BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Geografis Desa Kebonbimo Desa Kebonbimo masuk wilayah di Kecamatan Boyolali, Kabupaten Boyolali. Di sebelah Utara berbatasan dengan Desa Pager Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Dlingo Kecamatan Mojosongo Kabupaten Boyolali, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Mudal Kecamatan Boyolali Kabupaten Boyolali, dan di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Ngargosari Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali. Desa Kebonbimo terletak sekitar 4 KM ke arah Utara dari pusat kota Boyolali. Desa ini beriklim tropis dan kaya akan sumber mata air yang pada masa pemerintah Hindia Belanda sampai tahun 1945 sumber mata air tersebut dijadikan tempat untuk mencuci Serat, karena di lokasi dekat sumber mata air itu dahulu berdiri sebuah pabrik Serat yang dibangun tahun 1918 dan mulai beroperasi dari tahun 1922 - 1945 (Wawancara dengan Minto Suwarno, 13 Oktober 2013). Menurut penuturan dari Minto Suwarno yang didapat dari cerita orang tuanya yang bernama Marto Rejo, mengatakan bahwa sebelum Republik Indonesia berdiri. Tanah Desa Kebonbimo dulunya merupakan tanah milik Keraton Kasunanan Surakarta. Karena Raja yang berkuasa pada masa itu lebih berpihak dengan Belanda, melalui politik sewa tanah
27
yang dilakukan, Pemerintah Hindia Belanda membuat proyek di wilayah Desa Kebonbimo dengan mendirikan perkebunan Kopi, namun dalam perkembangannya mulai tahun 1918 perkebunan Kopi diganti dengan ditanami Serat dan dibarengi dengan membangun Pabrik Serat yang berada di Dukuh Tlatar yang dapat digunakan mulai tahun 1922. Karena secara kebetulan orang tua dari Minto Suwarno yang bernama Marto Rejo merupakan salah satu pegawai pabrik sejak awal berdiri dari perkebunan kopi sampai dengan perkebunan Serat. Selain sebagai kaki tangan orang Belanda yaitu dijadikan “Jongos” (pembantu Laki-laki), Marto Rejo juga sebagai perawat dan penebang di perkebunan (Wawancara dengan Minto Suwarno, 13 Oktober 2013). Luas wilayah Desa Kebonbimo sebagian besar masih berupa tanah bekas perkebunan Serat yang dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda. Tanaman serat memiliki bentuk menyerupai tanaman nanas, karena hanya dapat melihat dan menyebutkan ciri-ciri bentuk fisiknya yang menyerupai pohon nanas maka masyarakat Desa Kebonbimo dan sekitarnya sering menyebut dengan nama Serat nanas. Sebelum banyaknya tali tambang yang terbuat dari bahan plastik dan senar, pada masa penjajahan Belanda dalam membuat tali tambang menggunakan bahan dari serat. Jenis tanaman serat yang ditanam di perkebunan milik Belanda di Desa Kebonbimo dan sekitarnya dari tahun 1918-1945 di produksi sebagai bahan pembuatan tali tambang Dadung dengan ukuran besar yang digunakan untuk kebutuhan kapal-kapal Belanda. Khusus pada masa
28
Jepang ditambah dengan jenis produksi yang tidak hanya membuat tali tambang tetapi juga membuat karung goni dan selendang serat. Berikut ciri-ciri fisik dari pohon serat yang ditanam di perkebunan milik Belanda di Desa Kebonbimo diantaranya sebagai berikut (Wawancara dengan Henri Sugiman, 12 Mei 2014): a. Bentuk pohon serat seperti pohon nanas, tetapi pohon serat lebih besar dan tinggi. b. Tebal daun serat, kurang lebih 1 cm. c. Mempunyai bunga warna putih dan jika sudah tua tangkai bunga tinggi menjorok ke atas. d. Tinggi pohon serat, kurang lebih 150 cm. e. Panjang helai daun serat, kurang lebih 100 cm. f. Pohon serat tidak berbuah. g. Daun serat berduri dibagian tepi dan di bagian pucuk depan berduri dengan warna hitam. h. Lebar daun serat, kurang lebih 10-15 cm. i. Setiap pohon serat mempunyai daun kurang lebih berjumlah 20 helai daun. j. Daun serat yang digunakan yaitu daun yang sudah tua untuk diproses produksi di pabrik serat di Dukuh Tlatar. k. Daun serat berwarna hijau keputih-putihan. Pada tahun 1948 Desa Kebonbimo terdiri dari 10 padukuhan, diantaranya yaitu: Wates, Gombol, Tlatar, Gatak, Baturan, Dukuh, Titang,
29
Kebonbimo, Karang Tengah, dan Ngablak. Dukuh Tlatar mempunyai jumlah kepala keluarga paling banyak dibandingkan dengan dukuh lain di wilayah Desa Kebonbimo yakni sekitar 30 kepala keluarga, sedangkan dukuh yang lainnya rata-rata sekitar 10 kepala keluarga. Jumlah penduduk Desa Kebonbimo kurang lebih 500 orang (Wawancara dengan Henri Sugiman, 28 Januari 2014). Dukuh Tlatar memiliki jumlah penduduk paling banyak, hal ini dikarenakan Dukuh Tlatar berfungsi sebagai pusat pemerintahan Desa Kebonbimo dan terdapat pabrik Serat yang pada waktu masih aktif berproduksi memiliki tenaga kerja yang cukup banyak sehingga mempengaruhi peningkatan jumlah warga (Wawancara dengan Haryono, 3 Februari 2014). Menurut Henri Sugiman, di lokasi sekitar pabrik Serat di Dukuh Tlatar terdapat perumahan atau mess. Mess tersebut pada waktu pabrik masih aktif berproduksi digunakan untuk tempat tinggal bagi karyawan-karyawan pabrik Serat yang berasal dari luar daerah seperti: Klaten dan Tasikmadu, yang bekerja di bagian teknisi mesin pabrik. Pabrik Serat berproduksi sampai kekuasaan Jepang berakhir di Indonesia tahun 1945. Selama periode tahun 1942-1945 pabrik Serat tetap memproduksi seperti biasanya, tetapi tidak seaktif pada masa hindia Belanda. Setelah kekuasaan Jepang di Indonesia berakhir pada tahun 1945, bangunan pabrik Serat tersebut pada masa Agresi Militer Belanda I dijadikan asrama sementara dari pasukan Pesindo. Menjelang terjadinya Agresi Militer Belanda II tahun 1948 komplek bangunan pabrik Serat
30
dibumihanguskan oleh masyarakat Desa Kebonbimo dibarengi dengan penghancuran Jembatan Tlatar yang di bangun pada tahun 1922. Tujuan bumihangus kawasan pabrik dan penghancuran jembatan adalah supaya Belanda tidak kembali lagi ke Desa Kebonbimo untuk menguasai pabrik Serat dan Desa Kebonbimo. Lokasi pabrik serat telah berubah menjadi perkampungan warga Umbul Rejo Timur, kurang lebih mulai tahun 1950 dan disusul dengan dukuh-dukuh baru yang lainnya di wilayah Desa Kebonbimo, objek wisata Umbul Tlatar serta sebagai saluran irigasi tanah pertanian masyarakat Desa Kebonbimo dan Desa Pager. Selain Dukuh Umbul Rejo Timur, ada juga dukuh-dukuh baru lainnya yang merupakan sebagian dari bekas perkebunan Serat diantaranya seperti: Umbul Rejo Barat, Gatak Baturan, Kebon Rejo, dan Karang Mojo (Wawancara dengan Henri Sugiman, 28 Januari 2014). Tempat yang dulunya masih berupa lapangan di Dukuh Tlatar, sekarang sudah berdiri bangunan SMA N 2 Boyolali. Lapangan tersebut merupakan lokasi Perang Pruputan pada tanggal 14 Juli 1949. Perang Pruputan adalah perang yang dilakukan pada waktu masih pagi-pagi buta (Wawancara dengan Karso Diharjo, 27 Januari 2014). Pada tahun 1922-1945 mata pencaharian masyarakat Kebonbimo pada umumnya menjadi pegawai buruh kasar (Kuli) pabrik Serat, adapun tugas mereka ialah (Wawancara dengan Henri Sugiman, 28 Januari 2014):
31
a. Perawat dan penebang di perkebunan Serat. Salah satu karyawannya bernama Marto Rejo (orang tua dari Minto Suwarno) yang bertempat tinggal di Dukuh Gatak. b. Penyortir Serat. c. Bagian gerobak yang bertugas mengangkut Serat dari kebun ke pusat pabrik di Dukuh Tlatar. d. Pencuci Serat yang sudah terbentuk seperti helai benang. e. Tukang penjemuran Serat setelah selesai dicuci di Umbul. Kedatangan pemerintah militer Jepang pada tahun 1942 membuat wilayah seluruh kekuasaan Belanda dan aset-aset yang dimiliki Belanda beralih ke tangan Jepang. Setelah adanya peralihan kekuasaan, pabrik Serat yang berada di Dukuh Tlatar tetap beroperasi. Atas kebijakan pemerintah militer Jepang selain perkebunan Serat masih tetap ada, bagi warga masyarakat yang mempunyai tanah (tidak termasuk tanah perkebunan serat) seperti tanah pekarangan di sekitar rumah tempat tinggal diwajibkan untuk menanam jarak maupun palawija, salah satunya seperti Jagung. Bagi masyarakat yang mempunyai tanah sawah diwajibkan untuk menanam padi dan setiap panen, minimal setengah dari jumlah total hasilnya harus diserahkan kepada Jepang. Hal ini bertujuan untuk mendukung kebutuhan perang dan sebagai cadangan persediaan pangan,
dengan
memanfaatkan
tenaga-tenaga
masyarakat
Desa
Kebonbimo sebagai pekerja, Selama masa pendudukan Jepang pada tahun 1942-1945 masyarakat Desa Kebonbimo menjadi buruh kasar tanpa
32
upah di perkebunan serat yang sebagian besar bertugas sebagai pekerja lapangan seperti perawat dan penebang (Wawancara dengan Henri Sugiman, 28 Januari 2014). Masyarakat Desa Kebonbimo selama pendudukan Jepang diajarkan pendidikan semi militer terutama bagi para pemuda-pemuda, yang sangat berguna pada masa perang gerilya tahun 1948-1949 (Wawancara dengan Minto Suwarno, 13 Oktober 2013). Di Desa Kebonbimo pada masa pendudukan Jepang, para pemuda yang berusia 15 tahun ke atas dalam satu kelurahan dilatih pendidikan semi militer yang di pusatkan di lapangan Dukuh Tlatar (Wawancara dengan Tarjo Suwito, 27 Januari 2014). Setelah berakhirnya kekuasaan pemerintah militer Jepang pada tahun 1945, tanah perkebunan di wilayah Desa Kebonbimo antara tahun 1945-1948 terbengkalai. Dengan adanya siasat bumihangus menjelang Agresi Militer Belanda II pada tahun 1948, secara otomatis tanah perkebunan menjadi tanpa pemilik. Atas kebijakan dari pemerintah Desa Kebonbimo yang dipimpin Citro Budoyo, tanah perkebunan yang sudah ditinggalkan Belanda tersebut kemudian di bagi-bagikan kepada masyarakat Desa Kebonbimo. Tanah bekas perkebunan oleh masyarakat Desa Kebonbimo dikenal dengan nama tanah DC. Masyarakat Desa Kebonbimo rata-rata mendapat jatah tanah DC seluas 1000 M2 - 2000 M2. Pembagian tanah diatur secara merata disesuaikan dengan kondisi ekonomi setiap masyarakat. Setelah adanya pembagian tanah DC, masyarakat Desa Kebonbimo pada tahun 1948 bermata pencaharian
33
sebagai petani penggarap lahan sendiri (Wawancara dengan Henri Sugiman, 28 Januari 2014). Menurut Haryono, yang disebut dengan tanah Drooge Culture (DC) yaitu tanah tanaman kering peninggalan milik Belanda. Adapun luas dari wilayah Desa Kebonbimo kurang lebih 239 Ha, terdiri dari 119 Ha luas tanah DC dan 120 Ha yang terdiri dari luas padukuhan dan sawah (Wawancara dengan Haryono, 3 Februari 2014). B. Kondisi Pemerintahan Desa Kebonbimo Pada masa Agresi Militer Belanda II, pemerintahan Desa Kebonbimo dipimpin oleh Citro Budoyo sebagai Kepala Desa pertama yang menjabat sampai tahun 1974 dan Mangun Suyoto sebagai Sekretaris Desa atau Carik (Wawancara dengan Tarjo Suwito, 27 Januari 2014). Kantor Balai Desa Kebonbimo bertempat di rumah Citro Budoyo dikarenakan pada waktu itu belum mempunyai kantor Balai Desa sehingga harus menumpang di rumah Kepala Desa. Padukuhan Desa Kebonbimo pada masa Agresi Militer Belanda II dipimpin oleh 2 Kepala Dusun (Bayan). Kepala Dusun wilayah Barat dipimpin oleh Bandi yang meliputi: Baturan, Kebonbimo, Karang Tengah, Titang, Dukuh, dan Ngablak. Sedangkan di wilayah Timur dipimpin Suroso meliputi: Wates, Gombol, Tlatar, dan Gatak (Wawancara Henri Sugiman, 28 Januari 2014). Pada tahun 1948 pemerintah Desa Kebonbimo membentuk badan keamanan desa yang disebut dengan Pasukan Gerilya Desa (Pager Desa). Masyarakat Desa Kebonbimo sering melakukan gerilya setiap malam selama masa Agresi Militer Belanda II, hal ini membuat Tentara Belanda
34
menjadikan daerah Kebonbimo terutama Dukuh Tlatar sebagai daerah pusat para gerilyawan. Melalui mata-matanya yang ditugaskan di Kebonbimo, Tentara Belanda mendapat banyak informasi, diantaranya seperti kegiatan-kegiatan para gerilyawan. Tentara Belanda sering melakukan patroli di Desa Kebonbimo dengan tujuan untuk mencari dan menangkap pemimpin Gerilya Desa Kebonbimo. Hal ini dikarenakan seringnya Pager Desa Kebonbimo melakukan kegiatan pengrusakan Jembatan darurat Kenteng (Wawancara dengan Henri Sugiman, 5 Oktober 2013). Menurut Minto Suwarno, Sekitar tahun 1948-1949 di radio sering di perdengarkan (diputarkan) lagu yang bersifat nasionalisme dan patriotisme yang ditujukan
kepada para gerilyawan untuk melawan
penjajah (pasukan Belanda). Berikut salah satu lirik lagu yang masih diingat oleh Minto Suwarno, “Ayo marilah pandai bergerilya”. Sering diputar-putarnya lagu mengenai semangat bergerilya itu dikarenakan pemerintah Republik Indonesia merasa persenjataan maupun kekuatan pasukan yang dimiliki Tentara atau gerilyawan lainnya tidak bisa mengimbangi kekuatan musuh (pasukan Belanda). Lagu-lagu bertema nasionalisme dan patriotisme tersebut bertujuan supaya rakyat Indonesia tidak takut menghadapi musuh serta dapat mengobarkan semangat para gerilyawan yang berjuang di medan perang untuk mempertahankan kemerdekaan Repulik Indonesia (Wawancara dengan Minto Suwarno, 13 Oktober 2013).
35
Peran perangkat desa selain sebagai pemimpin pemerintahan desa, juga sebagai pemimpin gerilya tertinggi di tingkat desa. Karena Tentara Belanda belum menguasai sepenuhnya wilayah Desa Kebonbimo maka pada saat penyerangan, Belanda sering mengalami kegagalan. Seperti pada saat akan menangkap salah satu pemimpin gerilya Desa Kebonbimo yang bernama Citro Budoyo, Kepala Desa Kebonbimo pada masa Agresi Militer Belanda II. Tentara Belanda berencana masuk ke dalam rumah Citro Budoyo namun keliru masuk ke dalam rumah Wiro Kartiko yang pada waktu itu rumahnya berdekatan. Wiro Kartiko diserang dan ditembaki oleh Tentara Belanda hingga meninggal dunia. Kesalahan tersebut disebabkan karena adanya papan bertuliskan Lurah (tanda penunjuk) di pinggir jalan menuju kearah rumah Citro Budoyo maupun Wiro Kartiko, sehingga pasukan Belanda mengira bahwa rumah Wiro Kartiko sebagai rumah dari Kepala Desa Kebonbimo (Wawancara dengan Minto Suwarno, 13 Oktober 2013). Perangkat Desa Kebonbimo pada masa Agresi Militer Belanda II sangat berpengaruh dalam menggerakkan maupun memimpin masyarakat untuk berperan aktif dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia (Wawancara dengan Henri Sugiman, 28 Januari 2014). Desa Kebonbimo merupakan desa yang paling aktif diantara desa-desa sekitarnya dalam upaya mengusir Tentara Belanda pada masa Agresi Militer Belanda II, terutama di Jalan Ampel-Boyolali Kota tepatnya di Jembatan Darurat Kenteng. Sebelum Tentara Pelajar SA/CSA masuk Desa
36
Kebonbimo, pemerintah desa telah membentuk Pasukan Gerilya Desa sebagai satuan keamanan tingkat desa karena melihat letak Desa Kebonbimo yang berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Semarang (Wawancara dengan Haryono, 3 Februari 2014). C. Kedatangan
Tentara
Sekutu
dan
Nederland
Indies
Civil
Administration (NICA) di Indonesia Sekutu datang ke Indonesia pertama kali pada tanggal 8 September 1945 yang dipimpin oleh Mayor Grenhalgh. Tugas dari misi Grenhalgh adalah untuk memberikan laporan untuk mempersiapkan pembentukan markas Sekutu di Jakarta. Kedatangan misi Grenhalgh yang kemudian di ikuti oleh kedatangan Laksamana Muda Patterson pada tanggal 16 September 1946 yang mendarat di Jakarta dengan menggunakan kapal Camberland. Tujuan dari Sekutu ke Indonesia, bertugas untuk: menerima penyerahan Tentara Jepang, Membebaskan tawanan perang dan tahanan Sekutu, melucuti dan mengumpulkan Tentara Jepang untuk dipulangkan ke negaranya, menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk diserahkan kepada pemerintah sipil, menghimpun keterangan dan menuntut penjahat perang di pengadilan (Moehkardi, 2012:237-238). Tentara Sekutu yang datang ke Indonesia di samping untuk melaksanakan tujuan utama diatas, secara tidak langsung Inggris telah membantu NICA dalam upaya menegakkan kembali kekuasaan Belanda di Indonesia. Hal ini dikarenakan Inggris selaku wakil Sekutu di Indonesia sebelumnya telah terikat perjanjian dengan Belanda pada tanggal 24
37
Agustus 1945 di kota Chequers, yang dikenal dengan perjanjian Civil Affairs Agrement yang isinya memperbantukan perwira-perwira NICA terhadap Tentara Sekutu untuk menjalankan kembali pemerintahan sipil di Hindia Belanda (Subaryana, 2004:10-11). Masyarakat Indonesia menyambut dengan gembira atas kedatangan Tentara Sekutu karena masyarakat melihat tujuan awal dari tugas di Indonesia. Tetapi setelah mengetahui bahwa Tentara Sekutu mempunyai tujuan yang lain dengan dibuktikannya membawa serta Tentara NICA yang ingin menegakkan kembali kekuasaan Kolonial Hindia Belanda di Indonesia, sehingga rakyat Indonesia mengambil sikap untuk bermusuhan karena NICA terbukti membonceng Tentara Sekutu untuk datang kembali ke Indonesia (Garda Maeswara, 2010:35-36). D. Kedatangan
Tentara
Sekutu
dan
Nederland
Indies
Civil
Administration ( NICA) di Jawa Tengah Pada tanggal 19 Oktober 1945 jam 07.45 WIB telah mendarat kapal perang Sekutu HMS Glenroy yang membawa pasukan Inggris dari Brigade 37 yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Bethel. Sebelum kedatangan Tentara Sekutu, para pemuda sudah bertempur dengan pasukan Jepang. Pada saat kedatangan pasukan Sekutu telah menghentikan pertempuran lima hari di Semarang dan
besuk pagi harinya Tentara
Sekutu menduduki lapangan udara Kalibanteng (sekarang menjadi lapangan udara Ahmad Yani). Di lapangan Kalibanteng, didalamnya terdapat para tawanan perang Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger
38
(KNIL) dan akhirnya dapat dibebaskan oleh Tentara Sekutu. Di antara Tentara Sekutu yang mendarat di Semarang, terdapat Tentara Belanda yang memakai seragam dan senjata Tentara Amerika. Dengan ini Pasukan NICA-Belanda
sudah
terlihat
jelas
mempunyai
tujuan
untuk
mengembalikan kekuasaan di Indonesia. Setelah berhasil menduduki lapangan udara Kalibanteng. Tentara Sekutu melanjutkan gerakannya ke Magelang. Para pejuang sudah mengetahui bahwa Tentara Belanda ikut dalam gerakan Tentara Sekutu yang bermaksud untuk mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia, sehingga terjadi aksi penghadangan yang dilakukan oleh para pejuang. Salah satunya dengan menahan gerakan Tentara Sekutu yang akan menuju Magelang. Pada tanggal 31 Oktober 1945 pertempuran Magelang meletus. Angkatan Udara Inggris atau Royal Air Force (RAF) dengan pesawat Thunder Bolt berangkat ke Magelang mengadakan dropping amunisi yaitu mengumpulkan alat-alat pendukung perang dan perbekalan pangan kepada pasukan Sekutu yang sudah berada dalam kepungan masyarakat. Melihat perlawanan masyarakat yang gigih, Tentara Sekutu terpaksa mengadakan penghentian tembak menembak (Ceasefire) pada tanggal 3 November 1945 dengan diadakan perundingan genjatan senjata antara RI dan Sekutu. Namun gencatan senjata tidak berlangsung lama karena sejak tanggal 9 November 1945 terjadi pertempuran yang tidak hanya berpusat di Magelang, tetapi meluas ke daerah-daerah lainnya (Wiyono dkk, 1991:84-85). Pada tanggal 16 Mei 1946 Inggris menyerahkan Kota Semarang kepada Belanda, dengan
39
demikian semakin jelas bahwa Inggris telah diperalat oleh NICA-Belanda dalam usahanya menguasai kembali wilayah Republik Indonesia (Wiyono dkk, 1991:90). E. Tentara Pelajar SA/CSA Pada tahun 1946 sampai 1947 terjadi proses konsolidasi diantara Laskar-Laskar Pelajar untuk dihimpun dalam satu kesatuan khusus yang terdiri dari Para Pelajar di Solo. Laskar Alap-alap berganti nama menjadi pasukan Sturm Abteilung (SA) dan Corps Sukarela Angkatan (CSA), dalam penggantian nama tersebut, atas gagasan dari para pimpinan Pasukan Pelajar diantaranya Achmadi, Prakoso, dan Soemitro yang menyebutkan bahwa adanya pasukan khusus di Jerman selama perang dunia II yaitu Sturm Abteilung (Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, 1985:23). Pembentukan pasukan Sturm Abteilung (SA) pada akhir tahun 1946 digunakan sebagai pasukan inti dari Tentara Pelajar Solo dengan harapan bahwa kedisiplinan, semangat maupun ketrampilan dalam bertempur dapat menyamai dengan pasukan SA di Jerman. Pada awal terbentuk pasukan SA dipimpin oleh Gajah Suranto dan Muktio sebagai wakilnya. Karena dengan alasan Gajah Suranto kurang aktif dalam memimpin pasukan SA, maka jabatan pimpinan pasukan SA diambil alih oleh Muktio. Kurang aktifnya Gajah Suranto dikarenakan selain sudah diberi tanggung jawab sebagai pimpinan SA dia juga menjabat sebagai komandan Tentara Genie Pelajar (TGP) (Keluarga Besar SA/CSA, T.T.:58-59). Dalam proses konsolidasi antara laskar-laskar pelajar Solo
40
menghasilkan terbentuknya Markas Pertahanan Pelajar (MPP) dengan sebagai ketuanya Sulaiman dan wakilnya Prakoso. Akibat dari terbentuknya MPP, Pasukan Pelajar tersusun dalam bentuk Regu, Seksi, dan Kompi. Setelah berjalan selama satu tahun susunan pasukan pelajar kurang
efektif
sehingga
mengakibatkan
ada
perubahan
dengan
dibentuknya satu Batalyon yang dikenal dengan nama Batalyon 100 (Julius Paur, 2008:118-119). Pasca setelah perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948, pada bulan Februari tahun 1948 pasukan Divisi Siliwangi yang berkekuatan kurang lebih 4 Brigade dari Jawa Barat melakukan hijrah ke Jawa Tengah. Kedatangan Divisi Siliwangi dari Jawa Barat yang menuju ke Jawa Tengah merupakan sebagai kekuatan tambahan untuk mempertahankan daerah Republik Indonesia (Bulletin SA/CSA, edisi No 9/1995:16). Pada saat bangsa Indonesia sedang bersiap-siap untuk menghadapi serangan Pasukan Belanda yang dikenal dengan Agresi Militer Belanda II untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Bangsa Indonesia terlebih dahulu menghadapi gerakan pemberontakan PKI di Madiun yang mana pada masa penumpasan pemberontakan PKI dari kesatuan TNI menugaskan Divisi Siliwangi yang dibantu oleh Tentara Pelajar (TP) Solo pimpinan Achmadi untuk menumpas gerakan tersebut. Dalam penumpasan gerakan Muso kekuatan utama yang digunakan yaitu pasukan Siliwangi dari Jawa Barat yang mendapat tugas sampai di Madiun. Pasukan TP Solo pimpinan Achmadi dan pasukan Siliwangi
41
mengadakan penumpasan pemberontakan dan melucuti senjata dari Front Demokrasi Rakyat (FDR yang dianggap sebagai PKI) dibawah pimpinan Muso dan pengikut beraliran kiri yang lainnya seperti Pesindo dan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) yang dipimpin Ahmad Yadau, serta TNI resmi yang dianggap berpihak pada Muso. Masa penumpasan pada tahun 1948 ini lebih dikenal dengan seruan “ Pilih Karno atau Muso” (Wawancara dengan Sardijono, 6 Februari 2014). Tentang seruan pilih Karno atau Muso yang disampaikan oleh Sardijono memang benar terjadi dibuktikan dengan pidato Presiden Soekarno di Yogyakarta melalui Radio Republik Indonesia (RRI) (Warta SA/CSA edisi No.17/2012:8) : “Beberapa hari yang lalu, Partai Komunis Indonesia pimpinan Muso telah memproklamasikan berdirinya negara Soviet Republik Indonesia dan tidak mengakui negara Republik Indonesia. Proklamasi itu diumumkan di kota Madiun. Dengan ini saya Presiden Republik Indonesia memerintahkan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memilih sekarang juga, memilih saya Soekarno atau Muso!” Setelah mengetahui adanya pemberitaan tentang mengenai seruan untuk memilih Soekarno atau Muso, Para Tentara Pelajar Solo dari Kompi I yang dipimpin Prakoso, Wiryawan dan Hartomo mengambil keputusan untuk memilih Soekarno yang dipertegas dengan adanya laporan hasil keputusan ke Markas Detasemen II dan Markas Komando Militer Kota (KMK). Pasukan TP Solo bersama 2 Pasukan Batalyon Siliwangi yang berada di Solo terdiri dari Batalyon Kosasih dan Kemal Idris dengan ditambah satu kompi Mobiele Brigade (Mobrig) polisi negara yang
42
ditugaskan untuk menumpas pemberontakan PKI yang dipimpin Muso (Warta SA/CSA Edisi No.17/2012:8). Pasukan TP Solo yang masuk dalam Sub Wehrkreise (SWK) 106/PPS 106 Arjuno pimpinan Achmadi yang diperbantukan dalam penumpasan FDR terutama dari kelompok Tentara Pelajar Sturm Abteilung (TP SA) yang dipimpin oleh Mashuri sebagai Komandan Seksi. Selama melakukan tugas dalam penumpasan pemberontakan PKI di Madiun, Kelompok TP SA berhasil mendapat banyak senjata dari hasil rampasan senjata pemberontak pengikut muso dan yang beraliran kiri lainnya sehingga TP SA menjadi pasukan yang kuat. Setelah gerakan penumpasan PKI selesai pada bulan
November 1948, TP SA yang
awalnya dikomando Seksi Mashuri dan sebagai komandan Kompi oleh Muktio mengambil jalan untuk keluar dari TP Solo yang dipimpin Achmadi yang mana sebelumnya menjadi induk dari TP SA. Seiring dengan
berjalannya
waktu
terjadi
perselisihan,
karena
adanya
ketidakpuasan dari kelompok TP Solo yang masih menjadi kesatuan pimpinan Achmadi. Meskipun memisahkan diri dari kesatuan TP Solo yang dipimpin Achmadi, TP kelompok Muktio tetap menggunakan nama TP SA (Wawancara dengan Sardijono, 4 Februari 2014). Karena ketegangan diantara TP pihak Achmadi dengan TP SA yang dipimpin Muktio diketahui oleh Letkol Slamet Riyadi, akhirnya TP SA diakui dan dimasukkan dalam kesatuan pimpinan LetKol Slamet Riyadi. Laskar Alap-Alap dan rakyat pejuang lainnya yang belum
43
mempunyai wadah kesatuan maka atas inisiatif dari Letkol Slamet Riyadi, dilebur menjadi satu wadah yang bernama Corps Sukarela Angkatan (CSA). Sehingga kesatuan TP SA dengan CSA digabung menjadi satu dengan nama Tentara Pelajar SA/CSA yang di pimpin Muktio di bawah komando Letkol Slamet Riyadi yang sekaligus menjabat komandan kesatuan resmi TNI dan memimpin kesatuan diluar TNI (Wawancara dengan Sardijono, 4 Februari 2014) Dalam perkembangannya setelah TP SA dengan CSA digabung menjadi satu kesatuan dengan nama TP SA/CSA selama masa Agresi Militer II yang mana berkembang menjadi 4 kompi yaitu 1 Kompi SA dan 3 Kompi CSA yang terdiri dari : a. Kompi I dipimpin oleh Muktio b. Kompi 2 dipimpin oleh Robikhan c. Kompi 3 dipimpin Kenyung Sardijono d. Kompi 4 dipimpin Suryo Soelarto Kemudian TP SA/CSA masuk dibawah kesatuan Batalyon 55 Brigadir V (Wawancara dengan Sardijino, 6 Februari 2014). Pernyataan dari Sardijono sama dengan apa yang dijelaskan oleh pengurus pusat keluarga besar SA/CSA di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 1993 dengan nomor 64/B/PKB.SACSA/1993 mengenai kesatuan pada masa Agresi Militer II atas balasan surat dari pengurus Keluarga Besar SA/CSA perwakilan wilayah Surakarta-Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di Solo. Salah satu bagian isi surat balasan tersebut menjelaskan bahwa formasi Batalyon 55
44
Brigade V tentang pasukan CSA adalah Kompi Muktio, Kompi Robikan, Kompi Kenyung Sardijono dan Kompi Suryosoelarto. Sedangkan pasukan Corps Sukarela lainnya tidak masuk formasi Batalyon 55 Brigade V. Setelah selesai dalam penumpasan pemberontakan PKI, kesatuan kelompok Tentara Pelajar Solo dalam perkembangannya
menjadi 2
kelompok pasukan Tentara Pelajar yaitu TP Solo dipimpin Achmadi dan TP SA/CSA dipimpin Muktio (Wawancara dengan Sardijono, 4 Februari 2014). TP SA awalnya hanya berjumlah beberapa puluh orang kemudian berkembang menjadi satu kompi. Dalam proses masa gerilya pasukan TP SA pimpinan Muktio melakukan perang gerilya ke luar kota Solo dari bulan Desember 1948 - Agustus 1949 dengan ditugaskan oleh Letkol Slamet Riyadi di wilayah Kabupaten Boyolali untuk menghambat jalur logistik Belanda baik yang dari Solo maupun Salatiga atau sebaliknya (Wawancara dengan Sardijono, 6 Februari 2014). Hal ini juga di benarkan oleh Sudarman Wongsoguna bahwa Tentara Pelajar SA/CSA Kompi I pimpinan Muktio ditugaskan di daerah Boyolali, berada di Tlatar dan sekitar (Wawancara dengan Sudarman Wongsoguno, 4 Februari 2014). Dalam buku Ign. Slamet Rijadi Dari Mengusir Kempetai Sampai Menumpas RMS (2008), Batalyon II yang dipimpin Letkol Slamet Rijadi mendapat tugas untuk menguasai daerah Kabupaten Boyolali, khususnya wilayah perbatasan Karesidenan Semarang dengan Karesidenan Surakarta yang tugas intinya untuk menghadapi pasukan Belanda yang sudah menduduki daerah Kopeng di luar Salatiga. Markas Batalyon II berada di
45
Desa Paras, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali (Julius Paur, 2008: 61). F. Agresi Militer Belanda II Di Boyolali Pada tanggal 21 Desember 1948 pasukan Belanda menyerang Kota Solo dari arah Barat melalui Kartosuro dan Pada tanggal 22 Desember 1948 pasukan Belanda berhasil menduduki Kota Solo yang sebelumnya telah dihambat TNI yang dibantu oleh Tentara Pelajar (Keluarga Besar SA/CSA, T.T.:102). Demikian juga dengan kesatuan Tentara Pelajar SA/CSA yang berkembang menjadi 1 Kompi yang terdiri dari 4 Seksi dipimpin secara resmi oleh Muktio. Sore hari pada tanggal 21 Desember 1948 diawali dengan bersiap-siap di Nusukan tepatnya di sekolah Madyotaman sebelah Selatan Stasiun Balapan dengan tujuan untuk melakukan penghadangan pasukan Belanda dari arah Kartosuro dan secara bersamaan pengambilan alih kepemimpinan atas kesepakatan bersama dari para anggota, pimpinan kesatuan Tentara Pelajar SA/CSA diserahkan kepada Hartono Cilik dengan dibantu oleh Haryono,Wasisto dan Robikan. Adanya pergantian Pimpinan karena Muktio pada waktu itu sedang berada di Kaliboto dan sebagian besar anggota Tentara Pelajar SA/CSA berada di Kota Solo. Dari usaha Tentara Pelajar SA/CSA melakukan penghadangan di Nusukan selama semalam tersebut, ternyata pasukan Belanda tidak kunjung datang. Setelah dipastikan pasukan Belanda tidak datang melewati Nusukan maka pasukan Tentara Pelajar SA/CSA yang dipimpin Hartono Cilik, paginya tanggal 22 Desember 1948 memutuskan untuk
46
meneruskan perjalanan ke luar kota Solo menuju Daerah Kalioso dengan kekuatan 1 Kompi. Setelah sampai di Kalioso pasukan bertemu dengan Letkol Slamet Riyadi. Setelah bertemu dan mendapat tugas dari Letkol Slamet Riyadi, pada tanggal 23 Desember 1948 pasukan Tentara Pelajar SA/CSA melanjutkan perjalanan ke Simo melewati daerah Klego dengan tujuan utama ke Bangak. Kompi SA/CSA ditugaskan untuk mengganggu konvoi pasukan Belanda dalam pengiriman logistik dari Salatiga di sepanjang jalan Tengaran sampai Bangak Boyolali (Keluarga Besar SA/CSA, T.T.:66-67). Daerah Bangak merupakan kawasan perkebunan tembakau yang berada di pinggir jalan raya Solo-Salatiga. Bangak merupakan lokasi rawan untuk jalur lalu lintas darat antara Solo-Salatiga, khususnya untuk konvoi Tentara Belanda. Selain jalannya yang berkelok dan menanjak, kendaraan yang akan melewati jalan tersebut harus memperlambat gerakannya. Daerah Bangak merupakan tempat yang disukai oleh para gerilyawan yang di maksud disini adalah TNI, Tentara Pelajar atau Masyarakat Pejuang untuk menghadang konvoi pasukan Belanda. Hal ini juga dinyatakan oleh Residen Surakarta yang bernama Link mengatakan secara terang-terangan mengakui bahwa di sepanjang jalan Solo-Salatiga bagi pihak Belanda tidak aman, berikut isi pernyataan dari Link: “Als de mensen zeggen dat de weg Solo-Salatiga veilig is, das hebben we wat anders te denken. Vooral Teras en omstreken”. (Kalau orang-orang berkata bahwa jalan Solo-Salatiga aman, kami berpendapat lain. Terlebih Teras dan sekitarnya)”(Julius Paur, 2008:154).
.
47
Setelah berjalan kaki sampai di Simo pasukan Tentara Pelajar SA/CSA dengan melihat kondisi geografis daerah Simo yang masih jauh dengan daerah Bangak, diputuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju daerah Sambi. Setelah sampai di Sambi dan pasukan Tentara Pelajar SA/CSA menumpang hidup bersama warga desa yang sebagian besar bekerja sebagai petani (Keluarga Besar SA/CSA, T.T.:103). Di Sambi pimpinan Kompi
SA/CSA yang terdiri dari Hartono Cilik, Haryono,
Wasisto dan Robikan mengadakan rapat. Karena Selama perjalanan dari Simo menuju Sambi, ada usulan-usulan dari para anggota Kompi SA/CSA yang mempunyai gagasan alternatif dalam menghambat iring-iringan pengiriman logistik pasukan Belanda. Pada waktu yang bersamaan selama beberapa hari di Sambi dengan melakukan rapat yang diadakan oleh pimpinan Kompi, datanglah seorang utusan Muktio yang bernama Mulyani untuk menyampaikan pesan bahwa pasukan Kompi SA/CSA diperintah untuk datang dan berkumpul ke Kaliboto untuk rapat, sehingga rapat yang baru saja diadakan akhirnya dibubarkan tanpa hasil. Namun setelah utusan dari Muktio selesai menyampaikan pesan, satu kelompok di dalam kompi SA/CSA yaitu Regu Badran tidak setuju untuk datang ke Kaliboto karena sudah jelas adanya tugas dari Letkol Slamet Riyadi dan mengingat sudah melakukan perjalanan gerilya sampai daerah Sambi. Sangat disayangkan apabila harus kembali lagi ke Solo untuk menuju ke Desa Kaliboto. Untuk meredam ego dari masing-masing anggota, melalu pimpinan diputuskan bahwa kelompok Badran bersama Hartono Cilik
48
tetap tinggal di Sambi untuk sementara waktu dan melaksanakan aksi percobaan penyerangan dengan Regu Badran di Pos Pasukan Belanda di Bangak dengan tujuan untuk mengukur kekuatan di pihak lawan. Dengan dipimpin Robikan, Haryono, dan Wasisto bersama utusan dari Muktio yang bernama Mulyani, pasukan Kompi SA/CSA lainnya berangkat ke Kaliboto dengan menempuh perjalanan dalam waktu semalam dan paginya sampai di tempat tujuan (Keluarga Besar SA/CSA, T.T.:67-68). Pasukan Tentara Pelajar SA/CSA dari Regu Badran dengan jumlah 20 orang, dari sebagian anggotanya sebanyak 7 orang yang masih bertahan dengan dipimpin Hartono Cilik berangkat dari Desa Sambi untuk melakukan aksi penyerangan ke desa sebelah Timur Bangak yang jaraknya sekitar 5 Km dari Sambi yang dipisahkan dengan Kali Pepe. Serangan diawali dengan mengganggu pos Pasukan Belanda di Bangak melewati kebun Tebu. Dua tembakan dari anggota yang bernama Lik Wukirman berhasil membuat 2 orang Tentara Belanda tersungkur dan terjadi perlawanan dari pihak Tentara Belanda. Setelah dirasa cukup dengan beberapa tembakan, pasukan mundur dari pos Belanda untuk kembali ke Sambi. Sehari Setelah melakukan penyerangan ke pos Tentara Belanda yang berada di Bangak, Hartono Cilik dengan regu Badran yang berjumlah 20 orang berangkat dari Sambi pada malam hari menuju kearah Timur untuk bergabung
bersama dengan teman-teman lainnya dari kesatuan
Tentara Pelajar SA/CSA yang sudah terlebih dahulu berada di Desa Kaliboto (Keluarga Besar SA/CSA, T.T.:104-105).
49
Setelah beberapa hari di Kaliboto Pasukan Tentara Pelajar SA/CSA yang dipimpin kembali oleh Muktio, melanjutkan perjalanan kembali ke Sambi dan berencana untuk melakukan gerilya di daerah Mojosongo Boyolali. Dengan berjalan kaki dari Kaliboto-Sambi selama 4 malam, Tentara Pelajar SA/CSA mendapat pengumuman lagi dari pimpinan Letkol Slamet Riyadi mengenai tugas untuk Kompi I SA/CSA di daerah Pager dan Tlatar. Tugasnya sama dengan yang digariskan oleh Letkol Slamet Riyadi pada waktu bertemu di Kaliyoso yaitu mengganggu jalannya konvoi Pasukan Belanda yang datang dari Salatiga menuju Solo atau sebaliknya (Keluarga Besar SA/CSA, T.T.:107). Dengan adanya tugas untuk Kompi I SA/CSA dari sebagian anggota dari Seksi II SA/CSA, Regu Wasisto berangkat dari Sambi menuju arah Boyolali Kota dengan menyusuri jalan besar yang jaraknya kurang lebih 2 KM dengan menyeberangi Kali Pepe. Dilanjutkan berjalan kurang lebih 200 meter, Pasukan Tentara Pelajar SA/CSA Seksi II Regu Wasisto sampai di Desa Metuk, Kecamatan Mojosongo untuk bermalam. Karena tidak membawa peta, pada pagi harinya Regu Wasisto diserang pasukan Belanda. Tidak ada perlawanan di pihak pasukan SA/CSA Seksi II Regu Wasisto. Pasukan melarikan diri dari kepungan pasukan Belanda menuju Gunung Ketangga. Di Gunung Ketangga Seksi II Regu Wasisto beristirahat selama satu hari sambil siap siaga untuk menghadapi kemungkinan yang akan terjadi. Setelah sehari di Gunung Ketangga pasukan SA/CSA Seksi II Regu Wasisto, sebagian diputuskan untuk tetap
50
tinggal di Gunung Ketangga dan sebagian lagi meneruskan perjalanan gerilya menuju daerah Mojosongo serta mulai mengadakan pencegatan di pagi hari. Namun, ketika pasukan berada di bagian Selatan pinggir jalan raya Solo-Salatiga secara kebetulan pasukan Belanda datang mendekat pada saat konvoi menuju Solo dari arah Boyolali kota dengan jarak hanya 50 meter. Karena pasukan SA/CSA Seksi II Regu Wasisto belum siap melakukan penyerangan, pasukan mengambil inisiatif untuk bersembunyi di semak-semak dipinggir jalan. Karena pasukan Belanda tidak mengetahui adanya pasukan SA/CSA Seksi II Regu Wasisto, maka pasukan Belanda tetap melanjutkan perjalanan ke Bangak (Keluarga Besar SA/CSA, T.T.:68-69). Sejak Pasukan Belanda dapat menguasai Solo, Pasukan Belanda sering berkonvoi di sepanjang jalan Solo-Salatiga untuk mengirim logistik. Pasukan Belanda mendirikan pos di sepanjang jalan antara Salatiga–Solo sampai di dalam kota Solo. Pos-pos Belanda di antaranya terletak di Tengaran, Ampel, Boyolali, Bangak, dan Solo. Pendirian pos-pos tersebut berguna untuk menjaga keamanan dalam pengiriman logistik konvoi Belanda yang datang dari arah Salatiga-Solo atau sebaliknya karena mendapat perlawanan dari Tentara Pelajar, TNI, maupun masyarakat pejuang baik dari sisi kanan dan kiri jalan di sepanjang jalur logistik Pasukan Belanda (Wawancara dengan Sidik Suwarno, 16 Januari 2014). Karena pasukan SA/CSA dari Seksi II Regu Wasisto pada aksi yang pertama mengalami kegagalan di daerah Mojosongo akibat
51
kurangnya persiapan, Seksi II Regu Wasisto mengadakan penghadangan yang kedua kalinya dengan di bantu masyarakat sekitar. Dengan cara memotong pohon lalu ditumbangkan di Tengah jalan raya Solo-Salatiga tepatnya di daerah antara Teras dan Mojosongo untuk menghadang konvoi Belanda. Adanya pohon yang menghalangi di Tengah jalan, pasukan Belanda berhenti dan menyingkirkannya ke tepi jalan. Dari kelengahan pasukan Belanda karena fokus perhatian tertuju untuk menyingkirkan pohon yang berada di tengah jalan tersebut, dengan kesempatan itu dimanfaatkan oleh pasukan SA/CSA Seksi II Regu Wasisto untuk menyerang dengan cara menembaki. Di tempat lain di daerah Boyolali Kota, Pasukan SA/CSA Seksi II Regu Suharno (Gandul) sebagian besar sedang menunggu patroli pasukan Belanda di daerah Singkil. Karena pasukan Belanda masih mencurigai daerah Metuk dan sekitarnya sebagai markas para Pasukan SA/CSA dari Seksi II Regu Wasisto, pasukan Belanda memutuskan untuk melakukan operasi kembali ke daerah Metuk. Pasukan Belanda melanjutkan operasinya ke Dukuh Tawangsari, Desa Dlingo (dekat Gunung Ketangga), Kecamatan Mojosongo untuk menyerang Regu Wasisto setelah mengetahui regu tersebut tidak berada di Desa Metuk. Setelah diberi info oleh masyarakat sekitar bahwa pasukan Belanda berjalan menuju ke Dukuh Tawangsari Pasukan Seksi II dari Regu Wasisto yang masih bertahan di Gunung Ketangga mengambil keputusan untuk melakukan aksi turun gunung yang bertujuan untuk menghadang gerak pasukan Belanda yang datang dari arah Desa Metuk.
52
Namun pasukan Tentara Pelajar SA/CSA Seksi II dari Regu Wasisto dalam aksi turun gunung tersebut sudah didahului dihadang pasukan Belanda dan akhirnya pasukan Seksi II Regu Wasisto terjebak di Dukuh Ngangkrang sehingga terjadilah pertempuran. Setelah pasukan SA/CSA seksi II pimpinan Suharno (Gandul) yang ada di Singkil mengetahui bahwa pasukan Belanda yang akan dihadang sudah berada di Desa Metuk untuk melakukan kembali operasi kepada Regu Wasisto, sehingga Regu Suharno yang berada di Singkil datang dari arah Barat memutuskan untuk bergabung dan membantu pasukan Tentara Pelajar SA/CSA Seksi II Regu Wasisto yang sudah terjebak di Dukuh Ngangkrang, Desa Dlingo, Kecamatan Mojosongo. Dalam pertempuran itu, Suharno pimpinan Pasukan SA/CSA Seksi II dari Regu Suharno terkena tembakan ditangannya. Akhirnya pimpinan Seksi II Regu Suharno digantikan oleh Mulyani, namun tidak disetujui oleh para anggota Regu Suharno. Sehingga kemudian pimpinan digantikan oleh anggota lain dari Seksi II Regu Suharno yaitu Sunardi (Kebo). Pergantian kepemimpinan juga dilakukan oleh Seksi I dari Kompi I SA/CSA yang berada di daerah Teras di bawah pimpinan Soeyono menggantikan Hartono Cilik dikarenakan Hartono Cilik pergi ke Jawa Barat (Keluarga Besar SA/CSA, T.T.:69). Setelah terjadinya pertempuran di daerah Metuk dan sekitarnya disertai dengan secara kebetulan terjadi pergantian komandan seksi-seksi di pasukan Kompi I SA/CSA, pasukan Kompi I SA/CSA mendapat tugas di wilayah Sub Wehkreise (SWK) yang dipimpin Mayor Supardi yang
53
meliputi wilayah Boyolali. Sedangkan daerah yang ditugaskan untuk pasukan SA/CSA Kompi I dibagi menjadi 3 Subsektor yaitu : a. Subsektor I meliputi daerah Banyudono-Teras yang dipimpin oleh Soeyono b.
Subsektor II meliputi daerah Teras-Boyolali yang dipimpin oleh Sunardi (Kebo)
c. Subsektor III daerah Boyolali-Tengaran dipimpin oleh Supomo. Markas Seksi II yang awalnya dari Metuk pindah ke Tlatar dan Seksi I dari daerah Teras Pindah ke Metuk (Keluarga Besar SA/CSA, T.T.:70). Desa Kebonbimo merupakan markas Tentara Pelajar SA/CSA dari Seksi II/Kompi I yang dipimpin oleh Sunardi (Kebo). Anggotanya tersebar di wilayah Desa Kebonbimo dan Ngargosari. Sedangkan Seksi I yang dipimpin oleh Soeyono para anggotanya tersebar di Desa Metuk, Dlingo dan Mudal. Kompi I SA/CSA yang dipimpin oleh Muktio bermarkas di Timur Desa Pager tepatnya di Dukuh Kentengsari, Desa Kener yang masuk wilayah dari Kabupaten Semarang (Panitia Peresmian Gedung SMA Tlatar-Boyolali, 1982:5). Selama Agresi Militer Belanda II tahun 1948-1949 masyarakat ikut berjuang dengan tidak memperdulikan jiwa raga maupun harta bendanya bersama Tentara Pelajar SA/CSA dengan umur rata-rata 14 sampai 18 tahun. Meskipun masih sangat muda situasi dan kondisi yang pada waktu itu memaksa untuk berfikir dewasa sebelum waktunya. Musuh Tentara Pelajar SA/CSA adalah Tentara Belanda yang
54
sudah professional dan mempunyai pengalaman dalam Perang Dunia II. Tentara Belanda dikenal dengan perilaku keji, kejam dan tidak segansegan untuk menembaki rakyat yang tidak bersalah, membakar rumah dan merampas harta benda. Apalagi daerah Tlatar dan sekitarnya yang sudah terkepung oleh markas Tentara Belanda yang berada di Kota Boyolali, Bangak, Simo dan Ampel (Ex Tentara Pelajar SA/CSA, 1994:2). Secara tidak resmi Dukuh Tlatar Desa Kebonbimo menjadi pusat tempat berkumpulnya Tentara Pelajar SA/CSA dari Kompi I yang meliputi Seksi I yang bermarkas di Desa Metuk, Seksi II di Desa Kebonbimo maupun pasukan Staf Kompi yang bermarkas di Dukuh Kentengsari Desa Kener (Timur Desa Pager). Dengan seringnya Dukuh Tlatar digunakan sebagai tempat berkumpul, sehingga pasukan Belanda mengira bahwa Tlatar adalah sebagai markas resmi dari Pasukan SA/CSA Kompi I pimpinan Muktio. Karena sebetulnya hanya dari Seksi II yang bemarkas di Dukuh Tlatar Desa Kebonbimo (Panitia Peresmian Gedung SMA Tlatar Boyolali, 1982:17). Selain ada kesatuan dari Tentara Pelajar SA/CSA yang bermarkas di Desa Kebonbimo, juga terdapat kesatuan-kesatuan lainnya seperti Kepolisian yang dipimpin oleh Bapak Heru Santoso (Panitia Peresmian Gedung SMA Tlatar Boyolali, 1982:5). Sedangkan untuk desa - desa disekitar Desa Kebonbimo, seperti: Desa Siwal, Pager, Udanuwuh dan Kradenan dijadikan tempat berpindah-pindah dari kesatuan Tentara Pelajar
55
SA/CSA maupun Kepolisian yang bermarkas di Desa Kebonbimo (Panitia Peresmian Gedung SMA Tlatar Boyolali, 1982:16). Herwin Soemarso (Gembur) dan teman-teman, dari Seksi II Kompi I mengatakan bahwa Staff Komando SA/CSA berada di Dukuh Kentengsari
Desa
Kener
dipimpin
oleh
Muktio.
Dimana
yang
menggabungkan ke Sektor Muktio adalah CPM Salatiga yang kurang lebih berjumlah 30 orang yang menjadi Seksi III SA/CSA dari Kompi I dengan ditambah beberapa orang yang turut ikut bergabung (Keluarga Besar SA/CSA T.T.:70). Selama masa Agresi militer Belanda II pasukan Tentara Pelajar SA/CSA yang berada di Desa Kebonbimo beserta Pager Desa yang dibentuk
oleh
pemerintah
Desa
Kebonbimo
sering
mengadakan
penghadangan iring-iringan pasukan Belanda yang datang dari di jalan raya arah Salatiga-Solo atau sebaliknya di Jembatan darurat Kenteng. Usaha yang dilakukan yaitu melakukan pembongkaran jembatan yang bagian-bagiannya masih terbuat dari kayu menggunakan peralatan seadanya. Cara ini telah diketahui pasukan Belanda karena seringnya Jembatan darurat Kenteng dirusak oleh warga sekitar termasuk Pager Desa Kebonbimo yang dipimpin Bayan Suroso. Pasukan Belanda mempunyai inisiatif untuk menjebak Pager Desa dengan cara bersembunyi terlebih dahulu di sekitar Jembatan darurat Kenteng (Wawancara dengan Henri Sugiman, 28 Januari 2014).
56
Sebelum sampai di Desa Ngargosari salah satu warga dari Dukuh Ngablak yang juga sebagai mata-mata sudah mengingatkan para pasukan Pager Desa dari kelompok Bayan Suroso untuk tidak melakukan aksi gerilya ke Jembatan darurat Kenteng karena ada Tentara Belanda, tetapi Pager Desa kelompok Bayan Suroso tidak percaya dan tetap melanjutkan perjalanan menuju Barat Desa Kebonbimo. Setelah sampai di Desa Ngargosari kembali untuk yang kedua kali diingatkan oleh warga bahwa Tentara Belanda sudah ada di sekitar Jembatan darurat Kenteng, namun kembali tidak dihiraukan oleh Pager Desa Kebonbimo pimpinan Bayan Suroso dan tetap melanjutkan perjalanan untuk mengadakan aksi gerilya dengan melakukan sabotase di Jembatan darurat Kenteng seperti biasanya dan pada akhirnya hingga terjebak oleh pasukan Belanda yang sebelumnya sudah bersembunyi di sekitar Jembatan darurat Kenteng (Wawancara dengan Karso Diharjo, 27 Januari 2014). Bayan Suroso tertembak hingga meninggal di tempat. Setelah melihat dari pimpinan Pager Desa Kebonbimo tertembak, Para anggota Pager Desa yang lainnya dari kelompok pimpinan Bayan Suroso, lari ke arah Timur menuju Desa Kebonbimo untuk menyelamatkan diri dari serangan pasukan Belanda karena kalah dalam persenjataan (Wawancara dengan Henri Sugiman, 5 Oktober 2013). Tentara Pelajar SA/CSA dari Seksi II yang dipimpin Sunardi (Kebo) bersama masyarakat sekitar, sering juga melakukan sabotase di Jembatan darurat Kenteng. Masyarakat yang memanggil Tentara Pelajar SA/CSA dengan nama Mase Tepe bahu
57
membahu membongkar Jembatan darurat Kenteng yang berada di jalan raya Ampel-Boyolali Kota hingga tidak dapat dilalui kendaraan pasukan Belanda. Dalam melakukan penghadangan konvoi Belanda yaitu dengan cara memasang Howitzer yang dijadikan ranjau darat (Keluarga Besar SA/CSA, T.T.: 70-71). Serangan operasi yang dilakukan pasukan Belanda di Desa Kebonbimo merupakan akibat diketahuinya pelaku pengrusakan Jembatan darurat Kenteng yang dilakukan setiap sore menjelang malam oleh Pager Desa Kebonbimo. Menurut Henri Sugiman, saat pemimpin Pager Desa tertembak oleh pasukan Belanda, Bayan Suroso membawa lampu “Senter” yang di dalamnya terdapat selembar kertas yang bertuliskan nama-nama anggota Pager Desa Kebonbimo yang kebanyakan beralamat di Dukuh Tlatar. Hal ini menyebabkan pasukan Belanda mencurigai bahwa di Desa Kebonbimo terutama Dukuh Tlatar merupakan sebagai pusat gerilyawan yang sering mengganggu konvoi Pasukan Belanda (Wawancara dengan Henri Sugiman, 5 Oktober 2013). Desa Kebonbimo menjadi incaran Tentara Belanda karena mengira bahwa markas Kompi I dari Tentara Pelajar SA/CSA berada di Dukuh Tlatar. Karena Desa Kebonbimo terletak paling belakang dibandingkan desa-desa yang ditempati selain dari Seksi II, karena yang lainnya berada di dekat dengan kota Boyolali. Dukuh Tlatar Desa Kebonbimo sering didatangi teman-teman dari Seksi I yang bermarkas di Desa Metuk, maupun pasukan eks Pesindo untuk mandi atau berenang karena ada mata
58
air yang jernih dan melimpah. Selama masa Agresi Militer Belanda II di Desa Kebonbimo diserang Belanda sebanyak 3 kali. Pada serangan yang pertama pasukan Belanda menghujani mortir dari luar Desa Kebonbimo. Serangan yang kedua Tentara Belanda berhasil dipukul mundur karena Tentara Pelajar SA/CSA sudah mengetahui dan bersiap ketika pasukan Belanda sudah sampai di pinggir Desa Kebonbimo. Serangan ketiga terjadi pada dini hari kurang lebih pukul 04.00 WIB (Keluarga Besar SA/CSA, T.T.:71-72). Untuk serangan yang ketiga kalinya, Tentara Belanda sudah masuk Desa Kebonbimo dan membangunkan Tentara Pelajar SA/CSA yang dikenal dengan “TNI Bangun”. Tepatnya pada hari Sabtu tanggal 14 Juli 1949 dini hari, pasukan Belanda menyerang dari Boyolali melewati Dukuh Karang Tengah, Kebonbimo, dan Gatak yang datang dari arah Desa Kiringan. Pada saat itu kebetulan Tentara Pelajar SA/CSA masih belum pulas tidurnya setelah pulang dari Boyolali untuk bergerilya. Begitu mendengar Belanda masuk di depan pintu rumah bagian luar yang ditinggali, Tentara Pelajar SA/CSA berhasil meloloskan diri melewati belakang dan berhenti di lapangan. Setelah pasukan Belanda mengetahui para Tentara Pelajar SA/CSA berhasil lolos melarikan diri ke arah Timur menuju Dukuh Tlatar melewati pintu belakang, sehingga pasukan Belanda mengejar Tentara Pelajar SA/CSA dari anggota Seksi II pimpinan Sunardi (Kebo) yang berada di Dukuh Kebonbimo dan Dukuh Gatak untuk bergabung dengan Tentara Pelajar SA/CSA yang berada di Tlatar. Dengan
59
terjadinya kejar-kejaran dari arah Barat Desa Kebonbimo, setelah sampai di lapangan Dukuh Tlatar terjadi insiden tembak menembak antara pasukan Belanda dengan Tentara Pelajar SA/CSA yang dibantu oleh masyarakat Tlatar dan sekitarnya (Panitia Peresmian Gedung SMA Tlatar Boyolali, 1982:17). Pada waktu terjadinya serangan Pasukan Belanda di Tlatar, yang berpusat dilapangan Dukuh Tlatar. Para Tentara Pelajar SA/CSA dengan masyarakat
sekitar
memberikan
perlawanan
disertai
dengan
menyelamatkan diri melalui jalan kearah Timur Dukuh Tlatar karena pada waktu itu pasukan Belanda menyerang dari berbagai arah, salah satu jalan untuk keluar dari kepungan pasukan Belanda hanya bisa melewati jalan arah Timur dari lapangan Dukuh Tlatar (Wawancara dengan Karso Diharjo, 18 Maret 2014). Dukuh Tlatar sudah terkepung rapat oleh Tentara Belanda. Hanya ada sedikit celah untuk menghindari kepungan dari Tentara Belanda yaitu menuju arah Timur yaitu ke arah Umbul. Kekuatan sama sekali tidak seimbang karena satu kompi pasukan komando Tentara Belanda berjumlah 120 orang, sedangkan melawan satu regu Tentara Pelajar SA/CSA yang hanya berjumlah 15 orang. Pasukan Belanda mengira bahwa dengan penyusupan mendadak ke tengah markas gerilya Tentara Pelajar SA/CSA banyak yang terbunuh dan ada yang menyerah diri untuk ditawan. Tetapi perkiraan dari Pasukan Belanda itu tidak tepat, malah sebaliknya dengan gigih berani Tentara Pelajar SA/CSA melawan meskipun kalah dalam persenjataan (Ex Tentara Pelajar SA/CSA,1994:4).
60
Dalam melarikan diri ke Timur dari lapangan Tlatar para Tentara Pelajar SA/CSA maupun masyarakat setelah sampai di Umbul lalu masuk sungai untuk menyeberang dengan cara berenang di Timur Dukuh Tlatar yaitu sungai Pepe (Kali Pepe) untuk mencari tempat yang aman dan akhirnya bersembunyi di kebun dan persawahan di sebelah Timur Dukuh Gombol (Wawancara dengan Karso Diharjo, 18 Maret 2014). Akibat dari kontak senjata dari kedua belah pihak, maka dari salah satu anggota Tentara Pelajar SA/CSA yang bernama Sugiman, tertembak di bagian betis. Pasukan Belanda tidak berhasil melumpuhkan dan menghabisi pasukan dari Tentara Pelajar SA/CSA Seksi II yang ada di Dukuh Tlatar. Hal ini membuat Tentara Belanda frustasi dan sebagai pelampiasan kegagalannya, Tentara Belanda menyerang dan membunuh siapa saja yang bertemu mereka di Dukuh Tlatar, Desa Kebonbimo. Akibat dari tembakan yang dilepaskan oleh pasukan Belanda di pihak masyarakat Kebonbimo khususnya warga Dukuh Tlatar mengakibatkan 7 orang menjadi korban. Rumah yang dicurigai pihak Belanda sebagai tempat persembunyian Tentara Pelajar SA/CSA dibakar, harta benda dirampok sampai kuda pun dibawa untuk mengangkut korban mereka sendiri dari pihak Tentara Belanda. Peristiwa ini dikalangan masyarakat Dukuh Tlatar dan sekitarnya dinamakan dengan “Perang Pruputan”. Selang beberapa minggu setelah peristiwa dari tanggal 14 Juli 1949, terjadi serangan dengan cara yang lebih besar di Markas Kompi I yang berada di Dukuh Kentengsari, Desa Kener dengan cara diserang dan dikepung dari berbagai arah oleh Tentara
61
Belanda yang diantaranya datang dari Simo dan Bangak. Akibat dari itu seorang penduduk dan seorang anggota dari pasukan pengawas staf gugur di Desa Udanuwuh (Panitia Peresmian Gedung SMA Tlatar Boyolali, 1982:17). Peristiwa yang pernah terjadi di Desa Kebonbimo dan sekitarnya terutama yaitu peristiwa di Jembatan darurat Kenteng dan Perang Pruputan, telah di gambarkan dalam bentuk ukiran di pintu kantor sekolah SMA N 2 Boyolali yang intinya melukiskan kepahlawanan masyarakat Kebonbimo dalam membongkar Jembatan darurat Kenteng yang dibuat Belanda maupun pada saat Perang Pruputan (Ex. Tentara Pelajar SA/CSA 1994:6). Ukiran mengenai gambaran peristiwa Jembatan darurat Kenteng dan Perang Pruputan yang pernah terjadi dan dialami oleh masyarakat di Desa Kebonbimo merupakan salah satu cara penanaman jiwa patriotisme dan nasionalisme kepada generasi muda melalui media Seni Ukir terutama bagi para peserta didik yang bersekolah di SMA N 2 Boyolali, karena peristiwa perjuangan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah suatu bangsa. G. Peran Masyarakat Kebonbimo Dalam Mendukung Perjuangan Tentara Pelajar SA/CSA 1. Bidang Perjuangan Fisik Pemerintahan
militer
mempunyai
tugas
utama
untuk
menghidupkan kantong-kantong gerilya sebagai pangkalan kekuatan pasukan sehingga akan timbul kerjasama antara masyarakat dengan
62
militer. Melalui adanya pemerintahan militer maka perjuangan dapat lebih terkoordinasi dan aksi-aksi gerilya dapat lebih ditingkatkan (Kemendikbud RI, 2011:403). Pemerintah militer pada masa perang gerilya melawan Pasukan Belanda dengan tersusun dari panglima Besar Angkatan Perang, Panglima Tentara, Gubernur Militer, Sub Teritorial Comando (STC), Komando Daerah Militer (KMD), Komando Onder Distrik Militer (KODM), Kader-kader Desa dan Kader-kader Dukuh (Moehkardi, 1983:181). Desa menempati posisi khusus sebagai pusat kekuatan penyusupan pertahanan, sehingga Peranan Kepala Desa atau Lurah sangat penting dan dibutuhkan. Kepala Desa adalah pemimpin yang ditaati oleh masyarakatnya diwilayah yang dipimpin dan secara tradisional kepala desa menguasai dan memahami aspirasi-aspirasi masyarakatnya. Karena Kepala desa mengetahui dan menguasai daerahnya, maka hal ini sangat diperlukan untuk melindungi dari pasukan gerilya (Kemendikbud RI, 2011: 403-404). Pada masa Agresi Militer Belanda II di Desa Kebonbimo dibentuk Pasukan Gerilya Desa (Pager Desa). Karena Desa Kebonbimo termasuk daerah yang maju dan aktif dibandingkan desa-desa disekitarnya dalam menghadapi Agresi Militer Belanda II, sehingga pemerintah Desa Kebonbimo membentuk pasukan gerilya desa (Pager Desa). Pager Desa bertugas sebagai
keamanan
desa atau memperluas
dan memperdalam
pertahanan keamanan ditingkat desa, kegiatan utama mengkoordinasi
63
kegiatan Siskamling (sistem keamanan lingkungan) atau ronda setiap malam di lingkungan di seluruh wilayah Desa Kebonbimo seperti Hansip atau Linmas pada masa sekarang (Wawancara dengan Karso Diharjo, 27 Januari 2014). Pemerintah Desa Kebonbimo membuat badan pertahanan desa yang berfungsi untuk keamanan didalam desa dan umumnya diperbantukan untuk tenaga cadangan pasukan tentara untuk mempertahankan Negara Republik Indonesia. Sistem perekrutan untuk menjadi anggota Pager Desa Kebonbimo ialah dengan cara memanfaatkan para pemuda disetiap dukuh di wilayah Desa Kebonbimo. Rata-rata setiap dukuh ada 2 orang pemuda yang ditunjuk menjadi anggota Pager Desa Kebonbimo, yang sebelumnya sudah diseleksi oleh petugas dari pemerintah Desa Kebonbimo. Namun, jika dalam satu dukuh terdapat banyak pemuda maka tidak menutup kemungkinan lebih dari 2 orang yang ditunjuk sebagai perwakilan. Bayan Suroso ditugaskan pemerintah Desa Kebonbimo untuk menunjuk pemuda-pemuda di setiap dukuh yang memenuhi kriteria persyaratan menjadi anggota Pager Desa seperti diutamakan yang mempunyai pengalaman dalam ilmu kemiliteran dan belum menikah contohnya: dapat baris berbaris, mampu dalam menggunakan senjata, dan mampu bekerja sama secara kelompok. Pager Desa Kebonbimo mempunyai anggota kurang lebih 30 orang (Wawancara dengan Karso Diharjo, 18 Maret 2014).
64
Setelah terbentuk dan disahkan oleh pemerintah militer tingkat Kecamatan dengan disaksikan oleh Kepala Desa, anggota Pager Desa Kebonbimo diberi pembekalan di Balai Desa tentang fungsi maupun tugas yang akan dilakukan beserta jadwal gerilya yang sudah dibagi dalam bentuk kelompok. Masing-masing kelompok yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Desa Kebonbimo memiliki tugas dan jadwal gerilya yang berbeda. Setiap malam, satu kelompok ditugaskan berjaga di kantor Balai Desa secara bergiliran sesuai jadwal yang sudah ditentukan. Pada masa Agresi Militer Belanda II selain sudah dibentuk Pager Desa, di Desa Kebonbimo juga terdapat kesatuan Tentara Pelajar SA/CSA, Pasukan eks Pesindo, dan ada juga dari Kepolisian (Wawancara dengan Tarjo Suwito, 18 Maret 2014). Setiap sore menjelang malam selama masa Agresi Militer Belanda II, Pager Desa Kebonbimo bergerilya di Barat desa tepatnya di Jembatan darurat Kenteng (jalan raya Ampel-Boyolali Kota). Pada malam hari dirusak oleh Pager Desa Kebonbimo dan siangnya diperbaiki oleh Pasukan Belanda. Hal tersebut terjadi setiap hari dilakukan berulang-ulang. Untuk lima kali awal sabotase Jembatan Kenteng para Pager Desa Kebonbimo masih aman, namun setelah yang selanjutnya tidak aman karena Belanda sudah mengetahui kegiatan yang dilakukan hingga akhirnya ada yang menjadi korban (Wawancara dengan Karso Diharjo, 18 Maret 2014). Dari kegiatan Pager Desa selama Agresi Militer Belanda II tersebut mengakibatkan 2
65
orang dari masyarakat Desa Kebonbimo tertembak oleh Pasukan Belanda sehingga meninggal dunia, salah satunya ialah pemimpin dari Pager Desa Kebonbimo yaitu Bayan Suroso yang meninggal langsung di tempat kejadian (Jembatan darurat Kenteng). Para anggota Pager Desa Kebonbimo kebanyakan merupakan bekas anggota Seinendan pada masa pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942-1945 (Wawancara dengan Tarjo Suwito, 27 Januari 2014). Barisan Seinendan dibentuk Jepang pada masa pendudukan di Indonesia,baik di Kota, Desa, maupun di pabrik, yang mana terbuka untuk para pemuda laki-laki Indonesia yang berusia antara 15 sampai 25 tahun untuk masuk menjadi anggota Seinendan dengan tujuan dapat bekerjasama dalam mendukung bala tentara Dai Nippon. Para pemuda diberi latihan dasar kemiliteran dan gerak badan, serta pengetahuan umum (Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, 1985:14). Di kalangan masyarakat Indonesia, masa pendudukan Jepang merupakan masa penjajahan yang sangat kejam dibanding dengan masa penjajahan Belanda. Dengan banyak sisi negativenya, masyarakat Indonesia perlu melihat bahwa kenyataannya masih ada sisi positif yang dapat diambil selama masa pendudukan Jepang di Indonesia. Sisi positifnya antara lain dengan cara menanamkan jiwa nasionalisme, seperti rasa cinta tanah air kepada para pemuda bangsa Indonesia yang pada akhirnya semangat inilah yang mendorong semangat para pemuda pejuang
66
Indonesia melawan para penjajah melalui pendidikan semi militer yang sangat berguna pada masa Agresi Militer Belanda II. Selain membentuk Pager Desa, Desa Kebonbimo juga mengaktifkan gerakan Siskamling di setiap dukuh yang lebih dikenal dengan sebutan “Ronda”. Selain untuk menjaga keamanan desa dan melakukan gerilya di luar wilayah desa seperti di Jembatan darurat Kenteng, Pager Desa Kebonbimo juga berkewajiban untuk berkeliling dukuh setiap malam untuk mengontrol di pos-pos ronda apakah sudah ada yang berjaga atau belum. Jika di salah satu pos yang dikontrol tidak ada yang berjaga, Pager Desa mendatangi rumah-rumah masyarakat yang mendapat giliran jaga, mereka diingatkan agar berkumpul dan melaksanakan Siskamling di Pos Ronda di setiap padukuhan. Pos Ronda disebut juga dengan Gardu (Gardu, dalam Bahasa Jawa) (Wawancara dengan Karso Diharjo, 18 Maret 2014). Menurut pengalaman Karso Diharjo, Kelurahan Kebonbimo terutama Dukuh Tlatar menjadi pusat para gerilyawan dari berbagai kesatuan. Selain adanya Pager Desa juga terdapat pasukan dari Tentara Pelajar SA/CSA, pasukan dari eks Pesindo yang bermarkas di rumah Wiryo Sukiman dan ada juga dari Kepolisian yang bermarkas di rumah Kami dan Mustawi, yang berada di Dukuh Tlatar. Sedangkan Tentara Pelajar SA/CSA selain bertempat di rumah Kepala Desa dan Carik, sebagian berada di rumah Yatman (putra dari Iman Ghozali). Khusus untuk pasukan dari kepolisian sering berpindah-pindah tempat untuk
67
dijadikan markas, bahkan sempat bermarkas di Desa Kradenan. Seringnya kesatuan Kepolisian pindah tempat karena di Dukuh Tlatar sudah banyak pasukan gerlyawan agar kekuatan gerilyawan merata tidak menumpuk di satu tempat saja. Menurut pengalaman Karso Diharjo, ia pernah membantu membawa alat-alat perang seperti amunisi ketika pasukan Kepolisian, dari Dukuh Tlatar pindah ke Desa Kradenan yang bertempat di rumah Yitno. Seperti di dukuh-dukuh lainnya di wilayah Desa Kebonbimo, Dukuh Tlatar juga mengadakan kegiatan Siskamling. Sistem pembagian jadwal jaga di pos Ronda di Dukuh Tlatar biasanya setiap malam ada 6 orang yang bertugas jaga. Pada masa itu pos ronda berada di depan rumah Amir (menantu dari Iman Ghozali). Jika dilihat sekarang tepatnya terdapat di sebelah Barat Balai Desa Kebonbimo (Wawancara dengan Karso Diharjo, 18 Maret 2014). Sebelum melakukan gerilya di Jembatan darurat Kenteng, Pager Desa Kebonbimo biasanya berkumpul terlebih dahulu di Barat Desa Kebonbimo. Pager Desa Kebonbimo juga membantu para Tentara Pelajar SA/CSA untuk membawa persenjataan misalnya Granat. Sedangkan Pager Desa sendiri membawa alat-alat sederhana seperti Bambu runcing dan Pentungan, masyarakat Kebonbimo terutama dikalangan anggota Pager Desa dikenal dengan nama “Gembel”. Bentuk Gembel seperti tongkat pemukul dengan panjang kurang lebih antara 50-70 cm yang terbuat dari kayu. Senjata
68
sederhana ini berukuran kecil dan mudah diayun dengan menggunakan satu tangan. Menurut Tarjo Suwito, alat pentungan ini kebanyakan masyarakat dalam membuat Gembel menggunakan kayu ”Galih Asem” yang dianggap mempunyai kekuatan magis. Adapun kegunakan dari alat yang dinamakan Gembel yaitu untuk memukul papan kayu dari bagian Jembatan darurat Kenteng, selain itu juga berguna untuk memutus kabel-kabel Listrik maupun Telpon yang berada di sepanjang jalan Ampel-Boyolali Kota dengan cara diayun (Wawancara dengan Tarjo Suwito, 18 Maret 2014). Dengan alat-alat yang sederhana dan pengawalan dari pasukan Tentara Pelajar SA/CSA yang dipimpin Sunardi (Kebo) dengan masyarakat Desa Kebonbimo dan sekitarnya berhasil membongkar Jembatan darurat yang dibuat Belanda di Kenteng dalam satu malam, sehingga jalur logistik Belanda terhenti sampai dapat diperbaiki lagi. Pembongkaran atau pengrusakan Jembatan darurat Kenteng diulangi lagi untuk beberapa kali tetapi gagal dan menelan korban dua orang penduduk Dukuh Tlatar gugur (Panitia Peresmian Gedung SMA Tlatar Boyolali, 1982:18). Pada saat itu bagian dari Jembatan daruratKenteng masih terbuat dari kayu. Dari hasil pembongkaran Jembatan darurat Kenteng yang dilakukan Pager Desa Kebonbimo, ada kayu yang dimanfaatkan untuk membuat pintu rumah Kepala Desa Kebonbimo seperti yang diceritakan oleh Haryono, dimana rumah yang sekarang ditinggali ialah rumah peninggalan dari orang tuanya bernama Citro
69
Budoyo. Pintu yang ada di rumahnya, salah satunya terbuat dari papan kayu yang diambil oleh para Pager Desa Kebonbimo pada saat bergerilya di Jembatan darurat Kenteng. Haryono merupakan putra kelima dari Citro Budoyo (Wawancara dengan Haryono, 3 Februari 2014). Pusat
perlindungan
para
gerilyawan
dari
Pager
Desa
Kebonbimo maupun Tentara Pelajar SA/CSA berada di Dukuh Tlatar bertempat di rumah lurah Citro Budoyo. Dari Tentara Pelajar SA/CSA salah satunya Sri Mulyono Herlambang selama bergerilya di Kebonbimo pernah bertempat di rumah Citro Budoyo di Dukuh Tlatar. Ada juga yang bernama Mashuri yang pada waktu perang gerilya setelah bertugas dari Magelang karena dalam perjalanan kembali ke Solo sudah larut malam, pernah bermalam di rumah Citro Budoyo di Tlatar (Wawancara dengan Haryono, 3 Februari 2014). Selain bergerilya di Jembatan darurat
Kenteng untuk
menghambat konvoi Belanda dari arah Salatiga maupun arah Solo, Pager Desa Kebonbimo juga memutus kabel telepon maupun listrik disekitar Desa Kebonbimo terutama di sepanjang jalan AmpelBoyolali Kota. Kabel telepon dan listrik yang diputus dibawa ke Desa Kebonbimo dan disembunyikan di rumah Joyo Suwito. Supaya dalam menyembunyikan kabel-kabel telepon dan listrik agar tidak diketahui oleh Belanda, masyarakat menutupi dengan tumpukan kedelai. Karena pada waktu itu secara kebetulan pemilik rumah (Joyo Suwito) sedang
70
panen Kedelai.Tujuan dari pemutusan kabel telepon dan listrik ialah supaya tidak dapat berhubungan atau berkomunikasi dengan sesama Tentara Belanda (Wawancara dengan Henri Sugiman, 5 Oktober 2013). Peranan masyarakat yang cukup besar menunjukkan adanya inisiatif dari masyarakat dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini berarti dukungan masyarakat baik dari segi moril maupun material (kebutuhan primer/pokok, seperti: pangan dan perlindungan) sangat membantu dalam perjuangan para Tentara Pelajar SA/CSA dalam menghadapi Pasukan Belanda pada masa Agresi Militer Belanda II di daerah Boyolali khususnya di Desa Kebonbimo dan sekitarnya yang berdekatan dengan jalan raya SoloSalatiga. Di Kebonbimo dalam satu kelurahan kurang lebih terdapat 50 Tentara Pelajar SA/CSA. Dalam setiap bergerilya melawan Belanda, 1 senjata digunakan untuk 5 orang dan sebagian lainnya jika ada, membawa granat. Senjata yang dimiliki Tentara Pelajar SA/CSA diperoleh dari pemerintah, tetapi paling banyak mendapatkan persenjataan dari hasil menjarah atau mencuri dari Pasukan Belanda (Wawancara dengan Henri Sugiman, 5 Oktober 2013). Wanita di Kebonbimo juga ikut membantu dalam hal menyembunyikan senjata berupa Pistol dan Granat milik Tentara Pelajar SA/CSA. Mereka menyembunyikannya di tumpukan pupuk di tempat kandang hewan
71
peliharaan masyarakat tujuannya agar tidak di rampas oleh Pasukan Belanda, seperti pada waktu terjadinya Perang Pruputan pada hari Sabtu Pahing, 14 Juli 1949 yang berpusat di Dukuh Tlatar Desa Kebonbimo. Akibat adanya serangan mendadak yang dilakukan Pasukan Belanda dari arah Barat Desa Kebonbimo. Tentara Pelajar SA/CSA yang berada di Dukuh Kebonbimo dan Dukuh Gatak, karena fokus untuk menyelamatkan diri maka banyak senjata yang tertinggal di dalam rumah warga yang ditempati oleh Tentara Pelajar SA/CSA (Wawancara dengan Slamet, 13 Oktober 2013). Dalam Perang Pruputan ada 7 korban meninggal, dan 4 diantaranya yakni: Mukimin, Ramlan, Siyo dan Wiryo. Semua korban meninggal dari masyarakat merupakan warga Dukuh Tlatar (Wawancara dengan Henri Sugiman, 28 Januari 2014). Pasukan Belanda yang sering berpatroli di Desa Kebonbimo dikenal masyarakat dengan sebutan dalam Bahasa Jawa dengan nama “Jungsat” (patroli). Menurut Henri Sugiman, disebut Jungsat: karena setiap Pasukan Belanda yang akan melakukan gerakan operasi gerilyawan (masyarakat pejuang, tentara resmi RI, tentara TP) dengan cara patroli ke desa-desa, di ujung jalan sebelum masuk desa yang dituju biasanya Pasukan Belanda mengawali dengan melakukan tembakan peringatan ke udara. Dengan adanya patroli yang dilakukan pasukan Belanda ke desa-desa, sehingga membuat masyarakat menjadi ketakutan
setelah
mendengar
tembakan
peringatan
yang
72
mengakibatkan situasi desa menjadi kacau karena masyarakat berlarian menyelamatkan diri ke daerah yang aman. Biasanya jika ada patroli pasukan Belanda, masyarakat Desa Kebonbimo mengungsi kearah Utara wilayah Kabupaten Semarang seperti: Desa Pager bagian Utara, Siwal dan sekitarnya bahkan sampai Desa Kradenan. Apabila Pasukan Belanda sudah keluar dari Desa Kebonbimo, masyarakat kembali lagi ke Desa Kebonbimo setelah ada warga “Cenguk” atau mata-mata yang memberi kabar untuk memastikan atau menjamin bahwa desa sudah aman. Pasukan Belanda ini yang sering melakukan patroli, beranggotakan 2 sampai 3 orang Belanda asli, sedangkan yang lain adalah orang-orang pribumi atau Indonesia yang masuk menjadi Tentara Belanda. Pasukan Belanda memasukkan para tawanan untuk dimanfaatkan sebagai prajurit (Wawancara dengan Henri Sugiman, 5 Oktober 2013). Maka tidak mengherankan jika sistem patroli pasukan Belanda dilakukan secara mendadak karena sudah mengetahui daerah atau lokasi, dengan cara memanfaatkan orang-orang Indonesia yang menjadi anggota Tentara Belanda maupun tawanan mereka. 2. Bidang Logistik Masyarakat desa terutama suku Jawa dikenal dengan memiliki kesadaran solidaritas yang sangat tinggi. Salah satunya yaitu adanya sistem saling tolong menolong dengan tanpa mengharapkan imbalan seperti Gotong Royong dalam Bahasa Jawa diistilahkan “sambat sinambat“ atau “sambatan” Dengan sifat yang demikian sangat
73
diperlukan dalam mendukung perjuangan selama masa perang kemerdekaan. Hal ini membuktikan bahwa peranan masyarakat desa cukup besar selama Agresi Militer Belanda II. Masyarakat banyak membantu kesulitan-kesulitan yang dialami pasukan-pasukan gerilya yang berjuang di garis pertempuran. Dengan demikian masyarakat telah memainkan peranan penting dalam membantu perjuangan melawan Belanda (Chusnul Hajati, 1997:49). Dukungan masyarakat yang sangat besar dengan ditambah keinginan yang kuat di kalangan masyarakat. Perang melawan Belanda adalah perang melawan penjajahan,
perang
untuk
mempertahankan
kemerdekaan
dan
kedaulatan bangsa. Masyarakat ikhlas berkorban baik dengan harta benda maupun jiwanya yang menjadikan sebagai sumber kekuatan Republik Indonesia dalam berperang menghadapi Agresi Militer Belanda II (Moehkardi 1983:177). Dalam sambutan dari sesepuh (orang yang dituakan) Eks Tentara Pelajar SA/CSA pada peresmian gedung SMA Tlatar Boyolali di Dukuh Tlatar mengatakan bahwa betapa besar bantuan serta dukungan masyarakat Tlatar dan sekitarnya kepada Tentara Pelajar SA/CSA para pejuang gerilya. Semua itu diberikan dengan secara tulus ikhlas tanpa mengharapkan imbalan dengan dibuktikannya para Tentara Pelajar SA/CSA sudah dianggap sebagai keluarga sendiri, rumah dibukakan untuk berlindung dari ancaman Tentara Belanda dan makanan yang sudah pas-pasan disisihkan untuk Tentara Pelajar
74
SA/CSA tanpa menghitung apa dan berapa yang sudah diberikan dengan tulus ikhlas (Panitia Peresmian Gedung SMA Tlatar-Boyolali, 1982:7). Pada masa Agresi Militer Belanda II, Desa Kebonbimo menjadi salah satu daerah yang dijadikan markas Tentara Pelajar SA/CSA. Untuk makan dan tempat tinggal dibantu oleh masyarakat Desa Kebonbimo. Masyarakat bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan bagi Tentara Pelajar SA/CSA terutama dalam hal makan dan tempat tinggal. Dari pemerintah Desa Kebonbimo, selain Kepala Desa dan Perangkat Desa juga sudah menunjuk dan membagi kepada warga masyarakat yang dianggap mampu untuk bertanggung jawab kepada Tentara Pelajar SA/CSA. Di Desa Kebonbimo hanya 3 Dukuh yakni: Tlatar, Gatak, dan Kebonbimo yang terlihat secara kebetulan masyarakatnya dianggap mampu untuk bertanggung jawab kepada Tentara Pelajar SA/CSA sehingga tidak membebankan kepada rakyat yang tidak mampu. Ada 5 keluarga di setiap dukuh yang ditunjuk Kepala Desa Kebonbimo yaitu Citro Budoyo, diutamakan yang berketempatan untuk bertanggung jawab memberi makan dan menyediakan tempat tinggal. Kepala Desa bertanggung jawab untuk 10 Tentara Pelajar SA/CSA, Perangkat Desa bertanggung jawab untuk 5 Tentara Pelajar SA/CSA, sedangkan untuk masyarakat biasa maupun Modin (tokoh agama) bertanggung jawab untuk 2 sampai 3 orang Tentara Pelajar SA/CSA (Wawancara dengan Henri Sugiman 5
75
Oktober 2013). Pada masa Agresi Militer Belanda II di Desa Kebonbimo terutama Dukuh Tlatar selain dijadikan markas dari kesatuan Tentara Pelajar SA/CSA juga kedatangan dari kesatuan lainnya seperti eks Pesindo dan Kepolisian yang mana juga diperlakukan sama dengan Tentara Pelajar SA/CSA dalam hal perlindungan, tempat tinggal maupun Logistik seperti kebutuhan makan (Wawancara dengan Karso Diharjo, 18 Maret 2014). Di Dukuh Tlatar yang diberikan tanggung jawab untuk memberi makan dan tempat untuk perlindungan maupun beristirahat Tentara Pelajar SA/CSA diantaranya yaitu rumah Kepala Desa Kebonbimo (Citro Budoyo), Carik Mangun Suyoto, Yatman (putra Iman Ghozali) (Wawancara dengan Karso Diharjo, 27 Januari 2014). Sedangkan untuk kesatuan eks Pesindo dan Kepolisian yang bertanggung jawab yaitu Kami dan Mustawi (orang tua Karso Diharjo) (Wawancara dengan Karso Diharjo, 18 Maret 2014). Masyarakat yang tidak ditunjuk bertanggung jawab untuk para Tentara Pelajar SA/CSA maupun para gerilyawan lainnya, apabila ada yang ingin membantu sesuai kemampuan berupa bahan makanan dari hasil kebun, mereka berinisiatif dengan sukarela datang sendiri ke rumah Kepala Desa yang pada waktu itu berfungsi juga sebagai kantor Balai Desa (Wawancara dengan Karso Diharjo, 27 Januari 2014). Sedangkan di Dukuh Gatak, para Tentara Pelajar SA/CSA bertempat di rumah Towirjo, Karto Pawiro, Wiryo Tinoyo, Joyo
76
Suwito, dan Iman Subari. Tentara Pelajar SA/CSA yang bertempat di rumah Karto Pawiro (orang tua Henri Sugiman) bernama Sudomo dan Noli sedangkan yang ada di Dukuh Tlatar, empat diantaranya bernama Bawono, Gembur, Sunardi dan Sri Mulyono Herlambang (Wawancara dengan Henri Sugiman, 28 Januari 2014). Di Dukuh Kebonbimo yang ditunjuk Lurah Citro Budoyo untuk dijadikan tempat perlidungan dan istirahat maupun bertanggung jawab memberi makan, 3 diantaranya di rumah Cokrorejo (orang tua Tarjo Suwito), Kromorejo dan Kartorejo. Dalam hal memberikan kebutuhan makan untuk Tentara Pelajar SA/CSA, masyarakat Desa Kebonbimo memanfaatkan hasil kebun untuk dibuat sayur seperti daun bayam, daun singkong, daun pepaya. Selain itu juga ada Jagung sebagai pengganti Beras, jika persediaan Beras habis. Para Pager Desa Kebonbimo sering berkumpul di Dukuh Tlatar di tempat Kepala Desa. Sebelum melakukan gerilya ke Jembatan darurat Kenteng maupun keliling di dalam Desa Kebonbimo untuk berjaga-jaga, jika Belanda datang dapat diketahui (Wawancara dengan Tarjo Suwito, 27 Januari 2014). Pada masa perang gerilya Tentara Pelajar SA/CSA yang tidak ada kegiatan melakukan gerilya mereka membantu masyarakat terutama kepada keluarga yang ditempati selama perang gerilya dengan mencangkul di sawah maupun kebun, karena mata pencaharian masyarakat Desa Kebonbimo sebagian besar sebagai Petani (Wawancara dengan Henri Sugiman, 5 Oktober 2013).
77
Tugas dari para wanita pada masa Agresi Militer Belanda II yaitu memasak atau menyediakan makan untuk keluarga dan Tentara Pelajar SA/CSA. Tentara Pelajar SA/CSA tidak dibedakan dengan keluarga yang ditinggali dan sudah dianggap menjadi keluarga sendiri. Semuanya membaur dan menyatu saling membantu (Wawancara dengan Slamet, 13 Oktober 2013). Peran wanita pada masa perang gerilya selain memasak seperti yang dilakukan oleh kakak pertama dari Haryono yang bernama Sri Harti, juga menerima setiap bantuan dari masyarakat yang tidak bertanggung jawab ditempati para Tentara Pelajar SA/CSA sebagai wakil dari pemerintah Desa Kebonbimo. Bagi yang ingin membantu, masyarakat datang sendiri ke rumah Citro Budoyo. Sri Harti sering berkeliling dukuh untuk mengurus mengumpulkan bantuan bahan makanan dari masyarakat seperti: Beras, Jagung, Singkong, Ketela, kedelai, Kelapa maupun sayursayuran hasil kebun seperti daun Pepaya, buah Pepaya muda, daun Bayam, Bambu muda dan daun Singkong dari warga masyarakat Kebonbimo yang dikumpulkan di rumahnya. Karena pada waktu itu rumahnya menjadi pusat para gerilyawan yaitu Tentara Pelajar SA/CSA, eks Pesindo, Kepolisian maupun Pager Desa Kebonbimo dalam sistem membantu pengumpulan bahan pangan ada masyarakat yang datang sendiri dan ada juga lewat sistem didatangi tiap rumahrumah. Sehingga dulu rumah dari Kepala Desa selain berfungsi sebagai pusat berkumpulnya para gerilyawan juga sebagai dapur
78
umum Desa Kebonbimo. Meskipun sudah dibagi-bagi oleh pemerintah Desa Kebonbimo dalam mengurus untuk bertanggung jawab kepada Tentara Pelajar SA/CSA maupun gerilyawan yang lain, tetapi pemerintah desa tetap mendirikan dapur umum (Wawancara dengan Haryono, 3 Februari 2014). Masa Agresi Militer Belanda II masyarakat Desa Kebonbimo sebagian besar bermata pencaharian sebagai Petani, kebijakan dari pemerintah Desa Kebonbimo setelah adanya siasat bumihangus pada tahun 1948, untuk membagikan tanah bekas perkebunan Serat nanas milik Belanda, yang pernah dikuasai pemerintah militer jepang pada tahun 1942-1945. Tanah perkebunan serat tersebut masyarakat Desa Kebonbimo lebih mengenal dengan tanah DC. Dengan kebijakan pemerintah Desa Kebonbimo untuk membagi tanah DC kepada masyarakat Desa Kebonbimo yang pada waktu itu disesuaikan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masing-masing kepala keluarga sudah tepat karena setelah diserahkan kepada masyarakat, perkebunan tersebut
menjadi
penopang
peningkatan
pendapatan
ekonomi
masyarakat selain itu juga pada masa perang gerilya dari hasil perkebunan masyarakat dapat membantu sebagai persediaan bahan pangan bagi para gerilyawan, salah satunya Jagung yang berguna sebagai pengganti Beras, apabila persediaan Beras sudah habis.
79
3. Bidang Komunikasi Perang gerilya Tentara Pelajar SA/CSA berhasil karena dukungan penuh dari rakyat yang berjuang tanpa pamrih, tanpa imbalan uang, malah seringkali mengalami resiko balas dendam dari Tentara Belanda berupa penyiksaan, pembakaran rumah-rumah desa serta perampasan harta benda mereka. Dalam bidang komunikasi peranan masyarakat Desa Kebonbimo sangatlah penting, salah satunya ialah menjadi mata-mata untuk para Tentara Pelajar SA/CSA atau “Cenguk”. Masyarakat Desa Kebonbimo ada yang yang bertugas menjadi mata-mata dengan cara memanjat pohon tinggi dan mengamati dari atas pohon. Tujuannya agar jika ada patroli Belanda yang akan masuk Desa Kebonbimo dapat diketahui dan segera memberitahu kepada masyarakat maupun Tentara Pelajar SA/CSA dengan cara memberi kode berupa suara atau memanfaatkan bambu dengan cara meletakkan potongan di samping pohon. Jika masih berdiri berarti tidak ada pasukan Belanda yang datang, sedangkan jika potongan bambu dijatuhkan atau dirobohkan pertanda pasukan Belanda datang. Peran Pager Desa Kebonbimo sangat penting. Mereka membantu dalam bidang tenaga seperti memasang ranjau bom atau trekbom, membongkar jembatan, pemotong kabel-kabel telfon, penunjuk jalan pada saat gerilya, dan sebagai pengantar Tentara Pelajar SA/CSA yang sakit ke rumah sakit (Wawancara dengan Henri Sugiman, 5 Oktober 2013).
80
Sebelum melakukan beberapa aksi gerilya di wilayah Desa Kebonbimo maupun diluar Desa Kebonbimo, Pager Desa sepakat untuk menggunakan kode khusus seperti tiruan suara binatang demi keamanan dari anggota Pager Desa Kebonbimo itu sendiri. Setiap kelompok Pager Desa memiliki kode yang berbeda dan hanya berlaku semalam saja, misalnya kelompok Pager Desa dari Tarjo Suwito sepakat menggunakan kode suara Kucing. Caranya yaitu apabila salah satu anggota dari kelompok berbicara menirukan suara kucing, yang benar adalah menjawab dengan suara hewan selain Kucing. Jika sandi itu menjawabnya sama maka dianggap musuh jadi perlu konsentrasi pada saat bergerilya (Wawancara dengan Tarjo Suwito, 18 Maret 2014). Masyarakat merupakan bagian yang mengetahui keadaan situasi kondisi tempat dan geografis desa. Seperti tokoh agama (dalam bahasa Jawa disebut Modin) di Dukuh Tlatar seperti Iman Gozhali, belum begitu sangat berperan secara maksimal untuk mempengaruhi masyarakat di lingkup desa hanya baru bisa berperan dalam membantu logistik dan perlindungan masih sama dengan masyarakat pada umumnya.
Sebagai
tokoh
Agama
media
yang
bisa
untuk
dimaksimalkan seperti melalui media dakwah di Langgar atau Mushola karena pada masa Agresi Militer Belanda II, masyarakat di Desa Kebonbimo masih bersifat “Abangan” (beragama Islam tetapi tidak menjalankan ibadah sesuai kewajiban syariat Islam). Berbeda
81
dengan Desa Pager yang sejak dulu sampai sekarang masyarakatnya dikenal sangat religius dalam menjalankan kehidupan beragama Islam yang taat sehingga sangat mudah jika tokoh agama berperan secara maksimal dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Mata-mata untuk Belanda, dalam masyarakat dikenal dengan istilah “lurahe Londo”. Di Kebonbimo sering kedatangan mata-mata dari pihak Belanda yaitu warga dari Desa Kiringan, Kecamatan Boyolali yang bernama Kardimun. Karso Diharjo mengatakan bahwa mata-mata tersebut bertugas mencari informasi di Desa Kebonbimo untuk melaporkan ke pihak Belanda di Tangsi Boyolali Kota yaitu kegiatan apa saja yang akan dilakukan atau gerakgerik para Tentara Pelajar SA/CSA maupun masyarakat pejuang yang berada di Desa Kebonbimo (Wawancara dengan Karso Diharjo, 27 Januari 2014). Sedangkan mata-mata dari Desa Kebonbimo untuk para gerilyawan bernama Singo yang merupakan warga Dukuh Ngablak (Wawancara dengan Karso Diharjo, 18 Maret 2014). Jika Tentara Belanda tidak berhasil menangkap masyarakat pejuang maupun Tentara Pelajar SA/CSA pada saat melakukan patroli di Desa Kebonbimo,
mereka
melakukan
penjarahan
hewan
peliharaan
masyarakat seperti diantaranya Kuda, Sapi, Kerbau dan Kambing. Hal ini dilakukan oleh Belanda untuk bahan makanan di pos-pos atau
82
Tangsi Belanda di Boyolali Kota (Wawancara dengan Tarjo Suwito, 27 Januari 2014). 4. Bidang Kesehatan Untuk menjaga kesehatan pada masa Agresi Militer Belanda II, masyarakat seringkali membuat ramuan sendiri untuk mengobati penyakitnya dengan cara tradisional. Mereka menggunakan daundaunan yang mereka temukan meskipun pengetahuan mengenai obatobatan sangat terbatas, hanya sebatas pertolongan pertama. Untuk mengobati diare masyarakat menggunakan daun Jambu biji. Penyakit yang sering menyerang para Tentara Pelajar SA/CSA adalah gatal dan banyak kutu-kutu,
untuk
mengobati
gatal-gatal seperti
kudis
menggunakan Belerang (“Lirang” dalam Bahasa Jawa), dengan cara Belerang ditumbuk lalu dicampurkan dengan air dibuat untuk mandi karena pada waktu
itu para Tentara Pelajar SA/CSA pakaiannya
terbatas (Wawancara dengan Karso Diharjo, 18 Maret 2014). Sedangkan untuk menghilangkan kutu-kutu yang menempel di pakaian para Tentara Pelajar SA/CSA salah satu caranya dicuci di sungai atau umbul. Kebanyakan dari masyarakat Kebonbimo berasal dari golongan menengah ke bawah sehingga tidak mampu membeli obat-obatan. Yang paling diutamakan adalah makan sedangkan untuk kesehatan diobati dengan seadanya yaitu melalui pengobatan tradisional (Wawancara dengan Henri Sugiman, 5 Oktober 2013). Kegiatan Tentara Pelajar SA/CSA jika tidak ada tugas untuk menghadang
83
konvoi iring-iringan Tentara Belanda yang akan ke arah Solo maupun yang sebaliknya pada saat patroli ialah berkumpul di Umbul Tlatar untuk mandi atau berenang sekaligus mencuci pakaian dan sambil mencari kutu baju karena pakaian Tentara Pelajar SA/CSA hanya melekat di badan saja atau dalam Bahasa Jawa disebut dengan “Tok Mbiji” yang artinya celana satu baju satu (Panitia Peresmian Gedung SMA Tlatar-Boyolali, 1982:17). Pada masa Agresi Militer Belanda II masyarakat Kebonbimo masih mempercayai hal-hal yang Irasional (tidak masuk akal) seperti dalam pengobatan
tradisional. Misalnya jika terkena masuk angin
disertai badan panas tinggi dan pusing, mereka memanfaatkan daun Awar-awar dengan cara orang yang sakit terlebih dahulu ditutup dengan kain jarik, setelah itu digepyok (dipukul-pukulkan) dengan daun tersebut ke badan. Tujuannya orang yang sakit tadi terkejut sehingga bisa sembuh, akibat dari efek terkejut tersebut. Untuk sakit panas biasa, masyarakat dianjurkan mandi di Kali Tlatar yang terletak di selatan Dukuh Tlatar. Masyarakat Dukuh Tlatar dan sekitarnya percaya adanya penunggu kali yang dikenal masyarakat dengan nama Mbah Crobo. Setelah mandi di kali Tlatar menurut Karso Diharjo, kebanyakan masyarakat bisa sembuh (Wawancara dengan Karso Diharjo, 18 Maret 2014). Masyarakat Desa Kebonbimo dengan sukarela menyediakan jasa-jasa untuk pendukung peperangan. Misalnya selain penyedia
84
makanan, masyarakat Desa Kebonbimo juga membantu Tentara Pelajar SA/CSA yang sakit dan terluka yang bersifat pertolongan pertama sesuai dengan kemampuan. Jika ada Tentara Pelajar SA/CSA atau masyarakat yang terluka parah, masyarakat membawanya ke Rumah Sakit di daerah Simo yang dianggap paling aman, karena pada masa Agresi Militer Belanda II rumah sakit di daerah Boyolali belum banyak seperti masa sekarang dan jika ada rumah sakit, tenaga dokter, perawat atau mantri kesehatan maupun obat-obatan masih sangat terbatas.
Secara
kebetulan
banyak
dipihak
masyarakat
Desa
Kebonbimo khususnya warga Dukuh Tlatar yang menjadi Korban, terutama pada saat terjadinya Perang Pruputan (Wawancara dengan Henri Sugiman, 5 Oktober 2013). Pada masa gerilya di daerah Kebonbimo dan sekitarnya para Tentara Pelajar SA/CSA khususnya yang bermarkas di Desa Kebonbimo hanya sedikit yang kena luka dan tidak ada korban meninggal. Sedangkan Korban meninggal kebanyakan dari masyarakat Desa Kebonbimo, salah satunya yaitu Bayan Suroso yang menjadi ketua kelompok Pager Desa yang menyerang Jembatan darurat Kenteng (Wawancara dengan Tarjo Suwito, 27 Januari 2014). Selain Bayan Suroso yang menjadi korban meninggal dalam peristiwa di Jembatan darurat Kenteng yang bernama Panut.
Panut yang juga
merupakan warga Dukuh Tlatar tidak meninggal di Jembatan darurat Kenteng melainkan meninggal di rumah sakit di Simo, karena
85
pendarahan di bagian perut terkena tembakan dari Tentara Belanda. Sehingga dalam peristiwa di Jembatan darurat Kenteng ada 2 korban meninggal (Wawancara dengan Karso Diharjo, 18 Maret 2014).
86