(PengemSangan Industri 9fifir(Ber6asis
"KftapaScewit
untuli
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Distorsi Harga Tandan Buah Segar (TBS) dan Pendapatan Petani Kelapa Sawit Penerimaan petani
kelapa sawit
sangat tergantung
tanaman. Semangkin tinggi umur tanaman (umur optimum)
kepada
umur
menunjukkan
kandungan minyak sawit dan inti sawit semangkin tinggi, yaitu 21,87 % untuk minyak sawit dan 5,10 % untuk inti sawit. Tingginya kandungan minyak sawit yang dihasilkan oleh petani akan berpengaruh kepada harga tandan buah segar (TBS) yang diterima oleh petani. Harga yang ditetapkan oleh perusahaan inti atau oleh pabrik kelapa sawit (PKS) berpedoman kepada harga C P O di pasar internasional. Untuk daerah Riau, khususnya bagi empat perusahaan besar (PT Perkebunan Nusantara V, P T Sinar Mas, PT. Astra, dan P T Asian Agri)
harga T B S
didasarkan kepada kesepakatan bersama yang ditentukan oleh Tim Pengkajian dan Penetapan Harga Pembelian T B S ( P P H P - T B S ) Produksi Petani Propinsi Riau. Tim ini terdiri dari wakil dari masing-masing perusahaan, wakil dari petani, wakil dari pihak pemerintah yaitu dinas perkebunan. Sebagai gambaran rataan harga T B S per semester berdasarkan harga yang ditetapkan oleh Tim P P H P - T B S disajikan pada Tabel 3. Dari tabel itu memperlihatkan tingkat harga yang diterima oleh petani berdasarkan umur tanaman kelapa sawit. Karena itu penentuan harga yang ditetapkan oleh tim berpengaruh langsung kepada penerimaan petani kelapa sawit khususnya petani peserta plasma dari empat perusahaan besar perkebunan. Kalau dibandingkan harga yang diterima pada tingkat petani swadaya jauh lebih rendah dari harga pada petani plasma. Harga yang diterima oleh petani
swadaya bukan
didasarkan kepada harga oleh tim
PPHP-TBS,
melainkan harga yang ditetapkan oleh pedagang pengumpul (toke). Toke ini merupakan kaki tangan dari P K S di luar empat perusahaan besar. P K S
Lembaga Penelitian Universitas Riau
26
(PengemBangan Industri 9(i(xr(Beriasis 7(plapa Sawit untu(i
tersebut pada umumnya memiliki sebagian kebun atau tidak memiliki kebun sebagai pendukung bahan baku.
Tabel 3. Rataan Perkembangan Harga T B S Per Semester (Rp) Umur Tanaman
••2002l3;iil:s
2001
Semester 1 Semester II
Semester 1
Semester II
3
251,99
337,85
420,71
462,52
4
282,42
377,64
451,60
517,02
5
301,53
404,25
483,41
553,49
6 7
310,15 322,06
415,77 431,69
497,27
569,28
516,35
590,31
8 9
332.08 342,61
445.16
532,43 549,30
609,54 628,82
459,22 10 s/d 20 352,28 472,21 565,56 Sumber: Dinas Perkebunan Propinsi Riau, Tahun 2003
647,02
Harga T B S di tingkat petani swadaya cenderung ditentukan sepihak, hal ini disebabkan antara petani dengan P K S tidak ada keterikatan kontrak. Ini sangat
berbeda dengan
perusahaan inti.
petani
Sebagai bahan
plasma, mereka terikat kontrak perbandingan
harga T B S pada
dengan kedua
kelompok tersebut disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Perbandingan Usahatani Kelapa Sawit antara Petani Plasma dengan Petani Swadaya pada Umur Optimum Plasma
Petani Swadaya
Rataan
2,09
3,40
2,412
3.680
3.773
3.703
1,78
1,12
1,6136
Biaya (Rp)
534.946
528.928
533.827
Harga TBS (Rp/kg)
663,62
520,60
628,367
Uraian
Luas Lahan (ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/ha)
Distorsi harga
1,27
Harga T B S yang diterima oleh petani plasma R p 663,62 per kg T B S , sedangkan oleh petani swadaya hanya sebesar R p 520,60 per kg T B S (umur optimum). Sedangkan harga rata-rata dari kedua kelompok tersebut sebesar Rp 628,37 per kg T B S . Antara petani kelapa sawit plasma dan swadaya terjadi Lembaga Penelitian Universitas Riau
27
distorsi harga sebesar 1,27. Artinya setiap harga yang diterima oleh petani swadaya sebesar Rp 1, maka petani plasma menerima R p 1,27. Perbedaan harga T B S antara petani plasma dengan petani swadaya di uji secara statistik dengan uji beda (uji t), hasilnya disajikan pada Tabel 5. Hasil uji
F
dari kedua kelompok memperlihatkan
Fhitung
besar dari
Ftabei,
maka
digunakan uji t'. Hasil perhitungan uji beda harga T B S antara petani plasma dan swadaya menghasilkan nilai
Zhnung
besar dari nilai
Ztabei-
Secara statistik
kedua harga yang diterima itu sangat berbeda pada taraf a = 5 %. Tabel 5. Hasil Uji Beda Harga T B S Usahatani Kelapa Sawit Petani
Uraian
Plasma
Varian
Swadaya 2.310,939
992,633
Nilai F
2,3281
Nilai F tabel (5%)
1,30
Nilai z hitung
23,3074
Nilla Z tabel (5%)
1,96
Nilai Z
hrt^ng
(23,3074) > Z ,3bei (1.96)
Rendahnya harga T B S yang diterima oleh petani swadaya disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: Pertama,
petani swadaya tidak ada ikatan
dengan pihak P K S atau perusahaan inti. Hasil panen petani swadaya tidak ada kepastian oleh pembeli T B S pada saat panen tiba. Kondisi ini menyebabkan kadang-kadang T B S sampai berhari-hari di kebun. Untuk menghindari ini petani terpaksa menjualnya berdasarkan harga yang telah ditentukan oleh toke; Kedua,
kurangnya
pengetahuan
petani
swadaya terhadap
kualitas T B S
mereka. Akibat ini pihak toke juga dapat menekan harga dengan menentukan kualitas
T B S (penentuan
sepihak);
Ketiga,
untuk
menghindari
resiko
(pembusukan buah, pencurian) di tempat penampungan sementara (TPS), maka petani menjual harga T B S pada saat setelah panen; dan keempat, petani ingin cepat
menerima
uang
hasil kebun
mereka.
Kalau ditunggu
atau
ditawarkan kepada beberapa toke hal ini akan memakan waktu, sehingga menimbulkan resiko terhadap kualitas T B S .
Lembaga Penelitian Universitas Riau
28
(PengmSangan Industri 7{Uir(Ber6asis KjCapa Sawit untuljJPercepatan (PmBangunan 'E^nomi
(Pedesaan (Paeraft Ijjau
Hasil analisis penerimaan usahatani kelapa sawit disajikan pada Tabel 6. Hasil
perhitungan
memperlihatkan
bahwa
pendapatan
petani
plasma
bersumber dari kelapa sawit sebesar Rp 1.911.993 per bulan (90,30%) dan non kelapa sawit sebesar Rp 252.310 per bulan atau 12,36 %. Sehingga total pendapatan petani plasma per bulan sebesar Rp 2.117.302 atau sebesar Rp 25.407.624,00 per tahun. Jika di asumsikan nilai tukar rupiah terhadap dollar sebesar UD $ 1 = Rp 8.500, maka pendapatan petani plasma sebesar UD $ 2.989,00 per tahun. Sementara pendapatan petani swadaya hanya sebesar Rp 1.807.679 per bulan atau Rp 21.692.154 ini setara dengan UD $ 2.552,02 per tahun.
Tabel 6. Perbandingan Pendapatan Usahatani Kelapa Sawit Petani Plasma dengan Swadaya pada Umur Optimum (Rp)
Plasma
. Petani Swadaya
Rataan
1.911.993 (90,30)
1.411.679(78,09)
1.788.312(87,64)
205.309 (9,70)
396.000(21,91)
252.310(12,36)
2.117.302 (100)
1.807.679 (100)
2.040.622
1.187.273
1.171.104
1.183.288
Uraian Pendapatan Sawit Pendapatan Non Sawit Total Pendapatan Pengeluaran Tabungan
191.180 225.093 87.500 Keterangan: Angka dalam kurung merupakan persentase sumber pendapatan
Hasil uji statistik terhadap perbedaan pendapatan antara petani plasma dengan petani swadaya disajikan pada Tabel 7. Guna menentukan rumus uji t yang dipakai pada analisis uji beda, terlebih dahulu dilakukan uji homogenitas dari kedua kelompok. Hasilnya diperoleh nilai sehingga untuk uji beda digunakan rumus t'. bahwa
Zhitung
besar dari
Ztabei,
Fhitung
besar dari nilai
Hasil uji statistik
yang berarti
F
tabei,
menunjukkan
hipotesis pertama
"terdapat
perbedaan pendapatan petani plasma dengan petani swadaya sebagai akibat adanya distorsi harga tandan
buah segar pada tingkat petani"
terbukti.
Perbedaan tersebut menyebabkan pendapatan petani plasma lebih besar dari pendapatan petani swadaya.
Lembaga Penelitian Universitas Riau
29
(PettgemBangan Industri Jfi(ir(Ber6asis KfOtpa Sawit untufi^rcepatan
(PmBangunan (Ekgnomi (Pedesaan (DaeraH (Rjau
Faktor penyebab tingginya tingkat pendapatan petani plasma adalah, antara lain: Pertama,
Petani plasma sangat menggantungkan kehidupannya
kepada hasil kebun mereka, ini terbukti kontribusi pendapatan kelapa sawit terhadap pendapatan keluarga sebasar 90,30 persen. Karena itu kegiatan usahatani
kelapa sawit
sangat serius dilakukan; Kedua,
Petani plasma
merupakan mitra kerja perusahaan inti. Petani plasma selalu mendapat binaan dari perusahaan inti menyangkut dengan pengelolaan kebun. Ini dibuktikan tingginya produktivitas kebun petani yaitu 1,78 ton per hektar per bulan atau 21,35 ton per tahun per hektar. Sedangkan petani swadaya produktivitas kebunnya sebesar 1,12 ton per hektar per bulan atau sebesar 13,44 ton per tahun per hektar; dan ketiga,
harga yang diterima oleh petani plasma cukup
tinggi dibandingkan dengan harga di tingkat petani swadaya.
Tabel 7.
Hasil Uji Beda Pendapatan Usahatani Kelapa Sawit antara Petani Plasma dengan Swadaya Petani
Uraian
Plasma
Varian
Swadaya
453.318.255.084
1.082.891.498.395 2,3888
Nilai Fhitung Nilai F tabel (5%)
1,30 2,3432
Nilai Z hrtung Nilia Z tabel (5%)
1,96 Nilai Z hrtung (2,343) >Z,3bel (1.96)
4.2 Analisis Distribusi Pendapatan dan Disparitas Spasial 4.2.1 Analisis Distribusi Pendapatan Petani Kelapa Sawit Untuk
memperoleh
gambaran sampai sejauh mana
pembangunan
perkebunan kelapa sawit dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, perlu dikaji distribusi pendapatan yang diterima masyarakat pada sektor perkebunan tersebut, terutama petani kelapa sawit. Distribusi pendapatan ini diukur melalui sampel yang diperoleh di lapangan. Untuk itu disusun kelompok masyarakat berdasarkan pendapatan
persentase menurut
pendapatannya
dalam
suatu
tabel
persentase
beberapa kategori dari semua sampel. Hasil yang
Lembaga Penelitian Universitas Riau
30
(PengmSangan Industri 9{iljr(Ber6asis 'KffJapa Sawit untuli
diperoleh kemudian diukur berdasarkan urutan
menurut
kriteria
penilaian
sebagai tercantum pada Tabel 8. Perhitungan distribusi pendapatan petani kelapa sawit di Riau disajikan pada Tabel 9. Ketimpangan distribusi pendapatan masyarakat petani kelapa sawit
di
Riau,
dimana
20
persen
masyarakat
berpendapatan
terendah
memperoleh 11,69 persen dari total pendapatan atau 40 persen masyarakat berpenghasilan terendah menikmati pendapatan 27,54 persen. Sementara 20 persen masyarakat berpenghasilan tertinggi menikmati 33,09 persen dari total pendapatan. Jika dibandingkan dengan sebelumnya pada tahun 1992, 20 persen masyarakat berpenghasilan terendah hanya menikmati sebesar 8,89 persen, kemudian turun menjadi 8,05 persen pada tahun 1995. Pada saat krisis ekonomi
tahun
1998 justru
masyarakat
miskin
mengalami
peningkatan
pendapatan, ini ditunjukkan dengan angka distribusinya sebesar 15,13 persen. Hal ini juga terjadi untuk kelompok
kedua dan ketiga. Sedangkan untuk
kelompok berpendapatan tinggi (keempat
dan tertinggi justru
mengalami
penurunan.
Tabel 8. Kriteria Ratio Ketimpangan Distribusi Pendapatan Kriteria Penilaian Bank Dunia* Gini Ratio <0,30 > 17 % 0,30 - 0,40
12-17%
Tingkat Ketimpangan Rendah Sedang
>0,40 < 12% Tinggi *) Untuk 40 persen penduduk berpendapa! an terendah Sumber: Suseno Triyanto W, 1990
Penyebab meningkatnya distribusi pendapatan kelompok miskin ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain: Pertama, kebutuhan masyarakat miskin pada umumnya dapat disediakan oleh produk lokal. Produk ini pada umumnya berbahan baku lokal sehingga tidak berpengaruh langsung oleh penurunan nilai tukar aipiah. Sementara kelompok kaya sangat tergantung kepada barang yang diproduksi secara modem; Kedua,
pada masa ksisis
umumnya masyarakat miskin sangat tergantung kepada hasil pertanian. Produk ini dapat mereka peroleh di pedesaan.
Lembaga Penelitian Universitas Riau
31
(PengmSangan Industri 9Cilir(Ber6asis Kffapa
Sawit
untuliJPercepatan
—
•
————————
Apabila dihubungkan dengan kriteria ketimpangan dari Bank Dunia maka ketimpangan pendapatan petani kelapa sawit termasuk rendah. Begitu juga dengan kriteria Gini Ratio, dimana distribusi pendapatan petani kelapa sawit di daerah Riau termasuk rendah. Dari Tabel 9 dapat dilihat perbandingan antara pendapatan masyarakat tertinggi dengan pendapatan masyarakat terendah sebesar 1,20. Artinya pendapatan dari 20 persen kelompok masyarakat berpendapatan tinggi adalah 1,2 kali lipat dari pendapatan 40 persen masyarakat kelompok berpendapatan rendah. Relatif rendahnya ketimpangan distribusi pendapatan pada masyarakat sampel ini disebabkan pada lokasi pene'itian merupakan daerah pertumbuhan sebagai akibat perkembangan kawasan perkebunan, sehingga petani diluar program pola PIR banyak melakukan kegiatan usahatani kelapa sawit. Akibat ini masyarakat sekitar pengembangan perkebunan juga dapat menikmati efek dari pembangunan perkebunan kelapa sawit. Tabel 9. Perkembangan Gini Ratio Pendapatan Petani di Daerah Riau Periode 1992-2003 Kelompok Pendapatan
;;;pil98'>^-- 2003^)
1992^>
20 % pendapatan terendah
8,89
8,05
15,130
11,69
20 % pendapatan terendah kedua
11,76
12,66
19,460
15,83
20 % pendapatan terendah ketiga
14,94
14,38
21,520
18,31
20 % pendapatan terendah keempat
20,74
19,55
20,100
21,07
20 % pendapatan tertinggi
43,68
45,35
23,790
33,09
0,3332
0.3327
0.0736
0,2038
2,19
0,69
1,20
Gini Ratio
Rasio 20% tertinggi dan 40% terendah 2,12 Sumber: 1) BPS, Riau Dalam Angka, 1993 2) Almasdi Syahza. 1995 3) Almasdi Syahza. 1998b 4) Hasil olahan
4.2.2 Analisis Disparitas Antar Daerah Melalui hasil perhitungan Indeks Williamson dapat diketahui bagaimana peran investasi yang tertanam dalam sektor industri dan sektor pertanian, khususnya subsektor perkebunan dalam mengeliminasi disparitas spasial di daerah Riau. Analisis ini berpegang pada beberapa asumsi, antara lain: 1)
Lembaga Penelitian Universitas Riau
32
PengmSangan Industri J{ilir
=saag=
______
,
sektor industri, perdagangan, hotel dan restoran adalah sektor yang berbasis ekonomi perkotaan; 2) Sektor pertanian berbasis ekonomi pedesaan, dalam hal ini
subsektor
perkebunan
memberikan
peranan
panting
terhadap
pembangunan ekonomi pedesaan. Ini terbukti dikembangkannya kelapa sawit sebagai komoditi unggulan daerah Riau.
4.2.2.1 Perhitungan Disparitas dengan IVIemasuldon Semua Sektor Perhitungan dengan memasukkan sektor industri, memperlihatkan nilai ketimpangan cukup besar. Selama periode tahun 1993-1998 nilai ketimpangan hampir mendekati 1 (Tabel 10), ini menunjukkan ketimpangan berat yang disebabkan
karena adanya sektor
industri pada daerah
kabupaten/kota
terutama Batam, Kepulauan Riau, Bengkalis, dan Pekanbaru. Tabel 10. Hasil Perhitungan Indeks Williamson Di Daerah Riau Periode Tahun 1993-2001
Tahun
Dengan Tanpa Sektor Sektor Industri Industri
Tanpa Sektor Industri dengan
1993
0,7438
0,4189
Perdagangan, Hotel, Restoran 0,3271
1994
0,8962
0,4568
0,3309
0,4979
1995
0,9347
0,4570
0,3327
0,4976
1996
0,9832
0,4661
0,3428
0,5060
1997
0,9394
0,4117
0,2803
0,4904
1998
0,9536
0,3928
0,3005
0,4429
1999
0,8309
0,2838
0,2843
0,3846
2000
0,6866
0,2622
0,2795
0,3702
2001
0,6211
0,2674
0,2744
0,3327
Berdasarkan
angka
Indeks
Williamson
Pertanian
tersebut
0,4925
dapat
diberikan
interpretasi bahwa hasil pembangunan daerah Riau yang mengandalkan sektor industri selama periode tahun 1993-2001 menyebabkan terjadinya ketimpangan pembangunan
antar
kabupaten/kota. Akibat
ini akan
menimbulkan
juga
ketimpangan pendapatan dalam masyarakat. Masyarakat yang bekerja di sektor
industri
akan
mendapatkan
Lembaga Penelitian Universitas Riau
porsi
pendapatan
yang
lebih
tinggi
33
(Pengembangan ImfustriHiRr
(Berbasis "KfCapa Saxvit
untuljJPercepatan (PemSangunan <El(pnomi (Pedesaan (Daerah (Rjau
dibandingkan dengan yang bekerja di luar sektor industri (sektor pertanian), karena sektor
industri mampu memberikan nilai tambah yang tinggi. Pada
tahun 1996 dan sebelum pasca krisis ekonomi angka indeks Williamson mendekati 1, ini disebabkan karena sektor industri pegang peranan penting dalam perekonomian daerah, terutama kontribusi sektor industri dari Batam. Ini terbukti pada tahun 1998 tingkat pertumbuhan ekonomi Riau
-5,4 persen,
sementara pertumbuhan ekonomi nasional yang mengalami kontraksi cukup besar (sekitar -13,4 persen per tahun). Tingginya pertumbuhan ekonomi Riau pada masa krisis disebabkan ekonomi Batam yang tumbuh diatas 17 persen per tahun. Tahun
1994
pendapatan
per
kapita
daerah
Riau
sebesar
Rp
1.764.963,11 dan pada tahun 2001 naik menjadi Rp 5.165.107,62 dengan tingkat pertumbuhan sebesar 16,58 persen per tahun. Pendapatan per kapita terbesar adalah daerah Batam dan daerah yang pendapatan per kapitanya terendah
adalah daerah
Rokan Hulu. Daerah kabupaten/kota
lain yang
pendapatan per kapitanya melebihi rata-rata tingkat propinsi disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Daerah Kabupaten/Kota yang Pendapatan Per Kapitanya Melebihi Tingkat Propinsi dengan Memasukkan Sektor Industri Pengolahan (Tanpa Migas) Kabupaten/Kota 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 # # # # 1 Batam # # # # # # # # # # # 2 Karimun # # # # 3 Kepulauan Riau # # # # # 4 Kampar # # 5 Pekanbaru 6 Pelalawan 7 Kuantan Singing! 8 Indragiri Hilir 9 Indragiri Hulu 10 Dumai 11 Natuna 12 Siak 13 Rokan Hilir 14 Bengkalis 15 Rokan Hulu # Pendapatan per kapita lebih besar dari pendapatan per kapita tingkat propinsi ~ Pendapatan per kapita lebih kecil dari pendapatan per kapita tingkat propinsi Sumber: Diolah dari data PDRB Riau periode 1994-2001
-
-
Lembaga Penelitian Universitas Riau
-
34
PengmSangan
Industri JCi(xr
untuljPercepatan
(PmBangunan 'Eljpnomi (Pedesaan (Daerafi ^ u
4.2.2.2 Perhitungan Disparitas Tanpa Sektor Industri Analisis disparitas tanpa sektor industri memperlihatkan ketimpangan tidak
begitu
penurunan
berat,
sejak
pasca
sampai pada tahun
krisis tahun 2001
(Tabel
1997
menunjukkan
10). Tanpa sektor
angka industri
menyebabkan ketimpangan antar wilayah semakin kecil. Hal ini disebabkan pasca krisis dapat mendongkrak ekonomi pedesaan. Sejak krisis, ekonomi pedesaan
yang
berbasis
pertanian
menunjukkan
kontribusi
yang
besar
terhadap pendapatan per kapita masyarakat. Seperti halnya hasil perhitungan pada sektor industri, perhitungan Indeks Williamson dengan tidak
memasukkan sektor industri periode
1993-1996
(sebelum krisis) menunjukkan kenaikan. Namun sejak masa krisis angka indeks Williamson cenderung
menurun.
Dari
hasil perhitungan
pada Tabel
12
menunjukkan ketimpangan yang lebih kecil pada tahun 2001 sebesar 0,2674 tanpa sektor industri dan 0,6211 dengan sektor industri. Tanpa sektor ekonomi perkotaan ketimpangan antar daerah kabupaten/kota semakin kecil. Beberapa
daerah
kabupaten/kota
yang
pendapatan
per
kapitanya
melebihi pendapatan per kapita Propinsi Riau dari tahun 1994-2001 tanpa memasukkan sektor ekonomi perkotaan (industri pengolahan, perdagangan, hotel, dan restoran) dapat dilihat dari Tabel 12. Dari Tabel 12 teriihat
daerah kabupaten/kota yang pendapatan per
kapitanya melebihi pendapatan per kapita Propinsi Riau jauh lebih banyak dibandingkan dengan memasukkan sektor industri. Namun empat daerah kabupaten/kota yakni: Rokan Hilir, Bengkalis, Rokan Hulu, dan Siak masih dibawah
pendapatan
per kapita propinsi. Temyata
pembangunan
sektor
perkebunan khususnya kelapa sawit dapat meningkatkan pendapatan per kapita ekonomi pedesaan dan menimbulkan pendapatan antar daerah lebih merata. Dari hasil analisis yang diuraikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan perkebunan kelapa sawit di dearah Riau dapat mengurangi ketimpangan pendapatan antar golongan masyarakat pedesaan. Pembangunan perkebunan kelapa sawit juga dapat menekan tingkat ketimpangan antar daerah
Lembaga Penelitian Universitas Riau
35
Pedesaan (Paeraft ^ u
kabupaten/kota di Riau. Dengan demikian hipotesis yang diajukan
dapat
diterima. Tabel 12
Perbandingan Pendapatan P e r Kapita Kabupaten/Kota dengan Pendapatan Per Kapita Propinsi Tanpa Sektor Industri Pengolahan (Tanpa Migas)
Kabupaten/Kota 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 # 1 Karimun # # # # # # r 2 Kepulauan Riau # # # # # # # # 3 Batam # # # # # # # 4 Indragiri Hilir # # ~ 5 Natuna # # 6 Kampar # 7 Pekanbaru # # # # # # 8 Kuantan Singing! # # 9 Dumai # # # # # # 10 Pelalawan # ~ 11 Indragiri Hulu # 12 Rokan Hilir 13 Bengkalis 14 Rokan Hulu 15 Siak # Pendapatan per kapita lebih besar dari pendapatan per kapita tingkat propinsi ~ Pendapatan per kapita lebih kecil dari pendapatan per kapita tingkat propinsi Sumber: Diolah dari data PDRB Riau periode 1994-2001 .MM.
4.3 Analisis Multiplier Effect Ekonomi dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pedesaan 4.3.1 Analisis Multiplier Effect Pengembangan perkebunan di pedesaan telah membuka peluang kerja bagi masyarakat yang mampu untuk menerima peluang tersebut. Dengan adanya perusahaan perkebunan, mata pencaharian masyarakat tempatan tidak lagi terbatas pada sektor primer dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, tetapi telah memperiuas ruang gerak usahanya pada sektor tertier. Bermacam sumber pendapatan yang memberikan andil yaitu pedagang (dagang barangbarang harian, dagang karet, tiket angkutan dan penjual es), pegawai (guru, pemerintahan desa), industri rumah tangga (industri tahu, roti, dan percetakan genteng), buruh kasar, nelayan, pencari kayu di hutan dan tukang kayu.
Lembaga Penelitian Universitas Riau
36
(PengmSangan Industri JfUir(Ber6asis 7(fhpa untuifPercepatan
Sawit
(PmBangunan (Eksimmi (Pedesaan (Daerafi ^jau
Secara umum dapat diungkapkan bahwa adanya kawasan perkebunan telah
menyebabkan
munculnya
sumber-sumber
pendapatan
baru
yang
bervariasi. Sebelum dibukanya kawasan perkebunan di pedesaan, sampel mengungkapkan
sumber
pendapatan
masyarakat
relatif homogen,
yakni
menggantungkan hidupnya pada sektor primer, memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia seperti apa adanya tanpa penggunaan teknologi yang berarti. Data lapangan mengungkapkan pada umumnya masyarakat hidup dari sektor pertanian sebagai petani tanaman pangan (terutama palawija) dan perkebunan (karet). Pada masyarakat di sekitar aliran sungai mata pencaharian sehari-hari pada umumnya sebagai nelayan dan pencari kayu di hutan. Selain teknologi yang digunakan sangat sederhana dan monoton sifatnya tanpa pembaharuan (dari apa yang mampu dilakukan). Orientasi usahanya juga terbatas kepada pemenuhan kebutuhan keluarga untuk satu atau dua hari mendatang tanpa perencanaan pengembangan usaha yang jelas (subsisten). Kegiatan
pembangunan
perkebunan
telah
menimbulkan
mobilitas
penduduk yang tinggi. Akibatnya di daerah-daerah sekitar pembangunan perkebunan muncul pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di pedesaan. Kondisi ini menyebabkan
meningkatnya
daya
bell
masyarakat
pedesaan,
terutama
terhadap kebutuhan rutin rumah tangga dan kebutuhan sarana produksi perkebunan kelapa sawit. Apabila dikaji dari struktur biaya pengusahaan perkebunan kelapa sawit yang teknis operasionainya dirancang lebih banyak menggunakan teknik manual, biaya yang berkaitan dengan tenaga kerja langsung serta tenaga teknis di lapangan memiliki porsi yang cukup besar. Berdasarkan hal tersebut, perputaran uang yang terjadi di lokasi dalam jangka panjang diperkirakan dapat merangsang
pertumbuhan
ekonomi
di
wilayah
ini
dengan
tumbuhnya
perdagangan dan jasa. Hal ini memberikan arti bahwa kegiatan perkebunan kelapa sawit di pedesaan menciptakan multiplier
effect, terutama
dalam
lapangan pekerjaan dan peluang berusaha. Dengan menggunakan rumus angka pengganda tersebut diperoleh nilai M P C = 0,8415 dan nilai P S Y =0,7079. Sehingga diperoleh angka pengganda sebesar 2,48. Nilai ini dapat memberikan arti bahwa setiap pembelanjaan oleh
Lembaga Penelitian Universitas Riau
37
PengmSangan Industri JfiRr (BerSasis 7(flapa Sawit untuHjPercepatan PmSangunan 'E^nomi Pedesaan (Daerah (Rjau
petani kelapa sawit di lokasi dan sekitarnya sebesar Rp 100, secara sinerjik menjadikan perputaran uang di lokasi tersebut dan sekitarnya sebesar Rp 248,00 melalui bentuk-bentuk usaha, baik sektor riil maupun jasa. Aktivitas
pembangunan
perkebunan
kelapa sawit yang
melibatkan
banyak tenaga kerja dan investasi yang relatif besar untuk industri hilirnya, diperkirakan
secara positif
merangsang, menumbuhkan
lapangan kerja serta lapangan berusaha.
dan
menciptakan
Melalui kegiatan ekonomi yang
menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan selama proses kegiatan perkebunan kelapa sawit dan pembangunan industri hilirnya akan mempunyai keterkaitan ke belakang {backward linkages).
P a d a proses kegiatan ini akan
muncul antara lain jasa kontruksi, jasa buruh tani, jasa angkutan, perdagangan pangan dan sandang, perdagangan peralatan ken'a serta bahan dan material yang dibutuhkan selama proses tersebut. Sedangkan pada kegiatan ekonomi waktu pascapanen dan proses produksi akan mempunyai keterkaitan ke depan {foreward linkages). Proses foreward linkages yang diperkirakan akan muncul adalah sektor jasa, antara lain: angkutan, perhotelan, koperasi, perbankan, perdagangan, industri kecil di pedesaan yang memproduksi alat produksi pertanian (alsintan). Dari segi penanaman investasi yang dilaksananakan,
hampir semua
daerah kabupaten/kota memanfaatkan investasi. Tetapi kalau dilihat dari segi dampak ekonominya belum menunjukkan disebabkan mempunyai
karena
investasi
pada
hasil yang diharapkan, hal ini
beberapa
daerah
kabupaten/kota
multiplier efek yang kecil kecuali untuk daerah Batam
dan
Pekanbaru (Almasdi Syahza, 2003c). A d a empat kemungkinan sebab mengapa fenomena ini terjadi. investasi
sektor
industri
di
daerah
kabupaten/kota
yang
Pertama,
menyebabkan
disparitas spasial semakin membesar disebabkan oleh industri milik swasta dengan fasilitas P M A dan P M D N bukan investasi pemerintah. Investasi sektor swasta
lebih
pemerintah
mengutamakan
lebih mengutamakan
target
keuntungan,
nilai manfaat
sementara
invesatsi
untuk masyarakat.
Dalam
penelitian ini karena keterbatasan data dan waktu, industri milik pemerintah tersebut
belum
berhasil
diungkapkan
Lembaga Penelitian Universitas Riau
sebaran
geografisnya;
Kedua,
38
PengmSangan Industri JfiRr (BerSasis 'Kflitpa Sawit untu^Percepatan PmSangunan 'Elipnomi Pedesaan Oaeraft ([(jau
kemungkinan industri dengan fasilitas P M D N dan P M A di masing-masing daerah kabupaten/kota ada yang tinggi nilainya tetapi menimbulkan multiplier effect yang kecil sehingga tidak memperbesar P D R B daerah bersangkutan (seperti sektor pertanian). Sebaliknya investasi swasta dengan fasilitas P M A dan P M D N , walaupun nilainya kecil di suatu daerah kabupaten/kota tetapi mempunyai multiplier effect yang besar sehingga dapat mempertinggi P D R B daerah
bersangkutan;
Ketiga,
penanaman
investasi
pada
daerah
kabupaten/kota baik P M D N maupun P M A terfokus pada sektor pertanian yang pengembalian tingkat investasinya dalam jangka waktu yang agak lama; dan keempat, kemungkinan investasi yang dilakukan oleh sektor pemerintah baik swasta yang bersumber P M D N dan P M A tertanam pada sektor sosial yang mempunyai multiplier effect yang kecil serta tingkat pengembaliannya yang lambat.
4.3.2 Analisis Kesejahteraan Masyarakat Petani Kelapa Sawit Pertumbuhan kesejahteraan petani kelapa sawit di Riau pada tahun 1995 hanya sebesar 0,49 yang berarti tingkat pertumbuhan
kesejahteraan
hanya meningkat sebesar 0,49 persen (Tabel 13). Dari itu teriihat pada 1998 terjadi penurunan indeks kesejahteraan sebesar - 1 , 0 9 %. disebabkan kondisi ekonomi nasional harga barang melonjak
Penurunan ini
pada waktu itu tidak menguntungkan,
naik, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
menurun. Namun untuk tingkat golongan 80 persen berpendapatan rendah mengalami peningkatan. Yang paling besar adalah golongan 20 % terendah. Ini disebabkan karena ketergantungan
mereka terhadap produk luar
(barang
sektor modern sangat rendah). Mereka lebih banyak memakai barang sektor tradisional atau produksi lokal. Setelah ekonomi pulih kembali pada tahun 2003 indeks pertumbuhan kesejahteraan
petani
kelapa sawit
meningkat
lagi menjadi
1,72.
Berarti
pertumbuhan kesejahteraan petani kelapa sawit mengalami kemajuan sebesar 1,72
persen.
Pertumbuhan
ini
hanya
dinikmati
oleh
kelompok
yang
berpenghasilan 40 persen tertinggi sebesar 3,28 persen, sedangkan kelompok
Lembaga Penelitian Universitas Riau
39
(PengemSangan Industri JfiBr (BerSasis 'KfHapaSawh untufiJPercepatan (PemSangunan (Efipnomi (Pedesaan (Daerafi (Rjau
60 persen terendah justru mengalami penurunan kesejahteraan s e b e s a r - 1 , 5 6 persen. Aktivitas pembangunan perkebunan kelapa sawit memberikan pengaruh eksternal yang bersifat positif atau bermanfaat bagi wilayah sekitarnya. Manfaat kegiatan perkebunan ini terhadap aspek ekonomi pedesaan, antara lain: 1) Memperluas
lapangan kerja
dan kesempatan berusaha; 2) Peningkatan
kesejahteraan masyarakat sekitar; dan 3) Memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah. Beberapa kegiatan yang secara langsung memberikan dampak terhadap komponen ekonomi pedesaan dan budaya masyarakat sekitar, antara lain: 1) Kegiatan pembangunan sumberdaya masyarakat desa; 2) Pembangunan sarana
prasarana yang dapat
dimanfaatkan
oleh
masyarakat
setempat,
terutama sarana jalan darat; 3) Penyerapan tenaga kerja lokal; 4) Penyuluhan pertanian,
kesehatan
dan pendidikan;
dan 5)
Pembayaran
kewajiban
perusahaan terhadap negara (pajak-pajak dan biaya kompensasi lain).
Tabel 13. Pertumbuhan Indeks Kesejahteraan Petani Kelapa Sawit Di Daerah Riau 19<35^5
Kelompok Pendapatan
w
19£ 8^> w
20C)3'^J w
20 % terendah
0,081
g -0,008
20 % terendah kedua
0,127
0,009
0,195
0,068
0,158
-0,036
20 % terendah ketiga
0,144
-0,006
0,215
0,071
0,183
-0,032
20 % terendah keempat
0,196
-0,012
0,201
0,006
0,211
0,010
20 % pendapatan tertinggi
0,454
0,017
0,238
-0,216
0,331
0,093
Indeks Pertumbuhan 0,49 Kesejahteraan Sumber: 1) Almasdi Syahza, 1 995 2) Almasdi Syahza, 1998b 3) Hasil Survey, 2003
0,151
0,071
0,117
g -0,034
-1,09
1,72
4.4 Analisis Daya Dukung Wilayah Sampai akhir tahun 2002 produksi tandan buah segar (TBS) dari daerah Riau telah mencapai 3.038.255 ton per bulan atau 36.459.061 ton per tahun
Lembaga Penelitian Universitas Riau
40
PengmSangan
Industri9fiSr
(BerSasis Xflapa
untul^Percepatan PmSangunan
Sawit
'Elipnomi Pedesaan (Daerafi ^ u
dengan produktivitas 3,395 ton per hektar. Sementara itu jumlah pabrik kelapa sawit di Riau sebanyak 75 buah dengan kapasitas produksi sebesar 3.390 ton per jam (Dinas Perkebunan Riau, 2003). Luas kebun
kelapa sawit
di masa datang diprediksi
akan selalu
bertambah, karena tingginya animo masyarakat terhadap pengusahaan kelapa sawit. Seiring dengan pertambahan luas areal akan diikuti dengan peningkatan produksi T B S . Kondisi ini juga akan menyebabkan kapasitas pengolahan T B S semakin dibutuhkan baik dari segi jumlah maupun dari segi kapasitas olahnya. Begitu juga untuk luas yang ada, produksinya akan bertambah karena masih banyaknya tanaman yang belum menghasilkan. Sampai tahun 2003 luas tanaman yang belum menghasilkan sebanyak duabelas daerah kabupaten/kota.
415.699 ha yang tersebar di
Untuk itu diperlukan analisis daya dukung
wilayah (DDW) dalam penyediaan bahan baku
P K S . Hasil perhitungan D D W
disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Luas Areal, Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, Kapasitas Olah P K S dan Analisis D D W Industri Hilir di Riau Tahun 2002 Luas Tanaman Kabupaten
TBM
TM
Produktivitas (ton/ha) 2,968 2.052 3,550 2,284 3,846 4,525 0,638 3,059 3,984 1,220 3,379 0.850 3,395
Kapasitas PKS (ton/jam) 945 385 385
42.282 Kampar 70.484 99.341 195.186 Rokan Hulu 29.625 132.875 Pelalawan 18.060 Bengkalis 65.084 36.745 505 Rokan Hilir 85.223 41.137 450 Siak 90.031 7.717 Dumai 7.863 36.715 120 25.872 Indragiri Hilir 28.037 68.926 255 Indragiri Hulu 74.758 345 Kuantan Singingi 49.142 1.282 3.603 Kepulauan Riau 700 Natuna 3.390 415.699 894.989 Total DDW untuk tanaman menghasilkan DDW untuk tanaman menghasilkan dan belum menghasilkan Keterangan: * Hasil Perhitungan Sumber: Dinas Perkebunan Propinsi Riau, Tahun 2003
Lembaga Penelitian Universitas Riau
DDW* 1,339 2,601 3,063
-
1,623 2.263
-
1.649 2,692 0,434
2,241 2,241 3,281
41
CBengemSangan Industri J filir
Dari hasil perhitungan D D W yang disajikan pada Tabel 14 diperlihatkan dua model perhitungan, yakni perhitungan dengan hanya
memperhatikan
tanaman menghasilkan dan perhitungan dengan memasukkan tanaman belum menghasilkan. Dari perhitungan pertama diperoleh angka indeks D D W sebesar 2,241. Hasil perhitungan ini membuktikan bahwa angka D D W lebih besar dari 1, yang berarti daya dukung wilayah Riau terhadap penyediaan bahan baku P K S sangat besar. Setiap satu satuan kemampuan olah P K S didukung oleh bahan baku T B S sebanyak 2,241 satuan. Untuk masa yang akan datang produksi T B S mengalami peningkatan karena masih ada kebun yang belum menghasilkan.
Jika
diasumsikan
semua
kebun
baik
tanaman
belum
menghasilkan (TBM) dan tanaman menghasilkan (TM) berproduksi, maka D D W meningkat menjadi 3,281. Tingginya angka D D W ini juga memperlihatkan melimpahnya bahan baku yang tersedia di wilayah
tersebut. Kelebihan bahan baku ini akan
menyebabkan tidak efisiennya proses produksi. Dari sisi lain kelebihan bahan baku yang dipasok dari pihak petani akan menyebabkan penurunan harga jual oleh petani itu sendiri. Karena kondisi pasar yang dihadapi oleh pihak petani adalah monopsonistik, maka petani tidak memiliki kekuatan tawar menawar, sehingga petani hanya sebagai penerima harga dari pihak pedagang (kaki tangan P K S ) . Kondisi ini juga menyebabkan harga T B S ditingkat petani sangat berfluktuasi, terutama bagi petani swadaya mumi.
4.5 Proyeksi Kebutuhan Pabrik Kelapa Sawit Untuk
memperkirakan
kapasitas
produksi
P K S yang
dibutuhkan,
digunakan asumsi sebagai berikut: 1) pabrik beroperasi 16 jam per hari; 2) satu bulan kalender bekerja 25 hari; 3) produksi T B S berpedoman pada tahun 2002; 4) produksi optimum kebun diasumsikan 21,78 ton/ha/tahun; dan 5) kapasitas P K S 45 ton/jam. Berdasarkan data indikator dan asumsi pada Tabel 15, maka dapat diproyeksikan kebutuhan P K S untuk masa akan datang. Walaupun konsumsi C P O dan produk olahannya naik pesat namun pada saat ini di daerah Riau terjadi ketidak seimbangan antara industri hulu (produksi TBS) dan industri hilir (industri pengolahan C P O dan turunannya). Hal ini Lembaga Penelitian Universitas Riau
42
(PengmSangan Industri JCiRr (BerSasis %ffkpa Solvit untuljjPercepatan
karena perluasan kebun rakyat terjadi sangat pesat tetapi tidak diimbangi dengan perluasan industri pengolahannya. Produksi hulu berupa T B S jauh lebih banyak
dari daya tampung
industri
pengolahan C P O . Akibatnya
terjadi
kelebihan supply bahan baku. Harga T B S anjiok bukan saja disebabkan oleh karena fluktuasi harga C P O dunia tetapi juga karena jumlah pabrik kelapa sawit (PKS) semakin tidak mencukupi untuk mengolah T B S . Untuk mengatasi ketidak seimbangan ini dan melayani perkebunan rakyat skala kecil serta
untuk
meningkatkan nilai tambah, maka sangat penting bagi pemerintah daerah Riau untuk mendorong tumbuhnya industri-industri hilir {processing) Industri hilir {processing
industries)
berbasis C P O .
perlu segera dibenahi mulai dari P K S
sampai kepada industri hilirnya: pabrik minyak goreng sawit (PMGS) dan industri-industri lainnya yang mengolah bahan baku C P O dan turunannya. Dalam membangun industri ini melibatkan usaha kecil dan menengah ke bawah sehingga memungkinkan rakyat kecil dan menengah untuk ikut mengusahakan. Tabel 15. Indikator Proyeksi Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Indikator
Kuantttas
1. Luas areal (ha) tahun 2002
1.312.661
2. Produksi TBS (ton) tahun 2002
19.492.860
3. Produksi CPO tahun 2002 (ton)
3.038.255
5. Pabrik Kelapa Sawit (Unit) tahun 2002 6. Kapasitas PKS (Ton TBS/jam)
75 3.390
Dari data yang ada kapasitas P K S terpasang baru sebesar 3.390 ton per jam. Dengan berpedoman kepada produksi T B S pada tahan 2002 maka kebutuhan kapasitas P K S untuk mengolah T B S dapat dihitung dengan rumus (Almasdi Syahza, 2002a): TMxPr TKP = J K x J H X 12 Keterangan: T K P adalah total kapasitas pabrik; T M adalah luas tanaman menghasilkan; Pr adalah produktivitas lahan per tahun; J K adalah jam kerja pabrik per hari; dan J H adalah jumlah hari kerja pabrik per bulan. Lembaga Penelitian Universitas Riau
43
(PengmSangan Industri JfiSr (BerSasis KfQtpa Sawit untulijPercepatan (PmSangunan 'Elipnomi (Pedesaan (Daerafi
Pada Tabel 16 disajikan proyeksi kebutuhan
P K S di masa datang
dengan asumsi luas lahan berpedoman kepada tahun 2002. Berpedoman
kepada asumsi di atas,
maka
kapasitas
P K S yang
dibutuhkan sebesar 5.947 ton per jam. Jika dibandingkan dengan kapasitas olah pabrik kelapa sawit (PKS) sekarang yakni 3.390 ton per jam dengan kemampuan produksi yang ada tidaklah seimbang. Kekurangan kapasitas P K S sebesar 2.557 ton per jam atau setara dengan 57 buah P K S dengan kapasitas 45 ton per jam. Tabel 16. Proyeksi Kebutuhan P K S untuk Riau Uraian Luas Lahan yang ada (ha) Perkiraan Produksi TBS (ton/tahun)
Perkiraan 1.312.661 28.546.785
PKS dibutuhkan (ton TBS/jam)
5.947
Kapasitas PKS terpasang (ton TBS/jam)
3.390
Kekurangan PKS (ton TBS/jam)
2.557
Jumlah PKS yang diperlukan (45 ton TBS/jam)
Lembaga Penelitian Universitas Riau
57
44