BAB. IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.
Hasil Penelitian Penelitian mengenai hubungan antara jumlah trombosit dengan kejadian pada pasien DBD (DSS) anak ini dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Bantul pada tanggal 2 Maret – 8 Maret 2016. Data yang dibutuhkan berupa data jumlah trombosit, usia, jenis kelamin dan jumlah hematokrit yang didapatkan dari rekam medis pasien anak yang terdiagnosis DBD dan DSS dengan total sampel 90 ( 45 pasien DBD dan 45 pasien DSS). Dari data yang diambil kemudian dilakukan analisis secara statistik. Tabel 2 Karakteristik Dasar Subjek Penelitian DBD Frekuensi
DSS %
Frekuensi
%
p-value
Usia < 1 tahun
4
8.9
3
6.7
1-5 tahun
21
46,7
13
28,9
6-10 tahun
9
20,0
14
31,1
>10 tahun
11
24,4
15
33,3
TOTAL
45
100
45
100
Laki-laki
21
46,7
20
44,4
Perempuan
24
53,3
25
55,6
TOTAL
45
100
45
100
0,29
Jenis Kelamin
28
0,83
Tabel 3 Hasil Pemeriksaan Laboratorium DSS dan DBD pada anak Parameter Pemeriksaan
Total
DSS
DBD
Laboratorium
N=90
n= 45
n= 45
AT < 50.000
53
29
24
AT ≥ 50.000
37
16
21
Hmt < 42 %
31
11
20
Hmt ≥ 42 %
59
34
25
p-value
RR
0,284
1,264
0,046*
0,616
Jumlah Trombosit
Jumlah Hematokrit
*nilai p < 0,05 Dari hasil pemeriksaan laboratorium yang disajikan pada tabel 3 di atas, untuk faktor/variabel yang tidak terdapat kemungkinan terjadinya syok pada kasus DBD anak, yaitu jumlah trombosit ≤50.000sel/mmk dengan nilai p=0,284. Nilai RR dari jumlah trombosit terhadap kejadian syok pada pasien DBD (DSS) anak sebesar 1,265. Dapat disimpulkan bahwa jumlah trombosit < 50.000/mmk 1,265 kali lebih berisiko terjadinya kejadian DSS pada anak dibandingkan jumlah trombosit ≥ 50.000/mmk. Namun, terdapat satu faktor/variabel yang berhubungan dengan kemungkinan terjadinya syok pada kasus DBD anak, yaitu jumlah hematokrit ≥42% dengan nilai p=0,046. Nilai RR dari jumlah hematokrit terhadap kejadian syok pada pasien DBD (DSS) anak sebesar 0,616. Dapat disimpulkan bahwa jumlah hematokrit < 42% 0,616 kali lebih berisiko meningkatkan terjadinya kejadian pada pasien DSS anak dibandingkan dengan jumlah hematokrit ≥42%.
29
4.1.1. Karakteristik populasi berdasar umur
8% 24%
20%
46%
Gambar 4.1 Subjek penelitian pasien DBD anak berdasar umur
6%
33% 28%
31% Gamber 4.2 Subjek penelitian pasien DSS anak berdasar umur
30
Berdasarkan data pada gambar 4.1 dan 4.2 dapat diketahui bahwa jumlah tertinggi pasien DBD anak sebanyak 21 orang yang terjadi pada rentang umur 1-5 tahun (46%). Persentase berikutnya yaitu sebanyak 11 orang pada rentang umur >10 tahun (24%), diikuti 9 orang pada rentang umur 6-10 tahun (20%) dan paling sedikit sebanyak 4 orang pada rentang umur <1 tahun (8%). Hal sebaliknya ditemukan jumlah tertinggi pada pasien DSS anak sebanyak 15 orang yang terjadi pada rentang umur >10 tahun (33%), diikuti 14 orang pada rentang umur 6-10 tahun (31%), 13 orang pada rentang umur 1-5 tahun (28%) dan paling sedikit sebanyak 3 orang pada rentang umur <1 tahun (6%). 4.1.2 Karakteristik populasi berdasar jenis kelamin
44%
56%
Gambar 4.3 Subjek penelitian pasien DBD berdasar jenis kelamin
31
47%
53%
Gambar 4.4 Subjek penelitian pasien DSS berdasar jenis kelamin Berdasarkan data pada gambar 4.3 dan 4.4 dapat diketahui bahwa jumlah terbanyak pasien DBD anak adalah jenis kelamin perempuan sebanyak 21 orang (53%) dibanding jenis kelamin laki-laki sebanyak 24 orang (47%). Sedangkan pada data pasien DSS jumlah terbanyak juga terdapat pada jenis kelamin perempuan sebanyak 25 orang (56%) dibandingkan laki-laki sebanyak 20 orang (44%). Selanjutnya dilakukan analisis data dari hasil pemeriksaan laboratorium yaitu jumlah trombosit dan jumlah hematokrit. Data tersebut dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok DSS dan kelompok DBD. Kedua variabel tersebut dianalisis menggunakan metode chi square untuk mendapatkan ada tidaknya hubungan antar variabel yang diteliti. Dari total sampel sebanyak 90 orang, baik pasien DSS maupun DBD tidak terdapat seorangpun yang meninggal dunia.
32
4.2.
Pembahasan Pada penelitian ini faktor-faktor yang diteliti adalah jumlah trombosit
dan
jumlah
hematokrit.
Setelah
data
dianalisis
dengan
menggunakan metode chi square didapatkan hasil nilai p dari jumlah trombosit (p=0,284) dan jumlah hematokrit (p=0,046). Jumlah rata-rata jumlah trombosit sebesar 53.922 sel/mmk dan jumlah hematokrit sebesar 44,19%. Nilai RR dari jumlah trombosit terhadap kejadian syok pada pasien DBD (DSS) anak sebesar 1,265 dan nilai RR dari jumlah hematokrit sebesar 0,616. Dapat disimpulkan bahwa jumlah trombosit < 50.000sel/mmk dapat meningkatkan risiko terjadinya DSS pada anak sebesar 1,265 kali. Sedangkan berdasar karakteristik umur dan jenis kelamin dapat dilihat bahwa untuk kasus DSS terbanyak pada rentang usia >10 tahun yaitu sebanyak 15 orang (33%) dan DBD sebanyak 21 orang (46%) pada rentang usia 1-5 tahun. Berikutnya adalah pada rentang 6-10 tahun untuk kasus DSS sebanyak 14 orang (31%) dan DBD rentang usia lebih dari 10 sebanyak 11 orang (24%). Selanjutnya pada kasus DSS rentang 1-5 tahun sebanyak 13 orang (28%) dan rentang usia 6-10 tahun sebanyak 9 orang (20%). Dan yang paling sedikit pada rentang usia <1 tahun pada kasus DSS yaitu sebanyak 3 orang (6%) dan pada kasus DBD pada rentang <1 tahun pula sebanyak 4 orang (8%). Berdasar data pada tabel 3, dapat diketahui dari analisis bivariat dengan metode chi square dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara jumlah trombosit dengan kejadian DSS pada pasien anak (p=0,284). Hasil tersebut sama dengan hasil penelitian yang dilakukan Setiawati Santun (2011) bahwa tidak terdapat hubungan antara jumlah trombosit dengan kejadian DSS pada pasien anak. Namun hal tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ryanka R, dkk., yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara jumlah trombosit dengan kejadian DSS pada pasien anak. Penurunan trombosit dari nilai normalnya (trombositopenia) adalah kelainan hematologi yang terjadi pada sebagian besar kasus DBD. 33
Nilai/jumlah trombosit mulai menurun saat fase demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok (DSS). Namun pada beberapa studi menjelaskan bahwa trombositopenia tidak dapat digunakan untuk menjelaskan atau menilai derajat DBD/DSS (Heatubun. C.E., dkk., 2013). Trombositopenia dianggap sebagai indikator atau penyebab utama terjadinya perdarahan yang menjadi salah satu manifestasi pada kasus DBD dan DSS (Soedarmo, dkk.,2012). Pada infeksi virus dengue akan berakibat kerusakan pada sel progenitor pada pertumbuhan sel, termasuk di dalamnya adalah pertumbuhan sel-sel trombosit pada proses trombopoisis, sehingga akan menurunkan jumlah trombosit dalam sirkulasi. Ketika virus dengue menginfeksi tubuh, maka akan menyebabkan jejas vaskuler yang akan menyebabkan melekatnya trombosit pada dinding endotel yang pada keadaan normal tidak terjadi hal serupa
(Soedarmo,
dkk.,2012).
Rendah
tidaknya
jumlah
trombosit
kemungkinan diakibatkan pula oleh luas tidaknya jejas endotel yang diakibatkan oleh infeksi virus dengue. Semakin kecil/tidak luas jejas endotel yang diakibatkan karena infeksi tersebut akan semakin sedikit pula penurunan jumlah trombosit pada penderita DBD maupun DSS, dan sebaliknya. Selain itu, gangguan pada trombosit saat disirkulasi juga dapat mempengaruhi penurunan jumlah trombosit seperti gangguan agregasi, menempel pada endotel yang rusak, destruksi perifer dan kompleks imun (Sutaryo ,2005). Oleh sebab itu, ketika terdapat jejas akibat dari infeksi virus dengue dan diikuti dengan adanya gangguan sirkulasi maka jumlah trombosit akan semakin semakin turun. Namun penelitian ini tidak didapatkan perbedaan yang signifikan antara kejadian DSS dengan penghitungan jumlah trombosit. Meskipun penurunan jumlah trombosit (trombositopenia) tidak signifikan dengan terjadinya kejadian syok pada kasus DBD (DSS) anak, hal tersebut sebenarnya dapat memicu terjadinya kejadian syok secara tidak langsung. Pada proses terjadinya infeksi virus dengue, agregasi trombosit terjadi akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membrane trombosit dan akan mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosine diphosphat), 34
sehingga menyebabkan trombosit melekat satu sama lain. Proses tersebut menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Selain itu, agregasi trombosit juga akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III yang akan menyebabkan KID (koagulasi intravaskuler deseminata). Selain mekanisme dari infeksi virus dengue yang menyerang sel progenitor dalam proses trombopoisis yang menyebabkan trombositopenia, virus dengue juga menginfeksi dengan cara mengganggu dari fungsi trombosit itu sendiri. Ketika virus dengue mengganggu pada fungsi trombosit, aktivitas trombosit sebagai pencegah perdarahan akan terganggu meskipun jumlah trombosit dalam sirkulasi tetap banyak ataupun normal. Selain itu, gangguan fungsi trombosit juga akan menyebabkan mudah rupturnya pembuluh darah atau endotel (Azeredo. E.L.A., dkk., 2015). Selain mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, infeksi virus dengue pada tubuh juga mengakibatkan menurunnya faktor koagulasi (protrombin, faktor V, VII, IX, X dan fibrinogen). Oleh sebab itu, meskipun jumlah trombosit dalam sirkulasi normal dan atau sedikit mengalami penurunan, manifestasi perdarahan juga akan tetap terjadi. Hal itu yang memungkinkan kejadian syok pada
DSS
tidak
menyebabkan
penurunan
dari
jumlah
trombosit
(trombositopenia) (Soedarmo. S.S.P., dkk., 2008). Dari mekanisme tersebut dapat dikatakan bahwa kejadian syok pada pasien DBD tidak selali diikuti dengan adanya trombositopenia. Terdapat dua teori yang menjelaskan tentang infeksi virus dengue yang akan mengakibatkan kejadian syok. Kedua teori tersebut yaitu infeksi sekunder (secondary heterolus infection) dan anti- body dependent enhancement (ADE). Dalam teori infeksi sekunder disebutkan bahwa ketika pasien mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe virus dengue , maka akan meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan jangka waktu yang lama. Namun ketika yang menginfeksi dari serotipe virus lain maka akan terjadi infeksi yang berat, hal tersebut dikarenakan antibody heterologus yang terbentuk pada infeksi primer akan membentuk kompleks antigen antibodi 35
baru yang berbeda. Kompleks tersebut tidak dapat dinetralisasi. Dari hal tersebut akan teraktifasi dan memproduksi IL-1, IL-6, tumor necrosis factoralpha (TNF-A) dan platelet activating factor (PAF). Aktifnya mediator tersebut menyebabkan peningkatan infeksi virus dengue (Soegijanto S., 2010). TNF alfa tersebut akan menyebabkan terjadinya kebocoran dinding pembuluh darah sehingga cairan plasma merembes ke jaringan tubuh yang menyebabkan terjadinya kerusakan endotel pembuluh darah (Dewi BE., dkk., 2007). Pendapat yang dijelaskan oleh Gibson RV, 2010, menjelaskan bahwa kompleks imun yang terbentuk akibat adanya infeksi virus dengue akan merangsang sistem komplemen yang efek atau aktivasinya cepat dan pendek serta bersifat vasoaktif
dan prokoagulan sehingga dapat menimbulkan
kebocoran plasma dan perdarahan pada penderita DBD dan DSS. Namun perdarahan tersebut hanya menimbulkan trombositopenia ringan. Manifestasi klinis demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus. Virus akan berkembang di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh makrofag. Segera terjadi viremia selama 2 hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima hari gejala panas mulai. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap virus dan memprosesnya sehingga makrofag menjadi APC(Antigen Presenting Cell). Antigen yang menempel di makrofag ini akan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan mengaktifasi sel Tsitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi, antibodi fiksasi komplemen. Ketiga antibodi tersebutlah yang akan juga membentuk kompleks antigen antibodi pada tubuh akibat virus dengue. Berdasar tabel 4.4 , dapat diketahui bahwa terdapat peningkatan jumlah hematokrit terbanyak pada kasus tersebut yaitu sebanyak 59 orang (65,6%) dengan 34 orang pada kasus DSS dan 25 orang pada kasus DBD dengan rata-rata peningkatan sebesar 44,19%. Dari analisis bivariat dengan metodr chi square didapatkan mempunyai nilai p=0,046 yang menunjukkan 36
bahwa terdapat hubungan antara peningkatan jumlah hematokrit dengan kejadian syok pada pasien DBD (DSS) anak. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Setiawati Santun (2011), yang menunjukkan adanya hubungan antara peningkatan jumlah hematokrit dengan kejadian syok pada pasien DBD (DSS) anak. Namun hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ryanka R, dkk., yang mendapatkan hasil tidak terdapat hubungan antara jumlah hematokrit dengan kejadian syok pada pasien DBD (DSS) anak. Hematokrit sebagai salah satu indikator hematologi untuk mengetahui keadaan pasien yang menderita penyakit DBD dan DSS. Peningkatan jumlah hematokrit ≥20% pada pasien DBD menandakan terjadinya hemokonsentrasi. Hemokonsentrasi terjadi diakibatkan karena peningkatan permeabilitias kapiler, yang menyebabkan adanya perpindahan cairan dari intravaskuler melalui celah interseluler (WHO,2005). Peningkatan permeabilitas endotel tersebut akibat adanya jejas atau kerusakan endotel ditambah juga oleh proses agregasi trombosit. Hematokrit sebagai indikator terjadinya kebocoran plasma pada infeksi virus dengue yang berperan penting dalam patofisiologi terjadinya syok khususnya pada penderita DBD yang akhirnya dapat menyebabkan terjadinya syok (DSS). Selain itu, jumlah hematokrit akan meningkat lebih tinggi ketika masa infeksi daripada ketika masa sebelum sakit atau masa penyembuhan. Jumlah hematokrit yang melebihi batas normal dapat digunakan sebagai acuan melihat derajat keparahan kebocoran plasma (WHO,2009). Kenaikan hematokrit bersamasama dengan penurunan jumlah trombosit berperan mengakibatkan terjadinya kejadian syok pada pasien DBD anak. Selain kedua faktor tersebut, faktor kerusakan endotel (pembuluh darah) dan faktor koagulasi juga ikut berperan didalamnya.
37