Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan IV.1 Isolasi Kitin dari Limbah Udang
Sampel limbah udang kering diproses dalam beberapa tahap yaitu penghilangan protein, penghilangan mineral, dan deasetilasi untuk diubah menjadi kitosan. Sampel limbah udang kering sebanyak 50 g dapat menghasilkan 11,25 g kitosan dengan rincian massa dan rendemen pada Tabel IV.1. Protein dalam kitin tidak dapat dihilangkan seluruhnya sebab protein ini diikat oleh kitin melalui ikatan kovalen dan membentuk kompleks yang stabil. Residu yang didapat dicuci dengan air sampai netral kemudian dibilas menggunakan aquades.
Hasil kitin kasar yang diperoleh setelah ekstraksi dengan NaOH
berwarna coklat. Kandungan mineral utama dalam kulit udang adalah CaCO3, sebesar 40-50% berat. Mineral lain yang terdapat pada kulit udang adalah Ca3(PO4)2. Larutan HCl akan bereaksi dengan mineral-mineral tersebut, sehingga terbentuk garamgaram yang larut dalam pelarut dan mudah dihilangkan atau terbentuk gas CO2 yang dapat keluar dari campuran berupa gelembung-gelembung udara. Reaksi mineral dengan HCl adalah sebagai berikut : CaCO3(s)
+ 2HCl(aq)
CaCl2(aq) + H2O(l) + CO2(g)
Ca3(PO4)2(s) + 4HCl(aq)
2CaCl2(aq) + Ca(H2PO4)2 (aq)
Penghilangan garam-garam yang larut dilakukan dengan penyaringan, sedangkan gas akan keluar saat pelarutan. Hal ini dapat dilakukan karena kitin tidak larut dalam HCl.
IV.2 Pembuatan Kitosan
IV.2 1 Deasetilasi Kitin menjadi Kitosan
Deasetilasi kitin adalah penghilangan gugus asetil yang berikatan dengan gugus amin menggunakan larutan basa kuat yang pekat.
Larutan basa kuat yang
digunakan adalah NaOH 50%, hal ini disebabkan karena basa lemah tidak dapat memutuskan ikatan C-N gugus asetamida pada atom C-2 pada asetamida kitin, sedangkan basa kuat akan memutuskan ikatan antara gugus asetil dengan atom N, sehingga terbentuk gugus amina (-NH2) pada kitosan. Banyaknya gugus asetil yang hilang merupakan besarnya % deasetilasi kitosan. menjadi kitosan adalah reaksi hidrolisa.
Transformasi kitin
Mekanisme reaksinya seperti pada
Gambar IV.1. Tabel IV 1 Rincian Massa Tiap Proses Pembuatan Kitosan Proses
Massa (g)
Rendemen
Penghilangan protein
26,50
53,0%
Penghilangan mineral
14,20
28,4%
Deasetilasi
11,25
22,5%
IV.2.2 Karakterisasi kitosan
Kitosan hasil deasetilasi dikarakterisasi dengan FTIR, dengan spektra yang terlihat pada Gambar IV.2 untuk kitin dan Gambar IV.3 untuk kitosan. Dari spektra tersebut dapat dilihat adanya puncak-puncak yang dimiliki oleh gugus fungsi kitin pada Tabel IV.2, dan puncak-puncak yang dimiliki oleh kitosan pada Tabel IV.3.
27
CH 2 OH
CH 2 OH O
H
OH
H OH
H
H
NH O
-
H OH
H
H
-
C
OH
H
H
NH
O
H
OH -
H OH
H
H
NH 2 +
H
-
C
O
H
OH -
H H
H
NH 2 + O
O-
n
CH 2 OH O
-
C
H
CH 3
CH 2 OH
H
O
n
CH 3
OH
n
CH 2 OH
H
H
OH
CH 3
O
O
C
O
n
CH 2 OH
-
H
NH
H
CH 3
H
O
H
C
O
H H OH
H
H
NH 2
H
O-
CH 3
n
n
+ CH 3 COO - + OH -
Gambar IV 1 Transformasi kitin menjadi kitosan
28
50
4500 4000 Khitosan
3500
3000
2500
2000 1750
2000
1750
29 1500 1250
70
1500
1000
80
1250
Gambar IV 3 Spektrum FTIR kitosan
1000 601.79
2500
896.90
3000
1323.17
3500
1421.54 1379.10
4000
37.5 401 19
1074.35 1024.20
1315.45
599.86 563.21 532.35
750.31 700.16
975.98 952.84
1377.17
1564.27
1157.29 1116.78
1658.78 1627.92
60
1595.13
4500 Khitin 896.90
1417.68
2960.73 2929.87 2885.51
3109.25
75
1089.78 1033.85
60 1656.85
52.5 3309.85 3267.41
82.5
1151.50
2881.65
45 3448.72
67.5
40
401 19
3444.87
97.5
%T
90
750 500 1/cm
Gambar IV 2 Spektrum FTIR kitin
100
%T
90
30
750
500 1/cm
Tabel IV 2 Jenis Vibrasi Gugus-gugus Fungsi Yang Terdapat Dalam Kitin Bilangan Gelombang (cm -1)
Jenis
Gugus yang
Vibrasi
bervibrasi
3000- 3500
Regang
O-H dan N-H
2929,87
Regang
C-H, CH3
1658,78
Regang
C=O amida
1417,68
Tekuk
C-H
1075-1200
Regang
C-O-C
Tabel IV 3 Jenis Vibrasi Gugus-gugus Fungsi Yang Terdapat Dalam Kitosan Bilangan Gelombang (cm -1)
Jenis
Gugus yang
Vibrasi
bervibrasi
3000- 3500
Regang
O-H dan N-H
2881,65
Regang
C-H, CH3
1656,85
Regang
C=O amida
1421,54
Tekuk
C-H
1089,78
Regang
C-O-C
Spektra kitin dan kitosan menunjukkan puncak dengan intensitas yang sedikit berbeda. Perbedaan puncak yang paling menonjol terlihat pada puncak C=O amida, pada kitin intensitasnya lebih besar dibandingkan pada kitosan. Hal ini menunjukkan adanya gugus asetil yang hilang dari kitin. Dari spektra kitosan, terlihat masih ada karbonil yang terikat pada amida, hal ini menunjukkan kitosan yang diperoleh derajat deasetilasinya kurang dari 100%. Dari hasil perhitungan pada Lampiran 1 diperoleh derajat deasetilasi kitosan sebesar 71,52%
30
IV.2.3 Penentuan Massa Molekul Relatif Rata-rata
Kitosan yang diperoleh pada penelitian ini, setelah ditentukan ηr, ηsp, ηred dan ηi, kemudian dengan persamaan Mark-Houwink (persamaan II.5 ), memiliki massa molekul relatif rata-rata sebesar 2,61. 106 Da, dengan perhitungan pada Lampiran 2.
IV.3 Penggunaan Kitosan Untuk Penjernihan Air
Sampel air yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 macam, yaitu air keruh simulasi yang mengandung ion Fe (III) dari larutan FeSO4, dan air dari sungai Cikapundung di sekitar Babakan Siliwangi.
Untuk penjernihan air keruh ini
digunakan dua jenis koagulan yaitu kitosan dan tawas (Al2(SO4)3). Parameter yang dianalisis pada pengolahan sampel air ini adalah turbiditas (kekeruhan) dan derajat keasaman (pH). Tabel IV.4 menunjukkan karakteristik sampel air sebelum pengolahan. Tabel IV 4 Karakteristik sampel air sebelum pengolahan
Sampel Air
Parameter
Kekeruhan (NTU)
pH
Sampel air keruh simulasi
67,43
7,87
Sampel air sungai
72,91
7,53
Dari hasil pengukuran dengan Spectronic 20 diperoleh nilai Transmitan (%T), yang kemudian ditentukan nilai Absorbannya dan ditentukan nilai kekeruhan (NTU) berdasarkan persamaan regresi linier dari larutan standar hidrazin sulfat pada Lampiran 4.
31
IV.3.1 Pengaruh Konsentrasi Kitosan Dan Tawas Terhadap Efektifitas Penjernihan Sampel Air Keruh Simulasi
Koagulan kitosan dan tawas dengan volume tertentu ditambahkan ke dalam 200 mL sampel air sehingga konsentrasi koagulan kitosan maupun tawas dalam pengolahan ini bervariasi dari 2-10 ppm.
Pada awal penambahan koagulan
kitosan dengan pengadukan cepat, sudah mulai terlihat sampel air yang diolah menjadi keruh kemudian dengan pengadukan lambat mulai terbentuk gumpalangumpalan kecil atau disebut mikroflok. Gumpalan-gumpalan tersebut semakin lama semakin membesar atau disebut makroflok. Setelah didiamkan beberapa saat, makroflok-makroflok tersebut mengendap dalam waktu 40 menit sehingga bagian atas air terlihat lebih jernih dari sebelumnya. Endapan yang terbentuk adalah berupa gumpalan yang berwarna coklat kekuningan serta mudah terpecah, sehingga ada sebagian kecil lapisan yang mengapung dan membentuk lapisan dipermukaan. Kemudian untuk memisahkan endapan dan lapisan di permukaan air dilakukan proses penyaringan dengan kertas saring sehingga diperoleh air yang jernih. Sedangkan penambahan koagulan tawas yang diolah dengan cara yang sama tidak banyak menghasilkan endapan, sehingga bagian atas air tidak begitu jernih dan masih kelihatan keruh, walaupun sudah dilakukan proses penyaringan. Lampiran 5 menunjukkan pengaruh konsentrasi kitosan dan tawas terhadap kekeruhan air keruh simulasi. Gambar IV.4 menunjukkan pengaruh konsentrasi koagulan kitosan dan tawas pada penjernihan air keruh simulasi. Dan Gambar IV.5 menunjukkan pengaruh konsentrasi kitosan dan tawas terhadap persen penurunan kekeruhan air keruh simulasi. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa dengan menggunakan koagulan kitosan, dengan konsentrasi 2 ppm, dari kekeruhan awal air keruh simulasi sebesar 67,43 NTU mengalami penurunan kekeruhan menjadi 9,78 NTU dengan persentase penurunan kekeruhan sebesar 85,49 %. Setelah ditambahkan koagulan kitosan dengan konsentrasi 4 ppm, terjadi penurunan kekeruhan yang lebih besar lagi, menjadi 0,09 NTU dengan persentase penurunan kekeruhan sebesar 99,88 %. Tetapi dengan penambahan konsentrasi koagulan kitosan yang lebih besar lagi misalnya dengan konsentrasi kitosan 6 ppm sampai 10 ppm, kekeruhan
32
mengalami kenaikan lagi, dengan persentase penurunan kekeruhan sebesar 97,03 % ; 94,20%; dan 91,35%. Penurunan kekeruhan yang maksimal diperoleh dengan
kekeruhan (NTU)
konsentrasi kitosan 4 ppm.
80 70 60 50 40 30 20 10 0
kitosan tawas
0
5
10
15
k onse ntrasi k oagulan (ppm )
% penurunan kekeruhan
Gambar IV 4 Pengaruh konsentrasi kitosan dan tawas terhadap kekeruhan air keruh simulasi
120 100 80
kitosan
60 40
tawas
20 0 0
5
10
15
konsentrasi koagulan (ppm)
Gambar IV 5 Pengaruh konsentrasi kitosan dan tawas terhadap persen penurunan kekeruhan air keruh simulasi
Sedangkan pengolahan air dengan menggunakan koagulan tawas, penambahan koagulan tawas sebesar 2 ppm terjadi penurunan kekeruhan menjadi 64,74 NTU,
33
dengan persentase penurunan kekeruhan sebesar 3,99%. Setelah ditambahkan koagulan tawas dengan konsentrasi yang lebih besar lagi, terjadi penurunan kekeruhan, tetapi tidak begitu besar, misalnya dengan penambahan konsentrasi maksimal koagulan tawas 10 ppm, kekeruhan menjadi 28,57 NTU dengan persentase penurunan kekeruhan sebesar 57,63%. Penurunan kekeruhan yang maksimal diperoleh dengan konsentrasi tawas 10 ppm. Data persen penurunan kekeruhan air keruh simulasi dengan koagulan kitosan dapat dilihat pada Tabel IV.5, dan data persen penurunan kekeruhan air keruh simulasi dengan koagulan tawas pada Tabel IV.6 . Tabel IV 5 Persen penurunan kekeruhan air keruh simulasi dengan koagulan kitosan Konsentrasi
Kekeruhan (NTU)
kitosan (ppm)
% penurunan kekeruhan
awal
akhir
2
67,43
9,78
85,49
4
67,43
0,09
99,87
6
67,43
2,00
97,03
8
67,43
3,91
94,20
10
67,43
5,83
91,35
Tabel IV 6 Persen penurunan kekeruhan air keruh simulasi dengan koagulan tawas Konsentrasi
Kekeruhan (NTU)
tawas (ppm)
% penurunan kekeruhan
awal
akhir
2
67,43
64,74
3,99
4
67,43
59,52
11,73
6
67,43
35,26
47,71
8
67,43
33,00
51,06
10
67,43
28,57
57,63
34
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa koagulan kitosan lebih efektif dan efisien dibandingkan koagulan tawas. Konsentrasi optimal kitosan adalah 4 ppm sedangkan konsentrasi optimal tawas 10 ppm.
Hasil pengolahan air keruh
simulasi dengan koagulan kitosan dan tawas dapat dilihat pada Gambar IV.7, IV.8, IV.9, IV.10. Air keruh simulasi, dibuat dengan melarutkan serbuk FeSO4 ke dalam air, dan dibiarkan selama kira-kira 24 jam. Kekeruhan air keruh simulasi disebabkan oleh ion Fe2+ yang teroksidasi menjadi ion Fe3+ dan membentuk koloid Fe(OH)3. Koloid Fe(OH)3 dapat bermuatan positif dengan mengadsorpsi ion Fe3+ dalam suasana asam (pH < 7).
Dan koloid Fe(OH)3 juga dapat bermuatan negatif
dengan mengadsorpsi ion OH- dalam suasana basa (pH > 7). Pada pembuatan air simulasi , serbuk FeSO4 dilarutkan dalam air PAM dengan pH 7,87 (suasana basa), sehingga koloid Fe(OH)3 yang terbentuk bermuatan negatif.
Skema
hidrolisis ion Fe+3 dapat dilihat pada Gambar IV.6. Muatan negatif dari koloid Fe(OH)3 akan dinetralkan oleh polielektrolit kitosan. Prinsip koagulasi kitosan disini adalah adanya gaya tarik menarik antara koloid Fe(OH)3 yang bermuatan negatif dengan kitosan yang memiliki gugus amina bebas yang bermuatan positif karena mengikat ion H+ dari asam asetat. Akibatnya partikel-partikel koloid Fe(OH)3 akan menyatu membentuk flok dan akhirnya mengendap.
kenaikan pH Fe(H2O)63+ [Fe(H2O)5OH]2+
[Fe(H2O)4(OH)2]+ [Fe(H2O)3(OH)3](s) [Fe(H2O)2(OH)4]Fe2(OH)24+
Gambar IV 6 Skema hidrolisis untuk Fe3+ 21
35
36
Gambar IV 8 Air keruh simulasi hasil pengolahan dengan tawas sebelum penyaringan
Gambar IV 8 Air keruh simulasi hasil pengolahan dengan kitosan sebelum penyaringan
37
Gambar 10 Air keruh simulasi hasil pengolahan dengan tawas setelah penyaringan
Gambar IV 9 Air keruh simulasi hasil pengolahan dengan kitosan setelah penyaringan
IV.3.2
Pengaruh Konsentrasi Kitosan Dan Tawas Terhadap Efektifitas Penjernihan Air Sungai
Pada Tabel IV.1 terlihat bahwa sampel air sungai mempunyai karakteristik nilai kekeruhan sebesar 72,91 NTU, dengan pH sebesar 7,53.
Sampel air sungai
memiliki kekeruhan yang relatif tinggi dibandingkan dengan kekeruhan air keruh simulasi.
Seperti halnya sampel air keruh simulasi, pengolahan sampel air
sungaipun dilakukan dengan variasi konsentrasi kitosan dan tawas yaitu 2-10 ppm.
Data lengkap hasil penjernihan dapat dilihat pada Lampiran 6.
Pada
Gambar IV.11 dapat dilihat pengaruh konsentrasi kitosan dan tawas terhadap nilai kekeruhan (NTU) air sungai, dan Gambar IV.12 pengaruh konsentrasi kitosan dan
kekeruhan (NTU)
tawas terhadap persentase penurunan kekeruhan air sungai.
80 70 60 50 40 30 20 10 0
kitosan tawas
0
5
10
15
konsentrasi koagulan (ppm)
Gambar IV 11 Pengaruh konsentrasi kitosan dan tawas terhadap kekeruhan air sungai
38
% penurunan kekeruhan
120 100 80
kitosan tawas
60 40 20 0 0
5
10
15
konsentrasi koagulan (ppm)
Gambar IV.12 Pengaruh konsentrasi kitosan dan tawas terhadap persen penurunan kekeruhan air sungai
Dari grafik tersebut juga dapat dilihat bahwa dengan menggunakan koagulan kitosan, dengan konsentrasi 2 ppm, kekeruhan berkurang menjadi 7,78 NTU, sehingga persentase penurunan kekeruhan yaitu sebesar 89,33%.
Setelah
ditambahkan koagulan kitosan dengan konsentrasi 4 ppm, terjadi penurunan kekeruhan yang lebih besar lagi, dengan persentase penurunan kekeruhan sebesar 99,88%. Tetapi dengan penambahan konsentrasi koagulan kitosan yang lebih besar lagi, kekeruhan mengalami kenaikan lagi. Hal ini menunjukkan pentingnya optimasi konsentrasi koagulan agar suatu proses koagulasi dapat berjalan efektif. Pada pengolahan air sungai dengan menggunakan koagulan tawas, penambahan koagulan tawas sebesar 2 ppm mengakibatkan penurunan kekeruhan menjadi 44,61 NTU, dengan persentase penurunan kekeruhan sebesar 38,81%. Setelah ditambahkan koagulan tawas dengan konsentrasi yang lebih besar, yaitu 10 ppm terjadi penurunan kekeruhan dengan persentase penurunan kekeruhan sebesar 54,74%. Data persen penurunan kekeruhan air sungai dengan koagulan kitosan dapat dilihat pada Tabel IV.7, dan data persen penurunan kekeruhan air sungai dengan koagulan tawas pada Tabel IV.8 .
39
Tabel IV 7 Persen penurunan kekeruhan air sungai dengan koagulan kitosan Konsentrasi
Kekeruhan (NTU)
kitosan (ppm)
% penurunan kekeruhan
awal
akhir
2
72,91
7,78
89,33
4
72,91
0,09
99,88
6
72,91
2,00
97,26
8
72,91
5,83
92,00
10
72,91
7,78
89,33
Tabel IV 8 Persen penurunan kekeruhan air sungai dengan koagulan tawas Konsentrasi
Kekeruhan (NTU)
tawas (ppm)
% penurunan kekeruhan
awal
akhir
2
72,91
44,61
38,81
4
72,91
37,57
48,47
6
72,91
37,57
48,47
8
72,91
35,26
51,64
10
72,91
33,00
54,74
Seperti halnya pada pengolahan sampel air keruh simulasi yang mengandung ion Fe(III), pada pengolahan sampel air sungai juga terjadi kekeruhan pada waktu pengadukan cepat, kemudian dengan pengadukan lambat mulai terbentuk gumpalan-gumpalan kecil atau disebut mikroflok. Gumpalan-gumpalan tersebut semakin lama semakin membesar atau disebut makroflok. Setelah didiamkan beberapa saat, makroflok-makroflok tersebut mengendap dalam waktu 40 menit, sehingga bagian atas air terlihat lebih jernih dari sebelumnya. Setelah dilakukan penyaringan baru diperoleh air yang jernih. Endapan yang terbentuk dari hasil pengolahan air sungai berupa gumpalan-gumpalan yang lebih besar dibandingkan
40
gumpalan hasil pengolahan air keruh simulasi, dengan warna endapan coklat dan stabil. Hal ini terjadi karena kekeruhan pada air sungai terjadi karena adanya padatan tak larut dalam air tersebut. Padatan ini sangat bervariasi, baik jenis, sumber maupun ukuran partikelnya. Jenis padatan yang merupakan faktor utama penyebab kekeruhan adalah padatan-padatan yang tergolong koloid, baik koloid organik maupun koloid
anorganik.
Partikel-partikel koloid dalam air keruh
simulasi hanya sejenis dengan ukuran partikel koloid yang lebih halus, sehingga gumpalan-gumpalan makrofloknya lebih mudah pecah dengan warna endapan coklat kekuningan, karena banyak mengandung koloid Fe(OH)3.
Dari data
tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan koagulan kitosan juga lebih efektif dan efisien untuk menjernihkan air sungai dibandingkan koagulan tawas. Konsentrasi optimal kitosan adalah 4 ppm sedangkan konsentrasi optimal tawas 10 ppm. Hasil pengolahan air sungai dengan koagulan kitosan dapat dilihat pada Gambar IV.13, IV.14 dan hasil pengolahan air sungai dengan koagulan tawas pada Gambar IV.15, IV.16. Salah satu penyebab kekeruhan air sungai adalah banyaknya padatan tak larut. Padatan ini sangat bervariasi, baik jenis, sumber maupun ukuran partikelnya. Jenis padatan yang merupakan faktor utama penyebab kekeruhan air sungai adalah padatan-padatan yang tergolong partikel koloid tanah liat yang dihasilkan dari erosi tanah21, dan padatan-padatan lain baik koloid organik maupun anorganik. Partikel koloid merupakan partikel yang bermuatan listrik sebagai hasil dari adsorpsi ion positif atau negatif pada permukaan partikel-partikel koloid. Partikel-partikel koloid dalam media air pada umumnya mengadsorpsi anion sehingga bermuatan negatif21 dan terdistribusi merata pada permukaannya. Kemampuan koagulasi dari kitosan disebabkan oleh adanya gugus amino bebas yang mengalami protonasi karena adanya ion H+ dari asam asetat, sehingga kitosan dapat menyumbangkan sifat polielektrolit kation yang sangat potensial untuk digunakan sebagai koagulan.
41
42
Gambar IV.14
Gambar IV.13
Air sungai hasil pengolahan dengan tawas sebelum penyaringan
Air sungai hasil pengolahan dengan kitosan sebelum penyaringan
43 Gambar IV.16
Gambar IV.15
Air sungai hasil pengolahan dengan tawas setelah penyaringan
Air sungai hasil pengolahan dengan kitosan setelah penyaringan
IV.3.3 Tinjauan Kekeruhan dan pH
Proses koagulasi yang disebabkan oleh polielektrolit meliputi empat tahap, yaitu: 1. Dispersi dari polielektrolit dalam koloid 2. Adsorpsi antara permukaan solid-liquid 3. Kompresi dari polielektrolit yang teradsorpsi 4. Koalisi atau penyatuan dari masing-masing polielektrolit yang terlingkupi oleh partikel untuk membentuk flok-flok kecil dan berkembang menjadi flok yang lebih besar Pada penelitian ini konsentrasi optimum kitosan sebesar 4 ppm, baik pada pengolahan air keruh simulasi maupun air sungai.
Tetapi jika penambahan
kitosan melebihi 4 ppm maka akan terjadi kenaikan kekeruhan. Hal ini menunjukkan bahwa proses koagulasi dan flokulasi sangat dipengaruhi oleh faktor konsentrasi koagulan.
Pada suatu dosis tertentu akan terjadi suatu proses
koagulasi yang paling efektif terhadap koloid tertentu.
Kitosan merupakan
koagulan berupa polimer, yang terdiri dari satuan-satuan kecil monomer. Jika dosis polimer berlebih, maka segmen polimer akan menjenuhkan permukaan partikel koloid, sehingga tidak ada lagi sisi untuk membentuk jembatan, hal ini mengakibatkan partikel stabil kembali. Penambahan koagulan kitosan ke dalam air keruh simulasi maupun air sungai, tidak menunjukkan perubahan pH yang signifikan. Seperti yang terlihat pada Lampiran 5 dan Lampiran 6. Perubahan pH yang terjadi hanya berkisar 0,02-0,3 unit pH saja untuk setiap penambahan konsentrasi koagulan. Misalnya untuk sampel air keruh simulasi dengan pH awal sebesar 7,87 berubah menjadi 7,70, sampel air sungai dari 7,53 berubah menjadi 7,23 setelah masing-masing sampel air ditambahkan koagulan kitosan dengan konsentrasi sebesar 4 ppm. Dari data yang diperoleh pada Lampiran 5 dan Lampiran 6, secara umum setiap kenaikan konsentrasi koagulan kitosan yang ditambahkan ke dalam sampel air, maka akan terjadi kecenderungan penurunan pH.
44
Hal ini disebabkan karena
koagulan yang ditambahkan relatif bersifat asam karena terdiri dari kitosan yang dilarutkan dalam asam asetat. Penurunan pH sampel air terjadi secara perlahan karena asam yang digunakan sangat rendah konsentrasinya yaitu 1%, dan asam yang digunakan asam asetat yang tergolong asam lemah dengan tetapan ionisasi (Ka) sebesar 1,8 x 10-5. Kitosan merupakan koagulan yang tidak terionisasi dengan baik di dalam air, sehingga tidak merubah pH yang begitu besar pada sampel air.
45