BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah pewarta foto yang berada di Jakarta dan berbagai kebudayaan yang terkait dengan pemuatan foto jurnalistik di media massa. Seperti wartawan tulis yang membuat laporan berita dalam bentuk naskah tertulis, pewarta foto merupakan bagian dari komunikator pada komunikasi massa yang melakukan aktivitas jurnalistik dalam bentuk foto. Mereka mencari, mengolah, dan menyebarkan pesan komunikasi massa berupa gambar. Pewarta foto adalah fotografer profesional yang bekerja pada instansi media massa, baik cetak maupun online. Sebagai jurnalis, pewarta foto setiap hari menyajikan informasi kepada khalayak secara visual melalui media massa tempat mereka bekerja. Memotret untuk media massa memang tidak hanya dapat dilakukan oleh pewarta foto. Wartawan tulis atau reporter terkadang melakukan pemotretan untuk memenuhi kebutuhan penyajian berita. Namun biasa hal tersebut dilakukan hanya pada saat keadaan mendesak dan sangat dibutuhkan, sementara pewarta foto di media massa yang sama tidak berada di lokasi. Pada media massa lokal dengan jumlah pewarta foto yang terbatas, situasi semacam ini biasanya juga sering terjadi. 81 http://digilib.mercubuana.ac.id/
82
Dalam penelitian ini, yang dimaksud pewarta foto adalah mereka yang secara rutin memproduksi foto jurnalistik untuk disajikan pada khalayak. Sebagian besar pewarta foto sebenarnya juga memiliki keterampilan untuk menulis naskah. Hal tersebut malah menjadi keharusan, karena mereka melengkapi foto jurnalistik dengan keterangan gambar atau caption. Dalam foto jurnalistik berbentuk foto essay atau story, pewarta foto juga harus mampu menuliskan kalimat pengantar dan keterangan tambahan pada foto jurnalistik yang disampaikan. Namun, pembagian tugas pada organisasi komunikasi massa cenderung mengharapkan pewarta foto untuk lebih fokus terhadap tugas peliputan dalam bentuk foto saja. Konsentrasi mereka dalam menjaga kualitas foto diharapkan tidak terganggu oleh aktivitas lain seperti mewawancarai narasumber, mencari data hingga lengkap, dan menyusun naskah. Seperti wartawan radio yang menggunakan alat perekam dalam peliputan, pewarta foto menggunakan teknologi penunjang berupa kamera. Namun, kamera yang digunakan untuk membuat foto yang lazim digunakan pewarta foto, berbeda dengan kamera video yang digunakan camera person dalam peliputan media massa televisi. Pada bagian selanjutnya akan digambarkan bagaimana alat bantu tersebut digunakan oleh pewarta foto dalam melakukan jurnalistik foto. Proses pemuatan foto jurnalistik di media massa sangat dipengaruhi oleh aspek teknologi. Meskipun memang, ada faktor lain seperti estetika dan etika hingga faktor ekonomi dan politik media massa pada institusi media massa tempat mereka bekerja.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
83
Sejak 2011 lalu, pengurus PFIJ menggelar Jakarta Photojournalist Fest yang melibatkan pewarta foto di Jakarta. Pada tahun 2011, kegiatan pameran foto tersebut bertajuk Lenggak-Lenggok Jakarta dengan peserta 64 pewarta foto dan jumlahnya terus meningkat hingga 2014. Pada 2012, judul kegiatan ini ‘Emosi Jakarta’, ‘Berkacalah Jakarta’ pada 2013, dan ‘Jakarta Berharap’ di tahun 2014. (Laporan Pertanggungjawaban PFIJ 2014) Tidak semua pewarta foto yang bertugas di Jakarta bergabung dengan PFIJ. Karena itulah biasanya, tidak semua pewarta foto yang bertugas di Jakarta adalah anggota PFIJ meskipun bekerja pada satu media. Penelitian ini mengamati aktivitas pewarta foto yang melakukan peliputan di Jakarta, meskipun tidak tergabung dalam PFI atau PFIJ. Setiap pewarta foto yang bertugas di Jakarta, tidak diharuskan untuk bergabung dalam organisasi tersebut. Beberapa redaktur foto di media massa malah menyarankan agar pewarta foto di lapangan untuk tidak menjadi pengurus organisasi karena dikhawatirkan mengganggu kinerja peliputan. Mayoritas pewarta foto di Jakarta berkumpul di kawasan Bundaran Hotel Indonesia (HI), jalan MH Thamrin, Jakarta. Hampir setiap hari, mereka datang dan pergi ke lokasi peliputan dari lokasi tersebut. Komunitas tersebut berkumpul di warung kopi yang berdiri di belakang Pos Polisi Bundaran Hotel Indonesia (HI), jalan MH Thamrin, Jakarta. Sebelumnya, lokasi tersebut juga berada di samping Kedutaan Besar Inggris. Namun kantor tersebut sudah pindah sejak tahun 2013 lalu. Lokasinya mungkin terlihat seperti tempat ‘nongkrong’ atau ‘mangkal’ biasa. Namun, di lokasi inilah pesan-pesan media massa berupa foto
http://digilib.mercubuana.ac.id/
84
jurnalistik diseleksi, diolah, dan dikirimkan ke kantor redaksi media massa mereka masing-masing. Gambar 4.1. Pewarta Foto di Jakarta saat Buka Puasa Bersama di Bundaran HI
Dalam sehari, ada lebih dari 30 orang pewarta foto yang berkumpul di Bundaran HI. Pada acara-acara tertentu, jumlah pewarta foto yang datang bisa mencapai 100 orang. Saat ada kegiatan Buka Puasa Bersama misalnya, atau ketika ada pesohor negeri ini yang datang bertamu dan berdialog. Mereka merupakan pewarta foto yang setiap hari bertugas di Jakarta, meskipun tidak sedikit dari mereka yang sering mendapat tugas peliputan di luar kota. Kebanyakan dari pewarta foto yang berada di Bundaran HI bertugas di desk metro atau perkotaan, ekonomi atau bisnis, serta hukum, politik dan nasional. Pewarta foto di desk olahraga biasanya cenderung lebih sering berada di Senayan, dan pewarta foto
http://digilib.mercubuana.ac.id/
85
hiburan atau infotainment di kawasan Blok M. Sementara pewarta foto parlemen lebih sering berada di gedung DPR RI dan berada di Bundaran HI saat reses atau hari libur. Meskipun berbeda desk, biasanya para pewarta foto tersebut saling mengenal karena sering berada di satu lokasi liputan yang sama. Banyak dari pewarta foto tersebut yang sudah sering dipindah desk peliputan oleh tempat mereka bekerja, sehingga sering terjadi interaksi di antara mereka. Pewarta Foto The Jakarta Post, PJ LE mengungkapkan, cikal bakal komunitas tersebut muncul sejak sekitar peristiwa 27 Juli 1996. Saat itu di kantor PDI, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta hampir setiap hari digelar mimbar bebas dan beberapa pewarta foto menjadi sering bertemu. Mereka pernah berpindah ke Taman Suropati Menteng, sebelum akhirnya ‘menetap’ untuk berada di sekitar Bundaran HI. Aktivitas kebersamaan tersebut mereka lakukan hingga Peristiwa Reformasi 1998 berlangsung. Berbagai kekerasan yang dialami pewarta foto saat kerusuhan, mendorong mereka untuk bersatu dan saling membantu satu dengan yang lain. Gambar 4.2. Pewarta Foto di Jakarta di Pos Polisi Bundaran HI
http://digilib.mercubuana.ac.id/
86
Hal tersebut dibenarkan Pewarta Foto Bisnis Indonesia Endang Muchtar. Menurutnya, jumlah pewarta foto 10 tahun lalu tidak sebanyak sekarang. Kebanyakan orang yang memotret saat melakukan atau bertugas sebagai pewarta foto adalah reporter. Selain menuliskan berita dalam bentuk naskah tertulis, mereka juga memotret untuk melengkapi berita yang disampaikan. Dikeluarkannya Undang-undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers kemudian memicu tumbuhnya media massa di Indonesia. Seperti kita ketahui bersama, saat itu media massa tumbuh bagai jamur di musim hujan. Semangat ‘Kebebasan Pers’ yang dengungkan sering diplesetkan menjadi ‘Kebablasan Pers’ karena kualitas konten media massa yang tidak lagi dapat dikontrol oleh pemerintah. Kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) Oscar Motuloh menilai, pewarta foto merupakan profesi dalam dunia jurnalistik yang mengabarkan kepada orang lain, dengan menggunakan kamera sebagai alat untuk perekaman atmosfer dari sebuah kejadian. Ibaratnya pewarta foto ini menjadi saksi mata untuk orang lain. Tentu muatan-muatannya berhubungan dengan teori-teori jurnalistik seperti 5 W + 1 H dan sebagainya. Foto jurnalistik yang disampaikan oleh pewarta foto tentu harus penting, harus berguna untuk orang lain, bermanfaat. Kita bisa melihat bahwa dari waktu ke waktu pewarta foto yang menyajikan foto jurnalistik ini merupakan profesi yang akan terus berkembang seiring dengan jaman di mana masyarakat. Dia akan ada sepanjang masyarakat membutuhkan informasi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
87
Menurut pendiri Pewarta Foto Indonesia (PFI) tersebut, tugas dari seorang pewarta foto sebagai saksi mata, dia juga mewakili mata dunia. Dia menjadi saksi bagi siapapun dari sebuah peristiwa, dari tempat-tempat tertentu, atau dari suatu kejadian yang perlu disampaikan untuk orang lain. Kita bisa melihat bahwa tidak selalu foto-foto jurnalistik adalah terjadi dalam momentum yang besar. Dia juga berasal dari warga sepanjang konten fotonya diperlukan dan foto tersebut penting. Jadi misalnya pewarta foto tersebut berada di tempat antah berantah, jauh dari orang lain. Bagaimana caranya dia menyajikan dan bercerita untuk orang lain. Walaupun kita tahu, kecepatan foto jurnalistik saat ini tidak lagi didominasi oleh pewarta foto, tapi oleh jurnalis warga. Citizen jurnalis saat ini memiliki peran aktif untuk melaporkan peristiwa dalam bentuk foto. Hal ini misalnya terjadi ketika pewarta foto terlambat datang ke lokasi peristiwa. Foto jurnalistik tidak harus diambil oleh pewarta foto atau staff di media massa, peran masyarakat sekarang sudah lebih luas. Tentu saja dengan prasayarat yang ditentukan oleh media, foto-foto mana saja yang boleh berasal dari warga. Perkembangan foto jurnalistik saat ini menurut Oscar, berjalan dengan cukup pesat. Sejak internet mengambil alih peran dari perangkat broadcast, maka pekerjaan dan tugas dari profesi ini menjadi sangat terbantu. Gadget yang berkembang saat ini memungkin kita melihat foto tanpa memerlukan waktu lama setelah peristiwa berlangsung. Karenanya sekarang tuntutan terhadap media sudah beralih kepada cyber media. Kecepatan menjadi penting dan keunggulan dalam
http://digilib.mercubuana.ac.id/
88
penyajian foto jurnalistik saat ini. Teknologi merupakan kunci, walaupun konten fotografinya tidak berubah. ”‘Bisnis dunia pers merupakan bisnis kepercayaan. Bisnis yang mengharuskan mereka peka terhadap realitas. Fotografi jurnalistik basicnya pada kebenaran. Sementara perangkat fotografi saat ini sangat memudahkan orang untuk memanipulasi gambarnya. Jadi editor juga harus memperhatikan tingkat kepercayaan dari masyarakat ketika mengolah foto dari ujung tombaknya yaitu pewarta foto. Jadi di sini kita dapat melihat bahwa bisnis keperayaan tersebut dibangun dengan susah payah. Editor bertanggung jawab penuh terhadap karya foto jurnalistik yang diajukan pewarta foto. Editor harus menjaga kaidah pemuatan dan mempertahankan kepercayaan dari masyarakat bahwa foto yang mereka sajikan adalah sebuah kebenaran,”.
Menurut Oscar, independensi seharusnya berada pada garis yang berbeda dengan iklan atau advertorial pada penayangan foto jurnalistik di media massa. Kepentingan pemasang iklan maupun pemilik media massa, sebaiknya tidak terampur dengan penyajian foto jurnalistik untuk pembaca. Oscar tidak setuju jika media dimanfaatkan untuk tujuan politik tertentu. Oscar bependapat, organisasi profesi pewarta foto membutuhkan sebuah prioritas dalam keanggotaannya. Para pewarta foto yang bergabung dalam organisasi pers selalu membutuhkan perlindungan. Karenanya proteksi adalah kata kunci untuk organisasi pewarta foto seperti Pewarta Foto Indonesia (PFI). Organisasi tersebut harus bisa mengarahkan anggotanya untuk mengerti benar mengenai etika atau pengkodeetikan. Proteksi, pendidikan, pameran, dan penghargaan, itu kemudian akan menjadikan mereka bagaimana mengerti soal kode etik jurnalistik. Sehingga fotografer tahu benar, kalo misalnya etika sudah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
89
dijunjung tinggi tapi masih ada tindak kekerasan terhadap pewarta foto, maka proteksi dari lembaga profesi. Lembaga profesi tersebut tidak boleh berdiam diri, dan harus membela anggotanya. “Tetapi harus diperhatikan juga pembelaan yang dilakukan. Kalau misalnya pewarta foto tersebut melanggar area privasi orang agak susah juga kan. Dan pemahaman tersebut dapat muncul dari pendidikan di lembaga profesi. Bukan pendidikan sepeti guru dan murid, tapi mungkin berupa sharing dan diskusi. Sehingga si pewarta foto itu ngerti banget tugasnya. Dan jika dia mengalami sesuatu karena tugasnya sebagai pewarta foto, maka lembaga profesi wajib hukumnya memberikan perlindungan,”.
Mengenai kompetensi pewarta foto, Oscar melihat itu sebenarnya dalam bidang profesi perlu pertimbangan yang matang. Kalau misalnya pers juga masuk dalam kategori profesi yang nanti akan mengalami hubungan atau persaingan kerja terbuka dengan negara lain, maka, kompetensi itu diperlukan. Kompetensi buruh dengan pewarta foto berbeda. Ada tingkatan tertentu yang dibutuhkan di sana. Tapi dalam hubungan ketika profesi tersebut harus melintas negara, maka diperlukan sertifikasi. Jika itu diperlukan, kita harus mematuhi peraturan internasional. Kompetensi itu kan dinilai dari apa yang sudah dibuat. Tapi jika itu dibuat untuk sebuah sertifikasi, tidak ada salahnya pewarta foto juga ikut jika memang itu dibutuhkan. “Sebuah lembaga pers yang sehat, dia akan lebih mengerti menilai, karena dunia pers ini bukan dunia antah berantah di mana orang bicara dan lain sebagainya itu dinilai. Beberapa mungkin membutuhkan walaupun mungkin pemegang sertifikat tersbeut abal-abal. Jadi gampang kan menilainya. Kalo gue sih tinggal liat aja karyanya gitu,”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
90
Setiap media media massa menurut Oscar, punya standar sendiri untuk menilai pewarta foto yang baik dan punya integritas tinggi. Tingkat kemampuan kemandirian independensi yang tinggi, menjadi kata kunci dari profesi itu. Profesi ini membutuhkan sebuah keahlian yang teruji dari karyanya, teruji dari integritasnya, teruji dari tingkat kepercayaannya, dan tentu karakter independen yang dimiliki wartawannya. Pewarta foto sebagai profesi, kontennya tidak akan pernah berubah. Dia, kecepatannya akan dipengaruhi oleh perkembangan zaman, pandai-pandai dan mewajibkan mereka memahami perkembangan teknologi. Oscar menambahkan, yang jelas fotografi jurnalistik akan selalu demikian. Akan selalu seperti ini adanya, Peristiwa akan selalu berubah, tapi peristiwa bisa berulang, dengan tokoh yang berbeda, pada waktu yang lain. Ke depan, tidak akan ada yang berubah, dari kontennya. Perkembangan teknologi membutuhkan orangorang yang makin handal. Pewarta foto tidak hanya dibutuhkan untuk sekedar memotret saja. Ke depan, kompetensi dunia foto jurnalistik ini akan semakin meningkat kualitasnya, karena konvergensi memang sudah harus terjadi.
4.2. Hasil Penelitian Pewarta foto adalah wartawan yang melakukan kegiatan jurnalistik dan melaporkannya dalam bentuk foto. Tidak semua foto yang dihasilkan oleh pewarta foto dikirimkan ke media massa dan menjadi foto jurnalistik. Selain melakukan pengemasan pesan berita dalam bentuk foto, pewarta foto juga melakukan seleksi terhadap foto yang dihasilkan dan memilih foto mana saja yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
91
dikirimkan ke media massa. Redaksi dalam media massa dapat mengeluarkan kebijakan untuk memilih foto yang dihasilkan oleh wartawan lain selain pewarta foto atau kiriman warga sekalipun, jika relevan dan memiliki nilai berita sementara pewarta foto yang bersangkutan tidak memilikinya. Di Jakarta, pewarta foto anggota PFI, tergabung dalam Pewarta Foto Indonesia Jakarta (PFIJ) dengan anggota lebih dari 200 orang. Jumlah tersebut merupakan yang terbanyak di antara PFI wilayah lainnya di Indonesia. Selain karena sebagai pusat ibukota negara, sebagian besar media massa nasional maupun kantor berita, juga berkantor pusat di Jakarta. Mereka merupakan pewarta foto yang bekerja untuk koran, tabloid, majalah, kantor berita, dan media online. Berikut adalah tabel perbandingan jumlah pewarta foto yang bekerja pada media massa di Jakarta; Tabel 4.1. Jumlah Pewarta Foto di Jakarta, Desember 2014 Nama Media
Jenis Media Massa
Agence France Presse/AFP Aktual.Co Antara Associated Press/AP Bali Pos Bisnis Indonesia CNN Indonesia Detik.com European Pressphoto Agency / EPA Gatra Harian Nasional Harian Terbit Indonesia Finance Today Indopos Inilah.Com International Media
Kantor Berita Online Kantor Berita Kantor Berita Koran Harian Koran Harian Online Online Kantor Berita Majalah Koran Harian Koran Harian Online Koran Harian Online Koran Harian
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Jumlah Pewarta Foto di Jakarta 3 4 15 3 1 7 2 8 3 9 3 2 3 7 4 3
92
Investor Daily Jakarta Globe Jurnal Nasional.Com Jawa Pos JPNN.Com Kabar Cepat.Com Kompas Kompas.Com Kontan Koran Jakarta Koran Sindo Koran Tempo Liputan 6.Com Media Indonesia Merdeka.Com Non Stop Nyata Okezone.Com Pos Kota Rakyat Merdeka Republika Reuters Sinar Harapan Suara Karya Suara Pembaruan The Jakarta Post Tribune news.Com Warta Kota Vivanews.Com Xin Hua
Koran Harian Koran Harian Online Koran harian Online Online Koran Harian Online Koran Harian Koran Harian Koran Harian Koran Harian Online Koran Harian Online Koran Harian Tabloid Online Koran Harian Koran Harian Koran Harian Kantor Berita Koran Harian Koran Harian Koran Harian Koran Harian Online Koran Harian Online Kantor Berita
3 3 4 9 2 1 16 3 8 7 11 15 6 18 4 2 5 3 4 13 18 3 6 3 2 8 4 6 3 3
Angka di atas setidaknya mewakili mayoritas pewarta foto yang sering bertemu dan melakukan interaksi pada setiap peliputan di Jakarta. Peneliti tidak menyebutkan beberapa media dengan segmentasi khusus seperti hobi, olahraga, otomotif, wanita, remaja, anak, dan agama. Hal ini dilakukan karena pewarta foto masa media-media tersebut biasanya hanya mengerjakan penugasan ilustrasi untuk kepentingan melengkapi tulisan pada konten yang disampaikan. Mereka hanya melakukan komunikasi dengan rekan kerja pada media mereka, dan jarang berkumpul atau melakukan komunikasi dengan pewarta foto lainnya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
93
Kuantitas pewarta foto di atas mempengaruhi suplai foto jurnalistik ke kantor media massa. Selain mempekerjakan pewarta foto, kebanyakan redaksi media massa juga berlangganan foto dari kantor berita, baik dalam maupun luar negeri. Beberapa media massa nasional seperti Republika dan Media Indonesia, melakukan kompetisi terbuka untuk menyeleksi foto yang akan digunakan. Artinya, redaksi boleh mengeluarkan kebijakan untuk menggunakan foto dari kantor berita meskipun pewarta foto dari media tersebut berada di lokasi dan memotret peristiwa yang sama. Hal ini memungkinkan dengan pertimbangan kualitas konten pada foto dengan mempertimbangkan berbagai aspek estetika seperti komposisi, gesture, dan beberapa hal lainnya. Pewarta foto yang bertugas di Jakarta terdiri dari berbagai desk atau penugasan wilayah liputan dari media massa mereka masingmasing. Setidaknya, mereka terbagi dalam desk metro atau pewarta foto yang bertugas mencari foto perkotaan, desk nasional dan politik, desk hukum, desk parlemen, desk olah raga, desk ekonomi, serta desk hiburan dan life style. Di Jakarta, setiap media nasional biasanya memiliki satu pewarta foto yang bertugas memotret peristiwa sesuai desk masing-masing, atau sesuai penugasan. Berikut gambaran pembagian desk pewarta foto di Jakarta;
http://digilib.mercubuana.ac.id/
94
Tabel 4.2. Pembagian Desk Pewarta Foto di Jakarta Desk Metropolitan
Wilayah Liputan Isu-isu terkait kondisi perkotaan, kegiatan gubernur, dan peristiwa kriminalitas.
Nasional & Politik
Kegiatan-kegiatan
menteri
dan
kebijakan
lain
kementerian, aktivitas partai politik termasuk KPU. Kegiatan hasil survei dan diskusi politik. Hukum
Peristiwa yang berkaitan dengan hukum seperti KPK, Kepolisian, TNI, Tipikor, Kejagung, KY, MA, hingga MK. Tindak pidana kriminalitas.
Parlemen
Meliput kegiatan di Komplek Senayan, Anggota DPR RI hingga DPD RI dan kegiatan mereka di luar.
Ekonomi
Melakukan peliputan dengan isu ekonomi dan bisnis, termasuk BUMN. Ilustrasi perdagangan, perkantoran, dan kegiatan perekonomian lain.
Olah Raga
Bertugas
memotret
peristiwa
olah
raga
seperti
pertandingan, kompetisi, maupun latihan. Life Style & Hiburan
Meliput
artis
dan
isu
entertainment,
termasuk
pertunjukan musik, teater, peluncuran film, hingga peragaan busana.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
95
Pembagian tugas untuk setiap desk peliputan pada masing-masing media terkadang tidak terlalu kaku. Beberapa pewarta foto tetap diperbolehkan melakukan peliputan lintas desk oleh redaktur maupun kordinator liputan masingmasing media. Hal ini misalnya terjadi jika ada peristiwa dengan kategori spot news atau foto dengan peristiwa yang tidak terduga. Beberapa pewarta foto bahkan tidak memiliki desk dan hanya mengerjakan penugasan atau floating sesuai petunjuk dan arahan dari redaktur foto atau kordinator foto di masingmasing media. Biasanya hal ini diterapkan kepada pewarta foto baru yang belum mempunyai banyak link atau jaringan dan koneksi dengan pewarta foto lain, maupun dengan pelaksana kegiatan. Setiap pewarta foto memiliki deadline atau tenggat waktu yang berbeda untuk pengolahan dan pengiriman foto jurnalistik, bergantung jenis media massa tempat mereka bekerja. Berikut adalah gambaran mengenai deadline berdasarkan jenis media massanya; Tabel 4.3. Waktu Deadline Pewarta Foto di Jakarta Jenis Media Online
Deadline
Koran Harian
Segera. Tenggat waktu sesaat setelah acara atau peristiwa terjadi, atau bahkan masih berlangsung. Sore hingga petang sebelum masuk layout koran
Tabloid dan Majalah
Sehari sebelum masuk bagian layout dan percetakan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
96
Kebijakan deadline tersebut mempengaruhi cara kerja dan peralatan pendukung selain kamera, yang harus dibawa oleh setiap pewarta foto setiap hari. Peneliti melihat, pewarta foto dari media online seperti Detik.com, Merdeka.com, Inilah.com, Okezone.com, Vivanews.com, dan Liputan6.com, melakukan pemilihan, pengolahan, dan pengiriman foto segera setelah mereka memotret. Bahkan aktivitas tersebut kerap dilakukan di lokasi kejadian. Hal ini dilakukan agar foto jurnalistik yang dibuat dapat segera dilihat oleh khalayak. Namun, beberapa pewarta foto dari media koran harian yang melengkapi diri dengan media online juga melakukan hal yang sama. Koran Kompas dengan Kompas.Com misalnya, Media Indonesia dengan media online MI.Com, Republika dengan Republikaonline, dan sebagainya. Pewarta Foto Inilah.Com Agus Priatna mengungkapkan, media online mengandalkan unsur kecepatan dalam menyajikan foto jurnalistik kepada khalayak. Pewarta foto yang bekerja di media online harus langsung mengolah foto sesaat setelah melakukan peliputan. Hal tersebut tentunya harus didukung peralatan yang memadai laptop atau tablet serta membutuhkan jaringan internet. Gambar 4.3. Pewarta Foto Inilah.Com Agus Priatna saat mengolah foto.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
97
Deadline sebagian besar koran harian adalah saat sore hingga sekitar pukul 19.00 WIB. Kebanyakan kantor redaksi memperbolehkan pewarta foto melakukan pengiriman foto selama layout koran belum selesai. Deadline yang diterapkan pada koran harian sebenarnya tidak terlalu ketat. Untuk beberapa peristiwa yang terjadi pada malam hari, redaktur masing-masing halaman biasanya tetap menunggu foto paling malam yang bisa didapatkan oleh pewarta foto dan dikirimkan ke media massa masing-masing. Hal ini misalnya terjadi pada saat Debat Kandidat Calon Presiden yang digelar oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berlangsung malam hari. Hampir semua media menunggu foto paling baru dan momen yang dianggap paling menarik untuk dijadikan foto headline (HL) pada edisi esok hari. Gambar 4.4. Kliping Koran Edisi Sabtu, 24 Januari 2015
http://digilib.mercubuana.ac.id/
98
Peristiwa menarik terjadi dalam penerbitan koran edisi Sabtu, 24 Januari 2015. Pada Jumat, 23 Januari 2014, ramai diberitakan tentang penangkapan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto (BW). Setidaknya ada 3 momen yang menjadi tema foto HL koran, yaitu foto aksi dukungan di gedung KPK yang terjadi sekira pukul 14.00 WIB. Kemudian foto pernyataan Presiden Joko Widodo terkait polemik itu, di Istana Kepresidenan Jakarta sore hari. Momen ke tiga adalah pembebasan BW di Mabes Polri sekira pukul 1.30 WIB, Sabtu dini hari. Sebagian besar koran memuat foto aksi dukungan di KPK sebagai foto HL karena foto tersebut dinilai dapat memperkuat berita dan foto tersebut mereka sudah dapatkan sebelum deadline. Gambar 4.5. Kompas Edisi Sabtu, 24 Januari 2015
http://digilib.mercubuana.ac.id/
99
Khusus untuk edisi ini, Kompas menerbitkan dua edisi koran dengan foto HL yang berbeda. Danu Kusworo, pewarta foto Kompas langsung menghubungi kantor redaksi setelah mendapatkan foto BW dibebaskan. Redaksi Kompas kemudian mengeluarkan untuk menghentikan proses cetak atau Stop Press. Mereka mengganti foto HL yang sebelumnya aksi dukungan di gedung KPK, menjadi foto BW dibebaskan. Namun, pembatalan waktu deadline semacam ini hanya bisa dilakukan di dua percetakan mereka yaitu di Palmerah, dan Serpong. Percetakan Palmerah mencetak sekitar 10 ribu eksemplar, sementara di Serpong sekitar 25 ribu eksemplar. Bagi sebagian besar pewarta foto, Stop Press merupakan sebuah kebanggaan karena dapat memberikan informasi paling baru kepada khalayak. Sementara itu, pewarta foto yang bekerja pada media massa tabloid dan majalah relatif memiliki memiliki deadline yang cukup longgar. Biasanya deadline mereka adalah sehari sebelum tabloid atau majalah tersebut diterbitkan. Namun pada hari tersebut, pewarta foto dan redaktur foto yang bertugas jauh lebih sibuk untuk mempersiapkan foto yang akan ditampilkan dan terlibat langsung dalam pemilihan serta penataan letak atau layout di masing-masing halaman. Menjamurnya media massa saat itu ikut mempengaruhi kebutuhan mereka akan awak redaksi dan sumber daya manusia lainnya yang mengisi konten media massa dan melakukan pengolahan pesan. Hal ini pula yang membuat kebutuhan akan suplai foto untuk media massa menjadi cukup tinggi. Selain berlangganan foto pada kantor berita, mereka mempekerjakan lebih dari satu pewarta foto untuk memenuhi kebutuhan foto jurnalistik yang akan disajikan kepada khalayak.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
100
Gambar 4.6. Pewarta Foto saat bertugas di lapangan
Pewarta foto dalam penelitian ini adalah mereka yang secara berkala melakukan tugas peliputan dalam bentuk foto. Mereka yang setiap hari memikirkan ide, mendatangi lokasi kejadian, dan menciptakan karya foto jurnalistik untuk disampaikan kepada khalayak melalui media online dan kantor berita, koran, tabloid, dan majalah. Pada media massa sebagai komunikator komunikasi massa yang melembaga, peran pewarta foto sama pentingnya dengan perangkat redaksi dan sirkulasi perusahaan pers. Tugas utama mereka adalah mencari, mengolah, dan menyebarkan berita dalam bentuk foto. Foto-foto karya pewarta foto yang disajikan bisa berupa foto kejadian yang melengkapi berita, maupun foto tunggal bersifat feature yang berdiri sendiri. Selain majalah, tabloid, dan media online yang kebanyakan memuat lebih dari satu foto untuk setiap tema berita, beberapa media cetak harian juga kerap memuat lebih dari satu foto untuk peristiwa besar yang berdampak langsung terhadap masyarakat atau dianggap penting.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
101
Peneliti menemukan, pemuatan foto jurnalistik di media massa, merupakan proses konstruksi pesan komunikasi massa yang cukup panjang. Proses tersebut memang sedikit lebih sederhana ketika teknologi fotografi mengalami perkembangan dari kamera analog yang menggunakan film negatif, ke zaman di mana digitalisasi memudahkan segalanya. Namun, ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi sebuah foto dapat disajikan kepada khalak melalui media massa. Peneliti mencoba mengamati dinamika yang terjadi pada komunitas pewarta foto di Jakarta melalui etnografi komunikasi. Hal ini juga memungkinkan kita melihat secara komprehensip faktorfaktor yang mempengaruhi pemuatan foto jurnalistik di media massa. Setiap foto jurnalistik yang dibuat pewarta foto dan diterbitkan media massa, setidaknya melalui mempertimbangkan satu atau beberapa aspek untuk menjaga integritas dan kredibilitas media mereka. Aspek-aspek berikut ini memberikan pengaruh untuk setiap kebijakan yang dilakukan pewarta foto maupun redaksi media massa dalam menyajikan foto jurnalistik. Dari penelitian yang telah dilakukan, peneliti melihat semua foto jurnalistik yang diterbitkan di media massa melewati pertimbangan berbagai faktor dan aspek yang terkait dengan pemuatan foto jurnalistik. Aspek tersebut adalah (1) Teknologi, (2) Nilai Berita dan Kategori Foto, (3) Estetika Fotografi, (4) Subyektifitas Pewarta Foto, (5) Etika dan Hukum, serta (6) Ekonomi dan Politik Media Massa.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
102
Gambar 4.7. Aspek yang Mempengaruhi Seleksi Foto Jurnalistk di Media Massa
Aspek-aspek yang tergambar dalam ‘Diafragma Foto Jurnalistik’ tersebut sangat mempengaruhi pemaknaan dan proses seleksi yang dilakukan oleh pewarta foto yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kebijakan pemuatan foto jurnalistik di media massa. Setiap foto yang disajikan kepada khalayak, merupakan hasil kerja tim pada komunikator massa, dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut. Dalam proses komunikasi massa, para pewarta foto merupakan komunikator utama yang menyampaikan informasi kepada khalayak dalam bentuk foto. Mereka berupaya menyajikan berita dalam bahasa visual agar
http://digilib.mercubuana.ac.id/
103
pembaca dapat mudah memahami apa yang sedang mereka lihat. Kesamaan makna dari pesan yang dipertukarkan tersebut merupakan syarat utama bahwa komunikasi yang dilakukan dalam bentuk gambar tersebut efektif.
4.3. Pembahasan Aspek atau faktor tersebut di atas merupakan bahan pertimbangan setiap gatekeeper dalam penayangan foto jurnalistik di media massa baik yang dilakukan oleh pewarta foto, maupun redaktur atau gatekeeper lain yang meloloskan foto jurnalistik di meja redaksi. Setiap foto jurnalistik yang disajikan setidaknya mempertimbangkan satu maupun beberapa aspek dalam model tersebut sebelum akhirnya sampai kepada khalayak.
4.3.1 Aspek Teknologi Aspek pertama yang berpengaruh terhadap pemuatan foto jurnalistik di media massa adalah teknologi yang digunakan oleh pewarta foto. Dalam hal ini, teknologi tersebut terkait dengan; (1) Teknologi komunikasi yang digunakan untuk penyebaran informasi peliputan, (2) Teknologi kamera, (3) Teknologi lensa, (4) Teknologi penunjang fotografi, dan (5) Teknologi pengolahan foto jurnalistik yang digunakan oleh pewarta foto. Setiap pewarta foto menggunakan teknologi tersebut dalam melakukan tugas peliputan di lapangan. Berikut adalah aspek teknologi yang terkait dengan penayangan foto jurnalistik di media massa;
http://digilib.mercubuana.ac.id/
104
1) Teknologi Komunikasi yang Digunakan Pewarta Foto di Jakarta Sejumlah pewarta foto senior di Jakarta mengungkapkan, teknologi komunikasi yang mereka gunakan pada tahun 1980an hingga awal-awal 1990an adalah Handy Talky (HT). Alat komunikasi ini satu-satunya perlengkapan yang memungkinkan digunakan pewarta foto untuk berkomunikasi dengan awak redaksi di kantor media massa mereka. Penggunaan teknologi ini juga memungkin mereka mengetahui kejadian lainnya karena tersambung dengan gelombang radio kepolisian. Hingga saat ini, bentuk pencarian informasi melalui alat komunikasi tersebut masih dilakukan oleh sebagian wartawan. Terutama, bagi mereka yang tidak ingin ketinggalan peristiwa dan harus mendapatkan gambar sesaat setelah peristiwa tersebut terjadi. Wartawan televisi yang bertugas sebagai kontributor di daerah biasanya masih menggunakan HT untuk kepentingan memperoleh informasi dengan cepat, bukan untuk berkomunikasi dengan sesama wartawan. Di pertengahan tahun 1990an, muncul alat komunikasi pager yang sering digunakan pewarta foto untuk berkomunikasi dengan pewarta foto lainnya maupun dengan kantor redaksi mereka. Sifat komunikasi yang satu arah melalui teknologi ini cukup efektif untuk melakukan penugasan peliputan, meskipun mereka akhirnya harus menggunakan telepon umum untuk berkomunikasi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
105
Gambar 4.8. Pewarta foto saat menggunakan teknologi untuk berkomunikasi
Di awal tahun 2000an, penggunaan Handphone (HP) untuk kordinasi dan penugasan peliputan mulai marak digunakan oleh pewarta foto. Kondisi ini lebih memudahkan mereka untuk memperoleh informasi yang lebih cepat mengenai acara kegiatan maupun kejadian dan peristiwa di lapangan. Baru pada sekitar tahun 2002 BlackBerry dengan fitur BlackBerry Mesengger (BBM), mulai merambah dan digunakan pewarta foto di Jakarta. Sejak sekitar tahun 2008 hingga sekarang, teknologi komunikasi ini menjadi andalan pewarta foto untuk memperoleh informasi peliputan dari kantor redaksi maupun sesama pewarta foto. Berbagai informasi liputan dari reporter maupun sesama pewarta foto beredar melalui pesan BBM. Seorang pewarta foto di Jakarta bahkan memiliki lebih dari satu grup yang beranggotakan sesama pewarta foto untuk saling bertukar informasi mengenai agenda liputan dan kejadian di sekitar
http://digilib.mercubuana.ac.id/
106
Jakarta. Berbagai undangan dari penyelenggara acara, humas perusahaan dan instansi pemerintahan juga disebarkan melalui pesan BBM. Perkembangan smartphone di awal tahun 2010 juga ikut mendorong revolusi komunikasi yang dilakukan pewarta foto di Jakarta, karena memungkinkan mereka untuk mengakses portal media massa online dan sosial media di internet. Penugasan dari kantor redaksi, agenda acara dan undangan kegiatan juga dapat diakses melalui email menggunakan smartphone. Setiap pewarta foto mau tidak mau harus menggunakan teknologi ini agar tidak ketinggalan berita dan peristiwa yang terjadi di sekitarnya.
2) Kamera yang Digunakan Pewarta Foto di Jakarta Aspek teknologi ke dua yang digunakan oleh pewarta foto di Jakarta adalah perubahan dari kamera analog ke kamera digital. Perubahan ini juga merupakan bagian dari lompatan besar di bidang foto jurnalistik yang terjadi di awal tahun 2000an. Setiap pewarta foto di Jakarta dan di seluruh dunia, kini menggunakan kamera digital untuk memproduksi foto jurnalistik yang akan disajikan kepada khalayak. Perkembangan teknologi kamera membuat foto yang dihasilkan pewarta foto nyaris mendekati sempurna.
Berikut
adalah
keunggulan
dibandingkan dengan kamera analog;
http://digilib.mercubuana.ac.id/
teknologi
kamera
digital
107
Tabel 4.4. Perbandingan kamera analog dan kamera digital Kamera Analog
Kamera Digital
Menggunakan negatif film
Menggunakan kartu memori untuk penyimpanan gambar
Sebagian
besar
masih Lensa pada kamera memungkinkan
menggunakan fokus lensa manual
untuk autofocus
Hasil foto tidak bisa langsung Hasil foto bisa langsung dilihat dan dilihat
diseleksi
Menggunakan bahan kimia untuk Bentuk file digital dan memudahkan proses cetak
untuk pemindahan
Melalui proses panjang untuk Memungkinkan masuk ke meja redaksi
pengiriman
dan
pengolahan foto melalui perangkat komputer
Hasil foto bertahan lama jika File figital foto rentan terkena virus sudah dicetak
dan hilang
Boros karena memerlukan biaya Ditawarkan dengan harga tinggi untuk setiap klise dan proses namun biasa operasional minim cetak
Perkembangan teknologi fotografi digital juga memungkinkan media massa untuk memuat foto jurnalistik yang berasal dari khalayak atau kerap disebut citizen jurnalism. Namun hal tersebut terjadi hanya untuk peristiwa tertentu di mana reporter maupun pewarta foto dari media massa yang bersangkutan tidak mendapatkan foto yang dimaksud. Foto jurnalistik yang ditampilkan juga bisa jadi dikirimkan oleh humas atau instansi rekan kerja media massa sebagai bentuk servis dari pemuatan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
108
iklan di media massa tersebut. Beberapa acara seremonial yang diakomodir dan ditayangkan oleh media massa untuk menjaga hubungan dengan klien, meskipun dengan ukuran yang relatif kecil, dan mencantumkan sumber fotonya. Gambar 4.9. Pewarta foto dan kamera yang digunakan
Sebenarnya, perkembangan teknologi kamera sebagai alat utama pembuatan foto telah mengalami proses yang cukup panjang untuk sampai kepada teknologi yang sangat canggih seperti sekarang. Untuk mengetahui perbandingan terperinci mengenai hal tersebut, kita harus melihat berbagai teknologi kamera dari masa ke masa. Berikut adalah gambarannya;
http://digilib.mercubuana.ac.id/
109
(1) Kamera Lubang Jarum Kamera ini menggunakan prinsip dasar fotografi. Dapat dibuat dengan sederhana menggunakan berbagai macam kotak atau wadah lain yang dapat digunakan, bisa dari kotak korek api, hingga kardus bekas. Kamera ini masih menggunakan klise film untuk merekam gambar. (2) Kamera Format Film Besar Kamera ini juga masih menggunakan film negatif untuk pembuatan fotonya. Hanya saja, film negatif yang digunakan berukuran lebih besar dari klise negatif film yang tersedia di pasaran saat ini. Beberapa fotografer untuk periklanan masih menggunakan kamera semacam ini untuk membuat foto karena dapat mencapai pembesaran maksimal. Namun, perkembangan teknologi kamera digital saat ini juga sudah dapat melampaui apa yang kamera ini dapat lakukan. Dengan sensor kamera yang mampu membuat foto RAW dan Megapixel mencapai angka 32, pembesaran bahkan untuk ukuran banner iklan besar di pinggir jalan, dapat dilakukan. Gambar 4.10. Kamera Format Besar
http://digilib.mercubuana.ac.id/
110
(3) Kamera Format Kecil Kamera ini muncul sekitar tahun 1930 dan berkembang pesat saat Perang Dunia ke 2. Menggunakan negatif film 35mm untuk merekam gambar. Pada tahun 1990an kamera semi otomatis jenis pocket dengan format film ini cukup digemari masyarakat. Meskipun begitu, kamera jenis Single Lens Reflect (SLR) yang berkembang beberapa dasawarsa sebelumnya masih tetap digemari karena memungkinkan untuk berganti lensa dan membuat kreasi foto lebih banyak. (4) Kamera Polaroid Kamera jenis ini memungkinkan penggunanya dapat melihat langsung lembaran foto yang dihasilkan. Kamera ini sering disebut kamera instan atau kamera langsung jadi karena menggunakan lembaran yang memungkinkan untuk mencetak foto dalam kamera. Biasanya, kamera semacam ini dapat dengan mudah ditemukan pada penyedia jasa foto di tempat wisata. Kini, kamera jenis ini juga masih banyak dijual di toko kamera, meskipun dengan ukuran kertas yang lebih kecil. (5) Kamera Digital Kamera jenis ini adalah kamera yang digunakan pewarta foto di Jakarta untuk membuat foto jurnalistik. Beberapa pewarta foto terutama reporter melengkapi diri dengan kamera ini dalah peliputan. Type yang digunakan adalah Kamera Digital Pocket dan Kamera Digital SLR (DSLR). Hampir semua pewarta foto di Jakarta
http://digilib.mercubuana.ac.id/
111
menggunakan kamera DSLR dalam membuat foto jurnalistik. Selain memungkinkan berkreasi dengan menu diafragma dan shuter speed pada kamera, pewarta foto juga dapat mengganti lensa sesuai kebutuhan saat peliputan. Setiap pewarta foto di Jakarta biasanya membawa satu buah kamera semacam ini, dan dua lensa untuk kebutuhan peliputan setiap hari. Alat penunjang lainnya adalah sebuah flash atau lampu kilat untuk membantu pencahayaan ketika meliput di dalam ruangan atau kondisi yang gelap dan backlight. Pada peristiwa tertentu, seperti olahraga dan bencana, mereka membawa dua buah body kamera digital untuk dipasangi lensa wide dan lensa tele. Hal ini dilakukan untuk memudahkan memotret dalam peristiwa yang berlangsung cepat
dan tidak dapat
diulang.
Kamera digital
memungkinkan pewarta foto untuk mendapat rangkaian foto secara kontinue sebanyak 8 frame perdetik. Hal ini juga yang mendukung peningkatan kualitas foto jurnalistik yang dihasilkan dari sisi momen, maupun gesture. Gambar 4.11. Kamera Digital yang digunakan Pewarta Foto
http://digilib.mercubuana.ac.id/
112
Sebagian besar pewarta foto di Jakarta menggunakan kamera DSLR bermerk Canon dibandingkan Nikon. Kamera yang mereka gunakan biasanya disediakan oleh kantor redaksi media masing-masing dan boleh dibawa ke mana pun mereka pergi. Beberapa pewarta foto masih menggunakan kamera milik pribadi, terutama mereka yang bekerja sebagai stringer, atau baru bergabung di media massa tersebut. Seri atau type untuk kamera DSLR yang digunakan oleh pewarta foto di Jakarta sangat bervariasi. Namun biasanya kamera-kamera yang digunakan tersebut sudah termasuk canggih dan digunakan untuk profesional. Di akhir tahun 2012, muncul kamera pocket digital yang memungkinkan kita untuk bisa langsung online menggunakan kamera. Kamera tersebut dilengkapi fitur untuk kartu GSM, dan menu internet serta sosial media di dalamnya. Kamera ini kemudian banyak digunakan oleh reporter media massa online karena dapat langsung dikirim ke kantor media massa masing-masing. Gambar 4.12. Kamera Digital dengan fasilitas internet dan media sosial
http://digilib.mercubuana.ac.id/
113
Pada kamera DSLR yang digunakan, pewarta foto biasanya lebih banyak berkreasi dengan ISO atau ASA yang menunjukkan kepekaan sensor kamera terhadap cahaya, dan fitur shutter speed dalam kamera mereka. Mereka menyesuaikan besaran ISO dan kecepatan tirai rana untuk membuka dan menutup yang dibutuhkan saat memotret, dengan diafragma yang terdapat dalam lensa mereka. Penjelasan mengenai perbedaan elemen fotografi ini akan dibahas dalam aspek estetika pada bagian selanjutnya.
3) Lensa yang Digunakan Pewarta Foto di Jakarta Aspek teknologi ke tiga yang menunjang pembuatan foto jurnalistik oleh pewarta foto adalah lensa. Penunjang fotografi ini biasanya dapat diganti pada kamera berjenis SLR. Setiap peearta foto biasanya membawa 2 lensa dan 1 body kamera dalam melakukan tugas peliputan. Lensa digunakan untuk melakukan pembesaran pada objek, terutama yang tidak terjangkau seperti pertandingan sepak bola dan objek yang berada di lokasi yang cukup jauh. Berdasarkan banyaknya pembesaran, lensa dapat dibagi menjadi dua, yaitu lensa fix dan lensa vario; (1) Lensa fix adalah lensa yang hanya memiliki satu bidang pandang. Lensa ini tidak dapat melakukan pembesaran ketika digunakan pewarta foto. Mereka harus pindah posisi untuk mendekatkan atau menjauhkan objek ketika memotret. Keunggulannya, lensa fix biasanya memiliki bukaan diafragma yang besar, sehingga menghasilkan foto dengan Depth Of Field
http://digilib.mercubuana.ac.id/
114
(DOF) atau kedalaman fokus cukup dalam dan dapat digunakan bersama shutter speed tinggi ketika berada di lokasi yang memiliki cahaya minim. Focal length untuk lensa fix yang digunakan pewarta foto di Jakarta di antaranya 8mm, 24mm, 35mm, 50mm, hingga 300mm. Gambar 4.13. Contoh Lensa Fix yang digunakan Pewarta Foto di Jakarta
(2) Lensa Vario Lensa jenis ini paling banyak digunakan pewarta foto di Jakarta karena dapat melakukan pembesaran dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan penggunanya. Lensa jenis ini juga menyederhanakan peralatan yang harus dibawa oleh pewarta foto ketika melakukan peliputan. Lensa juga dibedakan berdasarkan focal length atau titik fokus antara lensa dengan bidang sensor pada kamera, berikut adalah pembagiannya;
http://digilib.mercubuana.ac.id/
115
a. Lensa fish eye Lensa jenis ini jarang digunakan oleh pewarta foto karena menimbulkan distorsi pada hasil gambar. Pemotretan menggunakan lensa ini dianggap tidak menggambarkan realitas sesungguhnya dari objek. Namun, pada saat-saat tertentu seperti memotret pemandangan atau ketika membutuhkan gambaran tentang suasana keseluruhan dari objek, lensa ini dapat digunakan dan hasilnya dapat dimuat di media massa. Kebanyakan focal length untuk lensa fish eye adalah 8mm hingga 10mm. b. Lensa Wide Lensa jenis ini merupakan lensa utama yang digunakan oleh pewarta foto di Jakarta. Hampir sebagian besar foto yang dihasilkan menggunakan lensa ini. Lensa wide merupakan lensa sudut lebar yang memungkinkan penggunanya melihat dengan utuh semua objek yang berada di depannya. Focal length lensa yang biasanya digunakan pewarta foto adalah 10-22mm, 16-35mm, 17-40mm, 18-70mm, 18200mm, dan 24-200mm. c. Lensa Tele Lensa jenis ini
merupakan peralatan penunjang fotografi yang
digunakan pewarta foto di Jakarta. Mereka biasanya membawa lensa tele sebagai cadangan, untuk digunakan saat objek berada terlalu jauh atau mencoba komposisi foto lainnya. Focal length lensa yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
116
biasanya digunakan pewarta foto di Jakarta adalah 70-200mm, 70300mm, atau lensa fix 300mm.
4) Teknologi Penunjang Foto Jurnalistik Aspek teknologi yang ke empat yang digunakan oleh pewarta foto diJakarta adalah peralatan tambahan untuk menunjang pemotretan. Peralatan tersebut diantaranya adalah kartu memori, card reader, flash, tripod, wireless motor kamera, dan drone. Berikut penjelasannya; (1) Kartu Memori Semua foto jurnalistik yang dihasilkan oleh kamera DSLR disimpan dalam memory card berformat Secure Digital (SD), Micro SD dan Compact Flash (CF). Ada kamera yang bisa menyimpan foto menggunakan SD atau CF saja, namun beberapa kamera berharga mahal dua slot kartu memori tersebut sekaligus. Pewarta foto juga dapat melakukan proses penyalinan gambar di kamera dengan fasilitas tersebut. Kartu memori yang digunakan tersebut menggantikan fungsi klise film dalam kamera analog. Banyaknya file foto yang disimpan, bergantung pada besarnya kapasitas memori card yang digunakan. Kebanyakan pewarta foto di Jakarta membawa lebih dari satu kartu memori sebagai cadangan. Namun, kapasitas kartu memori yang digunakan saat ini sudah bisa mencapai 32 Giga Bite dan sanggup memuat hingga ribuan foto.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
117
Gambar 4.14. Contoh Kartu Memori yang digunakan Pewarta Foto
(2) Card Reader Hampir
semua
pewarta
foto
menggunakan
card
reader
untuk
memindahkan file gambar dari kartu memori ke komputer, laptop, dan Tablet. Hal ini dilakukan agar proses pemindahan berjalan dengan cepat dan tidak mengalami hambatan. Pemindahan file sendiri sebenarnya bisa saja dilakukan langsung dari kamera menggunakan kabel USB. Tapi hal tersebut dihindari agar bagian pembaca kartu memori pada kamera tidak cepat rusak. Card reader merupakan alat penunjang yang cukup penting, terutama bagi pewarta foto yang tidak memiliki slot khusus untuk membaca kartu memori pada hardware yang mereka gunakan. (3) Flash Flash atau lampu kilat adalah penunjang yang digunakan pewarta foto untuk memotret di ruangan yang memiliki cahaya minim, atau untuk
http://digilib.mercubuana.ac.id/
118
menghindari backlight. Di awal tahun 1990an, kamera pocket yang masih mengunakan klise negatif film cukup banyak digunakan masyarakat di Indonesia. Kamera ini sudah menggunakan flash yang menyatu dengan body kamera atau built-in. Flash seperti ini juga melengkapi kamera digital yang dijual di pasaran saat ini, termasuk kamera digital pocket dan DSLR. Meskipun terdapat flash pada kamera DSLR yang mereka gunakan, pewarta foto di Jakarta juga dilengkapi flash tambahan untuk menunjang hasil dari proses peliputan foto jurnalistik. Hal ini dilakukan untuk bisa memotret dengan cepat dibandingkan dengan menggunakan flash pada body kamera. Penggunaan flash juga dilakukan pewarta foto untuk menambah nilai estetika pada foto yang dibuat. Kreatifitas yang mereka lakukan untuk mencari komposisi lain dari pencahayaan melalui teknikteknik fotografi. (4) Tripod dan Monopod Alat penunjang ini digunakan oleh pewarta foto dan camera person televisi untuk membantu agar kamera tidak goyang saat mengambil gambar. Alat penopang kamera ini ada yang memiliki satu tiang atau monopod, dan yang berkaki tiga atau tripod. Pewarta foto di Jakarta tidak setiap hari membawa alat ini. Mereka menggunakan monopod atau tripod hanya pada saat-saat tertentu ketika memang sangat dibutuhkan. Contohnya ketika memotret pertandingan sepakbola. Pewarta foto menggunakan monopod agar mereka dapat berkonsentrasi pada pemain
http://digilib.mercubuana.ac.id/
119
dan suasana stadion selama 90 menit, tanpa terbebani oleh berat beban kamera. Tripod biasanya digunakan pewarta foto pada acara pergantian tahun untuk memotret kembang api. Mereka berkreasi menggunakan teknik low speed dengan menggunakan tripod agar gambar yang dihasilkan tidak goyang. (5) Wireless Remote Shutter Alat penunjang ini memungkinkan pewarta untuk memotret tanpa harus memegang kamera. Alat ini misalnya dapat kita lihat dalam pertandingan sepak bola bertaraf internasional seperti Piala Dunia. Kamera ditempatkan di belakang jaring gawang menggunakan lensa wide untuk memperoleh gambar dari sisi lain lapangan. Kecanggihan teknologi bahkan memungkinkan gambar langsung masuk ke laptop untuk dapat diolah dan disiarkan ke khalayak dengan cepat. Pewarta foto di Jakarta tidak menggunakan alat ini dalam melakukan peliputan sehari-hari. Namun biasanya alat semacam ini disediakan oleh kantor media massa, terutama kantor berita. (6) Drone Alat ini menyerupai pesawat remote control yang dapat diterbangkan dengan dilengkapi kamera. Drone membantu pewarta foto untuk mendapatkan gambar entire atau keseluruhan dari objek yang akan difoto melalui high angle atau memotret dari ketinggian. Teknologi ini menggabungkan peralatan remote control yang dilengkapi kamera.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
120
Gambar 4.15. Pewarta Foto di Jakarta saat menggunakan Drone
Karena berat beban yang terbatas, kamera yang digunakan bukan DSLR, melainkan kamera kecil yang sangat ringan. Gambar yang terlihat dari kamera pada drone, memungkinkan pula untuk dilihat pada remote control atau navigator dalam waktu yang sama. Alat penunjang ini juga tidak setiap hari digunakan oleh pewarta foto di Jakarta. Beberapa pewarta foto seperti dari Kompas dan Tempo menggunakan drone dalam peliputan peristiwa besar untuk mendapat gambaran keseluruhan objek melalui angle bird eye level. Belum ada regulasi yang mengatur penggunaan drone dalam foto jurnalistik karena alat ini mulai digandrungi sekitar tahun 2010. Alat bantu ini masih menjadi polemik di kalangan pewarta foto di Jakarta karena memperhatikan etika tentang privacy dan faktor keamanan. Drone yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
121
digunakan pewarta foto bahkan harus diperiksa terlebih dahulu oleh Pasukan Pengaman Presiden jika akan digunakan untuk memotret presiden seperti saat usai pelantikan dan kirab budaya. Foto jurnalistik dengan menggunakan drone berhasil menang dalam Anugerah Jurnalistik Adinegoro. Calon Presiden Joko Widodo saat konser Salam 2 Jari di Gelora Bung Karno, Senayan, difoto oleh pewarta foto Kompas.Com
Roderick
Adrian
Mozes
dan
Kristianto
Purnomo
menggunakan alat bantu drone. Gambar 4.16. Hasil foto menggunakan Drone
5) Teknologi Pengolahan Foto Jurnalistik Aspek teknologi fotografi yang ke lima adalah peralatan yang digunakan oleh pewarta foto untuk mengolah dan mengirimkan foto jurnalistik ke kantor redaksi media massa mereka. Aspek teknologi ini dapat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
122
dilihat dari perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) yang digunakan oleh mereka setiap hari. Berikut adalah gambarannya; (1) Hardware pengolahan foto Sebelum teknologi komputer berkembang seperti saat ini, pengolahan foto untuk disajikan kepada khalayak oleh media massa melalui proses yang sangat panjang dan rumit. Mustofa Ramli pewarta foto di Jawa Pos misalnya, mengungkapkan bahwa pengiriman foto yang dilakukan di era tahun 1990an adalah menitipkan klise film kepada penumpang pesawat untuk sampai ke kantor pusat mereka di Surabaya. Pewarta foto Pos Kota, Timyadi, juga mengungkapkan kerumitan serupa. Sebelum bertugas sebagai pewarta foto, dirinya merupakan petugas kamar gelap yang mengolah semua foto hasil reporter dan pewarta foto di Pos Kota. Kini, setiap pewarta foto di Jakarta dapat mengolah dan mengirimkan foto menggunakan perangkat laptop dan tablet. Hardware ini memungkin mereka juga untuk melakukan pengolahan dan pengiriman foto di manapun dan kapan pun. Kondisi ini kemudian yang membuat sebagain besar redaksi media massa tidak mengharuskan pewarta foto untuk datang ke kantor setiap hari. (2) Software pengolahan dan pengiriman foto Beberapa tahun sebelum teknologi fotografi digital berkembang pesat, setiap foto harus dipindai atau scan dalam bentuk tercetak atau berbentuk negatif film menggunakan perangkat khusus untuk bisa diolah dan disajikan kepada khalayak. Pada media massa cetak, digitalisasi semacam
http://digilib.mercubuana.ac.id/
123
ini memudahkan petugas layout untuk menempatkan foto di masingmasing halaman yang akan diterbitkan. Pada hardware komputer dan laptop, sebagaian besar pewarta foto menggunakan software Adobe Photoshop untuk mengolah foto. Mereka melakukan pemotongan, koreksi cahaya, dan menuliskan caption menggunakan software ini. Sejak kemunculan Adobe Photoshop 5 sekitar tahun 2000, software ini mengalami penyempurnaan hingga kini dengan seri Photoscape. Software Photo Mecanic juga digunakan oleh beberapa pewarta foto, terutama untuk menandai foto yang penting yang terpilih. Sementara pada pengolahan menggunakan tablet, software yang digunakan di antaranya adalah Photogene, dan Photostorm. Gambar 4.17. Contoh Hardware yang digunakan pewarta foto
http://digilib.mercubuana.ac.id/
124
4.3.2. Nilai Berita dan Kategori Foto Jurnalistik Tidak semua foto yang dihasilkan fotografer memiliki nilai berita. Pewarta foto di Jakarta bahkan mempertimbangkan nilai berita untuk memutuskan memotret atau tidak memotret dalam peliputan foto jurnalistik yang mereka lakukan. Pewarta foto di Jakarta juga mempertimbangkan segmentasi media massa tempat mereka bekerja dan kategori foto jurnalistik yang menjadi desk tanggung jawab mereka. Nilai-nilai berita seperti disebutkan di atas, merupakan hal mendasar yang harus diketahui oleh pewarta foto, jurnalis, dan gatekeeper di media massa. Awak redaksi jauh lebih sibuk daripada biasanya saat ada peristiwa dengan nilai berita besar. Media massa konvensional membahas nilai berita semacam ini dalam rapat redaksi atau rapat budgeting, sebelum melakukan penerbitan. Di tengah arus informasi yang begitu kencang saat ini, foto jurnalistik yang ditayangkan bisa bersumber dari informasi televisi, media online, hingga pesan BBM. Dari berbagai pandangan di atas, peneliti mengamati perilaku pewarta foto di Jakarta dalam melakukan peliputan dengan memperhatikan nilai berita. Mereka mempertimbangkan nilai berita , di antaranya; 1) Baru Foto yang dibuat oleh pewarta foto di Jakarta memperhatikan unsur dari nilai berita ini. Foto yang baru, bisa berarti juga aktual dan mengandung unsur kebaruan atau novelty. Kebanyakan foto yang dimuat oleh media massa adalah foto yang baru dibuat oleh pewarta foto sehingga dinilai masih ‘hangat’ saat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
125
disajikan. Berita atau News dalam Bahasa Inggris, kerap diartikan sebagai bentuk jamak dari kata New, atau baru. Produk utama dari media massa adalah informasi mengenai sesuatu yang baru tersebut. Hal ini yang kemudian sebagian besar pewarta foto di Jakarta tidak menyimpan foto jurnalistik terlalu lama dalam hard disk mereka. Gambar 4.18. Contoh foto jurnalistik yang memiliki nilai kebaruan
Henry Lopulalan, pewarta foto dari Warta Kota mengungkapkan bahwa foto yang dia kirimkan setiap hari adalah foto yang dibuat pada hari yang sama. Perilaku tersebut juga dilakukan mayoritas pewarta foto di Jakarta dengan mempertimbangkan kemungkinan kondisi objek foto yang cepat berubah. Misalnya pada foto jalan berlubang yang harus segera dikirim sebelum kondisi jalan semakin parah atau sudah diperbaiki pada keesokan harinya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
126
2) Proximity Proximity berarti kedekatan. Beberapa pandangan melihat kedekatan berarti secara lokasi kejadian dan kedekatan secara psikologis misalnya dalam unsur minat, agama, atau kebangsaan. Kedekatan dari lokasi kejadian biasanya kerap diperhatikan oleh pewarta foto di media massa lokal. Foto yang terjadi di Banten misalnya, dipandang lebih memiliki nilai berita proximity oleh media massa lokal Banten, dibandingkan dengan media massa lokal di Lampung. Dalam hal kedekatan secara psikologis misalnya terlihat saat pemuatan foto Kasus Dugaan Penyuapan yang dilakukan oleh Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Gambar 4.19. Contoh foto jurnalistik yang memiliki nilai proximity
http://digilib.mercubuana.ac.id/
127
Meskipun foto pemeriksaan dan pengadilan terjadi di Jakarta, foto tersebut dipandang memiliki nilai proximity yang tinggi oleh media massa lokal di Banten. Sama halnya dengan Kasus Mutilasi Endang oleh suaminya yang seorang koki di Australia. Korban yang lahir dan besar di Lampung dinilai memiliki nilai berita proximity oleh media massa lokal di Lampung.
3) Ketokohan Foto yang memiliki nilai ketokohan, atau prominence biasanya menjadi pertimbangan dalam pemuatan foto jurnalistik di media massa. Pewarta foto di Jakarta memperhatikan nilai berita ini, terutama misalnya ketika ada seminar atau diskusi. Tokoh pembicara atau yang hadir dalam kegiatan tersebut menjadi pertimbangan pewarta foto untuk memutuskan datang ke lokasi dan memotret. Selain tokoh penting dan ternama, objek foto dalam nilai berita ini bisa jadi orang dengan keahlian khusus, fenomenal, maupun memiliki prestasi dan ide yang dianggap cemerlang. Gambar 4.20. Contoh foto jurnalistik yang memiliki nilai Ketokohan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
128
4) Luar biasa Foto dengan nilai berita luar biasa berarti sesuatu yang tidak biasa terjadi atau unusual. Bisa jadi foto yang dibuat oleh pewarta foto merupakan foto dengan objek peristiwa yang luar biasa dan sangat jarang terjadi. Keluarbiasaan atau bizarre sebagai nilai berita dalam foto jurnalistik biasanya dilihat dari ukuran yang memperhitungkan size atau besarnya kejadian pada objek foto. Beberapa koran edisi 27 November 2006 misalnya, memuat foto kapal terbakar yang di Merak. Sebagian koran memuat foto yang sama karena mempertimbangkan nilai berita keluarbiasaan tersebut. Gambar 4.21. Contoh foto jurnalistik yang memiliki nilai Keluarbiasaan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
129
5) Impact Nilai berita dengan mempertimbangkan unsur akibat dari peristiwa ini bisa berarti akibat dari kejadian yang difoto, maupun akibat ketika foto tersebut dimuat di media massa. Pertimbangan akibat dari peristiwa atau kejadian yang difoto misalnya mengenai kenaikan harga BBM. Sementara akibat dari pemuatan foto misalnya adanya perbaikan jalan setelah pemuatan foto jalan berlubang di media massa.
6) Konflik Foto yang memuat tema pertentangan atau konflik dipandang memiliki nilai berita yang cukup tinggi. Apalagi misalnya jika foto tersebut memuat ketegangan antara dua kubu yang bertentangan tersebut. Foto dengan nilai berita ini bisa jadi juga diambil dari peristiwa olahraga saat pertandingan yang memuat dua orang atau tim memperebutkan gelar juara.
7) Seks Foto berita dengan nilai seks menjadi salah satu pertimbangan pemuatan di media massa. Sebagian besar gatekeeper di media massa memandang bahwa unsur seks memiliki nilai berita pada setiap khalayak media massa mereka, sekalipun misalnya orientasi seks mereka terhadap sesama jenis. Foto dengan nilai berita ini misalnya ditemukan ketika pewarta foto Media Indonesia, Mohamad Irfan memotret angora DPR RI yang sedang menonton video porno di ruang paripurna. Foto tersebut mendapat perhatian banyak dari masyarakat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
130
karena mengandung nilai seks apalagi saat Sidang Paripurna digelar. Irfan mengaku kebetulan mendapatkan foto tersebut.
8) Human Interest Foto dengan nilai berita human interest biasanya mengundang emosi dari orang yang melihat. Emosi tersebut bisa jadi tersentuh, marah, atau bahkan tertawa karena foto tersebut mengandung unsur humor. Kebanyakan foto human interest merupakan foto berita ringan atau feature yang pemuatannya tidak membutuhkan kesegeraan untuk dimuat. Foto feature semacam ini bisa jadi merupakan gambaran sisi lain dari sebuah peristiwa yang mungkin luput dari pandangan khalayak yang mengetahuinya. Gambar 4.22. Contoh foto jurnalistik yang memiliki nilai Human Interest
http://digilib.mercubuana.ac.id/
131
9) Kemajuan dan Pembangunan Foto dengan nilai berita ini menggambarkan kemajuan-kemajuan atau pembangunan di lingkungan sekitar khalayak. Aktivitas pembangunan yang dipotret oleh pewarta foto di Jakarta misalnya merupakan perkembangan dari penyediaan fasilitas publik untuk masyarakat. Gambar 4.23. Contoh foto jurnalistik yang memiliki nilai Pembangunan
Sementara itu berdasarkan pengamatan peneliti, faktor segmentasi media massa ikut mempengaruhi nilai berita yang dipertimbangkan pewarta foto di Jakarta. Peneliti melihat ada beberapa media massa yang hanya membahas isu-isu tertentu dan menyasar segmentasi yang khusus. Segmentasi tersebut di antaranya adalah;
http://digilib.mercubuana.ac.id/
132
1) Berdasarkan gender atau jenis kelamin khalayak pembacanya, media massa dapat dilihat dari media massa dengan segmentasi wanita dan pria. Media massa untuk wanita misalnya, lebih cenderung membahas tema dengan nilai berita yang dianggap menarik untuk wanita seperti berita artis atau infotainment, tips belanja, masakan, hingga ulasan soal make up dan cara berdandan. Sementara mayoritas media massa untuk kaum pria misalnya tentang hobi dan teknologi. 2) Segmentasi selanjutnya dapat dilihat berdasarkan usia khalayak yang menjadi target audiens media massa. Pada segmentasi ini, bahasa yang digunakan oleh media massa untuk menyajikan berita juga bahkan berbeda-beda. Media massa untuk anak-anak seperti Majalah Bobo misalnya, memiliki muatan pesan dan penyajian yang berbeda dengan Majalah Gadis. 3) Perbedaan nilai berita juga terjadi pada segmentasi berdasarkan tingkat pendidikan dan pendidikan khalayak media massa. Selain dapat dilihat dari harga jual masing-masing media, segmentasi ini dapat dibedakan berdasarkan konten dan gaya bahasa yang digunakan untuk menyampaikan pesan kepada khalayak. Koran Lampu Hijau misalnya, memiliki gaya bahasa yang berbeda dengan Majalah Tempo yang membidik audiens dengan segmentasi yang berbeda. 4) Segmentasi yang kerap menonjol untuk membedakan nilai berita dalam setiap media massa dapat terlihat dari penyajian konten berdasarkan minat dan ketertarikan khalayak. Persaingan industri media massa membuat mereka harus menyajikan hal-hal yang tidak lagi universal. Saat ini, banyak
http://digilib.mercubuana.ac.id/
133
bermunculan media massa yang hanya membahas minat atau ketertarikan tertentu saja di masyarakat. Segmentasi ini misalnya terlihat pada media massa yang tema olahraga saja, atau hobi-bobi seperti memancing, otomotif, hingga perkembangan gadget dan dunia digital.
Faktor segmentasi ini kemudian ikut mempengaruhi nilai berita yang menjadi pertimbangan pewarta foto dan gatekeeper media massa di meja redaksi. Hal ini juga ikut mempengaruhi proses peliputan foto jurnalistik di lapangan hingga pengolahan dan penyajiannya kepada khalayak. Sementara itu, terdapat pula kategori foto jurnalistik yang menjadi pertimbangan pewarta foto di Jakarta dalam melakukan tugas peliputan. Kategori ini merujuk pada pembagian desk dan jenis foto jurnalistik yang dihasilkan pewarta foto. Badan Foto Jurnalistik Dunia (World Press Photo Foundation) pada lomba foto tahunan
yang diselenggarakan bagi pewarta foto seluruh dunia
membedakan foto berdasarkan kategori berikut; 1) Spot Kategori foto ini dibuat dari peristiwa yang tidak terjadwal atau tidak terduga sebelumnya. Foto spot memuat peristiwa atau kejadian yang juga biasanya tidak dapat diulang pada waktu yang berbeda. Foto kategori ini misalnya peristiwa kebakaran, kecelakaan, atau bencana alam.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
134
Gambar 4.24. Contoh Kategori Foto Spot
2) General News Foto-foto dalam kategori ini diabadikan dari peristiwa yang terjadwal, rutin dan biasa. Pewarta foto sebelumnya sudah mengetahui akan ada acara, kejadian, atau peristiwa tersebut karena undangan atau hal-hal yang berulang setiap tahun. Foto ini misalnya pada acara diskusi atau seminar, hingga upacara peringatan Proklamasi 17 Agustus dan foto-foto arus mudik. 3) People in The News Foto ini menampilkan pribadi atau sosok orang yang menjadi berita. Tokoh tersebut bukan orang terkenal seperti artis atau pejabat negara, melainkan mereka yang dikenal masyarakat karena pemberitaan mengenai sebuah kasus atau peristiwa. Foto Gayus Tambunan dan Prita Mulyasari misalnya dapat menjadi foto untuk kategori ini.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
135
Gambar 4.25. Contoh Kategori Foto People in The News
4) Daily Life Foto kategori ini bercerita tentang kehidupan sehari-hari manusia dipandang dari segi kemanusiawiannya atau human interest. Kebanyakan pewarta foto di Jakarta yang bertanggungjawab di desk metropolitan, memotret peristiwa ini untuk isu perkotaan. 5) Portrait Foto kategori ini menampilkan wajah seseorang secara close up dan ‘mejeng’. Ditampilkan karena adanya kekhasan pada wajah yang dimiliki atau kekhasan lainnya. Potrait bisa jadi memuat sosok atau tokoh yang akan diangkat dalam rubrik profil di media massa, dengan menampilkan atribut tambahan yang menggambarkan aktivitas atau profesinya. Pada foto dengan kategori ini,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
136
pewarta foto diperkenankan melakukan set up, atau melakukan pengaturan terhadap objek foto termasuk dalam hal aktivitas dan kostum yang digunakan. Gambar 4.26. Contoh Kategori Foto Potrait
6) Sport Photo Foto-foto kategori ini dibuat dari peristiwa olahraga maupun hal-hal lain yang berkaitan dengan kegiatan olahraga. Foto-foto ini bisa diliput pewarta foto pada pertandingan atau kompetisi olahraga, maupun cerita olahraga lainnya yang menarik di luar arena. 7) Science & Technology Foto yang ditampilkan pada kategori ini merupakan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Foto ini bisa jadi memuat mengenai penemuan-penemuan terbaru, atau perkembangan teknologi yang ada di masyarakat.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
137
8) Art & Culture Peristiwa seni dan budaya merupakan konten utama dalam kategori foto ini. Pertunjukan seni di panggung maupun peristiwa upacara kebudayaan dapat dimasukkan dalam kategori ini. Gambar 4.27. Contoh Kategori Foto Art & Culture
9) Social & Environment Foto-foto pada kategori ini bercerita tentang kehidupan sosial masyarakat serta lingkungan hidupnya. Isu-isu mengenai kondisi lingkungan seperti perubahan iklim dan akibatnya dapat dikategorikan menjadi foto ini. . Sementara itu, ajang lomba foto tahunan Anugerah Pewarta Foto Indonesia
(APFI)
yang
digagas
Pewarta
Foto
Indonesia
(PFI),
juga
mempertandingkan foto dengan kategori yang hampir sama. Pada APFI V yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
138
digelar tahun 2015 misalnya, mereka membagi kategori foto yang diperlombakan sebagai berikut; (1) General News (2) Spot News (3) People in The News (4) Environtment & Nature (5) Sport (6) Art and Entertainment (7) Daily Life (8) Photo Essay Foto esai adalah foto-foto yang terdiri dari lebih satu foto tetapi temanya satu. Berdasarkan asumsi tersebut Rita Gani dan Ratri Rizki Kusumalestari dalam buku Jurnalistik Foto mengungkapkan, secara sederhana dapat dikatakan bahwa sebuah foto esai adalah sebuah koleksi foto yang ditempatkan atau disusun secara spesifik untuk menjelaskan atau memberitahukan tentang progress atau pencapaian dari sebuah kejadian atau peristiwa, emosi, dan konsep.
Pewarta foto di Jakarta sering kali bekerja dengan memperhatikan nilai berita dan kategori foto yang telah disebutkan di atas. Mereka tidak melakukan peliputan jika peristiwa tersebut tidak memiliki nilai berita atau sesuai dengan segmentasi media massa tempat pewarta foto bekerja. Kondisi ini misalnya terjadi pada Pewarta Foto Kontan, Muradi. Saat melintas di kawasan Istana Negara,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
139
dirinya pernah memotret peristiwa bakar diri yang dilakukan oleh Sondang Hutagalung di seberang istana. “Saya dalam perjalanan pulang dari Galeri Kantor Berita Foto Antara di Pasar Baru saat itu. Setelah melewati jalan Juanda, kondisi lalu lintas macet parah di dekat Istana Negara. Ketika melintas di dekat silang Monas yang di depan Istana, saya melihat dia lagi tergeletak, apinya sudah tidak ada, lalu saya turun dari motor dan memotret petugas sedang melakukan evakuasi. Saat itu, saya belum tahu namanya Sondang. Saya memotret sekitar 5 frame. Sedikit, karena peristiwa semacam itu biasanya tidak dipakai oleh media saya. Saya hanya memotret saat dia diangkat. Ketika dibawa ke rumah sakit pake mobil, saya tidak motret sama sekali,”
Gambar 4.28. Pewarta Foto KONTAN, Muradi dan karya fotonya
http://digilib.mercubuana.ac.id/
140
4.3.3. Estetika Fotografi Jurnalistik Estetika dalam foto jurnalistik berkaitan dengan unsur-unsur seni atau faktor yang membuat foto tersebut menjadi menarik. Yuyung Abdi, dalam buku Photography from My Eyes menuliskan, foto punya penjelasan waktu yang singkat kepada audience melihatnya. Pada saat foto terlihat eye catching, maka orang akan memperhatikan lebih lama. Mata pemerhati lebih lama tertahan untuk menyaksikan. Sebaliknya begitu tak ada daya tarik, pada saat itu tak ada lagi perhatian.
Respons
terhadap
foto
itu
begitu
berarti
ketika
orang
memperbincangkan, memperdebatkan atau bahkan menggugah emosi orang, mempengaruhi pendapat orang atau mengubah kebijakan maupun perubahan sosial. Sedangkan aspek warna lebih menarik perhatian mata karena penyajian warna yang menarik. Foto bagus tentang model bisa memiliki dua aspek ketertarikan. Menarik karena fotonya bagus atau modelnya yang cantik. Kadang hal ini sulit dibedakan. Standarisasi penilaian sebuah foto dideskripsikan tidak secara eksak. Ada acuan yang memberi klarifikasi foto itu layak untuk ditampilkan atau tidak, karena sebuah foto dikatakan menarik disusun dari banyak unsur. Yang bisa terpisah maupun saling mendukung. Adakalanya foto menarik karena warnanya, ada juga menarik karena content-nya. Ada yang menarik dalam komposisi, angle maupun bentuk geometri, tetapi lighting-nya kurang menarik. Foto bisa dimaknai sebagai seni. Fotografi bisa dianggap sebagai dokumentasi. Fotografi sebagai bentuk seni lebih menitikberatkan nilai
http://digilib.mercubuana.ac.id/
141
keindahan daripada nilai informasi, historis, maupun ilmu pengetahuan. Keindahan dijelaskan dalam dua argumen yang berbeda, dari sisi subjektif dan objektif. Berdasarkan sisi subjektif, naluri seseorang mengatakan bahwa foto itu indah. Tetapi, dia tidak dapat menjelaskan hal yang membuat dirinya menyukai foto itu. Menurut pandangan objektif, penjelasan tentang keindahan mempunyai karakteristik dengan ciri-ciri spesifik. Nilai keindahan dapat dilihat dari komposisi, keseimbangan, proporsi, dan skala. Merujuk pada Gani & Kusumalestari (2013:34) menjelaskan, menurut Ross Collins (2012) dalam tutorial foto jurnalistiknya, komposisi menyangkut hal yang bersifat visual sehingga kita perlu untuk memperhatikan visual tools yang terdiri dari line (garis), shape (bentuk), tone (gelap-terang), texture (tekstur), dan color (warna), Peneliti melihat pewarta foto di Jakarta juga mempertimbangkan faktor estetika fotografi ketika melakukan peliputan dan menyajikan foto jurnalistik kepada khalayak. Selain komunikatif, foto tersebut harus mempertimbangkan komposisi dan teknik fotografi ketika dibuat. Pewarta foto di Jakarta melakukan beberapa pengolahan melalui kamar gelap dan kamar terang sebelum foto-foto tersebut sampai kepada khalayak. Berikut adalah penjelasannya;
1) Komposisi Fotografi Terdapat lima alat untuk mendapatkan komposisi yang dilakukan oleh pewarta foto di Jakarta, yakni contrast, repetition, dominance, balance, dan unity.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
142
(1) Contrast Sesuatu yang kontras memberikan keragaman dalam sebuah foto. Foto kontras dapat diciptakan dengan memanfaatkan bentuk, warna, mood dan ekspresi untuk menarik perhatian orang yang melihatnya. (2) Repetition Irama dan pengulangan menekankan pada pola yang berulang untuk menarik perhatian orang yang melihat foto karena membentuk komposisi yang menarik. (3) Dominance Pemilihan fokus perhatian pada objek yang menonjol atau dominan dalam sebuah scene foto akan menghasilkan komposisi yang menarik. Dominasi atau objek yang menonjol tersebut tidak harus terlihat memenuhi sebagian besar bidang gambar, yang penting mampu memberikan kesan visual yang kuat. (4) Balance Keseimbangan
dapat
bermakna
simetris
atau
bahkan
asimetris.
Kebanyakan foto, secara simetris tidak seimbang, tetapi secara visual memberikan bobot yang seimbang di antara kedua sisinya. Foto yang seimbang mampu membuat orang yang melihatnya merasakan sebuah keseimbangan. (5) Unity Kesatuan dalam sebuah foto dapat membentuk komposisi tersendiri dan terlihat jelas dalam keseluruhan gambar. Kesatuan menggambarkan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
143
bagaimana suatu bagian bergabung dengan bagian lain membentuk keseluruhan konsep yang lengkap.
Pewarta foto di Jakarta memperhatikan aspek-aspek komposisi tersebut dalam membuat foto jurnalistik yang akan disajikan kepada khalayak. Keterampilan ini yang membuat hasil foto mereka lebih baik dibanding kemampuan yang dimiliki wartawan tulis. Pewarta foto menjalankan perannya sebagai komunikator dengan memasukkan tanda dan simbol yang dimengerti oleh khalayak dan enak untuk dilihat. Pesan yang ingin disampaikan pewarta foto harus dibuat sesederhana mungkin agar dapat dimaknai oleh khalayak dan terjadi komunikasi efektif.
2) Metode EDFAT Dalam melakukan peliputan foto jurnalistik, pewarta foto di Jakarta seringkali menyiapkan foto dengan metode EDFAT. Metode ini diperkenalkan Walter Cronkite School of Jurnalism and Telecommunication Arizona State University, untuk memilih tindakan dalam kaitan mendapatkan foto jurnalistik. EDFAT adalah metode pemotretan untuk melatih cara pandang melihat sesuatu dengan detil yang tajam. Tahapan-tahapan yang dilakukan pada setiap unsur dan metode itu adalah sesuatu proses dalam mencari suatu bentuk visual atas peristiwa yang mempunyai nilai berita.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
144
Pewarta foto yang bertugas di lapangan biasanya memanfaatkan metode ini agar ketersediaan pilihan gambar dalam proses peliputan mereka lengkap. Selain untuk foto tunggal, metode ini juga kerap digunakan pewarta foto dalam membuat foto essay atau story. Proses pembuatan, seleksi, dan pengolahan yang dilakukan pewarta foto di Jakarta memperhatikan metode ini untuk memudahkan pengemasan foto berita di lapangan. Metode tersebut di antaranya; (1) Entire (E) Dikenal juga sebagai established shot. Foto ini memuat keseluruhan objek pemotretan yang pada suatu peristiwa atau bentuk penugasan lain untuk memberikan gambaran dengan jelas dan objektif. (2) Detail (D) Pada tahap ini pewarta foto menentukan pilihan pengambilan gambar dengan mempertimbangkan point of interest. (3) Frame (F) Pewarta foto melakukan pengemasan
untuk membingkai objek yang
telah dipilih. Bagian mana saja yang ditonjolkan, atau bahkan dihilangkan dari frame gambar mereka. Fase ini memperhatikan komposisi, pola, tekstur dan subjek pemotretan dengan akurat. (4) Angle (A) Pada tahap pewarta foto menentukan sudut pandang terbaik saat membuat foto jurnalistik . Mereka mencoba semua sudut pemotretan dari bagian depan, belakang, atau samping. Dikenal pula istilah angle memotret dari
http://digilib.mercubuana.ac.id/
145
ketinggian atau bird eye, bawah atau frog eye, dan sejajar pandangan mata atau eye level.
Gambar 4.29. Seorang pewarta foto memotret dengan Angle Frog Eye
(5) Time (T) Pada tahap ini pewarta foto menentukan waktu yang tepat untuk memotret dengan mempertimbangkan gesture tubuh objek maupun decisive moment atau momen yang menentukan dalam gambar yang dibuat.
3) Teknik Fotografi Fotografi memuat gambaran imaji dalam bentuk garis dan simbol sebagai tanda yang dapat dimaknai. Sebagai karya seni, foto memiliki ukuran yang relatif untuk dikatakan bagus atau jelek. Teknik fotografi berkaitan dengan kreatifitas fotografer dalam menggunakan peralatan fotografi. Foto yang dibuat merupakan hasil dari konsep pengemasan pesan yang ingin
http://digilib.mercubuana.ac.id/
146
disampaikan. Selain berusaha membuat foto yang komunikatif, pewarta foto di Jakarta menuangkan kreatifitas mereka melalui berbagai teknik fotografi untuk menambah nilai estetika foto jurnalistik yang akan disajikan kepada khalayak. Teknik fotografi tersebut di antaranya adalah; (1) Freezing Teknik fotografi ini membuat objek yang bergerak menjadi diam atau beku. Pewarta foto membuat foto dengan teknik ini menggunakan shutter speed yang cepat, terutama pada peristiwa-peristiwa yang juga berlangsung cepat seperti kejadian olah raga. Di kalangan pegiat fotografi saat ini juga dikenal istilah levitasi yang menggunakan teknik freezing dalam pembuatannya. (2) Flare Saat membuat foto dengan teknik fotografi ini, pewarta foto mengarahkan kamera dan lensa
melawan arah datangnya cahaya
sehingga menimbulkan distorsi pada lensa. Cahaya langsung yang datang terkadang membuat gambaran bias pada lensa sehingga menimbulkan nilai estetika tersendiri pada foto yang dibuat. (3) Siluet Teknik fotografi ini juga dibuat dengan cara melawan arah datangnya cahaya. Jika pada teknik flare objek utama masih terlihat jelas, objek foto dalam teknik siluet membentuk bayangan hitam dan tidak terlalu jelas namun memberikan kesan dan nilai estetika tersendiri. Pewarta
http://digilib.mercubuana.ac.id/
147
foto Kontan Fransiskus Simbolon mengaku senang membuat foto dengan teknik siluet karena memiliki nilai estetika tersendiri. Namun, menurutnya, kebanyakan foto yang ditampilkan di media massa menghendaki gambar yang jelas dan dapat dimengerti dengan mudah oleh pembaca. Gambar 4.30. Contoh foto dengan teknik siluet
(4) Membuat Foreground dan Background Teknik
fotografi
ini
sengaja
dibuat
pewarta
foto
dengan
memanfaatkan kekhasan hasil gambar dari penggunaan lensa yang memiliki focal length panjang dan diafragma besar. Besar kecilnya bukaan diafragma juga memberikan pengaruh langsung pada hasil foto yang diperoleh, khususnya pada ruang tajam gambar atau depth of field. Ruang tajam gambar adalah wilayah ketajaman gambar yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
148
dapat ditangkap oleh lensa dan terekam pada film atau sensor digital kamera. Untuk memisahkan focus of interest atau poin of intersest dengan objek tambahan, teknik ini sangat berguna dalam dunia foto jurnalistik. Pewarta foto membuat foreground dengan menempatkan objek tambahan di bagian depan dan gambar utama di bagian yang fokus. Sementara background merupakan keterangan tambahan dari gambar yang lebih fokus dan menjadi objek utama. (5) Shadow, Mirror, & Reflection Ketiga teknik fotografi ini memiliki kesamaan dalam hal membuat bayangan atau pantulan dari objek utamanya. Pewarta foto di Jakarta biasanya menggunakan teknik-teknik fotografi ini untuk menghindari foto yang monoton dan menyajikan sisi lain dari objek yang difoto.
Gambar 4.31. Contoh foto dengan teknik Reflection
http://digilib.mercubuana.ac.id/
149
(6) Multiple Exposure Teknik foto ini memungkinkan pewarta foto memuat lebih dari satu gambar dalam satu frame foto. Foto yang dimuat bisa 2 atau 3 buah pada frame yang sama. Kebanyakan teknik ini dibuat menggunakan kamera analog, namun pada perkembangannya sudah ada kamera DSLR yang memiliki fasilitas ini meskipun harganya relatif mahal.
(7) Photo In Teknik ini menggabungkan foto yang sudah tercetak dengan objek asli yang baru difoto. Biasanya, teknik foto ini bertujuan membandingkan kondisi saat difoto, dengan kondisi lama dari objek yang difoto. Gambar 4.32. Contoh foto dengan teknik Photo In
http://digilib.mercubuana.ac.id/
150
(8) Time Lapse, Stop Motion, & Sekuen Teknik foto ini memanfaatkan fasilitas continues dalam pengambilan gambar pada teknologi kamera yang digunakan oleh pewarta foto. Foto yang diambil lebih dari satu yang merupakan satu rangkaian cerita berurutan.
(9) Light Painting Teknik fotografi ini dibuat pada kondisi cahaya yang minim dan menggunakan shutter speed kamera yang lambat. Teknik ini mewujudkan konsep fotografi untuk menambah nilai estetika dengan menggerakkan sumber cahaya pada objek foto. Gambar 4.33. Contoh foto dengan teknik Light Painting
http://digilib.mercubuana.ac.id/
151
(10) Bulb Teknik foto ini dibuat dengan kecepatan shutter speed yang sangat lambat. Beberapa kamera DSLR sudah dilengkapi fasilitas untuk membuat teknik ini. Teknik bulb biasanya dibuat pada malam hari dan menghasilkan gambar yang membentuk gambaran cahaya pada objek yang bergerak seperti arus lalu lintas atau kembang api. Pewarta foto harus menggunakan tripod atau meletakkan kamera pada bidang datar yang tidak bergerak saat melakukan teknik ini untuk menghindari gambar tersebut goyang. Gambar 4.34. Contoh foto dengan teknik Bulb
(11) Panning Teknik fotografi ini juga dibuat dengan shutter speed lambat. Kamera yang digunakan oleh pewarta foto mengikuti arah gerak dari objek yang mereka foto sehingga membuat objek utama gambar fokus dan yang tidak
http://digilib.mercubuana.ac.id/
152
difokuskan menjadi blur. Teknik ini dibuat dengan tujuan memberikan kesan gerak pada objek yang difoto.
(12) Move & Shaking Pewarta foto sengaja membuat foto menjadi blur atau tidak fokus dengan menggunakan shutter speed lambat ketika membuat foto dengan teknik fotografi ini. Tujuan utamanya adalah estetika fotografi, meskipun hasil foto terkadang kurang komunikatif dan tidak dapat menyampaikan pesan dengan jelas.
(13) Zooming Teknik foto ini dibuat oleh pwarta foto menggunakan lensa jenis vario dan kecepatan shutter speed rendah. Pewarta foto memutar gelang lensa bersamaan dengan menekan tombol shutter kamera ketika membuat foto dengan teknik ini. Hasilnya, objek utama yang berada di tengah menjadi fokus, sementara yang lainnya blur. Gambar 4.35. Contoh foto dengan teknik Zooming
http://digilib.mercubuana.ac.id/
153
Perkembangan teknologi fotografi yang kemudian teknik-teknik foto tersebut dapat sering kita jumpai dalam penyajian foto jurnalistik di media massa. Dalam satu detik, seorang pewarta foto bisa mendapatkan sekitar 8 frame gambar yang terjadi secara berurutan. Kemampuan kamera saat ini melompat jauh dibandingkan kemampuan kamera 20 tahun yang lalu. Namun, untuk melakukan itu diperlukan pewarta foto yang memiliki keterampilan dan menguasai teknik-teknik foto tersebut. Pewarta Foto Kontan Fransiskus Simbolon mengungkapkan dirinya menggunakan teknik-teknik fotografi berdasarkan kondisi objek yang akan difoto. Jika memang diperlukan untuk memberikan kesan gerak, maka dia akan membuat foto dengan teknik menggunakan shutter speed lambat, begitu juga sebaliknya.
4) Kamar Gelap dan Kamar Terang fotografi Aspek estetika fotografi selanjutnya adalah pada tahap pengolahan hasil foto dari proses peliputan. Pengolahan foto tersebut dapat dilihat dalam proses kamar gelap dan kamar terang yang dilakukan setelah pewarta foto memotret dan sebelum mengirimkannya kepada kantor redaksi untuk disampaikan kepada khalayak. Pada pengolahan hasil fotografi menggunakan kamera analog, dikenal istilah kamar gelap untuk proses pengolahan hasil foto. Setiap foto yang akan dicetak dan dilayout pada media massa cetak melalui proses ini karena masih
http://digilib.mercubuana.ac.id/
154
menggunakan klise film negatif. Kamar gelap diperlukan agar klise film negatif foto yang peka terhadap cahaya tersebut tidak rusak. Selain menggunakan berbagai cairan kimia, proses kamar gelap seringkali memerlukan waktu yang cukup lama karena banyaknya tahapan yang harus dilalui. Proses ini masih dilakukan untuk melihat hasil kamera analog hingga saat ini, meskipun kamera digital berkembang dengan pesat dan tidak lagi memerlukan kamar gelap. Gambar 4.36. Pewarta Foto saat melakukan pengolahan dan pengiriman foto
Kini, setiap pewarta foto dapat mengolah foto jurnalistik yang akan dikirimkan ke kantor redaksi untuk disajikan kepada khalayak. Mereka dapat mengolah foto di kamar yang terang. Digitalisasi fotografi dan perkembangan teknologi memungkinkan mereka untuk mengolah foto di manapun dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
155
kapanpun. Melalui laptop atau tablet yang dilengkapi software pengolahan foto, pewarta foto di Jakarta dapat memindahkan foto-foto yang baru didapat dari proses peliputan. Mereka kemudian melakukan beberapa pengolahan seperti memotong atau cropping foto, mengoreksi warna dan cahaya, mengubah ukuran file, serta menambahkan caption atau keterangan gambar pada foto yang dipilih dan akan dikirimkan. Berikut adalah gambarannya; (1) Croping Pada tahap ini, pewarta foto melakukan pemotongan pada foto yang mereka olah. Bagian-bagian yang dianggap tidak diperlukan dan tidak penting dalam frame dibuang. Terkadang cropping juga dilakukan untuk membuat foto simetris, lurus, dan penyesuaian dengan komposisi foto lainnya. (2) Koreksi Warna dan Cahaya Koreksi warna dan cahaya dilakukan pada saat foto yang dipilih memiliki kualitas yang baik secara gesture atau aktivitas objek, tapi secara pencahayaan atau warna kurang baik, biasanya pewarta foto melakukan pengeditan agar kondisi foto semakin gelap atau semakin terang, dengan tidak mengubah konten pada objek foto. Koreksi yang dilakukan mereka juga tidak mengubah warna asli foto maupun kondisi sebenarnya dari keadaan objek foto. (3) Mengubah Ukuran File Pada bagian pengolahan ini, pewarta foto memperkecil images size atau ukuran file foto agar lebih kecil dan mudah dikirim. Setting asli ukuran file
http://digilib.mercubuana.ac.id/
156
foto pada kamera digunakan oleh pewarta foto biasanya berukuran besar agar tidak mengurangi kualitas foto saat pemotongan diperlukan. Rata-rata file pada kamera mereka berukuran lebih dari 5000 pixel dengan kualitas foto large. Besar file setiap fotonya jika pada kualitas foto semacam ini bisa lebih dari 2 MB dan kerap memerlukan waktu yang lama dalam pengiriman. Pewarta foto di Jakarta mengubah ukuran file tersebut menjadi sekitar 2500 hingga 3000 pixel saja agar memiliki besar file menjadi di bawah 1 MB dan mudah dikirimkan. Ketika sampai di meja redaksi, foto tersebut masih dapat diperbesar kembali dan memiliki kualitas cukup bagus untuk ditampilkan di media massa. (4) Menulis Caption Secara etimologi, sebagaimana yang terdapat dalam kamus besar bahasa Indonesia, istilah caption dikategorikan sebagai kata benda yang berarti (1) judul halaman, bab, dsb; dan (2) tulisan di bawah karikatur, gambar, dan sebagainya. Jadi, penggunaannya sebagai keterangan untuk menjelaskan detail gambar atau foto. Menurut Soelarko (1985:267), caption juga dapat berupa komentar singkat dari pemotret atau editor sehingga merangsang pembaca untuk berpikir dan melihat makna foto lebih cepat. Sukatendel (dalam Praktikom 1987: 159) menjelaskan beberapa syarat untuk membuat caption yang baik, antara lain: (1) Menggunakan action word, (2) Merupakan satu kesatuan dengan foto, (3) Tipografinya berbeda dengan body text, (4) Di dalamnya terdapat credit line, (5) Singkat.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
157
Sementara itu, menurut Lembaga Kantor Berita Antara syarat-syarat caption yang baik adalah: (1) Teks foto minimal dua kalimat. (2) Kalimat pertama menjelaskan gambar, kalimat kedua dan seterusnya menjelaskan data yang dimiliki. (3) Teks foto harus mengandung minimal unsure 5w+ H, yaitu: Who, what, where, when, why, + how. (4) Teks foto dibuat dengan kalimat aktif sederhana (simple tense). (5) Teks foto diawali dengan keterangan tempat foto disiarkan serta nama pembuat dan editor foto (Alwi, 2004:6). Penulisan caption yang dilakukan oleh pewarta foto di Jakarta bergantung kebutuhan dan fungsi foto tersebut dalam media massa. Jika hanya menggambarkan sosok tokoh atau foto ilustrasi, maka caption yang dibuat tidak telalu panjang. Untuk setiap foto berita yang lainnya, pewarta foto wajib memberikan caption sebagai keterangan gambar dengan asumsi khalayak mereka bersifat heterogen dan tidak semua orang mengetahui pesan yang terkandung dalam foto yang dimaksud. Pada foto essay atau story, pewarta bahkan harus membuat karangan feature sebagai pengantar, di samping caption yang melengkapi gambar.
4.3.4. Subyektifitas Pewarta Foto Dalam sehari, seorang pewarta foto dapat memotret hingga 300 frame foto dengan peristiwa rata-rata sebanyak 3 hingga 5 kejadian. Mereka kemudian melakukan memilih beberapa frame saja untuk setiap kejadian, yang dikirimkan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
158
ke media masing-masing. Foto bersifat hardnews biasanya langsung dikirim, sementara foto feature atau soft news, bisa ditunda hingga beberapa hari. Jika mereka mengirim 7 frame foto berita saja untuk satu peristiwa, rata-rata jumlah foto yang dikirimkan oleh seorang pewarta foto mencapai 21 buah. Yuyung Abdi (2012), mengungkapkan, klaim bahwa gambar foto adalah realitas objektif karena dasar pengambilan foto merupakan sesuatu yang nyata. Foto juga menjadi respresentasi dari objek yang bersifat nyata. Meski bukanlah realitas sesungguhnya, gambar foto hanya sesuatu yang analog dengan realitas. Objektifitas mutlak sulit diterapkan dalam foto karena menyangkut pilihan yang tidak bisa lepas dari latar belakang fotografer. Bagaimanapun, realitas tidak dapat digambarkan seutuhnya ketika ruang tampilan tidak bisa mempublikasikan foto secara keseluruhan. Subyektifitas direlasikan karena fotografer berperan dalam memproduksi realitas tersebut. Ada proses memilih dalam penentuan hasil. Sebuah fenomena tidak selalu menampilkan foto sebagai respresentasi keseluruhan. Itu bisa terjadi karena sisi pilihan objek yang disampaikan tidak mewakili keseluruhan. Apa yang ditampilkan merupakan sesuatu yang ingin disampaikan fotografer sebagai pilihan. Ketika ada proses memilih, tentu unsur subyektifitas tidak akan lepas. Timbulnya tanggapan objektivitas maupun subyektifitas terkait dengan penyampaian maksud atau pesan sebuah foto. Termasuk pemilihan momen. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukan adalah menampilkan seluruh gambar yang difoto. Pilihan adalah jalan subyektifitas yang bersifat universal sesuai dengan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
159
parameter yang distandarisasi. Sesuatu menjadi penting dan dianggap mewakili karena subyektifitas juga relatif. Subyektifitas berarti memilih adegan, peristiwa, maupun kejadian. Proses memilih foto didasarkan pada peran fotografer. Sebuah foto dikatakan subjektif ketika ada proses memilih. Bagaimanapun hasilnya, foto tetap objektif meski objektifitas produk berbeda dengan objektivitas semula. Subyektivitas foto tetap objektif karena nyata. Sebab, sebuah foto menampilkan realitas. Sementara itu, objektivitas foto tetap mengandung subyektifitas ketika menyangkut pilihan. Jadi, tidak ada sesuatu yang benar-benar objektif dan tidak ada sesuatu yang benarbenar subyektif. Emrus Sihombing, dalam salah satu perkuliahan Metodologi Penelitian Kualitatif mengungkapkan, tidak ada pesan yang objektif. Setiap pesan dikontruksi oleh komunikator berdasarkan interpretasinya sendiri. Hal ini juga terjadi dalam proses pemuatan foto jurnalistik di media massa oleh pewarta foto. Setiap foto yang dibuat merupakan karya subyektif dari masing-masing pewarta foto, baik dari aspek pengambilan gambar, hingga pemilihan foto yang akan dimuat di media massa. Berikut adalh gambaran subyektifitas dalam pemaknaan dan seleksi foto jurnalistik oleh pewarta foto di Jakarta. 1) Subyektifitas pertama terjadi saat pewarta foto memutuskan untuk berangkat atau tidak berangkat ke lokasi peliputan. Jika melakukan hunting, tidak semua objek gambar yang ditemui oleh pewarta foto direkam. Hal ini salah satunya
http://digilib.mercubuana.ac.id/
160
mempertimbangkan faktor nilai berita yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. 2) Subyektifitas ke dua terjadi dalam proses pengambilan gambar di lokasi kejadian. Setiap pewarta foto akan menghasilkan foto yang berbeda meskipun berada di lokasi yang sama dan objek yang sama. Hal ini misalnya terlihat dalam sudut pengambilan gambar, gesture, hingga komposisi gambar foto jurnalistik yang dihasilkan. Siapa saja yang dimasukkan dalam frame, objek apa saja, dan keterangan tambahan apa yang dimasukkan dalam foto jurnalistik yang dibuat. 3) Subyektifitas ke tiga yang dilakukan oleh pewarta foto adalah ketika memilih foto jurnalistik yang akan dikirimkan ke media massa mereka masing-masing. Ada sekitar 30 hingga 50 foto yang dibuat pewarta foto pada setiap acara atau kejadian. Yang dikirimkan ke kantor redaksi media massa mereka biasanya maksimal hanya berjumlah sekitar 10 frame. Mereka melakukan seleksi dengan mempertimbangkan faktor estetika foto terlebih dahulu. Untuk peristiwa besar dan mengandung nilai sejarah, foto yang dihasilkan bisa lebih dari 100 frame dan yang dikirimkan ke media massa mereka bisa mencapai 20 frame. 4) Subyektifitas ke empat yang dilakukan pewarta foto terjadi ketika menuliskan caption atau keterangan gambar pada foto jurnalistik yang mereka kirimkan. Faktor keterampilan bahasa jurnalistik hingga pengetahuan masing-masing pewarta foto ikut memperngaruhi gaya dan kelengkapan caption yang mereka kirimkan bersama foto jurnalistik untuk media massa.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
161
5) Subyektifitas ke lima terjadi saat penentuan foto yang akan dimuat di media massa oleh redaktur halaman, di-layout, hingga disetujui oleh redaktur pelaksana atau pemimpin redaksi. Pertimbangan pemuatan foto jurnalistik di media massa juga mempertimbangkan faktor etika dan hukum, serta ekonomi dan politik media yang bersangkutan.
4.3.5. Aspek Etika dan Hukum Foto Jurnalistik Faktor selanjutnya yang ikut mempengaruhi pemuatan foto jurnalistik di media massa menyangkut etika dan hukum yang berkaitan dengan fotografi. Aspek hukum dan etika menjadi penting karena berkaitan langsung dengan kredibilitas dan reputasi media massa tersebut. Setiap gatekeeper dalam proses pemuatan foto jurnalistik memperhatikan hal ini, mulai dari pewarta foto hingga redaktur foto atau redaktur halaman, redaktur pelaksana, dan pemimpin redaksi. Berikut adalah pembahasannya; 1) Aspek Etika dalam Fotografi Jurnalistik Secara sederhana, etika adalah baik buruknya tingkah laku manusia. Hal tersebut tidak bergantung pada cara perbuatan itu dilakukan. Karena itu, etika bersifat mutlak dan bersifat umum. Sobur (2001:4) dalam Gani & Lestari (2013:158) mendefinisikan etika sebagai nilai-nilai, norma-norma, dan asas-asas moral yang dipakai sebagai pegangan yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
162
umum diterima bagi penentuan baik-buruknya perilaku manusia atau benar-salahnya tindakan manusia sebagai manusia. Sedangkan Magnis Suseno (1991:3) menjelaskan lebih jauh lagi bahwa etika bukan sumber tambahan moralitas, melainkan filsafat yang merefleksikan ajaran-ajaran moral. Ia tidak langsung membuat manusia menjadi lebih baik, melainkan sebagai sarana untuk memperoleh orientasi kritis ketika berhadapan dengan moralitas yang membingungkan. Ada nilai baik dan buruk yang menjadi objek formal dari etika. Dalam kaitannya dengan kegiatan fotografi, etika dapat didefinisikan sebagai peraturan baik dan buruknya tingkahlaku fotografer dalam melaksanakan tugasnya, baik dengan dirinya sendiri, birokrasi, masyarakat, maupun dengan lingkungannya. Dengan demikian, ada aturan yang membatasi ruang gerak fotografer di lapangan, terutama batasan yang ditentukan oleh norma, nilai moral, dan hati nurani. Nurudin (2009) mengungkapkan, kata moral berasal dari bahasa Latin Mores. Mores berasal dari kata mos yang berarti kesusilaan, tabiat, atau kelakuan. Dengan demikian, moral bisa diartikan sebagai ajaran kesusilaan. Moralitas berarti hal mengenai kesusilaan. Moral juga berarti ajaran tentang baik-buruk perbuatan dan kelakuan. Dari asal katanya bisa ditarik kesimpulan bahwa moral mempunyai pengertian yang sama dengan kesusilaan, yang memuat ajaran tentang baik buruknya perbuatan. Jadi, perbuatan dinilai sebagai perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk (Burhanuddin Salam, 2000).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
163
Sementara itu, istilah etika berasal dari kata Latin Ethic, sedangkan dalam bahasa Gerik Ethikos (a body of moral principles or values). Dengan demikian, ethic berarti kebiasaan, habit, custom. Yang dimaksud dengan baik atau buruk dalam hal ini yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat itu akan berubah sejalan dengan perkembangan masyarakat. Etika dengan sendirinya bisa diartikan sebagai ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang jahat. Etika sendiri sering digunakan dengan kata moral, susila, budi pekerti, dan akhlak (Burhanuddin Salam, 2000). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Etika adalah (1) ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh golongan tertentu. Menurut K Bertens (1994), etika adalah ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh yang berkaitan dengan moralitas. Dengan kata lain, etika adalah ilmu yang memperlajari tingkah laku moral. Secara lebih sederhana Prof I R Poedjowijatna (1986) mengatakan bahwa sasaran etika khusus kepada tindakan-tindakan manusia yang dilakukan dengan sengaja. Dalam praktiknya, sasarannya manusia juga karena tindakan tersebut merupakan kesatuan dan keutuhan. Lapangan penyelidikan etika memang manusia, tetapi etika berbeda dengan ilmu manusia. Karena ilmu manusia menyelidiki manusia itu sendiri dari sudut luar. Artinya, badannya dengan segala apa yang perlu
http://digilib.mercubuana.ac.id/
164
untuk badan itu. Ilmu budaya menyelidiki manusia dari kebudayaannya. Oleh karena itu, objek materi etika tetap manusia, tetapi objek formalnya adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan berbagai perilaku pewarta foto di Jakarta mempertimbangkan etika dalam mengemas pesan foto jurnalistik. Hal tersebut setidaknya dapat ditemukan ketika pewarta foto melakukan tugas peliputan di lapangan untuk mendapatkan gambar dan ketika pewarta foto melakukan pengolahan foto untuk dikirimkan ke kantor redaksi. Berikut adalah gambaran mengenai aktivitas keseharian pewarta foto yang terkait etika ketika menjalankan tugas; (1) Ijin Memotret Persoalan etika yang kerap dialami pewarta foto di Jakarta saat melakukan tugas peliputan adalah memperoleh ijin untuk memotret. Ijin tersebut tidak harus selalu tertulis dan birokratif, baik ketika meliput di area publik, maupun area terbatas. Area publik misalnya di jalanan, taman, dan tempat-tempat umum lainnya. Sedangkan area terbatas seperti perkantoran, pusat perbelanjaan, dan wilayah lainnya yang dikelola orang maupun lembaga tertentu. Meskipun berada di area publik misalnya, secara etika pewarta foto menghargai jika ada objek yang tidak berkenan untuk difoto apalagi sampai dipublikasikan di media. Contoh kasus misalnya saat seorang pewarta foto memotret seorang pemulung yang menarik gerobak bersama anaknya. Secara etika pewarta foto tidak diperbolehkan memotret dan mengirimkan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
165
foto tersebut jika objek yang difoto tidak suka. Hal tersebut juga terjadi ketika pewarta foto memotret di area publik lainnya seperti pasar atau terminal. Mereka biasanya sangat menghargai dan tidak melanjutkan untuk memotret jika objek yang difoto menolak. Pewarta Foto Warta Kota, Angga BN pernah mengalami kekerasan karena objek yang tidak suka saat dirinya meliput peristiwa kebakaran. Angga tiba-tiba diserang sekelompok pemuda yang tidak menyukai kehadiran wartawan di lokasi. Tindakan penganiayaan tersebut tetap mereka lakukan meskipun Angga menggunakan id card pers yang digantung di lehernya. “Mereka tidak memberikan peringatan sebelumnya kalau tidak suka difoto saat memadamkan api. Tiba-tiba menyerang dan melempari saya dengan ember. Wartawan lain yang datang di lokasi juga mengalami hal serupa. Setelah peristiwa itu saya melapor ke pihak berwajib agar mereka jera,”
Di area terbatas, pemotretan yang dilakukan pewarta foto di Jakarta juga tidak bebas. Terkadang mereka memerlukan ijin tertulis meskipun sudah menggunakan id card pers dari medianya. Lokasi tersebut misalnya penjara dan kompleks militer. Seorang pewarta foto di Jakarta pernah mengalami pelarangan liputan hingga berbuntut penganiayaan oleh oknum tentara saat memotret peristiwa pesawat jatuh di kompleks perumahan TNI AU Halim Perdanakusuma. Pihak militer beralasan peristiwa tersebut merupakan rahasia negara dan berada di area terbatas. Penganiayaan serupa oleh oknum tentara juga
http://digilib.mercubuana.ac.id/
166
dialami oleh pewarta foto di Pekanbaru, Riau, saat memotret kecelakaan pesawat jatuh. Oknum tentara biasanya cenderung lebih arogan ketika melakukan pelarangan, bahkan tak jarang melakukan tindak kekerasan terhadap pewarta foto dengan alasan keamanan nasional. Gambar 4.37. Seorang Pewarta Foto saat mendapat intimidasi
(2) Set up Idealnya, sebuah foto jurnalistik terjadi dengan alami tanpa direkayasa atau diarahkan oleh pewarta foto. Namun terkadang, untuk mendapatkan sebuah gambar yang hidup, pewarta foto harus menyutradarai adegan yang dilakukan objek di dalam foto. Sebagian besar pewarta foto di Jakarta melakukan set up untuk menghasilkan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
167
gambar yang komunikatif dan membuat khalayak mengerti makna dari pesan yang ingin disampaikan. Tidak ada aturan tertulis di kalangan pewarta foto di Jakarta mengenai pengarahan gaya objek dalam pembuatan foto yang mereka lakukan. Sebagian besar berpendapat hal tersebut diperbolehkan selama tidak melenceng dari konteks pemberitaan dan memang terjadi di lapangan. Sejumlah wartawan di Banten pernah melakukan set up yang tidak semestinya ketika melakukan peliputan banjir di sekolah, kawasan Lopang, Kota Serang., Banten Mereka adalah kontributor televisi nasional yang bertugas di Banten dan beberapa pewarta foto lokal serta kantor berita. Guru dan murid di sekolah tersebut diminta untuk melakukan upacara bendera di lokasi banjir meskipun sekolah diliburkan. Foto yang menjadi headline beberapa koran nasional dan lokal tersebut juga menjadi foto terbaik Dahlan Iskan Award 2013. Foto itu kemudian menjadi perbincangan di kalangan pewarta foto di Jakarta karena dinilai terlalu direkayasa.
(3) Pengolahan Foto Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, pengolahan foto yang dilakukan pewarta foto di Jakarta saat menyeleksi dan sebelum mengirimkan fotonya ke media massa, hanya bersifat minor. Hasil foto liputan mereka sehari-hari hanya dipotong sedikit untuk menyesuaikan dan menjaga kualitas gambar tetap bagus. Koreksi cahaya yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
168
dilakukan juga tidak telalu banyak. Mereka lebih memilih untuk membuang foto yang kurang atau kelebihan cahaya saat pemotretan. Hal yang paling dihindari adalah mengubah warna pada gambar dan flip atau memutar arah foto baik ke kanan maupun ke atas dan ke bawah. Dua pengeditan gambar terakhir dinilai dapat mengubah makna dari gambar dan tidak menunjukan kondisi sebenarnya dari objek.
Seperti organisasi profesi kewartawanan lainnya, Pewarta Foto Indonesia memiliki kode etik yang disahkan dalam Rapat Pleno Kongres II PFI, 1 Desember 2007. Berikut adalah Kode Etik Pewarta Foto Indonesia yang dipublikasikan di pewartafoto.org; Tegaknya kebebasan pers, masyarakat foto jurnalistik yang profesional, mandiri dan independen, serta terpenuhinya hak masyarakat untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi visual yang interaktif dan benar, disertai kenyataan adanya pluralisme dalam masyarakat yang kritis, maka Pewarta Foto Indonesia senantiasa aktif untuk mengambil peran pemberitaan visual sebagai tanggung jawab sosial dan berfungsi menyuarakan kebenaran visual yang punya integritas dan bisa dipercaya. Atas dasar itu Pewarta Foto Indonesia menetapkan kode etik sebagai berikut: 1. Pewarta foto menjunjung tinggi hak masyarakat untuk memperoleh informasi visual dalam karya foto jurnalistik yang jujur dan bertanggung jawab. 2. Pewarta foto dalam menjalankan tugasnya harus mendahulukan kepentingan umum untuk mendapatkan informasi visual. 3. Pewarta foto adalah insan profesional yang mandiri dan independen.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
169
4. Pewarta foto tidak memanfaatkan profesinya di luar kepentingan jurnalistik. 5. Pewarta foto menghargai hak cipta setiap karya foto jurnalistik dengan mencantumkan akreditasi yang sesungguhnya. 6. Pewarta foto menjunjung tinggi kepentingan umum dengan tidak mengabaikan kehidupan pribadi sumber berita. 7. Pewarta foto menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. 8. Pewarta foto tidak menerima suap dalam segala perwujudannya. 9. Pewarta foto menempuh cara yang etis untuk memperoleh bahan pemberitaan. 10. Pewarta foto menghindari visualisasi yang menggambarkan atau mengesankan sikap kebencian, merendahkan, diskriminasi terhadap ras, suku bangsa, agama dan golongan. 11. Pewarta foto melindungi kehormatan pihak korban kejahatan susila dan pelaku kriminal di bawah umur. 12. Pewarta foto menghindari fitnah dan pencemaran nama baik dan berita foto yang menyesatkan. 13. Pewarta foto tidak memanipulasi sehingga mengaburkan fakta. 14. Hal lain yang berkaitan dengan kasus-kasus tertentu menyangkut kode etik Pewarta Foto Indonesia akan dikonsultasikan dengan Dewan Penasehat dan Komisi Etika.
2) Aspek Hukum yang terkait Foto Jurnalistik Selain etika, aspek hukum atau peraturan yang diatur di Indonesia juga menjadi pertimbangan ketika pewarta foto menjalankan tugas. Dengan memperhatikan aspek hukum, gatekeeper foto jurnalistik juga melakukan pertimbangan sebelum meloloskan atau memuat foto di media massa. Dalam penelitian ini, peneliti juga mengkaji berbagai peraturan dan aspek legal berupa undang-undang yang terkait dengan pemuatan foto jurnalistik di media massa. Berikut adalah petikan dari regulasi atau peraturan yang terkait dengan pemuatan foto jurnalistik di media massa;
http://digilib.mercubuana.ac.id/
170
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 282 Ayat (1) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum, tulisan, gambaran, atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu limaratus rupiah.
Pasal 310 Ayat (1) Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang dimaksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Ayat (2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Ayat (3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum, atau karena terpaksa untuk membela diri.
Pasal 483 Barangsiapa menerbitkan sesuatu tulisan atau sesuatu gambar yang karena sifatnya dapat diancam dengan pidana, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
171
Pasal 532 Diancam hukuman pidana paling lama tiga hari atau pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah: Ayat (3) barangsiapa di tempat yang terlihat dari jalan umum mengadakan tulisan atau gambaran yang melanggar kesusilaan.
Pasal 533 Diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda paling banyak tiga ribu rupiah: Ayat (1) Barangsiapa di tempat untuk lalu lintas umum dengan terangterangan mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan dengan judul, kulit, atau isi yang bikin terbaca, maupun gambar atau benda, yang mampu membangkitkan nafsu birahi para remaja; Ayat (3) Barangsiapa secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan suatu tulisan, gambar atau barang yang dapat merangsang nafsu birahi para remaja maupun secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, tulisan atau gambar yang dapat membangkitkan nafsu birahi para remaja; Ayat (4) Barang siapa menawarkan, memberikan untuk terus atau sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan gambar atau benda yang demikian, pada seseorang belum dewasa dan di bawah umur tujuh belas tahun; (2) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers Pasal 1 Ayat (1) Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Ayat (4) Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
172
Ayat (5) Organisasi pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
Pasal 4 Ayat (1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Ayat (2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Ayat (3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Ayat (4) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak. Penjelasan Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara" adalah bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. Kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers. Ayat (2) Penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran tidak berlakupada media cetak dan media elektronik. Siaran yang bukan merupakan bagian dari pelaksanaan kegiatan jurnalistik diatur dalam ketentuan undang-undang yang berlaku.
Pasal 5 Ayat (1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Ayat (2) Pers wajib melayani Hak Jawab. Ayat (3) Pers wajib melayani Hak Tolak. Pasal 8 Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
173
(3) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Pasal I Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Ayat (1) Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. Ayat (3) Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata. Pasal 4 Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Pasal 5 Ayat (1) Hak moral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri Pencipta untuk: a. Tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian Ciptaannya untuk umum; b. Menggunakan nama aliasnya atau samarannya; c. Mengubah Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat; d. Mengubah judul dan anak judul Ciptaan; dan e. Mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya. Ayat (2) Hak moral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dialihkan selama Pencipta masih hidup, tetapi pelaksanaan hak tersebut dapat dialihkan dengan wasiat atau sebab lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah Pencipta meninggal dunia. Ayat (3) Dalam hal terjadi pengalihan pelaksanaan hak moral sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penerima dapat melepaskan atau menolak pelaksanaan haknya dengan syarat pelepasan atau penolakan pelaksanaan hak tersebut dinyatakan secara tertulis.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
174
Pasal 6 Untuk melindungi hak moral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pencipta dapat memiliki: a. informasi manajemen Hak Cipta; dan/atau b. informasi elektronik Hak Cipta.
Pasal 7 Ayat (1) Informasi manajemen Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a meliputi informasi tentang: a. metode atau sistem yang dapat mengidentifikasi originalitas substansi Ciptaan dan Penciptanya; dan b. kode informasi dan kode akses. Ayat (2) Informasi elektronik Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b meliputi informasi tentang: a. suatu Ciptaan, yang muncul dan melekat secara elektronik dalam hubungan dengan kegiatan Pengumuman Ciptaan; b. nama pencipta, aliasnya atau nama samarannya; c. Pencipta sebagai Pemegang Hak Cipta; d. masa dan kondisi penggunaan Ciptaan; e. nomor; dan f. kode informasi. Ayat (3) Informasi manajemen Hak Cipta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan informasi elektronik Hak Cipta sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan 2 yang dimiliki Pencipta dilarang dihilangkan, diubah, atau dirusak.
Pasal 8 Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan.
Pasal 9 Ayat (1) Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
175
a. penerbitan Ciptaan; b. Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; c. penerjemahan Ciptaan; d. pengadaplasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan; e. Pendistribusian Ciptaan atau salinannya; f. pertunjukanCiptaan; g. Pengumuman Ciptaan; h.Komunikasi Ciptaan; dan i. penyewaan Ciptaan. Ayat (2) Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Ayat (3) Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan danatau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.
Pasal 10 Pengelola tempat perdagangan dilarang membiarkan penjualan dan atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya. Pasal 11 Ayat (1) Hak ekonomi untuk melakukan Pendistribusian Ciptaan atau salinannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e tidak berlaku terhadap Ciptaan atau salinannya yang telah dijual atau yang telah dialihkan kepemilikan Ciptaan kepada siapapun. Ayat (2) Hak ekonomi untuk menyewakan Ciptaan atau salinannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i tidak berlaku terhadap Program Komputer dalam hal Program Komputer tersebut bukan merupakan objek esensial dari penyewaan.
Pasal 12 Ayat (1) Setiap Orang dilarang melakukan Penggunaan Secara Komersial, Penggandaan, Pengumuman, Pendistribusian, dan atau Komunikasi atas Potret yang dibuatnya guna kepentingan reklame
http://digilib.mercubuana.ac.id/
176
atau periklanan secara komersial tanpa persetujuan tertulis dari orang yang dipotret atau ahli warisnya. Ayat (2) Penggunaan Secara Komersial, Penggandaan, Pengumuman, Pendistribusian, dan/atau Komunikasi Potret sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memuat Potret 2 (dua) orang atau lebih, wajib meminta persetujuan dari orang yang ada dalam Potret atau ahli warisnya. Pasal 13 Pengumuman, Pendistribusian, atau Komunikasi Potret seorang atau beberapa orang Pelaku Pertunjukan dalam suatu pertunjukan umum tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta, kecuali dinyatakan lain atau diberi persetujuan oleh Pelaku Pertunjukan atau pemegang hak atas pertunjukan tersebut sebelum atau pada saat pertunjukan berlangsung.
Pasal 14 Untuk kepentingan keamanan, kepentingan umum, dan/atau keperluan proses peradilan pidana, instansi yang berwenang dapat melakukan Pengumuman, Pendistribusian, atau Komunikasi Potret tanpa harus mendapatkan persetujuan dari seorang atau beberapa orang yang ada dalam Potret.
Pasal 15 Ayat (1) Kecuali diperjanjikan lain, pemilik dan/atau pemegang Ciptaan fotografi, lukisan, gambar, karya arsitektur, patung, atau karya seni lain berhak melakukan Pengumuman Ciptaan dalam suatu pameran umum atau Penggandaan dalam suatu katalog yang diproduksi untuk keperluan pameran tanpa persetujuan Pencipta. Ayat (2) Ketentuan Pengumuman Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap Potret sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
Pasal 31 Kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai pencipta, yaitu Orang yang namanya:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
177
a. disebut dalam Ciptaan; b. dinyatakan sebagai Pencipta pada suatu Ciptaan; c. disebutkan dalam surat pencatatan Ciptaan; dan/atau d. tercantum dalam daftar umum Ciptaan sebagai pencipta. Pasal 40 Ayat (1) Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas: a. buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya; b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya; c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; d. lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks; e. drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; f. karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase; g. karya seni terapan; h. karya arsitektur; i. peta; j. karya seni batik atau seni motif lain; k. karya fotografi; l. Potret; m. karya sinematografi; n. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi; o. terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi budaya tradisional; p. kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya; q. kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli; r. permainan video; dan program Komputer. Ayat (2) Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) huruf n dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli. Ayat (3) Pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dan ayat (2), termasuk pelindungan terhadap Ciptaan yang tidak atau belum dilakukan Pengumuman tetapi sudah diwujudkan dalam bentuk nyata yang memungkinkan Penggandaan Ciptaan tersebut.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
178
(4) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Ayat (1) Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tandatanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik. Ayat (2) Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan UndangUndang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Ayat (3) Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.
Pasal 4 Ayat (1) Setiap Orang berhak memperoleh Informasi Publik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Ayat (2) Setiap Orang berhak: a. melihat dan mengetahui Informasi Publik; b. menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk memperoleh Informasi Publik; c. mendapatkan salinan Informasi Publik melalui permohonan sesuai dengan Undang-Undang ini; dan/atau
http://digilib.mercubuana.ac.id/
179
d. menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(5) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Ayat (1) Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Ayat (2) Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Ayat (3) Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi. Ayat (4) Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Pasal 27 Ayat (3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Ayat (4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
180
Pasal 28 Ayat (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. Ayat (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
(6) Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Ayat (1) Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Ayat (2) Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
Pasal 4 Ayat (1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin; atau
http://digilib.mercubuana.ac.id/
181
f. pornografi anak. Ayat (2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang: a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin; c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual. Pasal 9 Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi
Aspek hukum seperti yang telah disebutkan di atas, memuat regulasi yang berkaitan dengan pemuatan foto jurnalistik di media massa. Gatekeeper pada masing-masing media massa biasanya mempertimbangkan hal-hal tersebut sebelum memutuskan untuk meloloskan atau tidak meloloskan sebuah foto. Pertimbangan pada aspek ini dilakukan hati-hati karena bisa jadi berimplikasi luas dan mendapatkan sanksi tegas dari proses hukum yang berlaku di Indonesia.
4.3.6. Ekonomi dan Politik Media Massa Dalam Pasal 3 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers disebutkan bahwa, Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Disamping fungsi-fungsi tersebut, pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Regulasi tersebut memperbolehkan setiap perusahaan yang bergerak di bidang media massa untuk mencari keuntungan dalam penyajian produk jurnalistik yang mereka lakukan. Sejak Reformasi 1998
http://digilib.mercubuana.ac.id/
182
dan dikeluarkannya undang-undang tersebut, perusahaan media massa di Indonesia tumbuh bagai jamur di musim hujan karena lembaga yang mengembangkan usaha di bidang ini sangat mudah memperoleh ijin. R.H. Siregar dalam lpds.or.id mengungkapkan, dinamika pers itu seperti kondisi saat ini ditandai dengan kebijakan politik pemerintah Presiden B. J. Habibie pada pertengahan tahun 1998. Secara khusus dapat dicatat bahwa Menteri Penerangan Muhammad Yunus Yosfiah pada pertengahan tahun 1998 secara drastis membuka lebar-lebar koridor kebebasan pers melalui sejumlah regulasi baru di bidang pers. Pada 6 Juni 1998, misalnya, ia mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan yang mencabut dan mengubah Permenpen No. 1 Tahun 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Kalau semula Permenpen No. 1 Tahun 1998 tersebut menetapkan 16 syarat yang harus dipenuhi untuk mendapat SIUPP, maka Menteri Yunus Yosfiah menyederhanakannya dengan hanya tiga syarat. Prosesnya pun sangat singkat, dalam dua atau tiga hari kalau ketiga syarat telah terpenuhi, SIUPP telah dikeluarkan. Selain menyederhanakan prosedurnya, ketentuan SIUPP yang baru itu pun tidak lagi mengenal pembatalan SIUPP oleh pemerintah. Tidak heran bila dengan kebijakan baru ini sebanyak 1.881 SIUPP dikeluarkan dalam tenggang waktu dua atau tiga bulan, dibanding hanya 276 SIUPP selama Orde Baru. Tetapi, dalam beberapa bulan kemudian, perusahaan penerbitan pers yang banyak itu satu demi satu berguguran. Sebagai sebuah industri, setiap perusahaan media memerlukan modal dan sumber daya manusia untuk menjalankan bisnis perusahaan dan keberlangsungan media massa. Komunikator yang melembaga merupakan salah satu ciri dari komunikasi massa.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
183
Karena itulah dalam penelitian ini, peneliti mencoba menggambarkan realitas pewarta foto dalam lembaga yang menjalankan pengelolaan media massa. Dilihat dari kepemilikan dan sumber pendanaan, setidaknya aspek ekonomi media massa dapat dibagi menjadi media massa komunitas, media massa pemerintah, dan media massa swasta, berikut penjelasannya; 1) Media Massa Komunitas Kepemilikan media ini merupakan anggota dari komunitas yang menjadi khalayak media massanya. Pendanaan dan biaya operasional diperoleh dari anggota komunitas tersebut dan berbagai siumber lainnya. Sirkulasi media massa semacam ini juga terbatas di wilayah tertentu maupun komunitas tertentu saja. Biasanya, media massa semacam ini hanya menyajikan informasi untuk kalangan terbatas, dan tidak dijual bebas. Contoh media massa ini adalah media kampus, radio dan televisi komunitas, media internal perusahaan, dan media untuk kelompok yang memiliki kesamaan minat maupun ideologi, juga kesamaan lainnya. Tujuan utama media massa jenis ini bukanlah keuntungan atau laba, melainkan tersebarnya pemahaman dan bertambahnya ilmu pengetahuan di kalangan anggota komunitas mereka.
2) Media Massa Pemerintah Media massa jenis ini dimiliki pemerintah dan mendapat sokongan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Televisi Republik Indonesia (TVRI), Radio Republik Indonesia (RRI) dan Perum Lembaga
http://digilib.mercubuana.ac.id/
184
Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara, merupakan contoh dari lembaga pers yang mendapat subsidi dari pemerintah. TVRI dan RRI merupakan lembaga penyiaran publik seperti yang tertuang dalam UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Sementara Perum LKBN Antara merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang melayani informasi dalam bentuk berita tulis, televisi, dan foto jurnalistik. Dilihat dari dukungan finansial yang dimiliki, keberlangsungan media massa milik pemerintah lebih terjamin, begitu pula kesejahteraan personil yang bekerja di media massa tersebut. Pengelola media massa ini juga memungkinkan untuk membuka kantor perwakilan di seluruh Indonesia atau pun luar negeri. Hal ini yang kemudian membuat suplai berita dari mereka selalu cukup untuk disajikan kepada masyarakat.
3) Media Massa milik Swasta Mayoritas media massa diteribitkan atau disiarkan kepada khalayak saat ini, dimiliki oleh swasta. Kebanyakan dari mereka adalah pengusaha yang memiliki perusahaan di bidang lain selain media massa, dan mereka yang terjun ke dunia politik atau dinilai dekat dengan kepentingan politik tertentu. Sejak Reformasi bergulir hingga sekarang, tidak sedikit perusahaan maupun pengusaha yang mencoba peruntungan untuk berbisnis di dunia media massa. Namun yang bertahan hingga saat ini adalah mereka yang membentuk korporasi media dan memiliki holding company ataupun usaha di bidang lain untuk menopang keberlangsungan bisnis media massa mereka.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
185
Ada keterkaitan erat antara pemuatan foto jurnalistik di media massa dengan pemilik maupun tokoh sentral mereka. Perhatian khusus tentunya akan diberikan awak redaksi di media massa tersebut jika berkaitan dengan pemilik media massa, perusahaan yang terkait, maupun kepentingan politik tokoh tersebut. Karena itulah dalam penelitian ini, peneliti ingin memberikan gambaran mengenai tokoh-tokoh tersebut, terutama mengenai pemuatan foto jurnalistik di media massa terkait. Mereka yang menjalankan bisnis media massa di Indonesia saat ini adalah; 1) Jakob Oetama dan Kompas Gramedia Kelompok Kompas Gramedia (KG) yang dipimpin oleh Jakob Oetama bisa dikatakan korporasi media massa besar di Indonesia saat ini dengan core bisnis percetakan. Selain harian Kompas, kelompok KG menerbitkan koran Warta Kota, The Jakarta Post, dan Kontan. Pada tahun 2011, grup ini juga sukses membeli harian Berita Kota dan mengubahnya menjadi harian SuperBall dengan konten khusus sepak bola. Selain koran harian, KG juga menerbitkan sejumlah majalah seperti Hai dan Bobo. Selain di media massa cetak, KG memiliki stasiun televisi Kompas TV dan Radio Sonora. Kompas sempat membeli Lativi dan mengubahnya menjadi TV 7 sekitar tahun 2000. Namun akhirnya dijual ke Trans Corp yang kini bernama Trans 7. Kini, Kompas TV kembali mencoba masuk ke bisnis pertelevisian di Indonesia dan sudah memiliki ijin siaran di sekitar 25 televisi lokal.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
186
Di luar bisnis media massa, Kelompok KG juga dikabarkan menjalankan bisnis di bidang perhotelan seperti Santika dan Amaris, juga anak Jakoeb Oetama yang berbisnis di bidang jalan tol.
2) Dahlan Iskan dan Jawa Pos Ada sekitar 250 media massa yang masuk ke dalam Grup Jawa Pos di seluruh Indonesia. Selain Koran Jawa Pos, koran harian lain seperti Indopos, Rakyat Merdeka, Non Stop, dan Lampu Hijau. Grup ini memulai ekspansi media lokal sekitar tahun 2000an dan kini memiliki lebih dari 1 koran lokal di setiap provinsi di Indonesia. Di Provinsi Banten misalnya, Radar Banten, Baraya Pos, Satelit News, Banten Pos, Tangerang Ekspres, dan Tangsel Pos, terintegrasi dengan jaringan Jawa Pos National Network (JPNN). Selain media cetak, media massa online radarbanten.com dan dua stasiun televisi Baraya TV dan Radar TV, juga termasuk ke dalam grup Jawa Pos. Dahlan Iskan pernah menjadi Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Menteri BUMN pada pemerintahan SBY. Dahlan juga memenangi Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat meskipun pada akhirnya tidak dicalonkan.
3) Harry Tanoesoedibyo dan MNC Grup Pengusaha yang sering disebut HT ini merintis bisnis di bidang media massa saat dekat dengan Keluarga Cendana dengan meluncurkan RCTI di akhir 1980an. Kini korporasi MNC Grup juga merupakan yang cukup
http://digilib.mercubuana.ac.id/
187
besar karena memiliki stasiun televisi Global TV, MNC TV, dan Sindo TV. Selain mengembangkan televisi berlangganan Indovision, MNC Grup melakukan penataan jaringan televisi lokal melalui SUN TV. Di luar bisnis pertelevisian, MNC Grup memiliki media online okezone.com, beberapa stasiun Radio seperti Trijaya dan Sindo Radio, juga media massa cetak berupa majalah seperti High End, dan Koran Sindo. Harry bersama Surya Paloh mendirikan Partai Nasional Demokrat (Nasdem), meskipun akhirnya keluar dan bergabung bersama Wiranto di Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Kini, HT merintis Partai Indonesia (Perindo) dengan agenda utama menjadi peserta pada Pemilu 2019 mendatang.
4) Aburizal Bakrie dan Viva Taipan media di Indonesia berikutnya adalah Aburizal Bakrie atau Ical dengan stasiun TV One dan ANTV serta media online vivanews.com. Keluarga pengusaha tersebut juga memiliki banyak perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi seperti ESIA, dan berbagai bisnis properti. Perusahaan Ical yang paling disorot adalah Lapindo yang mengakibatkan ratusan rumah di Sidoarjo, Jawa Timur, tenggelam dalam lumpur panas dan belum selesai hingga sekarang. Ical juga merupakan Ketua Umum Partai Golkar dan memiliki media massa cetak sendiri, yaitu Suara Karya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
188
5) Surya Paloh dan Media Grup Pria kelahiran Nangroe Aceh Darussalam ini terjun ke bisnis media massa melalui Prioritas yang diberedel Orde Baru. Surya Paloh juga mendirikan koran nasional Media Indonesia dan beberapa koran lokal di daerah serta stasiun televisi Metro TV yang mengkhususkan konten pada berita atau news. Setelah keluar dari Partai Golkar, Surya Paloh mendirikan Partai Nasdem dan masuk ke dalam 5 besar partai politik pemenang Pemilu 2014. Bisnis Surya Paloh di luar media massa cukup banyak, termasuk di antaranya pertambangan dan kehutanan.
6) Chairul Tandjung dan Trans Corp Dokter Gigi lulusan Universitas Indonesia ini memimpin Trans Corp dengan stasiun televisi Trans TV dan Trans 7 yang berkantor di kawasan Mampang, Jakarta. Chairul Tandjung (CT) juga mengendalikan Bank Mega, Carefour, Transmart, Transtudio, francise Baskin Robin dan Coffe Bean, dan perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan. Trans Corp juga menggelontorlan dana Rp521 miliar untuk membeli situs berita online terbesar di Indonesia, Detik.com. Pada akhir 2014, Trancorp mendirikan CNN Indonesia dengan konten berita dalam bentuk naskah, foto, dan video. Selain menjadi Ketua Dewan Ekonomi Nasional, CT pernah menjabat sebagai Plt Menko Perekonomian menggantikan Hatta Rajasa saat kepemimpinan SBY.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
189
7) Erick Tohir dan Mahaka Mahaka media merupakan perusahaan media multiplatform yang membuat, menjual, mengumpulkan dan mendistribusikan konten-konten komunitas melalui semua platform yang dibutuhkan konsumen. Pada tanggal 4 Januari 1993, Perseroan mendirikan Harian Republika, surat kabar pertama bagi komunitas Muslim di Indonesia. Sejalan dengan perkembangan
usahanya,
kini
PT.
Mahaka
Media
Tbk. telah
menjadi Induk Perusahaan Multimedia yang membawahi 16 unit usaha dengan total jumlah karyawan lebih dari 1000 orang. Unit-unit
usaha
tersebut
termasuk Surat
Kabar, Majalah, Penerbit
Buku, Televisi, Radio, Media Luar Ruang (Billboard), Animasi dan Teater 4D, serta Media Digital. Mahaka juga merupakan pemilik Jak TV sebagai stasiun TV lokal Jakarta, dan Radio Gen FM. Erick Tohir dikenal masyarakat melalui aktivitasnya di bidang olah raga basket dan kini menjadi pemilik saham mayoritas klub sepak bola Serie A Italia, Intermilan.
8) James T Riyadi dan Berita Satu Pemilik Grup Lippo, Li Wenzhen atau yang dikenal dengan Mochtar Riady merupakan orang ke delapan dari 10 besar orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes di tahun 2014. Forbes mencatat jumlah kekayaan Mochtar mencapai Rp 28,8 triliun, naik dari Rp20,9 triliun dua tahun lalu. James T Riyadi merupakan anak dari Mochtar Riady yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
190
menjalankan berbagai bisnis seperti properti, rumah sakit, pendidikan, dan media massa dalam payung besar Grup Lippo. Pada Januari 2011, Globe Media Group yang dimiliki oleh John Riady, anak James T. Riady, mengakuisisi media online beritasatu.com. Nama Globe Media Group pun kini berganti menjadi Berita Satu Media Holdings. Tergabung dalam grup media baru ini adalah beberapa media cetak seperti The Jakarta Globe, Globe
Asia, first
media, Investor
Daily, The
Straits
Times, Investor, Suara Pembaruan, stasiun televisi QTV, dan portal berita beritasatu.com.
9) Goenawan Muhammad dan Tempo Group Dalam Merdeka.Com, Goenawan disebut mendirikan Majalah Mingguan Tempo pada 1971, sebuah majalah yang mengusung karakter jurnalisme majalah Time. Dia banyak menulis kolom tentang agenda-agenda politik di Indonesia dengan jiwa kritisnya. Tempo dianggap sebagai oposisi yang merugikan kepentingan pemerintah sehingga dihentikan penerbitannya pada 1994. Namun, setelah Soeharto lengser, Tempo kembali terbit dan melakukan banyak perubahan tanpa menurunkan kualitasnya. Seiring berjalannya waktu, Tempo memasuki bisnis media massa harian dan online di samping lini bisnis utama berupa percetakan. Goenawan mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) pada awal reformasi dengan tujuan agar ada partai politik yang menyumbang perbaikan semangat dan mutu kepartaian yang dirusak oleh rezim Orde
http://digilib.mercubuana.ac.id/
191
Baru. Namun pada Kamis, 15 Mei 2014, Goenawan mundur dari keanggotaan PAN karena kecewa pada keputusan partai yang mengusung Ketua Umum PAN Hatta Rajasa sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto pada Pemilihan Umum Presiden 2014. Saat ini, Goenawan lebih sering terlihat dalam acara-acara sastra, teater, dan kegiatan kesenian lainnya, terutama di Teather Salihara, kawasan Pasar Minggu, Jakarta.
10) Sukamdani Sahid Gitosardjono dan Bisnis Indonesia Sukamdani Sahid Gitosardjono merupakan pemimpin Sahid Group yang menjalankan bisnis di bidang perhotelan, property, pendidikan, dan media massa. Bisnis Indonesia merupakan surat kabar harian dengan segmentasi pemberitaan bisnis dan ekonomi milik mereka yang diterbitkan sejak 14 Desember 1985. Menyusul akhirnya mereka merintis untuk membuat koran lokal Solopos dan Harian Jogja yang kini memiliki anak perusahaan berupa stasiun radio. Grup ini juga mendirikan sejumlah website seperti Kabar24.com, dan website bisnis.com di beberapa daerah.
11) Eddy Kusnadi Sariaatmadja dan EMTEK PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. (EMTEK) yang dipimpin Eddy Kusnadi Sariaatmadja merupakan pemilik dan pemegang saham mayoritas Stasiun Televisi Indosiar dan Surya Citra Televisi (SCTV). Fofo Sariaatmadja, merupakan adik Eddy yang menjadi Direktur Utama
http://digilib.mercubuana.ac.id/
192
SCTV. Bisnis lain keluarga ini adalah media online Liputan6.com. Di luar media massa, bisnis keluarga Sariaatmadja ini di bidang pertambangan, minyak, dan gas, serta pengadaan Teknologi Informasi dan komputer. Di tahun 2014, Eddy menduduki peringkat ke 40 dari 50 orang terkaya di Indonesia versi Forbes.
Di luar 11 tokoh tersebut di atas, ada pula beberapa pengusaha yang mencoba terjun ke bisnis media massa. Hanya saja, korporasi yang dibangun tidak terlalu besar dan terkesan hanya coba-coba. Grup Pos Kota dan Femina misalnya, atau pengusaha pemegang merk dagang Gulaku yang mendirikan Koran Jakarta dan Lion Air yang memiliki Harian Nasional. Partai Demokrat bahkan pernah membuat koran harian Jurnal Nasional, namun tutup pada akhir 2014 setelah kepemimpinan SBY berakhir. Campur tangan pemilik media massa pada kebijakan redaksi sangat mungkin terjadi termasuk dalam pemuatan foto jurnalistik. Pemuatan foto jurnalistik di media massa terkadang juga mempertimbangkan aspek ekonomi berdasarkan kepemilikan, pemasang iklan, dan pandangan politik tokoh sentral dari media massa tersebut. Biasanya selain foto promosi dan kegiatan dapat dengan mudah tampil di media massa, lembaga maupun pemasang iklan mendapatkan perhatian dan perlindungan khusus jika mengalami masalah atau terlibat dalam sebuah kasus.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
193
‘Garis api’ yang selama ini digembar-gemborkan untuk memisahkan ruang redaksi dan bisnis media massa perlahan memudar dan sulit dibedakan oleh masyarakat awam. Jika tokoh pemilik media massa tersebut termasuk tokoh partai politik atau dekat dengan kepentingan politik tertentu, maka kebijakan redaksi yang dilakukan juga tidak bertentangan dengan pandangan politik sang pemilik. Kondisi paling menonjol terlihat dalam penerbitan media massa saat Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden 2014. Pewarta foto di Media Indonesia misalnya, sangat sering diajak dalam kegiatan Surya Paloh di seluruh Indonesia. Mereka bahkan kerap sangat dekat Surya Paloh karena menggunakan pesawat pribadi bersama untuk mendatangi lokasi kegiatan di daerah. Namun Redaktur Foto Media Indonesia Haryanto menyatakan, Surya Paloh atau orang-orang di sekitarnya tidak pernah melakukan intervensi terhadap konten foto maupun berita yang diterbitkan Media Indonesia. Jika mereka mengundang sebuah acara, desk foto Media Indonesia memang selalu mengirimkan pewarta foto. Tapi jika kebetulan nilai beritanya kecil dan kurang menarik atau tidak penting untuk masyarakat,
redaksi mengambil keputusan untuk tidak memuat. Surya Paloh
maupun Partai Nasdem tidak pernah memaksa redaksi Media Indonesia untuk memuat sebuah foto tertentu. Kondisi serupa juga dialami pewarta foto di grup MNC dan Viva. Ada semacam ‘liputan wajib’ bagi pewarta foto jika menyangkut kegiatan pemilik media yang terkait dengan bisnis, maupun kepentingan politiknya. Larangan untuk menampilkan foto kegiatan tokoh yang menjadi lawan politik juga
http://digilib.mercubuana.ac.id/
194
diberlakukan, kecuali jika berita tersebut negatif dan berpotensi menurunkan elektabilitas lawan politik pemilik media.
http://digilib.mercubuana.ac.id/