29
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian 4.1.1 Kota Gorontalo Dalam perspektif sosial kota Gorontalo dikenal sebagai kota Serambi Madinah dengan filosofi “adat bersendikan sara’ dan sara’ bersendikan kitabullah”. Masyarakat Kota Gorontalo dikenal sebagai masayarat yang sangat fanatik dalam mempertahankan budaya lokal. Sebagai ibu kota Provinsi tentunya daerah ini terus diperhadapkan dengan berbagai masalah sosial yang membutuhkan berbagai sumbangan pemikiran ilmiah, sebagai dasar pijakan untuk melaksanakan pembangunan pada masa sekarang dan masa yang akan datang. 4.1.2 Sejarah Kota Gorontalo Secara historis pendiri Kota Gorontalo adalah Sultan Botutihe yang telah berhasil melaksanakan tugas-tugas Pemerintahan atas dasar ke-Tuhanan dan prinsip-prinsip masyarakat. Walaupun Gorontalo telah ada dan terbentuk sejak tahun 1728, kurang lebih tiga abad yang lalu, namun sebagai daerah otonom, kota ini secara resmi terbentuk pada tanggal 20 Mei 1960 sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi. Sejak terbentuknya Provinsi Gorontalo maka Kota Gorontalo ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi yang sekarang ini terbagi menjadi 9 (sembilan) kecamatan.
30
4.1.3 Kondisi Geografis Wilayah Secara geografis Kota Gorontalo terletak pada 00 0 28’ 17’’ - 000 35’ 56’’ Lintang Utara dan diantara 122
0
59’ - 44’’ - 123 0 05’ 59 Bujur Timur.
Dalam catatan sejarah, Hulontalo dikenal sebagai singkatan dari Hulontalangi yang selanjutnya disebut Gorontalo. Ditinjau dari administrasi Pemerintahan, Kota Gorontalo sebagai satu daerah kota yang berada dalam wilayah Provinsi Gorontalo, daerah ini memiliki 9 (sembilan) wilayah kecamatan yakni Kecamatan Kota Barat, Kecamatan Dungingi, Kecamatan Kota Selatan, Kecamatan Kota Timur, Kecamatan Hulontalangi, Kecamatan Dumbo Raya, Kecamatan Kota Utara, Kecamatan Kota Tengah dan Kecamatan Sipatana. Adapun Jumlah Kelurahan 46 (empat puluh enam) Kelurahan, luas wilayah 79,03 Km2 atau 0,53 % dari luas Provinsi Gorontalo. Lebih jelasnya luas wilayah Kota Gorontalo menurut Kecamatan, dapat dilihat pada tabel 1 berikut sebagai berikut:
31
Tabel 1. Luas Wilayah Kota Gorontalo berdasarkan kecamatan No.
Kecamatan
Luas (Km2)
Persentase (%)
1.
Kota Barat
20,08
25,41
2.
Dungingi
4,67
5,91
3.
Kota Selatan
2,81
3,56
4.
Kota Timur
5,32
6,73
5.
Hulontalangi
14,23
18,01
6.
Dumbo Raya
14,04
17,77
7.
Kota Utara
8,02
10,15
8.
Kota Tengah
4,81
6,09
9.
Sipatana
5,05
6,39
79,03
100,00
Jumlah
Sumber : Kota Gorontalo dalam angka Tahun 2011 Tabel 1 menunjukkan bahwa Kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Kota Barat (25,41 %), sementara Kecamatan Dungingi merupakan wilayah Kecamatan terkecil yang hanya (6,09 %) dari cakupan wilayah. Secara administrasi Kota Gorontalo berbatasan dengan wilayah Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango yang dapat diuraikan sebagai berikut : 1) Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Tapa Kabupaten Bone Bolango. 2) Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Kabila Kabupaten Bone Bolango. 3) Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Telaga Kab. Gorontalo. 4) Sebelah selatan berbatasan dengan Teluk Tomini.
32
4.1.4 Demografi Sesuai data dari BPS tahun 2011, penduduk Kota Gorontalo sebanyak 196.897 jiwa, yang selengkapnya penduduk Kota Gorontalo menurut Kecamatan dapat dilihat pada tabel 2 sebagai berikut: Tabel 2. Penduduk Kota Gorontalo Menurut Kecamatan No.
Kecamatan
Jumlah Total
Persentase (%)
1.
Kota Barat
22.222
11,29
2.
Dungingi
24.533
12,46
3.
Kota Selatan
23.941
12,16
4.
Kota Timur
27.191
13,81
5.
Hulontalangi
16.902
8,58
6.
Dumbo Raya
18.453
9,37
7.
Kota Utara
17.879
9,08
8.
Kota Tengah
27.911
14,18
9.
Sipatana
17.865
9,07
196.897
100,00
Jumlah
Sumber : Kota Gorontalo dalam angka, BPS Tahun 2011 4.1.5 Sektor Usaha Sektor usaha mata pencaharian sangat berhubungan dengan usaha pemenuhan jasa ekonomi kota, sesuai data jumlah penduduk usia angkatan kerja tahun 2004 sebanyak 60.314 jiwa atau 41% dari jumlah penduduk kota Gorontalo. Penduduk yang bekerja dapat diklasifikasikan dalam beberapa sektor pencaharian, yang dapat dilihat pada tabel 3 sebagai berikut :
33
Tabel 3. Sektor Lapangan Usaha Penduduk Kota Gorontalo Sektor Usaha Pertanian
Jumlah Jiwa
Persentase (%)
5.242
10,32
433
0,85
5.534
10,89
230
0,45
2.902
5,71
13.615
26,80
Transportasi & Komunikasi
7.697
15,15
Keuangan
1.410
2,78
13.735
27,04
50.798
100,00
Pertambangan Industri Listrik Gas dan Air Konstruksi Perdagangan
Jasa Jumlah
Sumber : Kota Gorontalo dalam angka, BPS Tahun 2011 4.1.6 Kondisi Sosial dan Ekonomi Penduduk kota Gorontalo memiliki ciri dan corak budaya tersendiri, yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur masyarakat berupa budaya gotong royong dalam berbagai aspek kehidupan yang dikenal dengan “Huyula, Ambuwa, Ti’ayo, Hulunga”. Ungkapan “Adat bersendikan Syara, Syara bersendikan Kitabullah” merupakan pandangan hidup masyarakat Gorontalo yang memadukan adat dengan agama. Pandangan hidup ini selaras dengan masyarakat yang terbuka, modern dan demokratis. Heterogen struktur sosial budaya masyarakat secara intern telah mewujudkan suatu kondisi sosial ekonomi yang beragam. Komposisi yang demikian memberi warna serta gambaran secara nyata dominasi salah satu
34
aktifitas ekonomi yakni kegiatan perdagangan dan jasa serta rekreasi, yang tentunya secara sosial menjadi perhatian bagi pencari kerja yang ingin mencari penghidupan di berbagai sektor tersebut. Dalam konteks kemiskinan pada tahun 2011 jumlah keluarga pra sejahtera di Kota Gorontalo sebanyak 2.375 keluarga. Sementara itu, jumlah keluarga sejahtera sebanyak 42.772 keluarga dengan komposisi terbanyak berada pada tingkat keluarga sejahtera II. Besar kecilnya penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh garis kemiskinan, karena penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Selama tahun 2006-2010, garis kemiskinan naik sebesar 20,62 persen, yaitu dari 160.975 rupiah per kapita per bulan pada tahun 2006 menjadi 238.397 rupiah per kapita per bulan pada tahun 2010. Dalam kaitannya dengan keadaan ekonomi penduduk, data yang diperoleh dari BPS Kota Gorontalo dalam buku Kota Gorontalo dalam angka tahun 2011 diperoleh data banyaknya keluarga miskin menurut kecamatan dan klasifikasi keluarga di Kota Gorontalo tahun 2011, yang dapat dilihat pada tabel 4 sebagai berikut.
35
Tabel 4. Banyaknya keluarga miskin menurut kecamatan dan klasifikasi keluarga di Kota Gorontalo tahun 2011
No
Kecamatan
Pra Sejahtera
1
Kota Barat
484
2
Dungingi
3
Keluarga Sejahtera I
II
III
1.197 2.149
III+
Pra Sejahtera
721
106
5.457
339
773 1.653 2.460
261
5.423
Kota Selatan
118
793 2.412 1.328
313
4.964
4
Kota Timur
231
1.512 3.225 1.133
197
6.298
5
Kota Utara
183
998 2.117
963
131
4.392
6
Hulontalangi
183
1.307 2.029
407
5
3.931
7
Sipatana
272
1.148 2.071
624
114
4.229
8
Dumbo Raya
390
1.850 1.662
451
68
4.421
9
Kota Tengah
175
1.688 1.918 1.990
261
6.032
Sumber : Kota Gorontalo dalam angka, BPS tahun 2011. Sementara itu dalam kaitannya dengan
data ketenagakerjaan penduduk
menurut status pekerjaan utama di Kota Gorontalo tahun 2011, dapat dilihat pada tabel 5 sebagai berikut.
36
Tabel 5. Jumlah penduduk menurut status pekerjaan utama di Kota Gorontalo
No.
Jenis Kegiatan Utama
Tahun 2009
Tahun 2010
Tahun 2011
1
Berusaha sendiri tanpa dibantu orang lain
23.242
22.606
15.650
2
Berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar
4.652
4,566
6.256
3
Berusaha dibantu buruh tetap/buruh bayar
3.502
3.335
4.272
4
Butuh/karyawan/pegawai
35.359
33.655
44.838
5
Pekerja bebas di Pertanian
208
236
806
6
Pekerja bebas di non pertanian
2.895
2.717
1.984
7
Pekerja keluarga/Tidak dibayar
3.482
3.098
2.807
Sumber: Kota Gorontalo dalam angka, BPS tahun 2011 4.2. Hasil Penelitian. Dalam perspektif sosial secara sederhana pasar dapat dipahami sebagai tempat berlangsungnya kegiatan masyarakat dalam transaksi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan demi kelangsungan hidup manusia. Pasar sebagai tempat pertemuan antara penjual dan pembeli menjadi suatu lokasi yang banyak menarik perhatian orang untuk datang dan melakukan aktifitas sesuai dengan kebutuhan masing-masing, termasuk untuk bekerja mendapatkan penghasilan. Banyaknya aktifitas ekonomi di pasar yang membutuhkan tenaga kerja telah membawa perhatian dan ketertarikan para pencari kerja untuk secara praktis memperoleh pekerjaan, walaupun pekerjaan tersebut terlepas dari pantas atau tidak pantasnya ditinjau dari segi beratnya pekerjaan, umur pekerja ataupun aspek lainnya. Dalam kaitannya dengan umur pekerja di pasar sentral, di lokasi ini terdapat pekerja dewasa dan pekerja anak. Bagi seorang pekerja dewasa melakukan
37
aktifitas kerja merupakan hal yang biasa. Namun bagi pekerja anak yang usianya berkisar antara 7 (tujuh) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun, jelas hal ini merupakan hal yang belum seharusnya mereka lakukan, karena idealnya anakanak melakukan aktifitas seusianya, yaitu bermain, belajar dan aktifitas anak lainnya. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa keberadaan pekerja anak pada sektor informal di pasar sentral kota Gorontalo terus melakukan beberapa aktifitas pekerjaan. Kondisi ini cukup menghawatirkan mengingat anak sebagai penerus dan pewaris serta penerus pembangunan yang idealnya dibekali dengan pendidikan yang bisa mengantarkannya pada masa depan cerah, justru harus memasuki dunia kerja sebelum waktunya. Di pasar sentral Kota Gorontalo anak-anak yang bekerja ada yang menggunakan sebagian besar waktunya, yaitu sejak pagi hingga menjelang malam, dan ada pula yang hanya menggunakan separuh hari, yaitu siang hari setelah pulang sekolah hingga menjelang malam hari. Pada setiap hari minggu jumlah anak yang bekerja meningkat dibanding dengan hari biasanya hal ini terjadi karena semua anak yang bekerja menggunakan waktu kerjanya seharian sejak pagi hingga sore. Jumlah ini lebih meningkat lagi jika berada pada bulan suci Ramadhan. Ini terjadi karena jumlah pengunjung pasar sentral yang mengalami kenaikan dibandingkan dengan hari-hari biasanya, oleh sebab itu momen ini yang dimanfaatkan oleh pekerja anak untuk mencari rezeki baik sebagai buruh angkat maupun karyawan toko maupun jenis pekerjaan lainnya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut di atas, maka penelitian ini akan difokuskan pada faktor mendasar yang menyebabkan adanya pekerja anak pada
38
sektor informal di Pasar Sentral Kota Gorontalo, dan fokus kedua adalah pendekatan sosial apa yang dapat digunakan untuk mengurangi jumlah pekerja anak pada sektor informal di Pasar Sentral Kota Gorontalo. Untuk fokus masalah pertama hasil penelitian dapat diuraikan sebagai berikut. 4.2.1 Faktor Mendasar Penyebab Adanya Pekerja Anak Pada Sektor Informal Di Pasar Sentral Kota Gorontalo. 1). Indikator Penyebab anak bekerja pada sektor informal ditinjau dari faktor ekonomi. Perkembangan pesat di Kota Gorontalo sebagai ibu kota Provinsi tidak terlepas dari permasalahan sosial yang merupakan konsekuensi logis dari pertumbuhan sebuah wilayah. Berbagai masalah sosial yang muncul dapat diidentifikasi melalui beberapa realita sosial, diantarnya masalah kependudukan, lahan/pekarangan yang semakin dirasakan sempit, kriminalitas yang semakin meningkat, masalah lingkungan, dan masalah penyediaan lapangan kerja bagi penduduknya. Dari beberapa realita masalah sosial tersebut salah satu masalah yang sangat mendesak untuk ditangani adalah masalah tenaga kerja. Hal ini menjadi penting bukan saja karena tidak berimbangnya antara pencari kerja dengan lapangan kerja yang tersedia, namun jauh lebih penting sekarang ini adalah masalah tenaga kerja telah masuk dalam masalah sosial tentang pekerja anak yang sekarang ini cukup memprihatinkan. Dalam kaitannya dengan penyebab anak bekerja pada sektor informal di Kota Gorontalo sebagaimana dijelaskan oleh salah seorang pekerja anak bernama A.M. anak ini berusia kurang lebih 10 (sepuluh) tahun dan telah bekerja di pasar sentral selama kurang lebih dua tahun. Aktifitas kerja yang dilakukan anak ini
39
dimulai sejak pagi hingga menjelang malam hari sebagai buruh anak yang mengangkat barang belanjaan ibu rumah tangga. A.R mengatakan bahwa dirinya bekerja di pasar sentral untuk membantu ekonomi keluarga. Hal ini terungkap pada saat wawancara dengan informan ini, sebagai berikut: Kita pe nama Pian, kita karja disini sodua tahun. Kita bakarja mobantu mama dengan papa dirumah. Kita pe orang tua tidak ada karja tatap soitu kita soberenti baskola trus bakarja di pasar sentral. “nama saya Pian, saya bekerja disini sudah dua tahun. Saya bekerja untuk membantu kedua orang tua di rumah. Orang tua saya tidak memiliki pekerjaan tetap sehingga saya berhenti bersekolah dan bekerja di pasar sentral” (Wawancara tanggal 22 November 20120). Sama halnya seperti A.M, pekerja anak pada sektor informal lainya bernama N.Y juga mengungkapkan bahwa Tiap hari kita bakarja disini mocari doi mobili makanan hari-hari baru mobawa pulang ka rumah. Kita sanang skali bisa babantu orang tua mokase ringan keperluan hari-hari. “Setiap hari saya bekerja disini untuk mencari uang membeli kebutuhan sehari-hari dan dibawa pulang ke rumah. Saya senang bisa membantu orang tua meringankan beban hidup sehari-hari. Penjelasan kedua anak ini menggambarkan bahwa alasan mendasar mereka bekerja di pasar sentral untuk memperoleh uang untuk digunakan memenuhi kebutuhan keluarga . Ketidakmampuan orang tua menyebabkan anak mencari pekerjaan apa saja yang bisa mendapatkan uang hanya untuk membantu meringankan beban hidup orang tua di rumah. Penjelasan kedua informan sebelumnya diperkuat juga oleh informan anak lainnya yang juga menjelaskan tentang aktifitas kerjanya di pasar sentral Kota Gorontalo bernama M.H yang berusia kurang lebih 10 (sepuluh) tahun yang tinggal di kelurahan Dembe Jaya Kecamatan Kota Utara, yang menjelaskan
40
Kita soberenti baskola karna mama dengan papa sotidak bisa bayar skola, sotidak tau bagimana. Kita petaman pangge kita bakarja cari uang. Dulu kita pekarja bakumpul barang bakas mojual. Baru kita sodatang kamari di pasar bakarja ba angka orang pe balanja. Baru dapa doi mobawa pulang ka rumah mobili akan makanan hari-hari. “Saya berhenti berskolah karena orang tua saya tidak mampu membiayai sekolah dan tidak tau harus bagaimana. Teman saya mengajak saya bekerja mencari uang. Sebelumnya saya melakukan pekerjaan mengumpulkan barang bekas untuk dijual. Tapi pada akhirnya saya datang di pasar sentral untuk mencari uang bekerja mengangkat barang yang belanja. Hasilnya saya bawa pulang ke rumah dan saya berikan pada oma untuk membeli kebutuhan hidup” (Wawancara tanggal 22 November 2012). Dari hasil wawancara ketiga informan pekerja anak di atas dapat dipahami bahwa ketiga anak ini melakukan aktifitas bekerja di pasar sentral oleh karena ingin mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan individu anak maupun untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga di rumah. Dari ketiga informan ini juga diperoleh informasi tentang jumlah pendapatan mereka setiap hari yang berkisar antara Rp. 10.000 sampai dengan Rp. 30.000. Selanjutnya hasil wawancara yang dilakukan dengan pengguna jasa pekerja anak di pasar sentral Kota Gorontalo yang berhasil diwawancarai juga berpendapat bahwa sebagian besar pekerja anak disini bekerja lebih pada faktor ekonomi. Hal ini sebagaimana terungkap dari wawancara dengan H.S. yang menjelaskan bahwa “menurut saya anak-anak yang bekerja di pasar sentral lebih banyak karena ingin mendapatkan uang dari hasil kerjanya. Mungkin saja hal itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Kalau orang tuanya mampu pasti tidak akan rela membiarkan anaknya bekerja disini. (Wawancara tanggal 22 November 2012). Penjelasan yang sama juga disampaikan oleh N.A bahwa
41
“saya menggunakan jasa pekerja anak karena memang cukup membantu pada saat melakukan aktifitas belanja disini. Itupun anakanak ini datang dan menawarkan untuk melakukan pekerjaan membawa hasil belanja rumah tangga yang saya beli. Tentang penyebab anak-anak yang bekerja disini menurut saya karena ingin mendapatkan uang dengan cepat. Padahal seharusnya anak-anak ini tetap belajar di sekolah. Lain halnya dengan salah satu pemilik toko di pasar sentral A.A yang menjelaskan pendapatanya tentang penyebab anak bekerja di pasar sentral, informan ini menjelaskan: “Pekerja anak di pasar sentral yang saya bantu cuma satu orang. Ini anak depe tugas ba atur barang jualan di toko, bakase bersih barang jualan, atau ba antar akan barang jualan yang orang so bili sampe pa konsumen pe motor atau bentor. Ini anak sotidak baskolah lagi trus dia berasal dari keluarga tidak mampu, depe papa so sakit-sakitan trus depe mama pe karja cuma ba urus rumah tangga. Jadi anak ini saya terima bakarja disini. Depe karja juga tidak talalu barat. (Wawancara tanggal 22 November 2012). Berdasarkan hasil wawancara baik dari pekerja anak itu sendiri maupun dari pengguna jasa pekerja anak terungkap bahwa anak-anak yang bekerja di pasar sentral lebih disebabkan oleh masalah ekonomi. Realita pekerja anak lebih berkaitan dengan kemampuan ekonomi orang tua yang selanjutnya bisa menjadi tradisi atau budaya membantu orang tua. Sebagian besar orang tua beranggapan bahwa memberi pekerjaan kepada anak merupakan upaya proses belajar menghargai kerja dan tanggung jawab. Selain dapat melatih dan memperkenalkan anak kepada kerja mereka juga berharap dapat membantu mengurangi beban kerja keluarga. Seiring dengan perkembangan waktu telah terjadi pergeseran, anak-anak tidak lagi bekerja membantu orang tua sebagai bagian dari budaya, tapi lebih berkaitan dengan masalah ekonomi keluarga (masalah kemiskinan) dan memberi kesempatan memperoleh pendidikan. Pendapatan orang tua yang sangat sedikit
42
tak mampu lagi menutupi kebutuhan keluarga sehingga memaksa mereka ikut bekerja. Desakan terhadap kebutuhan hidup sehari-hari yang tidak dapat ditunda seolah-olah menyebabkan anak-anak melaksanakan pekerjaan yang belum saatnya mereka lakukan. Penelusuran di lapangan nampak dengan jelas bahwa keberadaan para pekerja anak di pasar sentral Kota Gorontalo melakukan pekerjaan sebagai buruh anak nampaknya lebih pada mendapatkan uang. Upah yang diperoleh dari sekali mengangkat barang konsumen setelah belanja sampai pada kenderaan pengangkut pulang, mereka mendapatkan upah berkisar antara seribu sampai dengan lima ribu rupiah. Untuk setiap harinya rata-rata setiap anak dapat mengangkat sampai dengan 10 (sepuluh) barang konsumen di pasar sentral Kota Gorontalo. Penjelasan penguna tenaga kerja anak tersebut di atas selanjutnya juga dikonfirmasi kepada aparat dinas yang coba ditemui untuk diwawancarai tentang faktor mendasar penyebab adanya pekerja anak. Informan ini bekerja pada Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kota Gorontalo yang bernama R.Z yang menjelaskan. “Kalau kita lihat di pasar Sentral, memang anak-anak yang bekerja cukup banyak. Anak-anak ini bekerja pasti tidak lain untuk mendapatkan uang, baik untuk membantu keluarga dirumah maupun untuk kebutuhan anak-anak itu sendiri. Tapi lebih banyak untuk membantu orang tua anak-anak ini yang tidak mampu. Pekerjaan yang dilakukan bisa macam-macam, ada yang membawa barang belanjaan ibu-ibu rumah tangga, ada juga ssyang jadi karyawan toko, atau berjualan di pasar sentral. (Wawancara tanggal 26 November 2012). Terkait dengan jumlah pekerja anak pada sektor informal, berdasarkan data hasil wawancara yang dilakukan dengan instansi terkait pada Dinas Sosial dan
43
Tenaga Kerja Kota Gorontalo dengan Kepala Bidang Penanganan masalah sosial menjelaskan: “Dalam kaitannya dengan masalah pekerja anak di Kota Gorontalo sampai dengan akhir desember 2012 tercatat lebih dari 100 orang pekerja anak. Jumlah ini belum termasuk pekerja yang belum terdata pada dinas ini, dan kami akan terus melakukan pendataan sehingga akan mendapatkan data yang akurat pada waktu berikutnya” (Wawancara tanggal 3 Desember 2012) Selanjutnya dalam kaitannya dengan pekerjaan yang dilakukan oleh anakanak di pasar sentral dijelaskan pula oleh informan ini bahwa “pekerjaan yang dilakukan oleh anak-anak pada umumnya menjadi buruh yang mengangkat barang belanja ibu-ibu yang berbelanja di pasar sentral kota Gorontalo. Selain itu pekerjaan lain yang mereka lakukan menjadi karyawan toko dan bertugas mengatur barang dalam toko dan kmembersihkan toko barang-barang harian, trus ada juga anak-anak yang bekerja menjual ikan”. (Wawancara tanggal 3 Desember 2012) Dalam kaitannya dengan pekerjaan anak di pasar sentral, informan lainnya D.T juga menjelaskan: Ini anak-anak yang bakarja disini biasanya sebagai buruh angkat, pegawai toko dengan bajual ikan. Tapi yang paling banyak dorang bakarja sebagai buruh angkat. Anak-anak biasanya baku iko dari blakang pa orang yang mobelanja dan biasanya menawarkan untuk mobawa barang belanja. (Wawancara tanggal 3 Desember 2012). Dari beberapa informan kunci yang berhasil diwawancarai lebih memberikan penjelasan bahwa penyebab mendasar anak-anak bekerja pada sektor informal adalah karena masalah ekonomi. Faktor mendasar masih mendominasi karena ketidak berdayaan ekonomi keluarga, yang harus memenuhi kebutuhan hidupnya. Keluarga yang tidak memiliki pekerjaan jelas tidak memiliki penghasilan untuk menghidupi keluarga, akibatnya anak-anak yang masih dalam
44
usia sekolah pun harus membantu keluarga untuk bekerja dan memenuhi kebutuhan keluarga. Selanjutnya berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan kunci juga dapat dipahami oleh peneliti bahwa pekerjaan anak di lokasi ini dapat dibagi menjadi tiga jenis, 1) sebagai buruh angkat, 2) sebagai karyawan lepas di beberapa toko, 3) sebagai tenaga penjual ikan. Dari hasil pengamatan di lapangan nampak bahwa dari ketiga jenis pekerjaan anak ini didominasi pertama oleh pekerjaan sebagai buruh angkat, hal terlihat dari banyaknya menunggu konsumen belanja di pasar sekaligus mereka siap untuk menawarkan diri untuk membawa barang belanjaan. Adapun jumlah anak pekerja yang terlihat pada saat pengamatan berkisar antara 15 (lima belas) sampai dengan 20 (dua puluh) orang. Dominasi kedua sebagai karyawan lepas di berbagai toko harian. Hal ini nampak dari pengamatan yang menunjukkan hampir setiap toko harian di pasar sentral memiliki pekerja anak, dari pengamatan yang dilakukan peneliti terlihat jumlahnya sampai dengan 10 (sepuluh) orang. Sedangkan dominasi ketiga adalah sebagai tenaga penjual ikan. Sebagai tenaga penjual ikan terlihat ketika anak-anak menawarkan jualan ikan kepada setiap pengunjung pasar sentral yang mereka temui, jumlah ini berkisar antara 5 (lima) sampai 8 (delapan orang). Jumlah pekerja anak pada ketiga jenis pekerjaan ini tentunya akan bertambah jika berada pada hari minggu/libur bahkan lebih banyak lagi pada saat bulan suci Ramadhan. b). Indikator Penyebab anak bekerja pada sektor informal ditinjau dari aspek keterpaksaan. Permasalahan ekonomi ternyata bukan satu-satunya penyebab mendasar anak bekerja pada sektor informal, hal ini sebagaimana hasil penelusuran di
45
lapangan yang terungkap melalui wawancara dengan informan pekerja anak yang bernama M.A. Anak ini bekerja di pasar sentral sebagai buruh sejak awal tahun 2012 yang lalu dan dalam kesehariannya dihabiskan untuk bekerja. Ketika peneliti mencoba untuk menanyakan tentang alasannya bekerja M.A pun menjawab: “saya tidak mau bakarja tapi saya masih suka ba skolah macam tamantaman lain. Saya masih suka balajar tapi mama deng papa suru bakarja saja mancari doi mobantu orang tua dirumah. Penjelasan informan M.A di atas menggambarkan bahwa anak yang bekerja di pasar sentral bukan saja disebabkan oleh faktor ekonomi namun juga oleh faktor keterpaksaan. M.A merasa terpaksa bekerja karena tidak bersekolah lagi dan tidak memiliki aktifitas lain sehingga terpaksa menjalani aktifitas bekerja pada sektor informal di Pasar Sentral yang memiliki nilai tambah secara ekonomi baik bagi dirinya sendiri maupun keluarganya. Dalam kondisi terpaksa bekerja di pasar sentral ternyata M.A tidak sendiri. Kondisi terpaksa sebagaimana diungkapkan M.A sama halnya dengan yang dirasakan oleh F.R. Informan pekerja anak ini mengungkapkan bahwa kondisi terpaksa bekerja berawal dari pertemuan dengan teman yang sebelumnya telah bekerja di pasar Sentral. Pada awalnya F.R tidak ingin bekerja namun temannya terus mengajak dirinya datang ke pasar sentral walaupun hanya sebatas melihat situasi tempat untuk bekerja yang pada akhirnya setelah beberapa hari mengikuti temannya F.R pun mulai beraktifitas kerja pada sebuah toko harian di lokasi ini sebagai tenaga kerja lepas. F.R menjelaskan:
“awalnya saya tidak mau bekerja, teman saya mengajak hanya untuk melihat sekaligus jalan di pasar sentral. Saya tidak tertarik untuk
46
bekerja disini tapi teman saya memaksa saya dan bilang pekerjaan ini tidak sulit dan cepat mendapatkan uang” (Wawancara tanggal 12 Desember 2012). Dari penjelasan M.A dan F.R yang memiliki latar belakang penyebab yang sama peneliti dapat mehami bahwa pekerja anak pada sektor informal bukan saja disebabkan oleh faktor mendasar ekonomi, namun juga disebabkan oleh faktor keterpaksaan yang telah mengantarkan kedua pekerja anak ini sehingga telah berada pada faktor ekonomi. Senada dengan pernyataan kedua pekerja anak di atas informan lainnya yang memberikan penjelasan tentang keterpaksaan anak dalam bekerja pada sektor informal adalah A.Y. Informan ini setiap harinya berada di lokasi pasar sentral yang mengetahui persis perilaku pekerja anak di wilayah ini. Ketika ditanyakan tentang penyebab mendasar anak bekerja di pasar sentral, informan inipun menjelaskan: Anak-anak yang bekerja disini tidak semunya karena latar belakang ekonomi, tapi juga disebabkan paksaan dari pihak lain, keluarga misalnya. Sebab ada beberapa diantara anak-anak ini yang saya tau dari keluarga yang masih mampu secara ekonomi. Bahkan anak itu tinggal sekampung dengan saya. Tapi anak itu tetap dipaksakan untuk harus bekerja dengan alasan orang tuanya untuk melatih supaya anak-anak tau bagaimana mencari uang. (Wawancara tanggal 12 Desember 2012). Penjelasan informan ini juga mengingatkan kita pada kebiasaan dan keyakinan orang tua secara umum di Gorontalo yang menganggap sekolah tidak terlalu penting, karena semua pejabat sudah ada, jadi untuk apa lagi sekolah, lebih baik bekerja apa saja karena itu satu-satunya cara untuk mendapatkan uang dengan cepat. Anggapan ini muncul karena orang tua memahami dan meyakini bahwa anak memiliki hak untuk bermain dan belajar sesuai dengan perkembangannya.
47
Informan lainnya yang menjelaskan tentang keterpaksaan anak dalam bekerja adalah pemilik toko selaku pengguna jasa pekerja anak. Informan A.S merupakan pemilik salah satu toko harian di Pasar Sentral mengemukakan pendapatnya sebagai berikut “saya menerima karyawan anak untuk membantu melayani pembeli di toko ini. Awalnya saya tidak bersedia karena saya tau anak ini tidak seharusnya bekerja, dia seharusnya bersekolah seperti teman-teman seumurnya. Tapi anak ini sangat butuh pekerjaan. Waktu itu saya menanyakan kenapa dia ingin sekali bekerja, anak ini mengatakan pada saya kalau orang tuanya yang menyuruhnya untuk mencari kerja. Karena saya kasian dengan anak ini saya terima dia bekerja tapi dengan gaji harian. Jadi yang memaksa anak ini bekerja bukan saya tapi keluarganya. (Wawancara tanggal 12 Desember 2012). Pemaksaan terhadap anak untuk bekerja juga diakui oleh informan dari Dinas Pasar Kota Gorontalo. Informan H.D yang setiap harinya bertugas memungut retribusi di pasar sentral Kota Gorontalo ini mengetahui persis alasan mendasar mengapa anak-anak ini bekerja. Dengan menggunakan sedikit waktu disela-sela tugas penagihan retribusi di pasar sentral, informan ini menjelaskan: Kalau difikir, sebenarnya anak-anak ini pasti tidak akan bekerja disini kalau tanpa dipaksa oleh orang lain. Saya pernah tanya pada beberapa anak kenapa bekerja disini, diantara anak-anak ini bilang mama dengan papa yang ba suruh karja cari doi. Hasil karja anak-anak ini untuk memenuhi kebutuhan keluarga juga untuk kebutuhan anak itu. Diantara anak-anak ini juga pernah bilang bahwa kalau pulang ka rumah tidak bawa doi mama dengan papa momarah. Anak-anak ini habis karja dapat uang langsung belanja kebutuhan rumah tangga untuk dibawa pulang. Depe besok bakarja lagi dan bagitu trus tiap hari. (Wawancara tanggal 12 Desember 2012). Faktor keterpaksaan menjadi penyebab juga dapat didasarkan atas pengamatan yang dilakukan peneliti di lokasi penelitian yang menunjukkan dari beberapa pekerja anak di pasar sentral Kota Gorontalo melakukan aktifitas hanya karena terpaksa. Hal ini terlihat dengan jelas dari fakta bahwa tugas/pekerjaan
48
anak yang belum dapat dilaksanakan sesuai dengan harapan pemilik toko, akibatnya terkadang pekerja anak mendapatkan peringatan dari pemilik toko untuk mengerjakan tugas dengan baik. Teguran tersebut menunjukkan bahwa anak bekerja dengan kondisi terpaksa sehingga tidak sesuai dengan harapan majikan. Kondisi keterpaksaan lainnya juga ditunjukkan dengan tidak sesuainya pekerjaan anak dengan kemampuannya. Hal ini jelas menjadi penyebab ketidakpuasan majikan terhadap pekerja anak yang juga merupakan karyawannya dan diberikan upah setiap hari sebagai tenaga kerja lepas. c). Indikator Penyebab anak bekerja pada sektor informal ditinjau dari aspek masalah keluarga. Setelah kajian penyebab faktor ekonomi dan keterpaksaan, kajian selanjutnya difokuskan pada faktor penyebab lainnya yaitu masalah keluarga. Masalah keluarga menjadi salah satu fokus karena secara sosial pada masyarakat kota masalah pekerja anak memiliki kaitan erat dengan masalah di lingkungan keluarga. Terkait dengan faktor ini, hasil wawancara dengan salah seorang pekerja anak pada sektor informal I.H informan ini menurut pengakuannya berusia 14 (empat belas) tahun dan sudah cukup lama bekerja dipasar. Informan ini mampu menjelaskan dengan baik latar belakang mengapa ia bekerja, dari penjelasannya terungkap bahwa: “saya karja disini sebenarnya bukan karena masalah kebutuhan atau orang lain yang basuruh karja. Sebelum bakarja disini waktu itu amper tiap hari mama deng papa bakalae, saya sojadi tidak suka dirumah. baru saya sotidak skolah baru sotinggal dengan saya pe kaka. Saya sobalajar mancari doi sandiri tida bagantong pa orang tua dengan sudara. Mocari karja skarang susa skali. Karja yang gampang deng capat modapa doi cuma di pasar ini. Dulu saya pekarja jaga ba angka
49
barang blanja, tapi skarang saya ti pak haji sopangge bakarja baku bantu di toko. (Wawancara tanggal 18 Desember 2012) Lebih lanjut peneliti menanyakan tentang kemungkinan jika masalah keluarga tidak dihadapinya, I.H pun menjelaskan “kalau saya pe mama deng papa tidak jaga bakalae trus pasti saya masi ba skolah macam taman-taman lain. Skarang say ape tamantaman masi ba skola trus. Tapi saya tidak manyasal, memang so bagitu hidup. Saya tidak juga tidak bakase salah pa saya pe mama deng papa. Samua saya soanggap biasa, kan saya olo sotabiasa bakarja disini. (Wawancara tanggal 18 Desember 2012). Senada dengan informan I.H di atas informan pekerja anak lainnya Z.S juga menjelaskan: “saya ini tidak mau bakarja disini. Saya lari dari rumah karna saya pe papa jaga marah trus karna tiap hari saya salalu jaga minta doi. Saya tidak tahan ti papa jaga marah trus. So itu saya soberenti ba skolah karna saya so suka bacari doi sandiri. Waktu soberenti bas kola saya datang di pasar sentral. Saya liat anak-anak disini capat skali modapa doi dapat uang sayapun mau seperti mereka bekerja dan dapat uang dengan cepat. (Wawancara tanggal 18 Desember 2012). Penjelasan I.H dan Z.S di atas memperjelas bahwa faktor masalah keluarga juga menjadi penyebab mendasar adanya pekerja anak pada sektor informal di Pasar Sentral Kota Gorontalo. Kedua anak ini bekerja pada sektor informal dengan sebab utama faktor masalah keluarga. Faktor penyebab masalah keluarga pada anak pekerja sektor informal bukan juga turut menjadi pendorong ke masalah ekonomi, masalah keluarga juga menjadi penyebab utama anak terlepas dari kegiatan sebagaimana anak-anak lainnya dan pada akhirnya masuk pada lingkungan yang tidak seharusnya dijalani seperti yang terjadi pada pekerja anak di pasar sentral Kota Gorontalo, sehingga masalah keluarga yang tidak
50
terselesaikan bisa mengantarkan anak pada lingkungan yang tidak seharusnya ditempati. d). Indikator Penyebab anak bekerja pada sektor informal ditinjau dari aspek Lingkungan. Dari tiga indikator sebelumnya tentang penyebab mendasar adanya pekerja anak pada sektor informal, maka indikator berikutnya akan difokuskan pada aspek lingkungan. Hasil penelitian di lapangan terungkap melalui wawancara dengan beberapa informan, salah satunya pekerja anak bernama R.D. Informan ini telah bekerja di pasar sentral Kota Gorontalo selama kurang lebih 5 (lima) tahun sebagai buruh mengangkat barang. Dengan menggunakan waktu luang di sela-sela pekerjaan R.D pun menjelaskan: “Saya bakarja disini soamper lima tahun. Cari karja disini gampang, trus uang yang saya modapa banyak. Saya pe karja cuma ba angka orang pe barang habis balanja disini sampe pa dorang pe bentor, baru saya dapa uang. Karja disini sanang, tidak panas matahari deng barang yang torang angkat juga cuma ringan. Ada kalanya kalau blum ada barang yang moangka saya juga jaga bajual ikan. (Wawancara tanggal 27 Desember 2012). Terkait dengan faktor yang menyebabkan R.D bekerja di pasar sentral, informan ini pun menjawab: “saya pe taman yang bapangge datang disini dia bilang mobacari taman lain di sentral. Waktu itu dia ada tanya kalau saya mau mobakarja disini atau tidak. Dia bilang kalau saya suka mokarja disini maka harus mobabilang pa dorang pe bos yang biasa ba atur disini deng harus mo iko apa yang dorang bilang. Tiap hari moaper malam habis bakarja torang harus mobakase uang lima ribu pa torang pe bos yang bajaga disini, kalau tidak saya sotidak bole bakarja disini. Tapi itu dulu, skarang orang yang jaga baminta uang itu sotidak ada. (Wawancara tanggal 27 Desember 2012).
51
Penjelasan R.D di atas menggambarkan bahwa dirinya hanya diajak oleh teman ke lokasi ini dan ternyata diajak bergabung dalam kelompok tidak resmi yang mempekerjakan anak di pasar sentral. Penjelasan ini pun menarik perhatian peneliti untuk selanjutnya melakukan pengamatan membuktikan apakah pekerja anak di lokasi ini benar-benar dipaksa oleh pihak lain dan telah diorganisir secara tidak resmi untuk memperoleh keuntungan pribadi. Pengamatan pun langsung dilakukan pada saat itu juga dengan mengambil lokasi di tempat MY bekerja. Hasilnya menunjukkan menjelang malam hari dimana aktifitas di pasar sentral mulai berkurang tidak terlihat pekerja anak mendatangi satu tempat untuk berkumpul dan menemui seseorang. Peneliti pun mencoba terus mengamati dari jauh, nampak setiap anak pulang dengan arahnya masing-masing keluar lokasi pasar sentral. Dari pengamatan ini peneliti dapat memahami bahwa sekarang ini anak-anak yang bekerja tidak diorganisir oleh pihak tertentu. Dalam kaitannya dengan indikator keempat ini, maka hasil pengamatan ini membuktikan bahwa ternyata dari beberapa pekerja anak dilokasi ini bekerja hanya karena dengan mudah dapat dipengaruhi oleh lingkungan, dalam hal ini atas ajakan teman-teman sebayanya untuk bekerja mendapatkan uang dengan cepat. Anak yang hidup di lingkungan teman-teman yang bekerja maka akan cendrung menyukai dan menyenangi bekerja daripada sekolah, meskipun orang tua mereka masih mampu untuk membiayai sekolah. Karena lingkungan teman sebaya berpegaruh kuat dalam menanamkan nilai-nilai tertentu pada yang mereka anggap sesuai dengan dunia mereka. Karena pada kondisi ini mereka mempunyai
52
banyak kesamaan seperti, usia, selera dan penalaran terhadap sesuatu. Nilai-nilai yang telah ada dalam suatu masyarakat cendrung akan tertanam pada anakanaknya melalui proses enkulturasi, enkulturasi sendiri adalahpembudayaan yang berarti proses seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem norma dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Keempat indikator penyebab mendasar yang telah dikemukakan di atas telah mengantarkan anak bekerja pada sektor informal di Pasar Sentral Kota Gorontalo. Namun dari keempat indikator tersebut dominasi faktor ekonomi masih sangat nampak, sementara ketiga faktor lainnya, yaitu faktor masalah keluarga, faktor keterpaksaan dan faktor lingkungan menjadi faktor yang turut mendorong menuju pada faktor penyebab utama yaitu faktor ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian pada fokus masalah pertama sebagaimana telah diuraikan di atas maka dapat dibuatkan bagan hasil penelitian seperti pada gambar berikut:
53
Gambar 2. Skema hasil penelitian faktor mendasar penyebab adanya pekerja anak pada sektor informal di Pasar Sentral Kota Gorontalo
1. Faktor Ekonomi Pekerja Anak Pada Sektor Informal di Pasar Sentral Kota Gorontalo
2. Faktor Keterpaksaan
3. Faktor Masalah Keluarga
4. Faktor Lingkungan
D O M I N A S I F A K T O R M E N D A S A R
Sumber: Hasil penelitian lapangan November 2012 s.d Januari 2013
4.2.2 Pendekatan Sosial Terhadap Anak Pekerja Pada Sektor Informal Di Pasar Sentral Kota Gorontalo Dalam pembahasan tentang pekerja anak di sektor informal terdapat berbagai faktor mendasar yang menjadi penyebab adanya pekerja anak pada sektor informal di Pasar Sentral Kota Gorontalo, maka selanjutnya akan diungkapkan mengenai berbagai pendekatan sosial yang dapat digunakan dalam menangani pekerja anak pada sektor informal yang dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Pendekatan pemberdayaan ekonomi keluarga. Pada fokus masalah pertama telah dijelaskan bahwa faktor ekonomi menjadi faktor utama yang mendominasi penyebab adanya pekerja anak pada sektor informal di Pasar Sentral Kota Gorontalo. Oleh karena itu pendekatan yang akan
54
digunakan idealnya didasarkan pada prioritas masalah yang menjadi penyebab mendasar adanya pekerja anak pada sektor informal. Dalam kaitan dengan pendekatan ini peneliti telah mewawancarai informan kunci bernama F.L. Informan ini adalah salah satu pemilik toko yang menampung beberapa pekerja anak di pasar sentral. Ketika ditanya tentang cara yang dapat digunakan untuk mengurangi bahkan mengentaskan pekerja anak pada sektor informal, F.L pun menjawab “dari tiga orang anak yang bekerja di toko saya semuanya berasal dari kalangan ekonomi lemah. Dorang pe orang tua ini ba suruh pa dorang bakarja supaya dapat uang untuk mobantu keluarga. Oleh karena itu sebaiknya solusi yang mungkin bisa digunakan adalah bagaimana supaya bisa memberdayakan ekonomi keluarga pekerja anak ini. Pemerintah bisa bakase bantuan yang bisa meningkatkan ekonomi masarakat miskin lewat kegiatan yang produktif. Misalnya bantuan modal usaha yang layak supaya dapat menghasilkan bagi keluarga itu. Saya pikir kalau dorang mampu pasti anak-anak ini dorang pe orang tua tidak mokase bakarja disini. (Wawancara tanggal 10 Januari 2013). Penjelasan F.L di atas mengungkapkan pentingnya pemberdayaan ekonomi keluarga yang menuntut perhatian semua pihak, baik pemerintah, masyarakat maupun keluarga itu sendiri. Sependapat dengan F.L, salah seorang pengguna jasa buruh anak yang hampir setiap harinya menggunakan jasa anak juga menjelaskan “anak-anak ini bakarja disini karna orang tuanya tidak mampu. Tidak mungkin orang tua mengizinkan anak bekerja kalau memang dia mampu. Ada baiknya pemerintah harus berusaha memberikan kegiatan ekonomi yang bisa membantu keluarga anak ini sampe bisa punya penghasilan sperti orang lain yang mampu. Pemerintah bisa memberikan bantuan modal usaha atau membuka kesempatan kerja lebih luas bagi keluarga tidak mampu. Tentunya hal ini harus sesuai dengan latar belakang keluarga yang bersangkutan. Saya yakin kalau memang itu yang dilakukan pemerintah bisa mengurangi pekerja anak di pasar sentral ini. (Wawancara tanggal 10 Januari 2013).
55
Untuk dapat memberdayakan ekonomi keluarga memanglah bukan hal yang mudah namun bukan pula hal yang mustahil bisa dilakukan bila semua pihak terkait memiliki keseriusan untuk fokus pada pendekatan pemberdayaan ini. Tuntutan akan keseriusan tersebut sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang tokoh masyarakat bernama I.K. Dalam kaitannya dengan hal tersebut informan ini menjelaskan “Pemerintah seharunya serius terhadap kondisi pekerja anak di pasar sentral kota Gorontalo. Jika tidak jumlah tersebut akan bertambah dan semakin bertambah sehingga akan berkembang menjadi masalah sosial yang baru. Salah satu cara yang dapat dilakukan melalui pemberdayaan ekonomi orang tua anak. (Wawancara tanggal 10 Januari 2013). Pandangan informan I.K, di atas sejalan dengan pandangan FL yang menyebutkan tentang perlunya pemberdayaan ekonomi keluarga anak pekerja pada sektor informal di pasar sentral Kota Gorontalo. Hal tersebut terjadi oleh karena faktor ekonomi lebih mendominasi daripada faktor lainnya, oleh karena itu pendekatan sosial yang dapat dilakukanpun idealnya adalah pendekatan secara ekonomi pula. Pendekatan ekonomi sebaiknya tidak hanya bersifat sementara yang hanya mengatasi masalah dalam waktu singkat, namun lebih bersifat jangka panjang. Dalam kaitannya dengan maksud tersebut informan lainnya dari BPMP dan KB mengungkapkan. “masalah pemberdayaan ekonomi keluarga anak pekerja pada sektor informal belum diprogramkan. Selama ini kami melakukan pemberdayaan di tingkat masyarakat dan program pengentasan kemiskinan, baik yang memiliki anak yang bekerja pada sektor informal maupun yang tidak memilki anak yang bekerja pada sektor ini. (Wawancara tanggal 15 Januari 2013).
56
Penjelasan informan tersebut di atas menggambarkan bahwa belum adanya program khusus yang menangani pemberdayaan keluarga pekerja anak pada sektor informal. Padahal jika program tersebut ada dan berjalan dengan baik maka dapat menyelesaikan dua masalah sekaligus, yaitu meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin dan dapat mengembalikan anak pada aktifitas sebagaimana mestinya. Informan lainnya yang mengungkapkan tentang pemberdayaan keluarga adalah R.Z. Informan ini adalah aparat yang berasal dari Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kota Gorontalo dan terlibat langsung dalam penanganan masalah tenaga kerja, yang mengungkapkan: “Penanganan masalah pekerja anak di pasar sentral melalui pemberdayaan keluarganya memang belum dilakukan secara khusus. Namun demikian perlu diupayakan satu model pemberdayan yang melibatkan instansi terkait sehingga pemberdayaan tidak hanya bersifat jangka pendek saja. Saya kira instansi terkait perlu duduk bersama dan membicarakan model pemberdayaan yang ideal dengan mengambil peran masing-masing yang selanjutnya dikoordinasikan menjadi program utama dalam pemberdayaan keluarga. (Wawancara tanggal 15 Januari 2013). Penjelasan informan di atas menggambarkan belum adanya upaya penyelesaian masalah pekerja anak yang dilakukan secara komprehensif. Pelibatan berbagai pihak dalam pemberdayaan masyarakat, khususnya keluarga yang memiliki pekerja anak sangatlah dibutuhkan, berbagai upaya pemberdayaan yang hanya dilakukan secara sektoral hanya akan membawa pada pemberdayaan yang sifatnya sangat sementara. Misalnya satu keluarga miskin yang diberdayakan ekonominya mendapatkan bantuan modal dari lembaga pemerintah dan hal tersebut tidak disertai dengan pembinaan usaha yang serius dan berkelanjutan, akibatnya modal usaha untuk pemberdayaan ekonomipun hanya habis untuk
57
membiayai kehidupan sehari-hari. Program pemberdayaan seperti ini hanya bersifat sementara, cenderung konsumtif, dan terkesan hanya menggugurkan kewajiban pelaksanaan program dari satu instansi. Akhirnya keluarga yang diberdayakanpun kembali miskin lagi, yang selanjutnya kembali menunggu bantuan modal pemberdayaan. Hal ini seperti lingkaran yang tidak ada putusnya dan kembali terus berulang tanpa ujungnya. Oleh karena itu pemberdayaan secara komprehensif dan multi sektoral yang berfokus pada ekonomi keluarga yang memiliki anak pekerja pada sektor informal sangatlah dibutuhkan. Pemberdayaan inipun haruslah mampu mewujudkan karakter keluarga yang memiliki komitmen yang kuat untuk keluar dari lingkaran kemiskinan yang selama ini membelenggu. Pemberdayaan ini jelas akan berdampak pada dua hal, pertama meningkatkan kesejahteraan keluarga dan mengurangi jumlah keluarga miskin dan kedua mengurangi pekerja anak pada sektor informal. Kedua dampak di atas berangkat dari asumsi yang mengatakan bahwa apabila keluarga dalam kondisi ekonomi yang mampu memenuhi kebutuhan hidup minimal maka pastilah anak-anak yang ada didalam keluargapun tidak akan bekerja pada sektor informal, dan hanya melakukan aktifitas sebagaimana anak-anak lainnya. 2. Pendekatan perlindungan pekerja anak. Disamping pendekatan sosial melalui upaya pemberdayaan masyarakat, khususnya terhadap keluarga anak pekerja pada sektor informal sebagaimana dijelaskan di atas, maka pendekatan kedua yang dapat digunakan adalah upaya perlindungan pekerja anak pada sektor ini. Pendekatan terhadap perlindungan
58
anak dapat ditinjau dari berbagai aspek, 1) kebijakan pemerintah melalui program khusus terhadap anak yang dilaksanakan oleh pemerintah setempat, 2) produk kebijakan daerah yang memberikan kepastian dan perlindungan terhadap pekerja anak. Kedua pendekatan tersebut di wilayah Kota Gorontalo belum dapat dilaksanakan, hal ini terungkap pada saat peneliti melakukan wawancara dengan informan I.D, informan ini adalah aparat yang bertugas pada Badan Pemberdayaan Masyarakat, perempuan dan keluarga berencana Kota Gorontalo, yang menjelaskan Sebenarnya kami perna menangani masalah pekerja anak disektor informal kususnya dipasar sentral,namun seiring pergantian pejabat dan kebijakan program itu,tak bertahan lama lagi pula pemberdayaan masalah anak sangat membutuhkan uang yang banyak .“Kami di Badan Pemberdayaan Masyarakat belum melaksanakan program khusus tentang pemberdayaan keluarga yang memiliki anak bekerja pada sektor informal. Selama ini program yang kami lakukan adalah secara umum tentang pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan. Namun sebenarnya program pemberdayaan masyarakat lainnya berada pada lintas sektoral Dinas/Badan di Kota Gorontalo. Untuk program diluar BPMP dan KB kami hanya bertugas melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk menyukseskan berbagai program tersebut. (Wawancara tanggal 18 Januari 2013).
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa belum adanya program khusus tentang pemberdayaan keluarga pekerja anak dan juga langsung terhadap
59
perlindungan anak belum ada pada instansi ini. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian serius pemerintah terhadap pekerja anak pada sektor informal belum ada. Namun demikian masih menurut informan I.D dijelaskan bahwa beberapa tahun yang lalu program khusus terhadap pekerja anak pada sektor informal, khususnya di pasar sentral Kota Gorontalo pernah dilaksanakan oleh Tim Penggerak PKK Provinsi Gorontalo, namun bagaimana kelanjutan dari program tersebut sampai dengan sekarang belum diketahui. Hal ini terungkap pada hasil wawancara dengan I.D yang mengungkapkan “Tentang program khusus pada pekerja anak di pasar sentral dulu memang pernah dilakukan oleh pemerintah, tapi itu melalui Tim Penggerak PKK Provinsi Gorontalo. Sekarang kami tidak tahu bagaimana lagi kelanjutannya” (Wawancara tanggal 18 Januari 2013). Namun demikian informan ini juga mengakui perlu adanya program khusus untuk menangani pekerja anak khususnya pekerja anak di pasar sentral kota Gorontalo, mengingat anak-anak adalah bagian dari keluarga dan keluarga adalah bagian dari masyarakat yang harus ditingkatkan kesejahteraannya. Maka dari itu BPMP dan KB Kota Gorontalo sebagai unit organisasi pemerintah kota, terus melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam upaya memberdayakan masyarakat juga dalam mengentasan kemiskinan di wilayah ini. Masih dalam kaitannya dengan pendekatan sosial melalui perlindungan anak, informan lainnya dari Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kota Gorontalo R.Z menjelaskan “kalau kita melihat masalah pekerja anak di pasar sentral selama ini memang belum program yang terkait dengan perlindungan pekerja anak. Selama ini memang keberadaan pekerja anak disitu sebenarnya tidak mengganggu oleh karena itu menurut saya sekarang ini upaya yang dapat dilakukan adalah bagaimana melakukan pembinaan dan
60
pengawasan terhadap pekerja anak, sehingga secara berangsur jumlahnya bisa berkurang dan bisa bersekolah lagi sebagaimana anak lainnya. (Wawancara tanggal 18 Januari 2013).
Sementara itu pada waktu yang berbeda menurut informan lainnya pada Kantor Pengelola Pasar Kota Gorontalo H menjelaskan pendapatnya tentang pendekatan sosial melalui perlindungan pekerja anak sebagai berikut; “upaya perlindungan terhadap pekerja anak di pasar sentral ini belum ada, hal ini terjadi karena selama ini belum ada kejadian luar biasa terhadap pekerja anak. Mereka bekerja apa adanya, mencari uang dan setelah itu pulang kerumah lagi. Dulu mungkin saja disini ada yang mengkoordinir pekerja anak, tapi sekarang tidak ada lagi. Oleh karena itu kegiatan pekerja anak disini masih dalam batas kewajaran. Karena secara manusiawi kita masih dapat memahami bahwa mereka bekerja karena adanya kebutuhan yang harus dipenuhi” (Wawancara tanggal 22 Januari 2013). Dari hasil wawancara dengan informan H yang dapat dipahami bahwa upaya perlindungan sosial terhadap pekerja anak belum dilakukan di lokasi ini. Hal tersebut terjadi karena pertimbangan secara manusiawi sehingga memberikan kesempatan pada anak-anak untuk bekerja. Namun demikian menurut peneliti pandangan yang mengatakan bahwa belum adanya kejadian luar biasa yang terjadi bukanlah alasan untuk melakukan pembiaran terhadap pekerja anak walaupun dengan alasan manusiawi. Masalah pekerja anak tidak bisa dibiarkan karena hal tersebut menyimpan potensi masalah yang cukup besar pada masa yang akan datang, baik bagi masyarakat, pemerintah, maupun terhadap pekerja anak itu sendiri. Bagi masyarakat anak-anak yang tumbuh dan berkembang di lingkungan pasar jelas hal ini akan berdampak pada pembentukan karakter anak yang keras sesuai dengan lingkungan tempat dia berkembang, semakin lama anak berada pada lingkungan yang tidak sesuai dengan perkembangannya, maka akan semakin
61
besar pula kemungkinan anak-anak hidup dalam perilaku yang keras. Jelas ini akan berdampak kurang baik terhadap masyarakat karena akan memunculkan masalah-masalah sosial yang baru. Hal ini juga terungkap dari hasil wawancara dengan informan I.K yang merupakan tokoh masyarakat yang memiliki perhatian terhadap pekerja anak di pasar sentral. Informan ini mengungkapkan bahwa: “Anak-anak yang bekerja di pasar sentral haruslah disentuh dengan program yang dapat membantu mereka keluar dari masalah yang dihadapi. Walaupun masalah ekonomi keluarga merupakan hal yang pokok namun hal lainnya yang perlu diupayakan adalah masalah terhadap perlindungan anak itu sendiri. Sebab bagaimana nanti kondisi daerah nanti akan banyak ditentukan oleh anak-anak sekarang ini. Nah, sekarang kalau saja jumlah pekerja anak ini semakin lama semakin banyak maka dapat kita bayangkan bagaimana kondisi daerah ini pada masa yang akan datang. Sudah pastilah akan menjadi masalah” (Wawancara tanggal 26 Januari 2013).
Penjelasan I.K di atas nampaknya mengisyaratkan untuk mengadakan upaya pemutusan mata rantai pekerja anak. Apabila perlindungan tidak tidak dilakukan, maka dari waktu ke waktu ketika anak-anak ini dewasa dan tidak lagi dikatakan pekerja anak, maka akan muncul lagi pekerja anak yang baru dan mungkin saja dengan permasalah yang lebih kompleks lagi sesuai dengan dinamika perkembangan sebuah kota.
Penjelasan I.K juga menggambarkan
adanya kehawatiran terhadap kondisi sosial pada masa yang akan datang, dimana dengan terbentuknya karakter keras dari anak-anak sekarang maka hal tersebut akan terus terbawa hingga mereka dewasa dan berkeluarga nanti. Kehawatiran tersebut merupakan suatu hal yang wajar apabila pemerintah, masyarakat dan
62
seluruh stakeholders terkait tidak mencurahkan perhatian terhadap upaya perlindungan pekerja anak sekarang ini. Dengan melihat kondisi pekerja anak pada sektor informal di Pasar Sentral Kota Gorontalo yang jumlahnya dikhawatirkan akan terus bertambah sudah saatnya perhatian khusus melalui perlindungan anak harus dilaksanakan melalui program sosial perlindungan pekerja anak oleh pemerintah kota. 3. Pendekatan penghapusan Pekerja Anak. Disamping kedua pendekatan yang telah dikemukakan sebelumnya maka pendekatan ketiga yang akan diungkapkan adalah pendekatan penghapusaan pekerja anak. Pendekatan ini berangkat dari asumsi bahwa apabila kedua pendekatan sebelumnya yaitu pendekatan pemberdayaan keluarga dan pendekatan perlindungan anak tidak mampu menanggulangi pekerja anak pada sektor informal di Kota Gorontalo. Pendekatan ini lebih menekankan pada perlunya upaya tegas dalam memperjuangkan hak-hak mendasar anak sehingga larangan terhadap pekerja anak perlu dilakukan. Larangan dimaksud dapat meliputi larangan terhadap penggunaan tenaga kerja anak dan larangan terhadap anak itu sendiri untuk bekerja. Dalam kaitannya dengan pendekatan ketiga ini salah satu informan di Pasar Sentral F.U yang mengungkapkan pendapatanya sebagai berikut “mengenai pekerja anak di pasar ini kalau kita melarang saya kira tidak gampang untuk melarang mereka untuk bekerja. Anak-anak sudah terbiasa mendapat uang dari bekerja apasaja disini. Tapi kalau ada upaya dari pemerintah dan pihak terkait untuk betul-betul melarang anak-anak ini bekerja maka harus dilakukan dengan tegas. Jangan sampe larangan itu hanya pada saat-saat tertentu saja dan ahirnya mereka bekerja lagi disini. Itupun cara ini akan berhasil
63
asalkan pemerintah mau memenuhi kebutuhan anak-anak disini. (Wawancara tanggal 30 Januari 2013). Dari penjelasan informan di atas nampaknya lebih menekankan pada upaya serius pemerintah untuk dapat melaksanakan pendekatan tersebut. Seberapa baik pendekatan sosial yang dilakukan apabila tidak dilakukan secara terus menerus maka akan membawa dampak pada tidak tuntasnya pendekatan yang digunakan pada penghapusan pekerja anak. Sependapat dengan informan F.U di atas informan lainnya yang merupakan konsumen/pengguna tenaga kerja anak bernama K.A menjelaskan bahwa “menurut saya penghapusan pekerja anak akan berhasil apabila pihak terkait serius melaksanakannya. Kalau memang sudah ada larangan dari pihak terkait maka kita ibu-ibu rumah tanggapun tidak mau menggunakan tenaga anak-anak untuk mengangkat barang belanja. Kalau semua sudah tidak menggunakan tenaga mereka lagi maka pasti anak-anak ini tidak bekerja disini lagi. Tinggal bagaimana mereka bisa kembali sekolah. (Wawancara tanggal 30 Januari 2013).
Berdasarkan penjelasan informan F.U dan K.A di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan wawancara dengan salah satu informan anak yang menanyakan bagaimana apabila larangan terhadap pekerja anakpun diberlakukan. Wawancara dilakukan dengan informan anak bernama R.H, yang telah bekerja hampir sepuluh tahun di pasar sentral sebagai buruh angkat. Informan inipun menjelaskan “kalau memang kita tidak dibolehkan lagi bekerja disini dan semua orang yang datang di pasar sentral tidak mau barang belanjanya kita bawa terus anakanak disini mau kerja apalagi. Mau sekolah banyak yang tidak mau lagi karena teman-teman disini sudah biasa bekerja dan dapat uang. Terus siapa yang akan kasi kami uang dan pulang ke rumah mau bawa apa. (Wawancara tanggal 30 Januari 2013).
64
Penjelasan informan anak di atas dapat dipahami bahwa apabila pendekatan penghapusan terhadap pekerja anak telah diberlakukan maka merekapun mempertanyakan pekerjaan apa yang akan mereka lakukan dan bagaimana cara mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ketidaksetujuan pendekatan penghapusan pekerja anak dari perspektif pekerja anak itu sendiri dapat kita pahami lebih pada kebiasaan anak yang telah memperoleh pendapatan secara mandiri dalam usia dini. Dalam pandangan pekerja anak hal tersebut merupakan suatu kebanggaan karena mereka dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan juga dapat memenuhi atau
membantu
kebutuhan orang tua di rumah. Anak-anak ini seperti tidak menyadari bahwa dalam usia mereka sekarang lebih penting untuk menuntut ilmu daripada bekerja pada usia dini. Menuntut ilmu sebagai bekal untuk mereka bisa bekerja pada saat waktunya tiba dengan penghasilan dan penghidupan yang jauh lebih baik di masa sekarang. Ketidaksadaran pekerja anak inilah yang harus didekati secara sosial, sehingga bisa memutus mata rantai kemiskinan yang bisa saja diwarikan oleh keluarga pada mereka. Dari penjelasan yang diungkapkan oleh ketiga informan di atas dapat dipahami bahwa pendekatan terhadap penghapusan pekerja anak dapat saja dilakukan namun hal tersebut menuntut kerjasama dan keseriusan pihak terkait dalam menjalankan pendekatan tersebut. Dalam hal ini pihak terkait dimaksud baik itu pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, masyarakat selaku pengguna jasa pekerja anak, orang tua dan pihak terkait lainnya.
65
Berdasarkan hasil penelitian pada fokus masalah kedua sebagaimana telah diruaikan di atas maka pendekatan sosial terhadap penanggulangan pekerja anak dapat dibuatkan bagan hasil penelitian yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3. Bagan hasil penelitian Pendekatan sosial yang dapat digunakan dalam menanggulangi pekerja anak pada sektor informal di Pasar Sentral Kota Gorontalo
1. Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat/Keluarga
Berkurangnya Jumlah pekerja Anak Pada Sektor Informal di Pasar Sentral Kota Gorontao
2. Perlindungan Terhadap Pekerja Anak
Pendekatan Sosial yang dapat digunakan dalam menanggulangi Pekerja Anak Pada Sektor Informal di Pasar Sentral Kota Gorontalo
3. Penghapusan Pekerja anak
Sumber: Hasil penelitian lapangan November 2012 s.d Januari 2013 4.3 Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian di lapangan jumlah anak yang bekerja pada sektor informal di pasar sentral kota Gorontalo lebih dari 40 (empat puluh) orang dimana keseluruhannya adalah berjenis kelamin laki-laki, dengan usia mulai dari
66
7 (lima) tahun sampai dengan 17 (tujuh belas) tahun, yang hampir seluruhnya berdomisi di wilayah Kota Gorontalo. Informasi jumlah dan usia pekerja tersebut diperoleh dari penjelasan informan di lapangan. Jumlah pekerja anak ini tersebar dengan tidak merata di 3 (tiga) tempat strategis di lokasi ini, yang meliputi 1) tempat penjualan ikan, 2) tempat penjualan rempah-rempah, dan 3) di beberapa toko harian dalam lokasi pasar sentral. Dari ketiga lokasi strategis tempat anakanak ini berkumpul nampaknya sebagian besar anak lebih banyak berkumpul di tempat penjualan rempah-rempah dengan sasaran pekerjaan adalah menjadi buruh pengangkat barang belanja konsumen. Sementara itu jika dilihat berdasarkan jenis pekerjaan anak di lokasi ini dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu 1) sebagai tenaga penjual ikan, 2) sebagai pekerja anak yang mengangkat barang konsumen, 3) sebagai karyawan lepas toko harian. Dari ketiga jenis pekerjaan anak ini lebih didominasi oleh pekerja anak yang mengangkat barang konsumen dengan jumlah pekerja anak berkisar antara 10 (sepuluh) sampai 15 (lima belas) orang. Faktor ekonomi sebagai faktor mendasar yang mendominasi telah melatar belakangi adanya pekerja anak terungkap dilapangan sebagaimana hasil wawancara sebelumnya. Tidak dapat dipungkiri hal ini memiliki keterkaitan erat dengan kemiskinan dan kesejahteraan keluarga pekerja anak. Di Kota Gorontalo sendiri berdasarkan data BPS (Kota Gorontalo dalam angka tahun 2011) jumlah keluarga Pra Sejahtera sebanyak 2.375 keluarga, keluarga sejahtera I bejumlah 12.066, sejahtera II sebanyak 19.218, sejahtera III, 10.077 dan sejahtera III+ berjumlah 1.411. Dari jumlah keluarga kurang mampu ini jelas memiliki
67
hubungan erat dengan sektor tenaga kerja, khususnya pada pekerja anak, dimana penduduk yang masih berada pada garis kemiskinan anak-anak yang ada pada lingkungan keluarga ini sangat mudah masuk pada aktifitas pekerjaan sektor informal untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Dalam kaitannya dengan hal tersebut hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa dari ketiga informan anak pekerja yang diwawancarai menjelaskan bahwa mereka bekerja murni untuk membantu keluarga memenuhi kebutuhan sehari-hari. Satu diantara tiga informan anak ini menjelaskan bahwa orang tuanya tidak memiliki pekerjaan tetap, anak inipun berhenti bersekolah dan ahirnya memutuskan bekerja di pasar sentral. Bagi anak-anak ini bekerja pada usia dini sebenarnya bukan pilihan yang menyenangkan, masa kanak-kanak yang idealnya diisi dengan bermain dan belajar bersama teman-teman seusianya telah dirampas oleh kemiskinan yang telah mengantarkan mereka menjadi pekerja anak pada sektor informal. Gejala yang muncul pada kondisi ini dapat dijelaskan dengan teori strategi kelangsungan rumah tangga ((household survival strategy) yang dikemukakan oleh Khairudin (1995:43). Menurut teori ini anak-anak akan bekerja apabila kondisi ekonomi makin memburuk, yang selanjutnya anak-anak juga turut merasakan sulitnya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan tidak merasa tega dengan beban ekonomi yang dipikul oleh orang tua. Kondisi yang dirasakan inilah dapat mengantarkan anak bekerja pada sektor informal. Kondisi yang sama juga diungkapkan anak-anak di pasar sentral Kota Gorontalo yang dalam keseharianya bekerja mencari uang untuk membantu ekonomi keluarga supaya dapat bertahan hidup.
68
Faktor mendasar kedua penyebab anak bekerja pada sektor informal adalah faktor keterpaksaan. Faktor ini mendominasi kedua setelah faktor ekonomi, dimana terungkap sesuai dengan wawancara dengan informan anak sebagai pekerja yang banyak mengungkapkan tentang keterpaksaanya bekerja di pasar sentral. Keterpaksaan itu dimulai dari keluarga anak itu sendiri yang telah memintanya untuk bekerja mencari uang membantu keluarga di rumah. Faktor keterpaksaan juga dikemukakan oleh informan anak lainnya yang menjelaskan tentang dirinya yang merasa dipaksa oleh temannya untuk bekerja dengan meyakinkan dirinya akan pekerjaan yang mudah dan memperoleh uang yang banyak dengan cepat. Kondisi keterpaksaan bekerja pada sektor informal sebagaimana hasil temuan di lapangan dapat dijelaskan dengan teori yang dikemukakan oleh Mulyadi (2001:66) yang menjelaskan bahwa anak-anak yang bekerja sering karena merasa terpaksa baik dari dalam diri anak itu sendiri maupun dari luar anak. Berdasarkan teori tersebut jika melihat fakta pekerja anak di pasar sentral Kota Gorontalo kondisi terpaksa muncul lebih banyak dari luar diri anak, dimana mereka dipaksa untuk bekerja oleh keluarga maupun dipaksa oleh temannya dengan iming-iming mendapatkan uang yang banyak. Faktor mendasar ketiga penyebab anak bekerja pada sektor informal adalah masalah keluarga. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap rumah tangga pasti akan diperhadapkan dengan berbagai masalah. Dari beberapa informan anak yang telah diwawancarai mengungkapkan bahwa ketidaksanggupan anak melihat konflik rumah tangga antara ibu dan bapaknya telah menyebabkan anak ini tidak merasa betah dirumah dan ahirnya memutuskan tidak tinggal bersama kedua
69
orang tuanya. Anak inipun berhenti bersekolah dan berfikir untuk mencoba hidup mandiri tidak bergantung pada orang tua, keluarga atau sanak saudara yang lain. Dengan tekat kemandirian tersebut ahirnya anak ini datang dan bekerja di pasar sentral kota Gorontalo. Nasib yang sama juga dirasakan oleh informan anak lain yang pergi meninggalkan rumah hanya karena tidak diberikan uang oleh orang tuanya. Karena anak tersebut sudah berada diluar rumah dan harus memenuhi kebutuhannya sendiri, maka anak inipun memilih bekerja di pasar sentral. Nasib yang dialami kedua informan ini dapat dijelaskan dengan teori konflik rumah tangga yang dikemukakan oleh Khairudin, dimana lingkungan keluarga yang tidak kondusif dapat berpengaruh terhadap kondisi psikologis anak yang akhirnya keluar dari lingkungannya dan mencari penghidupannya sendiri. Faktor mendasar yang keempat adalah faktor lingkungan. Dalam perkembangannya anak-anak tidak terlepas dari lingkungan tempat dia berada. Semakin baik lingkungan pergaualan anak maka akan semakin baik pula perilaku yang terbentuk pada anak tersebut, demikian pula sebaliknya. Pengaruh lingkungan terhadap anak bukan saja berkaitan dengan keluarga akan tetapi dengan teman-temannya bergaul setiap hari. Dalam kaitannya dengan keberadaan pekerja anak di pasar sentral juga disebabkan oleh lingkungan pergaulan anakanak. Anak-anak yang hidup di lingkungan teman-teman yang cenderung menyukai bekerja daripada sekolah meskipun orang tua mereka cukup mampu untuk membiayai sekolah mereka. Sebab lingkungan teman-teman sebaya mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam menanamkan nilai-nilai tertentu
70
yang mereka anggap sesuai dengan dunia mereka. Beberapa informan anak yang ditemui menjelaskan keberadaan mereka karena diajak oleh anak-anak lain yang memang sebelumnya telah bekerja dilokasi ini. Cara yang dilakukan adalah dengan meyakinkan anak-anak yang belum bekerja tentang kemudahan dan jenis pekerjaan yang mereka lakukan serta penghasilan yang diperoleh dengan jumlah banyak. Tergiur dengan penghasilan yang banyak anak-anak lainpun pada akhirnya mulai bekerja ditempat ini. Pilihan ini tentunya telah membawa anak pada situasi yang baru, dimana sebelumnya berada pada lingkungan keluarga dengan berbagai aktifitas anak-anak sebagaimana mestinya, menjadi situasi kerja yang kompetitif dan bersaing dengan pekerja anak yang lainnya di lokasi ini. Fakta sosial faktor lingkungan yang menyebabkan adanya pekerja anak di pasar sentral kota Gorontalo dapat dijelaskan juga dengan teori yang dikemukakan oleh Mulyadi tentang lingkungan pergaulan anak. Teori ini menjelaskan kuatnya pengaruh lingkungan terhadap perkembangan anak, yang bisa membawa mereka pada berbagai situasi yang baru sesuai dengan lingkungan yang membentuknya. Demikian halnya dengan beberapa pekerja dipasar sentral yang telah diajak oleh teman-temannya bekerja di tempat ini. Eksistensi pekerja anak di pasar sentral telah terungkap melalui 4 (empat) penyebab mendasar sebagaimana pada pembahasan di atas. Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian di lapangan terhadap faktor penyebab tersebut dapat dilakukan
pendekatan
sosial
melalui
tiga
cara,
1)
pemberdayaan
masyarakat/keluarga, dan 2) perlindungan terhadap pekerja anak, serta 3) penghapusan pekerja anak.
71
Konsep
Pemberdayaan
sebagai
proses
mengembangkan,
memandirikan,
menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan (Sutoro Eko, 2002). Konsep pemberdayaan (masyarakat desa) dapat dipahami juga dengan dua cara pandang. Pertama, pemberdayaan dimaknai dalam konteks menempatkan posisi berdiri masyarakat. Posisi masyarakat bukanlah obyek penerima manfaat (beneficiaries) yang tergantung pada pemberian dari pihak luar seperti pemerintah, melainkan dalam posisi sebagai subyek (agen atau partisipan yang bertindak) yang berbuat secara mandiri. Berbuat secara mandiri bukan berarti lepas dari tanggungjawab negara. Menurut Sunyoto Usman, (2004:47) tujuan pemberdayaan masyarakat adalah memampukan dan memandirikan masyarakat terutama dari kemiskinan dan keterbelakangan, kesenjangan, ketidakberdayaan. Kemiskinan dapat dilihat dari indikator pemenuhan kebutuhan dasar yang belum mencukupi/layak. Kebutuhan dasar itu, mencakup pangan, pakaian, papan, kesehatan, pendidikan, dan transportasi. Sedangkan keterbelakangan, misalnya produktivitas yang rendah, sumberdaya manusia yang lemah, terbatasnya akses pada tanah padahal ketergantungan pada sektor pertanian masih sangat kuat, melemahnya pasar-pasar lokal/tradisional karena dipergunakan untuk memasok kebutuhan perdagangan internasional. Dengan perkataan lain masalah keterbelakangan menyangkut struktural (kebijakan) dan kultural. Berdasarkan kondisi yang dihadapi sekarang ini di Kota Gorontalo, masalah yang perlu diupayakan adalah bagaimana strategi atau kegiatan yang dapat
72
diupayakan untuk mencapai tujuan pemberdayaan masyarakat. Terdapat beberapa strategi yang dapat menjadi pertimbangan untuk dipilih dan kemudian diterapkan dalam pemberdayaan masyarakat yang dalam pembahasan ini akan dirangkaikan dengan pemberdayaan masyarakat miskin di kota Gorontalo. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu ; pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Di Kota Gorontalo sebagai ibu kota Provinsi memiliki berbagai potensi
yang
dapat
dimanfaatkan
melalui
upaya
pemberdayaan
masyarakat/keluarga, misalnya melalui program pemberdayaan ekonomi Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka pemberdayaan ini. Dalam konteks ini upaya yang dapat dilakukan fokus pada keluarga pekerja anak melalui peningkatan derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Upaya ini membutuhkan keseriusan dari seluruh pihak di Kota Gorontao, baik pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, pihak swasta maupun lembaga terkait lainnya. Perhatian mendasar terhadap keluarga pekerja anak ini berupa akses kesehatan, pendidikan dan akses terhadap penguatan ekonomi. Untuk itu perlu ada program khusus bagi masyarakat/keluarga pekerja anak yang kurang berdaya, karena program-program umum yang berlaku tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini.
73
Terkait dengan pemberdayaan masyarakat penelusuran yang dilakukan pada BPMP dan KB Kota Gorontalo diperoleh informasi bahwa program pemberdayaan ada pada beberapa dinas, pihak BPMP dan KB hanya melakukan koordinasi dengan instansi terkait. Informasi penting lainnya yang diperoleh dari unit kerja ini bahwa secara khusus program pemberdayaan untuk keluarga yang memiliki pekerja anak belum pernah dilakukan oleh unit kerja di lingkup pemerintah kota. Namun beberapa tahun lalu pernah dilakukan oleh tim penggeran PKK Provinsi Gorontalo yang hasilnya menurut informan di pasar sentral sebagian besar dari jumlah pekerja anak kembali lagi bekerja sebagaimana sebelumnya. Hal ini terjadi akibat adanya perbedaan kompensasi yang diterima oleh pekerja anak. Untuk mengikuti program sekolah sebagaimana yang dilakukan oleh tim penggerak PKK maka setiap anak akan mendapatkan kompensasi antara 10 (sepuluh) ribu sampai dengan 15 (lima belas) ribu setiap harinya dengan syarat mereka harus tetap belajar di sekolah sebagaimana biasanya. Jumlah kompensasi tersebut memiliki selisih yang cukup besar dengan jumlah penghasilan pekerja anak setiap harinya ketika mereka bekerja, dengan penghasilan berkisar antarra 30 (tiga puluh) ribu sampai dengan 50 (lima puluh) ribu setiap harinya. Selisih jumlah penghasilan inilah merupakan salah satu faktor yang mendorong sebagian besar anak-anak kembali bekerja di pasar sentral. Setelah program tersebut dilaksanakan, sampai dengan sekarang belum ada upaya program lainnya terhadap pekerja anak di Kota Gorontalo. Hal yang lebih mengejutkan lagi penelusuran yang dilakukan peneliti ke unit kerja BPMP
74
dan KB ternyata belum memiliki data tentang pekerja anak, padahal unit kerja ini membidangi pemberdayaan perempuan dan anak. Berdasarkan fakta sosial di lapangan ini idealnya untuk dapat memberdayakan masyarakat, keluarga dan pekerja anak perlu diketahui berapa jumlah yang akan diberdayakan secara ekonomi. Dalam kaitannya dengan penanganan pekerja anak peneliti menilai bahwa upaya yang perlu dilakukan adalah memberdayakan masyarakat, khususnya keluarga pekerja anak. Apabila hal ini dilakukan maka sangat tidak mungkin keluarga akan membiarkan anakanak mereka melakukan pekerjaan yang belum waktunya dilakukan. Upaya pemberdayaan keluarga yang terfokus dan berhasil akan membawa kembali anakanak pada aktifitas seusianya yaitu bermain dan belajar sebagaimana anak-anak lainnya. Pemberdayaan yang difokuskan pada keluarga pekerja anak juga dapat dilakukan dengan cara menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan semangat hidup adalah bagian pokok yang tidak terlepas dari upaya pemberdayaan ini. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kurang berdaya dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, dalam konteks perlindungan dan keberpihakan kepada keluarga pekerja anak sangat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan. Melindungi yang dimaksud oleh peneliti bukan berarti mengisolasi atau menutupi interaksi keluarga pekerja anak terhadap pihak lain, karena hal itu justru semakin membuat keluarga ini lemah. Melindungi yang dimaksud dalam pemberdayaan keluarga ini
75
adalah upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat terhadap keluarga yang lemah dan akhirnya dampak negatifnya diterima oleh anak-anak dalam keluarga ini yang terjun dalam dunia kerja. Pemberdayaan keluarga pekerja anak bukan membuat keluarga menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity). Karena pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri dari keluarga yang akan diberdayakan secara ekonomi. Program ketergantungan banyak terjadi, seperti pemberian bantuan pada usaha mikro kecil menengah untuk pemberdayaan keluarga, namun pada akhirnya mengalami kemacetan dan berhenti. Pada tahun berikutnya pemilik usaha ini tetap menunggu
bantuan
yang
sama,
sehingga
belum
memberikan
dampak
pemberdayaan sebagaimana yang diharapkan. Hal ini menunjukkan adanya ketergantungan pada berbagai program pemerintah. Dengan demikian dalam konteks pemberdayaan, tujuan akhirnya adalah memandirikan
keluarga
pekerja
anak,
memampukan,
dan
membangun
kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan. Peneliti sangat yakin jika berbagai hal yang telah dijelaskan di atas dapat dilakukan secara bersama oleh berbagai pihak terkait maka kemampuan ekonomi keluarga pekerja anak akan membaik dan akhirnya dapat mengatasi masalah pekerja anak di kota Gorontalo. Pendekatan sosial yang selanjutnya akan dibahas adalah upaya perlindungan terhadap pekerja anak. Banyak penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan
merupakan
faktor
pendorong
yang
paling
mendasar.
76
Pada keluarga miskin, keputusan untuk bekerja sebagian datang dari anak sendiri, tetapi sebagian lain karena keinginan orang tua. Penelitian oleh Suyanto dan Mashud (2000:33) menemukan bahwa lebih dari separuh orang tua menghendaki anaknya membantu pekerjaan orang tua dengan maksud-maksud sosial edukatif meski pada kenyataannya hal ini tetap mengakibatkan banyak anak lebih tertarik menekuni pekerjaan daripada sekolahnya. Sebagian kecil lainnya memaksa anak-anaknya bekerja, baik dalam lingkungan keluarga maupun kepada orang lain untuk tujuan ekonomi. Dalam situasi ekonomi keluarga yang tidak mampu kecenderungan keinginan orang tua untuk memperlakukan anak sebagai tenaga kerja produktif menjadi makin kuat karena penghasilan yang diperoleh orang tua tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga. Selama ini fokus terhadap penanggulangan pekerja anak dapat dikatakan belum maksimal yang dibuktikan dengan kurangnya program yang mengarah pada penaggulangan pekerja anak. Untuk pekerja anak di pasar sentral kota Gorontalo selama ini hanya sekali dilaksanakan oleh PKK Provinsi Gorontalo. Hal ini disebabkan oleh berbagai kendala di lapangan. Antara lain, nilai-nilai sosial seperti nilai historis, tradisi, kebiasaan, lingkungan sosial, budaya masyarakat yang tersusun dari tingkah laku yang terpola, dan lemahnya sistem pengawasan yang dilakukan oleh bidang pengawasan ketenagakerjaan. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh informan dari BPMP dan KB Kota Gorontalo, bahwa masalah yang terkait dengan pekerja anak adalah masalah lintas sektoral dimana programnya juga dilaksanakan secara lintas sektoral, yang
77
meliputi aspek ekonomi (anak bekerja merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktifitas sebuah keluarga), budaya (anak bekerja merupakan keharusan budaya masyarakat tertentu yang merupakan doktrin di masyarakat banyak anak banyak rejeki), politik (dengan anak bekerja, dapat diharapkan dapat melanggengkan dominasi kekuasaan), hukum (anak yang bekerja juga melingkupi penegasan status dan kedudukan anak sebagai subyek yang memiliki hak dan kewajiban yang harus dijamin oleh hukum), sosial (anak yang bekerja dapat mengangkat harkat dan derajat sebuah keluarga di mata masyarakat/anak yang nganggur adalah hina di mata masyarakat). Sehingga berpijak dari berbagai macam perspektif mendasar penyebab adanya pekerja anak, menuntut pula peran pemerintah dalam hal regulasi dan pengaturan yang komprehensif dalam bentuk program sosial yang seharusnya dibuat, baik oleh eksekutif maupun legislatif, baik ditingkat pusat maupun ditingkatan daerah, selaras dengan semangat dan esensi otonomi daerah. Oleh karena itu dalam perspektif perlindungan sosial pihak terkait di daerah, maka penanggulangan pekerja anak lebih dipertegas dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Dan Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001, tanggal 8 Januari 2001, tentang Penanggulangan Pekerja Anak, dijelaskan dalam pasal 1 ayat 4, bahwa Penanggulangan Pekerja Anak atau disebut PPA adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk menghapus, mengurangi dan melindungi pekerja anak berusia 17 tahun ke bawah agar terhindar dari pengaruh buruk pekerjaan berat dan berbahaya. Sedangkan pelaksanaan kegiatan PPA dapat
78
dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah daerah, Perguruan Tinggi, Lembaga Kemasyarakatan dan lembaga lain yang peduli terhadap pekerja anak. Secara konsepsional, setidaknya ada tiga pendekatan sosial yang dapat digunakan masalah pekerja anak, sebagai upaya untuk mengatasi dan sekaligus memberdayakan
pekerja
anak,
yakni
pemberdayaan
dan
penguatan
(empowerment), perlindungan (protection), atau penghapusan (abolition), (Affandi, 2007: 19). Pendekatan pemberdayaan (Empowerment) berawal dari pengakuan terhadap hak-hak anak dan mendukung upaya penguatan pekerja anak agar mereka memahami dan mampu memperjuangkan hak-haknya. Dalam pandangan peneliti pendekatan perlindungan seharusnya menjadi dasar pijakan bagi suatu wilayah untuk menanggulangi pekerja anak lebih khusus dengan semangat dan esensi otonomi daerah. Di Kota Gorontalo dalam konteks penanggulangan pekerja anak menurut peneliti difokuskan pada pemberdayaan masyarakat/keluarga pekerja anak itu sendiri. Sebab apabila orang tua anak dalam kondisi ekonomi yang stabil maka mereka tidak akan pernah membiarkan anak-anak bekerja apalagi pada sektor informal. Pendekatan kedua adalah pendekatan perlindungan. Pendekatan ini muncul berdasarkan pandangan bahwa anak sebagai individu mempunyai hak untuk bekerja. Oleh karenanya hak-haknya sebagai pekerja harus dijamin melalui peraturan ketenagakerjaan sebagaimana yang berlaku bagi pekerja dewasa, sehingga terhindar dari tindak penyalahgunaan dan eksploitasi. Dalam pandangan peneliti, pendekatan kedua ini tidak melarang anak bekerja karena bekerja adalah
79
bagian dari hak anak yang paling dasar, karena anak-anak seharusnya masih melakukan aktifitas seusianya, bermain dan belajar baik di llingkungan keluarga maupun pada sekolah formal. Meskipun masih anak-anak, perlindungan harus dapat menjamin terwujudnya hak anak yang paling asasi untuk mendapatkan pekerjaan, dan oleh karenanya juga mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sehingga dengan demikian menurut peneliti, masa depan anak tidak lagi ditentukan oleh kekuatan orang tua, keluarga, masyarakat, apalagi Negara. Tetapi sebaliknya orang tua, keluarga, masyarakat dan Negara, mempunyai kewajiban untuk menjamin terwujudnya hak anak yang paling asasi yakni mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pendekatan ketiga adalah pendekatan penghapusan. Pendekatan ini muncul berdasarkan asumsi bahwa seorang anak tidak boleh bekerja, karena dia harus sekolah dan bermain sebagaimana anak-anak lainnya. Hal ini menurut penulis, dilandasi oleh semangat dan kultur masyarakat. Sebab dalam masyarakat yang sudah maju dan sejahtera tidak ditemukan persoalan yang signifikan bahwa mereka para keluarga mengharuskan anaknya bekerja karena alasan ekonomi. Sehingga dalam suatu wilayah yang maju, sering kita jumpai aturan yang melarang segala jenis pekerja anak dan oleh karenanya praktek kerja anak harus dihapuskan. Dunia anak adalah dunia sekolah dan dunia bermain, yang diarahkan kepada peningkatan dan akselerasi perkembangan jiwa, fisik, mental, moral dan sosial. Setting dan kurikulum sekolah anak di desain sedemikian rupa sehingga anak benar-benar selaras dalam dunia mereka sendiri, yang merupakan bagian
80
integral dari proses yang sistematis dalam melahirkan generasi serta dunia anak yang kondusif. Selain memperhatikan ketiga pendekatan sosial tersebut diatas menurut juga perlu upaya memberikan perlindungan dan pencegahan terhadap pekerja anak dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagaimana dikemukakan Huraerah (2006: 76); pertama, mengubah persepsi masyarakat terhadap pekerja anak, bahwa anak yang bekerja dan terganggu tumbuh kembangnya dan tersita hakhaknya akan pendidikan tidak dapat dibenarkan. Kedua, melakukan advokasi secara bertahap untuk mengeliminasi pekerja anak, dengan perhatian pertama diberikan kepada jenis pekerjaan yang sangat membahayakan, dalam hal ini perlu ada kampanye besar-besaran untuk menghapuskan pekerja anak. ketiga, mengupayakan perlindungan hukum dan menyediakan pelayanan yang memadai bagi anak-anak yang bekerja di sektor informal. Keempat, memastikan agar anakanak yang bekerja memperoleh pendidikan dasar 9 tahun, pendidikan keterampilan melalui bentu-bentuk pendidikan alternatif yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Berdasarkan pembahasan tersebut di atas maka jelaslah bahwa berbagai faktor mendasar yang menyebabkan adanya pekerja anak pada sektor informal di pasar sentral kota Gorontalo yang meliputi faktor ekonomi, masalah keluarga, keterpaksaan dan lingkungan, sesuai dengan hasil penelitian dan pembahasan untuk
mengurangi
atau
menanggulanginya
dapat
dilakukan
pendekatan
pemberdayaan masyarakat/keluarga pekerja anak, pendekatan perlindungan anak dan pendekatan penghapusan pekerja anak.