37
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. KONDISI UMUM SUNGAI CIKAPUNDUNG 1. Lokasi dan Aksesibilitas a. Lokasi Wilayah Studi Sungai Cikapundung adalah sub DAS Citarum yang memiliki panjang total 28 kilometer. Dari panjang total 28 km tersebut, sekitar 15,5 km aliran sungai ini melintasi Kota Bandung. Karakteristik topografi Kota Bandung berbukit di bagian utara dan melandai di bagian selatan dengan elevasi antara 750 – 1000 m di atas permukaan laut. BAPPEDA Kota Bandung menyebutkan bahwa sehari-harinya sungai yang memiliki potensi sebagai penyedia air baku untuk wilayah Kota Bandung dan sekitarnya ini berfungsi sebagai drainase utama kota. Sungai Cikapundung mengalir dari mulai Maribaya, Kabupaten Bandung Barat lalu masuk ke wilayah kota Bandung hingga bermuara di Sungai Citarum. Daerah pengaliran Sungai Cikapundung di Kota Bandung meliputi tujuh kecamatan yang mencakup 13 kelurahan, yakni sebagai berikut: 1) Kecamatan Cidadap, 2) Kecamatan Coblong, 3) Kecamatan Bandung Wetan, 4) Kecamatan Cicendo, 5) Kecamatan Sumur Bandung,
38
6) Kecamatan Regol dan Lengkong, dan 7) Kecamatan Bandung Kidul. Berdasarkan data BPLHD Propinsi Jawa Barat, kawasan DAS Cikapundung merupakan bagian dari daerah tadah sungai Citarum Hulu yang bermata air dari lereng perbukitan vulkanik yang mengitari dataran dengan luas daerah pengaliran 14.430 ha. Sungai Cikapundung pun dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian hulu sungai di daerah Cigulung Maribaya dan Cikapundung Maribaya,
bagian tengah mulai dari
Cikapundung Gandok hingga Cikapundung Pasirluyu, serta bagian hilir di daerah muara Sungai Citarum, Dayeuh Kolot Kabupaten Bandung. Wilayah studi penelitian berada termasuk ke dalam bagian tengah, dengan batasan bantaran sungai dengan panjang aliran kurang lebih 6 km mulai dari Jalan Siliwangi sampai Jalan Asia Afrika. Berdasarkan batas administrasi, wilayah studi ini mencakup tiga kecamatan dan lima kelurahan dengan luas area kawasan 351,1 hektar. Lima kelurahan yang termasuk dalam wilayah studi adalah sebagai berikut: 1) Kelurahan Cipaganti, 2) Kelurahan Lebak Siliwangi, 3) Kelurahan Tamansari, 4) Kelurahan Babakan Ciamis, dan 5) Kelurahan Braga.
39
b. Aksesibilitas Akses untuk menuju sempadan sungai masih terbatas. Hal ini disebabkan oleh padatnya pemukiman yang berada di sungai dan membuat akses untuk masuk atau menyusuri sempadan sangat terbatas. Akses jalan yang terdapat di lokasi penelitian hanya merupakan jalan-jalan perkampungan yang sempit dan hanya bisa dilewati oleh pejalan kaki. Sedangkan beberapa fasilitas publik yang berada di sekitar sempadan sungai bisa dijangkau dengan menggunakan kendaraan bermotor karena dilewati jalan kota. Hal ini bisa ditemukan di Kawasan Babakan Siliwangi dan objek wisata Kebun Binatang Bandung, Kawasan Wisata Pendidikan UNPAS dan UNISBA, serta Kawasan Viaduct hingga Kawasan Jalan Asia Afrika.
2. Sejarah Menurut situs Wikipedia.org, Bandung pada awalnya adalah ibu kota dari Kerajaan Padjadjaran pada masa abad ke-15. Berdasarkan penemuan para arkeolog, Bandung pernah menjadi rumah bagi Manusia Jawa, atau Australopithecus. Manusia purba ini tinggal di pinggiran Sungai Cikapundung sebelah Utara Bandung, dan di pesisir Danau Bandung. Kawasan Cikapundung memiliki sejarah penting adalah di daerah Viaduct dan tepi sungai Cikapundung yang berseberangan dengan Alunalun sekarang. Daendels pernah menancapkan tongkat di pinggir Sungai
40
Cikapundung dan berharap wilayah ini bisa menjadi kota ketika ia kembali ke sini. Kini tempat itu menjadi titik pusat atau KM 0 kota Bandung. Pada tanggal 25 September 1810 ibukota Kabupaten Tata Ukur (nama Bandung dahulu) dipindahkan dari daerah Baleendah sekarang ke tepi Jalan Raya Pos yang berdekatan dengan Sungai Cikapundung. Bupati R.A. Wiranatakoesoemah II langsung memimpin rakyat Tatar Ukur dalam pelaksanaan pembangunan kota, sehingga dia dikenal dengan julukan Dalem Kaum, yaitu tokoh pendiri Kota Bandung. Ibu Kota Kabupaten yang baru ini diberi nama Bandong. Kemudian, berdasarkan sebuah bisluit pemerintah Hindia Belanda tanggal 25 September 1810, Kota Bandong dinyatakan sebagai ibu kota Kabupaten Bandung, sehingga hari jadi kota Bandung dirayakan pada setiap tanggal 25 September. Pada tahun 1786 pemerintah mulai membangun jalan penghubung beberapa kota besar di sekitar Bandung. Pembangunan ini menyebabkan peningkatan jumlah pendatang dari Eropa, khususnya di tahun 1809 pada saat Louis Napoleon, seorang penguasa Belanda memerintahkan Daendels untuk meningkatkan pertahanan di Jawa melawan Inggris. Perubahan gaya hidup di Kota Bandung mendorong pertumbuhan hotel, kafe, dan pertokoan. Hotel Preanger, Hotel Savoy Homann yang terdapat di Jalan Asia Afrika dan Kawasan Jalan Braga adalah salah satu bukti peradaban Bandung di masa kolonial Belanda. Kawasan pertokoan di sepanjang Jalan Braga pernah menjadi jalan pusat perbelanjaan yang
41
memiliki banyak toko ekslusif Eropa yang menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk menghabiskan akhir pekan di kota. Sepanjang bantaran sungai Cikapundung dimanfaatkan untuk dibangun beberapa bangunan seperti Kampus Technische Hoogeschool (ITB sekarang), rumah sakit dan institut Pasteur, serta pabrik kina. Pembangunan ini direncanakan dengan sangat teliti mulai dari arsitekturnya dan perawatan secara detail. Setelah Indonesia merdeka, Bandung menjadi ibukota provinsi Jawa Barat. Bandung merupakan tempat terjadinya konferensi Bandung pada tanggal 18 April – 24 April 1955 dengan tujuan untuk promosi ekonomi dan kerjasama budaya antara negara Afrika dan Asia, dan untuk melawan ancaman kolonialisme dan neokolonialisme oleh Amerika Serikat, Uni Soviet atau negara-negara imperialis lainnya. Sampoerno
(2002)
menyebutkan
bahwa
sempadan
sungai
Cikapundung Tengah pada masa lalu merupakan kawasan yang hijau. Pepohonan cemara yang banyak terdapat di sana menjadi vegetasi utama yang berfungsi sebagai ruang terbuka hijau kota Bandung. Babakan Siliwangi merupakan sebuah lembah di wilayah Bandung Utara dengan panjang dan lebar masing-masing sekitar 500 m, dengan bentuk menyerupai tapal kuda yang bertebing terjal dan berdasar rata yang bermuara di Sungai Cikapundung. Lembah ini dibatasi Jalan Siliwangi dan Jalan Tamansari yang melingkar mengelilingi lembah dan dipagari oleh pepohonan yang rindang.
42
Di era 50 dan 60-an, area ini menjadi daya tarik yang diandalkan pemerintah bagi para wisatawan yang datang. Kawasan ini dijadikan sebagai jalur yang dilewati untuk menuju Gunung Tangkuban Parahu. Keberadaan lembah yang berfungsi sebagai hutan kota ini dijadikan sebagai pembentuk suasana Kota Bandung yang ramah dan rindang. Para wisatawan dapat menikmati hijau dan asrinya lembah, rumah dan bangunan tua yang berserjarah, hutan kota di Kebun Binatang Bandung, serta hamparan sawah yang terdapat di daerah Babakan Siliwangi (Sampoerno, 2002). Mulai dari tahun 70 sampai tahun 90-an, Dinas Pariwisata Jawa Barat mulai mengembangkan area ini agar bisa lebih dinikmati sebagai objek wisata. Babakan Siliwangi kemudian ditambahkan fasilitas rumah makan dan juga sanggar seni. Pemerintah pun menambahkan fasilitas parkir yang luas dan beraspal ditambah dengan jalur dokar. Kawasan Babakan Siliwangi kemudian berkembang menjadi restoran khas tatar Sunda, yang digabungkan dengan sanggar sekaligus galeri yang memajang hasil karya seniman dengan atraksi dokar yang sudah mulai sulit didapatkan di kawasan perkotaan. Selama kurun waktu revolusi tersebut, Babakan Siliwangi pun berubah dan sebagian besar lahannya beralih fungsi dari area hijau dan persawahan menjadi lapangan sepak bola, lapangan tenis, dan lapangan voli terbuka. Sampoerno (2002) mengemukakan bahwa sebagian dari kawasan pemukiman padat pun berubah menjadi Sasana Budaya Ganesha
43
(Sabuga) ITB yang dipergunakan untuk berbagai kegiatan. Keberadaan aula tersebut dimaksudkan sebagai wadah bagi masyarakat untuk melihat apa dan bagaimana alam membentuk pengetahuan, serta ilmu menjadi landasan teknologi dan industri. Lingkungan Sabuga pun ditata sedemikian rupa agar bisa memenuhi persyaratan lingkungan yang sesuai dengan kondisi geologi yang ada. Kawasan Babakan Siliwangi yang diperuntukkan sebagai fasilitas komersil wisata terbengkalai semenjak Rumah Makan Babakan Siliwangi terbakar. Kini sanggar seni ikut terkena imbasnya. Beberapa dari para seniman pindah ke Jalan Tamansari dan membuka sanggar seni dengan konsep serupa, namun beberapa di antaranya terus mencoba bertahan meskipun jumlah orang yang datang untuk mengapresiasi karya seni mereka tidak sebesar jumlah di tahun-tahun sebelumnya. Para seniman yang bertahan untuk mengelola sanggar seni di Babakan Siliwangi ini masih berharap bahwa suatu saat, kawasan ini bisa berfungsi vital kembali seperti masa kejayaannya beberapa tahun yang lalu.
44
Gambar 4.1. Peta Tata Guna Lahan Wilayah Studi Sumber: Citra Quickbird Wilayah Bojonegara dan Tegallega (2008)
45
B. KONDISI BIOFISIK Secara topografi, DAS Cikapundung dapat dibagi menjadi 3 bagian yakni bagian atas mulai dari Dago Bengkok ke arah utara merupakan daerah perbukitan dengan kemiringan antara 30 – 50%, bagian tengah mulai dari Dago Bengkok hingga sekitar Jembatan Jl. Soekarno-Hatta yang merupakan daerah berombak dengan kemiringan antara 3 – 8%, dan bagian bawah (hilir) mulai dari sekitar Jembatan Jl. Soekarno-Hatta hingga Sungai Citarum merupakan daerah dataran dengan kemiringan 0 – 3%. Wilayah Aliran Sungai Cikapundung Tengah yang menjadi wilayah studi dalam penelitian ini mencakup lima kelurahan, mulai dari Kelurahan Cipaganti, Kelurahan Lebak Siliwangi, Kelurahan Tamansari, Kelurahan Babakan Ciamis, hingga Kelurahan Braga. Klasifikasi kemiringan di wilayah penelitian ini berada pada kelas kemiringan I, dengan persentase 0 – 8%. Pemanfaatan lahan di wilayah penelitian yang sebagian besar digunakan sebagai kawasan pemukiman menyebabkan fungsi biologis lingkungan tidak terlihat mencolok. Lingkungan di wilayah penelitian yang masih mencirikan lingkungan kondusif bagi kelangsungan hidup satwa dan flora sangat terbatas karena jumlah ruang terbuka hijau berupa hutan kota, maupun taman sangat terbatas. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah ruang terbuka hijau yang hanya 8,1 % dari total 351,1 hektar luas wilayah penelitian (ditunjukkan dalam tabel 4.3). Selain itu, karena badan air yang tercemar oleh limbah rumah tangga dan industri masyarakat menyebabkan tidak berkembangnya ekosistem sungai yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.
46
C. KONDISI HIDROLOGI Berdasarkan data BPLHD Propinsi Jawa Barat, kawasan DAS Cikapundung merupakan bagian dari daerah tadah sungai Citarum Hulu yang bermata air dari lereng perbukitan vulkanik yang mengitari dataran dengan luas daerah pengaliran 14.430 ha. Sungai Cikapundung pun dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian hulu sungai di daerah Cigulung Maribaya dan Cikapundung Maribaya, bagian tengah mulai dari Cikapundung Gandok hingga Cikapundung Pasirluyu, serta bagian hilir di daerah muara Sungai Citarum, Dayeuh Kolot Kabupaten Bandung. Panjang maksimal dari sungai ini kurang lebih 28 km. Purnomo (Asdak, 1995) menyebutkan bahwa aliran sungai bagian tengah merupakan daerah peralihan antara bagian hulu dengan bagian hilir dan mulai terjadi pengendapan. Ekosistem tengah sebagai daerah distributor dan pengatur air, dicirikan dengan daerah yang relatif datar. Daerah aliran sungai bagian tengah menjadi daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang berbeda antara hulu dengan hilir. Bagian tengah sungai (Tn, 2010) digambarkan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut. 1. Arus yang tidak begitu deras, daya erosinya mulai berkurang, 2. Arah erosi ke bagian dasar dan samping, 3. Palung sungai berbentuk U (konkaf), 4. Mulai terjadi pengendapan (sedimentasi) dan sering terjadi meander yaitu kelokan sungai yang mencapai 180° atau lebih.
47
Berdasarkan hasil penelitian langsung dan studi wilayah penelitian dengan menggunakan peta, dapat dilihat bahwa wilayah penelitian berada di bagian tengah DAS Cikapundung dengan ciri-ciri yang hampir sama seperti gambaran di atas. Karakteristik badan air di wilayah penelitian berkelok-kelok dengan arus yang tidak begitu deras. Potensi erosi yang terdapat pada sempadan bisa dikatakan cukup besar mengingat tingginya jumlah pemukiman yang berada di garis sempadan sungai. Banyaknya pemukiman ini menyebabkan terjadinya sedimentasi hasil buangan penduduk. Pengendapan limbah buangan yang dialirkan langsung ke sungai menyebabkan kedalaman badan air menjadi lebih landai. Selain itu di beberapa titik badan air terjadi penyempitan badan sungai akibat pengendapan, seperti yang ditemukan di Kelurahan Babakan Ciamis dan Braga. Banyaknya limbah buangan yang mengendap menyebabkan terjadinya penyempitan badan air di tepi kanan dan kiri sungai. Kondisi badan sungai di daerah Lebak Siliwangi yang curam dan memiliki banyak batu besar. Beberapa titik badan air wilayah penelitian yang datar dan bisa dimanfaatkan untuk kegiatan rekreasi air adalah kawasan Viaduct hingga Braga. Debit maksimum air tahunan DAS Cikapundung di beberapa titik penghitungan yang dilakukan oleh PUSAIR (Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air) ditunjukkan pada tabel di bawah ini.
48
Tabel 4.1 Debit Maksimum Air Tahunan DAS Cikapundung Tahun
2003 2004 Luas (ha)
Debit Maksimum Cigulung Maribaya (m3/detik) 7.19 7.13 3753.54
Debit Maksimum Cikapundung Maribaya (m3/detik) 18.75 16.96 3987.52
Debit Maksimum Cikapundung Gandok (m3/detik) 62.60 73.30 6688.94 (Luas Dayeuh Kolot)
Debit Maksimum Pasir Luyu (m3/detik) 24.60 56.36 sampai hilir
Keterangan
Luas Digitasi
Hasil
Sumber: BAPPEDA Kota Bandung (PUSAIR, 2005) Lokasi penghitungan debit dilakukan di sebelas titik dimulai dari Jembatan Siliwangi sampai Jembatan By Pass. Data mengenai debit maksimum air tahunan aliran Sungai Cikapundung yang melintas di Kota Bandung ditunjukkan dalam tabel di bawah ini. Tabel 4.2 Debit Maksimum Air Tahunan DAS Cikapundung Kota Bandung No
Lokasi Jembatan
Debit (Q5) m3/detik 77.36
Kec (V) m/det 1.5
Luas (A) m2 51.57
Lebar (l) m 26
Tinggi Muka Air (t) m 1.98
Tinggi Tanggul m 2.00
1
Siliwangi
2
Wastukancana
77.36
1.5
51.57
17.4
2.96
1.98
3 4
Pabrik Kina Viaduct
77.36 77.36
1.5 1.5
51.57 51.57
11.4 12.6
4.52 4.09
3.80 5.57
5 6
Banceuy Asia Afrika
77.36 77.36
1.5 1.5
51.57 51.57
16.2 13.3
3.18 3.88
3.15 3.23
7
Dalem Kaum
77.36
1.5
51.57
13.2
3.91
3.42
8 9
Lengkong Besar Karapitan
77.36 77.36
1.5 1.5
51.57 51.57
14.2 15.9
3.63 3.24
2.92 3.48
10 11
Lingkar Selatan By Pass
77.36 77.36
1.5 1.5
51.57 51.57
19.7 22.4
2.62 2.39
2.37 1.88
Sumber: Western Java Environmental Management Project (WJEMP) FS & PED For Cikapundung River DWW Facilities, BAPPEDA Kota Bandung (2004) Menurut BAPPEDA Kota Bandung (2005) permasalahan air yang terjadi di Sungai Cikapundung diawali oleh kerusakan lingkungan di Kawasan Bandung Utara (KBU) yang berfungsi sebagai wilayah tangkapan air. Lahan di KBU telah dirubah fungsinya menjadi peruntukan lain yang tidak
49
mendukung fungsi konservasi. Limbah industri dan rumah tangga yang banyak dibuang ke badan air tanpa pengolahan menambah buruk kondisi sungai. Kuantitas sungai yang menurun menjadi salah satu permasalahan di wilayah penelitian. Pada musim hujan air sungai meluap dan sering menyebabkan banjir. BPLHD Jawa Barat (2004) menunjukkan kondisi sebaliknya terjadi pada saat musim kemarau dimana debit sungai bisa mengalami penurunan hingga 30% dari debit maksimum yang ditunjukkan pada Tabel 4.1 dan 4.2. Penurunan kuantitas ini diperkuat dalam Laporan BAPPEDA Kota Bandung tahun 2004 menyebutkan bahwa Sungai Cikapundung sangat berfungsi dalam sistem pematusan yang mengalirkan air pada musim hujan, dimana debit air yang tersedia mencukupi untuk mengalirkan air. Selain itu Sungai Cikapundung dimanfaatkan untuk menjadi sumber tenaga listrik tenaga air (PLTA Bengkok), sumber baku air minum (PDAM Bantarawi, Cikapayang), dan perikanan (keramba). Selain mengalami permasalahan dari segi kuantitas, kualitas air permukaan Sungai Cikapundung pun kian memburuk. Berdasarkan penelitian Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Propinsi Jawa Barat, kualitas air Sungai Cikapundung yang masih baik hanya terlihat di beberapa lokasi hulu saja, sedangkan sisanya mulai dari bagian tengah sampai ke hilir malah semakin memprihatinkan. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian BPLHD terhadap kualitas air Sungai Cikapundung dengan menggunakan beberapa indikator pencemar. Hasil penelitian kualitas air di
50
beberapa titik aliran Sungai Cikapundung yang menggunakan indikator yakni BOD, dan COD ditunjukkan dalam Gambar 4.3 dan 4.4.
D. KONDISI KLIMATOLOGI Iklim di Kota Bandung dipengaruhi oleh angin musim yang menghasilkan hujan serta iklim pegunungan yang lembab dan sejuk dengan rata-rata temperatur 18o C dan 24o C di setiap tahunnya. Pada tahun 2003 memiliki rata-rata curah hujan bulanan 225.6 mm dengan rata-rata hari hujan 150. Setiap tahunnya terdapat perbedaan besar hujan harian maksimum.
E. KONDISI SOSIAL MASYARAKAT Hampir dari sepanjang bantaran Sungai Cikapundung sekitar 10,57 kilometer terdapat kurang lebih 1.058 bangunan yang dihuni sekitar 71.000 jiwa (BAPPEDA Kota Bandung, 2005). Data Laporan WJEMP Kota Bandung tahun 2004 menyebutkan bahwa dari sepanjang 9,7 km panjang Sungai Cikapundung yang melintas mulai dari Jembatan Siliwangi sampai dengan Jalan Sukarno Hatta terdapat 70.770 jiwa atau sebanyak 16.491 Kepala Keluarga. Data yang dilaporkan tersebut menunjukkan beberapa kelurahan yang termasuk dalam wilayah studi dengan jumlah penduduk yang cukup menonjol. Kondisi jumlah penduduk yang tinggi terdapat di Kelurahan Tamansari yaitu sebanyak 20.882 jiwa (23,9%) serta Kelurahan Cipaganti dan Lebak Siliwangi dengan total jumlah penduduk 13.201 jiwa (15,1%).
51
Dari segi tingkat pendidikan, jumlah penduduk yang menamatkan SMA di wilayah studi cukup menonjol. Hal ini ditunjukkan dalam persentase komposisi anggota rumah tangga berdasarkan pendidikan yang terdapat dalam Laporan WJEMP tahun 2004. BAPPEDA (2005) menemukan terdapat 35,4% sampai dengan 43,6% penduduk dengan pendidikan terakhir SMA di setiap kelurahan atau RW. Namun dalam laporan disebutkan bahwa jumlah penduduk dengan pendidikan terakhir SD ke bawah yang tertinggi terdapat di wilayah studi, yaitu di Kelurahan Lebak Siliwangi, Kelurahan Cipaganti, serta Kelurahan Tamansari. BAPPEDA Kota Bandung (2005) pun menyebutkan bahwa Laporan WJEMP menunjukkan jenis pekerjaan penduduk di bantaran Sungai Cikapundung. Jenis mata pencaharian yang paling banyak ditekuni penduduk adalah sebagai wiraswasta (23,5%) dan sebagai pedagang (23,1%).
F. ANALISIS TAPAK 1. Analisis Aksesibilitas Beberapa titik di wilayah penelitian merupakan kawasan pemukiman padat. Hal ini menyebabkan akses untuk menuju sempadan sungai sangat terbatas. Salah satu contoh titik dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi adalah di ruas sungai yang melintasi Kelurahan Cipaganti. Kondisi pemukiman di kawasan ini padat bertumpuk dengan letak bangunan yang berada di bibir sungai. Kepadatan penduduk ini menyebabkan kendaraan tidak dapat mengakses langsung sempadan sungai, karena akses jalan di
52
kawasan pemukiman hanya berupa jalan-jalan kecil atau gang yang ratarata masih berupa jalan tanah yang hanya bisa dilalui oleh pejalan kaki dan sepeda motor. Sempadan sungai yang bisa dikategorikan memenuhi standar dalam artian jauh dari kawasan pemukiman bisa ditemukan di kawasan Viaduct dan sebagian kawasan Pasar Cikapundung. Dua kawasan sempadan sungai ini lebih mudah diakses karena dilalui jalan raya. Selain dapat dileawati kendaraan bermotor, banyak masyarakat yang memanfaatkan keberadaan jalur pejalan kaki yang terdapat di kawasan Viaduct untuk menuju beberapa tempat, mengingat kawasan ini adalah kawasan strategis. Keberadaan taman di sekitar sempadan dimanfaatkan para pejalan kaki untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan mereka. Kawasan Viaduct ini memiliki potensi lokasi strategis di pusat kota, karena dari kawasan ini bisa mengakses beberapa kawasan yang pusat aktivitas penduduk Kota Bandung, yakni terletak beberapa badan usaha, terdapat objek dan bangunan sejarah, akses menuju kawasan Braga, kantor pemerintahan walikota, hingga akses ke pusat perdagangan Pasar Baru dan Banceuy. Akses menuju sempadan sungai yang terbilang sulit di beberapa titik menyebabkan pemerintah tidak bisa melakukan pengerukan dan normalisasi sungai secara optimal. Kegiatan pengerukan sungai membutuhkan akses yang sangat memadai mengingat alat yang digunakan adalah alat-alat berat. Keterbatasan akses ini menghambat
53
mobilitas pemerintah untuk memasukan alat berat pengeruk dan hingga saat ini pengerukan baru bisa dilakukan di kawasan PLN Cikapundung.
2. Analisis Tata Guna Lahan Dari peta tata guna lahan yang ditunjukkan dalam Gambar 4.1 terlihat bahwa kawasan pemukiman mendominasi wilayah studi. Berdasarkan data Pemerintah Kota Bandung tahun 2004, dalam program Gerakan Cikapundung Bersih Melalui Revitalisasi Sungai Cikapundung disebutkan bahwa dari panjang lintasan sungai di kota Bandung kurang lebih 15,5 km, sekitar 10,57 km panjang lintasan sungai (68,20%) merupakan daerah pemukiman padat. Dari laporan itu disebutkan bahwa setidaknya terdapat 1.058 bangunan yang terdapat di daerah bantaran sungai. Sementara itu, Kelurahan Lebak Siliwangi adalah satu-satunya daerah administrasi yang masih memiliki hutan kota yaitu daerah Lebak Siliwangi dan Kebun Binatang Bandung. Komposisi pemanfaatan lahan di wilayah studi dalam persen ditunjukkan dalam tabel 4.3. a. Lahan Terbangun dan RTH Tabel di bawah ini menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan yang sangat signifikan antara jumlah lahan terbangun dengan lahan yang dimanfaatkan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang juga berfungsi sebagai area konservasi air. Jumlah lahan terbangun seperti yang ditunjukkan Peta Tata Guna Lahan. Sebagian besar dimanfaatkan sebagai pemukiman, yakni seluas 222,37 ha atau sekitar 63,33% dari
54
luas lahan keseluruhan. Sementara itu hanya 30.139 ha (8,5%) dari total lahan 351,1 ha.RTH yang mencakup taman, hutan kota, kolam, dan area olahraga. Tabel 4.3 Jenis Pemanfaatan Lahan Wilayah Studi No
1
Kategori
Lahan Terbangun
Jenis Pemanfaatan
Luas
Lahan
(Ha)
Persentase (%)
Pemukiman
222,37
63,33
Institusi
45,68
13,01
Instansi
23,08
6,57
Bangunan Besar dan
29,80
8,48
Sport Area
4,42
1,25
Taman
2,05
0,58
Hutan Kota
17,49
4,98
Kolam
6,179
1,75
351,1
100%
Tinggi 2
Ruang Terbuka Hijau
Total
Sumber : Hasil Analisis (2010) Kondisi yang kontras ini membuat kualitas daerah sempadan sungai secara visual bisa dikategorikan sangat buruk. Jumlah lahan konservasi air berkurang akibat tingginya alih fungsi lahan menjadi kawasan pemukiman. Berkurangnya jumlah lahan hijau yang berganti menjadi pemukiman padat berhimpit yang hampir sebagian besar memiliki pola membelakangi sungai ini memberikan imbas negatif terhadap kualitas dan kuantitas air. Jumlah lahan resapan air menjadi berkurang karena aktivitas alih fungsi lahan membuat jumlah RTH semakin berkurang dan air hujan tidak bisa diserap secara maksimal. Pola bangunan pemukiman yang berada di garis sempadan sungai yang
55
hampir semuanya membelakangi sungai membuat Perilaku masyarakat yang sering membuang sampah langsung ke sungai ini mengakibatkan bertumpuknya sampah di sepanjang sungai yang tidak jarang memenuhi badan sungai dan mengakibatkan luapan banjir. Aktivitas pembuangan limbah rumah tangga ini pun secara signifikan mempengaruhi kualitas air sungai. Kualitas air sungai yang buruk mengakibatkan masyarakat tidak bisa lagi memanfaatkan air sungai sebagai pemasok kebutuhan sehari-hari. Tabel 4.4. Gambaran Lahan Terbangun di Sempadan Sungai Cikapundung Variabel
Uraian
a. Penggunaan dan status lahan
Dominasi lahan merupakan pemukiman yang sebagian besar merupakan milik pemerintah
b. Status Kepemilikan Bangunan Hunian dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
Cara memperoleh tanah menyewa dan membeli. Sebanyak 46% merupakan pemilik bangunan dan 54 % sisanya adalah penyewa. Lebih dari setengah populasi (54%) tidak memiliki IMB dan sisanya tidak mengetahui ada tidaknya IMB.
c. Kondisi Bangunan
Kondisi bangunan dominasi permanen dan sebagian kecil semi permanen. Jarak bangunan dengan sempadan sungai dari 0 – 3 m.
Sumber: BPLHD Jawa Barat (2008) dan Hasil Analisis (2009)
Peta tata guna lahan dan tabel gambaran tata guna lahan sempadan di atas menunjukkan bahwa dari lima kelurahan yang menjadi wilayah studi penelitian ini memiliki permasalahan yang hampir seragam, yaitu padatnya pemukiman penduduk. Kepadatan pemukiman ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
56
1) Meskipun lahan sempadan sungai kepemilikannya didominasi oleh pemerintah, tetapi ada banyak penduduk yang mengaku bahwa tempat dimana mereka mendirikan tempat tinggal itu adalah tanah yang diberikan oleh leluhur mereka. Kepemilikan tanah ini pun bisa berganti melalui kegiatan sewa tanah atau jual-beli tanah. 2) Banyaknya kaum pendatang mendorong pemilik bangunan untuk memperluas atau memperbesar huniannya agar bisa mendapatkan keuntungan melalui penyewaan kamar atau rumah itu sendiri. 3) Padatnya pemukiman di sempadan sungai disebabkan pula oleh masih banyaknya masyarakat yang tidak mengerti dan tidak peduli akan adanya peraturan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Pemerintah 4) Posisi bangunan yang padat dan membelakangi sungai disebabkan oleh
kurangnya
pengetahuan
pemanfaatan sempadan sungai.
masyarakat
mengenai
aturan
57
58
b. Badan Sungai Badan Sungai Cikapundung belum dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah dan masyarakat. Tingginya tingkat pemukiman di sepanjang sempadan sungai dan tercemarnya sungai mungkin adalah beberapa hal yang mempengaruhi kondisi badan air sungai itu sendiri. Kondisi fisik dan kendala yang ditemukan pada badan air Sungai Cikapundung di wilayah studi digambarkan sebagai berikut: 1) Daerah aliran mulai batas kota di daerah Dago hingga Jembatan Babakan Siliwangi yang panjang aliran sungainya sekitar 3 km, beberapa di antara tebing sungainya rawan longsor, khususnya di kawasan antara Bandung Leuwi Limus sampai dengan Jembatan Babakan Siliwangi (BAPPEDA Kota Bandung, 2005). Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya pemukiman penduduk yang menghuni sepanjang garis sempadan sungai. Pada saat kegiatan penelitian dilakukan, ditemukan sejumlah bangunan yang berada di garis sempadan sungai dengan jarak 0 – 3 m yang dimanfaatkan untuk pemukiman. Pemukiman yang berada tepat di bibir sungai ini menyebabkan banyaknya masyarakat yang membuang sampah langsung ke sungai dan menyebabkan sampah bertumpuk dan bersedimentasi. Selain rawan longsor, pada saat turun hujan sungai yang bersedimen dan menjadi lebih landai sering meluap dan berpotensi banjir.
59
2) Sempadan Jembatan Babakan Siliwangi – Lintas Jalan Tol dengan panjang ruas kurang-lebih 12 km dipadati oleh bangunan ilegal yang berada di garis sempadan sungai yang mempersempit lebar dasar sungai. Hasil penelitian pun menunjukkan bahwa di wilayah studi mulai dari Jembatan Siliwangi – Kantor PLN Cikapundung banyak terdapat tanggul kritis yang rawan longsor dan banjir karena terjadinya pendangkalan dasar sungai akibat tingginya sedimentasi.
Gambar 4.3. Pemukiman Padat di Sempadan Sungai Ruas Cihampelas Sumber: Dokumentasi (2010) 3) Perbedaan kondisi fisik badan air menyebabkan tidak semuanya bisa dimanfaatkan untuk kegiatan rekreasi air. Badan Sungai Cikapundung yang datar dan sebenarnya memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai media rekreasi air rata-rata mengalami kendala sedimentasi yang menyebabkan pendangkalan. Selain itu kondisi sungai yang curam dan berbatu besar seperti yang terdapat di Jembatan Babakan Siliwangi tidak memungkinkan untuk
60
dikembangkan kegiatan rekreasi air bilamana area tersebut divitalkan sebagai kawasan wisata.
Gambar 4.4 Kondisi Permukaan Badan Sungai Lebak Siliwangi Sumber: Dokumentasi (2010)
4) Beberapa daerah di wilayah studi yang rawan sedimentasi dan perlu dilakukan pengerukan adalah daerah Babakan Siliwangi, Tamansari Hilir, Pajajaran Hilir, Kebon Sirih, Viaduct, dan PLN Cikapundung. Sedangkan permasalahan yang dihadapi untuk kegiatan pengerukan ini adalah sulitnya akses menuju sempadan untuk memasukan alat pengeruk. Menurut Dinas Pengairan (2009), kegiatan pengerukan sebetulnya bisa dilakukan secara manual akan tetapi memerlukan biaya yang jauh lebih besar dan pengangkatan hasil kerukan lebih sulit dilakukan. Pemerintah Kota Bandung pun belum memiliki rencana jangka panjang untuk menanggulangi permasalahan dan juga menghadapi kendala dalam segi pendanaan, bilamana kegiatan ini harus dilakukan secara rutin.
61
3. Analisis Perilaku Masyarakat Terhadap Air Sungai Buruknya perilaku masyarakat adalah penyebab timbulnya masalah rusaknya kualitas fisik badan Sungai Cikapundung. Terganggunya kualitas fisik badan sungai disebabkan oleh berubahnya lahan konservasi di sempadan sungai menjadi kawasan pemukiman. Kondisi ini tidak hanya merusak kualitas visual lingkungan, namun fisik badan air permukaan Sungai Cikapundung terganggu oleh banyaknya limbah yang dibuang masyarakat dan industri langsung ke sungai. Perilaku masyarakat ini memberikan dampak yang besar terhadap pencemaran air sungai. Baik secara visual maupun menurut hasil uji laboratorium, air Sungai Cikapundung memiliki kualitas yang buruk. Selama kegiatan penelitian berlangsung, di beberapa sempadan terdapat sedimentasi sampah dan limbah buangan masyarakat, seperti yang ditunjukkan dalam gambar 4.5 dan 4.6. Selain membuat sungai semakin sempit dan dangkal, limbah dan sampah yang dibuang masyarakat ke sungai membuat air sungai keruh dan berbau di beberapa titik.
Gambar 4.5. Warga Sedang Membuang Sampah ke Sungai Sumber: Dokumentasi (2010)
62
Gambar 4. 6. Kondisi Sempadan Kawasan Viaduct Sumber: Dokumentasi (2009)
Pada saat penelitian dilakukan, terdapat beberapa masyarakat yang membuang sampah ke sungai. Beberapa masyarakat datang membawa beberapa kantung karung dan kemudian mengeluarkan satu per satu isinya yang dihanyutkan ke sungai. Selain membuang sampah dan limbah dapur, beberapa masyarakat membuang produk-produk sandang dan papan yang sudah tidak mereka pakai lagi. Barang-barang seperti papan triplek bekas, sepatu, dan beberapa pakaian dibuang begitu saja ke sungai tanpa ada perasaan bersalah atau malu. Ketika ditanya, alasannya pun beragam. Kebanyakan dari masyarakat yang membuang sampah ke sungai tersebut merasa malas menunggu petugas kebersihan yang masih jarang datang untuk mengumpulkan sampah. Kelurahan Braga adalah salah satu titik yang paling memprihatinkan dimana banyak terdapat sampah yang tertimbun di sungai, ditambah lagi dengan buruknya jaringan drainase yang jumlahnya masih terbatas yang
63
membuat limbah yang langsung dialirkan ke sungai menimbulkan bau yang mencolok. Secara visual, kondisi air dan sempadan yang juga kotor menimbulkan kesan yang kumuh. Beberapa titik di Kelurahan Braga, yaitu di kawasan Viaduct dan Pasar Banceuy yang merupakan kawasan komersil dan salah satu ikon kawasan sejarah kota, sempadan sungai dan badan air yang tercemar oleh sampah dan limbah yang berbau. Untuk menguji kualitas pengairan, terdapat beberapa parameter yang bisa digunakan. Dua dari sekian parameter yang paling banyak digunakan untuk menentukan pengairan tercemar atau tidak adalah BOD dan COD. BOD adalah parameter penduga jumlah oksigen yang diperlukan oleh perairan untuk mendegradasi bahan organik yang dikandungnya, sekaligus
merupakan
gambaran
bahan
organik
mudah
urai
(biodegradable) yang ada dalam air atau perairan yang bersangkutan. Bila uji BOD dilakukan tanpa perlakuan tertentu dan dengan suhu inkubasi setara suhu perairan, maka BOD dapat menggambarkan kemampuan perairan dalam mendegradasi bahan organik. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas dan Pengendalian Pencemaran Air mengatur baku mutu BOD bagi perairan yang yang dipergunakan untuk rekreasi air dan budidaya perikanan harus lebih kecil dari 3 mg/L. Hariyadi (Boyd, 1990) mendefinisikan COD (Chemical Oxygen Demand) sebagai jumlah oksigen yang diperlukan untuk mengurai seluruh bahan organik yang terkandung dalam air. Hal ini karena bahan
64
organik yang ada sengaja diurai secara kimia dengan menggunakan oksidator kuat kalium bikromat pada kondisi asam dan panas dengan katalisator perak sulfat (Boyd, 1990; Metcalf & Eddy, 1991) sehingga segala macam bahan organik, baik yang mudah urai maupun yang kompleks dan sulit urai, akan teroksidasi. Dengan demikian, selisih nilai antara COD dan BOD memberikan gambaran besarnya bahan organik yang sulit urai yang ada di perairan. Bisa saja nilai BOD sama dengan COD, tetapi BOD tidak bisa lebih besar dari COD. Jadi COD menggambarkan jumlah total bahan organik yang ada. COD adalah parameter penduga jumlah total bahan organik yang ada dalam air atau perairan, baik yang mudah urai maupun yang sulit urai. Dengan memperbandingkan nilai COD dan BOD, akan diketahui gambaran jumlah bahan organik persisten (sulit urai) yang terkandung di dalamnya. Menurut Salmin (2005), pengujian kualitas air sungai dengan menggunakan indikator ini dilakukan untuk menentukan tingkat pencemaran air buangan. Penentuan dengan menggunakan parameter ini sangat penting untuk menelusuri aliran pencemaran dari hulu ke muara, menyangkut pengukuran banyaknya oksigen yang digunakan oleh organisme selama organisme tersebut menguraikan bahan organik yang ada dalam suatu pengairan, pada kondisi yang hampir sama dengan kondisi yang ada di alam. Pemeriksaan BOD ini dianggap sebagai suatu prosedur oksidasi dimana organisme bertindak sebagai media untuk menguraikan bahan organik menjadi karbon dioksida (CO2) dan air (H2O).
65
Untuk mengetahui kualitas pengairan dengan menggunakan parameter ini, prinsip penentuannya bisa dilakukan dengan cara titrasi, idiometri, atau langsung dengan menggunakan alat DO-meter. Hasil pengujian kualitas air Sungai Cikapundung dengan parameter BOD di beberapa titik yang dilakukan BPLHD pada tahun 2004 ditunjukkan dalam grafik pada gambar berikut ini.
BOD
30
mg/L (ppm)
25 20 15 BOD
10 5 0 Dago Pakar
Wastukancana
Viaduct
Soekarno Hatta
Gambar 4.7. Kualitas Air Sungai dengan Indikator BOD (Biological Oxygen Demand) Sumber: BPLH Kota Bandung, 2008
Berdasarkan ketentuan baku mutu yang disebutkan BPLH, suatu pengairan dikatakan memiliki pencemaran yang rendah apabila kadar BOD yang terkandung berada di bawah angka 6 mg/L. Sedangkan Gambar hasil pengujian menunjukkan bahwa dari empat titik pengujian ditemukan kandungan BOD di atas baku mutu. Kawasan Dago Pakar dan Viaduct menunjukkan kebutuhan BOD yang lebih besar di atas baku mutu, yakni lebih dari empat kali lipat di atas baku mutu. Tingginya kebutuhan oksigen ini secara tidak langsung
66
menunjukkan tingginya pencemar yang perlu diuraikan oleh air permukaan. Kondisi pencemaran akan semakin lebih terlihat jika hasil pengujian yang ditunjukkan dalam Gambar 4.8 dibandingkan dengan ketentuan yang ditetapkan oleh PP No. 82/ 2001 yang mengatur parameter BOD untuk kelas pengairan kegiatan rekreasi air dan budidaya ikan adalah tidak lebih dari 3 mg/L.
Kawasan Viaduct
misalnya yang sebetulnya berpotensi untuk dikembangkan sebagai area rekreasi air ternyata nilai memiliki nilai BOD sembilan kali lipat (900%) lebih tinggi dari baku mutu yang ditetapkan.
COD
35 30 mg/L (ppm)
25 20 15 COD 10 5 0 Dago Pakar
Wastukancana
Viaduct
Soekarno Hatta
Gambar 4.8. Kualitas Air Sungai dengan Indikator COD (Chemical Oxygen Demand) Sumber: Konsultan WJEMP, BPLHD Propinsi Jawa Barat, 2004 Parameter umum lain yang biasanya digunakan untuk menguji kualitas pengairan adalah COD. Analisis secara sederhana mengenai nilai COD di beberapa titik pengujian yang ditunjukkan dalam Gambar 4.9 membuktikan bahwa nilai COD yang terdapat di wilayah penelitian melebihi baku mutu yang ditentukan oleh PP No.82/2001 yakni
67
sebesar 10 mg/L. Untuk menunjukkan jumlah pencemar yang sulit diuraikan dapat dilakukan dengan membandingkan jumlah COD dengan nilai BOD yang ada. Untuk titik Dago Pakar misalnya, nilai COD sejumlah 31,84 mg/L memiliki selisih 11,84 mg/L dengan kandungan nilai BOD. Hal ini menunjukkan tingginya jumlah pencemar yang sulit diuraikan pada air permukaan sungai. Kondisi yang sama juga ditunjukkan di beberapa titik lainnya, yakni di Wastukancana, Viaduct, dan Soekarno Hatta dimana semuanya memiliki selisih yang cukup besar dan memiliki nilai COD yang jauh lebih besar dari baku mutu yang sudah ditetapkan. Gambaran kedua grafik di atas menunjukkan bahwa sebagian besar aliran Sungai Cikapundung sudah tercemar. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya kadar pencemar yang rata-rata sudah melebihi ambang batas yang sudah ditentukan Pemerintah melalui PP No. 82 Tahun 2001. Beberapa titik di hulu sungai kandungan pencemar masih berada di ambang batas wajar. Hal ini bertolak belakang dengan kondisi di titik penelitian bagian tengah dan hilir sungai yang kandungan pencemarnya berada dalam jumlah yang tinggi. Hal ini disebabkan karena mulai dari titik Dago Pakar, sempadan sungai sudah mulai dipenuhi
pemukiman
masyarakat.
Kepadatan
masyarakat
ini
mengakibatkan volume limbah dan sampah yang dibuang langsung ke sungai semakin meningkat. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Organisasi Warga Peduli Lingkungan dalam sebuah artikel Harian
68
Umum Kompas (Maret 2007) yang menyebutkan bahwa setiap harinya ada lebih dari 60 juta ton sampah yang dibuang langsung ke Sungai Cikapundung. Kualitas sungai yang buruk sehingga tidak dapat dikonsumsi yang ditunjukkan dalam grafik pada gambar 4.7 dan 4.8 di atas disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya adalah sebagai berikut: 1) Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya air sungai dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Banyak dari masyarakat yang belum menyadari bahwa sungai bisa menjadi sumber kehidupan dan kesejahteraan mereka, seperti yang dirasakan masyarakat yang tinggal di sempadan Sungai Nil dimana sungai berperan sebagai sumber kehidupan dan pendukung berkembangnya peradaban di masyarakat. Salah satu penyebab dari kurangnya kesadaran masyarakat ini adalah karena mayoritas masyarakat yang tinggal di sempadan sungai ini adalah masyarakat kelas menengah ke bawah dengan tingkat pendidikan yang rendah, yakni di atas 20%. Dari keadaan ini dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi perilaku masyarakat untuk bersikap cerdas memilih mana perilaku yang merusak lingkungan atau menjaga lingkungan. Rendahnya memikirkan
tingkat dampak
pendidikan dari
membuat
perilakunya
masyarakat yang
justru
membahayakan bagi dirinya karena telah merusak lingkungan.
tidak bisa
69
2) Jumlah fasilitas kebersihan berupa tong sampah dan tempat penampungan sampah sementara masih terbatas. 3) Masih minimnya frekuensi petugas kebersihan yang datang untuk menampung dan mengangkut sampah. 4) Penegakan peraturan pemerintah mengenai kebersihan masih belum berjalan dan masih berupa peraturan yang bersifat persuasif yang dipajang di sebagian kecil tempat. 5) Pemenuhan kebutuhan drainase masih terbatas, terlihat dari jumlah tangki septik yang belum sesuai dengan jumlah pemukiman yang ada. Hanya sebagian kecil dari masyarakat yang tinggal di pemukiman di wilayah studi yang sudah memiliki sistem drainase yang standar. 6) Pembuangan sampah langsung ke sungai dianggap lebih praktis karena tidak harus menunggu petugas kebersihan yang datang. Masyarakat pun menganggap tindakan ini lebih ekonomis karena mereka tidak harus memberikan iuran kebersihan rutin (retribusi sampah yang dianggap memberatkan). 7) Program
pemerintah
untuk
membersihkan
sungai
belum
dilaksanakan secara rutin, yakni hanya dilakukan beberapa kali setahun saja. Bahkan program kali bersih yang terakhir kali dilaksanakan hanya dalam rangka menyambut acara tahunan Penghargaan Adipura. Selain karena sulitnya mengakses badan sungai dengan menggunakan alat berat, besarnya biaya yang
70
dibutuhkan untuk menggelar program ini menjadi salah satu kendala berjalannya program kali bersih secara rutin. Alternatif lain yang bisa dilaksanakan pemerintah berupa kegiatan penyuluhan terhadap masyarakat disertai penyediaan fasilitas kebersihan pun belum dioptimalkan.
4. Analisis Pertimbangan Estetika dan Lingkungan Pemukiman padat dan sampah menjadi dua masalah utama dalam revitalisasi ini bila dikaitkan dengan segi estetika dan lingkungan. Banyaknya sampah yang dibuang masyarakat sempat menjadi isu nasional mengenai Kota Bandung dalam beberapa tahun terakhir. Kota Bandung yang dikenal sebagai kota bunga yang bersih dan hijau, mengalami perubahan citra di masyarakat nasional akibat banyaknya sampah yang tidak dikendalikan. Jumlah pepohonan yang menjadi ruang terbuka hijau pun tergeser untuk memenuhi keperluan komersil dan pemukiman. Limbah rumah tangga yang dibuang langsung ke sungai menambah rumit masalah sampah di wilayah perkotaan. Di satu sisi, kawasan kumuh (slump area) mulai bermunculan akibat pemukiman padat dan pengolahan limbah yang tidak terkendalikan. Sedangkan di sisi lain, ancaman penyakit dan bahaya banjir pun menjadi akibat dari lingkungan yang tercemar oleh limbah.
71
Gambar 4.9 Kondisi Badan Air yang Mengalami Pendangkalan dan Sedimentasi Sumber: Dokumentasi (2009)
Gambar 4.10. Sampah yang Bertumpuk di Kawasan Pasar Cikapundung Sumber: Dokumentasi (2009)
Secara estetika, carut marutnya tata kota yang disebabkan oleh pemukiman dan limbah yang belum bisa diselesaikan pemerintah ini secara langsung mempengaruhi kualitas view kota Bandung itu sendiri. Hal ini bisa ditunjukkan di beberapa titik wilayah penelitian sebagai berikut: 1) Kawasan Babakan Siliwangi. Seperti yang sudah dipaparkan dalam sub bab yang membahas sejarah sebelumnya, kawasan ini pada masa
72
kolonial Belanda adalah salah satu ikon kota yang ditunjukkan pemerintah kepada wisatawan setiap mereka hendak mengunjungi objek wisata Gunung Tangkuban Parahu. Pemukiman yang jumlahnya masih sedikit masih mencerminkan keselarasan dengan adanya ladang pertanian milik penduduk setempat. Air sungai yang masih belum tercemar dipergunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk sebagai saluran irigasi ladang mereka. Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, kawasan pendidikan ITB diperluas dengan dibangunnya Sabuga. Pemerintah kota yang sudah menemukan adanya potensi di kawasan Babakan Siliwangi ini pun mengembangkan usaha restoran dan sanggar seni. Namun sayangnya pertumbuhan masyarakat yang disebabkan oleh tingginya angka penduduk pendatang menyebabkan jumlah pemukiman semakin tinggi. Jumlah pemukiman menyemut yang mayoritas dihuni kalangan masyarakat menengah ke bawah ini kontan menjadi hal yang kontras dengan upaya pemerintah dalam mengembangkan kawasan Babakan Siliwangi. Dari segi upaya pemerintah untuk menjadikan kawasan sebagai daya tarik bagi wisatawan ditambah dengan keberadaan Sasana Budaya Ganesha milik ITB yang megah berbanding terbalik dengan padatnya pemukiman yang terkesan kumuh yang terletak di sempadan sungai. Posisi rumah yang membelakangi sungai pun secara visual
73
mencerminkan rumah yang tidak sehat, dimana limbah rumah tangga bisa langsung dibuang ke sungai. 2) Keberadaan hutan kota di kelurahan ini berbanding terbalik dengan Kelurahan Cipaganti yang berada berseberangan dengan kawasan di Kelurahan Cipaganti. Kawasan pemukiman padat yang berada di Kelurahan Cipaganti menunjukkan kesan kumuh dan tidak memiliki nilai visual yang menarik. Pada kawasan ini sebetulnya memiliki potensi berupa lanskap bersejarah berupa Pemandian Tjihampelas dan kawasan pusat perbelanjaan Cihampelas Walk yang juga terletak di sempadan sungai. Bila sempadan sungai tertata rapi dan air sungai yang mengalir tidak tercemar, kedua kawasan ini pun akan berpotensi sebagai ruang publik untuk menikmati keindahan dan kenyamanan kawasan tepi air. Hal ini didukung dengan sudah adanya
aktivitas
yang
bisa
dilaksanakan
oleh
pengunjung.
Sayangnya, objek Pemandian Tjihampelas kini akan dialihfungsikan, sehingga kawasan perbelanjaan Cihampelas Walk menjadi satusatunya kawasan yang bisa dikembangkan menjadi salah satu ruang publik tepi air dengan beberapa fasilitas yang bisa diintegrasikan yaitu restoran, area belanja, dan fasilitas akomodasi. 3) Kawasan Kampus Unisba dan Unpas, Kelurahan Tamansari. Keberadaan institusi pendidikan menjadi salah satu alasan suatu kawasan menjadi kawasan penduduk. Kelurahan Tamansari adalah salah satu contoh dimana terdapat banyak mahasiswa pendatang
74
yang datang menjadi penduduk sementara. Pendatang yang kemudian tinggal untuk beberapa waktu itu pun tidak hanya mereka yang menjadi mahasiswa. Sebagian dari pendatang mencoba untuk mengadu peruntungan dengan membuka usaha di sekitar kampus. Kepadatan
bangunan
pemukiman
dan
lahan
komersial
ini
menyebabkan kawasan pendidikan di kelurahan ini terlihat penuh sesak dan padat. Keberadaan lapak-lapak yang letaknya tidak tepat menyebabkan kawasan sekitar kampus menjadi lebih ramai. Secara estetika hal ini bisa dilihat dari keseharian kondisi jalan yang sering padat oleh aktivitas mahasiswa yang lalu lalang menuju tempat dijajakannya berbagai barang yang dijual di sekitar area kampus yang tidak jarang menyebabkan sedikit kemacetan. Banyaknya limbah rumah tangga yang dibuang langsung ke sungai dan bercecerannya sampah di jalanan menunjukkan menurunnya kualitas lingkungan dan berkurangnya view daerah perkotaan. 4) Kawasan Viaduct, Kelurahan Babakan Ciamis. Lingkungan di kawasan ini sebetulnya sudah diciptakan sedemikian rupa agar bisa dinikmati oleh masyarakat yang melewati kawasan, baik mereka yang berjalan kaki maupun yang menggunakan kendaraan bermotor. Upaya pemerintah untuk menciptakan kawasan yang bersih dan mencerminkan kembali identitas kota yang hijau dan berbungai sebenarnya sudah mulai terlihat dari keberadaan taman yang berada di sempadan sungai. Namun ada beberapa hal yang masih perlu
75
menjadi perhatian. Keberadaan ruang yang ditambah dengan fasilitas bagi masyarakat untuk
beristirahat masih kurang. Keberadaan
bangku bagi masyarakat untuk beristirahat atau keberadaan halte untuk menunggu angkutan umum yang lewat masih belum disediakan. Hal ini menyebabkan daerah di sekitar taman dimanfaatkan oleh para tunawisma dan anak jalanan yang makin menambah kesan kumuh dan rawan tindak kejahatan. Selain itu, perilaku membuang limbah yang sudah ditemukan mulai dari daerah aliran yang lebih tinggi masih ditemukan di kawasan ini sehingga menambah volume limbah yang berada di sungai. Bahkan di daerah ini jumlah sampah lebih banyak hingga bersatu dengan lumpur yang bersedimentasi dan mempersempit badan sungai. Keterbatasannya jumlah tempat sampah dan frekuensi pembersihan lingkungan yang ditambah dengan buruknya pemandangan sampah yang terdapat di sungai dan sempadannya mengurangi keindahan kawasan yang bersejarah ini. Berkurangnya nilai kawasan yang seharusnya menarik ini juga dipengaruhi oleh keberadaan tempat penampungan sementara para pedagang Pasar Banceuy yang masih belum ditempatkan di kawasan perdagangan yang baru. Bentuk bangunan berupa lapak yang padat dan dibangun seadanya di seberang trotoar jalan sekitar Banceuy ini pun memberikan kesan kumuh. Belum tertatanya
lingkungan
di
kawasan
ini
menunjukkan
bahwa
76
masyarakat bersama pemerintah belum bersama-sama berupaya untuk membentuk identitas kota yang bersih, aman, dan nyaman. 5) Kelurahan Braga. Beberapa kawasan di kelurahan ini memiliki banyak peninggalan sejarah yang bernilai. Selain kawasan Jalan Braga yang sempat menjadi kawasan pusat belanja kalangan elit di masa penjajahan Belanda, kawasan ini memiliki banyak potensi lain yang sebetulnya bisa dikembangkan lebih baik. Pasar Cikapundung adalah kawasan yang sudah lama didirikan dan masih difungsikan sebagai tempat bagi sebagian masyarakat untuk mencari nafkah. Di sekitar pasar ini pun terdapat sebuah pusat perbelanjaan (mall) yang kini sudah tidak beroperasi lagi. Kawasan ini dianggap menjadi kawasan strategis karena letaknya dekat menuju Jalan Braga, Gedung Merdeka, Banceuy, dan pusat kota (alun-alun). Mungkin karena itulah di sepanjang jalan ini terdapat banyak sekali orang yang berdagang. Tepat di belakang Gedung Merdeka, yakni di sempadan sungai disediakan kawasan parkir yang difungsikan untuk menampung kendaraan pengunjung. Konsep itegrasi kawasan parkir ini sebetulnya sudah memenuhi standar sebuah objek wisata. Tetapi permasalahan estetika lingkungan sekitar masih mempengaruhi keindahan dan keasrian lingkungan. Sudah selayaknya bila suatu kawasan dikembangkan sebagai suatu objek wisata didukung penuh oleh pemeliharaan lingkungan. Namun hal tersebut belum bisa diterapkan di kawasan ini karena sampah banyak terdapat di mana-
77
mana, baik di sungai itu sendiri maupun di sempadan sungai. Sampah yang bersatu dengan sedimentasi lumpur mengurangi daerah aliran sungai. Secara visual ketidakteraturannya para PKL dan banyaknya sampah menumpuk yang juga berbau ini mengurangi keindahan pusat Kota Bandung dengan banyaknya bangunan peninggalan sejarah yang seharusnya ditata dengan lingkungan yang bersih. 6) Keberadaan
institusi
pendidikan
(kawasan
kampus)
terlihat
mempengaruhi dalam menentukan kualitas visual kawasan. Kawasan yang memiliki suatu institusi terlihat memiliki penataan lingkungan yang lebih baik. Hal ini ditunjukkan di kawasan Lebak Siliwangi dan Tamansari yang memiliki institusi perguruan tinggi, dimana lingkungan sekitarnya ditata sedemikian rupa sehingga memiliki sejumlah ruang yang dimanfaatkan sebagai taman yang memberikan kesan teduh.
5. Identifikasi Potensi Wisata Wilayah studi dalam penelitian memiliki sejumlah potensi wisata, mulai dari potensi sejarah, budaya, hingga belanja. Beberapa dari potensi yang dimiliki sudah menjadi objek yang sudah dikenal masyarakat luas dan menjadi tempat favorit wisatawan. Analisis potensi dan kendala wisata ditunjukkan dalam Gambar 4.11 dan Gambar 4.12.
78
79
80
Sebagian besar kawasan di wilayah penelitian sudah memiliki fasilitas fungsional yang mendukung pengembangan kawasan rekreasi. Dalam pengarahannya keberadaan fasilitas yang sudah ada harus diintegrasikan dengan penyediaan fasilitas yang belum tersedia dan perlu ditambahkan.
Sungai yang tercemar perlu ditingkatkan kualitasnya
sehingga aliran sungai dan pemandangan yang ada di sekitarnya bisa memperkuat posisi sungai sebagai poin menarik. Selain diperuntukkan sebagai jalur hijau, sebagian badan sungai dengan topografi yang menunjang dapat dipergunakan sebagai alternatif transportasi air. Ruang terbuka di sepanjang tepi sungai dapat berupa plaza dan taman. Keberadaan dua fungsi tersebut dapat berfungsi sebagai pemisah pusat kegiatan dan juga sebagai penghubung antar pusat kegiatan wisata di tepi air sehingga terbentuk konektivitas kegiatan linier. Inventarisasi potensi wisata yang berada di sepanjang Sempadan Sungai Cikapundung ruas Jalan Siliwangi sampai dengan Jalan Asia Afrika dikelompokkan sesuai dengan jenisnya dalam 4.5.
81
Tabel 4.5 Inventarisasi Potensi Wisata Wilayah Studi Jenis Potensi
Objek Potensi
1 Wisata Belanja dan Rekreasi
2 1) Cihampelas Walk 2) Premier Plaza 3) Factory Oultet Sepanjang Cihampelas
3 Kelurahan Braga
4) 5) 6) 7) 8) 9)
Kelurahan Tamansari Kelurahan Braga (Berbatasan dengan Kelurahan Babakan Jeruk dan Kelurahan Cikawao)
Pasar Bunga Wastukancana Pasar Baru Braga City Walk Kawasan Pertokoan Jalan Braga Pertokoan Jalan ABC Abdurrahman Bin ‘Auf Trade Center (ATC) 10) Pertokoan Palaguna dan AlunAlun Hiburan Malam
Wisata Alam Olahraga
dan
Wisata Seni – Budaya dan MICE
Wisata Pendidikan
Lokasi
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12)
Aristocrat Braga 98 R Karaoke Senator (Sentral Billiard) Bintang Scorpio Ibiza Prima Abadi New Caesar Palace Violet Resto & Cafe Roempoet North Sea Escobar
1) 2) 3) 1)
Babakan Siliwangi Lapangan Sabuga ITB Kebun Binatang Bandung Sanggar Olah Seni Babakan Siliwangi Gedung SABUGA ITB Pusat Kesenian Jalan Naripan Pelukis Sepanjang Jalan Braga Institut Teknologi Bandung (ITB) Universitas Pasundan (UNPAS) Universitas Islam Bandung (UNISBA)
2) 3) 4) 1) 2) 3)
Kelurahan Braga
Kelurahan Lebak Siliwangi
Kelurahan Lebak Siliwangi
Kelurahan Braga Kelurahan Lebak Siliwangi
Kelurahan Tamansari
82
Tabel 4.5 (Lanjutan) Wisata Sejarah
Kelurahan Babakan Ciamis
1) Gedung Indonesia Menggugat 2) Gedung PT Kereta Api Indonesia 3) Kawasan Jembatan Viaduct 4) Kawasan Pertokoan Braga 5) Gedung Perusahaan Listrik Negara (PLN) Cikapundung 6) Gedung Merdeka
Fasilitas Akomodasi
1) 2) 3) 4)
Kelurahan Braga
Kelurahan Cipaganti
Hotel Sensa Hotel Aston Tropicana Hotel Kedaton Hotel Aston Braga City Walk
Kelurahan Braga
5) Hotel Savoy Homann
Kelurahan Cikawao
Sumber: Hasil Analisis (2009)
6. Strategi Revitalisasi a. Rencana Pengelolaan Sungai Untuk dapat mengembangkan wilayah studi sebagai kawasan wisata, perbaikan kualitas lingkungan sempadan sungai harus menjadi prioritas utama untuk lebih dahulu diselesaikan. Pemerintah sudah seharusnya menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dalam penataan kawasan mulai dari kualitas dan kualitas air sungai, hingga permasalahan lain yang terdapat di sempadan sungai. Beberapa rencana tindak (strategi) yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan lingkungan melalui kegiatan revitalisasi kawasan adalah sebagai berikut. 1) Menjaga
penggunaan
dialihfungsikan
lahan
menjadi
di
bagian
pemukiman
hulu dengan
agar
tidak
membatasi
83
pembangunan dan aktivitas lain yang mengakibatkan berkurangnya ruang terbuka hijau dan kawasan hutan. Kawasan hulu harus dipertahankan fungsinya sebagai kawasan lindung. Pembebasan lahan di bagian hulu harus diiringi dengan menambah tanaman penyangga. 2) Melakukan normalisasi sungai. Kegiatan ini dilakukan dengan cara memperlebar badan sungai dan menambah kedalaman permukaan air sungai, melalui metode pengerukan sungai. Menurut BPLHD Jawa Barat (2008), umumnya kegiatan ini akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan debit awal. Apabila dilakukan pelebaran sungai dua kali semula, disertai dengan pengerukan sedalam dua kali semula misalnya, maka debit sungai yang baru adalah empat kali dari debit sungai sebelumnya. Upaya pelebaran sungai bisa dilakukan pada lokasi sekitar sungai yang tepi kanan dan kirinya belum dipadati oleh pemukiman penduduk, yakni di bagian hulu sungai. Sementara itu upaya pengerukan sungai dapat dilakukan di kawasan perkotaan (bagian tengah sungai) dimana upaya pelebaran akan sulit untuk dilakukan. 3) Membangun sumber air cadangan yang bisa digunakan saat musim kemarau melalui sumur resapan. Selain itu pemerintah harus memperbaiki saluran drainase untuk meresapkan air ke dalam tanah. Pemerintah harus merancang peta drainase dengan
84
mengupayakan konsep konservasi sehingga air hujan bisa dialirkan menuju badan air terdekat. 4) Menggiatkan kembali Program Kali Bersih. Kegiatan pembersihan sungai sebaiknya dilakukan secara rutin dan lebih melibatkan banyak pihak. Sejauh ini program hanya dilakukan saat musim hujan akan datang atau saat banjir sudah menjadi bencana bagi warga yang tinggal di sempadan sungai. Selain itu kegiatan hanya dilakukan saat menjelang perhelatan suatu acara besar di Kota Bandung (seperti Peringatan Konferensi Asia Afrika). Kegiatan ini sebaiknya menjadi salah satu program rutin yang bisa dilakukan dalam frekuensi yang lebih tinggi, seperti 2 bulan sekali. Dalam kegiatan operasionalnya pun harus bisa memberdayakan aparat kebersihan, keamanan, termasuk masyarakat yang tinggal di sekitar sungai. Untuk pendanaan, pemerintah bisa menggalang dana melalui kerja sama dengan pihak swasta. 5) Merealisasikan aturan sempadan sungai. Pemerintah harus bisa menegakkan aturan pemanfaatan lahan di sekitar sempadan mulai dari hulu hingga ke hilir sungai. Lahan sempadan si hulu sungai harus bebas dari aktivitas masyarakat yang mengubah fungsi kawasan lindung sejauh 50 meter di tepi kanan dan kiri sungai (BPLHD, 2008). Sementara untuk daerah perkotaan sempadan harus dibebaskan dari pemukiman masyarakat sekurangnya 11 meter di tepi kanan dan kiri sungai.
85
6) Melakukan sosialisasi mengenai fungsi kawasan lindung dan sempadan sungai, disertai dengan memberikan informasi akan sanksi yang bisa dijatuhkan kepada mereka yang melanggar. Peraturan
yang
ditetapkan
sebaiknya
ditegakkan
kepada
masyarakat yang melanggar untuk membuat mereka jera. 7) Melanjutkan Fokus Grup Diskusi (FGD) yang sudah pernah dibentuk dengan melibatkan masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan pemukiman padat. Alternatif untuk menanggulangi pemukiman padat ini adalah dengan membangun rumah susun. Menurut BPLHD (2008) sejauh ini masyarakat sudah memberikan dukungan dan tidak keberatan akan usulan ini, asalkan pemerintah bisa menyepakati keinginan penduduk dalam beberapa hal. Agar mendapatkan dukungan keberhasilan program dari penduduk sekitar, pemerintah harus bisa memberikan kepastian dan kejelasan mengenai waktu pelaksanaan rumah susun, termasuk memberikan ganti rugi yang pantas bagi para pemilik rumah dan bangunan yang tergusur akibat program penataan ini. Selain itu pemerintah pun sebaiknya memenuhi harapan masyarakat agar membangun rumah susun yang harganya bisa dijangkau kemampuan ekonomi warga setempat. 8) Memperbaiki sistem utilitas lingkungan, dengan membuat sistem pengolahan air limbah domestik dan juga pengolahan limbah padat. Pembuatan sistem pengolahan air limbah domestik ini bisa
86
diaplikasikan di kawasan rumah susun yang dapat meminimalisasi pencemaran di sempadan sungai. BPLHD (2008) menyebutkan bahwa salah satu sistem pengolahan air limbah domestik yang terbutkti efektif untuk meminimalisasi pencemaran adalah dengan memakai Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) jenis Johkasou. Kata Johkasou berasal dari kosakata Jepang yang berarti tangki penjernihan. Sistem ini merupakan pengolahan air limbah yang menggabungkan
sistem
anaerobik
dan
aerobik
dengan
menggunakan aerasi dan dilengkapi sistem disinfeksi. Instalasi jenis ini mengolah air limbah melalui kombinasi antara pengolahan fisik, seperti sedimentasi dan pemisahan, serta pengolahan biologi, seperti
dekomposisi
materi
organik
dengan
menggunakan
mikroorganisme. Selain pengolahan air limbah, penyediaan tempat pembuangan sampah sementara untuk menampung limbah padat harus berada dekat dengan pemukiman warga dengan jumlah yang banyak dan menambah frekuensi pengangkutan sampah menuju Tempat Pembuangan Akhir (TPA). 9) Penegakkan lahan sempadan sungai, yakni dengan lebar 10 meter di kanan dan kiri sungai harus difungsikan sebagai ruang terbuka hijau dengan minimal luas 30% dari total luas kawasan. Ruang Terbuka Hijau (RTH) dapat ditanami tanaman produktif agar selain dapat meningkatkan penghijauan kawasan, hasil dari tanaman tersebut dapat juga dimanfaatkan warga sekitar.
87
b. Rencana Pengembangan Pariwisata Wilayah penelitian memiliki banyak potensi seperti potensi alam, perdagangan, seni budaya, sejarah, serta lokasi yang bisa menjadi daya tarik untuk di kunjungi wisatawan bila dimanfaatkan dengan baik. Bila melihat referensi atau model dari kawasan kota tepi air yang sudah ada di luar negeri, seperti yang ada di Sungai Thames, Inggris, potensi yang ada di sepanjang sempadan dimanfaatkan sebagai daya tarik bagi pengunjung. Potensi yang terdapat pada sempadan sungai dieksplorasi dengan baik sehingga menciptakan adanya aktivitas yang menarik minat pengunjung, baik untuk aktivitas wisata maupun komersial. Selain badan airnya dimanfaatkan untuk transportasi dan kegiatan olahraga air, sempadan sungai Thames dimanfaatkan untuk kawasan komersial berupa hotel, restoran, retail, dan juga kawasan hunian berupa kondominium. Contoh lain adalah Kota Venesia (Venice) di Italia. Seperti yang dilansir dari situs Waterfront-net.org, demi tujuan modernisasi
kawasan
bersejarah,
pemerintah
Kota
Venesia
berkompromi untuk menyeimbangkan dan menyatukan fungsi antara air dan kota. Sistem yang ditetapkan untuk merencanakan dan mengontrol pertumbuhan kehidupan perkotaan dielaborasikan Kota Venesia dengan resolusi eksploitasi secara positif pada aspek lingkungan, pergerakan perkotaan, dan pengembangan kawasan bersejarah dan kawasan penting yang ada di sepanjang tepi air kota
88
yang dilintasi Laut Adriatik. Pergerakan mobilitas perkotaan diwujudkan melalui pengambilan keuntungan yang tepat dari sistem transportasi masal yang memanfaatkan air itu sendiri, yakni dengan menggunakan bus air dan perahu tradisional. Untuk melintasi kanal atau menuju pulau lain yang berada di sekitarnya pemerintah menerapkan sistem transportasi tradisional masyarakat sekitar yang dipertahankan untuk menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan. Sistem transportasi berupa perahu tradisional gondola dipertahankan dan menjadi sarana bagi wisatawan untuk mengelilingi kawasan yang dijadikan objek wisata di seputar kanal. Sistem transportasi air yang difasilitasi pemerintah Kota Venesia untuk wisatawan ini adalah sebagai penunjang aktivitas pengunjung untuk mengelilingi kanalkanal yang memiliki kompleks bangunan bersejarah dan daya tarik wisata lainnya. Wisatawan dapat menikmati keindahan (sightseeing) bangunan bersejarah melalui gondola atau bahkan dengan berjalan kaki di sepanjang jalur pejalan kaki yang disediakan di sempadan. Selain terdapat beberapa gereja, istana, museum dan bangunan peninggalan abad 19 hingga 20-an, wisatawan juga dapat menemukan beberapa tempat untuk bersantai dan menikmati keindahan Kota Venesia dengan adanya kafe dan restoran yang ada di sempadan kanal. Selain itu terdapat pula area pertunjukan yang sering digunakan untuk perhelatan musikal. Kegiatan berkesenian masyarakat kota Venesia pun dijadikan daya tarik bagi wisatawan melalui penyediaan galeri
89
seni dan pasar tradisional yang menjual cinderamata khas Venesia hasil kerajinan masyarakat. Dari kedua model di atas, Sungai Cikapundung memiliki potensi yang bisa dikembangkan ke arah yang serupa. Setelah melakukan revitalisasi badan air dan sempadan sungai yang masih memiliki bangunan liar, program perencanaan kawasan pun bisa diaplikasikan lebih optimal. Dengan mencontoh program yang terdapat pada model yang disebutkan sebelumnya, program perencanaan jangka panjang kawasan harus segera dilaksanakan dalam jangka waktu periode 15 hingga 20 tahun. Kawasan sempadan yang semrawut oleh bangunan liar pun harus dapat diubah menjadi kawasan komersil yang menunjang kegiatan wisata seperti fasilitas akomodasi berupa hotel, restoran, kafe, galeri, dan pusat cinderamata. Air sungai yang sebelumnya tidak dimanfaatkan untuk kegiatan masyarakat seperti transportasi, bisa menjadi atraksi bagi wisatawan untuk melakukan perjalanan di badan sungai sambil melihat bangunan bersejarah yang ada di sekitar sempadan. Secara umum, konsep yang bisa dikembangkan di wilayah penelitian bisa mengadopsi konsep yang sudah terdapat pada model kawasan tepi air Kota Venesia, yakni melakukan modernisasi peninggalan bersejarah, ditambah dengan perkembangan
kehidupan
masyarakat
urban
yang
juga
tetap
mengedepankan potensi seni dan budaya yang ada di kawasan. Ada pun fasilitas dan atraksi yang bisa diarahkan dalam pemanfaatan ruang
90
sebagai kawasan wisata pada sempadan Sungai Cikapundung Tengah adalah sebagai berikut. 1) Wisata Kota Tua Sepanjang Kawasan Viaduct hingga Braga memiliki potensi yang bangunan dan kawasan bernilai historis yang bisa dikembangkan sebagai salah satu ruang publik sekaligus objek wisata. Konsep yang bisa lebih ditekankan pada kawasan ini adalah
menghidupkan
kembali
suasana
masa
kejayaan
pembangunan Kota Bandung pada era kolonial Belanda. Pembangunan plaza di lingkungan sempadan sungai kawasan bangunan bersejarah ini bisa menjadi ruang interaksi dan berkumpul bagi pengunjung sambil menikmati keindahan bangunan bersejarah di sekitar sempadan. Penempatan beberapa jumlah furnitur (street furniture) di plaza dan taman yang ditambah dengan sarana bermain anak-anak (playing ground) akan memberikan kenyamanan bagi pengunjung yang datang untuk menikmati pemandangan sungai sambil melakukan berbagai aktivitas. Penataan badan jalan dengan menambah jalur pejalan kaki dan jalur pengguna sepeda bisa mendukung kegiatan wisatawan untuk lebih mudah mengakses titik terletaknya bangunan bersejarah. Kemudahan ini akan memudahkan pengunjung untuk mengeksplorasi kawasan untuk keperluan fotografi, pendidikan,
91
maupun untuk menikmati keindahan warisan arsitektur yang ada. Selain itu, untuk memanfaatkan potensi bangunan-bangunan bersejarah pemerintah bisa membuat kegiatan bagi pengunjung berupa program mengunjungi bangunan bersejarah secara terpadu dengan menyediakan bantuan pemandu agar informasi mengenai bangunan bisa lebih disampaikan secara lebih interaktif. Badan air sungai bisa dimanfaatkan menjadi sarana transportasi yang komersial dengan menambahkan atraksi perahu tradisional, seperti yang diterapkan di Kota Venesia. Karena badan sungai di kawasan ini hingga menuju kawasan Braga tergolong
landai,
maka
sangat
memungkinkan
untuk
memanfaatkan aliran sungai untuk kegiatan wisatawan. Kegiatan berperahu mulai dari Viaduct hingga menuju Jalan Cikapundung dan berhenti di belakang Gedung PLN bisa dijadikan salah satu tawaran atraksi bagi wisatawan. Para pengunjung dapat melanjutkan peninggalan bangunan era kolonial ke daerah Alunalun kota. Keberadaan beberapa gedung bersejarah yang dipadukan dengan atraksi di badan air ini bisa menjadi salah satu alternatif bagi wisatawan yang ingin melakukan napak tilas sejarah Bandung pada zaman dahulu sekaligus menikmati keindahan pemandangan kota tua Bandung yang berada di kedua tepi sungai sepanjang jalur perahu.
92
2) Membangun
Jaringan
Transportasi
Kabel
(Rope
Way
Transportation) Kondisi topografi badan air yang berbatu dan curam tidak memungkinkan pemanfaatan air sungai sebagai salah satu atraksi. Hal ini ditemukan mulai dari ruas sungai yang melalui Kelurahan Cipaganti, Lebak Siliwangi, dan Tamansari. Kawasan Cipaganti dan Lebak Siliwangi dapat dikembangkan sebagai kawasan tepi air yang dalam pengembangannya tidak berhubungan dengan air secara langsung. Penggunaan lahan dalam jenis independent and water
unrelated
to
water
uses
(independen
dan
tidak
berhubungan dengan air) ini hanya akan memanfaatkan lahan sempadan untuk dibangun beberapa fasilitas bagi pengunjung. Salah satu atraksi yang juga bisa digunakan untuk mengakses kawasan di titik lain adalah dengan membangun jalur transportasi kabel (rope way). Selain berfungsi sebagai alat transportasi untuk menjangkau kawasan di titik lain, sistem ini bisa sebagai media bagi wisatawan untuk melihat pemandangan (sightseeing) kawasan wisata tepi air dari ketinggian. Menurut Nugraha (2008), sistem transportasi kabel (rope way) ini populer di beberapa negara. Awal kemunculannya dimulai pada tahun 1980-an dan terus berkembang setiap tahunnya. Sistem ini banyak diterapkan di beberapa kota di luar negeri karena dianggap telah mampu berfungsi sebagai alat
93
transportasi kota. Teknologi pada tahun 2000-an sudah menciptakan sistem transportasi kabel yang bisa menampung hingga 5.000 penumpang dalam setiap jamnya. Penggunaan sistem transportasi ini telah diimplementasikan Hongkong, Hakone (Jepang), Madeira (Portugal), dan Medellin (Colombia). Keunggulan dari sistem ropeway/ cable car/ gondola lift ini diantaranya adalah lebih bersahabat dengan lahan, dalam artian jaringannya tidak memerlukan lahan yang luas. Untuk bisa membuka jaringan ini tidak diperlukan untuk membuka lahan baru karena yang dibutuhkan jaringan ini hanyalah tapak yang relatif kecil di tanah untuk menahan struktur jaringan. Selain itu, karena jaringan ini berada pada ketinggian 15-30 m di atas permukaan
tanah,
maka
dalam
pembangunannya
tidak
dibutuhkan untuk membongkar bangunan atau menebang pepohonan. Bagian yang menyentuh tanah hanya berupa tiangtiang dan pondasi dengan ukuran yang sangat minimal. Transportasi ini dikenal tidak memiliki dampak buruk terhadap lingkungan. Karena menggunakan sumber energi listrik, maka polusi udara dan kebisingan akan berada pada tingkat yang sangat kecil. Terintegrasinya sistem ini pun akan meningkatkan aktivitas di sektor ekonomi dan pariwisata.
94
3) Kawasan Wisata Belanja dan Kuliner Area Kelurahan Cipaganti bisa lebih difungsikan sebagai area publik yang bersifat komersial untuk kegiatan perdagangan mengingat kondisi eksisting kawasan yang sudah difungsikan sebagai ikon kawasan belanja Kota Bandung. Keberadaan fasilitas akomodasi dan agen perjalanan pun mendukung arus datang dan tinggalnya pengunjung. Kelurahan Cipaganti dalam hal pengembangannya bisa diarahkan pada jenis kegiatan wisata yang dilakukan pengunjung berupa pleasure tourism untuk menikmati perjalanan wisata di Kota Bandung, khususnya untuk menikmati view sungai. Sesuai dengan keadaan eksisting kawasan, atraksi wisata belanja masih bisa dipertahankan dan dimanfaatkan sebagai salah satu daya tarik kawasan. Pusat perbelanjaan Cihampelas Walk bisa menjadi pintu masuk wisatawan untuk mengakses kawasan belanja Cihampelas. Wisatawan dapat mengakses kawasan Cihampelas dengan menggunakan cable car. Selain kawasan Cihampelas, fasilitas belanja berupa toko ritel, dan pasar tradisional yang menjual oleh-oleh khas Kota Bandung baik berupa makanan dan kerajinan tangan bisa ditempatkan dekat dengan jalur pejalan kaki yang ada di sempadan sungai. Sekitar sempadan sungai berpotensi untuk menjadi kuliner area (food court) yang salah satunya menawarkan menu olahan hasil budidaya penduduk.
95
Beberapa titik di Kelurahan Braga pun berpotensi untuk dibuat area kuliner atau pusat jajanan dengan nuansa tempo dulu. Kita bisa mencontoh kawasan tepi air yang terdapat di Macau, dimana keberadaan toko makanan dan kafe yang sudah ada dari masa penjajahan tetap dipertahankan dan kawasan tersebut masih menjadi area komersial, karena banyak wisatawan yang ingin benar-benar mendapatkan suasana kota pada zaman dimana kota tersebut dibangun melalui perpaduan bangunan dan kuliner yang cita rasanya dipertahankan. Untuk pengembangan model ini, keberadaan beberapa rumah makan, kafe, dan toko makanan olahan tempo dulu yang ada di sepanjang Jalan Braga menjadi peluang yang mendukung
sinergitas antara bangunan dan
makanan yang dapat menghidupkan suasana kota tua. 4) Pusat Kegiatan MICE dan Pertunjukan Seni Budaya Kelurahan
Lebak Siliwangi yang memiliki fasilitas
fungsional publik berupa lapangan olah raga dan Gedung Sabuga di dapat lebih dioptimalkan fungsinya dengan dipadukan dengan revitalisasi objek wisata Babakan Siliwangi. Objek yang sebelumnya berupa restoran dan sanggar seni tersebut bisa kembali dihidupkan kembali sebagai restoran khas Sunda dengan atmosfer sempadan sungai Cikapundung ditambah dengan beberapa setingan tempat duduk yang berada di tepi sungai. Sementara itu, sanggar olah seni bisa dimanfaatkan sebagai
96
workshop area bagi wisatawan yang ingin belajar kesenian lokal Sunda ditambah dengan pembangunan galeri sebagai ruang pamer hasil karya seniman di komunitas sanggar. Pengembangan konsep waterfront city pun akan memberikan peluang untuk penyelenggaraan perhelatan kesenian yang tidak hanya bisa dilangsungkan rutin di dalam Gedung Sabuga, namun bisa juga digelar di luar ruangan (out door) dengan latar sempadan sungai untuk menciptakan kesan pergelaran yang lebih memasyarakat. Sebagai daya tarik, kegiatan eksibisi dan pergelaran seni harus menjadi aktivitas rutin yang bisa dinikmati pengunjung. Perencanaan Aktivitas Rekreasi di wilayah studi secara singkat digambarkan dalam Matriks Perencanaan Aktivitas Rekreasi pada tabel di bawah ini.
97
Tabel 4.6. Matriks Perencanaan Aktivitas Rekreasi di Sempadan Sungai Cikapundung No
Jenis Rekreasi
Aktivitas
Atraksi/ Fasilitas Penunjang
1
Wisata Belanja
Belanja
Shopping Center Souvenir & Handycraft Center
2
Rekreasi Air
Berperahu
Dek
3
Pendidikan dan Sejarah
Wisata Kota Tua Observasi
Jalur Pejalan Kaki Tour Bangunan Bersejarah
√
4
Rekreasi Pasif
Fotografi Bird Watching Sight Seeing Piknik
√
5
Wisata Seni dan Budaya
Melihat Pergelaran
6
Wisata Olahraga
Bersepeda Joging
Shelter Plaza Taman Berfunitur Transportasi Kabel (Ropeway System) Festival Etnis Art Workshop Drama Terbuka Pergelaran Kesenian (Konser) Jalur Bersepeda Joging Track
Sumber: Data Diolah (2010) Keterangan: 1. Kelurahan Cipaganti 2. Kelurahan Lebak Siliwangi 3. Kelurahan Tamansari 4. Kelurahan Babakan Ciamis 5. Kelurahan Braga
Ruas Sungai (Kelurahan) 1 2 3 4 5 √
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√