BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
IV.1. Analisis Pemberian HPL kepada PT. PELINDO II Cabang Panjang Pertanyaan penelitian sekunder ke-satu yaitu apakah pemberian HPL kepada PT. PELINDO II Cabang Panjang telah sesuai peraturan pemberian hak atas tanah akan dijawab dengan melakukan analisis dengan menggunakan teori pemberian hak atas tanah.
Tujuan diberikannya hak atas tanah, menurut teori pemberian hak adalah untuk memberikan kepastian hukum terhadap hubungan hukum antara subyek hak, baik perorangan maupun badan hukum dengan obyek hak yaitu tanahnya, sehingga pemegang hak atas tanah dapat menjalankan hak dan kewajibannya selaku pemegang hak atas tanah dengan aman. Untuk itu dalam pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1973 ditentukan adanya syarat yang harus dipenuhi pemohon yaitu untuk menjelaskan penguasaan dan penggunaan tanahnya dalam permohonannya.
Berdasarkan pasal 4 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999 juga diatur bahwa sebelum mengajukan permohonan hak, pemohon harus menguasai tanah yang dibuktikan dengan data yuridis dan data fisik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian penguasaan fisik bidang tanah merupakan suatu hal yang sangat penting dalalm permohonan hak atas tanah.
Dalam Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16/HPL/ BPN/89 tanggal 4 Pebruari 1989 tentang Pemberian HPL atas nama PT. PELINDO II Cabang Panjang, dalam diktumnya memang sama sekali tidak menyebutkan adanya penguasaan tanah oleh masyarakat maupun kewajibankewajiban yang harus dipenuhi pemohon berkenaan dengan penguasaan tanah oleh masyarakat, namun dari hasil wawancara dengan para narasumber, diperoleh informasi bahwa penguasaan tanah oleh warga masyarakat telah dilakukan lebih dari 30 tahun.
Menurut penulis, untuk bisa menjamin kepastian hukum seharusnya tanah yang dimohon haknya secara fisik dan yuridis clear and clean, artinya secara yuridis surat bukti penguasaanya jelas dan secara fisik bidang tanahnya bersih dari penguasaan pihak lain. Dengan kondisi dimana sebagian tanah yang diajukan permohonan haknya oleh PT. PELINDO II Cabang Panjang dikuasai warga masyarakat untuk pemukiman penduduk, berarti secara fisik tanah tersebut tidak clean, akibatnya jika tetap diterbitkan haknya, maka hak tersebut tidak bisa menjamin kepastian hukum. Untuk itu, seharusnya pada saat itu BPN menolak permohonan HPL tersebut, kecuali terhadap yang telah dikuasai warga masyarakat terlebih dahulu dikeluarkan dari permohonan haknya (di-enclave). Dengan demikian, pemberian hak atas tanah, seharusnya tidak cukup didasarkan atas penguasaan yuridis saja, akan tetapi yang jauh lebih penting adalah penguasaan fisik bidang tanahnya.
Belum diketemukannya warkah penrbitan HPL atas nama PT. PELINDO II Cabang Panjang menunjukkan ketidakjelasan alasan penerbitan HPL itu sendiri, karena dalam warkah penerbitan HPL tersebut seharusnya terdapat Risalah Panitia Penelitian Tanah yang menjelaskan kondisi yuridis dan fisik tanah yang dimohonkan HPL-nya, terlebih dalam surat keputusan pemberian HPL kepada PT. PELINDO II Cabang Panjang sama sekali tidak ada diktum yang menjelaskan mengenai penguasaan tanah oleh warga masyarakat dan penyelesaiannya. Konsekuensi hukum dari tidak clean-nya fisik bidang tanah pada saat pemberian HPL dan belum diketemukannya warkah pemberian HPL tersebut bagi BPN adalah dapat diajukannya gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara oleh warga masyarakat dengan tuntutan pembatalan sertipikat HPL atas nama PT. PELINDO II Cabang Panjang.
Ketentuan mengenai hapusnya hak atas tanah juga diatur dalam pasal 27, 34 dan 40 UUPA yang salah satunya disebabkan karena tanah hak tersebut ditelantarkan. Ini berarti bahwa tanah HM, HGB, HGU akan hapus haknya jika tanah tersebut ditelantarkan. Pasal-pasal tersebut dapat dianalogikan pada tanah-tanah yang belum terdaftar. Logikanya, tanah hak saja bisa hapus jika ditelantarkan, apalagi
73
tanah bukan hak. Adanya penguasaan tanah oleh masyarakat untuk pemukiman penduduk yang telah dilakukan jauh sebelum hak pengelolaan tersebut diberikan kepada PT. PELINDO II Cabang Panjang merupakan bukti adanya penelantaran tanah.
PT. PELINDO II Cabang Panjang memang mempunyai bukti awal kepemilikan tanah berupa Besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 35 tahun 1928 (staatsblad nomor 195 tahun 1928), namun demikian PT.PELINDO II Cabang Panjang pada dasarnya telah melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 yang mengharuskan didaftarkannya tanah-tanah pemerintah menjadi hak pengelolaan melalui konversi. Karena tanah PT.PELINDO II Cabang Panjang tidak pernah didaftarkan melalui prosedur konversi, maka status tanah tersebut menjadi tanah negara.
Dipihak lain, masyarakat yang secara fisik menguasai tanah tersebut, dalam hal ini juga melanggar pasal 19 UUPA jo. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang mengatur tentang kewajiban untuk mendaftarkan tanah di Kantor Pertanahan. Dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 pasal 19, kepentingan masyarakat tersebut lebih diakomodir dengan diaturnya pendaftaran hak terhadap tanah yang secara fisik telah dikuasai dengan itikad baik selama lebih dari 20 tahun. Dengan demikian, seharusnya masyarakat berhak untuk mengajukan hak atas tanah kepada BPN karena yang bersangkutan telah menguasai tanah lebih dari 20 tahun berturut-turut.
Berdasarkan analisis diatas, penulis berpendapat bahwa pemberian HPL atas nama PT. PELINDO II Cabang Panjang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku yaitu PMDN Nomor 6 Tahun 1972 Jo. PMDN No. 5 Tahun 1973 dan Peraturan Menteri Nefara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 Jo PMNA/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999. Karena pemberian HPL tersebut dalam penerbitannya tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka HPL tersebut cacat hukum administrasi yang berakibat batalnya hak atas tanah tersebut.
74
IV.2. Analisis Kondisi Eksisting Penguasaan Fisik Tanah HPL PT. PELINDO II Cabang Panjang Pertanyaan penelitian sekunder ke-dua yaitu bagaimana kondisi eksisting penguasaan fisik tanah hak pengelolaan PT. PELINDO II Cabang, akan dijawab dengan melakukan analisis dengan menggunakan teori pemberian hak atas tanah. Sedangkan untuk memperoleh gambaran mengenai kondisi eksisting dilapangan dilakukan dengan memanfaatkan Citra Ikonos yang
di-overlay dengan peta
pendaftaran yang ada pada Kantor Pertanahan Kota Bandar Lampung untuk memperoleh informasi-informasi spasial dari tanah yang menjadi konflik. Informasi-informasi spasial tersebut antara lain batas-batas tanah, penggunaan tanah dan luas tanah yang menjadi konflik. Dengan memanfaatkan Citra Ikonos tersebut, informasi mengenai kondisi eksisting dilapangan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dapat diperoleh.
Hak atas tanah, menurut teori pemberian hak, berisi kewenangan dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang hak atas tanah., sehingga perlu diketahui apakah selaku pemegang hak atas tanah PT. PELINDO II Cabang Panjang secara fisik telah menguasai dan menggunakan tanahnya sesuai dengan peruntukannya sesuai dengan kewenangan dan kewajiban yang diberikan.
Berdasarkan hasil penelitian, kondisi eksisting di lapangan menunjukkan bahwa sebagian tanah hak pengelolaan PT. PELINDO II Cabang Panjang telah dikuasai oleh warga masyarakat untuk perumahan, sehingga secara fisik PT. PELINDO II Cabang Panjang tidak bisa menguasai dan menggunakan tanahnya sesuai peruntukannya. Dengan demikian PT. PELINDO II Cabang Panjang tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai pemegang hak atas tanah untuk memelihara tanah yang dihakinya sebagaimana diatur dalam pasal 15 dan 52 ayat 1 UUPA dan kewajiban untuk tidak menelantarkan tanahnya sebagaimana diatur dalam pasal 27, 34 dan 40 UUPA. Penguasaan warga masyarakat atas tanah HPL yang sekarang telah berupa pemukiman penduduk tersebut merupakan bukti bahwa PT. PELINDO II Cabang Panjang tidak memelihara tanahnya dan menelentarkan tanahnya.
75
Keberadaan warga masyarakat di lokasi HPL PT. PELINDO II Cabang Panjang tersebut juga dilegalisasi oleh pemerintah dengan diberikannya fasilitas umum dan sosial disamping dijaminnya hak serta kewajiban warga masyarakat. Legalisasi atas keberadaan masyarakat oleh pemerintah juga bisa dilihat dari RTRW Kota Bandar Lampung Tahun 2005-2015 yang menetapkan daerah lokasi obyek konflik sebagai kawasan pemukiman sebagaimana dituangkan dalam Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK).
Pentingnya RTRW bisa dianalogikan dari ketentuan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 Jo. Nomor 65 Tahun 2006 serta Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007 sebagai peraturan pelaksanaannya yang menetapkan bahwa pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum hanya dapat dilakukan apabila didasarkan atas RTRW. Karena pelabuhan merupakan salah satu jenis pembangunan kepentingan umum, maka apabila tanah yang dikuasai masyarakat tersebut menurut RTRW telah ditetapkan sebagai kawasan pemukiman, tentunya PT. PELINDO II Cabang Panjang tidak bisa menggunakan tanah tersebut untuk kepentingan pelabuhan.
Dikarenakan menurut RTRW dan RDTRK Kota Bandar Lampung, dilokasi tersebut peruntukkan tanahnya direncanakan untuk pemukiman, tentunya dalam penyelesaian konflik antara PT. PELINDO II Cabang Panjang dengan warga masyarakat harus mengacu ke RTRW dan RDTK tersebut, mengingat dari Perpres mensyaratkan bahwa pembangunan kepentingan umum baru bisa dilaksanakan apabila RTRW memang sudah mengaturnya dan jika RTRW tidak sesuai dengan pembangunan kepentingan umum tersebut maka pembangunan untuk kepentingan umum tersebut tidak boleh dilaksanakan pada lokasi tersebut, sehingga penggunaan tanah harus disesuaikan dengan RTRW yang ada.
Berdasarkan kondisi eksisting di lapangan menunjukkan bahwa tanah HPL seluas ± 18,4158 Ha pada saat ini dikuasai oleh pihak ketiga (lihat Tabel III.1 dan III.2). Meskipun hal itu dimungkinkan oleh peraturan, tetapi kondisi tersebut jelas tidak memberikan rasa keadilan, karena disatu sisi PT.PELINDO II Cabang Panjang
76
mempunyai tanah yang sangat luas hingga tidak mampu diusahakannya sendiri, dipihak lain warga masyarakat yang lebih dahulu menguasai tanah untuk pemukiman tetapi tidak diberi akses untuk memperoleh hak milik atas tanah.
Berdasarkan analisis diatas, kondisi eksisting penguasaan tanah HPL PT. PELINDO II Cabang Panjang menunjukkan bahwa PT. PELINDO II Cabang Panjang tidak dapat menguasai tanah sesuai dengan tujuan diberikannya HPL, sebaliknya sebagian dari HPL tersebut dikuasai masyarakat, sehingga PT. PELINDO II Cabang Panjang melanggar ketentuan pasal 15 dan 52 ayat 1 UUPA untuk memelihara tanah dan pasal 27, 34 dan 40 mengenai kewajiban untuk tidak menelantarkan tanahnya, dengan konsekuensi hapusnya hak atas tanah tersebut. IV.3.Analisis Bentuk Konflik Antara PT. PELINDO II Cabang Panjang Dengan Warga Masyarakat Pertanyaan penelitian sekunder ke-tiga yaitu bagaimana bentuk konflik antara PT. PELINDO II Cabang Panjang dengan warga masyarakat akan dijawab dengan menggunakan teori bentuk konflik. Menurut teori konflik, bentuk konflik dapat dilihat dari sumber yang menyebab-kan terjadinya konflik. Sumber konflik antara PT. PELINDO II Cabang Panjang dengan warga masyarakat dapat dikaji dari kepentingan-kepentingan para pihak. Masyarakat berkepentingan atas tanah yang dikuasainya karena tanah tersebut untuk perumahan, sedangkan PT. PELINDO II Cabang Panjang berkepentingan atas tanah HPL karena tanah tersebut akan dipergunkan untuk perluasan operasional pelabuhan sesuai master plan pelabuhan.
Dari perbedaan kepentingan tersebut menunjukkan bahwa konflik yang terjadi antara PT. PELINDO II Cabang Panjang dengan warga masyarakat tersebut bersumber dari adanya perbedaan kepentingan untuk memperoleh sumber daya agraria yang sama yaitu tanah.
Sumber konflik, selanjutnya dianalisis untuk mengetahui bentuk konflik yang terjadi antara PT. PELINDO II Cabang Panjang dengan warga masyarakat. Bentuk konflik dapat dilihat dari kompleksitas dan intensitas konflik yaitu :
77
a. konflik tersebut melibatkan lebih dari dua pelaku yaitu PT. PELINDO II Cabang Panjang, warga masyarakat dengan jumlah tak kurang dari 4.000 jiwa, BPN dan Pemerintah Kota Bandar Lampung; b. konflik tersebut memiliki dampak yang cukup besar bagi lingkungan fisik dan lingkungan sosial, sehingga jika tidak diselesaikan konflik tersebut dapat berkembang menjadi kekuatan yang destruktif yang bisa mengganggu kestabilan keamanan. c. konflik tersebut sulit untuk diselesaikan, hal mana dibuktikan dengan lamanya konflik tersebut berjalan tanpa penyelesaian. d. konflik tersebut mempunyai frekuensi kejadian tinggi, yaitu dalam kurun waktu 10 tahun dengan 39 surat pengaduan formal dan jawaban dan 5 kali negosiasi.
Berdasarkan analisis diatas, penulis berpendapat bahwa bentuk konflik yang terjadi antara PT. PELINDO II Cabang Panjang dengan warga masyarakat Kelurahan Way Lunik Kecamatan Telukbetung Selatan dan Kelurahan Pidada Kecamatan Panjang Kota Bandar Lampung tersebut berbentuk konflik terbuka dengan kompleksitas dan intensitas yang tinggi, berakar dalam dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya.
IV.4. Analisis Bentuk Penyelesaian Konflik Pertanyaan penelitian sekunder ke-empat yaitu bagaimana bentuk penyelesaian konflik antara PT. PELINDO II Cabang Panjang dengan warga masyarakat yang akan dijawab dengan menggunakan teori penyelesaian konflik.
Menurut teori penyelesaian konflik, berhasil tidaknya upaya penyelesian konflik, ditentukan oleh cara penyelesaiannya. Upaya penyelesaian konflik antara PT. PELINDO II Cabang Panjang dengan warga masyarakat pada awalnya dilakukan melalui pengaduan-pengaduan formal yang disampaikan kepada instansi terkait antara lain Pemerintah Kota Bandar Lampung, BPN, Pemerintah Propinsi Lampung dan DPRD baik untuk memperoleh hak atas tanah maupun bantuan penyelesaian konflik tersebut.
78
Dari sekian banyak pengaduan, alternatif penyelesaian konflik telah disampaikan oleh Walikota Bandar Lampung melalui surat yang ditujukan kepada PT. PELINDO II di Jakarta Nomor 590/501/10/2002 tanggal 24 April 2002. yang pada intinya menyarankan agar PT. PELINDO II Cabang Panjang melepaskan sebagian HPL yang dikuasai masyarakat untuk pemukiman penduduk, sedangkan untuk perluasan areal pelabuhan bisa dilakukan reklamasi pantai sesuai peraturan yang berlaku. Tetapi sangat disayangkan upaya tersebut tidak ditindaklanjuti dengan mempertemukan kedua pihak yang berkonflik untuk difasilitasi kearah penyelesaian konflik itu sendiri.
Menurut penulis, upaya penyelesaian melalui cara tersebut tidaklah efektif karena alternatif penyelesaian hanya mengakomodir kepentingan salah satu pihak yang berkonflik, sedangkan dari materinya
konflik itu sendiri sangat kompleks
sehingga untuk penyelesaiannya diperlukan upaya-upaya yang lebih bisa mengakomodir kepentingan para pihak yang berkonflik. Upaya penyelesaian konflik pada akhirrnya ditempuh masyarakat yang dilakukan tanggal 23 Desember 2002 dan tanggal 3 Pebruari 2003. Dibentuknya Tim Inventarisasi dengan melibatkan instansi terkait sebagai hasil negosiasi, menunjukkan adanya perkembangan dalam upaya penyelesaian konflik tersebut. Namun sangat disayangkan karena kewenangan dari Tim tersebut sebatas melakukan pendataan subyek dan obyek tanah yang dikuasai masyarakat yang hasilnya akan disampaikan ke PT. PELINDO II Pusat karena PT.PELINDO II Cabang Panjang tidak mempunyai kewenangan untuk memutuskannya.
Negosiasi antara warga masyarakat dengan PT. PELINDO II Pusat di Jakarta tanggal 2 Agustus 2004, menurut penulis merupakan puncak dari upaya penyelesaian konflik tersebut. Langkah tersebut ditempuh oleh warga masyarakat karena kesadarannya bahwa penyelesaian di tingkat PT. PELINDO II Cabang Panjang tidak bisa membawa hasil. Dalam negosiasi tersebut PT. PELINDO menawarkan masyarakat untuk membuat Surat Perjanjian Penggunaan Bagian Tanah HPL Pelabuhan dengan tarif sewa Rp. 0,- (nol rupiah), tetapi ditolak warga masyarakat.
79
Gagalnya upaya negosiasi tersebut, menurut penulis, terjadi karena kedudukan warga masyarakat tidak setara dengan kedudukan PT. PELINDO II Cabang Panjang, padahal untuk melakukan negosiasi yang efektif ada beberapa hal yang dapat mempengaruhinya antara lain kekuatan tawar, pola tawar menawar dan strategi dalam tawar menawar.
Kekuatan tawar dalam negosiasi selama ini berada pada pihak PT. PELINDO II Cabang Panjang yang dalam setiap kesempatan menyatakan bahwa tanah yang dikuasai masyarakat merupakan tanah PT.PELINDO II Cabang Panjang dan telah bersertipikat HPL tanpa mempertimbangkan apakah penerbitan sertipikat HPL tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lemahnya kedudukan warga masyarakat menyebabkan negosiasi tidak dapat dilakukan secara efektif dan jika negosiasi tidak dapat dilakukan secara efektif nampaknya mustahil tercapai kesepakatan. Setelah upaya penyelesaian konflik melalui negosiasi tersebut gagal, warga masyarakat kembali kepada upaya penyelesaian konflik melalui pengaduan secara formal kepada berbagai instansi termasuk DPRD Kota Bandar Lampung dan DPRD Propinsi Lampung. Langkah warga masyarakat untuk menempuh kembali penyelesian konflik melalui pengaduan secara formal, menurut penulis merupakan langkah mundur. Namun demikian langkah warga masyarakat tersebut merupakan bentuk dari keputusasaan warga masyarakat sebagaimana disampaikan oleh narasumber Edyson Hutabarat, tokoh masyarakat Kelurahan Way Lunik dalam wawancara tanggal 15 Maret 2008 yang menyatakan bahwa warga masyarakat sudah lelah untuk menyelesaikan konflik tanahnya karena konflik tersebut sudah berlangsung sangat lama, disamping itu dari segi finansial warga masyarakat juga kekurangan.
IV.5. Analisis Rumusan Penyelesaian Konflik Pertanyaan utama dari penelitian ini adalah merumuskan penyelesaian konflik penguasaan dan pemilikan tanah antara PT. PELINDO II Cabang Panjang dengan warga masyarakat Kelurahan Pidada Kecamatan Panjang dan Kelurahan Way Lunik Kecamatan Telukbetung Selatan.
80
Dari jawaban pertanyaan-pertanyaan penelitian sekunder diatas, dirumuskan penyelesaian konflik yang tepat yaitu dikuatkannya status hak atas tanah bagi warga masyarakat yang menguasai HPL PT. PELINDO II Cabang Panjang dengan sertipikat hak milik. Rumusan penyelesaian tersebut, didasarkan atas fakta-fakta sebagai berikut : 1. pemberian HPL atas nama PT.PELINDO II Cabang Panjang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku yaitu PMDN Nomor 6 Tahun 1972 Jo. PMDN No. 5 Tahun 1973 dan PMNA/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 Jo PMNA/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999, dengan konsekuensi hapusnya HPL tersebut. 2. berdasarkan observasi lapangan dan identifikasi melalui Citra Ikonos terkoreksi
yang telah di-overlay dengan peta pendaftaran yang ada pada
Kantor Pertanahan Kota bandar Lampung, diperoleh informasi mengenai penguasaan dan penggunaan tanah berdasarkan kondisi eksisting di lapangan yang menunjukkan bahwa tanah HPL PT. PELINDO II Cabang Panjang tidak semuanya dikuasai oleh PT. PELINDO II Cabang Panjang melainkan sebagian diantaranya dikuasai oleh warga masyarakat untuk pemukiman. 3. PT. PELINDO II Cabang Panjang telah melanggar ketentuan pasal 15 dan 52 ayat 1 UUPA yaitu kewajiban bagi pemegang hak atas tanah untuk memelihara tanah dan pasal 27, 34 dan 40 UUPA yaitu kewajiban untuk tidak menelantarkan tanahnya, dengan konsekuensi dibatalkannya hak atas tanah tersebut. 4. Penguasaan tanah oleh warga masyarakat untuk perumahan telah dilakukan lebih dari 30 tahun 5. Adanya legalisasi dari pemerintah berupa fasilitas umum dan sosial di lingkungan tersebut serta dijaminnya hak dan kewajiban masyarakat sebagai WNI 6. RTRW pada lokasi konflik dipergunakan untuk pengembangan pemukiman, sehingga berdasarkan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 Jo. 64 Tahun 2006 serta Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007 terhadap tanah tersebut tidak bisa dipergunakan untuk pengadaan tanah bagi kepentingan umum, khususnya pelabuhan.
81
7. Walikota Bandar Lampung melalui surat nomor 590/501/10/2002 tanggal 24 April 2002 yang ditujukan kepada PT. PELINDO II Jakarta
telah
merekomendasikan agar PT. PELINDO II melepaskan sebagian HPL yang dikuasai warga masyarakat dan untuk perluasan pelabuhan dapat dilakukan reklamasi pantai.
82