BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Penelitian Sejarah a. Eksploitasi Ekonomi Kolonial Melalui Sistem Tanam Paksa 1) Gambaran Umum Sistem Tanam Paksa Sistem tanam paksa (kultuur stelsel) yang dilaksanakan secara resmi pada tahun 1830-1870, dipandang sebagai era baru dalam kehidupan politik dan sosial ekonomi bagi masyarakat Banyumas dan Pulau Jawa pada umumnya. Melalui sistem itulah pemerintah kolonial melaksanakan ekaploitasi sosial ekonomi dan penetrasi kekuasaan yang lebih luas di daerah jajahannya. Sistem tanam paksa yang dilaksanakan itu ditandai dengan dibukanya beberapa jenis perkebunan yang secara langsung dikontrol oleh pihak pemerintah kolonial. Perkebunan mensyaratkan penanaman wajib bagi jenis tanaman yang dapat menghasilkan barang-barang komoditi ekspor. Agar dapat memperoleh keuntungan yang maksimal, maka usha itu dilaksnakan secara besar-besaran dengan menggunakan tanah pertanian dan tenaga kerja penduduk yang direkrut secara paksa (Fumivall, 1944: 144). Di atas kertas, ketentuan sistem tanam paksa tampaknya tidak terlalu menekan rakyat. Akan tetapi dalam pelaksanaannya banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan, sehingga penduduk dalam posisi yang sangat dirugikan. Penderitaan mereka semakin berat seiring dengan keuntungan pihak kolonial yang semakin fantastis. Sebagai bukti, dari sektor pajak tanah saja pada tahun 1835 dapat menyumbang pemasukan bagi kas pemerintah sebesar f. 7.679.359 dan tahun 1840 meningkat menjadi f. 9.364,904
166
167
(Kartodirdjo, 1977: 75). Keuntungan yang diperoleh dari penyerahan wajib tanam paksa yang dihasilkan juga menunjukkan peningkatan yang sangat besar dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 1830 keuntungan yang diperoleh baru mencapai f. 12,9 juta, maka pada 1840 keuntungan telah meningkat menjadi f. 74,2 juta setahun. Kemudian pada tahun 1867 keuntungan kolonial telah mencapai sekitar f. 784 juta (Burger, 1962: 229). Dari keuntungan yang diperoleh pemerintah kolonial berhasil membayar hutanghutangnya yang secara keseluruhan berjumlah f. 35, 5 juta. Dari keuntungan yang diperoleh itu pula pemerintah kolonial mampu memberikan sumbangan kepada kas negara induk sekitar f. 664, 5 juta (Kahin, 1980: 14). Dengan demikian, sistem tanam paksa telah dapat memberi sumbangan yang sangat berarti bagi pembangunan perekonomian Belanda. Berkat sumbangan sistem tanam paksa, Nederiand sekaligus mampu keluar dari krisis ekonomi dan perdagangan internasionalnya juga berhasil dibangkitkan kembali. Bahkan negara itu kembali menempati posisi penting sebagai pusat perdagangan internasional, khususnya bagi barang-barang komoditi tropis. Di samping itu, armada angkatan lautnya juga berhasil dibangun dan menempatkan diri pada urutan ketiga di seluruh dunia (Kartodirdjo, 1977: 9). Di wilayah Pulau Jawa, tanaman wajib yang diusahakan dalam skala besar adalah kopi, indigo, dan tebu, lada, teh, tambakau, dan kayumanis. Kopi merupakan tanaman yang paling banyak diusahakan, karena tanaman ini merupakan jenis tanaman ekspor yang dapat ditanam di seluruh daerah karesidenan. Tanaman favorit lain adalah tebu yang ditanam di 13 karesidenan dari 18 karesidenan yang ada di Jawa. Pusat perkebunan tebu sebenarnya ada di Jawa Timur, yaitu di Pasuruan, Besuki, dan Surabaya. Sementara itu di daerah Jawa Tengah perkebunan tebu dipusatkan di sepanjang pantai utara, seperti Tegal, Pekalongan, sampai Semarang. Sementara itu,
168
daerah yang menjadi target penanaman tebu lainnya adalah Banyumas dan Bagelen yang berada di Jawa Tengah bagian selatan (Mubyarto, 1992: 70-71). Bagi masyarakat pribumi, pelaksanaan sistem tanam paksa dan penyimpanganpenyimpangan yang terjadi telah membawa akibat buruk yang belum pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya. Hal ini sering dipandang sebagai malapetaka hebat, sehingga layak dicatat sebagai lembaran sejarah "hitam" bagi masyarakat petani di Pulau Jawa. Sebagai gambaran, di Priangan (Jawa Barat) penduduk terpaksa harus bekerja selama tujuh bulan dalam setahunnya secara terus-menerus di perkebunan indigo yang jauh dari desanya. Penduduk di daerah Kedu (Jawa Tengah), Pasuruan dan Besuki (Jawa Timur), juga dipaksa harus bekerja di perkebunan kopi yang jauh dari tempat tinggal mereka dan melebihi batas waktu kerja paksa yang telah ditetapkan (Booth, 1988: 43). Perluasan perkebunan kopi di luar desa-desa menimbulkan masalah tersendiri bagi penduduk. Penanaman wajib kopi semacam itu biasanya dikembangkan di daerah terpencil, bukan saja letaknya yang jauh dari pemukiman tetapi juga medannya sangat sulit dijangkau. Tidak jarang mereka harus berjalan puluhan kilometer jauhnya untuk melaksanakan kerja paksa, baik kerja paksa penanaman, pemeliharaan tanaman maupun pengangkutan hasilnya. Bahkan untuk melaksanakan kerja paksa itu pula penduduk harus melakukan perpindahan untuk sementara ke lokasi perkebunan kopi yang terletak di daerah-daerah pegunungan sampai selesai musim panen. Gejala semacam itu juga dialami oleh penduduk di Priangan, Kedu, Pasuruhan dan Besuki (Elson, 1968: 43). Sebagai akibat lebih jauh dari pelaksanaan kerja paksa bagi penduduk, bukan saja mengalami penderitaan fisik, tetapi meluas pula bencana kelaparan. Dalam tahun 1844 bercana kelaparan melanda daerah Cirebon. Menyusul kemudian Demak pada tahun 1848 dan Grobogan pada tahun 1848-1850. Dapat dipastikan bencana kelaparan
169
tersebut telah banyak membawa korban jiwa. Penduduk Demak yang semula berjumlah 336.000 orang, hanya tinggal 120 orang, sedangkan untuk daerah Grobogan jumlah penduduknya berkurang dari 98.500 orang menjadi 9.000 orang saja. Sementara itu daerah-daerah lainnya yang ada di Jawa Tengah rata-rata penduduknya berkurang sekitar 354.000 jiwa (Breman. 1971:41). Jika ditinjau dari luas areal yang digunakan untuk keperluan sistem tanam paksa, sebenarnya hanya sekitar 1/8 dari seluruh lahan pertanian di Jawa. Jumlah ini dilihat dari persentase memang tidak tergolong besar. Sekalipun begitu, keberatan para petani terhadap sistem tanam paksa itu terlatak pada prioritas penggunaan tanah pertanian inti (sawah) yang subur. Di samping itu, keberatan penduduk juga terletak pada kewajiban penyerahan tenaga kerja paksa. Rata-rata dalam setahun, dipekerjakan sekitar 64 % sampai 75% penduduk pedesaan di Jawa. Jumlah itu belum termasuk tenaga ketja paksa yang dipekerjakan di luar sektor perkebunan (Sediono, 1984: 58). Dengan demikian, penderitaan penduduk pedesaan Jawa dalam kurun waktu tanam paksa begitu parah. Disinyalir dalam tahun-tahun 1837, 1840, dan 1845, persentase keterlibatan penduduk dalam sistem tanam paksa telah mencapai tingkat yang lebih tinggi lagi (Kartodirdjo & Suryo, 1991:58). Bagi penduduk, pengerahan tenaga kerja paksa dipandang sebagai keberatan utama dari sistem tanam paksa, karena telah begitu banyak membawa penderitaan. Di samping sangat memberatkan, kerja paksa yang dilaksanakan pada masa sistem tanam paksa itu dipandang telah melampaui batas-batas ikatan feodal yang dikenal dalam kehidupan masyarakat tradisional. Sebagai akibatnya, penduduk melakukan protes sosial dengan cara mereka sendiri sebagai bukti penolakan terhadap perlakuan yang sangat memberatkan tersebut. Banyak daerah subur yang sengaja ditinggalkan penduduknya.
170
Mereka melakukan reaksi dengan cara meninggalkan desa-desa mereka untuk sementara waktu dan tidak akan pulang kembali sebelum musim tanam padi. Perpindahan berjangka semacam itu merupakan cara untuk menghindari sensus setempat, yang dilakukan untuk keperluan mendapatkan tenaga kerja paksa. Migrasi ke luar daerah yang dilakukan oleh sebagian atau seluruh penduduk desa merupakan corak mobilitas yang biasa dilakukan oleh para petani untuk waktu-waktu berikutnya. Cara ini juga merupakan bentuk perlawanan pasif, karena secara diam-diam membuat peraturan pemerintah tidak dapat berjalan (Breman, 1989:29). Sistem tanam paksa telah membawa penderitaan bagi penduduk, karena beratnya beban hidup dan kurangnya bahan makanan, serta rendahnya gizi bagi mereka. Pernyataan itu dapat dibuktikan dari angka-angka kematian yang sangat tinggi (Breman, 1971: 41). Tingginya angka kematian tersebut merupakan indikasi kuat, bahwa sistem tanam paksa membawa akibat buruk yang sangat serius bagi kesehatan penduduk. Pada masa itu, penduduk di Jawa mengalami kemerosotan yang sangat drastis, baik dalam segi jumlah maupun kesehatannya, karena kesengsaraan dan bencana kelaparan yang dialami. Selama masa tanam paksa wabah penyakit meluas sebagai akibat dari kondisi fisik penduduk yang sangat buruk, kekurangan makan dan gizi (Boomgard, 1975: 50). Pelaksanaan sistem tanam paksa itu memang telah mampu meningkatkan jumlah produksi pertanian untuk kepentingan ekspor. Akan tetapi, peningkatan produksi tanaman ekspor tidak diikuti oleh peningkatan produksi pangan. Persediaan kebutuhan pokok seperti beras, palawija dan kebutuhan pokok lainnya sangat menurun. Harga beras yang sangat tinggi merupakan indikasi, bahwa pada waktu itu telah terjadi kelangkaan beras. Hal ini dapat terjadi, karena tenaga keija penduduk pedesaan banyak diserap sebagai tenaga keija paksa dan lahan pertanian mereka yang biasa ditanami padi (sawah)
171
juga harus ditanami tanaman ekspor. Sebagai perbandingan, dalam tahun 1840 rata-rata produksi beras per keluarga hanya 916 kilogram, sedangkan untuk palawija rata-rata keluarga memproduksi sekitar 915 kilogram. Sementara itu, untuk produksi tanaman ekspor pada tahun yang sama rata-rata telah mencapai 2.373 kilogram untuk setiap keluarga (Boomgard, 1978: 101). Dari gambaran tersebut dapat dinyatakan, bahwa masyarakat Pulau Jawa pada masa tanam paksa berada dalam kondisi kemiskinan yang sangat parah. Untuk mengetahui tingkat kesejahteraan penduduk pada masa itu, para ahli ilmu sosial dengan metode tertentu dapat memperkirakan tingkat kemiskinan penduduk dengan cara memperhitungkan pemenuhan kebutuhan beras. Metode seperti itu bersandar pada suatu konsep tentang tingkat pengeluaran ekuivalen beras bagi setiap orang. Untuk rumah tangga pedesaan, penghasilan di bawah 180 kilogram beras per tahun untuk setiap orang termasuk kategori yang paling miskin. Penghasilan antara 180 sampai 240 kilogram per tahun untuk setiap orang termasuk kategori sangat miskin. Sementara itu, penghasilan antara 240 sampai dengan 320 kilogram per orang untuk setiap tahun masih tergolong miskin (Sajogyo, 1980: 73). Berdasarkan kategori tersebut, maka penghasilan 916 kilogram beras untuk keluarga pedesaan pada tahun 1840 dapat dianalisis sebagai berikut. Jika rata-rata keluarga pedesaan waktu itu terdiri dari 5 sampai 6 orang, maka setiap anggota keluarga untuk setiap tahun hanya memperoleh bagian berpenghasilan 153 sampai 185 kilogram beras. Menurut kriteria yang telah dikemukakan di atas, maka seseorang dengan penghasilan sebesar itu termasuk kategori paling miskin. Untuk dapat bertahan hidup rata-rata anggota masyarakat agraris di pedesaan memerlukan 10 kilogram sampai 15 kilogran beras per bulan untuk setiap orang. Walaupun dalam kenyataannya ada pula anggota masyarakat yang masih dapat bertahan
172
hidup hanya dengan penghasilan 5 sampai 10 kilogram beras per orang untuk setiap bulan, namun hal itu benar-benar berada pada persyaratan standar hidup minimal. Bagi orang kota pada umumnya memerlukan 15 sampai 20 kilogram beras per bulan untuk setiap orang. Beras itu di samping untuk keperluan makanan pokok, juga untuk memenuhi kebutuhan pokok lainnya, seperti lauk-pauk, minyak tanah, pakaian dan lainlain (Sajogyo, 1980, Esmara, 1986: 291). Jika konsep tentang tingkat ekuivalen beras diterapkan untuk menganalisis tingkat kesejahteraan masyarakat pada masa tanam paksa, maka yang harus diperhatikan adalah penghasilan yang diperoleh setiap keluarga dan patokan harga beras yang berlaku pada waktu itu. 2) Penetrasi Kekuasaan Kolonial di Banyumas Pada awal kekuasaan kolonial di Banyumas, kondisi masyarakat daerah itu masih digambarkan sebagai masyarakat pedalaman yang statis. Pada masa itu, masyarakat masih terikat oleh ikatan tradisional yang sangat dipatuhi, baik ikatan desa maupun ikatan feodal. Ikatan desa merupakan ikatan yang horizontal yang dapat mengikat semua anggota masyarakat, sehingga mereka merupakan masyarakat yang bersifat komunal. Dalam situasi seperti ini, masyarakat agraris tradisional yang bersifat komunal sering digambarkan sebagai masyarakat yang sangat statis, terutama ditinjau dari segi sosial ekonomi (Kartodirdjo, 1974: 6). Sementara itu ikatan feodal adalah suatu bentuk aktivitas penduduk untuk menjalin hubungan dengan kelompok sosial di atasnya secara vertikal. Ikatan semacam itu merupakan jalinan hubungan yang klasik antara kelompok elit pemegang kekuasaan yang berdiri di atas lingkungan desa dengan lapisan rakyat jelata (Burger, 1962: 93). Dengan jenis ikatan feodal ini, rakyat sangat mudah dieksploitasi baik secara politik maupun ekonomi. Perlakuan terhadap masyarakat semacam itu disebabkan para
173
penguasa lokal mempunyai kedudukan yang sangat istimewa di lingkungan rakyatnya. Hal ini tidak lepas dari pandangan rakyat terhadap kelompok elit yang dianggap sebagai pimpinan yang kharismatik. Kehidupan lapisan elit penguasa lokal itu terpisah dari kehidupan rakyat. Gejala semacam ini disebabkan oleh dua faktor penting, yang pada dasarnya bukan hanya karena perbedaan kedudukan politik, tetapi juga karena adanya perbedaan status sosial di antara mereka (Kartodirdjo, 1974: 6). Dalam kondisi demikian itu, struktur sosial dalam masyarakat selalu mempunyai kaitan yang sangat erat dengan prinsip hubungan dua pihak (dyadic) yang tidak sejajar. Hubungan tersebut lebih cenderung merupakan hubungan yang bersifat patron-client (Legg, 1983: 48, Hayami & Kikuichi, 1987: 14). Prinsip dari hubungan patron-client adalah hubungan dua pihak yang bersifat kekeluargaan. Dalam hubungan ini seseorang dengan status sosial yang lebih tinggi {patron) menggunakan pengaruh dan sumber-sumber yang dimilikinya untuk memberi perlindungan atau keuntungan kepada seseorang yang statusnya dipandang lebih rendah (iclient). Mereka memberi balasan yang berupa dukungan dan pelayanan kepada patron tadi (Benda, 1962: 122). Sebagai client, rakyat di samping berkewajiban membayar pajak, juga bertanggung jawab terhadap kerja pelayanan kepada patron (Hugenholtz, 1983: 170). Dalam lingkungan masyarakat agraris, struktur sosial dilatarbelakangi oleh kondisi yang sangat kompleks. Akan tetapi, faktor yang paling dominan adalah penguasaan hak atas tanah pertanian. Hal ini dapat dipahami, mengingat tanah pertanian merupakan sumber ekonomi sekaligus sebagai simbol status sosial (Stavenhagen, 1975: 65). Berdasarkan kondisi masyarakat seperti itu, wajar apabila pola hubungan antar kelompok sosial yang terdapat di pedesaan Banyumas waktu itu adalah pola hubungan yang bersifat patron-client. Hal ini dapat dideteksi dari hubungan timbal balik antar
174
petani numpang dengan petani sikep, maupun hubungan antara petani sikep dengan elit desa yang ada di atasnya (Haar, 1950: 2001-2002). Seperti diketahui petani sikep adalah petani yang memegang hak atas tanah pertanian, sedangkan petani numpang merupakan petani tanpa lahan yang bekedudukan sebagai penggarap tanah pertanian tersebut. Sementara itu elit desa terdiri dari para pejabat desa atau penduduk setempat yang menempati birokrasi pemerintahan desa (Koentjaraningrat, 1984: 297). Berkaitan dengan itu, Haar (1950: 201-202) mengemukakan, bawa struktur sosial di lingkungan masyarakat Banyumas adalah: 1) Kelompok kentol, yaitu warga desa yang merupakan keturunan para pendiri desa. Mereka memiliki hak atas tanah yang diwarisi secara turun temurun. Sebagian dari mereka juga menjabat sebagai pamong desa, yang berhak pula atas tanah jabatan (bengkok), dan menikmati persembahan dari para petani sikep. 2) Kelompok petani sikep, para petani yang memiliki rumah, pekarangan dan menguasai hak atas tanah pertanian. Mereka berkewajiban untuk menyerahkan, sebagian hasil pertanian, kerja, dan pelayanan kepada para penguasa desa. 3) Kelompok numpang atau mondhok yang kehidupannya tergantung pada petani sikep. Mereka tidak memiliki hak atas tanah pertaniam, sehingga sebagian besar berstatus sebagai petani penggarap. 4) Rayat, yaitu mereka yang kehidupannya juga sangat tergantung kepada petani sikep. Mereka hidup serumah dengan keluarga sikep, yang sekaligus sebagai penanggungjawab dan pelindungnya. Pada umumnya masyarakat petani di pedesaan secara tradisional telah mengenal dan mengembangkan sistem masyarakat kekerabatan {dorpgemeenschap). Bentuk ini biasanya lahir berdasarkan pada sistem hubungan yang bersifat persekutuan antar warga
(Geertz, 1974: 127). Warga desa biasanya bertempat tinggal di suat^ tgrrtj^at atas^dasW suka rela demi kepentingan bersama (Kartohadikoesoemo, kekerabatan di pedesaan itu dapat terbentuk, kerena mereka merasa saling membutuhkan antara satu dengan lainnya. Terbentuknya suatu hubungan yang bersifat kekal antara sesama warga masyarakat, bukan didasarkan pada hubungan darah (geneologis) sematamata, tetapi lebih didorong oleh maksud-maksud yang tulus karena adat-istiadat yang berlaku. Tradisi semacam itu dapat membentuk sistem kekerabatan di lingkungan mereka. Dengan demikian, penduduk pedesaan hidup dalam kelompok yang kurang memperhatikan hak individual, baik politik, sosial, maupun ekonomi (Day, 1904: 20). Desa-desa pada umumnya mempunyai organisasi yang bersifat kebersamaan untuk berbagai tujuan. Oleh karena itu, desa-desa mempunyai pemerintahan sendiri yang meliputi seluruh daerah hukum sebagai kesatuan yang bulat. Pemerintan desa berhak mengatur rumah tangganya sendiri, mempunyai harta benda sendiri, dan memiliki kekuasaan atas tanah dan wilayahnya (Kartohadikoesoemo, 1965: 43). Dari sini tampak jelas, bahwa sifat organisasi desa adalah merupakan ciri kerokhanian bagi kehidupan bersama dari seluruh warga dalam arti yang sesungguhnya. Hal ini merupakan hasil hubungan yang wajar antara manusia dengan lingkungan, dan hubungan antara manusia dengan sesamanya. Bagi masyarakat, desa merupakan lembaga yang selalu dijunjung tinggi, dan selalu mendapat prioritas utama dari pada kepentingan yang bersifat perorangan (Boeke, 1971: 20). Dari penjelasan yang telah disampaikan maka dapat dinyatakan di sini, bahwa organisasi desa sebenarnya bukan merupakan persekutuan hukum semata-mata, tetapi juga sebagai bentuk persekutuan sosial-ekonomi dan kerokhanian. Hal ini dapat dilihat dari fiingsi sarana desa dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan yang tidak selalu bersifat
176
formal. Keterikatan masyarakat secara emosional dengan lingkungan desanya sangat kuat, sehingga memunculkan kecintaan yang sangat kuat pula terhadap desa sebagai tempat seseorang lahir dan dibesarkan. Berkaiatan dengan hal itu, lebih jauh Boeke (1971:20) mejelaskan, bahwa: 1) Jika suatu desa tidak memiliki balai desa, maka lazimnya rumah kepala desa dapat berfungsi sebagai balai desa. 2) Balai desa, di samping sebagai tempat mengadakan rapat-rapat desa, pertemuan yang bersifat rekreasi, juga berfungsi sebagai tempat pernginapan bagi para musyafir. 3) Kerja bakti untuk kepentingan desa, dapat disamakan artinya dengan saling tolong-menolong atau gotong-royong. 4) Sumbangan untuk desa, sama artinya dengan bantuan untuk semua warga. Secara umum terdapat kesergaman dalam struktur organisasi pemerintahan desa yang ada di Jawa. Desa-desa di Banyumas dipimpin oleh seorang demang, lurah atau bekel. Induk desa secara administratif dibagi-bagi dalam lingkungan yang lebih kecil, yaitu dukuh, kopak atau wewengkon (Haar, 1950: 74). Ditinjau dari segi birokrasi, kepala desa pada umumnya berasal dari kelompok elit yang dipilih secara langsung oleh penduduk desa itu untuk jangka waktu jabatan seumur hidup. Anggota kelompok elit desa yang memegang jabatan birokrasi desa disebut dengan perabot dusun atau junjang Jerawat. Mereka itulah yang bertanggung jawab atas kelancaran penyelenggaraan pemerintahan desa (Haar, 1950: 72, Koentjaraningrat, 1984: 201-202). Desa-desa di Banyumas sampai awal jaman kolonial menganut birokrasi pemerintahan yang sudah mapan. Susunan birokrasi itu dapat dikemukakan sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Demang atau lurah sebagai kepala desa Carik sebagai juru tulis (sekretaris) desa Tukang wang, sebagai bendahara desa Bau, sebagai kepala dukuh Kebayan sebagai petugas juru penerang desa Kamitua, sebagai kepala kopak atau wewengkon Tukang cangkal sebagai petugas keamanan desa Kayim, sebagai petugas keagamaan desa (Haar, 1950: 72).
177
Pada umumnya antara desa-desa tradisional terjadi ikatan federasi yang disusun dari sebuah desa senior yang terletak di tengah-tengah, dengan empat desa lain yang berada di sekelilingnya. Ikatan itu disebut desa mancapat yang dikoordinasi oleh seorang penatus. Jadi desa mancapat adalah jaringan kerja yang wilayahnya melebihi dari satu lokasi desa (Ossenbruggen, 1983: 45). Di berbagai desa ternyata nama kepala mancapat sangat beragam. Di Banyumas, Cirebon, dan Kedu disebut dengan penatus. Sermentara di Banten, Tegal, dan Rembang diberi nama lurah. Di daerah Bagelen, dan Wonosobo disebut glondong. Lain halnya dengan kebiasaan di Madiun dan Kediri pimpinan desa mancapat disebut palang atau kepalang (Kartohadikoesoemo, 1965: 6). Kemudian mengenai status desa di Banyumas dapat dibedakan dalam dua macam, yaitu desa-desa biasa dan desa-desa bebas atau tanah perdikan, yang mendapat perlakuan khusus dari kerajaan. Desa-desa perdikan dipimpin oleh seorang demang bebas yang bertanggung jawab langsung kepada kerajaan. Desa-desa bebas atau tanah perdikan di Banyumas pada masa kekuasaan Mataram berjumlah sekitar 41 desa (Ossenbruggen: 1983: 75). Jumlah itu semakin lama semakin berkurang, sehingga pada masa akhir kekuasaan Surakarta (1830) hanya terdapat 31 desa perdikan yang tersebar di wilayah Banyumas (Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur, XII, 1877: 382-383). Organisasi pemerintahan di tingkat desa itu tetap dipertahankan pada zaman kolonial. Bahkan organisasi desa yang telah ada itu, dilibatkan secara lebih intensif dalam pelaksanaan sistem tanam paksa. Cara yang ditempuh antara lain, organisasi pemerintahan desa yang ada diberi tanggung jawab yang cukup besar dalam pelaksanaan sistem tanam paksa dalam rangka meningkatkan produksi tanaman ekspor. Melalui ikatan tradisional, baik ikatan feodal maupun ikatan desa, fungsi birokrasi desa semakin diperkuat. Para kepala desa berfungsi sebagai perantara antara warga desa dengan
178
lingkungan supra desa yang lebih luas. Struktur masyarakat feodal yang kokoh itu, menempatkan para kepala desa di bawah pengawasan yang ketat dari pamong praja. Dengan demikian, dalam menjalin hubungan dengan para atasan para kepala desa tidak dapat bertindak bebas (Kartodirdjo, 1988: 307). Kemudian, jika dicermati tentang sistem kekuasaan lokal, maka kedudukan Banyumas sebagai daerah bawahan (vassal) perlu dilihat interrelasinya dengan kerajaankerajaan Islam di Jawa sebagai induknya. Dalam kenyataannya, sistem kekuasaan lokal yang dipraktekkan di Banyumas secara tradisional tidak dapat terlepas dari proses integrasinya dengan kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak, Pajang, Mataram, maupun Surakarta. Hal ini dapat dipahami, mengingat dalam perjalanan sejarahnya Banyumas pernah berada di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan itu. Selama perkembangannya, kekuasaan lokal Banyumas tampak begitu mudah menyesuaikan diri seiring dengan perubahan kekuasaan yang terjadi di tingkat pusat tanpa gejolak yang berarti. Upaya pembentukan pemerintahan lokal di Banyumas diperkirakan telah dilaksanakan pada penghujung kekuasaan Pajang. Hal ini berarti awal pembentukan pemerintahan lokal di daerah itu tidak jauh selisihnya dengan berdirinya Kesultanan Mataram yang dipimpin oleh Panembahan Senopati. Untuk pembentukan Kabupaten Banyumas, sumber-sumber lokal menyatakan waktu yang berbeda-beda. Sebagian sumber lokal menunjuk tahun 1582 (Brotodiredjo & Darmosuwondo, 1969: 26), sedangkan sebagian yang lain menyebut angka tahun 1600 (Oemarmadi & Poerbosewojo, 1964: 18). Sudah tentu kekuasaan lokal Banyumas dibentuk atas restu Sultan Pajang dan sekaligus merupakan bagian dari kesultanan itu. Akan tetapi penguasa di tingkat lokal dapat mengikuti pergeseran dan perubahan politik yang terjadi di tingkat pusat tanpa pemikiran yang rumit. Ketika Mataram tengah menggelar kekuasaannya ke seluruh bekas wilayah
179
Pajang, Banyumas beralih statusnya menjadi daerah yang tunduk kepada Mataram (Moertono, 1985: 130). Sejak masa kekuasaan Mataram, Kabupaten Banyumas berstatus sebagai daerah mancanegara barat (kilen), yang wilayahnya membentang dari perbatasan dengan Bagelen (Kedu) di sebelah timur sampai ke daerah Priangan timur, seperti Manonjaya, Galuh, dan Kuningan di sebelah barat (Brotodiredjo & Daemosuwondo, 1969: 30). Mengingat daerah kekuasaan yang sangat luas, maka Bupati Banyumas memperoleh kedudukan sebagai wedana bupati. Kedudukan semacam itu sangat memungkinkan dia mengkoordinasikan beberapa kabupaten bawahan, dan berhak menggunakan gelar Adipati (Kartodirdjo, 1988: 196-197). Sebagai penguasa lokal, bupati memiliki dua posisi penting. Dalam posisinya yang pertama, bupati menempati hirarki kekuasaan di bawah raja. Dengan kedudukan ini, bupati memiliki kewajiban menyerahkan upeti kepada raja tiga kali dalam setahun pada waktu-waktu yang telah ditetapkan. Hal ini mengandung nilai simbolis yang berkaitan dengan loyalitas seorang bawahan kepada atasan. Perhatian seorang bupati terpusat pada pengabdiannya kepada raja demi kelestarian jabatan dan kedudukannya. Sebagaimana layaknya negara agraris, Mataram menggunakan tanah sebagai faktor pendukung kekuasaan yang penting. Dengan demikian, penguasaan tanah merupakan dasar bagi struktur sosial maupun struktur kekuasaan (Moertono, 1985: 132). Kemudian dalam posisinya yang kedua, bupati merupakan pimpinan tertinggi di daerah kekuasaannya. Untuk menunjang kedudukannya itu, seorang bupati harus mampu tampil sebagai pimpinan yang berwibawa dan dihormati. Dia harus memiliki kharisma dan pengaruh yang luas serta mampu mengatur dan menjadi panutan bagi segenap warga masyarakat di seluruh wilayah kekuasaannya (Niel, 1960: 30).
180
Dalam rangka membangun posisinya yang kedua itu, bupati menempatkan diri sebagai raja kecil di daerahnya. Berkaitan dengan itu, konsep kosmologis Jawa yang besar pengaruhnya bagi pembentukan kekuasaan kerajaan Islam, ternyata berpengaruh pula terhadap pembentukan legitimasi kekuasaan di tingkat lokal (Moertono, 1895: 161). Perlu pula digarisbawahi, bahwa legitimasi kekuasaan lokal yang dikembangkan di Banyumas juga bersumber pada konsep kosmologis Jawa. Kunci dari konsep itu adalah manunggaling kawula-gusti, yang pada tingkat dan dataran sosial dapat berfungsi untuk menjalin hubungan yang harmonis antara pimpinan dengan rakyatnya. Namun demikian, kedua belah pihak tidak dibenarkan melanggar garis pemisah yang resmi dari hirarki sosial yang berdasar kepada kelahiran, kedudukan, dan peraturan (Moertono, 1985: 19, Supadjar, 1988:22). Dalam kenyataannya, legitimasi kekuasaan selalu berkaitan dengan anggapan tentang adanya mahluk tertinggi, sehingga memunculkan pandangan tentang dewa atau manusia setengah dewa (Baal, 1987: 141). Hal ini mendorong munculnya kultus dewa raja, yang pada zaman kerajaan Islam bergeser menjadi ratu piandhita. Konsep semacam ini sejalan dengan keyakinan raja Mataram tentang keagungbinatharaan, yang tercermin dalam
ungkapan, bahwa raja adalah merupakan penjelmaan Tuhan
(warananing Allah) atau raja merupakan wakil Tuhan (kinarya wakiling Hyang Agung). Tugas utamanya adalah untuk memelihara tegaknya hukum dan keadilan. Semua orang yang berada di wilayah kekuasaannya harus taat kepadanya, karena menentang raja berarti menentang Allah (Moedjanto, 1987: 81-82). Realisasi dari konsep kosmologis Jawa dalam upaya membangun kekuasaan lokal di Banyumas dapat diamati pada fungsi ganda yang dipegang bupati, yaitu sebagai pimpinan pemerintahan dan sekaligus sebagai pimpinan agama. Simbol dari kedudukan
181
yang berfungsi ganda itu, dapat dibuktikan dari gelar yang disandang para bupati yang pernah berkuasa di daerah itu. Para bupati di Banyumas sejak zaman Mataram yang dipandang tinggi kedudukannya berhak menggunakan gelar Kyai Raden Adipati (Berg, 1985: 28). Sebagai konsekuensi dari gelar yang disandangnya, para bupati sebagai pimpinan pemerintahan dan agama harus memiliki watak luhur, yang tercermin dalam empat perilaku utama, yaitu tanuwita, samaita, darmaita, dan saraita. Tamcwita, berarti bupati sebagai pimpinan harus memiliki sifat-sifat Tuhan dan salalu mengolah kepribadian agama untuk memperoleh jiwa yang luhur. Samaita, mengandung arti bahwa penguasa harus cinta kepada kebenaran dan keadilan. Kemudian yang dimaksud dengan darmaita adalah, sebagai pimpinan bupati harus mailiki sifat bijaksana dan dapat menjembatani antara pemerintah dengan rakyat. Akhirnya saraita, berarti penguasa harus mampu menjaga stabilitas dan memberi rasa aman serta perlindungan kepada seluruh anggota masyarakat (Moertono, 1985:42). Sebagai seorang pimpinan agama Islam, bupati harus dapat menghayati sifatsifat religius. Dalam kerangka itulah, maka para bupati berusaha menempatkan diri sebagai pimpinan yang memiliki kekuatan supranatural di hadapan rakyatnya. Dengan demikian, bupati merupakan figur yang tidak dapat ditentang oleh semua bawahan dan seluruh masyarakatnya,
mengingat bupati dipandang sebagai penjelmaan atau
warananing Allah (Moertono, 1985: 20, Moedjanto, 1987: 81-82). Sejalan dengan konsep kekuasaan yang dianut, maka bangunan kabupaten harus ditempatkan sebagai pusat kekuasaan, baik yang bersifat politik maupun agama. Oleh sebab itu, bangunan kabupaten pada dasarnya merupakan miniatur dari istana yang dibangun di pusat kerajaan (Kartodirdjo, 1988: 155). Bangunan kabupaten secara umum berupa sebuah kompleks yang terdiri dari pendapa, pringgitan, perkantoran, dan bangunan tempat
182
tinnggal keluarga bupati. Kompleks bangunan itu dilengkapi dengan halaman yang luas (alun-alun), beringin kurung, dan bangunan masjid agung. Alun-alun dan beringin kurung merupakan simbol dari keagungbinatharaan, yang menunjukkan pemerintahan yang tinggi dan berwibawa. Sementara itu, masjid agung merupakan simbol dari kekuasaan keagamaan bagi pemerintah yang bersangkutan (Moedjanto, 1987: 84). Bagi Bupati Banyumas pada masa itu, otonomi daerah bukan hanya menyangkut penyelenggaraan pemerintahan, tetapi juga dalam hal pewarisan jabatan bupati kepada keturunannya (suksesi). Secara tradisional, bupati yang berkuasa selalu berusaha menyiapkan calon penggantinya. Sebagai calon pengganti yang ideal adalah putra sulung laki-laki dari permaisuri atau garwa padmi. Seorang bupati biasanya memiliki bebapa istri. Di samping permaisuri (garwa padmi) juga beberapa selir (gama ampeyan). Kebiasaan ini juga dipandang sangat berpengaruh terhadap kewibawaan bupati, terutama yang berkaitan dengan status sosialnya. Kedudukan sosial seorang bupati dapat juga dilihat dari berapa banyak dia mempunyai istri. Walaupun demikian, hanya istri permaisuri yang dinilai bobotnya, karena dialah yang akan menurunkan pengganti penguasa pada periode berikutnya (Oemarmadi & Poebosewojo, 1964:23). Ketika Kabupaten Banyumas menjadi bagian daerah kekuasaan kolonial dengan status sebagai karesidenan pada tahun 1830, maka tradisi kekuasaan lokal yang telah lama berlaku, tetap dipertahankan dengan beberapa modifikasi. Hal ini mengingat, fungsi penguasa tradisional tidak dapat dilepaskan dari pelaksanaan eksploitasi kolonial ^ melalui sistem tanam paksa (Sudjito, 1975: 34). Seperti diketahui, sebagai akibat dari Perang Diponegoro (1825-1830) pihak kolonial mempunyai kesempatan yang begitu besar, baik di Kasunanan Surakarta maupun Kasultanan Yogyakarta. Selama perang itu berlangsung, pihak kolonial menaggung beban hutang tidak kurang dari f. 30 juta dan
183
menanggung beban biaya perang sebesar f. 2 juta. Biaya yang telah dikeluarkan itu harus diperoleh kembali melalui eksploitasi ekonomi kolonial yang dijalankan secara intensif (Day, 1904: 244-245). Banyumas yang berstatus sebagai daerah mancanegara kilen (barat) Kasunanan Surakarta dilepas dari induknya dan secara resmi ditempatkan di bawah kekuasaan kolonial pada tanggal 22 Juni 1830, yang pada awalnya ditempatkan di bawah pengawasan Residen Pekalongan (ANR1 Banjoemas 64, 1830). Untuk dapat mengusai daerah itu, pihak kolonial membayar uang reparasi sebesar f. 90.000 kepada Kasunanan Surakarta. Apabila jumlah ganti rugi itu diperhitungkan secara lebih cermat, maka daerah Banyumas yang memilki luas sekitar 5.500 kilometer persegi dihargai f. 22 untuk setiap kilometer persegi (Hugenholtz, 1983: 146). Tentu saja biaya yang telah dikeluarkan itu juga diharapkan segera dapat diperoleh kembali melalui eksploitasi ekonomi yang intensif di daerah itu. Untuk memantapkan kekuasaannya di Banyumas, pihak kolonial secara intensif melakukan pembenahan wilayah yang dipimpin oleh Residen Pekalongan yang waktu itu dijabat oleh Hallawijn. Tujuan utama dari upaya pembenahan wilayah itu adalah inventarisasi luas wilayah, keadaan tanah, kondisi wilayah, jumlah penduduk, dan kondisi sosial masyarakat pribumi (ANRI Banjoemas 11.4. 1830). Dengan cara ini pihak kolonial segara memperoleh ganbaran tentang berbagai permasalahan yang harus dihadapi di tempat itu, sehingga dapat mengatasinya dengan kebijakan yang dipandang tepat (ANRI Banjoemas 10.4,1830). Tindakan pertama yang dipandang perlu untuk ditangani adalah memeriksa dan mengatur tanah agar lebih memudahkan penarikan pajak. Pajak itu direncanakan akan mulai ditarik pada bulan Desember 1830, untuk menggantikan semua dana yang telah dikeluarkan untuk kepentingan daerah itu. Demi keberhasilan rencana tersebut, pihak
184
kolonial memandang perlu melibatkan berbagai unsur, termasuk para kepala pribumi di daerah Banyumas (ANRI Banjoemas 11.4, 1830). Untuk melaksanakan tugas itu, Residen Pekalongan menunjuk tiga orang pembantunya, yaitu Daendels, Tak, dan Vitalis yang masing-masing mendapat tugas untuk melakukan pendataan di daerah tertentu. Dandels, melaksanakan tugasnya di daerah Banyumas timur, Sigaluh, Banjarnegara, Wonokerto, dan Mandiraja. Tak, melaksanakan tugas pendataan di wilayah Purbalingga, Kertanegara, Ayah, Jeruk legi, dan Donan. Sementara itu Vitalis, bertugas di daerah Purwokerto, Sokaraja, Aji barang, Patikraja, Dayaluhur, Pancang dan daerah-daerah Perdikan (ANRI Banjoemas 11,4, 1830). Dari pembagian tugas tersebut dapat digambarkan betapa berat tugas mereka, karena masing-masing melaksanakan tugas pendataan di daerah yang terpisah-pisah. Setiap wilayah yang akan didata juga memiliki desa-desa yang terpencar. Hal ini dapat terjadi, karena konsep dasar pembagian tugas adalah pola pembagian wilayah yang sudah ada sebelumnya, yaitu Banyumas Kasepuhan dan Banyumas Kanoman. Pembagian wilayah itu besifat tumpang tindih untuk tujuan yang bersifat politik bagi Kasunanan Surakarta. Walaupun demikian, dalam waktu yang relatif singkat para petugas dapat melaporkan hasil samentara pendataan yang telah dilakukan. Laporan itu terutama berkaitan dengan jumlah penduduk dan luas masing-masing daerah. Jumlah penduduk yang dilaporkan dihitung dalam bentuk cacah, yang merujuk pada unit kerja yang terdiri dari empat atau lima orang tenaga kerja (Peper, 1975: 81). Jumlah penduduk dari dua daerah utama adalah sebagai berikut: Pertama, Banyumas Kasepuhan, yang terdiri dari Banyumas berpenduduk 500 cacah, Ayah 800 cacah, Patikraja 400 cacah, Purwokerto 400 cacah, Banjar 200 cacah dan Pancang 416 cacah. Dengan demikian, penduduk wilayah Banyumas Kasepuhan secara keseluruhan beijumlah 2.616 cacah. Kedua,
185
Banyumas Kanoman, yang terdiri dari Banyumas berpenduduk 500 cacah, Panjer 800 cacah, Sokaraja 400 cacah, Purbalingga 400 cacah, Banjar 200 cacah, dan Perdikan 400 cacah. Jumlah keseluruhan penduduk Banyumas Kanoman menurut perhitungan tersebut adalah 2.700 cacah (ANRI Banjoemas 11.4, 1830). Dalam laporan tersebut, wilayah Dayaluhur yang termasuk sebagai bagian dari daerah Banyumas Kanoman belum dapat diketahui secara pasti jumlah penduduknya. Kemungkinan besar karena tingkat kesulitan yang sangat tinggi di daerah itu, sehingga para petugas pendataan tidak dapat bekerja dengan cepat. Dalam rangkaian laporan itu, dikemukakan pula tentang kemungkinan-kemungkinan
membuka
isolasi
daerah
Banyumas. Langkah pertama yang akan ditempuh adalah membuka pelabuhan Cilacap yang ada di pantai laut selatan (ANRI Banjoemas 64, 1830). Daerah pantai selatan tersebut dapat dijangkau dari pedalaman Banyumas melalui jalur Sungai Serayu (Veth, 1875:42). Dalam kenyataannya laporan tersebut masih terus disempurnakan, sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman kerja bagi pihak kolonial lebih lanjut. Dari laporan yang semakin dilengkapi dan disempurnakan juga telah memuat tentang luas lahan pertanian. Hasil pencatatan luas lahan pertanian itu juga masih bersifat sementara, sehingga masih ada beberapa daerah yang luas lahannya terlalu kecil atau bahkan ada daerah yang belum dapat dilaporkan. Hal ini dapat dipahami, mengingat kesulitan koordinasi dan transportasi (ANRI Banjoemas 11.4, 1830). Luas lahan yang dilaporkan itu meliputi jenis sawah dan tegalan, yang pada umumnya menggunakan ukuran luas bau. Dalam laporan itu juga penduduk telah dihitung secara perorangan dan dilengkapi dengan data-data pemilikan raja kaya, yang berupa pemilikan hewan ternak, terutama kerbau, lembu, dan kuda. Kerbau dan lembu mempunyai arti penting bagi penduduk,
186
bukan saja sebagai simbol kekayaan, tetapi juga merupakan sarana produksi pada sektor pertanian yang berkaitan dengan tenaga kerja pertanian. Sementara itu kuda, di samping sebagai simbol status sosial pemiliknya, juga dapat dijadikan sebagai sarana transportasi yang sangat penting bagi masyarakat pedalaman Banyumas. Pada waktu itu dilaporkan pemilikan kerbau berjumlah 34.082 ekor, pemilikan lembu 1.070 ekor, dan kuda berjumlah 3.356 ekor (ANRI Banjoemas, U.4, 1830). Tentang batas-batas sebelah barat daerah Banyumas juga merupakan bagian penting dari laporan Vitalis yang mendapat perhatian serius. Daerah Dayaluhur yang selama itu kurang mendapat perhatian dari pemerintahan Mataram maupun Surakarta diperluas kearah barat sampai Sungai Cijulang. Dengan cara ini diharapkan Dayaluhur akan terbuka dari kondisinya yang terisolasinya dengan menggunakan sungai itu sebagai sarana transportasi kearah Cirobon yang berjarak sekitar 81 pai (ANRI Banjoemas 84, 1830). Sementara di bagian barat daya daerah Dayaluhur mempunyai batas alam dengan daerah Priangan, yaitu Sungai Citanduy. (Veth, 1875: 43). Dalam kenyataannya, usulan perbatasan seperti yang dinyatakan Vitalis itulah yang dijadikan pedoman pihak kolonial dalam kebijakan lebih lanjut. Dengan demikian, batas Jawa Tengah (Banyumas barat) dengan Jawa Barat sampai sekarang bukan semata-mata berdasarkan atas perimbangan etnis. Hal ini sangat bertentangan dengan pendapat Kern, bahwa etnis Sunda dan Jawa merupakan batas antara Mataram dengan Hindia Belanda sesuai dengan perjanjian tahun 1705 di Kartasura. Dalam kenyataannya, garis berbatasan itu lebih berdasarkan atas perimbangan lingkungan alam atau geografis (Panekoek, 1952:20). Dalam perkembangan selanjutnya, pendataan diarahkan untuk membentuk Banyumas sebagai karesidenan tersendiri. Hal ini sangat memerlukan data-data yang
W * ! * lebih memadai mengenai kondisi tanah dan situasi kependudukan, lefy&lifa ^^rtf^ V' %
berkaitan dengan tingkat sosial ekonomi mereka. Dengan cara ini maka Vjjefrft^Mah^ft daerah yang baru dibentuk itu mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Berdasarkan data-data yang dapat dihimpun, maka diputuskan Karesidenan Banyumas yang akan dibentuk itu terdiri dari empat daerah kabupaten (regentschap) dan satu daerah kepatihan (patihschap). Daerah Banyumas, Purbalingga, Purwokerto, dan Banjarnegara berstatus sebagai kebupaten, sedangkan Dayaluhur berkedudukan sebagai daerah kepatihan. Kepatihan Dayaluhur merupakan cikal-bakal dari Kabupaten Cilacap yang baru dibentuk pada tahun 1856. Syarat yang dipandang paling penting adalah jumlah penduduk di daerah itu yang masih terlalu kecil. Pada tahun 1830, wilayah Dayaluhur yang luas wilayahnya 1.270 pai persegi hanya berpenduduk 36.152 jiwa (ANRI Banjoemas 11.4, 1830). Sebagai bahan perbandingan daerah inti Banyumas yang luas wilayahnya hanya 428 pai persegi, jumlah penduduknya mencapai 110.158 jiwa (ANRI Banjoemas 20.1, 1841). Untuk mengetahui lebih jauh tentang potensi wilayah dilihat dari jumlah penduduk di Karesidenan Banyumas dapat diamati pada tabel berikut: Tabel 4.1 Nama Daerah, Luas, dan Jumlah PendudukTahun 1830 Nama Daerah
Nama Kabupaten
Luas Wilayah
Jumlah Penduduk
Banyumas
Banyumas
428 pai persegi
110.159 jiwa
Purbalingga
Purbalingga
690
117.889
Purwokerto
Purwokerto
520
81.137
Dayaluhur
-
1.270
36.152
Banjar
Banjarnegara
900
52.137
3.808
397.474
Jumlah
Sumber: ANRI Banjoemas 20,1838, Statistiek der Risidentie Banjoemas 1838.
188
Berdasarkan tabel tersebut di atas, maka dapat dinyatakan, bahwa penduduk di daerah Dayaluhur masih sangat sedikit jumlahnya dibanding dengan daerah lain. Dari luas wilayah yang mencapai 1.270 pai persegi, hanya berpenduduk 36.152 jiwa. Jumlah penduduk secara keseluruhan tercatat 397.474 jiwa itu dapat dikelompokkan dalam 59.996 keluarga atau 68.088 cacah (ANRI Banjoemas 20, 1838). Sebagai Residen Banyumas pertama diangkat de Sturler yang secara resmi dilantik pada tanggal 22 September 1830. Dalam melaksanakan tugasmya itu residen berpedoman pada Surat Keputusan (besluit) Gubernur Jenderal J.G. van den Bosch, No. 1 Tahun 1830, yang dikeluarkan pada tanggal 18 Desember tahun tersebut (ANRI Banjoemas 11.4, 1830). Berdasarkan surat keputusan tersebut, maka Karesidenan Banyumas secara resmi dibentuk, yang terdiri dari empat kabupaten dan dan satu daerah kepatihan. Daerah-daerah yang telah lama lepas dari kesatuan wilayah Banyumas juga dipersatukan kembali. Di antaranya adalah Distrik Karangkobar yang digabung dengan Pekalongan. Tanah Madura yang digabung dengan Cirebon, Karangsari yang digabung dengan Tegal, dan Nusakambangan yang sejak tahun 1706 berada di bawah kekuasaan kompeni atau VOC (ANRI Banjoemas 11.4,1830). Residen Banyumas berkedudukan di kota Banyumas yang ditetapkan sebagai ibu kota karesidenan. Dalam melaksanakan tugasnya residen dibantu oleh tiga orang asisten residen yang ditempatkan pada wilayah yang berbeda, yaitu Ajibarang (ibukota Kabupaten Purwokerto), Purbalingga, dan Banjarnegara. Kemudian, asisten residen dibantu oleh seorang upas dan seorang sekretaris pengadilan. Dalam ketentuan yang diatur oleh pemerintah kolonial tentang sistem pemerintahan dalam negeri, maka secara administratif ditentukan melalui dua jalur (Soedjito, 1976: 34), yaitu: 1) Untuk Pamong Praja Belanda, terdiri dari gewest, afdeeling dan onderafdeeling.
189
2) Untuk Pamong Praja Pribumi terdiri dari regenischap (kabupaten), district (kawedanan), dan onderdistrict (kecamatan). Berdasarkan ketentuan itu, maka dalam melaksanakan tugasnya Residen Banyumas yang berkedudukan di kota Banyumas dibantu oleh asisten residen, yang masing-masing ditempatkan di Ajibarang, Purbalingga, dan Banjarnegara. Sementara itu di Kabupaten Banyumas tidak ditempatkan asisten residen, karena pengawasan dari residen dapat dilaksanakan secara langsung. Residen dibantu pula oleh seorang upas {kommis) dan seorang sekretaris pengadilan negeri (ANRI Banjoemas 11.4, 1830). Asisten residen membawahi bupati secara langsung, karena pejabat ini sebagai pimpinan tiap-tiap afdeeling. Dalam hal ini bupati disebut juga sebagai hoof van plaatselijk bestuur (kepala pemerintahan setempat) atau HPB. Dengan demikian kedudukan bupati berada langsung di bawah asisten residen. Keadaan semacam itu berlangsung hingga tahun 1831 (Soedjito, 1976: 40). Sesudah tahun itu kedudukan bupati tidak lagi di bawah, tetapi di samping asisten residen. Baik bupati maupun asisten residen masingmasing mempunyai tugas sendiri-sendiri maupun tugas yang dilaksanakan bersama. Keduanya juga berada di bawah kepemimpinan residen yang bersangkutan. Dalam melaksanakan tugasnya, asisten residen juga dibantu oleh beberapa kontrolir, yang masing-masing mempunyai wilayah tugas sendiri (kontroleafdeeling). Luas wilayah tugas biasanya sama dengan luas wilayah kabupaten. Akan tetapi di kabupaten-kabupaten yang besar, biasanya mempunyai lebih dari satu kontroleafdeeling. Dalam prakteknya kontrolir seperti itu seolah-olah sebagai seorang wakil (bevoogden) dari Pangreh Praja Pribumi (Soedjito, 1976: 40). Pada masa kolonial, bupati merupakan jabatan puncak bagi pamong praja pribumi. Selain melaksanakan pemerintahan langsung kepada penduduk pribumi di
190
daerah kabupatennya, bupati juga menjabat sebagai ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten (regentschapsraad). Pada jabatan itu digunakan simbol-simbol tertentu,
antara
lain
wewenang
menggunakan
gelar
tumenggung
dan
berhak
menggunakan payung (songsong) berwarna putih, separoh hijau dengan tiga strip pinggiran berwarna kuning emas. Gelar tumenggung dapat naik seiring dengan naiknya jabatan bupati dengan gelar adipati yang berhak menggunakan payung berwarna putih dengan tiga strip pinggiran berwarna kuning emas. Gelar adipati dapat mencapai simbol pengabdian tertinggi seorang bupati, yang ditandai dengan hak untuk menggunakan songsong jene, yaitu payung kebesaran yang seluruhnya berwarna kuning emas (Soedjito, 1976:44). Dalam melaksanakan tugasnya, bupati dibantu oleh seorang patih, yang dalam segala hal dapat mewakili bupati. Di samping sebagai pimpinan DPRD, para bupati juga memegang pimpinan harian pada Polisi Pangreh Praja (bestuurspolitie). Hal ini mengingat di wilayah kabupatennya dia bertanggung jawab terhadap keamanan dan ketertiban umum (Soedjito, 1976: 45). Jika diamati, jumlah para pembantu yang menempati jajaran birokrasi tidak selalu sama, tergantung dari besarnya wilayah kabupaten itu. Hal ini dapat diamati, khususnya struktur birokrasi di Kabupaten Banyumas. Di kabupaten ini memiliki pejabat pembantu bupati yang terdiri dari 2 orang patih, 2 orang kliwon, 2 orang penghulu, 2 orang jaksa, 2 orang kepala prajurit, dan beberapa demang. Sementara itu di Kabupaten Purbalingga, bupati dibantu oleh 1 orang patih, 1 orang kliwon, 1 orang penghulu, 1 orang jaksa, 1 orang kepala prajurit, 1 orang kepala demang, 1 orang mantri, dan beberapa demang. Lain halnya dengan Kabupaten Purwokwerto, dibantu oleh 1 orang patih, I orang wakil patih, 2 orang lurah kliwon, 2
191
orang mantri, 3 orang kebayan, 9 orang penumping, dan 12 orang jagakarsa (ANRI Banjoemas 11.4, 1830). Dengan mengambil kasus-kasus di atas maka dapat dikemukakan di sini, bahwa bukan saja jumlah pejabat yang berbeda-beda, tetapi juga nama jabatannya yang tidak seragam. Hal ini menunjukkan, bahwa unsur-unsur tradisional masih tetap dipraktekkan dalam pelaksanaan pemerintah kolonial di tingkat kabupaten. Mengenai fungsi tradisional bupati juga masih tampak dipertahankan, dengan menempatkan bupati tetap sebagai sentral figur bagi masyarakat pribumi lengkap dengan simbol-simbol yang melekat pada jabatan tersebut. Masing-masing kabupaten terdiri dari distrik-distrik, yang memiliki status setingkat lebih rendah dari pada kabupaten, sedangkan di bawah distrik terdapat onder distrik. Distrik diperintah oleh seorang wedana, dan onderdistrik dipimpin oleh seorang aisten wedana, yang bertanggung jawab kepada wedana atasannya. Pejabat-pejabat di lingkungan karesidenan masing-masing diangkat dan diberhentikan oleh gubernur jenderal yang berkedudukan di Batavia. Simbol kebesaran yang digunakan oleh seorang wedana berupa payung berwarna biru dengan strip kuning emas pada pinggirannya (Soedjito, 1976: 45). Mengenai birokrasi di tingkat distrik dan onderdistrik, adalah wedana, asisten wedana, mantri, juru tulis, dan beberapa jaga karsa (ANRI Banjoemas 11.4,1830). Pada saat itu di wilayah Karesidenan Banyumas untuk sementara baru dapat dibentuk 18 distrik (ANRI Banjoemas 20, 1838). Jumlah ini masih terus berkembang seiring dengan pembenahan yang terus berlangsung. Mengenai susunan birokrasi dari tingkat kabupaten sampai ke tingkat distrik dan onderdistrik dapat diamati strukturnya pada tingkatan gaji mereka. Dapat dipastikan, bahwa besarnya gaji seorang pejabat tidak hanya menunjukkan kedudukan politik, tetapi
192
juga dapat menunjukkan status sosial mereka. Untuk jelasnya dapat diamati tabel di bawah ini. Tabel 4.2 Struktur Gaji Pajabat Pribumi dari Tingkat Kabupaten ke bawah No.
Nama Jabatan
Besarnya Gaji
1.
Bupati
f. 500 sampai f. 1.000
2.
Patih
f. 75 sampai f. 125
3.
Kliwon
f. 30 sampai f. 50
4.
Mantri
f. 20 sampai f. 30
5.
Jaksa
f. 30
6.
Penghulu
f. 20
7.
Juru tulis bupati
f. 15
8.
Jagakarsa
f. 6 sampai f. 8
9
Wedana
f. 80
10.
Asisten wedana
f. 60
11.
Mantri distrik
f. 20
12.
Juru tulis distrik
f. 12
Sumber: ANRI Banjoemas 11.4, 1830, Register van Residentie Banjoemas. Sejak awal masa kolonial di Karesidenan Banyumas, para bupati dan jajaran birokrasi di bawahnya sampai ke tingkat desa dilibatkan dalam sistem tanam paksa. Oleh sebab itu kekuasaan bupati terhadap bawahannya menjadi semakin kuat kembali. Walaupun demikian, kedudukan bupati menjadi tidak bebas, mengingat residen dan jajarannya menerapkan pengawasan yang ketat terhadap tingkah laku para bupati dan bawahannya (Kartodirdjo, 1988: 307). 3) Penentuan Sistem Pajak Bagi petani di pedesaan, tanah pertanian menempati posisi yang sangat menentukan bagi kehidupan mereka. Anggota masyarakat desa mempunyai hak tertentu
193
atas tanah di desa itu yang disebut hak pertuanan (beschikkingsrecht). Hak semacam ini merupakan hak pakai atas tanah garapan tertentu, sedangkan bagi orang-orang yang datang dari desa lain hanya dapat memungut hasil dalam batas waktu tertentu dengan persetujuan warga desa atau warga setempat (Haar, 1979: 63). Konsep penguasaan tanah secara tradisional sangat berbeda dengan pemilikan berdasarkan konsep Barat, yang lebih mengarah pada property atau eigendom. Pada zaman kerajaan Mataram, tanah yang berada di seluruh wilayah kerajaan ditempatkan di bawah penguasaan pejabat-pejabat yang ditunjuk oleh raja atau pihak yang berwenang di istana (Pigeaud, 1960: 525). Para penguasa atau pejabat sebenarnya bukan sebagai pemilik tanah itu, tetapi secara politis mempunyai hak atas tanah di wilayah kekuasaannya. Secara teoretis para penguasa berhak menguasai dan menikmati hasil tanah pertanian sesuai dengan adat yang berlaku. Sebagian dari tanah di wilayah kerajaan diperuntukkan bagi kepentingan keagamaan, di samping ada pula tanah-tanah yang diperuntukkan bagi kepentingan desa. Sebagian lagi dari tanah pertanian itu berstatus sebagai tanah jabatan, yang dikenal dengan tanah lungguh atau bengkok (Wiradi, 1989: 68). Asal-usul tanah desa berpangkal dari hasil kerja petani pionir yang melakukan pembukaan tanah pertanian secara bersama-sama. Hasilnya tentu saja diakui sebagai tanah milik bersama (komunal). Apabila seluruh penduduk desa bekerja bersama-sama dalam membuka tanah pertanian untuk kepentingan semua warga, maka tanah itu akan menjadi tanah desa sebagai milik bersama (Meer, 1979: 66). Selanjutnya, tanah yang berada di bawah milik bersama itu, merupakan milik komunal antara desa dengan para penggarap (Kroef, 1984: 146). Pembukaan tanah perorangan dapat juga dilakukan atas
194
izin pimpinan desa, dan hal itu dimungkinkan sepanjang pelanggaran hak tidak terjadi (Haar, 1979: 104). Sebelum muncul kecenderungan pemilikan tanah secara individual, bentuk pemilikan tanah di pedesaan Jawa sangat bervariasi. Akan tetapi bentuk tradisional yang paling umum adalah hak penggunaan tanah secara komunal. Dengan sistem penggunaan seperti ini maka semua tanah, baik tanah yang dapat ditanami maupun tanah yang berstatus sebagai tanah cadangan yang berupa hutan dan tanah yang lama tidak digarap (bera), secara keseluruhan berada di bawah penguasaan desa. Para petani penggarap menerima hak atas tanah itu berdasarkan kesepakatan bersama anggota masyarakat desa. Sesuai dengan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat Jawa, bentuk pemilikan tidak menutup kemungkinan adanya hak atas tanah pertanian untuk selama-lamanya. Pada dasarnya hak pemnilikan tanah pertanian itu dikuasakan kepada penduduk desa yang memenuhi syarat tertentu, tetapi tanah itu tetap sebagai bagian dari tanah komunal desa. Derngan demikian, seseorang dengan persyaratan tertentu, dapat menggunakan sebidang tanah yang cukup luas secara terus-menerus, dan dapat juga melimpahkan hak atas tanah itu kepada ahli warisnya (Vollenhoven, 1918: 512-513). Pada zaman kekuasaan Mataram hak pemilikan tanah secara peorangan memang sudah dikenal olen penduduk, tetapi dalam jumlah yang sangat terbatas. Tentu saja ada persyaratan pokok yang harus dipenuhi untuk memperoleh hak perorangan, karena hak ini hanya dipegang oleh para petani bebas, yang merupakan penduduk inti suatu desa. Mereka adalah cikal-bakal pendiri desa atau keturunannya. Para pendiri desa yang biasanya merupakan pionir pembuka tanah maupun keturunannya itu, merupakan elit desa yang biasanya disebut anak tani atau kulina (Meer, 1979: 56). Diduga kuat istilah
195
kuli kenceng atau kuli kendho yang dipakai secara luas dalam masyarakat pedesaan untuk menyebut hak pemilikan tanah di Jawa berasal dari istilah kulina itu. Sementara itu status pemilikan tanah di daerah Banyumas sampai pada awal abad ke-19 menunjukkan gejala yang tidak seragam. Status pemilikan tanah komunal sudah sangat dikenal di Purwokerto, Purbalingga, dan Cilacap, Banjarnegara, dan daerah inti Banyumas sendiri. Akan tetapi untuk tanah milik perorangan sangat sulit dijumpai di daerah inti Banyumas, sedangkan di wilayah lainnya sudah sangat dikenal dalam masyarakat (Tauchid, 1952: 124). Status pemilikan tanah secara perorangan di wilayah itu pada umumnya diperoleh secara turun-temurun, yang disebut dengan tanah yasa, cokrah, pusaka, atau tanah turunan (Kroef, 1984: 149). Secara teoretis, istilah hak milik atas tanah mengacu pada suatu konsep abstrak yang lebih pasti, yang mendekati pengertian hak mutak dalam arti modern. Tentu saja pada waktu itu penduduk desa yang dapat memiliki hak tersebut sangat kecil jumlahnya, karena persyaratan adat yang berlaku dalam masyarakat desa itu. Bentuk persyaratan yang paling pokok adalah, orang yang bersangkutan berasal dari pendiri desa atau keturunanya. Mereka dapat menggarap sendiri tanahnya atau setidak-tidaknya berminat untuk menggarapnya. Hak atas tanah ini dapat diwariskan, tetapi jika ahli waris masih terlalu muda, maka harus menunggu sampai ahli waris itu dianggap dewasa atau berumah tangga. Seperti diketahui, konsekuensi dari pemilikan hak atas tanah adalah pembayaran pajak dan melakukan kerja wajib. Jika kewajiban itu tidak dapat dilaksanakan, maka pemilikan hak atas tanah itu dapat dicabut. Status pemilikan tanah itu juga dianggap tidak berlaku lagi, apabila pemiliknya meninggalkan desa tanpa menyatakan apa yang harus dilakukan atas tanah tersebut. Pencabutan hak itu juga dapat dilakukan, jika tidak ada seorangpun ahli warisnya yang memenuhi syarat. Penanganan
196
kasus semacam itu sepenuhnya diserahkan kepada kepala desa atau para pejabat desa yang bersangkutan (Kano, 1984: 46). Dalam kenyataannya, baik pemilikan tanah secara komunal maupun individual, tetap tidak dapat diartikan sebagai hak milik yang benar-benar bersifat mutlak. Seperti diketahui pada tahun 1656 Amangkurat I (1645-1677) mengeluarkan pernyataan, bahwa rakyat di seluruh wilayah kerajaan merupakan penduduk yang tidak memiliki hak atas benda apapun. Semua harta benda yang dimiliki oleh penduduk dinyatakan sebagai harta atau benda milik raja yang sedang berkuasa (Graaf, 1987: 22-23). Hal ini dapat dipahami, dalam masyarakat feodal raja yang berkuasa dapat saja menyatakan dirinya sebagai pemilik tanah di seluruh wilayah kekuasaannya. Hanya saja status pemilikan itu lebih banyak bersifat politis, bukan pemilikan tanah secara mutlak atas tanah itu secara pribadi (Schrieke, 1975: 29), Perubahan status pemilikan tanah juga terjadi di wilayah Banyumas, yang pada awalnya ditujukan pada bagian barat daerah mancanegara barat, yaitu wilayah Priangan timur. Pada masa Amangkurat I wilayah itu ditempatkan di bawah kekuasaan raja secara langsung (Graaf, 1986: 123-124). Bersamaan dengan itu status wilayah diubah menjadi tanah yang berstatus sebagai daerah pemajekan. Jenis daerah pemajekan berbeda dengan daerah perdikan pada umumnya. Daerah dengan status seperti itu dipimpin oleh mantri berdaulat yang menguasai daerah bebas. Mantri berdaulat tersebut dapat menentukan penarikan pajak kepada penduduk dan diberi kebebasan untuk menentukan sendiri jenis penyerahan upetinya kepada raja (Kartohadikoesoemo, 1965: 75). Selama kekuasaan Amangkurat I ternyata di Banyumas (mancanegara barat) banyak terjadi pengambilalihan hak atas tanah oleh raja, tanpa memperhatikan hak-hak pribadi yang berlaku atas tanah itu. Menurut anggapan raja, penduduk daerah Banyumas
197
yang masih memiliki hak atas tanah pertanian pada dasarnya hanya mempunyai hak sebagai petani penggarap saja (Schrieke, 1975: 35). Sebagai akibat lebih jauh dari perubahan status pemilikan tanah secara politis tersebut, maka terbentuk suatu tradisi yang berkaitan dengan kewajiban penggarap tanah untuk masa-masa selanjutnya. Para pemilik hak atas tanah yang berkedudukan sebagai petani penggarap, wajib menyerahkan setengah dari hasil pertanian bruto yang diperoleh pada setiap musim panen. Hal semacam ini dipandang sebagai bukti, bahwa tanah pertanian itu merupakan milik kerajaaan. Sementara itu, kedudukan petani adalah sebagai penggarap tanah milik kerajaan sebagai pemerintah yang berkuasa, dengan mengikuti sistem bagi hasil (Kartohadikoesoemo, 1965: 35). Sebagai pemilik tanah-tanah pertanian, raja memberi hak garapan atas tanah-tanah pertanian itu kepada penduduk, terutama tanah sawah untuk ditanami padi. Di Banyumas, tanah jabatan (bengkok) yang mencapai luas sekitar 1/5 bagian dari seluruh tanah garapan, dibebaskan dari pungutan pajak yang diwajibkan oleh kerajaan. Dengan demikian 4/5 bagian tanah lainnya merupakan tanah milik raja yang ditanami dan dipanen oleh para petani dengan kewajiban menyerahkan V% dari hasil panennya. Oleh sebab itu penduduk pedesaan yang melakukan penanaman itu disebut sebagaipemaro (Scheltema, 1985: 134). Konsep pemilikan tanah seperti itulah yang diikuti oleh pemerintah kolonial. Hal ini dapat diamati dari pernyataan van den Bosch, bahwa tanah adalah milik negara dan para kepala desa tradisional berkedudukan sebagai penyewa tanah itu. Pada gilirannya para kepala desa menyewakan tanah-tanah itu kepada penduduk yang berstatus sebagai petani penggarap. Pandangan van den Bosch itu sebenarnya didasari oleh pandangan Raffles, yang menyatakan, bahwa tanah adalah milik raja atau pemerintah. Konsep pemilikan tanah itu tampak mengacu pada konsep pemilikan tanah secara tradisional
198
(Kartodirdjo, 1988: 306). Realisasi dari konsep itulah yang dijadikan dasar pengambilan kebijakan, sehingga tampak sangat jelas tercermin dalam aturan sistem tanam paksa. Dalam pelaksanaan sistem tanam paksa, ternyata penduduk juga dituntut membayar pajak tanah dan berbagai pungutan lain. Dengan demikian, penduduk desa yang memegang hak atas tanah garapan, menjadi sasaran eksploitasi sosial ekonomi kolonial. Mereka tidak hanya harus menyerahkan hasil tanaman wajib, tetapi juga harus menyerahkan pajak, dan kerja paksa. Pihak kolonial menyadari, bahwa sebenarnya pajak merupakan persoalan tradisional bagi penduduk di Pulau Jawa. Bagi penduduk di wilayah ini, pajak dalam berbagai bentuknya dipandang sebagai suatu kewajiban, sedangkan bagi pemerintah yang berkuasa pajak adalah merupakan hutang penduduk yang harus dibayar. Bagaimanapun juga pajak dan pungutan sejenisnya sejak periode yang paling klasik selalu merupakan sumber pendapatan bagi pemerintah yang berkuasa. Dalam konteks inilah, sistem pungutan dan penyerahan dalam berbagai bentuknya sudah pasti tidak dapat dilepaskan dari kerangka sistem tanam paksa sebagai suatu kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial pada waktu itu. Hal ini menjadi amat penting sebagai sumber pemasukan kas negara bagi pemerintah kolonial. Pada dasarnya sistem pajak yang diterapkan di Jawa oleh pihak kolonial sejak masa tanam paksa merupakan gabungan antara sistem tradisional dengan gagasan Raffles yang dimodifikasi. Seperti diketahui, Raffles bersama Komisi Mackenzie telah melakukan penelitian tentang keadaan masyarakat agraris di Jawa. Dari penelitian yang dilakukannya itu, Raffles dan komisinya sampai pada suatu kesimpulan yang menyatakan, bahwa semua tanah yang terdapat di Pulau Jawa adalah milik keraton, sedangkan penduduk yang menggarapnya adalah upaya untuk mengabdikan dirinya
i, u kepada keraton. Dalam hal ini, rakyat yang berkedudukuan sebagai abdi £al< akan dapat terlihat tingkat pengabdiannya kepada raja melalui kesunggi menggarap tanah pertanian. Pemikiran seperti itulah yang dikenal sebagai TeoT dari Raffles. Teori Domein tersebur bersumber kepada praktek penguasaan tanah di India sejak masa kekuasaan Dinasti Moghul (1506-1707) yang pada prinsipnya memandang, bahwa tanah sebagai milik pemerintah yang berkuasa. Untuk lebih jelasnya, Wiradi (1989:70) menyatakan sebagai berikut: Negara dipandang sebagai super land lord. Pajak bumi ditarik melalui dua jalur, 1) melalui jagirdar yaitu para bangsawan taklukan yang wajib menyerahkan upeti kepada negara, 2) melalui petani biasa. Petugas yang ditunjuk sebagai penarik pajak dalam suatu wilayah tertentu mendapat imbalan tanah pertanian yang menjadi wilayah tanggung jawabnya dan dikuasakan kepadanya. Dengan demikian mereka menganggap sebagai pemilik tanah itu, sehingga jadilah ia sebagai tuan tanah atau zamindar. Inggris memodifikasi penguasaan tanah itu dengan melelang kedudukan zamindar. Bagi orang yang mampu menyerahkan pajak paling tinggi, dia akan diangkat sebagai zamindar. Realisasi dari teori itu adalah ditetapkannya sistem pajak tanah yang dibebankan kepada para petani sebesar 2/5 dari tanah garapan, yang dibayar dalam bentuk penyerahan hasil pertanian dan penyerahan tenaga kerja (Wiradi, 1989: 70). Hal semacam ini sangat besar pengaruhnya terhadap tata cara pelaksanaan sistem tanam paksa yang dipelopori van den Bosch sejak tahun 1830. Sesuai dengan pandangannya yang menyatakan bahwa tanah adalah milik pemerintah, maka para kepala desa dianggap sebagai penyewa tanah pemerintah, yang selanjutnya mereka sewakan lagi kepada para petani. Atas dasar keyakinan ini, maka peraturan pokok sistem tanam paksa adalah sebagai berikut: Menurut sistem tanam paksa, pungutan dari rakyat tidak lagi berupa uang, tetapi berupa hasil tanaman yang dapat diekspor. Seluas 1/5 dari tanah garapan yang ditanami padi, wajib ditanami jenis tanaman ekspor dengan memakai tenaga yang tidak melebihi tenaga untuk menggarap tanah itu. Bagian tanah itu bebas
200
dari pajak, sedangkan setiap surplus dari hasil penjualan yang melebihi jumlah pajak tanahnya, harus diserahkan kepada pemerintah (Burger, 1962: 83). Berdasarkan aturan pokok sistem tanam paksa, maka secara teoretis semua pajak tanah di Jawa diganti dengan penyerahan hasil bumi dan tenaga. Secara resmi pajak tanah yang harus dibayar sekitar f. 5, 96 yang pembayarannya dilakukan setiap tahun oleh petani sikep yang tergolong besar. Angka-angka itu dimaksudkan untuk keperluan pembakuan dalam pelaksanaan sistem tanam paksa. Dengan demikian, para pemilik tanah tidak diharuskan membayar pajak tanah itu, karena telah diperhitungkan dengan upah yang akan diterimanya seandainya ia bekerja di perkebunan atau proyek kolonial yang lain. Dengan demikian pajak tanah yang dikenakan itu, bukan atas nama perorangan, tetapi lebih ditekankan pada tanah
garapan. Akan tetapi dalam
kenyataannya, pajak tanah tetap diberlakukan baik atas tanah maupun atas nama perorangan. Seperti yang terjadi di Banyumas, pajak tanah dan berbagai pajak lainnya tetap diberlakukan berdampingan dengan penyerahan tanaga kerja dan penyerahan hasil penanaman wajib (Hugenholtz, 1983: 166). Bentuk pajak yang dipraktekkan di Karesidenan Banyumas di luar pajak tanah antara lain adalah pajak keluarga, pajak pemilikan, pajak usaha dan lain-lain. Dalam pelaksanaannya, yang dijadikan ukuran penentuan pembayaran pajak adalah status sosial dan kemampuan seseorang. Hal semacam ini dapat diukur dari banyaknya pembantu dalam suatu kerluarga atau rayai, jumlah brayat (huisgenoten), jumlah anggota keluarga ifamilieleden), dan banyaknya orang-orang lain yang dilindungi atau yang hidup di bawah perlindungannya (Kano, 1984: 54). Mengenai pajak tanah (pajak bumi) adalah pajak yang dibebankan kepada kelompok petani sikep atau kelompok petani mapan yang memegang hak atas tanah. Sudah tentu komposisi pajak ini sangat bervariasi sangat
201
tergantung dari luasnya pemilikan tanah yang menjadi haknya itu. Kelompok tuan tanah yang memiliki hak atas tanah yang luas jelas mempunyai tanggung jawab yang berbeda dengan kelompok petani berlahan sempit. Dengan demikian, kelompok numpang yang tidak memiliki hak atas tanah pertanian tidak berkewajiban membayar pajak tanah. Akan tetapi kelompok numpang ini mempunyai kewajiban kepada petani sikep sehubungan dengan tanah garapan yang mereka kerjakan (Kano, 1984: 166). Pada awal kekuasaan kolonial, jenis pajak di Karesidenan Banyumas yang dipandang potensial adalah pajak tanah, karena dimungkinkan dapat memberi pemasukan yang cukup besar pada kas pemerintah. Anggapan itu ternyata tidak berlebihan. Pada akhir tahun 1830 dapat ditarik f. 426.781 dari sektor pajak tanah. Jumlah itu lebih besar dibanding dengan jumlah rata-rata pajak tanah yang berhasil ditarik pada masa sebelumnya oleh Surakarta yang hanya sekitar f. 121,120 (ANRI 11.4 Banjoemas, 1830). Hal ini dipandang sebagai langkah awal yang baik untuk memberi taksiran yang lebih dekat terhadap hak atas tanah penduduk di daerah itu. Bagaimanapun pajak tanah yang telah masuk itu dipandang belum optimal, sehingga untuk langkah berikutnya perlu dicari cara untuk mengatasi tunggakan pajak dengan cara memberi beberapa alternatif kepada penduduk. Pihak kolonial mengakui, bahwa pajak tanah di Karesidenan Banyumas masih sulit ditaksir secara lebin pasti, mengingat adanya perbedaan yang sangat besar antara penduduk di Lembah Serayu di Banyumas timur yang makmur dengan penduduk yang tinggal di daerah terpencil dan terisolasi di Banyumas bagian barat. Di Banyumas barat penduduk hidup di daerah pertanian yang miskin dengan standar hidup yang rendah. Untuk meningkatkan jumlah pemasukan dari sektor pajak tanah dari daerah Banyumas barat itu, pihak kolonial memberikan alternatif dengan jalan memaksa penduduk untuk menanam dan memelihara tanaman kopi, lada,
202
dan kayumanis. Nantinya hasil tanaman wajib itu harus diserahkan kepada pemerintah dengan harga yang telah ditetapkan. Semua hasil yang diperoleh penduduk akan diperhitungkan agar mereka dapat membayar tunggakan pajak tanah atau kewajiban lain yang belum dibayar (Hugenholtz, 1983: 53). Dari Banyumas timur pungutan pajak tanah tidak banyak menimbulkan masalah, namun pihak kolonial tetap memberi beberapa alternatif, agar penduduk dapat membayar pajak tepat waktu. Di desa-desa yang penduduknya miskin, rakyat diharuskan menanam kopi dan indigo. Untuk penanaman indigo, penduduk diberi keringanan dalam bentuk potongan pajak selama satu tahun, sedangkan untuk penanaman kopi pihak colonial memberi keringanan pajak selama tiga tahun. Semua itu dimaksudkan agar dapat menjadi perangsang bagi penduduk untuk melakukan penanaman wajib sebaikbaiknya. Dalam tahun 1835 di daerah itu pihak kolonial telah memberi keringanan pajak kepada penduduk sekitar 4 % dari seluruh taksiran pajak tanah yang masuk yang beijumlah f. 596.604. Sementara itu di Banyumas bagian barat yang tergolong miskin, pajak sudah dianggap telah dapat ditarik sesuai dengan harapan sejak tahun 1838. Hal ini tidak lepas dari pemberian alternatif bagi penduduk untuk melakukan penanaman wajib terutama kopi, telah berproduksi dengan baik (Hugenholtz, 1983: 154-155). Mengenai pajak lain yang harus ditanggung oleh penduduk di pedesaan adalah pajak rumah tangga. Di Banyumas pajak ini dikenal dengan pajak plawang (pintu) yang dikenakan kepada setiap keluarga yang memiliki rumah sendiri. Pihak kolonial sejak awal kekuasaannya telah berusaha membuat peraturan mengenai jenis pajak ini, yang harus ditangani secara efektif. Aturan tentang pajak plawang ini terdiri dari 14 pasal (ANRI Banjoemas 02.1, 1831) yang pada prinsipnya menetapkan:
203
1) Bagi setiap penduduk yang bertempat tinggal di setiap tempat dikenakan pajak yang dibayar dua termin dalam setiap tahun. 2) Pajak rumah tangga atau pajak plawang, sebagai pihak pelaksananya adalah para bupati yang dibantu oleh para kepala lainnya. Bahkan dari kalangan rakyat biasa bila mungkin akan diberi tugas-tugas itu dengan mendapatkan upah dan biaya transport. Munculnya peraturan tersebut menunjukkan, bahwa jenis pajak rumah tangga dipandang sebagai salah satu sumber pemasukan pemerintah yang potensial. Oleh sebab itu jenis pajak ini harus dapat dilaksanakan secara sungguh-sungguh berdampingan dengan pajak dan pungutan lainnya. Untuk memudahkan pelaksanaannya, pihak kolonial membuat pedoman tentang jumlah pajak yang harus dibayar oleh setiap rumah tangga berdasarkan klasifikasi tertentu. Dengan klasifikasi itu diharapkan setiap keluarga dapat dimasukkan dalam kelompok tertentu, sehingga akan dengan mudah ditetapkan jumlah pajak yang menjadi kewajibannya. Pada mulanya penduduk dibagi menjadi 5 kelompok pembayar, yaitu kelompok f.5, f.4, f.3, f.2, dan f.l untuk setiap rumah tangga (ANRI Banjoemas 02.1,1831). Pembagian kelompok-kelompok itu pada akhirnya mengalami kekacauan dalam pelaksanaannya, karena bagi sebagian penduduk dianggap tidak adil dan sangat memberatkan. Dipersoalkan pula, bahwa klasifikasi itu kurang dapat diterapkan di desadesa, Dalam kenyataannya, ada rumah tangga yang tidak dapat dimasukkan kedalam salah satu kelompok yang telah ditetapkan, terutama keadaan rumah tangga yang berada di bawah klasifikasi itu. Sehubungan dengan itu, para petugas kemudian sepakat untuk menyederhanakan klasifikasi itu menjadi dua kelompok saja, yaitu pembayar pajak f, 3 dan f. 2 (ANRI Banjoemas 02.1, 1831). Dari penarikan pajak rumah tangga tahun 1830
204
dapat diperoleh sebesar f. 60.839, tahun 1831 telah naik menjadi f. 120.000, dan tahun dua tahun kemudian (1833) pemasukkan dari sektor pajak rumah tangga telah meningkat menjadi f. 438.528 (Hugenholtz, 1983: 152). Tenyata masih banyak jenis pemasukan yang dapat ditarik dari berbagai jenis pajak yang lain seperti pajak pasar dan warung, pajak penjualan, pajak pemilikan kuda sampai pada pajak monopoli garam. Jenis pajak tersebut dipandang potensial sebagai salah satu sumber pendapatan bagi pemerintah kolonial. Untuk pajak pasar dan warung, pada tahun 1830 dapat diperoleh sebesar f. 2.056 untuk bulan Juli dan pada bulan Agustus diperoleh sekitar f. 3.019. Sementara itu pemasukan bulan September dari sektor pajak pasar dan warung sekitar f. 2.131 (ANRI Banyumas 11.4, 1830). Dalam perkembangan selanjutnya jenis pajak tersebut ternyata merupakan sumber pemasukan yang benar-benar potensial, karena ragamnya cukup luas. Untuk lebih jelasnya perkembangan pajak pasar dan warung, serta penjualan dapat diamati pada tabel berikut: Tabel 4.3 Pemasukan Sektor Pajak Pasar dan Penjualan Tahun 1832-1834 Jenis Pajak
1832
1833
1834
f. 61.200
f. 50.160
f. 48.000
2.700
2.232
3.420
840
792
840
Penjualan gading
4.560
4.800
5.040
Penjualan opium
96.000
113.760
129.600
Usaha pegadaian
1.200
768
768
f. 166.560
f. 172.512
f. 187.668
Pasar dan warung Penjualan Arak Penjualan taring
Jumlah
Sumber: ANRI Banjoemas 48,1834, Administratief Veslag Residentie Banjoemas.
205
Berdasarkan tabel di atas ternyata jenis pajak pasar, warung dan penjualan yang paling banyak menunjang pemasukan bagi kas pemerintah adalah pajak penjualan opium. Hal ini menunjukkan adanya indikasi kuat, bahwa pihak kolonial pada saat itu telah memandang opium sebagai barang perdagangan yang legal dengan pajak yang cukup tinggi. Sementara itu pajak pemilikan (hak milik) dan aneka pajak lainnya, juga dipandang sebagai sumber pendapatan pemerintah yang dipandang perlu untuk digarap secara serius. Pajak pemilikan identik dengan pajak yang dikenakan kepada barangbarang yang dimiliki penduduk sebagai ukuran kekayaan seseorang. Di samping itu pajak pemilikan ternak atau raja kaya (veerteelt) terutama pemilikan kuda juga tidak lepas dari sasaran penarikan pajak. Sesuai dengan Surat Persetujuan Gubernur Jenderal No.l tanggal 26 Juni 1832, bahwa di Banyumas tidak kurang dari 600 ekor kuda yang telah dikenai pajak (ANRI Banjoemas 067, 1833). Hasil pendapatan yang diperoleh pada sektor ini cukup besar pula. Secara umum hasil yang diperoleh pada tahun 1832 sebesar f. 235, tahun 1833 diperoleh sekiatar f. 299, tahun 1834 sebesar f. 250, tahun 1835 dan tahun 1836 masing-masing dapat diperoleh sebesar f. 382 dan f. 459 (ANRI Banjoemas 20, 1838). Di wilayah pantai selatan Karesidenan Banyumas, garam secara tradisional dibuat oleh penduduk pedesaan untuk kepentingan mereka sendiri. Proses pembuatan garam dilakukan dengan teknik tradisional yang dikerjakan oleh masyarakat secara gotong-royong. Pihak kolonial memandang, bahwa dengan melakukan monopoli pembuatan garam rakyat dapat juga menambah sumber pemasukan bagi pemerintah. Dengan monopoli tersebut, garam tetap dibuat oleh masyarakat pedesaan di pantai selatan melalui pengerahan tenaga keija paksa. Proses pembuatannya berada di bawah
206
pengawasan petugas kolonial secara ketat dan hasilnya juga harus diserahkan kepada pihak kolonial. Untuk selanjutnya, proses pemasaran garam sebagai barang kebutuhan pokok masyarakat tersebut dilakukan oleh pemerintah kolonial. Dengan demikian, maka monopoli garam tersebut dapat mendatangkan keuntungan yang cukup menjanjikan. Berdasarkan informasi dari sumber yang dapat dijumpai, besarnya produksi garam pada tahun 1831 mencapai sekitar 2 koyang 28 V* pikul, sedangkan pada tahun 1832 sebesar 93 koyang 14 Vi pikul. Sementara itu untuk produksi garam tahun 1833 dan 1834 masing-masing 258 koyang 28 '/2 pikul, serta 428 koyang 15 pikul (ANRI Banjoemas 48, 1834). Secara keseluruhan, dalam tahun 1832-1836 pemasukan pemerintah kolonial dari sektor aneka pajak, menunjukkan grafik yang semakin meningkat. Selanjutnya untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang pendapatan pemerintah dari berbagai macam pajak dapat diamati pada tabel berikut: Tabel 4.4 Pemasukan dari Sektor Aneka Pajak Tahun 1832-1836 Jenis Pajak Pemilikan Gedung Tanah Kuda Budak Surat tanah Zegel Pos Alih hak Garam Jumlah
1832 f. 119.280 3.081 166.560 235 35 472 507 1.042 -
22.320 f. 313.689
1833 f.435,335 4.712 172.512 299 54 613 801 1.016 8 46.203 f. 661.594
1834 f.426.650 5.529 187.668 250 58 364 758 1.010 -
53.650 f. 672.066
1835 f. 382.271 3.212 194.688 382 56 1.042 522 784 4 72.139 f. 655.266
1836 f.373.244 3.265 233.568 459 51 562 404 740 -
90.578 f. 702.958
Sumber: ANRI Banjoemas 20,1838, Statistiek der Residentie Banjoemas 1838.
207
Dari tabel di atas dapat diartikan, bahwa dari tahun 1832 sampai 1836 ternyata ada dua jenis pajak yang memberi sumbangan pendapatan yang sangat potensial, yaitu pajak hak milik dan pajak tanah. Dua jenis pajak itu setiap tahunnya selalu mencapai persentase yang tinggi. Bahkan dalam tahun 1833 kedua jenis pajak itu telah mencapai 92 % dari total pendapatan di sektor pajak jenis ini. Hal semacam itu menjadi kecenderungan yang terus berlangsung selama 2aman kolonial. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa kedua jenis pajak itu merupakan primadona pendapatan bagi pemerintah kolonial. Untuk lebih jelasnya tabel di bawah ini dapat meberi bukti yang lebih kongkrit. Tabel 4.5 Pemasukan dari Aneka Pajak Tahun 1837-1841 Jenis pajak
1837
1838
1839
1840
1841
f. 242.268
f.293.700
f. 314.280
f. 332.952
f. 346.440
Monopoli garam
122.175
119.832
174.418
175.094
202.463
Pajak tanah
379.617
398.996
409.281
469.052
513.107
3.509
4.273
6.253
6.480
7.063
Pemilikan budak
43
35
53
40
33
Pemilikan kuda
447
522
545
675
624
1.464
3.292
3.469
1.644
5.962
Pemilikan
Pabrik
Zegel Alih hak Pos Lelang Surat tanah Jumlah
-
-
64
-
183
833
807
1.285
1.866
1.914
58
39
30
58
49
138
510
1.277
1.802
4.365
f. 750.569
f. 621.951
f. 910.959
f. 980.670 f. 1.083.207
Sumber: ANRI Banjoemas 20.1,184 , Statistiek Opgaven der,\esidentie Banjoemas 1838-1841. Berdasarkan tabel di atas menunjukkan, bahwa perkembangan lebih lanjut dari pungutan pajak di Karesidenan Banyumas, pajak hak milik dan pajak tanah semakin
208
menempatkan posisinya sebagai sumber pendapatan yang penting. Sebagai bagian dari sumber pendapatan pemerintah kolonial antara tahun 1832-1841 rata-rata pemasukan mencapai 81 % dari total pendapatan di sektor pajak jenis ini. Diprediksikan grafik itu cenderung menanjak selama sistem pajak semacam itu diberlakukan oleh pihak kolonial. 4) Sistem Penanaman dan Penyerahan Wajib Walaupun di Banyumas terjadi perubahan-perubahan yang berkaitan dengan status tanah sebagai akibat dari kebijakan pemerintah pusat kerajaan, namun bagi para petani hal itu hampir tidak mengubah pola hidup mereka. Secara umum para petani tetap memandang, bahwa produksi merupakan sarana untuk berkonsumsi. Tetap saja terdapat kecenderungan di antara mereka untuk memakan habis produksinya secara bersamasama (Gelderen, 1981: 19). Dengan demikian, usaha mereka tetap saja bukan merupakan usaha ekonomi, tetapi mereka hanya mampu mengelola rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidup secara sederhana dan bukan mengelola usaha bisnis (Wolf, 1985: 3). Gejala semacam ini hampir seragam, sehingga menjadi ciri dari kehidupan masyarakat petani Jawa pada umumnya. Dapat diungkap pula di sini, bahwa pola kehidupan petani yang dijalani sehari-hari sampai pada abad ke-19 digambarkan oleh Gelderen (1981: 8) sebagai berikut: Penduduk mempunyai ciri-ciri taraf hidup yang sangat sederhana, menu makanannya sebagian bersar nabati, kebutuhannya akan pakaian minim. Mereka itu mempunyai sifat yang lemah lembut, nrimo, punya perasaan sosial yang besar. Mereka sering tidak menunjukkan kesusahan dirinya dan easy going, serta kurang rasional. Bertitik tolak dari gambaran tersebut dapat memberi wawasan lebih jauh, bahwa kehidupan masyarakat petani di pedesaan secara tradisional sangat tergantung dari dua hal pokok, yaitu kehidupan agraris dan ikatan sosial yang kuat. Keseimbangan antara dua hal pokok itu selalu dipertahankan untuk mencapai kehidupan yang harmonis.
209
Dalam kondisi demikian, masyarakat pedesaan dapat mencapai kehidupan yang tenteram dan romantis. Dengan kehidupan masyarakat yang serba terbatas, mereka tetap berusaha menjalin hubungan yang harmonis dengan alam sekitar. Prinsip kehidupan yang demikian, merupakan motivasi bagi penduduk untuk selalu dapat menjalankan pekerjaan sehari-hari dengan perasaan tenang (Vries, 1972: 12). Untuk dapat memahami ekonomi pedesaan, harus dilihat pula masalah-masalah yang berkaitan dengan pandangan petani itu sendiri. Hal ini disebabkan, pola kehidupan ekonomi penduduk pedesaan sangat berhubungan erat dengan persoalan organisasi, produksi, konsumsi, status pemilikan, dan kewajiban-kewajiban mereka. Semua itu dapat berpengaruh terhadap terbentuknya kecederungan pola kehidupan perekonomian mereka (Gamst, 1981: 10). Jika demikian, maka untuk memahami sistem ekonomi tradisional masyarakat petani di pedesaan, merupakan persoalan yang cukup kompleks. Pada umumnya, tanah pertanian di Pulau Jawa merupakan dataran luas yang dilengkapi dengan sungai-sungai. Ditinjau dari kondisi alamnya, hal itu mampu menciptakan pandangan alam yang indah di pedesaan, yang juga mempengaruhi perkembangan moral petani untuk bergantung kepada alam (Booth, 1988: 3). Mengingat begitu besarnya ketergantungan petani terhadap alam, maka gangguan musim diangggap sebagai ketidakseimbangan kosmos. Menurut pandangan mereka, gangguan musim itu dapat terjadi karena adanya kelalaian yang dilakukan oleh masyartakat. Untuk selalu dapat menjaga keseimbangan itu, maka para petani pada saatsaat tertentu menyelenggarakan upacara ritual terutama untuk setiap musim tanam atau setelah musim panen dalam bentuk bersih desa atau ruwatan desa (Bertling, 1974: 9). Di daerah Banyumas, kenyataan seperti itu mebawa dampak sosial yang sangat luas di lingkungan masyarakat petani. Terjadilah proses penyerapan individu dalam masyarakat,
210
sehingga kepentingan bersama harus diutamakan dari pada kepentingan perorangan. Kegiatan sosial juga ditempatkan di atas kegiatan ekonomi, sehingga prestise dipandang lebih penting dari pada keuntungan (Boeke, 1971: 22). Dengan demikian, pemilikan terhadap sarana produksi bukan untuk tujuan pribadi, tetapi lebih cederung untuk memperlihatkan status bagi pemiliknya. Dari sini tampak jelas, bahwa nilai sosial memiliki kedudukan yang lebih penting dari pada nilai ekonomisnya (Gelderen, 1981: 910). Berdasarkan kenyataan itu, maka kegiatan perekonomian tradisional dalam masyarakat petani yang tampak otonom itu sebenarnya semu, kerena tidak diikuti oleh dorongan-dorongan yang bersifat pribadi. Pengaruh timbal balik antara individu dengan kelompuk atau antara perorangan dengan masyarakatnya sangat mewarnai kehidupan sehari-hari (Vries, 1972: 12). Kegiatan perekonomian desa di samping memproduksi dengan cara pengolahan tanah secara tradisional demi terlaksananya swasembada pangan, juga selalu berusaha menjaga keseimbangan antara faktor produksi dengan faktor konsumsi. Keseimbangan itu menyangkut standar hidup yang telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat. Sebagian besar anggota masyarakat berpandangan, bahwa pola keseimbangan itu harus tetap dipertahankan. Demikian pula mengenai tanah yang tersedia dan jumlah anggota masyarakat yang harus hidup, bukan merupakan suatu jumlah yang dapat dinaikkan secara sembarangan. Pada umumnya semua warga masyarakat menyadari hal itu, sehingga keseimbangan hidup tetap terkendali. Dengan demikian, keseimbangan antara jumlah penduduk dengan sumber-sumber ekonomi selalu dapat dipertahankan (Boeke, 1983: 24). Berkaitan dengan itu, desa-desa memang secara bebas dapat menentukan batas-batas wilayahnya, tetapi untuk kepentingan yang
211
bersifat ekonomi mereka tidak menggunakan tanah pertanian yang lebih luas dari yang dibutuhkan untuk keperluan hidup bagi masyarakatnya (Boeke, 1971: 16). Tampaknya faktor keseimbangan antara tanah dengan penduduk dan antara faktor produksi dengan faktor konsumsi itu sangat diperhatikan oleh pihak kolonial dalam rangka pelaksanaan eksploitasi ekonomi. Oleh sebab itu, pihak kolonial sengaja membiarkan kehidupan ekonomi penduduk pedesaan berjalan sesuai dengan kondisi tradisonalnya. Semantara itu pelaksanaan eksploitasi ekonomi melalui sistem tanam paksa di tumpangkan di atas perekonomian desa (Geertz, 1974: 61). Kebijakan kolonial semacam itu juga sering menjadi dasar analisis tentang pelaksanaan dualismne ekonomi selama masa tanam paksa (Boeke, 1971: 17). Secara teoretis, sistem tanam paksa pada dasarnya merupakan gabungan antara sistem pajak tanah dengan sistem penyerahan wajib. Dengan demikian maka sistem penyerahan wajib merupakan suatu keharusan, karena diartikan sebagai kewajiban penduduk untuk membayar pajak kepada pemerintah dalam bentuk barang, yang berupa produksi tanaman untuk keperluan ekspor. Rakyat dipaksa untuk melakukan budidaya tanaman ekspor pada lahannya sendiri. Sebagai imbalan atas penanaman itu, petani yang bersangkutan tidak dibayar dalam bentuk uang, tetapi diberi pembebasan dari kewajiban pembayaran pajak tanah atas bidang tanah yang diperlukan untuk tanam paksa. Akan tetapi, bidang tanah yang tidak ditanami tanaman wajib tetap dikenai pajak. Pajak itu juga tidak dipungut dalam bentuk uang, tetapi dengan penyerahan tenaga keija. Menurut pandangan pihak kolonial, pungutan pajak seperti itu lebih sesuai dengan sifat rumah tangga desa. Hal ini berdasarkan pertimbangan, dalam masyarakat agraris di pedesaan secara tradisional telah terbentuk pola rumah tangga produksi, bukan rumah tangga uang (Kartodirdjo & Suryo, 1991:55).
212
Melalui sistem penanaman dan penyerahan wajib, tampak adanya usaha dari pihak kolonial untuk mempertahankan penduduk tetap dalam kondisi tradisionalnya. Artinya, penduduk pedesaan dikondisikan tetap berada dalam pola rumah tangga produksi, dan tidak boleh berubah untuk menjalankan sistem rumah tangga uang. Secara sepintas maksud tersebut dapat dipandang sebagai perlindungan terhadap rakyat dari sistem ekonomi uang yang dipandang menyesatkan. Akan tetapi dalam arti yang sebenarnya, hal itu dapat juga dipandang sebagai suatu pengekangan yang merugikan bagi para petani. Dalam melaksanakan sistem tanam paksa, para petani dipaksa untuk bekerja dan melepaskan tanah pertaniannya. Sebaliknya, dalam beberapa hal para kepala desa dan jajaran pamong praja pribumi justru diberi kebebasan dalam rangka mensukseskan sistem tanam paksa tersebut. Dengan demikian berarti rakyat berada dalam posisi yang sangat dirugikan, baik dalam hal kebebasannya, maupun barangbarang hasil produksinya (Burger, 1962:177). Demi kelancaran pelaksanaan penyerahan wajib, van den Bosch menempuh jalan untuk melibatkan bebagai unsur, terutama birokrasi pemerintahan Eropa, para kepala (pimpinan) tradisional, organisiasi desa, tenaga kerja penduduk, tanah pertanian, dan modal para pengusaha Barat. Selama sistem tanam paksa berlangsung, para pengusaha Barat dan modal mereka hanya diberi peran dalam pabrik-pabrik, bukan dalam sektor perkebunan. Hal ini sesuai dengan tekad pemerintah kolonial yang akan menyiapkan bahan mentah untuk para pengusaha pabrik. Pada dasarnya organisasi pelaksanaan sistem tanam paksa disusun begitu rapi, sehingga usaha untuk memproduksi tanaman komoditi ekspor dapat dicapai secara maksimal (Burger, 1962: 175-176). Walaupun bagi rakyat sistem itu tidak mengandung usaha-usaha pembaharuan. Justru semakin baik
213
sistem organisasi dan teknik tanam paksa, maka tekanan yang diberikan kepada masyarakat akan terasa semakin berat. Jika mengamati kondisi lapangan sehubungan dengan sistem penanaman dan penyerahan wajib itu, dapat dipisahkan menjadi dua kategori besar, yaitu: Pertama, tanaman tahunan yang dapat ditanam secara bergiliran dengan padi, seperti tebu, indigo, dan tembakau. Kedua, jenis tanaman keras yang berumur panjang yang tidak dapat digilirkan dengan padi. Termasuk jenis tanaman keras adalah kopi, teh, kina, kayumanis, dan lada. Sebagai akibat dari adanya dua jenis tanaman wajib itu, berkembang dua gaya saling pengaruh dan yang saling bertentangan dengan lingkungan biotis yang telah mapan. Tanaman tahunan cenderung membentuk hubungan yang mutualistis dengan komunitas serupa itu. Dalam arti, bahwa antara tanaman tahunan dan tanaman padi idealnya dapat bersama-sama menggunakan habitat yang sama tanpa menimbulkan ketegangan atau sekurang-kurangnya tidak saling mengganggu bagi kedua belah pihak. Bahkan antara keduanya justru diharapkan untuk dapat saling mendukung. Sebaliknya, tanaman keras cenderung menbentuk hubungan insuler, karena menempati habitat yang menutup diri dari sistem-sistem tradisional pribumi, sehingga muncul berbagai kantongkantong bebas (Geertz, 1974:59-60). Sebenarnya terdapat tiga jenis tanaman komoditi andalan yang diwajibkan di Karesidenan Banyumas selama masa tanam paksa, disamping kopi (tanaman keras) juga indigo dan tebu (tanaman tahunan). Ketiga jenis tanaman itu diusahakan dalam skala besar di daerah itu. Sementara itu tanaman yang diusahakan dalam skala kecil adalah teh, lada, kayumanis (tanaman keras), juga tembakau, dan kapas (tanaman tahunan). Semua jenis tanaman itu dengan kadar yang berbeda-beda telah memberi sumbangan yang cukup berarti bagi pemerintah kolonial (ANRI Banjoemas 11.4,1830).
214
Untuk jenis penanaman wajib kopi di Karesidenan Banyumas, pada awalnya dikembangkan di dua kabupaten, yaitu Purwokerto, Purbalingga, dengan model pager kampung. Melalui model pager kampung, setiap rumah tangga di dua kabupaten itu diwajibkan untuk menanam dan memelihara pohon kopi milik pemerintah. Pada tahap pertama dicobakan 6.000 batang pohon kopi. Disusul kemudian dengan mewajibkan penanaman kopi di setiap kabupaten, terutama di desa-desa yang dipandang cocok. Bibit kopi disediakan oleh pihak pemerintah kolonial, yang diserahkan kepada penduduk sesuai dengan luas pekarangan mereka. Dengan demikian, hampir setiap rumah tangga mendapat kewajiban untuk menanam dan memelihara tanaman kopi pager kampung terasebut (ANRI Banjoemas 11.4, 1830). Dalam tahun 1831 dikeluarkan peraturan tentang penyerahan hasil panen, yang berkaitan dengan harga kopi dan peraturan bagi hasil yang harus dipatuhi oleh para petani. Isi terpenting dari peraturan itu adalah, "pada dasarnya kopi adalah milik pemerintah, sehingga hasilnya juga harus diserahkan kepada pemerintah. Penduduk akan mendapat haknya sebagai ganti biaya pemeliharaan dan pengangkutan, yang terlebih dahulu harus dipotong pajak". Secara garis besar kewajiban penduduk menyerahkan 2/5 bagian dari hasil penen kopi sebagai milik pemerintah, sedangkan 3/5 bagian merupakan hak penduduk. Pada waktu itu harga kopi ditetapkan f. 10 untuk setiap pikul (ANRI Banjoemas 02.1, 1831). Dengan demikian, apabila suatu keluarga petani dapat menghasilkan 5 pikul kopi, maka akan dihargai dengan f. 50. Dari jumlah tersebut, f. 20 merupakan hak pemerintah, sedangkan f. 30 merupakan hak penduduk yang telah menanam dan memelihara tanaman kopi yang dititipkan kepadanya. Akan tetapi sebelum sampai ke tangan penduduk, uang sebesar f. 30 tersebut, harus dipotong dengan berbagai macam pajak dan pungutan lain.
215
Usaha untuk memperluas penanaman kopi giat dilaksanakan di Karesidenan Banyumas. Bedasarkan Resolusi No. 1 tanggal 22 Agustus 1831, penduduk diwajibkan menambah tanaman kopinya yang dilakukan dengan model pager kampung atau pager kopi. Resolusi tersebut direspon secara sungguh-sungguh oleh para pejabat yang berwenang di daerah itu. Hal ini menyebabkan jumlah tanaman kopi di daerah Banyumas melalui model peger kampung semakin giat dilaksanakan. Sebagai gambaran dari kondisi tersebut dapat diamati pada tabel tentang jumlah pohon kopi yang telah berhasil ditanam pada tahun 1931 sebagai berikut: Tabel 4.6 Penambahan Jumlah Tanaman Kopi (1831) Kabupaten
Jumlah pohon
Banyumas
60.000
Purwokerto
213.300
Dayaluhur
219.875
Purbalingga
150.000.
Banjarnegara
252.900
Jumlah
896.075
Sumber: ANRI Banjoemas 066, 1832, Algemeen Verslag der Residentie Banjoemas. Dengan demikian, menurut resolusi itu pohon kopi yang baru harus ditanam di seluruh wilayah Karesidenan Banyumas, sehingga jumlah tanaman kopi baru bertambah 896.075 pohon. Jika jumlah tersebut ditambahkan dengan tanaman kopi yang telah lebih dahulu ditanam yaitu 239.775 pohon, maka secara keseluruhan berjumlah 1.135.850 pohon (ANRI Banjoemas 066,1832). Pihak kolonial begitu antusias untuk memacu peningkatkan penanaman wajib kopi di daerah itu. Hal ini tampak jelas dari upaya pemerintah untuk merangsang
216
semangat kerja penduduk melalui Surat Edaran Gubernur Jenderal No. 1618 tertanggal 17 Oktober 1831, yang ditujukan kepada para bupati di lingkungan Karesidenan Banyumas. Surat edaran itu kemudian diingatkan kembali melalui Nota Residen tanggal 20 Pebruari 1832 yang menegaskan, bahwa penduduk di kabupaten-kabupaten akan dibebaskan dari pajak tanah selama 3 tahun apabila mereka memiliki tanaman kopi sebanyak 450 pohon (ANRI Banjoemas 066, 1832). Usaha memberi rangsangan semacam ini tampaknya kurang begitu berhasil, sehingga pemerintah kolonial berusaha mencari jurus baru dalam rangka meningkatkan jumlah tanaman kopi di daerah itu. Jalan yang ditempuh adalah dengan memperluas sistem penanaman wajib kopi tidak hanya melalui pager kampung saja, tetapi juga dilakukan dengan sistem kebun kopi dan hutan kopi yang mengambil lokasi jauh dari pemukiman penduduk. Sistem kebun kopi merupakan pembukaan perkebunan kopi di lahan-lahan kosong milik komunal atau milik desa. Sementara itu sistem hutan kopi merupakan penanaman kopi yang dilakukan di hutan-hutan cadangan milik desa. Untuk menggarap lahan dan mengurus tanaman digunakan tenaga kerja paksa yang direkrut dari penduduk desa-desa di sekitar perkebunan, yang dikoordinasi oleh para kepala desa. Sistem penanaman wajib seperti itu dipandang sangat berhasil. Tabel 4.7 Peningkatan Tanaman Wajib Kopi Tahun 1832 Kabupaten Kebun kopi Pager kopi Hutan kopi Jumlah Banyumas 135.725 410.000 136.000 681.725 Purwokerto 634.875 676.000 335.400 1.646.275 Dayaluhur 212.250 134.650 219.050 444.910 Purbalingga 561.000 599.790 91.050 1.251. .840 Banjarnegara 452.900 551.187 92.100 1.096.187 Jumlah 1.996.750 1.765.627 873.750 5.120.937 Sumber: ANRI Banjoemas 067, 1833, Algemeen Verslag der Residentie Banjoemas.
217
Dengan perkembangan tersebut, diperkirakan Karesidenan Banyumas akam mampu menghasilkan kopi 30.000 pikul pertahun. Dalam tahun 1833 karesidenan ini baru menghsilkan 4.800 pikul dan tahun berikutnya meningkat menjadi 8.000 pikul (Tijdschrift voor Nederlandsch Indie. 1866: 26). Dalam perkembangan sampai tahun 1836 kopi yang ditanam, baik melalui model pager kampung, perkebunan, dan hutan kopi sudah mencapai jumlah yang sangat besar. Tentu saja hal itu diikuti dengan peningkatan keterlibatan penduduk sebagai pekerja paksa di perkebunan itu. Kemudian untuk memperoleh gambaran tentang jumlah penyerahan wajib kopi dapat diamati tabel berikut: Tabel 4.8 Jumlah Penyerahan Wajib Kopi Tahun 1833-1836 (pikul) Kabupaten
1833
1834
1835
1836
141,53
701,48
584,14
1.318,39
Purbalingga
1.489,13
3.067,70
2.542,50
10.267,90
Purwokerto
1.063,74
3.470,05
1.200,14
6.359.20
252,96
405,22
1.353,95
5.596,27
2.217,23
8.197,90
13.068,46
6.949,23
27.507,41
Banyumas
Dayaluhur Banjarnegara Jumlah
26,14 Vi 2.835,17 4.755,41 '/4
Sumber: ANRI Banjoemas 20,1838, Statistiek der Residentie Banjoemas 1838. Berdasarkan tabel di atas menunjukkan, bahwa perkebunan kopi di Karesidenan Banyumas mulai berproduksi sejak tahun 1833. Grafik kenaikan produksi kopi memang belum stabil, tetapi diharapkan dapat mencapai target sebesar 30.000 pikul pertahun. Target yang diharapkan hampir tercapai tahun 1836, karena produksi kopi pada waktu itu telah mencapai 27. 507, 41 pikul. Semantara itu pihak pemerintah telah menetapkan harga kopi f. 13 perpikul (Warmolts, 1868:9).
218
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Tahun 1831, penduduk harus menyerahkan hasil panen kopi sebesar 2/5 bagian kepada pemerintah, sedangkan 3/5 bagian lainnya merupakan bagian penduduk yang harus dipotong terlebih dahulu untuk membayar berbagai macam pajak dan pungutan lain. Di antara pungutan itu adalah komisi untuk jajaran birokrasi, baik Balanda maupun para kepala pribumi. Para pejabat memperoleh komisi berdasarkan persentase yang besarnya ditetapkan oleh pemerintah kolonial. Untuk para pejabat seperti residen, kontrolir, bupati, wedana, dan mantri kopi ditetapkan komisi sebesar 0,5 %. Sementara itu untuk para kepala desa mendapat komisi sebesar 2 % ( ANRI Banjoemas 20, 1838). Dengan demikian, hasil yang diperoleh penduduk tentu tidak sebanding dengan waktu dan tenaga yang telah dikeluarkan. Lebih-lebih jika terjadi kegagalan panen yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab petani (Burger, 1962: 160). Sebaliknya dengan pemberian komisi (premi) kepada para pejabat kulit putih maupun kepala pribumi, kedudukan sistem tanam paksa menjadi semakin kokoh. Hal ini disebabkan, adanya kepentingan keuangan langsung para pejabat terhadap hasil penanaman wajib di daerahnya (Burger, 1962: 179). Tabel berikut membuktikan: Tabel 4.9 Perkembangan Penyerahan Wajib Kopi Tahun 1837-1841 Tahun
Jumah pohon
Penyerahan wajib
1837
22.545.565
35.250 pikul
1838
23.270.907
23.419 pikul
1839
24.029.209
85.341 pikul
1940
16.587.100
28.096 pikul
1841
18.689.300
65.681 pikul
Sumber: ANRI Banjoemas 20.1, 1841, Statistiek Opgaven der Residentie Banjoemas 1836-1841.
219
Sampai tahun 1837 hasil penyerahan wajib kopi telah melampaui target, yaitu 35.250 pikul. Walaupun pada tahun berikutnya mengalami penurunan, tetapi terjadi lonjakan jumlah penyerahan wajib kopi pada tahun 1839, yang mencapai 85.341 pikul. Kemudian garfik menunjukkan penurunan kembali pada tanun 1840 yaitu, 28.096 pikul, dan pada tahun 1841 meningkat kembali hingga mencapai 65.681 pikul. Kemudian perkembangan sampai tahun 1845 penyerahan wajib kopi sekitar 29.367 pikul, sedangkan harga kopi pada waktu itu adalah f. 12,84 (Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, II, 1850: 92). Untuk mengetahui jumlah penyerahan wajib setiap kabupaten dan tingkat kecocokan tanah di daerah itu dapat diamati tabel berikut: Tabel 4.10 Jumlah Pohon dan Penyerahan Wajib Kopi Tahun 1845 (pikul) Kabupaten
Jumlah Pohon
Penyerahan Wajib
Prod/pikul
Banyumas
1.339.786
3.662
Dayaluhur
964.181
.3.495,43 4/5
269
Purwokerto
1.600.213
2.406,60
664
Purbalingga
3.252.800
2.804,40 4/5
1.159
Banjarnegara
5.499.365
16.909,35 1/5
352
12.656.327
29.367,79
450
Jumlah
365 pohon
Sumber: Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, II, 1850: 92. Jika tabel tersebut diperhatikan, maka dapat dinyatakan bahwa Kabupaten Purbalingga paling tidak produktif untuk perkebunan kopi, sedangkan Banjarnegara merupakan kabupaten yang paling produktif. Dapat pula dinyatakan di sini bahwa produksi kopi yang hanya mencapai 29.367, 79 pikul pada tahun 1845, telah meningkat menjadi 40.846 pikul pada tahun 1846 (Tijdschrift voor Neerlandsch Indie, II, 1850:92).
220
Mengenai penanaman wajib indigo di Karesidenan Banyumas sebenarnya telah mulai dilaksanakan pada tahun 1830. Pihak kolonial telah menjadikan daerah ini sebagai prioritas utama pananaman wajib indigo yang oleh penduduk dikenal dengan tarum atau tom. Dalam kaitan itu Kontrolir Rodenberg bersama para ahli telah melakukan serangkaian percobaan penanaman indigo pada tahun 1830, yang didukung oleh pekerja sekitar 150-200 orang (ANRI Banjoemas 064, 1830). Dari serangkaian percobaan itu, diperoh kesimpulan, bahwa jenis tanaman indigo dipandang cocok dikembangkan di Karesidenan Banyumas yang pelakasanaannya dimulai tahun 1833, dengan luas areal sekitar 2.200 bau. Untuk merangsang agar panduduk melibatkan diri dalam penanaman wajib indigo, maka tanah penduduk yang digunakan untuk penanaman indigo diberi keringanan pajak bumi (Hugenholtz, 1983: 1255). Dengan rangsangan seperti itu diharapkan penanaman wajib indigo mencapai perkembangan yang pesat. Untuk mengantisipasi perkembangan penyerahan wajib indigo lebih lanjut, Residen Banyumas mengeluarkan Resolusi Nomor 33 tanggal 31 Maret tahun 1834, yang menyatakan bahwa pihak perkebunan hendaknya segera mendirikan pabrik-pabrik pengolahan indigo. Disusul kemudian dengan Resolusi No. 31 tanggal 13 Oktober 1834, agar 23 pabrik pengolahan indigo segera dioperasikan. Pabrik-pabrik itu terdiri dari 15 buah pabrik di Purbalingga, 5 buah pabrik di Banyumas, dan 3 buah pabrik di Purwokerto, sedangkan pengoperasian pabrik pengolahan indigo di Banjarnegara masih ditangguhkan (Tijdschrift voor Nederlansch Indie, I, 1886: 25), Pabrik pengolahan indigo yang tersebar di 3 kabupaten itu dipersiapkan untuk memproses indigo menjadi bahan pewarna tekstil. Dalam kenyataan ya hasil penanaman wajib indigo selalu meningkat, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sesuai dengan permintaan pabrik-pabrik tekstil yang berkembang pada saat itu. Mengingat kebutuhan
221
yang selalu meningkat, menyebabkan indigo mendapat tempat yang layak dalam dunia perdagangan. Secara keseluruhan, perkembangan penanaman wajib indigo mengalami perkembangan yang cukup berarti. Untuk lebih jelasnya peningkatan penanaman dan penyerahan wajib indigo antara tahun 1834-1836 di Karesidenan Banyumas dapat diamati tabel berikut: Tabel 4.11 Luas Lahan Indigo dan Hasil (1834-1836) Kabupaten Banyumas
Luas lahan (bau) 1834
1835
Hasil (pon) 1836
1834
1835
1836
750
1.160
1.693
28.322
33.067
61.025
Purbalingga
1.260
2.500
3.100
36.901
39.066
61.313
Purwokerto
350
505
844
11.272
9.661
17.653
Banjarnegara
120
180
180
10.651
11.110
8.500
2.360
4.166
5.642
87.146
92.904
128.694
Jumlah
Sumber: ANRI Banjoemas 20, 1838, Statistiek der Residentie Banjoemas 1838. Mengingat perkembangan itu, maka dapat dipastikan keterlibatan penduduk yang melaksanakan keija paksa di perkebunan indigo juga semakin besar. Para pekeija dihitung dalam bentuk cacah yang merupakan unit kerja yang teridiri empat atau lima pekerja (Niel, 1987: 120). Dalam tahun 1836 jumlah unit kerja yang terlibat dalam kegiatan kerja paksa di perkebunan indigo di Kabupaten Banyumas 8.850 cacah, Purbalingga merekrut tenaga kerja paksa 8.288 cacah, sedangkan Purwokerto dan Banjarnegara masing-masing 4.156 cacah dan 1.714 cacah (ANRI Banjoemas 20, 1838). Kemudian tentang pembayaran upah para pekerja pada umumnya dilakukan setelah selesai musim panen, yang pada tahun 1836 setiap cacah mendapatkan upah penanaman sebesar f. 4,41 (ANRI Banjoemas 20.1, 1841). Sebelum sampai ke tangan
222
para pekeija upah tersebut dipotong lebih dahulu untuk mebayar pajak tanah dan pengutan lain (ANRI Banjoemas 50,1836). Untuk mendapatkan gambaran lebih jauh tentang perbandingan luas lahan, penyerahan wajib, harga indigo, dan biaya yang dikeluarkan untuk para pekerja antar tahun 1837-1841 dapat diamati tabel berikut: Tabel 4.12 Luas Lahan, Penyerahan Wajib, Harga Indigo dan Upah Tahun 1937-1841 Tahun
Luas (bau)
Penyerahan Wajib
Harga/pon
Upah/cacah
1837
6.543
210.243
f. 2,06
f. 9,22
1838
7.063
173.212
1,89
13,05
1839
7.632
326.144
1,63
19,82
1840
6.486
385.269
1,83
20,40
1841
5.967
361.430
1,81
23,32
Sumber: ANRI Banjoemas 20.1,1841, Statistik der Residentie Banjoemas 1836-1841. Semakin luasnya lahan perkebunan indigo dan semakin besarnya penyerahan wajib, maka keuntungan pihak kolonial semakin besar pula. Lebih-lebih jika mengingat biaya produksi dalam bentuk upah penanaman dapat ditekan serendah mungkin. Oleh sebab itu mengingat keuntungan yang diperoleh cukup besar, maka pemerintah kolonial selalu berusaha untuk mempertahankan luas areal perkebunan indigo di Karesidenan Banyumas. Perkembangan yang teijadi pada tahun 1845, sebenarnya luas lahan penanaman wajib indigo relatif tetap yaitu 6.749 bau, dengan melibatkan pekerja paksa sekitar 28.684 cacah (Kartodirdjo & Suryo, 1991: 62). Sementara itu, pabrik pengolahan indigo yang telah dibangun pada waktu itu berjumlah 119 buah, dengan perolehan hasil sekitar 309.538 pon. Harga indigo yang ditetapkan oleh pemerintah pada waktu itu adalah f. 1,78 per pon (Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, II, 1850: 92). Untuk
-
223 "V.
mengetahui lebih jelas tentang jumlah pabrik, luas lahan, dan h^if$nenyerahatt Ig^ib \\ o budidaya indigo di Karesidenan Banyumas pada tahun 1845 dap» diamafc^ada tabel V. ''i-, " '' /, 'V- .' •• / berikut: ' • •
—
. J i
Tabel 4.13 Jumlah Pabrik, Luas Lahan dan Penyerahan Wajib Indigo (1845) Kabupaten
Jml. Pabrik
Luas Areal
Hasil
Hasil/bau
Banyumas
29
1.950
88.461
45,6
Purwokerto
37
1.801
83.090
46,1
7
403
8.874
22,0
46
2.605
129.110
49,5
119
6.749
309.538
45,8
Banjarnegara Purbalingga Jumlah
Sumber: Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, II, 1850, hal. 92. Dari tabel tersebut dapat dinyatakan, bahwa penanaman wajib indigo sangat cocok dikembangkan di Kabupaten Purbalingga dengan hasil yang maksimal, tetapi sangat tidak cocok di Kabupaten Banjarnegara. Berdasarkan kenyataan ini maka sangat wajar apabila penanaman wajib indigo di Banjarnegara untuk waktu berikutnya dihapuskan. Perkembangan yang terjadi pada tahun 1846 ditinjau dari penyerahan wajib indigo dipandang relatif tetap. Pada waktu itu penyerahan wajib indigo di Karesidenan Banyumas sebesar 307.364 pon dari areal perkebunan seluas 6.797 bau, dengan rata-rata hasilnya sekitar 44,3 pon per bau. Hal ini berarti 1 Vi pon lebih rendah dari hasil yang dicapai tahun 1845 (Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, II, 1850, hal. 92). Perkembangan empat tahun kemudian (1850) luas lahan perkebunan indigo sekitar 5.049 bau, sedangkan hasilnya relatif tetap. Bahkan sesudah 1850 jenis penanaman wajib indigo semakin tidak popular di kalangan penduduk, karena upah penanaman yang
224
tergolong sangat rendah dibanding dengan upah penanaman pada perkebunan tebu (Kartodirdjo & Suryo, 1991: 62). Tanaman lain yang juga merupakan tanaman wajib adalah teh, tembakau, lada, dan kayumanis. Akan tetapi tanaman ini hanya dibudidayakan dalam skala kecil di Karesidenan Banyumas, mengingat hanya dikembangkan di daerah-daerah tertentu saja yang cocok bagi tanaman tersebut. Seperti diketahui perkebunan teh hanya cocok dibudidayakan di di dataran tinggi, sehingga hanya mungkin dilaksanakan di Distrik Karangkobar Kabupaten Banjarnegara. Sampai tahun 1837 luas areal perkebunan teh sekitar 15 bau dengan 15.000 pohon, yang melibatkan tenaga kerja paksa 180 cacah atau 138 keluarga. Untuk jelasnya perkembangan tanaman wajib teh di Karesidenan Banyumas antara tahun 1837-1841 dapat diamati pada tabel berikut. Tabel 4.14 Perkembangan Tanaman Wajib Teh Tahun 1837-1841 Tahun
Luas Areal (bau)
Hasil (pon)
1837
15
-
1838
40
3.603
1839
137
5.529
1840
221
7.556 V*
1841
326 2/3
22.297
Sumber: ANRI Banjoemas 20.1,1841, Statistiek Opgaven der Residentie Banjoemas 1838-1841. Berdasarkan tabel tersebut dapat dinyatakan bahwa baru pada tahun 1841 perkebunan teh di Karesidenan Banyumas menunjukkan peningkatan, baik areal maupun hasil yang diperoleh. Sejak saat itu tampak ada kecenderungan upaya perluasan dari pihak kolonial. Hal ini terbukti pada tahun 1845 perkebunan teh dengan luas areal yang tetap telah menghasilkan 29.281 pon yang diproses melalui 6 buah pabrik. Pada saat itu
225
penanaman wajib teh juga telah dikembangkan di Distrik Batur (Banjarnegara) dengan luas areal mencapai 127 bau. Pada saat itu hasil yang diperoleh telah mencapai 22.397 pon yang diproses melalui 5 buah pabrik. Dengan demikian keseluruhan budidaya teh di Karesidenan Banyumas telah mencapai sekitar 453 bau (Karangkobar dan Batur), yang dilengkapi dengan 11 pabrik. Keseluruhan hasil perkebunan teh pada tahun 1845 telah mencapai 51.678 pon, sedangkan harga yang ditetapkan pemerintah adalah 83 sen untuk setiap pon. Perkembangan yang terjadi pada tahun 1846 hasil perkebunan teh di daerah itu telah mencapai 89.374 pon {Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, II, 1850: 92-93). Kamudian untuk penanaman wajib tembakau juga dikembangkan di Kabupaten Banjarnegara, Purwokerto, dan Dayaluhur yang dimulai sejak tahun 1832. Luas rata-rata lahan yang diusahakan untuk penanaman wajib tenbakau adalah 200 bau di Banjarnegara, Purwokerto sekitar 190 bau, dan Dayaluhur seluas II bau (ANRI Banjoemas 20, 1838). Akan tetapi di dua kabupaten yang terakhir itu, penanaman wajib tembakau tidak dapat berlangsung terus. Dengan demikian, hanya di Kabupaten Banjarnegara saja penanaman wajib tembakau dipandang menguntungkan. Di kabupaten itu, distrik-distrik yang cocok untuk penanaman tembakau adalah Karangkobar dan Batur (ANRI Banjoemas 50, 1836). Penanaman wajib kayumanis dikembangkan dalam skala kecil di Karesidenan Banyumas, terutama di Kabupaten Purwokerto, Banyumas, dan Dayaluhur dengan luas keseluruhan areal sekitar 160.257 bau (ANRI Banjoemas 50, 1836). Jumlah pohon yang ditanam pada tahun 1836 mencapai 110.055 batang, sedangkan jumlah keluarga yang terlibat kerja paksa sekitar 929 keluarga. Bahkan pada tahun 1841 areal perkebunan mencapai 331.213 bau, dengan hasil penyerahan wajib sekitar 19.976 pon (ANRI Banjoemas 20.1, 1841).
226
Penanaman wajib kayumanis dalam tahun 1845 luas areal semakin menyusut, hanya tinggal 311 bau di Kabupaten Banyumas dengan hasil yang diperoleh 24.403 pon. Satu tahun berikutnya dapat mencapai hasil 27.678 pon, dengan harga 85 sen untuk setiap pon (Tijdschrift voor Nederlandsch Indie-. II, 1850: 92). Akan tetapi untuk perkembangan lebih lanjut tanaman kayumanis tidak begitu baik, bahkan mengalami kepunahan secara berangsur-angsur, karena tanaman yang sudah tua tidak dilakukan peremajaan (ANRI Banjoemas 78, 1864). Usaha penanaman wajib perkebunan lada di Karesidenan Banjoemas hanya dilaksanakan di Dayaluhur, yang mencakup 4 didtrik. Di daerah itu penanaman lada sudah dimulai dicobakan sejak tahun 1832. Pada tahap pertama penanaman, tidak kurang dari 69.600 batang lada ditanam dan pada tahun berikutnya lada telah dapat dipanen. Secara umum hasil penyerahan lada tidak membawa keuntungan yang cukup memadai sebagai komoditi perdagangan. Kemungkinannya adalah tanah di daerah itu tidak cocok untuk tanaman lada (ANRI Banjoemas 20, 1838). Agar dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang penanaman dan penyerahan wajib lada di Dayaluhur dapat diamati pada tabel berikut: Tabel 4.15 Penanaman Wajib Lada di Karesidenan Banyumas (1835) Distrik
Pohon
Tenaga kerja
Hasil (pikul)
Majenang
29.000
380 keluarga
1,71
Dayaluhur
29.700
688
6,50
Pegadingan
3.250
1.166
0,84
Jeruklegi
7.600
1.223
1,80
Jumlah
69.600
3.657 keluarga
10,40
Sumber: ANRI Banjoemas 20,1838, Statistiek der Residentie Banjoemas 1838.
227
Tanaman lain yang juga pernah diusahakan di Karesidenan Banyumas dalam skala kecil adalah kapas. Luas areal yang disediakan mencapai 3.039 bau, dengan hasil rata-rata 587 pikul setiap tahun (ANRI Banjoemas 20, 1838). Akan tetapi jenis tanaman ini kemudian tidak dapat diikuti perkembangannya. Sesudah tahun 1835 penanaman wajib kapas semakin tidak menguntungkan, sehingga dihentikan. Jadi penghentian ini semata-mata karena alasan ekonomi, mengingat tanaman ini tidak menjanjikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan tanaman kopi atau tebu. Untuk penanaman wajib tebu di Karesidenan Banyumas, secara intensif baru dilaksanakan tahun 1838. Hal ini mengingat penyelenggaraan perkebunan tebu harus dipersiapkan benar sarana pendukungnya, seperti sarana pengangkutan tebu maupun sarana pabrik gula. Pada awalnya, penanaman wajib tebu di daerah itu menunjukkan perkembangan yang lambat. Hal ini dapat dibuktikan dari perkembangan luas lahan dan produksi gula di daerah itu antara tahun 1838-1841, seperti tertera pada tabel berikut: Tabel 4.16 Perkembangan Luas Lahan dan Produksi Gula (1838-1841) Tahun
Areal (bau)
Produksi/bau
Total Produksi
1838
56
17 pikul
934 pikul
1839
84
23
1.932
sampai
1840
111
27
2.997
f. 9.18/
1841
111
27
2.999
pikul
Harga f. 8,33
Sumber: ANRI Banjoemas 20.1, 1841, Statistik Opgave der Residentie Banjoemas 1836-1841 dan Mandere, van der, 1928, De Javasuikerindustrie in heden en verladen, Amsterdam, Ipenbuur &van Sel dam. Gambaran tentang tingkat produksi gula di Karesidenan Banyumas sampai tahun 1850 juga masih menunjukkan perkembangan yang lambat. Pada tahun itu, areal perkebunan telah mencapai 284 bau, dengan total produksi 6.350 pikul. Perkembangann
228
yang lambat ini, disamping luas lahan yang tidak mengalami perkembangan yang berarti, juga
tercermin dari jumlah pabrik yang tidak bertambah. Faktor penyebabnya
tidak lain adalah masih berkaitan dengan sarana transportasi yang sulit (ANRI Banjoemas
110/56,
1861). Kemudian untuk mengetahui tingkat perkembangan
perkebunan tebu dan produksi gula tahun 1858-1862 dapat dicermati tabel di bawah ini. Tabel 4.17 Perkembangan Perkebunan Tebu dan Produksi Gula (1858-1862) Tahun
Areal (bau)
Produsi/bau
Total Produksi
1858
284
30 pikul
8.520 pikul
1859
256
25
7.400
f. 9,58 sampai
1860
227
27
6.129
f. 9,88
1861
225
23
5.175
1862
224
23,5
5.264
Harga/pikul
Sumber: ANRI Banjoemas 111/56,1862, Politiek Verslag over de Residentie Banjoemas, dan Mandere, van der, 1928, De Javasuikerindustrie in heden en verladen, Amsterdam, Ipenbuur &van Seldam. Berdasarkan tabel tersebut dapat dinyatakan, bahwa tingkat produksi gula di Banyumas tidak stabil. Bahkan tampak adanya penurunan produksi yang terjadi pada tahun 1861 dan 1862. Penyebab utama dari hal itu adalah cuaca yang buruk. Dijelaskan dalam laporan residen, bahwa selama tahun-tahun itu udara sangat basah dan curah hujan hampir terjadi sepanjang tahun. Sebagai akibat dari curah hujan yang begitu tinggi, maka wilayah Banyumas dilanda bencana banjir yang dicatat sebagai bencana alam paling buruk bagi masyarakat daerah itu (ANRI Banjoemas 110/56, 1861). Akibat lebih jauh dari bencana alam itu adalah punahnya sebagian perkebunan tebu, sehingga sangat mengganggu produktivitas gula (ANRI Banjoemas 111/56, 1862).
229
Pemulihan dilaksanakan secara berangsur-angsur sambil berupaya melakukan pembenahan-pembenahan dalam sektor transportasi. Kemudian dalam periode 1870-an di Karesidenan Banyumas diadakan persiapan yang mangarah pada pelaksanaan perkebunan oeleh pihak swasta. Akan tetapi modal swasta yang diinvestasikan pada perkebunan tebu dan pabrik gula di Banyumas sangat terlambat masuk. Hal ini dapat dipahami mengingat Banyumas pada saat itu kurang menarik bagi pemilik modal yang berasal dari Eropa (ANRI Banjoemas 122/56,
1873). Dengan demikian maka
pengelolaan perkebunan tebu dan pabrik gula tetap ditangani oleh pihak pemerintah. Perubahan yang dilakukan pada waktu itu adalah perluasan areal perkebunan tebu, walaupun tidak terjadi secara besar-besaran. Berkaitan dengan itu dapat dikemukakan di sini, bahwa dari luas arel perkebunan 224 bau pada tahun 1865 menjadi sekitar 351 bau pada tahun 1870. Hal ini sangat berpengaruh terhadap peningkatan produksi gula dari 5.256 pikul pada tahun 1865 meningkat menjadi 10.530 pikul pada tahun 1870 (O'Malley, 1988:207-211). Perluasan areal perkebunan tebu secara teoretis akan berpengaruh terhadap peningkatan produksi gula. Namun demikian, pada 1880-1885 penambahan areal perkebunan tebu tidak mampu meningkatkan produksi, karena pada saat itu berjangkit penyakit sereh pada tanaman tebu. Pada tahun 1880 areal perkebunan sekitar 350 bau, tetapi produksi gula hanya 5.300 pikul (ANRI Banjoemas 110, 1880). Kamudian pada tahun 1885 areal perkebunan 300 bau, dengan produksi gula 5.189 pikul (ANRI Banjoemas 115, 1885). Harga gula pada saat itu berkisar antara f. 16 sampai f. 18 untuk setiap pikul (Mandere, 1928: 17). Kondisi yang lesu seperti ini berangsur-angsur
230
membaik, sehingga pada tahun 1890 produksi gula meningkat menjadi 59.175 pikul dari areal perkebunan tebu seluas 671 bau {De Indische Gids, VIII, 1886: 1820). Berdirinya perusahaan perkebunan tebu swasta dan pabrik gula di Karesidenan Banyumas dimulai tahun 1889. Hal ini ditandai dengan didirikannya perusahaan swasta yang bergerak pada sektor perkebunan tebu dan pabrik gula di Klampok (Banyumas), yang dipimpin oleh Administratur J.T de Ruijter de Wildt. Disusul kemudian pada tahun 1891 dengan berdirinya perusahaan perkebunan tebu dan pabrik gula swasta di Bojong (Purbalingga) yang dipimpin oleh Administratur H.C.C. Fraissinet. Kemudian diikuti dengan didirikannya perkebunan tebu dan pabrik gula swasta di Kalimanah (Purbalingga) dengan pimpinan Administatur Ch. Conradi. Pembentukan perusahaan perkebunan tebu dan pabrik gula swasta tersebut juga diikuti oleh Administratur M.C. Brandes yang mengoperasikan perusahaannya di Purwokerto (Kabupaten Purwokerto) pada tahun 1893. Dengan perkembangan yang terjadi di Karesidenan Banyumas, maka pada tahun 1895 areal perkebunan tebu telah mencapai 2.833 bau dengan total produksi gula 249.780 pikul atau .154.267 ton (,Jaarboek, I e, 1896: 4 dan 20). Bahkan pada tahun 1900, luas areal perekebunan tebu telah mencapai peningkatan sampai 3.077 bau, dengan produksi gula yang meningkat drastis mancapai sekitar 401.305 pikul atau 247.851 ton {Jaarboek II e, 1906: 179-180). Apabila ditinjau dari jumlah produksi, pabrik gula di Karesidenan Banyumas menunjukkan grafik kenaikan yang cukup tajam. Hal ini tentu saja sebanding dengan perluasan lahan perkebunan tebu. Untuk mendapat gambaran lebih jelas tentang perluasan areal perkebunan tebu dan peningkatan produksi gula antara tahun 1895-1905 dapat diamati tabel berikut.
231
Tabel 4.18 Areal Perkebunan Tebu dan Produksi Gula di Karesidenan Banyumas Tahun 1895-1905 Tahun
Areal Perkebunan
Produksi Gula
Harga/pikul
Bau
Hektar
Pikul
Ton
1895
2.833
2.010
249.780
154.267
f. 20 sampai
1896
2.649
1.880
209.754
129.547
f.25
1897
2.718
1.929
277.036
171.100
1898
2.782
1.974
330.322
204.011
1899
2.828
2.007
350.040
216.189
1900
3.077
2.183
401.305
247.851
1901
3.572
2.535
330.451
204.091
1902
4.602
3.266
501.325
309.623
1903
4.908
3.525
645.640
380.227
1904
5.163
3.664
449.460
277.590
1905
5.080
3.605
430.991
266.190
Sumber: Jaarboek voor Suikerfabrikanten op Java, Ile, 1906, Amasterdam, J.H. De Bussy. Jika tabel tersebut diamati, maka dapat dinyatakan, bahwa perkembangan produksi gula di Banyumas antara tahun 1895-1900 ternyata cukup baik dengan kenaikan rata-rata pertahun 62, 24 %. Bahkan setelah kurun waktu 1900 kenaikan produksi gula di daerah ini semakin menunjukkan tingkat yang lebih baik lagi, dengan lonjakan produksi lebih dari dua kali lipat pada tahun 1902 dan 1903. Dengan demikian tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa ternyata Banyumas juga memberi sumbangan yang cukup berarti dalam industri gula pada zaman kolonial. Berdasarkan tabel tersebut dapat pula dikemukakan, bahwa keuntungan industri gula di Banyumas ternyata cukup tinggi. Jika diperhitungkan, dalam tahun 1900 hasil yang diperoleh sekitar f. 8. 026. 100 sampai f. 10. 032. 825. Untuk memperhitungkan
232
hasil bersih, maka jumlah sebesar itu harus dikurangi dengan biaya produksi yang berkisar antara f. 109 sampai f. 160 untuk setiap bau. Dengan demikian maka total biaya produksi pada tahun 1900 dapat diperhitungkan, berkisar antar f. 3. 355. 593 sampai dengan f. 4. 903. 320. Dari perhitungan itu, maka keuntungan yang diperoleh pihak perusahaan dalam tahun itu dapat mencapai f. 4. 660. 507 sampai dengan f.5.129.305. Keuntungan tersebut sangat kontras, jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh para petani pemilik lahan. Mereka justru mengalami kerugian karena tidak dapat menikmati hasil tanah pertaniannya secara layak. Dapat dinyatakan di sini, bahwa pada tahun 1900 petani pemilik lahan mestinya menerima sewa tanah sekitar f. 104 untuk setiap bau. Dalam kenyataannya, dari uang sebesar itu hanya f. 19 yang dapat diterima petani pemilik lahan. Sekitar f. 40 ada di tangan kepala desa atau broker dan sekitar f. 35 untuk jajaran birokrasi di atas desa, sedangkan f. 10 telah dipotong untuk pembayaran pajak danpengutan lain (Mandere, 1928: 19). Dari penjelasan tersebut, dapat digarisbawahi, bahwa keuntungan yang diperoleh dari sektor industri gula di Karesidenan Banyumas sebenarnya cukup besar. Akan tetapi para petani tidak dapat menikmati bagian dari keuntungan itu secara layak, meskipun mereka telah memberi sumbangan yang cukup berarti baik dalam sektor tenaga keija maupun lahan pertanian yang dimilikinya. Untuk keperluan perkebunan tebu dan pabrik gula di Karesidenan Banyumas pihak kolonial berusaha keras membangun sarana transportasi yang menghubungkan daerah inti Banyumas ke berbagai jurusan. Direktur Pekerjaan Umum Daerah merencanakan pembangunan sarana jalan dan sarana pendukungnya, yang diurutkan berdasarkan urgesinya (ANRI Banjoemas 84, 1830). Tentu saja dibangun juga jembatan yang melintasi beberapa sungai untuk menghubungkan bagian-bagian jalan itu. Dengan
233
dibangunnya sarana jalan darat ke berbagai arah, menyebabkan pada tahun 1834 daerah inti Banyumas suadah terbuka dari isolasinya. Pada tahun itu dibangun pula jaringan jalan yang menghubungkan kota Purwokerto dengan Dayaluhur, yang sebelum itu dikenal sebagai rute perjalanan yang sangat sulit (ANRI Banjoemas 48, 1834). Di samping sarana jalan darat, dibangun pula terusan dari Sungai Serayu ke pantai Cilacap yang berjarak sekitar 28 sampai 30 pai. Terusan ini dikenal dengan Kaliyasa itu, berfungsi sebagai jalur pelayaran dan irigasi, di samping untuk mengurangi bahaya banjir di daerah pantai selatan. Dibangun pula jembatan-jembatan dan terusan Karanglo yang menghubungkan Sungai Serayu dengan pantai Karangpandan. Terusan ini akhirnya sampai juga ke pantai Cilacap yang beijarak tidak kurang dari 12 pai (ANRI Banjoemas 48, 1834). Pemerintah kolonial juga giat membangun sarana transportasi antar kanbupaten. Jalan yang dibangun meliputi jalan yang menghubungkan Banyumas dengan Banjarnnegara, antara Banyumas dengan Purbalingga, dan antara Banyumas dengan Purwokerto. Empat kabupaten yang merupakan daerah pedalaman itudipandang sangat perlu untuk dihubungkan dengan pantai Cilacap. Secara geografis Cilacap mempunyai potensi besar sebagai pelabuhan alam, yang sangat penting bagi penyelenggaraan ekspor produksi perkebunan termasuk gula. Sementara itu, Cilacap juga dipandang potensial sebagai penghasil kayu bakar hutan bakau yang sangat penting untuk keperluan pabrik gula (Bleeker, 1850, 94-95). Pelabuhan Cilacap merupakan pelabuhan alam yang dapat dibangun untuk kapalkapal besar tanpa biaya yang besar. Pada waktu itu diprediksikan, bawa pelabuhan Cilacap dapat berfungsi sebagai pintu utama keluar dan masuk ke daerah padalaman Banyumas yang sangat potensial sebagai daerah yang kaya barang-barang komoditi ekspor, terutama kopi, indigo, dan gula. Kapal-kapal dapat berlabuh di pelabuhan itu
234
dengan aman karena terlindung oleh Pulau Nusakambangan dari ombak laut selatan yang ganas (Pauwert, 1977: 151-152). Jalan penting lainnya yang dibangun adalah jalan yang menghubungkan Banyumas dengan distrik Ayah (Adiraja) di pantai selatan bagian timur. Melalui jalur ini hubungan antara kota Banyumas dengan wilayah itu menjadi lancar. Ruas jalan itu juga menghubungkan Banyumas dengan daerah Buntu kemudian menuju kearah timur sampai ke daerah Bagelen. Cilacap tidak hanya memiliki jalur jalan darat yang menghubungkannya dengan pusat Karesidenan Banyumas, tetapi dibangun pula jalan darat kearah barat menuju Banjar (Priangan). Jalur itu mempunyai arti yang sangat penting terutama ditinjau dari kepentingan militer (ANRI Banjoemas 122/56, 1873). Keseluruhan proyek pembangunan jalan raya itu baru dapat diselesaikan secara tuntas dalam tahun 1874. Hal ini berdasarkan bukti penyerahan proyek pembangunan itu oleh Dinas Pekerjaan Umum kepada pihak pemerintah pada tanggal 21 Desember 1974 Penggunaan secara resmi sarana jalan itu ditetapkan secara resmi berdasarkan Surat Residen No. 6190/15 Tahun 1874 (ANRI Banjoemas 104, 1874). Dalam tahun 1875 kota Cilacap juga telah dihubungkan dengan jalan kereta api utama milik pemerintah yang menghubungkan kota itu dengan Maos, yang berada pada jaringan jalan kereta api utama jurusan Bandung-Yogyakarta. Dengan demikian, pelabuhan Cilacap tidak hanya penting bagi daerah Banyumas, tetapi juga dapat menjadi pelabuhan bagi daerah Priangan, Bagelen, maupun Yogyakarta. Persoalannya pada waktu itu pelabuhan Cilacap tidak berada pada jalur lalu lintas laut yang ramai dilewati kapal-kapal dagang (ANRI Banjoemas 104, 1874). Sementara itu pelabuhan Cilacap baru dapat dioperasikan secara resmi sebagai pelabuhan bongkar muat barang sejak tahun 1880 (ANRI Banjoemas 110, 1880).
235
Sarana jalan raya tampaknya belum memadai, mengingat perkembangan teknologi transportasi telah berkembang begitu jauh. Sarana angkutan kereta api merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari, karena sangat dibutuhkan sebagai sarana pengangkutan barang-barang produk perkebunan dari Banyumas dan sekitarnya ke palabuhan Cilacap. Kereta api menjadi sangat penting artinya, terutama sebagai sarana pengangkutan barang-barang yang dihasilkan ke pelabuhan, maupun barang-barang yang diperlukan dari luar daerah itu. Dengan demikian, barang-barang itu menjadi relatif mudah diperoleh untuk memenuhi kebutuhan penduduk Belanda maupun penduduk pribumi. Untuk mencapai tujuan itu, pemerintah daerah mengadakan konsesi dengan k pihak swasta dalam rangka pembangunan sarana kereta api jurusan Purwokerto-Cilacap. Pada tahap awal, modal yang disediakan oleh pengusaha swasta tersebut sebesar f. 500.000 {Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, I. 1877: 380). Di antara kegunaan sarana transportasi kereta api itu adalah: Pertama, untuk pengangkutan bahan makanan pribumi, seperti padi, beras, dan hasil bumi lainnya. Kedua, Sebagai alat pengangkut produksi perkebunan yang bertumpuk, terutama kopi dan gula. Ketiga, sebagai alat pengangkutan barang-barang industri bagi kebutuhan orang Eropa, berupa barang-barang konsumsi, tekstil (katun), dan barang-barang penting lainnya. Dengan adanya sarana pengangkutan kereta api dapat menjamin kelancaran arus barang-barang kebutuhan pokok, sehingga barang-barang itu relatif lebih mudah diperoleh (Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, I, 1877: 380). Bagi perkebunan tebu maupun pabrik gula, keberadaan jaringan kereta api swasta yang menembus daerah pedalaman Banyumas dirasa sangat penting dalam rangka mengembangan industri perkebunan. Pada dasarnya ada tiga persyaratan penting yang harus dipenuhi bagi pabrik gula yang ingin tetap eksis. Ketiga syarat tersebut
236
adalah: Pertama, pengangkutan produksi gula yang menjadi kesulitan mendasar harus dapat diatasi. Kedua, perlindungan pemerintah terhadap industri untuk tetap dijamin memperoleh hak penggunaan tanah dan tenaga kerja murah. Ketiga, perusahaan memiliki kemampuan untuk dapat mandiri. Dalam arti, tidak tergantung pada uluran tangan penguasa, baik dalam rangka mengembangkan diri, maupun dalam rangka menghadapi persaingan. Guna memenuhi persyaratan itu, perusahaan harus berusaha untuk memperoleh keuntungan yang memadai (Oldruitenborgh, 1881: 871-872). Pertimbangan-petimbangan itu dimaksudkan agar perkebunan tebu dan pabrik gula tetap dapat hidup dan berkembang. Dari sini jelaslah, bahwa sarana transportasi mempunyai kedudukan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup suatu industri perkebunan. Tidak mengherankan apabila jaringan kereta api {De Indische Gids, II, 1897: 1563). Pada tahun 1895, sebuah maskapai swasta Belanda yang bergerak di bidang transportasi mulai membangun jaringan kereta api di Karesidenan Banyumas. Pimpinan perusahaan itu adalah G.L. Copertz sebagai pimpinan direksi dan A. Oltmans sebagai sekretaris direksi, sejak bulan Mei 1895 mulai melaksanakan pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan kota Purwokerto dengan kota-kota lain yang berada di wilayah Karesidenan Banyumas. Pada tahap pertama jaringan jalan kereta api yang dibangun itu menghubungkan kota Purwokerto kearah selatan menuju Maos yang akhirnya sampai ke kota Cilacap. Jaringan kereta api swasta itu dikenal dengan sebutan Serajoedal Stoomtram (SDS), yang mulai beroperasi secara resmi pada bulan Juli 1895 (Martens, 1897: 4-5).
Dari kota Purwokerto kearah timur, menuju distrik Sokaraja, kota Purbalingga, dan Banjarnegara juga menunggu giliran pembangunan jaringan kereta api SDS. Pada
237
bulan September 1896 jalur kereta api Purwokerto sampai Sokaraja secara resmi dapat dioperasikan, sedangkan dari Sokaraja menuju kearah Purbalingga dan Banjarnegara baru selesai pembangunannya pada bulan Maret 1897. Jalur transportasi kereta api tersebut dapat dipastikan telah siap penggunaannya pada pertengahan tahun 1897 itu juga (Martens, 1897:7-8). Berdasarkan laporan yang dibuat pihak perusahaan, eksploitasi transportasi melalui jalur SDS ternyata sangat potensial dan mendatangkan banyak keuntungan. Dalam laporan itu dikemukakan, bahwa jalur SDS jurusan Purwokerto-Maos yang berjarak 38 kilometer, telah menghasilkan keuntungan sebesar f. 46.205, 58 pada akhir tahun 1895. Ditambah lagi dengan pemasukan dari ongkos bagasi yang mencapai jumlah f. 11/227, 77. Keuntungan itu semakin meningkat menjadi f. 25.724, 62 per hari pada tahun 1896. Berdasarkan pendapatan yang diperoleh itu, dapat dihitung keuntungan bersih setiap kilometer, yang rata-rata mencapai f. 4, 61 per hari (Martens, 1897: 8). Barang-barang yang diangkut melalui jasa kereta api itu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama, adalah barang-barang yang diperlukan di Banyumas, seperti alat-alat rumah tangga, semen, bahan bangunan. Barang-barang lain adalah untuk keperluan perkebunan dan pabrik gula, berupa mesin-mesin, logam, bahan bakar, batu gamping, dan pupuk. Kedua, barang-barang yang diangkut keluar dari Banyumas, yang terdiri dari beberapa jenis barang. Terutama barang-barang hasil perkebunan, hasil kerajinan rakyat, ternak, kulit hewan, dan produksi pabrik gula termasuk alkohol (Martens, 1897: 9). Untuk mengetahui lebih jelas tentang barang-barang yang diangkut melalui jalur kereta api SDS dapat diamati tabel berikut:
238
Tabel 4.19 Barang-barang yang Diangkut ke Banyumas Tahun 1896 Jumlah (ton) Jenis Barang Perlengkapan pabrik gula: 890 a. batu gamping 49 b. mesin dan barang logam 69 c. bensin (bahan bakar) 44 d. pembungkus gula Perlengkapan perkebunan tebu 2. 248 a. bibit 279 b. pupuk .Perlengkapan bangunan 3. 81 a. semen 37 b. bahan bangunan 50 c. mebelair (alat rumah tangga) Sumber: Martens, C.L.J, 1897, Serajoedal Stoomtram Mastschappij, Batavia: s'Gravenhage, hal. 9. No. 1.
Kemudian perlu juga dikemukakan jenis dan jumlah barang-barang yang diangkut dari Banyumas melalui jasa angkutan kereta api SDS itu. Tabel berikut dapat memberi gambaran tentang hal itu. Tabel 4.20 Barang-barang yang Diangkut dari Banyumas Tahun 1896 No. 1.
Jumlah (ton) Jenis Barang Produksi pabrik gula a. gula 5.693 b. sirup tebu 208 2. Hasil perkebunan dan pertanian a. tembakau 90 b. kopi 99 c. kopra 207 d. kapas 32 e. kedelai 156 f. beras 83 24 g- padi 3. Lain-lain a. hasil kerajinan 37 b. kulit hewan 21 c. ternak 16 Sumber: Matens, C.L J, 1897, Serajoedal Stootram Maatschappij, Batavia, s'Gravenhage, hal. 9.
239
Berdasarkan data dari kedua tabel tersebut menunjukkan, bahwa saran kereta api SDS sangat besar sumbangannya terhadap peningkatan ekaploitasi kolonial, khususnya yang dilaksanakan melalui perkebunan tebu dan pabrik gula. Dengan transportasi yang lancar, maka keperluan perkebunan maupun pabrik gula yang prosentasenya mencapai sekitar 90,38 % (1.579 ton) dengan mudah dapat dipenuhi. Di samping itu, kebutuhan hidup para pengelola perkebunan dan industri yang berasal dari Eropa juga dengan mudah dapat dipenuhi. Transportasi dengan menggunakan sarana angkutan kereta api SDS juga telah mampu mengatasi masalah kelancaran pengangkutan barang-barang produksi perkebunan dan pabrik gula yang mencapai sekitar 5.901 ton atau sekitar 88,65 % ke pelabuhan Cilacap pada tahun 1896. 5) Pengerahan Tenaga Kerja Paksa Secara tradisional selalu ada kaitan antara kesuburan tanah dengan kepadatan penduduk di suatu daerah. Dengan demikian, maka secara tradisional daerah-daerah subur memilki arti penting sebagai sumber ekonomi negara sekaligus sebagai sumber tenaga kerja. Dalam kenyataannya daerah-daerah yang subur cenderung memiliki
kepadatan
penduduk yang lebih tinggi dibanding dengan daerah yang kurang subur. Di wilayah Pulau Jawa, terutama daerah-daerah yang subur secara tradisional telah menjadi daerah pemukiman penduduk dan sekaligus sebagai kantong-kantong kepadatan penduduk. Untuk mengetahui tingkat kepadatan penduduk di beberapa daerah subur di Jawa dapat diamati tabel berikut:
240
Tabel 4.21 Kepadatan Penduduk di Jawa Tahun 1800 (setiap km. persegi) No
Nama Daerah
Tingkat Kepadatan
1.
Dataran tinggi Bandung
671
2.
Dataran Cirebon
657
3.
679
4.
Jawa Tengah Selatan & Lembah Serayu Dataran Bojonegoro dan Surabaya
5.
Dataran Tinggi Malang
512
580
Sumber: Gelderen, J.van, 1974, Tanah dan Penduduk di Indonesia, Jakarta, Bhratara, hal. 22. Mengacu pada angka-angka pada tabel tersebut dapat dikemukakan, bahwa tingkat kepadatan penduduk untuk bererapa daerah subur di Pulau Jawa pada awal abad ke-I9 telah menunjukkan kepadatan yang sangat tinggi. Hal ini dibanding dengan ratarata kepadatan penduduk dunia pada waktu itu pada umumnya berkisar antara 250-400 orang per kilometer persegi (Boeke, 1983: 78). Bahkan kepadatan penduduk di daerah Jawa Tengah selatan dan Lambah Serayu, justru menempati urutan yang paling tinggi. Jika kawasan Lembah Serayu dapat diartikan sebagai daerah inti Banyumas, maka dapat dinyatakan pula bahwa kepadatan penduduk di Banyumas tergolong sangat tinggi, yaitu 679 orang per kilometer persegi (Gelderen, 1974: 22). Perhitungan tingkat kepadatan penduduk di Lembah Serayu pada waktu itu tentu saja tida sepenuhnya benar. Hal ini mengingat tingkat kesulitan yang tinggi untuk melakukan penelitian kependudukan di kawasan itu secara saksama. Seperti diketahui, secara geografis daerah ini masih sangat terisolasi. Dengan demikian angka-angka yang dikemukakan lebih banyak berupa perkiraan. Perhitungan jumlah penduduk yang lebih pasti adalah perhitungan jumlah penduduk yang dilakukan pada 1830. Sayangnya jumlah penduduk pada masa itu masih di masih dihitung dalam bentuk satuan keija yang
disebut dengan cacah. Secara tradisional cacah merupakan satuan un dari 4-5 orang pekerja (laki-laki) yang diambil dari petani. Ada kal lebih dari satu cacah, tetapi pada umumnya satu cacah lebih dari satu keluarga (Peper, 1975: 81, Niel, 1987: 120). Menurut perhitungan jumlah penduduk pada awal masa kolonial seluruh wilayah Banyumas memiliki penduduk sekitar 7.416 cacah (ANRI Banjoemas 11.4, 1830). Data-data tentang jumlah penduduk Banyumas yang lebih mendekati kebenaran adalah sensus penduduk yang dilakukan pihak kolonial tahun 1834. Pada saat itu penduduk di Karesidenan Banyumas dilaporkan sebesar 397.685 jiwa (ANRI Banjoemas 48, 1834). Penduduk sebesar itu tersebar di empat daerah kabupaten, yaitu Kabupaten Banyumas dengan penduduk 110.158 orang, Purbalingga berpenduduk 117.889 orang, Banjarnegara dengan penduduk 52.137 orang. Semantara itu Purwokerto dan Dayaluhur masing-masing berpenduduk 81.137 orang dan 36.152 orang (ANRI Banjoemas 48, 1834, ANRI Banjoemas 20, 1838). Secara tradisional, desa-desa di Banyumas bukan hanya sebagai basis ekonomi bagi pemerintah pusat, tetapi juga basis tenaga kerja. Para petani di samping mempunyai kewajiban menyerahkan sebagian hasil pertanian kepada penguasa di atasnya, juga bertanggung jawab terhadap berbagai bentuk kerja (Burger, 1962: 97, Hayami & Kikuichi, 1987: 12). Dengan demikian, berarti daerah yang memiliki lahan pertanian yang subur dan padat penduduknya merupakan sumber daya yang sangat potensial, baik secara ekonomi maupun ditinjau dari sektor tenaga keija yang direkrut dari kalangan petani. Bagi pemerintah kerajaan, penduduk berfungsi untuk menyerahkan hasil pertanian sebagai pajak, melaksanakan kerja wajib, dan juga wajib militer (Breman, 1971: 13).
242
Berdasarkan situasi demografi dan sektor tenaga kerja, maka kepadatan penduduk yang tinggi sangat menguntungkan bagi pemerintah yang berkuasa, karena sebagai pemasok tenaga kerja untuk kepentingan penguasa yang bersangkutan. Sebagai bukti dari pernyataan ini, pada akhir kekuasaan Surakarta,
Banyumas (1830) telah
menyerahkan tidak kurang dari 2.600 orang untuk melakukan kerja rodi bagi kepentingan istana (Hugenhollz, 1983: 170). Ketika sistem tanam paksa dipraktekkan di Banyumas, pengerahan tenaga kerja paksa dilakukan sejalan dengan cara-cara tradisional. Seperti diketahui, eksploitasi kolonial selama periode tanam paksa yang dikenakan penduduk di samping penyerahan hasil penanaman wajib, pembayaran berbagai pungutan pajak, juga adanya pengerahan tenaga kerja paksa. Sebenarnya ketiga hal itu saling berkaitan dan hal itu juga merupakan persoalan klasik yang bermuara pada status pemilikan hak atas tanah. Pengerahan tenaga kerja paksa secara tradisional dibebankan kepada para petani sikep yang memegang hak atas tanah pertanian. Setidaknya ada tiga bentuk kerja yang secara tradisional menjadi kewajiban penduduk, yaitu: 1) Kerja sebagai pajak yang dilakukan penduduk untuk para kepala sebagai konsekuensi dari hak atas tanah pertanian. 2) Keija untuk kepentingan bersama yang dilakukan oleh penduduk untuk memelihara sarana umum. 3) Keija untuk kepentingan individual yang dilakukan untuk mendapatkan imbalan (Vink, 1984: 87). Selama masa tanam paksa sistem kerja yang diwajibkan kepada penduduk itu dikembangkan sejalan dengan cara-cara tradisional. Dengan demikian, segala sesuatu yang berkaitan dengan penyerahan tenaga kerja berorientasi kepada kepemilikan tanah. Tentu saja untuk memperoleh keberhasilan dalam pengerahan tenaga kerja ini, pihak kolonial harus bekeija sama dengan para kepala pribumi. Hubungan yang sangat erat
243
antara kepemilikan tanah dengan kewajiban kerja paksa pada zaman tanam paksa itu dapat diamati dari cara perekrutan tenaga kerja yang memanfaatkan keterkaitan hak guna atas tanah dengan kerja untuk kepentingan umum maupun kerja untuk kepentingan pribadi penguasa (Mubyarto, 1992: 105). Pihak kolonial juga sangat memahami tentang cara yang terbaik untuk pengerahan tenaga kerja melalui sistem pajak bumi, yang dalam prakteknya sebagian pajak itu diganti dalam bentuk kerja. Untuk memudahkan hal ini, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan pengerahan tenaga keija paksa dibebankan kepada desa. Kemudin untuk memecahkan jumlah tega wajib yang diperlukan, maka kepemilikan atas tanah pertanian harus dibenahi, karena hanya penduduk yang mempunyai hak atas tanah itulah yang dapat dikenai kerja wajib. Cara yang ditempuh adalah dengan membenahi konsep kepemilikan tanah, yang menekankan bahwa tanah pada dasarnya adalah milik desa bukan milik pribadi. Oleh sebab itu pada tahun 1832 kepemilikan tanah yang bersifat pribadi dihapuskan. Semua tanah sawah dan tegalan di desa-desa yang dimiliki secara perorangan dibagi rata. Termasuk tanah pusaka yang diwarisi dari para pendiri desa juga dibagi rata hak penggarapannya, sehingga keija paksa dapat dikenakan kepada semua warga desa (Onghokham, 1984: 18-19). Persyaratan untuk memperoleh hak menggarap atas tanah milik komunal itu sangat mengikat. Ada tiga persyaratan yang harus dipenuhi oleh warga desa untuk mendapatkan hak atas tanah tersebut, yaitu: Pertama, seseorang harus mau dan mampu melaksanakan kerja wajib. Kedua, dia adalah laki-laki yang telah berkeluarga (menikah) dan memiliki rumah tangga sendiri. Ketiga, orang yang bersangkutan harus memiliki rumah yang didirikan di tanah pekarangannya sendiri. Jika ketiga syarat itu sudah terpenuhi, maka orang yang bersangkutan harus mendapatkan persetujuan dari semua
244
penggarap di desa itu (Kano, 1984: 40). Pada dasarnya hak atas tanah itu diberikan kepada warga desa sebagai tanda bagi kesediaan mereka melakukan kerja wajib. Pemohon baru akan disetujui secara resmi oleh masyarakat desa, hanya apabila yang bersangkutan bersedia melakukan kerja wajib tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, persyaratan untuk mendapatkan hak atas tanah menjadi semakin longgar. Tidak hanya penduduk asli di desa itu saja yang dapat memperoleh hak menggarap tanah, tetapi dapat juga orang berasal dari desa lain yang telah tinggal beberapa lama di desa itu. Diduga kuat, mengendornya persyaratan itu timbul karena adanya desakan dari pihak kolonial untuk mendapatkan tenaga kerja sebanyak mungkin, sehubungan dengan semakin meningkatnya pelaksanaan tanam paksa. Perkembangan semacam iitu terjadi pula di Karesinan Banyumas. Di daerah ini kedudukan sebagai pemegang hak atas tanah garapan diberikan juga kepada pendatang dari desa lain. Hal ini diberlakukan ketika keperluan tenaga keija sangat meningkat dalam penanaman wajib indigo. Di Karesidenan Banyumas, tanah-tanah milik komunal yang dibagi-bagi kepada para penggarap disebut sawah playangart, sawah prutahan, sawah kuwu, atau sawah lanyah (Kano, 1984: 49). Pada dasarnya, hak menggarap tanah atas sawah playartgan itu bagi seseorang tidak berlaku selamanya, tetapi bersifat terbatas. Hal ini dapat dibuktikan, pada setiap akhir masa penggarapan, dilakukan kembali suatu pembagiann baru atas semua tanah komunal. Di Karesidenan Banyumas, pembagian kembali tanah komunal itu tidak dilakukan secara berkala, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan. Dalam arti, bahwa pembagian tanah garapan itu akan ditinjau kembali apabila jumlah penggarap bertambah atau sebaliknya. Pertambahan jumlah penggarap dapat teijadi karena tumbuhnya anakanak menjadi dewasa, sehingga teijadi perkawinan dan muncul rumah tangga baru. Atau
245
dapat terjadi, karena adanya pendatang dari desa-desa lain. Sebaliknya, berkurangnya penduduk dapat terjadi karena kematian atau pemegang hak atas tanah garapan itu pindah ke dasa lain. Bahkan beberapa desa di Karesidenan Banyumas tetap memberi hak kepada penduduk yang lanjut usia untuk mengolah sebidang tanah garapan sampai dia benar-bennar mengundurkan diri atau meninggal dunia. Tentu saja selama yang bersangkutan tetap dapat memenuhi kewajibannya dalam hal pemenuhan kerja wajib (Kano, 1984: 50). Dalam kenyataannya, sistem tanam paksa sangat banyak menuntut tenaga kerja paksa yang direkrut dari para petani. Oleh sebab itu, pembagian tanah garapan di desadesa kepada penduduk semakin digiatkan, baik yang menyangkut sawah komunal milik desa, sawah yang rusak, maupun sawah yang baru dibuka. Hal seperti itu merupakan suatu cara yang paling masuk akal untuk memenuhi tuntutan jumlah tenaga kerja paksa yang semakin meningkat. Berkembangan yang terjadi dalam hal pembagian hak atas tanah garapan mempunyai dampak sosial yang luas bagi masayarakat pedesaan. Secara berangsur-angsung para pemegang hak atas tanah garapan tidak lagi disebut dengan petani sikep, tetapi berubah menjadi kuli baku, yang artinya mereka memiliki kewajiban pokok untuk memenuhi kewajiban kerja untuk kepentingan pemerintah (Surojo, 1990: 179). Di Karesidenan Banyumas para petani yang memiliki kewajiban menyerahkan tenaga keija disebut dengan kuli kerig (Kano, 1984: 50). Pada dasarnya kerja wajib atau kerja paksa yang dibebankan kepada para petani yang memiliki hak atas tanah garapan itu sangat beragam jenisnya, sehingga sangat memberatkan bagi kehidupan mereka. Untuk dapat memahami berbagai jenis keija paksa pada masa tanam paksa, perlu dikemukakan sebagai berikut:
246
1) Kerja wajib umum (heerendiensten), adalah semua bentuk kerja yang meliputi kerja dalam arti umum termasuk penjagaan keamanan. 2) Kerja wajib pancen (pancendiensten), merupakan bentuk kerja yang secara khusus dilakukan untuk melayani rumah tangga pejabat. 3) Keija wajib tanam (cultuurdiensten), adalah kerja untuk kepentingan perkebunan, yang terdiri dari berbagai jenis kerja yang meliputi kerja pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan tanaman, pemupukan, pengangkutan hasil tanaman wajib, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan itu. 4) Kerja wajib desa (dessadiesnten), merupakan bentuk kerja untuk kepentingan desa yang meliputi, kerja untuk kepentingan kepala desa, dan bermacam-macam pekerjaan yang berkaitan dengan kepentingan warga desa dan lingkungan desa pada umumnya (Surojo, 1990:98). Dalam rangka pelaksanaan tanam paksa diberlakukan jenis kerja wajib 1, 2, dan 3, yang dalam pelaksanaannya dikaitkan dengan hak kepemilikan atas tanah garapan. Sementara itu jenis kerja wajib yang ke 4 itu merupakan pengerahan kerja penduduk untuk kepentingan intern desa yang bersangkutan. Dari ketiga jenis kerja wajib yang berkaitan dengan tanam paksa itu, yang pertama meliputi perbaikan atau pembuatan jalan, pembuatan bangunan, gedung perkantoran, penjagaan tanaman, dan lain-lain. Kemudian untuk jenis yang kedua, menyangkut tugas pelayanan pertanian di tanah milik para kepala. Untuk jenis yang ketiga, menyangkut penyerahan keija paksa untuk mengerjakan tugas-tugas pembukaan lahan perkebunan, pembuatan dan perbaikan irigasi, kegiatan penanaman, pengangkutan hasil panen ke gudang-gudang penimbunan (kopi, indigo) atau pabrik (tebu), dan jenis kerja lain di perkebunan milik pemerintah (Kartodirdjo & Suryo, 1991: 59). Dalam kenyataannya, para petani memiliki beban kerja yang berbeda-beda. Ada sebagian petani dibebani kerja wajib penuh dan sebagian lagi mendapatkan beban keija wajib tidak penuh. Di Karesidenan Banyumas, patani yang memiliki beban kerja penuh disebut kuli kerig, kuli kuat, atau kuli gladag. Sementara itu petani yang mendapat kewajiban keija wajib tidak penuh disebut kuli cilik atau kuli rempo (Kano, 1984: 53).
247
Status yang dijadikan ukuran adalah luasnya tanah garapan yang menjadi hak mereka. Petani dengan kewajiban keija penuh dikenakan kepada pemilik hak atas tanah garapan setidaknya seluas satu bau. Sementara itu pemilik hak atas tanah pertanian yang kurang dari satu bau akan menempatkan petani yang bersangkutan sebagai pemegang kewajiban kerja tidak penuh (Kano, 1984: 52). Di Karesidenan Banyumas, jumlah pengerahan kerja wajib tanam paksa pada dasarnya meliputi tiga jenis keija wajib yaitu kerja wajib umum, kerja wajib pancen, dan keija wajib penanaman. Dalam tahun 1837 ketiga kerja wajib itu telah melibatkan sekitar 77 % dari keseluruhan jumlah tenaga kerja yang ada. Semantara itu pada tahun 1840 keterlibatan penduduk dalam kegiatan kerja paksa sekitar 69 % dan pada tahun 1845 meningkat menjadi 74 % (Kartodirdjo & Suryo, 1991: 58-59). Di antara kerja wajib itu, yang dirasakan paling berat adalah kerja wajib di perkebunan kopi, yang dilakukan di tanah-tanah liar dan hutan cadangan yang letaknya jauh dari daerah pemukuman (Burger, 1962: 175). Untuk melaksanakan kerja paksa di perkebunan kopi, penduduk terpaksa harus tinggal di gubug-gubug darurat yang didirikan di dekat lokasi perkebunan itu. Keija paksa di perkebunan kopi dimulai sejak pembukaan hutan dan pengolahan lahan, penanaman bibit, dan merawatnya sampai berbuah. Kemudian pada waktu musim panen, para pekerja itu harus memetik koipi, menjemur dan mengupasnya. Dilanjutkan dengan mengangkut dan mnyerahkan hasilnya kepad asalah satu dari sekian gudang yang disediakan pemerintah. Dalam kerja pangangkutan ini pada umumnya mereka terpaksa memikulnya puluhan kilometer jauhnya, mengingat tidak ada alat pengangkutan dan buruknya kondisi jalan (Elson, 1988:44).
248
Banyaknya waktu yang digunakan dalam melaksanakan kerja wajib di perkebunan kopi yang harus dilakukan para petani bukan saja sangat memberatkan, tetapi juga mangakibatkan garapan sawah mereka menjadi terlantar (Suhartono, 1991: 42). Di samping itu, banyaknya jumlah tenaga kerja paksa yang diserap dalam perkebunan kopi, maka semakin banyak pula petani yang tidak sempat menggarap sawah mereka. Dampak lebih jauh dari semua itu adalah munculnya krisis bahan makanan yang semakin meluas. Untuk mengetahui keterlibatan penduduk sabagai tenaga kerja paksa dalam penanaman wajib kopi dapat diamati tabel berikut: Tabel 4.22 Keterlibatan Penduduk dalam Kerja Paksa di Perkebunan Kopi (1836) Kabupaten Banyumas
Jumlah pekerja paksa Cacah
Keluarga
Jumlah pohon
21.000
15.229
3.817.564
Purbalingga
5.600
4.051
10.010.000
Purwokerto
4.100
3.886
3.378.375
Dayaluhur
4.000
3.657
1.365.625
Banjarnegara
7.062
5.238
2.569.158
41.762
32.061
21.140.722
Jumlah
Sumber: ANRI Banjoemas 20, 1838, Statisiiek der Residentie Banjoemas 1838. Pada tahun 1836 penanaman wajib kopi dan keterlibatan penduduk sebagai pekerja paksa di Kabupaten Banyumas lebih besar dibanding kabupaten lain. Namun demikian beban keija paksa di perkebunan kopi tetap sangat berat bagi penduduk di Kabupaten Purbalingga, Purwokerto, Dayaluhur, dan Banjarnegara. Keterlibatan penduduk dalam melaksanakan kerja paksa di perkebunan kopi semakin menunjukkan peningkatan pada tahun-tahun berikutnya. Antara tahun 18371841 pengerahan tenaga kerja di perkebunan kopi di Karesidenan Banyumas
249
menunjukkan adanya perkembangan jumlah yang relatif tetap. Hal ini berarti adanya indikasi kuat, bahwa malaksanakan kerja paksa di perkebunan kopi sangat berat bagi para petani karena sedikitnya jumlah tenaga keija yang dapat direkrut, sedangkan jenis pekerjaannya sangat berat dan dalam waktu yang relatif lama. Untuk jelasnya dapat disimak tabel berikut: Tabel 4.23 Perkembangan Jumlah Pekerja Paksa di Perkebunan Kopi Karesidenan Banyumas 1837-1841 Tahun
Jumlah Pekerja Paksa keluarga
Jumlah Pohon Kopi
1837
32.014
22.545.565
1838
32.684
23.270.907
1839
33.185
24.029.209
1840
31.887
16.587.100
1841
33.524
18.689.300
Sumber: ANRI Banjoemas 20.1, 1841, Statistiek Opgave der Residentie Banjoemas 1836-1841. Kemudian untuk melaksanakan keija paksa di perkebunan indigo, tahap-tahap pekeijaan yang harus dilakukan adalah, menyiapkan lahan yang brupa tanah sawah, menanam bibit dan merawatnya sampai panen, kemudian mengangkutnya ke pabrik. Jangka waktu kerja paksa mereka untuk satu musim tanam sekitar tiga bulan (ANRI Banjoemas 067, 1833). Pada tahap percobaan di Karesidenan Banjumas tahun 1830, kerja paksa di perkebunan indigo baru melibatkan 150-200 orang untuk luas areal 2.200 bau (ANRI Banjoemas 064, 1830). Perkembangan yang terjadi sampai tahun 1836 luas areal penanaman wajib indigo telah mencapai 5.642 bau dengan hasil penyerahan wajib mencapai 128.694 pon.
250
Perkembangan yang terjadi berakibat juga pada peningkatan jumlah tenaga kerja paksa yang cukup besar. Pada saat itu, tenaga kerja paksa yang dikerahkan untuk Kabupaten Banyumas 8.850 cacah, Purbalingga sekitar 8.288 cacah, sedangkan Purwokerto dan Banjarnegara masing-masing 4.156 cacah dan 1.714 cacah (ANRI Banjoemas 20, 1838). Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang hal itu dapat diamati tabel berikut: Tabel 4.24 Jumlah Pekerja Paksa di Perkebunan Indigo Tahun 1836 Kabupaten
Cacah
Keluarga
Hasil(pon)
Luas
Banyumas
6.850
6.465
1.698
61.020
Purbalingga
5.288
6.985
3.100
61.313
Purwokerto
4.156
3.581
844
17.653
Banjarnegara
1.714
1.389
22.988
18.120
Jumlah
-
5.642
8.500 128.694
Sumber: ANRI Banjoemas 20, 1838, Statistiek der Residentie Banjoemas 1838. Semakin luasnya lahan perkebunan akan berdampak pada peningkatan hasil penyerahan wajib. Hal ini juga sangat erat kaitannya dengan semakin meningkatnya keuntungan. Akan tetapi tanpa dukungan dari tenaga keija paksa yang memadai usaha itu sangat sulit dicapai. Berkaitan dengan itu perkembangan yang terjadi pada tahun 1845, lahan perkebunan mencapai luas 6.749 bau, dengan melibatkan tenaga kerja paksa sekitar 28.684 keluarga. Kemudian pada tahun 1850 Karesidenan Banyumas diusahakan perkebunan seluas 5.049 bau, dengan tenaga kerja paksa sekitar 20.684 keluarga (Karrotdirdjo & Suryo, 1991: 62). Selain kopi dan indigo tanam paksa teh yang dikembangnkan di Karangkobar (Banjarnegara) yang diusahakan dalam skala kecil juga memerlukan tenaga kerja paksa.
251
Pada tahun 1837 luas areal sekitar 15 bau dengan tenaga kerja paksa yang direkrut baru sekitar 38 keluarga. Kemudian pada tahun 1845 luas areal perkebunan teh meningkat menjadi 73.547 dengan tenaga kerja paksa sekitar 180 cacah atau 138 keluarga (ANRI Banjoemas 20, 1838). Untuk perkebunan kayumanis, menyerap tenaga kerja paksa 929 keluarga untuk mengurus 110.053 batang pohon kayumanis yang luas arealnya mencapai 160.257 bau. Di samping iitu perkebunan lada yang berjumlah 69.600 batang di daerah Dayaluhur, dikerahkan tenaga kerja paksa 3.657 keluarga (ANRI Banjoemas 20.1,1841). Kemudian untuk tenaga kerja paksa di perkebunan tebu dan pabrik gula direkrut dari penduduk desa yang memegang hak atas tanah pertanian atau kuli. Istilah kuli merujuk kepada tenaga kerja paksa yang direkrut dari para petani sebagai konsekuansi atas pemilikan hak atas tanah. Istilah itu kemudian bergeser untuk menyebut para pekerja
yang
tidak
memiliki
ketrampilan
khusus.
Dengan
demikian,
dalam
perkembangannya, arti istilah kuli menjadi berbeda apabila diterapkan pada sector pemilikan hak atas tanah (Lervert, 1934:107). Bidang kerja yang harus dilakukan adalah keija penenaman, pemotongan, pengangkutan tebu, dan jenis pekerjaan lain di pabrik gula. Bahkan tenaga kerja paksa juga dikerahkan untuk mengangkut bahan bangunan dan kayu bakar (Kartodirdjo & Suryo, 1991: 58-59). Dalam kenyataannya di lapangan, tenaga keija yang dikerahkan dikelompokkan sesuai dengan jenis pekerjaan yang harus dilakukan. Secara garis besar terdapat tiga jenis pekerjaan yang perlu dilakukan, baik di perkebunan tebu maupun pabrik gula. Kelompok pertama, adalah kuli yang bekerja di pabrik gula. Mereka biasanya bekerja sebagai penjaga api di dapur pabrik, menimbang tebu maupun gula, bengkel, perbaikan jalan, dan bangunan pabrik. Kelompok kedua, adalah kuli perkebunan yang harus
252
bekerja mempesiapkan lahan, penggalian parit irigasi, pananaman bibit, pemupukan, dan pemeliharaan tanaman. Kelompok ketiga, adalah kuli angkut dan tebang yang mengerjakan tugas-tugas penebangan dan pengangkutan, termasuk perbaikan rel, lori, engsel, dan wesel (Levert, 1934: 107). Dasar pembagian kerja memang tidak berdasarkan pada keahlian, tetapi lebih berdasarkan pertimbangan kebutuhan tenaga kerja pada saat-saat tertentu. Hal ini sangat tergantung pada musim (musim tanam atau musim giling). Setiap jenis pekerjaan diawasi oleh mandor yang dibantu oleh wakil mandor. Pada umumnya jabatan mandor diduduki oleh orang-orang Cina, sedangkan wakil mandor terdiri dari kelompok pribumi yang dipandang memiliki kecakapan dan juga memiliki pengaruh dalam masyarakat (Levert, 1934: 107). Bagi masyarakat petani yang tinggal di pedesaan, kewajiban kerja dalam bentuk apapun telah mengakibatkan tambahan beban kerja bagi mereka. Walaupun demikian, pelaksanaan di perkebunan tebu dirasakan sebagai kewajiban yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka. Tradisi penyerahan tenaga kerja itu memang sudah berlaku secara turun-temurun. Hal ini mengingat kewajiban keija dilakukan berkaitan dengan salah satu bentuk pajak yang dibebankan kepada petani sikep. Mereka adalah adalah merupakan kelompok petani yang terdiri dari orang-orang terpandang yang menguasai hak atas tanah pertanian. Sebagai konsekuensinya, mereka menerima berbagai kewajiban termasuk kewajiban melakukan kerja paksa (Surojo, 1990: 178). Sehubungan dengan itu, ditektur tanaman {directure der kultuures) mengeluarkan Surat Edaran dalam tahun 1832 yang ditujukan kepada Residen Banyumas dalam rangka mensukseskan pelaksanaan pengerahan tega kerja paksa. Surtat edaran tersebut dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 22 tahun 1840. Mengenai surat edaran itu antara lain
253
dinyatakan, bahwa rakyat berkewajiban menyerahkan tenaga dan bahan bakar untuk membantu kelancaran perkebunan dan pabrik gula. Dalam pelaksanaannya, semua bentuk kerja yang berkaitan dengan penanaman tebu dikerjakan dengan menggunakan tenaga keija paksa yang diambil dari para petani sikep (ANRI Banjoemas 066, 1832). Bagi penduduk desa yang sudah sangat terbiasa dengan kerja di sektor pertanian, kewajiban kerja paksa di parik menimbulkan kesulitan-kesulitan tersendiri. Lebih-lebih bekerja di pabrik gula berada di bawah pengawasan yang keras dan harus dilakukan secara tertib, sehingga kebebasan bergerak mereka sangat sempit. Hal ini tentu saja sangat berbeda bagi para pekerja apabila mereka bekerja di perkebunan tebu, yang lebih mendekati kerja pertanian rakyat. Bahkan dalam menjalankan kerja paksa untuk mempersiapkan lahan perkebunan dan keija pengangkutan tebu, para petani dapat juga menggunakan bantuan tenaga ternak yang dimilikinya (Burger, 1962: 186). Untuk mengatasi keberatan-keberatan dalam manjalankan kewajiban keija paksa di pabrik gula, secara berangsur-angsur terbentuk suatu pola yang akhirnya menjadi kebiasaan (Burger, 1962: 182). Bagi nenerapa penduduk desa yang malakukan keija paksa di pabrik mereka dibebaskan dari kewajiban kerja lainnya. Sementara itu, orangorang kaya yang terkena kewajibanm keija paksa di pabrik, biasa menyuruh orang lain untuk melakukan kewajiban keija yang menjadi tanggungannya. Penduduk
yang
menggantikan untuk melakukan kewajiban kerja paksa biasanya adalah petani numpang. Kehidupan mereka sangat tergantung kepada petani sikep, karena kedudukan mereka seb agai petani penggarap. Sebagai imbalannya, orang yang mewakili orang lain sebagai pekeija paksa menerima semacam upah sejumlah uang tertentu (Burger, 1962: 182). Peleksanaan kerja paksa di pabrik gula dapat mencapai 100 hari dalam setahun (Suhartono, 1991:42).
254
Pada dasarnya perkebunan tebu dan pabrik gula di Banyumas juga memerlukan tenaga kerja yang meliputi tenaga kerja penanaman, pemotongan, pengangkutan, dan jenis kerja di pabrik gula. Kewajiban kerja itu cukup banyak menyita waktu dan melibatkan tenaga penduduk dalam jumlah yang besar (ANRI Banjoemas 20.1, 1841). Untuk lebih jelasnya dapat diamati pada tabel berikut: Tabel 4.25 Luas Areal Perkebunan Tebu dan Tenaga Kerja Paksa Di Banyumas (1838-1841) Tahun
Areal(bau)
Tenaga Kerja Paksa
1838
56
641 keluarga
1839
84
641
1840
111
1.971
1841
111
1.331
Sumber: ANR Banjoemas 20.1, 1841, Staiistiek Opgave der Residentie Banjoemas 1836-1841. Berdasarkan tabel tersebut menunjukkan, bahwa perkembanagn luas areal perkebunan dengan peningkatan jumlah tenaga kerja sangat berlaitan. Perbandingan luas areal perkebunan dengan tenaga keija dalam periode itu rata-rata 1: 5,32. Hal ini mengandung arti, bahwa untuk setiap bau perkebunan tebu idealnya dikerjakan oleh 5 atau 6 keluarga dalam satu putaran penanaman. Perkembangan yang terjadi antara 1845-1850, menunjukkan adanya suatu kenaikan jumlah pengerahan tenaga kerja paksa dari penduduk. Tenaga kerja itu bukan saja untuk menggarap perkebunan, tetapi sebagian digunakan untuk memperbaiki saluran irigasi, pembuatan jalan, dan kerja untuk pabrik gula. Dengan demikian dalam tahun itu luas lahan perkebunan tetap, tetapi tenaga kerja yang dikerahkan meningkat menjadi 1.600 keluarga. Sementara itu dalam tahun 1850, perekrutan jumlah tenaga
kerja menunjukkan peningkatan menjadi 2.692 untuk areal yang sam Suryo, 1991: 59-60. Hal ini berarti pekerjaan di luar perkebunan kem sangat memerlukan tenaga kerja dalam jumlah besar. Para pekerja paksa di perkebunan tebu mendapatkan upah penanaman {plantloon). Upah rata-rata yang dapat mereka terima adalah f. 92 untuk atiap bau, atau setiap keluarga rata-rata memperoleh f. 13 (Kartodirdjo & Suryo, 1991: 65). Ketentuan upah penanaman itu berlaku untuk satu musim penanaman. Perlu dipahami selama pelaksanaan kerja paksa itu, upah penanaman selalu berkait dengan pajak tanah. Dengan demikian maka timbul persoalan yang rumit. Seperti diketahui, sebagian besar tanah garapan bestatus sebagai tanah komunal milik desa, sehingga pembebasan atau pembayaran ditentukan untuk setiap desa. Hal ini berarti, jumlah pajak itu harus ditanggung secara bersama-sama oleh penduduk desa, dengan mempertimbangkan hak atas tanah pertanian. Berdasarkan hal itu, timbul persoalan rumit yang menyentuh rasa keadilan. Tidak jarang desa yang dikenakan pajak tinggi justru melakukan kerja paksa yang lebih banyak, dibanding dengan desa lainnya yang dikenakan pajak lebih rendah dengan sedikit kewajiban kerja paksa. Sering pula dikatakan, bahwa pembebasan pajak dapat pula diartikan sebagai pemberian upah berbeda untuk pekerjaan yang sama. Atau pemberian upah yang sama terhadap pekerjaan yang berbeda-beda. Oleh sebab itu pembebasan pajak telah secara berangsurangsur digantikan
dengan
pembayaran
upah
penanaman
kepada orang yang
berkewajiban menanam, sehingga pembayaran itu berdasar pada prestasinya (Burger, 1962: 187-189). Dalam tahun 1865, terjadi perkembangan baru mengenai pembayaran pajak. Pemegang hak atas tanah pertanian yang ditanami tebu harus membayar pajak tanah
256
1
rata-rata f. 11,65 setiap bau. Pada setiap bau tanah itu dikerjakan oleh sekitar 4 orang pekerja wajib yang menerima upah penanaman secara kolektif sekitar f. 135. Setelah dikurangi pajak tanah dan pungutan lain, maka setiap pekerja berhak menerima upah penanaman rata-rata f. 30,65 untuk selama musim tanam tebu. Tentu saja penduduk tidak memikirkan untung dan ruginya. Sebenarnya di balik upah yang telah diterimanya itu, mereka sudah banyak kehilangan mata pencaharian yang berupa bahan makanan yang mestinya dihasilkan dari tanah itu {De Indische Gids, XII, 1890: 896). Mengenai upah penanaman tampaknya sudah menjadi sangat terbiasa bagi para pekeija paksa di perkebunan untuk masa-masa berikutnya. Bahkan dalam tahun 1870, telah diatur upah penanaman minimum bagi pekerja paksa di perkebunan tebu. Pemikiran tentang upah minimum itu dimaksudkan untuk mendorong semangat keija penduduk di perkebunan tebu, sehingga dapat mendorong meningkatnya produktivitas tanaman ekspor tersebut. Sisi lain dari pemikiran tentang upah minimum itu yang diprakarsai oleh pemerintah kolonial juga merupakan kepedulian untuk mendorong perkembangan modal swasta. Dengan demikian, munculnya pemikiran itu bukan bertujuan untuk melindungi hak-hak penduduk pedesaan yang melakukan kewajiban kerja paksa, tetapi untuk memacu peningkatan keuntungan bagi para pengusaha swasta. Terlepas dari tujuan yang terselubung tentang upah minimum yang telah diatur itu, secara berangsur-angsur dapat mengubah sistem kerja paksa menjadi sistem keija upahan (Burger, 1962: 188-190). Periode tahun 1870-an dan masa-masa sesudahnya, di antara penduduk di sekitar perkebunan terdapat kecenderungan untuk mengharapkan upah dalam jumlah tertentu sebagai imbalan dari pekerjaan yang telah mereka lakukan. Dengan demikian bekeija di perkekebunan tebu maupun pabrik gula telah dipandang sebagai salah satu alternatif
257
untuk menembah pencaharian mereka (ANRI Banjoemas 119/56, 1870). Berdasarkan kenyataan ini dapat ditafsirkan, bahwa imbalan uang telah dipandang sebagai salah satu pendorong penting bagi penduduk untuk bekerja sebagai buruh upahan (ANRI Banjoemas 120/56, 1871). Dengan kecenderungan seperti itu, maka sesudah tahun 1870an sistem kerja paksa sudah mulai bergeser secara perlahan menjadi sistem kerja peorangan berdasarkan kontrak. Secara teoretis sistem kerja semacam itu didahului dengan
suatu kesepakatan antara pihak perkebunan dengan para pekerja. Dalam
kesepakatan itu, setiap pekerja diberi beban untuk mengerjakan suatu bidang tanah tertentu. Termasuk jenis pekerjaannya juga ditetapkan berdasarkan kesepakatan dua pihak. Dalam hal ini biasanya pekerja memilih sesuai bidang keahliannya atau jenis pekerjaan yang paling disukainya. Gejala pergeseran dalam sektor dunia kerja juga mulai muncul di lingkungan para pengelola perkebunan. Mereka menilai, bahwa buruh upahan mulai dipandang lebih menguntungkan dibandingkan dengan sistem kerja paksa. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, kontrak kerja yang benar-benar bebas masih memerlukan waktu, mengingat kondisi penduduk yang belum memungkinkan (Niel, 1988: 133). Namun demikian sampai tahun 1878 di Karesidenan Banyumas masih terdapat tanda-tanda adanya pengerahan pengerahan tenaga kerja paksa yang direkrut dari penduduk pedesaan. Tenaga keija paksa yang direkrut itu, tampaknya bukan hanya berasal dari desa-desa sekitar perkebunan, tetapi juga mereka yang berasal dari desadesa yang jauh. Hal ini merupakan indikasi kuat, bahwa tenaga kerja paksa yang dikerahkan itu daerah sekitar perkebunan tidak mencukupi.
Untuk mengatasi
kekurangan itu, maka tenaga kerja perkebunan tebu juga direkrut dari Cilacap dan Banjarnegara, yang bukan daerah perkebunan tebu. Mengenai ketentuan tentang jumlah
258
tenaga kerja paksa yang dikerahkan dari penduduk untuk setiap desa di Karesidenan Banyumas ternyata tidak seragam. Begitu juga tentang lama kerja paksa yang harus dilakukan juga menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan (ANRI Banjoemas 123/56, 1878). Untuk lebih jelasnya dapat diamati tabel berikut: Tabel 4.26 Jumlah Desa & Lama Kerja Paksa di Perkebunan (Kultuurdiensten) Tahun 1878 Kabupaten
Jumlah desa
Lama kerja paksa
Keterangan
Cilacap
42
13 hari Bukan daerah perkebunan
Banyumas
75
75 hari Daerah perkebunan
Banjarnegara
29
14 hari Bukan daerah perkebunan
Purbalingga
104
30 hari Daerah perkebunan
Purwokerto
75
30 hari Daerah perkebunan
Sumber: ANRI Banjoemas 123/56, 1878, Politiek Verslag over de Residentie Banjoemas.
Berdasarkan tabel tersebut, menunjukkan bahwa jumlah desa yang berada di daerah perkebunan yang mendapat kewajiban kerja paksa lebih besar dibanding dengan jumlah desa di daerah bukan perkebunan tebu. Begitu juga tentang lama kerja paksa yang harus dilakukan. Desa-desa yang berada di daerah perkebunan, yaitu Kabupaten Banyumas, Purbalingga dan Purwokerto dikenakan beban keija paksa yang lebih besar dibanding dengan desa-desa yang berada di daerah non perkebunan tebu, seperti Cilacap dan Banjarnegara. Sesudah tahun 1880-an di kalangan pengusaha muncul harapan yang sangat kuat untuk lebih meningkatkan produksi gula, yang tentu saja harus diimbangi dengan peningkatan jumlah tenaga kerja. Pada saat itu mulai dikembangkan teknik penanaman baru yang disebut sistem reynoso. Sistem ini pertama kali dikembangkan di Cuba pada
259
tahun 1863. Penanaman tebu dengan sistem baru itu menuntut penanaman tebu pada parit-parit irigasi sedalam 30-40 sentimeter. Sistem ini juga menuntut tersedianya pengairan yang terarur, sehingga perkebunan tebu harus dilengkapi dengan saluran irigasi. Sistem reynoso dilaksanakan di Karesidenan Banyumas sejak tahun 1885, yang ternyata juga menuntut beberapa persyaratan. Persyaratan pokok yang harus dipenuhi terutama adalah peningkatan jumlah tenaga kerja dari 800 menjadi 1.000 pekeija setiap hektar. Dengan metode yang penanaman intensif, pergiliran tanaman menyertakan pula pekerjaan penggalian parit drainase dan irigasi dalam setiap tahunnya. Perkembangan ini menunutut pula diberlakukannya sistem kerja bebas berdasarkan kontrak kerja dengan penduduk (Breman, 1986: 49). Hal ini secara berangsur-angsur menempatkan sistem ekonomi uang menjadi sistem yang sangat mungkin berlaku pada akhir abad ke-19. Selama periode 1890-an permitaan pasar tentang gula semakin meningkat. Kondisi semacam itu merupakan peluang yang sangat berharga dalam rangka memperoleh keuntungan yang lebih tinggi lagi. Untuk memenuhi tuntutan itu dikembangkan sistem manajemen yang mampu mengatur perusahaan secara efisien. Perkembangan teknologi yang modern bukan hanya dikembangkan dalam proses penanaman tebu, tetapi juga dalam proses produksi gula. Pada gilirannya perkembangan sektor manajemen dan teknologi sangat erat kaitannya dengan keharusan perubahan orientasi tenaga kerja. Hal ini berarti tenaga kerja paksa harus ditinggalkan, diganti dengan tenaga kerja atau buruh upahan. Dalam realisasinya di Karesidenan Banyumas, ditetapkan upah buruh perkebunan sekitar 16-25 sen untuk setiap hari kerja. Sebagai perbandingan, pada saat itu kuli pabrik dengan upah 30-38 sen per hari, tukang dibayar 60-100 sen, dan mandor dengan upah 150-250 sen per hari (Gorkom, 1879: 17, Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur, VII, 1900: 21).
260
Walaupun upah bagi buruh perkebunan itu jumlahnya tergolong kecil, namun telah menjadi perangsang yang sangat menarik bagi para petani untuk bekerja di perkebunan tebu. Sistem kerja sebagai buruh bebas memang belum sepenuhnya dilaksanakan, namun pergeseran kearah itu sudah mulai tampak dengan adanya upah buruh harian. Dengan berlakunya sistem upah yang dibayarkan berdasarkan hitungan hari kerja, telah mempercepat proses perubahan kearah sistem buruh bebas. Secara ekonomis, hasil yang diperoleh pekerja dengan sistem ini lebih menguntungakan. Apabila seorang mampu bekerja di perkebunan tebu dalam waktu satu bulan penuh, dia akan memperoleh upah sekitar f. 6 sampai f. 7,5 setiap bulan (Hoevell, 1877: 362). Dengan sistem kerja upah itu, pihak perkebunan dapat memperhitungkan secara lebih pasti biaya operasional sejak proses penyiapan lahan sampai penebangan dan pengangkutan tebu. Dengan demikian biaya operasional yang dikeluarkan pabrik gula juga telah dapat diperhitungkan secara lebih rinci. Sebagai gambaran, biaya operasional perkebunan tebu dan pabrik gula untuk setiap bau sekitar f, 109 sampai f. 160 untuk satu putaran sejak penanaman sampai proses produksi gula (Gorkom, 1879: 17). Harus diakui, dalam sistem kerja bebas itu jumlah pengeluaran pihak pengusaha bertambah semakin besar. Para pengusaha sudah tidak mungkin lagi dapat menekan serendah mungkin upah pekerja, karena hubungan kerja telah berubah menjadi hubungan kontrak berdasarkan upah yang telah ditetapkan. Akan tetapi hal itu dapat diimbangi dengan jaminan yang lebih memadai, berupa kepastian kerja yang lebih baik. b. Proses Perubahan Sosial di Banyumas 1) Perkembangan Buruh Bebas Periode 1870-an dipandang sebagai masa peralihan dari sistem tanam paksa menjadi sistem perkebunan yang pengelolaannya ditangani oleh pihak swasta. Hal ini
261
tidak terlepas dari tuntutan golongan liberal Belanda yang menghendaki diakhirinya eksploitasi tanah jajahan oleh negara, digantikan oleh para pengusaha swasta (Fasseur, 1975: 80). Jika diamati secara sepintas, sistem yang diinginkan oleh golongan liberal itu tampak berbeda dengan kebijakan sebelumnya, tetapi tujuannya tetap sama. Target yang ingin dicapai adalah untuk menggali sumber kekayaan tanah jajahan secara maksimal guna kepentingan pihak kolonial (Furnivall, 1944: 211). Bahkan dalam sistem yang baru itu, kegiatan eksploitasi ekonomi dilakukan secara ekstrem mengingat tanah jajahan dibuka seluas-luasnya bagi pihak swasta untuk ikut ambil bagian dalam berbagai aktivitas ekonomi yang menguntungkan bagi mereka. Gejala yang tampak berkaitan dengan pelaksanaan sistem baru tersebut terutama adalah masuknya modal asing secara besar-besaran yang diinvestasikan pada sektor perkebunan sesudah periode 1880-an. Dalam periode itu, modal swasta yang ditanam sebesar f. 45 juta dalam tahun 1883, dan meningkat f. 55 juta pada tahun 1898. Kemudian pada tahun 1900 modal swasta yang masuk mengalami peningkatan yang sangat tajam. Sebesar
f. 250 juta diinvestasikan pada sektor perkebunan, terutama
perkebunan tebu dan pabrik gula. Sebesar f. 150 juta diinvestasikan pada sektor kontruksi jalan kereta api, dan sebesar f. 20 juta untuk sektor irigasi. Sementara itu, untuk upah buruh dikeluarkan f. 15 juta dan khusus buruh irigasi sebesar f. 13 juta (Furnivall, 1944:211). Perkembangan baru tersebut sangat terasa dampaknya bagi masyarakat pedesaan. Muncul ketidakseimbangan dalam masyarakat terutama karena perkembangan penduduk tidak lagi sebanding dengan perkembangan yang terjadi pada sumber-sumber poduksi pertanian. Hal ini dapat terjadi, mengingat pentumbuhan penduduk yang meningkat secara cepat pada masa itu tidak diimbangi dengan pertambahan sarana produksi
262
pertanian yang memadai. Bahkan perusahaan perkebunan semakin banyak memerlukan lahan pertanian yang subur, sehingga proses pemiskinan penduduk menjadi lebih cepat lagi (Breman, 1986: 56-57). Seperti diketahui, grafik pertumbuhan penduduk tampak menanjak antara tahun 1850-1900, disebabkan pihak kolonial pada masa itu telah melakukan tindakan pencegahan penyakit dengan pencacaran, dan diwujudkannya keamanan bagi penduduk (Peper, 1975: 12). Di Karsidenan Banyumas, pertumbuhan penduduk dalam periode itu juga tergolong tinggi. Perhitungan jumlah penduduk di daerah ini yang dilakukan lebih teliti telah dilaksanakan pada tahun 1859. Dengan demikian, maka sejak saat itu data tentang kependudukan di daerah Banyumas telah memiliki sumber yang lebih pasti. Menurut hasil perhitungan tersebut, rata-rata pertumbuhan penduduk di Karesidenan Banyumas telah mencapai sekitar 2 % sampai 2, 5 % untuk setiap tahun (Peper, 1975: 13). Dalam kenyataannya, pertumbuhan penduduk yang tinggi tersebut tanpa diimbangi dengan perluasan lahan pertanian dan perkembangan produksi. Sebagai akibatnya, situasi perekonomian penduduk menjadi sangat terganggu. Hal utama yang sangat dirasakan oleh penduduk adalah terganggunya pertumbuhan penghasilan mereka, yang bertumpu pada sektor pertanian yang masih tradisional. Lahan pertanian penduduk menjadi semakin sempit, karena terdesak oleh perkembangan industri perkebunan swasta yang begitu pesat setelah periode 1880-an (Furnivall, 1944: 211). Sementara itu teknik pengolahan lahan pertanian penduduk juga tidak mengalami perkembangan yang berarti, sehingga lahan pertanian yang ada tidak dapat memproduksi bahan makanan secara maksimal. Kesulitan ekonomi bagi masyarakat Banyumas semakin meningkat ketika nilai uang mengalami inflasi. Kondisi semacam itu sejalan dengan semakin berkembangnya sistem ekoinomi uang di pedesaan setelah pertengahan
263
abad ke-19. Perlu pula disampaikan, bahwa nilai uang yang menurun merupakan salah satu gejala ekonomi umum yang terjadi dalam lingkungan masyarakat Jawa pada kurun waktu itu. Dampak yang paling terasa dari gejala semacam itu adalah penghasilan riil penduduk juga ikut mengalami penurunan (Rennefi, 1974: ix). Perkembangan baru yang terjadi dan segala dampaknya tentu saja sangat memberatkan bagi kehidupan penduduk di pedesaan. Untuk mengatasi keberatan-keberatan hidupnya, penduduk pedesaan mencari alternatif untuk memasuki dunia kerja sebagai buruh upahan. Sektor ini menjadi sangat mungkin sebagai pilihan, mengingat setelah periode 1880-an tenaga buruh upahan semakin diperlukan dalam sektor perkebunan tebu, pabrik gula, pembangunan jalan kereta api, maupun sektor irigasi. Dalam hal mentukan pilihan, tampaknya bekerja sebagai buruh perkebunan tebu dan pabrik gula merupakan prioritas utama Hal ini disebabkan, jenis pekerjaan pada sektor tersebut tersedia secara terus-menerus dan berada pada lokasi yang relatif tetap. Sebagai konsekuensi logis dari kecenderungan seperti itu, maka desa-desa yang berada di sekitar perkebunan tebu dan pabrik gula dipandang sebagai tempat tinggal ideal bagi mereka (ANRI Banjoemas, 115, 1885). Kecenderungan semacam itu terus berkembang, karena upah yang ditawarkan juga dipandang dapat menutup biaya kebutuhan pokok sehari-hari. Di samping itu, secara psikologis bekerja di perkebunan tebu atau pabrik gula, dapat memberi motivasi bagi para pekerja bahwa tenaga mereka memang diperlukan. Ternyata motivasi semacam itu dapat menjadi pendorong bagi penduduk untuk melakukan mobilitas. Mereka bergerak dari desa-desa yang jauh untuk memasuki bursa kerja di perkebunan tebu dan pabrik gula. Dengan demikian, maka pada saat itu muncul kelompok buruh bebas yang berasal dari desa-desa lain, yang lazimnya disebut dengan wong buruh atau
264
kuli (Breman, 1986: 83). Motivasi penduduk pedesaan menuju sektor dunia keija bebas secara teoretis dapat mendorong terjadinya mobilitas penduduk di wilayah itu. Gejala mobilitas penduduk merupakan salah satu aspek demografi, yang diwarnai oleh gerakan penduduk yang melintasi wilayah tertentu dalam periode tertentu. Hal ini berpengaruh pula terhadap perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah (Mantra, 1989: 8). Sebagai akibat dari mobilitas penduduk menuju desa-desa di sekitar perkebunan tebu dan pabrik gula, maka tingkat kepadatan penduduk di desa-desa itu menjadi semakin tinggi. Kenyataan semacam itu dapat diamati dari jumlah penduduk dan tingkat kepadatan beberapa kabupaten yang merupakan daerah perkebunan tebu dan parik gula, relatif lebih tinggi dibanding dengan kabupaten lain yang bukan merupakan daerah perkebunan (ANRI Banjoemas 120, 1890). Untuk lebih jelasnya tabel berikut dapat menjadi bukti: Tabel 4.27 Perbandingan Jumlah Penduduk dan Tingkat Kepadatan Kabupaten 1880 1890 Perkebunan Kepadatan Cilacap 201.751 240.397 Bukan 283/km.persegi Purwokerto 193.522 254.921 Perkebunan 292 Banyumas 215.783 263.074 Perkebunan 515 Purbalingga 234.954 285.658 Perkebunan 514 149.954 Banjarnegara 190.320 Bukan 162 Sumber: ANRI Banjoemas 110, 1880, Algemeen Verslag der Residentie Banjoemas, dan ANRI Banjoemas 120, 1890, Algemeen Verslag der Residentie Banjoemas. Berdasarkan tabel tersebut, tampak adanya kecenderungan jumlah penduduk dan tingkat kepadatan yang tinggi terkonsentrasi pada daerah-daerah perkebunan tebu dan pabrik gula, baik di Kabupaten Purwokerto, Banyumas, maupun Purbalingga. Hal ini menunjukkan
indikasi kuat, bahwa di daerah-daerah perkebunan telah terjadi
pertambahan penduduk yang cukup berarti. Kemungkinan sebagai penyebab utamannya adalah, tingginya tingkat pertumbuhan penduduk di daerah-daerah perkebunan tebu. Hal
265
ini disebabkan, tingkat kelahiran yang tinggi di satu sisi dan rendahnya tingkat kematian di sisi yang lain. Kenyataan seperti ini terjadi mengingat semakin meningkatnya segi kesehatan dan jaminan keamanan penduduk. Tingkat kelahiran yang tinggi dapat mengarah pada tumbuhnya anak-anak menjadi dewasa, sehingga pada gilirannya merupakan sumber tenaga kerja yang menjadi tumpuan hidup keluarga. Dari sini tampak jelas, bahwa tenaga kerja keluarga telah dipandang sebagai sarana produksi dan sumber penghasilan bagi penduduk yang sangat penting. Kemudian tentang munculnya harapan hidup yang tinggi bagi penduduk, erat kaitannya dengan mulai meningkatnya segi kesehatan di lingkungan mereka (ANRI Banjoemas 110, 1880). Sebab lain yang berpengaruh terhadap kepadatan penduduk yang tidak dapat diabaikan adalah, kecenderungan telah terjadi migrasi dari daerah lain ke desa-desa yang terletak di sekitar perkebunan. Jika asumsi ini benar maka dapat dinyatakan, bahwa perkebunan tebu dan pabrik gula telah dipandang sebagai salah satu sumber penghasilan yang cukup menarik. Daya tarik yang cukup menjanjikan sebagai sumber penghasilan tersebut pada gilirannya dapat mendorong mobilitas penduduk dari daerah lain untuk memasuki bursa keija sebagai buruh upahan (ANRI Banjoemas 120, 1890). Menurut Breman (1986: 48), suatu gejala umum yang terjadi di Jawa pada masa itu adalah kecenderungan penduduk pedesaan untuk keluar dari tradisi ekonomi pertanian mereka. Lebih jauh dia menyatakan, bahwa: Kesempatan bekerja sebagai buruh bebas di perkebunan tebu dan pabrik gula dengan sistem upah lebih banyak dilakukan oleh penduduk di sekitar perkebunan. Para pemilik lahan bekerja sebagai penanam dan perawat tanaman tebu, sedangkan petani tanpa lahan bekerja sebagai penebang dan pengangkut tebu atau bekerja di pabrik. Penduduk dari desa-desa yang jauh dari perkebunan juga terlibat sebagai tenaga pengangkut kayu bakar dan pekerja musiman di perkebunan tebu maupun pabrik gula.
266
Sekitar tahun 1890-an, kebutuhan tanaga keija perkebunan tebu dan pabrik gula dirasakan semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan upaya pihak kolonial untuk meningkatkan produksi gula dengan sistem reynoso, yang ternyata menuntut beberapa persyaratan. Dengan sistem yang baru itu menuntut persyaratan peningkatan jumlah tenaga keija dari 800 orang menjadi 1.000 orang untuk setiap hektar. Hal ini mengingat penanaman tebu dilakukan secara intensif, sistem pergiliran tanaman juga dilakukan secara ketat dan selalu menyertakan penggalian saluran irigasi. Pekerjaan ini menuntut diberlakukannya sistem kerja bebas berdasarkan kontrak kerja dengan penduduk. Perkembangan baru semacam itu secara berangsur-angsur menempatkan sistem ekonomi uang sebagai suatu sistem yang sangat mungkin menjelang abad ke-20 (Burger, 1962: 81, Breman, 1986: 48). Bagi para pekerja perkebunan di Karesidenan Banyumas dalam periode tahun 1890 ditentukan upah sekitar 16 sampai 25 sen untuk setiap hari. Jenis peketjaan yang tersedia meliputi kerja penanaman termasuk penyiapan lahan, pemeliharaan tanaman, dan penggalian saluran irigasi. Di samping itu juga pekerjaan pekerjaan penebangan dan pengangkutan tebu (ANRI Banjoemas 120, 1890). Dengan diberlakukannya sistem upah yang dibayarkan berdasarkan hitungan hari kerja itu, semakin menempatkan proses perubahan kearah sistem keija yang benar-benar bebas. Jika dibandingkan dengan upah penanaman (plantloon) yang berlaku dalam sistem kerja paksa yang bersifat kelompok, maka sistem keija bebas lebih bersifat individual. Kecenderungan itu juga mendorong semakin terurainya sistem masyarakat komunal, karena penghasilan keija perorangan secara ekonomis lebih menguntungkan. Dengan perhitungan di atas kertas, apabila seorang buruh mampu bekeija dalam waktu satu bulan penuh, maka dia akan mendapat upah sekitar f. 6 sampai f. 7,5 setiap bulan (Hoevell, 1890: 362).
267
Dalam kurun waktu 1895-1900, di Karesidenan Banyumas telah melibatkan tenaga kerja perkebuan sekitar 5. 452. 253 orang. Dengan demikian untuk setiap hektar rata-rata diperlukan 662 tanaga kerja buruh pada setiap hari atau 6.282 tenaga buruh untuk setiap hektar dalam setahun (Levert,
1934:
126). Hal ini berdasarkan
pertimbangan, bahwa dalam tahun 1900 lahan perkebunan tebu di Karesidenan Banyumas telah mencapai sekitar 8.000 hektar (Burger, 1962: 189). Sementara itu, untuk upah buruh kasar di pabrik gula dalam periode 1895-1900, relatif lebih tinggi dibanding dengan upah buruh di perkebunan tebu. Untuk upah buruh di pabrik gula berkisar antara 30 sen sampai 36 sen setiap hari kerja. Hal ini berarti, seorang buruh pabrik dapat memperoleh upah sekitar f. 9 sampai f. 11 untuk setiap bulan. Dalam kurun waktu selama lima tahun (1895-1900), di Banyumas telah dipekerjakan sekitar 3. 914. 447 orang buruh. Dari jumlah sebesar itu, sekitar 2. 450.033 orang buruh atau 51 % adalah pekerja laki-laki, sedangkan sekitar l. 464. 414 orang buruh atau 48,3 % terdiri dari tenaga kerja wanita dan anak-anak (Levert, 1934: 136). Dengan sistem keija upah itu, pihak pengusaha dapat memperhitungkan secara lebih pasti biaya operasional sejak proses penyiapan lahan sampai pengangkutan tebu. Demikian juga tentang biaya operasional dalam proses giling di pabrik gula. Dari sebuah laporan diperoleh gambaran, bahwa biaya operasional sejak proses pananaman tebu sampai prosesa giling untuk setiap hektar diperlukan sekitar f. 108 sampai f. 160 untuk sekali putaran produksi (Gorkom, 1889: 17). Harus diakui, bahwa sistem buruh upahan dalam perusahaan perkebunan memang sangat berpengaruh terhadap meningkatnya biaya operasional. Hal ini disebabkan, para pengusaha tidak dapat lagi menekan serendah mungkin upah buruh, mengingat hubungan keija telah berubah menjadi hubungan kontrak berdasarkan upah yang telah disepakati bersama. Sudah tentu dibalik
268
biaya pengeluaran yang tinggi itu, para pangusaha mendapat imbangan berupa jaminan yang lebih memadai yang berkaitan dengan kepastian kerja yang lebih baik. Jika dilihat dari pengeluaran setiap bulan, anggaran perusahaan perkebunan tebu dan pabrik gula ternyata berubah-ubah sesuai dengan keadaan musim (Levert, 1934: 136). Untuk dapat mengetahui angggaran perusahaan yang telah dikeluarkan bagi pembayaran para pekerja, dapat dilihat pada table berikut: Tabel 4.28 Pembayaran Buruh Harian di Banyumas Tahun 1900 Bulan Persentase (%) Jumlah Januari f. 117.206 3,6 Pebruari 116.113 3,6 Maret 180.173 5,6 April 265.538 8,2 Mei 324.815 10 Juni 441.342 13,6 Juli 440.765 12,6 Agustus 404.739 12,5 September 371.717 11,5 Oktober 249.756 7,7 Sumber: Levert, '.H., 1934, Inheemse Arbeid in de Java Suikerindustrie, Wageningen, J.A. Honing, hal. 136. Bagi penduduk di sekitar perkebunan, bekerja di perkebunan tebu maupun pabrik gula merupakan alternatif utama. Pada umumnya, masa-masa sibuk penggunaan buruh harian adalah antara bulan April sampai Oktober. Dalam bulan-bulan itu, putaran tebu di lahan yang baru mulai dilakukan. Dari tujuh bulan masa sibuk itu, maka bulan Juni sampai Agustus merupakan masa puncak penggunaan tenaga buruh, karena bersamaan waktunya dengan musim tebang dan giling tebu di pabrik gula, sementara tanaman tebu baru lainnya harus dipersiapkan. Pada masa-masa itulah perkebunan tebu dan pabrik gula sangat memerlukan tenaga kerja sebagai buruh upahan yang bersifat harian. Mengingat banyaknya tenaga buruh yang diperlukan dengan upah harian, maka pada
269
musim tebang dan giling sangat menarik perhatian penduduk dari desa-desa lain untuk memasuki bursa kerja tersebut. Bagi masyarakat di Karesidenan Banyumas, bekerja di perkebunan tebu dan pabrik gula disebut dengan istilah ngode dan untuk menunjuk jenis pekerjaannya disebut dengan kodeart. Dalam kaitan itu Ter Haar (1950: 78) menyatakan, bawa istilah itu diduga berasal dari ejaan bahasa Belanda; daglooner-diens-doen, yang artinya melaksanakan tugas sebagai buruh harian. Sampai sekarang istilah ngode masih biasa digunakan oleh masyarakat Banyumas, untuk menyebut setiap pekerjaan yang mendapat imbalan upah berupa uang. Istilah kodean juga masih biasa digunakan untuk menyebut jenis pekerjaan yang dapat menghasilkan uang. Pada dasarnya pemberian besarnya upah bagi para pekerja bebas di pabrik gula itu sangat tergantung kepada jenis pekerjaan dan keahlian yang dimiliki oleh masingmasing pekerja. Besarnya imbalan untuk tenaga buruh kasar yang tidak memerlukan bekal keahlian, seperti tukang timbang, pesuruh, dan pembentu stoker sekitar 30 sen sampai 36 sen setiap hari, atau sekitar f. 9 sampai f. 11 setiap bulan. Di atas kertas, dalam sehari semalam mereka bekerja harus bekerja selama 8 jam. Namun demikian, dalam prakteknya tidak jarang mereka dituntut untuk melaksanakan pekerjaan 10 jam dalam sehari (Tijdschrift voor Binnenlandsch Besiuur, VIII, 1900, 21). Besarnya upah tukang yang tergolong terampil sekitar 60 sen sampai 100 sen untuk setiap hari kerja. Jika dihitung upah bulanan, maka mereka dapat memperoleh upah sekitar f. 19 sampai f. 30 untuk setiap bulannya. Jenis pekerjaan sebagai tukang, baik di bengkel mesin, bengkel lori, maupun tukang bangunan dihargai lebih tinggi dibanding upah buruh kasar, karena tukang dipandang memerlukan keahlian tertentu. Tenaga ketja pribumi yang dihargai lebih tinggi lagi adalah mereka yang menduduki jabatan mandor dan wakil mandor di pabrik gula. Mereka itu biasanya mendapat
270
imbalan f. 1, 5 sampai f. 2, 5 setiap hari kerja atau sekitar f. 45 sampai f. 75 setiap bulan (Tijdschrift voor Binnenlandsch Bestuur, VIII, 1900). Berdasarkan upah yang diberikan oleh perusahaan sebagai imbalan bagi para pekerja di pabrik gula, dapat manjadi pendorong yang sangat menentukan bagi pergeseran ketenagakerjaan. Hal ini ditandai dengan semakin membengkaknya jumlah buruh bebas yang memasuki pasaran kerja atas kemauan sendiri. 2) Proses Perluasan Ekonomi Uang Pada awal pelaksanaan sistem tanam paksa, kehidupan perekonomian penduduk pedesaan masih belum terbuka. Masyarakat pedesaan begitu terbelenggu oleh ikatan tradisional, baik ikatan desa maupun ikatan feodal. Pemerintah kolonial sangat menyadari begitu kuatnya kedua jenis ikatan itu, yang justru sangat bermanfaat bagi pelaksanaan sistem tanam paksa. Atas dasar pertimbangan itu, maka kebijakan kolonial dalam bentuk sistem tanam paksa disandarkan pada kelembagaan tradisional yang telah lama ada (Kartodirdjo, 1988: 318). Hal ini menunjukkan indikasi kuat, bahwa pihak kolonial telah memprediksi pengaruhnya tidak mungkin dapat secara cepat meresap kedalam mayarakat pedesaan (Kolff, 1974: 35). Secara berangsur-angsur pengaruh perekonomian kolonial mampu menyentuh kehidupan penduduk yang diawli dengan timbulnya ketegangan-ketegangan ekonomi dalam masyarakat. Kondisi semacam itu terjadi, karena penduduk di daerah pedesaan terpaksa harus mempertahankan keseimbangan diantara dua tuntutan yang berbeda, yaitu tuntutan dari dalam dan tuntutan yang datang dari luar. Ditinjau dari segi sosial ekonomi, sudah sejak zaman kerajaan, penduduk di daerah pedesaan bukan saja sebagai sumber tenaga keija {fund of power), tetapi juga merupakan pelaku ekonomi {economic
U S agent). Sebagai pelaku ekonomi, posisi mereka sangat menentu^afi' A
«C.
>1 terlaksananya
swasembada pangan. Seperti dinyatakan oleh Wolf( 1985: 19), Bagi para petani, tanah merupakan suatu unit ekonomi. Dengan demikian, penduduk di samping sebagai unit produksi yang terdiri dari sekian banyak tangan, juga sebagai unit konsumsi yang terdiri dari sekian banyak mulut. Unit itu tentu tidak sekedar memberi makan kepada anggota-anggotanya, tetapi juga dituntut harus memberi banyak pelayanan. Ketika penggunaan tenaga kerja paksa dalam sektor perkebunan dinilai tidak lagi efektif, maka mulai terbuka lapangan kerja upahan bagi penduduk pedesaan. Pada awalnya kesempatan kerja sebagai buruh upahan yang tersedia adalah buruh sebagai penarik pedati, pengangkut kayu bakar, dan pekerja kasar di pabrik gula sebagai kuli (Niel, 1992: 14). Permintaan buruh bebas dengan bayaran tertentu, baru timbul ketika perkebunan semakin diperluas dan pabrik-pabrik tempat pemrosesan hasil semakin banyak didirikan. Hal ini berakibat semakin banyak pula tenaga keija yang diperlukan. Sementara itu tenaga gugur gunung yang direkrut melalui kerja wajib tidak mungkin dapat memenuhi untuk semua jenis pekerjaan. Tenaga kerja paksa yang digunakan untuk membangun jalan sudah tidak mungkin lagi digunakan untuk pekeijaan perkebunan dan kerja pabrik, maupun penyelenggaraan angkutan secara efektif. Hal itu mengisyaratkan, penggunaan tenaga buruh upahan dipandang sebagai alternatif yang dipandang tepat (Burger, 1962: 83). Sejalan dengan perkembangan yang tengah berlangsung, maka pembayaran upah penanaman (plantloon) yang diberikan sesudah penyerahkan hasil penanaman wajib, juga dipandang sebagai sistem penukaran tenaga kerja dengan uang sebagai imbalan kerja yang telah dilakukan. Hal ini oleh banyak kalangan juga dianggap sebagai salah satu faktor yang ikut menentukan proses perubahan ke arah pembebasan tenaga kerja dari ikatan kerja paksa mengarah kepada sistem kontrak keija yang berdasarkan pada
272
upah (Burger, 1962: 83). Dengan demikian, maka kerja bebas semakin dipandang sebagai suatu hal yang biasa. Dalam kondisi demikian, tekanan yang berasal dari penguasa tradisional tidak lagi merupakan dorongan bagi penduduk desa untuk melakukan ketja wajib. Bagi mereka, bekerja di perkebunan tebu atau pabrik gula bertujuan untuk mendapatkan imbalan berupa uang. Dari sini tampak jelas, bahwa perangsang uang sangat penting artinya untuk menggerakkan tenaga kerja penduduk di pedesaan (EIson, 1988: 77). Keadaan seperti itu terus berkembang, sehingga pada tahun 1900 hubungan kerja antara penduduk dengan pihak pengusaha menuju sistem yang benar-benar bebas. Dalam sistem kerja bebas itu, tenaga ketja yang digunakan terdiri dari buruh harian yang dikenai 10 jam kerja, sejak pukul 07.00 sampai 18.00 (Levert, 1934: 136). Dalam kenyataannya, lapangan kerja yang tersedia di perkebunan tebu maupun pabrik gula tidak sebanding dengan jumlah pencari keija. Hal ini dapat terjadi karena perkembangan jumlah penduduk yang pesat tidak dapat mengandalkan hidup pada lapangan kerja pertanian. Sebagai akibatnya, para pencari keija yang terus meningkat dihadapkan pada lapangan kerja yang terbatas, sehingga tidak dapat lagi menampung tuntutan pemenuhan tenaga kerja secara layak. Kondisi seperti ini menempatkan penduduk pada posisi yang semakin bergantung kepada pihak kolonial (Kolff, 1986: 209-210). Jika ternyata jumlah pencari kerja lebih besar dari jumlah tenaga keija yang diperlukan, maka hal itu dapat membawa dampak negatif. Di antaranya adalah munculnya para agen tenaga keija (broker) yang kedudukannya menjadi semakin kuat. Gejala seperti itu dipandang sebagai gambaran umum yang mewarnai masyarakat ketika mereka dihadapkan pada lapangan kerja terbatas yang tidak seimbang dengan pecari kerja yang melimpah. Dalam kaitan ini Boeke (1983: 98) menyatakan, bahwa:
273
Kedudukan para agen buruh tenaga keija {broker) menjadi semakin sentral dan penting, mengingat para pencari keija tidak dapat berhubungan langsung dengan para majikan. Celakanya para agen tersebut secara sosial-ekonomi tidak dapat menjembatani hubungan dua pihak itu. Para pencari kerja terdiri dari penduduk yang tidak berpendidikan, sehingga mereka mau menerima upah yang rendah, sedangkan kedudukan istimewa justru diberikan kepada para agen itu. Dalam kondisi seperti itu, para pencari keija tidak banyak dilindungi hakhaknya. Meskipun pekerjaan yang diperoleh atas dasar kontrak, namun kontrak yang ada tidak dapat membela mereka dari kekuatan yang jauh lebih besar. Para pekerja tidak berdaya menghadapi para broker maupun para pengusaha. Dengan demikian, sistem kerja bebas yang secara teoretis mestinya sangat menguntungkan penduduk, tetapi dalam kenyataannya kebebasan berusaha sebagai cita-cita sosial ekonomi justru semakin meningkatkan eksploitasi kapitalis (Furnivall, 1944; 225-226). Melimpahnya pencari kerja yang tidak sebanding dengan lapangan kerja yang tersedia, juga merupakan kasus yang terjadi di Banyumas. Sebagai bukti, dalam tahun 1895-1900 jumlah pencari kerja tercatat sekitar 46.960 orang. Dari jumlah sebesar itu ternyata tidak semuanya dapat diserap sebagai buruh, baik di perkebunan tebu maupun pabrik gula. Pada sektor perkebunan tebu hanya dapat menampung tenaga keija sekitar 9.505 orang atau 18, 6 %. Sementara itu untuk pabrik gula pada periode itu hanya dapat mempekerjakan sekitar 10. 565 orang tenaga keija atau sekitar 20, 7 % saja (Fernando, 1991: 159). Dengan demikian sekitar 60 % pencari kerja tidak dapat ditampung, baik di perkebunan tebu maupun di pabrik gula sebagai buruh upahan. Dalam proses interaksi antara para pemcari kerja dengan pihak kolonial yang diwakili oleh para pengusaha tidak jarang terjadi benturan-benturan. Munculnya benturan tersebut, merupakan suatu cerminan dari adanya perbedaan antara dua kepentingan yang tidak dapat dicari jalan keluarnya. Di satu sisi kepentingan penduduk
274
untuk bertahan hidup secara layak dan di sisi yang lain kepentingan para pemilik modal yang berusaha untuk mendapat keuntungan secara maksimal. Dua alternatif yang harus dipilih adalah tetap hidup sebagai petani yang serba kekurangan, atau bekerja di perkebunan dengan resiko upah rendah dan sebagai korban eksploitasi. Kondisi demikian, menempatkan penduduk pedesaan dalam pilihan yang serba sulit. Akan tetapi secara berangsur-angsur penduduk berhasil memperoleh keseimbangan. Cara yang ditempuh adalah dengan penghematan dan penyesuaian ke bawah, sehingga mereka berada pada batas kebutuhan hidup minimumnya (Vries, 1972: 17). Penduduk yang tidak tertampung sebagai buruh di perkebunan tebu atau pabrik gula berusaha mencari alternatif lain. Mereka berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dari berbagai sumber lapangan kerja yang dapat menghasilkan uang. Bagi penduduk nilai uang menjadi sangat penting artinya, mengingat adanya tuntutan pembayaran pajak, pungutan dan pemenuhan berbagai kebutuhan lainnya yang diukur dengan uang. Sektor kerajinan dan jasa tidak lepas dari sasaran alternatif yang banyak dipilih oleh penduduk. Jenis kerajinan yang ditekuni diantaranya, pembuatan minyak kelapa, gula kelapa, aneka makanan ringan, dan barang-barang lain yang dibuat untuk kebutuhan pasar lokal. Kemudian sektor jasa yang berupa pelayanan transportasi tradisional, seperti angkutan dokar yang ditarik dengan kuda dan gerobag yang ditarik dengan kuda atau lembu juga merupakan lapangan kerja yang penting. Pada umumnya mereka mendapatkan penghasilan sekitas 28 sen sampai 35 sen setiap hari. Lapangan kerja yang khusus dikerjakann oleh kaum wanita juga mulai mendapat perhatian, seperti kerajinan tenun, batik, dan pedagang kecil (Femando, 1991:165). Pada umumnya sektor kerajinan dan usaha kecil itu mengalami kesulitan untuk berkembang, mengingat sangat terbatasnya modal usaha. Jika usaha itu menggunakan
275
modal kecil, maka pendapatan yang diperoleh juga kecil. Sebagian besar waktunya digunakan untuk mempertahankan hidup dengan menggantungkan diri pada usaha dan kerja keras. Sementara itu antara tahun 1885-1890, penduduk mengalami masa-masa yang sangat sulit. Hal ini merupakan dampak dari krisis yang dialami para pengusaha perkebunan sebagai akibat penyakit sereh yang menyerang tanaman tebu. Sebagai akibatnya, para pengusaha mengalami banyak kerugian, karena produksi yang dihasilkan sangat menurun. Sementara itu mereka tetap harus menanggung biaya produksi yang sangat tinggi. Seperti diketahui sewa tanah harus dibayar pada waktu itu f. 42, 48 per bau, sedangkan para petani hanya memperoleh f. 25 per bau untuk upah penanaman tebu di lahan mereka. Dampak langsung dari kondisi seperti itu tenyata menimpa para pekerja. Banyak pekerja perkebunan dan pabrik yang terpaksa kehilangan pekerjaannya, sehingga berakibat sangat fatal bagi perekonomian penduduk (Furnivall, 1944: 24). Dalam kondisi demikian, sektor kerajinan dipandang oleh penduduk sebagai alternatif utama untuk mempertahankan hidup mereka. Antara 1895-1900, penduduk di sekitar perkebunan beralih pada sektor kerajinan. Untuk membuktikan hal itu dapat dicermati tabel berikut: Tabel 4.29 Jenis Pekerjaan Penduduk di Banyummas Tahun 1900 No.
Pekerjaan
Jumlah
Persentase(%)
1.
Sektor kerajinan
25.905
58,2
2.
Jasa transportasi
985
1,9
3.
Buruh perkebunan
9.505
18,6
4.
Buruh pabrik gula
10.565
20,7
Sumber: Feraando, M.R., 1991,"Javanese Peasants and By-Employment at the Turn of the Century", dalam Observing Change in Asia, Conford, Beathurst, hal. 165.
276
Dalam tahun 1900, beberapa usaha kerajinan mulai mengalami perkembangan. Tenaga keija yang direkrut terutama adalah penduduk desa yang bekerja sebagai buruh upahan. Sektor lerajinan tenun yang pada umumnya dikerjakan oleh buruh wanita dikembangkan dalam skala yang cukup besar untuk keperluan perdagangan. Sektor ini dapat menampung tenaga kerja sekitar 6.000 orang yang bekerja secara part time. Bekerja sebagai buruh pada kerajinan tenun, rata-rata penghasilan mereka sekitar 10 sen sampai 15 sen setiap hari kerja (Fernando, 1991: 168). Sektor kerajinan batik di Banyumas juga merupakan lapangan kerja yang cukup populer. Tidak kurang dari 5.000 orang bekerja secara part time selama tahun 1900. Upah yang mereka peroleh berkisar antara 5 sen sampai 15 sen untuk setiap hari. Pada umumnya mereka bekeija untuk para pedagang dan pemilik modal, baik Cina maupun penduduk pribumi (Fernando, 1991: 168). Pada umumnya pekerjaan di sektor kerajinan bagi penduduk hanya bersifat sekunder. Hal ini berarti hanya untuk menambah pendapatan keluarga di luar usaha pertanian mereka. Dengan demikian bekerja atau berdagang hanya untuk sementara waktu selama tidak ada pekerjaan di sawah (Vries, 19782: 68-69). Kerajinan rumah tangga, yang berupa pembuatan minyak kelapa di daerah Banyumas juga berkembang dengan melibatkan sekitar 600 keluarga, sedangkan minyak kacang ditekuni oleh sekitar 3.000 keluarga. Gula kelapa juga dikembangkan sebagai usaha kerajinan keluarga yang dikerjakan oleh penduduk pedsesaan di Karesidenan Banyumas. Tidak kurang dari 400 keluarga menekuni kerajinan rumah tangga ini. Pembuatan gula aren juga dikenal di berbagai tempat di Karesidenan Banyumas. Tercatat sekitar 300 keluarga bekeija sebagai pengrajin gula aren secara tetap. Bentuk kerajinan lain yang dikerjakan oleh penduduk pedesaan adalah bermacam-macam
277
makanan ringan yang terbuat dari singkong, tempe, dan kerupuk yang dihasilkan dalam skala yang lebih kecil (Fernando, 1991: 163). Perlu pula dikemukakan di sini, bahwa perkembangan sektor kerajinan di pedesaan Banyumas semakin diperkaya dengan tampilnya wanita dalam kegiatan ekonomi, baik sebagai pengrajin, buruh kerajinan, maupun sebagai pedagang kecil. Hal ini telah membuka jalan bagi perekembangan berikutnya. Tenaga keluarga digunakan untuk mengorganisasikan produksi rumah tangga dan hasil panen dengan menggunakan modal yang kecil (Fernando, 1991: 169). Suasana penduduk pedesaan di Karesidenan Banyumas pada kurun waktu 1900, telah diwarnai oleh kegiatan ekonomi uang. Setiap orang (biasanya wanita) dapat membawa hasil tanaman dan kerajinan mereka di pasarpasar desa untuk mendapatkan beberapa sen. Setiap desa memiliki pasar yang membuka kegiatannya sekali dalam sepekan. Sementara itu para pedagang kecil yang terdiri dari para wanita, menjual barang dagangannya di warung atau pasar lokal untuk mendapatkan sedikit keuntungan. Lain halnya dengan para petani kaya, pada umumnya memiliki kebiasaan untuk menjual hasil panen palawija, seperti kacang tanah, kelapa, tembakau, dan buah-buahan untuk mendapat uang beberapa ratus sen. Hasil pertanian dan kebun tradisional seperti beras, singkong, dan palawija biasanya ditampung oleh para tengkulak di pasar lokal, yang selanjutnya sebagai barang komoditi antar wilayah di Karesidenan Banyumas dan sekitarnya. Di samping itu, hasil hutan seperti bambu, kayu, dan rotan, biasanya diolah menjadi barang kerajinan dan perabotan rumah tangga, yang juga merupakan barang dagangan di pasar-pasar lokal (Ferrnando, 1991: 163). Gejala semacam itu menunjukkan kemampuan para petani menggeser aktivitas perekonomian tradisional yang tertutup dan berbasis pada lahan pertanian kepada sistem
278
ekonomi uang yang lebih terbuka. Hal semacam itu dapat terjadi, karena adanya tekanan dari dalam, berupa dorongan yang kuat di antara petani secara individual untuk menjamin kebutuhan keluarganya. Dalam kenyataannya, kegiatan ekonomi dalam bentuk usaha tani yang dilakukannya tidak dapat mencukupi kebutuhan. Perkembangan sektor kerajinan, pedagang kecil, dan jasa pelayanan di lingkungan masyarakat pedesaan merupakan bukti, bahwa sistem kapitalis telah menembus kedalam sistem ekonomi petani (Hayami & Kikuichi, 1987: 20-21). Menjelang akhir tahun 1900, di Karesidenan Banyumas muncul usaha kerajinan dalam skala yang lebih besar yang dikelola secara lebih professional. Kerajinan tenun, batik, minyak kelapa, gula kelapa dan gula aren dikerjakan oleh tenaga buruh yang bekerja secara tetap. Perkembangan ini diikuti dengan munculnya para pedagang Cina maupun pribumi yang membuka berbagai usaha di kota-kota setempat untuk menampung dan menjual berbagai hasil kerajinan itu (Fernando, 1991: 164). Penduduk yang berstatus sebagai petani numpang yang hidup tanpa lahan pertanian dan hanya mengandalkan hidup keluarganya sebagai buruh kerajinan, keadaan ekonomi mereka tergolong tidak menggembirakan. Mereka harus bertahan hidup dengan upah yang relatif rendah, sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, harus melakukan penyesuaian-penyesuaian ke bawah mengarah pada standar hidup minimum. Hal ini dilakukan agar mereka dapat menyisihkan sebagian dari pendapatan mereka. Sebagai gambaran, buruh kerajinan tenun atau batik rata-rata hanya memperoleh upah 10-15 sen sehari. Pada umumnya setiap keluarga terdiri dari 5-6 orang anggota dapat hidup dengan 8 sen sehari, sehingga mereka mempunyai sedikit uang cadangan. Dengan penghasilah itu, mereka dapat mengatur anggaran pokok rumah tangganya sebagai berikut:
279
Tabel 4.30 Anggaran Belanja Keluarga Pedesaan (Per hari Tahun 1900) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Nama Barang Kebutuhan Harga(sen) 4 Beras 1,5 kg @ 2,5 sen Minyak tanah 0,5 Bumbu dapur 0,5 1 Sayur mayur 1 Makanan tambahan Tembakau dan sirih 0,5 Minyak goreng dan kayu 0,5 bakar Jumlah 8,0 Sumber; Penders, C.L.M (ed.), 1977, Indonesia: Selected Documents on Colonialism and Nationalism 1830-1942, St. Lucia, University of Queensland Press, hal. 55. Pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari itu masih harus ditambah lagi dengan sejumlah uang untuk keperluan pembayaran pajak, pungutan-pungutan lain, maupun pengeluaran untuk keperluan sosial. Anggaran belanja untuk keperluan yang bersifat insidental, seperti penyelenggaraan pesta keluarga, pembelian pakaian, dan keparluan sosial lainnya juga menuntut dana yang tidak sedikit. Biasanya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat insidental tidak memperolehnya dengan cara menabung. Akan tetapi cara yang paling lazim dilakukan adalah dengan penjualan hasil palawija atau ternak. Bahkan jika keadaan memaksa, mereka melakukan transaksi peminjaman uang kepada pemilik modal dengan bunga tinggi (Penders, 1977: 53). Bagi penduduk yang lebih miskin, pengeluaran sehari-hari masih dapat ditekan lebih rendah lagi, dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian ke bawah. Keluarga seperti ini masih dapat bertahan hidup hanya dengan 3 sen sampai 4 sen per hari, untuk keluarga yang rata-rata anggotanya terdiri dari 4 sampai 5 orang. Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat insidental, mereka dapat bekerja sebagai buruh tani, buruh kerajinan atau pekerjaan lainnya dengan upah yang rendah. Bekerja sebagai buruh
280
tani dapat berupa melakukan pekerjaan secara tidak tetap pada musim tanam padi atau pada musim panen. Sebagai imbalan dari pekerjaan itu, mereka mendapatkan upah harian. Untuk imbalan kerja pada musim tanam biasanya mereka mendapatkan upah, sedangkan imbalan bagi hasil diperoleh jika mereka bekerja pada musim panen (Scheltema, 1985: 380). Keluarga buruh tani seperti itu terpaksa harus hidup di bawah garis kemiskinan. Keluarga yang bertahan hidup di bawah standar hidup minimal pada umumnya memprioritaskan anggaran belanja harian keluarganya sebagai berikut: Tabel 4.31 Anggaran Belanja Harian Minimum Keluarga Pedesaan Tahun 1900 No. Nama Barang Harga(sen) 1. Beras 2,5 - 3,0 2. Minyak tanah 0,24 Bumbu dapur 3. 0,24 4. Tembakau 0,24 5. Sirih 0,24 Sumber: Penders, C.L.M. (ed.), 1977, Indonesia: Selected Documents on Colonials and Nationalism, St. Lucia, University Queensland Press, hal. 56. Secara teoretis untuk melihat tingkat kemakmuran penduduk di suatu daerah dalam masyarakat agrartis, maka penghasilan mereka perlu dikonversikan dengan harga beras yang berlaku pada waktu itu. Seperti diketahui, seorang buruh kerajinan rata-rata memperoleh upah sekitar 10-15 sen per hari. Jika harga beras berkisar 2,5 sen setiap kilogram, maka rata-rata penghasilan setiap hari antara 3,2 sampai 4,6 kilogram beras. Dengan demikian, maka rata-rata penghasilam buruh kerajinan setiap tahun berkisar antara 1.152 sampai 1.728 kilogram beras. Jika rata-rata keluarga memiliki anggota 5 sampai 6 orang, maka pehghasilan rata-rata setiap orang dalam setiap tahun berkisar antara 193 sampai 230 kilogram beras. Menurut standar kehidupan penduduk di daerah pedesaan, penghasilan keluarga sebesar itu berada pada tingkat kehidupan yang miskin
281
sekali atau berada di bawah garis kemiskinan (Sajogyo, 1978: 8). Lebih jauh dinyatakan, bahwa: Mengingat beras sebagai kebutuhan primer, maka pemikiran garis kemiskinan sering diukur dengan kebutuhan beras. Cara ini digunakan berdasarkan konsep pengeluaran ekuivalen beras. Untuk rumah tangga pedesaan, penghasilan di bawah 180 kg. per orang setiap tahun tergolong miskin sekali, penghasilan antara 180-240 kg. per orang untuk setiap tahun tergolong miskin, sedangkan penghasilan 240-320 kg per orang setiap tahun termasuk kelompok cukup. Untuk dapat bertahan hidup orang desa memerlukan 10-15 kg. beras, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan pokok lainnya secara layak diperlukan 5-10 kg. beras per orang untuk setiap bulan (Sajogyo, 1978: 8). Tentu saja penduduk yang tergolong mampu, kondisi perekonomiannya relatif lebih baik. Para kuli kenceng yang bersandar hidup pada tanah pertanian yang cukup luas, atau penduduk yang bekerja sebagai buruh perkebunan tebu dan pabrik gula ternyata memiliki standar hidup yang lebih tinggi. Buruh perkebunan yang memiliki penghasilan sekitar 16 sampai 25 sen sehari, mampu menghidupi keluarganya secara layak. Jika harga beras sekitar 2,5 sen per kilogram, maka dengan upah sebesar itu dapat menghasilkan 1.683-2.880 kilogram beras dalam setahun. Jika rata-rata keluarga memiliki anggota 5-6 orang, maka setiap orang dapat dihidupi dengan penghasilan sekitar 336-536 kilogram beras dalam setahun. Dengan penghasilan sebesar itu, maka keluarga buruh perkebunan tebu termasuk kategori di atas cukup. Hal ini mengingat standar cukup adalah penghasilan 240-320 kilogram beras per orang untuk setiap tahun. Bagi para petani di daerah pedesaan yang telah memasuki sistem ekonomi uang, harus menghadapi resiko-resiko yang tidak dapat dihindarkan. Mereka tidak dapat dilindungi lagi dari ketidakpastian baru, yang disebabkan oleh perkembangan ekonomi pasar (Scott, 1976: 87). Para pengrajin, pedagang kecil, petani, dan buruh tani yang dituntut untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, tidak jarang terperangkap oleh transaksi hutang-piutang dengan para tengkulak dan rentenir Cina yang memasang
282
tinggkat bunga yang tinggi. Pada umumnya mereka menjadi korban sistem ekonomi uang, karena menerima uang panjar dan kontrak yang pada hakekatnya dipergunakan sebagai alat pengikat oleh pemilik modal untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar (Laanen, 1988: 336). Di Karesidenan Banyumas, apa yang terjadi tidak jauh berbeda dengan daerahdaerah lain. Kebutuhan akan uang bagi penduduk terutama untuk memenuhi kebutuhan pokok dirasakan sangat mendesak dan sulit diperoleh. Kebutuhan yang paling terasa adalah untuk biaya hidup, membayar pajak, memenuhi berbagai barang konsumsi, seperti pakaian, berbagai keperluan sosial yang berupa pesta keluarga dan sumbangan untuk itu. Mengingat perekonomian desa yang sempit itu, para petani tidak dapat memperoleh apa diperlukan, jika tidak memperluas jaringan hubungan dengan pemilik modal swasta. Dengan cara seperti itu, mereka dapat memperoleh uang tunai dalam waktu yang relatif singkat. Jangka waktu kredit biasanya disesuaikan dengan kebutuhan usahanya dan biasanya dihubungkan dengan masa panen. Oleh sebab itu, apabila mereka mengalami kegagalan penen, akan berakibat sangat fatal bagi kehidupan ekonomi mereka (Gelderen, 1981: 33-34). Interaksi masayarakat pedesaan semakin meluas, sejalan dengan semakin meningkatnya pergaulan kredit yang merupakan ciri umum dari sistem ekonomi uang. Perjanjian kredit dan hutang-piutang melingkupi hampir seluruh segi kehidupan usaha di daerah pedesaan. Kondisi semacam itu memberi peluang yang sangat luas bagi perkembangan jaringan peminjaman uang yang dikelola oleh perorangan, baik yang dilakukan oleh orang Cina, Arab, maupun pribumi kaya dengan bunga tinggi. Bahkan sering pula orang Belanda juga terlibat dalam kegiatan semacam itu. Hal semacam ini biasanya dilakukan melalui penyewaan tanah pertanian milik penduduk untuk keperluan
283
perkebunan. Pembayaran dilakukan berdasarkan kredit yang telah diberikan lebih dahulu atau voorschot. Pihak perkebunan tebu dan perkebunan lain selalu membayar uang sewa secara tunai. Dengan model pembayaran semacam itu, maka petani semakin tergantung kepada para pengusaha dalam rangka mendapatkan uang. Kecenderungan buruk para petani adalah selalu membelanjakan habis uang sewa itu, sebelum tanah pertaniannya dipakai oleh penyewa. Dengan demikian, mereka terpaksa membuat perjanjian sewa baru untuk tahun berikutnya (Gelderen, 1981: 33-34). Di luar sektor perkebunan, para petani di Banyumas biasa pula menyewakan tanah pertanian mereka untuk mendapatkan uang dibutuhkan. Jika dengan cara sewa belum juga memperoleh uang dalam jumlah yang cukup, maka mereka terpaksa menjual tanah itu. Pada umumnya petani yang menjadi korban lintah darat mengalami kesulitan ekonomi yang sangat serius, karena harus mengembalikan pinjamannya dengan bunga antara 100 % sampai 300 % setahun (Haar, 1950: 76). Keterlibatan penduduk pedesaan di Banyumas dalam sistem ekonomi uang berkembang
semakin jauh.
Sebenarnya sistem masyarakat
sangat
memerlukan
bimbingan yang lebih terarah untuk menyelamatkan mereka dari praktek transaksi keuangan yang merugikan. Bagi pihak kolonial, kondisi semacam itu dipandang merupakan momen yang tepat untuk membentuk suatu lembaga keuangan resmi. Atas dasar petimbangan untuk memberi bimbingan masyarakat dalam monetisasi, maka pada tahun 1895 di Karesidenan Banyumas untuk pertama kalinya dibentuk bank yang disebut Hulp-Spaar ert Landbouwcredietbank. Tokoh yang disebut-sebut memiliki gagasan itu adalah Aria Wiraatmadja, yang pada waktu itu menjabat sebagai Patih Kabupaten Purwokerto. Gagasan itu ternyata mendapat dukungan dari pejabat pemerintah kolonial setempat (Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur, XI, 1898: 9).
284
Sesuai dengan
namanya,
bank tersebut bergerak di
bidang pelayanan
peminjaman uang, tabungan dan kredit pertanian. Sebagai suatu lembaga keuangan, bank yang didirikan itu tentu saja tidak lepas dari tujuan untuk memperoleh keuntungan. Untuk mencapai tujuan itu, pihak bank menetapkan aturan bunga maksimum. Untuk para penabung diberikan bunga 6 % setahun, sedangkan pinjaman dalam bentuk uang dikenakan bunga 12 % setahun. Sementara itu pinjaman dalam bentuk barang (padi) dikenai bunga 25 % untuk jangka waktu setengah tahun (Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur, XI, 1898: 9). Mengamati aturan tentang bunga bank, ternyata bunga pinjaman pertanian terlalu tinggi. Hal ini tidak terlepas dari tujuan pembentukan bank, yaitu untuk mencari keuntungan. Dalam kenyataannya, tidak semua orang dapat menjadi nasabah, bank mengingat persyaratan tertentu yang harus dipenuhi. Dengan demikian, hanya kelompok masyarakat tertentu saja yang dapat menikmati jasa lembaga keuangan itu. Pada umumnya adalah kelompok kuli kenceng, para pejabat desa, kelompok pribumi yang menempati birokrasi kolonial, pedagang Cina, dan orang-orang Eropa (Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur, XIX, 1900: 209). Dengan kata lain dapat dinyatakan, bahwa jumlah nasabah yang terlibat dalam aktivitas bank hanya meliputi kelompok masyarakat yang terbatas. Walaupun demikian, perkembangan bank tersebut tergolong cukup baik. Hal ini dapat diamati dari meningkatnya jumlah nasabah dan semakin besarnya omset bank tersebut. Untuk peminjaman uang selama tahun 1897 telah meberi pinjaman kepada 77 orang yang berasal dari 12 desa, dengan total pinjaman sebesar f. 1.677. Setahun kemudian (1898) pinjaman uang diberikan kepada 7 orang dengan jumlah masingmasing f. 300, sedangkan 148 orang lainnya termasuk pinjaman kecil yang dibrikan
285
kepada sejumlah orang yang berasal dari 13 desa, dengan jumlah f. 2.432. Untuk tahun berikutnya (1899) uang yang dipinjamkan dapat mencapai f. 10.630, 975 yang diberikan kepada 327 nasabah {Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur, XIX, 1900: 209). Sementara itu pada tahun 1900 omset bank untuk sektor peminjaman telah mencapai f. 14.865, 26 (Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bertuur, XI, 1901: 212). Untuk jasa pelayanan tabungan, pada tahun 1899 dapat merekrut 94 orang nasabah. Jumlah tabungan mencapai mencapai sekitar f. 3.482,26. Akan tetapi untuk deposito mengalami perkembangan yang lebih lambat. Pada waktu itu baru dapat merekrut 6 orang nasabah orang Balanda dan 9 orang nasabah pribumi. Jumlah nominal deposito mencapai sebesar f. 8.038, 76, sehingga jumlah keseluruhan tabungan mencapai sebesar f. 11.521,02. Seperti diketahui untuk sektor jasa kredit pertanian, memberikan jangka waktu pinjaman selama setengah tahun, dengan bunga pinjaman sebesar 25 %. Pada tahun pertama (1898) telah dipinjamkan 620, 27 pikul kepada 18 kelompok tani, yang terdiri dari 417 orang. Kemudian pada tahun 1899 dikeluarkan 722, 50 pikul padi yang dipinjamkan kepada 17 kelompok tani. Perkembangan lebih lanjut menunjukkan yang cukup bererti. Pada tahun 1900 jumlah padi yang dipinjamkan meningkat menjadi 1.000 pikul untuk penduduk yang berasal dari beberapa desa (Tijsdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur, XIX, 1900: 212). Dengan perkembangan seperti itu maka dapat dinyatakan bahwa sistem ekonomi uang di Banyumas telah berkembang semakin luas. Kehidupan masyarakat menjadi sangat bergantung kepada mata uang, yang tidak hanya berfungsi sebagai alat tukar dan alat pembayaran. Mata uang juga telah menjadi ukuran kesejahteraan dan simbol status sosial bagi masyarakat di daerah itu.
286
3) Perubahan Struktur Sosial Pelaksanaan perkebunan secara besar-besaran dalam kerangka sistem tanam paksa dipandang mempunyai dampak terhadap terjadinya proses perubahan sosial di lingkungan masyarakat pedesaan. Lebih-lebih penyelenggaraan perkebunan tebu banyak disoroti sebagai kasus yang bersifat khusus. Banyak kalangan menilai, bahwa perkebunan tebu dipandang sebagai pendorong utama terjadinya preoses perubahan sosial dalam lingkungan masyarakat di daerah pedesaan, terutama yang berada di sekitar perkebunan. Hal ini dapat ditelusuri dari proses penggunaan lahan dan tenaga kerja yang digunakan untuk perkebunan tebu dan pabrik gula. Seperti diketahui, bahwa budidaya tebu menggunakan lahan yang berupa sawah pilihan yang memiliki sistem irigasi secara baik. Disamping itu perkebunan tebu memerlukan lingkungan yang hampir sama dengan tanaman padi, terutama yang berkaitan dengan sektor tenaga kerja. Baik penanaman padi maupun perkebunan tebu menuntut penggunaan tenaga kerja dalam jumlah besar, tetapi selalu berubah-ubah sesuai dengan keadaan musim (Mubyarto, 1991: 56).
Mengingat
penggunaan lahan yang sama antara penanaman padi dan tebu, maka keduanya menuntut pergiliran penanaman yang ketat. Pada masa tanam paksa, pihak colonial berusaha mndapatkan tanah dan tenaga kerja dengan menggunanakan tekanan kepada para kepala desa. Pada gilirannya tekanan itu juga menjangkau para petani, karena untuk mendapatkan tenaga kerja dalam jumlah yang besar, para kepala desa membebankannya kepada penduduk desa yang yang memiliki hak atas tanah pertanian. Penduduk yang dalam posisi lemah terpaksa harus membatasi penanaman padi, baik yang berupa tenaga maupun lahan pertanian yang diperlukan bagi penyelenggaraan perkebunan tebu. Hal ini sangat mengganggu perekonomian tradisional, mengingat produksi padi merupakan kebutuhan pokon bagi mereka (Breman, 1971: 46).
287
Perlu pula dikemukakan, bahwa dalam pelaksanaan sistem tanam paksa tebu ditentukan dari segi kesatuan tanah yang harus disediakan oleh setiap desa. Sistem ini bertujuan agar budidaya tebu dapat berintegrasi dengan pertanian sawah, sehingga tebu akan menjadi tanaman rakyat. Akan tetapi hal itu justru mendatangkan persoalan rumit bagi para petani, karena teijadi persaingan antara penanaman tebu dengan penanaman padi. Hal ini mengingat tanaman tebu membutuhkan waktu yang cukup panjang, sekitar 15 sampai 18 bulan sejak penyiapan lahan sampai selesai musim tebang. Semantara itu lahan pananaman tebu yang baru harus segera dipersiapkan sebelum tanaman tebu yang lama ditebang. Dengan demikian para petani hampir-hampir tidak memiliki kesempatan yang cukup untuk menanam padi di lahan sawahnya sendiri. Tentang tenaga kerja yang dibutuhkan dalam perkebunan tebu selalu berubah-ubah. Puncak penggunaan tenaga kerja paksa itu terutama pada musim tanam dan musim giling di pabrik gula (Geertz, 1971: 51). Sebagai dampak dari tekanan pihak kolonial dan warganya semacam itu, maka sistem penguasaan lahan secara tradisional juga menjadi sangat terganggu. Petani sikep yang diharuskan penyerahkan tenaga kerja paksa dan wajib penanaman tebu di lahan garapannya, merasakan beban yang sangat berat. Dengan demikian, maka dalam pelaksanaannya beban keija paksa itu dikasanakan secara bersama-sama dengan para petani numpang (Onghokham, 1984: 23). Sebagai akibatnya, terjadi proses pergeseran dalam hal penguasaan lahan di kalangan petani sikep yang secara perlahan-lahan menjurus kepada pemilikan tanah secara komunal. Pergeseran itu dikenal juga dengan proses komunalisasi. Di Banyumas tanah-tanah komunal itu disebut dengan sawah playangan, prutahan, atau sawah kuwu (Haar, 1950: 74). Kecenderungan semacam itu terjadi, karena pemilikan hak atas tanah tidak lagi dipandang sebagai hak istimewa,
288
tetapi justru dirasakan sebagai beban. Untuk menghapus perbedaan beban di antara di antara penduduk desa, maka tanah garapan yang berupa lahan sawah dibagi kembali kepada penduduk, sedangkan status tanah itu menjadi tanah komunal. Dalam proses pergeseran itu tanah pertanian dinyatakan sebagai milik desa, sedangkan pemilikan tanah secara pribadi dihapuskan. Setiap petani berhak atas tanah garapan itu, dengan keharusan melaksanakan kerja paksa (Aass, 1984: 18-19, Yasuo, 1986: 46). Kemudian dalam periode 1880-an modal swasta secara besar-besaran ditanam dalam usaha perkebunan tebu dan pabrik gula. Pada saat itu terdapat kecenderungan bagi para pengusaha untuk menjalin kontak secara langsung dengan penduduk desa dalam upaya mendapatkan lahan dan tenaga kerja. Dengan kecenderungan ini, maka unsurunsur Barat mulai maresap di pedesaan, bukan hanya secara geografis, tetapi juga secara struktural. Dengan adanya kontak langsung antara para pengusaha dengan penduduk pedesaan, maka struktur masyarakat Jawa semakin banyak dicampuri. Sebagai akibatnya secara lambat-laun muncul semangat individual dalam masyarakat. Gejala semacam ini semakin meluas, karena para pengusaha selalu mencari wilayah baru dalam rangka memperluas usahanya {Burger, 1983: 11-12). Sementara itu perluasan perkebunan, terutama perkebunan tebu dan pabrik gula swasta berdampak lebih jauh dengan tuntutan penggunaan tenag keija bayaran dan penggunaan lahan pertanian dengan menggunakan sistem kontrak. Perkembangan baru semacam itu juga berpengaruh terhadap pergeseran penguasaan lahan dari pemilikan yang bersifat komunal kearah pemilikan secara individual. Penguasaan tanah semacam itu mengarah kepada sifat pemilikan mutlak dan dapat diwariskan. Di Banyumas, tanah dengan status penguasaan semacam itu disebut yasa, cokrah, pusaka atau turunan. Bersamaan dengan proses perubahan yang sedang terjadi, secara berangsur-angsur
289
sistem pajak tanah dan pajak-pajak lainnya yang dibebankan kepada penduduk harus dibayar dalam bentuk uang (Burger, 1983: 12, Aass, 1984: 126). Kecenderungan penguasaan lahan secara individual berproses semakin cepat, karena peluang penyerahan lahan dari petani berlahan sempit kepada petani berlahan luas menjadi sangat terhuka. Pengalihan hak semacam itu biasa terjadi, mengingat para petani semakin terjebak dalam percaturan ekonomi uang. Bagi mereka, uang menjadi sangat penting artinya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (Breman, 1971:44-45, Lyon, 1984: 168). Di Karesidenan Banyumas, proses pengalihan hak atas tanah dapat melalui barbagai macam bentuk jual beli. Paling tidak, penduduk menempuh tiga macam peijajian jual beli, yaitu dengan cara penjualan lepas, jual
gadai, dan jual tahunan.
Ketiga macam jual beli tersebut menurut istilah yang berlaku dalam masyarakat Banyumas adalah ngedol dongkelan atau ngedol pias, ngedol sende, dan ngedol tahunan (Haar, 1950: 76). Penjualan lepas {ngedol dongkelan atau pias) merupakan penyerahan sebidang tanah kepada orang lain dengan pembayaran sejumlah uang yang telah disepakati, dengan syarat pengalihan hak atas tanah tersebut berpidah tangan kepada pembelinya. Kemudian jual gadai {ngedol sende) adalah penyerahan sebidang tanah dengan pembayaran sejumlah uang atau barang secara kontan, tetapi pemilik tanah masih memiliki hak atas tanah itu, jika yang bersangkutan mampu mengembalikan pembayaran yang telah diterimanya. Sementara itu, jual tahunan (ngedol tahunan) merupakan peristiwa penyerahan sebidang tanah kepada orang lain untuk jangka waktu beberapa tahun sesuai dengn perjanjian dengan pembayaran sejumlah uang. Setelah jatuh tempo tenah itu dikembalikan kepada pemilik tanah tersebut tanpa syarat apapun (Hakim, 1965:6, 20, dan 61).
290
/ Semakin banyaknya perpindahan hak atas tanah, menunjukkan adanya indikasi kuat, bahwa di lingkungan keluarga petani telah terjadi ketidakseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran. Untuk mengatasinya, tidak jarang mereka terlibat dalam transaksi peminjaman uang dengan pemilik modal perorangan yang memasang bunga tinggi. Sebagai akibatnya bukan kesimbangan yang diperoleh, tetapi kesulitan keuangan keluarga yang semakin parah. Hal semacam itu dipandang sebagai gejala tipikal dari meresapnya sistem ekonomi Barat, yang berupa kemajuan lalu lintas ekonomi uang yang melanda penduduk pedesaan. Gejala semacam itu sering disebut sebagai kekuatan jahat dari ekonomi uang (Renneft, 1974: x). Jika diamati, perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat pedesaan bersifat sangat kompleks. Pada hakekatnya perubahan dalam sektor penguasaan atas tanah pertanian sebagai sumber utama unsur ekonomi agraris, sangat mempengaruhi perubahan pada unsur-unsur lain yang ada dalam masyarakat. Hal ini mengingat, unsurunsur yang ada dalam masyarakat itu saling berkaitan satu sama lain. Dengan demikian, jika salah satu unsur mengalami perubahan maka unsur-unsur yang lain juga ikut mengalami pergeseran untuk menyesuaikan diri dengan unsur yang telah berubah lebih dulu. Dalam kaitan ini, struktur sosial dan sistem hubungan kerja sebagai bagian dari unsur organisasi sosial juga mengalami perubahan mendasar. Pengalihan hak atas tanah yang diikuti dengan munculnya kelompok petani tanpa lahan dalam jumlah besar, menempatkan para petani yang memiliki hak atas tanah berada posisi yang sangat penting. Oleh sebab itu, penentuan tenaga kerja juga mangalami pergeseran dari wewenang kepala desa menjadi tanggung jawab penguasa lahan pertanian (Temple, 1989: 86). Golongan kuli yang memegang hak atas tanah memang berperan besar dalam permintaan tenaga keija, tetapi karena tidak adanya perubahan dalam proses produksi
maka dasar keputusan tentang tenaga kerja tetap ditentukan oleh ke w a j | b | h ^ j ^ B ^ L ^ ^ * « Setiap orang berhak ambil bagian dalam proses produksi, sedangkan p U V
•
ditentukan oleh struktur sosial yang ada (Jaspan, 1961: 13). Para pemilik hak atas tanah pertanian yang pada umumnya bertindak sebagai pimpinan komunitas menjadi semakin kuat kedudukannya. Dalam lingkungan penduduk pedesaan mereka tidak lagi disebut petani sikep, tetapi menjadi kuli. Istilah kuli mengacu kepada kewajiban pemilik tanah terhadap kewajiban sosial untuk melakukan kerja bagi kepentingan desa. Di Karesidenan Banyumas, istilah kuli yang berkaitan dengan beban kerja semacam itu disebut kuli kerig. Di samping itu istilah kuli juga berkaitan erat dengan pemilik tanah pertanian yang disebut kulen (Kano, 1984: 50). Kelompok kuli semacam itu dapat menikmati sebagian besar hasil lahan pertanian yang dimilikinya, sehingga semakin mendorong tarjadinya proses konsentrasi penguasaan lahan ketangan golongan ini (Jaspan, 1961: 13). Mereka dapat dibedakan menjadi dua golongan yang dilihat dari luasnya lahan yang dimilikinya Dua golongan tersebut adalah, yang pertama disebut kuli kenceng dan yang kedua kuli kendho. Golongan pertama memiliki tanah pertanian minimal satu bau, sedangkan yang kedua memiliki lahan pertanian kurang dari ukuran itu (Tjondronegoro & Wiradi, 19084: 44-45). Apa yang terjadi di Banyumas juga menunjukkan gejala yang sama. Menurut masyarakat di daerah itu kuli kenceng lebih dikenal dengan istilah kuli gladak, kuli baku, atau kuli kuat. Sementara itu kuli kendho lebih dikenal dengan istilah kuli cilik atau kuli rempo (Haar, 1950: 74). Golongan petani tanpa lahan pertanian biasanya disebut numpang atau bujang, yang merupakan kelompok terbesar dalam masyarakat pedesaan. Mereka hidup di bawah tekanan ekonomi yang berat. Untuk mengatasi keberatan-keberatan itu, mereka biasanya menempuh jalan keluar dengan cara memasuki dunia kerja sebagai buruh
292
upahan di perkebunan tebu atau pabrik gula (Aass, 1984: 126). Kerja sebagai buruh upahan dilakukan berdasarkan sistem kontrak kerja yang besifat rasional yang didorong oleh hubungan kerja yang intensif ( Cahyono, 1991: 10). Hal ini menunjukkan, bahwa masyarakat pedesaan telah melibatkan diri dengan jaringan hubungan keija yang lebih luas. Dengan demikian, perubahan lebih jauh dari pergeseran pemilikan tanah dan perkembangan buruh upahan telah memberi dampak yang sangat luas bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat pedesaan. Pada gilirannya hal itu dapat memunculkan gejalagejala baru dalam kehidupan mereka berupa berlangsungnya proses defeodalisasi (Onghokham, 1984: 24, Suhardi, 1992: 20). Perubahan-perubahan ekonomi yang berlangsung di lingkungan penduduk pedesaan itu pada dasarnya juga merupakan emansipasi individual untuk membebaskan diri dari berbagai tekanan pihak luar. Hal ini membawa akibat semakin terurainya ikatan masyarakat tradisional. Ikatan feodal secara berangsur-angsur terlepas dari kehidupan masyarakat dan kehidupan yang bersifat individual muncul menggantikannya (Leirissa, 1985: 10-11). Masyarakat terurai menjadi kelompok-kelompok yang masih bersandar pada hak penguasaan atas tanah, yang disebut dengan struktur sosial. Struktur sosial yang berupa kelompok-kelompok status itu pada hakekatnya terbentuk berdasarkan pada penguasaan hak atas tanah pertanian. Mereka dapat dikelompokkan pada tiga golongan, yaitu: Pertama, golongan pemilik tanah sawah, rumah, dan pekarangan. Kelompok ini merupakan golongan terkemuka yang disebut dengan istilah kuli kenceng. Kedua, golongan yang memiliki rumah, sawah dan pekarangan, tetapi luas tanah sawahnya kurang dari satu bau. Mereka disebut dengan kuli setengah kenceng atau kuli kendho. Ketiga, golongan mondok atau numpang, yaitu penduduk yang memiliki rumah, tetapi
293
tidak memiliki sawah dan pekarangan sendiri. Kehidupan kelompok ini sangat tergantung kepada kuli kenceng (Scheltema, 1985: 382). Pada umumnya kelompok kuli kenceng terdiri dari para pamong desa yang mampu mempertahankan pengawasannya terhadap sebagian besar lahan pertanian (Niel, 1992: 182). Dalam rangka mempertahankan kedudukannya itu, mereka biasanya menyatakan diri sebagai cikal bakal pendiri desa atau keturunannya (Leiressa, 1985: 10). Sebagai pendiri desa atau keturunannya, di samping mereka memonopoli jabatan desa juga berhak atas tanah jabatan (bengkok) dan sudah tentu berhak pula atas kerja pelayanan dari penduduk desa. Dengan demikian kelompok ini merupakan masyarakat lapisan yang paling atas di desa itu, sedangkan penduduk lain merupakan lapisan di bawahnya (Onghokham, 1984: 24,Kroef, 1984: 160-161). Sementara itu kelompok priyayi, seperti pagawai pangreh praja tidak termasuk dalam lapisan sosial desa, meskipun ia tinggal di desa itu. Orang-orang asing juga dianggap sebagai orang luar, walaupun mereka mempunyai rumah dan halaman sendiri di desa tersebut. Kelompok orang luar lainnya adalah para pendatang baru yang sampai beberapa saat lamanya tetap dipandang sebagai orang luar desa sampai syarat yang diperlukan sebagai penduduk dapat dipenuhi (Ranneft, 1974: xiii). Seiring dengan perkembangan yang terus berlangsung, cakupan isi struktur sosial dalam lingkungan masyarakat di Banyumas menjadi semakin kompleks. Pola struktur sosial itu sebenarnya tidak berubah secara mendasar, tetapi kelompok-kelompok yang ada di dalamnya menjadi semakin bervariasi. Untuk jelasnya Ter Haar (1950: 70), mengemukakan sebagi berikut: 1) Kuli gladag atau kuli kuat, yaitu kelompok masyarakat yang mempunyai rumah, pekarangan, dan sawah dengan luas satu bau atau lebih.
294
2) Kuli cilik atau kuli rempo, merupakan kelompok masyarakat yang memiliki rumah, pekarangan, dan sawah kurang dari satu bau. 3) Lindung, yaitu penduduk yang mempunyai rumah dan pekarangan sendiri, tetapi tidak mempunyai sawah. 4) Pondok tempel, merupakan golongan masyarakat yang tanpa tanah garapan (sawah), tetapi memliki rumah sendiri yang berada di pekarangan orang lain. 5) Pondok ringku, yaitu sekelompok anggota masyarakat tanpa tanah garapan dan tanpa rumah sendiri. Mereka sekeluarga tinggal bersama kuli gladag. 6) Rayat, orang yang tinggal bersama keluarga kuli dan semua keperluan hidupnya ditanggung oleh kuli yang bersangkutan. Dari pembagian tersebut, tampak bahwa kelompok pertama dan kedua merupakan perkembangan dari golongan petani sikep. Sementara itu kelopok ketiga sampai yang keenam merupakan pecahan dari golongan petani numpang. Dalam kenyataannya, setiap kelompok status itu menangggung berbagai macam kewajiban, sesuai dengan kedudukan mereka. Kelompok kuli gladag sudah pasti memiliki paling banyak kewajiban, sekaligus merupakan penduduk desa yang paling banyak menguasai tanah pertanian. Kewajiban-kewajiban yang berlaku sampai awal abad ke-20 dapat dikelompokkan menjadi tiga. Ketiga kewajiban itu adalah: Pertama, kewajiban desa dalam arti yang sebenarnya, seperti kerjapancen, ronda, dan kerja kerigan desa. Kedua, kewajiban janggolan, berupa kewajiban kuli untuk menyerahkan sebagian hasil panen untuk kepentingan desa. Dalam kenyataannya, padi hasil janggolan itu merupakan hak kepala desa. Ketiga, kewajiban sosial berupa sambatan dan bentuk kerja gotong royong yang bertujuan membantu sesama warga desa (Ranneft, 1974: xiii).
Berdasarkan kondisi masyarakat ditinjau dari struktur sosial tersebut, maka dapat dinyatakan, bahwa intervensi kolonial dalam sektor tenaga kerja dan penggunaan lahan pertanian untuk keperluan perkebunan telah mendorong terjadinya proses pergeseran
295
struktur sosial di Banyumas. Perubahan tersebut telah melemahkan kelas sosial horizontal tradisional desa yang terbentuk berdasarkan pemilikan hak atas tanah dan solidaritas komunal (Kroef, 1984: 159). Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa struktur sosial berkaitan erat dengan hak dan kewajiban warga desa. Secara garis besar hal itu dapat dikemukakan: Pertama, kelompok penduduk desa inti. Mereka yang memiliki tanah garapan, pekarangan dan rumah. Sebagian dari kelompok ini menjabat sebagai pomong desa atau mereka yang merasa sebagai keturunan dari pendiri desa. Sebagai pamong desa, disamping memiliki lahan sendiri, mereka juga memperoleh tanah bengkok yang setiap desa luasnya bervariasi. Akan tetapi yang paling umum luas tanah jabatan itu rata-rata adalah 10 bau untuk kepada desa, 6 bau untuk carik, 2 bau untuk kepala dukuh atau wewengkon. Sementara itu untuk jabatan yang lebih rendah seperti polisi desa, kebayan, dan kayim masing-masing mendapat tanah bengkok seluas 1 bau. Kedua, kelompok penduduk desa yang memiliki kewajiban-kewajiban komunal yang terbatas. Mereka yang termasuk kelompok ini adalah petani lindung atau indung. Ketiga, golongan penduduk desa yang tidak memiliki beban kewajiban komunal. Mereka terdiri dari para petani mondok atau numpang. Kedudukan mereka sebagai petani bagi hasil atau hidup menumpang dan bekerja untuk induk semangnya (Kroef, 1984: 159). Dalam perkembangan selanjutnya, kedudukan lapisan pertama secara berangsurangsur bergeser karena tekanan jumlah penduduk dan juga tekanan-tekanan lain yang bersifat ekonomi. Mereka turun statusnya dan menempati lapisan yang ada di bawahnya, sehingga lapisan masyarakat bawah selalu bertambah besar jumlahnya. Dalam beberapa kasus muncul juga petani lindung yang memiliki sebidang tanah pertanian, tetapi tidak memiliki pekarangan. Di Karesidenan Banyumas golongan ini sering disebut dengan
296
petani gundul (Kroef, 1984: 159). Kategori terakhir yaitu mondok atau numpang merupakan merupakan kelompok yang selalu bertambah besar. Hal ini dapat terjadi karena semakinn berkembangnya proses pengalihan hak atas tanah di kalangan penduduk pedesaan. Dengan demikian struktur sosial dalam masyarakat menunjukkan bentuk piramida. Dari gambaran tersebut tampak jelas, bahwa masyarakat petani pedesaan di wilayah Banyumas tersusun secara berlapis-lapis berdasarkan atas penguasaan hak atas tanah pertanian. Dengan perkembangan sistem ekonomi uang di lingkungan masyarakat petani, maka struktur sosial yang ada tidak sepenuhnya dapat menjamin terwujudnya kesejahteraan penduduk. Ketika sistem ekonomi yang benar-benar telah berkembang dalam masyarakat dalam abad ke-20, terdapat indikasi bahwa hubungan antara kesejahteraan dengan pemilikan hak atas tanah semakin longgar. Hal ini sejalan dengan perluasan ekonomi uang di daerah pedesaan yang mendorong penduduk menekuni uasaha lain di luar usaha tani. Gejala itu dapat dibuktikan dengan semakin meningkatnya rata-rata pendapatan para pedagang dan pengrajin pribumi
yang
berada di atas para pemilik lahan dan
pamong desa (Husken & White, 1989: 22-23). 4) Keresahan Sosial Semakin berkembangnya sistem buruh bebas dan semakin meluasnya sistem ekonomi uang di derah pedesaan, bukan saja telah mengacaukan bangunan struktural masyarakat tradisional, tetapi juga telahmendesak golongan elit pribumi dalam peran yang kurang menentukan. Seiring dengan perkembangan itu, muncul individualisasi dalam masyarakat yang disebabkan oleh semakin longgarnya ikatan tradisional, baik baik yang bersifat vertikal (ikatan feodal) maupun ikatan horizontal (ikatan desa). Ikatan tersebut menjadi lemah, sehingga masyarakat primordial bergeser menjadi masyarakkat
297
yang lebih rasional (Abdullah &Leeden, 1986: 14). Deferensiasi struktural tumbuh semakin luas dengan terciptanya peran-peran baru yang muncul dan menggantikan peran-peran tradisional. Dalam kaitan ini fihak kolonial dengan kebijakannya juga dipandang memiliki peran yang cukup besar. Pemerintah kolonial secara bertahap menyelenggarakan penyempurnaan administrasi pemerintahan. Proses ini bersifat legal rasional, untuk mencapai standar birokrasi pemerintahan sesuai dengan ukuran Barat. Hal ini mengakibatkan lembaga politik tradisional semakin merosot, hanya berfungsi sebagai alat birokrasi kolonial yang tidak lagi otonom, tetapi berada di bawah kontrol penguasa kolonial sepenuhnya (Day, 1904: 159). Akibat lebih jauh dari meluasnya sistem ekonomi uang, proses defeodalisasi, dan destrukturalisasi yang paling menonjol adalah terjadinya kegoncangan-kegoncangan tata nilai dalam masyarakat pedesaan. Hal ini dapat terjadi, karena munculnya ketidakpastian masyarakat ketika menghadapi situasi yang sedang berubah. Berlakunya sistem ekonomi uang yang semakin meluas membawa dampak bagi ekonomi petani yang semakin tidak terlindungi. Bagi penduduk pedesaan, kondisi semacam itu semakin menggeser kepercayaan terhadap nilai desa dan lembaga-lembaga tradisional lainnya. Bersamaan dengan itu pula penduduk yang merasa tidak tenteram berusaha mencari pelindung baru. Melemahnya dukungan dan kesetiaan penduduk terhadap para pimpinan formal tradisional, disebabkan dukungan kelompok ini dalam proses ekonomi dan birokrasi kolonial. Walaupun demikian secara administratif desa-desa tetap tidak berubah. Kepala desa tetap merupakan figur utama yang berkuasa di desanya. Dalam banyak hal dia tampil sebagai wakil desa, meskipun tidak mesti sejalan dengan rakyatnya (Scott, 1976: 87). Sehubungan dengan itu, timbul gejala pergeseran kesetiaan penduduk pedesaan dari para pejabat tradisional kepada kelompok elit baru. Mereka adalah para ulama bebas
298
yang tidak terlibat langsung dengan jaringan birokrasi kolonial. Sebenarnya istilah ulama bebas merupakan suatu simbol dari kelompok elit agama yang semata-mata mengabdi kepada ilmu agama dan menjauhkan diri urusan politik (birokrasi kolonial). Pada umumnya mereka terdiri dari para haji dan kyai yang mempraktekan ilmunya itu melalui pondok pesantren dan pembentukan tarekat sufi (Dhofier, 1982: 55). Masyarakat memandang para ulama bebas itu layak diakui sebagai pemimpin, karena dipandang mempunyai sejumlah kualitas unggul. Dengan kelebihan yang dimilikinya itu, para elit baru juga mampu mempengaruhi secara psikis atau perilaku masyarakat di sekitarnya. Dalam kenyataannya, masyarakat pedesaan sudah tidak dapat lagi mengharapkan perlindungan dari para elit pribumi yang tergabung dalam birokrasi kolonial. Dalam batas-batas tertentu elit priyayi dan elit birokrasi pribumi bersama-sama pemerintah kolonial justru ikut merasakan kekhawatiran akan munculnya fanatisme keagamaan. Dengan demikian maka dilakukan upaya pambatasan garak (penggebirari) terhadap ulama yang ikut ambil bagian dalam kekuasaan, agar fanatisme itu dapat dihindarkan (Raff, 1989:44). Secara umum gerak ulama bebas itu juga sangat dibatasi oleh jajaran birokrasi pemerintah kolonial.
Akan tetapi, mengingat pengaruhnya yang begitu basar, maka
mereka tetap mendapat dukungan yang kuat dari lingkungan masyarakat pedesaan. Hubungan antara elit agama dengan penduduk di sekitarnya pada hakekatnya berlangsung secara timbal balik. Di satu pihak ulama memberi perlindungan dan rasa aman kepada masyarakat, sedangkan di lain pihak masyarakat memberi penghormatan dan pelayanan sosial yang dilakukan secara suka rela (Suhartono, 1991: 74). Dengan demikian pola hubungan yang dibangun di antara mereka adalah pola hubungan yang
299
bersifat patron-client. Pola hubungan semacam itu tergambar dalam perilaku kehidupan mereka sehari-hari. Berdasarkan perkembangan keadaan semacam itu, tidak mengherankan apabila kesetiaan masyarakat kepada ulama bebas yang ditempatkan sebagai pimpinan nonformal sangat mencemaskan bagi pihak kolonial. Hal semacam itu memperkuat sikap Islamophobia, yang tidak hanya ditujukan kepada elit ulama bebas yang mempunyai gelar kyai, tetapi juga kepada para jemaah haji sejak mereka pulang dari Mekkah. Kakhawatiran semacam itu juga ditujukan kepada penduduk keturunan Arab. Kelompok ini juga dipandang oleh pihak kolonial sebagai salah satu sumber bagi terjadinya kekacauan sosial dalam masyarakat (Raff, 1989: 45). Di Karesidenan Banyumas pada akhir abad ke-19 telah cukup banyak penduduk yang berhasil menunaikan ibadah haji (ANRI Banjoemas 110, 1880). Bahkan beberapa di antaranya telah dipandang memiliki status sebagai ulama oleh penduduk di sekitarnya. Istilah ulama merupakan bentuk penghormatan masyarakat kepada elit agama Islam, karena orang yang bersangkutan dipandang telah memiliki penguasaan ilmu agama yang sangat luas. Sebagai bentuk penghormatan, mereka mendapat sebutan kyai atau kyai haji dari masyarakat sekitarnya. Untuk mengetahui perkembangan elit ulama bebas di Karesidenan Banyumas dapat diamati pada tabel berikut:
300
Tabel 4.32 Jumlah Haji dan Kyai Haji di Banyumas Tahun 1880 Kabupaten
Haji
Kyai Haji
Jumlah
Banyumas
109
22
131
Cilacap
43
7
50
Purbalingga
65
18
83
Puwokerto
318
28
346
Banjarnegara
56
7
63
Jumlah
591
82
673
Sumber: ANRI Banjoemas 110, 1880, Aigemeen Veslag der Residentie Banjoemas. Kondisi demikian mengundang perhatian yang sangat serius dari pihak kolonial di daerah itu. Labih-lebih untuk wilayah Kabupaten Purwokerto yang tergolong memiliki elit gama yang paling besar. Kekhawatiran pihak kolonial itu tentu saja sangat beralasan, mengingat kemungkinan munculnya pimpinan agama kharismatik menjadi sangat mungkin di tengah-tengah keresahan masyarakat yang semakin meluas. Kharisma seorang kyai sangat menentukan tingkat kepemimpinannya, baik terhadap para pengikutnya maupun bagi masyarakat yang lebih luas. Pada umumnya kedudukan kyai sebagai pimpinan kharismatik itu, semakin kokoh karena didukung oleh pemilikan tanah yang cukup luas. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila secara ekonomi dia juga memiliki keuntungan atas tanah yang dimilikinya. Dalam konteks gerakan sosial, kelompok ulama semacam itu memiliki peran penting dalam statusnya sebagai pimpinan nonformal. Mereka dipandang sebagai tokoh yang memahami bidang keagamaan secara mendalam dan memiliki kedudukan sosial ekonomi yang sangat kuat (Willner & Willner, 1990: 183).
301
Di Karesidenan Banyumas, keresahan sosial juga telah mendorong masyarakat menumpahkan kesetiaannya kepada pimpinan agama yang berstatus sebagai ulama bebas. Hal itu dapat dipahami, mengingat masyarakat sangat memerlukan perlindungan dari situasi yang tidak menentu di bawah pimpinan yang dipandang memiliki kelebihan. Tidak heran apabila munculnya Kyai Nurhakim sebagai pimpinan Tareqat Akmaliyah yang mencapai puncaknya dalam tahun 1888-1890 didukung oleh banyak pengikut. Ditinjau dari ciri khas ajarannya, Tareqat Akmaliyah merupakan suatu tarekat khas Jawa, atau tarekat yang timbul, berkembang dan diajarkan secara khusus di lingkungan masyarakat Jawa (Steenbrink, 1984:191). Sebagai suatu gerakan, Tareqat Akmaliyah memusatkan kegiatannya di desa Pasirwetan (Purwokerto). Ditinjau dari lokasinya, desa Pasirwetan ternyata terletak di sekitar perkebunan tebu untuk pabrik gula Purwokerto. Hal ini merupakann indikasi kuat, bahwa tingkat keresahan yang dialami masyarakat sekitar perkebunan sangat tinggi, terutama yang berkaitan dengan praktek perkebunan tebu yang merugikan penduduk. Sebenarnya gerakan Tareqat Akmaliyah telah dirintis sejak tahun 1871 dan mencapai puncaknya pada tahun 1888-1890. Tujuan utama yang ingin dicapai adalah untuk mmenyelamatkan penduduk yang menjadi pengikutnya dalam suatu naungan kasultanan yang dipimpinnya (Steenbrink, 1984: 189). Dilihat dari tujuannya, gerakan Tareqat Akmaliyah yang dipimpin oleh Kyai Nurhakim dapat dikategorikan sebagai gerakan Ratu Adil. Suatu ciri dari gerakan Ratu Adil di Jawa adalah harapan akan munculnya Imam Mahdi yang akan mengalahkan Dajjal untuk kembali menegakkan kebenaran sesuai dengan hukum Islam. Gerakan yang menggunakan wahana tareqat termasuk gerakan keagamaan, karena menggunakan caracara agama untuk mencapai tujuannya. Unsur pokok dari gerakan itu adalah, adanya
302
seorang tokoh yang dipandang suci yang mengaku telah mendapat wahyu, sehingga figur pimpinannya dipandang memiliki kekuatan supranatural. Oleh sebab itu gejala menarik yang perlu dicermati adalah, gerakan semacam itu selalu bersandar kepada segisegi yang bersifat mistis dan gaib (Steenbrink, 1984: 189, Kartodirdjo, 1984: 10-17). Ciri khas dari gerakan Tareqat Akmaliyah yang dipimpin Kyai Nurhakim, di samping amalan agama, juga mengajarkan kepada para pengikutnya doa-doa tolak bala atau jampi-jampi dan rajah yang dihimpun dalam suatu primbon. Kyai Nurhakim sebagai figur yang kharismatik di lingkungannya, juga menjual jimat untuk kekebalan yang diberi nama besi kuning dan kayu Mekkah. Hal ini merupakan ciri dari gerakan tareqat di Jawa pada umumnya. Jika ditinjau dari segi jumlah, maka pengikutnya tergolong cukup besar, tercatat mencapai sekitar 490 orang pada tahun 1888. Disinyalir pada saat itu dia mempunyai pengaruh yang cukup luas, sehingga tidak jarang kalangan priyayi termasuk bupati juga datang untuk meminta nasehatnya (Steenbrink, 1984: 190). Untuk memperoleh ilmu keagamaan, perlindungan dan rasa aman, para pengikutnya diwajibkan membayar f. 3, sedangkan jimat dalam bentuk besi kuning atau kayu Mekkah dijual dengan harga f. 100. Harga sebesar ini kira-kira bernilai 3 atau 4 kali lipat gaji bulanan seorang guru pribumi pada waktu itu. Dengan demikian, tidak heran apabila Kyai Nurhakim tampil juga sebagai tokoh yang kuat secara ekonomi. Ajaran gerakan Kyai Nurhakim dengan Tareqat Akmaliyah berkaitan erat dengan segi magicoreligiovs. Hal ini dapat dibuktikan dari cara memobilisasi pengikutnya untuk melakukan aksinya. Persoalam magis dan agama serta harapan hidup yang lebih tenteram merupakan ciri yang mewarnai gerakan itu (Steenbrink, 1984: 190). Menurut pandangan para ahli antropologi, agama tidak identik dengan magis. Berangkat dari kenyataan ini, maka dapat dinyatakan, bahwa dasar agama adalah sifat ketergantungan kepada Tuhan
303
sebagai dzat yang gaib. Sementara itu, magis mempunyai sifat khas, karena manusia berusaha ingin menguasai sendiri kekuatan yang gaib itu. Secara teoretis perbedaan semacam itu dapat dipertahankan. Akan tetapi secara umum terdapat kecenderungan anggapan, bahwa magis merupakan salah satu unsur dari agama (Bali, 1970: 37-38). Ditinjau dari kepemimpinan, kedudukan elit agama dalam gerakan sosial pada abad ke19 dapat dikategorikan sebagai pimpinan tradisional kharismatik. Suatu tipe dari kepemimpinan semacam ini, figur pimpinan memiliki daya tarik dan wibawa yang luar biasa, sehingga sangat potensial untuk dapat menarik pengikut dalam jumlah besar. Konsep kekuasaan kharismatik berkaitan dengan kesaktian, sehingga pimpinan biasanya dianggap keramat, karena dikaitkan dengan kekuatan supranatural. Oleh sebab itu, unsur-unsur yang berkaitan dengan kekuasaan, kewibawaan, dan kemampuan yang dimilki oleh seorang pimpinan elit agama, dapat menunjukkan gejala yang saling mendukung dan saling memperkuat. Dengan demikian, mereka tampil sebagai tokoh yang mumpuni (serba mampu) dalam masyarakatnya (Kartono, 19873: 5-6). Hai ini sejalan dengan kepemimpinan elit agama dalam gerakan Ratu Adil yang selalu mengambil peran ganda, berdasarkan misi dan gelar yang disandangnya. Peran tersebut berkaitan dengan kedudukannya sebagai pimpinan agama dan pimpinan yang bersifat duniawi. Pada gilirannya peran ganda akan menjelma sebagai pimpinan paling tinggi, seperti Imam Mahdi, Ratu Adil, Erucakra, dan Jumadil Qubro (Kartodirdjo, 1984: 280). Pemerintah kolonial sangat khawatir terhadap segala bentuk gerakan dan ramalan tentang Imam Mahdi, Ratu Adil dan sejenisnya. Oleh sebab itu, dua hal yang sangat dilarang yang berkaitan dengan kepercayaan dan agama adalah meramal dan menjual jimat (Steenbrink, 1984:186). Bagi pihak kolonial ramalan tentang datangnya Ratu Adi! dapat mendorong penduduk pedesaan dapat memberi dukungan kepada pimpinan elit
304
agama untuk mengadakan pemberontakan. Keyakinan tentang jimat juga dikhawatirkan dapat menjadi perlengkapan senjata dalam gerakan pemberontakan itu. Dalam rangka menghadapi berbagai kemungkinan dari gerakan Akmaliyah di Banyumas, pemerintah kolonial menuntut Kyai Nurhakim ke pengadilan. Dia dituduh banyak melakukan penipuan kepada murid-muridnya yang berasal dari daerah Kebumen, Atas dasar tuduhan tersebut, maka pada tahun 1890 Pengadilan Kebumen menvonis dirinya dengan hukuman kerja paksa di Banyuwangi selama satu tahun (Steenbrink, 1984: 186). Lebih jauh Steenbrink (1984: 189-190) menyatakan, bahwa terlepas benar atau tidak, di balik tuduhan tersebut sebenarnya merupakan upaya melemahkan gerakan tersebut. Bahkan ketika Kyai Nurhakim selesai menjalankan hukuman, dia harus tinggal di kampung Kauman kota Purwokerto agar dapat dengan mudah diawasi kegiatannya. Dengan cara itu pula aktivitas Kyai Nurhakim sangat terbatas, dan popularitasnya juga semakin pudar, sehingga sesudah tahun 1900 tidak lagi didengar beritanya (Gobee & Adriaanse, 1991: 868). Tampaknya gerakan sosial keagamaan yang dipimpin oleh Kyai Nurhakim merupakan satu-satunya gerakan messianisme yang pernah terjadi di Karesidenan Banyumas. Hal ini mengingat sesudah gerakan itu dapat dihentikan oleh pihak kolonial, tidak ada lagi gerakan serupa yang muncul dalam masyarakat daerah itu. Namun demikian di lingkungan birokrasi kolonial telah berkembang begitu rupa sikap Islamophobia yang secara khusus menjadi hajiphobia. Sikap ini disebabkan oleh ketakutan yang berlebihan, yang dilampiaskan dalam bentuk pengawasan secara ketat terhadap penyelenggaraan ibadah haji. Di samping itu kegiatan penduduk yang bertitel haji juga mendapat pengawasan yang ketat pula. Dalam kaitan itu C. Snouck Hurgronje yang berkedudukan sebagai panasehat pemerintah kolonial, mengeluarkan surat khusus
305
tertanggal 14 Desenbber 1905 yang ditujukan kepada Residen Banyumas. Dalam suratnya itu dia menegaskan perlunya pengawasan secara ketat terhadap kegiatan masjid di malam hari terutama selama bulan Puasa. Seperti diketahui, selama bulan Puasa (Romadhon) kegiatan masjid pada umumnya dilakukan pada sore dan malam hari. Bagi pihak kolonial menaruh kekhawatiran, di samping adanya kemungkinan terjadinya gerakan yang menentang pemerintah, kegiatan selama bulan Ramadhan juga dianggap sebagai pemborosan (Gobee & Adriaanse, 1991: 868). Pengawasan yang ketat bukan saja ditujukan kepada aliran tareqat dan haji, dan kegiatan masjid, tetapi juga terhadap bacaan penduduk di pedesaan. Para petani yang memiliki primbon dan bacaan tradisional lainnya harus diserahkan kepada pemerintah untuk diteliti. Lebih-lebih bacaan atau primbon yang berisi kumpulan ramalan, jampijampi dan rajah harus diserahkan kepada pemerintah untuk dimusnahkan. Jenis bacaan penduduk yang dipandang paling berhaya adalah primbon yang memuat ramalan tentang datangnya Ratu Adil atau Imam Mahdi. Tidak terkecuali primbon yang memuat resepresep tentang kekebalan (Gobee &Adriaanse, 1992: 1270). Dilaksanakannya pengawasan yang ketat oleh pihak kolonial, sangat tidak memungkinkan bagi penduduk untuk melampiaskan kekecewaannya melalui jalur keagamaan. Bahkan, dapat dikatakan aktivitas para elit agama di daerah itu sesudah tahun 1900 dapat dikatakan sangat pasif. Namun demikian, gerakan yang dipimpin Kyai Nurhakim dapat dipandang sebagai manifestasi ketidakpuasan yang didorong oleh idoelogi messianistik. Gerakannya memang sangat terbatas, namun demikian hal itu dipandang sebagai indikasi kuat dari reaksi masyarakat terhadap pengaruh asing yang semakin mendalam pada awal abad ke-20. Hal ini dapat pula dijadikan bukti, bahwa
306
pengaruh kekuasaan kolonial dan perubahan sosial yang melingkupinya dipandang telah menggoyahkan kemapanan masyarakat (Suhartono, 1991: 152). Bentuk lain yang dapat dipandang sebagai pelampiasan kekecewaan penduduk terhadap pihak penguasa adalah munculnya berbagai tindak kerusuhan sosial dalam masyarakat. Di Karesidenan Banyumas, tindak kerusuhan sosial berupa perampokan harta kekayaan dan ternak milik orang-orang Cina atau pribumi yang tergolong kaya. Bagi penduduk pedesaan, orang-orang Cina maupun para pribumi kaya dipandang ikut bertanggung jawab terhadap kesengsaraan yang semakin meluas dalam masyarakat. Anggapan semacam itu telah mendorong penduduk secara individual melampiaskan ketidakpuasannya melalui jalan kekerasan. Hal ini dapat diamati dari semakin meningkatnya kasus-kasus perampokan dan perampasan di baerah Banyumas. Bagi mereka, aktivitas itu dapat juga dipandang sebagai jalan pintas untuk mengambil hakhak mereka yang telah dirampas oleh pihak lain. Untuk mengetahui maraknya tindak kekerasan yang semakin meningkat dari tahun 1840 sampai tahun 1900 di Karesidenan Banyumas dapat diamati tabel berikut: Tabel 4.33 Kasus Perampokan dan Perampasan di Karesidenan Banyumas (1840-1900) Kabupaten
1840
1850
1860
1870
1880
1890
1900
Cilacap
-
2
-
5
5
10
14
Banyumas
3
7
6
12
15
17
22
Purwokerto
7
6
9
8
10
15
23
Purbalingga
5
8
10
13
16
18
25
Banjarnegara
1
-
4
6
9
11
19
Jumlah
16
23
29
44
25
71
103
Sumber: Dihimpun dari Laporan Residen Banyumas tahun 1840 sampai 1900.
307
Keresahan sosial yang disebabkan oleh ketidakpuasan juga dilampiaskan dalam bentuk lain yang bersifat pengrusakan. Hal ini dapat diamati dari adanya aksi pembakaran perkebunan tebu yang dilakukan oleh penduduk. Walaupun aksi semacam itu dilakukan secara kecil-kecilan, namun dipandang cukup mencemaskan. Peristiwa semacam ini yang paling sering terjadi di perkebunan Klampok dan Kalireja Kabupaten Purbalingga (Pauwert, 1977: 148). Peristiwa itu terjadi, karena perlakuan pabrik dirasakan kurang adil, sehingga menimbulkan ketidakpuasan penduduk. Pabrik pada umumnya memiliki pegawai khusus yang bertugas dalam hal sewa-menyewa tanah. Dalam prakteknya, proses sewa tanah sering menimbulkan kesulitan, karena peraturan sering disalahgunakan. Sering pula para administratur pabrik terlalu mengikuti garis peraturan, sehingga perselisihan dengan penduduk tidak dapat dihindarkan. Dalam rangka mengahadapi gelombang protes seperti itu di Banyumas, pihak pemerintah kolonial biasanya tidak mengambil tindakan khusus. Dengan alasan, tindakan khusus dipandang dapat menambah biaya operasional perusahaan yang tidak sepadan dengan hasil yang diperoleh. Cara yang dipandang paling tepat dan murah adalah dengan upaya pendekatan sebagai jalan untuk membina saling pengertian antara pihak perusahaan dengan penduduk setempat. Penyelesaian semacam itu terbukti berhasil secara memuaskan di lingkungan perkebunan tebu Kalibagordan Purwokerto (Pauwert, 1977: 148). 2. Nilai-nilai yang Terkandung dalam Sejarah Perubahan Sosial di Banyumas Berdasarkan pada pemahaman fakta-fakta dalam peristiwa perubahan sosial di Banyumas maka dapat digali dan dipahami nilai-nilai yang berkaitan dengan identitas diri, nilai keagamaan, nilai integrasi sosial, nilai solidaritas sosial, dan nilai etos keija.
308
Berkaitan dengan itu, maka hasil penggalian nilai-nilai tersebut dapat dilaporkan sebagai berikut. a. Nilai Identitas diri Berbicara tentang masyarakat di daerah Banyumas sampai menjelang periode 1830, gambaran kita tertuju kepada masdyarakat yang masih diliputi oleh tradisi yang sangat kuat, yang merupakan proses penerusan nilai-nilai yang masih berorientasi pada generasi terdahulu. Prinsip kontinuitas, stabilitas, ansienitas, dan otoritas tradisi itu sendiri masih dominan dalam masyarakat. Dalam kondisi masyarakat yang tertutup seperti ini, memandang setiap pengaruh yang datang dari luar sebagai suatu ancaman. Mereka masih disatukan dalam ikatan tradisional dengan pandangannya yang bersifat konformisme, sehingga individu terkungkung dalam pola hidup yang tetap dan ketat. Dalam konteks ini tidak dikenal identitas diri dalam arti yang sebenarnya. Identitas yang dikenal hanyalah identitas lokal, seperti identitas etnis (asal-usul) yang semuanya mengarah pada bentuk ikatan dan loyalitas yang bersifat primordial
(Kartodirdjo,
1990b: 244-245). Jika demikian, untuk memahami kehidupan masyarakat Banyumas sampai pada dekade ketiga abad ke-19, perhatian tidak dapat lepas dari pemahaman tentang masyarakat petani dengan segala persoalan yang melingkupinya yang terpengaruh budaya asing. Masyarakat petani sering dipahami sebagai suatu komunitas yang utuh dan sebagai suatu kesatuan sosio-kultural yang berdiri sendiri. Dalam posisinya yang paling klasik, masyarakat petani dapat dilihat sebagai komunitas yang otonom. Di dalamnya dilengkapi dengan jaringan sistemik yang terbentuk dalam rangka memenuhi kehidupannya sendiri (Kayam, 1981: 39, Kartodirdjo, 1982: 129).
309
Untuk memahami masyarakat petani secara jelas dapat merujuk pada batasan ciri-ciri yang diungkapkan oleh Wolf (1985: 4-5) maupun Redfield (1985: 22). Keduanya sepakat pada suatu konsep, bahwa masyarakat petani adalah masyarakat yang mengandalkan kehidupannya dari hasil bercocok tanam di pedesaan. Mereka masih menggunakan teknologi pra industri yang sederhana, dalam skala kecil, dan terutama untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (subsistensi). Pada dasarnya masyarakat petani bukan komunitas yang sepenuhnya tertutup, tetapi merupakan bagian komunitas yang lebih besar, baik pusat kerajaan kota-kota, maupun desa-desa yang berkedudukan sebagai pusat orientasinya. Dengan kata lain, masyarakat petani sebenarnya menjadi bagian dari lingkungan sosio-kultural yang lebih besar sebagai orientasi bagi mereka, seperti pusat kerajaan atau kota-kota. Perkembangan semacam ini terjadi karena tuntutan yang bersifat ekonomi, baik yang datang dari luar desa maupun dari dalam komunitas mereka sendiri. Walaupun demikian, ditinjau dari segi budayanya, masyarakat petani masih tetap dipandang memiliki ciri-ciri agraris tradisional. Menurut Kayam (1981: 60), ada empat ciri khas dapat manandai budaya masyarakat petani yaitu: a) Jangkauan penyebarannya terbatas hanya pada komunitas pendukungnya, b) Merupakan refleksi dari dinamika kultur yang berjalan sangat lambat, c) Merupakan bagian dari kosmos yang bulat dan utuh, dalam arti belum terkotak-kotak dalam spesialisasi, dan d) Produk budayanya bersifat kolektif dan tercipta secara anonim. Karakteristik budaya masyarakat petani seperti lazimnya disebut sebagai tradisi kecil, yang merupakan pemaknaan dari budaya kaum jelata yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Dalam proses pewarisan nilai, budaya ini diterima apa adanya secara turun temurun tanpa pertimbangan pembaharuan dari para
310
pendukungnya yang merupakan komunitas pedesaan yang tidak terdidik (Redfield, 1982: 58). Dalam interrasinya dengan tradisi besar (tradisi agung) yang didukung oleh kelompok elit bangsawan istana sebagai pusat orientasinya, tradisi kecil dianggap sebagai budaya inferior yang selalu tergantung dan mengadopsi budaya yang dikembangkan oleh tradisi agung. Dalam kenyataannya, budaya yang dikembangkan melalui tradisi agung memiliki keunggulan-keunggulan, seperti adiluhung, rumit, canggih, dan terdidik. Dihadapan tradisi besar, budaya petani yang lahir dari tradisi kecil seolah-olah tertutup dalam kantong-kantong budaya (enclave culture) yang marginal, tanpa andil yang berarti bagi perkembangan tradisi besar. Lebih jauh, budaya petani dipandang tanpa dinamika yang berarti, yang hanya mampu menyerap dari kejahunan sebagian kecil secara sayup-sayup (remoteness) dari tradisi besar. Hal ini dapat terjadi, karena setiap terjadi kontak antara budaya petani dengan budaya agung yang elitis, selalu ditafsirkan ke dalam pemahaman lokal yang sederhana dan berskala sempit, sehingga desa-desa hanya merupakan cermin yang buram dari budaya agung istana (Kuntowijoyo, 1987:40). Berbeda dengan pandangan Redfield (1985: 57) yang lebih menekankan pada saling ketergantungan dan saling mempengruhi antara tradisi agung istana dan tradisi kecil pedesaan. Budaya petani secara konstan dan intens telah lama menjalin hubungan dengan pusat budaya agung istana sebagai acuan pemikiran dan kemajuan mereka. Demikian juga, tradisi agung telah tumbuh dan terbentuk melalui unsur-unsur tradisional, yang kemudian kembali pada masyarakat pedesaan untuk diserap, ditafsirkan, dan diinternalisasikan ke dalam budaya lokal tradisional mereka. Proses semacan itu terus- menerus berlangsung dan merupakan siklus yang saling memberi dan
311
saling menguntungkan. Hal ini sejalan dengan bentuk hubungan antara masyarakat petani dengan para bangsawan yang menganut prinsip patron-client. Bangsawan sebagai patron berkewajiban memberi perlindungan dan bimbingan, sedangkan masyarakat petani sebagai client berkewajiban tunduk mengabdi, patuh tanpa syarat, dan pasrah menerima takdirnya. Ikatan ini merupakan ikatan persahabatan yang tidak sejajar, berat sebelah dan sangat merugikan pihak yang lemah (Legg, 1983: 12, Wolf, 1985: 152-153, Murtono, 1985:321-32). Sampai tahun 1830 Banyumas masih berkedukan sebagai wilayah mancanegara kilen (barat) Kasunanan Surakarta. Berdasarkan pembagian wilayah yang mengikuti konsep lingkaran konsentris, maka pusat kerajaan diletakkan sebagai wilayah inti yang dikelilingi oleh wilayah-wilayah lain dalam bentuk lingkaran yang berlapis. Dengan demikian keraton (istana) sebagai pusat kerajaan dikelilingi oleh lapis pertama kuthagara (ibukota), lapis kedua negaragung atau negara agung (wilayah sekitar ibukota), dan lapis ketiga adalah mancanegara (daerah luar yang terdiri dari barat dan timur). Di luar wilayah itu masih ada daerah pasisiran barat dan timur (Soemardjan, 1991: 29). Berdasarkan konsep ini, maka kedudukan Banyumas sebagai client yang harus selalui memenuhi kewajiban-kewajiban tertentu terhadap istana sebagai patron. Sebagai akibat dari intervensi politik dan ekonomi kolonial yang sangat luas melalui sistem tanam paksa (1830) secara berangsur-angsur teijadi perubahan sosiokultural bagi masyarakat petani. Hubungan patron-client antara pemerintah pusat kerajaan dengan daerah-daerahnya terjadi pergeseran pula. Hal ini menyangkut juga hubungan tradisi kecil di Banyumas dengan tradisi agung kraton Surakarta sebagai orientasinya menjadi terputus. Sebagai dampaknya umum dari perkembangan ini, terjadilah kemerosotan peran politik, militer, ekonomi, bahkan sosial budaya kerajaan
312
tradisional. Secara berangsur-angsur peran itu digantikan dengan dominasi pemerintahan birokratis kolonial yang lebih modern (Larson, 1990: 15). Sebagai dampak lebih jauh dari kondisi semacam itu adalah, pengaruh kolonial semakin meluas merambah pada perubahan struktur sosial-ekonomi sebagai akibat dari masuknya sistem ekonomi modern di pedesaan. Hal semacam itu pada gilirannya juga mampu mengubah sistem kehidupan petani. Dalam situasi demikian, birokrasi tradisional diperkuat dan dimanfaatkan sebagai perpanjangan tangan pemerintah kolonial. Dalam bidang sosial budaya, kebijakan kolonial tersebut mengakibatkan terjadinya transformasi budaya yang sangat menarik untuk dicermati. Tranformasi itu berupa perubahan orientasi budaya agung yang tadinya diarahkan ke dunia luar (out-ward looking) berpaling kepada orientasi budaya ke dalam (in-ward looking). Peristiwa ini sering disebut atomisasi atau interiorisasi kebudayaan Jawa. Dengan terpusatnya kehidupan para bangsawan yang hanya pada radius keraton atau lingkungan Vorstenlanden dan kemerosotan peran politik mereka, maka sebagai kompensasinya aktivitas dan energi kreativitas ditujukan pada upaya perumitan, penghalusan, dan pencanggihan budaya agung keraton. Atomosasi budaya memaksa para bengsawan keraton berpaling pada khasanah vocabulary atau retertoir budaya yang ada di sekitar wilayah istana. Para creative minority budaya agung keraton memusatkan perhatiannya untuk mengadopsi budaya yang berasal dari tradisi kecil yang berserakan di luar tembok keraton. Namun demikian, nilai adiluhung tetap merupakan kanon yang menjadi semacam perangkat seleksi dan ukuran dalam menentukan kualitas ekspresi budaya yang pantas diadopsi bagi tradisi agung keraton (Burger, 1983: 56-58). Sementara itu secara lebih khusus, budaya masyarakat petani sebagai tradisi kecil semakin tidak dapat dikendalikan oleh nilai-nilai budaya agung, sehingga cenderung
313
mengembangkan dirinya sesuai dengan kemauan masyarakat pendukungnya. Nasib serupa juga terjadi pada lingkungan tradisi kecil di Banyumas. Pada awal abad ke-20 budaya masyarakat Banyumas telah menunjukkan bentuk dan sosoknya yang unik yang sampai sekarang menjadi ciri khas masyarakat daerah itu (Gandasubrata, 1952: 3). Hal ini dapat diamati dari perilaku budaya lokal Banyumas, terutama yang berkaitan dengan kesenian, bahasa, dan adat-istiadat, yang sederhana, lugu, dan kasar. Ketiga ciri budaya Banyumas semacam itu merupakan cerminan dari perilaku masyarakat Banyumas yang dikenal dengan sebutan blaka suta. Predikat ini melekat pada warga masyarakat Banyumas yang ditafsirkan sebagai sifat jujur, berani, dan terus terang. Hal itulah yang selalu diformulasikan melalui tindakan dan perkataan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian penampilan orang Banyumas selalu terkesan tanpa tedheng alingaling (apa adanya) dalam menjalani kehidupan ini b. Nilai Keagamaan Dalam kasus tradisi keagamaan masyarakat Jawa, hasrat untuk menjaga keseimbangan ekosistem dengan organisasi sosial itu dikenal dengan konsep kosmologis atau konsep harmonitas total. Konsep ini, baik pada tingkat mikro maupun makro bersandar pada kunci manunggaling kawula-gusti, yang pada tingkat dan dataran sosial dapat berfungsi untuk menjalin hubungan yang harmonis antara rakyat dengan pimpinan. Harmoni itu akan dapat dicapai jika seluruh anggota masyarakat maupun pimpinan memenuhi hak dan kewajibaannya masing-masing (Supajar, 1988: 27). Akan tetapi mengingat pemilikan hak dan kewajiban antara rakyat dengan pimpinan terlalu jauh, pencapaian kehidupan yang harmonis baru dapat dicapai apabila perbedaan status itu dikurangi (Geerz, 1988: 27). Seperti diketahui, antara rakyat dengan pimpinan terikat pada suatu pola hubungan yang yang tidak diperkenankan untuk saling melanggar garis
314
hirarki sosial yang resmi, yang mendasarkan diri pada kelahiran, pangkat, dan peraturan (Murtono, 1985: 19). Dalam konsep kosmologis Jawa diyakini, bahwa raja sebagai eksponen makro kosmos negara menduduki puncak hirarki kekuasaan. Raja merupakan satu-satunya perantara yang menghubungkan alam para dewa dengan alam manusia. Oleh sebab itu segala keputusan dan tindakan yanhg dilakukannya adalah cerminan kehendak dewa, sang penguasa kehidupan ini (Murtono, 1985: 42). Keyakinan tentang kedudukan raja seperti itu mendorong munculnya keyakinan tentang kultus dewa raja. Pada jaman kerajaan Islam, istilah ini bergeser menjadi ratu pinandhita, yang artinga bahwa raja memiliki kedudukan dan fungsi ganda. Di satu sisi raja menduduki puncak hirarki kekuasaan negara, di samping itu juga menduduki puncak pimpinan agama. Sehubungan dengan itu raja memiliki hak paten, yaitu sabdapandhita ratu datan kena wola-wali. Hal ini berarti apa yang dilakukan raja tidak dapat dibantah dan dipandang sebagai suatu amanat yang harus dijunjung tinggi sebagai sumber hukum (Hendro, 1986: 43). Mengenai sifat-sifat raja sebagai kekuatan supranatural termuat dalam Serat Wara Isywara, yang pada intinya menyalakkan, bahwa rahmat Allah senantiasa bersemayam di hati sultan. Dia merupakan figur yang tidak boleh ditentang karena merupakan warana (cerminan), di samping sebagai pancaraning (cahaya) Allah (Murtono, 1985: 20). Lebih jauh dinyatakan, bahwa sultan sebagai pimpinan harus memiliki empat watak utama, yaitu tanuwita, samaita, darmaita, dan saraita. Hal ini dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut Pertama, watak tanuwita, berarti pimpinan harus memiliki sifat ketuhanan dan selalu mengolah kepribadian agar memperoleh jiwa yang luhur. Kedua, watak samaita, berarti sultan sebagai pimpinan harus cinta pada kebenaran dan keadilan. Ketiga, watak darmaita, mempunyai maksud
315
bahwa sultan harus memiliki sifat bijaksana dan dapat menjembatani antara pemerintah dengan rakyatnya. Keempat, watak saraita yang berarti sultan harus dapat menjaga stabilitas dan memberi rasa aman serta perlindungan kepada seluruh anggota masyarakat di bawah kepemimpinannya (Murtono, 1985: 42). Konsep kosmologis Jawa yang besar pengaruhnya bagi pembinaan kekuasaan kerajaan Islam di tingkat pusat, ternyata besar pengaruhnya bagi pembentukan konsep legitimasi pemerintahan di tingkat lokal seperti yang dipraktekkan di Banyumas. Bagi masyarakat, bupati dipandang sebagai pimpinan
yang sangat berwibawa dan
berkharisma. Semua itu berdampak positif bagi terpeliharanya suatu keyakinan, bahwa kedudukan pimpinan adalah sacral dan harus selalu dipatuhi. Keyakinan seperti inilah yang menempatkan bupati sebagai raja kecil di daerahnya yang menjadi panutan dan tumpuan kesetiaan rakyat (Hatmosuprobo, 1995: 56 ). Hal ini berarti konsep kosmologis Jawa juga diyakini secara luas dalam masyarakat Banyumas. Pada intinya mereka meyakini bahwa bupati sebagai pimpinan tidak hanya berkedudukan sebagai pimpinan duniawi yang bersifat profan, tetapi juga sebagai pimpinan agama yang sakral. Hal ini dapat diamati dari gelar kyai yang pada umumnya digunakan oleh para bupati yang berkuasa di daerah ini (Brotodiredjo, 1969: 26). Hal ini dapat dipahami, mengingat dalam lingkungan pemeluk Islam, dikenal tiga cabang pengetahuan, yaitu fiqh (yurisprodensi), ilmu kalam (theologi), dan tassawwuf (mistisisme), yang berkembang tidak selalu bersama-sama dan dalam pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh situasi zaman dan tempat yang berbeda. Bila dicermati, sejarah perkembangan Islam di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kaum sufi yang memiliki peranan penting sejak abad ke-13. Dengan demikian, wajar apabila sejak pertama kalinya dikembangkan di Jawa, Islam telah bercorak sufistik dengan wali
316
sebagai pemegang kendali penyebaran ajaran Islam. Berdasarkan kenyataan itu maka secara jujur harus diakui, bahwa kaum sufi dan guru tarekatnya memegang peranan penting perkembangan kebudayaan Islam di tanah air (Pesantren, 1985: 4). Sebagai dampaknya pengalaman tassawwuf dalam bentuk tarekat yang mulai muncul sejar sekitar abad ke-12 berkembang dengan bermacam-macam alirannya, seperti Qodiriyah, Naqsabandiyah, Rifa'iyah, dan Sanusiyah. Sebenarnya perbedaan masing-masing aliran itu terletak pada model pengamalan zikir dan wirid, yang merupakan ciri khas pengamalan keagamaan bagi para penganutnya. Pada hakekatnya dalam setiap tarekat, fungsi guru menempati kedudukan yang sangat sentral dan dikeramatkan. Para penganut tarekat tidak mungkin melakukan amalan-amalan tanpa bimbingan seorang guru. Bahkan otoritas kharismatik para guru tarekat telah menimbulkan sikap masyarakat untuk mengagumi, karena memiliki sejumlah ilmu gaib dan kekuatan supra natural. Dengan demikian, para guru tarekat dijadikan sebagai pelindung dan tempat meminta pertolongan oleh para pengikutnya dalam manghadapi kesulitan hidup (Simuh, 1985: 77). Islam dalam coraknya yang demikian itulah yang mampu memikat hampir semua lapisan masyarakat sejak awal perkembangannya di Indonesia, termasuk di Banyumas Idiom-idiom keagamaan lama, seperti animisme, dinamisme, Hindu, dan Budha saling kait mengkait membentuk pandangan mereka tentang dunia (world view). Dengan demikian sistem keyakinan dan upacara keagamaan diwarnai dengan
kosmologi,
mithologi, dan keyakinan tahayyul (Noer, 1973: 3000, Dhofier, 1990: 7, Pesantren, 1992: 29). Kondisi keagamaan semacam itulah yang berkembang dalam masyarakat Banyumas, yang sampai saat ini di antaranya masih dapat disaksikan dalam bentuk kultus kepada para leluhur yang diwujudkan dalam berbagai upacara daur hidup dan
317
semacamnya. Perlu pula dikemukakan, bahwa dalam upacara tersebut digunakan sesaji, dan doa-doa dalam rangka permohonannya kepada Allah. Dengan demikian, ditinjau dari segi aqidah, sistem keyakinan Islam yang berkembang itu dapat dipandang telah tergelincir dalam praktek-praktek perbuatan syirik, karena menghubung-hubungkan Allah dengan mahluk-mahluk bahkan benda-benda. Dalam kenyataannya, kondisi keagamaan semacam itulah yang berkembang dan diikuti oleh sebagian besar masyarakat pedesaan di Banyumas. c. Nilai Integrasi sosial Secara tradisional, masyarakat petani pedesaan dikendalikan oleh dua ikatan penting, yaitu ikatan feodal yang bersifat vertikal dan ikatan desa yang bersifat horizontal. Melalui ikatan feodal, penduduk secara psikologis memiliki jalinan hubungan dengan kelompok elit pemegang kekuasaan yang berada di atasnya. Sementara itu ikatan desa lebih mangacu kepada rasa kebersamaan setiap anggota masyarakat, sehingga mereka merupakan masyarakat yang bersifat komunal. Kedua hal itulah yang mewarnai bentuk integrasi sosial yang berlangsung dalam masyarakat. Dalam kondisinya yang pertama, ikatan feodal telah membentuk pola hubungan antar kelompok sosial di Banyumas dalam pola hubungan yang bersifat patron-client. Hal ini dapat dideteksi dari adanya fakta-fakta, yang berkaitan dengan berkembangnya hubungan timbal balik antara petani numpang dengan petani sikep, maupun hubungan antara petani sikep dengan kelompok elit desa yang berada di atasnya (Haar, 1950: 2001-2002). Seperti diketahui, petani sikep adalah petani yang memegang hak atas tanah pertanian, sedangkan petani numpang merupakan petani tanpa lahan yang berkedudukan sebagai penggarap lahan pertanian milik para petani sikep tersebut. Sementara itu, elit
318
desa terdiri dari para pejabat desa atau penduduk setempat yang menempati birokrasi pemerintahan desa (Kuntjaraningrat, 1984: 297). Kemudian dalam kondisinya yang kedua, ikatan desa telah membentuk pola hubungan yang bersifat komunal di antara warga desa. Masyarakat petani di pedesaan secara tradisional telah mengenal dan mengembangkan sisntem masyarakat yang bersifat kekerabatan (dorpgemeenschap). Sistem masyarakat seperti ini lahir berdasarkan hubungan persekutuan antar warga masyarakat (Geertz, 1974: 127). Masyarakat kekerabatan di pedesaan itu dapat terbentuk, karena mereka merasa saling membutuhkan antara yang satu dengan warga yang lain. Terbentuknya suatu hubungan yang bersifat kekal di antara sesama warga masyarakat, bukan didasarkan pada hubungan darah (geneologis) semata-mata, tetapi lebih didorong oleh maksud-maksud yang tulus karena adat-istiadat yang berlaku. Tradisi semacam itu dapat membentuk sistem kekerabatan di antara warga masyarakat. Dengan demikian, penduduk hidup dalam kelompok yang sangat memperhatikan hak dan kepentingan bersama dan mengabaikan kepentingan yang bersifat indiviidu (Day, 1904: 20). Dari sini dapat dipahami, bahwa integrasi yang mengikat masyarakat pedesaan itu pada awalnya adalah tumbuh dan berkembangnya dorongan-dorongan yang bersifat sosial di antara mereka. Secara tradisional, desa-desa pada umumnya mempunyai organisasi yang bersifat kebersamaan untuk berbagai tujuan. Oleh sebab itu, desa-desa sebenarnya bersifat otonom, mereka memiliki pemerintahan sendiri yang meliputi seluruh daerah hukum sebagai kesatuan yang bulat. Pemerintah desa berhak mengatur rumah tangganya sendiri, mempunyai harta benda sendiri, dan memiliki kekuasaan atas tanah yang berada di wilayahnya (Kartohadikoesoemo, 1965: 43). Dari sini tampak jelas, bahwa sifat organisasi desa bukan hanya sekedar bersifat politik atau hukum semata-mata.
319
Organisasi desa lebih banyak merupakan ciri kerohkanian bagi kehidupan bersama seluruh warga desa. Hal itu dapat terjadi sebagai konsekuensi dari hubungan antara manusia dengan sesamanya dan antara manusia dengan lingkungannya (Boeke, 1971: 20). Dengan demikian, maka sangat wajar apabila desa selalu dijunjung tinggi dan selalu mendapat prioritas utama dibandingkan dengan kepentingan yang bersifat perorangan. Berdasarkan fakta-fakta yang dijumpai dapat dinyatakan, bahwa organisasi desa juga bukan merupakan persekutuan yang bersifat hukum semata-mata, tetapi lebih banyak sebagai bentuk persekutuan yang mendasari integrasi masyarakat yang bersifat sosial ekonomi dan kerohkanian. Hal ini dapat dibuktikan dari fungsi sarana desa dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan tidak selalu bersifat formal. Keterikatan masyarakat dengan lingkungan desanya yang sangat kuat terbentuk secara emosional, sehingga memunculkan kecintaan terhadap desa sebagai tempat seseorang lahir dan dibesarkan. Sejak awal zaman kolonial, organisasi pemerintahan di tingkat desa itu tetap dipertahankan. Bahkan, organisasi desa yang telah ada itu dilibatkan secara lebih intensif dalam pelaksanaan sistem tanam paksa, yang bertanggung jawab untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor. Melalui ikatan tradisional, baik ikatan feodal yang bersifat vertikal maupun ikatan desa yang bersifat horisontal, fungsi organisasi desa semakin diperkuat. Kepala desa yang dilibatkan dalam jajaran birokrasi kolonial, berkedudukan sebagai perantara antara warga desa dengan lingkungan supra desa yang lebih luas. Pada saat itu, struktur masyarakat feodal berkembang semakin kokoh, dan menempatkan kepala desa di bawah pengawasan yang ketat dari pamong praja yang berada di atasnya. Mamasuki awal abad ke-20, dampak penetrasi kolonial dalam masyarakat petani pedesaan semakin terasa. Masyarakat tradisional mangalami kegoncangan, karena nilainilai yang ada di dalamnya tengah berada dalam suasana krisis. Nilai-nilai yang berlaku
320
dari generasi ke generasi mulai disangsikan validitasnya dan banyak pula yang dipandang tidak relevan lagi dengan situasi baru. Terutama di kalangan elit masyarakat mulai terbuka cakrawala intelektual yang luas yang mengungkapkan pandangan baru tentang alternatif-alternatif bagi pola hidup mereka. Pada saat itu masyarakat mulai menyadari perlunya idealisme kebebasan, baik yang berkaitan dengan gagasan untuk bebas dari ikatan tradisi maupun gerakan liberasi yang lebih luas. Sementara itu, sistem diskriminasi yang dilembagakan dalam sistem politik kolonial yang ditandai dengan pembedaan perlakuan dan status berdasarkan warna kulit, telah menimbulkan rasa kurang harga diri. Politik kolonial yang dipraktekkan itu pada dasarnya merupakan dorongan kuat bagi terbitnya kesadaran bahwa pribumi sebenarnya adalah no body (bukan bagian dari kolonial), sehingga krisis identitas berkembang dalam masyarakat (Kartodirdjo, 1990b: 247). Sering kali krisis identitas semacam itu dilampiaskan dalam bentuk perilaku anarkhis, yang berupa gerakan sporadis sebagai perwujudan dari protes dan kekecewaan penduduk kepada elit penguasa. Berkembangnya krisis identitas dalam masyarakat pada gilirannya dapat menyadarkan mereka akan perlunya gagasan integrasi sosial yang memiliki wawasan lebih luas. Hal ini dapat terjadi, karena tumbuh dan berkembangnya persamaan senasib dan sependeritaan di antara warga masyarakat. d. Nilai Solidaritas sosial Untuk dapat memahami solidaritas kehidupan masyarakat petani akhir abad ke19, perlu dipahami masalah-masalah yang berkaitan homogenitas kepercayaan dan sentimen mereka. Hal ini mengingat pola kehidupan petani sangat berkaitan erat dengan sifat komunitas pedesaan waktu itu, persoalan-persoalan yang mencakup pola hubungan sosial yang ada. Sering pula masyarakat desa dalam periode itu dilukiskan sebagai
321
kesatuan yang mencakup kelompok-kelompok serta hubungan di antara mereka bersifat akrab, antar pribadi dan terbatas. Sikap dan kelakuan mempunyai ciri spontan, pribadi, dan kekeluargaan (familistis) yang terarah pada afeksi (persamaan emosi), dan bersifat tradisional. Ciri lain yang sangat menonjol adalah tindakan yang lebih terarah kepada kolektivitas dari pada individualistis (Kartodirdjo, 1990b: 91). Dengan demikian dapat digarisbawahi, bahwa solidaritas sosial yang berkembang dalam masyarakat petani pada waktu itu adalah solidaritas mekanik. Jika solidaritas sosial itu dikaji dari aktivitas ekonomi, maka pada umumnya petani secara tradisional menganggap bahwa produksi pertanian merupakan sarana untuk berkonsumsi. Mereka mempunyai kecenderungan memakai dan mamakan habis produksinya secara bersama-sama dalam satu keluarga (Gelderen, 1981: 19). Dengan demikian pengelolaan ekonomi dalam rumah tangga petani bukan merupakan usaha ekonomi yang sebenarnya. Secara umum para petani di pedesaan hanya mampu mengelola suatu rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidup secara sederhana, bukan mengelola sebuah usaha bisnis (Wolf, 1985: 3). Bagi masyarakat petani yang masih tradisional, gejala semacam itu hampir seragam, sehingga menjadi ciri kehidupan masyarakat petani Jawa pada umumnya. Dapat diungkap di sini, pada masa itu penduduk mempunyai ciri-ciri taraf hidup yang sangat sederhana, menu makanannya sebagian besar terdiri dari nabati dan kebutuhan akan pakaian sangat minim. Mereka itu mempunyai sifat lemah lembut, nrimo, dan mempunyai perasaan solidaritas sosial yang besar. Mereka juga sering tidak mempedulikan kesusahan dan bersikap "easy going" serta kurang rasional (Gelderen, 1981:8).
322
Bertitik tolak dari gambaran fakta tersebut dapat memberi wawasan lebih jauh, bahwa kehidupan masyarakat petani di pedesaan sangat tergantung pada dua hal pokok, yaitu kehidupan agraris dan solidaritas sosial yang kuat. Keseimbangan antara ke dua hal itu selalu dipertahankan untuk mencapai kehidupan yang tetap harmonis. Dalam kondisi demikian, dapat mencapai kehidupan yang tenteram dan romantis. Dengan kehidupan yang serba terbatas, mereka tetap berusaha menjalin hubungan yang harmonis dengan alam sekitarnya. Dengan demikian, mereka selalu dapat menjalankan pekerjaan seharihari dengan perasaan tenang (Vries, 1972: 12). Mengingat begitu besarnya ketergantungan petani pada alam, maka gangguan musim dianggap sebagai ketidakseimbangan kosmos. Menurut pandanagan mereka, gangguan gangguan musim tiu dapat terjadi karena adanya kelalaian yang dilakukan oleh masyarakat (Bertling, 1974: 9). Kenyataan seperti ini membawa dampak sosial di lingkungan masyarakat petani. Terjadilah penyerapan individu oleh masyarakat, sehingga kepentingan bersama harus diutamakan dari pada kepentingan individu. Kegiatan sosial juga ditempatkan di atas kegiatan ekonomi, bahkan prestise dipandang lebih penting dari pada keuntungan (Boeke, 1983: 22). Dengan demikian pemilikan, terhadap sarana produksi bukan untuk tujuan pribadi, tetapi lebih menonjolkan status pemiliknya. Dari sini tampak jelas bahwa nilai sosial harus lebih diutamakan dari pada nilai ekonomisnya (Gelderen, 1981: 9-10). Berdasarkan kenyataan ini, maka kegiatan perekonomian pedesaan tidak semata-mata diikuti oleh dorongan-dorongan yang bersifat pribadi.
Pengaruh timbal-balik antara individu
dengan
kelompok atau antara
perseorangan dengan kelompoknya lebih mewarnai kehidupan mereka sehari-hari (Vries, 1972: 12).
3
Kegiatan perekonomian desa, di samping kegiatan produ^sifj^i^n'.^^^" metoda pengolahan tanah yang bersifat tradisional demi tercapai pangan, juga selalu berusaha menjaga keseimbangan antara faktor produksi dan faktor konsumsi. Keseimbanagn itu menyangkut standar hidup yang telah menjadi kebiasaan. Sebagian anggota masyarakat menganggap, bahwa pola keseimbangan itu harus tetap dipertahankan. Demikian pula mengenai tanah yang tersedia dan jumlah warga masyarakat yang harus hidup, bukan merupakan suatu jumlah yang dapat dinaikkan secara sembarangan. Pada umumnya semua warga desa menyadari hal iitu, sehingga keseimbangan hidup tetap terkendali. Dengan demikian, keseimbangan antara jumlah penduduk dengan sumber-sumber ekonomi yang ada selalu dapat dipertahankan (Boeke, 1983: 24). Desa-desa memang dapat menentukan batas-batas wilayahnya, tetapi untuk kepentingan yang bersifat ekonomi mereka tidak menggunakan tanah pertanian yang lebih luas dari yang dibutuhkan (Boeke, 1971: 16). Jika solidaritas itu dikaji secara sosial, maka perhatian dapat difokuskan pada terbentuknya lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan. Sampai akhir abad ke-19 di lingkungan penduduk pedesaan Jawa masih dikembangkan bentuk masyarakat yang bersifat kekerabatan (dorpsgemeenschap). Bentuk kekerabatan semacam ini merupakan organisasi kemasyarakatan yang timbul dengan sendirinya, yang lahir berdasarkan pada sistem hubungan yang bersifat peresekutuan antar warga (Geertz,
1971: 61).
Persekutuan itu dapat teijadi karena mereka merasa saling membutuhkan, didorong oleh maksud-maksud yang tulus karena adat-istiadat yang berlaku, sehingga hubungan darah (geneologis) tidak selalu menjadi dasar bagi terbentuknya solidaritas sosial. Dalam kondisi demikian, masyarakat pedesaan yang hidup dalam kelompok desa yang tidak
324
mengutamakan hak-hak pribadi, baik hak politik, sosial, maupun yang berkenaan dengan hak ekonomi (Day, 1904 : 20). Dengan demikian, desa-desa pada umumnya mempunyai organisasi desa yang bersifat kebersamaan untuk berbagai tujuan. Dari sini dapat digambarkan bahwea organisasi desa memiliki cirri kerokhanian dalam kehidupan bersama bagi seluruh warga dalam arti yang sesungguhnya. Hal ini merupakan hasil hubungan yang wajar antara manusia dengan tanah dan antara manusia dengan sesamanya. Bagi warga masyarakat, desa merupakan suatu lembaga yang selalu dijunjung tinggi. Artinya, kepentingan desa harus mendapat prioritas utama dibanding dengan kepentingan yang bersifat perorangan. Kelembagaan desa bukan merupakan bentuk persekutuan hukum semata-mata, tetapi juga sebagai bentuk persekutuan sosial ekonomi dan kerokhanian (Boeke, 1971:20). Hubungan antar sesama warga masyarakat desa disatukan dalam ikatan desa, sehingga hal ini menandai masyarakat yang bersifat komunal. Dalam kondisi deperti ini, masyarakat agraris tradisional sering digambarkan sebagai masyarakat yang sangat statis, terutama ditinjau dari sosial-ekonomi mereka (Kartodirdjo, 1974: 6). Jika ikatan desa itu merupakan ikatan yang horizontal, maka aktivitas penduduk untuk menjalin hubungan dengan kelompok lapisan sosial di atasnya secara vertikal dikenal dengan ikatan feodal. Ikatan ini merupakan jalinan hubungan yang kolot antara kelompok pemegang kekuasaan yang berdiri di atas lingkungan desa dengan lapisan rakyat jelata (Burger, 1962: 93). Dengan bentuk ikatan vertikal tersebut, rakyat ditempatkan sebagai pihak yang mudah dieksploitasi secara politik maupun ekonomi. Hal ini dapat terjadi karena para penguasa lokal mempunyai kedudukan yang sangat istimewa di mata rakyatnya. Pada umumnya masyarakat memandang kelompok elit bukan orang kebanyakan. Mereka
325
memiliki kewibawaan dan kharisma, sehingga perlu dihormati. Dalam kenyataannya kelompok elit selalu menjaga jarak dengan masyarakat sekitarnya. Kehidupan kelompok elit itu terpisah dari kehidupan rakyat, tidak hanya karena perbedaan kedudukan politik, tetapi juga karena perbedaan status sosialnya (Kartodirdjo, 1974: 6). Dalam kondisi demikian struktur sosial dalam masyarakat selalu mempunyai kaitan yang sangat erat dengan prisip hubungan dua pihak (dyadic) yang tidak sejajar. Hubungan itu lebih cenderung bersifat patron-client (Benda, 1962: 122). Sebagai client, rakyat di samping berkewajiban membayar pajak, mereka juga bertanggungjawab terhadap kerja pelayanan kepada patron mereka (Hugenholtz, 1986: 170). Dengan demikian nilai-nilai kebersamaan yang berkembang dalam masyarakat pedesaan di Banyumas memiliki dua ciri, yaitu kebersamaan vertikal dan kebersamaan horizontal. Kebersamaan vertikal berlangsung dalam masyarakat dengan tetap memperhatikan perbedaan status sosial. Sementara itu kebersamaan horizontal lebih berorientasi pada kesederajatan di antara penduduk. Kondisi semacam itu dewasa ini masih mewarnai bentuk solidaritas dalam masyarakat di wilayah itu, walaupun paham demokrasi telah lama dikenal dalam percaturan politik pemerintahan. e. Nilai Etos kerja Secara tradisional masyarakat petani di Banyumas memiliki etos kerja yang khas. Mereka bukan saja dikenal sebagai pekerja keras, tetapi mereka memandang kerja itu sendiri tidak hanya berkaitan dengan kewajiban yang harus dilakukan. Dengan demikian keija juga memiliki makna sosial yang sangat kompleks. Bagi mereka, hakekat kerja tidak dilihat dari nilai ekonomi, tetapi lebih ditekankan pada nilai sosialnya, bentuk pengabdian penduduk kepada atasannya maupun sebagai bentuk tanggung jawab manusia terhadap lingkungannya. Hal ini berdasarkan pandangan, bahwa hidup ini harus
326
disyukuri yang tercermin dalam nilai budaya, yang berorientasi secara vertikal dan horisontal. Orientasi vertikal memberi penekanan, bahwa pengabdian kepada Tuhan dan para pemimpin merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dengan penuh keikhlasan. Sementara orientasi horisontal merujuk pada pandangan, bahwa manusia memiliki tanggungg jawab terhadap sesamanya (Kuntjaraningrat, 1992: 69). Nilai budaya semacam itu sangat berpengaruh terhadap perkembangan etos kerja bagi masyarakat tradisional, yang memandang nilai kerja sebagai sarana pengabdian kepada atasan dan tanggung jawab terhadap lingkungannya. Seperti diketahui, desa-desa sejak awal perkembangannya bukan hanya sebagai basis ekonomi negara, tetapi juga sebagai sumber tenaga kerja. Para petani di samping memiliki kewajiban menyerahkan sebagian dari hasil pertanian kepada penguasa, juga bertanggung jawab terhadap berbagai macam bentuk kerja (Burger, 1962: 97, Hayami &Kikuichi, 1987: 12). Dengan demikian, maka daerah pedesaan yang memiliki tanah pertanian subur dan padat penduduknya merupakan daerah yang sangat potensial dan nilai yang sangat tinggi, baik secara ekonomi maupun ditinjau dari sektor tenaga keija. Dalam kaitan ini Breman ( 1986: 13) menyatakan, bahwa bagi pemerintah kerajaan penduduk berfungsi untuk penyerahan hasil pertanian sebagai pajak, melaksanakan keija rodi, dan juga wajib militer. Berdasakan fakta-faka semacam itu dapat digarisbawahi, bahwa mansyarakat pedesaan secara tradisional telah mengenal berbagai bentuk kerja wajib (rodi). Berbagai bentuk kerja yang dirasakan sebagai suatu kewajiban itu dapat dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu: 1) Keija sebagai pajak, untuk kepentingan para kepala masyarakat agar dapat menanami bidang tanah garapan. 2) Kerja untuk kepentingan umum, yaitu kerja bersama dengan anggota masyarakat lainnya untuk kepentingan bersama. 3) Keija untuk
327
kepentingan perorangan, yaitu bentuk keija untuk balas jasa atau harapan untuk memperoleh imbalan tertentu bila saatnya tiba
(Vink, 1984: 87) Berdasarkan
pemahaman tersebut, maka daerah Banyumas sangat penting artinya bagi pemerintah kerajaan ditinjau dari segi ketenagakeijaan. Kepadatan penduduk yang cukup tinggi di daerah ini merupakan hal sangat menguntungkan, karena merupakan pemasok tenaga kerja wajib untuk kepentingan umum yang sangat diperlukan bagi pemerintah kerajaan. Sebagai bukti, pada masa akhir kekuasaan Surakarta (1830), dari Banyumas telah berhasil dikerahkan tidak kurang dari 2.600 orang untuk melakukan keija rodi bagi kepentingan istana (Hugenholtz, 1986:170). Dalam pelaksanaannya, kewajiban kerja bagi para petani sangat berkait erat dengan kepemilikan atas bidang tanah pertanian. Pada masa itu, istilah hak atas tanah itu mengacu pada suatu konsep yang belum mengarah pada kepemilikan yang bersifat mutlak dalam arti modern. Tentu saja tidak semua penduduk desa yang dapat memiliki hak atas tanah pertanian, karena ada persyaratan adat yang berlaku dalam masyarakat desa yang bersangkutan. Untuk persyaratan yang paling umum, sebagai pemegang hak itu adalah orang tersebut berasal dari pendiri desa atau keturunannya. Mereka dapat menggarap sendiri tanah itu, atau setidak-tidaknya berminat untuk menggarapnya. Hak atas tanah semacam ini dapat diwariskan. Apabila pewaris yang syah masih terlalu muda, maka harus menunggu sampai ahli waris itu dianggap dewasa atau sudah berumah tangga. Sebagai konsekuensi dari pemilikan atas tanah pertanian itu adalah keija wajib. Jika pemilik hak atas tanah itu tidak mampu melaksanakan kewajiban itu, maka, maka hak pemilikan itu dapat dicabut. Status pemilikan itu juga dianggap tidak berlaku lagi apabila pemiliknya meninggalkan desa tanpa menyatakan apa yang harus dilakukan terhadap tanahnya itu dan tidak ada seorangpun ahli warisnya yang memenuhi
328
syarat. Penanganan kasus semacam itu sepenuhnya diserahkan kepada kepala desa atau para pejabat desa yang bersangkutan (Kano, 1984: 47). Dalam lingkungan masyarakat agraris, pemilikan hak atas tanah merupakan faktor yang sangat menentukan bagi kedudukannya dalam masyarakat. Dengan demikian pemilikan hak atas tanah itu mempunyai fungsi yang bersifat ganda. Hal ini dapat dipahami, mengingat tanah pertanian merupakan sumber ekonomi sekaligus juga sebagai simbol status sosial (Stevenhagen, 1975: 65). Dalam kenyataannya, pemegang hak atas tanah pertanian atau petani sikep itu tidak menggarap sendiri semua tanahnya. Sebagian dari tanah garapan miliknya dibagi-bagi kepada para petani penggarap, dengan harapan memperoleh keuntungan yang bersifat timbal balik (Benda, 1962: 122). Di seluruh wilayah kekuasaan Mataram, pemegang hak atas tanah pertanian tegolong sebagai kelompok elit. Pada umumnya mereka juga membagikan tanah pertaniannya kepada para petani penggarap. Cara semacam itu berpengaruh besar bagi hubungan sosial mereka. Dengan cara ini, kelompok elit masyarakat dapat memperluas jaringan pengaruhnya terhadap tenaga kerja pelayanan yang diambil dari kalangan petani. Tindakan ini sangat perlu dilakukan, mengingat pemenuhan kewajiban pajak tidak seluruhnya dibayar secara kontan dalam bentuk barang. Ada sebagian kewajiban itu yang harus dibayar dengan keija atau pelayanan kepada atasan mereka (Stavenhagen, 1975: 65). Kewajiban itu di antaranya adalah kerja kerigan, yaitu kerja untuk kepentingan masyarakat desa, tuguran atau bekerja pada malam hari untuk kepentingan masyarakat, dan palagara, yang berarti melakukan persembahan bahan makanan untuk kepala desa pada waktu-waktu yang telah ditentukan (Kuntjaraningrat, 1984: 297). Tentu saja kelompok masyarakat yang tidak menguasai hak atas tanah tidak mempunyai kewajiban membayar pajak. Akan tetapi kedudukan mereka sangat tergantung kepada
329
petani sikep dalam hal memperoleh tanah garapan. Sebagai imbalannya, petani penggarap (mondok, numpang) itulah yang harus membayar pajak dari hasil bumi dan melakukan kerja pelayanan (Kuntjaraningrat, 1984: 187). Dengan demikian kewajiban-kewajiban para petani sikep, baik yang berupa persembahan maupun segala bentuk kewajiban kerja dibebankan kepada petani penggarap. Dari fakta tersebut dapat dinyatakan, bahwa para petani memang merupakan pekerja-pekerja keras yang penuh pengabdian, walaupun mereka tergolong sebagai kelompok masyarakat yang miskin. Bagi masyarakat pedesaan seperti itu kerja tidak hanya dimaknai secara fisik semata-mata. Kerja dengan segala bentuknya tidak dipandang sebagai beban, tetapi merupakan suatu perwujudan dari solidaritas bagi komunitas khas pedesaan. Hal seperti ini dapat dipahami, mengingat struktur masyarakat dalam batasan pemukiman desa, mencakup hubungan-hubungan sosial atau afiliasi kelompok yang lazim disebut primordial yang diwarnai oleh hubungan keluarga, hubungan lokal, dan hubungan kepercayaan. Sehubungan dengan itu Kartodirdjo (1990b: 91) menyatakan, bahwa kehidupan masyarakat desa sebelum masuknya pengaruh kolonial sering digambarkan sebagai masyarakat yang homogen dalam mentalitas dan moralitas. Dengan demikian secara umum mereka mempunyai sifat-sifat homogen dalam arti totalitas kepercayaan dan sentimen yang sama ( collective conscience), karena belum dikenal diferensiasi fungsi atau pembagian pekerjaan secara rinci dan renik. Dengan demikian, nilai kerja didasari oleh keiklasan dalam rangka memenuhi kewajiban penduduk kepada lingkungan sosialnya. Walaupun demikian dengan semakin terurainya masyarakat komunal menjadi masyarakat yang lebih bersifat individual, nilai keija bergeser sebagai suatu dorongan atau tuntutan untuk berprestasi. Dalam kaitan ini
330
dorongan ekonomi lebih mewarnai motivasi penduduk untuk melakukan pekerjaan tertentu. Imbalan yang diperoleh dalam bentuk uang itulah yang akhirnya dipandang sebagai penentu status sosial bagi penduduk pedesaan pada umumnya. Melalui proses pembelajaran sejarah dalam kerangka IPS, aplikasi pembelajaran nilai yang berkaitan dengan nilai identitas diri, keagamaan, integrasi sosial, solidaritas sosial, dan etos kerja merupakan meteri yang perlu diinformasikan kepada peserta didik. Di samping untuk meningkatkan kemampuan intelektual, juga dalam rangka nation building. Hal ini berdasarkan pertimbangan, pengalaman kolektif yang mencakup berbagai dimensi kehidupan suatu komunitas, jika dapat ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya, akan berpotensi kuat sebagai unsur penting bagi terwujudnya ekspresi identitas komunitas yang bersangkutan. Melalui pendidikan yang dipandang sebagai suatu proses enkulturasi dalam rangka nation building, pada dasarnya merupakan proses melembagakan nilai-nilai dalam masyarakat, terutama nilai identitas yang berkembang pada tingkat individu maupun kolektif (Stearns, Seixas, & Wineburg, 2000: 20). Dalam proses pembelajaran sejarah sebagai bagian dari pendidikan IPS, penekanan nilai tidak terlepas sebagai tuntutan pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik untuk menganalisis nilai-nilai yang terkandung dalam materi pembelajaran sejarah. Idealnya pembelajaran yang dilakukan dapat merangsang sikap kritis peserta didik. There is a compelling logic to be argument that we should teach the best possible interpretation of the past to students (Stearns, Seixas, & Wineburg, 2000: 21). Dengan demikian pembelajaran harus dapat mendorong peserta didik untuk berargumen, sehingga sangat memungkinkan bagi mereka untuk memberi interpretasi terbaik terhadap masa lampau yang dipelajarinya.
331
Dalam kaitan ini, pembelajaran yang dilaksanakan sangat perlu menggali nilainilai yang terkandung dalam materi yang diajarkan. Hal ini mengingat betapa pentingnya nilai-nilai tersebut sebagai cerminan motivasi penduduk dalam bersikap dan berperilaku. Sampai sekarang ini, sikap dan perilaku masyarakat di Banyumas sangat dipengaruhi oleh tingkat penghayatan tentang identitas diri, keyakinan dan tetakwaan agama, integrasi sosial, solidaritas sosial, dan etos kerja. Tentang keberadaan dan fungsi nilai-nilai tersebut diperlukan kemampuan analisis yan g menuntut berpikir kritis melalui aktivitas interpretasi dan argumen-argumen historis. Hal ini sejalan dengan salah satu konsep pendidikan yang banyak dipraktekkan dalam proses pembelajaran, yaitu konsep yang menekankankan bahwa pendidikan merupakan bantuan dari pendidik untuk mencapai kedewasaan peserta didik. Kedewasaan diartikan sebagai suatu kemampuan peserta didik untuk menetapkan pilihan, mempertanggungjawabkan perbuatan dan tingkah laku secara mandiri telah dicapai (Waney, 1989: 12). Berdasarkan dari kosep tersebut dapat dinyatakan, bahwa pembelajaran nilainilai sejarah adalah sebagai sarana pewarisan budaya (cultural transmission) dalam rangka proses sosialisasi dan enkulturasi untuk mewujudkan tumbuhnya jati diri generasi penerus. Hal ini sesuai dengan pandangan, bahwa pembelajaran sejarah merupakan sumber nilai, sehingga dapat memberikan moralprecepts yang mengatur dan mengikat kelakuan kelompok dalam rangka dapat mencapai integritas kelompok. Di samping itu, materi pembelajaran sejarah juga dapat dipandang sebagai media penting untuk memahami kondisi masa lampau sebagai dasar untuk memahami masa kini, yang sekaligus menjadi bekal untuk menghadapi masa yang akan datang (Widja, 1997: 174). Dalam rangka memaksimalkan fungsi pendidikan IPS, maka perlu dipahami apa yang dibutuhkan guru-guru atau calon guru yang akan mendidik para siswa. Dengan
332
demikian pendidikan akan membentuk semacam mata rantai antara guru dengan siswa, sehingga tampak ada semacam missing-link yang saling bertautan. Menurut Kleden, (1984:76), mengingat sasaran pendidikan IPS adalah meningkatkan kualitas manusia, maka kedudukan peserta didik harus ditempatkan tidak hanya sebagai obyek, tetapi juga sebagai subyek pendidikan. Dalam arti, kualitas obyektif yang dihasilkan melalui proses pendidikan harus selalu sesuai dengan kualitas normatif sebagaimana yang ingin dicapai melalui proses pendidikan IPS. Agar peserta didik dapat menganalisis sacara kritis, tentang perkembangan nilai yang terkandung dalam materi pembelajaran, maka nilai-nilai tersebut perlu ditempatkan dalam konteks perubahan sosial. Dengan demikian, maka dalam pembelajaran perlu menekankan kepada proses perubahan sosial dan menempatkan nilai-nilai tersebut sebagai bagian yang ikut berproses dengan segala dinamikanya.. Perubahan sosial itu sendiri telah menciptakan konflik nilai dan pertentangan-pertentangan dalam masyarakat dan berdampak terhadap perkembangan psikologis masyarakat. Hal ini mengingat, perubahan sosial itu telah mengubah masyarakat yang mengarah kepada semakin banyaknya orang-orang yang berbeda pandangan dan asal-usul. Dengan demikian, masyarakat telah menjadi mozaik dan pluralitas dari kelompok-kelompok yang bersaing (Barr, 1987: 123). Dengan pemahaman semacam itu, peserta didik diharapkan dapat menganalis secara kritis fakta-fakta yang dipelajari. Pada gilirannya, hal itu dapat mengerahkan peserta didik untuk menarik suatu kesimpulan, bahwa sebenarnya nilainilai yang ada dalam masyarakat merupakan suatu proses dinamika yang tumbuh dan perkembang sejalan dengan proses perubahan sosial dalam masyarakat.
333
3. Pembelajaran Sejarah Materi sejarah tentang perubahan sosial di Banyumas 1830-1900 yang telah dihasilkan dalam penelitian sejarah, kemudian diaplikasikan dalam proses pembelajaran pada Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Dalam penelitian pembelajaran ini, materi tersebut ditempatkan sebagai satu Pokok Bahasan kajian tematik dari Mata Kuliah Sejarah Sosial yang ditawarkan kepada mahasiswa pada Semester Gasal Tahun akademik 2005-2006. Materi ini dipelajari sesuai cakupan Kurikulum Mata Kuliah Sejarah Sosial, meliputi pokok bahasan: a) Konsep Sejarah Sosial, b) Konsep Perubahan Sosial, c) Konsep Gerakan Sosial, d) Kajian Tematik Perubahan
Sosial, e) Kajian Tematik
Gerakan Sosial (Kurikulum Inti Pendidikan Sejarah, 2000: 187). Sesuai dengan cakupan tersebut, maka materi tentang perubahan sosial di Banyumas (1830-1900) merupakan bahan kuliah pada pokok bahasan Kajian Tematik Perubahan Sosial. Dengan cara ini maka materi pembelajaran sedapat mungkin menggunakan sumber lingkungan sosial yang terdapat di sekitarnya. Target dari pembelajaran sejarah yang dilakukan terdiri dari dua sasaran, yaitu ketrampilan berpikir kritis tentang nilai sejarah yang ditekankan kepada peningkatan ketrampilan berpikir sejarah (historical thinking} yang ditempatkan sebagai variabel bebas (X). Sementara itu target kepekaan sosial yang berupa empati mahasiswa tentang nilai-nilai yang terkandung dalam peristiwa perubahan sosial di Banyumas 1830-1900 sebagai variabel terikat (Y). Penelitian pembelajaran ini lebih lanjut untuk mengetahui seberapa besar pengaruh positif ketrampilan berpikir sejarah atau historical thinking (X) terhadap empati mahasiswa (Y), yang terdiri dari nilai Identitas diri (Y|), Keagamaan (Y2), Integrasi sosial (Y3), Solidaritas sosial (Y4), dan Etos keija (Y4).
334
a. Penyajian Data 1) Data yang Diperoleh Melaui Tes Data yang diperoleh melalui tes (X) disajikan pada tabel berikut: Tabel 4.34 Data yang Diperoleh Melalui Tes (Data X) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
X, 3,0 4,0 4,0 3,0 2,0 4,0 4,0 4,0 4,0 3,0 3,0 2,0 3,0 4,0 4,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0
X2 3,0 4,0 4,0 2,0 2,0 4,0 4,0 4,0 4,0 3,0 2,0 2,0 3,0 4,0 3,0 4,0 3,0 2,0 3,0 3,0
x3 4.0 4,0 3,0 2,0 2,0 4,0 4,0 3,0 4,0 4,0 2,0 3,0 3,0 4,0 3,0 3,0 3,0 2,0 3,0 3,0
X4 3,0 4,0 3,0 3,0 3,0 4,0 4,0 3,0 4,0 3,0 3,0 3,0 2.0 4,0 4,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0
x5 3.0 4,0 3,0 2,0 2,0 4,0 4,0 3,0 4,0 4,0 2,0 2,0 2,0 4,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0
EX 16 20 17 12 11 20 20 17 20 17 12 12 13 20 17 16 15 13 15 15
X
3,2 4,0 3,4 2,4 2,2 4,0 4,0 3,4 4,0 3,4 2,4 2,4 2,6 4,0 3,4 3,2 3,0 2,6 3,0 3,0
Keterangan: X j = Skor Tes Nilai Identitas diri, X 2 = Skor Tes Nilai Keagamaan, X 3= Skor Tes Nilai Integrasi Sosial, X 4 = Skor Tes Nilai Solidaritas Sosial, X 5 = Skor Tes Nilai Etos kerja. Dalam penelitian ini, data diperoleh melalui tes esay digunakan untuk mengukur ketrampilan historical thinking peserta didik dalam mengkritisi nilai-nilai yang terkandung dalam peristiwa sejarah yang dipelajari, yang meliputi: a. ketrampilan mengevaluasi sumber sejarah berdasarkan bukti-bukti historis,
335
b. ketrampilan membandingan berdasarkan analisis sebab-akibat, c. ketrampilan interpretasi rekaman sejarah berdasarkan argumen-argumen historis, dan d. ketrampilan menyimpulkan atas dasar informasi yang bermanfaat bagi kehidupan masa kini (Myers, 2000: 37). Predikat berpikir kritis ditentukan dengan skor yang diperoleh setiap mahasiswa, yaitu: a) predikat sangat baik dengan skor 3,500-4.00, b) predikat baik dengan skor 2,753,49, c) predikat cukup dengan skor 2,00-2,74, dan d) predikat kurang dengan skor 1,001,99 (Pedoman Akademik UMP, 2003: 56). Berdasarkan skor pada tabel 4.34 tersebut, dapat dikemukakan persentase predikat tentang tingkat ketrampilan historical thinking, sebagai berikut: Tabel 4.35 Skor Tes Berdasarkan Predikat Ketrampilan Historical Thinking Interval Skor 1,00- 1,99 2,00 - 2,74 2,75 - 3,49 3,50 - 4,00 Jumlah
Frekuensi Absolut 0 6 9 5 20
Frekuensi Relatif 0% 30% 45% 25% 100 %
Predikat Kurang Cukup Baik Sangat baik
Dari tabel 4.35, menunjukkan, sebesar 25 % (5 orang) mahasiswa telah memiliki ketrampilan historical thinking yang sangat baik dengan skor 3,50-4,00, sebesar 45 % (9 orang) memiliki ketrampilan historical thinking baik dengan skor 2,75-3,49, sedangkan 30 % (6 orang) memiliki ketrampilan historical thinking dengan predikat cukup. 2) Data yang diperoleh melalui angket. Dalam penelitian ini, digunakan angket model Skala Thurstone, yang dimaksudkan untuk menjaring data yang berkaitan dengan empati peserta didik tentang perkembangan nilai identitas diri, keagamaan, integrasi
336
sosial, solidaritas sosial, dan etos kerja dalam masyarakat Banyumas. Sebagai alat pengumpul data, angket disusun berdasarkan indikator-indikator yang mengacu kepada empati peserta didik tentang nilai yang terkandung dalam peristiwa yang dipelajari. Indikator empati yang ditetapkan sebagai hasil pembelajaran meliputi dimensi afektif, kognitif, dan komunikatif, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Dimensi afektif, berhubungan dengan kapasitas seseorang dalam merasakan apa yang dialami oleh orang lain. b. Dimensi kognitif, berkaitan dengan kapasitas seseorang dalam membedakan keadaan afektif orang lain dan cara pandang orang lain, dalam rangka memahami situasi dari cara pandang lainnya. c. Dimensi komunikatif, merujuk kepada kemampuan mengkomunikasikan perasaan diri kepada orang lain (Scott, 1991: 357-360). Kemudian tentang rentangan skor ditentukan 1 sampai 4. Alternatif jawaban 1,2, 3, dan 4 yang dipilih oleh responden untuk menunjukkan tingkat kesesuaian empati responden terhadap pernyataan pada setiap item. Hal ini berarti untuk item positif, pilihan angka dapat menentukan skor responden, dengan ketentuan: a. alternatif pilihan 1 menunjukkan paling penting dengan skor 4 b. alternatif pilihan 2 menunjukkan penting dengan skor 3 c. alternatif pilihan 3 menunjukkan cukup penting dengan skor 2, dan d. alternatif pilihan 4 menunjukkan kurang penting dengan skor 1. Sementara itu untuk item yang negatif diberlakukan pemberian skor sebaliknya (Riduan, 202: 22). Angket tersebut dimaksudkan untuk menjaring data yang berkaitan dengan empati peserta didik tentang perkembangan nilai identitas diri, keagamaan, integrasi sosial, solidaritas sosial, dan etos keija dalam masyarakat Banyumas.
I Data yang dijaring melalui angket, disajikan dalam tabel 4.36 sebagaii beribu* Tabel 4.36 Hasil S cor Angket Tentang Empati Responden No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 N=20
Y,
Y2
Y3
YS
34 38 37 34 34 40 35 36 40 38 36 35 36 39 40 38 38 40 29 35 732
Y4
35 38 37 38 30 36 38 37 37 39 35 34 39 40 40 38 40 34 34 37 736
35 39 38 34 31 38 39 39 36 38 37 34 36 40 40 40 40 38 30 36 738
37 39 38 34 30 39 37 37 40 38 38 39 36 39 40 40 39 36 34 37 747
34 36 35 35 34 39 39 35 40 39 37 38 34 40 40 40 39 38 37 40 749
Keterangan: Yj = Empati tentang nilai Identitas diri Y2 = Empati tentang nilai Keagamaan Y3 = Empati tentang nilai Integrasi sosial Y4 = Empati tentang nilai Solidaritas sosial Ys = Empati tentang nilai Etos kerja b. Analisis Data Dalam tahap analisis data secara statistik, ditempuh langkah-langkah yang diperlukan, yaitu pembuatan tabel distribusi frekuensi, penerapan rumus, perhitungan, dan interpretasi hasilnya. 1) Pengaruh ketrampilan historical thinking (X) terhadap empati tentang nilai Identitas diri (Yi), dianalisis dengan berpedoman pada Tabel 4.37 berikut ini:
-
338
Tabel 4.37 Tabel Pengaruh X Terhadap Yj No. I 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 N=20 Keterangan: £X =318,
X 16 20 17 12 11 20 20 17 20 17 12 12 13 20 17 16 15 13 15 15 318
2Yj = 732,
Yi 34 38 37 34 34 40 35 36 40 38 36 35 36 39 40 38 38 40 29 35 732
XY| 544 760 629 408 374 800 700 612 800 646 432 420 468 780 680 608 570 520 435 525 11.711
2XY, = 11.711,
X2 256 400 289 144 121 400 400 289 400 289 144 144 169 400 289 256 225 169 225 225 5.234 SX 2 = 5.234,
1.156 1.444 1.369 1.156 1.156 1.600 1.225 1.296 1.600 1.444 1.296 1.225 1.296 1.521 1.600 1.444 1.444 1.600 841 1.225 26.938 ZY!2 =26.938
Dari hasil perhitungan product moment diperoleh nilai r hitung sebesar 0,392. Dari perhitungan nilai t diperoleh t hitung sebesar 1,741. Dalam daftar t dengan taraf nyata a = 0,05, dan dk = 18 diperoleh t tabel 1,73. Karena t hitung > t tabel maka hipotesis nol ditolak. Jadi koefisien korelasi r antara ketrampilan historical thinking dengan empati tentang nilai Identitas diri signifikan pada a = 0,05, sehingga koefisien korelasi berarti. Kemudian hasil perhitungan koefisien persamaan garis regresi diperoleh
a =
30,143 dan b = 0,406. Berdasarkan perhitungan koefisien persamaan garis regresi a dan
339
b, diperoleh persamaan garis regresinya adalah Yi = 30,143 + 0,406X. Dari persamaan tersebut dapat diketahui b bernilai positif, sehingga terdapat pengaruh yang positif ketrampilan historical thinking (X) terhadap empati tentang nilai Identitas diri (Yj). Besarnya koefisien determinasi 15,39 %. Hal ini berarti empati tentang nilai Identitas diri ditentukan oleh ketrampilan historical thinking sebesar 15,39 %. Selanjutnya grafik sebaran dan persamaan garis regresinya dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 4.1. Diagram pencar pola regresi linear antara X dan Y] Y1
10
12
1S
18
20
22
X
Berdasarkan hasil perhitungan ternyata pengaruh ketrampilan historical thinking terhadap empati mahasiswa tentang nilai Identitas diri tidak dominan, karena hanya 15,39 %. Ada beberapa faktor yang dipandang sebagai kemungkinan penyebabnya. Di antaranya: l) Ketrampilan pembelajaran nilai-nilai sejarah di lingkungan mahsiswa Pendidikan Sejarah FKIP UMP masih perlu ditingkatkan dan disempurnakan. 2) Bagi mahasiswa tampaknya sangat diperlukan pembiasan untuk membentuk empati tentang nilai identitas diri tersebut. Secara teoretis, pembentukan empati tentang identitas diri memerlukan proses historis melalui pengenalan sejarah diri yang tidak dapat lepas dari sejarah lingkungan sosialnya, sehingga mereka dapat menangkap kesan-kesan yang berasal dari luar dirinya melalui panca indera. Hal ini kemudian masuk ke dalam alam
340
sadarnya yang selanjutnya terhimpun dalam bawah sadarnya, berpadu dengan kesankesan yang sudah ada termasuk kesan yang diwarisi dari nenek moyangnya (Effendy, 1988:30-31). 2) Pengaruh historical thinking (X) terhadap empati tentang nilai Keagamaan (Y2) dianalisis dengan berpedoman pada Tabel 4.38. berikut ini: Tabel 4.38 Pengaruh X Terhadap Y2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
X 16 20 17 12 11 20 20 17 20 17 12 12 13 20 17 16 15 13 15 15
Y2 35 38 37 38 30 36 38 37 37 39 35 34 39 40 40 38 40 34 34 37
XY 2 560 760 629 456 330 720 760 629 740 663 420 408 507 800 680 608 600 442 510 555
X2 256 400 289 144 121 400 400 289 400 289 144 144 169 400 289 256 225 169 225 225
N=20
Y22 1.225 1.444 1.369 1.444 900 1.296 1.444 1.369 1.369 1.521 1.225 1.156 1.521 1.600 1.600 1.444 1.600 1.156 1.156 1.369
318
736
11.777
5.234
27.208
No.
Keterangan: ZX
=318,
ZY2
= 736,
IXY 2 = 11.777 , ZX2 = 5.234,
Z Y2 = 27.208
Dari hasil perhitungan korelasi product moment diperoleh nilai r hitung sebesar 0,418. Dari perhitungan nilai t diperoleh t hitung 1,849. Dalam daftar t dengan taraf nyata a = 0,05, dan dk = 18 diperoleh t tabel 1,73. Mengingat t hitung > t tabel maka hipotesis nol ditolak. Jadi koefisien korelasi r antara ketrampilan historical thinking
341
dengan empati tentang nilai Keagamaan signifikan pada a = 0,05, sehingga koefisien korelasi berarti. Kemudian hasil perhitungan koefisien persamaan garis regresi diperoleh: a = 30,129 dan b = 0,420. Berdasarkan perhitungan koefisien persamaan garis regresi a dan A
b, diperoleh persamaan garis regresinya adalah Y2 = 30,129 4-0,420X. Dari persamaan tersebut dapat diketahui b bernilai positif, sehingga terdapat pengaruh yang positif ketrampilan historical thinking (X) terhadap empati tentang nilai Keagamaan (Y2). Besarnya koefisien determinasi 17,49 %. Hal ini berarti empati tentang nilai Keagamaan ditentukan oleh ketrampilan historical thinking sebesar 17,49 %. Selanjutnya grafik sebaran dan persamaan garis regresinya dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 4.2. Diagram pencar pola regresi linear antara X dan Y2 Y2
10
T2
14
16
18
20
22
X
Dari perhitungan statistik, ternyata pengaruh ketrampilan historical thinking terhadap empati mahasiswa tentang nilai Keagamaan positif, tetapi dalam kadar persentase yang tidak dominan (17,49 %). Kemungkinan yang menjadi penyebabnya adalah: 1) Ketrampilan pembelajaran nilai-nilai sejarah di lingkungan mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP UMP belum maksimal, sehingga masih perlu ditingkatkan dan disempurnakan. 2) Empati seseorang yang berkaitan dengan nilai keagamaan erat
342
kaitannya dengan getaran jiwa yang biasanya disebut dengan emosi keagamaan atau religious emotion yang tampaknya perlu dikondisikan secara khusus. Hal ini disebabkan, walaupun emosi keagamaan itu ada pada setiap orang, namun dalam kadar yang tidak seragam dan sangat bervariasi (Koentjaraningrat, 1990: 376-377). Emosi keagamaan ini dapat mendorong seseorang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religi, yang tidak selalu sejalan dengan pemikiran kritis. 3) Pengaruh historical thinking (X) terhadap empati tentang nilai Integrasi sosial (Y3) dianalisis melalui Tabel 4.39. Tabel 4.39 Pengaruh X Terhadap Y3
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
X 16 20 17 12 11 20 20 17 20 17 12 12 13 20 17 16 15 13 15 15
Y3 35 39 38 34 31 38 39 39 36 38 37 34 36 40 40 40 40 38 30 36
XY 3 560 780 646 408 341 760 780 663 720 646 444 408 468 800 680 640 600 494 450 540
X2 256 400 289 144 121 400 400 289 400 289 144 144 169 400 289 256 225 169 225 225
Y3J 1.225 1.521 1.444 1.156 961 1.444 1.521 1.521 1.296 1.444 1.369 1.156 1.296 1.600 1.600 1.600 1.600 1.444 900 1.296
N=20
318
738
11.828
5.234
27.394
No.
Keterangan : EX =318, Y3 = 738,
XY 3 = 11.828,
X2 =5.234,
Y 3 2 =27.394
343
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai r hitung sebesar 0,521. Dari perhitungan nilai t diperoleh t hitung sebesar 2,587. Dalam daftar t dengan taraf nyata a = 0,05, dan dk = 18 diperoleh t tabel 1,73 . Karena t hitung > t tabel maka hipotesis nol ditolak. Jadi koefisien korelasi r antara ketrampilan historical thirtking dengan empati tentang nilai Integrasi sosial signifikan pada a = 0,05, sehingga koefisien korelasi berarti. Kemudian hasil perhitungan koefisien persamaan garis regresi diperoleh: a = 28,512 dan b = 0,528. Berdasarkan perhitungan koefisien persamaan garis regresi a dan A
b, diperoleh persamaan garis regresinya adalah Y 3 = 28,512 + 0,528X Dari persamaan tersebut dapat diketahui b bernilai positif, sehingga terdapat pengaruh yang positif ketrampilan historical thinking (X) terhadap empati tentang nilai Integrasi sosial (Y3). Besarnya koefisien determinasi 27,107 %. Hal ini berarti empati tentang nilai Integrasi sosial ditentukan oleh ketrampilan historical thinking sebesar 27,107 %, Selanjutnya grafik sebaran dan persamaan garis regresinya dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 4.3. Diagram pencar pola regresi linear antara X dan Y3 Y3
IO X
12
18
18
20
22
Hasil perhitungan statistik menunjukkan adanya pengaruh positif ketrampilan historical thinking terhadap empati mahasiswa tentang nilai Integrasi sosial dengan
344
kadar persentase yang lebih tinggi (27,107 %) dibanding dengan yang lain. Dalam kaitan ini kemungkinan ketrampilan historical thinking dengan predikat sangat tinggi yang dimiliki mahasiswa yang mencapai 25 % sejalan dengan empati tentang nilai Integrasi sosial mahasiswa. Hal ini mengingat empati tentang nilai integrasi sosial merupakan proses immanent, yaitu suatu peoses yang lebih banyak datang dari dalam diri mereka. 4) Pengaruh historical thinking (X) terhadap empati tentang nilai Solidaritas sosial (Y4) analisis melalui Tabel 4.40. Tabel 4.40 Pengaruh X Terhadap Y4 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 N=20 Keterangan:
X
16 20 17 12 11 20 20 17 20 17 12 12 13 20 17 16 15 13 15 15 318
Y4
37 39 38 34 30 39 37 37 40 38 38 39 36 39 40 40 39 36 34 37 747
XY 4
X2
Y4Z
592 780 646 408 330 780 740 629 800 646 456 468 468 780 680 640 585 468 510 555 11.961
256 400 289 144 121 400 400 289 400 289 144 144 169 400 289 256 225 169 225 225 5.234
1.369 1.521 1.444 1.156 900 1.521 1.369 1.369 1.600 1.444 1.444 1.521 1.296 1.521 1.600 1.600 1.521 1.296 1.156 1.369 28.017
£X = 318, £Y 4 = 747, £XY 4 = 11.961, 2X 2 = 5.234, SY 4 2 = 28.017 Berdasarkan hasil perhitungan product moment diperoleh nilai r hitung sebesar 0,436. Dari perhitungan nilai t diperoleh t hitung sebesar 1,949. Dalam daftar t dengan
345
taraf nyata a = 0,05, dan dk = 18 diperoleh t tabel = 1,73. Mengingat t hitung > t tabel maka hipotesis nol ditolak. Jadi koefisien korelasi r antara ketrampilan historical thinking
dengan empati tentang nilai Solidaritas sosial signifikan pada a = 0,05,
sehingga koefisien korelasi berarti. Kemudian dari hasil perhitungan koefisien persamaan garis regresi diperoleh: a = 29,865 dan b = 0,471. Berdasarkan perhitungan koefisien persamaan garis regresi a dan A
b, diperoleh persamaan garis regresinya adalah Y4 = 29,865+ 0,47IX Dari persamaan tersebut dapat diketahui b bernilai positif, sehingga terdapat pengaruh yang positif ketrampilan historical thinking (X) terhadap empati tentang nilai Solidaritas sosial (Y4) . Besarnya koefisien determinasi 19,02 %. Hal ini berarti empati tentang nilai Solidaritas sosial ditentukan oleh ketrampilan historical thinking sebesar 19,02 %. Selanjutnya grafik sebaran dan persamaan garis regresinya dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 4.4. Diagram pencar pola regresi linear antara X dan Y4 Y4
10
12
14
16
1®
20
22
X
Pengaruh
ketrampilan historical thinking terhadap empati mahasiswa tentang
nilai Solidaritas sosial berifat positif, tetapi tergolong rendah (19,02 %). Kemungkinan penyebabnya, di samping masih perlunya peningkatan kertrampilan pembelajaran nilainilai pada mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP UMP, juga harus ditekankan tentang
346
perlunya memahami interaksi secara aktif dengan lingkungan, sehingga mereka dapat belajar dan mengembangkan kemampuannya secara intelektual dan spiritual. Proses sosial tersebut dapat mempererat hubungan antar manusia dengan munculnya rasa kasih sayang, cinta sesama, saling membutuhkan, dan saling menghargai (Lauer, 1989: 44). 5) Pengaruh kemampuan historical thinking (X) terhadap empati tentang nilai Etos keija (Y s ) dianalisis melalui Tabel 4.41. Tabel 4.41 Pengaruh X Terhadap Y5 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 N=20
X 16 20 17 12 11 20 20 17 20 17 12 12 13 20 17 16 15 13 15 15 318
Y5 34 36 35 35 34 39 39 35 40 39 37 38 34 40 40 40 39 38 37 40 749
XYS 544 720 595 420 374 780 780 595 800 663 444 456 442 800 680 640 585 494 555 600 11.967
X1 256 400 289 144 121 400 400 289 400 289 144 144 169 400 289 256 225 169 225 225 5.234
Y»' 1.156 1.296 1.225 1.225 1.156 1.521 1.521 1.225 1.600 1.521 1.369 1.444 1.156 1.600 1.600 1.600 1.521 1.444 1.369 1.600 28.149
Keterangan: 2X
=318,
IY S
=749,
2XYS = 11.967,
SX 2
= 5.234,
EYS 2 =28.149.
Berdasarkan hasil perhitungan product moment diperoleh nilai r hitung sebesar 0,414. Dari perhitungan nilai t diperoleh t tabel 1,867. Dalam daftar t dengan taraf nyata
a = 0,05, dan dk = 18 diperoleh t tabel 1,73 . Karena t hitung > t tab^ifos^a-?^ nol ditolak. Jadi koefisien korelasi r antara ketrampilan historical thinking
dengan
empati tentang nilai Etos kerja signifikan pada a = 0,05, sehingga koefisien korelasi berarti. Kemudian dari hasil perhitungan koefisien persamaan garis regresi diperoleh: a = 32,272 dan b = 0,326. Berdasarkan perhitungan koefisien persamaan garis regresi a dan A
b, diperoleh persamaan garis regresinya adalah Y s = 32,272 + 0,326X Dari persamaan tersebut dapat diketahui b bernilai positif, sehingga terdapat pengaruh yang positif ketrampilan historical thinking (X) terhadap empati tentang nilai Etos kerja (Y5). Besarnya koefisien determinasi 17,17 %. Hal ini berarti empati tentang nilai Etos keija ditentukan oleh ketrampilan historical thinking sebesar 17,17 %. Selanjutnya grafik sebaran dan persamaan garis regresinya dapat digambarkan sebagai berikut: Y5
Gambar 4.5. Diagram pencar pola regresi linear antara X dan Y5
'•
Observed
°
Llnoor
Pengaruh ketrampilan historical thinking terhadap empati mahasiswa tentang nilai Etos keija masih tergolong rendah (17,17 %). Hal ini kemungkinan juga disebabkan oleh: 1) Belum optimalnya ketrampilan pembelajaran nilai-nilai sejarah di lingkungan mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP UMP, sehingga perlu ditingkatkan dan
348
disempurnakan. 2) Di samping itu, sangat diperlukan penekanan pada sikap kepada mahasiswa untuk menghargai konsep hidup wong cilik, bahwa hidup harus dijalani dan disyukuri. Perlu dipahami, bahwa konsep inilah yang membentuk sikap hidup tahan penderitaan, yang diwujudkan dalam bentuk keuletan dalam menjalani kehidupan dan kesanggupan menjalani proses gerak hidup dalam masyarakat (Kuntjaraningrat, 1992: 79). Pemahaman dan penanaman sikap mental semacam itu sangat penting artinya sebagai pendorong munculnya empati seseorang terhadap penderitaan orang lain.
B. Pembahasan Hasil Penelitian Pembahasan dalam penelitian
dilakukan dalam rangka menyoroti lebih jauh
kesesuaian atara hasil analisis data dengan teori-teori yang telah diungkapkan. Dalam kesempatan ini perlu ditegaskan, keterkaitan antara hasil penelitian di lapangan dengan teori-teori yang telah dirumuskan. /.
Dampak Eksploitasi Ekonomi Kolonial Bagi Sosial Perubahan di Banyumas Selama sistem tanam paksa berlangsung, penggunaan lahan perkebunan dan
tenaga kerja dibebankan kepada penduduk yang dilaksanakan sejalan dengan tata cara tradisional. Demi kelancaran pelaksanaannya, pihak kolonial menempuh jalan untuk melibatkan bebagai unsur, terutama birokrasi pemerintahan, para kepala (pimpinan) tradisional, organisiasi desa, dan modal para pengusaha Barat. Organisasi pelaksanaan sistem tanam paksa disusun begitu rapi, sehingga usaha untuk memproduksi komoditi ekspor dapat dicapai secara maksimal. Pihak kolonial tetap mempertahankan bentuk organisasi pemerintahan tradisional dari tingkat kabupaten sampai ke tingkat desa dan dilibatkan secara intensif dalam pelaksanaan sistem tanam paksa. Sementara itu para
349
pengusaha Barat diberi peran dalam sektor pabrik, sesuai dengan tekad pihak kolonial untuk menyiapkan bahan mentah bagi para pengusaha. Sesudah periode 1870-an eksploitasi agraris secara bertahap terjadi pergeseran dalam pengelolaan perkebunan dari pemerintah kepada pihak pengusaha swasta. Sejalan dengan perkembangan yang terjadi, penggunaan tenaga kerja paksa dinilai tidak lagi efektif, sehingga mulai terbuka kesempatan kerja sebagai buruh upahan bagi penduduk. Penggunaan tenaga buruh bayaran merupakan alternatif yang tepat untuk meningkatkan efisiensi, secara berangsur kerja bebas semakin dipandang sebagai hal yang biasa. Dalam kondisi seperti itu, tekanan para penguasa tradisional tidak lagi merupakan dorongan bagi penduduk untuk melakukan kerja wajib. Bagi mereka, bekerja di perkebunan atau pabrik
bertujuan untuk mendapatkan imbalan yang berupa uang.
Walaupun pada periode itu tenaga kerja paksa secara berangsur tidak lagi diberlakukan, namun masyarakat tetap dibebani berbagai macam pajak. Belum lagi tuntutan untuk memenuhi kebutuhan pokok dan berbagai keperluan penting lainnya yang tidak mungkin dicapai dengan mengandalkan lahan pertanian mereka yang semakin sempit. Untuk memenuhi tuntutan pembayaran pajak dan mempertahankan hidup, mereka umumnya bekeija sebagai buruh bayaran di di pabrik atau perkebunan. Penduduk yang tidak tertampung sebagai buruh, berusaha mencari alternatif lain, terutama sektor kerajinan, pedagang kecil, dan jasa. Dalam kenyataannya lapangan kerja yang tersedia memang tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja, sehingga sangat memungkinkan bagi para pengusaha untuk menekan upah yang dikeluarkan. Berlimpahnya tenaga kerja juga telah membawa dampak yang lebih buruk lagi dengan munculnya para broker {agen tenaga kerja) yang kedudukannya bertambah kuat, karena para pencari kerja tidak dapat berhubungan langsung dengan para pengusaha. Para pencari kerja yang tidak
350
berpendidikan dan miskin ketrampilan dihargai dengan upah yang rendah dan kedudukan istimewa justru diberikan kepada para broker. Bagi masyarakat, kondisi semacam itu justru semakin meningkatkan ketergantungan mereka terhadap pihak kolonial. Sistem keija bebas yang mestinya menguntungkan penduduk, justru semakin meningkatkan eksploitasi yang bersifat kapitalistis. Berlakunya sistem ekonomi uang yang semakin meluas membawa dampak negatif bagi ekonomi petani. Mereka sering terlibat dalam transaksi peminjaman uang dengan bunga tinggi. Dalam periode itu gejala pemiskinan penduduk terus berlanjut yang ditandai dengan banyaknya petani yang terpaksa melepaskan lahan pertanian mereka kerena alasan yang bersifat ekonomi. Pengalihan hak bisa terjadi, mengingat penduduk semakin terjebak dalam percaturan ekonomi uang. Semakin banyaknya perpindahan hak atas tanah menunjukkan adanya indikasi kuat, bahwa di lingkungan keluarga telah terjadi ketidakseimbangan pendapatan dengan pengeluaran. Dengan demikian, penduduk semakin terperangkap pada kmiskinan yang bersifat struktural. Dampak sosial lebih jauh dari meluasnya ekonomi uang adalah munculnya proses defeodalisasi dan destrukturalisasi yang diikuti dengan kegoncangan tata nilai dalam masyarakat. Hal itu ditandai dengan bergeseran kepercayaan penduduk terhadap nilai desa dan lembaga tradisional lainnya. Melemahnya dukungan dan kesetiaan penduduk kepada elit formal tradisional, disebabkan keterlibatan mereka dalam proses ekonomi dan birokrasi kolonial. Muncul gejala pergeseran kesetiaan penduduk dari para pejabat tradisional kepada kelompok elit baru, yaitu para ulama bebas yang tidak terlibat langsung dengan jaringan birokrasi kolonial. Bagi masyarakat para ulama bebas itu layak diakui sebagai pemimpin, karena dipandang mempunyai sejumlah kualitas unggul, sehingga mampu berperan sebagai pelindung baru dan memberi ketenteraman.
351
Seiring dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat muncul pula pergeseran dalam penyampaian aspirasi, dari bentukpepe (berjemur di halaman pejabat) mangarah pada gerakan gerakan protes sosial yang berifat sporadis. Di Banyumas pada akhir abad ke-19, muncul peristiwa pembakaran perkebunan, perampokan, perlawanan, dan bentuk kekerasan lainnya, yang menunjukkan di lingkungan masyarakat telah terjadi suatu perubahan perilaku. Tindakan seperti itu dapat dipahami, mengingat kemiskinan penduduk yang disebabkan oleh eksploitasi agraris pihak kolonial telah banyak membawa penderitaan. Sementara itu, kondisi sosial yang sangat buruk tidak pernah mendapat jalan keluarnya secara baik. Lebih jauh hal ini mendorong terjadinya perkembangan baru yang tampak pada awal abad ke-20. Masyarakat mulai menyadari perlunya idealisme kebebasan, baik yang berkaitan dengan gagasan untuk bebas dari ikatan tradisi maupun gerakan kebebasan yang lebih luas. Hasil analisis tersebut sejalan dengan teori yang telah dikemukakan. Ketika sistem ekonomi kolonial memasuki kehidupan tradisional di pedesaan, terjadilah hubungan ekonomi yang tidak seimbang. Proses interaksi semacam itu disebabkan oleh
posisi ekonomi kolonial
lebih kuat, sementara ekonomi tradisional semakin
lemah. Sebagai akibat dari hal itu, maka struktur ekonomi yang lebih kuat dapat mendominasi sistem perekonomian yang lebih lemah ( Santos, 1970:45). Sebagai pihak yang lebih lemah, maka ekonomi pedesaan dalam posisi yang tergantung. Oleh sebab itu, masyarakat pedesaan terpaksa harus menerima
eksploitasi
ekonomi itu dengan
imbalan yang timpang (Amir, 1976: 202) Hubungan yang tidak seimbang antara dua sistem ekonomi itu, mendorong terjadinya pergeseran-pergeseran diri. Proses
pergeseran
dalam
masyarakat dalam rangka
itu dapat diamati
menyesuaikan
dari perubahan bentuk penggunaan
352
lahan pertanian,
produksi barang-barang konsumsi
Perubahan-perubahan
itu membawa
dampak
dan
lebih
perekrutan tenaga buruh.
jauh lagi
dalam kehidupan
masyarakat pedesaan. Secara berangsur-angsur sistem ekonomi uang semakin meluas, diiringi pula dengan terjadinya perubahan struktur sosial. Proses perubahan sosial itu sendiri merupakan suatu pergeseran antar unsur yang ada dalam masyarakat. Mengingat unsur-unsur yang ada dalam masyarakat itu saling kait-mengkait, maka jika salah satu unsur berubah akan segera diikuti oleh perubahan pada unsur-unsur yang lain dalam rang penyesuaian diri (Ogburn, 1950: 4, Bottomore, 1972: 297), Sebenarnya itulah yang merupakan bagian penting dalam proses perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Kemudian pada tahap selanjutnya, ketika proses terjadi terdapat
usaha
saling
perubahan
sedang
menyesuaikan diri antar unsur-unsur yang ada dalam
masyarakat. Ada kecenderungan akan terjadinya cultural lag, yang disebabkan salah satu unsur mengalami perubahan
lebih
Apabila ternyata
itu semakin
ketidakserasian
banyak
dari pada unsur sosial yang lain. meluas atau bahkan tidak dapat
diselesaikan maka terjadilah keresahan sosial dalam masyarakat (Ogburn, 1950:221). Dalam
kondisi
semacam itu dapat terjadi
kontradiksi dalam masyarakat
yang tidak dapat terelakkan. Sikap permusuhan itu dipandang sebagai emansipasi pembebasan
individu
dari berbagai tekanan
yang dilakukan oleh pihak luar.
Dengan kata lain, setiap masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir, karena perubahan sosial itu merupakan gejala yang melekat dalam suatu masyarakat. Akan tetapi harus pula dipahami, bahwa setiap masyarakat juga mengandung konflik-konflik dalam dirinya. Hal ini disebabkan, unsur-unsur yang ada dalam masyarakat itu dapat memunculkan perubahan sosial dan sekaligus disertai dengan konflik sosial (Nasikun, 1993: 16).
353
Masyarakat yang tengah berubah adalah masyarakat gelisah yang memerlukan figur pimpinan
baru sebagai pelindung. Pilihan ideal mereka adalah elit ulama bebas
yang tidak terikat pada birokrasi. Walaupun gerak ulama bebas ini senantiasa dibatasi, namun mereka mendapat dukungan kuat dari masyarakat daerah pedesaan karena dipandang memiliki kharisma.Melemahnya dukungan kesetiaan penduduk daerah pedesaan terhadap pimpinan formal tersebut disebabkan oleh keterlibatan kelompok itu dalam aktivitas ekonomi dan administrasi kolonial (Burger, 1962: 153). Keterkaitan antara ulama bebas dengan masyarakat pedesaan diarahkan untuk menghadapi dua pihak. Pertama, dihadapkan kepada kelompok pimpinan formal dan kolonial, sedangkan yang kedua melahirkan
gerakan protes terhadap segala tindak
ketidakadilan yang merugikan masyarakat. Bentuk protes yang sering dimunculkan adalah ide tentang perang sabil. Tidak dapat disangkal,
bahwa hal itu mendorong
bangkitnya militansi di kalangan elit agama dan para pengikutnya yang setia. Sasaran utama gerakan keagamaan adalah menyerang kekuasaan orang kafir yang dipandang telah banyak membawa akibat buruk masyarakat (Kartodirdjo, 1982: 17). 2.
Pembelajaran Nilai Sejarah untuk Meningkatkan Historical Thinking Hasil analisis proses pembelajaran sejarah menunjukkan, bahwa pembelajaran
nilai
sejarah sebagai bagian dari pendidikan IPS perlu dikaitkan dengan masalah-
masalah sosial kontemporer. Dengan demikian, maka penggunaan konsep dan tematema besar yang berlaku dalam ilmu sosial menjadi suatu hal yang penting. Dalam hal ini, tema besar ilmu sosial yang diangkat terutama adalah tentang perubahan sosial. Dengan cara ini permasalahan aktual yang terjadi dalam masyarakat Banmyumas dapat diangkat sebagai materi pembelajaran sejarah, sehingga kegiatan pembelajaran dapat
354
lebih bermakna (meaningful) bagi kehidupan sehari-hari. Melalui strategi ini dapat peserta didik menempatkan dirinya sebagai bagian dari proses perubahan (change), kesinambungan (continuity) dan sebagai pengambil keputusan (decision makers) bagi zamannya. . Dari hasil analilis data dikemukakan, bahwa ketrampilan historical thinking peserta didik, dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori: a. Terdapat 25 % peserta didik memiliki ketrampilan sangat tinggi dengan skor 3,50-4,00. b. Sebanyak 45 % peserta didik yang memiliki ketrampilan tinggi, skor 2,753,49. c. Terdiri dari 30 % peserta didik yang memiliki ketrampilan cukup dengan skor 2,00-2,74. Proses pembelajaran dan apa yang terjadi sebagai dampak pembelajaran nilai sejarah sebagai bagian dari pendidikan IPS ternyata didak berseberangan dengan kerangka teoretis yang menjadi dasar penelitian ini. Secara teoretis, pembelajaran sejarah dituntut untuk mampu berkiprah dalam dua kerangka pokok, yaitu: Pertama, pembelajaran sejarah (instruction) dan pendidikan intelektual (intellectual training). Dari kerangka yang pertama, menuntut pengajaran sejarah tidak hanya menyajikan fakta dan pengalaman kolektif masa lampau, tetapi juga meberikan latihan berpikir kritis dalam memetik makna dan nilai dari peristiwa sejarah yang diterangkan. Interpretasi sejarah dalam hal ini menempati posisi strategis untuk memberikan latihan berpikir secara intelektual bagi guru maupun siswa dalam bentuk mengabstraksikan,
merumuskan
generalisasi,
dan
menganalisis
gejala-gejala
kemasyarakatan dalam proses sejarah yang kritis. Dari sini kegiatan ditekankan pada
proses belajar (learning) dan penalaran (reasoning) (Suryo, 1990: 6). Hal kemudian
mampu
mengubah
pandangan
sejarah
klasik
(konven^onf™*
menggantikannya dengan kemampuan berpikir kesejarahan (historical thinking), sehingga dapat melahirkan sejarah sebagai ilmu (Aryani, 2005: 1). Secara teoretis, pembelajaran sejarah dapat bermanfaat bagi para peserta didik dalam rangka meningkatkan kemampuan intelektual dengan tidak mengabaikan kemampuan
moral.
Dengan
kata
lain,
melalui
pembelajaran
sejarah
dapat
mengkondisikan kemampuan intelektual dan moral siswa. Dengan demikian, tipe ideal dari proses pembelajaran sejarah ditekankan pada dua segi utama. Pertama, pembelajaran tidak hanya ditekankan pada upaya menyampaikan informasi tentang fakta-fakta, tetapi juga harus mampu membentuk pemikiran kritis siswa. Hal ini dapat dilakukan
malalui kegiatan siswa,
pembuktian
secara kritis
melalui
kegiatan
menganalisis dan menginterpretasi informasi historis. Dengan demikian guru sejarah dituntut melakukan tugasnya secara cermat, sehingga dapat menginformasikan secara kritis ketrampilan tersebut agar supaya tujuan akademik itu dapat tercapai dengan baik (Myer, 2000: 37). Ketrampilan kritis dari pengetahuan sejarah yang dipelajari dapat dicapai jika proses pembelajarannya diarahkan pada kemapuan pengambilan keputusan sebagai warganegara yang bebas dan demokratis.
Dengan
demikian, aplikasi
pembelajaran sejarah dapat ditempuh dengan menginformasikan, bahwa semua warga negara memiliki tanggung jawab bersama. Kegiatan pembelajaran dapat ditempuh dengan cara mengevaluasi dan memperdebatkan isu-isu aktual yang berkembang dalam masyarakat, sehingga peserta didik akam mampu mengambil keputusan dengan kapasitasnya sebagai warga negara yang demokratis (Why teach history?,2004: 6).
356
Kedua, pembelajaran dan pendidikan moral bangsa yang demokratis dan bertanggung jawab terhadap masa depan bangsanya. Kerangka yang kedua ini menuntut agar pembelajaran dan pendidikan sejarah berorientasi kepada pendidikan kemanusiaan (humanistic) yang menekankan pada tercapainya segi nilai, norma, dan pemahaman makna, serta kesadaran masa lampau. Pemahaman seperti inilah yang akan mendasari pembentukan pengalaman batin dan kepribadian, bukan hanya sekedar penangkapan pengetahuan sejarah semata-mata (Suryo,1990: 6). Dengan demikian, masyarakat tardisional yang telah hidup di masa lampau tetap dihadirkan sebagai "pola" utama masyarakat modern, sehingga menjadi sumber pembelajaran nilai bagi kehidupan masa kini. Masa lampau tersebut menjadi dasar untyuk mentransformasikan nilai-nilai tertentu yang dipandang penting bagi masa sekarang. Konsep inilah yang kemudian betrtahan hingga kini dalam bentuk sejarah nasional untuk kepentingan pendidikan sekolah, sehingga dikenal sebagai o/the past into the Juture (Aryani, 2005:1).
3.
Pembelajaran Nilai Sejarah untuk Meningkatkan Empati Mahasiswa Dalam pelaksanaan pembelajaran, materi perubahan sosial di Banyumas periode
1830-1900, ditempatkan sebagai kajian tematik dalam Mata kuliah Sejarah Sosial pada Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Uniniversitas Muhammadiyah Purwokerto. Proses pembelajaran nilai sejarah yang dilaksanakan di kelas dalam kenyataannya memiliki efek terhadap perilaku siswa, baik efek yang bersifat instruction maupun nurturant. Efek itu dapat terjadi selain yang berkaitan dengan penguasaan materi pembelajaran secara kritis, juga pada segi kepekaan peserta didik secara sosial, terutama yang berkaitan dengan empati peserta didik.
357
Dari hasil analisis data menunjukkan adanya pengaruh positif pembelajaran nilai sejarah secara kritis sesuai dngan ketrampilan historical thinking terhadap empati peserta didik dengan sumbangan pengaruh yang bervariasi. Sumbangan pengaruh historical thinking terhadap empati mahasiswa dapat dikekakan sebagai berikut: a) Sumbangan pengaruh historical thinking terhadap empati tentang nilai identitas diri sebesar 15,39 %, b) Sumbangan pengaruh historical thinking terhadap empati tentang nilai keagamaan mencapai 17.49 %, c) Sumbangan pengaruh historical thinking terhadap empati tentang nilai integrasi sosial sebesar 27,49 %, d) Sumbangan pengaruh historical thinking terhadap empati tentang nilai solidaritas sosial sebesar 19,02 %, dan e) Sumbangan pengaruh historical thinking terhadap empati tentang nilai
etos kerja
mencapai 17,17 %. Secara material (contents) perhatian utama dari proses pembelajaran sejarah harus diarahkan pada masa lampau, karena obyeknya berupa totalitas kehidupan masyarakat yang telah terjadi. Walaupun obyeknya bertumpu pada masyarakat masa lampau, namun mempelajari sejarah bukan hanya untuk mengetahui masa lampau itu semata-mata.
Mempelajari
peristiwa
sejarah
adalah
upaya
untuk
memahami
pengalaman-pengalaman generasi pendahulu dan bagi generasi berikutnya pengalaman itu penuh dengan nilai-nilai edukatif yang dapat membuat orang untuk lebih bijaksana (Abdulgani, 1963: 68). Mempelajari sejarah tentu saja bukan untuk menghafalkan ceritera masa lalu semata-mata, tetapi yang lebih penting adalah upaya mencari hukum-hukum yang menguasai kehidupan masyarakat sebelum kita. Dengan demikian, sejarah dalam konteks ini dapat dijadikan sebagai alat untuk memperjelas wawasan kehidupan masa kini dan perencanaan ke masa depan. Sebagai warga masyarakat yang bertanggung
358
jawab terhadap masa depan bangsanya, mempelajari sejarah merupakan hal sangat sentral untuk kepentingan masa kini dan masa depan. Melalui pemahaman sejarah, kesadaran nasional akan dapat dipupuk dan identitas nasional akan dapat ditumbuhkan. Keduanya akan menjadi landasan yang kuat bagi upaya pengembangan identitas diri bangsa. Secara ideal, tujuan tertinggi dari upaya pembelajaran sejarah adalah untuk mengarahkan pada pemahaman tentang pentingnya kebebasan, masyarakat demokratis, dan dalam rangka membangun kebudayaan bersama. Semua itu pada gilirannya dapat membentuk sikap kebanggaan (prides) terhadap bangsanya, atas dasar keragaman (pluralism) dan kebebasan individu (individual freedom). Dari sinilah kemudian identitas diri sebagai anggota suatu masyarakat dapat berkembang (Hirsch, 1993: 7). Bentuk kesadaran nasional dan identitas diri sebagai bangsa, pada hakekatnya merupakan fondasi yang sangat diperlukan bagi pembangunan bangsa. Sebagai fondasi, sudah pasti harus kokoh untuk menunjang keberhasilan pembangunan yang diperlukan di masa depan. Semakin baik penghayatan makna tentang sejarah bangsa, maka semakin baik pula potensi suatu generasi untuk membuat perspektif masa depan. Di sinilah letak peranan penting sejarah, melihat masa lampau dengan saksama, sebagaimana peristiwa itu terjadi, agar dapat merlaksanakan kehidupan masa kini sebaik mungkin. Hal ini pada gilirannya dapat menjadi dasar untuk merancang masa depan dalam proporsi dan konteks yang setepat mungkin (Soedjatmoko, 1990:14). Nilai kemanusiaan merupakan peran kunci untuk memupuk kemampuan dalam mengembangkan empati dan toleransi, yang ditunjukkan dalam bentuk simpati kepada yang lain (Shemilt, 1984: 39). Fungsi lain yang selanjutnya dapat dipupuk adalah kemampuan untuk mengembangkan kebiasaan dan peralatan intelektual yang dapat menopang pelaksanaan analisis, penilaian, dan kritik secara mandiri. Kemampuan jenis
359
terakhir ini akan terasa sangat penting pada saat seseorang dihadapkan pada moralitas, baik moralitas yang bersifat umum atau kemasyarakatan {public morality), maupun mortalitas pribadi (private morality). Nilai-nilai kemanusiaan dalam pandangan umum mampu malaksanakan hal-hal yang bersifat kemasyarakatan, yaitu mendidik warga negara secara cerdas dan bertanggung jawab. Sementara itu, nilai-nilai kemanusiaan secara khusus dapat berupa pengetahuan tentang keadaan diri, yang memberi dorongan pada seseorang untuk melakukan sesuatu yang seharusnya diperbuat. Kemampuan mengenali diri dan menentukan apa yang seharusnya dilakukan merupakan persyaratan dasar untuk timbulnya kesadaran tentang identitas diri (sel/ identity). Begitu juga kemampuan yang memadai untuk memahami sejarah masyarakatnya dapat memperkaya aspirasi-aspirasi dalam dirinya, yang berkaitan dengan aspirasi keagamaan, integrasi sosial, solidaritas sosial, maupun aspirasi yang berkaitan etos kerja yang berkembang dalam masyarakat. Di samping itu, mempelajari sejarah juga merupakan persyaratan dasar yang sama pentingnya bagi tumbuhnya kesadaran tentang identitas diri. Studi tentang sejarah yang dilakukan dalam suatu konteks sosio-kultural yang cukup spesifik ini, lazimnya dilakukan untuk memberikan seperangkat kesadaran kepada anggota masyarakat (Sudjatmoko, 1989: 4-5), Nilai-nilai yang terkandung dalam materi sejarah yang berkaitan dengan permasalahan sosial kontemporer yang terjadi dalam masyarakat Banyumas dewasa ini, sangat memerlukan sense of social atau empathy dari seluruh komponen masyarakat termasuk di dalamnya para peserta didik. Hal ini merupakan bentuk empati seseorang terhadap orang lain yang tengah memiliki masalah-masalah sosial. Kemampuan empati, baik yang bersifat afektif, kognitif, maupun komunikatif dapat dimiliki oleh peserta didik, sehingga mereka dapat memposisikan dirinya sebagai warganegara yang memiliki
360
kepekaan moral {moral sensitivity) yang memadai. Di samping itu, mereka juga mampu melakukan moral judgement, moral decision making, maupun moral action yang diaplikasikan peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung.. Pembelajaran nilai sejarah dalam kerang pendidikan IPS dapat memunculkan masalah yang berkaitan dengan moral bangsa atau moral masyarakat setempat sebagai salah satu isu sentral. Masalah moral bangsa atau moral masyarakat setempat berkaitan erat dengan identitas sosial, solidaritas sosial, semangat kebangsaan, semangat patriotisme, demokrasi, dan tipe masyarakat ideal yang seharusnya terbentuk sebagai hasil dari proses pembelajaran IPS. Dalam kaitan ini, moral individu maupun kelompok masyarakat setempat berhubungan langsung dengan realitas sosial pada zaman (waktu) dan tempat (ruang) di mana siswa itu berada. Kepekaan moral (moral sensitivity) seseorang dapat pula berdimensi universal yang menembus batas ruang dan waktu. Hal ini berarti, bahwa kepekaan moral dapat melampaui batas-batas wilayah nasional dan dalam kurun waktu yang berbeda. Sebagai contoh, kepekaan seseorang yang berkaitan dengan arti pentingnya solidaritas antar sesama manusia. Kemudian moral action lebih mengarah pada perilaku yang nyata secara kolektif maupun individual dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Dickinson (1984: 43) hal itu merupakan efek dari isntructional dan nurturant pembelajaran ilmu-ilmu sosial yang sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.
C. Temuan Penelitian 1. Gejala Kesejarahan Dalam pelaksanaannya, ekesploitasi ekonomi kolonial melalui sistem tanam paksa menghadapkan dua sistem ekonomi yang berjalan berdampingan, yaitu sistem
361
ekonomi Barat yang kapitalistik dengan sistem ekonomi tradisional yang feodalistik. Hal itu membawa dampak perubahan sosial ekonomi dalam masyarakat di Banyumas. Perubahan yang terjadi bersifat sektoral dan parsial, secara perlahan dan tidak menyeluruh. Dalam sektor ekonomi, perubahan yang terjadi berupa semakin meluasnya sistem ekonomi uang, yang ditandai dengan berkembangnya pasar lokal,sentra kerajinan rakyat dan terbentuknya lembaga perekonomian modern, terutama bank Hulp-Spaar en Landboim'credietbank tahun 1895. Tokoh yang disebut sebagai pendirinya adalah Aria Wiraatmadja, yang menjabat sebagai Patih Kabupaten Purwokerto waktu itu. Hal ini merupakan sumbangan yang sangat berarti bagi perkembangan lebih lanjut yang menempatkan daerah ini sebagai pelopor berdirinya Bank Rakyat Indonesia (BRI). Sementara itu dalam sektor sosial, perubahan sosial tidak ditandai dengan terbentuknya kelembagaan sosial yang baru. Perubahan yang terjadi berupa pergeseran fungsi lembaga yang telah ada dalam masyarakat. Kesetiaan penduduk terhadap pemimpin formal yang terikat pada birokrasi kolonial, secara berangsur mengalami pergeseran ditujukan kepada pimpinan non formal yang tidak terlibat dalam birokrasi kolonial. Tidak heran di daerah lahir tokoh-tokoh lokal berskala nasional yang berjiwa bebas, seperti Jendral Soedirman, Gatot Subroto, Supardjo Rustam, Susilo Sudarman, dan sederetan tokoh lainnya. 2. Keberadaan Nilai Sejarah a. Nilai Identitas diri Keberadaan nilai identitas diri, di lingkungan masyarakat Banyumas dalam perkembangan sejarahnya telah menunjukkan bentuk dan sosoknya yang unik yang sampai sekarang menjadi ciri khas masyarakat daerah itu. Hal ini sebagai reaksi kolektif masyarakat Banyumas terhadap penetrasi kolonial yang hampir melunturkan sendi-sendi
362
identitas lokal. Wong (orang) Banyumas tetap bertahan dalam ciri khas lokal mereka, yang dikenal sebagai masyarakat yang tampil sederhana, kasar, apa adanya, jujur, dan suka berterus terang. Hal ini dapat diamati dari perilaku budaya lokal Banyumas, terutama yang berkaitan dengan kesenian, bahasa, dan adat-istiadat, yang berlaku di daerah itu. Dalam istilah lokal, ciri seperti ini dikenal blaka suta dan tanpa tedheng aling-aling. Kearifan lokal (local genius) yang tumbuh, berkembang dan tetap bertahan dalam masyarakat Banyumas itu pada dasarnya merupakan perjuangan kolektif agar mereka agar tetap survive dari dominasi dan pengaruh asing. b. Nilai Keagamaan Secara tradisional, masyarakat Banyumas merupakan pemeluk agama Islam yang taat dan menempatkan pimpinan ulama kharismatik sebagai figur sentral. Hal in idisebabkan Islam yang berkembang di daerah itu bercorak sufistik dengan kyai sebagai pemegang kendali kepemimpinan non formal,. Berdasarkan kenyataan itu, maka kaum sufi dan guru tarekatnya memegang peranan penting perkembangan Islam di daerah itu. Kondisi demikian membawa pengaruh yang berupa sikap pasrah dan ikhlas berbakti kepada Tuhan melalui bimbingan para ulama bebas. Bentuk pasrah dan keikhlasan kepada Tuhan ini, melahirkan kesabaran yang tinggi dalam menghadapi kemiskinan dan pederitaan. Akan tetapi di Banyumas, ketaatan beragama semacam itu juga telah melahirkan semangat perlawanan terhadap kesewenangan pihak kolonial melalui gerakan missianisme yang dipimpin oleh Kyai Nurhakim dengan tarekat Akmaliyah sebagai wahananya. Peristiwa tersebut dipandang merupakan perlawanan yang sangat heroik bagi masyarakat di daerah itu.
36 3
c. Nilai Integrasi Sosial Secara tradisional, Desa-desa di Banyumas bersifat otonom. Mereka memiliki pemerintahan sendiri yang meliputi seluruh daerah hukum sebagai kesatuan yang bulat. Desa selalu dijunjung tinggi dan mendapat prioritas utama dibandingkan dengan kepentingan perorangan. Bagi penduduk, desa tidak hanya dipandang sebagai tempat tinggal, tetapi merupakan tempat seseorang lahir dan dibesarkan. Ketika birokrasi dan lembaga pemerintahan desa tidak lagi dapat menjadi penyalur aspirasi dan pelindung rakyat dari ekpsloitasi kolonial, maka muncul pergeseran perilaku masyarakat dalam mewujudkan kesetiaannya kepada tempat kelahiran mereka. Rakyat yang semakin terperangkap dalam kemiskinan dan kesengsaraan, mengubah pola penyaluran aspirasi dari bentuk pepe (berjemur di halaman pejabat) dengan
gerakan protes sosial yang
bersifat sporadis. Gerakan protes sosial dilampiaskan dalam bentuk pembakaran perkebunan tebu, pencurian,
begal (perampasan) dan garong (perampokan) yang
ditujukan kepada orang kaya pribumi, Cina, dan birokrat lokal yang dipandang sebagai penyebab penderitaan rakyat. Muncul bandit-bandit sosial di tingkat lokal yang dikenal sebagai brandal dan kecu sebagai gembong (tokoh yang ditakuti) di dunia kejahatan. Semua itu dilakukan sebagai jalan pintas untuk mengembalikan hak-hak mereka yang telah hilang sebagai korban kesewenangan pihak kolonial. Tokoh lokal yang sangat populer di daerah itu adalah Enthong Tolo. d. Nilai Solidaritas sosial Pemahaman nilai solidaritas sosial dapat difokuskan kepada terbentuknya lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan. Secara tradisional, di lingkungan penduduk Banyumas berkembang bentuk masyarakat yang bersifat kekerabatan, sebagai organisasi kemasyarakatan yang timbul dengan sendirinya, dan lahir berdasarkan pada sistem
364
hubungan yang bersifat peresekutuan antar warga. Hal ini karena mereka merasa saling membutuhkan dan didorong oleh maksud-maksud yang tulus berdasarkan pada adatistiadat yang berlaku. Berdasarkan kenyataan itu, maka nilai-nilai solidaritas sosial yang berkembang di lingkungan masyarakat Banyumas memiliki dua ciri, yaitu kebersamaan vertikal dan kebersamaan horisontal. Ketika penderitaan penduduk semakin meluas, solidaritas vertikal diwarnai oleh pergeseran kesetiaan penduduk dari elit birokrasi pribumi kepada para pimpinan lokal dari jalur non formal seperti ulama bebas, karena mereka dipandang sebagai patron yang mampu memberi perlindungan dan rasa aman kepada penduduk. Solidaritas horisontal, diwujudkan dalam bentuk kesetiakawanan antar warga masyarakat terhadap sesamanya berdasarkan pada kesederajatan yang didorong oleh persamaan nasib. Solidaritas sosial horisontal yang berkembang berupa; 1) kebersamaan sambatan, yaitu saling membantu antara warga desa tanpa mengharap imbalan. 2) kebersamaan dalam ruwatan desa, yang berupa pesta sosial atau perayaan desa yang diselenggarakan pada bulan Ruwah, Syura, Besar, dan Syawal. Dalam acara tersebut mereka saling berbagi makanan, sehingga berfungsi untuk menyantuni dan menambah gizi masyarakat miskin. 3) Liuran, yaitu membantu orang lain dalam bentuk kerja atau barang yang dipergilirkan (arisan) kepada masing-masing anggota masyarakat yang membutuhkan. 4) Sumbangan sosial, yang diberikan oleh anggota masyarakat yang menyelenggarakan hajatan maupun sedang dalam suasana kesusahan. e. Nilai Etos kerja Masyarakat secara tradisional memandang kerja tidak hanya dimaknai secara fisik semata. Kerja dengan segala bentuknya tidak dipandang sebagai beban, tetapi merupakan suatu perwujudan dari solidaritas sosial bagi komunitas khas pedesaan. Dengan demikian, secara tradisional petani merupakan pekeija-pekeija keras yang
365
penuh pengabdian, walaupun mereka tergolong sebagai kelompok masyarakat yang miskin. Sebagai dampak dari tanam paksa, kemiskinan mereka begitu parah di daerah itu. Untuk mempertahankan hidup, dalam masyarakat muncul kebiasaan mengkonsumsi bongkrek (limbah produksi minyak kelapa) maupun gaber (limbah produksi tapioka). Di samping itu, kemiskinan telah mendorong munculnya kesadaran dan membangkitkan semangat penduduk untuk melakukan kerja individual di luar sektor pertanian mereka. Walaupun demikian keija untuk kepentingan bersama keamanan bersama (ronda, tuguran)
(kerigan) dan kerja untuk
tetap dilestarikan. Muncul gerakan penduduk
untuk bekerja di perkebunan, pabrik, atau sektor kerajinan dan jasa. Motivasi kerja mereka adalah dorongan untuk memperoleh imbalan uang agar mereka lepas dari kemiskinan. Semangat kerja individual dalam istilah lokal dikenal dengan ngode, yang artinya kerja untuk memperoleh penghasilan berupa uang. Jenis kerja yang dilakukan disebut dengan istilah kodean. Bagi masyarakat Banyumas, ngode dan jenis kodean merupakan simbol status sosial dan kemapanan seseorang, bahkan menjadi ukuran kelayakan bagi seorang jejaka untuk dapat hidup berumah tangga. 3. Aplikasi Pembelajaran Nilai Sejarah a. Peningkatan Ketrampilan Historical Thinking Ketrampilan berpilir sejarah atau historical thinking peserta didik dapat dicapai dengan menunjukkan ketrampilannya dalam hal: a) mengevaluasi bukti-bukti sejarah, b) mengembangkan perbandingan berdasarkan analisis sebab-akibat, c) melakukan interpretasi rekaman sejarah berdasarkan analisis historis, dan d) memiliki wawasan tentang penarikan kesimpulan yang bermanfaat bagi kehidupan masa kini. Melalui kegiatan pembelajaran nilai-nilai sejarah dalam kerangka IPS yang diarahkan kepada peningkatan
ketrampilan
historical thinking,
peserta didik telah
menunjukkan
366
ketrampilannya untuk mengevaluasi bukti-bukti sejarah, mengembangkan perbandingan berdasarkan analisis sebab-akibat, melakukan interpretasi rekaman sejarah, dan memiliki wawasan yang dapat memberi informasi yang bermanfaat bagi kehidupan masa kini. Dari hasil analilis data, ditemukan kemampuan historical thinking peserta didik, dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori: 1) Terdapat 25 % mahasiswa punya ketrampilan sangat tinggi, skor 3,50-4,00. 2) Sebanyak 45 % peserta didik memiliki ketrampilan tinggi, skor 2,75- 3,49. 3) Terdiri dari 30 % peserta didik yang memiliki ketrampilan cukup dengan skor 2,00-2,74. b. Efek Ketrampilan Historical Thinking bagi Empati Mahasiswa Dari hasil analisis data dikemukakan temuan efek ketrampilan historical thinking terhadap empati tentang nilai yang berkembang dal;am masyarakat Banyumas, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Pengaruh historical thinking terhadap empati tentang nilai Identitas diri. Hasil perhitungan diperoleh nilai r hitung sebesar 0,392. Dari persamaan garis regresi dapat diketahui b bernilai positif, sehingga terdapat pengaruh yang positif ketrampilan historical thinking terhadap empati tentang nilai Identitas diri. Besarnya koefisien determinasi 15,39 %. Hal ini berarti empati tentang nilai Identitas diri ditentukan oleh ketrampilan historical thinking sebesar 15,39 %. 2) Pengaruh historical thinking terhadap empati nilai Keagamaan. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai r hitung sebesar 0,418. Dari perhitungan nilai t diperoleh t hitung 1,849. Dari persamaan garis regresi dapat diketahui b bernilai positif, sehingga terdapat pengaruh yang positif ketrampilan historical thinking terhadap empati tentang nilai Keagamaan. Besarnya koefisien determinasi
367
17,49 %. Hal ini berarti empati tentang nilai Keagamaan ditentukan oleh ketrampilan historical thinking sebesar 17,49 %. 3) Pengaruh historical thinking terhadap empati nilai Integrasi sosial Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai r hitung sebesar 0,521. Dari persamaan garis regresi dapat diketahui b bernilai positif, sehingga terdapat pengaruh yang positif ketrampilan historical thinking terhadap empati tentang nilai Integrasi sosial. Besarnya koefisien determinasi 27,107 %. Hal ini berarti empati tentang nilai Integrasi sosial ditentukan oleh ketrampilan historical thinking sebesar 27,107 %. 4) Pengaruh historical thinking terhadap empati nilai Solidaritas sosial. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai r hitung sebesar 0,436. Dari persamaan garis regresi dapat diketahui b bernilai positif, sehingga terdapat pengaruh yang positif ketrampilan historical thinking terhadap empati tentang nilai Solidaritas sosial. Besarnya koefisien determinasi 19,02 %. Hal ini berarti empati tentang nilai Solidaritas sosial ditentukan oleh ketrampilan historical thinking sebesar 19,02 %. 5) Pengaruh historical thinking terhadap empati nilai Etos kerja. Berdasarkan hasil perhitungan product moment diperoleh nilai r hitung sebesar 0,414. Dari persamaan garis regresi dapat diketahui b bernilai positif, sehingga terdapat pengaruh yang positif ketrampilan historical thinking terhadap empati tentang nilai Etos keija. Besarnya koefisien determinasi 17,17 %. Hal ini berarti empati tentang nilai Etos kerja ditentukan oleh ketrampilan historical thinking sebesar 17,17 %.