BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Ruwatan Rambut Gembel 4.1.1 Sejarah Dataran Tinggi Dieng Nama Dieng berasal dari bahasa Jawa kuno Dihyang, ardi artinya tempat dan kata hyang dapat diartikan arwah leluhur atau dapat juga diartikan dewa. Dengan demikian Dihyang berarti tempat bersemayamnya arwah leluhur, atau tempat bersemanyam para dewa. Kata Dihyang terdapat dalam Kitab Tantu Panggelaran yang ditulis pada masa kejayaan Majapahit disebut adanya gunung Dihyang sebagai tempat berhubungan dengan Dewa Siwa. Kyai Kolodete dipercaya sebagai orang pertama yang bertempat tinggal dan membuka hutan di dataran tinggi Dieng. Pada awalnya Kyai Kolodete, Kyai Walik, dan Kyai Jogonegoro dipercaya sebagai cikal bakal pendiri kota Wonosobo. Kyai Kolodete adalah anak Kyai Badar, perangkat desa di masa kejayaan Mataram. Kyai Kolodete saat masih muda dikenal memiliki rambut gimbal. Selain mempunyai ilmu tinggi, Kolodete juga dikenal sebagai sosok Kyai pengayom yang disegani musuh, dicintai teman dan warganya. Ketika berlangsung pemilihan kepala desa di daerah Wonosobo, Kolodete didorong mencalonkan diri. Tapi tanpa diketahui sebabnya, Mataram menolak pencalonan Kyai Kolodete. Akhirnya untuk menghilangkan kekecewaan, Kyai Kolodete memutuskan untuk menyepi. Dataran tinggi Dieng
55
56
merupakan hutan belantara yang tidak ada penghuninya sama sekali, pada saat itu Kyai Kolodete babak atau bubak di dataran tinggi Dieng. Kyai kolodate dipercaya merupakan orang yang mendirikan pemukiman penduduk dan tinggal di dataran tinggi Dieng. Saat Kyai Kolodete meninggal, Kyai Kolodete tidak meninggalkan jasad. Menurut kepercayaan masyarakat dataran tinggi Dieng, Kyai Kolodete moksa, hilang tanpa bekas. Roh atau sukma Kyai Kolodete menitis atau menurun pada anak kecil sehingga menjadi gimbal. Kemudian Kyai Kolodete mencoba mendalami makna hidup di tengah kesepian dan memohon kepada Sang Khaliq agar pada masa 58 57
57
yang akan datang masyarakat yang tinggal di dataran tinggi Dieng diberi kemakmuran.Kyai Kolodete diyakini masyarakat dataran tinggi Dieng masih hidup dan masih sering memberikan nasehat melalui media perantara baik merasuk pada jiwa orang atau dengan cara lain. Di dataran tinggi Dieng banyak ditemukan situs purbakala berupa bangunan candi. Kelompok bangunan candi Dieng dikunjungi pertama kali pada tahun 1814 oleh H.C Cornelius berkewarganegaraan Belanda. Cornelius membuat catatan yang menyatakan bahwa daerah komplek candi Dieng merupakan danau sehingga diantara candi-candi tersebut ada yang terendam air. Pada tahun 1856, J.Van Kinsbergen membuat gambar-gambar candi dan air yang menggenangi komplek candi dialirkan sehingga menjadi kering. Kemudian pada tahun 1911-1916 penyelidikan Komplek candi Dieng dilakukan secara mendalam oleh H.L Leydie Melville. Pada tahun 19111920, situs Dieng mulai dipromosikan sebagai objek wisata di Eropa. Selanjutnya pada tahun 1937, pemerintah Hindia Belanda melakukan Zonasi yang membagi situs dieng menjadi 3. Kelompok Dwarawati, kelompok Arjuna dan kelompok Bhima. Pada tahun 1960, objek Wisata Dieng Dikelola Oleh Pemda Wonosobo. Kemudian pada tahun 1977, pemprov Jateng secara resmi menetapkan Dieng menjadi objek wisata. Pada tahun 1977-1994, situs Dieng dimuat di monografi Kab. Wonosobo. Selanjutnya pada tahun 1993-1994, Pemda Banjarnegara berupaya untuk bisa mengelola sebagian wilayah Dieng dengan cara pendekatan pada Pemrov Jateng. Pada tahun 1994-1995 merupakan masa transisi pengelolaan objek wisata Dieng dari Pemda Wonosobo kepada Pemda Banjarnegara. Kemudian tahun 1995, BP3 Jateng
58
melakukan ekskavasi atas permintaan Pemda Banjarnegara untuk rencana pembangunan fasilitas wisata. Selanjutnya, tahun 1996-1997 Pemda Banjarnegara membangun fasilitas wisata di kompleks Candi Arjuna. Pada tahun 1995-2000, Pengelolaan objek wisata Dieng dilakukan bersama antara Pemda Wonosobo dan Pemda Banjarnegara dengan sistem bagi hasil. Tahun 1997-1998, penjarahan lahan milik BP3 Jateng oleh masyarakat. Pada tahun 2001, BP3 Jateng menyewakan lahan di sekitar candi kepada petani serta BP3 Jateng dan staf Dinas Pariwisata dan Kebudayaan yang berdomisili di Dieng. Kemudian, tahun 2001-sekarang, 58 pengelolaan obyek wisata di masing-masing Pemda. Pada tahun 2003 Pemda Banjarnegara membuat taman di sekitar komplek candi Arjuna dan Gatotkaca. Pada tahun 2004, Pemprov Jateng turun tangan membenahi obyek wisata Dieng yang menurun kualitasnya dengan rencana membangun Dieng Plateu Theatre. BP3 Jateng dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Banjarnegara merencanakan pengembangan lansekap di sekitar museum untuk kepentingan pariwisata dan penyelamatan tinggalan arkeologi yang masih terpendam di dalam tanah.
4.1.2 Sejarah Ruwatan Rambut Gembel Ritual ruwatan potong rambut gembel merupakan upacara pemotongan rambut pada anak-anak yang memiliki rambut gembel yang dilaksanakan oleh masyarakat di wilayah dieng terutama di kabupaten banjarnegara dan wonosobo. Ritual ruwatan ini dilaksanakan setiap tahun pada tanggal satu sura.
59
Masyarakat dieng meyakini bahwa malam tanggal satu sura adalah malam yang tepat untuk melakukan ritual suci. Mereka percaya pada pergantian tahun dalam penanggalan jawa bersamaan dengan berlangsungnya perkawinan dari keturunan tokoh spiritual yang ternama yaitu keturunan kyai kaladete dan nyai roro kidul. Kyai kaladete adalah penguasa telaga balekambang di dieng. Telaga balekambang dipercayai sebagai istana kediaman kyai kaladete. Kyai kaladete adalah tokoh spiritual yang sangat dipercaya oleh warga masyarakat dieng. Masyarakat dieng percaya bahwa kyai kaladete adalah nenek moyang warga dieng. Selain mitos di atas, berkembang juga mitos bahwa di dieng tepatnya di desa siterus kecamatan kejajar kabupaten banjarnegara merupakan desa tempat hidup keturunan dari kerajaan kalingga. Kerajaan kalingga adalah kerajaan hindu pada abad viii yang ada di dieng. Keturunan dari raja kalingga inilah yang membangun candi dieng. Masyarakat di daerah ini percaya apabila mempunyai anak yang berambut gembel berarti anak tersebut titisan dari keling (kalingga). Anak titisan keling ini menjadi anak kesayangan dayang yang menghuni kawasan dieng. Hal ini menyebabkan anak-anak yang mempunyai rambut gembel mendapat perlakuan istimewa dari orangtua masing-masing. Rambut gembel ini tidak akan dipotong sebelum anak tersebut minta untuk dipotong. Permintaan potong rambut gembel biasanya diikuti dengan permintaan anak sesuai keinginan yang harus dituruti oleh orangtua. Mereka percaya apabila permintaan tersebut tidak dikabulkan akan membuat anak tersebut celaka. Pada
60
awalnya permintaan ini hanya sebatas makanan misal telur, daging, ayam goreng, bajudan sebagainya. Seiring dengan perkembangan zaman, permintaan ini menjadi lebih konsumtif misal handphone, playstation, boneka barbie, mobil remote control, dan lain sebagainya. Pemotongan rambut gembel ini diawali dengan ritual ruwatan, siraman dan memandikan peserta ruwatan, setelah dipotong rambut gembel akan dihanyutkan di kali tulis untuk membuang segala malapetaka, bencana dan kejahatan. Sehingga anak yang diruwat akan memperoleh keselamatan, kesehatan, dan kebahagiaan.
4.1.3 Waktu pelaksanaan Ruwatan Waktu upacara atau ritual biasanya dirasakan sebagai saat-saat yang penting dan gawat, penuh dengan daya gaib. Daya gaib yang berbahaya itu harus ditolak dan dijaga lewat pelaksanaan upacara atau ritual. Ritual ruwatan potong rambut gembel di dieng kabupaten banjarnegara dilaksanakan setiap tahun pada tanggal satu sura. Pemilihan waktu ini disesuaikan dengan keyakinan masyarakat dieng bahwa tanggal satu sura adalah tanggal keramat dalam penanggalan jawa, yang tanggal tersebut dipercaya mempunyai daya magis yang sangat tinggi.
61
4.1.4 Tempat Ritual Tempat Ritual Ruwatan Potong Rambut Gembel di Dieng tepatnya di pelataran Batu Tulis. Sebelum rambut gembel dipotong, peserta ruwatan dimandikan di Goa Sumur. Setelah rambut dipotong kemudian rambut gembel tersebut dihanyutkan di Kali Tulis yang membelah wilayah Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo.
Gambar 4.1. Candi Anjuna
62
Gambar 4.2. Telaga Warna
4.1.5 Anak Rambut Gembel Proses tumbuhnya rambut gembel itu sendiri sangat meyakitkan bagi sang anak. Proses terjadinya rambut gimbel tersebut tidak terbawa dari lahir, melainkan ketika sang anak berumur 40 hari sampai 6 tahun. Proses ini biasanya berlangsung didahului oleh gejala-gejala seperti demam yang sangat tinggi, mengigau pada waktu tidur, atau mengromet dalam bahasa jawa, atau disebut gejala psikis. Bila dilihat dari diagnose medis,maka gejala-gejala tersebut justru mengacu adanya suatu penyakit yang sedang menyerang tubuh manusia, akibat proses tumbuhnya rambut gembel
63
tersebut. Bila rambut gembel tumbuh maka semua gejala tersebut akan lenyap dengan sendirinya dan perilaku sang anak lebih agresif. Menurut kepercayaan masyarakat sekitar bahwa anak yang berambut gembel tersebut adalah titipan dari kyai kaladete, bahwa anak tersebut memiliki keistimewaan tersendiri. Tipe rambut gembel: 1. Tipe Gembel Pari, yaitu model gembel yang tumbuh memanjang membentuk ikatan rambut kecil-kecil menyerupai bentuk padi. Tipe ini berasal dari jenis rambut lurus dan tipis. 2. Tipe Gembel Jata, yaitu corak gembel yang merupakan kumpulan rambut besar-besar tetapi tidak melekat menjadi satu. Model ini berasal dari jenis rambut lurus dan tebal. 3. Tipe Gembel Wedus (Gembel Debleng), yakni model gembel yang merupakan kumpulan rambut besar-besar melekat menyatu menyerupai bulu domba. Tipe gembel ini berasal dari jenis rambut agak berombak atau keriting.
64
Gambar 4.3. Gembel Pari
Gambar 4.4. Gembel Jata
65
Gambar 4.5. Gembel Wedus (Gembel Debleng)
4.1.6 Prosesi Ruwatan Rambut Gembel Sebelum diadakan pencukuran rambut gembel, terlebih dahulu dilakukan Prosesi Napak Tilas. Prosesi ini dilakukan satu hari sebelum pelaksaan pencukuran rambut gembel, dipimpin oleh sesepuh Pemangku Adat bersama beberapa tokoh mengadakan napak tilas tersebut ke beberapa tempat, yaitu Candi Dwarawati, Komplek Candi Anjuna, Sendang Maerokoco, Candi Gatot Kaca, Telaga Balai Kembang, Candi Bima, Kawah Sikidang, Komplek Petapaan Mandalasari (gua-gua di telaga warna), Kali Pepek, dan tempat pemakaman dieng. Dimana pada tempat tersebut dilakukan proses ritual doa kepada yang Maha Esa agar acara prosesi
66
pencukuran rambut gembel dapat berjalan lancar. Dan kemudian dilanjutkan doa-doa berserta syukuran kecil pada malam tersebut. Kirab Rambut Gembel adalah kegiatan perjalanan arak-arakan menuju tempat pencukuran rambut gembel dimulai dari rumah sesepuh pemangku adat dan berhenti di dekat kawasan Sendang Maerokoco atau Sendang Sendayu dengan berkeliling desa dimana anak-anak rambut gembel dikawal oleh para sesepuh, para tokoh masyarakat, kelompok kelompok seni tradisional, dan masyarakat. Barisan kirab terdiri dari pengawalan utama yaitu dua tokoh, sesepuh cucuk ing nyodoya kemudian pembawa dupa dan dua orang (tungku penolak bala) dan para prajurit pembawa permintaan anak gembel (pembawa sesajian atau ubo rampe), sesaji pada ritual ini yaitu buju abang, buju putih, buju kuning, buju ireng, robyong, buju kelang, buju sangga buana, buju bulak, buju panggang, buju kupat, rakan jajanan pasar, rakan buah-buhan, dengan hijau, pisang raja emas, kinang, dan alatnya yaitu alat rias, bermacam-macam cangkir berisi minumnan sebanyak 14 macam , dan bobo royang. Anak-anak rambut gembel dinaikan andong tradisonal dengan diikuti seni tradisional yang nanti akan menggelar pegelaran seninya baik sebelum prosesi maupun sesudah pencukuran. Jamasan Rambut Gembel. Jamasan atau pemandian anak gembel yang anak dicukur gembelnya pemangku adat pemangku adat atau para tokoh masyarakat bertempat di sumur Sendang Sedayu atau sengang maerokoco tepatnya diantara darmasala, komplek candi anjuna, untuk memasuki sumur sendang sedayu tersebut para anak gembel berjalan dilindungi oleh paying robyong dan dibawah kain kafan
67
yang panjang disekitar sendang maerokoco sambil diiringi musik gongso. Sesampai didepan sendang maerokoco dengan diambilnya air dari sendang tersebut dan ditambah dari Tuk (mata air) Bima Lukar, Tuk sibido, Tuk Sendang Buana/Kali Bana, Tuk Kencen, mata dari air Goa Sumur, mata air Kali Pepek, dan mata air Tuk Sibido yang disebut Tuk
68
4.2 Hasil Penelitian Dalam bagian ini, peneliti akan memaparkan dan membahas mengenai hasil penelitian yang diperoleh dari hasil wawancara dan pengumpulan data dari berbagai sumber yang membantu dalam melakukan penelitian ini. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan penelitian kepada satu orang tua, satu orang anak, satu orang pemangku adat, satu orang dari pihak Pemerintah daerah dan juga akademisi ilmu komunikasi dan akademsi antropologi. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode deskriptif, pendekatan kualitatif, yaitu mendeskripsikan dan mengintrepretasikan data yang diperoleh dari jawaba-jawaban yang diberikan oleh narasumber utama dan narasumber lainnya untuk mengetahui pola komunikasi masyarakat dalam menyosialisasikan ritual ruwatan potong rambut gembel di dieng-wonosobo. Sesuai
dengan
focus
penelitian,
sebagaimana yang tercantum dibawah ini.
maka
dituliskan
hasil
penelitian
69
4.2.1
Pola Komunikasi Orang Tua Anak Rambut Gembel Terhadap Anak Berambut Gembel Pola komunikasi yang terjadi dilihat dar hasil penelitian kepada orang tua
anak rambut gembel terhadap anak rambut gembel itu sendiri. Menjelaskan bagaimana anak rambut gembel mendapatkan pemahaman dan sosialisasi tentang ritual ruwatan potong rambut gembel ini. Anak rambut gembel mendapatkan pemahaman tentan ritual ruwatan ini pertama kali dari orang tuanya. Hal ini dilakukan oleh orang tuanya melalui komunikasi yang intens dan arahan akibat apabila rambut gembelnya tidak diruwat. Dalam suasana peneliti melihat ayahlah yang lebih dominan dalam memberikan pengertian dan pemahaman tentang ritual ruwatan, yang difokuskan pada mitos yang berlaku ”saya tau ritual ruwatan ini sendiri yoo dari orang tua saya mba, dari kecil saya udah tau tentang ritual ini mba, mitos-mitosnya kan pasti diceritaken sama orang tua saya mba, banyak juga anak rambut gembel disini mba. awalnya saya hanya tau dari cerita saja, yoo kadang ikut mba bantuin acara ruwatan ditetangga, tapi ee yoo mba sekarang saya malah ngalamin sendiri mba, anak saya rambutne gembel, pas si vita rambutne jadi gembel saya udah nda binggung lagi mba mesti gimana. Paling nanti saat vita diruwar saya panggil pak suripto, klo saya mengajarkan vita yaa kalo nda ruwat gembelnya anak terus tumbuh,saya bisa tau vita minta diruwat saat dia minta permintaan mba, klo belum minta permintaan berarti
70
vita belum mau diruwat, intinya ya mba ini semua dr hati nirani dari masing-masing”1
Cara penyampaian orang tua disini dalam menyampaikan ritual ruwatan ini. Tidak terdapat hambatan yang berarti, dimana orang tua hanya mengarakan dan memberikan informasi yang jelas. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan anak rambut gembel tentang penyosialisasikan dalam melalukan ruwatan ini. “hmm…vita taunya dari bapak, katanya kalo nda dipotong nanti vita sial terus, gembelnya juga masih ada hehe vita mau diruwat klo vita dikasih sesuatu, yang vita pengen”2 Menurut narasumber orang tua hanya menyampaikan pesan kepada anaknya tentang apa akibat apabila tidak diruwat. Faktor ini sangat berpengaruh terhadap pemahamannya tentang ruwatan ini. Hambatan yang terjadi dalam kedua narasumber ini tidak terdapat hambatan yang berarti, dimana orang tua hanya mengarahkan
dan memberikan informasi
tentang ritual potong rambut gembel ini sendiri. “saya hanya bisa menyampaikan aja mba, kalau soal mau diruwat atau nda diruwat ini semua tergantung dari hati nurani vita sendiri mba, contohne yoo mba saat vita minta permintaan, saya nda langsung percaya, kalau vita mintanya terus-menurus sampe berminggu-minggu baru artinya dia mau diruwat ee mba. Karna permintaan ini juga bukan sekerdar memberi hadiah tapi, ini sebagai penganti lah dari roh kyai kolodete.”3 1 2 3
Wawancara Orang tua anak gembel. Bapak Bambang Sutejo. Dieng-Wonosobo. 28 desember 2013. 13.20 WIB Wawancara Anak Rambut Gembel. Vita Kumala sari Dieng-Wonosobo. 28 desember 2013. 13.40 WIB Wawancara Orang tua anak gembel. Bapak Bambang Sutejo. Dieng-Wonosobo. 28 desember 2013. 13.20 WIB
71
Dari hasil wawancara terhadap orang tua dan anak rambut gembel diatas, maka penyampaian informasi dan pemahaman ritual ruwatan ini berlangsung secara satu arah. Dimana hanya orang tua yang menyampaikan pesan dan anak rambut gembel yang menerima pesan. Pemahaman kepada anak pun diperkuat dengan kondisi lingkungan, mitos yang ada di Dieng. Tidak adanya hambatan yang berarti dalam komunikasi terjadi saat menyosialisasikan ritual ruwatan potong rambut gembel kepada anaknya.
4.2.1.1 Pola Komunikasi Masyarakat Dieng Terhadap Ritual Ruwatan Potong Rambut Gembel Dalam terjadinya proses komunikasi dalam menyosialisasikan Ritual Potong Rambut Gembel di Dieng Wonosobo, pemangku adat selaku orang yang menentukan kapan atau hari baik dalam melaksanakan ritual tersebut menyampaikan pesan tersebut kepada PERDA dan karang taruna yang menamai diri mereka POKDARWIS (kelompok sadar wisata) lalu disampaikan kepada orang tua rambut gembel, masyarakat sekitar lalu di sebarkan kepada masyarakat di luar dieng kajajaran.
72
Gunanya untuk menyampaikan dan melestrarikan kekayaan budaya setempat serta meningkatkan pariwisata daerah setempat. “anak gembel iki bukan merupakan keterunan mba, nda mesti ketururan gembel, tapi merupakan titisan dari kyai kolodete sama nyi roro kidul, contohnya ya mba, Kulo nggih gembel estri kula nggih gembel ngantos tedak turun kulo tigo nggih gembel sedoyo nanging wayah kulo mboten niku mungkin sampun alam modern nggih mboten khatah penyakit(dahulu saya, istri dan anak juga gimbal namun cucu tidak gimbal mungkin karena sudah alam modern), anak yang rambut gembel mesti diruwat kalo nda ya menimbulkanbalak (kesialan) gitu ee mba”4 “He he he mboten ngertos nggih turene nek mboten diruwat nek dicukur mawon inggih tukul malih gimbal”(tujuan diruwat agar rambut tidak kembali tumbuh gimbal setelah dipotong)”5 Ritual Rutawan itu sendiri menitik beratkan kepada kewajiban menjalankan ruwatan tersebut karena kepercayaan masyarakat sekitar bahwa apabila tidak diruwat akan menimbulkan kesialan bagi sang anak dan membawa malapetaka bagi daerah tersebut karena masyarakat dieng percaya bahwa anak yang berambut gembel adalah titisan kyai kolodete, dan sampai sekarang anak yang berambut gembel tersebut ada. “nda ada yang tau ee mba pastinya awal mula rambut gembel,yang bapak tau mba, gendala atau ceritane pada zaman kerajaan kalijaga ee mba, ada tiga kyai penguasan tempat ini ee mba ada kyai walik, kyai karim dan kyai kolodete, para kyai iki masih keturunan Raja kalijaga, kyai kolodete iki yang menguasai dataran dieng ini mba, ketiga rambut mereka gembel ee mba, beliau bertitip pesan, apabila salah satu anak yang rambutnya gembel,
4 5
Wawancara Pemangku Adat Bapak Suripto, Dieng-Wonosobo. 28 desember 2013. 13.28. WIB Wawancara Orang tua anak gembel. Bapak Bambang Sutejo. Dieng-Wonosobo. 28 desember 2013. WIB
73
maka rambutnya harus di potong dengan cara diruwat ee mba, saat anak gembel meminta permintaan harus segera diruwat mba”6
Mitos atau kerpercayaan pada leluhur atau sesepuh masyarakat diengkajajaran bahwa Keturunan dari raja Kalingga inilah yang membangun candi Dieng. Masyarakat di daerah ini percaya apabila mempunyai anak yang berambut Gembel berarti anak tersebut titisan dari Keling (Kalingga). Anak titisan Keling ini menjadi anak kesayangan dayang yang menghuni kawasan Dieng. Hal ini menyebabkan anakanak yang mempunyai rambut gembel mendapat perlakuan istimewa dari orangtua masing-masing. Dan ini yang menyebabkan ritual tersebut tetep terjaga hingga sekarang. Dari pernyataan di atas unsur kebudayaan masyarakat Desa Dieng Kajajaran, tradisi ruwatan anak rambut gimbal yang menjadi fokus penelitian termasuk dalam unsur kebudayaan pertama yaitu sistem religi dan upacara keagamaan. Ruwatan merupakan tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan balak berdasarkan kepercayaan masyarakat terhadap adanya kekuatan besar diluar dirinya atau memohon keselamatan pada Yang Maha Kuasa. Rambut gembel ini tidak akan dipotong sebelum anak tersebut minta untuk dipotong. Permintaan potong rambut gembel biasanya diikuti dengan permintaan anak sesuai keinginan yang harus dituruti oleh orangtua. Mereka percaya apabila permintaan tersebut tidak dikabulkan akan membuat anak tersebut celaka. 6
Wawancara Pemangku Adat Bapak Suripto. Dieng-wonosobo. 28 desembember. 13.28. WIB
74
”Lah niku titik tikipun ajeng medhal gembel nggih kejang-kejang. Tiyang sepuh niku nggih prihantos, lajeng niku wonten tanda-tanda pas wekdal enjang-enjang niku wonten mendolo teng rambut, lajeng tiyang sepuh mpun mudheng nek bocah niki berati titipan gembel” (pada saat akan gimbal anak terkena penyakit panas dan kejang-kejang sampai membuat orang tua khawatir, namun apabila ternyata muncul rambut yang menggumpal maka orang tua sudah mengetahui si anak akan berambut gimbal)7
“waktu vita demam, panas tinggi nda sembuh-sembuh saya awalnya nda nyangka kalau vita nantinya rambutnya jadi gembel, tapi saat saya bawa ke puskesmas dieng-kulon, kata buk dokter nda apa-apa mba, tapi ee mba ga sembuh-sembuh padahal udah dikasih obat, dari situ saya udah mikir kalau vita nantinya rambutnya jadi gembel mba, eh bener ee pikiran aku nda berapa lama ngelinting jadi gembel, pas gembelnya keluar vita nda sakit lagi mba.”8
Menurut dua narasumber diatas orang tua anak rambut gembel dapat mengetahuigejala-gejala terjadinya rambut gembel tanpa pegetahuan secara formal, masyarakat dieng mengetahui gejala-gejala tersebut didapat dari kepercayaan dan lingkungan merupakan faktor dari pemahaman masyarakat akan ritual ruwatan tersebut. “Mangruwat ini akan terus berlangsung mba selama masih ada anak yang rambutne gembel, dan selama warga sini masih percayaan akan leluhur mereka terdahulu, mangruwat ini sendiri tujuannya bukan buat aneh-aneh mba, tujuannya memohon kepada sang agung, dijauhkan dari balak, diberikan tenrem mba, terhindar dari bencana, malapetaka, dan kejahatan. Ya setelah rambut gembel dipotong, orang tua dan masyarakat dieng 7 8
Wawancara Pemangku Adat Bapak Suripto, Dieng-Wonosobo. 28 desember 2013. 13.28. WIB Wawancara Orang tua anak gembel. Bapak Bambang Sutejo. Dieng-Wonosobo. 28 desember 2013. WIB
75
percaya bahwa anak-anak yang mempunyai rambut gembel akan memperloeh keselamatan, dikaruniai kesehatan dan kebahagiaan dalam dihidupnya kelak ee mba”9
Dari hasil wawancara Pemangku Adat dan Orang tua dari anak rambut gembel, maka penurunan ritual potong rambut gembel ini berlangsung secara turun menurun dari generasi ke generasi dan berlangsung secara dua arah. Dalam komunikasi dua arah ini. Dimana antara masyarakat dan pemangku adat saling bertukar fungsi dan informasi.
4.2.1.2 Pola Komunikasi Pemerintah daerah Pada Masyarakat Luar
Pola komunikasi yang tejadi dilihat dari hasil penelitian kepada dan PERDA adalah menjelaskan tentang bagaimana masyarakat dieng dan masyarakat di luar dieng mandapatkan pemahaman dan sosialisasi tentang ritual potong rambut gembel. Hal ini dilakukan dengan cara mengadakan acara ruwatan massal pada tiap tahunnya dilakukan pada bulan syura. Ini dilakukan untuk menyosialisasikan ritual ruwatan tersebut agar tetap terjaga kelestariannya. “hmm..ruwatan rambut gembel ini tadinya engga dengan acara besar seperti ini mba, dulu hanya selametan aja mba, bila si anak gembelnya 9
Wawancara Pemangku Adat Bapak Suripto, Dieng-Wonosobo. 28 desember 2013. 13.28. WIB
76
sudah minta khitan, kalau disini namanya khitan mba seperti sunatan, karna anak-anak yang berambut gembel ini kan permintaannya beda-beda mba ga sama waktu permintaanya gitu loh mba,.”10
Dari penuturan diatas bahwa ruwatan rambut gembel itu sendiri berawal dilakukan secara sederana dan kekeluargaan, hanya menggundang pemangku adat, sanak saudara dan tetangga disekitar rumah. “hmm…awalnya ruwatan rambut gembel dilaksanakan secara kekeluargaan, tapi sejak tahun 2009 Perda memutuskan untuk menggambil alih acara ruwatan ini mba, dikarenaken banyak potensi wisata yang engga diketahui masyarakat diluar daerah dieng mba, contohne telaga warna, candi anjuna, kawah sikidang dll, masing-masing memilik ceritane masingmasing mba”11 ”Nggih perlu niku nguri-uri kabudayan Jawa. Ruwatan mboten ditingali saking ghaibipun nanging kabudayanipun ingkang sampun turun-temurun” (ruwatan perlu dilestarikan karena merupakan tradisi turun temurun yang dilihat dari sisi kebudayaan turun temurun bukan dari sisi ghaib.12 Ruwatan ini sendiri merupakan kebudayaan turun-menurun dan harus dipertahankan ke generasi berikutnya. Upaya-upaya yang dilakukan dalam mempertahankannya adalah dengan cara menyosialisasikan ritual ruwatan tersebut agar masyarakat diluar dieng mengetahui kebudayaan endemik di dieng itu sendiri. Maka dalam menyosialisasikannya harus didukung oleh semua pihak baik dari pemerintah daerah, petuah atau pemangku adat dan masyarakat itu sendiri harus menyatukan persepsi yang sama guna membuat potensi wisata didaerah tersebut. 10 11 12
Wawacara PNS (Kandepbudpar Kab. Wonosobo). Bapak Abidin. Dieng-wonosobo. 27 Desember 2013. 14.40 WIB Wawacara PNS (Kandepbudpar Kab. Wonosobo). Bapak Abidin. Dieng-wonosobo. 27 Desember 2013. 14.40 WIB Wawancara Pemangku adat. Bapak Suripto. Dieng-Wonosobo. 28 Desember 2013. 13.28 WIB
77
“hmm… gini mba kan perda yang menggelola ritual ruwatan itu sebenernya masing-masing sudah dapat tugasnya masing-masing ee mba, contone yo mba perda dan pak suripto (pemangku adat) rapat untuk menentukan hari baik dan tanggal melaksanakan rutawan anak gembel ini mba, kalau udah ditentukan baru lah perda membagi-bagi tugas, kalau pak suripto (pemangku adat) itu bertugas menyiapkan sesaji,permintaan si anak gembel sama hmm…memimpin cara, kalau masyarakat sendiri per-RT sudah dapat bagiannya masing-masing mba, pemudane kalau disini di sebutnya POKDARWIS mba (kelompok sadar wisata) yang menyiapkan jalannya acara, ibu-ibu menyiapkan umba rampe, ada juga keseniannya mba ada kuda lumping, rampak buta, tari topeng dieng pokoke banyak mba.”13 Hambatan yang terjadi pasti akan ditemui dalam melaksanakan ritual ruwatan, ini yang terjadi pada penuturan narasumber yang terjadi. Hambatan hanya dalam pelaksanaanya bukan dari penyosialisasiannya. “hmm… hambatan itu pasti ada toh mba. Anak gembel sendiri dasarnya kan bisa diruwat jika dia sudah minta permintaan mba, dalam acara tahunan ruwatan massal ini komponen yang paling utama itu yoo anaknya, tapi kan ga semua anak pada tanggal itu sudah mau diruwat mba, beda dengan acara khitanan kalau khitanan siap atau siap bisa di khitan kapan aja ee mba, tapi kalau ini kan beda sekali, maksudnya yoo mba, dalam satu desa ada 8 anak yang rambute gembel tapi yang mau diruwat yoo hanya 5 saja, sebenernya nda masalah mba, ini kan acara bagi anak yang mau diruwat saja, yoo kalau pun hanya 3 anak saja ya nda apa apa mba, acaranya akan tetep jalan mba. Kalau soal pelaksanaannya alhamdulilah sangget nda ada mba kalau pun ada bisa diatasi mba.”14 Dari hasil wawancara kepada narasumber diatas maka proses pola komunikasi pada ritual ruwatan potong rambut ini sendiri melalukan pendekatan antarpribadi antara Perda, Pemangku adat serta masyarakat setempat harus
13 14
Wawacara PNS (Kandepbudpar Kab. Wonosobo). Bapak Abidin. Dieng-wonosobo. 27 Desember 2013. 14.40 WIB Wawacara PNS (Kandepbudpar Kab. Wonosobo). Bapak Abidin. Dieng-wonosobo. 27 Desember 2013. 14.40 WIB
78
menyatukan persepsi yang sama. Agar tujuan awal untuk menyosialisasikan ritual ruwatan tersebut bisa berjalan. Dan kemudian diperkuat dengan kondisi lingkungan serta mitos yang ada di daerah tersebut. Tidak ada hambatan yang berarti dalam komunikasi yang terjadi saat menyosialisasikan ritual ruwatan potong rambut gembel. Berikut ini tergambarkan proses komunikasi Perda, Pemangku Adat dan masyarakat sebagaimana yang tercantum dalam simulasi bagan pola komunikasi Perda, Pemangku Adat dan Masyarakat untuk menyosialisasikan ritual ruwatan kepada masyarakat baik dalam daerah dataran tinggi dieng maupun di luar dieng.
Gambar.4.6 Pola komunikasi Perda, Pemangku Adat dan masyarakat dalam menyosialisasikan acara tahunan ritual potong
rambut gembel.
PEMANGKU ADAT
PERDA
MASYARAKAT
79
Bagan diatas menunjukan bahwa pemerintah daerah dan pemangku adat mempunyai kedudukan yang sama namun salah satu dari keduanya bisa menjadi pimpinan dan masyarakat dapat menerima dan mengirim pesan terhadap orang lain. Uraian diatas, diperkuat dengan penjelasan yang disampaikan oleh seorang akademisi ilmu komunikasi yang berperan aktif dalam mengajar ilmu komunikasi disebuah perguruan tinggi swasta Jakarta. Dalam penjelasan beliau menguraikan komunikasi
pemerintah
daerah,
pemangku
adat
dan
masyarakat
dalam
menyosialisasikan ritual ruwatan potong rambut gembel ini. “Perda, pemangku adat dan masyarakat disini kan intinya ingin menyampaikan pesan bahwa ada ritual ruwatan di Dieng ke masyarakat luar toh. Nah…makanya mereka harus berkolaborasi menyamakan persepsi untuk menyosialisasikan ritual ruwatan ini, disini pemangku adat dan pemerintah mempunyai kedudukan yang sama dalam memberikan massage nah receiver ini kan masyarakat dari masyarakat mereka juga bisa mengirimkan massage ke masyarakat luar. Dalam pola komunikasi itu ada struktur jaringan pola komunikasi. Nah dari yang saya lihat bahwa ini termasuk skruktur pola komunikasi Y yaitu tidak adanya pimpinan yang jelas salah satu bisa saja berubah menjadi pemimpin, ini yang disampaikan oleh pemangku adat dan pemerintah dareah. Anggotanya adalah masyarakat yang menerima pesan dan mengirim pesan”15 Dari penjelasan menurut narasumber, maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah, pemangku adat dan masyarakat dalam menyosialisasikan ritual potong rambut gembel dilakukan dengan berbagai macam cara dan juga terdapat faktor penghambat. Cara yang digunakan adalah menyatukan persepsi dan berkerja sama dalam menyosialisasikan ritual ruwatan
15
Wawancara Akademisi Ilmu Komunikasi. Ibu Nawiroh Vera. Jakarta 3 juli 2014. 12. 50 WIB
80
potong rambut gembel dengan mengadakan acara tahunan seperti menampilkan kesenian yang ada di Dieng tersebut. Faktor penghambat komunikasi yang dilakukan oleh pemerinta daerah, pemangku adat dan masyarakat adalah pesan atau massage yang disampaikan kepada masyarakat luar dapat berjalan efektif atau tidak.
4.2.2
Sosialisai Mayarakat Dieng pada Ritual Ruwatan Potong Rambut Gembel Dalam proses sosialisasi ritual ruwatan potong rambut gembel di dieng
terdapat dua terdapat dua cara yang digunakan. Selain melalui pemberian pemahaman lewat proses berkomunikasi, dan proses enkulturasi. Proses enkulturasi ini dimana suatu induvidu memahami kebudayaannya dimulai dari keluarga, lingkungan dan norma yang berlaku dan kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri. Masyarakat hanya perlu menurunkan budaya ritual ruwatan dengan cara mewariskan dan mempertahankan ritual ruwatan ini. Seperti yang diungkapkan oleh narasumber bahwa pemahaman mereka dalam ritual ruwatan potong rambut gembel sudah diturunkan secara turun-menurun. ”saya tau ritual ruwatan ini sendiri yoo dari orang tua saya mba, dari kecil saya udah tau tentang ritual ini mba, mitos-mitosnya kan pasti diceritaken sama orang tua saya mba, banyak juga anak rambut gembel disini mba. awalnya saya hanya tau dari cerita saja, yoo kadang ikut mba bantuin acara ruwatan ditetangga, tapi ee yoo mba sekarang saya malah ngalamin sendiri mba, anak saya rambutne gembel, pas si vita rambutne jadi gembel saya udah
81
nda binggung lagi mba mesti gimana. Paling nanti saat vita diruwar saya panggil pak suripto16.”17
Dengan peryataan dari narasumber, pemahaman mereka terhadap ritual tersebut diperoleh dari cara mereka melihat, mendengar, memahami sendiri kebudayaan yang berlangsung dalam masyarakat dieng. Pesan atau messagepada ritual ruwatan potong rambut gembel terbentuk pada agen-agen sosialisasi yaitu keluarga, kelompok bermain, pendidikan. Ini yang tergambar pada narasumber bahwa narasumber dirinya mengetahui ritual ruwatan tersebut dari proses sosialisasi pada keluarganya yang diturunkan secara turun menurun dan terbentuk pada kelompok bermain dan pendidikan. Masyarakat dieng pun percaya bahwa ritual ruwatan ini di wariskan secara turun-menurun dari orang tua hingga sekarang dengan tujuan menghilangkan sial dan memohon keselamatan pada Yang Maha Esa. Mereka percaya bila anak yang berambut gembel tidak diruwat maka kesialan dan sanki social akan menimpa. Ini yang disampaikan oleh narasumber. “Ruwatan akan dilakukan saat anak sudah minta dipotong dan minta permintaan khusus mba, vita belum dipotong rambutnya karna dia belum minta permintaan mba, jadi saya belum berani ngeruwat vita, karna saya takut rambut gembelnya balik lagi ee mba, kasian soalnya mba vita sakitsakitan kalo rambut gembel tumbuh lagi, tapi kalau vita sudah minta
16
Suprito: Nama pemangku adat dieng kajajaran
17
Wawancara Orang tua anak gembel. Bapak Bambang Sutejo. Dieng-Wonosobo. 28 desember 2013. WIB
82
permintaan khusus sama dipotongnya pake acara ruwat pake umbo rampe18 rambutnya nda akan balik gembel lagi mba.”19
Menurut ungkapan dari narasumber bahwa ruwatan ini dibedakan menjadi dua versi yaitu ruwatan islami dan ruwatan tradisional. Adanya rituak secara islam ini memberikan hasil yang sama hanya perbedaan keyakinan dari masyarakat dieng. Ruwatan islam dilaksanakan dengan selametan20 yang bertujuan memohon keselamatan pada Allah SWT tidak ada unsur mistik dan klenik. Dan ruwatan tradisional dibedakan menjadi dua yaitu dilakukan secara pribadi dan kelompok (massal). Ruwatan secara pribadi biasanya dilakukan oleh orang tua anak rambut gembel yang mampu karena memerlukan banyak biaya, ruwatan kelompok biasanya dilakukan pada bulan agustus atau bulan syura ini di biayai oleh pemerintah daerah sekitar. Perbedaan dari kedua versi ruwatan ini sendiri tidak jauh berbeda hanya saja ruwatan versi islam ini di pimpin oleh ulama atau tokoh agama setempat dan menggunakan tatacara islam. Ruwatan tradisonal menggunakan tatacara kebudayaan jawa dan dipimpin oleh pemangku adat setempat. “gini loh mba, ruwat islam atau ruwat tradisional ini semua tergantung dari keyakinan masing-masing mba, ada yang masih percaya klenik yoo pake ruwatan tradisional kalau yang nda percaya yoo selamtean aja mba, toh semuanya juga tujuannya memohon keselamatan pada Gusti Allah…hehehe yoo kalau saya pribadi Nggih manut keadaan no mbak,
18 19 20
Umbe rampe: komponen sesajian dari ritual ruwatan potong rambut gembel. Wawancara Orang tua anak gembel. Bapak Bambang Sutejo. Dieng-Wonosobo. 28 desember 2013. WIB Selametan: selametan atau wilujengan adalah suatu upacara pokok dalam system religi orang Jawa.
83
keadaane wong tuane niku enten niko dirame-rame tapi kulo tiyang mboten gadah nggih paling sawontene mawon nggih cukup tiyang sekampung”21
Masyarakat dieng saat ini lebih banyak menggunakan ruwatan secara tradisional, dikarenakan mereka lebih memilih dengan tatacara Jawa. Pada awalnya masyarakat menggunakan ruwatan tradisional dengan tatacara Jawa, namun saat masuknya agama islam maka ritual ruwatan ini sendiri bercampur kebudayan yang disebut alkultrasi22 yang secara ilmu antropologi di sebut Agama Jawi. Seperti penuturan narasumber.
“dieng itu mempunyai kebudayaan ruwatan, yang dari dulu sebelum adanya kebudayaan islam masuk mereka masih dipengaruhi kebudaayan hindu, lalu masuklah kebudayaan islam, dan kebudayaan ini beralkulturasi menjadi islam kejawen atau bisa di sebut agama jawi, hmm….agama jawi ini adalah setaraf dengan sistem budaya dari agama yang dianut oleh orang jawa,orang awam yang beragami jawi dalam melakukan berbagai aktifitasnya sehari-hari, rata-rata dipengaruhi oleh keyakinan, konsepkonsep, pandangan, nilai-nilai budaya yang kebanyakan berada didalam alam pikirannya sendiri. Agama jawi mengajarkan agama islam seutuhnya sama seperti islam lainnya tapi… mereka masih percaya konsep primbon, kejawen dan lain-lain, ini kan bisa dilihat masih adanya unsur kebudayaan hindu yaa”23 Ritual ruwatan potong rambut gembel merupakan kebudayaan Dieng, ruwatan ini akan terus-menurus ada keberadaan saat masyarakat dieng percaya bahwa ruwatan rambut potong gembel ini akan mendatangkan kesejahteraan dan mehilangkan 21 22 23
Wawancara Orang tua anak gembel. Bapak Bambang Sutejo. Dieng-Wonosobo. 28 desember 2013. WIB Alkuturasi: Penyatuan dua kebudayaan menjadi satu. Wawancara Akademisi Ilmu Antropologi. Ibu Desiana. Jakarta 23 Juni 2013 WIB
84
balak24. Sanki sosial juga akan ada karena masyarakat dieng percaya bahwa apabila rambut anak gembel tidak diruwat maka akan ada kesialan bagi sang anak dan lingkungan masyarakat dieng. Sebagaiman ungkapan narasumbur sebagai berikut.
“ruwatan ini pasti akan terus ada kalo masyarakat dieng sendiri percaya akan ruwatan tersebut, entah sosialisainya secara turun-menurun, lingkungan sekira juga mempengaruhi dari suatu keyakinan seseorang. Gini..gini kan ruwatan ini terbentuk karna adanya mitos yang ada didalam masyarakat ini sendiri. Nah kalo masyarakat ini sendir ga percaya akan sanki kalo ga melakukan ruwatan itu, ya tentu saja ruwatan ini akan mati ga ada lagi gitu loh, ini kebudayaan bentuk abstrak, ini sesemua terbentuk dari keyakinan masyarakat dieng yang sanki yang berlalu itu sendiri. Bentuk sosialisainya ya melalui keluarga, tempat bermain, dan lingungan sekitar.”25
Dari hasil wawancara yang didapat dari narasumber dapat disimpulkan bahwa proses sosialisasi masyarakat dieng pada ritual ruwatan potong rambeut gembel, dilakukan dalam agen-agen sosialisai yaitu: keluarga, tempat bermain dan lingkunganya sendiri. komunikasi yang digunakan berlangsung secara terus-menurus. Pendekatan sosialisasi yang dilakukan melalui pendekan komunikasi contoh nyata yaitu dimana seseorang melihat dan ada dalam ritual ruwatan tersebut. Dalam penelitian, suasana yang tergambarkan dalam lingkungan masyarakat dieng sangatkal kental dengan adat istiadat setempat. Tergambar keluarga-keluarga dari masayarakat dieng yang mejunjung nilai-nilai dan norma yang berlalu. 24 25
Balak: Kesialan. Wawancara Akademisi Ilmu Antropologi. Ibu Desiani. Jakarta 23 Juni 2013 WIB
85
Melakukan kegiatan sehari-hari seperti bertani, berternak karena masyoritas masyarakat dieng adalah petani. Maka dengan itu tergambarlah proses komunikasi masyarakat dieng pada ritual ruwatan potong rambut gembel terhadap keturunan selanjutnya sebagaimana yang tercantum dalam simulasi bagan pola komunikasi masyarakat dieng terhadap keterunan selanjutnya seperti
86
Gambar 4.7. Pola komunikasi masyarakat dieng terhadap keturunan selamjutnya
Filsafat, mitos, hukum adat, tradisi.
Lingkungan
Leluhur
Adat Istiadat setempat
Pendidikan orang tua
Informasi
Orang tua
Pendidikan
Ketururan
Lingungan pertemanan
87
4.2.2.2 Sosialisai Pemerintah Daerah Pada Masyarakat Luar
Dalam proses sosialisasi ritual ruwatan potong rambut gembel pada pemerintah
daerah
terhadap
masyarakat
luar.
Pemerintah
daerah
ingin
menyosialisasikan ritual ruwatan yang telah merupakan warisan kebudayaan (cultural heritage) menjadi sebuah identitas dari kebudayaan dieng. Maka pemerintah daerah
maupun masyarakat di Dieng bersama-sama menyosialisasikan ritual ruwatan potong rambut gembel demi mewujudkan identitas budaya Dieng. Bentuk-bentuk penyosialisasian dari pemerintah didukung oleh internal dan eksternal. Faktor internal yang didukung oleh masyarakat dieng sendiri dan faktor eksternal adalah alat-alat pendukung sosialisasi ritual ruwatan. Berikut penuturan dari narasumber. “hmm…kalau dari pemerintah sendiri awalnya membuat wancana ke pemangku adat dan masyarakat, bahwa ruwatan ini bukan hanya harus dilestarikan dan dipertahanan tapi ini merupakan kekayaan daerah dieng mba, yang ga akan ditemui di daerah lain, pertama-tama pemerintah memovasi masyarakat dalam ikut acara ini mba"26 Pemerintah menggunakan masyarakat dalam membantu menyosialisasikan ritual ruwatan potong rambut gembel ini. Dengan mangadakan dieng culture festival, 26
Wawacara PNS (Kandepbudpar Kab. Wonosobo). Bapak Abidin. Dieng-wonosobo. 27 Desember 2013. 14.40 WIB
88
yaitu acara tahunan yang diselengarakan oleh pemerintah daerah gunanya menarik wisatawan datang. Dieng culture ini bukan hanya mempromosikan ritual ruwatan tapi mempromosikan kekayaan wisata alam dan kesenian yang ada di Dieng. Lalu pemerintah memotivasi masyarakat Dieng ikut berperan sebagai panitia penyelengara tradisi ruwatan rambut gimbal. Sebagai panitia pemuda Dieng berperan dalam pengelolaan dana dan publikasi. Panitian pemuda dieng dinamai POKDARWIS (kelompok sadar wisata) mereka yang menggelola acara tersebut.
Gambar 4.8. Logo POKDARWIS
Dalam dieng culture festival hal yang paling utama adalah mengadakan ritual ruwatan rambut gembel ini karena ritual ini wajib dilaksanakan. Namum prosesi dari ritual potong rambut gembel ini di iringi oleh kesenian-kesenian yang ada di dieng
89
wonosobo. Khusus di Dieng Kajajaran ini setiap RT menentukan beberapa kesenian sebagai media untuk menarik wisatawan. Sebagai mana penuturan dari narasumber.
“Acaranya banyak disini, setiap RT menampilkan kesenian ada rampak buta, ada kuda lumping dan lainnya. Setiap RT mementaskan kesenian masing-masing”27 Banyak kesenian yang ditampilkan seperti kuda lumping, rampak buta, dan tari topeng Dieng bertujuan untuk memperkenalkan kebudayaan daerah sebagai ciri khas masyarakat dataran tinggi Dieng dan mendukung dalam ritual ruwatan potong rambut gimbal. Para pemuda yang ikut organisasi karang taruna, pemangku adat dan pemerintah daerah memutuskan agar penyelenggaraan ruwatan rambut gimbal secara massal dilaksanakan pada bulan Agustus bersamaan dengan perayaan 17 Agustus. Sehingga acara ruwatan rambut gimbal diselenggarakan secara bersamaan dengan acara-acara lainnya yang berpotensi untuk mengundang wisatawan. Seperti yang diungkapkan oleh narasumber. “Dari golongan pemuda karang taruna telah mengambil keputusan bersama bahwa ruwatan diadakan pada bulan Agustus, ngiras-ngirus cara wong jawane mbak, sekali jalan kita ada beberapa acara”28
Pendanaan ruwatan didapat dari provinsi dan dari donatur yang akan mengadakan penelitian tentang ruwatan anak rambut gimbal. Panitia menyebar 27 28
Wawacara PNS (Kandepbudpar Kab. Wonosobo). Bapak Abidin. Dieng-wonosobo. 27 Desember 2013. 14.40 WIB Wawacara PNS (Kandepbudpar Kab. Wonosobo). Bapak Abidin. Dieng-wonosobo. 27 Desember 2013. 14.40 WIB
90
undangan ke berbagai kota yang berkaitan dengan pariwisata. Undangan disebar ke berbagai kota yang ada kaitannya dengan pariwisata sehingga ritual ruwatan potong rambut gembel sangat ramai. Dalam sosialisasi pada masyarakat luar tentang adanya acara ritual ruwatan potong rambut gembel dibuat pamflet, baliho, publikasi di media massa dan media elektronik, mengembangkan tourist information centre. Pokdarwis mempunyai akun web resmi dieng culture festival dimana para wisatawan dapat Tanya-jawab tentang acara dieng culture festival. “Kita biasanya membuat pamflet di sekitar Dieng, lalu Pokdarwis membuat rundown acara”29
09.00 – 09.15
DCF 2014 Opening Ceremony
09.15 – 09.30
Napak Tilas
09.30 – 10.30
Jalan Sehat & Pelepasan Balon Udara
10.30 – 11.00
Minum Purwaceng Masal
11.00 – 12.00
- Kunjungan UKM EXPO - Screening Film Dieng Ke-1
12.00 – 13.00
Break
13.00 – 15.00
- Bakar Jagung & Sky Lantern Party - Screening Film Dieng Ke-3
15.00 – 17.30
29
Jazzatasawan
Wawacara PNS (Kandepbudpar Kab. Wonosobo). Bapak Abidin. Dieng-wonosobo. 27 Desember 2013. 14.40 WIB
91
Minggu 31 Agustus 2014 17.30 – 19.30
Kirab Budaya
19.30 – 20.00
- Jamasan Anak Rambut Gembel - Screening Film Dieng Ke-4
20.00 – 23.00
Prosesi Pencukuran Rambut Gembel
08.00 – 10.00
Ngalap Berkah
10.00 – 10.15
Break
10.15 – 11.30
Pelarungan Rambut Gembel - Screening Film Dieng Ke-5
12.00 – 12.30
- Gelar Budaya Tradisional - Penganugerahan Kompetisi Film Dieng
14.00 – 17.00
Selesai
Gambar. 4.9. Rundown dieng festival
92
Gambar 4.10 Web Resmi Dieng Culture Festival
Gambar 4.11 Poster Dieng Culture Festival
93
Gambar 4.12 Baliho Dieng Culture Festival
Gambar 4.13 Pamflet Dieng Culture Festival
Pemerintah daerah, pemangku adat dan masyarakat meliliki peran masingmasing. Pemerintah daerah yang mendanai dan memberi dukungan. Pemangku adat yang memimpin prosesi ritual ruwatan dan menyiapkan sesajian dan masyarakat yang menjalankan acara. Biasanya ada sesajen dan permintaan yang diminta anak gimbal. Walaupun memimpin ruwatan namun pemangku adat tidak bertugas memotong
94
rambut anak gimbal karena terkadang banyak pejabat pemerintahan yang datang sebagai tamu kehormatan untuk melakukan pemotongan rambut gimbal. “Kulo nggih hehe, biasane ken mimpin ture tiyang-tiyang kulo niku sesepuh kados niku nggih nyiapke macem-macem niko” (saya bertugas menyiapkan sesaji dan permintaan anak gimbal serta memimpin prosesi pemotongan rambut anak gimbal)” Kulo mboten nyukur nggih biasane pak bupati nopo sinten saking dinas pariwisata” (Saya tidak bertugas memotong rambut gimbal. Biasanya ada tamu kehormatan misalnya Bupati, kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan yang memotong rambut gimbal)30
Dalam proses menyosialisasikan ritual ruwatan ini ke masyarakat luar tidak ada hambatan yang berarti, faktor hambatan bukan dari internal namun dari faktor ekternal seperti kurang efektifnya promosi yang digunakan contohnya seperti pembuatan design yang kurang menarik, pendanaan yang kurang, faktor alam. Tidak adanya hambatan dari faktor internal dikarenakan pemerintah daerah, pemangku adat dan masyarakat berkerja sama dan menyatukan persepsi guna kepentingan bersama. Seperti yang dituturkan oleh narasumber.
“kalo hambatan sih sepertinya ga ada ya mba selama menjalankan dieng culture festival ini… paling-paling kaya baliho yang kurang menarik web yang kurang dikunjungi, kita kan ada roadshow ya mba memyosialisasiakan kebudayaan kita ke luar daerah seperti di solo, yogya
30
Wawancara Pemangku adat. Bapak Suripto. Dieng-Wonosobo. 28 Desember 2013. 13.28 WIB
95
lupa saya kota-kotanya selama menyalankan roadshow kita ga ada hambatan mba…klo dari faktor eksternal hanya itu aja mba kayanya…”31
Pemerintah daerah, pemangku adat dan masyarakat bersama-sama berkerja sama untuk membentuk identitas sosial agar ritual ruwatan potong rambut gembel, cagar wisata seperti peninggalan candi-candi dan kesenian-kesenian yang ada di Dieng diketahui oleh masyarakat luar. Identitas sosial ini sendiri merupakan konsepso yang diyakini tentang kedirian kemudian harapan dan pendapat orang lain yang membentuk identitas sosial ini. Ini lah dimaksudkan oleh masyarakat di Dieng untuk membentuk identitas dari kebudayaan yang ada.
Tentang identitas sosial masyarakat Dieng, akademisi ilmu antropologi memiliki pendapat yang sama tentang uraian diatas. Beliau lebih menekankan pada arti identitas sosial dan pentingnya identitas sosial.
“Identitas sosial disini bahwa identitas sosial merupakan konsep sebagai sesuatu hal yang menghubungkan pada pengetahuan individu kelompok sosial tertentu dan pada emosi serta penilaian yang dikibatkan oleh anggota kelompok tersebut. Dari pengertian tersebut identitas sosial menggambarkan individu memiliki posisi yang khusus dalam masyarakat. Sumber daya yang membentuk materi bagi proyek identitas yaitu bahasa, produk budaya, dan berkarakter sosial. Nah… di dieng kan mempunyai produk budaya yaitu rambut gembel, peninggalan candi-candi dan wisata alamnya kan, maka dari itu masyarakat dieng ini mempunyai identitas sosialnya sendiri agar dapat diterima olah masyarakat luar, dalam arti kata
31
Wawacara PNS (Kandepbudpar Kab. Wonosobo). Bapak Abidin. Dieng-wonosobo. 27 Desember 2013. 14.40 WIB
96
dia ingin hak paten bahwa rambut gembel ini atau negeri seribu dewa ini hanya di dieng”32
Dengan penjelasan tersebut diatas, maka adapat ditarik kesimpulan dan jugagambaran bagai mana pola komunikasi pemerintah daeerah, pemangku adat dan masyarakat terhadap masyarakat luar dalam menyosialisasikan ritual ruwatan potong rambut gembel di Dieng wonosobo sebagaimana masyarakat dieng ingin membentuk identitas sosial pada daerahnya. Dalam penelitian ini suasa tergambarkan tentang pemerintah daerah, pemangku adat dan masyarakat dimana masing-masing memiliki tugasnya dan meraka bergotong-royong membuat acara Dieng Culture Festival. Ada yang bertugas menyiapkan umbe rampe, menyiapkan kesenian-kesenian, menyiapkan alat-alat promise dan lain-lain. Dengan penjelasan tersebut maka dapat digambarkan pola komunikasi pemerintah daerah, pemangku adata dan masyarakat luar dalam menyosialisasikan ritual ruwatan potong rambut gembel di Dieng wonosobo.
Gambar 4.14 Pola Komunikasi dan sosialisasi permerintah daerah terhadap masyarakat luar.
32
Wawancara Akademisi Ilmu Antropologi. Ibu Desiani. Jakarta 23 Juni 2013 WIB
97
Warisan Budaya Dieng
Pemerintah daerah
Pemangku Adat
Masyarakat
Sosialisasi
Identitas sosial
98
4.3
Pembahasan
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tipe deskriftif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif hanyalah memaparkan situasi atau peristiwa. Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi.
Dalam penelitian ini paparan situasi komunikasi yang dilakukan oleh masyarakat Dieng dalam menyosialisasikan ritual ruwatan rambut didalam masyarakat itu sendiri tergambar dalam bagan hasil penelitian. Terdapat perbedaan komunikasi yang dilakukan masyarakat di Dieng dalam menyosialisasikan ritual potong rambut gembel terhadap masyarakat luar. Dapat kita simpulkan bahwa perbedaan tersebut, dipengaruhi oleh keinginan masyarakat dieng dalam membentuk identitas sosial.
Orang tua anak rambut gembel menggunakan pola komunikasi dua arah. Pola komunikasi dua arah atau timbal balik (two way traffic communication) yaitu komunikator dan komunikan menjadi saling tukar fungsi mereka. Komunikator pada tahap pertama menjadi komunikan dan pada tahap berikutnya saling bergantian fungsi. Namun pada hakekatnya yang memulai percakapan adalah komunikator utama, komunikator utama memiliki tujuan tertentu melalui poses komunikasi tersebut.
99
Pola komunikasi yang diterapkan pemangku adat terhadap masyarakat atau orang tua anak rambut gembel ini menggunakan komunikasi intra pribadi (interpersonal communication) yaitu komunikasi yang ada didalam di seseorang berupa pengolahan informasi melalui panca indra dan sistem saraf. Dimana komunikan telah mengetahui mitos dan ritual yang berlaku di daerah tersebut yang disosialisasikan oleh agen-agen sosialisasi seperti keluarga, tempat bermain, pendidikan dan lingkungan. Pola komunikasi yang digunakan oleh komunikator adalah komunikasi dua arah (two way communication) dimana komunikator dan komunikan bertukar fungsi namun komunikan telah mengetahui pesan dari komunikator sebelumnya dikarenakan mitos dari ritual ruwatan tersebut.
Pola
komunikasi
yang
digunakan
oleh
pemerintah
daerah
dalam
menyosialisasikan ritual ruwatan potong rambut gembel terhadap masyarakat luar digunakan struktur pola komunikasi Y yaitu dimana pemerintah daerah, pemangku adat menjadi pimpinan dan masyarakat menjadi anggotanya. Dimana pemerintah daerah mengelola ritual ruwatan rambut gembel ini menjadi sebuah identitas sosial. Dimana komunikator adalah pemerintah daerah dan pemangku adat dan komunikan adalah masyarakat, namum komunikan disini bisa menerima dan mengirim pesan atau massage kepada masyarakat luar.
100
Orang tua anak rambut gembel dan pemangku adat mempunyai kesamaan dalam melakukan sosialisasi ritual ruwatan potong rambut gembel. Ritual ruwatan merupakan bagian tradisi dari dataran tinggi Dieng yang diturunkan secara turunmenurun. Karena mereka mempercayai mitos dari rambut gembel ini. Secara ilmu antropologi ini disebut proses sosialisai Enkulturasi dalam proses ini seorang individu memperlajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-adat, sistem agama dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Proses terbentuknya suatu kebudayaan dalam masyarakat itu karena adana pimikiran itu sendiri, pengetahuan dan artefak. Dimana masyarakat setempat memdapatkan sosialisasi ritual ruwatan ini dari agen-agen sosialisasi yaitu keluarga, tempat bermain, pendidikan dan lingkungan. baik orang tua anak rambut gembel atau pemangku ada berperan penting dalam menyosialisasikan ritual ruwatan ini sejak anak berambut gembel menjadi gembel.
Ritual ruwatan ini mempunyai dua versi yaitu ritual potong rambut gembel islami dan ritual ruwatan potong rambut gembel secara tradisional, tidak ada perbedaan yang berarti dalam kedua versi ini. Hanya saja tatacara atau prosesi yang berbeda. Kesimpulan dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan ritual ruwatan ini dipengaruhi oleh alkuturasi. Alkuturasi adalah kebudayaan luar atau kebudayaan asing yang diterima dan diolah oleh kebudayaan sendiri. Dahulu masyarakat dieng menggunakan tatacara ritual ruwatan tradisional prosesinya memakai tatacara jawa. Namun semenjak masuknya islam di tanah jawa, kebudayaan
101
ini beralkuturasi memjadi ritual ruwatan islami yang menggunakan tatacara agama islam seperti tahlilan. Ritual potong rambut gembel yang menggunakan tatacara islami ini disebut Agama Jawi. Agama jawi ini adalah setaraf dengan sistem budaya dari agama yang dianut oleh orang jawa,orang awam yang beragami jawi dalam melakukan berbagai aktifitasnya sehari-hari, rata-rata dipengaruhi oleh keyakinan, konsep-konsep, pandangan, nilai-nilai budaya yang kebanyakan berada didalam alam pikirannya sendiri. Agama jawi mengajarkan agama islam seutuhnya sama seperti islam lainnya namun masih percaya konsep primbon, kejawen dan lain-lain, ini kan bisa dilihat masih adanya unsur kebudayaan hindu. Proses dari sosialisasi kedua versi ritual ruwatan sama.
Akademisi ilmu antropologi menggatakan bahwa ritual ruwatan rambut gembel akan turun-menurun ada keberadaanya jika masyarakat setempat masih mempunyai kepercayaan akan mitos dibalik rambut gembel dan sanki budaya yang berlaku didalam masyarakat tersebut. Maka sosialisasi yang dilakukan oleh agenagen sosialisasi akan tetap berjalan
Proses sosialisasi pemerintah daerah dalam menyosialisasikan ritual ini dibentuk karena pemerintah daerah ingin membentuk identitas sosial dari kebudayaan tersebut, terlebih lagi adanya peninggalan candi-candi dan banyaknya wisata alam. Ini juga berpontensi pariwisata untuk meningkatkan pendapatan daerah Dieng. Identitas sosial berarti bahwa identitas sosial merupakan konsep sebagai sesuatu hal
102
yang menghubungkan pada pengetahuan individu kelompok sosial tertentu dan pada emosi serta penilaian yang dikibatkan oleh anggota kelompok tersebut. Dari pengertian tersebut identitas sosial menggambarkan individu memiliki posisi yang khusus dalam masyarakat. ada tiga tingkatan definisi identitas :
1. supra-order-self compared to others of the same species; 2. intermediate level-social identity based on intergroup comparisons; and 3. subordinate level-self is defined as unique Tiga tingkatan definisi identitas memiliki makna. Pertama, Supra order berarti tingkatan paling atas yang menjelaskan identitas adalah membandingkan individu satu dengan yang lain dari persamaan kelompok atau spesies. Kedua, Intermediate level adalah tingkatan tengah yang menjelaskan identitas berdasar pada perbandingan dalam kelompok. Ketiga, subordinate level berarti tingkatan paling bawah yang menjelaskan identitas adalah sesuatu yang unik atau berciri khas. Identitas sosial masyarakat dataran tinggi Dieng dengan adanya komunitas anak rambut gimbal merupakan identitas subordinate level dimana terdapat suatu keunikan atau ciri khas.
Bentuk sosialisasi pemerintah daerah dalam menyosialisasikan ritual rueatan rambut gembel ini dengan mengadakan dieng culture festival yang tiap tahun diadakan. Cara promosinya melalui Pembuatan leaflet, booklet, meyelenggarakan/ mengikuti even-even pariwisata tingkat regional dan nasional, Publikasi di media
103
massa dan media elektronik, Mengembangkan tourist information centre, Program peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dieng culture festival ini diadakan mulai dari tahun 2009 dan setelah tahun berikutnya terdapat peningkatan pengujung wisatawan yang datang ke dataran tinggi dieng. Berikut data yang peneliti peroleh data pengunjung wisatawan 2009-2013.
Gambar 4.15 Tabel Pengunjung Wisata Dieng
Jumlah pengunjung
Objek Wisata
2009
2010
2011
2012
2013
Dieng
62161
85522
90698
156706
205671
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa diadakannya Dieng Culture festival membawa dampak baik bagi kesejarteraan masyarakat Dieng ini sendiri dengan adanya peningkatan pengunjung maka pembentukan identitas sosial Dieng berlangsung secara baik.