BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Novel yang dipilih untuk didekonstruksi adalah novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Alasan memilih novel ini karena isi dari cerita novel tersebut telah memenuhi syarat dengan perlawanan pada tokoh cerita untuk didekonstruksi. Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari mengisahkan tentang seorang gadis bernama Srintil yang berusia sebelas tahun yang tinggal bersama kakek dan neneknya karena kedua orang tuanya telah meninggal karena keracunan semenjak Srintil masih kecil. Kemudian kakeknya menjadikan Srintil seorang ronggeng kemudian diasuh oleh dukun ronggeng yaitu Kartareja dan istrinya. 4.1.1 Penokohan tokoh utama Tokoh utama dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini adalah Srintil. Setiap bagian dalam novel ini menceritakan konflik-konflik yang dialami oleh tokoh Srintil yang paling banyak mendapat waktu penceritaan dan berhubungan dengan tokoh lain. Karena tokoh utama juga merupakan tokoh sentral yang perannya sangat berpengaruh terhadap tokoh lainnya, namun secara tidak langsung mendapat pengaruh yang sama terhadap penggambaran karakter dari peran tambahan.
4.1.1.1 Penokohan Tokoh Srintil Srintil gadis berusia sebelas tahun yang pintar dalam hal menari. Di bawah pohon nangka ketiga anak laki-laki yaitu, Rasus warta dan Darsun melihat Srintil sedang asyik bermain seorang
diri. Perawan kecil itu sedang merangkai daun nangka dengan sebatang lidi untuk dijadikan sebuah mahkota. (Tohari, 2007:11) Hal ini digambarkan pula melalui kutipan berikut: Duduk bersimpuh di tanah sambil meneruskan pekerjaannya, Srintil berdendang. Siapapun di Dukuh Paruk, hanya mengenal dua irama. Orang-orang tua bertembang kidung, dan anak-anak menyanyikan lassgu-lagu ronggeng. Dengan suara kekanak-kanakannya, Srintil mendendangkan lagu kebanggaan para ronggeng: Senggot timbane rante, tiwas ngegot ning ora suwe. (Tohari, 2007:11) Lagu erotik. Perawan yang baru sebelas tahun, menyanyikannya dengan sungguh-sungguh. Boleh jadi Srintil belum paham benar makna lirik lagu itu. Namun sama saja. Dukuh Paruk tidak akan bersusah hati bila ada anak kecil menyanyikan lagu yang paling cabul sekalipun . Betapa asyik Srintil dengan dendangnya, terbukti dia tidak menyadari ada tiga anak laki-laki berdiri dibelakangnya. Srintil baru sadar ketika sedang mencoba memasang mahkota daun nangka ke atas kepalanya. (Tohari, 2007:12) Siapa yang akan percaya, tak seorang pun pernah mengajari Srintil menari dan bertendang. Siapa yang akan percaya, belum sekali pun Srintil pernah melihat pentas ronggeng. Ronggeng terakhir di Dukuh Paruk mati ketika Srintil masih bayi. Tetapi di depan Rasus, Warta, dan Darsun, Srintil menari dengan baiknya. Mimik penagi berahi yang selalu ditampilkan oleh seorang ronggeng yang sebenarnya, juga diperbuat oleh Srintil saat itu. Lenggok lehernya, lirik matanya, bahkan cara Srintil menggoyangkan pundak akan memukau laki-laki dewasa mana pun yang melihatnya. Seorang gadis kencur seperti Srintil telah mampu menirukan dengan baiknya gaya seorang ronggeng. Dan orang Dukuh Paruk tidak akan heran. (Tohari, 2007:13)
Dari gambaran kutipan dialog di atas jelas terlihat Srintil memang baik dalam hal menari dan senang dengan menari. Dia bahkan meminta kepada ketiga anak lelaki itu untuk mengiringi tariannya karena Srintil masih ingin menari lebih lama. Agar ketiga anak lelaki itu masih mau mengiringi Srintil menari maka Srintil menawarkan upah apa yang akan mereka minta agar bisa mengiringi Srintil menari. Hal tersebut dapat dilihat pada cuplikan berikut: “Kalian minta upah apa?” ulang Srintil. Berkata demikian Srintil melangkah kea rah Rasus. Dekat sekali. Tanpa bisa mengelak Rasus menerima cium di pipi. Warta dan Darsun masing-masing mendapat giliran kemudian. Sebelum ketiga anak laki-laki itu sempat berbuat sesuatu, Srintil menagih janji. “Nah. Kalian telah menerima upah. Sekarang aku menari kalian harus mengiringi lagi.” (Tohari, 2007:14)
Setelah kakek Srintil menyerahkan Srintil kepada dukun ronggeng yang akan mengasuh Srintil, maka pentas pun diadakan dan itulah pertama kali Srintil naik pentas dan menari di atas panggung. Hal tersebut dapat dilihat pada cuplikan berikut:
Selama menari wajah Srintil dingin. Pesonanya mencekam setiap penonton. Banyak orang terharu dan kagum melihat bagaimana Srintil melempar sampur. Bahkan Srintil mampu melentikkan jarijari tangan, sebuah gerakkan yang paling sulit dilakukan oleh seorang ronggeng. Penampilan Srintil masih dibumbui dengan ulah Sakum lestari kocak dan cabul. Suara “cesss” tak pernah luput pada saat Srintil menggoyang pinggul. (Tohari, 2007:20) Selama menari wajah Srintil dingin. Pesonanya mencekam setiap penonton. Banyak orang terharu dan kagum melihat bagaimana Srintil melempar sampur. Bahkan Srintil mampu melentikkan jarijari tangan, sebuah gerakkan yang paling sulit dilakukan oleh seorang ronggeng. Penampilan Srintil masih dibumbui dengan ulah Sakum lestari kocak dan cabul. Suara “cesss” tak pernah luput pada saat Srintil menggoyang pinggul. (Tohari, 2007:20)
Dari gambaran kutipan novel di atas, terlihat jelas bahwa Srintil mau menjadi seorang ronggeng, dan buktinya dia juga mau menjalankan aktifitasnya sebagai ronggeng. Sampaisampai dia mau menjalankan malam bukak-klambu atau malam dimana Srintil harus menyerahkan keperawanannya kepada seorang lelaki manapun, baik yang masih muda maupun yang sudah tua asalkan bisa memenuhi syarat yang diminta. Hal seperti ini bukanlah sesuatu yang pantas untuk dicontohi. Itu menunjukkan bahwa Srintil ini adalah sosok wanita yang tidak baik dan orang luar Dukuh Paruk akan menganggap sebagai wanita jalang, karena lelaki mana saja bisa tidur bersama Srintil Tetapi sudah ada di benak Srintil agar keperawanannya lebih baik ia berikan pada temannya yang bernama Rasus dari pada laki-laki lain yang tidak tau diri. Hal tersebut bisa dilihat pada cuplikan berikut: “Rasus, kau tak mau?” tanya Srintil dengan suara hampir tak kudengar. “Takkan ada orang melihat kita di sini.” “ Srin, ini tanah pekuburan. Dekat dengan makam Ki Secamenggala pula. Kita bisa kualat nanti,” jawabku. Dalih yang sangat gemilang mendadak muncul di otakku. Kulihat Srintil termangu. Napasnya masih memburu. Rona wajahnya berubah. Terkesan rasa kecewa. Ronggeng Dukuh Paruk itu tetap berdiri seperti batu-batu nisan di belakangnya. Tanpa gerak. “Kita tak bisa berbuat sembrono di tempat ini,” kataku sambil membenahi pakaian Srintil. “Ya, tetapi kau sungguh bangsat.” “Maafkan aku, Srin. Sungguh! Aku minta engkau jangan marah kepadaku,” kataku menirukan cara seorang kacung yang minta belas kasihan kepada majikannya. Dengan sabar kutunggu sampai Srintil tenang kembali. Mukanya yang tegang perlahan-lahan kembali seperti biasa. “Ya, rasus. Aku tidak marah.” “Begitulah seharusnya. Apalagi bila kita mengingat cerita itu.” “Kau benar. Untung kau memperingatkan aku. Kalau tidak entah apalah jadinya.” (Tohari, 2007:67)
Cuplikan lainnya: “ Srintil?” tegurku dengan suara berbisik. “ Jangan terkejut. Aku Rasus.” “Oh!” Seru Srintil tertahan. Dia cepat bangkit, merangkulku sekuat tenaga. “ Rasus. Dengar, mereka bertengkar di luar. Aku takut, sangat takut. Aku ingin kencing!” “Sudah kencing?” “Sudah. Tetapi aku takut. Rasus, kau sungguh baik. Kau ada di sini ketika aku sedang diperjualbelikan.” “Ya.” Masih merangkulku kuat-kuat, Srintil mengisak. Kubiarkan dia karena akupun tak tahu apa yang harus kuperbuat. Kurasakan tubuh Srintil hangat dan gemetar. “Aku benci, benci. lebih baik kuberikan padamu. Rasus, sekarang kau tak boleh menolak seperti kau lakukan tadi siang. Di sini bukan pekuburan. Kita takkan kena kutuk. Kau mau, bukan?”(Tohari,2007:76)
Dari gambaran kutipan novel di atas tergambar bahwa Srintil rela menyerahkan keperawanannya kepada seorang lelaki yang hanya menjadi teman bermainnya itu diusianya yang masih sangat muda, setelah Srintil merelakan keperawanannya kepada Rasus, di hari-hari berikutnya dia tetap akan melayani lelaki manapun yang akan membayarnya dengan upah yang besar. Profesi seorang ronggeng yang dijalani oleh Srintil begitu luar biasa, dengan hasil meronggeng bahkan menjual diri kepada lelaki manapun telah membuahkan hasil yang memuaskan bagi Srintil. Segala sesuatu yang tak pernah dibayangkan akan dimiliki Srintil karena kehidupannya yang miskin dan melarat kini bisa dia dapatkan karena uang, emas, dan harta-harta lainnya kini telah ia dapatkan dari para lelaki yang membayar Srintil untuk tidur bersama mereka dan melakukan hal-hal yang hanya bisa dilakukan suami istri. Srintil kini telah mempunyai segalanya. Hal tersebut dapat dilihat pada cuplikan berikut: “Itu dia, ronggeng Dukuh Paruk. Srintil memang cantik.” “He! Betulkah di Dukuh Paruk ada gadis dengan kulit bersih, betis montok tanpa kurap?” “Srintil itulah buktinya. Wah, alangkah cepat besar dia.” “Ah, jangan bodoh. Bau keringat laki-laki membuat setiap anak perempuan menjadi cepat dewasa.” “Lihat. Baru beberapa bulan menjadi ronggeng sudah ada gelang emas di tangan Srintil. Bandul kalungnya sebuah ringgit emas pula,” kata seorang perempuan penjual sirih. “Kau sudah tahu dari mana ronggeng itu memperoleh bandul kalung seberat dua puluh lima gram. Tetapi kau pasti belum tahu siapa yang memberi Srintil sebuah kalung,” ujar perempuan lainnya. “Dari Lurah Pecikalan yang menggendaknya?” “Salah. Lurah Pecikalan telah mengganti atap ilalang rumah Sakarya dengan seng. Dia tidak memberikan kalung kepada ronggeng itu.”
“Jadi siapa?” “Le Hian! Itu, Cina yang mempunyai kilang ciu tersembunyi di tengah kebun pisang. Lihatlah, sebentar lagi Srintil akan memakai subang berlian. Atau akan memakai gelang rangkap.” (Tohari, 2007:81)
Cuplikan Lainnya: “Ah, tanpa pekasih pun orang akan senang tidur bersama Srintil. Maka aku bisa memahami bila Sulam rela kehilangan sebuah ringgit emas untuk memperoleh keperawanan ronggeng itu,” kata seorang laki-laki penjual tikar dari tempatnya. (Tohari, 2007:82)
Gamabaran kutipan di atas jelas terlihat bahwa orang-orang sedang membicarakan Srintil. Dengan semua yang dimiliki Srintil telah menjadi bahan pembicaraan. Yang dulunya Srintil bukan siapa-siapa dan miskin telah berubah semenjak ia menjalankan profesinya sebagai seorang ronggeng.
Rasus kini muncul kembali di Dukuh Paruk setelah beberapa waktu lalu ia menghilang dari Dukuh Paruk. Srintil tidak lupa dengan apa yang telah mereka berdua lakukan sebelum acara malam bukak-klambu Srintil tiba. Ia juga kaget ketika Rasus menanyakan mengeni apa yang telah mereka berdua lakukan sebelum Srintil diwisuada oleh para lelaki lain. Srintil tidak perduli dengan usianya yang tergolong masih sangat muda, tetapi ia sudah mengerti dengan halhal yang hanya dimengerti oleh orang-orang dewasa dan buktinya dia akan menjalankan malam bukak klambu tetapi dia hanya berniat untuk memberikan keperawanannya kepada Rasus tanpa dipungut biaya apapun. Dan setelah kejadian yang dilakukan Srintil dan Rasus, Rasus tiba-tiba menghilang dan kini muncul lagi. Hal tersebut dapat dilihat pada cuplikan berikut: “Kau tidak lipa padaku, Srin?” “Heh! Tentu kau masih bernama Rasus.” “Kau juga tidak lupa kejadian pada suatu malam di belakang rumah Kartareja?” “Jangkrik! Jangan keras-keras. Ya, aku tak melupakan ulahmu yang tolol dan konyol itu.” “He-he. Tetapi aku ingin mengulanginya.” “Kampret, jangan keras-keras. Atau kalau kau ingin membual banyak-banyak, mari kita beli cendol. Di warung itu kelihatan sepi.” “Nah, ayolah. Bersama seorang ronggeng, perut akan terjamin, bukan?” “Sudahlah. Kau jangan nyinyir seperti Nyai Kartareja.” (Tohari, 2007:88)
Cuplika lainnya:
“ Rasus, kau menghilang dari Dukuh Paruk sejak kejadian malam hari di belakang rumah Kartareja. Jangkrik ! Aku sungguh tak mengerti mengapa kau bertindak demikian.” “Karena engkau telah sah menjadi ronggeng. Selamanya aku tak ingin bertemu lagi denganmu kecuali aku mempunyai uang.” “Jadi begitu rupanya, Rasus?” “Ya, mengapa?” “ Apa waktu itu aku juga minta uang kepadamu?” (Tohari, 2007:89)
Srintil kini telah meminta Rasus agar menikahinya dan ia ingin berhenti meronggeng atau melepaskan profesinya sebagai seorang ronggeng. Entah apa yang dipikirkan oleh Srintil sampaisampai ia berniat untuk tidak meronggeng lagi jika Rasus mau menikahinya. Srintil melakukannya ketika Rasus hendak pergi lagi dan tak tahu kapan kembalinya. Hal tersebut dapat dilihat pada cuplikan berikut: “Bila kau ingin bertani, aku mampu membeli satu hektar sawah buat kau kerjakan. Bila kau ingin berdagang, akan kusediakan uang secukupnya,” pinta Srintil di malam yang amat sepi. “Srin, aku belum berpikir sedemikian jauh. Atau aku takkan pernah memikirkan hal semacam itu. Lagi pula aku masih teringat betul kata-katamu dulu bahwa kau senang menjadi ronggeng.” “Eh, Rasus. Mengapa kau menyebut hal-hal yang sudah lalu? Aku mengajukan permintaanku itu sekarang. Dengar, Rasus, aku akan berhenti menjadi ronggeng karena aku ingin menjadi istri seorang tentara; engkaulah orangnya.” (Tohari, 2007:105)
Srintil mulai malas untuk menjalankan profesinya sebagai seorang ronggeng, sudah 2 kali ia menolak tawaran untuk meronggeng, hal itu membuat Kartareja dukun ronggeng itu dan istrinya merasa khawatir jika Srintil tidak lagi mau untuk meronggeng. Tetapi srintil malah asyik bermain dengan anak-anak pedukuhan itu. Srintil terlihat begitu bahagia saat bermain dengan anak-anak. Ia merasa senang karena tidk ada beban pikiran, dia bercanda tawa dengan para anakanak pedukuhan itu. Hal tersebut dapat dilihat pada cuplikan berikut: “Dulu aku juga seperti kalian, senang bermain-main di tegalan sambil menggembala kambing,” kata Srintil. Tangannya sibuk mebuat mainan baling-baling dari daun kelapa. “Kakak juga pintar menangkap capung dengan getah nagka?” tanya seorang anak. “Ah, itu gampang. Kalau mau dengan getah nagka malah bisa nangkap burung kedasih,” jawab Srintil dengan gaya seorang ibu yang bijak. “Pernah seperti itu?” kata seorang anak lainnya yang membawa tahi sapi kering yang membara sebagian. Di atas bara itu seekor jangkrik sedang di bakar. Srintil tersenyum. “Oh, tentu saja. Aduh, gurih nian jangkrik bakar itu, bukan?” “Kakak mau? Silahkan ambil.” “Boleh?” “Ambillah.” Anak-anak memperhatikan dengan minat yang penuh ketika Srintil mengunyah jangkrik yang di bakar dalam bara tahi sapi kering itu. Semacam lambing keakraba, dan anak-anak gembala itu bersorak
sorai. Seorang yang paling besar diantara mereka maju mendekati Srintil. Di tangannya ada bamboo seruas. “Benar juga, Kakak rupanya dulu suka bermain-main seperti kami. Tetapi apakah kakak bisa menebak isi tabung ini?” “Gangsir,” jawab Srintil setelah mencoba berpikir. “Bukan.” “Buah salam.” ‘bukan.” “Kepik hijau.” “bukan.” “Nah, aku menyerah.” “Betul?” “Ya.” Anak gembala itu membalikkan tabung hingga isinya jatuh ke tanah. Srintil menjerit dan melompat, tepat seperti gadis kecil yang ketakutan. Seekor ular rangon merayap bebas sekian lama terkurung dalam tabung bambu. Sekali lagi terdengar sorak-sorai anak-anak gembala. Srintil mengejar si nakal, mencubit pahanya. Anak itu menangis, namun kelihatannya dia tidak menyesal bila Srintil terus mencubitnya. (Tohari, 2007:117)
Hari demi hari telah dilalui oleh Srintil yang masih berprofesi sebagai seorang ronggeng. Para lelaki masih dan masih terus datang mencari Srintil untuk diajak menari, bertayub dan melayani layaknya suami istri. Tetapi untuk kali ini Srintil menolak untuk tidur bersama seorang laki-laki dan dia hanya ingin melakukan peronggengan, hanya ingin menari dan bertayub saja. Hal tersebut terdapat pada cuplikan berikut: “ Kalung itu akan kuterima bila dia sampean maksudkan sebagai upahku menari. Nah, sampean tinggal mengatakan kapan dan dimana pentas hendak diadakan. Di sana sampean boleh mengajakku bertayub sepuas hati.” “ Memang hanya tak ingin. Kalau sekadar menari atau bertayub, nah, ayolah. Aku memang seorang ronggeng. “ Tidak sepenuhnhya demikian, Pak. Kalau sampean ingin sekadar bertayub denganku, maka selenggarakan pentas. Terserah, kapan dan dimana.”
Hari demi hari hari terus berjalan dan Srintil terus menjalankan profesinya sebagai seorang ronggeng. Hal tersebut bisa dilihat dalam kutipan di atas. “Namaku Sentika dari Alaswakal. Betulkah di sini rumah ronggeng Srintil ?” “Ya, benar. Sampean tidak keliru,” jawab Sakarya. “Lha iya. Dari jauh aku datang kemari karena aku mempunyai kepentingan.” “tentulah soal menanggap Ronggeng, bukan?” “Lha iya. apa lagi kalau bukan itu. tetapi masih ada lainnya…” “Nanti dulu.” Sakarya menyuruh istrinya pergi memanggil kartareja. Setelah itui Srintil muncul dengan mebopong Goder. Mata Santika menatapnya lama. Bibir Santika bergerak-gerak tanpa mengeluarkan kata. Matanya terus menatap hingga Srintil tertunduk malu. Kalau benar ini Srintil, oh, benar kata orang. cantik. Tetapi mengapa ada bayi di tangannya?
“ Nah, inilah cucuku Srintil. Dan bayi itu tentu saja bukan anaknya. Anak tetangga.” “ Ah memang tidak salah.” “Tidak salah?” “Lha iya. Aku tidak salah datang kemari.” “Ya, ya. Kapan sampean punya kepentingan? Nah, ini Kartareja, kamitua ronggeng di sini,” Kata Sakarya sambil mengenalkan rekannya. “ Aku menyediakan dua pilihan. Kalau tidak kamis manis, pilihlah Ahad pon mendatang.” “Kebetulan dua-duanya kosong,” kata Kartareja sambil menarik kursi. “Tetapi jangan Ahad pon. Jangan. Pakailah hari kamis manis.” “Lha iya. Itu terserah sampean berdua.” “ berapa malam?” Sentika terdiam. “Eh, Srintil, buatkan minuman. Bapak ini datang dari jauh.” “Berapa malam?” Ulang Sakarya. Tetapi Sentika tidak segera member jawaban. Malah laki-laki dari Alaswakal itu mengeluarkan rokok sirihnya. “ Sebenarnya begini,” kata Sentika akhirnya. “Aku memerlukan Srintil bukan hanya untuk meronggeng.” diam. “Lalu?” Tanya Sakarya dan Kartareja hampir bersamaan. “Baiklah. Tetapi aku akan mulai dengan sebuah cerita.” “Lho, silahkan.” “Anakku berjumlah empat belas orang, tetapi hanya dua yang laki-laki. Itu pun seorang di antaranya meninggal masih kecil. Jadi tinggal si Waras seorang, anak laki-lakiku. Semata wayang. Si Waras kini sudah tujuh belas tahun.” “Ya, ya.’ “ Aku terlanjur mengucapkan kaul: bila si waras memang waras sampai dewasa, aku akan mementaskan ronggeng terbaik baginya.” “Oh, ya, ya.” “Dan aku akan mengundang baginya seorang gowok yang cantik.”(Tohari:2007:200)
Cuplikan di atas adalah tawaran seorang yang bernama Sentika untuk meminta Srintil yang telah memiliki profesi sebagai seorang ronggeng untuk menjadi gowok bagi anaknya Waras. Dan kertika Srintil mendengar pembicaraan tersebut, Srintil mau tetapi hanya meronggeng saja, Dia tidak ingin langsung menerima tawaran untuk menjadi gowok. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut: “Aku akan datang ke Alaswakal pada hari Kemis Pahing untuk meronggeng. Lihat saja nanti apa aku juga bersedia menjadi gowok bagi anak bapak. Hanya itu kesanggupanku.” Selesai berkata demikian Srintil, dengan wajah beku, bangkit hendak meninggalkan ruangan. Goder yang merengek dalam embanan diciuminya puas-puas. (Tohari,2007:2003)
Dari kutipan dialog di atas Srintil begitu menikmati pekerjaannya menjadi ronggeng karena dia masih terus menerus menerima tawaran meronggeng dimana-mana. Meronggeng bukanlah suatu hal yang baik untuk dikerjakan, melainkan sesuatu yang buruk. Bertahun-tahun Srintil rela menjadikan dirinya seorang ronggeng yang harus menari, bertayub, dan melayani
setiap lelaki yang datang dengan membawa upah yang besar. Hal tersebut jelas terlihat bahwa Srintil memiliki kepribadian yang tidak baik. Tiba waktunya Srintil harus meronggeng di rumahnya Sentika yang terletak di Alaswakal, tiba-tiba Srintil mau menjadi gowok bagi anak Sentika yang bernama Waras. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut: Srintil terus tertawa sambil membenamkan wajahnya ke pangkuan Nyai Kartareja. Istri dukun ronggeng ini terpaksa menekan kepala Srintil agar suara tawanya tidak menerobos ke luar jendela. Akhirnya Srintil bangkit. Sambil mengusap matanya dia berkata lirih, “ Nyai, sekarang ajari aku bagaimana menjadi gowok. Ajari aku!” “Eh, Janganten sudah mau menjadi gowok? Tetapi aku tak bisa mengajari sampean. Aku sendiri tak pernah menjadi gowok.” “Kira-kira saja.” “Nanti dulu, Janganten. Mengapa baru sekarang sampean menyatakan kesediaan menjadi gowok?” Sekarang bukan hanya Srintil yang tertawa, melainkan juga Nyai Kartareja. Mata mereka basah karena tawa yang berlebihan. Entah mengapa mereka lupa sedang berada di rumah orang. Nyai Kartareja masih berusaha memperpanjang suasana itu dengan berkata, “ Dulu ketika sampean menjalani malam bukak-klambu, sampean terkena rudapaksa. Kini tiba saat bagi sampean membuat perhitungan terhadap kaum lelaki!” (Tohari, 2007:2011)
Katika Srintil menerima tawaran Sentika untuk menjadi gowok bagi anaknya Waras, Srintil harus tinggal beberapa hari bersama Waras di rumahnya. Saat menjadi gowok Srintil akan menjadi ibu rumah tangga bagi Waras dan memasakkan makanan untuk Waras yang untuk sementara waktu sementara menjadi suami Srintil, dan Srintil pun harus menjalanka tugasnya sebagai seorang istri yaitu, dengan memasak untuk makan suami, membersihkan rumah, dan melakukan pekerjaan ibu rumah tangga lainnya. Kemudian, Waras yang katanya sebagai seorang suami harus bekerja untuk istrinya denagn cara Waras membelahkan kayu untuk Srintil memasak. Bukan hanya itu saja yang harus dilakukan oleh Srintil ketika menjadi Gowok, Srintil juga harus tidur bersama Waras dan Waras harus melepaskan perjakanya kepada Srintil agar Srintil benar-benar berhasil saat menjadi gowok untuk Waras. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Apa katanya, Mak? Dia mau bermain-main bersamaku, bukan?”
“Tentu saja, kang,” jawab Srintil mendahului Nyai Sentika. “Nanti kita bermain-main sepuias hati. Tapi sekarang aku mau mandi dulu. Kakang menunggu di sini.” “Jangan lama-lama.” “Ya.” “Nanti kamu berdandan seperti tadi malam.” “Ya.” Tetapi Waras tidak mau menunggu. Dia mengikuti srintil ke sumur dengan langkah-langkah gembira. Sumur itu berada di lembah di belakang rumah Sentika. Waras sendiri yang menimba dan mengisi jolang. Bak mandi yang terbuat dari kayu itu segera luber. “Nah, mandilah. Aku di sini.” “Kakang di situ?” “Ya.” “Jangan. Kakang pergi dulu.” “Tidak. Soalnya aku juga selalu di sini bila emak mandi.” “Begitu?” “Ya, He! Tadi malam aku menaruh uang di dadamu. Coba Lihat, masih ada?” “Sudah kusimpan, Kang. Sekarang tidak lagi di sini.” “Betul? Nah, tapi aku ingin lihat.” “Jangan, Kang, jangan.” “Kamu sudah berkata, kita berteman. Kamu mau menipui, ya?” “Tentu saja tidak, Kang.” “Lalu kenapa aku tak boleh melihat dadamu?” Srintil hampir gagal menahan tawanya. Sambil menjongkok menghadap Waras dibukalah pinjungnya. Dadanya terbuka penuh. “Nah, tak ada uang bukan/” “Ya. Aku percaya sekarang. Tetapi tetek emakku gepeng, mengapa punyamu tidak ?” (Tohari,2007:2019)
Cuplikan di atas jelas terlihat Srintil telah merelakan dirinya untuk menjadi gowok. Tak ada rasa malu bagi Srintil karena dia juga sudah terbiasa dengan perlakuannya kepada kaum lelaki. Tidak asing bagi dirinya untuk memperlihatkan tubuhnya di depan Waras karena sebelumnya sudah banyak lelaki yang tidur dan melakukan layaknya suami istri. Cuplikan di bawah ini perlakuan Srintil kepada Waras ketika Srintil menjadi gowoknya. “Dalam dongeng, Kakang adalah suamiku. Aku istrimu,” Kata Srintil. “Nah, Karena aku sudah menjadi istrimu, maka aku minta uang untuk berbelanja.” Dan seterusnya. Kali lain Srintil meminta Waras membelah kayu bakar buat memasak. Waras bekerja di samping rumah dengan semangat yang tidak bisa dikatakan main-main. Keringatnya membasahi badan. Telapak tangannya lecet oleh gagang kapak. Tetapi hasilnya hanya berupa serpihanserpihan kayu dalam jumlah yang memalukan. Sementara itu Srintil keluar ke belakang rumah membawa bakul kecil. Dipetiknya pucuk singkong dan daun kecipir. Siapa mengira perempuan yang kelihatan tahu betul tentang urasan dapur itu adalah seorang ronggeng. Semua orang dusun tahu seni memetik sayurmayur dan seni membawa bakul. Srintil melakukan kedua-duanya dengan jitu, kewes, dan pantes. Keluwesan seorang istri sejati yang hanya mungkin tampil karena Srintil menghayati sepenuh-penuhnya peran sebagai gowok. (Tohari,2007:220)
Kenyataannya tidak seperti tuan Sentika dan istrinya harapkan. Srintil gagal menjadi gowok untuk Waras, karena Waras tidak sama dengan laki-laki lain yang ketika dihadapkan
dengan wanita cantik langsung merayu-rayu, menggombal dan lain-lain. Waras termasuk lelaki yang tidak normal, Srintil sudah bersusah payah agar Waras mau menyerahkan perjakanya tetapi hal itu tidak muncul dari diri Waras. Selama tinggal bersama Srintil, Waras hanya berpikiran bahwa dia sedang bermain-main saja dengan Srintil. Hal tersebut dilihat dalam cuplikan berikut: “Habis penganten-penganten lalu masak-masakan. Nanti apa lagi?” Tanya Waras. Mulutnya penuh nasi. Srintil berpikir sejenak. Suara anak burung podang mencecet di kurungan. “ Nanti tinggal bermain tidur-tiduran. Kakang lelah karena habis bekerja membelah kayu. Akupun lelah karena bekerja di dapur. Jadi kita tinggal tidur. Senang ya, Kang?” “Ya. Tetapi nanti dulu. Aku harus mencari belalang buat burungku.” “Jangan, Kang. Kakang jangan kemana-mana. Aku sudah ingin tidur. Aku ingin tidur bersamamu.” Waras hanya sejenak mengangkat wajah. Kemudian kembali menyuap nasi. “Jadi kamu suka bermain tidur-tiduran? Itu kesukaanmu, ya?” Srintil menjawab dengan tarikan ujung bibir yang dipadu dengan pandangan mata redup. Suatu pancaran sugesti yang terarah langsung kepada sisi paling primitif pada diri seorang lelaki. Pancaran yang selayaknya bisa menggetarkan saraf, mengusik jantung agar berdenyut lebih kuat dan lebih cepat. Apalagi yang mengirimkan rangsangan itu adalah srinti: duta dunia perempuan yang secara naluriah sadar betul akan fungsi keberadaannya. (Tohari,2007:221)
Srintil sudah bersusah payah melakukan gowoknya dengan sebaik mungkin, tetapi Waras hanya menganggap semua itu hanya permainan saja. Maka dari itu, Srintil telah gagal menjadi gowoknya. Srintilpun merasa sangat kecewa. Kekecewaan Srintil bisa dilihat dalam cuplikan berikut: Pada hari keempat semuanya selesai. Pagi-pagi sekali Srintil minta diri kepada suami-istri Sentika. Waras tidak tahu karena dia belum bangun. Terjadilah perpisahan yang penuh emosi. Nyai Sentika, bahkan juga anak-anaknya yang perempuan, menangis. Srintil ikut menangis. Nyai Sentika memeluk dan mengelus Srintil dengan rasa sayang melebihi rasa terhadap anak kandungnya. Bersama kabut tipis yang mulai lenyap oleh cahaya matahari Srintil berjalan menuruni bukit, meninggalkan Alaswakal. Di belakangnya berjalan Martanakim yang disuruh majikannya mengawal Srintil sampai ke Dukuh Paruk. Sebuah sapu tangan dalam genggaman Srintil penuh uang. Tetapi hanya Srintil pribadi yang tahu bahwa uang yang banyak itu tidak bisa mengusir rasa perih dalam hatinya, perih karena sesungguhnya Srintil pulang membawa kegagalan yang tidak kepalang. Waras tidak mungkin dilupakannya sepanjang masa; simpati bagi seorang manusia dalam kemalangan abadi. Atau, haruskah Srintil tahu bahwa Waras menangis sejadi-jadinya, melolong, dan berguling-guling ketika dia tahu bahwa Srintil telah meninggalkannya dan kembali ke dunia yang kecil terpencil; Dukuh Paruk? (Tohari:2007:224)
Apa yang dilakukan Srintil yang terdapat pada cuplikan di atas adalah sesuatu yang tidak benar untuk dilakukan sebagai seorang wanita. Hal seperti itu bukanlah hal yang baik dan wajar untuk dilakukan, tetati hal tersebut merupakan sesuatu perlakuan yang buruk.
Dukuh Paruk memang desa kecil dan terpencil. Semua orang Dukuh Paruk tidak tahu membaca bahkan ada rapat-rapat, pidato dan pawai-pawai tidak dimengerti oleh mereka. Termasuk Srintil, Dia tidak mengerti apa-apa yang telah terjadi di luar Dukuh Paruk. Yang ia tahu hanya melakukan aktifitas meronggeng saja. Hal tersebut dapat dilihat pada cuplikan berikut: Adalah Srintil yang tidak tahu apakah dalam hidup ini diperlukan rapat-rapat, pidato, dan pawaipawai. Atau segala kegiatan hura-hura itu. Dan Srintil yang tidak mengerti tujuan rapat-rapat yang belakangan yang selalu diikutinya dan dia mengisi acara kesenian. Srintil yang menjadi unsur paling penting bagi Dukuh Paruk adalah anak kandung keluguan alam dan kehidupan. Dia yang hidup atas dasar kepercayaan menjalani alur cetak biru seorang ronggeng. Alur ini sudah ditempuhnya dengan kerelaan sempurna. Menjadi ronggeng, yang diterimanya sebagai tugas hidup, ialah menjadi pemangku naluri primitif; naluri berahi yang membebaskan diri dari norma dan etika yang menyusul kemudian. Itulah dunianya, kesadarannya. Dalam kesadaran itu Srintil merasa pasti ada sesuatu yang hilang ketika dia berpentas pada rapat-rapat propaganda itu. Srintil takkan pernah mampu berkata demikian. Namun nalurinya secara pasti merasakan adanya pendangkalan makna keberadaannya. Ronggeng adalah keperempuanan yang menari, menyanyi, serta kerelaan melayani kelelakian. Dia pastilah bersifat mandiri dan mendasar. Tetapi selama mengikuti Bakar, Untuk apa dan siapa dia meronggeng, sunguh menjadi pertanyaan yang sulit dijawabnya. (Tohari, 2007:231)
Cuplikan lainnya: Meski dalam wawasan yang sederhana, Srintil merasa pentas ronggeng, dalam rapat-rapat itu sekedar pelengkap. Memang meriah, tetapi lain. Gempita tetapi keri ng makna. Apalagi dengan lirik tembang yang sudah banyak diubah. Penonton selalu dalam keberingasan yang tidak bisa dimengerti dan karenanya Srintil kadang Srintil merasa ngeri. Bahkan Sakum yang buta dua belah mata ikut mewarnai perubahan yang dirasakan Srintil. Penabuh calung itu kehilangan cirinya: kekocakan spontan yang selalu tepat ketika ronggeng menggoyang pinggulnya. Sakum, dengan kepekaan dan kehalusan perasaannya, mampu menangkap keringnya pentas ronggeng yang digelar bersama rapat-rapat propaganda itu. (Tohari, 2007:232)
Cuplikan di atas, tampak keraguan yang dihadapi oleh oleh Srintil ketika sedang naik pentas. Dia merasakan keanehan karena tidak biasanya dia meronggeng dengan penuh pemikiran yang seperti itu. Kali ini Srintil meronggeng dengan mengikuti rapatrapat propaganda yang dilaksanakan oleh pak Bakar. Pak Bakar itu awalnya orang yang baik dan banyak membantu Dukuh Paruk. Telah banyak bantuan-bantuan yang telah Bakar berikan untuk itu ketika Bakar meminta untuk pentas ronggeng selalu diadakan pada setiap rapat-rapat propaganda, maka Srintil dan kawan-kawan yang menyediakan untuk pentas ronggeng pun mengikuti apa yang disuruh Pak Bakar, sebab mereka hanya
ingin membalas budi kebaikan Pak Bakar. Ternyata sesuatu terjadi atas ulah Pak bakar. Kerusuhan di Dukuh Paruk terjadi, selesai rapat Srintil mengisi acara kesenian dengan meronggeng, ratusan penonton mabuk, ada yang kesurupan kemudian beramai-ramai merusak padi, mereka membabat dan menggunting padi di sawah-sawah entah milik siapa. Kegaduhan pertama disusul oleh yang kedua, sebulan kemudian, dan yang ketiga pada bulan berikutnya lagi. Dalam kerusuhan yang trakhir keadaan yang demikian genting karena terjadi siang hari dan melibatkan ratusan orang dari pihak projeng dan para pemilik sawah. Perang pacul dan sabit hanya gagal karena polisi datang tepat pada waktunya. Kengerian yang terjadi membuat Srintil mengambil kata putus dan kakeknya pun mendukungnya. Sakarya dan cucunya Srintil mendatangi rumah Bakar di Dawuan dengan keluhan yang telah meningkat menjadi tuntutan. Hal tersebut dapat dilihat pada cuplikan berikut: “Pak Bakar,” kata Sakarya penuh kekesalan, “kami, orang-orang Dukuh Paruk, tidak ingin dilibatkan dengan kerusuhan-kerusuhan itu. Bila demikian terus keadaannya, samalah artinya sampean menjerumuskan kami. Orang Dukuh Paruk tidak menyukai kekerasan. Pak Bakar, buat selanjutnya kami tak mau ikut rapat-rapat itu.” “Ya, Pak,” sela Srintil. “Akhirnya orang pasti menghubungkan kami dengan kerusuhan di sawahsawah itu.” “Ah, kalian orang-orang Dukuh Paruk,” kata Bakar masih dengan sikap kebapakannya. “Kalian tak perlu terpengaruh oleh perasaan cengeng semacam itu. Yang sedang terjadi adalah sebuah aksi masa, sebuah gerakan kaum miskin yang sekian lama mengalami ketidakadilan. Mereka berkeringat mengerjakan sawah para pemilik tanah. Tetapi mereka tak pernah ikut memetik hasilnya kecuali sekadar untuk hidup, bahkan kurang dari itu. Kini saatnya menuntut hak.” “Dengan cara kekerasan semacam itu?” “Dengan cara apapun.” “Jadi sampean menyetujui gerakan para projeng itu?” “Aku tak bisa mencegah sebuah aksi masa yang sedang berjuang menuntut hak.” “Maka jadilah! Cukup sekian. Kami takkan mencampuri urusan sampean. Tetapi jangan sekalikali sampean urusi bagian kami, orang-orang Dukuh Paruk. Kami tidak ingin terlibat dalam kerusuhan apa pun.” “Nanti dulu, Kang saakarya,” ujar Bakar sambil tersenyum. “Aku yakin betul, apa yang terjadi di sawah-sawah itu seharusnya tidak asing bagi semua orang Dukuh Paruk. Nah, apa kalian tidak mengira siapa dan bagaimana kelakuan nenek moyang kalian?” (Tohari, 2007:233)
Cuplikan lainnya: “Jadi sejak saat ini ronggeng Dukuh Paruk kularang mengikuti rapat-rapat.” “Ya, Pak. Aku tak mau lagi menari bila sesudah itu terjadi keributan,” ujar Srintil. Bakar termenung sejenak. Mengangguk-angguk, kemudian wajahnya kembali tenang.
“Baiklah. Kukira kalian memang perlu istirahat.” (Tohari, 2007:234)
Ternyata setelah kerusuhan dan kekacauan yang terjadi kakek Srintil dan Srintil pergi ke kantor polosi untuk melapor eh, ternyata nama Srintil tercantum dalam pencarian orang yang akan di masukkan ke penjara. Apa boleh buat polisi tidak lagi sibuk-sibuk pergi mencari dan menangkap Srintil karena Srintil telah datang ke kantor polosi dengan sendirinya tanpa disadari Srintil kalau dia akan ditahan. Srintil pun kini masuk penjara dan sudah lama tidak muncul di Dukuh Paruk. Rasus teman bermain Srintil waktu kecil kini telah muncul lagi ke Dukuh Paruk, Rasus disuruh untuk menjenguk Srintil di penjara. setibanya Rasus di penjara, cukup sulit juga untuk bertemu dengan Srintil tetapi dia bisa bertemu Srintil walaupun hanya memiliki waktu yang singkat sekali. Hal tersebut dapat dilihat pada cuplikan berikut: “Kamu ingin melihat siapa?” tanya kapten Mortir akhirnya. “Srintil, Kep.” “Siapa?” “Srintil. Dia berasal dari Dukuh Paruk.” “Kamu saudaranya?” “Ya, Kep. Saudara jauh. Dan saya juga berasal dari Dukuh Paruk.” “Oh, ya. Srintil yang ronggeng itu, kan?” “Benar, Kep.” Kapten Mortir diam. Kadang terlihat senyumnya samar, amat samar. Dan Rasus sungguh tak bisa meraba makna senyum samar itu. “Baik,” kata Kapten Mortir dan jantung Rasus terpacu. “tetapi kamu lebih dulu harus mencuci mobilku. Lapor bila sudah selesai!” “Siap!”(Tohari, 2007:268)
Setelah melakukan apa yang diperintahkan Kapten Mortir Rasus masih digodok oleh Kapten tersebut, setelah digodok kapten itu memberikan izin kepada Rasus untuk bertemu Srintil dengan waktu yang singkat sekali, dan apa yang dibicaraka Rasus dan Srintil, Kapten itu menyuruh untuk menulis apa yang mereka perbincangkan. Kemudian Rasus telah diizinkan untuk bertemu Srintil. Dipertemuan itu Srintil dan rasus Cuma saling diam. hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
Ada bahul yang tiba-tiba melonggar setelah berbulan-bulan membelenggu renjana dalam hati Srintil. Sejak kali pertama dia menyadari dirinya seorang tahanan politik Srintil mempunyai keyakinan penuh bahwa Rasus mampu berbuat sesuatu untuk menolongnya. Rasus sama-sama berdarah Duku Paruk, Rasus dikenal sejak kanak-kanak dan selalu bersedia berbuat baik kepadanya. Rasus seorang tentara dan yang terpenting Rasus percaya bahwa Srintil bukan orang komunis. Srintil tidak mengerti komunis. Semua itu bila ditambah dengan kemauan Rasus, maka kebebasan Srintil akan menjadi perkara yang mudah. Itu wawasan pikiran Srintil. (Tohari, 2007:271)
Kutipan lainnya: Dalam krisis rasa percaya diri seperti itu Srintil tidak yakin masihkah ada orang yang merasa perlu memperhatikan nasibnya, meski orang itu bersama Rasus dari Dukuh Paruk? Bahkan ketika sosok Rasus sudah ada di depannya Srintil tetap tidak percaya kedatangan anak Dukuh paruk itu demi sesuatu yang bersangkutan dengan dirinya. Dan menutup muka dengan kedua tangannya sambil menangis ketika Rasus makin dekat. Rasus tertahan dalam gerakannya. Hati yang limbung tak memungkinkannya berbuat sesuatu yang punya makna kecuali kelimbungan itu sendiri. Dia ingin menuntun, mengajak Srintil duduk, namun gerakannya gamang. Mulutnya terkunci karena tidak tahu pasti apa yang harus diucapkannya. Akhirnya Rasus duduk kembali dengan niat menunggu hingga hati Srintil menjadi lebih tenang. Tetapi rasus kemudian terkejut ketika seorang prajurit masuk daan member tahu bahwa waktu pertemuan sudah habis. (Tohari, 2007:272)
Gambaran kutipan novel di atas memperlihatkan bahwa pertemuan mereka berdua tidak berarti sama sekali karena tidak ada pembicaraan yang mereka lakukan. Pertemuan mereka hanya diawali dan diakhiri dengan berdiam dan tutup mulut serta dengan hati yang tak tahu apa rasanya. Setelah Srintil keluar dari penjara, Srintil langsung menuju desa kecinya itu, Dukuh Paruk. Pertama kali dia sampai di Dukuh Paruk ia melihat tampi dan anaknya Goder yang dulu dianggap anak oleh Srintil. Srintil mencoba untuk mengambil Goder dan memeluknya tetapi Goder tidak mau karena Goder tidak kenal lagi dengan Srintil, sebab dua tahun Srintil di penjara membuat Goder lupa akan sosok Srintil yang pernah mengasuhnya sewaktu Goder masih kecil. Srintil tidak putus asa, Srintil mencoba membujuk dan merayu Goder kembali sampai akhirnya Goder mau dipeluk Srintil. Hal tersebut dapat dilihat pada cuplikan berikut: “Mak, kenapa dia menangis, Mak?” kata Goder tiba-tiba. “Karena kamu nakal. Kamu tak mau dibopongnya,” jawab Tampi. “Siapa dia, Mak?” “Oalah, anakku! Dia juga emakmu. Emakmu ada dua, aku dan dia.” Mata Goder membulat. Bening dan tanpa berkedip ditatapnya Srintil yang masih menangis. “Betul dia emakku juga?” “Betul.”
“Mengapa tidak pernah datang kemari?” “Dia baru pulang dari bepergian.” “Jauh?” “Jauh sekali.” “Sekarang dia membawah oleh-oleh?” “Oh, aku lupa, Nak,” ujar Srintil. Suaranya parau. “Tetapi aku punya uang. Engkau ingin apa, Nak?” (Tohari, 2007:279)
Srintil tampak was-was dengan keberadaan Nyai Kartareja, entah apa yang membuat hatinya seperti itu. Srintil sperti tidak mau berbicara dengan Nyai Kartareja. Hal tersebut dapat dilihat pada cuplikan berikut: “E, lha. Ada apa, Janganten? Kok terkejut?” “Ah, anu. Tidak ada apa-apa, Nyai. Aku mau menyusul Goder.” “Dia sedang asyik bermain baling-baling. Biarlah dia. Aku ingin bicara. Penting.” Srintil menatap Nyai Kartareja dengan mata membulat. Rasa was-was tergambar jelas di wajahnya. “Penting?” “Ya, penting.” (Tohari, 2007:286) Nyai Kartareja member kesempatan kepada Srintil menata kembali napasnya yang terengahengah. Perempuan tua itu cukup bersabar menanti sampai darah yang mendadak lenyap kembali mengisi kulit wajah Srintil. Dan rasa trenyuh tidak terhindarkan karena Nyai Kartareja menyadari betapa ringkih keadaan jiwa Srintil; dia menjadi demikian gugup hanya karena akan disampaikan kepadanya sesuatu yang penting. “Anu, Janganten. Wong aku mau bercerita tentang nasib sendiri. Sejak dulu aku memang sengasara. Tetapi tidak seperti sekarang ini. Dulu, terus terang, aku bisa nunut sampean. Sekarang Janganten, bagiku soal makan saja adalah perkara yang tidak pasti. Maka aku mempunyai usul, bagaimana bila sampean member kesempatan numpang penghidupan.” (Tohari, 2007:287)
Srintil hendak ingin tidur bersama neneknya Nyai Sakarya. Ia menuju rumah neneknya itu dan bercakap-cakap dengan neneknya. Hal tersebut dapat dilihat pada cuplikan berikut: “Nek,” ujar Srintil lirih sekali. Entah mengapa hatinya diamuk nelangsa. Air matanya meleleh. “Nek.” “Oh, eh, siapa? Srintil, kenapa engkau, cucuku wong ayu?” “Nek.” “Ya, cucuku. Eh, engkau menangis?” “Nek, aku mau tidur di sini bersama nenek.” “oalah. Mari, cucuku, mari. Oalah eman, eman, cucuku. Ada apa rupanya?” Srintil tidak menjawab tetapi langsung merebahkan diri, melipat tubuh sekecil mungkin dalam pelukan Nyai Sakarya yang ringkih dan apek. Ada setitik kesejukan. Srintil surut dua puluih tahun ke belakang kala dia selalu mencari perlindungan pada haribaan Nyai Sakarya bila hati sedang sedih dan nelangsa. Sesungguhnya Srinti sadar neneknya tidak mampu memberikan sesuatu untuk menyelesaikan kebimbangannya, namun belaian tangan perempuan tua itu bisa meredam kegelisahan. Nyai Sakarya sendiri tidak mendesak Srintil mengutarakan perasaannya karena pertanyaan yang hanya berulang-ulang dijawab dengan sedu sedan. Seorang perempuan yang sudah tujuh puluh tahun menjadi warga kehidupan; Nyai Sakarya mengerti ada keruwetan dalam hati cucunya. Dan pastilah keruwetan itu terjadi pada pusat wilayah pribadi Srintil sehingga Nyai Sakarya merasa tidak mampu berbuat sesuatui kecuali membelai rambut cucunya. Lama-lama Srintil berhenti mengisak. Beberapa kali terdengar desah panjang sebelum napas Srintil berubah lembut dan teratur. Seperti orang yang lama berjalan di bawah terik matahari lalu mencapai kerindangan sebuah pohon besar. Sejuk dan teduh nyaman. Sejenak Srintil lepas dari
kebimbangan. Berangkat tidur diantar oleh belaian nenek adalah tidur seorang cucu yang dimanjakan. Buat sementara Srintil terbebas dari kungkungan keberadaannya. (Tohari, 2007:334)
Dari gambaran beberapa kutipan atau penggalan novel di atas, Srintil terlihat memiliki yang tidak baik karena menjalankan profesinya sebagai seorang ronggeng. Menjadi seorang ronggeng bukanlah hal yang baik untuk dilakukan karena perbuatan seorang ronggeng tidak benar. Menari, menyanyi, bertayub bahkan melayani para lelaki itu bukanlah sesuatu yang patut untuk dicontohi bagi kita umat manusia yang beragama. Menyanyi dan menari bisa saja baik untuk dilakukan karena itu juga bagian dari seni, tetapi bertayub dan melayani para lelaki itu sudah tidak baik untuk wanita.
4.1.1.2 Dekonstruksi Penokohan Tokoh Utama Ronggeng Dukuh Paruk yang menggambarkan karakter Srintil sebagai tokoh utama dan seperti apa yang telah dicantumkan pada beberapa penggalan cuplikan di atas bahwa Srintil berprofesi sebagai seorang ronggeng, itu dapat kita lihat bahwa semua yang dilakukan Srintil bukanlah hal yang baik untuk dilakukan dan orang yang membaca novel ini pasti akan beranggapan bahwa Srintil memang bukan orang yang baik. Namun, kenyataan tersebut bukanlah kebenaran yang mutlak. Banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam penilaian karakter dari diri Srintil. Hampir seluruh cerita mengungkapkan karakter yang tidak baik atau buruk bagi Srintil. Namun, ada alasan khusus yang kuat yang harus diperjelas mengenai karakter Srintil. Meronggeng adalah profesi yang dipilih Srintil untuk menjalankan hidupnya. Memang meronggeng bukanlah sesuatu yang patut untuk kita contohi dan tidak pantas bagi kita untuk melakukannya. Akan tetapi ketika didekonstruksi Srintil adalah sosok wanita yang hebat dan bertanggung jawab. Srintil melakukan itu semua, mulai dari menari, bertayub, melayani para
lelaki bejat manapun, bahkan sampai mejadi seorang gowok itu semua Srintil lakukan demi Dukuh Paruk dan keluarganya bahkan demi orang lain. Dukuh Paruk adalah desa yang sangat terpencil dan dikenal dengan kemelaratannya. Srintil menerima tawaran kakeknya untuk menjadi seorang ronggeng karena selain hobinya yang suka menari, dia juga ingin bertanggung jawab demi Dukuh Paruk dan keluarganya. Sebab, di Dukuh Paruk meronggeng adalah tradisi atau adat istiadat yang memang harus ada di desa itu, dan itu sudah terjadi sejak dahulu. Dukuh Paruk tanpa seorang ronggeng adalah Dukuh Paruk yang hampa dan dianggap tidak hidup lagi. Perbuatan tersebut tidak dianggap dosa bagi warga mereka karena mereka sendiri tidak pernah mengenal dosa. Selain tanggung jawab Srintil pada desanya tersebut, dia melakukan itu demi kelangsungan hidup kakek neneknya yang begitu melarat dan miskin. Srintil-lah yang membiayai kehidupan sehari-hari kakek neneknya, bahkan kehidupan Kartareja dan istrinya selaku dukun ronggeng di Dukuh Paruk atau orang yang telah mengasuh Srintil selama ia menjadi ronggeng. Bukan hanya mereka yang dibantu Srintil, Sakum dan keluarganya juga ikut dibantu Srintil. Sakum adalah lelaki yang memainkan calung ketika Srintil menari di panggung. Maka dari itu, ketika tidak ada seorang ronggeng Sakum tidak lagi memainkan calung dan tidak mendapatkan uang yang berkecukupan. Srintil memang benar-benar orang yang bertanggung jawab dan mau membantu keluarga bahkan orang lain. Ketika Srintil tidak ingin lagi menjalankan profesinya sebagai seorang ronggeng maka Nyai Kartareja sangat khawatir karena dari seorang ronggeng-lah keluarga dukun ronggeng itu bisa menghidupi kehidupan yang dijalani. Jelas bahwa ketika Srintil masih menyandang profesi sebagai seorang ronggeng semua kebutuhan dukun ronggeng tersebut didapatkan dari Srintil sebagai seorang ronggeng. Hal itu bisa dilihat pada kutipan berikut. “Anu, Janganten. Wong aku meu bercerita tentang nasib sendiri. Sejak dulu aku memang sengsara. Tetapi tidak seperti sekarang ini. Dulu, terus terang, aku bisa nunut sampean. Sekarang,
Janganten, bagiku soal makan saja adalah perkara yang tidak pasti. Maka aku mempunyai usul, bagaimana sampean member kesempatan kembali kepadaku, kesempatan numpang penghidupan.” “Num…pang?” kata Srintil telah menatap Nyai Kartareja lama dan dalam. “Numpang penghidupan? Bagaimana mungkin jika aku sendiri tidak mempunyai penghasilan apapun?” “Ah, Janganten, bagaimana juga sampean tidak sama dengan aku. Sampean masih muda. Dan siapa bilang sampean tidak cantik? Di mana saja, pada zaman apa saja, perempuan cantik tidak sama dengan perempuan yang buruk, bukan?” “Nanti dulu, Nyai. Sampean mau berkata apa sebenarnya?” “Begini, Janganten. Tadi sampean berkata bahwa sampean tidak mempunyai penghasilan apapun. Maka bagaimana bila sampean berbuat sesuatu agar sampean kembali mempunyai penghasilan seperti dulu. Persoalannya mudah bagi sampean, tinggal mau atau tidak.” “Nyai, katakana dengan jelas.” “Baiklah. Kemarin aku bertemu seseorang yang sangat berharap bisa sekadar melepaskan kepusingan hidup bersama sampean. Marsusi, Janganten. Sampean masih ingat Marsusi, bukan?” (Tohari, 2007:287)
Cuplikan lainnya: “Eh, sabar dulu, Janganten. Dengar dulu kata-kataku! Siapa bilang ada orang yang tidak mengerti keadaan sampean. Tetapi apakah sampean hanya mau mementingkan diri sendiri dan tidak mau mengerti urusan perut orang Dukuh Paruk yang hanya bisa nunut sampean?” “Aku memang tidak mau tahu. Orang Dukuh Paruk bisa hidup tanpa bergantung kepadaku. Orang Dukuh Paruk biasa makan iles-iles, bahkan bonggol pisang. Lakukan itu dan jangan meminta aku kembali berbuat kesalahan. (Tohari, 2007:288)
Memang terlihat Srintil adalah sosok gadis yang tidak baik ketika menyandang profesi sebagai seorang ronggeng. Tetapi profesi tersebut tidak dilakukan untuk selamanya. Ada juga saat dia mulai bosan dengan meronggeng, Srintil juga ingin menikah mempunyai suami, anak, dan menyandang status sebagai ibu rumah tangga lainnya. Hal itu telah dicobanya dengan melepaskan profesinya sebagai seorang ronggeng, kemudian dia mengambil Goder anak tampi yang masih kecil itu untuk dirawat layaknya anak sendiri. Srintil juga ingin mendapatkan lakilaki yang baik yang bisa menerima apa adanya pada dirinya karena dia adalah mantan seorang ronggeng. Jadi, Srintil bukanlah sosok wanita yang jahat, tidak baik, atau apalah yang burukburuk, tetapi malahan Srintil adalah anak yang baik dan bertanggung jawab atas Dukuh Paruk. Srintil tidak lagi menerima tawaran lelaki mana pun yang datang menemuinya untuk melayani para kaum lelaki. Hal tersebut dia lakukan karena dia sudah tidak ingin lagi meronggeng dan melayani tidur dengan laki-laki. Hal tersebut dapat dilihat pada cuplikan berikut:
“Jadi….jadi Adik berdua ingin bertemu saya. Nah, Sekarang sudah terlaksana, bukan?” ujar Srintil tiba-tiba. Kemandekan serta-merta cair. Tamir tersenyum lebar. Diding mengangkat muka sekilas. Dan Tamir mendapat kesulitan baru ketika hendak menyambut kata-kata Srintil. Dia telah didahului disebut Adik. Mau membalasnya dengan Mbak yu atau Kakak? Ini sebuah rintangan psikologis, bila dihubungkan dengan maksud kedatangan Tamir ke Dukuh Paruk. Atau inilah kemenangan kecil pertama yang dilakukan oleh Srintil atas kelelakiannya yang kini kembali mengadang. “Ya…ya,” Jawab Tamir patah. “Tetapi maafkan bila saya tidak bisa menjamu Adik. Yah, beginilah keadaan saya, Adik melihat sendiri, sama sekali beda dengan keadaan kota, kan?” “Ya…ya. Oh, tak mengapa. Anu, kami mendengar sampean seorang ronggeng. Masih suka meronggeng?” Pertanyaan Tamir yang tak menduga membuat jantung Srintil terpukul dan membuat dadanya menyesak. “Anu, Dik. Itu dulu. Sekarang saya tidak lagi meronggeng. Dulu pun saya cuma ronggeng bobor ronggeng yang jarang naik pentas.” “Jadi sampean sekarang tidak meronggeng lagi?” “Tidak.” “Ah, kenapa?” “Tidak . Tidak.” “Ya, tetapi mengapa?” “Pokoknya tidak.” (Tohari, 2007:317)
Srintil tidak lagi melakukan hal-hal yang buruk seperti yang dia lakukan sebelumnya. Hal itu dia lakukan karena dia sudah tidak ingin berprofesi sebagai seorang ronggeng lagi dan tidak ingin melayani lelaki manapun. Dikerenakan Srintil kini hanya ingin menjadi wanita biasa seperti wanita-wanita yang lain dan ingin menikah, menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Ternyata Srintil yang awalnya kita anggap wanita yang tidak baik kini ketika didekonstruksi Srintil adalah wanita yang baik dan bertanggung jawab. Pekerjaannya yang dulu sebagai seorang ronggeng ia lakukan bukan demi kepentingannya sendiri. Memang meronggeng bukanlah hal yang baik untuk dilakukan tetapi Srintil rela menerima menjadikan profesinya seorang ronggeng. Tidak semua wanita bisa menjadi ronggeng, karena memang tidak mudah untuk seseorang menjadi ronggeng. Kini Srintil hanya memikirkan agar dia bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik dan menjadi ibu yang baik bagi Goder yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri. Hal tersebut dapat dilihat pada cuplikan berikut: “Mak!” seru Goder sambil menubruk pangkuan Srintil. “E….ya?” Apa, Nak?” jawab Srintil gagap. “Bikin ayunan, Mak. Aku ingin punya ayunan.” “Ah, kau masih kecil, Nak. Nanti jatuh.” “Mak, bikin ayunan!” Goder mulai menuntut.”
“Aku tidak bisa membuat ayunan bambu, Nak. Tetapi kalau ayunan kain, Emak bisa.” “Buaian, Mak? Ya, aku mau berayun-ayun di buaian. Aku mau, Mak.” “Baik, Nak. Mari pulang, kita bikin buaian di rumah.” (Tohari, 2007:322)
Cuplikan lainnya: “Masih menjual jangkrik di pasar Dawuan, Kang?” tanya Srintil kepada Sakum yang sedang menata ruas-ruas bamboo berisi dagangan, jangkrik. “Lha iya. Mau apa lagi, Janganten. Untung ada jangkrik!” “Ya. Aku mau minta tolong, Kang. Belikan gula dan bubuk kopi yang bagus. Juga papaya dan jeruk. Mau, Kang?” Sakum diam sejenak. Kedua matanya yang keropos bergerak-gerak. Sakum yang memiliki kepekaan luar biasa menangkap kelainan suasana. Memang bukan sekali-dua Srintil minta tolong dibelikan sesuatu, tetapi biasanya kelepon atau ondol-ondol buat Goder. Kadang juga ketupat. Kali ini adalah gula, kopi, dan buah-buahan. Lebih dari itu Sakum merasa suara Srintil keluar dari jiwa yang dalam. “Mau, Kang? Ini uangnya.” “Tentu saja mau, Janganten,” jawab Sakum yang cengar cengir. “Ada tamu ya? Siapa? “Kok kamu tahu, Kang?” “Ya! Sampean sudah kenal sejak bocah siapa Kang Sakum.” “Benar, Kang. Ada orang mau bertemu ke rumahku.” “He….he. Marsusi, ya?” “Salah. Orang Jakarta, Kang.” “Orang Jakarta? Ah, ya di pasar Dawuan orang berkata sekarang ini banyak priyai Jakarta berdatangan. Nah, Janganten, andaikan sampean masih meronggeng. Bukan main!” “Aku tidak akan meronggeng lagi, Kang. Aku sudah tua.” “Iya! Si Sakum tahu sampean bukan lagi seorang ronggeng. Bukan karena sudah tua. Sampean masih muda. Tetapi si Sakum setiap hari mendengar suara sampean, bukan lagi suara ronggeng. Tidak bisa tidak sekarang Dukuh Paruk tanpa ronggeng.” Ada tekanan yang khas dan pasti pada kata-kta Sakum. Sekarang Dukuh Paruk tanpa ronggeng. Mula-mula Srintil agak terkejut mendengarnya. Matanya membulat dan kedua alisnya naik, pertanda Srintil telah berusaha keras memahami kata-kata si mata keropos. Memahami apa yang terucap dan apa yang tersembunyi di baliknya. Lalu Srintil maju selangkah dan berbisik di dekat telinga Sakum. “Betulkah aku bukan lagi seorang ronggeng, kang?” “Betul! Andaikan dipaksa meronggeng pun sampean bakal tidak laku. Burung indang telah terbang dari kurungan. Indang ronggeng kini tidak ada pada tubuh sampean.” (Tohari, 2007:335)
Dari kutipan novel di atas, Srintil terlihat senang ketika dirinya tidak lagi disebut-sebut sebagai seorang ronggeng, memang dulu profesinya seorang ronggeng dan itu memang tidak baik untuk dilakukan bagi seorang wanita, tetapi karena dia ingin bertanggung jawab demi Dukuh Paruk dan keluarganya ia rela menerima untuk menjadikan dirinya seorang ronggeng. Kini Srintil ingin merubah pola hidupnya dengan menjadikan dirinya wanita yang baik-baik. Srintil tidak ingin lagi disebut-sebut sebagai seorang ronggeng karena ia telah melepaskan profesinya sebagai seorang ronggeng. Betapa inginnya dia untuk menjadi ibu rumah tangga
seperti yang dijalani ibu-ibu rumah tangga lainnya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut. “Bila kau ingin bertani, aku mampu membeli satu hektar sawah buat kau kerjakan. Bila kau ingin berdagang, akan kusediakan uang secukupnya,” pinta Srintil di tengah malam yang amat sepi. “Srin, aku belum berpikir sedemikian jauh. Atau aku takkan pernah memikirkan hal semacam itu. Lagi pula aku masih teringat betul kata-katamu dulu bahwa kau senang menjadi ronggeng,” jawabku. “Eh, Rasus. Mengapa kau menyebut hal-hal yang sudah lalu? Aku mengajukan permintaanku sekarang. Dengar, Rasus, aku akan berhenti menjadi ronggeng karena aku ingin menjadi istri seorang tentara; engkaulah orangnya.” (Tohari, 2007:105)
4.1.2 Penokohan Tokoh Tambahan Tokoh tambahan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari merupakan tokoh yang sepenuhnya mendukung tokoh utama. Tokoh tambahan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini terdiri atas empat orang, antara lain Sakarya, Kartareja, Nyai Kartareja, dan Bajus. 4.1.2.1 Penokohan Tokoh Sakarya Tokoh Sakarya dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk merupakan tokoh tambahan yang hadir sebagai kakek Srintil. Sakarya telah berniat untuk menjadikan Srintil cucunya sendiri sebagai seorang ronggeng dikarenakan dia telah melihat cucunya pintar dalam hal menari. Hal tersebut dapat dilihat pada cuplikan berikut: Menjelang tengah malam barangkali hanya Sakarya yang masih termangu di bawah lampu minyak yang bersinar redup. Sakarya kamitua di pedukuhan terpencil itu, masih merenungi ulah cucunya sore tadi. Dengan diam-diam Sakarya mengikuti gerak-gerik Srintil ketika cucunya itu menari di bawah pohon nangka. Sedikitpun Sakarya tidak ragu, Srintil telah kerasukan indang ronggeng. Sakarya tersenyum. Sudah lama pemangku keturunan Ki Secamenggala itu merasakan hambarnya Dukuh paruk karena tidak terlahirnya seorang ronggeng di sana. “Dukuh Paruk tanpa ronggeng bukanla Dukuh Paruk. Srintil cucuku sendiri, akan mengembalikan citra sebenarnya pedukuhan ini,” kata Sakarya kepada dirinya sendiri. Sakarya percaya, arwah Ki Secamenggala akan terbahak di kuburnya bila kelak tahu ada ronggeng di Dukuh Paruk. Tak seorangpun menyalahkan pikiran Sakarya. Dukuh Paruk hanya lengkap bila di sana ada keramat Ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah serapah, dan ada ronggeng bersama perangkat calungnya. Gambaran tentang Dukuh Paruk dilengkapi oleh ucapan orang luar yang senang berkata misalnya,” jangan mengabadikan kemelaratan seperti orang Dukuh Paruk.” Atau,” Hai, anak-anak, pergilah mandi. Kalau tidak nanti kupingmu mengalir nanah, kakimu kena kudis, seperti anak-anak Dukuh Paruk. (Tohari, 2007:15)
Cuplikan lainnya:
Keesokan harinya Sakarya menemui Kartareja. Laki-laki yang hampir sebaya ini secara turun temurun menjadi dukun ronggeng Dukuh Paruk. Pagi itu Kartareja mendapat kabar gembira. Diapun sudah bertahun-tahun menunggu kedatangan seorang calon ronggeng untuk diasuhnya. Belasan tahun sudah perangkat calungnya tersimpan di para-para di atas dapur. Dengan adanya laporan Sakarya tentang Srintil, dukun ronggeng itu berharap bunyi calung akan kembali terdengar semarak di Dukuh Paruk. (Tohari, 2007: 16)
Sakarya telah menjadikan cucunya Srintil itu seorang ronggeng yang merupakan sesuatu yang buruk untuk dilakukan gadis yang baru berusia sebelas tahun itu. Hal tersebut ia lakukan ketika Sakarya sering melihat Srintil menari di bawah pohon nangka dan langsung kepikiran di benak Sakarya untuk menyerahkan Srintil kepada dukun ronggeng atau yang mengasuh seorang ronggeng untuk menjadikan Srintil seorang ronggeng. Hal yang tidak baik ini seharusnya tidak dilakukan seorang kakek kepada cucunya. Akan tetapi Sakarya malah senang ketika melihat kemampuan Srintil menari dan langsung dijadikannya seorang ronggeng. Hal tersebut dapat dilihat pada cuplikan berikut: Dari cuplikan di atas perlakuan kakek Srintil tersebut memang benar-benar sudah kelewatan, akan tetapi itulah kenyataan yang akan dihadapi dan yang akan terjadi. Ketika Srintil sudah menjadi seorang ronggeng di Dukuh Paruk tersebut dan ketika Srintil sedang naik pentas atau menari di atas panggung seorang dukun ronggeng telah melakukan halhal yang senonoh terhadap Srintil sampai-sampai Srintil terlihat begitu siksa dan sakit. Hal tersebut malah kakek Srintil senang melihatnya karena Dia percaya bahwa arwah Ki Secamenggala telah memasuki tubuh dukun ronggeng itu dan sedang bertayub dengan Srintil. Ki Secamenggala adalah Bromocoro yang dipercaya oleh warga Dukuh Paruk. Hal itu dapat dilihat pada cuplikan tersebut: Hanya Sakarya yang cepat tanggap. kakek Srintil itu percaya penuh roh Ki Secamenggala telah memasuki tubuh Kartareja dan ingin bertayub. maka Sakarya cepat berseru. “Pukul kembali gendang dan calung. Ki Secamenggala ingin bertayub. Srintil, ayo menari lagi. Layani Ki Secamenggala.” Irama calung kembali menggema. Tetapi suasana jadi mencekam. Semua orang percaya akan kata Sakarya bahwa Kartareja sedang dirasuki arwah leluhur. Maka mereka mundur dalam suasana tegang.
Calung ditabuh dalam irama tayub. Kesyahduan upacara sacral itu hilang. Lagu-lagu pemancing berahi disuarakan. Sakum tidak pernah lupa akan tugasnya. Memoncongkan mulut lalu mengembuskan seruan cabul pada saat Srintil menggoyang pinggul. Cessss….cessssss. (Tohari, 2007:47)
Itulah pentas pertama yang dilakukan Srintil sebagai seorang ronggeng yang baru. Perlakuan dukun ronggeng terhadap Srintil dipercaya telah diterima oleh arwah moyang mereka yaitu, Ki Secamenggala. Hal tersebut dapat dilihat pada cuplikan berikut: “ Benar, kang. Rohnya memasuki tubuh sampean dan tentu saja sampean tidak sadar. Hal itu berarti persembahan kita pagi ini diterima olehnya. Srintil direstui menjadi ronggeng.” (Tohari, 2007:49)
1.1.2.2 Dekonstruksi Penokohan Tokoh Sakarya Kakek Srintil berperan sebagai seorang yang sudah tua dibandingkan beberapa orang yang berperan di dalam novel. Ia dikatakan tidak baik karena rela menjadikan cucunya seorang ronggeng yang usianya baru sebelas tahun yang bisa dibilang masih sangat dini. Tidak ada rasa belas kasihan ketika melihat cucunya diperlakukan senonoh oleh para lelaki. Itu semua Sakarya lakukan bukan untuk kepentingannya sendiri agar Srintil bisa membiayai kehidupannya yang miskin dan melarat itu. Ketika didekonstruksi semua itu Sakarya lakukan semata ingin bertanggung jawab atas Dukuh Paruk yang sudah sejak lama tidak mempunyai seorang ronggeng. Sakarya percaya bahwa arwah moyang mererka Ki Secamenggala akan senang bila Dukuh Paruk kini telah hadir lagi seorang ronggeng. Dengan kelincahan Srintil menari, Sakarya langsung bertekad untuk menjadikan Srintil seorang ronggeng walaupun usianya masih sangat muda. Bagi mereka meronggeng bukanlah suatu hal yang buruk dan dosa karena Dukuh Paruk tidak mengenal yang namanya dosa. Dengan rasa tanggung jawabnya itu, Sakarya rela menjadikan cucunya sebagai seorang ronggeng yang sudah menjadi tradisi maupun adat istiadat warga Dukuh Paruk. Betapa hebatnya
Sakarya dengan adanya Srintil cucunya ia bisa menghadirkan kembali seorang ronggeng di Dukuh Paruk. Jika tidak ada ada sosok Sakarya, maka sosok Srintil pun tidak ada. Sebab, di Dukuh Paruk hanya Srintil lah yang pintar dalam hal menari. Selain pintar menari, Srintil juga cantik. Sebab, syarat utama menjadi seorang ronggeng yaitu harus pintar menari. Untuk itu, bersyukurlah warga Dukuh Paruk dengan adanya Sakarya. Walau pun Srintil pandai menari kalau tidak mengizinkan cucunya itu menjadi seorang ronggeng maka apa dayanya Dukuh Paruk. Dengan rasa tanggung jawab yang dimiliki Sakarya maka Dukuh Paruk menjadi lebih hidup dan Sakarya percaya bahwa Ki Secamenggala akan senang dengan hal tersebut. 1.1.2.3 Penokohan Tokoh Kartareja Tokoh Kartareja dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk merupakan tokoh tambahan yang hadir sebagai Dukun ronggeng yang akan mengasuh seorang ronggeng. Dia juga salah satu tetua yang ada di Dukuh Paruk tersebut. Kartareja hampir sama dengan Sakarya kakek Srintil itu, ketika Kartareja mendengar Sakarya akan menjadikan cucunya seorang ronggeng, Kartareja sangat senang karna akhirnya Dukuh Paruk bisa mengadakan seorang ronggeng dan bunyi calung akan terdengar lagi. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut: Keesokan harinya Sakarya menemui Kartareja. Laki-laki yang hampir sebaya ini secara turun temurun menjadi dukun ronggeng di Dukuh Paruk. Pagi itu Kartareja mendapat kabar gembira. Dia pun sudah bertahun-tahun menunggu kedatangan seorang calon ronggeng untuk diasuhnya. Belasan tahun sudah perangkat calungnya tersimpan di para-para di atas dapur. Dengan adanya laporan Sakarya tentang Srintil, dukun ronggeng itu berharap bunyi calung akan kembali terdengar semarak di Dukuh Paruk. “Kalau benar tuturmu, Kang, kita akan tetap betah tinggal di pedukuhan ini,” Kata Kartareja menanggapi laporan Sakarya.” “Eh, Sampean lihat sendiri nanti,”jawab Sakarya. “Srintil akan langsung menari dengan kenesnya bila mendengar suara calungmu.” Kartareja mengangguk-angguk. Bibirnya yang merah kehitaman oleh kapur sirih bergoyang ke kiri-kanan. Lalu disemprotkannya sisa tembakau yang tinggal dimulutnya. “Ah, Kang Sakarya. Aku tak lagi diperlukan kalau begitu. Bukankah Srintil sudah menjadi ronggeng sejak lahir?” Kata Kartareja tawar. Dia sedikit tersinggung. Keahliannya mengasuh ronggeng merasa disepelekan. “Eh, sampean salah tangkap. Maksudku, Srintil benar-benar telah mendapat indang. Masakan sampean tidak menangkap maksudku ini.” “Oh, begitu.” “Ya. Dan tentu sampean perlu memperhalus tarian Srintil. Cucuku tampaknya belum pintar melempar sampur. Nah, ada lagi yang penting; masalah “rangkap” tentu saja. Itu urusanmu, bukan?”
Kartareja terkekeh. Dia merasa tidak perlu berkata apa-apa. “ Rangkap” yang dimaksud Sakarya tentulah soal guna-guna, pekasih, susuk, dan tetek-bengek lainnya yang akan membuat seorang ronggeng laris. Kartareja dan istrinya sangat ahli dalam urusan ini. “Pokoknya Dukuh Paruk akan kembali mempunyai ronggeng. Bukankah begitu, Kang?” “Eh, ya. Memang begitu kita yang tua-tua di pedukuhan ini tak ingin mati sebelum melihat Dukuh Paruk kembali seperti aslinya dulu. Bahkan aku takut arwah Ki Secamenggala akan menolakku di kubur bila aku tidak melestarikan ronggeng di pedukuhan ini.” “Bukan hanya itu, Kang. Bukankah ronggeng bisa membuat kita betah hidup?” Kedua kakek itu tertawa bersama. (Tohari, 2007:16)
Cuplikan di atas jelas terlihat bahwa Kartareja sama dengan Sakarya. Dipikiran mereka perasaan senang karena Dukuh Paruk akan hadir kembali ronggeng yang sudah lama ditunggutunggu. Kartareja sama sekali tidak perduli bagaimana perasaan Srintil asalkan Dukuh Paruk bisa hadir kembali seorang ronggeng. Agar Kartareja lebih percaya akan kemampuan Srintil menari, Sakarya memperlihatkan pada Kartareja ketika Srintil sedang menari di bawah pohon nangka. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut: Beberapa hari kemudian Sakarya dan Kartareja Selalu mengintip Srintil menari di bawah pohon nangka. Kedua laki-laki tua itu sengaja membiarkan Srintil menari sepuas hatinya, diiringi calung mulut oleh rasus dan kedua kawannya. Kartareja percaya akan cerita Sakarya. Srintil telah kemasukan indang ronggeng. Pada hari baik, Srintil diserahkan oleh kakeknya kepada Kartareja. Itu hukum Dukuh Paruk yang mengatur perihal seorang calon ronggeng. Keluarga calon harus menyerahkannya kepada dukun ronggeng, menjadi anak akuan.
Saat pertama kali Srintil naik panggung untuk menari Kartareja telah melakukan tayub pada Srintil dengan semenah-menah. Hal tersebut dapat dilihat pada cuplikan berikut: Kartareja menari makin menjadi-jadi. Berjoget dan melangkah makin mendekati Srintil. Tangan kirinya melingkari pinggang Srintil. Menyusul tangannya yang kanan. Tiba-tiba dengan kekuatan yang mengherankan Kartareja mengangkat tubuh Srintil tinggi-tinggi. Menurunkannya kembali dan menciumi ronggeng itu penuh berahi. (Tohari:2007:48)
Perlakuan Kartareja dalam cuplikan di atas memang sudah keterlaluan. Padahal Srintil sudah seperti cucunya sendiri, tetapi dia rela melakukan hal yang senonoh terhadap Srintil. Kini Srintil resmi menjadi seorang ronggeng, meronggeng pun sudah ia lakukan dengan naik pentas. satu hal lagi yang harus dilakukan seorang ronggeng yaitu, acara malam bukak-
klambu. Kartareja sudah merencanakan kapan malam bukak-klambu akan dimulai. bukakklambu yaitu malam ketika seorang ronggeng harus menyerahkan keperawannnya kepada seorang lelaki mana saja yang mampu memberikan upah yang besar sesuai yang diminta oleh dukun ronggeng. Hal itu Kartarejalah yang merencanakannya. Hal tersebut dapat dilihat pada cuplikan berikut: Jauh-jauh hari Kartareja sudah menentukan malam hari Srintil harus kehilangan keperawanannya. Untuk itu Kartareja sendiri harus mengeluarkan biaya. Tiga ekor kambing telah dijualnya di pasar. dengan uang hasil penjualan itu dibelinya sebuah tempat tidur baru, lengkap dengan kasur, bantal, dan kelambu. Dalam tempat tidur ini kelak Srintil akan diwisuda oleh laki-laki yang memenangkan sayembara. Sementara waktu calung lenyap dari Dukuh Paruk. Kartareja sedang giat membuat persiapan pelaksanaan malam bukak-klambu itu. Dukun ronggeng itu rajin keluar Dukuh Paruk untuk menyebarkan berita. Hanya dalam beberapa hari telah tersiar kabar tentang malam bukak-klambu bagi ronggeng Srintil. Orang-orang telah tahu pula, Kartareja menentukan syarat sekeping uang ringgit emas bagi lakilaki yang ingin menjadi pemenang. “Saatnya telah saya tentukan pada sabtu malam yang akan datang,”kata Kartareja suatu pagi dihadapan banyak laki-laki di pasar. “Dan sampean meminta sekeping ringgit emas?” “Ya. Kukira itu harga yang patut,”jawab Kartareja. “Ah,” lenguh laki-laki yang bertanya tadi. “E….kenapa? Terlalu mahal? Ingat baik-baik. Pernahkah ada ronggeng secantik Srintil?” “Itu benar. Srintil memang ayu dan kenes. Tetapi siapa yang memiliki sebuah ringgit emas di Dukuh Paruk?” “Oh, saya tak pernah bermimpi seorang laki-laki Dukuh Paruk akan memenagkan Sayembara. Jangankan ringgit emas, sebuah rupiah perak pun tak dimiliki oleh laki-laki Dukuh Paruk. Saya tidak berharap mereka mengikuti sayembara.” (Tohari, 2007:52)
Cuplikan di atas terlihat bahwa Kartareja sedang memperjual belikan seorang ronggeng Srintil yang usianya baru sebelas tahun yang akan menghadapi lelaki yang akan mewisuda keperawanannya. Sesuatu yang dilakukan Kartareja ini bukanlah sesuatu yang baik untuk dilakukan tetapi Kartareja rela melakukannya. Usaha demi usaha telah dilakukn Kartareja agar ada lelaki yang akan mampu membayar Srintil di malam bukak-klambu nanti. Kartareja benar-benar orang yang menjengkelkan, rela memperjual-belikan seorang gadis yang masih muda. Tawar menawar terus ia lakukan dengan lelaki yang datang padanya dan meminta agar merekalah yang akan mewisuda seorang ronggeng itu. Hal tersebut bisa dilihat pada cuplikan berikut:
“Kula nuwun,” Dower mengucapkan salam. “Mangga,” Jawab Kartareja. Dijulurkannya lehernya sambil menyipitkan mata. Sinar lampu membuat matanya silau. “Oh, mari masuk.” Dower melangkah di bawah tatapan Kartareja. Lalu duduk. Berderit bunyi pelupuh lincak yang didudukinya. Kartareja segera tahu tamunya datang dari jauh karena mendengar napas Dower yang terengah-engah. “Engkau kelihatan lelah. Dari mana engkau datang, Nak?” Tanya Kartareja membuka percakapan. “Dari Pecikalan, Kek. Nama saya Dower.” “Wah, Pecikalan? Alangkah jauh.” “Yah, Kek. Itulah, jauh-jauh saya datang karena saya mendengar kabar.” “Tentang bukak-klambu, bukan?” “Benar, Kek.” “Waktunya besok malam. Engkau sudah tahu syarat yang kuminta, bukan?” Tanya Kartareja tanpa melihat tamunya. “Saya sudah tahu. Sebuah ringgit emas,” jawab Dower datar. “Betul. Apakah sekarang kau telah membawanya?” Dower tersipu. Dia tidak berani mengangkat muka. Kartareja melepas napas panjang. Dalam hati dia mengeluh, karena belum juga muncul sebuah ringgit emas yang diinginkannya. “Wah, Kek,” Kata Dower akhirnya. “ Pada saya baru ada dua buah rupiah perak. Saya bermaksud menyerahkannya kepadamu sebagai panjar. masih ada waktu satu hari lagi. Barangkali besok bisa saya peroleh seringgit emas.” Kartareja tidak segera member tanggapan. Kecewa dia. Diisapnya rokok dalam-dalam. Asap diembuskannya jadi desah panjang. Namun Kartareja berpikir, dua buah uang rupiah perak adalah jumlah paling banyak yang disanggupi oleh seorang calon sampai pada saat itu. “Jadi begitu maksudmu, Nak?” “Ya, Kek.” “Baiklah. Uang panjarmu bisa kuterima. Tetapi besok malam kau harus datang membawa sebuah ringgit emas. Kalau tidak, apa boleh buat. Kau kalah dan uang panjarmu hilang. Bagaimana?” “ Kalau saya gagal memperoleh sebuah ringgit emas maka uang panjar saya hilang?” Tanya Dower. “Ya!” jawab Kartareja singkat. Rona kelicikan mewarnai wajahnya. Dower termangu, tampak berpikir keras. “Kalau engkau berkeberatan, maka terserah. Silahkan berpikir. Atau segera pulan`g ke Pecikalan selagi malam belum larut. Aku akan menunggu pemuda lain, beberapa orang yang akan segera tiba.” Gertakan halus Kartareja mengena. Buktinya, Dower menjadi gelisah, lalu berkata, “Baik, baik, Kek. Saya terima syarat itu. Nah, inilah uang panjar itu.” (Tohari, 2007:58)
Cuplikan di atas jelas terlihat bahwa Kartareja memang benar-benar keterlaluan, sudah memperjual belikan Srintil malah ditambah dengan memeras orang yang datang untuk melaksanakan malam bukak-klambu bersama Srintil. 1.1.2.4 Dekonstruksi Penokohan Tokoh Kartareja Kartareja adalah dukun ronggeng di Dukuh Paruk. Dia dikenal bisa mengasuh seorang ronggeng, karena memang semenjak dulu dia berprofesi sebagai dukun ronggeng. Dari karakternya yang sudah tertera pada cuplikan-cuplikan di atas tampak jelas bahwa dia termasuk orang yang tidak baik
Akan tetapi ketika peneliti mendekonstruksi tokoh Kartareja ini, maka kartareja adalah sosok lelaki tua yang diperlukan oleh orang Dukuh Paruk, karena dengan keberadaanya itu, jika ada seorang ronggeng maka Kartareja lah yang akan membawa dimana keberadaan seorang ronggeng yang sebenarnya, karena hanya dia dukun ronggeng yang dipercaya warga Dukuh Paruk dan itu sudah dilakukakannya sejak lama dan secara turun temurun. Kartareja bisa dibilang sama dengan Sakarya, mereka melakukan semua itu demi Dukuh Paruk karena itu sudah menjadi tradisi desa Dukuh Paruk, maka mereka harus melakukannya walaupun terlihat kejam. itu semua adalah pengorbanan dan tanggung jawab Kartareja kepada Dukuh Paruk. Dan dia akan merasa bersalah kepada moyang mereka Ki Secamenggala jika sampai Kartareja mati tidak mendirikan seorang ronggeng. Warga Dukuh Paruk pun tidak akan menyalahkan Kartareja, malah mereka senang karena Kartareja kini membawa seorang ronggeng di Dukuh Paruk. Kartareja sudah melaksanakan tanggung jawabnya sebagai dukun ronggeng. Jadi, tidak masalah jika Srintil membantu kelangsungan hidup Kartareja, sebab tanpa Kartareja seorang ronggeng tidak dapat hadir. Hanya Kartareja yang bisa mengasuh dan membimbing seorang ronggeng. Tanggung jawab Kartareja terhadap Dukuh Paruk dan menghormati arwah Ki Secamenggala terlihat pada kutipan berikut. “E lha!” Ujar Kartareja tertuju kepada Nyai Sakarya. “Tentu saja tak ada yang salah bila Srintil kawin dengan Rasus. Itu bila cucumu tidak menjadi ronggeng pengemban nama Dukuh Paruk.” “Lalu sampean, Sakarya,” Kata Kartareja ganti kepada kakek Srintil. “Jaga jangan sampai sampean mempunyai pikiran seperti istri sampean. Ingat kewajiban sampean sebagai pemangku dan kamitua anak-cucu Ki Secamenggala di Dukuh Paruk ini. Tanggung jawab sampean tidak membenarkan sampean mementingkan kepentingan sendiri.” (Tohari, 2007:124)
1.1.2.5 Penokohan Tokoh Nyai Kartareja Tokoh Nyai Kartareja dalam novel ronggeng Dukuh Paruk merupakan tokoh tambahan yang hadir sebagai istri Kartareja yang membantu untuk mengasuh seorang ronggeng. Nyai Kartareja ini bekerja sama dengan suaminya untuk mengasuh seorang ronggeng. Ketika pertama
kali Srintil resmi menjadi ronggeng dan saat Srintil akan naik panggung, Nyai Kartarejalah yang mendandani Srintil bahkan sampai memasangkan susuk agar seorang ronggeng terlihat cantik dan laris. Hal tersebut dapat dilihat pada cuplikan berikut: Di dalam rumah, Nyai Kartareja sedang merias Srintil. Tubuhnya yang kecil dan masih lurus tertutup kain sampai ke dada. Angkinnya kuning. Di pinggang kiri-kanan ada sampur berwarna merah saga. Srintil didsandani seperti laiknya seorang ronggeng dewasa. Kulitnya terang karena Nyai Kartareja telah melumurinya dengan tepung bercampur air kunyit. Istri dukun ronggeng itu juga telah menyuruh Srintil mengunyah sirih. Bibir yang masih sangat mudah itu merah. Satu hal yang disembunyikan oleh Nyai Kartareja terhadap siapa pun. Itu, ketika ia meniupkan mantra pekasih ke ubun-ubun Srintil. Mantra yang di Dukuh Paruk percaya akan membuat siapa saja tampak lebih cantik dari sebenarnya: uluk-uluk perkutut manggung teka saka ngendi teka sakah tanah sabrang pakanmu apa, pakanku madu tawon manis madu tawon, ora manis kaya putuku, Srintil.
(Tohari, 2007:18)
Nyai Kartareja sama dengan suaminya Kartareja, sama-sama memeras para lelaki yang datang untuk menjalani malam bukak-klambu bersama Srintil. Tidak memikirkan perasaan Srintil, yang dipikiran Nyai Kartareja hanyalah harta, harta, dan harta yang akan mereka miliki. Nyai Kartareja telah berusaha keras agar kedua lelaki yang datang itu sama-sama akan menjalani bukak-klambu bersama Srintil agar upah yang lebih besar bisa mereka dapatkan. Nyai Kartareja memang pintar dalam mengatur dan mengatasi segala hal yang licik.Hal tersebut dapat dilihat pada cuplikan berikut:
Cuplikan lainnya: “Oh, kalian bocah bagus,” kata Nyai Kartareja. “Jangan bertengkar di sini. Aku khawatir tetangga nanti datang karena mendengar keributan. Ayo, bocah bagus, duduklah. Kalau kalian terus berselisih, pasti Srintil merasa takut. Bagaimana bila nanti dia tidak bersedia menjalani bukak-klambu?” Oleh caranya yang khas gaya seorang mucikari, Nyai Kartareja dapat menenangkan Salam dan Dower. Keduanya duduk kembali, masing-masing dengan wajah kecut. Hening. (Tohari, 2007:73)
Cuplikan lainnya: “Ya, kalian harus menurut. Ingat, Srintil masih sangat muda. Dia tidak biasa mendengar keributan,” sambung Nyai Kartareja. (Tohati, 2007:73)
Karena keserakahan Nyai Kartareja, ia tidak perduli dengan apa yang Srintil alami yang penting bisa mendapat uang yang banyak. Hal tersebut dapat dilihat pada cuplikan berikuta: Cuplikan lainnya: Tengah malam Nyai Kartareja masuk ke bilik Srintil. Kelambu dibuka. Dengan sinar pelita di tangannya perempuan itu melihat mata Srintil yang masih terbuka. Dengan gaya memanjakan, Nyai Kartareja membelai rambut Srintil. “ Dua keping rupiah perak dan seekor kerbau besar telah menjadi milikmu. Kau sudah menjadi anak yang kaya. Engkau merasa senang, bukan?” Srintil mengangguk walaupun perutnya terasa sakit. “Dan engkau masih akan menerima sebuah ringgit emas. Mau, bukan? Nanti bila Sulam terjaga, dia akan masuk kemari.” “Jadi aku harus melayani Sulam pula?” “Tak mengapa, bukan? Engkau akan menjadi satu-satunya anak yang memiliki ringgit emas di Dukuh Paruk ini.” “Aku pernah mengalami hal seperti itu. Bocah ayu, percayalah padaku. Semuanya tak mengapa kau lakukan. Ingat, sebuah ringgit emas! Istirahatlah sekarang selagi sulam masih mendengkur.” (Tohari, 2007:77)
Cuplikan lainnya: Nyai Kartareja keluar dari biliknya, melangkah mendekati Sulam. “Oh, bocah bagus. Engkau sudah bangun?” tanya Nyai Kartareja semanis seorang ibu. “Jam berapa sekarang, Nek?” Kata Sulam sambil menggosok mata dengan punggung tangan. “Ah, masih sore,” tipu perempuan itu pula. Ketika Sulam sadar betul apa tujuannya datang ke Dukuh Paruk, dia berkata sambil bangkit berdiri, “Jadi bagaimana ini. Bagaimana urusan tdi?” “Oh, tenanglah, bocah bagus. Lihat, anak pecikalan itu masih tertidur nyenyak. Engkau jadi pemenang. Srintil menunggumu sekarang.” “Ha? Di mana Srintil?” tanya Sulam bersemangat. “Lho! Dia di dalam kelambu. Ayo, cepat. Jangan menunggu Dower terbangun.” “Oh, ya. Ya. Tetapi nanti dulu, Nek. Aku ingin kencing. (Tohari, 2007:78)
Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun telah dijalani oleh Srintil dan warga Dukuh Paruk lainnya. Terjadi pula kebosanan Srintil untuk melayani para lelaki yang datang.
Akan tetapi, Nyai Kartareja tidak pernah putus asa untuk membujuk Srintil agar bisa melayani tiap laki-laki yang datang. Lagi dan lagi Nyai Kartareja hanya menginginkan harta. Hal tersebut dapat dilihat pada cuplikan berikut: “Srin, pulang. Ada tamu.” Srintil terkejut sebelum kesadarnnya pulih. Tanpa menoleh kea rah sumber suara dia tahu siapa yang datang. “Pulang, Srin. Kau ditunggu,” kau harus tahu siapa tamumu kali ini: Pak Marsusi, kepala perkebunan karet itu.” Srintil mengerdip tanda mengerti. “Nah, ayo pulang.” “Aku belum ingin pulang,” jawab Srintil tanpa emosi. “Eh, jangan begitu, wong ayu,” kata Nyai Kartareja sambil mengatur dirinya duduk disamping Srintil. Kamu tak boleh menyepelekan tamu. Apalagi tamu kali ini bukan sembarang orang.” “Kalau aku jadi kamu, Srin, aku takkan menyia-nyiakan kesempatan ini. Membonceng motor ubluk bersama Pak Marsusi ke kota. Pelisir kemana-mana, nonton bioskop misalnya. Kau belum pernah melihat tontonan itu, bukan? Kepada Pak Marsusi kau bisa minta dibelikan barang-barang. Nah, bagaimana kalau kau minta kalung seperti yang dipakai istri lurah Pecikalan?” “Sudahlah Nyai. Pulanglah dulu. Aku akan menyusul kemudian. Aku mau mandi dulu.” “Bagus, wong ayu. Tetapi betul, ya. Kamu kami tunggu.” Srintil mengangguk ringan. (Tohari, 2007:119)
Karena mulai was-was ketika Pak Marsusi menanyaka terus keberadaan Srintil maka Nyai Kartareja melakukan hal-hal yang licik seperti yang biasa ia lakukan bersama suaminya. Hal tersebut tergambar dalam percakapan Nyai Kartareja dan Pak Marsusi tersebut: “Sampean tadi mengatakan Srintil ada di rumah. Lalu manakah dia?” tanya Marsusi sambil meletakkan botolnya dengan agak kasar. Nyai Kartareja menyembunyikan kebimbangannya di balik senyum ramah. “Betul, Pak. Tadi Srintil berkata hendak mandi dulu. Ah, anak ini, kemana dia?” “Coba susul lagi. Bila benar sedang mandi, mengapa bisa demikian lama?” ujar Kartareja. “Nanti dulu,” kata Marsusi yang kelihatan tidak sabar karena menunggu Srintil sekian lama. “Sampean berdua yang memelihara Srintil di sini, bukan?” “Benar, Pak.” “Lalu? Apa kalian kira aku datang kemari buat duduk-duduk nganggur seperti ini? Katakan saja; Srintil sedang dipakai orang lain atau Srintil sedang pergi entah kemana! Jangan biarkan aku jadi gusar, orang Dukuh Paruk!” (Tohari, 2007:120)
Cuplikan lainnya: ”Sampean berdua ini orang Dukuh Paruk yang tidak tahu di untung! Aku tidak pernah lupa bahwa semacam sampean ini mendapat rezeki dari orang seperti aku ini. Nah! Mengapa sampean berdua jadi banyak tingkah? Sekarang jawab pertanyaanku: bisakah kalian membawa Srintil kemari sekarang juga? Kalau tidak, mampus saja, jangan coba-coba menjadi dukun ronggeng!”
Cuplikan lainnya:
“Aduh, Nak, eh, Pak. Benar jugalah bila sampean menjadi gusar semacam ini. Kami pun bisa mengerti mengapa sampean kehilangan kesabaran. Ini semua karena kesalahan kami. Sampean dari rumah membawa kejenuhan atau kegemesan yang seharusnya segera cair di rumah ini. Ya, ya. Pokoknya kehendak seorang priyai seperti sampean pasti kami akan utamakan. Masalahnya, Srintil yang sampean kehendaki masih kekanak-kanakan. Ah, sampean jangan lupa, Srintil masih demikian hijau. Maka siapa pun yang menghendaki kesegarannya harus sedikit bersabar. “Dengar, Pak. Srintil masih segar seperti kecambah,” sambung Nyai Kartareja sambil menyentuh dada Marsusi dengan lembut. “Aku tidak mencari perempuan lumutan,” kata Marsusi. Nada bicaranya jatuh pada tempo yang rendah. “Nah! Kecambah itu kami sediakan buat sampean. Soalnya kini terletak pada kesabaran sampean itulah, karena Srintil sudah beberapa hari merajuk.” “Nanti dulu. Me-ra-juk?” Hening. Nyai Kartareja membiarkan pertanyaan Marsusi buat sementara mengawang. Andaikan Marsusi tahu bahwa senyuman Nyai Kartareja yang begitu wajar adalah sebuah taktik professional. Atau setidaknya, senyum itu menandakan Nyai Kartareja telah merasa membuat langkah awal yang tepat untuk menguasai keadaan. “Inilah susahnya momong seorang ronggeng cantik tetapi masih kekanak-kanakan. Bayangkan, Pak. Srintil sedang menuntut kalung seperti yang dipakai oleh istri Lurah Pecikalan, sebuah rantai emas seberat seratus gram dengan bandul berlian. Seorang priyai seperti sampean, kalau mau, tentu bisa memenuhi keinginan Srintil itu. Nah, bagaimanakah dengan kami yang melarat ini. Oh, Srintil.Mentang-mentang cantik mudah saja dia member beban berat kepada kami.”
Begitu hebatnya Nyai Kartareja membodohi seorang laki-laki yang datang hendak ingin bersama Srintil. Yang diminta Nyai Kartareja dikatakannya Srintil yang mau padahal tidak demikian, malah Nyai Kartarejalah yang mau bukan Srintil. Nyai Kartareja memang sudah kelewatan sekali. Hal tersebut dapat dilihat pada cuplikan berikut: “ Anak siapakah itu?” tanya Marsusi setelah Srintil berlalu ke dalam. “Bayi itu anak si Tampi. Entahlah, Pak, Srintil begitu lekat dengan bayi itu,” jawab Nyai Kartareja. “Ya, aku melihatnya sendiri; seperti ibu dan anak kandungnya.” “Sebenarnya aku tidak suka. Beginilah jadinya. Srintil jadi tidak sempat menghormati tamu secara semestinya.” “Malam mini aku memang bermaksud mengajak Srintil ke luar. Mungkin dua atau tiga hari.” ujar Marsusi sambil menyalakan rokok. “Nah, itu baik sekali. Hampir sebulan ini Srintil membeku di Dukuh Paruk, tak mau memenuhi undangan pentas. Mula-mula memang karena sakit. Tetapi setelah sembuh Srintil masih ngambek saja. Ah, aku tahu sebabnya. Srintil masih tetap iri terhadap istri Lurah Pecikalan. Iri terhadap kalungnya!” “Hm. Nanti Srintil tidak akan iri lagi,” Jawab Marsusi. Senyumnya penuh gaya dan pasti. Nyai Kartareja tak perlu bertanya apa pun untuk mengartikan makna senyum tamunya. Maka dalam hati istri dukun ronggeng itu bergema sorak kemenangan. “Ya, Pak, ya. Maka bawalah Srintil dan gembirakan dia. Srintil telah kehilangan kelincahannya, kekenesannya. Yang demikian itu tak boleh terjadi atas diri seorang ronggeng. Dan kalau itu, Pak, tidak boleh jadi pasti akan melumerkan kebekuan hati Srintil!” (Tohari,2007:145)
Nyai Kartareja telah memaksakan kehendaknya untuk menjual Srintil kepada Lelaki yang kaya raya. Tidak sama sekali memikirkan bagaimana perasaan Srintil yang sebenarnya. Yang
dipikirkan Nyai Kartareja harta yang akan diterima oleh Srintil dan dirinya. Sungguh terlihat kejam perlakuan Nyai Kartareja tersebut terhadap Srintil. Hal itu dapat dilihat pada cuplikan berikut: Cuplikan lainnya: “Kalau engkau hendak pergi menemui tamumu, sebaiknya kembalikan Goder kepada emaknya. Atau tinggalkan dia bersamaku disini”. “ Wah, bagus! wong ayu, ada tamu dating. Kau tahu siapa dia ?” “ Pak Marsusi, kepala perkebunan karet Wanakeling. Berbaik-baiklah melayaninya. Eh, kamu masih membawa-bawa anak si Tampi ? Mari, serahkan anak itu kepadaku. Tidak pantas menemui seorang tamu penting sambil membopong bayi.” “ Nah, Pak Marsusi, inilah Srintil. Ternyata aku tak perlu bersusah payah menjemputnya karena dia sendiri yang datang. Kukira Srintil tak akan berbuat sedemikian apabila tamu yang datang bukan sampean. Iya kan, Srin ?” “ Siapa menyuruhmu repoot seperti itu. Kamu kan masih lan, mengapa bersusah payah mengambil anak orang ? Dan itu tamumu! Kamu tahu siapa pak Marsusi, bukan ?” “ Nah, itu baik sekali. Hampir sebulan ini Srintil membeku di Dukuh Paruk, tak mau memenuhi undangan pentas. Mula-mula memang karena sakit. tetapi setelah sembuh Srintil masih ngambek saja. Ah, aku tahu sebabnya. Srintil masih tetap iri terhadap istri Lurah Pecikalan. Iri terhadap kalungnya!” “ Ya, Pak, ya. Maka bawalah Srintil dan gembirakan dia. Srintil telah kehilangan kelincahannya, kekenesannya. Yang demikian itu tak boleh terjadi atas diri seorang ronggeng. Dan kalau itu, Pak, tidak boleh jadi pastilah akan melumerkan kebekuan hati Srintil!”
Cuplikan lainnya: “Ah, jangan marah, Pak. Srintil terlalu lama membiarkan sampean menunggu. Sekarang silahkan berbincang-bincang. Oh, ya, Srin, Pak Marsusi hendak pelesir mala mini. Apakah kau tidak berdandan dulu ?”
Cuplikan lainnya: “Wong ayu,” tak baik terlalu cepat menapik uluran tangan seseorang. Apalagi dia adalah Pak Marsusi. Kau belum bertanya hendak kemana kau akan dibawahnya. Nah, bahkan kau belum mengerti apa hadiah Pak Marsusi buatmu kali ini.”
Cuplikan lainnya: “Apa kataku, wong ayu. Rugi benar bila kau tidak menuruti kehendak Pak Marsusi. Ayolah, ganti pakaianmu. ganti pula kalung dilehermu itu dengan yang disana.”
Jelas bahwa Nyai Kartareja memperlakukan Srintil dengan semena-mena. Nyai Kartareja terlalu memaksakan Srintil untuk melayani lelaki yang bejat demi harta yang diperoleh oleh lakilaki tersebut. Nyai Kartareja pandai membujuk Srintil bahkan memaksakan kehendaknya agar Srintil tetap menjalankan profesinya sebagai seorang ronggeng. Nyai Kartareja takut kehilangan Srintil bila nanti Srintil akan melepaskan profesinya sebagai seorang ronggeng.
Tidak terpikir olehnya perasaan Srintil yang begitu menyedihkan ketika mendengar perkataan Nyai Kartareja. Yang Nyai Kartareja tahu, Srintil harus mengiyakan yang ditawarkan dari istri dukun ronggeng itu. Hal tersebut dapat dilihat pada cuplikan berikut: Cuplikan lainnya: “Ah, Janganten, bagaimana juga sampean tidak sama denga aku. Sampean masih muda. Dan siapa bilang sampean tidak cantik ? Dimana saja, pada zaman apa saja, perempuan cantik tidak sama dengan perempuan yang buruk, bukan ?” “Begini, Janganten. Tadi sampean berkata bahwa sampean tidak mempunyai penghasilan apapun. Maka bagaimana bila sampean berbuat sesuatu agar sampean kembali mempunyai penghasilan seperti dulu. Persoalannya mudah bagi sampean, tinggal mau atau tidak.” “ Baiklah, kemarin aku bertemu seseorang yang sangat berharap bisa sekadar melepaskan kepusingan hidup bersama sampean. Marsusi, Janganten. Sampean masih ingat Marsusi, bukan ? “ (Tohari, 2007:287)
Cuplikan lainnya: “Eh, sabar dulu, Janganten. Dengar dulu kata-kataku! siapa bilang ada orang yang tidak mengerti keadaan sampean. Tetapi apakah sampean hanya mau mementingkan diri sendiri dan tidak mau mengerti urusan perut orang Dukuh Paruk yang hanya bisa nunut sampean ?” “Nanti dulu, Janganten. Marsusi sekarang sudah menjadi duda. Dan dia bersedia memberimu sebuah vespa bila sampean mau. Siapa tahu Marsusi bermaksud mengambil sampean menjadi istrinya. Pikirkanlah dengan tenang, Janganten.” “E, lha, baiklah kalau begitu. Tetapi renungkan Janganten. Marsusi atau laki-laki mana saja tidak salah bila dia bermaksud mengawini sampean atau sekadar bersenang-senang. Semua orang tahu siapa sampean, bukan ?” (Tohari, 2007:288)
Gambaran kutipan novel di bawah terlihat bahwa lagi-lagi dan lagi Nyai Kartareja harus memaksakan Srintil untuk melayani atau harus menerima tawaran dari lelaki mana saja yang punya harta. Padahal Srintil sudah berulang-ulang kali menolak dan tidak mau lagi menerima tawaran dari laki-laki manapun selain hanya meronggeng dan bertayub saja. Akan tetapi lagi dan lagi Nyai Kartareja hanya memikirkan Harta kepunyaan dari seorang lelaki yang datang meminta agar bisa bersama Srintil. Yang ada dipikiran Nyai Kartareja hanyalah uapah yang akan diberikan kepada Srintil jika Srintil mau menerima tawaran lelaki manapun. Sungguh kejamnya kehidupan yang harus dilalui oleh Srintil. “Jadi aku sudah tahu maksud kalian. Yah, anak muda! Marilah kita bersama ke rumah Srintil.” “Ada tamu, Janganten. Dua orang, mereka sudah ada diluar. Mereka adalah priyai-priyai yang sedang mengukur tanah itu.”
“E,, lha, jangan begitu, Janganten. Tidak layak mengusir tamu sebelum kita berbicara kepada mereka. Ingat Janganten. Mereka adalah priyai dari Jakarta. Apa tidak salah bila kita tidak menghormati mereka?” “Eh lha. Aku jadi tidak mengerti, Janganten. Mengapa sampean sekarang takut dengan setiap lelaki yang datang. Sampean menolak Marsusi. Tamir juga sampean tolak. Lalu sekarang sampean takut menghadapi Bajus. Aku tidak mengerti, Janganten.” “Wah iya, Janganten. Sampean masih muda. Sampean baru dua puluh tiga tahun dan cantik. Sungguh tidak aneh bila ada lelaki menginginkan sampean.” “Janganten, andaikan aku adalah sampean, maka aku tidak akan berpikir sejauh itu. Aku hanya akan berpikir bagaimana menggunakan kesempatan yang mungkin amat langkah ini. Pak Bajus bujangan dan priyai. Dia orang jauh sehingga sampean bisa menempuh kehidupan baru di tempat yang baru pula. Dan seperti kata sampean sendiri, Pak Bajus kelihatan bukan hendak bermain-main. Apa lagi, Janganten?” “Eh lha, sampean ini cantik. Sampean mempunyai pakaian yang bagus serta mempunyai perhiasan emas. Mandi keramas, matut salira secantik mungkin, lalu bermanja kepada tamu yang akan datang itu. Masa iya nenek Bangka ini harus mengulangi pelajaran yang kuberikan kepada sampean sepuluh tahun yang lalu?”
Nyai Kartareja makin takut bila Srintil tidak lagi menerima tamu lelaki yang datang mencari Srintil. Hal tersebut dapat dilihat pada cuplikan berikut: Cuplikan lainnya: “Eh lha. Aku jadi tidak mengerti, Janganten. Mengapa sampean sekarang takut dengan setiap lelaki yang datang. Sampean menolak Pak Marsusi. Tamir juga sampean tolak. Lalu sekarang sampean takut menghadapi Bajus. Aku tidak mengerti, Janganten?” (Tohari, 2007:330)
Cuplikan Lainnya: “Wah, iya, Janganten. Sampean masih muda. Sampean masih muda. Sampean baru dua puluh tiga tahun dan cantik. Sungguh tidak aneh bila ada lelaki menginginkan sampean.” (Tohari, 2007:330)
Cuplikan lainnya: “Andaikata aku adalah sampean, maka aku tidak akan berpikir sejauh itu. Aku hanya akan berpikir bagaimana menggunakan kesempatan yang mungkin amat langkah ini. Pak Bajus bujangan dan priyai. Dia orang jauh sehingga sampean bisa menempuh kehidupan baru di tempat yang baru pula. Dan seperti kata sampean sendiri, Pak Bajus kelihatan bukan hendak bermain-main. Apa lagi, Janganten?” (Tohari, 2007:331)
Cuplikan lainnya “Eh, lha, sampean ini cantik. Sampean mempunyai pakaian yang bagus serta mempunyai perhiasan emas. Mandi keramas, matut salira secantik mungkin, lalu bermanja kepada tamu yang akan datang itu. Masa iya nenek Bangka ini harus mengulangi pelajaran yang kuberikan kepada sampean sepuluh tahun yang lalu?” (Tohari, 2007:331)
1.1.2.6 Dekonstruksi Penokohan Tokoh Nyai Kartareja Nyai Kartareja dikenal dengan pribadi yang tidak baik. Nyai Kartareja yang selalu memaksakan kehendaknya sendiri. Selalu memaksakan seorang ronggeng harus berbuat begini
harus berbuat begitu dan kelicikan yang ia lakukan pada setiap laki-laki yang datang untuk menari, bertayub, bahkan tidur bersama Srintil. Akan tetapi, ketika didekonstruksi Nyai Kartareja adalah sosok wanita tua yang baik dan pengertian. walaupun terlihat jahat kepada Srintil, tapi dialah yang bisa mengatur semua yang akan dilakukan seorang ronggeng. Hidupnya juga hanya bergantung pada seorang ronggeng Srintil karena Srintil-lah yang membiayai semua kebutuhan hidup Nyai Kartareja. Semua yang dilakukan Nyai Kartareja dari kelicikannya, itu demi Srintil dan hidupnya. Upah dari para lelaki untuk diberikan pada Srintil memang Nyai Kartareja bahkan Suaminya yang menentukan sebanyak apa yang harus para lelaki berikan kepada Srintil, tapi itu semua bukan untuk diambil semua oleh Nyai Kartareja. Semua Harta dari para lelaki Nyai Kartareja berikan pada Srintil. Nyai Kartareja hanya menerima apa yang diberikan Srintil. Istri dukun ronggeng ini juga hanya membantu untuk mengasuh seorang ronggeng, ia rela berkorban demi seorang ronggeng. Tidak ada rasa malu baginya untuk menjual Srintil dan mendapatkan upah yang besar. Kalau tidak ada Nyai Kartareja apalah arti seorang ronggeng, karena hanya dia yang bisa mengasuh seorang ronggeng dengan baik. Bukan hanya demi Srintil dan kehidupannya saja yang dilakukan Nyai Kartareja, tetapi juga demi Dukuh Paruk. Nyai Kartareja memang dari dulu sampai sekarang ia sudah tua, menerima tanggung jawabnya untuk mengasuh seorang ronggeng agar Dukuh Paruk tidak terasa mati. Nyai Kartareja memang orang yang begitu hebat, dia mati-matian membujuk Srintil agar mau menerima tawaran yang hendak diminta oleh para lelaki kaya. Nyai Kartareja tidak pernah berputus asa untuk membujuk Srintil demi kelangsungan hidup mereka yang begitu miskin dan melarat. Jika Nyai Kartareja tidak bisa membujuk Srintil, entah dari mana penghasilan mereka untuk makan sehari-hari. Untuk itu, Nyai Kartareja tidak henti-hentinya memaksakan Srintil
harus menerima tawaran dari para lelaki. Dan Nyai Kartareja melakukan itu semua bukan hanya untuk kepentingannya sendiri, itu semua ia lakukan juga demi Srintil dan keluarga Srintil. Karena Srintil harus membantu kakek neneknya untuk bisa makan dan bertahan hidup. Nyai Kartareja telah melaksanakan tanggung jawabnya sebagai warga Dukuh Paruk, memang Nyai Kartareja terlihat kejam tetapi malah Nyai Kartareja adalah sosok nenek tua yang baik. Hidupnya memang miskin tetapi tidak pernah terlintas dibenaknya untuk menjadikan dirinya atau suaminya sebagai peminta-minta atau pengemis. Dari pada menjadi seorang peminta-minta lebih baik ia membantu suaminya untuk mengasuh seorang ronggeng walaupun harus mendapatkan uang dari seorang ronggeng yang telah diperjual belikannya. Hal itu juga membuktikan bahwa Nyai Kartareja telah meneruskan tradisi dari Dukuh Paruk karena adanya seorang ronggeng. 1.1.2.7 Penokohan Tokoh Bajus Tokoh Bajus dalam novel ronggeng Dukuh Paruk merupakan tokoh tambahan yang hadir sebagai seorang priyai yang datang dari kota Jakarta dan bertemu dengan tokoh utama yaitu Srintil. Bajus ini adalah sosok laki-laki baik yang muncul dalam kehidupan Srintil ketika Srintil sudah tidak lagi meronggeng. Dia telah memperlakukan Srintil dengan baik dan tidak pernah berniat untuk melakukan hal-hal yang tidak baik kepada Srintil. Segala sesuatu yang baik telah Bajus lakukan dan berikan kepada Srintil dan terlihat ketulusan yang dilakukan Bajus. Bajus telah menunjukkan kebijaksanaan yang luar biasa terhadap Srintil. Cuplikan di bawah ini perkenalan pertama yang dialami oleh Srintil dan Bajus. Cuplikan lainnya: “Ini bukan anakmu, kan?” “Ya, Pak,” jawab Srintil masih tetap menunduk. “Aku sudah tahu banyak tentang dirimu. Cobalah angkat mukamu. Kita berbicara seperti biasa.” “Ya, Pak.”
“Begini, Srin. Tadi Pak Lurah berkata seperti itu. Ada benarnya sepanjang tidak diartikan secara berlebihan. Aku memang ingin berkenalan dengan kamu. Jangan khawatir, aku belum punya istri. Bagaimana?” “Tetapi, Pak..” “Bagaimana?” “Jadi Bapak…” “Tidak usah sebut aku begitu. Mas!” “Oh, Pak. Eh, Mas. Jadi Mas sudah tahu siapa aku. Aku takut, Mas. Dan Mas tidak pantas bergaul dengan seseorang bekas tahanan.” “Sudahlah. Nah, kali ini cukup sekian. Besok atau lusa aku akan datang ke Dukuh Paruk. Boleh, kan?” “Untuk apa, Mas?” “Yang jelas bukan untuk menginap atau semacam itu. Percayalaah. Bagaimana” “Boleh, Mas. Tetapi aku takut berbuat salah.” “Ya, aku mengerti perasaanmu. Untuk ini akulah yang bertanggung jawab.” (Tohari, 2007:326)
Cuplikan lainnya: “Selamat datang, Pak Bajus. Juga sampean berdua,” suara Srintil purau. “Terima kasih. Ah, tetapi nanti dulu, engkau pucat sekali. Sakit?” Kata Bajus. “Hanya kurang enak badan, Pak. Boleh jadi karena kemarin aku berpanasan ketika pulang dari balai desa.” “Tetapi kamu sakit,” kata Bajus sambil menyender ke belakang. Terlihat kesan dia kecewa. “Begini, Pak,” sela Tamir. “Nanti kita sekalian singgah ke dokter agar Mbakyu ini bisa berobat.” Diam. Bajus mengangguk-angguk kosong. Srintil kelihatan bingung dengar ucapan Tamir. Dia merasa ada sebuah rencana yang melibatkan dirinya telah disusun oleh Bajus dan kedua temannya. “Sebetulnya, Srin. Kami bertiga ingin mengajakmu berjalan-jalan ke kota eling-eling. Mobilku cukup buat kita berempat.” “Ah, Pak…” “Hanya berjalan-jalan. Atau nonton film jika kau suka. Kamu percaya akan kata-kataku kemarin, bukan?” “Yang bagaimana, Pak? Oh ya, aku ingat.” “Ya. Aku tidak bermaksid berbuat yang macam-macam. Bukan seperti Tamir ketika datang kemari beberapa hari yang lalu. Tengik dia. Tetapi bila bersamaku dia harus jinak.” “Benar, Mbakyu. Maafkan saya yang sembrono kemarin. Sekarang saya sudah jinak.” “Terima kasih, Pak. Tetapi Bapak melihat senddiri aku tidak bisa pergi.” “Maksudku, bagaimana bila kita sekalian mampir berobat?” “Maaf, aku tidak bisa minum obat. Aku bisa minum jamu.” “Nah, kita ke depot jamu,” ujar Tamir. “Tidak. Biarlah aku sendiri membelinya besok di pasar Dawuan. Badanku sungguh terasa tidak enak. Bila pergi jauh-jauh aku khawatir akan menjadi sakit sungguh-sungguh. “Yah, bagaimanapun juga Srintil memang benar,” kata Bajus . Memang dia tidak sehat. Jadi kita tidak usah pergi kemanapun. Kita ngobrol saja di sini.” (Tohari, 2007:353)
Cuplikan lainnya: Dalam mobil di sisi Bajus, Srintil duduk diam. Tatapan matanya lurus ke depan. Goder yang dipangkunya juga bergeming. Namun sementara Goder tegang karena baru pertama kali naik mobil, Srintil diam karena sedang merasakan adanya arus balik di dalam jiwanya. Matanya merah. Anehnya snyum Srintil serta-merta merekah manakala Bajus mengajaknya berbicara. “kita ke Eling-eling. Sekedar jalan-jalan. Kamu mau, bukan?” “Terserahlah. Oh, tetapi nanti dulu. Kalau Mas mau, jangan ke Eling-eling.” “Kenapa?” “Ah, sebenarnya tidak mengapa. Aku hanya belum berani ke sana.” “Teringat masa lalu?”
“Nah, Mas sudah mengerti. Dua tahun tinggal di kota Eling-eling sebagai tahanan, sungguh tidak enak buat dikenang kembali.” “Baik, kita ke pantai Selatan saja. Sudah lama juga aku tidak melihat laut. Bagaimana?” Srintil mengangguk dan tersenyum. Pantai Selatan adalah tempat yang jauh dari Dukuh Paruk. Boleh jadi satu atau dua orang di sana bisa mengenal Srintil sebagai ronggeng atau bekas tahanan. Namun kemungkinannya jauh lebih kecil dari pada kota Eling-eling. (Tohari, 2007:363)
Cuplikan lainnya: “Kita makan dulu,” Kata Bajus.” Di situ nasi gorengnya enak,” sambungnya sambil menunjuk sebuah warung agak tersembunyi di samping losmen. Bajus yang tidak menaruh perhatian ketika Srintil menarik napas lega berjalan paling dulu menuju warung. Srintil membopong Goder, lalu mengikutinya dari belakang. Kebanyakan kursi sudah diduduki para pembeli dan Bajus kehilangan tempat kesayangannya. “Kamu juga suka nasi goring?” “Suka, Mas.” “Kita pesan tiga. Apa minumnya?” “Terserah, Mas.” “Air jeruk?” Srintil mengangguk. Seorang pelayan yang berpakaian kenes datang dan berbicara dengan Bajus. Diam-diam Srintil memperhatikan bagaimana cara Bajus menghadapi pelayan yang jelas di pasang sebagai burung pemikat itu. Dia cantik dan kelihatan sudah mengenal Bajus. Namun Srintil harus mengakui sikap Bajus nyaris tanpa cela; dia hanya berbicara seperlunya dengan bahasa dan cara yang lugas pula. Srintil malu. (Tohari, 2007:365)
Cuplikan lainnya: Di dalam mobil yang sedang melaju beberapa kali Bajus mencuru pandang ke samping. Ya. Semula Bajus bermaksud singgah ke rumah rias di kota Eling-eling untuk memoles Srintil. Kini secara pasti Bajus merasa tidak perlu melaksanakan niat semula. Srintil ternyata sudah pintar mematut dirinya. Bajus malah membalik pikiran. Bila Srintil dipoles dengan sentuhan rias gaya kota maka pastilah ia akan kehilangan daya pikatnya yang khas. Bunga sakura memang cantik, bunga tulip juga cantik. Orang-orang kota sudah mengerti. Sekarang mereka harus mengakui bahwa bunga lembayung pun mempunyai kecantikan tersendiri. Kecantikan yang tak ada referensinya pada wajah patung venus atau Dewi Aphrodite, melainkan pada wajah Pradnya Paramita. “Kita mampir sebentar ke rumah pondokanku,” ujar Bajus menjelang masuk ke kota Eling-eling. Ada mapku ketinggalan. Aku terlalu tergesa tadi.” Srintil tersenyum. Boleh juga. Aku ingin melihat rumah sewa Mas Bajus. ( Tohari, 2007:373)
Cuplikan lainnya: “Eh, melamun? ayo berangkat,” kata Bajus yang sudah beberapa saat lamanya menatap Srintil dari ambang pintu tengah tanpa disadari oleh yang bersangkutan. Srintil tergagap, lalu bangkit dan berjalan mendahului Bajus. Dia merasa seakan tersentak mendadak dari alam mimpi yang amat mengesankan. Diremesnya kuat-kuat tali tas tangannya. Dikutuki dalam diam dirinya yang telah berangan tinggi. “ Rapat nanti mungkin beru berakhir lepas tengah malam. Sesudah itu ada pesta,” kata Bajus ketika baru mengeluarkan mobil dari halaman rumah. “Dalam rapat itu kukira tak ada perempuan yang hadir. Baru dalam pesta nanti kamu lihat, kamu bukan satu-satunya perempuan.” “Mereka istri para pejabat yang sedang rapat, Mas?”
“Ya dan bukan. Yang masih bujangan seperti aku ini mana mungkin membawa istri, paling-paling calon istri atau pacar.” Srintil tersenyum. “Lalu pukul berapa kita mau pulang, Mas?” “Tergantung. Mungkin saja menjelang pagi. Atau kita menginap saja. Kamu mau, kan? Percayalah, aku tidak akan memasuki kamarmu.” “Ya, aku percaya. Tetapi kita pulang saja. Menjelang pagi pun jadilah.” “Kita lihat bagaimana nanti. syukur bila semuanya selesai sebelum pagi.” (Tohari, 2007:373)
Cuplikan lainnya: “Selama aku mengikuti rapat di hotel seberang jalan itu kamu beristirahat dulu di sini. Bila memerlukan sesuatu, penggil saja penunggu vila di kamar belakang.” “Berapa lama, Mas?” “pokoknya lama. Tetapi bila sedang beristirahat aku akan kemari. Dan setiap kali ada kesempatan aku akan menengokmu di sini.” Srintil berseri-seri dab tersenyum ketika mengantar Bajus sampai ke teras. Dipandangnya lakilaki yang mulai mengakar di hatinya dengan perasaan lembut yang menyapu hati. Bajus menyeberang jalan, membelok ke kiri, kemudian masuk ke halaman sebuah hotel yang besar dan megah. Ada kain rentang terpampang di teras hotel itu, tetapi Srintil tidak mengerti tulisan apa di sana. Dan sosok Bajus menghilang di balik taman bunga di halaman hotel. (Tohari, 2007:374)
Dari cuplikan-cuplikan yang terpampang di atas menggambarkan bahwa tokoh Bajus adalah sosok lelaki yang baik hati. Bajus tidak pernah melalukan hal-hal yang senonoh pada Srintil walaupun Srintil pernah menyandang profesinya sebagai seorang ronggeng. Bila dibandingkan dengan laki-laki yang lain pasti sudah menggunakan kesempatan-kesempatan yang ada untuk merayu bahkan menggoda Srintil dan melakukan hal-hal yang senonoh kepada Srintil. Akan tetapi Seorang Bajus beda dengan laki-laki lainnya. Dia selalu bersikap baik, sopan, perhatian, dan mengerti akan keadaan Srintil. Oleh karena kebaikan dan pengertian Bajus semua orang baik Srintil dan kedua suami istri dukun ronggeng itu senang dengan Bajus, bahkan mereka ingin Srintil menikah dengannya karena Srintil sudah tidak berprofesi sebagai seorang ronggeng. Dari pertama bertemu Bajus memang selalu berbuat baik dan selalu mengerti apa yang dialami Srintil. 1.1.2.8 Dekonstruksi Penokohan Tokoh Bajus
Ketika didekonstruksi seorang Bajus yang terlihat baik ternyata tidak benar-benar baik. Di balik semua kebaikannya ternyata Bajus menyimpan sifat buruk, tidak seperti yang dibayangkan oleh orang-orang terutama Srintil yang lebih dekat dengannya. Ternyata Bajus melakukan itu semua ingin mendapatkan proyek baru dari bos besar. Dan yang lebih parahnya lagi, ternyata dia ingin memberikan wanita kepada bos besarnya itu, dan wanita itu adalah Srintil. Semua kebaikannya ia lakukan agar Srintil mau menjalin hubungan dengan bosnya itu. Untuk itu Bajus rela membuang-buang uangnya demi Srintil agar kelak Srintil bisa memenuhi permintaanya untuk menjalin hubungan dengan bosnya. Bajus telah mengecewakan Srintil dan hal itu tidak bisa dipercaya oleh Srintil. Bajus memang benar-benar kelewatan dalam masalah ini, hanya demi mendapatkan pekerjaan dan uang ia rela mengorbankan sesuatu yang terlihat baik tetapi dibalik semua itu tersimpan kepalsuan. Cuplikan di bawah ini terlihat jelas bahwa Bajus terlalu memaksakan kehendaknya. Padahal srintil sudah menganggapnya lelaki yang baik tapi kenyataannya berbeda. Srintil sangat terpukul denga apa yang dilakukan Bajus dan kata-kata kasar yang tidak pernah terduga oleh Srintil akan keluar dari mulut Bajus. “Srin, dengarlah. Aku ingin berbicara suatu hal yang penting kepadamu. Penting sekali karena menyangkut penghidupanku.” “Sampean mau bicara apa, Mas?” “Begini. Sebenarnya aku merasa ,malu bila harus mengatakan bahwa telah banyak kebaikan kuberikan kepadamu selama ini. Semuanya itu kuberikan kepadamu dengan ikhlas.” “Ya, Mas. Aku merasa berutang budi kepadamu. Karena itu aku ingin membalas kebaikankebaikanmu. Tetapi Mas belum sekali pun berkata harus bagaimanakah aku ini. Padahal, Mas, aku seorang perempuan.” Bibir Srintil masih bergerak-gerak hingga beberapa saat kemudian, namun suaranya tidak lagi terdengar. Bajus tersandar ke belakang. Bukan karena dia melihat Srintil mulai menangis, melainkan dia tahu persis makna yang tersirat di balik ucapan perempuan di hadapannya. Dengan bahasa air mata dan suasana Srintil minta diberi kesempatan membalas budi yang telah diterimanya dengan cara yang disukai perempuan: penyerahan kesetiaan yang penuh melalui perkawinan. Tetapi Bajus sadar permintaan demikian sampai kapan pun mustahil dikabulkannya. “Begini saja, Srin,” Kata Bajus dengan suara yang mulai memberat. “Bila kamu ingin membalas budi maka ada yang amat mudah kamu laksanakan. Mudah sekali. Aku akan lebih senang bila permintaan ini kamu laksanakan.” “Katakan, Mas. Aku harus berbuat apa? sekiranya selama ini Mas menutup-nutupi kenyataan bahwa sebenarnya Mas sudah punya istri, maka aku mau menjadi istri kedua. Dan biarlah aku menjadi pelayan istri pertama serta anak-anak Mas.”
“Oh, tidak begitu. aku memang belum mempunyai istri. Jangan sembarangan tentang perkara yang sulit-sulit. Permintaanku amat bersahaja.” “apa?” Bajus menarik napas dan menggeleng-gelengkan kepala, seakan sedang mengibas pergi lumpur yang menodai jidatnya. “Anu, Srin. Kamu sudah kuperkenalkan kepada Pak Blengur. Percayalah, dia orangnya baik. Aku yakin bila kamu minta apa-apa kepadanya, berapa pun harganya, akan dia kabulkan. Nanti dia akan bermalam disini. Temanilah dia. Temanilah dia, Srin,” Srintil tersentak dengan kedua matanya terbelakak. Mulutnya terbuka dan dadanya turun-naik dengan cepat. Kedua tangannya bergetar. “Hanya itu permintaanku, Srin. Supaya tidak ada pikiran macam-macam, anggaplah Pak blengur itu diriku sendiri. Atau malah tidak perlu karena kenyataannya dia dalam semua hal lebih baik dari pada aku. Kamu mau, bukan?” “Tidak!” “Tunggu dulu..” “Tidak, tidak, tidak!” “Srintil!” “Tidak!” (Tohari, 2007:381)
Cuplikan lainnya: “Srin, kuharap kamu mau mengerti. Kasihani aku dan tolonglah aku sekali ini saja. Bagaimana nanti bila kamu tidak mau membantuku? Mau ya, Srin?” Srintil menggeliat bangkit. Dipandangnya Bajus sekilas dengan tatapan luar biasa dingin. Turun dari tempat tidur. Dirapikannya rambut yang tergerai dibagian depan. Diambilnya tas tangan. “Tunggu. Mau kemana kamu?” Tak sepatah kata pun menjawab Srintil melangkah hendak keluar. Bajus bertindak, menangkap tangan Srintil yang bersikeras hendak keluar. Buat kali pertama Bajus berlakun kasar, memaksa srintil kembali duduk di tempat tidur. “Kamu tetap menolak? Tidak bisa! Kamu orang Dukuh Paruk harus tahu diri. Aku telah banyak membantumu. Aku telah banyak mengeluarkan uang untuk kamu!” Bajus berjalan berputar-putar sambil tetap menjaga agar dirinya menjadi palang pintu. Srintil duduk kaku, tak bereaksi sedikit pun terhadap kata-kata yang didengarnya. Tiba-tiba Bajus menggentakkan kaki lalu melangkah ke ambang pintu. Sambil menutup pintu dari luar, Bajus berkata dengan tekanan yang berat. “Kamu orang Dukuh Paruk mesti ingat. Kamu bekas PKI! Bila tidak menurut akan aku kembalikan kamu kerumah tahanan. Kamu kira aku tidak bisa melakukannya?” Pintu terbanting dan terkunci dari luar.
4.2 Pembahasan Dari hasil analisis penelitian di atas, dapat dilihat bahwa dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari terdapat gambaran untuk didekonstruksi. Dekonstruksi tersebut dapat ditinjau dari tokoh-tokoh dan penokohan yang terdapat dalam novel. Penokohan tokoh Srintil sebagai tokoh utama dalam novel dan beberapa tokoh yaitu Sakarya, Kartareja, Nyai Kartareja dan Bajus sebagai tokoh tambahan dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari.
4.2.1 Dekonstruksi Penokohan Tokoh Utama Dalam Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan yang berbeda-beda. Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut dengan tokoh inti atau tokoh utama. Sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu. Dengan begitu dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, penokohan tokoh utama dan penokohan tokoh tambahan hanya sebagai peran yang diberikan pengarang untuk menyampaikan pemikirannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penokohan tokoh utama (Srintil) mempunyai sifat dan karakter yang tidak baik karena Srintil berprofesi sebagai seorang ronggeng yang harus menari, bertayub, bahkan melayani para lelaki layaknya suami istri. Melihat apa dijalani oleh seorang Srintil merupakan suatu hal yang buruk dilakukannya. Akan tetapi, ketika didekonstruksi yang dilakukan Srintil benar-benar suatu tanggung jawab yang orang lain sulit untuk melakukannya. Srintil rela menjadikan dirinya sebagai seorang ronggeng. Srintil melakukan itu semua demi keluarga dan Dukuh Paruk tercintanya. Dukuh Paruk terkenal dengan peronggengan dari zaman dahulu Ronggeng adalah tradisi mereka dan bukan suatu perbuatan dosa bagi mereka. Dukuh Paruk tanpa ronggeng adalah Dukuh Paruk yang hambar untuk itu Srintil berani mengambil keputusan untuk menjadi seorang ronggeng. Dengan meronggeng juga ia bisa menghidupi keluarganya yang miskin dan melarat itu bahkan dukun ronggeng yang mengasuhnya juga di bantunya demi kelangsungan hidup. 4.2.2 Dekonstruksi Penokohan Tokoh Tambahan dalam novel “ronggeng Dukuh paruk” karya Ahmad Tohari
Dekonstruksi adalah Pembalikan (Derrida, dalam Tuloli, 2000:58). Derrida sendiri member batasan dekonstruksi adalah cara membaca yang dimulai dengan pencatatan (penelusuran) secara hirarki, kemudian diteruskan dengan membalikannya, dan akhirnya menentang (menolak) pernyataan hirarki. Hasil penelitian penokohan tokoh tambahan dalam novel Ronggeng Dukuh paruk karya ahmad Tohari terdiri atas beberapa tokoh tang berperan, akan tetapi penulis hanya membatasi empat tokoh tambahan yaitu kartareja, Sakarya, Nyai kartareja dan Bajus. Sakarya adalah kakek dari Srintil yang menjadikan cucunya sebagai seorang ronggeng ketika Sakarya melihat bahwa Srintil sangat lincah dalam hal menari, Kartareja dan Nyai kartareja adalah suami istri yang mengasuh seorang ronggeng dan membawa keberadaan seorang ronggeng yang sebenarnya. Kedua suami istri ini yang mengatur segala sesuatu yang harus dilakukan oleh seorang ronggeng mulai dari pentas untuk menari, bertayub dan tawaran-tawaran dari lelaki manapun yang ingin tidur bersama seorang ronggeng, semuanya dilakukan oleh mereka berdua bahkan kelicikankelicikan yang dibuat oleh mereka berdua. Akan tetapi ketika didekonstruksi Sakarya, Kartareja maupun Nyai Kartareja adalah sosok tetua yang bertanggung jawab atas Dukuh Paruk yang terpencil itu dan telah meneruskan tradisi yang harus dilakukan oleh warga Dukuh Paruk. Dan Bajus adalah priyai yang telah banyak membantu Srintil dengan menunjukkan kebaikankebaikan kepada Srintil tetapi ketika didekonstruksi malah sebaliknya. Bajus tidak sebaik yang dipikirkan, dibalik itu semua Bajus menyimpan kejahatan dengan menjual Srintil kepada Bosnya demi mendapatkan uang dari proyek yang diminta Bajus.