BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Proses Pelaksanaan Tradisi Tarian Cakalele Di Kota Ternate Dalam melangsungkan Tradisi Tarian Cakalele di Ternate ini tentunya memeliki kaidah-kaidah atau proses tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh setiap orang-orang yang sudah terhimpun dalam Tradisi Tarian Cakalele. Adapun tahapan-tahapan yang terdapat dalam pelaksanaan Tradisi Tarian Cakalele di Ternate sebagai berikut: 1.
Tahap Awal (Persiapan) Sebelum proses pelaksanaan tarian cakalele di lakukan perlu adanya
persiapan-persiapan dan berbagai perlengkapan yang di perlukan pada saat pelaksanaan tarian cakalele. Oleh karena itu sebelum sampai pada puncak pelaksanaan tarian cakalele seluruh anggota tarian cakalele menyiapkan diri dengan melakukan latihan dan menyiapkan segala perlengkapan yang akan dipergunakan pada saat pelaksanaan tarian cakalele nanti. Menurut Muhammad Abdullah (26 Juni 2013) bahwa bahan-bahan atau perlengkapan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan tarian cakalele antara lain sebagai berikut:
a. Tifa (Beduk) b. Seragi (Gong)
c. Peda (pedang/parang) d. Salawaku (Perisai) e. Kabaya (pakaian) 2.
Tapah Kedua (Pembentukan) Menurut Ibrahim Ade (wawancara 25 Juni 2013) setelah tahap persiapan
yaitu perlengkapan-perlengkapan dari tradisi tarian cakalele. Maka, selanjutnya yaitu tahap kedua atau pembentukan kelompok tradisi tarian cakalele. Tahap kedua ini dilakukakan dengan mengadakan musyawarah dari kelompok masyarakat untuk memilih anggota yang akan menjadi penari dalam tarian trdisi cakalele tersebut. Setelah terpilih anggota yang menjadi penari dalam tradisi tarian cakalel yang berjumlah 30 orang. Maka akan dilakukan pematangan-pematangan dasar bunga tarian. Karena dalam tarian cakalele memiliki berbarapa variasi dalam tarian. Sehingga peserta punya kesiapan ketika tampil nanti.
3.
Tahap Ketiga (Penampilan) Setelah melewati beberapa tahap diatas, maka yang menjadi tahap akhir
atau inti adalah penampilan dari tradisi tarian cakalele. Dengan berbagai kesiapan yang telah dilakukan maka penampilan dari tradisi tarian cakalele menjadi tahap yang dinantiakn. Tahap ketiga ini merupakan tahap inti yang harus dilakukan secara baik. Karena tahap ini yaitu mempertunjukan tradisi tarian cakalele yang memiliki berbagai variasi dalam tarian. Dan dalam penampilan ini peserta tarian
diharapkan harus memiliki mental yang kuat, agar dapat melakukan gerakangerakan tarian dengan benar dan baik. 4.
Tahap Akhir (Evaluasi) Setelah penampilan dari tradisi tarian cakalele tersebut. Maka akan
diadakan yang namanya evaluasi. Evaluasi diadakan untuk mengoreksi berbagai macam kekurangan dalam pelaksanaan tradisi tarian cakalele. Karena penampilan para anggota dalam tradisi tarian cakalele bukanlah menjadi akhir pelaksanaan dari tradisi tarian cakalele. Karena kelompok tersebut juga dipersiapkan dalam kegiatan-kegiatan selanjutnya. (Wawancara Movis Suleman, 30 Juni 2013). 4.1.2
Proses Pelaksanaan Tradisi Tarian Kabasaran Di Minahasa
Menurut Antonius Doter (Wawancara 25 Juli 2013) bahwa tradisi tarian cakalele di Minahasa merupakan tradisi yang dilakukan secara turun temurun dan dipertahankan keberadaanya di Minahasa sampai saat ini.
Dipertahankannya
tradisi tarian cakalele ini karena dari tahapan-tahapan pelaksanaannya tercermin nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Adapun tahapan-tahapanya sebagai berikut:
1. Tahapa Kesiapan Perlengkapan
Menurut Markus Lose (Wawancara 29 Juli 2013) bahwa pelaksanaan tarian kabasaran di minahasa memerlukan perlengkapan-perlengkapan sebagai berikut:
a. Beduk
b. Parang c. Perisai d. Gong e. Pakaian f. Trompet cangkang bia 2. Tahap Pembentukan Sanggar
Setelah berbagai kesiapan perlengkapan yang disediakan maka yang menjadi langkah selanjutnya dalam pelaksanaan tarian kabasaran yaitu pembentukan tim yang berjumlah 12 orang dalam Tradisi tarian kabasaran atau yang disebut sebagai sanggar. Setelah dibentuk, tim tersebut akan melakukan latihan-latihan sebagai bentuk pematangan serta kesiapan sebelum tampil.
3. Penampilan
Tahap inti dari tarian kabasaran yaitu penampilan dari tradisi tarian kabasaran itu sendiri. Tarian ini juga memiliki berbagai variasi yang khas sehingga menjadi suatu pertunjukan seni
yang menarik bagi masyarkat
Minahasa. Penampilan ini juga menjadi faktor yang sangat penting dalam pelaksanaan tradisi tarian kabasaran. Kareana ini merupakan pokok dari tradisi tarian kabasaran. (Wawancara, Absalun Urep 14 Agustus 2013 )
4.1.3 Makna dan Simbol Tradisi Tarian Cakalele Ternate
4.1.3.1 Makna Tradisi Tarian Cakalele Ternate
Semangat berperang rakyat Maluku Utara melawan penjajah Belanda serta Portugis dapat terungkapkan dalam setiap gerakan Tarian Cakalele yang mengumbar semangat. Dengan dukungan filosofi warna pakaian adat serta pedang dan tameng sebagai senjata perlawanan mereka.
Tarian Cakalele ini merupakan tarian perang yang saat ini dipertunjukan pada saat menyambut tamu agung yang datang ke daerah tersebut . Tarian Cakalele ini tersebut dimainkan oleh 30 pria yang biasanya menggunakan Parang dan Salawaku tarian tersebut merupakan tarian tradisional khas Maluku Utara.(Wawancara Abubakar Malan. 5 Juli 2013)
4.1.3.2 Simbol-Simbol Tradisi Tarian Cakalele Ternate
Keistimewaan tarian ini terletak pada tiga fungsi simbolnya. Pakaian berwarna merah pada tubuh penari laki-laki, menyimbolkan rasa heroisme terhadap bumi Maluku utara, serta keberanian dan patriotisme orang Maluku utara ketika menghadapi perang. Pedang pada tangan kanan menyimbolkan harga diri warga Maluku utara yang harus dipertahankan hingga titik darah penghabisan.
Tameng (salawaku) adalah alat penagkis dan teriakan lantang menggelegar pada selingan tarian menyimbolkan gerakan protes terhadap sistem pemerintahan kolonial yang dianggap tidak memihak kepada masyarakat. 4.1.4 Makna dan Simbol Tarian Kabasaran Minahasa 4.1.4.1 Makna Tradisi Tarian Kabasaran Minahasa
Tarian Cakalele atau Kabasaran merupakan tarian perang tradisional budaya asli Minahasa. tapi sekarang ini semakin susah dijumpai. Di berbagai daerah Minahasa semakin sedikit orang yang tahu tentang tarian Cakalele ini, apalagi menari dan melakukan tarian perang ini.
Menurut Frans Damar (Wawancara 20 Agustus 2013) bahwa tarian cakalele memiliki semboyan somahe kai kehage adalah semboyan yang mengandung arti Semakin besar tantangan yang kita hadapi, semakin gigih kita menghadapi tantangan sambil memohon kekuatan dari Tuhan, pasti akan beroleh hasil yang baik.
4.1.4.2 Simbol-Simbol Tarian Kabasaran Minahasa
Busana yang digunakan dalam tarian ini cakalele terbuat dari kain tenun Minahasa asli dan kain patola yaitu kain tenun merah dari dan tidak, Kabasaran Minahasa telah memakai pakaian dasar celana dan kemeja merah. kemudian dililit ikatan kain tenun. Dalam hal ini tiap etnis Minahasa punya cara khusus untuk mengikatkan kain tenun. Khusus Kabasaran dari minahasa sendri, mereka lebih
menyukai busana perang dan bukannya busana upacara adat, yakni dengan memakai lumut-lumut pohon sebagai penyamaran berperang.
Paling menarik adalah mahkota yang mereka pakai. Berbentuk kepala burung, dengan moncong lancip berwarna kuning. Kemudian di atasnya bulu-bulu yang berasal dari bulu ekor dan sayap ayam jantan. Tapi itu untuk penari bagian prajurit. Sedangkan bagi sang pemimpin, mahkotanya menggunakan bulu dan sayap dari burung elang.Ini sebagai simbol dari kekuatan sang pemimpin, Termasuk kalung tiga tengkorak yang dipakai bagi yang ditunjuk sebagai pemimpin.
4.1.5
Perkembangan Tradisi Tarian Cakalele di Ternate dan Minahasa
4.1.5.1 Perkembangan Tradisi Tarian Cakalele di Ternate
Menurut M. Saleh Kota (21 Juli 2013) bahwa sejak masa terbentuknya masyarakat pertama di Ternate, Cakalele sudah menjadi tradisi masyarakat di kepulauan ini. Seperti halnya di tempat lain di kepulauan Maluku dan sekitarnya cakalele merupakan bentuk tradisi atau kebiasaan dalam masyarakat tradisional di daerah ini.
Tradisi Cakalele sebenarnya bermula dari daerah Maluku Utara, yang kemudian meluas ke daerah-daerah pengaruh kerajaan hingga sampai ke daerah Maluku Tengah (Ambon & Seram), termasuk juga ke wilayah semenanjung Sulawesi bagian utara (di Minahasa juga ada tradisi Cakalele ini) dan juga di
kawasan sepanjang pantai timur pulau Sulawesi. Mereka masih tetap menggunakan istilah Cakalele ini sebagaimana sebutan asal yang diambil dari kosa kata bahasa Ternate.
Tarian Cakalele sangat erat hubungannya dengan masyarakat Maluku, terutama terhadap masyarakat Maluku Utara dikarenakan tarian ini berasal dari Maluku Utara. Tarian ini menggambarkan betapa gigihnya perjuangan penduduk maluku utara dalam mengusir penjajah. Dengan persenjataan secukupnya, yaitu pedang dan tameng yang masih terkesan tradisional, masyarakat Maluku Utara membuktikan bahwa semangat kemerdekaan membumbung tinggi dalam setiap aktifitasnya. Ini terterapkan dalam beberapa gerakan Tarian Cakalele yang menghujamkan tombak ke depan serta di iringi tameng yang selalu berada di depan badan sebagai perlindungan. Dengan adanya tarian tersebut setidaknya masih ada sebuah pengakuan bahwa masyarakat Maluku Utara merdeka atas dasar kekuatan dan semangat rakyatnya. Tarian Cakalele ini adalah bukti filosofi sejarah Maluku Utara yang selalu mendapat dukungan penuh dari Kepala Adat serta sesepuh dan keikutsertaan rakyat dalam pelestariannya.
Tarian Cakalele menyimpan cerita unik. Tarian ini memiliki filosofi peperangan. Maka dari itu, warna pakaian yang dipilih bagi penari pria adalah merah yang berarti berani dan bersemangat. Merah juga melambangkan jiwa patriotisme serta heroisme pada tanah Maluku Utara. (Wawancara Muhamad Abdullah. 11 Juli 2013 )
Alat berupa pedang dan tameng juga semakin melengkapi kesan heroik tersebut. Jika Anda pernah menyaksikan tarian ini secara langsung, Anda pasti tidak akan aneh mendengar teriakan-teriakan dari para penari. Teriakan tersebut ternyata juga mempunyai arti sendiri. Mereka berteriak sebagai simbol protes terhadap pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada masyarakat.
Tarian cakalele ini biasanya di tampilkan dalam upacara adat untuk pengangkatan kepala adat setempat serta untuk menyambut tamu-tamu agung sebagai simbolis semangat para pejuang Maluku Utara dahulu dalam melawan penjajah.
Sebuah tarian pastilah memiliki makna yang terkandung dalam setiap gerakannya. Makna itu yang menjadi daya tarik setiap orang yang melihatnya. Dari makna itulah masyarakat kedepan dapat mengerti arti sebuah kebudayaan yang tercampur dengan semangat perjuangan patriotisme. Tak terelakan bahwa banyak wisatawan menjadikan Tarian Cakalele sebagai simbol semangat, kegigihan dan kebersatuan antar rakyat dan pemangku adatnya. Tarian ini telah menjadi objek wisata yang patut di lestarikan agar asal-usul dari rakyat maluku tidak terlupakan oleh waktu. Dari seni ini juga dapat meningkatkan wisatawan dalam negeri maupun asing yang ingin melihat atau bahkan mempelajarinya. Ini meningkatkan pendapatan daerah Maluku Utara dari awal yang hanya sebagai simbolis perjuangan kini telah menjadi salah satu objek wisata yang jarang terlihat umum.
Setiap karya seni daerah pasti terdapat nilai-nilai adat yang tersirat di dalamnya, termasuk juga Tarian Cakalele. Tarian yang telah di kenal seluruh warga Indonesia sebagai tarian asli Maluku Utara kini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Terutama dalam nilai magis dan spiritual yang terkandung dalam setiap gerakannya. Penarinya pun juga tak sembarangan, diambil dari orang-orang yang telah memahami secara matang makna dari tarian tersebut. Tarian Cakalele menjadi nilai plus bagi APBD pemerintah Maluku Utara. Tentunya harus di dukung dengan budaya untuk melestarikannya agar menjadi objek wisata yang dapat di kenal dunia.
4.1.5.2 Perkembangan Tradisi Tarian Cakalele di Minahasa
Pada zaman penjajahan Belanda tempo dulu , ada peraturan daerah mengenai Kabasaran yang termuat dalam Staatsblad Nomor 104 B, tahun 1859 yang menetapkan bahwa 1. Upacara kematian para pemimpin negeri (Hukum Basar, Hukum Kadua, Hukum Tua) dan tokoh masyarakat, mendapat pengawalan Kabasaran. Juga pada perkawinan keluarga pemimpin negeri. 2. Pesta adat, upacara adat penjemputan tamu agung pejabat tinggi Belanda Residen, kontrolir oleh Kabasaran. 3. Kabasaran bertugas sebagai “Opas” (Polisi desa). 4. Seorang Kabasaran berdinas menjaga pos jaga untuk keamanan wilayah setahun 24 hari. Kabasaran yang telah ditetapkan sebagai polisi desa dalam Staatsblad tersebut di atas, akhirnya dengan terpaksa oleh pihak belanda harus ditiadakan pada tahun 1901 karena saat itu ada 28 orang tawanan yang melarikan diri dari penjara Manado. Untuk menangkap kembali seluruh tawanan yang melarikan diri
tersebut, pihak Belanda memerintahkan polisi desa, dalam hal ini Kabasaran, untuk menangkap para tawanan tersebut. Namun malang nasibnya para tawanan tersebut, karena mereka tidak ditangkap hidup-hidup melainkan semuanya tewas dicincang oleh Kabasaran. Para Kabasaran pada saat itu berada dalam organisasi desa dipimpin Hukum Tua. Tiap negeri atau kampung memiliki sepuluh orang Kabasaran salah satunya adalah pemimpin dari regu tersebut yang disebut “Pa’impulu’an ne Kabasaran”. Dengan status sebagai pegawai desa, mereka mendapat tunjangan berupa beras, gula putih, dan kain.
Sungguh mengerikan para Kabasaran pada waktu itu, karena meski hanya digaji dengan beras, gula putih, dan kain, mereka sanggup membantai 28 orang yang seluruhnya tewas dengan luka-luka yang mengerikan.
Seiring tidak ada lagi peperangan antar daerah, tari Kabasaran kini dijadikan sebagai tari penyambutan tamu dan hiburan warga Minahasa ketika menyelenggarakan pesta adat. Seringkali, tarian ini hadir sebagai hiburan warga ketika propinsi Sulawesi Utara menyelenggarakan festival adat.
Tari Cakalele ternyata tidak dimiliki oleh masyarakat Maluku Utara saja, suku Minahasa ternyata juga memiliki budaya tarian perang itu. Tentunya, dengan gaya gerakan dan pakaian yang memiliki khas tersendiri.
Bentuk pakaiannya, dengan menggunakan dasar kain karung goni. Kemudian di seluruh permukaannya dihiasi rumbai-rumbai kain berwarna merah dengan panjang hingga di bawah lutut. Pada kaki, pada bagian betis, dibebat
dengan bahan yang sama. Sebagai alas kaki, penari mengenakan sandal khusus yang juga terbuat dari karung goni.
Paling menarik adalah mahkota yang mereka pakai. Berbentuk kepala burung, dengan moncong lancip berwarna kuning. Kemudian di atasnya bulu-bulu yang berasal dari bulu ekor dan sayap ayam jantan. Tapi itu untuk penari bagian prajurit. Sedangkan bagi sang pemimpin, mahkotanya menggunakan bulu dan sayap dari burung elang. Ini sebagai simbol dari kekuatan sang pemimpin jelas, bahwa penari yang mendapat bagian sebagai pemimpin itu adalah sebuah kebanggaan. (Wawancara Odi Kotim. 8 Juli 2013)
Tiga tengkorak yang bergerai di leher merupakan tulang tengkorak dari monyet. seharusnya tengkorak yang dipakai adalah tengkorak manusia. Tapi zaman sekarang siapa yang mau menyediakan dan menggunakan tengkorak manusia hanya sekadar untuk menari. Jadi para pemimpin adat Minahasa sepakat menggantinya dengan tengkorak monyet ini.(Wawancara Frans Damar. 19 Juli 2013)
Tak hanya itu, untuk prajurit, mereka dilengkapi dengan tameng kayu dan tombak. Sedangkan pemimpinnya cukup dengan tombak. Kemudian gerakan tarian mereka, terbagi menjadi beberapa bagian. Mulai dari persiapan, maju berhadap-hadapan, hingga saling serang. Kemudian diakhiri dengan saling mundur. Uniknya, sebelum dan sesudah menari, mereka lebih dulu saling memberi penghormatan.
Sebagai iringan, tarian ini cukup menggunakan alat musik sederhana. Sebuah drum kecil yang dipukul bertalu-talu dan berhenti sejenak, setiap sang pemimpin meneriakkan komando.
Menari Cakalele sendiri itu sudah menjadi masyarakat Minahasa dalam sanggar kesenian yang ada di Minahasa dan selalu berlaga di depan wisatawan yang datang ke daerah Minahasa. Dan sampai sekarang tradisi tarian cakalele masih di pertahankan oleh masyarakat minahasa,karena budaya cakalele merupakan warisan dari nenek moyang mereka.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Proses Pelaksanaan Tradisi Tarian Cakalele Di Kota Ternate Cakalele secara harafiah berarti “setan / roh yang sedang mengamuk”. Bila jiwa seseorang telah dirasuki syaitan/roh, maka ia tidak takut kepada siapapun yang dihadapi dan ia telah haus akan darah manusia. Dengan demikian, menurut Abdul Hamid Hasan atraksi Cakalele di dalam peperangan ataupun uji coba ketahanan jiwa raga seseorang dalam kegiatan “Legu Kie se Gam” berbeda dengan Cakalele yang sekedar ditampilkan pada upacara resmi lain. Au lee ini berasal dari gabungan dua kata, yaitu “Au” yang berarti darah, dan “leo” yang berarti mengalir atau membanjir. Kebiasaan pelaku apabila mencapai kemenangan, harus meminum darah salah satu musuhnya sebagai imbalan kepada roh gaib yang merasuki dalam dirinya. Demikian gambaran
peperangan yang terjadi pada jaman dahulu seperti yang diceriterakan oleh beberapa orang tua-tua di Ternate.
Tradis Tarian Cakalele merupakan sebuah
tarian yang secara tradisi
ditampilkan pada saat upacara-upacara adat besar di ternate seperti pada upacara legu gam (pesta rakyat) di Ternate. Tarian cakalele ini biasanya di tampilkan saat penjemputan tamu-tamu besar atau penjemputan sultan pada saat pelaksanaan upacaara legu gam. Personil dalam tarian cakalele adalah prajurit-prajurit khusus kesultanan yang secara ritual telah menguasai tarian cakalele secara turuntemurun. Proses pelaksanaannya dimulai pada saat penjemputan sultan keluar dari kadaton kesultanan ternate untuk menghadiri upacara legu gam didepan kedaton kesultanan ternate,para penari tarian cakalele akan memulai aksinya, bersimpuh dihadapan sultan kemudian untuk mendapatkan restu dari sultan. Para penari lakilaki mengenakan pakaian perang yang didominasi oleh warna merah tua. Di kedua tangan penari menggenggam senjata pedang (parang) di sisi kanan dan tameng (salawaku) di sisi kiri. Para penari kemudian melakukan atraksi tarian cakalele dengan diiringi musik dari tifa (beduk) dan Gong. 4.2.2 Proses Pelaksanaan Tradisi Tarian Kabasaran Di Minahasa
Kabasaran merupakan tarian keprajuritan tradisional Minahasa, yang diangkat dari kata; Wasal, yang berarti ayam jantan yang dipotong jenggernya agar supaya sang ayam menjadi lebih garang dalam bertarung.
Para penari Tradisi Tarian Cakalele biasa dilakukan pada saat penjemputan tamu-tamu besar karena minahasa adalah daerah yang masih mempertahankan adat-istiadat,sehinggah sebelum melakukan aksinya para tarian cakalelel memberikan penghormatan atau menunduk kepala sejenak pada tamu-tamu besar yang datang didaerah tersebut. kemudian para tarian cakalele melakukan atraksi cakalele dihadapan para tamu-tamu besar dan seluruh mayarakat minashasa yang hadir menyaksikan tarian cakalele, kemudian alat yang di pegang berupa parang dan salawaku itu dipetunjukan pada tamu-tamu besar, bahwa alat yang mereka gunakan ini melambangkan alat perlawanan pada masa para penjaja.sampai pada saat sekarang mereka masih menjaga dan melestariakn alat-alat tarian cakalele ini.
Kata Kawasalan ini kemudian berkembang menjadi "Kabasaran" yang merupakan gabungan dua kata “Kawasal ni Sarian” “Kawasal” berarti menemani dan mengikuti gerak tari, sedangkan “Sarian” adalah pemimpin perang yang memimpin tari keprajuritan tradisional Minahasa. Perkembangan bahasa melayu Manado kemudian mengubah huruf “W” menjadi “B” sehingga kata itu berubah menjadi Kabasaran, yang sebenarnya tidak memiliki keterkaitan apa-apa dengan kata “besar” dalam bahasa Indonesia, namun akhirnya menjadi tarian penjemput bagi para Pembesar-pembesar.
4.2.3
Makna dan Simbol Tradisi Tarian Cakalele dan Kabasaran
Tarian cakalele di Ternate dan tarian kabasaran merupakan dua tarian yang memiliki kemiripan. Dilihat dari sisi peralatan yang digunakan oleh penari memiliki kemiripan walupun ukurannya yang berbeda. Dan secara historisnya
kedua tarian ini digunakan sebagai tarian perang melawan penjajah kala itu. Dilain sisi kedua tarian ini memiliki perbedaan-perbedaan dari segi makna dan simbol-simbol.
Dilihat dari sisi makna Cakalele secara etimologi dalam bahasa Ternate, terdiri atas dua suku kata, yaitu “Caka” (syaitan/roh) dan “Lele” (mengamuk). Hingga saat ini masyarakat Ternate masih menggunakan istilah Caka untuk menyebut roh jahat, ada juga istilah lain untuk Caka yaitu “Suwanggi”. Caka dalam Bahasa Tidore disebut dengan “Coka”. Sedangkan kabasaran secara etimologi Kata Kawasalan ini kemudian berkembang menjadi "Kabasaran" yang merupakan gabungan dua kata “Kawasal ni Sarian” “Kawasal” berarti menemani dan mengikuti gerak tari, sedangkan “Sarian” adalah pemimpin perang yang memimpin tari keprajuritan tradisional Minahasa.
Secara simbol cakalele Pakaian berwarna merah pada kostum penari lakilaki, menyimbolkan rasa heroisme terhadap bumi Maluku utara, serta keberanian dan patriotisme orang Maluku utara ketika menghadapi perang. Pedang pada tangan kanan menyimbolkan harga diri warga Maluku utara yang harus dipertahankan hingga titik darah penghabisan. Tameng (salawaku) menyimbolkan alat penangkis atau dikenal dengan tameng.
Sedangkan kabasaran Busana yang digunakan dalam tarian ini terbuat dari kain tenun Minahasa asli dan kain patola, adalah kain tenun merah itu melambangkan ciri has daerah Minahasa, Kabasaran Minahasa telah memakai pakaian dasar celana dan kemeja merah, kemudian dililit ikatan kain tenun. Dalam
hal ini tiap sub-etnis Minahasa punya cara khusus untuk mengikatkan kain tenun. Khusus tarian cakalele mereka lebih menyukai busana perang dan bukannya busana upacara adat, yakni dengan memakai lumut-lumut pohon sebagai penyamaran berperang. Paling menarik adalah mahkota yang mereka pakai. Berbentuk kepala burung, dengan moncong lancip berwarna kuning. Kemudian di atasnya bulu-bulu yang berasal dari bulu ekor dan sayap ayam jantan. Tapi itu untuk penari bagian prajurit. Sedangkan bagi sang pemimpin, mahkotanya menggunakan bulu dan sayap dari burung elang. Ini sebagai simbol dari kekuatan sang pemimpin..
Untuk menyambut para tamu dalam perayaan adat. Dalam tarian ini biasanya para penari pria memakai senjata parang. Biasanya kostum yang digunakan dalam tarian ini, Dominan menggunakan warna merah dan kuning serta menggunakan pengikat kepala yang berwarna merah. Warna merah yang dikenakan sebagai celana pada penari melambangkan kepahlawanan,
atau
keberanian
dan
patriotisme.
Sedangkan
parang
melambangkan martabat penduduk Maluku Utara yang akan dijaga sampai mati. Lalu, perisai serta teriakan para penari melambangkan gerakan protes melawan sistem pemerintahan yang tidak berpihak terhadap rakyat. Tarian ini dilakukan secara berpasang-pasangan dengan diiringi musik drum, glute, bia atau sejenis musik tiup. Selain itu ada juga yang menyebutkan bahwa Tradisi Tarian Cakalele merupakan tarian sebagai bentuk penghormatan kepada nenek moyang bangsa Maluku Utara yang merupakan seorang pelaut. Dalam melakukan tarian ini, arwah nenek moyang mereka dapat memasuki tubuh si penari, sehingga penduduk
asli Maluku Utara mempercayai bahwa tarian ini merupakan tarian penghormatan kepada nenek moyangnya.
Dilihat dari sisi sejarah tarian ini juga menjadi perdebatan kedua belah pihak terkait dangan kehadiran tarian tersebut. Menurut Amin Faruk sejarawan Maluku Utara Tradisi Tarian Cakalele merupakan tarian asli maluku utara yang hadir pada masa penjajah dan taarian ini lahir sebagai akibat dari kemarahan rakyat Maluku Utara terhadap penjajah pada waktu itu. Sehingga sebagai bentuk perlawanan maka tarian ini digunakan untuk melawan para penjajah. Namun Tradisi Tarian Kabasara ini memang asli dari minahasa dengan nada yang sama sebagai tarian perang melawan penjajah. Jadi dari kedua pernyataan yang disampaikan maka sebenarnya kedua tarian ini memiliki kesamaan dari sisi semangat yang timbul untuk melawan penjajah.
4.2.4
Perkembangan Tradisi Tarian Cakalele di Ternate dan Minahasa
Berdasarkan sejarah bahwa tradisi tarian cakalele dan kabasaran merupakan tradisi tarian tradisional yang hadir pada masa penjajahan. Seiring dengan perkembangan zaman setelah masa penjajahan maka tridisi tersebut dikembangkan dan dilestarikan sehingga tetapi hidup dalam kehidupan masyarakat baik Ternate maupun Minahasa.
Setelah dikembangkan dari kedua tarian tersebut ternyata kedua tarian tersebut mengandung beberapa nilai yaitu:
1. Nilai Seni
Tradisi Tarian cakalele dan kebasaran merupakan dua tarian yang mengandung nilai seni. Karena keua tarian menarik simpatik masyarakat dari gerakan-gerakan yang ditnjukan. Sehingga kedua tarian sering di tampilkan dalam acara-acara besar atau pertunjukan-pertunjukan dari masing-masing daerah.
Tradisi Tarian Cakalele ini sering ditampilkan dalam kegiatan besar seperti Legu Gam (Pesta Rakyat) yang dilaksanakan oleh pemerintah Daerah bersama pihak kesultanan Ternate setiap tahunnya. Dan tarian ini juga sering ditampilkan sebagai penjemputan para pejabat pemerintah yang hadir dalam suatu kegiatan.
Tarian kebesaran juga digunkan dalam setiap acara yang dilakukan oleh masyarak Minahasa, Misalnya acara perkawinan. Dan masyarakat sangat antusias menyaksikan tarian tersebut. Karena bagi mereka ini sangat menarik dan mengandung nilai seni.
2.
Nilai Ekonomi
Setiap karya seni daerah pasti terdapat nilai-nilai adat yang tersirat di dalamnya, termasuk juga Tarian Cakalele. Tarian yang telah di kenal seluruh warga Indonesia sebagai tarian asli Maluku Utara kini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Terutama dalam nilai magis dan spiritual yang terkandung dalam setiap gerakannya. Penarinya pun juga tak sembarangan, diambil dari orang-orang yang telah memahami secara matang makna dari tarian
tersebut. Tarian Cakalele menjadi nilai plus bagi APBD pemerintah Maluku Utara. Tentunya harus di dukung dengan budaya untuk melestarikannya agar menjadi objek wisata yang dapat di kenal dunia.
Di Minahasa tarian kabasaran pun menjadi salah satu objek wisata untuk menarik para wisatawan unuk hadir ke daerah Minahasa. Karena tarian ini bukan hanya menjadi tarian yang ditampilkan pada acara atau pertunjukan tapi diusahan sebagai suatu trdisi yang bisa memberikan nilai ekonomis. Ketika para wisatawan hadir yang jelas memberikan keuntungan kepada daerah.
3.
Nilai Sosial
Tradisi Tarian cakalele dan Kabasaran merupakan kedua tarian sebagai simbol semangat, kegigihan dan kebersatuan antar rakyat dan pemangku adatnya. Sehingga tarian ini pun mengandung nilai sosial.
Tradisi Tarian Cakalele ini ditampilkan selain sebagai bentuk pelestarian terhadap suatu budaya tarian inipun digunakan untuk menghimpun serta mempersatukan kembali masyarakat yang ada. Dengan tarian ini maka dengan sendirinya akan timbul semangat persatuan dan kesatuan masyarakat itu sendiri.
Tradisi tarian kabasaran kami tampilkan dalam setiap acara atau pertunjukan baik itu acara perkawinan maupun yang lain. Itu bukan hanya sebagai daya tarik untuk masyarakat tetapi disisi lain ini merupakan sebuah bentuk mengajak masyarakat untuk saling mengenal antara satu dengan yang lain.
Sehingga masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat tidak merembek pada suatu konflik besar.