perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Cerkak Majalah Jaya Baya Cerkak dalam Majalah Jaya Baya edisi Agustus − Oktober 2014 berjumlah dua belas cerkak. Kedua belas cerkak tersebut kemudian diseleksi berdasarkan kemiripan tema. Melalui proses pembacaan cerkak secara berulangulang, diperoleh enam cerkak yang mengangkat cerita dengan tema yang hampir sama. Keenam cerkak tersebut memuat tema yang serumpun, yakni mengenai perilaku yang dilakukan oleh seseorang dengan disertai akibat atau resiko dari perilaku tersebut. Adapun keenam cerkak tersebut yakni Welingmu karya Hanif Rahma, Sarwa Sujana karya Afin Yulia, Telulasan karya Mbah Met, Mbah Kakung karya Al Aris Purnomo, Nglegok karya Imam H., dan Oncating Cahya karya Zuly Kristanto. Cerkak Welingmu memuat kisah tentang seorang guru perempuan yang merasa bingung karena tengah menghadapi berbagai masalah sulit. Ibunya sakit, putrinya yang bernama Anis harus segera membayar uang kuliah, dan putranya yang bernama Faisal akan berangkat tour, sedangkan uang di tabungannya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Ia dan suaminya yang bernama Mas Rusli terus berdiskusi untuk mencari jalan keluar. Pada suatu ketika, Eyang meminta untuk pulang ke rumah. Di sepanjang perjalanan, Eyang memberikan nasihat kepada anak dan cucunya bahwa untuk mengangkat beban berat itu harus dilakukan secara bersama-sama. Kemudian memberikan nasihat kepada menantunya yang sedang mengendarai mobil bahwa ia harus mampu membimbing dan membawa keluarganya ke jalan yang benar. Memberi nasihat kepada cucunya, bahwa menjadi seorang perempuan cantik hendaknya seperti bunga mawar, hanya orang yang berhati-hatilah yang bisa mendapatkannya. Nasihat terakhir Eyang adalah nasihat pada anak perempuannya bahwa ia harus mampu menjadi seperti rumput, yang mampu tumbuh subur tanpa bergantung orang lain, hanya bergantung pada commit to user 34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
35 Tuhan. Tak lama kemudian Eyang merasa ngantuk dan ingin tidur. Setibanya di depan rumah, Eyang sudah tidak bernafas lagi. Cerkak Sarwa Sujana memuat kisah tentang para tetangga yang berprasangka buruk pada seorang janda bernama Mbak Tari. Mulanya hanya karena Mbak Tari terlihat tidak pernah bekerja, tetapi hidupnya mapan dan bisa membeli mobil. Yu Ti, salah seorang tetangga yang menggunjing berprasangka bahwa Mbak Tari menjadi selingkuhan orang lain atau kalau tidak melakukan ritual babi ngepet. Mbak Ning pun menanggapi bahwa Mbak Tari tidak menjadi selingkuhan orang, tetapi melakuan ritual babi ngepet karena kemarin dia melihat pembantu Mbak Tari membeli lilin dan kembang. Mbak Mur tidak mau ketinggalan, dia mengatakan bahwa Mbak Tari tidak pernah keluar kamar dan tidak pernah tidur di malam hari. Mas Mip, suami Sri atau pengarang yang mengetahui pergunjingan tersebut memanggil istrinya untuk pulang serta memberi nasihat bahwa jangan menuduh orang sembarangan tanpa ada bukti. Suatu hari Mbak Tari mengadakan syukuran dengan mengundang ibu-ibu satu desa. Sri dan tetangga lain pun menganggap bahwa hal tersebut merupakan kesempatan untuk dapat menyelidiki kebenaran dan mencari bukti bahwa Mbak Tari memang benar melakukan ritual ngepet. Sebelum acara syukuran dimulai, Ustadz Sarip menjelaskan bahwa syukuran diadakan dengan maksud mengirim doa bagi orang tuanya yang telah tiada, kemudian anak pertamanya sudah lulus SMA dan diterima di Universitas Padjajaran (Unpad), serta novelnya yang berjudul Bukan Semusim Cinta akan difilmkan. Mendengar hal tersebut, para tetangga yang tadinya menggunjing dan mengira bahwa si janda melakukan ritual babi ngepet langsung kaget seketika. Mereka merasa malu dan merasa bersalah karena sudah menuduh serta mengira yang tidak semestinya. Cerkak Telulasan memuat kisah tentang seorang istri karyawan pabrik rokok yang bernama Mbak Darsini. Ia merasa tinggi hati dan bersikap sombong karena gaji suaminya tinggi. Ia begitu membanggakan suaminya di depan Bu Lastriyang suaminya adalah PNS tukang kebun sekolah dan Yu Ngadilah pemilik toko. Tidak hanya membanggakan diri dan suaminya, ia pun menghina suami Bu to user Lastri yang memiliki gaji lebihcommit rendah. Mbak Darsini menyindir Bu Lastri
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
36 mengenai suaminya yang sebentar lagi menerima telulasan. Telulasan yang dimaksud merupakan gaji ketigabelas yang biasanya diberikan di akhir tahun. Namun Yu Ngadilah tidak paham akan makna telulasan yang dimaksud. Melalui perbincangan yang cukup lama, Bu Lastri pun sadar bahwa Mbak Darsini ternyata memiliki sifat suka dipuji. Mengetahui hal tersebut Bu Lastri terus memberikan pujian yang berlebihan atau dalam Jawa sering disebut dengan istilah nglulu. Mbak Darsini tidak peka dan justru malah semakin merasa sangat senang. Hingga pada suatu hari Bu Lastri menerima uang dari suaminya yang katanya itu adalah gaji ketigabelas atau telulasan. Uang tersebut kemudian digunakan untuk membayar hutang di toko Yu Ngadilah. Bu Lastri bertanya pada Yu Ngadilah mengenai Mbak Darsini yang akhir-akhir ini jarang kelihatan. Yu Ngadilah pun menjawab bahwa beberapa hari yang lalu Mbak Darsini didatangi oleh seorang perempuan yang menggendong bayi. Perempuan tersebut ternyata selingkuhan Pak Kardi, suami Mbak Darsini. Bayi berusia tiga belas bulan yang digendong adalah anak dari perempuan tersebut dengan Pak Kardi. Cerkak Mbah Kakung memuat kisah tentang kakek yang bernama Mbah Hadi atau sering dipanggil dengan sebutan Mbah Kakung. Beliau memiliki watak yang baik dan suka membantu sesama, sehingga beliau menjadi orang yang disegani di daerahnya. Beliau juga mahir dalam ilmu kejawen atau tradisi Jawa. Mbah Kakung merupakan orang yang taat beragama. Beliau merasa bahwa ajalnya sudah dekat. Beliau meminta salah satu tetangga yang tak lain adalah pengarang cerita untuk mengetikkan prakata kematian. Selain itu, Mbah Kakung juga memiliki keinginan untuk bersilaturahmi ke rumah saudara-saudara dan anak-anaknya. Sebagai anak sulung, Mas Puji dengan senang hati mengantar ayahnya tersebut. Pada hari Jum‟at, tanggal 10 Januari Mbah Kakung menghadiri rapat rutin di kantor PWRI. Di dalam rapat tersebut, Mbah Kakung menyampaikan materi mengenai tradisi. Sekitar pukul sebelas siang, rapat pun diakhiri. Mbah Kakung pulang diantar oleh salah satu rekan yang bernama Pak Kino. Sesampainya di rumah Mbah Kakung merasa lelah dan istirahat. Tidak disangka, commit todunia. user Semua tetangga merasa tidak sore harinya Mbah Kakung meninggal
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
37 percaya karena mulanya Mbah Kakung masih sehat bugar. Para tetangga bahumembahu dalam mengurus kematian Mbah Kakung. Banyak orang yang datang untuk takziyah dan medoakan Mbah Kakung. Cerkak Nglegok memuat kisah tentang seorang guru perempuan yang baru ditugaskan di SD Nglegok. Guru tersebut bernama Bu Retno, orangnya cantik, pintar tetapi belum menikah. Guru yang berusia dua puluh tahun dan belum menikah tersebut menjadi bahan perbicangan para warga. Desa Nglegok memiliki tradisi bahwa anak perempuan yang sudah berusia lima belas tahun harus segera dinikahkan atau akan dijuluki sebagai perawan lapuk. Hal tersebut menjadikan siswa putri di SD Nglegok semakin sedikit, karena apabila sudah kelas empat atau lima mereka pasti keluar. Sukasih, salah seorang siswa Bu Retno setiap malam datang ke rumah Bu Retno untuk belajar. Mengetahui kondisi siswasiswa putri di sekolahnya, Bu Retno pun bertanya apakah kalau sudah kelas lima dia juga akan keluar seperti teman-temannya. Mendengar pertanyaan tersebut, Sukasih pun hanya mampu menangis. Sebenarnya ia ingin menjadi seorang guru, namun orang tuanya meminta untuk keluar dan ia pun merasa harus patuh. Sukasih adalah siswa yang cerdas dan memiliki cita-cita mulia, sehingga Bu Retno tidak ingin Sukasih putus sekolah. Bu Retno memberi motivasi dan nasihat pada Sukasih untuk mau membujuk orang tuanya agar tidak memintanya keluar dari sekolah dan tetap membiarkannya menggapai cita-cita. Selang beberapa waktu, Bu Retno dan Pak Endro dipindah ke kota. Bu Retno dan Pak Endro menikah serta memiliki tiga orang anak. Suatu hari Pak Endro yang bekerja di Dinas Pendidikan dan Olahraga (Dikpora) itu bertanya pada istrinya apakah sekolah tempat ia bekerja memerlukan guru baru, karena ada tujuh calon guru yang melamar. Kebetulan di SD Megantoro ada guru yang purna tugas, sehingga memerlukan guru pengganti. Pada hari pelaksanaan tes calon guru, ada seorang calon guru perempuan yang memanggil nama Bu Retno dan ternyata itu adalah Sukasih. Dengan penuh haru, mereka pun saling berpelukan. Bu Retno menginginkan Sukasih saja yang menjadi guru pengganti di SD Megantoro. Tetapi dengan berat hati Sukasih meminta maaf dan minta to user contoh dan teladan bagi orangditempatkan di Nglegok saja. Ia commit ingin menjadi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
38 orang di desanya bahwa perempuan tidak harus dipaksa menikah pada usia muda, perempuan memiliki hak untuk dapat mewujudkan cita-cita. Cerkak Oncating Cahya memuat kisah tentang seorang guru yang ditempatkan di sebuah desa yang belum ada aliran listrik. Mulanya guru tersebut merasa tidak betah, tetapi karena kewajiban, beliau pun mencoba beradaptasi dan tetap menjalaninya sepenuh hati. Guru tersebut tertarik pada perempuan bernama Mayang yang memiliki pemikiran maju. Mayang gemar membaca buku-buku di perpustakaan dan kemudian menyampaikan ilmu yang diperolehnya pada remajaremaja desa yang putus sekolah karena biaya. Selang beberapa waktu, guru tersebut atau pengarang dan Mayang menjadi suami istri. Keduanya memiliki hobi yang sama yakni membaca buku, sehingga pengarang dan istrinya mengubah rumahnya menjadi sebuah perpustakaan. Adanya perpustakaan baru mendapat respon positif dari para warga. Banyak anak, remaja, dan warga yang datang untuk membaca atau meminjam buku. Terdengar berita bahwa listrik akan segera masuk desa. Pengarang dan istrinya pun juga ikut memasang listrik. Mereka berharap dengan adanya listrik, perpustakaannya sudah tidak akan gelap lagi dan menjadikan warga yang datang semakin banyak. Namun ternyata kenyataan tak sesuai dengan harapan. Kehadiran listrik justru menjadikan perpustakaan sepi tanpa pengunjung. Para warga lebih memilih menikmati siaran televisi di rumah masing-masing. Hanya tersisa satu orang yang masih setia meminjam buku di perpustakaan pengarang. Orang tersebut adalah Mbah Haji Kirman. Mbah Haji Kirman tidak ikut memasang listrik karena beliau khawatir apabila terlalu banyak menggunakan cahaya di dunia, maka tidak akan mendapat bagian cahaya di akhirat. Genset yang dimilikinya dijual. Uang hasil penjualan genset tersebut diberikan pada pengarang untuk menambah koleksi buku. Tak lama kemudian Mbah Haji Kirman meninggal dunia. Pengarang berharap bahwa amal kebaikan yang dilakukan oleh Mbah Haji Kirman mampu menjadi penerang di alam kubur. Suatu hari listrik padam, para warga marah karena khawatir ketinggalan episode sinetron. Pengarang justru menikmati gelapnya malam tanpa listrik, karena hal tersebut commit user ramai dikunjungi para warga. mengingatkannya pada perpustakaan yangtodahulu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
39 B. Deskripsi Temuan Penelitian 1. Unsur Intrinsik Cerkak Majalah Jaya Baya Berikut unsur intrinsik cerkak dalam majalah Jaya Baya edisi Agustus − Oktober 2014: a. Cerkak Welingmu karya Hanif Rahma 1) Tema Tema dari cerkak Hanif Rahma yang berjudul Welingmu adalah orang yang berperilaku baik akan memperoleh imbalan yang baik pula. Tema tersebut termasuk tema tradisional karena memuat cerita bahwa seseorang harus melakukan kebaikan agar memperoleh balasan yang baik pula. Hal tersebut dapat dilihat dari tokoh pengarang dan suaminya yang memiliki watak baik, sehingga anakanaknya pun menjadi anak yang berbakti, patuh dan memiliki watak baik pula. Tema mengenai perilaku baik yang akan memperoleh imbalan baik juga dapat dilihat dari tokoh Eyang yang memiliki sikap baik dan bijaksana hingga beliau mengakhiri hidupnya dengan cara yang baik pula. Beliau meninggal dunia secara tenang. Selain itu, tema juga dapat dilihat dari nasihat Eyang kepada cucu perempuannya yang bernama Anis bahwa ia harus bisa seperti bunga mawar cantik. Nasihat tersebut memuat makna bahwa menjadi seorang perempuan harus bisa menjaga diri. Apabila mampu menjaga diri secara baik maka akan mendapatkan jodoh yang baik pula, karena hanya orang yang begitu berhati-hati yang mampu mendapatkan bunga mawar berduri. 2) Alur Cerkak Welingmu menggunakan alur maju. Peristiwa diceritakan secara runtut mulai dari tahap penggambaran situasi pengarang yang gundah karena banyak fikiran. Kemudian pengenalan tokoh pengarang mengenai dirinya sendiri, suaminya, keduanya putranya, dan ibunya yang tengah sakit. Konflik mulai muncul ketika commit to user sakit Eyang semakin parah dan memerlukan perawatan khusus.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
40 Sedangkan pengarang dan suaminya yang bernama Mas Rusli tidak memiliki banyak tabungan. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan data (1) berikut: (1) Aku sedhih banget. Apameneh Ibu kudu oleh perawatan khusus jalaran gerahe wis parah. Mangka, aku lan Mas Rusli lagi ora duwe akeh simpenan nggo perawatane Ibu iku. Apamaneh Anis arep mlebu kuliah, seminggu meneh kudu wis bayar administrasi. Lan Faisal rong dina meneh ana tour nang Bali sing biayane ya ora sethithik. „Saya sedih sekali. Apalagi Ibu harus mendapat perawatan khusus karena sakit ibu sudah parah. Padahal aku dan Mas Rusli sedang tidak memiliki tabungan banyak untuk perawatan Ibu tersebut. Anis akan masuk kuliah, seminggu lagi harus bisa membayar. Dan Faisal dua hari lagi ada tour ke Bali yang biayanya juga tidak sedikit (W: 42-46). Konflik mulai meningkat ketika pengarang dan suaminya belum bisa menemukan jalan keluar untuk bisa mendapatkan uang. Suami pengarang tidak bisa meminjam uang di kantor dan pengarang tidak bisa meminjam uang di sekolah tempat ia bekerja. Adapun kutipan mengenai konflik yang mulai meningkat dapat dilihat dalam data (2) dan data (3) berikut: (2) “Piye meneh Dhik, aku ora bisa nyilih dhuwit nyang kantor, wong order lagi sepi.” „Bagaimana lagi Dik, saya tidak bisa meminjam uang di kantor, karena permintaan sedang sepi.‟ (W: 73) (3) “Kula ugi mboten saged ngampil saking sekolah Mas. SMA panggenan kula ngajar sakniki malah saweg ngirangi pegawai.” „Saya juga tidak bisa meminjam dari sekolah Mas. SMA tempat saya mengajar sekarang malah sedang mengurangi pegawai.‟ (W: 74-75) Tahap klimaks terjadi ketika Eyang merasa kantuk dan ingin tidur. Setiba di halaman rumah, Ibu dan Anis membangunkan Eyang, tetapi mata Eyang masih tetap terpejam dan seolah tidak mendengar. Keadaan Eyang menunjukkan tanda-tanda bahwa Eyang telah tiada. Tahap klimaks tampak pada kutipan data (4) berikut: (4) “Ibu isih merem, kaya ora mireng. Mas Rusli banjur nyekel commitnadhine. to user Kaya durung yakin, Mas Rusli tangane Ibu, digoleki
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
41 banjur ndemek gulune Ibu, uga digoleki nadhine. Isih durung yakin, Mas Rusli ndekekake drijine ana ing irunge Ibu. Mas Rusli banjur gedheg-gedheg.” „Ibu masih memejamkan mata, seperti tidak mendengar. Mas Rusli kemudian memegang tangan Ibu, dicari nadinya. Seperti belum yakin, Mas Rusli kemudian memegang leher Ibu, juga dicari nadinya. Masih belum yakin, Mas Rusli menaruh jarinya di hidung Ibu. Mas Rusli kemudian menggeleng-gelengkan kepala (W: 159-163) Tahap penyelesaian cerkak Welingmu yakni ketika Eyang meninggal
dunia.
Mas
Rusli
mengusap
wajah
Eyang
dan
mengucapkan kalimat istirja‟. Tahap penyelesaian cerkak dapat dilihat dalam kutipan data (5) berikut: (5) “Mas Rusli mung gedheg-gedheg nyemauri pitakonku, ndelehake tangane ana raine Ibu, banjur ngucap Innalillahi wa innalillahi raji‟un.” „Mas Rusli hanya menggelengkan kepala dalam menanggapi pertanyaan saya, menempatkan tangannya di wajah Ibu, kemudian mengucapkan Innalillahi wa innalillahi raji‟un. (W: 165). 3) Tokoh dan Penokohan Tokoh utama dalam cerkak Welingmu yakni Ibu dan Eyang. Sedangkan tokoh tambahannya yakni Mas Rusli, Anis, dan Faisal. Berikut tokoh dan penokohan dalam cerkak Welingmu karya Hanif Rahma: a) Ibu Tokoh Ibu tidak lain adalah pengarang cerita. Secara fisik tokoh Ibu merupakan seorang wanita yang mengenakan kacamata. Pengarang memunculkan keterangan tersebut dengan teknik arus kesadaran, seperti pada data (6) berikut: (6) “Laptop taktutup, rasane mripat kaya wis ora kuwat maneh. Kaca mata takcopot, aku njur turon ing kasur.” „Laptop saya tutup, mata terasa sudah tidak kuat lagi. Kaca mata saya lepas, saya kemudian berbaring di kasur.‟ (W: 2-3) Secara psikis, tokoh Ibu memiliki watak yang penyayang. Pengarang memunculkan commit towatak user penyayang tokoh Ibu dengan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
42 teknik pikiran dan perasaan. Rasa sayang tersebut terlihat dari sikap tokoh Ibu yang merasa begitu sedih ketika melihat keadaan ibunya yang tengah sakit. Hal tersebut dapat dilihat pada data (7) berikut: (7) Rasane aku pengin nangis weruh Ibu kang saya kuru. „Rasanya saya ingin menangis melihat Ibu yang semakin kurus.‟ (W: 52) Rasa sedih yang Ibu alami karena tidak tega melihat keadaan Eyang yang terbaring di ruang rawat. Hal tersebut tampak pada kutipan data (8) berikut: (8) Rasane saya ora tegel weruh Ibu kang biyen ngrumat awakku iki saiki ketok lemes sare ana kasur rumah sakit. Apameneh saiki Ibu kudu dianggoni selang-selang kuwi supaya bisa ambegan kanthi lancar. Ora krasa luhku netes nalika nggatekake praupane Ibu sing katon ngempet larane. „Rasanya saya tidak tega melihat Ibu yang dahulu merawat saya kini terlihat lemah tidur di kasur rumah sakit. Apalagi sekarang Ibu harus menggunakan selang-selang tersebut agar bisa bernafas secara lancar. Tidak terasa air mata saya menetes ketika memperhatikan wajah Ibu yang terlihat menahan sakitnya.‟ (W: 106-110) Watak penyayang tokoh Ibu tidak hanya diungkapkan pada ibunya, melainkan juga pada putra dan suaminya. Rasa sayang terhadap putranya oleh pengarang dimunculkan dengan menggunakan teknik tingkah laku. Hal tersebut terlihat pada peristiwa ketika Faisal memutuskan untuk tidak mengikuti tour dengan alasan agar uangnya bisa dipakai untuk biaya perawatan Eyang. Tokoh Ibu tidak ingin Faisal ikut merasakan masalah yang tengah ia hadapi. Ibu tetap menginginkan Faisal berangkat tour, seperti pada kutipan data (9) berikut: (9) “Wis ta, iki dhuwitmu gawanen. Besuk yen Isal pengin tuku apa-apa neng kana ben ra lingak-linguk. Aja lali ngoleh-olehi mbakmu. Eyang ya aja lali tumbaske oleh-oleh. Nah, mengko yen dhuwite turah, bisa dicelengi maneh,” pesenku marang anak ragilku kuwi. „Sudahlah, ini uangmu bawa saja. Besok kalau Isal ingin membeli apa-apa biar tidak bingung. Jangan lupa bawakan commit to user oleh-oleh untuk kakakmu. Eyang juga jangan lupa dibelikan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
43 oleh-oleh. Nah, nanti kalau uangnya masih sisa, bisa ditabung lagi, pesan saya pada anak bungsu saya tersebut.‟ (W: 100104) Rasa sayang pada suami dimunculkan oleh pengarang dengan menggunakan teknik reaksi tokoh. Reaksi tersebut berupa larangan, yakni tokoh Ibu melarang Mas Rusli menjual mobil ketika suaminya memutuskan untuk menjual mobil agar bisa membayar biaya perawatan Eyang. Tokoh Ibu paham bahwa Mas Rusli sudah sangat lama berkeinginan untuk memiliki mobil dan baru satu tahun lalu bisa membelinya. Hal tersebut dapat dilihat pada data (10) berikut: (10) “Mboten mas, mpun dangu njenengan pengin mobil, lan nembe saged mundhut setaun kepengker” „Tidak mas, sudah lama kamu menginginkan mobil, dan baru bisa membelinya satu tahun yang lalu‟ (W: 72) Tokoh Ibu juga memiliki watak yang begitu tanggung jawab. Watak tanggung jawab tokoh Ibu dimunculkan oleh pengarang dengan teknik arus kesadaran. Hal tersebut dapat dilihat dari sikap Ibu yang tetap mau menyelesaikan tugasnya hingga larut malam meski sebenarnya dia sudah merasa begitu lelah. Watak tanggung jawab tokoh Ibu dapat dilihat pada data (11) berikut: (11) Jam loro esuk. Laptopku taktutup, rasane mripat wis ora kuat maneh. Kaca mata takcopot, aku njur turon ing kasur. Ngrasakake pegele awak sing kawit esuk durung leren. „Jam dua pagi. Laptop saya matikan, mata sudah terasa tidak kuat lagi. Kaca mata saya lepas, kemudian saya berbaring di tempat tidur. Merasakan badan yang begitu pegal karena sejak pagi belum istiraht.‟ (W: 1-4) Sikap tanggung jawab tokoh Ibu juga ditunjukkan pada kesadarannya terhadap profesi menjadi seorang guru. Ketika Ibu harus bergantian dengan suami menjaga Eyang di rumah sakit, Ibu merasa terpaksa dalam meninggalkan siswa-siswanya di sekolah. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik pikiran dan perasaan, seperti pada kutipan commit to user (12) berikut:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
44 (12) Kepeksa ninggal murid-muridku kanggo njaga Ibu sing taktresnani. „Terpaksa meninggalkan murid-murid saya untuk menjaga Ibu yang saya cintai.‟ (W: 107) Adanya rasa terpaksa meninggalkan siswa-siswanya tersebut menjadi salah satu wujud tanggung jawab. Tokoh Ibu tidak serta merta merasa senang karena terbebas dari kewajiban mengajar, tetapi tetap merasa bersalah karena meninggalkan tugas. Tidak hanya tanggung jawab, tokoh Ibu juga memiliki sikap yang begitu sopan. Sikap sopan tokoh Ibu dimunculkan oleh pengarang dengan teknik cakapan. Tokoh Ibu selalu menggunakan bahasa Jawa ragam krama tiap kali berbicara dengan Mas Rusli. Hal tersebut dapat dilihat pada data (13) berikut: (13) “Mas, njenengan ngaso riyin, siram terus sarapan, niki mpun kula bektane dhaharan ugi rasukan njenengan,” kandhaku nang bojoku satekaku ing rumah sakit. „Mas, kamu istirahat dahulu, mandi lalu sarapan, ini sudah saya bawakan makanan juga pakaianmu, kataku kepada suamiku ketika tiba di rumah sakit. (W: 47) Tidak hanya dengan suaminya, tokoh Ibu juga selalu menggunakan bahasa Jawa ragam krama ketika berbicara dengan Eyang. Hal tersebut tampak pada kutipan data (14) berikut: (14) “Kondur pripun ta Bu? Ibu dereng sehat, mangke mboten kiyat menawi wonten griya” „Pulang bagaimana ta Bu? Ibu belum sehat, nanti tidak kuat kalau di rumah.‟ (W: 114) Selain penyayang, tanggung jawab dan sopan, tokoh Ibu juga memiliki watak patuh terhadap orang tua. Watak patuh tokoh Ibu dimunculkan oleh pengarang dengan menggunakan teknik cakapan, seperti pada kutipan data (15) berikut: (15) “Oh, nggih mpun Bu,” semaurku banjur nglebokke HP meneh” „Oh, ya sudah Bu,” kataku kemudian memasukkan HP lagi‟ (W: 143) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
45 Eyang melarang tokoh Ibu menghubungi Faisal yang sedang tour ke Bali. Ibu pun menuruti apa yang dilarang oleh Eyang dan segera memasukkan HP lagi ke dalam tas. Pengarang juga memunculkan tokoh Ibu sebagai sosok yang menjaga amanah dengan menggunakan teknik tingkah laku. Sebelum Eyang meninggal, Eyang sempat melarang Ibu menghubungi Faisal. Dan ketika Eyang meninggal, Anis ingin menghubungi Faisal, Ibu langsung melarang Anis melakukan hal tersebut. Ibu menjaga amanah Eyang bahwa tidak akan menghubungi Faisal sebelum Faisal minta dijemput pulang. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (16) berikut: (16) “Aja Ndhuk, mau Eyang wis pesen aja ngganggu Isal,” semaurku. „Jangan Nak, tadi Eyang sudah berpesan jangan mengganggu Isal, kataku.‟ (W: 169) Tokoh Ibu juga bertekat akan melaksanakan apa yang menjadi amanah Eyang pada dirinya untuk bisa menjadi seperti rumput yang mampu tumbuh subur tanpa disiram. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (17) berikut: (17) Aku ora bakal lali karo welinge Ibu supaya dadi kaya suket. Bisa urip ora gumantung marang wong liya, mung gumantung marang Gusti Allah. „Aku tidak akan lupa dengan pesan Ibu untuk menjadi seperti rumput. Bisa hidup dengan tidak bergantung pada orang lain, hanya bergantung pada Allah SWT. (W: 171-172) Dalam pemunculan watak menjaga amanah yang kedua tersebut, pengarang menggunakan teknik pikiran dan perasaan, yaitu watak tokoh yang dilihat dari bagaimana tokoh tersebut berfikir dan menggunakan perasaannya dalam cerita. Secara sosial, tokoh Ibu berprofesi sebagai seorang guru SMA. Hal tersebut ditunjukkan oleh pengarang dengan teknik cakapan, seperti pada kutipan data (18) berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
46 (18) “Kula ugi mboten saged ngampil saking sekolah Mas. SMA panggenan kula ngajar sakniki malah saweg ngirangi pegawai.” „Saya juga tidak bisa meminjam dari sekolah Mas. SMA tempat saya mengajar sekarang malah sedang mengurangi pegawai. (W: 74-75) b) Eyang Tokoh Eyang adalah ibu dari pangarang cerita. Secara fisik, tokoh Eyang merupakan seorang wanita yang sudah tua dan memiliki penyakit jantung. Keterangan tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik ekspositori atau deskripsi langsung, seperti pada kutipan data (19) berikut: (19) Ibu cen duwe penyakit jantung. Wingi-wingi ora papa, ning dhek mben iku kok kumat maneh. „Ibu memang memiliki penyakit jantung. Kemarin-kemarin tidak apa-apa, namun kemarin kok kambuh lagi.‟ (W: 40-41) Secara psikis, tokoh Eyang merupakan orang yang tanggap. Tokoh Eyang paham akan kondisi ekonomi yang sedang dialami oleh keluarga anaknya sehingga Eyang meminta pulang ke rumah. Pengarang memunculkan watak tanggap dari tokoh Eyang dengan menggunakan teknik cakapan, seperti pada data (20) berikut: (20) “Ibu pengin bali, bobok ngomah wae.” „Ibu ingin pulang, tidur di rumah saja.‟ (W: 113) Tokoh Eyang juga memiliki watak yang begitu bijaksana. Pengarang memunculkan watak bijaksana dari tokoh Eyang dengan menggunakan teknik cakapan. Watak bijaksana tersebut berupa nasihat-nasihat yang disampaikan Eyang kepada keluarga anaknya. Hal tersebut dapat dilihat pada data (21) berikut: (21) “Pancen kudu bareng-bareng anggonmu ngangkat beban kang abot. Kudu alon-alon supaya beban bisa kok angkat,” ngendikane Ibu nalika wis ana jero mobil takjagani nganggo awakku. „Memang harus bersama-sama dalam mengangkat beban yang berat. Harus pelan-pelan agar beban bisa diangkat,” kata Ibu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
47 ketika sudah berada di dalam mobil saya jaga dengan badan saya.‟ (W: 124-125) Masih melalui teknik cakapan, watak bijaksana tokoh Eyang dimunculkan oleh pengarang ketika Eyang menyampaikan nasihat kepada menantunya yang tengah mengendarai mobil. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (22) berikut: (22) ”Nang, welinge Ibu, yen nyopiri kluwargamu iku sing ngatiati, aja nganti kesasar,” ngendikane Ibu marang Mas Rusli kang lagi nyopir mobil nuju omah. „Nak, pesan Ibu, kalau membawa keluargamu itu yang hatihati, jangan sampai tersesat, kata Ibu kepada Mas Rusli yang sedang menyetir mobil menuju rumah‟ (W: 126) Seperti halnya nasihat yang disampaikan Eyang pada menantu laki-lakinya, nasihat pada cucu perempuannya pun dimunculkan oleh pengarang dengan teknik cakapan, seperti pada data (23) berikut: (23) ”Nis, welinge Eyang, yen dadi cah ayu iku kudune kaya kembang mawar kae,” ngendikane Ibu nalika liwat toko kembang lan nuduhi kembang mawar kang apik rupane. „Nis, pesan Eyang, kalau menjadi orang cantik itu harus seperti bunga mawar itu, kata Ibu ketika lewat toko bunga dan menunjukkan bunga mawar yang cantik rupanya. (W: 127) Tokoh Eyang tidak hanya memberikan nasihat pada menantu dan cucunya, beliau juga memberikan nasihat pada anak perempuannya bahwa ia harus mampu hidup tanpa bergantung pada orang lain. Sikap bijaksana tokoh Eyang dalam memberikan nasihat tersebut dimunculkan oleh pengarang melalui teknik cakapan, seperti pada data (24) berikut: (24) “Ndhuk, welinge Ibu, kowe sing bisa kaya suket-suket kae lho Ndhuk,” ngendikane Ibu nalika weruh lapangan amba kang akeh sukete. „Nak, pesan Ibu, kamu harus bisa seperti rumput-rumput itu lho Nak, kata Ibu ketika melihat lapangan luas yang banyak rumputnya. (W: 144) Secara sosial, tokoh Eyang merupakan seorang janda. Hal commit to user tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik pelukisan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
48 latar. Di dalam cerita tidak terdapat keterangan mengenai suami tokoh Eyang. Sejak Eyang sakit dan dirawat di rumah sakit hingga meninggal tidak ada tokh suami Eyang yang datang menengok atau menunggui Eyang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tokoh Eyang merupakan seorang janda. c) Mas Rusli Tokoh Mas Rusli adalah suami pengarang. Secara fisik, tokoh Mas Rusli memiliki wajah yang tampan. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik arus kesadaran, seperti pada data (25) berikut: (25) Wis seminggu iki turuku ora dikancani sisihanku sing bagus kae. „Sudah satu minggu ini saya tidur tidak ditemani suami saya yang tampan itu.‟ (W: 7) Secara psikis, tokoh Mas Rusli merupakan menantu yang berbakti. Hal tersebut ditunjukkan dengan sikapnya yang mau menunggui serta menjaga mertuanya yang sedang sakit di rumah sakit. Pengarang memunculkan watak berbakti tokoh Mas Rusli dengan menggunakan teknik ekspositori, seperti pada data (26) berikut: (26) Wis ana seminggu iki Ibu ana rumah sakit, dadi bojoku nunggoni ana kana, durung tau bali. „Sudah satu minggu ini Ibu di rumah sakit, sehingga suami saya menunggui disana, belum pernah kembali ke rumah.‟ (W: 38) Selain berbakti, tokoh Mas Rusli juga memiliki watak perhatian. Perhatian tokoh Mas Rusli dapat dilihat dari sikapnya yang tidak ingin terjadi apa-apa pada mertuanya, sehingga ketika ia pergi selalu berpesan pada anak-anaknya untuk menjaga Eyang. Pengarang menggunakan teknik cakapan dalam memunculkan watak perhatian Mas Rusli. Hal tersebut tampak pada data (27): (27) “Ndhuk, Nang, Ibu lan Eyang ditulungi yen perlu apa-apa, ya” kandhane Mas Rusli karo pesen nang bocah-bocah. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
49 „Nak, Ibu dan Eyang apabila perlu apa-apa dibantu ya, kata Mas Rusli dengan berpesan pada anak-anak.‟ (W: 49) Pengarang
dengan
menggunakan
teknik
cakapan
memunculkan tokoh Mas Rusli sebagai sosok yang bertanggung jawab. Ketika menghadapi masalah keuangan, ia ingin menjual mobilnya untuk biaya perawatan Eyang, meski keputusan tersebut akhirnya tidak disetujui oleh istrinya. Hal tersebut dapat dilihat pada data (28) berikut: (28) “Dhik, apa mobile kae didol wae?” takone Mas Rusli. „Dik, apa mobilnya itu dijual saja? tanya Mas Rusli. (W: 7071) Tidak hanya berbakti, perhatian, dan tanggung jawab, tokoh Mas Rusli juga merupakan orang yang bijaksana. Ia selalu mengajak istrinya berdiskusi ketika menghadapi masalah. Ia ingin mencari jalan keluar bersama-sama, tidak egois dan tidak mengambil keputusan secara sepihak. Watak bijaksana tokoh Mas Rusli dimunculkan oleh pengarang dengan teknik cakapan, seperti pada data (29) berikut: (29) “Dhik, aku kudu ngomong,” ngendikane Mas Rusli sawise dhahar.” „Dik, saya harus bicara,” kata Mas Rusli usai makan.‟ (W: 54) Secara sosial, tokoh Mas Rusli merupakan seseorang yang bekerja sebagai karyawan kantor. Pengarang menggambarkan profesi dari tokoh Mas Rusli melalui teknik cakapan, seperti pada data (30) berikut: (30) “Piye meneh Dhik, aku ora bisa nyilih dhuwit nyang kantor, wong order lagi sepi.” „Mau bagaimana lagi Dik, saya tidak bisa meminjam uang di kantor, karena order sedang sepi. (W: 73) d) Faisal Faisal merupakan anak bungsu dari pengarang. Secara fisik, tokoh Faisal adalah seorang anak yang masih sekolah. Hal tersebut dimunculkan oleh to pengarang dengan menggunakan teknik commit user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
50 pelukisan latar, yakni Faisal yang akan berangkat tour. Secara psikis, tokoh Faisal memiliki watak yang begitu sopan. Hal tersebut dilihat ketika berbicara dengan orang tua atau Eyang, Faisal selalu menggunakan bahasa Jawa krama. Pengarang memunculkan watak sopan tokoh Faisal dengan menggunakan teknik cakapan. Hal tersebut dapat dilihat pada data (31) berikut: (31) “Bu, sampun masak?” pitakone anakku ngerti aku racik-racik. „Bu, sudah masak? tanya anak saya yang melihat saya sedang meracik bumbu masak. (W: 11-12) Selain sopan, tokoh Faisal juga merupakan sosok yang religius. Ia rajin melakukan shalat malam tahajud. Hal tersebut ditunjukkan oleh pengarang melalui reaksi tokoh lain yakni ketika Ibu melihat tokoh Faisal sudah bangun Ibu pun langsung bertanya apakah ia akan shalat tahajud, seperti pada data (32) berikut: (32) “Iya Nang, arep shalat tahajud? takonku marang anakku kang paling sregep shalat bengi kuwi. „Iya Nak, mau shalat tahajud? tanya saya pada anak saya yang paling rajin shalat malam tersebut.‟ (W: 14) Pengarang dengan menggunakan teknik reaksi tokoh memunculkan tokoh Faisal sebagai anak yang patuh. Kepatuhan tokoh Faisal dapat dilihat dari sikap mengangguk ketika orang tuanya meminta untuk menjaga Eyang, seperti pada data (33) berikut: (33) “Ndhuk, Nang, Ibu lan Bapak metu dhisik ya. Tulung Eyang dijaga,” pesenku nang cah-cah. Bocah loro iku manthuk. „Nak, Ibu dan Bapak keluar dulu ya. Tolong Eyang dijaga, pesan saya pada anak-anak. Kedua anak tersebut pun mengangguk.‟ (W: 57-59) Tokoh Faisal juga memiliki watak perhatian. Watak perhatian tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik ekspositori. Tokoh Faisal segera mengambil obat ketika melihat jari ibunya berdarah terkena pisau. Hal tersebut tampak pada kutipan data (34) berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
51 (34) Aku isih ngirisi lombok lan jangan sing arep tak masak. Ning pikiranku jebul mikir bab liya, dadi drijiku kena landhepe peso. Faisal kang rampung wudhu, weruh drijiku rupa getih, enggal njupukake obat. „Saya masih memotong lombok dan sayur yang akan saya masak. Namun fikiran saya ternyata memikirkan hal lain, sehingga jari saya terkena tajamnya pisau. Faisal yang selesai wudhu, melihat jari saya penuh darah, langsung mengambilkan obat.‟ (W: 21-23) Sikap perhatian tokoh Faisal juga dimunculkan oleh pengarang dengan teknik tingkah laku. Faisal memijati Eyang yang dirawat di rumah sakit. Hal tersebut tampak pada data (35) berikut: (35) “Aja na kene,” semaure Mas Rusli karo ndelokake cah-cah kang lagi mijiti eyange. „Jangan disini, kata Mas Rusli sambil melihat anak-anaknya yang sedang memijati eyangnya. (W: 56) Secara sosial, tokoh Faisal merupakan seseorang anak yang suka menabung. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik deskripsi langsung, seperti pada data (36) berikut: (36) Aku wong loro durung nemu solusi, nadyan upama ana tambahan saka Anis lan Faisal kang mbobok celengan kang durung tau dijupuk kawit cah-cah SD. Wong ragad sing dibutuhake akeh. „Kami berdua belum menemukan solusi, meskipun apabila ada tambahan dari Anis dan Faisal dengan membuka celengan yang belum pernah diambil sejak mereka SD. Biaya yang dibutuhkan begitu banyak.‟ (W: 83-84) Selain suka menabung, tokoh Faisal juga pandai bermain gitar. Pengarang memunculkan tokoh Faisal sebagai anak yang pandai bermain gitar dengan teknik reaksi tokoh lain, seperti pada kutipan data (37) berikut: (37) “Iya Ndhuk, Ibu kangen karo Isal. Pengin ngrungokne Isal gitaran maneh.” „Iya Nak, Ibu rindu dengan Isal. Ingin mendengar Isal bermain gitar lagi.‟ (W: 136-137)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
52 e) Anis Anis adalah anak sulung dari pengarang. Secara fisik, Anis merupakan remaja yang cantik. Hal tersebut ditunjukkan oleh pengarang melalui teknik reaksi tokoh lain, seperti pada data (38) berikut: (38) “Ora ngono, cah ayu. Maksude Eyang, suket iku lak ora butuh disirami, ning bisa lemu-lemu kaya sing nang lapangan mau.“ „Tidak begitu, cantik. Maksud Eyang, rumput itu kan tidak perlu disiram, namun bisa tumbuh subur seperti yang ada di lapangan tadi.‟ (W: 147-148) Secara psikis, tokoh Anis merupakan seorang anak yang sopan. Watak sopan tokoh Anis dimunculkan oleh pengarang dengan teknik cakapan. Tokoh Anis selalu menggunakan bahasa Jawa ragam krama setiap berbicara dengan orang yang lebih tua. Hal tersebut dapat dilihat pada data (39) berikut: (39) “Yang, wungu, sampun dugi,” pangucape Anis karo mbukak lawang mobil sisih kiwa. „Yang, bangun, sudah sampai, ucap Anis sambil membuka pintu mobil sebelah kiri.‟ (W: 157) Anis juga memiliki watak perhatian. Watak perhatian tokoh Anis dimunculkan oleh pengarang dengan menggunakan teknik tingkah laku. Melihat jari ibunya yang terkena pisau, Anis langsung mengambil alih tugas untuk memasak dan meminta ibunya untuk istirahat terlebih dahulu. Hal tersebut tampak pada kutipan data (40) berikut: (40) “Anis mawon Bu, sing masak. Ibu ngaso riyin.” „Anis saja Bu, yang masak. Ibu istirahat saja dulu.‟ (W: 29) Selain sopan dan perhatian, tokoh Anis juga merupakan anak yang patuh. Pengarang memunculkan watak patuh dari tokoh Anis dengan teknik reaksi tokoh. Ketika orang tuanya meminta untuk menjaga Eyang tokoh Anis menjawab iya sebagai wujud menuruti perintah. Hal tersebut dapat dilihat pada data (41) berikut: (41) “Nggih Pak,” commit semauretoanak-anakku bebarengan. user „Iya Pak, jawab anak-anak saya secara bersama.‟ (W: 50)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
53 Secara sosial, tokoh Anis merupakan seorang remaja yang sudah kuliah. Pengarang memunculkan keterangan tersebut dengan menggunakan teknik ekspositori, seperti pada data (42) berikut: (42) Apa maneh Anis arep mlebu kuliyah, semingu maneh kudu wis mbayar administrasi. „Apalagi Anis akan masuk kuliah, satu minggu lagi harus sudah membayar administrasi.‟ (W: 45) 4) Latar Latar terdiri dari latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat dalam cerkak Welingmu adalah rumah pengarang dan rumah sakit. Berikut kutipan mengenai latar tempat: a) Latar tempat (1) Rumah pengarang Di dalam sebuah rumah tentu terdapat bagian-bagian rumah yang lebih spesifik. Latar tempat yang terdapat dalam cerita yakni: (a) Kamar tidur Latar kamar tidur dapat dilihat dari peristiwa ketika pengarang merasa lelah karena sehari penuh belum istirahat. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (43) berikut: (43) Kaca mata tak copot, aku njur turon ing kasur. „Kaca mata saya lepas, saya kemudian tiduran di kasur. (W: 3) (b) Dapur Latar tempat lainnya yakni dapur, dapat dilihat ketika pengarang memasak, seperti terlihat pada data (44) berikut: (44) Nganti jam telu seprapat, aku malah terus tangi, raup njur mlebu ndapur nggo masak. „Sampai pukul tiga lebih lima belas menit, saya kemudian bangun, mencuci muka masuk ke dapur untukcommit masak.‟to(W: 10) user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
54 (c) Halaman rumah Latar halaman rumah dapat dilihat ketika Anis dan keluarganya membawa Eyang pulang. Hal tersebut dapat dilihat pada data (45) berikut: (45) Ora let suwe, mobil kang disupiri Mas Rusli tekan ngarep omah. „Tidak begitu lama, mobil yang dikendarai oleh Mas Rusli sudah sampai di depan rumah. (W: 154) (2) Rumah sakit Selain rumah pengarang, cerkak Welingmu juga menggunakan latar tempat rumah sakit. Sama seperti rumah, dalam rumah sakit pun terdapat bagian-bagian spesifik tertentu. (a) Ruang rawat Eyang Latar tempat ruang rawat Eyang dapat dilihat dalam kutipan data (46) berikut: (46) “Mas, njenengan ngaso riyin, siram terus sarapan, niki mpun kula bektane dhaharan ugi rasukan njenengan,” kandhaku nang bojoku satekaku ing rumah sakit. „Mas, kamu istirahat dulu, mandi kemudian sarapan, ini sudah saya bawakan makanan dan pakaian untuk kamu, kata saya kepada suami ketika sampai di rumah sakit. (W: 47) (b) Kursi dekat ruang rawat Eyang Agar pembicaraannya tidak diketahui oleh Anis, Faisal, dan Eyang, Mas Rusli dan istrinya keluar dari ruang rawat dan berdiskusi di kursi dekat ruang rawat Eyang. Hal tersebut tampak pada data (47) berikut: (47) Aku lan Mas Rusli njur metu saka kamar, lungguh ing kursi ora adoh saka kamare Ibu dirawat. „Saya dan Mas Rusli kemudian keluar dari kamar, duduk di kursi yang tidak jauh dari kamar Ibu dirawat.‟ (W: 60)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
55 b) Latar waktu Latar waktu berkaitan dengan kapan peristiwa dalam cerita terjadi. Cerita berlangsung beberapa hari. Ketika Faisal ikut ke rumah sakit, bisa dimungkinkan bahwa hari tersebut adalah hari libur (Minggu) karena mereka tidak sekolah. Kemudian hari berikutnya (Senin) tokoh Ibu menyebutnya dengan hari ini. Pada hari tersebut Ibu terpaksa tidak mengajar karena menggantikan suami menjaga Eyang. Lalu hari berikutnya, yakni dua hari setelah hari libur (Selasa), hari ketika Faisal berangkat tour ke Bali. Pada hari yang bersamaan dengan Faisal ke Bali, Eyang dibawa pulang oleh Ibu, Anis dan Mas Rusli. Dibawanya Eyang pulang tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh tokoh Ibu bahwa dua hari yang lalu Eyang meminta pulang. Latar waktu dalam cerkak Welingmu antara lain: (1) Dini hari (a) Jam dua pagi Latar waktu jam dua pagi nampak ketika pengarang mulai lelah dan menutup laptopnya kemudian berbaring di kasur. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (48) berikut: (48) Jam loro esuk. Laptop taktutup, rasane mripat kaya wis ora kuwat maneh. „Jam dua pagi. Laptop saya tutup, mata terasa seperti sudah tidak kuat lagi.‟ (W: 1-2) (b) Jam tiga lebih lima belas menit Latar waktu jam tiga lebih lima belas menit yakni ketika pengarang memasak di dapur karena tidak bisa tidur. Hal tersebut tampak pada kutipan data (49) berikut: (49) Nganti jam telu seprapat, aku malah terus tangi, raup njur mlebu ndapur nggo masak. „Sampai pukul tiga lebih lima belas menit, saya kemudian bangun, mencuci muka dan masuk dapur untuk memasak. (W: 10) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
56 (2) Pagi hari Latar waktu pagi hari dapat dilihat dalam peristiwa ketika tokoh Ibu meminta suaminya untuk sarapan dan mandi di rumah sakit. Hal tersebut dapat dilihat pada data (50) berikut: (50) “Mas, njenengan ngaso riyin, siram terus sarapan, niki mpun kula bektane dhaharan ugi rasukan njenengan,” kandhaku nang bojoku satekaku ing rumah sakit. „Mas, kamu istirahat dulu, mandi kemudian sarapan, ini sudah saya bawakan makanan dan pakaian untuk kamu, kata saya kepada suami ketika sampai di rumah sakit. (W: 47) (3) Hari ini Latar waktu hari ini dimungkinkan bahwa hari yang dimaksud adalah hari Senin, seperti penjelasan di atas. Latar waktu hari ini adalah ketika pengarang menggantikan suaminya untuk menjaga Eyang di rumah sakit. Hal tersebut tampak pada kutipan data (51) berikut: (51) Dina iki aku ngganteni Mas Rusli nunggoni Ibu ing rumah sakit. „Hari ini saya menggantikan Mas Rusli menjaga Ibu di rumah sakit.‟ (W: 106) (4) Dua hari kemudian Waktu dua hari kemudian yang dimaksud bisa jadi adalah hari Selasa, seperti penjelasan di atas. Hal tersebut tampak pada kutipan data (52) berikut: (52) Panjaluke Ibu rong dina kepungkur, iku takkira mung kanggo sauntara. „Permintaan Ibu dua hari yang lalu, itu saya kira hanya untuk sementara.‟ (W: 119) c) Latar sosial Latar sosial dalam cerkak dengan judul Welingmu tersebut diantarannya: (1) Keluarga tersebut merupakan keluarga Jawa yang menjunjung tinggi nilai kesopanan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
57 Hal tersebut nampak dalam penggunaan bahasa Jawa krama dalam setiap percakapan tokoh. Bahasa Jawa krama digunakan ketika berbicara dengan orang yang lebih tua, seperti anak pada orang tua, anak pada Eyang, istri pada suami, dan orang tua pada Eyang. (2) Keluarga tersebut merupakan keluarga muslim yang religius Dapat dilihat dari tokoh Faisal yang rajin melakukan ibadah shalat tahajud. Mereka memiliki keyakinan bahwa orang yang sakit sudah sepantasnya didoakan untuk kesembuhannya, seperti pada kutipan data (53) berikut: (53) Ndang shalat, dongakna Eyangmu. „Segera shalat, doakan Eyangmu.‟ (W: 19) Selain itu, tokoh Mas Rusli juga mengucapkan kalimat istirja‟ ketika mengetahui ibunya telah meninggal. Kalimat tersebut biasa diucapkan oleh umat muslim ketika mengalami musibah. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (54) berikut: (54) Mas Rusli mung gedheg-gedheg nyemauri pitakonku, ndelehake tangane ana raine Ibu, banjur ngucap “Innalillahi wa innaillaihi raji‟un.” „Mas Rusli hanya menggelengkan kepala menjawab pertanyaan saya, menempatkan tangan di wajah Ibu, kemudian mengucap “Innalillahi wa innaillaihi raji‟un”.‟ (W: 165) 5) Sudut Pandang Sudut pandang dalam cerkak Welingmu adalah sudut pandang orang pertama “aku” sebagai tokoh utama. Di dalam cerita, pengarang menceritakan kisahnya sendiri dan menyebut dirinya dengan sapaan “aku”. Hal tersebut tampak pada data (55) berikut: (55) Aku nyoba ngeremake mripat, ning isih durung isa turu. „Saya mencoba memejamkan mata, namun tetap tidak bisa tidur.‟ (W: 8) Selain itu, pengarang juga menyebut sesuatu yang dimiliki atau ada pada dirinya dengan disertai imbuhan “-ku”. Hal tersebut commit to user dapat dilihat pada kutipan data (56) berikut:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
58 (56) Ning pikiranku jebul mikir bab liya, dadi drijiku kena landhepe peso. „Namun fikiran saya ternyata memikirkan hal lain, sehingga jari saya terkena tajamnya pisau.‟ (W: 22) 6) Amanat Amanat atau pesan yang dapat diambil dari cerkak yang berjudul Welingmu ini antara lain: a) Seorang anak harus berbakti kepada orang tua Sudah
sepantasnya
seorang
anak
berbakti
serta
memuliakan orang tua karena orang tua telah merawat dan membesarkan anak dengan tulus tanpa pamrih. Amanat tersebut dapat dipetik dari sikap Anis dan Faisal yang begitu menghormati bapak ibunya. Kemudian sikap pengarang dan Mas Rusli yang merawat dan menjaga Eyang di rumah sakit. b) Seseorang harus tetap tanggung jawab terhadap pekerjaannya Amanat mengenai sikap tanggung jawab terhadap pekerjaan dapat dipetik dari perilaku tokoh Mas Rusli dan pengarang yang menjaga Eyang secara bergantian, dan tidak begitu saja meninggalkan pekerjaannya. c) Harus tetap bersikap sabar dan tenang dalam menghadapi masalah Amanat untuk bersikap sabar dan tenang dalam menghadapi masalah dapat dipetik dari sikap pengarang yang sabar menghadapi masalah keuangan. Kemudian sikap Mas Rusli yang mengajak istrinya berdiskusi secara tenang dan tidak disertai emosi atau rasa terburu-buru dalam mengambil keputusan. d) Melakukan hal secara bersama-sama akan dapat meringankan beban Amanat tersebut dapat dipetik dari nasihat Eyang kepada keluarga anaknya, bahwa seberapa berat beban yang ditanggung, apapun masalah yang sedang dihadapi, semua akan terasa ringan apabila dihadapi bersama-sama, seperti pada data (57) berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
59 (57) “Pancen kudu bareng-bareng anggonmu ngangkat beban kang abot. Kudu alon-alon supaya beban bisa kok angkat,” ngendikane Ibu nalika wis ana jero mobil takjagani nganggo awakku. „Memang harus bersama-sama dalam mengangkat beban yang berat. Harus pelan-pelan agar beban bisa diangkat,” kata Ibu ketika sudah berada di dalam mobil saya jaga dengan badan saya.‟ (W: 124-125) e) Seorang kepala keluarga harus mampu membimbing keluarganya Amanat tersebut dapat dipetik dari nasih Eyang kepada Mas Rusli, bahwa ia sebagai imam keluarga harus mampu membimbing istri dan anak-anaknya ke jalan yang benar, jangan sampai terjerumus. Adapun amanat tersebut dapat dilihat pada kutipan data (58) berikut: (58) ”Nang, welinge Ibu, yen nyopiri kluwargamu iku sing ngatiati, aja nganti kesasar,” ngendikane Ibu marang Mas Rusli kang lagi nyopir mobil nuju omah. „Nak, pesan Ibu, kalau membawa keluargamu itu yang hatihati, jangan sampai tersesat, kata Ibu kepada Mas Rusli yang sedang menyetir mobil menuju rumah‟ (W: 126) f) Harus menjadi wanita yang mampu menjaga diri Amanat untu selalu menjaga diri dapat dipetik dari nasihat Eyang kepada Anis. Sebagai wanita ia harus menjaga diri, seperti halnya bunga mawar yang cantik, ia memiliki banyak duri dan
hanya
orang-orang
yang
berhati-hati
yang
mampu
mendapatkannya. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (59) berikut: (59) ”Nis, welinge Eyang, yen dadi cah ayu iku kudune kaya kembang mawar kae,” ngendikane Ibu nalika liwat toko kembang lan nuduhi kembang mawar kang apik rupane. „Nis, pesan Eyang, kalau menjadi orang cantik itu harus seperti bunga mawar itu, kata Ibu ketika lewat toko bunga dan menunjukkan bunga mawar yang cantik rupanya. (W: 127)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
60 g) Jangan bergantung pada orang lain, namun bergantunglah pada Tuhan Amanat agar hanya bergantung pada Tuhan dapat dipetik dari nasihat Eyang kepada pengarang, seperti pada data (60) berikut: (60) “Ndhuk, welinge Ibu, kowe sing bisa kaya suket-suket kae lho Ndhuk,” ngendikane Ibu nalika weruh lapangan amba kang akeh sukete. „Nak, pesan Ibu, kamu harus bisa seperti rumput-rumput itu lho Nak, kata Ibu ketika melihat lapangan luas yang banyak rumputnya. (W: 144) b. Cerkak Sarwa Sujana karya Afin Yulia 1) Tema Tema dari cerkak yang berjudul Sarwa Sujana karya Afin Yulia adalah menuduh orang lain tanpa ada bukti hanya akan mengakibatkan malu pada diri sendiri. Tema tersebut termasuk tema tradisional yakni seseorang yang melakukan perbuatan akan menerima resiko sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya. Hal tersebut sesuai dengan pepatah Jawa bahwa sapa nandur bakal ngundhuh „siapa yang menanam maka ia akan menuai‟. Pengarang dan tetangga lain menggunjing serta menuduh Mbak Tari melakukan ritual babi ngepet, tetapi ternyata Mbak Tari adalah seorang penulis hebat yang novelnya akan difilmkan. Hal tersebut tampak pada kutipan data (61) dan data (62) berikut: (61) Wanita kang dadi randha watara patang taun kepungkur kuwi katon banget anggone mulya. Mulyane mono jane ora apa-apa. Ananging masalahe Mbak Tari kuwi ora nate megawe. Saben dinane ana ngomah wae. Banjur teka ngendi penghasilane kok bisa tuku parabola, tuku mobil masiya mung bekas. Hara, apa ora marai sarwa sujana ngono kuwi jenenge? „Wanita yang menjadi janda kira-kira empat tahun yang lalu itu terlihat sekali hidupnya makmur. Makmurnya itu sebenarnya tidak apa-apa. Namun yang menjadi masalah Mbak Tari itu tidak pernah bekerja. Setiap hari hanya berada di rumah saja. Lalu dari mana penghasilannya koktobisa commit usermembeli parabola, membeli mobil
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
61 meskipun hanya bekas. Hayoo, apa tidak menjadikan serba berburuk sangka kalau seperti itu namanya?‟ (SS: 2-7) (62) “Si Tari kuwi lho antuke dhuwit saka ngendi. Dadi gendhakane wong liya apa macak mbabi ngepet ya jane?” „Si Tari itu lho dapatnya uang dairi mana. Jadi selingkuhan orang lain atau melakukan ritual babi ngepet ya sebenarnya?‟ (SS: 9-10) Suatu hari Mbak Tari mengadakan syukuran dan menjelaskan maksud
diadakannya
syukuran
tersebut.
Salah
satu
maksud
diadakannya syukuran yakni novel Mbak Tari yang akan difilmkan dan disutradarai oleh sutradara terkenal Hanung Bramantyo. Hal tersebut menunjukkan kebenaran dari diri seorang Mbak Tari bahwa Mbak Tari kaya bukan karena babi ngepet, seperti dalam data (63) berikut: (63) Ketelu, merga novele kang judule Bukan Semusim Cinta didadekake film lan bakal disutradari dening Hanung sapa ya iku mau, pokoke jare sutradara terkenal sak Indonesia. „Ketiga, karena novelnya yang berjudul Bukan Semusim Cinta dijadikan film dan akan disutradarai oleh Hnung siapa ya itu tadi, pokoknya sutradara terkenal se-Indonesia. (SS: 127) Setelah mengetahui kenyataan yang sebenarnya, pengarang yang tadinya menuduh Mbak Tari melakukan ritual babi ngepet kemudian merasa menyesal dan malu. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (64) berikut: (64) Aku mung meneng bae. Ngrasa isin campur ora penak ati. „Saya hanya diam saja. Merasa malu tidak enak hati. (SS: 156157) 2) Alur Cerkak Sarwa Sujana menggunakan alur maju. Peristiwa diceritakan secara runtut mulai dari pengenalan tokoh Mbak Tari melalui perbincangan pengarang dengan tetangga. Perbincangan yang menyatakan bahwa Mbak Tari adalah seorang janda yang terlihat tidak pernah bekerja tetapi hidupnya mapan. Kemudian pengenalan para tetangga seperti Yu Ti, Mbak Ning, dan Mbak Mur yang turut dalam perbincangan membicarakan commit to userMbak Tari.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
62 Konflik mulai muncul ketika para tetangga memiliki dugaan bahwa Mbak Tari kaya karena menjadi simpanan orang lain atau melakukan ritual babi ngepet. Konflik meningkat ketika salah seorang tetangga yang bernama Mbak Ning melihat pembantu Mbak Tari membeli lilin dan kembang setaman. Hal tersebut menjadikan pengarang dan tetangga lain semakin yakin bahwa Mbak Tari melakukan ritual babi ngepet, seperti pada data (65) berikut: (65) “Iih, aja-aja mraktekne ngelmu babi ngepet tenan...” kandhaku marai Yu Ti, Mbak Ning lan Budhe Mur njur padha pandengpandengan karo sajag mengkirig. „Iih, jangan-jangan mempraktekkan ilmu babi ngepet sungguhan... kata saya pada Yu Ti, Mbak Ning dan Budhe Mur kemudian saling memandang sambil merinding takut.‟ (SS: 31) Tahap klimaks dalam cerkak tersebut adalah ketika pengarang bersikukuh dengan anggapannya bahwa Mbak Tari melakukan ritual babi ngepet. Suami pengarang yang bernama Mas Mip berusaha melarang agar tidak membicarakan keburukan orang tanpa bukti, tetapi pengarang tetap keras kepala. Hingga keduanya bertengkar dan menimbulkan suasana gaduh di rumahnya, seperti pada kutipan data (66) berikut: (66) “Ha wong sing diomongke iku kasunyatan, ya ben ta. Sampeyan ki ora gaul blas, dadi ora ngerti menawa Mbak Tari kuwi gelem ngepet.” „Yang dikatakan itu kenyataan, biarkan saja ta. Kamu itu tidak gaul sama sekali, jadi tidak tahu kalau Mbak Tari itu mau melakukan ritual babi ngepet.‟ (SS: 89-90) Penyelesaian cerita nampak ketika Mbak Tari mengadakan syukuran dan mengundang seluruh ibu-ibu tetangga. Ustadz Sarip yang memimpin acara menyampaikan maksud dari diadakannya syukuran. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (67) berikut: (67) Sadurunge acara mulai Ustadz Sarip kandha yen Mbak Tari ngandhakake anane acara iki amarga ana hajat kang arep dipenuhi. Pisan, kirim donga marang para wong tuwa lan leluhure kang wus ora ana. Kapindho, anake sing nomer sijine lulus saka SMA commit lan ketrima ing Unpad. Katelu, merga novele to user kang judule Bukan Semusim Cinta didadekake film lan bakal
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
63 disutradarai dening Hanung sapa ya iku mau, pokoke jare sutradara terkenal sak Indonesia. „Sebelum acara dimulai Ustadz Sarip menyampaikan bahwa Mbak Tari mengatakan diadakannya acara ini karena ada harapan yang akan dipenuhi. Pertama, mengirim doa kepada para orang tua dan leluhur yang telah tiada. Kedua, anaknya yang pertama lulus dari SMA dan diterima di Unpad. Ketiga, karena novelnya yang berjudul Bukan Semusim Cinta dijadikan film dan akan disutradarai oleh Hanung siapa ya ini tadi, yang jelas katanya sutradara terkenal se-Indonesia.‟ (SS: 124-127) 3) Tokoh dan Penokohan Tokoh utama dalam cerkak Sarwa Sujana yakni pengarang atau Sri dan Mbak Tari. Sedangkan tokoh tambahannya yakni Yu Ti, Mbak Ning, Mbak Mur, Mas Mip, Murni, Pak Jamin, dan Pak Sarip. Berikut tokoh dan penokohan dalam cerkak Sarwa Sujana: a) Sri Tokoh Sri merupakan pengarang yang menceritakan cerita. Secara fisik, tokoh Sri merupakan seorang wanita dewasa yang sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (68) berikut: (68) “Ha wong ancen aku ora weruh kok,” saurku karo ngelapi lampene Fira sing kebak sega. „Memang saya tidak tahu kok, jawab saya sambil mengelap mulut Fira yang penuh dengan nasi.‟ (SS: 65) Secara psikis, tokoh Sri memiliki watak yang suka ghibah atau menggunjing orang lain. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang melalui teknik pikiran dan perasaan, seperti pada kutipan data (69) berikut: (69) Ning aja diceluk jenengku Sri yen marga kuwi dadi ora weruh nggosip njaba. Ora bisa ngomong langsung kan bisa sms-an, ben ora ketinggalan gosipe tangga-tanggaku, utamane piye bab Mbak Tari. „Namun jangan panggil nama saya Sri apabila hanya karena itu menjadikan tidak mengetahui gosip di luar. Tidak bisa berbicara langsung kan bisa sms-an, supaya tidak ketinggalan gosip para tetangga saya, terutama bagaimana mengenai Mbak Tari. (SS: 107-108) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
64 Selain memiliki watak yang suka ghibah, tokoh Sri juga memiliki watak suka suudzan atau berburuk sangka terhadap orang lain. Pengarang memunculkan watak suudzan tokoh Sri dengan menggunakan teknik cakapan, seperti pada data (70) berikut: (70) “Iih, aja-aja mraktekne ngelmu babi ngepet tenan...” kandhaku marang Yu Ti, Mbak Ning, lan Budhe Mur njur padha pandeng-pandengan karo sajak mengkirig. „Iih, jangan-jangan mempraktekkan ilmu babi ngepet sungguhan... kata saya kepada Yu Ti, Mbak Ning, dan Budhe Mur yang kemudian saling menatap sambil merinding takut.‟ (SS: 31) Watak lain dari tokoh Sri adalah munafik, yakni bedanya kata dan tindakan. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik tingkah laku, tokoh Sri mengucapkan terima kasih ketika pembantu Mbak Tari memberikan kolak pisang, namun setelah itu tokoh Sri membuang kolak tersebut dengan alasan khawatir kalau kolak tersebut tidak halal, seperti pada data (71) berikut: (71) “Wah, matur nuwun lho, Mur,” semaurku kaya-kaya senengseneng. Padhal sakwise kuwi kolake dakbuang. „Wah, terima kasih lho, mur, kata saya seakan senang. Padahal setelah itu kolaknya saya buang.‟ (SS: 37-38) Tokoh Sri juga memiliki watak tidak jujur. Hal tersebut ditunjukkan pengarang dengan teknik cakapan, seperti pada kutipan data (72) berikut: (72) “Eh, sampeyan ki mara-mara nudhuh kaya ngono. Sapa sing ngomongke liyan. „Eh, kamu itu datang-datang menuduh saya seperti itu. Siapa yang membicarakan orang lain.‟ (SS: 85-86) Sudah jelas tokoh Sri sedang membicarakan Mbak Tari dengan tetangganya, namun ia tetap mengelak dan tidak mau jujur ketika suaminya melarang jangan menggunjing. Selain tidak jujur dengan suami, tokoh Sri juga merupakan sosok yang kasar tidak bisa hormat pada suami. Hal tersebut dapat dilihat dari percakapan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
65 yang dilakukannya dengan suami yang tampak pada data (73) berikut: (73) “Ha wong sing dha diomongke iku kasunyatan, ya ben ta. Sampeyan ki ra gaul blas, dadi ora ngerti menawa Mbak Tari kuwi gelem ngepet.” „Yang dibicarakan itu kenyataan, biar saja. Kamu itu tidak gaul sama sekali, jadi tidak tahu kalau Mbak Tari itu mau ngepet.‟ (SS: 89-90) Selain watak suka ghibah, suudzan, munafik, tidak jujur, dan kasar terhadap suami, tokoh Sri juga memiliki watak kurang kerjaan. Hal tersebut dapat dilihat dari perilakunya yang ingin tahu keadaan rumah dan mencari bukti di rumah Mbak Tari ketika ada undangan syukuran, seperti pada kutipan data (74) berikut: (74) Wah, kebeneran iki, batinku bungah. Yen bener ana undangan tasyakuran mrono aku arep golek sisik-melik piye ta jane kahanane omahe Mbak Tari kuwi. Yen ana perangan utawa panggonan kang ora sakbaene arep dak amat-amati tenanan. Sapa ngerti bisa dadi bukti yen Mbak Tari nglakoni ritual pesugihan. „Wah, kebetulan ini, dalam batin saya senang. Jika benar ada undangan syukuran kesana saya akan mencari tahu bagaimana keadaan rumah Mbak Tari. Kalau ada sesuatu atau tempat yang mencurigakan akan saya perhatikan dengan teliti. Siapa tahu bisa menjadi bukti kalau Mbak Tari melakukan ritual pesugihan.‟ (SS: 111-114) Secara sosial, tokoh Sri merupakan seorang ibu rumah tangga. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik pelukisan latar. Di dalam cerita dipaparkan bahwa sepanjang hari tokoh Sri tidak bekerjadan hanya memperbincangkan Mbak Tari dengan tetangga lain. b) Mbak Tari Tokoh Mbak Tari adalah tetangga pengarang. Secara fisik, tokoh Mbak Tari merupakan seorang wanita dewasa yang cantik. Pengarang memunculkan keterangan cantik dari tokoh Mbak Tari dengan menggunakan teknik ekspositori, seperti pada data (75) berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
66 (75) “Kadhang-kadhang kula inggih kepengin dolan, ning asring mboten saged. Lha pripun, kula niki kados buron mawon, je. Meh ben dinten diuber-uber kaliyan para editor ken enggal ngrampungke tulisan kula,” guneme Mbak Tari kang isih ayu iku masiya wis ngancik 45 taun. „Terkadang saya juga ingin bersilaturahmi, namun sering tidak bisa. Lha gimana, saya itu seperti buronan. Hampir setiap hari dikejar-kejar para editor diminta untuk segera menyelesaikan tulisan saya, kata Mbak Tari yang masih cantik itu meski sudah hampir 45 tahun.‟ (SS: 137-139) Secara psikis, tokoh Mbak Tari merupakan orang yang dermawan. Hal tersebut tampak dari sikapnya yang ketika panen pisang, pisang tersebut dibuat kolak, dan kemudian dibagikan pada para tetangga, seperti pada kutipan data (76) berikut: (76) Ndilalah nalika mari blanja Murni teka ngeteri kolak. Jare ibu (maksude Mbak Tari) lagi panen pisang. Dadine pisang mau njur didadekake kolak lan dibagekne menyang tangga-tangga. „Kebetulan ketika selesai belanja Murni datang mengantar kolak. Kata ibu (maksudnya Mbak Tari) sedang panen pisang. Jadi pisang tadi dibuat kolak dan dibagikan pada para tetangga. (SS: 34-36) Tokoh Mbak Tari juga memiliki sikap sopan santun. Hal tersebut dapat dilihat dari sikapnya yang meminta maaf kepada para tetangga karena belum bisa bersilaturahmi ke rumah-rumah tetangga, seperti pada kutipan data (77) berikut: (77) Ing dalem kesempatan mau Mbak Tari uga nambahi ngomong menawa dheweke nyuwun sepura dene ora nate dolan-dolan menyang tangga. „Dalam kesempatan itu Mbak Tari menyampaikan maaf apabila tidak pernah bersilaturahmi ke rumah tetangga.‟ (SS: 134) Selain dermawan dan sopan, tokoh Mbak Tari juga merupakan pekerja keras. Sikap kerja keras tokoh Mbak Tari dimunculkan oleh pengarang dengan teknik ekspositori. Mbak Tari lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menulis karena dikejar oleh para editor. Hal tersebut tampak pada data (78): (78) Wah, olehe padha caturan commit to userdadi tambah gayeng nalika Bulik Mur teka lan nambahi omongan menawa dheweke iku krungu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
67 yen Mbak Tari kuwi jarang metu saka kamare. Metu-metune paling mung yen mangan karo ngombe. Sak liyane kuwi, wis ora tau metu-metu maneh. „Wah, yang berbincang menjadi lebih ramai ketika Bulik Mur datang dan menambahkan pembicaraan kalau dia mendengar bahwa Mbak Tari itu jarang keluar dari kamar. Keluar hanya apabila makan dan minum. Selain itu, sudah tidak pernah keluar lagi. (SS: 21-23) Secara sosial, tokoh Mbak Tari merupakan seorang janda yang kaya. Pengarang memunculkan tokoh Mbak Tari sebagai orang yang kaya dengan teknik ekspositori, seperti pada data (79) berikut: (79) Wanita kang dadi randha watara patang taun kepungkur kuwi katon banget anggone mulya. „Wanita yang menjadi janda kira-kira empat tahun yang lalu itu terlihat sekali kalau hidupnya mapan.‟ (SS: 2) Selain janda kaya, tokoh Mbak Tari juga merupakan seorang penulis novel. Hal tersebut dapat dilihat pada data (80): (80) Dheweke asring ana ngomah, nulis lan nulis bae. „Dia sering berada di rumah, menulis dan menulis saja.‟ (SS: 136) c) Yu Ti Tokoh Yu Ti adalah tetangga pengarang. Secara fisik, tokoh Yu Ti merupakan wanita dewasa. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik ekspositori. Di dalam cerita, pengarang menyebut tetangga yang turut memperbincangkan Mbak Tari dengan sebutan ibu-ibu, seperti pada kutipan data (81) berikut: (81) Akhire aku lan para ibu-ibu mungkasi cerita banjur sibuk tuku sayuran dhewe-dhewe. „Akhirnya saya dan para ibu-ibu menyudahi cerita kemudian sibuk membeli sayuran masing-masing.‟ (SS: 33) Secara psikis, tokoh Yu Ti memiliki watak yang suka suudzan. Pengarang memunculkan watak suudzan tokoh Yu Ti dengan teknik cakapan, yakni berdasarkan percakapan yang dilakukannya dengan tokoh lain, seperti pada data (82) berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
68 (82) “Lha iya, Sri. Si Tari kuwi hlo antuke dhuwit saka ngendi. Dadi gendhakane wong liya apa macak mbabi ngepet ya jane?” „Iya ya, Sri. Tari itu mendapat uang dari mana. Jadi selingkuhan orang lain atau melakukan ritual babi ngepet ya sebenarnya?‟ (SS: 8-10) Selain suka suudzan, pengarang memunculkan tokoh Yu Ti sebagai orang yang mudah terpengaruh dengan teknik ekspositori. Sikap mudah terpengaruh dari tokoh Yu Ti dapat dilihat dari perilakunya yang setuju ketika Sri mengajak mengamati rumah Mbak Tari nanti di acara syukuran, seperti pada data (83): (83) Yu Ti setuju bareng tak kandhani perkara mau. „Yu Ti juga setuju ketika saya beritahu mengenai rencana tadi.‟ (SS: 115) Secara sosial, tokoh Yu Ti merupakan seorang ibu rumah tangga. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik pelukisan latar. Di dalam cerita dipaparkan bahwa sepanjang hari tokoh Yu Ti tidak bekerja dan hanya memperbincangkan Mbak Tari dengan tetangga lain. d) Mbak Ning Tokoh Mbak Ning adalah tetangga pengarang. Secara fisik, tokoh Mbak Ning merupakan wanita dewasa. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik ekspositori. Di dalam cerita,
pengarang
menyebut
tetangga-tetangga
yang
turut
memperbincangkan Mbak Tari dengan sebutan ibu-ibu. Hal tersebut dapat dilihat pada data (84) dalam kutipan berikut: (84) Akhire aku lan para ibu-ibu mungkasi cerita banjur sibuk tuku sayuran dhewe-dhewe. „Akhirnya saya dan para ibu-ibu menyudahi cerita kemudian sibuk membeli sayuran masing-masing.‟ (SS: 33) Secara psikis, tokoh Mbak Ning memiliki watak yang suka ghibah dan suudzan. Watak suka ghibah dari tokoh Mbak Ning dimunculkan oleh pengarang dengan teknik cakapan, seperti commit to user pada data (85) berikut:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
69 (85) “Nah, lha kuwi sing uga dadi pitakonku,” ujug-ujug Mbak Ning nyauri saka pager omahe. “Kaya-kaya yen dadi gendhakane wong liya ora, yen sing keloro mau embuh lho.” „Nah, itu juga yang menjadi pertanyaan saya, tiba-tiba Mbak Ning menanggapi dari pagar rumahnya. Sepertinya kalau menjadi selingkuhan orang lain tidak, tetapi kalau yang kedua tadi ya tidak tahu.‟ (SS: 14-15) Kemudian watak suudzan tokoh Mbak Ning muncul juga dimunculkan oleh pengarang dengan teknik cakapan, seperti pada kutipan data (86) berikut: (86) “Psst, aku dhek wingi meruhi si Murni pembantune kae tuku kembang setaman karo lilin. Aja-aja kuwi dienggo gawe syarat-syarate upacara ritual ya?” kandhane Mbak Ning kanthi sikap waspada. „Psst, saya kemarin melihat si Murni pembantunya itu membeli kembang setaman dan lilin. Jangan-jangan itu digunakan sebagai syarat-syarat upacara ritual ya? kata Mbak Ning dengan sikap waspada.‟ (SS: 18-20) Dengan menggunakan teknik ekspositori, pengarang memunculkan tokoh Mbak Ning sebagai orang yang kurang kerjaan. Watak kurang kerjaan tokoh Mbak Ning dapat dilihat dari adanya rencana dengan Sri, Yu Ti, dan Mbak Mur untuk mengawasi keadaan rumah Mbak Tari serta mencari bukti bahwa Mbak Tari melakukan ritual babi ngepet. Hal tersebut tampak pada kutipan data (87) berikut: (87) Yu Ti setuju bareng dak kandhani perkara mau. Malah ora let suwe aku uga antuk sms kang padha saka Mbak Mur lan Mbak Ning perkara niatku mau. Kalorone kandha yen ndhukung upayaku, arep melu ngawasi. „Yu Ti setuju setelah saya memberi tahu mengenai hal tadi. Malah tidak berapa lama saya juga mendapat sms yang sama dari Mbak Mur dan Mbak Ning mengenai niat saya tadi. Keduanya mengatakan kalau mendukung usaha saya, akan ikut mengawasi.‟ (SS: 115-117) Selain suka ghibah, suudzan, dankurang kerjaan, tokoh Mbak Ning juga merupakan orang yang plin-plan atau tidak teguh pendirian. Mulanya ia setuju dengan rencana Sri untuk mengawasi commit to user dan mencari bukti di rumah Mbak Tari. Tetapi setelah mengetahui
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
70 bahwa Mbak Tari merupakan seorang penulis buku terkenal, tokoh Mbak Ning justru berkata pada Sri bahwa ia sudah membaca buku Mbak Tari berulang kali dan tidak peduli dengan rencana semula. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (88) berikut: (88) “Oalah, aku ora ngira menawa Mbak Tari kuwi ya Aliya Matari. Aku lho wis maca bukune makaping-kaping, Sri,” bisike Mbak Ning. „Oalah, saya tidak menyangka kalau Mbak Tari itu ya Aliya Matari. Saya lho sudah membaca bukunya berkali-kali, Sri, bisik Mbak Ning.‟ (SS: 132-133) Secara sosial, tokoh Mbak Ning merupakan orang yang gemar membaca novel. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik cakapan, seperti pada kutipan data (89) berikut: (89) “Aku lho wis maca bukune makaping-kaping, Sri,” bisike Mbak Ning. „Saya sudah membaca bukunya berulang kali, Sri, bisik Mbak Ning‟ (SS: 133) e) Mbak Mur Tokoh Mbak Mur adalah tetangga pengarang. Secara fisik, tokoh Mbak Mur merupakan wanita dewasa. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik ekspositori. Di dalam cerita,
pengarang
menyebut
tetangga-tetangga
yang
turut
memperbincangkan Mbak Tari dengan sebutan ibu-ibu. Hal tersebut dapat dilihat pada data (90) berikut: (90) Akhire aku lan para ibu-ibu mungkasi cerita banjur sibuk tuku sayuran dhewe-dhewe. „Akhirnya saya dan para ibu-ibu menyudahi cerita kemudian sibuk membeli sayuran masing-masing.‟ (SS: 33) Secara psikis, tokoh Mbak Mur memiliki watak suka ghibah. Pengarang memunculkan watak suka ghibah dari tokoh Mbak Mur dengan teknik cakapan, seperti pada data (91) berikut: (91) “Malah aku tau krungu Murni omong-omongan karo Bu Sali, jare Mbak Tari iku asring ora tau turu bengi. Turune parak esuk, ngono kuwi ora mung pisan pindho. Ananging meh saben wektu.” commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
71 „Malah saya pernah mendengar Murni berbincang dengan Bu Sali, katanya Mbak Tari itu sering tidak tidur malam. Tidurnya menjelang pagi, seperti itu tidak hanya sekali dua kali. Tetapi hampir setiap waktu.‟ (SS: 24-26) Pada waktu sore hari, tokoh Mbak Mur kembali menggunjing dengan Sri mengenai Mbak Tari. Hal tersebut tampak pada kutipan data (92) berikut: (92) “Ngerti ra, Mbak Tari iku mari tuku kulkas maneh. Jarene sih kulkase mbiyen kae wis rusak. Aku kok ora percaya ta, Sri.” „Tahu tidak, Mbak Tari itu membeli kulkas lagi. Katanya kulkas yang lama sudah rusak. Saya kok tidak percaya ta, Sri.‟ (SS: 59-61) Biasanya orang yang berbincang selalu menambah atau mengurangi bahan pembicaraan, apalagi perempuan. Seperti itu pula tokoh dalam cerkak Sarwa Sujana. Setiap tokoh yang ghibah selalu disertai suudzan. Begitu pula tokoh Mbak Mur, selain suka ghibah, ia juga memiliki watak suudzan. Pengarang memunculkan watak suudzan tokoh Mbak Mur dengan teknik cakapan, seperti pada kutpan data (93) berikut: (93) “Ck, aja-aja kuwi syarat ka dhukune kana. Kudu mbuwang barang lawas ben kayane saya dina saya mundhak.” „Ck, jangan-jangan itu syarat dari dukunnya sana. Harus membuang barang yang lama supaya semakin hari semakin bertambah.‟ (SS: 66-67) Pengarang juga memunculkan tokoh Mbak Mur sebagai orang yang kurang kerjaan dengan teknik ekspositori. Tokoh Mbak Mur memiliki rencana dengan Yu Ti, Mbak Ning, dan Sri untuk mengawasi rumah Mbak Tari dan mencari bukti bahwa Mbak Tari melakukan ritual ngepet. Hal tersebut dapat dilihat pada data (94): (94) Yu Ti setuju bareng dak kandhani perkara mau. Malah ora let suwe aku uga antuk sms kang padha saka Mbak Mur lan Mbak Ning perkara niatku mau. Kalorone kandha yen ndhukung upayaku, arep melu ngawasi. „Yu Ti setuju setelah saya memberi tahu mengenai hal tadi. Malah tidak berapa lama saya juga mendapat sms yang sama dari Mbak Mur dan toMbak commit user Ning mengenai niat saya tadi.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
72 Keduanya mengatakan kalau mendukung usaha saya, akan ikut mengawasi.‟ (SS: 115-117) Secara sosial, tokoh Mbak Mur merupakan seorang ibu rumah tangga. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik pelukisan latar. Di dalam cerita dipaparkan bahwa pada siang hari hingga sore hari tokoh Mbak Mur tidak bekerja dan tampak hanya memperbincangkan Mbak Tari Sri dan tetangga lain. f) Murni Tokoh Murni adalah pembantu Mbak Tari. Secara fisik, tokoh Murni merupakan wanita dewasa. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik pelukisan latar bahwa tokoh Murni sudah bekerja sebagai pembantu di rumah Mbak Tari. Secara psikis, tokoh Murni merupakan orang yang bertanggung jawab. Sikap
tanggung
jawab
tokoh
Murni
ditunjukkan
dengan
perilakunya yang melaksanakan tugasnya sebagai pembantu secara baik, salah satunya yakni menggantikan majikannya untuk berbelanja sayur. Watak tanggung jawab tokoh Murni dimunculkan oleh pengarang dengan teknik ekspositori, seperti pada data (95): (95) Metu-metu paling yen blanja janganan, kuwi wae asring diwakili dening Murni, rewange. „Keluar paling kalau belanja sayuran, itu saja sering diwakili Murni, pembantunya.‟ (SS: 135) Dengan
teknik
tingkah
laku,
pengarang
juga
memunculkan tokoh Murni sebagai orang yang patuh. Hal tersebut ditunjukkan dengan perilakunya yang mau mengantar kolak pisang kepada para tetangga, seperti pada data (96) berikut: (96) Ndilalah nalika mari blanja Murni teka ngeteri kolak. Jare ibu (maksude Mbak Tari) lagi panen pisang. Dadine pisang mau njur didadekake kolak lan dibagekne menyang tangga-tangga. „Kebetulan ketika selesai belanja Murni datang mengantar kolak. Kata ibu (maksudnya Mbak Tari) sedang panen pisang. Jadi pisang tadi dibuat kolak dan dibagikan pada para tetangga. (SS: 34-36) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
73 Secara sosial, tokoh Murni berprofesi sebagai pembantu rumah tangga. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik reaksi tokoh lain, seperti pada kutipan data (97) berikut: (97) “Psst, aku dhek wingi meruhi si Murni pembantune kae tuku kembang setaman karo lilin.” „Psst, saya kemarin melihat si Murni pembantunya itu membeli bunga setaman dan lilin.‟ (SS:18) g) Mas Mip Tokoh Mas Mip adalah suami dari pengarang atau Sri. Secara fisik, tokoh Mas Mip merupakan seorang laki-laki dewasa. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik pelukisan latar bahwa tokoh Mas sudah berkeluarga. Secara psikis, tokoh Mas Mip memiliki watak bijaksana. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik cakapan, Tokoh Mas Mip menegur istrinya yang membuang kolak pemberian Mbak Tari sebagai bentuk protes terhadap tindakan yang dilakukan istrinya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (98) berikut: (98) “Lho, kolak enak-enak kok dibuang ki piye?” Mas Mip, bojoku, mlongo. „Lho, kolak enak-enak kok dibuang itu gimana? Mas Mip, suami saya, bengong.‟ (SS: 39-40) Dengan teknik cakapan, pengarang juga memunculkan tokoh Mas Mip sebagai orang yang tegas. Hal tersebut dapat dilihat pada data kutipan (99), yakni ketika Mas Mip keluar rumah untuk tidak menggunjing lagi dengan para tetangga. (99) “Hmh, repot....repot! Wong isih jarene ae kok wis dipercaya. Wis, ra sah metu omah. Mundhak marai rame bae. Awas sampeyan yen isih nggosip maneh!” Mas Mip mentheleng nyawang aku. „Hmh, repot....repot! Masih katanya saja kok sudah dipercaya. Sudah, tidak usah keluar rumah. Malah menjadikan semakin runyam saja. Awas kalau kamu masih menggunjing lagi! Mas Mip menatap saya.‟ (SS: 97-102) Secara sosial, tokoh Mas Mip merupakan seorang to dimunculkan user pengangguran. Halcommit tersebut oleh pengarang dengan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
74 teknik pelukisan latar. Sri belanja sayur pada waktu siang hari. Setelah Sri selesai belanja sayuran, Murni datang memberi kolak pisang. Pada saat itu, Mas Mip berada di rumah. Sehingga diketahui bahwa Mas Mip tidak bekerja atau pengangguran. h) Pak Jamin Pak Jamin adalah orang yang biasa dimintai tolong oleh Mbak Tari apabila di rumahnya terjadi kerusakan. Secara fisik, tokoh Pak Jamin merupakan seorang laki-laki dewasa. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik reaksi tokoh lain melalui sapaan “pak”. Secara psikis, tokoh Pak Jamin memiliki watak suka membatu. Pengarang memunculkan watak suka membantu dari tokoh Pak Jamin dengan menggunakan teknik ekspositori, seperti pada kutipan data (100) berikut: (100) Tenan, sesuk esuke tibane ana undhangan saka Mbak Tari tenan. Sing ngeterne Pak Jamin, wong sing asring dijaluki tulung Mbak Tari yen ana kerusakan ing omahe. „Benar, besok paginya ternyata ada undangan dari Mbak Tari. Yang mengantar Pak Jamin, orang yang sering dimintai tolong oleh Mbak Tari kalau ada kerusakan di rumahnya.‟ (SS: 120121) Secara sosial, tokoh Pak Jamin adalah seorang buruh. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik ekspositori. Tokoh Pak Jamin sering dimintai tolong oleh Mbak Tari untuk memperbaiki kerusakan di rumahnya. i) Pak Sarip Secara fisik, tokoh Pak Sarip merupakan seorang laki-laki dewasa. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik reaksi tokoh lain melalui sapaan “pak”. Secara psikis, tokoh Pak Sarip merupakan orang yang bijaksana. Watak bijaksana ustadz Sarip ditunjukkan oleh pengarang dengan teknik deskripsi langsung, yakni tokoh Pak Sarip belum memulai acara ketika tamu undangan belum hadir semua. Hal tersebut tampak pada data (101): commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
75 (101) Tekan kana acara ora langsung dimulai, ning nunggu kirakira limang menit nganti kabeh undangan teka. „Sampai disana acara tidak langsung dimulai, namun menunggu kira-kira lima menit hingga semua tamu undangan hadir.‟ (SS: 123) Secara sosial, tokoh Pak Sarip merupakan seorang ustadz yang menguasai ilmu agama. 4) Latar Latar yang terdapat dalam cerkak Sarwa Sujana karya Afin Yulia antara lain: a) Latar tempat Secara umum, latar tempat yang digunakan dalam cerita adalah Desa Waru Asri. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan data (102) berikut: (102) Sing keri dhewe jare Yu Ti, Mbak Tari arep gawe tasyakuran sesuk sore. Sing diundang golongan ibu-ibu ing Waru Asri kene. „Yang paling terakhir ini kata Yu Ti, Mbak Tari akan mengadakan syukuran besok sore. Yang diundang adalah ibu-ibu di Waru Asri sini.‟ (SS: 109-110). Di dalam sebuah desa tentu terdapat tempat tertentu yang lebih khusus. Latar tempat yang terdapat dalam cerita antara lain: (1) Depan rumah Sri Pada mulanya perbincangan mengenai Mbak Tari hanya antara Sri dan Yu Ti yang dilakukan di depan rumah Sri. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (103) berikut: (103) “Lha iya, Sri. Si Tari kuwi lho antuke dhuwit saka ngendi. Dadi gendhakane wong liya apa macak mbabi ngepet ya jane?” jare Yu Ti isuk mau ing ngarepan ngawiti ceritane. „Lha iya, Sri. Si Tari itu mendapat uang dari mana. Jadi selingkuhan orang lain atau melakukan ritual babi ngepet ya sebenarnya? kata Yu Ti tadi pagi di depan rumah memulai cerita.‟ (SS: 8-11) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
76 (2) Dalam rumah Sri Latar tempat lainnya yakni di rumah Sri. Di dalam rumah terjadi percakapan antara Sri dan suaminya mengenai kolak pemberian Mbak Tari yang dibuang oleh Sri. Hal tersebut dapat dilihat dari peristiwa ketika setelah berbelanja Sri masuk ke dalam rumah, seperti pada data (104) dan (105) berikut: (104) “Hm, tambah ngawur sampeyan iki, Bu. Wis ora sah caturan meneh, mundhak marai dosa bae sampeyan iki!” „Hm, semakin ngelantur saja kamu ini, Bu. Sudah tidak usah berdebat lagi, malah menjadikan dosa saja kamu ini!‟ (SS: 50-51) (105) Mak klepat, bojoku ngalih sak nalika. Ninggalake aku sing mlongo dhewekan. “Wo, diomongi kok malah ngono,” aku ngedumel karo nyeleh blanjan ing ambenan. „Seketika, suami saya pergi begitu saja. Meninggalkan saya yang bengong sendirian. “Wo, dikasih tahu kok malah seperti itu, saya menggerutu sambil menaruh belanjaan di kursi. (SS: 52-54) (3) Gardu utara rumah Sri Latar tempat gardu utara rumah Sri merupakan tempat yang digunakan oleh tokoh Sri untuk duduk dan menyuapi anaknya setelah adzan Ashar, seperti pada kutipan data (106) berikut: (106) Adzan Ashar tas bae ngumandhang nalika aku lungguh ing gerdhon lor ngomah karo ndulang Fira. „Adzan Ashar baru saja berkumandang ketika saya duduk di gardu utara rumah sambil menyuapi Fira. (SS: 55) (4) Rumah Mbak Tari Latar
tempat
rumah
Mbak
Tari
merupakan
tempat
diadakannya syukuran dan dihadiri oleh para ibu-ibu tetangga. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (107) berikut: (107) Sorene, mari maghrib aku lan ibu-ibu liyane dha budhal nyang omahe Mbak Tari. Tekan kana acara ora langsung dimulai, ning nunggu kira-kira limang menit nganti kabeh undangan teka. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
77 „Sorenya, setelah maghrib saya dan ibu-ibu lainnya berangkat ke rumahnya Mbak Tari. Sampai disana acara tidak langsung dimulai, tetapi menunggu kira-kira lima menit hingga semua yang diundang hadir. (SS: 122-123) b) Latar waktu Latar waktu yang digunakan dalam cerkak Sarwa Sujana adalah beberapa hari. Hari pertama adalah ketika para tetangga memperbincangkan Mbak Tari. Hari kedua (beberapa hari) ketika Sri dilarang oleh suaminya menggosip dengan tetangga lagi. Hari selanjutnya yakni ketika Mbak Tari mengadakan syukuran. (1) Siang hari Tokoh Sri, Yu Ti, Mbak Ning, dan Mbak Mur berbincang masalah Mbak Tari pada siang hari. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan data (108) berikut: (108) “Bener sampeyan kabeh. Kaya lawa. Soale yen awanawan ngene iki si Tari kuwi malah ngaso.” „Benar kalian semua. Seperti kelelawar. Karena kalau siang-siang begini si Tari itu malah istirahat.‟ (SS: 2830) (2) Sore hari Latar waktu sore hari dapat dilihat dari peristiwa ketika tokoh Sri duduk dan menyuapi anaknya di gardu utara rumahnya, seperti pada kutipan data (109) berikut: (109) Adzan Ashar tas bae ngumandhang nalika aku lungguh ing gerdhon lor ngomah karo ndulang Fira. „Adzan Ashar baru saja berkumandang ketika saya duduk di gardu utara rumah sambil menyuapi Fira.‟ (SS: 55) (3) Beberapa hari setelah hari pertama Latar waktu beberapa hari setelah hari pertama yakni ketika tokoh Sri tidak nobrol lama dengan tetangga karena dilarang oleh Mas Mip, suaminya. Hal tersebut tampak pada data (110): (110) Wis pirang-pirang dina iki aku ora nate ngobrol suwe karo tangga. Apa maneh sebabe yen ora merga wanticommit user wantine Mas Miptokae.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
78 „Sudah beberapa hari ini saya tidak pernah mgobrol lama dengan tetangga. Apa lagi sebabnya kalau tidak karena ancamannya Mas Mip itu.‟ (SS: 105-106) (4) Pagi di hari selanjutnya Latar waktu pagi hari di hari selanjutnya dapat dilihat ketika Pak Jamin membagikan undangan syukuran yang diadakan oleh Mbak Tari. Hal tersebut tampak pada data (111) berikut: (111) Tenan, sesuk esuke tibane ana undangan saka Mbak Tari tenan. Sing ngeterne Pak Jamin, wong sing asring dijaluki tulung Mbak Tari yen ana kerusakan ing omahe.. „Benar, esoknya ternyata ada undangan dari Mbak Tari. Yang mengantarkan Pak Jamin, orang yang sering dimintai tolong oleh Mbak Tari apabila ada kerusakan di rumahnya.‟ (SS: 120-121) (5) Sore di hari selanjutnya Latar waktu sore hari di hari selanjutnya yakni ketika ibu-ibu tetangga ke rumah Mbak Tari untuk menghadiri syukuran, seperti pada kutipan data (112) berikut: (112) Sorene, mari maghrib aku lan ibu-ibu liyane dha budhal nyang omahe Mbak Tari. „Sorenya, setelah maghrib saya dan ibu-ibu yang lain berangkat menuju rumah Mbak Tari.‟ (SS: 122) c) Latar sosial Latar sosial dalam cerkak berjudul Sarwa Sujana karya Afin Yulia antara lain: (1) Masyarakat dalam cerita merupakan masyarakat yang hidup dalam lingkungan desa, jarak rumah antartetangga tidak terlalu jauh. Hal tersebut terbukti dengan adanya tokoh yang berbicara dari pagar rumahnya, kemudian tetangga yang diajak berbicara dapat mendengar dengan baik, seperti pada data (113) berikut: (113) “Nah, lha kuwi sing uga dadi pitakonku,” ujug-ujug Mbak Ning nyauri saka pager omahe. „Nah, itucommit yang menjadi to user pertanyaan saya, tiba-tiba Mbak Ning menjawab dari pagar rumahnya.‟ (SS: 14)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
79 (2) Masyarakat dalam cerita masih percaya akan adanya dukun dan ritual babi ngepet untuk mendapatkan sebuah kekayaan. Hal tersebut dapat dilihat pada data (114) dan (115) berikut: (114) “Si Tari kuwi lho antuke dhuwit saka ngendi. Dadi gendhakane wong liya apa macak mbabi ngepet ya jane?” „Si Tari itu lho mendapat uang dari mana. Jadi selingkuhan orang lain atau melakukan ritual babi ngepet ya sebenarnya?‟ (SS: 9-10) (115) “Ck, aja-aja kuwi syarat ka dhukune kana.” „Ck, jangan-jangan itu syarat dari dukunnya sana,‟ (SS: 66) (3) Masyarakat dalam cerita masih religius, yakni memiliki kebiasaan mengadakan syukuran yang disertai pembacaan surat yasin, atau sering disebut dengan istilah yassinan. Hal tersebut dapat dilihat pada data (116) berikut: (116) Pak Sarip mulai mimpin Yasinan. „Pak Sarip memulai memimpin Yasinan. (SS: 141) 5) Sudut Pandang Cerkak Sarwa Sujana menggunakan sudut pandang orang pertama “aku” sebagai tokoh utama. Hal tersebut dapat diketahui dari cara pengarang memaparkan kisahnya sendiri dengan menyebut dirinya “aku”. Hal tersebut tampak pada kutipan data (117) berikut: (117) “Wah!” aku karo Yu Ti pandeng-pandengan. „Wah! saya dan Yu Ti saling memandang.‟ (SS: 16-17) Kata aku dalam kalimat tersebut untuk menyebut diri pengarang yang menceritakan percakapannya dengan para tetangga. Kemudian kutipan dibawah ini menyatakan kepemilikan pengarang sebagai orang yang bercerita dengan menggunakan imbuhan “-ku” pada kata bojo „suami‟, seperti pada data (118) berikut: (118) “Lho, kolak enak-enak kok dibuwang ki piye?” Mas Mip, bojoku, mlongo. „Lho, kolak enak kok di buang itu bagaimana? Mas Mip, suami saya, bengong.‟ commit (SS: 39-40) to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
80 6) Amanat Amanat atau pesan yang dapat diambil dari cerkak karya Afin Yulia yang berjudul Sarwa Sujana antara lain: a) Jangan menuduh orang lain sembangan Menuduh tanpa bukti
akan menimbulkan
fitnah.
Sebaiknya mencari tahu kebenaran yang terjadi terlebih dahulu daripada akhirnya menanggung malu. Amanat tersebut dapat dipetik dari perbincangan tokoh Sri dengan para tetangga yang menuduh Mbak Tari melakukan ritual babi ngepet, seperti pada kutipan data (119) berikut: (119) “Iih, aja-aja mraktekne ngelmu babi ngepet tenan...” kandhaku marai Yu Ti, Mbak Ning lan Budhe Mur njur padha pandeng-pandengan karo sajag mengkirig. „Iih, jangan-jangan mempraktekkan ilmu babi ngepet sungguhan... kata saya pada Yu Ti, Mbak Ning dan Budhe Mur kemudian saling memandang sambil merinding takut.‟ (SS: 31) b) Jangan menjadi istri yang durhaka Surga seorang istri terletak pada suami. Maka dari itu wajib bagi seorang istri untuk patuh dan menghormati suaminya. Tidak dibenarkan untuk berkata kasar, membentak atau bersikap ngeyel. Amanat tersebut dapat dipetik dari perilaku tokoh Sri yang bersikap kasar dan tidak mau mendengar nasihat suaminya. c) Hargailan setiap pemberian orang lain Menghargai pemberian orang lain itu hukumnya wajib, apalagi pemberian yang berupa makanan. Rasulullah melarang keras seseorang membuang makanan yang masih bisa dimakan, karena hal tersebut menunjukkansikap kufur terhadap nikmat yang dari Tuhan. Amanat tersebut dapat dipetik dari perilaku tokoh Sri yang membuang kolak pisang pemberian Mbak Tari. d) Jadilah suami yang bijaksana dalam mengambil tindakan Ketika mengetahui istrinya berbuat salah, maka yang commit to user harus dilakukan seorang suami adalah mengingatkan dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
81 menasehati. Apabila tidak bisa dinasehati dengan cara halus, boleh sesekali membentak, asal tetap bisa mengontrol emosi dan jangan sampai memukul atau bertindak kasar yang menyakiti istri. Amanat tersebut dapat dipetik dari perilaku tokoh Mas Mip yang mencoba mengingatkan dan menasehati istrinya. e) Tekuni hobi yang positif Hobi yang positif apabila ditekuni bisa menjadi sebuah profesi yang menghasilkan uang. Selain itu, apabila diiringi dengan kesungguhan dan penuh rasa sabar maka akan membuahkan hasil yang tidak pernah kita duga. Seperti halnya novel Mbak Tari yang telah terbit beberapa tahun yang lalu dan memuat cerita bagus, pada akhirnya diangkat menjadi sebuah film dan disutradarai oleh sutradara terkenal. f) Jadilah pribadi yang rendah hati Jadilah pribadi seperti halnya ilmu padi yang semakin berisi semakin merunduk. Memiliki kehidupan mapan dan serba kecukupan tidak menjadikan Mbak Tari sombong, ia tetap bersikap rendah hati dan mau meminta maaf ketika merasa bersalah karena belum bisa bersilaturahmi dengan para tetangga. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (120) berikut: (120) Ing dalem kesempatan mau Mbak Tari uga nambahi ngomong menawa dheweke nyuwun sepura dene ora nate dolan-dolan menyang tangga. „Dalam kesempatan itu Mbak Tari menyampaikan maaf apabila tidak pernah bersilaturahmi ke rumah tetangga.‟ (SS: 134) c. Cerkak Telulasan karya Mbah Met 1) Tema Tema dari cerkak yang berjudul Telulasan adalah perilaku membanggakan sesuatu secara berlebihan akan mengakibatkan hal yang dibanggakan tersebut justru menjadi bumerang bagi diri sendiri. committema to user Tema tersebut termasuk tradisional. Tokoh Mbak Darsini
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
82 bersikap sombong dan membanggakan suaminya di depan pengarang dan Yu Ngadilah.Tetapi pada akhirnya suami yang dibanggakan oleh Mbak Darsini justru berkhianat dan bermain cinta dengan wanita lain hingga memiliki seorang anak. Hal tersebut dapat dilihat pada data (121), (122), dan data (123) berikut: (121) “Kalih minggu kepengker, Bu Darsini niku rak kedhayohan tiyang wedok, criyose gendhakane Pak Kardi ngoten, lho.” „Dua minggu yang lalu, Bu Darsini kedatangan perempuan, katanya selingkuhan Pak Kardi seperti itu. (T: 156) (122) “Weh, sampeyan ampun ngarang crita,lho! pamengingku.” „Weh, kamu jangan mengarang cerita, lho! larang saya.‟ (T: 157-158) (123) “Kula mboten ngarang. Sing kandha niku Bu Luky garwane Pak RT. Dugine mriku kalih nggendhong bocah cilik sing criyose niku putrane Pak Kardi kalih wong wedok niku.” „Saya tidak mengarang. Yang mengatakan itu Bu Luky istrinya Pak RT. Sampainya disana sambil menggendong anak kecil yang katanya anak itu adalah anak Pak Kardi dengan perempuan tersebut. (T: 159-161) 2) Alur Cerkak Telulasan karya Mbah Met menggunakan alur maju. Hal tersebut dapat dilihat dari ceritanya yang dikisahkan secara kronologis. Cerita diawali dengan pengenalan tokoh pengarang atau Bu Lastri yang suaminya bekerja sebagai PNS tukang kebun sekolahan. Kemudian tokoh Mbak Darsini yang suaminya bekerja sebagai karyawan pabrik rokok. Dan tokoh Yu Ngadilah pemilik toko. Konflik mulai muncul ketika Mbak Darsini mengungkit gaji ketigabelas suami pengarang yang bekerja sebagai PNS tukang kebun sekolah. Konflik tersebut mulai meningkat ketika Mbak Darsini membanding-bandingkan gaji suami pengarang dengan gaji suaminya, seperti pada data (124) berikut: (124) Panjlentrehe Mbak Darsini, yen dakrasa semune ana ancas mbandhingake antarane bayare bojoku sing dadi kebon sekolahan, karo bayare bojone sing megawe ana bageyan pamasaran pabrik rokok. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
83 „Penjelasan Mbak Darsini, kalau saya rasa seperti ada tujuan membandingkan antara gaji suami saya yang menjadi tukang kebun sekolah, dengan gaji suaminya yang bekerja di bagian pemasaran pabrik rokok.‟ (T: 41) Klimaks terjadi ketika Yu Ngadilah menyimpulkan bahwa gaji pegawai pabrik rokok lebih besar daripada gaji PNS tukang kebun, dan Mbak Darsini menanggapi pertanyaan Yu Ngadilah tersebut dengan penuh kesombongan menghina suami pengarang. Hal tersebut dapat dilihat pada data (125) berikut: (125) “Ya genah ta, Yu. Kebon sekolahan kuwi rak pegawe paling ngisor.” „Ya jelas ta, Yu. Tukan kebun sekolah itu kan pegawai paling bawah.‟ (T: 46-47) Tahap penyelesaian cerita yakni Mbak Darsini kedatangan tamu perempuan yang menggendong seorang bayi. Perempuan tersebut merupakan wanita simpanan Pak Kardi, suami Mbak Darsini. Suami yang dibanggakan oleh Mbak Darsini ternyata tidak sebaik yang difikirkan, suaminya justru berkhianat dan bermain cinta dengan wanita lain tanpa sepengetahuan Mbak Darsini. 3) Tokoh dan Penokohan Tokoh utama dalam cerkak Telulasan yakni Mbak Darsini dan Bu Lastri. Sedangkan tokoh tambahannya yakni Yu Ngadilah, Pak Kardi, dan Suami Bu Lastri. Berikut tokoh dan penokohan dalam cerkak Telulasan karya Mbah Met: a) Mbak Darsini Tokoh Mbak Darsini adalah tetangga pengarang. Secara fisik, tokoh Mbak Darsini merupakan seorang wanita dewasa. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik pelukisan latar bahwa tokoh Mbak Darsini telah bersuami. Secara psikis, tokoh Mbak Darsini memiliki watak yang suka pamer. Watak tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik cakapan, seperti pada kutipan data (126) berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
84 (126) “Ning, Yu, yen pas entuk pesenan rokok sing ora dadi langganane pabrik, bojoku bathine matikel-tikel,” kandhane Darsini kebak greget. „Tetapi, Yu, kalau mendapat pesanan rokok yang bukan menjadi pelanggan pabrik, suami saya untungnya berlipatlipat, kata Darsini dengan penuh semangat. (T: 56-57) Selain suka pamer, tokoh Mbak Darsini juga memiliki watak sombong. Pengarang memunculkan watak tersebut dengan teknik cakapan dalam kutipan data (127) berikut: (127) “Ning jenenge beda ngono wae, Yu. Kepara malah luwih gedhe, tinimbang telulasan sing ditampa kebon sekolahan,” ujare Mbak Darsini sajak disengaja kanggo nggarit rai lan atiku. „Tetapi namanya berbeda begitu saja, Yu. Malah lebih besar, daripada tigabelasan yang diterima tukang kebun sekolah, kata Mbak Darsini yang seakan disengaja untuk mencoreng wajah dan hati saya.‟ (T: 62-64) Tokoh Mbak Darsini juga merupakan orang yang suka dipuji.
Hal
tersebut dimunculkan
oleh pengarang dengan
menggunakan teknik reaksi tokoh. Reaksi tokoh Mbak Darsini yang wajahnya terlihat begitu senang ketika dipuji oleh pengarang di depan Yu Ngadilah tampak pada kutipan data (128) berikut: (128) Daklirik, saya seneng atine katitik saka pasuryane sing sumringah. „Saya lirik, semakin senang hatinya terlihat dari wajahnya yang begitu senang.‟ (T: 112) Secara sosial, tokoh Mbak Darsini merupakan seorang ibu rumah tangga. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik pelukisan latar. Di dalam cerita dipaparkan bahwa sepanjang hari tokoh Mbak Darsini tidak bekerja. b) Bu Lastri Tokoh Bu Lastri adalah pengarang. Secara fisik, tokoh Bu Lastri
merupakan
seorang
wanita
dewasa.
Hal
tersebut
dimunculkan oleh pengarang dengan teknik pelukisan latar bahwa tokoh Bu Lastri memiliki suami. Secara psikis, tokoh Bu Lastri commit to user memiliki watak bijaksana. Watak bijaksana tersebut dimunculkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
85 oleh pengarang dengan teknik cakapan, seperti pada data (129) berikut: (129) “Nggih kala-kala ta, Yu. nggene maos. Dados yen enten kabar napa-napa enggal ngertos. Sakniki koran rak mpun kathah. Koran lawas ngggih mboten napa-napa,” sambungku, muwuhi pamragoyane Mbak Darsini.” „Ya kadang-kadang ta, Yu, membacanya. Jadi kalau ada kabar apa-apa langsung tahu. Sekarang koran kan juga sudah banyak. Koran lama juga tidak apa-apa,” sambung saya menambahi saran dari Mbak Darsini.‟ (T: 21) Dengan teknik cakapan, pengarang memunculkan tokoh Bu Lastri sebagai sosok istri yang menghormati suami. Hal tersebut dapat dilihat pada data (130) berikut: (130) “Nadyan kula niki bojone kebon sekolahan, Yu, kula mboten ngertos pinten gunggunge bayare bojo kula, Yu! Butuh kula yen disukani, nggih kula tampi, nek boten, nggih nyuwun. Sing baku, kula kalih bojo mboten regejegan.” „Meski saya ini istrinya tukan kebun sekolaha, Yu, saya tidak tahu berapa jumlah gaji suami saya, Yu! Kalau diberi, ya saya terima, kalau tidak, ya meminta. Yang penting, saya dan suami tidak mempermasalahkan.‟ (T: 33-35) Tokoh Bu Lastri juga memiliki watak yang begitu sabar. Meski telah disindir dan dibanding-bandingkan oleh Mbak Darsini, dan Yu Ngadilah yang tidak bisa memahami perasaan justru menegaskan pernyataan bahwa lebih banyak gaji karyawan pabrik rokok, tokoh Bu Lastri tetap bersikap sabar dan tidak marah. Hal tersebut dapat dilihat pada data (131) berikut: (131) “Walah, yen ngoten bayare kathah sing teng pabrik rokok, nggih, kalih dadi kebon sekolahan niku?” dhadhaku kaya ketiban barang abot, nalika krungu pitakone Ngadilah kuwi. Ning aku api-api ora krasa apa-apa nadyan mbokmenawa raiku katon mbrabak. „Walah, kalau begitu lebih banyak gaji yang di pabrik rokok ya daripada menjadi tukang kebun sekolahan itu? dada saya seakan kejatuhan benda berat ketika mendengar pertanyaan Ngadilah itu. Tetapi saya pura-pura tidak terjadi apa-apa meski mungkin wajah saya terlihat merah.‟ (T: 33-35) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
86 Selain bijaksana, hormat pada suami dan sabar, tokoh Bu Lastri juga memiliki watak peka atau mudah tanggap. Hal tersebut ditunjukkan oleh pengarang dengan teknik pikiran dan perasaan, seperti pada data (132) berikut: (132) Tekan kene aku njur mudheng, jebul Mbak Darsini iku pawongan sing seneng pamer, seneng dialembana neng ngarepe liyan. „Sampai disini saya kemudian paham, ternyata Mbak Darsini itu orang yang suka pamer, suka dipuji di depan orang lain.‟ (T: 74) Tokoh Bu Lastri juga pandai menyenangkan hati orang lain, yakni dengan terus memberikan pujian secara berlebihan pada orang lain atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah nglulu. Tokoh Bu Lastri nglulu di depan Yu Ngadilah. Mbak Darsini tidak merasa kalau dirinya di-lulu, dia justru semakin merasa bangga dan tinggih hati. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang melalui teknik cakapan, seperti pada data (133) berikut: (133) “Enggih, Yu! Malah yen pabrike empun ageng kados pabrik panggenane ngasta garwane Mbak Darsini niku, mboten namung sagunggunge bayar sewulan, kapara ngantos kaping sekawane bayar saben wulan!” „Iya, Yu! Malah kalau pabriknya sudah besar seperti pabrik tempat kerja suaminya Mbak Darsini itu, tidak hanya berjumlah gaji sebulan, mungkin sampai empat kalinya gaji setiap bulan!‟ (T: 90-91) Pengarang juga memunculka tokoh Bu Lastri sebagai orang yang bertanggung jawab dengan teknik tingkah laku. Bu Lastri berhutang di toko Ngadilah dan ketika menerima uang dari suaminya, ia segera pergi ke toko untuk membayar hutang. Hal tersebut dapat dilihat pada data (134) berikut: (134) Kanthi ati gembira, sorene aku njur mara menyang tokone Ngadilah. Kejaba aku arep nyaur utang, aku uga arep blanja kebutuhan ngomah. „Dengan hati gembira, sorenya saya kemudian pergi ke toko Ngadilah. Selain saya akan membayar hutang, saya juga ingin belanja kebutuhan rumah.‟ (T: 144-145) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
87 Tokoh Bu Lastri juga merupakan seorang istri yang berbakti pada suami. Hal tersebut dapat dilihat dari sikapnya yang begitu senang menerima gaji dari suaminya dan membelikan rokok kesukaan suaminya. Pengarang memunculkan watak berbakti pada suami dari tokoh Bu Lastri dengan teknik pikiran dan perasaan, seperti pada kutipan data (135) berikut: (135) Neng ati rasane seneng banget, nalika tuku rokok senengane bojoku, sanadyan sing dakenggo tuku ya dhuwit asile nyambut gawe bojoku. „Di dalam hati rasanya senang sekali, ketika membeli rokok yang disukai oleh suami saya, meski yang dipakai untuk membeli itu ya uang hasil bekerjanya suami saya.‟ (T: 146) Secara sosial, tokoh Bu Lastri merupakan seorang ibu rumah tangga. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik pelukisan latar. Di dalam cerita dipaparkan bahwa sepanjang hari tokoh Bu Lastri tidak bekerja. c) Yu Ngadilah Yu Ngadilah adalah pemilik toko. Secara fisik, tokoh Yu Ngadilah merupakan seorang wanita dewasa. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik pelukisan latar bahwa tokoh Yu Ngadilah sudah bekerja sebagai pemilik toko. Secara psikis, tokoh Yu Ngadilah merupakan orang yang lugu. Pengarang memunculkan watak lugu tokoh Yu Ngadilah tersebut dengan teknik cakapan, seperti pada data (136) berikut: (136) “Telulasan niku napa ta, Mbak Darsini? Kula mboten mudheng,” sambunge Ngadilah, sing duwe toko, sing sajake cen ora weruh istilah sing diujarake Darsini. „Tigabelasan itu apa, Mbak Darsini? Saya tidak paham, sambung Ngadilah, pemilik toko, yang kelihatannya memang tidak tahu istilah yang dikatakan oleh Darsini. (T: 4-6) Pengarang juga memunculkan tokoh Yu Ngadilah sebagai orang yang humoris dengan teknik cakapan. Hal tersebut dapat dilihat pada data (137) berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
88 (137) “Walah, nyambut gawe kok malah ditunjang-tunjang barang? Ha ya remuk kabeh neng awak,” guneme Ngadilah dadi panglipurku sawetara. „Walah, bekerja kok malah ditendang-tendang segala? Apa ya tidak hancur semua nanti badannya, perkataan Ngadilah menjadi penghiburku untuk sementara.‟ (T: 83-85) Selain lugu dan humoris, tokoh Yu Ngadilah juga memiliki watak yang bijaksana. Hal tersebut ditunjukkan oleh pengarang melalui teknik cakapan, seperti pada data (138) berikut: (138) “Walah, mboten napa-napa. Tiyang sakniki pados pedamelan niku angel banget, je!” „Walah, tidak apa-apa. Orang sekarang mencari pekerjaan itu susah sekali!‟ (T: 48-49) Dengan teknik ekspositori, pengarang juga memunculkan tokoh Yu Ngadilah sebagai orang yang suka membantu. Yu Ngadilah membiarkan Bu Lastri berhutang di tokonya dan dibayar apabila suaminya sudah gajian. Hal tersebut tampak pada kutipan data (139) berikut: (139) Sing genah, menawa tanggale tuwa, aku diolehi utang blanjan dhisik neng tokone, lan nggonku menehi yen aku wis diwenehi dhuwit bayarane bojoku. „Yang jelas, apabila tanggal tua, saya diperbolehkan hutang belanja terlebih dahulu di tokonya, dan saya membayar kalau saya sudah diberi uang bayaran suami saya.‟ (T: 55) Secara sosial, tokoh Yu Ngadilah merupakan orang yang berprofesi sebagai pedagang. Yu Ngadilah memiliki sebuah toko kelontong yang menyediakan kebutuhan sehari-hari. d) Pak Kardi Tokoh Pak Kardi adalah suami Mbak Darsini. Secara fisik, tokoh Pak Kardi merupakan seorang laki-laki dewasa. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik reaksi tokoh lain melalui sapaan “pak”. Secara psikis, tokoh Pak Kardi merupakan sosok suami yang tidak setia. Watak tidak setia tokoh Pak Kardi dimunculkan oleh pengarang dengan teknik reaksi tokoh lain, commit to user seperti pada data (140) berikut:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
89 (140) “Kalih minggu kepengker, Bu Darsini niku rak kedhayohan tiyang wedok, sing criyose gendhakane Pak Kardi ngoten, lho.” „Dua minggu yang lalu, Bu Darsini itu kedatangan tamu perempuan, yang katanya itu selingkuhan Pak Kardi begitu.‟ (T: 156) Pengarang juga memunculkan tokoh Pak Kardi sebagai orang yang tidak bertanggung jawab. Pak Kardi meninggalkan selingkuhan dan anak hasil selingkuhannya begitu saja, seperti pada kutipan data (141) berikut: (141) “Dugine mriku kalih nggendhong bocah cilik sing criyose niku putrane Pak Kardi kalih wedok niku.” „Datang disitu dengan menggendong anak kecil yang katanya itu anak Pak Kardi dengan perempuan tersebut.‟ (T: 161) Secara sosial, tokoh Pak Kardi adalah pekerja pabrik rokok di bagian marketing. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (142) berikut: (142) Panjlentrehe Mbak Darsini, yen dakrasa semune ana ancas mbandhingake antarane bayare bojoku sing dadi kebon sekolahan, karo bayare bojone sing megawe ana bageyan pemasaran pabrik rokok. „Penjelasan Mbak Darsini, kalau saya rasa ada maksud membandingkan antara gaji suami saya yang menjadi tukang kebun sekolah, dengan gaji suaminya yang bekerja di bagian pemasaran pabrik rokok.‟ (T: 41) e) Suami Bu Lastri Secara fisik, tokoh suami Bu Lastri merupakan seorang laki-laki dewasa. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik reaksi tokoh lain bahwa tokoh suami Bu Lastri bekerja sebagai PNS tukang kebun sekolah. Secara psikis, tokoh suami Bu Lastri memiliki watak tanggung jawab. Watak tanggung jawab tokoh suami Bu Lastri dimunculkan oleh pengarang dengan teknik tingkah laku yakni memberikan gaji ketiga belasnya pada istri. Hal tersebut dapat dilihat pada data (143) berikut: (143) Awan kuwi, aku diwenehi dhuwit bojoku. Ujare, gaji ka13, commit to user wis ditampakake.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
90 „Siang itu, saya diberi uang suami saya. Katanya, gaji ketiga belas, sudah diberikan.‟ (T: 137-138) Secara sosial, tokoh suami Bu Lastri berprofesi sebagai PNS tukang kebun sekolah. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik reaksi tokoh lain, seperti pada data (144): (144) “Telulasan kuwi, jenenge bayar Kebon Sekolahan, sing PNS, kaya garwane Dhik Lastri kuwi,” jlentrehe Mbak Darsini. „Tigabelasan itu, nama gaji tukang kebun sekolah, yang PNS, seperti suami Dik Lastri itu, jelas Mbak Darsini.‟ (T: 8-9) 4) Latar Latar dibagi menjadi tiga yakni latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Berikut latar dalam cerkak Telulasan karya Mbah Met: a) Latar tempat Latar tempat dalam cerkak Telulasan ini hanya dua yaitu toko Yu Ngadilah dan rumah pengarang atau Bu Lastri. (1) Toko Yu Ngadilah Latar tempat toko Yu Ngadilah dapat dilihat dari peristiwa ketika Bu Lastri dan Mbak Darsini sedang berbelanja kebutuhan rumah dan selanjutnya terjadi perbincangan, seperti pada kutipan data (145) berikut: (145) Aku sing disemantani, merga pekewuh karo wong liya, meneng wae, ngedhahi blanja sing wis daktuku, ing tokone Ngadilah. „Saya yang disindir, karena sungkan dengan orang lain, diam saja, memasukkan barang belanjaan yang sudah saya beli, di toko Ngadilah.‟ (T: 3) (2) Rumah Bu Lastri Latar tempat rumah Bu Lastri dapat dilihat ketika suami Bu Lastri memberikan gaji ketiga belas kepada istrinya. Hal tersebut dapat dilihat pada data (146) berikut: (146) Awan kuwi, aku diwenehi dhuwit bojoku. Ujare, gaji ka13, wis ditampakake. „Siang itu, saya diberi uang suami saya. Katanya, gaji ketigabelas sudah diberikan.‟ (T: 137-138) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
91 b) Latar waktu Latar waktu dalam cerkak karya Mbah Met tersebut adalah suatu hari dan kemudian berjalan satu bulan. (1) Menjelang siang hari Suami Bu Lastri adalah tukang kebun sekolah yang tentu berangkat kerja pada pagi hari dan pulang pada waktu siang hari. Dapat disimpulkan bahwa Bu Lastri berada di toko Yu Ngadilah adalah ketika suaminya bekerja, yakni waktu menjelang siang. (2) Satu bulan berikutnya, siang hari Latar waktu siang hari pada saat satu bulan berikutnya dapat diketahui melalui peristiwa ketika Bu Lastri menerima uang ketiga belas dari suaminya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (147) berikut: (147) Sesasi sabanjure. Awan kuwi, aku diwenehi dhuwit bojoku. „Sebulan berikutnya. Siang itu, saya diberi uang suami saya.‟ (T: 136-137) (3) Sore hari, pada saat satu bulan berikutnya Latar waktu sore hari pada saat satu bulan berikutnya dapat dilihat dari peristiwa ketika Bu Lastri akan membayar hutang ke toko Yu Ngadilah setelah menerima uang dari suaminya. Hal tersebut dapat dilihat pada data (148) berikut: (148) Kanthi ati gembira, sorene aku njur mara menyang tokone Ngadilah. „Dengan hati gembira, sorenya saya kemudian pergi ke toko Ngadilah.‟ (T: 144) c) Latar sosial Latar sosial masyarakat dalam cerita antara lain: (1) Para ibu rumah tangga membeli bahan makanan atau kebutuhan rumah tangga masih di warung yang dekat rumahnya. Hal tersebut ditunjukkan oleh Mbak Darsini dan Bu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
92 Lastri yang belanja di toko Yu Ngadilah, seperti pada kutipan data (149) berikut: (149) “Sekeca nggih, Jeng, dados garwane PNS niku? Saben taun angsal telulasan,” semantane Mbak Darsini sing bojone nyambut gawe ana pabrik rokok kawentar iku. Aku sing disemantani, merga pekewuh karo wong liya, meneng wae, ngedhahi blanja sing wis daktuku, ing tokone Ngadilah. „Enak ya, Jeng, jadi istri PNS itu? Setiap tahun mendapat tigabelasan, kata Mbak Darsini yang suaminya bekerja di pabrik rokok terkenal itu. Saya yang disindir, karena sungkang dengan orang lain, diam saja, memasukkan barang belanjaan yang sudah saya beli, di toko Ngadilah.‟ (T: 1-3) (2) Tradisi hutang masih berlaku dalam masyarakat. Hal tersebut ditunjukkan oleh Bu Lastri yang berhutang di toko Yu Ngadilah ketika tanggal tua, seperti pada kutipan data (150): (150) Sing genah, menawa tanggale tuwa, aku diolehi utang blanjan dhisik neng tokone, lan nggonku menehi yen aku wis diwenehi dhuwit bayarane bojoku. „Yang jelas, apabila tanggal tua, saya diperbolehkan hutang belanja terlebih dahulu di tokonya, dan saya membayar kalau saya sudah diberi uang bayaran suami saya.‟ (T: 55) 5) Sudut Pandang Cerkak Telulasan menggunakan sudut pandang orang pertama “aku” sebagai tokoh utama. Hal tersebut dapat dilihat dari cara pengarang dalam menceritakan kisahnya sendiri dan menyebut dirinya dengan menggunakan sapaan “aku”, seperti pada data (151) berikut: (151) Aku sing disemantani, merga pekewuh karo wong liya, meneng wae, ngedhahi blanja sing wis daktuku, ing tokone Ngadilah. „Saya yang disindir, karena sungkan dengan orang lain, diam saja, memasukkan belanjaan yang sudah saya beli, di tokonya Ngadilah. (T: 3) Pengarang juga menggunakan kata yang berimbuhan “-ku” untuk menyebut kepemilikannya. Hal tersebut dapat dilihat pada commit to user kutipan data (152) berikut:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
93 (152) Panjlentrehe Mbak Darsini, yen dakrasa semune ana ancas mbandhingake antarane bayare bojoku sing dadi kebon sekolahan, karo bayare bojone sing megawe ana bageyan pemasaran pabrik rokok. „Penjelasan Mbak Darsini, kalau saya rasa ada tujuan membandingkan antara gaji suami saya yang menjadi tukang kebun sekolah, dengan gaji suaminya yang bekerja di bagian pemasaran pabrik rokok.‟ (T: 41) 6) Amanat Amanat atau pesan yang dapat diambil dari cerkak Telulasan karya Mbah Met antara lain: a) Jangan suka pamer atau menyombongkan apa yang kini telah kita miliki. Segala yang ada pada diri kita hanyalah titipan. Tuhan tidak suka dengan orang yang sombong, sehingga selalu akan ada balasan bagi orang yang sombong. Amanat tersebut dapat dipetik dari perilaku tokoh Mbak Darsini yang begitu sombong dan membanggakan suaminya. b) Jadilah istri yang solikhah, yang taat pada suami serta tidak menuntut gaji. Berapa pun uang yang diberikan oleh suami harus tetap disyukuri. Amanat tersebut dapat dipetik dari perilaku tokoh Bu Lastri yang tidak pernah tahu berapa jumlah gaji suaminya. Bu Lastri tidak pernah menuntut gaji pada suami, prinsipnya hanyalah antara ia dan suami jangan sampaidebat hanya karena gaji. Bu Lastri cukup menerima uang apabila dikasih dan kalau tidak punya uang ia meminta kepada suaminya, seperti pada kutipan data (153) berikut: (153) “Nadyan kula niki bojone kebon sekolahan, Yu, kula mboten ngertos pinten gunggunge bayare bojo kula, Yu! Butuh kula yen disukani, nggih kula tampi, nek boten, nggih nyuwun. Sing baku, kula kalih bojo mboten regejegan.” „Meski saya ini istrinya tukan kebun sekolaha, Yu, saya tidak tahu berapa jumlah gaji suami saya, Yu! Kalau diberi, ya saya terima, kalau commit to tidak, user ya meminta. Yang penting, saya dan suami tidak mempermasalahkan.‟ (T: 33-35)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
94 c) Jadilah suami yang bertanggung jawab serta setia pada istri. Sebagai seorang suami, ketika mendapat gaji tambahan yang banyak hendaknya diberikan pada istri dan dikelola untuk kebutuhan bersama, bukan malah digunakan untuk bermain cinta dengan wanita lain. Amanat tersebut dapat dipetik dari perilaku tokoh Pak Kardi yang menggunakan uang untuk selingkuh di belakang Mbak Darsini.
d. Cerkak Mbah Kakung karya Al Aris Purnomo 1) Tema Tema dari cerkak Mbah Kakung adalah orang yang biasa berbuat baik, akan meninggal dalam keadaan baik pula. Tema tersebut termasuk dalam tema tradisional yakni tindak kebaikan dan kejahatan akan memetik hasilnya masing-masing. Hal tersebut ditunjukkan oleh tokoh Mbak Kakung yang memiliki watak bijaksana, sederhana, dan senang membantu orang lain pada akhirnya beliau meninggal secara tenang, seperti pada kutipan data (154) berikut: (154) Pasuryane Mbah Kakung nuduhake kalamun anggone tinimbalan kanthi tentrem tenan. Yen sinawang pasuryan sepuh kuwi katon luwih enom tinimbang yuswane. Ana esem tipis kang ngrenggani pasuryane. „Raut wajah Mbah Kakung menunjukkan bahwa beliau meninggal secara tentram. Kalu dilihat wajah tua tersebut terlihat lebih muda daripada usianya. Ada senyum tipis yang menghiasi raut wajhnya.‟ (MK: 110-112) Selain itu, ketika Mbah Kakung meninggal dunia, tetangga merasa tidak percaya dan begitu kehilangan. Para tetangga saling membantu dalam mengurus jenazah Mbah Kakung secara ikhlas. Hal tersebut dapat dilihat pada data (155) berikut: (155) Para sanak kadang tangga teparo sadhusun padha saiyek-saeka kapti mbiantu kerepotan kang nembe nandhang duhkita. Ing karang padesan tansah katon raket pasedulurane. Ana kang enggal ngedegke tratag, ana kang golek kursi, ana kang enggal commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
95 gawe layang lelayu lan liya-liyane. Kabeh ditindakke kanthi ikhlas. „Para saudara tetangga satu desa saling gotong royong untuk membantu kerepotan yang sedang menghadapi musibah. Di desa selalu terlihat persaudaraan yang begitu erat. Ada yang segera mendirikan tratag, ana yang mencari kursi, ada yang segera membuat lelayu, dan lain-lain. Semua dilaksanakan dengan ikhlas. (MK: 115-118) 2) Alur Cerkak karya Al Aris Purnomo menggunakan alur maju. Cerita diawali dengan pengenalan tokoh Mbah Kakung yang memiliki nama asli Mbah Hadi. Hal tersebut dapat dilihat pada data (156) berikut: (156) Satemene jenenge asli Mbah Hadi, katelah Mbah kakung awit putu-putune yen ngaturi pancen mangkono, mula banjur kabeh warga dhusun uga ngaturi mangkono. „Sebenarnya nama aslinya Mbah Hadi, dipanggil Mbah Kakung karena cucu-cucunya kalau memanggil memangseperti itu, maka kemudian semua warga desa juga memanggil seperti itu.‟ (MK: 3) Kemudian pengarang menunjukkan watak Mbah Kakung sebagai orang yang pintar ilmu kejawen, bijaksana, sederhana, dan senang membantu orang lain. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan data (157) berikut: (157) Mbah Kakung tansah dadi paran pitakonan bab theg-kliwere pangerten apa wae, sing sesambungan karo tradhisi. „Mbah Kakung selalu menjadi tujuan bertanya mengenai hal-hal apapun, yang berkaitan dengan tradisi.‟ (MK: 22) Konflik mulai muncul ketika Mbah Kakung meminta pengarang untuk mengetikkan prakata kematian. Mbah Kakung meminta pengarang untuk segera mengetikkan prakata tersebut karena beliau merasa bahwa ajalnya sudah semakin dekat. Hal tersebut tampak pada data (158) berikut: (158) “Kae lho... sing takkon ngetikak teks atur pambagya kanggo kesripahan kae.” „Itu lho... yang saya meminta untuk mengetikkan teks sambutan commit kematian itu.‟ (MK: 10)to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
96 Tahap peningkatan konflik terjadi ketika Mbah Kakung ingin bersilaturahmi ke rumah seluruh saudara dan anak-anaknya. Perilaku Mbah Kakung tersebut menjadi sesuatu yang aneh, karena tidak biasanya Mbah Kakung memiliki keinginan seperti itu. Adapun perilaku aneh tokoh Mbah Kakung tampak pada kutipan data (159): (159) Sawise kuwi, Mbah Kakung kepengin dolan-dolan menyang omahe kabeh sedlur-sedulure lan uga anak-anake. „Setelah itu, Mbah Kakung ingin bersilaturahmi ke rumah semua saudara-saudaranya lan juga anak-anaknya.‟ (MK: 65) Klimaks cerita dapat dilihat dalam peristiwa ketika Mbah Kakung terdengar muntah-muntah. Para tetangga dekat segera mendatangi rumah Mbah Kakung karena khawatir terjadi apa-apa. Hal tersebut dapat dilihat pada data (160) berikut: (160) Aku kang nembe mbongkar printer, krungu wong hoek-hoek, katone wong kang nembe masuk angin. Bareng taktelingke pranyata asale saka omahe Mbah Kakung. „Saya yang sedang membongkar printer, mendengar orang muntah-muntah, seperti orang yang sedang masuk angin. Ketika saya dengarkan ternyata berasal dari rumah Mbah Kakung.‟ (MK: 93-94) Tahap penyelesaian yakni ketika Mbah Kakung meninggal secara tiba-tiba, padahal keadaan Mbah Kakung masih sehat bugar. Hal tersebut dapat dilihat dari data (161) berikut: (161) Sorene, ana kedadeyan kang banget gawe kaget. Mbah Kakung tinimbalan Gusti kanthi tentrem. Prasasat wong sadhusun ora percaya. Awit ngerti yen Mbah Kakung maune bagas waras lan isih bisa nindakake kewajibane kanthi becik. „Sorenya, ada kejadian yang sangat mengejutkan. Mbah Kakung dipanggil Tuhan secara tentram. Seakan orang satu desa tidak percaya. Karena mengetahui bahwa Mbah Kakung tadinya sehat bugar dan masih bisa melaksanakan kewajibannya dengan baik.‟ (MK: 106-109) Para warga bahu-membahu mempersiapkan acara takziah dan pemakaman Mbah Kakung. Banyak orang yang datang untuk takziah dan memanjatkan doa agar Mbah Kakung diterima oleh Tuhan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
97 3) Tokoh dan Penokohan Tokoh utama dalam cerkak Mbah Kakung yakni Mbah Hadi atau Mbah Kakung. Sedangkan tokoh tambahannya yakni tokoh aku, Mbah Suhanti, Nining, Mas Puji, Mbak Asih, Mas Tri, Mas Waskitha, Pak Roto, Pak Kino, Mas Yitno, dan Simbok. Berikut tokoh dan penokohan dalam cerkak Mbah Kakung karya Al Aris Purnomo: a) Mbah Kakung Mbah Kakung adalah tetangga pengarang. Nama aslinya yakni Mbah Hadi, namun karena cucu-cucunya sering memanggil beliau dengan sebutan Mbah Kakung, akhirnya para tetangga pun ikut memanggil Mbah Kakung. Secara fisik, tokoh Mbah Kakung digambarkan oleh pengarang dengan teknik ekspositori sebagai seseorang yang sudah tua. Hal tersebut tampak pada data (162): (162) Mbah Kakung kuwi kalebu piyayi sepuh ing wilayahku. „Mbah Kakung itu termasuk orang tua di wilayah saya.‟ (MK: 17) Secara psikis, tokoh Mbah Kakung memiliki watak bijaksana. Beliau selalu membantu orang-orang yang meminta bantuan kepadanya, tetapi dalam beliau memberikan bantuan tersebut selalu diselipkan pengertian bahwa sejatinya semua hari itu baik. Kita harus selalu menjaga hati dan fikiran agar tetap jernih, serta mengikuti kata hati nurani. Pengarang memunculkan watak bijaksana dari tokoh Mbah Kakung dengan teknik cakapan, seperti pada kutipan data (163) berikut: (163) “Kabeh dina kuwi becik anane. Aja padha kesrimpet ing tali lawas kang pancen wis ora pantes dienggo, nanging uga kudu nganggo petung sing mening. Ora sakarepe dhewe. Kabeh wektu kudu dijumbuhake karo kahanan kang nembe lumaku. Akeh wewaler kang kudu tansah digatekke, nanging ora ateges wewaler mau kudu dilakoni tanpa weweka. Kabeh kena disranani kanthi ati lan pikiran kang wening. Carane yakuwi kanthi ngrungokake swarane ati nurani, awit ya ing kono swarane sing Akarya Jagad keparungu cetha,” mangkono ngendikane Mbah Kakung saben ana wong kang commit to user mara njaluk pituduh.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
98 „Semua hari itu baik. Jangan sampai terjerat tali lama yang memang sudah tidak pantas digunakan, tetapi juga harus menggunakan hitungan yang pasti. Tidak sesuka hatinya saja. Semua waktu harus disesuaikan dengan keadaan yang sedang berjalan. Banyak halangan yang harus selalu diperhatikan, tetapi bukan berarti halangan tadi harus dijalani tanpa usaha. Semua bisa diatasi dengan hati dan fikiran yang jernih. Caranya yaitu dengan mendengarkan swra hati nurani, karena memang di situlah suara Tuhan Pencipta Alam terdengar jelas, begitu kata Mbah Kakung setiap ada orang yang datang meminta petunjuk.‟ (MK: 26-33) Pengarang juga memunculkan tokoh Mbah Kakung sebagai orang yang tawakal dengan teknik cakapan. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (164) berikut: (164) “Aku pancen amung pasrah wae, nanging aku rak wis nyawisi tratag kanggo para tamu amrih ora kudanan,” wangsulane Mbah Kakung karo mesem kebak kawicaksanan. „Saya memang hanya pasrah sja, tetapi saya kan sudah menyiapkan tratag untuk para tamu supaya tidak kehujanan, jawab Mbah Kakung sambil tersenyum penuh kebijaksanaan.‟ (MK: 42-43) Tokoh Mbah Kakung juga merupakan sosok yang penuh kasih sayang. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik ekspositori, yakni Mbah Kakung mengadakan syukuran untuk merayakan pernikahan Mbah kakung dengan Mbah Suhanti yang ke-50. Watak penuh kasih sayang tokoh Mbah Kakung dapat dilihat pada kutipan data (165) berikut: (165) Sawijining wektu Mbah Kakung ngadani syukuran taun kencana (pesta emas) anggone mangun bebrayatan karo garwane, Mbah Suhanti. „Suatu waktu Mbah Kakung mengadakan syukuran tahun emas (pesta emas) dalam beliau membangun rumah tangga dengan istrinya, Mbah Suhanti.‟ (MK: 34) Pesta syukuran diadakan secara sederhana. Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa tokoh Mbah Kakung adalah orang yang sederhana, tidak suka dengan acara yang mewah. Watak sederhana tokoh Mbah Kakung dimunculkan oleh pengarang commit to user dengan teknik ekspositori, seperti pada kutipan data (166) berikut:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
99 (166) Syukuran kuwi diadani kanthi prasaja. „Syukuran itu diadakan dengan sederhana.‟ (MK: 35) Dengan teknik ekspositori, pengarang juga memunculkan tokoh Mbah Kakung sebagai sosok yang religius. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (167) berikut: (167) Pahargyan pesta kencana kuwi kanthi tema „Awit saking sih wilasa Dalem Gusti, kawula taksih teguh dumugi sakpunika‟. Nggambarake kateguhan imane Mbah Kakung kang tansah setya ngabdi Gusti Kang Maha Kwasa. „Perayaan pesta emas itu dengan tema „Karena kehendak Tuhan, saya masih teguh hingga sekarang‟. Menggambarkan keteguhan iman Mbah Kakung yang selalu setia mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.‟ (MK: 44-45) Sebagai orang yang sudah tua sudah sewajarnya duduk diam di rumah. Tetapi tidak bagi Mbah Kakung, beliau masih tetap melakukan tugas-tugas yang masih bisa beliau lakukan. Hal tersebut menunjukkan bahwa Mbah Kakung adalah orang yang tekun. Pengarang memunculkan watak tersebut dengan teknik deskripsi langsung, seperti pada kutipan data (168) berikut: (168) Mbah Kakung kuwi pancen kalebu pawongan sing ora gelem leren. Sanadyan wis kalebu sepuh nanging angger isih bisa dilakoni ya tetep dilakoni. „Mbah Kakung itu memang termasuk orang yang tidak mau istirahat. Meski sudah termasuk tua tetapi apapun yang masih bisa dilakukan ya tetap dilakukan.‟ (MK: 46-47) Tidak hanya tekun, Mbah Kakung juga merupakan orang yang tanggung jawab. Meski sedang kurang enak badan, beliau tetap menghadiri rapat di kantor PWRI. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (169) berikut: (169) Mbah Kakung wis siyaga nekani rapat rutin ing kantor PWRI. Sandyan rasane awak rada ora kepenak, Mbah Kakung tetep budhal. „Mbah Kakung suda siap menghadiri rapat rutin di kantor PWRI. Meski badan terasa kurang enak, Mbah Kakung tetap berangkat.‟ (MK: 77-78) Secara sosial, tokoh Mbah Kakung merupakan orang yang commit to user ahli dalam ilmu Jawa atau kejawen. Hal tersebut dimunculkan oleh
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
100 pengarang dengan teknik deskripsi langsung, seperti pada kutipan data (170) berikut: (170) Ora mung sepuh yuswane, nanging uga sepuh bab ngelmu kejawen. (MK: 18) „Tidak hanya tua umurnya, tetapi juga tua dalam hal ilmu kejawen.‟ (MK: 18) b) Aku Tokoh aku merupakan pengarang cerita. Di dalam cerita, pengarang menyebut dirinya dengan sebutan aku. Secara fisik, tokoh aku adalah seorang laki-laki dewasa. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik pelukisan latar bahwa tokoh aku sudah memiliki rumah sendiri, tidak lagi tinggal satu rumah dengan ibunya. Secara psikis, tokoh aku memiliki watak ramah. Sebagai orang yang lebih muda, ia menyapa Mbah Kakung terlebih dahulu ketika Mbah Kakung berada di teras rumahnya. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan data (171) berikut: (171) “Wonten dhawuh, Mbah?” aku ndhisiki sapa aruh. „Ada perintah, Mbah? saya mengawali sapa.‟ (MK: 4-5) Ketika Mbah Kakung meminta tolong pada tokoh aku untuk mengetikan sambutan kematian, ia pun melakukannya dengan baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa tokoh aku adalah orang yang tanggung jawab. Watak tanggung jawab tokoh aku dapat dilihat dari kutipan data (172) dan (173) berikut: (172) “Pesenanku wis dadi mesthine?” pitakone Mbah Kakung. „Pesanan saya harusnya sudah jadi? tanya Mbah Kakung.‟ (MK: 52-53) (173) “Sampun dados, Mbah.” „Sudah jadi, Mbah.‟ (MK: 54) Melalui
teknik
tingkah
laku,
pengarang
juga
memunculkan tokoh aku sebagai orang yang humoris. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (174) berikut: (174) “Napa sampun cerak saestu?” pitakonku guyon. „Apa sudah benar-benar dekat? tanya saya becanda.‟ (MK: commit to user 57-58)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
101 Tokoh aku juga merupakan sosok yang religius. Ia memiliki keyakinan bahwa yang mampu menyembuhkan penyakit adalah Tuhan. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (175): (175) Wis nate gerah stroke nganti diopname. Awit berkahing Gusti bisa waras meneh. „Sudah pernah sakit stroke hingga diopname. Karena berkah Tuhan bisa sehat kembali.‟ (MK: 19-20) Secara sosial, tokoh aku memiliki kebiasan memperbaiki printer secara mandiri. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik ekspositori, seperti pada kutipan data (176) berikut: (176) “Aku kang nembe mbongkar printer, krungu wong hoekhoek, katone wong kang nembe masuk angin.” „Saya yang sedang membongkar printer, mendengar orang muntah-muntah, seperti orang yang sedang masuk angin.‟ (MK: 93) c) Mbah Suhanti Mbah Suhanti merupakan istri Mbah Hadi atau Mbah Kakung. Secara fisik, tokoh Mbah Suhanti merupakan wanita yang sudah tua. Keterangan bahwa Mbah Suhanti sudah tua dapat diketahui dari panggilan “Mbah” yang melekat ada nama Suhanti. Secara psikis, tokoh Mbah Suhanti memiliki watak setia. Pengarang memunculkan tokoh Mbah Suhanti sebagai sosok yang setia melalui teknik tingkah laku, yakni ketika Mbah Kakung mengadakan syukuran tahun emas. Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa Mbah Suhanti telah mendampingi Mbah Kakung selama 50 tahun. Selain setia, tokoh Mbah Suhanti juga merupakan orang yang tekun. Meskipun sudah tua, beliau tetap mengikuti rapat ibuibu dhusun. Watak tekun tokoh Mbah Suhanti dimunculkan oleh pengarang dengan teknik tingkah laku, seperti pada data (177): (177) Omah nembe suwung, awit Mbah Putri nembe rapat ibu-ibu dhusun, ana pemilihan pengurus anyar.” „Rumah sedang tidaktoada commit userorang, karena Mbah Putri sedang rapat ibu-ibu desa, ada pemilihan pengurus baru.‟ (MK: 92)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
102 Tidak memunculkan
hanya tokoh
setia Mbah
dan
tekun,
Suhanti
pengarang
sebagai
orang
juga yang
mengemban amanah dengan baik. Hal tersebut dapat dilihat dari tingkah laku Mbah Suhanti yang menyampaikan buku-buku tinggalan Mbah Kakung kepada orang-orang yang namanya sudah tertulis di tiap bendel bukunya, seperti pada data (178) berikut: (178) Dina-dina seteruse, Mbah Putri ya Mbah Suhanti isih kudu nindakake kabeh kersane Mbah Kakung. Awit Mbah Kakung pranyata wis mantha-mantha koleksi bukune supaya diwenehake marang wong-wong kang tinulis ing saben bendhel buku. „Hari-hari selanjutnya, Mbah Putri ya Mbah Suhanti masih harus melaksanakan wasiat Mbah Kakung. Karena Mbah Kakung ternyata sudah memilah-milah koleksi bukunya supaya diberikan pada orang-orang yang tertulis di tiap bendel buku.‟ (MK: 128-129) Secara sosial, tokoh Mbah Suhanti merupakan pengurus arisan dhusun. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik deskripsi langsung, seperti pada kutipan data (179) berikut: (179) Omah nembe suwung, awit Mbah Putri nembe rapat ibu-ibu dhusun, ana pemilihan pengurus anyar. „Rumah sedang tidak ada orang, karena Mbah Putri sedang rapat ibu-ibu dusun, ada pemilihan pengurus baru.‟ (MK: 92) d) Nining Tokoh Nining adalah cucu dari Mbah Kakung. Secara fisik, tokoh Nining merupakan anak perempuan yang cukup dewasa. Jenis kelamin perempuan dapat dilihat dari namanya “Nining”. Nama tersebut cenderung digunakan untuk seorang anak perempuan. Usia Nining yang cukup dewasa dapat diketahui dari cara berbicaranya. Ia sudah paham bahwa kakeknya merupakan orang yang biasa dimintai tolong orang lain untuk memilih hari baik. Kemudian ia mampu menyimpulkan, kakek yang dianggap ahli menentukan hari baik tetapi ketika mengadakan hajat sendiri malah terjadi hujan deras.toSecara commit user psikis, tokoh Nining memiliki
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
103 watak yang kritis. Watak tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik cakapan, seperti pada kutipan data (180) berikut: (180) “Mbah Kakung, simbah niku padatan disuwuni tulung kangge nyranani supados mboten jawah, hla niki nalika gadhah damel piyambah, kok malah jawah deres kados mekaten?” pitakone Nining, putune Mbah Kakung. (MK: 4041) „Mbah Kakung, simbah itu biasanya dimintai tolong untuk mengupayakan agar tidak hujan, hla ini ketika memiliki hajat sendiri, kok malah hujan deras seperti ini? tanya Nining, cucu Mbah Kakung. (MK: 40-41) e) Mas Puji Tokoh Mas Puji adalah anak dari Mbah Kakung. Secara fisik, tokoh Mas Puji merupakan seorang laki-laki dewasa yang sudah berkeluarga. Hal tersebut dapat diketahui dari keterangan pengarang bahwa Mbah Kakung sudah memiliki cucu. Secara psikis, tokoh Mas Puji merupakan anak yang berbakti pada orang tua. Pengarang memunculkan watak tokoh Mas Puji yang berbakti pada orang tuanya dengan teknik tingkah laku. Watak berbakti tokoh Mas Puji dapat dilihat dari sikapnya yang gemati atau mau menuruti permintaan Mbah Kakung untuk bersilaturahmi ke rumah saudara dan anak-anaknya, seperti pada kutipan data (181) berikut: (181) Sawise kuwi, Mbah Kakung kepengin dolan-dolan menyang omahe sedulur-sedulure lan uga anak-anake. Kekarepane Mbah Kakung kuwi saperangan wis dituruti dening Mas Puji, putrane mbarep kang setya ngeterke Mbah Kakung tekan ngendi-ngendi. „Sesudah itu, Mbah Kakung ingin bersilaturahmi ke rumah saudara-saudaranya dan juga anak-anaknya. Keinginan Mbah Kakung tersebut sebagian sudah dituruti oleh Mas Puji, anak sulung yang setia mengantar Mbak Kakung kemana-mana.‟ (MK: 65-66) f) Mbak Asih, Mas Tri, dan Mas Waskitha Tokoh Mbak Asih, Mas Tri, dan Mas Waskitha adalah anak-anak Mbah Kakung. Secara fisik, tokoh Mbak Asih, Mas Tri, dan Mas Waskitha merupakan orang-orang yang sudah dewasa. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
104 Hal tersebut dapat diketahui dari keterangan pengarang bahwa ketiganya sudah bekerja di luar kota. Secara psikis, Tokoh Mbak Asih, Mas Tri, dan Mas Waskitha memiliki watak yang sayang dan berbakti terhadap orang tua. Hal tersebut dapat dilihat dari perilakunya yang sering menengok Mbah Kakung meski rumahnya jauh. Pengarang memunculkan watak ketiga tokoh tersebut dengan teknik ekspositori, seperti pada kutipan data (182) berikut: (182) Putra-putra liyane uga ajeg jedhal-jedhul niliki Mbah Kakung, kamangka kabeh ana njaban rangkah. Mbak Asih anak nomer loro ana Sala, Mas Tri anak nomer telu ana Semarang, dene Mas Waskitha putra ragil ana ing Tangerang. „Anak-anak lainnya juga sering datang menengok Mbah Kakung, padahal semua berada di luar kota. Mbak Asih anak nomor dua ada di Solo, Mas Tri anak nomor tiga ada di Semarang, sedangkan Mas Waskitha anak bungsunya ada di Tangerang. (MK: 67-68) g) Pak Roto Tokoh Pak Roto adalah tetangga pengarang dan Mbah Kakung. Secara fisik, tokoh Pak Roto merupakan seorang laki-laki dewasa. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik reaksi tokoh lain melalui sapaan “pak”. Secara psikis, tokoh Pak Roto merupakan orang yang ramah dan suka membantu. Sikap ramah Pak Roto ditunjukkan oleh pengarang dengan teknik cakapan dalam kutipan data (183) berikut: (183) “Tindak pundi, Mbah?” pitakone Pak Roto, tanggane Mbah Kakung. „Pergi kemana, Mbah? tanya Pak Roto, tetangga Mbah Kakung,‟ (MK: 79-80) Kemudian watak suka membantu tokoh Pak Roto dapat dilihat dari sikapnya yang menawari serta meminta Mbah Kakung untuk mau diantar ke kantor PWRI. Pengarang memunculkan watak suka membantu dari tokoh Pak Roto dengan teknik cakapan, seperti pada kutipan data (184) berikut: commit to user (184) “Mangga sareng kula.”
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
105 „Ayo bareng saya,‟ (MK: 83) h) Pak Kino Tokoh Pak Kino adalah teman pensiunan Mbah Kakung. Secara fisik, tokoh Pak Kino merupakan laki-laki yang sudah tua. Hal tersebut dapat diketahui bahwa beliau yang sudah pensiun kerja. Secara psikis, tokoh Pak Kino memiliki watak suka membantu. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik tingkah laku, yakni Pak Kino yang mau mengantar Mbah Kakung pulang usai rapat PWRI. Adapun watak tokoh Pak Kino dapat dilihat dari kutipan data (185) berikut: (185) Mbah Kakung uga banjur kondur diterke salah sijine rowange sing padha-padha pensiunan, asmane Pak Kino. „Mbah Kakung juga langsung pulang diantar salah satu teman yang sama-sama pensiunan, namanya Pak Kino.‟ (MK: 90) i) Mas Yitno Tokoh Mas Yitno adalah tetangga dekat Mbah Kakung. Secara fisik, tokoh Mas Yitno merupakan seorang pemuda. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik ekspositori melalui sapaan “mas”. Secara psikis, tokoh Mas Yitno memiliki watak cekatan dan mudah tanggap. Watak tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik tingkah laku, seperti pada data (186): (186) Mas Yitno, tangga cedhake Mbah Kakung uga wis ana kono. Mas Yitno enggal mlayu nalika krungu Mbah Kakung hoekhoek mau. „Mas Yitno, tetangga dekat Mbah Kakung juga suda ada disitu. Mas Yitno segera lari ketika mendengar Mbah Kakung muntah-muntah tadi.‟ (MK: 100-101) j) Simbok Tokoh Simbok adalah ibu dari pengarang. Secara fisik, tokoh Simbok merupakan wanita yang sudah cukup tua. Hal tersebut dapat dilihat dari keterangan dalam cerita bahwa pengarang dan Simbok sudah tidak tinggal dalam satu rumah. Dengan kata lain commit anak dari tokoh Simbok (pengarang) sudah to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
106 memiliki rumah sendiri. Secara psikis, tokoh Simbok merupakan orang yang cekatan. Ketika anaknya datang memberi tahu bahwa Mbah Kakung muntah-muntah, Simbok yang sedang menjahit baju langsung lari kencang menuju rumah Mbah Kakung. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (187) berikut: (187) “Apa iya?” simbok kang nembe dondom enggal menyat lan mlaku rerikatan menyang omahe Mbah Kakung. „Apa iya? simbok yang sedang menjahit baju segera berdiri dan lari kencang ke rumah Mbah Kakung. (MK: 97-98) 4) Latar Latar yang terdapat dalam cerkak Mbah Kakung karya Al Aris Purnomo antara lain: a) Latar tempat (1) Kursi teras pengarang Latar tempat yang pertama terjadi di kursi yang berad di depan rumah pengarang, yakni percakapan antara pengarang dengan Mbah Kakung, seperti pada kutipan data (188) berikut: (188) Sawijining sore, Mbah Kakung kledhang-kledhang mampir nggonku. Banjur lungguh ing kursi teras ngarep. „Suatu sore, Mbah Kakung dengan santai mampir tempat saya. Kemudian duduk di kursi teras depan.‟ (MK: 1-2) (2) Rumah Mbah Kakung Suatu ketika Mbah Kakung mengadakan pesta sederhana di rumahnya untuk memperingati hari jadi pernikahannya dengan Mbah Suhanti yang ke 50. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (189) berikut: (189) Sawijining wektu Mbah Kakung ngadani syukuran taun kencana (pesta emas) anggone mangun bebrayatan karo garwane, Mbah Suhanti. „Suatu waktu Mbah Kakung mengadakan syukuran tahun emas (pesta emas) dalam beliau membangun rumah tangga dengan isrinya, Mbah Suhanti.‟ (MK: 34)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
107 (3) Kantor PWRI Latar tempat kantor PWRI tampak dari kegiatan rapat rutin yang diikuti oleh Mbah Kakung, seperti pada data (190) berikut: (190) Wusanane Mbah Kakung diboncengke Pak Roto menyang kantor PWRI. Ana ing rapat PWRI Mbah Kakung uga medhar pangerten sapala bab tradhisi. „Akhirnya Mbah Kakung diantar Pak Roto ke kantor PWRI. Dalam rapat PWRI Mbah Kakung juga menyampaikan sedikit pengertian mengenai tradisi.‟ (MK: 87-88) b) Latar waktu Latar waktu dalam cerita Mbah Kakung terjadi pada suatu hari, kemudian berjalan beberapa waktu kemudian ketika Mbah Kakung mengadakan hajatan, dan hari berikutnya ketika Mbah Kakung meninggal dunia. (1) Sore hari Latar waktu sore hari dapat dilihat dari peristiwa ketika Mbah Kakung mendatangi rumah pengarang untuk meminta tolong mengetikkan prakata kematian. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (191) berikut: (191) Sawijining sore, Mbah Kakung kledhang-kledhang mampir nggonku. „Suatu sore, Mbah Kakung dengn santai mampir di tempat saya.‟ (MK: 1) (2) Suatu hari, waktu malam Latar waktu suatu hari yakni ketika Mbah Kakung mengadakan
acara
syukuran
memperingati
hari
jadi
pernikahannya dengan Mbah Suhanti yang ke-50, seperti pada kutipan data (192) berikut: (192) Sawijining wektu Mbah Kakung ngadani syukuran taun kencana (pesta emas) anggone mangun bebrayatan karo garwane, Mbah Suhanti. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
108 „Suatu waktu Mbah Kakung mengadakan syukuran tahun emas (pesta emas) dalam beliau membangun rumah tangga dengan istrinya, Mbah Suhanti.‟ (MK: 34) Syukuran tersebut dilaksanakan secara sederhana pada waktu malam hari. Keterangan malam hari dapat dilihat dari kutipan data (193) berikut: (193) Sanadyan digrujug udan deres, ora ngurangi gumyaking swasana ing wengi kuwi. „Meski diguyur hujan deras, tidak mengurangi meriahnya swasana di malam itu.‟ (MK: 39) (3) Lain waktu, sore hari Lata waktu sore hari di lain waktu yakni ketika Mbah Kakung datang ke rumah pengarang untuk menanyakan pesanannya yaitu ketikan prakata kematian. Adapun latar waktu sore hari di lain waktu dapat dilihat pada kutipan data (194) berikut: (194) Sore kang edi nalika Mbah Kakung sambang menyang omahku. „Sore yang indah ketika Mbah Kakung datang ke rumah saya.‟ (MK: 50) (4) Hari Jum‟at Wage, 10 Januari Latar waktu hari Jum‟at Wage tanggal 10 Januari adalah waktu ketika Mbah Kakung menghadiri rapat rutin di kantor PWRI, seperti pada kutipan data (195) berikut: (195) Dina Jumuah Wage, tanggal 10 Januari. Mbah Kakung wis siyaga nekani rapat rutin ing kantor PWRI. „Hari Jum‟at Wage, tanggal 10 Januari. Mbah Kakung sudah siap untuk menghadiri rapat rutin di kantor PWRI.‟ (MK: 76-77) (5) Siang hari Latar waktu siang hari dapat dilihat dari peristiwa ketika rapat rutin di kantor PWRI selesai. Adapun latar waktu siang hari dapat dilihat pada kutipan data (196) berikut: (196) Udakara jam sewelas awan, patemon dipungkasi. „Kira-kira pukul sebelas siang, pertemuan diakhiri.‟ (MK: 89)commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
109 (6) Sore hari Latar waktu sore hari dapat dilihat dari peristiwa ketika Mbah Kakung meninggal dunia, seperti pada kutipan data (197): (197) Sorene, ana kedadeyan kang banget gawe kaget. Mbah Kakung tinimbalan Gusti kanthi tentrem. „Sorenya, ada kejadian yang sangat mengejutkan. Mbak Kakung dipanggil Tuhan secara tentram.‟ (MK: 106-107) (7) Malam hari Latar waktu malam hari yakni ketika diadakannya doa bersama oleh para tetangga dan keluarga sepeninggal Mbah Kakung. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (198) berikut: (198) Wengine diadani donga bebarengan. „Malam harinya diadakan doa bersama.‟ (MK: 123) c) Latar sosial Latar sosial dalam cerkak Mbah Kakung karya Al Aris Purnomo antara lain: (1) Masyarakat masih sangat kental dengan hal-hal yang berhubungan dengan kejawen. Mereka masih menggunakan petungan untuk menentukan hari baik. Petungan tidak dapat dilakukan oleh setiap orang. Oleh karena itu banyak warga yang meminta bantuan tokoh Mbah Kakung yang memang sudah ahli dalam hal demikian. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (199) berikut: (199) Saliyane kuwi, wis katur ing ngarep kalamun Mbah Kakung uga duwe pangerten ing bab kejawen. Mula akeh sanak kadang kang mara saperlu nyuwun pitedah kanggo golek dina kang prayoga kanggo duwe gawe. „Selain itu, sudah dijelaskan di depan bahwa Mbah Kakung juga paham dalam hal yang berkaitan dengan kejawen. Maka banyak orang yang datang untuk meminta petunjuk dalam mencari hari yang baik untuk mengadakan hajat.‟ (MK: 23-24) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
110 (2) Di dalam masyarakat masih terdapat tradisi musyawarah. Hal tersebut nampak dalam kutipan data (200) yang menunjukkan masih adanya perkumpulan RT. (200) Ing pakumpulan RT, Mbah Kakung ajeg ngisi acara „kawruh sapala‟. „Di perkumpulan RT, Mbah Kakung sering mengisi acara „sedikit pengetahuan‟.‟ (MK: 72) (3) Rasa solidaritas antarwarga masih begitu tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari sikap gotong royong warga dalam kematian Mbah Kakung, seperti pada kutipan data (201) berikut: (201) Para sanak kadang tangga teparo sadhusun padha saiyek-saeka kapti mbiantu kerepotan kang nembe nandhang duhkita. Ing karang padesan tansah katon raket pasedulurane. Ana kang enggal ngedegke tratag, ana kang golek kursi, ana kang enggal gawe layang lelayu lan liya-liyane. Kabeh ditindakke kanthi ikhlas. „Para saudara tetangga satu desa saling gotong royong untuk membantu kerepotan yang sedang menghadapi musibah. Di desa selalu terlihat persaudaraan yang begitu erat. Ada yang segera mendirikan tratag, ana yang mencari kursi, ada yang segera membuat lelayu, dan lain-lain. Semua dilaksanakan dengan ikhlas. (MK: 115118) (4) Masyarakat masih memegang tradisi doa bersama di rumah duka ketika jenazah sudah dimakamkan. Doa bersama biasanya disertai dengan pembacaan surat yassin. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (202) berikut: (202) Wengine diadani donga bebarengan. „Malam harinya diadakan doa bersama.‟ (MK: 123) 5) Sudut Pandang Cerkak Mbah Kakung karya Al Aris Purnomo menggunakan sudut pandang orang pertama “aku” sebagai tokoh tambahan. Dikatakan sebagai sudut pandang orang pertama karena di dalam cerita pengarang menyebut benda yang menjadi miliknya dengan disertai imbuhan “-ku”. Hal tersebut nampak dari kutipan data (203) berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
111 (203) Sawijining sore, Mbah Kakung kledhang-kledhang mampir nggonku. „Suatu sore, Mbah Kakung dengan santai mampir ke tempat saya.‟ (MK: 1) Selain menyebut benda miliknya dengan imbuhan “-ku”, pengarang juga menyebut dirinya dengan sebutan “aku”. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (204) berikut: (204) “Wonten dhawuh, Mbah?” aku ndhisiki sapa aruh. „Ada perintah, Mbah? saya megawali sapa.‟ (MK: 4-5) Cerkak Mbah Kakung termasuk dalam jenis sudut pandang orang pertama “aku” sebagai tokoh tambahan karena posisi pengarang di dalam cerita hanya sebagai tokoh tambahan. Fokus cerita berada pada kisah tokoh Mbah Kakung. 6) Amanat Amanat yang dapat diambil dari cerkak Mbah Kakung antara lain: a) Berbuatlah baik secara ikhlas kepada siapa pun tanpa membedabedakan orang yang satu dengan orang lain. Amanat tersebut dapat diambil dari kawruh sapala yang disampaikan oleh Mbah Kakung dalam pertemuan RT. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (205) berikut: (205) Intine andharan kuwi bab tresna marang sapepadha tanpa mbedak-mbedakake agama, suku, lan apa wae. „Inti dari penjelasan tersebut yakni mengenai cinta terhadap siapa saja tanpa membeda-bedakan agama, suku, dan apapun.‟ (MK: 74) b) Kita harus mampu bersikap bijaksana dalam menasehati atau memberi pengertian pada orang lain. Amanat tersebut dapat diambil dari perilaku Mbah Kakung yang selalu memberikan nasihat dan pengertian pada setiap orang yang meminta bantuan kepada beliau untuk menentukan hari baik. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
112 c) Sebagai manusia, kita harus selalu yakin bahwa apapun yang terjadi dan apapun yang kita terima merupakan pemberian Tuhan. Amanat
tersebut
dapat
diambil
dari
pernyataan
pengarang yang menjelaskan bahwa Mbah Kakung sembuh dari penyakin stroke karena kebesaran Allah, seperti pada data (206) berikut: (206) Wis nate gerah stroke nganti diopname. Awit berkahing Gusti bisa waras meneh. „Sudah pernah sakit stroke hingga diopname. Karena berkah Tuhan bisa sehat kembali.‟ (MK: 19-20) d) Jangan menjadi orang yang malas, selama kita masih bisa melakukan sesuatu, maka sebaiknya kita tetap melakukannya dengan baik. Amanat tersebut dapat diambil dari perilaku Mbah Kakung yang masih tetap aktif di berbagai organisasi meski beliau sudah tidak lagi muda.
e. Cerkak Nglegok karya Imam H. 1) Tema Cerkak Nglegok memuat tema perjuangan dengan disertai kesungguhan yang dilakukan oleh seseorang akan membuahkan hasil yang diharapkan. Tema tersebut termasuk tema tradisional yang menunjukkan bahwa setiap kesuksesan tidak akan mungkin bisa didapat secara instan, harus melalui sebuah perjuangan dan usaha yang sungguh-sungguh. Dalam cerita dikisahkan bahwa setiap anak perempuan yang menginjak kelas empat atau kelas lima diminta oleh orang tuanya untuk keluar dari sekolah. Setelah keluar dari sekolah mereka diminta untuk ikut latihan tari, hingga pada akhirnya menjadi seorang penari. Anak-anak perempuan tersebut apabila sudah berusia lima belas tahun juga segera dinikahkan oleh orangtuanya, atau kalau tidak akan dijuluki sebagai perawan lapuk. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
113 Tokoh Sukasih memiliki cita-cita untuk menjadi seorang guru, namun melihat tradisi di desanya, mau tidak mau ia harus menuruti perintah orang tua untuk keluar dari sekolah apabila sudah kelas lima. Bu Retno, guru baru yang ditugaskan di desanya mampu memotivasi Sukasih. Pada dasarnya Sukasih memang anak yang pintar dan cerdas, Bu Retno merasa tidak rela apabila ia putus sekolah. Bu Retno memberi nasihat pada Sukasih supaya membujuk orang tuanya agar tidak memintanya keluar sekolah, serta meminta untuk diijinkan sekolah hingga lulus sarjana dan menjadi guru. Nasihat Bu Retno pada Sukasih dapat dilihat dari kutipan data (207) berikut: (207) “Sih, Kasih, yen kowe pancen kepengin dadi guru, dakwarahi ya, rih-rihen wong tuwamu, godhanen supaya aja ngongkon leren sekolahmu. Kowe njaluka sekolah terus, nganti lulus SD. Mengko yen wis lulus, njaluka sekolah nyang SMP. Sawise lulus SMP, sekolah SMA. Lulus SMA, kuliah jurusan PG-SD. „Sih, Kasih, kalau kamu memang ingin menjadi guru, saya ajari ya, mohonlah pada orang tua, goda orang tua supaya jangan meminta untuk berhenti sekolah. Kamu minta sekolah terus, hingga lulus SD. Nanti kalau sudah lulus, mintalah sekolah SMP. Setelah lulus SMP, sekolah SMA. Lulus SMA, kuliah jurusan PG-SD.‟ (N: 93-97) Dengan penuh semangat, Sukasih berjuang untuk menggapai cita-citanya. Lima belas tahun kemudian, Sukasih bertemu dengan Bu Retno, seorang guru yang pernah berjasa pada dirinya. Sukasih memberitahu bahwa kini ia telah berhasil menjadi seorang guru. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (208) berikut: (208) “Inggih Bu, niki kula Sukasih... Kula sakniki sampun kasil dados guru, Bu. Pikantuk pangestunipun Ibu, kula kasih dipun angkat dados guru” „Iya Bu, ini saya Sukasih... Saya sekarang sudah berhasil menjadi guru, Bu. Atas restu Ibu, saya berhasil diangkat menjadi seorang guru‟ (N: 130-132) Pada akhirnya Sukasih mengajar di SD Nglegok, SD yang pernah menjadi sekolahnya beberapa tahun lalu. Kisah Sukasih dalam commit to user Cerkak Nglegok karya Imam H.menunjukkan bahwa tak pernah ada
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
114 kesabaran yang sia-sia. Selain sabar, Tuhan juga akan selalu memberi jalan bagi setiap orang yang bersungguh-sungguh mau berusaha dan bertawakal. 2) Alur Cerkak Nglegok karya Imam H. menggunakan alur maju. Hal tersebut dapat dilihat dari jalinan ceritanya yang runtut. Cerita dimulai dengan penggambaran situasi desa Nglegok. Masyarakat desa Nglegok memiliki tradisi bahwa setiap anak perempuan yang sudah kelas empat atau lima harus keluar dari sekolah untuk ikut latihan tari. Anak perempuan yang berumur lima belas tahun harus segera dinikahkan. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (209) berikut: (209) Umume wong desa Nglegok, prawan umur 20 taun iku wis dicap „prawan kasep‟ gak payu rabi. „Pada umumnya orang di desa Nglegok, gadis yang berumurdua puluh tahun itu sudah dicap perawan lapuk yang tidak laku menikah.‟ (N: 5) Kemudian pengenalan tokoh Bu Retno sebagai guru baru di SD Nglegok, Bu Yuweni sebagai kepala sekolah, dan Pak Endro. Konflik mulai muncul ketika salah satu murid Bu Retno yang bernama Sukasih akan keluar dari sekolah apabila sudah kelas lima, seperti pada kutipan data (210) dan (211) berikut: (210) “Ndhuk, kowe mbesuk lek wis munggah kelas lima apa ya arep metu olehe sekolah?” „Nak, kamu besok kalau sudah naik kelas lima apa ya akan keluar dari sekolah?‟ (N: 78) (211) Sukasih mangsuli, “Nggih.” „Sukasih menjawab, Iya.‟ (N: 79) Konflik meningkat ketika Sukasih harus patuh dengan perintah orang tuanya untuk keluar sekolah apabila sudah kelas lima. Sedangkan ia memiliki cita-cita untuk menjadi seorang guru. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan data (212) dan (213) berikut: (212) “Kowe kepengen dadi guru kaya aku?” „Kamu ingin menjadi guru seperti saya?‟ (N: 87) commit to user (213) “Inggih, Bu.”
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
115 „Iya, Bu.‟ (N: 88) Tahap klimaks terjadi ketika Bu Retno dipindah tugas ke kota. Bu Retno merupakan orang yang memiliki peran penting bagi Sukasih dalam mewujudkan cita-cita. Tetapi Bu Retno dan Sukasih justru harus berpisah, seperti pada kutipan data (214) berikut: (214) Mung emane, durung nganti tutug setaun anggone mulangmuruk Sukasih, Bu Retno kudu pisah karo bocah ayu iku. Jalaran Bu Retno karo Pak Endro dipindhah menyang kutha. „Hanya disayangkan, belum ada satu tahun mengajar Sukasih, Bu Retno harus berpisah dengan anak cantik itu. Karena Bu Retno dan Pak Endro dipindah ke kota.‟ (N: 102-103) Penyelesaian cerita yakni Sukasih berhasil menjadi seorang guru. Meski ditinggal oleh Bu Retno, Sukasih tetap semangat dan berusaha untuk membujuk orang tuanya agar diizinkan menempuh pendidikan hingga kuliah. Sukasih berjuang untuk mewujudkan citacitanya menjadi seorang guru. Keberhasilan tokoh Sukasih dapat dilihat dalam kutipan data (215) berikut: (215) “Kula sakniki sampun kasil dados guru, Bu.” „Saya sekarang sudah berhasil menjadi guru, Bu‟ (N: 131) 3) Tokoh dan Penokohan Tokoh utama dalam cerkak Nglegok yakni Bu Retno dan Sukasih. Sedangkan tokoh tambahannya yakni Bu Yuweni, Pak Endro, Mbokdhe Sarijah, dan Bu Prawoto. Berikut tokoh dan penokohan dalam cerkak Nglegok karya Imam H.: a) Bu Retno Secara fisik, tokoh Bu Retno merupakan wanita yang cantik. Pengarang memunculkan tokoh Bu Retno sebagai orang yang cantik dengan menggunakan teknik ekspositori, seperti pada kutipan data (216) berikut: (216) Wong-wong sing manggon neng sakiwa tengene sekolahan SD Nglegok kono padha pating grumbul neng pinggir ndalan, kepengin weruh bu guru anyar sing jare piyantune ayu tur pinter kuwi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
116 „Orang-orang yang bertempat tinggal di sekitar SD Nglegok saling berjubel di pinggir jalan, ingin melihat bu guru baru yang katanya orangnya cantik dan pintar itu. (N: 2) Secara psikis, tokoh Bu Retno merupakan orang yang sopan. Hal tersebut nampak dari cara bicaranya kepada kepala sekolah dan guru lain yang menggunakan bahasa Jawa ragam krama. Pengarang Pengarang memunculkan watak sopan dari tokoh Bu Retno dengan teknik cakapan, seperti pada data (217): (217) Bu Retno, guru anyar iku terus nyuwun pirsa,”Kinten-kinten reraosan menapa ta, Bu? Sauger kula ngepen anggen kula nyambut damel, rak mboten wonten perkawis ingkang kenging kadamel reraosan.” „Bu Retno, guru baru itu kemudian bertanya,”Kira-kira pembicaraan apa ta, Bu? Setahu saya dalam saya bekerja, tidak ada masalah yang mengundang pembicaraan.” (N: 1011) Pengarang
dengan
teknik
deskripsi
langsung
juga
memunculkan tokoh Bu Retno sebagai orang yang bijaksana. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (218) berikut: (218) “Sih, Kasih, yen kowe pancen kepengin dadi guru, dakwarahi ya, rih-rihen wong tuwamu, godhanen supaya aja ngongkon leren sekolahmu. Kowe njaluka sekolah terus, nganti lulus SD. Mengko yen wis lulus, njaluka sekolah nyang SMP. Sawise lulus SMP, sekolah SMA. Lulus SMA, kuliah jurusan PG-SD. „Sih, Kasih, kalau kamu memang ingin menjadi guru, saya ajari ya, mohonlah pada orang tua, goda orang tua supaya jangan meminta untuk berhenti sekolah. Kamu minta sekolah terus, hingga lulus SD. Nanti kalau sudah lulus, mintalah sekolah SMP. Setelah lulus SMP, sekolah SMA. Lulus SMA, kuliah jurusan PG-SD.‟ (N: 93-97) Selain sopan dan bijaksana, tokoh Bu Retno juga merupakan orang yang penuh syukur. Watak tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik cakapan. Tokoh Bu Retno bersyukur ketika suaminya memberitahu ada calon guru baru, karena di SD tempat Bu Retno mengajar ada guru yang pensiun. Hal tersebut dapat dilihat dalamcommit kutipantodata (219) berikut: user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
117 (219) “Wah, kebeneran Pak. Bu Prawoto saiki kan wis purna tugas. Sokur lah, yen ana guru anyar kanggo ngganteni kekosongan.” „Wah, kebetulan Pak. Bu Prawoto sekarang kan sudah purna tugas. Syukur kalau ada guru baru untuk mengganti kekosongan.‟ (N: 109-111) Secara sosial, tokoh Bu Retno merupakan seorang guru pintar yang selanjutnya menjadi kepala sekolah di SD Megantoro. Pengarang memunculkan tokoh Bu Retno sebagai seorang guru yang pintar dengan menggunakan teknik ekspositori, seperti pada kutipan data (220) berikut: (220) Wong-wong sing manggon neng sakiwa tengene sekolahan SD Nglegok kono padha pating grumbul neng pinggir ndalan, kepengin weruh bu guru anyar sing jare piyantune ayu tur pinter kuwi. „Orang-orang yang bertempat tinggal di sekitar SD Nglegok saling berjubel di pinggir jalan, ingin melihat bu guru baru yang katanya orangnya cantik dan pintar itu. (N: 2) b) Sukasih Tokoh Sukasih adalah murid kelas IV di SD Nglegok. Secara fisik, tokoh Sukasih merupakan anak cantik. Pengarang memunculkan tokoh Sukasih sebagai anak yang cantik yang memiliki mata sipit, bulu mata lentik, kulit kuning langsat, dan tubuhnya langsing.dengan dengan teknik pelukisan fisik, seperti pada kutipan data (221) berikut: (221) Anake Mbokdhe Sarijah sing wadon isih kelas papat, dadi muride Bu Retno. Bocahe ayu, mripate lindri, idepe tumengeng tawang. Pakulitane kuning langsep, pawakane nawon kemit. Jenenge Sukasih. „Anaknya Mbokdhe Sarijah yang perempuan masih kelas empat, jadi muridnya Bu Retno. Orangnya cantik, matanya indah, bulu matanya lentik. Kulitnya kuning langsat, bentuk tubuhnya langsing.‟ (N: 70-73) Secara psikis, tokoh Sukasih merupakan orang yang pintar dan cerdas. Pengarang memunculkan watak pintar dan cerdas dari tokoh Sukasih dengan menggunakan teknik reaksi tokoh lain. commit to user Sukasih setiap malam datang ke rumah dinas Bu Retno untuk
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
118 belajar. Dan dari situ Bu Retno mengetahui bahwa Sukasih merupakan orang yang pintar dan cerdas. Adapun watak cerdas dari tokoh Sukasih dapat dilihat dalam kutipan data (222) berikut: (222) Pranyata Sukasih iku bocah pinter, cerdhas, tur gathekan. Jroning penggalih, Bu Retno rumaos eman yen nganti bocah iku broken home. „Ternyata Sukasih itu anak yang pintar, cerdas, juga supel. Dalam hati, Bu Retno merasa tidak rela apabila anak tersebut harus putus sekolah.‟ (N: 75-76) Tokoh Sukasih juga merupakan orang yang penuh semangat. Watak semangat tokoh Sukasih dimunculkan oleh pengarang dengan teknik reaksi tokoh. Sukasih merasa sangat senang dan bersemangat untuk dapat mewujutkan cita-citanya menjadi seorang guru setelah mendapatkan nasehat dan pengertian dari Bu Retno. Hal tersebut tampak dalam data (223) berikut: (223) Sukasih ngulapi eluhe nganggo pucuke rok. Anggone nangis wis mari. Praupane katon bingar, kaya sumunar mancarake semangat anyar. „Sukasih mengelap air matanya dengan menggunakan ujung rok. Ia sudah berhenti menangis. Wajahnya tampak cerah, seperti sinar yang memancarkan semangat baru.‟ (N: 100102) Dengan teknik reaksi tokoh, pengarang juga memunculkan tokoh Sukasih sebagai orang yang bijaksana. Ketika Bu Retno memilih Sukasih untuk menjadi guru baru di sekolahnya, Sukasih mengatakan bahwa ia ingin menjadi guru di SD tempat tinggalnya saja. Hal tersebut agar dapat menjadi contoh bagi anak-anak perempuan di desanya bahwa perempuan tidak harus dinikahkan pada umur lima belas tahun. Perempuan memiliki hak untuk mewujudkan cita-citanya. Watak bijaksana tokoh Sukasih tampak dalam kutipan data (224) berikut: (224) Nanging Kasih nyuwun ngapura, merga kepengin mapan ana desane dhewe, desa Nglegok supaya kena kanggo conto, minangka tepa-tuladha menawa senajan wedok, ora kudu dadi tandhak utawa tledhek sing ana sing mung kanggo commit to user dolanan wong lanang wae.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
119 „Namun Kasih minta maaf, karena ingin ditempatkan di desanya sendiri, desa Nglegok agar dapat menjadi contoh, sebagai teladan yang baik bahwa meski perempuan, tidak harus menjadi penari yang hanya untuk mainan bagi para laki-laki saja.‟ (N: 135) Secara sosial, tokoh Sukasih merupakan seorang anak SD yang selanjutnya menjadi guru di SD Nglegok. c) Bu Yuweni Bu Yuweni adalah kepala sekolah SD Nglegok. Secara fisik, tokoh Bu Yuweni merupakan seorang wanita dewasa. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik pelukisan latar bahwa tokoh Bu Yuweni sudah bekerja sebagai kepala sekolah. Secara psikis, tokoh Bu Yuweni sebagai sosok yang perhatian. Sikap perhatian tokoh Bu Yuweni tampak pada kutipan data (225), yakni ketika beliau meminta Bu Retno agar tabah dan tidak sakit hati apabila mendengar perkataan para warga yang kurang baik. (225) “Jeng Retno, panjenengan kedah tabah manawi dhines wonten ing dhusun mriki. Sampun ngantos gerah penggalih menawi mireng swanten ingkang mboten sakeca saking reraosanipun tiyang mriki.” „Jeng Retno, kamu harus tabah apabila dinas di desa ini. Jangan sampai sakit hati jika menderang suara yang tidak enak dari pembicaraa orang sini.‟ (N: 8-9) Tokoh Bu Yuweni juga merupakan orang yang sopan. Watak sopan tokoh Bu Yuweni dimunculkan oleh pengarang dengan teknik cakapan, yakni ketika Bu Yuweni mengatakan adat warga Nglegok yang menikahkan anaknya apabila sudah berumur 15 tahun. Sedangkan Bu Retno sudah berumur 20 tahun tetapi belum menikah, hingga para warga menganggap perawan lapuk. Untuk mengatakan kata itu Bu Yuweni begitu sungkan, dan mengatakan maaf terlebih dahulu, seperti pada kutipan data (226) berikut: (226) “Pramila manawi panjenengan dipunraosi, upaminipun dipun-anggep... nuwun sewu lho nggih Jeng? Dipun-anggep commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
120 prawan kasep, prayogi sampun ngantos dipunlebetaken dhateng penggalih.” „Jadi apabila kamu dibicarakan, misal dianggap... maaf lho ya Jeng? Dianggap perawan lapuk, lebih baik jangan sampai dimasukkan ke hati.‟ (N: 14-15) Secara sosial, tokoh Bu Yuweni berprofesi sebagai kepala sekolah SD Nglegok. d) Pak Endro Tokoh Pak Endro adalah rekan guru Bu Retno yang kelak menjadi suami Bu Retno. Secara fisik, tokoh Pak Endro merupakan seorang laki-laki dewasa. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik pelukisan latar bahwa tokoh Pak Endro sudah bekerja sebagai guru. Secara psikis, tokoh Pak Endro memiliki watak pemalu. Watak pemalu tokoh Pak Endro dimunculkan oleh pengarang dengan teknik reaksi tokoh. Tokoh Pak Endro merasa malu ketika Bu Yuweni mengatakan bahwa Bu Retno dan Pak Endro dirasa cocok apabila menjadi pasangan. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (227) berikut: (227) Pak Endro matur,”Ah Ibu! Mbok inggih sampun damel dhegdheging manah.” „Pak Endro berkata,”Ah Ibu! Mbok jangan membuat hati deg-degan,‟ (N: 25-26) Pengarang juga memunculkan tokoh Pak Endro sebagai orang yang perhatian. Sikap perhatian tokoh Pak Endro nampak dari kutipan yang menunjukkan bahwa tokoh Pak Endro merasa prihatin atas apa yang terjadi pada murid-murid perempuan di SDnya. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan data (228) berikut: (228) Pak Endro urun pangandikan,”Kita prihatos sanget nggih, Bu? Lare-lare estri murid mriki menawi sampun kelas sekawan utawi kelas gangsal, mesthi dipunkengken medal dening tiyang sepuhipun, dipuntumutaken latihan beksan.” „Pak Endro ikut menambahkan pembicaraan,Kita prihatin sekali ya, Bu? Anak-anak perempuan murid sini apabila sudah kelas empat atau kelas lima, pasti disuruh keluar oleh orang tuanya, diikutkan latihan tari.‟ (N: 33-35) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
121 Secara sosial, tokoh Pak Endro adalah guru yang selanjutnya bekerja sebagai pegawai kantor Dinas Dikpora. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (229) berikut: (229) Dhinese Pak Endro ana ing Kantor Dinas Dikpora Daerah Kabupaten. „Tempat kerja Pak Endro ada di Kantor Dinad Dikpora Daerah Kabupaten.‟ (N: 107) e) Mbokdhe Sarijah Tokoh Mbokdhe Sarijah adalah ibu dari Sukasih. Secara fisik, tokoh Mbokdhe Sarijah merupakan seorang wanita yang sudah dewasa, berkeluarga, dan memiliki anak (Sukasih). Secara psikis, tokoh Mbokdhe Sarijah merupakan orang tua yang bijaksana. Watak bijaksana tokoh Mbokdhe Sarijah dimunculkan oleh pengarang dengan teknik reaksi tokoh lain, yakni Sukasih diijinkan untuk tetap sekolah hingga pada akhirnya menjadi guru. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan data (230) berikut: (230) “Inggih Bu, niki kula Sukasih... Kula sakniki sampun kasil dados guru, Bu.” „Iya Bu, ini saya Sukasih... Saya sekarang sudah berhasil menjadi guru, Bu.‟ (N: 130-131) Selain bijaksana, tokoh Mbokdhe Sarijah juga memiliki watak tanggung jawab. Hal tersebut dapat dilihat dari tokoh Mbokdhe Sarijah yang mau membiayai sekolah Sukasih dari SD, SMP, SMA, hingga kuliah PG-SD. Kalau tidak lulus SD, kemudian sekolah SMP, SMA, dan kuliah PG-SD tentu tidak mungkin Sukasih bisa menjadi guru. Secara sosial, tokoh Mbokdhe Sarijah merupakan orang yang cukup berada. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik pelukisan latar, yakni tokoh Mbokdhe Sarijah mampu membiayai sekolah Sukasih dari SD hingga kuliah. f) Bu Prawoto Tokoh Bu Prawoto adalah rekan guru Bu Retno di SD commit to user Megantoro. Secara fisik, tokoh Bu Prawoto merupakan wanita yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
122 sudah tua. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik reaksi tokoh lain yang menunjukkan tokoh Bu Prawoto sudah purna tugas, seperti pada kutipan data (231) berikut: (231) “Wah, kebeneran Pak. Bu Prawoto saiki kan wis purna tugas.” „Wah, kenetulan Pak. Bu Prawoto sekarang kan sudah purna tugas.‟ (N: 109-110) Secara sosial, tokoh Bu Prawoto merupakan seorang guru SD. Keterangan bahwa tokoh Bu Prawoto seorang guru SD dapat dilihat dari pernyataan Bu Retno yang membutuhkan guru baru untuk menggantikan Bu Prawoto. 4) Latar Latar dalam cerkak karya Imam H. yang meliputi latar tempat, latar waktu, dan latar sosial antara lain: a) Latar tempat Pada dasarnya cerkak yang berjudul Nglegok menggunakan latar tempat sebuah desa yang bernama Nglegok. Di desa tersebut terdapat tempat-tempat tertentu yang digunakan dalam cerita. (1) SD Nglegok Latar SD Nglegok dapat dilihat dari percakapan yang dilakukan oleh Bu Retno, Bu Yuweni, dan Pak Endro pada kutipan data (232) dan (233) berikut: (232) Mula bener ngendikane Bu Yuweni Kepala Sekolah SD Nglegok kuwi sing daleme neng cedhak Bale Desa, nalika disowani bu guru anyar iku. „Jadi benar kata Bu Yuweni Kepala Sekolah SD Nglegok itu yang rumahnya dekat Bale Desa, ketika didatangi bu guru baru itu.‟ (N: 7) (233) Bu Retno gumujeng, katon ayu lan manise. Nganti Pak Endro, guru sing pinuju ndherek njagongi nggone sowan iku kepranan penggalihe. „Bu Retno tertawa, terlihat cantik dan manisnya. Hingga Pak Endro, guru yang ikut dalam perbincangan tergoda hatinya.‟ (N: 16-17) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
123 (2) Pundhen Nglegok Latar tempat Pundhen Nglegok digunakan untuk upacara ritual adat bersih desa, seperti pada kutipan data (234) berikut: (234) Sadurunge gembyangan, dianakake upacara ritual adat bersih desa kenduren neng Pundhen Nglegok, nganggo obong-obong menyan barang. „Sebelum penampilan tari gambyong, diadakan upacara rirual bersih desa di Pundhen Nglegok, memakai bakar kemenyan juga.‟ (N: 48) (3) Pendhapa baledesa Sesudah upacara ritual adat bersih desa, masyarakat berduyunduyun menuju pendhapa baledesa. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (235) berikut: (235) Sawise rampung ritual njur padha baris arak-arakan menyang pendhapa baledesa. „Usai ritual kemudian semua berbaris arak-arakan menuju pendhapa baledesa.‟ (N: 50) (4) Rumah dinas Bu Retno di Nglegok Latar tempat rumah dinas Bu Retno dapat dilihat dari kutipan data (236) berikut: (236) Bu Retno iku manggon ana perumahan dinas. „Bu Retno itu bertempat tinggal di perumahan dinas.‟ (N: 68) Setiap malam Sukasih datang untuk belajar bersama Bu Retno di rumah dinas milik Bu Retno. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (237) berikut: (237) Saben bengi Sukasih menyang daleme Bu Retno, nyuwun disinaoni Bu Retno. „Setiap malam Sukasih pergi ke rumah Bu Retno, belajarpada Bu Retno.‟ (N: 74) (5) Rumah baru Bu Retno dan Pak Endro Latar rumah baru Bu Retno dan Pak Endro nampak dari perbincangan yang dilakukan oleh Bu Retno dan Pak Endro mengenai calon guru baru pada data (238) dan (239) berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
124 (238) Nuju sawijining wektu, Pak Endro rerasan karo garwane,”Bu, SD nggonmu isih bisa nampa tenaga guru angkatan anyar ora?” „Pada suatu waktu, Pak Endro berbincang dengan istrinya,”Bu, SD tempat kamu mengajar masih bisa menerima tenaga guru baru tidak?” (N: 108) (239) “Wah, kebeneran Pak. Bu Prawoto saiki kan wis purna tugas.” „Wah, kebetulan Pak. Bu Prawoto sekarang kan sudah purna tugas.‟ (N: 109-110) (6) Kantor Dinas Dikpora Latar tempat kantor Dinas Dikpora dapat diketahui dari acara rapat calon guru baru yang dilakukan di kantor dinas dikpora, seperti pada kutipan data (240) berikut: (240) Esuke, jam pitu pas Bu Retno wis gasik stanby ana kantor Dinas Dikpora. „Pagi harinya, jam tujuh tepat Bu Retno sudah siap di kantor Dinas Dikpora.‟ (N: 116) b) Latar waktu Latar waktu yang digunakan dalam cerkak Imam H. adalah suatu hari, kemudian bulan Muharam, dan waktu lima belas tahun kemudian. (1) Pagi hari Waktu pagi hari tampak dari pemaparan pengarang mengenai para warga sekitar SD yang saling berjubel ingin melihat guru baru yang katanya cantik dan pintar, seperti pada data (241) berikut: (241) Wong-wong sing manggon neng sakiwa tengene sekolahan SD Nglegok kono padha pating grumbul neng pinggir ndalan, kepengin weruh bu guru anyar sing jare piyantune ayu tur pinter kuwi. „Orang-orang yang bertempat tinggal di sekitar SD Nglegok saling berjubel di pinggir jalan, ingin melihat bu guru baru yang katanya orangnya cantik dan pintar itu. (N: 2) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
125 (2) Bulan Muharam Bulan Muharram atau orang Jawa sering menyebutnya dengan istilah Sura merupakan waktu dimana diadakannya tari gambyong massal. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan data (242) berikut: (242) Saben wulan Sura ana ing desa kono dianakake „gembyangan‟ beksan utawa joged gambyong. „Setiap bulan Muharam di desa sana diadakan „gembyangan‟ atau tari gambyong.‟ (N: 46) (3) Malam hari Waktu malam hari dapat diketahui dari keterangan pengarang bahwa setiap malam Sukasih datang ke rumahnya untuk belajar. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (243) berikut: (243) Saben bengi Sukasih menyang daleme Bu Retno, nyuwun disinaoni Bu Retno. „Setiap malam Sukasih datang ke rumah Bu Retno, belajar pada Bu Retno.‟ (N: 74) Pada malam tersebut Bu Retno bertanya pada Sukasih apakah ia juga akan keluar dari SD apabila sudah kelas V. Sukasih pun menjawab iya, kemudian Bu Retno memberikan motivasi pada Sukasih bahwa ia harus berani mengambil tindakan untuk berbicara pada orangtuanya agar ia tetap bisa meneruskan sekolah dan bisa menjadi guru. c) Latar sosial Latar sosial masyarakat desa Nglegok antara lain: (1) Masyarakat masih memegang tradisi bahwa anak perempuan yang sudah berumur lima belas tahun harus sudah dinikahkan. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (244) berikut: (244) Umume wong desa Nglegok, prawan umur 20 taun iku wis dicap „prawan kasep‟ gak payu rabi. „Pada umumnya orang di desa Nglegok, gadis yang berumurdua puluh tahun itu sudah dicap perawan lapuk yang tidak laku menikah.‟ (N: 5) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
126 (2) Adat bersih desa di pundhen juga masih dilakukan secara rutin oleh masyarakat desa Nglegok pada bulan Sura. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan data (245) dan (246) berikut: (245) Saben wulan Sura ana ing desa kono dianakake „gembyangan‟ beksan utawa joged gambyong. „Setiap bulan Muharam di desa sana diadakan „gembyangan‟ atau tari gambyong.‟ (N: 46) (246) Sadurunge gembyangan, dianakake upacara ritual adat bersih desa kenduren neng Pundhen Nglegok, nganggo obong-obong menyan barang. „Sebelum penampilan tari gambyong, diadakan upacara rirual bersih desa di Pundhen Nglegok, memakai bakar kemenyan juga.‟ (N: 48) (3) Siswa SD putri memiliki kebiasaan mengenakan cundhukan bunga di sekolah saat sekolah. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (247) berikut: (247) Malah uga kerep Bu Retno pirsa murid-muride wadon neng sekolahan padha cundhukan kembang. „Bu Retno juga sering melihat murid-muridnya yang putri di sekolah mengenakan cundhukan bunga. (N: 62) 5) Sudut Pandang Cerkak Nglegok karya Imam H. menggunakan sudut pandang orang ketiga “dia” mahatahu. Dikatakan sudut pandang orang ketiga karena pengarang menceritakan kisah orang lain dan tidak ikut serta dalam cerita. Cerkak Nglegok termasuk sudut pandang orang ketiga “dia” mahatahu karena pengarang menceritakan segala hal mengenai latar belakang atau aktifitas yang dilakukan oleh para tokoh cerita secara detail. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (248) berikut: (248) Bu Retno, guru anyar iku terus nyuwun pirsa,”Kinten-kinten reraosan menapa ta, Bu? „Bu Retno, guru baru itu kemudian bertanya,”Kira-kira pembicaraan apa ta, Bu?” (N: 10) 6) Amanat Amanat yang dapat diambil dari Cerkak Nglegok karya Imam H. antara lain:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
127 a) Jangan pernah putus asa dalam menggapai mimpi. Selama kita mau berusaha dan berdoa, Tuhan akan selalu memberi jalan. Amanat tersebut dapat dipetik dari perilaku tokoh Sukasih yang berjuang menggapai cita-cita tanpa putus asa dan menyerah. b) Jadilah guru yang bijaksana Amanat tersebut dapat dipetik dari tokoh Bu Retno yang bersikap bijaksana. Sebagai seorang guru, beliau tidak hanya menyampaikan materi pelajaran di sekolah, tetapi juga menjadi motivator serta memberi solusi atas masalah yang sedang dihadapi oleh Sukasih. Adapun amanat sikap bijaksana dari tokoh Bu Retno dapat dilihat dalam kutipan data (249) berikut: (249) “Sih, Kasih, yen kowe pancen kepengin dadi guru, dakwarahi ya, rih-rihen wong tuwamu, godhanen supaya aja ngongkon leren sekolahmu. Kowe njaluka sekolah terus, nganti lulus SD. Mengko yen wis lulus, njaluka sekolah nyang SMP. Sawise lulus SMP, sekolah SMA. Lulus SMA, kuliah jurusan PG-SD. „Sih, Kasih, kalau kamu memang ingin menjadi guru, saya ajari ya, mohonlah pada orang tua, goda orang tua supaya jangan meminta untuk berhenti sekolah. Kamu minta sekolah terus, hingga lulus SD. Nanti kalau sudah lulus, mintalah sekolah SMP. Setelah lulus SMP, sekolah SMA. Lulus SMA, kuliah jurusan PG-SD.‟ (N: 93-97) c) Jadilah orang tua yang bijaksana Amanat tersebut dapat dipetik dari tokoh Mbokdhe Sarijah yang mendukung dan memfasilitasi anaknya untuk menggapai cita-cita, serta tidak memaksa anak untuk segera menikah. d) Sebagai seorang wanita, harus mampu menjaga diri dari para lakilaki yang tidak sopan dan tidak bertanggung jawab. Amanat tersebut dapat diambil dari nasihat yang diberikan oleh tokoh Bu Retno kepada para siswa perempuannya agar tidak putus sekolah. Hal tersebut tampak dalam kutipan (250) commit to user berikut:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
128 (250) Senajan aktivitase latihan beksan joged tandhakan, nanging mbok iyoa ora usah leren sekolahe supaya pinter. „Meskipun aktivitasnya latihan tari, tetapi jangan sampai berhenti sekolahnya supaya pintar.‟ (N: 65) f. Cerkak Oncating Cahya karya Zuly Kristanto 1) Tema Tema dari cerkak Oncating Cahya yakni orang yang bisa menerima keadaan hidup apa adanya akan bahagia. Kebahagiaan tidak selalu datang dari sesuatu yang mewah. Tema tersebut termasuk tema nontradisional. Dikatakan nontradisional karena sebagian besar orang memiliki anggapan bahwa dengan harta yang melimpah seseorang akan merasa bahagia. Namun dalam cerkak Oncating Cahya ditunjukkan bahwa para tokoh merasakan bahagia hanya karena halhal yang bersifat sederhana. Seperti halnya pengarang yang merasa bahagia ketika melihat perpustakaannya ramai dikunjungi para warga, seperti pada kutipan data (251) berikut: (251) Nyawang warga desa gelem maca buku iku wae aku wis seneng banget. „Melihat warga desa mau membaca buku saja saya sudah merasa sangat senang.‟ (OC: 31) Kemudian istri pengarang yang bernama Mayang, merasa bahagia karena bisa menata buku-buku yang berantakan usai dibaca oleh para warga. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (252): (252) “Ora apa-apa kok Mas. Aku malah seneng banget ngalami kahanan kang kaya mengkene. Aku uga matur nuwun banget menyang sampeyan gelem gawe perpustakaan kaya mengkene. Pancen iki impianku wiwit cilik. Aku biyen nalika isih cilik ngalami kangelan yen pengen maca buku. Saliyane amarga ora ana biaya uga amarga papane desa iki ana pinggiran saengga angel amrih bisa maca utawa nduweni buku. Mula bisa kesel nata buku kaya mengkene kayadene impen sing dadi kasunyatan,” kandahne sisihanku. „Tidak apa-apa kok Mas. Saya malah sangat senang mengalami keadaan seperti ini. Saya juga berterima kasih sekali pada Anda karena sudah mau membuat perpustakaan seperti ini. Memang ini impian sayacommit sejak to kecil. userSaya dahulu ketika masih kecil mengalami kesulitan kalau ingin membaca buku. Selain karena
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
129 tidak ada biaya juga karena letak desa ini di pinggiran sehingga sulit untuk bisa membaca atau memiliki buku. Jadi bisa capek menata buku seperti ini sama halnya impian yang menjadi kenyataan. kata istri saya.‟ (OC: 40-47) Tidak hanya pengarang dan istrinya, tokoh Mbah Haji Kirman juga merasa bahagia meski tanpa listrik dan hanya megandalkan cahaya dimar ublik, seperti pada data (253) berikut: (253) Ing omahe saiki sing sarwa peteng tanpa ana listrik lan mung ngandelake dimar ublik kuwi Mbah Kaji Kirman isih nyempetake maca buku sing disilih saka perpustakaanku. Bukubuku karemenane akeh-akehe kawruh ngenai babagan agama. „Di rumah sekarang yang serba gelap tanpa ada listrik lan hanya mengandalkan lilin itu Mbah Haji Kirman masih menyempatkan membaca buku yang dipinjam dari perpustakaan saya. Bukubuku yang digemari kebanyakan mengenai pengetahuan yang berkaitan dengan agama.‟ (OC: 80-81) 2) Alur Cerkak Oncating Cahya karya Zuly Kristanto menggunakan alur maju. Cerita dimulai dari pengenalan tokoh pengarang yang tidak disebutkan namanya dengan disertai penggambaran situasi desa yang ia ditempati. Hal tersebut dapat dilihat dalam data (254) berikut: (254) Aku manggon ana ing desa iki amarga mbiyen nalika tes pegawai negeri aku ketampa lan entuk penempatan ana ing kene. Wiwitane pancen aku ora krasan mapan ana ing desa kene. Sebab, ing desa kene iki durung ana alirane listrik. „Saya tinggal di desa ini karena dahulu ketika tes pegawai negeri saya diterima dan mendapat penempatan disini. Awalnya saya memang tidak kerasan berada di desa ini. Sebab, di desa ini belum ada aliran listrik.‟ (OC: 12-14) Dilanjutkan pengenalan tokoh Mayang, istri pengarang. Pengarang dan istrinya mendirikan sebuah perpustakaan bagi para warga desa. Ketika listrik mulai masuk desa, pengarang dan istrinya juga
ikut
memasang
listrik.
Hal
tersebut
dilakukan
agar
perpustakaannya semakin ramai dikunjungi warga. Konflik mulai muncul ketika pengarang yang tidak memiliki cukup uang untuk memasang listrik. Pengarang terpaksa menjual commit to user motornya agar bisa memasang listrik. Peningkatan konflik terjadi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
130 ketika pengarang dan istrinya berharap dengan adanya listrik akan menjadikan
perpustakaannya
semakin
ramai,
tetapi
pada
kenyataannya malah sebaliknya. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (255) berikut: (255) Nanging sawise listrik bisa mlebu ana ing desaku kekarepan sing dakkarepake wurung dadi kasunyatan. Nyatane saiki sawise omahku lan omah-omah liyane wis dipasangi listrik ora nyebabake perpustakaan kang ana ing omahku tansaya rame. Tetapi setelah listrik bisa masuk di desa saya keinginan yang saya harapkan tidak menjadi kenyataan. Kenyataannya sekarang setelah rumah saya dan rumah-rumah lainnya sudah dipasangi listrik tidak menyebabkan perpustakaan yang ada di rumah saya semakin ramai.‟ (OC: 66-67) Tahap klimaks dalam cerita yakni ketika perilaku anak-anak semakin menyimpang dari tata aturan. Anak-anak cenderung mengikuti gaya para artis televisi, seperti pada data (256) berikut: (256) Bocah-bocahcilik sing maune saben ketemu padha ngrembug anggone nemokake tetembungan utawakawruh anyar kang ditemokake lumantar buku sing dadi koleksiku, saiki malah padha praktek jejogedan kayadene kang ana ing tivi-tivi kae. Lan tetembungan sing biyasane alus lan manut pranatan amarga anane tuntunan kang manggon ana ing buku saiki wis padha ilang. Tembung sing digunakake dadi kasar lan ora ngerti unggah-ungguh. „Anak-anak kecil yang tadinya setiap bertemu saling membahas istilah atau pengetahuan baru yang ditemukannya melalui buku yang menjadi koleksi saya, sekarang malah suka praktik goyang seperti yang ada di televisi-televisi itu. Dan kata-kata yang biasanya halus dan sesuai aturan karena ada tuntunan yang terdapat dalam buku sekarang sudah hilang. Kata yang digunakan menjadi kasar dan tidak tahu sopan santun.‟ (OC: 7072) Tahap penyelesaian yakni ketika terjadi pemadaman listrik oleh PLN, pengarang bersikap tenang dan hal tersebut justru menjadikannya bahagia karena mengingatkan pada perpustakaannya yang pernah ramai dikunjungi para warga. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (257) berikut: (257) Nanging oncating cahya kaya mangkene, malah ndadekake aku commit to user ngrasa seneng. Amarga kahnnan wengi sing mung ngendelake
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
131 cahyane rembulan kanggo pepadhange wengi ngelingake aku marang ramene perpustakaan sing dakbangun sawetara wektu kapungkur. „Namun hilangnya cahaya seperti ini, malah menjadikan saya merasa senang. Karena keadaa malam yang hanya bergantung cahaya bulan sebagai penerang malam mengingatkan saya akan ramainya perpustakaan yang saya dirikan beberapa waktu yang lalu.‟ (OC: 92-93) 3) Tokoh dan Penokohan Tokoh utama dalam cerkak Oncating Cahya yakni tokoh aku. Sedangkan tokoh tambahannya yakni Mbah Haji Kirman dan Mayang. Berikut tokoh dan penokohan dalam cerkak Oncating Cahya karya Zuly Kristanto: a) Aku Tokoh aku merupakan pengarang cerita. Di dalam cerita, pengarang menyebut dirinya dengan sebutan aku. Secara fisik, tokoh aku merupakan seorang laki-laki dewasa. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik ekspositori bahwa tokoh aku sudah bekerja sebagai guru. Secara psikis, tokoh aku memiliki watak tanggung jawab. Watak tanggung jawab tersebut dapat dilihat dari pikiran dan perasaan tokoh aku. Sebagai guru baru yang ditempatkan di sebuah desa tanpa aliran listrik, tokoh aku mau beradaptasi dan tetap menunaikan tugas di desa tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan data (258) berikut: (258) Nanging kegawa kewajiban sing kudu daktindakake wekasane aku nyoba mbiasakake dhiri saengga suwene-suwe aku seneng marang desa iki. „Tetapi karena ini adalah kewajiban yang harus saya laksanakan akhirnya saya mencoba untuk membiasakan diri sehingga semakin lama saya merasa senang dengan desa ini.‟ (OC: 18) Tokoh aku juga merupakan sosok yang religius. Hal tersebut dapat dilihat dari sikap tokoh yang menganggap bahwa keberadaannya di desa tersebut merupakan takdir dan kehendak to userdata (259) berikut: dari Tuhan, seperti commit pada kutipan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
132 (259) Apa maneh menawa garising urip kang nggawa jangkahku tumekane ana ing kampung iki. „Apalagi memang takdir yang membawa langkah saya sampai di desa ini.‟ (OC: 19) Sikap religius tokoh aku tidak hanya nampak dari perilakunya yang percaya pada takdir dan bersyukur atas nikmat Tuhan tetapi juga keyakinan tokoh aku bahwa amal manusia di dunia akan menjadi penerang ketika manusia telah meninggal. Mbah Kirman merupakan sosok sederhana yang selalu menebarkan kebaikan, sehingga tokoh aku berharap bahwa Mbah Kirman selalu diberi jalan terang oleh Tuhan. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (260) berikut: (260) Lan muga-muga ing alam kana dalane Mbah Kaji Kirman mau tansah pinaringan padhang. Lan cahya sing disimpen nalika uripe ing alam donya muga-muga saiki bisa digunakake kanggo madhangi dalan-dalane. „Dan semoga di alam sana jalan Mbah Haji Kirman tadi selalu diberi jalan terang. Dan cahaya yang disimpan ketika hidupnya di dunia semoga sekarang bisa digunakan untuk menerangi jalan-jalannya.‟ (OC: 88-89) Dengan teknik pikiran dan perasaan, dapat diketahui bahwa tokoh aku adalah orang yang memiliki watak penuh syukur. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (261) berikut: (261) Lan aku ngucapake rasa syukur kang gedhe banget tumrap Kang Maha Kuwasa amarga wis ngirim kenya kang nduweni ati kayadene widadari kanggo ngisi lan ngancani uripku. „Dan saya mengucapkan rasa syukur yang begitu besar kepada Yang Maha Kuasa karena telah mengirinkan gadis yang memilki hati seperti bidadari untuk mengisi dan menemani hidup saya.‟ (OC: 49) Tokoh aku juga memiliki watak yang tulus ikhlas. Watak tersebut dimunculkan pengarang dengan teknik pikiran dan perasaan. Tokoh aku tidak hanya menyulap rumahnya menjadi perpustakaan dan mengupayakan menambah koleksi bukunya, tetapi tokoh aku juga tidak pernah meminta biaya pada warga yang commit to user Melihat semangat warga yang membaca buku di perpustakaannya.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
133 mau membaca buku saja tokoh aku sudah merasa senang. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (262) berikut: (262) Kanggo maca buku kang manggon ana ing perpustakaan pribadiku kuwi aku pancen ora nate narik biaya. Nyawang warga desa gelem maca buku iku wae aku wis seneng banget. „Untuk membaca buku yang ada di perpustakaan pribadi saya itu saya memang tidak pernah menarik biaya. Melihat warga desa mau membaca buku saja saya sudah merasa sangat senang.‟ (OC: 30-31) Selain tanggung jawab, religius, penuh syukur, dan tulus ikhlas, tokoh aku juga merupakan orang yang sabar. Ketika di desanya mati listrik dan orang-orang marah karena khawatir ketinggalan episode sinetron, tokoh aku justru merasa senang dan tidak ikut marah. Keadaan gelap mengingatkan tokoh aku akan perpustakaannya yang dahulu selalu ramai dikunjungi para warga. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan data (263) berikut: (263) Nanging oncating cahya kaya mangkene, malah ndadekake aku ngrasa seneng. Amarga kahnnan wengi sing mung ngendelake cahyane rembulan kanggo pepadhange wengi ngelingake aku marang ramene perpustakaan sing dakbangun sawetara wektu kapungkur. „Namun hilangnya cahaya seperti ini, malah menjadikan saya merasa senang. Karena keadaa malam yang hanya bergantung cahaya bulan sebagai penerang malam mengingatkan saya akan ramainya perpustakaan yang saya dirikan beberapa waktu yang lalu.‟ (OC: 92-93) Secara sosial, tokoh aku adalah seorang guru PNS. Pengarang memunculkan dimensi sosial tokoh aku dengan teknik ekspositori. Status PNS tokoh aku dapat diketahui dari penjelasan pengarang bahwa tokoh aku dipindah tugas ke desa yang belum ada listriknya, seperti pada data (264) berikut: (264) Gandheng aku iki guru lan sisihanku kang jenenge Mayang kuwi nduwe senengan kang padha yaiku ing babagan maca, mula omahku banjur daksulap dadi perpustakaan. „Berhubung saya ini guru dan istri saya yang namanya Mayang itu memiliki hobi yang sama yakni dalam hal membaca, maka rumah saya kemudian saya sulap menjadi commit to user perpustakaan.‟ (OC: 24)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
134 b) Mbah Haji Kirman Tokoh Mbah Haji Kirman adalah tetangga pengarang. Secara fisik, tokoh Mbah Haji Kirman merupakan orang yang sudah tua. Selain panggilan “mbah” yang melekat pada namanya, dalam cerita juga dipaparkan bahwa tidak lama kemudian Mbah Haji Kirman meninggal dunia. Secara psikis, tokoh Mbah Haji Kirman adalah orang yang tidak pelit. Pengarang memunculkan watak tersebut dengan teknik ekspositori, seperti pada data (265) berikut: (265) Wong-wong sing kepengin ngrasakake aliran listrik kudu gelem melu urunan dhuwit kanggo tuku solar sing digunakake kanggo bahan bakare genset duweke Kaji Kirman. „Orang-orang yang ingi merasakan aliran listrik harus mau ikut iuran uang untuk membeli solar yang digunakan sebagai bahan bakar genset milik Haji Kirman.‟ (OC: 15) Dengan
teknik
tingkah
laku,
pengarang
juga
memunculkan tokoh Mbah Haji Kirman sebagai orang yang peduli. Haji Kirman peduli dengan perpustakaan yang didirikan oleh pengarang, sehingga Haji Kirman menjual gensetnya dan uang hasil menjual genset tersebut digunakan untuk menambah koleksi buku perpustakaan. Watak peduli tokoh Mbah Kirman dapat dilihat dari kutipan data (266) berikut: (266) Wektu menehake dhuwit dol-dolan genset kuwi piyambake ngakon marang aku amrih dhuwit kasebut dakgunakake kanggo nambah koleksi buku. „Ketika memberikan uang hasil menjual genset tersebut beliau meminta kepada saya supaya uang tersebut digunakan untuk menambah koleksi buku.‟ (OC: 79) Tokoh Haji Kirman juga merupakan orang yang tekun. Watak tekun tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik tingkah laku. Keadaan rumahnya yang gelap tidak menjadikan Haji Kirman bersikap malas dan hanya berdiam diri. Beliau tetap commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
135 membaca buku yang dipinjam dari perpustakaan pengarang, seperti pada kutipan data (267) berikut: (267) Ing omahe saiki sing sarwa peteng tanpa ana listrik lan mung ngandelake dimar ublik kuwi Mbah Kaji Kirman isih nyempetake maca buku sing disilih saka perpustakaanku. „Di rumah sekarang yang serba gelap tanpa ada listrik lan hanya mengandalkan lilin itu Mbah Haji Kirman masih menyempatkan membaca buku yang dipinjam dari perpustakaan saya.‟ (OC: 80) Haji Kirman sangat suka membaca buku-buku yang berkaitan dengan agama. Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa tokoh Mbah Haji Kirman juga merupakan orang yang religius. Pengarang memunculkan watak religius tokoh Haji Kirman dengan teknik tingkah laku, seperti pada kutipan data (268) berikut: (268) Buku-buku karemenane akeh-akehe kawruh kang ngenani babagan agama. „Buku-buku kesukaannya kebanyakan pengetahuan yang berkaitan dengan agama.‟ (OC: 81) Selain membaca buku-buku yang berkaitan dengan agama, Haji Kirman juga memiliki keyakinan bahwa setelah meninggal tentu memerlukan cahaya untuk menerangi alam kubur. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (269) berikut: (269) “Ananging aku wedi yen aku kakehan nggunakake cahya ing uripku sing paribasan srengenge wis cedhak angslupe mbesuk yen kudu bali marang sisih-E aku ora keduman cahya,” „Tetapi saya takut kalau saya terlalu banyak menggunakan cahaya dalam hidup saya yang diibaratkan matahari sudah hampir tenggelam besok kalau harus kembali di hadapan-Nya saya tidak kebagian cahaya.‟ (OC: 84) Secara sosial, tokoh Mbah Haji Kirman merupakan orang yang
kaya
di
desa
karena
memiliki
genset.
Pengarang
memunculkan tokoh Mbah Haji Kirman sebagai orang dengan teknik pelukisan latar. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
136 c) Mayang Tokoh Mayang adalah istri dari pengarang. Secara fisik, tokoh Mayang merupakan seorang wanita dewasa. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik ekpositori melalui penyebutan anak-anak perempuan desa dengan istilah "remaja” oleh pengarang, seperti pada kutipan data (270) berikut: (270) Kawruh sing diduweni saka anggene maca buku kuwi banjur ditularake marang remaja-remaja putri sing ana desa kang kepeksa mothol anggone sekolah jalaran wong tuwane kangelan anggone ngragadi. „Ilmu yang dimiliki dari membaca buku tersebut kemudian ditularkan pada remaja-remaja putri desa yang terpaksa putus sekolah karena orang tuanya tidak mampu membiayai.‟ (OC: 23) Secara psikis, tokoh Mayang termasuk orang yang cerdas. Pengarang memunculkan watak cerdas tokoh Mayang dengan teknik pikiran dan perasaan, seperti pada data (271) berikut: (271) Senajan kenya kasebut kenya desa nanging dheweke nduwe pamikiran kang maju. Dheweke seneng banget maca bukubuku kang ana ing perpustakaan desa. „Meskipun gadis tersebut gadis desa tetapi dia memiliki pemikiran yang maju. Dia sangat senang membaca bukubuku yang ada di perpustakaan desa.‟ (OC: 21-22) Kecerdasan tokoh Mayang tidak hanya digunakan untuk kepentingannya sendiri. Ilmu yang dimiliki Mayang ditularkan pada remaja-remaja putri di desanya yang putus sekolah karena tidak ada biaya. Perilaku tokoh Mayang yang mau menularkan ilmunya tersebut dapat dinilai sebagai sikap peduli terhadap sesama. Watak peduli tokoh Mayang dimunculkan oleh pengarang dengan teknik pikiran dan perasaan, seperti pada data (272) berikut: (272) Kawruh sing diduweni saka anggene maca buku kuwi banjur ditularake marang remaja-remaja putri sing ana desa kang kepeksa mothol anggone sekolah jalaran wong tuwane kangelan anggone ngragadi. „Ilmu yang dimiliki dari membaca buku tersebut kemudian ditularkan pada remaja-remaja putri desa yang terpaksa putus commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
137 sekolah karena orang tuanya tidak mampu membiayai.‟ (OC: 23) Pengarang juga memunculkan tokoh Mayang sebagai orang yang tulus ikhlas. Mayang tidak pernah mengeluh untuk menata buku-buku yang usai dibaca oleh para warga di perpustakaannya. Ia justru merasa senang karena apa yang dimimpikannya sejak kecil kini telah terwujud. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (273) berikut: (273) Semono uga sisihanku Mayang uga ora ngresula yen saben dina kudu nata buku-buku sing mentas diwaca dening para warga kasebut. „Begitu juga istri saya Mayang juga tidak mengeluh apabila setiap hari harus menata buku-buku yang usai dibaca para warga itu.‟ (OC: 32) Selain cerdas, peduli, dan tulus ikhlas, tokoh Mayang juga memiliki watak bijaksana. Ketika masih kecil, Mayang merasa kesulitan apabila ingin membaca buku. Kemudian ia mendirikan sebuah perpustakaan agar anak-anak di desanya tidak mengalami kesulitan membaca buku seperti yang pernah ia alami. Watak bijaksana tokoh Mayang dimunculkan oleh pengarang dengan teknik cakapan, seperti pada kutipan data (274) berikut: (274) “Aku uga matur nuwun banget menyang sampeyan gelem gawe perpustakaan kaya mangkene. Pancen iki impianku wiwit cilik. Aku biyen nalika isih cilik ngalami kangelan yen pengen maca buku. Saliyane amarga ora ana biaya uga amarga papane desa iki ana pinggiran saengga angel amrih bisa maca utawa nduweni buku.” „Saya juga sangat berterima kasih kepada kamu karena sudah mau membuat perpustakaan seoerti ini. Memang ini impian saya sejak kecil. Saya dahulu ketika masih kecil mengalami kesulitan kalau ingin membaca buku. Selain karena tidak ada biaya juga karena letak desa ini di pinggiran sehingga sulit untuk bisa membaca atau memiliki buku.‟ (OC: 42-45) Pengarang juga memunculkan tokoh Mayang juga sebagai sosok istri yang patuh pada suami dengan teknik tingkah laku. Mayang ingin menjual perhiasan commit to user peninggalan orang tuanya agar
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
138 bisa memasang listrik, tetapi pengarang sebagai suami Mayang melarangnya. Pengarang meminta pada Mayang untuk tetap menyimpan perhiasan-perhiasan tersebut. Mengetahui suaminya berkata demikian, tokoh Mayang pun patuh. Hal tersebut dapat dilhat dalam kutipan data (275) berikut: (275) Apa kang dakarepake iku wekasane dituruti dening sisihanku. Dheweke gelem nyimpen emas-emasane warisan kuwi. „Apa yang saya inginkan itu akhirnya dituruti oleh istri saya. Dia mau menyimpan perhiasan-perhiasan warisan itu.‟ (OC: 63-64) Secara sosial, tokoh Mayang memiliki kebiasaan menata buku-buku di perpustakaannya yang usai dibaca oleh para warga. Hal
tersebut
dimunculkan
oleh
pengarang
dengan
teknik
ekspositori, seperti pada kutipan data (276) berikut: (276) Semono uga sisihanku Mayang uga ora ngresula yen saben dina kudu nata buku-buku sing mentas diwaca dening para warga kasebut. „Begitu juga dengan istri saya Mayang tidak pernah mengeluh apabila setiap hari harus menata buku-buku yang usai dibaca oleh para warga.‟ (OC: 32) 4) Latar Latar cerkak Oncating Cahya adalah sebagai berikut: a) Latar tempat Cerkak Oncating Cahya menggunakan latar tempat sebuah desa yang masih pedalaman. Hal tersebut dapat diketahui dari penjelasan pengarang yang menunjukkan bahwa listrik baru masuk desa akhir-akhir ini. Latar tempat yang digunakan dalam cerita adalah rumah pengarang dan rumah Haji Kirman. (1) Rumah pengarang Latar tempat rumah pengarang dapat dilihat dari percakapan yang lakukan oleh pengarang dengan istrinya, Mayang, perihal akan menjual perhiasan untuk memasang listrik di rumahnya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
139 Hal tersebut tampak dalam kutipan data (277) dan (278) berikut: (277) “Mas, mas-masan tinggalane simbah iki takdole ya Mas? Amrih omahe dhewe enggal bisa masang listrik. Aku selak ora sabar nyawang pawongan kang maca ing perpustakaane dhewe ngrasakake padhange listrik.” „Mas, perhiasan-perhiasan warisan nenek ini saya jual ya Mas? Supaya rumah kita segera bisa pasang listrik. Saya sudah tidak sabar melihat orang-orang yang membaca di perpustakaan kita merasakan terangnya listrik.‟ (OC: 5759) (278) “Aja dhisik Dhik, luwih becik emas-emasan kuwi sampeyan simpen dhisik.” „Jangan dulu Dik, lebih baik perhiasan-perhiasan itu kamu simpan dulu.‟ (OC: 60) (2) Rumah Mbah Haji Kirman Latar tempat rumah Haji Kirman dapat dilihat dari aktivitas Haji Kirman yang membaca buku dalam keadaan gelap di rumahnya, seperti pada kutipan data (279) berikut: (279) Ing omahe saiki sing sarwa peteng tanpa ana listrik lan mung ngendelake dimar ublik kuwi Mbah Kaji Kirman isih nyempetake maca buku sing disilih saka perpustakaanku. „Di rumahnya sekarang yang serba gelap tanpa ada listrik dan hanya mengandalkan lilin itu Mbah Haji Kirman masih menyempatkan membaca buku yang dipinjam dari perpustakaan saya.‟ (OC: 80) b) Latar waktu Cerkak Oncating Cahya menggunakan latar waktu dalam kurun enam tahun. (1) Tahun keempat Tahun keempat adalah waktu disaat listrik mulai masuk desa pengarang. Diketahui tahun keempat karena keberadaan pengarang di desa tersebut belum ada enam tahun, dan pengarang menjalaskan bahwa masuknya listrik baru tiga tahun belakangan ini, seperti terlihat dalam kutipan data (280) commit to user dan data (281) berikut:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
140 (280) Aku manggon ana ing desa kene iki daketung isih durung jangkep ana enem taun. „Saya berada di desa ini saya hitung masih belum genap ada enam tahun.‟ (OC: 11) (281) Kira-kira watara telung taunan iki listrik lagi mlebu ana ing kampungku. „Kira-kira tiga tahun ini listrik baru masuk di desa saya.‟ (OC: 1) (2) Malam hari pada tahun pertama hingga ketiga. Waktu malam hari dapat dilihat dari penjelasan pengarang bahwa ia ikut iuran membeli solar sebagai bahan bakar genset supaya bisa menggunakan listrik dan orang-orang yang membaca buku di perpustakaan tidak merasa gelap. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (282) dan (283) berikut: (282) Kahanan kang kaya mengkene kang njalari aku ngalah ndudut dhuwit dhewe melu urunan kanggo tuku solar sing bakale kanggo bahan bakare genset dhuweke Kaji Kirman. „Keadaan seperti ini yang menyebabkan saya harus mengalah mengeluarkan uang pribadi ikut iuran untuk membeli solar yang akan digunakan bahan bakar genset milik Haji Kirman (OC: 29) (283) Para warga sing biyasane ngentekake wengi ing omahku kanggo maca utawa nyilih buku saiki padha asyik ndelok giyaran tivi ing omahe dhewe-dhewe. „Para warga yang biasanya menghabiskan malam di rumah saya untuk membaca atau meminjam buku sekarang merasa lebih asyik menyaksikan siara televisi di rumahnya masing-masing.‟ (OC: 69) c) Latar sosial Latar sosial masyarakat desa dalam cerkak Oncating Cahya antara lain: (1) Pada dasarnya masyarakat desa merupakan masyarakat yang cerdas dan memiliki kegemaran membaca buku yang tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari perilaku tokoh Mayang yang sering membaca buku di perpustakaan desa, dan ketika commitperpustakaan to user Mayang mendirikan pribadi banyak warga yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
141 mau datang untuk membaca buku, seperti pada data (284) dan data (285) berikut: (284) Senajan kenya kasebut kenya desa nanging dheweke nduwe pamikiran kang maju. Dheweke seneng banget maca buku-buku kang ana ing perpustakaan desa. „Meskipun gadis tersebut gadis desa tetapi dia memiliki pemikiran yang maju. Dia sangat senang membaca bukubuku yang ada di perpustakaan desa.‟ (OC: 21-22) (285) Koleksi buku sing tansaya akeh iki tansah njalari omahku ora nate sepi klawan pawongan kang pengen maca. Wiwitane mung sawates bocah cilik lan para remaja wae. Nanging amarga koleksi buku kang manggon ana ing perpustakaanku tansaya akeh tansaya njalari wong tuwane saka bocah-bocah mau uga padha gelem teka lan ajar maca ing omah sing wis daksulap dadi perpustakaan kuwi. „Koleksi buku yang semakin banyak ini semakin menjadikan rumah saya tidak pernah sepi karena orangorang yang ingin membaca. Mulanya hanya sebatas anak-anak lan para remaja saja. Tetapi karena koleksi buku yang ada di perpustakaan saya semakin banyak semakin menjadikan orang tua dari anak-anak mau ikut datang dan belajar membaca di rumah yang sudah saya sulap menjadi perpustakaan itu.‟ (OC: 26-28) (2) Masyarakat desa masih begitu mudah terpengaruh dengan adanya
sesuatu
yang
bersifat
baru.
Kehadiran
listrik
menjadikan masyarakat lebih memilih menyaksikan acara televisi daripada membaca buku. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (286) berikut: (286) Para warga sing biyasane ngentekake wengi ing omahku kanggo maca utawa nyilih buku saiki padha asyik ndelok giyaran tivi ing omahe dhewe-dhewe. „Para warga yang biasanya menghabiskan malam di rumah saya untuk membaca atau meminjam buku sekarang merasa lebih asyik menyaksikan siara televisi di rumahnya masing-masing.‟ (OC: 69) (3) Harta berharga masyarakat desa masih berupa hewan-hewan peliharaan. Hal tersebut tampak dalam data (287) berikut: (287) Maneka commit cara toditindakake saengga omahe bisa user kasunaran cahyane listrik. Ora etung-etung ana sing
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
142 adol wedhuse lan uga ana sing adol sapine amrih omahe padha padhang kayadene nepaki tumekane purnamasidi. „Segala cara dilakukan sehingga rumahnya bisa kesinaran cahaya listrik. Tidak banyak hitungan ada yang menjual kambingnya dan ada juga yang menjual sapinya supaya rumahnya terang seperti menyambut datangnya bulan purnama.‟ (OC: 4) 5) Sudut Pandang Sudut pandang cerkak Oncating Cahya adalah sudut pandang orang pertama “aku” sebagai tokoh utama. Di dalam cerita, pengarang menceritakan kisahnya
sendiri dan
menggunakan kata
yang
berimbuhan “-ku” untuk menyebut sesuatu yang dinilai miliknya. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan data (288) berikut: (288) Tekane listrik ing kampungku pancen wis dienteni dening saperangan gedhe masyarakat kampungku. „Datangnya listrik di desa saya memang sudah dinanti oleh sebagai besar masyarakat di desa saya.‟ (OC: 6) Selain itu, pengarang dalam memaparkan cerita juga menyebut dirinya dengan sebutan “aku”. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (289) berikut: (289) Awit saiki aku ora perlu adoh-adoh golek aliran listrik kanggo ngisi baterei laptopku yen pinuju kentekan daya nalikane dakgunakake kanggo nggarap tugas. „Karena sekarang saya tidak perlu jauh-jauh mencari aliran listrik untuk mengisi baterei laptop saya apabila kehabisan daya ketika saya gunakan untuk mengerjakan tugas.‟ (OC: 9) 6) Amanat Amanat yang dapat diambil dari cerkak Oncating Cahya karya Zuly Kristanto antara lain: a) Jadilah orang yang bertanggung jawab terhadap pekerjaan. Amanat tersebut dapat dipetik dari perilaku tokoh pengarang
yang
bersikap
profesional
dalam
menunaikan
kewajiban tersebut. Meski terkadang merasa tidak kerasan karena tidak
ada
listrik,
harus
tetap
berusaha
beradaptasi
membiasakan diri,commit seperti to pada kutipan data (290) berikut: user
dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
143 (290) Nanging kegawa kewajiban sing kudu daktindakake wekasane aku nyoba mbiasakake dhiri saengga suwenesuwe aku seneng marang desa iki. „Tetapi karena ini adalah kewajiban yang harus saya laksanakan akhirnya saya mencoba untuk membiasakan diri sehingga semakin lama saya merasa senang dengan desa ini.‟ (OC: 18) b) Jadilah manusia yang memiliki kepribadian cerdas dan peduli. Cerdas dan peduli harus berjalan beriringan. Apabila hanya cerdas, maka kecerdasan tersebut akan sia-sia. Begitu pula apabila hanya memiliki sikap peduli, tanpa kecerdasan kepedulian kita akan terasa kurang berarti. Jadi kecerdasan yang kita miliki harus diimbangi dengan rasa peduli, sehingga ilmu-ilmu yang dimiliki akan bisa ditularkan pada orang lain dan akan lebih bermanfaat. Amanat tersebut dapat dipetik dari perilaku tokoh Mayang yang mau menyampaikan ilmu yang dimilikinya kepada remaja-remaja desa yang putus sekolah karena biaya, seperti pada kutipan data (291) berikut: (291) Kawruh sing diduweni saka anggene maca buku kuwi banjur ditularake marang remaja-remaja putri sing ana desa kang kepeksa mothol anggone sekolah jalaran wong tuwane kangelan anggone ngragadi. „Ilmu yang dimiliki dari membaca buku tersebut kemudian ditularkan pada remaja-remaja putri desa yang terpaksa putus sekolah karena orang tuanya tidak mampu membiayai.‟ (OC: 23) c) Dahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Amanat tersebut dapat dipetik dari perilaku pengarang dan istrinya yang rela menjual sepeda motor untuk memasang listrik agar perpustakaan pribadinya tidak gelap lagi, seerti pada kutipan data (292) berikut: (292) Lan kanggo gantine sepedha motorku dakdol kanggo ijol masang listrik ing omahku. „Dan sebagai gantinya sepeda motor saya jual untuk bisa memasang listrik di rumah saya.‟ (OC: 65) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
144 d) Jadilah seorang istri yang taat pada suami. Amanat tersebut dapat dipetik dari perilaku tokoh Mayang menuruti perintah suaminya untuk tidak menjual perhiasan, seperti pada kutipan data (293) berikut: (293) Apa kang dakkarepake iku wekasane dituruti dening sisihanku. Dheweke gelem nyimpen emas-emasan warisan kuwi. „Apa yang saya kehendaki akhirnya dituruti oleh istri saya. Dia mau menyimpan perhiasan warisan itu.‟ (OC: 63-64) 2. Nilai-nilai Pendidikan Cerkak Majalah Jaya Baya Pada dasarnya nilai pendidikan dalam karya sastra yang terdiri dari nilai moral, nilai sosial, nilai budaya, dan nilai religius merupakan sebuah kesatuan. Antara nilai yang satu dengan nilai yang lain memiliki hubungan yang sangat erat. Nilai moral seringkali ditemukan memiliki keterkaitan dengan nilai sosial, nilai budaya, dan nilai religius. Misal nilai moral mengenai sikap hormat terhadap orang tua. Sikap menghormati orang tua dilihat dari sudut pandang nilai sosial berarti mengenai hubungan antara anak dan orang tua. Hubungan antaranak dan orang tua meruapakan suatu hal yang penting, karena baik tidaknya hubungan antara keduanya berdampak pada sikap baik dan buruk atau moral seorang anak. Dari segi nilai budaya, hormat pada orang tua berkaitan dengan unggah-ungguh atau tata krama.Anak yang menghormati orang tuanya berarti memiliki unggah-ungguh yang baik. Kemudian dari segi religius, bersikap hormat pada orang tua adalah hukumnya wajib. Di dalam cerkak majalah Jaya Bayaedisi Agustus − Oktober 2014 banyak ditemukan nilai pendidikan yang meliputi nilai moral, nilai sosial, nilai budaya, dan nilai religus. Berikut nilai pendidikan yang terdapat dalam cerkak majalah Jaya Baya: a. Nilai Moral Nilai moral yang terdapat dalam cerkak majalah Jaya Baya antara lain:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
145 1) Berbakti pada orang tua Sudah sepantasnya seorang anak berbakti pada orang tua. Wujud bakti tersebut dapat berupa lisan maupun tindakan. Nilai moral berbakti pada orang tua dalam cerkak Welingmu tercermin dari tokoh Anis dan Faisal. Secara lisan, keduanya selalu berbicara secara lembut dengan menggunakan bahasa Jawa ragam krama. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (294) berikut: (294) “Nggih Pak,” semaure anak-anakku bebarengan. „Iya Pak, jawab anak-anak saya secara bersamaan.‟ (W: 50) Selain berbicara secara lembut, Anis dan Faisal juga berperilaku sopan terhadap orang tua. Keduanya selalu patuh dan tidak pernah membantah ketika diperintah. Jawaban “iya” dari tokoh Anis dan Faisal yang sopan dengan menggunakan bahasa Jawa krama sekaligus menunjukkan kepatuhan kedua tokoh atas perintah ayahnya untuk membantu Eyang dan Ibu ketika ditinggal mandi. Tidak hanya tokoh Anis dan Faisal, Ibu dan Mas Rusli juga merupakan anak yang berbakti pada orang tua. Keduanya begitu memuliakan Eyang. Dengan penuh kesabaran Ibu dan Mas Rusli merawat Eyang yang tengah sakit di rumah sakit. Sikap berbakti pada orang tua juga terdapat dalam cerkak Mbah Kakung, yakni terlihat dari sikap Mas Puji yang mau dengan senang hati menuruti keinginan ayahnya. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (295) berikut: (295) Kekarepane Mbah Kakung kuwi saperangan wis dituruti dening Mas Puji, putrane mbarep kang setya ngeterke Mbah Kakung tekan ngendi-ngendi. „Keinginan Mbah Kakung tersebut sebagian sudah dituruti oleh Mas Puji, anak sulung yang setia mengantar Mbak Kakung kemana-mana.‟ (MK: 66) Tidak hanya cerkak Welingmu dan Mbah Kakung, dalam cerkak Nglegok juga terdapat nilai moral berbakti pada orang tua. Perilaku berbakti pada orang tua terlihat dari tokoh Sukasih yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
146 patuh terhadap kemauan orang tuanya untuk berhenti sekolah apabila sudah kelas lima. Hal tersebut dapat dilihat dalam data (296) berikut: (296) “Inggih, Bu. Nanging...” terus keprungu Sukasih mingsegmingseg nangis. „Iya, Bu. Tetapi... kemudian mendengar Sukasih menangis terisak-isak.‟ (N: 88-89) Tetapi karena Sukasih ingin mewujudkan cita-citanya, maka Sukasih membujuk dan memberi pengertian pada orang tuanya secara halus, sehingga orang tuanya pun memberi ijin dan merestui niat anaknya tersebut. 2) Patuh dan menghormati suami Surga seorang anak terletak pada orang tua, sedangkan surga seorang istri terletak pada suami. Istri wajib patuh terhadap perintah suami, dengan catatan perintah tersebut merupakan perintah yang positif.
Kata
menghormati
memiliki
makna
memuliakan.
Menghormati suami berarti memuliakan suami atau memperlakukan suami secara baik. Nilai moral patuh dan menghormati suami terdapat dalam cerkak Welingmu yakni dapat dilihat dari sikap tokoh Ibu terhadap Mas Rusli. Tokoh Ibu selalu menggunakan bahasa Jawa ragam krama ketika berbicara dengan Mas Rusli. Hal tersebut merupakan wujud rasa hormat. Kemudian kepatuhan Ibu pada suaminya terlihat dari kutipan Mas Rusli yang melarang Ibu menggunakan uang kuliah Anis untuk biaya perawatan Eyang, dan Ibu pun bersikap patuh dengan tidak menggunakan uang tersebut untuk biaya rumah sakit. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (297) dan data (298) berikut: (297) “Aja, seminggu iku mung sedhilit, arep golek dhuwit ana ngendi?” „Jangan, satu minggu itu hanya sebentar, mau mencari uang dimana?‟ (W: 80) (298) “Terus kedah pripun?” ucapku karo nangis, njur ngekep Mas commit to user Rusli.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
147 „Lalu, harus bagaimana? kata saya sambil menangis, kemudian memeluk Mas Rusli.‟ (W: 81-82) Nilai moral patuh dan menghormati suami juga terdapat dalam cerkak Telulasan, yakni tokoh Bu Lastri yang tidak pernah menuntut gaji pada suami. Bu Lastri sekadar menerima apabila diberi. Ketika diberi uang oleh suami pun, Bu Lastri menggunakannya untuk membeli kebutuhan rumah tangga dan tidak lupa membelikan rokok kesukaan suaminya. Hal tersebut tampak dalam data (299) berikut: (299) Kejaba aku arep nyaur utang, aku uga arep blanja kebutuhan ngomah. Neng ati rasane seneng banget, nalika tuku rokok senengane bojoku, sanadyan sing dakenggo tuku ya dhuwit asile nyambut gawebojoku. „Selain saya ingin membayar hutang, saya juga akan membeli kebutuhan rumah. Di hati rasanya senang sekali ketika membeli rokok kesukaan suami saya, meski uang saya pakai untuk membeli merupakan uang hasil bekerja suami saya.‟ (T: 145146) Di dalam cerkak Oncating Cahya juga terdapat nilai moral patuh dan menghormati suami. Hal tersebut dapat dilihat dari perilaku tokoh Mayang yang mengurungkan niat untuk menjual perhiasannya ketika pengarang melarangnya, seperti pada data (300) berikut: (300) Apa kang dakkarepake iku wekasane dituruti dening sisihanku. Dheweke gelem nyimpen emas-emasan warisan kuwi. „Apa yang saya kehendaki akhirnya dituruti oleh istri saya. Dia mau menyimpan perhiasan warisan itu.‟ (OC: 63-64) 3) Tanggung jawab terhadap pekerjaan Bekerja sama halnya dengan beribadah. Orang yang bekerja secara ikhlas dengan niat beribadah maka orang tersebut akan mendapat pahala. Seringkali kita temui orang yang melakukan pekerjaan hanya semaunya saja tetapi menginginkan gaji yang banyak. Hal tersebut merupakan bentuk tidak tanggung jawab terhadap pekerjaan. Hal tersebut bisa dikatakan curang, karena kita mengambil sesuatu yang bukan hak kita. Nilai moral tanggung jawab terhadap pekerjaan dapat dilihat commit to user dari sikap Ibu dan Mas Rusli dalam cerkak Welingmu. Sebagai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
148 seorang guru, Ibu tetap melaksanakan kewajibannya dengan baik, yakni mengajar meski ibunya tengah sakit. Sementara ia mengajar maka yang menjaga Eyang adalah suaminya. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan data (301) berikut: (301) Wis ana seminggu Ibu ana rumah sakit, dadi bojoku nunggoni ana kana, durung tau bali. „Sudah ada satu minggu Ibu di rumah sakit, jadi suami saya menjaga disana, belum pernah pulang.‟ (W: 38) Hal tersebut dilakukan secara bergantian. Suatu ketika Ibu yang menjaga Eyang di rumah sakit, maka Mas Rusli yang bekerja. Keduanya juga tidak lupa ijin ketika tidak masuk kerja, seperti pada kutipan data (302) berikut: (302) Dina iki aku ngganteni Mas Rusli nunggoni Ibu ing rumah sakit. „Hari ini saya menggantikan Mas Rusli menjaga Ibu di rumah sakit.‟ (W: 106) Nilai moral tanggung jawab terhadap pekerjaan juga terdapat dalam cerkak Mbah Kakung. Hal tersebut dapat dilihat dari perilaku Mbah Kakung yang tetap berangkat rapat di kantor PWRI meski beliau sedang tidak enak badan, seperti pada data (303) berikut: (303) Mbah Kakung wis siyaga nekani rapat rutin ing kantor PWRI. Senadyan rasane awak rada ora kepenak, Mbah Kakung tetep budhal. „Mbah Kakung sudah siap menghadiri rapat rutin di kantor PWRI. Meskipun badan terasa tidak enak, Mbah Kakung tetap berangkat.‟ (MK: 77-78) Tidak hanya dalam cerkak Welingmu dan Mbah Kakung, dalam cerkak Oncating Cahya juga terdapat nilai moral tanggung jawab terhadap pekerjaan. Hal tersebut dapat dilihat dari tokoh pengarang yang merasa tidak betah berada di desa tanpa aliran listrik, tetapi ia tetap melaksanakan tugas dengan baik, seperti pada kutipan data (304) berikut: (304) Nanging kegawa kewajiban sing kudu daktindakake wekasane aku nyoba mbiasakake dhiri saengga suwene-suwe aku seneng marang desa iki. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
149 „Tetapi karena kewajiban yang harus saya laksanakan akhirnya saya mencoba membiasakan diri sehingga lambat laun saya senang dengan desa ini.‟ (OC: 18) 4) Menjaga diri Seseorang harus mampu menjaga diri, terutama perempuan. Nilai moral menjaga diri terdapat dalam cerkak Welingmu yakni nasihat Eyang pada cucu perempuannya yang bernama Anis. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan data (305) berikut: (305) “Nis, welinge Eyang, yen dadi cah ayu iku kudune kaya kembang mawar kae,” ngendikane Ibu nalika liwat toko kembang lan nuduhi kembang mawar kang apik rupane. (W: 127) „Nis, pesan Eyang, kalau menjadi perempuan cantik itu harus seperti bunga mawar itu, kata Ibu ketika melewati toko bungan dan menunjukkan bunga mawar yang warnanya indah.‟ Bunga mawar merupakan bunga yang memiliki banyak duri tajam pada tangkainya. Hanya orang yang berhati-hati yang mampu mendapatkan bunga mawar tersebut. Perempuan harus mampu menjaga diri, sehingga hanya laki-laki yang sungguh-sungguh dan sangat berhati-hati yang dapat mendapatkan perempuan tersebut. 5) Melaksanakan amanah dengan baik Amanah atau wasiat merupakan pesan terakhir yang disampaikan oleh orang yang hampir meninggal. Orang yang diberi amanah harus mampu menjaga atau melaksanakan amanah secara baik sebagai bentuk penghormatan. Nilai moral melaksanakan amanah dengan baik terdapat dalam cerkak Welingmu yakni tokoh Ibu yang mendapat nasihat dari Eyang untuk menjadi orang yang seperti rumput. Maksud dari pesan untuk menjadi seprti rumput tersebut adalah tidak bergantung pada orang lain dan hanya menggantungkan diri pada Allah semata. Setelah memahami maksud dari nasihat tersebut, tokoh Ibu pun melaksanakan nasihat tersebut secara baik, yakni dengan hidup yang hanya bergantung pada Allah. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (306) berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
150 (306) Aku ora bakal lali karo welinge Ibu supaya dadi kaya suket. Bisa urip ora gumantung wong liya, mung gumantung marang Gusti Allah. „Saya tidak akan lupa dengan pesan Ibu supaya menjadi seperti rumput. Bisa hidup tidak bergantung orang lain, hanya bergantung pada Allah.‟ (W: 171-172) Nilai moral melaksanakan amanah dengan baik juga terdapat dalam cerkak Mbah Kakung oleh tokoh Mbah Suhanti, istri Mbah Kakung, seperti pada kutipan data (307) berikut: (307) Dina-dina teruse, Mbah Putri ya Mbah Suhanti isih kudu nindakake kabeh kersane Mbah Kakung. Awit Mbah Kakung pranyata wis mantha-mantha koleksi bukune supaya diwenehake marang wong-wong kang tinulis ing saben bendhel buku. „Hari-hari selanjutnya, Mbah Putri ya Mbah Suhanti masih harus melaksanakan semua kemauan Mbah Kakung. Karena Mbah Kakung ternyata sudah memilah-milah koleksi bukunya untuk diberikan pada orang-orang yang sudah tertulis di tiap bendel buku.‟ (MK: 128-129) 6) Meminta maaf Meminta maaf adalah salah satu perilaku terpuji. Tidak semua orang mau memulai meminta maaf. Orang yang tidak mau minta maaf biasanya karena merasa tidak bersalah atau menjaga gengsi. Hal tersebut sebenarnya tidak perlu. Kalau dengan meminta maaf bisa menjadikan hubungan dengan orang lain membaik, mengapa tidak. Toh perselisihan yang sudah lebih dari tiga hari, amalnya tidak akan diterima oleh Allah. Nilai moral meminta maaf dapat dilihat dari sikap yang dilakukan oleh Mbak Tari dalam cerkak Sarwa Sujana. Ia meminta maaf pada para tetangga karena belum bisa bersilaturahmi. karena adanya tuntutan pekerjaan. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan data (308) berikut: (308) Ing dalem kesempatan mau Mbak Tari uga nambahi ngomong menawa dheweke nyuwun sepura dene ora nate dolan-dolan menyang tangga. „Dalam kesempatan itu Mbak Tari menyampaikan maaf apabila commit to user tidak pernah bersilaturahmi ke rumah tetangga.‟ (SS: 134)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
151 7) Sabar Orang yang sabar akan selalu disayang oleh Allah. Begitulah janji Allah bagi orang-orang yang mau bersabar. Bentuk kesabaran terdapat dalam cerkak Telulasan, terlihat dari tokoh Bu Lastri yang tidak marah setiap kali Mbak Darsini yang menghina suaminya, seperti pada kutipan data (309) berikut: (309) Ning aku api-api ora krasa apa-apa, nadyan mbokmenawa raiku katon mbrabak. „Tetapi saya pura-pura tidak merasa apa-apa, meski mungkin wajah saya terlihat tersinggung.‟ (T: 45) 8) Menjadi imam yang bertanggung jawab Imam adalah pemimpin, begitu pula imam dalam keluarga, maka harus menjadi pemimpin yang baik bagi keluarganya. Menuntun serta mengarahkan keluarganya ke jalan kebaikan. Seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang telah dipimpinnya. Tokoh suami Bu Lastri dalam cerkak Telulasan merupakan imam yang bertanggung jawab, dia memberikan gajinya kepada istri agar dikelola.untuk kebutuhan sehari-hari. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (310) berikut: (310) Awan kuwi, aku diwenehi dhuwit bojoku. Ujare, gaji ka13, wis ditampakake. „Siang itu, saya diberi uang oleh suami saya. Katanya, gaji ketiga belas sudah diberikan.‟ (T: 137-138) 9) Bijaksana Nilai moral bijaksana terdapat dalam cerkak Mbah Kakung, yakni dapat dilihat dari sikap tokoh Mbah Kakung yang selalu berkata bahwa apapun yang terjadi hanya karena kehendak Allah, bukan karena dirinya. Beliau hanya menerapkan ilmu yang dititipkan oleh Allah kepadanya untuk membantu sesama. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (311) berikut: (311) “Kabeh dina kuwi becik anane. Aja padha kesrimpet ing tali lawas kang pancen wis ora pantes dienggo, nanging uga kudu nganggo petungcommit sing to mening. user Ora sakarepe dhewe. Kabeh wektu kudu dijumbuhake karo kahanan kang nembe lumaku.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
152 Akeh wewaler kang kudu tansah digatekke, nanging ora ateges wewaler mau kudu dilakoni tanpa weweka. Kabeh kena disranani kanthi ati lan pikiran kang wening. Carane yakuwi kanthi ngrungokake swarane ati nurani, awit ya ing kono swarane sing Akarya Jagad keparungu cetha,” mangkono ngendikane Mbah Kakung saben ana wong kang mara njaluk pituduh. „Semua hari itu baik. Jangan sampai terjerat tali lama yang memang sudah tidak pantas digunakan, tetapi juga harus menggunakan hitungan yang pasti. Tidak sesuka hatinya saja. Semua waktu harus disesuaikan dengan keadaan yang sedang berjalan. Banyak halangan yang harus selalu diperhatikan, tetapi bukan berarti halangan tadi harus dijalani tanpa usaha. Semua bisa diatasi dengan hati dan fikiran yang jernih. Caranya yaitu dengan mendengarkan swra hati nurani, karena memang di situlah suara Tuhan Pencipta Alam terdengar jelas, begitu kata Mbah Kakung setiap ada orang yang datang meminta petunjuk.‟ (MK: 26-33) Perilaku bijaksana juga terlihat dalam cerkak Nglegok, Sukasih menolak permintaan Bu Retno secara lembut dan lebih memilih menjadi guru di Nglegok agar bisa menjadi contoh serta teladan. Sukasih merasa bahwa SD di Nglegok lebih membutuhkan dirinya dibanding SD yang dipimpin Bu Retno, seperti terlihat dalam kutipan data (312) berikut: (312) Nanging Kasih nyuwun ngapura, merga kepengin mapan ana desane dhewe, desa Nglegok supaya kena kanggo conto, minangka tepa-tuladha menawa senajan wedok, ora kudu dadi tandhak utawa tledhek sing ana sing mung kanggo dolanan wong lanang wae. „Namun Kasih minta maaf, karena ingin ditempatkan di desanya sendiri, desa Nglegok agar dapat menjadi contoh, sebagai teladan yang baik bahwa meski perempuan, tidak harus menjadi penari yang hanya untuk mainan bagi para laki-laki saja.‟ (N: 135) 10) Sederhana Sederhana adalah bersikap atau berperilaku secara apa adanya. Bentuk kesederhanaan dapat dilihat dari Mbah Kakung yang mengadakan syukuran kecil-kecilan secara sederhana. Tidak berlaku boros dan menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang kurang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
153 penting. Dalam sebuah syukuran yang terpenting bukanlah bentuk acaranya, tetapi maksud dan tujuan dari diadakannya acara tersebut. Adapun bentuk perilaku sederhana dapat dilihat dalam data (313) berikut: (313) Syukuran kuwi diadani kanthi prasaja. „Syukuran itu diadakan dengan sederhana.‟ (MK: 35) 11) Pantang menyerah Allah tidak suka dengan orang-orang yang berputus asa, karena setiap masalah pasti ada jalan keluar. Tergantung bagaimana orang tersebut menyikapi masalah yang tengah dihadapi dan seberapa kesungguhan yang dimilikinya. Sukasih paham akan masalah yang dihadapinya, oleh karena itu dengan segala tekad kesungguhan, ia pun pantang menyerah berusaha untuk menggapai cita-cita. Ketika temanteman sebayanya putus sekolah dan menikah. Sukasih tetap berjuang meneruskan sekolah dan menuntut ilmu. Suatu hasil tidak akan megkhianati proses, begitu pula dengan yang terjadi pada Sukasih. Melalui proses yang panjang, akhirnya ia pun berhasil menjadi seorang guru, seprti yang dicita-citakan selama ini, seperti pada kutipan data (314) berikut: (314) “Inggih Bu, niki kula Sukasih... Kula sakniki sampun kasil dados guru, Bu.” „Iya Bu, ini saya Sukasih... Saya sekarang sudah berhasil menjadi guru, Bu.‟ (N: 130-131) 12) Mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi Mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi terlihat dari perilaku pengarang dan istrinya. Mereka rela menjual
sepeda
motor
untuk
bisa
memasang
listrik
agar
perpustakaannya terang dan semakin banyak warga yang datang. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (315) berikut: (315) Lan kanggo gantine sepedha motorku dakdol kanggo ijol masang listrik ing omahku. „Dan sebagai gantinya sepeda motor saya jual untuk bisa to user memasang listrikcommit di rumah saya.‟ (OC: 65)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
154 13) Tulus ikhlas Ikhlas adalah memberi atau melakukan sesuatu tanpa pamrih dan hanya mengharap ridha Allah. Perilaku ikhlas terlihat dari sikap pengarang yang tidak menarik biaya sepeserpun pada warga yang membaca atau meminjam buku diperpustakaannya. Dengan melihat perpustakaannya ramai karena warga senang membaca saja, pengarang sudah merasa senang, seperti pada kutipan data (316) berikut: (316) Kanggo maca buku kang manggon ana ing perpustakaan pribadiku kuwi aku pancen ora nate narik biaya. Nyawang warga desa gelem maca buku iku wae aku wis seneng banget. „Untuk membaca buku yang ada di perpustakaan pribadi saya itu saya memang tidak pernah menarik biaya. Melihat warga desa mau membaca buku saja saya sudah merasa sangat senang.‟ (OC: 30-31) b. Nilai Sosial Nilai sosial merupakan nilai yang interaksi manusia dengan orang lain dalam masyarakat. Berikut nilai sosial yang terdapat dalam cerkak majalah Jaya Baya: 1) Saling menghormati dan menghargai Menghormati yang lebih tua dan menghargai yang lebih muda, begitulah prinsip hidup manusia yang sebenarnya. Dalam interaksinya dengan sesama, manusia hendaklah saling menghormati dan saling menghargai. Dengan saling menghormati dan menghargai, maka akan tercipta hidup yang harmonis. Nilai sosial saling menghormati dan menghargai dalam cerkak Welingmu terlihat dari hubungan dan interaksi yang dilakukan oleh tokoh Ibu dan Mas Rusli. Keduanya selalu bersikap terbuka. Setiap ada masalah, selalu berdiskusi dan mencari jalan keluar bersama. Dalam diskusi tersebut, Ibu dan Mas Rusli sering mengalami perbedaan pendapat. Namun perbedaan pendapat tersebut tidak mengakibatkan keduanya berselisih. Ibu tetap menghormati suaminya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
155 dan Mas Rusli tetap menghargai istrinya. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (317) berikut: (317) Ya wis Dhik, awake dhewe golek dalan liya. „Ya sudah Dik, kita mencari jalan lain.‟ (W: 76) 2) Saling memahami Memahami orang lain merupakan suatu hal yang penting. Dengan memahami orang lain maka kita akan mengerti apa yang tengah dialami oleh orang lain. Setelah mengerti yang dialami orang lain tersebut, maka kita akan mampu menempatkan diri dan mengambil tindakan secara bijak. Nilai sosial saling memahami terlihat dari perilaku Ibu dan Mas Rusli. Mas Rusli paham tentang istrinya yang masih memiliki banyak tugas dalam pekerjaanya, sehingga ia yang menjaga dan merawat Eyang di rumah sakit. Ibu pun memahami kondisi Mas Rusli yang menjaga Ibunya di rumah sakit, sehingga Ibu selalu membawakan pakaian ganti dan makan untuk Mas Rusli ke rumah sakit. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (318) berikut: (318) Yen salin klambi, ben dinane aku kang nggawakake mrana. „Kalau baju ganti, setiap hari saya yang membawakan kesana.‟ (W: 39) Sikap saling memahami juga terdapat dalam cerkak Telulasan, dapat dilihat dari hubungan Bu Lastri dengan suaminya. Bekerja sebagai tukang kebun sekolah tentu gajinya tidak terlalu banyak, sehingga Bu Lastri tidak pernah menuntut gaji dari suaminya. Ia hanya menerima berapapun uang yang diberikan oleh suaminya, seperti pada kutipan data (319) berikut: (319) “Nadyan kula niki bojone kebon sekolahan, Yu, kula mboten ngertos pinten gunggunge bayare bojo kula, Yu! Butuh kula yen disukani, nggih kula tampi, nek boten, nggih nyuwun. Sing baku, kula kalih bojo mboten regejegan.” „Meski saya ini istrinya tukan kebun sekolaha, Yu, saya tidak tahu berapa jumlah gaji suami saya, Yu! Kalau diberi, ya saya terima, kalau tidak, ya meminta. Yang penting, saya dan suami tidak mempermasalahkan.‟ (T: 33-35) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
156 Begitu sebaliknya, suami Bu Lastri juga paham akan kebutuhan rumah tangga, sehingga ketika menerima bonus kerja berupa uang beliau berikan pada istrinya untuk dikelola. 3) Kerja sama Segala sesuatu akan terasa ringan apabila dikerjakan secara bersama-sama, begitulah prinsip kerja sama. Nilai sosial kerja sama terlihat dari perilaku yang dilakukan oleh Ibu dan Mas Rusli. Keduanya saling bagi tugas. Ketika Mas Rusli menjaga dan merawat Eyang di rumah saki, Ibu tetap bekerja. Begitu sebaliknya, ketika Mas Rusli bekerja maka Ibu yang menjaga Eyang. Sikap kerja sama juga terdapat dalam cerkak Oncating Cahya oleh tokoh pengarang dan istrinya dalam membuat sebuah perpustakaan, seperti pada kutipan data (320) berikut: (320) Gandheng aku iki guru lan sisihanku kang jenenge Mayang kuwi nduwe kasenengan kang padha yaiku ing babagan maca, mula omahku banjur daksulap dadi perpustakaan. „Karena saya ini guru dan istri saya yang bernama Mayang itu memiliki kesenangan yang sama yaitu dalam hal membaca, maka rumah saya kemudian saya ubah menjadi perpustakaan.‟ (OC: 24) 4) Berbagi dengan orang lain Segala hal yang kita miliki sebenarnya bukan sepenuhnya rejeki kita. Terkadang Allah menitipkan rejeki orang lain melalui kita, sehingga kita perlu berbagi dengan orang lain. Selain itu, perbuatan memberi pada orang lain bisa dikategorikan sebagai wujud syukur atas nikmat yang diberikan Allah. Perilaku berbagi terdapat dalam cerkak Sarwa Sujana yakni terlihat dari tokoh Mbak Tari yang panen pisang, kemudian mengolah pisang tersebut menjadi kolak dan dibagikan kepada para tetangga. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (321) berikut: (321) Jarene ibu (maksude Mbak Tari) lagi panen pisang. Dadine pisang mau njur didadekake kolak lan dibagekake menyang tangga-tangga. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
157 „Katanya ibu (maksudnya Mbak Tari) sedang panen pisang. Sehingga pisang tadi dijadikan kolak dan dibagikan pada para tetangga.‟ (SS: 35-36) Berbagi tidak hanya dalam bentuk benda, tetapi juga pengetahuan dan ilmu. Di dalam cerkak Oncating Cahya tokoh Mayang rajin membaca buku kemudian menularkan ilmu yang didapatnya kepada para remaja di desanya. Ia paham akan kondisi ekonomi para orang tua di desanya, sehingga menjadikan anak-anak putus sekolah. Mayang ingin para remaja tersebut tetap memperoleh ilmu meski tidak sekolah. Maka dari itu, ia banyak membaca buku di perpustakaan desa yang tempatnya lumayan jauh. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (322) berikut: (322) Kawruh sing diduweni saka anggene maca buku kuwi banjur ditularake marang remaja-remaja putri sing ana desa kang kepeksa mothol anggone sekolah jalaran wong tuwane kangelan anggone ngragadi. „Ilmu yang dimiliki dari membaca buku tersebut kemudian ditularkan pada remaja-remaja putri desa yang terpaksa putus sekolah karena orang tuanya tidak mampu membiayai.‟ (OC: 23) 5) Membantu orang lain Sudah sewajarnya manusia sebagai makhluk sosial bersikap saling membantu. Kita tidak akan mungkin bisa melakukan segala hal secara sendiri, apalagi kalau sedang mengalami kesulitan, pasti kita memerlukan bantuan orang lain. Perilaku membantu orang lain terdapat dalam cerkak Sarwa Sujana, terlihat dari hubungan antara tokoh Mbak Tari dan Pak Jamin. Pak Jamin adalah orang yang biasa dimintai tolong oleh Mbak Tari apabila terjadi kerusakan di rumahnya. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan data (323) berikut: (323) .Sing ngeterne Pak Jamin, wong sing asring dijaluki tulung Mbak Tari yen ana kerusakan ing omahe. „Yang mengantar Pak Jamin, orang yang sering dimintai tolong oleh Mbak Tari kalau ada kerusakan di rumahnya.‟ (SS: 121) Perilaku membantu orang lain juga terdapat dalam cerkak commit to user Mbah Kakung. Tokoh Mbah Kakung senang membantu tetangganya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
158 yang memerlukan bantuan. Hal tersebut tampak dalam data (324) berikut: (324) Mula akeh sanak kadang kang mara saperlu nyuwun pitedah kanggo golek dina kang prayoga kanggo duwe gawe. „Maka banyak orang yang datang untuk meminta petunjuk dalam mencari hari yang baik untuk mengadakan hajat.‟ (MK: 24) Tetangganya pun tidak enggan untuk memberikan bantuan pada Mbah Kakung. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (325) dan data (326) berikut: (325) “Mangga sareng kula.” „Mari saya antar.‟ (MK: 83) (326) Mbah Kakung uga banjur kondur diterke salah sijine rowange sing padha-padha pensiunan, asmane Pak Kino. „Mbah Kakung juga langsung pulang diantar salah satu teman yang sama-sama pensiunan, namanya Pak Kino.‟ (MK: 90) Nilai sosial membantu orang lain juga terdapat dalam cerkak Oncating Cahya. Terlihat dari Haji Kirman yang memperbolehkan warga lain untuk menggunakan gensetnya. Selain itu warga kampung lain yang sudah teraliri listrik juga tidak pelit ketika warga desa pengarang ingin ikut merasakan listrik. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (327) berikut: (327) Wong-wong sing kepengin ngrasakake aliran listrik kudu gelem melu urunan dhuwit kanggo tuku solar sing digunakake kanggo bahan bakare genset duweke Kaji Kirman. „Orang-orang yang ingi merasakan aliran listrik harus mau ikut iuran uang untuk membeli solar yang digunakan sebagai bahan bakar genset milik Haji Kirman.‟ (OC: 15) 6) Saling percaya Sekali kita berdusta, maka selamanya orang tidak akan percaya. Hal tersebut menunjukkan begitu pentingnya sebuah kepercayaan. Sikap saling percaya terdapat dalam cerkak Telulasan yakni terlihat dari adanya hutang Bu Lastri pada Yu Ngadilah, seperti pada kutipan data (328) berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
159 (328) Sing genah, menawa tanggale tuwa, aku diolehi utang blanjan dhisik neng tokone, lan nggonku menehi yen aku wis diwenehi dhuwit bayarane bojoku. „Yang jelas, apabila tanggal tua, saya diperbolehkan hutang belanja terlebih dahulu di tokonya, dan saya membayar kalau saya sudah diberi uang bayaran suami saya.‟ (T: 55) Dalam hutang tentu diperlukan rasa saling percaya. Yu Ngadilah percaya pada Bu Lastri bahwa apabila sudah ada uang, maka akan segera dibayar hutangnya. Begitu pula dengan Bu Lastri yang sudah diperbolehkan hutang harus bertanggung jawab untuk segera membayar apabila sudah ada uang 7) Rukun dengan tetangga Tetangga merupakan saudara terdekat kita. Hidup rukun tanpa membedakan segala hal perbedaan sangat dianjurkan dalam hidup bermasyarakat. Untuk menciptakan suatu kerukunan tentu dimulai dari diri sendiri untuk selalu berbuat baik terhadap orang lain. Dengan kita berbuat baik dengan orang lain, maka orang lain pun akan berbuat baik pada kita. Perilaku rukun pada tetangga terdapat dalam cerkak Mbah Kakung, tercermin dari sikap Mbah Kakung yang selalu berbuat baik kepada siapapun tetangganya, sehingga ketika terjadi apa-apa dengan Mbah Kakung, tetangganya pun juga bersikap baik pada Mbah Kakung. 8) Kasih sayang Guru adalah orang tua yang ada di sekolah. Maka sudah selayaknya seorang guru memperlakukan siswa seperti halnya memperlakukan anaknya sendiri dengan penuh kasih sayang. Perilaku kasih sayang terlihat dari hubungan antara Bu Retno dan Sukasih. Bu Retno begitu menyanyangi Sukasih karena Sukasih termasuk siswa yang cerdas, sehingga Bu Retno merasa tida rela apabila Sukasih putus sekolah. Bu Retno memberikan nasihat dan motivasi pada Sukasih untuk tetap bersekolah hingga cita-citanya tercapai. Adapun nasihat Bu retno pada Sukasih dapat dilihat dalam kutipan data (329) commit to user berikut:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
160 (329) “Sih, Kasih, yen kowe pancen kepengin dadi guru, dakwarahi ya, rih-rihen wong tuwamu, godhanen supaya aja ngongkon leren sekolahmu. Kowe njaluka sekolah terus, nganti lulus SD. Mengko yen wis lulus, njaluka sekolah nyang SMP. Sawise lulus SMP, sekolah SMA. Lulus SMA, kuliah jurusan PG-SD. „Sih, Kasih, kalau kamu memang ingin menjadi guru, saya ajari ya, mohonlah pada orang tua, goda orang tua supaya jangan meminta untuk berhenti sekolah. Kamu minta sekolah terus, hingga lulus SD. Nanti kalau sudah lulus, mintalah sekolah SMP. Setelah lulus SMP, sekolah SMA. Lulus SMA, kuliah jurusan PG-SD.‟ (N: 93-97) c. Nilai Budaya Nilai budaya yang ditemukan dalam cerkak majalah Jaya Baya yakni: 1) Unggah-ungguh Unggah-ungguh merupakan salah satu ciri khas orang Jawa sebagai
wujud
penghormatan
terhadap
orang
lain.
Cara
menghormatinya orang Jawa tergantung siapa yang menjadi lawan bicara. Berbicara dengan orang tua dan teman sangatlah berbeda. Dalam Jawa dikenal undha usuk¸ yakni penghormatan yang sesuai tingkatan. Ada ragam ngoko dan krama. Ngoko digunakan pada orang yang lebih muda, sedangkan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua menggunakan krama. Nilai budaya unggah-ungguh terlihat dalam cerkak Welingmu melalui sikap Anis dan Faisal kepada orang yang lebih tua, seperti Ibu, Ayah, dan Eyang seperti pada kutipan data (330) dan data (331) berikut: (330) “Anis mangke ndherek teng rumah sakit nggih Bu?” „Anis nanti ikut ke rumah sakit ya Bu?‟ (W: 35) (331) “Artanipun kangge Eyang mawon.” „Uangnya untuk Eyang saja.‟ (W: 89) Keduanya selalu menggunakan bahasa Jawa ragam krama setiap kali berbicara dengan Ibu, Ayah, dan Eyang. Ibu dan Mas Rusli pun demikian, sebagai orang yang lebih muda, mereka selalu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
161 menggunakan bahasa Jawa ragam krama ketika berbicara dengan Eyang. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan data (332) berikut: (332) “Nggih mpun Buk, sare mawon.” „Ya sudah Bu, tidur saja.‟ (W: 152) 2) Tradisi syukuran Syukuran adalah sebuah tradisi dengan mengumpulkan orang banyak untuk melakukam doa bersama. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang telah diterima seseorang. Tradisi syukuran dapat dilihat dari acara yang diadakan oleh Mbak Tari di rumahnya dalam cerkak Sarwa Sujana. Adapun tradisi tersebut dapat dilihat dalam kutipan data (333) berikut: (333) Sing keri dhewe jare Yu Ti, Mbak Tari arep gawe tasyakuran sesuk sore. „Yang paling terakhir ini kata Yu Ti, Mbak Tari akan mengadakan syukuran besok sore.‟ (SS: 109) 3) Nglulu Nglulu adalah istilah dalam bahasa Jawa yang berupa sikap memuji secara berlebihan sebagai bentuk sindiran. Namun seringkali orang merasa tidak peka ketika di-lulu dan justru malah semakin merasa bangga dan tinggi hati. Perilaku nglulu dilakukan oleh tokoh Bu Lastri yang mengetahui Mbak Darsini memiliki watak suka dipuji, seperti pada kutipan data (334) berikut: (334) “Enggih, Yu! Malah yen pabrike empun ageng kados pabrik panggenane ngasta garwane Mbak Darsini niku, mboten namung sagunggunge bayar sewulan, kepara ngantos kaping sekawane bayar saben wulan!” „Iya, Yu! Malah kalau pabriknya sudah besar seperti pabrik tempat kerja suami Mbak Darsini itu, jumlahnya tidak hanya gaji satu bulan, bahkan sampai empat kali lipat dari gaji satu bulan.‟ (T: 90-91) 4) Ilmu kejawen Kejawen adalah hal-hal yang berkaitan dengan Jawa. Pada umumnya, hal-hal yang berkaitan dengan kejawen disalahartikan dengan perbuatan musrik. Agar hal tersebut tidak terjadi, kita harus commit to user tetap memberi pengertian bahwa pada dasarnya semua hari itu baik
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
162 untuk mengadakan hajat, hanya saja perlu disesuaikan antara waktu dan keadaan. Penentuan hari atau petungan sangat identik dengan kejawen karena hal tersebut memang hasil budaya dari orang-orang Jawa. Orang-orang Jawa pada jaman dahulu sangat cermat dan ahli dalam niteni. Mbah Kakung merupakan orang yang paham dan menguasai ilmu kejawen. Hal tersebut dapat dilihat dalam data (335) berikut: (335) Ora mung sepuh yuswane, nanging uga sepuh bab ngelmu kejawen. „Tidak hanya tua umurnya, tetapi juga tua dalam hal ilmu kejawen.‟ (MK: 18) 5) Gembyangan Gembyangan adalah salah satu bentuk tradisi Jawa yang berupa tari gambyong secara masal. Orang-orang Jawa biasa menampilkan tarian gambyong dalam acara-acara tertentu yang bersifat suka cita. Seperti halnya di desa Nglegok, gembyangan dilakukan
setelah
acara
ritual
bersih
desa
sebagai
bentuk
kegembiraan. Adapun tradisi gembyangan dapat dilihat dalam kutipan data (336) berikut: (336) Saben wulan Sura ana ing desa kono dianakake „gembyangan‟ beksan utawa joged gambyong. „Setiap bulan Muharam di desa sana diadakan „gembyangan‟ atau tari gambyong.‟ (N: 46). 6) Ritual bersih desa kenduren Ritual bersih desa kenduren biasa dilakukan oleh masyarakat pada bulan Sura. Sesuai dengan istilah bersih desa, maka tradisi tersebut memuat kegiatan membersihkan desa secara masal. Usai bersih desa dilakukan kenduren di suatu tempat yang disebut pundhen. Kata kenduren berasal dari kata kendhuri yang mendapat akhiran –an. Kendhuri adalah acara memanjatkan doa yang diakhiri dengan makan bersama. Sedangkang kata pundhen berasal dari kata pundhi dan mendapat akhiran –an. Pundhi adalah sesuatu yang diagungkan, commit to user sehingga pundhen merupakan tempat yang diagungkan oleh para
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
163 warga. Pundhen tersebut biasanya berupa sendhang atau sumur besar yang digunakan bersama oleh para warga. Masyarakat menganggap sendhang sebagai tempat yang diagungkan karena masyarakat menyadari bahwa sendhang adalah sumber air. Dan air adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan serta selalu dibutuhkan untuk berbagai aktivitas, baik minum, mandi, mencuci, pengairan, dan lainlain. Tradisi ritual bersih desa kenuren dapat dilihat dalam kutipan data (337) berikut: (337) Sadurunge gembyangan, dianakake upacara ritual adat bersih desa kenduren neng Pundhen Nglegok, nganggo obong-obong menyan barang. „Sebelum penampilan tari gambyong, diadakan upacara rirual bersih desa di Pundhen Nglegok, memakai bakar kemenyan juga.‟ (N: 48) 7) Dimar ublik Dimar ublik merupakan salah satu alat tradisional yang digunakan untuk penerangan. Dimar ublik tersebut biasanya berbentuk botol beling yang didalamnya diisi minyak tanah, kemudian diberi sumbu yang ujung atasnya dibakar dengan menggunakan api. Melalui sumbu minyak tanah pun akan meresap naik ke atas, hingga api bisa bertahan hidup. Dan api kecil tersebut yang menjadi alat penerang para warga desa ketika belum ada listrik. Dimar ublik tetap digunakan oleh Haji Kirman sebagai penerang rumahnya, seperti pada kutipan data (338) berikut: (338) Ing omahe saiki sing sarwa peteng tanpa ana listrik lan mung ngendelake dimar ublik kuwi Mbah Kaji Kirman isih nyempetake maca buku sing disilih saka perpustakaanku. „Di rumahnya sekarang yang serba gelap tanpa ada listrik dan hanya mengandalkan lilin itu Mbah Haji Kirman masih menyempatkan membaca buku yang dipinjam dari perpustakaan saya.‟ (OC: 80) d. Nilai Religius Nilai religius yang dapat dipelajarai dari cerkak majalah Jaya Baya antara lain:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
164 1) Melaksanakan ibadah sunah Ibadah sunah merupakan ibadah yang dilaksanakan oleh umat muslim untuk melengkapi ibadah wajib. Dikatakan sunah memiliki arti apabila ibadah tersebut dilaksanakan akan mendapat pahala, namun apabila tidak dilaksanakan tidak dosa. Salah satu bentuk ibadah sunah adalah shalat tahajud. Shalat tahajud merupakan shalat malam
yang
dilaksanakan
setelah
bangun
tidur.
Biasanya
dilaksanakan pada saat sepertiga malam yang akhir. Nilai religius terdapat dalam cerkak Welingmu yakni dapat dilihat dari perilaku tokoh Faisal yang sering dan rajin melaksanakan shalat tahajud. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan data (339) berikut: (339) “Iya Nang, arep shalat tahajud? takonku marang anakku kang paling sregep shalat bengi kuwi. „Iya Nak, mau shalat tahajud?” tanya saya pada anak saya yang paling rajin shalat malam tersebut.‟ (W: 14) 2) Berdoa kepada Allah Memintalah kepadaku maka aku akan memberikan, begitulah janji Allah. Selain berusaha dan bertawakal, manusia juga wajib berdoa. Berusaha dan berdoa harus seimbang. Berusaha tanpa doa tidak akan berarti. Begitu pula berdoa tanpa berusaha akan sia-sia. Nilai religius berdoa kepada Allah terdapat dalam cerkak Welingmu dan dapat dilihat dari tokoh Ibu yang meminta Faisal untuk berdoa untuk kesembuhan Eyang, seperti pada kutipan data (340) berikut: (340) Ndang shalat, dongakna Eyangmu. „Segera shalat, doakan Eyangmu.‟ (W: 19) Perilaku berdoa kepada Allah juga terdapat dalam cerkak Mbah Kakung. Bentuk berdoa kepada Allah dapat dilihat dari para tetangga yang datang takziyah dan mengirimkan doa pada Mbah Kakung, seperti pada kutipan data (341) berikut: (341) Kabeh padha melu ndonga amrih Mbah Kakung tinampi dening Gusti kang Akarya Gesang. „Semua ikut mendoakan supaya Mbah Kakung diterima oleh commit to user Tuhan yang Maha Pemilik Hidup.‟ (MK: 127)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
165 3) Hanya bergantung pada Allah Pepatah mengatakan apabila kita bersandar pada kursi, ketika kursi tersebut rusak maka kita akan jatuh. Seperti itulah gambaran apabila kita bergantung pada orang lain. Setiap makhluk yang hidup pada akhirnya akan mati, begitu pula manusia pun akan mati. Apabila kita bergantung pada orang lain, dan orang tersebut meninggal maka kita sudah tidak akan berbuat apa-apa. Misal kita bergantung pada orang yang kaya raya, suatu saat orang tersebut jatuh miskin maka kita pun akan menjadi lebih miskin. Maka dari itu sikap hanya bergantug pada Allah dinilai sangatlah penting. Allah adalah Dzat yang abadi. Selama kita hidup, Allah pun akan tetap ada. Nilai religius hanya bergantung pada Allah tercermin dari nasihat Eyang kepada Ibu dalam cerkak Welingmu, seperti pada kutipan data (342) berikut: (342) Bisa urip ora gumantung wong liya, mung gumantung marang Gusti Allah. „Bisa hidup tidak bergantung orang lain, hanya bergantung pada Allah.‟ (W: 172) 4) Segala yang ada di dunia hanyalah titipan Semua yang ada di dunia ini hanyalah titipan, pada akhirnya semua akan kembali kepada pemilik sejatinya yakni Allah. Nyawa yang ada pada jasad manusia adalah milik Allah yang suatu saat akan diambil-Nya kembali. Pada saat kembalinya milik Allah tersebut umat muslim selalu mengucapkan Innalillahi wa innaillaihi raji‟un. Seperti tokoh Mas Rusli yang mengetahui tanda-tanda pada diri Eyang sudah tidak bernafas, berarti Eyang telah meninggal dunia dan nyawanya kembali pada Allah, sehingga Mas Rusli mengucapkan Innalillahi wa innaillaihi raji‟un. Hal tersebut tampak dalam data (343) berikut: (343) “Mas Rusli mung gedheg-gedheg nyemauri pitakonku, ndelehake tangane ana raine Ibu, banjur ngucap Innalillahi wa innalillahi raji‟un. „Mas Rusli hanya menggelengkan kepala dalam menanggapi pertanyaan saya, menempatkan tangannya di wajah Ibu, kemudian mengucapkan Innalillahi wa innalillahi raji‟un. (W: commit to user 165).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
166 5) Yasinan Yasinan adalah istilah Jawa yang merujuk pada kegiata pembacaan surat Yassin dalam Al-Qur‟an. Yasinan sering dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk kirim doa kepada orang yang telah meninggal, berdoa untuk kesembuhan seseorang, atau ada harapan yang ingin dicapai. Dipilihnya surat Yassin karena surat Yassin merupakan salah satu surat yang memiliki banyak keutamaan yang begitu luar biasa. Kegiatan Yasinan terlihat dari acara yang diadakan oleh Mbak Tari, yakni dilakukan bersamaan dengan syukuran. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (344) berikut: (344) Pak Sarip mulai mimpin Yasinan. „Pak Sarip memulai memimpin Yasinan. (SS: 141) 6) Yakin akan kebesaran Allah Allah adalah Dzat yang Maha segala-galanya.Kun fayakun, apa yang terjadi maka terjadilah. Bentuk kebesaran Allah dalam cerkak Mbah Kakung yakni Mbah Kakung yang sembuh dari penyakit stroke dan bisa kembali sehat. Pengarang dan Mbah Kakung pun yakin bahwa yang memberi kesembuhan adalah Allah SWT. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (345) berikut: (345) Wis nate gerah stroke nganti diopname. Awit berkahing Gusti bisa waras meneh. „Sudah pernah sakit stroke hingga diopname. Karena berkah Tuhan bisa sehat kembali.‟ (MK: 19-20) 7) Tawakal Manusia berusaha dan Allah yang menentukan. Seperti halnya hujan deras yang mengguyur acara syukuran Mbah Kakung, padahal Mbah Kakung adalah orang yang biasa dimintai tolong orang untuk menghindarkan hujan dalam setiap acara hajat. Mbah Kakung menyerahkan segala yang terjadi pada Allah semata, setidaknya beliau sudah menyiapkan tratag agar para tamu undangan tidak kehujanan. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (346) berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
167 (346) “Aku pancen amung pasrah wae, nanging aku rak wis nyawisi tratag kanggo para tamu amrih ora kudanan,” wangsulane Mbah Kakung karo mesem kebak kawicaksanan. „Saya memang hanya pasrah sja, tetapi saya kan sudah menyiapkan tratag untuk para tamu supaya tidak kehujanan, jawab Mbah Kakung sambil tersenyum penuh kebijaksanaan.‟ (MK: 42-43) 8) Khusnul khatimah Di dalam islam dikenal istilah khusnul khatimah, yakni meninggalnya orang-orang yang dicintai Allah. Janji Allah adalah surga bagi hamba-hamba yang meninggal dalam keadaan khusnul khatimah. Mbah Kakung meninggal secara khusnul khatimah. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan data (347) berikut: (347) Pasuryane Mbah Kakung nuduhake kalamun anggone tinimbalan kanthi tentrem tenan. Yen sinawang pasuryan sepuh kuwi katon luwih enom tinimbang yuswane. Ana esem tipis kang ngrenggani pasuryane. „Raut wajah Mbah Kakung menunjukkan bahwa beliau meninggal secara tentram. Kalu dilihat wajah tua tersebut terlihat lebih muda daripada usianya. Ada senyum tipis yang menghiasi raut wajhnya.‟ (MK: 110-112) 9) Restu Allah berada pada restu orang tua dan guru. Allah menempatkan orang tua pada derajat yang tinggi sehingga ridha atau restu Allah tergantung pada ridha orang tua. Apabila orang tua memberi restu, maka Allah pun akan merestui dan memudahkan jalan seseorang. Begitu sebaliknya. Nilai religius mengenai restu Allah tergantung pada restu orang tua dan guru terdapat dalam cerkak Nglegok. Atas restu orang tua dan Bu Retno, Sukasih mampu meraih cita-citanya untuk menjadi seorang guru. Padahal sebelumnya untuk bersekolah saja seakan mustahil, tapi karena orang tua dan guru telah merestui maka Allah memberikan jalan. Adapun nilai religius mengenai restu Allah tergantung restu guru dapat dilihat dalam kutipan data (348) berikut: (348) “Pikantuk pangestunipun Ibu, kula kasil dipun angkat dados guru.” commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
168 „Atas restu dari Ibu, saya berhasil diangkat menjadi guru.‟ (N: 132) 10) Yakin bahwa apapun yang terjadi ada yang mengatur Segala yang terjadi di alam semesta telah diatur oleh Allah SWT. Seperti halnya pengarang yang ditempatkan di desa yang belum dialiri listrik tersebut juga merupakan kehendak Allah, sehingga harus dijalani secara ikhlas. Hal tersebut tampak dalam data (349) berikut: (349) Apa maneh menawa garising urip kang nggawa jangkahku tumekane ana ing kampung iki. „Apalagi memang takdir yang membawa langkah saya sampai di desa ini.‟ (OC: 19) 11) Ibadah Haji Ibadah haji merupakan salah satu rukun islam. Orang yang sudah melaksanakan ibadah haji di kota Mekkah biasanya disapa dengan panggilan Haji baru diikuti nama. Sapaan Haji ditujukan pada Haji Kirman. Pengarang selalu menyebut nama Mbah Kirman selalu disertai dengan Haji, Mbah Haji Kirman. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (350) berikut: (350) Untunge ing desaku isih ana pawongan kaya Kaji Kirman dheweke ora gelem masang listrik. „Beruntung di desa saya masih ada orang seperti Haji Kirman beliau tidak mau memasang listrik.‟ (OC: 76) 12) Bersyukur atas nikmat Allah Barang siapa yang mensyukuri nikmatku, maka akan aku tambah. Begitulan janji Allah. Perilaku bersyukur terlihat dari sikap pengarang yang bersyukur karena telah diberikan pendamping hidup berhati malaikat. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (351) berikut: (351) Lan aku ngucapake rasa syukur kang gedhe banget tumrap Kang Maha Kuwasa amarga wis ngirim kenya kang nduweni ati kayadene widadari kanggo ngisi lan ngancani uripku. „Dan saya mengucapkan rasa syukur yang begitu besar kepada Yang Maha Kuasa karena telah mengirinkan gadis yang memilki hati seperti bidadari untuk mengisi dan menemani commit hidup saya.‟ (OC: 49) to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
169 13) Ada alam kubur setelah dunia Setiap manusia akan mengalami empat alam, yakni alam kandungan, alam dunia, alam kubur, dan alam kubur. Setelah dari alam kandungan, manusia merasakan hidup di alam dunia. Setelah hidup di alam dunia, manusia akan mati dan berada di alam kubur. Keadaan manusia di alam kubur sesuai dengan amal yang dilakukannya di dunia. Apabila banyak beramal baik, maka kuburnya pun akan lapang dan terang. Begitu sebaliknya. Seperti pengarang yang percaya akan adanya cahaya di alam kubur. Ia berharap semoga segala kebaikan Haji Kirman mampu menjadi penerang di alam kubur. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (352) berikut: (352) Lan muga-muga ing alam kana dalane Mbah Kaji Kirman mau tansah pinaringan padhang. Lan cahya sing disimpen nalika uripe ing alam donya muga-muga saiki bisa digunakake kanggo madhangi dalan-dalane. „Dan semoga di alam sana jalan Mbah Haji Kirman tadi selalu diberi jalan terang. Dan cahaya yang disimpan ketika hidupnya di dunia semoga sekarang bisa digunakan untuk menerangi jalan-jalannya.‟ (OC: 88-89) 3. Relevansi Cerkak dalam Majalah Jaya Baya sebagai Bahan Ajar Apresiasi Sastra Jawa di Sekolah Menengah Atas Pelaksanaan kegiatan pembelajaran mengacu pada kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah. Di dalam kurikulum 2013 Muatan Lokal Bahasa Jawa SMA/SMALB/SMK/MA/MAK Provinsi Jawa Tengah pada tingkat X semester gasal, terdapat kompetensi dasar yang berkaitan dengan apresiasi sastra Jawa cerkak yaitu 3.2 menelaah crita cekak. Kegiatan pembelajaran dalam kurikulum 2013 menggunakan pendekatan saintifik. Pendekatan saintifik meliputi kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan. Sehingga dalam kegiatan pembelajaran apresiasi sastra Jawa dengan kompetensi dasar menelaah cerkak juga
menggunakan
pendekatan
saintifik.
Berikut
langkah-langkah
pembelajaran menelaah cerkak dengan menggunakan bahan ajar cerkak commit to user majalah Jaya Baya:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
170 a. Guru membentuk siswa dalam beberapa kelompok yang terdiri dari 5-6 siswa secara heterogen. b. Guru membagikan fotokopian cerkak majalah Jaya Baya pada masingmasing kelompok. c. Di dalam kegiatan mengamati, siswa dalam kelompok diminta untuk membaca dan mencermati cerkak majalah Jaya Baya. d. Kegiatan mengumpulkan informasi meliputi kegiatan mengidentifikasi unsur intrinsik dan nilai pendidikan yang terkandung dalam cerkak majalah Jaya Baya. e. Di dalam kegiatan menanya, guru menanyakan pada siswa mengenai nilai-nilai positif apa saja yang ditemukan dalam cerkak majalah Jaya Baya. f. Di dalam kegiatan mengasosiasi, siswa diminta untuk mengaitkan nilainilai yang terkandung dalam cerkak dengan kehidupan sehari-hari. g. Kegiatan terakhir yakni mengkomunikasikan, guru meminta beberapa kelompok siswa untuk mempresentasikan hasil kerja kelompok secara lisan di depan kelas. Kelompok lain memberikan tanggapan. Melalui kegiatan mencermati dan mengidentifikasi cerkak majalah Jaya Baya, siswa akan berusaha menemukan perilaku-perilaku positif atau nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam cerkak. Setelah menemukan nilainilai positif, siswa mengaitkan nilai-nilai tersebut dengan kehidupan seharihari. Di dalam kegiatan mengaitkan nilai-nilai cerkak dengan kehidupan sehari-hari, maka siswa akan mendeskripsikan keterkaitan tersebut dengan kehidupan sehari-hari yang mereka ketahui atau mereka alami. Dengan demikian, secara tidak langsung siswa akan paham mengenai dampak baik dari nilai-nilai positif tersebut. Siswa akan memiliki keinginan untuk mencontoh atau melakukan perilaku yang termasuk dalam nilai-nilai positif tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pada tingkat X SMA semester gasal juga terdapat kompetensi dasar menulis cerkak. Sehingga cerkak dalam majalah Jaya Baya juga dapat commit to user dasar menulis cerkak. Berikut digunakan sebagai bahan ajar kompetensi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
171 langkah-langkah pembelajaran menulis cerkak dengan menggunakan bahan ajar cerkak dalam majalah Jaya Baya: a. Di dalam kegiatan mengamati, siswa diminta untuk mencermati isi cerkak majalah Jaya Baya. b. Di dalam kegiatan menanya, guru bertanya pada siswa mengenai perilaku apa saja yang dapat diteladani yang terdapat dalam cerkak majalah Jaya Baya. c. Di dalam kegiatan mengasosiasi, siswa diminta untuk mengaitkan perilaku positif dalam cerkak dengan kehidupan sehari-hari. d. Di dalam kegiatan mengumpulkan informasi, siswa diminta untuk menuliskan pokok-pokok cerita dari cerkak majalah Jaya Baya. e. Pada kegiatan terakhir yakni mengkomunikasikan, siswa diminta untuk menuliskan sinopsis cerkak dengan menggunakan bahasa sendiri. Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam cerkak majalah Jaya Baya edisi Agustus − Oktober 2014 bersifat kontinyu. Maksudnya, nilai-nilai pendidikan tersebut tidak hanya berkaitan dengan kehidupan siswa sekarang, tetapi juga kehidupan di masa yang akan datang. Secara umum, siklus manusia setelah lulus SMA adalah bekerja, setelah bekerja kemudian membangun sebuah keluarga dan membaur dengan masyarakat. Cerkak yang terdapat dalam majalah Jaya Baya banyak mengandung ajaran atau tata cara bersosial di masyarakat, sikap tanggung jawab terhadap pekerjaan, dan cara berperan dalam keluarga. Ajaran yang disampaikan oleh pengarang tidak hanya mengenai urusan dunia, tetapi juga urusan akhirat yang pada kenyataannya sering dilupakan oleh banyak orang. Pada akhirnya semua manusia akan meninggal, menjalani hidup di alam kubur, kemudian hidup di alam akhirat yang kekal. Oleh karena itu, siswa akan belajar mengenai nilainilai kehidupan. Berkaitan dengan upaya pemilihan bahan ajar, Ismawati (2013: 35) menyebutkan ada tiga hal yang harus diperhatikan, yakni: a.
Materi harus spesifik, jelas, akurat, mutakhir commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
172 b.
Materi harus bermakna, otentik, terpadu, berfungsi, kontekstual, komunikatif
c.
Materi
harus
mencerminkan
kebhinekaan
dan
kebersamaan,
pengembangan budaya ipteks, dan pengembangan kecerdasan berpikir, kehalusan perasaan, kesantunan sosial. Cerkak-cerkak dalam majalah Jaya Baya edisi Agustus − Oktober 2014 bersifat spesifik, jelas, akurat, dan mutakhir. Spesifik dari segi penyajian cerita. Cerkak-cerkak tersebut tidak terlalu panjang, hanya terdiri dari 93-172 kalimat. Dengan bentuk cerita yang dinilai cukup pendek berarti para pengarang hanya memunculkan bagian-bagian peristiwa cerita yang dirasa penting dan perlu untuk disampaikan pada para pembaca. Meski hanya terdiri dari 93-172 kalimat, para pengarang cerkak-cerkak majalah Jaya Baya mampu memunculkan unsur-unsur intrinsik secara jelas. Keakuratan cerita terlihat dari latar-latar tempat dalam cerita serta budaya atau tradisi yang ada pada tempat tersebut. Di dalam cerkak dipaparkan bahwa daerah timuran terdapat tradisi gembyangan, bersih desa kenduren, masyarakat masih sangat percaya dengan dukun, ritual babi ngepet, dan petungan. Hal tersebut sesuai dengan kenyataan bahwa masyarakat Jawa timuran masih kental dengan halhal demikian. Mutakhir berarti baru, cerkak majalah Jaya Baya edisi Agustus − Oktober 2014 masih tergolong baru, karena terbit pada pertengahan hingga akhir tahun 2014. Cerkak majalah Jaya Baya edisi Agustus − Oktober 2014 mengandung amanat, pesan moral dan nilai-nilai pendidikan yang bermanfaat, sehingga cerkak-cerkak tersebut dapat dikatakan bermakna. Cerkak majalah Jaya Baya juga bersifat otentik karena benar-benar berupa karya cipta sastra. Keterpaduan cerita terlihat dari jalinan antarunsur-unsur intrinsik maupun hubungan antarnilai-nilai pendidikan. Sesuai dengan fungsi sastra yakni indah dan bermanfaat, cerkak majalah Jaya Baya merupakan cerkak-cerkak yang indah dan bermanfaat. Indah dari segi penyajian cerita mengenai kehidupan sehari-hari masyarakat dalam alur yang runtut. Dan commit to user bermanfaat dari segi nilai-nilai pendidikan yang dipaparkan. Hal tersebut
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
173 menunjukkan bahwa cerkak-cerkak majalah Jaya Baya memenuhi kriteria berfungsi. Cerkak dalam majalah Jaya Baya bersifat kontekstual karena gambaran cerita sesuai dengan kenyataan. Segala peristiwa bersifat masuk akal dan dapat diterima oleh nalar manusia. Pembaca mampu mengkonstruksi imajinasi atau fikirannya dan seolah-olah melihat langsung peristiwaperistiwa dalam cerita. Komunikatif berarti ada kesesuaian antara maksud yang ingin disampaikan oleh pengarang dengan maksud yang dipahami atau diterima oleh pembaca. Isi cerita cerkak-cerkak majalah Jaya Baya mudah dipahami, sehingga para pembaca juga mudah dalam memahami maksud pengarang. Melalui kegiatan wawancara, Ibu Wahyu Setiyaningsih, S.Pd. menyatakan bahwa isi cerkak majalah Jaya Baya edisi Agustus − Oktober 2014 mudah dipahami. Di dalam cerkak majalah Jaya Baya tidak terdapat perbedaan suku, ras, atau adat istiadat. Ada beberapa cerita yang mengangkat tradisi suatu daerah atau menonjolkan agama islam. Namun penggambaran agama islam tersebut tanpa ada maksud membandingkan dengan agama lain. Masyarakat Jawa mayoritas menganut agama islam, sehingga cerkak majalah Jaya Baya tersebut masih bersifat umum. Cerkak yang terdapat dalam majalah Jaya Baya merupakan cerita yang berkaitan dengan tradisi dan budaya Jawa, sehingga aspek pengembangan budaya ipteks tidak terlalu menonjol. Tema cerita disampaikan secara implisit, pelukisan watak para tokoh juga lebih banyak menggunakan teknik dramatik. Hal tersebut menuntut siswa untuk berfikir aktif, sehingga kecerdasan berfikir siswa akan berkembang. Dari segi kehalusan perasaan dan kesantunan sosial, cerkak-cerkak majalah Jaya Baya banyak memunculkan nilai-nilai pendidikan yang berkaitan dengan pembentukan karakter siswa serta pengetahuan tentang tata cara bersosial dengan orang lain dan masyarakat. Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa cerkak dalam majalah Jaya Baya edisi Agustus − Oktober 2014 memenuhi kriteria commit to user pemilihan bahan ajar dan dapat digunakan sebagai bahan ajar apresiasi sastra
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
174 Jawa di sekolah. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Ibu Nanik Suyatmi, S.Pd. dan Ibu Wahyu Setiyaningsih, S.Pd. yang menyatakan bahwa cerkak dalam majalah Jaya Baya dapat digunakan sebagai bahan ajar di sekolah.
C. Pembahasan 1. Unsur Intrinsik Cerkak Majalah Jaya Baya Unsur intrinsik cerkak dalam majalah Jaya Baya meliputi tema, alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan amanat. Berikut pemaparan unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam cerkak majalah Jaya Baya edisi Agustus − Oktober 2014: a.
Tema Tema adalah gambaran isi cerita secara umum. Para pengarang
cerkak majalah Jaya Baya mengangkat cerita yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat desa dengan fokus perbuatan baik maupun buruk yang disertai dengan akibat dari perbuatan tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa tema cerkak dalam majalah Jaya Baya berkaitan dengan ajaran atau dalam bahasa Jawa sering disebut dengan istilah pitutur. Melalui cerkak yang memuat tema ajaran tersebut, para pembaca akan lebih paham tentang perbuatan baik yang harus dilakukan dan perbuatan buruk yang harus dijauhi. Berdasarkan segi dikhotomis, mayoritas cerkak majalah Jaya Baya mengandung tema tradisional. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar pengarang atau masyarakat Jawa masih berpedoman teguh pada pepatah sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti „orang yang hebat namun berperilaku buruk, akan kalah dengan orang yang berperilaku baik‟. Dari keenam cerkak yang dikaji, lima cerkak diantaranya memuat tema tradisional. Lima cerkak tersebut antara lain Welingmu, Sarwa Sujana, Telulasan, Mbah Kakung, dan Nglegok. Sedangkan satu cerkak yang berjudul Oncating Cahya memuat tema nontradisional. Hal tersebut dikarenakan kebanyakan orang memiliki anggapan bahwa seseorang akan merasa bahagia commit to user dengan harta yang melimpah, namun dalam cerkak Oncating Cahya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
175 ditunjukkan bahwa para tokoh merasakan bahagia hanya karena hal-hal yang bersifat sederhana. Senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Uniawati (2011) dengan judul Cerpen Tiurmaida: Kajian Struktural Tzvetan Todorov. Di dalam penelitian tersebut, Uniawati memaparkan tokoh Tiurmaida yang merasa bahagia meski hidup dalam keterbatasan. Tiurmaida meninggalkan keluarganya kemudian memilih hidup bersama Marsius dengan segala keterbatasan, tetapi penuh cinta. Walau hidup dalam kondisi pas-pasan, tetapi ketika hati diliputi oleh rasa cinta, maka hidup akan dapat dilalui dengan lapang.
b. Alur Alur adalah urutan peristiwa yang terdapat dalam sebuah cerita. Berdasarkan urutan waktu, alur dibagi menjadi tiga yaitu alur maju, alur mundur dan alur gabungan (alur maju dan alur mundur). Keenam cerkak dalam majalah Jaya Baya menggunakan alur maju. Peristiwa masing-masing cerkak dipaparkan secara kronologis mulai dari tahap penggambaran situasi dan pengenalan para tokoh hingga tahap penyelesaian. Kelima tahapan alur tersebut disajikan secara lengkap oleh pengarang dalam masing-masing cerkak. Penyelesaian cerita beraneka ragam, ada yang bersifat happy ending (cerita berakhir dengan bahagia) dan ada juga yang bersifat sad ending (cerita berakhir dengan kesedihan). Penyelesaian yang bersifat happy ending terdapat dalam cerkak Nglegok dan Oncating Cahya. Sedangkan cerkak Welingmu,
Sarwa
Sujana,
Telulasan,
dan
Mbah
Kakung
memuat
penyelesaian cerita yang bersifat sad ending.
c.
Tokoh dan Penokohan Tokoh mengacu pada subjek atau orang yang bertindak dalam cerita.
Di dalam cerkak majalah Jaya Baya, jumlah tokoh utama lebih sedikit daripada tokoh tambahan. Keenam cerkak memunculkan para tokoh sebagai masyarakat Jawa yang hidup dalam lingkungan pedesaan. Beberapa cerkak user orang Jawa yang berpedoman memunculkan tokoh dengan commit disertaitokarakter
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
176 pada prinsip sepi ing pamrih, rame ing gawe „membantu tanpa mengharap imbalan‟ dimunculkan oleh pengarang. Di dalam cerkak Mbah Kakung, masyarakat saling gotong royong dalam membantu keluarga Mbah Kakung yang sedang berduka. Masyarakat melakukan hal tersebut secara ikhlas tanpa imbalan, karena nilai sosial masyarakat pedesaan memang dinilai masih tinggi. Tokoh Mayang dalam cerkak Oncating Cahya menyampaikan ilmu yang dimilikinya pada remaja desa yang putus sekolah. Hal tersebut dilakukan karena adanya rasa peduli, bukan karena ingin dipuji atau digaji. Kemudian
tokoh
pengarang
dalam
cerkak
Oncating
Cahya,
rela
mengeluarkan uang pribadi untuk ikut iuran membeli solar genset milik Mbah Haji Kirman agar bisa ikut menggunakan listrik. Hal tersebut dilakukan pengarang secara ikhlas. Pengarang juga tidak menarik biaya bagi para pengunjung perpustakaannya. Pengarang sudah merasa senang ketika melihat warganya mau membaca buku. Senada dengan penelitian Huda (2013) yang menyatakan bahwa kehidupan pedesaan masih menjanjikan kedamaian yang tulus tanpa pamrih. Lingkungan pedesaan senantiasa mengutamakan keharmonisan dan keselarasan makhluk dengan dunia sekitarnya. Penokohan mengacu pada watak atau sifat dari tokoh dalam cerita. Watak para tokoh dimunculkan oleh pengarang melalui tiga dimensi, yaitu dimensi fisik, dimensi psikis, dan dimensi sosial. Dimensi fisik memuat ciriciri fisik, penyakit, keadaan para tokoh, dan lain-lain. Pengarang cerkak Welingmu dan Nglegok memunculkan dimensi fisik para tokoh secara langsung. Sedangkan dalam cerkak Sarwa Sujana, Telulasan, Mbah Kakung, dan Oncating Cahya, dimensi fisik para tokoh bersifat implisit. Keadaan fisik para tokoh dapat diketahui dari sapaan tokoh lain dan latar belakang kehidupan tokoh. Dimensi psikis menunjukkan watak baik dan buruk dari para tokoh, seperti baik, penyabar, bijaksana, sombong, dan lain-lain. Pengarang menyampaikan watak tokoh-tokoh cerita secara langsung (ekspositori) dan tidak langsung (dramatik). Penyampaian dimensi psikis secara langsung (ekspositori) berarti watakcommit tokohto user bersifat eksplisit atau pengarang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
177 menyampaikan watak tersebut dalam bentuk deskripsi langsung. Sedangkan penyampaian dimensi psikis secara tidak langsung (dramatik) berarti watak para tokoh bersifat implisit atau dapat diketahui dari interaksi yang dilakukan oleh tokoh dengan tokoh lain. Penyampaian watak tokoh dari keenam cerkak secara tidak langsung pun bersifat variasi, mulai dari teknik cakapan, tingkah laku, pikiran dan perasaan, arus kesadaran, reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, pelukisan latar, dan teknik pelukisan fisik. Mayoritas watak tokoh dapat diketahui dari percakapannya dengan tokoh lain dan tingkah laku yang dilakukan oleh tokoh. Sehingga teknik cakapan dan tingkah lakulah yang paling banyak digunakan oleh pengarang. Dimensi sosial meliputi pekerjaan, kelas sosial, latar belakang kekayaan, pangkat, dan jabatan dari para tokoh. Dimensi sosial dari keenam cerkak antara lain profesi sebagai guru, kepala sekolah, tukang kebun sekolah, karyawan kantor, karyawan pabrik, penulis, pembantu, pedagang, dan pegawai Dikpora. Kemudian jabatan di daerah yakni sebagai ustadz, sesepuh desa yang ahli ilmu kejawen, pengurus organisasi desa, dan lain-lain.
d. Latar Latar cerkak majalah Jaya Baya terdiri dari latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat yang digunakan keenam cerkak mayoritas adalah lingkungan pedesaan masyarakat Jawa Timuran. Hal tersebut dapat diketahui dari munculnya kata-kata khas dari percakapan para tokoh seperti megawe, bae, sueru, mari, dan je. Dialek dapat menunjukkan latar tempat dari suatu cerita. Senada dengan penelitian Uniawati (2011) yang menjelaskan di dalam cerita objek kajiannya terdapat kata-kata khas seperti marlojong, mangidolong, abit partanding, dan datu. Berdasarkan kata-kata khas tersebut dapat diketahui bahwa tempat yang menjadi latar cerita adalah Sumatra Utara. Selain dialek, latar tempat dapat diketahui dari adat dan tradisi daerah. Tledhek dan gembyangan merupakan salah satu tradisi Jawa Timur. Latar waktu meliputi keterangan kapan terjadinya suatu peristiwa to user latar waktu lebih dari satu hari dalam cerita. Keenam cerkakcommit menggunakan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
178 yakni antara satu minggu hingga lima belas tahun. Latar waktu yang digunakan oleh pengarang mayoritas bersifat implisit, sehingga latar waktu tersebut dapat diketahui berdasarkan pemahaman masing-masing pembaca. Pemunculan latar waktu secara eksplisit sangat sedikit, yakni dalam cerkak Mbah Kakung tertulis hari Jum‟at Wage, waktu ketika Mbah Kakung menghadiri rapat di kantor PWRI. Di dalam cerkak Nglegok juga terdapat satu latar waktu yang dimunculkan secara eksplisit, yakni bulan Sura atau Muharram sebagai keterangan waktu ketika diadakannya tradisi gembyangan dan upacara ritual bersih desa. Latar sosial meliputi kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain. Latar sosial dari keenam cerkak mayoritas merupakan masyarakat muslim. Hal tersebut dapat diketahui dari aktivitas tokoh dalam melaksanakan shalat tahajud, pengucapan kalimat istirja‟, diadakannya acara yassinan, adanya sapaan Haji, buku bacaan islam, dan lain-lain. Di dalam cerkak Sarwa Sujana dimunculkan latar sosial masyarakat yang masih memiliki keyakinan adanya dukun dan pesugihan babi ngepet. Kemudian dalam cerkak Mbah Kakung, ditunjukkan bahwa masyarakat masih sangat kental dengan tradisi petungan. Masyarakat dalam cerkak Nglegok masih memiliki pandangan hidup bahwa anak perempuan apabila sudah berusia lima belas tahun harus segera dinikahkan atau akan dijuluki sebagai perawan lapuk. Hal tersebut menunjukkan belum adanya kesetaraan gender. Perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam hal pendidikan dan pekerjaan.
e.
Sudut Pandang Sudut pandang merupakan posisi diri pengarang dalam cerita. Sudut
pandang menunjukkan cara sebuah cerita dikisahkan. Sebagian besar pengarang cerkak majalah Jaya Baya menggunakan sudut pandang orang pertama. Empat cerkak menggunakan sudut pandang orang pertama “aku” sebagai tokoh utama. Cerkak tersebut antara lain cerkak Welingmu, Sarwa commitCahya. to user Sedangkan cerkak dengan judul Sujana, Telulasan, dan Oncating
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
179 Mbah Kakung menggunakan sudut pandang orang pertama “aku” sebagai tokoh tambahan. Cerkak tersebut termasuk dalam jenis sudut pandang orang pertama “aku” sebagai tokoh tambahan karena posisi pengarang di dalam cerita hanya sebagai tokoh tambahan. Pusat pengisahan cerita bukan berada pada kisah pengarang sendiri, melainkan lebih berfokus pada kisah tokoh Mbah Kakung. Cerkak Nglegok menggunakan sudut pandang orang ketiga “dia” mahatahu. Maksud dari keenam cerkak tetap dapat dipahami secara baik oleh pembaca meski dengan menggunakan sudut pandang orang pertama maupun sudut pandang orang ketiga.
f.
Amanat Amanat merupakan pesan yang disampaikan oleh pengarang kepada
pembaca melalui cerita. Beberapa cerkak menyampaikan amanat yang berkaitan dengan perilaku berbakti, baik berbaktinya seorang anak pada orang tua maupun berbaktinya seorang istri pada suami. Perilaku berbakti pada orang tua terdapat pada cerkak Welingmu melalui tokoh Faisal dan Anis serta tokoh pengarang dan Mas Rusli. Di dalam cerkak Mbah Kakung, perilaku berbakti pada orang tua dimunculkan melalui tokoh Mas Puji, Mbak Asih, Mas Tri, dan Mas Waskitha. Kemudian dalam cerkak Nglegok perilaku berbakti pada orang tua dapat dilihat dari tokoh Sukasih. Sedangkan perilaku berbakti pada suami terdapat dalam cerkak Welingmu melalui tokoh pengarang kepada Mas Rusli. Di dalam cerkak Telulasan terlihat dari perilaku Bu Lastri kepada suaminya dan di dalam cerkak Oncating Cahya terlihat dari sikap Mayang kepada pengarang. Hampir semua cerkak mengandung amanat mengenai perilaku berbakti. Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya perilaku berbakti. Amanat mengenai hubungan seseorang dengan orang lain yakni menghargai pemberian orang lain dan peduli terhadap sesama. Perilaku menghargai pemberian orang lain terdapat dalam cerkak Sarwa Sujana melalui tokoh Sri atau pengarang. Sedangkan perilaku peduli terhadap sesama commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
180 dapat dilihat dari tindakan yang dilakukan tokok Mayang dalam cerkak Oncating Cahya. Amanat mengenai hubungan manusia dengan Tuhan juga banyak disampaikan pengarang dalam cerkak. Perilaku tersebut berupa sikap hanya bergantung pada Tuhan pada cerkak Welingmu, yakin akan kebesaran Tuhan dalam cerkak Mbah Kakung, dan percaya takdir Tuhan dalam cerkak Oncating Cahya. Hal tersebut disampaikan oleh pengarang karena pada dasarnya semua yang terjadi di dunia atas kehendak Tuhan. Maka dari itu, hal tersebut penting untuk dipahami agar manusia lebih berhati-hati dalam mengambil tindakan. Pengarang juga menyampaikan amanat yang berkaitan dengan diri sendiri. Amanat tersebut antara lain bijaksana, tanggung jawab, sabar, syukur, dan ikhlas. Melalui amanat yang disampaikan pengarang melalui cerita, diharap pembaca setidaknya paham mengenai perilaku-perilaku tersebut. Perilaku tersebut merupakan perilaku baik dan dapat diteladani. Akan lebih baik apabila sikap tersebut diaplikasikan pembaca dalam kehidupan seharihari.
2. Nilai-nilai Pendidikan Cerkak Majalah Jaya Baya Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang mengandung nilai pendidikan. Senada dengan penelitian Kurniawan (2014) yang menyatakan bahwa karya yang bermutu tidak sebatas manis dinikmati dan dikisahkan kembali. Karya yang bermutu harus mampu menyumbangkan renunganrenungan yang bermakna bagi kehidupan, nilai-nilai tertentu sebagai paduan falsafah dan estetika dari kesadaran kreativitas. Nilai pendidikan dalam karya sastra antara lain nilai moral, nilai sosial, nilai budaya, dan nilai religius. Hal tersebut senada dengan penelitian Hepola (2014) yang menyatakan bahwa dalam karya sastra novel, cerita pendek, puisi, karya fiksi lainnya mengandung kebenaran yang berarti mengenai wawasan penting dari kehidupan nyata seperti moralitas, psikologi, masyarakat, agama, kecantikan, commit to user dalam cerkak lambat laun akan cinta, dan budaya. Nilai-nilai pendidikan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
181 dapat berpengaruh terhadap karakter yang baik pada diri siswa. Berikut nilainilai pendidikan yang terdapat dalam cerkak majalah Jaya Baya edisi Agustus − Oktober 2014: a. Nilai moral Nilai moral merupakan nilai yang berkaitan dengan sikap baik dan buruk dari seseorang. Nilai moral paling banyak ditemukan dalam cerkak Welingmu dan Mbah Kakung. Nilai moral yang terdapat dalam cerkak majalah Jaya Baya antara lain berbakti, sederhana, bijaksana, tanggung jawab, pantang menyerah, sabar, dan ikhlas. Berbakti pada orang tua hukumnya wajib „ainiy atau mutlak. Orang tua telah merawat dan membesarkan seorang anak secara tulus tanpa pamrih, maka sudah sepantasnya anak membalasnya dengan cara berbakti dan memuliakan. Allah menempatkan orang tua pada derajat yang tinggi. Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua. Ketika orang tua meridhai kehendak anak seorang, maka Allah pun akan meridhai dan memudahkan jalan anak tersebut. Begitu sebaliknya. Sederhana
berarti
apa
adanya
dan
tidak
berlebihan.
Kesederhanaan akan menjadikan seseorang lebih bersahaja. Dengan hidup secara sederhana, seseorang lebih bisa memaknai hidup, hingga akan menumbuhkan sikap bijaksana. Orang yang bijaksana akan selalu menyadari bahwa dalam ia hidup ia pasti memiliki tujuan atau impian. Untuk dapat menggapai mimpi tersebut, maka seseorang harus berjuang dan pantang menyerah. Berjuang harus dilakukan secara sabar. Manusia hanya mampu berusaha dan berdoa. Bagaimanapun hasilnya Allahlah yang berhak menentukan. Oleh karena itu seseorang harus mampu bersikap ikhlas menerima apapun hasil yang diperoleh. Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Semua nilai moral di atas merupakan nilai yang positif dan patut diteladani karena pada dasarnya siswa merupakan individu berhati nurani yang memiliki hasrat untuk selalu berbuat baik.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
182 b. Nilai sosial Nilai sosial merupakan nilai yang berkaitan dengan interaksi sosial antarmanusia. Nilai sosial paling banyak ditemukan dalam cerkak Welingmu dan Oncating Cahya. Nilai sosial yang terdapat dalam cerkak majalah Jaya Baya antara lain saling menghoramti dan menghargai, saling memahami, peduli, membantu orang lain, dan kerja sama. Sebagai makhlauk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri dan pasti membutuhkan orang lain. Agar tercipta hubungan yang harmonis diperlukan sikap saling menghoramti dan menghargai. Menghormati yang lebih tua dan menghargai yang lebih muda. Selain menghomati dan menghargai, diperlukan juga sikap saling memahami. Dengan memahami keadaan orang lain, maka seseorang akan mampu mengambil sikap bagaimana ia akan berbuat. Tidak semua orang berada dalam keadaan yang tercukupi, maka dari itu diperlukan sikap peduli. Kepedulian seseorang akan sangat bermanfaat bagi orang lain. Peduli sama halnya dengan membantu orang lain. Sikap kerja sama juga merupakan hal yang penting. Dengan kerja sama, maka beban yang ditanggung akan terasa ringan. Pepatah mengatakan „berat sama dipikul, ringan sama dijinjing‟. Semua nilai sosial yang dipaparkan di atas penting untuk diajarkan pada siswa, karena siswa hidup dalam lingkungan masyarakat. Sehingga siswa akan berinteraksi dengan orang lain.
c. Nilai budaya Nilai budaya merupakan nilai yang berkaitan dengan akal atau pikiran. Keenam cerkak dalam majalah Jaya Baya memunculkan nilai budaya yang berbeda-beda. Nilai budaya tersebut antara lain unggahungguh, petungan, gembyangan, ritual bersih desa dan tradisi syukuran. Unggah-ungguh atau undha usuk merupakan tingkatan tutur dalam bahasa Jawa. Secara garis besar, unggah-ungguh bahasa Jawa terdiri atas ragam krama dan ragam ngoko. Krama digunakan ketika lawan bicara to user merupakan orang yang commit lebih tua. Sedangkan ngoko digunakan apabila
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
183 usia lawan bicara sepadan atau lebih muda. Sehingga lawan bicara menentukan bagaimana seseorang harus berbicara dengan ragam krama atau ngoko. Budaya Jawa sering dipertentangkan dengan agama, padahal budaya dan agama memiliki ranah masing-masing. Salah satu budaya Jawa yang dipermasalahkan yakni perihal petungan atau primbon. Sebagian
masyarakat
menganggap
bahwa
petungan
merupakan
perbuatan musrik. Masyarakat Jawa paham bahwa pada dasarnya semua hari adalah baik. Masyarakat Jawa pada zaman dahulu sangat ahli dalam hal niteni atau mengamati. Proses niteni tersebut tidak hanya berlangsung dalam jangka waktu satu tahun dua tahun, tetapi dalam waktu yang begitu lama. Dari hasil niteni tersebut kemudian disimpulkan dan diajarkan secara turun menurun pada anak cucu. Hingga masih digunakan oleh sebagian masyarakat sampai sekarang. Tradisi lain yang dianggap musrik yakni ritual bersih desa yang dilakukan di pundhen. Kata pundhen berasal dari kata pundhi dan mendapat akhiran –an. Pundhi adalah sesuatu yang diagungkan, sehingga pundhen merupakan tempat yang diagungkan oleh para warga. Pundhen tersebut biasanya berupa sendhang atau sumur besar yang digunakan bersama oleh para warga. Masyarakat menganggap sendhang sebagai tempat yang diagungkan karena masyarakat menyadari bahwa sendhang adalah sumber air. Dan air adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan serta selalu dibutuhkan untuk berbagai aktivitas, baik minum, mandi, mencuci, pengairan, dan lain-lain. Dikatakan musrik karena acara tersebut menggunakan sesaji. Sesaji yang digunakan adalah makananmakanan tertentu yang bagi orang Jawa memuat filosofi. Ritual bersih desa dilakukan oleh orang Jawa sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan atas segala nikmat yang diterima. Acara tersebut diawali dengan membaca doa secara bersama. Usai doa bersama yakni makan bersama atau kenduren. Di daerah Jawa Timur, sebelum dilakukan ritual bersih committledhek to user yang disebut dengan istilah desa terdapat acara kirab
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
184 gembyangan. Nilai budaya sangat penting untuk diajarkan pada siswa karena siswa merupakan bagian dari masyarakat Jawa yang harus paham dengan budaya Jawa.
d. Nilai religius Nilai religius/keagamaan merupakan nilai yang berhubungan dengan sikap percaya adanya Tuhan, pengalaman agama, dan lain-lain. Nilai religius paling banyak ditemukan dalam cerkak Welingmu dan Oncating Cahya. Nilai religius yang terdapat dalam cerkak majalah Jaya Baya antara lain hanya bergantung pada Allah, yakin akan kebesaran Allah, percaya pada takdir, tawakal, bersyukur, yakin bahwa segala yang ada di dunia hanyalah titipan, beribadah, berdoa, dan yassinan. Manusia hidup hendaknya hanya bergantung pada Allah. Harus yakin bahwa Allah adalah Dzat paling sempurna dengan segala kebesaran-Nya. Segala yang terjadi sudah diatur dan semua terjadi atas kehendak Allah. Manusia cukup berusaha dan tawakal. Apapun hasil yang diperoleh harus tetap disyukuri, karena Allah telah berjanji bahwa barang siapa yang bersyukur maka akan ditambah nikmatnya. Segala yang ada di dunia hanyalah titipan. Suatu saat akan kembali pada Sang Pemilih Sejati. Termasuk nyawa yang ada pada raga. Allah memerintahkan manusia untuk beribadah dan menyembah-Nya. Selain itu, Allah pun meminta manusia agar berdoa. Doa tidak hanya ditujukan bagi manusia yang masih hidup, tetapi juga bisa dikirimkan pada orang yang telah meninggal. Pengiriman doa kepada orang yang telah meninggal biasanya dilakukan dengan disertai membaca surat yassin. Dari kegiatan pengiriman doa dengan membaca surat yassin tersebut hingga muncul istilah yassinan. Yassinan dilakukan oleh masyarakat Jawa secara bersama-sama. Nilai religius tersebut perlu diajarkan pada siswa karena siswa merupakan individu yang beragama. Terlebih masyarakat Jawa mayoritas beragama islam. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
185 3. Relevansi Cerkak dalam Majalah Jaya Baya sebagai Bahan Ajar Apresiasi Sastra Jawa di Sekolah Menengah Atas Sebuah karya sastra tidak hanya memberikan hiburan bagi pembaca, tetapi juga mengandung nilai-nilai didaktis yang bermanfaat bagi para pembaca. Nilai-nilai didaktis dalam sebuah karya sastra lambat laun akan mempengaruhi karakter para pembaca. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Almerico (2014) yang menyatakan bahwa anak-anak dapat belajar tentang karakter yang baik melalui sastra. Di dalam kurikulum 2013 pembelajaran sastra Jawa pada tingkat X SMA semester gasal terdapat materi yang berkaitan dengan sastra prosa yakni materi cerkak. Penggunaan sastra cerkak yang mengandung nilai-nilai pendidikan dirasa lebih tepat untuk digunakan sebagai bahan ajar apresiasi sastra Jawa di sekolah. Melalui pembelajaran apresiasi sastra Jawa menggunakan bahan ajar cerkak dalam majalah Jaya Baya edisi Agustus − Oktober 2014, siswa tidak hanya memeroleh nilai dalam raport, tetapi juga memeroleh nilai-nilai kehidupan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Endraswara (2012: 3) yang menyatakan bahwa membaca sastra sama halnya dengan memahami filsafat hidup. Senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Juanda (2012) yang menyatakan bahwa pemanfaatan cerpen sebagai bahan ajar apresiasi sastra di sekolah merupakan satu hal yang baik sebab pada struktur cerpen terdapat konsep mengenai sikap dan perilaku siswa dalam lingkungan tempat siswa berada. Lebih lanjut Juanda menjelaskan bahwa sikap dan perilaku siswa dalam kehidupan sehari-hari tercermin dalam struktur cerpen karena lingkungan siswa menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan cerita Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan dua guru bahasa Jawa dan dua siswa SMA diperoleh informasi bahwa cerkak dalam majalah Jaya Baya edisi Agustus − Oktober 2014 memuat banyak nilai pendidikan. Selain memuat banyak nilai-nilai commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
186 pendidikan, cerkak dalam majalah Jaya Baya juga dapat digunakan sebagai bahan ajar apresiasi sastra Jawa di sekolah.
commit to user