BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keawetan Alami Hasil perhitungan kehilangan berat ke empat jenis kayu yang diteliti disajikan pada Gambar 4. Data hasil pengukuran disajikan pada Lampiran 1. Berdasarkan Gambar 4 diketahui bahwa kayu karet (kontrol) memiliki persentase kehilangan berat sebesar 25,89%. Persentase kehilangan berat kayu durian dan manii lebih tinggi dibandingkan dengan persentase kehilangan berat kayu karet, sedangkan persentase kehilangan berat kayu petai lebih rendah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kayu durian dan manii memiliki tingkat keawetan alami yang lebih rendah dibandingkan dengan kayu karet, sedangkan kayu petai lebih tinggi. Persentase kehilangan berat kayu durian, manii dan petai masingmasingnya sebesar 27,76%, 56,86% dan 16,35%. 60
Kehilangan Berat (%)
50 40 30
Kelas Awet V (18,95-31,89)%
56.86
20 10
25.89
Kelas Awet IV (10,96-18,94)%
27.76 16.35
0 Karet (Kontrol)
Durian
Manii
Petai
Gambar 4 Persentase kehilangan berat pada masing-masing jenis kayu. Berdasarkan ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah (Tabel 3), secara umum dapat dikatakan bahwa semua jenis kayu yang diteliti memiliki ketahanan alami yang rendah: buruk hingga sangat buruk. Kayu petai dengan kehilangan berat sebesar 16,35% masuk ke dalam Kelas Awet IV (buruk), sedangkan karet, durian dan manii dengan kehilangan berat sebesar 25,89%, 27,76% dan 56,86% masuk ke dalam Kelas Awet V (sangat buruk).
Dibandingkan dengan penelitian terdahulu, penelitian ini memperlihatkan hasil yang berbeda, kecuali untuk kayu durian. Menurut Abdurachman dan Hadjib (2006), kayu manii masuk dalam Kelas Awet III-IV, sedangkan menurut Wahyudi et al. (2007), masuk dalam Kelas Awet IV. Kayu petai masuk dalam Kelas Awet V (Oey Djoen seng 1990), sementara kayu karet Kelas Awet IV (Martawijaya 1981 dalam Barly dan Martawijaya 2000). Tingginya kelas awet kayu petai dibandingkan kelas awet ketiga jenis kayu lainnya menandakan bahwa zat ekstraktif yang terkandung dalam kayu petai lebih bersifat racun terhadap faktor perusak dalam hal ini rayap tanah. Menurut Wistara et al. (2002), keawetan alami kayu sangat dipengaruhi oleh jumlah dan sifat zat ekstraktif yang dimiliki. Semakin tinggi kadar zat ekstraktif, keawetan alami kayu cenderung semakin meningkat. Meskipun kadar zat ekstraktifnya lebih sedikit, namun karena lebih beracun, persentase kehilangan berat kayu dapat lebih rendah. Dibandingkan dengan Wahyudi et al. (2007), hasil penelitian khususnya pada kayu durian, karet dan manii memperlihatkan adanya perbedaan. Menurut Wahyudi et al. (2007), kayu durian dan karet masuk dalam Kelas Awet IV-V, sedangkan kayu manii masuk dalam Kelas Awet IV. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga jenis kayu tersebut semuanya masuk dalam Kelas Awet V. Hal ini dapat dimungkinkan karena adanya perbedaan umur pohon dan atau lokasi contoh uji dalam batang yang digunakan sebagai contoh uji. 4.2 Retensi Bahan Pengawet Hasil perhitungan nilai retensi senyawa boron pada keempat jenis kayu yang diteliti disajikan pada Gambar 5. Data lengkap hasil perhitungan disajikan pada Lampiran 2,3 dan 4. Hasil analisis sidik ragam atau ANOVA (Lampiran 8) menggunakan program SPSS v16 menunjukkan bahwa jenis kayu, konsentrasi larutan bahan pengawet dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap nilai retensi. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 12) menunjukkan bahwa kayu petai yang diawetkan dengan bahan pengawet berkonsentrasi 15% memiliki nilai retensi yang tertinggi dibandingkan dengan kombinasi perlakuan lainnya.
Gambar 5
Retensi senyawa boron pada masing-masing jenis kayu dan konsentrasi larutan.
Dari Gambar 5 diketahui bahwa rata-rata besarnya retensi senyawa boron pada kayu karet, durian, manii dan petai masing-masing sebesar 3,32 kg/m3, 2,37 kg/m3, 3,96 kg/m3 dan 4,31 kg/m3. Pada seluruh jenis kayu, retensi cenderung meningkat dengan semakin tingginya konsentrasi larutan bahan pengawet yang digunakan. Diketahui pula bahwa pada kayu durian, seluruh konsentrasi bahan pengawet yang diterapkan menghasilkan nilai retensi yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Pada kayu manii, hanya konsentrasi 5% yang menghasilkan nilai retensi yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol, sedangkan pada kayu petai konsentrasi 5% dan 10% memberikan nilai retensi yang lebih rendah dibandingkan kontrol. Hasil penelitian membuktikan bahwa retensi senyawa boron dipengaruhi oleh interaksi antara jenis kayu dengan konsentrasi larutan bahan pengawet yang digunakan. Faktor jenis kayu yang berpengaruh diantaranya adalah struktur anatomi sel-sel penyusun terutama proporsi sel penyusun, ketebalan dan kondisi lapisan dinding sel, serta isi rongga sel dan komposisi kimiawi dinding selnya terutama jumlah gugus hidroksil bebas (-OH-) yang menandakan reaktif-tidaknya kayu terhadap bahan kimia. Faktor konsentrasi larutan bahan pengawet yang berpengaruh adalah banyaknya bahan aktif yang terkandung di dalam larutan. Menurut Hunt dan Garrat (1986), semakin tinggi konsentrasi berarti bahan aktif semakin banyak. Semakin banyak bahan aktif, maka peluang terjadinya ikatan
antara bahan aktif dengan gugus hidroksil bebas (-OH-) akan semakin besar. Hal ini sekaligus akan meningkatkan nilai retensinya. Dari Gambar 5 diketahui pula bahwa rentensi senyawa boron pada konsentrasi larutan 5% dalam kayu petai merupakan nilai yang terkecil dibandingkan dengan nilai yang sama pada kayu karet, durian dan manii. Dibandingkan dengan kayu durian, nilai retensi pada kayu petai tersebut bahkan lebih rendah, padahal penetrasi senyawa boron dalam kayu petai sedikit lebih dalam dibandingkan penetrasi pada kayu durian (26,27% berbanding 24,87%, lihat ulasan tentang penetrasi). Hasil ini membuktikan bahwa meskipun penetrasi bahan pengawet ke dalam kayu lebih dalam, retensinya bisa lebih sedikit. Fenomena antar jenis kayu relatif mudah dipahami akibat perbedaan struktur anatomi penyusun kayu antara durian dan petai. Perbedaan nilai retensi pada konsentrasi larutan bahan pengawet yang sama dalam kayu yang berbeda dipengaruhi oleh perbedaan struktur anatomi dan kandungan kimiawi di dinding sel terutama proporsi sel penyusun, isi rongga sel, serta keberadaan dan jumlah gugus OH- yang terdapat di dinding sel. Gugus yang menandakan reaktif-tidaknya suatu jenis kayu terhadap bahan kimia tersebut pada umumnya terdapat pada komponen selulosa dan hemiselulosa di dinding sel. Gambar 6 memuat rata-rata retensi senyawa boron pada masing-masing jenis kayu, sedangkan Gambar 7 memuat rata-rata retensi pada berbagai konsentrasi larutan bahan pengawet yang digunakan.
Retensi (kg/m 3 )
6 5 4 3 2
3.32
3.96
4.31
Manii
Petai
2.37
1 0 Karet (Kontrol)
Durian
Gambar 6 Rata-rata retensi senyawa boron pada masing-masing jenis kayu.
Gambar 7 Rata-rata retensi senyawa boron pada masing-masing konsentrasi larutan bahan pengawet. Dari segi retensi (dibandingkan dengan kontrol) dapat disimpulkan bahwa perlakuan pengawetan secara rendaman dingin menggunakan boron dengan konsentrasi 5%, 10% dan 15% ternyata kurang cocok diterapkan pada kayu durian. Pada kayu manii, perlakuan yang cocok adalah menggunakan konsentrasi sebesar 10% dan 15%; sedangkan pada kayu petai hanya dengan konsentrasi sebesar 15%. 4.3 Penetrasi Bahan Pengawet Hasil perhitungan nilai penetrasi senyawa boron ke dalam masing-masing jenis kayu yang diteliti disajikan pada Gambar 8. Data lengkap hasil perhitungan disajikan pada Lampiran 3. Hasil analisis sidik ragam atau ANOVA (Lampiran 9) menunjukkan bahwa hanya konsentrasi larutan bahan pengawet yang berpengaruh nyata terhadap nilai penetrasi, sedangkan jenis kayu dan interaksi antara jenis kayu dengan konsentrasi larutan bahan pengawet tidak. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 13) menunjukkan bahwa bahan pengawet dengan konsentrasi 15% menghasilkan nilai penetrasi yang terdalam dibandingkan dengan konsentrasi larutan bahan pengawet lainnya.
100
Penetrasi (%)
80 60 40 20 0
Gambar 8
Karet (Kontrol)
Durian
Manii
Petai
5%
12.28
24.87
17.53
26.27
10%
44.68
25.97
41.75
30.79
15%
97.70
99.54
99.07
97.66
Rata-rata
51.55
50.13
52.78
51.57
Penetrasi senyawa boron pada masing-masing jenis kayu dan konsentrasi larutan.
Dari Gambar 8 diketahui bahwa rata-rata penetrasi senyawa boron ke dalam empat jenis kayu yang diteliti relatif sama, yaitu antara 50,13% (pada kayu durian) hingga 52,78% (kayu manii). Penetrasi senyawa boron ke dalam kayu karet dan petai masing-masing sebesar 51,55% (karet) dan 51,57% (petai). Berdasarkan Smith dan Tambiyin (1970) dalam Wahyudi at al. (2007) maka keempat jenis kayu yang diteliti memiliki tingkat keterawetan (treatability) yang sama, yaitu tergolong sedang (moderately resistant). Menurut Bowyer et al. (2003), kerapatan kayu berhubungan langsung dengan porositas. Semakin porous kayu, semakin mudah ditembus oleh bahan pengawet. Pendapat tersebut tidak berlaku pada penelitian ini, karena meskipun keempat jenis kayu memiliki nilai kerapatan yang berbeda-beda (0,58 g/cm3 pada kayu karet, 0,36 g/cm3 kayu durian, 0,35 g/cm3 kayu manii dan 0,59 g/cm3 kayu petai) (Rahayu et al. 2009), hasil penelitian memperlihatkan bahwa kerapatan kayu tidak berpengaruh terhadap penetrasi. Menurut Hunt dan Garrat (1986), dalam spesies-spesies yang berbeda tidak ada korelasi yang signifikan antara kerapatan kayu dengan penetrasi. Penetrasi lebih dipengaruhi oleh kondisi dan proporsi masing-masing sel penyusun kayu. Dari Gambar 8 dapat diketahui bahwa penetrasi terdalam pada masingmasing jenis kayu dihasilkan oleh larutan bahan pengawet dengan konsentrasi 15% yang memiliki viskositas yang lebih tinggi (lebih kental) dibandingkan
larutan bahan pengawet yang lebih encer (konsentrasi 5% dan 10%). Hal ini menandakan bahwa viskositas larutan bahan pengawet 15% tersebut masih mampu untuk menembus dan masuk ke dalam kayu. Rendahnya penetrasi yang dihasilkan oleh larutan bahan pengawet yang lebih encer terkait dengan jumlah bahan aktif yang diikat oleh komponen dinding sel. Meskipun lebih mudah masuk (karena lebih encer), namun karena jumlah bahan aktifnya sedikit, maka saat diuji dengan pereaksi warna hanya bagian pinggir permukaan contoh uji yang berubah, sedangkan bagian tengahnya tidak meskipun ditembus oleh larutan bahan pengawet. Yang berubah warna menandakan adanya senyawa aktif (boron), sedangkan yang tidak menandakan hanya pelarut (air) tanpa boron. Pada kayu durian (Gambar 8), penetrasi senyawa boron yang dihasilkan oleh larutan bahan pengawet berkonsentrasi 5% dan 10% relatif sama. Anomali ini diduga terkait dengan adanya faktor lain yang menghambat masuknya bahan pengawet ke dalam kayu. Menurut Hunt dan Garrat (1986), isi rongga sel terutama tilosis dan padatan berwarna di dalam sel pembuluh dan kristal kalsium okasalat di dalam sel jari-jari dapat mempengaruhi dalamnya penetrasi. Keberadaan tilosis, padatan berwarna dan kristal meskipun dalam satu jenis bisa berbeda (Bowyer et al. 2003). Gambar 9 memuat rata-rata penetrasi bahan pengawet pada masing-masing jenis kayu, sedangkan Gambar 10 memuat rata-rata penetrasi pada berbagai tingkat konsentrasi larutan.
Penetrasi (%)
100 80 60 40 20
51.55
50.13
52.78
51.57
Karet (Kontrol)
Durian
Manii
Petai
0
Gambar 9 Rata-rata penetrasi bahan pengawet pada masing-masing jenis kayu.
100
Penetrasi (%)
80 60 98.50 40 20 20.24
35.80
0 Konsentrasi 5%
Konsentrasi 10%
Konsentrasi 15%
Gambar 10 Rata-rata penetrasi bahan pengawet pada masing-masing konsentrasi. Dari segi penetrasi (dibandingkan dengan kontrol) dapat disimpulkan bahwa perlakuan pengawetan secara rendaman dingin menggunakan boron dengan konsentrasi 15% ternyata cocok diterapkan pada keempat jenis kayu karena memberikan nilai penetrasi terdalam. Khusus untuk kayu durian, tidak perlu menggunakan larutan dengan konsentrasi 10% karena perlakuan dengan konsentrasi 5% sudah mampu menghasilkan nilai penetrasi yang setara, sehingga lebih hemat.