BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1.
Gambaran Umum PT Tatajabar Sejahtera
4.1.1. Sejarah Singkat Perusahaan Kota Bukit Indah (KBI) merupakan sebuah kawasan industri terpadu seluas 2.054 Hektar yang berlokasi di Cikampek Kabupaten Karawang dan Kabupaten Purwakarta. KBI memiliki lokasi yang strategis yaitu berada di persimpangan
jalan
antara
Jakarta,
Bandung
dan
Cirebon,
sehingga
memungkinkan para investor untuk menggunakan pelabuhan Tanjung Priok dan/atau Cirebon dalam melakukan aktivitas ekspor impor. KBI dapat dicapai secara mudah dari Jakarta melalui jalan tol Jakarta-Cikampek selama lebih kurang 70 menit (jarak 70 km), dan dari Bandung melalui jalan tol cipularang (jarak 70 km). Pembangunan kawasan industri ini berawal dari tahun 1990-an saat negara-negara di asia tenggara berlomba-lomba untuk menjadi negara industri, pada saat itu sekitar tahun 1985 s/d 1990 Pemerintah Indonesia juga mencanangkan program Indonesia untuk menjadi negara industri. Untuk menjawab program pemerintah tersebut maka dibangunlah KBI dengan terlebih dahulu menyampaikan gagasan tersebut kepada Departemen Kehutanan dengan tujuan untuk memanfaatkan lahan yang tidak produktif dengan struktur tanah yang tidak dapat ditanami.
83
84
Pembangunan KBI didasarkan pada konsep pengembangan kawasan industri terkemuka di Singapura yaitu Jurong Town Corporation yang dirancang menjadi sebuah kota satelit mandiri untuk kegiatan industri yang memiliki infrastruktur dan sarana pendukung lengkap83. Sarana pendukung KBI antara lain pembangkit listrik, perusahaan air bersih dan pengelolaan limbah cair, hotel, asrama untuk pekerja, perkantoran, pusat komersial, tempat ibadah, sekolah dan kompleks rumah tinggal. Areal tanah tersebut dikembangkan oleh dua pengembang yaitu PT Besland Pertiwi sebesar 1.346 hektar dan PT Indotaisei Indah Development (kerjasama antara PT Besland Pertiwi dan Taisei Corporation, Japan) sebesar 708 hektar84. Sebagai kawasan industri terpadu yang cukup kompleks, selain dua perusahaan tersebut, terdapat sejumlah anak perusahaan lainnya secara bersamasama mendukung dan mengembangkan KBI yaitu PT Hotel Istana Bukit Indah sebagai pemilik dan pengelola hotel bintang 4 dan bintang 2, PT Tatajabar Sejahtera sebagai pemasok tenaga listrik, PT Sarana BukitIndah Industrial city sebagai estate manager dan PT Bukit Indah Tirta Alam sebagai pemasok air bersih dan pengolahan air limbah cair. Dan yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah PT Tatajabar Sejahtera (TjS). Walaupun pemerintah telah mencanangkan program Indonesia menjadi negara industri, namun secara infrastruktur Indonesia belum siap. Pada waktu itu Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai perusahaan pembangkita dan distribusi 83
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Program Penjualan Aset Investasi (PPAI-AMI)Memorandum Informasi Ringkat Kota Bukit Indah, April 2003, Hal. 7 84 Ibid, Hal. 7
85
listrik tunggal di Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan listrik secara nasional. Karena ketiadaan sumber pasokan listrik tersebut, PT Besland Pertiwi sebagai pengelola kawasan memutuskan untuk membangun power plant sendiri melalui PT Tatajabar Sejahtera, sebagai sebuah perusahaan listrik swasta dengan tujuan memasok kebutuhan listrik untuk kawasan industri Kota Bukit Indah (KBI). PT Tatajabar Sejahtera (TjS) didirikan pada tanggal 15 Januarii 1991, dan mulai beroperasi secara komersial pada 01 Januari 1994. Kegiatan usahanya adalah Pembangkit, Transmisi dan Distribusi tenaga listrik di kawasan industri Kota Bukit Indah, Cikampek. TjS menjadi satu-satunya pengelola listrik di kawasan industri tersebut dengan menempati lahan seluas + 10,32 ha. Saat ini kepemilikian TjS dimiliki oleh PT Besland Pertiwi dengan prosentase sebesar 99,9 % di bawah kepemimpinan Bapak Kuky Permana Kumalaputra selaku Direktur Utama dan Bapak Adhi Indrawan selaku Direktur, dengan jumlah karyawan sebanyak 80 orang. Pada awalnya karena investasi dalam US Dollar cukup tinggi, TjS menerapkan tariff listrik yang berlaku di KBI adalah dalam bentuk US Dollar, tariff ini lebih mahal bila dibandingkan dengan tariff PLN namun hal ini dapat diterima oleh customer, dengan pemahaman bahwa pasokan listrik TjS akan lebih handal dari PLN. Kondisi ini berjalan lancar sampai terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Krisis ekonomi mengancam kelangsungan tenant KBI. Penyewa tidak mampu membayar tariff listrik yang tinggi karena volatilitas
86
kurs mata uang asing yang terjadi saat itu, sementara TjS akan bangkrut jika customer menghentikan kegiatan operasinya. Pada saat yang bersamaan PLN Purwakarta terdapat idle capacity karena beberapa proyek batal dilanjutkan maka dicapailah kesepakatan bahwa TjS akan memanfaatkan idle capacity PLN untuk digabungkan dengan power plant yang ada, sehingga TjS dapat menjual listrik dalam mata uang Rupiah kepada konsumen yang ada, tetapi TjS tetap bertanggung jawab untuk mengembangkan kawasan industri KBI. Dengan skema tersebut TJS dapat terus memasok kebutuhan listrik di KBI dengan memadukan mesin pembangkit yang mereka miliki dengan sumber dari PLN secara bersama.
4.1.2. Mesin Pembangkit Saat ini kapasitas listrik yang dimiliki oleh TjS untuk memenuhi kebutuhan customer adalah sebesar 84 MW dengan rincian, sumber daya dari PLN sebesar 54 MW dan dari mesin pembangkit milik Tjs sebesar 30 MW. Pada awalnya, jenis pembangkit yang dimiliki adalah pembangkit listrik diesel berbahan bakar Industrial Diesel Oil (IDO) dan pembangkit listrik turbin berbahan bakar HSD (High Speed Diesel). Pada tahun 2006 telah dilakukan modifikasi untuk mesin turbin dengan sistem bahan bakar dari single fuel menjadi dual fuel dan pada tahun 2008 mesin diesel dimodifikasi menjadi duel fuel85.
85
Laporan Pemantauan Lingkungan Semester II, Tahun 2008, Hal. 3
87
Setelah modifikasi tersebut, mesin turbin yang sebelumnya hanya menggunakan HSD kini bisa dioperasikan dengan menggunakan Gas Alam dan HSD sedangkan untuk mesin diesel yang sebelumnya hanya bisa menggunakan IDO kini bisa dioperasikan dengan menggunakan Gas Alam dan IDO. Berikut adalah rincian pembangkit yang dimiliki TjS : a. 2 unit Pielstick Gas Engine @ 6 MW
= 12 MW
b. 1 unit Gas Turbine (kapasitas 18 MW)
= 18 MW + 30 MW
Dengan adanya modifikasi bahan bakar tersebut, maka TjS melakukan kerjasama dengan PT Pertamina EP dalam pemasokan sumber gas alam tersebut agar dapat mengoperasikan mesin-mesin pembangkitnya. Untuk mengalirkan gas tersebut TjS perlu membangun jaringan pipa gas berdiameter 8 inch dari Stasiun Metering Gas Pertamina di Citarik (+ 13 Km dari KBI) menuju power plant TjS. Dengan jumlah kontrak secara keseluruhan sebesar 43,70 (empat puluh tiga dan tujuh puluh per seratus) BSCF dalam 1.000 BTU/SCF untuk 10 (sepuluh) tahun perjanjian86. Namun dikarenakan supply gas dari pertamina tidak mencukupi, pembangkit Gas Turbin yang sebenarnya berkapasitas 18 MW tidak dapat beroperasi secara penuh. Pada tahun 2011 karena jumlah customer semakin meningkat yaitu mencapai 86 customer serta kebutuhan listrik customer juga meningkat, maka untuk mengantisipasi kebutuhan tersebut, pada Januari 2011 TjS melakukan kerjasama dengan PT Green Power South East Asia (GPSEA) untuk membangun 86
Perjanjian Kerjasama antara PLN dan PT Tatajabar Sejahtera dalam Pemasokan Gas Alam, Tahun 2006
88
fasilitas co-generation plant yang diperuntukkan bagi salah satu customer yang juga membutuhkan. Skema kerjasama ini adalah GPSEA akan melakukan investasi berupa mesin pembangkit, sementara TjS akan menyuplai gas (ex Pertamina) ke GPSEA, TjS akan membayar processing fee ke GPSEA. Setelah itu GPSEA akan menyalurkan listriknya kembali ke TjS, dan TjS akan supply listrik tersebut ke customer secara regular. Total kapasitas listrik yang bisa dihasilkan oleh fasilitas co-gen ini adalah sebesar 6 MW87.
4.2.
Hasil Penelitian Di TjS, manajemen memberikan wewenang penuh terhadap manager
untuk mengambil keputusan yang sekiranya tidak memerlukan keputusan pimpinan. Oleh karena itu manager merupakan pusat informasi yang dibutuhkan oleh karyawan. Melalui manager informasi disebarkan kepada Section Head maka Section Head yang akan menyebarkan informasi kepada seluruh bawahannya. Di TjS pola aliran komunikasi cenderung menggunakan model roda, dimana manager menjadi pusat pelaporan seluruh hasil kerja, instruksi kerja dan pengawasan akan kinerja seluruh karyawan. Manajemen memberikan kendali penuh kepada manager untuk mengatur segala hal yang dibutuhkan untuk kemajuan perusahaan. Sehingga hal apapun yang dilakukan oleh karyawan, selama itu berhubungan dengan pekerjaan, maka harus dilaporkan kepada manager tanpa terkecuali.
87
Perjanjian Kerjasama antara PT Tatajabar Sejahtera dengan PT Green Power South East Asia dalam proyek Co-Generation plant
89
Namun tidak menutup kemungkinan terkadang juga terdapat pola lingkaran, dimana tidak semua karyawan dapat melakukan komunikasi dengan dengan karyawan lainnya. Misalnya divisi finance dapat berkomunikasi dengan divisi purchasing dan HR namun tidak dapat berkomunikasi dengan divisi Operation and Mechanic begitu juga sebaliknya. Atau jika divisi operation and mechanic
ingin
berkomunikasi
dengan
divisi
finance
maka
harus
menyampaikannya melalui divisi purchasing atau HR. Sedangkan untuk penyebaran pesan, Di TjS, penyebaran pesan yang ada adalah lebih sering menggunakan penyebaran secara berurutan, dimana atasan mengirimkan informasi kepada bawahannya secara berurutan, baik melalui suatu media tertulis dan lisan. Misalnya pesan disampaikan melalui section head tiaptiap divisi dan nantinya section head akan menyampaikan kepada bawahannya. Section
head
menyampaikan
kepada
bawahannya
cenderung
dengan
menggunakan sistem serentak. Tetapi untuk divisi operator menyebarkan informasi secara serentak tidak memungkinkan dilakukan dikarenakan pekerjaan mereka sangat tidak mungkin untuk diberhentikan secara total, karena mereka perlu memantau terus menerus. Selain itu informasi disebarkan secara berurutan dikarenakan pada data yang didapat, di saat atasan dalam keadaan sibuk dan tidak berada dikantor, penyebaran informasi dilakukan melalui perantara orang ketiga. Maksudnya disini adalah adanya bantuan dari lain pihak yang masih berada dalam lingkup organisasi misalnya sekretaris untuk menyampaikan informasi kepada mereka yang bersangkutan.
90
manager operasional / non operasional Sekretaris
section head Pesan
Supervisor
Foreman dan junior / Staff
Tujuan
Gambar 4.1 penyebaran pesan secara berurutan di TjS
Namun terkadang manager juga menerapkan penyebaran secara serentak misalnya mengenai pengumuman keputusan manajemen yang berkaitan dengan kenaikan gaji, tunjangan hari raya, dan bonus tahunan. Pengumuman diadakan secara tatap muka langsung dengan sistem acara makan bersama.
Atasan Pesan
Section head
Supervisor
Foreman dan Junior
Staff
Gambar 4.2 Penyebaran pesan secara serentak di TjS
Untuk bentuk lisan, pertemuan melalui tatap muka secara langsung ataupun dengan menggunakan media telepon adalah bentuk penyebaran pesan yang dominan dilakukan oleh bawahan dengan atasan. Sebaliknya untuk bentuk
91
tertulis, media yang digunakan adalah melalui papan informasi, memo atau note, email, sms (short message service) dan bbm (blackberry message). Bagi karyawan dan juga atasan, secara umum mereka lebih menyukai bentuk tulisan yang diikuti lisan dalam penyebaran atau penyampaian informasi, terutama melalui pertemuan tatap muka. Hal ini dikarenakan dengan tulisan maka setiap karyawan akan memiliki record jelas sehingga suatu saat ketika membutuhkan informasi yang sama lagi akan dapat digunakan sebagai dasar informasi baru. Jika informasi yang disampaikan secara tulisan tersebut disampaikan dengan lisan atau tatap muka, maka akan terdapat feed back dari lawan bicara, sehingga informasi yang disampaikan dapat dipahami dengan tepat dan benar. Dengan adanya umpan balik, komunikan dan komunikator dapat memahami maksud yang ingin disampaikan dan terjadi interaksi serta pertukaran informasi.
Pesan
Komunikator komunikan
Komunikan komunikator
Umpan balik pesan
Gambar 4.3 Umpan Balik
92
Umpan balik dapat dimaknai sebagai jawaban komunikan atas pesan komunikator yang disampaikan kepadanya. Dalam komunikasi yang dinamis, sebagaimana diutarakan, komunikator dan komunikan terus menerus saling bertukar peran. Karenanya, umpan balik pada dasarnya adalah pesan juga, yakni ketika komunikan berperan sebagai komunikator. Dalam hal ini pesan merupakan sesuatu yang disampaikan dan informasi adalah isi dari pesan itu atau bahan yang didesain sedemikian rupa untuk menjadi suatu pesan yang disampaikan kepada orang lain. Gaya komunikasi atasan pada dasarnya tidak selalu berpaku pada satu jenis gaya komunikasi. Terkadang atasan akan menggunakan The controlling style dan The Structing syle,
itu terlihat dari ketika manager menggunakan
kewenangan dan kekuasaan yang diberikan manajemen kepadanya, dengan sedikit mengendalikan bawahan untuk mengikuti kemauannya dan pandanganpandangannya. Serta meminta bawahan untuk berlaku dan bertindak sesuai keinginannya. Selain itu atasan juga kerap kali menyampaikan saran atau idenya, baik secara lisan dan tulisan dan menetapkannya sebagai proses penyelesaian suatu pekerjaan, tanpa membicarakannya terlebih dahulu dengan bawahan. Sehingga dalam komunikasi ini berlaku one way communication. Dalam situasi-situasi tertentu, atasan juga pernah menggunakan the equalitarian style namun sangat minim penggunaannya. Hal ini terjadi hanya ketika perusahaan mengadakan gathering, dimana baik atasan maupun bawahan bekerjasama membentuk konsep acara gathering. Disini atasan dan bawahan dapat
93
saling memberikan saran atau ide dan ini berlangsung secara santai dan non formal, dan keputusan yang dihasilkan pun berdasarkan keputusan bersama. Selanjutnya peneliti akan menjabarkan apa yang peneliti dapatkan dari hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan dengan beberapa nara sumber. Terdapat 10 nara sumber yang dipakai oleh peneliti, yang terdiri dari berbagai level jabatan yang berbeda seperti Manager, Secretary, Section Head, Supervisor, Foreman, dan Junior.
4.2.1. Komunikasi Vertikal Aliran informasi secara vertikal yang terjadi dalam PT TjS ini adalah melalui manajer, section head, supervisor, foreman dan junior untuk komunikasi ke bawah, dan sebaliknya untuk komunikasi ke atas. Sehingga segala informasi berasal dari manager dan diteruskan ke bawah sesuai susunan struktural. Dan begitu juga sebaliknya apabila foreman dan Junior ingin menyampaikan suatu informasi pasti melalui supervisor terlebih dahulu dan nanti akan diteruskan oleh supervisor ke section head dan section head yang akan melaporkannya kepada manager. Oleh karena itu setiap jabatan, atasannya berbeda-beda sesuai level sehingga dalam wawancara ini mereka menyebutkan atasan langsung untuk menyebutkan atasan yang persis berada diatas mereka. Seperti gambar dibawah ini
94
MANAGER SECTION HEAD SUPERVISOR FOREMAN & JUNIOR
Keterangan Informan : Level Foreman & Junior Level Supervisor Level Staff Level Section Head Level Manager
: Rudy Mulyawan (RM), Wirandani (WR), Yadi Romi (YR), Endang Sodikin (ES) : Mulyadi Rekso (MR), Nurokhman Azis (NA) : Dewi Horo (DH) : Gunawan Sutiana (GS), Sylvia Junyati (SJ) : Tony Subagio (TS), Hengky Angkiriwang (HA) Gambar 4.1. Aliran Informasi di TjS
A. Komunikasi ke bawah (Downward Communication) Komunikasi ke bawah yaitu komunikasi yang dilakukan oleh atasan kepada bawahan yang biasanya berisi instruksi mengenai pekerjaan. 1. Berkaitan dengan isi informasi Isi informasi ini berkaitan dengan apa yang disampaikan oleh atasan serta yang diharapkan informan akan suatu informasi yang ada, dimana isi dari informasi tersebut merupakan inti dari informasi yang sebenarnya dibutuhkan oleh bawahan. a. Keterbukaan akan suatu informasi i. Divisi operasional Supervisor
Foreman & Junior
Dalam divisi operasional, untuk supervisor, informasi yang disampaikan kepada bawahannya dapat dikatakan kurang terbuka.
95
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh RM, bahwa atasan dalam menyampaikan informasi tidak selalu terbuka, karena tidak semua informasi yang ada disampaikan ke bawahan, bahkan mereka cenderung dituntut untuk mencari tahu sendiri informasi dan harus aktif
bertanya atau minta penjelasan akan informasi yang
disampaikan.
Begitupun dengan apa yang dikatakan oleh WR,
dimana keterbukaan atasan dalam menyampaikan informasi malah terkadang memang sengaja dibuat untuk tidak semua orang mengetahuinya. Pernyataan kedua informan diatas juga didukung oleh pernyataan dari YR. Berikut pernyataannya. “kurang terbuka Bu, malah terkadang kalau ada informasi dari atasan seperti level section head atau manager waktu disampaikan ke bawah atau ke saya ya beda dengan informasi yang sebenarnya. Jadi dia maunya kita kerja berdasarkan maunya dia bukannya maunya perusahaan”.88 Akan tetapi hal ini bertentangan dengan apa yang dikemukakan oleh rekan sekerja lainnya. ES mengatakan bahwa atasannya pasti akan memberikan segala informasi dengan terbuka kepada bawahannya. Berikut pernyataannya. “Ohh,,kalau dengan supervisor mah terbuka Bu, malah sudah seperti tidak ada dindinglah”.89 Atasan mereka, supervisor, sependapat dengan ES, dimana mereka juga mengatakan hal yang sama kalau mereka terbuka akan segala informasi yang dibutuhkan oleh setiap bawahannya. 88
Hasil wawancara Yadi Romi, pada tanggal 27 Juli 2011 di power plant PT Tatajabar SejahteraCikampek 89 Hasil wawancara Endang Sodikin, pada tanggal 27 Juli 2011 di power plant PT Tatajabar Sejahtera-Cikampek
96
Berdasarkan hasil observasi peneliti dilapangan pada saat ada informasi dari level supervisor misalnya dalam pengadaan barang yang dibutuhkan, peneliti menemukan bahwa atasan memang kurang terbuka dalam hal pemberian informasi. Bahkan informasi yang sifatnya harus diketahui bawahan pun seperti memang disengaja tidak disebarkan walaupun pada akhirnya akan diberitahu juga namun setelah kondisi informasi tersebut bersifat mendesak. Hal tersebut mengakibatkan bawahan memiliki pemikiran bahwa sepertinya atasan memiliki niat yang tidak baik sehingga informasi tersebut tidak perlu diketahui oleh bawahannya. Section Head
Supervisor
Kedua informan mengatakan kalau section head sangat terbuka akan seluruh informasi. Seperti yang diungkapkan oleh NA berikut ini. “Terbuka, segala informasi yang dia dapet selalu disampaikan ke saya Bu,,apalagi kalalu itu sifatnya memang benar-benar dibutuhkan oleh divisi saya, pasti Pak Gun info saya”.90 Berdasarkan hasil observasi peneliti untuk level section head memang cukup terbuka akan segala informasi yang memang dibutuhkan oleh bawahannya bahkan ada kecenderungan segala informasi yang tidak ada hubungannya pun dengan divisi bawahannya atau bersifat informasi saja selalu disampaikan oleh atasan dengan terbuka. 90
Hasil wawancara Nurokhman Azis, pada tanggal 27 Juli 2011 di power plant PT Tatajabar Sejahtera-Cikampek
97
Hal ini terjadi dikarenakan antara section head dan supervisor memiliki kedekatan secara emosional seperti yang peneliti lihat dalam keseharian mereka,
dimana mereka
dengan nyaman
berbincang-bincang dan dapat tertawa dengan lepas, baik dalam waktu kerja maupun diluar waktu kerja, hal itu membuat mereka sering berbagi informasi layaknya sahabat. Manager GS
Section Head mengatakan
bahwa
atasannya
dalam
menyampaikan
informasi tidak selalu terbuka. Seperti yang diutarakannya berikut ini. “Tidak langsung, jadi kalau ada kasus saja baru buka semua. Menurut atasan kalau semua lancer, tidak ada penyampaian atau pembelajaran. Jadi learning by doing.”.91
ii.
Divisi non operasional Untuk divisi non operasional, kedua informan sepakat kalau atasan terbuka dalam menyampaikan informasi. Bahkan cenderung segala informasi yang belum diketahui bawahan, atasan akan segera memberitahu mereka, karena atasan berharap agar kelak ketika atasan lupa atau ketika atasan memberitahukan informasi baru namun masih berhubungan dengan informasi yang sebelumnya disampaikan maka pada saat atasan berbicara mengenai hal tersebut, bawahan akan mengetahuui story informasi tersebut dari awal.
91
Hasil wawancara Gunawan Sutiana, pada tanggal 09 Agustus 2011 di power plant PT Tatajabar Sejahtera-Cikampek
98
Atasan mereka, manager, juga sepakat akan pernyataan mereka, bahwa dirinya akan dengan terbuka menyampaikan segala informasi yang diketahuinya karena apapun itu dirinya yakin pasti berguna bagi kemajuan kinerja bawahan dan otomatis dapat memajukan perusahaan. Dari hasil observasi peneliti selama 3 tahun bersama khususnya pada saat atasan mengadakan rapat dengan pihak luar misalnya rapat kerjasama dengan perusahaan lain, maka hasil rapat tersebut akan segera disampaikan oleh atasan kepada mereka agar bawahan juga dapat mengembangkan informasi yang sudah diketahuinya sehingga nanti jika atasan membutuhkan suatu informasi sebagai follow up atas kerjasama tersebut, bawahan dapat membantu atasan dan hal itu juga dapat mengembangkan performance bawahan yang pada akhirnya dapat mencapai tujuan organisasi.
b. Teknik penyampaian informasi atasan Dalam teknik penyampaian informasi atasan, semua informan baik itu divisi operasional maupun non operasional berpendapat hal yang sama, bahwa atasan mereka masing-masing, dalam menyampaikan informasi dilakukan secara lisan dan tulisan, namun jika di lihat dari tingkat keseringannya, maka akan lebih banyak menggunakan teknik lisan dibanding tulisan, tulisan digunakan hanya berupa note kecil atau apabila sifat informasi tersebut tidak urgent dan kurangnya waktu atasan untuk menyampaikan langsung kepada bawahan.
99
Pernyataan mereka juga didukung oleh atasan setiap level, supervisor, section head dan manager, bahwa mereka menggunakan lisan dan tulisan saja dalam menyampaikan informasi kepada bawahan mereka masingmasing. Namun ada sedikit perbedaan ketika ditanya keefektifan antar lisan dan tulisan. Untuk informan seperti WR, YR dan NA mengatakan informasi akan lebih efektif ketika disampaikan secara lisan yang disertai tulisan karena menurut mereka apabila secara lisan mereka akan lebih jelas dan mengerti dan dapat melakukan feed back saat itu juga, namun jika disampaikan secara tulisan juga maka informasi tersebut memiliki bukti konkret sehingga apabila bawahan atau atasan lupa dapat di ingatkan kembali. Seperti yang diungkapkan oleh WR berikut. “Hhmm…alangkah baiknya sich tertulis tapi juga disampaikan secara lisan…jadi kalau apa yang ditulis itu saya tidak jelas, saat itu juga saya bisa langsung tanya secara lebih jelas jadi ada feedback dan kalau tulisannya bisa dijadikan file atau buktinya juga.”.92 Berbeda dengan rekan mereka yang lainnya seperti RM, GS dan SJ, mereka mengatakan kalau akan lebih efektif jika informasi disampaikan secara tulisan karena dengan tulisan maka ada dasar untuk pegangan dalam bertindak. Berikut pernyataan GS. “Semua informasi secara tertulis adalah lebih efektif, karena ada dasar untuk pengangan dalam bertindak”.93
92
Hasil wawancara Wirandani, pada tanggal 27 Juli 2011di power plant PT Tatajabar SejahteraCikampek 93 Hasil wawancara Gunawan Sutiana, pada tanggal 09 Agustus 2011 di power plant PT Tatajabar Sejahtera-Cikampek
100
Lain lagi dengan rekan mereka ES, MR dan DH, menurut mereka secara lisan akan lebih efektif. Berikut pernyataannya DH. “Secara lisan akan lebih efektif jadi kalau atasan menyampaikan informasi dalam bentuk lisan dan saya ada kendala pengertian dari informasi tersebut bisa langsung tanya saat itu juga. Sedangkan kalau tulisan bisa saja bermakna ganda dan pengertianya rancu alhasil kerjaan jadi tidak sesuai dengan mau nya atasan”.94 Untuk metode komunikasi lain yang digunakan atasan, hampir seluruh informan sependapat bahwa atasan tidak pernah memberikan metode lain kepada mereka selain lisan dan tulisan. Dan pernyataan itu juga diperkuat oleh atasan masing-masing level, kalau mereka hampir tidak pernah menggunakan metode lain selain lisan dan tulisan untuk menyampaikan informasi kepada bawahan. Hanya ada 2 (dua) informan yang berbeda yaitu NA dan SJ, mereka mengatakan kalau metode lain yang digunakan atasan adalah dengan menggunakan metode gambar atau diagram walaupun memang sifatnya sangat jarang digunakan dan membingungkan jadi sulit dimengerti. Sedangkan untuk penyampaian informasi yang ditujukan kepada semua bawahan melalui media tertulis seperti papan pengumuman, RM tidak membaca semua informasi tersebut, dia cenderung mengetahui dari teman saja, kalau informasi dari teman tidak jelas baru dia melihat pengumuman tersebut. Pernyataan RM diperkuat oleh ES. berikut pernyataannya.
94
Hasil wawancara Dewi Horo, pada tanggal 09 Agustus 2011 di kanto PT Tatajabar SejahteraCikampek
101
“Tidak baca semua lah Bu,,,apalagi kalau informasinya hanya bersifat umum dan teman sudah kasitau saya sebelum saya baca. Jadi tidak perlu baca lagi lah. Paling juga kalau tidak paham artinya baru saya baca”.95
c. Ketepatan penyampaian informasi Mengenai ketepatan dalam penyampaian informasi oleh atasan kepada bawahan, hampir seluruh informan dari setiap level jabatan baik itu operasional maupun non operasional mengatakan tidak selalu tepat. Ketepatan disini berkaitan dengan pemberian informasi oleh atasan sewaktu
bawahan
membutuhkannya
tanpa
harus
meminta
atau
menanyakan informasi tersebut kepada atasan. Dimana, para bawahan harus lebih aktif dalam mencari informasi yang dibutuhkannya. Seperti ungkapan dari RM. Berikut pernyataannya “lebih dari 50% tidak tepat karena atasan kan ga selalu bebas dari tugasnya jadi kadang nunggu atasan selesai mengerjakan tugasnya baru dia kasi informasi tersebut. Tapi kalau dia lagi bebas, belum saya minta sudah dikasi Bu..bahkan saya yang harus banyak cari dulu Bu baru minta informasi dari atasan kalau memang tidak nemu”.96 Namun hal berbeda diungkapkan oleh SJ, kalau atasannya, manager, selalu memberikan informasi tepat pada saat dia membutuhkannya bahkan informasi-informasi yang belum sempat terpikirkan oleh dirinya, sudah diberikan oleh pimpinan.
95
Hasil wawancara Endang Sodikin, pada tanggal 27 Juli 2011 di power plant PT Tatajabar Sejahtera-Cikampek 96 Hasil wawancara Rudy Mulyawan, pada tanggal 27 Juli 2011 di power plant PT Tatajabar Sejahtera-Cikampek
102
“Pasti. Bahkan atasan sering memberikan informasi pada saat saya belum sempat terpikirkan”.97 Berdasarkan hasil observasi peneliti pada saat pemberian tugas dari atasan kepada bawahan yang dimana atasan meminta bawahan untuk membuat data, memang hampir seluruh atasan dalam setiap divisi operasional tidak pernah menyampaikan informasi sebelum bawahan memintanya. Hal seperti itu terjadi dikarenakan atasan ingin mereka mencarinya terlebih dahulu agar bawahan semakin banyak belajar dari halhal yang ditemukan dan ketika memang tidak ditemukan barulah atasan membantu mereka. Namun hal berbeda peneliti temukan pada level section head dan manager untuk divisi non operasional, dimana atasan lebih sering memberikan informasi tepat pada saat bawahan membutuhkannya. Walaupun memang hanya terkadang saja namun hal tersebut sangat membantu bawahan dalam menyelesaikan tugasnya dengan cepat. Walaupun ada
juga
kendala
yang ditemui
mengenai
ketepatan
penyampaian informasi ini yaitu atasan terkadang jarang berada ditempat sehingga atasan jarang sekali melakukannya.
d. Ketidakbutuhan akan suatu informasi Untuk informasi yang disampaikan oleh atasan kepada bawahan, dan bila bawahan tidak membutuhkannya, informasi tersebut tidaklah dibuang
97
Hasil wawancara Sylvia Junyati, pada tanggal 10 Agustus 2011 di kanto PT Tatajabar SejahteraCikampek
103
atau diabaikan, melainkan disimpan atau di-keep dulu oleh seluruh bawahan dalam setiap level jabatan karena menurut mereka, suatu waktu informasi tersebut dapat berguna dan dibutuhkan. Bahkan untuk jabatan sekretaris setiap hal yang dikatakan oleh pimpinan selalu ditulis kembali secara singkat didalam notes sebagai bahan reminder-nya.
e. Atasan membantu dalam pencarian informasi i. Divisi operasional Supervisor
Foreman & Junior
Bila bawahan membutuhkan suatu informasi yang sulit dicari, atasan mereka tentu dengan terbuka mau membantu untuk mencarikannya. Seperti yang diungkapkan oleh RM dan ES, mereka mengatakan kalau atasan pasti membantu apalagi kalau atasan sedang tidak melakukan pekerjaan apapun, pasti membantu karena menurut mereka, bila kesulitan mencari informasi, juga akan berdampak bagi perusahaan. Hal serupa diungkapkan oleh atasan mereka yaitu NA dan MR, dimana mereka akan sangat membantu bawahan dalam mencari informasi
yang
sulit
dicari.
Karena
jika
bawahan
hanya
menghabiskan waktu untuk mencari terus menerus akan tidak efektif waktunya, selain itu kalau informasi yang didapatkannya salah maka akan berakibat fatal bagi kinerjanya maka harus dibantu.
104
Hal berbeda diungkapkan oleh rekan lainnya yaitu WR dan YR mereka berpendapat bahwa atasan tidak membantu mereka. Berikut pernyataan dari WR. “ga juga sich,,,malah kita yang cari dulu Bu..atasan mah cenderung terima laporan saja..dan kalau sulit paling-paling dia cuma kasitau singkat saja dan selebihnya ya cari sendiri aja atau tanya teman-teman aja”.98 Section Head
Supervisor
Kedua informan sependapat bahwa section head membantu mereka dalam pencarian informasi yang sulit mereka cari bahkan section head dengan sangat antusias membantu. Atasan, section head, juga mengutarakan hal yang sama. Bahwa dirinya akan membantu apapun informasi yang dibutuhkan oleh bawahan karena hal tersebut juga berguna bagi kemajuan perusahaan. Manager
Section Head
Informan mengatakan kalau atasannya tidak membantunya dalam pencarian informasi yang sulit. Lebih cenderung kearah dirinya yang bertanya dan bertanyanya juga tidak langsung bertanya tetapi dibawa dalam diskusi, yang dalam diskusi tersebut dia akan “mengorek” segala informasi yang dibutuhkannya.
98
Hasil wawancara Wirandani, pada tanggal 27 Juli 2011 di power plant PT Tatajabar SejahteraCikampek
105
ii. Divisi non operasional Kedua informan sependapat mengatakan kalau atasan tidak selalu membantu. Berikut pernyataan DH. “Kadang ya, kadang tidak. Kalau informasi itu penting dan tidak ada pasti dibantu, kalau tidak penting biasanya diabaikan, sepertinya sich atasan maunya kita cari dulu biar belajar katanya jadi dari proses pencarian itu kita bisa saja mendapat informasiinformasi baru dan kalau tidak menemukan baru dia membantu”.99 Dari hasil observasi, misalnya ketika bawahan membutuhkan informasi tentang peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kelistrikan, peneliti menemukan memang sepertinya hampir seluruh karyawan dituntut untuk mencoba mencari terlebih dahulu karena atasan berharap dengan begitu bawahan dapat belajar untuk
mencari hal yang memang
dibutuhkannya sehingga dari proses pencarian tersebut bawahan dapat belajar banyak atau dapat dikatakan learning by doing. Namun apabila bawahan tetap kesulitan mencari informasi yang dibutuhkan, maka atasan akan membantu.
f. Penyaringan informasi Penyaringan informasi yang disampaikan oleh atasan dilakukan oleh seluruh bawahan. Bawahan melakukan penyaringan informasi karena berkaitan dengan apakah informasi tersebut dibutuhkan oleh divisi mereka dan penyaringan yang mereka lakukan juga berkaitan dengan informasi mana yang bersifat urgent dan mana yang dapat ditunda. Jadi mereka 99
Hasil wawancara Dewi Horo, pada tanggal 09 Agustus 2011 di kanto PT Tatajabar SejahteraCikampek
106
menyaring informasi sesuai dengan kebutuhan divisi mereka dan sifat dari informasi tersebut. Berikut pernyataan salah satu dari mereka yaitu ES. “Disaring, karena tidak semua informasi berhubungan sama divisi saya Bu,,,kadang hanya informasi bersifat universal aja..jadi yang penting semua tau..”.100
g. Perencanaan komunikasi Maksud dari perencanaan komunikasi adalah seperti melakukan kunjungan ke bawahan untuk melihat informasi seperti apa yang seharusnya dibutuhkan oleh masing-masing divisi. Dalam perencanaan komunikasi, menurut seluruh informan hal itu tidak pernah dilakukan oleh atasan mereka. Seperti yang diungkapkan oleh WR berikut ini. “tidak pernah, cenderung kita yang banyak bertanya”.101 Begitupun dengan atasan dalam setiap level jabatan baik operasional maupun non operasional, mengatakan kalau mereka tidak pernah melakukan pengembangan perencanaan komunikasi karena teknik penyampaian informasi yang dilakukan sekarang sudah cukup efektif.
h. Jenis informasi yang disampaikan Beberapa informan seperti RM, WR, YR, ES, MR dan GS sepakat mengatakan
atasan
dalam
mengkomunikasikan
informasi
kepada
bawahannya cenderung mengenai tugas dan tanggungjawab mereka di divisi yang dipegangnya. Atau segala informasi yang memiliki keterkaitan 100
Hasil wawancara Endang Sodikin, pada tanggal 27 Juli 2011 di power plant PT Tatajabar Sejahtera-Cikampek 101 Hasil wawancara Wirandani, pada tanggal 27 Juli 2011 di power plant PT Tatajabar SejahteraCikampek
107
dengan pekerjaan. Namun hal berbeda diungkapkan oleh NA, DH dan SJ, mereka mengatakan kalau atasan mereka juga menginformasikan hal lain diluar pekerjaan seperti tempat makan, teman berlibur, dan lain-lain. Seperti yang diungkapkan oleh DH berikut ini. “atasan menginformasikan mengenai hal lain-lain juga koq,,,Biasanya tempat makan yang enak atau tempat nongkrong yang OK”.102 Hasil observasi peneliti, memang komunikasi yang terjadi pada divisi operasional lebih sering hanya menginformasikan hal-hal yang “berbau” pekerjaan dan hampir tidak pernah menginformasikan hal-hal umum. Hal itu terjadi dikarenakan kurang dekatnya hubungan antara atasan dan bawahan, diantara mereka seperti ada jarak kedudukan yang tersusun secara struktural sehingga berdampak pada sikap bawahan yang lebih terfokus pada jarak tersebut pada saat hendak berkomunikasi dengan atasan. Selain itu atasan juga tidak mencoba untuk mematahkan jarak tersebut sehingga jarak struktural semakin nyata terlihat khususnya untuk level manager. Sedangkan untuk divisi non operasional, berdasarkan hasil observasi peneliti, informasi yang disampaikan oleh atasan tidak selalu mengenai pekerjaan, namun mengenai informasi lain juga, seperti tempat makan, tempat liburan, tempat membeli barang, dan lain-lain. Walaupun informasi ini jarang dikomunikasikan namun hal ini membuktikan bahwa hubungan
102
Hasil wawancara Dewi Horo, pada tanggal 27 Juli 2011 di kanto PT Tatajabar SejahteraCikampek
108
atasan dan bawahan dalam divisi non operasional lebih memiliki kedekatan dibanding dengan divisi operasional.
i. Pemahaman akan suatu informasi Hampir seluruh informan sepakat bahwa mereka tidak langsung paham akan suatu informasi yang disampaikan atasan mereka. Hal tersebut dikarenakan perbedaan daya berpikir masing-masing orang tidak sama dan terdapatnya pemahaman akan suatu informasi yang berbeda. Oleh karena itu informasi apapun yang disampaikan belum tentu langsung dapat dipahami bawahan. Seperti yang diungkapkan oleh NA berikut ini. “Tidak semua ya, karena kan kadang-kadang kita kurang jelas maksud atasan apa jadi ya mesti tanya lagi kalau saya tidak mengerti. Kirakira 60-40 lach tingkat kepahamannya”.103
Namun berbeda dengan MR dan SJ, mereka mengatakan kalau dapat langsung paham akan informasi yang disampaikan atasannya. Seperti yang diungkapkan oleh MR berikut ini. “biasanya sich langsung saya pahami ya, karena kan saya dan atasan cukup dekat jadi bisa langsung paham maksudnya,,selain itu saya sudah lama disini, jadi saya malah yang lebih tau detaildetailnya…hehhehe…”.104 Seluruh atasan dalam setiap level jabatan baik itu operasional maupun non operasional mengatakan bawahan mereka tidak selalu paham akan informasi yang disampaikannya. Karena menurut mereka daya tangkap
103
Hasil wawancara Nurokhman Azis, pada tanggal 27 Juli 2011 di power plant PT Tatajabar Sejahtera-Cikampek 104 Hasil wawancara Mulyadi Reksoprojo, pada tanggal 27 Juli 2011 di power plant PT Tatajabar Sejahtera-Cikampek
109
setiap manusia pasti berbeda-beda, selain itu latar budaya juga berbeda jadi jika ada bawahan yang sulit mengerti akan informasi yang disampaikannya itu adalah hal yang wajar. Berdasarkan hasil observasi peneliti dari latar belakang pendidikan, budaya dan hubungan antar pribadi seluruh informan, memang hampir seluruh informan tidak selalu paham akan informasi yang disampaikan oleh atasan mereka. Hal tersebut terjadi dikarenakan memang masingmasing informan tingkat pemahaman akan suatu informasi pasti berbeda dikarenakan latar belakang pendidikan dan budaya yang berbeda juga. Selain itu peneliti menemukan hal lain yaitu bahwa memang kurang harmonisnya hubungan antara atasan dan bawahan sehingga informasi yang disampaikan atasan pun hanya disampaikan secara singkat dan tidak jelas yang membuat bawahan kesulitan mengerti. Kurang harmonisnya hubungan terlihat dari keseharian atasan dan bawahan dimana adanya jarak struktural diantara mereka, yang mengakibatkan sulitnya mereka untuk sharing tentang berbagai hal dengan atasan.
j. Informasi mengenai hak-hak dasar bawahan Hampir seluruh informan sepakat mengatakan kalau informasi mengenai hak-hak dasar mereka kurang terbuka disampaikan oleh atasan. Seperti yang diungkapkan oleh RM berikut ini. “Tidak,,malah kalau ada kenaikan gaji ni ya mba…paling manager cuma kasitau prosentase kinerja secara umum saja,,tidak ada bukti hitam diatas putih atas penilaian hasil kinerja kita,,jadi kitanya sendiri tidak bisa perbaiki diri karena tidak tau salahnya
110
dimana,,,ya kalau begitu dapat slip gaji pada waktu bulan kenaikanya kita hitung sendiri aja mba penilaiannya berapa”.105 Hanya informan GS, SJ dan DH yang mengatakan terbuka namun hanya disampaikan secara tulisan saja, jadi tidak disampaikan secara lisan. Dimana mereka berharap penilaian kinerja seharusnya disampaikan secara lisan juga, karena dengan begitu mereka dapat mengetahui dasar penilaian kinerja atasan dalam memberikan penilaian terhadap kinerja mereka selama satu tahun. Kalau pun disampaikan secara lisan tapi melalui perantara orang lain. seperti yang diutarakan oleh DH berikut ini. “Secara
tulisan ya bersifat terbuka, tapi tidak secara langsung
memberitahukan dasar penilaian kinerja saya, dan kalau pun mau memberitahukan kinerja saya, pasti lewat orang lain disampaikannya. Jadi saya justru taunya dari orang lain”. 106 2. Berkaitan dengan proses penyampaian informasi Proses penyampaian informasi di sini lebih ditekankan pada bagaimana suatu informasi itu disampaikan atasan dan sampai pada bawahan, termasuk media yang digunakannya. Pada dasarnya, setiap proses penyampaian informasi dari atasan kepada bawahan hampir selalu dilakukan secara lisan dan sebisa mungkin melalui pertemuan tatap muka. Tetapi, bila tidak memungkinkan, dalam artian, atasan dan bawahan tidak dapat bertemu atau sedang berada diluar kantor, maka media telepon pun digunakan untuk kelancaran proses komunikasi. Namun apabila ketika ditelepon dan atasan atau bawhaan tidak berada di ruangannya 105
Hasil wawancara Rudy Mulyawan, pada tanggal 27 Juli 2011 di power plant PT Tatajabar Sejahtera-Cikampek 106 Hasil wawancara Dewi Horo, pada tanggal 09 Agustus 2011 di kanto PT Tatajabar SejahteraCikampek
111
maka pesan akan disampaikan melalui pihak ketiga (kalau informasi tersebut tidak bersifat urgent). Sedangkan untuk penyampaian informasi secara tertulis, lebih banyak menggunakan memo atau note kecil dan papan informasi. Sebaliknya bila atasan atau bawahan sedang dinas diluar kota, maka penggunaan email, sms (short message) dan bbm (blackberry message) melalui telepon seluler pun digunakan untuk penyampaian informasi. Sejauh ini, mereka mengatakan media yang digunakan cukup efektif untuk melakukan proses penyampaian informasi.
B. Komunikasi ke Atas (Upward Communication) Komunikasi ke atas adalah komunikasi yang dilakukan oleh bawahan ke atasan atau dari tingkat yang lebih rendah ke tingkat yang lebih tinggi. 1. Berkaitan dengan isi informasi Isi informasi ini berkaitan dengan apa yang diharapkan dan disampaikan informan akan suatu informasi yang ada, dimana isi dari informasi tersebut dapat merupakan inti dari informasi yang sebenarnya dibutuhkan oleh bawahan. a. Pelaporan hasil kerja i. Divisi operasional Mengenai pelaporan hasil pekerjaan, kemajuan dan rencana kerja dari bawahan kepada atasan, bawahan selalu rutin melakukannya setiap hari baik itu secara harian, mingguan maupun bulanan dengan
112
scheme (terlampir) yang telah ditetapkan perusahaan sehingga hasil pekerjaan selalu disampaikan dalam bentuk tulisan yang berupa angka dan kata walaupun tidak menutup kemungkinan ada informasi yang disampaikan secara lisan namun sifatnya minim sekali dan pada akhirnya akan diminta disampaikan secara tulisan juga. Seperti yang diungkapkan oleh MR. “ya saya lapor, dalam bentuk lisan dan tulisan yang sudah disampaikan oleh foreman dan junior kepada saya. Lalu saya lanjutkan ke section head. Kalau bentuk tertulis ya laporan harian/mingguan/bulanan itu Bu, lisannya adalah kalau ada halhal yang urgent dan butuh keputusan secepatnya baru saya sampaikan lisan. Selain itu kalau laporan tertulis yang saya kasi kurang dimengerti atasan atau ada pertanyaan dari Pak Gun baru saya sampaikan lebih detail secara lisan”.107
Pernyataan bawahan juga didukung oleh atasan mereka, section head dan manager, dimana bawahan selalu menyampaikan hasil kinerja mereka dalam bentuk laporan harian, mingguan dan bulanan. Bentuk laporan tersebut sudah memiliki bentuk laporan baku yang disampaikan
secara
tulisan.
Walaupun
kemungkinan
untuk
disampaikan secara lisan juga ada yaitu jika bentuk laporan tersebut sangat mendesak dan membutuhkan keputusan segera. Mengenai respon atasan, seluruh informan divisi operasional juga sepakat bahwa respon atasan tidak selalu langsung ditanggapi tergantung dari tingkat kepentingan informasi yang mereka sampaikan, kalau bersifat urgent maka akan segera direspon tapi kalau dapat 107
Hasil wawancara dengan Mulyadi Reksoprojo, pada tanggal 27 Juli 2011 di power plant PT Tatajabar Sejahtera-Cikampek
113
ditunda sejenak maka akan diabaikan sementara karena ada hal lain yang hendak dilakukan yang lebih bersifat mendesak. Selain itu juga kadang responnya tidak selalu positif karena mungkin pada saat penyampaian laporan ada masalah yang dihadapi atasan yang mengakibatkan emosional atasan tergangu jadi tanggapannya pun tidak terlalu baik. ii. Divisi non operasional Sedangkan untuk divisi non operasional pelaporan hasil pekerjaan tidak memiliki bentuk baku sehingga dapat disampaikan baik secara tulisan maupun lisan. Berdasarkan hasil observasi peneliti pada saat bawahan memberikan laporan hasil kinerja mereka, maka respon atasan memang tidak selalu langsung ditanggapi dan terkadang tidak positif. Namun hal tersebut lebih dikarenakan tingkat pelaporan tersebut apakah bersifat urgent atau bisa dipending sejenak untuk mengerjakan pekerjaan yang lebih membutuhkan tindakan segera dan begitu atasan selesai melakukan tugasnya maka akan segera di review hasil kerja yang sudah disampaikan oleh bawahan tersebut. Selain itu respon atasan atas pelaporan kerja juga tergantung dari tingkat emosional atasan pada saat itu. Maksudnya adalah apakah atasan sedang menghadapi masalah yang mengakibatkan segala hal yang dihadapinya pada saat itu akan ditanggapi dengan tidak baik, misalnya jika bawahan melakukan sedikit kesalahan saja maka atasan akan menganggap
114
itu suatu kesalahan besar dengan menegur bawahan dengan nada tinggi dan sedikit marah. Namun jika kondisi emosional atasan sedang baik maka saat bawahan melakukan kesalahan, hal itu tidak menjadi masalah besar bagi atasan dan dia akan meminta bawahan merevisinya bahkan akan membantu bawahan memperbaikinya.
b. Konsultasi dengan atasan Apabila terdapat suatu masalah yang tidak terpecahkan, seluruh informan baik operasional maupun non oprasional sepakat akan meminta bantuan dan berkonsultasi dengan atasan mereka, seperti yang dilakukan oleh SJ dan DH. Mereka berpendapat bahwa atasan pasti memiliki saran atau pertimbangan solusi bagi masalah yang ada, melihat pengalaman atasan lebih banyak di dunia kerja. Berikut pernyataan SJ. “Ya pasti berkonsultasi dengan atasan karena pengalaman beliau pasti banyak sekali daripada saya, sehingga jika saya ada masalah, saya pasti share dan beliau pasti punya jalan keluarnya, hal-hal yang tidak terpikirkan oleh saya bisa dipikirkan oleh beliau dan biasanya kami bersama-sama mencari solusinya. Responnya pun sangat positif ya dan mendukung sekali”108.
Atasan dari setiap level jabatan baik operasional maupun non operasional juga mengatakan hal yang sama, bawahannya selalu berkonsultasi akan hal-hal yang mereka hadapi, apalagi hal-hal yang memang sulit untuk mereka pecahkan dan putuskan pasti mereka selalu sharing dengan atasan. 108
Hasil wawancara Sylvia Junyati, pada tanggal 09 Agustus 2011 di kanto PT Tatajabar Sejahtera-Cikampek
115
Untuk respon atasan atas konsultasi yang dilakukan bawahan, informan juga sepakat mengatakan kalau respon atasan kadang positif kadang
negatif
tergantung
dari
tingkat
informasi
yang
hendak
dikonsultasikan dan banyak tidaknya pekerjaan atasan pada saat hendak berkonsultasi. Berikut pernyataan DH. “Ya, konsultasi tapi sebaiknya sebelum berkonsultasi, kita harus menyiapkan alternative solusi dulu dech sebelum minta saran bos. Soalnya kalau kita tidak punya solusi pribadi dulu maka akan semakin menambah masalah bos. Dan yang ada bisa jadi runyam. Tapi kalau kita sendiri sudah punya solusi pasti akan lebih baik. Kalau untuk respon ya kadang negative kadang positif, yaitu tadi tergantung kita terlebih dahulu ada solusi atau tidak, selain itu tergantung tingkat kepentingan yang kita konsultasikan juga”.109
Berdasarkan hasil observasi peneliti pada saat atasan memiliki banyak pekerjaan dan adanya beberapa masalah yang sedang dihadapi atasan, peneliti menemukan bahwa respon atasan memang sangat tergantung pada tingkat kepentingan informasi yang hendak dikonsultasikan tersebut, jika informasi itu memang sangat membutuhkan bantuan atasan segera, maka akan langsung ditanggapi namun responnya dengan kondisi diatas lebih sering mengarah ke tidak telalu baik, dan cenderung justru menimbulkan masalah baru bagi bawahan misalnya atasan marah dan sedikit bernada keras. Selain itu bawahan juga hendaknya sudah memiliki alternative solusi yang disampaikan bersamaan dengan konsultasinya. Jadi atasan tidak terlalu merasa dibebani oleh konsultasi bawahan.
109
Hasil wawancara Dewi Horo, pada tanggal 09 Agustus 2011 di kanto PT Tatajabar SejahteraCikampek
116
Respon atasan juga bergantung pada mood-nya pada saat itu baik atau tidak. Kalau atasan sedang bad mood maka konsultasi bawahan seperti diabaikan dan ekspresi wajah atasan seperti tidak bersahabat. Bahkan terkadang jika bawahan konsultasi dengan kondisi-kondisi atasan tersebut bisa jadi boomerang bagi bawahan sendiri. Ini maksudnya, konsultasi tersebut dapat menjadi suatu kesalahan yang dilakukan oleh bawahan, misalnya saat perusahaan mendapat surat teguran dari kantor pajak yang mengakibatkan perusahaan perlu membalas surat tersebut, dan ketika bawahan berkonsultasi tentang isi surat yang akan mereka balas dengan memberikan draft kepada atasan, maka bila mood atasan sedang tidak baik, draft tersebut bisa menjadi suatu kesalahan besar yang dilakukan oleh bawahan karena tidak sesuai dengan apa yang atasan mau. Padahal bawahan sudah berusaha membuatkan draft-nya dan hendak berkonsultasi dengan atasan tentang draft tersebut, tapi yang ada malah bawahan ditegur keras dan dianggap tidak bekerja maksimal. Maka dari itu jika bawahan hendak melakukan konsultasi akan suatu hal, mereka perlu melihat kondisi pekerjaan dan psikologi atasan pada saat itu, karena hal itu sangat mempengaruhi responnya.
117
c. Penyampaian saran atau usul i. Divisi operasional Foreman & Junior
Supervisor
Dalam hal pemberian usul, saran, ide ataupun kritik baik itu mengenai divisi masing-masing informan ataupun mengenai organisasi secara keseluruhan, semua informan berperan aktif. Tidak ada rasa ragu-ragu atau bahkan memilih untuk menyembunyikannya saja, karena menurut mereka itu juga demi kepentingan organisasi kedepannya. Akan tetapi terdapat sedikit perbedaan atas respon atasan, RM mengatakan kalau respon atasan positif apalagi mengenai divisi sendiri. Berikut pernyataan RM. “saya sampaikan tetapi melalui supervisor dulu,,jadi nanti supervisor yang nentuin apakah akan disampaikan ke section head/manager atau tidak. Selama ini sich cenderung kita tidak tau diterima apa ga oleh section head/manager saran kita, soalnya supervisor ga sampein apa-apa tuch Bu. Tapi kalau untuk saran/usul tentang divisi saja ya disampaikan mba, dan respon atasan positif saja, selama itu sesuai dengan kapasitas kita memberikan saran dan apakah saran tersebut demi kemajuan kinerja divisi pasti diterima”.110 Hal berbeda diungkapkan oleh 3 (tiga) rekannya yang lain yaitu WR, YR dan ES. Mereka mengatakan kalau respon atasan negatif, atasan cenderung menanggapi saran bawahan jika saran itu sesuai dengan keinginannya dan juga dilihat dari faktor kedekatannya dengan bawahan, selain itu kesediaan bawahan melakukan segala 110
Hasil wawancara Rudy Mulyawan, pada tanggal 27 Juli 2011 di power plant PT Tatajabar Sejahtera-Cikampek
118
apa yang diinginkan oleh atasan, maka saran akan diterima bahkan ditanggapi dengan komentar. Kalau atasan tidak memiliki kedekatan dengan bawahan yang memberi saran maka akan diabaikan. Berikut pernyataan WR. Iya menyampaikan tapi ya seperti malah diabaikan saja atau malah tidak diterima jadi semakin lama saya cenderung “ya,,ngapain saya ngasi saran kalau toch tidak pernah digubris, minimal dikomentari lah”. Bahkan kalau ada 2 orang yang ngasi saran nich ya Bu..misalnya si A dan B memberikan saran, kalau diliat dari segi kerjaan dan kemajuan perusahaan sebenarnya lebih baik saran si B tapi yang lebih dipandang saran si A karena faktor kedekatan pimpinan dengan si A.111 Supervisor
Section Head
Kedua informan mengatakan mereka selalu menyampaikan, bahkan cenderung atasan yang meminta saran atau usul mereka, misalnya mengenai rencana ke depan. Respon atasan juga positif, sepanjang usulan itu baik dan setelah dipelajari lebih detail ternyata bernilai komersil bagi kemajuan perusahaan maka tidak menutup kemungkinan saran mereka akan digunakan. Section Head
Manager
Section head selalu menyampaikan saran atau usul dari dirinya pribadi demi kemajuan perusahaan ke depan. Karena bila perusahaan maju dan dapat mencapai visi misi nya maka akan berdampak pada nilai materi yang akan diperoleh karyawan dan kesejahteraan
111
Hasil wawancara Wirandani, pada tanggal 27 Juli 2011 di power plant PT Tatajabar SejahteraCikampek
119
karyawan pun dapat terjamin. Jadi sudah seharusnya berjuang demi kemajuan perusahaan. Berikut pernyataannya. “Ya pasti memberikan usul karena kalau perusahaan bisa maju karena usulan kita maka akan berdampak pada performance kinerja saya secara pribadi maupun performance kinerja perusahaan secara umum dan kesejahteraan karyawan dapat tercapai baik dari segi materi maupun non materi. Kalau untuk respon atasan pasti selalu ada, baik itu ok atau no “.112 ii. Divisi non operasional Pada divisi ini informan, DH dan SJ, mereka terkadang menyampaikan saran dan usul juga namun tidak organisasi secara keseluruhan hanya mengenai divisi mereka saja. Karena menurut mereka jika menyampaikan organisasi secara keseluruhan, bukanlah otoritas mereka dan sepertinya akan melangkahi divisi-divisi lain yang seharusnya menyampaikan sumbangsih sarannya atas divisi mereka masing-masing. Respon atasan juga positif dan ditanggapi dengan baik asal sesuai dengan visi misi perusahaan dan dapat memajukan perusahaan. Berikut pernyataan SJ. “Tidak secara keseluruhan, hanya mengenai divisi saya saja. Responnya baik selama itu memang utk kemajuan divisi maka akan ditanggapi dengan positif”.113
Pernyataan informan diatas berbeda dengan hasil observasi peneliti. Peneliti menemukan bahwa ketika bawahan menyampaikan saran atau usul, atasan memang menerima saran tersebut namun makna menerima
112
Hasil wawancara Gunawan Sutiana, pada tanggal 09 Agustus 2011 di power plant PT Tatajabar Sejahtera-Cikampek 113 Hasil Wawancara Sylvia Junyati, pada tanggal 09 Agustus 2011 di kanto PT Tatajabar Sejahtera-Cikampek
120
disini hanya sebatas “menerima”. Ini maksudnya adalah tetap saja saran dan usul karyawan tidak digunakan dan cenderung seperti “angin lalu” saja bagi atasan, pasti akan kembali kepada ide nya. Jadi hampir tidak ada gunanya apa yang diungkapkan oleh bawahan. Hal itu mengakibatkan bawahan tidak memiliki tanggungjawab dan cenderung bergantung pada atasan karena segala hal harus sesuai dengan saran atasan dan persetujuannya. Hal ini juga mengakibatkan bawahan cenderung berpikir “terserah dan suka-suka Bapak sajalah asal Bapak senang dan tidak marahmarah.” Selama 3 tahun terjun dalam kehidupan objek penelitian, Peneliti menemukan kalau setiap karyawan didalamnya hanya bekerja survive untuk kemajuan dirinya sendiri dan tidak untuk organisasi secara keseluruhan. Hal itu terjadi karena manajemen tidak memberikan mereka ruang untuk menyampaikan aspirasi mereka tentang organisasi. Bahkan untuk menyampaikan apa yang ada dipikirannya tentang divisi pun, tidak dapat disampaikan oleh bawahan dikarenakan tidak diberikan waktu dan kesempatan yang memang tepat untuk menyampaikannya. Sehingga membuat karyawan bekerja hanya untuk memenuhi kehidupan dan maju untuk pribadinya.
121
d. Penyampaian isi hati Hampir seluruh bawahan sepakat mengatakan bahwa mereka hampir tidak pernah mengungkapkan isi hatinya, baik mengenai pekerjaan, rekan kerja, masalah pribadinya, dan lain-lain. Mereka akan mengungkapkan kalau sifat informasi yang hendak disampaikan itu memang sangat mengganggu pekerjaan dan dapat berdampak pada kinerjanya. Hal tersebut pun sangat jarang dilakukan oleh bawahan. Seperti yang diungkapan oleh SJ berikut ini. Terkadang saja, kalau memang sifat informasi yang ingin saya sampaikan sudah sangat menggangu pekerjaan saya maka akan saya sharing ke atasan. Tapi kalau perihal rekan sekerja, saya tidak pernah cerita sich,,paling kalau ditanya saja.
Namun hal berbeda diungkapkan oleh MR dan NA. Mereka selaku supervisor, memiliki tugas khusus untuk melakukan pemantauan langsung kepada kinerja foreman dan junior, oleh karena itu mereka akan menyampaikan apapun bila itu memang berhubungan dengan pekerjaan terutama mengenai kemajuan kinerja foreman dan junior. Berikut pernyataannya. “Pernah juga, misalnya si A bagaimana ya Pak, kok seperti ini ya,,bagaimana ya Pak. Respon atasan juga baik kok, dia bilang kita perhatikan lebih lanjut lagi dech sehari-hari”.114
114
Hasil wawancara Nurokhaman Azis, pada tanggal 27 Juli 2011 di power plant PT Tatajabar Sejahtera-Cikampek
122
e. Pemberian reward atau penghargaan Untuk pemberian reward terhadap kontribusi yang diberikan oleh bawahan kepada perusahaan, baik itu pemberian usul dan perkembangan bagi perusahaan. Para informan mengatakan bahwa tidak terdapat reward dari atasan maupun perusahaan bagi mereka yang berprestasi. Mereka sependapat bahwa reward yang diberikan paling hanya sekedar ungkapan yang disampaikan seperti “joke” saja, khususnya untuk divisi operasional. Namun menurut manager pemberian reward diberikan oleh perusahaan dalam bentuk penilaian kerja tahunan dan kalau kinerja bawahan baik maka akan diberikan penilaian baik. Bahkan tidak menutup kemungkinan kalau menurut atasan kinerjanya sangat bagus maka posisinya akan dinaikkan satu tingkat. Oleh karena itu atasan sangat tertarik dengan masalah kerja yang dialami oleh bawahan karena dengan itu atasan dapat mengenal lebih dalam bawahannya sehingga dapat memperbaiki kondisi yang membuat bawahan tidak nyaman. Pada saat itu posisi atasan akan bertindak sebagai penengah, pendengar dan penasihat.
2. Berkaitan dengan proses penyampaian informasi Proses penyampaian informasi di sini lebih ditekankan pada bagaimana suatu informasi itu disampaikan atasan dan sampai pada bawahan, termsuk media yang digunakannya.
123
Untuk komunikasi ke atas yang dilakukan oleh bawahan, untuk divisi operasional, mereka cenderung mengatakan bahwa atasan mereka cukup mudah untuk ditemui karena atasan mereka khususnya supervisor dan section head selalu berada di kantor, kecuali manager yang memang jarang sekali mengunjungi mereka di power plant. Berbeda dengan divisi non operasional, dimana mereka mengatakan bahwa atasan mereka cukup sulit ditemui. Mengingat mobilitas atasan yang begitu padat dengan schedule yang selalu penuh setiap harinya. Sehingga, bila terdapat suatu masalah yang penting, akan sedikit sulit untuk diselesaikan bila membutuhkan peran atau persetujuan dari atasan. Seperti yang diungkapkan oleh SJ. “Atasan kadang-kadang tidak ditempat, karena sering meeting. Kadang dia hanya telepon itu juga cuma sebentar-sebentar saja, karena banyak orang-orang yang sudah janji bertemu dengannya, jadi ga terlalu mudah untuk bisa menemuinya”.115
Untuk penyampaian informasi yang dilakukan bawahan kepada atasan mereka, tidak terdapat media khusus. Bawahan hanya menggunakan memo atau note kecil bila atasan tidak terdapat dikantor, itupun jarang mereka lakukan. Penggunaan email, telepon, sms dan bbm yang paling banyak dilakukan oleh bawahan untuk berkomunikasi dengan atasan mereka. Menurut mereka, media ini cukup efektif mengingat tidak ada lagi media yang tersedia.
115
Hasil wawancara Sylvia Junyati, pada tanggal 09 Agustus 2011 di kanto PT Tatajabar Sejahtera-Cikampek
124
“…tidak ada media khusus, ya paling dengan telepon kalau lisan. Dan kalau tertulis melalui email, sms dan BBM. Dan itu effektif karena bisa langsung terbaca”.116
Untuk pertemuan tatap muka yang diadakan dengan seluruh karyawan, tidak pernah dilakukan oleh atasan. Sehingga atasan dan bawahan sama-sama tidak pernah berkomunikasi untuk mengutarakan masalah-masalah yang mereka hadapi. “tidak pernah Bu,,,selama saya kerja baru 1x dilaksanakan yaitu waktu ada gathering kemarin. Itu juga momentnya karena kita sedang gathering tepat pada ulang tahun perusahaan jadi diberikan kesempatan mengutarakan baik buruk perusahaan. Kalau tidak moment ulangtahun mungkin tidak diadakan sharing seperti kemarin ya”.117
4.2.2. Komunikasi Horizontal Komunikasi horizontal adalah komunikasi yang berlangsung antar sesama karyawan, dimana terjadi pertukaran informasi diantara orang-orang yang sama tingkatan otoritasnya di dalam organisasi. A. Berkaitan dengan isi informasi Isi informasi ini berkaitan dengan apa yang diharapkan dan disampaikan narasumber akan suatu informasi yang ada, dimana isi dari informasi tersebut dapat merupakan inti dari informasi yang sebenarnya dibutuhkan oleh bawahan. Untuk level Supervisor dan Section Head dalam divisi operasional biasanya setiap hari, mengadakan rapat koordinasi kerja, dimana rapat tersebut 116
Hasil wawancara Dewi Horo, pada tanggal 09 Agustus 2011 di kanto PT Tatajabar SejahteraCikampek 117 Hasil wawancara Wirandani, pada tanggal 27 Juli 2011 di power plant PT Tatajabar SejahteraCikampek
125
membahas segala sesuatu yang belum disampaikan di hari kemarin serta membahas pekerjaan yang dilakukan sepanjang hari kedepan. Seperti yang diungkapkan oleh GS, rapat koordinasi ini berguna untuk mencegah terjadinya tumpang tindih pekerjaan dan tanggungjawab akan tugas-tugas yang ada. Berikut pernyataannya. “Untuk nentuin apa ada kerjaan yang spesifik dan kalau ada jadi supervisor bisa tau job divisinya apa. Kalau tidak ada, ya yang normal saja agar tidak terjadi double job. Biasanya, juga ada hubungan antar bagian yang belum disampaikan sore kemarin akan diinform pagi itu”.118
Kalau untuk level foreman dan junior juga melakukan koordinasi kerja namun tidak dalam bentuk rapat koordinasi seperti yang dilakukan atasannya. Mereka lebih kearah koordinasi kerja sehari-hari saja misalnya jika operation membutuhkan bantuan divisi mechanical maka mereka akan melakukan koordinasi dengan divisi tersebut untuk membantu mereka, begitu juga untuk divisi lainnya. Koordinasi yang dilakukan oleh seluruh informan dalam divisi operasional ini hanya sebatas koordinasi kerja atau tugas saja. Kalau untuk diskusi atau kontribusi tiap-tiap divisi dalam mencapai tujuan organisasi tidak pernah dilakukan oleh seluruh informan. Peneliti melihat bahwa hal itu belum menjadi budaya perusahaan. Sedangkan untuk divisi non operasional, koordinasi tugas juga tidak dilakukan secara kontinu atau baku, namun mereka tetap sering melakukan
118
Hasil wawancara Gunawan Sutiana, pada tanggal 09 Agustus 2011 di power plant PT Tatajabar Sejahtera-Cikampek
126
koordinasi karena, baik finance dan purchasing atau dengan yang lainnya, pasti saling berhubungan satu sama lain jadi harus melakukan koordinasi kerja demi kelancaran penyelesaian kerja. Namun peneliti melihat, perusahaan tidak memberikan ruang dan waktu untuk karyawan melakukan koordinasi atau diskusi minimal mengenai divisi mereka masing-masing. Kemajuan divisi hanya akan ditentukan oleh otoritas kebijaksanaan manajemen, seperti manager. Dan tidak memberikan tempat untuk bawahan menyampaikan aspirasinya bagi kemajuan organisasi, khususnya divisinya. Oleh karena itu karyawan menjadi terbiasa let it flow atas apa yang dikatakan manajemen. Sehingga tidak terbentuk budaya berpikir bersama demi kemajuan organisasi. Itu mengakibatkan masing-masing divisi berjalan sendiri-sendiri. Koordinasi kerja hanya akan terjadi apabila memang divisi satu membutuhkan bantuan divisi lain dan kalau memang informasi harus dikoordinasikan dan disebarkan. Mengenai keterbukaan diantara rekan sekerja dalam memberikan informasi kepada rekannya ini, informan mengatakan bahwa mereka membagikan informasi yang mereka ketahui dengan terbuka kepada rekan yang membutuhkan tetapi terbuka hanya seputar masalah pekerjaan dan yang memang ada hubungan saja. Sehingga dapat bekerja sama dengan baik dalam menjalankan perusahaan, karena menurut DH suatu informasi jika disimpan sendiri, bisa jadi hal tersebut dapat membahayakan perusahaan kedepannya. Sebaliknya, informan juga mengatakan bahwa mereka tidak tahu dengan pasti
apakah
rekan
sekerjanya
mau
membagikan
informasi
yang
127
dibutuhkannya dengan terbuka. DH mengatakan, tidak semua orang dapat membagikan informasinya dengan terbuka kepada oranglain, sehingga ada kalanya harus diperiksa lagi apakah informasi itu benar. GS juga mengatakan hal yang sama, rekannya terbuka sebatas apa yang dia minta saja. Bila muncul suatu permasalahan di dalam divisi, rekan sekerja lainnya akan saling bantu membantu untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Karena mereka berpendapat, jika masalah yang terjadi berkaitan dengan pekerjaan, itu berarti masalah bersama karena setiap divisi saling berhubungan satu sama lain. Kalau memang konflik tersebut tidak dapat diselesaikan maka akan disampaikan ke atasannya langsung. Akan tetapi bila permasalahan yang muncul adalah selisih paham antar diri informan dengan rekan lainnya, mereka cenderung akan meninggalkan atau menjauh sejenak dari rekan konflik tersebut untuk mencoba menenangkan diri terlebih dahulu dan ketika sudah tenang akan mencoba menyelesaikannya dengan kepala dingin. Namun bila permasalahan yang muncul adalah perselisihan paham yang terjadi antar karyawan lainnya, tidak semua informan mengatakan bersedia membantu untuk menyelesaikannya. Seperti yang diungkapkan oleh RM, ia akan membantu sebatas orang yang konflik mau menerima bantuannya saja. Berikut pernyataannya. “Tergantung permasalahannya apa dulu. Kalau masalah selisih paham akibat kerjaan pasti membantu, tapi kalau lebih ke urusan personal ga selalu membantu Bu..takut terlalu ikut campur, paling
128
cuma ngasi nasehat aja, itu juga sebatas yang berkonflik mau menerima atau meminta bantuan saya”.119
Kelompok mutu adalah kelompok yang secara sukarela bertanggung jawab untuk memperbaiki mutu pekerjaan karyawan. Menurut para informan, di dalam perusahaan tidak terdapat kelompok seperti itu, karena bila secara sukarela itu tergantung dari diri individunya. Pada divisi operasional, perbaikan mutu bawahan menjadi tanggung jawab supervisor Seperti yang diungkapkan oleh GS berikut ini. “Peningkatan mutu karyawan adalah tanggung jawab langsung Supervisor, yang akan dimonitor dan diarahkan oleh atasan yang lebih tinggi”.120
B. Berkaitan dengan proses penyampaian informasi Proses penyampaian informasi disini lebih ditekankan pada bagaimana suatu informasi itu disampaikan atasan dan sampai pada bawahan, termasuk media yang digunakannya. Mengenai media yang digunakan untuk menyampaikan informasi kepada rekan sekerja, para informan mengatakan bahwa tidak terdapat media khusus yang dipakai. Seperti biasanya memo, notes, papan informasi, sms, bbm dan email menjadi media utama yang digunakan untuk menyampaikan pesan tertulis. Sedangkan untuk penyampaian pesan lisan, melalui komunikasi tatap muka langsung atau bila yang bersangkutan tidak terdapat dikantor, maka media telepon pun menjadi alternatif yang tepat. 119
Hasil wawancara Rudy Mulyawan, pada tanggal 27 Juli 2011 di power plant PT Tatajabar Sejahtera-Cikampek 120 Hasil wawancara Gunawan Sutiana, pada tanggal 09 Agustus 2011 di power plant PT Tatajabar Sejahtera
129
Seluruh informan mengatakan bahwa mereka selalu melakukan interaksi dengan rekan sekerja yang berada dalam lingkup kerja TjS, baik itu yang berkaitan dengan pekerjaan maupun di luar jam kerja. Seperti misalnya, pada saat jam istirahat kantor, interaksi sosial pun dilakukan. Akan tetapi mengenai, interaksi yang dilakukan diluar jam kerja kantor, seperti pergi piknik bersama atau nonton bersama, hanya dilakukan oleh beberapa orang saja. Dapat dikatakan untuk interaksi sosial diluar jam kantor juga jarang dilakukan oleh para informan. Hal ini dikarenakan, kepentingan mereka yang berbeda-beda.
4.2.3. Komunikasi Diagonal Komunikasi diagonal adalah komunikasi yang terjadi antar anggota organisasi namun berbeda dalam kedudukan dan divisi atau dengan kata lain komunikasi yang menghiraukan komunikasi secara struktural. Di TjS komunikasi horizontal sangat minim sekali dilakukan, biasanya komunikasi ini akan dilakukan diluar konteks pekerjaan saja sehingga lebih sering terjadi secara informal, salah satunya adalah ketika melakukan koordinasi konsep acara perusahaan misalnya gathering, buka puasa bersama atau kegiatan keolahragaan. Dimana masing-masing divisi tanpa melihat jabatan dan kedudukannya
dalam
organisasi
(kecuali
posisi
manager
yang
tidak
memungkinkan untuk melakukan komunikasi ini karena posisi manager yang secara struktural terlalu jauh dengan bawahan dan mobilitas manager yang cukup padat), diberikan kesempatan memberikan kontribusinya namun harus tetap memberikan laporan kepada atasannya langsung atas koordinasi kerja atau
130
instruksi kerja yang diperintahkan oleh atasan atau rekan divisi lain kepada informan. Informasi dalam komunikasi ini dapat disampaikan baik secara tulisan maupun lisan. Kalaupun dalam konteks pekerjaan komunikasi ini jarang dilakukan namun pada kondisi-kondisi tertentu, komunikasi ini juga pernah dilakukan misalnya dalam koordinasi kerja yang memang tidak mampu dilakukan oleh 1 divisi saja. Siapapun yang memberi dan diberi instruksi dalam komunikasi ini, perlu memberikan laporan kepada atasannya langsung. Misalnya pada saat supervisor divisi mechanic memberikan instruksi kerja pada staff divisi electric, maka staff tersebut perlu memberikan laporan kepada atasannya, bahwa dirinya diberikan perintah untuk melakukan suatu tugas oleh divisi lain. Begitupun dengan atasan divisi mechanic, dia memberikan informasi ke atasan divisi electric bahwa dirinya sedang meminta bantuan bawahan divisi electric untuk membantunya. Selain itu komunikasi horizontal ini juga sangat mungkin dilakukan oleh posisi HR dimana dirinya ditunjuk langsung oleh manager untuk melakukan pemantauan kepada kinerja seluruh karyawan khususnya divisi operasional yang jumlahnya lebih banyak dari divisi non operasional. Dia memiliki akses untuk melakukan penilaian kinerja karyawan, padahal jika dilihat dari segi struktural HR sudah melampaui batas-batas fungsionalnya. Dimana ketika atasan hendak melakukan penilaian kinerja bawahan, atasan cenderung berkoordinasi dengan HR dan tidak “menggandeng” atasan langsung setiap bawahan, misalnya ketika manager hendak menilai kinerja foreman dan junior, seharusnya secara struktural
131
maka atasan perlu “menggandeng” supervisor dan section head dalam penilian tersebut. Namun hal itu tidak dilakukan, atasan hanya berbincang-bincang dengan HR. Padahal secara kenyataan, peneliti menemukan fungsi HR di TjS ini belum berjalan dengan baik, dimana HR tidak menjalankan fungsinya sebagai jembatan antara bawahan dan atasan. HR kerap melakukan penilaian berdasarkan asumsiasumsi pribadinya dan tidak berdasarkan objektivitas yang ada.
4.3. Pembahasan Pada sub bab ini, peneliti akan menganalisis hasil temuan data yang didapat
peneliti
dari
hasil
wawancara
dan
observasi.
Peneliti
akan
membandingkan hasil data yang didapat dilapangan dengan teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini. Menyadari pentingnya informasi dalam sebuah instansi atau perusahaan dimana hampir separuh lebih dari kegiatan didalamnya bekerja berdsarkan hal tersebut, informasi akan menjadi tidak berarti apabila tidak dikomunikasikan dengan baik. Hampir setiap organisasi baik berorientasi profit maupun non profit setuju dengan pernyataan bahwa manusia adalah asset terpenting bagi perusahaan. Secara eksplisit hal itu menghargai para sumber daya manusia yang dimiliki oleh suatu perusahaan, namun faktanya seringkali bertentangan dengan kenyataan. Seperti, sumber daya manusia hanya dipandang sebagai unsur produksi yang tidak ada bedanya dengan unsur lainnya.
132
Di sisi lain, masih banyak perusahaan yang menerapkan sistem upah, iklim kerja dan kepemimpinan yang kurang kondusif. Namun terlepas dari hal-hal tersebut, secara umum manusia dan potensinya merupakan elemen utama dari keberhasilan suatu bisnis. Tinggal bagaimana sumber daya manusia berupa tingkat etos kerja, pendidikan, keterampilan, pengetahuan, emosi, kejujuran, kesehatan, pengalaman dan kepemimpinan dapat dioptimalisasikan. Pengelolaan pola komunikasi internal secara efektif akan menghasilkan kepuasan dan produktivitas karyawan, perbaikan pencapaian hasil karya dan tercapainya tujuan perusahaan. Komunikasi efektif dalam organisasi bergantung pada pola komunikasi pimpinan, manajer lini tengah juga para karyawan yang saling bekerja sama secara timbal balik dalam mengalirkan informasi baik secara formal maupun informal. Perwujudan komunikasi intenral itu sendiri meliputi komunikasi secara vertikal yang terdiri dari downward dan upward communication, horizontal dan diagonal. Demikian juga halnya yang terjadi di PT Tatajabar Sejahtera, penerapan pola komunikasi internal yang ada juga meliputi hal-hal tersebut. Hanya saja belum dapat dikatakan berjalan secara timbal balik hingga kegiatan komunikasi internal di perusahaan ini tidak berjalan dengan baik. Pola aliran komunikasi pada perusahaan ini cenderung menggunakan model roda, dimana manager yang menduduki posisi sentral121. Setiap informasi apapun yang beredar dalam perusahaan, harus dilaporkan kepada manager sehingga antar bawahan tidak terjadi interaksi. Hal ini mengakibatkan antar 121
R. Wayne Pace & Don F. Faules, diterjemahkan oleh Deddy Mulyana, Komunikasi Organisasi : Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005, Hal. 174
133
bawahan hampir tidak pernah ada koordinasi dalam hal pelaporan pekerjaan. Masing-masing hanya berwenang terhadap hasil pelaporan kerjanya saja padahal pada kenyataannya seharusnya mereka melakukan koordinasi agar segala hasil pekerjaan yang dilaporkan pada atasan memiliki kesamaan maksud. Penyebaran pesan, Di TjS lebih sering menggunakan penyebaran secara berurutan. Hal ini mengakibatkan adanya informasi yang terlewat atau bahkan terhilang dari informasi yang sesungguhnya karena pesan yang disampaikan terlalu banyak melewati orang per orang, dimana setiap orang pada dasarnya memiliki asumsi yang berbeda satu sama lain atas suatu informasi. Maka dari itu hal wajar jika informasi yang disampaikan oleh atasan, sampai ke bawahan, informasi tersebut berkurang atau bahkan tidak sampai karena sudah terlalu banyak “terkikis”.
4.3.1. Komunikasi Vertikal A. Komunikasi ke Bawah (downward communication) Komunikasi ke bawah dalam sebuah organisasi berarti bahwa informasi mengalir dari jabatan berotoritas lebih tinggi kepada mereka yang berotoritas lebih rendah.122 Tujuan komunikasi ke bawah adalah untuk menyampaikan tujuan, untuk merubah sikap, membentuk pendapat, mengurangi ketakutan dan kecurigaan yang timbul karena salah informasi, mencegah kesalahpahaman karena kurang
122
R. Wayne Pace & Don F. Faules, diterjemahkan oleh Deddy Mulyana, Komunikasi Organisasi : Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005, Hal. 184
134
informasi dan mempersiapkan anggota organisasi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan. Informasi yang beredar dalam komunikasi internal diperusahaan ini cenderung mengenai pekerjaan misalnya melaksanakan kebijakan, prosedur kerja, peraturan, instruksi, mengenai pelaksanaan kerja bawahan, kemudian untuk penyampaian pengarahan doktrinasi, evaluasi dan teguran. Di TjS terdapat beberapa kendala yang timbul dalam komunikasi ke bawah ini, dimana kendala yang muncul ini menjadi hambatan komunikasi dalam penyebaran informasi dari atasan kepada bawahan. Hambatan ini telah menjadi beban bagi karyawan operasional dan non operasional Tjs. Dampak dari hambatan komunikasi ini tampak pada tidak adanya rasa sense of belonging terhadap perusahaan yang mengakibatkan mereka survive bukan untuk kemajuan perusahaan namun untuk diri sendiri. Hambatan-hambatan yang muncul dalam aliran komunikasi ke bawah di TjS adalah sebagai berikut beserta penjelasan akan penyebabnya. 1. Ketidakterbukaan atasan akan informasi Informasi yang diberikan oleh atasan kurang terbuka, tidak lengkap dan menyeluruh. Hal ini berdampak pada hasil kerja mereka akan tugas yang diberikan. Hampir seluruh karyawan berpendapat hal yang sama yakni informasi yang mereka terima dari atasan, hanya sebatas informasi “luar”. Sedangkan untuk informasi yang lebih mendalam lagi, mereka harus mencarinya sendiri, atau terkadang menambahkan informasi yang diberikan oleh atasan, dimana bawahan harus lebih proaktif dalam mencari informasi.
135
Tetapi bila saat terdesak dengan batas waktu yang sangat sempit atau dalam situasi urgent, baru atasan menyampaikan segala informasi yang diketahuinya. Selain itu, hal tersebut juga mengakibatkan bawahan berprasangka buruk terhadap sikap tertutup atasan yaitu mereka berpendapat bahwa atasan memiliki niat tidak baik terhadap informasi tersebut. Namun ada juga karyawan yang mengatakan kalau atasannya sangat terbuka akan segala informasi, apalagi bila informasi itu berkaitan dengan penyelesaian tugas maka akan segera diinformasikan. Sehingga ketika karyawan diberi tugas untuk membuat laporan yang berhubungan dengan informasi yang disampaikan tersebut maka atasan dapat dengan mudah memintanya kepada bawahan karena bawahan sudah mengetahui apa yang akan disajikan disana. Dilain pihak, atasan mengatakan bahwa dia menginginkan bawahannya untuk menjadi lebih proaktif dalam mencari informasi sendiri. Umumnya para atasan tidak begitu memperhatikan arus komunikasi ke bawah. Pimpinan mau memberikan informasi ke bawah bila mereka merasa bahwa pesan itu penting bagi penyelesaian tugas. Tetapi apabila suatu pesan tidak relevan dengan tugas, pesan tersebut tetap dipegangnya. Berdasarkan pada pendapat
Muhammad123, bahwa pimpinan akan
menyampaikan informasi tersebut bila dikiranya perlu. Tetapi kata “perlu” itu tidaklah sama dengan apa yang dipikirkan oleh atasan dan bawahan. Ada kalanya terjadi perbedaan pola pikir atau pendapat, dimana atasan merasa
123
Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, Jakarta : Bumi Aksara, 2009, Hal. 110-111
136
bahwa informasi tersebut tidak perlu untuk diungkapkan, tetapi di lain pihak, bawahan menganggap informasi yang disimpan oleh atasan itu, penting untuk kelancaran tugas yang dikerjakannya. Hambatan semacam ini dapat terjadi dalam hambatan antarpribadi, dimana terjadi perbedaan persepsi atau pola pikir yang berbeda. Karena terdapat perbedaan pola pikir akan kebutuhan dan penyampaian informasi antara atasan dengan bawahan seperti yang telah dijelaskan dalam paragraph di atas. Menurut Rudy124, hambatan timbul karena ada perbedaan persepsi dan persepsi yang berbeda bisa timbul karena perbedaan latar belakang sosial budaya, pendidikan dan pengalaman, afiliasi politik dan ideologi yang berbeda, atau karena menganut pola pikir yang berbeda.
2. Ketidaktepatan waktu Ketidaktepatan waktu pengiriman atau penyampaian pesan oleh atasan kepada bawahan, serta kurangnya penjelasan akan suatu pesan tertulis terhadap tugas yang harus dilakukan. Kata “tepat” disini maksudnya adalah penyampaian atau pemberian informasi dari atasan kepada bawahan tepat di saat yang diperlukan oleh bawahan. Hampir seluruh informan mengatakan kalau atasan tidak selalu tepat memberikan informasi pada saat dibutuhkan. Hal ini dapat terjadi karena atasan jarang ada ditempat pada saat jam kerja kantor atau pada saat dibutuhkan oleh bawahannya. Menurut informan bawahan, atasan terkadang 124
Teuku May Rudy, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat International, Bandung : Refika Aditama, 2005, Hal.24
137
hanya memberi tugas atau informasi yang tidak terlalu jelas kepada bawahannya. Penyampaian informasi ini dapat dilakukan secara tertulis melalui memo atau note, atau lisan melalui telepon. Bawahan terkadang tidak tahu menahu apa yang harus dilakukan dengan pesan yang disampaikan secara tertulis oleh atasan. Sehingga bawahan harus menunggu lagi, untuk dapat bertanya mengenai jelasnya kepada atasan. Hal ini tentu dapat memperlambat waktu kerja dan tugas yang diberikan. Hasil yang didapat pun tidak dapat maksimal. Walau demikian ada juga informan yang mengatakan khusunya divisi non operasional, bahwa atasannya terkadang memberikan informasi tepat disaat dia membutuhkannya. Menurut
atasan
mereka,
supervisor,
section
head
dan
manager,
penyampaian pesan memang terkadang disampaikan secara tertulis, bila bawahan yang bersangkutan tidak berada di kantor, atau di luar jam kantor. Menurut Muhammad125, timing atau ketepatan waktu pengiriman pesan mempengaruhi
komunikasi
ke
bawah.
Pimpinan
hendaklah
mempertimbangkan saat yang tepat bagi pengiriman pesan dan dampak yang potensial kepada tingkah laku karyawan. Pesan seharusnya dikirimkan ke bawah pada saat saling menguntungkan kepada kedua belah pihak yaitu pimpinan dan karyawan. Tetapi bila pesan yang dikirimkan tersebut tidak pada saat yang dibutuhkan oleh karyawan maka mungkin akan mempengaruhi aktivitasnya. 125
Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, Jakarta : Bumi Aksara, 2009, Hal. 111
138
Untuk hambatan yang muncul ini, memang tidak ada dalam teori karena data yang terdapat dilapangan akan sedikit berbeda dengan teori yang ada, melihat banyaknya keanekaragaman hambatan atau kendala yang dapat muncul dalam arus informasi komunikasi internal.
3. Atasan jarang melakukan kunjungan ke bawahan khususnya untuk level foreman dan junior atau staff, baik itu mengenai situasi, kondisi lingkungan kerja bawahannya, suasana kerja dengan rekan sekerja, ataupun tentang kebutuhan informasi bawahannya. Hal ini dikarenakan lokasi atasan dan bawahan yang jauh, misalnya manager non operasional berada di Jakarta sedangkan bawahannya berada di cikampek, manager operasional berada di kanto namun jarang sekali mengunjungi bawahan yang di power plant, selain itu waktu atasan juga terbatas dan jadwal yang padat, serta atasan yang hanya memantau dari hasil kerja bawahannya saja tetapi melalui supervisor dan section head juga. Dalam hal ini atasan tidak tahu menahu akan bagaimana situasi, kondisi dan suasana kerja di lingkungan kerja kanto maupun power plant. Sehingga bila terdapat suatu permasalahan pribadi atau perselisihan paham yang mengakibatkan situasi kerja menjadi tidak kondusif terhadap salah satu bawahannya, atasan pun tidak tahu. Kecuali bila bawahan tersebut melaporkannya kepada atasan. Dapat dikatakan bahwa atasan hanya memantau bawahannya dari hasil kerjanya saja. Hal semacam ini dapat terjadi karena tidak berjalannya fungsi HR atau tidak adanya bagian khusus konseling di perusahaan seperti PR (Public
139
Relations). Bawahan jadi tidak memliki tempat untuk mengutarakan segala permasalahan yang ada di lingkungan kerja, sehingga terjadi kecenderungan untuk membentuk kelompok-kelompok sendiri sesuai dengan kepentingan pribadi masing-masing bawahan. Keadaan semacam ini mempengaruhi hubungan interpersonal para bawahan antara yang satu dengan yang lain, serta dapat
mempengaruhi penafsiran atasan terhadap salah satu
bawahannya. Di mana sewaktu penelitian berlangsung, atasan mengakui adanya badan HR yang semestinya memiliki job desc itu namun tidak berjalan sebagaimana mestinya.
4. Informasi terlewat Adanya informasi yang terlewatkan oleh bawahan yang diberikan oleh atasan. Informasi yang terlewatkan ini dapat terjadi karena penyebaran informasi secara berurutan dari atasan. Bawahan yang mengalami terlewatnya informasi ini, secara umum dikarenakan atasan yang menyampaikan informasi tersebut di luar jam kerja kantor, bawahan sedang tidak berada dikantor, atau setelah seluruh karyawan pulang kerja. Sehingga atasan, biasa menitipkan informasi tersebut kepada salah satu dari mereka yang dapat dihubungi, dan menyuruhnya untuk menyebarkan informasi tersebut kepada rekannya. Kecenderungan seperti ini, terkadang juga terjadi melalui media tertulis, yakni papan informasi. Di mana tiba-tiba pada saat hari H, terdapat informasi tertulis dari atasan untuk hari itu juga, yang pada hari sebelumnya tidak ada.
140
Individu cenderung menyadari adanya informasi pada waktu yang berlawanan. Karena adanya perbedaan dalam menyadari informasi tersebut, mungkin timbul masalah dalam koordinasi. Adanya keterlambatan dalam penyebaran informasi akan menyebabkan informasi itu sulit digunakan untuk membuat keputusan karena ada orang yang belum memperoleh informasi.126
5. Informasi yang disampaikan hanya mengenai pekerjaan Dalam menyebarkan informasi, atasan hanya menyampaikan mengenai pekerjaan saja. Hampir tidak pernah terjadi komunikasi mengenai hal-hal diluar pekerjaan. Ini menyebabkan baik atasan maupun bawahan tidak memiliki kontak interpersonal yang dekat selain pekerjaan. Walaupun hal ini tidak terdapat dalam teori, namun peneliti melihat ini adalah suatu hambatan dalam berkomunikasi, karena ketika atasan mencoba membuka komunikasi dengan topik diluar pekerjaan maka akan mampu membangun komunikasi interpersonal dan akan terjalin suasana akrab tanpa ada batasan jabatan. Sehingga ketika bawahan hendak menyampaikan apapun, baik mengenai pekerjaan maupun hal-hal pribadi, bawahan dapat menyampaikannya dengan leluasa tanpa adanya kekakuan dan ragu-ragu.
126
R. Wayne Pace & Don F. Faules, diterjemahkan oleh Deddy Mulyana, Komunikasi Organisasi : Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005, Hal. 173
141
6. Penyaringan informasi yang dilakukan bawahan atas informasi yang disampaikan atasan. Menurut Muhammad127, penyaringan informasi merupakan hambatan dalam komunikasi ke bawah, dimana bawahan melakukan penyaringan dikarenakan informasi yang disampaikan atasan tidak selalu semua dengan keinginan manajemen, hal itu diungkapkan oleh bawahan dalam divisi non operasional. Mereka mengatakan supervisor kerapkali
mengungkapkan
suatu
informasi
namun
informasi
yang
disampaikan terkadang tidak sesuai dengan keinginan manager, oleh karena itu mereka harus melakukan penyaringan. Hal itu mengakibatkan bawahan tidak memiliki kepercayaan kepada supervisor. Selain itu karena perbedaan persepsi juga bawahan melakukan penyaringan.
Hambatan komunikasi internal yang muncul dalam aliran informasi ke bawah ini, tidak semuanya berkaitan dan terdapat dalam macam atau tipe hambatan yang terdiri dari hambatan antarpribadi dan hambatan organisasional. Hal ini dikarenakan hambatan yang ditemukan selama penelitian dilapangan tidak semuanya terdapat dalam ketiga macam hambatan dalam teori. Sehingga tidak menutup kemungkinan dalam penelitian ini, untuk menemukan hambatan lain selain hambatan yang disebutkan secara teoritis.
127
Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, Jakarta : Bumi Aksara, 2009, Hal. 111
142
B. Komunikasi ke atas (upward communication) Komunikasi ke atas adalah pesan yang mengalir dari bawahan kepada atasan atau dari tingkat yang lebih rendah kepada tingkat yang lebih tinggi. Semua karyawan dalam organisasi pasti melakukan komunikasi ke atas, kecuali yang berada pada tingkatan yang paling atas. Tujuan dari komunikasi ini adalah untuk memberikan balikan, memberikan saran dan pengajuan pertanyaan. Informasi yang beredar dalam komunikasi ini di TjS adalah mengenai penyampaian laporan, masukan, saran, kritik ataupun keluhan. Namun hal itu harus disampaikan terlebih dahulu ke supervisor dan supervisor yang akan menyampaikan ke section head, selanjutnya section head akan menyampaikannya ke manager. Kondisi ini kurang dapat memberikan hasil yang maksimal. Pada tataran pola komunikasi ini yang paling merasakan dampak dari ketidaklancaran tersebut adalah pihak karyawan utamanya yang berada pada posisi paling jauh dari pimpinan, misalnya staff atau foreman dan junior. Komunikasi ke atas sangatlah perlu dilakukan dalam organisasi, karena melalui komunikasi ke atas, seorang atasan dapat melihat dan mengukur bagaimana hasil kerja, kinerja dan tanggung jawab yang diberikan kepada bawahan. Selain itu, atasan juga dapat melihat dan memantau perkembangan organisasi dari data yang didapat bawahannya di lapangan. Dengan adanya peran aktif dari bawahan dalam memberikan masukan, usul, ide ataupun kritik dan saran, baik kepada atasan secara pribadi mengenai divisinya maupun mengenai organisasi secara keseluruhan, dapat membantu perkembangan organisasi ke depannya.
143
Akan tetapi, tidak semua komunikasi ke atas dapat berjalan dengan lancar dan seperti yang diharapkan. Di TjS, komunikasi ke atas berlangsung dengan baik, akan tetapi tentu saja dalam perjalanannya pasti terdapat beberapa kendala yang menjadikannya hambatan bagi bawahan untuk berkomunikasi dengan atasan. Berikut beberapa hambatan yang muncul dalam Tjs : 1. Jenjang kepangkatan yang terlalu terlihat nyata menyebabkan seluruh karyawan enggan melakukan komunikasi ke atas. Dan setiap kali melakukan komunikasi, bawahan terlihat kaku dan dan tidak lancar bahkan cenderung menarik diri agar tidak melakukan komunikasi dengan atasan. Seperti yang diungkapkan oleh rudy128, bahwa jenjang kepangkatan yang terlalu jauh mampu membuat komunikasi menjadi sulit dilakukan.
2. Tidak adanya reward atau penghargaan dari atasan atau perusahaan Para bawahan selaku informan mengatakan bahwa tidak ada reward dari atasan ataupun organisasi terhadap mereka yang berprestasi atau yang telah memberikan kontribusi besar bagi perusahaan, walaupun kondisi perusahaan saat ini cukup memungkinkan untuk memberikan “nilai tambah” bagi karyawan. Namun hal itu tidak diberikan, bahkan untuk karyawan yang sudah bekerja belasan tahun, mereka pun tidak pernah membayangkan akan diberikan reward. Padahal pada kenyataanya Reward mampu memberikan rasa kebanggaan tersendiri bagi mereka. Seringkali supervisor, section head
128
Teuku May Rudy, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat International, Bandung : Refika Aditama, 2005, Hal.22-23
144
dan manager tidak memberikan penghargaan yang nyata kepada karyawan untuk memelihara keterbukaan komunikasi ke atas. Dengan tidak adanya penghargaan yang tampak atau nyata dan diketahui oleh semua bawahan, membuat bawahan menjadi malas untuk melakukan komunikasi ke atas, baik itu sekedar untuk memberikan usul atau ide, apalagi kritik terhadap atasan, divisi maupun organisasinya bekerja. Dari hal ini saja, dapat menyebabkan kesulitan untuk mendapatkan komunikasi ke atas, dimana hal-hal yang seharusnya disampaikan oleh karyawan kepada atasannya tidaklah selalu menjadi kenyataan.
3. Tidak adanya penilaian prestasi kerja yang tampak jelas Penilaian kerja bawahan yang dilakukan atasan, tidak tampak dan tidak ketahui oleh bawahan. Di dalam perusahaan, seharusnya memiliki penilaian kerja karyawan yang tampak dan dimengerti oleh karyawannya. Dengan adanya penilaian prestasi kerja yang disampaikan secara terbuka, bawahan akan tahu bagaimana atasannya menilai bawahan, dan mereka dapat berprestasi semaksimal mungkin sesuai standarisasi pimpinan, dan memberikan kontribusi bagi perusahaannya. Akan tetapi di TjS tidak terdapat penilaian prestasi kerja yang terbuka disampaikan ke karyawan. Sehingga mereka bekerja dengan tidak tahu menahu bagaimana mereka dapat dinilai baik dan dianggap berprestasi oleh atasan dan perusahaan. Secara umum penilaian prestasi kerja karyawan dapat berdampak pada jenjang karir karyawan. Tetapi jejang karir pun, juga tidak diketahui oleh
145
karyawan TjS. Mereka semua mengatakan tidak ada kejelasan akan jenjang karir yang ada di perusahaan. Bagaimana seorang bawahan dapat dikatakan berprestasi juga tidak diketahui oleh mereka. Akan tetapi menurut atasan, terdapat yang namanya penilaian kerja karyawan, dimana penilaian itu berdasarkan pada hasil pengamatannya dan hasil kerja karyawan selama ini. Ketidakjelasan selama ini, membuat bawahan bekerja hanya berdasarkan pada tugas dan tanggungjawab yang diberikan atasan saja. Menurut atasan mereka, selaku manager, penilaian prestasi kerja karyawan adalah berdasarkan pada persepsi dan pengawasan atasan pribadi, dimana menurut atasan, penilaiannya ini akan berdampak pada kesejahteraan karyawan tersebut, tetapi tentu saja tanpa sepengetahuan dari bawahan yang bersangkutan. Hal semacam ini dapat menjadi hambatan organisasional mengenai penafsiran manager. Masing-masing manager memiliki pola pikir, cara menafsirkan dan pola bergaul sendiri-sendiri, sehingga mungkin saja ada manager atau pimpinan yang senang berkomunikasi dengan karyawannya yang sopan dan bersikap “asal bapak senang”, walau hasil pekerjaannya kurang baik. Sebaliknya ada manager yang cenderung menghargai karyawan yang sedikit cuek dan urakan, tetapi rajin dan hasil pekerjaannya bagus serta memuaskan. 129
129
Teuku May Rudy, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat International, Bandung : Refika Aditama, 2005, Hal.26
146
Sharma dalam Pace & Faules130, juga mengatakan hal yang sama bahwa kurangnya pemberian apresiasi dapat mengakibatkan komunikasi ke atas menjadi sangat sulit dilakukan.
4. Penyampaian saran atau usul yang terlalu prosedural Ketika bawahan pada divisi operasional hendak menyampaikan saran atau usul maka mereka harus terlebih dahulu menyampaikannya kepada atasannya langsung. Selain itu mereka juga merasa setiap saran atau usul mereka tidak pernah memperoleh tanggapan apapun, dalam arti seperti tidak pernah dianggap. Bahkan ada untuk hal-hal tertentu atasan langsung mereka men-claim bahwa saran atau usul tersebut berasal dari dirinya bukan dari berdasarkan hasil bawahannya. Hal itu mengakibatkan mereka tidak terlalu sering menyampaikan saran atau usul. Namun ada sedikit perbedaan dengan divisi non operasional, dimana setiap bawahan juga apabila ingin menyampaikan saran atau usul maka harus melalui atasan langsungnya. Akan tetapi usul tersebut akan disampaikan kepada atasan secara murni. Yang menjadi kendala adalah respon atasan yang memang cenderung memusatkan segala pengembangan perusahaan hanya berpusat pada ide dan sarannya saja. Sehingga karyawan tidak diberikan ruang untuk berkreasi memajukan perusahaan. Selain itu adanya perasaan bawahan, bahwa atasan tidak tanggap pada apa yang mereka
130
R. Wayne Pace & Don F. Faules, diterjemahkan oleh Deddy Mulyana, Komunikasi Organisasi : Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005, Hal 191
147
sampaikan, pimpinan seakan tidak menerima dan tidak berespon atas apa yang mereka sampaikan. Seperti yang diungkapkan oleh Sharma dalam Pace & Faules131, ketika atasan tidak menerima atau tidak berespons atasa apa yang bawahan sampaikan maka komunikasi ke atas akan menjadi sulit untuk dilakukan.
5. Situasi emosional atasan mempengaruhi responnya Atasan pada setiap divisi, baik operasional maupun non operasional yang cenderung “moody” mengakibatkan ketika bawahan hendak menyampaikan informasi atau hendak bertanya mengenai informasi maka karyawan akan terlebih dahulu mencari tahu situasi emosional atasan pada saat itu. Hal ini mengakibatkan
karyawan
terkadang
ragu-ragu
dan
takut
untuk
menyampaikan atau bertanya sesuatu karena apabila atasan sedang bad mood, maka responnya akan sangat negatif, misalnya marah atau menjawab dengan nada keras. Sehingga menjadi boomerang bagi karyawan sendiri. Menurut Rudy132, dalam hambatan antarpribadi, situasi emosional dapat mempengaruhi lancar tidaknya komunikasi yang dilakukan, baik itu situasi emosional komunikator maupun komunikan.
6. Jarak struktural antara atasan dan bawahan yang terlihat nyata untuk level foreman dan junior serta staff hampir tidak pernah berkomunikasi dengan
131
R. Wayne Pace & Don F. Faules, diterjemahkan oleh Deddy Mulyana, Komunikasi Organisasi : Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005, Hal 191 132 Teuku May Rudy, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat International, Bandung : Refika Aditama, 2005, Hal.28
148
manager karena jenjang pangkat yang terlalu jauh. Hal ini mengakibatkan adanya jarak struktural yang mengakibatkan kedekatan interpersonal sulit dibangun. Ini terlihat dari bawahan tidak dapat dengan leluasa mengerjakan sesuatu jika atasan berada di dekatnya, ada rasa was-was takut melakukan kesalahan dan adanya kekakuan dalam berkomunikasi dengan atasan. Hambatan ini juga diungkapkan oleh Rudy133, dia mengatakan dalam hambatan organisasional, tingkatan manajemen juga mampu membuat penyampaian informasi tidak dapat sepenuhnya berjalan lancar, baik itu topdown maupun bottom-up.
7. Mobilitas, tugas dan tanggungjawab atasan yang padat, membuat atasan cukup sulit untuk ditemui. Secara umum, banyak informan mengatakan sulitnya bertemu dengan atasan membuat bawahan kesulitan untuk mendapatkan informasi, terutama di saat penting yang membutuhkan persetujuan dari atasan. Dimana bila memang benar-benar tidak dapat ditunda lagi, komunikasi melalui media telepon dan sms pun dilakukan, walaupun bagi karyawan penyamapian informasi melalui media tersebut tidaklah efektif. Walaupun demikian ada juga narasumber atau bawahan yang mengatakan bahwa atasannya, seperti supervisor dan section head cukup mudah untuk ditemui karena hampir tidak pernah tugas keluar kantor.
133
Teuku May Rudy, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat International, Bandung : Refika Aditama, 2005, Hal.27
149
Komunikasi keatas merupakan sumber informasi yang penting dalam membuat keputusan karena dengan adanya komunikasi ini pimpinan dapat mengetahui bagaimana pendapat bawahan mengenai atasan, mengenai pekerjaan mereka, mengenai rekan kerjanya dan mengenai organisasi, karena pentingnya komunikasi ini, maka organisasi perlu mengaturnya dengan baik agar tercipta situasi yang kondusif bagi karyawan sehingga mereka dapat bekerja maksimal. Pada bab 2 hal. 23 disebutkan bahwa jumlah staff merupakan suatu hambatan dalam komunikasi, dimana apabila jumlah staff sedikit maka akan semakin mudah melakukan koordinasi tugas. Dan sebaliknya jika staff berjumlah banyak maka akan sulit melakukan melakukan komunikasi, dan akan timbul suasana kurang akrab. Namun hal berbeda peneliti temukan bahwa lancar tidaknya komunikasi tidak tergantung pada banyaknya staff atau karyawan yang diawasi. Pada kenyataan dilapangan, peneliti melihat bahwa pada divisi mechanic yang tidak terlalu memiliki banyak staff namun komunikasi tetap sulit dilakukan. Sementara divisi electric yang justru lebih banyak memiliki staff, komunikasi yang terjadi dapat berjalan lebih lancar, walaupun memang tidak terlalu lancar namun tetap dapat dikendalikan.
4.3.2. Komunikasi Horizontal Komunikasi horizontal adalah pertukaran pesan atau informasi diantara orang-orang yang sama tingkatan otoritasnya didalam organisasi, biasanya berupa koordinasi tugas, penyelesaian konflik dan saling memberikan informasi.
150
Dalam komunikasi horizontal ini, peneliti juga menemukan adanya kendala yang dihadapi oleh karyawan, namun lebih mengarah kepada kontak interpersonal antar karyawan. Berikut beberapa kendala yang ditemukan oleh peneliti : a. Kurangnya kontak interpersonal antar karyawan Adanya sedikit rasa individualisme antar karyawan yang menyebabkan mereka jarnag melakukan kontak interpersonal diluar urusan pekerjaan dan organisasi. Dimana hal ini menyebabkan kurangnya sokongan interpersonal diantara karyawan, serta tidak adanya rasa sosial yang mempererat hubungan emosional mereka. Padahal seharusnya dalam komunikasi horizontal-lah, karyawan dapat berinteraksi dengan bebas dengan rekan kerjanya serta mampu mempererat hubungan interpersonal mereka. Interaksi yang mereka lakukan tidak lebih hanya pada saat jam kerja perusahaan saja, diluar itu cukup jarang dilakukan. Padahal untuk memperkuat hubungan dan komunikasi antar rekan sekerja, aktivitas sosial dapat memperlancar komunikasi ini dan mempererat hubungan emosional mereka. Walaupun memang tidak semua karyawan demikian, tetapi kecenderungan mereka untuk individualisme lebih tinggi, dan hal ini juga berimbas pada kerjasama tim yang tidak maksimal. Dengan kata lain, menjadikan kurang kesadaran saling membantu satu dengan yang lain, bila tidak diminta. b. Kurang terbuka Ini
menyangkut
seberapa
bersedia
orang
memberikan
ide-idenya,
pengalamannya dan persepsinya kepada orang lain. Menurut beberapa
151
informan disini terdapat rasa untuk menyembunyikan, menutupi informasi dengan rekan sekerjanya, sehingga bersifat tidak terbuka dan tidak jujur dalam menyampaikan informasi, maka ada yang merasa tidak puas dengan informasi yang disampaikan rekannya. c. Kurang terjalinnya persahabatan antar rekan sekerja Pada umumnya orang senang bekerja dengan kondisi pergaulan yang hangat, menarik dan hubungan kerja sama yang erat dalam lingkungan organisasi. Aspek-aspek penting dalam persahabatan adalah hubungan antara teman sepekerja, kerjasama antar individu dalam unit bisnis, kerjsama dengan bagian atau departemen lainnya. Sayangnya di TjS masih ada saja yang “cari muka” kepada atasan, arogan dan mau menang sendiri, tidak konsisten dan tidak punya integritas. Hari ini berbicara sesuatu namun kemudian tidak mau mengakui apa yang telah dikatakannya. Hal ini mengakibatkan rekan kerja yang lainnya tidak ingin menjalin hubungan yang terlalu dekat satu sama lain.
4.3.3. Komunikasi Diagonal Komunikasi silang yang dilakukan diperusahaan ini terjadi secara informal, sehingga komunikasi ini dilakukan hanya sebatas hubungan rekan kerja saja. Para bawahan jarang sekali mendapatkan instruksi secara langsung dalam hal pekerjaan dari atasan divisi lainnya. Kalaupun komunikasi ini terjadi, bawahan harus tetap memberikan laporan kepada atasan mereka perihal interaksi kerja yang dilakukan bawahan dengan divisi lainnya. Selain itu komunikasi diagonal ini sangat
152
mungkin dilakukan oleh divisi HR, dimana HR diminta atasan untuk selalu melakukan pemantauan langsung terhadap kinerja seluruh bawahan dengan melewati berbagi divisi lainnya yang seharusnya memiliki otoritas tersebut. Dalam komunikasi ini hambatan yang terjadi tidak terlalu significant, karena komunikasi ini lebih cenderung terjadi sebatas rekan kerja saja. Bahkan komunikasi ini cenderung mampu mematahkan jarak struktural yang ada. Dimana baik atasan maupun bawahan dapat melakukan komunikasi dengan leluasa. Hanya saja, jika komunikasi ini dilakukan berkaitan dengan pekerjaan maka hambatan yang ada adalah setiap interaksi yang terjadi harus dilaporkan kepada atasan. Dan justru ini membuat bawahan tidak dengan bebas berinteraksi dengan siapapun. Walaupun hambatan ini tidak terdapat dalam teori, namun berdasarkan hasil dilapangan, peneliti melihat ini menjadi hambatan dalam melakukan komunikasi. Yang justru mengakibatkan jenjang kepangkatan semakin terlihat jelas. Diluar berbagai hambatan komunikasi yang telah peneliti jabarkan diatas, peneliti juga menemukan hambatan komunikasi terjadi akibat : a. Budaya organisasi yang diciptakan adalah budaya yang tidak menunjang kinerja bawahan. Budaya organisasi cenderung berpihak pada segala kebutuhan manajemen. Padahal seharusnya budaya organisasi mampu membentuk prilaku karyawan kearah lebih positif sehingga mampu menciptakan sense of belonging dalam diri karyawan. Budaya organisasi juga
134
seharusnya
mampu
menyatukan
organisasi134
namun
Wirawan, Budaya dan Iklim Organisasi, Jakarta : Salemba Empat, 2007, Hal. 35-37
pada
153
kenyataannya budaya yang terbentuk justru membuat semakin menyatakan kepentingan-kepentingan
perorangan
dan
bukan
untuk
kepentingan
kemajuan organisasi. b. Kurang terjalinnya komunikasi interpersonal antara atasan dan bawahan Komunikasi yang terjalin antara atasan dan bawahan lebih sering mengenai pekerjaan, hal ini mengakibatkan bawahan cenderung enggan berkomunikasi dengan atasan mengenai hal-hal pribadinya. Hal lainnya terlihat dari atasan selalu bertindak sebagi police maker di organisasi dan menghindari komunikasi langsung dengan beberapa divisi yang menurutnya terlalu jauh untuk dijangkaunya. Selain itu atasan juga kerap menyampaikan sesuatu tidak secara hangat, apalagi bila kondisi emosional atasan sedang tidak baik. Walaupun hambatan ini tidak terdapat dalam teori hambatan komunikasi, namun pada kenyataannya peneliti menemukan justru hal inilah yang menjadi hambatan utama dalam komunikasi di TjS. Seperti yang diungkapkan oleh Muhammad135, bahwa komunikasi interpersonal mampu membentuk dan menjaga hubungan yang penuh arti, merubah sikap dan tingkah laku. Karena dalam suatu perusahaan, pasti dibutuhkan kerjasama antar orang-orang di dalamnya, sehingga akan banyak terjadi interaksi, maka perlu perlu dibina komunikasi interpersonal agar tercipta hubungan yang harmonis antar seluruh anggota organisasi.
135
Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi, Jakarta : Bumi Aksara, 2009, Hal. 165 -167
154
c. Adanya perbedaan pola pikir antar manager operasional dan non operasional dalam menjalankan kegiatan perusahaan yang mengakibatkan secara kasat mata terlihat adanya konflik antar manager tersebut. Hal itu dapat dilihat dari ketika mereka kerap kali memiliki metode atau cara yang berbeda dalam penyelesaian satu masalah yang dihadapi perusahaan. Dan perbedaan itu justru mengakibatkan mereka sering berselih paham walaupun dikemas secara tidak terlihat. Namun seluruh bawahan dapat melihatnya secara jelas melalui tingkah laku dan raut wajah mereka ketika berselisih paham. Selain itu kerap kali para atasan tersebut menyatakan kepada karyawan atas ketidak senangan mereka satu sama lain. Keselisih pahaman mereka ini berdampak pada bawahan, dimana bawahan menjadi sukar berkomunikasi dengan mereka berdua. Misalnya manager operasional meminta bawahan untuk melakukan A sementara manager non operasional meminta melakukan B. Hal ini mengakibatkan bawahan sulit menyelesaikan pekerjaannya. Dan mau tidak mau bawahan dalam divisi operasional akan mengikuti pola komunikasi atasannya, sementara divisi non operasional akan mengikuti pola komunikasi atasannya juga. Ini mengakibatkan komunikasi juga menjadi sulit dilakukan baik oleh antar bawahan maupun bawahan ke atasan. Rudy juga menyatakan yang sama136, bahwa perbedaan persepsi atau pola pikir mampu menghambat komunikasi yang berlangsung.
136
Teuku May Rudy, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat International, Bandung : Refika Aditama, 2005, Hal.22-23