BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
PENELITIAN PENDAHULUAN
4.1.1. Komposisi Kimia Ampas Kulit Nanas Penelitian pendahuluan pertama dilakukan untuk mengetahui karakteristik bahan baku yang akan digunakan, yaitu ampas kulit nanas. Ampas tersebut merupakan limbah dari proses produksi nanas kaleng. Limbah tersebut berupa kulit nanas hasil pengupasan yang kemudian diperas untuk diambil air buahnya, sehingga tersisa ampasnya. Hasil analisis proksimat dan beberapa analisis tambahan dari bahan baku disajikan dalam Tabel 5 berikut.
Tabel 5. Komposisi kimia ampas kulit nanas (dalam % w/w bobot kering) Penelitian sebelumnya Parameter uji Hasil Penelitian (a) (b) Kadar abu 3.51 3.8 4.2 Kadar protein kasar 4.93 4.5 3.3 Kadar serat kasar 33.25 15.8 14.2 Kadar lemak kasar 1.82 1.6 1.7 Gula pereduksi 6.62 Kadar lignin 7.31 (c) Sidharta (1989) (d) Hartadi et al. (1989)
Karakteristik ampas kulit nanas menjadi bahan pertimbangan utama untuk memilih kapang fermentasi yang tepat untuk bahan tesebut. Hasil penelitian menunjukkan kadar abu bahan cukup rendah 3.51%, lebih kecil dibandingkan dengan dua penelitian sebelumnya. Kemudian kadar protein kasar, serat kasar, dan lemak kasar bahan lebih tinggi dibandingkan dua hasil penelitian sebelumnya. Adanya perbedaan komposisi kimia alami ampas kulit nanas dapat disebabkan oleh perbedaan varietas, genetik, usia, dan kondisi lingkungan pertumbuhan tanaman nanas tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa serat kasar merupakan komponen tebesar yang terkandung pada ampas kulit nanas, yaitu sebesar 33.25% BK. Serat kasar adalah bagian dari karbohidrat yang dapat menjadi sumber nutrisi mikroba alternatif untuk proses fermentasi selain gula, pati, lemak dan lainnya. Serat kasar dapat berbentuk selulosa murni, ataupun selulosa yang masih terbungkus dengan zat lain dalam bentuk lignin (lignoselulosa), hemiselulosa dan lain-lain. Hasil analisis kadar lignin bahan cukup tinggi yaitu, 7.31% BK. Hal tersebut menjadi salah satu pertimbangan dalam pemilihan kapang yang akan digunakan untuk fermentasi bahan.
Kadar pati pada bahan tidak dianalisis, karena secara fisik bahan tidak menunjukkan kandungan pati yang tinggi, bahan bukan dari golongan umbi-umbian ataupun biji-bijian dan ciri-ciri umum bahan berpati lainnya. Namun tidak menutup kemungkinan di dalam bahan terdapat kandungan pati, walaupun jumlahnya sangat sedikit. Komposisi bahan menjadi dasar pemilihan mikroba fermentasi yang cocok sebagai sumber protein yang akan ditumbuhkan pada proses fermentasi bahan. Mikroba pendegradasi selulosa dan lignin, adalah pilihan utamanya. Selain itu dibutuhkan mikroba yang mampu tumbuh pada kondisi medium padat, ampas kulit nanas. Kapang adalah kelompok terpenting dari mikroba yang paling sering dugunakan untuk fermentasi medium padat berdasarkan sifat biokimia, enzimologi dan psikologi pertumbuhannya (Raimbault 1998). Gula pereduksi dalam bahan juga masih tersedia cukup, hal tersebut semakin mendukung kemungkinan kapang dapat tumbuh lebih cepat di awal pertumbuhan sebelum enzim pendegradasi disekresikan. Berdasarkan analisis diatas, maka ampas kulit nanas sangat berpotensi sebagai substrat pertumbuhan salah satu mikroba sumber protein, khususnya kapang. Komponen terbesar ampas kulit nanas adalah serat kasar 33.25%, gula pereduksi 6.62%, dan 4.5% protein, ketiganya berpotensi digunakan sebagai sumber substrat pada pertumbuhan kapang. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian khusus untuk memilih jenis kapang yang cocok sebagai sumber protein sel.
4.1.2. Pengeringan Bahan Baku Ampas kulit nanas yang keluar dari proses pengempaan (pressing) memiliki kadar air yang cukup tinggi sekitar 80-85%. Hal tersebut dikarenakan ampas hasil pengempaan perlu didorong dengan air untuk keluar dari saluran penampungan limbah tersebut. Oleh karena itu untuk keperluan pengawetan bahan penelitian, maka dilakukan usaha pengeringan bahan baku. Proses pengeringan tersebut dilakukan dengan pengeringan panas matahari karena keterbatasan oven dengan kapasitas besar. Selama dua hari (enam jam penjemuran per hari) ampas kulit nanas dikeringkan dengan panas matahari, hasilnya dapat menurunkan kadar air bahan dari 84.50% hingga 11.44%. Pengeringan dilakukan dengan memperluas bidang penjemuran bahan dengan ketebalan 1-2 cm, sehingga dalam waktu 12 jam bahan sudah cukup kering dan dapat disimpan untuk beberapa sampel produksi. Namun untuk keperluan produksi skala industri, pengeringan penggunaan panas matahari tidak cocok untuk digunakan karena pertimbangan luas lahan yang dibutuhkan serta kapasitas pengeringan matahari yang tidak menentu sesuai cuaca, sedangkan mikroba di sekitar bahan terus aktif untuk merusak bahan. Modifikasi mesin pengempa ampas nanas bagian akhir serta proses penyaluran bahan menuju tempat penampungan manjadi alternatif solusi, atau dapat juga digunakan sisa steam proses produksi nanas kaleng sebagai sumber panas untuk pengeringan bahan.
4.1.3. Produksi Starter Cair Studi literatur memberikan hasil, bahwa kapang menjadi jenis mikroba terbaik yang dipilih, sesuai dengan kondisi fermentasi yaitu medium padat. Sesuai dengan karakteristik bahan utama maka dipilih empat jenis kapang yang memiliki potensi menjadi inokulum pada proses fermentasi bahan. Keempat jenis kapang yang digunakan adalah; Aspergillus niger, Rhizopus oligosporus, Trichoderma viride, dan Phanerochaete chrysosporium.
Biakan murni dari masing-masing jenis kapang yang berasal dari agar miring (PDA) dipindahkan ke media ekstrak toge cair (ETC) lalu diinkubasi selama tiga hari pada shaker. Ekstrak toge sudah biasa digunakan sebagai media pertumbuhan mikroba dalam skala laboratorium, baik dalam bentuk agar maupun cair. Kandungan vitamin, protein dan sumber karbon pada toge yang cukup baik membuat media toge dipilih sebagai media kultivasi. Pada media toge diberikan campuran gula pasir sebagai sumber gula dan energi yang mudah digunakan oleh mikroba. Keempat jenis starter hasil inkubasi 3 hari memiiki jumlah sel yang seragam pada kisaran 106. Hasil tersebut didapatkan pada pengujian Total Plate Count setelah inkubasi 3 hari. Berdasarkan data tersebut media ETC dapat digunakan untuk pembuatan starter cair pada penelitian selanjutnya. Namun untuk keperluan skala besar perlu peninjauan ulang penggunaan media ETC, terutama dalam kaitannya dengan optimasi biaya produksi.
4.1.4. Uji Efektivitas Inkubator Uji efektivitas inkubator dilakukan untuk menyempurnakan hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Tim Riset GGPC. Penelitian sebelumnya menggunakan satu jenis kapang sebagai inokulum pada fermentasi medium padat yaitu Rhizopus oligosporus dengan berbagai variasi perlakuan. Beberapa hasil penelitian sebelumnya digunakan sebagai acuan pada penelitian ini, diantaranya: - Penggunaan ampas kulit nanas kering sebagai substrat utama pertumbuhan, - Penggunaan kapang jenis Rhizopus oligosporus sebagai salah satu inokulum fermentasi pembanding, - Penambahan nutrien berupa: urea, ammonium sulfat, dan batu fospat sebagai nutrien pemerkaya komposisi substrat, - Penggunaan inkubator sederhana sebagai ruang inkubasi sampel, - Penyiraman sampel saat inkubasi dengan aquades steril 4 ml / hari. Pembahasan khusus penambahan perlakuan penyiraman 4 ml air/ hari. Inkubasi sampel pada inkubator sederhana yang tersedia menunjukkan penurunan kadar air yang cukup tinggi. Aktivitas penurunan kadar air tersebut disebabkan oleh penguapan sampel akibat panas dari lambu bohlam dan kegiatan metabolisme sel, sedangkan air untuk penstabil kelembaban ruangan tidak sepenuhnya bekerja secara baik. Oleh karena itu diperlukan usaha penyiraman sampel untuk memenuhi kebutuhan air untuk pertumbuhan kapang. Air yang digunakan adalah aquades steril untuk meminimalisasi resiko kontaminasi pada sampel. Pada penelitian sebelumnya, sampel tanpa penyiraman saat inkubasi menunjukkan pertumbuhan yang baik selama 3 hari inkubasi, kemudian pada hari ke-4 hingga seterusnya tidak terlihat perbedaan pertumbuhan yang berarti pada sampel. Bahan mengalami penurunan kadar air hingga keberadaan air sangat kurang untuk keperluan metabolisme sel kapang, sehingga pertumbuhan terhenti. Kadar air optimal untuk pertumbuhan dan kebutuhan substrat berkisar antara 40% hingga 70% tetapi juga bergantung pada jenis mikroba dan substrat yang digunakan untuk media kultivasi (Raimbault, 1998). Pada proses fermentasi ini kadar air dipertahankan antara 50-60%. Uji efektivias inkbator. Sampel yang ditumbuhkan di dalam inkubator sederhana menunjukkan pertumbuhan yang lebih cepat dan kompak dibandingkan sampel yag berada di luar inkubator. Hasil ini memberikan kesimpulan bahwa inkubator sederhana yang digunakan sebagai ruang inkubasi memberikan pengaruh yang lebih baik pada pertumbuhan miselium bahan fermentasi. Gambar 8 menunjukkan perbedaan pertumbuhan miselium sampel yang diinkubasi di dalam ruang dan di luar inkubator.
Gambar 8. Penampakan miselium kapang yang dinkubasi di dalam dan di luar ruang Diluar inkubator Uji efektivitas inkubator menunjukkan hasil bahwa inkubator sederhana yang tersedia dapat digunakan untuk inkubasi pada penelitian utama. Keadaan inkubator sederhana dibuat mendekati dengan kondisi yang dibutuhkan oleh kapang-kapang tersebut. Suhu udara di dalam inkubator berkisar antara 30-34oC, tidak stabil karena kondisi lingkungan (khususnya waktu malam, pagi, dan siang hari) masih dapat mempengaruhi kondisi ruang di dalam inkubator. Namun hal tersebut sudah cukup membuat suhu ruang inkubator stabil pada range suhu optimum. Gambar 9 menunjukkan bentuk dan fitur dari inkubator sederhana.
Lampu Bohlam 40 Watt 2 buah Sampel percobaan
Plastik penutup /pelindung Air (menjaga kelembaban) Gambar 9. Inkubator sederhana
4.1.5. Uji Pertumbuhan Miselium Kapang Uji pertumbuhan miselium dilakukan untuk memastikan kemampuan kapang dapat tumbuh baik pada substrat yaitu ampas kulit nanas plus nutrien. Hal tersebut karena indikator meningkatnya kadar protein kasar bahan dilihat dari intensitas miselium yang tumbuh pada bahan. Kadar protein juga cenderung berbanding lurus dengan intensitas pertumbuhan miselium kapang atau jumlah sel yang terbentuk. Keempat jenis kapang tersebut sebenarnya sudah mangalami pengujian pertumbuhan miselium pada uji-uji pendukung sebelumnya. Namun untuk memastikan kembali dilakukan uji pertumbuhan miselium tersendiri dengan perlakuan optimal dari hasil uji pendukung sebelumnya. Keempat jenis starter diinokulasikan pada substrat berupa campuran ampas kulit nanas dengan penambahan nutrien urea, ZA dan batu fosfat. Hasil inkubasi selama 6 hari menunjukkan bahwa kapang jenis A. niger, R. oligosporus, dan T. viride dapat tumbuh dengan baik pada substrat tersebut. Kapang jenis P. chrysosporium tidak dapat tumbuh dengan baik. Inkubasi yang diperpanjang hingga 10 hari juga tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Gambar 10 berikut merupakan hasil uji pertumbuhan miselium dari keempat jenis kapang yang berpotensi untuk digunakan.
Gambar 10. Hasil inkubasi 10 hari uji pertumbuhan pada keempat jenis kapang starter cair Kapang T. viride memiliki warna mencolok, yaitu hijau muda dan sebagian hijau tua. A. niger memiliki warna miselium putih, dengan warna spora hitam. Rhizopus oligosporus memiliki warna dominan putih kecoklatan seperti cream. Namun pada substrat yang diinokulasi dengan starter cair kapang Phanerochaete chrysosporium tidak menunjukkan pertumbuhan yang baik. P. chrysosporium mempunyai kemampuan mendegradasi lignin secara efektif melalui sekresi peroksidase yang mengkatalis oksidasi awal (Hattaka 1994).
Kadar lignin substrat sebenarnya juga cukup tinggi (7.31%) namun proses degradasi lignin substrat tidak terjadi dengan baik, karena miselium yang terbentuk hanya sedikit. Sedangkan jumlah lignin yang terdegradasi bergantung pada jumlah miselia yang dihasilkan selama fase pertumbuhan primer (Suparjo 2010). Pertumbuhan miselium P. chrysosporium dipengaruhi oleh konsentrasi mineral kalsium (Ca) dan mangan (Mn) (Suparjo 2010). Kalsium dan mangan dibutuhkan fungi dalam jumlah yang berbeda. Penelitian yang dilakukan Suparjo (2010) menggunakan P. chrysosporium pada fermentasi substrat kulit buah kakao menghasilkan optimasi penggunaan Mn dan Ca dengan konsentrasi terbaik 1190 ppm dan 100 ppm, dengan hasil yang berbeda nyata dengan kondisi awal tanpa penambahan kedua mineral tersebut. Kemampuan mendegradasi lignin oleh P. chrysosporium juga dipengaruhi oleh kondisi nutrien substrat. Perombakan lignoselulosa (lignin) terjadi pada fase pertumbuhan stationer sebagai metabolit sekunder (Li et al. 1994) setelah pertumbuhan primer terhenti akibat keterbatasan nutrien dalam substrat. Status metabolik sekunder lebih dipacu oleh pembatasan ketersediaan karbon dan fosfor daripada pembatasan nitrogen (Jeffries et al. 1981). Sedangkan pada percobaan ini diberikan penambahan fospat (batu fospat) yang cukup tinggi, 1.25 gram per 50 gram campuran substrat. Oleh karena itu perlu pengkajian lebih lanjut optimasi proses fermentasi ampas nanas menggunakan kapang jenis P. chrysosporium. Ketiga jenis kapang lainnya dapat tumbuh dengan baik karena terdapat kecocokan sifat kapang dengan karakteristik bahan baku dan kondisi fermentasi yang sesuai dengan fisiologi fermentasi kapang tersebut. Kondisi fermentasi yang utama mempengaruhinya adalah suhu ruangan yang digunakan berkisar antara 30-34oC. suhu tersebut berada dibawah suhu optimal pertumbuhan kapanag jenis P. chrysosporium yaitu sebesar 40oC, sehingga proses pertumbuhan menjadi kurang baik dibandingkan kapang jenis lainnya. Ampas nanas masih cukup kaya akan nutrisi yang dibutuhkan oleh mikroorganisme, khususnya dengan kandungan serat kasar mencapai 33.25% dan gula pereduksi 6.62%. Kecocokan antara sifat bahan baku dengan jenis kapang sangat mempengaruhi kemampuan tumbuh kapang. T. viride dapat tumbuh dengan baik pada substrat tersebut. T. viride dengan sifat selulitik menghasilkan selulase untuk mendegradasi komponen selulosa pada bahan. Hal tersebut didukung oleh struktur kristal lignoselulosa bahan yang terpotong-potong pada perlakuan sterilisasi bahan. Pengukusan mampu meningkatkan ketersediaan energi karena meningkatkan kelarutan selulosa dan hemiselulosa dan atau pembebasan substansi terdegradasi dari lignin dan silika (Murni et al. 2008). Pengukusan bahan menyebabkan pengembangan serat bahan, gelatinisasi bahan berpati dan semakin mudah untuk dicerna. Kapang R. oligosporus dapat tumbuh dengan baik pada substrat, karena kapang tersebut cocok untuk jenis substrat gula, lemak, dan pati (Raimbault 1998) dalam ampas kulit nanas terdapat 6.6% gula pereduksi, 1.8% lemak kasar, sedikit pati. Kemudian untuk kapang A. niger dapat tumbuh dengan baik karena sifat amilolitik, selulitik, dan kemampuan lain yang lebih lengkap dibandingkan dua kapang lainnya. A. niger dikenal sebagai kapang penghasil asam sitrat, aniline, pektinase, selulase, β-1,4-glikan hidrolase, protease, α-amylase, glukoamylase, maltase, β-galaktosidase, α-glukosidase, asam glukonat, glukosa oksidase, asam oksalat, fosfodiestrase, ribonuklease, pupulan 4-glukonahidrolase, β-xilosidase, xilanase, dan lipase (Selvakumar et al. 1996). Berdasarkan hasil uji pertumbuhan kapang diatas serta didukung dengan pengulangan percobaan dengan menggunakan kantong plastik sebagai wadah media, menempatkan pada suhu kamar diluar inkubator, dan merubah komposisi substrat dengan penambahan dedak dan ampas tapioka juga menunjukkan pertumbuhan yang sama pada kapang tersebut.
Oleh karena itu P. chrysosporium tidak diikutkan dalam penelitian selanjutnya yaitu pemilihan jenis kapang terbaik untuk fermentasi bahan. Namun kemungkinan penggunaan P. chrysosporium masih sangat memungkinkan dengan diawali proses optimasi kondisi substrat dengan perlakuan-perlakuannya khusus, karena pada dasarnya kandungan lignin bahan masih cukup tinggi. Kesimpulan hasil-hasil penelitian pendahuluan. Hasil-hasil penelitian pendahuluan dijadikan sebagai acuan untuk percobaan penelitian utama. Secara umum hasil-hasil tersebut adalah : - Menggunakan starter cair hasil inkubasi 3 hari pada shaker dengan media ekstrak toge cair, - Menggunakan ketiga jenis kapang terpilih pada uji pertumbuhan kapang untuk penelitian utama, ketiga kapang tersebut adalah A. niger, R. oligosporus, dan T. viride, - Inkubator sederhana yang tersedia digunakan sebagai inkubator pada penelitian utama
4.2.PENELITIAN UTAMA
4.2.1. Pemilihan Jenis Kapang Terbaik Penelitian utama pertama bertujuan untuk mengetahui kemampuan ketiga jenis kapang terpilih untuk meningkatkan kadar protein kasar serta optimasi kasar waktu inkubasi. Pada percobaan penumbuhan miselium dari keempat jenis kapang, dihasilkan tiga jenis kapang yang dapat tumbuh dengan baik, yaitu; A. niger, R. oligosporus, dan T. viride. Satu kapang dieliminasi karena tidak tumbuh dengan baik. Komponen serat kasar yang terdapat pada bahan utama dikonversi secara biokimia menjadi protein. Hal tersebut dimulai dari usaha selulase yang disekresikan oleh kapang-kapang selulitik yang akan mengubah selulosa bahan menjadi selobiosa dan diubah menjadi gula-gula sederhana yang dapat digunakan oleh kapang untuk melakukan metabolisme dan tumbuh berkembang. Hasil dari proses metabolisme dan tumbuh tersebut adalah bertambahnya jumlah sel kapang pada bahan tersebut. Selain sel kapang itu sendiri, enzim yang dikeluarkan oleh kapang juga bernilai protein karena enzim adalah salah satu jenis protein yang bersifat katalis (Samsuri et al. 2007). A. niger dan T. viride merupakan jenis kapang selulitik, mensekresikan selulase untuk mendegradasi selulosa menjadi komponen yang lebih sederhana. Selulase merupakan enzim yang yang dibutuhkan pada fermentasi dengan sifat substrat berserat tinggi, khususnya pada upaya konversi selulosa menjadi komponen yang lebih sederhana, seperti selobiosa, dan glukosa. Selulase adalah kelompok dari tiga enzim utama, yaitu; endo-β-1, 4-glucanase (disebut juga endocellulase /carboxymethyl cellulase/ Cx cellulase), exo-β-1, 4-glucanase (disebut juga cellobiohydrolase/ avicelase/ C1 cellulase) dan β-1, 4-glucosidase (cellobiase) (Knowles et al. 1987). Ketiga kelompok enzim tersebut bekerja secara sinergik dalam mengkonversi selulosa menjadi glukosa (Eveleigh, 1987). Rhizopus oligosporus merupakan jenis kapang kapang amilolitik, kapang pendegradasi bahanbahan berpati atau amilum. Substrat dari ampas kulit nanas mengandung pati yang kecil, walaupun tidak diuji secara fisik kuantitatif namun sifat-sifat fisik pati tidak nampak pada bahan tersebut. Namun pada substrat tersebut masih mengandung gula pereduksi hingga 6.62%. R. oligosporus menggunakan sisa gula tersebut sebagai sumber makanan untuk keperluan metabolisme tubuhnya, sehingga sel-sel Rhizopus dapat tumbuh dengan baik dan lebih cepat tumbuh dibandingkan lainnya.
Sekresi lipase komponen lemak kasar pada bahan juga digunakan oleh R. oligosporus untuk mensuplai kebutuhan metabolisme. Setelah kandungan gula, pati dan lemak pada substrat habis, pertumbuhan R. oligosporus mulai terhambat dan terhenti. Hal tersebut terlihat pada inkubasi setelah hari kelima, tidak terjadi perubahan yang nyata pada sampel R. oligosporus. Sel-sel kapang menjadi sumber protein yang akan teridentifikasi pada saat pengujian akhir setelah inkubasi. Namun uji kadar protein kasar yang dilakukan dengan metode keldhal, kurang mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Metode keldhal mengukur kadar protein kasar melalui pendekatan total jumlah N total yang terdapat pada bahan dikali faktor konversi 6.25, sedangkan komposisi substrat awal adalah campuran ampas nanas, urea dan ammonium sulfat. N yang teridentifikasi pada bahan sebagian besar adalah N dari nutrien tambahan yang dicampurkan pada substrat. Pertumbuhan kapang pada permukaan medium padat dapat membentuk spora yang lebih banyak dengan viabilitas yang lebih lama dibandingkan dengan kultur terendam (Rachman 1989). Hal tersebut sesuai pada hasil pengamatan sampel, spora A. niger dan T. viride mulai terbentuk pada hari kelima inkubasi, R. oligosporus mulai terbentuk pada inkubasi hari keenam. Spora A. niger pada inkubasi hari ke sembilan terlihat menutupi permukaan substrat. Pertumbuhan miselium dari ketiga jenis kapang dengan inkubasi 3, 6 dan 9 hari dapat dilihat pada Lampiran 3.
4.2.1.1. Kadar Protein Kasar Analisa kadar protein kasar sampel dilakukan untuk mengetahui kemampuan kapang meningkatkan kadar protein kasar setelah proses fermentasi selama waktu inkubasi tertentu. Protein kasar merupakan nilai kandungan total N (nitrogen) suatu bahan dikalikan bilangan 6.25. Protein kasar dihitung melalui pendekatan kandungan total N dari suatu bahan, sehingga hasil identifikasi kadar protein kasar merupakan kadar nitrogen total bahan baik dari sumber protein sejati (true protein) maupun dari sumber nitrogen bukan protein (Non Protein Nitrogen). Pada media fermentasi penelitian ini, ammonium sulfat dan urea merupakan sumber nitrogen bukan protein yang ada pada media, dan protein sejati berasal dari ampas kulit nanas. Penambahan kedua sumber nitrogen non protein bertujuan untuk merangsang pertumbuhan kapang. Beberapa jenis kapang mampu menggunakan urea sebagai sumber nitrogen. Urea yang ditambahkan ke dalam media fermentasi akan diurai oleh enzim urease menjadi ion NH4 dan CO 2 (Halid 1991). Melalui beberapa tahap reaksi biokimia ion NH4 selanjutnya digunakan untuk pembentukan asam amino. Penambahan ammonium sulfat NH4SO4 juga diharapkan agar sel kapang dapat dengan lebih mudah menggunakan N dari ion ammonium tanpa memerlukan proses konversi melalui enzim urease. Peningkatan kadar protein kasar merupakan parameter utama keberhasilan pengunaan kapangkapang terpilih sebagai sumber protein sel tunggal. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ketiga jenis starter dapat meningkatakan kadar protein kasar sampel. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan jenis kapang memberikan pengaruh yang signifikan pada hasil peningkatan kadar protein kasar bahan setelah fermentasi. Perlakuan waktu inkubasi juga berpengaruh signifikan, begitu juga interaksi perlakuan waktu dan jenis kapang memberikan pengaruh yang signifikan. Perubahan kadar protein kasar sampel serta Uji Lanjut Duncan inkubasi tiga, enam, dan sembilan hari disajikan secara lengkap pada Lampiran 4. Perubahan kadar protein kasar sampel dengan inkubasi tiga, enam, dan sembilan hari ditunjukkan pada gambar 11 berikut.
Perubahan Kadar Protein Kasar
Kadar Protein Kasar (..%BK)
35.00
31.68 29.14
30.00 25.00
25.07
22.65
23.26
25.48
25.19
23.85 23.53 23.45
Trichoderma viride
20.00
Aspergillus niger Rhizopus oligosporus
15.00 10.00 0
3
6
9
Waktu Inkubasi Gambar 11. Peningkatan Kadar Protein Kasar Hasil Fermentasi pada Kultur Tunggal
Gambar 11 menunjukkan peningkatan kadar protein kasar terjadi pada ketiga jenis kapang yang diinkubasi selama tiga, enam, dan sembilan hari. Peningkatan kandungan protein kasar tersebut disebabkan oleh kenaikan jumlah massa sel kapang (Wang et al. 1979) dan adanya kehilangan bahan kering selama fermentasi berlangsung (Halid 1991). Perlakuan jenis kapang yang digunakan sebagai inokulum menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 5%. Perlakuan waktu inkubasi 6 dan 9 hari tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, tetapi Uji Lanjut Duncan menunjukkan inkubasi 3 dengan 6 hari berpengaruh nyata. Setelah fermentasi tiga hari ketiga jenis kapang mengalami peningkatan kadar protein kasar namun masih sangat kecil, berkisar antara 2.68% hingga 5.31% dari kondisi awal protein kasar 22.65%. Peningkatan tertinggi terjadi pada jenis sampel diinokulasi dengan starter R. oligosporus yaitu 5.31%. Intensitas pertumbuhan miselium kapang pada inkubasi tiga hari sangat sedikit, hanya terlihat serabutserabut putih yang sangat tipis di ruang-ruang antar substrat. Ketiga jenis kapang dalam waktu tiga hari masih berada pada fase pertumbuhan awal, enzim-enzim pendegradasi belum mulai disekresikan. Karena masih ada sisa-sisa gula reduksi dalam sampel yang dapat digunakan sebagai nutrisi pertumbuhan awal. Pada inkubasi enam hari sampel A. niger mengalami penigkatan kadar protein kasar tertinggi hingga 28.64% dari kondisi awal hari ke-0. Sampel dengan jenis kapang R. oligosporus juga menunjukkan pertambahan kadar protein kasar sampel yang cukup tinggi yaitu 11.23%, kemudian peningkatan terendah pada sampel T. viride yang tidak berbeda signifikan dengan hasil sebelumnya dengan peningkatan 3.53%. Dibandingkan dengan ketiga sampel intensitas pertumbuhan miselium T. viride tampak paling sedikit jika dibandingkan dengan kedua kapang lainnya.
Peningkatan yang cukup tinggi pada kapang jenis A. niger dibandingkan dengan dua kapang lainnya dikarenakan oleh keberadaan selulase pada substrat yang diduga telah disintesis oleh kapang A. niger sehingga kecepatan pertumbuhan sel lebih tinggi. Kemudian pada jenis R. oligosporus kapang dapat menggunakan substrat berupa sisa-sisa gula, dan lemak yang masih tersedia pada substrat untuk pertumbuhan awal. Namun T. viride tidak menunjukkan pertumbuhan dan perbedaan kadar protein kasar yang nyata dibandingkan inkubasi tiga hari. Hal tersebut terjadi karena kapang tersebut masih berada pada fase pertumbuhan awal, dan diduga belum mulai mensintesis selulase untuk mendegradasi substrat serat. Inkubasi sembilan hari tidak memberikan pengaruh nyata dibandingkan inkubasi enam hari. Peningkatan yang signifikan terjadi pada jenis kapang T. viride dan A. niger dengan peningkatan sebesar 10.67% dan 39.87% dari kondisi awal. A. niger menjadi kapang terbaik untuk meningkatkan kadar protein bahan dibandingkan dengan kedua kapang lainnya. Pada inkubasi 9 hari, peningkatan kadar protein sampel A. niger masih berbeda signifikan dibandingkan dengan hasil pada inkubasi sebelumnya, begitu juga pada sampel T. viride. Sehingga waktu inkubasi terbaik untuk meningkatkan kadar protein kasar dengan ketiga jenis kapang ini adalah 9 hari.
4.2.1.2. Kadar Serat Kasar Analisa kadar serat kasar dilakukan untuk melihat kemampuan kapang dalam mendegradasi serat bahan. Efisiensi konversi serat yang tinggi ditunjukkan dengan penurunan kadar serat kasar bahan setelah proses fermentasi. Hasil analisis statistik analisis varian pada lampiran 5 menunjukkan bahwa jenis kapang dan waktu inkubasi tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan kadar serat kasar bahan. Rataan kadar serat kasar dan Uji Lanjut Duncan dapat dilihat pada Tabel 6 berikut. Tabel 6. Rataan kadar serat kasar sampel hasil fermentasi tiga jenis kapang dengan lama inkubasi berbeda Kontrol
Jenis Kapang
Waktu inkubasi (hari) 3
% BK 32.06 ± 0.89
6
9
……%BK….. T. viride
32.83 ± 0.83
31.88 ± 1.99
31.27 ± 0.5
A. niger
32.14 ± 0.94
30.09 ± 1.34
30.57 ± 0.32
R. oligosporus 32.4 ± 1.39 32.18 ± 0.76 34.45 ± 1.93 Keterangan : Superskrip huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata taraf 5%.
Kadar serat kasar diatas menunjukkan keadaan yang cenderung stabil tetap pada kadar serat kasar sebelum dan setelah fermentasi. Kemungkinan hal ini disebabkan karena belum terjadi proses konversi serat pada proses fermentasi. Sel masih memanfaatkan sisa gula reduksi dari bahan, sehingga selulase belum disintesis oleh sel kapang, khususnya jenis kapang A. niger dan T. viride. Selain itu kandungan lignin yang tinggi pada bahan (7.31%) dimungkinkan ikut menghambat proses degradasi selulosa pada bahan, sehingga kadar serat kasar cenderung tetap. Rataan kadar serat kasar dari kapang jenis T. viride cenderung lebih stabil dibandingkan lainnya, dan mengalami penurunan dari keadaan awal. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Mirwandhono et al. (2004).
Substrat dari hidrolisat tepung kepala udang dan limbah sawit yang difermentasi dengan kapang jenis T. viride mengalami penurunan kadar serat kasar dari 13.72% menjadi 11.90% pada inkubasi 6 hari. Pada sampel R. oligosporus tidak terjadi penurunan kadar serat kasar, hal tersebut terjadi karena selulosa dalam bahan tidak terkonversi menjadi glukosa. R. oligosporus bukan merupakan kapang selulitik, sehingga pertumbuhan sel kapang R. oligosporus cenderung meningkatkan kadar serat kasar bahan. Hal tersebut terjadi, karena dinding sel secara kimia terdiri dari bagian karbohidrat, seperti selulosa, hemiselulosa, pektin, dan bagian non karbohidrat (Winarno 1983).
4.2.1.3. Kehilangan Bahan Kering Analisa kehilangan bahan kering dilakukan untuk melihat pengaruh penggunaan jenis kapang yang berbeda terhadap bahan kering yang hilang akibat proses fermentasi bahan. Hasil uji statistik analisis varian menghasilkan bahwa perlakuan jenis kapang dan waktu inkubasi berpengaruh nyata pada kehilangan bahan kering pada substrat fermentasi. Interaksi antar kedua perlakuan waktu dan jenis kapang juga berpengaruh nyata pada kadar bahan kering akhir setelah fermentasi. Penurunan bahan kering yang tinggi tidak disukai karena mengurangi volume dan bobot bahan. Kehilangan bahan kering sampel serat kulit nanas yang terfermentasi berkisar antara 7.47% hingga 34.51%. Kehilangan bahan kering sampel dengan inkubasi tiga, enam, dan sembilan hari disajikan pada Lampiran 6. Rataan kehilangan bahan kering dan hasil Uji Lanjut Duncan dapat dilihat pada Gambar 12 berikut.
Kehilangan Berat Kering Penurunan berat kering (%)
34.51 35.00 26.76
30.00 25.00
19.29
20.00 15.00 10.00
13.45 8.66 7.47
18.00
14.53
Trichoderma viride
8.24
Aspergillus niger Rhizopus oligosporus
5.00 0.00 3
6
9
Masa inkubasi (hari) Gambar 12. Persentase kehilangan bahan kering kumulatif sampel hasil fermentasi pada kultur tunggal
Gambar 12 tersebut menunujukkan bahwa semakin lama fermentasi maka kehilangan bahan kering semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Mirwandhono et al. (2004), yang melakukan penelitian dengan menggunakan hidrolisat tepung kepala udang dan limbah sawit yang difermentasi dengan kapang A. niger selama 2, 4 dan 6 hari mengalami kehilangan bahan kering berturut-turut 21.93%, 28.77%, dan 37.72%.
Kehilangan bahan kering tertinggi terjadi pada sampel yang diinokulkasi dengan A. niger dengan inkubasi 9 hari yaitu 34.51%. Hal tersebut dikarenakan oleh intensitas pertumbuhan kapang A. niger lebih tinggi dibandingkan kedua kapang lainnya. Kehilangan bahan kering terjadi karena pada proses fermentasi terjadi proses konversi bahan oleh aktivitas kapang untuk pertumbuhannya. Bahan kering yang dikonversi oleh kapang menjadi energi dan hasil lainnya berupa CO2 dan H2O (Mirwandhono et al. 2004). CO2 dan H2O sebagian besar dilepas ke lingkungan melalui proses respirasi dan panguapan akibat panas di dalam ruang inkubator. Pada inkubasi tiga hari, sampel dengan kapang R. oligosporus mengalami kehilangan bahan kering tertinggi yaitu 13.45% dibanding dua kelompok sampel lainnya. Hal ini dikarenakan pada inkubasi hari ketiga sampel R. oligosporus tumbuh lebih cepat dibandingkan kedua sampel lainnya. Hal tersebut dapat dilihat pada miselium yang tumbuh lebih banyak pada sampel R. oligosporus saat inkubasi memasuki umur 3 hari. Pada inkubasi hari keenam, intensitas miselium ketiga sampel mulai tumbuh memenuhi ruangan sampel. Penurunan bahan kering tertinggi pada inkubasi hari keenam terjadi pada sampel yang diinokulasi dengan A. niger, yaitu mencapai 26.76%. Miselium pada sampel A. niger menunjukkan intensitas yang lebih tinggi, bahkan sudah mulai terbentuk sedikit spora. Intensitas pertumbuhan miselium T.viride paling sedikit dibanding lainnya, sehingga nilai kehilangan bahan kering sampel T.viride tidak berbeda nyata dengan hasil sebelumnya. Pada inkubasi hari kesembilan, semua sampel menunjukkan pertumbuhan miselium yang baik dan merata hampir di seluruh permukaan substrat. Kehilangan bahan kering berkisar antara 18.00% hingga 34.51%. Kehilangan bahan kering tertinggi terjadi pada sampel dengan jenis kapang A. niger. Kapang jenis T. viride mengalami perubahan nilai kehilangan bahan kering yang berbeda nyata dengan hasil sebelumnya, dan lebih tinggi dari nilai kehilangan bahan kering sampel R. oligosporus. Hasil Uji Lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan jenis kapang dan waktu inkubasi berpengaruh nyata terhadap kehilangan bahan kering sampel. Inkubasi selama tiga hari, enam, dan sembilan hari masing-masing memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil. Begitu juga jenis kapang A. niger, R. oligosporus, dan T. viride masing-masing memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap hasil. Hasil tersebut menjadi pertimbangan dalam pemilihan keadaan optimum waktu dan jenis kapang terpilih. Berdasarkan hasil dari ketiga parameter analisis hasil, kapang A. niger merupakan kapang terbaik untuk meningkatkan kadar protein kasar bahan. Kadar serat kasar bahan yang difermentasi oleh A. niger tidak mengalami penurunan yang tinggi, namun untuk kehilangan bahan kering oleh A. niger mencapai 34.51%. Peningkatan kadar protein kasar tertinggi pada A. niger diikuti juga dengan penurunan kadar serat kasar tertinggi diantara ketiganya, walaupun tidak berbeda signifikan dengan keadaan awal serat kasar bahan. Waktu inkubasi sembilan hari menjadi waktu terbaik dari ketiga perlakuan waktu, serta menunjukkan beda nyata terhadap waktu inkubasi tiga dan enam hari.
4.2.2. Aplikasi Kultur Campuran Penggunaan kultur tunggal sebagai inokulum fermentasi menghasilkan hasil cukup baik. Hasil percobaan menunjukkan bahwa ketiga jenis kapang mampu meningkatkan kadar protein bahan dari 22.65 menjadi 25.07% hingga 31.68%. Tidak menutup kemungkinan penggunaan kultur campuran (kultur campuran) juga berpotensi memberikan pengaruh yang nyata pada peningkatan kadar protein kasar.
Hal ini dikarenakan masing-masing kapang memiliki karakteristik yang berbeda-beda khususnya pada sekresi enzim yang dihasilkan, sehingga akibat pencampuran inokulum akan semakin banyak enzim di sekresikan, semakin cepat pula pertumbuhan kapang pada substrat. Aplikasi kultur campuran meliputi empat jenis starter hasil campuran kultur ketiga jenis kapang yaitu, AT (untuk A. niger dan T. viride), AR (untuk A. niger dan R. oligosporus), RT (untuk R. oligosporus dan T. viride), dan ART (campuran ketiga jenis kapang). Kadar protein kasar sampel yang menjadi parameter utama pemilihan jenis starter terbaik dengan metode keldahl sebagai metode analisis kadar protein bahan. Hasil pengamatan miselium aplikasi kultur campuran dapat dilihat pada Lampiran 7. Percobaan kultur campuran menunjukkan jenis kapang R. oligosporus mampu tumbuh bersamaan dengan A. niger, walaupun dominasi tumbuh lebih banyak pada jenis kapang A. niger, khususnya spora yang dihasilkan. Kemudian campuran T. viride dengan R. oligosporus juga mampu tumbuh bersamaan, sebagian permukaan substrat tertutup oleh sebagian dari kapang-kapang tersebut dan tersebar merata. Aspergillus niger juga dapat berdampingan tumbuh dengan T. viride, namun intensitas pertumbuhan miselium T. viride sangat sedikit dibandingkan dengan campuran T. viride dengan Rizhopus oligosporus. Pengujian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui efektivitas pencampuran inokulum sebagai starter fermentasi, khususnya pada uji antagonis. Perubahan kadar protein kasar, serat kasar dan kehilangan bahan kering bahan setelah fermentasi dengan inkubasi sembilan hari dapat dilihat lebih lengkap pada Lampiran 8. Berikut ini Tabel 7 yang berisi ringkasan hasil aplikasi kultur campuran terhadap perubahan kadar protein kasar, serat kasar dan kehilangan bahan kering.
Tabel 7. Hasil fermentasi aplikasi kultur campuran dengan waktu inkubasi 9 hari Kadar Protein kasar Kadar Serat Kasar (% Rataan % KBK Starter / Jenis kapang (% BK) BK) (..% BK awal) An + Ro
35.83 ± 0.89
19.37 ± 1.43
46.47 ± 2.36
Tv + An
36.71 ± 0.45
19.68 ± 0.87
35.69 ± 3.27
Ro + Tv
29.30 ± 0.36
26.08 ± 1.50
20.77 ± 2.46
36.05 ± 0.50
19.92 ± 0.75
42.90 ± 1.33
An + Tv + Ro Keterangan : An : A. niger Ro : R. oligosporus Tv : T. viride
Tabel tersebut menunjukkan pengaruh yang positif aplikasi kultur campuran terhadap kadar protein kasar akhir sampel setelah fermentasi. Kadar protein kasar akhir berkisar antara 29.05% hingga 36.71% dari kondisi awal 22.65%. Sedangkan kadar serat kasar akhir mengalami penurunan pada semua jenis sampel, dengan kisaran antara 19.37% hingga 26.08% dari kondisi awal 32.06%. Kehilangan bahan kering juga terjadi pada semua sampel setelah fermentasi dengan kisaran antara 20.77% hingga 46.47%. Kehilangan bahan kering sampel pada aplikasi kultur campuran juga cenderung lebih besar dibandingkan dengan kultur tunggal. Hasil inkubasi sembilan hari menunjukkan bahwa sampel dengan dengan aplikasi kultur campuran menunjukkan pertumbuhan intensitas miselium yang lebih tinggi. Pada percobaan pertama, A. niger menjadi kapang terbaik untuk meningkatkan kadar protein kasar sampel.
Begitu juga pada aplikasi kultur campuran, A. niger menunjukkan pengaruh besar pada peningkatan kadar protein kasar serta penurunan serat kasar bahan. Keempat jenis starter dari kultur campuran, tiga diantara tersusun dari jenis kapang A. niger menghasilkan selisih hasil akhir kadar protein kasar dan serat kasar bahan yang besar. Hal tersebut dikarenakan dari ketiga jenis kapang yang digunakan, A. niger memiliki kemampuan mensekresi enzim yang lebih lengkap, meliputi amylase, selulase, lipase, xilanase dan lain-lain (Selvakumar et al. 1996). Sedangkan T. viride merupakan kapang spesifik pendegradasi selulosa dengan enzim selulase, dan R. oligosporus merupakan kapang pendegradasi pati dan lemak dengan amylase dan lipase (Raimbault 1998). Penurunan kadar serat kasar bahan pada sampel campuran R. oligosporus dan T.viride mengalami penurunan yang terkecil dibandingkan dengan ketiga sampel lainnya. Kemungkinan hal ini dikarenakan keterbatasan kemampuan sel kapang T. viride dibandingkan dengan A. niger dalam mensintesis selulase sebagai pendegradasi selulosa. Walaupun demikian penurunan kadar serat kasar bahan pada aplikasi kultur campuran lebih tinggi dibandingkan dengan kultur tunggal. Kemungkinan hal tersebut terjadi karena selulase telah disintesis oleh sel kapang sehingga komponen serat bahan terdegradasi. Sel kapang mulai manggunakan nutrisi dari selulosa karena keterbatasan gula pereduksi yang ada pada bahan. Fenomena peningkatan kadar serat kasar yang terjadi pada sampel dengan starter tunggal R. oligosporus tidak terjadi pada aplikasi kultur campuran, karena pada tiap sampel dengan aplikasi kultur campuran terdapat kapang kapang penghasil selulase, sehingga pertumbuhan biomassa diikuti dengan proses konversi serat khususnya selulosa. -
Perbandingan Rataan Peningkatan Kadar Protein Kasar Antara Kultur Tunggal Dengan Kultur Campuran
Berdasarkan hasil penelitian utama yang pertama, kadar protein kasar akhir sampel dengan kultur tunggal dengan inkubasi 9 hari berkisar antara 25.07% hingga 31.68%. Ketiga jenis kapang yang digunakan sebagai kultur tungga juga memberikan hasil yang positif terhadap peningkatan kadar protein kasar bahan. Perbandingan hasil peningkatan kadar protein kasar antara kultur tunggal dengan campuran dilakukan untuk memilih jenis starter terbaik antara keduanya. Perbandingan rataan peningkatan kadar protein kasar antara kultur tunggal dengan kultur campuran disajikan pada gambar 13 berikut.
Kadar Protein Kasar (..%BK)
Rataan Kadar Protein Kasar Inkubasi 9 hari 36.71
40 30
31.68 22.65
25.07
35.83
36.05
29.30 25.48
20 10 0
Jenis Starter Gambar 13. Perbandingan rataan peningkatan kadar protein kasar antara kultur tunggal dengan kultur campuran
Keterangan : Tv : Trichoderma viride An : Aspergillus niger Ro : Rhizopus oligosporus Aplikasi kultur campuran menghasilkan kadar protein kasar akhir yang lebih baik dibandingkan dengan kultur tunggal. Aplikasi kultur campuran menghasilkan rataan peningkatan kadar protein kasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan kultur tunggal, yaitu; 52.50% untuk kultur campuran, dan 21.01% untuk kultur tunggal dari kondisi awal kadar protein kasar 22.65%. Kadar protein kasar tertinggi terjadi pada sampel aplikasi kultur campuran antara A. niger dan T. viride setelah inkubasi 9 hari yaitu 36.71%, dengan peningkatan sebesar 62.07% dari kondisi awal substrat. Hal ini terjadi karena kedua kapang tersebut mampu menghasilkan selulase sebagai pendegradasi selulosa (Raimbault 1998). Sintesis selulase oleh keduanya menghasilkan intensitas enzim yang tinggi, sehingga aktivitas kon versi selulosa menjadi lebih cepat. Hasil analisis Uji Lanjut Duncan menunjukkan bahwa peningkatan kadar protein kasar tertingi terjadi pada sampel kultur campuran AT yaitu campuran antara A. niger dan T. viride, namun tidak berbeda nyata dengan sampel kultur campuran antara An dan Ro (AR), serta campuran An, Ro dan Tv (ART) yaitu 58.17% AR, dan 59.17% untuk ART (Lampiran 9). Ketiga starter kultur campuran tersebut menjadi starter terbaik untuk meningkatkan kadar protein kasar bahan ampas kulit nanas melalui fermentasi medium padat.