BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian 4.1.1 Gambaran Umum Desa Giring Desa Giring merupakan sebuah desa yang terletak di kecamatan Paliyan, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ki Ageng Giring (mengacu pada Ki Ageng Giring III) adalah seorang keturunan Prabu Wijaya IV dari Retna Mundri, yang hidup dan menetap pada abad XVI di Desa Sodo Giring, Kecamatan Paliyan. Beliau adalah sesepuh Trah Mataram yang sangat dihormati. Gelar Ki Ageng adalah gelar seseorang tokoh pada waktu sudah purna tugas kenegaraan, atau setelah lengser dari jabatannya. Pada masa aktif menjabat biasanya disebut Ki Gede. Lalu setelah sepuh, jabatan dialih terimakan kepada keturuannya dan sebagai sesepuh tokoh tersebut disebut Ki Ageng. Demikian pula asal nama Ki Ageng Giring (mengacu kepada Ki Ageng Giring I, II, III dan IV). Makam Ki Ageng Giring III dikelola oleh Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat karena merupakan pepunden Trah Mataram sebagai penerima wahyu keraton. Ayahanda Ki Ageng Giring I adalah Prabu Brawijaya IV raja Majapahit, sedangkan ibunya bernama Retno Mundri. Ia bertemu dengan seorang wali besar yang bernama Sunan Kalijaga. Ia seperguruan dengan Ki Ageng Pemanahan. Keduanya adalah para tokoh politik yang mengembara dari istana untuk mengembangkan kekuatan spiritual dan mengajarkan Islam kepada penduduk sekitar. Setelah hancurnya kerajaan Majapahit, putra-putri Prabu Brawijaya
41 http://digilib.mercubuana.ac.id/
42
menyebar ke berbagai wilayah di tanah Jawa, bahkan sampai Bali dan Lombok. Di tempatnya masing-masing, mereka berikhtiar lahir batin untuk mendapatkan kembali tahta ayahanda beliau yang telah hilang. Keyakinan bahwa wahyu keraton akan turun kepada putra yang memiliki kecakapan lahir batin ini sangat kuat menancap ke dalam relung jiwa para trah darah biru ini, di antaranya adalah Ki Ageng Giring (I). Ki Ageng Giring berjalan jauh memasuki rerimbunan pohon, hutan dan semak belukar. Sungai, gunung dan gua ditempuhnya tak kenal lelah. Hingga pilihannya jatuh pada daerah yang datar dengan pemandangan perbukitan dan sungai-sungainya yang jernih. Di dekat sebuah mata air ia mendirikan gubug peristirahatannya. Setiap hari berdoa bermunajat kepada Tuhan Yang Maha Esa agar mendapatkan ketentraman lahir batin dengan seluruh anak cucu keturunan beserta para pengikutnya. Meskipun hanya sebesar lidi, atau Sodo, ia tetap memiliki pengharapan agar mendapat anugerah yang agung dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Ia mengajarkan pertanian, menanam pohon kelapa dan menderesnya, membuat minuman legen dan merajut kain. Ia juga mengajari penduduk mengalirkan air sungai untuk mengaliri persawahan dari sungai yang airnya jernih. Ki Ageng Giring juga mengajarkan untuk menanam banyak pohon kelapa yang sangat besar manfaatnya untuk kehidupan penduduk waktu itu. Kehidupan berlangsung damai hingga Ki Ageng Giring I wafat dan digantikan kedudukannya oleh putranya, Ki Ageng Giring II dan Ki Ageng Giring II pun wafat digantikan oleh putranya yang kita kisahkan di sini yakni Ki Ageng Giring III. Pada masa Ki Ageng Giring III inilah Paliyan menjadi kisah menarik karena berbagai hal baik natural maupun supranatural. Ki Ageng Giring III menikah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
43
dengan Nyi Talang Warih melahirkan dua orang anak, yaitu Rara Lembayung dan Ki Ageng Wonokusumo yang nantinya menjadi Ki Ageng Giring IV. Isyarat akan turunnya wahyu Keraton Mataram di perbukitan kidul itu atas petunjuk Sunan Kalijaga, seorang tokoh spiritual yang mampu melihat dengan pandangan lahir batin atas suatu persoalan masyarakat. Oleh Sunan Kalijaga, Ki Ageng Giring III dan Ki Ageng Pemanahan dianggap sebagai santri yang mampu menjalankan tirakat dengan kuat untuk menyangga negeri. Untuk mengupas keterkaitan kisah ini, tidak bisa lepas dari perjalanan Ki Ageng Pemanahan mengawal Sultan Hadiwijaya di Keraton Pajang. Pada saat itu, Ki Ageng Pemanahan masih lingkungan di Keraton Pajang di bawah kekuasaan Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir. Alkisah, setelah kemenangan Ki Ageng Pemanahan menaklukkan Aryo Penangsang di Jipang Panolan, belum mendapatkan hadiah dari sultan sebagaimana dijanjikan dalam sayembara, bahwa barang siapa yang bisa mengalahkan Aryo Penangsang akan mendapat hadiah tanah perdikan yang luas. Ki Penjawi sudah diberi hadiah tanah Pati (Jawa Tengah), sementara Ki Ageng Pemanahan yang sebenarnya paling berhak malah belum mendapatkan haknya. Karena kecewa hatinya, Ki Ageng Pemanahan lantas pergi dari istana. Ia menuju ke rumah sahabatnya, Ki Ageng Giring III, di daerah Gunungkidul. Ki Ageng Giring terkenal sebagai seorang petani pertapa sekaligus penyadap nira kelapa. Bersamaan dengan itu, Sunan Kalijaga dawuh (berpesan) bahwa kelak wahyu Gagak Emprit akan turun di tengah pegunungan selatan dalam sebuah air degan. Namun kapan wahyu itu akan turun, Kanjeng Sunan tidak pernah menjelaskan dan pantang bagi murid untuk bertanya kepada Guru.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
44
Oleh Sang Guru, Ki Ageng Pemanahan kemudian disuruh melakukan tirakat di daerah yang terdapat pohon mati yang berbunga. Pohon mati yang berbunga itu ditemukan oleh Ki Pemanahan yang sekarang disebut Kembang Lampir, wilayah Panggang, Gunung Kidul. Adapun Ki Ageng Giring yang tinggal di daerah Paliyan Gunung Kidul disuruh menanam sepet atau sabut kelapa kering, yang kemudian tumbuh menjadi pohon kelapa yang menghasilkan degan atau buah kelapa muda. Sabut kelapa kering yang secara nalar tidak mungkin tumbuh, namun atas kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, tumbuh menjadi sebatang pohon kelapa. Selama bertahun-tahun pohon kelapa itu dirawat dan dijaga Ki Ageng Giring di pekarangan rumahnya, hingga menjadi tinggi dan besar. Namun Ki Ageng merasa heran pohon kelapa itu tidak juga berbuah, sebagaimana yang pernah diisyaratkan oleh gurunya, Sunan Kalijaga. Namun Ki Ageng tidak pernah ragu sedikit pun, kesabaran dan ketekunannya dalam ibadah diperkuat dan terus menjalankan laku prihatin sebagaimana tuntutan ajaran Islam, hingga suatu ketika pohon kelapa itu muncul degan satu biji saja dan beliau mendapatkan mimpi yang aneh. Menurut mimpi itu, Ki Ageng harus segera memetik satu-satunya buah kelapa yang masih muda itu dan meminum airnya saendegan atau sekali teguk agar kelak dapat menurunkan raja dengan kepribadian yang utuh. Oleh karena itu, Ki Ageng Giring berjalan-jalan ke ladang terlebih dulu agar cukup haus sehingga dengan demikian ia bisa menghabiskan air degan tersebut dengan sekali minum. Namun sayang, ketika Ki Ageng Giring sedang di ladang, sahabatnya Ki Ageng Pemanahan datang dari Kembang Lampir dengan maksud untuk silaturahmi. Tuan rumah baik Ki Ageng maupun Nyai Ageng Giring rupanya tidak ada di rumah.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
45
Dalam keadaan capek dan haus Ki Ageng Pemanahan melihat buah degan di dapur. Tanpa pikir panjang Ki Ageng Pemanahan memaras degan itu dan meminum air kelapa muda itu sampai habis dengan sekali teguk. Ia merasa tidak perlu meminta izin karena ia yakin kedekatan persaudaraan dengan sahabatnya itu. Tak begitu lama kemudian datanglah Ki Ageng Giring dari ladang. Ia langsung menuju dapur bermaksud meminum degannya. Ternyata didapati degan sudah dibelah dan isinya sudah habis. Ia mendapati sang sahabat, Ki Ageng Pemanahan sedang bersantai di depan rumah. Dalam berbagai pentas kethoprak rakyat, dilukiskan dengan dialog sebagai berikut: “Lo Adi Pemanahan? Kapan tiba di gubugku ini, Di?” tanyanya sambil merangkul melepas rindu kepada sahabatnya. “Baru saja Kakang, sudah lama aku tidak berkunjung ke sini, bagaimana kabar Kakang Giring?” kata Ki Ageng Pemanahan. “Kakang, karena kehausan dari perjalanan jauh, eh sampeyan dan mbakyu tidak ada. Aku langsung njujug pawon dan meminum degan yang ada di babragan milik Kakang, aku mohon maaf sebelumnya Kakang”, lanjut Pemanahan. Ki Ageng Giring tertunduk lemas. Semestinya Ki Ageng Giring berhak marah, namun seorang yang memiliki kualitas rohani dan kepasrahan jiwa tidaklah perlu marah. Beliau sudah lama olah jiwa dengan meper (sabar) hawa nafsu. Betapapun dia menginginkan wahyu itu jatuh kepada dirinya, namun Tuhan bisa berkata lain. Ini bagian takdir yang harus dilakoninya. Ia ingat betapa Ki Ageng Selo di Purwodadi dulu sangat ingin mendapatkan wahyu keraton hingga berpuasa dan menjalankan laku batin dengan sangat keras selama puluhan tahun. Namun tiba-tiba seorang pemuda yang baru saja mengabdi padanya sebagai seorang murid, yang tidak pernah meminta dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
46
ingin menjadi seorang raja, justru mendapatkan karunia dari Tuhan sebuah mimpi yang menunjukkan dirinya akan menjadi sesembahan orang setanah Jawa, pemuda itu bernama Joko Tingkir. Ki Ageng Selo hendak marah, hingga ia berpikir untuk membunuh saja anak kemarin sore itu. Namun, Ki Ageng cepat menahan diri melawan takdir. Akhirnya Ki Ageng Selo pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan ridha dengan Joko Tingkir. “Ada apa Kakang kok tampak tidak berkenan. Maafkan atas kelancanganku”. Kata Pemanahan terbata-bata. “Ketiwasan Adi!”, sergah Ki Ageng Giring dengan nada lemas dan kecewa berat. “Sebenarnya Adi, degan tersebut merupakan wahyu yang telah aku upadi dengan tapa brata yang sulit untuk mendapatkan kemuliaan bagi anak cucuku kelak di kemudian hari”, ia menegaskan. Ia kemudian menceritakan mengenai ‘wahyu gagak emprit’ yang diperolehnya berwujud degan tersebut. Dengan besar hati akhirnya ia berkata, “Adi, barangkali ini semua memang sudah menjadi titah Gusti, sehingga aku harus rela anak cucumulah kelak yang akan menjadi penguasa tanah Jawa ini. Namun Adi, apabila engkau tidak berkeberatan izinkan juga anak cucuku setelah keturunan ke tujuh darimu juga ikut nunut mukti.” Ki Ageng Pemanahan kemudian menjawab, “Aduh Kakang Giring aku minta maaf, karena ketidaktahuanku aku menjadi penghalang kemuliaan anak cucumu. Akan tetapi barangkali ini memang sudah garising pepesthen. Namun demikian, aku rela dengan permintaan Kakang agar setelah keturunanku yang ketujuh nanti anak cucu Kakang ikut mukti wibawa. Dan untuk itu Kakang, apabila kita kelak mempunyai anak ku usulkan agar kita berbesanan sebagai jalan tengah”. Akhirnya kedua sahabat tersebut bersepakat. Ki Ageng Giring pasrah dan memupus takdir,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
47
bahwa Ki Pemanahan rupanya lebih unggul dalam kualitas rohani sehingga dipilih Tuhan Yang Menguasai Alam Semesta untuk menjadi bapak bagi raja-raja Jawa. Namun demikian, Ki Ageng mencoba menyampaikan maksud hatinya kepada Ki Ageng Pemanahan agar salah seorang anak turunnya kelak bisa turut menjadi raja di Mataram. Ki Ageng Pemanahan yang maqam jiwanya sudah ngerti sadurunge winarah pun juga nglenggana, memiliki keikhlasan yang tinggi. Dari musyawarah diperoleh kesepakatan bahwa keturunan Ki Ageng Giring akan diberi kesempatan menjadi raja tanah Jawa pada keturunan yang ketujuh. Bagi Ki Ageng Giring, kesempatan menjadi raja Mataram pupus sudah, tinggal harapan panjang yang barangkali bisa dinikmati pada generasi ketujuh. Setelah perginya Ki Ageng Pemanahan dari rumahnya, Ki Ageng tidak bisa menyembunyikan masygul hatinya. Ia banyak merenung mupus takdir di pinggir sungai, yang kini dikenal masyarakat dengan nama Kali Gowang. Nama Kali Gowang, karena hatinya lagi lagi terluka, gowang, kecewa, teriris-iris atas kegagalannya memperoleh wahyu Mataram. Setelah kegagalan itu, Ki Ageng Giring semakin banyak beribadah kepada Allah SWT dan tak lama kemudian kesehatannya mulai rapuh lalu dimakamkan di dekat rumah beliau. Kisah selanjutnya adalah kembalinya Ki Ageng Pemanahan ke Kraton Pajang, nagih janji kepada Sultan Hadiwijaya dengan diantar oleh Sunan Kalijaga. Kisah Ki Ageng Giring ini menjadi sangat khas Jawa. Betapapun membuktikan nasab hingga 7 turunan tidaklah mudah. Apalagi intrik dan campur tangan politik Jawa pada kurun waktu itu sangat keras. Kerajaan Mataram berpindah-pindah dari Kotagede ke Pleret, dari Pleret ke Kartasura dan akhirnya
http://digilib.mercubuana.ac.id/
48
dari Kartasura ke Surakarta. Kita hanya mengetahui bahwa Kerajaan Mataram kemudian didirikan oleh Danang Sutawijaya putra Ki Ageng Pemanahan yang bergelar Panembahan Senopati. Panembahan Senopati kemudian menurunkan Panembahan Sedo Krapyak, Panembahan Sedo Krapyak menurunkan Raden Mas Rangsang yang kita kenal dengan Sultan Agung Hanyakrakusuma. Pada masa Sultan Agung kerajaan Mataram mencapai puncak keemasannya secara kewilayahan, keprajuritan, keagamaan, sosial budaya dan ekonomi. Namun pasca Sultan
Agung,
Mataram
benar-benar
harus
berjuang
mempertahankan
eksistensinya karena banyak intrik baik internal maupun eksternal berupa kedatangan penjajah. Babad Nitik Sultan Agung menguraikan perjalanan Sultan Agung, termasuk pembuktian bahwa Puger memang keturunan Giring. Pada suatu ketika parameswari Amangkurat I, Ratu Labuhan, melahirkan seorang bayi yang cacat. Bersamaan dengan itu isteri Pangeran Arya Wiramanggala, keturunan Kajoran, yang merupakan keturunan Giring, melahirkan seorang bayi yang sehat dan tampan. Amangkurat mengenal Panembahan Kajoran sebagai seorang ulama sepuh dan dapat menyembuhkan orang sakit. Oleh karena itu puteranya yang cacat dibawa ke Kajoran untuk dimintakan penyembuhannya. Kajoran merasa bahwa inilah kesempatan yang baik untuk merajakan keturunannya. Dengan cerdiknya bayi anak Wiramanggalalah yang dikembalikan ke Amangkurat I ditukar dengan menyatakan bahwa upaya penyembuhannya berhasil. Dengan demikian, menjadi benarlah bahwa pada urutan keturunan yang ke-7 keturunan Ki Ageng Giring lah yang menjadi raja, meskipun silsilah itu diambil dari garis perempuan. Paku Buwono I adalah raja yang berdarah Giring. Dalam kompleks
http://digilib.mercubuana.ac.id/
49
makam Sunan Giring juga terdapat masjid, padepokan Ki Ageng Giring, Sendang, pohon yang berusia seusia makam. Setelah peziarah memasuki pintu gerbang mereka akan melewati makam para pengikut Ki Ageng Giring III kini juga menjadi pemakaman warga. Makam Ki Ageng Giring sendiri berada di dalam tembok yang dibangun pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Kali Gowang yang mengalir di desa Giring sampai saat ini menjadi tumpuan warga desa Giring, Mulusan, Karangasem dan desa Sodo. Terlebih pada setiap musim kemarau tiba. Sungai ini memiliki keterkaitan erat dengan perjuangan Ki Ageng Giring. Secara ekologis Ki Ageng Giring terbukti mengajarkan simbiosis mutualisme antara warga dengan lingkungan sekitarnya. Airnya sangat jernih dan tak pernah kering, mengalir sampai ke laut selatan. Selain airnya yang tak pernah kering, panorama kawasan kali Gowang juga amat indah dan alami sehingga banyak orang yang merasa teduh dan nyaman berada di tempat ini.
4.1.2 Gambaran Umum Upacara Babad Dalan Upacara adat ini secara turun temurun dilaksanakan di Desa Giring, Babad Dalan dapat diartikan sebagai kegiatan membersihkan jalan. Upacara ini merupakan sebuah tradisi di Kelurahan Giring yang diadakan sehabis panen pada hari Jumat Kliwon. Babad Dalan ini merupakan sebagai wujud rasa syukur masyarakat terhadap hasil panen, selalin itu untuk membersihkan diri dalam artian membersihkan jalan-jalan kehidupan serta memaknai fungsi dari ajaran Ki Ageng Giring. Upacara Babad Dalan adalah salah satu bentuk akulturasi antara budaya
http://digilib.mercubuana.ac.id/
50
Jawa Kuno dengan ajaran Islam. Ritual ini mengandung makna agar manusia menjaga hubungan baik dengan sesamanya, alam dan pencipta. Hal ini dilambangkan dengan memberikan sedekah melalui prosesi Babad Dalan. Dalam acara ini, setiap warga membawa weton yaitu nasi uduk dan ingkung (seekor ayam jantan yang sudah dimasak utuh). Selain itu, para warga juga membawa hasil panen mereka.
4.2 Hasil Penelitian Memasuki tahap penjelasan hasil penelitian, penulis menjabarkan atau menguraikan penemuan dan hasil analisis data. Dalam penelitian mengenai simbol-simbol dalam Upacara Babad Dalan dalam merepresentasikan filosofis Adat Jawa. Penulis mendapatkan data-data setelah melakukan wawancara dengan beberapa informan yang menjadi narasumber bagi penulis diantaranya Joko Tirto Wibowo sebagai Lurah Desa Giring yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Upacara ini. Sumiyem sebagai masyarakat Desa Giring yang mengikuti Upacara ini di setiap tahunnya. Suryo Atmojo sebagai tokoh pemuda di Desa Giring yang senantiasa mengikuti Upacara ini dari tahun ke tahun, dan Wartini sebagai perantauan yang dapat mewakili pandangannya mengenai upacara Babad Dalan ini.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
51
Setiap Upacara adat memiliki cara pelaksanaan yang berbeda, sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam masyarakat itu sendiri. “Upacara pelaksanaan Babad Dalan itu adalah sebuah tradisi di Kelurahan Giring sini, dinamakan Giring karena ada namanya Ki Ageng Giring. Ki Ageng Giring itu dari Majapahit ketika Majapahit bubar Ki Ageng Giring menjadi seorang pertapa nah kebetulan di Desa Giring ini makanya namanya nyadran Ki Ageng Giring Babad Dalan itu. Sebelum Upacara ini dimulai, malamnya diadakan tirakatan dimana masyarakat berkumpul di Balai Desa untuk berdoa”.1
4.2.1 Tirakatan
1
Wawancara dengan Joko Tirto Wibowo, Lurah Desa Giring, tanggal 10 Juni 2016
http://digilib.mercubuana.ac.id/
52
4.2.2 Tumpeng Alus beserta urap dan telur
4.2.3 Nasi Golong dan santan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
53
4.2.4 Tumpeng alus, bubur merah putih, bubur putih, bubur merah
Upacara Babad Dalan ini merupakan tradisi jawa yang sangat kental, mempunyai makna yang berarti babad yaitu membabat dan dalan yaitu jalan. “Iya ini tradisi yang sangat kental, itu tadi dinamakan Upacara Babad Dalan itu adalah membersihkan jalan istilahnya secara ini kita membersihkan diri kita sendiri dimana kita menjalankan kehidupan menjalankan tujuan kita kepada sang khalik atau Sang Pencipta harus bersih, membersihkan jalan kita budi pekerti kita”.2 Upacara ini dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dari Ki Ageng Giring. “Upacara Babad Dalan dilaksanakan sehabis panen pada hari Jumat Kliwon”.3 Dalam melaksanakan sebuah tradisi, tentunya mengharapkan agar dapat berjalan lancar tidak terjadi suatu hambatan yang dapat mengganggu pelaksanaan tradisi ini. 2 3
Wawancara dengan Joko Tirto Wibowo, Lurah Desa Giring, tanggal 10 Juni 2016 Wawancara dengan Joko Tirto Wibowo, Lurah Desa Giring, tanggal 10 Juni 2016
http://digilib.mercubuana.ac.id/
54
“Kalau saya kira hambatan tidak ada, walaupun Upacara Babad Dalan itu diadakan sehabis panen, walaupun kadang-kadang gagal panen tapi tetap Babad Dalan dilaksanakan karena itu sebagai penghormatan seorang tokoh Majapahit”.4 Upacara Babad Dalan ini dilaksanakan dengan mempunyai tujuan tersendiri bagi masyarakat yang mengikuti upacara ini. “Tujuan dilaksanakan Babad Dalan itu memperingati adanya Ki Ageng Giring disini, tradisi-tradisi yang ada disini yang diajarkan oleh Ki Ageng Giring. Ki Ageng Giring itu punya ajaran kesempurnaan jadi Ki Ageng Giring itu tidak walaupun dia mendapatkan wahyu keraton Mataram tapi Ki Ageng Giring sendiri tidak memakainya, kenapa karena Ki Ageng Giring sendiri itu sudah mencapai titik ma’rifat jadi dia sudah tidak perlu kedudukan atau duniawi jadi Ki Ageng Giring sendiri tujuannya adalah kesempurnaan”.5 Upacara ini diikuti oleh seluruh masyarakat yang terdiri dari sembilan pedukuhan yaitu Giring, Kendal, Candi, Nangsri, Pulihbener, Blimbing, Singkil, Gunungdowo, dan Bulu. Mereka dikumpulkan di Balai Desa Giring. “ Setiap tahunnya saya selalu mengikuti upacara ini tentunya sebagai bentuk menghormati adat dan kebudayaan di Desa Giring ini”.6 “Saya selalu mengikuti Babad Dalan ini sebagai wujud rasa syukur saya terhadap hasil panen yang saya dapat dan supaya ditahun depan dapat menghasilkan panen yang lebih banyak”.7 “Saya tidak selalu mengikuti Babad Dalan ini disetiap tahunnya, karena jarak yang terlalu jauh jadi tidak selalu bisa hadir di acara ini, namun kebetulan di tahun ini saya mengikuti Upacara Babad Dalan ini”.8
4
Wawancara dengan Joko Tirto Wibowo, Lurah Desa Giring tanggal 10 Juni 2016 Wawancara dengan Joko Tirto Wibowo, Lurah Desa Giring, tanggal 10 Juni 2016 6 Wawancara dengan Suryo Atmojo, Tokoh Pemuda, tanggal 11 Juni 2016 7 Wawancara dengan Sumiyem, Warga Desa Giring, tanggal 11 Juni 2016 8 Wawancara dengan Wartini, Perantauan, tanggal 12 Juni 2016 5
http://digilib.mercubuana.ac.id/
55
Upacara Babad Dalan ini diikuti oleh berbagai kalangan usia, baik yang muda, dewasa maupun para orang tua. “Saya ikut Upacara Babad Dalan ini sebagai generasi muda yang ikut dan akan terus melestarikan kebudayaan yang ada di Desa saya ini”.9 Lurah memutuskan kapan akan dilaksanakan upacara ini, setelah itu Lurah menyampaikannya kepada masyarakat agar dapat mempersiapkan Upacara Babad Dalan ini. “ Saya mengetahui Upacara Babad Dalan ini dari kakek saya”.10 “Kebetulan saya tahu kalau ada Babad Dalan ini dari orang tua, jadi orang tua saya selalu memberitahu kepada saya ketika Babad Dalan ini akan dilaksanakan, jadi kalau memang saya ada waktu pasti saya selalu hadir di Upacara Babad Dalan ini seperti tahun ini saya dapat hadir dalam Babad Dalan ini”.11 Dalam Upacara Babad Dalan terdapat kegiatan yang diikuti oleh masyarakat. “Kegiatan yang ada didalam Babad Dalan ini adalah pada Jumat Kliwon masyarakat dikumpulkan bersama di Balai Desa Giring dengan membawa hasil panen mereka, tidak boleh ramai, lalu berdoa bersama setelah itu kita semua makan bersama”.12 Setiap tradisi tentunya memiliki sebuah ciri khas dari tradisi itu sendiri.
9
Wawancara dengan Suryo Atmojo, Tokoh Pemuda, tanggal 11 Juni 2016 Wawancara dengan Suryo Atmojo, Tokoh Pemuda, tanggal 11 Juni 2016 11 Wawancara dengan Wartini, Perantauan, tanggal 12 Juni 2016 12 Wawancara dengan Sumiyem, Warga Desa Giring, tanggal 11 Juni 2016 10
http://digilib.mercubuana.ac.id/
56
“Ciri khas Upacara Babad Dalan itu menyajikan namanya Mong atau kenduren jadi apa-apa hasil panen padi disajikan, juga termasuk ada ingkung, ingkung itu ayam yang diolah utuh”.13
4.2.5 Tumpeng beserta ingkung Setiap masyarakat harus membawa hasil masakannya sendiri untuk kemudian dibawa menuju Balai Desa. “Makanan yang dibuat yaitu tumpeng dengan lauk nya ayam bekakak, urap, telur, abon, bihun, sambal goreng kentang, kerupuk, ketan tidak ditumbuk dicampur dengan kacang tunggak (ketanworan)”.14 Upacara Babad Dalan ini tidak hanya dilaksanakan dengan percuma saja, namun diharapkan dapat dipahami dan dimengerti oleh seluruh masyarakat yang mengikuti Upacara Babad Dalan ini. “Maksudnya syukuran atas hasil panen setiap setahun sekali dan desa ini juga bisa menjadi tenteram dan damai”.15
13
Wawancara dengan Joko Tirto Wibowo, Lurah Desa Giring, tanggal 10 Juni 2016 Wawancara dengan Sumiyem, Warga Desa Giring, tanggal 11 Juni 2016 15 Wawancara dengan Sumiyem, Warga Desa Giring, tanggal 11 Juni 2016 14
http://digilib.mercubuana.ac.id/
57
“Yang saya ketahui Babad Dalan ini sebagai bentuk wujud rasa syukur para masyarakat atas hasil panen yang mereka dapatkan selama setahun”.16 “Babad Dalan yang saya ketahui yaitu babad berarti membabat, dalan berarti jalan. Artinya membersihkan segala sesuatu yang ada di sepanjang jalan”.17 Upacara Babad Dalan merupakan sebuah tradisi yang sudah ada sejak dahulu kala yang diajarkan oleh Ki Ageng Giring. “Upacara Babad Dalan itu sebuah tradisi sebuah sejarah itu namanya Babad Dalan membersihkan jalan, membersihkan tempat dalam filosofinya itu membersihkan diri dimana manusia ingin melalui jalan menuju sang pencipta, jadi membersihkan dirinya sebenernya itu membersihkan jalan-jalan kehidupan”.18 Adapun sesaji atau makanan yang dibawa oleh setiap masyarakat yang mengikuti dan untuk disajikan di setiap pelaksanaan Upacara Babad Dalan ini. “Sesaji itu yang jelas hasil dari panenan satu bikin nasi tumpeng jadi nanti disajikan di Balai Desa ramai-ramai nanti dijadikan satu lalu dibagi bareng-bareng jadi filosofi dari Babad Dalan itu, ini unsur kebersamaan makan bareng, merasakan bareng apa yang kita masak dan orang-orang lain masyarakat Desa Giring kita jadikan satu, kita tumpuk jadi satu akhirnya kita bagi biar semua saling merasakan itu filosofinya kita harus merasakan dari hati ke hati, masing-masing saling menjaga hidup, saling menikmati hidup saling berbagi itu filosofinya Babad Dalan itu sendiri dari tumpengan itu”.19 Disamping itu, tidak hanya masyarakat yang ada di Desa Giring saja yang mengetahui tentang sesaji apa saja yang ada di dalam Upacara Babad Dalan ini namun perantauan juga mengetahuinya.
16
Wawancara dengan Wartini, Perantauan, tanggal 12 Juni 2016 Wawancara dengan Suryo Atmojo, Tokoh Pemuda, tanggal 11 Juni 2016 18 Wawancara dengan Joko Tirto Wibowo, Lurah Desa Giring, tanggal 10 Juni 2016 19 Wawancara dengan Joko Tirto Wibowo, Lurah Desa Giring, tanggal 10 Juni 2016 17
http://digilib.mercubuana.ac.id/
58
“Iya saya tahu sesaji yang ada di upacara ini yaitu menyajikan tumpeng beserta ingkung ayam yang diolah secara utuh”.20 Tidak semua harus dilakukan dalam pelaksanaan Upacara Babad Dalan ini, ada sesuatu hal yang dilarang atau tidak boleh dilakukan dalam upacara ini. “Kalau di Giring sendiri ada yang tidak boleh dilakukan atau dilanggar yaitu di Giring ini Babad Dalan tidak boleh ada tontonan atau keramaian-keramaian karena mengucapkan syukur juga termasuk ini apa harus nyepi jadi tidak harus ada keramaian. Disini Babad Dalan memaknai fungsi dari ajaran Ki Ageng Giring itu. Ki Ageng Giring itu muksa jadi ajaran kesempurnaan jadi disini harus menyepi adanya berbenah diri, berinteropeksi diri agar hidup ini jalannya baik”.21 Tradisi yang ada di suatu daerah diharapkan dapat terus dilestarikan kepada generasi-generasi muda selanjutnya, jangan sampai tradisi ini hilang begitu saja karena ini merupakan sebuah sejarah yang sudah ada sejak dahulu kala. “Upacara Babad Dalan ini perlu dilestarikan karena didalamnya terdapat nilai persatuan juga sebagai bentuk pelestarian agar generasi mendatang mengerti arti sejarah tersebut”.22 “Iya, kita harus melestarikan Upacara Babad Dalan ini, jika bukan kita siapa lagi dan jika tidak dilestarikan maka upacara ini akan hilang. Dan sebagai orang tua, saya pun mengajarkan kepada anakanak saya tentang tradisi yang ada di kampung halaman mereka ini. Saya selalu mengajarkan kepada mereka tentang tradisi ini menurut yang saya ketahui”.23 Upacara ini juga mendapatkan respon yang baik dari para perantauan.
20
Wawancara dengan Wartini, Perantauan, tanggal 12 Juni 2016 Wawancara dengan Joko Tirto Wibowo, Lurah Desa Giring, tanggal 10 Juni 2016 22 Wawancara dengan Suryo Atmojo, Tokoh Pemuda, tanggal 11 Juni 2016 23 Wawancara dengan Wartini, Perantauan, tanggal 12 Juni 2016 21
http://digilib.mercubuana.ac.id/
59
“Menurut saya, Upacara Babad Dalan ini sangat menarik dan setiap tahunnya harus tetap dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur terhadap hasil panen sehingga kedepannya kemakmuran masyarakat dapat tercapai dan hasil panen akan lebih melimpah lagi”.24
Dari setiap narasumber yang diwawancarai oleh penulis mempunyai pandangan yang hampir sama terhadap Upacara Babad Dalan ini. Dimana mereka mengadakan upacara ini sebagai bentuk rasa syukur mereka terhadap hasil panen yang mereka dapat dan mereka dapat merasakan bersama atas hasil panen mereka. Selain itu, masyarakat juga menginginkan agar tahun berikutnya mendapatkan panen yang melimpah sehingga dapat mencapai kemakmuran.
4.3 Pembahasan Upacara Babad Dalan adalah sebuah tradisi dan sebuah sejarah yang ada di Kelurahan Giring, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dinamakan Giring karena adanya Ki Ageng Giring, Ki Ageng Giring berawal dari Majapahit dan ketika Majapahit bubar, Ki Ageng Giring menjadi seorang pertapa di Desa Giring dengan demikian disebut dengan Nyadran Ki Ageng Giring Babad Dalan. Ki Ageng merupakan anak dari Brawijaya dan Ki Ageng merupakan pendiri Mataram yang mempunyai wahyu Mataram (wahyu Senopati). Babad Dalan adalah membersihkan jalan-jalan, lingkungan kita. Babad Dalan ini bukan sekedar membersihkan desa dengan kerja bakti sehingga menjadi bersih. Namun, filosofi dari Upacara Babad Dalan itu sendiri yaitu membersikan diri kita sendiri dimana kita menjalankan tujuan kehidupan kita kepada Sang 24
Wawancara dengan Wartini, Perantauan, tanggal 12 Juni 2016
http://digilib.mercubuana.ac.id/
60
Pencipta harus memiliki budi pekerti yang baik. Upacara Babad Dalan ini dilaksanakan sehabis masa panen tepatnya pada hari Jumat Kliwon. Walaupun terkadang gagal panen, namun Babad Dalan ini tetap dilaksanakan sebagai bentuk penghormatan seorang tokoh Majapahit. Upacara Babad Dalan ini bertujuan untuk memperingati adanya Ki Ageng Giring di Desa Giring ini, tradisi ini diajarkan oleh Ki Ageng Giring. Ki Ageng Giring sendiri mempunyai ajaran kesempurnaan dimana ia mendapatkan wahyu keraton Mataram namun ia tidak menggunakannya karena ia sudah mencapai titik ma’rifat, jadi ia tidak perlu kedudukan atau duniawi. Bagi masyarakat, upacara ini juga merupakan sebagai bentuk wujud rasa syukur masyarakat terhadap hasil panen yang mereka dapatkan dan dengan dilaksanakan upacara ini, masyarakat mengharapkan agar mendapatkan hasil panen yang melimpah di tahun berikutnya sehingga mencapai kemakmuran bagi masyarakat. Selain itu masyarakat juga mengharapkan selalu dalam lindungan Sang Pencipta. Upacara Babad Dalan diikuti oleh seluruh masayarakat dari sembilan Pedukuhan yaitu Giring, Kendal, Candi, Nangsri, Pulihbener, Blimbing, Singkil, Gunungdowo, dan Bulu. Mereka semua berkumpul menjadi satu di Balai Desa Giring. Berbagai kalangan usia mengikuti tradisi ini termasuk perantauan. Bagi pemuda maupun perantauan, mereka mengikuti tradisi sebagai bentuk menghormati adat dan juga ikut melestarikan kebudayaan yang ada di Desa Giring ini. Lurah Desa menetapkan kapan akan dilaksanakannya upacara ini lalu ia menyampaikannya kepada masyarakat agar mereka dapat menyiapkan untuk
http://digilib.mercubuana.ac.id/
61
mengikuti tradisi ini. Upacara Babad Dalan ini wajib diikuti oleh setiap masyarakat yang ada di Desa Giring. Kegiatan dalam Upacara Babad Dalan ini yaitu pada Kamis Wage tepatnya dimalam hari masyarakat Desa Giring mengadakan tirakatan di Balai Desa Giring. Dalam tirakatan ini juga terdapat sesaji seperti tumpeng alus, bubur merah putih, bubur putih, tumpeng, nasi golong, santan, lalu keesokan harinya tepat Jumat Kliwon masyarakat membawa hasil masakan mereka dan dibawa ke Balai Desa untuk mengadakan riungan setelah itu mereka semua makan bersama, namun pada saat mereka menuju Balai Desa dengan membawa hasil masakan mereka, masyarakat tidak diperkenankan untuk menggunakan kendaraan, dan apabila masyarakat melanggar maka akan terjadi sesautu terhadap masakan yang mereka bawa. Upacara Babad Dalan ini mempunyai ciri khas yaitu menyajikan namanya Mong atau genduren termasuk ada ingkung (ayam yang diolah secara utuh) serta menyajikan hasil panen mereka. Selain itu masyarakat Desa Giring juga membuat masakan lain yaitu membuat tumpeng dengan lauk ayam bekakak, urap, telur, abon, bihun, sambal goreng kentang, kerupuk, ketan tidak ditumbuk dicampur dengan kacang tunggak atau yang disebut dengan ketanworan. Nasi tumpeng ini nantinya disajikan di Balai Desa Giring, setiap orang yang membawa tumpeng ini kemudian dijadikan menjadi satu lalu mereka berdoa dan nantinya dibagikan dan makan bersama, merasakan bersama apa yang mereka masak. Filosofi dari tumpengan itu sendiri adalah unsur kebersamaan, kita harus merasakan dari hati ke hati, masing-masing saling menjaga hidup, saling menikmati hidup, dan saling berbagi. Dalam pelaksanaan Upacara Babad Dalan di Desa Giring ini ada hal-hal
http://digilib.mercubuana.ac.id/
62
yang tidak boleh dilakukan atau dilanggar yaitu tidak diperkenankan adanya sebuah tontonan atau keramaian-keramaian, karena Babad Dalan ini mengucapkan syukur dan bersifat nyepi, tidak harus mengadakan keramaian karena upacara ini memaknai fungsi dari ajaran Ki Ageng Giring yaitu muksa yang artinya ajaran kesempurnaan sehingga masyarakat harus menyepi untuk berinteropeksi diri agar hidup ini mempunyai jalan yang baik. Upacara Babad Dalan mendapatkan respon baik dari perantauan, menurutnya upacara ini menarik dan harus terus dilakukan disetiap tahunnya . Tradisi ini harus terus dijaga, dipahami serta dilestarikan kepada generasi muda mendatang agar para generasi muda selanjutnya dapat mengerti sejarah yang ada di Desa Giring ini , dengan begitu tradisi ini tidak hilang begitu saja. Karena Upacara Babad Dalan ini merupakan bentuk ungkapan rasa syukur kita terhadap sesama, alam serta Sang Pencipta. Jadi, dengan melestarikan upacara ini akan membuat masyarakat semakin menjadi bersatu, tenteram dan damai. Dan bagi para perantauan diharapkan dapat membantu agar tradisi ini semakin dikenal oleh masyarakat luas tidak hanya dikenal oleh masyarakat di sekitar wilayah Gunung Kidul saja, dengan begitu akan menambah perekonomian bagi masyarakat yang ada di Desa Giring ini serta dapat menjadi pengetahuan bagi mereka yang belum mengetahui mengenai tradisi yang ada di Desa Giring ini. Dari pembahasan mengenai simbol-simbol dalam Upacara Babad Dalan dalam merepresentasikan filosofi adat Jawa, dapat disimpulkan bahwa tumpeng besserta ingkung (ayam yang diolah secara utuh ) menjadi simbol yang utama
http://digilib.mercubuana.ac.id/
63
yang mempunyai arti unsur kebersamaan dimana masyarakat merasakan dari hati ke hati, saling menjaga hidup, saling menikmati hidup dan saling berbagi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/