BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Setting Penelitian 4.1.1
Gambaran Umum Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga Rumah
Sakit
Paru
dr.
Ario
Wirawan
didirikan pada tahun 1934 dengan nama RSTP Ngawen Salatiga. Saat itu RSP dr. Ario Wirawan berfungsi sebagai tempat petirahan/sanatorium yaitu sebagai fasilitas medis untuk penyakit jangka panjang, terutama tuberkulosis. Pendirian Sanatorium ini dilatarbelakangi oleh kondisi geografis daerah Ngawen Salatiga yang memiliki ketinggian kurang lebih 800 meter dari permukaan air laut dengan suhu udara berkisar antara 18 – 29
0
C. Kondisi geografis
dan udara yang sejuk ini sangat ideal sebagai tempat petirahan bagi masyarakat terutama warga
Belanda
43
yang
terganggu
kesehatan
parunya yang pada waktu itu banyak menempati wilayah kota Salatiga dan sekitarnya. Pada tahun 1978, dengan dikeluarkannya SK Menteri Kesehatan RI, maka ditetapkan Struktur Organisasi yang lebih jelas, tugas pokok dan fungsi dari rumah sakit ini yaitu sebagai rumah sakit khusus yang menyelenggarakan pelayanan terhadap penderita penyakit TB paru, dengan sebutan RSTP. Kemudian pada tanggal 26 September 2002,
dengan
dikeluarkannya
SK
Menteri
Kesehatan RI, nomor 1208/Menkes/SK/IX/2002, akhirnya RSTP “Ngawen” Salatiga berubah nama menjadi Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga, dan merupakan satu-satunya rumah sakit paru di Provinsi Jawa Tengah.
4.1.2
Proses Pelaksanaan Penelitian Proses
wawancara
dengan
partisipan
dilakukan di tempat tinggal para partisipan. Awalnya peneliti melakukan penelitian di Ruang Rawat Inap RSPAW Salatiga selama 2 minggu,
44
yaitu sejak tanggal 12 Mei hingga tanggal 24 Mei 2014. Namun setelah menunggu selama 2 minggu,
peneliti
tidak
menemukan
adanya
Pasien TB Paru BTA (+) yang berdomisili di sekitar Salatiga dengan pertimbangan peneliti ingin mengobservasi lingkungan tempat tinggal partisipan.
Selain
itu
juga
peneliti
dapat
melakukan wawancara dengan lebih nyaman dan
dapat
melakukan
wawancara
dengan
beberapa partisipan baik keluarga maupun pasien itu sendiri, mengingat ruang rawat inap tempat pasien TB Paru adalah ruang infeksius dan tingkat penularan TB Paru BTA (+) masih sangat tinggi. Hal ini menjadi pertimbangan utama
demi
menjaga
keselamatan
peneliti
sendiri. Walau
demikian,
peneliti
tetap
mewawancarai beberapa keluarga pasien di ruang rawat inap untuk menambah informasi bagi peneliti sendiri. Peneliti menemukan 2 keluarga dengan latar belakang pendidikan SD yang tidak mengetahui tentang penyakit TB Paru
45
dan
4
keluarga
pendidikan
dengan
SMP,
SMA
latar dan
belakang universitas
mengetahui tentang penyakit TB Paru dan upaya pencegahan penularannya. Kemudian pada tanggal 23 Mei 2014, Peneliti meminta data pasien TB Paru BTA (+) yang beralamat di sekitar Salatiga dengan kategori I (status baru) maupun kategori II (kambuh berulang) di tahun 2014, pernah dirawat di RSPAW Salatiga dan masih aktif menjalani pemeriksaan. Setelah mendapat data dan alamat pasien TB Paru BTA (+), peneliti mulai mencari alamat tiap-tiap pasien. Peneliti mendapat 6 pasien, namun hanya 3 keluarga yang dapat menjadi partisipan dalam penelitian peneliti karena beberapa hal berikut. 1. Pasien I dan keluarga telah pindah alamat dan ketika mencoba menelusuri alamat baru yang diberikan oleh tetangganya, peneliti tidak dapat menemukan rumahnya karena alamat yang diberikan tidak lengkap dengan nomor RT/RW nya.
46
2. Pasien
II
mengatakan
tidak
mengidap
penyakit TB Paru dengan pertimbangan tertentu. 3. Pasien III, peneliti kesusahan dalam mencari alamat karena harus melewati sawah dan kebun sehingga peneliti tidak melanjutkan pencarian. Daerah tersebut sudah cukup jauh dari daerah salatiga.
4.1.3
Gambaran Umum Partisipan 1. Keluarga A Identitas Partisipan A (PA) Nama
: Ny. S.
Umur
: 39 tahun
Pendidikan
: SMP
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Status
: Isteri
Agama
: Katholik
Alamat
: Gunung Sari RT 2/6 Sidorejo Kidul Tingkir Salatiga
47
Identitas Triangulasi Sumber A (SA) Nama
: Tn. Yb. M.
Umur
: 53 tahun
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: Swasta
Status
: Suami
PA dan SA adalah sepasang suami isteri dengan 3 orang anak, yaitu anak pertama (laki-laki) duduk di kelas IV SD, anak kedua (perempuan) duduk di kelas II SD sedangkan anak ketiga (laki-laki) belum sekolah. Ketika peneliti di rumah mereka, SA baru kembali dari tempat bekerja sedangkan PA terlihat mengurus anak-anaknya seperti setelah
memandikan
anak-anaknya,
ia
memberi makan dan menyuapi anaknya yang masih kecil. Peneliti disambut dengan baik oleh keluarga. Peneliti
telah
menjelaskan
tujuan
wawancara dan melakukan kontrak waktu 2 hari sebelumnya yaitu pada tanggal 3 Juni 2014. Peneliti mewawancarai PA dan SA
48
pada tanggal 5 Juni 2014 dalam jam yang berbeda. Wawancara dilakukan pada sore hari dengan pertimbangan SA bekerja dari pagi hingga sore hari dan dengan demikian juga peneliti dapat melakukan wawancara pada PA dan SA dalam satu waktu. Setelah memberikan
informed
ditandatangani
oleh
consent PA
dan
dan SA,
wawancarapun dapat dilakukan. Wawancara dengan SA dilakukan pada pukul 16.30 WIB di ruang tamu keluarga kemudian pada pukul 17.30 WIB peneliti melakukan wawancara pada PA di ruang TV keluarga. SA pernah dirawat inap di RSPAW Salatiga selama 5 hari yaitu pada bulan Maret 2014 dan saat ini masih melakukan rawat jalan di RSPAW Salatiga. Berdasarkan data medis yang peneliti peroleh dari Ruang Poli
rawat
jalan
RSPAW
Salatiga,
SA
termasuk pasien TB Paru dalam kategori I dengan BTA (+2) dan mendapat Obat Anti Tuberkulosis sejak tanggal 18 Maret 2014.
49
2. Keluarga B Identitas Partisipan B (PB) Nama
: Tn. S.
Umur
: 41 tahun
Pendidikan
: SD
Pekerjaan
: Buruh
Status
: Suami
Agama
: Islam
Alamat
: Kalilondo, Sidorejo Kidul RT 1/4 Tingkir – Salatiga
Identitas Triangulasi Sumber B (SB) Nama
: Ny. N.F.
Umur
: 30 tahun
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: Swasta (pekerja toko)
Status
: Isteri PB dan SB adalah sepasang suami
isteri dengan seorang anak perempuan yang sedang duduk di kelas IV SD. Mereka hanya tinggal bertiga di rumah mereka. Peneliti mendapatkan alamat PB pada tanggal 3 Juni 2014 pukul 16.00 WIB
50
tetapi saat itu pintu rumah tertutup karena baik PB maupun SB belum pulang dari tempat bekerja. Pada tanggal 5 Juni 2014 pukul 17.30 WIB peneliti datang lagi tetapi pintu rumah masih juga tertutup. Kemudian peneliti datang lagi pada tanggal tanggal 8 Juni 2014 pada pukul 18.00 WIB dan mendapati keluarga berada di rumah. Peneliti institusi
memperkenalkan
dan
wawancara.
PB
menjelaskan dan
SB
diri, tujuan
bersedia
diwawancarai akan tetapi peneliti hanya mewawancarai SB karena PB hendak menjemput anaknya di tempat neneknya. Setelah memberikan informed consent, SB bersedia
menandatanganinya
dan
wawancarapun berlangsung pada pukul 18.30 WIB di ruang tamu. Peneliti baru dapat mewawancarai PB pada tanggal 9 juni 2014 pukul 18.00 WIB di rumahnya. SB pernah di rawat inap di RSPAW Salatiga selama 5 hari pada bulan Maret
51
2014. Saat ini SB masih melakukan kontrol selama
6
bulan
di
RSPAW
Berdasarkan data medis yang
Salatiga. peneliti
peroleh dari Ruang Poli rawat jalan RSPAW Salatiga, SB termasuk pasien TB Paru dalam kategori I dengan BTA +3
dan
mendapat Obat Anti Tuberkulosis sejak tanggal 1 Maret 2014. 3. Keluarga C Identitas Partisipan C (PC) Nama
: Ny. N.
Umur
: 42 tahun
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Status
: Isteri
Agama
: Islam
Alamat
: Krajan 4/1 Wiru Beringin Semarang
Identitas Triangulasi Sumber C (SC) Nama
: Tn.M.S.
Umur
: 43 tahun
Pendidikan
: SMP
52
Pekerjaan
: Buruh Tani
Status
: Suami PC dan SC adalah sepasang suami
isteri dengan seorang anak perempuan yang sekarang kelas IV SD. Ayah SC (102 tahun) juga tinggal bersama mereka. Peneliti mewawancarai PC dan SC pada
tanggal
11
Juni
2014.
Peneliti
mewawancarai SC pada pukul 18.00 WIB dan kemudian mewawancarai PC pada pukul 18.20 WIB di ruang tamu. Dalam wawancara, anak perempuan dan ayah SC juga ikut duduk bersama. SC pernah di rawat inap di RSPAW Salatiga pada tahun 2002. Pada waktu itu SC menjalani pengobatan selama 9 bulan dan sudah sembuh total. SC mengatakan bahwa menurut dokter yang memeriksanya, penyakit TB Paru yang dialaminya kali kedua ini adalah karena kambuh lagi. Berdasarkan data medis yang Peneliti peroleh dari Ruang Poli rawat jalan RSPAW
53
Salatiga, SC termasuk pasien TB Paru dalam kategori I dengan BTA +2
dan
mendapat Obat Anti Tuberkulosis sejak tanggal 1 Maret 2014. 4.2 Analisa Data 4.2.1
Reduksi Data Peneliti menulis hasil rekaman wawancara ke dalam bentuk verbatim (terlampir) dan menentukan
data
yang
berfokus
pada
pokok-pokok penelitian. 4.2.2
Penyajian Data Penyajian
data
adalah
dalam
bentuk
pengkodean dan kategorisasi sesuai aspek atau pokok penelitian peneliti.
4.2.2.1 Pengetahuan Keluarga 4.2.2.1.1 Partisipan A (PA) 1. Penyakit TB Paru Menurut PA penyakit TB Paru itu adalah
penyakit
paru-paru ditandai
54
dan dengan
yang dapat
mengganggu menular
batuk-batuk
yang selama
berhari-hari dan terkadang menyebabkan sesak napas. Hal itu juga berdasarkan pengalaman yang dialami suaminya (SA). “batuk ya...,yang nampak sekali kan yang jelas batuk.” (PA; 3) “mungkin paru-paru ya..”(PA; 8) “kadang ya...kayak sesak.”(PA; 12) “ya...TB jelas nular.”(PA; 14) 2.
Penularan Penyakit TB Paru Menurut PA penularan penyakit TB
Paru terjadi melalui udara pada saat penderita
TB
Paru
batuk.
Ketika
penderita TB Paru membuang dahaknya, maka bakteri tuberkulosis akan tersebar. Selain itu berkomunikasi langsung dalam jarak dekat dengan penderita TB Paru juga
akan
mengakibatkan
terjadinya
penularan terutama bila orang yang dekat dengan penderita TB Paru tidak menutup mulut atau hidung. “pernapasan ya yang jelas. Saat batuk bisa. Lewat kita berhadapan gini aja kan kalau gak nutup, nular.”(PA; 1617). Serupa: (PA; 79)
55
3. Pencegahan penularan penyakit TB Paru Menurut
PA,
cara
mencegah
terjadinya penularan penyakit TB Paru adalah tidak berkomunikasi langsung dalam jarak dekat dengan penderita dan harus menutup mulut ketika penderita batuk
terutama
bagi
anak-anak.
Anak-anak lebih rentan terhadap penyakit dibandingkan orang dewasa. Selain itu penderita TB Paru tidak boleh membuang dahaknya
sembarangan
melainkan
menggunakan alat seperti plastik. “kalau gak nutup, nular.”(PA; 17) “mungkin tidak terlalu dekat dulu ya… (PA; 53- 55) “mungkin plastik yang tepat.”(PA; 81) Meskipun PA tahu bahwa menutup mulut dan hidung harus dilakukan agar tidak tertular penyakit TB Paru, PA tidak mau membuat jarak atau membatasi diri untuk berkomunikasi dekat dengan SA. Ketika
di
56
rumah
sakit
perawat
menyarankan memakai masker akan tetapi PA tidak mau memakai masker. PA lebih
mementingkan
untuk
menjaga
perasaan SA bahkan jika SA meminta untuk
tidak
didekati,
PA
menolak.
Menurut PA sendiri, walaupun semua usaha sudah dilakukan, hanya Tuhanlah yang menentukan nasib setiap orang. PA dan keluarga juga tidak membuat batas untuk harus tidur berpisah dengan SA. “perasaan gak nyampe ya..hati saya itu gak sampe..”(PA;89) Pernyataan serupa : (PA;87), (PA; 103) PA
lebih
menekankan
bahwa
kebersihan adalah hal utama yang harus diperhatikan, baik kebersihan diri maupun makanan. Selain menjaga kebersihan PA juga
rajin
menjemur
alat-alat
tidur
seminggu sekali terutama jika sudah tidak nyaman digunakan dan selalu membuka jendela pada pagi hari. PA juga tetap memperhatikan gizi keluarga
57
dengan
mengatur
menu
makanan
sehari-hari. “mungkin saya harus gosok gigi atau gimana ya..berusaha cuci tangan, ganti baju, mandi..yang penting harus bersih.”(PA; 92). Serupa : (PA; 64) “jendela kalau pagi itu dibuka.”(PA; 68) “ kadang seminggu. “(PA; 70) “ya ikan...sayur...tahu, tempe, paling ya itu. Ayam..”(PA; 48) Peneliti menanyakan pendapat PA mengenai kebiasaan SA yang saat ini masih merokok meskipun masih dalam keadaan sakit. PA berpendapat bahwa kebiasaan
merokok
berpengaruh penyembuhannya. demikian dengan
suaminya
terhadap PA
tidak proses
mengatakan
pertimbangan bahwa
orang zaman dahulu yang lebih banyak merokok saja tetap hidup sampai usia tua atau boleh dikatakan memiliki umur panjang. “orang zaman dahulu itu malah lebih parah kalau dipikirnya…….Tapi kok dia itu bisa sampe usia segitulah.”(PA; 114)
58
Upaya
pencegahan
penularan
penyakit TB Paru lainnya yang dilakukan keluarga adalah dengan imunisasi BCG pada waktu masih kecil dulu. Anak-anak PA juga semuanya sudah diimunisasi BCG. Akan tetapi PA tetap beranggapan bahwa
walaupun
orang
sudah
diimunisasi BCG, tetap saja bisa tertular jika bergabung dengan penderita TB Paru. (PA; 128) Selain itu, PA juga mengatakan bahwa SA rajin menjalani pengobatannya. (PA; 126) Satu hal yang peneliti peroleh dari hasil wawancara kepada PA yaitu menjaga perasaan satu sama lain dalam keluarga adalah hal utama. Keluarga tahu mengenai penyakit TB Paru. Akan tetapi
dalam
praktiknya,
keluarga
mengaplikasikan karena keluarga PA
kurang memiliki
prinsip menjaga perasaan dan pikiran tetap senang.
59
Berdasarkan
hasil
observasi
terhadap
lingkungan rumah (dalam dua waktu yang berbeda), peneliti mendapati bahwa rumah nampak bersih, terdapat ventilasi dan jendela dengan
jenis
dinding
tembok
serta
lantai
keramik. Hawa di dalam rumah terasa segar dan tidak lembab. Kondisi lingkungan rumah dari PA ini
dapat
membantu
proses
pencegahan
penularan penyakit TB Paru karena rumah mendapat cukup banyak sinar matahari yang dapat membunuh bakteri tuberkulosis. Jenis lantai keramik juga dapat mencegah tejadinya kelembaban dibandingkan dengan lantai tanah sehingga dapat menekan tingkat kehidupan bakteri tuberkulosis. Selain itu lingkungan rumah juga tidak termasuk padat penduduk.
4.2.2.1.2 Partisipan B (PB) 1. Penyakit TB Paru Berdasarkan hasil wawancara, PB mengatakan bahwa penyakit TB Paru adalah
penyakit
60
menular
yang
menyerang organ paru-paru, ditandai dengan batuk-batuk pada malam hari, batuknya
mengeluarkan
lendir
dan
disertai darah. PB mengatakan hal-hal yang berhubungan dengan penyakit TB Paru berdasarkan atas pengalaman yang dilihat pada isterinya (SB). “kalau malam itu batuk-batuk, keluar darahnya..”(PB; 7). Serupa :(PB; 91-92) “ya menular memang.. (PB; 62) “paru-parunya itu..”(PB;261) 2.
Penularan Penyakit TB Paru Menurut
PB
penyakit
TB
Paru
menular menular ke orang lain lewat udara yang mengandung bakteri dari ludah dan dahak penderitanya. Selain itu PB juga memisahkan alat makan dengan penderita TB Paru karena menurut PB alat makan juga dapat menjadi sarana penularannya. “ya…lewat udara..”(PB; 62) Serupa: (PB; 146-150), (PB; 153-155)
61
2.
Pencegahan penularan penyakit TB Paru Menurut
PB,
untuk
mencegah
penularan penyakit TB Paru, orang sehat terutama
anak-anak
tidak
boleh
berkomunikasi dekat dengan penderita TB
Paru.
menggunakan
Orang
sehat
masker
jika
harus berbicara
dekat penderita. “anaknya kalau bicara suruh menjauh..”(PB; 67) serupa: (PB; 103105), (PB; 279). “saya suruh pake masker o..”(PB; 71) PB
juga
mengatakan
bahwa
penderita TB Paru tidak boleh membuang ludah
atau
dahaknya
sembarangan
karena mengandung bakteri. Membuang dahak lebih baik menggunakan botol dan dibuang ke WC. “gak boleh……itu katanya bisa menular…”(PB; 143) serupa (PB; 145-150). “itu…dulu dikasih botol itu..”(PB;172) “kalau udah penuh dibuang ke wc..”(PB; 178)
62
PB
juga
mengatakan
bahwa
penderita TB Paru harus tidur terpisah dengan anggota keluarga yang sehat dan tidak menggunakan alat makan secara bersama. Ketika isterinya (SB) dalam kondisi yang benar-benar sakit, PB dan anaknya
tidur
terpisah
dengan
SB
selama 1 bulan pertama. Anaknya juga sering ditinggalkan di rumah orang tua PB agar tidak kontak (komunikasi) dulu dengan SB. “saya taruh tempatnya mbah..”(PB; 75) “iya…tidurnya pisah…”(PB; 82, 84) “sendiri-sendiri…piringnya itu.. ”(PB; 153-155) serupa: (PB; 280) PB mengatakan bahwa penderita TB Paru
harus
rajin
berjemur
disinar
matahari pagi agar badan hangat. PB juga selalu membuka jendela pada pagi hari agar sinar matahari masuk dan menjemur
alat
tidur
sekali
dalam
seminggu agar bakteri-bakterinya mati.
63
“kalau pagi hari sering disuruh berjemur itu..“(PB; 118) “ya..buka jendela..buka pintu,.”(PB; 123) “ya sering…ya..satu minggu sekali..”(PB; 135-139) Upaya langsung membantu
lain
yang
dapat
secara
tidak
mendukung
dan
keluarga
mencegah
penularan penyakit TB Paru adalah sering mengkonsumsi makanan yang cukup gizi. Dengan demikian dapat membantu menjaga daya tahan tubuh dari
serangan
bakteri
penyakit
khususnya bakteri tuberkulosis. “itu….ikan, telur, trus itu sayuran…susu…” (PB; 216) Serupa: ( PB; 224)
daun..
PB juga merokok di luar ruangan jika ingin merokok, demi menjaga kondisi PB. “ya kalau merokok…saya keluar…”(PB; 192)
kan
PB tidak tahu dirinya sudah diimunisasi BCG atau belum sedangkan anaknya sudah
diimunisasi.
PB
sendiri
mengerti tujuan imunisasi BCG.
64
tidak
(PB; 166-168). SB sebagai penderita TB Paru juga masih aktif dalam menjalanai proses pengobatannya. (PB; 182). Berdasarkan
hasil
observasi
terhadap
lingkungan rumah yang telah peneliti lakukan (dalam dua waktu yang berbeda), ruangan dalam rumah nampak kurang rapi, tertutup rapat, tidak tampak adanya ventilasi, hanya terdapat satu jendela di ruangan tamu dan satu jendela di kamar tidur sehingga hawa dalam rumah terasa sedikit lembab. Jenis dinding rumah adalah papan sedangkan jenis lantainya adalah semen. Lingkungan rumah tidak padat penduduk dan disekitar rumah banyak pepohonan, bersih dan cukup jauh dari jalan raya besar/utama sehingga tidak begitu terpapar dengan polusi udara. Kurangnya pencahayaan karena tidak ada ventilasi dan kurang jendela dapat menjadi faktor
pendukung
bagi
hidupnya
bakteri
tuberkulosis. Akan tetapi walaupun demikian
65
keluarga tetap rajin membuka jendela setiap hari sehingga membunuh
kemungkinan bakteri
besar
dengan
akan
sinar
dapat
matahari
dengan didukung jenis lantai semen yang tidak menyebabkan kelembaban.
4.2.2.1.3 Partisipan C (PC) 1. Penyakit TB Paru PC mengatakan bahwa ia tidak banyak tahu mengenai penyakit TB Paru. Meskipun PC pernah mendapatkan informasi dari bidan di daerahnya bahwa penyakit TB Paru adalah penyakit yang menular, PC tidak mengerti maksud menular, cara penularannya dan juga tidak tahu cara mencegah penularannya. PC mengatakan bahwa bidan tidak memberitahu selebihnya dan tidak menyarankan hal-hal penting mengenai penyakit TB Paru yang diderita suaminya (SC). “kata bidan situ ya..menular mbak.”(PC; 3) “gak tahu e mbak..heheh tidak begitu tahu hi mbak..”(PC; 12)
66
PC dan keluarga masih menganggap bahwa penyakit TB Paru adalah penyakit keturunan karena penyakit TB Paru pernah dialami ibu mertua PC (almarhumah). Jadi, dari riwayat penyakit keluarga inilah yang membuat keluarga memiliki anggapan bahwa penyakit TB Paru adalah penyakit keturunan dan tidak memahami jika penyakit TB Paru dapat menular. “iya mbak. Mbah e dulu pernah. Ibu..tapi udah parah” (PC; 14) Meskipun
demikian,
PC
mengetahui
bahwa penyakit TB Paru ditandai dengan batuk-batuk secara terus menerus selama berhari-hari.
Batuk-batuk
terutama
sering
terjadi pada waktu malam hari sesuai yang dialami SC. Selain batuk-batuk penyakit TB Paru juga ditandai dengan malas makan sehingga berat badan menurun. “sering batuk..kalau malam tidur itu batuk terus…”(PC; 19) “malas makan…badannya jadi kurus.”(PC; 21)
67
2. Penularan Penyakit TB Paru PC tidak memahami bahwa penyakit TB paru
dapat
menular
sehingga
tidak
mengetahui lebih banyak lagi mengenai cara penularan penyakit TB Paru. 3. Pencegahan penularan penyakit TB Paru Tidak ada upaya khusus dari keluarga PC untuk mencegah penularan penyakit TB Paru karena menganggap penyakit TB Paru bukanlah suatu penyakit menular. Keluarga hanya menerapkan prinsip kesopanan atau tenggang rasa dalam lingkungannya. Menurut PC, jika batuk harus menutup mulut (sambil mempraktikkannya) demi menjaga tenggang rasa dengan orang lain. “orang desa itu kan punya tenggang rasa itu mbak.”(PC; 29-32) serupa: (PC; 42-43) PC dan Bapak mertuanya
tidak tahu
sudah diimuniasi BCG atau belum, sedangkan anaknya sudah diimunisasi BCG. PC juga tidak mengetahui fungsi imunisasi BCG. PC
68
mengatakan bahwa imunisasi untuk anak selalu diingatkan oleh bidan. “Udah…kalau nggak diimunisasi ya..diingatkan sama bu bidan.”(PC; 47) Ketika
peneliti
bertanya
mengenai
makanan, PC mengatakan bahwa dalam keluarga mereka lebih menghindari makanan berminyak. Keluarga tidak mengerti alasan harus
menghindari
karena
hanya
makanan
mengikuti
berminyak
anjuran
dokter.
Anjuran menghindari makanan berminyak ini diupayakan untuk semua anggota keluarga. “gak boleh yang berminyak itu.”(PC; 72-75)
Mengenai
kebiasaan
membersihkan
rumah, membuka jendela pada pagi hari, menjemur alat tidur (biasanya sekali dalam seminggu) dan tidur terpisah memang sudah menjadi
kebiasaan
keluarga
setiap
hari.
Sebelum SC sakit juga, PC dan anaknya sudah tidak tidur bersama dengan PC. Hal itu dilakukan karena menurut PC, tidur bersama membuatnya kepanasan. PC juga selalu
69
menjemur alat tidur sekali dalam seminggu sebagai rutinitas. “kalau itu kan udah dari dulu. Kalau pagi saya udah buka semuanya. jam 5 udah buka…dst“(PC; 81-90) “bapaknya tidur sendiri.”(PC; 115-121), (PC;89) Ketika wawancara, suami PC (SC) masih nampak batuk-batuk dan terbukti juga bahwa ketika batuk, SC menutup mulut dengan tangan akan tetapi hal itu tidak dilakukan oleh anggota keluarga yang di dekatnya. Tindakan ini secara tidak langsung dapat mencegah penularan penyakit TB Paru dari penderita. Selain itu juga SC masih aktif melakukan pengobatan di RSPAW Salatiga. (PC; 125) Ketika peneliti bertanya mengenai keadaan kesehatan
keluarga
selama
ini,
PC
mengatakan bahwa mereka hanya sering sakit biasa seperti batuk. Ketika batuk, mereka memeriksakan
diri
ke
bidan
dan
dapat
sembuh dengan minum obat yang diberikan bidannya.
70
“kadang yo batuk..tapi ke bu bidan gitu aja udah sembuh.”(PC; 106) Berdasarkan
hasil
observasi,
peneliti
memperoleh bahwa hawa dalam rumah tidak terasa lembab, lingkungan rumah tidak padat penduduk, cukup bersih dan terdapat jendela serta ventilasi di setiap ruangan dalam rumah. Jenis dinding rumah adalah papan dan jenis lantainya adalah keramik. Kondisi ini dapat menekan
kemampuan
tuberkulosis. runagna
Kondisi
yang
hidup
lingkungan
tidak
lembab
bakteri rumah, serta
pencahayaan yang baik dapat membantu pencegahan penularan penyakit TB Paru dalam kehidupan PC dan keluarga.
71
4.2.2.2 No
1
Kategorisasi Analisa Data
Tema
Pengetahuan Keluarga mengenai penyakit TB Paru
Sub Tema
a. Batuk berhari-hari
Pengetahuan keluarga mengenai cara penularan penyakit TB Paru
Partisipan B
Partisipan C
(PA; 3 -4), (PA; 10)
(PB; 7). (PB; 91-92) (PB; 7), (PB; 91-92)
(PC; 19)
b. Batuk berdarah c. d. e. f. g.
2
Partisipan A
a.
Sesak napas Menular Mengganggu paru-paru Nafsu makan menurun Tidak tahu jika penyakit TB Paru menular. Lewat udara pada saat penderita TB Paru batuk dan berbicara.
b. Melalui pemakaian alat makan bersama
72
(PA; 12) (PA; 14) (PA; 8)
(PB; 62) (PB; 261) (PC; 21) (PC; 12)
(PA; 16-17), (PA; 79)
(PB; 62) (PB;146-150) (PB; 153-155)
3
Pengetahuan keluarga mengenai upaya pencegahan penularan penyakit TB Paru
a. Tidak berkomunikasi langsung dalam jarak dekat dengan penderita TB Paru terutama bagi anak-anak
(PA; 53 -55)
(PB; 67), (PB;103-105), (PB; 279).
b.
(PA; 17)
(PB1; 71)
(PA; 81)
(PB; 43- 150)
Mengupayakan penderita TB Paru dan orang sehat untuk menutup mulut dan hidung. c. Mengupayakan penderita TB Paru tidak membuang dahak/ludah sembarangan tapi menyiapkan alat khusus. d. Mengupayakan membersihkan diri dan mengganti pakaian yang dipakai setelah kontak dengan penderita TB Paru e. Tidak tidur bersama dengan penderita TB Paru f.
(PA; 92) (PA; 68) (PB; 75-84)
Memisahkan alat makan dengan penderita TB Paru
g. Mengupayakan untuk menjemur alat tidur penderita h. Mengupayakan penderita TB Paru untuk berjemur pada pagi hari i. Mengupayakan untuk membuka pintu dan jendela pada pagi hari
73
(PC; 42-43)
(PC; 115121)
PB; 153-155), (PB; 280) (PA; 70)
(PB;135 139). (PB; 118)
(PC; 89)
(PA; 68)
(PB; 123)
(PC; 81-90)
j.
Imunisasi BCG
(PA; 128)
k. Mengupayakan penderita TB Paru agar rutin kontrol ke rumah sakit. l. Mengupayakan mengkonsumsi makanan yang bergizi
74
(PA; 126) (PA; 48)
(PB;166-168) (PB; 182) (PB; 216), (PB; 224)
(PC; 47) (PC; 125)
4.3 Uji Keabsahan Data 4.3.1
Triangulasi Sumber Partisipan A (SA) Berdasarkan hasil wawancara terhadap SA, peneliti mendapat informasi yang sama pada wawancara dengan PA. SA juga mengatakan bahwa penyakit menular
yang
TB Paru menganggu
adalah penyakit paru-paru
dan
pernapasan serta ditandai dengan pilek dan batuk-batuk selama berhari-hari. Penyakit TB Paru menular melalui udara yang mengandung bakteri tuberkulosis ketika penderitanya batuk. “batuk, yang saya rasakan itu… “(SA; 33-41) serupa: (SA; 77) “selama nggak ada bakterinya., nggak bakalan kok kita kena….”(SA;100-103) serupa: (SA; 130) Walaupun demikian, SA juga menerapkan hal yang tidak berbeda dengan PA. Mencegah penularan
penyakit
menjauhi
atau
TB
Paru
membuat
tidak batas
harus dalam
berkomunikasi dengan penderita TB Paru. SA mengutamakan saling menjaga pikiran dan perasaan. mendukung
Keluarga dan
36
harus
senantiasa
menyenangkan
pikiran
penderita yang sakit. SA juga lebih menekankan bahwa kebersihan adalah hal utama untuk menjaga kondisi kesehatan keluarga. Seperti pendapat PA, SA yang tetap merokok meskipun masih
dalam
proses
pengobatan
juga
mengatakan bahwa merokok tidak berpengaruh pada penyakitnya. “saya gak pernah membatasi saya harus berdekatan dengan siapa ya...dst.”(SA; 106-116) “Saya merokok itu biasa...”(SA; 59-66) 4.3.2
Triangulasi Sumber Partisipan B (SB) Berdasarkan hasil wawancara terhadap SB, peneliti mendapat informasi yang sama dengan wawancara pada PB. Menurut SB, penyakit TB Paru juga dapat menular lewat dahak/percikan, menyerang paru, mengakibatkan berat badan menurun dan ditandai batuk terus menerus yang disertai muntah darah dan terkadang dada terasa sakit terutama pada malam hari. “saya muntah darah...”(SB; 4) “malam.. dadanya kok sakit..” (SB; 35) “menyerang paru..berat badan habis,“(SB; 66-68)
37
“batuknya itu hampir tiga bulan lebih.”(SB; 103) “panas, demam sampai 420.”(SB; 111) “menular…”(SB;123-129) Menurut
SB
beberapa
upaya
untuk
mencegah penularan penyakit TB Paru adalah tidak
membuang
sembarangan,
tidak
dahak
dan
berkomunikasi
ludah dekat
dengan penderita TB Paru khususnya bagi anak-anak karena imunnya tidak sekuat orang dewasa, tidak boleh kena air percikan dari penderita TB Paru yang batuk, menggunakan masker sebagai penutup mulut, harus sering membuka
jendela
pada
pagi
hari
agar
udaranya berganti, menjemur alat tidur sekali seminggu, dan makan makanan bergizi untuk tetap menjaga daya tahan tubuh demi menjaga dan mempertahankan kesehatan keluarga. “dahak itu..misalnya harus dikumpulin trus nanti kalau ndak ditimbun, dibakar.”(SB; 135). “kalau lagi batuk saya ndak boleh dekat anak sama suami.”(SB; 154-156) “pake masker.”(SB;207) “iya...jemur seminggu sekali.”(SB; 239). “makannya yang bergizi (SB; 254-257) “ya, di buka.. “(SB; 365) serupa (SB; 230)
38
Selain itu karena suami SB merokok, maka suami SB harus merokok di luar jika ingin merokok. SB juga memisahkan alat makan dengan keluarga lain agar tidak menyebabkan penularan. SB dan anaknya sudah diimunisasi BCG dan saat ini ia masih terus kontrol serta minum obat. “suami ngerokok ya…jauh.”(SB; 89) “awal-awal itu dipisah…”(SB; 132) “iya, itu udah…”(SB; 285) “iya..tiap pagi..sarapannya ini…”(SB; 55) 4.3.3
Triangulasi Sumber Partisipan C (SC) Berdasarkan hasil wawancara terhadap SC, peneliti mendapat informasi yang sejalan dengan wawancara pada PC. SC juga berpendapat bahwa penyakit TB Paru itu adalah penyakit keturunan dan tidak menular. SC mengatakan bahwa hal itu dikatakan oleh dokter Ngawen. Hal itu didukung pula oleh pengalaman masa lalu yang
terjadi
pada
keluarganya.
Ibu
SC
(almarhumah) pernah menderita penyakit TB Paru dengan tanda yang sama yaitu batuk terus
39
menerus hingga meninggal. SC mengatakan bahwa tanda-tanda dari penyakit TB Paru adalah batuk-batuk,
sering
kedinginan/menggigil,
kelelahan, malas makan dan berat badan menurun. “katanya…tidak menular. Tapi..penyakit keturunan…”(SC; 90) serupa: (SC; 132-141) “sering kedinginan…itu mulai kambuh batuknya..kelelahan..kecapaian..“(SC; 104118). “berat badan ne 52..turun 3 kilo.49…”(SC; 120-123) Berdasarkan pendapat SC bahwa penyakit TB Paru bukan penyakit yang menular tetapi penyakit keturunan maka tidak ada upaya khusus untuk mencegah penularan penyakit TB Paru yang dilakukan dalam keluarga SC. Menurut SC juga mereka menerapkan bahwa sebagai orang desa menutup mulut ketika batuk perlu dilakukan untuk menjaga sikap tenggang rasa. Menurut SC, semua makanan baik tetapi harus makanan yang berminyak sesuai saran dokter
tetapi
tidak
mengetahui
alasannya.
Terkait akan kebutuhan gizi dan upaya lain, SC tidak menyarankan apa-apa kepada anggota
40
keluarga. Anggota keluarga harus menjaga dirinya masing-masing. SC juga masih rutin melakukan pengobatannya di Rumah Sakit Paru Salatiga. “kalau orang desa itu kan punya tenggang rasa itu mbak..”(SC;159-171) “makanan kalau yang berminyak-minyak gitu, ya dihindari.“(SC; 189-194) ya..masih.”(SC; 24)
4.4 Pembahasan 4.4.1 Pengetahuan Keluarga Mengenai Penyakit TB Paru Berdasarkan hasil wawancara peneliti mengenai pengertian penyakit TB Paru terhadap partisipan penelitian,
diperoleh
bahwa
penyakit
TB
Paru
merupakan suatu penyakit yang menyerang paru, mengganggu pernapasan dan merupakan penyakit menular yang ditandai dengan batuk-batuk, batuk berdarah, demam, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, dan dada terasa sakit/sesak. Selain itu, penyakit TB Paru terjadi karena tertular bakteri atau bakteri penyebab penyakit TB Paru dari penderita TB Paru.
41
Hasil penelitian mengenai pengertian penyakit TB Paru ini sesuai dengan pengertian dari Depkes RI (2006) yang mengatakan bahwa penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
bakteri
TB
(Mycobacterium
tuberculosis).
Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Sibuea dkk. (2005) dalam bukunya mengungkapkan bahwa TB Paru merupakan suatu penyakit dengan gejala batuk berkepanjangan dan mengeluarkan dahak berwarna kekuningan, kadang-kadang dahak bercampur darah, batuk darah, lelah, demam, kehilangan nafsu makan dan berat badan menurun. Suharjo (2010) juga menyatakan bahwa gejala umum TB pada orang dewasa adalah batuk terus menerus selama 2 – 3 minggu atau lebih, batuk berdahak kadang berdarah, nyeri dada, penurunan berat badan, demam, menggigil, berkeringat pada malam hari, kelelahan, dan kehilangan nafsu makan. Pada anak-anak, keluhan yang sering terjadi adalah
42
tidak mau makan dan berat badan jauh di bawah ratarata anak seumurnya. Ada juga kesalahpahaman yang peneliti temukan yaitu keluarga C dalam penelitian ini menganggap bahwa penyakit TB Paru bukanlah penyakit menular melainkan
penyakit
keturunan
berdasarkan
latar
belakang yang dialami keluarga. Hal ini sejalan dengan penelitian Ottmani dkk. (2008) yang menemukan bahwa stigma dalam masyarakat mengenai penyakit TB Paru adalah bukan penyakit menular melainkan karena kondisi hidup, sosial ekonomi makanan, faktor perilaku dan latar belakang keluarga. 1.4.2
Pengetahuan Keluarga Mengenai Penularan Penyakit TB Paru Hasil
penyakit
wawancara TB
Paru
mengenai menurut
cara
penularan
pendapat
partisipan
penelitian diperoleh bahwa penularan penyakit TB Paru terjadi melalui udara saat pasien TB Paru batuk, melalui komunikasi langsung dalam jarak dekat dengan penderita dan melalui dahak penderita yang dibuang sembarangan sehingga bakteri tuberkulosis
43
dapat menyebar ke udara dan tertiup angin kemudian terhirup oleh orang lain. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Suharjo (2010) yang mengatakan bahwa penyakit TB Paru ditularkan melalui percikan batuk penderita TB yang mengandung bakteri TB. Bakteri TB menyebar dengan mudahnya,
satu
orang
yang
terinfeksi
dapat
menularkan kepada 10 – 15 orang lainnya. Daya penularan seorang penderita TB Paru ditentukan oleh banyaknya bakteri tuberkulosis yang dikeluarkan dari parunya
melalui
proses
batuk.
Faktor
yang
mempengaruhi kemungkinan seorang mengidap TB Paru adalah daya tahan tubuh yang rendah, gizi buruk, dan sedang menderita penyakit lain (HIV dan Diabetes Melitus). Laban (2008) dalam bukunya juga mengatakan bahwa
pada
waktu
berbicara,
meludah,
bersin,
ataupun batuk, penderita TB Paru akan mengeluarkan bakteri TB yang ada di paru-parunya ke udara bebas dalam bentuk percikan. Ini sejalan dengan penelitian Tewa dkk., (2011) bahwa orang yang terinfeksi dengan TB paru aktif dapat menyebarkan bakteri penyakit
44
melalui batuk, bersin, berbicara, mencium, atau meludah. Depkes RI (2006) dalam buku pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis menyebutkan bahwa sumber penularan adalah pasien TB Paru BTA positif. Penularan dapat terjadi pada waktu penderita TB Paru batuk atau bersin, sehingga menyebarkan bakteri ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Satu kali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya bakteri yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pula penderita TB Paru tersebut. Faktor yang memungkinkan
seseorang
terpajan
bakteri
tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Ditinjau dari hasil penelitian dan teori, maka peneliti menyimpulkan bahwa penularan penyakit TB Paru
45
terjadi melalui percikan dahak (droplet nuclei) dan ludah
yang
mengandung
bakteri
tuberkulosis.
Penularan juga terjadi ketika penderita TB Paru batuk dan berbicara. Droplet nuclei itulah yang mengandung bakteri tuberkulosis. Penderita TB Paru yang dimaksud adalah penderita TB Paru dengan hasil pemeriksaan BTA positif aktif. Makin tinggi derajat kepositifan penderita TB Paru, maka makin tinggi pula daya penularannya terhadap orang lain yang dekat dengan penderita terutama keluarga. Menurut Satyo & Agustin (2007), tidak semua orang yang terinfeksi bakteri bakteri tuberkulosis akan mengidap TB Paru. Setiap orang akan memiliki kekebalan TB paru jika sejak bayi sudah diberi imunisasi BCG. Penularan TB dapat terjadi di mana saja. Individu yang memiliki kondisi tubuh yang lemah, kurang gizi, kekurangan protein, kekurangan darah dan kurang beristirahat akan mudah tertular oleh penyakit TB Paru. Bakteri tuberkulosis menyukai lingkungan
kotor.
Kondisi
ini
menyuburkan
pertumbuhan bakteri TB. Apalagi jika penderita TB Paru meludah dan membuang dahak sembarangan
46
dan orang di sekitar penderita belum di imunisasi BCG, kurang gizi dan hidup di lingkungan yang kumuh. Oleh karena
itu,
penularan
dapat
dihindari
dengan
menghindari faktor penyebab penularannya sehingga perlu adanya upaya pencegahan terhadap penularan penyakit TB Paru itu sendiri. 1.4.3
Pengetahuan Keluarga Mengenai Upaya Pencegahan Penularan Penyakit TB Paru Hasil penelitian peneliti mengenai pengetahuan
keluarga
terhadap
upaya
pencegahan
penularan
penyakit TB Paru diperoleh bahwa keluarga dapat menyebutkan dan melakukan beberapa upaya untuk mencegah penularan penyakit TB Paru. Menurut keluarga, tindakan atau upaya pencegahan penularan penyakit
TB
Paru
dilakukan
agar
tidak
terjadi
penularan dari penderita TB Paru ke anggota keluarga lainnya. Berikut hasil penelitian peneliti. Pertama,
mengupayakan
penderita
TB
Paru
termasuk orang sehat terutama anak-anak untuk menutup mulut dan hidung pada saat kontak langsung dan pada saat penderita TB Paru batuk. Kedua, mengupayakan
penderita
47
TB
Paru
agar
tidak
membuang
dahak/ludah
sembarangan
melainkan
menyiapkan tempat khusus. Ketiga, mengupayakan membersihkan diri dan mengganti pakaian setelah kontak dengan penderita TB Paru serta menjaga kebersihan makanan. Keempat, tidak tidur bersama dengan pasien penderita TB Paru. Kelima, tidak menggunakan alat makan bersama dengan penderita TB Paru. Keenam, menjemur alat tidur penderita, mengupayakan penderita TB Paru untuk berjemur pada pagi hari dan mengupayakan untuk membuka pintu
dan
jendela
pada
pagi
hari.
Ketujuh,
mengupayakan penderita TB Paru agar rutin kontrol ke rumah sakit dan kedelapan adalah mempertahankan daya
tahan
tubuh
keluarga
sendiri
dengan
mengkonsumsi makanan yang bergizi serta sudah mendapat imunisasi BCG. Hasil penelitian tentang pengetahuan keluarga mengenai upaya pencegahan penularan penyakit TB Paru ini sesuai dengan Mandal dkk. (2006) yang mengatakan bahwa jika penderita TB Paru membuang ludah atau dahak sembarangan, ludah dan dahaknya akan
mengering
dan
48
bakterinya
sangat
mudah
diterbangkan angin. Karena itu harus disiapkan tempat khusus untuk menampung dahak penderita dan diberi desinfektan. Dengan demikian, menjadi tugas keluarga untuk mengingatkan penderita TB Paru agar menutup mulut dengan sapu tangan, tisu atau masker pada saat batuk sehingga dapat mencegah atau mengurangi bakteri tuberkulosis yang akan menyebar ke udara. Penderita TB Paru dan keluarga harus menyiapkan tempat khusus
yang
tertutup
untuk
membuang
dahak
menunjukkan
bahwa
penderita. Hasil
penelitian
peneliti
semua anak-anak dalam ketiga keluarga juga sudah mendapat imunisasi BCG (Bacillus Calmette Guerin). Sedangkan para orang tua yaitu keluarga A sudah sedangkan keluarga B dan C tidak tahu sudah diimunisasi BCG atau belum. Keluarga yang belum diimunisasi BCG harus berusaha menjaga daya tahan tubuhnya
dan
meningkatkan
upaya
pencegahan
penularan penyakit TB Paru. Penelitian Beresford (2010) menjelaskan bahwa satu-satunya vaksin yang saat ini digunakan untuk
49
penyakit TB
adalah vaksin BCG. Vaksin BCG
melindungi anak-anak terhadap bentuk penyakit TB yang lebih parah daripada penyakit TB Paru. Oleh karena itu, penting untuk memberikan vaksin ini pada anak-anak sejak usia dini. Sebagian besar orang yang telah mendapat vaksin BCG dan terinfeksi TB Paru tidak
dapat
menghilangkan
patogennya
tetapi
mengaktifkan kembali dan meningkatkan kekebalan tubuh terhadap TB Paru saat kekebalan tubuh melemah. Suharjo (2010) dalam bukunya mengatakan bahwa vaksin
BCG
(vaksin
hidup
yang
dihilangkan
virulensinya) memberi perlindungan terhadap penyakit TB Paru. Vaksin TB tidak mencegah infeksi TB, tetapi mencegah infeksi TB berat (TB meningitis dan TB milier) yang sangat mengancam nyawa. Vaksinasi BCG memberikan proteksi yang bervariasi antara 50% - 80% terhadap tuberkulosis. Pemberian vaksinasi BCG sangat bermanfaat bagi anak, sedangkan bagi orang dewasa manfaatnya masih kurang jelas. Daya tahan seseorang terhadap penyakit TB Paru berkaitan dengan keberadaan bakteri tubercle bacilli yang hidup
50
di dalam darah. Vaksin BCG akan merangsang kekebalan dan meningkatkan daya tahan tubuh tanpa menyebabkan kerusakan. Sesudah vaksinasi BCG, tidak menutup kemungkinan bakteri TB akan masuk ke dalam tubuh. Akan tetapi daya tahan tubuh yang baik dan meningkat akan dapat mengendalikan bahkan membunuh bakteri tuberkulosis. Keluarga juga harus mendukung penderita TB Paru sendiri agar rutin melakukan pengobatannya dan mengupayakan agar tidak menularkan ke anggota keluarga lainnya. Penderita TB Paru dalam ketiga keluarga juga masih rutin melakukan pengobatannya. Mandal dkk. (2006) mengatakan bahwa penderita TB Paru harus melakukan pengobatan dengan teratur. Dengan melakukan pengobatan secara rutin, maka dapat mengurangi daya penularan penyakit TB Paru ke anggota keluarga lainnya. Dalam penelitian ini, keluarga B mengetahui dan melakukan
semua
upaya
pencegahan
penularan
penyakit PB Paru. Keluarga A mengetahui semua upaya
pencegahannya
tetapi
hanya
melakukan
beberapa upaya karena keluarga lebih mementingkan
51
menjaga perasaan daripada harus membatasi kontak dengan penderita. Keluarga C memiliki anggapan bahwa penyakit TB Paru adalah penyakit keturunan. Keluarga tahu tanda-tanda penyakit TB Paru tetapi tidak mengetahui tentang penularannya sehingga tidak ada upaya pencegahan penularan penyakit TB Paru. Keluarga C hanya melakukan tindakan menutup mulut ketika batuk karena hal itu sudah menjadi kebiasaan di desa mereka demi tenggang rasa. Berdasarkan Notoadmodjo (2007), maka tingkatan pengetahuan keluarga A adalah tahu dan memahami, tingkatan pengetahuan keluarga B adalah tahu, memahami
dan
aplikasi
sedangkan
tingkat
pengetahuan keluarga C hanya sebatas tingkatan tahu. Dilihat dari observasi terhadap lingkungan rumah, keluarga A dan B memiliki jendela dan ventilasi, sedangkan keluarga C tidak memilki ventilasi. Jenis lantai keluarga A dan C adalah keramik sedangkan keluarga B adalah semen.
Ventilasi merupakan
masalah yang tidak dimiliki keluarga B. Dinding rumah keluarga B dan C terbuat dari papan, sedangkan dinding rumah keluarga A terbuat dari tembok batu.
52
Dinding rumah yang terbuat dari papan juga dapat mengurangi hawa dingin dalam rumah. Kondisi yang demikian
dapat
menekan
daya
hidup
bakteri
tuberkulosis. Keluarga
dalam
penelitian
peneliti
juga
mengatakan selalu membuka jendela pada pagi hari. Berdasarkan sifat bakteri tuberkulosis yang dapat bertahan hidup di lingkungan yang lembab, maka upaya membuka jendela, pintu dan adanya ventilasi dapat membantu mensterilkan ruangan dan alat-alat yang ada dalam ruangan dengan sinar matahari. Bakteri-bakteri tuberkulosis yang keluar saat penderita TB Paru batuk dapat bertebaran ke udara terbuka dan dapat mati karena terkena sinar matahari. Selain membuka jendela dan adanya ventilasi dalam rumah, alat tidur penderita TB Paru juga perlu disterilkan dengan sinar matahari. Keluarga juga selalu menjemur alat tidur penderita TB Paru karena alat tidur penderita
juga
berpotensi
menjadi
tempat
menempelnya bakteri TB Paru. Oleh karena itu bakteri TB Paru yang menempel pada alat tersebut dapat mati
53
dengan sinar matahari. Penjemuran yang rutin akan membunuh bakteri TB Paru. Ada kesalahpahaman lagi yang peneliti temukan yaitu
keluarga
B
mengupayakan
pencegahan
penularan penyakit TB Paru dengan memisahkan alat makan penderita TB Paru. Alat makan tidak berpotensi menjadi sarana penularan penyakit TB Paru dan tidak ada pula teori yang mengatakan demikian. Ini sejalan dengan penelitian Khan dkk. (2006) yang menemukan bahwa memisahkan piring dengan penderita TB Paru adalah
hal
yang
dilakukan
untuk
mencegah
penyebaran TB Paru. Stigma dalam masyarakat menyebabkan infeksi TB paru semakin tinggi di masyarakat. Keluarga A dan B juga berusaha meningkatkan daya tahan tubuh dengan makan makanan bergizi. Makanan bergizi perlu untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit terutama penyakit menular seperti penyakit TB Paru. Semua upaya pencegahan penularan penyakit TB paru perlu didukung dengan kebersihan rumah. Hasil observasi peneliti terhadap lingkungan rumah keluarga
54
A, B maupun keluarga C menunjukkan bahwa kondisi kebersihan rumah keluarga A dan keluarga C baik sedangkan keluarga C masih kurang. Kebersihan menjadi salah satu faktor pendukung dalam upaya pencegahan penularan penyakit TB paru karena bakteri tuberkulosis menyukai lingkungan yang kotor. Hasil observasi peneliti ini sesuai dalam teori Achmadi (2005)
yang
menyebutkan
bahwa
kelembaban
berkaitan erat dengan ventilasi karena sirkulasi udara yang tidak lancar akan mempengaruhi suhu udara dalam rumah menjadi rendah, sehingga kelembaban udaranya tinggi. Hasil penelitian dan observasi tersebut juga sesuai dengan Depkes RI (2001) dalam buku pedoman nasional
penanggulangan
tuberkulosis
yang
menyebutkan bahwa upaya pencegahan penularan penyakit TB Paru yang harus dilakukan adalah menutup mulut pada waktu batuk atau bersin, tidur terpisah dari keluarga terutama pada dua minggu pertama pengobatan, tidak meludah di sembarang tempat, tetapi dalam wadah yang diberi desinfektan kemudian dibuang dalam lubang dan ditimbun dalam
55
tanah, menjemur alat tidur secara teratur pada pagi hari dan selalu membuka jendela pada pagi hari agar rumah mendapat udara bersih dan cahaya matahari yang cukup. Dengan upaya demikian maka dapat membunuh bakteri tuberkulosis paru. Bagi orang sehat sendiri upaya yang penting dilakukan adalah meningkatkan daya tahan tubuh antara lain dengan makan makanan yang bergizi, tidur dan istirahat yang cukup, serta melakukan imunisasi BCG pada bayi. Jika mengalami batuk lebih dari tiga minggu sebaiknya memeriksakan diri ke rumah sakit. Jadi, tindakan mencegah terjadinya penularan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yang utama adalah
penderita
TB
Paru
penting
untuk
mengkonsumsi obat anti tuberkulosis dengan patuh sesuai ketentuan penggunaan obat. Pencegahan lain yang juga dilakukan adalah dengan cara mengurangi atau menghilangkan faktor resiko yang pada dasarnya adalah mengupayakan kesehatan lingkungan rumah dan perilaku serta mengurangi kepadatan anggota keluarga.
56
4.5 Keterbatasan Penelitian Keterbatasan
penelitian
ini
adalah
peneliti
hanya
melakukan wawancara dengan partisipan yang sudah berusia di atas 30 tahun. Peneliti tidak mendapatkan partisipan berusia 15 – 30 tahun. Secara teknis, kesulitan dalam penelitian ini adalah mencari alamat partisipan. Jumlah pasien kunjungan dengan TB Paru BTA positif di RSPAW Salatiga cukup banyak pada tahun 2014, akan tetapi jumlah pasien TB Paru BTA positif aktif dalam lingkup Salatiga tidaklah begitu banyak sesuai harapan peneliti. Kebanyakan pengunjung berasal dari luar kota Salatiga.
57