BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Teks Sasalamate Tamo yang diperoleh berbentuk narasi yang terdiri atas lima belas paragraf. Paragraf pertama sampai dengan tiga belas merupakan pengantar. Paragraf empat belas dan lima belas merupakan inti dari Sasalamate Tamo. 4.1.1 Bentuk Simbol Verbal dalam Teks Sasalamate Tamo Bentuk simbol verbal yang ditemukan dalam teks Sasalamate Tamo adalah simbol dalam bentuk frasa, kalimat dan kata pada setiap paragraf. Simbol-simbol tersebut adalah sebagai berikut: 4.1.1.1 Simbol Verbal dalam Bentuk kata 1. Upung Madelu (leluhur Madelu) dan ‘ana pulung’ (anak cucu) Kata ‘upung Madelu‘ (leluhur Mdelu) dan ‘ana pulung’ (anak cucu) dapat dilihat pada paragraf keempat berikut: Wade ndau kai kalu nanging. Kalu nanging, kalu nanging, kalu mekekananginag. Kelangeng metetowo mededaung. Tatinganeng makawombo u rali, tawe ipelo u mata tamalahiwuang pelokang. Ore lai kai kalu niontu I Upung Madelu. Salu e kai pusaka su ana pulung nae mebebawelase Alkisah ada pohon yang rindang dan indah. Pohon yang indah, pohon yang indah, pohon yang sangat indah. Kelihatannya bercabang dan berdaun. jika dipandang membuat orang tertarik. Pohon yang ditanam oleh leluhur bernama madelu, aliranya menjadi warisan turun temurun bagi anak cucu.
Kata “I Upung Madelu” yaitu simbol dari “tahun yang lalu” dan kata “ana pulung” (anak cucu) sebagai simbol dari “tahun yang baru”. Leluhur bernama Madelu adalah merupakan leluhur masyarakat Sangihe yang diyakini pernah hidup pada zaman dahulu oleh sebab itu kata ‘I Upung Madelu’ disimbolkan sebagai ‘tahun yang lalu’ sedangakan ‘ana pulung’ (anak cucu) sebagai generasi muda yang ada di zaman sekarang yang merupakan simbol dari kehidupan yang baru atau ‘tahun yang baru’. 2. Wisaraku” (perkataan), “pemate” (membunuh) dan “pemoso” (memetik) Kata-kata Wisaraku” (perkataan), “pemate” (membunuh) dan “pemoso” (memetik) dapat ilihat pada paragraf kesepuluh berikut: Engkung I Bataha kai pia lawa peli, kai engkung I Bataha lawo, kai seng tawe apa lawa peli mesasampa lawewe melehiwusala. Ku ini datung lawe lohong hombang kai seng taku limbangeng, limbangeng taku limbangeng liwuaheng taku liwuaheng. Taku limbangeng uwera, taku liwuahengu wisara. Kai pia beraku nahegi bisaraku makahangiang. Bera I pemate lawo bisara, i pemoso hombang. Menurut leluhur bernama Bataha ada pantangan., tetapi menurut leluhur bernama Bataha Lawo tak ada lagi pantangan yang menghalangi dan merintangi. Semua yang jahat akan ku singkirkan, akan kusingkirkan akan ku singkirkan, akan ku musnakan akan ku musnahkan. Akan ku singkirkan dengan segalah perkataan. Perkataan untuk membunuh dan memetik segalah halangan. Kata “wisaraku” (perkataan) sebagai simbol dari (doa). Doa merupakan bentuk seoaran manusia terhadap Tuhanya. Permohonan-permohonan tersebut diungkapkan dengan kata-kata. oleh sebab itu kata “wisaraku” (perkataan)” dalam Sasalamate Tamo sebagai simbol dari ‘doa’
Kata “pemate” (membunuh) dan “pemoso” (memetik) sebagai simbol dari “menghilangkan, menyingkirkan”. Apabila seseorang membunuh atau memetik sesuatu maka secara tidak lansung orag tersebut menghilangkan sesuatu atau menyingkirkan sesuatu. 4.1.1.2 Simbol Verbal dalam Bentuk Frasa 1. Anau kawanua ‘sanak saudara’ Frasa ‘anau kawanua’ dapat dilihat pada paragraf pertama berikut: Mebua bou lawaseng menghudingangkeng tulumang mendingangngi Ruata I amang mambeng mengentanude sutatepang. Adate isesumelung kere pinebera sukebi patiku anau kawanua naitu dorong su walang tampungang. Berawal dari permulaan yang damai, mengharapkan pertologan Tuhan yang Maha Kuasa, akan menyertai dalam setiap langkah kehidupan. Salam hormat kepada seluruh handai tolan, sanak saudara yang datang meluangkan waktu ke tempat ini. Kata ‘anau kawanua’( sanak saudara) merupakan simbol dari “menghargai dan menghormati’. Kata “anau kawanua” secara leksikal berarti ‘sanak saudara’. Akan tetapi, dalam Sasalamate Tamo kata “anau kawanua” yaitu ungkapan rasa saling menghargai dan menghormati. Semua masyarakat yang hadir dari desa manapun, dari golongan apa saja dianggap sebagai keluarga yang harus dihargai dan dihormati sebagaimana kita saling menghargai dalam keluarga. 2. ‘Mebebatu berang kanarang’ (mengikuti kebiasaan) Frasa ‘mebebatu berang kanarang’ (mengikuti kebiasaan) dapat dilihat pada paragraf kedua berikut: Bulude marange niralengang, bedae masana niliuang. Mebebatu berang kanarang saloba kere intang bou marau. Naramahi bou tahanusa ,mang laing nenondong pato nedaraung sekanaung naitu gihile pedaramene.”
Menjelajahi gunung yang tinggi, melintasi lebah yang dalam. Mengkuti kebiasaan seperti itan dari jauh. Datang dari pulau yang jauh sambil bergandengan tangan dengan satu hati untuk memeriahkan acara ini. Kata ‘mebebatu berang kanarang’ (mengikuti kebiasaan) sebagai simbol dari ‘menjaga, melestarikan’ sebab kata ‘mengikuti kebiasaan’ berarti selalu terlibat dalam hal-hal yang sering dilakukan. Tulude merupakan upacara adat yang selalu dilaksanakan setiap tahun secara turun temurun. 3.
“Mekekila mesesarawelo” (kilat yang memancar) Frasa ‘mekekila mesesarawelo’ dapat dilihat pada paragraf kelima berikut:
Ku kai haungang taku haungang, sawembingang taku sawembingang. Taku haungang heming sewembingang u delage. Su limang Mawu Ruata, sembeng memeteng pelade maralending nintandang mekekila mesesarawelo. Ia tamataku u mekapura. Ku coba menghampirinya ,memperhatikannya, kuhampiri sambil tersenyum dan kuperhatikan sambil tertawa. Ditangan Tuhan yang Maha Kuasa menengadahkan tangan-Nya yang perkasa seperti kilat yang memancar sambil memberkati aku tidak gentar dan takut Frasa “mekekila mesesarawelo” (kilat yang memancar) sebagai simbol dari “kekuasaan, kekuatan Tuhan”. Kata ‘mekekila’ secara leksikal berarti kilat. Dalam Sasalamate Tamo kata “mekekila’ dinyatakan sebagai simbol dari kekuatan Tuhan sebab kata kilat merupakan salah satu fenomena alam yang memilki kekuatan yang besar bahkan mampu menghancurkan sesuatu. 4. Metetinena, mengengenae (berfikir mengira-ngirai) Frasa ‘metetinena, mengengenae’ terdapat pada paragraf keenam berikut: Lumintu e ia bou baleku lisade binalaku. Mengalae baliung longso, sinangeng su wembang. Bembang tamarolong sahere. Napelo e surelahe metetinena,
mengengenae bulang sulangi metetia u mandaulu mesang sude elo mapia. Kai engkung manga gagurang tawe apa elo dalai elo mang mapia kebi
Bergegaslah aku berangkat turun dari rumah kediamanku, ku ambil kapak kuletakan pada pundaku dan aku tak kenal lelah. Sesampainya di halaman rumah aku berpikir sejenak mengira ngirai bulan dilangit untuk bepergian. Tetapi pesan para leluhur pendahulu, sudah tidak ada lagi hari yang malang, semua hari adalah tepat dan baik Kata “metetinena, mengengenae” secara leksikal berarti ‘berfikir, mengirangirai’ sebagai simbol dari “ketelitian” sebab jika sesorang memikirkan terlebih dahulu apa yang akan dia kerjakan tentunya orang tersebut sangat teliti.
5. Bulang sulangi” (bulan dilangit)
Frasa ‘bulang sulangi terdapat pada paragraf keenam berikut: Lumintu e ia bou baleku lisade binalaku. Mengalae baliung longso, sinangeng su wembang. Bembang tamarolong sahere. Napelo e surelahe metetinena, mengengenae bulang sulangi metetia u mandaulu mesang sude elo mapia. Kai engkung manga gagurang tawe apa elo dalai elo mang mapia kebi
Bergegaslah aku berangkat turun dari rumah kediamanku, ku ambil kapak kuletakan pada pundaku dan aku tak kenal lelah. Sesampainya di halaman rumah aku berpikir sejenak mengira ngirai bulan dilangit untuk bepergian. Tetapi pesan para leluhur pendahulu, sudah tidak ada lagi hari yang malang, semua hari adalah tepat dan baik. Frasa “bulang sulangi” (bulan dilangit) sebagai simbol dari “waktu dan kesampatan”. Kata “bulan dilangit’ merupakan salah satu benda alam yang oleh masyarakat Sangihe dijadikan sebagai salah satu alat untuk menentukan waktu. Kata ‘bulang dilangit’ menandakan datangnya malam hari dan bulan hanya
muncul pada malam-malam tertentu saja oleh karena itu kata ‘bulang sulangi’ dalam Sasalamate Tamo dinyatakan sebagai simbol dari waktu dan kesempatan. 6. Burae nemesi mawira (bunganya berwarna putih suci) Frasa “burae nemesi mawira” dapat dilihat pada paragraf keduabelas berikut: Ndau supusunge kai pia buang kalu, dinure burae nemesi mawira. Darurune simalawu, nakoa benging luwing sembanua. Ku ini pahiako petatahia hinong, makoa tatiala sembanua, ore lai kasesembau u kumolang Pada pucuk pohon memiliki buah, bunganya berwarna putih suci. Bauhnya harum semerbak wangi dunia. Dan ini akan dibagi-bagikan sebagai lambang bagi seluruh alam Frasa “burae nemesi mawira” (bunganya berwarna putih suci) sebagai simbol “tahun baru yang lebih baik”. kata “burae” (bunga) bersinonim dengan kata “bungang” (bunga). Namun, kata “burae” merupakan bunga yang baru mekar atau bunga yang baru. Sedangkan “bungang” merupakan bunga yang sudah mekar. Oleh sebab itu, dalam Sasalamate Tamo kata “burae” dinyatakan sebagai simbol dari tahun yang baru. Kata “nemesi mawira” (berwarna putih suci) menandakan suatu hal yang baik. 7. Pepedisange”(cuaca panas), “petahitiange”, (waktu hujan), “haungang” (dicabut) dan “i enso” (dipindahkan). Kalu timuwo su ake himeti su maralending. Kalu pepedisang e mededaung, petahitiang e mededakulung. Haungang tamlolang, ienso mang tumuwo, i aling mang tumendang. Supusige kai ndau pia I Genggonalangi, ore lai I Umbolangi. Ore lai kalu liuang takaliung, selungang takaselungang. Kalu raunge ta I kaketuang u baharia, ta I kakintingang u sahawu. kaketune kai adate, kakintinge kai hormati Pohon yang tumbuh di air, hidup didaerah lembab. Pohon ketika cuaca panas tetap berdaun, diwaktu hujan pun bertunas dan berdaun lebat,dipanas berkepanjangan pun tidak akan layu. Dipindah-pindahkan tempatnya pun tetap segar dan hidup. Di
atas ku ada Tuhan yang berkuasa dan selalu menyertai, pohon ini tidak bisa dijadikan tempat berteduh dan tidak bisa dilalui orang. Daunya tidak bisa dipetik begitu saja tetapi harus secara adat istiadat.
Frasa “pepedisange”(cuaca panas), “petahitiange”, (waktu hujan), “haungang” (dicabut) dan “i enso” (dipindahkan) yang merupakan simbol dari “situasi atau kondisi’. Sedangkan kata “mededaung”(berdaun), “mededakulung” (bertunas), “tamalolang” (tidak layu) dan “tumendang” (tetap segar dan hidup) merupakan simbol dari “kemakmuran, kesuburan” Kata ‘ cuaca panas’, ‘waktu hujan’ ‘dipindahkan’ dan kata ‘dicabut’ merupakan hal-hal yang berhubungan situasi dan kondisi. Apabilah situasi dan kondisi tersebut terus beralasung dalam waktu yang lama tentunya akan membuat tanaman menjadi layu bahkan mati akan tetapi apabilah tanah yag ditanami tersebut merupakan tanah yang subur tentunya bagaimanapun kondisi dan situasi alamnya maka tanam tersebut akan tetep ‘mededaung”(berdaun), “mededakulung” (bertunas), “tamalolang” (tidak layu) dan “tumendang”. Maka secara otomatis daerah tersebutakan menjadi daerah yang makmur karena hasil alamnya selalu melimpah. 8. Kipung su limang biang” (disepuh oleh sang putri) Frasa “kipung su limang biang” dapat dilihat pada paragraf ketigabelas berikut ini: Kalawo u anau sengkatau leadateng. Lelange kai taku sesuhang, daunge kai makoa luwing sembanua. Ku seng mengalako baliung longso, piso tatebale nigora I Makaumbala, kipung su limang
biang. Piso piodo niasa pinakahoro sukamanga, seke su amangmurungu pangalo i penuang kalu lewe kalu angkubu wanu. Ku seng tempone taku tuangeng. Cabangnya akan kubersihkan dan dirapihkan, daunya sebagai obat sekalian alam. Dan saatnya kuambil kapak yang tajam pisau pemotong yang dibuat empu Makaumbala disepuh oleh sang putri, pisau diasah dibatu peperangan akan dipakai untuk menebang pohon tersebut dan sekarang saat yang tepat untuk ku tebang. Frasa “kipung su limang biang” secara leksikal berarti ‘disepuh oleh sang putri’. Berdasarkan kesepaatan masyarakat dalam Sasalmamate Tamo merupakan simbol dari “kebijaksanaan”, sebab sosok sang putri merupakan sosok yan anggun, mampu mengayomi dan tentunya sosokyang bijaksana. 9. Penuang kalu (menebang kayu) Frasa ‘penuang kalu’ dapat dilihat pada ketigabelas berikut: Kalawo u anau sengkatau leadateng. Lelange kai taku sesuhang, daunge kai makoa luwing sembanua. Ku seng mengalako baliung longso, piso tatebale nigora I Makaumbala, kipung su limang biang. Piso piodo niasa pinakahoro sukamanga, seke su amangmurungu pangalo i penuang kalu lewe kalu angkubu wanu. Ku seng tempone taku tuangeng. Cabangnya akan kubersihkan dan dirapihkan, daunya sebagai obat sekalian alam. Dan saatnya kuambil kapak yang tajam pisau pemotong yang dibuat empu Makaumbala disepuh oleh sang putri, pisau diasah dibatu peperangan akan dipakai untuk menebang pohon tersebut dan sekarang saat yang tepat untuk ku tebang. Frasa
“penuang kalu”
secara leksikal “menebang pohon” dalam
Sasalamate Tamo kata “penuang kalu” (menebang kayu) merupakan siimbol dari “saling berbagi” sebab kata ‘menebang kayu’ berarti membagi pohon tersebut menjadi beberapa bagian.
4.1.1.3 Simbol Verbal dalam Bentuk Kalimat 1. Bulude marange niralengang, bedae masana niliuang (menjelajahi gunung yang tinggi, melintasi lembah). Kalimat ‘bulude marange niralengang, bedae masana niliuang dapat dilihat pada paragraf kedua berikut: Bulude marange niralengang, bedae masana niliuang. Mebebatu berang kanarang saloba kere intang bou marau. Naramahi bou tahanusa ,mang laing nenondong pato nedaraung sekanaung naitu gihile pedaramene.” Menjelajahi gunung yang tinggi, melintasi lebah yang dalam. Mengkuti kebiasaan seperti itan dari jauh. Datang dari pulau yang jauh sambil bergandengan tangan dengan satu hati untuk memeriahkan acara ini.” Kalimat ‘bulude marange niralengang, bedae masana niliuang’ (menjelajahi gunung yang tinggi, melintasi lembah yang dalam) yang merupakan simbol dari “pengorbanan, usaha”. Menjelajahi gunung yang tinggi dan melintasi lembah yang dalam merupakan sebuah perjalanan yang sangat melelahkah dan tentunya diperlukan usaha serta pengorbanan yang besar agar dapat melaluinya. Begitupun halnya usaha masyarakat untuk menghadiri tulude. 2. Nenondong pato nedaraung sengkanaung ” (bergandengan tangan dengan satu hati). Kalimat’nenondong pato nedaraung sengkanaung’ (bergandengan tangan dengan satu hati) dapat dilihat pada paragraf kedua berikut: Bulude marange niralengang, bedae masana niliuang. Mebebatu berang kanarang saloba kere intang bou marau. Naramahi bou tahanusa ,mang laing nenondong pato nedaraung sekanaung naitu gihile pedaramene.”
Menjelajahi gunung yang tinggi, melintasi lebah yang dalam. Mengkuti kebiasaan seperti itan dari jauh. Datang dari pulau yang jauh sambil bergandengan tangan dengan satu hati untuk memeriahkan acara ini.” Kalimat’nenondong pato nedaraung sengkanaung’ (bergandengan tangan dengan satu hati) sebagai simbol dari ‘kebersamaan dan persatuan’. Sebab bergandengan tangan dengan tujuan yang sama dapat menyatukan antara satu sama lain sehingga dapat bersama. 3. Tawe baline pesasiringung, ore lai pekakelungang I henggona liung kawasa (tidak ada tempat berlindung dan memohon pertolongan selain Tuhan yang Maha Kuasa) Kalimat ‘tawe baline pesasiringung, ore lai pekakelungang I henggona liung kawasa’ dapat dilihat pada paragraf ketiga berikut: Kemangang pia bawera mateti, kasihe ko dade dala, kanawo su entana, kasapua sarang langi. Tawe baline pesasiringung, ore lai pekakelungang I henggona liung kawasa. Jika ada sesuatu yang kurang berkenan kiranya kita terhindar darinya. Tidak ada tempat berlindung dan memohon pertolongan selain Tuhan yang Maha Kuasa. Kalimat “tawe baline pesasiringung, ore lai pekakelungang I henggona liung kawasa” (tidak ada tempat berlindung dan memohon pertolongan selain Tuhan yang Maha Kuasa) sebagai simbol dari “kepasrahan seorang hamba” sebab jika seseorang menganggap Tuhan sebagai tempat satu-satunya tempat berlindung secara tidak lansung orang tersebut mengakui akan adanya Tuhan dan keterbatasannya sebagai sebagai seorang manusia. Secara otomatis, orang tersebut akan memasrahkan dirinya kepada Tuhan.
4. Kalu nanging, kalu nanging, kalu mekekananginag (pohon yang indah, pohon yang indah, pohon yang sangat indah). Kalimat ‘kalu nanging, kalu nanging, kalu mekekananginag’ dapat dilihat pada paragraf keempat berikut: Wade ndau kai kalu nanging. Kalu nanging, kalu nanging, kalu mekekananginag. Kelangeng metetowo mededaung. Tatinganeng makawombo u rali, tawe ipelo u mata tamalahiwuang pelokang. Ore lai kai kalu niontu I Upung Madelu. Salu e kai pusaka su ana pulung nae mebebawelase Alkisah ada pohon yang rindang dan indah. Pohon yang indah, pohon yang indah, pohon yang sangat indah. Kelihatannya bercabang dan berdaun. jika dipandang membuat orang tertarik. Pohon yang ditanam oleh leluhur bernama madelu, aliranya menjadi warisan turun temurun bagi anak cucu. Kata “Kalu nanging, kalu nanging, kalu mekekananginag” (pohon yang indah, pohon yang indah, pohon yang sangat indah) sebagai simbol dari “kehidupan dan anugrah Tuhan” sebab kata pohon merupakan salah satu sumber kehidupan manusia yang memilki banyak manfaat. Pengulangan kata “pohon yang indah sebayak tiga kali merupakan penegasan bahwa anugrah yang Tuhan berikat begitu melimpah. 5. Taku haungang heming sewembingang u delage” (kuhampiri sambil tersenyum, kuperhatikan sambil tertawa) Kalimat ‘taku haungang heming sewembingang u delage” (kuhampiri sambil tersenyum, kuperhatikan sambil tertawa) dapat lihat pada paragraf berikut: Ku kai haungang taku haungang, sawembingang taku sawembingang. Taku haungang heming sewembingang u delage. Su limang Mawu Ruata, sembeng
memeteng pelade maralending nintandang mekekila mesesarawelo. Ia tamataku u mekapura. Ku coba menghampirinya ,memperhatikannya, kuhampiri sambil tersenyum dan kuperhatikan sambil tertawa. Ditangan Tuhan yang Maha Kuasa menengadahkan tangan-Nya yang perkasa seperti kilat yang memancar sambil memberkati aku tidak gentar dan takut. Kalimat “taku haungang heming sewembingang u delage” (kuhampiri sambil tersenyum, kuperhatikan sambil tertawa) sebagai simbol dari “rasa syukur, keihklasan”. Kata ‘heming’ (tersenyum) dan kata ‘tertawa ‘(tertawa) menandakan adanya suatu kebahagiaan yang menandakan adanya rasa ikhlas. Adapun kata ‘taku haungang’ (kuhampiri) dan kata ‘sewembingang’ (kuperhatikan) berarti merima oleh sebab itu kalimat ‘taku haungang heming sewembingang u delage’ merupakan simbol dari rasa syukur dan keikhlasan. 6. Dimaleng kamalukarenge supegegio kebi manu”(berjalan di pagi hari benar saat semua burung bernyanyi). Kalimat ‘dimaleng kamalukarenge supegegio kebi manu’ (berjalan di pagi hari benar saat semua burung bernyanyi) dapat dilihat pada paragraf ketujuh berikut: Tangung dimaleng ke ia dimaleng, timampeng ia timampeng. Dimaleng kamalukarenge supegegio kebi manu. Tempo elo mapia lambung takurange apa. Tinuhu kere sugahago kedo pinakarima Kumulai berjalan langkah demi langkah. Berjalan di pagi hari benar saat senua burung-burung bernyanyi. Pada saat yang tepat hari yang indah dan baik tak ada rintangan. Kalimat “dimaleng kamalukarenge supegegio kebi manu”(berjalan di pagi hari benar saat semua burung bernyanyi) sebagai simbol dari “menghargai waktu”. Kata berjalan di pagi hari benar merupakan pekerjaan yang dilakukan
lebih awal atau lebih cepat. Mengerjakan sesuatulebih awal tentunya juga secara tidak langsung akan menghamat waktu kita. Oleh sebab itu, kalimat “dimaleng kamalukarenge supegegio kebi manu” dalam Sasalamate Tamo dinyatakan sebagai simbol dari “menghargai waktu”. 7. Pengalakeng hamue, pengehudang tanuhe, pengetuang raung kalune, pengintingang karulue taku buhungang guntule, makoa uwase kadadaluhe ( Kuambil akarnya, serbuk kulit batangnya, kupetik daunya hingga pucuknya dan ku jadikan sebagai ramuan obat panjang umur dan kesalamatan) Kalimat di atas dapat dilihat pada paragraf kesebelas berikut: Ia kai ahusi gumansa belasi Manope langi, pulung I Takadisirang, sembeng tawe makapura. Dalai tanae kanawo mapia ndai kadeho. I upung tinumpaeng petatalombangeng kalu timuwo mapia. Pengalakeng hamue, pengehudang tanuhe, pengetuang raung kalune, pengintingang karulue taku buhungang guntule, makoa uwase kadadaluhe.
Aku adalah anak dari leluhur Gumensa Belasi Menope langi cucu dari datuk Takadisirang yang tek pernah takut dan gentar. Segalah yang jahat akan sirna dan hal yang baik tetap menjadi bagian dari kita. Leluhur yang memperkenalkan adat istiadat tentang pohon itu. Kuambil akarnya, serbuk kulit batangnya, kupetik daunya hingga pucuknya dan ku jadikan sebagai ramuan obat panjang umur dan kesalamatan. Kalimat “pengalakeng hamue, pengehudang tanuhe, pengetuang raung kalune, pengintingang karulue. Taku buhungang guntule, makoa uwase kadadaluhe” (Kuambil akarnya, serbuk kulit batangnya, kupetik daunya hingga pucuknya dan ku jadikan sebagai ramuan obat panjang umur dan kesalamatan) merupakan satu tindakan yang memanfaatkan atau menggunakan. Masyarakat Sangihe hingga saat ini masih mengandalkan obat-obatan herbal. Obat-obatan
herbal ini memilki manfaat yang sangat besar. Oleh sebab itu dalam Sasalamate Tamo kalimat “Pengalakeng hamue, pengehudang tanuhe, pengetuang raung kalune, pengintingang karulue. Taku buhungang guntule, makoa uwase kadadaluhe” dijadikan sebagai simbol dari ‘memanfaatkan atau menngunakan hasil alam”. 8. Lelange kai taku sesuhang” (cabangnya akan kubersihkan dan dirapihkan) Kalimat ‘Lelange kai taku sesuhang ‘ dilihat pada paragraf
ketigabelas
berikut ini: Kalawo u anau sengkatau leadateng. lelange kai taku sesuhang, daunge kai makoa luwing sembanua. Ku seng mengalako baliung longso, piso tatebale nigora I Makaumbala, kipung su limang biang. Piso piodo niasa pinakahoro sukamanga, seke su amangmurungu pangalo i penuang kalu lewe kalu angkubu wanu. Ku seng tempone taku tuangeng. Cabangnya akan kubersihkan dan dirapihkan, daunya sebagai obat sekalian alam. Dan saatnya kuambil kapak yang tajam pisau pemotong yang dibuat empu Makaumbala disepuh oleh sang putri, pisau diasah dibatu peperangan akan dipakai untuk menebang pohon tersebut. Sekarang saat yang tepat untuk ku tebang. Kalimat
“lelange kai taku sesuhang” (cabangnya akan kubersihkan dan
dirapihkan) sebagai simbol dari “memperbaiki, membenahi”. Kata ‘kubersihakn’ berarti menghilangkan segalah hal-hal yang kotor, sedangkan kata ‘dirapihkan berarti mengaturkembali hal-hal yang telah kacau atau berantakan. Oleh karena itu, kalimat” lelange kai taku sesuhang” merupakan simbol dari “memperbaiki dan membenahi” 9. Tuang-tuang niliku obe pinetembuliling” (ditebang berbalasan dari dua sisi hinggah kapak pun melingkari batangnya)
Kalimat ‘Tuang-tuang niliku obe pinetembuliling” (ditebang berbalasan dari dua sisi hinggah kapak pun melingkari batangnya) dapat dilihat pada paragraf keempatbelas berikut: Tuangeng taku tuangeng, obekang taku obekang. Tuang-tuang niliku obe pinetembuliling. Pulu e timedo nakaese uwuse, bange nanawo timundung aha. Nae kahakane timandung banua doleng tamasengge. Masengge be kereapa, Ruata menireda I Henggona menenangkodanahaka. Ta onggene tawe sanghiasene nalengge su limang biang supalendi ambia Kutebang dan kutebang, ditebang berbalasan dari dua sisi hinggah kapak pun melingkari batangnya. Getahnya keluar guna sebagai obat penawar racun, batangnya miring perlahan sebagai ajakan perdamaian dan pohon tumbang hingga ke ujung bumi tak akan goyah karena Tuhan yang selalu memberkatinya. Jatuh di tanah tak ada bunyi dan getarannya jatuh seperti ditangan sang putri yang sejati Kalimat “tuang-tuang niliku obe pinetembuliling” (ditebang berbalasan dari dua sisi hinggah kapak pun melingkari batangnya) sebagai simbol “keadilan”. Sebab kedua sisi pohon tersebut ditebang dan tidak hanya satu sisi saja. Sedangakan kata “melingkari batangnya’ menandakan keseluran bagian pohon. 10. I pelo e subaki, maure su maluku mededalinding pelaheang uwuse (Kuletakan di wadah yang terbuat dari intan permata yang elok rupanya sebagai ramuan obat) Kalimat I pelo e subaki, maure su maluku mededalinding pelaheang uwuse (Kuletakan di wadah yang terbuat dari intan permata yang elok rupanya sebagai ramuan obat) dapat dilihat pada paragraf berikut: I pelo e subaki, maure su maluku mededalinding pelaheang uwuse. Penahulending tembonangu banua , ore lai penahulending sikite kalawo u ana sengkatau. Bou taung ini sarang tahung mai lai. Sarang ini tarimakase.
Kuletakan di wadah yang terbuat dari intan permata yang elok rupanya sebagai ramuan obat. Sebagai berkat bagi pemerintah dan bagi kita sekalian dari tahun ini hingga di tahun yang akan datang. Terimaksih Kalimat “I pelo e subaki, maure su maluku mededalinding pelaheang uwuse” (Kuletakan di wadah yang terbuat dari intan permata yang elok rupanya sebagai ramuan obat.) merupakan simbol dari “keikhlasan hati, tolong menolong, dan saling berbagi” sebab kata ‘baki’ (wadah) merupakan alat yang digunakan dalam menjamu tamu, dalam prosesi pemotongan Tamo (kua adat Sangihe) ‘baki’ digunakan untuk meletakan potongan-potongan dari kue tamo yang merupakan simbol dari berkat Tuhan untuk dibagi-bagikan kepada seluru masyarakat yang hadir oleh sebab itu kata ‘baki” merupakan simbol dari saling berbagi, tolong menolong. Kata “intan yang elok rupanya’ menandakan sesuatu yang sangatberharga dan tak ternilai. 4.1.2 Makna Simbol Verbal dalam Teks Sasalamate Tamo Berdasarkan hasil analisis , terdapat makna simbol yang terkandung pada simbol-simbol tersebut. Makna simbol verbal adalah konsepsi, nilai atau isi yang terkandung dalam bahasa. Dharmojo (2005: 40-41) mengklasifikasikan makna simbol dalam empat konteks yaitu: (1) makna simbol dalam konteks relegi, (2) makna simbol dalam konteks etika, (3) makna simbol dalam konteks estetika dan (4) makna simbol dalam konteks filosofi. Adapun makna simbol simbol dalam teks Sasalamate Tamo adalah sebagai berikut:
4.1.2.1 Makna Simbol dalam Konteks Religi 1. Tawe baline pesasiringung, ore lai pekakelungang I henggona liung kawasa (tidak ada tempat berlindung dan memohon pertolongan selain Tuhan yang Maha Kuasa) Kalimat ‘tawe baline pesasiringung, ore lai pekakelungang I henggona liung kawasa’ dapat dilihat pada paragraf ketiga berikut: Kemangang pia bawera mateti, kasihe ko dade dala, kanawo su entana, kasapua sarang langi. Tawe baline pesasiringung, ore lai pekakelungang I henggona liung kawasa. Jika ada sesuatu yang kurang berkenan kiranya kita terhindar darinya. Tidak ada tempat berlindung dan memohon pertolongan selain Tuhan yang Maha Kuasa. Kalimat “tawe baline pesasiringung, ore lai pekakelungang I henggona liung kawasa” (tidak ada tempat berlindung dan memohon pertolongan selain Tuhan yang Maha Kuasa) sebagai simbol dari “kepasrahan seorang hamba” sebab jika seseorang menganggap Tuhan sebagai tempat satu-satunya tempat berlindung secara tidak lansung orang tersebut mengakui akan adanya Tuhan dan keterbatasannya sebagai sebagai seorang manusia. Secara otomatis, orang tersebut akan memasrahkan dirinya kepada Tuhan. Jika ditelaah secara semiotik kalimat tersebut mengandung makna simbol sebagai seorang manusi yang memilki banyak kekurangan dan kelemahan hendaklah kita selalu memohon pertolongan serta perlindungan dari Tuhan yang Maha Kuasa. 2 . Kalu nanging, kalu nanging, kalu mekekananginag (pohon yang indah, pohon yang indah, pohon yang sangat indah).
Kalimat ‘Kalu nanging, kalu nanging, kalu mekekananginag (pohon yang indah, pohon yang indah, pohon yang sangat indah) dapat dilihat pada paragraf keempat berikut: Wade ndau kai kalu nanging. Kalu nanging, kalu nanging, kalu mekekananginag. Kelangeng metetowo mededaung. Tatinganeng makawombo u rali, tawe ipelo u mata tamalahiwuang pelokang. Ore lai kai kalu niontu I Upung Madelu. Salu e kai pusaka su ana pulung nae mebebawelase Alkisah ada pohon yang rindang dan indah. Pohon yang indah, pohon yang indah, pohon yang sangat indah. Kelihatannya bercabang dan berdaun. jika dipandang membuat orang tertarik. Pohon yang ditanam oleh leluhur bernama madelu, aliranya menjadi warisan turun temurun bagi anak cucu. Kata “Kalu nanging, kalu nanging, kalu mekekananginag” (pohon yang indah, pohon yang indah, pohon yang sangat indah) sebagai simbol dari “kehidupan dan anugrah Tuhan”. Kata “kalu nanging, kalu nanging, kalu mekekananginag’ bermakna simbol bahwa Tuhan telah banyak menganugrahkan berkatnya dalam hidup masyarakat Sangihe
oleh karena itu masyarakat Sangihe patut
mengucapkan syukur salah satunya dengan melaksanakan tulude. 3. I pelo e subaki, maure su maluku mededalinding pelaheang uwuse (Kuletakan di wadah yang terbuat dari intan permata yang elok rupanya sebagai ramuan obat) Kalimat I pelo e subaki, maure su maluku mededalinding pelaheang uwuse (Kuletakan di wadah yang terbuat dari intan permata yang elok rupanya sebagai ramuan obat) dapat dilihat pada paragraf berikut: I pelo e subaki, maure su maluku mededalinding pelaheang uwuse. Penahulending tembonangu banua , ore lai penahulending sikite kalawo u ana sengkatau. Bou taung ini sarang tahung mai lai. Sarang ini tarimakase.
Kuletakan di wadah yang terbuat dari intan permata yang elok rupanya sebagai ramuan obat. Sebagai berkat bagi pemerintah dan bagi kita sekalian dari tahun ini hingga di tahun yang akan datang. Terimaksih Kalimat “I pelo e subaki, maure su maluku mededalinding pelaheang uwuse” (Kuletakan di wadah yang terbuat dari intan permata yang elok rupanya sebagai ramuan obat.) merupakan simbol dari “keikhlasan hati, tolong menolong, dan saling berbagi” mengandung makna simbol bahwa dalam kehidupan bermasyarakat kita harus selalu tolong menolong dan memberi kepada yang membutuhkan dengan hati yang ikhlas. 4. Lelange kai taku sesuhang” (cabangnya akan kubersihkan dan dirapihkan) Kalimat ‘Lelange kai taku sesuhang ‘ dilihat pada paragraf
ketigabelas
berikut ini: Kalawo u anau sengkatau leadateng. lelange kai taku sesuhang, daunge kai makoa luwing sembanua. Ku seng mengalako baliung longso, piso tatebale nigora I Makaumbala, kipung su limang biang. Piso piodo niasa pinakahoro sukamanga, seke su amangmurungu pangalo i penuang kalu lewe kalu angkubu wanu. Ku seng tempone taku tuangeng. Cabangnya akan kubersihkan dan dirapihkan, daunya sebagai obat sekalian alam. Dan saatnya kuambil kapak yang tajam pisau pemotong yang dibuat empu Makaumbala disepuh oleh sang putri, pisau diasah dibatu peperangan akan dipakai untuk menebang pohon tersebut. Sekarang saat yang tepat untuk ku tebang. Kalimat “lelange kai taku sesuhang” (cabangnya akan kubersihkan dan dirapihkan) sebagai simbol dari “memperbaiki, membenahi” memilki makna simbol bahwa di tahun yang baru segalah hal-hal yang tidak baik kita hilangkan dan kita perbaiki menjadi lebih baik lagi. Baik itu dalam pemerintahan, perekonomian, dan kehidupan bermasyarakat.
5. Wisaraku” (perkataan), “pemate” (membunuh) dan “pemoso” (memetik) Kata-kata Wisaraku” (perkataan), “pemate” (membunuh) dan “pemoso” (memetik) dapat ilihat pada paragraf kesepuluh berikut: Engkung I Bataha kai pia lawa peli, kai engkung I Bataha lawo, kai seng tawe apa lawa peli mesasampa lawewe melehiwusala. Ku ini datung lawe lohong hombang kai seng taku limbangeng, limbangeng taku limbangeng liwuaheng taku liwuaheng. Taku limbangeng uwera, taku liwuahengu wisara. Kai pia beraku nahegi bisaraku makahangiang. Bera I pemate lawo bisara, i pemoso hombang. Menurut leluhur bernama Bataha ada pantangan., tetapi menurut leluhur bernama Bataha Lawo tak ada lagi pantangan yang menghalangi dan merintangi. Semua yang jahat akan ku singkirkan, akan kusingkirkan akan ku singkirkan, akan ku musnakan akan ku musnahkan. Akan ku singkirkan dengan segalah perkataan. Perkataan untuk membunuh dan memetik segalah halangan. Kata “wisaraku” (perkataan) sebagai simbol dari (doa). Doa merupakan bentuk seoaran manusia terhadap Tuhanya. Permohonan-permohonan tersebut diungkapkan dengan kata-kata. oleh sebab itu kata “wisaraku” (perkataan)” dalam Sasalamate Tamo sebagai simbol dari ‘doa’ Kata “pemate” (membunuh) dan “pemoso” (memetik) berarti “menghilangkan, menyingkirkan”. Kedua kata tersebut mengandung makna simbol bahwa dengan berdoa dan bermohon kepada Tuhan niscaya segalah cobaan hidup dapat kita lalui dan lewati. 4.1.2.2 Makna Simbol dalam Konteks Etika 1. Anau kawanua ‘sanak saudara’ Frasa ‘anau kawanua’ dapat dilihat pada paragraf pertama berikut: Mebua bou lawaseng menghudingangkeng tulumang mendingangngi Ruata I amang mambeng mengentanude sutatepang. Adate isesumelung kere pinebera sukebi patiku anau kawanua naitu dorong su walang tampungang.
Berawal dari permulaan yang damai, mengharapkan pertologan Tuhan yang Maha Kuasa, akan menyertai dalam setiap langkah kehidupan. Salam hormat kepada seluruh handai tolan, sanak saudara yang datang meluangkan waktu ke tempat ini.
Kata ‘anau kawanua’( sanak saudara) merupakan simbol
dari
“menghargai dan menghormati’. Kata “anau kawanua” secara leksikal berarti ‘sanak saudara’. Akan tetapi, dalam Sasalamate Tamo kata “anau kawanua” yaitu ungkapan rasa saling menghargai dan menghormati. Semua masyarakat yang hadir dari desa manapun, dari golongan apa saja dianggap sebagai keluarga yang harus dihargai dan dihormati sebagaimana kita saling menghargai dalam keluarga. Jika ditelaah secara semiotik ‘anau kawanua’ ( sanak saudara) mengandung makna simbol bahwa seluruh masyarakat yang hadir pada upacara adat tulude sangat di hormati, dan sangat dihargai layaknya kita menghormati keluarga kita sendiri. Selain itu juga mengandung makna bahwa masyarakat Sangihe sangat menjaga kerukunan antar umat beragama. Hal tersebut dapat dilihat dari sikap saling menghargai yang terkandung dalam kata “anau kawanua” (sanak saudara) 4.1.2.3 Makna Simbol Verbal dalam Konteks Filosofi 1. Bulude marange niralengang, bedae masana niliuang. Mebebatu berang kanarang (menjelajahi gunung yang tinggi, melintasi lembah yang dalam), ‘ Kalimat dilihat Bulude marange niralengang, bedae masana niliuang. Mebebatu berang kanarang (menjelajahi gunung yang tinggi, melintasi lembah yang dalam), pada paragraf kedua berikut:
Bulude marange niralengang, bedae masana niliuang. Mebebatu berang kanarang saloba kere intang bou marau. Naramahi bou tahanusa ,mang laing nenondong pato nedaraung sekanaung naitu gihile pedaramene.” Menjelajahi gunung yang tinggi, melintasi lebah yang dalam. Mengkuti kebiasaan seperti itan dari jauh. Datang dari pulau yang jauh sambil bergandengan tangan dengan satu hati untuk memeriahkan acara ini.” Kalimat ‘Bulude marange niralengang, bedae masana niliuang’ (menjelajahi gunung yang tinggi, melintasi lembah yang dalam) yang merupakan simbol dari “pengorbanan, usaha”. Jika ditelaah manaknya, kalimat ‘bulude marange niralengang, bedae masana niliuang’ (menjelajahi gunung yang tinggi, melintasi lembah yang dalam)’ mengandung makna simbol bahwa masyarakat sangat antusias untuk menghadiri pelaksanaan uapacara adat tulude meskipun harus menempuh perjalanan yang jauh dan melalahkan namun tidak akan meluluhkan semangat masyarakat sebagaimana semboyan daerah Sangihe yaitu “Somahe Kai Kehage”(maju pantang mundur) 2. Bulang sulangi” (bulan dilangit)
Frasa ‘bulang sulangi terdapat pada paragraf keenam berikut: Lumintu e ia bou baleku lisade binalaku. Mengalae baliung longso, sinangeng su wembang. Bembang tamarolong sahere. Napelo e surelahe metetinena, mengengenae bulang sulangi metetia u mandaulu mesang sude elo mapia. Kai engkung manga gagurang tawe apa elo dalai elo mang mapia kebi
Bergegaslah aku berangkat turun dari rumah kediamanku, ku ambil kapak kuletakan pada pundaku dan aku tak kenal lelah. Sesampainya di halaman rumah aku berpikir sejenak mengira ngirai bulan dilangit untuk bepergian. Tetapi pesan para leluhur pendahulu, sudah tidak ada lagi hari yang malang, semua hari adalah tepat dan baik.
Frasa “bulang sulangi” (bulan dilangit) sebagai simbol dari “waktu dan kesampatan”. Kata “bulan dilangit’ merupakan salah satu benda alam yang oleh masyarakat Sangihe dijadikan sebagai salah satu alat untuk menentukan waktu. Kata ‘bulang dilangit’ menandakan datangnya malam hari dan bulan hanya muncul pada malam-malam tertentu saja oleh karena itu kata ‘bulang sulangi’ dalam Sasalamate Tamo dinyatakan sebagai simbol dari waktu dan kesempatan. Kata “metetinena, mengengenae” secara leksikal berarti ‘berfikir, mengirangirai’ sebagai simbol dari “ketelitian” sebab jika sesorang memikirkan terlebih dahulu apa yang akan dia kerjakan tentunya orang tersebut sangat teliti. Kata ini mengandung makna simbol bahwa sebelum mengerjakan suatu pekerjaan hendaklah mempersiapkannya terlebih dahulu dengan matang-matang. 3. Metetinena, mengengenae (berfikir mengira-ngirai) Frasa ‘metetinena, mengengenae’ terdapat pada paragraf keenam berikut: Lumintu e ia bou baleku lisade binalaku. Mengalae baliung longso, sinangeng su wembang. Bembang tamarolong sahere. Napelo e surelahe metetinena, mengengenae bulang sulangi metetia u mandaulu mesang sude elo mapia. Kai engkung manga gagurang tawe apa elo dalai elo mang mapia kebi
Bergegaslah aku berangkat turun dari rumah kediamanku, ku ambil kapak kuletakan pada pundaku dan aku tak kenal lelah. Sesampainya di halaman rumah aku berpikir sejenak mengira ngirai bulan dilangit untuk bepergian. Tetapi pesan para leluhur pendahulu, sudah tidak ada lagi hari yang malang, semua hari adalah tepat dan baik Frasa “metetinena, mengengenae” secara leksikal berarti ‘berfikir, mengirangirai’ sebagai simbol dari “ketelitian” sebab jika sesorang memikirkan terlebih dahulu apa yang akan dia kerjakan tentunya orang tersebut sangat teliti. Kata ini
mengandung makna simbol bahwa sebelum mengerjakan suatu pekerjaan hendaklah mempersiapkannya terlebih dahulu dengan matang-matang. 4. Tuang-tuang niliku obe pinetembuliling” (ditebang berbalasan dari dua sisi hinggah kapak pun melingkari batangnya) Kalimat ‘Tuang-tuang niliku obe pinetembuliling” (ditebang berbalasan dari dua sisi hinggah kapak pun melingkari batangnya) dapat dilihat pada paragraf keempatbelas berikut: Tuangeng taku tuangeng, obekang taku obekang. Tuang-tuang niliku obe pinetembuliling. Pulu e timedo nakaese uwuse, bange nanawo timundung aha. Nae kahakane timandung banua doleng tamasengge. Masengge be kereapa, Ruata menireda I Henggona menenangkodanahaka. Ta onggene tawe sanghiasene nalengge su limang biang supalendi ambia Kutebang dan kutebang, ditebang berbalasan dari dua sisi hinggah kapak pun melingkari batangnya. Getahnya keluar guna sebagai obat penawar racun, batangnya miring perlahan sebagai ajakan perdamaian dan pohon tumbang hingga ke ujung bumi tak akan goyah karena Tuhan yang selalu memberkatinya. Jatuh di tanah tak ada bunyi dan getarannya jatuh seperti ditangan sang putri yang sejati Kalimat “tuang-tuang niliku obe pinetembuliling” (ditebang berbalasan dari dua sisi hinggah kapak pun melingkari batangnya) sebagai simbol “keadilan”. mengandung makna simbol bahwa apabilah kita memiliki kekuasan hendaklah berlaku adil serta tidak memihak sebelah karena kekuasan merupakan sebuah amanat yang harus dijalani dengan sebaik-baiknya. 5. Pengalakeng hamue, pengehudang tanuhe, pengetuang raung kalune, pengintingang karulue taku buhungang guntule, makoa uwase kadadaluhe ( Kuambil akarnya, serbuk kulit batangnya, kupetik daunya hingga pucuknya dan ku jadikan sebagai ramuan obat panjang umur dan kesalamatan)
Kalimat di atas dapat dilihat pada paragraf kesebelas berikut: Ia kai ahusi gumansa belasi Manope langi, pulung I Takadisirang, sembeng tawe makapura. Dalai tanae kanawo mapia ndai kadeho. I upung tinumpaeng petatalombangeng kalu timuwo mapia. Pengalakeng hamue, pengehudang tanuhe, pengetuang raung kalune, pengintingang karulue taku buhungang guntule, makoa uwase kadadaluhe.
Aku adalah anak dari leluhur Gumensa Belasi Menope langi cucu dari datuk Takadisirang yang tek pernah takut dan gentar. Segalah yang jahat akan sirna dan hal yang baik tetap menjadi bagian dari kita. Leluhur yang memperkenalkan adat istiadat tentang pohon itu. Kuambil akarnya, serbuk kulit batangnya, kupetik daunya hingga pucuknya dan ku jadikan sebagai ramuan obat panjang umur dan kesalamatan. Kalimat “pengalakeng hamue, pengehudang tanuhe, pengetuang raung kalune, pengintingang karulue. Taku buhungang guntule, makoa uwase kadadaluhe” (Kuambil akarnya, serbuk kulit batangnya, kupetik daunya hingga pucuknya dan ku jadikan sebagai ramuan obat panjang umur dan kesalamatan) Mengandung makna simbol bahwa segalah sesuatu yang diciptakan dan dianugrahkan Tuhan dapat bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia. Semunya memilki manfaat masing-masing. 6. Dimaleng kamalukarenge supegegio kebi manu”(berjalan di pagi hari benar saat semua burung bernyanyi). Kalimat ‘dimaleng kamalukarenge supegegio kebi manu’ (berjalan di pagi hari benar saat semua burung bernyanyi) dapat dilihat pada paragraf ketujuh berikut: Tangung dimaleng ke ia dimaleng, timampeng ia timampeng. Dimaleng kamalukarenge supegegio kebi manu. Tempo elo mapia lambung takurange apa. Tinuhu kere sugahago kedo pinakarima
Kumulai berjalan langkah demi langkah. Berjalan di pagi hari benar saat senua burung-burung bernyanyi. Pada saat yang tepat hari yang indah dan baik tak ada rintangan. Kalimat “dimaleng kamalukarenge supegegio kebi manu”(berjalan di pagi hari benar saat semua burung bernyanyi) sebagai simbol dari “menghargai waktu”. Kalimat ini mengandung makna simbol bahwa hendaklah kita mengargai waktu yang kita miliki dengan cara menyegerakan apa yang akan kita kerjakan.
7. Nenondong pato nedaraung sengkanaung ” (bergandengan tangan dengan satu hati). Kalimat’nenondong pato nedaraung sengkanaung’ (bergandengan tangan dengan satu hati) dapat dilihat pada paragraf kedua berikut: Bulude marange niralengang, bedae masana niliuang. Mebebatu berang kanarang saloba kere intang bou marau. Naramahi bou tahanusa ,mang laing nenondong pato nedaraung sekanaung naitu gihile pedaramene.” Menjelajahi gunung yang tinggi, melintasi lebah yang dalam. Mengkuti kebiasaan seperti itan dari jauh. Datang dari pulau yang jauh sambil bergandengan tangan dengan satu hati untuk memeriahkan acara ini.” Kalimat enondong pato nedaraung sengkanaung’ (bergandengan tangan dengan satu hati) sebagai simbol dari ‘kebersamaan dan persatuan’ mengandung makna simbol bahwa masyarakat Sangihe selalu menjadi persatuan dan kesatuan antar sesama salah satu dengan bersama-sama mengahadiri pelaksanaan upacara adat tulude. 8. Penuang kalu (menebang kayu) Frasa ‘penuang kalu’ dapat dilihat pada ketigabelas berikut:
Kalawo u anau sengkatau leadateng. Lelange kai taku sesuhang, daunge kai makoa luwing sembanua. Ku seng mengalako baliung longso, piso tatebale nigora I Makaumbala, kipung su limang biang. Piso piodo niasa pinakahoro sukamanga, seke su amangmurungu pangalo i penuang kalu lewe kalu angkubu wanu. Ku seng tempone taku tuangeng. Cabangnya akan kubersihkan dan dirapihkan, daunya sebagai obat sekalian alam. Dan saatnya kuambil kapak yang tajam pisau pemotong yang dibuat empu Makaumbala disepuh oleh sang putri, pisau diasah dibatu peperangan akan dipakai untuk menebang pohon tersebut dan sekarang saat yang tepat untuk ku tebang. Frasa
“penuang kalu”
secara leksikal “menebang pohon” dalam
Sasalamate Tamo kata “penuang kalu” (menebang kayu) merupakan siimbol dari “saling berbagi” Jika dianalisis secara semiotik kata “penuang kalu” mengandung makna simbol bahwa apabilah kita dianugrakan kelebihan berupa berkat yang melimpah janganlahhanya kita nikmati sendiri. Kita harus membagi-bagikan kepada orang-orang yang membutuhkan. 9. Kipung su limang biang” (disepuh oleh sang putri) Frasa “kipung su limang biang” dapat dilihat pada paragraf ketigabelas berikut ini: Kalawo u anau sengkatau leadateng. Lelange kai taku sesuhang, daunge kai makoa luwing sembanua. Ku seng mengalako baliung longso, piso tatebale nigora I Makaumbala, kipung su limang biang. Piso piodo niasa pinakahoro sukamanga, seke su amangmurungu pangalo i penuang kalu lewe kalu angkubu wanu. Ku seng tempone taku tuangeng. Cabangnya akan kubersihkan dan dirapihkan, daunya sebagai obat sekalian alam. Dan saatnya kuambil kapak yang tajam pisau pemotong yang dibuat empu Makaumbala disepuh oleh sang putri, pisau diasah dibatu peperangan akan
dipakai untuk menebang pohon tersebut dan sekarang saat yang tepat untuk ku tebang. Frasa “kipung su limang biang” secara leksikal berarti ‘disepuh oleh sang putri’. Berdasarkan kesepaatan masyarakat dalam Sasalmamate Tamo merupakan simbol dari “kebijaksanaan”. Kalimat “kipung su limang biang” mengandung makna simbol bahwa sesorang yang diberikan tanggung jawab dan kekuasaan haruslah selalu berlaku bijaksana dalam melaksanakan amanat yang diberikan kepadanya. 4.2 PEMBAHASAN 4.2.1 Simbol Verbal dalam Sasalamate Tamo Berdasarkan
hasil analisis simbol verbal dalam Sasalamate Tamo,
terdapat simbol verbal dalam teks Sasalamate Tamo. Simbol verbal adalah simbol-simbol yang terkait dengan kebahasaan. Dharmojo (2005:94) mengklasifikasikan simbol verbal dalam empat bentuk yaitu: (1) paralinguistik, (2) kata dan frasa, (3) larik dan (4) bait. Dalam penelitian ini ditemukan tiga simbol verbal yaitu kata, frasa dan kalimat. Simbol verbal dalam bentuk kata pada teks Sasalamate Tamo terdiri atas dua simbol yaitu (1) kata “Upung Madelu (leluhur Madelu) dan ‘ana pulung’ (anak cucu)” yang merupakan simbol dari “tahun yang lalu dan tahun baru”, (2) Wisaraku” (perkataan), “pemate” (membunuh) dan “pemoso” (memetik) sebagai simbol dari ‘doa’ dan ‘menghilangkan’.
Simbol verbal dalam bentuk frasa terdiri atas sembilan simbol yaitu: (1) penuang kalu (menebang kayu), (2) kipung su limang biang” (disepuh oleh sang putri)
(3)
Pepedisange”(cuaca
panas),
“petahitiange”,
(waktu
hujan),
“haungang” (dicabut) dan “i enso” (dipindahkan), (4) burae nemesi mawira (bunganya berwarna putih suci), (5) bulang sulangi” (bulan dilangit),
(6)
metetinena, mengengenae (berfikir mengira-ngirai), (7) mekekila mesesarawelo” (kilat yang memancar), (8) Mebebatu berang kanarang’ (mengikuti kebiasaan) dan (9) anau kawanua ‘sanak saudara’. Simbol verbal dalam teks Sasalamate Tamo terdiri atas sepuluh simbol verbal yaitu: (1) bulude marange niralengang, bedae masana niliuang (menjelajahi gunung yang tinggi, melintasi lembah), (2) nenondong pato nedaraung sengkanaung ” (bergandengan tangan dengan satu hati), (3) tawe baline pesasiringung, ore lai pekakelungang I henggona liung kawasa (tidak ada tempat berlindung dan memohon pertolongan selain Tuhan yang Maha Kuasa), (4.) Kalu nanging, kalu nanging, kalu mekekananginag (pohon yang indah, pohon yang indah, pohon yang sangat indah), (5) taku haungang heming sewembingang u delage” (kuhampiri sambil tersenyum, kuperhatikan sambil tertawa), (6) dimaleng kamalukarenge supegegio kebi manu”(berjalan di pagi hari benar saat semua burung bernyanyi), (7) pengalakeng hamue, pengehudang tanuhe, pengetuang raung kalune, pengintingang karulue taku buhungang guntule, makoa uwase kadadaluhe ( Kuambil akarnya, serbuk kulit batangnya, kupetik daunya hingga pucuknya dan ku jadikan sebagai ramuan obat panjang umur dan kesalamatan), (8) lelange kai taku sesuhang” (cabangnya akan kubersihkan dan
dirapihkan) (9) tuang-tuang niliku obe pinetembuliling” (ditebang berbalasan dari dua sisi hinggah kapak pun melingkari batangnya), dan (10) I pelo e subaki, maure su maluku mededalinding pelaheang uwuse (Kuletakan di wadah yang terbuat dari intan permata yang elok rupanya sebagai ramuan obat) Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa bentuk simbol yang terdapat dalam teks Sasalamate Tamo terdiri atas kata, frasa dan kalimat. Di antara ketiga bentuk simbol tersebut yang paling banyak ditemukan adalah simbol verbal dalam bentuk kalimat yang terdiri atas sepuluh simbol verbal. 4.2.2
Makna Simbol Verbal dalam Teks Sasalamate Tamo Makna simbol verbal adalah konsepsi, nilai atau isi yang terkandung
dalam bahasa. Dharmojo (2005: 40-41) mengklasifikasikan makna simbol dalam empat konteks yaitu: (1) makna simbol dalam konteks relegi, (2) makna simbol dalam konteks etika, (3) makna simbol dalam konteks estetika dan (4) makna simbol dalam konteks filosofi. Di antara keempat konteks makna simbol tersebut dalam penelitian ini hanya ditemukan tiga makna simbol yaitu: (1) makna simbol dalam konteks relegi. Contohnya: “tawe baline pesasiringung, ore lai pekakelungang I henggona liung kawasa (tidak ada tempat berlindung dan memohon pertolongan selain Tuhan yang Maha Kuasa)” kalimat ini termasuk dalam konteks religi karena berhubungan dengan kepercayaan manusia terhadap Tuhan, (2) makna simbol dalam konteks etika contohnya: “anau kawanua ‘sanak saudara”. frasa ini termasuk dalam konteks etika karena frasa ini merupakan simbol dari penghargaan dan penghormatan kepada seluruh masyarakat yang
hadir. (3) makna simbol dalam konteks filosofi yang terkandung dalam teks Sasalamate
Tamo
diantaranya
pinetembuliling” (ditebang
yaitu
kalimat
tuang-tuang
niliku
obe
berbalasan dari dua sisi hinggah kapak pun
melingkari batangnya. Kalimat ini diklasifikasikan ke dalam makna simbol filosofi karena kalimat ini merupakan simbol dari sikap kebijaksanaan.