BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Peran Tokoh Perempuan dalam Novel Lintang Kemukus Dini Hari Karya Ahmad Tohari Novel Lintang Kemukus Dini Hari adalah novel kedua dari trilogi Dukuh Paruk yang terdiri dari novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala(1982, 1985, 1986) karya Ahmad Tohari. Novel Lintang Kemukus Dini Hari menceritakan tentang kehidupan seorang ronggeng yang bernama Srintil yang jatuh cinta dengan seorang lelaki yang bernama Rasus. Namun laki-laki tersebut lebih memilih pergi mengikuti latihan tentara, sebab dia tidak bisa menikahi srintil yang berprofesi sebagai seorang ronggeng. Srintil mengalami patah hati dan telah menyadari jati dirinya sehingga Srintil tidak ingin lagi menjalani profesinya sebagai seorang penari ronggeng yang harus pentas dan melayani laki-laki hidung belang untuk tidur dengannya. Srintil ingin hidup layaknya orang normal lainnya yang menikah dan berkeluarga. Namun Srintil harus berhadapan dengan kenyataan bahwa dalam tradisi yang sudah mengakar seorang ronggeng tidak dibenarkan untuk mengikatkan diri dengan seorang lelaki. Seorang ronggeng hanya boleh memikat laki-laki tetapi tidak boleh terpikat oleh laki-laki. Namun ternyata Srintil tidak bisa melupakan Rasus. Ketika Rasus menghilang dari Dukuh Paruk, jiwa Srintil terkoyak. Srintil tidak bisa
menerima keadaan ini, dan berontak dengan caranya sendiri. Sikap ini menjadi faktor penentu dalam pertumbuhan kepribadiannya. Dia tegar dan berani melangkahi ketentuan-ketentuan yang telah lama mengakar dalam dunia peronggengan, terutama dalam masalah hubungan antara seorang ronggeng dengan dukunnya. Menjelang usia dua puluh tahun kedirian Srintil mulai teguh. Dia bermartabat, tidak lapar seperti kebanyakan orang Dukuh Paruk, dan menampik laki-laki yang tidak disukainya. Rasus sendiri ditundukkannya dalam dunia angan-angan dan Srintil merasa menang. Sementara dua pengalaman penting menggores lintasan kehidupannya. Pertama, ketika dia harus menjalankan peran sebagai gowok. Kedua ketika pada akhir potongan lintasan hidupnya secara tidak bisa dimengerti oleh Srintil sendiri, ronggeng itu terlibat dalam kekalutan politik pada tahun 1965. Srintil yang bermartabat, cantik, dan masih sangat belia harus berhadapan dengan ketentuan sejarah yang sekali pun tak pernah dibayangkannya dan menyebabkan Srintil masuk penjara. Peran tokoh perempuan (Srintil) dalam Novel Lintang Kemukus Dini Hari Karya Ahmad Tohari yaitu tokoh perempuan berperan sebagai seorang penari ronggeng. Srintil merupakan seseorang yang sangat penting di masyarakat Dukuh Paruk. Di dalam novel tokoh perempuan memiliki peran yang sangat penting dalam melestarikan budaya dalam hal ini kesenian ronggeng. Berikut kutipannya. Dua orang anak dengan tubuh telanjang menatap Srintil dengan heran. Mata kedua anak itu adalah mata sekalian orang Dukuh Paruk yang tidak pernah berharap melihat seorang ronggeng menangis. Ronggeng bagi dunia Dukuh Paruk adalah citra sekaligus lambang gairah dan suka cita. Keakuannya adalah tembang dan joget. Perhiasannya adalah senyum dan lirikan mata yang
memancarkan semangat hidup alami, semangat yang sama yang telah menerbangkan burung-burung dan memekarkan bunga-bunga. Jadi, ronggeng adalah dunia suka ria dan gelak-tawa (LKDH, hal:12). Berdasarkan kutipan di atas maka dapat diketahui bahwa tokoh perempuan (Srintil) memiliki peran yang sangat penting. Bagi masyarakat Dukuh Paruk yang ada dalam novel Lintang Kemukus Dini Hari karya Ahmad Tohari. Srintil merupakan unsur penting dalam pelaksanaan pentas di Dukuh Paruk. Tanpa Srintil pentas tidak akan digelar. Selain itu, Srintil juga memiliki peran dalam melestarikan kesenian ronggeng yang telah menjadi simbol kegembiraan bagi masyarakat Dukuh Paruk. Hal ini terlihat pada kutipan berikut. Sudah beberapa hari Sakarya kelihatan lebih banyak termenung. Perubahan yang terjadi atas diri Srintil, cucunya, sangat mengganggu pikirannya. Perihal Srintil menampik seorang laki-laki yang ingin memakainya tidak begitu memusingkannya. Masalahnya, bagaimana jadinya bila Srintil tetap menghindar dari panggung pentas. Dukuh Paruk akan kehilangan pamornya. Tanpa seorang ronggeng, Dukuh Paruk akan mati; suatu hal yang tak ingin disaksikan oleh Sakarya yang kini sudah berada pada ujung usia (LKHD, hal:78). Kutipan di atas menggambarkan betapa Srintil sangat berperan dalam kelangsungan hidup Dukuh Paruk. Srintil sangat dibutuhkan.apabila Srintil tidak naik pentas maka semua orang akan merasa kehilangan kegembiraan. Hal ini membuat kakek Srintil menjadi sedih. Bagi Sakarya dan masyarakat Srintil adalah bagaikan air yang dapat menyegarkan dari kehausan dan memberi kehidupan. Kesedihan Sakarya tercermin juga dalam kutipan berikut yang berkaitan dengan peran Srintil sebagai unsur utama dalam melestarikan kesenian ronggeng. Berikut kutipannya. Apabila Sakarya masih mengajukan keinginannya sebelum ajal tiba, maka masalahnya menyangkut kepentingan Dukuh Paruk; hendaknya calung dan
ronggeng lestari adanya. Setidaknya, Srintil akan kembali menari, meronggeng. Kamitua Dukuh Paruk itu sungguh tidak bisa membayangkan apa jadinya bila Srintil tetap menghindar pentas. Dukuh Paruk tanpa ronggeng; reputasi buruk bagi kakek yang merasa menjadi pemangku anakcucu Ki Secamenggala di Dukuh Paruk (LKDH, hal 81).
Berdasarkan kutipan di atas dapat kita ketahui bahwa tokoh perempuan sangat berperan penting dalam pelestarian budaya di masyarakat Dukuh Paruk yang ada dalam novel Lintang Kemukus Dini Hari karya Ahmad Tohari. Selain memiliki unsur penting dalam pelestarian budaya, tokoh perempuan juga memiliki peranan penting bagi kemakmuran masyarakat Dukuh Paruk yang ada di dalam novel. Berikut kutipannya. Srintil menunggu tanggapan Sakum. Yang dinantinya adalah ledakan kegembiraan. Naik pentas berarti uang bagi seluruh anggota rombongan ronggeng. Keluarga Sakum yang hidup di atas titik pusat kemelaratan Dukuh Paruk harus menyambutnya dengan gembira(LKDH, hal:88).
Kutipan di atas menggambarkan bahwa Srintil ternyata memiliki peran dalam kesejahteraan anggota rombongan ronggeng, terutama Sakum sebagai seorang anggota yang bertugas menabuh calung. Dengan naik pentas lagi maka Sakum dapat memberikan nafkah bagi keluarganya. Selain memberikan keuntungan bagi anggota rombongan ronggeng, Srintil juga memberikan keuntungan bagi masyarakat secara umum, utamanya para pedagang. Berikut kutipan. Kegembiraan itu lahir dan berkembang dari Dukuh Paruk. Berita cepat tersiar bahwa pada malam perayaan Agustusan nanti Srintil akan kembali meronggeng. Kurang dua hari lagi, tetapi sudah banyak orang bersiap-siap. Anak-anak mulai bertanya tentang uang jajan kepada orang tua mereka. Para pedagang, dari pedagang soto sampai pedagang pecel bersiap dengan modal
tambahan. Juga tukang lotre putar yang selalu menggunakan kesempatan ketika banyak orang berhimpun (LKDH, hal:110).
Berdasarkan kutipan tersebut dapat kita ketahui bahwa Srintil sebagai penari ronggeng memiliki peran dalam kesejahteraan orang-orang Dukuh Paruk dan sekitarnya. Peran Srintil tidak terbatas, Srintil juga berperan penting bagi kaum perempuan dan utamanya kaum laki-laki. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut. Sudah biasa di sana seorang istri yang sedang hamil tua atau baru melahirkan menyuruh suaminya meminta jasa kepada Srintil. Nasihat dukun bayi kepada para suami juga bernada sama. “Awas, jangan dulu menjamak istrimu sebelum seratus hari. Mintalah kepada Srintil bila tak bisa menahan diri” (LKDH, hal:182).
Berdasarkan kutipan tersebut bahwa ternyata peran Srintil sangat banyak. Srintil dapat memberikan apa yang dibutuhkan oleh kaum perempuan utamanya kaum laki-laki apalagi dalam hal seks. Srintil memiliki peran penting bagi masyarakat Dukuh Paruk dengan profesinya sebagai seorang ronggeng. Namun karena profesi dan statusnya sebagai seorang penari ronggeng itulah ternyata Srintil mengalami banyak bentu diskriminasi 4.1.2 Bentuk-Bentuk Diskriminasi Terhadap Tokoh Perempuan dalam Novel Lintang Kemukus Dini Hari Karya Ahmad Tohari Fenomena diskriminasi adalah salah satu tindakan yang tidak diinginkan oleh semua orang. Diskriminasi pada dasarnya suatu tindakan memperlakukan seseorang atau orang lain secara tidak adil karena sesuatu hal, misalnya statusnya yang rendah. Hal ini tentu akan menimbulkan akibat yang tidak baik pada kelangsungan hubungan
antara sesama manusia. Selain itu, akibat lain yang ditimbulkan dari tindakan diskriminasi ini adalah adanya tekanan pada diri seseorang yang mendapatkan perlakuan diskriminatif tersebut. Dalam novel Lintang Kemukus Dini Hari Karya Ahmad Tohari terjadi beberapa bentuk diskriminasi terhadap tokoh perempuan. Tindakan diskriminasi tersebut dialami tokoh perempuan dalam novel yang bernama Srintil karena profesinya sebagai seorang ronggeng. Adapun bentuk-bentuk diskriminasi yang terjadi di dalam novel yaitu: 1.
Bentuk Diskriminasi Seksual Bentuk diskriminasi seksual merupakan diskriminasi yang dialami oleh kaum
perempuan karena jenis kelamin dan jender. Dalam novel Lintang Kemukus Dini Hari Karya Ahmad Tohari bentuk diskriminasi seksual diawali oleh semakin memburuknya keadaan Srintil yang lebih suka diam merenung dan menyendiri karena selalu dipaksa untuk melayani laki-laki sebanyak mungkin oleh dukun ronggeng yaitu Nyai Kartareja. Seperti yang tergambar dalam kutipan berikut. “Iya. Kalau Nyai Kartareja berhati-hati dalam mendampingi Srintil, takkan terjadi begini. Dia mengabaikan kewajiban karena terlalu bernapsu. Srintil disuruhnya melayani sebanyak mungkin laki-laki tanpa menghiraukan adanya hari-hari pantangan, terutama pada hari kelahiran Srintil sendiri. Memang Nyai Kartareja ikut menjadi kaya. Nah, namun begini jadinya” (LKDH, hal:13). Kutipan di atas menggambarkan bentuk diskriminasi seksual terhadap tokoh perempuan karena tokoh perempuan (Srintil) dipaksa untuk melayani laki-laki sebanyak mungkin walaupun tokoh perempuan sudah tidak mau melakukannya.
Tokoh perempuan selalu mendapat paksaan dan tekanan dari dukun ronggeng. Demi mendapatkan uang banyak dukun ronggeng itu tidak lagi peduli dengan adanya harihari tertentu, sehingga berakibat buruk bagi diri Srintil. Diskriminasi seksual juga terjadi pada kutipan berikut. “ Tetapi aku masih percaya dengan suami-istri Kartareja. Kalau mereka bisa memasang guna-guna sehingga banyak laki-laki yang gandrung terhadap Srintil, mengapa mereka tidak mampu memutus tali asmara antara ronggeng itu dengan Rasus?” (LKDH, hal:14). Ucapan yang terakhir ini memang tidak berlebihan. Kalau ada orang yang paling khawatir tentang keadaan Srintil, tentulah dia Nyai Kartareja bersama suaminya. Mereka sungguh tidak rela anak asuhannya jatuh hati kepada Rasus atau kepada laki-laki lain mana pun. Lebih-lebih lagi bila Srintil sampai berpikir tentang sebuah rumah tangga yang hendak dibangunnya. Martabat mereka sebagai dukun ronggeng berada dalam taruhan, dan sumber penghasilan mereka yang subur terancam bahaya. Maka Nyai Kartareja harus berbuat sesuatu. Tali asmara yang mengikat Srintil kepada Rasus harus diputuskan. Mula-mula Nyai Kartareja mencari sebutir telur wukan. Telur ayam yang tertinggal dalam petarangan karena tidak bisa menetas itu diam-diam ditanamnya di salah satu sudut kamar tidur Srintil. Mantera pemutus asmara dibacakan. Niytingsun matak aji pamurung Hadi aing tampean aing cikaruntung nantung Ditaburan boeh sana, manci rasa marang Srintil marang Rasus Kene wurung kana wurung, pes mimpes dening Eyang Secamenggala Pentil alum cucuk layu, angen sira bungker Si Srintil Si Rasus Ker bungker, ker bungker kersane Eyang Secamenggala Ker bungker, ker bungker kersane Sing Murbeng Dumadi (LKDH, hal:14).
Pada kutipan di atas digambarkan Srintil mengalami diskriminasi seksual berupa penjualan tubuh. Demi nama baik dan kekayaan dukun ronggengnya Srintil
dipaksa harus melupakan Rasus yaitu laki-laki yang ia cintai dan tidak boleh memikirkan rumah tangga. Nyai Kartareja melakukan segala macam cara demi kepentingannya dan menindas serta memanfaatkan Srintil dengan dalih pelestarian budaya demi memperkaya diri. Hal ini merupakan tindakan diskriminasi yang melanggar hak asasi manusia. Diskriminasi seksual juga dialami Srintil pada kerusakan alat reproduksi, yaitu tidak akan mendapatkan keturunan. Berikut kutipannya. Tiba-tiba hasrat hendak memeluk seorang bayi mendesaknya demikian kuat. Hampir pada saat yang sama rasa cemas karena mungkin Nyai Kartareja dengan caranya sendiri telah mematikan indung telur dalam perut Srintil membuat ronggeng itu sesak napas (LKDH, hal:17-18). Berdasarkan kutipan di atas, tergambar bahwa Srintil mengalami diskriminasi seksual berupa kerusakan alat reproduksi. Nyai Kartareja telah mematikan indung telur dalam rahim Srintil. Hal ini dilakukan agar Srintil tidak akan hamil walaupun telah banyak melayani laki-laki. Srintil selalu mengalami tindakan diskriminasi baik yang secara langsung maupun yang secara tidak langsung. Jika diskriminasi seksual secara langsung dialami Srintil yaitu dengan cara kerusakan alat reproduksi, maka diskriminasi secara tidak langsung juga dialami yaitu Srintil selalu dimanfaatkan sebagai ternak piaraan oleh dukun ronggeng untuk lebih memperkaya diri. Hal ini didukung oleh kutipan berikut ini.
“Maksudmu, Nyai Kartareja?” “Ya. Seorang dukun ronggeng suka mengatur segala urusan, bahkan seringkali ingin menguasai harta anak asuhannya.” “Itu cerita lama. Aku tahu seorang ronggeng sering kali dianggap sebagai ternak piaraan oleh induk semangnya. Lihatlah dalam musim orang berhajat atau masa lepas panen; ronggeng naik pentas setiap malam. Siang hari dia mesti melayani laki-laki yang menggendaknya. Sementara itu yang mengatur semua urusan, lebih-lebih urusan keuangan, adalah si dukun ronggen. Kasihan, kan? Sebaliknya, kini suami-istri Kartareja menjadi kaya, kan?” (LKDH, hal:29). Sementara itu suami-istri Kartareja adalah dukun ronggeng merekalah yang paling tahu segala tetek-bengek dunia peronggengan dan mereka menggunakan pengetahuan serta statusnya sebagai dasar mata pencaharian.. Dari ongkos pentas mereka mengambil bagian yang kadang-kadang lebih besar daripada bagian yang diterima Srintil. Dan keuntungan yang lebih besar lagi diterima oleh suami-istri Kartareja mana kala mereka bertindak sebagai mucikari. Seorang laki-laki yang mabuk kepayang terhadap Srintil dan ingin tidur bersamanya barang satu-dua malam harus melalui perantaraan Nyai Kartareja. Maka baginya untuk sementara tak mengapalah kalau Srintil masih enggan menari asalkan dia mau melayani laki-laki yang menginginkannya (LKDH, hal:51-52). Kedua kutipan di atas menggambarkan bahwa Srintil selalu dimanfaatkan oleh suami-istri Kartareja sebagai dukun ronggeng. Srintil dijadikan sebagai ternak piaraan yang kapan saja boleh dijual kepada siapa saja yang membutuhkan. Srintil bekerja siang dan malam yaitu pada malam hari menari dan siang hari harus melayani lakilaki yang menginginkannya. Hal ini merupakan perampasan hak seseorang yang merupakan tindakan diskriminasi yang harus dihapuskan. Selain diskriminasi dari dukun ronggeng, Srintil juga memperoleh perlakuan diskriminasi dari laki-laki yang sakit hati karena Srintil
menolak keinginannya.
Contohnya adalah Pak Marsusi salah seorang kepala perkebunan yang kaya. Berikut kutipannya.
“Tentu saja aku ingin membalasnya, bahkan melenyapkannya. Aku tahu betul Srintil menerima semua laki-laki yang datang sebelum saya demi uang yang tak seberapa atau demi satu-dua gram emas. Tapi dia menampikku, padahal seratus gram kalung emas berbandul berlian yang kusodorkan kepadanya. Mau disebut apa lagi kalau bukan penghinaan yang sebesar-besarnya. Tetapi, kek...” (LKDH, hal:106). Srintil duduk bersimpuh, menutup mukanya dengan ujung sampur. Layaknya dia sedang melap keringat. Tetapi hingga beberapa saat lamanya Srintil tetap dalam keadaan demikian. Dari samping terlihat pipi Srintil yang berubah pucat. Napasnya tersengal-sengal. Nyai Kartareja yang segera menangkap suasana genting cepat naik kepanggung. “Kenapa, Jenganten?” “Pusing, Nyai. Pusing! Oh, hk. Napasku sesak. Dadaku sesak!” (LKDH, hal:131). Hanya seorang yang tahu persis apa yang telah terjadi. Marsusi dalam pakaian penyamaran berdiri di balik bayang-bayang sebatang pohon. Tangantangannya menggenggam sebuah botol kecil sebesar kelingking. Bila mulut botol itu ditutup dengan ibu jarinya maka terjadi heboh di panggung. Srintil tak bisa bernapas. Itu sudah sekali dibuktikannya. Dan sekali hebo belumlah cukup buat membalas kesumatnya terhadap ronggeng Dukuh Paruk itu (LKDH, hal:132). Para penonton demikian terpesona sehingga mereka bingung ketikan melihat tiba-tiba Srintil berhenti, berdiri tak bergerak. Kedua lengannya yang merentang tinggi terpancang kaku. Mulutnya yang terbuka tetap dalam keadaan demikian hingga beberapa saat lamanya. Calung serentak berhenti. Kartareja melompat ke depan, menahan tubuh Srintil yang roboh ke belakang (LKDH, hal:133). Berdasarkan kutipan di atas, digambarkan bahwa usaha Srintil untuk menolak dan tidak ingin melayani laki-laki yang menginginkannya ternyata menimbulkan ancaman diskriminasi yang dapat merugikan bagi dirinya. Srintil mengalami kejadian-kejadian aneh akibat tindakan balas dendam dari Pak Marsusi. Srintil sesungguhnya telah lama mengalami diskriminasi,
utamanya
diskriminasi seksual. Salah satunya adalah pada saat pelaksanaan upacara bukak
klambu dan masih banyak lagi kejadian yang telah membuat Srintil mengalami tindakan diskriminasi. Berikut kutipannya. Srintil sesudah berusia delapan belas adalah Srintil yang telah mengalami perihnya upacara bukak klambu. Juga sudah merasakan getirnya ditampik laki-laki idaman. Pada usia semuda itu Srintil juga sudah menjelajahi dunia perhubungan dengan sekian puluh lelaki. Dan jauh sebelum itu tanah airnya, Dukuh Paruk, telah menempanya dalam kemiskinan yang mengakar. Sejarahnya pahit yang pasti layak membuatnya kusut, malu, dan tanpa harga diri (LKDH, hal:120). “Apa pun kebayanya takkan menjadi soal. Toh nanti akan dibukanya. Dan, lihat saja. Di balik kebaya itu masih terlihat bentuk pundaknya yang amat serasi. Apalagi nanti bila pundak itu tampil telanjang” (LKDH, hal:121). Berdasarkan kedua kutipan di atas,
maka dapat
diketahui bahwa
sesungguhnya Srintil telah mengalami tindakan diskriminasi khususnya bentuk diskriminasi seksual berupa penjualan tubuh. Hal ini dialami Srintil pada usia sebelum delapan belas tahun yaitu pada upacara bukak klambu. Upacara bukak klambu merupakan upacara berupa sayembara untuk merenggut keperawanan seorang calon ronggeng sebelum dia resmi melayani dan memuaskan seksual laki-laki lain. Bagi laki-laki yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh dukun ronggeng maka dia berhak mendapatkan keperawanan seorang calon ronggeng. Hal ini merupakan tindakan diskriminasi berupa pelecehan dan eksploitasi bagi perempuan apalagi masih usia di bawah umur. Selain upacara bukak klambu Srintil juga mengalami diskriminasi seksual saat dirinya menjadi seorang gowok. Lagi-lagi Srintil diperintahkan untuk melakukan pekerjaan yang melanggar hak asasinya sebagai manusia. Berdalih pelestarian adat
budaya, Srintil selalu dimanfaatkan. Berikut kutipan yang menggambarkan bagaimana Srintil menjadi seorang gowok. “Sampean berdua jangan khawatir. Aku menyediakan upah yang tidak bakal mengecewakan. Asal gowok itu memang cantik seperti Srintil itu” (LKDH, hal:143). Seorang gowok akan memberi pelajaran kepada, anak laki-laki itu banyak hal perikehidupan berumah tangga. Dari keperluan dapur sampai bagaimana memperlakukan seorang istri secara baik, misalnya bagaimana mengajak istri pergi kondangan dan sebagainya. Selama menjadi gowok dia tinggal hanya berdua dengan anak laki-laki tersebut dengan dapur yang terpisah. Masa pegowokan biasanya berlangsung hanya beberapa hari, paling lama satu minggu. Satu hal yang tidak perlu diterangkan tetapi harus diketahui oleh semua orang adalah hal yang menyangkut tugas inti seorang gowok, yaitu mempersiapkan seorang perjaka agar tidak mendapat malu pada malam penganting baru (LKDH, hal:144). Kutipan di atas memberikan gambaran bahwa tugas inti dari seorang gowok adalah mengajari seorang laki-laki perjaka tentang hubungan suami istri agar perjaka itu tidak malu saat malam pertama. Ini berarti Srintil harus melayani laki-laki walaupun laki-laki itu tidak dikehendakinya. 2.
Bentuk Diskriminasi Sosial Diskriminasi sosial merupakan perbedaan perlakuan yang diterima seseorang
karena status sosialnya di masyarakat. Dalam novel Lintang Kemukus Dini Hari Karya Ahmad Tohari bentuk diskriminasi sosial terhadap tokoh perempuan berawal ketika Rasus pergi meninggalkan Srintil. Rasus lebih memilih mengikuti Sersan Slamet untuk latihan tentara daripada menikah dengan Srintil. Hal ini disebabkan oleh profesi Srintil sebagai seorang ronggeng. Dalam tradisi Dukuh Paruk bahwa seorang ronggeng tidak dibenarkan mengikatkan diri dengan seorang lelaki. Ini
berarti Srintil tidak boleh menikah. Diskriminasi sosial terjadi pada diri Srintil karena status sosialnya di masyarakat adalah seorang ronggeng. Berikut kutipannya. “Oh, jadi begitu,” pikir Srintil yang ingin menolak kenyataan bahwa Rasus telah meninggalkannya bahkan tanpa pamit (LKDH, hal:11). Perang yang seru terjadi dalam dadanya yang ditandai dengan sepasang garis basah yang turun dari mata ke pipi Srintil. Ada sebuah pertanyaan buat kali pertama muncul di hatinya; mengapa diriku seorang ronggeng? Pertanyaan itu datang dari perkiraan Srintil; kalau dia bukan seorang ronggeng Rasus takkan meninggalkannya dengan cara begitu saja (LKDH, hal:18). Terngiang kembali ucapan Rasus terakhir yang masih sempat didengarnya, “Aku tak mungkin mengawinimu karena kamu seorang ronggeng. Kamu milik Dukuh Paruk” (LKDH, hal:90). “E, lha!” ujar Kartareja tertuju kepada Nyai Sakarya. “Tentu saja tak ada yang salah bila Srintil kawin dengan Rasus. Itu bila cucumu tidak menjadi ronggeng pengemban nama Dukuh Paruk.” (LDKH:26) Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa tokoh perempuan (Srintil) mengalami diskriminasi sosial. Srintil mengalami perlakuan yang berbeda dari masyarakat karena status sosialnya sebagai seorang ronggeng. Srintil terikat dengan aturan yang sudah mendarahdaging di dalam masyarakat sehingga Srintil tidak dapat menikah dengan orang yang sangat dicintainya, walaupun keduanya saling mencintai. Selain tidak dapat menikah seperti layaknya kebanyakan orang, Srintil juga selalu mendapat perlakuan yang berbeda dari masyarakat. Srintil selalu menjadi topik utama pembicaraan masyarakat. Berikut kutipannya. “Eh, dengar! Pernahkah terjadi seorang ronggeng mabuk kepayang terhadap seorang lelaki?” kata seorang perempuan yang bersama dua temannya sedang mencari kutu di bawah pohon nangka.”
“ Sepanjang yang kudengar tak ada cerita demikian,” jawab perempuan kedua. “ Yang baku, seorang laki-laki tergila-gila kepada ronggeng karena ronggeng memang dibuat untuk menarik hati laki-laki. Dia tidak boleh terikat kepada seorang pun”(LKDH, hal:13). Kebanyakan penumpang sudah tahu siapa Srintil. Mulut mereka mulai usil. Ada yang bangkit dari tempat duduk agar dapat lebih jelas melihat Srintil; masih cantikkah dia atau bahkan menjadi lebih cantik lagi. Mereka hanya sekadar ingin melihat karena mereka sadar menggunakan jasa Srintil dalam arti apa pun juga memerlukan banyak uang. Mestilah celoteh cabul itu bisa berkepanjangan apabila Srintil melayaninya (LKDH, hal:150). Seorang kusir andong melihat Srintil bersama Kartareja berjalan di ujung pematang hampir mencapai jalan besar. Tetapi kusir itu tidak menghentikan kendaraannya, tidak pula menawarkan jasa seperti biasa. Orang-orang yang pulang dari pasar Dawuan tidak menyapa ketika berpapasan dengan ronggeng Dukuh Paruk itu. Mereka berjalan menunduk menghindari pandangan mata Srintil. Pasar Dawuan telah kehilangan kehangatan bagi ronggeng yang dulu sangat dipuja. Para pedagang di sana memandang dingin kepada Srintil yang lewat di hadapan mereka, langsung menuju kantor polisi (LKDH, hal:202).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita ketahui bahwa Srintil selalu menjadi topik utama pembicaraan pada masyarakat utamanya para perempuan maupun lakilaki yang melihatnya. Masyarakat Dukuh Paruk tidak memerlukan waktu lama untuk mengetahui keadaan Srintil. Celoteh-celoteh cabul dan usil selalu didengarnya apabila Srintil berjalan-jalan karena mereka tahu apa pekerjaan Srintil. Perlakuan berbeda juga diterima Srintil karena statusnya sebagai seorang ronggeng. Srintil harus melayani laki-laki yang sudah beristri tetapi sedang masa melahirkan atau sedang hamil tua. Walaupun Srintil tidak menghendakinya, namun sudah menjadi kebiasaan masyarakat Dukuh Paruk. Hal ini terdapat pada kutipan berikut.
Sudah biasa di sana seorang istri yang sedang hamil tua atau baru melahirkan menyuruh suaminya meminta jasa kepada Srintil. Nasihat dukun bayi kepada para suami juga bernada sama. “Awas, jangan dulu menjamak istrimu sebelum seratus hari. Mintalah kepada Srintil bila tak bisa menahan diri” (LKDH, hal:182).
Selain karena statusnya sebagai seorang ronggeng, Srintil juga mengalami diskriminasi sosial dari orang-orang yang menyandang status lebih tinggi dari dirinya. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut. “Kau? Kau ini bagaimana? Kau cucu Sakarya tidak ingin memiliki kalung sebagus itu?” (LKDH, hal:63). “Kamu telah mengecewakan seorang priyayi; suatu hal yang tidak layak dilakukan oleh orang dusun seperti kita ini. Oalah, cucuku, kamu tidak menyadari dirimu sebagai seorang kaula.” “Kek...” “Apa!” “Bila saya bertahan, apakah saya bisa kena hukum?” “Mengapa tidak? Kita ini kaula. Kita wajib tunduk kepada perintah, bahkan keinginan para penggawa itu. Menampiknya, sama saja dengan mengundang hukum. Nah, beranikah kamu melakukannya?” (LKDH, hal:85). Kutipan di atas menggambarkan bahwa Srintil mengalami diskriminasi dari orang-orang yang memiliki status lebih tinggi dari dirinya. Di masyarakat Dukuh Paruk Srintil hanyalah seorang anak dari masyarakat biasa (kaula). Jadi Srintil dipaksa harus melayani laki-laki yang ingin tidur dengannya kalau laki-laki tersebut berasal dari kalangan bangsawan (priyai) yang statusnya lebih tinggi di masyarakat. Srintil harus tunduk pada perintah seseorang yang statusnya lebih tinggi. Hal ini membuat Srintil merasa tertekan sehingga menyebabkannya mengalami diskriminasi sosial.
3.
Bentuk Diskriminasi Politik Diskriminasi politik merupakan perbedaan perlakuan yang diterima seseorang
karena terlibat dalam masalah
politik yang terjadi di masyarakat. Dalam novel
Lintang Kemukus Dini Hari Karya Ahmad Tohari terjadinya diskriminasi politik berawal saat Srintil mulai tampil pada acara pemilihan umum. Srintil dijadikan sebagai alat penarik massa dan propaganda oleh pihak tertentu pada tahun 1964. Adalah Srintil yang tidak tahu apakah dalam hidup ini diperlukan rapat-rapat, pidato, dan pawai-pawai. Atau segala kegiatan hura-hura itu. Dan Srintil yang tidak mengerti tujuan rapat-rapat yang belakangan selalu diikutinya dan dia mengisi acara kesenian. Srintil yang menjadi unsur paling penting bagi Dukuh Paruk adalah anak kandung keluguan alam dan kehidupan. Dia yang hidup atas dasar kepercayaan menjalani alur cetak biru yang sudah ditentukan baginya, cetak biru seorang ronggeng (LKDH, hal:189). Diskriminasi politik terjadi terhadap tokoh perempuan yaitu saat Srintil dimanfaatkan oleh pihak tertentu yang memiliki kepentingan. Namun Srintil tidak menyadari bahwa dirinya telah diperalat untuk kepentingan politik. Selain itu Srintil juga selalu dikaitkan dengan pelestarian budaya kesenian. Berikut kutipannya. “Dan ronggeng Dukuh Paruk itu,” ujarnya dengan tekanan kata yang istimewa, “mereka adalah seniman-seniman rakyat! Rakyat yang perkasa, rakyat yang demikian tangguh, sehingga mereka masih tetap menyanyi dan menari meskipun telah berabad-abad hidup tertindas. Sebentar lagi Srintil dan kawan-kawannya akan tampil di pentas ini. Tetapi jangan salah. Apa pun yang disajikannya tidak bisa lain daripada sebuah makna tuntutan kebebasan! Bebas dari penindasan kaum imperialis, kapitalis, dan kolonialisbersama antek-antek mereka. Sekali lagi, bebas!” (LKDH, hal:124). Dari sudut tertentu terdengar paduan teriakan slogan politik. “Hidup kesenian rakyat!”(LKDH, hal:128). Pada akhir bulan September 1965 itu Srintil sudah dua minggu manggung terus-menerus di arena pasar malam di lapangan kota Dawuan atas nama kelompok Bakar. Dua minggu yang jor-joran, sarat dengan pemberontakan
budaya. Tayub yang secara resmi dilarang pemerintah, pada pasar malam bulan September 1965 itu digalakkan kembali dengan semena-mena. Siapa saja boleh naik panggung rakyat buat berjoget atau menciumi Srintil sepuas hati. Cuma-Cuma (LKDH, hal:197-198). Demi berdalih pelestarian budaya Srintil mendapat dogma-dogma dari kelompok Bakar. Bakar merupakan seorang anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Srintil diperalat oleh Bakar untuk menarik massa lebih banyak agar menjadi pengikutnya. Srintil selalu mengisi acara kesenian yang diselenggarakan oleh kelompok Bakar. Namun Srintil tidak mengetahui bahwa kelompok yang diikutinya itu ternyata kelompok yang menjadi incaran polisi. Hal ini membuat Srintil terjebak dalam kekalutan politik yang berakibat dirinya masuk penjara dan mendapatkan perlakuan diskriminasi. Hal ini didukung oleh kutipan berikut. “Tentang orang yang mengepung Dukuh Paruk akan kami selidiki. Tetapi di luar masalah itu ada hal penting yang akan kami sampaikan buat kalian berdua. Bahwa saudara Kartareja dan saudara Srintil termasuk orang-orang yang harus kami tahan. Ini perintah atasan. Dan kami hanya melaksanakan tugas.” Srintil mendengar seluruh ucapan komandan. Kata-kata itu menjadi masukan yang ternyata amat sulit dijabarkan menjadi pengertian dan kesadaran. Ketika pengertian itu baru muncul samar jiwanya menampik dengan keras. Seluruh proses yang terjadi pada diri Srintil memerlukan tenaga ekstra. Jantung berdenyut lebih cepat dan darah terpusat pada otak dan pusat-pusat syaraf. Wajah Srintil pucat tidak kebagian darah. Tangan dan kakinya berkeringat dingin. Dan Srintil tergagap dalam upaya menggapai dirinya kembali. “Tahan? Kami ditahan?” Srintil mencoba tersenyum sebagai usaha terakhir menolak kenyataan. Tetapi senyum itu berhenti pada gerak bibir seperti orang hendak menangis. Lama sekali wajahnya berubah menjadi topeng dengan garis-garis muka penuh ironi. Topeng itu tidak hilang ketika dua orang berseragam membawanya ke ruang tahanan di belakang kantor. Srintil berjalan tanpa citra kemanusiaan. Tanpa citra akal budi, tanpa roh. Srintil menjadi sosok yang bergerak seperti orangorangan dihembus angin (LKDH, hal:204).
Puncak Srintil mengalami diskriminasi politik berupa penahanan dirinya yang membuat jiwa dan raganya tersiksa.
4.1.3Perlawanan yang dilakukan tokoh perempuan terhadap diskriminasi dalam novel Lintang Kemukus Dini Hari karya Ahmad Tohari Dalam novel Lintang Kemukus Dini Hari karya Ahmad Tohari selain terdapat bentuk-bentuk diskriminasi, tokoh perempuan juga ternyata berusaha melakukan perlawanan. Adapun perlawanan tersebut tergambar pada kutipan berikut. Seorang di antara mereka mendekati Srintil dari arah belakang. Laki-laki berkaus putih dan bercelana hijau tentara itu tak merasa salah ketika tangannya menggamit pantat Srintil. Tak didugannya Srintil membalas dengan tatapan mata amarah. “Aku memang ronggeng, maka tangan laki-laki boleh hinggap di mana saja pada tubuhku. Tetapi kini hatiku bukan lagi ronggeng. Bukan!” (LKDH, hal:38).
Berdasarkan kutipan di atas tergambar bahwa bentuk perlawanan yang pertama dilakukan oleh tokoh perempuan (Srintil) terhadap diskriminasi yang terjadi pada dirinya adalah meyakinkan hatinya bahwa dirinya tidak ingin lagi menjadi seorang ronggeng karena profesi sebagai seorang ronggeng itulah yang membuat dirinya mengalami perlakuan yang tidak baik dari orang lain terutama dari kaum lakilaki yang menganggapnya sebagai barang yang boleh dibeli kapan saja. Srintil tidak ingin lagi mengalami perlakuan yang tidak baik dari orang lain sehingga membuatnya harus melakukan perhitungan dengan kaum laki-laki. Hal ini didukung oleh kutipan berikut.
“Dulu ketika sampean menjalani malam bukak klambu, sampean terkena ruda paksa. Kini tiba saat bagi sampean membuat perhitungan terhadap kaum lelaki” (LKDH, hal:160). Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa tokoh perempuan (Srintil) telah melakukan perlawanan pada kaum laki-laki dengan caranya sendiri. Srintil membuat perhitungan dengan kaum laki-laki yang selama ini telah membuat dirinya mendapatkan perlakuan diskriminasi. Perlawanan itu berupa sikap Srintil yang berubah
dari sikap
menurut
saja
menjadi
membuat
perhitungan
dengan
memanfaatkan dan mempermainkan laki-laki yang menginginkan tubuhnya. Srintil dengan mudahnya menolak siapa saja yang menginginkannya. Selain menolak lakilaki yang menginginkan tubuhnya Srintil juga menolak untuk naik pentas. Hal ini tergambar pada kutipan berikut. Sudah dua kali Srintil menolak naik pentas. Perbuatan yang sangat mengecewakan suami-istri Kartareja dan terutama orang yang mengundangnya, oleh Srintil hanya diberi dalih enteng: malas! Tetapi Srintil tidak malas melakukan perbuatan yang lucu di mata orang-orang Dukuh Paruk; bercengkerama dengan anak-anak gembala yang kebanyakan masih bertelanjang badan (LKDH, hal:15). “Apa sampean berdua tidak mengerti semua ini terjadi karena ada sesuatu antara cucuku dan Rasus?” kata Sakarya, nada menuduh. “Dua kali sudah Srintil menampik panggilan naik pentas. Kini malah minggat. Bagaimana ini?” (LKDH, hal:26). Berdasarkan kedua kutipan di atas digambarkan bahwa Srintil melakukan perlawanan dengan cara menolak untuk naik pentas dan pergi meninggalkan rumah. Perlawanan yang dilakukan Srintil ternyata cukup membuat dukun ronggeng menjadi kecewa. Srintil telah menyadari bahwa selama ini dirinya hanya dijadikan sebagai alat untuk mendapatkan uang oleh dukun ronggeng Kartareja. Oleh sebab itu Srintil
melakukan perlawanan dengan berusaha melarikan diri dari dukun ronggeng tersebut. Selain melakukan perlawanan terhadap suami-istri Kartareja, ternyata Srintil juga melakukan perlawanan terhadap laki-laki yang datang kepadanya. Berikut kutipan. “Pak Marsusi, aku takkan pergi kemana-mana malam ini. Dan...” “Aku tak ingin pergi ke mana pun, Nyai,” jawab Srintil. “Tidak, Nyai. Aku tidak ingin pergi ke mana pun,” ujar Srintil pelan namun terasa benar kepastianya. (LKDH, hal:61-63) “Ya!” potong Srintil dengan kecepatan yang tidak terduga. “Sampean ingin memberikan kalung itu kepadaku bukan sebagai upahku menari atau bertayub, melainkan untuk satunya lagi. Oh, Pak Marsusi, sampean tidak salah. Karena saya memang telah melakukan hal semacam itu dengan sekian banyak lelaki. Tetapi Pak...” ................ “Sekarang aku tak ingin melakukannya lagi.” ................ “Nanti dulu! Mengapa hal ini baru kau katakan kepadaku; bukan kepada lakilaki lain sebelum aku? Mengapa?” “Persoalannya sederhana, Pak,” kata Srintil masih dalam ketenangan yang utuh. “Sampean kebetulan laki-laki pertama yang datang setelah saya memutuskan mengubah haluan.” (LKDH, hal:66-67). Berdasarkan kutipan di atas dapat memberikan gambaran bahwa Srintil melakukan perlawanan dengan menolak ajakan lelaki yang menginginkannya. Srintil sudah memutuskan untuk tidak melakukannya lagi. Srintil sadar bahwa hidupnya harus memiliki sebuah tujuan yang pasti. Oleh sebab itu hal yang harus dilakukan adalah berhenti untuk melakukan perbuatan maksiat. Srintil juga melakukan perlawanan terhadap Nyai Kartareja karena Srintil tahu bahwa Nyai kartareja selalu memanfaatkan dirinya dengan dalih pelestarian budaya dan kesenian. Srintil mulai menolak ajakan maupun pemberian dari lelaki yang menginginkannya. Perbuatan Srintil ternyata menimbulkan kemarahan dan kekecewaan bagi Nyai Kartareja. Hal ini tergambar pada kutipan berikut.
“Dan kamu bertingkah menolak sebuah kalung seratus gram? Merasa suda kaya? Bila kamu tidak suka kalung itu mestinya bisa kau ambil untukku. Dan kau layani Pak Marsusi karena semua orang toh tahu kau seorang ronggeng dan sundal”(LKDH, hal:70). Kutipan tersebut menggambarkan bahwa keinginan Srintil untuk tidak lagi menjalani profesinya sebagai ronggeng ternyata terbukti. Srintil tidak terpengaruh dengan iming-iming harta benda yang diberikan kepadanya. Selain menolak laki-laki yang menginginkan dirinya Srintil juga menolak untuk naik pentas. Walaupun Srintil tahu bahwa dirinya telah melanggar ketentuan hukum adat yang berlaku di daerah Dukuh Paruk. Pendirian Srintil telah kokoh sehingga apa pun yang akan terjadi siap ditanggungnya. Berikut kutipan.
“Ya, sudah! Aku rela menerima hukuman. Dibui pun jadi! Bagaimana aku harus menari bila hati tak mau. Kakek tahu, bukan, sebuah tarian baru hidup bila hati dan jiwa ikut menari” (LKDH, hal:90). Bagi Srintil sebuah tarian bisa hidup apabila hati dan jiwa merasa bahagian. Pendirian Srintil dibuktikan kepada kakeknya Sakarya. Srintil tetap tidak ingin menari walaupun mendapat ancaman hukuman. Hal ini merupakan bentuk perlawanan yang dilakukan tokoh perempuan agar tidak akan mendapat perlakuan diskriminasi lagi. Srintil juga membuktikan kepada semua orang yang meremehkan dan menganggapnya rendah. Sorot neon pertama di Dawuan menjadi saksi bahwa yang terjadi pada diri Srintil adalah sesuatu yang khas Srintil. Latar sejarahnya yang melarat dan udik ibarat beribil. Tahi kambing itu meski busuk dan menjijikkan namun mampu menyuburkan daun-daun tembakau di tanah gersang. Srintil tidak tercabik-cabik oleh sejarahnya. Sebaliknya, Srintil bangkit membentuk dirinya sendiri dengan sejarah keterbelakangannya. Hasilnya mulai terpapar di bawah
sorot lampu neon itu. Srintil menjadi pusat suasana, menjadi daya tarik suasana, dan Srintil duduk menguasai suasana (LKDH, hal:120). Ibu Camat hendak bangkit. Pada saat yang sama Srintil bangkit. Menoleh ke arah dua ibu yang kasakkusuk, dengan senyum yang paling aneh. Senyum seorang rani dari atas singgasananya. Ibu Camat berhenti pada gerakan yang ganjal. Ibu Komandan Polisi berpura-pura membuka tas tangannya. Tetapi dari tempatnya yang agak terpisah Ibu Wedana tertawa terkekeh. Perang dingin itu berlangsung setengah menit, pada saat mana mata Srintil memancarkan cahaya lembut namun mampu membungkam semangat perempuan-perempuan di sekelilingnya. Kejanggalan itu berakhir ketika Nyai Kartareja menarik Srintil agar duduk kembali. Dan Srintil duduk kembali. Tersenyum kembali dengan keanehan yang sama. Senyum gadis panggung yang selalu merasa setiap malam hiburan adalah miliknya yang paling sah. Mendung menyaput deretan kursi kaum perempuan (LKDH, hal:122-123).
Perlawanan secara langsung dan tidak langsung telah ditunjukkan Srintil kepada siapa saja yang merendahkannya. Srintil telah menjadikan pengalaman dan sejarah hidupnya sebagai sebuah kekuatan untuk bangkit melawan segala bentuk diskriminasi yang menimpanya. Srintil memanfaatkan apa yang dimilikinya untuk membuat perhitungan kepada siapa saja yang berusaha menyakitinya. Bagi Srintil seseorang tidak akan terus berada di bawah. Perlawanan juga dilakukan Srintil untuk membalas sakit hatinya kepada Rasus, lelaki yang sangat dicintainya namun pergi begitu saja meninggalkan dirinya. “Kamu telah meninggalkan diriku dengan cara menyakitkan. Kamu takkan berbuat seperti itu bila kamu tidak ingin dirundung penyesalan yang mendalam. Lihat saja!” (LKDH, hal:128). Apabila Srintil telah bertekad hendak menundukkan seribu mata Rasus maka terbukti melakukannya. Selama menari terbayang olehnya Rasus yang runduk tak berdaya dan penuh penyesalan, mengapa dia telah tega membuat Srintil sengsara.”Apalah arti seorang Rasus,” demikian pikir Srintil sambil meratui
panggung, “bila seribu mata terkesima padaku. Di sana ada camat, ada wedana, ada Tri Murdo, dan entah siapa lagi.Mereka terpaku di tempat masing-masing membiarkan hati mereka menjadi bulan-bulanan, membiarkan perasaan mereka menjadi permainanku” (LKDH, hal:130). Srintil melakukan perlawanan kepada Rasus dengan cara menundukkan Rasus dalam dunia angan-angan. Srintil telah mengalami banyak kekecewaan sehingga membuat Srintil berani melangkahi ketentuan-ketentuan yang telah lama mengakar dalam dunia peronggengan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini. Srintil sudah bersumpah dalam hati tidak akan melayani laki-laki yang memburunya. Laki-laki yang menganggap tak ada sisa nilai lagi setelah terjadi transaksi jual-beli, di mana Srintil sama sekali tak berperan dalam penentuan. Marsusi misalnya. Srintil ingin memiliki hak memilih dan ikut menentukan dalam setiap urusan yang menyangkut dirinya. Memiliki dirinya. Atau Srintil akan meminjamkan dirinya bila hal itu menjadi kepentingannya, Bukan kepentingan orang lain semata. Siapan pun di Dukuh Paruk tahu pikiran demikian menyimpang dari kebiasaan seorang ronggeng, Srintil juga. Tetap pada usia delapan belas tahun itu Srintil tahu bahwa penyimpangan demikian harus dilakukan bila dia ingin mempunyai andil dalam dirinya sendiri (LKDH, hal:146). Srintil mulai melakukan sesuatu yang menurutnya baik. Srintil tidak ingi lakilaki yang berkuasa atas dirinya. Keberanian Srintil untuk menolak laki-laki yang menginginkannya merupakan bentuk perlawanan yang dilakuakan tokoh perempuan agar tidak mengalami tindakan diskriminasi. Melihat tingkah laku Srintil yang semakin bermartabat membuat sebagian lelaki tidak berani lagi untuk mendekatinya. Atas kesadaran primordial biasanya Srintil rela memberikan jasa. Namun dalam perkembangannya tak ada lelaki Dukuh Paruk yang memiliki cukup keberanian untuk mendekati Srintil. Bukan hanya karena Srintil sudah demikian kaya menurut ukuran Dukuh Paruk. Atau karena penampilan lahirnya yang sudah jauh berbeda dengan rata-rata orang di pedukuhan itu. Tetapi terutama karana kepribadian Srintil yang bermartabat. Srintil tidak sama dengan ronggeng-ronggeng sebelumnya yang menjadikan uang satusatunya nilai tukar. Semua orang sudah mencatat bahwa Srintil hanya akan
melayanii laki-laki yang dia sukai. Atau catatan lain yang istimewa; Srintil senang menerima lelaki yang beristri cantik. Entahlah. Dan apabila laki-laki itu termasuk ke dalam jenisnya yang tidak suka berpetualang maka Srintil yang mengambil prakarsa. Srintil mulai menggodanya (LKDH, hal:182). Kutipandi atas menggambarkan bahwa Srintil yang semakin bertambah dewasa membuatnya menjadi seorang perempuan yang semakin teguh, bermartabat dan tidak lapar seperti kebanyakan orang Dukuh Paruk, dan menolak laki-laki yang tidak disukainaya. Selain melakukan perlawanan terhadap orang-orang yang telah membuatnya menderita, Srintil juga melakukan perlawanan bagi keadaannya sendiri. Srintil yang telah kehilangan indung telur karena perbuatan Nyai Kartareja ternyata mencari solusi dengan cara mengadopsi anak. Orang mengatakan Srintil demikian memanjakan Goder karena dia khawatir anak itu akan diambil emaknya, Tampi. Boleh jadi. Namun Srintil sendiri merasa kebaikannya terhadap Goder belum senilai dengan kebahagian yang dia rasakan karena bisa memeluk anak itu setiap hari. Goder adalah harapan masa depan bila nasib kebanyakan ronggeng terjadi pula atas dirinya; hidup sendiri di hari tua karena peranakan rusak(LKDH, hal:194-195). Srintil telah melakukan perlawanan terhadap keadaannnyasendiri dengan cara mengadopsi seorang anak untuk masa depannya jika Srintil tidak akan mempunyai anak seperti nasib para ronggeng. Dengan mengadopsi seorang anak maka Srintil berharap bahwa dirinya tidak akan kesepian di hari tuanya. Selain melakukan perlawanan terhadap bentuk diskriminasi seksual dan sosial Srintil juga melakukan perlawanan terhadap diskriminasi politik yang menimpa dirinya.
“Aku akan pergi ke kantor polisi!” kata Srintil tiba-tiba. “Aku akan bertanya kepada mereka apa kesalahan kita.” (LKDH, hal:201). “Kami datang kemari hendak bertanya, Pak,” kata Srintil dengan keberanian yang masih tersisa. “Tadi malam beberapa orang datang mengepung rumah-rumah kami. Tentulah mereka bermaksud buruk. Maka kami ingin minta perlindungan karena kami merasa tidak berbuat salah apa pun. Apabila kami dikatakan salah maka tolong, Pak. Katakan apakah kesalahan kami”(LKDH, hal:203).
Berdasarkan kutipan tersebut terlihat bahwa Srintil mencoba melakukan perlawanan terhadap diskriminasi politik yang terjadi pada dirinya. Bagi Srintil polisi merupakan lembaga yang akan melindung dan mengayomi masyarakat.
4.2 Pembahasan 4.2.1 Peran Tokoh Perempuan dalam Novel Lintang Kemukus Dini Hari Karya Ahmad Tohari Tokoh perempuan dalam novel memiliki peran yang sangat penting bagi semua pihak. Hampir semua segi kehidupan masyarakat Dukuh Paruk membutuhkan Srintil. Bagi mereka Srintil adalah lambang kesenangan. Srintil sangat berperan dalam pelestarian kesenian ronggeng yang telah lama dipelihara oleh masyarakat Dukuh Paruk. Srintil menjadi pengemban amanah bagi leluhur semua orang Dukuh Paruk yaitu Eyang Ki Secamenggala. Srintil juga berperan dalam bidang kesejahteraan masyrakat Dukuh Paruk dan sekitarnya. Selain itu, dalam hubungannya dengan laki-
laki Srintil tetap berperan penting. Srintil juga dapat membantu kaum perempuan apabila dirinya dibutuhkan. 4.2.2 Bentuk-Bentuk Diskriminasi Terhadap Tokoh Perempuan dalam Novel Lintang Kemukus Dini Hari Karya Ahmad Tohari 1.
Bentuk Diskriminasi Seksual Bentuk diskriminasi seksual dalam novel Lintang Kemukus Dini Hari Karya
Ahmad Tohari terjadi terhadap tokoh perempuan yang bernama Srintil. Diskriminasi terhadap Srintil berawal dari dirinya dinobatkan sebagai seorang ronggeng. Srintil belum mengerti arti dari sebuah keperawanan ketika dirinya diperintahkan untuk melayani nafsu birahi laki-laki. Masyarakat Dukuh Paruk menggunakan seks dalam mempertahankan budaya mereka dan demi menghormati leluhur mereka yang disebut Eyang Ki Secamenggala. Nyai Kartareja pun memanfaatkan tubuh Srintil untuk mendapatkan kekayaan tanpa harus bekerja. Srintil disuruh melayani laki-laki sebanyak mungkin walaupun Srintil sering mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari laki-laki tersebut. Selain menyuruh Srintil melayani sebanyak mungkin laki-laki, Nyai Kartareja juga melakukan diskriminasi terhadap Srintil dengan memijat mati indung telur yang ada di dalam rahim Srintil sehingga Srintil tidak bisa hamil ataupun melahirkan anak. Selain dari dukun ronggeng Srintil juga selalu mendapatkan pelecehan seksual dari kalangan masyarakat yang mengenggapnya sebagai seorang sundal, utamanya dari kaum laki-laki sehingga mereka merasa Srintil tidak akan marah jika dirinya dijamah oleh siapapun. Srintil bahkan memiliki tugas untuk melayani seks laki-laki yang haus ketika istri-istri mereka tidak dapat memuaskan
nafsunya seperti istrinya sedang melahirkan atau hamil. Penjualan tubuh Srintil juga berlanjut hingga dirinya menjadi seorang gowok. Gowok adalah upacara pematangan laki-laki sebelum memasuki usia pernikahan. Tugas seorang gowok adalah mengajari laki-laki yang sedang diupacarai untuk berhubungan seksual. Namun hal tersebut ternyata telah membuat Srintil merasa terdiskriminasi karena dia tidak ingin lagi melakukan pekerjaannya sebagai seorang ronggeng. 2.
Bentuk Diskriminasi Sosial Diskriminasi sosial terjadi pada tokoh perempuan dalam novel Lintang
Kemukus Dini Hari Karya Ahmad Tohari karena tokoh perempuan tersebut memiliki status sosial sebagai seorang ronggeng. Pandangan masyarakat Dukuh Paruk bahwa seorang ronggeng adalah pengemban amanah leluhur mereka. Jadi dalam ketentuan yang sudah mengakar dalam dunia peronggengan bahwa seorang ronggeng tidak dibenarkan untuk mengikatkan diri atau menikah dengan seseorang karena ronggeng adalah milik semua orang. Diskriminasi sosial pada diri Srintil berawal dari kepergian Rasus. Rasus adalah laki-laki yang sangat dicintai Srintil. Namun Rasus tidak boleh menikah dengan Srintil karena statusnya sebagai ronggeng yang berarti milik semua orang. Kepergian Rasus ternyata telah membuat Srintil merasa didiskriminasi. Srintil merasa diperlakukan berbeda dari orang lain. Hal ini membuat jiwa Srintil terkoyak karena dia tidak dapat melupakan Rasus. Perlakuan berbeda juga diperoleh Srintil dari sesama wanita yang merasa suami mereka telah tergila-gila kepada dirinya. Srintil mendapatkan perlakuan tidak
baik bahkan Srintil selalu dijadikan seorang perempuan yang menjadi perusak rumah tangga orang lain. Srintil selalu menjadi topik utama pembicaan di masyarakat. Hal ini membuat Srintil merasa dirinya selalu mendapat perlakuan berbeda dari orang lain. Padahal Srintil sudah tidak ingin lagi menjadi seorang ronggeng atau melayani laki-laki. Namun pandangan masyarakat terhadapnya telah mendarahdaging. 3.
Bentuk Diskriminasi Politik Diskriminasi politik yang terjadi pada tokoh perempuan dalam novel Lintang
Kemukus Dini Hari Karya Ahmad Tohari berawal ketika Srintil pentas pada acara yang diselenggarakan oleh kecamatan dalam rangka pemilihan umum. Srintil dijadikan sebagai alat penarik massa. Srintil tanpa pengetahuan apapun hanya mengikuti perintah saja. Srintil tidak tahu sebenarnya apa tujuan dari orang-orang menyelenggarakan pentas tersebut. Padahal bahaya sedang mengancam mereka karena penyelenggaraan acara tersebut telah terlibat politik yang tidak sehat pada tahun 1965. Akibatnya srintil menjadi salah satu tersangka yang dicari polisi. Pada akhirnya Srintil dimasukkan ke dalam penjara. Hal ini membuat Srintil menjadi menderita dan mengalami diskriminasi. 4.2.3 Perlawanan yang dilakukan tokoh perempuan terhadap diskriminasi dalam novel Lintang Kemukus Dini Hari karya Ahmad Tohari Menjelang usianya yang ke delapan belas tahun Srintil mulai sadar bahwa dirinya hanya dimanfaatkan oleh dukun ronggeng yaitu Kartareja dan istrinya. Srintil mulai menolak naik pentas dan tidak ingin lagi melayani nafsu laki-laki yang
menginginkan tubuhnya. Srintil sadar bahwa dirinya harus selayaknya perempuan lain yang memiliki suami dan anak. Srintil melakukan perlawanan hegemoni patriarki dengan melawan semua perintah kaum-kaum yang mendominasinya. Srintil ingin membuktikan dirinya sebagai wanita yang kuat dan bermartabat. Srintil juga melakukan perlawanan terhadap Rasus dengan cara menundukkannya dalam dunia angan-angannya dan dia merasa senang. Sedangkan perlawanan yang dilakukan Srintil untuk melawan Kartareja dan istrinya adalah dengan menolak naik pentas dan menolak menerima laki-laki yang menginginkannya. Srintil sudah bersumpah dalam hati tidak akan menjadi ronggeng. Hal ini membuat dukun ronggeng itu merasa kecewa karena mereka terancam tidak akan ada penghasilan lagi.