15
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis DNA 4.1.1 Ekstraksi DNA Ekstraksi DNA merupakan langkah awal dalam analisis molekuler. Masalah-masalah yang timbul dalam ekstraksi DNA merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dan perlu diatasi. Kualitas dan kuantitas hasil dari ekstraksi DNA tergantung dari spesies tanaman yang digunakan dan mempengaruhi analisis lanjut seperti pada proses PCR maupun pemotongan DNA dengan enzim restriksi. A
B
C
D
E
1
2 Gambar 6 Pola band DNA A) K. anthotheca , B) S. macrophylla , C) S. mahagoni , D) A. indica , E) M. azedarach; 1) sumur DNA, 2) band DNA
Hasil ekstraksi DNA yang disajikan pada Gambar 6 ada beberapa band yang tidak muncul dan kurang jelas. Pola tersebut dapat disebabkan tidak adanya atau kurang mencukupinya DNA yang terisolasi untuk uji elektroforesis, selain itu kemungkinan masih adanya DNA di dalam tube karena campuran tidak homogen, jumlah ekstrak yang sedikit atau terbuang pada saat pencucian. Hal lain yang bisa terjadi adalah terkontaminasinya DNA atau memiliki tingkat kemurnian yang rendah. Kondisi DNA dengan tingkat kemurnian dan berat molekul yang tinggi sangat diupayakan agar dapat melakukan analisis genetika molekuler. Ekstraksi
16
DNA pada jaringan tanaman dengan kemurnian yang tinggi seringkali sulit diperoleh, untuk itu diberi perlakuan pengenceran DNA yang berbeda-beda, dilihat dari segi kualitasnya. Pengenceran ini bertujuan untuk memudahkan saat melakukan PCR primer dapat teramplifikasi pada band DNA dengan baik. Jika DNA terlalu banyak kotoran, maka hasil PCR tidak bagus karena primer tidak dapat teramplifikasi. 4.1.2 Analisis Hasil PCR PCR merupakan salah satu teknik analisis DNA yang dapat digunakan untuk mempelajari proses evolusi tanaman (Elviana 2010). Kesesuaian dalam menggunakan primer sangat tergantung pada teramplifikasinya DNA dengan baik sehingga mengasilkan pola band yang bagus. Primer universal yang berhasil teramplifikasi untuk beberapa spesies dalam famili Meliaceae di antaranya terdiri dari S. macrophylla, S. mahagony, M. azedarach, A. indica, dan K. anthotheca adalah second internal transcribed spacer (ITS2). Menurut Chen (2010), region untuk ITS2 cukup pendek yakni ada pada selang 160-320bp. Panjang fragmen hasil amplifikasi primer ITS2 adalah 307 bp seperti yang disajikan pada Gambar 7.
307 bp
Gambar 7 Hasil amplifikasi PCR ITS2 (1,2,7,8: M. az; 3,4: S.mc; 5,6: S. mg; 9,10: A. in; 11,12: K. an)
Hasil dari amplifikasi secara umum tidak memperlihatkan band yang sangat jelas, ada beberapa band yang kurang jelas, sehingga menimbulkan keraguan saat menganalisis band. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut di antaranya tingkat kemurnian DNA yang rendah, dan campuran bahan yang kurang tepat. Konsentrasi DNA sampel, ukuran panjang primer, komposisi
17
basa primer, konsentrasi ion Mg dan suhu hibridasi primer harus dikontrol dengan hati-hati agar dapat diperoleh pita-pita DNA yang utuh dan baik (Suryanto 2003 dalam Elviana 2010). 4.2 Analisis Sekuen DNA 4.2.1 Analisis Runutan Nukleotida Analisis sekuen DNA dilakukan pada lima individu dari famili Meliaceae. Hasil sekuen dari lima individu dialignment dengan menggunakan ClustalW2 EMBL-EBI kemudian nukleotida dirunutkan melalui program BioEdit dan program TreeView X untuk menampilkan Guide Tree. Hasil runutan nukleotida sepanjang 307 bp menunjukkan hasil alignment sepanjang 307 bp nukleotida paling banyak ditemukan adalah nukleotida T (31,28%), diikuti A (29,5%) dan G (19,7%) dan yang paling sedikit C (19,4%). Komposisi dari nukleotida yang terdapat pada masing-masing sekuen disajikan secara terperinci pada Tabel 6. Tabel 6 Rataan komposisi nukleotida dari lima spesies Spesies
Region
S. mc S. mg K. an A.in M. az
T(U)%
C (%)
A (%)
G (%)
ITS2
29,6
20,1
29,6
20,4
mat-K
34,6
20,0
28,2
17,0
ITS2
31,4
21,2
25,3
22,2
mat-K
30,9
18,5
26,8
23,7
ITS2
27,8
19,2
30,9
21,3
mat-K
34,6
20,4
28,1
16,8
ITS2
27,4
17,6
34,1
20,6
mat-K
34,6
19,6
28,6
17,1
ITS2
26,0
18,2
34,5
21,3
Sumber Muellner et al. (2003) Clayton et al (2007) Muellner et al. (2003) Samuel et al.(2003)
mat-K 35,9 19,3 28,5 16,2 Abbott et al. (2009) Rata-rata 31,28 19,4 29,5 19,7 S.mc=S. macrophylla, M.az=M. azedarach, S.mg=S. mahagoni, A.in=A. indica, K.an=K. anthotheca
Perunutan DNA ini dapat membantu dalam hal merunut nukleotida yang ada, berbeda ataupun bermutasi (Sambrook dan Russel 2001). Keragaman genetik dapat muncul karena adanya mutasi, aliran gen, dan migrasi, dan proses seleksi (Finkeldey 2005). Hasil pengamatan dari alignment data dari GenBank yang menggunakan primer mat-K ditemukan komposisi nukleotida yang terbanyak adalah T (34,2%) diikuti nukleotida A (28,1%) dan paling sedikit adalah G (18%). Keragaman nukleotida dalam spesies (intraspecies) lebih polimorfisme pada
18
region mat-K sebab dipengaruhi oleh panjang bp yang dimiliki mat-K lebih besar jika dibandingkan dengan region ITS2. Jika dibandingkan dengan persentase keragaman berdasarkan nukleotida pada spesies Shorea laevis dari famili Dipterocarpaceae pada region yang sama yaitu mat-K sepanjag 844 bp diperoleh hasil untuk nukleotida T (35,2%), diikuti A (32,6%), G (17,8%) dan C (14,5%) (Elviana 2010) dapat dilihat komposisi nukleotidanya tidak memiliki selisih komposisi yang cukup jauh. Komposisi nukleotida dari manusia juga dapat dilihat yaitu nukleotida A (30,9%), nukleotida T (29,4%), nukleotida G (19,9%) dan nukleotida C (19,8%) dengan DNA normal dari spesies yang berbeda menunjukkan adanya keteraturan yaitu di antaranya komposisi basa dari DNA suatu organisme adalah tetap pada semua selnya dan mempunyai karakterisitik tertentu, selain itu jumlah adenin dengan timin selalu sama dalam DNA suatu organisme, hal yang sama juga terjadi pada jumlah guanin dan sitosin (OCW 2009). Perunutan DNA dari spesies yang digunakan secara terperinci disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8
Runutan nukleotida dari lima species(mc_4 : S. macrophylla, ma_I : M. azedarach, mg_32 : S. mahagoni, K3 : K. anthotheca, mb_3 : A. indica) yang di alignment dari EBL-EBI. Tanda bintang menunjukkan nukleotida yang sama
Hubungan kekerabatan antara dua individu atau lebih dalam suatu famili dapat diukur dari kesamaan beberapa sifat dengan asumsi bahwa karakter yang
19
berbeda disebabkan oleh perbedaan genetik yang dimiliki oleh masing-masing individu. Runutan hasil sekuen dari lima spesies bila dibandingkan dengan kombinasi data sekuen dari GenBank yaitu runutan DNA menggunakan primer mat-K dengan species yang sama dari famili Meliaceae diantaranya S. macrophylla (Muellner et al. 2002), S. mahagoni (Clayton et al. 2007), K. anthotheca (Muellner et al. 2002), M. azedarach (Abbott et al. 2009), dan A. indica (Muellner et al. 2002), secara
teperinci disajikan pada Lampiran 3. 4.2.2 Keragaman antar spesies Keragaman situs restriksi secara In Silico Hasil sekuen diberi perlakuan pemotongan fragmen dengan 18 spesies enzim
melalui
program
pDRAW32.
Hasil
pemotongan
kemudian
diinterpretasikan pada pada 3% gel agarose, marker Promega 100 bp DNA ladder seperti yang disajikan pada Lampiran 1 berdasarkan wilayah ITS2 dan mat-K dapat dilihat pada Lampiran 2, dari analisis menggunakan primer ITS2 dan mat-K yang dipotong dengan 18 enzim secara in silico terjadi banyak pemotongan. Hasil pemotongan tersebut menunjukkan variasi DNA (polimorfisme) pada setiap spesies, pola pemotongan yang dihasilkan berbeda untuk masing-masing spesies. Setiap spesies dipotong oleh enzim yang berbeda dan memiliki enzim tertentu yang hanya memotong pada satu spesies, dapat dilihat secara terperinci pada Tabel 7. Tabel 7 Spesies enzim yang hanya memotong pada satu spesies berdasarkan dua region Region ITS2
mat-K
Kode M. az A. in K. an S. mc S. mg M. az
Spesies M. azedarach A.indica K. anthotheca S. macrophylla S. mahagoni M. azedarach
A. in S. mg S. mc K. an
A.indica S. mahagoni S. macrophylla K. anthotheca
Enzim BstUI HpaII HhaI MseI AluI BamHI, BfaI, EcoRI, HaeIII, HinfI, MseI, RsaI, SspI, TaqI BstUI, HpaII AluI, HindIII, HpaII, PstI EcoRI, HpaII HaeIII
Hasil pemotongan kembali dilihat jarak kekerabatan antara semua individu yang diamati yang diinterpretasikan pada dendrogram. Dendrogram yang disajikan menunjukkan spesies yang satu klaster atau berada dalam klaster yang
20
berbeda, untuk spesies pada region ITS2 secara terperinci disajikan pada Gambar 9. S. mc S. mg
K. an
M. az
A.in
Gambar 9 Dendrogram hasil in silico dari lima species berdasarkan ITS2 (S.mc : S. macrophylla; S. mg : S. mahagoni; K. an : K. anthotheca; A. in: A. indica; dan M. az : M. azedarach)
Hasil dari Gambar 9 dapat dilihat S. macrophylla dan S. mahagoni berada dalam satu kelompok, kelompok tersebut bergabung dengan K. anthotheca, kelompok tersebut memiliki kerabat yang agak berjauhan dengan M. azedarach dan A. indica. Pada region mat-K menunjukkan ada dua kelompok yang terbesar bahwa kekerabatan antara K. anthotheca dan S. mahagoni memiliki kekerabatan yang dekat dan kelompok kedua antara S. macrophylla, A. indica, dan M. azedarach dan A. indica secara terperinci disajikan pada Gambar 10. S. mg
M. az
S. mc
K. an A.in
Gambar 10 Dendrogram hasil enzim restriksi dari sekuen DNA GenBank, S. mg : S. mahagoni (Muellner et al. 2002); M. az : M. azedarach (Abbott et al. 2009); A. in : A. indica (Muellner et al. 2003); S. mc : S. macrophylla (Muellner et al. 2002); K. an : K. anthotheca (Muellner et al. 2002)
Hubungan kekerabatan antara beberapa individu dalam suatu famili dapat diukur dari kesamaan sifat dengan asumsi bahwa karakter yang berbeda disebabkan oleh perbedaan susunan genetik yang dibawa oleh masing-masing individu. Hasil yang berbeda pada dendrogram disebabkan DNA yang digunakan
21
berbeda dari segi primer, sehingga DNA yang dihasilkan juga berbeda, untuk ITS2 merupakan wilayah nukleus sedangkan mat-K merupakan wilayah cpDNA. Keragaman nukleotida Salah satu pengelompokan dari kelima individu pada region ITS2 berdasarkan perbedaan runutan nukleotida melalui analisis dendrogram yang disajikan pada Gambar 11 menunjukkan jarak kekerabatan yang terdiri tiga klaster yaitu A. indica dan M. azedarach, disusul K. anthotheca dan S. mahagoni dan terakhir S. macrophylla. K. anthotheca S. mahagoni S,mg S. macrophylla S,mc A. indica M. azedarach
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00
Gambar 11 Dendrogram dari lima species berdasarkan ITS2 (S.mc : S. macrophylla; S. mg : S. mahagoni; K. an : K. anthotheca; A. in: A. indica; dan M. az : M. azedarach)
Jika dibandingkan dengan daerah ITS berdasarkan hasil penelitian Muellner (2011), jarak genetiknya menunjukkan hasil yang sesuai dengan region ITS2. K. anthotheca dan S. macrophylla satu klaster serta A. indica dan M. azedarach berada dalam satu klaster, seperti yang disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12 Dendrogram region ITS (Muellner 2011)
22
Dendrogram berdasarkan hasil runutan pada sekuen mat-K menunjukkan tiga klaster. Klaster M. azedarach dan A. indica berdekatan dengan K. anthotheca kemudian klaster tersebut berdekatan dengan S. macrophylla disusul dengan S. mahagoni, seperti yang disajikan pada Gambar 13. A.in M.az K.an S.mc S.mg
0.3
0.2
0.1
0.0
Gambar 13 Dendrogram berdasarkan sekuens matK dari lima species (S.mc : S. macrophylla; S. mg : S. mahagoni; K. an : K. anthotheca; A. in: A. indica; dan M. az : M. azedarach) (GenBank2012)
Jika dibandingkan dengan region mat-K pada hasil penelitian Muellner (2003) menunjukkan M. azedarach masih satu klaster dengan A. indica, begitu juga untuk Khaya dan Swietenia sp. Region ini pada klaster Khaya dan Swietenia sp. dikombinasikan dengan Carapa guianensis sehingga terdapat tiga spesies dalam satu klaster, dapat dilihat secara terperinci pada Gambar 14.
Gambar 14 Jarak genetik berdasarkan region mat-K (Muellner 2003)
23
Hasil analisis jarak genetik menunjukkan bahwa untuk region ITS2 memiliki jarak genetik yang relatif tinggi dibandingkan region mat-K yakni antara 0,1067-0,5887. Spesies dengan jarak genetik yang kecil, yaitu spesies yang secara genetik sama, bersatu pertama kali (Finkeldey 2005). Jika jarak genetik yang dihasilkan relatif tinggi disebabkan objek penelitian yang digunakan adalah antar spesies dalam satu famili, namun sebetulnya sudah mendekati kekerabatan yang dekat. Keragaman substitusi nukleotida Estimasi diferensiasi antara spesies disajikan pada Tabel 8 untuk region ITS2 dengan nilai yang berada pada kanan atas diagonal. Pada wilayah ini perbedaan yang besar terdapat antara spesies S. macrophylla dengan M. azedarach yaitu sebesar 0,532, sedangkan perbedaan yang terkecil terdapat di antara M. azedarach dan A. indica sebesar 0,095. Estimasi perbedaan antara spesies di region mat-K disajikan pada tabel yang sama dengan nilai yang berada di kiri bawah diagonal. Perbedaan yang paling besar berada pada spesies Swietenia sp. sebesar 0,808 sedangkan perbedaan yang terkecil terdapat di antara spesies M. azedarach dan A. indica yaitu sebesar 0,040. Tabel 8 Rata-rata substitusi nukleotida per sites antar spesies pada wilayah ITS2 (kanan atas diagonal) dan mat-K (kiri bawah diagonal) Spesies A. in K. an M. az S. mc S. mg A. in 0,000 0,404 0,095 0,515 0,516 K. an 0,065 0,000 0,043 0,212 0,167 M. az 0,040 0,063 0,000 0,532 0,520 S. mc 0,067 0,006 0,064 0,000 0,247 S. mg 0,760 0,804 0,753 0,808 0,000
Hasil dari Tabel 8. untuk melihat kekerabatan antara M. azedarach dan A. indica bisa menggunakan ITS2 dan mat-K. Pada Swietenia sp. dan Khaya sp. diperlukan primer yang lebih spesifik untuk melihat kekerabatannya. Klasterisasi spesies secara ringkas disajikan pada Tabel 9. Berdasarkan jarak genetik dari keragaman fragmen maupun keragaman nukleotida terdapat tiga klaster spesies dari masing-masing dua region yang digunakan, terdapat situasi yang sama pada masing-masing region yaitu M. azedarach dan A. indica selalu berada dalam klaster yang sama.
24
Tabel 9 Klaster spesies berdasarkan ITS2 dan mat-K Klaster
ITS2
1 2
M. azedarach dan A. indica S. mahagoni dan K. anthotheca
3
S. macrophylla
Mat-K A. indica dan M. Azedarach K. anthotheca dan (A. indica dan M. azedarach) S. macrophylla, S. mahagoni