BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Gambaran Umum Objek Penelitian Beberapa tahun terakhir Indonesia mengalami beberapa peristiwa bencana
alam dan meninggalkan dampak bagi orang-orang yang mengalaminya. Bencana yang sering melanda Indonesia adalah banjir, gempa, tsunami, tanah longsor dan gunung meletus. Dampak yang diakibatkan dapat berupa dampak fisik maupun non fisik. Oleh karena itu perlu diadakan kegiatan penanggulangan bencana yang berfungsi untuk mengurangi dampak yang diakibatkan oleh bencana. Kegiatan penanggulangan bencana terdiri dari kesiapsiagaan, mitigasi, peringatan dini, tanggap darurat, rehabilitasi dan perlu dilakukan peningkatan kesiapsiagaan dan mitigasi. Kesiapsiagaan merupakan usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan suatu masyarakat untuk menghadapi kemungkinan terjadinya bencana. Kesiapsiagaan ini tidak hanya datang dari masyarakat yang berada di daerah rawan bencana, Pemerintah setempat juga harus memiliki kebijakan untuk meningkatkan kesiapsiagaan pemerintah maupun masyarakat untuk menghadapi kemungkinan
terjadinya
bencana.
Kesiapsiagaan
yang
dapat
dilakukan
Pemerintah berupa pelatihan siaga bencana, pembentukan tim penyelamatan, pembagian media publikasi
mengenai
ancaman bencana dan tindakan
pencegahannya, serta mempersiapkan alat peringatan datangnya bahaya. Selain kesiapsiagaan, kegiatan lainnya dalam penanggulangan bencana yang harus
48
49
dilakukan adalah mitigasi. Mitigasi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya bencana, khususnya dalam hal ini adalah kegiatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko gempa dan tsunami. Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko-resiko yang terkait dengan bahaya-bahaya karena bencana alam dan proses perencanaan untuk merespon terhadap bencana yang betul-betul terjadi. Kegiatan mitigasi yang berhubungan dengan gempa dan tsunami merupakan mitigasi non strukturalyaitu berupa rencana kontingensi untuk gempa dan tsunami di daerah Padang. UN OCHA dalam hal ini melakukan strategi perencanaan dalam penyusunan kebijakan mengenai gempa dan tsunami di daerah Padang bersama dengan BPBD Padang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi perencanaan UN OCHA pada program mitigasi dalam pengurangan resiko bencana. Penelitian ini juga ingin mengetahui, bagaimana koordinasi dan tools apa saja yang dipakai oleh UN OCHA dalam mengkoordinasikan perencanaan strategi mitigasi ini terhadap para stakeholders.
4.1.1 Profil UN OCHA Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB atau yang dalam Bahasa Inggris disebut Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA) adalah sebuah kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dibentuk pada Desember 1991 oleh Resolusi Majelis Umum No. 46/182. Resolusi ini dibuat untuk memperkuat respon PBB dalam membantu menangani keadaan darurat dan
50
bencana alam yang kompleks, dengan mendirikan Departemen Urusan Kemanusiaan PBB, dan mengganti Kantor Koordinator Bencana PBB, yang telah dibentuk pada tahun 1972. Di tahun 1998, Departemen Urusan Kemanusiaan PBB digabung dengan Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB dan didesain untuk menjadi focal point PBB dalam berbagai urusan bencana utama. Mandat dari kantor ini juga diperluas untuk mencakupi koordinasi respon kemanusiaan, pembentukan kebijakan dan advokasi kemanusiaan. Kantor ini merupakan pengamat dalam Kelompok Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB ini merupakan badan antaragensi, melayani badan-badan PBB dan LSMdalam sektor kemanusiaan. Salah satu dari hasil kerja utama kantor ini adalah Consolidated Appeals Process, sebuah alat advokasi dan perencanaan untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan secara bersama dalam berbagai keadaan darurat. UN OCHA berdiri di Indonesia sejak September 1999, pertama didirikan di Dili untuk mendukung Utusan Khusus Sekretaris Jenderal untuk krisis Timor Timur. Kantor UN OCHA juga didirikan di Kupang, dalam rangka berkoordinasi dengan kantor di Dili. Pada bulan April 2000, UN OCHA mendirikan kantor di Timor Barat (Nusa Tenggara Timur Provinsi), untuk menangani Internally Displaced Persons (IDPs) di Maluku, Maluku Utara dan di tempat lain, Badan Inter Standing Committee (IASC) di tingkat global memutuskan untuk menunjuk Perwakilan UNDP Resident Coordinator PBB di Indonesia sebagai Koordinator Kemanusiaan PBB(HC).Pada Oktober 2000, penunujukan Kepala Kantor
51
UNOCHA dan Deputy HC ditentukan, kehadiran UN OCHA di Indonesia kemudian bernama “UN OCHA Indonesia” sejalan dengan kehadiran UN OCHA di diunia. Seperti konflik di Indonesia tersebar, UN OCHA memperluas kegiatannya, mencakup koordinasi respons Internasional terhadap korban kekerasan dan konflik di Maluku Utara, Maluku, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, dan Aceh. Lebih dari sepuluh ribu orang tewas dan hamper 1.4 juta masyarakat mengungsi akibat kerusuhan tersebut. Penghancuran rumah, sekolah dan fasilitas umum lainnya, dan kemudian menjadi skala besar.UN OCHA mendirikan kantor didaerah Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Aceh dan menempatkan staf lokal di Papua dan Nusa Tenggara Timur. Ketika keadaan politik dan stabilitas sosial di sebagian daerah yang terkena dampak konflik khususnya Maluku, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Kalimantan Barat dan Aceh membaik, dan para pengungsi kembali ke desa mereka dan kembali melanjutkan kegiatan normal. Sebagai hasil dari perdamaian ini, kantor UN OCHA di Maluku Utara dan Nusa Tenggara Timur kemudian ditutup pada akhir tahun 2004, dan pada pertengahan tahun 2005 kantor UN OCHA di Papua pun ditutup, dan diikuti dengan penutupan kantor UN OCHA di Sulawesi pada akhir tahun 2005. Kemudian pada 26 Desember 2004, gempa berkekuatan 9.0 SR dengan pusat gempat di lepas pantai Barat Sumatra memicu tsunami. gGelombang tsunami yang mencapai 15 meter di ketinggian di beberapa tempat, menyebabkan kerusakan di sepanjang garis pantai Aceh dan sebagian Sumatera utara,
52
menghancurkan kota-kota dan desa-desa. Banyak korban jiwa, perusakan harta benda.Bencana alam ini kemudian meminta operasi bantuan darurat kemanusiaan yang dipimpin oleh Pemerintah Indonesia (RI) dan didukung oleh PBB, NegaraNegara Donor, LSM dan masyarakat di seluruh dunia. Kehadiran UN OCHA kemudian diperpanjang untuk melakukan koordinasi dengan Pemerintah Indonesia. Kemudian pada tanggal 28 Maret 2005, gempa berkekuatan 8.7SR kembali mengguncang Sumatra, menyebabkan kerusakan yang parah di Simeulue Aceh dan Nias di Sumatera Utara. Pada tahun 2006, upaya UN OCHA difokuskan untuk mendukung koordinasi dan manajemen informasi melalui Kantor PBB (UNORC) di Aceh dan Nias, untuk memperkuat kesiapsiagaan bencana dan kapasitas respon dari PBB dan Pemerintah di tingkat Nasional. UN OCHA kemudian memimpin koordinasi pada tanggal 27 Mei 2006 pada saat gempa yang berkekuatan 5.9 SR melanda Yogyakarta yang menyebabkan kerusakan besar dan menewaskan 5.700 orang dan lebih dari 340.000 rumah hancur dan rusak parah. UN OCHA memimpin koordinasi selama 6 bulan sampai akhir November 2006 dan kemudian menyerahkan kegiatan pemulihan kepada UNDP. OCHA memiliki misi untuk memobilisasi dan mengkoordinasi aksi kemanusiaan yang efektif dan berprinsip pada kemitraan baik itu nasional maupun internasional dalam hal: 1.
Meringankan penderitaan kemanusiaan dalam hal bencana alam dan kedaruratan.
53
2.
Mempromosikan kesiapsiagaan dan usaha pencegahan untuk memberikan bantuan Internasional yang efektif, tepat waktu dan sesuai.
3.
Memfasilitasi solusi yang berkelanjutan dan
4.
Memberikan advokasi untuk masyarakat yang membutuhkan
Visi UN OCHA yaitu untuk bekerja bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana untuk memperkuat kapasitas kesiapsiagaan dan tanggap bencana. UN OCHA bekerja sama dengan Pemerintah dan para mitra untuk mengelola mekanisme dana kemanusiaan yang efektif dan responsif. UN OCHA merupakan badan koordinasi kemanusiaan yang memiliki strategistrategi sebagai berikut: 1.
Memfasilitasi koordinasi para aktor kemanusiaan internasional dan menjembatani celah antara Pemerintah melalui sistem grup atau alternatif nasional. UN OCHA memastikan adanya transfer ilmu kepada Badan Bencana Pemerintah.
2.
Melanjutkan bekerja bersama Pemerintah, partner kemanusiaan dan lembaga terkait untuk mempromosikan pentingnya kesiapsiagaan dalam meminimasi akibat bencana pada keberagaman komunitas.
3.
Melanjutkan membantu para aktor kemanusiaan dengan melalui laporan dan advokasi, bertindak sebagai pusat data dalam pengumpulan dan penggabungan informasi untuk penyebaran dan pelaporan.
4.
Melanjutkan pengusahaan advokasi seperti pengenalan oleh aktor kemanusiaan akan kebutuhan yang berbeda pada pria dan wanita melalui mekanisme grup dan berhubungan langsung dengan BNPB/BPBD.
54
5.
Membantu mendorong pengembangan dokumen peraturan pada Kebijakan Manajemen Bencana. Ini termasuk membantu BNPB menyelaraskan peraturan nasional dan internasional untuk meningkatkan kemampuan Pemerintah dalam hal mengajak, menerima dan berkoordinasi pada aksi kemanusiaan Internasional.
6.
Bekerja dengan Pemerintah untuk memastikan masyarakat yang rentan, terutama didaerah yang tidak terjangkau dapat dilindungi dan dibantu dengan baik.
7.
Mengembangkan strategi pengembangan advokasi untuk Indonesia.
8.
Memfasilitasi pengembangan dan pembandingan data dan informasi dalam mengkolaborasikan dengan grup untuk analisa kontekstual yang lebih lanjut, seperti database 3W dan penilaian kapasitas sumber
9.
Membantu BNPB dalam berkolaborasi dengan para lembaga, membangun kapasitas manajemen informasi sebagai alat untuk mendukung koordinasi dan memperluas potensi pada teknologi dan meningkatkan kinerjanya.
10. Mengadvokasi dana dari para lembaga non-pemerintah ( sektor swasta,
internasional)
untuk
meningkatkan
daerah
yang
rentan
dengan
berkolaborasi dengan BNPB.
4.1.2 Konsep Alur Koordinasi Situasi pada masa tanggap darurat memiliki beberapa keunikan, seperti ketidakpastian, kejadian yang tidak diinginkan dan terjadi secara tiba-tiba, risiko jatuhnya korban massal, time pressureyang tinggi, kurangnya sumber daya, serta
55
kerusakan sarana dan prasarana. Semua faktor tersebut menuntut koordinasi yang melibatkan organisasi tersendiri, multisektoral, dan mobilisasi sumber daya yang besar dan arus informasi yang terus menerus. Koordinasi merupakan memiliki tujuan untuk mencapai hasil yang maksimal dan menghindari kesimpangsiuran antar upaya melalui pengaturan organisasi serta memadukan fungsi dan sumber daya yang dimiliki. Salah satu tekanan juga dapat berupa tingginya permintaan informasi terkini mengenai perkembangan penanganan di lokasi kejadian baik dari instansi pemerintah maupun swasta. Koordinasi saat bencana dapat didefinisikan sebagai kegiatan intensif untuk menyelaraskan upaya-upaya individual untuk memaksimalkan dan mencapai sinergi. Tidak adanya koordinasi ditandai dengan kesenjangan dalam pelayanan publik, duplikasi upaya, distribusi bantuan yang tidak tepat, penggunaan sumber daya yang tidak efisien, adanya hambatan untuk mengubah situasi, dan secara umum memberikan dampak respon tanggap darurat yang tidak efektif. Respon pada bencana dapat dilihat sebagai kesatuan dari koordinasi di lokasi dan koordinasi diluar lokasi. Koordinasi di lokasi biasaya bersifat reaktif dan berlangsung dalam periode yang lebih singkat. Koordinasi yang baik adalah dilakukan berdasarkan pemahaman dan dilakukan dengan menyusun operasional global yang menggambarkan maksud dan tujuan koordinasi. Komunikasi yang efisien adalah sangat esensi untuk mengembangkan pemahaman terhadap permasalahan secara global.
56
Koordinasi
tanggap
darurat
di
beberapa
negara
utama
dengan
pemerintahan sipil dikoordinasikan dari tingkat bawah atau Kabupaten selanjutnya ke tingkat Provinsi dan terus sampai kepada pemerintah pusat, dengan tingkat aktifitas yang bergantung pada skala bencana. Keterpaduan antara BNPB atau BPBD dalam penyelenggaraan upaya penanganan tanggap darurat saat bencana harus berjalan secara harmonis dengan berlandaskan pada otonomi dan kapasitas daerah yang terkena dampak bencana. Sejalan dengan kebijakan umum, maka koordinasi dilakukan dalam tiga tahap atau fase, yakni: sebelum terjadi bencana yaitu berupa pencegahan, mitigasi dan
kesiapsiagaan
dilakukan
oleh
masing-masing
sektor
terkait
yang
dikoordinasikan oleh BAKORNAS. Upaya ini dikenal sebagai pengurangan resiko bencana. Untuk penanganan bencana dan kedaruratan di daerah dibentuk Satuan Koordinasi Pelaksana Penanganan Bencana Provinsi yang dipimpin oleh Gubernur dan Satuan Pelaksana Penanganan Bencana Kabupaten dan Kota yang dipimpin oleh Bupati atau Walikota. Penanganan bencana di daerah dibawah kendali gubernur dan bupati/walikota. Peran PBB disini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran seluruh umat manusia akan bencana alam, khususnya melaluli pemahaman yang lebih baik mengenai bencana alam, serta upaya menekan bahaya melalui kemampuan teknologi dan manajemen. Kunci Pelaksanaan Penanganan Bencana adalah hal-hal sebagai berikut ini: 1.
Negara (Country) wajib melindungi setiap warganya, upaya penanganan bencana harus dilaksanakan oleh Pemerintah bersama-sama masyarakat
57
2.
Koordinasi ( coordination), setiap tindakan penanganan bencana harus melibatkan sektor-sektor terkait secara optimal.
3.
Kerjasama (Cooperation) harus selalu dilakukan disetiap tataran, horisontal dengan organisasi non pemerintah dan vertikal antara pusat dan daerah, perlu didukung networking yang baik.
4.
Keterpaduan (Cohesion)ketiga hal tersebut di atas harus dilakukan secara terpadu.
Tabel dibawah ini menunjukkan UN kompetensi pada UN framework competency. Kompetensi ini diindikasikan untuk koordinasi kemanusiaan yang telah diterapkan oleh UN OCHA: Gambar 4.1 UN Kompetensi Framework
Leadership
Building Trust
Client Orientation Commitme nt to people in need
Teamwork
Coordination Networking Accountability Empathy
Creativity Communication
Analysis Negotiation
Sumber: Website UN OCHA
58
4.1.3 Struktur UN OCHA UN OCHA merupakan organisasi PBB yang tidak memiliki banyak staff, oleh sebab itu pada organisasi ini tidak memiliki Public Relations atau yang disebut dengan Communication Officer. Peran Communication Officersangat dibutuhkan oleh hampir semua bentuk organisasi atau lembaga. Secara garis besar peran Communication Officeradalah komunikator sebuah lembaga/organisasi, baik kepada dan dari publik internal maupun public eksternal.
Bagi sebuah
organisasi kehadiran seorang Communication Officersangat dibutuhkan untuk menjalin
komunikasi
dengan
para
stakeholders
ataupun
untuk
mengkomunikasikan visi, misi, tujuan dan program organisasi kepada public. Communication Officerjuga memiliki fungsi untuk mempublikasikan tentang suatu kegiatan atau aktifitas instansi yang ditujukan untuk menjalin hubungan dengan Pemerintah, NGO ataupun Badan Donor. Communication Officerjuga memiliki
fungsi
untuk menjaga hubungan
dengan
organisasi-organisasi
internasional. Dalam meningkatkan komunikasi, Communication Officerjuga membangun dan memelihara hubungan yang kooperatif dengan wakil-wakil komunitas, masyarakat. UN OCHA memiliki bulletin dan Profile yang menjelaskan mengenai kegiatannya, mengingat kegiatan UN OCHA tidak sangat besar sehingga tidak mengundang media dalam mempublikasikan kegiatannya. Dalam hal ini Information Officerjuga memiliki peran dalam mendistribusikan informasi mengenai kegiatan-kegiatan UN OCHA. Dalam melakukan publikasi mengenai kegiatannya, setiap staff UN OCHA menjadi “Agent of Marketing” dalam
59
memberikan
informasi
mengenai
kegiatan-kegiatannya.Misalnya,
dalam
menghadiri sebuah kegiatan workshop maka staff UN OCHA berkesempatan untuk memberikan informasi mengenai kegiatan-kegiatan kebencanaan yang dilakukannya. Bulletin ini diterbitkan setiap satu bulan sekali, dalam bulletin ini berisi informasi mengenai kegiatan yang sedang dilakukan UN OCHA, apa saja yang dilakukan dalam penanggulangan bencana. UNOCHA membangun hubungan dengan stakeholders melalui hubungan kerja yang dilakukan masingmasing staff, misalnya pada saat memfasilitasi workshop atau meeting yang diselenggarakan oleh pada stakeholder, setiap staff mempunyai peranan dalam membangun “stakeholder relation”. 4.2
Hasil Penelitian Penelitian tentang strategi perencanaan program pengurangan resiko
bencana pada UN OCHA ini didukung oleh data primer dan data sekunder.Data primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara mendalam untuk mendapatkan informasi tentang perencanaan program mitigasi serta hambatanhambatan komunikasi yang ditemui di lapangan.Wawancara dilakukan pada hari Kamis, 27 Desember 2012, dengan Key InformanIbu Titi Moektijasih selaku Humanitarian Analystdi kantor UN OCHA.Periode penelitian ini dimulai dari bulan September 2012 hingga Desember 2012.Penelitian ini dilakukan empat bulan dengan pertimbangan bahwa UN OCHA memiliki program pengurangan resiko bencana melalui program mitigasi dengan fokus pada gempa dan tsunami. Maka sudah pasti akan banyak sekali aktivitas komunikasi melalui program
60
perencanaan mitigasi yang terjadi serta hambatan-hambatanyang dihadapi di lapangan. Peneliti juga melakukan observasi non partisipatif yang memungkinkan peneliti melihat dan mencari data pada saat berada di kantor UN OCHA sehingga dapat secara langsung melihat bagaimana strategi yang dilakukan dan hambatanhambatan apa saja yang ditemui dilapangan. Subjek penelitian utama (nara sumber utama) dalam penelitian ini adalah Ibu Titi Moektijasih ( Humanitarian Analyst)dan didukung oleh subjek penelitian lain, diantaranya Ibu Wahyu Srigandani ( Senior Administratif Officer). Pengambilan data atau wawancara ini dilakukan pada hari Kamis tanggal 27 Desember 2012 dan 5 Januari 2013. Pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh peneliti kepada subjek peneliti baik sumber utama maupun sumber pendukung lainnya adalah pertanyaan yang bersifat umum lalu dilanjutkan pada pertanyaan yang sifatnya khusus atau lebih rinci agar penelitian ini dapat berlangsung secara terstruktur dengan baik. Adapun pertanyaan-pertanyaan umum yang diberikan lebih kearah program pengurangan resiko bencana melalui perencanaan program mitigasi. 4.2.1 Mitigasi Bencana Sebagai Praktek Komunikasi Bencana merupakan suatu yang terpisahkan dari manusia, manusia terus bergumul agar bebas dari bencana (free from disaster).UN OCHA yang keberadaannya di Indonesia sebagai organisasi koordinasi untuk bencana telah melakukan banyak kegiatan di Indonesia, maka dalam hal ini peneliti mewancarai Ibu Wahyu Srigandani, sebagai key informan yang telah bekerja di UN OCHA
61
sejak UN OCHA berdiri di Indonesia, wawancara ini dilakukan pada tanggal 27 Januari 2013. Pertanyaan pertama ditujukan kepada Ibu Titi Moektijasih, selaku Humanitarian Analyst di UN OCHA, Ibu Moektijasih merupakan salah satu staff yang terlibat dalam program mitigasi ini, kemudian peneliti menanyakan kegiatan apa saja yang telah dilakukan oleh UN OCHA dalam hal penanganan bencana, dalam penjelasannya Ibu Titi menjelaskan bahwa Kantor UN OCHA di Indoensia terdiri dari beberapa personnel (multinasional) yang melakukan berbagai fungsi dalam mendukung upaya untuk mengkoordinasikan bantuan kemanusiaan yang efektif. Dalam fakta lapangan organisasi dan lembaga internasional yang terlibat dalam bantuan krisis kemanusiaan masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda dalam hal keahlian sumber daya, serta prioritas. Oleh sebab alasan tersebut diatas maka kebutuhan akan bantuan kemanusiaan yang terkoordinasi menjadi tak terhindarkan. UN OCHA melakukan fungsi koordinasi untuk komunitas Internasional maupun Negara Donor dengan pihak Pemerintah Indonesia khusus pada saat pemerintah yang berwenang menyatakan bahwa kapasitas nasional tidak mencukupi untuk mengatasi bencana yang dihadapi serta memerlukan bantuan Internasional. Dalam hal koordinasi Ibu Srigandani menjelaskan bahwa koordinasi yang dilakukan UN OCHA juga menyertakan Palang Merah Indonesia (PMI), LSM baik Internasional maupun Nasional, Pemerintah serta perusahaan swasta. UN OCHA memastikan bahwa tindakan kemanusiaan dan bantuan yang diberikan mencakup prinsip, tepat waktu, efektif dan efisien. Menurut Ibu Wahyu Srigandani, selaku Administration Officer UN OCHA, mengatakan:
62
Koordinasi termasuk didalamnya mengembangkan strategi umum dengan mitra baik di dalam maupun diluar sistem PBB, mengidentifikasi kebutuhan kemanusiaan secara keseluruhan, mengembangkan rencana yang realistis, pemantauan program kemajuan dan menyesuaikan seperlunya, mengadakan forum koordinasi, mobilisasi sumber daya, menangani masalah umum untuk pelaku kemanusiaan, dan mengelola mekanisme koordinasi dan perangkatnya UN OCHA Indonesia juga memberikan pelatihan kepada partner utama di Indonesia yaitu BNPB, tentang prosedur yang telah disepakati secara Internasional, tata cara penanganan bantuan bencana untuk Manajer tingkat pengambilan keputusan. Selain itu UN OCHA juga memberikan bantuan pelatihan dalam mengembangkan perencanaan kontijensi dengan berbagai skenario bencana yang mungkin terjadi, salah satunya gempa dan tsunami. Mitigasi menjadi salah satu titik lemah seluruh proses pengelolaan tindakan dalam menghadapi bencana. Proses mitigasi melibatkan pencegahan bencana dan pengurangan dampak buruk bencana pada tahap minimal. Kebijakan mitigasi adalah kebijakan jangka panjang, dapat bersifat struktural maupun non struktural. Kebijakan non struktural meliputi legislasi dan perencanaan wilayah. Dalam penelitian ini hal pertama yang ditanyakan oleh peneliti kepada key informan mengenai pengertian mitigasi. Hal ini ditanyakan untuk dapat mendapat gambaran tentang pengetahuan key informan mengenai program pengurangan resiko bencana yang sedang dilakukan oleh UN OCHA. Menurut Ibu Titi Moektikasih, Humanitarian AnalystMitigasi yang dilakukan oleh UN OCHA merupakan mitigasi non struktural yaitu membantu BPBD dalam kapasitasnya sebagai pemegang kebijakan di kota Padang, dan memperbaiki proses yang ada.
63
Mitigasi yang dilakukan adalah termasuk mitigasi non struktural yaitu membantu BPBD Padang dalam kapasitasnya sebagai pemegang kebijakan di kota Padang, dan memperbaiki proses yang ada. Mitigasi bencana sebagai tahapan manajemen bencana merupakan aksi kesiapsiagaan setelah masa tanggap darurat dan rehabilitasi dan rekonstruksi. Seluruh aspek masyarakat dalam situasi bencana dan mitigasi bencana merupakan satu kesatuan yang utuh, hendaknya seluruh stakeholder memiliki rasa tanggung jawab dalam masa mitigasi bencana ini. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa pencegahan dan mitigasi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana. 4.2.2 Perencanaan dan Implementasi Program Mitigasi Sementara Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Peneliti selanjutnya mengajukan pertanyaan selanjutnya mengenai proses perencanaan program mitigasi sebagai berikut, menurut Ibu Moektijasih proses dalam perencanaan program mitigasi ini yaitu BNPB memberitahukan kepada BPBD mengenai program mitigasi ini, sebelumnya UN OCHA melakukan kunjungan, memberikan pemahaman dan menerangkan kegiatan perencanaan kontijensi, karena menurut Ibu Moektijasih pemahaman BPBD Padang mengenai hal ini masih kurang, dan informasi belom sampai pada tingkat ini, dan tidak adanya pemahaman para pelaku di tingkat lapangan. Proses dalam perencanaan program mitigasi ini yaitu BNPB memberitahukan BPBD mengenai program mitigasi ini, sebelumnya UN OCHA melakukan kunjungan memberikan pemahaman dan menerangkan kegiatan rencana kontingensi, karena pemahaman mengenai hal ini masih
64
kurang, dan informasi belom sampai pada tingkat ini, dan tidak adanya pemahaman para pelaku ditingkat lapangan. Pada tahap ini perencanaan merupakan proses kegiatan pemikiran, dugaan dan penentuan-penentuan prioritas yang harus dilakukan secara rasional sebelum melaksanakan tindakan yang sebenarnya dalam rangka mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Perencanaan amat diperlukan dalam rangka mengarahkan tujuan dan sasaran organisasi maupun tujuan suatu program. Hal
ini
menunjukkan
adanya
fungsi
sosial
komunikasi
yaitu,
menjembatani yaitu dapat terkontrol melalui pesan-pesan yang mereka pertukarkan keduanya saling menjelaskan perbedaan tafsir atas sebuah pesan sehingga menghasilkan makna yang sama. Hal ini membantu khalayak untuk menginterprestasi secara tepat apa yang terjadi tentang lingkungan. Dalam strategi perencanaan terdapat adanya kegiatan berbasis pada perencanaan strategis yg terstruktur dan terperinci, dengan menetapkan target yang akan dicapai yaitu adanya Peraturan Daerah mengenai gempa dan tsunami . Pada program pengurangan resiko bencana berupa mitigasi ini UN OCHA memfokuskan pada isi, pesan dan khalayak yaitu kota Padang, seperti yang dijelaskan oleh Ibu Titi Moektijasih ketika peneliti menanyakan publik sasaran yang ingin dicapai, yaitu BPBD, semua dinas yang terkait dengan tanggap darurat, PU, TNI Polri, Kepala Daerah, Kecamatan, Tokoh Agama, Private Sector, NGO/INGO yang menjadi agen perubahan atau agent of chances apabila Pemerintah kurang aktif. Menurut Ibu Moektijasih: Padang merupakan wilayah emerging environtment yaitu lingkungan yang mendukung karena BPBD Padang telah memiliki pengalaman, para pelaku daerah di Padang sudah memahami mengenai Manajemen
65
Bencana karena ketika harus membuat model dipastika harus berhasil, dan telah memiliki pengalaman, NGO/INGO dapat diajak menjadi mitra untk dapat menciptakan perubahan. Kegiatan yang dilakukan pada fase ini ada dua yaitu: perencanaan dan pelaksanaan berdasarkan pada analisis risiko bencana. Lembaga yang terlibat terdiri dari Pemerintah (BPBD) yang berupaya melakukan perencanaan penanggulangan bencana; melakukan upaya pengurangan dan pencegahan resiko bencana. Kemudian Ibu Moektijasih menjelaskan bahwa UN OCHA harus memperbaiki dan mengubah cara pandang para pelaku di tingkat daerah, dan terjadi di semua tempat, oleh sebab itu UN OCHA merasa perlu
untuk
memperbaiki dan mengubah cara pandang para pelaku di tingkat daerah dan terjadi di semua tempat, oleh sebab itu UN OCHA merasa perlu akan adanya perubahan dalam proses perencanaan, program sosialisasi, membuat tim penyusun dan melakukan rapat-rapat singkat mengenai hal ini. Disini dapat dilihat bahwa adanya faktor Pendorong atau Movitating yang merupakan proses kegiatan yang harus dilakukan untuk membina dan mendorong semangat anggota organisasi demi tercapainya tujuan. Disini dapat dilihat bahwa kegiatan komunikasi tidak hanya berurusan dengan bagaimana pesan komunikasi diterima oleh khalayak sasaran dalam pengertian received tetapi accepted. Strategi dalam perencanaan diperlukan agar kegiatan komunikasimemperoleh respons (feedback)dan efek yang sesuai dengan yang diharapkan.Peran masyarakat pada fase ini menjadi bagian dari proses mitigasi secara aktif, membentuk kelompok tangguh bencana (PRB). Lembaga yang terlibat adalah pemerintah dan non pemerintah. Pemerintah melalui BPBD tetap melakukan fungsinya sebagai
66
mengkoordinasikan dan melakukan evaluasi dan pengawasan kegiatan yang dilakukan oleh pihak terkait yang terlibat dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Belum adanya pemahaman tentang program mitigasi ini membuat UN OCHA melakukan perubahan dalam proses perencanaan, program sosialisasi, membuat tim penyusun, melakukan pertemuan-pertemuan singkat dengan pihak pemerintah , dan melakukan pelatihan atau workshop dalam penyusunan program mitigasi ini. Hal ini perlu dilakukan karena belum adanya pemahaman tentang perencanaan kontingensi, maka hal tersebut diatas perlu dilakukan agar memudahkan UN OCHA untuk mengevaluasi. Berdasarkan penjelasan Ibu Titi Moektijasih diatas, peneliti
melihat
diperlukan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana peran dan dan fungsi komunikasi bencana bisa membantu manajemen bencana. Menurut Seager, komunikasi bencana merupakan proses interaktif dari pertukaran informasi dan pendapat pribadi, kelompok dan institusi, hal ini melibatkan pesan-pesan mengenai bencana alam dan pesan lainnya, tidak saja mengenai resiko tetapi juga adanya kepedulian , pendapat atau resiko pesan atau legal dan pengaturan secara institusi untuk resiko manajemen. Sosialisasi dalam bentuk seminar, diskusi, lewat media, selebaran, dan lainlain baik ke level pemerintah, ke lembaga non-pemerintah dan masyarakat umum.Selain bertujuan untuk mendekati instansi pemerintah/pemda yang secara tupoksi atau posisi dan pengalamannya dalam bidang penanggulangan bencana, sehingga nantinya terbentuk jembatan komunikasi yang baik, dan juga bertujuan untuk menyiapkan masyarakat yang tanggap terhadap bencana.
67
Dari penjelasan Ibu Titi diatas peneliti dapat melihat adanya satu sumber yang membantu melakukan proses komunikasi, tugas juru bicara yang menjadi jembatan komunikasi, dalam hal ini adalah UN OCHA, hal ini dilakukan agar tidak adanya kesimpang siuran informasi maupun komunikasi. Penyusunan tim dalam strategi perencanaan menurut peneliti yaitu adanya peran Manajer komunikasi yang dibantu oleh tim yang memiliki kapasitas dan skill yang bisa memastikan kualitas informasi dan komunikasi yang memiliki dukungan bagi pengambilan keputusan maupun memberi kepastian dan keandalan bagi stake holder yang membutuhkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa lingkup komunikasi menyangkut persoalanpersoalan yang ada kaitannya dengan substansi interaksi sosial dalam masyarakat, termasuk konten interaksi atau komunikasi yang dilakukan secara langsung maupun dengan menggunakan media komunikasi. Dalam program mitigasi ini, kemudian peneliti menanyakan pertanyaan selanjutnya mengenai langkah apa saja yang dilakukan dalam proses perencanaan program mitigasi ini, dalam penjelasan yang diberikan oleh Ibu Moektijasih, sebelum bertemu gubernur, UN OCHA membuat program sosialisasi dan kemudian tim penyusun menindaklanjuti. Penyusunan skenario harus disepakati, UN OCHA mengindentifikasi kapasitas yang ada di lokasi. Fungsi perencanaan kontijensi ini untuk memperhitungkan sumber daya yang ada yang bisa dimobilisasi ketika bencana terjadi. Peneliti melihat hal ini sesuai dengan Fungsi Komunikasi yang dijabarkan oleh A.W Widjaja, yaitu adanya pengumpulan informasi, penyebaran berita, fakta
68
dan pesan atau komentar yang dibutuhkan agar dapat beraksi secara jelas terhadap kondisi lingkungan agar orang lain dapat mengambil keputusan yang tepat, pada program sosialisasi, UN OCHA menyediakan sumber ilmu pengetahuan yang memungkinkan orang bersikap sebagai anggota yang efektif dalam lingkungannya sehingga sadar akan fungsi sosialnya sebagai manusia yang harus berinteraksi dengan lingkungannya dan dapat berperan aktif didalam masyarakat. Adanya motivasi yang mendorong orang untuk menentukan pilihan dan keinginannya serta mendorong kegiatan individu. Pada penyusunan skenario dapat dilihat adanya perdebatan dan diskusi yaitu saling menyediakan dan menukar fakta yang diperlukan untuk memungkinkan persetujuan atau menyelesaikan perbedaan pendapat mengenai program perencanaan mitigasi , meyediakan bukti bahwa belum adanya pemahaman mengenai perencanaan program mitigasi mengajak stake holders seperti NGO/INGO dan aktor kemanusiaan yang diperlukan untuk melibatkan diri dalam proses perencanaan ini yang menyangkut kepentingan bersama di tingkat nasional dan lokal. Pada fasae sosialiasi Ibu Moektijasih menjelaskan bahwa pada fase sosialisasi yaitu: Untuk membangun komitment , melakukan exercise atau pelatihan , pada fase sosialisasi diberitahukan bahwa orang yang hadir harus yang berkaitan dengan kebencanaan yaitupada level manajer atau level menengah. Kemudian Ibu Titi menambahkan bahwa sosialisasi dalam bentuk workshop bersama dengan dinas satu kali cukup tetapi tidak menutup kemungkinan ada pertemuan beberapa kali untuk lebih mematangkan pemahaman tentang rencana kontingensi.
69
Peneliti melihat bahwa ini sesuai dengan definisi komunikasi organisasi menurut Kochler yaitu bahwa organisasi adalah sistem hubungan yang terstrukstur yang mengkoordinasi usaha suatu kelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu. Dan peneliti melihat adanya kesesuaian seperti yang ditulis oleh Wright bahwa organisasi merupakan suatu bentuk sistem terbuka dari aktitivas yang dikoordinasi oleh dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan bersama. Langkah-langkah yang dilakukan UN OCHA dalam mensosialisasikan kegiatan ini dokumen dibikin, memfollow up meeting , mengadakan rangkaian meeting, hal ini harus ada yang mengkoordinasi dan menangani hingga dokumen tersebut nantinya ditandatangani oleh Bupati, dan terbentuk Peraturan Daerah, dengan adanya PERDA ini supaya daerah punya kemampuan dari fase 1 sampe 3 secara komprehensif, agar perencanaan kontingensi
harus berkaitan dengan
rencana operasi. Tujuan adanya program mitigasi ini adalah agar Pemerintah memiliki model terutama BNPB bahwa menyusun rencana mitigasi struktural tidak bisa instan, dan dapat dijadikan pilot. Kemudian Ibu Moektijasih menjelaskan mengenai publik sasaran dalam program mitigasi ini, bahwa: Publik sasaran dalam program pengurangan resiko bencana ini adalah, publik sasaran BPBD semua dinas yg terkait dengan tanggap darurat, PU, TNI Polri, kepala daerah, kecamatan, tokoh agama, private sector, ngo agent of changces apabila pemerintah tidak aktif. Selanjutnya Ibu Moektijasih menjelaskan bahwa dukungan yang dibutuhkan oleh UN OCHA agar program mitigasi ini dapat berhasil, yaitu sebagai berikut:
70
1.
Belum melihat perencanaan menjadi suatu yang penting, harus menentukan orang yang pas, orang yang paham, komit akan tanggap darurat, koordinasi, kepala daerah yang commit.
2.
Sistem monitoring and evaluasi, dokumen dapat terpakai , institusi, NGO.
Menurut Ibu Moektijasih program mitigasi ini juga menemukan hambatanhambatan di lapangan yaitu : Pada proses perencanaan program mitigasi ini, kami banyak mengalami hambatan seperti misalnya komitmen pelaku di daerah menjadi permasalahan, mereka tidak paham maka tidak ada dukungan, proses sosialisasi tidak cukup hanya sekali, proses sosialisasi yang efektif membutuhkan resources, tidak adanya resources. Perpindahan rotasi pegawai yang tinggi, sering terjadinya pergantian staf di pemerintah. Hambatan yang ditemui oleh UN OCHA adalah membutuhkan adanya resources baik tenaga maupun sumber pendanaan, tidak adanya resources, sama seperti di dinas;
pola pandang mereka terhadapproject, sangat menghambat,
apalagi UN OCHA terdengar besar, sementara yang UN OCHA lakukan merupakan pendekatan proses bukan pendekatan funding. Pada program sosialisasi mitigasi lebih jauh pada yang lebih bersifat menginformasikan, membuat buku panduan yang disesuaikan, UN OCHA menginformasikan pada UN/NGO/Donor rapat yang diadakan setiap sebulan sekali, UN OCHA memanfaatkan semua network yang ada dalam program sosialisasi mitigasi ini. Kemudian peneliti menanyakan bagaimana UN OCHA mensosialisasikan program mitigasi, sementara UN OCHA tidak memiliki Public Relations untuk mensosialisasikan program ini, berikut penjelasan dari Ibu Moektijasih bahwa:
71
UN OCHA tidak memiliki Public Relations, dalam mensosialisasikan kegiatannya namun UN OCHA menggunakan media Bulletin, OCHA Profile, dan tidak mengundang media mengingat kegiatan UN OCHA yang tidak besar maka penggunaan media seperti Bulletin, OCHA Profile Menurut Ibu Titi Moektijasih hal ini masih relevan, UN OCHA memanfaatkan stafnya sebagai agent of marketing dalam mempublikasikan kegiatannya, bulletin tersebut berisi kegiatan yang dilakukan oleh UN OCHA seperti kegiatan penanggulangan bencana di Indonesia, informasi mengenai bencana secara garis besar.” Sementara tanggapan yang berbeda disampaikan Ibu Srigandani bahwa: Setiap staff merupakan staff Humas, yang bertugas memberikan up-date tentang situasi kemanusian yang telah/sedang terjadi kepada komunitas International/Negara donor. Sehingga informasi yang diberikan dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengambilan keputusan untuk menyalurkan bantuan kepada pemerintah Sesuai dengan teori Public Relations mengenai tugas dan fungsinya, baik sebagai lembaga maupun sebagai perorangan, dalam menyebarkan informasi mengenai organisasi kepada publik dengan tujuan utama membentuk citra positif publik terhadap organisasi. Dalam hal ini setiap staff UN OCHA menjadi humas dalam mempublikasikan kegiatannya. Berkaitan dengan Public Relations Ibu Titi Moektijasih mengemukakan bahwa, dalam menjaga hubungan dengan stake holder, UN OCHA lebih menjaga hubungan melalui pekerjaan, maksudnya adalah: Dengan merespons permintaan para stake holders dengan memberikan respon yang cepat dan memfasilitasi kegiatan para stakeholders, dengan menjaga hubungan namun untuk badan donor UN OCHA mengadakan pertemuan bulanan, menurutnya sangat penting menjaga hubungan baik dengan para stake holders, atau yang disebut dengan performance value relations.
72
Dalam hal ini Ibu Srigandani juga menjelaskan bahwa stake holders UN OCHA yaitu DRP (Disaster Resource Partners- forum CEO perusahaan swasta yang memberikan bantuan kemanusiaan disaat bencana), HFI (Humanitarian Forum Indonesia), Forum PRB (Penanggulangan Resiko Bencana) dll. Ibu Moektijasih menjelaskan pada tahap implementasi setelah rencana kontijensi disahkan, kemudian menjadi dokumen resmi yang siap untuk dilaksanakan menjadi rencana operasi tanggap darurat (melalui kaji cepat) apabila sewaktu – waktu terjadi bencana. Kemudian tahap selanjutnya ditindak lanjuti dengan berbagai kegiatan dan langkah-langkah melalui sosialiasi dan pelatihan – pelatihan atau workshop. Menurut Ibu Titi Moektijasih, apabila waktu kejadian bencana yang diperkirakan telah terlampaui maka rencana kontijensi dapat diberlakukan atau diperpanjang untuk periode kurun waktu berikutnya. 4.3
Pembahasan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa dalam
penanganan bencana yang mengacu kepada peraturan, jika ditinjau dari aspek legal, memang dapat dipertanggung jawabkan. Mengingat aspek legal wajib dijalankan, sedangkan penanganan bencana harus dilakukan dengan cepat , maka peran komunikasi dalam menyampaikan informasi secara cepat, merupakan salah satu jalan untuk mendukung penanganan bencana yang eskalasinya meningkat. Myers dan Myers dalam buku komunikasi bencana berpendapat bahwa komunikasi dimaksudkan untuk berbagi informasi dan mengurangi kekakuan dalam organisasi. Jadi, komunikasi dapat menciptakan suatu fleksibilitas dalam
73
melaksanakan kegiatan organisasi tanpa harus melakukan penyimpangan terhadap peraturan yang ada. Dalam hal ini komunikasi dapat menciptakan fleksibilitas dalam pelaksanaan kegiatan, namun tetap berpijak kepada aturan dan norma yang disepakati bersama . Dalam implementasi penangggulangan bencana, pemerintah daerah harus menyusun rencana kontingensi penanggulangan bencana yang mencakup analisa daerah rawan bencana, identifikasi dan sistem sumber yang dapat dimobilisasi, menentukan kebijakan serta langkah strategis jika terjadi bencana. Kecepatan dalam komunikasi untuk pengambilan keputusan dan sistem komunikasi yang terhubung antara lembaga peduli bencana akan meminimalisir jatuhnya korban. Acuan penanggulangan bencana dapat berjalan lancar jika informasi bencana dikelola dengan interaktif. Acuan penanggulangan bencana tsunami tidak bisa lepas dari fungsi komunikasi yang memberikan sinyal untuk mengurangi ketidak pastian sebagai berikut: 1. Mengadakan pelatihan evakuasi baik untuk masyarakat maupun aparat terkait, secara berkala dua kali setahun, dalam rangka meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi gempa dan tsunami 2. Memfasilitasi peningkatan pemahaman masyarakat melalui Pendidikan formal dan non formal Pada penelitian ini peneliti melihat bahwa pelatihan dan peningkatan pemahaman kepada masyarakat, menyangkut pula komunikasi sebagai proses yang mendorong suatu tindakan untuk menguasai dan dengan memanfaatkan saluran untuk mengirimkan pesan, mengeluarkan stimulus untuk memperoleh
74
respon yang diharapkan, memiliki maksud untuk mendorong munculnya perilaku yang dikehendaki. Pada penelitian strategi perencanaan ini ditemukan juga komunikasi sebagai pertukaran gagasan verbal , proses interaksi yang saling memberikan pemahaman, mengurangi ketidakpastian, penyampaian pesan dan transfer pemahaman, proses untuk menghubungkan satu entitas dengan entitas lain. Melalui penelitian ini dapat dilihat bahwa karakteristik khalayak yang menyangkut sikap, wawasan, kemampuan komunikasi, sistem sosial dan kultur, harus menjadi perhatian pengirim pesan agar informasi dipahami dan tercapai tujuan yang ditetapkan. Kegiatan penanganan bencana alam yang utama adalah peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana yang mencakup: Meningkatkan pemahaman dalam penanganan bencana untuk aparat pemerintah
daerah, Pelatihan kepada masyarakat untuk tanggap bencana.
Mencermati hal diatas maka komunikasi memiliki peranan penting untuk menangani bencana. Sebab menurut Wood, komunikasi dapat memberikan pemahaman tentang interaksi antar manusia , yang berlangsung terus menerus yang bertujuan menciptakan pemahaman bersama. Dengan kata lain, semua pihak yang melakukan penanganan bencana harus berpijak kepada fungsi komunikasi untuk menciptakan pemahaman bersama.
75
Gambar 4.2 The Seven Step Mitigation Planning Process
Sumber: Komunikasi Bencana, Hal: 30
Gambar diatas menunjukkan alur fase – fase penanggulangan bencana, yaitu fase Pra Bencana, fase tanggap darurat dan fase Pasca Bencana. Didalam fase Pra Bencana dibedakan atas kondisi tidak ada ancaman bencana dan kondisi ada potensi ancaman bencana. Padi kondisi ada potensi ancaman bencana, terdiri atas tahap perencanaan, mitigasi dan tahap kesiapsiagaan. Pada fase
76
tanggapdarurat terdiri atas preparedness dan penanganan korban. Pada fase pasca bencana terdiri atas rehabilitasi (pemulihan) dan rekonstruksi. Pada mitigasi yang dilakukan oleh UN OCHA , Ibu Titi Moektijasih dalam hal ini menjelaskan bahwa pada awalnya BNPB memberitahukan kepada BPBD mengenai program mitigasi ini, sebelumnya UN OCHA telah melakukan kunjungan,
dan
memberikan
pemahaman
kepada
pemerintah
mengenai
pentingnya program mitigasi bencana, karena Ibu Moektijasih menilai bahwa pemahaman BPBD Padang mengenai hali ini masih kurang dan informasi belum sampai pada tingkat ini, serta tidak adanya pemahaman para pelaku di tingkat lapangan.