27
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Kondisi Lahan
4.1.1
Kemiringan Pemetaan lahan potensial budidaya gurame pada parameter kemiringan
lahan disusun berdasarkan peta kemiringan lereng yang diperoleh dari BAPPEDA Kabupaten Majalengka (Lampiran 2). Peta ini menggambarkan kondisi kemiringan lahan di Kabupaten Majalengka yang dibagi ke dalam beberapa kategori yaitu : 1. Kemiringan 0-3% 2. Kemiringan 3-8% 3. Kemiringan 8-15% 4. Kemiringan 15-25% 5. Kemiringan 25-40% 6. Kemiringan >40% Peta diolah menggunakan ArcGIS 9.3 dengan proses digitasi sehingga menghasilkan pemetaan baru berdasarkan parameter kemiringan lahan. Kemiringan lahan berkaitan dengan pengisian air kolam secara gravitasi. Wilayah dengan kemiringan lahan berkategori Sesuai (S1) adalah wilayah yang memiliki kemiringan lahan 3-5%. Kolam yang dibangun pada tanah yang terlalu miring akan memiliki daya tampung air yang sedikit (Susanto 2012). Kemiringan lahan hingga 15% masih bisa diterima sebagai lokasi budidaya gurame, namun kemiringan lahan di atas 15% terlalu curam sehingga tidak bisa digunakan sebagai lahan budidaya gurame (Hossain et al. 2007). Pemetaan berdasarkan parameter kemiringan lahan bisa dilihat pada Gambar 8. Wilayah yang termasuk kategori Sesuai (S1) ditandai dengan warna coklat. Wilayah yang termasuk kategori Cukup Sesuai (S2) ditandai dengan warna coklat muda, sedangkan wilayah yang termasuk kategori Tidak Sesuai (N) ditandai dengan warna kuning. Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 9.
28
Gambar 8. Peta Kemiringan Lahan
Tabel 9. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan Kemiringan Lahan Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%) Sesuai (S1)
10.718
9,15
Cukup Sesuai (S2)
67.089
57,26
Tidak Sesuai (N)
39.350
33,59
29
4.1.2
Ketinggian Pemetaan lahan potensial budidaya gurame pada parameter ketinggian
disusun berdasarkan peta ketinggian yang diperoleh dari BAPPEDA Kabupaten Majalengka (Lampiran 3). Peta ini menggambarkan kondisi ketinggian (elevasi) di Kabupaten Majalengka yang dibagi ke dalam beberapa kategori yaitu : 1. Ketinggian dibawah 25 mdpl 2. Ketinggian 25-50 mdpl 3. Ketinggian 50-100 mdpl 4. Ketinggian 100-500 mdpl 5. Ketinggian 500-1000 mdpl 6. Ketinggian di atas 1000 mdpl Peta diolah menggunakan ArcGIS 9.3 dengan proses digitasi sehingga menghasilkan pemetaan baru berdasarkan parameter ketinggian lokasi budidaya gurame. Ketinggian lokasi budidaya gurame berpengaruh terhadap kondisi suhu udara, semakin tinggi lokasi budidaya gurame maka semakin rendah suhu udara disekitarnya. Suhu udara yang terlalu rendah akan menghambat pertumbuhan gurame. Wilayah yang sesuai untuk budidaya gurame adalah wilayah dengan ketinggian 50-400 m. Wilayah dengan ketinggian dibawah 50 m masih bisa digunakan sebagai lahan budidaya gurame, namun ketinggian di atas 400 m tidak sesuai digunakan sebagai lahan budidaya gurame karena suhu udara pada ketinggian tersebut terlalu rendah untuk budidaya gurame (Bappenas 2000). Pemetaan berdasarkan parameter ketinggian bisa dilihat pada Gambar 9. Wilayah yang termasuk kategori Sesuai (S1) ditandai dengan warna hijau. Wilayah berkategori Cukup Sesuai (S2) ditandai dengan warna biru, sedangkan wilayah berkategori Tidak Sesuai (N) ditandai dengan warna coklat. Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 10.
30
Gambar 9. Peta Ketinggian
Tabel 10. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan Ketinggian Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%) Sesuai (S1)
34.624
29,55
Cukup Sesuai (S2)
44.240
37,76
Tidak Sesuai (N)
38.293
32,69
31
4.1.3
Penggunaan Lahan Pemetaan lahan potensial budidaya gurame pada parameter penggunaan
lahan disusun berdasarkan peta rencana pola ruang yang diperoleh dari BAPPEDA Kabupaten Majalengka (Lampiran 4). Peta ini menggambarkan rencana penggunaan lahan di Kabupaten Majalengka yang terbagi ke dalam kawasan industri, pertambangan, pariwisata, perhutanan, konservasi, pemukiman, pertanian, perikanan dan rawan bencana alam. Peta diolah menggunakan ArcGIS 9.3 dengan proses digitasi sehingga menghasilkan pemetaan baru berdasarkan parameter penggunaan lahan. Penggunaan lahan adalah penggolongan fungsi lahan secara umum berupa pengkhususan kawasan-kawasan tertentu menurut tujuan penggunaannya. Tidak semua lahan cocok dijadikan sebagai lokasi budidaya ikan. Kawasan yang berkategori Sesuai (S1) untuk budidaya gurame adalah kawasan perikanan, sedangkan kawasan pertanian masih bisa dijadikan lahan budidaya gurame. Kawasan lainnya yaitu kawasan industri, pertambangan, pariwisata, perhutanan, konservasi, pemukiman, dan rawan bencana alam tidak bisa digunakan sebagai lahan budidaya gurame. Pemetaan berdasarkan parameter penggunaan lahan bisa dilihat pada Gambar 10. Kawasan berkategori Sesuai (S1) ditandai dengan warna biru muda. Kawasan berkategori Cukup Sesuai (S2) ditandai dengan warna biru tua, sedangkan kawasan berkategori Tidak Sesuai (N) ditandai dengan warna abu-abu. Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 11.
32
Gambar 10. Peta Penggunaan Lahan
Tabel 11. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan Penggunaan Lahan Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%) Sesuai (S1)
1.228
1,05
Cukup Sesuai (S2)
43.889
37,46
Tidak Sesuai (N)
72.040
61,49
33
4.2 4.2.1
Kondisi Tanah Tekstur Tanah Kegiatan budidaya perikanan di Indonesia umumnya masih menggunakan
sistem budidaya tradisional dan semi intensif, sehingga jenis tanah yang digunakan untuk membangun kolam harus diperhatikan dengan baik. Tanah yang digunakan untuk kolam harus mampu menahan massa air sehingga tidak terjadi kebocoran. Tanah yang baik untuk pembuatan kolam adalah tanah yang memiliki kandungan liat tinggi. Tanah ini jika digenggam mudah terbentuk, tidak pecah dan tidak melekat pada tangan. Jenis tanah lain yang masih bisa digunakan untuk pembuatan kolam adalah tanah berlempung. Tanah lempung memiliki tekstur yang tidak sekuat tanah liat namun masih sanggup menahan massa air sehingga dapat dibentuk mejadi kolam yang kokoh. Tanah yang memiliki kandungan pasir tinggi dan tanah berlumpur tidak sesuai untuk dijadikan kolam karena tidak dapat menahan massa air kolam (Susanto 2012). Berdasarkan peta jenis tanah yang diperoleh dari BAPPEDA Kabupaten Majalengka (Lampiran 5), tanah yang terdapat di Kabupaten Majalengka terdiri dari delapan jenis yaitu Aluvial, Andosol, Glei, Grumosol, Latosol, Litosol, Podsol Merah Kuning dan Regosol. Setiap jenis tanah memiliki karakteristik yang berbeda-beda yang dapat dilihat pada Tabel 12. Berdasarkan data karakteristik tanah pada Tabel 12, tanah yang tergolong ke dalam kategori Sesuai (S1) adalah tanah berjenis Aluvial, Grumosol dan Latosol. Jenis tanah yang tergolong kategori Cukup Sesuai (S2) adalah Andosol dan Podsol Merah Kuning, sedangkan jenis tanah yang tergolong kategori Tidak Sesuai (N) adalah tanah Glei, Litosol dan Regosol. Peta kesesuaian lahan budidaya gurame berdasarkan parameter tekstur tanah dapat dilihat pada Gambar 11. Kawasan berkategori Sesuai (S1) ditandai dengan warna coklat. Kawasan berkategori Cukup Sesuai (S2) ditandai dengan warna oranye, sedangkan kawasan berkategori Tidak Sesuai (N) ditandai dengan warna krem. Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 13.
34
Jenis Tanah Aluvial
Tabel 12. Karakteristik Berdasarkan Jenis Tanah Tekstur pH Tanah Karbon Organik (%) Tanah endapan,
Masam hingga
Kandungan karbon
tekstur liat atau
netral
organik tinggi
(5 – 6,5)
(2 – 3)
Masam hingga
Kandungan karbon
netral
organik tinggi
(5,6 – 6,5)
(2 – 3)
Struktur tanah
Masam
Kandungan karbon
berlumpur
(4,5 – 6)
organik tinggi
liat berpasir Andosol
Tanah berlempung dengan tekstur sedang
Glei
(2 – 3) Grumosol
Latosol
Kandungan liat
Agak masam
Kandungan karbon
tinggi
hingga netral
organik sedang
(6 – 7,6)
(1 – 2)
Sangat masam
Kandungan karbon
(4,5 – 6)
organik sedang
Kandungan liat tinggi
(1 – 2) Litosol
tekstur berpasir
Sangat masam
Kandungan karbon
(4,5 – 6)
organik sangat rendah (>0,5)
Podsol Merah
Lempung liat
Kuning
berpasir
Sangat masam
Kandungan karbon
(4,2 - 4,8)
organik sedang (1 – 2)
Regosol
Tekstur berpasir
Agak masam
Kandungan karbon
hingga netral
organik tinggi
(6 – 7)
(2 – 3)
Sumber : Ariyanto 2012, Fiantis 2012, Fitriani 2006
35
Gambar 11. Peta Tekstur Tanah
Tabel 13. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan Tekstur Tanah Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%) Sesuai (S1)
44.605
38,07
Cukup Sesuai (S2)
47.792
40,79
Tidak Sesuai (N)
24.760
21,13
36
4.2.2
pH Tanah Nilai pH tanah akan berpengaruh terhadap pH air kolam. Tanah yang
memiliki pH 6,5-7,5 sangat berpotensi untuk budidaya perikanan karena produktivitas perairan pada kisaran pH tersebut berada pada kondisi maksimal. Tanah yang memiliki pH antara 5,5-6,5 dan 7,5-8,5 masih bisa digunakan untuk budidaya perikanan, namun tanah dengan nilai pH dibawah 5,5 atau diatas 8,5 tidak bisa digunakan untuk budidaya perikanan karena pada kondisi tersebut produktivitas perairan mengalami penurunan (Boyd 1990). Berdasarkan Tabel 9 jenis tanah yang memiliki nilai pH berkategori Sesuai (S1) adalah Grumosol dan Regosol. Jenis tanah yang memiliki nilai pH berkategori Cukup Sesuai (S2) adalah Aluvial dan Andosol, sedangkan jenis tanah yang memiliki nilai pH berkategori Tidak Sesuai (N) adalah tanah Glei, Litosol dan Regosol. Peta kesesuaian lahan budidaya gurame berdasarkan parameter pH tanah dapat dilihat pada Gambar 12. Wilayah berkategori Sesuai (S1) ditandai dengan warna biru. Wilayah berkategori Cukup Sesuai (S2) ditandai dengan warna kuing, sedangkan wilayah berkategori Tidak Sesuai (N) ditandai dengan warna oranye. Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 14.
37
Gambar 12. Peta pH Tanah
Kategori
Tabel 14. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan pH Tanah Luas Lahan (ha) Persentasi (%)
Sesuai (S1)
26.783
22,86
Cukup Sesuai (S2)
32.925
28,10
Tidak Sesuai (N)
57.448
49,04
Tanah yang memiliki pH rendah (masam) dapat diperbaiki dengan proses pengapuran ketika tahap persiapan kolam. Pada tahap pengapuran tanah pada dasar kolam ditaburi kapur tohor dengan dosis tertentu sehingga tingkat keasamannya akan bertambah.
38
4.2.3
Kandungan Bahan Organik Bahan organik pada dasar kolam dapat menjadi sumber makanan bagi
organisme bentos sehingga berpengaruh terhadap kesuburan perairan. Kandungan bahan organik tanah dapat diketahui melalui persentasi kandungan karbon organik (Zalina 2011). Tanah dengan kandungan karbon organik 1,5-2,5% sangat berpotensi untuk budidaya perikanan karena produktivitas perairan pada konsentrasi karbon organik tersebut berada dalam kondisi maksimal. Tanah dengan kandungan karbon organik 0,5-1,5% masih bisa digunakan untuk budidaya perikanan, sedangkan tanah dengan kandungan organik dibawah 0,5% atau diatas 2,5% tidak bisa digunakan karena kurang berpotensi untuk budidaya perikanan (Boyd 1990). Berdasarkan Tabel 9 jenis tanah yang memiliki kandungan karbon organik berkategori Sesuai (S1) adalah Aluvial, Andosol, Glei dan Regosol. Jenis tanah yang memiliki nilai pH berkategori Cukup Sesuai (S2) adalah Grumosol dan Latosol, sedangkan jenis tanah yang memiliki nilai pH berkategori Tidak Sesuai (N) adalah tanah Litosol. Peta kesesuaian lahan budidaya gurame berdasarkan parameter kandungan karbon organik dapat dilihat pada Gambar 13. Wilayah yang berkategori Sesuai (S1) ditandai dengan warna hijau tua. Wilayah berkategori Cukup Sesuai (S2) ditandai dengan warna hijau muda, sedangkan wilayah berkategori Tidak Sesuai (N) ditandai dengan warna abu-abu. Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 15.
39
Gambar 13. Peta Kandungan Karbon Organik Tanah
Tabel 15. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan Kandungan Bahan Organik Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%) Sesuai (S1)
56.045
47,84
Cukup Sesuai (S2)
59.472
50,76
1.640
1,40
Tidak Sesuai (N)
Tanah yang memiliki kandungan bahan organik rendah dapat diperbaiki dengan proses pemupukan pada saat persiapan kolam atau ketika pemeliharaan ikan. Pupuk yang diberikan biasanya berupa pupuk kandang sehingga bisa meningkatkan kesuburan perairan. Perlakuan lain yang bisa diterapkan adalah penggunaan teknologi perikanan yang lebih maju seperti bioflok atau probiotik.
40
4.3
Kualitas Air Sungai di Kabupaten Majalengka berperan sebagai sumber air utama untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat seperti industri, perikanan dan pertanian. Salah satu sungai besar yang melalui Kabupaten Majalengka adalah Sungai Cimanuk dengan anak sungai yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Majalengka. Data kualitas air Kabupaten Majalengka adalah data primer yang diperoleh melalui pengukuran langsung di lokasi penelitian. Titik pengukuran berjumlah 11 titik yang terletak pada sungai-sungai besar di Kabupaten Majalengka (Gambar 14). Data hasil pengukuran kualitas air dapat dilihat pada Tabel 16.
Gambar 14. Titik Pengukuran Data Kualitas Air
41
Tabel 16. Data Kualitas Air Sungai Kabupaten Majalengka No
1
Nama
Titik
Suhu Air
Sungai
Koordinat
(ºC)
Cimanuk
108º 9' 47" BT
26,4
(hulu) 2
3
4
pH Air
DO
Kecerahan
Debit
(mg/L)
(cm)
(m³/detik)
8,17
7,7
4
50,608
27,0
7,37
4,4
5
tidak ada data
27,0
6,90
5,6
9
tidak ada data
26,4
7,05
5,2
6
4,749
26,8
7,40
5,2
10
tidak ada data
28,2
7,62
7,7
13
10,68
27,0
7,40
6,0
15
6,36
26,4
7,42
6,4
10
tidak ada data
26,2
7,81
5,4
8
0,8
25,4
7,46
6,6
27
19,9
25,7
7,57
4,8
5
141,308
6º 45' 58" LS
tidak ada data
108º 10' 3" BT
tidak ada data
108º 11' 50" BT
Cideres
108º 12' 10" BT
6º 43' 53" LS
6º 45' 40" LS
6º 45' 30" LS 5
Cisambeng
108º 13' 50" BT 6º 44' 30" LS
6
Cikeruh
108º 16' 50" BT 6º 43' 30" LS
7
Ciwaringin
108º 22' 0" BT 6º 42' 0" LS
C8
Cipondoh
108º 12' 10" BT 6º 49' 40" LS
9
Cijurei
108º 11' 50" BT 6º 49' 0" LS
10
Cilutung
108º 16' 45" BT 6º 58' 30" LS
11
Cimanuk (hilir)
108º 13' 30" BT 6º 39' 0" LS
Sumber : Data Primer, BPLH Kabupaten Majalengka 2013
Suhu perairan berpengaruh terhadap proses metabolisme yang berlangsung dalam tubuh ikan dan secara tidak langsung ikut berpengaruh pula terhadap tingkat konsumsi ikan terhadap pakan. Pada suhu 29-30°C tingkat konsumsi ikan terhadap pakan berada dalam kondisi optimal (Gusrina 2008), sehingga perairan dengan kisaran suhu tersebut digolongkan ke dalam kategori Sesuai (S1). Pada suhu 24-28°C gurame bisa tumbuh dengan baik (Mahyuddin 2009), sehingga perairan dengan kisaran suhu tersebut digolongkan ke dalam kategori Cukup Sesuai (S2). Suhu dibawah 24°C atau diatas 30°C digolongkan ke dalam kategori
42
Tidak Sesuai (N) karena pada suhu tersebut tingkat konsumsi ikan terhadap pakan mengalami penurunan. Berdasarkan data hasil pengukuran kualitas air, suhu air sungai di Kabupaten Majalengka berkisar antara 25,4-28,2°C sehingga tergolong ke dalam kategori Cukup Sesuai (S2). Nilai derajat keasaman (pH) perairan berpengaruh terhadap kondisi organisme yang hidup pada perairan tersebut. Nilai pH yang terlalu asam atau terlalu basa dapat menimbulkan kematian bagi ikan dan organisme perairan lainnya. Nilai pH yang sesuai untuk budidaya perikanan berkisar antara 7-8 (Gusrina 2008). Nilai pH yang masih bisa diterima oleh gurame adalah 6,5 (Mahyuddin 2009), sedangkan nilai pH dibawah 6,5 tidak sesuai untuk budidaya gurame. Berdasarkan data hasil pengukuran kualitas air, pH air sungai di Kabupaten Majalengka berada pada kategori Sesuai (S1), kecuali pada titik pengukuran 1 yang bernilai 8,17 dan titik pengukuran 3 yang bernilai 6,90. Oksigen dibutuhkan oleh setiap makhluk hidup untuk bernapas. Ikan mendapatkan oksigen dalam bentuk oksigen terlarut (DO). Kandungan DO yang optimal untuk budidaya ikan adalah 4-9 mg/L (Gusrina 2008). Gurame memiliki organ pernapasan tambahan yang disebut labirin sehingga masih bisa hidup pada perairan dengan kandungan DO hingga 2 mg/L, namun perairan dengan kandungan DO kurang dari 2 mg/L tidak bisa digunakan untuk budidaya gurame (Mahyuddin 2009). Berdasarkan data hasil pengukuran kualitas air, kandungan DO air sungai di Kabupaten Majalengka berada pada kategori Sesuai (S1), yaitu berkisar antara 4,4-7,7 mg/L. Kecerahan merupakan ukuran tingkat transparansi perairan yang diukur dengan alat berupa kepingan yang dinamakan secchi disk. Air yang digunakan untuk budidaya ikan harus jernih tetapi tetap mengandung plankton. Air yang terlalu keruh tidak bisa digunakan untuk budidaya karena akan menurunkan daya pandang ikan, daya ikat oksigen dan selera makan ikan. Nilai kecerahan yang sesuai untuk budidaya gurame adalah 30-45 cm karena pada nilai tersebut perairan berada dalam kondisi yang baik. Kecerahan yang masih bisa diterima untuk budidaya gurame adalah 20-30 cm dan 45-60 cm. Pada kecerahan dibawah 20 cm air terlalu keruh sehingga tidak baik untuk kondisi ikan, sedangkan pada
43
kecerahan di atas 60 cm air terlalu jernih karena kandungan plankton mengalami penurunan (Boyd 1990). Berdasarkan data hasil pengukuran kualitas air, nilai kecerahan air sungai di Kabupaten Majalengka berada pada kategori Tidak Sesuai (N), yaitu berkisar antara 4-15 cm kecuali pada titik pengukuran 10 yang bernilai sebesar 27 cm. Hal ini terjadi karena pengukuran kualitas air dilakukan di sungai besar yang menampung sedimentasi dari sungai-sungai kecil disekitarnya, sehingga memiliki tingkat kekeruhan yang tinggi. Setiap parameter diolah menggunakan ArcGIS 9.3 dengan proses digitasi sehingga menghasilkan pemetaan kualitas air secara keseluruhan (Gambar 15). Wilayah yang berkategori Sesuai (S1) ditandai dengan warna biru muda. Wilayah berkategori Cukup Sesuai (S2) ditandai dengan warna hijau, sedangkan wilayah berkategori Tidak Sesuai (N) ditandai dengan warna biru tua. Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 17.
Gambar 15. Peta Kualitas Air
44
Tabel 17. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan Kualitas Air Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%) Sesuai (S1) Cukup Sesuai (S2) Tidak Sesuai (N)
50.621
43,21
457
0,39
66.078
56,40
Kualitas air dapat diperbaiki dengan perlakuan sebagai berikut : 1. Perairan yang memiliki pH rendah dapat diperbaiki dengan proses pengapuran pada saat persiapan kolam. Pengapuran dapat meningkatkan nilai pH perairan sehingga dapat mencapai nilai yang optimal. 2. Perairan yang memiliki kandungan DO rendah dapat diperbaiki dengan perlakuan yang dapat meningkatkan difusi oksigen dengan air seperti penggunaan kincir air, air terjun buatan, aerasi, dll. 3. Air yang terlalu keruh dapat dijernihkan dengan proses pengendapan sebelum air digunakan untuk budidaya.
4.4 4.4.1
Kondisi Infrastruktur Jarak dari Jalan Berdasarkan peta rencana jaringan jalan yang diperoleh dari BAPPEDA
Kabupaten Majalengka (Lampiran 6), jalan di Kabupaten Majalengka terdiri dari jalan arteri, jalan kolektor dan jalan lokal yang telah menjangkau ke setiap desa. Lahan yang sesuai untuk budidaya gurame tidak boleh terlalu jauh dari jalan agar tidak menyulitkan transportasi. Lokasi lahan maksimal berjarak 500 m dari jalan. Jarak yang masih bisa diterima adalah 1000 m dari jalan (Hossain et al. 2007). Metode geoprocessing yang digunakan untuk mengolah peta jaringan jalan adalah metode buffering. Hasil buffering adalah pemetaan wilayah yang berjarak 500 dan 1000 m dari jalan (Gambar 16). Wilayah yang berkategori Sesuai (S1) ditandai dengan warna hitam. Wilayah yang berkategori Cukup Sesuai (S2) ditandai dengan warna merah muda, sedangkan wilayah berkategori Tidak Sesuai (N) ditandai dengan warna abu-abu. Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 18.
45
Gambar 16. Hasil Buffering Peta Jaringan Jalan
Tabel 18. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan Jaringan Jalan Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%) Sesuai (S1)
98.904
84,42
Cukup Sesuai (S2)
16.118
13,76
2.135
1,82
Tidak Sesuai (N)
46
4.4.2
Kepadatan Penduduk Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka (2012)
Jumlah penduduk Kabupaten Majalengka adalah 1.171.478 jiwa yang tersebar di 26 kecamatan. Kecamatan yang memiliki tingkat kepadatan tertinggi adalah Kecamatan Jatiwangi dengan kepadatan 2.071 jiwa/km², sedangkan kecamatan dengan kepadatan terendah adalah Kecamatan Kertajati dengan kepadatan penduduk 305 jiwa/km² (Tabel 19). Data diolah menggunakan ArcGis 9.3 dengan proses digitasi menghasilkan pemetaan kepadatan penduduk Kabupaten Majalengka yang dapat dilihat pada Gambar 17. Wilayah berkategori Sesuai (S1) mempunyai kepadatan penduduk di bawah 1000 jiwa/km². Wilayah berkategori Cukup Sesuai (S2) mempunyai kepadatan penduduk berkisar antara 1000-1500 jiwa/km. Wilayah berkategori Tidak Sesuai (N) mempunyai kepadatan penduduk diatas 1500 jiwa/km² (Hossain et al. 2007). Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 20.
47
No
Tabel 19. Data Kepadatan Penduduk Kabupaten Majalengka Kecamatan Kepadatan Penduduk (jiwa/km²)
1
Lemahsugih
731
2
Bantarujeg
644
3
Malausma
911
4
Cikijing
5
Cingambul
971
6
Talaja
999
7
Banjaran
571
8
Argapura
554
9
Maja
747
10
Majalengka
1217
11
Cigasong
1421
12
Sukahaji
1224
13
Sindang
600
14
Rajagaluh
15
Sindangwangi
957
16
Leuwimunding
1709
17
Palasah
1182
18
Jatiwangi
2071
19
Dawuan
1885
20
Kasokandel
1464
21
Panyingkiran
1294
22
Kadipaten
1991
23
Kertajati
305
24
Jatitujuh
690
25
Ligung
903
26
Sumberjaya
1380
1207
1739
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka 2012
48
Gambar 17. Peta Kepadatan Penduduk
Tabel 20. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan Kepadatan Penduduk Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%) Sesuai (S1)
76.615
65,39
Cukup Sesuai (S2)
26.358
22,50
Tidak Sesuai (N)
14.184
12,11
49
4.4.3
Jarak ke Sumber Listrik Peta jaringan listrik Kabupaten Majalengka diperoleh dari PLN Kabupaten
Majalengka. Lahan yang sesuai untuk budidaya gurame tidak boleh terlalu jauh dari sumber listrik. Lokasi lahan maksimal berjarak 200 m dari sumber listrik, sedangkan jarak yang masih bisa diterima adalah 500 m dari sumber listrik (Hossain et al. 2007). Metode geoprocessing yang digunakan untuk mengolah peta jaringan listrik adalah metode buffering. Hasil buffering adalah pemetaan wilayah yang berjarak 200 dan 500 m dari sumber listrik (Gambar 18). Wilayah yang berkategori Sesuai (S1) ditandai dengan warna merah. Wilayah yang berkategori Cukup Sesuai (S2) ditandai dengan warna hijau, sedangkan wilayah berkategori Tidak Sesuai (N) ditandai dengan warna biru tua. Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 21.
Gambar 18. Hasil Buffering Peta Jaringan Listrik
50
Tabel 21. Luas Lahan Setiap Kategori Berdasarkan Jaringan Listrik Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%) Sesuai (S1)
24.773
21,14
Cukup Sesuai (S2)
31.841
27,18
Tidak Sesuai (N)
60.542
51,68
4.5
Lahan Potensial Budidaya Gurame Data dari setiap parameter diolah dengan metode overlay menggunakan
ArcGis 9.3 sehingga menghasilkan sebuah pemetaan lahan potensial budidaya gurame. Interval kelas lahan potensial budidaya gurame ditentukan berdasarkan rumus interval kelas (Selamat 2007 dalam Nurdin et al. 2008). Perhitungan rumus selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8. Hasil akhir overlay adalah peta kesesuaian lahan budidaya gurame yang dapat dilihat pada Gambar 19. Wilayah berkategori Sesuai (S1) ditandai dengan warna biru. Wilayah berkategori Cukup Sesuai (S2) ditandai dengan warna kuning, sedangkan wilayah berkategori Tidak Sesuai (N) ditandai dengan warna merah. Luas lahan dari setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 22.
51
Gambar 19. Peta Kesesuaian Lahan Budidaya Gurame
Tabel 22. Luas Lahan Setiap Kategori Kesesuaian Kategori Luas Lahan (ha) Persentasi (%) Sesuai (S1)
13.265
11,32
Cukup Sesuai (S2)
36.738
31,36
Tidak Sesuai (N)
67.153
57,32
Berdasarkan SNI 01-7241-2006 tingkat optimal padat tebar gurame pada tahap pembesaran adalah 5-7 ekor/m² dengan sintasan berkisar antara 85-95%. Jika lahan berkategori Sesuai (S1) dimanfaatkan seluruhnya untuk budidaya gurame, maka lahan tersebut dapat menghasilkan produksi gurame sebanyak 289.531 ton/tahun pada tingkat kepadatan 5 ekor/m² dan sintasan sebesar 85%.
52
4.6
Pengamatan Lapangan Pengamatan lapangan (ground check) dilakukan pada akhir penelitian
sebagai tahap evaluasi. Pengamatan dilakukan pada 3 titik yang mewakili setiap kelas kesesuaian lahan budidaya gurame. Kelas Sesuai (S1) diwakili oleh titik 1 yang berlokasi di Kecamatan Panyingkiran. Kelas Cukup Sesuai (S2) diwakili oleh titik 2 yang berlokasi di Kecamatan Leuwimunding. Kelas Tidak Sesuai (N) diwakili oleh titik 3 yang berlokasi di Kecamatan Kadipaten. Data hasil pengamatan lapangan dapat dilihat pada Tabel 23. Foto dokumentasi pengamatan lapangan dapat dilihat pada Lampiran 9, sedangkan peralatan yang digunakan pada saat pengamatan lapangan dapat dilihat pada Lampiran 10.
Tabel 23. Data Kualitas Air Pada Pengamatan Lapangan No
Lokasi
Titik Koordinat
Pengamatan 1
2
3
Suhu Air
pH Air
(ºC)
Kecamatan
108º 11' 42" BT
Panyingkiran
6º 48' 51" LS
Kecamatan
108º 20' 20" BT
Leuwimunding
6º 45' 1" LS
Kecamatan
108º 9' 30" BT
Kadipaten
6º 44' 53" LS
DO
Kecerahan
(mg/L)
(cm)
26,4
7,21
5,8
25
27
7,86
6,3
30
26,8
7,52
5,4
4