BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Tingkat Kecerahan Warna Timbulnya warna ikan secara alami disebabkan tersedianya karotenoid dari makanan alami (Simpson et al. 1981 dalam Utomo dkk 2006), sedangkan sumber karotenoid bagi ikan yang dipelihara dalam media pemeliharaan berasal dari pakan buatan yang jumlahnya sedikit. Karotenoid tidak dapat disintesa di dalam tubuh hewan sehingga harus ditambahkan ke dalam pakan (Fuji dalam Utomo 2006).Penambahan bahan karotenoid yang terkandung dalam ekstrak ubi jalar merah ke dalam pakan dapat mempengaruhi kecerahan warna tubuh benih ikan koi jenis kohaku. Sesuai dengan pernyataan Bachtiar (2002) pakan yang mengandung pigmen atau zat warna tertentu seperti karoten, jika diberikan bersama dengan pakan buatan akan mampu menambah jumlah pigmen dalam ikan koi, sehingga warna koi akan semakin jelas atau terang. Warna ikan koi diidentifikasi dengan menggunakan alat pembanding standard warna Toca Colour Finder yang telah diberi skor (Lampiran 8). Warna ikan koi untuk semua perlakuan setiap minggunya mengalami perubahan yang berfluktuasi. Perbedaan tersebut disebabkan oleh pemberian sumber karoten yang berbeda-beda dalam pakan yang diberikan pada masing-masing perlakuan, respon terhadap pakan yang berbeda, dan perbedaan daya serap ikan koi terhadap zat karoten yang terdapat dalam pakan (Lesmana dan Sugito 1997). Berdasarkan hasil penelitian, perubahan peningkatan kecerahan warna pada semua perlakuan berfluktuasi setiap minggunya (Gambar 5). Peningkatan warna ini terjadi karena zat karotenoid dalam pakan sudah dapat diserap oleh tubuh ikan koi. Peningkatan kecerahan tertinggi terdapat pada perlakuan C (200 ppm ekstrak ubi jalar merah). Peningkatan tertinggi tersebut terjadi pada minggu ketiga. Sesuai dengan pernyataan Lesmana (2002), warna ikan setelah tiga minggu akan menunjukkan hasil yang sudah maksimal dan relatif stabil setelahnya. Pada penelitian ini, konsentrasi 200 ppm merupakan konsentrasi maksimal yang dapat diterima oleh tubuh ikan koi. Hal tersebut dapat dilihat pada
24
25
Gambar 5, bahwa dengan meningkatmya perlakuan, tidak memberikan peningkatan yang lebih tinggi dibanding perlakuan C. Penelitian Utomo dkk (2006), memperlihatkan bahwa pemberian spirulina sebanyak 1% memberikan pengaruh yang lebih efektif dibanding 3% dan 5%. Penelitian Alma et al., memperlihatkan bahwa pemberian karotenoid yang lebih tinggi dari konsentrasi 200 ppm tidak memberikan peningkatan kecerahan yang lebih tinggi. Hal tersebut membuktikan bahwa kadar yang lebih rendah sudah mencukupi kebutuhan karotenoid pada ikan koi yang mengartikan bahwa pada perlakuan dengan konsentrasi 200 ppm merupakan perlakuan maksimal yang dapat diterima oleh tubuh ikan koi. Selain itu, metobolisme pun berperan dalam pigmentasi pada ikan. Vasudhevan (2013) menyatakan bahwa pigmentasi pada ikan dipengaruhi oleh metabolisme ikan itu sendiri. Pada perlakuan 200 ppm ekstrak ubi jalar merah, ikan dapat memetabolisme zat karotenoid lebih efektif dibanding perlakuan lainnya. Pada konsentrasi yang lebih tinggi, karotenoid berlebih tidak akan dicerna oleh ikan koi melainkan akan dibuang melalui feses. Artinya ikan koi pada penelitian ini mempunyai batas maksimal daya serap karotenoid. Menurut Sulawesty (1997) dalam Kusuma (2012), ikan mempunyai batas maksimal penyerapan karotenoid. Penelitian Alma et al.(2013), memperlihatkan bahwa penambahan karotenoid yang terkandung dalam bunga marigold dengan konsentrasi 200 ppm yang diberikan pada ikan mas koki memberikan peningkatan kecerahan warna tertinggi dibanding perlakuan lainnya. Setelah minggu ketiga, perlakuan C (200 ppm ekstrak ubi jalar merah) dan perlakuan D (300 ppm ekstrak ubi jalar merah) mengalami penurunan nilai ratarata warna.Hal tersebut terjadi karena perlakuan C dan D telah memasuki fase maksimal penyerapan karotenoid oleh tubuh ikan pada minggu ketiga. Menurut Sulawesty (1997) dalam Kusuma (2012), penambahan karotenoid dalam pakan mempunyai batas maksimal, artinya pada titik tertentu tidak akan meningkatkan kecerahan warna bahkan mungkin warnanya akan menurun. Hasil penelitian Alma et al.(2013), menunjukkan bahwa pemberian karotenoid yang terkandung dalam bunga marigold yang diberikan pada ikan mas koki dengan konsentrasi 200 ppm dan 300 ppm mengalami penurunan warna setelah minggu ketiga.
26
Pada perlakuan B (100 ppm ekstrak ubi jalar merah) setelah minggu ketiga masih terjadi peningkatan warna. Hal tersebut terjadi karena pada konsentrasi 100 ppm belum dapat mencukupi kebutuhan karotenoid pada tubuh ikan sehingga penyerapan karotenoid dalam tubuh ikan uji pada perlakuan B belum mencapai batas penyerapan maksimal. Hasil maksimal pada perlakuan B terlihat pada minggu keempat, kemudian stabil sampai minggu terakhir. Hasil penelitian Amin (2012) menunjukkan bahwa pemberian karotenoid dengan konsentrasi 100 ppm baru menunjukkan hasil maksimal setelah pemeliharaan selama tiga minggu atau setelah 21 hari dan relatif stabil setelahnya.
Perubahan Tingkat Kecerahan 3 2,73
Indeks TCF
2,5
2,4
2 1,5
1,34
1 0,5 0 -0,5
0,87 0,53
0,67 00,06
0 0
0,2 -0,07
1
2
1,87
1,87
1,14 1
1,34 1,13 1
Perlakuan A (Kontrol) Perlakuan B (100 ppm) Perlakuan C (200 ppm) Perlakuan D (300 ppm)
0,2
-0,07 3
2,47
2,33
2,2
4
Perlakuan C (400 ppm) 5
Minggu ke-
Gambar 5. Grafik PerubahanTingkat Kecerahan Warna Benih Koi Selama 5 Minggu
Pada Gambar 5, perlakuan A (Kontrol), terjadi peningkatan pada minggu keempat sampai minggu kelima. Terjadinya peningkatan tersebut diduga karena pada perlakuan A terdapat bahan karoten lain yaitu pada tepung ikan yang mengandung β-karoten (Satyani et al. 1993 dalam Gunawan 2005) yang secara tidak langsung mempengaruhi perubahan warna ikan koi pada perlakuan A. Hasil penelitian Amin (2012) memperlihatkan bahwa pemeliharaan udang red cherry pada perlakuan kontrol terjadi peningkatan pada akhir pemeliharan yang disebabkan oleh adanya sumber karotenoid lain yaitu tepung ikan.
27
Berdasarkan hasil analisis uji Kruskal-Wallis (Uji H) dari data pengamatan (Tabel 2 dan Lampiran 10), memperlihatkan bahwa penambahan ekstrak ubi jalar merah dalam pakan tidak memberikan perberbedaan yang nyata antar perlakuan. Namun jika dilihat dari grafik peningkatan, pemberian ekstrak ubi jalar merah dalam pakan dapat meningkatkan kecerahan warna pada ikan koi sampai pada konsentrasi 200 ppm.
Tabel 2. Nilai Kecerahan Warna Ikan Koi No
Perlakuan
Nilai Rata-Rata
Signifikansi
1
A (Ekstrak Ubi Jalar Merah 0 ppm)
31,87
a
2
B (Ekstrak Ubi Jalar Merah 100 ppm)
32,97
a
3
C (Ekstrak Ubi Jalar Merah 200 ppm)
46,90
a
4
D (Ekstrak Ubi Jalar Merah 300 ppm)
42,33
a
5
E (Ekstrak Ubi Jalar Merah 400 ppm)
36,5
a
Keterangan : F hitung < F tabel, berdasarkan analisis Uji Kruskal-Wallis (Uji H) pada tingkat kepercayaan 95% tidak berbeda nyata.
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat dikatakan bahwa penambahan ekstrak ubi jalar merah dalam pakan buatan dapat meningkatkan kecerahan warna pada beih ikan koi. Hasil penelitian Alma et al. (2013), menunjukkan bahwa pemberian
karotenoid
yang
terkandung
dalam
bunga
marigold
dapat
meningkatkan kecerahan warna pada ikan mas koki. Somanath dan Jasmin (2013), pemberian sumber karotenoid dalam tepung bunga rosella dan spirulina dapat meningkatkan kecerahan warna pada ikan mas koki.
4.2 Pertumbuhan Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah pertumbuhan bobot mutlak. Pertumbuhan bobot mutlak merupakan parameter penunjang
yang
diamati untuk mengetahui pengaruh ekstrak ubi jalar merah yang dicampur kedalam pakan buatan terhadap pertumbuhan benih ikan koi. Pengukuran
28
pertumbuhan dilakukan pada seluruh ikan uji selama 5 minggu. Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh data pertumbuhan seperti yang tertera pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa penambahan ekstrak ubi jalar merah yang berdaging umbi jingga dalam pakan buatan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan benih ikan koi kohaku. Hasil analisis ragam (Uji F) memperlihatkan bahwa pertambahan bobot mutlak pada perlakuan yang ditambahkan ekstrak ubi jalar merah dengan perlakuan tanpa pemberian ekstrak ubi jalar merah tidak berbeda nyata antar perlakuan (Lampiran 13).
Tabel 3. Pertambahan Bobot Mutlak Ikan Koi Kohaku Perlakuan Pertambahan Bobot Mutlak (gram) Signifikansi a A 1.19 a B 2.06 a C 2.30 a D 1.24 a E 2.10 Keterangan : F hitung < F tabel, berdasarkan analisis ragam (Uji F) pada tingkat kepercayaan 95% tidak berbeda nyata.
Karoteniod yang terkandung dalam ekstrak ubi jalar merah tidak menghambat pertumbuhan ikan koi melainkan dapat meningkatkan kecerahan warna pada ikan koi. Sesuai dengan pernyataan Alma et al. (2013), Rema dan Gouveia (2005), Yesilayer et al. (2011), Utomo dkk. (2006), pemberian sumber karotenoid yang diberikan pada ikan mas koki tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan.
4.3 Kualitas Air Salah satu faktor yang sangat penting dalam budidaya ikan hias adalah kualitas air. Kualitas air dapat mempengaruhi kelangsungan hidup ikan budidaya. Selain itu kualitas air sangat berpengaruh terhadap warna ikan hias. Beberapa parameter kualitas air yang diukur dalam penelitian ini adalah suhu, pH, oksigen
29
terlarut (DO), dan kadar ammonia (NH3). Hasil pengukuran kualitas air selama penelitian untuk masing-masing parameter disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Kisaran Parameter Kualitas Air Selama Penelitian Parameter Kualitas Air
Perlakuan Suhu (oC)
pH
DO (mg/L)
Amonia (mg/L)
A
24,3 - 25,6
8,36 - 8,43
7,96 - 8,30
0,25 - 0,50
B
24,0 - 24,3
8,78 - 8,89
7,80 - 8,16
0,25 - 0,50
C
25,0 - 25,3
8,79 - 8,92
7,60 - 8,06
0,25 - 0,50
D
25,6 - 26,3
8,76 - 8,81
8,33 - 8,63
0,25 - 0,50
E
24,6 - 25,6
8,10 - 8,78
7,10 - 7,30
0,25 - 0,50
24 - 28
6,5 – 7,4
5-7
< 1mg/L (Spotte
Optimal
(Bachtiar 2002)
1970 dalam Amin 2012)
Berdasarkan hasil pengukuran kualitas air yang diperoleh selama penelitian secara umum masih dalam kisaran yang baik untuk menunjang kehidupan benih ikan koi. Menurut Bachtiar (2002) suhu yang optimal untuk ikan koi yaitu sekitar 24oC - 28oC.Suhu yang terdapat pada media pemeliharaan berkisar antara 24,3oC - 26,3oC dan masih dalam kisaran optimal, artinya suhu pada media pemeliharaan merupakan suhu yang optimal dan mendukung kehidupan benih ikan koi selama penelitian. Derajat keasaman (pH) air yang optimal untuk koi yaitu sekitar 5 – 7. Derajat keasaman (pH) selama penelitian berkisar antara 8,10 – 8,92. Dalam kondisi ini derajat keasaman (pH) dalam media pemeliharaan masih dibawah batas tertinggi yaitu 11 (Lesmana 2002), sehingga ikan dalam media pemeliharaan masih dapat hidup dengan normal. Untuk koi, pH terlalu tinggi akan menyebabkan adanya gesekan antar lendir sehingga ikan banyak yang rusak. Jika terlalu rendah, koi tidak berselera makan. Secara otomatis pH yang terlalu rendah atau terlalu tinggi akan menyebabkan ikan stress dan warna koi menjadi kabur (Bachtiar 2002).
30
Kandungan oksigen terlarut (DO) selama penelitian berkisar antara 7,10 – 8,63 mg/L. Menurut Bachtiar (2002) kandungan oksigen yang baik untuk koi yaitu sekitar 5 – 7 mg/L. Kadar oksigen terlarut diatas 7 mg/L, koi akan sering memanfaatkan oksigen sehingga insang cepat bekerja, keadaan ini akan memacu koi cepat mati karena kandungan oksigen dalam pembuluh darah meningkat. Pembuluh darah yang banyak mengandung oksigen akan menimbulkan gelembung udara di sekujur tubuh koi atau di bagian-bagian tertentu tubuh koi yaitu di sekitar perut, punggung, atau kepala. Akibatnya kulit akan menggelembung ke luar tubuh dan mengubah warna kulit (Bachtiar 2002). Dalam media pemeliharaan, oksigen terlarut terlalu tinggi, tetapi masih dalam batas toleransi ikan koi sehingga ikan koi masih dapat hidup. Kada ammonia (NH3) selama penelitian berkisar antara 0,25 – 0,50 mg/L kadar ammonia yang terlalu tinggi merupakan racun yang berbahaya bagi kehidupan ikan . Kadar ammonia akan semakin tinggi jika populasi meningkat dan berpengaruh terhadap nafsu makan koi (Bachtiar 2002). Dalam media pemeliharaan, kadar ammonia tidak teralu tinggi sehingga ikan uji dapat hidup dengan normal. Menurut Spotte (1970) dalam Amin (2012) kadar standard ammonia dalam kegiatan budidaya adalah lebih kecil dari 1 mg/L.