BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
4.1.1 Kondisi Geografis Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5º50' - 7º50' Lintang Selatan dan 104 º 48' - 108 º 48' Bujur Timur, dengan batas-batas wilayahnya: −
Sebelah Utara, berbatasan dengan Laut Jawa dan DKI Jakarta
−
Sebelah Timur, berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah
−
Sebelah Selatan, berbatasan dengan Samudra Indonesia
−
Sebelah Barat, berbatasan dengan Provinsi Banten Jawa Barat memiliki lahan yang subur, sebagian besar dari luas tanahnya
digunakan untuk pertanian. Ini lebih dimungkinkan karena Jawa Barat yang beriklim tropis. Luas wilayah Propinsi Jawa Barat adalah 34.816,96 km², terdiri dari 17 kabupaten, 9 kota, 558 kecamatan dan 5.778 desa atau kelurahan. Secara geografis, letak Propinsi Jawa Barat yang berdekatan dengan ibukota negara menyebabkan Jawa Barat sering disebut sebagai propinsi penyangga ibukota. Posisi strategis tersebut memberikan keuntungan bagi Jawa Barat dari segi komunikasi dan perhubungan.
Topografi wilayah Jawa Barat bagian Utara adalah daerah berdataran rendah, sedangkan wilayah Jawa Barat bagian selatan adalah daerah berbukit-bukit dengan sedikit pantai. Selain itu wilayah Jawa Barat bagian tengah adalah dataran tinggi bergunung-gunung. Kawasan pantai utara Propinsi Jawa Barat merupakan dataran rendah. Di bagian tengah merupakan pegunungan, yakni bagian dari rangkaian pegunungan yang membujur dari barat hingga timur Pulau Jawa. Titik tertingginya adalah Gunung Ciremai, yang berada di sebelah barat daya Kota Cirebon. Sungai-sungai yang cukup penting adalah Sungai Citarum dan Sungai Cimanuk, yang bermuara di Laut Jawa. Jawa Barat memiliki lahan yang subur yang berasal dari endapan vulkanis. Banyaknya aliran sungai menyebabkan sebagian besar dari luas tanah di wilayah propinsi Jawa Barat digunakan untuk pertanian. Pengembangan pertanian di Jawa Barat dimungkinkan karena secara umum Jawa Barat beriklim tropis. Pada tahun 2008, Kota Bandung sebagai Ibukota Propinsi Jawa Barat memiliki curah hujan yang tertinggi pada bulan Desember yang mencapai 332,8 mm, sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli yaitu 3,6 mm. Kecepatan angin rata-rata selama tahun 2008 sebesar 2 knot dengan tekanan udara sebesar 922,6 mb dan kelembaban nisbi mencapai 79 persen. Sementara pada tahun 2009 bulan Juni kecepatan rata-rata angin berkisar 1,8 knot dengan kelembaban nisbi 82 persen.
Gambar 4.1. Peta wilayah Propinsi Jawa Barat
4.1.1 Kondisi Demografis Pada tahun 2010 jumlah penduduk di Kabupaten /Kota Jawa Barat yang paling banyak ada di Kabupaten Bogor, yaitu sebesar 4,4 juta jiwa dan diikuti oleh Kabupaten Bandung 3,1 juta jiwa. Hal ini tidak berbeda dengan kondisi di tahun sebelumnya. Sedangkan penduduk terkecil berada di kota Banjar yaitu sebanyak 0,18 juta jiwa. Jumlah rumah tangga pada tahun 2009 di Jawa Barat mencapai 11.316.592 rumah tangga, dengan rata-rata per rumah tangga 4 anggota. Jumlah Rumah tangga tertinggi berada di Kabupaten Bogor, yaitu 1.037.408 rumah tangga, Kabupaten Bandung sebesar 763.824 rumah tangga dan ketiga terbesar adalah Kota Bandung sebesar 721.920 rumah tangga. Menurut Hasil Angka Sementara
Sensus Penduduk (SP) jumlah penduduk Jawa Barat pada tahun 2010 mencapai 43.021.826 jiwa. Bedasarkan periode Sensus per sepuluh tahun pada tahun 1980 sebesar 23,4 juta, tahun 1990 sebesar 29,4 juta dan pada tahun 2000 mencapai 35,7 juta. Sex rasio hasil angka sementara sensus pada tahun 2010 sebesar 103,46 naik bila dibandingkan tahun 2000 sebesar 102,11 ataupun tahun 1990 sebesar 100,97 persen. Pada tahun 2010 Laju Pertumbuhan Penduduk sebesar 1,89 persen, Kepadatan Penduduk 1.159 orang/km, dengan luas wilayah sebesar 371.164,54 km2. Jumlah Penduduk Miskin di Jawa Barat sebesar 4.852.520 ribu jiwa. Adapun penduduk miskin tertinggi berada di Kabupaten Bogor yaitu 446,04 ribu jiwa atau 9,19 persen, dan terendah di Kota Banjar sebesar 12,9 ribu jiwa atau 0,30 persen. Persentase penduduk miskin di Jawa Barat sebesar 11,58 persen, tertinggi ada di Kota Tasikmalaya yaitu sebesar 23,55 persen, disusul oleh Kabupaten Cirebon sebesar 18,22 persen, terendah ada di kabupaten Bekasi 5,97 persen. Garis Kemiskinan di Jawa Barat tahun 2009 sebesar Rp. 220.068,- per kapita per bulan, tertinggi ada di kota Bekasi sebesar Rp. 299.432,- per kapita / bulan dan terendah ada di Kota Banjar yaitu Rp. 179.144,- per kapita per bulan. Jumlah penduduk, laju pertumbuhan penduduk dan kepadatan penduduk tiap kota dan kabupaten di wilayah Jawa Barat dan Banten adalah sebagai berikut :
Tabel 4.1. Jumlah Penduduk, Laju Pertumbuhan Penduduk Dan Kepadatan Penduduk Tiap Kota Dan Kabupaten Di Jabar Dan Banten Tahun 2010 NO.
KABUPATEN/KOTA
Jumlah Penduduk
Laju Pertumbuhan Penduduk (%)
Luas Wilayah (km2)
Kepadatan Penduduk (orang/km2)
1
Kab. Bogor
4.453.927
3.13
2997.13
1.589
2
Kab. Sukabumi
2.293.742
1.22
4160.75
562
3
Kab. Cianjur
2.189.328
1.10
3594.65
603
4
Kab. Bandung
3.148.951
2.56
1756.65
1.807
5
Kab. Garut
2.504.237
1.60
3094.40
776
6
Kab. Tasikmalaya
1.860.157
0.88
2702.85
619
7
Kab. Ciamis
1.615.759
0.47
2740.76
558
8
Kab. Kuningan
1.173.528
0.53
1189.60
872
9
Kab. Cirebon
2.211.186
0.68
1071.65
1.928
10
Kab. Majalengka
1.219.145
0.40
1343.95
868
11
Kab. Sumedang
1.143.992
1.21
1560.49
699
12
Kab. Indramayu
1.827.878
0.46
2092.10
795
13
Kab. Subang
1.486.412
0.96
2164.48
675
14
Kab. Purwakarta
819.005
1.99
989.89
860
15
Kab. Karawang
2.134.389
1.76
1914.16
1.110
16
Kab. Bekasi
2.121.122
4.69
1269.51
2.071
17
Kab.Bandung Barat
1.548.434
1.99
1335.60
1.184
18
Kota Bogor
895.596
2.39
111.73
8.494
19
Kota Sukabumi
311.559
1.73
48.96
6.112
20
Kota Bandung
2.510.982
1.15
168.23
14.228
21
Kota Cirebon
304.152
0.84
40.16
7.364
22
Kota Bekasi
2.176.743
3.48
213.58
10.939
23
Kota Depok
1.465.826
4.30
199.44
8.707
24
Kota Cimahi
547.862
2.06
41.20
13.134
25
Kota Tasikmalaya
640.324
1.86
184.38
3.440
26
Kota Banjar
185.993
1.14
130.86
1.338
27
Kab.Pandeglang
1.099.746
0.96
2746.91
398
28
Kab.Lebak
405
Kab. Serang
2.29 1.25
3044.72
29
1.258.893 1.345.557
1704.12
1.072
30
Kota Serang
1.554.827
1.82
187.00
8.192
349.162 1.627.347
1.93 1.75
176.00 1441.76
1.958 3.326
31
Kota Cilegon Rata-rata Sumber : Biro Pusat Statisik, 2010
4.1.2 Kondisi Ketenagalistrikan di Wilayah Jawa Barat dan Banten Kebutuhan tenaga listrik di wilayah Jawa Barat dan Bali dipenuhi dari sistem interkoneksi Jamali, pembangkit captive, serta pembangkit isolated. Pembangkit captive adalah pembangkit yang produksi listriknya terutama digunakan untuk keperluan sendiri. Pada beberapa pembangkit captive, kelebihan listrik yang diproduksi juga dijual kepada masyarakat umum.
Sedangkan
pembangkit isolated adalah pembangkit yang berdiri sendiri untuk melayani beban pada daerah setempat. Di Propinsi Banten terdapat banyak industri yang menggunakan captive power yang diperkirakan mencapai 2.330 MW antara lain PT Krakatau Daya Listrik yang memiliki PLTU gas alam sebesar 400 MW yang waktu malam hari telah menjual listriknya ke PT. PLN (Persero) sebesar 80 MW. Pembangkit besar yang ada di Propinsi Banten adalah PLTU Suralaya dengan total kapasitas terpasang 3.400 MW. Penduduk Jawa Barat pada tahun 2002 mencapai 37 juta jiwa, dengan jumlah desa 5.593. Desa berlistrik sudah mencapai hampir 100% sedangkan rasio elektrifikasi baru mencapai 55%. Penjualan tenaga listrik di Propinsi Jawa Barat mencapai 25.840 GWH sampai dengan Desember 2003 dengan komposisi 57% pelanggan industri, rumah tangga 35%, sektor komersial 6% dan umum kurang lebih 2%. Perkembangan penjualan tenaga listrik tahun 1999-2003 menunjukkan bahwa konsumsi tenaga listrik telah tumbuh sebesar 7% per tahun.
4.1.3.1 Jumlah Pelanggan Listrik Realisasi jumlah pelanggan PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten selama tahun 2003-2008 mengalami peningkatan dari 6.467.737 menjadi 8.146.194 atau bertambah rata-rata 321.275 pelanggan tiap tahunnya. Penambahan pelanggan terbesar masih terjadi pada sektor rumah tangga, yaitu rata-rata 296.383 per-tahun, dan diikuti sektor komersil dengan rata-rata 13.334 pelanggan per-tahun dan sektor publik rata-rata 11.448 pelanggan per-tahun. Tabel 4.2. Jumlah Pelanggan Listrik Di Wilayah PLN Distribusi Jawa Barat Dan Banten Menurut Sektor Pelanggan Dalam Enam Tahun Terakhir JENIS TARIF Rumah Tangga
UNIT
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Plg
6.138.618
6.360.947
6.636.039
6.757.604
7.306.318
7.684.353
Komersil
Plg
169.738
180.335
192.315
340.277
219.393
242.218
Publik
Plg
148.939
159.703
169.468
181.622
196.228
208.626
Industri
Plg
10.442
10.467
10.554
10.434
10.696
10.997
Total
Plg
6.467.737
6.711.452
7.008.376
7.289.937
7.732.635
8.146.194
Growth
%
4.0
3.8
4.4
4.0
6.1
5.3
%
4.7
Plg
249.193
243.715
296.924
281.561
442.698
413.559
Growth Rata-rata Delta Pelanggan
Sumber : Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2010-2019
Tabel 4.2 di atas menunjukkan perkembangan jumlah pelanggan PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten menurut sektor pelanggan dalam enam tahun terakhir.
4.1.3.2 Rasio Elektrifikasi Rasio elektrifikasi didefinisikan sebagai jumlah rumah tangga yang sudah berlistrik dibagi dengan jumlah rumah tangga yang ada di wilayah PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten. Perkembangan rasio elektrifikasi PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten dari tahun ke tahun mengalami kenaikan, yaitu dari 56,84% pada tahun 2003 menjadi 64,37% pada tahun 2008. Pada Tabel 4.5 diperlihatkan perkembangan rasio elektrifikasi di wilayah PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten. Tabel 4. 3. Rasio Elektrifikasi PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten URAIAN
UNIT
Rasio Elektrifikasi Jumlah RT (x000) Pelanggan RT (x000)
2003
2004
2005
2006
2007
2008
%
56.84
56.58
56.21
56.36
60.17
64.37
Rumah
10800
11242
11806
11990
12065
11938
Rumah
6138.6
6360.9
6636
6757.6
7306.3
7684.4
Sumber : Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2010-2019
Adapun rasio elektrifikasi Jawa Barat
berdasarkan Data Direktorat
Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi (DJLPE) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral RI tahun 2010 adalah 67,40 %, dan Banten sebesar 63.9%. Perbandingan rasio elektrifikasi Jawa Barat dengan propinsi-propinsi lainnya di Indonesia ditampilkan pada tabel berikut ini : Tabel 4.4. Rasio Elektrifikasi Jawa Barat Dan Propinsi Lain Di Indonesia NO.
PROPINSI
RASIO ELEKTRIFIKASI (%)
1 2 3 4 5 NO.
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi PROPINSI
76.98 69.68 69.73 55.84 51.41 RASIO
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kepulauan Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Rata-rata
ELEKTRIFIKASI (%) 50.30 51.46 48.82 72.88 55.84 100.00 67.40 71.24 84.48 71.55 63.90 74.98 48.83 45.22 72.29 68.56 66.87 48.30 55.20 38.09 49.79 55.20 32.51 24.55 54.51 49.44 32.35 32.35 57.90
Sumber : DJLPE DEP ESDM RI, 2010
Rasio elektrifikasi Jawa Barat berdasarkan tabel 4.6 berada diatas rata-rata rasio elektrifikasi nasional. Meskipun demikian, rasio elektrifikasi Jawa Barat adalah terendah setelah Propinsi Banten jika dibandingkan dengan propinsi-propinsi lain yang kebutuhan energi listriknya dipasok oleh sistem kelistrikan Jamali. Rasio elektrifikasi Jawa Barat juga lebih rendah dari rasio elektrifikasi beberapa propinsi di luar Pulau Jawa seperti Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (76,98 %), Sumatera Utara (69,8 %), Sumatera Barat (69,37%), Kepulauan Bangka Belitung (72,88 %),
Kalimantan Selatan (72,29 %) dan Kalimantan Timur (68,56 %). Rasio elektrifikasi Jawa Barat memang lebih tinggi dibandingkan rasio elektrifikasi propinsi-propinsi di kawasan timur Indonesia yang meliputi Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, Pulau Papua dan Kepulauan Nusa Tenggara. Tetapi perbandingan data rasio elektrifikasi tersebut menunjukkan infrastruktur kelistrikan di Propinsi Jawa Barat belum menyentuh seluruh rumah tangga yang terdapat di Propinsi Jawa Barat Rasio elektrifikasi setiap kota/kabupaten di wilayah Jawa Barat dan Banten adalah sebagai berikut : Grafik 4.1.Rasio Elektrifikasi Kota dan Kabupaten di Wilayah Jawa Barat dan Banten Banten
69%
78% 75% 77%
Banjar Cimahi
68%
Bekasi
81% 82%
62%
Bandung
73%
Bogor
78% 85%
70%
Pandeglang
66% 66% 67% 67%
Bandung Barat Karawang Subang Sumedang
54%
Kab.Cirebon Ciamis Garut
53%
Cianjur
52%
Kab.Bogor 0%
10%
20%
30%
40%
50%
74%
81%
66% 64% 64% 66% 63% 60% 60%
58% 58%
60%
80%
70%
Rasio Elektrifikasi (%) Sumber : Data Statistik PLN Jawa Barat dan Banten Tahun 2010
80%
90%
Grafik diatas menunjukkan masih belum meratanya rasio elektrifikasi di beberapa kota dan kabupaten di Jawa Barat dan Banten. Hal ini menunjukkan pula belum meratanya infrastruktur kelistrikan di wilayah Jawa Barat dan Banten. Beberapa wilayah seperti di Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Kabupaten Bandung, Garut dan Majalengka rasio elektrifikasinya masih rendah, yaitu masih dibawah 60%. Sedangkan Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Bekasi dan Kota Depok rasio elektrifikasinya sudah lebih dari 80%.
4.1.3.3 Kapasitas Pembangkit Pada tahun 2008 kapasitas terpasang pembangkit yang ada di wilayah PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten adalah 8.411,80 MW. Dengan terus meningkatnya beban puncak, maka reserve margin pada tahun 2008 diperkirakan akan menurun. Ditambah lagi dengan beberapa permasalahan operasional seperti pasokan BBM dan batubara yang sering tersendat, pasokan gas yang menurun, derating, dan kerusakan pembangkit, maka kondisi tersebut mengakibatkan pada periode waktu beban puncak (WBP) di wilayah PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten beberapa waktu yang lalu mengalami kekurangan daya dan energi. Untuk mempertahankan keseimbangan pasokan dan kebutuhan listrik terpaksa dilakukan pemadaman. Pembangkit yang ada di wilayah PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten berdasarkan jenis pembangkit dan pengelolaannya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4. 5 Kapasitas Terpasang Pembangkit Tahun 2008 Pembangkit
Kapasitas MVA
PLTA Ubrug PLTA Kracak PLTA Plengan PLTA Lamajan PLTA Cikalong PLTA Bengkok PLTA Parakan PLTA Saguling
18.4 18.9 6.9 19.5 18 3.9 9.9 698.4
PLTA Cirata PLTA Jatiluhur PLTU Suralaya PLTU Labuan PLTU Sumurade PLTU Krakatau DL PLTGU Cilegon PLTGU Muaratawar PLTGU Muaratawar PLTGU Muaratawar PLTG Sunyaragi PLTG Cikarang PLTP Salak PLTP Kamojang PLTP Darajat PLTP Salak 4-56 PLTP Darajat 2 PLTP Darajat 3 PLTP Wayang Windu PLTP Kamojang 4
948 180 3209 300 300 460 840 585 270 72 150 170 132 52 183 90.2 105.8 110.8 60.2
Unit Pengelola
Lokasi
Keterangan
Indonesia Power Indonesia Power Indonesia Power Indonesia Power Indonesia Power Indonesia Power Indonesia Power Indonesia Power Pembangkitan Jawa Bali PO Jasa Tirta Indonesia Power PLTU Labuan PLTU Sumuradem Krakatau Daya Listrik PLTGU Cilegon
Sukabumi Bogor Pangalengan Pangalengan Pangalengan Dago Sumedang Cianjur
Milik PLN Milik PLN Milik PLN Milik PLN Milik PLN Milik PLN Milik PLN Milik PLN
Purwakarta Purwakarta Banten Pandeglang Indramayu
Milik PLN Milik Swasta Milik Swasta Milik PLN Milik PLN
Banten Banten
Milik Swasta Milik PLN
PLTGU Muaratawar Pembangkitan Jawa Bali Pembangkitan Jawa Bali Indonesia Power Cikarang Listerindo Indonesia Power Indonesia Power Indonesia Power Daya Bumi Salak Pratama Chevron Geothermal Chevron Geothermal
Bekasi
Milik PLN
Bekasi
Milik PLN
Bekasi Cirebon Bekasi Bogor Garut Garut
Milik PLN Milik PLN Milik Swasta Milik PLN Milik PLN Milik PLN
Bogor Garut Garut
Milik Swasta Milik Swasta Milik Swasta
Garut
Milik Swasta
Pangalengan
Milik Swasta
Magma Nusantara Pertamina Geothermal
Sumber : Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2010-2019
4.1.3.4 Keandalan Pasokan Realisasi keandalan pasokan listrik kepada konsumen yang diukur dengan faktor SAIDI dan SAIFI jaringan di wilayah PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten pada enam tahun terakhir menunjukkan perbaikan. Indeks SAIDI membaik
dari
487
menit/pelanggan/tahun
pada
tahun
2003
menjadi
139,25menit/pelanggan/tahun pada tahun 2008. Sedangkan SAIFI juga membaik dari 14,26 kali/pelanggan/tahun menjadi 4,73 kali/pelanggan/tahun. Selengkapnya SAIDI dan SAIFI enam tahun terakhir dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 4. 6. SAIDI dan SAIFI Tahun 2003 - 2008 URAIAN SAIDI SAIFI
UNIT mnt/plg/thn kali/plg/thn
2003 487.00 14.26
2004 375.00 13.80
2005 348.00 12.00
2006 214.23 7.79
2007 170.00 6.04
2008 139.25 4.73
Sumber : Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2010-2019
4.1.3.5 Masalah Mendesak : Daerah Krisis Definisi krisis adalah suatu kondisi sistem dimana kemampuan pasokan dari pembangkit PLN tidak mencukupi dari pada kebutuhan beban puncak. Ada beberapa daerah atau sistem kelistrikan pada akhir tahun 2008 mengalami krisis. Hal ini ditandai oleh adanya beberapa gardu induk yang bebannya sudah di atas 80% sementara permintaan sambungan baru calon pelanggan besar jumlahnya cukup banyak. Pada akhir tahun 2008 terdapat 58 buah trafo GI dari jumlah keseluruhan trafo GI sebanyak 199 buah di wilayah PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten yang bebannya sudah mencapai diatas 80%. Adapun jumlah gardu induk yang
bebannya sudah mencapai 70%-80% jumlahnya sudah mencapai 25 buah dan yang sudah melebihi 80% jumlahnya sudah mencapai 21 buah dari jumlah keseluruhan gardu induk sebanyak 97 buah. Gardu Induk yang sudah berbeban diatas 80% dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 4.7. Gardu Induk Beban Diatas 80% Tahun 2008
Sumber : Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2010-2019
4.1.3.6 Penanggulangan Daerah Krisis Kondisi krisis penyediaan tenaga listrik di beberapa daerah di wilayah PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten pada dasarnya terjadi karena keterlambatan penyelesaian proyek pembangkitan tenaga listrik, baik proyek PLN
maupun IPP (Independent Power Plant) dan proyek-proyek pembangunan gardu induk baru, penambahan kapasitas trafo GI dan beberapa proyek transmisi. Penyebab keterlambatan ada berbagai hal, antara lain kesulitan pendanaan dan kendala pembangunan di lapangan, sehingga proyek yang sudah dijadwalkan tidak dapat beroperasi tepat waktu. Langkah-langkah yang telah diambil oleh PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten untuk menanggulangi daerah krisis sampai saat ini meliputi pembelian energi listrik dari pembangkit skala kecil, bermitra/kerjasama operasi pembangkit dengan Pemda setempat, serta pembelian excess power.
4.1.3.7 Wacana Penerapan Tarif Listrik Regional di Wilayah Jawa Barat dan Banten Pada
bulan
September
2009,
DPR
akhirnya
meloloskan
RUU
Ketenagalistrikan menjadi UU baru menggantikan UU No 15/1985. Dalam UU Ketenagalistrikan yang baru ini dinyatakan bahwa usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah daerah. Pemerintah Provinsi, dan Kabupaten/Kota mempunyai peran dan tanggung jawab besar untuk pengembangan sistem ketenagalistrikan, termasuk penentuan tarif listrik regional. Tarif Dasar Listrik (TDL) yang seragam di berbagai daerah hingga saat ini tidak mampu lagi mengimbangi biaya produksi listrik atau Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik.
Penerapan tarif listrik regional diharapkan menjadi solusi penting untuk memberi insentif masuknya investasi kelistrikan sehingga dapat menambah kapasitas pembangkit listrik untuk mengatasi persoalan defisit listrik di berbagai daerah di Indonesia. Wilayah Jawa dan Bali sendiri dipandang oleh Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi (LPE) Departemen Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM) telah siap untuk melaksanakan kebijakan ini dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia (Jurnalnet.com 5 Desember 2006 dan Republika 3 Januari 2007). Namun dikarenakan beberapa kendala terkait kesiapan PLN serta belum adanya kajian yang lebih mendalam akan model strategi penerapannya di setiap wilayah, maka sampai dengan saat ini belum ada wilayah di daerah Jawa dan Bali yang telah melaksanakan tarif listrik regional. Pada bulan Maret tahun 2010 dilakukan Studi Tarif Dasar Listrik Untuk Menuju Tata Kelola Ketenagalistrikan Nasional Yang Sehat yang dilaksanakan oleh Konsorsium 6 Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia dan dituangkan pula oleh Nanang Hariyanto dan Sudarmono Sasmono dalam makalah berjudul “Model Ukuran Kesiapan Kandidat Daerah Pelaksana Tarif Listrik Regional Di Indonesia”, dan disajikan dalam Seminar IV Teknologi dan Bisnis Kelistrikan Institut Teknologi Bandung bulan November tahun 2011. Salahsatu hasil dari studi tersebut adalah direkomendasikannya propinsi Jawa Barat dan Banten untuk menerapkan tarif regional. Jawa Barat dan Banten secara umum dipandang salahsatu wilayah yang direkomendasikan untuk menerapkan tarif listrik regional dipandang dari beberapa indikator seperti rata-rata pendapatan perkapita
penduduk, kapasitas fiskal, potensi energi serta infrastruktur kelistrikan yang tersedia.
4.2.
Hasil dan Pembahasan Analisis kesenjangan (gap) antar wilayah dilakukan dengan menyampaikan
daftar pertanyaan/kuesioner serta melakukan wawancara dengan para pakar kelistrikan dan ekonomi energi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Ahli kelistrikan dan ahli ekonomi energi tersebut adalah : 1. Dr. Ir. Nanang Hariyanto ( Institut Teknologi Bandung) 2. Syarif Hidayat, Ph.D (Institut Teknologi Bandung) 3. Dr. Ir. Muhammad Nurdin (Institut Teknologi Bandung) 4. Dr. Ing. Ir. Yusra Sabri (Institut Teknologi Bandung) 5. Dr. Ir. Agus Purwadi (Institut Teknologi Bandung) 6. Sudarmono Sasmono, ST., MT. (Institut Teknologi Bandung) 7. Fitriana, ST., MT. (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Penulis juga melakukan wawancara dengan Bapak Muncul Daryoto, selaku Deputi Manajer Administrasi Niaga PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten untuk memperoleh informasi mengenai sejauh mana kesiapan dari PLN sendiri dalam rangka rencana penerapan tarif listrik regional khususnya di daerah Jawa Barat dan Banten. Wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan/kuesioner sebagai panduan serta wawancara semiterstruktur (Semistructure Interview), yaitu
wawancara yang termasuk ke dalam kategori in-depth interview, yang bertujuan untuk
menemukan
permasalahan
secara
lebih
terbuka,
dimana
narasumber/informan yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya. Selama melakukan wawancara, peneliti mendengarkan secara teliti dan mencatat serta merekam apa yang dikemukakan oleh narasumber/informan. Adapun ikhtisar lengkap narasumber penelitian ini terdapat pada tabel 4.8. sebagai berikut :
Tabel 4.8. Ikhtisar Narasumber Penelitian No.
Nama
Deskripsi Posisi/Jabatan
1.
Dr. Ir. Nanang Hariyanto
2.
Syarif Hidayat, Ph.D
3.
Dr. Ir. M. Nurdin
a. Kepala Laboratorium Sistem Tenaga dan Distribusi Elektrik STEI ITB b. Konsultan PT. PLN untuk Sistem Tenaga Listrik dan Kebijakan Pengembangan Kelistrikan di Sistem PLN c. Konsultan Sistem Tenaga Listrik dan Kebijakan Pengembangan Kelistrikan Yang Optimal untuk Perusahaan Minyak dan Gas di Indonesia d. Dikenal publik sebagai Ahli Sistem Kelistrikan dan Kebijakan Kelistrikan a. Mantan Ketua Laboratorium Teknik Tegangan dan Arus Tinggi STEI ITB b. Konsultan Teknologi Kabel Laut untuk Penyaluran Listrik di Indonesia bagi PT. PLN c. Konsultan Pemprof DKI untuk Pengembangan Kabel Laut bagi Penyaluran Listrik di Kep. Seribu d. Dikenal publik sebagai Ahli Petir dan Ahli Penyaluran Listrik Melalui Kabel Laut a. Ketua Program Studi Teknik Tenaga Listrik ITB b. Konsultan Kestabilan Sistem Tenaga Listrik di PT. PLN c. Dikenal publik sebagai Ahli Kestabilan Sistem Tenaga Listrik
Tanggal
Tempat
14 September 2011
Gedung Kerjasama PLN-ITB, Bandung
7 Oktober 2011
Gedung Kerjasama PLN-ITB, Bandung
3 Oktober 2011
Gedung Kerjasama PLN-ITB, Bandung
No.
Nama
4.
Dr.Ing. Ir. Yusra Sabri
5.
Dr. Ir. Agus Purwadi
6.
Sudarmono Sasmono, ST., MT.
7.
Fitriana, ST., MT
8.
Muncul Daryoto
Deskripsi Posisi/Jabatan
Tanggal
Tempat
a. Peneliti Senior di bidang Ekonomi Ketenagalistrikan b. Konsultan Pemprof DKI untuk Keekonomian Pengembangan Sistem Kelistrikan c. Dikenal publik sebagai Ahli Ekonomi Kelistrikan a. Kepala Laboratorium Penelitian Konversi Energi Elektrik STEI ITB dan Laboratorium Energi Terbarukan STEI ITB b. Konsultan PT. PLN untuk Keekonomian di Sistem Distribusi Listrik dan Penggunaan Energi Terbarukan c. Dikenal publik sebagai Ahli Teknologi Pembangkit Energi Terbarukan a. Peneliti Muda di Bidang Energi dan Kebijakan Kelistrikan di Indonesia Energy Institute b. Asisten Akademik di Program Studi Teknik Tenaga Listrik STEI ITB c. Konsultan Pemerintah Provinsi DKI Jaya dan Jawa Barat untuk Kebijakan Pengembangan Kelistrikan d. Dikenal Publik sebagai Ahli Kebijakan Kelistrikan Peneliti Bidang Energi Terbarukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
8 Maret 2012
Gedung Kerjasama PLN-ITB, Bandung
19 Maret 2012
Gedung Kerjasama PLN-ITB, Bandung
14 Maret 2012
Gedung Kerjasama PLN-ITB, Bandung
5 Maret 2012
Gedung 10 Kantor LIPI, Bandung
Deputi Manajer Administrasi Niaga PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten
4 April 2012
Kantor PT. PLN (Persero) Distribusi Jabar&Banten, Bandung
4.2.1 Hasil Wawancara serta Pengisian Daftar Pertanyaan/Kuesioner Dari hasil wawancara yang dilakukan mulai dari bulan September tahun 2011 sampai dengan bulan Maret tahun 2012, diperoleh informasi dari setiap narasumber sebagai berikut : 1.
Narasumber 1 : Dr. Ir. Nanang Hariyanto (Pakar Kelistrikan dan Ekonomi Energi, Institut Teknologi Bandung) Wawancara resmi dengan narasumber ini dilakukan pada tanggal 14 September 2011 bertempat di Gedung Kerjasama PLN-ITB, Kampus Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10 Bandung. Menurut narasumber, masyarakat yang siap secara ekonomi pasti sudah siap membayar tarif listrik pada nilai keekonomiannya. Karena itu untuk perbandingan berpasangan tingkat pertama yang dilakukan antara kriteria development gap dengan kriteria infrastructure electricity gap dapat dikatakan bahwa tingkat kepentingan kriteria development gap lebih besar atau minimal sama dengan tingkat kepentingan kriteria infrastructure electricity gap. Pada tingkat kedua, perbandingan berpasangan dilakukan di antara masing-masing sub kriteria pembentuk dari development gap dan sub kriteria pembentuk infrastructure electricity gap. Menurut narasumber, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) serta kontribusi sektor industri dan bisnis sama pentingnya karena merupakan merupakan cerminan dari pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan dalam penerapan tarif listrik regional PDRB serta kontribusi sektor industri dan bisnis sama-sama
merupakan hal yang krusial yang harus dipertimbangkan dimana tarif listrik dapat diterapkan pada nilai keekonomiannya di wilayah yang pertumbuhan ekonominya tinggi. Adapun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut narasumber lebih penting untuk dipertimbangkan dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga. Hal ini karena PDRB lebih mencerminkan pertumbuhan ekonomi secara umum serta menggambarkan keberhasilan pemerintah daerah setempat mengelola sumber daya yang ada, sedangkan konsumsi rumah tangga di suatu daerah hanya sebagai salahsatu gambaran dari kemampuan masyarakat saja. Jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan, maka PDRB lebih penting untuk dipertimbangkan jika suatu wilayah akan menerapkan tarif listrik regional. PDRB mencerminkan kemampuan ekonomi penduduk di suatu wilayah. Semakin tinggi PDRB semakin tinggi pula kemampuan ekonomi penduduk di wilayah tersebut. Berdasarkan teori Trickle Down Effect, kenaikan kapasitas atau kemampuan ekonomi orang – orang kaya akan menggulirkan (Trickle Down) peningkatan kesejahteraan pula pada kalangan menengah ke bawah. Akan berbeda halnya jika teori yang dipakai adalah teori kaum sosialis, dimana tingkat kemiskinan menjadi hal utama yang harus dipertimbangkan dalam hal pembangunan di suatu daerah termasuk penerapan tarif listrik regional. Namun dalam pelaksanaannya, kebijakan tarif listrik regional sudah pasti tidak akan diterapkan di wilayah
dimana tingkat kemiskinannya masih tinggi ataupun wilayah yang memiliki PDRB yang rendah. Jika dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD), tingkat kepentingan PDRB menjadi lebih rendah karena PAD lebih mencerminkan kemampuan dari pemerintah daerah itu sendiri. Daerah yang memiliki PAD tinggi dianggap dapat membangun infrastruktur kelistrikan yang lebih memadai meskipun tidak memiliki sumber daya energi yang mencukupi. Adapun kontribusi sektor industri dan bisnis dipandang narasumber mempunyai tingkat kepentingan yang sama dengan konsumsi rumah tangga. Sektor industri dan bisnis dianggap sektor yang paling memerlukan listrik yang andal dan berkualitas. Penerapan tarif listrik regional dimana listrik dijual pada harga keekonomiannya akan menjamin keandalan dan kualitas listrik yang disalurkan kepada konsumen. Jadi kedua sektor tersebut dianggap paling dapat menerima kebijakan tarif listrik regional selama kualitas dan keandalan listrik tetap terjaga. Sedangkan konsumsi rumah tangga dianggap sama tingkat kepentingannya dengan kontribusi sektor industri dan bisnis karena konsumsi rumah tangga mencerminkan tingkat kebutuhan sektor rumah tangga akan listrik. Daerah yang memiliki tingkat konsumsi rumah tangga yang tinggi menggambarkan bahwa tingkat kebutuhan dan pemakaian energi listrik di daerah tersebut juga tinggi. Kontribusi sektor industri dan bisnis dipandang narasumber sedikit lebih penting jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan. Tingkat kemiskinan merupakan salahsatu kriteria yang merupakan gambaran dari
kemampuan
masyarakat
untuk
memenuhi
kebutuhannya,
termasuk
didalamnya kebutuhan akan listrik. Namun angka tingkat kemiskinan seringkali tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya, sehingga kontribusi sektor industri dan bisnis masih sedikit lebih penting untuk dipertimbangkan dengan alasan bahwa angkanya masih lebih reliable, dan kedua sektor tersebut adalah sektor yang memerlukan listrik yang berkualitas dan andal. Sedangkan jika kontribusi sektor industri dan bisnis dibandingkan tingkat kepentingannya dengan PAD, maka kedua subkriteria tersebut adalah sama penting dimana PAD menggambarkan kemampuan pemerintah daerah itu sendiri untuk membangun infrastruktur kelistrikan di daerahnya. Alasan
yang
sama
juga
dikemukakan
narasumber
ketika
membandingkan kepentingan antara konsumsi rumah tangga dengan tingkat kemiskinan dan PAD. Tingkat kepentingan konsumsi rumah tangga dari masyarakat di suatu daerah masih lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan serta PAD. Sedangkan tingkat kemiskinan dan PAD dipandang narasumber memiliki tingkat kepentingan yang sama karena sama-sama
mencerminkan
tingkat
kemampuan,
yaitu
kemampuan
masyarakat dan kemampuan pemerintah daerah setempat. Dalam
hal
perbandingan
berpasangan
diantara
sub
kriteria
infrastructure electricity gap, narasumber berpendapat bahwa ketersediaan energi primer, density saluran distribusi listrik serta density kapasitas gardu distribusi listrik lebih penting untuk dipertimbangkan jika dibandingkan
dengan kualitas dan keandalan listrik. Menurut narasumber, jika suatu wilayah berhasil mengolah energi primer yang dimilikinya menjadi energi listrik dan menyalurkannya dengan baik, maka otomatis akan menjamin kualitas dan keandalan listrik di wilayah tersebut. Daerah dengan ketersediaan energi primer yang melimpah semestinya menanggung tarif listrik yang lebih rendah dari daerah yang jauh dari sumber-sumber energi primer untuk pembangkitan. Namun jika dibandingkan tingkat kepentingannya antara ketersediaan energi primer dengan infrastruktur listrik yang ada, dalam hal ini density saluran distribusi listrik dengan density kapasitas gardu distribusi, maka ketersediaan energi primer dianggap lebih penting. Jika suatu wilayah telah memiliki potensi energi yang mencukupi, maka selanjutnya dapat dibuat saluran distribusi dan gardu untuk penyalurannya. Adapun density saluran distribusi listrik dianggap sama pentingnya dengan density kapasitas gardu distribusi listrik mengingat kedua hal tersebut saling mengiringi satu sama lain dimana pembangunan saluran distribusi listrik akan selalu diikuti oleh pembangunan gardu listrik untuk penyalurannya. Masih menurut narasumber, daerah atau wilayah dengan infrastruktur kelistrikan yang lebih baik sebagai daerah yang didorong menerapkan kebijakan tarif listrik regional. Daerah atau wilayah tersebut adalah daerah atau wilayah yang secara agregat menunjukkan density (kerapatan) infrastruktur distribusi listrik yang tinggi. Adapun daerah atau wilayah dengan infrastruktur kelistrikan yang kurang baik tetap didorong untuk
menerapkan kebijakan tarif
listrik regional dengan syarat daerah atau
wilayah tersebut adalah daerah atau wilayah yang secara agregat menunjukkan density infrastruktur distribusi listrik yang rendah, namun memiliki kemampuan keuangan yang baik. Lebih lanjut menurut narasumber, ada 3 hal utama/pokok yg harus diperhatikan jika suatu wilayah akan menerapkan tarif listrik regional : a. Kesiapan PLN (Infratruktur) : seperti kesiapan jaringan listrik dan pelayanan kepada pelanggan b. Kesiapan sumber daya primer yang dimiliki daerah tersebut c. Kesiapan
masyarakat
(daya
beli,
kemampuan
dan
kemauan
masyarakat) Jika 3 hal diatas sudah terpenuhi, maka dpt dikatakan suatu wilayah telah siap untuk menerapakan tarif listrik regional. 2.
Narasumber 2 : Syarif Hidayat, Ph.D ( Pakar Kelistrikan Institut Teknologi Bandung) Wawancara resmi dengan narasumber ini dilakukan pada tanggal 7 Oktober
2011 bertempat di Gedung Kerjasama PLN-ITB, Kampus Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10 Bandung. Narasumber mengemukakan pendapatnya mengenai tingkat kepentingan antara kriteria-kriteria yang dibandingkan serta memberikan pendapat dan masukan-masukan terkait penerapan tarif listrik regional. Menurut narasumber, untuk perbandingan berpasangan tingkat pertama yang dilakukan antara kriteria development gap dengan kriteria infrastructure electricity gap maka yang paling penting dipertimbangkan dalam kaitannya
dengan rencana penerapan tarif listrik regional di suatu daerah adalah infrastructure electricity gap. Meskipun kedua kriteria tersebut agak sulit untuk dilihat mana yang lebih penting karena saling berkaitan erat satu sama lain, namun narasumber melihat adanya elastisitas antara konsumsi energi listrik dengan PDRB dimana untuk setiap 1% kenaikan energi listrik memerlukan 1,8 kali pertumbuhan listrik. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa infrastructure electricity gap idealnya lebih diperhatikan dalam hal penerapan tarif listrik regional. Pada perbandingan berpasangan tingkat kedua, narasumber berpendapat bahwa dalam kaitannya dengan penerapan tarif listrik regional, PDRB lebih penting untuk dipertimbangkan dibandingkan dengan kontribusi sektor industri dan bisnis, konsumsi rumah tangga serta pendapatan asli daerah (PAD). Di dalam PDRB sendiri terdapat komponen kontribusi sektor industri dan bisnis sehingga PDRB lebih dapat mencerminkan kondisi perekonomian di suatu wilayah. Jika dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga, maka PDRB jelas lebih penting karena angka konsumsi rumah tangga di suatu daerah seringkali menyesatkan. Sama halnya jika PDRB dibandingkan tingkat kepentingannya dengan PAD. Angka PAD menurut narasumber sering meragukan atau dengan kata lain sering diakali untuk kepentingan politis. Lebih lanjut narasumber mengemukakan bahwa pemberian subsidi untuk listrik adalah sesuatu yg tidak sehat, tidak menimbulkan iklim dimana orang mau berusaha. Seharusnya jika memang orang mampu membeli, biarkan orang tersebut membelinya. Ironisnya, di negara kita pihak yang disubsidi adalah pihak yang melakukan kegiatan konsumtif (seperti golongan
rumah tangga yang menggunakan listrik untuk televisi, AC, mesin cuci, dan lainlain), bukan untuk pihak-pihak yang melakukan kegiatan produktif yang menghidupi dan bermanfaat untuk orang banyak seperti pabrik, industri dan sejenisnya. Oleh karena itu kebijakan makro dari pemerintah sangat diperlukan. Adapun tingkat kemiskinan, lebih penting untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan PDRB, konsumsi rumah tangga, PAD dan kontribusi sektor industri dan bisnis. Hal ini menurut narasumber karena tingkat kemiskinan mencerminkan
pemerataan
secara
ekonomi.
Tingkat
kemiskinan
juga
mencerminkan penyerapan sektor informal yang tidak terhitung. Tingkat kemiskinan rendah akan berakibat pertumbuhan ekonomi yang positif. Kebijakan tarif listrik regional tidak akan diterapkan di daerah yang tingkat kemiskinannya tinggi karena masyarakat di daerah tersebut tidak akan mampu membayar tarif listrik pada tingkat keekonomiannya. Sedangkan kontribusi sektor industri dan bisnis sangat jelas lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif listrik regional di suatu daerah jika dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga dan PAD, dengan catatan bahwa sektor industri dan bisnis daerah tersebut berkontribusi langsung terhadap PDRB. Dalam hal perbandingan antar sub kriteria yang termasuk ke dalam infrastructure electricity gap, narasumber berpendapat bahwa ketersediaan energi primer adalah kriteria yang harus lebih diutamakan untuk diperhatikan dibandingkan dengan masalah kualitas dan keandalan (reliability). Jika ketersediaan energi sudah mencukupi, maka baru difikirkan bagaimana mengolah sumber energi primer tersebut sehingga dapat menjamin kualitas dan keandalan
yang tinggi di daerah tersebut. Jika daerah tersebut tidak mempunyai sumber energi yang memadai namun masyarakat serta pemerintah daerah setempat mampu secara financial, maka daerah tersebut dapat membeli energi dari daerah lain. Sejauh daerah yang bersangkutan mampu untuk membeli energi, maka masalah minimnya ketersediaan energi primer akan terselesaikan. Yang utama adalah memperoleh energi yang andal dan berkualitas. Lebih lanjut narasumber berpendapat bahwa Density Saluran Distribusi Listrik serta Density Kapasitas Gardu Distribusi Listrik lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif listrik regional di suatu daerah dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik serta ketersediaan energi primer. Pertimbangannya adalah dalam hal pembangunan infrastruktur kelistrikan harus dilihat dulu adanya density saluran distribusi dan density kapasitas gardu, baru kemudian berbicara keandalan. Density saluran distribusi dan density kapasitas gardu adalah enabler bagi keandalan listrik. Adapun jika dibandingkan tingkat kepentingannya antara density saluran distribusi listrik dengan density kapasitas gardu distribusi listrik, maka kedua subkriteria tersebut adalah sama penting karena saling berkaitan erat satu sama lain. Ada gardu listrik, maka harus ada saluran listrik. Begitupun sebaliknya. Narasumber juga memberikan masukan-masukan tambahan terkait rencana pelaksanaan tarif listrik regional di Indonesia khususnya di wilayah Jawa Barat dan Banten antara lain bahwa yang paling diperlukan adalah adanya kepastian hukum dan ketegasan dari pemerintah sendiri untuk menekan biaya ekonomi lain-
lain seperti pungutan liar dan sejenisnya. Baru selanjutnya dipertimbangkan masalah infrastruktur kelistrikannya. Mengenai kesiapan dari wilayah Jawa Barat dan Banten sendiri, narasumber berpendapat bahwa siap atau tidaknya wilayah Jawa Barat dan Banten menerapkan tarif listrik regional sebenarnya tinggal ditawarkan saja dengan beberapa alternatif . Masalah tarif listrik mahal dan murah adalah relatif, yang penting ketersediaan/availibility dari energi yang dimiliki. Dapat dikatakan bahwa sebenarnya jika dilihat dari karakteristik daerah/wilayah maka daerah Jabar dan Banten sudah siap untuk menerapkan tarif listrik regional. Yang paling penting adalah adanya kejelasan serta transparansi dalam proses bisnis yang dijalankan. Selain itu menurut narasumber, pemerintah sendiri masih melakukan kekeliruan dalam mengelola bisnis-bisnis stragtegis yang menyangkut public utility. 3.
Narasumber 3 : Dr. Ir. Muhammad Nurdin (Pakar Kelistrikan dan Ekonomi Energi, Institut Teknologi Bandung) Wawancara resmi dengan narasumber ini dilakukan pada tanggal 3 Oktober
2011 bertempat di Gedung Kerjasama PLN-ITB, Kampus Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10 Bandung. Narasumber mengemukakan pendapatnya mengenai tingkat kepentingan antara kriteria-kriteria yang dibandingkan serta memberikan pendapat dan masukan-masukan terkait penerapan tarif listrik regional. Menurut narasumber, untuk perbandingan berpasangan tingkat pertama yang dilakukan antara kriteria development gap dengan kriteria infrastructure electricity gap maka yang paling penting dipertimbangkan dalam kaitannya
dengan rencana penerapan tarif listrik regional di suatu daerah adalah infrastructure electricity gap.Terlebih untuk daerah di Pulau Jawa dimana berpenduduk lebih padat dibandingkan pulau lain di Indonesia serta kegiatan perekonomian lebih tinggi sehingga pembangunan infrastruktur kelistrikan mutlak dilakukan untuk menjamin listrik yang lebih andal dan berkualitas. Untuk perbandingan berpasangan tingkat kedua dari sub kriteria pembentuk development gap, narasumber berpendapat bahwa dalam kaitannya dengan penerapan tarif listrik regional, PDRB sama pentingnya untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan kontribusi sektor industri dan bisnis terhadap PDRB itu sendiri. Karena kontribusi sektor industri dan bisnis itu sendiri juga akan membentuk PDRB, maka kedua hal tersebut berada dalam tingkat kepentingan yang sama. Adapun PDRB, menurut narasumber, lebih penting untuk dipertimbangkan atau diperhatikan saat akan menerapkan tarif listrik regional di suatu daerah dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga, tingkat kemiskinan, serta Pendapatan Asli Daerah (PAD). PDRB lebih penting dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga karena didalam PDRB sudah termasuk seluruh kegiatan usaha dari penduduk di daerah tersebut seperti dari sektor industri, bisnis, termasuk di dalamnya kegiatan dari sektor rumah tangga. PDRB juga dianggap narasumber lebih penting untuk dipertimbangkan dibandingkan dengan tingkat kemiskinan dengan alasan jika listrik dianggap sebagai infrastruktur, maka dengan adanya listrik perekonomian akan meningkat sehingga diharapkan tingkat kemiskinan akan berkurang.
Adapun PDRB dianggap lebih penting dibandingkan dengan PAD. Menurut narasumber jika PDRB akan dibandingkan dengan PAD maka harus dilihat dulu kebijakan dari subsidi di daerah tersebut. Jika pemerintah daerah memiliki PAD yang tinggi sementara penduduknya masih banyak yang miskin, di Bengkalis misalnya, biasanya pemda setempat bersedia memberikan subsidi serta berinvestasi
untuk
membangun
infrastruktur
kelistrikan
dalam
rangka
mendongkrak perekonomian daerahnya. Jika di suatu daerah, listriknya hanya sebagai komoditi, PAD yang tinggi tidak akan terlalu berpengaruh terhadap daerah tersebut. Wilayah Jawa Barat sendiri secara umum ekonomi daerahnya relatif cukup tinggi, sehingga kemungkinan minat pemda untuk pemberian subsidi juga tidak terlalu besar. Jadi dalam hal ini PDRB lebih penting untuk diperhatikan. Adapun kontribusi sektor industri dan bisnis dinilai narasumber sedikit lebih penting dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga dan tingkat kemiskinan. Khususnya di wilayah Jabar dan Banten, energi listrik yang terjual kepada pelanggan industri dan bisnis lebih besar dari sektor rumah tangga, meskipun dari segi jumlah pelanggan rumah tangga lebih besar dari pelanggan industri dari bisnis. Sektor rumah tangga lebih banyak digunakan untuk keperluan konsumtif daripada untuk kegiatan produktif. Jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan, kontribusi sektor industri dan bisnis dinilai narasumber sedikit lebih penting dengan catatan sektor industri dan bisnis harus ikut memikul baban rumah tangga yang masih miskin. Karena masyarakat miskin masih mengikuti tarif dasar listrik yang ditetapkan pemerintah pusat (masih diberikan subsidi).
Adapun kontribusi sektor industri dan bisnis dinilai oleh narasumber sangat jelas lebih penting untuk diperhatikan jika dibandingkan dengan pendapatan asli daerah (PAD), dengan catatan bahwa kebijakan tarif listrik regional yang akan diterapkan di suatu daerah adalah tidak untuk semua golongan tarif, misalnya hanya untuk golongan industri, bisnis dan rumah tangga kaya (penduduk yang mempunyai kemampuan financial tinggi) sehingga PAD, yang mencerminkan kemampuan pemerintah daerah, tidak terlalu penting untuk dipertimbangkan karena pemda tidak perlu memberikan subsidi. Untuk perbandingan tingkat kepentingan antara konsumsi rumah tangga dengan tingkat kemiskinan, narasumber berpendapat bahwa konsumsi rumah tangga jelas lebih penting dari tingkat kemiskinan karena konsumsi rumah tangga lebih menggambarkan kebutuhan listrik dari pelanggan di suatu daerah. Demikian pula jika konsumsi rumah tangga dibandingkan dengan PAD. Konsumsi rumah tangga dinilai lebih penting karena menurut narasumber, PAD tergantung kepada sejauh mana pemda setempat mau membangun infrastruktur dan mau menanggung subsidi. Meskipun PAD di suatu wilayah tinggi namun tidak ada keinginan dari pemda untuk melakukan pembangunan infrastruktur kelistrikan atau menanggung subsidi bagi penduduk miskin, maka tarif listrik regional akan sulit untuk diterapkan. Namun jika PAD dibandingkan tingkat kepentingannya dengan
tingkat
kemiskinan,
maka
PAD
dinilai
lebih
penting
untuk
dipertimbangkan dalam penerapan tarif listrik regional dibandingkan dengan tingkat kemiskinan. Hal ini dikarenakan PAD terkait kepada sejauh mana pemda setempat mau membangun infrastruktur dan mau menanggung subsidi.
Untuk kualitas dan keandalan listrik, menurut narasumber, sangat jelas lebih penting jika dibandingkan dengan ketersediaan energi primer. Khususnya di wilayah Jawa Barat dan Banten yang memiliki energi primer terbatas, maka kualitas dan keandalan listrik menjadi lebih penting. Adapun jika kualitas dan keandalan listrik dibandingkan dengan density saluran distribusi listrik dan density kapasitas gardu listrik, maka kedua hal tersebut tidak bisa dibandingkan tingkat kepentingannya mengingat saling terkait satu sama lain. Jika suatu daerah memiliki density saluran distribusi listrik yang tinggi, maka listrik yang dihasilkan pun akan andal dan berkualitas. Begitupun jika kapasitas gardu listrik yang ada cukup besar, maka listrik yang andal dan berkualitas akan dapat tersalurkan dengan baik kepada seluruh pelanggan listrik. Density saluran distribusi listrik dan density kapasitas gardu listrik dalam kaitannya dengan penerapan tarif listrik regional menurut narasumber lebih penting dari ketersediaan energi primer karena baik Density saluran distribusi listrik maupun density kapasitas gardu listrik keduanya akan menjamin keandalan dan kualitas listrik yang disalurkan kepada pelanggan. Adapun jika density saluran distribusi listrik dan density kapasitas gardu listrik dibandingkan satu sama lain, maka kedudukannya adalah sama penting karena jika density saluran distribusinya banyak namun kapasitas gardunya kecil maka jaringan listrik tidak leluasa untuk bermanuver, yang akan berakibat turunnya keandalan dan kualitas listrik yang disalurkan. Di akhir wawancara, narasumber memberikan penilaian mengenai rencana penerapan tarif listrik regional di wilayah Jawa Barat dan Banten. Menurut
narasumber, wilayah Jawa Barat dan Banten secara umum belum terlalu siap untuk menerapkan tarif listrik regional karena belum siapnya PLN setempat, kemampuan pemerintah daerah serta kemampuan penduduknya. Yang sudah siap mungkin beberapa kawasan industri yang terletak di wilayah seperti di Tangerang dan Bekasi. Untuk wilayah lainnya harus dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mempertimbangkan karakteristik wilayahnya. 4.
Narasumber 4 : Dr. Ing. Ir. Yusra Sabri (Pakar Kelistrikan dan Ekonomi Energi, Institut Teknologi Bandung) Wawancara resmi dengan narasumber ini dilakukan pada tanggal 8 Maret
2012 bertempat di Gedung Kerjasama PLN-ITB, Kampus Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10 Bandung. Narasumber mengemukakan beberapa pemikirannya mengenai analisis kesenjangan antar wilayah terkait penerapan tarif listrik regional dengan membandingkan tingkat kepentingan dari pasangan kriteria dan sub-sub kriteria setiap wilayah. Menurut narasumber, kesenjangan pembangunan atau development gap, masih lebih penting untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan infrastructure electricity gap dengan pertimbangan bahwa development gap berkaitan erat dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat sedangkan infrastructure electricity gap berkaitan dengan masalah teknis (fasilitas). Development gap terkait dengan kemampuan pemerintah daerah setempat dan masyarakatnya (kemampuan dan kemauan bayar), kondisi budaya serta kondusifitas sosial. Jika keempat hal tersebut terpenuhi dengan baik, maka di wilayah tersebut dapat dikatakan telah siap memberlakukan tarif dengan harga wajar/keekonomian. Jika suatu daerah telah dinilai mampu dari segi pemerintah
setempat dan masyarakatnya, maka daerah tersebut dapat dengan leluasa membangun infrastruktur kelistrikan yang lebih handal. Biaya infrastruktur kelistrikan merupakan fungsi dari investasi dan operasi dari listrik itu sendiri. Perbandingan antar sub kriteria dari Development Gap yang pertama, yaitu membandingkan tingkat kepentingan antara PDRB dengan kontribusi sektor industri dan komersial/bisnis. Menurut narasumber, PDRB lebih penting untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan kontribusi sektor industri dan komersial karena PDRB lebih menggambarkan keseluruhan pendapatan di suatu daerah. Pendapatan berarti menggambarkan kemampuan. Meskipun misalnya di suatu daerah kontribusi industri dan komersialnya tinggi, namun perlu dilihat apakah industri di daerah tersebut mempunyai relevansi dengan kegiatan masyarakat setempat (biasanya industri konvensional). Daerah yg mempunyai banyak industri belum tentu industri tersebut bermanfaat bagi masyarakat setempat. Adapun PDRB dipandang sama pentingnya untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga namun sedikit lebih penting jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan. PDRB merupakan representasi dari income bruto, yang berarti kemampuan anggaran yang dapat dibelanjakan. Dengan asumsi rasio tabungan terhadap PDRB tetap/tidak berubah maka dapat diartikan pula bahwa PDRB sebagai jumlah konsumsi rumah tangga. PDRB dipandang sedikit lebih penting jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan dengan anggapan bahwa terkadang angka tingkat kemiskinan di suatu daerah tidak terlalu akurat, sedangkan angka PDRB lebih reliabel. Namun sebenarnya
kedua hal tersebut berkaitan erat satu sama lain. Jika tingkat kemiskinan tinggi, maka otomatis PDRB akan rendah. Begitu pula sebaliknya. Jika dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD), PDRB dianggap lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif listrik regional. PDRB berkaitan erat dengan kemampuan masyarakat sedangkan PAD belum tentu menggambarkan kemampuan real dari suatu daerah. Daerah yang PAD-nya tinggi belum tentu PDRB-nya juga tinggi. Contohnya adalah di daerah Kalimantan Timur. Untuk kontribusi sektor industri dan komersial/bisnis dianggap sama penting jika dibandingkan tingkat kepentingannya dengan konsumsi rumah tangga dan tingkat kemiskinan. Sektor industri dan bisnis berkontribusi besar terhadap PDRB, sedangkan PDRB merupakan representasi dari pendapatan bruto, dimana didalamnya terdapat kemampuan anggaran yang dibelanjakan. Kemampuan anggaran yang dibelanjakan dapat dianggap sebagai konsumsi rumah tangga. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat kemiskinan, dimana jika PDRB tinggi maka tingkat kemiskinan rendah dan berlaku sebaliknya. Adapun jika dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD), maka kontribusi sektor industri dan bisnis dianggap lebih penting dalam kaitannya dengan rencana penerapan tarif listrik regional. Menurut narasumber, hampir sama dengan alasan yang dikemukakan pada uraian sebelumnya, sektor industri dan bisnis berkontribusi besar terhadap PDRB. Namun daerah yang PDRB-nya tinggi belum tentu mempunyai PAD yang tinggi atau dengan kata lain meskipun PAD sering dianggap sebagai salahsatu indikator dari kemampuan pemerintah
daerah setempat, namun tidak terlalu menggambarkan kemampuan dari masyarakat suatu daerah. Selanjutnya narasumber berpendapat bahwa konsumsi rumah tangga sama pentingnya dengan tingkat kemiskinan. Makin kecil konsumsi rumah tangga, semakin tinggi tingkat kemiskinan. Begitupun jika konsumsi rumah tangga dibandingkan dengan PAD. Keduanya dianggap sama penting untuk diperhatikan dalam hal penerapan tarif listrik regional karena PAD menggambarkan kemampuan pemerintah daerah setempat. Jika PAD besar, maka dapat membangun berbagai infrastruktur kelistrikan yg dibutuhkan untuk masyarakat. Sedangkan konsumsi rumah tangga menggambarkan kemampuan dari masyarakat di daerah tersebut, yang menggambarkan pula konsumsi listrik dari masyarakat tersebut. Jadi dalam hal penerapan tarif listrik regional kemampuan pemerintah dan masyarakat daerah merupakan dua hal yang sama-sama penting untuk dipertimbangkan. Lebih lanjut narasumber berpendapat bahwa tingkat kemiskinan lebih penting jika dibandingkan dengan PAD. Dalam penerapan tarif listrik regional, kemampuan bayar dari masyarakat merupakan hal yang utama, sedangkan PAD menurut narasumber hanya menggambarkan kemampuan pemerintah saja dimana didalamnya terdapat komponen pendapatan daerah dari hasil pajak, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan. Daerah yang mempunyai PAD tinggi tidak otomatis mempunyai tingkat kemiskinan rendah. Sedangkan dlm penerapan tarif listrik
regional, kemampuan masyarakat (ability to pay) merupakan hal yg utama untuk dipertimbangkan. Masuk
kepada
pembahasan
mengenai
kesenjangan
infrakstruktur
kelistrikan di setiap daerah, narasumber berpendapat bahwa ketersediaan energi primer sedikit lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif listrik regional dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik di suatu daerah. Keandalan dan kualitas listrik adalah hasil dari tersedianya sumber energi yang mencukupi untuk melistriki suatu daerah. Adapun density saluran distribusi listrik serta density kapasitas gardu listrik dianggap narasumber sangat jelas lebih penting untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik. Yang paling utama dilihat di suatu daerah dalam hal infrastruktur kelistrikan adalah ada tidaknya gardu penyalur dan saluran distribusi listriknya. Jika density (kerapatan) saluran distribusi listrik serta kapasitas gardu listriknya tinggi, maka listrik yang dihasilkan pun akan berkulitas dan andal. Kualitas dan keandalan listrik berkaitan dengan kualitas pelayanan. Jika density saluran distribusi listrik serta density kapasitas gardu listrik dibandingkan tingkat kepentingannya dengan ketersediaan energi primer, maka menurut narasumber yang lebih penting untuk dipertimbangkan adalah density saluran distribusi listrik serta density kapasitas gardu listrik. Untuk daerah – daerah yang dianggap mampu secara finansial baik itu pemerintah daerah maupun masyarakatnya, walaupun daerah tersebut tidak mempunyai sumber energi primer yang memadai, maka akan mampu membangun saluran distribusi serta gardu
listrik sendiri. Listriknya dapat membeli dari daerah lain. Adapun jika density saluran distribusi listrik dibandingkan tingkat kepentingannya dengan density kapasitas gardu listrik maka kedua hal tersebut adalah sama penting karena mutlak ada jika akan membangun jaringan listrik di suatu daerah. Di akhir wawancara narasumber menyampaikan pandangan-pandangannya mengenai rencana penerapan tarif listrik regional di wilayah Jawa Barat dan Banten. Menurut narasumber, meskipun secara umum wilayah Jabar dan Banten dipandang telah mampu menerapkan tarif listrik regional, namun jika dilihat secara perkota/kabupaten masih sulit karena di Jabar dan Banten sendiri masih banyak daerah pelosok yang belum terlistriki. Yang perlu diperhatikan lagi dalam penerapan tarif listrik regional adalah kemampuan (ability to pay) serta kemauan (willingness to pay) bayar listrik dari masyakarat sendiri yang harus terus dimotivasi oleh PLN serta pemerintah daerah setempat. 5.
Dr. Ir. Agus Purwadi (Pakar Kelistrikan dan Ekonomi Energi, Institut Teknologi Bandung) Wawancara resmi dengan narasumber ini dilakukan pada tanggal 19 Maret
2012 bertempat di Laboratorium Konversi, Kampus Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10 Bandung. Narasumber mengemukakan beberapa pemikirannya mengenai analisis kesenjangan antar wilayah terkait penerapan tarif listrik regional dengan membandingkan tingkat kepentingan dari pasangan kriteria dan sub-sub kriteria setiap wilayah. Menurut narasumber, kondisi infrasctructure electricity gap di suatu daerah lebih penting untuk diperhatikan dibandingkan dengan development gap. Sebelum menerapkan kebijakan tarif listrik regional,
perlu dilihat terlebih dahulu kesiapan dari infrastruktur kelistrikan di daerah tersebut. Salahsatu pertimbangan mengapa tarif listrik regional sudah diterapkan terlebih dahulu di daerah Batam dan Tarakan, dan segera menyusul di daerah Bali, adalah telah siapnya infrastruktur kelistrikan di ketiga daerah tersebut. Jika infrastruktur kelistrikannya telah cukup/memadai, maka kualitas dan keandalan listrik yang disalurkan kepada pelanggan juga akan baik. Sebaiknya sebelum menerapkan tarif listrik regional suatu daerah, infrastruktur kelistrikan yang ada telah memenuhi standar yang ditentukan. Seperti di daerah Jawa dan Bali misalnya. Inftrastruktur kelistrikan di daerah ini dianggap standarnya telah sama. Baru kemudian setelah itu dianalisis development gap nya. Kira-kira masih mampu atau tidak. Jadi dalam penerapan tarif listrik regional, dilihat dulu secara makro infrastructure electricity gap-nya, baru kemudian dianalisis secara mikro masalah-masalah terkait development gap-nya. Masalah utama kelistrikan saat ini adalah masalah subsidi serta rasa keadilan masyarakat akan listrik. Tarif dasar listrik yang berlaku sekarang adalah sama di setiap wilayah, baik itu kota besar maupun daerah, padahal keandalan listrik yang diterima, daya beli, dan requirement pelanggan terhadap listrik di kedua daerah tersebut berbeda. Dengan penerapan tarif listrik regional diharapkan masalah-masalah tersebut dapat teratasi. Selanjutnya narasumber berpendapat bahwa kontribusi sektor industri dan bisnis lebih penting untuk dipertimbangkan dibandingkan dengan PDRB karena konsumen sektor industri dan bisnis merupakan konsumen dengan konsumsi listrik paling besar mskipun secara kuantitas jumlah konsumen ini lebih sedikit
dari konsumen rumah tangga. Dalam hal penerapan tarif listrik regional harus diperhatikan terlebih dahulu golongan tarif yang menggunakan listrik paling besar dengan revenue yg besar pula. Konsumsi rumah tangga dianggap narasumber lebih penting untuk diperhatikan dalam penerapan tarif listrik regional dibandingkan dengan PDRB karena menurut narasumber angka yang muncul dalam data PDRB itu rata-rata, terlalu makro/generik. Angka PDRB akan akurat jika distribusi jumlah barang dan jasa yg dihasilkan di suatu daerah itu merata, tidak ada kesenjangan. Sedangkan konsumsi rumah tangga menggambarkan konsumsi/pemakaian listrik dari pelanggan, dimana konsumsi rumah tangga setiap daerah berbeda-beda. Adapun jika PDRB dibandingkan tingkat kepentingannya dengan tingkat kemiskinan, maka narasumber berpendapat bahwa tingkat kemiskinan lebih penting untuk diperhatikan dibandingkan dengan PDRB karena angka PDRB terlalu makro. Untuk melihat kemampuan bayar dari masyarakat setempat salah satunya adalah dengan melihat tingkat kemiskinan. Namun jika PDRB dibandingkan dengan PAD, maka PDRB dianggap lebih penting karena angka PAD menurut narasumber lebih makro dibandingkan dengan angka PDRB. Kontribusi sektor industri dan bisnis dipandang narasumber lebih penting jika dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga, tingkat kemiskinan dan PAD. Seperti telah diuraikan di atas bahwa dalam kaitannya dengan pelaksanaan tarif listrik regional dimana tarif listrik mencapai keekonomiannya, maka sektor industri dan bisnis/komersial merupakan sektor yang harus lebih diperhatikan mengingat kedua sektor ini meskipun dari segi jumlah pelanggan lebih sedikit jika
dibandingkan namun dari segi konsumsi listrik jauh lebih banyak dibandingkan dengan sektor rumah tangga. Kedua sektor ini juga dipandang lebih mau membayar tarif listrik dengan harga lebih tinggi selama listrik yang mereka terima andal dan berkualitas. Adapun konsumsi rumah tangga tetap dipandang narasumber lebih penting untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan dan PAD dikarenakan angka tingkat kemiskinan dan PAD masih sangat makro. Tingkat kemiskinan tidak dapat menggambarkan secara real kemampuan masyarakat begitupun angka PAD tidak dapat secara real menggambarkan kemampuan pemerintah daerah. Namun demikian tingkat kemiskinan lebih dianggap penting untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan PAD karena angka PAD lebih makro jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan. Selanjutnya, untuk menilai tingkat kepentingan dari subkriteria-subkriteria dalam infrastructure electricity gap, narasumber berpendapat bahwa ketersediaan energi primer adalah sesuatu yang lebih penting dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik. Energi primernya dulu yang harus ada, baru kemudian setelah itu berbicara tentang kualitas dan keandalan listrik. Suatu daerah yang mempunyai ketersediaan energi primer yang mencukupi, ditunjang oleh kemampuan dan keinginan pemerintah daerah setempat untuk membangun infrastruktur kelistrikan yang memadai serta kemampuan dan kemauan masyarakat untuk membeli listrik dengan harga keekonomiaanya, maka akan dihasilkan listrik yang andal dan berkualitas.
Adapun density saluran distribusi listrik dan density kapasitas gardu listrik dipandang narasumber lebih penting untuk diperhatikan terlebih dahulu dalam penerapan tarif listrik regional dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik di suatu daerah. Hampir sama dengan alasan yang dikemukakan untuk perbandingan antara subkriteria ketersediaan energi primer dengan kualitas dan keandalan listrik di atas, bahwa dalam penerapan tarif listrik regional yang harus lebih dulu diperhatikan adalah density saluran distribusi listrik dan density kapasitas gardu listriknya, baru kemudian berbicara kualitas dan keandalan listrik yang akan dihasilkan. Untuk
ketersediaan
energi
primer,
menurut
narasumber,
tingkat
kepentingannya sama untuk dipertimbangkan dalam penerapan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan density saluran distribusi listrik dan density kapasitas gardu listrik. Jika di suatu daerah energi primernya cukup tersedia, namun density saluran distribusi listrik dan density kapasitas gardu listriknya tidak menunjang maka tidak akan terwujud keandalan listrik sehingga akan sulit pula menerapkan tarif listrik regional. Namun jika density kapasitas saluran distribusi listrik dibandingkan kepentingannya dengan density kapasitas gardu distribusi, maka density kapasitas gardu distribusi dipandang narasumber lebih penting karena sebelum membangun saluran distribusi listrik harus dilihat dulu sumber energi yang akan disalurkannya, dalam hal ini harus dibangun terlebih dahulu gardu listriknya. Lebih
lanjut
narasumber
memberikan
pandangan-pandangan
dan
masukan-masukannya mengenai penerapan tarif listrik regional. Menurut
narasumber, daerah yang sudah seharusnya menerapkan tarif listrik regional adalah daerah DKI Jaya & Tangerang, karena requirement-nya berbeda dengan daerah lain. Di daerah tersebut sebagian besar penduduknya telah membutuhkan listrik yang tidak saja tersedia, namun juga andal dan berkualitas. Andal berarti tidak ‘bray pet’ (sering mati), dan berkualitas artinya tidak sering redup. Tarif listrik regional dapat diterapkan pada wilayah yang sudah tidak memerlukan banyak subsidi atau dengan kata lain wilayah yang sudah mampu baik pemerintah daerahnya maupun masyarakatnya. Untuk wilayah Jawa Barat dan Banten sendiri, daerah yang dianggap narasumber sudah siap menerapkan tarif listrik regional adalah kawasan industri seperti cilegon dan bekasi. Daerah ini dapat dipastikan telah siap menerapkan tarif listrik regional mengingat saat ini pun sudah diberlakukan tarif listrik premium. Mereka yang membayar dengan tarif listrik premium membayar listrik lebih tinggi namun memperoleh service level dari PLN yang berbeda dengan pelanggan biasa. Biasanya pelanggan yang membayar tarif listrik premium adalah pelanggan besar seperti industri perakitan otomotif, industri tekstil skala besar, dan industri besar lainnya dimana jika mati listrik beberapa detik saja akan berdampak kerugian yang sangat besar bagi industri yang bersangkutan. Dalam penerapan tarif listrik regional harus dibandingkan antara kemampuan bayar dari pelanggan listrik dengan performance dari PLN itu sendiri. Narasumber berpendapat, sebelum memutuskan untuk menerapkan tarif listrik regional, harus terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap revenue dan komposisi pelanggan PLN tiap wilayah (dari data PLN), sales-nya berapa, profil beban untuk setiap daerahnya bagaimana. Nanti dapat dibandingkan mana
wilayah yang kebutuhan listriknya lebih tinggi dan membutuhkan keandalan serta kualitas listrik lebih tinggi, sehingga dipandang lebih siap dalam menerapkan tarif listrik regional dan mana wilayah yang masih belum siap. Menurut narasumber, wilayah dengan komposisi pelanggan industri, komersial/bisnis, serta rumah tangga yang termasuk pelanggan golongan besar, adalah daerah yang paling siap untuk menerapkan kebijakan tarif listrik regional. Jadi harus dilihat dulu kondisi di wilayahnya terlebih dahulu, baik itu sistem kelistrikan dan kemampuan daerahnya, baru kemudian regulasi untuk tarif listrik regionalnya dibuat. Untuk PLN sendiri, jika wilayah dibawah wewenang operasionalnya akan menerapkan tarif listrik regional, harus mampu menyediakan service level quality yang memang sesuai dengan kebutuhan regional yang dilayani. Di Batam dan Tarakan, tarif listrik regional dapat diterapkan karena sistemnya isolated (tersendiri). Adapun kendala dalam penerapan tarif listrik regional menurut narasumber adalah harus adanya keputusan DPRD serta kemauan dari masyarakat setempat. Selain itu harus ada pula sosialisasi yang baik kepada masyarakat sehingga masyarakat mengerti betul apa itu tarif listrik regional, mengapa diberlakukan tarif listrik regional serta dan bagaimana penerapanya. Tarif listrik regional dapat diterapkan untuk wilayah dimana pelanggannya tidak hanya membutuhkan listrik dengan sekedar menyala, namun memerlukan kualitas dan keandalan dari listrik tersebut.
6.
Narasumber 6 : Sudarmono Sasmono, ST., MT. (Pakar Kelistrikan dan Ekonomi Energi, Institut Teknologi Bandung) Wawancara resmi dengan narasumber ini dilakukan pada tanggal 14 Maret
2012 bertempat di Ruang Residensi Gedung Kerjasama PLN-ITB, Kampus Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10 Bandung. Adapun wawancara melalui telepon dilakukan penulis pada tanggal 25 Maret 2012. Narasumber mengemukakan beberapa pemikirannya mengenai analisis kesenjangan antar wilayah terkait penerapan tarif listrik regional dengan membandingkan tingkat kepentingan dari pasangan kriteria dan sub-sub kriteria setiap wilayah serta masukan-masukan serta pandangan-pandangannya mengenai penerapan kebijakan tarif listrik regional. Menurut narasumber, kesenjangan pembangunan atau development gap, lebih penting
untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan kesenjangan
dalam pembangunan infrastruktur kelistrikan atau infrastructure electricity gap. Narasumber menjelaskan bahwa sesuai dengan teori ekonomi kelistrikan bahwa ada hubungan elastisitas antara pertumbuhan ekonomi dengan kebutuhan energi. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi di suatu daerah, maka semakin tinggi pula permintaan kebutuhan (demand) akan listrik yang harus dipasok ke daerah tersebut. Oleh karena itu daerah-daerah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi (daerah makmur), mempunyai kebutuhan (demand) akan listrik yang juga tinggi. Agar pasokan listrik yang disalurkan andal dan berkualitas, maka harus ada pembangunan infrastruktur kelistrikan yang massive dan terus menerus. Hal ini otomatis akan membutuhkan biaya yang juga tinggi yang akan diperoleh dari
tarif listrik yang diterapkan pada harga keekonomiannya (tarif listrik regional). Jadi dalam hal penerapan tarif listrik regional dilihat dulu faktor pembangunan di daerah tersebut atau dalam hal ini pertumbuhan ekonominya baru kemudian infrastruktur kelistrikannya. Selanjutnya narasumber berpendapat bahwa kontribusi sektor industri dan bisnis lebih penting untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan PDRB karena dalam kaitannya dengan penerapan tarif listrik regional, tujuan utamanya adalah untuk memperoleh listrik yang andal dan berkualitas, dan sektor industri dan bisnis/komersial adalah sektor beban yang paling membutuhkannya. PDRB menunjukkan besaran makro kesejahteraan dari suatu daerah. Jika dibandingkan tingkat kepentingannya dengan konsumsi rumah tangga maka kedua hal tersebut sama pentingnya untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif listrik regional karena konsumsi rumah tangga juga menunjukkan besaran makro kesejahteraan daerah. Namun jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan maka PDRB lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif listrik regional. PDRB tidak selalu berbanding terbalik dengan tingkat kemiskinan, atau dengan kata lain suatu daerah yang mempunyai PDRB tinggi belum tentu mempunyai mempunyai tingkat kemiskinan yang rendah, begitupun sebaliknya. PDRB di suatu daerah akan berbanding terbalik dengan tingkat kemiskinan jika distribusi pembangunan di daerah tersebut merata. Sering terjadi dimana suatu daerah yang PDRB-nya tinggi adalah hanya merupakan “sumbangsih” dari sebagian kecil kelompok masyarakatnya saja, misalnya saja seperti di Kabupaten Mimika. Di kabupaten ini terdapat kecamatan Tembagapura dimana tambang
emas milik PT. Freeport berada. Kabupaten Mimika adalah kabupaten dengan PDRB tinggi, namun memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi pula. Ini berarti, pembangunan di daerah tersebut belum merata dan angka PDRB yang diperoleh hanya mewakili sebagian kecil masyarakatnya saja. Di daerah dengan karakter seperti ini, tarif listrik regional dapat diterapkan untuk kelompok masyarakat yang telah mampu saja, sedangkan sebagian besar masyarakat lainnya yang masih dianggap belum mampu mengikuti tarif dasar listrik yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Lebih lanjut narasumber berpendapat bahwa jika dibandingkan dengan PAD, maka PDRB jelas lebih penting untuk diperhatikan dalam penerapan tarif listrik regional karena angka PDRB dianggap lebih dapat mencerminkan kemampuan dari masyarakat daerah tertentu. Untuk kontribusi sektor industri dan bisnis, menurut narasumber sama pentingnya untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga. Berbicara tentang tarif listrik regional berarti berbicara tentang tersedianya listrik yang andal dan berkualitas baik untuk sektor industri dan bisnis maupun untuk sektor rumah tangga. Adapun kontribusi sektor industri dan bisnis, menurut narasumber lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional di suatu daerah jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan dan PAD. Karena penerapan tarif listrik regional adalah tarif listrik pada harga keekonomian, maka sektor industri dan bisnis yang dianggap lebih mampu dan membutuhkan listrik yang andal dan berkualitas yang harus lebih diperhatikan.
Sedangkan konsumsi rumah tangga dipandang narasumber sama pentingnya untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan. Daerah yang memiliki konsumsi rumah tangga tinggi dan tingkat kemiskinan rendah, maka daerah tersebut semakin sejahtera. Daerah yang sejahtera merupakan daerah yang berpeluang besar untuk menerapkan kebijakan tarif listrik regional. Sedangkan jika dibandingkan dengan PAD maka konsumsi rumah tangga lebih penting untuk dipertimbangkan. PAD dipandang narasumber hanya mencerminkan kemampuan keuangan pemerintah daerah, sedangkan tarif listrik regional ditetapkan untuk masyarakat. Sedangkan tingkat kemiskinan jika dibandingkan tingkat kepentingannya dengan PAD, maka PAD dianggap lebih penting oleh penulis dengan alasan yang sama bahwa tingkat kemiskinan hanya merupakan angka demografi, sedangkan PAD
mencerminkan kemampuan
keuangan pemerintah daerah. Masuk kepada pembahasan mengenai infrastructure electricity gap, narasumber berpendapat bahwa kualitas dan keandalan listrik adalah lebih penting untuk dipertimbangkan dibandingkan dengan ketersediaan energi primer. Dalam hal penerapan tarif listrik regional yang paling penting adalah tersedianya listrik yang andal dan berkualitas. Kalaupun suatu daerah tidak memiliki cukup energi primer, namun masyarakat dan pemerintah daerahnya dianggap mampu dan mau bayar tarif listrik dengan harga lebih tinggi namun berkualitas dan andal, maka daerah tersebut dianggap sudah dapat menerapkan tarif listrik regional.
Lebih lanjut narasumber berpendapat bahwa dalam penerapan tarif listrik regional, density saluran distribusi listrik dan density kapasitas gardu lebih penting untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik. Kualitas dan keandalan listrik adalah hasil dari density saluran distribusi dan kapasitas gardu yang memadai. Infrastruktur kelistrikannya harus terlebih dahulu diperhatikan, baru berbicara keandalan. Density saluran distribusi adalah panjang saluran distribusi listrik dibagi dengan luas area/ landuse yang didapatkan dari proses pengurangan luas areal kota/kabupaten dengan luas areal hutan dan luas areal sawah. Adapun density kapasitas gardu distribusi adalah jumlah kapasitas gardu distribusi dibagi dengan luas areal landuse. Jika panjang saluran distribusinya lebih besar dari landuse, maka memungkinkan untuk dibuat jaringan secara loop atau spindle (memutar). Jaringan seperti ini akan memudahkan untuk bermanuver jika terjadi mati listrik di satu wilayah, atau dengan kata lain keandalan listriknya lebih baik. SAIDI dan SAIFI-nya pun akan sangat rendah. Jika panjang salurannya lebih kecil atau sama dengan landuse-nya, maka jaringan listrik akan dibuat radial (lurus), yang tidak memungkinkan adanya manuver jika terjadi mati listrik di suatu wilayah. Dapat dikatakan bahwa listrik menjadi tidak andal dan berkualitas. SAIDI dan SAIFInya pun akan cenderung tinggi. Adapun jika di suatu daerah density kapasitas gardu distribusinya besar, maka dapat diartikan bahwa gardu tersebut mampu untuk melayani area yang lebih luas, dibandingkan dengan daerah yang density kapasitas gardu distribusinya lebih kecil.
Jika dibandingkan dengan ketersediaan energi primer, maka density saluran distribusi listrik dan density kapasitas gardu dipandang narasumber lebih penting karena ada daerah-daerah yang tidak memiliki cukup energi primer namun mampu membangun infrastruktur kelistrikan yang memadai ditunjang pula oleh kemampuan masyarakatnya yang tinggi. Daerah seperti ini merupakan daerah yang dipandang telah siap menerapkan tarif listrik regional. Adapun jika density saluran distribusi listrik dibandingkan tingkat kepentingannya dengan density kapasitas gardu maka akan sama penting karena kedua sub kriteria tersebut tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Saluran distribusi dibangun untuk menyalurkan listrik dari gardu. Di akhir wawancara narasumber menyampaikan beberapa pemikiran dan pandangannya mengenai penerapan tarif listrik regional khususnya di daerah Jawa Barat dan Banten. Menurut narasumber, masih sulit untuk menerapkan tarif listrik regional di daerah Jawa Barat dan Banten karena masih belum meratanya karakteristik pelanggan listrik di setiap daerah. Misalnya di tingkat Unit Pelayanan Jaringan (UPJ) dibawah Area Pelayanan Jaringan (APJ) Bandung. UPJ Cipaganti yang notabene berpenduduk kalangan menengah ke atas pastinya mampu untuk membayar listrik lebih. Namun di UPJ Cimahi sulit menerapkan tarif listrik regional karena di daerah-daerah menengah ke atas tersebut juga tercakup penduduk menengah ke bawah. Itulah sebabnya analisis development gap itu penting karena bisa menutupi kekurangan itu. Namun secara umum, narasumber melihat ada beberapa daerah yang siap untuk menerapkan tarif listrik regional, yaitu daerah-daerah dengan karakteristik
perkotaan, seperti
Bandung, Cimahi, Kota Bogor, Kota Depok, Dan Bekasi.
Sedangkan Tasikmalaya, Ciamis, Sukabumi, Banjar, dan Kuningan belum siap menerapkan tarif listrik regional karena bukan merupakan pusat pertumbuhan ekonomi. Di Jawa Barat sendiri ada 6 (enam) daerah pertumbuhan, yaitu : 1. Cekungan Bandung : Kota Bandung 2. Kota Bogor, Depok, Bekasi, Puncak Cianjur 3. Purwakarta, Subang , Karawang 4. Priangan Timur Dan Pangandaran : Daerah Paling Miskin Di Jabar 5. Sukabumi 6. Cianjur, Indramayu, Majalengka, Kuningan : Di daerah Banten, daerah yg mungkin dapat menerapkan tarif listrik regional adalah kota Tangerang. Selain kesiapan dari daerahnya, penerapan tarif listrik regional juga memerlukan kesiapan dari PLN dimana ada ukuran-ukuran pelayanan yang harus dipenuhi oleh PLN jika wilayah di bawahnya menerapkan tarif listrik regional. PLN dituntut untuk konsisten memberikan pelayanan terbaiknya demi memenuhi kebutuhan pelanggan akan listrik yang andal dan berkualitas. 7.
Narasumber 7 : Fitriana, ST., MT. (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Wawancara resmi dengan narasumber ini dilakukan pada tanggal 5 Maret
2012 bertempat di Gedung 10 Kantor LIPI, Sangkuriang/Cisitu No. 21/154D Bandung.
Narasumber
mengemukakan
pendapatnya
mengenai
tingkat
kepentingan antara kriteria-kriteria yang dibandingkan serta memberikan pendapat dan masukan-masukan terkait penerapan tarif listrik regional. Menurut
narasumber, untuk perbandingan berpasangan tingkat pertama yang dilakukan antara kriteria development gap dengan kriteria infrastructure electricity gap maka yang paling penting untuk dipertimbangkan dalam kaitannya dengan rencana penerapan tarif listrik regional di suatu daerah adalah development gap. Alasan yang dikemukakan oleh narasumber adalah karena development gap lebih mencerminkan perkembangan real dari masyarakat. Kalaupun infrastruktur kelistrikan di suatu daerah sudah tersedia, namun kebutuhan dan kemampuan masyarakatnya masih rendah, maka infrastruktur yang dibangun akan sia-sia. Adapun kontribusi sektor industri dan bisnis dipandang narasumber lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan PDRB karena sektor industri dan bisnis/komersial sebagai pengguna paling besar dari energi listrik. Jadi harus dilihat kontribusi industri dan bisnis/komersialnya terlebih dahulu baru kemudian PDRB-nya. Namun jika PDRB dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga maka PDRB lebih penting untuk dipertimbangkan karena PDRB mencerminkan kondisi ekonomi makro dalam arti aktivitas ekonomi yang lebih luas. Sedangkan konsumsi rumah tangga hanya mencerminkan sebagian kecil dari kapasitas total pemakaian listrik dari suatu pembangkit atau dapat dikatakan bahwa konsumsi rumah tangga itu adalah beban dasar. Dalam penerapan tarif listrik regional harus dilihat dulu kekuatan ekonomi makronya dalam hal ini adalah PDRB. Namun jika PDRB dibandingkan tingkat kepentingannya dengan tingkat kemiskinan, maka tingkat kemiskinan dipandang narasumber lebih penting karena dalam hal penerapan tarif listrik regional yang harus dipertimbangkan terlebih
dahulu adalah kemampuan masyarakatnya, dalam hal ini tingkat kemiskinan mencerminkan kekuatan ekonomi mikro. Tingkat kemiskinan mencerminkan kemampuan bayar dari masyarakat itu sendiri dan dilihat sebagai kemampuan terendah dari masyarakat akan tarif listrik. Lebih lanjut narasumber berpendapat bahwa PDRB lebih penting untuk dipertimbangkan
jika
dibandingkan
dengan
PAD
karena
PAD
hanya
mencerminkan kemampuan pemerintah saja dalam hal ini pajak dan retribusi, sedangkan PDRB lebih menggambarkan kekuatan ekonomi secara makro. Dalam hal penerapan tarif listrik regional dimana yang berlaku adalah tarif keekonomian, maka yang utama diperhatikan adalah kemampuan ekonomi dari masyarakatnya. Adapun kontribusi sektor industri dan bisnis/komersial terhadap PDRB dipandang narasumber sama pentingnya untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan. Dalam arti, sektor industri dan bisnis penting diperhatikan untuk penentuan batas tarif listrik tertinggi, sedangkan tingkat kemiskinan untuk penentuan batas tarif listrik terendah. Jika dibandingkan dengan PAD, maka kontribusi sektor industri dan bisnis dipandang narasumber lebih penting untuk dipertimbangkan karena sektor industri dan bisnis merupakan sektor yang dianggap paling mampu untuk membayar listrik pada tarif keekonomiannya, sedangkan PAD dipandang narasumber tidak terlalu mempengaruhi penentuan tarif listrik regional. Lebih lanjut narasumber menyampaikan pandangannya bahwa jika dibandingkan tingkat kepentingannya antara konsumsi rumah tangga dengan tingkat kemiskinan maka kedua hal tersebut sama penting untuk dipertimbangkan
dalam hal penerapan tarif listrik regional. Kedua sub kriteria tersebut dipandang narasumber sebagai indikator penentu nilai tarif listrik terendah dari masyarakat atau dengan kata lain sebagai gambaran kemampuan bayar listrik dari masyarakat. Adapun jika dibandingkan dengan PAD, maka konsumsi rumah tangga dan tingkat kemiskinan dianggap lebih penting karena konsumsi rumah tangga dan tingkat kemiskinan lebih mencerminkan kemampuan dasar masyarakat akan tarif listrik. Masuk kepada pembahasan mengenai kesenjangan infrastruktur kelistrikan di setiap daerah, narasumber berpendapat bahwa ketersediaan energi primer di suatu daerah lebih penting untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik, karena kualitas dan keandalan listrik tidak akan terwujud tanpa melihat ketersediaan energi primer yang dimiliki oleh daerah tersebut yang dibangun untuk fasilitas kelistrikan. Wilayah Jabar dan Banten menurut narasumber kaya akan potensi energi panas bumi, air, dan mikrohidro (seperti angin, matahari, dan sebagainya). Untuk sektor industri dan komersial, energi listrik biasanya diambil dari pembangkit dengan bahan panas bumi atau air agar andal. Sedangkan untuk sektor rumah tangga bisa diambil dari pembangkit dengan bahan bakal mikrohidro. Selanjutnya menurut narasumber density saluran distribusi listrik dan density kapasitas gardu lebih penting untuk dipertimbangkan dalam penerapan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik karena sebelum membangun infrastruktur kelistrikan yang berkualitas, harus diperhatikan terlebih dahulu density saluran distribusi listrik serta density
kapasitas gardu yang memadai. Jika saluran distribusi serta kapasitas gardu telah memenuhi kebutuhan (demand) dari suatu daerah maka akan dihasilkan listrik yang andal dan berkualitas. Adapun ketersediaan energi primer dipandang narasumber sama pentingnya dengan density saluran distribusi listrik serta density kapasitas gardu. Ketersediaan energi primer dipandang sama penting dengan density saluran distribusi listrik dalam kaitannya dengan penerapan tarif listrik regional karena saluran distribusi listrik akan dibangun di tempat dimana tersedia energi primer. Ketersediaan energi primer juga dipandang sama pentingnya dengan density kapasitas gardu karena density kapasitas gardu disesuaikan dengan keberadaan pusat-pusat beban serta terkait pula dengan potensi energi yang ada di suatu daerah sehingga dapat dibuat pembangkit yang sesuai dengan energi primer yang dimiliki oleh daerah tersebut. Jika density saluran distribusi listrik dibandingkan tingkat kepentingannya dengan density kapasitas gardu maka narasumber berpendapat bahwa density kapasitas gardu lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif listrik regional karena sebelum dibangun saluran distribusi listrik, dibuat dulu gardu sebagai penyalur listriknya. Lebih lanjut narasumber memberikan masukan-masukan dan pemikirannya terkait penerapan tarif listrik regional. Menurut narasumber penerapan kebijakan tarif listrik regional akan berbeda dengan rencana penerapan tarif listrik regional di wilayah DKI Jaya. Di wilayah Jawa Barat dan Banten yang masih harus menjadi perhatian dan pertimbangan penting adalah sektor rumah tangga sebagai
beban dasar, tingkat kemiskinan yang tinggi serta jumlah penduduk yang tidak merata. Sektor industri dan komersial/bisnis di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya cenderung sudah merata serta tingkat kesejahteraan lebih tinggi dari wilayah lain di Indonesia. Di daerah Jawa Barat dan Banten sendiri masih banyak daerah-daerah tertinggal dengan penduduk sedikit. Rasio elektrifikasi pun masih banyak yang rendah (dibawah 60%). Menurut narasumber, wilayah Jawa Barat kaya akan potensi energi panas bumi (geothermal), namun teknologi untuk mengolahnya masih mahal. Hal ini membuat potensi energi yang dimiliki oleh Jawa Barat sendiri belum dapat dimanfaatkan secara optimal untuk memperbaiki infrastruktur kelistrikan yang ada. Dengan beberapa pertimbangan diatas, narasumber berpendapat bahwa wilayah Jawa Barat dan Banten saat ini masih belum siap untuk menerapkan kebijakan tarif listrik regional. 8.
Narasumber 8 : Muncul Daryoto (Deputi Manajer Administrasi Niaga, PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten) Wawancara dengan Bapak Muncul Daryoto dilakukan pada tanggal 4 April
2012 bertempat di Kantor PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten Jl. Asia Afrika No. 63 Bandung. Narasumber menyampaikan informasi serta mengemukakan pendapatnya mengenai rencana penerapan tarif listrik regional khususnya di wilayah Jawa Barat dan Banten. Menurut Narasumber, pada dasarnya PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten sebagai operator kelistrikan di wilayah Jawa Barat dan Banten secara infrastruktur kelistrikan telah siap untuk melaksanakan kebijakan tarif
listrik
regional.
Namun
kebijakan
tersebut
baru
dapat
terlaksana/diimplementasikan jika aturan atau regulasinya telah ditetapkan oleh pemerintah serta PLN Pusat. Pertimbangan lain yang menyebabkan kebijakan tarif listrik regional belum diterapkan di wilayah Jawa Barat dan Banten adalah sudah kuatnya sistem kelistrikan di wilayah Jawa, Madura dan Bali (Jamali) dimana sistem kelistrikannya sudah interkoneksi. Sistem interkoneksi ini berguna untuk meningkatkan kemampuan suplai tenaga listrik, agar pada saat terjadi gangguan pada salah satu pusat pembangkit tidak terlalu berpengaruh pada konsumen atau dengan kata lain tujuan dari sistem interkoneksi antara lain adalah untuk menjaga kontinuitas penyediaan tenaga listrik karena apabila salah satu pusat pembangkit mengalami gangguan masih dapat disuplai dari pembangkit lain yang terhubung secara interkoneksi. Tujuan lainnya adalah saling memperingan beban yang harus ditanggung oleh suatu pusat listrik. Sistem interkoneksi yang ada di Pulau Jawa adalah sistem tegangan tinggi (75 kV dan 150 kV) serta tegangan ekstra tinggi (500 kV) yang menghubungkan beberapa PLTA dan PLTU yang terdapat di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu antara pusat pembangkit di Suralaya, Saguling, Semarang, Gresik dan Paiton. Pembangkit-pembangkit tersebut saling menopang satu sama lain, dimana jika ada gangguan di wilayah salahsatu pembangkit, maka pembangkit lain akan segera mengirimkan supplai listriknya sehingga ketersediaan energi listrik untuk konsumen selalu dapat terjaga. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara umum kualitas dan keandalan listrik di pulau Jawa secara umum sudah cukup baik. Berbeda dengan kondisi kelistrikan di luar Pulau Jawa dimana
sistem koneksi listriknya masih radial (lurus) sehingga gangguan di satu wilayah akan langsung berpengaruh terhadap pelanggan listrik di wilayah tersebut. Contoh misalnya di Pulau Batam dan Tarakan dimana disana telah diberlakukan kebijakan tarif listrik regional. Di daerah tersebut, listrik masih dibangkitkan sendiri, dikelola, didistribusikan dan dijual sendiri atau dengan kata lain sistemnya masih isolated.
Untuk di Pulau Jawa dan Bali sendiri sudah ada unit PLN yang
mengurus langsung masalah pembangkitan yaitu PT. PLN (Persero) Penyaluran dan Pusat Pengatur Beban Jawa Bali (P3B). Lebih lanjut menurut narasumber, untuk daerah perkotaan dimana terdapat pelanggan sektor industri dan bisnis/komersial sangat diperlukan listrik yang berkualitas dan andal. Saat ini listrik dengan tarif khusus telah diberlakukan di kawasan tertentu di wilayah Jawa Barat salah satunya yaitu kawasan industri KIIC Karawang dengan istilah tarif premium. Di kawasan tersebut dapat dikatakan listrik hampir tidak pernah padam. Kalaupun terjadi padam listrik, maka PLN akan terkena penalty berupa kewajiban untuk memberikan potongan/discount pembayaran listrik kepada industri di kawasan tersebut yang diatur dalam kontrak khusus antara PLN dengan industri di kawasan yang menerapkan tarif premium. PLN juga mempunyai suatu standar pelayanan yang dinamakan Tingkat Mutu Pelayanan (TMP) dimana TMP untuk sektor yang berada di kawasan tarif khusus lebih tinggi dibandingkan dengan TMP untuk sektor-sektor yang lain. Adapun ketentuan tentang pemberlakuan tarif khusus di suatu kawasan ditetapkan oleh pemerintah dan PLN Pusat.
Wilayah Jawa Barat dan Banten sendiri menurut narasumber, kaya akan potensi panas bumi dan mikrohidro. Untuk mengolah potensi panas bumi menjadi listrik, sudah dibangun PLTP Kamojang di daerah Garut. Namun untuk uapnya sendiri masih harus membeli dari Pertamina. Dibandingkan dengan bensin, solar, dan gas, sumber energi panas bumi dinilai lebih ekonomis. Adapun potensi mikrohidro di Jabar dan Banten belum dikelola dan dikembangkan dengan baik sehingga daya listrik yang dihasilkan pun masih sangat kecil. Di akhir wawancara narasumber kembali menyatakan bahwa pada intinya, PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten sendiri telah siap melaksanakan kebijakan tarif listrik regional jika memang dari pemerintah daerah dan DPRD juga telah siap dengan regulasinya, PLN siap sebagai operator dan pelaksana sosialisasinya, dan masyarakat setempat telah mau dan mampu untuk membayar listrik dengan tarif keekonomiannya.
4.2.2
Indikasi Adanya Kesenjangan (Gap) Antar Kota dan Kabupaten di Wilayah Jawa Barat dan Banten Adanya perbedaan karakteristik di setiap kota dan kabupaten di wilayah
Jawa Barat dan Banten menyebabkan terjadinya kesenjangan (gap) antar wilayah tersebut baik dari segi kekayaan alam, kemampuan masyarakat, kemampuan pemerintah daerah, kualitas dan keandalan listrik serta infrastruktur yang dimiliki. Dari segi kekayaan alam, gap terlihat dari adanya perbedaan dalam hal potensi energi primer yang dimiliki oleh setiap wilayah. Dari segi kemampuan masyarakat, gap terlihat dari PDRB perkapita, kontribusi sektor industri dan
bisnis terhadap PDRB, konsumsi rumah tangga dan tingkat kemiskinan. Kemampuan pemerintah daerah dapat terlihat dari gap antar wilayah dalam hal Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kualitas/keandalan listrik terlihat dari SAIDI dan SAIFI di setiap daerah sedangkan gap untuk infrastruktur kelistrikan yang dimiliki dapat terlihat dari kepadatan kapasitas gardu serta kepadatan saluran distribusi jaringan listrik di setiap daerah. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan penulis, gap antar wilayah jelas terlihat dari perhitungan koefisien variansi dari tabel berikut ini :
Tabel 4.9. Koefisien Variansi Yang Menunjukkan Gap antar kriteria di setiap kota dan kabupaten di Jawa Barat dan Banten PDRB Perkapita Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2009
Kontribusi Sektoral Terhadap PDRB
1
JAWA BARAT Kab. Bogor
6.390.000
2
Kab. Sukabumi
3
Konsumsi RT Perkapita /bulan (Rp.)
Tingkat Kemiskinan (%)
81%
452.963
8%
3.340.000
46%
345.972
Kab. Cianjur
3.580.000
34%
4
Kab.Bandung
6.446.689
5
Kab. Garut
6
NO.
Kabupaten/Kota
PAD (ribu rupiah)
Keandalan
Total Potensi Energi (Mwe)
σ kgd (Kepadatan Kapasitas Gardu)
σ TDi (Kepadatan Saluran Distribusi)
SAIFI
SAIDI
166.260.110
0.5525
0.0095
476
1.95
21.29
8%
80.616.079
0.2232
0.0103
929
1.10
32.24
355.850
7%
93.628.876
0.2639
0.0054
480
1.15
37.56
79%
433.484
11%
152.549.656
0.8772
0.0234
479
4.34
51.27
4.470.000
38%
314.851
6%
102.702.673
0.5495
0.0208
992
1.38
29.99
Kab. Tasikmalaya
3.580.000
32%
311.482
7%
49.657.867
0.0931
0.0050
1117
1.32
44.37
7
Kab.Ciamis
4.500.000
38%
361.519
8%
51.276.556
0.0931
0.0050
348
1.48
44.37
8
Kab. Kuningan
3.630.000
32%
358.465
6%
63.573.539
0.4926
0.0175
287
2.17
29.20
9
Kab.Cirebon
3.530.000
41%
398.129
5%
116.095.438
0.4926
0.0175
175
5.29
29.20
10
Kab. Majalengka
3.610.000
41%
392.226
5%
68.121.599
0.2660
0.0133
1212
5.29
39.32
11
Kab.Sumedang
4.920.000
55%
468.609
7%
90.819.326
0.2660
0.0133
487
3.71
39.32
12
Kab.Indramayu
8.120.000
38%
387.956
5%
86.408.587
0.4926
0.0175
18846
3.08
29.20
13
Kab.Subang
4.970.000
40%
453.322
7%
67.665.305
0.1832
0.0067
79529
1.86
28.06
14
Kab.Purwakarta
8.190.000
72%
474.333
9%
64.044.768
0.1832
0.0067
174
1.88
28.06
15
Kab.Karawang
8.730.000
68%
456.046
7%
130.020.658
0.3906
0.0119
62917
3.81
73.68
16
Kab.Bekasi
21.330.000
89%
590.216
17%
287.299.507
0.5236
0.0093
28786
6.35
158.42
PDRB Perkapita Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2009 4.850.000
Kontribusi Sektoral Terhadap PDRB
Konsumsi RT Perkapita /bulan (Rp.)
Tingkat Kemiskinan (%)
PAD (ribu rupiah)
69%
354.394
6%
39.964.364
0.8772
Total Potensi Energi (Mwe)
σ kgd (Kepadatan Kapasitas Gardu)
σ TDi (Kepadatan Saluran Distribusi)
0.0234
194
2.11
42.45
NO.
Kabupaten/Kota
Keandalan
17
Kab.Bandung Barat
18
Kota Bogor
5.080.000
63%
697.875
10%
125.313.316
0.4608
0.0074
9
15.28
28.00
19
Kota Sukabumi
6.390.000
55%
609.063
10%
66.190.681
0.2232
0.0103
10
13.01
32.24
20
Kota Bandung
12.600.000
69%
888.022
23%
360.152.627
0.3663
0.0251
13
16.92
359.86
21
Kota Cirebon
20.920.000
69%
653.360
7%
77.318.390
0.4926
0.0175
3
11.32
29.20
22
Kota Bekasi
6.210.000
75%
785.647
16%
231.694.925
0.5236
0.0093
10
25.96
158.42
23
Kota Depok
3.970.000
75%
763.019
37%
115.720.348
0.6579
0.0221
12
34.34
293.00
24
Kota Cimahi
11.050.000
82%
577.133
12%
75.037.372
0.9009
0.0135
3
27.24
42.45
25
Kota Tasikmalaya
4.110.000
54%
516.107
4%
76.503.523
0.0931
0.0050
31
8.04
44.37
26
Kota Banjar
4.190.000
50%
425.111
11%
28.011.890
0.0931
0.0050
19
3.89
44.37
1
BANTEN Kab. Pandeglang
3.616.000
45%
625.060
8%
31.921.009
0.3401
0.0117
258
0.76
34.09
2
Kab. Lebak
3.062.000
35%
627.490
8%
58.026.745
0.3401
0.0117
26910
0.64
34.09
3
Kab. Serang
5.091.785
73%
630.080
15%
118.585.763
0.7692
0.0216
602
2.15
54.18
4
Kota Cilegon
33.169.357
76%
641.880
25%
135.537.940
0.7692
0.0216
11
4.22
58.34
5
Kota Serang
5.363.925
70%
635.340
16%
17.923.437
0.7692
0.0216
6
2.15
54.18
KOTA BATAM
26.027.497
88%
407.556
14%
154.375.852
2.1000
0.0460
11
10.77
90.10
Rerata
7.969.914
58%
512.268
0.11
105.719.335
0.49
0.01
7.042
7.03
66.09
Simpangan baku
7.138.769
0.18
148.800
0.07
72.426.089
0.38
0.01
18.210
8.36
74.73
Koefisien Variansi
90%
31%
29%
65%
69%
76%
58%
259%
119%
113%
Koefisien variansi adalah perbandingan antara simpangan standar dengan nilai rata-rata data yang dinyatakan dengan persentase. Makin besar koefisien variansi maka semakin besar pula variasi dan sebaran data, sehingga dapat dikatakan bahwa semakin besar gap dari kriteria-kriteria antar kota dan kabupaten tersebut. Dari tabel 5.1 terlihat bahwa terdapat gap yang tinggi untuk setiap kriteria dari kota dan kabupaten di Jawa Barat dan Banten (nilai koefisien variansi diatas 44%, perhitungan terlampir) dimana konsumsi rumah tangga adalah kriteria dengan gap terendah diantara kriteria lainnya (29%), diikuti oleh kriteria kontribusi sektor indusri dan bisnis terhadap PDRB (31%), lama waktu gangguan/SAIDI (58%), tingkat kemiskinan (65%), PAD (69%), frekuensi padam listrik/SAIFI (76%) dan PDRB perkapita atas dasar harga konstan (90%). Kriteria dengan gap yang sangat tinggi adalah total potensi energi (259%), kepadatan/density kapasitas gardu listrik (119%), dan kepadatan/density jaringan distribusi listrik (113%). Koefisien variansi untuk ketiga kriteria itu lebih dari 100% yang berarti bahwa variansi datanya sangat besar, sebaran datanya sangat lebar dan perbedaan atau gap antar datanya sangat tinggi. Hal ini menggambarkan bahwa terdapat gap yang sangat tinggi dari sisi potensi energi yang dimiliki serta ketersediaan infrastruktur kelistrikan di setiap wilayah. Dengan adanya gap yang sangat tinggi dilihat dari kekayaan alam, kemampuan masyarakat, kemampuan pemerintah daerah, kualitas dan keandalan listrik serta infrastruktur yang dimiliki antar kota dan kabupaten tersebut sewajarnya tarif listrik yang berlaku berbeda disesuaikan dengan kriteria wilayahnya
4.2.3
Indikasi Segmentasi Tarif Listrik Regional Di Kota Dan Kabupaten Di Wilayah Jawa Barat dan Banten Dengan Menggunakan Metoda Analitycal Hierarchy Process (AHP) Seperti telah dikemukakan pada Bab 3 tentang metodologi penelitian bahwa
untuk memudahkan analisis kesenjangan (gap) antar wilayah di Jawa Barat dan Banten, dari hasil pengumpulan data sekunder serta dari hasil wawancara dan penyebaran daftar pertanyaan/kuesioner kepada para narasumber digunakan metoda Analitycal Hierarchy Process (AHP). Dengan metoda ini akan diketahui urutan prioritas daerah/regional di wilayah Jawa Barat dan Banten yang telah siap dan yang belum siap untuk menerapkan tarif regional dengan menggunakan proses segmentasi berdasarkan analisis kesenjangan dengan pendekatan teori Development Gap dan Infrastructure Electricity Gap. Dari hasil wawancara kepada 7 (tujuh) orang narasumber dari ITB dan LIPI, penulis membuat rekap hasil pengisian kuesionernya sebagai berikut :
Tabel 4.10. Ikhtisar Jawaban Narasumber/Hasil Pengisian Daftar Pertanyaan (Kuesioner) PENILAIAN
NO
KRITERIA/ KONDISI
Mutlak Lebih Penting 9
1 2
Sangat Jelas Lebih Penting 8
7
Jelas Lebih Penting 6
Development Gap PDRB
5 NH,FI, YS,SS
Sedikit Lebih Penting 4
3
SH,YS PDRB
NH,SH, MN,FI
4
PDRB
MN,SS, NH, YS
5
PDRB
6
Kontribusi Sektor industri & Bisnis thd PDRB Kontribusi Sektor industri & Bisnis thd PDRB
7
8
9
Kontribusi Sektor industri & Bisnis thd PDRB Konsumsi RT
10
Konsumsi RT
11
Tingkat Kemiskinan
SH,MN
2
1
NH,MN
3
Sedikit Lebih Penting
Sama Penting
2
3
Sangat Jelas Lebih Penting
Jelas Lebih Penting 4
5 SH,MN, AP
6
7
AP
9
Tingkat Kemiskinan
SH,FI, AP
FI,YS, SS,AP
8
KRITERIA/ KONDISI
Infrastructure Electricity Gap Kontribusi Sektor Industri & Bisnis terhadap PDRB Konsumsi Rumah Tangga
FI, SS,AP
YS, SS
Mutlak Lebih Penting
NH
PAD Konsumsi RT
FI, YS,SS, AP,NH
SH
MN,SS,A P,NH SH,FI, MN,SS, AP
FI,SS SH
YS
FI, YS
Tingkat Kemiskinan
SH
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
NH,
MN,AP
FI, YS,SS
SH,MN, AP
YS YS, AP, FI
MN,
NH,
NH,SH NH MN,SS
Tingkat Kemiskinan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD)
PENILAIAN
NO
KRITERIA/ KONDISI
Mutlak Lebih Penting 9
12
13
14
15 16
17
Kualitas dan Keandalan Listrik Kualitas dan Keandalan Listrik Kualitas dan Keandalan Listrik Ketersediaan Energi Primer Ketersediaan Energi Primer
Sangat Jelas Lebih Penting 8
7 MN
Density Saluran Distribusi Listrik
Keterangan : 1. NH : Nanang Hariyanto 2. SH : Syarif Hidayat 3. YS : Yusra Sabri 4. MN : Muhammad Nurdin
Jelas Lebih Penting 6
5
Sedikit Lebih Penting 4
3
Sedikit Lebih Penting
Sama Penting
2
1
SS
2
3
Sangat Jelas Lebih Penting
Jelas Lebih Penting 4
FI,YS,AP
5 SH
6
7
Mutlak Lebih Penting 8
9 Ketersediaan Energi Primer
NH
MN
NH,SH, FI,YS, SS,AP
MN
NH,FI,Y S,SS,AP
Density Saluran Distribusi Listrik
SH
NH
FI,AP
MN, YS,SS
SH
NH,
FI,AP
MN, YS,SS
SH
NH,SH, MN,YS, SS
5. AP : Agus Purwadi 6. SS : Sudarmono Sasmono 7. FI : Fitriana
FI,AP
KRITERIA/ KONDISI
Density Kapasitas Gardu Distribusi Listrik Density Saluran Distribusi Listrik Density Kapasitas Gardu Distribusi Listrik Density Kapasitas Gardu Distribusi
Dari tabel 4.9 di atas terlihat bahwa ada kecenderungan jawaban dari para pakar/tenaga ahli untuk setiap pertanyaan kuesioner (kotak dengan highlight biru) yang dapat dilihat dari mayoritas jawaban dari para pakar yang diwawancarai. Jawaban-jawaban tersebut akan diolah oleh peneliti dengan menggunakan metoda Analitycal Hierarchy Process (AHP). Untuk memperoleh hasil yang akurat, maka peneliti dibantu oleh software Expert Choice 11 dan hasilnya adalah sebagai berikut : 1.
Pada tingkat pertama, perbandingan berpasangan dilakukan antara kriteria development gap dan infrastructure electricity gap. Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa mayoritas narasumber yaitu sebanyak 4 orang narasumber berpendapat bahwa kriteria development gap jelas lebih penting untuk dipertimbangkan dibandingkan dengan kriteria infrastructure electricity gap. Perbandingan berpasangan antara kedua kriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini :
Gambar 4.2. Perbandingan Berpasangan Antara Development Gap dengan Infrastructure Electricity Gap
Mayoritas narasumber berpendapat bahwa masyarakat yang siap secara ekonomi pasti sudah siap membayar tarif listrik pada nilai keekonomiannya. Di Pulau Jawa, termasuk di dalamnya daerah Jawa Barat dimana pertumbuhan penduduk serta tingkat pertumbuhan ekonominya lebih tinggi dibandingkan wilayah lain di Indonesia, mutlak memerlukan pembangunan infrastruktur kelistrikan yang andal dan berkualitas yang dapat menunjang seluruh aktifitas penduduk dan perekomiannya. Sesuai dengan teori ekonomi kelistrikan bahwa ada hubungan elastisitas antara pertumbuhan ekonomi dengan kebutuhan energi maka semakin tinggi pertumbuhan ekonomi di suatu daerah, maka semakin tinggi pula permintaan kebutuhan (demand) akan listrik yang harus dipasok ke daerah tersebut. Oleh karena itu daerah-daerah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi (daerah makmur), mempunyai kebutuhan (demand) akan listrik yang juga tinggi. Agar pasokan listrik yang disalurkan andal dan berkualitas, maka harus ada pembangunan infrastruktur kelistrikan yang massive dan terus menerus. Hal ini otomatis akan membutuhkan biaya yang juga tinggi yang akan diperoleh dari tarif listrik yang diterapkan pada harga keekonomiannya (tarif listrik regional). Jadi dalam hal penerapan tarif listrik regional dilihat dulu faktor pembangunan di daerah tersebut atau dalam hal ini pertumbuhan ekonominya baru kemudian infrastruktur kelistrikannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa kriteria development gap lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif listrik regional dibandingkan dengan infrastructure electricity gap.
Pada tingkat kedua, perbandingan berpasangan dilakukan diantara subkriteria pembentuk development gap dan diantara subkriteria pembentuk infrastructure electricity gap sebagai berikut : 2.
Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 3 orang narasumber berpendapat bahwa kontribusi sektor industri dan bisnis sedikit lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan PDRB. Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini :
Gambar 4.3. Perbandingan Berpasangan Antara PDRB dengan Kontribusi Sektor Industri dan Bisnis
Kontribusi sektor industri dan bisnis dipandang mayoritas narasumber lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan PDRB karena pelanggan sektor industri dan bisnis merupakan pelanggan dengan konsumsi listrik paling besar meskipun secara kuantitas jumlah pelanggan ini lebih sedikit dari konsumen rumah tangga. Dalam hal penerapan tarif listrik regional harus diperhatikan terlebih dahulu sektor beban yang menggunakan listrik paling besar dan
memerlukan listrik yang andal dan berkualitas, dan dalam hal ini sektor industri
dan
bisnis/komersial
adalah
sektor
beban
yang
paling
membutuhkannya. 3.
Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 4 orang narasumber berpendapat bahwa PDRB sedikit lebih penting dibandingkan dengan Konsumsi Rumah Tangga. Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini :
Gambar 4.4. Perbandingan Berpasangan Antara PDRB dengan Konsumsi Rumah Tangga
PDRB dipandang mayoritas narasumber sedikit lebih penting dibandingkan dengan Konsusi Rumah Tangga dengan alasan bahwa angka PDRB mencerminkan kondisi ekonomi makro dalam arti aktivitas ekonomi yang lebih luas. Didalam PDRB sudah termasuk seluruh kegiatan usaha dari penduduk di daerah tersebut seperti dari sektor industri, bisnis, termasuk di dalamnya kegiatan dari sektor rumah tangga. Angka konsumsi rumah tangga hanya mencerminkan sebagian kecil dari kapasitas total pemakaian listrik dari suatu pembangkit atau dapat dikatakan bahwa konsumsi rumah
tangga itu adalah beban dasar. Dalam penerapan tarif listrik regional harus dilihat dulu kekuatan ekonomi makronya dalam hal ini kekuatan ekonomi makro suatu wilayah tersebut dapat tercermin dalam PDRB. 4.
Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 4 orang narasumber berpendapat bahwa dalam penerapan kebijakan tarif listrik regional, PDRB sedikit lebih penting untuk dipertimbangkan dibandingkan dengan Tingkat Kemiskinan. Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini :
Gambar 4.5. Perbandingan Berpasangan Antara PDRB dengan Tingkat Kemiskinan
PDRB dipandang mayoritas narasumber sedikit lebih penting dibandingkan dengan tingkat kemiskinan dengan alasan bahwa terkadang angka tingkat kemiskinan di suatu daerah tidak terlalu akurat, sedangkan angka PDRB lebih reliabel. Namun sebenarnya kedua hal tersebut berkaitan erat satu sama lain. PDRB mencerminkan kemampuan ekonomi penduduk di suatu wilayah. Semakin tinggi PDRB semakin tinggi pula kemampuan ekonomi
penduduk di wilayah tersebut. Kemampuan ekonomi tinggi berarti tingkat kemiskinan yang rendah. 5.
Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 4 orang narasumber berpendapat bahwa dalam penerapan kebijakan tarif listrik regional, PDRB jelas lebih penting untuk dipertimbangkan dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini :
Gambar 4.6. Perbandingan Berpasangan Antara PDRB dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
PDRB dipandang mayoritas narasumber jelas lebih penting dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan alasan PDRB lebih menggambarkan kekuatan ekonomi secara makro, sedangkan PAD hanya mencerminkan kemampuan pemerintah saja dalam hal ini mencakup perolehan pajak dan retribusi dari suatu daerah. Dalam hal penerapan tarif listrik regional dimana yang berlaku adalah tarif keekonomian, maka yang utama diperhatikan adalah kemampuan ekonomi dari masyarakatnya.
6.
Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 4 orang narasumber berpendapat bahwa kontribusi sektor industri dan bisnis terhadap PDRB sama pentingnya dengan konsumsi rumah tangga. Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini :
Gambar 4.7. Perbandingan Berpasangan Antara Kontribusi Sektor Industri dan Bisnis terhadap PDRB dengan Konsumsi Rumah Tangga
Kontribusi sektor industri dan bisnis terhadap PDRB di suatu daerah dipandang narasumber sama pentingnya untuk dipertimbangkan dalam penerapan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga. Pendapat ini muncul dengan alasan bahwa berbicara tentang tarif listrik regional berarti berbicara tentang tersedianya listrik yang andal dan berkualitas baik untuk sektor industri dan bisnis maupun untuk sektor rumah tangga. Sektor industri dan bisnis berkontribusi besar terhadap PDRB, sedangkan PDRB merupakan representasi dari pendapatan bruto, dimana didalamnya terdapat kemampuan anggaran yang dibelanjakan. Kemampuan anggaran yang dibelanjakan dapat dianggap sebagai konsumsi rumah
tangga. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kontribusi sektor industri dan bisnis terhadap PDRB sama pentingnya dengan tingkat konsumsi rumah tangga. 7.
Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 4 orang narasumber berpendapat bahwa kontribusi sektor industri dan bisnis terhadap PDRB sedikit lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan. Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini :
Gambar 4.8. Perbandingan Berpasangan Antara Kontribusi Sektor Industri dan Bisnis terhadap PDRB dengan Tingkat Kemiskinan
Kontribusi sektor industri dan bisnis terhadap PDRB dipandang mayoritas narasumber sedikit lebih penting dibandingkan dengan Tingkat Kemiskinan dengan alasan bahwa sektor industri dan bisnis meskipun dari segi kuantitas/jumlah pelanggan lebih sedikit namun dari segi konsumsi listrik jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan sektor rumah tangga. Sektor industri dan bisnis ini juga dipandang lebih mau dan mampu membayar tarif
listrik dengan harga lebih tinggi selama listrik yang mereka terima andal dan berkualitas. Selain itu, meskipun tingkat kemiskinan dapat menggambarkan kemampuan bayar dari masyarakat di suatu daerah, namun angka tingkat kemiskinan seringkali tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya. 8.
Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 5 orang narasumber berpendapat bahwa kontribusi sektor industri dan bisnis terhadap PDRB sangat jelas lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini:
Gambar 4.9. Perbandingan Berpasangan Antara Kontribusi Sektor Industri dan Bisnis terhadap PDRB dengan PAD
Kontribusi sektor industri dan bisnis terhadap PDRB dipandang mayoritas narasumber sangat jelas lebih penting dibandingkan dengan PAD dengan alasan bahwa kebijakan penerapan tarif listrik regional yang akan diterapkan di suatu daerah adalah tidak untuk semua golongan tarif, yaitu hanya untuk golongan industri, bisnis dan rumah tangga kaya yang memerlukan listrik
dengan kualitas dan keandalan tinggi. Golongan pelanggan tersebut juga dianggap paling mampu untuk membayar listrik pada tarif keekonomiannya. Adapun PAD yang mencerminkan kemampuan pemerintah daerah, tidak terlalu penting untuk dipertimbangkan karena pemda setempat yang memberlakukan kebijakan tarif listrik regional tidak perlu memberikan subsidi. 9.
Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 3 orang narasumber berpendapat bahwa konsumsi rumah tangga sama penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan. Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini:
Gambar 4.10.Perbandingan Berpasangan Antara Konsumsi Rumah Tangga dengan Tingkat Kemiskinan Konsumsi rumah tangga dipandang mayoritas narasumber sama pentingnya dengan tingkat kemiskinan dengan alasan bahwa kedua sub kriteria tersebut adalah saling berkaitan erat dimana makin kecil konsumsi rumah tangga, semakin tinggi pula tingkat kemiskinan. Selain itu konsumsi rumah tangga
dan tingkat kemiskinan juga sebagai indikator penentu nilai tarif listrik terendah dari masyarakat atau dengan kata lain sebagai gambaran kemampuan bayar listrik dari masyarakat. 10.
Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 3 orang narasumber berpendapat bahwa konsumsi rumah tangga jelas lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan PAD. Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini:
Gambar 4.11. Perbandingan Berpasangan Antara Konsumsi Rumah Tangga dengan Pendapatan Asli Daerah
Konsumsi rumah tangga dipandang mayoritas narasumber jelas lebih penting dibandingkan dengan PAD dengan alasan bahwa konsumsi rumah tangga berkaitan langsung dengan kebutuhan energi listrik di suatu daerah sedangkan PAD berkaitan dengan sejauh mana pemda setempat mau membangun infrastruktur dan mau menanggung subsidi. Meskipun PAD di suatu wilayah tinggi namun tidak ada keinginan dari pemda untuk melakukan pembangunan infrastruktur kelistrikan atau menanggung
subsidi bagi penduduk miskin, maka tarif listrik regional akan sulit untuk diterapkan. Angka PAD juga dinilai masih sangat makro jika dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga. 11.
Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 3 orang narasumber berpendapat bahwa tingkat kemiskinan lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan PAD. Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini:
Gambar 4.12. Perbandingan Berpasangan Antara Tingkat Kemiskinan dengan Pendapatan Asli Daerah
Tingkat kemiskinan dipandang mayoritas narasumber lebih penting untuk dipertimbangkan jika dibandingkan dengan PAD dengan alasan bahwa dalam hal penerapan tarif listrik regional, hal yang utama adalah kemampuan
bayar
dari
masyarakat.
Tingkat
kemiskinan
dapat
menggambarkan kemampuan dasar masyarakat akan tarif listrik, adapun PAD hanya menggambarkan kemampuan pemerintah saja. Jika masyarakat
sudah merasa mampu dan mau membayar tarif listrik sesuai dengan keekonomiaannya, maka tanpa harus disubsidi pemerintah maka tarif listrik regional dapat diterapkan. 12.
Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 3 orang narasumber berpendapat bahwa
ketersediaan
energi
primer
sedikit
lebih
penting
untuk
dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik. Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini:
Gambar 4.13 Perbandingan Berpasangan Antara Kualitas dan Keandalan Listrik dengan Ketersediaan Energi Primer
Ketersediaan energi primer dipandang mayoritas narasumber sedikit lebih penting jika dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik dengan alasan bahwa keandalan dan kualitas listrik adalah hasil dari tersedianya sumber energi yang mencukupi untuk melistriki suatu daerah. Kualitas dan keandalan listrik tidak akan terwujud tanpa melihat ketersediaan energi primer yang dimiliki oleh daerah tersebut yang dibangun untuk fasilitas
kelistrikan. Suatu daerah yang mempunyai ketersediaan energi primer yang mencukupi, ditunjang oleh kemampuan dan keinginan pemerintah daerah setempat untuk membangun infrastruktur kelistrikan yang memadai serta kemampuan dan kemauan masyarakat untuk membeli listrik dengan harga keekonomiannya, maka akan kebijakan tarif listrik regional akan dapat diterapkan dengan baik. 13.
Hampir seluruh narasumber yaitu sebanyak 6 orang narasumber berpendapat bahwa density saluran distribusi listrik sangat jelas lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik. Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini:
Gambar 4.14. Perbandingan Berpasangan Antara Kualitas dan Keandalan Listrik dengan Density Saluran Distribusi Listrik
Density saluran distribusi listrik dipandang mayoritas narasumber sangat jelas lebih penting jika dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik dengan pertimbangan bahwa infrastruktur kelistrikannya harus terlebih dahulu diperhatikan, baru berbicara tentang kualitas dan keandalan.
Infrastruktur kelistrikan disini salah satunya adalah density saluran distribusi listrik. Jika saluran distribusi listrik telah memenuhi kebutuhan (demand) dari suatu daerah, maka akan dihasilkan listrik yang andal dan berkualitas. 14.
Hampir seluruh narasumber yaitu sebanyak 6 orang narasumber berpendapat bahwa density saluran kapasitas gardu sangat jelas lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik. Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini:
Gambar 4. 15. Perbandingan Berpasangan Antara Kualitas dan Keandalan Listrik dengan Density Kapasitas Gardu Distribusi
Density kapasitas gardu distribusi listrik dipandang mayoritas narasumber sangat jelas lebih penting jika dibandingkan dengan kualitas dan keandalan listrik dengan pertimbangan bahwa yang paling utama dilihat di suatu daerah dalam hal pembangunan infrastruktur kelistrikan adalah ada tidaknya gardu penyalur dan saluran distribusi listriknya. Jika density (kerapatan) saluran distribusi listrik serta kapasitas gardu listriknya cukup baik, maka listrik yang dihasilkan pun akan berkulitas dan andal. Jika density saluran
distribusi listrik dan density kapasitas gardu listriknya tidak menunjang maka tidak akan terwujud keandalan listrik sehingga akan sulit pula untuk menerapkan tarif listrik regional 15.
Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 3 orang narasumber berpendapat bahwa density saluran distribusi listrik serta density kapasitas gardu distribusi listrik sedikit lebih penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan ketersediaan energi primer. Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar-gambar di bawah ini:
Gambar 4.16 Perbandingan Berpasangan Antara Ketersediaan Energi Primer dengan Density Saluran Distribusi Listrik
Gambar 4.17. Perbandingan Berpasangan Antara Ketersediaan Energi Primer dengan Density Saluran Kapasitas Gardu Distribusi Listrik
Density saluran distribusi listrik dan density kapasitas gardu distribusi listrik dipandang mayoritas narasumber sedikit lebih penting jika dibandingkan dengan ketersediaan energi primer dengan pertimbangan bahwa di daerahdaerah yang minim sumber energi primernya pun, namun pemerintah daerah setempat mampu membangun infrastruktur kelistrikan yang memadai dan ditunjang pula oleh kemampuan masyarakatnya yang tinggi, maka daerah tersebut dipandang telah siap untuk menerapkan tarif listrik regional. 16.
Mayoritas narasumber yaitu sebanyak 5 orang narasumber berpendapat bahwa density saluran distribusi listrik sama penting untuk dipertimbangkan dalam hal penerapan kebijakan tarif listrik regional jika dibandingkan dengan density kapasitas gardu distribusi listrik. Perbandingan berpasangan antara kedua subkriteria tersebut ditampilkan pada gambar di bawah ini:
Gambar 4.18. Perbandingan Berpasangan Antara Density Saluran Distribusi Listrik dengan Density Saluran Kapasitas Gardu Distribusi Listrik
Density saluran distribus listrik dipandang mayoritas narasumber sama pentingnya dengan density kapasitas gardu distribusi listrik dengan alasan kedua subkriteria tersebut adalah sama penting karena saling berkaitan erat
satu sama lain. Saluran distribusi dibangun untuk menyalurkan listrik dari gardu listrik. Ada gardu listrik, maka harus ada saluran listrik, begitupun sebaliknya. Jika density saluran distribusinya banyak namun kapasitas gardunya kecil maka jaringan listrik tidak leluasa untuk bermanuver, yang akan berakibat turunnya keandalan dan kualitas listrik yang disalurkan. Begitu pula jika kapasitas gardu yang dibangun besar, namun saluran distribusinya tidak memadai, maka listrik yang disalurkan tidak akan andal dan berkualitas sehingga tarif listrik regional akan sulit untuk diterapkan. Dari perbandingan berpasangan seluruh kriteria dalam 2 tingkat tersebut, dengan menggunakan perangkat lunak Expert choice dapat ditentukan bobot masing-masing kriteria. Bobot tersebut ditampilkan pada gambar 4.18 dibawah ini :
Gambar 4.19 Bobot Kriteria Regionalisasi
Untuk lebih jelasnya, bobot dalam gambar 4.19 tersebut dapat dilihat dalam Tabel 4.10 berikut : Tabel 4.11 Bobot Sub Kriteria Tarif Listrik Regional SUB KRITERIA PDRB Kontribusi Sektor Industri dan Bisnis Konsumsi Rumah Tangga Tingkat Kemiskinan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kualitas dan Keandalan Listrik Ketersediaan Energi Primer Density Saluran Distribusi Listrik Density Kapasitas Gardu Distribusi
BOBOT 0.24 0.319 0.15 0.105 0.032 0.008 0.018 0.064 0.064
Dari Gambar 4.19 terlihat bahwa inkonsistensi total bobot ini adalah 0,08 sedangkan ketentuan nilai inkonsistensi dalam AHP adalah ≤ 0,1, dengan demikian dapat dikatakan bahwa bobot-bobot untuk setiap kriteria ini cukup konsisten, sehingga dapat digunakan dalam penentuan tarif listrik regional.
4.2.4
Data Sekunder Kriteria Kota/Kabupaten Pelaksana Kebijakan Tarif Listrik Regional Data sekunder yang digunakan dalam penentuan kota/kabupaten pelaksana
kebijakan tarif listrik regional adalah data sekunder yang dikumpulkan dari hasil survey data sekunder di Badan Pusat Statistik (BPS) propinsi Jawa Barat dan dari data Statistik PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten Tahun 2010 serta dari berbagai sumber lain. Data sekunder yang digunakan adalah data yang berangka tahun 2009 dan 2010. Data-data tersebut adalah sebagai berikut :
4.2.3.1
PDRB Perkapita Kota dan Kabupaten di Propinsi Jawa Barat dan Banten
Data PDRB Perkapita Kota dan Kabupaten di Propinsi Jawa Barat dan Banten atas harga konstan tahun 2009 ditampilkan pada tabel berikut ini : Tabel 4.12. PDRB Per Kapita atas Harga Konstan 2000 NO.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
KABUPATEN/KOTA JAWA BARAT Kab. Bogor Kab. Sukabumi Kab. Cianjur Kab.Bandung Kab. Garut Kab. Tasikmalaya Kab.Ciamis Kab. Kuningan Kab.Cirebon Kab. Majalengka Kab.Sumedang Kab.Indramayu Kab.Subang Kab.Purwakarta Kab.Karawang Kab.Bekasi Kab.Bandung Barat Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar
PDRB Tahun 2009 6.390.000 3.340.000 3.580.000 6.446.689 4.470.000 3.580.000 4.500.000 3.630.000 3.530.000 3.610.000 4.920.000 8.120.000 4.970.000 8.190.000 8.730.000 21.330.000 4.850.000 5.080.000 6.390.000 12.600.000 20.920.000 6.210.000 3.970.000 11.050.000 4.110.000 4.190.000
NO. 1 2 3 4 5
KABUPATEN/KOTA BANTEN Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Serang Kota Cilegon Kota Serang
PDRB Tahun 2009 3.616.000 3.062.000 5.091.785 33.169.357 5.363.925
Sumber : Jawa Barat dalam Angka 2009 dan Banten Dalam Angka 2009
4.2.3.2
Kontribusi Sektor Industri dan Bisnis terhadap PDRB di Kota dan Kabupaten di Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 2009 Data Kontribusi Sektor Industri dan Bisnis Kota dan Kabupaten di Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 2009 ditampilkan pada tabel 4.12. berikut ini : Tabel 4. 13 Kontribusi Sektor Industri dan Bisnis terhadap PDRB
No.
Kab./Kota
KONTRIBUSI SEKTORAL TERHADAP PDRB HARGA KONSTAN 2000 (Tahun 2009, dalam juta rupiah) Total
PDRB 2009
Kontribusi (%)
Industri
Bisnis
19.108.000
5.824.000
24.932.000
30.952.137
81%
1.485.000
2.296.000
3.781.000
8.308.059
46%
220.000
2.441.100
2.661.100
7.939.506
34%
12.517.000
3.699.400
16.216.400
20.527.539
79%
JAWA BARAT 1.
Kab. Bogor
2.
Kab. Sukabumi
3.
Kab. Cianjur
4.
Kab. Bandung
5.
Kab. Garut
742.000
3.247.000
3.989.000
10.568.745
38%
6.
Kab.Tasikmalaya
395.600
1.273.000
1.668.600
5.291.155
32%
7.
Kab. Ciamis
496.900
2.185.500
2.682.400
7.071.040
38%
8.
Kab.Kuningan
85.600
1.133.700
1.219.300
3.778.391
32%
1.097.000
2.081.400
3.178.400
7.746.385
41%
724.300
997.800
1.722.100
4.225.926
41%
Kab. Sumedang
1.374.000
1.579.300
2.953.300
5.381.582
55%
12.
Kab. Indramayu
2.596.800
2.723.800
5.320.600
13.870.605
38%
13.
Kab. Subang
1.006.000
1.810.445
2.816.445
7.103.319
40%
14.
Kab. Purwakarta
3.345.243
1.615.936
4.961.179
6.849.561
72%
15.
Kab. Karawang
8.710.728
4.323.139
13.033.867
19.195.450
68%
16.
Kab. Bekasi
40.653.221
5.648.284
46.301.505
51.789.756
89%
17.
Kab. Bandung Barat
3.395.893
1.741.330
5.137.223
7.464.575
69%
18.
Kota Bogor
1.273.762
1.567.305
2.841.067
4.508.601
63%
19.
Kota Sukabumi
96.906
892.184
989.090
1.810.151
55%
20.
Kota Bandung
7.792.641
12.266.286
20.058.927
29.228.272
69%
21.
Kota Cirebon
2.111.556
2.117.128
4.228.684
6.116.933
69%
22.
Kota Bekasi
6.344.557
4.578.864
10.923.421
14.622.593
75%
23.
Kota Depok
2.499.039
2.109.665
4.608.704
6.129.570
75%
24.
Kota Cimahi
3.729.342
1.335.359
5.064.701
6.180.403
82%
25.
Kota Tasikmalaya
653.935
1.326.772
1.980.707
3.668.628
54%
26.
Kota Banjar
82.526
276545
359.071
712.214
50%
9.
Kab. Cirebon
10.
Kab. Majalengka
11.
BANTEN 1.
Kab. Pandeglang
456.271
1.336.693
1.792.964
3.985.777
45%
2.
Kab. Lebak
350.832
985.027
1.335.859
3.855.539
35%
3.
Kab. Serang
4.265.612
718.015
4.983.627
6.850.940
73%
4.
Kota Cilegon
6.499.526
2.295.449
8.794.975
11.530.598
76%
5.
Kota Serang
1.520.758
253.460
1.774.217
2.534.596
70%
Sumber : Jawa Barat dalam Angka 2009 dan Banten Dalam Angka 2009
4.2.3.3
Konsumsi Rumah Tangga Kota dan Kabupaten di Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 2009 Data konsumsi rumah tangga perkapita/bulan kota dan Kabupaten di Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 2009 ditampilkan pada tabel 4.14 berikut ini : Tabel 4.14. Data Konsumsi Rumah Tangga Perkapita/Bulan NO.
KABUPATEN/KOTA
Jumlah (Rp.)
1 2
Kab. Bogor Kab. Sukabumi
452.963 345.972
3 4
Kab.Cianjur Kab. Bandung
355.850 433.484
5 6
Kab. Garut Kab.Tasikmalaya
314.851 311.482
7 8
Kab. Ciamis Kab. Kuningan
361.519 358.465
9 10
Kab. Cirebon Kab. Majalengka
398.129 392.226
11 12
Kab. Sumedang Kab. Indramayu
468.609 387.956
13 14
Kab. Subang Kab. Purwakarta
453.322 474.333
15 16
Kab. Karawang Kab. Bekasi
456.046 590.216
17
Kab. Bandung Barat
354.394
18 19 20 21 22 23 24 25 26
Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar
697.875 609.063 888.022 653.360 785.647 763.019 577.133 516.107 425.111
NO.
KABUPATEN/KOTA
Jumlah (Rp.)
27 28 29
Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Serang
625.060 627.490 630.080
31 31
Kota Cilegon Kota Serang
641.880 635.340
Sumber : Penyusunan Data Sosial Ekonomi Provinsi Jawa Barat 2009, Jawa Barat dalam Angka 2009.
4.2.3.4
Tingkat kemiskinan Kota dan Kabupaten di Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 2009 Data tingkat kemiskinan Kota dan Kabupaten di Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 2009 ditampilkan pada tabel 4.15 berikut ini : Tabel 4.15 Tingkat Kemiskinan Kota dan Kabupaten di Propinsi Jawa Barat dan Banten NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Kabupaten/Kota Kab. Bogor Kab. Sukabumi Kab. Cianjur Kab.Bandung Kab. Garut Kab. Tasikmalaya Kab.Ciamis Kab. Kuningan Kab.Cirebon Kab. Majalengka Kab.Sumedang Kab.Indramayu Kab.Subang Kab.Purwakarta Kab.Karawang
Jumlah Penduduk Miskin (dalam %) 12.11 13.26 15.38 9.42 17.87 14.7 12.32 16.75 20.25 18.79 15.18 19.75 15.15 11.61 14
NO.
Kabupaten/Kota
Jumlah Penduduk Miskin (dalam %)
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Kab.Bekasi Kab.Bandung Barat Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Serang Kota Cilegon Kota Serang
5.89 17.61 9.72 10.41 4.42 14.11 6.36 2.69 8.35 26.08 9.31 12.55 12.05 6.48 3.95 6.19
Sumber : Jawa Barat dalam Angka Tahun 2009 dan Banten Dalam Angka Tahun 2009
4.2.3.5
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota dan Kabupaten di Propinsi Jawa Barat dan Banten tahun 2009 Data PAD Kota dan Kabupaten di Wilayah Jawa Barat dan Banten tahun 2009 ditampilkan pada tabel 4.16 berikut ini :
Tabel 4.16. PAD Kota dan Kabupaten di Wilayah Jabar dan Banten NO.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 1 2 3 4 5
KABUPATEN/KOTA WILAYAH JAWA BARAT Kab. Bogor Kab. Sukabumi Kab. Cianjur Kab. Bandung Kab. Garut Kab. Tasikmalaya Kab. Ciamis Kab. Kuningan Kab. Cirebon Kab. Majalengka Kab. Sumedang Kab. Indramayu Kab. Subang Kab. Purwakarta Kab. Karawang Kab. Bekasi Kab. Bandung Barat Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar WILAYAH BANTEN Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Serang Kota Cilegon Kota Serang
PAD (Ribu Rupiah) 166.260.110 80.616.079 93.628.876 152.549.656 102.702.673 49.657.867 51.276.556 63.573.539 116.095.438 68.121.599 90.819.326 86.408.587 67.665.305 64.044.768 130.020.658 287.299.507 39.964.364 125.313.316 66.190.681 360.152.627 77.318.390 231.694.925 115.720.348 75.037.372 76.503.523 28.011.890 31.921.009 58.026.745 118.585.763 135.537.940 17.923.437
Sumber : Jawa Barat dalam Angka Tahun 2009 dan Banten Dalam Angka Tahun 2009
4.2.3.6
SAIDI
:
System
Average
Interruption
Duration
Index
(menit/pelanggan/tahun) serta SAIFI : System Average Interruption Frequency Index (kali/pelanggan/tahun) di wilayah Distribusi Jawa Barat dan Banten Data gangguan yang terdiri dari SAIDI serta SAIFI di wilayah Distribusi Jawa Barat dan Banten ditampilkan pada tabel 4.17 berikut ini : Tabel 4.17 SAIDI dan SAIFI di Wilayah Jawa Barat dan Banten Total NO.
KABUPATEN/KOTA
SAIDI
SAIFI
WILAYAH JAWA BARAT 1
Kab. Bogor
105.55
1.81
2
Kab. Sukabumi
97.41
4.48
3
Kab. Cianjur
184.91
3.79
4
Kab. Bandung
42.67
1.14
5
Kab. Garut
47.98
1.82
6
Kab. Tasikmalaya
201.22
10.74
7
Kab. Ciamis
201.22
10.74
8
Kab. Kuningan
57.10
2.03
9
Kab. Cirebon
57.10
2.03
10
Kab. Majalengka
75.30
3.76
11
Kab. Sumedang
75.30
3.76
12
Kab. Indramayu
57.10
2.03
13
Kab. Subang
149.02
5.46
14
Kab. Purwakarta
149.02
5.46
15
Kab. Karawang
83.69
2.56
16
Kab. Bekasi
108.03
1.91
17
Kab. Bandung Barat
42.67
1.14
18
Kota Bogor
134.55
2.17
19
Kota Sukabumi
97.41
4.48
20
Kota Bandung
39.83
2.73
21
Kota Cirebon
57.10
2.03
22
Kota Bekasi
108.03
1.91
23
Kota Depok
45.23
1.52
Total NO.
KABUPATEN/KOTA
SAIDI
SAIFI
24
Kota Cimahi
74.09
1.11
25
Kota Tasikmalaya
201.22
10.74
26
Kota Banjar
201.22
10.74
1
BANTEN Kab. Pandeglang
85.26
2.94
2
Kab.Lebak
85.26
2.94
3
Kab.Serang
46.32
1.30
4
Kota Cilegon
46.32
1.30
5
Kota Serang
46.32
1.30
Sumber : Statistik PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten 2010
4.2.3.7
Potensi Energi Primer di wilayah Distribusi Jawa Barat dan Banten 1. Data Potensi Batubara di wilayah Distribusi Jawa Barat dan Banten tahun 2009 ditampilkan pada tabel 4.18 berikut ini : Tabel 4.18. Data Potensi Batubara NO.
KABUPATEN/KOTA
Potensi Batubara (ton)
WILAYAH JAWA BARAT 1
Kab. Bogor
2
Kab. Sukabumi
3
Kab. Cianjur
4
Kab. Bandung
5
Kab. Garut
6
Kab. Tasikmalaya
7
Kab. Ciamis
8
Kab. Kuningan
9
Kab. Cirebon
10
Kab. Majalengka
11
Kab. Sumedang
12
Kab. Indramayu
13
Kab. Subang
14
Kab. Purwakarta
15
Kab. Karawang
16
Kab. Bekasi
17
Kab. Bandung Barat
1.875
2.713
NO.
KABUPATEN/KOTA
18
Kota Bogor
19
Kota Sukabumi
20
Kota Bandung
21
Kota Cirebon
22
Kota Bekasi
23
Kota Depok
24
Kota Cimahi
25
Kota Tasikmalaya
26
Kota Banjar
Potensi Batubara (ton)
BANTEN 1
Kab. Pandeglang
2
Kab. Lebak
3
Kab.Serang
4
Kota Cilegon
5
Kota Serang
13.300.000
Sumber : Dinas Pertambangan & Energi Provinsi Jawa Barat 2007
2. Data Potensi Minyak Bumi di wilayah Distribusi Jawa Barat dan Banten tahun 2009 ditampilkan pada tabel 4.19 berikut ini : Tabel 4.19 Potensi Minyak Bumi di Wilayah Jabar dan Banten NO.
KABUPATEN/KOTA
Potensi Minyak Bumi (dalam ton)
WILAYAH JAWA BARAT 1
Kab. Bogor
2
Kab. Sukabumi
3
Kab. Cianjur
4
Kab. Bandung
5
Kab. Garut
6
Kab. Tasikmalaya
7
Kab. Ciamis
8
Kab. Kuningan
9
Kab. Cirebon
10
Kab. Majalengka
11
Kab. Sumedang
12
Kab. Indramayu
1735.7
13
Kab. Subang
563.3
72.5
NO.
KABUPATEN/KOTA
Potensi Minyak Bumi (dalam ton)
14
Kab. Purwakarta
15
Kab. Karawang
1329.9
16
Kab. Bekasi
6019.6
17
Kab. Bandung Barat
18
Kota Bogor
19
Kota Sukabumi
20
Kota Bandung
21
Kota Cirebon
22
Kota Bekasi
23
Kota Depok
24
Kota Cimahi
25
Kota Tasikmalaya
26
Kota Banjar BANTEN
1
Kab. Pandeglang
2
Kab. Lebak
3
Kab.Serang
4
Kota Cilegon
5
Kota Serang
Sumber : Dinas Pertambangan & Energi Provinsi Jawa Barat 2007
3. Data Potensi Gas Alam di wilayah Distribusi Jawa Barat dan Banten tahun 2009 ditampilkan pada tabel 4.20 berikut ini : Tabel 4.20. Potensi Gas Alam di Wilayah Jabar dan Banten NO.
1 2 3 4 5 6 7 8
KABUPATEN/KOTA WILAYAH JAWA BARAT Kab. Bogor Kab. Sukabumi Kab. Cianjur Kab. Bandung Kab. Garut Kab. Tasikmalaya Kab. Ciamis Kab. Kuningan
Potensi Gas Alam (Dalam Juta Kaki Kubik)
NO.
KABUPATEN/KOTA
Potensi Gas Alam (Dalam Juta Kaki Kubik)
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Kab. Cirebon 647 Kab. Majalengka Kab. Sumedang 11.708 Kab. Indramayu 72.980 Kab. Subang Kab. Purwakarta 54.887 Kab. Karawang 7.160 Kab. Bekasi Kab. Bandung Barat Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar BANTEN 1 Kab. Pandeglang 2 Kab. Lebak 3 Kab.Serang 4 Kota Cilegon 5 Kota Serang Sumber : Dinas Pertambangan & Energi Provinsi Jawa Barat 2007
4. Data Potensi Angin di wilayah Distribusi Jawa Barat dan Banten tahun 2009 ditampilkan pada tabel 4.21 berikut ini : Tabel 4.21. Potensi Angin di Wilayah Jabar dan Banten NO.
KABUPATEN/KOTA
Potensi Angin Kecepatan (m/detik)
WILAYAH JAWA BARAT 1
Kab. Bogor
4.17
2
Kab. Sukabumi
7.00
3
Kab. Cianjur
4.17
4
Kab. Bandung
4.17
NO.
KABUPATEN/KOTA
Potensi Angin Kecepatan (m/detik)
5
Kab. Garut
4.17
6
Kab. Tasikmalaya
5.56
7
Kab. Ciamis
5.56
8
Kab. Kuningan
4.17
9
Kab. Cirebon
5.56
10
Kab. Majalengka
5.56
11
Kab. Sumedang
4.17
12
Kab. Indramayu
5.83
13
Kab. Subang
5.56
14
Kab. Purwakarta
5.56
15
Kab. Karawang
5.56
16
Kab. Bekasi
4.17
17
Kab. Bandung Barat
5.56
18
Kota Bogor
4.17
19
Kota Sukabumi
5.56
20
Kota Bandung
5.14
21
Kota Cirebon
5.56
22
Kota Bekasi
4.17
23
Kota Depok
4.17
24
Kota Cimahi
4.17
25
Kota Tasikmalaya
2.22
26
Kota Banjar
5.56
BANTEN 1
Kab. Pandeglang
4.50
2
Kab. Lebak
4.50
3
Kab.Serang
3.01
4
Kota Cilegon
5.00
5
Kota Serang
3.10
Sumber : Indonesia Energy Outlook & Statistic 2006 , Kajian Potensi dan Analisis Ekonomi Sistem Konversi Energi Angin untuk Pemompaan di Jawa Barat
5. Data Potensi Energi Biogas di wilayah Distribusi Jawa Barat dan Banten tahun 2009 ditampilkan pada tabel 4.21 berikut ini :
Tabel 4.22 Potensi Energi Biogas Wilayah Jabar dan Banten Potensi Energi Biogas (Binatang) (Mwe)
Potensi Energi Biogas (Sampah) (Mwe)
Total Potensi Biogas (Mwe)
1
JAWA BARAT Kab. Bogor
21.90
0.52
22.41
2
Kab. Sukabumi
14.14
0.28
14.42
NO.
KABUPATEN/KOTA
3
Kab. Cianjur
16.00
0.36
16.36
4
Kab. Bandung
13.27
3.81
17.09
5
Kab. Garut
11.85
0.39
12.23
6
Kab. Tasikmalaya
14.62
0.47
15.09
7
Kab. Ciamis
19.54
0.39
19.92
8
Kab. Kuningan
8.30
0.15
8.45
9
Kab. Cirebon
3.25
0.87
4.12
10
Kab. Majalengka
6.01
0.98
7.00
11
Kab. Sumedang
11.15
0.13
11.27
12
Kab. Indramayu
6.91
0.32
7.23
13
Kab. Subang
9.81
0.18
9.99
14
Kab. Purwakarta
14.76
0.20
14.95
15
Kab. Karawang
16.31
0.37
16.68
16
Kab. Bekasi
6.85
2.84
9.69
17
Kab. Bandung Barat
11.28
3.42
14.71
18
Kota Bogor
0.52
1.74
2.26
19
Kota Sukabumi
0.54
0.44
0.98
20
Kota Bandung
0.55
5.86
6.41
21
Kota Cirebon
0.11
0.61
0.72
22
Kota Bekasi
1.54
2.16
3.70
23
Kota Depok
1.25
3.33
4.58
24
Kota Cimahi
0.33
0.94
1.28
25
Kota Tasikmalaya
1.53
1.03
2.55
26
Kota Banjar
0.55
1.11
1.65
0.08
8.94
WILAYAH BANTEN
0.00
1
Kab. Pandeglang
8.86
2
Kab. Lebak
14.27
0.30
14.58
3
Kab.Serang
19.57
0.35
19.93
4
Kota Cilegon
0.40
0.26
0.66
5
Kota Serang
0.00
Sumber : Jawa Barat Dalam Angka 2010, http://sdaindonesia.blogspot.com/2009/01/diy-dan-potensi-biogas-darikotoran.html, http://bantenminning.wordpress.com/energi/energi-nonfosil/
6. Data Potensi Energi Air di wilayah Distribusi Jawa Barat dan Banten tahun 2009 taditampilkan pada tabel 4.22 berikut ini :
Tabel 4.23. Potensi Energi Air di Wilayah Jabar dan Banten NO.
KABUPATEN/KOTA
Potensi Air (kW)
Jawa Barat 20 1 Kab. Bogor 145 2 Kab. Sukabumi 662 3 Kab. Cianjur 45 4 Kab. Bandung 253 5 Kab. Garut 555.823 6 Kab. Tasikmalaya 7 Kab. Ciamis 30.048 8 Kab. Kuningan 9 Kab. Cirebon 11 10 Kab. Majalengka 400.080 11 Kab. Sumedang 2.800 12 Kab. Indramayu 90 13 Kab. Subang 4 14 Kab. Purwakarta 15 Kab. Karawang 16 Kab. Bekasi 1.600 17 Kab. Bandung Barat 18 Kota Bogor 48 19 Kota Sukabumi 735 20 Kota Bandung 21 Kota Cirebon 22 Kota Bekasi 400 23 Kota Depok 24 Kota Cimahi 25 Kota Tasikmalaya 26 Kota Banjar Banten 27 Kab. Pandeglang 352.020 28 Kab. Lebak 20 29 Kab.Serang 50 30 Kota Cilegon 31 Kota Serang Sumber : Survey dan Studi Kelayakan Pembangkit Listrik Tenaga Air Skala Kecil (Mini/Mikro Hidro) di Jawa Barat (Tahun 2006) dan http://datapotensi.microhydro.co.id/index.php/potensi/listpotensimmch/4 00, Integrated Microhydro Development and Application Program (IMIDAP) tahun 2009
7. Data Potensi Energi Biomassa di wilayah Distribusi Jawa Barat dan Banten tahun 2009 ditampilkan pada tabel 4.23 berikut ini : Tabel 4.24. Potensi Energi Biomassa di Wilayah Jabar dan Banten NO.
KABUPATEN/KOTA
Potensi Biomassa ( kcal/thn)
1 Kab. Bogor 2.759.594.395 3.707.444.854 2 Kab. Sukabumi 3.678.309.691 3 Kab. Cianjur 2.535.114.090 4 Kab. Bandung 7.139.707.564 5 Kab. Garut 4.751.702.818 6 Kab. Tasikmalaya 3.425.964.047 7 Kab. Ciamis 2.024.737.762 8 Kab. Kuningan 1.865.480.737 9 Kab. Cirebon 2.730.121.849 10 Kab. Majalengka 2.672.115.299 11 Kab. Sumedang 4.787.125.635 12 Kab. Indramayu 4.105.290.483 13 Kab. Subang 1.761.145.193 14 Kab. Purwakarta 3.901.098.317 15 Kab. Karawang 2.236.953.081 16 Kab. Bekasi 1.535.119.996 17 Kab. Bandung Barat 50.808.358 18 Kota Bogor 93.155.694 19 Kota Sukabumi 40.104.488 20 Kota Bandung 16.813.052 21 Kota Cirebon 26.617.809 22 Kota Bekasi 40.623.529 23 Kota Depok 15.647.614 24 Kota Cimahi 316.861.601 25 Kota Tasikmalaya 184.946.807 26 Kota Banjar 2.289.996.075 27 Kab. Pandeglang 1.757.770.337 28 Kab. Lebak 1.957.372.465 29 Kab.Serang 76.505.262 30 Kota Cilegon 31 Kota Serang Sumber : Jawa Barat Dalam Angka 2009 & Banten Dalam Angka 2009
8. Data Potensi Energi Panas Bumi (Geothermal) di wilayah Distribusi Jawa Barat dan Banten tahun 2009 ditampilkan pada tabel 4.24 berikut ini : Tabel 4.25. Potensi Energi Panas Bumi di Jabar dan Banten NO.
KABUPATEN/KOTA
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kab. Bogor Kab. Sukabumi Kab. Cianjur Kab. Bandung Kab. Garut Kab. Tasikmalaya Kab. Ciamis Kab. Kuningan Kab. Cirebon Kab. Majalengka Kab. Sumedang
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 1 2 3 4 5
Kab. Indramayu Kab. Subang Kab. Purwakarta Kab. Karawang Kab. Bekasi Kab. Bandung Barat Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab.Serang Kota Cilegon Kota Serang
Potensi Panas Bumi (MWe) 175.0 525.0 100.0 225.0 350.0 350.0 75.0 25.0
185.0
25.0
450.0 385.0
Sumber : Indonesia Energy Outlook & Statistics 2006
9. Data Potensi Energi Panas Matahari (Solar) di wilayah Distribusi Jawa Barat dan Banten tahun 2009 ditampilkan pada tabel 4.25 berikut ini: Tabel 4.26. Potensi Energi Solar di Wilayah Jabar dan Banten NO.
KABUPATEN/KOTA
1 2 3 4
Kab. Bogor Kab. Sukabumi Kab. Cianjur Kab. Bandung
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Kab. Garut Kab. Tasikmalaya Kab. Ciamis Kab. Kuningan Kab. Cirebon Kab. Majalengka Kab. Sumedang Kab. Indramayu Kab. Subang Kab. Purwakarta Kab. Karawang Kab. Bekasi Kab. Bandung Barat Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab.Serang Kota Cilegon Kota Serang
Potensi Solar kWh/m2.hari 4.33 5.00 4.38 4.46 4.46 4.18 4.18 4.62 4.62 4.62 4.38 4.62 4.38 4.38 4.38 4.38 4.38 4.33 5.00 4.38 4.62 4.38 4.33 4.38 4.18 4.18 5.34 5.33 5.32 5.32 5.33
Sumber : Evaluasi dan Optimalisasi PLTS untuk Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Di Jawa Barat, Dinas ESDM Jabar, 2011
Potensi energi primer yang digunakan adalah agregat seluruh potensi energi primer yang diidentifikasi dari data input dalam satuan MWe (Mega Watt Elektrik). Terdapat beberapa asumsi pembangkitan listrik yang digunakan dalam perhitungan potensi energi primer. Asumsi-asumsi tersebut ditampilkan pada tabel berikut : Tabel 4.27. Asumsi yang digunakan dalam perhitungan potensi energi primer Energi Primer Pembangkit
Asumsi Efisiensi termal pembangkit =
Batubara
0,3 e civil works : 0,95
Air
e penstock
: 0,9
e turbin
:0,8
e generator : 0,85 total efisiensi pembangkitan : 0,581
Matahari
e solar home system
: 0,2
Angin
P (watt) = 0,1 v3 e biomass_fired_steam_electric
Biomassa
Biogas
:
0,227 e natural gas combined cycle :
0,455
Sumber : Energi, Sumber Daya, Inovasi, Tenaga Listrik dan Potensi Ekonomi 1995
Berdasarkan tabel 4.26 diatas, dapat ditentukan potensi energi primer di tiap alternatif propinsi untuk pembangkitan listrik. Potensi tersebut ditampilkan pada tabel 4.27 berikut: Tabel 4.28. Potensi Energi Tiap Wilayah di Jawa Barat dan Banten
NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
4.2.3.8
KABUPATEN/KOTA Kab. Bogor Kab. Sukabumi Kab. Cianjur Kab. Bandung Kab. Garut Kab. Tasikmalaya Kab. Ciamis Kab. Kuningan Kab. Cirebon Kab. Majalengka Kab. Sumedang Kab. Indramayu Kab. Subang Kab. Purwakarta Kab. Karawang Kab. Bekasi Kab. Bandung Barat Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab.Serang Kota Cilegon Kota Serang
TOTAL POTENSI ENERGI (Mwe) 476 929 480 479 992 1.117 348 287 175 1.212 487 18.846 79.529 174 62.917 28.786 194 9 10 13 3 10 12 3 31 19 258 26.910 602 11 6
Density Kapasitas Gardu Distribusi di wilayah Distribusi Jawa Barat dan Banten
Density kapasitas gardu distribusi ditentukan berdasarkan persamaan 3.2. Luas areal yang digunakan adalah luas areal landuse yang didapatkan dari proses pengurangan luas areal kota/kabupaten dengan luas areal sawah, tegal/kebun, ladang/huma dan lahan sementara yang tidak diusahakan. Hasil perhitungan landuse tiap kota dan kabupaten di wilayah Jawa Barat dan Banten ditampilkan pada tabel 4.28 berikut ini :
Tabel 4.29. Hasil perhitungan landuse tiap kota dan kabupaten di wilayah Jawa Barat dan Banten
NO.
KABUPATEN/KOTA
Luas Wilayah (ha)
Sawah (ha)
Landuse Tegal/Kebun Ladang/Huma (ha) (ha)
Sementara Tidak Diusahakan
Total landuse
1
Kab. Bogor
299.713
45.740
57.223
8.361
507
187.882
2
Kab. Sukabumi
416.075
63.261
69.426
42.345
499
240.544
3
Kab. Cianjur
359.465
65.460
42.936
43.928
1.832
205.309
4
Kab. Bandung
175.665
35.140
21.695
14.159
8
104.663
5
Kab. Garut
309.440
50.270
74.794
31.174
20
153.182
6
Kab. Tasikmalaya
270.285
49.515
48.989
25.364
1.507
144.910
7
Kab. Ciamis
274.076
51.853
65.402
10.304
72
146.445
8
Kab. Kuningan
118.960
28.952
15.942
11.833
-
62.233
9
Kab. Cirebon
107.165
51.677
6.618
519
-
48.351
10
Kab. Majalengka
134.395
51.438
26.990
28
55.939
11
Kab. Sumedang
156.049
32.626
35.250
6.956
5
81.212
12
Kab. Indramayu
209.210
116.001
7.252
5.540
-
80.417
13
Kab. Subang
216.448
84.869
19.747
3.604
940
107.288
14
Kab. Purwakarta
98.989
16.588
11.169
6.243
76
64.913
15
Kab. Karawang
191.416
97.472
8.149
2.378
428
82.989
16
Kab. Bekasi
126.951
53.889
12.044
393
1.236
59.389
17
Kab. Bandung Barat
133.560
20.333
11.975
181
101.071
18
Kota Bogor
11.173
960
464
-
-
9.749
19
Kota Sukabumi
4.896
1.741
157
-
-
2.998
20
Kota Bandung
16.823
1.425
709
-
-
14.689
21
KABUPATEN/KOTA
Luas Wilayah (ha)
Sawah (ha)
Landuse Tegal/Kebun Ladang/Huma (ha) (ha)
Sementara Tidak Diusahakan
Total landuse
21
Kota Cirebon
4.016
307
319
-
32
3.358
22
Kota Bekasi
21.358
469
4.285
-
-
16.604
23
Kota Depok
19.944
589
3.110
685
1.554
14.006
24
Kota Cimahi
4.120
293
325
15
-
3.487
25
Kota Tasikmalaya
18.438
6.082
2.325
941
7
9.083
26
Kota Banjar
13.086
3.318
3.249
84
-
6.435
27
Kab. Pandeglang
274.691
54.447
50.978
30.653
2.142
136.471
28
Kab. Lebak
304472
45.519
53.143
33.652
17.853
154.305
29
Kab.Serang
170412
8.321
34.155
9.023
2.413
116.500
30
Kota Cilegon
17600
2.096
4.908
1.946
1.311
7.339
31
Kota Serang
26671
8.321
5.194
4.018
188
8.950
Sumber : Banten dalam Angka 2011, Luas Lahan Menurut Penggunaan 2010
Adapun
hasil
perhitungan
density kapasitas
gardu
distribusi
ditampilkan pada tabel 4.29 berikut ini : Tabel 4.30 Density Kapasitas Gardu Distribusi di Wilayah Jabar dan Banten 2009 NO.
KABUPATEN/KOTA
Luas Penggunaan Tanah Pemukiman, Jasa, Industri (Ha)
Data Input Kapasitas Gardu (kVA)
Kepadatan Kapasitas Gardu (kVA/Ha)
JAWA BARAT 1
Kab. Bogor
187.882
367.000
1.95
2
Kab. Sukabumi
240.544
265.000
1.10
Kab. Cianjur
205.309
236.000
1.15
4
Kab. Bandung
104.663
454.270
4.34
5
Kab. Garut
153.182
212.000
1.38
Kab. Tasikmalaya
144.910
191.000
1.32
Kab. Ciamis
146.445
217.000
1.48
Kab. Kuningan
62.233
135.000
2.17
Kab. Cirebon
48.351
256.000
5.29
Kab. Majalengka
55.939
296.000
5.29
Kab. Sumedang
81.212
301.000
3.71
Kab. Indramayu
80.417
248.000
3.08
Kab. Subang
107.288
200.000
1.86
14
Kab. Purwakarta
64.913
122.000
1.88
15
Kab. Karawang
82.989
316.000
3.81
Kab. Bekasi Kab. Bandung Barat Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar BANTEN Kab. Pandeglang Kab. Lebak
59.389
377.000
101.071 9.749 2.998 14.689 3.358 16.604 14.006 3.487 9.083 6.435
213.000 149.000 39.000 248.532 38.000 431.000 481.000 95.000 73.000 25.000
6.35 2.11 15.28 13.01 16.92 11.32 25.96 34.34 27.24 8.04 3.89
136.471 154.305
104.000 98.000
0.76 0.64
3
6 7 8 9 10 11 12 13
16 17 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2
NO.
KABUPATEN/KOTA
Luas Penggunaan Tanah Pemukiman, Jasa, Industri (Ha)
Data Input Kapasitas Gardu (kVA)
Kepadatan Kapasitas Gardu (kVA/Ha)
125.450 270.000 Kab.dan Kota Serang 2.15 7.339 31.000 Kota Cilegon 4.22 Kota Serang Sumber : Banten dalam Angka 2011, Luas Lahan Menurut Penggunaan 2010, dan Statistik PLN Tahun 2010
3 4 5
4.2.3.9
Density Jaringan Distribusi Listrik di wilayah Distribusi Jawa Barat dan Banten Density jaringan distribusi listrik ditentukan berdasarkan persamaan 3.1. Sama halnya dengan density kapasitas gardu distribusi, luas areal yang digunakan adalah luas areal landuse yang didapatkan dari proses pengurangan luas areal kota/kabupaten dengan luas areal sawah, tegal/kebun, ladang/huma dan lahan sementara yang tidak diusahakan. Hasil perhitungan density jaringan distribusi listrik tiap kota dan kabupaten di wilayah Jawa Barat dan Banten ditampilkan pada tabel 4.30 berikut ini :
Tabel 4.31. Density Jaringan Distribusi Listrik Wilayah Jabar dan Banten 2009 No.
KOTA/ KABUPATEN
Luas Penggunaan Tanah Pemukiman, Jasa, Industri (Ha)
Panjang Saluran Distribusi (kms)
Kepadatan Saluran Distribusi (kms/Ha)
1
Kab. Bogor
187.882
3.999.467
21.29
2
Kab. Sukabumi
240.544
7.755.181
32.24
3
Kab. Cianjur
205.309
7.711.833
37.56
4
Kab. Bandung
104.663
5.366.434
51.27
5
Kab. Garut
153.182
4.594.518
29.99
6
Kab. Tasikmalaya
144.910
6.430.272
44.37
7
Kab. Ciamis
146.445
6.498.387
44.37
8
Kab. Kuningan
62.233
1.817.199
29.20
No.
KOTA/ KABUPATEN
Luas Penggunaan Tanah Pemukiman, Jasa, Industri (Ha)
Panjang Saluran Distribusi (kms)
Kepadatan Saluran Distribusi (kms/Ha)
9
Kab. Cirebon
48.351
1.411.846
29.20
10
Kab. Majalengka
55.939
2.199.458
39.32
11
Kab.Sumedang
81.212
3.193.164
39.32
12
Kab. Indramayu
80.417
2.348.170
29.20
13
Kab. Subang
107.288
3.010.789
28.06
14
Kab. Purwakarta
64.913
1.821.633
28.06
15
Kab. Karawang
82.989
6.114.633
73.68
16
Kab. Bekasi
59.389
9.408.339
158.42
17
Kab. Bandung Barat
101.071
4.290.048
42.45
18
Kota Bogor
9.749
12.564.945
1288.84
19
Kota Sukabumi
2.998
96.656
32.24
20
Kota Bandung
14.689
5.285.935
359.86
21
Kota Cirebon
3.358
98.053
29.20
22
Kota Bekasi
16.604
2.630.387
158.42
23
Kota Depok
14.006
4.103.712
293.00
24
Kota Cimahi
3.487
148.009
42.45
25
Kota Tasikmalaya
9.083
403.051
44.37
26
Kota Banjar
6.435
285.548
44.37
27
Kab. Pandeglang
136.471
4.652.332
34.09
28
Kab. Lebak
154.305
5.260.298
34.09
29
Kab. & Kota Serang
125.450
6.796.998
54.18
30
Kota Cilegon
7.339
428.182
58.34
31
Kota Serang
-
-
Sumber : Banten dalam Angka 2011, Luas Lahan Menurut Penggunaan 2010, dan Statistik PLN Tahun 2010
4.2.5 Penetapan Benchmark, Wilayah Yang dijadikan Standar Pelaksana Kebijakan Tarif Listrik Regional Seperti telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, bahwa untuk memudahkan pengelompokan region pelaksana tarif listrik regional di wilayah Jawa Barat dan Banten, penulis menetapkan wilayah yang akan
dijadikan benchmark/pembanding dimana wilayah ini akan dijadikan standar penentuan wilayah pelaksana kebijakan tarif listrik regional di Jawa Barat dan Banten. Wilayah tersebut haruslah wilayah yang telah lebih dulu dan berhasil melaksanakan kebijakan tarif listrik regional. Di Indonesia hanya ada 2 (dua) kota yang telah menerapkan kebijakan tarif listrik regional yaitu Kota Batam dan Tarakan. Tarif listrik di daerah itu Rp 1.030 per kWh, jadi lebih mahal daripada tarif listrik nasional yang sebesar Rp 729 per kWh. Pada pertengahan Tahun 2001 tuntutan pasokan listrik di Kota Tarakan sangat meningkat tajam ini disebabkan karena para pelaku bisinis perikanan laut berusaha untuk meningkatkan usahanya di pulau Tarakan ini, demikian juga dengan jasa perhotelan serta sarana umum mulai tumbuh dan berkembang akibat terjadinya peningkatan sambungan daya listrik. Dengan kondisi-kondisi tersebut maka sejak tahun 2001 melalui Perda No. 03 tahun 2001 dan dilanjutkan dengan Perda No. 13 Tahun 2003 tentang Tarif Dasar Listrik (TDL) Lokal Kota Tarakan, PLN Kota Tarakan telah menetapkan tarif dasar listrik lokal yang berbeda dan lebih tinggi dari tarif dasar listrik (TDL) nasional. Hal ini menjadikan Kota Tarakan menjadi daerah pertama yang memberlakukan TDL lokal di Indonesia sejak 1 Mei 2001, dan sejak saat itu telah dijanjikan bahwa listrik di Kota Tarakan tidak akan byar pet lagi. Namun memasuki tahun 2007 mulailah terjadi masalah dimana penyedia listrik, dalam hal ini PT. Medco, tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk mensuplai listrik.
Masalah ini sampai saat ini belum diselesaikan dengan baik sehingga krisis listrik terjadi lagi di Kota Tarakan. Pemda Tarakan sendiri telah berusaha untuk menanggulangi krisis ini dengan mencari alternatif supply gas dari kota Nunukan dan Pulau Bunyu pada bulan Mei lalu dengan harapan Kota Tarakan dapat memperoleh tambahan pasokan gas dari kedua daerah tersebut.
(www.tribunnews.com/2012/05/24/dprd-tarakan-ke-nunukan-
cari-alternatif-gas). Adapun di kota Batam, kebijakan tarif listrik regional telah diterapkan sejak tahun 2001 sampai dengan sekarang. Dikutip dari www.plnbatam.com, sampai dengan tahun 2000 hampir setiap hari ada saja masyarakat yang berdemo di depan kantor PLN Batam sebagai gambaran betapa kebutuhan listrik di Batam sangatlah tinggi namun tidak tersedia. Di Batam, penerapan tarif listrik regional ditetapkan melalui surat keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, setelah mendengar pendapat stakeholder yang ada di pulau ini seperti pemerintah kota, DPRD, Badan Otorita Batam, lembaga swadaya masyarakat, dan perwakilan masyarakat melalui asosiasi-asosiasi. Kepmen ESDM No. 450K/46/ME/ 2001 menetapkan tarif listrik Batam 2001 (TLB 2001) berlaku dalam dua tahap. Tahap pertama bulan April dan tahap II bulan Oktober 2012. Dalam proses penetapan tarif ini Pemkot dan Badan Otorita Batam telah
mengeluarkan
surat
keputusan
bersama
yang
mendukung
ditetapkannya TLB 2001. Demikian juga DPRD Kota Batam selaku
perangkat di daerah yang mewakili rakyat telah mengeluarkan surat rekomendasi yang pada intinya tidak berkeberatan atas diberlakukannya TLB 2001. Rekomendasi dan SK bersama tersebut dikeluarkan sebelum diterbitkannya Kepmen ESDM, sehingga berfungsi sebagai bahan masukan bagi menteri dalam penetapan tarif sesuai yang disebutkan dalam undang-undang dan peraturan pemerintah. Mengingat terjadi kenaikan harga BBM untuk PLN menjadi sebesar 50% dari harga pasar internasional dari Rp. 600 per liter menjadi Rp.1.250 per liter pada Juni 2001, PLN Batam mengajukan lagi rasionalisasi tarif listrik Batam. Berdasarkan Kepmen ESDM No. 2248 K/46/MEM/2001 berlaku tarif baru listrik Batam untuk November 2001 dan Januari 2002. Namun, pemberlakuan tarif listrik regional Batam (TLB 2001) untuk golongan tarif tertentu tetap memperhatikakan kebijakan tarif dasar listrik (TDL) nasional. Misalnya, tarif untuk pelanggan rumah tangga kecil (R1=450 VA dan R2=900) dan pelanggan sosial hingga 2.200 VA tetap mengikuti TDL nasional. Hal ini dimaksudkan agar secara nasional, tarif listrik di Batam masih terkait dengan TDL nasional. Kini tidak ada lagi daftar tunggu pelanggan PLN di Kota Batam karena pasokan energi di wilayah tersebut telah berlebih. Siapapun masyakarat yang ingin pasang baru pasti akan dilayani, bahkan dalam program “Kilau Merdeka” PT. PLN Batam mengajak masyarakat untuk tambah daya. Dalam tempo tujuh tahun PT. PLN Batam mampu memenuhi kebutuhan warga Batam di bidang kelistrikan. Tidak hanya
perumahan yang terang benderang, mesin produksi industri pun bisa berjalan pada jadwalnya. Kini daya terpasang yang dimiliki oleh PT PLN Batam mencapai 318,4 MW dengan daya mampu sebesar 228,7 MW. Dengan daya sebesar itu tak perlu khawatir bagi masyarakat untuk tidak teraliri listrik. Warga Batam harus bersyukur dan senang karena tidak terkena sindrom byar pet yang kini masih banyak melanda daerah lain di Indonesia. Konsep PLN mandiri yang ditetapkan bagi Batam oleh PT PLN (persero) ternyata manjur. Dengan sebuah kemandirian PT PLN Batam mampu bermanuver mengikuti perkembangan kota yang senantiasa dinamis nan atraktif. Batam juga disebut-sebut sebagai daerah yang paling siap untuk menerapkan sistim perdagangan bebas atau Free Trade Zone (FTZ). Dibandingkan Bintan dan Karimun dari sisi kelistrikan, Batam boleh dibilang lebih siap dan aman. Andai ada investor yang mau masuk Batam, diibaratkan mereka tinggal angkat koper saja menuju Batam. Dengan gambaran seperti yang telah dipaparkan diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa Kota Batam dapat dijadikan standar wilayah yang siap untuk melaksanakan kebijakan tarif listrik regional mengingat dalam perjalanannya Kota Batam telah berhasil menerapkan kebijakan tersebut dari tahun 2001 sampai dengan sekarang. Dengan demikian, seperti juga kota dan kabupaten lainnya di wilayah Jawa Barat dan Banten, dalam penelitian ini penulis akan memperhitungkan nilai riil dari subkriteria penentu tarif listrik regional dari Kota Batam.
Adapun nilai riil dari setiap kriteria penentu tarif listrik regional dari Kota Batam adalah sebagai berikut : Tabel 4.32. Nilai Riil Kota Batam untuk Setiap Kriteria SUB KRITERIA PDRB (dlm juta Rp) Kontribusi Sektor Industri dan Bisnis terhadap PDRB Konsumsi Rumah Tangga Jumlah Penduduk Miskin Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Ribu Rp) Kualitas dan Keandalan Listrik : - SAIDI - SAIFI Ketersediaan Energi Primer Density Kapasitas Gardu Distribusi Density Saluran Distribusi Listrik
Nilai Riil 26.027.497 88% 407.556 7.3% 154.375.852 21.42 0.475 11 10.77 90.1
Selanjutnya nilai riil dari setiap kriteria Kota Batam akan diolah bersamasama dengan nilai riil dari kota/kabupaten di Wilayah Jawa Barat dan Banten. 4.2.6 Skor Setiap Alternatif Kota dan Kabupaten Pelaksana Kebijakan Tarif Listrik Regional Sebelum menentukan skor setiap alternatif kota/kabupaten, terlebih dahulu dilakukan 5 tahapan proses. Kelima tahapan tersebut adalah : 1.
Pembentukan matriks nilai riil atribut untuk setiap alternatif kota/kabupaten.
2.
Pembentukan matriks normalisasi atribut untuk setiap alternatif kota/kabupaten.
3.
Pembentukan matriks skor tiap atribut untuk setiap alternatif kota/kabupaten.
4.
Perhitungan skor agregat setiap alternatif kota/kabupaten
5.
Membandingkan skor agregat setiap alternatif kota/kabupaten dengan skor Kota Batam sebagai wilayah yang dijadikan standar untuk menerapkan tarif listrik regional.
4.2.4.1 Pembentukan
matriks
nilai
riil
atribut
untuk
setiap
alternatif
kota/kabupaten Data input
yang didapatkan akan melalui proses untuk mendapatkan
matriks nilai riil atribut untuk setiap alternatif kota/kabupaten. Jumlah kota/kabupaten yang menjadi alternatif adalah sesuai dengan wilayah kerja PT.PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten yaitu sebanyak 31 kota dan kabupaten di wilayah Jawa Barat dan Banten. Sedangkan kriteria atau atribut yang digunakan adalah sebanyak 9 atribut. Dengan demikian matriks nilai riil yang dibentuk tergolong matriks besar dengan ukuran 31 x 9. Matriks nilai riil yang dibentuk adalah sebagai berikut :
Tabel 4.33. Matriks Nilai Riil Atribut Untuk Setiap Alternatif Kota/Kabupaten
NO.
Kabupaten/Kota
PDRB/kapita Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2009
Kontribusi Sektoral Terhadap PDRB
Konsumsi Rumah Tangga Perkapita /bulan (Rp.)
Tk. Kemiskin an (%)
PAD (ribu rupiah)
Keandalan
Total Potensi Energi (Mwe)
σ kgd (Kepadatan Kapasitas Gardu)
σ TDi (Kepadatan Saluran Distribusi)
1
Kab. Bogor
6.390.000
81%
452.963
8%
166.260.110
SAIFI 0.5525
SAIDI 0.0095
476
1.95
21.29
2
Kab. Sukabumi
3.340.000
46%
345.972
8%
80.616.079
0.2232
0.0103
929
1.10
32.24
3
Kab. Cianjur
3.580.000
34%
355.850
7%
93.628.876
0.2639
0.0054
480
1.15
37.56
4
Kab.Bandung
6.446.689
79%
433.484
11%
152.549.656
0.8772
0.0234
479
4.34
51.27
5
Kab. Garut
4.470.000
38%
314.851
6%
102.702.673
0.5495
0.0208
992
1.38
29.99
6
Kab. Tasikmalaya
3.580.000
32%
311.482
7%
49.657.867
0.0931
0.0050
1117
1.32
44.37
7
Kab.Ciamis
4.500.000
38%
361.519
8%
51.276.556
0.0931
0.0050
348
1.48
44.37
8
Kab. Kuningan
3.630.000
32%
358.465
6%
63.573.539
0.4926
0.0175
287
2.17
29.20
9
Kab.Cirebon
3.530.000
41%
398.129
5%
116.095.438
0.4926
0.0175
175
5.29
29.20
10
Kab. Majalengka
3.610.000
41%
392.226
5%
68.121.599
0.2660
0.0133
1212
5.29
39.32
11
Kab.Sumedang
4.920.000
55%
468.609
7%
90.819.326
0.2660
0.0133
487
3.71
39.32
12
Kab.Indramayu
8.120.000
38%
387.956
5%
86.408.587
0.4926
0.0175
18846
3.08
29.20
13
Kab.Subang
4.970.000
40%
453.322
7%
67.665.305
0.1832
0.0067
79529
1.86
28.06
14
Kab.Purwakarta
8.190.000
72%
474.333
9%
64.044.768
0.1832
0.0067
174
1.88
28.06
15
Kab.Karawang
8.730.000
68%
456.046
7%
130.020.658
0.3906
0.0119
62917
3.81
73.68
16
Kab.Bekasi
21.330.000
89%
590.216
17%
287.299.507
0.5236
0.0093
28786
6.35
158.42
17
Kab.Bandung Barat
4.850.000
69%
354.394
6%
39.964.364
0.8772
0.0234
194
2.11
42.45
NO.
Kabupaten/Kota
PDRB/kapita Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2009
Kontribusi Sektoral Terhadap PDRB
Konsumsi Rumah Tangga Perkapita /bulan (Rp.)
Tk. Kemiskin an (%)
PAD (ribu rupiah)
Keandalan
Total Potensi Energi (Mwe)
σ kgd (Kepadatan Kapasitas Gardu)
σ TDi (Kepadatan Saluran Distribusi)
18
Kota Bogor
5.080.000
63%
697.875
10%
125.313.316
SAIFI 0.4608
SAIDI 0.0074
9
15.28
28.00
19
Kota Sukabumi
6.390.000
55%
609.063
10%
66.190.681
0.2232
0.0103
10
13.01
32.24
20
Kota Bandung
12.600.000
69%
888.022
23%
360.152.627
0.3663
0.0251
13
16.92
359.86
21
Kota Cirebon
20.920.000
69%
653.360
7%
77.318.390
0.4926
0.0175
3
11.32
29.20
22
Kota Bekasi
6.210.000
75%
785.647
16%
231.694.925
0.5236
0.0093
10
25.96
158.42
23
Kota Depok
3.970.000
75%
763.019
37%
115.720.348
0.6579
0.0221
12
34.34
293.00
24
Kota Cimahi
11.050.000
82%
577.133
12%
75.037.372
0.9009
0.0135
3
27.24
42.45
25
Kota Tasikmalaya
4.110.000
54%
516.107
4%
76.503.523
0.0931
0.0050
31
8.04
44.37
26
Kota Banjar
4.190.000
50%
425.111
11%
28.011.890
0.0931
0.0050
19
3.89
44.37
27
Kab. Pandeglang
3.616.000
45%
625.060
8%
31.921.009
0.3401
0.0117
258
0.76
34.09
28
Kab. Lebak
3.062.000
35%
627.490
8%
58.026.745
0.3401
0.0117
26910
0.64
34.09
29
Kab. Serang
5.091.785
73%
630.080
15%
118.585.763
0.7692
0.0216
602
2.15
54.18
30
Kota Cilegon
33.169.357
76%
641.880
25%
135.537.940
0.7692
0.0216
11
4.22
58.34
31
Kota Serang
5.363.925
70%
635.340
16%
17.923.437
0.7692
0.0216
6
2.15
54.18
KOTA BATAM
26.027.497
88%
407.556
14%
154.375.852
2.1000
0.0460
11
10.77
90.10
4.2.4.2 Pembentukan matriks normalisasi nilai atribut untuk setiap alternatif kota/kabupaten Matriks normalisasi atribut untuk setiap alternatif kota/kabupaten dibentuk berdasarkan teknik pembentukan matriks normalisasi atribut yang dibahas di bagian metodologi. Matriks normalisasi atribut berbentuk sebagai berikut :
Tabel 4.34. Matriks Normalisasi Nilai Riil Atribut Untuk Setiap Alternatif Kota/Kabupaten
NO.
Kabupaten/Kota
Keandalan
PDRB Tahun 2009
Kontribusi Sektoral Terhadap PDRB
Konsumsi Rumah Tangga Perkapita /bulan
Tingkat Kemiskinan
PAD SAIFI
SAIDI
Total Potensi Energi
σTDi (Kepadatan Kapasitas Gardu) di kota/kab
σTDi (Kepadatan Saluran Distribusi) di Wilayah Kota/Kab
JAWA BARAT 1
Kab. Bogor
0.0251
0.0431
0.0276
0.0241
0.0491
0.04
0.02
0.0021106
0.01
0.01
2
Kab. Sukabumi
0.0131
0.0243
0.0211
0.0220
0.0238
0.01
0.02
0.0041211
0.00
0.02
3
Kab. Cianjur
0.0140
0.0179
0.0217
0.0190
0.0277
0.02
0.01
0.0021321
0.01
0.02
4
Kab.Bandung
0.0253
0.0423
0.0264
0.0310
0.0451
0.06
0.05
0.0021257
0.02
0.02
5
Kab. Garut
0.0175
0.0202
0.0192
0.0163
0.0304
0.03
0.04
0.0044013
0.01
0.01
6
Kab. Tasikmalaya
0.0140
0.0169
0.0190
0.0199
0.0147
0.01
0.01
0.0049561
0.01
0.02
7
Kab.Ciamis
0.0176
0.0203
0.0221
0.0237
0.0152
0.01
0.01
0.0015430
0.01
0.02
8
Kab. Kuningan
0.0142
0.0173
0.0219
0.0174
0.0188
0.03
0.04
0.0012720
0.01
0.01
9
Kab.Cirebon
0.0138
0.0219
0.0243
0.0144
0.0343
0.03
0.04
0.0007753
0.02
0.01
10
Kab. Majalengka
0.0142
0.0218
0.0239
0.0155
0.0201
0.02
0.03
0.0053798
0.02
0.02
11
Kab.Sumedang
0.0193
0.0294
0.0286
0.0192
0.0268
0.02
0.03
0.0021615
0.02
0.02
12
Kab.Indramayu
0.0318
0.0205
0.0237
0.0148
0.0255
0.03
0.04
0.0836342
0.01
0.01
13
Kab.Subang
0.0195
0.0212
0.0277
0.0193
0.0200
0.01
0.01
0.3529383
0.01
0.01
14
Kab.Purwakarta
0.0321
0.0387
0.0289
0.0251
0.0189
0.01
0.01
0.0007743
0.01
0.01
15
Kab.Karawang
0.0342
0.0363
0.0278
0.0209
0.0384
0.02
0.03
0.2792164
0.02
0.03
16
Kab.Bekasi
0.0836
0.0478
0.0360
0.0496
0.0849
0.03
0.02
0.1277488
0.03
0.07
17
Kab.Bandung Barat Kota Bogor
0.0190
0.0368
0.0216
0.0166
0.0118
0.06
0.05
0.0008629
0.01
0.02
0.0199
0.0337
0.0426
0.0300
0.0370
0.03
0.02
0.0000378
0.07
0.01
18
19
Kota Sukabumi
0.0251
0.0292
0.0372
0.0280
0.0196
0.01
0.02
0.0000423
0.06
σTDi (Kepadatan Saluran Distribusi) di Wilayah Kota/Kab 0.02
20
Kota Bandung
0.0494
0.0367
0.0542
0.0660
0.1065
0.02
0.05
0.0000595
0.08
0.17
21
Kota Cirebon
0.0820
0.0370
0.0399
0.0207
0.0229
0.03
0.04
0.0000129
0.05
0.01
22
Kota Bekasi
0.0243
0.0400
0.0479
0.0459
0.0685
0.03
0.02
0.0000448
0.12
0.07
23
Kota Depok
0.0156
0.0402
0.0465
0.1085
0.0342
0.04
0.05
0.0000532
0.15
0.14
24
Kota Cimahi
0.0433
0.0438
0.0352
0.0350
0.0222
0.06
0.03
0.0000149
0.12
0.02
25
Kota Tasikmalaya
0.0161
0.0289
0.0315
0.0112
0.0226
0.01
0.01
0.0001385
0.04
0.02
26
Kota Banjar
0.0164
0.0270
0.0259
0.0314
0.0083
0.01
0.01
0.0000836
0.02
0.02
27
Kab. Pandeglang
0.0142
0.0241
0.0381
0.0233
0.0094
0.02
0.03
0.0011431
0.00
0.02
28
Kab. Lebak
0.0120
0.0185
0.0383
0.0242
0.0172
0.02
0.03
0.1194200
0.00
0.02
29
Kab. Serang
0.0200
0.0389
0.0384
0.0451
0.0351
0.05
0.05
0.0026698
0.01
0.03
30
Kota Cilegon
0.1301
0.0408
0.0392
0.0739
0.0401
0.05
0.05
0.0000490
0.02
0.03
31
Kota Serang
0.0210
0.0374
0.0388
0.0472
0.0053
0.05
0.05
0.0000288
0.01
0.03
KOTA BATAM
0.1021
0.0471
0.0249
0.0409
0.0456
0.13
0.10
0.0000488
0.05
0.04
NO.
Kabupaten/Kota
PDRB Tahun 2009
Kontribusi Sektoral Terhadap PDRB
Konsumsi Rumah Tangga Perkapita /bulan
Tingkat Kemiskinan
PAD
Keandalan
Total Potensi Energi
σTDi (Kepadatan Kapasitas Gardu) di kota/kab
Matriks normalisasi atribut ini disebut juga matriks nilai objektif. Baris ke-1 sampai ke-32 menunjukkan baris nilai objektif untuk setiap kota/kabupaten. Urutan kota/kabupaten sesuai dengan urutan yang digunakan pada setiap tabel pada kajian ini. Kolom ke-3 sampai ke-12 menunjukkan nilai objektif setiap kota/kabupaten untuk setiap atribut. 4.2.4.3 Pembentukan matriks skor tiap atribut untuk setiap alternatif kota/kabupaten Matriks skor tiap atribut untuk setiap alternatif kota/kabupaten dibentuk dari persamaan 3.8. Setiap nilai pada matriks normalisasi atribut dikalikan dengan bobot atribut untuk mendapatkan matriks berikut :
Tabel 4.35. Matriks Skor Tiap Atribut Untuk Setiap Alternatif Kota/Kabupaten
NO.
Kabupaten/Kota
PDRB Tahun 2009
Kontribusi Sektoral Terhadap PDRB
Konsumsi Rumah Tangga Perkapita /bulan
Tingkat Kemiskinan
PAD
KEANDALAN SAIFI
SAIDI
Total Potensi Energi
Kepadatan Kapasitas Gardu di Kota/kab
Kepadatan Saluran Distribusi di Kota/Kab
SKOR TOTAL
1
Kab. Bogor
0.0060
0.0137
0.0041
0.0025
0.0016
0.00028
0.0002
0.0000380
0.0006
0.0006
0.0297
2
Kab. Sukabumi
0.0031
0.0078
0.0032
0.0023
0.0008
0.00011
0.0002
0.0000742
0.0003
0.0010
0.0188
3
Kab. Cianjur
0.0034
0.0057
0.0033
0.0020
0.0009
0.00013
0.0001
0.0000384
0.0003
0.0011
0.0170
4
Kab.Bandung
0.0061
0.0135
0.0040
0.0033
0.0014
0.00045
0.0004
0.0000383
0.0012
0.0016
0.0319
5
Kab. Garut
0.0042
0.0064
0.0029
0.0017
0.0010
0.00028
0.0004
0.0000792
0.0004
0.0009
0.0182
6
Kab. Tasikmalaya
0.0034
0.0054
0.0029
0.0021
0.0005
0.00005
0.0001
0.0000892
0.0004
0.0013
0.0161
7
Kab.Ciamis
0.0042
0.0065
0.0033
0.0025
0.0005
0.00005
0.0001
0.0000278
0.0004
0.0013
0.0189
8
Kab. Kuningan
0.0034
0.0055
0.0033
0.0018
0.0006
0.00025
0.0003
0.0000229
0.0006
0.0009
0.0167
9
Kab.Cirebon
0.0033
0.0070
0.0036
0.0015
0.0011
0.00025
0.0003
0.0000140
0.0015
0.0009
0.0195
10
Kab. Majalengka
0.0034
0.0070
0.0036
0.0016
0.0006
0.00014
0.0002
0.0000968
0.0015
0.0012
0.0194
11
Kab.Sumedang
0.0046
0.0094
0.0043
0.0020
0.0009
0.00014
0.0002
0.0000389
0.0011
0.0012
0.0238
12
Kab.Indramayu
0.0076
0.0065
0.0035
0.0016
0.0008
0.00025
0.0003
0.0015054
0.0009
0.0009
0.0239
13
Kab.Subang
0.0047
0.0068
0.0041
0.0020
0.0006
0.00009
0.0001
0.0063529
0.0005
0.0008
0.0262
14
Kab.Purwakarta
0.0077
0.0124
0.0043
0.0026
0.0006
0.00009
0.0001
0.0000139
0.0005
0.0008
0.0293
15
Kab.Karawang
0.0082
0.0116
0.0042
0.0022
0.0012
0.00020
0.0002
0.0050259
0.0011
0.0022
0.0361
16
Kab.Bekasi
0.0201
0.0153
0.0054
0.0052
0.0027
0.00027
0.0002
0.0022995
0.0018
0.0048
0.0580
17
Kab.Bandung Barat
0.0046
0.0117
0.0032
0.0017
0.0004
0.00045
0.0004
0.0000155
0.0006
0.0013
0.0244
18
Kota Bogor
0.0048
0.0108
0.0064
0.0032
0.0012
0.00023
0.0001
0.0000007
0.0043
0.0008
0.0318
19
Kota Sukabumi
0.0060
0.0093
0.0056
0.0029
0.0006
0.00011
0.0002
0.0000008
0.0037
0.0010
0.0294
20
Kota Bandung
0.0119
0.0117
0.0081
0.0069
0.0034
0.00019
0.0004
0.0000011
0.0048
0.0109
0.0584
Konsumsi Rumah Tangga Perkapita /bulan
Tingkat Kemiskinan
PAD
Total Potensi Energi
σ kgd (Kepadatan Kapasitas Gardu) di Kota/kab
σ TDi (Kepadatan Saluran Distribusi) di Wilayah Kota/Kab
SKOR TOTAL
Kabupaten/Kota
PDRB Tahun 2009
Kontribusi Sektoral Terhadap PDRB
21
Kota Cirebon
0.0197
0.0118
0.0060
0.0022
0.0007
0.00025
0.0003
0.0000002
0.0032
0.0009
0.0450
22
Kota Bekasi
0.0058
0.0127
0.0072
0.0048
0.0022
0.00027
0.0002
0.0000008
0.0074
0.0048
0.0454
23
Kota Depok
0.0037
0.0128
0.0070
0.0114
0.0011
0.00033
0.0004
0.0000010
0.0098
0.0089
0.0554
24
Kota Cimahi
0.0104
0.0140
0.0053
0.0037
0.0007
0.00046
0.0002
0.0000003
0.0078
0.0013
0.0438
25
Kota Tasikmalaya
0.0039
0.0092
0.0047
0.0012
0.0007
0.00005
0.0001
0.0000025
0.0023
0.0013
0.0235
26
Kota Banjar
0.0039
0.0086
0.0039
0.0033
0.0003
0.00005
0.0001
0.0000015
0.0011
0.0013
0.0226
27
Kab. Pandeglang
0.0034
0.0077
0.0057
0.0024
0.0003
0.00017
0.0002
0.0000206
0.0002
0.0010
0.0212
28
Kab. Lebak
0.0029
0.0059
0.0057
0.0025
0.0005
0.00017
0.0002
0.0021496
0.0002
0.0010
0.0214
29
Kab. Serang
0.0048
0.0124
0.0058
0.0047
0.0011
0.00039
0.0004
0.0000481
0.0006
0.0016
0.0319
30
Kota Cilegon
0.0312
0.0130
0.0059
0.0078
0.0013
0.00039
0.0004
0.0000009
0.0012
0.0018
0.0629
31
Kota Serang
0.0050
0.0119
0.0058
0.0050
0.0002
0.00039
0.0004
0.0000005
0.0006
0.0016
0.0309
32
Kota Batam
0.0245
0.0150
0.0037
0.0043
0.0015
0.00107
0.0008
0.0000009
0.0031
0.0027
0.0566
NO.
KEANDALAN
4.2.4.4 Perhitungan Skor Agregat Setiap Alternatif Kota/Kabupaten Perhitungan skor agregat setiap alternatif dilakukan menggunakan persamaan 3.9. Hasil perhitungan ditampilkan pada tabel 4.3.6 berikut ini Tabel 4.36 Skor Agregat untuk Kabupaten dan Kota di Jabar dan Banten serta Kota Batam sebagai Standar No.
Kabupaten/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Kab. Bogor Kab. Sukabumi Kab. Cianjur Kab.Bandung Kab. Garut Kab. Tasikmalaya Kab.Ciamis Kab. Kuningan Kab.Cirebon Kab. Majalengka Kab.Sumedang Kab.Indramayu Kab.Subang Kab.Purwakarta Kab.Karawang Kab.Bekasi Kab.Bandung Barat Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Serang Kota Cilegon Kota Serang
32
Kota Batam
Skor Total 0.0297 0.0188 0.0170 0.0319 0.0182 0.0161 0.0189 0.0167 0.0195 0.0194 0.0238 0.0239 0.0262 0.0293 0.0361 0.0580 0.0244 0.0318 0.0294 0.0584 0.0450 0.0454 0.0554 0.0438 0.0235 0.0226 0.0212 0.0214 0.0319 0.0629 0.0309 0.0566
Skor agregat ini menjadi dasar untuk penentuan segmentasi tarif listrik regional di kota dan kabupaten di wilayah Jawa Barat dan Banten.
4.2.4.5 Segmentasi Tarif Listrik Regional Di Kota Dan Kabupaten Di Wilayah Jawa Barat Dan Banten Dari hasil perhitungan skor agregat dari setiap alternatif yang telah dilakukan di setiap kota dan kabupaten di wilayah Jawa Barat dan Banten, selanjutnya hasil perhitungan tersebut diurutkan dari skor paling besar sampai dengan skor paling kecil sebagai berikut :
Grafik 4.2. Urutan Skor Agregat untuk Kabupaten dan Kota di Jawa Barat dan Banten serta Kota Batam Sebagai Standar Kota Cilegon Kota Bandung Kab.Bekasi Kota Batam Kota Depok Kota Bekasi Kota Cirebon Kota Cimahi Kab.Karawang Kab. Serang Kab.Bandung Kota Bogor Kota Serang Kab. Bogor Kota Sukabumi Kab.Purwakarta Kab.Subang Kab.Bandung Barat Kab.Indramayu Kab.Sumedang Kota Tasikmalaya Kota Banjar Kab. Lebak Kab. Pandeglang Kab.Cirebon Kab. Majalengka Kab.Ciamis Kab. Sukabumi Kab. Garut Kab. Cianjur Kab. Kuningan Kab. Tasikmalaya 0.0000
0.0629 0.0584 0.0580 0.0566 0.0554 0.0454 0.0450 0.0438 0.0361 0.0319 0.0319 0.0318 0.0309 0.0297 0.0294 0.0293 0.0262 0.0244 0.0239 0.0238 0.0235 0.0226 0.0214 0.0212 0.0195 0.0194 0.0189 0.0188 0.0182 0.0170 0.0167 0.0161
0.0100
0.0200
0.0300
0.0400
0.0500
0.0600
Dari grafik 4.2. di atas terlihat bahwa Kota Cilegon mempunyai skor paling tinggi, diikuti dengan Kota Bandung dan Kabupaten Bekasi. Ketiga wilayah tersebut ditandai dengan bar berwarna hijau. Batam sebagai wilayah yang dijadikan standar ditandai dengan bar biru, sedangkan wilayah dengan bar kuning adalah wilayah dengan skor dibawah Kota Batam, namun berada di atas rata-rata skor seluruh wilayah. Yang termasuk ke dalam wilayah ini adalah Kota Depok,
0.0700
Kota Bekasi, Kota Cirebon, Kota Cimahi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Serang, Kabupaten Bandung dan Kota Bogor. Adapun wilayah dengan bar warna merah muda adalah wilayah dengan skor dibawah Kota Batam dan rata-rata skor seluruh wilayah. Yang termasuk ke dalam wilayah ini adalah : Kota Serang, Kabupaten Bogor, Kota Sukabumi, Kota Purwakarta, Kabupaten Subang, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Sumedang, Kota Tasikmalaya, Kota Banjar, Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Garut, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Kuningan dan terakhir Kabupaten Tasikmalaya. Seperti telah dijelaskan pada bab 3 bahwa penentuan kelompok regional tarif dilakukan dengan menggunakan metode cluster analysis dimana regionalregional tarif dikelompokkan kedalam 3 kelompok yaitu kelompok yang termasuk kategori
sangat
direkomendasikan
direkomendasikan (recommended),
(highly dan
tidak
recommended), direkomendasikan
masih (not
recommended), dengan menggunakan menggunakan standar Kota Batam sebagai kota yang telah dianggap berhasil menerapkan kebijakan Tarif Listrik Regional sejak tahun 2002 untuk pengelompokan region tarif tersebut. Setelah skor agregat untuk setiap kota dan kabupaten di Jawa Barat dan Banten terurut seperti pada Grafik 4.1, maka dapat dilakukan pembagian cluster sebagai berikut :
Tabel 4.37. Pembagian Cluster Sesuai Kategori Wilayah Tarif Yang Ditetapkan No. Kabupaten/Kota 1 Kota Cilegon 2 Kota Bandung 3 Kab.Bekasi Kota Batam 1 Kota Depok 2 Kota Bekasi 3 Kota Cirebon 4 Kota Cimahi 5 Kab.Karawang 6 Kab. Serang 7 Kab.Bandung 8 Kota Bogor
Skor Total 0.0629 0.0584 0.0580 0.0566 0.0554 0.0454 0.0450 0.0438 0.0361 0.0319 0.0319 0.0318 RATA-RATA TOTAL 0.0315 1 Kota Serang 0.0309 2 Kab. Bogor 0.0297 3 Kota Sukabumi 0.0294 4 Kab.Purwakarta 0.0293 5 Kab.Subang 0.0262 6 Kab.Bandung Barat 0.0244 7 Kab.Indramayu 0.0239 8 Kab.Sumedang 0.0238 9 Kota Tasikmalaya 0.0235 10 Kota Banjar 0.0226 11 Kab. Lebak 0.0214 12 Kab. Pandeglang 0.0212 13 Kab.Cirebon 0.0195 14 Kab. Majalengka 0.0194 15 Kab.Ciamis 0.0189 16 Kab. Sukabumi 0.0188 17 Kab. Garut 0.0182 18 Kab. Cianjur 0.0170 19 Kab. Kuningan 0.0167 20 Kab. Tasikmalaya 0.0161
Kategori HIGHLY RECOMMENDED STANDARD DAERAH PELAKSANA TLR
RECOMMENDED
NOT RECOMMENDED
Adapun rincian (spesifikasi) dari setiap kategori adalah sebagai berikut : 1. Kategori region/wilayah yang sangat direkomendasikan (highly recommended) adalah wilayah yang dapat menerapkan tarif listrik pada nilai keekonomiannya saat ini. Wilayah yang termasuk ke dalam kategori ini adalah kota atau kabupaten dengan tingkat kemampuan ekonomi masyakarat yang tinggi, kemampuan pemerintah yang tinggi
serta keandalan dan ketersediaan infrastruktur kelistrikan yang tinggi pula. Dari hasil olah data diperoleh bahwa Kota Cilegon, Kota Bandung dan Kabupaten Bekasi adalah kota dan kabupaten yang termasuk dalam kategori ini dimana skor hasil pengolahan AHP yang diperoleh untuk ketiga wilayah tersebut lebih besar dibandingkan skor Kota Batam sebagai standar wilayah pelaksana kebijakan tarif listrik regional. 2. Region yang masih direkomendasikan (recommended) adalah region yang tidak mempunyai keandalan listrik dan ketersediaan infrastruktur kelistrikan yang cukup memadai namun dianggap dapat menerapkan tarif listrik pada nilai keekonomiannya karena didukung oleh kemampuan ekonomi masyarakat dan pemerintahnya yang tinggi. Dari hasil olah data diperoleh bahwa Kota Depok, Kota Bekasi, Kota Cirebon, Kota Cimahi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Serang, Kabupaten Bandung dan Kota Bogor termasuk dalam kategori ini dimana skor hasil pengolahan AHP yang diperoleh lebih kecil dibandingkan skor Kota Batam, namun masih lebih tinggi dari rata-rata skor keseluruhan region. 3. Region yang tidak direkomendasikan (not recommended) adalah region yang tidak dapat/tidak siap untuk menerapkan tarif listrik pada nilai keekonomiannya. Dari hasil olah data diperoleh bahwa Kota Serang, Kabupaten Bogor, Kota Sukabumi, Kota Purwakarta, Kabupaten Subang, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Indramayu,
Kabupaten Sumedang, Kota Tasikmalaya, Kota Banjar, Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Garut, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Kuningan dan terakhir Kabupaten Tasikmalaya termasuk dalam kategori ini dimana skor hasil pengolahan AHP yang diperoleh lebih kecil dibandingkan skor dari Kota Batam dan juga dibawah rata-rata skor keseluruhan region. Pada region ini, listrik tetap pada fungsi dasarnya yaitu infrastruktur yang menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakannya.