44
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian
Rapi Films adalah sebuah perusahaan produksi film Indonesia. Perusahaan yang bermarkas di Jakarta ini didirikan tahun 1968. Operasional perusahaan dimulai dengan mengimpor film-film Amerika dan Eropa. Pada tahun 1971 divisi produksi film dibentuk. Divisi untuk serial televisi dibentuk pada tahun 1994. Sebagai salah satu production house terkemuka di negara ini, Rapi Films tidak hanya memproduksi film untuk pasar domestik, tetapi selama 15 tahun terakhir ini mereka juga sudah berhasil menembus pasar internasional. Beberapa hasil produksi dari Rapi Films baik sinetron maupun film yang cukup sukses di indonesia adalah sebagai berikut :
45
Sinetron
Noktah Merah Perkawinan 1-2 (1995-1997)
Papaku Keren-keren (2003-2004)
Inikah Rasanya (2003-2005)
Ronaldowati (2007-2008)
Doo Be Doo (2008)
Tarzan Cilik (2009)
Buku Harian Baim (2009-2010)
Film
Joshua oh Joshua (2000)
Inikah Rasanya Cinta (2005)
D’Bijis (2007)
40 Hari Bangkitnya Pocong (2008)
Taring (2010)
Pocong Jumat Keliwon (2010)
3 Pejantan tangguh (2010)
Radio galau FM (2012)
Sang Kiai (2013
46
4.2 Deskripsi data Penelitian
Sutradara
: Rako Prijanto
Produser
: Gope T. Samtani
Pemeran
: Ikranagara, Christine Hakim, Agus Kuncoro, Adipati Dolken
Studio
: Rapi Films
Durasi
: 135 menit
Tanggal Rilis
: 30 Mei 2013
Bahasa
: Indonesia
4.2.1 Sinopsis Film Sang Kiai Di tahun 1942 jepang melakukan ekspansi ke indonesia, tepatnya di jawa timur. Beberapa KH dari beberapa pesantren di tangkap oleh pasukan jepang karena di anggap melakukan perlawanan. KH Hasyim Asy’ari (Ikranagara) yang
47
merupakan pimpinan pondok pesantren tebu ireng pun di tangkap karena menolak untuk melakukan Sekerei (menyembah dewa matahari) dan dianggap telah menentang jepang. Penangkapan KH Hasyim Asy’ari ini membuat kericuhan serta ketegangan di pesantren tebu ireng, kedua santri Harun (Adipati Dolken) dan Khamid (Royhan Hidayat) yang tidak terima dengan penangkapan itu pun membuntuti tentara jepang sampai ke tempat penahanan KH Hasyim Asy’ari, namun hal itu berakhir tragis dengan di tembak matinya Khamid setelah para tentara jepang mengetahui bahwa mereka sedang di buntuti oleh santri tebu ireng. Kematian Khamid membuat kondisi pesantren tebu ireng semakin memanas, para santri dan KH Wahin Hasyim (Agus Kuncoro) yang merupakan anak dari KH Hasyim Asy’ari pun mendatangi tempat penahanan Kyai dengan jalan damai dan diplomasi agar dapat membebaskan Kyai. dengan proses yang panjang bahkan KH Hasyim Asy’ari di pindah penjara hingga tiga kali. Mulai dari penjara jombang, mojokerto, hingga bubutan, surabaya. Akhirnya KH Hasyim Asy’ari dan KH lainnya di bebaskan oleh jepang dengan syarat rakyat pribumi harus menyerahkan hasil bumi mereka dua kali lipat kepada jepang. Hal ini mengakibatkan penderitaan bagi rakyat pribumi dengan habisnya persediaan bahan makanan yang membuat mereka kelaparan. Harun yang tidak terima atas aturan jepang pun meminta rakyat pribumi untuk berani melawan balik jepang. Namun pada saat itu, kekuatan jepang mulai runtuh akibat kalah perang oleh pihak sekutu, melihat peluang ini utusan presiden Soekarno
48
mendatangi KH Hasyim Asy’ari guna menanyakan fatwa hukumnya membela tanah air, dan Kyai pun menjawab dengan mengeluarkan resolusi Jihad yang menyebutkan membela tanah air dari para penjajah hukumnya adalah wajib atau Fardhu ain. Hal ini membuat barisan santri dan masyarakat surabaya membentuk Laskar Hisbullah dan berduyun-duyun tanpa rasa takut berperang melawan para sekutu di surabaya. Dalam film Sang Kiai yang di sutradarai oleh Rako Prijanto ini bermula dengan setting konflik yang dimulai pada rentang waktu 1942-1943 saat jelang detik-detik kemerdekaan Republik Indonesia sebelum kedatangan tentara sekutu. Secara utuh, film “Sang Kiai”
sesungguhnya ingin menampilkan sosok KH
Hasyim Asy’ari yang hidup pada dua rezim penjajahan yaitu jepang dan belandasekutu. Di film ini, sosok KH Hasyim Asy’ari tidak melulu digambarkan sebagai tokoh pimpinan ormas islam Nadhlatul Ulama terbesar di Indonesia semata. Lebih dari itu, film Sang Kiai juga menampilkan sisi Universalisme, Nasionalisme dan Humanisme seorang ulama. film yang bertemakan drama kolosal ini melibatkan lebih dari 5000 pemeran pembantu dalam proses pembuatannya serta dengan setting lokasi, artistik, wardrobe, serta visual efek pertempuran yang dikemas dengan sedemikian rupa hingga menghabiskan dana kurang lebih 10 Milyar untuk proses pembuatan Film Sang Kiai ini. Film Sang Kiai dirilis pada 30 Mei 2013 dan telah menarik 219.734 penonton. Namun jumlah tersebut terbilang lebih sedikit apabalia dibandingkan dengan film bertemakan perjuangan nasional sebelumnya seperti Merah Putih (2009) yang meraup hingga 1 juta penonton, kemudian Darah Garuda (2010)
49
menarik perhatian lebih dari 700 ribu penonton, lalu film Soegija (2012) yang mendapatkan 410 ribu penonton. Tetapi dengan jumlah penonton yang tidak begitu banyak, film Sang Kiai berhasil menyabet empat penghargaan bergengsi dalam ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2013 yakni, Kategori Film terbaik, Sutradara terbaik, Pemeran pembantu pria terbaik, dan Tata suara terbaik. mengungguli Film-film Box Office Indonesia seperti 5CM, Habibie dan Ainun, Laura dan Marsha, Belenggu. Selain itu, Film Sang Kiai juga turut diikut sertakan dalam ajang yang amat bergengsi yaitu piala Oscar 2014 sebagai nominasi kategori film berbahasa asing terbaik.
4.2.2 Pemeran Dalam Film Sang Kiai a) Ikranagara – KH Hasyim Asy’ari KH Hasyim Asy’ari merupakan seorang Ulama besar asal Jombang, Jawa timur yang dijluki sebagai “Hadratus Syeikh” atau maha guru dan merupakan salah satu pendiri dari organisasi islam terbesar di Indonesia yaitu Nadhlatul Ulama (NU). beliau merupakan Pimpinan pesantren Tebu ireng di jombang dan merupakan salah satu tokoh masyarakat sekaligus pahlawan kemerdekaan Republik indonesia pada jaman penjajahan Jepang dan Belanda – Sekutu. Sikapnya yang ramah dan bersahaja mebuatnya amat di hormati dan di cintai oleh masyarakat.
50
b) Agus Kuncoro – KH Wahid Hasyim KH Wahid Hasyim merupakan anak dan orang terdekat KH Hasyim Asy’ari, beliau merupakan ayah dari mantan presiden ke empat Republik Indonesia yaitu Gusdur, beliau juga merupakan salah tokoh ulama dan pahlawan nasional serta salah satu pengurus dan guru di pesantren tebu Ireng yang mengajarkan para santri menulis dengan huruf latin serta bahasa Inggris dan Belanda.
c) Christine Hakim – Nyai Kapu Nyai Kapu adalah sosok perempuan yang merupakan istri dari KH Hasyim Asy’ari, beliau selalu mendampingi dan mendukung setiap keputusan yang di ambil oleh KH Hasyim asari. Ia juga merupakan sosok yang tegar dan penyabar, Nyai Kapu juga merupakan guru dari para santri wanita di pesantren Tebu Ireng.
d) Adipati Dolken – Harun Harun adalah seorang pemuda sekaligus santri dari pesantren Tebu Ireng, merupakan orang yang cukup dekat dan sangat menghormati KH hasyim Asy’ari, wataknya cukup keras, mempunyai dua sahabat dekat yaitu Khamid dan Abdi yang sama-sama tinggal di pesantren Tebu Ireng.
51
e) Meriza Febriani – Sari Sari adalah seorang wanita yang pemalu, ia tinggal di sekitaran pesantren Tebu ireng, ia sering bertemu Harun setiap hari dan mereka pun saling mencintai, Sari pun di lamar dan di nikahi oleh Harun dengan KH Hasyim Asy’ari yang bertindak sebagai wali untuk Harun. Ia merupakan sosok istri yang penurut kepada suaminya.
f) Dimas Aditya – Husyein Husyein adalah orang Indonesia yang bekerja untuk jepang sebagai penerjemah bahasa Indonesia-Jepang. Ketika ia bertemu KH Hasyim Asy’ari saat di penjara ia pun merasa tergugah untuk membela tanah air dan ikut berjuang bersama Kh Hasyim Asy’ari.
g) Earnestan Samudra – Abdi Abdi merupakan salah satu santri Tebu Ireng yang merupakan sahabat dari Harun, ia sangat menghormati KH Hasyim Asy’ari dan mendukung segala keputusan yang di ambil oleh sang Kiai pada saat yang genting, ikut serta dalam barisan Laksar Hisbullah untuk berperang melawan penjajah.
h) Dimas Shimada – Komandan Kempetei Merupakan seorang komandan yang di utus langsung oleh kaisar jepang untuk mengekspansi negara di asia yang salah satunya adalah Indonesia, ia adalah komandan yang amat bengis dan kejam serta orang yang
52
menangkap para KH dari berbagi pesantren untuk di paksa melakukan Sekerei (memuja dewa matahari).
i) Andrew Trigg – Brigadir Jendral Mallaby Brigadir Jendral Mallaby adalah komandan brigade 49 divisi india dengan kekuatan 6000 pasukan yang merupakan bagian dari Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI). Pasukan sekutu yang dikirim ke Indonesia setelah perang dunia II untuk melucuti persenjataan tentara jepang, dan membebaskan tawanan jepang. Dalam film Sang Kiai ini Brigadir Jendral Mallaby di tembak oleh Harun saat sedang terjadi kekacauan di jembatan merah, Surabaya.
4.3 Analisis Data Penelitian
Film Sang Kiai, hasil karya Rako Prijanto yang di putar di bioskop-bioskop di Indonesia. Yang di analisis adalah beberapa adegan serta gambar yang mengandung patriotisme yang ditampilkan para tokoh dalam film Sang Kiai, yang telah dipilih oleh penulis dalam bentuk gambar framing secara bersambung dalam satu adegan utuh, dengan demikian adegan-adegan yang berkaitan dengan nilai patriotisme itu yang dianalisis. Salah satu film Indonesia yang bagus dan pernah ditayangkan adalah Sang Kiai, film ini dirilis pada 30 Mei 2013. Film yang berdurasi 135 menit ini berhasil menghadirkan sosok KH Hasyim Asy’ari yang merupakan salah satu tokoh
53
masyarakat sekaligus pahlawan nasional yang sangat berpengaruh dalam perjuangan umat islam merebut kemerdekaan Republik Indonesia pada jaman penjajahan jepang dan belanda-sekutu. Film ini telah banyak dinantikan oleh masyarakat, karena ini merupakan film kolosal yang tidak hanya mengangkat profil dari salah satu ulama besar yang merupakan pendiri ormas islam terbesar di Indonesia yaitu Nadhlatul ulama (NU), namun film ini juga sarat akan nilai agama yang kental dengan sisi humanisme yang amat menarik. Tidak hanya itu, sang sutradara juga memasukkan unsur drama dan komedi di film ini ini sebagai pemanis dan untuk membangun suasana. Sang sutradara Rako Prijanto ingin memperlihatkan sisi patriotisme dan keagamaan yang menjadi adegan penting dalam film Sang Kiai serta menggambarkan kondisi tokoh sentral dalam film ini tanpa harus menjadikan film ini menjadi sebuah analisa psikologis. Hal yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah bagaimana makna tanda-tanda yang terdapat dalam film Sang Kiai. Tanda-tenda tersebut diantaranya diformulasikan dalam bentuk unsur tanda atau sifat patriotisme yang ada pada tokoh di sepanjang film ini. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode analisis semiotika milik Roland Barthes, dimana menurut Barthes, penanda-penanda konotasi terjadi dari sistem tanda-tanda denotasi. Melalui langkah pertama, data dibaca dan dianalisis secara kualitatif interpretatif. Pada langkah kedua, data yang telah dikelompokkan baru dimaknai secara denotatif kemudian dimaknai secara konotatif. Untuk langkah yang terakhir adalah memaparkan sosok patriotisme yang tersirat dalam pembungkus tanda.
54
Dalam melakukan analisis film Sang Kiai, peneliti akan menetapkan adegan dalam sekuen yang menurut peneliti patut untuk dianalisa. Adegan tersebut terdapat dalam sekuen satu, sekuen dua, sekuen tiga, sekuan empat, dan sekuen lima. Setelah melakukan pengamatan secara visual terhadap film Sang Kiai, penulias hanya menganalisis gambar dari adegan di dalam film yang mengandung nilai-nilai patriotisme sebagai berikut :
SCENE 1 Adegan pertama yang dipilih oleh peneliti adalah adegan dimana para santri yang mengenakan baju koko, sarung dan peci berusaha menghalangi tentara bersenjata Jepang yang memasuki pesantren Tebu Ireng dengan niat untuk menangkap KH Hasyim Asy’ari yang di anggap menentang Jepang karena menolak melakukan Sekerei (menyembah dewa matahari). Teknik pengambilan gambar pada gambar pertama yaitu longshoot untuk menampilkan beberapa objek dan lingkungan sekitar terlihat dengan jelas kemudian teknik pengambilan gambar pada gambar kedua yaitu medium shoot dengan menggunakan teknik high angle untuk menampilkan kesan para santri tebu ireng sedang dalam kondisi tertekan.
55
Makna
Denotasi
yang terkandung dalam
gambar
adegan tersebut
menampilkan situasi sedang terjadi kericuhan di pelataran pesantren antara para santri Tebu Ireng dengan para tentara Jepang. mereka berusaha melindungi KH Hasyim Asy’ari dari tentara jepang yang ingin menangkap dan membawanya yang
dianggap
menentang
jepang
karena
menolak melakukan sekerei
(menyembah dewa matahari), terlihat salah satu santri yang kesakitan memegangi pelipis matanya karena di pukul dengan gagang senapan oleh tentara jepang. Sedangkan makna Konotasi pada gambar adegan tersebut yaitu adanya sifat keberanian dan rela berkorban para santri tebu ireng untuk melindungi seseorang yang amat di hormatinya dari ancaman musuh bagaimanapun caranya meskipun harus mengorbankan diri mereka sendiri. Mitos dari gambar adegan tersebut merupakan sikap melindungi dan rela berkorban para santri tebu ireng terhadap KH Hasyim Asy’ari karena para santri menganggap beliau sebagai sosok peminpin suatu pesantren besar dan orang yang dihormati.
56
Ideologi pada gambar adegan tersebut adalah sikap berani membela kaumnya, dalam hal ini adalah para santri Tebu Ireng terhadap KH Hasyim Asy’ari karena merasa terjajah dan ditindas oleh pihak Jepang.
SCENE 2 Salah satu santri Tebu Ireng menyerukan perlawanan terhadap tentara jepang dengan menaiki balkon lantai 2 pesantren dan berteriak Allahuakbar sambil menggenggam bendera merah putih dengan tujuan agar para santri yang lain tidak takut dan berani melawan tentara jepang yang mengusik mereka dan ingin menangkap KH Hasyim Asy’ari selaku pimpinan pesantren tebu ireng. Otomatis semua perhatian seluruh santri yang ada ditempat itu tertuju kepada salah satu santri tersebut,, dan melihat tindakan itu membuat tentara jepang geram dan ingin menembaknya. Teknik pengambilan gambar pada gambar pertama adalah low angle shoot untuk menampilkan sisi keberanian dan kegagahan dari salah seorang santri tersebut. Pada gambar kedua menggunakan teknik medium shoot untuk menampilkan ekspresi KH Hasyim Asy’ari dan para santri yang lain.
57
Makna Denotasi pada gambar adegan tersebut menampilkan Seorang santri yang memakai baju koko, sarung dan peci sambil menggenggam bendera merah putih dan mengepalkan tangan ke atas dan berteriak Allahuakbar menyerukan perlawanan terhadap tentara jepang yang ingin menangkap KH Hasyim Asy’ari, sontak perhatian semua tertuju kepada santri yang berdiri di atas balkon lantai dua pesantren. terlihat tentara jepang yang kesal atas tindakan salah seorang santri tersebut. Sedangkan makna Konotasi yang terdapat pada kutipan gambar adegan tersebut adalah semangat yang membara dari salah satu orang dapat menumbuhkan semangat dan keberanian yang sama terhadap orang lain dalam situasi dan kondisi yang sama ketika menghadapi ancaman yang datang dari luar. Pose mengepalkan tangan keatas adalah bentuk semangat yang membara, Sedangkan bendera merah putih yang di genggam oleh santri tersebut melambangkan atau simbolis negara indonesia yang berani dan tidak ada rasa takut terhadap para penjajah. Mitos pada gambar adegan tersebut adalah Kalimat Allahuakbar (Allah Maha Besar) yang diserukan oleh santri tersebut di maknai bahwa Allah adalah maha besar dan maha berkuasa dan tidak ada kata takut selain takut kepada Allah SWT, Dalam hal ini adalah berperang melawan penjajah. Ideologi dalam gambar adegan tersebut adalah sikap berani melawan penindasan yang dalam hal ini adalah tentara Jepang terhadap KH Hasyim
58
Asy’ari. Hal ini dilakukan untuk membela orang yang dihormati dari ancaman yang datang.
SCENE 3 KH Hasyim Asy’ari yang mengenakan sorban putih, serta pakaian serba putih bersedia di tangkap oleh tentara Jepang yang dianggap telah menentang Jepang karena menolak untuk melakukan sekerei (menyembah dewa matahari). Beliau dengan ikhlas ditangkap karena tidak ingin terjadi pertumpahan darah di dalam pesantren tebu ireng antara para santri dan tentara jepang. dengan wajah yang tenang dan penuh keikhlasan. Hal ini sontak membuat para santri dan pengurus pesantren tebu ireng lainnya cemas. Teknik pengambilan gambar pada adegan tersebut menggunakan medium shoot untuk memperlihatkan ekpresi serta gesture dari objek yang terdapat di dalam frame.
Makna Denotasi yang terdapat pada gambar adegan tersebut menampilkan KH Hasyim Asy’ari yang mengenakan sorban putih, serta pakaian serba putih bersedia dengan berani dan ikhlas ditangkap oleh pasukan bersenjata Jepang karena menolak melakukan sekerei dan dianggap menentang jepang.
59
Sedangkan makna Konotasi yang terkandung dalam adegan tersebut adalah sikap seorang KH Hasyim Asy’ari yang merupakan pimpinan pesantren tebu ireng bersedia ditangkap dan melarang para santri untuk melawan tentara jepang yang bersenjata lengkap dengan tujuan untuk melindungi para santri agar tidak disakiti dan terjadi pembantaian oleh tentara Jepang. Sikap kepahlawanan yang ditunjukkan KH Hasyim Asy’ari adalah bentuk tanggung jawab dari seorang pemimipin suatu pesantren dengan tujuan melindungi para santrinya. Mitos dari gambar adegan tersebut adalah penangkapan yang dilakukan tentara Jepang terhadap KH Hasyim Asy’ari dikarenakan beliau menolak untuk melakukan sekerei dan hal tersebut dianggap menentang Jepang. KH merupakan sosok yang berpegang teguh pada keimanan dan nilai-nilai Islam dan tidak akan menyembah apapun selain menyembah Allah SWT. Ideologi dari gambar adegan tersebut adalah sikap rela berkorban dari seorang pemimpin yang rela ditangkap oleh musuh agar pengikutnya tidak disakiti dalam hal ini adalah sikap KH Hasyim Asy’ari terhadap para santrinya.
SCENE 4 Pada gambar tersebut terlihat Seorang warga pribumi yang di paksa menurunkan bendera merah putih oleh para tentara Jepang. karena menolak hormat kepada bendera negara Jepang pria tersebut dipukul menggunakan gagang senapan hingga pelipisnya berdarah sambil memegang bendera merah putih di pundaknya. Para rakyat pribumi lain yang takut dengan tentara Jepang pun
60
bersedia melakukan hormat kepada bendera Jepang. teknik pengambilan gambar pada gambar pertama adalah medium shoot untuk menampilkan gestur dan aktifitas objek manusia yang terlihat di dalam frame. Pada gambar kedua menggunakan medium close up untuk memperlihatkan ekspresi dari objek namun latar belakang dapat terlihat dengan baik.
Makna Denotasi pada gambar adegan tersebut menampilkan sebuah situasi dimana seorang warga pribumi yang menolak melakukan hormat kepada bendera Jepang dan dipaksa menurunkan bendera merah putih secara paksa dengan dipukul menggunakan gagang senapan oleh tentara Jepang hingga pelipisnya berdarah. Terlihat para warga pribumi lain yang takut kepada tentara Jepang bersedia untuk melakukan penghormatan terhadap bendera jepang agar tidak di sakiti.
61
Sedangkan makna Konotasi yang terdapat pada gambar adegan tersebut adalah Keberanian yang dimiliki oleh salah satu rakyat pribumi di adegan ini merupakan suatu bentuk perlawanan dan rasa cinta tanah air dengan cara tidak menuruti perintah tentara jepang untuk hormat kepada bendera Jepang yang bercorak matahari terbit, ia lebih memilih untuk disiksa sambil membawa bendera merah putih di pundaknya yang merupakan simbolis negara Republik Indonesia. Mitos dari gambar adegan tersebut adalah pada masa penjajahan Jepang, rakyat pribumi Indonesia dilarang untuk mengibarkan bendera merah putih dan harus menghormati bendera kebangsaan Jepang yang bercorak matahari terbit yang melambangkan dewa matahari. Ideologi pada gambar adegan tersebut adalah keteguhan hati salah seorang rakyat pribumi yang merupakan rakyat Indonesia dengan menentang aturan-aturan yang dibuat oleh pihak Jepang meskipun ia harus disiksa.
SCENE 5 Para santri Tebu Ireng berbondong-bondong ke lokasi di penjaranya KH Hasyim Asy’Ari beserta 32 KH lain dengan tujuan untuk membebaskannya melalui cara damai. Dengan penjagaan pasukan bersenjata Jepang, para santri tanpa gentar terus maju. Pihak jepang pun menolak membebaskan KH Hasyim Asy’ari dan malah menyiksa beliau dengan meperdengarkan suara KH Hasyim Asy’asri yang sedang disiksa menggunakan pengeras suara yang terdapat di depan gerbang. Hal ini sontak membuat para santri tebu ireng geram dan memaksa
62
masuk dengan mendobrak pagar gerbang sehingga memicu kericuhan antara para santri dengan tentara jepang yang berjaga di gerbang. Teknik pengambilan gambar pada gambar yang pertama menggunakan long shoot untuk menunjukkan dimana adegan ini berada, fisik manusia terlihat kecil namun masih terlihat sementara latar sangat mendominasi. Pada gambar kedua menggunakan teknik longsoot dengan high angle shoot untuk menampilkan aktifitas dari objek kerumunan massa yang cukup banyak.
.
Makna Denotasi yang terdapat pada gambar adegan tersebut yakni menampilkan adegan dimana Para santri tebu ireng beramai-ramai mendatangi tempat dimana para tentara jepang menahan KH Hasyim Asy’ari dengan tujuan membebaskan KH dengan cara damai dan aksi tersebut di jaga ketat oleh tentara bersenjata Jepang. Terdapat pengeras suara yang digunakan agar para santri dapat mendengar saat KH Hasyim Asy’ari di siksa. Hal tersebut membuat para santri geram dan berusaha masuk kedalam dengan mendobrak pagar.
63
Sedangkan makna Konotasi yang terkadung dalam gambar adegan tersebut adalah sikap para santri tebu ireng dengan berani dan tanpa rasa takut berusaha membebaskan KH Hasyim Asy’ari beserta 32 KH lainnya yang di tangkap oleh tentara Jepang dengan jalan damai dan atas nama kebenaran. Mitos pada gambar adegan tersebut adalah penangkapan 32 KH oleh pihak Jepang dilakukan karena para KH dinilai menentang jepang dengan menolak dan melarang para rakyat untuk melakukan Sekerei atau menyembah dewa matahari yang merupakan kepercayaan rakyat Jepang yang menganut sistem kepercayaan Shinto yaitu menyembah dewa. Ideologi dari gambar adegan tersebut adalah para santri dari berbagai pesantren berusaha membebaskan KH yang ditangkap oleh Jepang, karena KH merupakan panutan serta tokoh masyarakat yang sangat dihormati oleh para santri dan masyarakat.
SCENE 6 Presiden Soekarno yang mengenakan pakaian kasual berwarna putih dan mengenakan peci beserta jajarannya lebih memilih sikap kooperatif terhadap Jepang dengan tujuan agar bisa berdamai dan mendapatkan kemerdekaan untuk Indonesia dengan syarat yang diberikan oleh pihak jepang yaitu rakyat indonesia harus menyerahkan hasil bumi kepada Jepang dua kali lipat. Pihak jepang meminta agar kesepakatan tersebut di sosialisasikan kepada rakyat Indonesia melaui khotbah pada saat shalat jum’at. Teknik pengambilan gambar pada gambar
64
adegan pertama dan kedua menggunakan long shoot untuk menampilkan aktifitas obejk manusia yang cukup banyak.
Makna Denotasi yang terdapat pada gambar adegan tersebut menampilkan adegan di sebuah ruangan yang terdapat podium serta bendera jepang, dan orangorang yang mengangkat tangan keatas. Presiden soekarno beserta jajarannya lebih memilih sikap kooperatif terhadap jepang dengan menyetujui wacana untuk menyerahkan hasil bumi dua kali lipat dari rakyat indonesia kepada jepang. dengan tujuan agar bisa berdamai dan mendapatkan kemerdekaan untuk Indonesia. Sedangkan makna Konotasi yang terkandung dalam gambar adegan tersebut adalah sikap bijaksana dan rasa tanggung jawab seorang Soekarno yang merupakan presiden dan pemimpin pertama negara Republik Indonesia sedang
65
melakukan proses diplomasi dengan pihak Jepang untuk tujuan berdamai dan mendapatkan kemerdekaan yang di janjikan oleh pihak Jepang apabila syarat yang diberikan dapat dipenuhi. Pada gambar terlihat presiden Soekarno dan para jajarannya mengankat tangan keatas sambil berteriak banzai, hal ini merupakan simbolisasi untuk menghormati pihak Jepang. Mitos yang terdapat pada gambar adegan tersebut adalah bahwa presiden merupakan pemimpin suatu negara. Oleh sebab itu, seorang presiden dituntut untuk mampu mengambil langkah demi kepentingan negara khususnya bagi kesejahteraan para rakyatnya. Ideologi pada gambar adegan tersebut adalah langkah preseiden Soekarno yang merupakan presiden pertama republik Indonesia lebih memilih jalur diplomasi terhadap pihak Jepang untuk tujuan berdamai dan mendapatkan kemerdekaan meskipun hal tersebut merugikan dan memberatkan bagi rakyat Indonesia.
SCENE 7 Utusan presiden Soekarno mendatangi tempat kediaman KH Hasyim Asy’ari untuk menanyakan tentang hukumnya membela negara bukan atas nama agama maupun suku tetapi atas nama bangsa Indonesia. lalu terlontarlah resolusi jihad dari KH Hasyim Asy’ari yang menyatakan bahwa hukumnya membela tanah air dari para penjajah adalah Fardhu a’in atau wajib, dan orang yang gugur dalam membela tanah air dikatakan sebagai syuhada atau berjihad. Teknik pengambilan
66
gambar pada gambar pertama menggunakan medium close up two shoot, yaitu untuk menampilkan dua objek sekaligus dalam satu frame, kemudia teknik pengambilan gambar pada gambar kedua menggunakan medium close up untuk memperlihatkan ekspresi dan gestur tubuh dari objek.
Makna Denotasi yang terdapat pada gambar adegan tersebut menampilkan adegan dimana dua orang utusan presiden Soekarno yang sedang menanyakan kepada KH Hasyim Asy’ari tentang hukumnya membela tanah air dari para penjajah tanpa mengatas namakan agama dan suku. kemudian KH Hasyim Asy’ari menjelaskan dengan tegas dan berwibawa bahwa membela tanah air dari para penjajah adalah fardhu a’in atau wajib hukumnya. Sedangkan makna Konotasi yang terdapat pada adegan tersebut bermakna bahwa KH Hasyim Asy’ari yang merupakan seorang Ulama sekaligus pendiri ormas Islam terbesar di Indonesia dijadikan panutan dalam berbagai persoalan
67
yang menyangkut pada kepentingan negara disamping peran dari seorang presiden. Mitos yang terdapat pada adegan tersebut adalah bahwa seorang Ulama pada masa itu merupakan panutan dan guru dalam setiap langkah yang diambil yang menyangkut akan kepentingan negara Republik Indonesia. Bahkan presiden Soekarno sekalipun meminta nasehat kepada KH Hasyim Asy’ari selaku Ulama dan guru besar tentang hukumnya membela tanah air, dan beliau menjawab membela tanah air dari para penjajah adalah fardhu a’in atau wajib hukumnya tanpa memandang agama serta status sosial dan orang yang gugur dalam membela tanah air adalah syahid atau bisa dikatakan berjihad. Ideologi dari adegan tersebut adalah bahwa berjihad demi negara adalah fardhu ain atau wajib, khususnya berjihad secara fisik melawan penjajah guna mendapatkan kemerdekaan serta menghilangkan penindasan yang dilakukan oleh negara lain terhadap bangsa Indonesia.
SCENE 8 Bung Tomo diberikan amanat untuk berpidato dan menyiarkan resolusi jihad yang telah dikeluarkan oleh KH Hasyim Asy’ari kepada seluruh rakyat Indonesia melalui saluran radio
agar
rakyat
indonesia
bisa
mendengarkan
dan
menumbuhkan semangat patriotisme mereka guna melawan para penjajah dan merebut kemerdekaan Republik Indonesia. Dengan semangat yang membara sambil mengepalkan tangan bung Tomo pun berpidato dengan lantang seraya
68
menyebut Allahuakbar (Allah maha besar) dan di akhiri dengan kata merdeka. Teknik pengambilan gambar menggunakan medium close up dengan low angle untuk menampilkan ekspresi dari objek serta menampilkan sisi kegagahan, berani, serta semangat kepahlawanan tinggi.
Makna Denotasi yang terdapat pada gambar adegan tersebut menampilkan ketika bung Tomo sedang berpidato melalui transmiter radio Republik Indonesia untuk menyiarkan amanat mengenai resolusi jihad yang di keluarkan oleh KH Hasyim Asy’ari yang mana berisi bahwa hukumnya membela tanah air dari penjajah adalah wajib bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan semangat yang membara bung Tomo berpidato sambil mengepalkan tangan ke atas, di bawah awan biru yang dan payung bercorak merah putih. Makna Konotasi yang terdapat pada gambar adegan tersebut yaitu makna bahwa pidato yang di sampaikan oleh bung Tomo melaui radio kepada seluruh rakyat indonesia yang dengan lantang menyiarkan resolusi jihad yang telah dikeluarkan oleh KH Hasyim Asy’ari dengan penuh rasa semangat sambil mengepalkan tangan ke atas yang menandakan semangat membara, background
69
awan biru yang cerah serta payung bercorak merah putih yang melambangkan semangat dalam melawan penjajah demi masa depan Indonesia yang cerah. Mitos yag terdapat pada adegan tersebut adalah kepercayaan tentang makna Jihad secara fisik dalam melawan para penjajah yang telah di fatwakan oleh KH Hasyim Asy’ari yang merupakan seorang Ulama besar menjadikan semangat dan motivasi rakyat Indonesia dalam melakukan Jihad tersebut. Ideologi yang terdapat pada adegan tersebut adalah menyulutkan semangat rakyat Indonesia untuk berperang secara fisik melawan penjajah demi kemerdekaan Indoensia setelah dikelurkannya fatwa jihad oleh KH Hasyim Asy’ari.
SCENE 9 Para pemuda jombang serta para santri tebu ireng yang dinamakan Lasjkar Hisboellah merupakan pasukan yang dibentuk untuk melawan penjajah dengan keberanian serta semangat yang dimiliki setelah di keluarkannya resolusi Jihad dalam membela negara oleh KH Hasyim Asy’ari. Meskipun hanya bermodalkan senjata yang minim seperti senapan yang seadanya serta bambu runcing, hal itu tidak menyurutkan nyali mereka untuk berangkat menuju medan pertempuran. Sebelum berangkat para santri dan rakyat jombang berpamitan dengan KH Hasyim Asy’ari dan keluarga masing-masing untuk memohon doa restu agar diberikan keselamatan dan keberhasilan dalam melawan penjajah. Teknik pengambilan gambar pada gambar pertama menggunakan long shoot yang mana
70
objek terlihat dari jarak jauh untuk memperlihatkan latar belakang yang domina maupun aktifitas dari kerumunan orang banyak. Teknik pengambilan gambar pada gambar adegan kedua dan ketiga menggunakan medium shoot untuk menampilkan gestur dan ekspresi dari objek namun latar belakang masih terlihat dengan jelas.
Makna Denotasi yang terdapat pada gambar adegan tersebut menampilkan adegan dimana Para santri tebu ireng yang memakai baju koko, peci, serta sarung
71
yang di lilitkan ke pinggang dan membawa bambu runcing, serta para warga jombang yang memakai baju tentara indonesia berwarna cream sambil membawa senapan sedang bersiap-siap menuju medan pertempuran dengan berpamitan dan memohon do’a restu terlebih dahulu kepada KH Hasyim Asy’ari dan keluarga mereka masing-masing agar diberi keselamatan,kemudahan serta keberhasilan dalam berperang melawan penjajah untuk kmerdekaan Indonesia. Makna Konotasi pada gambar adegan tersebut bermakna bahwa tekad dan semangat membara yang dimiliki para santri dan rakyat jombang dalam membela tanah air sangatlah besar, meskipun mereka hanya menggunakan senjata seadanya seperti senapan yang minim dan bambu runcing, hal itu tidak menyurutkan nyali mereka dalam menghadapi pasukan jepang yang bersenjata canggih dan lengkap. Mitos pada adegan tersebut adalah para santri dan rakyat Jombang berpamitan kepada keluarga mereka, hal ini dilakukan untuk memohon doa restu agar diberikan keselamatan dan keberhasilan. Ideologi yang terdapat pada adegan tersebut adalah rasa cinta terhadap tanah air yang begitu besar, meskipun mereka harus meninggalkan keluarganya untuk berperang demi kemerdekaan Indonesia dan belum tentu pulang dengan keadaan hidup.
72
SCENE 10. Dengan berani Harun yang merupakan salah satu santri pesantren tebu ireng berusaha menerobos kedalam markas tentara jepang seorang diri sambil memegang senapan dan mengendap-ngendap untuk menghancurkan senjata mesin Jepang yang mematikan. Dengan wajah yang cukup tegang ia berusaha memikirkan strategi untuk menghancurkan senjata mesin tersebut. Teknik pengambilan gambar pada gambar pertama dan kedua menggunakan medium shoot untuk menampilkan ekspresi serta gestur dari objek namun latar belakang dapat terlihat dengan baik.
Makna Denotasi pada kutipan gambar adegan tersebut menampilkan Salah seorang santri tebu ireng yang bernama Harun dengan mengenakan baju koko,
73
celana pendek dan peci sambil membawa senapan sedang mencoba mengatur strategi untuk menghancurkan senjata mesin tentara jepang. agar para lasjkar hisboellah yang lain dapat merangsek masuk kedalam markas Jepang. Makna Konotasi dari kutipan gambar adegan tersebut bermakna bahwa sikap berani dan pantang menyerah yang di tunjukkan Harun dapat menjadi motivasi bagi rekan-rekannya sesama Lasjkar Hisboellah untuk berjuang habis-habisan melawan para penjajah guna merebut kemerdekaan bangsa Indonesia. Mitos pada adegan tersebut adalah konsep berjihad secara fisik dalam mebela negara adalah mengangkat senjata dan bertempur matia-matian melawan penjajah meskipun harus mengorbankan jiwa dan raga. Ideologi dari adegan tersebut adalah seorang pemuda diidentikkan memiliki semangat yang membara, pantang menyerah, dan tidak kenal takut dalam bertempur melawan penjajah.
SCENE 11 Dalam adegan ini, para tentara pejuang kemerdekaan yang tergabung dalam Lasjkar Hisboellah yang meninggal dan terluka parah dibawa kembali ke pesantren tebu ireng untuk di obati bagi yang terluka dan dimakamkan bagi yang meninggal. Nyai Kapu yang merupakan istri dari KH Hasyim Asy’ari tanpa rasa sungkan dan takut dengan suka rela merawat dan mengobati para pejuang kemerdekaan yang terluka dan bersimbah darah akibat perang melawan penjajah. Beliau bersama warga yang lain saling bahu membahu menolong pasukan yang
74
terluka, hal ini merupakan salah satu bentuk pengabdiannya terhadap tanah air. Teknik pengambilan gambar menggunakan long shoot untuk memperlihatkan aktifitas kerumunan orang agar latar belakang terlihat dengan jelas.
Makna Denotasi dari kutipan gambar adegan tersebut menampilkan adegan Nyai kapu yang mengenakan kerudung putih sambil memegang kapas tanpa rasa sungkan dan ngeri sedang mengobati prajurit Lasjkar Hisboellah yang terluka akibat peperangan dengan para penjajah guna merebut kemerdekaan Republik indonesia. Makna Konotasi yang terdapat pada kutipan gambar adegan tersebut bahwa meskipun Nyai kapu merupakan istri dari KH Hasyim Asy’ari pemimpin dari pesantren tebu ireng, namun ia tidak sungkan merawat dan mengobati tentara yang terluka parah akibat perang. Hal ini merupakan suatu bentuk sikap kecintaan terhadap tanah air serta sisi humanisme yang tinggi. Mitos pada adegan tersebut adalah jiwa bergotong royong dalam membantu yang lemah dimana pada konteks ini adalah para wanita dan warga Jombang yang tidak ikut berperang dengan serta merta mengobati pasukan Indonesia yang
75
terluka akibat perang. Disamping itu, Indonesia memang dikenal sebagai negara yang penuh keramahan dan cinta gotong royong. Ideologi dari adegan tersebut adalah perempuan pada masa itu hanyalah merupakan tenaga medis yang mengobati pasukan tentara yang terluka akibat perang, karena memang perempuan tidak pantas berperang secara fisik.
4.4 Pembahasan Penelitian ini memfokuskan pada masalah bagaimana makna tanda-tanda yang terdapat dalam film Sang Kiai. Tanda-tanda tersebut diformulasikan ke dalam bentuk pertanyaan terhadap unsur patriotisme semiotik sepanjang film ini. Dalam penelitian ini digunakan sebuah pendekatan analisis semiotik dengan menggunakan teori mitologi dan semiologi Roland Barthes dimana menurut Barthes, penanda-penanda konotasi terjadi dari tanda-tanda sistem denotasi. Dengan demikian, konotasi dan kesusastraan pada umumnya merupakan salah satu sistem penandaan lapisan kedua yang ditempuh di atas sistem lapisan pertama dari bahasa. Bila dilihat dari gambar-gambar yang menunjukkan representasi nilai-nilai patriotisme dalam film Sang Kiai sudah sangat sesuai dengan sikap rasa cinta terhadap tanah air karena film ini di adaptasi berdasarkan kisah nyata dengan mengangkat profil salah satu tokoh pejuang nasional sekaligus ulama dan pendiri ormas islam terbesar di Indonesia yaitu Nadhlatul ulama (NU) beliau adalah KH Hasyim Asy’ari. Di tambah dengan tokoh-tokoh yang dibuat oleh sutradara untuk
76
lebih menghidupkan suasana dalam film ini. Hal ini ditandai dengan adegan dimana para santri tebu ireng berusaha menghalangi dan melindungi KH Hasyim Asy’ari yang ingin di tangkap oleh pasukan jepang, kemudian sikap rela berkorban yang ditunjukkan KH Hasyim Asy’ari yang bersedia di tangkap oleh pasukan jepang agar tidak terjadi pembantaian terhadap para santri tebu ireng, kemudian sikap diplomatis yang di tunjukkan oleh presiden Soekarno terhadap Jepang untuk tujuan damai dan kemerdekaan Republik indonesia. Sikap tegas dan berani membela yang benar dari KH Hasyim Asy’ari yang mengeluarkan fatwa tentang hukumnya membela tanah air dari para penjajah adalah fardhu a’in atau wajib. Kemudian sikap ikhlas para santri tebu ireng dan rakyat jombang yang meninggalkan keluarganya untuk ikut berperang melawan penjajah demi kemerdekaan Indonesia. Dalam teorinya, Roland Barthes mengatakan bahwa semiotik tidak hanya meneliti mengenai penanda dan petanda, tetapi juga hubungan yang mengikat mereka secara keseluruhan. Seperti halnya unsur patriotisme dalam film ini yang terjadi suatu rangkaian peristiwa yang berhubungan satu sama lain dan terikat oleh logika sebab akibat (kasualitas) yang terjadi dalam suatu ruang dan waktu. Sebagai sebuah film yang bergenre drama dengan latar belakang konflik yang cukup kompleks, namun film ini tidak menempatkan tokoh baik dan jahat. Perang yang terjadi ditempatkan sebagai latar belakang saja, namun demikian sosok dan sikap patriotisme dari masing-masing tokoh terlihat dalam film ini. Meskipun film ini merupakan film tentang perjuangan nasional yang kebanyakan film bertemakan seperti ini lebih banyak di identikkan dengan adegan
77
perang, namun di dalam film Sang Kiai ini, adegan perperangan hanya terdapat 20% dari keseluruhan film, karena sang sutradara ingin lebih memfokuskan sisi kehidupan dan humanisme dari sosok KH Hasyim Asy’ari. Film-film di Indonesia saat ini sudah berkembang amat pesat baik dari segi produksi, promosi maupun pemasarannya. Film-film ini disajikan tidak hanya memuat hal-hal yang berbau komedi, drama romatisme, aksi dan kekerasan tetapi tidak menutup kemungkinan menyajikan nilai-nilai kemanusiaan serta kekuatan politik yang dimiliki Indonesia untuk mempengaruhi masyarakat. Kekuatan pengaruh ini disajikan dalam bentuk representasi yang ditampilkan pada film sehingga dapat dengan mudah mempengaruhi masyarakat dengan ideologi tersebut. Hal diatas jelas sekali terlihat pada film-film produksi Indonesia khusunya yang mengandung nilai patriotisme dan semangat nasionalisme, seperti film Merah Putih, Darah Garuda, Hati Merdeka dan termasuk film Sang Kiai ini yang dibuat untuk menampilkan sisi kekuasaan dan kehebatan negara-negara yang sedang dalam masa peperangan, yang mana saling menjatuhkan nama dari negara masing-masing yang mana pada kenyataannya memang ada peperangan yang terjadi di Indonesia pada jaman dahulu melawan penjajahan jepang dan belandasekutu yang ingin menjatuhkan bangsa Indonesia.
78
Tidak dapat dipungkiri lagi kehebatan film-film Indonesia yang tidak ada habisnya di produksi baik dari segi cerita, teknologi, penyutradaraan maupun yang lainnya. Semua mampu memperlihatkan suatu tontonan yang menarik dan selalu dinikmati oleh masyarakat bahkan sudah menjadi suatu kebutuhan bagi kalangakalangan tertentu.