lalu pahit itu tidak mengubah perasaan Borno. S
-orang
seperti kau, yang jujur atas kehidupan, bekerja keras, dan sederhana, maka definisi cinta sejati akan mengambil bentuk yang amat berbeda, Adapun pada kutipan ketiga menunjukkan betapa cintanya Pak Tua pada kota Pontianak. Walaupun Pak Tua telah mengunjungi banyak tempat, namun tidak ada yang bisa mengalahkan kecintaannya pada kota Pontianak. b. Penokohan Salah satu unsur intrinsik dalam novel adalah tokoh dan penokohan. Setiap tokoh di dalam cerita pasti mempunyai perwatakan tertentu yang diberikan oleh pengarang sendiri maupun karena terinspirasi oleh tokoh yang ada di kehidupan nyata. Perwatakan seorang tokoh dapat diketahui lewat apa yang dibicarakan tokoh lain terhadapnya, begitu juga dari pergaulannya dengan tokoh lain, serta dapat diketahui dengan gambaran yang diberikan pengarang mengenai tindak-tanduk, ucapan, atau sejalan tidaknya antara apa yang dikatakan dengan yang dilakukan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Semi (1993: 37) bahwa cara mengungkapkan sebuah karakter dapat dilakukan melalui pernyataan langsung melalui peristiwa, percakapan, monolog batin, tanggapan atas pernyataan atau perbuatan tokoh-tokoh lain dan melalui kisahan atau sindiran Perwatakan seorang tokoh dalam karya sastra (novel) biasanya akan digambarkan meliputi keadaan fisik (dimensi fisiologis), keadaan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
59 psikis (dimensi psikologis), dan keadaan sosial (dimensi sosiologis). Keadaan fisik tokoh meliputi umur, jenis kelamin, ciri-ciri tubuh, cacat jasmaniah, ciri khas yang menonjol, suku, bangsa, raut muka, kesukaan, tinggi/pendek, kurus/gemuk, suka senyum/cemberut, dan sebagainya. Keadaan psikis meliputi watak, kegemaran, mentalitas, standar moral, temperamen, ambisi, kompleks psikologis yang dialami, keadaan emosinya, dan sebagainya. Adapun untuk keadaan sosiologis meliputi jabatan, pekerjaan, kelas sosial, ras, agama, ideologi, dan sebagainya (Waluyo, 2011: 21). Dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah ini juga akan digambarkan perwatakan tokoh-tokohnya dengan menampilkan dimensi fisik, psikologis, dan sosial. Namun, tidak semua tokoh digambarkan melalui tiga dimensi tersebut, ada beberapa tokoh yang tidak digambarkan secara lengkap oleh pengarang. Perwatakan tokoh-tokoh tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. 1) Borno (Aku) Novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere liye ini mengusung sosok Borno (berasal dari kata Borneo) sebagai tokoh sentralnya. Novel ini memang menceritakan semua cerita kehidupan dari Borno, baik itu perjalanannya dalam mencari pekerjaan hingga akhirnya
menjadi
seorang
pemilik
bengkel
sampai
pada
perjalanannya mengejar cinta seorang perempuan peranakan Cina yang sangat berbeda latar belakang dengan Borno. Selain itu, dalam novel ini juga diceritakan pula mengenai kehidupan Borno beserta tokoh-tokoh lain dan interaksi mereka satu sama lain. Dilihat dari dimensi fisiologis, sosok Borno digambarkan sebagai seorang pemuda asli Pontianak keturunan Melayu yang tampan dan gagah. Borno adalah pemuda yang berusia hampir dua puluh lima tahun. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut. Ibu-
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
60 Petugas menyeringai. Lagi pula, percuma saja tampang gagah Melayu kau ini, berkenalan dengan gadis pakai titip pesan
Usiaku sekarang hampir dua puluh lima. Meski telat kuliah, aku pikir hidupku berjalan di jalur yang benar-astaga, dengan bilang ini, jangan-jangan aku semakin mirip dengan Pak Tua. (Liye, 2013: 491) Dari kutipan di atas, menggambarkan sosok Borno yang memiliki tampang yang tampan serta gagah dengan garis keturunan Melayu. Adapun dilihat berdasarkan dimensi psikologis, sosok
ah seorang pemuda yang sangat menyayangi ibunya meskipun ia seorang lakilaki tetapi ia tidak malu untuk membantu ibunya mengantar pesanan ikan, seperti pada kutipan berikut ini. aku berdiri membawa tampuk tali rotan yang ikannya kaitmegait seperti setangkai buah rambai. (Liye, 2013: 7) Selain
sangat
menyayangi
ibunya,
Borno
juga
sangat
menyayangi bapaknya. Itu terlihat saat Borno berusaha mencegah bapaknya untuk mendonorkan jantungnya karena Borno yakin bapaknya masih dapat diselamatkan. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut ini. beringas menahan ranjang Bapak. (Liye, 2013: 16) Borno tidak hanya memiliki sifat penyayang seperti tampak pada kutipan di atas, dia juga merupakan pemuda dengan rasa ingin tahu yang sangat besar sehingga terkadang membuat orang yang ditanyai Borno menjadi sangat kesal. Seperti terlihat dalam kutipan berikut ini. Usia enam tahun, aku suka memikirkan hal-hal aneh. Salah satunya aku pernah sibuk memikirkan: Jika kita buang air besar di hulu Kapuas, kira-kira butuh berapa hari kotoran itu akan tiba
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
61 di muara sungai, melintas di depan rumah papan kami? (Liye, 2013: 7) Ah, tetapi dari semua hal aneh yang sibuk kupikirkan sejak kecil, yang terkadang membuat orang di sekitarku kehabisan kata, jengkel karena ditanya-tanya, tidak ada yang bisa mengalahkanku memikirkan hal itu, menanyakan tentang itu. (Liye, 2013: 13) Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa Borno memiliki rasa ingin tahu yang besar sejak dari ia kecil. Dengan rasa ingin tahu yang ia miliki, terkadang juga membuat Borno menjadi tidak sabaran jika mendapat jawaban yang tidak memuaskan rasa ingin tahunya. Seperti terlihat pada kutipan berikut ini yang menunjukkan ketidaksabaran Borno ketika bertanya kepada Pak Tua seberapa jauh jarak menuju hulu Kapuas. Pak Tua selalu beralasan. (Liye, 2013: 12) Selain memiliki rasa ingin tahu yang besar, Borno juga memiliki watak pekerja keras. Hal itu tercermin dari sikap Borno yang langsung berusaha mencari pekerjaan setelah tamat SMA. Meskipun banyak mengalami kendala yang mengakibatkan seringnya Borno bergonta-ganti pekerjaan. Banyak orang yang mengira Borno cepat bosan dan tidak betah dengan pekerjaannya meskipun sebenarnya hal itu dikarenakan faktor lain seperti pabrik karet tempat ia bekerja mengalami kebangkrutan hingga sikap tidak jujur dari rekan kerjanya sewaktu bekerja sebagai penjaga palang masuk di kapal feri. Namun, ia tidak pernah menyerah dan mencoba mencari pekerjaan lainnya. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut ini. Sebulan lulus dari SMA, setelah sibuk melamar pekerjaan, salah satu pabrik pengelolaan karet yang banyak terdapat di tepian Kapuas menerimaku. (Liye, 2013: 20) Esoknya,
aku
memberanikan diri berangkat ke kantor Aku bergegas melirik name tag di
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
62 maaf, saya dengar ada lowongan di sini, Pak Mardud. Saya
Besoknya aku berangka Aku ragu-ragu menjawab. Ada yang ganjil dengan tampang galak (Liye, 2013: 31) Aku hanya diam, menyeka dahi. Kupikir apalah pekerjaan terkait dengan ludah-meludah itu. Bersemangat datang ke alamat yang diberikan, ternyata tentang b-u-r-u-n-g, makhluk yang paling kuhindari selama ini Terbetik kabar, Ijong, petugas SPBU hendak pulang ke Jawa. Dengan senang hati aku menggantikannya. (Liye, 2013: 48) Enam bulan terakhir kuhabiskan dengan kerja serabutan. Membantu Cik Tulani di warungnya, menunggui toko kelontong Koh Acong, ikut melaut mencari sotong, disuruh-suruh tetangga memperbaiki genteng, toilet mampet, jendela lepas, bahkan mencari kucing hilang. (Liye, 2013: 48) -ganti pekerjaan, Borno. Macam Bapak Andi yang mengunyah pisang goreng sambil mengawasi anaknya bekerja bertanya menyeringai. (Liye, 2013: 19) Kutipan di atas menunjukkan jika Borno memang pekerja keras. Oleh karena itu, Borno secara tidak langsung juga memiliki sikap yang mandiri dan ia mempunyai keinginan kuat pula untuk bisa kuliah. Sikap tersebut ditunjukkan pada kutipan berikut ini. Aku menggeleng perlahan, bilang justru dengan bekerja aku berharap punya cukup uang untuk kuliah. Pak pejabat
Borno juga merupakan tipikal pemuda yang tidak akan tinggal diam jika diperlakukan secara tidak adil. Itu dibuktikan dengan bagaimana sikapnya menghadapi perlakuan Bang Togar yang menolaknya bekerja di kapal feri. Bang Togar memboikot Borno agar tidak dapat naik sepit jika ia tidak berhenti bekerja di sana. Meskipun pada awalnya memilih tetap diam dan mengalah, tetapi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
63 kemudian Borno melawan dengan tetap bertahan menjadi penjaga palang pintu di kapal feri. Sayangnya pekerjaan itu hanya bertahan tiga minggu. Tampak pada kutipan berikut. Aku tetap diam, menguap, entahlah, sepertinya aku memang membiarkan diri Andi
(Liye, 2013: 60) Aku hanya diam, meski hatiku mengkal, hendak berseru, -marah karena penumpangnya turis dari Jakarta. Rombongan turis itu tidak satu pun mengerti aturan mainnya, jadi tidak satu pun meletakkan uang di dasar perahu. Langsung loncat ke dermaga kayu, pergi sambil berbisik-bisik setengah tidak percaya, ternyata ada fasilitas menyeberang Kapuas gratis disediakan
Setelah begitu banyak provokasi dan perlakuan tidak adil, aku melawan, aku tidak mau berhenti. (Liye, 2013: 40) Di sisi lain, Borno juga merupakan seorang pemuda yang jujur. Setelah mengetahui perbuatan rekan kerjanya di kapal feri yang berbuat curang, ia memutuskan sudah cukup bekerja di sana dan segera berhenti. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut. Dan di antara kesibukan melayani para komuter penyeberang Kapuas, aku segera paham ada sesuatu di palang pintu. Aku pikir, pekerjaan ini akan lurus-lurus saja. Berdiri, periksa karcis, selesai. (Liye, 2013: 41) Dua rekan kerjaku itu santai menjelaskan situasi. Mereka bilang, setiap hari ada belasan ribu penumpang komuter menyeberangi sikit saja, paling satu-dua. Mereka kebetulan tetangga, kenalan, kerabat, teman. Jadi ya begitulah, tidak mengapa tak bayar
depanku mengartikan ekspresi wajah merahku demikian. (Liye, 2013: 42) Pak Tua benar, aku tidak mau dilibatkan lebih lanjut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
64 Urusanku selesai dengan menyerahkan surat berhenti. (Liye, 2013: 44) Kutipan di atas menunjukkan jika Borno tidak ingin lagi bekerja di tempat yang penuh ketidakjujuran. Ia kemudian memutuskan untuk segera berhenti. Borno juga segera menemui pejabat syahbandar, meskipun ini bukan sepenuhnya salah Borno, tetapi ia merasa sungkan karena pejabat syabandar yang merekomendasikan pekerjaan tersebut dan Borno sebulan pun tidak dapat bertahan. Sikap tersebut ditunjukkan pada kutipan dialog berikut ini. Aku menemui pejabat syahbandar, bilang amat menyesal dan minta maaf, satu bulan pun tidak bertahan. Pejabat syahbandar yang memberikan rekomendasi, mengelus dahi. (Liye, 2013: 44) Dalam pencarian pekerjaan selanjutnya, pejabat syahbandar kembali merekomendasikan sebuah pekerjaan kepada Borno. Pekerjaan yang satu ini ternyata memunculkan sikap penakut Borno, tetapi demi sopan santun Borno menahan perasaan takutnya hingga ia tanpa sengaja muntah di depan pemilik sarang burung walet. Sikap tersebut ditunjukkan pada kutipan berikut ini. Aku bergidik, bulu kudukku mulai berdiri. semangkuk sup sarang burung wal Aku menggeleng, semakin jeri. Aku punya pengalaman buruk dengan segala jenis burung, sekarang lawan bicaraku malah asyik membahasnya. (Liye, 2013: 45) Aku hanya diam, menyeka dahi. Kupikir apalah pekerjaan terkait dengan ludah-meludah itu. Bersemangat datang ke alamat yang diberikan, ternyata tentang b-u-r-u-n-g, makhluk yang paling kuhindari selama ini-sama seperti kalian yang jeri pada tikus, kecoak, atau laba-laba tanpa alasan. (Liye, 2013: 46) Jemariku gemetar, sama saat kalian gemetar dikepung dua tikus. Bedanya, kalian bisa loncat ke atas kursi, meja, atau apa saja. Aku tentulah tidak bisa seketika lari dari ruangan itu. Demi sopan santun aku meremas paha, membujuk diri, meneguhkan hati. (Liye, 2013: 47)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
65 Kalimat riang pemilik 37 sarang burung walet itu terputus. Aku sudah muntah, persis di atas album foto yang terbentang lebar. (Liye, 2013: 47) Selain itu, Borno juga mempunyai sopan santun kepada wanita. Sikap tersebut ditunjukkan pada kutipan berikut ini. Enak saja, aku tidak akan merendahkan kehormatan wanita dengan memegang
Namun demikian, Borno juga mempunyai sifat yang setia kawan, ia tidak akan pernah mengkhianati temannya meskipun ia sendiri juga membutuhkan bantuan. Ditunjukkan pada kutipan di bawah ini. Aku tahu diri, meski pemilik SPBU ingin aku terus bekerja di sana, aku menyarankan agar Ijong diterima kembali. Aku tidak akan mengkhianati teman. (Liye, 2013: 48) Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa Borno merupakan seorang pemuda yang setia kawan. Meskipun ia juga sangat membutuhkan pekerjaan, namun ia lebih memilih agar temannya yang dulunya menempati posisinya sekarang diterima bekerja kembali. Selain setia kawan, Borno merupakan orang yang memegang teguh pesan yang diberikan padanya. Itu dibuktikan ketika ia menolak melanggar wasiat yang diberikan bapaknya sebelum beliau meninggal dunia agar Borno tidak menjadi pengemudi sepit. Ditunjukkan pada kutipan berikut ini. Aku menggeleng, juga masygul. Bagaimana mungkin Ibu tidak mengerti keberatanku? Ibu juga tahu, Bapak dulu berpesan demikian, itu wasiat orang meninggal. (Liye, 2013: 51)
a mungkin Pak Tua tidak paham? Bapak berpesan padaku, kalau aku nanti besar, jangan pernah jadi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
66 Kutipan di atas menunjukkan bahwa Borno sedikit pun tidak mau melanggar wasiat bapaknya. Walaupun pada akhirnya setelah ia menerima banyak nasehat bahwa sejatinya pesan almarhum bapaknya itu adalah agar Borno menjadi orang yang lebih baik. Setelah dua minggu berpikir matang-matang, Borno kemudian memutuskan untuk menjadi pengemudi sepit. Seperti terlihat pada kutipan berikut. Aku butuh dua minggu berpikir matang, menimbang-nimbang. Pagi ini, aku akhirnya memutuskan, aku akan memulai kehidupan sebagai: pengemudi sepit. Sungguh, meski melanggar wasiat Bapak, aku berjanji akan jadi orang baik, setidaknya aku tidak akan mencuri, tidak akan berbohong, dan senantiasa kerja keras meski akhirnya hanya jadi pengemudi sepit. (Liye, 2013: 53) Kutipan di atas menunjukkan bahwa Borno adalah anak yang berbakti kepada orang tuanya. Di sisi lain, ketika hendak mengendarai sepit dengan membawa penumpang untuk pertama kalinya, Borno ternyata juga merasakan kegugupan. Hal itu bertolak belakang dengan pekerjaan-pekerjaan sebelumnya di mana Borno terlihat sangat percaya diri melakukannya. Seperti terlihat pada kutipan berikut ini. kalimat. Meski sebenarnya dengan ditemani Pak Tua saja aku sudah gugup, apalagi sendirian membawa sepit penuh penumpang. Ini berbeda dengan latihan kemarin-kemarin. Sekarang ada dua belas orang yang harus kubawa menyeberang Kapuas dengan selamat. (Liye, 2013: 64) Aku pun
mulai bercerita.
Dimulai dengan pengalaman
Ceritaku semangat. Andi hanya mengangkat kepala sejenak, tidak peduli. Aku mendengus kecewa. (Liye, 2013: 75) Borno ternyata juga merupakan pemuda yang pada masa sekolahnya terbilang nakal. Ia nekat pergi ke Malaysia padahal tidak memiliki paspor. Ia juga sering melakukan perbuatan-perbuatan jahil
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
67 terutama kepada kawan baiknya, Andi. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut ini. Waktu kelas dua SMA, aku dan Andi memberanikan diri mencoba. Liburan panjang, memecahkan tabungan setahun, berbohong pada Ibu, bilang ada kemping sekolah. Bagaimana mungkin kalian tidak tergoda untuk pergi ke luar negeri jika dekat sekali jaraknya? Aku meminjam paspor kawan satu sekolah, sedangkan Andi meminjam paspor bapaknya strategi bodoh. (Liye, 2013: 74)
kubenci, karena aku dan Andi suka bolos dari kelas. (Liye, 2013: 124) Aku bergegas kabur, melambaikan tangan. Andi berusaha mengejar. Aku lebih dulu menutup pintu pagar dan mengunci pintu dari luar. Kuncinya kulempar sembarang ke bengkel sambil tertawa. Andi meneriaki kesal. (Liye, 2013: 77) Seperti yang terlihat pada kutipan di atas, Borno ternyata juga melakukan kenakalan-kenakalan saat di sekolah seperti kebanyakan remaja lainnya. Meskipun begitu, digambarkan pengarang dalam novelnya sosok Borno dikenal dengan pribadi yang sangat baik hati pada siapapun. Seperti terlihat pada kutipan berikut ini. Aku merutuki petugas, bergegas menjelaskan soal surat kan kalau dia mencari-ca Oh, soal itu, baiklah. Nanti kubilang pada gadis itu kalau ada pemuda baik hati tepian Kapuas ya (Liye, 2013: 83)
arab sekali biar
Di sisi lain, Borno memiliki sifat pemalu dan sering salah tingkah ketika Borno menyukai seorang gadis bernama Mei. Borno tidak pernah berani menyampaikan perasaannya kepada Mei. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut. Alamak, jantungku berdetak lebih kencang. Gadis itu, meski belum jelas benar wajahnya, terlihat berdiri di salah satu sisi fiberglass boat. (Liye, 2013: 91)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
68
Karena aku tidak berani secara langsung menatapnya, aku ingin berlama-lama mencuri pandang. Karena aku tidak berani menegur, apalagi mengajak berkenalan, aku ingin sekadar berada dekat-dekat dengannya. (Liye, 2013: 97) Kami bertatapan. Gadis itu mengangguk, tersenyum manis. Alamak, menerima senyuman itu, aku bagai terjatuh dari buritan. Aku buru-buru menjalankan sepit sebelum terlihat merah padam wajahku. (Liye, 2013: 98) Oleh karena Mei tersebut, Borno sampai teledor menjalankan tugasnya ketika mengantar rombongan keluarga calon besan dari Serawak yang kebetulan menumpang sepit Borno. Seperti terlihat pada kutipan berikut. Aku tertawa. Apanya yang membahayakan? Aku cuma kelupaan kalau rombongan calon besan itu masih di Istana Kadariah. Mereka menunggu berjam-jam, hingga akhirnya Andi dengan wajah penuh rasa bersalah memutuskan segera membawa mereka menumpang opelet, kembali ke hotel dekat bioskop kota. Jalan-jalan hari itu berakhir berantakan. (Liye, 2013: 115) yang terjadi sampai kau tega membawa sepit pergi begitu saja dari dermaga istana matanya menyelidik. Itu pasti kejadian luar biasa sampai Borno yang terkenal lurus perangai mau melakukannya. (Liye, 2013: 115) Ditinjau dari dimensi sosiologis, Borno merupakan anak tunggal. Ia tinggal di rumah kayu di kota Pontianak, tepatnya di tepian sungai Kapuas. Meski ia asli orang Pontianak, tetapi ia merupakan keturunan Melayu. Awalnya Borno hidup bersama kedua orangtuanya, namun semenjak bapaknya meninggal, Borno hanya tinggal berdua dengan ibunya. Borno juga hidup berdampingan dengan tetangganya yang berasal dari berbagai suku, seperti Koh Acong yang keturunan Tionghoa, Cik Tulani yang keturunan Melayu seperti Borno, dan Bang Togar yang keturunan Batak. Selain itu, sosok Borno juga digambarkan pengarang sebagai pemuda yang hanya lulusan SMA. Tampak pada kutipan berikut ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
69 Saat aku pulang menemaninya melaut seharian, badan gosong, bibir mengelupas, rambut kering bercampur butir garam, ketika melintas memasuki mulut Sungai Kapuas, menuju rumah kayu kami, Bapak menatapku lamat-lamat. (Liye, 2013: 53) Petugas menyeringai. Lagi pula, percuma saja tampang gagah Melayu kau ini, berkenalan dengan gadis pakai titip pesan
Matahari pagi cerah. Langit biru tersaput sedikit awan. Dari tepian Kapuas tempatku berdiri, kota Pontianak terlihat elok. (Liye, 2013: 13) Dokter menyeringai, menatap bergantian ke arah Koh Acong, Cik Tulani, Bang Togar,dan aku. Mana ada hubungan darah? Satu Cina, satu Melayu, satu Batak, dan satu lagi entahlah. (Liye, 2013: 138) Setelah Bapak meninggal, sepuluh tahun lalu, ajaib, aku tetap bertahan sekolah hingga SMA. (Liye, 2013: 20) 2) Pak Tua (Hidir) Jika dilihat dari dimensi fisiologis, Hidir atau lebih akrab disapa dengan Pak Tua adalah seorang laki-laki yang telah berusia paruh baya dengan tubuh yang tinggi-kurus, beruban dan mempunyai penyakit asam urat. Hal tersebut dapat ditunjukkan dalam kutipan berikut. (Liye, 2013: 121) Lihatlah, tubuh tinggi-kurus Pak Tua dililit belalai infus dan slang. (Liye, 2013: 140) Pak Tua sejenak mengusap-usap ubannya. (Liye, 2013: 252) Tubuh kurus Pak Tua loncat ke dermaga. (Liye, 2013: 267) Berdasarkan dimensi psikologis, Pak Tua memiliki sifat yang sangat bijaksana. Ia selalu memberikan petuah, nasehat dan kalimatkalimat bijak saat memaknai hikmah dari sebuah peristiwa. Tampak pada kutipan berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
70 -balik sedikit saja hati kau. Sedikit saja, dari rasa dipaksa menjadi sukarela, dari rasa terhina menjadi dibutuhkan, dari rasa disuruh-suruh menjadi penerimaan. Seketika, wajah kau tak kusut lagi. Dijamin berhasil. Bahkan Togar malah mencak-mencak lihat kau tersenyum tulus saat dia meneriaki kau bergegas menyikat
wajah, kusut hati. Beginilah, kuberitahu kau sebuah rahasia kecil. Dalam urusan ini, sembilan dari sepuluh kecemasan muasalnya hanyalah imajinasi kita. Dibuat-buat sendiri, dibesar(Liye, 2013: 133)
ingat baik-baik, kau selalu bisa memberi tanpa sedikit pun rasa cinta, Andi. Tetapi kau tidak akan pernah bisa mencintai tanpa
Dari kutipan di atas dapat terlihat bahwa Pak Tua sangatlah bijaksana dalam menyikapi setiap peristiwa. Itu juga menunjukkan bahwa Pak Tua sangat pintar dan berpengetahuan luas serta pandai membaca raut wajah karena ia selalu dapat menebak raut wajah Borno ketika sedang memikirkan sesuatu. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut. orang tua ini boleh Selain memang menyenangkan dan berpengetahuan luas, inilah yang aku suka dari Pak Tua, dia pandai membaca raut wajah. (Liye, 2013: 11) -kapal besar macam feri, kapal container, kapal pesiar, tanker, menggunakan mesin torak, turbin uap, turbin elektrik, turbin gas, atau bahkan turbin nuklir. Nah, sepit ini hanya pakai mesin motor pembakaran dalam, bahasa sananya disebut internal combustion engine Kutipan di atas menunjukkan bahwa Pak Tua adalah orang yang sangat pandai meskipun hanya seorang pengemudi sepit. Ternyata di balik pengetahuan luas yang ia miliki, Pak Tua juga mempunyai sifat sok tahu. Itu terjadi ketika Pak Tua hendak mencari klinik alternatif
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
71 di Surabaya, Pak Tua sangat yakin tahu alamat klinik tersebut meskipun ternyata ia tidak dapat menemukan alamatnya. Seperti tampak pada kutipan berikut.
Satu jam berputar-putar, sudah ganti angkot tiga kali, tetap tidak kelihatan tanda-tanda akan tiba. Satu jam lagi memaksakan diri, bertanya ke sana kemari, berganti angkot dua kali, tetap saja alamat tempat terapi itu tidak ditemukan. (Liye, 2013: 192) Di sisi lain, Pak Tua ternyata juga sangat menghargai pendapat orang lain. Ini dibuktikan ketika Pak Tua ikut melaksanakan kesepakatan PPSKT (Paguyuban Pengemudi Sepit Kapuas Tercinta) untuk tidak menyeberangkan Borno dengan sepit, walaupun sebenarnya Pak Tua tidak menyetujui kesepakatan tersebut. Selain itu, Pak Tua juga menghargai keputusan Borno untuk memilih akan menjadi pengemudi sepit atau tidak. Hal tersebut dapat ditunjukkan dalam kutipan berikut. Tadi sore Pak Tua akhirnya ikutan menolak membawaku. Tingallah aku bagai kambing congek di dermaga kayu, tidak pengemudi sepit sudah sepakat, kau dilarang menumpang perahu mana pun hingga kau berhenti bekerja dari dermaga feri. Dalam kasus ini, kesepakatan adalah kesepakatan. Aku harus menghargai mufakat di antara kami, meski bodoh dan naïf sekali
maka aku akan membantu. Kau keberatan, maka kita lupak (Liye, 2013: 52) Apabila dilihat dari segi sosiologis, Pak Tua adalah seorang laki-laki bujang yang tinggal sendirian di rumahnya. Pak Tua menjadikan menarik sepit sebagai hobi, bukan pekerjaan. Seperti yang tampak dalam kutipan berikut ini. tidak datang sendirian, Hidir? Siapa yang kau bawa? Bukankah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
72 kau hidup membujang? Jangan-jangan kau menikah tanpa bilang
Dia meninggalkanku sendirian di ruang depan. Tidak ada yang istimewa dari ruang tamu Pak Tua, kecuali secuil foto buram di dinding, kekuningan, dan ujungnya dimakan rayap. (Liye, 2013: 120) Pak Tua apalagi, menjadi pengemudi sepit hanya hobi, bahkan kupikir dia amat menikmatinya setelah berpuluh-puluh tahun keliling dunia, kaya, meski hidupnya sederhana. (Liye, 2013: 282) 3) Mei Mei adalah seorang gadis yang membuat Borno jatuh hati dan membuat Borno tiba-tiba terobsesi padanya. Sampai pada akhirnya Borno selalu rajin berangkat pagi ke dermaga untuk mendapat antrean ke-13. Ini dilakukan agar ia bisa menyeberangkan Mei dengan sepit miliknya. Jika dilihat dari dimensi fisiologis, tokoh Mei merupakan seorang gadis berusia dua puluh dua tahun, berambut hitam panjang keturunan Cina. Mei mempunyai paras yang cantik dengan wajah sendu menawan. Mei juga memiliki suara merdu, senyuman yang manis, dan ketika sedang tersenyum akan tampak lesung pipi. Tampak pada kutipan di bawah ini. yang cemerlang, masih muda sekali. Anak muda yang penuh citatimer tertawa, sejenak menatap
Nah, kututup dengan cerita tentang gadis berbaju kurung kuning, mengembangkan payung merah, rambut tergerai panjang, wajah sendu menawan. (Liye, 2013: 75) Rambut hitamnya tergerai di bahu. (Liye, 2013: 106)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
73
(Liye, 2013: 95) Wajahnya sumringah ditimpa cahaya senja. Rambut panjangnya
Rasanya menyenangkan jika aku bisa melihatnya setiap hari, melihat wajahnya saat melangkah ke atas sepit, senyum manisnya saat disapa orang-orang sekitar, atau raut mukanya saat berbaris di antrean atau duduk di atas sepit. (Liye, 2013: 97) Di sisi lain, Mei merupakan gadis yang selalu memperhatikan penampilannya. Itu terlihat dari cara berpakaiannya yang selalu terlihat rapi dan pandai memadu padankan pakaian dengan baik. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut. Dia selalu berpakaian rapi, membawa payung, dengan tas dipenuhi buku tersampir di pundak. (Liye, 2013: 97) Hari ini dia memakai kaus berwarna putih, celana training selalu terlihat menawan. (Liye, 2013: 106) Dia selalu pandai memadu padan pakaian, tidak mewah, tidak berlebihan, tapi selalu terlihat cantik. (Liye, 2013: 204) Apabila dilihat dari segi psikologis, tokoh Mei mempunyai sifat yang baik hati. Ia juga bersedia memberikan bantuan dan tidak sungkan untuk menyapa orang lain terlebih dulu. Hal itu tampak pada kutipan berikut. Lihatlah, di pojok dermaga, gadis itu tersenyum manis membagikan amplop yang sama pada pengemudi sepit dan pedagang di sekitar dermaga. (Liye, 2013: 94) Aku terperangah gadis itu menegurku. (Liye, 2013: 95) Dia melangkah ke atas sepit sambil tersenyum menyapaku.
Oh Ibu, aku yang sejak tadi memberanikan hati untuk mulai menyapa, memulai pembicaraan, tentu saja tertegun. Gadis itu yang justru memulai percakapan. (Liye, 2013: 108)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
74
Selain baik hati, Mei juga seorang gadis yang sangat pintar dan mau belajar ketika ia tertarik mengenai suatu hal. Sikap tersebut tercermin pada kutipan berikut.
yang cemerlang, masih muda sekali. Anak muda yang penuh citaKutipan di atas menunjukkan bahwa Mei adalah seorang gadis yang mau belajar apapun, bahkan menarik sepit sekali pun. Hal itu berbeda dengan sikap anggun yang biasanya ditunjukkan Mei. Seperti terlihat pada kutipan berikut. Gadis itu tetap duduk anggun, seperti tidak tertarik dengan keributan. Ujung rambutnya melambai pelan diterpa angin pagi. (Liye, 2013: 66) Gadis itu, penumpang terakhir, berdiri anggun. Payungnya mengembang sempurna. Gerakan tubuhnya mulus tidak terpengaruh goyangan sepit. (Liye, 2013: 67-68) Aku tersengih merah. Gadis itu anggun menutup mulut menahan tawa. (Liye, 2013: 109) Dilihat dari dimensi sosiologis, Mei adalah gadis keturunan Cina dan hidup dalam keluarga yang sangat bercukupan. Mei adalah lulusan sarjana dan bekerja sebagai guru magang di salah satu yayasan sekolah swasta di Pontianak. Mei dulunya lahir di kota Pontianak, tetapi kemudian ia dan keluarganya memutuskan untuk pindah ke Surabaya dan menetap di sana. Hal itu tampak pada kutipan di bawah ini. Aku segera merapatkan perahu, ter
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
75 Dia selalu berpakaian rapi, membawa payung, dengan tas dipenuhi buku tersampir di pundak. Aku mereka-reka, tampaknya pekerjaan gadis ini guru. (Liye, 2013: 97) Si ibu-ib mencatat baik-baik dalam hati, siapa bilang tidak ada kemajuan? Pagi ini aku tahu dia bekerja di yayasan, pengelola salah satu sekolah swasta ternama di kota kami. (Liye, 2013: 109)
menyelesaikan
magangnya
dengan
baik,
dan
sudah
(Liye, 2013: 145) tinggal di kota ini, Nak. Dia kulia
entah apa pasal, semua keluarga besar Sulaiman tiba-tiba pindah ke Surabaya. Opa, Oma, Mei, semua pindah. Membawa semuanya, kecuali perabotan. Kemarin, Mei hanya tinggal sebentar, kamarnya sekarang kosong seperti semula, padahal (Liye, 2013: 186) Malam itulah, untuk pertama kalinya aku menyadari, Mei datang dari keluarga yang amat berbeda denganku. Taksi membawa kami menuju pusat kota, melewati jalan protokol Surabaya, lantas masuk ke pintu gerbang besar, ke halaman dengan luas seperempat lapangan bola. (Liye, 2013: 222) Aku menelan ludah, mengikuti langkah Mei. Dia membuka pintu besar berukir dari kayu Jati. Tibalah kami di ruang depan rumahnya, anak tangga berpilin ke lantai atas, lantai pualam mengilat, megah. (Liye, 2013: 223) 4) Ibu Borno (Saijah) Saijah adalah nama dari Ibu Borno. Ibu Borno memiliki porsi sedikit dalam penceritaan seperti kebanyakan tokoh tambahan lainnya. Jika dilihat dari dimensi fisiologis atau keadaan fisik, tokoh Ibu tidak digambarkan secara jelas oleh pengarang dalam novel ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
76 Apabila dilihat dari segi psikologis, tokoh Ibu mempunyai sifat yang sama seperti kebanyakan ibu lainnya, yaitu suka menghibur dan memberikan nasehat kepada anaknya. Selain itu, tokoh Ibu juga memiliki sifat yang sangat baik hati dan perhatian kepada orang lain. Ibu Borno selalu mengekspresikan perasaannya dengan tertawa. Sifat tersebut tampak dari kutipan di bawah ini. Ibu sampai tertawa melihatku siap berangkat pagi-pagi. Bagi Ibu, tertawa adalah ekspresi rasa senang tertingginya. Aku ikut tertawa bersama Ibu. Sorenya saat aku pulang, Ibu tertawa lagi, kali itu aku hanya nyengir. Bagi Ibu, tertawa juga ekspresi rasa iba tertingginya. (Liye, 2013: 20)
membesarkan hatiku. (Liye, 2013: 21)
kemudian. (Liye, 2013: 36)
membuat orang lain menutup mulut saat kau lewat, hasilnya wangi. Halal dan baik. Dimakan berkah, tumbuh jadi daging kebaikan. Banyak orang yang kantornya wangi, sepatu mengilat, baju licin disetrika, tapi boleh jadi busuk dalamnya. Dimakan hanya menyumpal perut, tumbuh jadi daging keburukan dan saat usai aku bercerita. (Liye, 2013: 42)
lagi, Ibu sudah meneriakiku. (Liye, 2013: 136) Seperti dilihat pada kutipan di atas, Ibu Borno adalah orang yang sangat perhatian terhadap orang lain. Ia segera bergegas pergi ketika mendengar bahwa Pak Tua ditemukan jatuh pingsan di rumahnya. Di sisi lain, karena begitu perhatiannya Ibu Borno dengan orang-orang di sekitarnya, terkadang Ibu Borno juga terbawa emosi ketika sedang menasehati mereka. Salah satunya ketika Ibu Borno memarahi Bang Togar karena telah memukul Kak Unai. Hal itu terlihat pada kutipan berikut ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
77 Togar. Sungguh memalukan seluruh keluarga -aling menunjuk wajah Bang Togarsekali kau pukul si Unai, hah? Kau pikir dia siapa? Samsak? Benda tidak bernyawa? Seburuk-buruk Unai, dia istri kau. Sejelek-jelek Unai, dia ibu dari anak-anak kau. Kalau kau memang tidak mau lagi rujuk, benci alang kepalang, kenapa tidak kau cerai baikbaik? Lima tahun tidak jelas, hidup berpisah seperti musuh besar, kelakuan kau macam kanak-kanak saja, Togar. Benci, tapi tidak kunjung kau cerai-ceraikan. Cinta, tapi kau pukul. Kau
Apabila dilihat dari dimensi sosiologis, Ibu Borno (Saijah) adalah seorang istri nelayan yang membantu suaminya memilahmilah ikan tangkapan untuk kemudian diantarkan ke tetangga yang memesan. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam kutipan berikut. Ibu melotot, tangannya terus memilah-milah ikan hasil tangkapan semalam, menyuruhku bergegas mengantar pesanan. (Liye, 2013: 7) 5) Bapak Bapak adalah ayah dari Borno. Bapak adalah tokoh yang digambarkan pengarang hanya pada bagian awal saja. Secara fisiologis pengarang tidak menggambarkan secara jelas tokoh Bapak pada novel ini. Apabila dilihat dari dimensi psikologis, Bapak adalah seorang nelayan yang tangguh. Sebagai seorang pelaut, Bapak seorang yang pandai dan cakap ketika berada di tengah lautan. Hal tersebut dapat ditunjukkan dalam kutipan berikut. Bapak tercinta, nelayan tangguh yang menjadi tulang punggung keluarga, terjatuh dari perahu saat melaut. Jatuh bukan masalah. Bukan nelayan kalau tidak pernah jatuh. Lagi pula Bapak bisa berenang semalaman kalau dia mau. Badai juga tidak masalah. Berpuluh tahun jadi pelaut, Bapak mewarisi kepandaian melewati badai secara turun-temurun. Dikepung hiu buas, ikan pari, atau binatang besar lainnya juga hal biasa. Bapak lebih dari cakap mengatasinya. (Liye, 2013: 13)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
78 Dari kutipan di atas, dapat dilihat betapa tangguhnya tokoh Bapak ketika menghadapi masalah di tengah lautan. Namun sepertinya takdir juga menggariskan bahwa Bapak harus mengakhiri hidupnya di tengah lautan. Bapak terjatuh dari perahu dan tersengat ubur-ubur. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini. Adalah ubur-ubur, makhluk transparan nan kecil, lebih lembut daripada agar-agar, itulah pelakunya. Bapak jatuh, tersengat belalai hewan yang dianggap tidak penting bagi kebanyakan orang, bahkan mereka tidak tahu betapa mematikannya hewan itu. Sengatan ubur-ubur membuat Bapak kejang seketika. Nelayan lain yang menyertai Bapak tahu, hanya soal waktu detak jantung Bapak terhenti. (Liye, 2013: 14) Tidak hanya tangguh, Bapak juga dikenal memiliki sifat yang sangat baik hati. Sebelum tubuhnya berhenti bekerja, Bapak menyetujui untuk mendonorkan jantungnya. Seperti pada kutipan di bawah ini. Tetapi entah apa yang ada di kepala Bapak, sebelum tubuhnya benar-benar berhenti bekerja, Bapak telah menyetujui hal paling gila yang pernah kupikirkan. Tidak jauh dari bangsal gawat darurat itu, terkulai lemah seorang pasien gagal jantung yang sudah berminggu-minggu mencari donor tapi tidak bertemu. Bapak mendonorkan jantungnya. (Liye, 2013: 15) Di ruangan berjarak sepuluh meter dariku, Bapak menunaikan kebaikan terakhir. Aku selalu tahu-sebagaimana seluruh penduduk tepian Kapuas tahu-Bapak adalah orang baik yang pernah kukenal. (Liye, 2013: 16) Dilihat dari dimensi sosiologis, Bapak adalah seorang nelayan tangguh yang menjadi tulang punggung keluarga. Bapak merupakan anak seorang juragan sepit yang dulunya hidup makmur. Dibuktikan pada kutipan di bawah ini. Bapak tercinta, nelayan tangguh yang menjadi tulang punggung keluarga, terjatuh dari perahu saat melaut. (Liye, 2013: 13)
datanglah pelampung itu, yang awaknya saja tidak becus berenang, sisa berapa sepit kakek kau? Sisa satu. Lantas
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
79 almarhum bapak kau mewarisi sepit satu itu, perahu nelayan
6) Bang Togar Bang Togar, secara fisiologis digambarkan sebagai seorang yang bertubuh besar dan tinggi, serta berkumis melintang. Seperti terlihat pada kutipan berikut ini. Aku takut-takut mengangguk. Bang Togar ini bertubuh besar dan tinggi, berkumis melintang. Dia terkenal sekali. (Liye, 2013: 31-32) Kutipan di atas menunjukkan keadaan fisik Bang Togar yang tinggi dan besar. Dengan tampilan fisik yang tidak menunjang, namun Bang Togar ternyata berwibawa dan berjiwa pemimpin. Ia adalah Ketua PPSKT (Paguyuban Pengemudi Sepit Kapuas Tercinta). Secara psikologis, sosok Bang Togar adalah orang yang mudah marah dan terbawa emosi. Tampak pada kutipan berikut ini. Benar, pelampung inilah yang membuat Bang Togar mencakmencak mendengar kabar aku diterima bekerja di dermaga feri. Malam-malam, beringas dia menghampiriku yang asyik memetik gitar bersama Andi. Tanpa ba-bi-bu, Bang Togar merampas gitarku, menatap galak, sekejap seruan marah terlontar dari mulutnya. (Liye, 2013: 34) Bang Togar yang sejak seminggu terakhir resah atas kemungkinan itu mendadak gelap mata, mendorong Kak Unai. Jatuhlah Kak Unai ke kolong rumah. Anak mereka menjerit-jerit ketakutan. Kak Unai dibawa ke rumah sakit. Wajahnya lebam. Tangan kanannya patah. (Liye, 2013: 239) Dari kutipan-kutipan di atas menunjukkan watak Bang Togar yang emosian, dia selalu merasa paling benar. Selain itu, Bang Togar juga sangat egois. Tampak pada kutipan di bawah ini. Bang Togar dan persatuan sepitnya sekarang malah memasang surat keputusan melarangku naik sepit. Dia melaminating dan menempel fotoku besar-besar di dermaga kayu, sudah seperti larangan bepergian ke LN, membuat banyak penumpang sepit tahu. (Liye, 2013: 38)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
80
terima gajian. Aku tidak mau lagi lihat tampang orang yang sudah makan uang gaji musuh besar kita. Bukan Cuma otaknya, berusaha berlogika di atas logika. (Liye, 2013: 39-40) dulu memulai hari pertamanya tanpa ditemani. Kenapa dia harus diistimewakan? Karena dia cucu kakeknya? Putra bapaknya? Hingga Pak Tua sayang kepadanya? (Liye, 2013: 64) Kutipan di atas menunjukkan sikap Bang Togar yang egois dengan melarang Borno naik sepit hanya karena Borno diterima bekerja di dermaga feri. Bang Togar juga merasa sikapnya benar dengan memboikot Borno dan melarang Pak Tua menemani Borno menarik sepit untuk pertama kalinya setelah Borno menjadi pengemudi sepit. Bang Togar juga memiliki watak yang sombong. Ditunjukkan pada kutipan berikut ini. Bang Togar sengaja berseru kencang-kencang saat melihatku simbol rasa saling percaya, egaliter, dan kepraktisan. Mana ada penumpangnya diperiksa satu per satu ap (Liye, 2013: 38) Kutipan di atas menunjukkan watak sombong yang dimiliki Bang Togar. Bang Togar selalu memerintah orang lain sesuai kemauannya sendiri. Ia merasa paling berkuasa. Seperti tampak pada kutipan di bawah ini. Bang Togar memberikan ultimatum, satu bulan. Jika aku tetap bekerja di dermaga feri, aku akan dikucilkan dalam segenap aktivitas, mulai dari main kartu di balai bambu hingga kepanitiaan kalau ada tetangga yang menikah. Separuh lebih penghuni gang menganggap itu berlebihan. Tetapi, dengan gayanya yang menyebalkan dan sok kuasa, Bang Togar bisa meyakinkan bahwa apa yang kulakukan memang kejahatan besar. (Liye, 2013: 39) Untuk kesekian kali aku seperti kerbau dicucuk hidung, terbungkuk membawa kaleng cat. Nasib, ternyata bukan hanya membersihkan jamban tiga kali sehari, pekerjaan lain juga sudah menunggu. Selepas mengecat jamban, dengan sisa cat di kaleng
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
81 masih separuh, Bang Togar meneriakiku agar mengecat perahu tempelnya. Menyikat perahunya, membantu memperbaiki mesin tempelnya, berlumuran oli. Dia benar-benar telak memploncoku. Pak Tua, Cik Tulani, Koh Acong, serta pengemudi lain tidak ada yang mencegahnya. (Liye, 2013: 59-60) Bukan main. Hari pertama menarik sepit, setidaknya ada dua kejutan. Pertama, Bang Togar, sebagai Ketua PPSKT, membuat banyak peraturan baru
Dari kutipan-kutipan di atas menunjukkan watak Bang Togar yang sok berkuasa, dia akan memerintah orang lain sesuai dengan kemauannya dan tidak ada yang bisa mencegahnya. Namun, ia sangatlah disiplin dan selalu berbicara dengan tegas. Saat ada yang melanggar peraturan yang telah dibuat, ia tidak segan-segan menindaknya. Tampak pada kutipan di bawah ini. Bang Togar yang mendengar aku menumpang sepit, bergegas menghidupkan perahu tempelnya, seperti adegan film-film laga, membelah Kapuas menyusul. Berani-beraninya ada yang melanggar surat keputusan berlaminating itu, tidak peduli meski Pak Tua sekalipun. (Liye, 2013: 43)
Bang Togar berkata tegas. (Liye, 2013: 63)
terima gajian. Aku tidak mau lagi lihat tampang orang yang sudah makan uang gaji musuh besar kita. Bukan Cuma otaknya, gas, berusaha berlogika di atas logika. (Liye, 2013: 39-40) Kutipan-kutipan di atas menunjukkan watak Bang Togar yang tegas dan disiplin. Namun, di sisi lain ternyata Bang Togar memiliki watak yang baik. Bang Togar ternyata selalu memaksa anggotanya kompak, saling menghargai, dan saling membantu. Bang Togar juga meminta pengemudi, penghuni gang, bahkan penumpang sepit mengumpulkan sumbangan untuk membelikan Borno sepit baru. Tampak pada kutipan berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
82 gannya, berutang kemana-mana untuk membantu pengemudi sepit gang ini bertahan hidup. Pagi ini, kami tidak akan membiarkan cucu kakek kau tidak punya sepit. Ini perahu dari kayu terbaik, Borno, dengan mesin paling canggih, tukang paling mahir. 70)
seruanpenghuni gang, bahkan para penumpang mengumpulkan sumbangan. Bedanya, dia tidak sampai membuat surat
Ternyata di balik sikap tegas dan sok berkuasanya, Bang Togar juga memilki sifat yang perhatian dan peduli terhadap orang lain. Sikap itu ia tunjukkan ketika mendengar Pak Tua pingsan, ia segera bergegas menuju rumah Pak Tua. Sikap tersebut tampak pada kutipan berikut ini. penumpang yang menunggu di dermaga menoleh. Tangan kirinya berusaha merebut tuas kemudi, tangan kanannya usan mana yang lebih penting di
Selain peduli terhadap orang lain, Bang Togar juga memiliki watak pantang menyerah. Ia akan berusaha mendapatkan apa yang ia inginkan. Seperti apa yang ia lakukan ketika berusaha mendapatkan Kak Unai yang merupakan anak ketua suku Dayak pedalaman. Tampak pada kutipan berikut. Demi cinta, Bang Togar memutuskan tinggal di pedalaman Kalimantan. Kisah tentang Bang Togar yang tinggal di hulu Kapuas selama dua tahun sudah menjadi legenda di tepian Kapuas ini. (Liye, 2013: 240)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
83 Meski sudah mendapatkan Kak Unai, ternyata karena besarnya rasa cinta Bang Togar terkadang justru memantik rasa cemburu buta. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini. Melihat ada PNS pemkot datang ke rumah, Bang Togar sudah rongseng, cemas Kak Unai menaksir petugas gagah berseragam i -mula hanya bertengkar mulut, lama-lama piring berterbangan. (Liye, 2013: 241) Dari kutipan-kutipan di atas, dapat dilihat bahwa Bang Togar selain memiliki sifat yang egois, sok berkuasa, dan sombong, ternyata Bang Togar juga memiliki rasa kepedulian yang besar kepada orang lain. Ia juga orang yang mau berusaha mendapatkan apa yang diinginkannya. Jika dilihat dari dimensi sosiologis, Bang Togar adalah lakilaki keturunan Batak yang sudah menikah dan memiliki dua anak, meskipun lima tahun terakhir status pernikahannya tidak jelas. Bang Togar juga merupakan Ketua PPSKT (Paguyuban Pengemudi Sepit Kapuas Tercinta). Dia juga sangat terkenal sekali di seluruh Pontianak. Seperti tampak pada kutipan berikut. Aku takut-takut mengangguk. Bang Togar ini bertubuh besar dan tinggi, berkumis melintang. Dia terkenal sekali. Orangnya berwibawa dan berjiwa pemimpin. Konon katanya seluruh penduduk Pontianak kenal dia. Apalagi Bang Togar Ketua PPSKT (Paguyuban Pengemudi Sepit Kapuas Tercinta). (Liye, 2013: 31-32) Dokter menyeringai, menatap bergantian ke arah Koh Acong, Cik Tulani, Bang Togar,dan aku. Mana ada hubungan darah? Satu Cina, satu Melayu, satu Batak, dan satu lagi entahlah. (Liye, 2013: 138) Tidak tahan lagi, Kak Unai pindah ke rumah kerabatnya yang tinggal di Pontianak, membawa dua anak mereka, melanjutkan aktivitas tenun-menenunnya di sana. Bang togar tidak peduli, jaga gengsi, atau entahlah kenapa, tetap tinggal di rumah lama. Status pernikahan mereka dibiarkan tidak jelas lima tahun terakhir. (Liye, 2013: 241)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
84 7) Cik Tulani Dilihat dari dimensi fisiologis atau keadaan fisik Cik Tulani tidak dijelaskan dalam novel. Namun, jika dilihat dari dimensi psikologis, Cik Tulani adalah sosok yang suka mengomel dan berbual. Dia selalu protes yang selalu diulang-ulang ketika Borno mengantarkan ikan. Seperti pada kutipan di bawah ini. sikit-nya ikan yang kau bawa ini, Borno. Tidak cukup hanya setampuk. Kemarin siang saja warungku kedatangan rombongan dari Jakarta. Habis pindang ikanku, rakus mereka makan, sampai melepas kancing baju, memperlihatkan perut buncit. Kalau terus seperti ini, lama-lama
Semua orang di tepian Kapuas juga tahu Cik Tulani memang suka mengomel. Pernah aku membawa ikan satu ember besar, sampai tersengal menyeretnya, masih saja dia bilang sedikit. Dia berbual nanti siang Gubernur Kalimantan Barat hendak makan di warungnya. (Liye, 2013: 9) -jauh sana. Macam mana ini, warungku bisa sepi peng ikut-ikutan menyebalkan-padahal aku cuma menumpang lewat di depan warung. (Liye, 2013: 21) Kutipan di atas menunjukkan watak Cik Tulani yang suka berbual dan mengomel. Sebenarnya itu hanyalah alasan agar bisa menawar ikan Borno lebih murah. Tampak pada kutipan berikut ini. menawar ikan lebih murah. Kalau mau, dari dulu dia bisa beli Itu penjelasan Bapak. Aku pikir masuk akal. Lihatlah, Cik Tulani butuh bermenit-menit menghitung uang, menyerahkannya padaku, -10) Kutipan di atas menunjukkan bahwa Cik Tulani pelit dan pandai beralasan agar mendapat diskon dari Borno. Meskipun begitu, Cik Tulani juga memiliki watak baik, ia mau berbagi kepada tetangganya meskipun hanya makanan sisa. Tampak pada kutipan berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
85 Cik Tulani yang malam kesekian mampir mengirimkan makanan buat Ibu bertanya-sebenarnya itu makanan warung yang sisa, daripada basi, lebih baik diberikan ke tetangga. Mana ada model Cik Tulani yang beli ikan saja pelit akan sebaik hati itu. (Liye, 2013: 37) Kutipan di atas menunjukkan kebaikan hati Cik Tulani. Ia juga perhatian terhadap orang-orang di sekitarnya. Hal itu terlihat ketika Cik Tulani ikut menemani ketika bapak Borno dan Pak Tua sakit. Seperti pada kutipan berikut ini. Pagi buta itu Ibu membangunkanku. Kami segera menumpang sepit Pak Tua, ditemani Cik Tulani dan Koh Acong, bergegas menyeberangi Sungai Kapuas, lalu memaksa sopir omprengan pengangkut sayur mengantar kami menuju RSUD Pontianak. Kami berlari-lari kecil memasuki rumah sakit. (Liye, 2013: 14) Pak Tua tersenyum tipis melihatku, dia berbaring di dipan. Ada Cik Tulani, Bang Togar, dan beberapa tetangga menemani. Termasuk dokter dekat gang yang sibuk memeriksa. (Liye, 2013: 130) Kutipan di atas menjelaskan jika Cik Tulani memiliki rasa kepedulian yang tinggi. Ia selalu ada menemani ketika ada tetangga yang membutuhkan bantuan. Dilihat dari dimensi sosiologis, Cik Tulani adalah seorang pemilik warung makan. Tampak pada kutipan di bawah ini. Tiba di warung makan Cik Tulani, masih terhitung paman jauhku, pertanyaan itu tetap memenuhi kepala. (Liye, 2013: 8) Cik Tulani yang juga merupakan paman jauh Borno juga merupakan keturunan Melayu, peranakan asli penduduk Pontianak. Seperti tampak pada kutipan berikut ini. Tiba di warung makan Cik Tulani, masih terhitung paman jauhku, pertanyaan itu tetap memenuhi kepala. (Liye, 2013: 8) Yang aku tahu, istana yang terletak persis di tepi Sungai Kapuas itu terlihat megah, bersisian dengan Masjid Jami, masjid tertua kota ini. Di sekitar istana terdapat kampung peranakan asli penduduk Pontianak. Ada beberapa kerabat Cik Tulani tinggal di sana, juga kerabat almarhum Bapak. (Liye, 2013: 111)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
86
Dokter menyeringai, menatap bergantian ke arah Koh Acong, Cik Tulani, Bang Togar,dan aku. Mana ada hubungan darah? Satu Cina, satu Melayu, satu Batak, dan satu lagi entahlah. (Liye, 2013: 138) 8) Koh Acong Dimensi fisiologis atau keadaan fisik Koh Acong tidak dijelaskan pengarang dalam novel ini. Namun, ditinjau dari dimensi psikologis, Koh Acong dikenal sangat pandai berhitung cepat atau mecongak. Seperti pada kutipan berikut ini. Soal berhitung cepat, mencongak, tak ada yang mengalahkan Koh Acong. Kalkulator besar milik pedagang di perempatan kota saja kalah cepat. Misalnya kalian bawa selembar kertas belanjaan, jangan yang mudah, bawa saja yang rumit sekalian: tiga perempat bungkus kopi, satu tujuh perdua liter minyak tanah, enam perdelapan liter gula, setengah botol spiritus, dua kotak korek api, sepuluh liter beras. Tunggu sekejab, Koh Acong bagai dukun Dayak sakti merapal mantra menyebut total harga tanpa salah. Sekian rupiah. Jangan protes dia salah hitung, atau perahu kalian tidak boleh merapat lagi ke toko kelontong seumur hidup. (Liye, 2013: 8) Kutipan di atas menjelaskan betapa pandainya Koh Acong dalam berhitung cepat atau mencongak. Di sisi lain, Koh Acong juga terkadang mencoba menghibur dan memberi masukan Borno, meskipun berakhir dengan keluarnya kata-kata yang menyebalkan. Seperti pada kutipan berikut. pelampung, mudah sekali. Terus terang saja, aku lebih suka bau karet kau dulu dibanding Acong yang menyerahkan minyak sayur setengah liter titipan Ibu menyeringai menyebalkan. (Liye, 2013: 36-37) Meskipun terkadang menyebalkan, Koh Acong merupakan sosok yang baik hati dan perhatian kepada orang lain. Hal itu tampak ketika Koh Acong selalu ada pada saat bapak Borno dan Pak Tua sakit. Tampak pada kutipan di bawah ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
87 Tiba di rumah Pak Tua, sudah ada Koh Acong. Dia terlihat m kita akan terlambat kalau menunggu dokter. Kau bawa sepit, Aku mengangguk. keputusan. (Liye, 2013: 137) Dua jam lagi menunggu, tetap belum ada kabar dari ruang gawat darurat. Ibu yang kelelahan sudah pulang duluan, Cik Tulani bisa beresyang mengambil pakaian ganti Pak Tua. (Liye, 2013: 139) Dilihat dari dimensi sosiologis, Koh Acong yang merupakan keturunan Cina adalah seorang pemilik toko kelontong yang menghadap persis Sungai Kapuas. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut. Tiba di rumah Koh Acong-pemilik toko kelontong yang menghadap persis Sungai Kapuas, pemesan ikan pertama pagi ini-aku bertanya sambil menjulurkan setampuk ikan segar. (Liye, 2013: 7) Tetapi-karena omong kosong peraturan SKBRI-hampir seluruh orang Cina di kota Pontianak punya nama kedua, nama nasional. Koh Acong juga punya nama nasional. Kalian mau tahu nama nasional Koh Acong? Susilo Bambang-sumpah, aku tidak tahu kenapa namanya bisa begitu. (Liye, 2013: 195) 9) Andi Andi adalah teman baik Borno dari kecil. Secara fisiologis, pengarang tidak menggambarkan secara jelas keadaan fisik Andi dalam novel. Namun, jika ditinjau dari dimensi psikologis, Andi memiliki watak yang baik. Ia selalu membela Borno ketika Borno diperlakukan tidak adil oleh Bang Togar. Terkadang Andi juga terbawa emosi ketika mendengar perlakuan Bang Togar kepada Borno. Tampak pada kutipan berikut ini. Andi, sohib dekatku, berapipas satu bulan, seberani apa dia melarang-larang orang merdeka berlalu-lalang. Itu pelangggaran UUD 45. Harusnya dia urus
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
88 saja dulu keluarga sendiri. Lihat, bukankah dia sudah bertahunungkit ranah personal Bang Togar. (Liye, 2013: 40)
H 2013: 60)
aku, sudah se (Liye, 2013: 60) Dari kutipan di atas, menjelaskan bahwa Andi adalah sosok teman yang baik. Ia selalu membela Borno. Selain baik hati, Andi adalah sosok pekerja keras. Ia selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk pekerjaannya. Seperti terlihat pada kutipan berikut. Kupikir dia ketiduran. Kususul ke rumahnya, ternyata Andi masih berkutat dengan motor besar milik kepala kampung. menjelaskan. Aku m
Naga-naganya, kalau begitu Andi tidak akan mau kuajak ke balai bambu. Aku akhirnya ikut nongkrong memperhatikan tangannya bekerja. Membongkar, memasang, membongkar, memasang lagi, tidak pas-pas juga posisinya. Wajah Andi kusut bercampur penasaran. (Liye, 2013: 73) Dari kutipan di atas menjelaskan bahwa Andi berusaha untuk segera memperbaiki kerusakan motor milik kepala kampung. Di sisi lain, sosok Andi adalah pemuda yang sok tahu dan suka membuat kesimpulan sendiri. Terlihat pada kutipan berikut. -matut, sok tahu seperti biasanya. (Liye, 2013: 76)
gadis itu membawa payung merah? Nah, cocok bukan dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
89 Aku ikut tertawa. Dasar tukang paksa kesimpulan. (Liye, 2013: 77) Selain sok tahu, Andi juga selalu merasa penasaran dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan cinta dan para gadis. Seperti saat Andi penasaran soal identitas Mei. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut ini. merobek bahkan mengintip dalamnya. Ini surat milik orang
surat itu ke saku baju. Baiklah sebelum Andi memaksa-karena dia suka penasaran atas hal-hal seperti ini-lebih baik aku pamit pulang. (Liye, 2013: 77) Baru habis setarikan napas urusan pesan, Andi sudah membuka Sudah tahu namanya? Aku menggeleng jengkel. Baru malam lalu kami membahasnya, juga malam sebelumnya, malam sebelum-sebelumnya lagi, tidak bosan-bosan dia. Jangan-jangan prospek malamku bulan-bulan mendatang hanya dihabiskan membahas soal ini dengan Andi. (Liye, 2013: 104) Dari kutipan di atas terlihat bahwa Andi sangat penasaran mengenai identitas gadis berbaju kurung kuning, yang tak lain adalah Mei. Rasa ingin tahunya itu bermula saat Borno mengatakan telah bertemu dengan gadis berwajah sendu menawan ketika menarik sepit. Deskripsi gadis itulah yang sangat disukai Andi. Seperti tampak pada kutipan berikut. Aku tertawa. Begitulah nasib bujang seperti kami ini. Sambil memetik gitar, kami sering berbincang tentang gadis-gadis. Dulu Andi pernah berpendapat, gadis yang cantik itu terlihat seperti menatap purnama, sendu nan menawan, seperti penyanyi top negeri jiran. (Liye, 2013: 75) Di balik sifat penasaran dan sok tahunya, Andi ternyata memiliki suara yang sangat bagus. Terlihat pada kutipan berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
90 Peserta main kartu bertepuk tangan. Walau pongahnya menyebalkan, harus kuakui, urusan menyanyi, Andi beda-beda tipislah dengan Broery Pesolima. (Liye, 2013: 118) Namun begitu, Andi tetaplah seperti pemuda kebanyakan yang terkadang bersikap menyebalkan dan jahil. Dulu saat masih bersekolah pun Andi dan Borno juga sering melakukan kenakalan. Hal itu dibuktikan pada kutipan berikut. Susah memang bercerita pada Andi. Tidak diceritakan dia bersungut-sungut marah, diceritakan, dia malah sibuk merecoki jalan cerita, seolah-olah punya versi dan imajinasi sendiri. Belum lagi lagak dia yang seolah-olah kalau dia sendiri mengalaminya, jalan cerita akan jauh lebih baik. (Liye, 2013: 118) Seumur-umur aku baru tiga kali masuk ruangan kepala sekolah: pertama, waktu SMP, saat ketahuan bolos, aku dan Andi (Ibu juga dipanggil) terpaksa mendengar ceramah dari kepsek selama dua jam; yang kedua waktu SMA, tawuran dengan sekolah tetangga, lagi-lagi aku dan Andi bersama anak-anak lain diceramahi kepsek dan kapolsek; dan ini yang ketiga. (Liye, 2013: 144) Tadi pagi, saat mendegar Andi bilang Mei telah kembali, aku sontak loncat. Sial sarungku terpintal kursi, aku jatuh terguling. Tidak mengapa. Meski lututku terasa ngilu, aku berusaha bangun, bergegas. (Liye, 2013: 253) Kutipan di atas menunjukkan sikap Andi yang menyebalkan ketika merecoki jalannya cerita, saat Andi dan Borno melakukan kenakalan bersama-sama, dan ketika Andi menipu Borno dengan mengatakan bahwa Mei telah kembali ke Pontianak. Meski begitu, Andi membuktikan bahwa ia adalah teman sejati Borno karena selalu ada di saat senang maupun susah untuk Borno. Seperti tampak pada kutipan berikut. Pak Tua sejenak mengusapselama ini aku keliru menilai Andi sebagai banyak omong, tukang maksa dan agak lambat. Ternyata dia cerdas dan bernas. Di atas segalanya, yang paling penting, Andi membuktikan dia adala -253)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
91
pagi adalah tips hebat untuk orang-orang gundah gulana macam kau sekaligus membuktikan di adalah teman terbaik kau. Camkan ini, Borno. Banyak sekali orang yang jatuh cina lantas sibuk dengan dunia barunya itu. Sibuk sekali, sampai lupa keluarga sendiri, teman sendiri. padahal, siapakah orang yang tiba-tiba mengisi hidup kita itu? Kebanyakan orang asing, orang baru. Mei misalnya, baru kau kenal setahun kurang. Sedangkan Andi? Kau kenal dia sejak bayi, satu ayunan. Apa yang telah dilakukan Mei buat kau? Apa yang tidak dilakukan Andi? Apa Mei pernah menyelamatkan kau yang hampir tenggelam di
Dari kutipan di atas, membuktkan bahwa meskipun Andi memang menyebalkan, tetapi ternyata ia adalah seorang teman sejati bagi Borno. Dilihat dari dimensi sosiologis, Andi adalah pemuda keturunan Bugis yang bekerja di bengkel motor milik bapaknya. Seperti kutipan berikut. Sudah setengah jam aku bernyanyi sendirian. Si Andi Bugis belum datang juga. (Liye, 2013: 72) Andi, teman baikku, sepagi ini sudah berkutat oli dan jelaga mesin. Dia bekerja pada bapaknya yang punya bengkel motor sekaligus cuci salju. (Liye, 2013: 18-19) 10) Bapak Andi Dimensi fisiologis atau keadaan fisik bapak Andi tidak dijelaskan di dalam novel. Namun, jika ditinjau dari dimensi psikologis, bapak Andi adalah orang jujur. Ia tidak segan memarahi Andi yang keliru memperbaiki motor, meski Andi adalah anak kandungnya sendiri. Sebaliknya, bapak Andi juga tidak segan memuji kepintaran Borno. Terlihat pada kutipan berikut. Bapak Andi manggutBorno. Jangan malah memeriksa propeler dan sebagainya. Tidak
Bapak Andi berbinar-nepuk bahuku.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
92 secara mendalam bisa menyimpulkan masalah motor tempel ini
Kutipan di atas menunjukkan bahwa bapak Andi sangatlah jujur. Namun, ketika berurusan dengan motor milik pelanggan bengkelnya, bapak Andi sangatlah tegas. Ia akan marah besar jika motor pelanggannya sampai lecet sedikit pun. Pernah suatu kali Borno mengerjai Andi untuk membongkar vespa milik pelanggan bengkel bapaknya, padahal sebelumnya Borno dipesan jangan sampai menyentuhnya. Hal itu terbukti dengan kutipan di bawah ini. Dua malam Andi mengungsi ke rumah Pak tua karena amuk bapaknya. Bayangkan, saat kembali dari dermaga feri, saat bersiap mengembalikan vespa itu, yang ada justru hamparan onderdil dan bodi motor. Belum ditambah Andi dengan tampang polos malah bertanya balik pada bapakny Aku juga ketiban pulung, dua hari penuh bapak Andi menungguiku merakit ulang vespa itu. Tidak boleh meleset satu baut pun, tidak boleh lecet semili pun. Di mana seninya jadi montir kalau ada mandor dengan wajah masam duduk mengawasi, berdeham-deham galak setiap aku sedikit kasar meraih pelat bodi motor? (Liye, 2013: 261) Meskipun sering marah-marah jika menyangkut urusan motor milik pelanggan di bengkelnya, ternyata bapak Andi juga memiliki sifat yang selalu optimis. Bapak Andi bahkan rela hendak menjual rumahnya demi memperbesar usaha bengkelnya. Terbukti pada kutipan berikut. -
bengkel bagus untuk Andi menepukBorno. Kalau kita tidak mengambilnya, puluhan orang lain akan bergegas mengambil bengkel di lokasi srategis seperti ini. Menjual rumah dan bengkel sempit di gang tepian Kapuas itu Aku ikut tertawa, senang dengan wajah optimis bapak Andi. (Liye, 2013: 326-327)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
93 Dari kutipan di atas, dapat dilihat betapa optimisnya bapak Andi hendak memperbesar usaha bengkelnya. Namun, ternyata nasib berkata lain, bapak Andi terkena tipu. Surat-surat bengkel yang dibelinya dengan menjual rumah ternyata palsu. Selama berhari-hari bapak Andi hanya berdiam diri. Tampak pada kutipan berikut. Aku tertawa, sedangkan bapak Andi hanya duduk di kursi kantor, menatap kosong papan nama-sejak kejadian penipuan itu, hanya itulah yang dia lakukan, sibuk dengan diri sendiri. (Liye, 2013: 366) Dilihat dari dimensi sosiologis, bapak Andi merupakan keturunan Bugis. Ia seorang pemilik bengkel motor kecil dan juga seorang pedagang. Tampak pada kutipan di bawah ini. Dia bekerja pada bapaknya yang punya bengkel motor sekaligus cuci salju. Jangan bayangkan seperti bengkel-bengkel keren authorized di jalan protokol Pontianak. Bapak Andi yang seratus persen Bugis hanya memanfaatkan depan rumah sempit mereka. (Liye, 2013: 19) Bapak Andi terkekeh, berbual bilang dia pedagang komoditas dan tekstil-padahal sebenarnya yang dia maksud jengkol, pisang, baju kodian, begitu-begitu saja. (Liye, 2013: 325) 11) Pengemudi sepit (Jauhari, Jupri) dan Petugas Timer Jika dilihat dari dimensi fisiologis, baik Jauhari, Jupri, maupun petugas timer tidak dijelaskan secara jelas dalam novel ini. Namun, ditinjau dari dimensi psikologis, baik Jauhari, Jupri, maupun petugas timer, ketiganya memiliki watak yang jahil. Itu terlihat dari ketiganya yang sering kali menggoda Borno. Tampak pada kutipan berikut. yang menemukan surat bersampul merah itu, andaikan dia wanita akan kujadikan saudara kandungku, andaikata dia lelaki timer tertawa, mengusir rasa bosan menunggu penumpang yang belum muncul-muncul juga. (Liye, 2013: 84)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
94 -gara melihat wajah cantik di 2013: 385)
hujan-hujan begini pula. Alamak. Abang kau ini seumur-umur Jupri. (Liye, 2013: 385) Meskipun mereka bertiga sering mengolok-olok Borno, namun mereka sangat menyayangi Borno. Itu terbukti saat Jauhari dan Jupri mendukung keputusan Borno untuk menjual sepit yang dihadiahkan untuknya demi ikut kongsi bengkel dengan bapak Andi. Selain itu petugas timer, yang dipanggil Borno dengan sebutan Om juga membantu Borno menyisakan satu tempat kosong untuk Mei setiap kali Borno hendak menarik sepit. Seperti kutipan berikut ini. Petugas timer menyeka peluh di leher. Dari tadi dia celingukan mencari Mei. timer menghela napas prihatin. Tiga hari terakhir dia selalu berusaha menahan penumpang, perlahan u
tidak akan berakhir hanya jadi pengemudi sepit. Kau masih muda, punya mimpi, selalu ingin belajar. Orang seperti kau tidak cocok hanya jadi pengemudi sepit. lamatlagi yang sibuk membujukku agar bertukar posisi di antrean nomor tiga belas. Tidak ada juga orang yang bisa kuolokWarung pisang goreng lengang sejenak. Jauhari terlihat terharu. -ragu bertanya.
(Liye, 2013: 345) itu saja. Hanya berubah menjadi bengkel. Aku pikir tadi kau mau jual 346)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
95 Kutipan di atas menunjukkan bahwa mereka mendukung semua keputusan yang diambil Borno. Namun, bukan berarti hubungan mereka selalu baik-baik saja. Jauhari bahkan pernah memarahi Borno hanya karena melanggar antrean sepit Jauhari. Akan tetapi, penyebab utama yang membuat Jauhari sensitif dan marah-marah hari itu bukan karena kesalahan Borno, melainkan dia pusing memikirkan biaya perawatan anaknya yang terkena demam berdarah. Tampak pada kutipan berikut. tan kecil itu dengan cepat membesar. Bang Togar dan pengemudi -mentang kau punya sepit bagus, Borno. Beraniyang berkelit dari leraian menendang ujung perahuku. Penumpang yang sudah duduk rapi di sepitku berseru-seru, malah ada yang menjerit kaget. Dermaga kayu jadi rusuh. (Liye, 2013: 81)
harus dirawat di rumah sakit. Jauhari pusing memikirkan biaya perawatan. Jadilah se Dilihat dari dimensi sosiologis ketiganya, pengarang tidak menjelaskannya secara jelas. Jauhari dan Jupri hanya digambarkan sebagai
pengemudi
sepit
sedangkan
petugas
timer
tidak
diberitahukan namanya oleh pengarang. 12) Sarah Ditinjau dari dimensi fisiologis, Sarah adalah seorang dokter gigi muda yang memiliki wajah cantik dengan mata hitam bening dan rambut sebahu. Sebagai seorang dokter gigi, Sarah juga memiliki gigi putih cemerlang. Ditunjukkan pada kutipan di bawah ini. deretan giginya yang putih cemerlang. (Liye, 2013: 308) Aku menelan ludah karena tidak menyangka, alangkah mudanya dokter gigi yang kami temui-untuk tidak bilang sepantaran denganku. Wajahnya ramah, dan dari caranya menjulurkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
96 tangan, menyambut kami, dia dokter gigi yang menyenangkan, dengan wajah cantik khas peranakan Cina. (Liye, 2013: 309)
semuanya, kepalanya keluar dari balik pintu depan, tertawa lebar. Mata hitam beningnya begitu riang melihatku. Rambut sebahunya bergerak menawan. (Liye, 2013: 329-330) Ditinjau dari dimensi psikologis, Sarah memiliki sifat periang. Ia selalu senang tersenyum dan tertawa. Bahkan, meskipun sedang menangis, wajahnya tetap menunjukkan keceriaan. Seperti tampak pada kutipan berikut. Itu mudah ditebak, pak. Sama mudahnya menebak seseorang menatap Andi. (Liye, 2013: 309) Yang aku tahu, wajah tertutup masker ini jelas terlihat riangtidak seperti Mei yang terlihat sendu dan misterius. (Liye, 2013: 312-313) Aku menggosok dahi, menatap wajah menangis yang tetap terlihat ceria di depanku. (Liye, 2013: 318) Selain periang, Sarah mempunyai pribadi yang bersahaja. Ia bahkan tidak sedikit pun merendahkan pekerjaan Borno sebagai pengemudi sepit. Tampak pada kutipan berikut. Aku menelan ludah untuk kedua kali. Alangkah bersahajanya dokter satu ini, bergurau akrab dengan Pak Tua. (Liye, 2013: 309)
tidak sedetik pun memasang wajah merendahkan. Matanya menatap penuh penghargaan, seolah-olah baru mendengarku . (Liye, 2013: 311) Kutipan di atas menunjukkan bahwa Sarah mempunyai watak yang baik. Ia juga sangat baik hati, Sarah bahkan mengundang semua orang untuk makan malam bersama. Tampak pada kutipan di bawah ini. Ada enam meja bundar besar yang disusun rapi di tengah taman tempat praktik Sarah. Di meja kami ada Pak Tua, Bang Togar,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
97 Cik Tulani, Koh Acong, Andi, dan aku. Satu meja lain diisi Ibu, istri Bang Togar, istri Koh Acong, istri Cik Tulani, bersama anak-anak. Empat meja lain diisi tetangga dan pengemudi sepit yang juga diundang Sarah. (Liye, 2013: 340) Apabila dilihat dari dimensi sosiologis, Sarah memiliki pekerjaan sebagai dokter gigi. Hal tersebut ditunjukkan pada kutipan berikut ini.
itu menunjuk kursi. (Liye, 2013: 309) 13) Fulan dan Fulani Ditinjau dari segi fisiologis, Fulan dan Fulani merupakan pasangan suami-istri yang buta. Mereka kenal satu sama lain sejak masih merah dalam gendongan karena orang tua mereka sahabat dekat dan bertetangga rumah. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut ini. pasangan buta, Andi. Jadi jangankan membaca atau menulis,
Apabila dilihat dari dimensi psikologis, pasangan Fulan dan Fulani mempunyai watak yang kompak. Mereka saling mendukung dalam keadaan apa pun. Tampak pada kutipan berikut ini. Senasib, sepenanggungan, membuat si Fulan dan si Fulani semakin kompak, termasuk kompak menghadapi teman-teman baru yang jail, sering mengolok-olok. Mereka berdua saling membesarkan hati, saling mendukung. (Liye, 2013: 170) Mereka berikrar akan saling mendukung, saling mendampingi apa pun yang terjadi. (Liye, 2013: 170-171) Selain kompak, mereka memiliki watak yang penyabar. Meski musibah berkali-kali menimpa mereka, namun pasangan ini tetap sabar dalam menghadapinya. Si Fulan dan si Fulani di tengah keterbatasannya berusaha untuk tidak larut dalam kesedihan dan memulai kehidupan baru. Seperti tampak pada kutipan di bawah ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
98 Lalu meletuslah pemberontakan G-30S/PKI. Zaman gelap. Si Fulan tidak ketahuan rimba. Pagi buta dia diciduk dari rumah, sedang si Fulani dijebloskan ke penjara wanita tanpa proses setelah empat tahun di penjara, si Fulani bisa dikeluarkan. Dimulailah masa bertahun-tahun yang lebih menyakitkan, mencari tahu di mana suaminya. Tiga tahun lewat, si Fulan akhirnya berhasil ditemukan. Dia dibuang di pulau terpencil Berkumpullah keluarga kecil ini, berusaha merajut kebahagiaan tinggal di Jakarta. Mereka membuka toko sembako di persimpangan jalan, kecil saja, tapi mencukupi. (Liye, 2013: 170-171) Peristiwa Malari 1974. Jakarta dikepung amuk massa. Toko sembako mereka dibakar. Kalian tahu, si Janji ikut tewas Surabaya, memulai awal yang baru. (Liye, 2013: 171) Krisis hebat tahun 1998, membuat ekonomi jadi moratToko, tanah, dan pabrik kecil mereka disita. Harta mereka ternyata dijaminkan untuk utang besar oleh orang kepercayaan tuskan awal yang baru. Pindah ke pinggiran Surabaya, membuka kursus memainkan alat musik, bakat besar mereka dulu. (Liye, 2013: 172) Pasangan Fulan dan Fulani ini di tengah keterbatasan ternyata dianugerahi kemampuan seni yang luar biasa. Seperti tampak pada kutipan berikut ini. Pasangan ini di tengah banyak keterbatasan, dianugerahi
underbow seni-budaya milik PKI. (Liye, 2013: 172) Kutipan di atas menjelaskan bahwa di tengah keterbatasan yang dimiliki, mereka mempunyai bakat yang besar. Fulan dan Fulani juga dianugerahi kesabaran dan cinta yang besar. Mereka membuktikan bahwa cinta tidak hanya diungkapkan melalu perkataan, melainkan cinta yang diwujudkan melalui perbuatan. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut. meraih tas kecil miliknya, meraba-raba bagian dalam, mengeluarkan permen, patah-patah membuka bungkusnya,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
99 lantas seperti tahu di mana posisi mulut suaminya, menyuapkan permen itu. Sayang, gerakan oleng sepit membuat permen terjatuh. Pasangan itu tertawa. Si Fulani mengambil permen berikutnya, kembali perlahan-lahan membuka bungkus plastik. permen itu sudah ada sejak mereka kecil, dan sejak mereka kecil pulalah si Fulani yang membuka bungkusnya, menyerahkannya pada si Fulan. Sudah puluhan ribu permen, tidak pernah bosan, selalu dilakukan dengan mesra. Jangan tanya definisi cinta sejati pada mereka, Andi. Mereka tidak pandai bersilat lidah, mereka buta. Tapi lihatlah keseharian mereka, maka kau bisa melihat cinta. Bukan cinta gombal, melainkan cinta yang diwujudkan melalui
Jika dilihat dari dimensi sosiologis, si Fulan dan si Fulani adalah pasangan suami-istri yang menikah hampir enam puluh tahun. Mereka awalnya mempunyai seorang anak, bernama Janji. Namun, pada peristiwa Malari 1974 toko sembako mereka dibakar dan Janji ikut tewas terbakar. Mereka kemudian dianugerahi dua anak kembar. Pasangan ini pada awalnya hidup berpindah-pindah, tetapi akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal di Surabaya dan mempunyai padepokan musik. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut. Usia dua puluh lima mereka menikah. Ketika kabut membungkus lereng gunung dan udara menjadi dingin, Si Fulan dan si Fulani mengikat perasaan mereka menjadi sebuah komitmen. (Liye, 2013: 170)
Jadilah si Fulani susah payah melahirkan di sel pengap, seorang bayi lakiJakarta dikepung amuk massa. Toko sembako mereka dibakar. bijak itu selalu benar, selepas sebuah kesulitan pastilah datang kemudahan. Si Fulani hamil, berita yang hebat, anak kembar,
Bagian depan rumah yang kami kunjungi ramai oleh anak-anak yang sedang bermain musik. Ada yang menggesek biola, memetik gitar, memainkan an
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
100 padepokan musik pasangan yang kisah hidup mereka pernah kudengar bersama Andi. (Liye, 2013: 218-220) 14) Ibu Kepala Sekolah Dilihat dari segi fisiologis, Ibu Kepala Sekolah digambarkan pengarang berusia lima puluh tahun dengan wajah yang lembut dan penyabar. Tampak pada kutipan berikut ini. Ternyata kepala sekolah yang satu ini jauh dari bayanganku. Ibu-ibu, berusia lima puluh tahun, wajahnya lembut dan (Liye, 2013: 144) Jika dilihat dari dimensi psikologis, Ibu Kepala Sekolah mempunyai sifat yang ramah. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut. Kepsek bertanya ramah. (Liye, 2013: 144)
tersenyum ramah. (Liye, 2013: 146) Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa Ibu Kepsek mempunyai sikap yang ramah, termasuk pada Borno yang baru pertama kali ditemuinya. Selain mempunyai sifat yang baik, Ibu Kepsek juga orang yang sangat baik. Itu terbukti dengan ia memberi Borno alamat Mei di Pontianak lewat Pak Malinggis, satpam sekolah. Ibu Kepsek bahkan juga membuatkan sendiri teh untuk Borno. Tampak pada kutipan berikut ini. (Liye, 2013: 147)
dia sudah melakukannya, menuju pojok ruangan, tempat termos dan gelas-gelas. (Liye, 2013: 410) Apabila
dilihat
dari
segi
sosiologis,
pengarang
tidak
memberikan gambaran secara jelas mengenai Ibu Kepala Sekolah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
101 Ibu Kepsek hanya digambarkan pengarang sebagai Kepala Sekolah sebuah yayasan sekolah swasta di Pontianak. Pengarang bahkan tidak menyebutkan nama dari Ibu Kepala Sekolah ini. 15) Pemilik Pabrik Karet Jika dilihat dari dimensi fisiologis, pemilik pabrik karet adalah laki-laki peranakan Cina dengan usia setengah baya. Ia memiliki rambut yang sudah sepertiganya beruban, perutnya separuh gendut, dan tampangnya sangat kebapakan. Saat sedang tertawa, janggut di dagunya akan bergoyang-goyang. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini. pabrik karet saat mewawancaraiku dulu. Cina separuh baya, rambutnya sepertiga menguban, perutnya separuh gendut, tampangnya pol kebapakan. (Liye, 2013: 22)
janggut di dagunya terlihat bergoyang-goyang. (Liye, 2013: 22) Apabila dilihat dari segi psikologis atau sifat yang dimiliki pemilik pabrik karet ini, pengarang tidak banyak memberikan gambaran yang lengkap. Si pemilik pabrik hanya digambarkan pengarang sebagai orang yang sangat memercayai fengsui. Hal tersebut tampak pada kutipan di bawah ini. keberuntungan di pabrik ini, Borno. Tanggal lahir kau bagus sekali. Aura wajah dan tubuhmu positif.
Esoknya saat aku datang dengan seragam oranye, pemilik pabrik menepuk-nepuk bahuku. Aku tersenyum tanggung, beru tahu aku diterima bukan karena betapa tingginya kualifikasiku. Aku (Liye, 2013: 22) Adapun jika dilihat dari dimensi sosiologis, pemilik pabrik karet ini merupakan orang yang berhasil. Akan tetapi, dikarenakan krisis dunia yang melanda maka ia menjadi bangkrut dan akhirnya terpaksa menutup pabrik. Seperti tampak pada kutipan berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
102 Krisis dunia, harga karet anjlok bagai meteor jatuh, grafiknya turun bebas. Imbasnya ke mana-mana. Pedagang karet memutuskan memarkir kapal, berhenti membeli bantalan karet di pedalaman. Pabrik pengolahan terpaksa menanggung biaya produksi lebih tinggi dibanding harga jual. Sialnya, ibarat peribahasa, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Pemilik pabrik yang berwajah penuh kebapakan itu kemudian hari kena tipu. Sepuluh kontainer terakhirnya yang dikirim ke Eropa tidak dibayar pembeli. Importirnya kabur membawa dokumen pembayaran. (Liye, 2013: 23-24) 16) Pejabat Syahbandar Dimensi fisiologis atau keadaan fisik dari pejabat syahbandar tidak dijelaskan pengarang dalam novel ini. Apabila ditinjau dari dimensi psikologis, pejabat syahbandar mempunyai sikap yang tegas dalam mengambil keputusan. Terlihat dari kutipan berikut ini. esok pemeriksaan diperketat. Semua kapal yang merapat di Pelabuhan Pontianak harus diperiksa. Tidak ada
Tidak hanya bersikap tegas dalam mengambil keputusan seperti tampak pada kutipan di atas. Pejabat syahbandar juga seorang pekerja keras. Seperti tampak pada kutipan berikut. muda yang mandiri, Borno. Kau tahu, aku dulu juga begitu, harus bekerja keras agar bisa sekolah. Seumuran kau, aku menjadi kuli di pabrik gula. Serabutan disuruh ini-itu, kerja -30) Pada kutipan di atas menunjukkan bahwa pejabat syahbandar berusah keras untuk dapat mencapai posisi seperti ia sekarang ini. Selain itu, pejabat syahbandar juga merupakan orang yang baik. Ia bersedia membantu Borno mencarikan pekerjaan. Hal tersebut tampak pada kutipan di bawah ini. Aku menemui pejabat syahbandar, bilang amat menyesal dan minta maaf, satu bulan pun tidak bertahan. Pejabat syahbandar yang memberik mengapa, Borno. Bukan masalah besar. Kalau kau mau, aku bisa mencarikan kau pekerjaan baru. Ah iya, ada kenalanku, pengusaha besar di Pontianak. Hebat sekali orang ini, bisnisnya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
103 hanya urusan ludah-meludah, tapi kaya raya. Dia punya gedung (Liye, 2013: 44) Jika dilihat dari dimensi sosiologisnya, pejabat syahbandar tersebut tidak digambarkan secara jelas oleh pengarang. Pengarang hanya menggambarkan bahwa kepala syahbandar Pontianak adalah seorang laki-laki. Pengarang juga tidak menyebutkan siapa nama dari pejabat syahbandar tersebut. 17) Papa Mei Papa Mei secara fisiologis digambarkan sebagai seorang lakilaki usia setengah baya dengan wajah khas peranakan Cina yang tangguh. Papa Mei mempunyai gurat wajah yang tegas, berwibawa, dan sorot matanya tajam. Seperti tampak pada kutipan berikut. Terdengar suara berdeham. Aku buru-buru menoleh. Itu bukan Mei, dehamnya berat. Dari balik vas-vas bunga melangkah pelan laki-laki usia setengah baya. Gurat wajahnya tegas, sorot matanya tajam, khas peranakan Cina yang tangguh. (Liye, 2013: 223) Wajah peranakan Cina yang tegas, berwibawa, menatapku amat tajam. (Liye, 2013: 388) Adapun dilihat dari dimensi psikologis, Papa Mei merupakan orang yang tidak pernah suka basa-basi. Ia akan mengatakan maksudnya langsung ke topik pembicaraan. Pada saat berbicara pun, Papa Mei selalu bersuara dengan tegas dan intonasi yang pasti. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini. Laki-laki itu menatapku tajam, dari ujung rambut ke ujung kaki. Aku sedikit salah tingkah. -laki itu berkata tanpa basa-
224)
berat itu langsung ke topik pembicaraan. (Liye, 2013: 388)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
104 Suara tegas itu menusuk hatiku, seperti roket yang ditembakkan berkali-kali dii tempat sama. Aku tersengal. Situasi ganjil mengambang di langit-langit ruangan. (Liye, 2013: 388) Kutipan-kutipan di atas menunjukkan sikap Papa Mei yang tegas dan tidak suka basa-basi. Namun, sikap tersebut diartikan berbeda oleh Borno. Ia menganggap Papa Mei orang yang galak.
yang galak. Seperti tampak pada kutipan di bawah ini. Aku membeku, bibirku seperti distaples, kelu. Satu menit berlalu tanpa suara. Suasana terasa ganjil. Aku bingung, gugup hendak bilang apa, penjelasan atau entahlah. Aku tidak berani menatap wajah galak dihadapanku. (Liye, 2013: 224) Ibu, itu kali kedua aku bertemu dengannya. Meminjam istilah galak. (Liye, 2013: 389) Bahkan walau satpam galak rumah ini mengusirku, menghinaku, itu juga tidak akan mengubah perasaanku. Aku akan selalu mencintai kau, Mei. (Liye, 2013: 507) Walaupun begitu, dibalik sikap galak seperti yang dikatakan oleh Borno, Papa Mei adalah seorang ayah yang baik dan sangat menyayangi anaknya. Papa Mei bersikap tegas dan terkesan galak kepada Borno karena ia tahu bahwa Borno adalah anak dari orang yang dibedah dadanya oleh Ibu Mei hingga bapak Borno akhirnya meninggal. Papa Mei hanya ingin memastikan Mei baik-baik saja dan tidak tersakiti. Seperti tampak pada kutipan berikut. . Aku tidak pernah keberatan kau hanya pengangguran, pengemudi sepit, atau pemilik bengkel. Urusan ini tidak ada hubungannya dengan itu. Aku tidak suka kau dekat dengan Mei. Titik. Kau dan dia hanya akan
kedua kalinya, berhentilah menemui anakku, sebelum semuanya terlanjur menyedihkan. Kau tidak tahu seberapa menghancurkan perasaan sedih? Itu bisa membunuh dalam artian yang sebenarnya. Tinggalkan anakku, Borno. Kau
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
105
upa memberitahu, Papa baru datang dari Surabaya tadi malam, Abang. Menjengukku. Memastikan aku baik-baik
18) Bibi Jika dilihat dari dimensi fisiologis atau keadaan fisik, Bibi mempunyai tubuh yang besar dengan wajah gesit. Bibi berusia lebih dari lima puluh tahun dengan rambut mulai beruban, namun terlihat amat cekatan. Seperti tampak pada kutipan berikut. Usia si Bibi pastilah lebih dari lima puluh tahun. Meski badannya besar, rambut mulai beruban, dia terlihat amat cekatan. (Liye, 2013: 185) Bibi bertubuh besar dengan wajah gesit itu yang membukakan pintu. Dia langsung mengenaliku pada pandangan pertama. (Liye, 2013: 407) Apabila dilihat dari dimensi psikologis, Bibi memiliki watak yang penyabar. Tampak pada kutipan di bawah ini. Malam itu aku tetap meninggalkkan rumah besar itu dengan wajah kuyu, mei menolak bertemu denganku. Setelah dua jam menunggu, dua jam membujuk, dua jam Bibi seperti setrikaan, bolak-balik beranda depan dan kamar Mei, sabar menangani kami berdua.. (Liye, 2013: 412) Aku memberikan lipatan kertas itu pada Bibi, menyeringai. padaku-bagaimana tidak sabar, aku setiap hari mengganggunya, hari ini malah menyuruh-nyuruh dia mencari kertas dan bolpoin, lantas menitipkan pesan pula. (Liye, 2013: 455) Kutipan-kutipan di atas menunjukkan sikap Bibi yang sabar menanggapi Borno dan Mei yang keduanya sama-sama keras kepala. Borno yang bersikukuh ingin menemui Mei dan Mei yang bersikeras tidak mau menemui Borno. Selain penyabar, Bibi juga adalah orang yang baik hati. Bibi yang selalu setia kepada majikannya, untuk pertama kalinya melanggar perintah Mei. Ia mencari Borno dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
106 menyampaikan pesan Mei yang seharusnya dikirimkan keesokan harinya. mengirimkan pesan ini besok pagi. Tapi Bibi tua ini tidak tahan, tidak kuasa. Kau harus segera tahu, Nak. Kau berhak tahu. Seumur-umur Bibi bekerja di rumah itu, sungguh beru pertama kali ini Bibi melanggar perintah. Aduh, semoga almarhumah ) Jika dilihat dari dimensi sosiologis, Bibi adalah pengurus rumah keluarga Mei yang ada di Pontianak. Seperti tampak pada kutpan di bawah ini. empat puluh tahun Bibi hanya mengurus rumah ini. Jangankan ke Surabaya, jalan(Liye, 2013: 186) c.
Plot atau Alur Plot merupakan unsur yang paling penting di antara unsur-unsur karya fiksi yang lain. Plot atau yang sering disebut dengan alur merupakan hubungan antara peristiwa satu dengan peristiwa lainnya, sehingga membentuk satu kesatuan cerita yang utuh. Hubungan antarperistiwa tersebut merupakan hubungan sebab-akibat. Artinya, bahwa munculnya suatu peristiwa disebabkan oleh peristiwa yang terjadi sebelumnya, atau munculnya peristiwa sebelumnya akan menyebabkan peristiwa-peristiwa setelahnya. Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2005: 113) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Pada umumnya peristiwa yang ditampilkan dalam cerita tak lain dari perbuatan dan tingkah laku para tokoh, baik yang bersifat verbal maupun nonverbal, baik yang bersifat fisik maupun batin. Plot merupakan cerminan atau bahkan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berpikir, berasa, dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan. Dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
107 Angpau Merah karya tere Liye ini, pengarang menggunakan plot campuran. Plot campuran merupakan plot dalam cerita di mana pengarang menggabungkan antara plot lurus cerita yang di dalamnya juga terdapat plot sorot balik. Enam bulan terakhir, sejak Mei pergi, tidak ada lagi antrean sepit nomor tiga belas. Kesibukan pagiku diganti dengan mengunjungi rumah Pak Tua, membawa sarapan. Nanti siang pukul satu aku datang lagi, membawa rantang makan siang, juga nanti malam lepas jam enam, membawa masakan sehat. Tidak ada jeroan, lemak, santan, minyak dan sebagainya. Tentu repot bolak-balik ke rumah Pak Tua, tapi mengingat betapa cemasnya aku enam bulan lalu, semua ini dengan senang hati kulakukan. Aku ingat sekali (Liye, 2013: 162-163) Aku berdiri berpegangan tiang infus, tersengal bertanya pada
gemetar melangkah keluar, perutku mual, kerongkonganku tercekat. Kejadian ini sama persis waktu Bapak dulu meningggalmalah lebih menyakitkan karena sekarang aku jauh lebih mengerti. Aku hendak berteriak kencang, mengeluarkan segenap kesedihan di hati. Marah, sedih, bercampur jadi satu. (Liye, 2013: 163) Kutipan di atas menunjukkan adanya plot campuran dalam cerita. Awalnya Borno mengisahkan tentang kebiasaannya mengantarkan makanan ke rumah Pak Tua, kemudian ia teringat peristiwa di lorong rumah sakit di mana ia bertanya kepada perawat apakah Pak Tua sudah dibawa pulang. Jawaban yang diberikan perawat diartikan keliru oleh Borno. Ia beranggapan bahwa Pak Tua sudah meninggal, padahal bukan Pak Tua yang dimaksud oleh perawat. Plot dalam cerita fiksi mempunyai tahapan-tahapan dalam penceritaan. Tasrif (dalam Nurgiyantoro, 2005: 149), membedakan tahapan plot menjadi lima tahapan. Kelima tahapan plot itu dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye ini antara lain:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
108 1) Tahap penyituasian (situation) Tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye ini. Tampak pada kutipan berikut. Bapak tercinta, nelayan tangguh yang menjadi tulang punggung keluarga, terjatuh dari perahu saat melaut. Jatuh bukan masalah. Bukan nelayan kalau tidak pernah jatuh. Lagi pula Bapak bisa berenang semalaman kalau dia mau. Badai juga tidak masalah. Berpuluh tahun jadi pelaut, Bapak mewarisi kepandaian melewati badai secara turun-temurun. Dikepung hiu buas, ikan pari, atau binatang besar lainnya juga hal biasa. Bapak lebih dari cakap mengatasinya. (Liye, 2013: 13) Aku takut-takut mengangguk. Bang Togar ini bertubuh besar dan tinggi, berkumis melintang. Dia terkenal sekali. Orangnya berwibawa dan berjiwa pemimpin. Konon katanya seluruh penduduk Pontianak kenal dia. Apalagi Bang Togar Ketua PPSKT (Paguyuban Pengemudi Sepit Kapuas Tercinta). (Liye, 2013: 31-32) Tiba di rumah Koh Acong-pemilik toko kelontong yang menghadap persis Sungai Kapuas, pemesan ikan pertama pagi ini-aku bertanya sambil menjulurkan setampuk ikan segar. (Liye, 2013: 7) 2) Tahap pemunculan konflik (generating circumstances) Tahap ini konflik mulai muncul, masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyebabkan konflik mulai dimunculkan. Pemunculan konflik dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye ini terletak pada saat Mei meminta Borno untuk tidak menemuinya lagi tanpa menjelaskan apa penyebabnya. Tampak pada kutipan berikut ini. Aku menelan ludah. Astaga? Gadis itu mengangkat wajahnya, lampu neon membuat ekspresi sendu itu terlihat jelas. Tangannya memeluk erat tumpukan buku PR. 397)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
109 3) Tahap peningkatan konflik (rising action) Konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye ini peningkatan konflik terjadi ketika Borno berusaha meminta penjelasan kepada Mei kenapa memutuskan untuk tidak usah bertemu lagi. Namun, usaha Borno sia-sia saja, meskipun ia selalu berusaha menemui Mei di rumah dan bahkan di yayasan tempat Mei mengajar sekalipun. Mei tetap menolak menemui Borno. Tampak pada kutipan berikut ini.
Aku menceritakan Mei yang datang malam-malam, memintaku berhenti menemuinya. Mei yang susah sekali kutemui, mendatangi rumahnya, sekolahnya. Bahkan seminggu terakhir, sejak pertemuan di pesta pernikahan, aku sudah dua kali ke rumah Mei, sia-sia. Bibi bilang Mei sudah tidur lah, istirahat lah, tidak mau diganggu. Dua kali aku ke kompleks sekolahnya, Ibu Kepsek menatap prihatin, bilang agar aku bersabar. Aku mulai sebal dengan kemajuan hubungan kami. Apa susahnya Mei menemuiku, menjelaskan kenapa. Tega sekali dia hanya memberiku secarik kertas. Apa susahnya dia mengirimkan surat panjang penjelasan. (Liye, 2013: 427) 4) Tahap klimaks (climax) Konflik dan pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Hal ini terjadi pada saat Mei sudah tidak sanggup lagi menghindari Borno, tidak kuasa lagi membaca pesan-pesan yang dititipkan Borno lewat Bibi. Dia menjauh dari Borno, ketika menjauh secara perasaan tidak cukup, maka menjauh secara fisik adalah pilihan berikutnya. Pak Tua benar, Mei akhirnya memutuskan untuk pergi. Tampak pada kutipan berikut ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
110 Aku tidak bertanya dua kali, bergegas membukanya. Andi yang bingung melihatku kenapa belum bergerak ke arah sepit menoleh, mendekat. (Liye, 2013: 427) Setelah Borno membaca surat dari Mei, ia segera bergegas menuju ke bandara. Borno bahkan berteriak-teriak memanggil nama Mei hingga ia dibawa ke ruangan keamanan bandara. Beruntung, Mei mendengar teriakan Borno dan tidak jadi naik pesawat yang sebelumnya. Namun ternyata Mei tetap memutuskan kembali ke Surabaya dan telah membeli tiket baru. Saat ditanya alasan kenapa Mei menjauh dari Borno, Mei menjawab bahwa ia juga tidak tahu persis apa alasannya. Semuanya terasa membingungkan bahkan bagi diri Mei sendiri. Mei akhirnya meminta maaf dan meminta Borno untuk membiarkannya pergi. Tampak pada kutipan berikut. menatapku lamat-lamat, perlahan dia menyentuh lenganku, satu bulan, enam bulan, satu tahun, hingga semua menjadi lebih jelas. Biarkan 469)
akhirnya, sesuai atau tidak sesuai dengan harapan, Abang Borno akan terus melanjutkan hari-hari, terus menjadi bujang dengan hati paling lurus di sepanjang tepian Kapuas. Aku harus pergi, Ab Hampir setahun berlalu setelah kepergian Mei. Borno masih selalu menunggu. Ia tetap memegang janjinya pada Mei. Mengurus bengkel dengan baik, terus menjadi bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian Kapuas. Satu-satunya yang tidak bisa dipenuhinya adalah kesempatan baru dengan Sarah. Borno menganggap satusatunya kesempatan yang pernah dimilikinya adalah Mei, dan Borno tidak akan pernah mau menggantinya dengan siapa pun.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
111 Walaupun pada bulan pertama kepergian Mei sangatlah berat bagi Borno, ia kurang tidur, tidak selera makan, menjadi pendiam, sensitif, dan mudah marah. Kabar baiknya, memasuki bulan kedua, situasi Borno kembali membaik. Meskipun begitu, Borno masih saja hanya berkutat dengan harapan-harapan. Selalu teringat dengan Mei dalam setiap kesempatan. Hingga kejutan besar itu datang. Bibi yang menunggu Borno di loket bus Pontianak-Kuching
memberitahu
berikut. Bibi mengangguk, menatapku denga kami, Nak. Bibi sudah tidak tahan. Ini semua persis seperti kejadian Nyonya dulu. Sakit lama dan Tuan memutuskan untuk merahasiakannya hingga Nyonya meninggal. Bibi tidak kuat lagi, Bibi tidak tega, jadi biarlah Bibi melanggar pesan Nona Mei, memberitahu Nak Borno. Nona Mei sakit di Surabaya,
Ternyata bukan hanya itu saja yang disampaikan Bibi kepada Borno. Bibi meminta Borno membuka surat yang terdapat di dalam angpau merah yang sengaja dijatuhkan Mei di dasar sepit Borno sebelum mereka saling mengenal. Angpau yang di dalamnya terdapat dua lembar surat. Surat yang menguak kenangan masa lalu Borno yang menyakitkan. Surat yang berisi permohonan maaf dan jawaban atas semua pertanyaan Borno. Tampak pada kutipan di bawah ini. Abang, sungguh maafkan keluarga kami. Maafkan Mama yang telah menyakiti keluarga Abang. Ternyata Mama adalah dokter yang melakukan operasi jantung dini hari itu. Mama-lah yang memutuskan apakah bapak Abang Borno telah meninggal atau belum secara medis. Mama yang membelah dada bapak Abang Borno. Dari catatan harian itu, aku tahu, operasi itu seharusnya tidak pernah dilakukan. Mama dibutakan dia berhasil. Mama sebenarnya tidak pernah yakin, bahkan dari catatan itu, Mama mengaku dia bisa saja menyelamatkan bapak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
112 Abang Borno, tapi dia memutuskan sebaliknya, operasi itu harus dilakukan. Itulah yang membuat Mama tiba-tiba berubah. Saat melihat Abang Borno menangis sendirian di lorong rumah sakit, saat melihat ibu Abang Borno berusaha memeluk Abang, kesadaran itu datang. Sungguh, apa hak Mama mengambil kehidupan seseorang, lantas memberikannya ke orang lain? Apa hak Mama membuat keluarga Abang kehilangan seseorang yang amat kalian cintai? Itulah penjelasan yang terlambat datang, ditulis berkali-kali di buku harian Mama. Sejak saat itu, kondisi Mama memburuk dan fisiknya menyusul jatuh sakit. Papa akhirnya memutuskan pindah ke Surabaya, berharap penyesalan tentang operasi itu berkurang sedikit. Sia-sia, kondisi Mama terus memburuk. Itu sungguh masa paling sulit bagi keluarga kami, Abang. Aku besar dengan seluruh kesedihan, menyaksikan Mama terbaring di ranjang selama tiga tahun. (Liye, 2013: 501-502) 5) Tahap penyelesaian (denouement) Konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan
dikendorkan.
Berbagai
masalah
yang
semakin
menumpuk, tetapi dari konflik-konflik yang ruwet tersebut mampu ditemukan jawabannya. Bagian akhir yang diceritakan dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye ini adalah sebuah epilog yang menceritakan Borno segera berangkat ke Surabaya setelah membaca surat dalam angpau merah itu. Ia mengatakan kepada Mei yang terbaring sakit bahwa perasaannya tidak pernah berubah meski tahu masa lalu yang menyakitkan itu. Borno akhirnya berdamai dengan masa lalunya. Tampak pada kutipan berikut ini. Aku bahkan berangkat ke Surabaya dengan penerbangan pertama. Lantas menumpang taksi, menuju rumah besar itu. Belum tidur, belum makan, bahkan belum mandi sejak aku membaca surat dalam angpau merah. (Liye, 2013: 506)
aku telah membaca surat dalam angpau merah itu ribuan kali, tahu masa lalu yang menyakitkan, itu tidak akan mengubah apapun. Bahkan walau satpam galak rumah ini mengusirku,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
113 menghinaku, itu juga tidak akan mengubah perasaanku. Aku akan selalu mencintai kau, Mei. Astaga, Mei, jika kau tidak percaya janjiku, bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian Kapuas, maka siapa lagi yang bisa kau percay Mei menangis bahagia mendengar kalimat itu. Sejak hari itu, tidak ada lagi sendu nan misterius di wajahnya. Dia sama riangnya dengan seluruh gadis di Pontianak, tempat dia kembali mengajar. (Liye, 2013: 507) d. Latar Cerita (Setting) Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005: 216) latar atau setting yang disebut juga sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Karya fiksi pada hakikatnya akan dihadapkan pada sebuah dunia yang telah dilengkapi dengan tokoh yang menghuni dan permasalahannya. Tokoh dalam cerita menjalankan berbagai aktivitas atau pengalaman hidupnya, sehingga memerlukan adanya ruang lingkup, tempat dan waktu, seperti halnya kehidupan manusia hidup di dunia nyata. Jadi, dunia fiksi juga membutuhkan latar cerita untuk tokoh-tokoh yang ada pada dunia fiktif tersebut. Lebih lanjut, Nurgiyantoro (2005: 217), menjelaskan bahwa fungsi latar adalah untuk memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguhsungguh ada dan terjadi. Jika latar mampu mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengan perwatakannya ke dalam cerita, maka pembaca akan dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi latar yang diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Sayuti (2000: 126-127), mengungkapkan bahwa secara garis besar deskripsi latar fiksi dapat dikategorikan dalam tiga bagian, yakni, latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Ketiga bagian latar tersebut dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye dapat dijelaskan sebagai berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
114 1) Latar Tempat Latar tempat adalah hal yang berkaitan dengan deskripsi tempat suatu peristiwa cerita terjadi. Melalui tempat terjadinya peristiwa diharapkan dapat tercermin tradisi masyarakat, tata nilai, tingkah laku, suasana, dan hal lain yang mungkin berpengaruh pada tokoh dan karakternya. Dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye ini, banyak sekali tempat yang dijadikan setting cerita. Tempat-tempat tersebut akan dirinci dan dijelaskan pada kutipan-kutipan di bawah ini. a) Dermaga Kayu Dermaga Kayu bisa dibilang sebagai tempat yang paling sering diceritakan dalam cerita. banyak kejadian yang bermula dari dermaga ini. Di dermaga kayu ini jugalah Borno pertama kali mengemudi sepit dan mengenal Mei. Tampak pada kutipan berikut. Akhirnya giliran perahu P
ke sini
Sial. Teriakan petugas timer mengundang tepuk tangan pengemudi lain. Dermaga jadi ramai. (Liye, 2013: 62-63) Aku tidak perlu diteriaki dua kali. Aku melajukan sepit ke bibir dermaga. Penumpang berloncatan dan salah satunya adalah gadis itu. (Liye, 2013: 99) Tidak tahu apa yang terjadi, aku turut perintah, menghidupkan motor tempel, merapatkan sepit ke dermaga. Sial. Ternyata Mang Jaya, penumpang yang menunggu di bibir dermaga. Aku mendelik, bukan teringat masa lalu ketika Mang Jaya menipuku soal belajar menyetir mobil, tapi lihatlah, di sebelah Mang Jaya dua ekor kambing tengah mengembik. (Liye, 2013: 154) b) Balai Bambu Balai bambu yang terletak di gang tepian Sungai Kapuas ini memang sangat sering digunakan Borno, Andi, dan tetangga sepanjang gang untuk berkumpul. Mereka bermain kartu dan bernyanyi bersama. Ini terungkap pada kutipan berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
115 tertawa, malam-malam saat bermain kartu di balai bambu. (Liye, 2013: 24) Sudah lepas pukul delapan malam. Aku menunggu Andi di balai bambu pinggir gang sambil menenteng gitar butut. Malam ini jadwal kami menyanyikan lagu-lagu Melayu sambil menatap kerlap-kerlip lampu seberang Kapuas. Liye, 2013: 72) c) Rumah Ibu Pada awal cerita rumah papan Ibu ini tidak banyak digunakan sebagai latar cerita, hanya beberapa kali saja. Namun, semenjak munculnya Sarah, rumah papan Ibu ini menjadi sering dijadikan latar cerita karena Sarah sering berkunjung untuk menengok ibu Borno. Tampak pada kutipan berikut. Esok harinya, baru pukul empat pagi buta, pintu rumah Ibu digedor-gedor. Aku menggeliat, malas-malasan turun dari dipan, melangkah ke ruang depan. Siapa pula sedini ini sudah jail bertamu? Tega memutus mimpi asyikku. (Liye, 2013: 136) Setiba dari menyurvei bengkel yang hendak dibeli bapak Andi, dari jarak dua puluh meter aku sudah bingung melihat rumah papan Ibu yang nampak ramai malam ini. Ada beberapa orang yang kukenali dan tidak kukenali terlihat di beranda.( Liye, 2013: 329) Aku bergumam. Baru juga naik tangga, di beranda sudah berkerumun Bang Togar, Cik Tulani, Koh Acong, dan Pak Tua. Terlihat meriah. Sepertinya ada Sarah-aku menebak dalam hati. Siapa lagi yang akan membuat rumah papan Ibu jadi ramai kalau bukan dia. (Liye, 2013: 402) d) Rumah Pak Tua Rumah Pak Tua menjadi salah satu tempat favorit Borno, karena di sini Borno banyak bercerita mengenai hubungannya dengan Mei. Di rumah ini pula lah, Borno mendapat banyak nasehat dan petuah mengenai cinta dan kehidupan dari Pak Tua.
melupakan kalimatnya, Borno. Tiga turunan, dia juga benar. Kau penduduk gang ini, keturunan langsung pemilik sepit besar.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
116 Karena itu kebencian Togar pun 39) Dia meninggalkanku sendirian di ruang depan. Tidak ada yang istimewa dari ruang tamu Pak Tua, kecuali secuil foto buram di dinding, kekuningan, dan ujungnya dimakan rayap. (Liye, 2013: 120) Ini malam kesekian aku menemani Pak Tua di masa-masa pemulihan. Belakangan, Andi yang sebal duduk sendirian di balai-balai bambu, ikut menemani. Kami duduk di ruang tengah, bermain gitar, menatap kerlip lampu perahu yang melintas lewat jendela terbuka lebar. (Liye, 2013: 166) e) Warung Makan Cik Tulani Borno sering kali mengunjungi warung makan Cik Tulan ini, entah untuk mengantarkan ikan pesanan sewaktu bapak Borno masih hidup, membeli lauk, atau sekadar lewat di depan warung. Tampak pada kutipan berikut. Tiba di warung makan Cik Tulani, masih terhitung paman jauhku, pertanyaan itu tetap memenuhi kepala. (Liye, 2013: 8) -jauh sana. Macam mana ini, warungku bisa sepi ikut-ikutan menyebalkan-padahal aku cuma menumpang lewat di depan warung. (Liye, 2013: 21)
Cik Tulani saat wajahku terlihat di depan warungnya. Dia menanyakan kabar itu dengan suara kencang, membuat semua pengunjung warung menoleh. (Liye, 2013: 302) f) Toko Kelontong Koh Acong Di toko kelontong Koh Acong inilah, Borno biasanya mengantar pesanan ikan saat bapaknya masih hidup dan membeli keperluan untuk rumah maupun dirinya sendiri. Tampak pada kutipan berikut. Tiba di rumah Koh Acong-pemilik toko kelontong yang menghadap persis Sungai Kapuas, pemesan ikan pertama pagi iniaku bertanya sambil menjulurkan setampuk ikan segar. (Liye, 2013: 7)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
117 Baru saja menghela napas, berusaha mengusir sesak, Ibu meneriakiku agar membeli keperluan rumah di toko Koh Acong. Baiklah, aku lompat lagi ke sepit. Membawa daftar belanjaan yang sudah dicatat Ibu. Sial! Sambil tangannya cepat menyiapkan barang, kepala mencongak jumlah harga yang harus kubayar, Koh Acong sempatankah kau seharusnya
g) Rumah Andi Di rumah Andi yang merangkap bengkel sederhana ini lah, Borno kerap menemui teman baiknya itu dan menyaksikan Andi membongkar mesin. Di bengkel ini juga, Borno belajar bagaimana menjadi seorang montir. Sudah setengah jam aku bernyanyi sendirian. Si Andi Bugis belum datang juga. Kupikir dia ketiduran. Kususul ke rumahnya, ternyata Andi masih berkutat dengan motor besar milik kepala kampung. (Liye, 2013: 72-73)
mengobrol, mengusir bosan, menunggu giliran. 176) Aku bergegas merapikan peralatan bengkel. Andi ikut membantu, padahal dulu dia yang paling suka meletakkan sembarangan obeng, tang, apa saja. Butuh seminggu lebih kami bertengkar soal merapikan peralatan. (Liye, 2013: 182) h) Rumah Mei di Pontianak Rumah Mei di Pontianak ini pertama kali didatangi oleh Borno saat ingin meminta maaf karena telat menepati janji bertemu di Istana Kadariah untuk belajar sepit. Adapun kunjungan kedua Borno kembali ke rumah Mei tersebut untuk mengetahui alamat Mei yang ada di Surabaya. Kunjungan-kunjungan Borno berikutnya ke rumah itu untuk mengetahui alasan Mei memintanya untuk berhenti menemui Mei. Tampak pada kutipan berikut. Aku menatap rumah di hadapanku. Amboi, aku menelan ludah, apa aku tidak salah alamat? Alangkah besar rumahnya! Aku raguragu mendekati pintu pagar. Apa yang harus kulakukan? Sudah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
118 kadung, tidak ada lagi kata mundur dalam kamus. (Liye, 2013: 148)
memotong tawa Bibi. Bibi hanya mengurus rumah ini. Jangankan ke Surabaya, jalanjalan keluar entah apa pasal, semua keluarga besar Sulaiman tiba-tiba pindah ke Surabaya. Opa, Oma, Mei, semua pindah. Membawa semuanya, kecuali perabotan. Kemarin, Mei hanya tinggal sebentar, kamarnya sekarang kosong seperti semula, padahal Bibi 2013: 186) Kemarin sore, satu hari sebelum balapan sepit, sejak dari bengkel aku sudah meniatkan menunggu Mei hingga malam. Urusan bengkel sudah kuserahkan pada Andi. Sialnya, meski aku menunggu hingga tiga jam di beranda rumah Mei, dia tetap menolak bertemu denganku. (Liye, 2013: 458) i) Rumah Mei di Surabaya Borno pertama kali mengunjungi rumah Mei di Surabaya saat mengantar Mei pulang karena kemalaman menemani Borno dan Pak Tua berkeliling kota Surabaya. Pada saat itu pula lah, Borno mengetahui bahwa ia dan Mei berasal dari keluarga yang amat berbeda. Adapun pada kunjungan kedua, disaat kondisi Mei sakit keras. Tampak pada kutipan berikut ini. Malam itulah, untuk pertama kalinya aku menyadari, Mei datang dari keluarga yang amat berbeda denganku. Taksi membawa kami menuju pusat kota, melewati jalan protokol Surabaya, lantas masuk ke pintu gerbang besar, ke halaman dengan luas seperempat lapangan bola. (Liye, 2013: 222) Aku menelan ludah, mengikuti langkah Mei. Dia membuka pintu besar berukir dari kayu Jati. Tibalah kami di ruang depan rumahnya, anak tangga berpilin ke lantai atas, lantai pualam mengilat, megah. (Liye, 2013: 223) Aku bahkan berangkat ke Surabaya dengan penerbangan pertama. Lantas menumpang taksi, menuju rumah besar itu. Belum tidur,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
119 belum makan, bahkan belum mandi sejak aku membaca surat dalam angpau merah. Mei terbaring lemah saat aku melangkah masuk ke kamarnya, diantar salah satu perawat. Tubuhnya kurus. Wajahnya pucat. Rambutnya rontok. Dia tergugu melihatku. (Liye, 2013: 506) j) Sekolah Di sekolah tempat Mei mengajar inilah, Borno datang untuk meminta alamat Mei di Pontianak. Selain itu, Borno juga berusaha untuk menemui Mei dan meminta penjelasan, namun sia-sia. Borno lebih sering bertemu kepala sekolah atau satpam sekolah itu. Mengingat sejarah buruk ruangan kepsek di masa lalu itu, aku sedikit gugup mengetuk pintu ruangan, jangan-jangan sama saja nasibku, ditanya-tanya dan diomeli. Ternyata kepala sekolah yang satu ini jauh dari bayanganku. (Liye, 2013: 144) Aku izin pamit, berlari melintasi halaman sekolah, menerobos gerbang. Satpam tadi siang menyeringai melihatku naik ke opeletmungkin bersyukur karena aku akhirnya meninggalkan sekolah. (Liye, 2013: 411)
seles k) Rumah Sakit Di rumah sakit inilah Borno mengalami pengalaman yang menyedihkan. Ia kehilangan bapaknya di rumah sakit karena tersengat ubur-ubur. Borno juga hampir saja mengira akan kehilangan Pak Tua, tapi ternyata itu hanyalah kesalahpahaman saja. Tampak pada kutipan berikut. beberapa detik setelah melihat garis lurus di mesin, mendesah resah, memerintahkan tim operasi mulai bekerja. Ranjang Bapak dibawa ke ruangan sebelah oleh orang-orang berseragam putih. (Liye, 2013: 16) Berdiri di sini, menatap ruang gawat darurat lewat jendela kaca buram, mengingatkanku pada fragmen pendek sepuluh tahun silam. Ini rumah sakit yang sama, lorong yang sama, ruangan yang sama. (Liye, 2013: 152)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
120
Halaman rumah sakit lengang, juga lorong rumah sakit. Hatiku yang sejak tadi tidak bereaksi atas apa pun yang kulihat, kudengar, dan kurasakan, tiba-tiba berkedut ketika menyadari tidak ada siapa-siapa di depan ruangan gawat darurat. Ke mana Bang Togar? Cik Tulani? Koh Acong? (Liye, 2013: 152) l) Tempat Praktik Dokter Sarah Borno pertama kali datang ke tempat praktik Sarah pada saat mengantar Andi yang sedang sakit gigi. Tidak disangka ternyata Sarah adalah putri dari orang yang menerima donor jantung bapak Borno. Kedatangan Borno kedua kalinya ke sana bersama dengan tetangga dan beberapa pengemudi sepit lainnya karena menerima undangan makan malam dari Sarah. Tampak pada kutipan berikut. Aku tidak lagi sibuk mengganggu Andi. Aku sedang terpesona melihat tempat praktik dokter gigi tujuan kami. Ini menakjubkan. Rumput terpangkas rapi, halaman luas, jalan setapak dari koral, taman bunga, dan tempat praktiknya adalah rumah di tengah halaman luas. Lihatlah ruang tunggunya nyaman sekali. (Liye, 2013: 307) Ada enam meja bundar besar yang disusun rapi di tengah taman tempat praktik Sarah. Di meja kami ada Pak Tua, Bang Togar, Cik Tulani, Koh Acong, Andi, dan aku. Satu meja lain diisi Ibu, istri Bang Togar, istri Koh Acong, istri Cik Tulani, bersama anakanak. Empat meja lain diisi tetangga dan pengemudi sepit yang juga diundang Sarah. (Liye, 2013: 340) m) Kapal Feri Latar cerita di kapal feri ini terjadi pada saat Borno mengantarkan Pak Tua untuk berobat alternatif di salah satu klinik di Surabaya.
kapal, tangannya berpegangan di pagar anjungan. (Liye, 2013: 187) Aku menyengir, melirik Pak Tua. Ujung bajunya melambailambai ditiup angin. Kapal terus bergerak takzim membelah lautan. Matahari sudah setengah badan ditelan garis cakrawala, merah sejauh mata memandang. (Liye, 2013: 188)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
121 Kantukku langsung musnah saat berdiri di geladak, mengikuti barisan penumpang yang hendak turun, menatap kerlip lampu pagi kota Surabaya. Lihatlah kesibukan yang menyergap pelabuhan feri. Petugas berteriak. Kelasi kapal mengerjakan tugas. Penumpang berlalu-lalang, dan barang-barang bertumpukan. (Liye, 2013: 190) n) Istana Kadariah Di istana Kadariah ini, Borno mengantar keluarga calon besan Andi berkeliling Pontianak. Di Istana Kadariah ini juga lah, Borno berjanji menemui Mei untuk belajar sepit. Tampak pada kutipan berikut. Rombongan itu berseru-seru senang saat melihat atap istana dari pilihanku tepat, bukan? Hanya kita-kita saja yang setiap hari melewatinya merasa bangunan ini jamak adanya. Tapi bagi turis,
Halaman luas Istana Kadariah lengang. Tukang kebun asyik memangkas rumput di bawah bayangan bangunan, sekalian berteduh. Tidak ada tanda-tanda gadis itu di sini, terlihat beberapa pengunjung asyik berfoto, tapi bukan Mei. Aku mendongak, matahari terik membakar kepala. (Liye, 2013: 141) o) Pabrik Karet Di pabrik karet inilah tempat Borno pertama kali bekerja setelah lulus SMA. Borno diterima karena ia mempunyai tanggal lahir yang bagus dan sesuai dengan fengsui pabrik. Tampak pada kutipan berikut. Bau, itulah hal paling memberatkan bekerja di pabrik karet. Hasil sadapan bercampur cukanya saja sudah bau, apalagi setelah diolah, lebih bau. Radius ratusan meter sudah menyengat, dan aku sialnya persis berada dihadapannya. Masker kain tiga lapis tidak mempan, pertikel bau itu menusuk membuat tersengal. Maka seragam oranye itu tidak ada gagah-gagahnya lagi ketika aku pulang. (Liye, 2013: 20) Esoknya saat aku datang dengan seragam oranye, pemilik pabrik menepuk-nepuk bahuku. Aku tersenyum tanggung, beru tahu aku diterima bukan karena betapa tingginya kualifikasiku. Aku
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
122
(Liye, 2013: 22) p) Kantor Pejabat Syahbandar Di kantor inilah, Borno melamar pekerjaan keduanya setela pabrik karet tempat ia bekerja sebelumnya bangkrut. Namun, ternyata Borno tidak diterima bekerja, tetapi pejabat syahbandar itu berbaik hati memberikan rujukan pekerjaan, yaitu di dermaga feri dan sarang burung walet. Akan tetapi, Borno tidak bertahan lama di dermaga feri dan juga tidak mau bekerja di sarang burung walet karena Borno trauma dengan burung. Akhirnya, karena merasa sungkan dan tidak enak hati, Borno kembali ke kantor syahbandar itu dan meminta maaf. Tampak pada kutipan di bawah ini. Kabar baiknya? Tidak ada. Berkas lamaranku diterima, aku bahkan siangnya langsung dipanggil wawancara, di ruangan besar pejabat syahbandar itu. Dia tertawa melihatku, bilang betapa manjurnya saranku tadi pagi soal daun singkong, lalu membuka map lamaran milikku.
Aku menemui pejabat syahbandar, bilang amat menyesal dan minta maaf, satu bulan pun tidak bertahan. Pejabat syahbandar Borno. Bukan masalah besar. Kalau kau mau, aku bisa mencarikan kau pekerjaan baru. Ah iya, ada kenalanku, pengusaha besar di Pontianak. Hebat sekali orang ini, bisnisnya hanya urusan ludah-meludah, tapi kaya raya. Dia punya gedung di 2013: 44) Pejabat syahbandar tertawa lebar, manggut-manggut saat aku datang lagi. Cukup. Daripada aku lagi-lagi mengecewakan dia, kuputuskan untuk berusaha sendiri mencari pekerjaan berikutnya. (Liye, 2013: 48) q) Dermaga Pelampung (Feri) Ini adalah pekerjaan pertama yang direkomendasikan oleh pejabat syahbandar. Namun, belum genap satu bulan Borno memutuskan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
123 untuk berhenti karena ternyata dua rekan kerja Borno yang lain tidak bekerja secara jujur. Tampak pada kutipan di bawah ini. Ini minggu ketiga aku bekerja di dermaga feri. Senin pagi yang cerah, dermaga telah dibersihkan. Sejauh mata memandang terlihat kinclong. Aku dan dua rekan penjaga palang pintu sudah bersiap. Kapal feri sudah sejak tadi stand-by menunggu gelombang penumpang pertama, bergemuruh lembut mesinnya. (Liye, 2013: 40) Dan di antara kesibukan melayani para komuter penyeberang Kapuas, aku segera paham ada sesuatu di palang pintu. Aku pikir, pekerjaan ini akan lurus-lurus saja. Berdiri, periksa karcis, selesai. (Liye, 2013: 41) Dua rekan kerjaku itu santai menjelaskan situasi. Mereka bilang, setiap hari ada belasan ribu penumpang komuter menyeberangi sikit saja, paling satu-dua. Mereka kebetulan tetangga, kenalan, (Liye, 2013: 41)
mengartikan ekspresi wajah merahku demikian. (Liye, 2013: 42) r) Kantor Pemilik Usaha Sarang Burung Walet Ini adalah pekerjaan kedua yang direkomendasikan oleh pejabat syahbandar setelah pekerjaan di dermaga feri. Urusan ludah-meludah ini apalagi kalau bukan sarang burung walet. Namun, baru saja Borno dijelaskan mengenai usaha sarang burung walet ini, Borno sudah muntah. Ia trauma dengan burung. Tampak pada kutipan berikut. Aku hanya diam, menyeka dahi. Kupikir apalah pekerjaan terkait dengan ludah-meludah itu. Bersemangat datang ke alamat yang diberikan, ternyata tentang b-u-r-u-n-g, makhluk yang paling kuhindari selama ini-sama seperti kalian yang jeri pada tikus, kecoak, atau laba-laba tanpa alasan. (Liye, 2013: 46) Jemariku gemetar, sama saat kalian gemetar dikepung dua tikus. Bedanya, kalian bisa loncat ke atas kursi, meja, atau apa saja. Aku tentulah tidak bisa seketika lari dari ruangan itu. Demi sopan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
124 santun aku meremas paha, membujuk diri, meneguhkan hati. (Liye, 2013: 47) Kalimat riang pemilik 37 sarang burung walet itu terputus. Aku sudah muntah, persis di atas album foto yang terbentang lebar. (Liye, 2013: 47) 2) Latar Waktu Latar waktu biasanya mengacu pada saat terjadinya peristiwa dalam plot, secara historis. Melalui pemberian waktu kejadian yang jelas, akan tergambar tujuan fiksi tersebut secara jelas pula. Dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye ini secara keseluruhan menggunakan latar waktu pada pagi hari, siang hari, sore hari, dan malam hari. Latar waktu pada novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye ini tampak pada kutipan-kutipan di bawah ini. a) Pagi Matahari pagi cerah. Langit biru tersaput sedikit awan. Dari tepian Kapuas tempatku berdiri, kota Pontianak terlihat elok. Deretan bangunan berbaris. Burung walet terbang melenguh. Asap pabrik pengolahan karet mentah, mobil, dan motor mengepul. Sepagi ini kota mulai tenggelam dengan kesibukannya. (Liye, 2013: 13) Dua belas penumpang segera menaiki perahu, empat baris tigatiga. Tiga ibu-ibu asyik mengobrol sejak melangkah hingga duduk rapi di kayu melintang, entah sibuk membicarakan apa, seru sekali, berbisik-bisik, tertawa; dua gadis seumuranku sepertinya hendak berangkat kuliah, terlihat rapi dan wangi; dua laki-laki setengah baya berseragam perusahaan swasta; empat anak sekolah berseragam putih merah, dan satu lagi, duduk persis di haluan depan, memunggungi buritan. (Liye, 2013: 63) Esok harinya, baru pukul empat pagi buta, pintu rumah Ibu digedor-gedor. Aku menggeliat, malas-malasan turun dari dipan, melangkah ke ruang depan. Siapa pula sedini ini sudah jail bertamu? Tega memutus mimpi asyikku. (Liye, 2013: 136) Sepagi ini, kesibukan datang lagi di kota kami. Sejauh mata memandang tampak langit biru. Awan seolah tak tega mengotori.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
125 Cahaya matahari menerpa permukaan Kapuas. Payung-payung terkembang. Pucuk-pucuk bangunan sarang walet, menara BTS, gudang penggilingan karet, gudang kayu-yang banyak terbengkalai sejak illegal logging jadi musuh nasional, gedunggedung bertingkat, kubah masjid, dan atap kelenteng menjadi komposisi warna yang indah. (Liye, 2013: 176-177) Pagi pukul 7.15, aku mengetuk pintu depan. kalau kalian bisa mendengarnya sendiri, kalian akan selalu suka dengan intonasi suara ini, membuat kangen. (Liye, 2013: 162) b) Siang Setengah jam berlalu, aku mulai tegang. Matahari meninggi, cerah membungkus kota. Permukaan Kapuas terlihat cokelat mengilat. Lalu-lalang sepit, perahu nelayan, dan kapal lain semakin ramai. (Liye, 2013: 106) Aku mendongak menatap biru langit Pontianak. Matahari sebentar lagi persis di atas kepala-meskipun di tempat kalian setiap tengah hari bolong matahari seolah-olah di atas kepala, kota Pontianak jelas lebih istimewa. Matahari benar-benar di atas kepala. Ini kota garis khatulistiwa. Jejak matahari persis melintas di atasnya. Aku mengelap peluh di leher dengan handuk. (Liye, 2013: 112) Siang ini aku melanjutkan mereparasi total motor tempel sepit Pak Tua. Tidak ada penyakitnya mesin itu, baik-baik saja, bapak Andi menyuruhku membuat motor tempel itu lebih hemat solar. (Liye, 2013: 178) Satu jam berputar-putar, sudah ganti angkot tiga kali, tetap tidak kelihatan tanda-tanda akan tiba. Pak Tua menyeka peluh di dahi. Matahari membakar ubun-ubun, padahal baru pukul sebelas. Aku mulai melirik Pak Tua, wajahnya sedikit terlipat, bergumam berkali-kali, menatap sepanjang jalan. (Liye, 2013: 192) c) Sore Sudah pukul emat sore, dermaga kayu sedang ramai-ramainya penumpang, lebih baik aku menarik sepit. Uangku habis untuk membayar solar. (Liye, 2013: 92) Aku terperangah gadis itu menegurku. Wajahnya sumringah ditimpa cahaya senja. (Liye, 2013: 95)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
126 Tapi Pak Tua benar. Saat aku beranjak pulang, matahari nyaris tenggelam di barat sana, membuat langit merah sejauh mata memandang. Burung layang-layang melenguh beranjak pulang ke sarang. (Liye, 2013: 133) Tapi sore ini, meski dengan menyisakan banyak pertanyaan, aku tahu, ada momen penting dalam hidup kita ketika kau benar-benar merasa ada sesuatu yang terjadi di hati. Sesuatu yang tidak pernah bisa dijelaskan. Sayangnya, sore itu juga menjadi sore perpisahanku, persis ketika perasaan itu mulai muncul kecambahnya. (Liye, 2013: 149) Awan putih menggumpal terlihat mengilat merah. Satu-dua perahu nelayan melintas, juga kapal-kapal kecil lain. Anak-anak berteriak, berdebum mandi sore, dan ibu-ibu sibuk di tepian Kapuas. Kota ini selalu indah. Kota ini selalu hidup, dengan berjuta masalah penghuninya, suka, duka, sedih, dan bahagia. (Liye, 2013: 151) Kapal terus bergerak takzim membelah lautan. Matahari sudah setengah badan ditelan garis cakrawala, merah sejauh mata memandang. (Liye, 2013: 188) d) Malam Bermula dari percakapan sambil main kartu bermandikan cahaya bulan malam dua belas, urusan syahbandar Pontianak ini ternyata panjang. Itu pekerjaan keduaku, kusut seperti benang berpintal. (Liye, 2013: 24-25) Benar, pelampung inilah yang membuat Bang Togar mencakmencak mendengar kabar aku diterima bekerja di dermaga feri. Malam-malam, beringas dia menghampiriku yang asyik memetik gitar bersama Andi. (Liye, 2013: 34) Dari bingkai jendela rumah kayu milik Pak Tua, aku menatap gemerlap lampu di seberang Kapuas. Malam yang indah, bintang menghias angkasa, pantulan cahaya di permukaan air terlihat berkilat-kilat. Kerlip lampu dari perahu yang melintas takzim dan suara mesin kapal yang mendayu-dayu membuat kota ini elok nian pada malam hari. (Liye, 2013: 39) Di lain kesempatan, malam berikutnya, saat menatap Kapuas, Andi yang otaknya belakangan dipenuhi cinta dan selalu penasaran apakah Pak Tua bisa menghubung-hubungkan banyak hal dengan filosofii perasaan, tiba-
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
127 apakah cinta juga beda(Liye, 2013: 167) Makan malam yang hebat, menunya special, kepiting saus mentega. Nikmat sekali menatap lautan gelap sambil merekahkan cangkang. (Liye, 2013: 189) 3) Latar Sosial Latar sosial merupakan lukisan status yang menunjukkan hakikat seorang atau beberapa orang tokoh dalam masyarakat yang ada di sekelilingnya. Latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat yang diceritakan dalam karya fiksi, dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, serta hal lain yang tergolong latar spiritual. Latar sosial pada novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye ini tampak pada kutipan-kutipan di bawah ini. a) Gambaran keadaan lingkungan tempat tinggal Lokasi yang dijadikan latar cerita pada novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye ini berada di ibukota Kalimantan Barat, Pontianak. Pengarang menggambarkan detail lokasi dengan jelas dan menarik sehingga membuat pembacanya seolah bisa mengenali medan yang ada di sana. Letak sungai Kapuasnya, tempat dermaga kayu, pelabuhan feri, bahkan bentuk bangunan penduduk pada umumnya yang terbuat dari kayu, rumahrumah para tokoh penunjang, hingga kolong rumah panggung, dan gang sempit tempat si Borno bermukim sangat terasa seolah-olah para pembaca berada di sana dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa di Pontianak ada gang sempit di tepian sungai Kapuas tempat cerita tentang si Borno berasal. Aku melangkah menuju mulut gang, yang sekarang dipenuhi anak-anak sekolah, karyawan kantor, ibu-ibu, dan bapak-bapak. Arah kanan gang ini akan menuju jalan besar yang telah dipenuhi kendaraan berkepul asap dan opelet tua yang terkentut berisik. Pedagang asongan dan penjaga koran berteriak menawarkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
128 barang. Aku terus berjalan lurus menelurusi gang sepanjang Kapuas. Rumah sempit memadati tepian sungai. Anak-anak asyik mandi. Ibu-ibu tidak peduli mencuci di air keruh. Beberapa tetangga menyapa, aku mengangguk samar. (Liye, 2013: 18) Saat aku pulang menemaninya melaut seharian, badan gosong, bibir mengelupas, rambut kering bercampur butir garam, ketika melintas memasuki mulut Sungai Kapuas, menuju rumah kayu kami, Bapak menatapku lamat-lamat. (Liye, 2013: 53) Dasar anak tak tahu diuntung! Kau membuat sabunku sedang mandi di dekat rumah kayunya. (Liye, 2013: 53) -aduk, memakai xelana. Lalu lari ke kolong rumah. Andi sudah duduk takzim di sepit, menyilakanku mengambil posisi di buritan. (Liye, 2013: 53) Berbagai macam ras juga terwakili oleh tokoh-tokoh dalam cerita. Bukan hanya Mei yang keturunan Chinese dan Borno yang asli Pontianak, tetapi nilai-nilai kekerabatannya seolah sengaja dijalin dengan rapi sehingga tidak ada istilah tetangga atau saudara jauh semuanya adalah satu rumpun. Satu keluarga. Masing-masing tidak merasa sebagai salah satu keturunan tertentu, semisal tokoh pak Tua yang menceritakan (Liye, 2013: 195 alinea 3) Di sini pula sang novelis menceritakan sedikit cuplikan sejarah tentang mengapa pulau Kalimantan mayoritas penduduknya terdiri atas Melayu, Dayak, dan Cina. Disebutkannya bahwa ketika pendiri kota Pontianak, Sultan Abdurrahman Alqadrie mendirikan istana Kadariah, orang Melayu datang berbondong-bondong ke sana, begitu pula dengan orang Dayak yang datang dari pedalaman hulu Kapuas. Adapun tentang ras Cina, disebutkan bahwa pada akhir abad ke19, daratan Cina dilanda perang sipil yang membuat ribuan penduduk Cina mengungsi keluar dari negerinya, salah satu tujuan mereka adalah Pontianak. Alasannya selain dekat dengan Laut Cina
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
129 Selatan, penduduk kota Pontianak itu juga ramah terhadap para pendatang (Liye, 2013: 195 alinea 1) b) Kebiasaan hidup Sejak zaman kota Pontianak terbentuk, sepit sudah menjadi primadona. Ke mana-mana penduduk kota Pontianak naik sepit. Mau berangkat sekolah, berangkat kerja, pergi kondangan, beranjangsana, berkunjung ke tetangga, termasuk hendak berbuat jahat. Sepit istimewa. Kota Pontianak ini kota sungai, maka tidak perlulah planolog lulusan terbaik untuk menyimpulkan bahwa di kota ini transportasi air sangat penting. Sepit (dari kata speed) adalah perahu kayu, panjang lima meter, lebar satu meter, dengan tempat duduk melintang dan bermesin tempel. Sepagi ini, beberapa sepit berjejer di dermaga kayu menunggu antrean. Satu sepit merapat di dermaga. Beberapa penumpang yang hendak menyeberangi Kapuas berhati-hati meloncat. Sepit itu mengetem sejenak. Petugas timer membantu penumpang. Barang lima menit, sepit itu penuh. Pengemudinya segera menghidupkan mesin. Sepit itu bergerak meninggalkan dermaga. Sepit yang lain mengganti posisinya. (Liye, 2013: 10) Aku menerimanya, lantas memperhatikan dermaga kayu. Kota kami memang kota air, dibelah aliran Sungai Kapuas yang bermuara di Laut Cina Selatan. Lebar Kapuas lebih dari dua kali lapangan bola. Penduduk kota yang memiliki keperluan selalu menuju dermaga ini dan beberapa dermaga kayu lainnya untuk menyeberang. Lebih cepat menumpang sepit. naik bus atau opelet akan memutar jauh lewat Jembatan Kapuas. Mahal dan tidak praktis. (Liye, 2013: 10-11) Jadi begini. Selain sepit, lalu lintas penduduk Pontianak menyeberangi Kapuas juga dilayani kapal feri. Tidak sebesar feri yang menyeberangi Selat Bali atau Selat Sunda, tapi kapal feri di sini juga bisa ditumpangi sepeda motor. Kapasitas penumpangnya juga bisa dua puluh kali sepit. sekali feri datang, kerumunan di dermaga langsung tersapu habis. Pagi-pagi atau sore-sore saat lalu lintas menyeberangi Kapuas sedang tinggi-tingginya, kapal feri menjadi pamungkas. Jika sepit punya beberapa dermaga kayu di sepanjang kota Pontianak, kapal feri hanya punya satu, di lokasi paling strategis, di tengah kota, dengan dermaga beton permanen. (Liye, 2013: 31)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
130 Pun
keindahan
solidaritas,
kepedulian,
dan
keberagaman
tergambar secara jelas tatkala di ruang Rumah Sakit Umum, saat membawa pak Tua yang terjatuh pingsan. Semua teman sesama pengemudi sepit, maupun tetangga ikut mengantar dan menemani. Ketika dokter bertanya siapa yang paling bertanggung jawab untuk masalah pak Tua, kontan semua sanak dan tetangga menyebut bahwa mereka semua adalah kerabatnya. Hal yang sama juga terjadi pada saat membawa bapak Borno yang jatuh dari perahu dan tersengat ubur-ubur, semua teman sesama nelayan dan tetangga ikut menemani. Bahkan,
walaupun
di
sini
sang
novelis
terlebih
dulu
menyebutkan organisasi yang disebut sebagai PPSKT alias Paguyuban Pengemudi Sepit Kapuas Tercinta. Ternyata para anggotanya bukan hanya para pengemudi sepit melainkan orang orang yang berbeda keberagaman tadi. Solidaritas dan kepedulian juga tampak ketika semua pengemudi sepit, penghuni gang, dan bahkan para penumpang sepit mengumpulkan sumbangan untuk membelikan borno sebuah sepit. Lorong rumah sakit lengang, menyisakan perawat yang menguap dan beberapa keluarga pasien menunggui kerabatnya. Ibu dan Pak Tua masuk ke ruang gawat darurat, mendengarkan penjelasan dokter. Cik Tulani dan Koh Acong bersama nelayan yang pergi melaut bersama Bapak berdiri di ujung lorong, mendesah resah, berbisik. Situasinya gawat. (Liye, 2013: 14)
seruanpenghuni gang, bahkan para penumpang mengumpulkan sumbangan. Bedanya, dia tidak sampai membuat surat (Liye, 2013: 70) Pak Tua tersenyum tipis melihatku, dia berbaring di dipan. Ada Cik Tulani, Bang Togar, dan beberapa tetangga menemani. Termasuk dokter dekat gang yang sibuk memeriksa. (Liye, 2013: 130)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
131 Cik Tulani dan Koh Acong saling tatap, bingung. Bang Togar menjawab Dokter menyeringai, menatap bergantian ke arah Koh Acong, Cik Tulani, Bang Togar,dan aku. Mana ada hubungan darah? Satu Cina, satu Melayu, satu Batak, dan satu lagi entahlah. (Liye, 2013: 138) c) Pandangan Hidup Ada sedikit masalah yang agaknya juga jarang disentuh para penulis novel lainnya, yakni masalah gender. Peranan perempuan dalam kisah ini sangat sedikit. Adapun yang tercermin dan mungkin cukup mewakili peranan perempuan yang kedudukannya sejajar dengan kaum lelaki tergambar dalam kisah Sarah yang berlomba sepit bersama para pengemudi lelaki lainnya. Walaupun sempat tidak di setujui Bang Togar dengan ungkapan merendahkan perempuan yang dibahasakan dengan sebutan malu melawan perempuan. Hal tersebut dikarenakan belum pernah ada dalam sejarah lomba ada pengemudi perempuan. Namun, ternyata Sarah yang satu-satunya peserta perempuan di balapan itu justru memenangkan kejuaraan. tahu dia sangat pandai mengemudikan fiberglass boat-nya, tapi Sarah itu dokter gigi. Dia tidak terdaftar sebagai pengemudi sepit. terlepas dari itu, kita tidak akan bertanding melawan perempuan, (Liye, 2013: 438) Dalam hal ini seolah penulis sengaja ingin menampilkan bahwa perempuan, juga yang kebetulan hanya satu-satunya peserta memiliki kemampuan yang sama baiknya dengan laki-laki, apalagi dalam hal ini perempuanlah menjadi yang terbaik. Penulis menegaskannya melalui ungkapan sindiran si petugas timer merangkap pembawa acara, saat sang juara, yang adalah Sarah beraksi. ng leluhur kita, bukan begitu, Bang Togar. Ini pertama kali ada perempuan ikut serta lomba dan langsung mengalahkan pengemudi sepit laki-laki. Apa kata mereka? (Liye, 2013: 445-446)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
132 d) Tradisi Tradisi adalah suatu kebiasaan turun menurun dari (nenek moyang) yang masih dijalankan oleh masyarakat. Tradisi yang masih tetap ada dari dulu hingga sekarang dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye ini adalah kebiasaan cara membayar para penumpang sepit. Selain itu, dalam novel ini juga diceritakan mengenai tradisi dari suku Dayak Iban dan Dayak kenyah. Tampak pada kutipan berikut. Jadi begini, pengemudi sepit memang tidak pernah menarik ongkos langsung dari penumpang. Kalian naik, duduk rapi, lantas ketika mau sampai di seberang, tinggal letakkan uang di dasar perahu sesuai tarif yang berlaku, loncat ke dermaga, bilang terima kasih. Pengemudi sepit juga tidak pernah repot buru-buru memastikan apakah ada penumpang yang berani naik tanpa meletakkan uang. Setelah merapat ke antrean, pengemudi sepit baru memungut gumpalan uang-uang itu, menghitungnya. (Liye, 2013: 38) Seperti banyak suku pedalaman, suku Dayak juga punya ceritacerita hebat-bahkan menjurus seram. Yang paling seram adalah ngayau, memburu kepala musuh, tradisi kaum Dayak Iban dan Dayak kenyah. (Liye, 2013: 242) e.
Sudut Pandang Nurgiyantoro (2005: 248) mengatakan bahwa sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat yang sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam karya fiksi, memang, milik pengarang, pandangan hidup dan tafsirannya terhadap kehidupan. Sudut pandang adalah cara pengarang mengisahkan suatu cerita. Sudut pandang merupakan suatu cara atau pandangan yang digunakan oleh pengarang untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Sudut pandang yang digunakan pada novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye ini adalah sudut pandang persona
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
133
berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik, hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya. f.
Amanat Menurut Siswanto (2013: 147), amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. Di dalam karya sastra modern amanat ini biasanya tersirat, sedangkan dalam karya sastra lama amanat pada umumnya tersurat. Amanat atau moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Menurut Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2005: 321), moral dalam cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Jadi, amanat adalah pesan (message) yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokohtokoh dalam karya fiksi. Pesan tersebut bisa berwujud moral, ajakan atau persuasi, provokasi, dan lainnya. Penyampaian amanat atau pesan bisa bersifat tersirat maupun tersurat. Amanat yang terdapat pada novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye ini oleh pengarang disampaikan secara tersurat. Amanat tersebut disampaikan oleh Pak Tua, tokoh yang menjadi tempat penulis menitipkan pesan-pesan akan esensi kehidupan melalui petuah, nasehat dan kalimat-kalimat bijak yang mengalir dari mulutnya saat memaknai hikmah dari sebuah peristiwa. Seperti tampak pada kutipan berikut ini. Ada banyak anak muda berpendidikan di negeri ini yang lebih senang menganggur dibandingkan bekerja seadanya. Gengsi,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
134 dipikirnya tidak pantas dengan ijazah yang dia punya. Itulah kenapa angka pengangguran kita tinggi sekali, padahal tanah dan
-balik sedikit saja hati kau. Sedikit saja, dari rasa dipaksa menjadi sukarela, dari rasa terhina menjadi dibutuhkan, dari rasa disuruh-suruh menjadi penerimaan. Seketika, wajah kau tak kusut lagi. Dijamin berhasil. Bahkan Togar malah mencak-mencak lihat kau tersenyum tulus saat dia meneriaki kau
lah kusut wajah, kusut hati. Beginilah, kuberitahu kau sebuah rahasia kecil. Dalam urusan ini, sembilan dari sepuluh kecemasan muasalnya hanyalah imajinasi kita. Dibuat-buat sendiri, dibesar-besarkan sendiri. 2013: 133)
ingat baik-baik, kau selalu bisa memberi tanpa sedikit pun rasa cinta, Andi. Tetapi kau tidak akan pernah bisa mencintai tanpa
2.
Tuntutan Kebutuhan yang Dialami Tokoh dalam Novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye Menurut Teori Psikologi Kebutuhan Bertingkat Abraham Maslow a.
Kebutuhan Fisiologis (Physiological needs) Menurut pendapat Goble (2013: 71), kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan yang paling dasar, paling kuat, dan paling jelas di antara kebutuhan manusia adalah kebutuhannya untuk mempertahankan hidupnya secara fisik, yaitu kebutuhan akan makan, minum, tempat berteduh, seks, tidur, dan oksigen. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Maslow (dalam Koswara, 1991: 119), bahwa kebutuhan fisiologis (physiological needs) adalah sekumpulan kebutuhan dasar yang paling mendesak pemuasannya karena berkaitan langsung dengan pemeliharaan biologis dan kelangsungan hidup. Kebutuhan fisiologis
merupakan
yang terkuat dari semua
kebutuhan maka kebutuhan-kebutuhan fisiologis yang akan paling didahulukan pemuasannya oleh individu. Apabila kebutuhan fisiologis
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
135 ini tidak terpenuhi atau belum terpuaskan maka individu tidak akan tergerak untuk bertindak memuaskan kebutuhan-kebutuhan lain yang lebih tinggi. Tokoh-tokoh dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah juga mempunyai kebutuhan fisiologis yang tercermin melalui sikap, tingkah laku, serta perkataan secara eksplisit. Kebutuhan fisiologis yang ada pada diri tokoh-tokoh selalu mendorong mereka untuk memeroleh pemuasan yang sifatnya mendesak. Berikut ini akan diuraikan beberapa kebutuhan fisiologis dari tokoh-tokoh dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah. 1) Makan dan Minum Kutipan-kutipan yang menunjukkan bahwa tokoh-tokoh dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye menginginkan kebutuhan fisiologisnya, yaitu makan dan minum dapat terpenuhi atau terpuaskan, antara lain: gulai kepala kakap. Amboi, lezat sekali tampaknya. Tunggu sebentar, aku habis menanak nasi. Akan sedap sekali kalau itu ke belakang. (Liye, 2013: 120) Aku menatap sebentar nampan berisi makanan, menelan ludah. Baiklah, aku mengangguk sambil tertawa, melipat ujung baju, mencuci tangan di mangkuk. Sekejap, tangan serta mulutku kompak bekerja. (Liye, 2013: 121) Dia sama sekali tidak terlihat cemas, malah tadi sempat menyuruhku membeli kudapan kecil. Astaga, dia bisa lapar dalam situasi seperti ini? (Liye, 2013: 139) Pak Tua sedang takzim duduk di beranda saat aku tiba, tersenyum riang. Kami segera makan bersama. Suara denting sendok terdengar. (Liye, 2013: 183) Makan malam yang hebat, menunya spesial, kepiting saus mentega. Nikmat sekali menatap lautan gelap sambil merekahkan cangkang. Satu-satunya dari puluhan penumpang di ruang makan yang tidak menikmati adalah Pak Tua. Dia bersungut-sungut menghabiskan nasi dan sayur bening-aku memaksanya berdisiplin. (Liye, 2013: 189)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
136
kau menemani orang tua ini makan siang? Amboi, kalau tidak salah, dekat perempatan Bubutan ada restoran rujak cingur lezat. Sejak aku muda dulu sudah terkenal, lidahku ingin sedikit bernostalgia, tampaknya kalau hanya rujak cingur, dokter dengan takzim. (Liye, 2013: 208) Perutku lapar, tadi bergegas ke warung Cik Tulani, tidak sempat makan malam. Aku menatap mangkuk dengan kepul pindang. Aromanya menusuk hidung, membuat air liur menetes. Baiklah, aku meraih kursi rotan, duduk rapi. Lupakan soal besok-meski aku tidak sabar menunggunya. Saatnya menikmati hidangan sederhana di atas meja, sambil menatap kerlap-kerlip perahu melintasi Sungai Kapuas dari bingkai jendela. (Liye, 2013: 291) Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, jelas bahwa kebutuhan fisiologis yang berupa makan dan minum juga dialami oleh tokohtokoh dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah. Keinginan untuk memuaskan kebutuhan makan dan minum selalu mendesak para tokoh untuk memenuhinya sehingga tidak ada kompromi apabila keinginan untuk makan dan minum tersebut muncul dan ingin adanya pemuasan. 2) Kesehatan Kutipan-kutipan yang menunjukkan bahwa tokoh-tokoh dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye menginginkan kebutuhan fisiologisnya, yaitu kesehatan dapat terpenuhi atau terpuaskan, antara lain: Satu jam berlalu, wajah pucat Pak Tua mulai memerah. Dokter -orang ramai di sekitar dipan jadi aku tidak bebas bercerita, lebih karena Pak Tua berbaring lemah. Aku tidak tega menambah sakitnya dengan persoalan sepeleku. (Liye, 2013: 131) Selama dua minggu dirawat di ruumah sakit aku bertugas menunggui Pak Tua. Aku menemani Pak Tua yang lebih banyak tertidur, dan tidak boleh banyak bercakap-perintah dokter. (Liye, 2013: 164-165)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
137 Aku manggut-manggut menatap sekitar. Ruang tunggu ramai oleh pasien, poster-poster, dan brosur. Aku baru paham bahwa tempat terapi ini dikelola dokter lulusan Mandarin. Pantas saja Pak Tua harus jauh-jauh pergi ke sini, tidak berobat di Pontianak. Ini pengobatan alternatif. (Liye, 2013: 193) Malamnya, sepulang dari bengkel badanku demam. Meski aku semangat menarik sepit, semangat bekerja di bengkel bapak Andi, tetap berusaha terlihat sehat, badanku tidak bisa dibohongi, punya batasnya. Pulang dari bengkel Andi saja rasanya sudah pusing, hampir jatuh di anak tangga. (Liye, 2013: 247) Andi sakit gigi. Itulah kode daruratnya. Sepanjang hari sakitnya bertambah-tambah. Pipinya bengkak, mulutnya bauu, dan wajah Andi terlihat menyedihkan. (Liye, 2013: 305) bersungut-sungut mau berobat di sini, biar orang tua ini saja yang mencabut gigi kau. Kuikat dengan benang, kutambatkan di buritan sepit, lantas kugas kencang-kencang sepitnya. Sekejab gigi busuk kau sudah
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, menunjukkan bahwa kebutuhan fisiologis yang berupa kebutuhan kesehatan juga dialami oleh tokoh-tokoh novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye. Borno, Pak Tua, dan Andi merasakan sakit dan membutuhkan bantuan dokter serta obat-obatan untuk pemulihan kesehatan mereka. b. Kebutuhan Rasa Aman (need for self-security) Apabila kebutuhan fisiologis individu telah terpuaskan, maka dalam diri individu akan muncul satu kebutuhan lain sebagai kebutuhan yang bersifat dominan dan menuntut pemuasan, yaitu kebutuhan akan rasa aman. Jenis kebutuhan yang kedua ini berhubungan dengan jaminan keamanan, perlindungan, keteraturan, situasi yang bisa diperkirakan, bebas dari rasa takut, cemas, dan sebagainya. Karena adanya kebutuhan inilah
maka
manusia
membuat
commit to user
peraturan,
undang-undang,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
138 mengembangkan kepercayaan, membuat sistem, asuransi, pensiun, dan sebagainya. Maslow (dalam Koswara, 1991: 121) menjelaskan bahwa kebutuhan akan rasa aman (need for self-security) adalah sesuatu kebutuhan yang mendorong individu untuk memeroleh ketentraman, kepastian, dan keteraturan dari keadaan lingkungannya. Hal ini diperkuat oleh Goble (2013: 73), yang mengatakan bahwa seorang yang tidak aman(neurotik) memiliki kebutuhan akan keteraturan dan stabilitas secara berlebihan serta berusaha keras menghindari hal-hal yang bersifat asing dan tidak diharapkannya. Seperti halnya manusia, tokoh fiksional juga membutuhkan rasa aman yang selalu ingin terpenuhi dan terpuaskan, karena pada dasarnya tokoh fiksional merupakan cerminan manusia di dunia nyata. Tokohtokoh novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye juga membutuhkan rasa aman yang tercermin melalui sikap, tingkah laku, serta perkataan secara eksplisit. Tokoh-tokoh tersebut membutuhkan rasa aman semata-mata untuk mempertahankan kehidupannya dari hal-hal asing dan tidak diharapkan. Berikut ini akan diuraikan kebutuhan akan rasa aman dari tokoh-tokoh novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye. 1) Rasa Aman dari Ancaman Rasa aman dibutuhkan oleh para tokoh, misalnya Borno, ketika terjadi ancaman atau intimidasi dari tokoh lain, yaitu Bang Togar. Ancaman dari Bang Togar tersebut datang ketika Borno diterima bekerja di dermaga feri. Benar, pelampung inilah yang membuat Bang Togar mencakmencak mendengar kabar aku diterima bekerja di dermaga feri. Malam-malam, beringas dia menghampiriku yang asyik memetik gitar bersama Andi. Tanpa ba-bi-bu, Bang Togar merampas gitarku, menatap galak, sekejap seruan marah terlontar dari mulutnya. (Liye, 2013: 34) Bang Togar dan persatuan sepitnya sekarang malah memasang surat keputusan melarangku naik sepit. Dia melaminating dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
139 menempel fotoku besar-besar di dermaga kayu, sudah seperti larangan bepergian ke LN, membuat banyak penumpang sepit tahu. (Liye, 2013: 38) Bang Togar memberikan ultimatum, satu bulan. Jika aku tetap bekerja di dermaga feri, aku akan dikucilkan dalam segenap aktivitas, mulai dari main kartu di balai bambu hingga kepanitiaan kalau ada tetangga yang menikah. (Liye, 2013: 39) Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, Borno membutuhkan rasa aman dari Bang Togar yang mengancam melarangnya naik sepit dan akan mengucilkan Borno dalam segenap aktivitas, mulai dari main kartu di balai bambu hingga kepanitiaan kalau ada tetangga yang menikah. Namun, ada Andi, Ibu, dan Pak Tua yang menghiburnya dan membesarkan hatinya. Andi membesarkan hatiku. (Liye, 2013: 38)
sudah
Ibu marahi si
Togar.
Semakin
hari semakin aneh
aku berkunjung ke rumahnya, hari libur kerja. (Liye, 2013: 39) Borno
juga
membutuhkan
rasa
aman
ketika
Andi
mengancamnya akan memberitahukan para tetangga mengenai gadis yang disukai Borno. Borno akhirnya menceritakan kejadian yang dialaminya bersama gadis tersebut kepada Andi dengan harapan Andi tidak akan membocorkannya kepada para tetangga. sudah merapat di sebelahku, ceritakan padaku. Lengkap, tanpa tersisa satu detik pun. Atau (Liye, 2013: 39) Selain Borno, tokoh yang lain, yaitu Andi, juga membutuhkan rasa aman dari ancaman Pak Tua. Andi yang sedang sakit gigi menolak berobat ke dokter karena ia takut giginya akan dicabut oleh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
140 dokter. Pak Tua yang jengkel karena Andi terus berontak akhirnya mengancam Andi bahwa Pak Tua yang akan mencabut sendiri gigi Andi. -sungut mau berobat di sini, biar orang tua ini saja yang mencabut gigi kau. Kuikat dengan benang, kutambatkan di buritan sepit, lantas kugas kencang-kencang sepitnya. Sekejab gigi busuk kau sudah
Andi bergidik, menatap orang-orang yang menonton keributan, menimbang, akhirnya melangkah menuju meja pendaftaran. (Liye, 2013: 308) Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, sangat jelas bahwa baik Borno maupun Andi membutuhkan rasa aman dan menuntut untuk memuaskan kebutuhan tersebut. c.
Kebutuhan Akan Cinta dan Rasa Memiliki (need for love and belongingness) Menurut Maslow (dalam Koswara, 1991: 122) kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki (need for love and belongingness) adalah suatu kebutuhan yang mendorong manusia untuk melakukan hubungan afektif atau hubungan emosional dengan orang lain. Hubungan ini dapat berupa hubungan antara dua orang yang berlainan jenis maupun dengan orang lain yang sesama jenis, baik di lingkungan keluarga ataupun di lingkungan kelompok dalam masyarakat. Bagi individu-individu, keanggotaan kelompok sering menjadi tujuan yang dominan, dan mereka bisa menderita kesepian, terasing, dan tak berdaya apabila keluarga, pasangan hidup, atau teman-teman meninggalkannya. Maslow (dalam Goble, 2013: 74-75), menambahkan bahwa cinta tidak boleh dikacaukan dengan seks, yang dapat dipandang sebagi kebutuhan fisiologis sematamata. Bagi Maslow, cinta menyangkut suatu hubungan sehat dan penuh kasih mesra antara dua orang, termasuk sikap saling percaya. Kebutuhan akan cinta mencakup keadaan dimengerti secara mendalam dan diterima dengan sepenuh hati. Cinta yang memberi dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
141 cinta yang menerima ini, merupakan prasyarat bagi adanya perasaan yang sehat. Sebaliknya, tanpa cinta orang akan dikuasai oleh perasaan kebencian, rasa tak berharga dan kehampaan. Oleh karena itu, kita harus memahami cinta, kita harus mampu mengajarkannya, menciptakannya, meramalkannya. Jika tidak, dunia ini akan hanyut ke dalam gelombang permusuhan dan kebencian. Tokoh-tokoh dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah juga membutuhkan rasa cinta dan rasa memiliki. 1) Rasa Cinta dan Rasa Memiliki dengan Pasangan Tokoh-tokoh dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah, seperti Borno, Bang Togar, serta Fulan dan Fulani mempunyai kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki dengan pasangan. Kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki tersebut mendorong mereka untuk memenuhi dan memuaskannya. Namun, untuk memenuhi dan memuaskan kebutuhan tersebut bukanlah hal yang mudah. Selalu ada halangan dan benturan yang menyebabkan kebutuhan tersebut sulit tercapai. Sebagai contoh, Borno kesulitan memenuhi kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki dikarenakan sifatnya yang pemalu di hadapan perempuan. Pemenuhan kebutuhan tersebut juga terbentur dengan sikap ayah dari gadis yang ia sukai, yang tidak menyukai kehadiran Borno di dekat putrinya. Selain itu, kenyataan bahwa meninggalnya ayah Borno ternyata disebabkan oleh ibu dari gadis yang disukainya membuat Borno mengingat kembali masa lalu yang pahit tersebut. Borno merasakan perasaan cinta pertamanya dengan seorang tokoh bernama Mei. Kisah percintaan Borno berawal ketika Mei hendak menyeberang Sungai Kapuas dengan menggunakan sepit, yang ternyata sepit tersebut dikendarai oleh Borno. Pada saat itu, Borno baru pertama kali mengendarai sepit dengan membawa penumpang sehingga banyak penumpang di sepit Borno yang pada awalnya duduk di buritan sepit akhirnya kembali naik ke dermaga
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
142 karena takut sepit akan terbalik. Akan tetapi, ada satu penumpang yang tetap duduk dengan anggun di buritan sepit Borno, yaitu Mei. Dari situlah Borno mengagumi Mei dan secara perlahan Borno terobsesi dengan Mei dan hafal mati aktivitas gadis itu, yaitu tiba pukul 7.15 untuk menyeberang. Untuk memenuhi obsesinya tersebut, Borno rela bangun pagi-pagi demi antrean sepit nomor tiga belas. Menurut perhitungan Borno, antrean sepit nomor tiga belas memiliki kans terbesar kebagian jatah merapat pukul 7.15 teng. Alamak, jantungku berdetak lebih kencang. Gadis itu, meski belum jelas benar wajahnya, terlihat berdiri di salah satu sisi fiberglass boat. (Liye, 2013: 91) Karena aku tidak berani secara langsung menatapnya, aku ingin berlama-lama mencuri pandang. Karena aku tidak berani menegur, apalagi mengajak mengajak berkenalan, aku ingin sekadar berada dekat-dekat dengannya. (Liye, 2013: 97) Kami bertatapan. Gadis itu mengangguk, tersenyum manis. Alamak, menerima senyuman itu, aku bagai terjatuh dari buritan. Aku buru-buru menjalankan sepit sebelum terlihat merah padam wajahku. (Liye, 2013: 98) Aku menggeleng. Aku tidak akan meninggalkan buritan perahu hingga pukul 7.15, nanti sepitku disalip pengemudi lain. Pak Tua tertawa lagi, akhirnya melangkah ke dermaga sambil bersenandung. (Liye, 2013: 99) Borno yang pada awalnya sangat pemalu saat di dekat Mei akhirnya bisa lebih dekat seiring berjalannya waktu. Akan tetapi, semua tidak semulus yang diharapkan Borno. Mereka beberapa kali harus berpisah karena banyaknya halangan, salah satunya datang dari ayah Mei. -laki itu berkata tanpa basa-basi, dengan intonasi pasti, memastikan tidak salah dengar. semakin tajam. Aku menelan ludah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
143
2013: 224)
berat itu langsung ke topik pembicaraan. Wajah khas peranakan Cina yang tegas, berwibawa, menatapku amat tajam. Aku tercekat. Seketika. kau hanya pengangguran, pengemudi sepit, atau pemilik bengkel. Urusan ini tidak ada hubungannya dengan itu. Aku tidak suka kau dekat dengan Mei. Titik. Kau dan dia hanya akan Ruangan terasa lengang. Wajahku entah sudah seperti apa, pucat. sebelum semuanya terlanjur menyedihkan. Kau tidak tahu seberapa menghancurkan perasaan sedih? Itu bisa membunuh dalam artian yang sebenarnya. Tinggalkan anakku, Borno. Kau
Setelah itu, tanpa adanya penjelasan apapun, Mei memutuskan untuk menjauh dari Borno. Sampai pada akhirnya Borno mengetahui penyebab semuanya berhubungan dengan kenyataan bagaimana ayah Borno bisa meninggal. Namun, semua kenyataan yang pahit itu tidak mengubah sedikit pun perasaan cinta Borno terhadap Mei. Borno dengan penuh keberanian akhirnya menyatakan perasaannya kepada Mei. memaksa kakiku tetap kokoh berdiri, harus kukatakan, aku tidak Mei. Aku menyukai
aku telah membaca surat dalam angpau merah itu ribuan kali, tahu masa lalu yang menyakitkan, itu tidak akan mengubah apapun. Bahkan walau satpam galak rumah ini mengusirku, menghinaku, itu juga tidak akan mengubah perasaanku. Aku akan selalu mencintai kau, Mei. Astaga, Mei, jika kau tidak percaya janjiku, bujang dengan hati paling lurus sepanjang Mei menangis bahagia mendengar kalimat itu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
144 Sejak hari itu, tidak ada lagi sendu nan misterius di wajahnya. Dia sama riangnya dengan seluruh gadis di Pontianak, tempat dia kembali mengajar. (Liye, 2013: 507) Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, jelas bahwa kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki telah terpenuhi dan terpuaskan ketika Borno sudah mengatakan perasaannya kepada Mei. Meskipun banyak halangan dan rintangan yang pada awalnya menghadang mereka hingga mereka berkali-kali harus berpisah. Namun, rasa cinta dan memiliki yang kuat di antara mereka membuat mereka susah untuk terpisahkan dan akhirnya mereka tetap bersatu. Selain Borno, kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki juga dialami oleh tokoh Bang Togar. Kisah percintaan Bang Togar berawal dari pandangan pertama ketika Bang Borno melihat Kak Unai di sebuah pasar malam. Kak Unai adalah anak ketua suku Dayak pedalaman. Keluarga Kak Unai jelas menolak mentahmentah. Mereka tidak akan membiarkan anak gadis tercinta dibawa pergi orang asing. Namun, Bang Togar tidak menyerah begitu saja, ia tetap berusaha mendapatkan Kak Unai. Demi cinta, Bang Togar memutuskan tinggal di pedalaman Kalimantan. Kisah tentang Bang Togar yang tinggal di hulu Kapuas selama dua tahun sudah menjadi legenda di tepian Kapuas ini. (Liye, 2013: 240) Usaha Bang Togar ternyata tidak sia-sia. Keluarga Kak Unai akhirnya menyetujui dan menikahkan mereka. Semua orang ingat, saat dia akhirnya pulang, teman main masa kecilnya saja pangling. Bang Togar pulang membawa Kak Unai. Alamak, pengorbanan selama dua tahun itu berbuah manis, dia perjodohan dipenuhi. Keluarga Kak Unai tidak bisa menolak selain menikahkan pasangan yang saling jatuh cinta. (Liye, 2013: 241) Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, jelas bahwa kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki Bang Togar telah terpenuhi dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
145 terpuaskan ketika sudah menemukan pasangan hidupnya, yaitu Kak Unai. Bukan hanya Borno dan Bang Togar yang memiliki kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki dengan pasangan, tokoh Fulan dan Fulani juga mempunyai kebutuhan yang sama. Kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki tersebut mendorong Fulan dan Fulani untuk memenuhi dan memuaskannya. Akan tetapi, kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki tersebut terbentur dengan keadaan mereka yang cacat. Keduanya sama-sama buta. Selain itu, keadaan lingkungan di mana mereka berada juga menghambat pemenuhan kebutuhan tersebut. Fulan dan Fulani kenal satu sama lain sejak masih merah dalam gendongan. Orang tua mereka sahabat dekat, bertetangga rumah. Saat mereka berumur enam tahun, pecahlah perang besar di Surabaya. Rumah orang tua Fulan dan Fulani menjadi salah satu markas pemuda, medan pertempuran paling depan. Orang tua Fulan dan Fulani kemudian menitipkan anaknya ke kerabat dekat si Fulan di Malang. Pimpinan sekutu, Jenderal Mallaby tewas. Bendera Belanda berhasil dirobek, tetapi kemerdekaan selalu harus dibayar mahal. Orang tua Fulan dan Fulani gugur bersama ribuan pemuda berani lainnya. Si Fulan dan si Fulani pun menjadi yatim piatu. Senasib, sepenanggungan, membuat si Fulan dan si Fulani semakin kompak, termasuk kompak menghadapi teman-teman baru yang jail, sering mengolok-olok. Mereka berdua saling membesarkan hati, saling mendukung. Usia dua puluh lima mereka menikah. Si Fulan dan si Fulani mengikat perasaan mereka menjadi sebuah komitmen. Pasangan ini di tengah banyak keterbatasan, dianugerahi kemampuan seni yang luar biasa. Mereka bekerja di gedung kesenian kota yang waktu itu dekat dengan Lekra. Organisasi underbow seni-budaya milik PKI. Lalu meletuslah pemberontakan G-30S/PKI. Pagi buta si Fulan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
146 diciduk dari rumah, sedang si Fulani dijebloskan ke penjara wanita tanpa proses hukum sama sekali. Jadilah si Fulani susah payah melahirkan di sel pengap, seorang bayi laki-laki yang diberi nama Janji. Setelah empat tahun di penjara, si Fulani bisa dikeluarkan. Kemudian mulailah si Fulani mencari si Fulan. Tiga tahun lewat, si Fulan berhasil ditemukan. Dia dibuang di pulau terpencil. Berkumpullah keluarga kecil ini, berusaha merajut kebahagiaan tinggal di Jakarta. Mereka membuka toko sembako di persimpangan jalan, kecil saja, tapi mencukupi. Namun, lagi-lagi musibah menimpa mereka. Peristiwa Malari 1974. Jakarta dikepung amuk massa. Toko sembako mereka dibakar, si Janji ikut tewas terbakar. Selepas sebuah kesulitan pastilah datanglah kemudahan. Si Fulani hamil, berita yang hebat, anak kembar, semakin hebat. Pasangan itu memulai bisnis gula di Surabaya, kemajuan bisnis mereka mengesankan. Akan tetapi, lagi-lagi datanglah musibah, krisis hebat tahun 1998, membuat ekonomi jadi morat-marit. Toko, tanah, dan pabrik kecil mereka dijaminkan untuk utang besar oleh orang kepercayaan mereka. Si Fulan dan si Fulani kembali memutuskan awal yang baru. Pindah ke pinggiran Surabaya, membuka kursus memainkan alat musik, bakat besar mereka dulu. Keluarga mereka tetap utuh dan tetap kompak. Si kembar sudah dewasa, tiga puluh tahun, sudah berkeluarga, memberikan cucu-cucu yang tampan dan cantik, sudah puunya kehidupan sendiri. pasangan buta, Andi. Jadi jangankan membaca atau menulis, ni dengan imajinasi baru. Mereka buta. Bayangkan mereka waktu kecil bermain bersama. Bayangkan saat mereka diungsikan ke luar kota, saat pernikahan, prosesi saling menyuapi. Aku menyaksikan sendiri saat si Fulan patah-patah menyuapi istrinya, meraba pipi, mencari mulut si Fulani, tertawa bersama.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
147 Bayangkan saat si Fulani dipenjara, melahirkan. Kenapa pasangan ini bisa dibebaskan? Alasan terbesarnya karena keterbatasan mereka, mana mungkin orang buta terlibat PKI? rjalanan si Fulani meraih tas kecil miliknya, meraba-raba bagian dalam, mengeluarkan permen, patah-patah membuka bungkusnya, lantas seperti tahu di mana posisi mulut suaminya, menyuapkan permen itu. Sayang, gerakan oleng sepit membuat permen terjatuh. Pasangan itu tertawa. Si Fulani mengambil permen berikutnya, kembali perlahan-lahan membuka bungkus plastik.
mereka kecil, dan sejak mereka kecil pulalah si Fulani yang membuka bungkusnya, menyerahkannya pada si Fulan. Sudah puluhan ribu permen, tidak pernah bosan, selalu dilakukan dengan mesra. Jangan tanya definisi cinta sejati pada mereka, Andi. Mereka tidak pandai bersilat lidah, mereka buta. Tapi lihatlah keseharian mereka, maka kau bisa melihat cinta. Bukan cinta gombal, melainkan cinta yang diwujudkan melalui (Liye, 2013: 173-174) Dari kutipan-kutipan di atas, jelas mengatakan bahwa untuk orang-orang yang memiliki keterbatasan sekalipun, seperti si Fulan dan si Fulani, kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki sangat mereka perlukan. Kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki mereka telah terpenuhi dan terpuaskan ketika mereka tetap bersama-sama menjadi keluarga yang utuh dan tetap kompak, bahkan setelah begitu banyak musibah yang mereka berdua lalui, mereka tetap mesra. Rasa cinta dan rasa memiliki yang kuat di antara mereka membuat mereka tetap bersatu. Sebuah cinta yang diwujudkan melalui perbuatan. 2) Rasa Cinta dan Rasa Memiliki dengan Sesama (Teman, Sanak Saudara) Seorang individu tidak hanya membutuhkan rasa cinta dan rasa memiliki dari orang lain yang berbeda jenis saja. Mereka juga membutuhkan rasa cinta dan rasa memiliki dari teman dekat dan sanak saudara di sekitar mereka. Ketika Borno merasakan perasaan cinta untuk pertama kalinya, maupun pada saat dia juga mengalami
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
148 kesulitan, Borno selalu berbagi cerita dengan teman dekatnya, yaitu Andi. Borno juga selalu bercerita dengan Pak Tua, tetangga yang sudah dianggapnya sebagai sosok bapak. Suatu ketika, Pak Tua yang sedang terbaring sakit dilarikan ke ruang gawat darurat. Borno yang sedari pagi menunggui Pak Tua harus bergegas pergi ketika hari sudah siang karena ia ada urusan yang mendesak. Sore harinya, ketika Borno kembali ke rumah sakit, ia tidak menemukan satu orang pun di depan ruangan gawat darurat. Tempat tidur yang tadi pagi diisi Pak Tua, kosong, tidak ada lagi infus dan belalai slang di sana. Borno kemudian bertanya kepada salah satu perawat, yang kemudian mengatakan bahwa Pak Tua sudah dibawa pulang. Perawat tersebut menatap Borno dengan prihatin, yang kemudian diartikan oleh Borno bahwa Pak Tua dibawa pulang bukan karena sudah sembuh tapi karena Pak Tua telah meninggal. Padahal, yang dimaksud perawat tadi bukanlah Pak Tua yang dikenal Borno. Orang yang dimaksud oleh perawat ternyata juga bernama Hidir, nama asli Pak Tua. Aku berdiri berpegangan tiang infus, tersengal bertanya pada
Aku gemetar melangkah keluar, perutku mual, kerongkonganku tercekat. Kejadian ini sama persis waktu Bapak dulu meningggal-malah lebih menyakitkan karena sekarang aku jauh lebih mengerti. Aku hendak berteriak kencang, mengeluarkan segenap kesedihan di hati. Marah, sedih, bercampur jadi satu. (Liye, 2013: 163)
-baik saja, sudah dipindahkan ke kamar paviliun. Kondisinya sudah stabil. Nah, kau dan Togar bantu urus administrasinya di depan sana. Tadi mereka minta jaminan. Aku mau mengambil pakaian yang tertinggal di -nepuk lenganku. Aku kehabisan kata, benar-benar bingung. Bukankah Pak Tua sudah dibawa pulang? Bukankah.. Sejurus salah paham terjelaskan, Bang Togar yang akhirnya tahu apa yang telah t
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
149
(Liye, 2013: 163-164) Borno juga mengalami peristiwa lain yang membuatnya menyadari bahwa Andi, teman baiknya sedari kecil memiliki rasa cinta dan rasa memiliki terhadap dirinya. Itu dibuktikan ketika Andi selalu membela Borno ketika Borno diperlakukan tidak adil oleh Bang Togar. Selain itu, ketika Borno sedang patah hati karena ditinggal oleh Mei, Andi berusaha menghibur Borno dengan mengerjai Borno bahwa Mei telah kembali ke Pontianak dan sedang berada di dermaga. Namun ternyata, orang yang dinantikan Borno tersebut tidak berada di sana. Andi, sohib dekatku, berapipas satu bulan, seberani apa dia melarang-larang orang merdeka berlalu-lalang. Itu pelangggaran UUD 45. Harusnya dia urus saja dulu keluarga sendiri. Lihat, bukankah dia sudah bertahunungkit ranah personal Bang Togar. (Liye, 2013: 40)
2013: 60) Pak Tua sejenak mengusapselama ini aku keliru menilai Andi sebagai banyak omong, tukang maksa dan agak lambat. Ternyata dia cerdas dan bernas. Di atas segalanya, yang paling penting, Andi membuktikan dia -253) di pagi adalah tips hebat untuk orang-orang gundah gulana macam kau sekaligus membuktikan di adalah teman terbaik kau. Camkan ini, Borno. Banyak sekali orang yang jatuh cina lantas sibuk dengan dunia barunya itu. Sibuk sekali, sampai lupa keluarga sendiri, teman sendiri. padahal, siapakah orang yang tiba-tiba mengisi hidup kita itu? Kebanyakan orang asing, orang baru. Mei misalnya, baru kau kenal setahun kurang. Sedangkan Andi? Kau kenal dia sejak bayi, satu ayunan. Apa yang telah dilakukan Mei buat kau? Apa yang tidak dilakukan Andi? Apa Mei pernah menyelamatkan kau yang hampir tenggelam di
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
150
Dari penjelasan di atas jelas bahwa Andi memiliki rasa cinta dan rasa memiliki terhadap teman baiknya, yaitu Borno. Andi nekat mengerjai Borno karena ia percaya bahwa Borno tidak akan bisa benar-benar marah kepadanya. Andi hanya bermaksud memberikan hiburan kepada Borno yang sedang banyak pikiran dan gelisah. Kutipan-kutipan di atas membuktikan bahwa kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki dengan teman maupun sanak saudara juga dimiliki oleh setiap individu. Rasa cinta dan rasa memiliki tersebut akan terasa ketika mengingat kejadian-kejadian masa lalu yang dilewati bersama-sama. Rasa cinta dan rasa memiliki itu semakin dalam ketika mereka telah merasa kehilangan. d. Kebutuhan Akan Rasa Harga Diri (need for self-esteem) Maslow (dalam Koswara, 1991: 124) mengungkapkan bahwa kebutuhan akan rasa harga diri (need for self-esteem), dibagi ke dalam dua bagian, yaitu penghormatan atau penghargaan dari diri sendiri, dan penghargaan dari orang lain. Bagian pertama mencakup hasrat untuk memeroleh kompetensi, rasa percaya diri, kekuatan pribadi, kemandirian, dan kebebasan. Individu ingin mengetahui atau yakin bahwa dirinya berharga serta mampu mengatasi segala tantangan dalam hidupnya. Adapun bagian yang kedua adalah prestasi. Dalam hal ini, individu membutuhkan
penghargaan
atas
apa-apa
yang
dilakukannya.
Penghargaan dari orang lain menurut Maslow (dalam Goble, 2013: 76) meliputi prestise, pengakuan, penerimaan, perhatian, kedudukan, nama baik, serta penghargaan. Masih
menurut
Maslow
(dalam
Koswara,
1991:
125),
terpuaskannya kebutuhan akan rasa harga diri pada individu akan menghasilkan sikap percaya diri, rasa kuat, rasa mampu, dan perasaan berguna. Sebaliknya, frustrasi atau terhambatnya pemuasan kebutuhan akan rasa harga diri itu akan menghasilkan sikap rendah diri, rasa tak pantas, rasa lemah, rasa tak mampu, dan rasa tak berguna, yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
151 menyebabkan individu tersebut mengalami kehampaan, keraguan, dan keputusasaan dalam menghadapi tuntutan-tuntutan hidupnya, serta memiliki penilaian yang rendah akan dirinya sendiri dalam kaitannya dengan orang lain. Maslow juga menambahkan bahwa seseorang yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri serta lebih mampu, maka juga lebih produktif (dalam Goble, 2013: 76). Dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye, tokoh utamanya, yaitu Borno yang banyak dipaparkan memiliki kebutuhan akan rasa harga diri. Hal itu dikarenakan novel ini berpusat pada diri Borno. Adapun tokoh-tokoh yang lain tidak digambarkan oleh pengarang sehingga penjelasan di bawah ini akan memaparkan pemenuhan akan pemuasan kebutuhan harga diri dari Borno. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. 1) Penghargaan dari Diri Sendiri Mendapatkan penghargaan dari dirinya sendiri merupakan salah satu cara untuk memuaskan kebutuhan harga diri seorang individu. Kebutuhan akan penghargaan terhadap diri sendiri juga nampak pada Borno sebagai tokoh utama dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye. Dengan dapat terpuaskannya kebutuhan harga diri ini, berdampak pada meningkatnya rasa percaya diri Borno untuk dapat melakukan sesuatu dengan lebih baik lagi. Aku menarik tuas gas. Gelembung air di permukaan sungai buncah, sepit bergetar sedikit, aku menggeser kemudi, dan segera sepit Pak Tua lincah membelah Kapuas. Sepuluh detik, aku sudah meninggalkan dermaga sepuluh meter, menuju seberang. Terpaan angin di wajah, suara motor tempel, gemuruh air pecah menerpa lambung perahu membuat wajah tegangku berkurang drastis. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Ini mudah. Aku menambah kecepatan, sepitku melesat gagah. (Liye, 2013: 66) Kutipan di atas menunjukkan rasa percaya diri Borno meningkat ketika ia berhasil menarik sepit dengan membawa penumpang untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
152 pertama kalinya. Bahkan, Borno dengan bangga menambah kecepatan dan membawa sepitnya melaju gagah membelah Sungai Kapuas. Hal tersebut tentu saja mebuat kebutuhan akan rasa harga diri Borno telah terpenuhi dan terpuaskan. Kutipan-kutipan berikut ini juga menunjukkan bahwa Borno mempunyai rasa percaya diri yang tinggi ketika menjadi seorang montir di bengkel kecil milik ayah Andi. Borno bahkan mengatakan telah menemukan sesuatu yang membuatnya merasa benar-benar berbakat dan semangat. Borno yang sebelumnya telah melakukan banyak pekerjaan tidak pernah merasa sebahagia seperti ketika ia sedang mengemudikan sepit atau membongkar mesin. Dua hal yang berbeda ini menjadi sumber kebanggaan tersendiri bagi Borno sehingga berdampak pada rasa semangat Borno untuk terus meningkatkan kemampuannya dan pengetahuannya tentang mesin. terlalu paham. Sederhana saja. Motor tempel hanya terdiri atas mesin penggerak, transmisi, dan propeler. Aku baca dari buku (Liye, 2013: 109) Bapak Andi benar, tidak terhitung pelajaran matematika, IPA, IPS, dan sebagainya, juga pelajaran mengurus getah karet, menjadi nelayan, menjadi kuli, penjaga toko, penjaga pintu loket, memasak di warung Cik Tulani, menyetir mobil, mengemudi sepit, dan sebagainya, tetapi baru kali ini aku benarbenar merasa berbakat. Lupa sudah dulu sering diomeli guru, dibilang bebal, lamban, dan bodoh. Kali ini aku menemukan sesuatu yang membuat semangat, seperti bebek dicemplungkan ke kolam, riang berenang tanpa perlu diajari. (Liye, 2013: 177) Dulu selalu mengasyikkan mengamati Andi yang berlepotan oli membongkar mesin, berjam-jam. Sekarang lebih mengasyikkan lagi, aku sendiri yang sibuk dengan onderdil, baut, dan mur. (Liye, 2013: 178) 2) Penghargaan dari Orang Lain Kebutuhan akan rasa harga diri yang kedua ini adalah kebutuhan akan penghargaan dari orang lain, kebutuhan akan rasa harga diri seseorang tersebut dapat terpuaskan apabila orang tersebut
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
153 mendapatkan penghargaan dari orang lain. Adapun cara untuk mendapatkan penghargaan tersebut adalah dengan menunjukkan suatu prestasi atau kemampuan kepada orang lain. Dalam hal ini, seorang individu membutuhkan penghargaan atas apa-apa yang dilakukannya. Kebutuhan akan penghargaan dari orang lain juga tampak pada Borno sebagai tokoh utama dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye. Borno berusaha menunjukkan kemampuan yang dimilikinya kepada orang lain. Kebutuhan akan harga diri ini mendorong Borno untuk memenuhinya dan menuntut untuk dapat terpuaskan. Peristiwa itu terjadi pada saat Borno baru pertama kali mengendarai sepit dengan membawa penumpang, maka Borno harus ditemani oleh Pak Tua. Namun, Bang Togar mengatakan bahwa semua pengemudi sepit tidak ada yang ditemani di hari pertama mereka membawa sepit dan menganggap Borno diperlakukan secara istimewa. Perkataan tersebut membuat Borno tertantang, ia ingin membuktikan kepada Bang Togar dan semua orang yang ada di dermaga bahwa kemampuannya dalam membawa sepit tidak perlu diragukan. -laki setengah baya dengan wajah lega menyapaku. Aku mengangguk tanggung, ikut tertawa lega. (Liye, 2013: 67) Berdasarkan kutipan di atas, terbukti bahwa kebutuhan akan rasa harga diri mendorong Borno untuk dapat terpuaskan dengan cara menunjukkan
kemampuannya
sehingga
Borno
mendapat
penghargaan dari orang lain. Hal tersebut juga tampak ketika Borno menunjukkan pengetahuannya tentang mesin dan kemampuannya menjadi montir bengkel. Bapak Andi berbinarKemana saja kau selama ini
-nepuk bahuku.
secara mendalam bisa menyimpulkan masalah motor tempel ini
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
154
B mesin dengan sederhana. Kau tampaknya sudah sedemikian rupa paham, terberikan begitu saja. Memang montir baik selalu (Liye, 2013: 178) Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, menunjukkan bahwa kebutuhan Borno akan rasa harga diri yang kedua, yaitu penghargaan dari orang lain telah terpuaskan. Hal tersebut berdampak pada rasa kepercayaan diri Borno yang semakin besar. e.
Kebutuhan Akan Aktualisasi Diri (need for self-actualization) Kebutuhan untuk mengungkapkan diri atau aktualisasi diri (need for self-actualization) merupakan kebutuhan manusia yang paling tinggi dalam teori Maslow. Kebutuhan aktualisasi adalah kebutuhan mencapai sesuatu untuk diwujudkan secara maksimal seluruh bakat-kemampuanpotensinya. Aktualisasi diri adalah keinginan untuk memeroleh kepuasan dengan dirinya sendiri untuk menjadi apa saja yang disukai atau dicitacitakan dengan cara kreatif dan bebas mencapai puncak prestasipotensinya. Kebutuhan ini akan muncul apabila kebutuhan-kebutuhan yang ada di bawahnya telah terpuaskan dengan baik. Maslow (dalam Koswara, 1991: 125), menandai kebutuhan aktualisasi diri sebagai hasrat individu untuk menjadi orang yang sesuai dengan keinginan dan potensi yang dimilikinya. Atau, hasrat dari individu untuk menyempurnakan dirinya melalui pengungkapan segenap potensi yang dimilikinya. Kebutuhan akan aktualisasi diri ini juga hanya terdapat pada diri Borno sebagai tokoh utama dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye. Adapun tokoh-tokoh yang lain memang tidak dgambarkan oleh pengarang memiliki kebutuan akan aktualisasi diri karena novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah terpusat pada diri Borno. Borno digambarkan sebagai tokoh dengan latar belakang yang tidak mengesankan. Dia hanya seorang pemuda yang berasal dari perkampungan gang sepit di tepian Sungai Kapuas. Dia berasal dari keluarga yang sederhana. Akan tetapi, Borno memiliki cita-cita yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
155 tinggi
sehingga
dengan
segenap
kemampuannya
Borno
ingin
mewujudkan cita-citanya tersebut. Kebutuhan akan aktualisasi diri yang dimiliki Borno mendorongnya untuk menunjukkan bahwa ia bisa meraih apa yang selalu dia cita-citakan. Meskipun begitu besar tekad yang dimiliki Borno, tetapi ada banyak hambatan yang dialaminya ketika hendak mewujudkan cita-citanya tersebut. Suatu ketika bapak Andi yang berencana untuk memperbesar usaha bengkelnya mengajak Borno tidak sekadar hanya menjadi montir di bengkelnya, tetapi mengajaknya untuk berkongsi. Menjadi pemilik bengkel adalah cita-cita yang dari dulu dimiliki Borno. Namun, ketidakadaan biaya membuat Borno belum menyanggupi permintaan bapak Andi. Bapak Andi akhirnya membujuk Borno dan memberikan waktu kepada Borno untuk memikirkannya.
leher,
menjawab
perlahan
setelah
diam
beberapa
detik,
separuh-separuh, Borno. Kau bisa saja hanya mengambil bagian sepersepuluh atau seperduapuluh. Sisanya bagianku. Berapa pun yang kau ambil, kita tetap kongsi setara, hanya soal pembagian keuntungan sa
pikirkan kesempatannya. Kau pasti punya cara untuk mendapatkan uang itu sebelum kita membuat keputusan dengan dua pemilik (Liye, 2013: 178) Keinginan Borno untuk mengaktualisasikan diri dengan berkongsi menjadi pemilik bengkel tersebut membuat Borno harus mengambil keputusan besar dalam hidupnya dan mengorbankan sesuatu yang berharga bagi dirinya. Borno harus menjual sepit yang diberikan sebagai hadiah dari sumbangan para pengemudi sepit lainnya, tetangga di gang, bahkan para penumpang sepit. Namun, sebelum Borno menjual sepit itu,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
156 ia terlebih dulu meminta ijin kepada Pak Tua, Bang Togar, dan beberapa pengemudi lain. tidak akan berakhir hanya jadi pengemudi sepit. Kau masih muda, punya mimpi, selalu ingin belajar. Orang seperti kau tidak cocok akan sedih sekali kehilangan kau. Tidak ada lagi yang sibuk membujukku agar bertukar posisi di antrean nomor tiga belas. Tidak ada juga orang yang bisa kuolokWarung pisang goreng lengang sejenak. Jauhari terlihat terharu. -ragu bertanya.
2013: 345) . Sepit kau tidak hilang begitu saja. Hanya berubah menjadi bengkel. Aku pikir tadi kau mau jual sepit untuk
Tua. Pak Tua melepas topi anyaman pandannya, menatapku penuh akan kau lakukan. Laksanakan saja, Borno. Jangan ragu-ragu,
Kutipan-kutipan di atas menunjukkan bahwa mereka mendukung keputusan yang diambil Borno untuk menjual sepit. Akan tetapi, tidak semuanya menyetujui keputusan Borno. Bang Togar menolak mentahmentah keputusan untuk menjual sepit itu. ku harus membujuk seluruh pengemudi sepit, seluruh penghuni gang untuk mengumpulkan uang, hah? Susah payah aku mengumpulkan uang, selembar demi selembar, sampai pegal tanganku meluruskan gumpalan uang seribuan itu, sampai jontor bibirku bicara dengan penumpang untuk Togar melotot, wajahnya merah padam. (Liye, 2013: 346)
membelikan kau sepit? Kau jual? Lantas kau belikan sepersepuluh kepemilikan bengkel. Omong kosong! Bagaimana kalau bengkel itu gagal? Musnah sudah semua kebaikan itu. Kau macam tidak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
157 tahu, bisnis apa pun di kota Pontianak ini susah. Lantas apa yang kau kerjakan kalau bengkel itu bangkrut? Luntang-lantung lagi seperti dulu? Bujang pe Setelah penolakan panjang lebar dari Bang Togar yang membuat nyali Borno ciut, tidak disangka Bang Togar kemudian menyetujui rencana tersebut. Bang Togar ternyata sangat bangga dengan Borno karena Borno tetap mengajak mereka berbicara dan merasa perlu mendengar pendapat mereka tentang keputusannya menjual sepit yang jelas-jelas sudah menjadi milik Borno. setuju. Kau kejar cita-cita kau, jadilah pemilik bengkel yang hebat. -lama, pembicaraan ini semakin lama semakin sesak. Aku jadi teringat bapaknya saat di rumah sakit dulu. Aku permisi narik lag 2013: 346) Dengan semua persetujuan, maka hanya butuh 24 jam semuanya beres. Borno menjual sepitnya kepada tauke yang sedang butuh perahu kecil
untuk
operasional
pabriknya.
Keesokan
harinya
Borno
menyerahkan uang itu kepada bapak Andi. Akan tetapi, kebahagiaan Borno menjadi pemilik bengkel tidak bertahan lama. Mereka kena tipu, dua pemilik bengkel sebelumnya hanya penyewa gedung, surat-surat yang diberikan kepada bapak Andi semuanya palsu, bahkan notarisnya pun juga palsu. Lihatlah, ada beberapa petugas polisi di sana-kupikir tadi tamu atau kolega bapak Andi yang berkunjung hendak mengucapkan selamat. Dua jam lalu, saat bapak Andi dan Andi tiba di bengkel, jangankan serah terima dengan satpam seperti yang dibicarakan dua penjual itu, bahkan di bengkel tidak ada siapa-siapa. Gedung terbuka lebar, bangunan workshop, kantor, dan gudang tidak terkunci. Hanya dalam hitungan detik, bapak Andi segera menyadari bahwa ada masalah besar. Bengkel kosong melompong, menyisakan ruangan luas. Semua peralatan modern, canggih, yang termaktub dalam surat jual-beli telah diangkut entah oleh siapa. (Liye, 2013: 360) Dua pemilik bengkel sebelumnya hanya penyewa gedung selama lima tahun. Dua tahun berlalu, bisnis bengkelnya tidak berjalan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
158 lancar, dan ditambah niat buruk, mereka pura-pura menjual bengkel itu lengkap dengan isinya. Bapak Andi termakan mentah-mentah umpan itu, berpikir harga bengkel murah, kesempatan baik. Suratsurat itu palsu. Petugas notaris juga palsu. (Liye, 2013: 361) Terlepas dari kasus penipuan, pemilik bangunan menghormati kontrak sewa yang tersisa tiga tahun dan menjadi hak milik Borno dan bapak Andi. Borno memutuskan untuk segera menjalankan bisnis, tidak bisa berkabung lebih lama. Mereka tidak mempunyai peralatan canggih karena semua peralatan sudah dibawa kabur. Akhirnya Borno menemui orang yang membeli rumah bapak Andi dan membujuknya menjual peralatan bengkel lama milik bapak Andi dengan harga besi rongsokan. seperti yang telah direncanakan oleh bapak Andi. Borno terus berusaha keras untuk membangun kembali bengkel
karena kasus penipuan tersebut hingga membuat bapak Andi menjadi terpuruk, akhirnya mereka berhasil mendapatkan kepercayaan dari para pelanggan. Bengkel itu punya reputasi yang hebat. Bahkan, setelah satu tahun semenjak kejadian penipuan itu, Borno akhirnya membuka bengkel keduanya. Di samping itu, ia juga berhasil mewujudkan cita-citanya yang lain, yaitu kuliah. Oh ya, Mei, bulan depan aku akan mendaftar kelas ekstensi Jurusan Teknik Mesin di Universitas Pontianak. Itu cita-citaku. Pasti lelah mengurus bengkel sepanjang hari, lantas belajar pula pada malam hari, tapi itu menyenangkan. Aku tidak sabar untuk mula belajar mesin dengan benar, tidak belajar sendiri. (Liye, 2013: 491) timer mengajak ngobrol santai, sambil menunggu penumpang selesai duduk rapi di sepitku. timer besar di kota Pontianak, Borno. Maju sekali bisnis kau sekarang. 2013: 506)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
159 Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, jelas menunjukkan bahwa Borno ingin mengaktualisasikan dirinya sehingga dia bisa menunjukkan kepada semua orang bahwa dia mampu untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, meskipun banyak halangan yang menimpanya. Puncaknya, kebutuhan akan aktualisasi diri yang dimiliki Borno telah terpenuhi dan terpuaskan dengan berhasilnya Borno memajukan bisnis bengkelnya hingga ia kini telah membuka cabang bengkel kedua. Selain itu, Borno juga berhasil mewujudkan keinginannya untuk kuliah dan belajar dengan benar tentang mesin. 3.
Nilai-Nilai Pendidikan pada Novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye Dewasa ini ada begitu banyak media yang digunakan untuk memberikan
pengarahan,
pengetahuan,
sekaligus
contoh
nilai-nilai
pendidikan untuk dapat membentuk karakter atau kepribadian seseorang. Salah satu media yang dapat memberikan dampak positif bagi pendidikan adalah melalui media sastra. Sastra pada umumnya membicarakan hidup dan kehidupan yang secara tidak langsung berkaitan erat dengan pembentukan karakter manusia. Salah satu karya sastra yang memiliki banyak nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya adalah novel. Melalui novel, pengarang berusaha untuk memasukkan pandangan hidup, pandangan tentang nilai-nilai kebenaran, ajaran moral dan hal itulah yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye mengandung nilai-nilai pendidikan yang lengkap yang dibutuhkan untuk membantu pembentukan karakter atau kepribadian seseorang. Ada enam nilai pendidikan yang terkandung dalam novel ini, namun nilai pendidikan moral dan nilai pendidikan sosial adalah nilai pendidikan yang sangat dominan dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah. Berikut ini nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
160 a.
Nilai Pendidikan Religius Hampir di semua karya sastra novel, pengarang selalu menyisipkan nilai pendidikan religius yang ingin disampaikan kepada para pembaca. Nilai pendidikan religius tersebut dimaksudkan agar penikmat karya sastra tersebut mendapatkan renungan batin dalam kehidupan yang bersumber dari nilai-nilai agama. Nilai pendidikan religius yang terdapat dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye ini tidak
dilukiskan
menggambarkan
secara nilai-nilai
mendalam religius
oleh
pengarang.
berbeda
dengan
Tere Liye kebanyakan
pengarang lainnya yang secara jelas tergambar dalam cerita, misalnya kepribadian tokoh yang taat beribadah dan berdoa. Dalam novel ini nilai pendidikan religius mengambil bentuk yang amat berbeda, yaitu kehidupan para tokoh yang saling menghargai satu sama lain, saling memaafkan, dan kepedulian antarindividu tergambar amat jelas. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Mujiyanto bahwa nilai religius adalah ungkapan keimanan yang dapat diwujudkan dengan saling memberikan pelayanan, kasih, menghargai antarmakhluk ciptaan-Nya, dan saling memaafkan. Tampak pada kutipan wawancara berikut ini. tokoh rajin sholat atau mengaji. Nilai religius dapat diungkapkan lewat wujud menghargai makhluk ciptaan-Nya, saling mengasihi, (Catatan lapangan hasil wawancara, lampiran 4, nomor 8, halaman 200) Hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye ini mengandung nilai pendidikan religius. Hanya saja nilai pendidikan religius tersebut mengambil wujud yang amat berbeda dari pada novel kebanyakan yang ada seperti yang telah disebutkan sebelumnya di atas. b. Nilai Pendidikan Moral Nurgiyantoro (2005: 232) mengungkapkan bahwa karya sastra senantiasa menawarkan nilai moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur manusia, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sifat-sifat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
161 luhur manusia tersebut pada hakikatnya bersifat universal, artinya sifatsifat itu dimiliki dan diyakini oleh setiap manusia yang hidup bermasyarakat dan yang telah meyakininya. Nurgiyantoro (2005: 322) menambahkan, walaupun dalam karya sastra ditampilkan sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh yang kurang terpuji, baik mereka berlaku sebagai tokoh protagonis maupun antagonis, tidaklah berarti bahwa pengarang menyarankan kepada pembaca untuk bersikap dan bertindak secara demikian. Sikap dan tingkah laku tokoh tersebut hanyalah model, model yang kurang baik, yang ditampilkan justru agar tidak diikuti, atau minimal tidak dicenderungi oleh pembaca. Pembaca diharapkan dapat
Novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye juga terdapat nilai moral yang sangat dominan dan tercermin pada tokohtokohnya, di antaranya: (1) bersikap jujur; (2) berusaha dan bekerja keras untuk mewujudkan impian; 3) jangan mudah menyerah; (4) setia kawan; (5) jangan bersikap sombong dan iri hati; dan (6) bersikap sopan dan menghormati orang tua. Nilai-nilai pendidikan moral yang terkandung dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye tersebut diharapkan mampu mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika yang merupakan nilai baik buruk suatu perbuatan, apa yang harus dihindari, dan apa yang harus dikerjakan sehingga tercipta suatu tatanan hubungan manusia dalam masyarakat yang dianggap baik, serasi, dan bermanfaat bagi individu, masyarakat, lingkungan, dan alam sekitar. c.
Nilai Pendidikan Sosial Novel memiliki nilai-nilai sosial yang bersifat tersirat yang hendak disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Menurut Nurgiyantoro (2005: 330), hampir semua novel sejak awal pertumbuhannya sampai sekarang memiliki unsur nilai sosial. Selain itu, nilai sosial yang terdapat dalam novel diambil dari cerita yang terjadi dalam kehidupan nyata karena karya sastra merupakan hasil dari cipta, rasa, dan karsa manusia yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
162 Novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye juga memiliki nilai-nilai pendidikan sosial yang dominan dan bersifat tersirat yang hendak disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Nilai-nilai pendidikan sosial tersebut, di antaranya: (1) saling tolong menolong; dan (2) saling menghormati. Nilai-nilai pendidikan sosial yang ditemukan dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah tersebut menunjukkan bahwa kehidupan sosial masyarakat yang tinggal di gang tepian Sungai Kapuas masih sangat erat karena meskipun berbeda-beda suku, mereka tetap mau saling membantu dan saling menghormati. d. Nilai Pendidikan Budaya Nilai-nilai pendidikan budaya yaitu nilai yang mengandung hubungan mendalam dengan suatu masyarakat, peradaban, atau kebudayaan. Nilai-nilai pendidikan budaya yang terkandung dalam novel dapat diketahui melalui penelaahan terhadap karakteristik dan perilaku tokohtokoh dalam cerita. Salah satu nilai-nilai pendidikan budaya yang terdapat dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah ini adalah tradisi yang dimiliki oleh suku Dayak, yaitu tidak membiarkan seorang gadis dari sukunya menikah den
.
Terkecuali pria tersebut bersedia berkorban dan menjadi bagian dari suku Dayak. Demi cinta, Bang Togar memutuskan tinggal di pedalaman Kalimantan. Kisah tentang Bang Togar yang tinggal di hulu Kapuas selama dua tahun sudah menjadi legenda di tepian Kapuas ini. Semua orang ingat, saat dia akhirnya pulang, teman main masa kecilnya saja pangling. Bang Togar pulang membawa Kak Unai. Alamak, pengorbanan selama dua tahun itu berbuah manis, dia perjodohan dipenuhi. Keluarga Kak Unai tidak bisa menolak selain menikahkan pasangan yang saling jatuh cinta. (Liye, 2013: 241) Selain menceritakan mengenai tradisi pernikahan dari suku Dayak pada umumnya, novel ini juga menceritakan tradisi yang dimiliki oleh suku Dayak Iban dan Dayak Kenyah, yaitu tradisi ngayau. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
163 Seperti banyak suku pedalaman, suku Dayak juga punya ceritacerita hebat-bahkan menjurus seram. Yang paling seram adalah ngayau, memburu kepala musuh, tradisi kaum Dayak Iban dan Dayak kenyah. (Liye, 2013: 242) Tidak hanya menceritakan tradisi ngayau, dalam novel ini juga diceritakan bahwa seorang Pangkalima perang suku Dayak memiliki kemampuan untuk membunuh burung hanya dengan mengangkat jari telunjuknya seperti pistol terarah. Seperti tampak pada kutipan di bawah ini. Dalam versi yang lebih ringan, yang lebih enak jadi bahan percakapan sambil main kartu adalah tentang Pangkalima perang yang masyur. Bayangkan sebuah sampan melaju lembut di hulu lubuk Kapuas, seorang laki-laki gagah Dayak duduk takzim di atasnya, hutan rimba lengang, menyisakan dengking binatang hutan, kabut turun mengungkung. Di tengah takzimnya suasana, seekor burung besar terbang di langit-langit lubuk, berkaok-kaok tiga puluh meter di atas kepala. Laki-laki itu mengangkat tangan. Jari telunjuknya seperti pistol terarah! Terdengar desir angin pelan. Seperti ditembak pistol dengan peredam suara, burung besar itu jatuh berdebam ke permukaan Kapuas, bakal lezat dibakar nanti malam. (Liye, 2013: 242) Kutipan di atas menunjukkan budaya yang dimiliki oleh suku Dayak. Akan tetapi, tidak hanya memberikan pengetahuan mengenai budaya dari suku Dayak, novel ini juga menceritakan mengenai kebiasaan turun-menurun orang Pontianak ketika membayar ongkos naik sepit. Tmpak pada kutipan berikut. Jadi begini, pengemudi sepit memang tidak pernah menarik ongkos langsung dari penumpang. Kalian naik, duduk rapi, lantas ketika mau sampai di seberang, tinggal letakkan uang di dasar perahu sesuai tarif yang berlaku, loncat ke dermaga, bilang terima kasih. Pengemudi sepit juga tidak pernah repot buru-buru memastikan apakah ada penumpang yang berani naik tanpa meletakkan uang. Setelah merapat ke antrean, pengemudi sepit baru memungut gumpalan uang-uang itu, menghitungnya. (Liye, 2013: 38) Kutipan-kutipan
di
atas
menjelaskan
mengenai
nilai-nilai
pendidikan budaya yang ada di kota Pontianak. Dengan mengetahui
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
164 berbagai kebudayaan tersebut, diharapkan pembaca mampu mengenal lebih dekat tentang kehidupan di kota Pontianak. e.
Nilai Pendidikan Estetika Nilai pendidikan estetika merupakan nilai yang selalu muncul dalam sebuah karya sastra, biasanya tercermin dalam penggunaan diksi, gaya bahasa atau majas, dan lain sebagainya. Dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah nilai pendidikan estetika tidak hanya digunakan pengarang pada saat menggambarkan keindahan alam yang menjadi latar penceritaan dalam novel, tetapi juga digunakan ketika menggambarkan perasaan dari si tokoh. Berikut nilai pendidikan estetika yang terdapat dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah. Lihatlah, di tengah cahaya matahari pagi yang hangat menyenangkan, di antara kesibukan dermaga, lenguh burung elang, gemeletuk suara motor tempel, kecipak buih permukaan Kapuas, penumpang spesial itu datang mengenakan kemeja putih, celana kain, sepatu kets, dan menyandang tas berat berisi buku. (Liye, 2013: 269) Langit kota berubah cerah. Awan hitam menipis. Sisanya pergi dibawa angin. Matahari mengintip, membuat permukaan jalan yang basah terlihat syahdu. (Liye, 2013: 386) Kutipan di atas menggambarkan suasana latar pada pagi hari dan siang hari setelah hujan turun. Penggunaan diksi dan gaya bahasa yang indah semakin memperkuat nilai estetika yang terdapat dalam novel ini. Seperti tampak pada kutipan berikut ini. Tidak ada yang mudah dalam cinta. Separuh hatiku bersorak senang. Biarkan semua mengalir bagai Sungai Kapuas. Maka kita lihat, apakah aliran perasaan itu akan semakin membesar hingga tiba di muara atau habis menguap di tengah perjalanan. (Liye, 2013: 278) Kau tahu, Nak, perasaan itu tidak sesederhana satu tambah satu sama dengan dua. Bahkan ketika perasaan itu sudah jelas bagai bintang di langit, gemerlap indah tak terkira, tetap saja dia bukan rumus matematika. Perasaan adalah perasaan. (Liye, 2013: 355)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
165 Kutipan-kutipan di atas menggambarkan perasaan dari si tokoh Borno. Pengarang begitu jeli dalam merangkai kata-kata yang indah dan sesuai untuk menggambarkan situasi yang ada kepada pembaca sehingga tidak menimbulkan kesan berlebihan dan norak. f.
Nilai Pendidikan Sejarah Di sini pula sang novelis menceritakan sedikit cuplikan sejarah nama kota Pontianak dan tentang mengapa pulau Kalimantan mayoritas penduduknya terdiri atas Melayu, Dayak, dan Cina. Disebutkannya bahwa ketika pendiri kota Pontianak, Sultan Abdurrahman Alqadrie mendirikan istana Kadariah, orang Melayu datang berbondong-bondong ke sana, begitu pula dengan orang Dayak yang datang dari pedalaman hulu Kapuas. Adapun tentang ras Cina, disebutkan bahwa pada akhir abad ke-19, daratan Cina dilanda perang sipil yang membuat ribuan penduduk Cina mengungsi keluar dari negerinya, salah satu tujuan mereka adalah Pontianak. Alasannya selain dekat dengan Laut Cina Selatan, penduduk kota Pontianak itu juga ramah terhadap para pendatang (Liye, 2013: 195 alinea 1). Selain yang disebutkan di atas, pengarang juga menceritakan cuplikan sejarah yang terjadi di Indonesia ketika tokoh Pak Tua menceritakan kepada Borno serta Andi mengenai pasangan Fulan dan Fulani. Seperti tampak pada kutipan berikut. Namun, kota ini dinamakan Pontianak. Apai itu Pontianak? Tidak lain tidak bukan adalah nama hantu dalam bahasa Melayu. Seramnya beda-beda tipis dengan kuntilanak. Pendiri kota ini, seloroh Pak Tua suatu ketika, tentulah pemuda perkasa turunan raja-raja. Dia harus mengalahkan si Ponti ini saat membangun istananya. Menggidikkan bulu roma mendengar cerita lengkap Pak Tua, apalagi dibumbui ibu-ibu hamil, kengerian si Ponti menculik bayi, malam penuh teror, dan sebagainya. Nah, karena sang pemuda ini bukan saja sakti mandraguna, tetapi juga elok perangainya, dia dengan senang hati memberikan nama kota dengan nama musuh besarnya it -bukan namanya sendiri apalagi nama leluhurnya. (Liye, 2013: 18)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
166 Umur enam tahun, saat masa kanak-kanak, pecahlah perang besar. Pihak Sekutu yang berhasil memukul pasukan Jepang di Pasifik memberikan kesempatan pada Belanda untuk kembali, mengambil alih kekuasaan. Meletuslah perang di Surabaya, pemuda-pemuda lokal dibakar semangat mempertahankan kemerdekaan, menyerbu setiap jengkal pos dan benteng kompeni Jenderal Mallaby tewas. Bendera Belanda berhasil dirobek, tetapi harga kemerdekaan selalu harus dibayar mahal. Orang tua si Fulan dan si Fulani gugur bersama ribuan pemuda berani lainnya. (Liye, 2013: 169-170) Mereka bekerja di gedung kesenian kota yang waktu itu dekat dengan Lekra. Organisasi underbow seni-budaya milik PKI. Lalu meletuslah pemberontakan G-30S/PKI. Zaman gelap. Si Fulan tidak ketahuan rimba. Pagi buta dia diciduk dari rumah, sedangkan si Fulani dijebloskan ke penjara wanita tanpa proses hukum sama sekali. Apakah pasangan ini PKI? Tentu tidak. Hidup mereka sederhana. Jangan tanya soal politik kepada mereka. Namun, zaman itu semua serba sensitif. Zaman ketika salah ucapan apalagi salah perbuatan bisa berakibat fatal. Jadilah si Fulani susah payah melahirkan di sel pengap, seorang bayi laki-laki yang diberi nama Janji. (Liye, 2013: 170-171) Peristiwa Malari 1974. Jakarta dikepung amuk massa. Toko sembako mereka dibakar, si Janji ikut tewas terbakar. (Liye, 2013: 171) Krisis hebat tahun 1998 membuat ekonomi jadi morat-marit. Kehidupan tambah sulit. Situasi seluruh negeri juga kacau-balau. Pemerintahan berganti. Itulah reformasi. Semua bebas bicara, bahkan kentut pun bisa jadi berita. (Liye, 2013: 172) Walau tidak tahu angka pastinya, penduduk Pontianak mayoritas terdiri atas Melayu, Dayak, dan Cina. Orang Melayu datang berbondong-bondong ketika pendiri kota, Sultan Abdurrahman Alqadrie, mendirikan istana setelah mengalahkan si hantu Ponti. Orang Dayak datang dari pedalaman hulu Kapuas. Lantas bagaimana kota Pontianak dihuni begitu banyak orang Cina? Pak Tua punya teori. Akhir abad ke-19, daratan Cina dilanda perang sipil yang membuat ribuan penduduk Cina mengungsi keluar dari negerinya. Salah satu tujuan mereka adalah Pontianak. Selain dekat dengan Laut Cina Selatan, penduduknya juga ramah terhadap pendatang. (Liye, 2013: 195)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
167 4.
Relevansi dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA Peran suatu karya sastra dalam pembentukan kepribadian atau karakter seseorang tidak didasarkan hanya pada nilai yang terkandung di dalamnya. Pembelajaran sastra yang bersifat apresiatif pun sarat dengan pendidikan karakter sehingga membantu pembentukan kepribadian seseorang. Kegiatan mendengarkan, membaca, menulis, dan berbicara mengenai karya sastra yang dikemas apik dalam pembelajaran bahasa Indonesia pada hakikatnya sudah menanamkan karakter tekun, berpikir kritis, dan berwawasan luas. Selain dari sumber karya sastra yang memang sesuai dengan pembelajaran untuk Sekolah Menengah Atas, seorang guru hendaknya juga dapat mengarahkan anak didiknya untuk mau membaca karya sastra. Oleh karena itu, guru harus mampu mengolah emosi, perasaan, semangat, pemikiran, ide, gagasan, dan pandangan anak didik dengan mengarahkannya pada hal-hal menarik yang terdapat dalam karya sastra. Dengan begitu, pembelajaran karya sastra yang terdapat di dalam mata pelajaran bahasa Indonesia tidak hanya terjadi satu arah, yaitu guru dengan anak didik, melainkan dapat terjadi dua arah, yaitu guru dengan anak didik dan anak didik dengan guru. Sebuah materi ajar diharapkan juga sesuai dengan kematangan emosi peserta didik sehingga nilai-nilai yang disampaikan dapat diterima dengan baik. Seperti yang diungkapkan oleh Willis (2012: 60-61) yang mengatakan bahwa anak berusia di atas 12 tahun sudah mulai menggunakan akal dan pikirannya dalam menggunakan masalah karena keadaan emosinya relatif stabil dan terkendali. Diharapkan dengan tingkat emosi yang sudah terkendali, peserta didik dapat memilih mana yang patut ditiru dan yang tidak boleh. Dalam hal ini, novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah memiliki nilai-nilai pendidikan yang cukup lengkap sehingga dapat digunakan sebagai materi ajar apresiasi sastra di sekolah karena dapat dijadikan motivasi bagi peserta didik. Khususnya untuk peserta didik di tingkat SMA, seperti yang diungkapkan oleh Mujiyanto berikut ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
168 Cocok, kalau untuk SD dan SMP terlalu ketinggian. Tere Liye untuk siswa SMA sangat cocok untuk usia SMA, cerita percintaannya sangat sesuai. Dan sebenarnya di situ juga ada unsur science fiction. Jadi melalui novel itu kita jadi mendapatkan pengetahuan tentang sejarah yang terjadi pada negara kita, Indonesia (Catatan lapangan hasil wawancara, lampiran 4, nomor 7, halaman 200) Menurut pendapat Mujiyanto di atas dapat diketahui bahwa novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah layak dijadikan materi ajar apresiasi sastra untuk peserta didik di tingkat SMA. Selain karena terdapat nilai-nilai pendidikan yang cukup lengkap untuk mengembangkan karakter peserta didik, novel tersebut juga terdapat unsur science fiction, yaitu terdapat fakta tentang ilmu pengetahuan dalam sebuah karya sastra. Terkait dengan apresiasi sastra sendiri, di SMA Negeri 2 Surakarta masih sangat jarang ditemukan ketertarikan peserta didik terhadap karya sastra, terutama untuk peserta didik putra. Seperti yang disampaikan oleh Nurhayat, sebagai berikut. Kebanyakan para siswa ketika diajarkan mengenai sastra, mereka hanya ingin secara instan, yaitu mengandalkan sinopsis. Kebanyakan anak-anak memang berminat dengan novel, tetapi untuk siswa putra (Catatan lapangan hasil wawancara, lampiran 4, nomor 8, halaman 203) Dari jawaban hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye dapat dijadikan sebagai materi ajar apresiasi sastra untuk peserta didik tingkat SMA. Hal tersebut dikarenakan novel ini mengandung banyak nilai-nilai pendidikan yang sangat sesuai dengan usia mereka sehingga mudah dipahami. Akan tetapi, kenyataan di lapangan juga mengatakan bahwa apresiasi sastra dalam pengajaran
bahasa
Indonesia
masih
sangat
kurang
sehingga perlu
ditingkatkan lagi upaya guru menarik perhatian siswa sehingga dalam pembelajaran dapat terjadi komunikasi dua arah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
169 C. Pembahasan Novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye ini dianalisis dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra. Penelitian ini menggunakan teori kepribadian humanistik yang dipelopori oleh Abraham Maslow. Dengan menggunakan teori humanistik ini, akan diungkap tentang kondisi kepribadian tokoh dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye. Langkah pertama yang penulis lakukan dalam menganalisis novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye tersebut adalah dengan menganalisis unsur intrinsik yang terkandung di dalamnya sebelum menganalisis lebih mendalam tentang kepribadian para tokoh. Rumusan masalah yang pertama akan membahas tentang penokohan yang terdapat dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye.Unsur penokohan ini akan mengklasifikasikan tentang tokoh utama dan tokoh tambahan. Hal ini dapat mendukung untuk menganalisis kondisi kejiwaan atau kepribadian dari tokoh novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye dengan menggunakan teori psikologi humanistik di dalam rumusan yang kedua. Rumusan yang ketiga adalah nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye. Adapun untuk rumusan yang keempat adalah relevansi novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye dalam pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya SMA Negeri 2 Surakarta. Berikut ini akan dipaparkan hasil temuan data yang telah didapat. 1.
Analisis Penokohan dalam Novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye Nurgiyantoro mengatakan bahwa (2005: 176-177) tokoh dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan pada sudut mana penamaan itu dilakukan. Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh tambahan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
170 adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah, tokoh utamanya adalah Borno. Adapun tokoh tambahan dalam novel ini, yaitu Pak Tua, Mei, Andi, Bang Togar, Cik Tulani, Koh Acong, Ibu, Dokter Sarah, Juhari, Jupri, petugas timer, papa Mei, ibu Kepsek, pejabat syahbandar, bapak Andi, Fulan Fulani, Bibi, pemilik pabrik karet, Mang Jaya, Pak Sihol, satpam sekolah, pemilik sarang burung wallet, mama Sarah, Ujang, Tun Badawi, Tetua Medang, dan Lai. Penggambaran watak dilakukan dengan menggunakan tiga dimensi, yaitu dimensi fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Dimensi fisiologis berhubungan dengan keadaan fisik, meliputi umur, ciri fisik, penyakit, dan sebagainya. Dimensi psikologis merupakan faktor paling penting untuk menggambarkan watak tokoh, seperti baik hati, penyabar, sombong, jahat, dan sebagainya. Adapun dimensi sosiologis berhubungan dengan sosial masyarakat, meliputi suku, kelas sosial, kedudukan, pekerjaan, agama, dan sebagainya. Dari ketiga dimensi watak tersebut dapat dianalisis watak tokoh dalam novel. Walaupun tidak semua dimensi diceritakan pada setiap tokoh, hanya beberapa saja yang diceritakan secara lengkap melalui ketiga dimensi tersebut. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Minderop (2005: 95), perwatakan adalah kualitas nalar dan perasaan para tokoh di dalam suatu karya fiksi yang dapat mencakup tidak saja tingkah laku atau tabiat dan kebiasaan, tetapi juga penampilan. Dari hasil analisis diperoleh kepribadian tiap-tiap tokoh. Secara fisiologis Borno merupakan pemuda asli Pontianak keturunan Melayu yang tampan dan gagah. Jika dilihat secara psikologis, Borno digambarkan
Borno adalah pemuda yang mempunyai rasa ingin tahu sangat besar, ia selalu berjuang dan berusaha keras untuk dapat meraih apa yang diharapkannya. Ia juga merupakan pemuda yang jujur dan peduli dengan orang lain. Secara sosiologis Borno merupakan anak tunggal dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
171 tinggal di rumah papan bersama ibunya setelah ayahnya meninggal dunia. Tokoh Pak Tua digambarkan sebagai pria paruh baya dengan tubuh yang tinggi-kurus, beruban, dan mempunyai penyakit asam urat. Tokoh Pak Tua memiliki sifat yang sangat bijaksana. Ia selalu memberikan petuah, nasehat dan kalimat-kalimat bijak saat memaknai hikmah dari sebuah peristiwa. Pak Tua memiliki wawasan yang luas, terkadang usil dan sok tahu, namun sangat baik dan peduli dengan orang lain. Dilihat dari segi sosiologis, Pak Tua adalah seorang laki-laki bujang yang tinggal sendirian di rumahnya. Pak Tua menjadikan menarik sepit sebagai hobi, bukan pekerjaan. Selanjutnya tokoh Mei digambarkan sebagai seorang gadis berusia dua puluh dua tahun, berambut hitam panjang keturunan Cina. Mei mempunyai paras yang cantik dengan wajah sendu menawan. Mei mempunyai sifat yang baik hati. Ia juga bersedia memberikan bantuan dan tidak sungkan untuk menyapa orang lain terlebih dulu. Mei awalnya merupakan gadis yang ceria, namun setelah ibunya meninggal ia menjadi sedikit pemurung. Tokoh Mei digambarkan sebagai lulusan sarjana dan bekerja sebagai guru magang di salah satu yayasan sekolah swasta di Pontianak. Mei dulunya lahir di kota Pontianak, tetapi kemudian ia dan keluarganya memutuskan untuk pindah ke Surabaya dan menetap di sana. Selanjutnya Ibu Borno, pengarang tidak menjelaskan secara jelas keadaan fisik dari tokoh ini. Tokoh Ibu mempunyai sifat yang sama seperti kebanyakan ibu lainnya, yaitu suka menghibur dan memberikan nasehat kepada anaknya. Selain itu, tokoh Ibu juga memiliki sifat yang sangat baik hati dan perhatian kepada orang lain. Ibu Borno (Saijah) digambarkan sebagai seorang istri nelayan yang tinggal berdua dengan anaknya (Borno) setelah suaminya meninggal. Adapun tokoh Bapak Secara fisiologis pengarang tidak menggambarkannya secara jelas. Bapak adalah seorang nelayan yang tangguh. Sebagai seorang pelaut, Bapak seorang yang pandai dan cakap ketika berada di tengah lautan. Bapak juga dikenal memiliki sifat yang sangat baik hati. Sebelum tubuhnya berhenti bekerja, Bapak menyetujui untuk mendonorkan jantungnya. Dilihat dari dimensi sosiologis, Bapak adalah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
172 seorang nelayan tangguh yang menjadi tulang punggung keluarga. Bapak merupakan anak seorang juragan sepit yang dulunya hidup makmur. Tokoh Andi adalah tetangga sekaligus sahabat Borno sejak mereka masih berada di ayunan. Secara fisiologis, pengarang tidak menggambarkan secara jelas keadaan fisik tokoh Andi, namun hanya menggambarkan bahwa Andi memiliki suara yang bagus ketika bernyanyi. Andi adalah sosok yang pekerja keras, selalu terbawa suasana, selalu merasa penasaran, sangat usil, sedikit sombong dan sok tahu, namun sangat baik, peduli, dan setia kawan. Andi juga digambarkan sebagai pemuda keturunan Bugis yang bekerja di bengkel motor milik bapaknya. Adapun, Bang Togar, secara fisiologis digambarkan sebagai seorang yang bertubuh besar dan tinggi, serta berkumis melintang. Secara psikologis, sosok Bang Togar adalah orang yang sombong, mudah marah, dan terbawa emosi, namun berwibawa dan berjiwa pemimpin, serta peduli dengan orang di sekitarnya. Jika dilihat dari dimensi sosiologis, Bang Togar adalah laki-laki keturunan Batak yang sudah menikah dan memiliki dua anak. Bang Togar juga merupakan Ketua PPSKT (Paguyuban Pengemudi Sepit Kapuas Tercinta). Lalu, tokoh Cik Tulani secara fisik tidak terlalu jelas digambarkan oleh pengarang. Dilihat dari dimensi psikologis, Cik Tulani adalah sosok yang suka mengomel dan berbual, namun peduli dengan orang sekitarnya. Cik Tulani yang juga merupakan paman jauh Borno juga merupakan keturunan Melayu, peranakan asli penduduk Pontianak. Selain itu, tokoh Koh Acong secara fisiologis atau keadaan fisik tidak dijelaskan pengarang dalam novel ini. Namun, ditinjau dari dimensi psikologis, Koh Acong dikenal sangat pandai berhitung cepat atau mecongak dan sangat peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Koh Acong yang merupakan keturunan Cina adalah seorang pemilik toko kelontong yang menghadap persis Sungai Kapuas. Bapak Andi secara fisiologis tidak digambarkan dengan jelas oleh pengarang. Bapak Andi memiliki sifat yang jujur, tegas, dan juga selalu optimis. Bapak Andi merupakan keturunan Bugis. Ia seorang pemilik bengkel motor kecil dan juga seorang pedagang. Adapun tokoh Jauhari, Jupri, dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
173 petugas timer juga tidak dijelaskan dengan jelas keadaan fisik atau dimensi fisiologis mereka. Namun, ditinjau dari dimensi psikologis, baik Jauhari, Jupri, maupun petugas timer, ketiganya memiliki watak yang jahil. Itu terlihat dari ketiganya yang sering kali menggoda Borno. Meskipun mereka bertiga sering mengolok-olok Borno, namun mereka sangat menyayangi Borno. Itu terbukti saat Jauhari dan Jupri mendukung keputusan Borno untuk menjual sepit yang dihadiahkan untuknya demi ikut kongsi bengkel dengan bapak Andi. Selain itu petugas timer, yang dipanggil Borno dengan sebutan Om juga membantu Borno menyisakan satu tempat kosong untuk Mei setiap kali Borno hendak menarik sepit. Mereka bertiga juga sangat perhatian, baik terhadap sesama anggota PSKT maupun tetangga di gang tempat mereka tinggal. Dilihat dari dimensi sosiologis ketiganya, pengarang tidak menjelaskannya secara jelas. Jauhari dan Jupri hanya digambarkan sebagai pengemudi sepit, bahkan petugas timer pun tidak diberitahukan namanya oleh pengarang. Selanjutnya tokoh Dokter Sarah, secara fisiologis digambarkan sebagai seorang dokter gigi muda yang memiliki wajah cantik dengan mata hitam bening dan rambut sebahu. Sarah memiliki sifat periang. Ia selalu senang tersenyum dan tertawa. Selain periang, Sarah mempunyai pribadi yang bersahaja. Ia bahkan tidak sedikit pun merendahkan pekerjaan Borno sebagai pengemudi sepit. Apabila dilihat dari dimensi sosiologis, Sarah memiliki pekerjaan sebagai dokter gigi. Selain itu, ada Fulan dan Fulani yang merupakan pasangan suami-istri dan keduanya buta. Apabila dilihat dari dimensi psikologis, pasangan Fulan dan Fulani sangat kompak. Mereka saling mendukung dalam keadaan apa pun. Selain kompak, mereka memiliki watak yang penyabar. Meski musibah berkali-kali menimpa mereka, namun pasangan ini tetap sabar dalam menghadapinya. Jika dilihat dari dimensi sosiologis, si Fulan dan si Fulani adalah pasangan suami-istri yang menikah hampir enam puluh tahun. Mereka awalnya mempunyai seorang anak, bernama Janji. Namun, pada peristiwa Malari 1974 toko sembako mereka dibakar dan Janji ikut tewas terbakar. Mereka kemudian dianugerahi dua anak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
174 kembar. Pasangan ini pada awalnya hidup berpindah-pindah, tetapi akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal di Surabaya dan mempunyai padepokan musik. Ibu Kepala Sekolah digambarkan pengarang berusia lima puluh tahun dengan wajah yang lembut dan penyabar. Jika dilihat dari dimensi psikologis, Ibu Kepala Sekolah mempunyai sifat yang ramah dan baik hati. Dari segi sosiologis Ibu Kepsek hanya digambarkan pengarang sebagai Kepala Sekolah sebuah yayasan sekolah swasta di Pontianak. Pemilik parik karet digambarkan sebagai laki-laki peranakan Cina dengan usia setengah baya. Ia memiliki rambut yang sudah sepertiganya beruban, perutnya separuh gendut, dan tampangnya sangat kebapakan. Pemilik pabrik karet ini sangat percaya sekali dengan fengsui. Adapun jika dilihat dari dimensi sosiologis, pemilik pabrik karet ini merupakan orang yang berhasil. Akan tetapi, dikarenakan krisis dunia yang melanda maka ia menjadi bangkrut dan akhirnya terpaksa menutup pabrik. Pejabat syahbandar tidak digambarkan dengan jelas mengenai keadaan fisik atau dimensi fisiologisnya. Apabila ditinjau dari dimensi psikologis, pejabat syahbandar mempunyai sikap yang tegas dalam mengambil keputusan. Selain itu, pejabat syahbandar juga merupakan orang yang baik. Ia bersedia membantu Borno mencarikan pekerjaan. Pengarang tidak memberikan gambaran yang jelas mengenai dimensi sosiologis dari pejabat syahbandar. Papa Mei secara fisiologis digambarkan sebagai seorang laki-laki usia setengah baya dengan wajah khas peranakan Cina yang tangguh. Papa Mei mempunyai gurat wajah yang tegas, berwibawa,
dan sorot matanya tajam. Adapun dilihat dari
dimensi psikologis, Papa Mei merupakan orang yang tidak pernah suka basabasi. Ia akan mengatakan maksudnya langsung ke topik pembicaraan. Bibi mempunyai tubuh yang besar dengan wajah gesit. Bibi berusia lebih dari lima puluh tahun dengan rambut mulai beruban, namun terlihat amat cekatan. Apabila dilihat dari dimensi psikologis, Bibi memiliki watak yang penyabar, baik hati dan setia kepada majikannya. Jika dilihat dari segi sosiologis sosok Bibi merupakan penjaga rumah keluarga Mei yang berada di Kapuas.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
175 Meskipun Bibi merupakan orang Kalimantan, namun ia tidak pernah pergi keluar dari Kapuas. 2.
Tuntutan Kebutuhan yang Dialami Tokoh dalam Novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye Menurut Teori Psikologi Kebutuhan Bertingkat Abraham Maslow Novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye ini dikaji
dengan
menggunakan
pendekatan
psikologi
sastra
yang
menitikberatkan pada aspek kejiwaan tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel ini. Aspek kejiwaan para tokoh tersebut diteliti dengan menggunakan teori psikologi humanistik yang dipelopori oleh Abraham Maslow. Maslow (dalam Baihaqi, 2008: 192-193) menjelaskan dalam teorinya bahwa terdapat lima kebutuhan yang ingin dipenuhi oleh setiap manusia, diantaranya: (1) kebutuhan fisiologis; (2) kebutuhan rasa aman; (3) kebutuhan rasa cinta dan memiliki; (4) kebutuhan akan harga diri; dan (5) kebutuhan aktualisasi diri. Dari kelima kebutuhan tersebut maka kebutuhan yang paling dasar, paling kuat, dan paling jelas dari antara sekalian kebutuhan manusia adalah kebutuhannya
untuk
mempertahankan
hidupnya
secara
fisik,
yaitu
kebutuhannya akan makanan, minuman, tempat berteduh, tidur, dan oksigen. Tokoh-tokoh dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah juga mempunyai kebutuhan fisiologis yang harus dipenuhi, hal tersebut terlihat melalui sikap, perilaku, serta perkataan secara eksplisit. Kebutuhan fisiologis yang mendesak para tokoh novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah untuk memuaskannya, antara lain: makan dan minum serta kesehatan. Kebutuhan tersebut sifatnya mendesak untuk segera terpenuhi dan terpuaskan. Apabila kebutuhan tersebut tidak segera terpenuhi dan terpuaskan, maka akan terjadi gangguan pada kelangsungan hidup Segera
setelah
kebutuhan-kebutuhan
fisiologis
terpuaskan,
muncullah apa yang oleh Maslow dilukiskan sebagai kebutuhan-kebutuhan akan rasa aman. Kebutuhan ini menurut Maslow mendorong individu untuk memeroleh
ketentraman,
kepastian,
dan
keteraturan
dari
keadaan
lingkungannya. Pada novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah para tokoh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
176 juga membutuhkan rasa aman, salah satunya ditunjukkan oleh tokoh Borno dan Andi melalui sikap, perilaku, maupun perkataan. Kebutuhan rasa aman yang mendorong Borno dan Andi untuk memenuhi dan memuaskannya adalah rasa aman dari ancaman. Borno dan Andi membutuhkan rasa aman dari ancaman semata-mata untuk mempertahankan keteraturan dan stabilitas kehidupannya untuk jangka waktu yang lebih lama. Jika kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan rasa aman telah terpenuhi, maka muncullah kebutuhan akan cinta, kasih sayang, dan rasa memiliki-dimiliki. Tokoh-tokoh novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah juga membutuhkan rasa cinta, kasih sayang, dan rasa memiliki-dimiliki. Rasa cinta dan memiliki yang dibutuhkan mendorong para tokoh untuk dapat terpenuhi dan terpuaskan, antara lain: rasa cinta dan memiliki dengan pasangan, dan rasa cinta dan memiliki dengan sesama (teman, sanak saudara). Dalam cerita novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah, tokoh yang menjadi pasangan adalah Borno dengan Mei, Bang Togar berpasangan dengan Kak Unai, dan Fulan berpasangan dengan Fulani. Adapun hampir semua tokoh menjalin hubungan pertemanan dan persaudaraan yang sangat erat. Kebutuhan tersebut masuk dalam lingkup kebutuhan rasa cinta dan memiliki mendorong para tokoh untuk mengadakan hubungan atau ikatan emosional dengan masing-masing pasangannya maupun dengan teman dan sanak saudaranya. Maslow menemukan bahwa setiap orang memiliki kategori kebutuhan akan penghargaan, yakni penghargaan dari diri sendiri dan penghargaan dari orang lain. Ia menambahkan bahwa setiap individu ingin mengetahui atau yakin bahwa dirinya berharga serta mampu mengatasi segala tantangan dalam hidupnya. Borno sebagai tokoh utama juga memiliki kebutuhan harga diri, yaitu mendapat pengakuan dari dirinya sendiri. dalam novel ini memang hanya Borno yang diceritakan memiliki kebutuhan harga diri karena kisah dalam novel ini memang berpusat pada Borno. Borno mendapat penghargaan dari dirinya sendiri ketika ia bisa menjadi seorang montir di bengkel kecil milik ayah Andi, berhasil menarik sepit dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
177 membawa penumpang untuk pertama kalinya, berhasil membuka bengkel sendiri, dan mampu mencapai babak final perlombaan sepit. Maslow menjelaskan bagian yang kedua dalam kebutahan akan harga diri, yakni prestasi. Dalam hal ini, individu butuh penghargaan atas apa-apa yang dilakukannya. Terpuaskannya kebutuhan akan rasa harga diri pada individu akan menghasilkan sikap percaya diri, rasa kuat, rasa mampu, dan perasaan berguna, begitu pun sebaliknya akan terjadi. Borno juga memiliki kebutuhan harga diri untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain atas apa yang telah ia lakukan. Borno mendapat penghargaan dari orang lain ketika menunjukkan bahwa
ia
berhasil
mengemudikan
sepit
dengan
terampil,
berhasil
memperbaiki mesin kendaraan maupun mesin sepit yang rusak, berhasil menjadi pemilik bengkel besar, dan ia juga mendapat penghargaan dari orang lain atas sikap yang dimilikinya sebagai pemuda dengan hati paling lurus sepanjang tepian Sungai Kapuas. Hal tersebut menghasilkan rasa percaya diri dan perasaan berguna yang timbul dalam diri Borno. Maslow mengemukakan bahwa sesudah kebutuhan akan cinta dan akan penghargaan terpuaskan maka kebutuhan selanjutnya yang menuntut untuk terpuaskan adalah kebutuhan aktualisasi diri. Maslow juga melukiskan
Bentuk pengaktualisasian diri ini berbeda pada setiap orang. Untuk mencapai taraf aktualisasi diri atau memenuhi kebutuhan akan aktualisasi diri tidaklah mudah, sebab banyak sekali hambatannya. Kebutuhan aktualisasi juga terdapat pada diri tokoh utama dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah ini, yaitu Borno karena semua kisah dalam novel ini berpusat pada dirinya. Borno merupakan tokoh yang memiliki latar belakang sederhana. Dia hanya seorang pemuda yang berasal dari sebuah gang sempit di tepian Sungai Kapuas. Akan tetapi, ia mempunyai cita-cita yang tinggi sehingga dengan segenap usaha dan kemampuan yang dimiliki, Borno berusaha untuk mewujudkan impiannya. Banyak hal yang dilakukan oleh Borno untuk mendorongnya memenuhi kebutuhan aktualisasi yang dimilikinya, antara
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
178 lain: (1) Borno ingin menunjukkan bahwa dia mau melakukan apapun untuk mendapat pekerjaan, asalkan itu dilakukan dengan jujur; (2) Borno ingin menunjukkan
bahwa
dengan
keterampilan
serta
pengetahuan
yang
dimilikinya tentang mesin, ia bisa menjadi seorang montir bengkel hingga akhirnya menjadi pemilik bengkel besar; dan (3) Borno ingin menunjukkan bahwa meskipun ia sudah sukses menjadi pemilik bengkel besar, tetapi ia masih berkeinginan untuk belajar mendalami tentang mesin sehingga ia memutuskan untuk berkuliah. Hal tersebut menunjukkan bahwa Borno ingin mengaktualisasikan dirinya sehingga dia bisa menunjukkan kepada semua orang bahwa dia mampu untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, meskipun banyak halangan yang menimpanya. Puncaknya, kebutuhan akan aktualisasi diri yang dimiliki Borno telah terpenuhi dan terpuaskan dengan berhasilnya Borno memajukan bisnis bengkelnya hingga ia kini telah membuka cabang bengkel kedua. Selain itu, Borno juga berhasil mewujudkan keinginannya untuk kuliah dan belajar dengan benar tentang mesin. 3.
Analisis Nilai-nilai Pendidikan dalam Novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye Nilai-nilai pendidikan adalah nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah karya sastra (novel) yang memberi bimbingan dan tuntunan bagi pembacanya. Novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah mengandung nilai-nilai pendidikan yang lengkap yang dibutuhkan untuk membantu pembentukan karakter atau kepribadian seseorang. Berikut ini nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye. a.
Nilai Pendidikan Religius Hampir di semua karya sastra novel, pengarang selalu menyisipkan nilai pendidikan religius yang ingin disampaikan kepada para pembaca. Semi (1993: 22), menjelaskan bahwa agama merupakan dorongan penciptaan karya sastra, sebagai sumber ilham dan sekaligus sering membuat sastra atau karya sastra bermuara pada agama. Kehadiran unsur religius dalam karya sastra adalah suatu keberadaan sastra itu sendiri,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
179 bahkan sastra tumbuh dari suatu yang bersifat religius. Agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi. Nilai pendidikan religius yang terdapat dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye ini tidak dilukiskan secara mendalam oleh pengarang. Tere Liye menggambarkan nilai-nilai religius berbeda dengan kebanyakan pengarang lainnya yang secara jelas tergambar dalam cerita, misalnya kepribadian tokoh yang taat beribadah dan berdoa. Dalam novel ini nilai pendidikan religius mengambil bentuk yang amat berbeda, yaitu kehidupan para tokoh yang saling menghargai satu sama lain, saling memaafkan, dan kepedulian antarindividu tergambar amat jelas. b. Nilai Pendidikan Moral Nurgiyantoro (2005: 232) mengungkapkan bahwa karya sastra senantiasa menawarkan nilai moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur
manusia,
memperjuangkan
hak
dan
martabat
manusia.
Nurgiyantoro (2005: 322) menambahkan, walaupun dalam karya sastra ditampilkan sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh yang kurang terpuji, baik mereka berlaku sebagai tokoh protagonis maupun antagonis, tidaklah berarti bahwa pengarang menyarankan kepada pembaca untuk bersikap dan bertindak secara demikian. Sikap dan tingkah laku tokoh tersebut hanyalah model, model yang kurang baik, yang ditampilkan justru agar tidak diikuti, atau minimal tidak dicenderungi oleh pembaca. Pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah sendiri dari cerita tentang tokoh
Novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye juga terdapat nilai moral yang sangat dominan dan tercermin pada tokohtokohnya, di antaranya: (1) bersikap jujur; (2) berusaha dan bekerja keras untuk mewujudkan impian; (3) jangan mudah menyerah; (4) setia kawan; (5) jangan bersikap sombong dan iri hati; dan (6) bersikap sopan dan menghormati orang tua. Nilai-nilai pendidikan moral yang terkandung dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
180 tersebut diharapkan mampu mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika yang merupakan nilai baik buruk suatu perbuatan, apa yang harus dihindari, dan apa yang harus dikerjakan sehingga tercipta suatu tatanan hubungan manusia dalam masyarakat yang dianggap baik, serasi, dan bermanfaat bagi individu, masyarakat, lingkungan, dan alam sekitar. c.
Nilai Pendidikan Sosial Novel memiliki nilai-nilai sosial yang bersifat tersirat yang hendak disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Menurut Nurgiyantoro (2005: 330), hampir semua novel sejak awal pertumbuhannya sampai sekarang memiliki unsur nilai sosial. Selain itu, nilai sosial yang terdapat dalam novel diambil dari cerita yang terjadi dalam kehidupan nyata karena karya sastra merupakan hasil dari cipta, rasa, dan karsa manusia yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye memiliki nilai-nilai pendidikan sosial yang juga sangat dominan dan bersifat tersirat maupun tersurat yang hendak disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Nilai-nilai pendidikan sosial tersebut, di antaranya: (1) saling tolong menolong; dan (2) saling menghormati. Nilai-nilai pendidikan sosial yang ditemukan dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah tersebut menunjukkan bahwa kehidupan sosial masyarakat yang tinggal di gang tepian Sungai Kapuas masih sangat erat karena meskipun berbeda-beda suku, mereka tetap mau saling membantu dan saling menghormati.
d. Nilai Pendidikan Budaya Nilai-nilai pendidikan budaya yaitu nilai yang mengandung hubungan mendalam dengan suatu masyarakat, peradaban, atau kebudayaan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Koentjaraningrat (1985: 18) bahwa sistem nilai budaya dalam masyarakat dianggap paling berharga dalam hidup. Nilai-nilai pendidikan budaya yang terkandung dalam novel dapat diketahui melalui penelaahan terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita. Salah satu nilai-nilai pendidikan budaya yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
181 terdapat dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah ini adalah tradisi yang dimiliki oleh suku Dayak, yaitu tidak membiarkan seorang
Terkecuali pria tersebut bersedia berkorban dan menjadi bagian dari suku Dayak. Selain menceritakan mengenai tradisi pernikahan dari suku Dayak pada umumnya, novel ini juga menceritakan tradisi yang dimiliki oleh suku Dayak Iban dan Dayak Kenyah, yaitu tradisi ngayau. Dalam novel ini juga diceritakan bahwa seorang Pangkalima perang suku Dayak memiliki
kemampuan
untuk
membunuh
burung
hanya
dengan
mengangkat jari telunjuknya seperti pistol terarah. Penjelasan di atas menjelaskan mengenai nilai-nilai pendidikan budaya yang ada di kota Pontianak. Dengan mengetahui berbagai kebudayaan tersebut, diharapkan pembaca mampu mengenal lebih dekat tentang kehidupan di kota Pontianak sebagai warisan dari leluhur yang patut untuk dilestarikan. e.
Nilai Pendidikan Estetika Nilai pendidikan estetika merupakan nilai yang selalu muncul dalam sebuah karya sastra, biasanya tercermin dalam penggunaan diksi, gaya bahasa atau majas, dan lain sebagainya. Fungsi estetika sastra adalah agar penampilan karya sastra dapat memberikan kenikmatan dan keindahan bagi pembacanya (Semi, 1993: 56). Dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah nilai pendidikan estetika tidak hanya digunakan pengarang pada saat menggambarkan keindahan alam yang menjadi latar penceritaan dalam novel, tetapi juga digunakan ketika menggambarkan perasaan dari si tokoh. Penggunaan diksi dan gaya bahasa yang indah juga semakin memperkuat nilai estetika yang terdapat dalam novel ini.
f.
Nilai Pendidikan Sejarah Nilai pendidikan sejarah pada masa lampau dalam suatu karya sastra dapat memberikan inspirasi kepada para pembacanya karena dapat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
182 mengilhami perjuangan kita di masa sekarang (Wellek dan Warren, 2014: 312). Di sini pula sang novelis menceritakan sedikit cuplikan sejarah nama kota Pontianak dan tentang mengapa pulau Kalimantan mayoritas penduduknya terdiri atas Melayu, Dayak, dan Cina. Disebutkannya
bahwa
ketika
pendiri
kota
Pontianak,
Sultan
Abdurrahman Alqadrie mendirikan istana Kadariah, orang Melayu datang berbondong-bondong ke sana, begitu pula dengan orang Dayak yang datang dari pedalaman hulu Kapuas. Adapun tentang ras Cina, disebutkan bahwa pada akhir abad ke-19, daratan Cina dilanda perang sipil yang membuat ribuan penduduk Cina mengungsi keluar dari negerinya, salah satu tujuan mereka adalah Pontianak. Alasannya selain dekat dengan Laut Cina Selatan, penduduk kota Pontianak itu juga ramah terhadap para pendatang (Liye, 2013: 195). Selain yang disebutkan di atas, pengarang juga menceritakan cuplikan sejarah yang terjadi di Indonesia ketika tokoh Pak Tua menceritakan kepada Borno serta Andi mengenai pasangan Fulan dan Fulani. 4.
Analisis Relevansi dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA Nilai pendidikan yang cukup dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah membuat novel tersebut layak digunakan sebagai materi ajar untuk SMA atau sederajat. Hal itu diperkuat dari hasi wawancara dengan Yant Mujiyanto bahwa novel tersebut dapat digunakan sebagai bahan ajar di sekolah khususnya di SMA karena novel ini mengandung nilai pendidikan yaitu religius, moral, sosial, budaya, dan estetika. Selain itu, novel ini juga mengandung science fiction sehingga bagus dibaca oleh anak-anak sekolah. Hal tersebut sama dengan hasil wawancara dengan Mujiyono bahwa novel tersebut bisa digunakan untuk pembelajaran sastra di kelas SMA maupun SMK tentang apresiasi sastra. Hal tersebut dikarenakan novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah isinya bagus dan mengandung nilai pendidikan. Novel tersebut dapat memotivasi peserta didik untuk meraih cita-cita yang tinggi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
183 Selain itu, novel ini menceritakan tentang kehidupan pemuda yang hidup dalam keterbatasan, namun memiliki semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu dan meraih mimpi. Diharapkan setelah membaca novel tersebut, peserta didik mendapatkan inspirasi dan motivasi untuk meraih mimpi. Oleh karena itu, novel ini cocok dibaca oleh peserta didik SMA atau sederajat karena memang ceritanya mengisahkan kehidupan seorang remaja. Novel mengandung banyak nilai pendidikan yang dapat diteladani oleh peserta didik, seperti sopan santun, menghormati orang tua, saling membantu, dan tidak membeda-bedakan. Novel ini memiliki banyak pesan yang ingin disampaikan pada pembaca. Pembaca dapat meneladani watak-watak tokoh yang baik. Oleh karena itu, novel ini dapat digunakan sebagai bacaan peserta didik untuk mengapresiasi sastra. Namun, juga diharapkan usaha keras dari guru agar dapat menarik perhatian para peserta didiknya karena apresiasi sastra dalam pembelajaran bahasa Indonesia masih sangatlah kurang.
commit to user