BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.1
Sejarah SMAN 1 Dekai Berdirinya SMAN 1 Dekai tidak lepas dari ter-
bentuknya Kabupaten Yahukimo pada September 2003 sebagai hasil pemekaran Kabupaten Jayawijaya. Artinya, jika tidak ada pemekaran wilayah, maka daerah ini belum tersentuh pembangunan khususnya di bidang pendidikan dalam hal ini pembangunan SMP maupun SMA. Sedangkan SD Inpres Dekai telah berjalan saat
masih bergabung dengan Kabupaten
Jayawijaya. SMA Negeri 1 Dekai terletak di ibukota Kabupaten Yahukimo yang didirikan pada tanggal 7 April 2005 atas perintah dari Penjabat Bupati Yahukimo Drs. Robert Wanimbo melalui kepala Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan
Kabupaten
Yahukimo,
yang
kemudian ditindak lanjuti dengan menunjuk Andy Rumbarar, S. Pd sebagai kepala SMA Negeri 1 Dekai. Namun, kepala sekolah tersebut belum sempat melaksanakan tugas, karena diperintahkan oleh Drs. N. Manuaron
selaku
Kepala
Dinas
Pendidikan
dan
Kebudayaan untuk membuka sekolah baru di tempat lain yaitu SMAN 2 Kurima. Sedangkan jabatan kepala SMAN 1 Dekai digantikan oleh Septinus Elopere, S. Pd yang kemudian memimpin sekolah tersebut sejak April
2005 hingga Oktober 2010. Kemudian sejak November 2010 kepala SMAN 1 Dekai dipimpin oleh Musa Natu Gane Rumbiak, S. Pd Pada awal didirikan SMAN 1 Dekai, jumlah pendaftar pertama berjumlah 7 orang siswa. Pendaftar ini kemudian diketahui usia kelahiran yang bervariasi yakni tahun kelahiran 1979-1988. Jadi, pada saat mendaftar usia berkisar 17-26 tahun. Adapun alasan sekolah menerima siswa yang melebihi batas umur adalah apabila sekolah tidak menerima siswa yang mendaftar maka sekolah tidak dapat berjalan pada tahun tersebut di mana jumlah pendaftar hanya berjumlah 7 orang, sementara pihak pemerintah daerah mendesak agar SMPN & SMAN Dekai segera dibuka. Selain itu, dengan melihat semangat calon siswa untuk sekolah cukup tinggi, maka sekolah tetap menerima sekalipun batas usia yang dipersyaratkan untuk
jenjang
sekolah
menengah
sudah
tidak
memenuhi syarat. Sebagai gambaran bahwa daerah ibukota
Kabupaten
Yahukimo
dibangun
di
atas
kampung terpencil yang selama ini tidak tersentuh pembangunan. Di mana kampung Dekai pada saat itu hanya dihuni oleh beberapa kepala keluarga dari suku Momuna, dengan aktivitas kesehariannya berburu di hutan. Gedung pertama SMAN 1 Dekai adalah gereja darurat berbahasa daerah yang digunakan oleh suku Momuna untuk beribadah, gereja ini kemudian dibagi menjadi dua kelas karena disaat bersamaan SMPN Dekai juga membuka pendaftaran siswa baru (PSB),
sementara bangunan sekolah untuk SMPN Dekai masih dalam tahap pembangunan.
Dengan dimulai-
nya penerimaan siswa baru pada bulan April 2005, maka
kenaikan
ditiadakan.
kelas
Sehingga
untuk
bulan
Juni
siswa
angkatan
2005
pertama
menempuh pendidikan kelas X selama 15 bulan. Pada awal Agustus tahun 2005 SMAN 1 Dekai dan SMPN Dekai di pindahkan dari gereja ke bangunan baru yang
merupakan
bangunan
milik
SMPN
Dekai.
Bangunan ini terdiri dari 3 ruang kelas dan 1 ruang kantor masing-masing berdinding papan, dan berlantai tanah sehingga jika musim hujan ruang kelas sering tergenang air. Pada
penerimaan
siswa
baru
(PSB)
tahun
pelajaran 2006/2007, SMAN 1 Dekai dan SMPN Dekai mengalami kekurangan ruang kelas, karena ruang kelas yang tersedia hanya tiga ruang kelas, sementara rombongan belajar ada empat yang masing-masing terdiri dari SMAN 1 Dekai dua rombongan belajar (kelas X & XI) dan
SMPN Dekai dua rombongan
belajar (kelas VII & VIII). Untuk menyelesaikan persoalan kekurangan ruang kelas, pihak SMPN Dekai selaku pemilik bangunan tersebut bersedia untuk berbagi ruang kelas di mana salah satu ruang kelas disekat menjadi dua ruang kelas yang digunakan secara bersamaan, guru pun mengajar secara silang. Pada awal tahun 2006 gedung SMAN 1 Dekai mulai dibangun setelah ada bantuan dari pemerintah pusat untuk SMAN 1 Dekai berupa pembangunan Unit Sekolah Baru (USB) dari Dana Block Grant pemerintah
pusat
bekerja
sama
dengan
Pemerintah
Daerah
Kabupaten Yahukimo. Awalnya pembangunan sekolah tersebut akan dibangun secara lengkap dan permanen. Namun, karena mahalnya bahan bangunan di daerah tersebut sehingga banyak bangunan yang “ditiadakan” seperti laboratorium MIPA, perpustakaan lengkap dengan isinya. Akhirnya bangunan tersebut hanya meliputi 1 kantor, 1 gedung perpustakaan, 3 ruang kelas, dan 4 toilet siswa. Sejak tahun pelajaran 2007/2008 setelah PSB, SMAN 1 Dekai secara resmi menempati bangunan baru hingga saat ini. Walaupun jumlah siswa setiap tahunnya terus bertambah tapi ruang kelasnya masih tetap. Sehingga, ruang perpustakaan dialih fungsikan menjadi ruang kelas dan secara otomatis perpustakaan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya karena selain ruangannya digunakan sebagai ruang belajar, fasilitas perpustakaan juga belum ada seperti buku-buku pelajaran, rak buku/lemari buku, dan fasilitas
lain
penunjang
perpustakaan.
Adapun
keadaan guru akan disajikan dalam Tabel 4.1, 4.2, dan 4.3 :
Tabel 4.1 Keadaan Guru SMAN 1 Dekai Tahun 2005-2006
No
Nama
Status
Pendidikan
Ket
1
Septinus Elepore, S. Pd
PNS
Pend. Ekonomi
Aktif
2
Wolter Elopere, S. Pd
PNS
Pend. Sejarah
Aktif 2 bln
3
Akso Balingga, S. Pd
PNS
Pend. Kimia
Aktif 1 sms
4
Lodewick Pahabol, S. Pd
PNS
Penjaskes
Aktif 1 sms
5
E.L.G. Manariship, S. Pd
PNS
Pend. B.Indo
Krng Aktif
6
Dolfin Maalangen, S. Pd
PNS
Pend. T.Busana
Tidak aktif
7
Arianto TS, S. Pd
PNS
Pend. B.Indo
Tidak aktif
8
John Ronsumbre, S. Pd
PNS
Pend. B. Ingg
Tidak aktif
9
Didimus Wandik, S. Pd
PNS
PLS
Tdk aktif
10
Mulianto, S. Pd
CPNS
Pend. B.Indo
Aktif
11
Yuliana Patiung, S. Pd
CPNS
Pend. B. Ingg
Krng Aktif
12
Narpia, S. P
CPNS
Pertanian/AK IV
Aktif
13
P. Paembonan, S. Pd
CPNS
PPKN
Aktif
14
Hendrika Palobo, S. Pd
CPNS
Pend. Ekonomi
Aktif
Sumber : SMAN 1 Dekai 4 April 2011
Tabel 4.2. Keadaan Guru SMAN 1 Dekai Tahun 2007-2009 No
Nama
Status
Pendidikan
Ket
1
Septinus Elepore, S. Pd
PNS
Pend. Ekonmi
Aktif
2
E.L.G. Manariship, S. Pd
PNS
Pend. B.Indo
Krng Aktif
3
Mulianto, S. Pd
PNS
Pend. B.Indo
Aktif
4
Yuliana Patiung, S. Pd
PNS
Pend. B. Ingg
KrngAktif
5
Narpia, S. P
PNS
Pertanian/AK IV
Aktif
6
P. Paembonan, S. Pd
PNS
PPKN
Aktif
7
Hendrika Palobo, S. Pd
PNS
Pend. Ekonmi
Tdk aktif
8
M.N.G. Rumbiak, S. Pd
CPNS
Pend. Geogrf
Aktif
9
Istin Yuliatin, S. Pd
CPNS
Pend. Mtmtk
Aktif
10
David Esema, S. Th
CPNS
PAK
Aktif
11
Tommy Balingga, S. Th
CPNS
Teologia
Aktif
12
Natan Maling, S. SA
CPNS
Sos.Agama
Aktif
13
Thinus Nelambo, S. Pd
CPNS
Penjaskes
Aktif
14
Nining Suherning, S. Si
CPNS
Kim/Akta IV
Td aktif/SL
15
Nurti, S. Pd
GTT
Pend. B. Ingg
Aktif
16
WD. Ziada Masni, S. Pd
GTT
Pend. Sejarah
Aktif
17
Matius Hugi, S. Pd
GTT
Pend. Biologi
Aktif
18
Citra Dewi, S. Si
GTT
Bio/Akta IV
Aktif
19
Muh. Jafar, S, Pd
GTT
Pend. Ekonmi
Aktif
20
Martha M. Yotha, S. Th
GK
PAK
Aktif
21
H. Danny Burdam, S. Si
GTT
Biologi
Aktif
Sumber : SMAN 1 Dekai 4 April 2011
Tabel 4.3 Keadaan Guru SMAN 1 Dekai Tahun 2010-2011 No
Nama
Status
Pendidikan
Ket
1
Septinus Elepore, S. Pd
PNS
Pend. Ekonmi
Aktif
2
Paulina Paembonan
PNS
PPKN
Aktif
3
Mulianto, S. Pd
PNS
Pend. B.Indo
T.aktif/SL
4
M.N.G. Rumbiak, S. Pd
PNS
Pend. Geogrf
Aktif
5
Istin Yuliatin, S. Pd
PNS
Pend. Mtmtk
Aktif
6
David Esema, S. Th
PNS
PAK
Td aktif/SL
7
Tommy Balingga, S. Th
PNS
Teologia
TdAktif/SL
8
Natan Maling, S. SA
PNS
Sos. Agama
Aktif
9
Thinus Nelambo, S. Pd
PNS
Penjaskes
Aktif
10
Nining Suherning, S. Si
PNS
Kimia/Akta IV
Aktif
11
Nurti, S. Pd
CPNS
Pend. B. Ingg
Td Aktif
12
WD. Ziada Masni, S. Pd
PNS
Pend. Sejarah
Aktif
13
Matius Hugi, S. Pd
PNS
Pend. Biologi
Aktif
14
Citra Dewi, S. Si
PNS
Bio/Akta IV
Aktif
15
Martha M. Yotha, S. Th
PNS
PAK
Aktif
16
Marthen Rapa, S. Pd
CPNS
Pend. B. Ingg
Aktif
17
Anita I. Bundah, S. Th
CPNS
PAK
Aktif
18
B. Palembangan, S.E
CPNS
Ekon/Ak IV
Aktif
19
S. Kenangalem, S. Pd
CPNS
Pend. Kimia
Aktif
20
Leonardus Mangago, S.E
CPNS
Ekon/Ak IV
Aktif
21
B.P. Sihombing, S. Si
CPNS
Kimia/Ak IV
Aktif
22
Paulin, S. Th
CPNS
Teologia
Aktif
23
Hermin Sinna, S.E
CPNS
Ekon/Ak IV
Aktif
24
Syamriani, S. Pd
CPNS
PPKN
Aktif
25
Budi Silak, S. Pd
CPNS
Pend. Sejrh
Aktif/Nota
26
Elisabeth Cornelia, S. Pd
CPNS
Pend. B. Ingg
Aktif
27
Yosep Hasugian, S. MG
CPNS
Sarj. M. Gereja
Aktif
28
Muh. Jafar, S. Pd
CPNS
Pend. Ekonmi
Aktif
29
Ni Nyoman Yuliari, S. Pd
CPNS
Pend. Tikom
Aktif
30
T.Kurniawati, S.Si., M.Th
GTT
S1 Kim, S2 Th
Aktif
31
H. Danny Burdam, S.Si
GTT
Biologi
Aktif
Sumber : SMAN 1 Dekai 4 April 2011
Data pada Tabel 4.1 - 4.3 menyajikan keadaan guru SMAN 1 Dekai yang dimaksudkan untuk memberikan informasi tentang kuantitas guru dan latar belakang pendidikan serta keaktifannya dalam melaksanakan tugas. Pada tahun 2005-2006, jumlah guru di SMAN 1 Dekai berjumlah 14 orang guru. Namun yang aktif mengajar hanya 5 orang guru, sedangkan yang lain kurang aktif (hanya sewaktu-waktu datang ke sekolah), bahkan ada yang tidak aktif sama sekali dan hanya aktif bekerja di kantor-kantor pemerintah daerah.
Padahal
keaktifan
sangat
dibutuhkan
guru
karena
dalam
dari
mengajar
gurulah
siswa
mendapatkan informasi berupa pengetahuan yang banyak tentang materi pelajaran, walaupun guru bukan satu-satunya sumber belajar, namun kondisi siswa dan sarana belajar yang tidak memungkinkan maka
ketergantungan
siswa
pada
guru
sebagai
sumber pengetahuan sangat tinggi. Sebagai solusi dari ketidakaktifan guru mengajar di sekolah, maka pihak sekolah mengatur dengan cara membagi jam mengajar kepada guru-guru yang aktif mengajar tapi hasilnya sudah
tentu
tidak
maksimal
karena
guru
yang
mengajar tidak sesuai dengan kompetensinya. Bahkan ada guru yang terang-terangan mengakui kekurangannya di depan siswa terhadap materi yang disajikan.
Lalu pada tahun 2007-2011 jumlah guru di SMAN 1 Dekai mengalami peningkatan yang cukup banyak dari sisi kuantitas tetapi dari sisi kebutuhan berdasarkan mata pelajaran masih kurang karena penempatan
guru
oleh
pemerintah
daerah
tidak
disesuaikan dengan kebutuhan sekolah per mata pelajaran sehingga yang terjadi adalah penumpukan guru-guru
mata
pelajaran
tertentu
seperti
mata
pelajaran biologi 3 orang guru, pendidikan agama Kristen 6 orang guru, dan pendidikan ekonomi 5 orang guru, serta pendidikan kimia 3 orang guru. Padahal rombongan belajar hanya 5 kelas tapi jumlah tenaga pengajar cukup banyak sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan dalam pembagian tugas mengajar. Sedangkan untuk jumlah siswa yang mendaftar di SMAN 1 Dekai setiap tahunnya mengalami peningkatan yang cukup banyak dibanding pada tahuntahun pertama penerimaan siswa baru (PSB) yang hanya berjumlah 7 orang siswa itupun kebanyakan telah berkeluarga. Umumnya siswa yang mendaftar adalah anak yang berasal dari kampung-kampung di pedalaman Kabupaten Yahukimo yang datang ke ibukota
untuk
menempuh
pendidikan
baik
SMP
maupun SMA. Saat ini SMAN 1 Dekai banyak diminati karena
pada
tahun
menyelenggarakan
2011
ini,
pendidikan
sekolah
yang
tersebut
membebaskan
pungutan seperti iuran SPP, iuran Komite Sekolah, iuran OSIS, iuran pramuka bahkan uang foto pun untuk
kelas
XII
telah
dibebaskan,
dengan
pertimbangan latar belakang ekonomi siswa yang
memprihatinkan.
Untuk
mengetahui
peningkatan
penerimaan siswa baru (PSB) setiap tahunnya akan disaji-kan dalam Tabel 4.4 Tabel 4.4 Data Penerimaan Siswa Baru (PSB) Tahun Pelajaran 20052011 Tahun Pelajaran 2005/2006 2006/2007 2007/2008 2008/2009 2009/2010 2010/2011 Sumber : SMAN 1
Pendaftar
Diterima
7 Orang 7 Orang 30 Orang 30 Orang 60 Orang 40 Orang 84 Orang 40 Orang 80 Orang 54 Orang 93 Orang 86 Orang Dekai 4 April 2011
Mengundurkan Diri 20 Orang 44 Orang 26 Orang 7 Orang
Tabel 4.4 tentang data penerimaan siswa baru (PSB) tahun 2005-2011 menyajikan perkembangan siswa setiap tahunnya, dari jumlah pendaftar pada tahun pelajaran 2007/2008 hingga 2010/2011 terdapat pendaftar yang mengundurkan diri. Hal ini disebabkan pada saat tes masuk calon, siswa tidak dapat menunjukkan persyaratan administrasi pada saat mendaftar. Selain itu, pada tahun pelajaran 2007/2008 SMKN Dekai resmi menerima siswa baru, sehingga banyak siswa yang mendaftar dua tempat yang pada akhirnya memilih untuk sekolah di SMKN Dekai.
1.2
Faktor Eksternal Penyebab Kesulitan Belajar
(Learning
Difficulty)
Siswa
SMAN 1 Dekai 1.2.1 Faktor Keluarga 1.2.1.1 Pendidikan Orang Tua. Latar belakang pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang ikut berperan dalam pendidikan anak, di mana kesadaran anak untuk mengenyam pendidikan biasanya melihat latar belakang pendidikan orang tua. Dengan kata lain, pendidikan orang tua dapat menjadi motivasi anak untuk belajar lebih giat lagi. Orang tua yang memiliki pengalaman atau pendidikan yang cukup memadai akan memberi perhatian yang cukup pula terhadap pendidikan anaknya. Sehingga, orang tua dapat memberikan bimbingan dan arahan kepada anaknya untuk menempuh pendidikan sesuai dengan kemampuannya serta cita-cita yang diinginkan. Artinya, cara pandang sangat
berbeda
atau wawasan berpikir akan
antara
orang
tua
yang
pernah
mengenyam pendidikan dengan orang tua yang tidak pernah sama sekali mengenyam pendidikan. Hal inilah yang nampak pada sebagian besar siswa di SMAN 1 Dekai. Di mana mayoritas orang tua siswa yang mengalami learning difficulty berasal dari keluarga dengan
latar
belakang
pendidikan
yang
minim.
Sehingga motivasi dari orang tua ataupun keluarga nyaris tidak ada kecuali keinginan siswa itu sendiri untuk
bersekolah.
Untuk
mengetahui
lebih
pendidikan orang tua dapat dilihat pada Tabel 4.5
jelas
Tabel 4.5 Profil Pendidikan Orang Tua Siswa Pendidikan
Jumlah
%
S1
1
0,44
SPG
6
2,63
SMA
5
2,19
SMP
8
3,51
SD
11
4,82
Pernah masuk SBH
28
12,28
Tidak pernah sekolah
169
74,12
Total
228
100
Sumber : SMAN 1 Dekai, 4 April 2011
Sajian Tabel 4.5 diketahui bahwa pendidikan orang tua siswa SMAN 1 Dekai masih sangat rendah di mana jenjang pendidikan tertinggi yakni sarjana (S1) hanya terdapat 1 orang (0,44%), disusul lulusan SPG yang menjadi guru SD di pedalaman sebanyak 6 orang (2,63%). Lulusan SMA adalah penduduk nonlokal yang berprofesi sebagai pedagang dengan jumlah 5 orang (2,19%). Sedangkan lulusan SMP sebanyak 8 orang (3,51%)
yang
“nonlokal”.
terdiri
Penduduk
dari
penduduk
nonlokal
“lokal”
berprofesi
dan
sebagai
pedagang. Sedangkan, penduduk lokal yang lain berprofesi sebagai tentara. Kemudian lulusan SD, dan pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Buta Huruf (SBH)
masing-masing
prosentase
(4,82%
&
11
&
28
12,28%).
orang Terakhir
dengan adalah
mayoritas orang tua siswa tidak pernah mengenyam pendidikan baik formal maupun nonformal yakni sebanyak 169 orang (74,12%) angka ini didominasi
oleh orang tua siswa lokal tetapi orang tua siswa nonlokal juga ada pada angka ini di mana masih ada orang tua siswa penduduk nonlokal yang tidak pernah sama
sekali
menempuh
pendidikan.
Terutama
penduduk nonlokal yang telah lama mencari kayu gaharu di pedalaman Papua. Hasil wawancara di lapangan menunjukkan bahwa orang tua informan tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Dari 13 informan yang diwawancarai, 11 informan (84,62%) menjawab bahwa orang tua tidak pernah mengenyam pendidikan baik formal maupun nonformal. Sedangkan 2 informan (15,38%) menjawab orang tuanya pernah mengikuti sekolah nonformal atau sekolah buta
huruf (SBH) yang
didirikan oleh misionaris dari Belanda. Orientasi sekolah buta huruf hanya mengajarkan literasi (bacatulis) agar dapat membaca Alkitab yang menjadi misi utama sehingga dapat membantu untuk menyebarkan ajaran agama. Karena latar belakang pendidikan orang tua rendah maka orientasi pemikiran orang tua terhadap anak tidak berorientasi pada pendidikan tetapi berorientasi pada profesi turunan yakni petani tradisional. Di mana orang tua mengajak anaknya untuk mengikuti profesinya sebagai petani. Dengan demikian,
terlihat
jelas
bahwa
orang
tua
siswa
cenderung tidak mendukung anaknya untuk sekolah, orang tua menginginkan agar anaknya membantu mencari nafkah di kebun atau di hutan ketika berburu. Seperti yang dikemukakan oleh Agus Yelemaken “orang tua saya itu semasa hidupnya tidak menginginkan saya sekolah, Bapak ingin saya
kerja membantu dia di kebun tapi saya berkeras untuk tetap sekolah, akhirnya Bapak mengalah” (Wawancara 15 Juni 2011).
Hal yang sama dikemukakan oleh Karmel Murib “waktu mama meninggal, saya diasuh oleh paman dari mama, jadi bapak ingin setelah besar saya harus kembali kepada Bapak dan membantunya untuk berkebun” (Wawancara tanggal 15 Juni 2011).
Berdasarkan data primer dan data sekunder yang diperoleh di lapangan diketahui bahwa
orang
tua siswa yang mengalami kesulitan belajar mayoritas berpendidikan
rendah.
Oleh
karena
itu,
penulis
berkesimpulan bahwa pendidikan orang tua menjadi salah satu faktor eksternal penyebab kesulitan belajar siswa
SMAN
hubungan
1
Dekai.
antara
Penulis
pendidikan
berpendapat
orang
tua
ada
dengan
kesulitan belajar anak di mana orang tua tidak berperan secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pendidikan anaknya, seperti membantu mengerjakan tugas-tugas, mengarahkan cara belajar yang baik dan lain-lain. Hal ini mendukung salah satu hasil penelitian Kirk (Tanpa tahun dalam Cece Wijaya 2010), yang menyatakan bahwa siswa yang lambat belajar diakibatkan oleh pendidikan orang tua yang rendah. 1.2.1.2 Relasi Antaranggota Keluarga. Relasi antara anggota keluarga adalah hubungan yang terjalin dalam lingkungan keluarga baik keluarga inti maupun keluarga non inti. Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri ayah, ibu dan anak. Sedangkan keluarga non inti
adalah keluarga atau sanak family yang ada
kaitannya dengan keluarga inti seperti kakek, nenek, keponakan, sepupu, dan lain-lain. Dalam kehidupan keluarga inti sering terjadi masalah yang menyebabkan keluarga tidak harmonis. Berdasarkan wawancara di lapangan, relasi orang tua dengan anak menunjukkan suatu relasi yang tidak terjalin dengan baik. Indikator pertama yakni ada hubungan kasih sayang/orang tua pernah mengunjungi
selama
sekolah
di
Dekai.
Dari
13
informan yang diwawancarai, 8 informan (61,54%) menjawab bahwa orang tua tidak pernah sama sekali datang ke Dekai sebagaimana keterangan Warnus Lokon “Bapak tidak pernah perhatikan kami; Bapak hanya kasih makan anak dan isteri barunya, selama kami di Dekai, Bapak tidak pernah turun lihat keadaan kami, lihat kebutuhan-kebutuhan kami itu tidak pernah, kami usaha sendiri baru bisa sekolah” (Wawancara tanggal 21 Juni 2011).
Sedangkan 5 informan (38,46%) menjawab orang tua pernah datang ke Dekai hanya sekali, itupun tidak membawa apa-apa oleh karena bekal seperti makanan yang dibawa saat berangkat dari kampung telah habis dikonsumsi di perjalanan karena lamanya perjananan yang ditempuh. Orang tua siswa biasanya datang ke Dekai dengan berjalan kaki dari pedalaman yang menempuh
perjalanan
yang
sangat
melelahkan
dengan waktu tempuh mulai sehari hingga sebulan untuk sampai ke Dekai, karena kondisi pegunungan yang curam sehingga perjalanan harus ditempuh melalui lereng-lereng gunung dan hutan rimba serta melewati sungai. Selain itu, bila musim hujan sungai
sering banjir yang membuat perjalanan semakin terhambat karena harus menunggu air sungai surut. Belum lagi kalau ada rombongan yang sakit saat perjalanan, membuat perjalanan semakin terhambat. Tetapi motivasi ke Dekai selain karena ada anaknya sekolah di Dekai, orang tua datang karena ada kepentingan lain seperti yang dituturkan oleh Penihas Malyo “selama saya sekolah disini (3 tahun) Bapak saya baru 1 kali turun ke Dekai, dan tidak membawa apa-apa untuk saya. Itupun bapak datang karena ada kakak yang panggil dengan urusan lain makanya dia turun kesini, kalau kakak tidak panggil mungkin sampai tamat juga bapak tidak akan turun ke Dekai” (Wawancara tanggal 21 Juni 2011).
Indikator
kedua
penghargaan/apresiasi
yakni
orang
hanya
tua
terjawab
memberi oleh
1
informan (7,69%) sedangkan 12 informan (93,31%) menjawab tidak pernah mendapat apresiasi atau penghargaan dari orang tua kepada anaknya. Begitu pula dengan indikator ketiga, orang tua memberi hukuman yang konstruktif bila melakukan kesalahan 1 informan (7,69%) menjawab orang tua/keluarga sering memberikan hukuman konstruktif bila melakukan kesalahan. Sedangkan 12 informan (93,31%) mengatakan tidak pernah mendapat hukuman dari orang tua sekalipun berbuat salah; orang tua terkesan membiarkan saja. Bahkan orang tua sering kali mendukung/membela dengan
orang
lain,
permasalahannya.
anaknya tanpa
bila
mencari
bermasalah tahu
pokok
Berdasarkan
prosentase
jawaban
informan
pada setiap indikator di atas dapat dikatakan bahwa siswa yang mengalami kesulitan belajar (learning difficulty)
adalah
siswa
yang
tidak
mendapat
perhatian dari orang tua, dengan kata lain relasi keluarga tidak terjalin dengan baik. Oleh karena itu, penulis berkesimpulan relasi orang tua dan anak menjadi
salah
satu
faktor
kesulitan belajar anak.
eksternal
penyebab
Penulis berpendapat ada
hubungan antara orang tua dan anak dalam aktivitas belajar anak. Anak yang mendapat kasih sayang, apresiasi
dan
sanksi
yang
konstruktif
dapat
meningkatkan aktivitas belajar anak. Hasil diketahui
wawancara bahwa
mendalam
informan
yang
di
lapangan
tidak
mendapat
perhatian atau tidak mempunyai relasi antara orang tua dan anak adalah siswa yang telah berstatus yatim dan
piatu.
Di
mana
dari
13
informan
yang
diwawancarai, 3 informan (23,08%) menjawab orang tuanya
masih
lengkap,
6
informan
(46,15%)
menjawab salah satu orang tuanya telah meninggal dunia dan 4 informan (40,77%) menjawab kedua orang tuanya telah tiada. 1.2.1.3 Faktor Ekonomi Keluarga. Hal klasik yang selalu menjadi kendala kemajuan belajar siswa adalah faktor ekonomi orang tua. Faktor ekonomi menjadi salah satu faktor yang ikut berperan bagi keberhasilan siswa
dalam
mengembangkan
potensinya
melalui
belajar karena sekalipun pemerintah mencanangkan pendidikan
gratis,
tetapi
alat-alat
pelajaran
dan
kebutuhan pendidikan lainnya tidak digratiskan. Bagi orang tua yang mempunyai tingkat penghasilan yang cukup maka alat-alat pelajaran dan sarana belajar lainnya tidak menjadi masalah karena orang tua akan memenuhi kebutuhan anaknya. Lain halnya dengan orang tua dengan ekonomi lemah, Jangankan untuk membeli
alat-alat
pelajaran
dan
sarana
belajar
lainnya, makan sehari-hari saja masih susah. Dari hasil wawancara di lapangan diketahui bahwa siswa yang mengalami learning difficulty adalah siswa yang berasal dari keluarga ekonomi lemah dengan
indikator
kebutuhan
makan
terpenuhi
(3xsehari). Dari 13 informan yang diwawancarai 1 informan (7,69%)
menjawab makan tiga kali sehari
dengan makanan yang sedikit bervariasi, sedangkan 12 informan (92,31%) mengatakan hanya makan dua kali sehari. Yakni,
makan siang dan makan sore
dengan jenis makanan yang tetap (ubi & pisang). Bahkan lebih banyak makan sekali sehari. Itupun kalau ada makanan, jika tidak ada makanan maka informan akan menahan lapar sambil mencari makan. Artinya, makanan tidak selalu tersedia karena pagi hari harus ke sekolah. Pola makan harian seperti pagi dan sore mempunyai alasan tersendiri karena kalau pagi hari siswa masih bisa menahan lapar hingga siang hari, dan sore hari dipilih karena malam hari tidak ada lampu. Sebagaimana dikatakan Warnus Lokon “dalam sehari itu saya makan satu kali saja, kadang bisa tahan lapar kadang juga tidak bisa; makanya di sekolah saya sering mengantuk dan
tidak perhatikan pelajaran” (Wawancara tanggal 21 Juni 2011).
Sabonius Wahla juga mengatakan demikian “saya makan dua kali sehari itu siang dengan sore tapi kalau tidak ada makanan kadang satu kali saja, lalu kalau malam tidak bisa tidur; perut bunyi-bunyi terus” (Wawancara 17 Juni 2011).
Hal yang sama dituturkan oleh Silimius Doyela yang mengemukakan alasan yang menyebabkan tidak belajar “Saya tidak pernah belajar di rumah; kalau pulang sekolah, saya tidak langsung makan tapi harus ke kebun dulu mencari ubi atau pisang setelah itu pulang masak lalu makan” (Wawancara tanggal 21 Juni 2011).
Indikator kedua yakni kebutuhan sekolah & alat pelajaran terpenuhi seperti seragam sekolah, buku tulis dan buku penunjang pelajaran. Dari hasil wawancara dengan 13 informan diketahui bahwa 2 informan (15,38%) menjawab seragam sekolah dan buku tulis dibelikan oleh keluarga, sedangkan 11 informan (84,62%) menjawab membeli seragam dengan usaha sendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Agus Yelemaken “pakaian yang saya gunakan ini saya beli sendiri. Waktu itu di kampung kepala desa bikin program jalan padat karya lalu saya ikut kerja bikin jalan padat karya; saya dapat Rp 600.000 lalu saya jalan kaki ke Wamena beli seragam sekolah” (Wawancara 15 Juni 2011).
Hal yang sama dikemukakan oleh Yus Itlay bahwa sejak kecil sudah bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kebutuhan sekolahnya dengan cara bercocok tanam. “waktu SMP saya sudah bikin kebun di Kurima; tanam wortel, kol, hipere setelah panen lalu jalan
kaki jual ke Wamena. Jalan kaki sampai terminal sekitar 6 km lalu dapat mobil baru ke pasar Jibama Wamena; hasilnya saya kumpul-kumpul, untuk makan dan biaya sekolah, lainnya tabung untuk biaya masuk SMA disini. Tapi waktu turun tiket mahal, jadi uang 1,5 juta habis untuk tiket. Untungnya saya bawa pinang lalu saya jual. Hasilnya dapat Rp 300.000 uang itu saya beli seragam terus pakai daftar lagi” (Wawancara 23 Juni 2011).
Hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa tak seorang pun informan yang memiliki buku-buku penunjang Sabonius
pelajaran Wahla
selain
buku
mengungkapkan
tulis.
Bahkan
bukunya
tidak
cukup untuk mencatat mata pelajaran yang ada sedangkan sepatu biasa pinjam dari teman-teman. “buku catatan saya itu tidak sesuai dengan jumlah mata pelajaran, jadi biasa bagi dua; satu buku dibagi untuk dua mata pelajaran; caranya bagian tengah jadi pembatas antara pelajaran yang satu dengan pelajaran yang lain. Sedangkan sepatu itu saya pinjam dari teman-teman; teman-teman lihat saya tidak pakai sepatu baru teman-teman kasih” (Wawancara 17 Juni 2011).
Indikator terakhir adalah tersedianya sarana penunjang belajar seperti lampu, meja, dan kursi. Dari hasil
wawancara
dengan
13
informan
diperoleh
informasi bahwa 2 informan (15,38%) menjawab mempunyai sarana belajar yaitu lampu listrik dan mejakursi. Sedangkan 11 informan (84,62%) menjawab tidak mempunyai sarana belajar seperti lampu, mejakursi. Seperti yang dikemukakan oleh Yanes Salyabo “Kami tidak ada lampu jadi susah juga untuk belajar; kalau malam kita hanya duduk-duduk saja, bicara begini tapi tidak baku lihat karena gelap, kalau sudah mengantuk tinggal alas karton
atau tikar baru tidur”. (Wawancara tanggal 21 Juni 2011).
Ditambahkan pula oleh Efraim Bitibalyo “Kalau di rumah jarang sekali kami belajar malam karena tidak ada lampu; biasa kalau ada uang sedikit kami beli lilin, tapi kalau tidak ada kami cerita-cerita setelah itu kami tidur”. (Wawancara tanggal 16 Juni 2011).
Hal lain yang menjadi keprihatinan penulis adalah sarana untuk tidur yang tidak memadai, bagaimanapun
seorang
manusia
membutuhkan
tempat istrahat yang layak. Sabonius mengatakan bahwa tempat tidur sangat jauh dari layak “kami di sini tidak punya tempat khusus untuk tidur (ranjang) tapi langsung pakai lantai rumah. Jadi, kalau tidur tidak pakai kasur atau tikar tapi pakai papan saja (lantai rumah) lalu alas kepala dengan kain yang dibuat bentuk bantal; kalau ada sarung biasa bungkus badan tapi kalau tidak ada, biarkan saja” Sabonius melanjutkan “kalau mandi biasa tidak pakai sabun; kalau ada teman yang beli sabun mandi baru saya minta, tapi kalau tidak ada saya pakai tangan saja, gosok-gosok badan lalu siram dengan air setelah itu saya lap badan dengan baju saya; tidak ada handuk; sama juga kalau mau mencuci pakaian biasa rendam, lalu pukul-pukul di air setelah itu jemur; tidak pakai sabun” (Wawancara 17 Juni 2011).
Berdasarkan uraian tentang kondisi ekonomi keluarga dapat disimpulkan bahwa kondisi ekonomi keluarga informan tergolong ekonomi lemah. Dengan melihat fakta di lapangan dan hasil wawancara, maka penulis
berkesimpulan
bahwa
ekonomi
keluarga
menjadi faktor eksternal penyebab kesulitan belajar siswa SMAN 1 Dekai. Penulis berpendapat bahwa ada hubungan antara kondisi ekonomi keluarga dengan kesulitan belajar siswa di mana siswa tidak dapat memenuhi
kebutuhan
primer
dan
kebutuhan
sekundernya. Hal ini memperkuat penelitian Kirk (Tanpa tahun dalam Cece Wijaya 2010) yang menemukan bahwa terdapat lima kali lebih banyak siswa yang lambat belajar yang berasal dari keluarga ekonomi lemah dibandingkan dengan siswa lambat belajar yang berasal dari keluarga ekonomi mapan. Bahkan Kirk menyatakan bahwa siswa yang berasal dari ekonomi lemah berkecenderungan banyak melakukan perilaku menyimpang. Penulis memberi kesan khusus dimana para siswa
dari
khususnya
pedalaman
umumnya
dan
informan
sekalipun ada banyak kekurangan atau
keterbatasan
tapi
para
informan
tersebut
tidak
menyerah begitu saja. Para informan tetap bercita-cita melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi sekalipun dengan segala keterbatasan. Bahkan ada
informan
yang
bercita-cita
melanjutkan
ke
Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) agar
bisa
menjadi
camat
dan
dapat
melayani
masyarakat di pedalaman. Ada pula yang bercita-cita untuk menjadi dokter agar dapat mengobati warga pedalaman yang sakit. Para siswa sadar bahwa hanya melalui pendidikan bisa mengangkat taraf hidup/ harkat dan martabat keluarga.
Pada umumnya orang tua siswa berprofesi sebagai petani. Profesi ini dijalani
secara turun
temurun yaitu bercocok tanam dengan cara berpindah-pindah (nomaden). Cara nomaden ini dilakukan dengan membuka lahan baru untuk pertanian, setelah itu akan pindah ke tempat lain dan seterusnya. Lalu beberapa tahun kemudian masyarakat akan kembali membuka lahan pertama yang telah ditinggalkan sebelumnya. Hal ini dimaksudkan sebagai salah satu cara untuk menjaga kesuburan tanah. Berdasarkan data sekunder yang diperoleh di lapangan diketahui bahwa profesi orang tua siswa bervariasi seperti petani, pedagang/swasta, PNS/TNI dan pendeta dengan prosentasi yang beragam. Profesi petani menduduki posisi paling dominan dalam profesi orang tua siswa yakni mencapai 196 orang (85,96%), disusul profesi pedagang/swasta 18 orang (7,89%), profesi PNS/TNI 13 orang (5,70%), dan pendeta 1 orang (0,44%. Dengan melihat penghasilan orang tua siswa yang tidak tetap maka dapat dikatakan bahwa ekonomi orang tua tergolong ekonomi lemah. Sebagai gambaran bahwa profesi petani untuk luar Papua adalah salah satu profesi yang menghasilkan uang dengan aktivitas umumnya di kebun/sawah sehingga tidak jarang ditemukan petani sukses. Petani dalam konteks di pedalaman adalah profesi yang tidak menghasilkan uang
di mana hasil pertanian tidak
dapat dijual karena letak geografis yang cukup sulit sehingga tidak memungkinkan untuk dibawah ke kota, sedangkan di pedalaman belum ada pasar.
Sehingga petani memanfaatkan hasil pertanian hanya untuk dikonsumsi setiap hari itupun kadang tidak cukup kondisi seperti ini kemudian disiasati dengan makan dua kali sehari yaitu siang & sore. Profesi pedagang/swasta digeluti oleh penduduk “nonlokal” yang datang dari berbagai daerah di luar Papua dengan menjual aneka macam barang yang diimpor dari Timika dan Jayapura melalui pesawat udara dan kapal kecil melalui aliran sungai. Itupun tidak berjalan mulus karena banyaknya pungutan liar di perjalanan sehingga harga barang semakin mahal. Sedangkan profesi PNS/TNI merupakan profesi orang tua siswa baik penduduk lokal maupun nonlokal yang bertugas di Kabupaten Yahukimo. Penghasilan PNS/TNI/Polri masih di bawah standar dengan berpatokan pada harga kebutuhan pokok yang berlaku di Dekai. Walaupun ada anggapan dari luar Papua bahwa gaji pegawai lebih tinggi tapi sebenarnya tidak demikian. dan terakhir adalah pendeta dengan prosentasi yang sangat kecil. Untuk lebih jelasnya mengenai profesi orang tua siswa, akan disajikan dalam Tabel 4.6 Tabel 4.6 Profesi Orang Tua Siswa Profesi
Jumlah orang siswa
%
Petani
196
85,96
Swasta/pedagang
18
7,89
PNS/TNI
13
5,70
Pendeta
1
0,44
TOTAL
228
100
Sumber : SMAN 1 Dekai, 4 April 2011
Menurut pinggiran
kota
pengamatan dengan
penulis,
petani
di
luar
petani
di
kota
(di
pedalaman) dari sisi aktivitas dan jenis komoditi yang ditanam tidak jauh berbeda tapi dari sisi pendapatan yang membedakan. Petani di pinggiran kota sedikit ada pendapatan karena hasil pertaniannya dapat dijual setelah panen meskipun harus berjalan kaki dalam waktu 2-3 jam, lain halnya dengan petani di luar
kota.
Hasil
pertanian
hanya
cukup
untuk
dikonsumsi sehingga tidak ada penghasilan yang tetap. Seperti yang dituturkan oleh Sabonius Wahla “bapak
saya
menanam
pisang,
keladi,
ubi,
singkong, tebu, nanas, buah merah tapi hasilnya hanya untuk makan saja. Bapak tidak menjual hasil kebun karena pasar tidak ada, kalau mau ke kota harus berjalan kaki 2 hari 1 malam baru sampai di kota”. (Wawancara tanggal 17 Juni 2011).
Dengan demikian dapat diketahui bahwa para orang tua di pedalaman (kampung) telah berusaha untuk
mencukupi
kebutuhan
hidup
keluarganya
dengan cara bercocok tanam, beternak babi/ayam. Namun, karena pembangunan jalan darat yang belum sampai ke kampung-kampung maka para petani kesulitan untuk menjual hasil pertanian serta hasil peternakannya. Tidak berkembangnya sektor perekonomian di pedalaman (kampung) juga berimbas pada sektor pendidikan yang mana orang tua tidak mempunyai penghasilan tetap sehingga belum mampu membiayai
kebutuhan ekonomi keluarga dan juga kebutuhan pendidikan
anaknya,
sehingga
ketika
anaknya
menempuh pendidikan di kota, anak tersebut tidak fokus untuk belajar sebagaimana idealnya seorang siswa tapi pikiran masih terkonsentrasi untuk bekerja keras guna memenuhi kebutuhan primernya (pangan, sandang, papan) serta kebutuhan sekunder (sekolah). Seperti yang dikemukakan oleh Efraim Bitibalyo “saya disini bikin sendiri rumah lalu kami tinggal sama-sama dengan adik-adik yang datang dari kampung; waktu mau bikin rumah ini, saya kerja sawah di Moruku, terus dapat uang Rp 1, 7 juta. Lalu uang ini saya titip sama teman untuk belikan atap seng di Timika. Jadi rumah yang saya tempati bersama adik-adik dari kampung itu saya bikin rumah sendiri” (Wawancara tanggal 16 Juni 2011).
Walaupun tidak ada aturan yang melarang bahwa anak sekolah tidak boleh bekerja. Namun, jika dilihat dari sisi hak maupun kewajiban seorang siswa, maka seyogyanya seorang siswa mempunyai hak untuk mendapatkan waktu yang cukup banyak untuk belajar
guna
mengembangkan
dibayang-bayangi
oleh
beban
potensinya ekonomi.
tanpa
Dari
sisi
kewajiban anak sekolah berkewajiban untuk menaati tata tertib sekolah dan belajar dengan baik; materi yang diberikan
guru dipelajari kembali di rumah.
Sebab sepintar apapun manusia jika tidak pernah belajar atau mengulang kembali pelajaran di rumah, maka kepintarannya tidak akan bertahan lama karena sifat otak manusia adalah merekam dan menampung segala sesuatu yang dialami oleh panca indera ke
dalam memori dan bila tidak diasah lagi maka secara perlahan-lahan rekaman tersebut akan menghilang. 1.2.1.4 Latar Belakang Pendidikan Siswa. Faktor ini dalam beberapa literatur belum dianggap sebagai faktor yang turut mempengaruhi kemampuan belajar siswa
pada
semua
tingkatan,
namun
penulis
menganggap faktor ini sebagai salah satu faktor yang turut mempengaruhi kemampuan siswa khususnya pada sekolah menengah. Anggapan penulis ini didasari oleh aliran Gestalt tentang sifat-sifat belajar yang diantaranya,
Insight
tergantung
dari kemampuan
dasar dan Insight tergantung dari pengalaman masa lampau yang relevan. Jadi anak SD yang mempunyai latar belakang pendidikan di TK akan mudah dalam bersosialisasi
dengan
lingkungannya.
Begitupun
dengan siswa SMP, jika siswa tersebut mempunyai latar belakang pendidikan yang benar selama di SD, maka siswa tersebut akan cepat dalam merespon materi pelajaran dan seterusnya. Dari hasil wawancara di lapangan dengan 13 informan, 2 informan (15,38%) menjawab mengikuti pendidikan
sesuai
tingkatan
kelas.
11
informan
(84,62%) mengatakan bahwa tidak mengikuti kenaikan kelas sesuai dengan jenjang kelas tapi sering lompat kelas. Seperti yang dikatakan oleh Sabonius Wahla “saya tidak mengikuti jenjang kenaikan kelas sesuai dengan tingkatan kelas, tapi sering lompat kelas. saya masuk kelas 2, naik ke kelas 3, langsung lompat kelas 5, kelas 6 baru ikut ujian” (Wawancara tanggal 17 Juni 2011).
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Agus Yelemaken “pak guru lihat badan saya besar, jadi pak guru suruh saya masuk langsung kelas 2 terus naik ke kelas 3, lompat ke kelas 5 dan ikut ujian di kelas 6” (Wawancara, tanggal 15 Juni 2011).
Untuk lebih jelasnya mengenai riwayat kenaikan kelas di SD, disajikan dalam Tabel 4.7 Tabel 4.7 Riwayat Kenaikan Kelas di SD No
Nama Informan
Riwayat Kenaikan Kelas yang Kelas & Ujian dilewati 1 X1 1-2-3-4-5 ujian 6 2 X2 1-2-3-6 ujian 4,5 4 X3 1-2-3 ujian 4,5,6 6 X4 1-2-3-4-5-6 ujian 7 X5 4-5-6 ujian 1,2,3 8 X6 1-2-3-4-5-6 ujian 9 X7 1-2-3 ujian 4,5,6 10 X8 1-3-5- ujian 2,4,6 11 X9 2-3-4-5 ujian 1,6 12 X10 2-3-5-6 ujian 1,4 13 X11 4-5-6 ujian 1,2,3 14 X12 1-3-5-6ujian 2,4 15 X13 2-3-4-5ujian 1,6 Sumber : wawancara dari para informan, Maret-Juni 2011
Dari
data
pada Tabel
4.7
tentang
riwayat
kenaikan kelas di SD dapat diketahui bahwa siswa tidak mengikuti jenjang kelas sesuai dengan tingkatan dan kompetensi yang menjadi syarat untuk naik kelas. Ketika penulis menanyakan alasan guru menaikan kelas tanpa mengikuti prosedur, para informan menjelaskan bahwa umumnya informan sekolah di SD Paralel (kelas jauh), sehingga guru yang mengajar
adalah guru sukarela, sedangkan guru pegawai negeri (PNS) mengajar di SD induk, kalaupun ada guru pegawai negeri (PNS) yang bertugas di SD Paralel, guru tersebut tidak aktif melaksanakan tugas, dan hanya datang saat ujian semester atau ujian sekolah/Ujian Nasional. Adapun kualifikasi pendidikan guru sukarela adalah guru yang tidak tamat sekolah buta huruf, tamat SD, SMP dan SMA. Guru-guru inilah yang bertugas melaksanakan tugas disaat guru PNS tidak melaksanakan
tugas.
Kernius
Giban
menjelaskan
bahwa guru PNS tidak aktif mengajar, lebih banyak tinggal di kota. Sehingga guru sukarela yang mengajar di sekolah. “guru-guru PNS sebenarnya tidak aktif mengajar, karena guru-guru tersebut lebih banyak tinggal di kota dari pada di tempat tugas; tapi ada 1 orang guru yang aktif di sekolah saya. Dulu dia sekolah buta huruf lalu menjadi guru sekolah buta huruf lagi yang ditugaskan oleh Misionaris, dan sekarang masih bertugas karena tidak ada guru” (Wawancara tanggal 21 Juni 2011).
Sama
halnya
dengan
yang
dikatakan
oleh
Karmel Murib “kalau di tempat saya guru-guru tidak aktif, cuma satu orang saja yang aktif. Jadi guru ini merangkap/mengajar dari kelas 1-6 caranya guru membagi dua kelas; kelas 1-3 dia gabung menjadi satu kelas, 4-6 digabung juga menjadi satu kelas.jadi guru mengajar itu satu hari satu mata pelajaran saja” (Wawancara 15 Juni 2011).
Dari penuturan Kernius Giban dan Karmel Murib di atas dapat diketahui bahwa proses belajar mengajar di pedalaman (kampung) tidak berjalan sebagaimana mestinya. Guru sukarela yang hanya
tahu baca tulis ataupun tamatan SD atau SMA sekalipun belum bisa menjamin bahwa proses belajar mengajar akan berhasil dengan baik. Bahkan guru alumni PGSD sekalipun juga belum bisa menjamin keberhasilan kegiatan belajar mengajar, manakala guru yang bersangkutan tidak aktif
melaksanakan
tugas. Sesuai data primer dan data sekunder yang diperoleh di lapangan, penulis berkesimpulan bahwa faktor latar belakang pendidikan siswa menjadi salah satu faktor eksternal penyebab utama dari kesulitan belajar yang dialami oleh siswa di SMAN 1 Dekai, di mana pada pendidikan sebelumnya seorang siswa tidak memperoleh pendidikan yang cukup memadai. Sehingga kompetensi dasar yang diharapkan tidak tercapai/tuntas yang berdampak pada sulitnya siswa untuk memahami materi pelajaran. Hal ini sejalan dengan penelitian Muridan S. Widjojo, dkk. (2009), yang menemukan bahwa pendidikan dasar di Papua masih menjadi kendala utama dalam peningkatan mutu pendidikan. Muridan menemukan bahwa proses belajar mengajar khususnya SD yang berada di kampung-kampung tidak berjalan dengan baik. Guru lebih banyak tinggal di kota dan sesekali datang jika ada Ujian Nasional (UN). Bahkan
Muridan
merekomendasikan
bahwa
prioritas utama pembenahan pendidikan di Papua harus
dimulai
dari
pendidikan
dasar.
Karena,
merupakan dasar untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya, maka proses belajar mengajar harus ber-
jalan dengan baik sehingga dalam proses kenaikan kelas dan ujian nasional harus dilakukan secara benar agar tidak menjadi beban selanjutnya pada kelas berikutnya ataupun sekolah berikutnya. 1.2.1.5 Kondisi
Tempat
Tinggal.
Lingkungan
yang
nyaman dapat mendorong siswa untuk belajar dengan baik agar tercapai hasil belajar yang maksimal. Sebaliknya, nyamanan
lingkungan dapat
yang
membuat
tidak orang
memberi jenuh
ke-
untuk
berlama-lama tinggal di dalam rumah. Hal ini dapat disebabkan oleh kondisi rumah yang sempit tapi dihuni
oleh
banyak
orang,
hingga
menyebabkan
suasana rumah menjadi panas dan ribut/gaduh. Hal inilah
yang
terjadi
pada
siswa
dari
pedalaman
(kampung/gunung) yang hidup secara mandiri. Siswa yang berasal dari pedalaman (kampung) datang ke kota baik secara individu maupun kelompok dan membentuk suatu komunitas tersendiri sesuai daerah asal masing-masing, di mana
suku Kimyal
misalnya akan berkumpul dan membangun suatu perkampungan atau semacam kompleks yang khusus untuk orang-orang dari suku Kimyal. Begitupun dengan suku-suku yang lain dengan demikian lingkungan menjadi ramai. Lingkungan yang ramai dapat mengganggu aktivitas belajar anak/siswa yang tinggal ditempat
tersebut.
Seperti
yang
dituturkan
Silimius Doyela “Di rumah kami tinggal bersama dengan temanteman 15 orang dari satu kampung; mereka anak sekolah juga, ada siswa SMP, SMA dan siswa SMK.
oleh
Padahal rumah kami kecil. Pada hari-hari tertentu biasa berkumpul sampai 50 orang, mereka datang untuk sekedar main-main atau jika ada masalah pasti mereka datang” (Wawancara tanggal 21 Juni 2011).
Dari gambaran
penuturan bahwa
Silimius
betapa
dapat
sulitnya
diperoleh
untuk
ber-
konsentrasi belajar dalam satu rumah yang dihuni 1550 orang, selain ribut akan sulit pula mengatur tempat/ruangan khusus untuk belajar. Hal yang sama juga dituturkan oleh Sabonius Wahla “Kalau habis makan sore/malam kami kunci pintu untuk belajar, tapi belum sempat belajar masyarakat sudah datang kami terpaksa buka pintu, lalu masyarakat mengajak cerita, konsentrasi belajar menjadi hilang”. (Wawancara tanggal 17 Juni 2011).
Selain penghuni rumah yang banyak, kondisi rumah yang sempit membuat suasana rumah menjadi panas sehingga penghuninya sendiri tidak nyaman untuk berlama-lama di dalam rumah. Begitu pula dengan siswa yang menumpang di rumah keluarga siswa akan berbaur dengan anggota keluarga itu sendiri dan anggota keluarga lain yang kebetulan datang ke kota Dekai. Begitupun siswa yang hidup mandiri akan menjadi tempat berkumpul bagi temanteman siswa yang kebetulan sekampung. Mengingat budaya hidup di daerah ini adalah budaya hidup secara berkoloni. Sehingga orang yang telah lebih dahulu bermukim atau tinggal di wilayah tersebut mempunyai
kewajiban
untuk
menampung
bagi
keluarga, teman, atau orang lain yang sekampung.
Jika menolak, maka orang tersebut akan dicela atau dicerita negatif pada orang lain. Berdasarkan
hasil
wawancara
di
lapangan
diketahui bahwa dari 13 informan yang diwawancarai 3 informan (23,08%) menjawab hidup menumpang di salah
satu
rumah
keluarganya.
Sedangkan
10
informan (76,92%) menjawab hidup secara mandiri yaitu
dengan
cara
membuat
sendiri gubuk
dan
ditinggali secara bersama-sama. Namun hasil pengamatan penulis, kondisi tempat tinggal baik yang tinggal secara mandiri maupun yang menumpang di rumah keluarga mempunyai kesamaan yakni samasama ramai. Oleh karena itu, penulis berkesimpulan bahwa kondisi tempat tinggal turut menjadi salah satu faktor eksternal penyebab kesulitan belajar (learning difficulty)
siswa
SMAN
1
Dekai.
Di
mana
ada
hubungan antara kondisi atau lingkungan tempat tinggal yang tenang, aman, bersih akan membuat siswa nyaman untuk belajar. Sebaliknya, lingkungan yang sering ribut/gaduh, kumuh akan menyebabkan siswa sulit berkonsentrasi dalam belajar.
Slameto
(2010) menyatakan bahwa lingkungan atau suasana rumah yang ramai, gaduh/ribut dan semrawut akan membuat siswa malas tinggal di rumah apalagi belajar. 1.2.1.6 Pola Hidup. Pola hidup yang kuat dan telah mengakar secara turun temurun akan mengalami kesulitan jika ada pola baru yang ingin diterapkan pada
masyarakat
tersebut.
Pola
hidup
berkaitan
dengan kebiasaan-kebiasaan yang telah berlangsung
lama dalam suatu kelompok masyarakat dan tetap mempertahankan hingga saat ini. Bagi masyarakat yang masih mempertahankan kebiasaan-kebiasaan tersebut akan tetap nyaman sekalipun pada masyarakat modern menganggapnya sebagai sesuatu yang ganjil. Dalam
struktur
kebudayaan
suku-suku
di
pegunungan tengah umumnya dan Yahukimo khususnya secara singkat dapat dijelaskan bahwa masyarakat tinggal secara berkelompok di Honai yang terdiri dari
Honai laki-laki yang khusus dihuni oleh kaum
laki-laki dan Honai perempuan yang dihuni oleh kaum perempuan. Adapun hubungan suami isteri yang telah berkeluarga tidak dilakukan di dalam Honai tersebut tapi di lakukan di luar Honai (tempat khusus). Ketika anak lahir, jika ia seorang perempuan maka ia akan diasuh oleh ibunya hingga dewasa dengan bahasa ibu sebagai bahasa sehari-hari. Sedangkan jika yang lahir adalah laki-laki maka anak tersebut akan tinggal bersama ibunya dalam honai perempuan hingga anak tersebut “lepas susu”. Setelah “lepas susu” anak tersebut akan bergabung ke dalam Honai laki-laki dan mulai diajarkan cara mempertahankan hidup seperti cara membuat panah, kapak batu, berburu, berkebun termasuk strategi berperang pun
diajarkan. Bahkan
jika terjadi perang suku anak sering dijadikan sebagai mata-mata atau umpan dengan asumsi bahwa pihak musuh tidak akan berani membunuh anak kecil, jika ada yang terpaksa membunuh maka pihak lawan disebut sebagai “perempuan” atau pihak yang lemah.
Uraian di atas bermaksud menegaskan bahwa pendidikan
yang
diperoleh
anak
dalam
keluarga
dengan perantara bahasa ibu. Pendidikan tradisional yang dimaksudkan untuk mempertahankan hidup. Sedangkan
pendidikan
modern
tidak
didapatkan
dalam keluarga seperti pola hidup bersih, tata krama berlaku, etika berbicara ataupun membaca, menulis dan berhitung. Hal yang nampak pada masyarakat ini, yakni sekalipun tinggal di Honai yang sempit, berdinding kulit kayu, beratap alang-alang dan beralaskan tanah, namun kelompok masyarakat ini tidak mau dikatakan sebagai orang miskin. Walaupun kekurangan bahan makanan tetap saja tidak mau dianggap orang miskin. Jika gagal panen masyarakat ini akan masuk hutan mencari makanan seperti kelapa hutan, daun ganemo, buah merah, kuskus dan umbi-umbian. Masyarakat ini percaya bahwa Tuhan telah menyiapkan makanan di hutan sehingga tidak perlu kerja keras untuk mendapatkan makanan. Dengan demikian, motivasi yang dimiliki masyarakat ini adalah motivasi untuk mempertahankan
hidup,
bukan
motivasi
menge-
mbangkan hidup. Kelompok masyarakat ini berpandangan bahwa orang miskin adalah orang yang selalu meminta-minta (pengemis) atau pengamen di jalanan. Berdasarkan pengamatan di lapangan penulis berkesimpulan bahwa pola hidup siswa menjadi salah satu faktor eksternal penyebab kesulitan belajar siswa di SMAN 1 Dekai. Ada hubungan antara pola hidup
dengan motivasi belajar siswa. Pola hidup siswa yang terbuka dan semangat tingggi akan berdampak baik pada aktivitas belajarnya. Sebaliknya, pola hidup santai dan tertutup akan menghambat dalam melakukan aktivitas kehidupan termasuk aktivitas belajar sehingga hasil belajar juga rendah. Motivasi berusaha atau motivasi belajar yang rendah, maka hasilnya pun akan rendah. Dalam pengamatan penulis siswa tidak memiliki motivasi berprestasi yang tinggi sehingga aktivitasnya pun dilakukan secara santai tanpa beban apapun. 1.2.2 Faktor Sekolah 1.2.2.1 Metode
pembelajaran.
Sebagaimana
telah
disebutkan pada bab pendahuluan bahwa peran guru dan siswa merupakan faktor yang sangat menentukan dalam
proses
pembelajaran
di
sekolah.
Hakikat
pendidikan sebenarnya adalah menciptakan manusia yang “cerdas di otak” dan “cerdas di hati”. Hal ini sejalan dengan Driyarkara (dalam Hasbullah 2009) yang menyatakan bahwa pendidikan adalah proses pemanusiaan kesempatan
manusia, untuk
dimana
siswa
mengembangkan
diberikan potensinya
dengan caranya sendiri sedangkan guru hanya memfasilitasi segala kebutuhan belajar siswa. Oleh karena itu, guru sebagai salah satu pelaku pendidikan khususnya dalam proses belajar mengajar maka seyogyanya guru menguasai metode pembelajaran baik yang konvensional maupun variasinya agar guru dapat memfasilitasi kebutuhan siswa. Metode pembelajaran
guru mempunyai pengaruh besar atas keberhasilan proses pembelajaran di kelas. Pembelajaran guru di kelas merupakan rangkaian
tugas
guru
dalam
upaya
mendorong
dan
mengembangkan potensi siswa untuk mencapai hasil belajar yang maksimal. Untuk mencapai hasil pembelajaran yang maksimal tersebut, maka salah satu hal yang perlu dikuasai oleh guru adalah metode pembelajaran. Metode pembelajaran yang tepat adalah metode yang sesuai dengan materi pelajaran dan juga disesuaikan dengan kondisi siswa baik kompetensinya maupun suasana belajar. Siswa yang mengantuk misalnya
tidak
tepat
diberikan
materi
pelajaran
dengan metode ceramah tapi model lain seperti role playing untuk mengaktifkan siswa. Jadi seorang guru dituntut
untuk
menguasai
variasi
metode
pem-
belajaran agar pembelajaran dapat berjalan secara maksimal.
Metode
pembelajaran
guru
dipandang
sebagai salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan siswa dalam belajar. Penguasaan metode yang cukup memadai akan membawa perubahan pada capaian hasil belajar siswa. Seorang guru dituntut untuk memberikan layanan belajar yang maksimal lewat metode yang tepat untuk mencapai tujuan pembelajaran. Hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa pendekatan pembelajaran guru di SMAN 1 Dekai masih
dominan
menggunakan
“teacher
centered
approach” atau pendekatan pembelajaran yang berbasis pada guru dengan metode ceramah, dan tanya
jawab dalam proses belajar mengajar. Para guru beralasan, bahwa penggunaan metode tersebut lebih disebabkan oleh kompetensi siswa yang masih kurang. Sehingga apabila guru menerapkan metode resourcebased learning misalnya ada kecenderungan proses pembelajaran
tidak
akan
efektif
dan
efisien.
Sebagaimana yang dikatakan oleh beberapa guru di SMAN
1
Dekai,
Leonardus
Mangago
misalnya
menuturkan “Siswa sangat lambat dalam menerima materi pelajaran;
jika
kita
menggunakan
diskusi
kelompok maka hanya beberapa orang saja yang aktif; siswa lainnya tidak memperhatikan karena lebih banyak siswa yang bermain daripada belajar bahkan keluar masuk saat kegiatan belajar di kelas, jadi hal yang sering kami lakukan adalah mencatat dulu materi kemudian menerangkan”. (Wawancara, tanggal 14 Maret 2011).
Dari keterangan guru tersebut, dan juga hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa memang proses pembelajaran di SMAN 1 Dekai masih menggunakan
pendekatan
yang
berpusat
pada
guru
“teacher centered approach” yang sebenarnya sudah tidak boleh digunakan di zaman sekarang ini karena guru
bukan
satu-satunya
sumber
pengetahuan.
Seharusnya siswa yang aktif mencari sumber-sumber pengetahuan
melalui
buku-buku
pelajaran,
ling-
kungan, tokoh, media masa ataupun sesama teman. Namun, karena kondisi siswa yang tidak memungkinkan maka guru menggunakan pendekatan tersebut. Guru masih dianggap sebagai pusat pengetahuan
sehingga apapun yang dikatakan guru, maka itu pula yang dianggap benar. Dengan demikian, kemampuan siswa berpikir kritis tidak berkembang sehingga proses belajar mengajar menjadi pasif atau monoton. Sesuain
hasil
pengamatan
penulis,
selain
kondisi siswa yang tidak memiliki kemampuan dasar, kompetensi guru dalam mengajar juga masih kurang. Sebagai mana telah disajikan pada Tabel 4.3, dimana jumlah guru yang tidak sesuai kebutuhan sekolah yakni adanya kelebihan guru pada mata pelajaran tertentu dan sebaliknya terjadi kekurangan guru pada mata pelajaran lain. Sehingga kebijakan sekolah adalah memanfaatkan kelebihan guru tersebut untuk mengajar pada mata pelajaran lain yang tidak sesuai dengan kompetensinya. Hasilnya sudah dapat dipastikan selain penerapan metode pembelajaran yang tidak sesuai dengan materi pelajaran yang disajikan juga penguasaan materi yang tidak maksimal. Berdasarkan data primer dan data sekunder yang
dikumpulkan,
maka
penulis
berkesimpulan
faktor metode pembelajaran menjadi salah faktor eksternal penyebab kesulitan belajar siswa SMAN 1 Dekai. Ada hubungan antara metode pembelajaran dengan prestasi belajar siswa. Penggunaan metode pembelajaran yang tepat dengan materi yang disajikan akan menumbuhkan semangat belajar siswa dan tingkat
pemahaman
akan
semakin
bertambah.
Sebaliknya, penggunaan metode pembelajaran yang tidak sesuai dengan materi yang disajikan akan
melemahkan
semangat
belajar
siswa
sehingga
mempengaruhi hasil belajar yang tidak maksimal. 1.2.2.2 Kurikulum. Kurikulum menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam proses pendidikan di sekolah. kurikulum umumnya mengatur semua aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan seperti visi, misi dan tujuan. Selain itu, kurikulum juga mengatur rambu-rambu pembelajaran agar KBM tetap berjalan di atas rel yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Materi pelajaran diberikan sesuai dengan tahapan usia siswa agar materi tersebut tidak memberatkan siswa. Seiring dengan keluarnya Permendiknas Nomor 22 & 23 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Standar Kompetensi, maka semua sekolah di seluruh NKRI diberi kewenangan untuk menyusun kurikulum sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing tetapi yang terjadi bukan pada masalah kurikulumnya tapi ada pada Ujian Nasional (UN). Pemerintah pusat masih terus memaksakan pelaksanaan UN yang berorientasi bisnis dan melahirkan manusia-manusia yang tidak jujur baik guru maupun siswa dan juga instansi terkait. Materi pelajaran yang diajarkan di sekolah atas dasar Permendiknas tersebut tidak lagi menjadi acuan dalam menentukan kelulusan siswa melalui sekolah. Walaupun sekolah di pedalaman Papua mengalami serba kekurangan seperti kualitas tenaga pendidik, fasilitas belajar, tapi pemerintah pusat tetap melaksanakan UN dan menerapkan standar kelulusan yang sama. Padahal, infrastruktur pendidikan di Jawa sangat jauh berbeda dengan Papua umumnya dan
Yahukimo
khususnya.
Akibatnya,
sekolah
sering
“campur tangan” dalam membantu kelulusan siswa baik dalam UN maupun kenaikan kelas. Sehingga, kualitasnya pun pasti rendah. Sekolah mempunyai alasan soal “campur tangan” guru dalam kelulusan siswa “harus kami akui kekurangan bahwa siswa kami belum bisa/belum mampu untuk bersaing dengan siswa yang di luar Papua, tapi siswa punya kemauan untuk sekolah walaupun dengan segala keterbatasan sehingga kami perlu menghargai itu, jika siswa tidak dibantu maka siswa kami tidak akan ada yang lulus Ujian Nasional, lalu kapan orang Papua bisa memperoleh kesempatan untuk maju?” (Wawancara dengan Kepala SMAN 1 Dekai tanggal 4 April 2011).
Sebenarnya guru-guru di propinsi Papua tidak menolak adanya pelaksanaan UN tapi konsistensi pemerintah pusat yang tidak serius dalam melihat pendidikan
di
Papua
umumnya
dan
Yahukimo
khususnya. Pembangunan infrastruktur pendidikan di pedalaman masih jauh tertinggal dari pulau Jawa. Padahal, kurikulum yang baik adalah kurikulum yang disusun dengan mempertimbangkan infrastruktur sekolah (siswa, guru, alat pelajaran dan lain-lain). Sebagaimana
diketahui
bahwa
infrastruktur
pen-
didikan di Yahukimo masih sangat tertinggal jauh dengan daerah lain di Indonesia seperti kualitas guru, kualitas siswa, alat pelajaran, bangunan sekolah, sarana informasi (TV, radio, internet, surat kabar) dan jarak tempat tinggal siswa dengan sekolah itu sendiri. Berdasarkan pengamatan di lapangan diketahui bahwa SMAN 1 Dekai belum memiliki kurikulum
sekolah yang permanen. Sebagaimana dikatakan oleh Elisabeth Cornelia “kami mempunyai kendala dalam mengajar karena belum memiliki silabus dan RPP sehingga susah dalam menyajikan materi pelajaran” (Wawancara 14 Maret 2011). Dengan demikian, guruguru mengajar berdasarkan standar kompetensi yang tertera dalam buku pelajaran yang digunakan saat mengajar. Standar kompetensi yang tertera dalam buku tersebut merupakan imajinasi pengarang sesuai kondisi sekolah dimana pengarang bertempat tinggal. Artinya, kompetensi yang digunakan guru tidak sesuai dengan kompetensi siswa. Oleh karena itu, penulis berkesimpulan bahwa kurikulum menjadi salah satu faktor eksternal penyebab kesulitan belajar siswa di SMAN 1 Dekai. Menurut penulis, ada hubungan antara kurikulum dengan kemampuan belajar siswa. Materi yang sesuai dengan kemampuan siswa akan mendorong siswa untuk belajar. Sebaliknya, materi yang
tidak
sesuai
kemampuan
siswa
akan
menurunkan semangat belajarnya bahkan siswa akan putus asa dalam belajarnya. 1.2.2.3 Relasi Guru dengan Siswa. Hubungan guru dengan siswa menjadi sangat penting dalam proses belajar mengajar karena berhasil tidaknya proses pendidikan
melalui
kegiatan
belajar
mengajar
di
sekolah berada di tangan guru dan siswa. Jadi, guru dan siswa wajib untuk membangun hubungan yang harmonis agar tercipta proses belajar yang kondusif. Untuk membangun hubungan tersebut seorang guru tidak
hanya
cukup
membangun
relasi
dengan
kompetensi profesional dan kompetensi paedagogik tapi juga kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian. Hal ini sejalan dengan pendapat Abu Ahmadi & Widodo Supriyono (2008) yang mengatakan bahwa guru yang kasar, suka marah, suka mengejek, tak pernah senyum, tak suka membantu anak, suka membentak, dan lain-lain adalah ciri guru yang tidak memiliki kompetensi sosial sehingga tipe guru seperti ini,
siswa
akan
cenderung
tidak
memperhatikan
pelajaran atau arahan dari guru yang bersangkutan. Bahkan, akan memunculkan sikap antipati siswa kepada guru. Selain itu, kompetensi kepribadian juga mendukung terciptanya situasi belajar yang kondusif. Guru yang cerewet misalnya akan cenderung diperolok-olok oleh siswa, atau guru datang ke sekolah dalam keadaan mabuk juga akan menjadi bahan ocehan siswa. Jadi, guru perlu menguasai empat kompetensi sesuai amanat Undang-Undang Guru dan Dosen dan menerapkan sesuai dengan konteksnya. Sesuai hasil wawancara dengan 13 informan diperoleh
jawaban
bervariasi
yakni
4
informan
(30,77%) menjawab menjalin komunikasi yang baik dengan guru tertentu baik di sekolah maupun di luar sekolah.
3
informan
(23,08)
menjawab
menjalin
komunikasi di sekolah sebagaimana guru dan siswa dalam taraf normatif. Sedangkan 6 informan (46,15%) menjawab komunikasi terjalin di sekolah/luar kelas tapi di dalam kelas komunikasi tidak terjalin baik. Menurut informan indikasi tidak terjalinnya komunikasi ditandai dengan seringnya guru tidak menjawab
pertanyaan ketika siswa bertanya. Seperti yang di katakan oleh Efraim Bitibalyo “sebenarnya ada guru yang baik; kalau kita bertanya guru itu terangkan berulang-ulang. Tapi ada guru yang tidak mau terangkan; kalau kita bertanya dia marah terus suruh kita cari sendiri atau belajar sendiri” (Wawancara 16 Juhi 2011).
Hal yang sama dikemukakan oleh Karmel Murib “guru itu masuk lalu tulis di papan stelah itu dia terangkan begini-begini(cara mengerjakan). Baru selesai itu kita belum mengerti lalu kita bertanya lagi tapi guru bilang “akh tadi saya su terangkan, kenapa tanya lagi?”; guru tidak dekati siswa saat mengerjakan tugas tapi hanya duduk di depan atau dia ke kantor. Dari kantor guru datang langsung kumpul pekerjaan, kita mau bertanya tapi tidak bisa karena guru setelah mengumpulkan pekerjaan kami langsung ke kantor; kami kerja sesuai kemampuan kami saja” (Wawancara 15 Juni 2011).
Hasil pengamatan penulis menemukan guru yang tidak membina komunikasi yang baik dengan siswa, walaupun yang lain telah berlaku demokratis pada siswa. Menurut pengamatan penulis situasi tersebut lebih disebabkan oleh paradigma lama yang menganut sistem otoriter di mana siswa tidak boleh dekat dengan guru dengan asumsi bahwa jika guru tidak dekat dengan siswa, maka siswa akan takut pada guru untuk nakal atau berbuat onar. Dengan kata lain, jika siswa telah maka
siswa
mengenal dekat gurunya,
akan cenderung
berbuat
semaunya.
Dengan menerapkan sistem “jaga jarak” memang terlihat efektif, di mana siswa tidak berani untuk berbuat gaduh di kelas atau di luar kelas. tapi berdampak luas bagi perkembangan kognitif siswa.
Berdasarkan hasil wawancara dan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa komunikasi guru dan siswa dalam arti luas belum berjalan dengan baik khususnya
di
kelas.
Dengan
demikian,
penulis
berkesimpulan bahwa relasi guru dan siswa menjadi salah satu faktor eksternal penyebab kesulitan belajar di SMAN 1 Dekai. Menurut penulis ada hubungan antara komunikasi yang terjalin baik dengan kesulitan belajar siswa. Di mana jika komunikasi terjalin baik maka guru akan memberikan kesempatan seluasluasnya kepada siswa untuk bertanya atau mengungkapkan permasalahan yang di hadapinya berkaitan
dengan
kegiatan
belajarnya.
Sebaliknya,
komunikasi yang tidak terjalin dengan baik maka pada saat proses belajar misalnya jika siswa tidak mengerti maka siswa tersebut akan takut untuk bertanya sehingga siswa lebih memilih untuk diam dan tidak memperhatikan pelajaran yang disajikan. 1.2.2.4 Kedisiplinan.
Kedisiplinan
erat
kaitannya
dengan ketertiban, misalnya tertib administrasi, tertib waktu, tertib belajar, tertib berpakaian. Masalah kedisiplinan masih menjadi masalah utama dalam setiap organisasi baik organisasi pemerintah maupun organisasi swasta. Penerapan disiplin pada suatu organisasi sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah leadership. Leadership yang baik akan mendorong staf mengikuti aturan yang berlaku dalam
suatu
organisasi
dan
berupaya
untuk
menghasilkan suatu kinerja yang baik. Sebaliknya, pemimpin
yang
kurang
baik
akan
menghasilkan
kinerja yang kurang baik pula. Walaupun Susno (2011),
dalam
kedisiplinan
penelitiannya
tidak
menemukan
bahwa
hubungan
dengan
mempunyai
kepemimpinan, namun penulis berpendapat sebaliknya bahwa kedisiplinan mempunyai hubungan dengan kepemimpinan selain motivasi, karena kepemimpinan yang demokratis tapi tegas dalam kebijakan dan sanksi dapat menjadi patokan dalam mendisiplinkan diri dan staf. Walaupun memang disiplin dengan kesadaran sendiri (intrinsik) jauh lebih efektif dan kekal dibanding dengan unsur dari luar (ekstrinsik. Penelitian Lewin (1981 dalam Husaini Usman 2009)
ditemukan
tiga
gaya
kepemimpinan
yaitu
otoriter, demokratis, dan laize faire. Lewin menjelaskan
bahwa
pemimpin
otoriter
bertindak
sangat
direktif, selalu mengarahkan, dan tidak memberikan kesempatan bertanya apalagi membantah. Pemimpin demokratis mendorong kelompok untuk berdiskusi, berpartisipasi, menghargai pendapat orang lain, siap berbeda
pendapat
dan
perbedaan
tidak
untuk
dipertentangkan tetapi untuk didapatkan hikmahnya. Pemimpin laize faire memberikan kebebasan mutlak kepada kelompoknya atau bawahan dalam bekerja. Pemimpin model ini merasa bawahannya telah dapat bekerja dengan baik sehingga tidak perlu diarahkan atau dikontrol. Sesuai dengan pengamatan di lapangan model yang diterapkan oleh kepala sekolah adalah pemimpin yang demokratis, di mana setiap guru diberikan kesempatan untuk berbicara (memberi masukan) baik
resmi maupun tidak resmi. Dampak positif dari pemimpin demokratis adalah
guru dilibatkan dalam
pengelolaan sekolah sesuai tugas dan fungsi masingmasing dengan tetap berkoordinasi satu sama lain sehingga pengelolaan sekolah dapat berjalan secara demokratis. Sedangkan dampak negatifnya adalah guru-guru cenderung menerjemahkan sebagai laize faire di mana guru-guru beranggapan telah diberi kebebasan mutlak sehingga guru datang ke sekolah sesuka hati; bila tidak ada jam mengajar guru-guru enggan ke sekolah; guru yang tidak aktif/malas mengerjakan tugas juga tidak diberikan sanksi baik lisan maupun tertulis. Akibatnya kurikulum SMAN 1 Dekai
hingga
saat
ini
belum
tersusun
sesuai
Permendiknas Nomor 22 & 23 tentang Standar Isi dan Standar Kompetensi. Penerapan disiplin di SMAN 1 Dekai belum menunjukkan hal yang berarti,
terutama dalam hal
administrasi
Administrasi
dan
kehadiran.
belum
berjalan dengan baik karena sejak berdirinya SMAN 1 Dekai tahun 2005-2011 hingga sekarang ini belum ada penempatan tenaga administrasi dari pemerintah daerah yang khusus mengurus masalah administrasi, sehingga guru-guru terkadang merangkap pekerjaan selain
tenaga
pengajar
juga
sebagai
tenaga
administrasi. Bahkan kepala sekolah sendiri sering turun
tangan
menangani
administrasi
sekolah.
Indikator lain yang menunjukkan bahwa di SMAN 1 Dekai belum tertib administrasi adalah belum adanya leger nilai yang terkumpul di bagian Kurikulum,
Kesiswaan
ataupun
di
kepala
sekolah.
Sehingga
penulis kesulitan dalam mengumpulkan leger nilai hasil semester siswa sehingga atas izin kepala sekolah penulis
meminta
siswa
untuk
membawa
buku
laporannya agar penulis dapat membuat leger nilai, dan masih banyak indikator lain. Sedangkan disiplin kehadiran belum terlaksana dengan baik karena tidak adanya kesadaran untuk mendisiplinkan diri serta tidak adanya sanksi tegas terhadap guru atau siswa yang melanggar disiplin. Selain itu, siswa yang dominan berasal dari kampung masih terbiasa dengan pola pendidikan di kampung yang tidak mengenal disiplin. Sebagaimana dikemukakan oleh Bartolomeus Palembangan “…siswa tidak disiplin karena terbiasa dari sekolah dasar yang tidak disiplin”. Sehingga ketika masuk SMAN 1 Dekai masih sulit
untuk
menyesuaikan
dengan
aturan
yang
berlaku. Apalagi di rumah siswa kebanyakan belum mempunyai jam dinding, sehingga siswa menggunakan matahari sebagai patokan waktu. Seperti yang dikemukakan oleh Warnus Lokon “kalau cuaca baik kita perhatikan matahari; kita kan tidak punya jam. Jadi kalau cuaca tidak baik, kita tunggu-tunggu begini kita pikir masih pagi, ternyata matahari su tinggi. Kalau ke sekolah biasa dapat hukum jadi lebih baik tidak ke sekolah kalau su terlambat” (Wawancara 21 Juni 2011).
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan dan hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa kedisiplinan yang berkaitan dengan kehadiran di sekolah
serta
ketertiban
siswa
dalam
mengikuti
pembelajaran di kelas belum menunjukkan hasil yang optimal.
Oleh
karena
itu,
penulis
berkesimpulan
bahwa kedisiplinan menjadi salah satu faktor eksternal penyebab kesulitan belajar siswa di SMAN 1 Dekai. Hal ini diperkuat oleh hasil angket yang penulis bagikan kepada guru-guru bahwa kedispilinan masih menjadi masalah utama dalam pengelolaan sekolah umumnya dan kegiatan pembelajaran khususnya. Sebanyak 20 responden (100%) menjawab bahwa kedisiplinan siswa masih menjadi salah satu kendala yang dihadapi guru dalam
kegiatan
pembelajaran.
Dengan
demikian,
menurut penulis ada hubungan antara kedispilinan belajar siswa dengan kesulitan belajar siswa. Jika siswa disiplin dalam belajar maka hasil belajarnya akan
meningkat
dan
kesulitan
belajarnyan
akan
teratasi. Sebaliknya, jika siswa tidak disiplin dalam belajar maka hasilnya dipastikan akan rendah dan kesulitan belajar akan tetap “lestari”. 1.2.2.5 Alat Pelajaran. Faktor yang mendukung tercapainya keberhasilan dalam proses belajar di sekolah selain guru dan siswa adalah tersedianya sarana belajar/alat pelajaran seperti peralatan laboratorium MIPA, laboratorium computer, laboratorium bahasa dan
buku-buku
pelajaran
di
perpustakaan.
Keberadaan alat pelajaran ini dapat membantu siswa dan guru dalam mempraktekkan teori yang telah dipelajari di kelas. Hasil pengamatan di lapangan, menunjukkan bahwa alat pelajaran masih sangat kurang khususnya buku-buku di perpustakaan dan laboratorium bahasa.
Sedangkan alat-alat laboratorium MIPA dan alat-alat laboratorium komputer telah tersedia walaupun belum lengkap. Buku-buku yang tersedia di perpustakaan hanya ±50 exemplar itupun didominasi oleh bukubuku pelajaran MIPA dengan kondisi yang tidak terawat baik. Sehingga siswa enggan untuk masuk perpustakaan karena buku-buku yang ada tidak relevan dengan kebutuhan belajar siswa. Seperti yang dikemukakan oleh Karmel Murib “kami jarang masuk perpustakaan karena jarang buka, terus buku-buku yang dibutuhkan juga tidak ada disana; hanya buku-buku IPA yang banyak, padahal kami jurusan IPS itupun tidak sesuai dengan materi yang kami terima” (wawancara 15 Juni 2011).
Untuk lebih jelasnya mengenai sarana belajar di SMAN 1 Dekai akan disajikan dalam Tabel 4.8 Tabel 4.8 Keadaan Sarana & Prasarana Belajar SMAN 1 Dekai tahun 2007-2011 No
Uraian
Jumlah
1
Gedung Kantor
1 Unit
2
Ruang Kelas/ruang belajar
3 Ruang
3
Ruang perpustakaan (dialihfungsikan menjadi
1 Unit
ruang belajar) 4
Buku-buku perpustakaan
50 eks
5
Toilet siswa
4 Pintu
6
Toilet guru
3 Pintu
7
TV
1 buah
8
Wireless/Tape
1 Unit
9
Infocus/Proyector
2 Unit
Komputer untuk praktek TIK
8 Unit
10
11
Komputer untuk TU
1 Unit
12
Alat-alat Olahraga
Ada
13
Alat-alat laboratorium MIPA
Ada
Gedung lab. MIPA & lab. Komputer masih status pinjam gedung milik SMPN Dekai Sumber : SMAN 1 Dekai 3 April 2011
Ketersediaan alat-alat pelajaran sangat penting karena guru bukan satu-satunya sumber pengetahuan. Sehingga dengan adanya alat-alat pelajaran khususnya
buku-buku
perpustakaan
atau
media
cetak, siswa dapat mencari bahan-bahan yang relevan dengan materi pelajaran untuk didiskusikan baik sesama teman maupun kepada guru. Dengan kata lain, sebelum pelajaran dimulai siswa akan mencari bahan di perpustakaan sehingga siswa mempunyai bahan diskusi di kelas. Jika demikian, pengetahuan siswa
akan
meningkat
dan
menambah
tingkat
kekritisan siswa terutama pada saat proses belajar di kelas; siswa akan lebih aktif dalam diskusi sehingga pembelajaran multi arah dapat tercipta dengan baik. Sebaliknya, apabila alat pelajaran di sekolah tidak tersedia maka siswa akan kesulitan dalam mencari bahan yang berhubungan dengan materi yang akan dipelajari di kelas. Akibatnya siswa cenderung pasif terhadap lingkungannya khususnya dalam proses belajar di kelas. Keberadaan laboratorium bahasa juga sangat dibutuhkan, karena siswa yang berasal dari kampung masih dipengaruhi oleh dialek bahasa ibu, sehingga penyebutan suatu benda masih keliru seperti buku menjadi
puku,
aparat
menjadi
abarat,
pesawat
menjadi pesawar, dan sebagainya. Oleh karena itu, perlu untuk disempurnakan penyebutannya agar tidak keliru. Sebab jika dibiarkan maka penyebutan yang salah akan terbawa hingga dewasa. Hal ini terbukti banyak orang tua yang menyebut sesuatu diluar struktur fonologi yang benar. Berdasarkan data primer dan data sekuder yang diperoleh penulis diketahui bahwa alat pelajaran masih
sangat
kurang.
Oleh
karena
itu,
penulis
berkesimpulan bahwa alat pelajaran yang tidak cukup memadai
menjadi
salah
satu
faktor
eksternal
penyebab kesulitan belajar di SMAN 1 Dekai. Dengan demikian, menurut penulis ada hubungan antara kesulitan belajar dengan alat pelajaran di mana jika alat pelajaran cukup memadai maka guru tidak akan kesulitan menggunakan alat peraga dalam proses pembelajaran
yang
akan
memudahkan
siswa
memahami materi pelajaran. Begitupula dengan siswa jika alat pelajaran memadai maka siswa dapat belajar secara mandiri baik di perpustakaan maupun di laboratorium 1.2.2.6 Keadaan Gedung. Keadaan gedung sekolah menjadi sangat penting karena hampir semua aktivitas belajar dilakukan di kelas. Keadaan gedung sekolah tidak
hanya
terkait
dengan
keadaan
lingkungan
sekolah yang sehat dan jauh dari keramaian atau kebisingan tetapi juga jumlah ruang kelas yang harus memadai. Dengan adanya jumlah ruangan kelas yang memadai, maka pihak sekolah dapat membagi siswa dalam
beberapa
rombongan
belajar,
berdasarkan
tingkat kemampuan yang dapat dilihat pada hasil tes masuk pada saat penerimaan siswa baru (PSB). Pembagian siswa dalam beberapa rombongan belajar dimaksudkan agar layanan yang diberikan dapat optimal sesuai dengan kebutuhan siswa. Dan hal ini penulis telah melakukannya pada Penerimaan Siswa Baru (PSB) tahun pelajaran 2009/2010 dengan cara membagi siswa dalam dua rombongan belajar dengan mengacu pada nilai tes masuk. Kelas ini pula yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya kelas IPA pertama
di
sekolah
ini
pada
kelas
XI
setelah
penjurusan. Sesuai dengan ketentuan Permendiknas Nomor 22 dan 23 tentang Standar Isi & Standar Kompetensi yang
tertuang
mengamanatkan
dalam
kurikulum
2006
(KTSP)
bahwa
satu
rombongan
belajar
idealnya hanya diisi oleh 24-32 orang siswa tujuannya agar layanan belajar dapat diberikan secara maksimal. Hasil pengamatan sekaligus pengalaman penulis selama bertugas di SMAN 1 Dekai, jumlah siswa dalam satu rombongan belajar melebihi kapasitas kelas di mana jumlah siswa dalam satu rombongan belajar mencapai
48-54
orang
siswa.
Sehingga
kegiatan
pembelajaran belajar tidak efektif. Selain waktu yang relatif singkat, jumlah siswa yang lambat belajar cukup
banyak,
menangani
sehingga
secara
guru
keseluruhan.
kesulitan Seperti
untuk
yang
di-
kemukakan oleh salah satu guru SMAN 1 Dekai Citra Dewi “siswa yang lambat belajar sulit tertangani karena kurangnya ruangan kelas sehingga siswa
ditumpuk dalam satu ruangan dengan jumlah sangat banyak membuat kenyamanan dalam belajar kurang kondusif” (Wawancara 15 Maret 2011).
Hal senada dikemukakan oleh guru lainnya Barlee
Pardomuan
Sihombing
yang
menyatakan
bahwa ruang kelas masih menjadi masalah dalam proses belajar mengajar “di dalam kelas siswa sering ribut karena ruangan kelas melebihi kapasitas; bangku dan meja terlalu berdempetan sehingga kalau siswa duduk tidak bisa menulis dengan baik karena tangannya menyenggol anggota tubuh temannya, akibatnya ribut lagi (Wawancara 15 Maret 2011).
Kondisi kelas sebagai mana dikemukakan kedua guru tersebut di atas jelas tidak membuat nyaman siswa untuk proses pembelajaran. Oleh karena banyaknya siswa dalam kelas membuat guru cenderung memperhatikan siswa yang daya tangkapnya agak cepat sementara siswa yang lambat terabaikan. Untuk lebih jelasnya mengenai jumlah siswa dalam satu rombongan belajar akan disajikan dalam Tabel 4.9Tabel 4.9 Keadaan Siswa Dalam Rombongan Belajar Kelas
Jumlah Siswa Dalam 1 Ruang
Xa
48 Orang Siswa
Xb
54 Orang Siswa
XIa (Ipa)
20 Orang Siswa
XIb (Ips)
53 Orang Siswa
XII
53 Orang Siswa
TOTAL SISWA
228 Orang Siswa
Sumber : SMAN 1 Dekai, 3 April 2011
Berdasarkan data primer dan data sekunder yang dikumpulkan diketahui bahwa ruang kelas secara kuantitas masih menjadi kendala dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, penulis berkesimpulan bahwa kondisi sekolah khususnya ruang kelas yang tidak memadai menjadi salah satu faktor eksternal penyebab kesulitan belajar di SMAN 1 Dekai. Di mana jika
ruang
kelas
memadai
maka
siswa
yang
“cepat/lambat” dapat dikelompokkan dan ditangani secara komprehensif. 1.2.2.7 Metode Belajar. Salah satu faktor yang paling menentukan keberhasilan siswa dalam belajar adalah siswa itu sendiri. Siswa yang memiliki tekad yang kuat untuk
keberhasilannya
akan
mengabaikan
segala
kekurangan atau keterbatasan yang ada dan berusaha keras untuk menaklukannya. Dengan kata lain, siswa yang mempunyai tekad yang kuat untuk berhasil akan menutupi kekurangan/keterbatasan dengan kelebihan yang dimilikinya. Karena banyak orang sukses yang berasal dari kalangan ekonomi lemah, perhatian orang tua juga kurang, dan lain-lain. Namun, dengan tekad yang kuat tersebut siswa akan mengatur waktu dengan baik antara waktu kerja dengan waktu belajarnya guna mencapai cita-cita yang diinginkan, salah satunya adalah dengan membuat jadwal kegiatan setiap hari, agar waktu dapat dimanfaatkan secara maksimal. Berbeda dengan temuan di lapangan, siswa belum mampu mengorganisasi waktu dengan baik. Semua informan belum ada yang membuat konsep
belajar (cara belajar) dengan cara membuat jadwal aktivitas sehari-hari sebelum ke sekolah (pagi) dan setelah pulang sekolah (sore-malam). Dari 13 informan (100%) yang diwawancarai, tak satupun informan yang memiliki konsep diri dalam belajar. Semua informan memiliki jawaban yang sama yakni alasan mencari makan, tidak ada lampu, dan tidak ada buku-buku pelajaran seperti yang telah dijelaskan pada faktor ekonomi keluarga. Pada pagi hari sebelum ke sekolah, aktivitas yang dilakukan adalah dengan melakukan kegiatankegiatan rutin yang tidak ada hubungannya dengan belajar seperti mandi, pakai seragam dan berangkat ke sekolah; tidak pernah ada kegiatan belajar sebelum ke sekolah. Seperti yang dituturkan oleh Warnus Lokon “saya biasa bangun pagi itu jam 5 pagi tapi tidak bikin apa-apa hanya baring-baring ditempat tidur mau bangun belajar tapi masih gelap; yang biasa saya lakukan kalau pagi itu setelah bangun itu berdoa, lalu pergi mandi, pakai seragam sekolah lalu pergi ke sekolah” (Wawancara tanggal 16 Juni 2011).
Sama halnya dengan yang dikemukakan oleh Agus Yelemaken “saya kalau bangun pagi itu cepat biasa jam 4 atau jam 5 pagi. Kalau bangun jam 4 biasa hanya tinggal ditempat tidur saja, tunggu sampai terang baru keluar; lalu saya cuci piring, masak air untuk bikin kopi, setelah itu pergi mandi di kali Bonto terus pakai seragam lalu pergi ke sekolah” (Wawancara tanggal 22 Juni 2011).
Sedangkan aktivitas setelah pulang sekolah, juga dihabiskan untuk kegiatan-kegiatan lain di luar
kegiatan belajar. Misalnya Silimius Doyela menuturkan “saya tidak pernah belajar, alasannya karena tidak ada lampu kalau malam, terus kalau pulang sekolah tidak langsung makan tapi saya cari ubi dulu di kebun lalu pulang masak baru makan” (Wawancara, tanggal 17 Juni 2011).
Begitu juga dengan Penihas Malyo yang tinggal menumpang di rumah orang “kalau saya kan tinggal dengan orang, jadi kalau pulang sekolah itu saya bantu-bantu di rumah; begitu lepas seragam sekolah saya makan, cuci piring setelah itu istrahat. Dari sekolah kan capai juga, setelah istrahat baru saya kerja” (Wawancara tanggal 17 Juni 2011).
Dari keterangan ketiga informan di atas dapat diketahui
bahwa
siswa
tersebut
tidak
pernah
membuka buku (belajar) saat bangun pagi atau sebelum berangkat ke sekolah begitupun setelah pulang sekolah baik sore maupun malam. Padahal untuk
menambah
pelajaran
yang
pemahaman
telah
dipelajari
terhadap di
sekolah
materi perlu
pengulangan di rumah. Oleh karena itu, penulis berkesimpulan bahwa metode belajar siswa menjadi salah satu faktor eksternal penyebab kesulitan belajar di SMAN 1 Dekai. Siswa yang mempunyai konsep untuk berhasil menerapkan metode belajar dengan caranya sendiri. Dengan demikian,
penulis ber-
kesimpulan bahwa ada hubungan antara metode belajar dengan kesulitan belajar. Di mana jika siswa membuat metode belajar dan belajar terus menerus niscaya kesulitan belajar akan teratasi hasilnya pun
akan bagus. Begitupun sebaliknya jika siswa tidak belajar maka hasilnya dipastikan akan kurang baik. Menurut pengamatan penulis hal yang membuat siswa malas belajar di rumah disebabkan oleh tidak adanya konsep diri dan tidak adanya pengawasan dari orang tua atau keluarga yang bermukim di Dekai. Selain itu, motivasi berprestasi juga minim sehingga keinginan untuk belajar juga sangat kurang. 1.2.3 Faktor Lingkungan Masyarakat Faktor lingkungan turut mempengaruhi keberhasilan siswa dalam pendidikannya. Keberhasilan tidak hanya tercermin dalam prestasi yang dicapai di sekolah tapi juga perilaku. Di mana perilaku terbentuk oleh lingkungan primer (keluarga) saat masih kecil, dan
setelah
melalui
beranjak
lingkungan
dewasa
sekunder
perilaku
terbentuk
(masyarakat).
Ling-
kungan yang buruk akan berdampak buruk pada orang baik yang tinggal di tempat yang buruk dan sebaliknya, orang yang buruk akan berdampak baik jika tinggal di lingkungan yang baik pula. Menurut Crow & Crow (Tanpa tahun dalam Kencana Mardiati Mintabae) sikap terhadap lingkungan akan mempengaruhi motivasi berprestasi, artinya sikap terhadap lingkungan merupakan petunjuk tentang pandangan dan penilaian individu terhadap lingkungannya. Sikap positif
terhadap
lingkungan
akan
meningkatkan
motivasi berprestasi sedangkan sikap negatif terhadap lingkungan akan menurunkan motivasi berprestasi. Dengan kata lain, siswa yang tinggal di lingkungan
yang
mayoritas
masyarakatnya
tidak
pernah
mengenyam pendidikan akan berpengaruh negatif terhadap perilaku siswa. Sehingga mempengaruhi semangat
belajarnya.
Semangat
belajar
menurun
karena pikiran siswa tidak lagi terkonsentrasi pada kewajibannya sebagai siswa yaitu belajar tapi lebih tertuju pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh teman-temanya, seperti keluyuran tanpa tujuan yang jelas, minum minuman keras, main judi, seks bebas dan narkoba. Seperti yang dikemukakan oleh Karmel Murib “sore atau malam saya sering keluar jalan-jalan, jika keluar jam 5 sore terus cerita dengan teman-teman, sambil merokok kadang teman beli minuman saya ikut minum juga. Kalau sudah jam 9 malam keatas saya tidak pulang ke rumah lagi tapi saya tidur dengan teman-teman nanti pagi baru saya pulang; kalau orang di rumah bertanya, saya bilang saya tidur dengan teman-teman, karena sudah malam makanya saya tidur dengan teman-teman; kalau tidak ada yang bertanya saya diam-diam masuk dan langsung cuci piring” (Wawancara tanggal 15 Juni 2011). Hal
yang
sama
dikemukakan
oleh
Agus
Yelemaken, sekalipun tidak merokok atau minum minuman keras tapi sangat mengganggu aktivitas belajarnya “saya kalau malam itu keluar jalan-jalan; kalau tidak keluar saya ke sebelah sama tetangga dia kan buka kios jadi saya temani jaga kios sambil cerita jam 10 atau 11 baru masuk rumah langsung tidur” (Wawancara 15 Juni 2011).
Keterangan kedua informan tersebut sebagai indikasi
bahwa
lingkungan
tempat
tinggal
atau
lingkungan masyarakat turut mempengaruhi aktivitas belajar siswa yang berdampak pada menurunnya
minat belajar. Selain data primer yang dikumpulkan, Penulis juga mengumpulkan data sekunder di sekolah dengan membaca catatan pelanggaran yang dilakukan. data tersebut umumnya adalah merokok dan mabukmabukan serta sering terlibat dalam permasalahan di masyarakat. Walaupun secara ekonomi tidak mampu tapi karena pergaulan yang luas; berteman dengan teman-temannya dari keluarga berada maka informan ikut-ikutan. Sedangkan narkoba belum ditemukan catatan pelanggaran. Berdasarkan
uraian-uraian
di
atas, tentang
lingkungan yang turut mempengaruhi minat belajar siswa, maka penulis berkesimpulan bahwa lingkungan masyarakat merupakan salah satu faktor eksternal penyebab kesulitan belajar siswa SMAN 1 Dekai. Menurut penulis, ada hubungan antara kesulitan belajar dengan lingkungan lingkungan masyarakat di mana
masyarakat
masalah
tidak
pendidikan
ikut
anak.
bertanggung Walaupun
jawab
memang
lingkungan tidak dapat disalahkan tapi sejatinya masyarakat yang peduli pendidikan dapat mengawasi anak-anak
dari
perbuatan-perbuatan
mengganggu aktivitas belajarnya.
yang
dapat
1.3 Pengaruh Kesulitan Belajar (Learning Difficulty)
terhadap
Prestasi
Belajar
Siswa Siswa
yang
mengalami
kesulitan
belajar
(learning difficulty) dalam penjelasan pada bab II telah dijelaskan bahwa siswa dengan kesulitan belajar ditandai dengan rendahnya kemampuan siswa dalam menghubungkan pengetahuan
pengetahuan
lainnya,
tidak
yang dapat
satu
dengan
berkonsentrasi
dalam kegiatan belajarnya dan lain-lain. Sehingga hal ini berdampak pada rendahnya pencapaian hasil belajar siswa yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Rendahnya hasil belajar siswa tidak hanya terjadi pada satu bidang studi tertentu tapi keseluruhan bidang studi yang diajarkan di SMAN 1 Dekai. Rendahnya hasil belajar siswa dapat dilihat pada Tabel 4.10 yang menyajikan di mana siswa tidak mencapai KKM yang ditetapkan guru mata pelajaran. Berdasarkan pengamatan penulis di lapangan dapat dijelaskan bahwa banyak guru yang malas melaksanakan pembelajaran remedial karena hasil tes sebelum dan hasil tes sesudah remedial tidak akan berpengaruh banyak terhadap hasil belajarnya. Para guru
mengaku
telah
melaksanakan
pembelajaran
remedial dengan cara mengulang pelajaran yang dilanjutkan dengan tes akhir tapi hasilnya tetap tidak banyak membawa perubahan. Sehingga guru tidak lagi melakukan pembelajaran remedial tapi hasil belajar siswa langsung di “dongkrak” sehingga nilai yang tertera di buku laporan tidak sesuai dengan kom-
petensi siswa. Nilai yang terdapat dalam buku laporan hasil belajar (rapor) telah terkontaminasi dengan praktek buruk penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sehingga
dalam
penelitian
ini
penulis
tidak
menggunakan nilai rapor sebagai alat ukur kesulitan belajar siswa tapi penulis menggunakan nilai murni yang diperoleh siswa saat ujian semester bagi kelas X dan XI sedangkan kelas XII nilai yang digunakan adalah nilai hasil Ujian Sekolah dengan cara memesan kepada guru-guru mata pelajaran melalui kepala sekolah.
Namun
ada
beberapa
guru
yang
tidak
memberikan nilai murni tanpa alasan. Tabel 4.10 menyajikan nilai murni hasil perolehan siswa pada saat tes ujian semester dan Ujian Sekolah. Tabel 4.10 Nilai Murni Hasil Ujian Semester Dan Hasil Ujian Sekolah No
Kode Informan
Kelas
Nilai
Geog/KKM
Nilai Ekon/ KKM
60/RP
60/RP
1
X1
XII IPS
12
70 (10-100)
1,35
6,5 (1-10)
2
X2
XII IPS
16
70 (10-100)
2,20
7,0 (1-10)
3
X3
XII IPS
14
70 (10-100)
1,20
6,0 (1-10)
4
X4
XII IPS
23
70 (10-100)
2,80
7,0 (1-10)
5
X5
XII IPS
30 70 (10-100)
2,35
6,5 (1-10)
No
Kode Informan
Kelas
Nilai
Nilai
Agm/KKM
60
60
Sos/KKM
1
X6
XI IPS
10 (10-100)
1,25 (1-10)
2
X7
XI IPS
30 (10-100)
1,90 (1-10)
3
X8
XI IPS
20 (10-100)
0,69 (1-10)
4
X9
XI IPS
15 (10-100)
1,90 (1-10)
No
Kode Informan
Kelas
Nilai
Nilai
55
Mtk/KKM
60
Geog/KKM
1
X10
Xb
13,5 (10-100)
45 (10-100)
2
X11
Xb
19,5 (10-100)
30 (10-100)
3
X12
Xb
15,5 (10-100)
20 (10-100)
4
X13
Xb
20,0 (10-100)
30 (10-100)
Sumber : SMAN 1 Dekai, 15 Juni 2011
Tabel 4.10 menjelaskan hasil belajar siswa kelas XII, XI dan kelas X pada beberapa mata pelajaran seperti mata pelajaran Geografi, Ekonomi, Agama, dan Sosiologi (ilmu sosial) di mana mata pelajaran tersebut mempunyai kriteria ketuntasan minimal (KKM) 60. Artinya, seorang siswa harus lulus mata pelajaran tersebut dengan nilai minimal 60, pada rentang penilaian 10-100 atau nilai minimal 6,0 pada rentang penilaian 1-10. Sedangkan mata pelajaran Matematika (ilmu eksakta) mempunyai KKM dengan nilai minimal 55 pada rentang penilaian 10-100 atau 5,5 pada rentang penilaian 1-10. Jadi, siswa yang memperoleh nilai 60-100 atau 6,0-10
untuk
mata
pelajaran
ilmu-ilmu
sosial
dianggap telah memiliki kompetensi mata pelajaran. Sedangkan siswa yang memperoleh nilai 10-59 atau 1,0-5,9 dianggap belum mencapai kompetensi mata pelajaran.
Begitupula
halnya
dengan
ilmu-ilmu
eksakta dimana siswa yang memperoleh nilai 55-100 atau 5,5-10 dianggap telah memiliki kompetensi mata pelajaran. Sebaliknya, siswa yang memperoleh nilai 10-54
atau
1,0-5,4
dianggap
tidak
mencapai
kompetensi mata pelajaran. Dari pencapaian hasil belajar siswa tersebut sebagaimana
yang
terdapat
dalam
tabel
4.
10
diketahui bahwa semua informan memperoleh nilai di bawah 60 (untuk ilmu sosial) dan 55 (untuk ilmu eksakta) sesuai KKM yang ditetapkan oleh setiap guru mata
pelajaran.
Dengan
demikian,
hasil
belajar
tersebut mengindikasikan bahwa siswa mengalami kesulitan
dalam
belajarnya.