Bab IV Hasil dan Pembahasan
IV.I Sintesis dan Karakterisasi Zeolit Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah kaolin alam Cicalengka, Jawa Barat, Indonesia.
Kaolin tersebut secara fisik berwarna putih kekuningan dan
berbentuk batuan dapat dilihat pada gambar IV. 1.
Gambar IV.1 Foto kaolin Cicalengka
(a)
(b)
(c)
Gambar IV.2 Perbedaan penampilan fisik (a) kaolin alam (b) kaolin hasil pemurnian (c) metakaolin
Warna kaolin alam yang tidak putih bersih menunjukkan bahwa kaolin tersebut memiliki pengotor yang dapat dideteksi melalui karakterisasi menggunakan difraksi
28
sinar-X (XRD). Setelah dimurnikan dari pengotornya, maka warna kaolin berubah menjadi lebih putih. Sedangkan setelah kaolin mengalami pemanasan dan berubah menjadi metakaolin warna berubah menjadi kecoklatan. Hal ini disebabkan adanya molekul air yang dilepaskan dari senyawa kaolin. Di bawah ini dapat dilihat gambar alat sederhana yang digunakan untuk mensintesis zeolit.
Gambar IV.3 Peralatan sederhana untuk mensintesis zeolit K-F dan sodalit oktahidrat Berikut ini merupakan pola difraksi untuk kaolin alam yang dihasilkan melalui analisis menggunakan XRD:
K
C
Gambar IV.4 Pola difraksi kaolin alam Cicalengka menunjukkan bahwa kaolin alam Cicalengka memiliki pengotor berupa kuarsa, kristobalit, dan sanidin
29
Hasil karakterisasi menggunakan XRD di atas menunjukkan bahwa kaolin memiliki sejumlah pengotor.
Spesi-spesi pengotor ini dapat diidentifikasi dengan
membandingkan pola difraksi di atas dengan pola difraksi standar yang diperoleh melalui JCPDS (Joint Committee on Powder Diffraction Standards, file 6-0221 dan 29-1488).
Pola difraksi di atas menunjukkan bahwa kaolin alam Cicalengka
mengandung
beberapa spesi yaitu kaolinit, disertai sanidin, kuarsa, dan kristobalit
sebagai pengotor.
Pengurangan sejumlah pengotor pada kaolin alam dilakukan
dengan teknik dispersi dan dekantasi. Metode ini diharapkan mampu mengurangi pengotor yang terdapat pada kaolin alam dengan cara mendispersikan kaolin dalam sejumlah tertentu pelarut air, dan mengendapkan pengotor setelah mengalami dekantasi selama minimal 8 jam. Hal ini didasari karena adanya perbedaan ukuran partikel antara kaolinit dengan pengotornya. Kaolinit memiliki ukuran partikel yang sangat kecil yaitu ≤ 2 μm lebih kecil dibandingkan pengotornya. Gambar IV.5
intensitas/cps
memperlihatkan pola difraksi untuk kaolin hasil pemurnian.
1400 1200 1000 800 600 400 200 0
K kaolin C kristobalit
K K C
0
20
40
60
80
2Ѳ/derajat
Gambar IV.5 Pola difraksi kaolin hasil pemurnian dengan metode dispersi dan dekantasi menunjukkan pengotor sanidin dan kuarsa telah hilang Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa beberapa puncak difraksi dari pengotor telah hilang, yang secara nyata menunjukkan bahwa kuarsa dan sanidin berhasil diendapkan dengan sempurna pada saat proses dekantasi. Tetapi, pola difraksi di atas juga masih memperlihatkan adanya pengotor kristobalit.
30
Kristobalit masih sulit
dihilangkan dengan menggunakan metode dispersi dan dekantasi karena kristobalit memiliki ukuran partikel yang kecil, sehingga sulit terendapkan sempurna bersama dengan pengotor yang lainnya. Tetapi, metode ini dapat dipandang cukup efektif untuk menghilangkan sejumlah pengotor pada kaolin alam. Hasil pemurnian kaolin alam Cicalengka dengan metode dispersi dan dekantasi menunjukkan bahwa kaolin alam Cicalengka mengandung sebanyak 6,21 % kaolinit. Kaolin hasil pemurnian disintesis untuk menghasilkan metakaolin dengan cara pemanasan pada suhu 600 ºC. Ketika dipanaskan, kaolin akan berubah menjadi metakaolin, yang merupakan fase metastabil di mana sebagian besar dari AlO6 yang tadinya berkoordinasi 6 bertransformasi menjadi unit yang berkoordinasi 4 dan 5. Hal inilah yang membuat metakaolin menjadi sangat reaktif.
Tetapi, perlu
diperhatikan bahwa suhu pemanasan kaolin tidak boleh melebihi 980 ºC, karena pada suhu ini metakaolin akan berubah menjadi mulit dan kristobalit.
Gambar IV.6
memperlihatkan perubahan yang terjadi pada kaolin setelah proses pemanasan.
Gambar IV.6 Pola difraksi metakaolin menunjukkan puncak-puncak difraksi kaolin telah menghilang akibat pemanasan, tetapi puncak difraksi kristobalit masih ada Dari Gambar IV.6 di atas memperlihatkan bahwa metakaolin memiliki struktur yang amorf. Bila dibandingkan dengan pola difraksi kaolin hasil pemurnian, maka dapat
31
terlihat bahwa puncak-puncak difraksi dari kaolin menghilang dan pada rentang 2040º tidak terdapat puncak difraksi yang spesifik.
Hal ini menandakan bahwa
metakaolin memiliki struktur yang amorf. Perubahan ini memperlihatkan rusaknya struktur dari kaolin akibat pemanasan.
Pola difraksi juga menunjukkan bahwa
pengotor kristobalit masih ada dan tidak rusak akibat pemanasan pada suhu ini. Selama proses pemanasan atau kalsinasi kaolin menjadi metakaolin kadar air yang hilang dari kaolin sebanyak 14,69% dari berat semula. Dari hasil penelitian Belver dan Vicente, (2006) menunjukkan bahwa zeolit K-F dapat disintesis dari metakaolin dan KOH menggunakan metode sederhana yaitu dengan cara dipanaskan pada suhu 80 ºC dan dengan pengadukan kontinu pada suhu kamar selama 24 jam. Oleh karena itu, hal ini dijadikan dasar untuk mensintesis zeolit Na-F yaitu dengan cara mereaksikan antara metakaolin dan NaOH pada kondisi yang seperti di atas dan diharapkan akan menghasilkan zeolit dengan jenis yang sama yaitu zeolit Na-F. Tetapi hasil karakterisasi dengan XRD menunjukkan hasil yang berbeda dengan yang diharapkan. Pola difraksi menunjukkan bahwa zeolit yang terbentuk dari hasil reaksi metakaolin dan NaOH adalah zeolit sodalit oktahidrat (hasil perbandingan dengan pola difraksi standar). Zeolit ini merupakan jenis yang berbeda dari zeolit K-F. Zeolit sodalit oktahidrat memiliki rumus kimia Na6(AlSiO4)6. 8H2O sedangkan zeolit K-F memiliki rumus kimia K5Al5Si5O20.8H2O.
Hal ini
menunjukkan bahwa ketika metakaolin direaksikan dengan ion yang memiliki kemiripan sifat seperti Na+ dan K+ mampu menghasilkan senyawa yang spesifik dalam hal ini zeolit sodalit oktahidrat dan zeolit K-F. Bila dilihat dari rumus umum kedua zeolit di atas, pada zeolit sodalit oktahidrat koordinasi antara unit tetrahedral pada SiO2 dan unit oktahedral Al2O3 mampu mengikat enam ion Na+, sedangkan pada zeolit K-F koordinasi antara unit tetrahedral pada SiO2 dan unit oktahedral Al2O3 hanya mampu mengikat lima ion K+.
Kemampuan spesifik ini dapat
disebabkan oleh perbedaan ukuran ion Na+ dan K+, ion Na+ memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan ion K+ sehingga ion Na+ memungkinkan terikat dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan ion K+. Hal ini juga mempengaruhi
32
keriuhan atau kesterikan dari zeolit yang terbentuk. Gambar IV.7 memperlihatkan pola difraksi untuk sodalit oktahidrat.
intensitas/cps
2500 2000 1500 1000 500 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
2Ѳ /derajat
Gambar IV.7 Pola difraksi sodalit oktahidrat Cara yang pertama di atas tidak berhasil membentuk zeolit yang diharapkan yaitu zeolit Na-F sehingga digunakan cara kedua. Dengan mensintesis zeolit K-F terlebih dahulu dengan metode yang sama. Zeolit K-F yang disintesis kemudian diubah menjadi zeolit Na-F dengan metode penukaran ion menggunakan larutan NaCl (R. M. Barrier dan B. M. Munday, 1971). Gambar IV.8 memperlihatkan pola difraksi untuk
intensitas/cps
zeolit K-F.
700 600 500 400 300 200 100 0 0
20
40
60
2Ѳ/derajat
Gambar IV.8 Pola difraksi zeolit K-F
33
80
Pola difraksi di atas menunjukkan adanya zeolit K-F yang terbentuk melalui cara kedua yaitu dengan mereaksikan metakaolin dan KOH.
Kedua fakta di atas
membuktikan bahwa metode yang sederhana dapat digunakan untuk mensintesis zeolit, padahal zeolit biasanya disintesis dengan menggunakan metode hidrotermal. Zeolit K-F yang terbentuk digunakan sebagai bahan baku untuk mensintesis zeolit Na-F yaitu dengan metode penukaran ion menggunakan 2 prosedur. Pada prosedur pertama zeolit K-F disuspensikan ke dalam larutan garam NaCl dengan pengadukan kontinu tetapi tanpa pemanasan selama 7 hari. Dan pada prosedur kedua, zeolit K-F disuspensikan ke dalam larutan NaCl dengan pemanasan pada suhu 80 ºC dan pengadukan kontinu selama 3 hari. Kedua prosedur ini menghasilkan pola difraksi yang berbeda.
Gambar IV.9 memperlihatkan pola difraksi zeolit Na-F yang
intensitas
dihasilkan dengan prosedur pertama. 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 0
20
40
60
80
2 Ѳ/derajat
Gambar IV.9 Pola difraksi zeolit Na-F prosedur pertama menunjukkan pembentukan kristal zeolit Na-F belum terbentuk secara sempurna Hasil perbandingan dengan pola difraksi standar menunjukkan bahwa zeolit Na-F telah terbentuk, tetapi masih belum sempurna. Karena masih terlihat adanya puncakpuncak difraksi dari zeolit K-F sebagai bahan baku, serta puncak-puncak difraksi lain yang muncul akibat belum sempurnanya pembentukan kristal zeolit Na-F. Sehingga disimpulkan prosedur yang pertama tidak cukup efektif untuk digunakan dalam mensintesis zeolit Na-F. Penukaran ion antara ion K+ dan ion Na+ tidak berlangsung
34
dengan baik. Hal ini dapat disebabkan karena reaksi tidak diberikan pemanasan sehingga ion-ion Na+ tidak memiliki cukup energi untuk menggeser posisi ion K+ dalam kerangka zeolit, sehingga penukaran ion tidak berlangsung sempurna. Gambar IV.10 memperlihatkan pola difraksi untuk zeolit Na-F menggunakan
intensitas
prosedur kedua.
4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 0
20
40
60
80
2Ѳ/derajat
Gambar IV.10 Pola difraksi zeolit Na-F prosedur kedua menunjukkan pembentukan kristal zeolit Na-F telah terbentuk secara sempurna Pada prosedur kedua, metode penukaran ion yang digunakan untuk mensintesis zeolit Na-F memperlihatkan bahwa posisi ion K+ telah digantikan oleh ion Na+. Penukaran ion ini memungkinkan terjadi karena adanya kemiripan sifat antara ion K+ dan ion Na+, keduanya adalah kation golongan I dengan ukuran jari-jari ion yang hampir sama, muatan yang sama serta keelektropositifan yang hampir sama. +
Karena
+
kemiripan sifat inilah maka penukaran ion antara Na dan K menjadi mudah berlangsung, juga karena adanya energi kinetik yang berasal dari pemanasan yang memberikan energi pada ion Na+
untuk menggeser kedudukan ion K+ dalam
kerangka zeolit. Muatan Na yang hanya +1 juga mempermudah Na untuk masuk ke dalam kerangka zeolit, karena antaraksi Coulomb atau gaya interaksi antara Na dan kerangka zeolit cukup kuat. Prosedur kedua berhasil baik dalam mensintesis zeolit Na-F dibandingkan prosedur yang pertama karena pola difraksi pada Gambar IV.10 di atas menunjukkan zeolit Na-F memiliki derajat kristalinitas yang tinggi.
35
Gambar IV. 11 memperlihatkan spektrum serapan FTIR dari kaolin dan metakaolin.
(a)
(b)
Gambar IV.11 Spektrum serapan FTIR dari (a) kaolin menunjukkan adanya vibrasi gugus OH serta vibrasi dari kisi-kisi kristal kaolin (b) metakaolin menunjukkan vibrasi gugus OH menghilang Spektrum serapan FTIR dari kaolin memperlihatkan adanya pita-pita serapan sesuai dengan yang diperkirakan dari strukturnya, yaitu seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kaolin merupakan senyawa aluminosilikat 1:1 dengan rumus umum Si2Al2O5(OH)4. Spektrum pada gambar di atas dapat dibagi ke dalam 2 daerah yaitu: daerah vibrasi gugus OH pada bilangan gelombang 4000-3000 cm-1 disertai
36
adanya bending dari air pada daerah 1630 cm-1, dan daerah kedua adalah vibrasi dari kisi-kisi kristal kaolin pada daerah 1200-300 cm-1. Melalui karakterisasi dengan FTIR sangat memungkinkan untuk melihat perubahan yang terjadi pada struktur kaolin setelah mengalami pemanasan, dan juga untuk melihat perbedaan utama antara kaolin dan metakaolin. Kedua spektrum di atas bila dibandingkan sangatlah berbeda. Spektrum pada metakaolin jauh lebih sederhana dibandingkan spektrum kaolin. Vibrasi dari gugus OH yang teramati pada spektrum kaolin menghilang pada spektrum metakaolin dan pita serapan pada Si-O mengalami perubahan.
Perubahan-perubahan ini disebabkan peristiwa dehidroksilasi yang
terjadi selama proses kalsinasi.
Hal inilah yang mengakibatkan perbedaan
kereaktifan pada kaolin dan metakaolin. Metakaolin menjadi lebih reaktif dibandingkan kaolin. Spektrum FTIR untuk zeolit K-F dan zeolit Na-F menunjukkan vibrasi yang spesifik pada material zeolit, yaitu memperlihatkan vibrasi unit tetrahedral, TO4, yang membentuk struktur tiga dimensi (3D) pada zeolit. Spektrum juga memperlihatkan adanya molekul-molekul air yang terikat di dalam struktur, serta adanya kation yang dapat dipertukarkan di dalam channel zeolitik. Pita serapan pada daerah 1440 cm-1 merupakan serapan dari karbonat. Karbonat sangat mungkin terbentuk dari reaksi asam basa yang terjadi antara suspensi alkalin dengan CO2 yang berasal dari atmosfer selama proses sintesis berlangsung. Karena FTIR merupakan teknik yang sangat sensitive, maka dari pita serapan juga teramati adanya CO2 pada daerah 2349,9 cm-1 yang sangat mungkin merupakan CO2 yang berasal dari udara atau CO2 hasil pembuangan dari pernapasan, sekalipun telah dilakukan kalibrasi CO2 pada alat FTIR setiap kali melakukan pengukuran.
37