BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Nilai Organoleptik Ikan Layang Data hasil penelitian pengaruh konsentrasi belimbing terhadap nilai
organoleptik ikan layang dapat dilihat pada Lampiran 2. Histogram hasil pengujian organoleptik ikan layang dengan konsentrasi belimbing 0%, 1%, 2%, dan 3% dapat dilihat pada Gambar 4.
a a a a 8.00 8.00 8.00 8.00
a ab 8.00 bc 7.67 cd 7.33 7.00
Nilai Organoleptik
8,00
e ef ef 6.33 6.00 6.00
6,00
bc 7.33 gh g h gh 5.00 5.33 4.67 5.00
4,00 2,00 0,00 0 Jam
4 Jam 8 Jam Lama Penyimpanan (Jam)
0 % (Kontrol)
1%
2%
12 Jam 3%
Gambar 4. Histogram nilai organoleptik ikan layang (Decapterus sp.). Nilai-nilai pada diagram yang diikuti huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05). Histogram pada Gambar 4 menunjukan nilai organoleptik mutu hedonik menurun seiring dengan lamanya penyimpanan namun penurunan pada setiap konsentrasi perlakuan berbeda. Nilai rata-rata mutu hedonik organoleptik untuk semua perlakuan pada faktor konsentrasi belimbing (0%, 1%, 2% dan 3%) pada penyimpanan 0 jam adalah 8. Nilai rata-rata pada penyimpanan pada 4 jam berturut-turut adalah 7.00, 7.33, 7.67 dan 8.00. Nilai rata-rata pada penyimpanan 8
32
jam adalah 6.00, 6.00, 6.33 dan 7.33. Nilai rata-rata pada penyimpanan 12 jam adalah 4.67, 5.00, 5.00 dan 5.33. Pada penyimpanan 8 jam nilai rata-rata mutu hedonik untuk perlakuan dengan konsentrasi belimbing 3% masih memenuhi standar berdasarkan SNI (012729-2006), sedangkan untuk kontrol (0%), konsentrasi 1% dan 2% tidak memenuhi standar. Pada penyimpanan 12 jam penggunaan belimbing wuluh untuk semua konsentrasi 0%, 1%, 2% dan 3% sudah tidak memenuhi standar yang ditetapkan oleh BSN (2006). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 3) untuk faktor perlakuan konsentrasi belimbing dan lama penyimpanan serta interaksi antar kedua faktor perlakuan menunjukan pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai hedonik ikan layang. Hasil uji beda nyata terkecil (BNT) (Lampiran 4) untuk perlakuan konsentrasi belimbing menunjukkan bahwa perlakukan konsentrasi 0%, 1% dan 2% berbeda nyata dengan konsentrasi 3%, konsentrasi 1% dan 2% tidak berbeda nyata. Untuk lama penyimpanan 0 jam berbeda sangat nyata dengan 8 jam dan 12 jam, 4 jam dengan 8 jam dan 12 jam dan penyimpanan 8 jam dengan 12 jam. Penurunan nilai mutu hedonik pada semua perlakuan konsentrasi belimbing wuluh secara signifikan terjadi pada penyimpanan ke-12 jam pada semua perlakuan namun nilai rata-rata mutu hedonik berkisar 5-6 sehingga ikan tergolong pada kategori agak segar. Penurunan nilai kesegaran ikan layang hasil perlakuan belimbing dapat dilihat dengan adanya perubahan pada parameter organoleptik meliputi perubahan pre-rigor dimana pada fase ini ditandai dengan mulai disekresikannya lendir dari kelenjar di bawah permukaan kulit ikan. Lendir-
33
lendir akan membentuk suatu lapisan bening yang tebal di sekeliling tubuh ikan. Perubahan selanjutnya yang terjadi pada ikan layang pada penyimpanan ke-12 jam, perubahan jaringan otot terlihat pada ketika daging mulai kehilangan daya eleastisitas sehingga pada daging akan terdapat bekas jari namun bekas jari dapat hilang sehingga ikan dianggap masih berada tahapan rigormortis di penyimpanan ke-12 jam sebab tanda-tanda kebusukan belum terlihat jelas seperti bau busuk, dinding perut pecah, dan tekstur sangat lunak. Ikan hasil perlakuan 0% mulai menunjukan tanda kemunduran mutu yang ditandai dengan mulai mengendurnya jaringan daging ikan, bola mata cekung, pupil ke abu-abuan, kornea keruh, lendir tebal menggumpal, mulai berubah warna menjadi kuning, insang mulai mengalami diskolorasi, tekstur mulai lunak, mudah menyobek daging ikan dari tulang belakang dan bau amoniak sangat kuat, dan bau busuk. Berdasarkan Junianto (2003), fase rigor mortis tergantung pada beberapa faktor selain perlakuan konsentrasi belimbing yaitu jenis ikan, kondisi ikan saat didaratkan, cara kematian ikan, suhu lingkungan dan kondisi penyimpanan. 4.1.1 Penampakan Mata Data hasil penelitian pengaruh konsentrasi belimbing terhadap nilai organoleptik untuk penampakan mata ikan layang dapat dilihat pada Lampiran 5. Nilai rata-rata organoleptik penampakan mata untuk semua perlakuan konsentrasi belimbing (0%, 1%, 2% dan 3%) pada penyimpanan 0 jam adalah 8.0, 8.0, 8.0, 8.0. Karakteristik mata ikan layang yang mempunyai nilai organoleptik 8 yakni bola mata cembung, cerah dan kornea jernih dan masih tergolong ikan segar. Pada penyimpanan 4 jam, nilai rata-rata mutu hedonik untuk semua perlakuan berturut-
34
turut adalah 7.3, 7.7, 7.7 dan 8.0. Karakteristik nilai organoleptik 7 yakni kornea agak keruh dan bola mata agak cerah sehingga ikan layang masih dikategorikan sebagai ikan segar. Pada penyimpanan ke-8 jam, nilai rata-rata organoleptik lendir ikan layang semua perlakuan adalah 6.7, 7.0, 7.3, dan 7.7. Nilai organoleptik pada penyimpanan ke-8 jam masih dikategorikan ikan segar karena mempunyai nilai mutu organoleptik 7. Pada penyimpanan ke-12 jam, nilai rata-rata organoleptik untuk semua perlakuan adalah 5.0, 5.3, 5.3 dan 5.7. Karakteristik nilai organoleptik 5 adalah bola mata agak cekung, pupil keabu-abuan kornea agak keruh sehingga dapat dikatakan bahwa ikan layang pada penyimpanan ke-12 termasuk pada kategori ikan agak segar. Mata merupakan salah satu bagian tubuh ikan yang menjadi parameter kesegaran ikan. Ikan yang segar memiliki ciri-ciri bola mata yang cembung dan bola mata ikan busuk berbentuk cekung dan keruh (Junianto, 2003). Mata ikan layang segar terlihat dari hasil perlakuan terjadi penurunan nilai kenampakan mata seiring dengan lamanya masa simpan. Rendahnya nilai mutu hedonik mata ikan layang diduga terjadi karena akibat aktivitas bakteri yang begitu cepat sehingga mata ikan menjadi lebih cepat keruh. Pendugaan selanjutnya adalah asam belimbing yang digunakan dianggap masih berada dalam kisaran tidak berlebihan sebab jika asam terlalu kuat maka mata ikan layang akan memutih sehingga akan menurunkan nilai mutu hedonik. Hal ini sesuai dengan penelitian Agustini dkk (2009) yang menggunakan berbagai macam pengawet alami pada ikan yang berlebihan akan menurunkan nilai mutu hedonik ikan.
35
4.1.2 Lendir Data hasil penelitian pengaruh konsentrasi belimbing terhadap nilai organoleptik untuk penampakan mata ikan layang dapat dilihat pada Lampiran 5. Nilai rata-rata mutu hedonik lendir ikan layang untuk semua perlakuan konsentrasi belimbing (0%, 1%, 2% dan 3%) pada penyimpanan 0 jam adalah 8.0, 8.0, 8.0, 8.0. Karakteristik lendir ikan layang yang mempunyai nilai organoleptik 8 yakni lapisan lendir jernih, transparan dan cerah. Pada penyimpanan ke 0 jam ikan layang tergolong ikan segar. Pada penyimpanan 4 jam, nilai rata-rata organoleptik untuk semua perlakuan berturut-turut adalah 7.3, 7.7, 7.7 dan 8.0. Karakteristik nilai organoleptik 7 yakni lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih kurang transparan. Ikan layang masih dikategorikan sebagai ikan segar. Pada penyimpanan ke-8 jam,nilai rata-rata organoleptik ikan layang semua perlakuan adalah 6.0, 6.3, 7.0, dan 7.3. Karakteristik nilai organoleptik 6 untu lendir yakni lendir mulai agak keruh, warna putih agak kusam kurang transparan. Nilai organoleptik 6-7 dikategorikan sebagai ikan segar. Nilai rata-rata organoleptik pada penyimpanan ke-8 jam masih dikategorikan ikan segar karena mempunyai nilai 7. Pada penyimpanan ke-12 jam, nilai rata-rata organoleptik untuk semua perlakuan adalah 4.0, 4.3, 5.0 5.33. Karakteristik nilai organoleptik 5 yakni lendir telah menggumpal, mulai berubah warna putih dan keruh sedangkan nilai 4 memiliki ciri lendir telah menggumpal, mulai berubah warna menjadi kuning dan keruh sehingga dapat dikatakan bahwa ikan layang pada penyimpanan ke-12 termasuk pada kategori ikan agak segar.
36
Lendir pada permukaan badan ikan dapat dijadikan parameter untuk menentukan tingkat kesegaran ikan dengan melihat kejernihan dapat ketebalan dari lapisan lendir. Berdasarkan hasil uji terlihat semakin tinggi konsentrasi, maka semakin meningkat mutu hedonik untuk paramater lendir. Hal ini diduga karena belimbing dapat membuat keadaan ikan menjadi asam sehingga aktivitas bakteri menjadi terhambat dan lendir yang terbentuk pada lapisan kulit ikan masih menyerupai ciri-ciri ikan segar. Berdasarkan Murniyati dan Sunarman (2000), pada proses pembusukan ikan terjadi tahap Hiperaemia yaitu lendir ikan terlepas dari kelenjar-kelenjarnya didalam kulit, membentuk lapisan bening yang tebal disekeliling tubuh ikan. Selain itu, jika suhu lingkungan naik maka aktivitas bakteri menjadi lebih cepat sehingga membuat pelepasan lendir dari kelenjar menjadi tebal dan keruh. 4.1.3 Insang Data hasil penelitian pengaruh konsentrasi belimbing terhadap nilai organoleptik untuk insang ikan layang dapat dilihat pada Lampiran 5. Nilai ratarata mutu hedonik insang ikan layang untuk semua perlakuan konsentrasi belimbing (0%, 1%, 2% dan 3%) pada penyimpanan 0 jam adalah 8.0, 8.0, 8.0, 8.0. Karakteristik insang ikan layang yang mempunyai nilai organoleptik 8 yakni warna merah kurang cerah tanpa lendir. Pada penyimpanan ke 0 jam ikan layang tergolong ikan segar. Pada penyimpanan 4 jam, nilai rata-rata organoleptik untuk semua perlakuan berturut-turut adalah 7.3, 7.7, 8.0 dan 8.0. Karakteristik nilai organoleptik 7 yakni warna merah agak kusam tanpa lendir dan ikan layang masih dikategorikan sebagai ikan segar. Pada penyimpanan ke-8 jam,nilai rata-rata
37
organoleptik ikan layang semua perlakuan adalah 6.0, 6.3, 6.7, dan 6.7. Karakteristik nilai organoleptik 6 untuk merah agak kusam sedikit lendir. Nilai organoleptik 6-7 dikategorikan sebagai ikan segar. Nilai rata-rata organoleptik pada penyimpanan ke-8 jam masih dikategorikan ikan segar karena mempunyai nilai 7. Pada penyimpanan ke-12 jam, nilai rata-rata organoleptik untuk semua perlakuan adalah 5.0, 5.3, 5.3 5.7. Karakteristik nilai organoleptik 5 yakni mulai ada diskolorasi, merah kecoklatan, sedikit lendir sehingga dapat dikatakan bahwa ikan layang pada penyimpanan ke-12 termasuk pada kategori ikan agak segar. Penggunaan belimbing wuluh dikatakan dapat membuat mutu hedonik insang ikan lebih baik daripada tanpa penggunaan belimbing (0%) namun mutu hedonik untuk insang dikatakan segar hanya mencapai penyimpanan ke-4 jam. Insang merupakan bagian yang mengandung paling banyak darah, darah merupakan media yang sangat subur bagi mikroba. Asam belimbing membuat mikroba pada insang terhambat. Insang pada perlakuan belimbing 1-3% lebih pudar dibandingkan dengan insang hasil perlakuan 0% pada penyimpanan ke-4 jam dan pada penyimpan ke-8 dan 12 insang menjadi merah coklat gelap dengan lendir yang mulai banyak terbentuk. Menurut Septiarni (2008), insang ikan termasuk organ tubuh yang paling rentan terhadap kebusukan dan cepat mengalami kebusukan dibanding organ tubuh lain karena akumulasi bakteri dalam jumlah tinggi pada insang.
38
4.1.4 Daging Data hasil penelitian pengaruh konsentrasi belimbing terhadap nilai organoleptik untuk daging ikan layang dapat dilihat pada Lampiran 5. Nilai ratarata mutu hedonik daging ikan layang untuk semua perlakuan konsentrasi belimbing (0%, 1%, 2% dan 3%) pada penyimpanan 0 jam adalah 8.3, 8.3, 8.3, 8.3. Karakteristik daging ikan layang yang mempunyai nilai organoleptik 8 yakni sayatan daging cemerlang, spesifik jenis, tidak pemerahan sepanjang tulang belakang. Pada penyimpanan ke 0 jam ikan layang tergolong ikan segar. Pada penyimpanan 4 jam, nilai rata-rata organoleptik untuk semua perlakuan berturutturut adalah 7.3, 7.7, 8.0 dan 8.0. Karakteristik nilai organoleptik 7 yakni lapisan sayatan daging kurang cemerlang, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut utuh. Ikan layang masih dikategorikan sebagai ikan segar. Pada penyimpanan ke-8 jam,nilai rata-rata organoleptik ikan layang semua perlakuan adalah 6.3, 6.7, 6.7, dan 7.0. Karakteristik nilai organoleptik 6 untuk sayatan daging mulai pudar dan muali terdapat pemerahan sepanjang tulang belakang. Nilai organoleptik 6-7 dikategorikan sebagai ikan segar. Nilai rata-rata organoleptik pada penyimpanan ke-8 jam masih dikategorikan ikan segar karena mempunyai nilai 7. Pada penyimpanan ke-12 jam, nilai rata-rata organoleptik untuk semua perlakuan adalah 4.7, 5.0, 5.3 5.3. Karakteristik nilai organoleptik 5 yakni sayatan daging mulai pudar, banyak pemerahan sepanjang tulang belakang dan dinding perut agak lunak sehingga dapat dikatakan bahwa ikan layang pada penyimpanan ke-12 termasuk pada kategori ikan agak segar.
39
Daging ikan hampir seluruhnya terdiri dari daging bergaris melintang yang dibentuk oleh serabut-serabut daging. Warna daging ikan hasil perlakuan 1-3% memudar karena protein dalam daging mengalami agregasi, kondisi ini menghambat pembentukan pemerahan pada bagian tulang belakang. Pemerahan pada tulang belakang yang belum tampak membuat nilai mutu hedonik ikan layang hasil perlakuan 1-3% lebih tinggi dibandingkan dengan 0%. Berdasarkan penelitian Pia (2008) yang melihat mutu organoleptik ikan nila yang diberikan asam karbonat, bahwa sifat tekstur otot ikan segar banyak dipengaruhi oleh agregasi (pengumpulan) dan denaturasi protein akibat sifat asam dari asam askorbat. 4.1.5 Tekstur Data hasil penelitian pengaruh konsentrasi belimbing terhadap nilai organoleptik untuk tekstur ikan layang dapat dilihat pada Lampiran 5. Nilai ratarata mutu hedonik tekstur ikan layang untuk semua perlakuan konsentrasi belimbing (0%, 1%, 2% dan 3%) pada penyimpanan 0 jam adalah 8.0, 8.0, 8.0, 8.0. Karakteristik tekstur ikan layang yang mempunyai nilai organoleptik 8 yakni agak padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek dari tulang belakang. Pada penyimpanan ke 0 jam ikan layang tergolong ikan segar. Pada penyimpanan 4 jam, nilai rata-rata organoleptik untuk semua perlakuan berturut-turut adalah 7.3, 7.3, 7.0 dan 8.0. Karakteristik nilai organoleptik 7 yakni agak padat, kurang elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek dari tulang belakang dan ikan layang masih dikategorikan sebagai ikan segar. Pada penyimpanan ke-8 jam,nilai rata-rata organoleptik ikan layang semua perlakuan adalah 6.3, 6.7, 7.0, dan 7.3.
40
Karakteristik nilai organoleptik 6 yakni agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari dan agak mudah menyobek daging dari tulang belakang. Nilai organoleptik 6-7 dikategorikan sebagai ikan segar. Nilai rata-rata organoleptik pada penyimpanan ke-8 jam masih dikategorikan ikan segar karena mempunyai nilai 7. Pada penyimpanan ke-12 jam, nilai rata-rata organoleptik untuk semua perlakuan adalah 4.7, 5.0, 5.0 5.3. Karakteristik nilai organoleptik 5 yakni agak lunak, kurang elastis bila diekan dengan jari dan mudahmenyobek daging dari tulang belakang sehingga dapat dikatakan bahwa ikan layang pada penyimpanan ke-12 termasuk pada kategori ikan agak segar. Tekstur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pilihan konsumen terhadap suatu produk pangan. Tekstur ikan layang hasil perlakuan 1-3% menjadi lebih kompak dan padat akibat asam mengikat air dari tubuh ikan. Berdasarkan penelitian Pia (2008) yang melihat mutu organoleptik ikan nila yang diberikan minuman karbonasi bahwa sifat tekstur otot ikan segar dipengaruhi oleh agregasi (pengumpulan) dan denaturasi protein, terutama protein miofibril akibat asam. Namun tekstur mengalami perubahan menjadi sedikit lunak seiring dengan lama penyimpanan sebab kekuatan asam dari belimbing semakin menurun sehingga daya ikat air semakin menurun akibatnya sedikit demi sedikit air masuk dalam daging ikan sehingga daging ikan melunak. 4.1.5 Bau Data hasil penelitian pengaruh konsentrasi belimbing terhadap nilai organoleptik untuk bau ikan layang dapat dilihat pada Lampiran 5. Nilai rata-rata mutu hedonik bau ikan layang untuk semua perlakuan konsentrasi belimbing (0%,
41
1%, 2% dan 3%) pada penyimpanan 0 jam adalah 9.0, 9.0, 9.0. Karakteristik bau ikan layang yang mempunyai nilai organoleptik 8 yakni bau agak segar spesifik jenis. Pada penyimpanan ke 0 jam ikan layang tergolong ikan segar. Pada penyimpanan 4 jam, nilai rata-rata organoleptik untuk semua perlakuan berturutturut adalah 8.0, 8.3, 8.3 dan 8.7. Karakteristik nilai organoleptik 8 yakni segar dan spesifik jenis dan ikan layang masih dikategorikan sebagai ikan segar. Pada penyimpanan ke-8 jam,nilai rata-rata organoleptik ikan layang semua perlakuan adalah 6.0, 6.3, 6.7 dan 7.0. Karakteristik nilai organoleptik 6 yakni bau agak netral. Nilai organoleptik 6-7 dikategorikan sebagai ikan segar. Pada penyimpanan ke-12 jam, nilai rata-rata organoleptik untuk semua perlakuan adalah 3.0, 4.0, 4.7 5.3. Karakteristik nilai organoleptik 5 yakni bau amoniak muali tercium sedikit bau asam. Karakteristik nilai organoleptik 3 yakni bau amoniak kuat, terdeteksi bau H2S dan bau asam dan busuk sehingga dapat dikatakan bahwa dari segi bau, ikan layang hasil perlakuan belimbing dengan konsentrasi 0% dan 1% tidak segar sedangkan ikan layang hasil perlakuan 2% dan 3% agak segar. Selama masa penyimpanan, bau ikan mengalami peningkatan yang menyebabkan nilai organoleptik oleh bau panelis semakin menurun. Menurut Junianto (2003), faktor yang menyebabkan ikan cepat mengalami bau busuk adalah kadar glikogennya rendah sehingga rigor mortis berlangsung lebih cepat. Penggunaan belimbing sebagai bahan pengawet dapat mencegah timbulnya bau ikan. Zat asam diduga dapat mencegah terbentuknya senyawa-senyawa sampingan hasil dari denaturasi protein yang menyebabkan bau amis ikan
42
sehingga bau ikan dapat disamarkan atau tidak dapat dideteksi oleh indera manusia, kondisi ini terlihat pada perlakuan 0% yang lebih amis dibandingkan dengan ikan hasil perlakuan 1%-3%. Bau amis (amoniak) yang timbul dari ikan merupakan hasil samping penguraian protein dari aktivitas bakteri, sehingga hubungan antara jumlah bakteri dengan amoniak yang terbentuk berbanding lurus. Kandungan asam dalam belimbing bersifat antimikroba sehingga jumlah mikroba ada pada ikan akan menurun, berkurangnya jumlah mikroba maka hasil amoniak yang terbentuk akan sedikit. Berdasarkan penelitian Aprianti (2011), yang melaporkan bahwa asam dapat menyamarkan bau yang timbul dari ikan segar yang disebabkan oleh berkurangnya jumlah mikroba. 4.2
Nilai pH Data hasil penelitian pengaruh konsentrasi belimbing terhadap nilai pH ikan
layang dapat dilihat pada Lampiran 6. Histogram hasil pengujian pH ikan layang dengan konsentrasi belimbing 1%, Gambar 5.
43
2%,
dan 3%
dapat
dilihat
pada
7,00
ab cd a d 6.83 6.77 6.67 6.61
bc ef 6.73 6.44 g 6.27 jk 6.03
6,00
e hi 6.47 6.11 kl m 5.97 5.74
fg ij l 6.32 6.07 5.90
n 5.40
Nilai pH
5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 0 Jam
4 Jam
8 Jam
12 Jam
Lama Penyimpanan (Jam) 0 % (Kontrol)
1%
2%
3%
Gambar 5. Histogram nilai pH ikan layang (Decapterus sp) hasil perlakuan konsentrasi belimbing wuluh selama masa penyimpanan suhu ruang. Histogram Gambar 5 menunjukan nilai pH menurun seiring dengan lamanya penyimpanan pada semua perlakuan konsentrasi. Pada penyimpanan 0 jam rata-rata nilai pH ikan layang untuk semua perlakuan yaitu 6.83, 6.77, 6.67 dan 6.61. Pada penyimpanan 4 jam adalah 6.73, 6.44, 6.27 dan 6.03. Pada penyimpanan 8 jam adalah 6.47, 6.11, 5.97 dan 5.47. Pada penyimpanan 12 jam adalah 6.32, 6.07, 5.90 dan 5.40. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa nilai pH
seluruh
perlakuan
konsentrasi
belimbing
wuluh
menurun
seiring
bertambahnya konsentrasi dan lama masa penyimpanan. Nilai pH ikan layang pada seluruh perlakuan konsentrasi belimbing selama masa penyimpanan hampir sama dengan nilai pH ikan segar yang ditetapkan oleh Junianto (2003), yakni berkisar 5.2 – 6.8.
44
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANSIRA), konsentrasi belimbing wuluh dan lama penyimpanan serta interaksi antara keduanya memberikan pengaruh sangat nyata terhadap nilai pH ikan layang (Lampiran 7). Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) nilai pH yang terdapat pada Lampiran 8, untuk faktor konsentrasi belimbing yang menunjukan pengaruh yang berbeda sangat nyata adalah 0 % dengan 1%, 2% dan 3%, 1 % dengan 2% dan 3%, 2 % dengan 3%. Untuk faktor lama penyimpanan yang menunjukan pengaruh yang berbeda sangat nyata adalah lama penyimpanan 0 jam dengan 4 jam, 8 jam dan 12 jam, 4 jam dengan 8 jam dan 12 jam serta 8 jam dengan 12 jam. Penurunan nilai pH pada ikan layang diduga disebabkan semakin bertambahnya konsentrasi asam yang diberikan pada ikan layang sehingga mengakibatkan banyaknya jumlah kandungan asam organik yang masuk dalam daging ikan. Belimbing wuluh merupakan sumber asam organik yang dicirikan dengan asam sitrat sebagai komponen utama. Diketahui bahwa ekstrak kasar belimbing wuluh yang dipakai memiliki pH 1, nilai pH tersebut menandakan pengaruh asam organik yang kuat, sehingga jika konsentrasi belimbing ditambahkan maka pengaruh asam juga akan bertambah sehingga pH daging ikan pun ikut menurun. Seperti yang dikemukakan oleh Muchlisyiyah dan Yuwono (2012) bahwa semakin tinggi konsentrasi dari larutan asam yang diberikan, maka jumlah tingkat penurunan pH yang terjadi semakin besar. Seiring dengan lamanya penyimpanan, maka nilai pH yang rendah tersebut akan semakin menurun. Hal ini merupakan sifat alamiah dari ikan itu sendiri karena kemunduran mutu memang tidak akan meningkat namun akan terus
45
menurun. Selama masa penyimpanan, akan terjadi perombakan glikogen dalam daging menjadi asam-asam laktat. Semakin lama penyimpanan maka asam laktat yang terbentuk dari hasil penguraian semakin tinggi, penumpukan asam laktat ini menyebabkan pH ikan menurun. Berdasarkan Zakaria (2008) bahwa pada dasarnya energi pada jaringan otot ikan setelah mati diperoleh secara anaerobik dari pemecahan glikogen menjadi glukosa dan produk-produk turunannya. Selanjutnya penguraian glukosa melalui proses glikolisis akan menghasilkan ATP dan asam laktat. Akumulasi asam laktat inilah yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan pH daging ikan dan dapat menekan aktivitas mikroba sehingga memperlambat proses deteriorasi. Menurut Ilyas (1983) penyebab lain terjadinya penurunan nilai pH pada ikan disebabkan proses aktivitas enzim katepsin dalam menguraikan protein daging ikan. Pada proses enzimatis, protein akan diuraikan menjadi pepton dan asam-asam amino. Nilai pH erat pula kaitannya dengan tingkat pertumbuhan bakteri, semakin rendah pH maka semakin rendah pula kemampuan bakteri untuk melakukan pertumbuhan yang dapat menyebabkan menurunnya nilai Total Plate Count (TPC) (Kasmadihardja, 2008). 4.3
Nilai TPC (Total Plate Count) Data hasil penelitian pengaruh konsentrasi belimbing wuluh terhadap nilai
Total Plate Count (TPC) ikan layang dapat dilihat pada Lampiran 8. Nilai ratarata TPC mikroba ikan layang hasil perlakuan dengan penambahan belimbing wuluh 1%, 2%, dan 3% selama masa penyimpanan ditunjukan pada Gambar 6.
46
Nilai TPC CFU/gr
5,10 4,90 4,70
d 4.60
e 4.43 gh 4.30 i 4.13
4,50 4,30 4,10 3,90
a 4.97
ab 4.90
c 4.77
ef 4.37
fg 4.33
gh 4.23
ij 4.10
k 4.00
3,70
k 3.93
3,50 0 Jam
4 Jam
8 Jam
12 Jam
Lama Penyimpanan (Jam) 0 % (Kontrol)
1%
2%
3%
Gambar 6. Kurva nilai TPC ikan layang hasil perlakuan konsentrasi belimbing wuluh selama penyimpanan suhu ruang. Kurva pada Gambar 6 menunjukan terjadi penurunan nilai TPC mikroba pada ikan layang hasil perlakuan 1%, 2% dan 3% selama masa penyimpanan, namun untuk hasil perlakuan 0%, nilai TPC ikan layang mengalami kenaikan seiring dengan semakin lama masa penyimpanan. Rata-rata nilai TPC terendah selama masa penyimpanan terdapat pada perlakuan konsentrasi belimbing 3% dengan nilai rata-rata TPC berkisar antara 8.6x103 CFU/g – 4.3x104 atau nilai log sebesar 3.90 CFU/g – 4.60 CFU/g, dan rata-rata nilai TPC tertinggi terdapat pada perlakuan konsentrasi belimbing 0% yaitu dengan kisaran 4.3x104 CFU/g – 9.0x104 CFU/g atau nilai log sebesar 4.60 CFU/g – 5.0 CFU/g. Batas maksimum jumlah mikroba pada ikan segar berdasarkan SNI (01–2729–3–2006) adalah 5 x 105 koloni/g (nilai log maksimal 5,7 cfu/g), sehingga nilai TPC untuk seluruh perlakuan selama penyimpanan memenuhi syarat SNI yang ditetapkan.
47
Berdasarkan hasil analisis ragam (ANSIRA) pada Lampiran 9, menunjukan bahwa perlakuan dengan konsentrasi belimbing wuluh dan lama penyimpanan serta interaksi antara keduanya memberikan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah TPC pada ikan layang. Hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT) (Lampiran 10), nilai TPC dari seluruh perlakuan konsentrasi belimbing wuluh berbeda sangat nyata. Rata-rata nilai TPC untuk lama penyimpanan 0 jam berbeda sangat nyata dengan penyimpanan 4 jam, 8 jam dan 12 jam menunjukan perlakuan yang berbeda sangat nyata. Interaksi antar keduanya pula menunjukan pengaruh yang berbeda sangat nyata. Hal ini diduga disebabkan pada jam ke 0, belum terdapat aktivitas pertumbuhan bakteri. Bakteri masih berada dalam fase adaptasi atau penyesuaian dengan kondisi ikan, walaupun pada dasarnya tubuh ikan sendiri telah mempunyai bakteri dalam jumlah tertentu. Tubuh ikan merupakan media yang subur bagi pertumbuhan bakteri, hal ini disebabkan oleh kandungan air yang tinggi dan juga komposisi kimiawi ikan yang cukup untuk mensuplai kebutuhan nutrisi mikroba. Seiring dengan lamanya penyimpanan,
maka
jumlah
mikroba
mengalami
perubahan.
Perlakuan
konsentrasi 0% (tanpa penambahan belimbing wuluh) mengalami kenaikan diakibakan proses kemunduran mutu yang alami terjadi pada ikan. Kenaikan jumlah TPC bakteri diduga masih merupakan fase awal pertumbuhan bakteri ikan segar, sebab ikan merupakan media alami yang cukup baik untuk bakteri. Jika ditinjau dari lama penyimpanan, maka ikan yang diamati belum melewati fase rigor yang umumnya terjadi setelah ikan 12-30 jam setelah ikan ditangkap, oleh karenanya jumlah TPC ikan segar masih berada dalam standar. Berdasarkan
48
Afrianto dan Liviawaty (2010), makin banyak cadangan glikogen yang dirubah menjadi asam laktat makin rendah pH yang dicapai namun bakteri belum mengalami pertumbuhan yang optimum. Namun setelah fase post rigor, pH ikan akan naik dan aktivitas bakteri meningkat. Pada perlakuan penambahan konsentrasi belimbing 1%-3%, terjadi penurunan nilai TPC ikan layang. Hal ini karena pengaruh ekstrak belimbing yang memiliki sifat sebagai antimikroba. Berbagai kandungan asam yang terkandung di dalamnya, secara langsung menghambat pertumbuhan mikroba. Zat asam dapat membuat metabolisme bakteri menjadi terganggu. Terganggunya metabolisme ini disebabkan oleh terjadinya pertukaran ion asam (H+) dari lingkungan dengan tubuh bakteri. Dinding bakteri bersifat permeabel dengan komponen kimiawi seperti komponen lipid dan protein, namun sifat tersebut akan hilang jika terdapat perbedaan jumlah ion H di dalam dan di luar tubuh sel, akibatnya membran sel bakteri menjadi asam. Kondisi asam membuat DNA tidak melakukan proses metabolisme karena membutuhkan suasana yang netral. Menurut Afrianto dan Liviawty (2010), membran sitoplasma bakteri akan bersifat impermeable terhadap ion Hidrogen dan ion hidroksil, dan senyawa-senyawa utama dari sel seperti DNA dan ATP membutuhkan kondisi netral untuk bekerja. Kondisi ini membuat banyak bakteri yang tidak bermetabolisme (tidak beradaptasi dengan baik pada suasana asam) sehingga tidak terjadi pertumbuhan bakteri, dan berdampak pada menurunnya jumlah koloni seiring dengan lama penyimpanan.
49