BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Rasio Kelamin Ikan Nilem Penentuan jenis kelamin ikan dapat diperoleh berdasarkan karakter
seksual primer dan sekunder. Pemeriksaan gonad ikan dilakukan dengan mengamati perbedaan ciri-ciri morfologi ikan nilem jantan dan betina (seksual sekunder), akan tetapi permeriksaan ini hanya dapat dilakukan pada ikan dewasa berumur lebih dari 6 bulan, sehingga proses pengamatan dilakukan secara histologis yaitu dengan membedah tubuh ikan untuk memperoleh gonad dan untuk selanjutnya diidentifikasi (seksual primer). Gonad ikan nilem berjumlah sepasang, terletak disebelah atas gelembung renang. Bentuknya memanjang dan bermuara dilubang genital, gonad pada ikan nilem muda berukuran sangat kecil dan menyerupai benang tipis. Untuk memperoleh gonad ikan langkah pertama yang dilakukan yaitu ikan dimatikan terlebih dahulu dengan cara merusak bagian otak ikan menggunakan jarum, selanjutnya ikan dibedah menggunakan gunting serta pisau bedah dimulai dari bagian lubang genital melengkung keatas sampai menuju bagian tubuh dibawah sirip pectoral, selanjutnya isi bagian perut dikeluarkan secara hati-hati sehingga gonad mudah untuk diambil, seperti yang terlihat pada lampiran 12 dan gambar 6 berikut :
Gambar 6. Hasil Pembedahan Tubuh Ikan Nilem dalam Proses Tahapan Identifikasi Gonad; (Panah menunjukan Letak Posisi Gonad Ikan)
25
26
Hasil pengamatan gonad ikan jantan memperlihatkan adanya bakal testis yang tampak seperti titik-titik berwarna merah yang tersebar merata (Gambar 7). Sedangkan pada gonad ikan betina memperlihatkan adanya bakal testis yang tampak seperti bulatan telur dengan ukuran yang berbeda-beda (Gambar 8). Selain gonad ikan jantan dan betina, ditemukan juga gonad ikan yang tidak terdiferensiasi (interseks) dimana pada gonad ini sel bakal sperma dan sel bakal telur ditemukan secara bersamaan dalam satu kantung gonad (Gambar 9).
Gambar 7. Sel Bakal Sperma dalam Histologi Gonad Ikan Nilem Jantan dengan Perbesaran 400X (Pewarnaan Asetokarmin)
Gambar 8. Sel Bakal Telur dalam Histologi Gonad Ikan Nilem Betina dengan Perbesaran 400X (Pewarnaan Asetokarmin)
27
Gambar 9. Histologi Gonad Ikan Nilem yang tidak Terdiferensiasi (Interseks), dengan Perbesaran 400X (Pewarnaan Asetokarmin); a : Sel Bakal Sperma dan b : Sel Bakal Telur
Berdasarkan data hasil pengamatan rata-rata gonad ikan betina tertinggi didapatkan pada perlakuan non MT dan non TTS/K- (perlakuan A) yaitu sebesar 40,47%, diikuti dengan non MT dan TTS 9% (perlakuan C) sebesar 24,76%, MT dan non TTS/K+ (perlakuan B) sebesar 18,79%, MT dan TTS 3% (perlakuan D) sebesar 14,03%, MT dan TTS 6% (perlakuan E) sebesar 13,33% dan nilai terendah dihasilkan pada perlakuan MT dan TTS 9% (perlakuan F). Adanya peningkatan konsentrasi pemberian TTS menunjukan adanya pengaruh negatif terhadap rata-rata persentase gonad ikan betina (Gambar 10). Perbandingan ikan nilem betina dan jantan dalam satu indukan pada umumnya menghasilkan ikan betina yang lebih banyak dibandingkan dengan ikan jantan dengan perbandingan ikan betina dan jantan yaitu 62:38 (Subagja 2006). Adanya pemberian hormon sintetik dengan konsentrasi yang tidak sesuai dapat meningkatkan populasi ikan betina, hal ini disebabkan oleh effect paradoxial yaitu proses pembalikan kelamin yang terjadi dimana terhentinya sintesis hormon testosteron didalam aromatase inhibin yang diakibatkan oleh interpensi hormon berlebihan. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya effect paradoxial. Data menunjukan persentase ikan betina tertinggi dihasilkan pada perlakuan A (kontrol negatif/K-) yaitu sebesar 40,47%, sedangkan persentase terendah dihasilkan pada perlakuan dengan konsentrasi tertinggi yaitu perlakuan E (MT dan TTS 6%) dan perlakuan F (MT dan TTS 9%) sebesar
28
4,45%. Hal ini menunjukan konsentrasi yang digunakan masih berada dibawah ambang batas terjadinya effect paradoxial. Selain gonad ikan jantan dan betina, ditemukan adanya gonad ikan interseks dengan nilai tertinggi berturut-turut pada perlakuan MT dan non TTS (perlakuan B), MT dan TTS 3% (perlakuan D), MT dan TTS 6% (perlakuan E) serta MT dan TTS 9% (perlakuan F) yaitu sebesar 15,89%, 13,67%, 4,44% dan 4,44%. Sedangkan perlakuan non MT dan non TTS (kontrol negatif/K-) dan perlakuan non MT dan TTS 9% tidak ditemukan adanya ikan interseks (Gambar 10 dan Lampiran 6).
b
a a
b
a
a
Gambar 10. Histogram Persentase Ikan Jantan, Betina dan Interseks hasil Penelitian
Adanya ikan interseks kemungkinan disebabkan kandungan hormon MT dan TTS belum mampu mengalihkan kelamin ikan menjadi jantan sehingga proses diferensiasi gonad tidak sempurna, pemberian hormon steroid dengan konsentrasi yang rendah menyebabkan terbentuknya individu interseks. Hal ini disebabkan ketidakmampuan fungsional dari steroid eksogenous yang dihasilkan oleh jaringan-jaringan dalam tubuh serta sifat genetis internal serta aktivitasaktivitas fisiologis dalam tubuh, dan bahkan dapat menyebabkan timbulnya efekefek yang bersifat patologis pada perkembangan gonad (Devlin dan Nagahama 2002). Sebaliknya konsentrasi yang terlalu tinggi akan menyebabkan efek kebalikan dari individu yang diharapkan dan terbentuknya individu steril (Yamazaki 1983). Seiring dengan meningkatnya konsentrasi MT dan TTS
29
menunjukan kecenderungan rata-rata ikan interseks semakin menurun hal ini mengindikasikan adanya efektivitas pemberian MT dan TTS dari perlakuan yang diberikan. Hasil pengamatan persentase kelamin ikan nilem jantan menunjukan perlakuan dengan perendaman 17α-Methiltestosteron sebanyak 400µg L-1 selama 8 jam yang dikombinasikan dengan pemberian tepung testis sapi sebanyak 9% (perlakuan F) menghasilkan persentase kelamin ikan jantan tertinggi yaitu sebesar 82,98% sedangkan persentase ikan jantan terendah dihasilkan dari perlakuan A (kontrol negatif/K-) yaitu sebesar 59,52%. Hasil analisis statistik menunjukan perlakuan non MT dan non TTS (K-), non MT dan TTS 9%, MT dan non TTS (K+) serta MT dan TTS 3% terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05) dengan perlakuan MT dan TTS 6% serta perlakuan MT dan TTS 9%. Perlakuan dengan kombinasi antara perendaman MT dan pemberian TTS dengan konsentrasi 3%, 6%, dan 9% berturut-turut menghasilkan persentase ikan nilem jantan sebanyak 72,30%, 82,22%, dan 82,98%, nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A (kontrol negatif/K-) yaitu sebesar 59,52%. Sedangkan pada perlakuan tanpa kombinasi seperti MT dan non TTS (kontrol negatif/K+) menghasilkan persentase ikan jantan sebesar 65,29%, dan non MT dan TTS 9% sebesar 75,23%. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 2 berikut : Tabel 2. Rata-rata Persentase (%) Kelamin Ikan Nilem Jantan di Akhir Penilitian Perlakuan Persentase (%) Ikan Jantan a
non MT & non TTS (K-) : A
59,52 ± 4,34
MT & non TTS (K+) : B
65,29 ± 4,75
non MT & TTS 9% : C
75,23 ± 13,50
MT & TTS 3% : D
72,30 ± 5,21
MT & TTS 6% : E
82,22 ± 7,70
MT & TTS 9% : F
82,98 ± 9,49
a a
a
b b
Keterangan : Angka yang diingkuti dengan huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P≥0,05); rata-rata ± SD
Dari data tersebut dapat dinyatakan bahwa persentase kelamin ikan jantan semakin meningkat seiiring dengan peningkatan konsentrasi pemberian TTS, hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Muslim dkk. (2011a)
30
kecenderungan semakin tinggi konsentrasi pemberian TTS, maka persentase ikan jantan semakin meningkat. Tingginya persentase ikan jantan pada perlakuan non MT dan TTS 9% dibandingkan dengan perlakuan MT dan non TTS (kontrol negatif/K+) menunjukan adanya perbedaan pengaruh dari metode yang dilakukan dan jenis hormon yang digunakan. Menurut Hunter dan Donaldson (1983) faktor yang mempengaruhi keberhasilan sex reversal adalah ukuran, spesies ikan, genetik, jenis dan konsentrasi hormon yang digunakan, cara pemberian serta lama waktu pemberian. Data menunjukan bahwa pemberian TTS 9% menghasilkan persentase ikan jantan lebih besar dibandingkan dengan perlakuan pemberian hormon MT (400µg L-1). Tepung testis sapi (TTS) merupakan senyawa bahan alami yang memiliki kandungan testosteron, pemberian secara berkesinambungan pada larva ikan nilem mampu untuk mengalihkan kelamin ikan menjadi jantan selain itu TTS mudah dicerna oleh ikan sehingga penyerapannya mudah diterima oleh tubuh ikan, sedangkan penggunaan hormon steroid melalui perendaman (dipping) harus terlebih dahulu mengetahui konsentrasi serta lama waktu perendaman yang tepat untuk dapat menghasilkan persentase ikan jantan yang optimal, disebabkan hormon MT merupakan senyawa sintetik yang molekulnya sudah dimodifikasi agar tahan lama di dalam tubuh. Proses penyerapan hormon MT dengan metode perendaman diduga terjadi melalui proses difusi, dimana konsentrasi hormon didalam media pemeliharaan lebih tinggi dibandingkan cairan tubuh pada ikan sehingga menyebabkan terjadinya proses difusi (Arfah dkk 2002). Berbeda dengan proses penyerapan pemberian TTS yang dilakukan secara oral melalui pakan, hormon yang terkadung diserap secara langsung oleh sistem organ dalam tubuh ikan. Pemberian TTS dilakukan selama masa diferensiasi seks, penyerapan kandungan nutrisi TTS berkesinambungan seiiring dengan pemberian pakan sehingga dapat mengubah arah perkembangan kelamin kearah jantan secara sempurna. Tingginya persentase ikan nilem jantan yang dihasilkan dalam penelitian ini disebabkan oleh komposisi hormon yang
31
terdapat dalam MT dan TTS sesuai, juga waktu pemberian yang tepat yaitu pada saat periode diferensiasi seks. 4.2 Kelangsungan Hidup Ikan Kelangsungan hidup merupakan parameter penting dalam pemeliharaan ikan uji hasil sex reversal sehingga dapat diketahui hasil akhir dari pemberian berbagai konsentrasi perlakuan terhadap ikan uji. Rata-rata kelangsungan hidup selama pemeliharaan yang mendapat perlakuan perendaman hormon MT selama 8 jam dan pemberian TTS sebanyak 3% (perlakuan D) menghasilkan nilai tertinggi yaitu sebesar 59,3%, diikuti oleh perlakuan MT dan non TTS/K+ (perlakuan B) sebesar 23,3%, non MT dan non TTS (perlakuan A) sebesar 47,3%, non MT dan TTS 9% (perlakuan C) sebesar 47,3%, sedangkan rata-rata kelangsungan hidup terendah dihasilkan dari
perlakuan MT dan TTS 6%
(perlakuan E) serta MT dan TTS 9% (perlakuan F) sebesar 46,0%. Tingkat kelangsungan hidup pada setiap perlakuan tidak berbeda nyata (P<0,05), seperti pada gambar 11 berikut :
Gambar 11. Rata-rata Kelangsungan Hidup Ikan (%), setiap Perlakuan selama Pemeliharaan.
Pada akhir penelitian data menunjukan kelangsungan hidup ikan sangat rendah berkisar 47-59%. Rendahnya derajat kelangsungan hidup di akhir penelitian diduga selain dari faktor lingkungan kematian ikan disebabkan juga
32
oleh faktor genetik yaitu pengaruh hormon yang diberikan, seperti yang diungkapkan oleh Hunter dan Donaldson (1983), yang menyatakan bahwa pemberian hormon dengan konsentrasi yang tidak sesuai dapat menyebabkan tingkat kematian yang tinggi atau ikan steril (hermafrodit). Penggunaan hormon MT dalam penelitian ini yaitu pada tahap perendaman embrio fase bintik mata kemungkinan mempengaruhi kelangsungan hidup ikan, hal ini diduga adanya tekanan fisiologi terhadap ikan yang diberikan perlakuan, dikarenakan ikan uji masih dalam fase embriogenesis sehingga kondisi fisiologisnya masih lemah. Adapun kecenderungan ikan yang hidup setelah penetasan telur berada dalam keadaan ketidakmampuan fungsional dari steroid eksogenous yang dihasilkan oleh jaringan-jaringan tubuh ikan yang disebabkan dari interpensi hormon MT yang diberikan pada fase pembentukan otak dan mata (fase bintik mata), sehingga proses tumbuh dan berkembangnya organ tubuh ikan terhambat dan pada akhirnya mengalami kematian. Sedangkan perlakuan dengan pemberian TTS terhadap tingkat kelangsungan hidup cenderung tidak mempengaruhi kelangsungan hidup ikan selama pemeliharaan, menurut Muslim dkk. (2011a) TTS merupakan bahan alami yang tidak mudah larut, disukai oleh larva, mengandung nutrisi tinggi, tidak menurunkan kualitas air dan mudah dalam penyimpanan. Keadaan ini sesuai dan menyatakan bahwa pemberian TTS tidak mempengaruhi kelangsungan hidup ikan (Survival Rate) yang diberi perlakuan. 4.3 Pertumbuhan Ikan Parameter pertumbuhan diamati untuk mengetahui kondisi fisiologis ikan uji selama pemeliharaan. Pengukuran laju pertumbuhan ikan uji selama pemeliharaan dilakukan berdasarkan pertambahan bobot tubuh ikan. Data hasil pengamatan pertumbuhan ikan uji menunjukan adanya perbedaan nyata (P>0,05) dari setiap perlakuan (Tabel 3). Rata-rata bobot tertinggi dihasilkan pada kombinasi perlakuan MT dan TTS 9% (perlakuan F), sedangkan rata-rata bobot terendah dihasilkan oleh perlakuan non MT dan non TTS (perlakuan A).
33
Tabel 3. Rata-rata Pertumbuhan Ikan Nilem berdasarkan Pertambahan Bobot setiap Perlakuan di Akhir Penelitian Perlakuan Pertambahan bobot a
non MT & non TTS (K-) : A MT & non TTS (K+) : B
0,95 ± 0,16 ab 1,08 ± 0,23
non MT & TTS 9% : C
1,81 ± 0,09
MT & TTS 3% : D
1,13 ± 0,18
MT & TTS 6% : E
1,29 ± 0,14
MT & TTS 9% : F
1,84 ± 0,03
c
ab b c
Keterangan : Angka yang diingkuti dengan huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata (P≥0,05); rata-rata ± SD
Hasil analisis data secara statistik menunjukan pertambahan bobot ikan uji cenderung meningkat dengan semakin tingginya konsentrasi TTS yang diberikan. Pada perlakuan MT dan TTS 9% (perlakuan F) pertambahan bobot ikan uji rata-rata sebesar 1,84%, non MT dan TTS 9% sebesar 1,81%, MT dan TTS 6% sebesar 1,29% dan MT dan TTS 3% sebesar 1,13% (Lampiran 9). Data menunjukan bahwa perlakuan antara non MT dan TTS 9% (perlakuan C) serta perlakuan yang dikombinasikan MT dan TTS 9% (perlakuan F) menghasilkan rata-rata yang paling signifikan dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (perlakuan A, B, D, dan E). Pada perlakuan kombinasi MT dan TTS 6% (perlakuan E) menunjukan perbedaan nyata dengan perlakuan non MT dan non TTS (perlakuan A/K-), sedangkan pada perlakuan kombinasi lainnya yaitu MT dan TTS 3% (perlakuan D) mununjukan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata dengan perlakuan lainnya (perlakuan A, B dan C). Berdasarkan hasil analisis deviasi mengenai rentang data keseragaman setiap perlakuan menunjukan hasil yang paling efektif didapatkan pada perlakuan MT dan TTS 9% sebesar 0,03 sedangkan nilai terendah dihasilkan pada perlakuan MT dan non TTS yaitu sebesar 0,23. Adanya nilai standar deviasi tersebut menunjukan tingkat keseragaman pertumbuhan pada setiap perlakuan,
semakin
rendah
nilai
pertumbuhan ikan semakin merata.
deviasi
maka
tingkat
keseragaman
34
Tingginya laju pertumbuhan perlakuan dengan pemberian TTS disebabkan TTS merupakan bahan alami yang kaya akan nutrisi yaitu kandungan senyawa protein yang cukup tinggi sebesar 76,26%. Senyawa protein ini sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan panjang tubuh maupun bobot ikan. Menurut Yamazaki (1983) pemberian pakan yang mengandung hormon metiltestosteron, dapat meningkatkan daya cerna dan laju penyerapan nutrient sehingga pertumbuhan meningkat. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal antara lain kualitas air khususnya suhu air, nutrisi khususnya protein, dan faktor internal antara lain genetik (Dunham 2004). Salah satu faktor eksternal pada penelitian ini yaitu pemberian TTS pada ikan uji. 4.4 Kualitas Air Parameter kualitas air yang diamati selama penelitian meliputi suhu, pH, serta kandungan oksigen terlarut (DO). Hasil pengukuran yang diperoleh selama pemeliharaan memperlihatkan bahwa kisaran suhu masih berada pada batas normal yaitu berkisar 26-28°C; derajat keasaman (pH) berkisar 6,00-8,00 ppm; serta rataan DO berkisar 4,01-6,13 (Tabel 4). Kualitas air dan media pemeliharaan ikan selama pemeliharaan berlangsung sudah sesuai dengan standar kualitas air untuk kebutuhan ikan sehingga tidak mempengaruhi kelangsungan hidup ikan nilem. Tabel 4. Kualitas Air selama Pemeliharaan Perlakuan non MT & non TTS : A MT & non TTS (K+) : B non MT & TTS 9 % (K-) : MT & TTS C 3% : D MT & TTS 6% : E MT & TTS 9% : F Standar
Parameter yang diamati Suhu (°C) DO(ppm) pH 25 – 28 4,02 – 6,10 6–8 26 –28 4,05 – 5,35 6–8 26 – 28 3,97 – 6,10 7–8 27 – 28 4,10 – 5,80 6 – 7,5 25 – 28 3,90 – 6,12 6–8 26 – 28 4,20 – 5,82 6–7 (1) (2) 18-28 5-6 6,7-8,6(3)
Keterangan : (1)Asnawi (1983), (2)Willoughby (1999) dan (3)Susanto (2001)
35
Hasil pengukuran kualitas air selama pemeliharaan memperlihatkan kisaran suhu, DO, dan pH sesuai dengan standar kualitas air untuk pemeliharaan ikan nilem, hal ini berdasarkan penelitian sebelumnya dan data menunjukan kualitas air selama pemeliharaan berada pada kondisi baik untuk kelangsungan hidup ikan nilem. Parameter suhu pada perlakuan menunjukan kisaran 25 - 28°C, adanya penggunaan heater yang dilengkapi thermostat untuk memanipulasi suhu lingkungan belum dapat menghasilkan suhu yang relatif stabil hal ini dikarenakan adanya fluktuasi suhu yang drastis terutama pada siang dan malam hari. Adapun kandungan oksigen terlarut (DO) pada media pemeliharaan yaitu pada kisaran 3,90 – 6,12 ppm, sedangkan optimalnya 5 – 6 ppm (Willoughby 1999), diduga rendahnya kandungan oksigen terlarut disebabkan oleh pemberian pakan yang berlebih serta sisa metabolisme ikan selama pemeliharaan. Pengecekan kualitas air dari sisa pakan yang tidak dimakan maupun feses ikan dilakukan setiap 3 hari sekali, yaitu dengan cara air disipon sampai bersih atau bila perlu dikuras habis dan selanjutnya dilakukan penggantian air. Derajat keasaaman (pH) menunjukan kisaran yang masih dapat ditolerir yaitu 6 – 8, sedangkan optimalnya pada kisaran 6,7 – 8,6. Parameter lain yang tidak diamati pada penelitian ini yaitu kandungan amoniak, namun berdasarkan Rizaldy (2013) kandungan amoniak yang terdapat dilokasi penelitian
Hatchery
Ciparanje
adalah
0,0015-0,0145
ppm,
sedangkan
konsentrasi amoniak yang dapat ditolerir oleh larva nilem kurang dari 0,03 ppm (Muntilan 2007). Hal ini menunjukan bahwa kandungan amoniak tidak mempengaruhi kelangsungan hidup serta laju pertumbuhan ikan uji.