BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kota Lasem Lasem adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Indonesia. Kecamatan ini merupakan salah satu kecamatan di pesisir pantai Laut Jawa di Kabupaten Rembang, berjarak lebih kurang 12 km ke arah timur dari ibukota kabupaten Rembang, dengan batas-batas wilayah meliputi: sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Sluke, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pancur, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Rembang. Kecamatan Lasem mempunyai luas wilayah mulai dari pesisir Laut Jawa hingga ke selatan. Di sebelah timur terdapat Gunung Lasem. Wilayahnya seluas 4.504 ha di mana 505 ha digunakan sebagai pemukiman, 281 ha sebagai lahan tambak, 624 ha sebagai hutan milik negara. Lasem merupakan kota terbesar kedua di Kabupaten Rembang setelah Kota Rembang. Lasem dikenal juga sebagai "Tiongkok kecil" karena Lasem merupakan kota awal pendaratan orang Tionghoa di tanah Jawa dan selain itu juga terdapat perkampungan Tionghoa yang sangat banyak. Di Lasem juga terdapat patung Buddha terbaring yang berlapis emas. Lasem juga dikenal sebagai kota santri, kota pelajar dan salah satu daerah penghasil buah jambu dan mangga, selain hasil dari laut seperti garam dan terasi (William Kwan,dkk. 2010 : 5). Dahulu Lasem dikenal sebagai salah satu kota pelabuhan yang banyak disinggahi kapal-kapal pedagang. Letaknya yang dilewati oleh jalur pantai utara 19
(pantura), menjadikan kota ini sebagai tempat yang strategis dalam perdagangan. Kecamatan ini merupakan salah satu kecamatan di pesisir pantai laut utara Jawa, berada di tengah-tengah jalan utama yang menghubungkan Semarang (ibu kota Provinsi Jawa Tengah) dan Surabaya (ibu kota Provinsi Jawa Timur). Pada zaman kolonial status Lasem adalah sebuah kabupaten. Tetapi sejak tahun 1750, kabupaten dipindahkan ke Rembang, diikuti dengan pindahnya benteng VOC dari kota tersebut pada tahun itu. Sejak tahun 1751 Lasem merupakan sebuah Kecamatan sampai saat ini (Sumijati Atmosudiro dan Septi Indrawati Kusumaningsih, tt : 15). Lasem merupakan satu dari delapan mandala (daerah bawahan atau kerajaan kecil otonom) yang terletak di delapan lokapala (penjuru) dari kerajaan Majapahit. Dapat ditelusuri dari tiga sumber data, yaitu kitab Negarakertagama, kitab Pararaton dan Carita Sejarah Lasem dalam kitab Serat Badra Santi. Lasem diperintah oleh seorang kerabat puteri dari kerajaan Majapahit yang diberi gelar Bhre Lasem. Menurut kitab Serat Badra Santi, wilayah kekuasaan Lasem pada waktu masa Dewi Indu meliputi wilayah yang terbentang dari Pacitan sampai muara Bengawan Silugangga di Pangkah Sedayu, sedangkan wilayah sebelah timur Bengawan beserta pulau-pulau lainnya masuk dalam daerah kekuasaan raja Hayam Wuruk. Keraton Dewi Indu terdapat di Bumi Kriyan. Lokasi kraton tersebut diperkirakan berada di sekitar Pasar Lasem saat ini, yaitu dipertigaan jalan Jatirogo dan jalan raya Lasem. Banyak bagian dari Majapahit, penguasa Lasem memeluk agama HinduBuddha. Hal ini berlangsung sampai masa pemerintah Adipati Wiranagara, cucu
20
Bi Nang Ti. Wiranagara kemudian memeluk agama Islam setelah menikah dengan Puteri Maloka, anak dari Sunan Ampel dan kakak perempuan Sunan Bonang. Sejak masa inilah, penguasa Lasem beragama Islam. Hal ini berlangsung sampai masa runtuhnya kerajaan Majapahit. Pengaruh kekuasaan Lasem terus merosot seusai runtuhnya kerajaan Majapahit. Namun, Lasem tetap menjadi sebuah daerah bebas sampai ditaklukkan oleh Sultan Agung dari Kerajaan Mataram Islam pada tahun 1616. Lokasi Lasem yang strategis di pantai utara Jawa menjadikannya tetap sebagai sebuah kadipaten dan pusat ekonomi penting. Pada tahun 1750 kadipaten Lasem dipindah ke Magersari, Rembang. Sejak saat itu Rembang menjadi pusat Pemerintahan, dan Lasem pun kedudukan pemerintahannya di bawah Rembang. Hal ini berlangsung sampai saat ini, di mana Lasem merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Kedudukan politik Lasem pun melemah sejak saat ini. Walaupun Lasem tidak lagi menjadi sebuah pusat pemerintahan kabupaten, tetapi kedudukannya sebagai sebuah pusat perdagangan tidak tergoyahkan. Sejarah kekuatan ekonomi di masa lalu ditambah dengan lokasinya yang strategis di jalan raya pantai utara pulau Jawa serta di perbatasan antara propinsi Jawa Tengah dan propinsi Jawa Timur menjadikan Lasem tetap dikenal sampai sekarang sebagai sebuah pusat kebudayaan dan ekonomi. Kemajuan ekonomi kota Lasem tetap melampaui kota Rembang pada masa pra kemerdekaan Republik Indonesia (William, dkk, 2010 : 7 – 14). Begitu pula dengan kota-kota lain di pesisir Jawa Timur seperti Tuban dan Gresik yang tumbuh menjadi tempat berlabuhnya kapal-kapal dagang dari
21
berbagai negara. Berkembangnya kota-kota tersebut secara tidak langsung juga memiliki andil yang cukup besar tidak hanya dalam memasukkan barang-barang niaga perdagangan, namun juga berbagai unsur budaya dan agama yang dibawa oleh orang-orang asing yang singgah dan bahkan menetap. Di samping itu Kota Lasem juga menjadi salah satu daerah yang sangat tertinggal pada akhir tahun 1900 dalam hal perkembangan ekonomi dibanding dengan kota-kota pesisir lainnya di pantai utara Jawa seperti Surabaya, Pasuruan dan Probolinggo menjadikan rumah-rumah orang Tionghoa di Lasem juga hampir tidak mengalami perubahan dalam pembangunannya (Hempri, dkk. 2010 : 68). Di kota Lasem juga terdapat suatu organisasi yaitu Forum Komunikasi Masyarakat Sejarah (FOKMAS), yang berdiri pada tanggal 11 April 2010. Forum ini terletak di satu tempat yang sama di studio radio yaitu radio Maloka. Awalnya Forum ini diketuai Bapak Toro sedangkan saat ini Forum ini dipimpin oleh Bapak Agus. Pada awalnya FOKMAS tidak fokus dalam penelitian batik yang ditekankan dari segi sejarah. Karena perkembangan potensi batik dengan adanya pencampuran budaya dari budaya Cina terutama pada motifnya adanya hubungan antara masyarakat Lasem dengan masyarakat Tionghoa yang bertempat tinggal di Lasem sangat baik (wawancara dengan Agus, 9 Juli 2012). B. Masuknya Golongan Tionghoa ke Indonesia Etnis Tionghoa adalah salah satu bagian dari keanekaragaman penduduk Indonesia. Etnis Tionghoa atau lebih dikenal sebagai orang Cina sampai sekarang ini merupakan kaum minoritas. Namun demikian, kaum ini memiliki peran aktif dan berhasil dalam perekonomian Negara Indonesia. Pengaruh Cina tampak
22
bersifat mendalam dan membangun atau sebaliknya sebagai suatu gejala sekunder yang berkaitan dengan nasib suatu minoritas. Hal itu disebabkan oleh sejarah kehadiran bangsa Cina itu sendiri di Nusantara yang berkembang selama beberapa abad di dalam suatu konteks budaya yang reseptif dan menguntungkan, sebelum berubah arah sama sekali pada abad yang lalu, sebagai kelanjutan dari berbagai perkembangan baru di dalam politik kolonial (Denys Lombard, 2008 : 243). Orang Cina yang pertama kali datang ke Indonesia adalah para pendeta agama Budha yaitu Fa Hien dan Hwui Ning, mereka singgah di pulau Jawa. Namun pada waktu itu, tidak ada orang Cina yang tinggal di pulau Jawa. Ketika orang-orang Fuhien dari Canton pergi ke pulau Jawa untuk mencari rempah-rempah, mereka menetap di daerah pelabuhan pantai utara jawa. Kedatangan orang-orang Cina ke pulau Jawa dapat diketahui dari perjalanan yang dilakukan oleh Laksamana Cheng Ho ke berbagai wilayah di pulau Jawa pada awal abad ke-14. Kapal-kapal yang berlayar berasal dari negara-negara asing, termasuk Cina yang mendarat di Tuban, Gresik, dan Majapahit (http://exsara.blogspot.com/2012/03/etnis-cinalasem_13.html). Orang Tionghoa di Indonesia merupakan imigran kelahiran Tiongkok atau menurut garis laki-laki. Namun sebagai akibat dari perkawinan campuran dan asimilasi di beberapa daearah Indonesia, kita tidak bisa lagi memastikan antara orang Tionghoa dan yang bukan Tionghoa, berdasarkan kriteria ras yang paling sederhana. Di Indonesia, seorang keturunan Tionghoa disebut orang Tionghoa jika ia bertindak sebagai anggota dari, dan mengidentifikasikan dirinya dengan masyarakat Tionghoa. Satu-satunya ciri budaya yang bisa diandalkan, dari
23
identifikasi diri sebagai orang Tionghoa dan keterikatan dengan sistem masyarakat Tionghoa, ialah penggunaan nama keluarga Tionghoa. Migrasi yang mendorong adanya permukiman orang Tionghoa di Indonesia dimulai sejak adanya perdagangan oleh pedagang-pedagang Tionghoa yang menggunakan perahu-perahu jungnya dari bagian tenggara daratan Tiongkok, sedangkan pertumbuhan penduduk Tionghoa di Indonesia selanjutnya sangat erat hubungannya dengan peranannya dalam bidang ekonomi. Bebas dari akibat-akibat birokrasi kerajaan Tiongkok yang membuat mereka terkekang, orang Tionghoa perantauan itu membuktikan bahwa mereka paling cocok untuk perkembangan ekonomi. Mereka menekankan sistem nilai yang mementingkan kerajinan, kehematan, pengandalan pada diri sendiri, semangat berusaha dan keterampilan, ditambah pula dengan prinsip-prinsip organisasi social yang mudah sekali disesuaikan dan digunakan. Dari abad ke-17 sampai abad ke-20, yaitu pada waktu orang-orang Belanda maju pesat dengan eksploitasi ekonomi Hindia Belanda yang makin sistematis itu, orang-orang Tionghoa makin banyak memperoleh peranan yang orang Belanda sendiri tidak mampu melaksanakan. Mereka diperkenankan untuk mengikuti selera mereka terhadap pekerjaan sebagai usahawan dan membina jaringan perdagangan dan financial yang menyeluruh, yang membentang dari pelabuhanpelabuhan besar sampai ke pasar-pasar desa (Mely G. Tan, 1979 : 1 - 2). Di Jawa dapat dikatakan bahwa osmosis berlangsung sangat lama dan sebagian besar unsur Cina lambat laun melebur dengan unsur-unsur lainya. Oleh karena itu, sulit menelusuri sejerah kelompok-kelompok Cina yang pertama.
24
Kaum pendatang menikahi perempuan pribumi dan untuk sebagian mengadopsi adat istiadat negeri tersebut. Tidak semua orang Cina yang menetap di Jawa mempunyai minat berdagang. Banyak di antaranya menjadi petani, pengurus usaha pertanian bangsawan Jawa atau pachter (pengusaha tanah) Pemerintah Belanda. Menurut sensus penduduk yang menarik atas 3431 kepala keluarga yang dilaksanakan oleh para pejabat di Batavia setelah pembantaian tahun 1740, kami melihat bahwa 1442 di antaranya berdagang (cooplieden en handelaars), 935 bertani dan pekerja yang terkait (landbouwers, tuiniers, kalk- en arakbranders), 728 bekerja di dalam produksi gula atau penebang kayu (suikermaalders en houtkappers) dan 326 menekuni seni kriya (ambachtslieden). Keadaan itu kemudiaan mengalami perubahan dratis sejak paro kedua abad ke-19. Kecenderungan asimilasi yang sejak dini merupakan gejala umum selama satu abad merupakan akibat dari tiga perkembangan penting. Perkembangan pertama bersifat ekonomis sekaligus demografis. Perkembangan kedua dapat dikatakan berupa perkembangan dalam hal rumah tangga. Perkembangan ketiga yang lebih bersifat politis, berkaitan dengan perkembangan situasi di Cina sendiri (Denys Lombard, 2008 : 244 - 246). Pelabuhan-pelabuhan besar Pulau Jawa, baik yang digunakan untuk imigrasi maupun perdagangan, semuanya terletak di sepanjang pantai utara Pulau Jawa menghadap Laut Tiongkok Selatan, akibatnya penduduk Tionghoa juga lalu terpusat di sana. Sekarang orang Tionghoa di Jawa sebagian besar tinggal di kotakota, suatu pencerminan tidak hanya dari asal-usul permukiman pedagang dan dari kesukaan mereka untuk mencari nafkah di kota, tetapi juga pencerminan dari
25
kebijaksanaan yang tidak menentu dari pemerintah. Selama sebagian besar di abad ke-19, oleh penguasa Belanda, orang-orang Tionghoa itu diharuskan tinggal di bagian kota yang sudah ditentukan dan hanya boleh keluar dari daerah itu jika mendapat izin dari pemerintah Belanda. Hal ini disebabkan oleh karena perkawinan di antara keturunan yang berdarah campuran dari imigran-imigran ini lambat laun berkembang juga menjadi suatu masyarakat yang cukup stabil. Di Jawa proses ini di mulai pada abad ke-16, dan hasil pencampuran kebudayaannya di dalam masyarakat menjadi stabil pada abad ke-18. Masyarakat Tionghoa di Indonesia yang tumbuh dan berakar setempat dapat diklasifikasikan menurut tahapan yang didasarkan pada besar kecilnya pengaruh pribumi dalam kebudayaan campuran mereka. Di Jawa, masyarakat Tionghoa dikenal sebagai Peranakan Tionghoa. Sejak abad ke-18 sampai permulaan abad ke-20, sebagian besar orang Tionghoa di dalam masyarakat Tionghoa setempat adalah kaum Peranakan (Mely G. Tan, 1979 : 5). Para pengamat minoritas Tionghoa di Indonesia mengetahui bahwa ada dua kelompok Tionghoa, yaitu peranakan dan totok pengelompokan itu kurang lebih merupakan akibat dari perbedaan tingkat asimilasi mereka ke dalam masyarakat pribumi. Orang dapat mengatakan bahwa pada tahun 1930 penyebutan peranakan dan totok pada umumnya sesuai dengan tempat kelahiran masing-masing (Leo Suryadinata, 1984 : 76). Mengenai kehidupannya, kaum Totok lebih suka bekerja untuk dirinya sendiri dan sebagaian besar berkecimpung dalam bidang usaha. Peranakan yang lebih beraneka ragam bidang pekerjaannya, menunjukkan bahwa mereka suka
26
pekerjaan kejuruan dan pekerjaan administrasi atau staf di perusahaan-perusahaan besar (Mely G.Tan, 1979 : 9). Di negara Cina sistem kekerabatan orang Cina adalah patrilineal, namun sistem kekerabatan kaum peranakan agak berbeda. G.W. Skinner menegaskan bahwa “perkawinan yang matrilokal sama sekali bukan hal yang dirasa sebagai hal yang memalukan. Di Madura dan Jawa Timur, pernikahan diresmikan dan dilangsungkan di rumah orang tua pengantin wanita. Di samping itu benar juga bahwa dalam keluarga peranakan anak perempuan lebih dihargai daripada anak laki-laki. Tionghoa totok yang lebih tua lebih tertarik pada agama tradisional dan menyembah berbagai dewa di kuil-kuil (Leo Suryadinata, 1984 : 81). Kehadiran kelompok minoritas Cina di Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang. Berbagai sumber sejarah menunjukkan bahwa orang Cina sudah hadir di Indonesia berabad-abad yang lampau. Dalam perkembangannya kemudian, golongan Cina ikut larut dalam arus dinamika sejarah Indonesia. Mereka menjadi bagian integral dari realitas perjalanan historis bangsa Indonesia. Namun demikian, sejarah golongan minoritas Cina belum diungkapan secara jelas dan utuh dalam historiografi Indonesia. Kalaupun disebutkan, mereka ditampilkan sebagai sebuah kelompok ‘homogen’ yang semata-mata hidup dan berkecimpung dalam bidang perekonomian (Abdul Wakhid, 1999 : 87). Sebagai dampak dari buruknya infrastruktur dan rumah, orang Cina telah dipaksa untuk mencari tempat lain yang jauh lebih sehat di wilayah pinggiran kota. Fenomena ini menciptakan suatu dikotomi antara kota pusat dan pinggiran. Para profesional telah memisahkan tempat antara tempat tinggal dan tempat kerja.
27
Mereka bekerja di Pecinan tetapi tinggal di pinggiran kota. Orang yang mempekerjakan dirinya sendiri lebih suka memiliki sebuah toko yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tempat tinggal. Mereka menjalankan toko eceran di pusat perbelanjaan di wilayah perumahan baru. Para pengusaha Cina kelas atas di Semarang tinggal di wilayah perbukitan di mana mereka memiliki pusat-pusat perbelanjaan yang luas di pusat kota. Pecinan di Semarang terletak ditengah kota, di selatan pasar tradisional, dan dibatasi oleh Sungai Semarang. Orang-orang Cina mulai berdiam di wilayah ini sejak abad ke-17 dan pemukiman menjadi stabil sejak akhir abad ke-18 (Pratiwo, 1999 : 115 dan 122). Seiring perkembangan jaman, dikarenakan adanya pembagian stratifikasi sosial berdasarkan kriteria ras, maka keberadaan etnis Cina di Indonesia membentuk suatu kelompok masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu kawasan yang disebut “ kampung pecinan “. Etnis Cina di kawasan pecinan Lasem mempunyai keunikan, karena memiliki kebudayaan, kepercayaan, dan agama yang berbeda dengan masyarakat pribumi atau Jawa, Namun mereka dapat hidup berdampingan secara harmonis tanpa ada perselisihan. Dalam pembaurannya masyarakat Cina di Lasem sangat menghormati adat-istiadat penduduk asli, begitu juga hal yang sama dilakukan penduduk asli sehingga terjalinnya hubungan yang baik antara etnis Cina di Lasem dan penduduk asli (William, dkk, 2010 : 11). Di bidang busana, pengaruh Cina kemungkinan lebih kecil. Namun, masalah asal-usul pakaian yang dijahit belum pernah diajukan secara jelas dan kita harus berpikir bahwa di sini pun Cina mungkin memainkan peran tertentu. Penelitian
28
relief
kaki
Hindu-Jawa,
termasuk
bas-relief
zaman
Majapahit,
cukup
membuktikan bahwa kedua jenis manusia pada zaman itu hanya mengenal kain lipat (selubung). Pemunculan pakaian pantalon sejak abad ke-15 sampai abad ke16 di dalam mutasi yang penting itu suatu tanda transformasi sosial budaya besarbesaran pada zaman itu merupakan tanda bangkitnya masyarakat perkotaan. Tampaknya, bangsa Cina jelas berperan serta di dalam perkembangan mode, namun
kurang
dapat
dipastikan
apakah
mereka
telah
mempengaruhi
perkembangan kerajinan tekstil. Walaupun demekian, pada abad ke-12, sumbersumber Cina membicarakan ekspor sutra ke Jawa. Wajar jika di sini timbul masalah peka mengenai peran serta bangsa Cina dalam produk batik. Perlu dicacat bahwa teknik batik hanya didapati di Jawa, dan itu pun pada zaman yang relatif mutakhir. Tak ada kesaksian apa pun yang pasti bahwa teknik batik sudah dikenal pada zaman Hindu-Jawa dan penyebutan pertama terdapat di dalam sebuah teks Sunda yang berangka tahun 1518. Di dalam berbagai sumber Belanda, penyebutan paling kuno dari kata batik berangka tahun 1641 dan ulasan-ulasan pertama yang agak jarang tidak ada sebelum abad ke-18. Tampaknya dalam kondisi itu, sulit bagi kita untuk menerima bahwa teknik batik merupakan “latar budaya” Nusantara (Denys Lombard, 2008 : 318 - 319). Pada masa kekuasaan Wijayabadra armada dinasti Ming dari Tiongkok yang dipimpin oleh Laksamana Haji Cheng Ho mendarat di daerah Tuban, dekat Lasem, pada perjalanan muhibahnya yang ketiga. Pendaratan armada Cheng Ho tersebut terjadi pada tahun 1335 Saka (1413 Masehi). Pada saat inilah Bi Nang Un seorang Champa yang bertugas sebagai salah seorang nahkoda kapal dari Armada
29
Laut Laksamana Cheng Ho tertarik untuk menetap di bumi Lasem. Dengan ijin dari Cheng Ho, Bi Nang Un pulang ke Champa untuk menjemput keluarganya. Setahun kemudian Bi Nang Un datang kembali ke Lasem bersama istri beserta istrinya yang bernama Na Li Ni. Mereka datang bersama anak perempuannya bernama Bi Nang Ti, anak laki-lakinya Bi Nang Na serta kerabatnya dari negeri Campa. Bi Nang Un menetap di Desa Jolotundo yang telah dihadiahkan oleh Adipati Lasem saat itu, yaitu Adipati Wijayabadra (William, dkk, 2010 : 12). Kedatangan orang Cina di Jawa, terutama di Lasem dan beberapa tempat lain di wilayah ini melahirkan kebudayaan baru. Kebudayaan ini merupakan intisari dari adat-istiadat Cina yang kemudian diadopsi menjadi adat daerah yang tidak luntur dari budaya Tionghoa sendiri. Masyarakat Cina di wilayah Jawa terutama di Kecamatan Lasem lebih membaur dibandingkan dengan masyarakat Eropa. Hal ini dipengaruhi oleh komunikasi yang baik dari masyarakat lokal dengan masyarakat Tionghoa sendiri. Masyarakat Jawa menganggap masyarakat Cina sebagai pedagang yang ulet dan terampil sehingga banyak pedagang lokal yang meniru cara berdagang masyarakat Cina. Para imigran Cina yang telah menetap selama lebih dari dua atau tiga generasi dan berbaur dengan penduduk setempat menjadi terbiasa dengan bahasa dan adat-istiadat dimana mereka berada. Para imigran Cina yang telah berbaur dengan penduduk setempat tersebut kemudian mempunyai perhatian yang cukup
besar pada
kebudayaan
lokal
dan
perkembangan perekonomian daerah dimana mereka menetap. Hal tersebut dapat tercermin dalam berbagai aspek kesenian Jawa. Pengaruh dalam kesenian Jawa tampak jelas pada seni batik, khususnya pola dan ragam hias dan warna yang
30
digunakan, seperti dapat dijumpai pada batik Cirebon, Pekalongan, dan Lasem. Sejumlah orang Cina yang berasal dari keluarga Cina yang telah cukup lama menetap dan berbaur di Jawa, kemudian ada yang berkembang menjadi ahli seni dan pelindung kesenian Jawa, bahkan ada dari mereka yang terjun menjadi penulis jawa. Gelombang migrasi orang-orang Cina yang ke Indonesia meningkat pesat
sejak
abad
ke-19
(http://exsara.blogspot.com/2012/03/etnis-cina-
lasem_13.html). Relasi Jawa dengan Cina (Tiongkok) sendiri, baik dalam pengertian hubungan diplomatik antar kedua negara atau kerajaan maupun hubungan dagang yang sudah berlangsung sejak lama bahkan jauh sebelum Islam datang ke kawasan ini. Hubungan ini terus berlanjut saat Cina dipegang oleh Dinasti Ming (1368 - 1644 Masehi), sejak saat itulah terjadi arus perhubungan yang intensif antara JawaCina. Situasi ini sangat didukung dengan keadaan Jawa dengan kota-kota pesisirnya yang mulai berkembang saat itu. Unsur-unsur budaya baru yang hadir berusaha diadaptasi oleh penduduk Jawa-pribumi sehingga kebudayaan Jawa pada prakteknya merupakan hasil akulturasi dengan budaya asing. Relasi antara penduduk lokal pribumi dengan kaum Cina pendatang di Lasem memang sudah terjalin sejak lama. Keharmonisan hubungan mereka dapat terlihat dari peninggalan-peninggalan sejarah yang ada, seperti banyaknya kelentengkelenteng yang merupakan simbol-simbol tempat ibadah bagi orang Cina yang masih berdiri kokoh hingga saat ini, berdampingan dengan sarana ibadah lain seperti masjid dan gereja. Selain dari sisi arsitektur bangunan, nuansa khas Cina yang sangat kental akan sangat terasa di Lasem pada saat perayaan hari-hari besar
31
Cina. Pada saat itu warga-warga Cina Lasem akan mengekspresikannya ke-Cinaannya dalam bentuk hiasan-hiasan di rumah mereka, serta merayakannya bersama dengan warga Cina yang lain dalam sebuah kelenteng yaitu sebuah perayaan di mana etnis Cina membuat persembahan dengan membuat kue-kue yang didoakan di kelenteng sambil memohon rejeki agar panen dan pendapatan mereka bisa lebih baik di tahun tersebut. Atraksi-atraksi khas Cina seperti tarian Cina, barongsai, liang liong, wayang potehi, maupun upacara-upacara keagamaan masih secara rutin dilakukan oleh warga etnis Cina di Lasem. Kegiatan ini pun selalu ramai menjadi tontonan bagi penduduk lokal pribumi serta warga sekitar Lasem, yang juga menikmati berbagai momen-momen yang dilakukan oleh kaum Tionghoa tersebut. Relasi etnis Cina dan penduduk lokal yang kemudian menghasilkan proses akulturasi budaya juga dapat dilihat pada seni batik yang berkembang di Lasem (Hempri, dkk. 2010 : 65 - 69). C. Sejarah Batik Lasem Budaya batik diperkirakan banyak dipengaruhi oleh keberadaan kaum penguasa/aristrokat dari berbagai kerajaan di kepulauan Nusantara. Hal ini dibuktikan oleh: 1. Artefak arkeologi, misalnya motif batik kawung dan batik grising pada patung Kertarajasa Jayawardhana atau Raden Wijaya (raja pertama kerajaan Majapahit yang memerintah pada tahun 1293-1309 M) di Candi Ngrimbi, Jombang, menunjukkan sudah digunakannya pakaian batik sejak jaman Majapahit.
32
2. Kelangsungan batik vorstenlanden atau pedalaman atau kraton yaitu batikbatik Surakarta dan Yogyakarta, dimana aneka bentuk motif dan makna filosofisnya disesuaikan dengan tata cara kehidupan kraton, menunjukkan peranan penting kraton sebagai acuan pengembangan budaya batik di kepulauan Nusantara. 3. Proses pembuatan kain batik membutuhkan teknologi produksi yang kompleks dan biaya produksi yang tidak sedikit sehingga lebih memungkinkan pengembangannya di lingkungan masyarakat bangsawan atau priyayi yang memiliki penguasaan modal, pengetahuan dan teknologi yang relatif lebih tinggi. Dalam catatan sejarah, Lasem pernah menjadi sebuah kerajaan kecil di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit, yaitu pada masa pemerintahan Bhre Lasem I atau Rajasaduhitendudewi
atau
Dewi
Indu
(1350-1375).
Mengingat
bahwa
kemungkinan besar batik sudah menjadi pakaian bangsawan kerajaan Majapahit, maka hal ini juga berlaku di wilayah Lasem. Para penguasa wilayah Lasem tidak memiliki kepentingan untuk mengembangkan corak batik khas Lasem yang berbeda nyata dengan corak batik Majapahit karena secara historis penguasa Lasem tidak pernah berupaya menciptakan identitas politik “ke-Lasem-an” yang berbeda dengan “ke-Majapahit-an”. Sebagai sebuah kerajaan kecil, Lasem tidak menjadi tempat tinggal bangsawan Majapahit di luar keluarga Bhre Lasem. Hal ini menyebabkan sedikitnya jumlah kebutuhan pakaian bermotif batik yang memerlukan produksi batik di daerah Lasem sendiri. Keluarga Bhre Lasem dapat
33
memperoleh kain batik di lokasi lain di luar Lasem yang merupakan tempat produksi batik keluarga kerajaan Majapahit. Motif dan warna batik Majapahit yang dipakai pada masa Bhre Lasem I diduga mirip dengan sebagian desain batik Mataram Yogyakarta dan Surakarta (batik vorstenlanden) saat ini, yaitu motif gringsing dan kawung yang berwarna soga serta biru. Kesimpulan ini berangkat dari keberadaan motif gringsing dan kawung pada ukiran pakaian dari arca-arca candi peninggalan kerajaan Majapahit atau masa sebelumnya. Warna coklat pada kain batik diperoleh dari hasil pencampuran tiga jenis zat pewarna alam, yaitu kayu tinggi, jambal, dan tegeran. Sedangkan warna biru diperoleh dari hasil fermentasi tanaman. Besar kemungkinan warna coklat tua dan biru tua juga merupakan warna batik pada masa Majapahit. Pengaruh budaya Jawa dan agama Hindu Buddha masa kerajaan Majapahit masih terasa pada motif dan warna batik Lasem yang dihasilkan saat ini. Motif kawung dan gringsing banyak dipakai pada batik Baganan, yaitu batik Lasem yang berasal dari Desa Babagan. Pada tahun 1335 Saka (1413 Masehi), Bi Nang Un seorang Champa yang pernah menjadi salah seorang nahkoda kapal dari Armada Laut Laksamana Cheng Ho (digelari Ma Sam Po atau Dampo Awang) mendarat di Pantai Regol (sekarang disebut pantai Binangun), Kadipaten Lasem. Rombongan Bi Nang Un terdiri dari orang-orang Champa yang beragama Buddha dan pandai dalam bidang kesenian (membatik, menari, membuat perhiasan emas, membuat peralatan kuningan, dan sebagainya). Setelah dewasa, Bi Nang Na menjadi seorang ahli seni kerawitan terkenal. Ia menciptakan Gagrag Lasem (yang merupakan hasil kombinasi Gragag
34
Champa dan Gagrag Majapahit), Pathet Lasem, Suluk Lasem, dan Sampak Lasem. Ia kemudian dikenal sebagai Mpu Winarna. Sedangkan Bi Nang Ti setelah dewasa menjadi mahir dalam membatik dan menari. Bi Nang Ti kemudian menikah dengan Adipati Badranala dan memiliki dua orang anak, yaitu Wirabajra dan Santibadra. Kitab “Serat Badrasanti” jelas memaparkan data tentang sejarah batik Lasem dimana Puteri Na Li Ni dari Champa (Vietnam) dianggap sebagai perintis pembatikan di Lasem. Pada masa penjajahan Belanda tahun 1700 datanglah seorang perantau dari Tiongkok (Cina) di Lasem. Ia adalah seorang pedagang arak (ciu). Setiba di Lasem, pedagang arak tersebut sangat terkejut menyaksikan penderitaan dari penduduk Lasem yang berlatar belakang etnis Cina. Ia bertekad untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan ekonomi dari sesama penduduk etnis Cina dengan cara menciptakan lapangan pekerjaan. Dengan rasa iba, sang pedagang arak memutuskan untuk menetap di Lasem dengan melakukan usaha pembuatan batik tulis dengan tenaga kerja orang Cina di Lasem. Oleh karena itu, orang Cina Lasem mendapat pengetahuan tentang cara pembuatan batik tulis. Lambat laun penduduk etnis Cina di Lasem yang mula-mula menjadi pekerja atau buruh batik tulis tersebut akhirnya mempunyai pemikiran untuk menjadikan usaha batik tulis sebagai kegiatan usaha yang dapat menunjang pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka. Selanjutnya, industri batik cepat berkembang pesat di Lasem di mana para pengusahanya adalah penduduk etnis Cina (William, dkk, 2010 : 15 - 19, 22 23, dan 30 - 31).
35
Dari abad ke-18 sampai kini para pengrajin Cina telah giat berperan serta dalam produksi sejumlah bengkel di Pesisir khususnya di Cirebon dan di Lasem. Tak ada satu pun kajian yang membahas aspek ekonomi dari usaha mereka itu, namun semua orang di Jawa mengenal dengan baik berbagai motif yang diilhami oleh tradisi Cina yang telah mereka sebar luaskan. Perlu disebutkan diantara yang paling lazim dan paling masyhur, motif naga (atau liong dari bahasa Cina long) dan motif swastika (banji), motif awan ‘Cina’ mudah dikenali pada pinggiran yang sejajar yang diberi warna bergradasi (motif mega mendung, ‘awan mendung’) atau motif ‘kebun’ (tamansari), dengan tumbuh-tumbuhan di atas warna dasar cerah dan dipenuhi wadasan yang ditarik ke atas (Denys Lombard, 2008 : 319). Masa kejayaan batik Lasem memang telah berlalu. Seiring dengan menurunnya daya saing industri batik Lasem, berbagai permasalahan pun timbul dan mengarah pada ancaman kepunahan. Kemerosotan industri Batik Lasem diperparah dengan rendahnya minat generasi muda untuk menekuni kegiatan usaha batik Lasem, baik sebagai pengusaha maupun sebagai pekerja batik. Mereka cenderung memilih untuk bekerja di sektor modern, baik di dalam maupun di luar Kabupaten Rembang. Hal ini menyebabkan terjadinya dua masalah kritis dalam industri batik Lasem, pertama, berkurangnya pekerja dan penghasilan bagi para penduduk Lasem, khususnya di daerah pedesaan yang miskin. Kedua, ancaman akan kepunahan budaya batik Lasem. Diakuinya batik oleh UNESCO sebagai warisan budaya milik Indonesia sedikit banyak telah membantu kebangkitan industri batik di Indonesia. Begitu
36
pula dengan batik Lasem, walaupun belum bisa mencapai kejayaannya kembali, namun industri batik Lasem mulai bangkit. Saat ini tidak hanya pengusaha etnis Cina saja, namun pengusaha-pengusaha Jawa juga turut meramaikan industri batik ini. Jadi yang perlu dilakukan saat ini adalah mengatasi permasalahanpermasalahan yang ada agar batik Lasem serta mampu mengembalikan kejayaan masa lalu. Sebuah upaya serius untuk melakukan revitalisasi batik Lasem menjadi penting untuk segera dilakukan, yang tentunya upaya tersebut perlu mendapat dukungan dari semua pihak terkait (Hempri,dkk. 2010 : 79 - 80). Batik Lasem merupakan salah satu jenis budaya batik warisan nenek moyang Indonesia. Nuansa keindahan batik Lasem sudah sangat dikenal, terutama warna merah Lasem yang konon tidak dapat ditiru pembuatannya di daerah lain. Oleh penduduk lokal Lasem, warna merah batik Lasem tersebut dikenal sebagai abang getih pithik (merah darah ayam). Sampai saat ini batik Lasem masih menjadi salah satu pilihan favorit bagi para kolektor dan konsumen batik, baik di Indonesia maupun luar negeri. Batik Lasem dihasilkan oleh para pengrajin batik di berbagai desa di sekitar kota Kecamatan Lasem,
Kabupaten Rembang, Propinsi Jawa
Tengah (Willian, dkk, 2010 : 1). Pada abad ke-13 di daerah Lasem, batik memberikan beberapa dampak positif seperti halnya, memberi kesempatan belajar membatik, menilai produksi yang baik, merencanakan dan menentukan sasaran penjualan, serta merencanakan tugas-tugas di masa datang dalam jangka waktu dua tahun, tiga tahun maupun empat tahun. Maka, sang juragan Cina itu memberikan pekerjaan sampingan kepada penduduk setempat dan mereka harus mengerjakan di rumah masing-
37
masing. Lima puluh macam dari seratus jenis kain dikerjakan oleh seorang lakilaki dan menggosoknya dengan lilin. Kemudian diambil buruh lain yang bertugas memberi zat pewarna. Menurut perkiraan Ismunandar yang pernah terjadi di daerah Lasem, di sini terdapat sekitar empat ribu orang penduduk yang bekerja sebagai pembatik. Mereka itu lebih baik keadaannya bila dibandingkan dengan para buruh wanita yang mendapat pengawasan ketat dari Tauke Cina untuk membuat batik yang spesial. Sebagian besar buruh tersebut menjalani kontrak kerja selama tiga tahun. Mula-mula dipelopori oleh lima puluh orang pekerja dan mendapat upah serta tempat pemondokan dan bonus setahun sekali. Banyak dari mereka yang kebutuhan hidupnya lebih besar dari pendapatan, sehingga ada yang meminjam sejumlah kecil uang dari majikan mereka. Namun karena bunganya tinggi, terkadang mereka tak dapat melunasi atau membayar kembali. Akhirnya orangorang tersebut selalu dililit hutang, dan mereka membayar dengan rumahnya, tanahnya, dan seterusnya. Dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, bagaikan menjamur layaknya, maka berdirilah pusat-pusat industri yang dikelola oleh Pemerintah Belanda. Perusahaan itu selain menghasilkan desain asli, juga mengadaptasi desain orang-orang Eropa (Ismunandar, 1985 : 21 22). Pada dasarnya batik corak khusus Lasem ini adalah suatu corak batik yang mempunyai tiga dasar pengaruh pada motif dan coraknya, yaitu: 1. Pengaruh gaya Cina, seperti bentuk-bentuk burung Phoenix, hal ini mungkin disebabkan para pengusaha batik merupakan orang-orang keturunan Cina.
38
2. Pengaruh gaya batik Jawa Tengah (Solo-Yogya) yaitu pusat seni batik yang semula mempunyai nilai filosofi. 3. Pengaruh selera Pantai Utara Jawa, yaitu pemakaian warna-warna yang cerah seperti warna merah, biru, kuning dan hijau selain warna soga coklat (Sewan Susanto, 1973 : 352). Pada abad ke-13 kaum perempuan di wilayah Kabupaten Rembang, yaitu Kecamatan Lasem, Pancur, Rembang dan Pamotan tidak menganggur, mereka bekerja sebagai pengrajin batik (baca: pembatik atau pengobeng) untuk mengatasi kesulitan ekonomi. Semua penggemar batik memilih Lasem karena Lasem terkenal dengan batik tulis (wawancara dengan Joko, 18 Juni 2012). Batik di Jawa terbagi menjadi dua golongan besar yaitu batik pesisiran dan batik kerajaan. Disebut batik pesisiran karena letaknya dekat pantai sedangkan disebut batik kerajaan karena letaknya di pedalaman seperti Solo, Wonogiri, Yogyakarta dan Pekalongan tidak terpengaruh budaya asing di mana batiknya berbentuk geometris. Oleh karena itu batik pesisiran tercampur dengan batik kerajaan yang ada gambarnya kelelawar dan kawung. Batik Lasem bersifat konservatif tradisional yang artinya batik kuno yang secara turun-termurun. Lasem mempunyai warna dominan yaitu warna merah (darah ayam), banyak pengusaha batik dari Solo, Yogyakarta, Wonogiri dan Pekalongan datang ke Lasem untuk membeli kain putih yang ada gambarnya pokok-pokok bunga namanya blangko yang kainya berwarna merah. Batik tersebut sudah jadi kemudian di jual disebut batik Laseman. Budaya Cina mempengaruhi motif batik Lasem yaitu motif naga, bunga seruni dan kupu-kupu. Batik pesisiran sangat
39
terpengaruh dari budaya Cina. Lasem mempunyai dua ciri khas yaitu batik motif watu pecah atau kricak (batu kecil) dan motif latohan atau rumput laut (wawancara dengan Sigit, 9 Juli 2012). Batik Lasem merupakan seni batik tulis gaya pesisiran yang kaya warna dan ciri multicultural, sebagai akibat dari akulturasi banyak budaya, khusunya budaya China atau Tionghoa dan budaya Jawa. Berikut merupakan jenis-jenis motif batik Lasem yang belum dipengaruhi oleh budaya Cina: 1. Warna merah, khas batik tulis Lasem
Ciri khusus batik Lasem yang tidak akan temui pada batik manapun adalah warna merahnya yang terkenal dengan nama warna abang getih pithik atau warna darah ayam. Warna ini terbuat dari akar mengkudu dan akar jeruk ditambah air Lasem yang kandungan mineralnya sangat khas, fungsinya biasa dipakai oleh orang Jawa di sekitar pantai utara (Pantura), bagian motif gambar besarnya latohan (rumput laut), bunga dan daun, bagian motif isiannya watu pecah (batu pecah), bagian motif pinggirannya cecek pitu (titik tujuh), warnanya merah marun.
40
2. Batik Lasem dengan Motif Kawung Baganan
Motif Kawung, motif ini merupakan pengaruh budaya Jawa dan agama Hindu Buddha masa kerajaan Majapahit. Motif ini di gambarkan dari sebatang pohon aren yang buahnya kita kenal dengan kolang kaling. Motif ini dihubungkan dengan binatang wangwung. Pohon aren dari atas (ujung daun) sampai pada akarnya sangat berguna bagi kehidupan manusia, baik itu batang, daun, nira, dan buah. Hal tersebut mengisaratkan agar manusia dapat berguna bagi siapa saja dalam kehidupannya, baik itu dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Makna lain yang terkandung dalam motif kawung ini adalah agar manusia yang memakai motif kawung ini dapat menjadi manusia yang ideal atau unggul serta menjadikan hidupnya menjadi bermakna, fungsinya biasa dipakai oleh ibu-ibu rumah tangga di Bagan, bagian motif gambar besarnya bunga dan daun, bagian motif isiannya bunga, bagian motif pinggirannya untu walang (gigi belalang), warnanya soga (kini bisa divariasi dengan warna lain).
41
3. Batik Lasem dengan Motif Kricak atau Watu Pecah
• Motif kricak (batu kecil) diinspirasikan dari kenangan atas kricak sebagai bahan pembuatan jalan Raya Pos Era Daendels, yang membawa banyak korban pekerja di Lasem, fungsinya biasa dipakai oleh warga waru gunung, bagian motif gambar besarnya bunga, burung dan daun, bagian motif isiannya kricak (batu kecil), bagian motif pinggirannya untu walang (gigi belalang), warnanya soga (warna bisa divariasi dengan warna lain). 4. Batik Lasem dengan Motif Latohan
Motif Latohan merupakan motif flora lokal daerah Lasem yang terinspirasi dari tanaman latoh atau rumput laut. Motif ini menggambarkan salah satu jenis rumput laut yang biasanya digunakan sayur mayur oleh masyarakat di sekitar
42
pantai atau pesisiran. Jenis tumbuhan ini harus dalam kondisi masih segar ketika hendak dimasak menjadi sayur. Konon orang yang menggunakan motif ini akan terjaga badannya dan terus dalam kondisi segar bugar, fungsinya sebagai pakaian sehari-hari dan biasa dipakai oleh semua kalangan, bagian motif gambar besarnya latohan (rumput laut), bunga dan daun, bagian motif isiannya cecek pitu (titik tujuh), bagian motif pinggirannya untu walang (gigi belalang), warnanya merah marun (warna bisa divariasi). 5. Batik Lasem dengan Motif Kendoro Kendiri
Motif Kendoro-Kendiri motif ini merupakan stilisasi sulur tanaman dan bunga pada kain chintz atau cent (merk kain mori) sehingga mengingatkan pada motif lung-lungan pada batik Lasem. Motif Kendoro-Kendiri mempunyai arti majikan dan pembantu, fungsinya biasa dipakai oleh para bangsawan atau raja, bagian motif gambar besarnya bunga dan daun, bagian motif isiannya sisik, bagian motif pinggirannya untu walang (gigi belalang), warnanya soga sebagai warna asli (kini bisa divariasi dengan warna lain).
43
Alat yang digunakan untuk membatik yaitu : 1. Gunting, pensil dan kain mori
3. Bak berfungsi untuk pengetelan atau ngucel-ngucel
2. Canting
6. Bak Gendongan berfungsi untuk membersihkan lapisan lilin pada kain batik
4. Wajan berfungsi tempat untuk lilin
7. Kayu berfungsi untuk meletakkan kain mori atau membatik
44
5. Kompor berfungsi untuk mencairkan malam
8. Bak Lorodan atau drum berfungsi untuk tempat pewarnaan
Bahan yang digunakan yaitu: 1. Kain Mori Mori adalah bahan baku batik dari katun. Kualitas mori bermacam-macam, dan jenisnya sangat menentukan baik buruknya kain batik yang dihasilkan. Karena kebutuhan mori dari macam-macam kain tidak sama. 2. Malam Lilin atau “malam” ialah bahan yang dipergunakan untuk membatik. Sebenarnya “malam” tidak habis (hilang), karena akhirnya diambil kembali pada waktu proses mbabar, proses pengerjaan dari membatik sampai batikan menjadi kain 3. Zat Pewarna 4. Air keras 5. Soda Api 6. Soda Abu Proses Pembuatan Batik Lasem Proses pembuatan Batik Lasem tidak banyak berbeda dengan pembuatan batik tulis di daerah lain. Gulungan kain mori dari pabrik masih mengandung obat45
obatan yaitu kanji. Oleh karena, kain tersebut dipotong dahulu dengan satu ukuran kemudian tidak langsung dibatik tetapi diproses dahulu. Kain mori yang sudah dipotong satu ukuran tersebut dibilas atau dicuci dahulu pakai air bersih setelah dibilas di beri minyak buah jarak dan soda api dengan komposisi tertentu kemudian diperas atau dipukul-pukul supaya zat kimianya hilang. Kemudian setelah diperas, kain tersebut digulung setelah itu disimpan selama satu malam, dan di jemur di pagi harinya. Batik Lasem kuno dalam proses seperti tersebut dapat dilakukan 15 sampai 20 hari kemudian baru dilorot dan dibersihkan dengan air bersih fungsinya untuk menghilangkan zat kimia dari pabrik. Setelah dihilangkan zat kimianya, kain mori tersebut menjadi menyusut atau mengecil. Kemudian di jemur sampai kering, barulah kain tersebut dibatik. Sebelum dibatik, kain tersebut harus digambar atau di beri pola dengan pensil dicanting dengan malam (wawancara dengan Joko, Juli 2012). D. Pengaruh Budaya Cina Terhadap Motif Batik Lasem Batik di Jawa terbagi menjadi dua golongan besar yaitu batik pesisiran dan batik kerajaan. Disebut batik pesisiran karena letaknya dekat pantai sedangkan disebut batik kerajaan karena letaknya di pedalaman seperti Solo, Wonogiri, Yogyakarta dan Pekalongan tidak terpengaruh budaya asing di mana batiknya berbentuk geometris. Kedatangan orang Cina di Jawa, terutama di Lasem dan beberapa tempat lain di wilayah ini melahirkan kebudayaan baru. Masyarakat Lasem bersifat akulturasi sehingga masyarakat Lasem bisa menerima budaya Cina.
46
Batik Lasem awalnya dikenal sebagai “batik encim”, yaitu batik yang dipakai oleh wanita keturunan Tionghoa yang berusia lanjut. Pengaruh asing khususnya budaya Cina turut mewarnai corak, motif dan ragam batik tulis Lasem. Melalui pengamatan terhadap sehelai batik Lasem kita dapat mengenali hasil silang budaya tersebut, antara lain silang budaya melalui motif (Hempri, dkk. 2010 : 35). Ragam hias khas budaya Tionghoa seperti burung hong, binatang legendaries kilin (semacam singa), bunga seruni, bunga krisna, banji, mata uang, pohon siong, bambu, kupu-kupu, kong, phoenix dan naga, mereka masukkan dalam motif batik. Motif flora biasanya digambarkan dalam bentuk bunga berjuntai, yaitu motif flora yang digambarkan dalam bentuk bunga, batang dan daun yang berjuntai. Cerita percintaan klasik Tiongkok seperti Sam Pek Eng Tay juga pernah menjadi motif batik di daerah ini. Tidak mengherankan bila kemudian batik produksi Lasem sering disebut sebagai batik “Encim”. (Sumijatin Atmosudiro dan Septi Indrawati Kusumaningsih, tt : 22 - 23). 1. Batik Lasem dengan Motif Kupu-Kupu
Motif ini sudah terpengaruh budaya Cina, motif kupu-kupu bagi Bangsa Cina memaknai bahwa kupu-kupu sebagai lambang cinta kasih suami istri yang kekal
47
abadi. Kisah cinta sampai mati sepasang kekasih dalam legenda Sampek Engatai atau Shanbo Yintai menjadi visualisasi intepretasi makna filosofis Batik Lasem Kupu-kupu, fungsinya biasa di pakai orang Cina sebagai lambang cinta kasih suami istri yang kekal abadi, bagian motif gambar besarnya kupu-kupu, bagian motif isiannya cecek (titik), bagian motif pinggirannya latohan (rumput laut), warnanya biru (kini bisa divariasi dengan warna lain). Keindahan Batik Lasem kupu-kupu sepadan dengan realitas kecantikan aneka kupu-kupu yang bertabur warna warni. Perpaduan kreasi seni batik hasil pembauran budaya Jawa dan Cina di Lasem Rembang Jawa Tengah, menjadikan Batik Lasem kupu-kupu bukan sekedar kain bermotif kupu untuk kepentingan fashion. Batik Lasem kupu-kupu adalah karya seni rupa yang masuk ke ranah estetis, sehingga selalu memancarkan aura keindahan. Batik Tulis Lasem kupukupu layak untuk di koleksi. Batik Lasem kupu-kupu tidak bisa lepas dari makna filosofis. Ornamen kupu-kupu dalam motif Batik Lasem dipersepsikan sebagai simbol dan harapan atas terbentuk kearifan hidup manusia (wawancara dengan Usman, 18 Juni 2012). Bangsa Cina memaknai kupu-kupu sebagai lambang cinta kasih suami istri yang kekal abadi. Kisah cinta sampai mati sepasang kekasih dalam legenda Sampek Engatai atau Shanbo Yintai menjadi visualisasi interprestasi makna filosofis Batik Lasem kupu-kupu. Batik Lasem kupu-kupu juga bersumber inspirasi yang mampu motivasi manusia untuk hidup lebih bermakna. Metamorfosis adalah cara kupu-kupu mengajarkan kearifan dan kesejatian hidup. Kehidupan kupu-kupu yang berawal dari telur, lalu menjadi ulat sehingga menjadi
48
kepompong,
merupakan
refleksi
alur
ketidakberdayaan,
pertumbuhan,
kontemplasi dan berakhir pada implementasi keindahan agar lebih bermanfaat bagi lingkungannya. Simpulnya, metamorfosa kupu-kupu adalah cermin bagi proses kesejatian hidup manusia. Batik Lasem kupu-kupu membantu menjaga aktualitas nilai-nilai mulia metamorfosis agar mudah dicerna nalar dan hati manusia (http://www.lasembatikart.com/menu.php?idx=274#.UOZulIE3tkg). 2. Batik Lasem dengan Motif Burung Merak
Motif ini sudah terpengaruh budaya Cina, motif ornamen burung, ini merupakan ornamen utama yang dilambangkan burung merak, phoenix, dan burung yang aneh dan berjengger. Ornamen ini melambangkan kesucian, karena burung merak ini sebagai kendaraan dewa-dewa, fungsinya biasa dipakai mempelai perempuan orang Cina, bagian motif gambar besarnya burung dan latohan (rumput laut), bagian motif isiannya daun dan bunga, bagian motif pinggirannya cecek (titik), warnanya coklat (kini bisa divariasi dengan warna lain). Bentuk dasar ragam hias motif burung huk adalah seekor anak burung yang baru menetas, menggeleparkan kedua sayapnya yang masih lemah, berusaha lepas
49
dari cangkang telurnya, serta separuh badan dan kedua kakinya masih berada di dalam cangkang. Motif burung huk juga sering disebut dengan motif burung merak. Ide dasarnya adalah pandangan hidup tentang kemana jiwa manusia sesudah mati. Dan gambaran tersebut disimpulkan bahwa kematian hanyalah kerusakan raga, sedangkan jiwanya tetap hidup menemui Sang Pencipta. Keunikan motif ini adalah ia selalu hadir bersama dengan motif lainnya, misalnya ceplokan sebagai selingan motif parang, dalam bentuk yang berbaur dengan motif lainnya. Burung Merak (kong-kue) merupakan simbol kecantikan dan kemuliaan (http://motifbatikindonesia.blogdetik.com/2012/02/10/motif-batik-indonesia/). 3. Batik Lasem dengan Motif Lok Can
Motif ini sudah terpengaruh budaya Cina, motif Lok Can yang mempunyai arti “Lok” berarti kijang (bahasa Hokkian) atau ‘luk’ (bahasa Mandarin), sedangkan “Can” (bahasa Cina) artinya sutera. Batik Lasem Lok Can sangat familiar motif Lok Can bernilai seni tinggi dan sarat dengan makna filosofis kehidupan, fungsinya biasa dipakai oleh bangsawan Jawa dan Cina, bagian motif gambar besarnya burung hong, bunga dan daun, bagian motif isiannya cecek (titik), bagian motif pinggirannya untu walang (gigi belalang) dan blarak (daun kelapa),
50
warnanya soga, warna asli adalah biru agak kehijau-hijauan (kini bisa divariasi dengan warna lain). Pengaruh budaya Cina juga terdapat pada batik di pesisir utara Jawa Tengah hingga saat ini yang dikenal dengan nama Lok Can. Lok Can merupakan burung yang dibawa oleh tentara Tartar. Setiap daerah di Indonesia memiliki motif yang berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain. Orang-orang China mulai membuat batik pada awal abad ke-19. Jenis batik ini dibuat oleh orang-orang Cina atau peranakan yang menampilkan pola-pola dengan ragam hias satwa mitos Cina, seperti naga, ragam hias yang berasal dari keramik Cina kuno serta ragam hias yang berbetuk mega dengan warna merah atau merah dan biru. Batik Cina juga mengandung ragam hias buketan, terutama batik Cina yang dipengaruhi pola Batik Belanda. Pola-pola batik Cina dimensional suatu efek yang diperoleh karena penggunaan perbedaan ketebalan dari satu warna dengan warna lain dan isian pola yang sangat rumit. Batik Lok Can awalnya dibuat dengan bahan sutera (bahasa Cina: Can artinya sutera). Warna motif batik Lok Can didominasi oleh warna biru, khususnya biru muda (bahasa Cina: Lok artinya biru), dan warna latar belakang putih atau krem. Namun kini, banyak dijumpai Batik Lok Can berbahan katun primis super halus dengan variasi warna yang semakin menarik (wawancara dengan Sigit, 18 Juni 2012). Ornamen utama motif Batik Lasem Lok Can sesungguhnya berupa stylisasi burung hong (phoenix). Meski ada kalanya dimodifikasi dengan motif burung kecil, yakni wallet atau sriti, yang banyak terdapat di Lasem. Modifikasi Motif Burung Phoenix selalu diharmonisasikan dengan motif flora dan bahkan fauna.
51
Selain bernilai artistik estetis, Batik Lasem Lok Can memiliki makna sosial filosofis, yaitu burung Phoenix (Hong) melambangkan kebajikan, prestasi, dan keabadian (http://batikdan.blogspot.com/2011/08/batik-lok-can.html).
52