BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Proses Penyidikan Oleh Kepolisian Dan Kejaksaan 4.2 Sejarah Kejaksaan Negeri Gorontalo Kejaksaan di Gorontalo telah ada sejak zaman Belanda, bersamasama dengan Pengadilan, yang melaksanakan tugas sebagai penegak hukum yang meliputi memperhatikan ketentuan-ketentuan Undangundang, melakukan penuntutan tindak pidana pelanggaran dan kejahatan, melaksanakan putusan-putusan pengadilan. Pada tahun 1927 berdasarkan R.B.G (Rechtsreglemen Buiten Gewesten) Stbl.1927-227 yang menetapkan adanya badan-badan peradilan umum yang berlaku untuk daerah-daerah di luar Jawa dan Madura yaitu : a. Districgerechten (Pengadilan-pengadilan distrik dan kewedanaan). b. Regenschapsgerechten (Pengadilan-pengadilan Kabupaten) c. Landraden (Pengadilan-pengadilan Negeri) d. Landgerechten (Pengadilan-pengadilan Kepolisian) e. Residentiegerechten (Pengadilan-pengadilan Kerisedenan) f. Raad van Justitie (Pengadilan-pengadilan Justisi) g. Hooggerechtshof (Mahkamah Agung) Dari ke-7 badan-badan peradilan tersebut maka hanyalah Pengadilan Negeri (Landraad), Pengadilan Justisi (Raad van Justitie) dan Mahkamah Agung (Hooggerechtshof) yang ada relevansinya dengan Jaksa atau Kejaksaan.
43
Dalam ketiga jenis badan peradilan ini ada pegawai-pegawai yang diberi wewenang selaku pengemban tugas dari suatu lembaga (badan atau dinas) Negara yang dinamakan Openbaar Minister (O.M). Di Gorontalo pada tahun 1927 Ketua Pengadilan berkedudukan di Ternate yang wilayah hukumnya meliputi Irian Barat termasuk Gorontalo yang berlangsung hingga tahun 1934. Pada tahun 1934 Pengadilan Landraad Gorontalo di Ketuai oleh Asisten Residen yang berkedudukan di Gorontalo. Adapun badan peradilan yang berlaku di Gorontalo pada waktu itu selain Landraad (Pengadilan Negeri) juga terdapat Pengadilan Distrik yang mengadili perkara-perkara ringan sedangkan Landraad (Pengadilan Negeri) mengadili perkara-perkara yang lebih berat. Jika ada perkara kejahatan maka Hakim memanggil Jaksa untuk bersidang melakukan penuntutan. Keadaan tersebut berlaku hingga tahun 1942, yakni berakhirnya pemerintahan Belanda. Pada tahun 1942 Tokoh Nasional/Perintis Kemerdekaan Nani Wartabone merebut pemerintahan dari tangan Belanda dan Beliau menjadi pimpinan pemerintahan di Gorontalo. Sebagai pimpinan pemerintahan di Gorontalo juga menjadi Ketua Pengadilan Negeri (Landraad) yang berlangsung selama 6 (enam) bulan yakni hingga sampai dengan masuknya Jepang yang memerintah di Gorontalo. Oleh pemerintah Jepang tetap saja memberlakukan ketentuan-ketentuan Undang-undang yang sudah berlaku kecuali yang sudah dicabut.
44
Setelah Indonesia Merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 masih tetap saja memberlakukan Undang-undang yang mengadili perkaraperkara berdasarkan H.I.R (Herzien Indlaasch Reglement) Stbl. 1941 No.44. Sejarah terbentuknya Kejaksaan Negeri Gorontalo tidak dapat dipisahkan dengan sejarah terbentuknya Pengadilan Negeri Gorontalo sehingga masa Kejaksaan Negeri Gorontalo sebelum tahun 1960 adalah Kejaksaan Negeri pada Pengadilan Negeri Gorontalo atau Jaksa pada Pengadilan Negeri Gorontalo. Selanjutnya berdasarkan putusan Kabinet Kerja I pada tanggal 22 Juli 1960 yang dikuatkan dengan Keputusan Presiden R.I. Nomor 204 tahun 1960 tanggal 15 Agustus 1960 yang berlaku surut mulai tanggal 22 Juli 1960 terjadi perubahan status Kejaksaan dari Lembaga yang berada dibawah Kementerian Kehakiman menjadi Lembaga yang berdiri sendiri menjadi Departemen Kejaksaan sehingga dengan demikian Kejaksaan Negeri Gorontalo yang sebelumnya bernama Kejaksaan Negeri pada Pengadilan Negeri Gorontalo berubah menjadi Kejaksaan Negeri Gorontalo. Dalam tahun 1960 sewaktu H.CH. Makahanap menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Gorontalo telah mengusulkan pembentukan 2 (dua) buah Cabang Kejaksaan Negeri Gorontalo yaitu Cabang Kejaksaan Negeri Gorontalo di Tilamuta dan Cabang Kejaksaan Negeri Gorontalo di Kwandang. Pada Tahun 1961 diresmikan pembukaan kedua Cabang Kejaksaan Negeri Gorontalo tersebut berdasarkan Keputusan Jaksa Agung
45
R.I. yakni Cabang Kejaksaan Negeri Gorontalo di Tilamuta dengan wilayah hukum terdiri dari 5 (lima) kecamatan dipantai Selatan bagian Barat Gorontalo terdiri dari Kecamatan Paguyaman, Tilamuta, Paguat, Marisa dan Popayato, sedangkan Cabang Kejaksaan Negeri Gorontalo di Kwandang yang wilayah hukumnya terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan di pesisir pantai bagian Utara Gorontalo yaitu Kecamatan Kwandang, Atinggola dan Sumalata. Sebelum tahun 1961 di saat Kejaksaan masih berstatus Kejaksaan Negeri pada Pengadilan Negeri Gorontalo, Kejaksaan Negeri gorontalo mempunyai wilayah hukum selain daerah Gorontalo meliputi pula Kewedanaan buol (Sulawesi Tengah), dengan Cabang Kejaksaan Negeri di Leok. Selanjutnya dengan dibukanya Pengadilan Negeri Limboto pada tahun 1977, maka pada tahun 1979 terbentuk pula Kejaksaan Negeri Limboto sehingga demikian Kejaksaan Negeri Gorontalo yang semula wilayah hukumnya terdiri dari 2 (dua) daerah Tingkat II yakni Kotamadya Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo, dipisah menjadi 2 (dua) Kejaksaan dimana Kejaksaan Negeri Gorontalo dengan wilayah hukumnya adalah 3 (tiga) Kecamatan sebagai wilayah Pemerintahan Daerah Tingkat II Kotamadya Gorontalo ditambah 4 (empat) Kecamatan yang terletak di bagian Timur wilayah Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Gorontalo yakni Kecamatan Tapa, Kabila, Suwawa dan Bone Pantai. Karena dari 16 (enam belas) Kecamatan sebagai wilayah Pemerintah Daerah Kabupaten
46
Tingkat II Gorontalo ada 4 (empat) Kecamatannya termasuk menjadi wilayah hukum Kejaksaan Negeri Gorontalo, maka ke-12 (dua belas) Kecamatan
lainnya
menjadi
wilayah
hukum
Kejaksaan
Negeri
Limboto.Dengan terbentuknya Kejaksaan Negeri Limboto maka cabang Kejaksaan Negeri Gorontalo di Tilamuta dan Cabang Kejaksaan Negeri Gorontalo di Kwandang telah berubah statusnya menjadi Cabang Kejaksaan Negeri Limboto di Tilamuta dan Cabang Kejaksaan Negeri Limboto di Kwandang. Luas wilayah hukum Kejaksaan Negeri Gorontalo adalah 2.035 KM bujur sangkar yang terdiri dari 7 (tujuh) Kecamatan dengan 103 Kelurahan/Desa. Jumlah penduduk 217.001 jiwa (Sensus tahun 1992). Kotamadya Gorontalo adalah salah satu daerah Tingkat II yang terletak di kawasan Barat Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Utara dan berinteraksi dengan kegiatan social ekonomi kawasan Teluk Temini. Adapun Kepala Kejaksaan Negeri Gorontalo yang pernah bertugas di Kejaksaan Negeri Gorontalo sejak tahun 1959 hingga sekarang adalah : Tabel 4.2 Kepala Kejaksaan Negeri Gorontalo yang pernah bertugas di Kejaksaan Negeri Gorontalo sejak tahun 1959 hingga sekarang NO
NAMA
TAHUN MASA JABATAN
1
H.CH.Makahanap
1956 – 1959
2
Iskandar, SH
3
Fatahurrahman, SH
1965 – 1967
4
Murni Rauf, SH.
1967 – 1968
1965 – 1965 (6 bulan)
47
5
Abdul Gafar Lalusu, SH.
1968 – 1972
6
Abdul Wahab Hamzah,SH.
1972 – 1975
7
Sofyan Thaib, SH.
1975 – 1980
8
Soepomo, SH.
1980 - 1982
9
Abidin Dasuki, SH.
1982 – 1987
10
Kemal Achmadsyah, SH.
1982 – 1990
11
Amir Zainuddin, SH. Sagir
1990 – 1992
12
Abdullah, SH.
1992 - 1995
13
Alpiah Thalib, SH.
1995 - 1998
14
Ny.HazelilponiSasiang,SH.
1998 - 2000
15
Ny.TennyM.Podungge,SH.
2000 – 2003
16
Wahyudi, SH.
2003 – 2005
17
Riwayadi, SH.
2005 – 2008
18
Payaman SH,M.Hum
2008 – 2012
19
Mamik Suligiono, SH.`
2012- sekarang
4.2 Proses Penyidikan Perkara Tindak Pidana Korupsi di Kepolisian Kewenangan
kepolisian
dalam
melakukan
penyidikan
sebelumnya sudah disebutkan dalam Kitan Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). berdasarkan ketentuan umu pada Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa penyidik merupakan pejabat kepolisian tertentu yang di beri wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Pada Pasal 4 jo pasal 6 KUHAP dijelaskan bahwa kepolisian memiliki
48
kewenagan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan. Demikian juga pada undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yakni pada Pasal 14 ayat (1) huruf g menyatakan tugas pokok kepolisian Negara Republik Indonesia adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dasar Hukum Kpolisian dalam melakukan penanganan Tindak Pidana Korupsi adalah: 1.
Kitab undang hukum pidana (KUHP)
2. Kitab hukum acara pidana (KUHAP) 3. Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 4. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang diganti dengan UndangUndang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 5. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 6. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 7. Undang-Undang No, 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Berwibawa Dan Bebas Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme.
49
Informasi tentang dugaan adanya tindak pidana korupsi, dapat bersumber dari berbagai macam sumber informasi antara lain yakni berupa berita-berita yang ada di media cetak dan media elektronik, laporan oleh masyarakat secara langsung maupun laporan dari Lembaga Suwadaya Masyarakat (LSM). Setelah menerima informasi tentang adanya tindak pidana korupsi, pihak kepolisian kemudian akan melakukan penelusuran informasi tersebut untuk mengumpulkan datadata dan bukti-bukti tentang dugaan adanya tindak pidana korupsi. Setelah memperoleh keterangan dan beberapa bukti yang cukup, maka pihak kepolisian akan melakukan tindakan selanjutnya yakni dengan membentuk tim prnyelidik dan disertai dengan surat perintah penyelidikan untuk mengetahui ada tidaknya tindak pidana korupsi tersebut. Dalam surat perintah tersebut secara singkat dijelaskan tentang dugaan korupsi yang terjadi, susunan tim penyelidik dan asal informasi yang telah diperoleh. Setelah tim terbentuk, maka akan dilakukan koordinasi untuk membahas dan menganalisis data-data yang diperoleh beserta alat-alat bukti minimal 2 alat bukti dan tersangka dugaan korupsi. Alat bukti yang sah menurut ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP : 1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat 4. Petunjuk
50
5. Keterangan terdakwa Apabila telah memenuhi minimal dua alat bukti, maka tim akan memutuskan bahwa kasus dugaan korupsi yang diperoleh akan dilakukan tahap pemeriksaan selanjutnya yakni penyidikan. Penyidikan dimaksudkan untuk pemeriksaan terhadap tersangka, melakukan penangkapan, penahanan, penggledahan dan penyitaan dokumen berupa surat-surat berharga serta pemeriksaan saksi-saksi yang bersangkutan dengan adanya tindak pidana korupsi. Dengan diserahkanya berkas hasil penyelidikan tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi ke pihak penyidik, maka akan dibentuk pula tim penyidik yang disertai dengan surat perintah penyidikan atau yang disingkat dengan P-8. Dalam surat tersebut dicantumkan berupa keterangan identiras lengkap dari tesangka, serta penjelasan secara singkat tentang dugaan tindak pidana korupsi dan susunan tim penyidik sebagaimana pada surat perintah penyelidikan. Dalam tahap penyidikan, penyidik akan melakukan rencana pemanggilan terhadap saksi-saksi untuk dimintai keterangan dan dicantumkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Sebelumnya penyidik akan mengeluarkan surat panggilan kepada tersangka, saksi dan bahkan saksi ahli tiga hari sebelum menghadap penyidik. Namaun bila dalam panggilan yang diajukan sebanyak tiga kali panggilan terdakwa belum juga dating menghadap, maka kepolisian akan melakukan jemput paksa.
51
Setelah
menerima
keterangan
dari
saksi-saksi
yang
bersangkutan, tahap selanjutnya yakni pihak penyidik akan melakukan pemanggilan kepada trdakwa terkait pemeriksaan terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Setelah melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi dan terdakwa akan dilanjutkan dengan penyitaan terhadap barang bukti berupa surat-surat dan dokumen-dokumen penting serta barang bukti lainya berdasarkan ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang dianggap penting dalam penyidikan perkara pidana korupsi yang akan didahului dengan penerbitan surat izin penggeledahan dan penyitaan. Dari hasil pemeriksaan penyidikan, apabila keteranganketerangan dari saksi-saksi dan terdakwa dianggap sudah benar dan alat bukti dinyatakan sudah lengkap, hasil penyidikan dicantumkan dalam bentuk laporan Berita Acara Pemeriksaan dan dikoordinasikan dengan apakah berkas perkara tersebut sudah benar-benar lengkap yang kemudian akan dilakukan pelimpahan berkas perkara kepada penuntut umum (P21). Hasil penyidikan dari penyidik kemudian diperiksa kembali oleh pihak penuntut umum apakah berkas tersebut sudah memenuhi syarat formil maupun materil. Apabila belum juga memenuhi persyaratan maka berkas tersebut akan di kembalikan kepada pihak penyidik untuk di lengkapi (P18) dalam pengembalian berkas perkara yang belum lengkap kejaksaan akan menyertai berupa petunjuk-petunjuk untuk melengkapi
52
berkas tersebut (P19). Jika sudah lengkap maka akan dilimpahkan kembali kepada jeksa penuntut umum untuk dilanjutkan ketahap persidangan. Secara umum lembaga Kepolisian memiliki 3 (tiga) fungsi, yaitu: 1. Fungsi memelihara keamanan 2. Fungsi pelayanan masyarakat 3. Fungsi peradilan pidana. Dengan demikian, fungsi Kepolisian sebagai bagian dari sistem peradilan pidana sesungguhnya hanyalah merupakan sebagian atau salah satu dari fungsi Kepolisian. Namun, karena fungsi ini paling banyak disorot oleh masyarakat, maka kerap kali kegiatan polisi hanya diidentikkan dengan fungsi ini saja. Selain tiga fungsi di atas, maka kepolisian juga mempunyai 2 (dua tugas utama, yaitu: tugas penegakan hukum; dan tugas memelihara ketertiban dan ketenteraman dalam masyarakat. Keseluruhan tugas dan fungsi polisi tersebut tidak dapat dipisahkan karena saling berhubungan. Tugas polisi dalam memelihara ketertiban dan ketenteraman masyarakat berada pada perbatasan antara perilaku warga masyarakat yang bersifat kriminal dengan yang bersifat non-kriminal. Dalam
menjalankan
tugas
ini
polisi
diharapkan
dapat
memecahkan setiap masalah yang dihadapinya. Kondisi tersebut menuntut polisi harus bertindak menurut penilaiannya sendiri. Dan berkaitan dengan tugas penegakan hukum, polisi memiliki tugas yang
53
harus dijalankan, yaitu tugas penyidikan dan penyelidikan sebagaimana yang diamanatkan oleh KUHAP. Dalam menjalankan tugas ini, maka polisi berhubungan dengan institusi peradilan pidana lainnya, yaitu Kejaksaan. Dalam hal inilah kerap timbul masalah mengenai mekanisme koordinasi pelaksanaan tugas dalam menjalankan fungsi penyelidikan dan penyidikan. Karena P.18 yang dikeluarkan oleh Kejaksaan, sering tidak dapat dipenuhi oleh polisi, karena terlalu teknis, misalkan Kejaksaan minta asli dari S.K. Menteri atau Peraturan Menteri. Sejalan dengan uraian di atas, peneliti juga melakukan wawancara langsung dengan Raidmun Lahmudin selaku Kanit Tipikor di Polres Kota Gorontalo. Dari hasil wawancara dikatakan bahwa proses penyidikan tindak pidana korupsi di Polres Gorontalo dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU RI No. 20 Thn 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Adapun inti dari proses penyidikan yakni penyelidikan informasi yang diterima (terpenuhi syarat-syaratnya), gelar perkara dan penyidikan (penelusuran perkara). Dijelaskan pula oleh Raidmun Lahmudin bahwa hambatanhambatan yang ditemui pada proses penyidikan kasus tindak pidana korupsi yakni kesulitan untuk menemukan data-data atau dokumendokumen asli, kesulitan untuk membongkar kasus-kasus pejabat-pejabat
54
tertentu, kesulitan untuk mendapatkan keterangan ahli yang berada di luar wilayah Gorontalo1. Sehubungan dengan hambatan yang dihadapi maka pihak penyidik Polres melakukan koordinasi dengan Jaksa Penuntut Umum dan Pengadilan, Pengacara, dan Instansi yang terkait khususnya BPK sebagai tolak ukur. Pihak kepolisian juga tetap melakukan koordinasi secara meluas. Dari data yang diperoleh di Polres Gorontalo diketahui bahwa dari tahun 2010 sampai 2013 hanya terdapat 1 (satu) kasus tindak pidana korupsi yang ditangani yakni korupsi bantuan sosial dinas sosial Provinsi Gorontalo. 4.3 Proses Penyidikan Perkara Tindak Pidana Korupsi di Kejaksaan Kewenangan
kejaksaan
untuk
melakukan
penyidikan
disebutkan dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Berdasarkan pasal 30 Undang-Undang Kejaksaan dijelaskan bahwa kejaksaaan berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Kewenangan kejaksaan ini contohnya kewenangan yang diberikan oleh UndangUndang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.
1
Hasil Wawancara Dengan KANIT TIPIKOR BpkRaidmun Lahmudin, Tanggal, 5-11-2013.
55
20 Tahun 2001, dan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang KPK). Secara umum Undang-Undang Kejaksaan menjelaskan bahwa kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undangundang yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk melakukan penyidikan. Dasar Hukum Kejaksaan dalam melakukan penanganan Tindak Pidana Korupsi adalah: 1) Kitab undang hukum pidana (KUHP) 2) Kitab hukum acara pidana (KUHAP) 3) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang diganti dengan UndangUndang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 4) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 5) Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Negara Republik Indonesia. 6) Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 7) Undang-Undang No, 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Berwibawa Dan Bebas Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme.
56
Materi Tindak Pidana Korupsi merupakan bagian dari Hukum Pidana Khusus dan pihak yang berhak melakukan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana korupsi adalah pihak kejaksaan. Berdasarkan Pasal 1 KUHAP, penyidikan adalah serangkain tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya. 2 Proses penyidikan yang dilakukan oleh Pihak Kejaksaan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi adalah bahwa Berdasarkan Keputusan jaksa Agung RI No. KEP-518/ A/ J.A/11/2001 tanggal 1 November 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No.Kep-132/J.A/11/1994 tanggal 7 November 1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana dan kelaziman praktik penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi, modus operandi terungkapnya perkara korupsi dapat karena adanya inisiatif penyidik sendiri atau karena laporan/informasi seseorang tentang telah terjadinya Tindak Pidana Korupsi.3 Dalam tahap proses penyidikan di Kejaksaan Negeri Gorontalo calon peneliti melakukan wawancara langsung dengan Bapak Sukandi
2
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Keputusan jaksa Agung RI No. KEP-518/ A/ J.A/11/2001 tanggal 1 November 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No.Kep-132/J.A/11/1994 tanggal 7 November 1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana dan kelaziman praktik penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi. 3
57
Maku selaku sebagai KASI PIDUS bahwa tahap proses penyidikan tindak pidana korupsi di kejaksaan secara singkat dilakukan dengan tahapan berikut : “a. berawal dari laporan dari masyarakat tentantang dugaan pidana korupsi,atau diperoleh dari media cetak dan elektronik ataupun dengan cara mencari informasi sendiri yang dilakukan intelijen kejaksaan dan laporan dari hasil pengawasan dari instansi pemerintah tertentu. b.. penyelidikan dilakukan oleh intelijen baik operasi tertutup tanpa punlikasi dan terbuka dapat di publikasikan. c. penyelidikan dan penyidikan dilakukan harus disertai dengan penerbitan surat perintah penyelidikan dan perintah penyidikan. d. minimal dua barang bukti dan tersangka untuk dilakukan penyidikan. e. proses penyelidikan dan penyidikan dilakukan berdasarkan ketentuan yang ada dalam KUHAP”. dari penjelasan beliau maka peneliti dapat menjelaskan bawa pihak
pnyidik
kejaksaan
dapat
memperoleh
pengaduan
laporan/informasi dari masyarakat yang mengetahui tentang duagaan adanya tindak pidana korupsi, dari media cetak surat kabar, dari media elektronik maupun dengan mencari sendiri kasus-kasus dugaan korupsi dengan mengutus intelijen. Dalam mencari informasi intelijen dari kejaksaan beroperasi cenderung melakukan secara tertutup maupun terbuka. Operasi tertutup artinya intelijen dalam mencari data dan keterangan dilakukan tanpa adanya publikasi dan tanpa member tahu kepada setiap orang atau pihak tertentu yang dimintai informasi tentang adanya tindak pidana korupsi. Sedangkan tertutup yakni intelijen mengambil data dan keterangan dengan cara memanggil pihak-pihak tertentu untuk dimintai informasi, namun hasil dari penyelidikan tetap dirahasiakan. Hasil penyelidikan kemudian akan dilampirkan dalam
58
bentuk laporan, dimana laporan tersebut berisikan waktu dan tanggal dari penerimaan informasi, penjelasan tentang dugaan adanya tindak pidana korupsi dan disertai dengan identitas dari si pengadu/pelapor dan penerima laporan. Dalam laporan tentang dugaan tndak pidana korupsi yang memiliki indikasi kuat bahwa informasi tersebut benar-benar telah terjadi perbuatan korupsi kemudian akan di tindaklanjuti berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP. Namun apabila informasi tersebut dianggap belum melengkapi unsur-unsur tentang adanya kerugian Negara, maka kejaksaan wajib mengembalikan laporan tersebut kepada intelijen untuk dilengkapi. Setelah laporan dianggap sudah lengkap, maka akan dilanjutkan dengan tahap penyelidikan. tersebut
dengan
membentuk
dengan
tim
penyelidik
yang
kemudian
disertai
dikeluarkannya surat perintah penyelidikan. Surat perintah penyelidikan bila telah diterbitkan, aka akan dilanjutkan dengan tahap penyelidikan. Pada tahap ini tim penyelidik akan melakukan penelusuran perkara lebih lanjut apakah perkara tersebut benar-benar sudah mengandung unsure tindak pidana korupsi atau belum. Hal ini dapat diketahui dengan mencari dokumen-dokumen atau data-data yang dianggap penting dan alat-alat bukti lainya menurut ketentuan dalam undang-undang. Hasil penyelidikan yang sudah dianggap lengkap kemudian akan disusun dalam bentuk laporan oleh tim penyelidik kejaksaan dan
59
kemudian hasil penyelidikan akan dipaparkan untuk dikoordinasikan dalam memberikan kesimpulan apakah hasil penyelidikan tersebut sudah dapat dilakukan penyidikan. Apabila dianggap sudah benar-benar lengkap, tim penyelidik kemudian menyerahkan langsung hasil penyelidikan tersebut kepada pihak penyidik kejaksaan untuk dilakukan tahap selanjutnya yakni tahap penyidikan perkara. Tahap
penyidikan
tidak
berbeda
jauh
dengan
tahap
penyelidikan. Sebelum melakukan penyeidikan maka akan dibentuk tim penyidik yang kemudian akan disertai dengan penerbitan surat perintah penyidikan. Pada tahap ini tim penyidik akan melakukan panggilan terhadap saksi dan terdakwa untuk dimintai keterangan-keterangan perkara korupsi yang sedang dalam pemeriksaan. Dalam pemanggilan saksi dan tersangka tim penyidik kejaksaan akan memberikan surat panggilan kepada saksi dan terdakwa selambat-lambatnya tiga hari sebelum menghadap. Pemanggilan ini juga dapat dilakukan kepada saksi-saksi ahli untuk dimintai keterangan selanjutnya, dimana penaganan penyidikan ini tidak jauh berbeda dengan penanganan tindak pidana umum. Namun dalam panggilan pertama terdakwa tidak datang menghadap, maka akan dilakukan surat perintah panggilan ke dua. Pemanggilan ini dilakukan sebanyak tiga kali. Apabila dalam panggilan yang ketiga terdakwa belum mengahadap juga. Kejaksaan akan melakukan jemput paksa terhadap terdakwa.
60
Proses selanjutnya yakni tim penyidik kejaksaan akan melakukan penyitaan dan penggledahan terhadap surat-surat penting dan harta benda yang ada sangkut pautnya dengan perkara kerugian Negara yang sedang ditangani. Sebelum melakukan penggledahan dan penyitaan, tim penyidik harus memiliki surat izin untuk melakukan penggledahan dan penyitaan sebagai bukti bahwa penggledahan dan penyitaan ini benar-benar dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana korupsi yang sedang berjalan. Setelah proses penyidikan sudah dianggap lengkap, maka datadata hasil pemeriksaan akan dicantumkan dalam bentuk Berita Acara Perkara (BAP) yang ditanda tangani oleh penyidik, saksi, dan terdakwa. Tahap selanjutnya
yakni pemberkasan perkara yang kemudian
dilaporkan kepada kepala kejaksaan negeri untuk di analisis dan diteliti lebih lanjut apakah kasus ini benar-benar merupakan kasus tindak pidana korupsi dan untuk membuat rencana dakwaannya. Dalam analisis tersebut akan ditentukan apakah kasus ini merupakan kasus tindak pidana korupsi, maka akan dilanjutkan ke tahap selanjutnya. Namun apabila ditemukan tidak memiliki cukup bukti bahwa kasus ini bukan merupakan kasus tindak pidana korupsi, dengan sendirinya kasus ini batal demi hokum. Proses tuntutan perkara akan dihentikan sebagaimana dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a HUHAP dan akan dikeluarkan surat penetapan pemberhentian penyidikan (SP3). Apabila kasus tersebut ternyata merupakan kasus tindak pidana korupsi
61
maka hasil penyidikan akan dilanjutkan dengan tahap penuntutan dan akan dilimpahkan ke tahap persidangan. Setelah pemberkasan perkara selesai lalu dibuatlah penyerahan berkas perkara hasil penyidikan kepada Penuntut Umum yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2), ayat (3) butir a dan b jo Pasal 110 ayat (1) KUHAP, penyerahan berkas perkara Penyidik Kejaksaan kepada Penuntut Umum dari Kejaksaan dilakukan dengan cara : Penerimaan berkas perkara tahap pertama berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (3), Pasal 110 ayat (1) dan Pasal 138 KUHAP. Penerimaan berkas perkara dicatat dalam register Penerimaan Berkas perkara tahap pertama (RP-10) dan pelaporannya menggunakan LP-6. Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana No. B.401/E/9/93 tanggal 8 September 1993, penelitian berkas perkara tahap pertama difokuskan kepada: a. Kelengkapan
formal,
yakni
meliputi
segala
sesuatu
yang
berhubungan dengan formalitas/persyaratan, tata cara penyidikan yang harus dilengkapi dengan Surat Perintah, Berita Acara, Izin/Persetujuan Ketua Pengadilan. Disamping penelitian kuantitas kelengkapan syarat formal, perlu diteliti pula segi kualitas kelengkapan tersebut, yakni keabsahan sesuai ketentuan UndangUndang. b. Kelengkapan material, yakni kelengkapan informasi, data, fakta dan alat bukti yang diperlukan bagi kepentingan pembuktian. Kriteria
62
yang dapat dipergunakan sebagai tolok ukur kelengkapan material antara lain: 1) Apa yang terjadi (tindak pidana beserta kualifikasi dan pasal yang dilanggat). 2) Siapa pelaku, siapa-siapa yang melihat, mendengar, mengalami peristiwa itu (tersangka saksi-saksi/ahli). 3) Bagaimana perbuatan itu dilakukan (modus operandi). 4) Di mana perbuatan dilakukan (locus delicti). 5) Bilamana perbuatan dilakukan (tempus delicti). 6) Akibat
apa
yang
akan
ditimbulkannya
(ditinjau
secara
viktimologis). Kemudian, dalam instruksi Jaksa Agung RI No. INS006/J.A/4/1995 tanggal 24 April 1995 kelengkapan material ini diformulasikan dengan : 4 a.
Adanya fakta perbuatan yang memenuhi unsur-unsur sebagaimana dirumuskan dalam pasal pidana yang bersangkutan.
b.
Adanya fakta kesalahan tersangka baik kesengajaan maupun kealpaan.
c.
Adanya alat-alat bukti yang tersedia, paling tidak harus memenuhi minimum pembuktian (alat bukti) yang sah.
d.
Alat bukti yang tersedia harus diteliti mengenai keabsahan dan kekuatan alat bukti.
4
Instruksi Jaksa Agung RI No. INS-006/J.A/4/1995 tanggal 24 April 1995
63
e.
Hubungan timbal balik/korelasi antara alat bukti dengan perbuatan dan kesalahan tersangka.
f.
Kejelasan tentang peran pelaku dalam melakukan tindak pidana tersebut (modus operandi). Kemudian, setelah diteliti kelengkapan formil dan materil
sesuai instruksi No. INS-006/J.A/4/1995 tanggal 24 April 1995 dan Surat Edaran No. B.401/E/9/93 tanggal 8 September 1993, kemudian Jaksa Peneliti menyerahkan hasil telaah pada hari kelima kepada Kasi Pidum/Kajari, lalu memberitahukan kepada penyidik pada hari ketujuh (Pasal 138 ayat (1) KUHAP), dan bila dari hasil telaah tersebut merupakan Tindak Pidana Khusus, lalu dilimpahkan kepada Pidsus untuk ditindaklanjuti. Ketentuan selanjutnya dalam Pasal 8 KUHAP menyatakan penyidik
membuat
berita
acara
tentang
pelaksanaan
tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dengan tidak mengurangi ketentuan lain dalam
undang-undang ini. Ayat
(1) penyidik
menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Ayat (2) penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan :5 1. Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara
5
Kitab Undang Hukum Acara Pidana
64
2. Dalam hal penyidikan sudah dianggap percaya selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum (Pasal 8 ayat (3) KUHAP) Apabila dari hasil analisis perkara tersebut Penuntut Umum beranggapan bahwa hasil penyidikan sudah dianggap lengkap, penyidik kemudian menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum (Pasal 8 ayat (3) sub b KUHAP) atau P-21. Akan tetapi, apabila hasil penyidikan tersebut ternyata belum lengkap, jaksa penuntut umum akan mengluarkan Surat Hasil Penyidikan Belum Lengkap dalam bentuk: P-18 dan Penuntut Umum mengembalikan berkasa perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang petunjuk yang harus dilakukan untuk dilengkapi dalam bentuk P-19 dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada Penuntut Umum (Pasal 14 huruf b, Pasal 110 ayat (2), (3) dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP). Pada dasarnya pengembalian berkas perkara kepada penyidik untuk dilengkapi sesuai hasil penelitian disertai petunjuk secara cermat yang menyangkut penerapan hukumnya, jelas dalam hal ini mudah dimengerti penyidik dan tidak berbelit-belit dan lengkap dengan tidak akan ada petunjuk susulan lagi kecuali diperlukan pengembangan lebih petunjuk susulan lagi kecuali diperlukan pengembangan lebih lanjut sesuai ketentuan Pasal 138 ayat (2) jo Pasal 110 ayat (2) dan (3)
65
KUHAP. Apabila dalam waktu sepuluh hari sejak penyidikan tambahan telah dilakukan bentuk formulirnya adalah P-20. Kemudian, setelah penyidikan tambahan tersebut telah dilakukan penyidik, apabila penyidikan dianggap sudah lengkap, Kejaksaan lalu memberitahukan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap dan minta agar tersangka dan barang bukti segera diserahkan dan akan dibuat dan diajukan rendak (Rencana Dakwaan) dengan bentuk P-21 dan RP-11. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggungjawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum. Istilah hasil penyidikan dipergunakan antara lain dalam Pasal 110 dan 138 KUHAP. Istilah hasil penyidikan telah dipergunakan dalam KUHAP, namun KUHAP tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan hasil penyidikan tersebut. Apabila hasil penyidikan dalam Pasal 110 ayat (2) kita kaitkan dengan ketentuan Pasal 8 KUHAP, maka nampaknya pembentuk undang-undang mengartikan istilah hasil penyidikan itu adalah berkas perkara. Hal ini tertangkap dari redaksi Pasal 110 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum. Sejalan dengan peraturan perundang-undangan, peneliti juga melakukan wawancara dengan pihak Kejaksaan tentang penyidikan perkara di Kejaksaan Negeri Gorontalo. Dari hasil wawancara
66
dijelaskan bahwa pelaksanaan proses penyidikan di Kejaksaan bahwa penyidik kejaksaan tetap saling berkoordinasi dengan pihak kepolisian dan komisi tindak pidana korupsi (KPK). Mengenai
berakhirnya
penyidikan,
bahwa
penyerahan
tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti dilaksanakan oleh penyidik setelah penyidikan dianggap selesai. Penyidikan baru dianggap selesai apabila dalam batas waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara, atau sebelum berakhirnya batas waktu tersebut tidak ada pemberitahuan dari penuntut umum kepada penyidik bahwa hasil penyidikan sudah lengkap atau belum. Dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi di lingkungan Kejaksaan Negeri Gorontalo, jaksa selaku penyidik juga mendapat kendala dalam melakukan penyidikan tersebut. Hasil penelitian yang sudah saya lakukan di lingkungan Kejaksaan Negeri Gorontalo sudah membahas sedikit banyaknya kendala jaksa dalam melakukan penyidikan. Yang utama dari kendala atas penyidikan tersebut terletak pada alat bukti, saksi, terdakwa kasus tindak pidana korupsi. Ketentuan dalam Pasal 33 UU No. 16 Tahun 2004 menyatakan bahwa “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan sera badan negara atau instansi lainnya”. Adalah menjadi kewajiban bagi setiap badan negara terutama dalam bidang
67
penegakan hukum dan keadilan untuk melaksanakan dan membina kerja sama yang dilandasi semangat keterbukaan, kebersamaan, dan keterpaduan dalam suasana keakraban guna mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu. Hubungan kerja sama ini dilakukan melalui koordinasi horizontal dan vertikal secara berkala dan berkesinambungan dengan tetap menghormati fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing. Kerja sama antara Kejaksaan dengan instansi penegak hukum lainnya dimaksudkan untuk memperlancar upaya penegakan hukum sesuai dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta bebas, jujur, dan tidak memihak dalam penyelesaian perkara. Menurut ketentuan hukum positif di Indonesia, ada beberapa instansi atau lembaga lain untuk melakukan koordinasi dengan Kejaksaan yaitu pihak kepolisian, tim koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi (Tim Tastipikor), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum. Tetapi ada lembaga lain bisa ikut membantu pihak Kejaksaan dalam melakukan penyidikan yaitu Pihak Bank misalnya pemblokiran rekening tersangka mengenai penyitaan barang bukti. Begitu juga
68
halnya di lingkungan Kejaksaan Negeri Gorontalo, jaksa melakukan koordinasi dengan instansi lain.6 Pelaksanaan
penyidikan
tindak
pidana
korupsi
yang
dilakukan oleh jaksa penyidik di lingkungan Kejaksaan Negeri Gorontalo pada tahun 2009-2012 yang dijadikan sampel proses penyidikan kejaksaan dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 4.2 Data Kasus Korupsi Di Kejaksaan Negeri Gorontalo Tahun 2009-2012 Tahun
Penyelesaian
Penanganan
Keterangan
Aris Umar Ajis Rajab Yanson Lasalewo
Kasasi Inkracht SP3
Alwin Husada,dkk.
Tututan Tututan Penghentian Penyidikan penyidikan
Sujarno Aermas, dkk.
penyidikan
2012
Semi Dj. Salim Adan Dumbi Darwis Salim Syafrudin Djamil Hadija Doyah
penyidikan penyidikan tuntutan tuntutan penyidikan
Perhitungan kerugian negara Perhitungan kerugian negara Lab bang Dik Pemberkasan Sidang Sidang Pemberkasan
2013
-
-
-
2010
2011
4.4 Perbandingan Proses Penyidikan Oleh Kepolisian Dan Kejaksaan Dalam undang-undang diatur bahwa kepolisian bisa berperan sebagai penyelidik dan penyidik (KUHAP pasal 1 ayat 4 dan PP No. 27 Tahun 1983) kemudian dinyatakan bahwa jaksa juga bisa berperan sebagai penyelidik dan penyidik (Undang-Uundang Kejaksaan No. 16 Tahun 2002).
6
Hasil Wawancara Dengan KASI PIDUS Bpk. Sukandi Maku, Tanggal, 19-11-2013
69
Penyidik Polri adalah pejabat Polri tertentu paling rendah berpangkat pembantu letnan II atau ajun inspektur polisi II yang ditunjuk/diangkat Kapolri. Jadi tidak setiap anggota POLRI dengan pangkat AIPDA bertindak selaku penyidik melainkan terbatas hanya pejabat POLRI yang ditunjuk/diangkat oleh KAPOLRI atau pejabat lain yang mendapat pelimpahan wewenang KAPOLRI. Wewenang penyidik POLRI dapat dilihat dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP. Penyidik PNS adalah PPNS tertentu paling rendah berpangkat II/b yang diangkat oleh Menteri Kehakiman atas usul departemen yang membawahi PPNS bersangkutan. Wewenang penyidik PPNS sesuai dengan Undang-Uundang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik POLRI Pasal 7 ayat (2) KUHAP. Sebagai contoh mengenai wewenang Penyidik PPNS yaitu : Penyidik Pembantu adalah pejabat tertentu paling rendah berpangkat Sersan Dua (Brigadir II) dan PPNS tertentu di lingkungan POLRI paling rendah berpangkat golongan II/a yang diangkat selaku Penyidik Pembantu oleh KAPOLRI. Syarat kepangkatan dan pengangkatan penyidik sebagai penyidik pembantu diatur dalam PP No. 27 Tahun 1983 Bab II Pasal 2 dan Pasal 3 yang telah diubah dan diatur dalam PP No. 58 Tahun 2010 jo Keputusan MENKEH NO. M.08 UM.01.06 Tahun 1983 tanggal 16 Desember 1983 tentang Pelimpahan Wewenang Pengakatan Penyidik PPNS. Penyidik pembantu hanya dikenal dan berlaku di
70
lingkungan POLRI dan mempunyai wewenangyang sama dengan penyidik POLRI kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik (Pasal 11 KUHAP). Penyidikan di Kejaksaan disesuai dengan ketentuan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, maka tugas pokok Kejaksaan RI melalui para jaksanya adalah bertindak untuk dan atas nama negara selaku penuntut umum di depan sidang Pengadilan Negeri. Akan tetapi menurut Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo. PP No. 27 Tahun 1983 Bab II yang telah di ubah dalam telah diubah dan diatur dalam PP No. 58 Tahun 2010 Pasal 17 untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu yang mempunyai ketentuan khusus acara pidana, selain ditugaskan kepada penyidik yang diatur dalam KUHAP, ditugaskan pula kepada jaksa sehingga di lingkungan kejaksaan (Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri) terdapat jaksa-jaksa yang ditugaskan sebagai penyidik yang dikenal sebagai Jaksa Penyidik yang berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana khusus (tertentu). Tindak pidana khusus yaitu tindak pidana yang diatur dalam undang-undang tertentu yang didalamnya terdapat ketentuan khusus acara pidana, misalnya Undang-Uundang No. 7 Drt. 1955 jo UU No. 8 Drt. 1958 yang dikenal dengan Undang-Uundang Tindak Pidana Ekonomi (UUTPE), Undang-Uundang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dan diganti dengan Undang-Uundang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Uundang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
71
atas Undang-Uundang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi,
Undang-Uundang
No.
11/PNPS/1963
tentang
Pemberantasan Kegiatan Subversi dan lain-lain berdasarkan UndangUundang yang didalamnya terdapat ketentuan khusus acara pidana. UndangUundang subversi tersebut telah dicabut berdasarkan Undang-Uundang No. 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan Undang-Uundang No. II/PNPS/Tahun 1963
tentang
Pemberantasan
Kegiatan
Subversi,
karena
dianggap
bertentangan dengan hak asasi manusia dan prinsip negara hukum. Adapun proses penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan memiliki perbandingan baik dari persamaan dan perbedaan dalam melakukan pemeriksaan perkara korupsi. Dalam tahap proses penyidikan yang ada di kepolisian dan proses penyidikan yang ada di kejaksaan tidak jauh berbeda. Pemeriksaan penyidik kepolisian dan penyidik kejaksaan menggunakan langkah yang sama yakni dengan berdasarkan proses penyidikan yang sudah ditetapkan dalam Kitab Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan tugas dan wewenangnya masing-masing. Dengan demikian dasar hukum yang digunakan dalam penyidikan oleh kedua instansi tersebut yakni sama-sama mengacu pada Kitab Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun adapun perbedaan yang ditemui oleh penulis dari penyidik kepolisian dan penyidik kejaksaan selaku penyidik tindak pidana korupsi. Dalam hal ini mengenai struktur organisasi jumlah personil yang terlibat dalam pemeriksaan tindak pidana korupsi. Pada instansi kepolisian Kota
72
Gorontalo penyidik tindak pidana khusus bagian korupsi beranggotakan 4 (empat) personil dan pada umumnya struktur organisasi yang ada di kepolisia sipilih langsung oleh kapolres Gorontalodan bersifat tetap. 7 Sedangkan struktur organisasi yang ada di Kejaksaan Negeri Gorontalo hanya beranggotakan 3 (tiga) personil dan tidak bersifat tetap sebab pada suatu waktu dapat berubah-ubah. Karena dalam instansi kejaksaan tidak ada perbedaan antara satu dan lainya semua berhak melakukan penyidikan selama orang tersebut telah di tunjuk oleh Kepala Kejaksaan Negeri baik saat itu juga dan dipercayayi mampu dalam melakukan penyidikan perkara tindak pidana khusus terutama korupsi. Maka sejak itulah orang tersebut berkewenangan penuh dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana khusus.8 Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah kasus Tindak Pidana Korupsi yang ditangani oleh Polres Gorontalo sejak tahun 2010 sampai Tahun 2013 sebanyak 1 (satu) kasus, sedangkan jumlah kasus Tindak Pidana Korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Gorontalo sejak Tahun 2010 sampai Tahun 2013 sebanyak 10 (sepuluh) kasus. Proses penyidikan perkara yang ada di kepolisian juga lebih membutuhkan waktu yang cukup lama dibandingkan proses penyidikan yang ada di kejaksaan. Dalam penanganan penyidikan perkara di kepolisian membutuhkan waktu kurang lebih 8 bulan dan di kejaksaan membuthkan kurang lwbih minimal 6 bulan. Walaupun proses penyidikan tindak pidana tidak memiliki batas waktu yang tidak tetap 7 8
Hasil Wawancara Dengan KANIT TIPIKOR BpkRaidmun Lahmudin, Tanggal, 5-11-2013. Hasil Wawancara Dengan KASI PIDUS Bpk. Sukandi Maku, Op.Cit.
73
seperti halnya pidana umum, namun dapat terlihat jelas bahwa penyidik Kejaksaan Negeri Gorontalo lebih banyak berperan dalam menangani kasus Tindak Pidana Korupsi di bandingkan penyidik Polres Gorontalo. Menurunnya peranan penyidik kepolisian dalam menangani perkara Tindak Pidana Korupsi, tentu tidak lepas dari faktor-faktor yang diantaranya adalah kesulitan dalam memperoleh data atau dokumendokumen asli pada saat penyidikan berlangsung. Sebab dalam Tindak Pidana Korupsi dokumen-dokumen asli tersebut merupakan salah satu alat bukti utama selain tersangka dan saksi. Selain itu faktor moral juga sangat mempengaruhi penegakan hukum, karena tindakan penegak hukum yang tegas terhadap hukum sangat mempengaruhi keberhasilan penanganan suatu tindak pidana.9 Selain itu yang membedakan penyidikan yang ada di kepolisian dan kejaksaan yakni mengenai prosedur pelaksanaan gelar perkara. Dalam melakukan gelar perkara penyidik kepolisian mengundang kejaksaan dan pengacara dan instansi yang terkait khususnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Badan Pemeriksa Keuangan sbagai tolak ukur untuk menentukan kesimpulan apakah perkara tersebut layak dilanjutkan ke tahap selanjutnya atau akan di berhentikan dalam hal ini perkara bisa saja ditutup jika ditemui perkara tersebut ternyata tidak mengakibatkan adanya kerugian Negara. 10 Sedangkan dalam lingkungan kejaksaan, gelar perkara yang dilakukan oleh penyidik kejaksaan tidak mengundang kepolisian, dan Badan 9 10
Hasil Wawancara Dengan KANIT TIPIKOR BpkRaidmun Lahmudin, Tanggal 19-12-2013 Hasil Wawancara Dengan KANIT TIPIKOR Bpk. Raidmun lahmudin, Op.Cit
74
Pemeriksa Keuangan (BPK). Hanya dilakukan di kalangan jaksa saja. Sebab dalam perhitungan kerugian Negara, penyidik kejaksaan menyerahkan langsung kepada pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kejaksaan akan mengundang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) apabila dalam penyidikan kasus tindak pidana mengalami kendala dalam menentukan jumlah kerugian uang Negara, sehingga kejaksaan membutuhkan bantuan audit dari BPK.11 Dalam melakukan tugas dan wewenangnya sebagai penyidik, kepolisian dan kejaksaan tentunya memiliki cara-cara tersendiri untuk mempercepat penyidikan agar perkara korupsi tersebut cepat terselesaikan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pastinya dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyidik, kedua instansi tersebut sering mengalami kendala-kendala atau hambatan-hambatan yang dapat memperlambat proses penyidikan perkara. Hal ini juga dapat memberikan perbedaan proses penyidikan perkara korupsi yang ada di kepolisian dan di kejaksaan. Adapun kendala-kendala yang dihadapi oleh penyidik kepolisian Kota Gorontalo yang berhasil di wawancarai oleh penulis yakni :12 1. Menemukan data-data atau dokumen-dokumen asli 2. Membongkar kasus-kasus pejabat-pejabat tertentu 3.
Untuk mendapatkan keterangan ahli yang berada di luar wilayah Gorontalo.
11 12
Hasil Wawancara Dengan KASI PIDUS Bpk. Sukandi Maku, Tanggal, Op.Cit Hasil Wawancara Dengan KANIT TIPIKOR Bpk. Raidmun Lahmudin, Op.Cit
75
Hambatan-hambatan inilah yang sering ditemui oleh penyidik kepolisian dalam mengusut perkara tindaak pidana korupsi, sebab pada masaalah pertama, untuk menemukan data-data dan dokumen-dokumen asli biasanya pelaku-pelaku yang terkait dengan sengaja menghilangkannya sebelum proses penyelidikan dan penyitaan dilakukan. Contoh kecilnya yakni data-data yang terrdapa di dalam computer. Bisa saja langsung dihapus sehingga data-data tersebut hilang. Kendala yang kedua yang dapat menyebabkan proses penydikan menjadi lambat yakni membongkar kasus-kasus pejabat-pejabat tertentu. sebab dalam melakukan pemeriksaan, yang menjadi alasan utama agar pejabat tersebut tidak diperiksa yakni karena tugas keluar daerah dengan waktu yang tidak jelas. Sehingga penyidik harus menunggu waktu yang lama untuk melakukan pemeriksaan. Ketiga yang menjadi kendala kepolisian dalam melakukan penyidikan yakni keterangan ahli yang berada diluar daerah. Kesulitannya yaitu untuk mendatangkan saksi ahli untuk dimintai keterangan-keterangan tentang kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. Demikian juga pemeriksaan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik kejaksaan tidak jauh berbeda dengan penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik kepolisian yang ada di kepolisian.
76
Adapun kendala-kelndala yang sering dihadapi oleh penyidik kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi yaitu :13 1. Alat bukti 2. Saksi 3. Terdakwa 4. Kurangnya personil kejaksaan 5. Lamanya perhitungan kerugian Negara Dalam hal alat bukti yang menjadi kendala adalah bahwa alat bukti tersebut sering ditemukan hilang oleh jaksa untuk membantu proses penyidikan baik itu alat bukti yang sengaja dihilangkan oleh terdakwa maupun alat bukti yang sudah habis atau tidak sepenuhnya habis dipakai oleh terdakwa, sehingga untuk mendapatkan keterangan alat bukti tersebut jaksa melakukan upaya paksa terhadap saksi yang berkaitan terhadap alat bukti tersebut untuk menggantikan keterangan-keterangan yang membantu proses penyidikan. Mengenai saksi yang menjadi kendala dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi adalah bahwa saksi yang berada di luar daerah. Dalam memperoleh keterangan saksi, penyidik Kejaksaan Negeri Gorontalo harus melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan kejaksaan luar di mana saksi berada. Koordinasi ini juga memakan waktu cukup lama melihat kesibukan jaksa luar. sering saksi juga tidak ditemukan berada di tempat pada saat
13
Hasil Wawancara Dengan KASI PIDUS Bpk. Sukandi Maku, Op.Cit
77
akan di temui, sehingga penyidik kejaksaan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memperoleh keterangan saksi tersebut. Kendala lain yaitu mengenai terdakwa yang sering juga memberika data dan keterangan yang berbelit-belit, terdakwa sering dalam keadaan sakit apabila dilakukan penyidikan terhadap dia sehingga memperlambat proses penyidikannya dan terdakwa sering melarikan diri apabila dilakukan penyidikan terhadap dia. Sehingga jaksa melakukan upaya yaitu jaksa melakukan pembantaran terhadap terdakwa yang sakit untuk di rawat dirumah sakit tetapi tidak mengurangi masa tahanannya dan melakukan pengejaran untuk menangkap terdakwa yang melarikan diri dengan melakukan kerja sama dengan pihak kepolisian. Kurangnya personil penyidik kejaksaan juga sangat mempengaruhi proses penyidikan. personil Kejaksaan Negeri Gorontalo yang bergerak dalam penyidikan Tindak Pidana Korupsi hanya berjumlahkan tiga personil. Ketiga personil ini selain sebagai penyidik mereka juga berperan sebagai penyelidik. Sehingga penyidik kejaksaan merasa kesulitan karena selain untuk melakukan penyelidikan mereka juga harus ekstar bekerja keras melakukan penyidikan dengan berbagai kendala-kendala selalu di temukan dilapangan. Perhitungan kerugian Negara yang membutuhkan waktu yang cukup lama juga sering menjadi hambatan proses penyidikan tindak pidana korupsi. Sebab perhitungan kerugian negar merupakan inti dari pemeriksaan perkara korupsi. Karena suatu perkara dapat dikatakan sebagai tindak pidana
78
korupsi apabila tindakan tersebut dapat merugikan keuangan Negara ataupun daerah. Sehingga dalam melakukan perhitungan kerugian Negara harus benar-benar dialkukan dengan teliti walaupun harus membutuhkan waktu yang cukup lama. Adapun upaya yang dilakukan untuk mempercepat penyidikan oleh penyidik kepolisian dan penyidik kejaksaan dalam mengusut kasus-kasus tindak pidana korupsi yakni dengan melakukan kerjasama dan saling koordinasi satu sama lain. Baik dari kepolisian kekejaksaan ataupun dari kejaksaan ke kepolisian. Selain itu, sangat di perlukan juga partisipasi dari seluruh kalangan baik dari instansi-instansi yang terkait dan bahkan masyarat. Dilihat dari sudut pandang pendekatan hukum, dasar hukum yang digunakan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana di Indonesia sebenarnya sudah dapat dikatakan cukup memadai. Karena sudah diberlakukannya sejumlah peraturan perundang-undangan yang sifatnya anti korupsi. Antara lain Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Suap, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sudah dicabut dengan UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 dan saat ini sudah diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
79
Selain dari undang-undang tersebut masih juga diberlakukan Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negri Sipil. Dengan mengaacu pada Undang-Undang No. 28 Tahun 1989, maka subjek hokum yang diatur menyangkut seruh penyelenggara negarayang berasal dari lembaga tertinggi Negara, lembaga tinggi Negara sampai gubernur, walikota, bupati, Pemimpin Proyek (PIMPRO), direksi badan usaha milik Negara/Daerah (BUMN/D), jaksa dan hakim. Seluruh perangkat hukum yang diatur dalam berbagai undang-undang tersebut sudah sangat kuat untuk menjerat para pelaku tindak pidana korupsi.14 Namun dalam praktiknya, permasalahan pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dilakukan dengan pendekatan hokum semata-mata. Karena penyakit ini sudsash menyebar luas keseluruh tatanan social dan pemerintahan hampir di banyak Negara. Oleh karena itu pendekatan yang dilakukan tidak hanya semata-mata bersifat represif, tetapi juga harus bersifat preventif dan rehabilitative. Pendekatan preventif yang ampuh adalah antara lain dengan menciptakan iklim kerja yang sehat dalam lingkup tugas pemerintahan baik ditingkat pusant dan ditingkat daerah. Tanpa langkah preventif yang dimaksud maka pemberantasan korupsi hanya akan berhasil mengatasi gejala saja dan bukan menghancurkan akar penyebabnya yang tumbuh subur di kalangan masyarakat.15
14 15
Romli Atmasasmita, 2002. Op.Cit. hlm. 13 Ibid, hlm. 14
80