BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian 4.1.1 Profil Afrika Selatan Afrika Selatan ada terletak di Benua Afrika bagian selatan yang berbatasan dengan Zimbabwe, Botswana, dan Namibia yang ada di sebelah utara. Selain dengan ketiga Negara itu, Afrika Selatan juga berbatasan dengan Swaziland dan Mozambique di sebelah timur lautnya. Negara penyelenggara Piala Dunia 2010 ini dahulu dikecam akibat dari politik Apartheid yang mereka anut. Namun, sekarang Negara ini adalah sebuah negara demokratis dengan jumlah penduduk kulit putih terbanyak di benua Afrika. Negara ini memiliki keberagaman bahasa. Afrika Selatan memiliki jumlah bahasa resmi sebanyak 11 bahasa, yaitu: Afrikaans, Inggris, Zulu, Xhosa, Swazi, Ndebele, Sotho Selatan, Sotho Utara, Tsonga, Tswana dan Venda. Afrika Selatan memiliki 9 provinsi, yaitu: 1. Eastern Cape 2. Free State 3. Kwazulu-Natal 4. Mpumalanga 5. Gauteng 6. North West 7. Limpopo
1
http://digilib.mercubuana.ac.id/
8. Northern Cape 9. Western Cape Masing-masing provinsi tersebut di pimpin oleh seorang Premier atau setingkat Gubernur di Indonesia.
4.1.2 Demografi Saat ini, Afrika Selatan memiliki empat kumpulan masyarakat utama, yaitu orang kulit putih, kulit hitam, kulit berwarna (orang Asia atau campuran) dan orang India. Setelah berakhirnya periode apartheid, jumlah penduduk kulit hitam kembali mendominasi, yaitu sebanyak 77 persen. Orang kulit hitam tersebut diklasifikasikan kembali menjadi empat kelompok etnis yang dibedakan berdasarkan bahasa yang digunakan. Kelompok terbesar dari kelompok orang kulit hitam itu adalah penduduk yang menggunakan bahasa Nguni, contohnya adalah bangsa Xhosa, Ndebele, Swazi dan Zulu. Jumlah mereka sebanyak 50 persen dari total populasi kulit hitam. Sementara kelompok terbesar kedua adalah mereka yang menggunakan bahasa Sotho-Tswana, yaitu suku bangsa Sotho, Pedi dan Tswana yang kebanyakan tinggal di Highveld. Dua kelompok yang terakhir adalah Tsonga, atau Shangaan, yang tertumpu di Utara dan wilayah Mpumalanga, dan Venda, yang juga tertumpu di wilayah utara Afrika Selatan. Kaum kulit putih terdiri dari 11% penduduk di sini, yang berbangsa Belanda, Perancis, Inggris dan Jerman. Kebanyakan orang Eropa di negara ini adalah keturunan penjelajah-penjelajah awal di koloni Cape. Terdapat juga
2
http://digilib.mercubuana.ac.id/
kelompok minoritas Portugis — kelompok pertama dari keturunan penjelajah Eropa yang awal, manakala kelompok kedua keturunan budak Belanda yang datang dari Indonesia. Sembilan persen dari penduduk Afrika Selatan terdiri dari bangsa berwarna atau coloured. Bangsa ini termasuk kelompok yang kawin campur dan juga pendatang Asia, yang dibawa masuk untuk bekerja sebagai kuli di Natal. Manakala, tiga persen lagi terdiri dari bangsa India yang berasal dari pedagangpedagang India.
4.1.3 Perwakilan Diplomatik Hampir setiap negara yang merdeka dan berdaulat menempatkan perwakilan diplomatiknya di negara lain. Hal ini berkaitan dengan adanya hak perwakilan aktif bagi setiap negara. Hak perwakilan aktif merupakan hak suatu negara untuk mengirim wakil diplomatiknya ke negara lain. Selain itu, setiap negara juga mempunyai hak perwakilan pasif yang artinya hak suatu negara untuk menerima wakil diplomatik negara lain. Perwakilan diplomatik adalah petugas negara yang dikirim ke negara lain untuk menyelenggarakan hubungan resmi antarnegara. Perwakilan diplomatik merupakan alat perlengkapan utama dalam hubungan internasional. Perwakilan diplomatik merupakan penyambung lidah dari negara yang diwakilinya. Kedudukan perwakilan diplomatik biasanya berada di ibu kota negara penerima. Selain itu, semua kepala perwakilan diplomatik pada suatu negara tertentu biasanya bertempat tinggal di ibu kota negara merupakan satu corps diplomatique.
3
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Tugas umum seorang perwakilan diplomatik adalah mencakup hal-hal berikut : 1) Representasi, perwakilan diplomatik mewakili kebijakan politik pemerintah negaranya dapat melakukan protes, mengadakan penyelidikan pertanyaan denganpemerintah negara penerima. 2) Negoisasi, untuk mengadakan perundingan atau pembicaraan baik dengan negara dimana ia diakreditasi maupun dengan negara lain. 3) Observasi, yaitu untuk menelaah dengan teliti setiap kejadian atau peristiwa di negara penerimayang mungkin dapat mempengaruhi kepentingan negaranya. 4) Proteksi, melindungi pribadi, harta benda, dan kepentingan-kepentingan warga negaranya yang berada di luar negeri 5) Relasi, untuk meningkatkan hubungan persahabatan antar negara pengirim dengan negara penerima, baik di bidang ekonomi, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Perangkat Perwakilan Diplomatik. 1. Duta besar berkuasa penuh ( Ambassador ). Duta besar merupakan duta yang berada di tingkatan tertinggi dan mepunyai kekuasaan penuh dan luar biasa dan biasanya ditempatkan di negara negara yang banyak menjalin hubungan timbal balik. 2. Duta ( Gerzant ).
4
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Wakil diplomatik yang pangkatnya lebih rendah dari duta besar, dalam menyelesaikan segala persoalan kedua negara dia diharuskan berkonsultasi dengan pemerintahnya. 3. Menteri residen. Menteri residen dianggap bukan sebagai wakil pribadi kepala negara, dia hanya mengurus urusan negara. Mereka ini pada dasarnya tidak berhak mengadakan pertemuan dengan kepala negara dimana mereka bertugas. 4. Kuasa usaha ( Chargé d’Affaires ). Kuasa usaha yang tidak diperbantukan kepada kepala negara dapat dibedakan atas : 1. Kuasa usaha tetap menjabat kepala dari suatu perwakilan. 2. Kuasa usaha sementara yang melaksanakan pekerjaan dari kepala perwakilan ketika pejabat ini belum atau tidak ada di tempat. 5. Atase. Atase adalah pejabat pembantu dari duta besar berkuasa penuh. Atase ini terbagi menjadi dua yaitu : a. Atase pertahanan. Atase ini dijabat oleh seorang perwira militer yang diperbantukan depertemen luar negeri dan diperbantukan di kedutaan besar serta diberikan kedudukan sebagai seorang diplomat yang bertugas memberikan nasihat di bidang militer dan pertahanan keamanan kepada duta besar berkuasa penuh. b. Atase teknis.
5
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Atase ini dijabat oleh seorang pegawai negeri yang tidak berasal dari depertemen luar negeri dan ditempatkan di salah satu kedutaan besar, atase ini berkuasa penuh dalam menjalankan tugas tugas teknis sesuai dengan tugas pokok dari departemennya sendiri. Para diplomat, stafnya, bahkan gedung misi mempunyai kekebalan dan keistimewaan yang dipraktekkan sesuai dengan Konvensi Wina 1961. Pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik itu berpedoman kepada asas "Par in parem imperium non habet" (suatu negara berdaulat tidak boleh menerapkan yurisdiksinya atas negara berdaulat lain). Pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik merupakan aspek yang sangat penting untuk menjamin kelancaran pelaksanaan tugas-tugas dan pelaksaan fungsi para pejabat diplomatik secara efisien dari negara yang diwakilinya. 1. Kekebalan Perwakilan Diplomatik Kekebalan diplomatik (immunity) bersifat involability (tidak dapat diganggu gugat) antara alin mencakup : a. Pribadi Pejabat Diplomatik, yaitu mencakup kekebalan terhadap alat kekuasaan negara penerima, hak mendapat perlindungan terhadap gangguan dari serangan atas kebebasan dan kehormatannya, dan kekebalan dari kewajiban menjadi saksi. b. Kantor perwakilan (rumah kediaman), yaitu mencakup kekebalan gedung kedutaan, halaman, rumah kediaman yang ditandai dengan lambang bendera atau daerah ekstrateritorial. Bila ada penjahat atau pencari suaka politik masuk ke dalam kedutaan, maka ia dapat diserahkan
6
http://digilib.mercubuana.ac.id/
atas permintaan pemerintah karena para diplomat tidak memiliki hak asylum, hak untuk memberi kesempatan kepada suatu negara untuk memberi kesempatan kepada warga negara asing untuk melarikan diri. c. Korespodensi diplomatik, kekebalan yang mencakup dokumen, arsip, surat menyurat, termasuk kantor diplomatik dan sebagainya kebal dari pemeriksaan atau yang disebut hak immunitas dan hak ekstrateritorial. Hak immunitas adalah hak yang menyangkut diri pribadi seorang diplomat serta gedung perwakilannya, dengan hak ini para diplomat mendapat hak istimewa atas keselamatan pribadi serta harta bendanya, mereka juga tidak tunduk kepada yuridiksi di dalam negara tempat mereka bertugas baik dalam perkara perdata maupun pidana. Hak Ekstrateritorial. Hak ekstrateritorial adalah hak kebebasan diplomat terhdap daerah perwakilannya termasuk halaman bangunan serta perlengkapannya seperti bendera,lambang negara,surat surat dan dokumen bebas sensor,dalam hal ini polisi dan aparat keamanan tidak boleh masuk tanpa ada ijin pihak perwakilan yang bersangkutan 2. Keistimewaan Perwakilan Diplomatik Keistimewaan Perwakilan Diplomatik sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina 1961 dan 1963 mencakup :
7
http://digilib.mercubuana.ac.id/
a. Pembebasan dari kewajiban membayar pajak, yaitu antara lain pajak penghasilan, kekayaan, kendaraan bermotor, radio, televisi, bumi dan bangunan, rumah tangga, dan sebagainya. b. Pembebasan dari kewajiban pabean, yaitu antara lain bea masuk, bea keluar, bea cukai terhadap barang-barang keperluan dinas, misi perwakilan, barang keperluan sendiri, keperluan rumah tangga, dan sebagainya.
4.1.4 Hubungan Afrika Selatan dan Indonesia Indonesia dan Afrika Selatan sudah lama menjalin hubungan politik, bahkan sebelum adanya pembukaan hubungan diplomatik. Contoh nyata dari hubungan baik itu adalah ketika politik apartheid terjadi Afrika Selatan, Indonesia pada saat itu menolak dengan tegas politik pemisahan berdasarkan warna kulit tersebut, dan secara jelas mendukung African National Congress (ANC) melakukan perlawanan. Hubungan inilah yang menjadi jembatan untuk Negara lain di Asia untuk ikut melawan ketidak adilan apartheid. Setelah menjalin hubungan politik, kedua Negara membuka sebuah hubungan diplomatik pada 1994. Setelah itu pada 1995 berdiri lah Kedutaan Besar Afrika Selatan di Jakarta. Saat itu, baik Indonesia dan Afrika Selatan adalah anggota Gerakan Non Blok yang aktif. Keduanya pun sepakat untuk terus menjalin kerjasama, salah satu kerjasama tersebut terjadi dalam Konferensi Asia-Afrika yang berlansung di Bandung pada tahub 1955, Indonesia dengan hormat mengundang dua perwakilan dari ANC untuk menjadi wakil dari Afrika Selatan.
8
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Kemudian pada tahun 2004, keduanya menandatangani perjanjian komisi bersama (Joint Commission). Perjanjian tersebut bertujuan untuk memastikan pendekatan atau kerjasama agar lebih terkoordinir dan bisa mencapai kepentingan bilateral antar kedua Negara. Pertemuan itu pertama kali dilakukan pada 24-25 Februari 2008. Selain Joint Trade Commission, ada pula kerjasama yang bertujuan untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan New Asia Africa Strategic Partnership yaitu sebuah kemitraan strategis Asia-Afrika baru. Pada tahun 2010 kedua negara menjadi tuan rumah bagi pertemuan tersebut yang berfungsi sebagai jembatan yang lebih mendekatkan kedua Negara.
4.2 Deskripsi Hasil Penelitian Data dari hasil penelitian ini didapatkan melalui wawancara mendalam yang dilakukan oleh peneliti pada kurun waktu bulan Oktober sampai dengan bulan December 2015. Dimana Key Informan dan informan yang melakukan wawancara adalah Kepala Misi (Head of Mission) dan staff lokal dari Kedutaan Besar Afrika Selatan.
4.2.1 Komunikasi Antar Budaya Berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukan peneliti terhadap informan mengenai Komunikasi antar Budaya yang terjadi di Kedutaan Besar Afrika Selatan, diperoleh hasil yang hampir serupa antar jawaban yang satu dengan jawaban lainnya dari Key Informan dan masing-masing informan.
9
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Seperti hasil wawancara mendalam tentang definisi Komunikasi Antar Budaya, yang dilakukan dengan H.E. Ambassador P.A. Sifuba sebagai Key Informan “Intercultural communication simply means managing diversity, accepting that the staff doesn’t come from one culture that your staffs come from different cultures. So in a way is to manage diversity, to manage different cultures under one umbrella and bringing harmony so that you can meet your objective of your organization. In my situation, in the South African Embassy, I have to manage the culture of the local people together with the culture of transferred officials in such a manner as to bring harmony in the workplace.” (Komunikasi Antar Budaya secara sederhana dapat diartikan sebagai mengelola keberagaman, menerima bahwa staff anda tidak berasal dari satu budaya, bahwa staff anda datang dari beragam macam budaya. Jadi, bagaimana mengelola keberagaman ini dibawah satu payung dan membawa harmoni supaya organisasi anda dapat meraih objektif (tujuan). Dalam situasi saya, di Kedutaan Besar Afrika Selatan, saya harus mengelola kebudayaan orang lokal bersama dengan kebudayaan staff asing sedemikian rupa untuk membawa harmoni di tempat kerja) Kemudian peneliti lebih lanjut bertanya kepada Ambassador Sifuba begaimana beliau memulai komunikasi dengan staff lokal? Beliau pun menjawab sebagai berikut: “Firstly, communicating with local staff is part of broader strategy, of the company or embassy to communicate with the workforce. Communication is very key, element of managing people and therefore there are established rules wherein you have formal procedures for communication but there also informal way of communication. So communication come in two ways, established formal communication pattern and procedures in the informal part. The informal part is also very useful, in that the more casual people, are the more freeier people, the more communication flows, it flows more quicker. I communicate, giving the fact that, when I came to Indonesia it was a new environment, I need to understand the culture of Indonesians, therefore I have to start in slow and soft with the view break the defense and build confidence.”
10
http://digilib.mercubuana.ac.id/
(Berkomunikasi dengan staff lokal merupakan strategi yang lebih luas dari sebuah perusahaan atau Kedutaan dalam berkomunikasi kepada angkatan kerja. Komunikasi merupakan kunci, elemen dari mengelola orang, oleh karena nya ditetapkan peraturan-peraturan dimana terdapat prosedur formal untuk berkomunikasi tetapi terdapat pula komunikasi yang bersifat informal. Jadi, komunikasi datang dengan dua cara, membangun prosedur dan pola komunikasi formaldalam cara yang informal. Komunikasi informal juga sangat berguna, orang yang berkomunikasi lebih santai, lebih bebas, dan komunikasi lebih mengalir dengan lancar. Saya berkomunikasi, mengingat, ketika saya datang ke Indonesia ke lingkungan yang baru, saya butuh untuk mengerti kebudayaan orang-orang Indonesia, oleh karenanya saya harus memulai perlahan dan lemah-lembut untuk menumbuhkan percaya diri) Selanjutnya wawancara dilanjutkan dengan Ibu Anna Kowaas yang memberikan definisinya tentang Komunikasi Antar Budaya, beliau menjawab: “Komunikasi antar budaya adalah terjadinya pertukaran informasi dari kedua belah pihak atau lebih yang penyampaiannya atau cara memberikan informasi tersebut dan cara menerima informasi itu dari perbedaan informasi kemudian berkembang menjadi pembicaraan panjang lebar atau pendek tapi bisa mencapai mufakat atau tujuannya atau hanya sekedar sebagai informasi.” Kemudian definisi Komunikasi Antar Budaya yang diutarakan oleh Bapak Ahmad Suhairi adalah sebagai berikut: ”Komunikasi Antar budaya yaitu komunikasi yang terjadi antara dua individu atau lebih yang berbeda budaya, beda kebiasaan, cara pandang dan latar belakang dengan harapan bisa saling memahami satu sama lain.” Peneliti melanjutkan wawancara kepada Key Informan dan Informan dengan menanyakan Mengapa sangat penting untuk memahami Komunikasi Antar budaya. Jawaban Ambassador Sifuba adalah sebagai berikut: “The first thing I must say, diversity brings a lot of strength in any organization, in any countries, diversity bring new ideas, because different
11
http://digilib.mercubuana.ac.id/
people thinks different ideas. When I was at the university, in Manchester University, taking my master degree on human resources development, I wrote a paper on multi lingual and multicultural society and why multi lingual and multicultural society tend to have the characteristic of succeeding much faster than most other society, and therefore for me, Intercultural communication is very important. “ (Hal pertama yang perlu saya sampaikan, Keberagaman membawa banyak kekuatan di berbagai macam organisai, di berbagai negara, Keberagaman membawa ide-ide baru, karena orang yang berbeda berpikir ide-ide yang berbeda pula. Ketika saya berkuliah di Universitas Manchester, mengambil gelar master pada pengembangan sumber daya manusia, saya menulis makalah tentang masyarakat yang multi bahasa dan multi budaya dan mengapa masyarakat tersebut cenderung memiliki karakteristik lebih cepat sukses dibandingkan masyarakat lainnya, oleh karena itu untuk saya, komunikasi antar budaya sangatlah penting.) Selanjutnya peneliti menanyakan kepada Ambassador Sifuba, apakah sebelum beliau datang ke Indonesia sudah dibekali dengan pelatihan mengenai budaya Indonesia. Jawaban beliau adalah sebagai berikut: “No I did not. But because I’m an International manager, I have been to many countries, I have managed another countries, and I have worked with local people many countries. It come for me easy to be able to get into Indonesia, adapted very quickly and managed the people. Because I relate myself as an International business manager. It is part of action learning but it’s of experiential learning. So you come in and adapt. I do not have prior trainings but I had an open mind, flexibility to manage international business sector organization. But I have read many things about Indonesia, I read stuff about culture, economy, local language and some phrases.” (Tidak, Karena saya menganggap diri saya adalah Manajer Internasional, saya telah ke berbagai macam negara, saya telah menjadi manajer di berbagai negara dan saya juga telah bekerja dengan orang lokal dari berbagai negara. Mudah bagi saya untuk datang ke Indonesia, beradaptasi dengan sangat cepat dan mengelola orang. Karena saya menghubungkan diri saya sebagai manajer bisnis internasional. Hal ini merupakan belajar melalui tindakan tapi juga belajar melalui pengalaman. Jadi anda datang dan beradaptasi. Saya tidak mendapatkan pelatihan utama tentang budaya Indonesia, tetapi saya memiliki pikiran
12
http://digilib.mercubuana.ac.id/
yang terbuka dan fleksibel untuk mengelola organisasi internasional. Tetapi saya telah membaca segala hal tentang Indonesia, saya membaca tentang budaya, ekonomi, bahasa lokal dan beberapa kata.) Peneliti lalu juga menanyakan bagaimana beliau mempersepsikan budaya Indonesia, berikut adalah jawaban beliau: “Indonesian culture is like any other culture is unique. Very Unique. And want me to understand and accept the culture of the people and respect them. I have a lot of respect for Indonesian culture. Very friendly, very tolerant society, very humble people, very flexible as well. “ (Budaya Indonesia seperti budaya lainnya, sangatlah unik. Dan membuat saya ingin memahami, menerima budaya seseorang dan menghormati mereka. Saya sangat menaruh hormat kepada budaya orang Indonesia. Masyarakat yang sangat ramah, sangat toleran, sangat rendah hati dan juga sangat fleksibel.) Sedangkan Jawaban Ibu Anna Kowaas menjawab pertanyaanmengapa sangat penting untuk memahami Komunikasi Antar Budaya adalah: “Dalam Komunikasi Antar Budaya ditentukan oleh bahasa, sikap dan gerak tubuh (bahasa nonverbal) yang mempunyai ciri khas dan terjadi karena adanya perbedaan budaya, sehingga saat berkomunikasi terlebih dahulu sudah mempunyai cukup pengetahuan mengenai apa yang di komunikasikan.” Selanjutnya informan lainnya yaitu Bapak Ahmad Suhaeri yang memaparkan pendapatnya mengapa sangat penting untuk memahami Komunikasi Antar Budaya adalah “Antara budaya Afrika Selatan yang kebarat-baratan dan budaya Indonesia yang ketimuran terdapat perbedaan yang sangat mencolok dan maka dari itu sangat penting bagi saya secara pribadi untuk memahami Komunikasi Antar Budaya untuk bisa mencapai tujuan komunikasi.”
13
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Wawancara ini dilanjutkan dengan pertanyaan Seberapa penting pemahaman dan penguasaan Komunikasi Antar Budaya dalam Lingkungan Kerja, Key Informan merespon dengan jawaban berikut: “It is very important, like I said in the beginning, if you gonna work in the International environment, then you have to have an understanding of managing diversity, managing different kind of people, appreciating their strength, appreciating their weaknesses, appreciating their fears, and appreciating their hopes, because it’s different environment, international environment, you only gonna succeed only if you understand where people come from. It is very important to every International manager to understand intercultural communication and managing cultural diversity.“ (Sangat penting, seperti yang telah saya disebutkan di awal, jika anda ingin bekerja di lingkungan internasional, maka anda harus memiliki pemahaman mengelola keberagaman, mengelola beragam macam orang, menghargai kekuatan mereka, kelemahan mereka, ketakutan mereka dan harapan-harapan mereka, karena ini lingkungan yang berbeda, lingkungan internasional, anda hanya akan sukses hanya apabila anda mengerti darimana orang berasal. Sangat penting bagi setiap manajer internasional untuk memahami Komunikasi Antar Budaya dan mengelola keberagaman budaya) Ibu Anna Kowaas merespon pertanyaan tersebut dengan jawaban sebagai berikut: “Sangat penting, karena dalam lingkungan kerja dituntut adanya tanggung jawab. Dari tanggung jawab inilah pemahaman dan penguasaan Komunikasi Antar Budaya diperlukan dan disepakati menjadi petunjuk dalam bekerja atau sebagai petunjuk dalam menjalankan dan menyelesaikan pekerjaan yang bisa saja dituangkan dalam tulisan dan menjadi peraturan perusahaan ataupun sebagai acuan dalam pengambilan keputusan.” Sedangkan jawaban yang diutarakan oleh Bapak Ahmad Suhaeri adalah sebagai berikut:
14
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“Sangat penting, diperlukan pemahaman dan penguasaan yang baik sehingga terjadi mutual understanding antar staff. Karena adanya perbedaan budaya, karakteristik, dan gaya personal antar staff dapat menimbulkan perbedaan persepsi.” Peneliti lalu menanyakan kepada kedua informan dengan pertanyaan, selain di lingkungan kerja, dimana dan kapan seseorang harus memahami Komunikasi Antar Budaya, Ibu Anna Kowaas menjawab “Dalam pergaulan sehari-hari atau pada pertemuan tertentu,dalam bermasyarakat. Bila dalam hal bernegara, yaitu dalam hubungan berdiplomasi.” Sedangkan Bapak Ahmad Suhaeri menjawab: “Di semua tempat, dimana saja. Dalam kita berinteraksi dengan orang lain pun kita perlu memahami Komunikasi antar Budaya walaupun dengan sesama orang timur. Saling menjaga sikap agar lawan bicara kita tidak tersinggung maupun terintimidasi merupakan juga bagian dari memahami Komunikasi Antar Budaya.” Komunikasi Antar Budaya bermula dari komunikasi antar pribadi di antara para peserta yang berbeda budaya yang dapat digunakan untuk menerangkan gaya personal. Beberapa orang memiliki gaya komunikasi yang menunjukkan dominasi (sok kuasa) sebaliknya orang lain mungkin memilih gaya yang submisif. Kaitannya dengan pernyataan tersebut, peneliti menanyakan kepada kedua informan yang merupakan staff lokal dengan pertanyaan bagaimana pengaruh gaya personal staff asing dalam Komunikasi Antar Budaya di lingkungan Kedutaan Besar Afrika Selatan. Ibu Anna Kowaas menjawab: ”Sangat berpengaruh, karena dalam lingkungan Kedutaan yang setiap empat tahun sekali berganti staff asing, terdapat bermacam-macam gaya pribadi dan karakteristik. Ada staff asing yang gayanya amat sangat
15
http://digilib.mercubuana.ac.id/
membumi (down to earth) dan sangat sopan kepada staff lokal, ada pula yang arogan, yang mengharapkan staff lokal mengerti dan menuruti apa yang mereka inginkan walaupun dengan cara penyampaian dan berkomunikasinya bisa terbilang kasar. Ada pula yang santai dan cepat akrab dengan staff lokal yang memiliki gaya yang lebih santai dan menyenangkan biasanya lebih mudah beradaptasi dan berkomunikasi dengan baik dengan staff lokal.” Sedangkan Bapak Ahmad Suhaeri menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban berikut: “Sangat berpengaruh, masing-masing individu memiliki gaya dan karakteristik yang berbeda. Sebagai contoh seperti yang pernah saya alami sendiri dengan salah satu staff asing yang menjadi atasan saya, beliau pembawaannya memang sedikit arogan dan nada suara yang tinggi dalam menyampaikan sesuatu, dan saya menjadi agak tersinggung dengan sikap beliau dan tidak memahami apa yang beliau maksudkan maupun yang beliau mau. Setelah beberapa hari saya amati ternyata memang itu karakter beliau, begitulah cara beliau berkomunikasi dan menyampaikan sesuatu.Contoh lain, ada beberapa staff asing yang gemar menunjuk sesuatu dengan menggunakan kaki maupun menaikkan kaki ke atas meja kerja, yang saya pelajari hal tersebut hal yang biasa dalam budaya mereka.” Untuk lebih memperdalam menemukan jawaban mengenai asumsi bahwa dalam Komunikasi Antar Budaya, gaya personal mempengaruhi Komunikasi Antar Pribadi, Peneliti menanyakan pertanyaan tentang siapa yang harus bertanggung jawab dan menciptakan komunikasi Antar Budaya dan lingkungan kerja yang nyaman di Kedutaan Besar Afrika Selatan kepada Key Informan, Ambassador Sifuba, jawaban beliau adalah sebagai berikut: “The Ambassador as the CEO and the Human Resources functions/department. As the CEO Ambassador must have good relations with the HR function because they are gonna bring any issues to take note. Any CEO has got two things that you need to observe, informal and formal authorities to drive the organization. Informal authorities you have to build, it is not given, you earn it, you earn trust from other. Unlike the informal authorities, formal authorities you are given, it is written. As a
16
http://digilib.mercubuana.ac.id/
CEO the importance of managing culture is very key. HR has a very big role in propagating a better culture, better working relation also as an advisor to the Ambassador on how to ensure would bring the internal also bring the staff together.” (Seorang Duta Besar sebagai CEO dan Departemen Sumber Daya Manusia/HR yang harus bertanggung jawab terhadap semua itu. Sebagai seorang CEO, seorang duta besar harus memiliki hubungan yang baik dengan bagian Sumber Daya Manusia, karena merekalah yang akan mencatat hal-hal yang ingin di kemukakan. Setiap CEO mempunyai dua hal yang perlu anda amati, yaitu: otoritas formal dan informal untuk memimpin sebuah organisasi. Pada otoritas informal anda harus berusaha membangun, hal ini tidak diberikan, anda harus mendapatkannya, mendapatkan kepercayaan dari orang lain. Tidak seperti otoritas informal, otoritas formal, telah di tetapkan dan secara tertulis. Sebagai seorang CEO, sangatlah penting mengelola sebuah budaya. Bagian SDM juga memiliki peran yang besar dalam menyebarkan budaya yang baik, hubungan kerja yang baik juga sebagai penasihat kepada Duta Besar tentang bagaimana meyakinkan internal dan juga menpersatukan staff) Peneliti juga menanyakan kepada Ambassador Sifuba bagaimana beliau menilai komunikasi antar pribadi antara beliau dan staff lokal? “Like I told you before. As the CEO has two authorities, informal and formal authorities, you get informal authorities through interpersonal relations at the workplace. This interpersonal skill both came naturally and by training. Interpersonal relations is very important, it is about strategy, about goals but also about the people. As the CEO your results are determine by other people’s work, it gained through good interpersonal relations. They are good overall, but there are certain challenges there” (Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, sebagai seorang CEO memiliki dua otoritas, otoritas informal dan formal, anda akan memperoleh otoritas informal melalui pendekatan antar pribadi di tempat kerja. Ketrampilan antar pribadi ini datang secara alamiah maupun melalui pelatihan-pelatihan. Hubungan antar pribadi sangatlah penting, hal ini berhubungan dengan strategi, tujuan tetapi juga tentang orang lain. Sebagai seorang CEO hasil kerja anda ditentukan oleh hasil kerja orang lain, hal ini bisa diperoleh dari hubungan antar pribadi yang baik.
17
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Secara keseluruhan komunikasi antar pribadi saya dengan staff lokal berjalan dengan baik, tapi saya akui ada beberapa tantangan) Selanjutnya
peneliti
menanyakan,
Bagaimana
peran
beliau
“menjembatani” Komunikasi Antar Budaya di lingkungan Kedutaaan Besar Afrika Selatan, jawaban beliau adalah sebagai berikut: “My role is very important, it means as the Ambassador must have wisdom, experience, insight, quick thinking to be able to bring people together. I found myself succeeding in bridging the communication gap between the staffs during 2 years of my tenure”
(Peran saya sangatlah penting, ini berarti menjadi Duta Besar haruslah memiliki kebijaksanaan, pengalaman, wawasan, cara berpikir yang cepat untuk menyatukan orang. Dan saya merasa selama masa tugas saya selama dua tahun ini, saya telah berhasil menjembatani jurang komunikasi diantara staff) Lalu peneliti kembali menanyakan pertanyaan apa saja hambatanhambatan yang beliau hadapi dalam berkomunikasi dengan staf lokal, beliau menjawab: “Sometime yes, everyone has different perspective, different perception and presentation. But language is a problem, Indonesian need to learn more English, South African need to learn more Bahasa”
(Terkadang iya, setiap orang memiliki perbedaan perspektif, perbedaan persepsi dan presentasi. Tapi yang terutama adalah bahasa, staff lokal perlu belajar lebih banyak bahasa Inggris, begitu pula sebaliknya, staff dari Afrika Selatan harus lebih banyak belajar Bahasa Indonesia.)
18
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Kaitannya dengan hambatan yang di hadapi oleh beliau, peneliti menanyakan bagaimana beliau mengatasi hambatan-hambatan tersebut, beliau mengutarakan jawabannya demikian: “Using the artwork management, like managing people and influence others” (Dengan menggunakan seni manajemen, seperti mengelola orang dan ilmu mempengaruhi orang lain.)
4.2.2 Akulturasi Budaya Di dalam ilmu sosial dipahami bahwa akulturasi merupakan proses pertemuan unsur-unsur kebudayaan yang berbeda yang diikuti dengan percampuran unsur-unsur tersebut namun perbedaan di antara unsur-unsur asing dengan yang asli masih tampak. Fokus dalam penelitian ini adalah mengetahui proses akulturasi yang terjadi di Kedutaan Besar Afrika Selatan. Berikut adalah hasil penelitian melalui wawancara yang dilakukan oleh peneliti yang menanyakan pendapat Key Informan dan kedua informan tentang Akulturasi di dalam Kedutaan besar Afrika Selatan, Ambassador Sifuba sebagai Key Informan menjawab sebagai berikut: “Yes. That happens a lot. The local component of our workforce identified a lot those acculturation as well as our transferred officials. It happening in major way”
19
http://digilib.mercubuana.ac.id/
(Akulturasi memang terjadi di Kedutaan Besar Afrika Selatan, komponen lokal pekerja kami mengidentifikasi banyak terjadi akulturasi begitu pula staff asing. Hal ini terjadi secara besar-besaran) Ibu Anna Kowaas menjawab sebagai berikut: “Menurut saya, adanya penggabungan dua budaya tanpa meninggalkan budaya masing-masing anggota dalam organisasi. Kalau di dalam kedutaan Afrika Selatan, yang dimana budaya Afrika Selatan amat sangat menjunjung tinggi kesetaraan gender, hal ini juga terbawa ke dalam kehidupan berorganisasi, dimana semua orang mempunyai kesempatan yang sama baik laki-laki maupun perempuan, semuanya sama-sama bekerja, saling mengerti dan menerima keadaan disini.” Sementara Bapak Ahmad Suhaeri menjawab sebagai berikut: “Menurut saya, Akulturasi merupakan penggabungan dua budaya tetapi tidak meninggalkan budaya mereka sendiri.” Peneliti kemudian menanyakan para narasumber apakah diperlukan proses akulturasi di dalam Kedutaan Besar Afrika Selatan. Jawaban yang diberikan oleh Ambassador Sifuba sebagai Key Informan adalah sebagai berikut: “Yes, it should enable us to take the best of work will, but necessarily submerge one culture under another. But our organization is international organization, we practice global standard within the mission “
(Ya, akulturasi harus membuat kita bekerja menjadi lebih baik, tapi tentunya tidak menenggelamkan satu budaya di bawah budaya yang lain. Tetapi organisasi kami adalah organisasi internasional, kami menerapkan standar global di dalam organisasi kami)
20
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Selanjutnya berikut ini adalah pernyataan yang di ungkapkan oleh Ibu Anna Kowaas: “Iya diperlukan, karena setiap empat tahun mereka diganti, walaupun sebelum mereka datang sudah dibekali tentang Indonesia, tetapi tetap diperlukan pemahaman yang baik. Kita sebagai staff lokal wajib memberikan pengertian dan pemahaman tentang budaya Indonesia, apa yang harus di lakukan dan apa yang tidak dilakukan.” Sedangkan Bapak Ahmad Suhaeri memberikan jawabannya sebagai berikut: “Diperlukan proses akulturasi budaya tersebut, saya yakin sebelum mereka di tempatkan ke Indonesia mereka mendapatkan briefing dan training tentang Indonesia. Walapun begitu mereka juga tidak meninggalkan nilai-nilai yang mereka bawa seperti sikap keterbukaan. Nilai-nilai yang seperti itu juga ingin mereka tularkan kepada staff lokal. Mereka juga senang memakai batik walaupun tetap dengan corak Afrika. Mereka berusaha memahami adat istiadat budaya Indonesia” Peneliti juga menanyakan melalui kegiatan atau media apa saja proses akulturasi yang terjadi di Kedutaan Besar Afrika Selatan. Berikut jawaban dari kedua informan, Ibu Anna Kowaas memaparkan jawabannya sebagai berikut: “Contohnya melalui proses yang sederhana, seperti cara makan. Kita orang Indonesia terbiasa menggunakan sendok dan garpu, sedangkan mereka menggunakan garpu dan pisau. Biasanya mereka akan coba mengikuti cara kita walaupun terkadang kembali lagi menggunakan garpu dan pisau.” Sedangkan Bapak Ahmad Suhaeri menjawab dengan jawaban berikut: “Kegiatan gathering, maupun Tea Club dapat menjadi media bagi proses akulturasi tersebut, karena biasanya suasana menjadi lebih cair dengan obrolan-obrolan yang ringan maupun berat. Di kegiatan Tea Club juga kita bisa saling berbagi informasi tentang Indonesia dan Afrika Selatan.”
21
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Lebih lanjut peneliti menanyakan kepada narasumber bagaimana mereka mengakrabkan diri satu sama lain/antar staff. Ambassador Sifuba sebagai Key Informan menjawab sebagai berikut: “Yes. We have some several functions like Year Function, Family gathering”
(Saya terlibat dalam beberapa acara social yang di prakarsai oleh staff lokal, seperti: acara akhir tahun dan acara family gathering) Sementara Ibu Anna Kowaas sebagai informan menjawab sebagai berikut: (Setiap sebulan sekali di hari jum’at diadakan Tea Club, Tea Club ini merupakan salah satu kegiatan yang dapat mengakrabkan antara staff lokal dan staff asing, kami bisa saling bertukar informasi dari mulai issueissue yang ringan maupun issue-issue seputar pekerjaan. Lalu setiap satu tahun sekali diadakan family gathering, di kegiatan ini kami punya kesempatan untuk memperkenalkan anggota keluarga kepada staff asing.Kegiatan-kegiatan ini mampu mencairkan suasana dan mengakrabkan kami para staff) Bapak Ahmad Suhaeri sebagai informan yang berikutnya menjawab seperti demikian: “Kebetulan saya seorang perokok dan ada beberapa staff asing juga perokok, kami biasanya merokok bersama, hal ini saya anggap bisa mengakrabkan diri dengan staff asing, karena biasanya obrolan-obrolan casualterjadi, obrolan di luar dunia pekerjaan, tentang keluarga, dan lain-lain.” Peneliti lebih lanjut menanyakan kepada Ambassador Sifuba sebagai Key Informan apakah di dalam lingkungan sosial beliau, seperti keluarga dan rekan kerja mendukung proses akulturasi tersebut, berikut jawaban beliau:
22
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“Yes. They are support me a lot. Especially my local staff they taught me certain things which the do’s and the don’ts”
(Iya, mereka sangat mendukung. Terutama staff lokal saya, mereka mengajarkan saya beberapa hal apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan di Indonesia) Yang terakhir adalah pertanyaan peneliti kepada Key Informan apakah beliau menemukan kesamaan budaya antara Indonesia dan Afrika Selatan. Beliau menjawab sebagai berikut: “Yes, the majority are hardworking, easy going, sometime religious, adaptive, wanting to move forward, wanting to achieve”
(Iya saya menemukan kemiripan beberapa budaya. Sebagian besar masyarakatnya pekerja keras, mudah bergaul, kadang religous, mudah beradaptasi, mau bergerak maju dan mau mencapai sesuatu)
4.2.3 Culture Shock Memasuki budaya yang berbeda membuat individu menjadi orang asing dibudaya tersebut, dimana individu diharapkan pada situasi yang kebiasaankebiasaannya menjadi diragukan. Hal ini dapat menimbulkan keterkejutan dan stress bahkan depresi. Keterkejutan akan menyebabkan terguncangnya konsep diri dan identitas kultural individu sehingga menyebabkan kecemasan.
23
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Terkait dengan pernyataan tersebut, peneliti menanyakan tentang definisi Culture Shock kepada Key Informan menurut versi beliau sendiri, beliau memaparkan jawabannya sebagai berikut: “Culture shock is a phenomena that you get confronted with when you first get to an environment and you don’t understand the thing about that”
(Culture Shock merupakan fenomena yang harus dihadapi ketika anda pertama kali datang ke suatu lingkungan baru pertama kali dan anda tidak memahaminya sama sekali) Lalu peneliti kembali melanjutkan wawancara dengan pertanyaan apakah para narasumber mengalami Culture Shock. Ambassador Sifuba memaparkan jawabannya sebagai berikut: “No I don’t. Because I always being very interested into Asian culture, since my first trip to japan 2000, I see the culture almost the same, not completely different amongst Asian region. So when I come to Asia come with open mind to say ‘coming back to asia’. So for me I don’t really experience culture shock. I hear people ask me do you miss your country? No I don’t. I am easily adaptable, so where I am is my home. I regard myself as a universal citizen so I don’t easily experiencing shock. As the result, I try understand other people” (Tidak, saya tidak mengalami culture shock. Karena saya selalu tertarik dengan budaya Asia, sejak saya datang ke Jepang pertama kali pada tahun 2000, saya lihat budayanya hampir sama, tidak banyak berbeda diantara negara-negara Asia. Jadi ketika saya datang ke Asia datang dengan pikiran terbuka dan berkata “kembali lagi ke Asia”. Bagi saya, saya tidak mengalami Culture Shock. Orang banyak bertanya kepada saya, apakah saya merindukan negara saya? Saya jawab tidak. Saya sangat mudah beradaptasi, jadi dimana saya berada disitulah rumah saya. Saya menganggap diri saya sebagai warganegara yang universal, jadi saya tidak mudah mengalami shock. Sebagai hasilnya saya lebih bisa memahami orang lain)
24
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Kedua informan lokal yang peneliti wawancarai memiliki jawaban yang berbeda dengan Key Informan, ibu Anna Kowaas menjawab dengan jawaban berikut: “Culture shock biasanya saya alami ketika terjadi pergantian staff. Tetapi dengan berjalannya waktu bisa dipahami. Tidak secara keseluruhan, tetapi secara individu. Terutama cara penyampaian dan penerimaan bahasa.” Senada dengan ibu Anna Kowaas, Bapak Ahmad Suhaeri menjawab dengan jawaban yang relatif sama dengan informan sebelumnya: “Tentunya, karena pergantian atasan dan staff asing yang terjadi setiap empat tahun sekali.” Untuk lebih mengetahui culture shock apa saja yang di alami oleh staff lokal, peneliti lebih jauh mewawancarai kedua informan tentang hal tersebut dan Ibu Anna Kowaas menjawab: “Perbedaan Bahasa yang terkadang menimbulkan persepsi yang berbeda.” Sedangkan Bapak Ahmad suhaeri menjawab dengan jawaban berikut: “Setiap individu staff asing memiliki karakteristik yang berbeda-beda dan itu yang terkadang menimbulkan culture shock.” Peneliti mengajukan pertanyaan kepada kedua informan pertanyaan apakah kedua informan menemukan kesulitan dengan budaya Afrika Selatan, Ibu Anna Kowaas menjawab sebagai berikut:
25
http://digilib.mercubuana.ac.id/
“Kesulitan selalu ada, namun bagaimana cara menghadapi itulah sebenarnya yang kadang membutuhkan waktu. Bisa lama ataupun tidak, kembali lagi tergantung individu.” Informan kedua, Bapak Ahmad Suhaeri menjawab sebagai berikut: “Mungkin perbedaan bahasa dan persepsi. Sebagai contoh, ketika saya dan rekan kerja beserta salah satu staff asing terlibat percakapan, dengan tidak sengaja kami staff lokal menggunakan bahasa Indonesia, staff asing tersebut langsung mengira kami membicarakan kejelekan beliau atau sedang mengolok-olok beliau. Hal ini sering terjadi.” Selanjutnya peneliti melanjutkan mewawancarai kedua informan dengan pertanyaan apakah kedua informan menemukan hambatan-hambatan dalam berkomunikasi dengan staff dari Afrika Selatan. Sebagai informan pertama, Ibu Anna Kowaas menjawab pertanyaan tersebut sebagai berikut: “Hambatan yang saya alami, adalah kita dituntut untuk terbuka dalam mengemukakan pendapat dan cepat mengerti dengan apa yang mereka inginkan. Sedangkan saya pribadi tidak terlalu terbuka seperti mereka dan terkadang kurang memahami apa yang mereka mau.” Sedangkan Bapak Ahmad Suhaeri menjawab sebagai berikut: “Faktor Bahasa dan subjektivitas. Yang di maksud dengan subjektivitas disini adalah ketidak sukaan terhadap staff asing tertentu karena sikap dan karakteristik beliau. Saya anggap hal ini termasuk hambatan karena begitu saya berinteraksi dengan beliau lalu beliau bersikap tidak bersahabat atau unwelcome dapat menimbulkan keengganan saya bekerja dengan beliau.” Peneliti kembali mewancarai Key Informan yaitu Ambassador Sifuba dan menanyakan apakah beliau mempelajari bahasa Indonesia atau bahasa lainnya
26
http://digilib.mercubuana.ac.id/
untuk mempermudah berkomunikasi dengan staff lokal, jawaban beliau adalah sebagai berikut: “I took bahasa course 3 months introduction. When you’re a manager in a hostile environment you need to try and manage the situation, not to careless to yourself, you must not do things that compromise you, you must not do things that you undermine. So, I will speak to Anna, my Secretary and Ade, my chauffeur who guide me. But you know where we come from, as in the embassy, you know the internal situation. So you must always be guarded, until the situation is overgrown until the environment is 100 percent friendly.” (Saya mengambil kursus perkenalan bahasa Indonesia selama tiga bulan. Tetapi ketika anda seorang manajer yang berada di lingkungan yang tidak bersahabat anda perlu mencoba dan bisa mengelola situasinya, tidak ceroboh, anda harus tidak melakukan hal-hal yang membahayakan anda, anda juga harus tidak melakukan hal-hal yang melemahkan Anda. Jadi, saya akan berbicara menggunakan bahasa Indonesia dengan sekretaris saya, Anna dan supir saya, Ade yang mengajarkan dan menuntun saya. Tapi anda tahu dari mana kami, sebagai sebuah kedutaan, anda tahu benar tentang situasi internal. Jadi anda harus selalu dijaga, sampi situasi benar-benar bersahabat 100 persen) Lebih lanjut, Peneliti mewawancarai narasumber dengan pertanyaan, selain bahasa, faktor apalagi yang dapat menimbulkan Culture Shock. Sebagai Key Informan Ambassador Sifuba menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban berikut: “I think the level of education comes, if people thinks more scientifically they tend to be scientific and also the patriarchal culture that you guys bring it to the office. For example, some of the old people they not accepted of younger people to get promotion. You call it seniority but its patriarchal culture. In my culture when you’re not educated sufficiently, to if you’re been there for 20 years you’re gonna base some quality of experience, not ageism. In your culture there’s a lot of ageism. I met with the chairman of one company and looked at me then told me you are young, and I said well, my experience doesn’t say so.
27
http://digilib.mercubuana.ac.id/
(Saya rasa, tingkat pendidikan. Jika orang berfikir dengan dasar ilmu pengetahuan mereka cenderung lebih ilmiah. Dan juga budaya Patriarki yang staff lokal bawa ke tempat kerja. Sebagai contoh, beberapa orang yang sudah agak tua tidak menerima orang-orang yang lebih muda mendapatkan promosi. Anda mungkin menyebutnya senioritas tapi ini adalah budaya patriarki. Dalam budaya saya, walaupun anda telah bekerja selama dua puluh tahun tapi anda tidak cukup berpendidikan yang akan dinilai tetaplah kualitas pengalaman, bukan dari usia. Dalam budaya anda terlalu banyak hal yang dikaitkan dengan usia. Saya bertemu dengan seorang pemimpin perusahaan yang berkata bahwa saya masih terlalu muda, lalu saya menjawab, tapi pengalaman saya tidak berkata demikian. Sebagai informan pertama, ibu Anna Kowaas memaparkan jawabannya sebagai berikut: “Sikap dan tingkah laku, yang setiap individunya memiliki karakter yang berbeda-beda. Jadi memang harus berusaha untuk memahami dan memberikan waktu untuk dapat dipahami.” Sedangkan Bapak Ahmad Suhaeri menjawab: “Faktor personal dan karakteristik individu.” Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, peneliti melanjutkan bertanya kepada para narasumber bagaimana mereka mengatasi hambatan tersebut. Ambassador sifuba memaparkan jawabannya sebagai berikut: “Also those alliances patriarchal culture some of the tradition hat don’t bring them to organization that’s why I am saying some cultural aspect that you need to transform, change.”
(Segala sesuatu yang berhubungan dengan budaya patriarki, jangan bawa mereka ke dalam organisasi, oleh karena itu, seperti yang telah saya
28
http://digilib.mercubuana.ac.id/
kemukakan, beberapa aspek budaya yang seperti itu harus di tansformasi dan anda harus berubah) Ibu Anna Kowaas sebagai informan pertama menjawab sebagai berikut: “Berusaha menyampaikan dan memberikan waktu untuk dipahami dan dimengerti.” Sedangkan sebagai informan kedua, Bapak Ahmad Suhaeri pun juga menjawab dengan jawaban yang hampir sama, yaitu: “Berusaha memahami dan mengerti budaya mereka walaupun terkadang mereka tidak menerima apa yang saya sampaikan tersebut.”
4.3 Pembahasan 4.3.1 Komunikasi Antar Budaya Kajian Komunikasi Antar budaya dimulai dengan beberapa asumsi, yaitu: 1. Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan. 2. Dalam Komunikasi Antar Budaya terkandung isi dan relasi antarpribadi 3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi 4. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian 5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan 6. Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya Dari hasil wawancara mendalam dan observasi peneliti didapatkan bahwa Komunikasi Antar Budaya di kedutaan Afrika Selatan bersifat dinamis dimana di dalamnya terdapat komunikasi interaktif dan transaksional.
29
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Di dapati pula bahwa perbedaaan persepsi dan gaya personal mempengaruhi Komunikasi Antar Pribadi, seperti yang sering terjadi antara staff lokal dan staff asing.Di ungkapkan juga oleh para informan dalam wawancara, bahwa budaya asing yang di bawa oleh staff dari Afrika Selatan terkadang membawa problematika sendiri di kalangan staff lokal. Seperti yang dialami oleh Bapak Ahmad Suhari ketika ada beberapa staff asing yang gemar menunjuk sesuatu dengan menggunakan kaki maupun menaikkan kaki ke atas meja kerja. Ketiga narasumber sepakat bahwa sangat penting untuk memahami Komunikasi Antar Budaya untuk mengurangi kecemasan dan ketidakpastian. Perubahan situasi dan kondisi yang di gambarkan oleh kedua kata tersebut terjadi karena adanya perubahan derajat kesamaan antara staff asing dan staff lokal. Dari hasil wawancara juga ditemukan bahwa peran seorang Duta Besar atau Head of Mission dan Departemen Sumber Daya Manusia sangat penting dalam “menjembatani” jurang komunikasi antara Staff lokal dan staff asing. Kemampuan seorang Head of Mission menyampaikan pesan verbal dan nonverbal antar pribadi serta mengelola staffnya dengan baik diharapkan mampu mengantarkan setiap anggota organisasi, staff lokal maupun staff asing, mencapai tujuan komunikasi. Gambar di bawah ini menunjukkan model Komunikasi Antar Budaya di Kedutaan Besar Afrika Selatan.
30
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Gambar 2. Model Momunikasi Antar Budaya
31
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Gambar diatas menunjukkan A (staff lokal) dan B (staff asing) merupakan dua orang yang berbeda latar belakang kebudayaan karena itu mereka memiliki pula perbedaan kepribadian dan persepsi mereka terhadap relasi antar pribadi. Ketika staff lokal dan staff asing bercakap-cakap itulah yang disebut komunikasi antar budaya karena dua pihak “menerima” perbedaan diantara mereka sehingga bermanfaat untuk menurunkan ketidak pastian dan kecemasan dalam relasi antar pribadi. Menurunnya tingkat ketidakpastian dan kecemasan dapat menjadi motivasi bagi strategi komunikasi yang bersifat akomodatif. Strategi tersebut juga dihasilakan olek karena terbentuknya “kebudayaan” baru (C) yang secara psikologis menyenangkan kedua orang tersebut. Hasilnya adalah komunikasi yang bersifat adaptif yakni staff lokal dan staff asing saling menyesuaikan diri dan akibatnya menghasilakan komunikasi antar budaya yang efektif.
32
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4.3.2 Akulturasi Budaya Berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukan peneliti kepada para informan, seluruh informan menjawab bahwa proses akulturasi budaya telah dan sedang terjadi di Kedutaan besar Afrika Selatan. Para informan juga mengemukakan bahwa proses akuturasi perlu dilakukan tetapi dengan tidak menenggelamkan budaya yang lain. Dari hasil wawancara dan observasi yang dilakukan oleh peneliti proses akulturasi ini biasanya terjadi pada tahap informal, penyelenggaraan berbagai jenis kegiatan seperti acara berkumpul bersama (gathering) di dalam maupun luar organisasi mampu mendekatkan staff lokal dan staff asing. Dari berbagai jenis kegiatan tersebut variabel-variabel akulturasi seperti komunikasi antar pribadi dan komunikasi sosial (komunikasi massa) telah tepenuhi. Biasanya dalam kegiatan ini staff lokal mulai memperkenalkan budaya lokal kepada staff asing tentang apa yang boleh ataupun tidak boleh dilakukan di budaya lokal. Begitu pula sebaliknya. Tak jarang komunikasi yang terjadi lebih mengalir dan lancar. Pada penelitian ini, peneliti juga menemukan kemiripan budaya antara budaya Indonesia dan budaya Afrika Selatan seperti, mudah beradaptasi, pekerja keras, mau melangkah maju dan mencapai sesuatu, hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan key informan. Kemiripan inilah yang mungkin merupakan faktor terpenting yang menunjang proses akulturasi.
33
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4.3.3 Culture Shock Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti kepada narasumber, peneliti menemukan temuan yang menarik bahwa hanya kedua informan yang merupakan staff lokal yang mengalami Culture Shock (gegar budaya). Kedua informan mengemukakan alasan dan sumber yang sama mengapa mengalami culture shock, keduanya pun menjawab pergantian staff asing setiap empat tahun sekali, karakteristik individu yang berbeda-beda, serta perbedaan bahasa yang menyebabkan Culture Shock. Sedangkan Key Informan mengemukakaan kepada peneliti tidak mengalami Culture Shock, seperti yang di ungkapkan oleh Key Informan sebagai berikut: “No I don’t. Because I always being very interested into Asian culture, since my first trip to japan 2000, I see the culture almost the same, not completely different amongst Asian region. So when I come to Asia come with open mind to say ‘coming back to asia’. So for me I don’t really experience culture shock. “ (Tidak, saya tidak mengalami culture shock. Karena saya selalu tertarik dengan budaya Asia, sejak saya datang ke Jepang pertama kali pada tahun 2000, saya lihat budayanya hampir sama, tidak banyak berbeda diantara negara-negara Asia. Jadi ketika saya datang ke Asia datang dengan pikiran terbuka dan berkata “kembali lagi ke Asia”. Bagi saya, saya tidak mengalami Culture Shock. ) Dari hasil wawancara terpisah dengan beliau, beliau menceritakan bahwa latar belakang beliau sebagai seorang aktivis pada masa apartheid menyebabkan beliau dilarang memasuki negaranya sendiri selama lebih dua puluh tahun sampai masa apartheid di Afrika Selatan berakhir, telah membuat beliau terbiasa tidak merasakan rindu (home sick) terhadap negaranya. Setelah masa Apartheid
34
http://digilib.mercubuana.ac.id/
berakhir, dan beliau menjadi seorang diplomat beliau banyak di tempatkan di berbagai negara dan bertemu dengan banyak orang yang berbeda budaya pula. Kepribadian beliau yang mudah beradaptasi dan mudah belajar memungkinkan beliau tidak merasakan Culture Shock. Beliau juga menambahkan hal yang terpenting yaitu beliau juga membekali pengetahuan tentang komunikan, seperti mengerti “siapakah” dia yang berkomunikasi dengan anda. Misalnya dari suku mana dia berasal, latar belakang, harapan-harapan yang diinginkan oleh komunikan dapat menumbuhkan pengertian yang baik, maka kita akan berkomunikasi dengan positif. Perbedaan Field of Experiences dan Frame of References yang tidak dimiliki kedua informanlah yang mungkin menyebabkan hanya kedua informan yang merupakan staff lokal yang mengalami Culture Shock.
35
http://digilib.mercubuana.ac.id/