BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. ANAMNESA SUBJEK 1. Partisipan atau subjek pertama a) Identitas Subjek Nama
: FSR
Jenis Kelamin
: Perempuan
Status Marital
: Menikah
Tempat, Tanggal Lahir
: Garut, 22 Mei 1965
Usia
: 45 tahun
Agama
: Islam
Pendidikan Terakhir
: Sarjana (S1)
Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
Suku Bangsa
: Sunda
b) Status Praens Tinggi Badan
: 158 cm
Berat Badan
: 70 kg
Warna Kulit
: coklat
Bentuk Wajah
: bulat
Keadaan Rambut
: hitam bergelombang, panjang sebahu
49
50
c) Riwayat Hidup Subjek FSR lahir di Garut pada tanggal 22 mei 1965. Sejak lahir hingga saat ini FSR pernah mendiami atau tinggal di tiga kota yang berbeda dalam perjalanan hidupnya, yaitu yang pertama adalah Garut, sebagai kota kelahirannya mulai dari tahun 1965 sampai 1984, kemudian Bandung tahun 1984 sampai 1991 lalu pindah ke Kupang dari tahun 1991 sampai 2003 dan kembali lagi ke Bandung mulai tahun 2003 sampai sekarang. FSR pertama kali menempuh pendidikan di SD Tarogong Garut dan lulus di tahun 1979. Selanjutnya FSR meneruskan ke SMP Wanaraja hingga lulus pada tahun 1984. Setelah lulus dari SMP FSR memilih untuk melanjutkan pendidikannya ke SPG Negeri Garut. Waktu sekolah di SPG adalah dari jam 7.00 hingga jam 12.00, sehingga FSR merasa mempunyai waktu kosong pada saat siang hingga sore, oleh karena itu FSR meminta kepada kedua orang tuanya untuk menjalani sekolah lagi di sebuah SMA swasta yang jadwal masuknya siang hingga sore, setelah FSR selesai sekolah di SPG. Lulus dari SPG dan SMA, FSR melanjutkan pendidikan ke IKIP Bandung kuliah pada Jurusan Dunia Usaha Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Di Bandung FSR tinggal sendirian sebagai seorang mahasiswa yang menyewa kamar kost di sekitar kampus IKIP. Selama kuliah FSR aktif di kegiatan beladiri karate, tetapi hanya sampai tingkat
51
tiga saja, karena selanjutnya FSR mulai sibuk dengan bidang akademiknya. Lulus dari IKIP pada tahun 1989, FSR mulai mencari pekerjaan. Hal itu dilaluinya dengan cara menjadi guru honorer pada beberapa SMA dan SMP, baik itu di Bandung ataupun di Garut juga. Pada tahun 1990 FSR mengikuti tes PNS dan lulus menjadi guru di Bogor. Pada tahun itu pula FSR menikah. Pada tahun tersebuit FSR dihadapkan pada dua pilihan yaitu, menjadi guru di Bogor hasil dari seleksi CPNS atau mengikuti suaminya yang bekerja di Kupang. Pada akhirnya FSR tidak mengambil pekerjaan guru di Bogor, dan memilih untuk mengikuti suaminya yang bekerja di Kupang. Menikah dibulan Desember tahun 1990, setelah itu FSR menetap di Kupang. Pada bulan Desember tahun 1991 FSR melahirkan anak pertamanya. Selama di Kupang, FSR bekerja sebagai dosen luar biasa di universitas tempat suaminya mengajar. FSR mengajar akuntansi di universitas tersebut. Pada tahun 1997 FSR diberi kesempatan bagi para dosen di universitas tersebut untuk mengikuti tes “Women Progam” untuk mendapatkan beasiswa melanjutkan kuliah ke Australia. Hasil dari tes tersebut hanya akan mengambil dua orang peserta dengan nilai terbaik saja, dan diantara sekian banyak perserta ternyata FSR adalah salah seorang yang terpilih. Pada saat itu karena FSR memandang bahwa anaknya masih kecil dan membutuhkan
52
dirinya, maka FSR memutuskan untuk tidak mengambil beasiswa tersebut. Tahun 2003, suami FSR mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan kuliah S3, di Unpad Bandung. Akhirnya FSR sekeluarga pindah ke Bandung. Tahun 2006 suami FSR telah selesai studi S3 dan kembali ke Kupang, sehingga mulai saat itu FSR tinggal bersama anaknya di Bandung tanpa ditemani suami yang kembali bekerja di Kupang. Sekali waktu ketika liburan biasanya suami FSR datang ke Bandung, dan saat ini aktifitas dari FSR adalah sebagai ibu rumah tangga saja, karena itu pun adalah pilihan FSR sendiri, yang katanya mulia pula. d) Riwayat Donor Darah Subjek Awal mula FSR mengenal dan melakukan donor darah yaitu ketika masa SMA sekitar tahun 1982. FSR pada saat itu bersekolah di dua tempat yaitu SMA dan juga SPG (Sekolah Pendidikan Guru), dan untuk donor darah dilakukannya di SPG. FSR tertarik melakukan donor darah setelah mendengarkan penjelasan dari guru biologinya, bahwa dengan donor tubuh akan lebih sehat. Kebetulan pada saat itu di sekolah FSR sering diadakan kegiatan donor darah yang mengundang PMI hadir ke sekolah, disanalah FSR mulai donor pertama kali. Pada awal merasa takut, tetapi karena keinginan FSR ingin sehat kuat maka donor darah tersebut FSR teruskan.
53
Setelah lulus dari SPG dan SMA, FSR melanjutkan kuliah ke IKIP Bandung. Di kota Bandung inilah FSR mulai pertama kali donor darah secara langsung ke PMI kota Bandung, karena saat itu di kampus IKIP kegiatan donor tidak rutin diadakan. Bersama dengan temanteman kuliahnya FSR mendatangi PMI di Jalan Aceh untuk melakukan donor darah. Selama tinggal di Bandung FSR tidak rutin dalam melakukan donor darah FSR, bahkan sempat terhenti beberapa waktu. Lulus dari IKIP, FSR pun menikah dan kemudian menetap di Kupang bersama dengan suaminya. Di Kupang, karena bermukim dilingkungan kampus, FSR pun banyak tahu kegiatan-kegiatan kampus, salah satunya adalah donor darah. Saat itu pula FSR mulai rutin donor darah lagi, selain karena suami dari FSR yang suka donor darah pula, membuat FSR merasa ada teman yang menemani dalam setiap donor darah. Pada tahun 2003 FSR sekeluarga pindah ke Bandung, bertempat tinggal didekat kampus UPI (dulu IKIP). Pada saat itu di Kampus UPI sudah mulai rutin diadakan donor darah. Sejak saat itu pula FSR mulai rutin melakukan donor darah dikampus UPI hingga sekarang. FSR pertama kali mendapatkan penghargaan ketika donor di kampus UPI, itu pun adalah penghargaan yang ke-10 kali pada tahun 2006. Sebenarnya FSR telah banyak dan sering melakukan donor darah, akan tetapi FSR pada setiap donor darah tidak menuliskan urutan berapa kali FSR telah mendonorkan darahnya sehingga oleh petugas selalu
54
dianggap masih baru dan belum banyak donor. Maka penghargaan yang FSR terima pun baru yang ke-10 kali, hal itu bisa terlihat dari FSR yang sudah mendapatkan penghargaan 10 kali sebanyak dua kali. Padahal sebenarnya FSR telah melakukan donor sebanyak empat puluh tujuh kali, dari SMA hingga tahun 2010 ini.
2. Partisipan atau subjek kedua a) Identitas Subjek Nama
: SB
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Status Marital
: Menikah
Tempat, Tanggal Lahir
: Bandung, 23 Mei 1951
Usia
: 59 tahun
Agama
: Islam
Pendidikan Terakhir
: Sarjana (S1)
Pekerjaan
: Pensiunan PNS
Suku Bangsa
: Sunda
b) Status Praens Tinggi Badan
: 162 cm
Berat Badan
: 68 kg
Warna Kulit
: coklat
Bentuk Wajah
: bulat
Keadaan Rambut
: rambut sudah beruban, pendek dan rapi
55
c) Riwayat Hidup Subjek Subjek SB dilahirkan di kota Bandung, pada tanggal 23 Mei tahun 1951 dari pasangan suami isteri SU(alm) dan BR(alm). Pekerjaan ayah SB adalah ABRI sedangkan ibu SB adalah ibu rumah tangga. SB yang kini tinggal di daerah Kiaracondong, mengatakan bahwa sebelum menetap di rumah tersebut sempat berpindah-pindah rumah terlebih dahulu. Pada mulanya SB bertempat tinggal di kawasan Cicadas (sekarang Jl.Jakarta). Pada saat bermukim di Cicadas SB bersekolah di SD Cicadas II, dari tahun 1957 hingga akhirnya lulus pada tahun 1962. Ayah SB yang pada saat itu berprofesi sebagai seorang ABRI, ditahun 1962 yaitu ketika SB lulus dari SD, dipindahtugaskan ke daerah Pemalang Jawa Tengah. Proses pemindahan tugas ini memicu konflik pada rumah tangga orang tua keluarga SB, karena ibu dari SB tidak mau mengikuti sang suami untuk bersama-sama pindah ke Pemalang. Akhirnya karena perbedaan pendapat tersebut kedua orang tua SB sepakat untuk bercerai, dan SB ikut bersama ayahnya untuk pergi ke Pemalang. SB pindah bersama sang ayah ke Kota Pemalang, sebagai lulusan SD maka SB dikota tersebut meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu di SMP Pemalang, dari tahun 1965 sampai 1967. Tamat dari SMP subjek melanjutkan pendidikan di SMEA Pemalang dari tahun 1967 samapi 1970. Dikota Pemalang inilah pula ayah subjek memutuskan untuk menikah kembali, sehingga subjek
56
memiliki ibu tiri, dari ibu tirinya tersebut SB mempunyai saudarasaudara tiri. Apabila liburan sekolah SB selalu pulang ke Bandung untuk mengunjungi ibunya, yang ternyata telah menikah kembali pula dan masih menetap di Bandung. Lulus dari SMEA SB melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi. Pada tahun 1972 SB bekerja sebagai staff adminitrasi di ITB Bandung. SB tidak langsung kuliah tetapi bekerja dahulu, barulah ketika tahun 1975, SB kuliah di UNISBA Fakultas Hukum hingga akhirnya lulus pada tahun 1986. Selama kuliah SB tinggal bersama saudara dari ibu kandung SB di jalan veteran. Ketika bekerja di ITB inilah subjek mulai mengenal donor darah. Pada tahun 1981 bulan Maret SB menikah dengan seorang wanita anggota TNI yang kemudian bertempat tinggal di komplek perumahan SESCO TNI. Bulan Desember 1981, tepatnya sembilan bulan setelah menikah SB dikaruniai seorang anak perempuan, sebagai anak yang pertama. Selama tinggal di komplek perumahan TNI SB pernah memangku jabatan sebagai
ketua RT selama dua periode.
Sebelum bertempat di Kiaracondong SB pernah pula tinggal di Purwakarta, hingga akhirnya pada tahun 2002 SB menetap di Kiaracondong. Hingga kini SB tinggal bersama isteri, ketiga anaknya dan ayah tiri dari pernikahan ibu kandungnya. Pada akhir tahun 2004 SB melaksanakan ibadah haji bersama isteri dan ayah tirinya.
57
Selepas pensiun sebagai staff di ITB pada tahun 1997, tak banyak kegiatan dari SB. Kesehariannya SB mengisi waktunya dengan menjadi pengurus di masjid dan juga sering mengikuti pengajian yang diadakan di masjid yang berada didekat rumah SB. Pada saat ini (tahun 2010) SB dipercayai sebagai sekretaris RT dilingkungan tempat tinggalnya.
d) Riwayat Donor Darah Subjek Pertama kali SB donor adalah ketika, bekerja di asrama ITB. Saat itu SB yang statusnya juga adalah sebagai seorang mahasiswa di Unisba diajak oleh mahasiswa ITB yang berada di asrama tersebut. Mulanya SB bertanya apakah setelah selesai donor merasa pusingpusing, ketika melihat beberapa mahasiswa yang selesai donor dan sehat-sehat saja, akhirnya SB pun mau donor darah. Selain itu pula salah satu hal yang mendorong SB ingin donor adalah karena melihat slogan yang terdapat pada poster PMI itu sendiri yaitu, “give a blood save a life” karena merasa tergugah SB pun donor darah. Donor di lingkungan kampus ITB ternyata tidak rutin diadakan, sehingga selanjutnya SB meneruskan rutinitas donor darahnya itu dengan cara mendatangi langsung ke PMI di Jl. Aceh. SB kurang lebih hanya donor sebanyak 2-3 kali di lingkungan kampus ITB, selebihnya secara rutin tiga bulan sekali SB mendatangi PMI dan donor disana. Pernah ada dibenak SB untuk mendirikan KDD (keluarga Donor Darah)
58
dikampusnya Unisba, tetapi hal itu belum sempat SB wujudkan. Apabila telah tiga bulan dan SB belum mendatangi PMI untuk melakukan donor, maka SB selalu menerima surat panggilan dari PMI yang berisi pemberitahuan untuk segera donor darah karena telah tiga bulan. Hingga saat ini (tahun 2010) SB telah donor sebanyak 107 kali. SB pun telah mendapatkan penghargaan donor mulai dari yang ke-10, ke-25, ke-50, ke-75 dan terakhir yang ke-100. Pada tahun 1995 SB mendapatkan panggilan untuk mendapatkan penghargaan ke-75 yang diberikan langsung oleh presiden Soeharto. Dua belas tahun kemudian SB pun mendapat panggilan kembali untuk memperoleh penghargaan donor yang ke-100 dan diberikan langsung oleh presiden Susilo Bambang Yudoyono. Semakin bertambah usia, meskipun fisik SB tetap sehat akan tetapi SB merasa mulai banyak pikiran dalam dirinya, sehingga akhirnya rutinitas donor darah SB sempat terhenti. Bahkan sampai saat ini SB belum donor lagi, karena terkendala di kondisi fisik. SB mengakui bahwa saat ini banyak pikiran dan berakibat pada kondisi fisiknya yang menurun. Sehingga pada akhirnya ketika SB akan donor selalu saja ditolak, karena tekanan darah SB rendah.
59
B. HASIL OBSERVASI SUBJEK 1. Partisipan atau subjek pertama a) Wawancara Pertama Wawancara pertama dengan subjek FSR dilakukan pada hari selasa, 8 Juni 2010 bertempat di rumah subjek, pada pukul 10.00 WIB. Pada saat peneliti datang kerumah subjek, tampak pintu yang sengaja dibukakan. Didalam subjek bersama anak perempuannya sedang membaca buku, kemudian penelitian mengucapkan salam, dan subjek mempersilakan masuk. Proses wawancara dilakukan di ruang tamu subjek, dengan posisi lesehan duduk dibawah, dan saling berhadapan. Pertama kali subjek langsung berkata “maaf memakai kaos kaki”, karena memang cuaca saat itu sedikit mendung. Subjek mengenakan pakaian yang santai, kaos lengan pendek berwarna biru dan celana katun berwarna coklat, disertai kaos kaki putih. Kali ini subjek tidak mengenakan kerudung, sehingga rambut subjek terlihat. Rambut subjek tergolong pendek, berkisar antara leher. (dalam kesehariannya subjek apabila keluar sering memakai kerudung). Ketika berlangsung wawancara, subjek mengambil posisi, bersandar ke dinding yang berada dibelakangnya. Pertanyaan pertama yang peneliti ajukan adalah mengenai waktu, seketika saat itu arah mata subjek mengarah kekanan atas, terlihat sedang mengingat sesuatu. Pada saat menjawab pertanyaan yang bersifat menjelaskan
60
subjek menggerakkan tangannya, yaitu pada saat menjawab siklus darah. Pada saat menjawab juga terlihat ekspresi wajah subjek yang mendukung, seperti ketika menjawab pertanyaan mengenai bagaimana perasaan, seketika saat berkata takut wajah subjek menggambarkan ketakutan itu, terlihat dari alis mata, bibir dan kerutan di dahi. Begitu pula pada saat menjawab tentang perasaan menjawab penghargaan, sejalan dengan jawaban yaitu “biasa saja” ekspresi muka subjek pun tidak mencerminkan sesuatu kebanggaan telah mendapatkan sesuatu, ekspresi subjek datar saja. b) Wawancara Kedua Wawancara kedua dengan subjek FSR, terjadi pada hari minggu 4 Juli 2010, bertempat dirumah subjek yang bersangkutan. Pada saat itu subjek baru pulang belanja dengan keluarganya. Wawancara dilakukan diruang tamu, pada saat peneliti masuk ruangan, televisi sedang menyala kemudian subjek mengecilkan volumenya. Subjek mengenakan pakaian serba hitam, dari mulai kerudung, baju dan celana, tanpa mengenakan kaos kaki. Posisi subjek pada saat wawancara bersandar ke dinding, karena dilakukan secara lesehan, berada diatas karpet lantai ruang tamu. Pada saat awal-awal wawancara raut muka subjek menjawab dengan penuh ekpresi dan menggunakan tangan pula. Di tengahtengah wawancara karena suara televisi mengganggu, akhirnya
61
peneliti meminta subjek untuk lebih mengecilkan volume suara televisi, subjek sempat meminta maaf, wawancara pun kembali berlanjut. Pada saat berlangsung wawancara anak dari subjek melewati ruangan, tetapi tidak mengganggu dan subjek masih bisa fokus dengan pertanyaan. c) Wawancara Ketiga Wawancara ketiga dilakukan pada hari jumat, tanggal 16 Juli 2010 bertempat di kediaman FSR. Wawancara dimulai pada pukul 8.45. pada saat itu di rumah FSR sedang sendirian, karena suaminya sudah kembali bekerja dan anaknya sedang keluar. FSR mengenakan baju bermotif garis horizontal dengan warna hitam, abu-abu, dan putih. FSR memakai celana hitam dan kaos kaki putih. Wawancara berlangsung diruang tamu sambil duduk dilantai. Pada saat wawancara berlangsung, anak FSR pulang dan kemudian duduk diruang tamu tersebut sambil membaca buku. Sama seperti wawancara-wawancara sebelumnya wajah dari FSR tampak ekspresif, terutama dalam mengatakan sesuatu yang bersifat
emosional,
sehingga
raut
muka
tersebut
membantu
menggambarkan apa yang sedang subjek rasakan. 2. Partisipan atau subjek kedua a) Wawancara Pertama Wawancara dilakukan pada hari Rabu 21 Juli 2010 mulai pukul 16.00 WIB di halaman depan rumah subjek. Saat itu subjek
62
baru pulang dari masjid, sambil mengobrol dengan teman-temannya dihalaman masjid. Subjek mengenakan kemeja putih, bermotif garisgaris, memakai celana katun berwarna abu-abu dan memakai kopiah pula. Wawancara dilakukan saling berhadapan yang terbatasi oleh meja. Posisi tangan subjek saat wawancara selalu melipat kedalam yang disimpan didepan dada dan pandangan mata melihat ke arah depan atas. Pada saat wawancara ibu dan anak dari subjek datang memberikan makanan. Beberapa waktu berselang posisi tangan subjek pun tidak melipat di dada lagi, tetapi kadang bergerak untuk membantu dalam menunjukan dan menggambarkan apa yang sedang subjek katakan. Di akhir wawancara subjek mempersilakan untuk minum dan makan. b) Wawancara Kedua Wawancara dilakukan pada hari sabtu 24 juni 2010, pada pukul 10.45. seperti sebelumnya wawancara dilakukan di halaman teman rumah subjek, pada kursi yang berada di teras depan. Kali ini subjek mengenakan pakian kaos berwarna merah tua dan celana katun hitam. Suasana dirumah subjek tampak sepi. Pada saat awal wawancara kembali subjek melipat tangannya didada, dan arah mata subjek menatap ke depan atas. Beberapa menit setelah wawancara akhirnya posisi tangan dari subjek berpindah, kadang juga bergerak pada saat subjek menjawab. Gerakan tangan
63
seolah membantu maksud yang akan subjek sampaikan. Pada saat wawancara ada beberapa anak yang sedang bermain didepan rumah subjek, akan tetapi hal tersebut tidak mengganggu subjek, meskipun anak-anak itu agak ribu. Terkadang saat wawancara subjek menyapa tetangga yang lewat didepan rumah subjek, karena tempat wawancara memang terlihat dari luar, dan diluar pun bisa melihat. Wawancara pun berakhir ketika adzan dzuhur berkumandang.
c) Wawancara Ketiga Wawancara ketiga berlangsung pada sore hari tanggal 28 Juli 2010, dimulai dari pukul 16.05 WIB. kali ini pakaian subjek tampak lebih santai daripada sebelumnya. Subjek mengenakan kaos putih yang dimana didadanya ada tulisan bertema donor darah dan juga lambang PMI. Subjek mengenakan celana katun coklat. Posisi kursi yang pada hari tersebut berbeda dengan hari sebelum-sebelumnya. Kali ini posisi kursi agak bersampingan. Pada awal wawancara subjek sudah tidak melipat tangannya didada, tetapi disimpannya di samping tubuhnya hingga menempel diatas bagian atas paha kaki subjek. Pada saat memberikan pertanyaan, tampak subjek sering menutup matanya sambil mencondongkan badan, sehingga peneliti pun mengeraskan pertanyaan tersebut, khawatir tidak terdengar oleh subjek. Muka subjek tidak begitu ekspresif dalam membantu
64
pembicaraan. Hanya saja tangan subjek saja yang kadang begitu aktif saat sedang menjelaskan sesuatu.
C. DISPLAY DATA Berikut ini adalah keterangan kode data hasil wawancara yang telah dilakukan dengan subjek FSR dan SB. Subjek pertama (FSR) : Kode wawancara pertama : AFSR Kode wawancara pertama : BFSR Kode wawancara pertama : CFSR Subjek kedua (SB) : Kode wawancara pertama : ASB Kode wawancara pertama : BSB Kode wawancara pertama : CSB Subjek Pertama FSR Wawancara pertama Wawancara kedua Wawancara ketiga
Kode AFSR BFSR CFSR
Subjek kedua SB Wawancara pertama Wawancara kedua Wawancara ketiga
Kode ASB BSB CSB
(hasil verbatim wawancara, koding, dan pengkategorisasian data dapat dilihat pada lampiran)
65
D. PEMBAHASAN Berdasarkan kepada hasil wawancara pembahasan utama penelitian ini yaitu tentang dinamika perilaku prososial pendonor darah, sebagai penunjang mengenai gambaran perilaku tersebut, maka akan dibahas beberapa aspek, yang berhubungan dengan perilaku prososial itu sendiri. Beberapa aspek tersebut, diantaranya adalah : perilaku prososial pada pendonor darah, perspektif prososial pada pendonor darah, dan faktorfaktor yang berkaitan dengan donor darah itu sendiri. 1. Perilaku Prososial Pendonor Darah Beberapa definisi tentang perilaku prososial telah diuraikan beberapa tokoh. Berdasarkan kepada definisi tersebut, maka ada beberapa kriteria yang bisa menjadi dasar untuk menentukan suatu perilaku prososial. Definisi dari tiap tokoh satu sama lain berbeda, sehingga ukuran tentang perilaku prososial itu sendiri menjadi beda. Pada penelitian ini untuk mengetahui bagaimana perilaku prososial kedua subjek tersebut, maka akan dibahas berdasarkan kepada beberapa pendapat tentang perilaku prososial itu sendiri. a) Menurut Baron dan Byrne (2005) perilaku prososial adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan bagi orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong.
66
Pada definisi yang pertama dari Baron dan Byrne, yang menjadi kata kunci adalah tidak adanya keuntungan, tetapi mungkin ada resiko bagi yang memberikan pertolongan tersebut. Menurut Anindita (2009) donor darah tidak mengandung resiko, akan tetapi justru memberikan manfaat bagi yang memberi. Beberapa manfaat yang dirasakan tersebut berkaitan dengan kondisi kesehatan tubuh pendonor darah. Apabila memaknai definisi prososial Baron dan Byrne (2005) dengan pendapat dari Anindita (2009), maka kemungkinan donor darah tampak seperti bukan perilaku prososial, karena ternyata dalam donor darah, seseorang akan memperoleh manfaatnya, tapi menurut Wigin dkk (Dannia, 2006) salah satu bentuk perilaku prososial itu adalah dengan donor darah. Pendapat Wigin ini menyatakan dengan jelas, kalau donor darah adalah perilaku prososial. Bila memandang hanya pada hal keuntungan saja, maka antara pendapat Baron dan Byrne dengan Anindita akan bertentangan. Selanjutnya untuk bisa menghubungkan kedua pendapat tadi, bisa melihat kepada hal lain dalam mereka yaitu tentang resiko. Sebenarnya dalam donor darah bisa mengandung resiko bagi pendonornya, akan tetapi hal tersebut jarang terjadi karena dari awal petugas donor akan menyeleksi terlebih dahulu siapa saja yang bisa donor darah melalui tes kesehatan. Jadi ada semacam syarat untuk pendonor tersebut. Bagi mereka yang tidak sehat dan bila donor akan mendapatkan resiko,
67
maka saat itu pula mereka tidak akan lolos dalam tes kesehatan. Sehingga mereka yang bisa donor adalah mereka yang benar-benar siap. Seandainya saja mereka langsung melakukan donor darah tanpa terlebih dahulu mendapatkan tes kesehatan, kemungkinan terjadi resiko itu sangat besar. Maka meskipun ada manfaatnya tetapi dengan adanya resiko secara langsung tadi, pendapat antara Baron dan Byrne dengan Anindita tentang donor darah sejalan dengan Wigin dkk karena donor darah adalah bentuk perilaku prososial. Pada penelitian ini kedua subjek baik FSR dan SB menyadari betul tentang adanya resiko dalam donor darah yang mereka lakukan itu, akan tetapi resiko tersebut tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk tetap donor darah. Adapun alasan yang melatarbelakangi FSR dan SB tidak sama. Pada FSR karena dari awal sudah mengetahui bahwa dengan donor darah bisa menunjang kesehatan tubuh maka FSR tetap terus melakukan donor, meskipun ada resikonya. Bagi FSR resiko hanya terjadi bila sedang tidak sehat, tetapi bila sehat tidak ada resiko bagi pendonor tersebut. Berikut pernyataan : “Untuk yang tidak sehat mungkin ada ya, karena...apa itu HB nya, untuk yang tidak sehat mungkin iya.kalau saya kan dapat penjelasan bahwa kalau hanya untuk 11 kan kalau perempuan 11,5 itu hanya untuk diri sendiri pasti, tapi kalau untuk yang sehat ya maksudnya tidak masalah, gak ada resikonya..”(AFSR9)
68
Salah satu syarat dalam donor adalah jeda waktu dari donor terakhir minimal tiga bulan, karena darah dalam tubuh mempunyai waktu selama seratus dua puluh hari (Hoffbrand dan Pettit, 1996). Berarti donor yang dilakukan kurang dari tiga bulan kemungkinan bisa memberikan resiko. Bila kondisi seperti itu terjadi pada FSR yang harus donor darah karena ada orang yang memerlukan akan tetapi waktu jeda FSR belum sampai kepada tiga bulan, FSR pun tetap saja mau mendonorkan darahnya dengan syarat ada izin dari dokter. Berikut pernyataan FSR : “Karena kan memang tidak boleh ya, tapi kalau boleh ya silakan saja, hanya memang gak boleh. Kalau diperbolehkan ya silakan, hehehe.......” (BFSR9) Sebenarnya walaupun FSR tidak begitu tahu percis apa resiko dari donor darah yang kurang dari tiga bulan. FSR lebih mempercayakan kepada dokter tentang bisa atau tidaknya donor. Sebab dokter punya alasan tersendiri dalam melarang dan memperbolehkan seseorang untuk donor darah, berikut pernyataan: “Mungkin ada, mungkin karena....Gini, kalau saya sendiri tidak tahu persis resikonya apa ya, karena belum baca tentang itu, tapi dengan dokter melarang begitu, dengan itu berarti memang gak boleh itu, kurang bagus ya, ada resiko tertentu, karena pergantian itu kan sekitar itu kan baru tiga bulan lagi, baru itu..” (BFSR 10).
Menurut subjek kedua SB, walaupun sempat agak ragu tentang resiko donor darah, tapi pada akhirnya SB memaparkan pula kalau donor itu ada resikonya. Resiko tersebut menurut SB
69
kemungkinan ada pada jarum suntik yang mungkin tidak steril, kemungkinan SB takut tertular penyakit, berikut pernyataan SB : “Hm...Kayaknya sih gak ada, mungkin resiko mungkin ada aja, karena itu jarum kan kita gak tahu, secara pasti kita kan cuma percaya saja, ke orang PMI bahwa jarum itu bersih, ya kan kalo jarum itu bekas orang lain, karena kita kan bukan orang kedokteran jadi tidak begitu tahu seberapa steril itu jarum, itu aja paling..” (BSB3) “Resiko...ya tadi yang pernah saya sebutkan itu, kita tidak tahu tidak mengecek secara pasti dan menunjukan apa kewenangan, tidak punya kewenangan, tidak punya kekuatan, dalam arti pihak yang lemah, jarum suntik itu, apa bersih atau enggak, jadi kita percaya 100% atau pasrah ya, kepaksa pasrah, kumahalah..kaya kita yang berada dibawah aja, toh kita gak tahu percis kondisi jarum, beli baru atau bekas?, dicuci atau enggak?, itu mah yakin aja” (CSB4) Jarum yang dipakai dalam donor yang menjadi satu faktor menakutkan bagi SB, karena tidak tahu kebersihannya dan bagi SB memeriksa hal tersebut bukan kewenangannya, selain SB pun tidak begitu mengerti tentang jarum yang steril itu bagaimana. Akan tetapi pada akhirnya SB sendiri percaya saja dan merasa pasrah dalam mendonorkan darahnya meski mungkin ada potensi resiko. Menurut SB niatan yang baik dalam donor itu yang penting. Berikut penyataan SB : “Ya, mungkin percaya aja, pasrah, toh kita niatnya baik, kan kita gak begitu tahu percis, itu jarum bersih atau enggaknya, cuma lihatnya dipake ada di rak aja, kita kan gak meriksa si pasien itu, jadi hubungannya kayak orang kredit mau menganjuk jadi berhutang itu, jadi posisinya lemah tak berdaya ya, padahal orang yang mau kredit itu
70
kan ada ini syaratnya dari perusahaan, jadi tinggal tanda tangan, kita juga donor gitu aja, enggak...mungkin..mungkin juga ada hak untuk meriksa tapi kan, kita orang awan apalagi itu kan bidangnya kedokteran gak ngerti...jadi ya pasrah aja, heu...”(BSB4) Sikap percaya ini pulalah yang membuat SB apabila ketika harus donor, tetapi dia ditolak atau tidak lulus tes kesehatan, maka hal tersebut tidak begitu bermasalah, karena SB sudah percaya dan SB telah mempunyai niat yang baik. b) Menurut Eisenberg (dalam Saripah, 2007) perilaku prososial adalah tingkah laku seseorang yang bermaksud merubah keadaan psikis atau fisik penerima sedemikian rupa, sehingga penolong akan merasa bahwa penerima menjadi lebih sejahtera atau puas secara material ataupun psikologis. Inti dari pernyataan Eisenberg adalah kondisi fisik dan atau psikis dari penerima pertolongan menjadi lebih baik setelah mendapatkan pertolongan tersebut. Berdasarkan kepada data yang ada di PMI pada tahun 2009 PMI masih kekurangan sekitar 2,3 juta labu dari total yang diperlukan adalah 4 juta labu (Zulkarnaen, 2010), maka dari jumlah yang ada yaitu sekitar 1,7 juta labu, jumlah tersebut akan sangat teroptimalkan mengingat bahwa total kebutuhan dan keadaan berbeda jauh. Begitu pula dengan keadaan dikota Bandung, masih kekurangan 1% dari total kebutuhan 2% (Pikiran Rakyat Online, 2008). Berarti bagi mereka yang telah donor (termasuk FSR dan BS) secara tidak langsung telah
71
membantu mereka yang membutuhkan darah, dan itu pun termasuk meningkatkan sejahteraan, meskipun belum semua orang bisa ditolong lewat donor darah ini. c) Menurut Bierhoff (2002) Perilaku prososial, mempunyai arti yang lebih dangkal yaitu sebuah tindakan yang berniat untuk meningkatkan kondisi orang yang menerima pertolongan. Pemberi pertolongan tidak dimotivasi oleh tuntutan dari profesinya dan yang menerima pertolongan adalah harus orang buka sebuah organisasi. Ada beberapa hal yang sama antara definisi dari Bierhoff dan Eisenberg. Pembeda diantara keduanya adalah, pada Bierhoff ada tambahan menolong tersebut bukan tuntutan dari profesinya dan yang ditolongnya adalah orang bukan organisasi. Partisipan dalam penelitian ini, FSR dan SB apabila dilihat dari profesinya mereka bukanlah termasuk kepada profesi yang didalamnya ada tuntutan untuk menolong banyak orang lain. Profesi dari FSR adalah seorang ibu rumah tangga sedangkan profesi dari SB adalah pensiunan PNS. Mengacu pada satu karakter maka kedua subjek tersebut sudah bisa dikategorikan prososial, bila mengacu pada tuntutan profesi dari subjek. Selain itu pula yang ditolong dalam donor darah adalah individu bukan sebuah organisasi.
72
d) Menurut Batson Taylor et.al (2009 : 457) perilaku prososial adalah setiap tindakan yang membantu atau dirancang untuk membantu orang lain, terlepas dari motif si penolong. Perilaku sosial menurut Batson mengabaikan motif dibalik perilakunya tersebut. Jadi apapun motifnya, selama itu termasuk bersifat membantu itu adalah perilaku prososial. Bila melihat kepada motif FSR, maka yang lebih ditonjolkan disana adalah kepada kesehatannya. Meskipun memang kadang ada alasan untuk menolong, tetapi keinginan untuk menjaga kesehatan lebih besar, dibandingkan dengan yang lainnya. Berikut pernyataannya : “Yang dipikirkan kesehatan aja ya.ha ah... Pertama yang pasti untuk kesehatan, yang kedua tentu alasan untuk nyumbang kalau ada orang yang butuh, gitu ya..tapi yang pasti pertama adalah untuk kesehatan, hehehe....”(AFSR1) Berbeda dengan SB, motif keinginan untuk donor tidak selalu beralaskan pada satu hal. SB pun kadang merasa bingung apa alasan dia donor, SB mengaku melakukan donor, karena dia ingin donor saja, itu saja, berikut pernyataan dari SB : “Hehem....hm...hese jawabana, jawabannya ya itu yang waktu pertama ditanya, karena pingin, kadang juga, karena ingin menolong juga ada, karena unsur menolong juga ada, ada kebawa teman juga ada...yah semacam kumaha nya...ya ada keinginan, diajak temen juga iya, keinginan sendiri ada. Diajak temen juga ada, kayaknya gak bersih sama sekali, gak ada fullnya”(CSB7).
73
Berdasarkan
kepada
definisi
tentang
perilaku
prososial
kemudian membandingkan dengan hasil wawancara subjek, maka gambaran perilaku prososial dari kedua subjek berbeda. Pada FSR perilaku prososialnya dalam donor darahnya tersebut adalah karena ingin mendapatkan kesehatan, sedangkan SB motifnya tidak tentu dan kadang berubah. Donor darah yang kedua subjek lakukan sudah termasuk kepada perilaku prososial, karena pada berdasarkan kepada definisi keduanya perilaku subjek sudah memenuhi kriteria dari tiap definisi. Adapun untuk motif pada perilaku prososial tidak begitu dibahas apakah harus untuk menolong atau tidak sehingga berbagai macam motif selama itu menolong orang lain perilaku tersebut telah termasuk prososial. Berbeda dengan altruisme, yang mana lebih khusus motif dari penolong adalah murni untuk menolong saja, tanpa ada kepentingan untuk dirinya sendiri. Bila melihat kepada perilaku prososial dari kedua subjek diatas, maka perilaku prososial FSR tidak bisa disebutkan altruisme, karena pada diri FSR motif utama untuk kesehatan dirinya, tidak berorientasi kepada orang lain. Pada subjek kedua SB, melihat bahwa motif SB ini kadang berganti-ganti dalam donor darah, karena SB sendiri berkata banyak yang mempengaruhi dirinya dalam melalukan donor darah, maka perilaku prososialnya pun ada yang termasuk altruisme dan apa pula yang tidak. Perilaku prososial SB yang menjadi altruisme adalah yang ketika SB lakukan dengan motif
74
utamanya adalah untuk menolong orang lain, meskipun pada diri SB ada motif yang berhubungan untuk dirinya sendiri. Adanya motif-motif lain yang mungkin bisa berganti-ganti selanjutnya ini yang menjadi dinamika pada perilaku prososial itu sendir yang selanjutnya akan diulas pada pembahasan berikutnya.
2. Perspektif Perilaku Prososial Pendonor Darah a. Perspektif Evolusi Alasan seseorang menolong berdasarkan kepada perspektif ini, adalah untuk mempertahankan keberlangsungan hidup mereka (Taylor et.al, 2009). Ketika dengan memberikan pertolongan bisa memberikan
manfaat
bagi
yang
memberi,
terutama
untuk
keberlangsungan hidup pemberi pertolongan tersebut, maka bentuk perilaku prososial ini sudah termasuk kepada perspektif evolusi. Pada donor darah, mungkin secara tidak langsung manfaat pun akan dirasakan oleh pendonor tersebut. Menurut Anandita (2009), melalui donor dapat diketahui kondisi tubuh sedang sehat atau tidak. Seseorang yang donor maka dia bisa tahu apakah tubuhnya sehat atau tidak, jadi bila ada penyakit orang tersebut bisa segera mengantisipasinya lebih dini, sehingga secara tidak langsung hal ini mempertahankan kondisi tubuh dan keberlangsungan hidupnya.
75
Pada subjek pertama FSR, yang mana dengan jelas mengatakan kalau alasan donor dia adalah untuk kesehatan. Berarti perilaku prososial pada FSR ini berdasarkan kepada perspektif evolusi, karena dengan donor darah bisa membuat sehat sehingga harapan hidup bagi FSR pun semakin baik, karena jauh dari penyakit. Berikut ini pernyataan dari FSR : “Ya mungkin itu kan kayak penumpukan zat gula, yang terus saja terus tertimbun, zat gula bisa menimbulkan itu ya, sel gula darah, suka takut saya ya, kan banyak dimasyarakat ada orang yang, itu...apa...gula darahnya tinggi kan...nah itu aja karena alasan kesehatan ya terutama. Takut karena ada penumpukan ternyata kalau tidak diambil akan begitu. Gitu ya akan ada pengikatan..Diikat disel-sel darah gula tersebut, ih betapa takut kan”. (AFSR4) Dorongan yang membuat FSR mendonorkan darah adalah karena merasa takut terkena penyakit. Menyadari bahwa dengan donor darah bisa menjadikan diri sehat, maka FSR pun melakukan donor darah. FSR berpendapat kalau darah yang donorkan akan segera berganti, sehingga darah yang baru itulah yang lebih sehat. Berikut pernyataan dari FSR :
“Itu kan, kan kita tahu ada pergantian itu ya, pergantian darah itu kan, jadi ada pergantian darah misalkan menjadi baru, ah itu jadi lebih baik kayaknya,hehe......”(AFSR2) SB sendiri pun memandang bahwa dalam donor darah itu baik itu kesehatan tubuh, terutama dalam hal sirkulasi darah tubuh. Darah
76
yang didonorkan akan mengalami sirkulas. Menurut SB melalui donor darah akan terus diganti lebih baru, berikut pernyataannya : “Ya, karena seolah-olah pembawaan kita terasa, walaupun kesehatan itu dari Allah ya, perasaan gitu ya, karena mungkin secara logika bersikulasi ya, tubuh kita mengeluarkan darah terus jadi bersikulasi, beda dengan yang enggak itu mentok didalam tubuh terus, seumur hidup darahnya gak ganti-ganti, kalo saya kan bersirkulasi tiap tiga tahun keluar, tiga bulan keluar tiga bulan keluar, dari muda hingga kini sekarang, ya itu agak gembrot sekarang heuheu...” (ASB5) “Biasa aja tuh kayaknya mah, yang beri sehat mah Allah Kan ya, diantaranya mungkin, mudah-mudahan sehat, kan ada sirkulasi itu aja” (CSB5) Baik antara FSR dan SB keduanya dalam perilaku prososial dipengaruhi oleh keinginan untuk sehat, dan hal ini wajar saja. Maka perilaku keduanya bisa dikategorikan kepada perspektif evolusi, mereka donor darah untuk menjaga kesehatan dan itu adalah untuk kelangsungan hidup mereka.
b. Perspektif Sosial Seseorang yang berbuat baik kepada orang lain yang tidak mempunyai hubungan darah, dijelaskan dalam perspektif sosial (Taylor et.al, 2009). Pada kegiatan donor darah umum biasanya seseorang tidak mengetahui kepada siapa darah tersebut diberi. Berbeda dengan donor darah panggilan, seorang pendonor akan diberi tahu kepada siapa darah tersebut akan diberikan. Kadang meskipun pendonor darah panggilan tersebut tahu, tetapi belum tentu
77
juga dia kenal dengan orang yang akan ditolongnya tersebut. Ketidaktahuan dan tidak kenalnya orang tersebut dengan yang ditolongnya itu, menjelaskan tentang perilaku prososial yang dilihat dari perspektif sosial. Baik FSR dan SB dalam riwayat donor darahnya belum pernah donor untuk orang yang mereka kenali. FSR pernah menawarkan donor kepada teman dan tetangganya, apabila membutuhkan golongan darah yang sama dengan FSR, akan tetapi belum ada yang menghubungi FSR dan meminta dirinya untuk donor. Menurut FSR dalam donor ada nilai sosialnya, berikut pernyataan FSR : “Ya itu...itu mungkin nilai sosial itu memberikan kepada orang yang membutuhkan, yah kan kita kasihan banget, kalo ketika orang butuh darah, iya kan golongan darah itu ga ada, golongan yang sama itu kan, itu kan sebenarnya nilai sosialnya” (AFSR8) Nilai-nilai sosial yang mengajarkan FSR untuk saling tolong menolong dengan sesama manusia lainnya. Nilai-nilai tersebut salah satunya FSR dapatkan dalam agama. Menurut FSR donor darah adalah bentuk menolong. Berikut pernyataan FSR : “Ya, itu menolong sesama, utamanya menolong sesama,
Jadi menolong sesama, karena diagama juga mengajarakan kita untuk menolong....He..eh kan gitu, Kita sebagai manusia harus menolong dan donor adalah bentuk menolong” (AFSR21)
78
Menurut FSR, agar bisa menolong orang lain maka, pertama harus sehat dulu. Salah satu cara untuk sehat itu adalah dengan donor darah, maka secara tidak langsung selain menyehatkan juga bisa menolong. Maka FSR bila akan donor akan mempersiapkan diri dengan baik. Berikut pernyataan : “Ya salah satunya, ya itu mungkin udah..., kita juga sudah percaya bahwa itu oh nanti darah kita bakal dibutuhkan, jadi bagaimana pun juga darah kita juga harus sehat gitu ya, misalkan harus memenuhi syarat. Kalau kita gak sehat, tidak memenuhi syarat, kita juga gak kan boleh mendonorkan darah gitu prinsipnya, otomatis kita juga tidak bisa membantu orang lain gitu kan ya, heu...ya seperti itu” (CFSR8) SB sendiri pun donor darah untuk orang lain yang tak dikenalinya. Pernah ketika menjelang kelahiran anaknya yang ketiga di tahun 1988, isterinya berpesan untuk tidak donor darah, sebagai antisipasi apabila perlu donor darah, akan tetapi karena lupa, akhirnya SB pun tetap donor. Ketika isterinya melahirkan dan membutuhkan darah, SB pun tidak bisa menolongnya lewat donor darah. kebetulan golongan darah SB dan isterinya adalah sama. Baik FSR dan SB keduanya melakukan donor darah, secara rutin selama tiga bulan sekali, dan diantara keduanya belum ada yang menjadi pendonor darah panggilan. Keduanya tidak merasakan keberatan darah yang mereka donorkan akan dipakai oleh siapa, yang jelas bagi mereka yang benar-benar membutuhkan. Berikut pernyataan :
79
“Pasti yah yang membutuhkan, tapi kalau kayaknya itu, yang darurat bener-benar, kecelakaan misalnya, tiba-tiba atau misalkan orang yang benar-benar gak ada cocok sama sekali golongan darahnya sama dengan dia gitu kan, saya suka tawar-tawarin sok kalau ada kapan saja saya mau saya siap.....tapi terutama kalau yang darurat sekali kecelakaan gitu misalkan. Kalo seandainya tahu ya, tapi”.(AFSR18) Begitu pula dengan SB “Enggak ada, karena kan susah. Milihnya juga buat siapa, gak tahu percis, gak tahu percis buat apa gitu.” (BSB20) Keduanya baik SB atau FSR dalam donor darah, pun terpengaruhi nilai-nilai sosial. Mereka pun tidak mempermasalahkan bila darah yang didonorkannya tersebut tidak dipakai oleh keluarga bahkan oleh orang lain pun tak mengapa. Menolong orang lain yang bukan kerabat atau ada hubungan darah, menjelaskan perilaku prososial dalam perspektif sosial dan pada FSR dan SB keduanya terliputi dalam perspektif ini.
c. Perspektif Belajar Perspektif belajar menekankan kepada pembiasaan, dan hal tersebut dilakukan sejak kecil sehingga ketika dewasa perilaku prososial sudah tertanam (Batson dalam Taylor et.al, 2009). Pada kegiatan donor darah apabila memandang melalui persepektif belajar ini, maka dapat disimpulkan kalau alasan mengapa dia donor adalah karena dia mendapatkan pembiasaan untuk donor dari orang tua. Menurut hasil penelitian dari Piliavin dan Allero (dalam Taylor,
80
2009) menemukan bahwa pendonor darah sering kenal anggota keluarga atau kawan yang pernah melakukan donor darah dan menjadi model positif mereka. Berarti proses pembelajaran bisa saja terjadi bukan dari orang tua mereka saja, akan tetapi bisa pula berasal dari teman mereka yang menjadi contoh dalam perilaku donor darah tersebut. Pada partisipan pertama (subjek FSR), kegiatan donor darah yang dia lakukan selama ini tidak mendapat contoh baik dari orang tua ataupun ada teman yang mengajak. Setelah FSR menikah, ternyata suami dari FSR pun adalah seorang pendonor aktif dan lebih banyak donor dibandingkan dengan FSR, maka saat itu FSR mendapatkan contoh dari dari suaminya meskipun pada saat itu pada diri FSR pun sudah terbentuk motivasi internal. menurut Piliavin dan Allero pada mulanya pendonor awal akan bergantung pada motivasi eksternal, sebelum akhirnya terbentuk motivasi internal dalam dirinya. Melihat usia FSR yang telah menikah dan bila dibandingkan dari pertama kali donor yaitu seketika SMA maka, maka dalam renatan waktu itu seharusnya FSR sudah mempunyai motivasi internal untuk dia melakukan donor darah, yaitu untuk kesehatan. Berikut pernyataan yang terkait : “Tidak ada, kecuali mungkin bapa, suka sama, kalau dari dulu suami memang suka sama mendonorkan”. (AFSR12) “Ya itu, yang utamanya adalah kesehatan, yang pertama kesehatan, yang kedua ya itu untuk sosial”. (AFSR24)
81
Pada partisipan kedua (subjek SB), untuk contoh dari orang tua memang tidak ada, akan tetapi SB mendapatkan contoh donor darah ini dari temannya. Proses pembiasaan untuk menolong untuk SB sendiri, telah dia dapatkan dari ibunya, yang mana menolong anak-anak penjual yang masih kecil. berikut pernyataannya : “Bukan kurang ya, untuk menolong tetap ada, ya menolong aja, cuma enggak...enggak bisa dikatakan khusus gitu, mungkin ada juga untuk menolong, nyatanya waktu ibu saja jualan, anak-anak yang pencari..apa namanya...penjual nasi, kalo saya liburan ibu saya kan jualan nasi disitu, dipinggir jalan jakarta yang sekarang jadi pom bensin sekarang di jalan jakarta, dulu kan rame, nah jualan dipinggir situ, terus kan yang pembelinya itu yang pencari itu kan dorong-dorong sol, itu makan pagi, kadang-kadang siang ditagih ada yang bayar ada yang enggak, pas saya tanya ke ibu saya kenapa, “kan saya inget kamu, sapa tahu kamu dah ada yang kasih makan gak?” jadi mungkin disitu ada unsur menolongnya ya kan...kan suka banyak juga ya anak-anak yang seusia saya cuma mereka mah gak sekolah, saya kebetulan di Jawa sekolah, cuma makan kurang, karena ekonomi. Jadi ibu saya untuk makan jualan itu, ade yang saya jual, bukan ade kandung, ada yang dari kecil saya diurus sama ibu saya. Jadi banyak menolongnya disitu, bukan menolong secara langsung ya, tapi inget itu, mungkin itu pelajarannya”. (BSB19) Pembelajaran untuk menolong telah SB dapatkan meskipun tidak langsung, harus melalui donor darah. Ada kemungkinan dari pembiasaan tersebut SB mengembangkannya sendiri. Salah satu cara untuk menolong dan yang SB lakukan adalah dengan donor darah. SB pertama kali donor adalah karena ada temannya yang donor. Kemungkinan kebiasaan SB donor darah pun adalah bentuk imitasi dari temannya tersebut. Berikut pernyataan yang berkaitan :
82
“Gak, cuma karena ketemu mahasiwa ITB aja gitu, kan saya kerja di asrama ya, kadang-kadang suka tinggal di asrama, jadi ya kebawa-bawa mahasiswa ITB aja, dan kebetulan karena masih kerja, kebetulan kelihatan ada KDD ITB, ada tulisan yang gagah-gagah gitu lah “give blood save a life” gitulah jadi donorkan darah anda selamatkan nyawa orang kan, slogan-slogan kaya itu yang menggugah saya”. (ASB9) d. Perspektif Pengambilan Keputusan Perspektif pengambilan
keputusan memandang perilaku
prososial akan terjadi melalui beberapa proses dan itu terjadi pada saat kejadian yang sifatnya langsung. Pada donor darah sendiri perspektif pengambilan keputusan akan lebih tepat pada kasus pendonor panggilan, untuk pendonor darah reguler atau bulanan yang rutin, perspektif proses pengambilan keputusan kurang begitu terjadi karena tidak bersifat langsung.
e. Perspektif Atribusi Perspektif perspektif
ini
selanjutnya
adalah
seseorang
ketika
perspektif akan
atribusi,
menolong
pada akan
mempertimbangkan lebih dahulu siapa yang akan ditolongnya tersebut. Pada kasus donor darah kali ini, karena pendonor tidak begitu tahu kepada siapa darah tersebut diberikan, maka proses atribusi dari pendonor tidak terjadi. Pada kedua partisipan (FSR dan SB) pun sepakat untuk siapa yang menerima darahnya adalah mereka yang benar-benar membutuhkan. Tidak peduli bagaimana orang tersebut, berikut pernyataan :
83
“Ya tidak apa, karena pernah, ini juga dulu ada wawancara dari PMInya ya, “apakah anda harus donorkan kepada keluarga? Enggak”, jadi jawabnya cuma bingung saya juga, karena kita juga tidak berharap keluarga akan sakit, walaupun ratih juga kan cesar juga kan dioperasi, waktu lahir ibunya dioperasi tapi itu kan temporer gak butuh terus-terusan, jadi gak setiap saya donor disimpen buat keluarga saya kan gak mungkin.” (ASB13) “Ah itu, ga begitu, pokoknya yang benar-benar, maksudnya yang gini, kita tidak memandang itu penjahat atau orang baik, tapi yang dilihat adalah mana yang paling darurat. Kan misalnya sedang berhadapan, yang itu saja.ya kan kita....yang benar-benar darurat sekali membutuhkan banget. kalo seandainya kita boleh memilih.” (AFSR19) Perspektif atribusi dalam donor darah reguler tidak bisa optimal dalam memandangnya, karena ketidaktahuan pendonor akan diberikan kepada siapa darahnya tersebut menjadi menjadikan perspektif ini bias. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial Pendonor Darah Ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang dalam berperilaku prososial, yaitu : mood, kepribadian, waktu, kemampuan, agama, kondisi lingkungan, bystander, dan penampilan (Taylor, 2009, Sarwono, 1999, Myer, 2002). Beberapa faktor yang tersebut diatas, ada yang berlaku pula pada kegiatan donor darah dan juga ada yang tidak berlaku. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh dalam donor darah adalah :
84
a) Waktu Pada saat donor darah memerlukan waktu yang tidak sedikit, dimulai dari pemeriksaan kesehatan dan proses pengambilan darah. Apabila donor darah tersebut dilakukan secara terbuka untuk umum, maka akan menambah waktu pula terutama dalam hal antrian, karena akan banyak orang yang menunggu giliran. Berbeda bila donor dilakukan secara langsung baik itu kepada PMI langsung atau pun ketika mendapat panggilan langsung. Antara FSR dan SB berbeda cara dalam melakukan donor darah, FSR kebanyakan sering donor secara terbuka yang mengundang banyak massa, sedangkan SB donor darah secara langsung di PMI. FSR yang donornya dilakukan secara umum, sebelum donor akan selalu melakukan persiapan terlebih dahulu, baik itu fisik dan juga waktu, karena tentunya akan memakan banyak waktu. Profesi FSR yang sebagai ibu rumah tangga, maka membuat FSR tidak memiliki banyak kesibukan dan bisa mengatur lebih fleksibel waktunya, dan lebih bebas karena tuntuan yang ada tidak begitu besar, seperti layaknya pekerjaan formal. Tetapi tetap saja FSR harus menyiapkan waktu khusus untuk donor pada hari yang dimaksud. Berbeda dengan SB, donor darahnya dilakukan secara langsung ke PMI. Hal ini dikarenakan SB saat itu yang sudah bekerja mengaku tidak mempunyai banyak waktu apabila harus
85
mengikuti acara donor darah yang bersifat umum. Solusi yang SB lakukan adalah, SB mendatangi langsung PMI untuk donor darah. Secara rutin setiap tiga bulan sekali SB mendatangi PMI, tentunya dengan terlebih dahulu mengatur waktu SB dengan jadwal kerja. Meskipun sebenaranya SB mengakui kalau untuk donor akan tersedia waktu, karena SB sendiri tidak begitu sibuk, dan dalam sela-sela kerjanya untuk donor darah SB bisa menyempatkan waktunya tersebut, bahkan kabur. Keleluasan waktu inilah yang membuat SB bisa mendonorkan darahnya dengan teratur dan rutin. Berikut pernyataan SB : “Iya, pokonya pergi kesana, ya pokonya setiap ada..khusus sekali mungkin enggak, tapi pasti ada ya sih waktu itu kan namanya mahasiswa, kan kebanyakan waktu mahasiswa, walaupun udah kerja juga masih bisa kabur” (BSB12).
b) Kemampuan. Maksud kemampuan disini adalah kemampuan fisik untuk donor. Sebelum donor, seseorang akan diperiksa bagaimana kondisi fisiknya, apabila fisiknya mampu atau pun sehat, maka ia bisa donor, tetapi bila kondisi tubuhnya tidak sesuai maka orang tersebut tidak akan diizinkan petugas donor darah. Penting sekali faktor kemampuan tubuh ini, karena tidak sekedar keinginan untuk menolong saja, tetapi harus diiringi dengan kemampuan dari orang tersebut, agar bentuk pertolongan bisa terwujudkan.
86
Kemampuan itu tentunya ada dengan terlebih dahulu melakukan persiapan, agar ketika donor bisa dikategorikan mampu. Bagi FSR sendiri, persiapan itu sudah menjadi hal yang harus. Berikut pernyataan FSR : “Kayaknya belum..mudah-mudahan enggak, jangan deh...pokoknya kita kalau mau donor darah, selalu mempersiapkan bahwa, oh...saya mau donor darah gitu aja....”(AFSR16)
Pernyataan lain yang berhubungan (AFSR17, BFSR4, BFSR6, CFSR7). Bagi SB persiapan pun menjadi perlu, meskipun hal itu adalah hal sederhana, tujuannya pun sama adalah untuk bisa mendonorkan darah. berikut pernyataan : “Ya ada, makan jadinya, karena itu udah di..waktu awal itu udah ditanya, “udah makan belum” walaupun setelahnya kan kita disuruh makan telor itu aja”(BSB7) FSR dan SB pun termasuk mereka yang mampu sehat, sehingga mereka bisa donor. Apabila mereka tidak mampu maka mereka akan ditolak. Baik keduanya ternyata pernah ditolak untuk donor pada saat mereka akan donor. Hal tersebut menunjukan kalau mereka belum mampu donor pada saat itu. Bagi FSR penolakan tersebut menjadi sebuah kekecewaan, karena FSR harus menunggu tiga bulan kemudian untuk bisa donor lagi. Berikut ini pernyataan : “Ya, kecewa aja ya...kecewa karena yah kadang-kadang 3 bulan sekali gitu ya, ininya ya sebetulnya, bisa aja mungkin ke PMI, oo pas kita udah siap-siap, udah ini agak kecewa ya, ya nyesel padahal tadi jangan jalan-jalan dulu.” (BFSR3)
87
SB sendiri menilai lebih positif, tentang penolakan yang dialaminya. SB menerima saja, kenapa ia tidak bisa donor, mungkin apabila dilanjut akan berbahaya untuk kesehatan SB. Berikut pernyataannya : “Ya, karena itu kan alasan kesehatan, ya kita nurut aja, itu kan alasan kesehatan, siapa tahu nanti bahaya, kita gak su’udhon apa-apa, mereka kebanyakan darah, karena seringnya kan kalo puasa, abis lebaran mereka kekurangan darah ya, coba aja yang saya tahu itu aja. Kelebihan kan gak pernah diumumin jarang ada ya sekali-kali paling di koran, stok darah berlebih, tapi kita gak terlalu baca, sekilas aja, jarang-jarang lah mengetahui itu”. (BSB11) Kemampuan disini lebih ditekankan kepada kemampuan fisik, agar ketika pemeriksaan kesehatan tubuh sebelum donor bisa lolos. FSR dan SB pun mempersiapkan hal tersebut.
c) Agama Menurut Gallup (dalam Sarwono, 1999) orang yang taat dalam beragama lebih cenderung untuk menolong orang lain. Kedua subjek FSR dan SB adalah beragama Islam. Ajaran dalam agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya bukan untuk hanya beribadah kepada Allah secara langsung, tetapi juga ada beberapa ibadah lain yang sifatnya sosial. Menurut penelitian Sappington & Baker (dalam Sarwono, 1999) yang menentukan seseorang menolong adalah bukan karena kuatnya ketaatan dia dalam beragama, akan tetapi tergantung kepada kepercayaan orang
88
tersebut tentang pentingnya menolong yang lemah dalam ajaran agama tersebut. Aktivitas dari FSR adalah sebagai ibu rumah tangga. Hampir sebagian banyak FSR menjalani waktunya di rumah. Diantara banyak aktivitasnya salah satu aktivitas FSR setiap minggu adalah mengikuti pengajian ibu-ibu di masjid, ini adalah salah satu aktivitas FSR dalam mengkaji ilmu agama. Pemahaman yang FSR peroleh dalam pengajian rutin setiap minggunya ini bisa salah satu faktor pendorong FSR dalam berbuat baik dan menolong kepada sesama. Pandangan FSR sendiri tentang donor darah bukan merupakan bentuk amalan dalam perintah agama. FSR sendiri mengaku kalau harapan dia dalam donor darah adalah ingin sehat. Berikut ini pernyataannya : “Yang utama kalo yang saya rasakan saya ingin sehat, karena dengan sehat itu banyak yang bisa kita lakukan, heu....yah banyak kalo kita sehat itu kan toh membantu orang, menolong orang , toh tidak hanya donor darah saja, tapi ya efek lain dari donor darah juga ada, tapi terutama untuk sehat, dengan sehat tu kita bisa banyak berbuat, jadi produktifitas kita menjadi tinggi mau apapun jug, kalo gak sehat mah, aduh gini...aduh gini...jadinya”. (CFSR10) “Heu..euh...karena saya...saya mungkin tidak merasakan langsung bahwa itu, saya tuh sedang beramal, tidak merasakan langsung. Walaupun itu, eu...memang untuk orang yang membutuhkan, karena saya merasa itu memang untuk kesehatan saya ko, sama aja dengan kita general check up misalkan kan bayar, bukan beramal untuk dokter ya. Sama mungkin seperti itu, gak saya gak merasa seperti itu donor adalah beramal, saya gak. Saya sendiri ya, ya mungkin yang lain beda”. (CFSR17)
89
Partisipan kedua yaitu SB, meskipun sekarang ini tidak banyak aktivitas pekerjaan karena sudah pensiun, tetapi SB tetap aktif di kegiatan masyarakat, yaitu sebagai sekretaris RT dan juga aktif di DKM (Dewan Keluarga Masjid) dekat rumahnya. Di DKM tersebut, sering ada pengajian mingguan yang sering SB datangi. Selain itu pula SB kadang menjadi Khatib pada shalat Jumat, hal tersebut bisa menjadi indikator kalau ketaatan SB dalam beragama bisa dikatakan lebih, selain itu SB pun sudah melaksanakan ibadah haji. Mengenai urusan donor darah sendiri bagi SB menilai hal tersebut tidak terlalu berkaitan dengan keyakinan dia dalam beragama. SB menuturkan kalau dalam agama tidak menyuruh langsung dalam hal donor darah, sehingga donor darah baginya bukan tentang urusan beragama. Berikut pernyataan SB : “Iya ada walaupun mungkin...kalopun dalilnya yang tepat belum saya baca harus donor darah, kalo memberi mah..memberi mah semua orang juga harus diberi ya, jangan menghardik yang meminta dan menyakiti anak yatim dan memberi yang membutuhkan, kalo darah kan kita memang gak ada, dalil dalam al quran itu, saya belum baca, dan tidak mendengar langsung dan gak pernah saya tanya”. (ASB18)
Menurut H. Carl Witherington (dalam Sururin, 2004), pada masa dewasa akhir pemilihan terhadap kehidupan mendapat perhatian yang tegas. Hal ini juga tergambar dalam sikap dan tingkah lakunya dalam beragama. Seseorang telah memiliki tanggung jawab terhadap sistem nilai yang dipilihnya, baik sistem nilai yang bersumber pada ajaran-
90
ajaran agama maupun yang bersumber pada norma-norma lain dalam kehidupan. Hal ini pula yang memungkin bagi FSR dan SB dalam berdonor, disamping keduanya mempunyai satu kegiatan religi yang rutin, masa bagi FSR dan SB adalah waktunya untuk bertanggungjawab dengan nilai agamanya sebagaimana pendapat dari Witherington. Maka donor darah dan juga sebagai wujud dari tolong menolong dengan sesama. Faktor agama bisa mendukung dalam perilaku menolong, yang salah satunya adalah donor darah. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi perilaku menolong seperti yang disebutkan oleh Myer (1999), Taylor (2009), dan Sarwono (1999), pada donor darah yang bersifat reguler tidak muncul. Ketika ditanyakan kepada kedua subjek tersebut, FSR dan SB tentang faktorfaktor lain seperti mood, kondisi lingkungan, bystander, dan penampilan orang yang akan ditolong, menurut keduanya tidak begitu berpengaruh. Beberapa faktor tersebut, kemungkinan akan muncul bilamana pertolongan yang diberikan bersifat secara langsung, atau bila dikaitkan dengan donor darah kepada donor yang sifatnya langsung atau pendonor panggilan. Pada kondisi seperti itu pula, pendonor akan dihadapkan pada perspektif prososial dalam hal pengambilan keputusan dan juga atribusi, sehingga bisa dijelaskan kenapa pendonor tersebut mau memberikan pertolongan. Faktor yang lain yaitu kepribadian tampaknya juga bisa dikaji lebih dalam untuk penelitian prososial dalam donor darah ini, mungkin
91
dengan menggunakan instrumen yang telah valid bisa diketahui gambaran kepribadian yang prososial itu yang bagaimana. Sehingga pada akhirnya bisa pula dibuat generalisir kepada populasi yang mana saja kepribadian yang siap untuk melakukan donor darah.
4. Dinamika Perilaku Prososial Pendonor Darah Perilaku prososial menurut Taylor et.al (2009) mengabaikan motif dari penolongnya. Maka pada perilaku prososial sangat memungkinkan untuk bisa memunculkan beberapa motif, meskipun ada pendapat yang mengkhususkan niatan utama yang harus muncul dalam perilaku prososial adalah keinginan untuk menolong orang lain agar bisa lebih baik setelah ditolong (Eisenberg, dalam Saripah 2007). Pada perilaku prososial, terkadang penolong akan menerima resiko saat memberikan pertolongan dan tidak mendapatkan manfaat (Baron & Byrne, 2005). Uniknya untuk kasus donor darah itu sendiri, ternyata ketika seseorang mendonorkan darahnya, selain telah memberikan pertolongan dia juga pun akan menerima manfaatnya. Mungkin resiko dalam donor darah pun ada tetapi itu kecil dan jarang terjadi. Melihat kondisi yang unik pada donor darah ini, maka antara keinginan menolong dan memperoleh manfaat bisa saja terjadi tarikmenarik pada diri pendonor tersebut. a) Partisipan Pertama (subjek FSR)
92
Pada mulanya dorongan FSR untuk donor darah adalah karena adanya penjelasan dari guru biologi ketika FSR SMA. Pada saat itu dijelaskan bahwa melalui donor darah tubuh bisa sehat. Penjelasan tersebut rupanya membuat FSR tertarik dan ingin donor darah, berikut pernyataan FSR: “Eu....ya seperti yang saya bilang, prosesnya itu bermula dari dulu pelajaran di sekolah, oo...ternyata begitu kalo donor darah itu begini-begini, keuntungannya terutama, prosesnya begitu, dari pelajaran dari guru disekolah, oh ternyata sehat juga ya, terus timbulah keinginan untuk, akhirnya kalo bisa saya juga pengen donor darah, kebetulan pas disekolah juga suka diadakan donor darah, karena tertarik ya udah, memenuhi syarat ya udah donor darah aja..hehehe.....seperti itu awalnya.. “ (CFSR1) Alasan utama dan pertama FSR dalam donor adalah karena ingin
sehat.
Pada
beberapa
hasil
wawancara
FSR
selalu
mengutamakan alasan kesehatan sebagai jawaban yang utama, meskipun memang kadang ada alasan lain, tetapi motif utama FSR adalah untuk kesehatan. Berikut pernyataan FSR : “Yang dipikirkan kesehatan aja ya. heu euh... Pertama yang pasti untuk kesehatan, yang kedua tentu alasan untuk nyumbang kalau ada orang yang butuh, gitu ya..tapi yang pasti pertama adalah untuk kesehatan, hehehe.........(AFSR1) Selanjutnya FSR pun mulai menyadari makna dari donor darah, dan motif yang semula adalah untuk kesehatan itu tetap bertahan. FSR pun ketika diwawancarai dari awal sudah menekankan kalau keinginannya untuk donor darah adalah untuk kesehatan. Adapun niatan untuk membantu atau faktor lain tidak begitu dominan,
93
meskipun kadang FSR pernah berpikiran tentang hal-hal tersebut. Berikut pernyataan FSR : “Kalau sekarang lebih...kesehatan jelas yah, tapi lebih ke arah membantu, kalau seandainya...kalo seandainya ada orang yang membutuhkan, sementara kita bisa mengumbangkan, kan lebih..lebih...kalo sekarang, kan karena mungkin saya sudah tua..kenapa kalo kita bisa menyumbangkan, kenapa toh..kita tidak menyumbangkan saja, kan lebih bermanfaat, kalo kesehatan kan itu sudah jelas, mengikuti, tapi sekarang makanya sekarang saya suka menawarkan sok kalau mau, itu sebenarnya maksdunya” (AFSR7) Bagi FSR menolong orang lain bisa dalam bentuk lain. Khusus untuk donor darah FSR berharap agar bisa sehat, karena menurut FSR ketika sehat dia sehat bisa membantu lain dalam bentuk yang lain. Begitu pula dalam hal pengamalan nilai beragama, FSR tidak meniatkan donor sebagai bentuk amalan. Berikut pernyataan : “Yang utama kalo yang saya rasakan saya ingin sehat, karena dengan sehat itu banyak yang bisa kita lakukan, heu....yah banyak kalo kita sehat itu kan toh membantu orang, menolong orang, toh tidak hanya donor darah saja, tapi ya efek lain dari donor darah juga ada, tapi terutama untuk sehat, dengan sehat tu kita bisa banyak berbuat, jadi produktifitas kita menjadi tinggi mau apapun juga, kalo gak sehat mah, aduh gini...aduh gini...jadinya” (CFSR7) “Kalo saya eu..ya...kalo saya sendiri mungkin lebih cenderung kepada arah kesehatan, karena itu tadi dengan sehat itu, beramal apapun kita bisa lebih punya kesempatan gitu. Dengan sehat tuh, tidak hanya donor darah ya, cobalah donor darah itu hanya cara saja untuk sehat, samalah dengan kita kaya olahraga, menurut saya seperti itu. Olahraga itu, sebetulnya hanya itu saja bukan, kalau saya sendiri sama yaitu cara untuk hidup sehat gitu, kalau urusan amal ya, itu...ah Allah itu urusan, kita mah hanya berbuat saja, serahkan saja semuanya ke Allah
94
ya kita beramal juga bisa lewat yang lain, mungkin kita sendiri bisa merasakan bahwa itu sama, kalau donor darah saya merasakan bahwa itu bukan beramal heuheu....ya karena saya cenderung itu untuk kesehatan saya, tapi kalau untuk beramal mungkin, saya lebih ya beramal dalam bentuk lain yang benerbener saya rasakan itu beramal, nah kalo donor darah saya tidak merasa kalau itu beramal, karena walaupun mungkin secara tidak langsung beramal, saya cenderung itu untuk lebih kepada kesehatan saya sendiri, toh kalo itu dibuang juga, tidak apa-apa heuheu...kecuali kalo memang ada orang yang memang butuh golongan darah ini, saya selalu menawarkan kepada siapapun, pokoknya saya siap, saya selalu golongan darah saya ini, pokoknya kalo membutuhkan dan darah saya belum diambil, silakan saya siap kapanpun, selalu ke...di posyandu, dimanamana “oh ya katanya” makanya kan kalau ada ini diposyandu, kalo ada yang hamil, habis melahirkan dan terindikasi nanti akan kekurangan darah, udah janjian ya, pokoknya ya, kata ibu RT juga, pokoknya itu, bu siap gak?, ah siap, tapi dengan catatan golongan darah sama “ (CFSR10) Salah satu faktor yang bisa menjadi pendorong dalam donor darah adalah adanya penghargaan. Bagi FSR sendiri, penghargaan yang diberikan dari PMI tidak begitu mempengaruhinya untuk donor darah. Ada atau tidak adanya penghargaan FSR akan tetap donor darah, berikut pernyataannya : “Gak juga biasa aja, karena...karena motifnya gak karena penghargaan dulunya, dan bukan karena itu maksudnya, karena gak tahu juga kalau ada penghargaan” (AFSR23) “Ya seneng juga, seneng. Tetapi itu bukan yang menjadi motivasi ya untuk, ya saya mah seneng aja, oh iya...udah kesekian kali tuh”.(CFSR12) Menurut catatan riwayat donor darah FSR, seharusnya FSR sudah mendapatkan penghargaan yang lebih tinggi yaitu ke-25, akan
95
tetapi karena setiap donor FSR tidak memberikan keterangan yang benar tentang berapa kali sudah donor dan juga bagi FSR penghargaan tidak begitu penting, maka sampai saat ini FSR hanya mendapat penghargaan yang ke-10 kali saja, tetapi itu pun sudah dua kali, pernah pula FSR mendapatkan penghargaan tetapi tidak diambilnya. Bagi FSR, donor darah adalah merupakan salah satu jalan untuk menuju sehat sehingga niatan FSR benar-benar untuk kesehatan. Berikut pernyataan : “Mungkin ya biasa saja, karena saya sendiri, eu....dengan penghargaan atau tanpa penghargaan, saya bersemangat untuk donor darah heu...gitu ya, dengan atau pun tanpa ya biasa saja, saya juga tetap bersemangat untuk donor darah, karena menurut saya itu sehat itu aja..heu....” (CFSR13) Perilaku prososial yang terjadi pada FSR dalam donor darah dilatarbelakangi oleh motif yang sudah tetap yaitu kesehatan. Keinginan FSR untuk donor darah ini adalah karena terdorong penjelasan guru biologinya ketika masa SMA, meskipun tidak ada pihak lain yang menjadi contoh bagi FSR dalam donor darah, tetapi FSR tetap ingin mendonorkan darahnya. Selanjutnya untuk proses reinforcement yang pertama pada FSR dalam donor darah terjadi setelah FSR selesai donor, pada saat itu FSR merasakan tubuhnya menjadi lebih baik, mungkin seperti apa yang guru biologi jelaskan. Tampaknya persepsi awal seseorang terhadap sesuatu akan menentukan penilaian orang tersebut, selanjutnya sebagaimana yang telah FSR percayai sejak awal kalau dengan donor
96
darah itu sehat, maka setelah donor darah timbul perasaan yang lebih seger pada diri FSR, berikut pernyataan : “Perasaan......mungkin sugesti ya, jadi perasaan tu kaya lebih seger, mungkin sugesti. Tapi gak tahu apa mungkin bener atau mungkin sugesti, kayaknya kalau tidak donor perasaan saya, kayaknya.... perasaan ini pembulu tuh ko masih yang lama-lama terus aja..beredar disitu.. ya itu mungkin karena sugesti mungkin ya..”(AFSR14) Timbulnya perasaan tersebut membuktikan apa yang guru biologi itu katakan benar, sehingga selanjutnya FSR mempunyai alasan kuat dalam donor darah yaitu untuk sehat dan hal tersebut telah dibuktikannya. Motif utama FSR dalam donor darah yaitu untuk sehat telah dirasakannya, maka untuk beberapa donor selanjutnya motif FSR cenderung untuk kesehatan. Pada beberapa kali pun FSR pernah berhenti dalam donor. Ketika FSR tahu bahwa suaminya pun adalah seorang pendonor darah tetap, keinginan donor FSR tumbuh kembali. Adanya ajakan dari suami ini, menjadi faktor baru sekaligus motif eksternal bagi FSR dalam melakukan donor darah. “Ehm....sebetulnya, salah satunya ada, “enak loh” katanya donor darah tuh seneng ini...ini....tapi kan saya kan udah sebelumnya-sebelumnya juga udah pernah, tapi karena suami udah lebih dulu ya, jadi kemungkinan dorongan sih ada, motivasi ya “enak katanya, badan enak” kan udah lama misalkan, udah sejak dulu donor darah udah gak pernah lagi gitu kan eu...terus dah nikah mulai lagi rutin”. (BFSR5)
97
Kegiatan agama (pengajian) yang FSR lakukan pun bisa menjadi faktor yang mendukung FSR dalam donor darah, sebab pada beberapa alasan FSR pun mengakui kalau salah satu alasan donor adalah keinginan untuk beramal dan juga menolong orang lain. “Ya, itu menolong sesama, utamanya menolong sesama” “Jadi menolong sesama, karena diagama juga mengajarakan kita untuk menolong....He..eh kan gitu, Kita sebagai manusia harus menolong dan donor adalah bentuk menolong” (AFSR21) Ada beberapa hal yang menjadi alasan FSR dalam melakukan donor darah, yaitu keinginan untuk sehat, menolong dan keyakinan FSR dalam beragama, dari semua motif tersebut dorongan untuk sehat yang lebih dominan. Dinamika perilaku prososial FSR dalam donor darah terpengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, keinginan menolong, adanya ajakan suami, dan keinginan beramal, tetapi dari semua faktor tersebut keinginan untuk sehat yang utama daripada motif lainnya dan sampai sekarang motif tersebut masih bertahan bagi FSR sebagai alasan untuk terus mendonorkan darahnya. b) Partisipan Kedua (Subjek SB) Pada awalnya SB sudah mengenal donor darah melalui poster ajakan donor darah. Poster tersebut cukup mengugah SB untuk donor darah, terutama disana terdapat kata-kata “give a blood save a life”. Menurut SB dari kata-kata tersebut selain menggugah juga “gaya”. Berikut ini pernyataan : “Karena gaya saeutik, ada mungkin ya, ya itu aja mungkin...kalo menolong orang mah kan mungkin kita gak tahu
98
percis nya, ya paling bisa berbuat aja, gitu ya, ya berbuat menolong aja, kan kita gak tahu percis itu darah buat apa, waktu baru-baru, sekarang aja tahu buat kecelakaan, buat kelahiran, dulu kan awal-awal kita gak tahu itu darah buat apa”. (CSB1) Faktor lain yang mendorong donor darah SB adalah dari teman kerjanya. Saat itu SB pun sebenarnya sudah mengenal donor darah melalui poster-poster yang ada di tempat ia bekerja. Keinginan SB untuk donor pertama dipicu oleh, sebuah tantangan terhadap diri sendiri karena melihat teman donor dan tidak apa-apa maka SB pun tertantang pula untuk donor. Berikut pernyataan SB : “...Oh enggak jadi gak ada masalah apa-apa atau efek samping, oh berarti ngapain saya gak bisa, tapi orang lain bisa“.( CSB2) SB mengakui kalau dia melakukan donor darah dipengaruhi banyak oleh hal-hal lain. SB memang mengetahui manfaat donor darah untuk kesehatan tubuhnya, SB pun adalah seorang dengan pemahaman ilmu agama yang lebih dalam, sehingga kemungkinan hal ini pula yang menjadi alasan SB dalam berbuat baik, yaitu dalam bentuk donor. Sama seperti FSR pada mulanya SB keinginan donor darah itu terpicu oleh orang lain, pada kasus SB adalah temannya. Setelah SB menyadari makna donor darah bagi dirinya SB pun mulai mendonorkan darahnya secara rutin dengan mendatangi PMI langsung. SB mengakui bahwa salah satu alasan SB rutin donor adalah karena PMI sering menyurati SB yang berisi himbauan agar SB donor darah. Berikut pernyataan :
99
“Ya semacam itulah..sedikit kesibukan juga, karena kan, kalo gak kan dulu mah suka disuratin pas 3 bulan lebih kalo belum donor, mungkin dulu mah, pendonornya kurang, jadi mereka sempat mereka menyurati kita bahwa disana kurang, sekarang mah sudah dua tahun gak ada surat kesini, udah dua tahun ya, dari 2007 gak ada surat kesini bahwa anda belum donor darah ya, setahu saya, atau memang waktu saya dikasih tahu, dipanggil SBY aja mereka tahu kesini, orang PMInya, tapi sekarang surat belum donor gak ada setahun mah, kalo dulu mah waktu masih muda suka ada, bahwa tiga bulan saya belum donor, pernah walaupun gak rutin, pernah dikasih surat, kayak ditagih asuransi” (BSB13) Faktor lain dalam donor darah yaitu penghargaan, bagi SB hal tersebut tidak menjadikanya alasan. Meskipun apabila SB dipanggil untuk mendapatkan penghargaan SB selalu saja datang. Hingga saat ini, SB sudah menerima penghargaan yang ke-100 kali. Berikut pernyataan SB : “Ya..ada kebanggaan tersendiri, tapi ya gak terlalu besar ya, karena kita cuma tahu dapat piagam aja” (BSB16) “Sama, ya tetep saja, akan donor, maksudnya ya tidak memotivasi” (BSB17) Perilaku prososial pada SB lebih dinamis, karena pada beberapa kali donor darah SB dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pada akhirnya SB pun tidak mau menyebutkan secara spesifik apa sebenarnya niatan SB dalam donor darah itu. Menurut SB tidak ada alasan khusus dalam donor darah, berikut pernyataan SB: “Iya...ya gak juga sih, tapi mudahan-mudahan jadi sehat terus, gitu ya hehe....karena ada unsur apa ya, gak jelas gitu, sebenarnya alasannya gak jelas kalo secara jujur, jadi ada semacam ikut-ikutan juga ada, tapi karena ada, kan PMI secara
100
sosial juga, tapi kalo secara jujur mah gak ada alasan yang pasti dihati mah gak ada” (BSB2). “Hehem....hm...hese jawabana, jawabannya ya itu yang waktu pertama ditanya, karena pingin, kadang juga, karena ingin menolong juga ada, karena unsur menolong juga ada, ada kebawa teman juga ada...yah semacam kumaha nya...ya ada keinginan, diajak temen juga iya, keinginan sendiri ada. Diajak temen juga ada, kayaknya gak bersih sama sekali, gak ada fullnya” (CSB7)
Apabila meilhat dari aspek religiulitas SB, tampaknya SB tak ingin disebut riya (membanggakan diri) lewat donor darahnya. Hal ini berdasarkan kepada aktivitas SB yang kini lebih aktif di DKM. Berikut pernyataan SB : “Ya keinginan saja, susah ya, disebut terpaksa juga enggak, sadar juga...disebut kesadaran sendiri takut terlalu apa namanya, terlalu...membanggakan dirinya nantinya, heuheu...jadi agak sulit disebutnya”. (BSB14) Kemungkinan besar niatan SB donor darah adalah didominasi oleh keinginan untuk menolong, adapun untuk manfaat yang lainnya pun tidak begitu SB hanya sebagai pendukung saja. Hal ini pun didukung oleh pernyataan anak SB yang mengatakan bahwa jiwa sosial SB tinggi. Sebagai contoh pernah ada peristiwa kecelakan dijalan dan kebetulan SB berada ditempat tersebut, meskipun tidak mengenal korban tetapi SB menolongnya. Hal seperti ini pernah terjadi beberapa kali, menurut anak SB, karena pada mobil SB pernah beberapa kali tersisa noda darah, dari korban yang ditolongnya.
101
Pada SB keinginannya untuk melakukan donor darah didasari oleh beberapa hal dan tidak ada kecenderungan yang lebih dominan diantara motif-motif tersebut. Alasan SB yang pertama kali donor adalah karena tergugah jiwanya saat membaca kata-kata dalam poster “give a blood save a life” dan juga ada temannya yang donor. Setelah donor SB merasakan kepuasan tersendiri, yang menurut SB sendiri susah untuk dijelaskan, berikut pernyataan : “Iya ada itu, yang tidak bisa dinilai apa itu dengan..ya itu kepuasan tersendiri yang susah ditafsirkan, ya mungkin hanya untuk orang yang merasakan saja, kaya mungkin anda memberi sesuatu kepada orang, apalagi orang itu gak kenal kita kan, kayaknya kepuasan tersendiri itu aja, yang orang lain tidak merasakan.....” (ASB6) Pengalama donor yang memberikan kepuasan tersendiri bagi SB membuat SB merasakan suatu manfaat dari donor darah itu. Selanjutnya keinginan untuk menolong tersebut yang menjadi alasan SB sering mendonorkan darahnya. Keterbasana kondisi donor dikampus tempat SB bekerja tidak membuat SB berhenti, SB pun mulai mendonorkan darahnya langsung ke PMI pusat, secara rutin berkala, setiap tiga bulan sekali. SB pun menyadari adanya manfaat sehat yang akan diperoleh dalam donor darah. Menurut SB donor darah bagai mesin yang ganti oli, sehingga bisa membuat lebih bersih. Meskipun tidak begitu berharap tapi keinginan untuk sehat pun menjadi motif bagi SB, berikut pernyataan : “Ya kalo sekarang mah ya, cuma rutinitas aja mungkin, juga karena tadi unsur sirkulasi darah juga aja, biasanya kan di
102
mungkin berkurang pengendapannya, itu mah logika saya ya mas, bukan logika dokter, logika saya aja, kalo sering diganti ya minimal jadi bersih, kayak ganti oli mesin motor aja, cuma karena sekarang udah setahun lebih lihat ditanggal disini..” (ASB10) “Biasa aja tuh kayaknya mah, yang beri sehat mah Allah Kan ya, diantaranya mungkin, mudah-mudahan sehat, kan ada sirkulasi itu aja“(CSB5) “Ya mungkin ada sedikit, kalo apa..gak sama sekali juga, gak ya...ya kalo dihitung ada ya sekian persen mudah-mudahan. Nah kaya oli aja, kalo sering diganti” ( CSB6) Proses reinforcement SB dalam donor darah dikarenakan beberapa hal, yaitu manfaat yang SB peroleh dalam donor darah, kepuasan, keinginan untuk menolong, kesehatan, dan perintah agama. Hal tersebut yang selanjutnya menjadikan SB terus bertahan dalam donor darah. Faktor eksternal yang menambah dorongan SB untuk donor darah yang pertama adalah dari teman, tetapi setelah itu SB tidak bergantung kepada temannya. Selanjutnya karena SB melakukan donor di PMI maka faktor eksternal itu muncul dari surat yang dikirim PMI kepada SB bila dalam tiga bulan SB belum juga donor darah. Faktor yang ketiga adalah adanya penghargaan, dengan diraihnya beberapa kali penghargaan dari PMI membuat SB menjadi lebih ingin terus donor dan timbul harapan. Dinamika perilaku prososial SB dalam donor darah begitu dinamis, karena beberapa faktor turut mempengaruhi SB dalam donor darah dan diantara beberapa motif tersebut belum ada motif yang lebih
103
dominan diantara motif lainnya. Motif dari SB dalam donor darah adalah, keinginan untuk menolong, keinginan sehat dan memperoleh penghargaan dari PMI. Adapun untuk faktor yang mempengaruhi SB dalam donor darah adalah, faktor eksternal adanya teman dan juga surat dari PMI, sedangkan faktor internal adalah keyakinan dalam beragama. Menurut Piliavin dan Callero (Taylor et.al 2009) untuk pertama kali seseorang yang donor darah adalah karena ada teman atau keluarga mereka yang pernah terlibat. Pada kasus SB dan FSR kedua subjek pun demikian. Baik antara FSR dan SB untuk pertama kali dorongan donor darah itu muncul, dari orang lain FSR dari gurunya dan SB dari temannya. Setelah beberapa lama barulah FSR dan SB mulai mengembangkan sendiri motif internal itu. Bila dibuat pola maka perilaku dari FSR dan SB adalah sebagai berikut : Motif eksternal
Donor darah awal
Motif internal
Donor darah teratur
Gambar 4.1 Pola Perilaku Donor darah
Faktor pendorong
104
Keterangan : • • •
Motif eksternal terdiri dari : orang lain yang berupa, ajakan, bujukan, atau contoh. Motif internal berupa : ingin sehat, ingin menolong, kesadaran dalam nilai agama, ingin mendapatkan penghargaan. Kemungkinan setelah seseorang donor darah dengan teratur, seseorang tersebut akan menjadi motif eksternal bagi orang lain begitu pula seterusnya.
Bila dibandingkan dinamika perilaku prososial dari kedua subjek dan dikaitkan dengan gender, pada penelitian ini hubungan antara gender dan perilaku prososial tidak tampak. Pada penelitian Syafriman (2007) dijelaskan bahwa antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan dalam perilaku prososial, begitu pula pada kasus donor darah ini. FSR dan SB pun tidak mempermasalahkan siapa dan jenis kelamin orang yang akan ditolong dari darahnya. Jadi pada kasus perilaku prososial pada donor darah yaitu FSR dan SB, faktor gender tidak berpengaruh. Pada kedua subjek dalam penelitian ini, SB lebih dinamis daripada FSR karena SB dalam donor lebih terpengaruhi oleh banyak hal, beda dengan FSR yang mana motif sehat lebih dominan. Sampai saat ini SB mengakui bahwa dorongan untuk donor darah karena banyak hal, yaitu keinginan untuk menolong, kepercayaan pada nilainilai agama dan juga mendapatkan penghargaan PMI.
105
Pada FSR yang menjadi motif utama adalah keinginan untuk sehat, meskipun kadang berganti ingin menolong, tetapi motif untuk sehat masih mendominasi dalam diri FSR ketika akan donor. Penghargaan PMI bagi FSR tidak begitu mempengaruhinya.