BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum 4.1.1 Cina Benteng Indonesia memiliki keanekaragaman budaya yang menjadi ciri khas yang unik dari negara lain. Uniknya, karena pada umumnya sekelompok masyarakat membentuk suatu bangsa berdasarkan kesamaan budaya, tetapi bangsa Indonesia justru terbentuk dari kesamaan hati yang melampaui segala macam perbedaan termasuk salah satunya adalah perbedaan budaya. Begitupula dengan keberadaan masyarakat Tionghoa peranakan yang ada di nusantara. Mereka merupakan bagian dari budaya bangsa Indonesia. Pengalaman interaksi mereka dengan masyarakat menghasilkan pola hubungan yang berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain. Mengenai riwayat nenek moyang Cina Benteng, sebelum terjadi imigrasi masal etnik Tionghoa ke Asia Tenggara, khususnya ke Indonesia dan Malaysia, masyarakat Tionghoa dikedua kawasan itu sangat kecil. Pada umumnya, anggotanya telah berbaur ke dalam masyarakat setempat. Pada masa itu transportasi sulit, orang Tionghoa dilarang oleh kerajaan tiongkok untuk meninggalkan negara, dan mereka yang meninggalkan tanah leluhurnya pun tidak membawa anggota keluarga.37
37
Marisa Gunawan.Dentingan Duabelas Mangkok.2014.Jakarta : Red & White Publishing Hal 1
44 http://digilib.mercubuana.ac.id/
45
Dalam sejarah Cina kuno, dikatakan orang-orang Cina mulai merantau ke Indonesia pada masa akhir pemerintahan dinasti Tang. Daerah pertama yang didatangi adalah palembang, yang pada waktu itu merupakan pusat perdagangan kerajaan Sriwijaya, kemudian mereka datang ke pulau Jawa untuk mencari rempah-rempah. Orang Cina datang ke Indonesia dengan membawa serta kebudayaannya, termasuk unsur agamanya. Begitulah, kebudayaan Cina hadir dan berakulturasi menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia.34 Sejarah mulanya masyarakat Tionghoa yang sekarang tinggal di kawasan Pecinan Tangerang adalah berasal dari Banten. Kala itu, banyak orang Tiongkok yang berlabuh di Banten. Banten sendiri saat itu menjadi pelabuhan paling padat di wilayah tanah Jawa. Menurut kitab sunda “Tina Layang Parahyangan”, masyarakat Cina Tangerang dan Batavia sudah ada setidak-tidaknya sejak tahun 1407. Didalam kitab ini tertulis pula bahwa pendaratan pertama rombongan Cina ini di muara Sungai Cisadane atau yang lebih dikenal sekarang dengan Teluk Naga ini, dipimpin oleh Tjen Tjie Lung atau Ha Lung yang diyakini merupakan salah satu pengikut dari laksamana Zheng He (Cheng Ho). Disekitar Tegal pasir (Kali pasir) Belanda mendirikan perkampungan Tionghoa yang dikenal dengan nama petak sembilan. Perkampungan ini kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan dan telah menjadi bagian dari kota Tangerang. daerah ini terletak disebelah timur sungai Cisadane, daerah pasar lama sekarang, dan papabila daerah itu dilihat dari atas akan terlihat suatu bentuk kanji. 34
Ibid Hal 2
http://digilib.mercubuana.ac.id/
46
Dahulu, pemukiman masyarakat Cina Tangerang berpusat di kawasan pasar lama (Jl. Kisamaun dan sekitarnya), namun akhirnya di akhir tahun 1900-an menyebar ke kawasan pasar baru dan daerah-daerah lainnya. Pertama kali masyarakat China Benteng tinggal di area yang sekarang menjadi lokasi Pasar Lama Tangerang dan Klenteng Boen Tek Bio. Hingga akhirnya meluas ke Pasar Baru dan Stasiun Tangerang. Kemudian Benteng Tangerang dibangun sekitar 1730 oleh Belanda sebagai pertahanan terhadap serangan Banten yang kembali ingin merebut Batavia. Dari pertahanan ini kemudian lahirlah istilah Benteng sebagai nama lain dari kota Tangerang. Orang Tionghoa peranakan turun temurun bermukim di Tangerang dengan bangga menyebut mereka sebagai Cina Benteng, yang berati Cina Tangerang. Kebetulan saat itulah di Tangerang ada benteng Makasar, mereka tinggal di sekitar situ. Maka jadilah sebutan bagi mereka, yakni masyarakat China Benteng yang melekat sampai kini. Cina benteng bukan hanya digunakan untuk mengacu kepada penduduk Tionghoa di kota Tangerang saja, tetapi juga penduduk Tionghoa di seluruh wilayah kabupaten Tangerang, termasuk diantaranya daerah sewan, Kedaung wetan, Selapajang, Kampung Melayu, Tanjung Burung, Tanjung Pasir, Lenmo, Curug, Legok, Tigaraksa, Baur, Sipatan, Kebon Baru, Cengklong, Blimbing, Kosambi selain itu, Cina Benteng juga dapat ditemui di beberapa kawasan termasuk di kawasan DKI Jakarta seperti Dadap, Cengkareng, Rawa Bokor, Rawa Lele.35
35
Ibid Hal 4
http://digilib.mercubuana.ac.id/
47
Mayoritas dari rombongan Cina yang datang ke Jawa adalah kaum lakilaki Tionghoa (Totok) menetap dan menikah dengan wanita setempat (Nyai) dan membentuk keluarga. Hasil perkawinan campur inilah yang membentuk orang Tionghoa peranakan. Kaum peranakan di Jawa umumnya keturunannya yang sudah berasimilasi, sudah tidak menguasai bahasa asalnya lagi dan berbahasa Melayu atau dialek setempat seperti Sunda atau jawa.36 Masyarakat Cina Benteng Tangerang kebanyakan orang-orang peranakan. Sebab mereka sudah tinggal lebih dari 15 generasi. Masyarakat Cina totok sendiri masih tersisa sedikit saja. Sebab masyarakat Cina Totok di Tangerang sudah mulai tergerus zaman, hidupnya tidak lebih dari 4-5 generasi. Masyarakat totok sendiri masuk ke Indonesia sekitar akhir abad 19 sampai awal abad 20-an. Kawasan Pecinan Tangerang konon sudah dihuni orang Cina sejak abad ke-17. Perkembangan kawasan Pecinan Tangerang lama-lama mengarah ke modern dengan meninggalkan aneka tradisi tinggalan nenek moyang.37 Kedatangan kaum Cina di Jawa sudah terjadi selama berabad-abad melalui Mauk di Banten barat, Teluk naga di utara, serta melalui Batavia yang terletak di sebelah timur. Seiring dengan diluar tembok Batavia, maka banyak orang Tionghoa mengusahakan pertanian, perkebunan tebu dan pembuatan arak.38
Ibid Hal 9 https://id.berita.yahoo.com/mengenal-tradisi-cio-tao-090449798.html diakses tanggal 10 September 2014 Pukul 16.10 WIB 38 Marisa Gunawan.2014.Dentingan Duabelas Mangkok.Jakarta : Red & White Publishing Hal 9 36 37
http://digilib.mercubuana.ac.id/
48
Tradisi unik yang dibawa dari Tiongkok di kawasan Pecinan Tangerang adalah adat pernikahan yang disebut Cio Tao. Selain pernikahan, adat kematian di kawasan ini juga masih dari sang nenek moyang. Para pelayat dan keluarga harus mengenakan pakaian serba putih. Tapi akhir-akhir ini tradisi tersebut mulai ditinggalkan anak muda sebab sudah kenal urban fashion, tak mau repot dan berpindah agama. Banyak orang China Benteng yang mulai memeluk agama lain baik itu Kristen, Katolik maupun Islam sehingga mereka meninggalkan tradisi tersebut. Orang-orang China Benteng hidupnya sangat sederhana, biasanya tinggal di kampung seperti kawasan Pecinan Tangerang itu. Banyak pula masyarakat yang berprofesi sebagai petani dan pedagang.39 4.1.2 Tradisi Pernikahan Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dirumuskan pengertian perkawinan yang didalamnya terkandung tujuan dan dasar perkawinan dengan rumusan “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.” Masyarakat Tionghoa Indonesia adalah masyarakat patrilineal yang terdiri atas marga / suku yang tidak terikat secara geometris dan teritorial yang selanjutnya telah menjadi satu dengan suku-suku lain di Indonesia. Mereka kebanyakan masih membawa dan mempercayai adat leluhurnya.
https://id.berita.yahoo.com/mengenal-tradisi-cio-tao-090449798.html diakses tanggal 10 September Pukul 16.10 WIB 39
http://digilib.mercubuana.ac.id/
49
Hukum
adat
Tionghoa
hidup
dan
berkembang
seiring
dengan
perkembangan masyarakat Tionghoa itu sendiri. Bertahan atau tidaknya sebahagian maupun keseluruhan dari kebiasaan dan adat-istiadat Tionghoa tergantung kepada masyarakat etnis Tionghoa itu sendiri, apakah masih sesuai adat-istiadat tersebut untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan mengikuti perkembangan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Agama merupakan faktor penting yang menentukan berlanjutnya kebiasaan budaya Tionghoa. Bagi keluarga yang menganut kepercayaan Budha dan Tao misalnya, kedekatan dengan kebudayaan Tionghoa masih kuat karena banyak upacara keagamaan, seperti penggunaan hio dalam pemujaan leluhur yang terkait dengan kebudayaan Tionghoa.40 Dalam tradisi Cina melihat hari, jam dan tanggal baik merupakan salah satu hal yang wajib diperhitungkan. Dengan banyaknya kebutuhan yang harus dilengkapi dan kurangnya pengetahuan akan hal pernikahan biasanya kedua pasangan menyerahkan kepada orang tua mempelai. Masyarakat keturunan Tionghoa dalam suatu perkawinan yang akan dilaksanakan harus melalui tiga tahap upacara, yaitu: a. Upacara adat Tionghoa b. Upacara tata cara agama yang diyakini c. Upacara pesta perkawinan (Resepsi Pernikahan)
Aimee Dawis.2010.Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas.Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama Hal. 21 40
http://digilib.mercubuana.ac.id/
50
Ketiga upacara itu tidak diharuskan dilaksanakan seluruhnya, karena di dalam melakukan tiap-tiap upacara tersebut diperlukan biaya-biaya yang tidak sedikit, kecuali memang tingkat ekonominya mendukung. Sekalipun hanya melakukan upacara perkawinan secara adat saja maupun tata cara agama, tanpa melaksanakan upacara pesta perkawinan, perkawinan tersebut telah dianggap sah dalam masyarakat adat Tionghoa. Upacara pernikahan pada etnis Tionghoa tidaklah dilakukan secara seragam di semua tempat, tetapi terdapat berbagai variasi yang disesuaikan dengan pandangan mereka pada adat tersebut dan pengaruh adat lainnya pada masa lampau. Upacara menjelang pernikahan diantaranya adalah : 1. Melamar Pihak keluarga mempelai pria mendatangi kediaman mempelai wanita untuk melamar. Sebelumnya pihak wanita sudah mengetahui kedatangan keluarga mempelai pria dan mempersiapkan makanan dan kue basah untuk disajikan. Ketika proses lamaran berlangsung pun, pihak pelamar belum akan menyentuh makanan dan minuman yang disajikan sebelum keluarga calon mempelai wanita memastikan lamaran telah diterima. Menjelang pulang, orang tua dari mempelai pria menyelipkan uang dibawah cangkir teh sebagai tanda kasih kepada calon menantu.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
51
2. Penentuan Hari Baik, Bulan Baik Masyarakat Tionghoa percaya bahwa dalam setiap melaksanakan suatu upacara, harus dilihat hari dan bulannya. Apabila jam, hari dan bulan pernikahan kurang tepat akan dapat mencelakakan kelanggengan pernikahan mereka. Oleh karena itu harus dipilih jam, hari dan bulan yang baik. 3. Sangjit Sangjit merupakan tradisi melamar dengan membawa nampan yang berisi baju, sepatu, makanan, minuman, dan manisan. Semua ditaruh diatas nampan yang dihias dengan kertas atau pita merah. Selain itu juga dilengkapi dengan uang susu (angpao) dan 2 pasang lilin. Umumnya uang susu ini hanya diambil sebagian saja.
Upacara pernikahan diantaranya adalah : 1. Pemasangan Sprei/ Menghias Kamar Seusai melaksanakan prosesi sangjit, keluarga calon pengantin pria akan mempersiapkan ranjang baru untuk kamar pengantin. Dipojok kamar diletakan sesajien untuk dewa penghuni kamar. Ada tradisi unik, anakanak akan diminta meloncat-loncat/jungkir balik di atas ranjang pengantin sebelum ranjang ditata. Selain bisa untuk menguji kekuatan ranjang, ada mitos tradisi ini bisa membuat pengantin cepat mendapat momongan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
52
2. Cio Tao Dipagi hari pada upacara hari pernikahan, diadakan upacara tradisi sembayang kepada Tuhan atau yang sering disebut Cio Tao. Upacara ini terdiri dari penghormatan kepada Tuhan, alam, leluhur, Orang tua dan kedua mempelai. Pertama pengantin akan sembayang Sam Kai yaitu sembayang kepada Tuhan. Dilanjutkan dengan sembayang leluhur, lanjut upacara naik tetampah, sisir rambut, pemakaian baju Pao oleh kedua orang tua kepada pengantin, makan 12 mangkok, makan nasi melek, pengantin perempuan dijemput pengantin laki-laki, pengantin perempuan disambut dikediaman pengantin laki-laki lalu diakhiri dengan upacara teh pai. 3. Pemberkatan Pernikahan Dilakukan pemberkatan sesuai dengan kepercayaan mempelai, bisa dilakukan di Vihara atau di Gereja. Pemberkatan ini juga sekaligus untuk catatan sipil pernikahan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
53
4.2 Hasil Penelitian 4.2.1 Perbedaan Etnis Cina Benteng dengan Etnis Cina Lain Di Indonesia Etnis Tionghoa tersebar di seluruh Indonesia. Mulai dari Kalimantan, Semarang, makasar, dll. Salah satunya adalah etnis Tionghoa yang ada di kota Tangerang. Etnis ini disebut etnis Cina Benteng karena memiliki sejarah dari zaman penjajahan Belanda. Berbeda dengan etnis Cina Benteng kebanyakan etnis Cina lainnya yang ada di Indonesia adalah pendatang dari cina yang masih mempertahankan kebudayaan asli mereka (totok). Mereka juga masih fasih berbahasa mandarin atau bahasa daerah cina campuran. Sebut saja etnis Cina Hokian, Cina Khe dan Tio Ciu di Kalimantan, rata-rata masyarakat kalimantan masih fasih berbahasa mandarin. Sedangkan etnis Cina Benteng bahasa mereka sudah bercampur dengan bahasa sekitar. Tradisi yang dimiliki masing-masing etnis juga berbeda. Misalnya saja etnis Cina Benteng mengenal istilah ayam bekakak yaitu ayam utuh yang dipanggang dan disajikan untuk sesajen masyarakat etnis Cina Benteng. Untuk masyarakat Etnis lain mereka tidak mengenal istilah ayam tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Oey Tjin Eng yang merupakan humas perkumpulan keagamaan Boen Tek Bio Tangerang : “Semua tradisi Cina Benteng adalah hasil akulturasi, contohnya Cio Tao, ancak, yaitu 4 sesajen penjuru dipojok rumah untuk penunggu rumah, beras kuning yang biasa sipakai orang Jawa, ayam bekakak, kembang 7 rupa itu semua dipakai etnis Cina Benteng”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
54
4.2.2 Cio Tao Dalam Cina Benteng Secara umum tradisi pernikahan Cio Tao masi dilakukan etnis Tionghoa di daerah Tangerang, Cikampek, sebagian kecil Bogor, Padang bahkan Malaysia. Seperti yang diungkapkan Bpk. Oey Tjin Eng : “Cio Tao itu masi dilakukan di Tangerang, Cikampek, Bogor sebagian kecil, Padang, Malaysia namun semuanya memiliki perbedaan yang terletak pada kembang yang digunakan sebagai hiasan kepala.” Begitu pula yang dikatakan David Kwa dalam jurnalnya berjudul “Chiou Thau Ritus Pemurnian dan Inisiasi Menuji kedewasaan” Cio Tao sebenarnya dikenal tidak saja dikalangan peranakan di daerah (Kabupaten) Tangerang, tetapi juga di Padang, Sumatera Barat. Diluar negeri antara lain di Malaysia (Pulau Pinang dan Melaka) dan di Singapura. Perbedaan tradisi ini terletak pada kembang goyang yang dipakai pengantin dan juga pakaian yang dikenakan. Pengantin tradisional Tionghoa di Malaysia menggunakan busana ala dinasti Ming, sedangkan di Indonesia yang menjadi acuan adalah busana dinasti Ching. Ciri utama adalah penggunaan topi mandarin berupa caping pejabat bagi pengantin pria.41
Iwan Santosa.2012. Peranakan Tionghoa Nusantara. Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara Hal 58 - 60
41
http://digilib.mercubuana.ac.id/
55
Cio Tao adalah istilah umum bagi upacara pernikahan adat Tionghoa yang hingga saat ini masi dilakasanakan di daerah Tangerang. bila seseorang mengatakan bahwa ia telah “Kawin Cio tao” maka itu artinya ia telah melaksanakan upacara pernikahan tradisional Tionghoa, lengkap dengan segala upacaranya. Uniknya dalam Cio Tao terdapat upacara secara simbolis yang diwakili barang-barang yang dipakai selama prosesi. Misalnya sisir, gunting, pedang, semua benda tersebut memiliki arti filosofis. Tujuan melakukan Cio Tao agar kedua mempelai hidup mandiri tanpa campur tangan dari kedua orang tua. Makna Cio Tao oleh Oey Tjin Eng di definisikan sebagai berikut : “Inisiasi melepas masa lajang menuju kedewasaan misalnya ketika ribut dengan suami jangan bawa-bawa orang tua. Karena kamu sudah melakukan Cio Tao dan tidak terikat lagi dengan orang tua” Salah satu prosesi upacara Cio Tao adalah makan nasi melek yaitu makan nasi putih yang disuapi oleh orang tua mempelai. Makan nasi ini mengandung arti suapan terakhir dari orang tua yang akan melepas anak mereka menuju kedewasaan. Berbeda dengan etnis Cina Hokian yang melakukan upacara teh pay sebagai upacara pernikahan adat etnis mereka. Upacara Cio Tao tidak wajib dilakukan oleh seluruh etnis Cina Benteng, tetapi bagaimana kita mau mempertahankan budaya kalau kita sendiri tidak mau melakukan Cio Tao.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
56
4.2.3 Usaha Pelestarian Cio Tao Usaha pelestarian Cio Tao bisa dilakukan dengan menanamkan pemahaman kepada generasi muda bahwa Cio Tao merupakan upacara yang sakral yang hanya dilakukan sekali seumur hidup, dan Cio Tao merupakan warisan budaya dari leluhur yang harus tetap dijaga kelestariannya. Orang tua bisa berperan sebagai aktor yang memperkenalkan Cio Tao kepada generasi muda. Bisa melalui dokumentasi foto atau vdeo. Sebenarnya upaya untuk tetap melestarikan tradisi ini sudah dilakukan, misalnya dengan melakukan penyuluhan di vihara. Bante Grinata salah satu yang aktif melakukan ceramah mengenai tradisi dan kebudayaan Cina Benteng. Namun semua itu kembali kepada individu masing-masing. Seperti yang dilakukan peneliti, peneliti membuat video dokumentasi prosesi Cio Tao dari awal hingga akhir. Tujuannya agar generasi muda dapat melihat video tersebut kemudian mempelajari dan memahami setiap proses yang ada.setiap proses dalam upacara Cio Tao memiliki arti dan maknanya tersediri. Memang tidak tersirat secara langsung, tetapi jika melihat kearah filosofinya upacara ini mengandung sarat makna bagi kehidupan pernikahan kedua mempelai. Dalam pembuatan video tersebut terdapat perbedaan prosesi dan kurang lengkapnya alat yang digunakan, bisa saja ini menjadi faktor mulai pudarnya kelestarian tradisi ini.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
57
Perbedaan yang terlihat jelas dalam upacara tersebut adalah ketika prosesi menyisir rambut. Karena biasanya yang menyisir rambut mempelai adalah adik kandung bontot dari mempelai. Namun dalam video tersebut dilakukan oleh orang tua mempelai. Oey Tjin Eng menjelaskannya kepada peneliti. “Sebetulnya yang menyisirkan rambut adalah orang yang sudah mapan. Supaya pengantin bisa mapan seperti dia. Sekarang saja ada perubahan yaitu adik paling kecil yang menyisirkan. Tidak apa-apa jika orang tua yang menyisirkan kalau pengantin tidak punya adik.” Orang tua tidak boleh memaksa anaknya untuk melakukan Cio Tao karena Cio Tao dilakukan berdasarkan kemauan diri sendiri. Seperti yang diungkapkan Lina yaitu pengantin mempelai wanita yang peneliti wawancarai. “Saya tidak mendapat paksaan dari siapapun, saya melakukan ini murni karena keinginan saya. Karena upacara ini hanya dilakukan sekali dalam seumur hidup saya dan saya juga ingin menikah sekali dalam seumur hidup saya. Kalau bukan saya yang melestarikan tradisi ini nanti anak cucu saya tidak bisa merasakan Cio Tao. Saya percaya jika upacara ini mengandung banyak sekali makna untuk kehidupan pernikahan saya” Begitu pula keterangan yang diungkapkan oleh orang tua mempelai. ”Saya senang anak saya mau melakukan Cio Tao, jadi ada penerus dari keluarga saya. Tidak peduli dia dari agama apapun jika itu tradisi dari leluhur kita harus menjalaninya.”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
58
4.2.4 Generasi Muda Cina Benteng Dengan Tradisi Cio Tao Salah seorang generasi Cina Benteng yang peneliti wawancarai Yuli (24), mengaku tidak ingin melakukan tradisi Cio Tao ketika ia menikah nanti. Upacara yang rumit dan memakai kembang goyang diatas kepala yang membuat ia enggan melakukan upacara ini. “Cio Tao itu ribet, harus bangun subuh mata masi ngantuk harus sembayang harus pakai kembang goyang yang berat diatas kepala.” Upacara ini tidak melulu dilakukan subuh-subuh. Adakalanya dilakukan siang hari. Hanya orang-orang etnis Cina pedalaman yang melakukannya subuh sebelum matahari terbit. Belum lagi jika pengantin mengadakan pesta pernikahan di restoran, maka Cio Tao biasanya dilakukan siang hari sebelum mempelai pergi menuju gedung resepsi. Seperti yang dijelaskan Oey Tjin Eng berikut, “Biasanya
orang-orang
didaerah
pedalaman
yang
masi
memegang tradisi melakukannya pagi-pagi ibarat pepatah mengatakan jangan sampai keduluan ayam untuk mencari rezeki.”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
59
Beberapa generasi muda etnis Cina Benteng yang peneliti wawancarai menuturkan jika mereka menikah nanti mereka ingin melakukan Cio Tao. “Cio Tao itu kan tradisi... ya jadi musti dilaksanakan... kalau inti dari Cio Tao ga gitu paham tapi pasti ada arti-artinya tersendiri.” Wawan (24) salah satu generasi muda keturunan peranankan Cina mengatakan bahwa ia ingin melestarikan tradisi dan budaya etnis Cina Benteng. Meskipun ia tidak begitu mengerti apa inti dari Cio Tao namun ia yakin bahwa ada makna tersendiri dibalik upacara ini. Generasi muda etnis Cina Benteng memang tidak banyak yang tidak mengetahui inti dari Cio Tao tetapi dengan mereka memiliki keinginan untuk melakukan tradisi ini secara tidak langsung mereka mengetahui jalannya upacara ini. Memang sangat disayangkan jika generasi muda sekarang tidak ada yang mengetahui inti dari Cio Tao. Orang tua dan tokoh masyarakat Tionghoa seharusnya lebih melakukan penyuluhan mengenai tradisi ini. Fakta lain yang didapat peneliti ketika turun langsung ke lingkungan masyarakat Cina Benteng di Cukanggalih Tangerang adalah bahwa biaya untuk melakukan Cio Tao itu sangat mahal bisa mencapai Rp.12.000.000,- Ini juga yang menjadi alasan beberapa etnis Cina Benteng dengan tingkat ekonomi yang rendah enggan melakukan tradisi ini. Padahal sangat disayangkan sekali tradisi yang diakukan sekali seumur hidup ini tidak bisa dilakukan hanya karena terbentur biaya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
60
“Jika menikah nanti saya mau sangat melakukan Cio Tao, Cuma biaya Cio Tao mahal. Andaikata murah saya 1000% mau... ini untuk melestarikan budaya... penting itu...” Ungkapan dari Juli Halim (25) yang ingin sekali melakukan Cio Tao ketika menikah nanti. Namun Juli terbentur biaya yang mahal sehingga ia tidak bisa melakukan Cio Tao. Begitu pula alasan yang di tuturkan Dharmawan (22) ketika peneliti tanya apakah ketika menikah nanti ia akan melakukan upacara Cio Tao atau tidak. “Ya... Itu tradisi yang harus dilestarikan dan penuh dengan filosofi yang luar biasa maksud dan tujuannya. Ini harus ada kesadaran dari diri sendiri. Tujuannya kan untuk melestarikan tradisi Cina Benteng. Tetapi jika saya diberikan rezeki lebih saya akan melakukan Cio Tao. Kalau tidak mungkin hanya sembayang kepada leluhur saja” Suryadi menambahkan bahwa ia mau sekali melakukan Cio Tao karena itu merupakan tradisi yang sudah diwariskan sejak dari nenek moyang. Sebagai generasi muda ia mengaku harus melestarikan budaya meskipun ia juga mengatakan bahwa masalah biaya ayang menjadi penghambat dalam melakukan tradisi ini.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
61
Alasan yang diungkapkan Dharmawan, Juli, dan Suryadi semuanya sama biaya yang mahal menjadi salah satu penghalang. Tetapi jika memang ada kesadaran dari diri sendiri untuk mempertahankan tradisi seharusnya mereka menabung dari sekarang untuk biaya pernikahan nanti. Memang Cio Tao tidak wajib dilakukan etnis Cina Benteng dalam setiap pernikahan, tetapi jika memang ada keinginan untuk melesatrikan budaya maka lakukanlah. Intinya untuk melestarikan Cio Tao semua berasal dari diri sendiri. Mau atau tidaknya tergantung pada kedua mempelai. Alasan yang dikemukakan generasi Cina Benteng diatas menunjukan adanya kemauan untuk melestarikan tradisi ini. Pemahaman akan pentingnya upacara adat ini harus ditanamkan sejak dini kepada generasi muda. Jangan sampai tradisi yang sarat akan makna ini tergerus oleh zaman. Sangat miris rasanya jika anak cucu kita hanya bisa mendengar tradisi ini melalui jurnal atau dokumentasi dan tidak bisa merasakan sendiri upacara tradisi ini. Orang tua sangat berperan penting dalam mejaga kelestarian budaya ini. Karena dalam tradisi masyarakat etnis Cina Benteng salah satu upacara sakral seperti ini harus benar-benar sama atau sesuai dari generasi ke generasi. Misalnya saja tata letak meja sembayang dan sesajien semua harus sama. Dalam setiap keluarga etnis Cina Benteng pasti memiliki seseorang yang benar-benar mengerti mengenai tradisi leluhur mereka sehingga ia dijadikan tetuah atau pedoman dalam melaksanakan upacara sembahyang.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
62
Salah satu tanggapan seorang tokoh tetua etnis Cina Benteng Oen Tjuan Yan mengatakan : “Sebenarnya orang yang mau Cio Tao itu tergantung dari pribadinya. Kalau dia sudah memahami Cio Tao pasti dia mau. Tapi kalo dia ngga ngerti sama sekali pasti susah. Liat keseharian kita sebagai manusia, kewajiban yang kita jalani. Bangun pagi subuh terus sekolah. Bertahun – tahun dijalani, tapi ini Cio Tao hanya sekali seumur hidup, sebentar... ga nyampe 2 jam... orang udah mikir aja Cio Tao ribet musti bangun pagi dia ga ngerti aja arti Cio Tao. Kalau orang ngerti walaupun beragama lain pasti mau melakukan. Dan ini ungkapan rasa syukur saya buat generasi muda yang mau melestarikan Cio Tao.”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
63
4.2.4 Pemaknaan Tahapan Prosesi Cio Tao Oleh Narasumber Makna dari upacara Cio Tao banyak tidak diketahui oleh generasi muda sekarang. Mereka hanya tahu bahwa Cio Tao adalah upacara pernikahan khas Cina Benteng. Untuk inti dan makna sebenarnya dari upacara ini banyak yang tidak mengetahuinya. Untuk itu Oen Tjuan Yan menjelaskan kepada peneliti bagaimana tahapan prosesi dari Cio Tao dilakukan beserta makna dari setiap prosesinya. Semua prosesi dilakukan oleh kedua mempelai tidak terkecuali, baik dilakukan di masing-masing kediaman mempelai ataupun melakukannya bersamasama secara giliran (menumpang) di rumah pengantin pria atau wanita. Gambar 4.9 Upacara Sembayang Sam Kai
Sembayang Sam Kai dilakukan pengantin dan orang tua pengantin. Ini diisyaratkan adalah upacara memohon restu dan berkah keselamatan dari sang pencipta yaitu Tuhan yang Maha Esa.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
64
Gambar 4.10 Upacara Sembayang Kepada Leluhur
Selain kepada Tuhan, pengantin juga berdoa kepada leluhur yang dituakan untuk memohon doa keselamatan dan restu dalam menjalankan rumah tangga.
Gambar 4.11 Pengantin Menaiki Tetampah
Penganantin menaiki tetampah yang diletakan didepan gantang. Naik tampah berarti pengantin masuk ke dunia yang baru. Ditetampah seharusnya ada lambang Yin dan Yang, karena tetampah melambangkan bumi. Didalam bumi terdapat yin dan yang unsur yang harus ada dalam kehidupan manusia.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
65
Gambar 4.12 Upacara Sisir Rambut Pengantin
Upacara sisir rambut dilakukan oleh orang tua dari mempelai. Sisir rambut dilakukan sebanyak tiga kali, sisiran pertama agar pernikahan langgeng, sisiran kedua adalah doa agar pengantin melahirkan keturunan yang berguna, dan sisiran terakhir adalah harapan agar selamanya berbahagia. Setelah menyisir rambut pengantin wanita akan dirias oleh juru rias. Kepala pengantin dirias 25 kembang goyang sebagaimana yang dikenakan putri raja. Sebenrnya ada banyak tanggapan mengenai siapa yang berhak menyisirkan rambut pengantin. Bantahan tradisi yang sudah dijalani etnis Cina Benteng ratusan puluhan tahun ini dikemukakan Oen Tjuan Yan. Karena zaman sudah berkembang sekarang banyak yang menyisirkan rambut adalah adik bontot dari pengantin. “Yang menyisir rambut harus orang tua, karena fungsi dari sisir untuk merapikan atau membereskan sesuatu. Pengantin kan diurus sama orang tuanya segala urusan merapikan dan membereskan itu ibu sedangkan bapak mendampingi.”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
66
Gambar 4.13 Pengantin Dipakaikan Baju Cio Tao Oleh Kedua Orang Tua
Mempelai wanita dipakaikan baju kebangsaan pengantin Tionghoa yaitu pakaian “Pao”. Pengantin juga dipakaikan perhiasan seperti kalung dan anting – anting.
Gambar 4.14 Upacara Makan 12 Mangkok
Upacara makan 12 mangkok melambangkan suka duka dalam rumah tangga. Rasa dari 12 macam berupa manis asam pahit, itulah rasa yang akan dialami dalam rumah tangga.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
67
Gambar 4.15 Upacara Makan Nasi Melek
Orang tua mempelai akan menyuapi mempelai nasi yang disebut upacara makan nasi melek. Maknanya ini adalah suapan terakhir dari orang tua yang melambangkan orang tua melepas sang pengantin untuk menjalani hidup rumah tangga secara mandiri. Upacara makan nasi melek dilakukan setelah
mempelai melakukan upacara
makan 12 mangkuk. Nasi yang disuapi ke pengantin juga telah dicelupkan ke 12 mangkok makanan yang terhidang di meja. Ini juga menjadi lambang orang tua memberi tahu kepada pengantin mengenai setiap rasa yang akan dijalani dalam kehidupan rumah tangga.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
68
Gambar 4.16 Upacara Teh Pai / Pai Ciu
Upacara Pai Ciu yaitu penuangan arak oleh mempelai sebagai bentuk penghormatan kepada sanak keluarga yang lebih tua. Keluarga akan memberikan angpao sebagai tanda bekal kehidupan rumah tangga kepada mempelai.
Gambar 4.17 Pengantin Wanita Menunggu Dijemput Pengantin Pria
Pemasangan kerudung hijau menandakan pelepasan orang tua untuk diserahkan kepada pengantin pria. Pengantin wanita kemudian menunggu dijemput.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
69
Gambar 4.18 Pengantin Pria Datang Disambut Beras Kuning
Pengantin pria disambut keluarga mempelai wanita dengan sawer beras kuning. Sawer menandakan pengantin pria diterima secara resmi oleh keluarga mempelai wanita.
Gambar 4.19 Pengantin Wanita Datang Disambut Beras Kuning
Ketika tiba di rumah pengantin pria, pengantin wanita juga disambut dengan sawer beras kuning yang maknanya juga sama, berarti pengantin wanita diterima secara resmi oleh keluarga dari pengantin pria.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
70
Gambar 4.20 Upacara Makan Onde
Upacara makan onde melambangkan keharmonisan rumah tangga. Tekstur onde adalah lengket melambangkan suami istri harus terus lengket seperti onde. Onde diberi air gula dan jahe ini melambangkan rasa manis dan kehangatan dalam rumah tangga.
Gambar 4.21 Upacara Teh Pai / Pai Ciu
Upacara terakhir adalah teh pai / pai ciu yang pengantin wanita lakukan di kediaman mempelai pria. Sama seperti yang diakukan dikediaman wanita.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
71
4.2 Pembahasan Etnis Cina Benteng sudah menghuni Tangerang selama ratusan tahun. Bukti peninggalan etnis ini dapat ditemui di kelenteng Boen Tek Bio yaitu kelenteng tertua yang letaknya di kawasan pasar Lama Tangerang. Tradisi yang dimiliki masyarakat Cina Benteng sudah berbaur dan berakulturasi dengan penduduk setempat. Perbedaan tradisi yang terlihat jelas adalah tradisi Cio Tao yang mana sebagian tradisi pernikahan ini telah berakulturasi dengan budaya setempat. Upacara pernikahan ini berbeda dengan upacara pernikahan yang dilakukan etnis Tiongha lainnya. Misalnya saja etnis Tionghoa dari Medan yang melakukan tradisi teh pai sebagai tradisi upacara pernikahan etnis mereka. Teh pai prosesinya lebih singkat daripada Cio Tao dan juga tidak serumit Cio Tao. Hanya dengan mengenakan pakaian pernikahan moderen seseorang keturunan Cina Medan bisa melakukan upacara teh pai ini. Gambar 4.22 Upacara Teh Pai Etnis Cina Medan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
72
Gambar 4.23 Pengantin Dibekali Uang Oleh Keluarga
Upacara pernikahan yang dilakukan etnis Cina Medan tidak jauh berbeda dengan Cio Tao karena dalam prosesi Cio Tao juga ada prosesi teh pai dan setelah melakukan teh pai pengantin akan diberikan uang sebagai simbol bekal untuk masa depan mereka berdua. Cio Tao atau Shang tou dalam bahasa mandarin yang berarti menata rambut. Menata rambut maksudnya menyisir rambut sang mempelai dengan menggunakan sisir yang telah disediakan sebelumnya. Tradisi Cio Tao tidak hanya dilakukan etnis Cina Benteng saja tetapi tersebar di Cikampek, sebagian kecil Bogor, Padang bahkan Malaysia. Perbedaan tradisi ini terletak pada kembang goyang yang dipakai pengantin dan juga pakaian yang dikenakan. Misalnya pengantin tradisional Tionghoa di Malaysia menggunakan busana ala dinasti Ming, sedangkan di Indonesia yang menjadi acuan adalah busana dinasti Ching. Kembang goyang yang dipakai saat prosesi Cio Tao menjadi ciri khas dari tradisi ini. Pada etnis Cina Benteng kembang goyang yang digunakan lebih panjang daripada yang dipakai oleh etni cina di Malaysia.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
73
Gambar 4.24 Busana Cio Tao Ala Dinasti Ming (Malaysia)
Gambar 4.25 Busana Cio Tao Ala Dinasti Ching Hwa Khun (Cina Benteng)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
74
Dalam upacara sisir rambut terdapat perbedaan yang peneliti dapatkan dari hasil observasi di lapangan. Masyarakat Cina Benteng yang peneliti temui semua mengatakan hal yang sama bahwa yang menyisirkan rambut pengantin baik pengantin wanita maupun pria adalah adik bontot dari kedua mempelai, jika tidak ada adik bontot maka yang menyisirkan adalah orang tua dari pengantin. Hal berbeda peneliti temukan saat membuat video dokumentasi upacara Cio Tao pengantin Linawati. Lina memiliki adik bontot perempuan namun adiknya tidak diperbolehkan menyisirkan rambut karena permintaan dari keluarga. Perbedaan pendapat tersebut bisa saja terjadi jika salah satu kerabat dari keluarga mempelai benar-benar memiliki adat yang tidak bisa dibantah. Oen Cuan Rak yang merupakan ayah dari Linawati menuturkan : “Ini permintaan dari kakak tertua saya. Saya ga bisa bilang apaapa karena dia memang tokoh yang dituakan dalam keluarga saya. Dia berpegang teguh bahwa yang menyisirkan rambut adalah orang tua pengantin, karena orang pengantin lah yang membesarkan hingga anaknya menikah sekarang. Dulu kokohnya Lina juga mamahnya yang sisirin. Bukan adiknya yang bontot, tapi pasangannya yang juga Cio Tao di rumah masing-masing bilang kalau mereka yang sisirin adalah adik bontot... Cuma disini aja yang beda sendiri...”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
75
Perbedaan tersebut hanya terjadi keluarga pengantin yang peneliti lakukan observasi. Tidak hanya Linawati dan kakak laki – lakinya, rata-rata seluruh keluarga kerabat dari ayahnya Linawati melakukan hal yang sama. Saat keluarga ada yang melakukan Cio Tao ibu dari orang tua pengantinlah yang menyisirkan rambut. Perbedaan ini bisa saja terjadi jika ada perbedaan pendapat dari keluarga pengantin. Secara garis besar Cio Tao terkait erat dengan kepercayaan agama Khongchu. Keluarga Linawati sebagian besar beragama Khongchu sehingga mereka memegang teguh ajaran nabi mereka yang mengajarkan kebaikan orang tua. Jadi yang menyisirkan rambut adalah orang tua yaitu ibu atau saudara perempuan dari keuarga pengantin yang dituakan. Dahulu pada pengantin perempuan, rambutnya yang terurai mula-mula secara simbolis disisiri oleh salah seorang adik laki-lakinya atau sepupunya yang kalau bisa mempunyai shio naga atau shio macan. Dengan dipilihnya anak dengan shio tersebut diharapkan anak yang lahir dari perkawinan tersebut kemudian akan juga mempunyai shio naga atau shio macan.42 Karena shio naga dan macan memang shio yang dianggap paling bagus dalam etnis Tionghoa. Semakin berkembangnya zaman membuat siapa yang menyisirkan rambut ini mengalami pergeseran. Sekarang etnis Cina Benteng sudah tidak memegang tradisi anak bershio naga atau macan lagi karena keluarga mempelai kesulitan mencari anak dengan shio tersebut. Tradisi itu sudah ada sejak jaman dahulu, hanya sekarang ini saja di keluarga Linawati peneliti menemukan perbedaan. Jika menelusuri ke rumah penduduk asli Cina Benteng seperti kawasan Sewan atau pintu air, disana 42
David Kwa Kian Hauw.2001.Ritus Pemurnian dan Inisiasi Menuju Kedewasaan. Perkumpulan Boen Tek Bio Tangerang Hal 5
http://digilib.mercubuana.ac.id/
76
tradisi Cio Tao masi dilakukan dan upacara menyisir rambut dilakukan oleh adik bontot dari pengantin. Meskipun terdapat perbedaan upacara ini masi bisa dilanjutkan, karena siapapun yang menyisirkan rambut hanyalah sebuah simbol. Upacara sisir rambut ini pasti dilakukan sebanyak 3 kali sisiran pertama agar pernikahan langgeng, sisiran kedua adalah doa agar pengantin melahirkan keturunan yang berguna, dan sisiran terakhir adalah harapan agar selamanya berbahagia. Gambar 4.26 Perbandingan Upacara Sisir Rambut
http://digilib.mercubuana.ac.id/
77
Perbedaan yang cukup signifikan juga terlihat dari tampah yang digunakan oleh pengantin. Seharusnya tampah yang digunakan dalam upacara Cio Tao terdapat lukisan Yin dan Yang. Oen Tjuan Yan juga memprotes hal ini.
Gambar 4.27 Perbandingan Tetampah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
78
“Sebetulnya salah sekali itu, salah dari orang yang nyiapinnya seharusnya ada gambar Yin dan Yang. Karena tetampah itu melambangkan bumi, didalam bumi ada Yin dan Yang pagi dan malam kedua unsur tersebut harus ada. Buat yang nyiapin peralatannya tolonglah nanti diperhatikan lagi jangan sampai sebenarnya upacara itu ada maknanya jadi ga ada maknanya.” Semua peralatan Cio Tao memang dibawa oleh si pemandu Cio Tao atau tukang rias. Uniknya mereka yang berfrofesi sebagai tukang rias ini selama peneliti amati kebanyakan berasal dari non Tionghoa. Peneliti sempat bertanya-tanya mengapa profesi yang erat kaitannya dengan budaya Tionghoa itu begitu digeluti oleh mereka yang bukan berasal dari etnis Cina. Menurut keterangan yang peneliti peroleh itu terjadi sudah sejak dahulu, artinya sejak beberapa generasi. Tukang rias yang berasal dari etnis Tionghoa jauh lebih sedikit jumlahnya daripada yang non Tionghoa. Tukang rias yang peneliti temui mengaku ia belajar dari gurunya yang juga non Tionghoa. Tidak lengkapnya peralatan yang digunakan pengantin, bukan berarti terjadi pergeseran budaya yang sudah ada sejak dahulu. Namun karena kurang ketelitian dari pihak tukang rias. Upacara masi bisa terus dilakukan meski peralatan yang digunakan kurang lengkap.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
79
Upaya pelestarian tradisi ini dapat dilihat dari banyaknya antusias dari generasi muda sekarang yang mau melakukan Cio Tao ketika mereka menikah nanti. Tidak banyak pula dari mereka yang mengetahui inti dari Cio Tao itu sendiri. Mereka mau melakukan Cio Tao hanya karena ingin melestarikan tradisi Cina Benteng ini. Tetapi ada saja kendala yang ditemui para calon mempelai ketika hendak melakukan Cio Tao, yaitu biaya paket pernikahan yang sangat mahal. Untuk kalangan kelas menengah mungkin masi bisa membeli paket ini sayang sekali jika kaum kelas bawah yang memang ingin sekali melestarikan tradisi ini tidak bisa melakukan Cio Tao karena terbentur biaya. Ketika peneliti melakukan wawancara dengan beberapa generasi muda Cina Benteng tentang hal apa yang mereka tahu tentang Cio Tao jawaban beraneka ragam peneliti dapatkan. Wawan menjawab jika ditanya tentang Cio Tao hal yang pertama kali terlintas dipikirannya adalah upacara sembayang kepada leluhur. Upacara makan 12 mangkok yang terlintas pertama kali dipikiran Juli dan Dharmawan saat peneliti tanya. Beberapa ada pula yang menjawab upacara sisir rambut dan kembang goyang yang identik dengan upacara Cio Tao. Dari sekian banyak jawaban yang peneliti dapat generasi muda sekarang secara tidak langsung mengetahui salah satu prosesi dari Cio Tao walaupun tidak dari semua tahu prosesinya satu persatu.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
80
Makna Cio Tao yang peneliti dapat adalah sebuah upacara penghormatan kepada leluhur untuk melangsungkan pernikahan dengan serangkaian prosesi yang memiliki nilai filofosis yang sangat dalam. Upacara ini memang tidak wajib dilakukan oleh etnis Cina Benteng namun sebagai generasi muda mereka seharusnya melestarikan budaya tersebut tetapi jangan sampai menghilangkan atau melakukan perubahan makna dalam prosesinya. Misalnya saja seperti yang peneliti temui. Perbedaan bisa saja terjadi dalam Cio Tao, itu tergantung ada atau tidaknya campur tangan dari pihak keluarga. Kurang lengkapnya peralatan Cio Tao juga merupakan tanggung jawab dari penyewa tetapi tidak mengurangi makna yang ada. Oey Tjin Eng menyampaikan makna dari Cio Tao sebenarnya adalah : “Ritus Pemurnian dan inisiasi menuju kedewasaan misalnya ketika ribut dengan suami jangan bawa-bawa orang tua. Karena kamu sudah melakukan Cio Tao dan tidak terikat lagi dengan orang tua” Generasi muda memaknai Cio Tao sebagai sebuah prosesi upacara pernikahan Cina Benteng yang sakral. Meskipun mereka tidak mengetahui inti dari Cio Tao tetapi mereka pernah melihat prosesi Cio Tao dari keluarga mereka. Peneliti juga ingin melestarikan Cio Tao melalui video dokumentasi yang peneliti buat. Meskipun dalam video tersebut terdapat perbedaan persepsi setidaknya semua prosesi yang dilakukan sama dari generasi ke generasi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/