BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Letak Geografi Wilayah kerja Puskesmas Tombulilato berada di wilayah kecamatan Bone Raya, yang wilayahnya terdiri atas 9 desa, yakni desa Mootayu,Mootawa, Tombulilato, Alo, Moopiya, Pelita Jaya, Inomata, Mootinelo, dan Laut Biru. Luas wilayah Kecamatan Bone Raya adalah : 8.576 km2 dengan kepadatan penduduk : 1 jiwa / km2. Letak Puskesmas Tombulilato Kecamatan Bone Raya secara geografis batas wilayah kerjanya sebagai berikut : Sebelah Utara
: Berbatasan dengan Kecamatan Bulawa Kabupaten Bone Bolango
Sebelah Timur
: Berbatasan dengan Kecamatan Bone Kabupaten Bone Bolango
Sebelah Selatan
: Berbatasan dengan Laut Tomini
Sebelah Barat
: Berbatasan dengan SDN 1 Tombulilato Kabupaten Bone Bolango
4.1.2 Kepadatan Penduduk Jumlah penduduk di Kecamatan Bone Raya di tahun 2012 adalah 9.563 jiwa dengan perincian laki – laki sebanyak 4.707 jiwa dan perempuan 4.856 jiwa dengan jumlah 1.789 KK
4.2 Hasil Penelitian Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan maka hasil penelitian adalah sebagai berikut : 4.2.1 Analisis Univariat Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendiskripsikan karakteristik setiap variabel yang di sertai tabel distribusi frekuensi dan presentase 1 Karakteristik Responden 1) Gambaran Responden menurut jenis umur Tabel 4.1 Distribusi Responden Menurut Umur Di wilayah kerja Puskesmas Tombulilato Tahun 2012 Kasus Kontrol Total Umur n % n % n % 23 - 25 1 1.0 1 1.2 2 1.1 26 - 50 74 77.1 67 78.8 141 77.9 51 - 56 21 21.9 17 20 38 21 Total 96 100 85 100 181 100 Sumber : Data Primer Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka didapatkan responden menurut umur terbanyak adalah pada umur 26 – 50 tahun yakni sebanyak 141 jiwa ( 77.9 % ) yakni pada kelompok kasus sebanyak 74 jiwa dan pada kelompok kontrol sebanyak 67 jiwa, pada umur 51 - 56 tahun yakni sebanyak 38 jiwa ( 21.0 % ) yakni pada kelompok kasus 21 jiwa dan kontrol 17 jiwa,dan paling sedikit pada umur 23 - 25 tahun yakni sebanyak 2 jiwa (1.1 % ) kasus sebanyak 1 jiwa dan kontrol sebanyak 1 jiwa. Kelompok umur 26 – 50 tahun merupakan kelompok umur terbanyak. Hal ini dapat dilihat dari manifestasi klinis Filariasis yang timbul bertahun-tahun
kemudian setelah infeksi, sehingga menyebabkan penderita Filariasis pada umur dibawah 26 tahun lebih sedikit dibandingkan umur di atas 26 tahun. Filariasis pada umumnya menyerang pada semua kelompok umur, namun jarang terjadi pada anak - anak. Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila mendapat tusukan nyamuk infektif ( mengandung larva stadium 3 ) ribuan kali ( Kodim, 2008 ). 2) Gambaran Responden Menurut Jenis Kelamin Tabel 4.2 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin Di wilayah kerja Puskesmas TombulilatoTahun 2012 Kasus Kontrol Total Jenis kelamin n % n % n % Laki – laki 54 56.3 52 61.2 106 58.6 Perempuan 42 43.7 33 38.8 75 41.4 Total 96 100 85 100 181 100 Sumber : Data Primer Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka didapatkan responden terbanyak adalah laki-laki yakni sebanyak 106 jiwa ( 58.6 % ) dan perempuan 75 jiwa ( 41.4 % ). Dapat di lihat pada tabel 4.2. Jenis kelamin juga sangat menunjang terjadinya Filariasis. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa responden laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan hal ini biasanya disebabkan oleh gaya hidup antara laki – laki dan perempuan sangatlah berbeda. Pada umumnya juga laki – laki lebih sering kontak langsung dengan vektor karena pekerjaannya di bandingkan dengan perempuan yang aktifitasnya lebih banyak berada di rumah.
3) Gambaran Responden menurut Pendidikan Tabel 4.3 Distribusi Responden menurut Pendidikan Di wilayah kerja Puskesmas Tombulilato Tahun 2012 Kasus Kontrol Total Pendidikan n % n % n % Perguruan tinggi 1 1.0 0 0 1 0.6 SMA 2 2.1 8 9.4 10 5.5 SMP 16 16.7 21 24.7 37 20.4 SD 51 53.1 39 45.9 90 49.7 Tidak sekolah 26 27.1 17 20 43 23.8 Total 96 100 85 100 181 100 Sumber : Data Primer Hasil penelitian yang dilakukan di Wilayah kerja Puskesmas Tombulilato ditemukan masih banyak masyarakat yang tidak sekolah yakni sebesar 23.8% adapun sebagian masyarakat yang memiliki pendidikan terakhir mereka adalah SD yaitu sebesar 49.7% kemudian SMP sebesar 20.4%, SMA sebesar 5.5% dan yang paling sedikit Perguruan Tinggi yakni sebesar 0.6% . Berdasarkan tabel 4.3 Dapat disimpulkan bahwa masih banyak masyarakat yang berpendidikan rendah, yang artinya pendidikan mereka masih minim. Pendidikan sangat mempengaruhi perilaku seseorang untuk melakukan suatu tindakan. Seseorang yang berpendidikan rendah tidak terlalu memikirkan dengan serius permasalahan yang mereka hadapi begitu juga dengan kesehatan, sehingga mengakibatkan derajat kesehatan yang kurang atau menurun. Sebaliknya seseorang yang berpendidikan akan berpikir jernih dalam menyelesaikan masalah yang mereka hadapi terutama masalah kesehatan ( Notoadmodjo, 2007 ).
4) Gambaran responden menurut alamat tempat tinggal Tabel 4.4 Distribusi Responden menurut alamat tempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Tombulilato tahun 2012 Kasus Kontrol Total Alamat n % n % n % Mootayu 20 20.8 26 30.6 46 25.4 Mootawa 22 22.9 18 21.2 40 22.1 Tombulilato 9 9.4 8 9.4 17 9.4 Alo 4 4.2 7 8.2 11 6.1 Moopiya 2 2.1 7 8.2 9 4.9 Pelita Jaya 15 15.6 6 7.1 21 11.6 Inomata 2 2.1 6 7.1 8 4.4 Mootinelo 9 9.4 4 4.7 13 7.2 Laut biru 13 13.5 3 3.5 16 8.8 Total 96 100 85 100 181 100 Sumber : Data primer Berdasarkan Hasil penelitian yang dilakukan di Wilayah kerja Puskesmas Tombulilato Kecamatan Bone Raya Kabupaten Bone Bolango sebagaimana yang telah disajikan pada tabel 4.4 didapatkan responden yang beralamat di desa Mooatayu lebih banyak yakni 46 responden ( 25.4% ), desa Mootawa sebanyak 40 responden ( 22.1 ), desa Pelta jaya sebanyak 21 responden ( 11.6 % ), desa Tombulilato sebanyak 17 responden ( 9.4 ), Laut Biru sebanyak 16 responden (8.8 %), desa Mootinelo sebanyak 13 responden ( 7.2 % ), desa Alo sebanyak 11 responden ( 6 .1% ), desa Moopiya 9 responden ( 4.9 % ), desa Inomata sebanyak 8 responden ( 4.4 % ).
6. Karakteristik Pekerjaan responden Tabel 4.6 Distribusi responden menurut pekerjaan Di wilayah kerja Puskesmas Tombulilato Kecamatan Bone Raya Tahun 2012 Kasus Kontrol Total Jenis Pekerjaan n % n % n % PNS 1 1.0 0 0 1 0.5 Wiraswasta 6 6.3 14 16.5 20 11 Petani 29 30.2 22 25.9 51 28.1 Nelayan 6 6.3 10 11.8 16 9 Penambang emas 49 51.0 33 38.8 82 45.3 URT 5 5.2 6 7.0 11 6 Total 96 100 85 100 181 100 Sumber : Data Primer Berdasarkan Hasil penelitian yang dilakukan di Wilayah kerja Puskesmas Tombulilato Kecamatan Bone Raya Kabupaten Bone Bolango didapatkan responden yang pekerjaannya sebagai Penambang emas lebih banyak yakni sebesar 45.3%, Petani sebesar 51%, Wiraswasta sebesar 11%, Nelayan sebesar 9% , PNS sebesar 0.5%, dan ada yang sebagai URT yakni sebesar 6%. 7. Gambaran jenis pekerjaan responden yang berisiko dan tidak berisiko Tabel 4.7 Distribusi responden menurut pekerjaan yang berisiko dan tidak berisiko di wilayah kerja Puskesmas Tombulilato tahun 2012 Kasus Kontrol Total Jenis pekerjaan n % n % n % Berisiko 84 87.5 65 76.5 149 82.3 Tidak berisiko 12 12.5 20 23.5 32 17.7 Total 96 100 85 100 181 100 Sumber : Data primer Berdasarkan Hasil penelitian yang dilakukan di Wilayah kerja Puskesmas Tombulilato Kecamatan Bone Raya Kabupaten Bone Bolango didapatkan
responden dengan pekerjaannya yang berisiko yakni sebesar 82.3 % dan yang memiliki pekerjaan yang tidak berisiko sebesar 17,7 %. 8. Karakteristik keadaan lingkungan biologi disekitar rumah responden Tabel 4.8 Distribusi responden menurut keadaan lingkungan biologi sekitar rumah di wilayah kerja Puskesmas Tombulilato tahun 2012 Kasus Kontrol Total Keadaan lingkungan n % n % n % Buruk 49 51 33 39 82 45.3 Baik 47 49 52 61 99 54.7 Total 96 100 85 100 181 100 Sumber : Data primer Berdasarkan Hasil penelitian yang dilakukan di Wilayah kerja Puskesmas Tombulilato Kecamatan Bone Raya Kabupaten Bone Bolango didapatkan keadaan lingkungan dalam kategori buruk yakni sebesar 45.3% dan dalam kategori baik yakni sebesar 54.7%. Lingkungan biologik dapat menjadi faktor pendukung terjadinya penularan filariasis. faktor pendukung lingkungan biologik yakni adanya genangan air, dan semak-semak sebagai tempat pertumbuhan nyamuk Mansonia spp. Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai tumbuhan lain dapat mempengaruhi kehidupan larva karena ia dapat menghalangi sinar matahari atau melindungi dari serangan makhluk hidup lainnya ( Depkes RI, 2006 ).
9. Karakteristik kebiasaan responden Tabel 4.9 Distribusi kebiasaan responden di wilayah kerja Puskesmas Tombulilato tahun 2012 Kasus Kontrol Total Kebiasaan n % n % n % Buruk 77 80.2 70 82.4 147 81.2 Baik 19 19.8 15 17.6 34 18.8 Total 96 100 85 100 181 100 Sumber : Data primer Hasil penelitian yang dilakukan di Wilayah kerja Puskesmas Tombulilato Kecamatan Bone Raya Kabupaten Bone Bolango didapatkan kebiasaan responden yang berada dalam kategori buruk yakni sebesar 81.2% dan dalam kategori baik sebesar 18.8%. Perilaku atau kebiasaan sangat masyarakat. Tradisi dalam
mempengaruhi derajat
kesehatan
masyarakat yang berpengaruh negative terhadap
kesehatan masyarakat serta beberapa sikap yang sangat mempengaruhi kesehatan masyarakat khususnya penyakit filariasis. Seperti kebiasaan masyarakat keluar malam, kebiasaan masyarakat yang tidak mau menggunakan anti nyamuk serta berbagai macam sikap dan kebiasaan masyarakat yang mempengaruhi terjadinya filariasis ( Depkes RI, 2009 ). 4.2.2 Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui besar faktor risiko. Untuk mengetahui besar faktor risiko dilihat dari besarnya nilai Odds ratio antara faktor – faktor risiko dengan kejadian Filariasis. Jika OR > 1, artinya mempertinggi risiko, jika OR = 1, artinya tidak terdapat asosiasi atau hubungan, jika OR < 1, artinya mengurangi atau memperkecil risiko (Riwidikdo, 2009 ).
1. Besar faktor risiko jenis pekerjaan dengan kejadian Filariasis Tabel 4.10 Hasil Analisis besar faktor risiko Antara Jenis Pekerjaan Dengan Kejadian Filariasis Di Wilayah Kerja Puskesmas Tombulilato tahun 2012 Jenis Pekerjaan Kasus Kontrol Total OR Responden Confidence n % n % n % Interval 95% Berisiko (petani,penambang emas, nelayan )
84 87.5
Tidak berisiko ( PNS, wiraswasta,URT, tidak bekerja )
12 12.5
20
23.5
32
17.7
96
85
100
181
100
Total
65
76.5
149
82.3 2154 0.982 - 4.725
100
Sumber : Data Primer Berdasarkan hasil analisis secara statistik di peroleh nilai Value odds ratio jenis pekerjaan dengan kejadian Filariasis adalah 2.339, ini merupakan nilai OR sebesar 2.154 atau OR > 1, Confidence interval (CI) 95% = 0.982 – 4.725. Artinya jenis pekerjaan berisiko mempertinggi kejadian Filariasis. Dapat disimpulkan bahwa responden yang bekerja sebagai petani, nelayan, dan penambang emas berisiko terkena Filariasis sebesar 2.154 kali dibandingkan dengan responden yang bekerja sebagai PNS, wiraswasta, dan URT.
2. Besar faktor risiko keadaan lingkungan biologi dengan kejadian Filariasis Tabel 4.11 Hasil Analisis besar faktor risiko Antara keadaan lingkungan Dengan Kejadian Filariasis Di Wilayah Kerja Puskesmas Tombulilato tahun 2012 Keadaan Kasus Kontrol Total OR Lingkungan Biologi n Confidence % n % n % Interval 95% Buruk
49
51
33 38.8
82
45.3 1.643 0.909 - 2.969
Baik
47
49
52 61.2
99
54.7
Total
96
100
85
181
100
100
Sumber : Data primer Hasil analisis secara statistik di peroleh nilai Value odds ratio keadaan lingkungan biologi dengan kejadian Filariasis adalah 1.643, ini merupakan nilai OR sebesar 1.643 atau OR > 1, Confidence interval (CI) 95% = 0.909 – 2.969. Artinya keadaan lingkungan berisiko mempertinggi kejadian Filariasis. Dapat disimpulkan bahwa keadaan lingkungan biologi yang buruk dapat terkena Filariasis sebesar 2.154 kali dibandingkan dengan keadaan lingkungan biologi yang baik.
3. Besar faktor risiko antara kebiasaan responden dengan kejadian Filariasis Tabel 4.12 Hasil Analisis besar faktor risiko kebiasaan responden Dengan Kejadian Filariasis Di Wilayah Kerja Puskesmas Tombulilato tahun 2012 Kebiasaan Kasus Kontrol Total OR Responden Confidence n % n % n % Interval 95% Buruk
77
80.2 70 82.4 147 81.2 0.868 0.410 – 1.839
Baik
19
19.8 15 17.6
34
18.8
Total
96
100
181
100
85
100
Sumber : Data primer Hasil analisis secara statistik di peroleh nilai Value odds ratio kebiasaan responden dengan kejadian Filariasis adalah 0.868, ini merupakan nilai OR sebesar 0.868 atau OR < 1, Confidence interval (CI) 95% = 0.410 – 1.839. Artinya kebiasaan responden dapat mengurangi risiko kejadian Filariasis. Dapat disimpulkan bahwa kebiasaan responden yang yang buruk dapat terkena Filariasis hanya sebesar 0.868 kali dibandingkan dengan kebiasaan responden yang baik. 4. 3 Pembahasan 1. Faktor pekerjaan Suatu pekerjaan akan membuat seseorang berinteraksi dengan lingkungan. Pola dan perilaku seseorang dalam berinteraksi ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, karena pendidikan merupakan tingkat kemampuan seseorang dalam beradaptasi dengan lingkungan, perilaku dan pekerjaannya. Terkadang dalam dunia pekerjaan baik formal maupun nonformal tinggi tingkat pendidikan menjadi
landasan dalam menetapkan jenis pekerjaan seseorang, walaupun pada kenyataannya tidak semua tingkat pendidikan itu menjamin pekerjaan akan baik dan tidak berisiko, akan tetapi indikator ini masih dapat diterima ( Viana, 2011 ). Berdasarkan hasil penelitian di Wilayah kerja Puskesmas Tombulilato, jenis pekerjaan responden berisiko mempertinggi kejadian Filariasis. hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan Kodim ( 2008), Menurut Kodim ( 2008 ) bahwa jenis pekerjaan responden merupakan faktor risiko dan mempertinggi risiko terjadinya Filariasis. Jenis pekerjaan, dinyatakan berisiko mempertinggi kejadian Filariasis. Pekerjaan yang lebih banyak Penambang emas, Petani, dan nelayan dapat mengakibatkan status kesehatan atau kejadian Filariasis meningkat, karena seharian mereka tidak berada di rumah tetapi di tempat mereka bekerja dan pekerjaan tersebut juga dilakukan pada malam hari, mereka sering kali menginap tidur di tempat mereka bekerja. Ada yang tempat tidur mereka terlindungi dari gigitan nyamuk dan ada pula yang tidur di tempat terbuka, sehingga dapat terkontak langsung dengan vektor yang dapat menyebabkan Filariasis. sebagaimana kita ketahui bahwa nyamuk yang beraktifitas pada malam hari adalah nyamuk Anopheles, Culex dan Mansonia yakni dari mulai matahari terbenam hingga matahari terbit, dan ada sebagian kecil yang mengigit pada siang hari yakni nyamuk Aedes aegypti. Hasil wawancara dengan responden di peroleh, mereka yang melakukan pekerjaan pada malam hari dan menginap malam di tempat kerja seperti penambang emas, dan petani, untuk menghindari dari gigitan nyamuk mereka
terkadang hanya memakai sarung atau membakar kayu membuat api unggun. Keadaan ini belum tentu baik karena kita ketahui bersama asap yang berasal dari bakaran – bakaran kayu ini akan menghilang karena api belum tentu hidup sepanjang malam. 2. Faktor lingkungan biologi Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus Filariasis dan mata rantai penularannya. Keadaan lingkungan yang tidak baik sangat menunjang terjadinya Filariasis, seperti Keberadaan genangan air dan semak – semak. Keberadaan genangan air di sekitar rumah ada yang fungsihkan untuk hal lain, seperti genangan air untuk memelihara ikan, memelihara tanaman dan ada juga genangan air yang berasal dari pembuangan air limbah rumah tangga. Keberadaan semak
–
semak
yang
dibiarkan
tumbuh
tanpa
ada
tindakan
untuk
membersihkannya. Keadaan seperti ini dapat menambah perkembangbiakkan nyamuk sebagai vektor Filariasis (Depkes, 2009 ). Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan keadaan lingkungan biologi di Wilayah kerja Puskesmas Tombulilato yakni keadaan lingkungan biologi berisiko mempertinggi kejadian Filariasis. Dapat disimpulkan bahwa keadaan lingkungan biologi yang buruk dapat terkena Filariasis sebesar 2.154 kali dibandingkan dengan keadaan lingkungan biologi yang baik. Penelitian tersebut sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Viana ( 2011 ), menurut Viana keadaan lingkungan yang buruk berisiko terhadap kejadian Filariasis.
Keadaan lingkungan disekitar rumah dalam kategori buruk sangat menunjang terjadinya Filariasis, karena dapat menyebabkan perkembangbiakkan nyamuk sehingga sering terjadi kontak langsung dengan nyamuk. keberadaan genangan air dan semak – semak dapat meningkatkan populasi nyamuk, karena genangan air dan semak – semak merupakan tempat yang di senangi oleh nyamuk untuk berkembang biak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, di temukan ada beberapa genangan air yang di gunakan untuk memelihara bahan pangan seperti kangkung, daun pandan dan ada juga genangan air yang di tumbuhi berbagai jenis tanaman eceng gondok dan rumput – rumput liar yang dibiarkan tumbuh dengan subur tanpa ada usaha dari mereka untuk membersihkannya, Begitupun dengan keberadaan semak – semak yang di biarkan tumbuh dengan subur. kondisi seperti ini sangat di senangi oleh nyamuk karena sangat cocok untuk tempat nyamuk berkembang biak. 3. Faktor Kebiasaan Perilaku atau kebiasaan sangat masyarakat. Tradisi dalam
mempengaruhi derajat
kesehatan
masyarakat yang berpengaruh negative terhadap
kesehatan masyarakat serta beberapa sikap yang sangat mempengaruhi kesehatan masyarakat khususnya penyakit filariasis. Seperti kebiasaan masyarakat keluar malam, kebiasaan masyarakat yang tidak mau menggunakan anti nyamuk serta berbagai macam sikap dan kebiasaan masyarakat yang mempengaruhi terjadinya filariasis ( Depkes RI, 2009 ). Hasil penelitian menunjukkan kebiasaan responden di wilayah kerja Puskesmas Tombulilato dapat mengurangi risiko, artinya risiko terjadinya
Filariasis sangat kecil. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yahya ( 2008 ) di Provinsi Sumatra Selatan, bahwa kebiasaan atau perilaku responden merupakan faktor risiko terjadinya Filariasis. Perilaku atau kebiasaan yang kurang disadari oleh sebagian masyarakat adalah perilaku yang mendukung penularan Filariasis. misalnya kebiasaan keluar rumah pada malam hari hingga lebih dari satu jam, hasil wawancara dengan responden diperoleh mereka yang tidak melakukan pekerjaan pada malam hari namun masih keluar rumah pada malam hari dan lebih dari satu jam, kegiatan yang mereka lakukan adalah untuk menonton televisi atau hanya sekedar berbincang – bincang dan kegiatan ini mereka lakukan setiap hari. Kebiasaan keluar rumah pada malam hari berkaitan dengan pakaian yang mereka gunakan, penggunaan pakaian pelindung diri dari gigitan nyamuk sewaktu diluar rumah. Kebiasaan tidak memakai kelambu juga menunjang terjadinya Filariasis. berdasarkan wawancara diperoleh tidak semua masyarakat menggunakan kelambu, walaupun sudah menerima bantuan kelambu dari pemerintah setempat, kelambu tersebut tidak mereka fungsihkan. Walaupun tidak menggunakan kelambu, responden menggunakan anti nyamuk bakar. Menggunakan anti nyamuk di waktu tidur adalah usaha untuk menghindari dari gigitan nyamuk. Berdasarkan wawancara anti nyamuk yang sering mereka gunakan adalah anti nyamuk bakar, penggunaan anti nyamuk bakar dapat mengurangi kontak nyamuk dengan seseorang. Penggunaan anti nyamuk bakar ini sudah di kategorikan sebagai pelindung yang aman dari kontak dengan nyamuk. Ada sebagian responden tidur tidak menggunakan kelambu ataupun anti nyamuk, untuk melindungi diri dari
gigitan nyamuk di waktu tidur mereka hanya mengunakan sarung, hal ini dapat dijelaskan bahwa yang tidak menggunakan anti nyamuk di waktu tidur mengalami permasalahan kesehatan lainnya seperti adanya gangguan pernafasan dan sebagainya. Walaupun menggunakan anti nyamuk diwaktu tidur akan tetapi responden bekerja di tempat yang berisiko, dan ada juga responden yang tidur malam di tempat mereka bekerja yang untuk menghindari dari gigitan nyamuk mereka hanya menggunakan api unggun sehingga responden akan memiliki risiko terkena filariasis, karena kontak dengan nyamuk akan terjadi.