BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian terhadap Penetapan Pemisahan Harta Perkawinan yang
dilakukan
setelah
Perkawinan
berlangsung
Nomor.
0012/Pdt.P/2015/PA.Ska. 1. Posisi Kasus Permasalahan yang akan diteliti oleh Penulis adalah sebuah kasus perkara perdata pasangan suami – isteri antara MD. Jahidul Islam bin MD Tokaddes Hossain Munshi (Warga Negara Asing) dan Desi Prawita Sari, S.S binti Djoko Triyono (Warga Negara Indonesia) yang permohonan penetapannya telah ditetapkan perkara perdatanya dengan
Penetapan
Pengadilan
Agama
Surakarta
Nomor.
0012/Pdt.P/2015/PA.Ska. Kasus tersebut bermula dari perkawinan diantara keduanya, yang di dalam perkawinannya mereka tidak membuat
perjanjian
perkawinan
mengenai
pemisahan
harta
perkawinannya. Berdasarkan dalil – dalil di muka persidangan pada Pengadilan Agama Surakarta bahwa para pihak yang membuat permohonan penetapan mengakui bahwa : 1) Bahwa Pemohon I telah menikah dengan Pemohon II, pada tanggal 6 Oktober 2014, tercatat dalam Kutipan Akta Nikah No. 0802/014.X/2014, tertanggal 6 Oktober 2014 yang dibuat / dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta; 2) Bahwa dari perkawinan / pernikahan tersebut belum dikaruniai keturunan / anak; 3) Bahwa Para pemohon sama – sama bekerja dan memiliki penghasilan, Pemohon I sebagai Karyawan Swasta / Civil Engineer sedangkan Pemohon II sebagai Wiraswasta / Memberi layanan Privat Les Bahasa Inggris;
1
4) Bahwa Para Pemohon mempunyai penghasilan masing – masing yang cukup untuk menopang biaya kehidupan, baik untuk kehidupan pribadi maupun keluarga, sehingga Para Pemohon tidak memerlukan bantuan dibidang ekonomi atau keuangan antara satu dengan lainnya. Namun dalam urusan keluarga Pemohon
I
tetap
bertanggungjawab
sepenuhnya
atas
kesejahteraan keluarganya sesuai dengan kedudukannya sebagai Kepala Keluarga; 5) Bahwa karena status kewarganegaraan Para Pemohon berbeda, yang mana Pemohon I sebagai Warga Negara Asing (WNA), Pemohon II sebagai Warga Negara Indonesia (WNI), yang mana karena Pemohon I berstatus bukan Warga Negara Indonesia, sesuai dengan ketentuan Pasal 21 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria, yang menyebutkan : “bahwa hanya Warga Negara Indonesia (WNI) yang bisa memegang sertifikat Hak Milik atas tanah dan apabila yang bersangkutan, setelah memperoleh sertifikat Hak Milik kemudian menikah dengan Warga Negara Asing (WNA) maka dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah pernikahannya itu tanpa Perjanjian Perkawinan / Perjanjian Pra-Nikah, maka ia harus melepaskan Hak Milik atas tanah dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah perkawinan / pernikahannya itu.” Oleh karena itu, untuk memenuhi ketentuan Pasal 21 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria tersebut, Para Pemohon mengajukan permohonan Penetapan Pemisahan Harta Bersama setelah Nikah ini; 6) Bahwa seharusnya Para Pemohon membuat perjanjian tentang status Harta Bersama sebelum dilangsungkan perkawinan / pernikahan (Perjanjian Pra-Nikah), akan tetapi karena kealpaan dan ketidaktahuan dari Para Pemohon, sehingga baru sekarang
2
Para Pemohon berkehendak membuat Perjanjian Pemisahan Harta Bersama; 7) Bahwa oleh karena perkawinan / pernikahan antara Pemohon I dengan Pemohon II telah dilangsungkan pada tanggal 6 Oktober 2014, sebagaimana tercatat dalam Kutipan Akta Nikah No. 0802/014/X/2014, tertanggal 6 Oktober 2014 yang dibuat / dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta tersebut, oleh karena itu untuk melakukan Pemisahan Harta Bersama diperlukan adanya suatu Penetapan dari Pengadilan Agama; Para Pemohon berusaha untuk melakukan pemisahan harta kekayaan mereka dengan membuat Permohonan Penetapan Pemisahan Harta Perkawinan yang dibuat setelah perkawinan dengan mengajukan permohonannya ke Pengadilan Agama Surakarta untuk ditetapkan guna mendapatkan keadilan dan keamanan mengenai kepemilikan hak atas tanah bagi salah 1 (satu) pihak yang berstatus kewarganegaraan Indonesia. Dalam Putusan Pengadilan Agama Surakarta Nomor. 0012/Pdt.P/2015/PA.Ska., tanggal 21-04-2015 (duapuluh satu April duaribu limabelas) yaitu : 1. Mengabulkan permohonan Pemohon; 2. Menetapkan sejak tanggal penetapan ini, terjadi pemisahan harta
Pemohon I dan Pemohon II yang akan timbul di
kemudian hari terpisah satu dengan yang lainnya, sehingga tidak berstatus harta bersama lagi; 3. Membebankan kepada Para Pemohon untuk membayar biaya perkara ini sejumlah Rp 151.000,- (seratus lima puluh satu ribu rupiah).
3
B. Pembahasan Perjanjian Perkawinan adalah Perjanjian yang dibuat oleh 2 (dua) orang calon pasangan suami – isteri pada saat atau sebelum perkawinan dilakukan, untuk mengatur akibat – akibat perkawinan yang menyangkut harta kekayaan. This is especially true for couples in which one of the spouses is a citizen of another country1. Akibat hukum dari Perjanjian Perkawinan adalah terikatnya para pihak selama mereka berada dalam suatu ikatan perkawinan. Pasal 29 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa: 1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut; 2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan, bilamana melanggar batas – batas hukum, agama dan kesusilaan; 3. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan; 4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali jika dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Isi Perjanjian Perkawinan dapat dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu : a. Perjanjian Perkawinan dengan Persatuan Untung – Rugi (Pasal 155 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata); b. Perjanjian Perkawinan dengan Persatuan Hasil dan Pendapatan (Pasal 164 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata); dan c. Perjanjian Perkawinan – Peniadaan terhadap setiap kebersamaan harta kekayaan (pisah harta sama sekali). Perjanjian Perkawinan wajib didaftarkan pada instansi yang telah ditentukan untuk memenuhi unsur publisitas. Pentingnya pendaftaran 1
Jonathan W. Leeds, ”Prenuptial Agreements: US Law, Thailand Law and EU Law Compared”, Thailand Law Journal Fall Issue 1, Vol 15, 2012, hlm. 1
4
ini adalah agar memberikan perlindungan secara hukum yang kuat terhadap pihak yang membuatnya, dan juga agar pihak ketiga yang bersangkutan mengetahui dan tunduk pada perjanjian perkawinan tersebut. Misalnya, jika terjadi jual beli oleh suami atau isteri dan dengan adanya perjanjian perkawinan ini maka perjanjian tersebut akan mengikatnya dalam tindakan hukum yang akan dilakukannya. Apabila Perjanjian Perkawinan tidak di daftarkan, maka perjanjian ini hanya akan mengikat dan berlaku terhadap para pihak yang membuatnya (suami – isteri). Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata, bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih dan dalam Pasal 1340 KUHPerdata yaitu suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak – pihak yang membuatnya. Pencatatan / Pendaftaran Perjanjian Perkawinan untuk suami – isteri yang beragama Islam dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat atau di KUA perkawinan dicatatkan. Pencatatan dan Pendaftaran untuk suami – isteri yang beragama Non-Islam dilakukan di Kantor Catatan Sipil. Perjanjian Perkawinan pada dasarnya yang sudah dibuat tidak dapat dirubah selama perkawinan berlangsung, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tersebut tidak merugikan pihak ketiga, sebagaimana bunyi Pasal 29 ayat (4) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu “Selama perkawinan dilangsungkan perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.” Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata maupun Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak diatur mengenai peraturan tentang pembuatan Perjanjian Kawin setelah perkawinan dilangsungkan. Ketentuan dalam Undang – Undang tersebut hanya mengatur Perjanjian Kawin yang dibuat sebelum atau
5
pada saat perkawinan itu dilangsungkan. Pasal 29 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyatakan bahwa “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.” Menurut Pasal 147 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata juga dinyatakan bahwa “Setiap perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta Notaris sebelum perkawinan berlangsung.” Dalam beberapa peraturan yang mengatur tentang perjanjian perkawinan, terdapat perbedaan dan persamaan peraturan mengenai pembuatan perjanjian perkawinan yang diatur baik dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Perbedaan tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :
Perbedaan
Waktu Pembuatan Perjanjian Perkawinan
Kitab
Undang – Undang
Undang – Undang
Nomor 1 Tahun
HukumPerdata
1974 tentang
(KUHPerdata)
Perkawinan
Perjanjian
Perjanjian
Perjanjian
Perkawinan dibuat
Perkawinan dibuat
Perkawinan dibuat
sebelum
sebelum atau pada
sebelum atau pada
perkawinan
saat perkawinan
saat perkawinan
Dilangsungkan
dilangsungkan
dilangsungkan
Perjanjian Bentuk
Perkawinan harus
Perjanjian
Perjanjian
dibuat dalam
Perkawinan dibuat
Perkawinan
bentuk Akta
dalam bentuk tertulis
Notaris
6
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Perjanjian Perkawinan dibuat dalam bentuk tertulis
Perjanjian
Perjanjian Keabsahan Perjanjian Perkawinan
Perkawinan perlu
Perkawinan tidak
disahkan oleh
memerlukan
Pegawai Pencatat
pengesahan oleh
Perkawinan
Pegawai Pencatat
(Kantor Catatan
Perkawinan
Sipil)
Perjanjian Perkawinan perlu disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah (Kantor Urusan Agama)
Persamaan
Isi Perjanjian Perkawinan
Isi Perjanjian
Isi Perjanjian
Perkawinan tidak
Perkawinan tidak
melanggar tat
boleh bertentangan
susila yang baik
dengan hukum,
atau tata tertib
agama dan
umum
kesusilaan
Perjanjian
Dasar Pembuatan Perjanjian Perkawinan
Perjanjian
Perkawinan dibuat
Perkawinan dibuat
berdasarkan
atas persetujuan
kesepakatan para
bersama
pihak
Isi Perjanjian Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan Hukum Islam Perjanjian Perkawinan dibuat berdasarkan kehendak para pihak
Tabel 1.1 Perbedaan dan Persamaan Pengaturan Perjanjian Perkawinan Berdasarkan tabel diatas, dapat kita lihat bahwa ada perbedaan, yang mana peraturan yang terdapat dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata memiliki perbedaan yang mendasar dengan peraturan yang terdapat dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam ( K H I ). Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata menyatakan dengan jelas bahwa perjanjian perkawinan itu dibuat sebelum perkawinan berlangsung, dan dibuat dengan Akta Notaris juga tidak perlu disahkan oleh Pegawai
7
Pencatat Perkawinan. Sedangkan, menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam ( K H I ) perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung, dimana perjanjian ini dibuat dalam bentuk tertulis, terlepas dengan Akta Notaris pun tetap dibuat secara tertulis. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam ( K H I ) tidak menjelaskan lebih jelas apakah yang dimaksud dengan tertulis itu dengan Akta Notaris atau perjanjian dibawah tangan. Perjanjian ini memerlukan pengesahan dari Kantor Catatan Sipil bagi para pihak yang beragama Non-Islam dan juga Kantor Urusan Agama (KUA) bagi para pihak yang beragama Islam. Disamping perbedaan yang ada, dari ketiga peraturan ini memiliki persamaan juga, baik peraturan yang terdapat dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam ( K H I ). Persamaannya yang pertama, adalah dari ketiga peraturan tersebut mengatur untuk para pihak yang membuat perjanjian perkawinan, isinya tidak bertentangan dengan hukum, tata tertib umum, agama, dan kesusilaan yang dianut oleh masing – masing pihak. Persamaan yang kedua, pembuatan perjanjian perkawinan itu harus dibuat berdasarkan atas kesepakatan dari kedua belah pihak, tidak boleh hanya salah 1 (satu) pihak saja yang menghendaki. Kesepakatan dari kedua belah pihak ini menjadi hal utama yang diperhatikan, karena dari kehendak para pihak tersebut dapat memberikan akibat adanya persetujuan dan kesepakatan dari antara mereka, dimana mereka pun juga wajib untuk mentaati peraturan yang dibuat di dalamnya. Apabila perjanjian dibuat tidak berdasarkan atas kesepakatan dari kedua belah pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sejak berlakunya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), maka di negara kita telah terjadi unifikasi dalam bidang Hukum Perkawinan, kecuali sepanjang yang belum / tidak diatur
8
dalam undang – undang tersebut, maka peraturan lama dapat dipergunakan (Pasal 66 UU Nomor 1/1974)2. Menurut Herlien Budiono, jika berhadapan dengan sebuah perjanjian, maka harus dipastikan bahwa perbuatan hukum tersebut memenuhi sekurangnya keempat unsur dalam perjanjian. Setelah memastikan bahwa suatu perbuatan hukum adalah Perjanjian, langkah selanjutnya adalah memeriksa keabsahan dari perjanjian tersebut sah atau tidaknya perjanjian dapat dipastikan dengan mengujikannya terhadap 4 (empat) syarat untuk sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, yaitu3 : a. Sepakat mereka yang mengingatkan dirinya Kesepakatan yang dimaksud adalah adanya persesuaian kehendak antara para pihak yang membuat suatu perjanjian. Dalam membuat perjanjian, para pihak memiliki kehendak bebas untuk menuangkan apa saja yang akan dibuat dalam perjanjian tersebut. Para pihak memiliki kehendak yang bebas tetapi bukan berarti bebas untuk tidak bertanggungjawab, melainkan kebebasan yang dimaksud adalah kehendak para pihak tersebut di dalamnya tidak ada unsur paksaan, penipuan, atau kekhilafan dalam mengadakan suatu perjanjian. b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Kecakapan artinya, kemampuan yang bagi seseorang yang menurut hukum telah dianggap dewasa dan layak untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Para pihak dapat melakukan suatu perbuatan hukum karena sesuai dengan peraturan Perundang – Undangan dirinya dinyatakan telah dewasa dan cakap hukum. Perbuatan hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah membuat perjanjian perkawinan. 2 3
Habib Adjie, loc.cit, hlm. 113 Herlien Budiono, Op.Cit, hlm. 73
9
c. Suatu hal tertentu Dalam membuat suatu perjanjian harus memuat suatu hal tertentu. Para pihak yang hendak dan telah membuat suatu perjanjian, dalam hal ini membuat perjanjian perkawinan, harus memperhatikan hal – hal apa saja yang dapat dituangkan dalam perjanjian tersebut, sehingga dengan adanya perjanjian tersebut dapat memberikan perlindungan bagi para pihak yang membuatnya. d. Suatu sebab yang halal Pembuatan perjanjian harus didasarkan pada hal – hal yang tidak bertentangan dengan Undang – Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Dalam hal ini, Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh kedua belah pihak harus didasarkan alasan – alasan yang tepat, dan tidak bertentangan dengan tata tertib umum, hukum, agama dan kesusilaan yang berlaku di masyarakat. Syarat sahnya Perjanjian Perkawinan didasarkan pada ketentuan – ketentuan Perundang – Undangan baik yang secara khusus mengatur mengenai Perjanjian Perkawinan maupun syarat sahnya perjanjian secara umum. Syarat sahnya Perjanjian Perkawinan secara keseluruhan dapat digolongkan menjadi 3 (tiga), yaitu4 : a) Syarat subyektif Syarat subyektif menyangkut para pihak yang membuat Perjanjian Perkawinan yang berkaitan erat dengan kecakapan bertindak para pihak. Pasal 1330 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata menentukan bahwa : Tak cakap untuk membuat perjanjian adalah : 1. Orang – orang yang belum dewasa; 2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; 3. Orang – orang perempuan, dalam hal – hal yang ditetapkan oleh Undang – Undang, dan pada umumnya 4
J. Andy Hartanto, 2012, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan (Menurut Burgerlijk Wetboek dan Undang – Undang Perkawinan), ctk. Kedua, Laksbang Grafika, Yogyakarta, hlm. 20
10
semua orang kepada siapa Undang – Undang telah melarang membuat perjanjian – perjanjian tertentu.
b) Syarat Formil dan Cara Pembuatan Perjanjian Perkawinan Syarat ini mengatur mengenai bentuk dan tata cara pembuatan perjanjian perkawinan. Sesuai yang diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, pembuatan perjanjian perkawinan ini harus dibuat dengan Akta Notaris. Sedangkan dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam ( K H I ) dijelaskan bahwa pembuatan perjanjian dibuat dalam bentuk tertulis. Pada ketentuan tersebut tidak dijelaskan dengan jelas, apakah pembuatan perjanjian dengan tertulis ini dengan akta Notaris atau perjanjian dibawah tangan. Banyak masyarakat dan praktisi – praktisi hukum dalam membuat Perjanjian Perkawinan masih mengadopsi ketentuan – ketentuan dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata yang disebabkan pengaturan Perjanjian Perkawinan dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih sangat terbatas5. Tujuan dibuatnya Perjanjian Perkawinan dalam bentuk Akta Notaris, yaitu : Pertama, Perjanjian Perkawinan dapat menjadi alat pembuktian dengan kekuatan yang sempurna apabila terjadi sengketa. Alat bukti adalah alat untuk membuktikan kebenaran hubungan hukum, yang dinyatakan baik oleh Penggugat maupun oleh Tergugat dalam perkara
5
Faizal Kurniawan dan Erni Agustin, Keabsahan Perjanjian Perkawinan Menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum UniversitasAirlangga, Surabaya, www.journal.lib.unair.ac.id, 2012, hlm. 3
11
perdata6. Dalam Pasal 1866 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata menyebutkan beberapa jenis alat bukti, yaitu: 1. Bukti tulisan; 2. Bukti dengan saksi – saksi; 3. Persangkaan – persangkaan; 4. Pengakuan; 5. Sumpah. Kekuatan Pembuktian Sempurna adalah kekuatan yang memberi kepastian yang cukup kepada Hakim, kecuali kalau ada pembuktian perlawanan (tegenbewijs) sehingga Hakim akan memberi akibat hukumnya. Pada kekuatan pembuktian sempurna alat bukti sudah tidak perlu dilengkapi dengan alat bukti lain, tetapi masih memungkinkan pembuktian lawan7. Kedua, Perjanjian Perkawinan yang dibuat dalam bentuk Akta Notaris akan memberikan kepastian hukum tentang hak dan kewajiban para pihak sebagai pasangan suami – isteri terhadap harta benda mereka.
c) Syarat Materiil Perjanjian Perkawinan Syarat ini berkaitan dengan isi yang terdapat dalam Perjanjian Perkawinan. Dalam suatu perkawinan jika para pihak tidak membuat perjanjian perkawinan / perjanjian pemisahan harta maka terjadi persatuan bulat harta kekayaan antara kedua belah pihak. Para pihak dapat membuat perjanjian perkawinan dimana didalamnya tidak boleh bertentangan dengan tata tertib umum, hukum, agama, dan kesusilaan. Pengesahan Perjanjian Perkawinan yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pengaturannya diatur dalam
6
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, hlm. 73 7 Ibid; hlm. 81
12
Pasal 29 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mana pengesahan ini hanya dilakukan oleh 2 (dua) instansi, yaitu : i. Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk pada Kantor Urusan Agama (KUA); ii. Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil. Pengesahan Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh para pihak (suami – isteri) bagi mereka yang beragama Islam, dilakukan di Kantor Urusan Agama, sedangkan pengesahan Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh para pihak (suami – isteri) bagi mereka yang beragama selain Islam, dilakukan di Kantor
Catatan
Sipil.
Selain
pengesahan
Perjanjian
Perkawinan, hal lain yang menjadi tanggungjawab Kantor Catatan Sipil adalah mencatat secara detail dan membukukan setiap peristiwa penting lain yang berkaitan dengan keluarga, yaitu mengenai kelahiran, kematian, perkawinan, perceraian, pengakuan / pengesahan seorang anak. Catatan Sipil adalah suatu lembaga yang sengaja diadakan oleh pemerintah yang bertugas untuk mencatat, mendaftarkan serta membukukan selengkap mungkin tiap peristiwa penting bagi status keperdataan seseorang, misalnya perkawinan, kelahiran, pengakuan / pengesahan seorang anak, perceraian, dan kematian, serta ganti nama8.
8
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia, ctk.Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hlm. 11 dan 13
13
1. Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Surakarta dalam Penetapan
Pengadilan
Agama
Surakarta
Nomor.
0012/Pdt.P/2015/PA.Ska Dalam prakteknya ada Perjanjian Perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung. Hal ini bisa saja terjadi dan dilakukan dengan ketentuan suami – isteri tersebut terlebih dahulu sepakat untuk mengajukan Permohonan Penetapan ke Pengadilan Agama dengan tujuan untuk diizinkan melakukan Pemisahan Harta Perkawinan yang dilakukan setelah perkawinan. Berdasarkan Penetapan tersebut maka pemisahan harta perkawinan mulai berlaku sejak tanggal penetapan tersebut. Suami – isteri dapat juga datang kepada Notaris untuk membuat Perjanjian Perkawinan yang akan berlaku sejak tanggal akta dibuat. Setelah itu wajib juga diumumkan pada surat kabar / koran untuk menghindari sanggahan atau keberatan dari pihak ketiga. Perjanjian Perkawinan setelah perkawinan dilakukan memiliki tujuan yaitu untuk mengatur sebab akibat harta perkawinan setelah perkawinan terjadi, jika terdapat sejumlah harta yang tidak sama atau lebih besar pada satu pihak suami atau isteri. Perjanjian kawin setelah perkawinan pada dasarnya selalu terkait dengan persoalan harta dalam perkawinan. Untuk itu perjanjian kawin dibuat yang fungsinya adalah : a) Memisahkan harta kekayaan mereka antara pihak suami dengan pihak
isteri
sehingga harta mereka tidak
bercampur. Oleh karena itu jika suatu saat mereka bercerai, harta dari masing – masing pihak terlindungi, tidak ada perebutan harta kekayaan bersama. b) Atas hutang masing – masing pihak yang mereka buat setelah penetapan akan bertanggungjawab sendiri – sendiri.
14
c) Jika salah satu pihak ingin menjual harta kekayaan mereka maka tidak perlu meminta ijin dari kawan kawinnya Perkembangan ini dapat dilihat dari adanya pembuatan perjanjian perkawinan / pemisahan harta perkawinan yang dilakukan setelah perkawinan dan dilangsungkan dengan dasar Penetapan
Pegadilan
Agama
Surakarta
Nomor.
0012/Pdt.P/2015/PA.Ska antara MD. Jahidul Islam bin MD Tokaddes Hossain Munshi
(Warga Negara Asing) sebagai
Pemohon I dan Desi Prawita Sari, S.S binti Djoko Triyono (Warga Negara Indonesia) sebagai Pemohon II yang dijadikan alasan sebagai landasan dibuatnya Permisahan Harta setelah Perkawinan adalah sebagai berikut : (1) Para Pemohon telah menikah pada tanggal 6 Oktober 2014; (2) Bahwa dari perkawinan / pernikahan tersebut belum dikaruniai keturunan / anak; (3) Para Pemohon sama – sama bekerja dan memiliki penghasilan masing – masing yang cukup untuk menopang biaya kehidupan, baik untuk kepentingan pribadi maupun keluarga. Dalam urusan keluarga, Pemohon I tetap bertanggungjawab
sepenuhnya
atas
kesejahteraan
keluarganya sesuai dengan kedudukannya sebagai Kepala Keluarga; (4) Bahwa untuk memenuhi ketentuan Pasal 21 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok
–
Pokok
Agraria
(UUPA)
dimana
status
kewarganegaraan Para Pemohon yang berbeda, yang mana Pemohon I berstatus bukan Warga Negara Indonesia (WNI). Dasar yang menjadi pertimbangan – pertimbangan Hakim Pengadilan Agama dalam menetapkan Permohonan Penetapan
15
Pemisahan Harta setelah Perkawinan sesuai dengan yang tercantum dalam Penetapan ini adalah sebagai berikut : (1) Para Pemohon sebelum melangsungkan perkawinan tidak mengadakan perjanjian karena kealpaan dan ketidaktahuan; (2) Perkawinan yang terjadi antara Para Pemohon adalah telah sah karena dilakukan menurut hukum masing – masing agama dan kepercayaannya dan perkawinan tersebut adalah perkawinan campuran berdasarkan Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; (3) Minimnya pengetahuan Para Pemohon sehingga tidak mengadakan perjanjian pra-nikah (prenuptial agreement) sebagaimana ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; (4) Karena tidak adanya perjanjian perkawinan yang dibuat oleh Para Pemohon, Pemohon II yang merupakan Warga Negara Indonesia kehilangan sebagian haknya diantaranya dalam hal pemegang sertifikat hak milik atas tanah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UUPA); (5) Para Pemohon telah membuat pernyataan yang pada pokoknya
telah
bersepakat
dan
menyetujui
untuk
mengadakan perjanjian pemisahan harta selama perkawinan; (6) Para Pemohon dalam membuat perjanjian perkawinan juga harus berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (2) dan Pasal 48 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI); (7) Karena minimnya pengetahuan dan untuk melindungi hak – hak kewarganegaraan Pemohon II sebagai isteri dari Pemohon I yang berkewarganegaraan Asing; Melindungi Pemohon II terhadap kekuasaan suami yang sangat luas atas
16
kekayaan bersama serta kekayaan pribadi Pemohon II; dan demi kemaslahatan yang lebih besar; (8) Dalam Fakta Yuridis, Majelis tidak menemukan hal – hal yang bertentangan dengan hukum agama dan kesusilaan. Pertimbangan Hukum adalah Jantung pada setiap putusan Hakim. Pertimbangan hukum merupakan landasan atau dasar bagi Hakim
dalam
Pertimbangan
memutus hukum,
setiap
selain
perkara
memuat
yang
dasar
diadilinya. alasan
atau
pertimbangan yang logis-rasional, juga memuat pertimbangan lain berupa penafsiran maupun kontruksi hukum Majelis Hakim terhadap kasus yang sedang diadilinya. Uraian pertimbangan harus disusun secara sistematis dan komprehensif. Uraian pertimbangan hukum mencakup hal – hal sebagai berikut : (a) Pertimbangan tentang kewenangan mengadili : i.
Kewenangan Absolut, adalah kewenangan pengadilan berkaitan dengan substansi perkara;
ii.
Kewenangan Relatif, adalah
berkaitan
dengan
wilayah
yurisdiksi
pengadilan Negeri / Agama. (b) Pertimbangan tentang legal standing atau kewenangan para pihak mengajukan gugatan (persona standi in judicio) : i.
Kedudukan dan kewenangan hukum Penggugat in person;
ii.
Sah tidaknya surat kuasa yang diajukan;
iii.
Syarat formil penerima kuasa.
(c) Pertimbangan mengenai pokok – pokok gugatan Penggugat serta proses jawab menjawab yang terjadi; (d) Pertimbangan mengenai pokok – pokok sengketa yang wajib dibuktikan oleh masing – masing pihak;
17
(e) Pertimbangan mengenai alat – alat bukti yang diajukan para pihak; (f) Pertimbangan mengenai fakta – fakta yang ditemukan di dalam persidangan; (g) Analisis hukum; (h) Konklusi; (i) Paragraf Penutup Putusan Hakim harus dilandasi atas pertimbangan hukum (legal reasoning, ratio decidendi) yang komprehensif. Putusan Hakim
yang
tidak
pertimbangan gemotiveerd
cukup
tersebut
pertimbangannya
dapat
menyebabkan
dikategorikan
onvoldoende
(kurang pertimbangan hukum) yang menyebabkan
putusan tersebut dapat dibatalkan oleh Pengadilan yang lebih tinggi. Pasal 50 Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyatakan :“Putusan Pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang – undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. Kemudian dengan maksud yang sama, dalam Pasal 178 ayat (1) HIR/189 ayat (1) R.Bg menyatakan :“Hakim karena jabatannya waktu bermusyawarah wajib mencukupkan segala alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak.” Penetapan
Nomor.
012/Pdt.P/2015/PA.Ska
ini
telah
menguraikan hal – hal apa yang menjadi dasar / alasan – alasan Para Pemohon mengajukan Permohonan Penetapan Pemisahan Harta Perkawinan setelah Perkawinan serta menguraikan apa yang menjadi
Dasar
Pertimbangan
Hakim
dalam
mengabulkan
Permohonan Penetapan Pemisahan Harta Perkawinan setelah Perkawinan. Berdasarkan dari uraian – uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan terdapat 2 (dua) alasan pokok Para Pemohon mengajukan Permohonan Penetapan ini yang kemudian juga
18
menjadi pertimbangan Hakim dalam menetapkan permohonan ini yaitu : a. Adanya Kealpaan dan Ketidaktahuan Para Pemohon tentang Peraturan mengenai Perjanjian Perkawinan Terdapat Peraturan Perundang – Undangan yang mengatur mengenai pembuatan Perjanjian Perkawinan, yaitu Pasal 29 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 29 ayat (1) dikatakan bahwa
:
“Pada
waktu
atau
sebelum
perkawinan
dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.” Peraturan tersebut menjelaskan mengenai waktu pembuatannya yaitu pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Artinya para pihak bisa lebih luas memilih kapan waktu untuk membuat perjanjian kawin, antara sebelum perkawinan atau pada saat perkawinan itu dilangsungkan. Perkembangan ini banyak peristiwa hukum yang timbul dalam kehidupan di masyarakat dan belum ada pengaturan yang jelas mengenai peristiwa hukum tersebut. Peristiwa hukum ini dapat dilihat dalam prakteknya yaitu adanya
perjanjian
perkawinan
atau
pemisahan
harta
perkawinan yang dilakukan setelah perkawinan. Perjanjian perkawinan setelah perkawinan ini dilakukan karena adanya kealpaan dan ketidaktahuan para pemohon. Para pemohon dalam hal ini seharusnya mengetahui akan adanya peraturan atau ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian perkawinan. Peraturan Perundang – Undangan yang ada itu dibuat dengan tujuan untuk
19
melindungi kepentingan manusia. Oleh karena itu setiap orang harus mengetahui bahwa Undang – Undang merupakan asas yang berlaku dewasa ini. Bahkan setiap orang yang sudah dewasa dianggap mengerti akan hukum dan Undang – Undang (iedereen wordt geacht de wet te kennen, nemo ius ignorare consetur)9. Semua Peraturan Perundang – Undangan yang dibuat diumumkan dalam Lembaran Negara. Dengan tujuan supaya diketahui oleh masyarakat umum sehingga peraturan perundang – undangan ini dapat dilaksanakan dengan baik. Maksudnya peraturan perundangan – undangan ini dapat dilaksanakan sesuai dengan fungsinya untuk melindungi kepentingan hukum dari masyarakat itu sendiri. Sehingga seharusnya tidaklah menjadi suatu alasan para pemohon bahwa mereka tidak mengetahui akan adanya ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian perkawinan. Dasar yang menjadi pertimbangan Hakim Pengadilan Agama
Surakarta
yang
utama
dalam
mengabulkan
Permohonan Penetapan Pemisahan Harta Perkawinan setelah Perkawinan
berdasarkan
dengan
Penetapan
Nomor
0012/Pdt.P/2015/PA.Ska adalah dengan alasan kealpaan atau ketidaktahuan para pihak mengenai adanya ketentuan pembuatan perjanjian kawin. Kealpaan dan ketidaktahuan Para Pemohon ini dianggap Hakim sebagai sesuatu hal yang wajar. Para Pemohon adalah masyarakat umum yang tidak mengetahui secara jelas dan pasti tentang hukum, terutama tentang
ketentuan
yang
mengatur
tentang
perjanjian
perkawinan sebagaimana yang telah diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata dan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 9
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003, hlm. 88
20
Mengingat suatu perjanjian itu didasarkan atas kesepakatan antara kedua belah pihak yang telah sepakat untuk mengatur harta perkawinannya dengan melakukan pemisahan harta, sehingga hal ini dibenarkan dan disetujui oleh Hakim yang menetapkan permohonan penetapan tersebut. Perjanjian yang telah dibuat ini bersifat mengikat bagi para pihak yang membuatnya (Pasal 1340 ayat (1) Kitab Undang – Undang Hukum Perdata). Para pihak yang membuatnya oleh karena itu para pihak harus mentaati hal – hal yang diatur di dalamnya, karena perjanjian itu berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1338 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata). Hakim sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman diberikan wewenang untuk melakukan penemuan hukum untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 10 ayat (1) yang menyatakan bahwa : “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Ketentuan ini memberikan makna bahwa Hakim sebagai organ utama Pengadilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman wajib hukumnya bagi Hakim untuk menemukan hukumnya dalam suatu perkara meskipun ketentuan hukumnya tidak ada atau kurang jelas.10 Masyarakat yang sudah berumur 18 tahun dianggap cakap hukum, mengerti akan adanya berbagai macam 10
Abdul Manan, “Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan Agama”, (Makalah pada Rakernas Mahkamah Agung Republik Indonesia, Balikpapan, 10-14 Oktober, 2010)
21
peraturan perundang – perundangan yang berlaku. Lembaran Negara dibuat dengan tujuan untuk setiap orang dapat mengerti akan adanya peraturan – peraturan yang berlaku di masyarakat, akan tetapi berbeda dengan kenyataannya banyak orang yang tetap tidak mengetahui adanya peraturan tersebut. Bahkan ahli hukum pun belum tentu semuanya mengerti akan adanya peraturan – peraturan yang baru.
b. Adanya Keinginan untuk tetap memiliki Hak Atas Tanah Rakyat dalam suatu Negara dapat digolongkan menjadi penduduk dan warga Negara. Menurut Pasal 26 ayat (1) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disebut dengan Penduduk adalah “Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang bertempat tinggal di Indonesia.” Orang Asing apabila hendak memasuki wilayah suatu Negara maka harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari Negara yang bersangkutan, entah orang asing tersebut akan tinggal untuk sementara waktu atau bertujuan menetap di wilayah Negara tersebut. Setiap orang asing harus menaati semua peraturan Perundang – Undangan yang berlaku di wilayah Negara yang bersangkutan. Penentuan seseorang sebagai Warga Negara Indonesia dapat ditentukan melalui beberapa asas seperti yang tercantum dalam bagian Penjelasan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia sebagai berikut: a) Asas Ius Sanguinis (law of the blood) adalah asas yang
menentukan
kewarganegaraan
seseorang
berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan Negara tempat kelahiran;
22
b) Asas Ius Soli (law of the oil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan
Negara
tempat
kelahiran,
yang
diberlakukan terbatas bagi anak – anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang – Undang ini; c) Asas Kewarganegaraan Tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang; d) Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak – anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang – Undang ini. Dijelaskan pula dalam Pasal 2 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia bahwa “Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang – orang bangsa Indonesia asli dan orang – orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang – Undang sebagai Warga Negara.” Pasal 28B ayat 1 Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.” Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa setiap orang dapat melangsungkan perkawinan yang mana hal tersebut merupakan hak asasi bagi setiap manusia dan setiap Warga Negara Indonesia. Setiap Warga Negara Indonesia berhak untuk melangsungkan
perkawinan
sepanjang
perkawinannya
dilakukan sesuai dengan peraturan Perundang – Undangan yang ada, tidak melanggar tata tertib umum, hukum, agama dan kesusilaan. Perkawinan yang dilakukan antara sesama Warga Negara Indonesia tidak akan berdampak pada status
23
kewarganegaraan masing – masing pihaknya, sehingga tidak akan mempengaruhi hak – haknya sebagai Warga Negara Indonesia. Namun, berbeda halnya apabila perkawinan yang dilakukan antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing, yang disebut juga dengan Perkawinan Campuran. Perkawinan yang dilakukan antara Warga Negara Indonesia
dengan
Warga
Negara
Asing
(Perkawinan
Campuran) akan memberikan dampak terhadap status kewarganegaraan dari masing – masing pihak. Perkawinan campuran ini akan memberikan dampak juga terhadap hak – hak yang dimiliki oleh Warga Negara Indonesia. Menurut ketentuan dalam Pasal 58 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa : “Bagi orang – orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari
suami
/
isterinya
dan
dapat
pula
kehilangan
kewarganegaraannya, menurut cara – cara yang telah ditentukan dalam Undang – Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.” Pasal 26 ayat (1) sampai ayat (4) Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia mengatur mengenai kehilangan atau memperoleh kewarganegaraan sebagai akibat dari melakukan Perkawinan Campuran, yaitu sebagai berikut : (1) Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki – laki Warga Negara Asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum Negara asal suaminya, kewarganegaraan isteri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut.
24
(2) Laki – laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan Warga Negara Asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum Negara asal isterinya kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan isteri sebagai akibat perkawinan tersebut. (3) Perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki – laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jika ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki – laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda. (4) Surat pernyataan sebagaimana diamksud pada ayat (3) dapat
diajukan
oleh
perempuan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau laki – laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah 3 (tiga) tahun sejak tanggal perkawinannya berlangsung. Berdasarkan ketentuan dalam pasal di atas, para pihak yang terlibat dalam Perkawinan Campuran dapat kehilangan kewarganegaraannya apabila hukum asal suami atau isteri menghendaki
demikian.
Namun
Pemerintah
melalui
peraturan Perundang – Undangan yang berlaku mencoba untuk
melindungi
dan
meminimalisasi
hilangnya
kewarganegaraan para Warga Negara Indonesia yang melangsungkan Perkawinan Campuran, karena sebagai seorang Warga Negara Indonesia mereka memiliki hak – hak istimewa yang diberikan oleh Undang – Undang yang tidak akan
dapat
dinikmati
kewarganegaraannya.
25
apabila
mereka
kehilangan
Salah satu hak yang dapat dinikmati oleh seorang Warga Negara Indonesia adalah hak atas kesejahteraan. Hak atas kesejahteraan disini adalah hak untuk memiliki suatu benda dan terkait dengan hak milik tersebut telah disebutkan dalam Pasal 28 H ayat (4) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa : “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang – wenang oleh siapa pun.”Pasal 36 ayat (1) Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa “Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama – sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.” Prosedur pelesapan hak milik demi kepentingan umum tersebut harus sesuai dengan ketentuan – ketentuan hukum yang berlaku. Pemilik dari hak milik tersebut harus mendapat ganti rugi yang sewajarnya sehingga pemilik hak milik tersebut tidak merasakan ketidakadilan karena telah melepas haknya demi kepentingan umum. Dilakukannya perkawinan antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing maka otomatis di dalamnya berkaitan erat dengan hak milik dari seorang Warga Negara Indonesia. Perkawinan akan berakibat pada persatuan harta antara pasangan suami – isteri. Dalam hal hak milik sepanjang salah satu pihak dalam perkawinan tersebut tidak kehilangan kewarganegaraannya sebagai Warga Negara Indonesia, maka pihak tersebut masih tetap menjadi pemegang hak milik atas suatu benda. Namun apabila salah satu pihak yang berkewarganegaraan Indonesia dalam Perkawinan Campuran kehilangan kewarganegaraannya,
26
maka secara otomatis pihak tersebut tidak dapat menikmati hak milik tersebut. Peraturan mengenai jenis – jenis hak yang diatur dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ditujukan bagi setiap Warga Negara
Indonesia.
Warga
Negara
Indonesia
yang
melangsungkan Perkawinan Campuran sepanjang mereka masih tetap berstatus sebagai Warga Negara Indonesia dan tidak
kehilangan
kewarganegaraannya.
Ketentuan
–
ketentuan yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dijelaskan bahwa Warga Negara Indonesia tetap dapat menikmati atau memiliki hak – hak tersebut. Maka dari itu, status kewarganegaraan seseorang sangat menentukan berhak atau tidaknya seseorang tersebut menikmati atau memiliki hak – hak yang diberikan kepadanya oleh konstitusi Negara sebagai seorang warga Negara. Jenis – jenis Hak Atas Tanah diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria, antara lain : a) Hak Milik, adalah Hak turun – menurun, terkuat dan terpengaruh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6, dan Hak Milik ini dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. (Pasal 20); b) Hak Guna – Usaha, adalah Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan (Pasal 28);
27
c) Hak Guna – Bangunan, adalah Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan – bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun (Pasal 35); d) Hak Pakai, adalah Hak untuk menggunakan dan / atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa – menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan – ketentuan Undang – Undang ini. (Pasal 41); e) Hak Sewa, adalah Hak untuk menggunakan tanah – milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. Salah satu hak yang dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia adalah Hak Milik. Seseorang akan tidak menjadi Warga Negara Indonesia karena dirinya telah kehilangan atau melepaskan kewarganegaraannya. Sebagaimana ditentukan dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria bahwa Hak Milik memiliki jangka waktu berlaku yang tidak terbatas. Hak Milik dapat beralih karena pewarisan dan dapat juga beralih karena dipindahkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan – ketentuan yang ada pada peraturan perundang – undangan. Apabila pemegang Hak Milik memerlukan pinjaman dana, Hak Milik
28
dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Pasal 27 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria menyebutkan bahwa Hak Milik hapus apabila : a. Tanahnya jatuh kepada Negara: 1. Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18; 2. Karena
penyerahan
dengan
sukarela
oleh
pemiliknya; 3. Karena ditelantarkan; 4. Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2). b. Tanahnya musnah. Apabila seseorang yang berstatus kewarganegaraan Indonesia tetapi mempunyai pula kewarganegaraan lain, maka ia tidak diperkenankan untuk mempunyai Hak Milik. Secara umum penguasaan tanah oleh orang asing atau Warga Negara Asing dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia diatur dalam Pasal 41 dan Pasal 42 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah. Sebagaimana diuraikan di atas, hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai Hak Milik, maka apabila Warga Negara Asing yang berkedudukan di Indonesia dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia ingin mempunyai hak atas tanah di Indonesia dapat mempunyai Hak Pakai. Warga Negara Asing yang memperoleh Hak Milik atas tanah karena warisan wajib melepaskan hak atas tanah tersebut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun. Ketentuan
29
tersebut juga berlaku bagi Warga Negara Indonesia yang mempunyai Hak Milik atas tanah kemudian kehilangan kewarganegaraannya dan beralih status menjadi Warga Negara Asing. Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) tahun namun Hak Milik atas tanah tersebut tidak dilepaskan oleh pemegang haknya, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya menjadi milik Negara11. Ketentuan tersebut di atas dapat ditemukan pada Pasal 21 ayat (3) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria sebagai berikut : “Orang asing yang sesudah berlakunya Undang – Undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya
Undang
–
Undang
kewarganegaraannya wajib melepaskan
ini
kehilangan
hak itu di dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak – hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.” Keadaan tersebut di atas juga berlaku bagi pasangan suami – isteri yang terlibat dalam Perkawinan Campuran. Menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam perkawinan akan terjadi percampuran harta kekayaan antara suami dan isteri ke dalam harta perkawinan bersama. Semua harta benda yang diperoleh baik oleh suami maupun isteri akan masuk ke dalam harta 11
K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Cetakan Kelima, Ghalia Indonesia, Jakarta,1985, hlm.. 25
30
bersama. Dalam Perkawinan Campuran, Hak Milik atas tanah dari seorang Warga Negara Indonesia akan turut menjadi milik dari suami atau isterinya yang berstatus Warga Negara Asing karena masuk ke dalam harta bersama. Turut dimilikinya Hak Milik atas tanah tersebut wajib dilepaskan dalam jangka waktu satu tahun12. Pembuatan Perjanjian Perkawinan sesuai dengan Peraturan Perundang – Undangan dibuat sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung dan dibuat dalam bentuk tertulis baik dengan Akta Notaris maupun tidak. Selama pembuatan perjanjian tersebut berdasarkan atas kesepakatan bersama dari kedua belah pihak. Perjanjian Perkawinan yang telah dibuat
dicatat
dan
disahkan
oleh
Pegawai
Pencatat
Perkawinan. Seorang Warga Negara Indonesia bila hendak melakukan perkawinan campuran dengan Warga Negara Asing dan tidak ingin kehilangan Hak Milik atas tanahnya, maka mereka harus melakukan pemisahan harta yaitu Hak Milik atas tanahnya dari harta bersama perkawinan. Hal yang dapat dilakukan untuk melakukan pemisahan tersebut adalah dengan membuat Perjanjian Perkawinan. Dengan adanya Perjanjian Perkawinan, maka tidak ada percampuran harta bersama dalam perkawinan, sehingga baik suami maupun isteri akan menjadi pemilik dari masing – masing hartanya sendiri, tidak ada persatuan bulat diantara mereka. Permohonan Pemisahan Harta Perkawinan dalam Penetapan ini dilakukan setelah perkawinan dilakukan. Permohonan Penetapan ini kemudian dikabulkan / ditetapkan oleh Hakim Pengadilan Agama. Tujuan Hakim Pengadilan 12
Anonim, 6 Januari 2014, Menghindari Lepasnya Tanah WNA Ke Tangan Negara, www.legalakses.com, hlm. 1
31
Agama
menetapkan
Permohonan
Pemisahan
Harta
Perkawinan yang dilakukan setelah Perkawinan ini adalah untuk melindungi Hak Asasi Manusia dari masing – masing pihak. Dasar yang menjadi pertimbangan Hakim Pengadilan Agama
Surakarta
dalam
menetapkan
/
mengabulkan
Permohonan Penetapan Pemisahan Harta Perkawinan yang dilakukan setelah Perkawinan berdasarkan Penetapan Nomor 0012/Pdt.P/2015/PA.Ska adalah : a) Mengingat salah satu dari para pemohon adalah Warga Negara Asing (WNA) yaitu MD. Jahidul Islam (Pemohon I). Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 21 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria yang menyebutkan bahwa : “Hanya Warga Negara Indonesia (WNI) yang bisa memegang sertifikat Hak Milik atas tanah dan apabila yang bersangkutan, setelah memperoleh sertifikat Hak Milik kemudian menikah dengan Warga Negara Asing (WNA) maka dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah pernikahannya itu tanpa Perjanjian Perkawinan / Perjanjian Pra-Nikah, maka ia harus melepaskan Hak Milik Atas Tanahnya. Artinya hanya Warga Negara Indonesia yang bisa memegang sertipikat hak milik atas tanah. Apabila yang bersangkutan setelah memperoleh sertpikat hak milik kemudian menikah dengan ekspatriat (bukan WNI), maka dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah pernikahannya itu tanpa perjanjian kawin (percampuran harta), dirinya harus melepaskan hak milik atas tanah kepada subyek hukum lain yang berhak. Setelah jangka waktu tersebut lampau maka
32
hak milik atas tanah hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara. b) Untuk melindungi hak – hak kewarganegaraan Pemohon II sebagai isteri dari Pemohon I yang berkewarganegaraan asing terhadap kekuasaan suami yang sangat luas atas kekayaan bersama serta
kekayaan
pribadi
si
isteri;
dan
demi
kemaslahatan yang lebih besar. Dalam
hal
ini
juga
dapat
dilihat
dalam
permohonannya para Pemohon, bahwa Desi Prawita Sari (Pemohon II) merupakan Warga Negara Indonesia kehilangan sebagian haknya diantaranya dalam hal pemegang sertifikat hak milik atas tanah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria, yaitu hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai Hak Milik. Hal ini yang menimbulkan kekhawatiran bagi para pemohon akan hilangnya kepemilikan hak atas tanah dari harta benda perkawinan mereka dikarenakan adanya ketentuan dalam Pasal 21 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria. Untuk menghindari hilangnya kepemilikan hak atas tanah dari harta benda perkawinan, maka sangat diperlukan adanya pemisahan harta dalam perkawinan dari masing – masing pihak. Pemisahan harta perkawinan dilakukan dengan membuat kesepakatan pemisahan harta perkawinan dengan berdasarkan atas penetapan dari Pengadilan Agama. Akan berbeda jika pihak yang hendak mengajukan permohonan penetapan
33
pemisahan harta perkawinan setelah perkawinan ini adalah sesama Warga Negara Indonesia, Hakim belum tentu mengabulkan permohonan tersebut.
Dalam
Hukum Barat / Warga Negara Asing memiliki pola pikir yang berbeda dengan Warga Negara Indonesia dan juga memiliki budaya bahwa tidak ada harta bersama dalam perkawinan. Artinya harta suami hanya milik suami bukan harta bersama dengan isteri, begitu juga sebaliknya, harta isteri hanya milik isteri bukan harta bersama dengan suami. Dengan adanya penetapan Pengadilan Agama tersebut maka menjadi pedoman dan dasar bagi kedua belah pihak suami isteri untuk mengurus dan mengatur mengenai harta kekayaan perkawinan mereka. Suatu penetapan pengadilan merupakan produk yudikatif yang berisi kaedah atau peraturan hukum yang mengikat bagi para pihak yang membuatnya, dan juga pihak – pihak lain yang bersangkutan, dimana produk hukumnya harus dipatuhi oleh siapapun yang terkait di dalamnya. Dalam Pasal 139 Kitab Undang – Undang Hukum
Perdata
dijelaskan
bahwa
perjanjian
perkawinan yang dibuat oleh calon suami – isteri ini bertujuan
untuk
mengatur
tentang
akibat
perkawinannya terhadap harta kekayaan mereka. Inti dari pembuatan perjanjian perkawinan adalah adanya kesepakatan antara calon suami – isteri yang akan menikah untuk memisahkan kepemilikan harta dan utan piutang, juga kesepakatan tentang sejumlah hal penting lainnya yang berkaitan dengan rumah tangga. Teori pertimbangan
Hukum
yang
hakim
dalam
34
digunakan
sebagai
menetapkan
dasar
permohonan
penetapan ini adalah Teori Keadilan, Teori Perlindungan Hukum dan Teori Sosiologis Yurispridence. Alasan – alasan yang diajukan oleh para pemohon salah satunya mengenai keinginan untuk memiliki Hak atas tanah bagi Warga Negara Indonesia yang melakukan perkawinan campuran dengan Warga Negara Asing. Setiap orang memiliki Hak Asasi Manusia, termasuk mengenai kepemilikan Hak Atas Tanah, sekalipun pemisahan harta yang dilakukan ini setelah perkawinan, namun Hakim melihat dari sisi melindungi hak asasi manusia yaitu dengan memberikan keadilan bagi masyarakatnya selama dirasa hal tersebut perlu dilakukan. Hakim menetapkan permohonan ini berarti memberikan keadilan bagi pihak yang berstatus Warga Negara Indonesia yang melakukan perkawinan dengan Warga Negara Asing, yang mana apabila para pihak tidak mempunyai perjanjian perkawinan
atau
tidak
melakukan
pemisahan
harta
perkawinan maka kepemilikan atas tanahnya setelah 1 (satu) tahun akan menjadi hapus atau jatuh menjadi tanah Negara.
2. Kedudukan Penetapan Pengadilan Agama Surakarta Nomor. 0012/Pdt.P/2015/Pa.Ska Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim terhadap suatu perkara yang diperiksa dan diadilinya merupakan hasil dari proses analitis terhadap fakta – fakta hukum yang dihubungkan dengan aturan – aturan hukum serta dilengkapi dengan argumentasi hukum. Putusan Hakim merupakan muara dari 3 (tiga) tahapan kerja Hakim dalam memutus perkara, yaitu13 : a. meng-konstatir, artinya menemukan fakta – fakta hukum;
13
M. Natsir Asnawi, op.cit.,hlm. 125
35
b. meng-kualifisir,artinya menemukan dan mengklasifikasikan peraturan perundang – undangan berkaitan dengan pokok perkaranya; c. meng-konstitutir, artinya menetapkan hukum dari perkara tersebut. Ketiga tahapan ni ditempuh dengan tujuan guna mewujudkan tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Permasalahan yang berkembang saat ini adalah banyak putusan yang dijatuhkan oleh Hakim. Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim ini memiliki keinginan untuk mewujudkan keadilan dalam putusan tersebut seringkali menerabas aturan – aturan dalam hukum positif (breaking the rules). Breaking the rules inilah yang sering disebut juga dengan contra legem, artinya suatu putusan yang diambil oleh Hakim yang bertentangan dengan bunyi pasal dalam suatu perundang – undangan14. Putusan
Hakim
sejatinya
memiliki
tujuan
untuk
mewujudkan 3 (tiga) tujuan hukum, keadilan, kepastian dan kemanfaatan, akan tetapi dalam beberapa hal “tidak dapat diwujudkan secara simultan”, karena dalam pertimbangannya, Hakim memiliki argumentasi yang berbeda secara diametris dengan bunyi dalam pasal peraturan perundang – undangan. Inilah yang oleh sebagian pihak dianggap / dipandang tidak menciptakan “kepastian hukum” meskipun di satu sisi telah menciptakan keadilan bagi para pencari keadilan15. Memutus suatu perkara yang berbeda dengan undang – undang, yang didasari dengan pertimbangan hukum yang matang, merupakan upaya menciptakan suatu kepastian hukum yang substansif. Pada kenyataannya, bahasa undang – undang terlalu 14 15
Ibid; hlm 125 Ibid
36
sempit untuk dapat menampung semua kejadian – kejadian dalam kehidupan nyata. Kepastian Hukum yang sesungguhnya adalah suatu keadaan yang dibentuk dari hasil olah berpikir yang analitis terhadap suatu ketetapan yang menjadi rujukan pada masa yang akan datang16. Kepastian hukum pada dasarnya bukanlah sesuatu statis, tetapi dinamis, mengikuti gerak dan alur perubahan dalam dinamika masyarakat. Keadilan dan Keputusan Hukum dalam Putusan Hakim dapat disimpulkan dalam beberapa hal, yaitu17 : a. Keadilan dan kepastian hukum merupakan hal yang seiring dan sejalan, tidak saling bertentangan secara diametris. Keadilan yang diciptakan oleh Hakim melalui putusan – putusannya pada dasarnya telah menciptakan suatu kepastian hukum; b. Kepastian hukum bukanlah kepastian undang – undang yang bersifat normatif, kaku, dan sempit. Kepastian hukum berkaitan dengan kepastian tentang tegaknya asas – asas, norma – norma dan aturan – aturan hukum yang diyakini, dikodifikasi, dan dijalankan oleh aparat dan masyarakat; c. Putusan Hakim yang didasarkan pada suatu contra legem merupakan sebuah upaya penegasan bahwa kepastian hukum itu adalah ”jiwa” dari suatu perundang – undangan. Kepastian tidak dapat dilihat hanya dari teks undang – undang semata, karena diluar teks undang – undang itu terdapat sekelebat makna yang tidak jarang merupakan roh atau jiwa dari aturan perundang – undangan itu sendiri. Terobosan Hukum adalah upaya Hakim dalam menemukan dan / atau mengkonstruksi kaidah hukum baru melalui serangkaian kegiatan penafsiran (interpretasi) atau kegiatan pembentukan 16 17
Ibid; hlm. 126 Ibid; hlm. 127
37
hukum lainnya (rechtschepping, law making) terhadap sengketa yang sedang diadili. Penemuan dan / atau konstruksi hukum baru ini berbeda dengan kaidah hukum yang telah ada, baik perbedaaan itu masih bersifat linier, maupun perbedaan tersebut bersifat diametral (bertolak belakang)18. Perbedaan yang bersifat linier adalah perbedaan yang masih berada dalam konteks perluasan makna dari teks undang – undang. Perbedaan tersebut hanya ingin memperjelas dan merinci penerapan makna teks undang – undang ke dalam peristiwa konkrit. Perbedaan yang bersifat diametral adalah perbedaan yang sama sekali bertolak belakang dengan bunyi teks dalam undang – undang. Putusannya bertolak belakang dengan bunyi dari teks undang – undang (contra legem). Putusan Hakim yang demikian diambil dengan pertimbangan keadilan dan kemanfaatan. Terobosan Hukum yang dilakukan Hakim pada dasarnya dapat menjangkau pembentukan asas hukum baru. Dalam melakukan hal ini tidak mudah, karena untuk membentuk suatu asas hukum yang baru perlu adanya serangkain peristiwa atau kejadian yang mirip yang membentuk suatu pola kaidah hukum tertentu untuk kemudian ditarik prinsip – prinsip umumnya sehingga menjadi sebuah asas hukum19. Tugas dan Tanggungjawab Hakim dalam memeriksa, memutus dan mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya tidak terbatas menerapkan teks undang – undang. Melakukan terobosan hukum, Hakim disini dituntut untuk memiliki kepekaan atau sensitifitas tinggi terhadap ekspektasi akan terwujudnya keailan, kemanfaatan dan kepastian hukum di masyarakat20. Hakim pada kondisi tertentu dituntut untuk berani melakukan terobosan hukum agar dapat tercipta keadilan dan kemanfaatan bersama. 18
Ibid; hlm. 140 Ibid; hlm. 142 20 Ibid; hlm. 163 19
38
Hakim tidak boleh dengan begitu saja melakukan terobosan hukum. Hakim perlu dan harus melihat serta memahami kapan dan pada situasi apa Hakim boleh melakukan terobosan hukum. Ada beberapa hal yang menyebabkan Hakim boleh atau bahkan harus melakukan terobosan hukum, yaitu21 : a. Adanya praktik – praktik perjanjian di masyarakat yang menyebabkan salah satu pihak berada dalam posisi yang tidak seimbang (inferior); b. Adanya pertentangan antara beberapa peraturan perundang – undangan (antinomi); c. Adanya situasi atau fakta tertentu yang menyebabkan penerapan teks undang – undang harus dilenturkan; d. Adanya peristiwa yang bertentangan dengan kesusilaan, namun tidak diatur secara tegas dalam undang – undang; e. Penerapan teks undang – undang menyebabkan keadilan tidak dapat terwujud; f. Adanya situasi atau keadaan yang sama sekali tidak diatur dalam undang – undang. Melihat Pasal 29 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
telah
menegaskan
bahwa
Perjanjian
Perkawinan hanya dapat dibuat pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan atau dengan kata lain tidak diperbolehkan membuat Perjanjian Perkawinan setelah Perkawinan dilangsungkan. Notaris yang mengalami kejadian seperti itu sudah pasti akan menolaknya, dengan alasan berdasar pada peraturan tersebut. Disisi lain Notaris dapat membuat terobosan bahwa Perjanjian Perkawinan dapat dibuat setelah perkawinan berlangsung. Terobosan yang dilakukan oleh Notaris tersebut terkait dengan fungsi Notaris di era sekarang ini, yang bukan hanya mencatat dan membuat akta dari para pihak saja, tetapi juga 21
Ibid; hlm. 163-165
39
setidaknya dapat memberikan jalan keluar ataupun “penemuan hukum” atas suatu permasalahan hukum melakukan “ijtihad” atau bisa juga Notaris harus menjadi agen perubahan dalam bidang hukum (change agent of law).22 Notaris dapat melakukan setelah para pihak (suami – isteri) terlebih dahulu mengajukan permohonan ke pengadilan negeri setempat agar diijinkan untuk membuat Perjanjian Perkawinan, setelah ijin tersebut diperoleh kemudian harus diumumkan pada surat kabar yang beredar secara nasional minimal selama 1 (satu) minggu secara berturut – turut, dan jika tidak ada klaim dari pihak ketiga, maka dengan bukti – bukti tersebut para pihak dapat datang ke Notaris untuk membuat Perjanjian Perkawinan. Kemudian akta Perjanjian Perkawinan tersebut dicatatkan di instansi yang bersangkutan. Dalam Kasus Penetapan Pengadilan Agama Surakarta Nomor. 0012/Pdt.P/2015/PA.Ska ini Hakim melakukan terobosan hukum yang bertentangan dengan peraturan yang ada. Terobosan hukum yang dilakukan oleh Hakim memiliki tujuan untuk memberikan keadilan dan kemanfaatan bagi para pihak. Dalam hal ini bagi Pemohon II sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) yang melakukan perkawinan campuran dengan Pemohon I sebagai Warga Negara Asing (WNA), Perjanjian Perkawinan yang dilakukan setelah perkawinan ini dibuat sebagai upaya untuk menjaga dan menghargai “hasil keringat masing – masing”, oleh karenanya jika dilihat dari perspektif “gender” dan “Hak Asasi Manusia” dapat diterima. Kedudukan Penetapan ini bersifat mengikat terutama bagi para pihak yang membuatnya. Pembuatan Perjanjian Perkawinan ini pada dasarnya dibuat berdasarkan atas kesepakatan para pihak yang hendak membuatnya. Dalam kedudukan penetapan ini dapat menggunakan Teori Keadilan, Teori Perlindungan Hukum dan 22
Habib Adjie, op.cit., hlm. 116
40
Teori Sosiologis Yurisprudence, yang mana dengan kedudukan penetapan ini memberikan keadilan bagi Pemohon II sebagai Warga Negara Indonesia untuk dapat memiliki Hak Atas Tanah sekalipun melakukan perkawinan campuran dengan Warga Negara Asing, serta memberikan perlindungan hukum terhadap para pihak yang
membuatnya
bahwa
dengan
adanya
penetapan
ini
memberikan perlindungan hukum yang kuat bahwa perjanjian perkawinan ini mengikat para pihak yang membuatnya. Perjanjian Perkawinan supaya dapat memenuhi unsur publisitas wajib di daftarkan pada instansi yang telah ditentukan. Pentingnya pendaftaran ini supaya Pihak Ketiga mengetahui dan tunduk pada Perjanjian Perkawinan. Jika Perjanjian Perkawinan tidak di daftarkan, maka hanya akan mengikat dan berlaku para pihak yang membuatnya saja (suami-isteri), tidak mengikat dan berlaku terhadap pihak ketiga. Hakim Pengadilan Agama berwenang semata – mata untuk mengabulkan penetapan tersebut, karena hakim melihat demi untuk keadilan bagi masyarakat. Hakim di Indonesia bukan merupakan corong undang – undang (bonche de la loi), jika undang – undang dirasa tidak bisa diterapkan dalam suatu kasus konkrit tertentu, maka Hakim boleh menerapkan hukum yang berlaku di masyarakat yang dirasa hal tersebut perlu untuk keadilan bagi masyarakat. Sebaiknya
Hakim
Pengadilan
Agama
setelah
mentapkan
permohonan pemisahan harta perkawinan setelah perkawinan ini juga memerintahkan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan untuk mencantumkan
adanya
pemisahan
harta
perkawinan
yang
dilakukan setelah perkawinan, berdasarkan Penetapan Pengadilan Agama Surakarta Nomor. 0012/Pdt.P/2015/PA.Ska.
41
3. Akibat Hukum Penetapan Pengadilan Agama Surakarta Nomor. 0012/Pdt.P/2015/PA.Ska Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata maupun Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak terdapat pengaturan
mengenai
pembuatan
perjanjian
perkawinan
setelah
perkawinan dilangsungkan. Namun dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata dimungkinkan untuk para pihak mengadakan persetujuanpersetujuan yang sama sekali tidak diatur dalam BW, WvK atau Undang – Undang lain. Untuk persetujuan – persetujuan ini dapat berlaku dalam BW sebagaimana dalam buku III Title I-IV.23 Persetujuan – persetujuan ini dapat diketahui dengan adanya jenis perjanjian yang disebut dengan Perjanjian Bernama (benoemd contracten atau nominaat contracten) yaitu : Perjanjian – perjanjian yang diatur dan diberi nama oleh pembentuk Undang – Undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari – hari. Jenis perjanjian tidak bernama (onbenoemd contracten atau innominaat contracten) yaitu : Perjanjian – perjanjian yang tidak diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, tetapi terdapat dimasyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas. Lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlaku di dalam hukum perjanjian.24 Pengaturan mengenai pembuatan perjanjian perkawinan setelah perkawinan dilangsungkan tidak dijumpai dalam berbagai ketentuan yang mengatur tentang perkawinan. Di masyarakat sekarang ini dimungkinkan pembuatan perjanjian perkawinan setelah perkawinan yaitu dengan membuat permohonan penetapan pemisahan harta perkawinan setelah perkawinan ke Pengadilan Agama. Pembuatan perjanjian perkawinan setelah perkawinan ini dilakukan dengan berlandaskan kepada azas kebebasan berkontrak yang terkandung dalam Kitab Undang – Undang 23
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan – Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, 1964, hlm. 10 24 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hlm.19
42
Hukum Perdata berdasarkan kesepakatan dan itikad baik kedua belah pihak suami isteri, sebagai mana tercantum dalam Pasal 1338 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata. Para pihak menurut kehendak bebasnya masing – masing dapat membuat perjanjian dan setiap orang bebas mengikatkan diri dengan siapapun yang ia kehendaki. Pihak – pihak juga bebas menentukan cakupan isi serta persyaratan dari suatu perjanjian dengan ketentuan bahwa perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan, baik dengan peraturan perundang – undangan yang bersifat memaksa, ketertiban umum, maupun kesusilaan.25 Perbedaan mendasar yang terlihat dalam pembuatan Perjanjian Perkawinan setelah Perkawinan hanyalah mengenai prosedur pembuatannya yang biasanya sesuai dengan ketentuan yang ada adalah dilakukan oleh Notaris. Pembuatan Perjanjian Perkawinan setelah Perkawinan ini harus berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri. Pemisahan Harta Perkawinan yang pada umumnya dikenal oleh masyarakat adalah pemisahan harta perkawinan yang dilakukan sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung, yang biasanya dikenal dengan istilah Perjanjian Perkawinan. Dalam prakteknya ada pemisahan harta perkawinan yang dilakukan setelah perkawinan. Hal ini masih belum diketahui oleh banyak masyarakat. Pemisahan Harta Perkawinan mulai banyak terjadi terutama di kota – kota besar. Perbuatan hukum ini terjadi dikarenakan adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya, antara lain : i.
Jumlah pendapatan yang berbeda, dimana salah 1 (satu) pihak memiliki penghasilan yang lebih besar;
ii.
atau salah 1 (satu) pihak mempunyai jabaratn dalam suatu perusahaan;
iii.
Terjadinya perkawinan campuran antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing.
25
Herlien Budiono, op.cit, hlm. 32
43
Ada beberapa contoh kasus yang menyebabkan pasangan suami – isteri melakukan pemisahan harta setelah perkawinan. Setelah menjalani perkawinan mereka merasa bahwa harta masing – masing dari mereka harus dilindungi. Tujuannya adalah apabila ada salah satu pihak yang memiliki masalah, pihak yang satunya tidak ikut menanggungnya. Pasangan suami – isteri membuat pemisahan harta setelah perkawinan juga dikarenakan minimnya pengetahuan dan kealpaannya mengenai adanya peraturan yang mengatur pemisahan harta (perjanjian kawin) yang seharusnya
dilakukan
sebelum
atau
pada
saat
perkawinan
itu
dilangsungkan bukan setelah perkawinan. Pasangan suami – isteri yang salah satu pihaknya menjabat sebagai Direksi / Direktur dari sebuah Perusahaan, yang apabila dalam membuat keputusan Direksi / Direktur menyebabkan Perusahaan mengalami kerugian, maka sesuai dengan peraturan yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Direksi / Direktur diharuskan untuk mengganti kerugian tersebut sampai dengan harta pribadinya. Untuk menghindari terjadinya kekacauan dalam rumah tangganya, supaya tidak merugikan suami / isteri yang dalam perkawinannya belum membuat perjanjian mengenai pemisahan harta perkawinan akhirnya memutuskan sepakat untuk membuat pemisahan harta perkawinan yaitu dengan penetapan dari Pengadilan Agama. Kasus lain yang terjadi dalam bidang hukum perdata, contohnya adalah apabila terjadi perkawinan antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing, dimana Warga Negara Indonesia merasa dirugikan apabila dalam perkawinannya tidak dilakukan pemisahan harta. Karena apabila dikemudian hari mereka membeli tanah dan bangunan dengan sertipikat hak milik atau mendapat warisan yang berupa tanah hak milik, maka sesuai dengan peraturan yang terdapat dalam Pasal 21 ayat (1) dan (3) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria, yang isinya sebagai berikut : (1) Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai Hak Milik;
44
(3) Orang asing yang sesudah berlakunya Undang – Undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa waktu atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang – Undang ini kehilangan kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilang kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak – hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. Dengan adanya peraturan tersebut dapat menimbulkan kerugian / akibat hukum bagi Warga Negara Indonesia yang mempunyai tanah / bangunan hak Milik yang melakukan perkawinan dengan Warga Negara Asing yang mana dapat menyebabkan hilang atau hapusnya tanah tersebut menjadi tanah / bangunan Milik Negara, sehingga hal ini yang menyebabkan pasangan suami – isteri membuat pemisahan harta setelah perkawinan. Dengan adanya Penetapan yang telah ditetapkan oleh Hakim Pengadilan Agama Surakarta Nomor 0012/Pdt.P/2015/PA.Ska, maka memberikan akibat bagi 3 (tiga) hal yaitu sebagai berikut : a. Akibat bagi Para Pihak yang membuatnya (pasangan suami – isteri) setelah adanya Penetapan Pengadilan Agama Surakarta Nomor. 0012/Pdt.P/2015/PA.Ska Dijelaskan dalam Pasal 29 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi : “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.” Perjanjian mulai berlaku semenjak saat perkawinan dilangsungkan; lain saat untuk itu
45
tak boleh ditetapkannya.” Dari peraturan tersebut dapat dilihat bahwa pemisahan harta perkawinan atau dikenal dengan istilah perjanjian kawin yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa seharusnya dibuat sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung dan harus dalam berbentuk tertulis, supaya mempunyai alat bukti yang kuat. Berbeda dengan yang sering terjadi dalam prakteknya, Pembuatan perjanjian mengenai pemisahan harta perkawinan yang dibuat setelah perkawinan dilakukan dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan Penetapan ke Pengadilan Agama. Hal ini dikarenakan dengan seiring berjalannya waktu pasangan suami – isteri dalam suatu perkawinan melihat bahwa masing – masing pihak memiliki kemampuan untuk mencari nafkah sendiri dan berhak untuk melindungi hartanya masing – masing. Oleh karena itu banyak yang akhirnya dalam perkawinan tersebut memutuskan untuk melakukan pemisahan harta yang dilakukan dengan cara mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama. Pemisahan
Harta
Perkawinan
yang
dilakukan
dalam
Penetapan ini dilakukan setelah perkawinan dilakukan. Perjanjian Pemisahan Harta Perkawinan yang dibuat ini terbentuk karena tercapainya kata sepakat dari antara kedua belah pihak (suami – isteri) yang hendak membuatnya. Pemisahan harta ini dilakukan dengan mengajukan Permohonan Penetapan Pemisahan Harta Perkawinan setelah Perkawinan ke Pengadilan Agama. Dalam hal ini tidak ada ketentuan yang mengatur baik dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata maupun Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Setelah permohonan penetapan pemisahan harta perkawinan yang dilakukan setelah perkawinan itu ditetapkan oleh Pengadilan Agama Surakarta, maka pada saat itu juga mulai berlaku dan memberikan akibat – akibat hukum bagi para pihak
46
(pasangan
suami dan isteri) yang membuatnya serta memberikan kekuatan hukum yang tetap. Terhadap penetapan ini dimana masing – masing pihak (suami – isteri) harus mematuhi segala isi dari penetapan tersebut. Dapat disimpulkan pembuatan Perjanjian Perkawinan yang dilakukan oleh para pihak, baik yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun dibuat berdasarkan Penetapan Pengadilan Agama, perjanjian tersebut memberikan akibat hukum bagi para pihaknya. Perjanjian yang telah dibuat itu menjadi Undang – Undang bagi para pihaknya. Masing – masing pihak yang membuatnya wajib untuk mentaati hal – hal yang telah dengan sepakat diatur di dalamnya. Penetapan dari Pengadilan Agama ini bersifat mengikat. Artinya, para pihak harus memenuhi apa yang telah mereka sepakati dalam perjanjian yang telah mereka buat. Hal ini sesuai dengan asas kekuatan mengikat (verbindende kracht der overeenkomst). Asas ini melandasi pernyataan bahwa suatu perjanjian akan mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan karena itu para pihak terikat untuk melaksanakan kesepakatan kontraktual. Asas kekuatan mengikat kontraktual mengandalkan adanya suatu kebebasan di dalam masyarakat untuk turut serta di dalam lalu lintas yuridis dan sekaligus
hal
tersebut
mengimplikasikan
asas
kebebasan
berkontrak.26 Perjanjian dibuat sendiri oleh para pihak dan mereka juga yang menentukan ruang lingkup serta cara pelaksanaan perjanjian tersebut. Kekuatan Putusan Pengadilan mencakup 3 (tiga) hal, yaitu27 : 1. Kekuatan Mengikat Artinya putusan pengadilan memiliki kekuatan mengikat, tidak hanya kepada pihak – pihak berperkara, tetapi juga kepada pihak 26 27
Herlien Budiono, op.cit., hlm. 32 M. Natsir Asnawi, op.cit., hlm. 41
47
lain, khususnya yang memiliki kepentingan, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan objek perkara. Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (kracht van gewijsde) tidak dapat diganggu gugat. Putusan demikian memiliki kekuatan pasti yang mengikat (bindende kracht) dan karenanya apa yang diputus pengadilan harus dianggap benar. Pihak – pihak yang berperkara wajib tunduk dan patuh dalam melaksanakan isi putusan tersebut28. 2. Kekuatan Pembuktian Putusan Pengadilan membentuk suatu peristiwa secara konkret yang telah dianggap benar. Kekuatan pembuktian tidak hanya mengikat para pihak, tetapi juga pihak ketiga yang memiliki kepentingan, baik secara langsung maupun tidak langsung29. 3. Kekuatan Eksekutorial Yaitu Kekuatan untuk dilaksanakan, baik secara sukarela maupun melalui upaya eksekusi oleh pengadilan bila pihak yang dinyatakan kalah tidak melaksanakan putusan tersebut secara sukarela30. Kekuatan eksekutorial (titel eksekutorial) yang melekat pada suatu putusan terletak pada irah – irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, bila irah – irah tersebut tidak ada, maka putusan tidak dapat dieksekusi. Perjanjian yang dibuat secara sah memunculkan akibat hukum dan berlaku bagi para pihak seolah undang – undang Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, yang mengatakan bahwa : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya.” Adagium pacta sunt sevanda diakui sebagai aturan yang menetapkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah, mengingat kekuatan
28
Abdul Manan, op.cit., hlm. 309 Ibid; hlm. 310 30 Ibid; hlm 310 29
48
hukum
yang
terkandung di
dalamnya, dimaksudkan untuk
dilaksanakan dan pada akhirnya dapat dipaksakan penataannya.31
b. Akibat terhadap Harta Perkawinan setelah adanya Penetapan Pengadilan Agama Surakarta Nomor. 0012/Pdt.P/2015/PA.Ska Pembuatan Perjanjian Perkawinan pada umumnya yang diketahui oleh masyarakat adalah dibuat pada saat atau sebelum perkawinan berlangsung. Sedangkan mengenai pembuatan perjanjian perkawinan setelah perkawinan belum banyak masyarakat yang mengetahuinya. Semakin berkembangnya jaman terutama bagi masyarakat yang berada di perkotaan / kota besar ada kecenderungan semakin banyak masyarakat yang membuat perjanjian perkawinan baik sebelum maupun sesudah perkawinan dilangsungkan. Hal ini disebabkan karena kemajuan pendidikan suami – isteri dan juga masing – masing dari mereka mampu bekerja mencari nafkah sendiri, masing – masing mempunyai penghasilan yang cukup untuk menopang kebutuhan hidup mereka, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk keluarganya. Pemisahan harta perkawinan ini bukan berarti juga melepaskan tanggungjawab suami sebagai kepala keluarga terhadap isteri dan keluarganya. Kewajiban suami ini diatur dalam Pasal 34 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menjelaskan bahwa : “Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.” Ayat (2) menjelaskan bahwa : “Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik – baiknya. Setelah adanya pemisahan harta perkawinan berdasarkan Penetapan Pengadilan Agama, maka harta benda masing – masing pihak suami – isteri akan menjadi semakin kuat secara hukum. Masing – masing dari pihak suami – isteri harus mematuhi segala isi 31
Ibid; hlm.31
49
perjanjian perkawinan berdasarkan Penetapan Pengadilan Agama tersebut, sebab segala hal yang menyangkut pemisahan harta sudah jelas dipisahkan. Terhadap harta – harta lain yang kemudian hari timbul setelah tanggal penetapan tersebut tetap terpisah satu dengan yang lainnya, sehingga tidak ada lagi berstatus harta bersama. Sesuai dengan Pasal 1 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Perkawinan adalah Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan lahir batin berarti ikatan tersebut tidak hanya cukup dengan ikatan lahir saja atau ikatan batin saja. Melainkan keduanya harus terpadu erat. Ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat dan menunjukkan bahwa terdapat hubungan hukum antara suami dan isteri. Ikatan lahir juga disebut sebagai ikatan formal. Ikatan lahir tersebut mengikat diri suami dan isteri, serta pihak ketiga. Sedangkan ikatan batin adalah ikatan yang tidak nampak, suatu ikatan yang hanya dapat dirasakan oleh suami dan isteri32. Dijelaskan juga dalam Pasal 164 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, bahwa apabila dijanjikan suatu persatuan hasil dari pendapatan, maka tidak akan terjadi persatuan harta kekayaan secara bulat dan persatuan untung – rugi. Jika muncul hutang – piutang yang timbul akibat perbuatan hukum dari salah satu pihak yang dilakukan setelah adanya penetapan dari Pengadilan Agama maka itu menjadi tanggung jawab dari pihak yang melakukan perbuatan hukum itu sendiri, tanpa dapat melibatkan tanggungjawab dari pasangannya. Dengan adanya penetapan perjanjian perkawinan dari Pengadilan Agama ini hukum harta benda kekayaan yang dimiliki oleh masing – masing suami – isteri dapat dilindungi.
32
Soetodjo Prawirohamidjojo, op.cit, hlm.38
50
Dalam kasus Permohonan Penetapan Pemisahan Harta Perkawinan yang dilakukan setelah Perkawinan berdasarkan atas Penetapan
Pengadilan
Agama
Surakarta
Nomor
0012/Pdt.P/2015/Pa.Ska ini adalah untuk melindungi Warga Negara Indonesia yang menikah dengan Warga Negara Asing dimana Warga Negara Indonesia merasa dirugikan apabila dalam perkawinannya tidak dilakukan pemisahan harta. Karena apabila dikemudian hari mereka membeli tanah dan bangunan dengan sertipikat hak milik atau mendapat warisan yang berupa tanah hak milik, maka sesuai dengan peraturan yang terdapat dalam Pasal 21 ayat (1) dan (3) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria, yang isinya sebagai berikut : (1) Hanya warga Negara Indonesia dapat mempunyai Hak Milik; (3) Orang asing yang sesudah berlakunya Undang – Undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa waktu atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang – Undang ini kehilangan kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilang kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. Dengan adanya peraturan tersebut dapat menimbulkan kerugian / akibat hukum bagi Warga Negara Indonesia yang mempunyai tanah / bangunan hak Milik kawin dengan Warga Negara Asing. Salah satu kerugiannya yaitu dapat menyebabkan hilang atau hapusnya tanah tersebut menjadi tanah / bangunan Milik Negara, sehingga hal ini yang menyebabkan pasangan suami – isteri membuat pemisahan harta setelah perkawinan. Dasar dari permohonan pemisahan harta setelah perkawinan ini adalah adanya keyakinan dari para pihak bahwa masing –
51
masing suami – isteri memiliki pekerjaan dan mempunyai penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, baik untuk kebutuhan pribadi maupun keluarga. Kesepakatan yang dibuat untuk melakukan pemisahan harta tidak hanya mengatur mengenai pemisahan harta masing-masing pihak saja, tetapi juga mengatur mengenai hak dan kewajiban dari para pihak. Hal ini diatur dalam Pasal 30 – Pasal 34 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Mengenai Kewajiban suami dan isteri dalam suatu Perkawinan diatur dengan jelas dalam Pasal 34 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang isinya : (1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya; (2) Isteri wajib mengatur urusan rumah – tangga sebaik – baiknya; (3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masingmasing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Kedudukan Harta Perkawinan atas Penetapan Hakim Pengadilan Agama terhadap Permohonan Penetapan Pemisahan Harta Perkawinan yang dilakukan setelah Perkawinan adalah menjadi pisah harta. Artinya dalam perkawinan mereka tidak lagi terjadi persatuan harta / persatuan bulat dari harta kekayaan mereka. Dengan
adanya
Penetapan
ini
masing
–
masing
pihak
bertanggungjawab penuh terhadap hartanya masing – masing. Apabila setelah penetapan ini terjadi sesuatu hal yang membuat salah 1 (satu) pihak harus menanggung ganti rugi sampai ke harta pribadinya, maka pihak yang lainnya tidak ikut menanggung kerugian tersebut. Sesuai dengan dasar yang menjadi permohonan dalam penetapan ini salah satunya untuk memberikan perlindungan bagi Pemohon II yang berstatus Warga Negara Indonesia yang
52
melakukan Perkawinan dengan Pemohon I yang berstatus Warga Negara
Asing.
Dari
ketentuan
–
ketentuan
tersebut
jelas
menimbulkan akibat hukumnya terhadap Warga Negara Indonesia yang mempunyai tanah hak milik kawin dengan Warga Negara Asing dapat menyebabkan tanahnya hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara sehingga pasangan suami – isteri ini membuat perjanjian kawin dengan didasarkan penetapan Pengadilan Agama.
c. Akibat bagi Pihak Ketiga setelah adanya Penetapan Pengadilan Agama Surakarta Nomor. 0012/Pdt.P/2015/PA.Ska Menurut Pasal 29 ayat (1) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebuah Perjanjian Perkawinan dapat mengikat terhadap pihak ketiga apabila perjanjian kawin tersebut disahkan atau didaftarkan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan. Bagi para pihak yang beragama Islam maka mendaftarkan pada Kantor Urusan Agama (KUA), sedangkan bagi para pihak yang beragama Non-Islam pada Kantor Catatan Sipil. Setelah Perjanjian Perkawinan tersebut didaftarkan maka dengan sendirinya perjanjian kawin tersebut mempunyai kekuatan yang mengikat terhadap pihak ketiga. Ditegaskan juga dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 50 ayat
(1) disebutkan “Perjanjian Perkawinan mengenai harta,
mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkannya perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah.” Pembuatan perjanjian kawin yang didasarkan penetapan Pengadilan Agama yang hubungannya terhadap pihak ketiga akan berlaku sejak tanggal penetapan Pengadilan Agama dikeluarkan. Pihak Ketiga dalam hal ini tidak mendapatkan kerugian jika terjadi sesuatu dikemudian hari, karena sudah ada kesepakatan pemisahan harta
53
sebelumnya, dengan alasan – alasan seperti yang diajukan di Pengadilan. Perjanjian kawin setelah perkawinan diadakan tidak hanya mengatur sebab akibat harta perkawinan setelah perkawinan berlangsung tetapi juga terhadap pihak ketiga. Perjanjian Perkawinan ini dapat mengikat dan berlaku bagi Pihak Ketiga setelah Perjanjian Perkawinan ini diumumkan pada surat kabar yang beredar secara nasional minimal selama 1 (satu) minggu secara berturut – turut. Para pihak yang membuatnya dapat datang ke Notaris untuk membuat Perjanjian Perkawinan ini, yang kemudia Perjanjian Perkawinan ini akan mulai berlaku sejak tanggal akta dibuat dan didaftarakan pada instansi yang bersangkutan. Pada saat itu juga berlaku dan mengikat bagi pihak ketiga yang bersangkutan. Misalnya saja salah satu pihak suami atau isteri yang mempunyai tanah dan bangunan hak milik mengadakan penjualan tanah dan bangunan, maka harus diperhatikan si penjual memiliki tanah dan bangunan sebelum atau sesudah penetapan tersebut sehingga jangan sampai pihak ketiga yaitu pembeli dalam hal ini dirugikan atau dituntut oleh pihak kawan kawinnya dari penjual tanpa adanya persetujuan untuk menjual karena statusnya harta bersama karena tanah dan bangunan dimiliki sebelum dibuatnya penetapan Pengadilan Negeri. Dengan
adanya
pertimbangan
tersendiri
mengenai
kepemilikan Hak Milik Tanah / Bangunan Warga Negara Indonesia yang melakukan perkawinan dengan Warga Negara Asing, para Pemohon membuat permohonan pemisahan harta perkawinan yang dilakukan setelah perkawinan dengan mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama setempat agar diijinkan untuk membuat Perjanjian Perkawinan. Setelah ijin tersebut diperoleh kemudian harus diumumkan pada surat kabar yang beredar secara nasional minimal selama 1 (satu) minggu secara berturut – turut, dan jika
54
tidak ada klaim dari pihak ketiga, maka dengan bukti – bukti tersebut para pihak dapat datang ke Notaris untuk membuat Perjanjian Perkawinan. Perjanjian Perkawinan akan berlaku sejak tanggal akta dibuat. Kemudian akta Perjanjian Perkawinan tersebut dicatatkan pada instansi yang bersangkutan. Penetapan Pengadilan Agama tersebut tidak akan merugikan pihak ketiga apabila dilaksanakan dengan ketentuan bahwa harta yang
diperoleh
suami
isteri
sebelum
keluarnya
penetapan
Pengadilan Agama tetap merupakan harta bersama dan setelah adanya penetapan tersebut secara otomatis menjadi harta pribadi dari masing – masing pihak. Akibat hukum Perjanjian Perkawinan terhadap Pihak Ketiga dapat dijelaskan dengan ilustrasi sebagai berikut. Pasangan suami – isteri yang menikah pada bulan November 2012 dengan tidak membuat perjanjian perkawinan pisah harta, berarti terjadi percampuran harta. Dengan demikian untuk tindakan hukum dari masing – masing pasangan suami – isteri tersebut harus mendapat persetujuan dari kawan kawinnya. Apabila ada sertifikat atas nama suami yang hendak dialihkan (dijual) atau dijaminkan, maka diperlukan persetujuan istri mutlak. Persetujuan tersebut dapat dilakukan dengan cara isteri memberikan persetujuan secara tertulis, baik notariil maupun di bawah tangan yang dilegalisasi Notaris. Apabila pada tahun 2015 pasangan suami – isteri minta dibuatkan akta perjanjian perkawinan yang intinya mengenai pisah harta, dimana masing – masing pihak baik suami atau isteri berwenang untuk melakukan kegiatan hukum seorang diri, maka tentunya akan timbul masalah dengan akta – akta yang telah dibuat mereka sebelum tahun 2015. Menurut Dr. Habis Adjie33, S.H.,M.Hum di Pengadilan Negeri Suarabaya pernah ada isteri yang menggugat suami, karena 33
Dhyah Madya Ruth SN, Catatan Diskusi Indonesia Notary Community, Bogor, 10 November 2015, hlm. 4
55
suami menjual harta bersama tanpa persetujuan isteri. Gugatan ini dilakukan oleh isteri setelah mereka bercerai. Ketika dalam persidangan Hakim bertanya kepada mantan isteri sebagai Penggugat, sebagai berikut : : “Apakah Ibu tahu ketika dalam masa pernikahan,
Hakim
suami ibu menjual tanah dan rumah harta bersama ? Penggugat
: “Tahu Pak Hakim”
Hakim
: “Uang hasil penjualan dipakai apa ?”
Penggugat
: “ Dibelikan rumah lagi, mobil dan jalan – jalan”
Hakim
: “Ibu menikmatinya ?”
Penggigat
: “Ya..Pak Hakim”
Akhirnya Majelis Hakim menolak gugatan Penggugat, dengan alasan meskipun dalam penjualan harta bersama tersebut, isteri tidak memberikan persetujuan, namun karena ikut menikmati hasil penjualannya, maka
hal tersebut
dianggap sebagai
bentuk
persetujuan dari isteri kepada suami. Disimpulkan, bahwa Perjanjian Perkawinan dapat mulai berlaku bagi Pihak Ketiga apabila Perjanjian Perkawinan tersebut telah didaftarkan / dicatatkan. Setelah dicatatkan maka pada saat itu juga berlaku mengikat bagi Pihak Ketiga. Undang – Undang tidak mewajibkan Notaris untuk melakukan pembukuan atau registrasi atas perjanjian kawin yang telah dibuatnya. Kepada para pihak diberikan
kebebasan
untuk
menentukan
kapan
melakukan
pembukuan atau registrasi. Undang – undang hanya menentukan bahwa sepanjang pembukuan belum dilakukan, terhadap pihak ketiga perjanjian kawin tidak berlaku. Sejak tanggal pembukuan tersebut, terhadap pihak ketiga, harta suami – isteri tidak lagi menjadi tanggungan untuk pembayaran terhadap utang yang dibuat oleh pihak suami atau isteri, tetapi sesuai dengan apa yang diperjanjikan diantara mereka. Dengan kata lain, sejak tanggal pembukuan tersebut pihak ketiga
56
dianggap telah mengetahui adanya perjanjian perkawinan antara suami – isteri. Tidak adanya pembukuan tidak boleh merugikan pihak ketiga yang beritikad baik yang betul – betul tidak mengetahui adanya perjanjian perkawinan tersebut, misalnya karena diberi tahu oleh pihak suami – isteri mengenai hal tersebut, maka berlakulah perjanjian perkawinan tersebut bagi pihak ketiga yang bersangkutan dan akan membawa akibat hukum terhadap phak ketiga. Akibat – akibat hukum tersebut diatas menggunakan dasar teori hukum, yaitu teori kepastian hukum. Dengan adanya penetapan tersebut memberikan kekuatan yang mengikat bagi para pihak yang membuatnya, sehingga para pihak juga wajib mentaati hal – hal yang telah dengan sepakat diperjanjikan dalam perjanjian tersebut. Bagi harta perkawinannya, dengan adanya penetapan pengadilan agama maka harta masing – masing pihak menjadi pisah. Akibat hukum bagi pihak ketiga, apabila perjanjian perkawinan tersebut telah diumumkan dalam surat kabar, dan dibuat dengan akta Notaris yang kemudian dicatatkan atau di daftarkan pada instansi yang berwenang maka pada saat akta itu dibuat berlaku juga bagi Pihak Ketiga, apabila perjanjian perkawinan tersebut tidak didaftarkan, penetapan perjanjian perkawinan tersebut hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya saja (suami – isteri). Setelah adanya penetapan ini apabila terjadi perbuatan hukum maka hanya melibatkan salah 1 (satu) pihaknya saja, karena ada pemisahan harta dalam perkawinannya, tidak lagi menjadi tanggungjawab kedua belah pihak.
57