BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Perusahaan 4.1.1 Sejarah Singkat Perusahaan PT. Graha Sumber Prima Elektronik (GSPE) didirikan pada tahun 1996, oleh Bapak Yanto Liem, yang menyediakan peralatan berkualitas tinggi seperti Energi dan Power System, Power Supply / Power Konverter dan Elektronika, Listrik dan Mechanical Components, Test dan pengukuran untuk Industri Manufaktur, Telekomunikasi dan Aplikasi umum. Strategi Penjualan GSPE adalah untuk menawarkan pelayanan berkualitas tinggi, hemat biaya dan jasa yang diarahkan untuk kebutuhan pasar mereka. GSPE selektif bekerja dengan vendor berkualitas untuk produknya untuk memenuhi pelanggan individu. Salah satu aliansa strategi kami, Nemic Lambda (Sebuah Perusahaan invensys), dimana kantor Penjualan Regional di Singapura dengan ketersediaan saham untuk pengiriman langsung kepada pelanggan di wilayah ini seperti di Indonesia. Nemic Lambda adalah pemimpin di pasar Asia Jepang dan pasar lainnya sebagai Global Industri dari Switching Power Supplies dan Secure Power System.Selain karena mendistribusikan Power Supplies module, kami menawarkan layanan lengkap Value Added Reseller (VAR), untuk merancang dan
84
http://digilib.mercubuana.ac.id/
85
membangun pasokan listrik menggunakan komponen daya yang bervariasi untuk banyak pabrik yang mengandalkan sumber daya dari luar untuk menyediakan sistem kekuasaan yang lengkap untuk produk mereka. Farnell-Newark InOnemembawa pelanggan kami di Asia tentang produk gabungan dari Farnel InOne dan Newark InOne. Kami menawarkan untuk segera mengirim lebih dari 250.000 produk siap dari lebih dari 1000 pabrik yang terkemuka di Asia, Inggris dan gudang Amerika Serikat.GSPE memiliki berbagai produk kekuasaan yang kompleks dengan desain teknologi maju dari catu daya, rectifier, baterai di bawah merek Invensys. Komponen konsultasi, layanan yang ramah, dukungan logistik yang handal dan efisien adalah beberapa faktor penting yang berkontribusi untuk GSPE ekspansi. GSPE juga menawarkan tim teknisi servis, tersedia untuk membantu pelanggan dengan pertanyaan tentang fitur produk dan solusinya. Kontak dekat ke produsen teknologi dengan
harga
dasar dan pembelian yang dihasilkan komponen mereka
yang
memadai
telah
mengantarkan
GSPE
ke
gerbang
kesuksesan.Semua faktor ini digabungkan,membuat kami menjadi salah satu distributir terkemuka Energi dan Power System, Power Supply / Power Konverter, Electronic, Electrical dan Mechanical Components.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
86
4.1.2 VISI dan MISI Perusahaan 1. Visi Menjadi sebuah perusahaan dengan pelayanan profesional, dan sebagai penyedia peralatan dengan teknologi tinggi, serta dapat mengambil bagian dalam meramaikan pasar di Indonesia bahkan Asia. 2. Misi Adapun misi dari PT. Graha Sumber Prima Elektronik adalah sebagai berikut : a. Mencapai target penjualan tinggi b. Menyediakan produk – produk yang bermutu tinggi c. Menyajikan pelayanan yang professional d. Menjadi partner handal bagi operator selular di Indonesia e. Turut serta membantu pemerintah dalam menangani masalah pengangguran. 4.1.3
Struktur Organisasi Dalam menjalankan kegiatannya PT. Graha Sumber Prima Elektronik
memiliki struktur organisasi yang dapat menjaga kestabilan dan kelangsungan operasional yang terdiri dari beberapa departemen yang memiliki tanggung jawab dan wewenangnya masing-masing yang saling berhubungan dalam melakukan pelayanan terhadap para pelanggan. Adapun struktur organisasi dapat dilihat secara rinci pada gambar 4.1.3
http://digilib.mercubuana.ac.id/
87
DEWAN KOMISARIS
DIREKTUR
SEKRETARIS
MANAGER UMUM
FINANCE & ACOUNTING
HRD
MARKETING
ADMIN PROJECT
MONITORING & INSTALASI
LOGISTIK
GUDANG
Gambar 4.1.3 Struktur Organisasi PT Graha Sumber Prima Elektronik
4.1.4 Tugas dan Wewenang Divisi di PT. Graha Sumber Prima Elektronik Berikut adalah deskripsi kerja pada PT. Graha Sumber Prima Elektronik (GSPE) Jakarta yang akan dibahas dari masing-masing bagian secara singkat diuraikan sebagai berikut : 1.
Dewan Komisaris
Tugas : a. Mengawasi secara keseluruhan sistem dan prosedur program kerja. b. Menentukan dan menyusun agenda perusahaan serta menyelenggarakan pertemuan mingguan. Wewenang : a. Menjajaki dan menentukan serta memutuskan kerjasama dengan pihak-pihak lain baik didalam maupun diluar negeri, demi perkembangan dan kemajuan serta keuntungan perusahaan. b. Menentukan aturan-aturan yang berlaku dalam perusahaan sepanjang tidak menyimpang atau tidak bertentangan dengan peraturan perusahaan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
88
c. Mengangkat, memberhentikan, memutasi karyawan perusahaan.
4.1.4 Tugas dan Wewenang Divisi di PT. Graha Sumber Prima Elektronik Berikut adalah deskripsi kerja pada PT. Graha Sumber Prima Elektronik (GSPE) Jakarta yang akan dibahas dari masing-masing bagian secara singkat diuraikan sebagai berikut : 2.
Dewan Komisaris Tugas : a. Mengawasi secara keseluruhan sistem dan prosedur program kerja. b. Menentukan dan menyusun agenda perusahaan serta menyelenggarakan pertemuan mingguan. Wewenang : a. Menjajaki dan menentukan serta memutuskan kerjasama dengan pihakpihak lain baik didalam maupun diluar negeri, demi perkembangan dan kemajuan serta keuntungan perusahaan. b. Menentukan aturan-aturan yang berlaku dalam perusahaan sepanjang tidak menyimpang atau tidak bertentangan dengan peraturan perusahaan. c. Mengangkat, memberhentikan, memutasi karyawan perusahaan.
3. Direktur Tugas : a. Memimpin seluruh dewan dan komite eksekutif b. Menawarkan visi dan imajinasi di tingkat tertinggi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
89
c. Memimpin rapat umum d. Pengambil keputusan e. Bertindak sebagai perwakilan organisasi dalam hubungannya dengan dunia luar. 4.
Genaral Manager Tugas : Bertugas atas pengkoordinasian, penghargaan dan pengawasan keseluruhan dan pelaksanaan semua kegiatan perusahaan agar sesuai degan tujuan, kebijaksanaan, sistem dan prosedur kerja jangka pendek, jangka menengah, jangka panjang, dan program kerja serta rencana anggaran.
5.
Sekretaris Tugas : a. Menerima Pendiktean, menyiapkan surat-menyurat, dan menerima tamu. b. Mengatur jadwal kegiatan pimpinan. c. Memegang rahasia serta memperoleh kepercayaan dari pimpinan untuk menangani urusan kantor. d. Mengelola anak buah untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi kerja di kantor.
6.
HRD Tugas : a. Merekrut karyawan, menerima lamaran, wawancara, melakukan tes sampai dengan penentuan gaji
http://digilib.mercubuana.ac.id/
90
b. Mengatur dan mengkordinasi hak-hak karyawan seperti jatah cuti katyawan, santunan kesehatan, dan absensi karyawan. c. HRD juga bisa menampung aspirasi karyawan (apabila tidak ada SPSI) lalu kemudian disaring dan disampaikan pada jajaran direksi saat diadakan rapat bulanan/tahunan 7.
Finance & Accounting Tugas : a. Mengatur siklus keuangan PT. Graha Sumber Prima Elektronik (GSPE). b. Mengeluarkan dana untuk pembelian dan pembayaran dari persetujuan Direktur. c. Membuat neraca dan laporan arus kas perusahaan.
8.
Marketing Tugas : a. Memaksimumkan kesempatan penjualan yang akan datang dengan membantu mengatasi masalah-masalah yang menyangkut kebutuhan pelanggan. b. Membuat laporan hasil klaim mengenai penjualan Rectyfier dari berbagai daerah. c. Merancang strategi pemasaran yang diarahkan untuk masing-masing supervisor area.
9.
Project Tugas : a. Mengawasi perencanaan project
http://digilib.mercubuana.ac.id/
91
b. Menangani permasalahan project c. Memberikan solusi permasalahan project 10.
Admin Project Tugas : a. Menerima PO (purchasing order) b. Menginput PO (purchasing order) c. Bertanggung jawab atas invoice pengiriman barang d. Menangani biaya-biaya tambahan instalasi e. Membuat dokumen pengajuan biaya kepada pihak vendor
11.
Monitoring & Instalasition Tugas : a. Membuat rencana kerja harian. b. Mengkoordinasi, mengawasi dan mengendalikan proses pengiriman barang. c. Mengkoordinasi, mengawasi dan mengendalikan proses administrasi. d. Mengkoordinasi tim-tim install. 12. Logistic Tugas : a. Mengkoordinasi, mengawasi dan mengendalikan proses administrasi logistik dalam hal pembuatan Delivery Order (DO), Surat Perintah Kerja (SPK).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
92
b. Mengkoordinasi, mengawasi dan mengendalikan proses administrasi logistik dalam hal monitoring pengiriman dan add-cost pada saat pengiriman barang. c. Merancang, membuat, memelihara dan menganalisa jaringan infrastruktur yang berhubungan dengan logistik yang meliputi area Jabodetabeka, Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan area lain yang berpotensi untuk pengembangan jaringan.
13. Warehouse Tugas : a. Bertanggung jawab atas stock barang b. Bertanggung jawab pengeluaran barang. c. Merakit rectifier d. Menginput SN (serial number) untuk barang yang akan dikirim
4.1.5
Produk dan Jasa
a. Produk 1. FARNELL-NETWORK INONE Leading Distributor Electronic & Industrial Components Farnell-Newark InOne membawa pelanggan kami di Asia rangkaian produk gabungan dari Farnell In One, distributor terkemuka di dunia elektronik,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
93
perbaikan dan pemeliharaan, & operasi (MRO) produk dan Newark InOne, distributor elektronik Amerika yang berbasis pasar terkemuka. Kami menawarkan pelanggan kami pilihan lebih dari 250.000 produk yang ditebar di gudang kami di Asia, Amerika, dan Inggris dari lebih dari 1.000 produsen terkemuka & tambahan 6 juta produk melalui layanan ProductFindTM kami.Sebagai pelanggan, anda hanya perlu membeli jumlah yang Anda butuhkan tanpa minimal jumlah pesanan dan meskipun kami melayani ribuan pelanggan di seluruh dunia sehari – hari, dari industri yang berbeda, Anda dapat mengharapkan satu-ke-satu layanan dan fleksibelitas yang tidak ada duanya.
2.
DENSEI LAMBDA POWER SUPPLY DENSEI-lambda K. K. bertekad untuk mewujudkan solusi total dengan
benar daya lebih meningkatkan kualitas, memotong biaya produksi, mengurangi waktu pengiriman, meningkatkan layanan purna jual, dan mengembangkan produk yang inovatif.
3.
POWERWARE – DC Power System Powerware Energy System adalah pemimpin dalam perancangan dan
pembuatan peralatan listrik DC Siaga untuk komunikasi. Powerware adalah generasi baru dari sistem tenaga DC modul bagi insdustri komunikasi saat ini.
4.
EXIDE Technologies
http://digilib.mercubuana.ac.id/
94
EXIDE Technologies Industrial Energy adalah pemimpin global dalam solusi energi listrik yang di simpan untuk semua aplikasi cadangan utama kritis dan kebutuhan. Aplikasi daya siaga termasuk jaringan komunikasi / data network, sistem UPS untuk komputer dan sistem kontrol, pembangkit tenaga listrik dan sistem distribusi, serta berbagai aplikasi lainnya kekuatan industri siaga.
5.
ASHLEY-EDISON (UK)NAC Line/Power Conditioner – AVR Ashley-Edison (Inggris) AC Line / Power Conditioner dirancang
memelihara tegangan utama listrik terus – menerus sepanjang waktu. Kontrol penguat elektronik akan memperbaiki tegangan listrik yang berubah tinggi atau rendah. Mereka dicirikan oleh efisiensi tinggi dan sama sekali tidak terpengaruh oleh faktor daya, beban dan variasi frekuensi. Mereka dapat menahan overloads sesaat dan tidak menciptakan gangguan magnetik.
6.
INFRARED SOLUTIONS – Infrared Camera Flaxcam Kamera Inframerah sangat terjangkau dan mudah digunakan
portabel, tingkat video kamera inframerah dengan pusat titik pengukuran suhu, “Sharper Simpler Smarter” fitur desain membuat kamera yang ideal untuk cepat dan mudah inspeksi inframerah.
7.
Shenzhen Powercom Co, Ltd SHENZHEN POWERCOM didirikan pada tahun 1999 adalah perusahaan
berteknologi tinggi yang mengkhususkan diri dalam penelitian, produksi dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
95
penjualan produk seri RF nirkabel dan sistem komunikasi nirkabel, pelanggan utama kami adalah China Unicom, China Mobile, China Telecom dan China Netcom, mengintegrasikan kedua POWERCOM mengambil pangsa pasar di Cina. Baru – baru ini, aset POWERCOM secara keseluruhan telah tumbuh dari RMB 10 juta untuk dana terdaftar untuk RMB 1 miliar, dan tim berkembang dari puluhan karyawan untuk tahun 2000. Kami memiliki 3 pusat R & D diman di Shinzhen, Quanzhou, dan Nanjing, dan kami sudah memiliki Shenzhen terpadu pusat R & D dan Quanzhou frekuaensi radio profesional R & D center; jaringan pelayanan pemasaran kami dan Produk berhasil dijalankan di jaringan telekomunikasi selular dalam negeri yang meliputi 30 provinsi dan domestik kotamadya, dan mulai pergi ke pasar international.
8. AGILIS Comunication Technologies Pendirian pada bulan Agustus 1991, dukungan yang kuat telah mendorong kita untuk jadi manufaktur terkemuka dan pemasok VSAT, Doppler Montion Sensor dan Microwave Digital Radio untuk berbagai aplikasi di pasar industri, komersial dan korporasi.
b. Jasa Adapun jasa yang ditawarkan adalah : 1. Jasa Pengiriman dan instalasi 2. Jasa Perbaikan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
96
1.1.6 Alur Pekerjaan PT.Graha Sumber Prima Elektronik Divisi yang terdapat di PT.GSPE terbagi menjadi Divisi Enginering, Divisi Workshop, Divisi Marketing, Divisi Sales Project, Divisi Project , Divisi Admint Project, Divisi Installasi , Divisi Subcont, Divisi Purchasing , Divisi CRC (Customer Responds Center) dan Divisi Finnance , Divisi GR (Good Receieved), Divisi EDP (Entry Data Proccess) , Divisi PPIC (Production Planing Inventory Control) dan terakhir adalah Divisi Logistik (warehouse) berlokasi di Taman Tekno Serpong.Gudang ini menyimpan banyak barang (rectifier) serta dijadikan sebagai tempat perakitan barang yang hendak dijual dan diinstallasi. Setiap divisi mempunyai fungsi dan peran dalam mejalankan tugas pekerjaan mereka masing – masing . Mulai dari Divisi Enginering yaitu bertugas untuk menciptakan rectifier baru melalui percobaan yang mereka lakukan. Selain bereksperimen dengan percobaannya, enginering juga mempunyai tanggung jawab lebih besar di atas para installer apabila team installer tidak mampu menangani problem installasi di lapangan. Divisi Installer memiliki wewenang terhadap team Installer untuk segala keperluan dan pekerjaan Installer. Installer ialah orang yang bertugas menginstallasi rectifier yang hendak dijual sehingga dapat terkoneksi dan beroprasi dengan baik dalam satu rangkaian elektronik di dalam shelter dan tower. Divisi Sales Marketing Project yang memasarkan produk dan jasa yang dihasilkan PT.Graha Sumber Prima Elektronika (GSPE). Divisi Project yang bertugas mengatur plan serta menjalankan hasil tender yang telah di menangkan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
97
oleh Sales Marketing Project, bidang pekerjaan pada divisi project berhubungan dengan para PIC (supervisor) customer seperti PIC XL, PIC Indosat, PIC Telkomsel , PIC Axis serta PIC Ericsson , kemudian dibawah divisi project yaitu Divisi Admint Monitoring yang bertugas memonitor jalannya proses installasi oleh para installer. Divisi Logistik (warehouse) bertugas menyediakan barang (rectifier)
serta melakukan ekspedisi / pengiriman barang
/shelter yang akan di installasi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
ke tempat tower
98
Berikut merupakan Prosedur Mutu Sales Support XL : PT. GRAHA SUMBER PRIMA ELEKTRONIK
QUALITY PROCEDURE
SALES XL
PIC
No. Dokumen
QP-SLS-0004
No. Revisi
01
Tanggal Efektif
10 Juni 2014
Halaman
98 / 70
PROSES
DOKUMEN
Mulai Inquiry/RFQ
SALES
Terima Inquiry/RFQ Dari customer
Email Request, RFQ Design & BOQ
ENGINEERING
New?
Drawing, BOQ
By Engineer N
PPIC
Quotation Send to Customer
Y
SALES
Approval From Customer
Approval CUSTOMER
Design
Process di Cust, Nego harga dll
N CUSTOMER TEAM PO, PPIC, PRODUKSI, PROJECT, TEAM GR,FINANCE
Mock Up
PO
Quotation Y
Implementasi :(produksi, delivery& /install, GR, invoice)
Selesai
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Y N Approv al Mock
99
Dibuat :
Diperiksa :
Disetujui :
Stempel :
Alur atau mekanisme aktifitas pekerjaan di PT.Graha Sumber Prima Elektronik di mulai dari Divisi Sales Project melakukan presentasi produk dan penawaran (quotation) dari proses negoisasi hingga release PO dari customer. Selanjutnya divisi project menerima sales order dari XL (customer ) /forecast dari sales, melakukan pengecekan PO dan segera memberikan info apabila PO bermasalah serta membuat project name. Divisi project juga melakukan survey kesiapan site ke PIC dan membuat request DIN (Delivery Instruction Notice) , merequest DN ( Delivery Note ) ke customer lalu mengecek DIN dan DN yang diterima .Setelah ready baru memproses dan berkoordinasi dengan bagian internal untuk implementasinya. Divisi Installasi akan menyiapkan team Installer untuk memproses / menjalankan project dan mengoprasikan perangkat yang akan di pasang. Apabila team Installer kurang sedangkan material ( rectifier ) sudah ready dan siap untuk dilakukan installasi, maka PT.GSPE akan menyewa subcont 1 agar tidak melewati DIN da DN yang ditentukan oleh customer . Divisi Installer dan Divisi Subcont akan berkoordinasi untuk menentukan site ( tujuan ) dilakukan installasi . Sebelum dilakukan installasi oleh installer dan subcont maka divisi Logistik akan melakukan pengiriman barang sesuai dengan plan (perencanaan) yang dibuat oleh Divisi Project. Divisi Logistik harus memastikan bahwa semua 1
Subcontractor yaitu orang ketiga dari operator (customer) yang dipekerjakan oleh PT.GSPE dengan perjanjian dan bukan merupakan karyawan dari PT.GSPE
http://digilib.mercubuana.ac.id/
100
Purchase Order ( PO ) dari customer di penuhi dan dikirim sesuai jadwal serta memastikan bahwa pengiriman barang harus sampai ke tangan customer dalam keadaan baik dan tidak hilang. Setelah dilakukan installasi perangkat (rectifier) lalu Divisi GR (Good Receipt) menerima dan memeriksa dokumen penagihan ke departement terkait. Setelah dokumen lengkap entry sistem dan kelengkapan invoice , lalu kirim dokumen ke customer dan membuat rencana penerimaa pembayaran dan melakukan penagihan saat jatuh tempo , terima pembayaran , entry sistem , membuat plan vs aktual sesuai .
4.2 Hasil Penelitian Hasil
penelitian
ini
diperoleh
berdasarkan
hasil
wawancara
mendalam(indepth interview) dengan narasumber(informan). Narasumber adalah Siti Tri Setiarini selaku Manajer Project PT.Graha Sumber Prima Elektronik, Agung Raharjo selaku Project XL area Jawa Timur PT.GSPE, Windha Septiani selaku Koordinator Divisi Installasi Subcont PT.GSPE, Bela Siti Hawa selaku Koordinator Divisi Installer. Selain itu penelitian ini juga diperoleh dari data sekunderberupa dokumen yang mendukung penelitian yang didapat dari divisi Project XL. Setelah melakukan wawancara mendalam melalui penelitian kualitatif deskriptif yang dilakukan oleh peneliti kepada informan yang diperoleh dari divisi Project XL,divisi Installer, divisi monitoring Subcont,maka diperoleh hasil penelitian sebagai berikut
http://digilib.mercubuana.ac.id/
101
4.2.1 Unsur Konflik Unsur konflik merupakan keterlibatan pihak – pihak yang mengalami konflik terdapat interaksi antara pihak-pihak yang terlibat serta ada tujuan yang dijadikan sasaran konflik. Unsur Konflik yang ditemukan peneliti pada PT.GSPE dalam Studi Kasus Project XL rectifier Backbone area Jawa Timur 2014 merupakan keterlibatanantara divisi dan karyawan selama project berlangsung. Terdapat kendala dalam menjalankan oprasional kerja dari internal maupun eksternal, dari internal yaitu kendala dalam komunikasi organisasi antara divisi project, divisi Installasi dan Subcont serta divisi Logistik.Kendala yang terjadi di eksternal yaitu miss.koordinasi pada saat survey kesiapan site, ketika team RFS (ready for survey ) melakukan survey melalui telepon dengan PIC supervisior XL mereka mengatakan site ready tetapi aktual di lapangan belum ready terkait belum ada pondasi shelter, PLN belum ready ataupun vendor – vendor lain yang belum siap sebab untuk melaksanakan installasi butuh kerjasama kesiapan dari berbagai vendor karena terdapat rangkaian listrik yang tidak bisa dikerjakan hanya dari pihak PT.GSPE yang seharusnya customer memberikan informasi yang pasti. Hal ini terjadi biasanya pada shelter di luar jabodetabek dan survey dilakukan hanya melalui telepon sehingga biasanya para PIC XL sebenarnya belum megetahui pasti keadaan shelter dan kondisi site yang sebenarnya. Hal ini biasanya terjadi di site yang terpencil dan jauh dari pemukiman warga dan berada di tengah hutan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
102
Kendala seperti ini akan memakan biaya tambahan seperti sewa gudang karena PT.GSPE harus menyewa gudang untuk meletakan rectifier backbone. Agung Raharjo menyampaikan hal yang sama dengan peneliti tantang kendala dalam melaksanakan Project XL Rectifier Backbone area Jawa Timur 2014. “Biasanya sih ada kendala dalam oprasional kerja seperti miss.koordinasi eksternal maupun internal. Konfliknya seperti koordinasi dari customer ke setiap projectnya, yaitu awal-awal project. Konflik yang sering terjadi yaitu Community Case itu biasanya dari warga, ada juga kesiapan site misalnya aktualnya waktu survey by phone sudah ready ternyata aktual di lapangan belum ready.” Selain Agung Raharjo, Bella Siti Hawa dan Windha Septiani juga mempunyai pendapat yang sama yaitu kesiapan site selalu menjadi kendala dalam melaksanan project rectifier backbone. Bella Siti Hawa mengemukakan bahwa : “Kendala pastinya selalu ada, internal dan eksternalnya pun ada dimulai dari persiapan barang dan dari eksternalnya untuk kesiapan sitenya, shelternya belum ready terus pondasinya belum ready , pln belum ready dan vendor-vendor lainnya belum ready. Jadi gak dari kita juga sih,konflik Installasi backbone karena installasinya butuh PLN sudah ready atau belum kadang PLN belum ready. Selanjutnya Windha Septiani selaku Koordinator Subcont juga berpandangan sama melalui pendapatnya : “Semua kantor punya kendala tetapi untuk PT.GSPE memang crowded banget mulai dari internal maupun eksternal. Installasi rectifier Backbone lebih banyak masalahnya mulai dari shelternya
http://digilib.mercubuana.ac.id/
103
yang belum ready, pondasinya berada di dalam shelter,belum ada installasi listriknya. Selain itu posisi AC juga terkadang di lokasi rectifier dekat dengan AC jadi gak bisa di pasang. Kalau konflik itu belum selesai rectifier juga belum bisa dipasang. Sebenernya posisi AC kan simple banget tapi kalau misalkan posisinya mengganggu jadi rectifier belum bisa di pasang.”
Peneliti menemukan konflik yang paling sering muncul adalah Community Case yaitu banyak ormas-ormas atau pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang meminta pungutan liar agar barang /rectifier dapat diturunkan dari mobil forwarder serta dapat dimasukan ke dalam shelter/site. Keempat informan setuju bahwa memang konflik Community Casesering muncul dalam project XL rectifier backbone.Bella Siti Hawa selaku Koordinator team Installasi di lapangan setuju dengan peneliti : “Ada special case seperti Com.Case , kalau itu kan urusan XL dengan warga. Com.Case itu Community Case jadikan antara XL dengan warga harus ada kesepakatan sebelum membangun shelter nah disitu biasanya warga sering minta jatah sama pihak kita. “ Siti Tri Setiarini juga mempunyai pendapat yang sama dan menjelaskan bahwa terdapat banyak ormas-ormas atau penjaga site yang muncul saat project berlangsung. “Konflik pasti selalu ada dan sering muncul jadi setiap site pasti selalu ada konflik, beda-beda konfliknya misalnya site A konflik dengan community dengan masyarakat setempatnya terus site B dengan penjaga site atau dengan ormas itu macam-macam.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
104
Ada dua faktor juga internal atau eksternal konflik yang bisa kita ciptain sendiri atau konflik yang memang kita gak bisa ukur contohnya kalau konflik diluar kendali kita contoh sitenya kebakar, bencana alamlah. Konflik yang dibuat itu misalnya ada ormas –ormas yang kita mau kerja tapi kita dimintain uang kaya gitu sih biasanya. “ Selain community case terdapat konflik internal antara team Installasi dan team forwarder. PT.GSPE menyewa forwarder untuk melakukan pengiriman barang melalui divisi Logistik tetapi karena forwarder punya aturan sendiri dalam melakukan pengiriman barang sehingga waktu barang tiba akan lebih lama sampai dibanding dengan team installasi yang tiba ke lokasi. Team installasi sudah tiba di lokasi tetapi barang belum sampai sehingga akan menambah biaya oprasional untuk team installasi dan waktu installasi akan semakin mendekati deadline yang diberikan customer karena kendala tersebut. Bella Siti Hawa memaparkan hal yang sama dengan peneliti : “Setiap ada kerjaan pasti ada konfliknya misalnya di site itu forwarder dengan intsaller kan berbeda. Kalau forwarder dari gudang dan intstaller dari kantor dan yang sampe duluan ke site biasanya installer Forwarder harus ke tempat kesatu, kedua, ketiga
jadi
forwarder bisa tiga tempat nah disitu mereka bisa tunggu-tungguan dan itu makan waktu buat intsall, biasanya dari pihak gudang dan pihak monitoring installer itu pasti adalah konfliknya. Terus juga ada spesial case yang lain misalnya ada site spesial itu harus diutamain nah kadang dari kitakan gak siap dari installernya karena installernya udah bolak-balik sitenya belum ready.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
105
Jadi akhirnya installernya kita alihin ke tempat lain ternyata itu sudah di tunggu sitenya dan itu sampai manajemen sampai ikutikutan turun tangan membantu menyelesainkan masalah itu.” Windha Septiani melalui pendapatnya
menyebutkan bahwa dari Divisi
Pengirman memang lama dalam mengirim barang. “Internalnya untuk posisi saya dari pengiriman barang. Saya di bagian subcont monitoring installasi dari divisi yang lain seperti logistik banyak kabel yang masih indent jadi kita harus nunggu kabel. Forwarder juga masih di subcontnin jadi banyak vendorvendor forwarder yang lama pengirimannya dateng ke kantornya juga lama, banyak alesannya sih. Siti Tri Setiarini selaku Project Manager menyampaikan pendapatnya bahwa terpadat miss.communications antara internal PT.GSPE sehingga Logistik kurang mendapatkan informasi. Installasi site di area jawa timur kita ada installasi battery segala macam rectifier. Sekarang yang sedang berjalan itu project XL BB (backbone) konflik yang baru kemarin-kemarin terjadi ada miss.communications antara GSPE dengan logistic. Konflik internalnya seperti teamnya sudah datang tetapi barangnya belum datang. Kita kan sudah ada SLA ada deadline misalkan hari ini sudah deadline harus DONE Install tetapi kita gak bisa installasi hari ini karena logistik barangnya telat. Terjadi bisa logistiknya memang lambat atau ada kurang info yang harusya onsite hari ini malah besok gitu. Konflik itu bakalan besar kalau itu gak di solve problem dan efeknya itu lebih kita ke customer nya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
106
Kita delay efeknya itu ke penagihan kita kenapa diluar jadwal dari deadline kita installasi lebih lambat dari deadline. “ Munculnya konflik tersebut akan menimbulkan konflik antar divisi dan karyawan dalam mengkoordinasikan kepentingan masing-masing. Divisi yang terlibat konflik yaitu Divisi Project, Divisi Intsallasi dari Installer ataupun Subcont serta Divisi pengiriman barang yaitu Logistik. Keempat informan menyampaikan pendapat yang sama dengan peneliti. Berikut pemaparan salah satu informan Siti Tri Setiarini “Divisi yang terlibat konflik yaitu project, logistikPPIC (Production Planning Inventory Control) selaku penyedia barang ke customer terus enginering, dan Installasi Monitoring”. PICnya yaitu orang-orang yang terlibat konflik tersebut dan faktornya yaitu ada miss.communication antara mereka itu semua”. 4.2.2 Sumber Konflik Sumber konflik paling tinggi yang terjadi di PT.GSPE yaitu komunikasi. Masing – masing antar divisi dan karyawan dalam melaksanan Project XL Installasi Backbone area Jawa Timur memiliki saling ketergantungan pekerjaan satu arah yaitu ada alur pekerjaan yang harus diikuti masing-masing divisi sehingga sangat membutuhkan koordinasi yang jelas antara masing- masing divisi. Namun fakta di lapangan peneliti banyak menemukan terjadinya miss communication antara masing-masing divisi dan karyawan khususnya divisi Logistik, Installasi, Subcont dan Project.Miss communication yang paling banyak terjadi terdapat pada divisi logistik dan Installasi . Kedua divisi tersebut sering
http://digilib.mercubuana.ac.id/
107
mengalami konflik karena keterlambatan barang yang sampai pada lokasi shelter. Keempat Informan mempunyai pendapat yang sama dengan peneliti. Agung Raharjo dan Siti Rini Setiarini membenarkan peneliti melalui pendapat mereka. Agung Raharjo menjelaskan bahwa miss koordinasi terjadi terlebih pada tahap awal project dilakukan. “Kendalanya biasanya miss koordinasi, konfliknya seperti koordinasi dari customer ke setiap projectnya, yaitu awal-awal project. Konfliknya koordinasi persiapan site dan SLA ( batas waktu pengiriman & installasi) dari done install sampe ATP dengan customer. Seperti yang tadi saya bilang di awal biasanya ada com.case sama ready installasi sama ready surveyjadi kesiapan sitenya belum ready. Kalau backbone itu kekurangan material, pondasi belum ready kalau backbone kan biasanya di dalam shelter yaitu new site kadang shelternya belum ada atau PLN nya belum ready Siti Tri Setiarini juga menyampaikan hal yang sama dengan Agung Raharjo : “Yang terkait seperti team monitoring, team logistik, PICnya yaitu orang-orang
yang terlibat konflik tersebut dan faktornya
yaitu ada miss.communication antara mereka itu semua. Team logistic dengan team monitoring, team monitoring sudah siapin installernya tetapi team logistiknya belum siap dari forwardernya pun belum siap jadi kita harus sampai barang hari ini tapi belum siap.”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
108
Faktor lain yang peneliti temukan sebagai sumber konflik yaitu kesiapan site dan material yang akan sampai pada lokasi. Kurangnya koordinasi dari team survey dengan PIC XL saat melakukan survey site sehingga banyak site yang belum ready serta ada beberapa rectifier backbone tipe lama harus upgrade ke tipe baru dan menggunakan modul yang baru tetapi modul/ material yang dikirim oleh divisi Logistik yaitu tipe yang lama sehingga harus menunggu lagi pengiriman modul yang baru dampaknya team Installasi harus menunggu kekurangan material untuk melakukan installasi. Dari keempat informan ketiga informan membenarkan penemuan peneliti. Windha Septiani melalui pendapatnya : “Faktor penyebab konflik persiapan site dan SLA (batas waktu pengiriman & installasi) dari done install sampai ATP dengan customer. Kalau shelternya belum ready berarti rectifier belum tau taronya dimana, dan kalau disitu gak ada rumah tinggal atau rumah PICnya atau rumah keamanannya (security) rectifier gak bisa di onsite. Rectifier gak bisa diturunin dari mobil dibawa balik ke gudang forwarder. Kalau dari kami kita dapat info dari forwarder kita dapat foto/bukti barangnya gak bisa onsite. Otomatis kita gak bisa installasi dan kita minta foto dulu dari orang lapangan setelah itu kirim by email lalu konfimasi by phone ke PIC terkait. Kalau dari internalnya sendiri pakai waktu kalau kita email ke PICnya hari senin dan 3 hari kemudian kita follow up lagi by phone. Karena shelternya belum ada, biasanya backbone kendalanya cuman satu sih kesiapan shelter dan kesiapan isi shelter.”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
109
Agung Raharjo juga menyebutkan bahwa dalam pengerjaan rectifier backbone sering mengalami kekurangan material. “Faktor penyebab konlfik persiapan site dan SLA (batas waktu pengiriman & installasi) dari done install sampe ATP dengan customer. Kesiapan site, survey by phone sudah ready ternyata aktual di lapangan belum ready. Ready installasi sama readysurvey jadi kesiapan sitenya belum ready gitu . Kalau backbone itu kekurangan material , pondasi belum ready kalau backbone kan biasanya di dalam shelter yaitu new site kadang shelternya belum ada atau PLN nya belum ready. Sering banget materialnya kurang biasanya dari 10 site pasti ada 2 site karena pengaruh dari team logistikjuga kan yang prepare material team logistik.” Siti Tri Setiarini juga membenarkan penemuan peneliti melalui penuturannya: “Team monitoring sudah siapin installernya tetapi team logistiknya belum siap dan dari forwardernya pun belum siap sedangkan kita harus sampai barang hari ini tetapi belum siap. Project XL kan ada SLA jadi gak berjalan sesuai target atau plan pasti ada kerikil-kerikil kecil yang menghalangi kita harus selesai sesuai deadline masalah – masalah yang seperti tadi contohnya. Macam-macam faktor site pending itu bisa terjadi karena kurang material, terus kurang komunikasi dengan PIC, barangnya delay, community case.” Faktor lain yang menjadi sumber konflik yaitu community case .Saat terjadi community case divisi Logistik dan divisi Installasi juga ikut bernegosiasi dengan ormas agar menurunkan harga jatah preman tersebut. Mereka adalah pihak yang terlibat di lapangan langsung sehingga mereka yang harus berkoordinasi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
110
dengan ormas-ormas tersebut dan mendiskusikan dengan pihak kantor serta menunggu persetujuan (approval) dari Manager Project. Sementara team Installasi dan team forwarder menunggu keputusan dari kantor, divisi Installasi dan Logistik yang berada di kantor melakukan negosiasi dengan customer XL agar mereka mau manandatangani Berita Acara add cost community case agar saat penagihan Berita Acara tersebut juga dapat tercantum untuk ditagihkan. Agung Raharjo selaku pihak yang bernegosiasi dengan pihak customer menyetujui peneliti melalui pendapatnya: “Setiap ada konflik kita minta approval seperti
com. case ,
ini material sudah mau on site tetapi warga minta uang , biasanya info dari pengiriman Logistik jadi barang gak boleh turun kalau warga gak di kasih uang. Misalnya sebesar dua juta kita biasanya ada team negosiasi dari Logistik juga tetapi kalau Logistik sudah mentok biasanya di lempar lagi ke project. Team monitoring Instalasi gak ikutan kaya gitu jadi langsung ke project. Project kalau mentok langsung minta aprooval ke GM .Langsung sih kalau kita dapat report dari team di lapangan team project langsung kejerin ke atasan. Jadi kita biasanya sebelumnya koordinasi dengan pihak customer yaitu PIC XL oh di site ini ada com.case dan pasti timbul com.case saat di survey tetapi tidak tau berapa nominalnya lalu dari team kita kasih info yang sebenarnya terjadi di lapangan. Lama negonya juga si mba, kita kan gak mungkin kasih warga minta 2 juta langsung kita kasih masa cuma kaya gitu doang minta segitu. Divisi logistik nego ke warga dan pasti melibatkan team Installasi untuk membantu bernegosiasi.”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
111
Ketidakjelasan
pola
pengambilan
keputusan,
pola
pendeglasian
wewenang, mekanisme kerja dan pembagian tugas juga menyebabkan konflik di PT.Graha Sumber Prima Elektronik. Ketidakjelasan untuk bertanggung jawab atas dampak keputusan yang akan diambil dalam masalah community case karena pada dasarnya setiap divisi memang tidak ingin bertanggungjawab terlebih mengenai hal – hal yang berakibat tidak atau kurang menguntungkan. Apabila hal ini menyangkut beberapa pihak dan masing – masing tidak mau bertanggung jawab dan menimbulkan konflik antar Divisi dan karyawan. Agung Raharjo melalui pernyataanya setuju bahwa pengambilan keputusan di PT.GSPE terlalu lama sehingga menjadi kurang efektif . “Pengambilan keputusan PT.GSPE yaitu GM (General Manajer)karena ketika ada konflik kita bisa minta approval . Community case,ini material sudah mau on site tetapi dari pihak warga meminta uang. Biasanya dari pengiriman logistik barang tidak boleh turun apabila permintaan warga belum dipenuhi. Team negoisasi dari logistik tetapi kalau dari logistik sudah mentok di lempar ke project lalu project minta approval ke GM dan dari GM ke direktur. Tidak efektif terlalu bertele-tele jadi lama. Contoh Com.Case di lapangan warga meminta uang turun barang dan harus ada birokrasi kesini kesana yang kasian team di lapangan di kejar- kejar terus sama warga. Bagaimana jadi gak sih kalau enggak tarik balik, sedangkan team installasinya ditekankan sama team monitoring dan team monitoring ditekankan lagi oleh team project. Jadi konflik internalnya lebih luas karena pengambilan keputusannya lama.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
112
Windha Septiani menuturkan pendapat yang sama dengan Agung Raharjo. Pengambilan keputusan langsung dengan manajer kami, biasanya manajer kami langsung turun tangan kasih kita jalan keluar cuman ya sekedar global aja dia juga gak begitu detail malah dia lebih push kitapadahal kan kesalahan dari customer. Namanya atasan kan gak mau tau dia maunya selesai aja gak ada kendala cuman dia cari jalan keluar untuk kita, paling atasan push kita aja untuk follow up ke PIC site. Bella Siti Hawa menyampaikan hal sebaliknya, pernyataan beliau berbeda dengan Agung Raharjo dan Windha Septiani. Pengambilan keputusan jadi project minta ke ownernya langsung tapi sebelum owner dari project ke manajer project baru ke GM atau ownernya untuk minta persetujuan. Atasan sih biasanya cepat tanggep setiap ada masalah pasti langsung diselesaikan hari itu karena kan kita kerjanya sesuai target. Tetap harus diselesaikan hari itu juga dan mereka dibilang gak
mau tau gak juga ya kadang ngebantu juga untuk koordinasi
dengan orang ektsernalnya contohnya PICnya. Lebih banyak ke project manajernya sih mba ya untuk menyelesaikan konflik kalau GM kan gak mau tau terima beres aja gitu kecuali emang berhubungan dengan dia baru dia kasih masukan untuk menyelesaikan masalahnya sih. Siti Rini Setiarini juga mempunyai pendapat yang sama dengan Bella Siti Hawa. “Pengambilan keputusan yaitu atasan misalnya ada ormas yang minta uang sebesar 2 juta kalau misalkan 2juta itu gak turun kita gak bisa install sedangkan kita dihadapkan dengan deadline , team monitoring pasti bilang ke project dan atasan yang memberikan approval kita harus bayar 2 juta atau tidak.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
113
Atasan terlibat dalam mengambil keputusan, team monitoring atau team project sudah kasih solusi seperti ini terkait com.case 2 juta tadi dan atasan pasti bilang nego dulu lah jangan 2 juta nah biasanya atasan yang langsung nego kalau dari team project gak bisa nego pasti atasan yang langsung nego. Biasanya langsung ke saya ke PMnya , biasanya ada special case yang dari aku gak bisa di solve nah aku harus solving problem eskalasi ke atasan ku langsung Direktur atau Ownernya tapi kalau aku gak bisa tanganin baru ke atas lagi. Ketidakpercayaan antara rekan kerja dalam divisi installasi maupun divisi installasi dengan divisi project dan divisi logistik dalam memberikan informasi . Installer memberikan informasi bahwa Installasi sudah selesai tetapi team monitoring dari divisi Installasi tidak mencentang DONE di program sehingga dari divisi project harus menanyakan kembali ke Installer dan PIC Xl bahwa memang benar installasi sudah selesai dan tidak ada kendala. Selain itu dari divisi Logistik memberikan informasi barang sudah dikirim tetapi team installer masih menunggu barang dan ternyata barang yang terkirim itu salah.Informasi yang diberikan oleh team RFS (readi for survey) juga di ragukan seperti site sudah ready ternyata belum ready lalu alamat site yang tercantum di program ternyata tidak detail sehingga team installasi dan team logistik meminta kepastian alamat dari PIC XL. Agung Raharjo menjelaskan ketidaksamaan informasi yang diberikan oleh rekan kerja dan harus dilakukan pengecekan kembali atas kebenaran informasi. “Biasanya saya cari tau lagi informasi dari team installer karena kadang bilang sudah done tetapi aktualnya belum done , jadi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
114
saya biasanya langsung tanya ke team installasinya (installer) bukan monitoringnya. Kita ada program WO (work order), program installasi jadi kita tarik data kita cek tiap hari yang sesuai sama plan kita misalkan kita dapet 10 site dalam list tarikan data yang sudah done berapa yang belum done. Termasuk kotak belum install, kotak be,um DO (delivery order), kotak Done Install, dan Invoice. Kita cek dari 10 site actual dilapangan yang sudah install harusnya 5 kan sisa 5 tetapi di sistem masih ada 10. Kita harus minta monitoring untuk di donekan di program. Antara program dan aktual sering miss makanya kita tiap hari liat sistem tarikan data by program, report kadang sudah done tetapi masih masuk di kotak belum install. Kalau team monitoring sering lupa bisa jadi konflik besar karena fungsinya monitoring untuk memonitor.” Bella Siti Hawa juga menyampaikan pendapat seiring dengan penemuan peneliti. “Kesiapan site/shelternyabelum ready terus pondasinya belum ready, PLN belum ready dan vendor – vendor lainya belum ready. Installasi backbone karena installasinya butuh PLN kadang belum ready juga. Kalau site belum ready otomatis barang balik dan perlu disiapin juga space dan otomatis kita perlu inventory lagi.Kalau kita mau kirim lagi otomatis kita perlu nambah biaya juga untuk forwardernya. Banyak
faktor
yang
menyebabkan
konflik
karyawan
forwarder yang telat, installer yang telat atau RFS (ready for survey) DO (delivery order) telat, barangnya gak ada. Project XL Rectifier Backbone tidak berjalan sesuai target dan plane kebanyakan dari eksternal sitenya belum ready atau pln belum
http://digilib.mercubuana.ac.id/
115
ready RBS belum ready jadi gak di internal juga. Informasi yang saya terima saya pastiin lagi ke installer atau customer kalau dari PICnya sitenya ready dan dari installer sitenya gak ready dan ada bukti fotonya saya bisa menjelaskan ke orang Xlnya. Kalau misalnya dari si Installer bilang pekerjaannya sudah selesai itu DONE Install tapi ternyata kata orang Xlnya belum saya harus memastikan juga dengan bukti-buktinya”. Windha Septiani selaku Koordinator Subcont menuturkan pendapat terkait pekerjaannya. “Konflik internalnya untuk posisi saya dari pengiriman barang. Saya di bagian subcont monitoring installasi dari divisi yang lain seperti logistik banyak kabel yang masih indent. Jadi kita harus nunggu kabel dulu dan forwarder juga masih di subcontnin jadi
banyak vendor-vendor forwarder yang lama
pengirimannya dateng ke kantornya juga lama, banyak alesannya sih . Konflik seperti itu sering muncul kalau dari pengiriman itu biasasanya komunikasi. Jadi kitakan disini per divisi saya divisi lebih ke installasi kalau pengiriman itu kan beda lagi managernya. Antara kita ke pengiriman itu komunikasinya kurang lancar jadi justru yang di divisi pengiriman itu lebih berpihak ke forwarder. Informasi dari rekan kerja kalau by email kita percaya aja tetapi kalau by phone kita agak gak percaya karena kan gak ada recordnya,kadang pihak installer bilang sudah install tapi pihak PIC belum.”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
116
Siti Tri Setiarini sependapat dengan ketiga informan bahwa ketidakpercayaan informasi yang diterima dari rekan kerja disebabkan adanya miss.communication. “Sekarang yang sedang berjalan itu project XL BB (backbone) konflik yang baru kemarin-kemarin terjadi ada miss.communications antara GSPE dengan logistic itu konflik internalnya seperti teamnya sudah datang tetapi barangnya belum datang. Kita kan sudah ada SLA ada deadline misalkan hari ini sudah deadline harus DONE Install tetapi kita gak bisa installasi hari ini karena logistik barangnya telat. Nah itu terjadi bisa logistiknya memang lambat atau ada kurang info yang harusya onsite hari ini malah besok gitu. Project XL rectifier Backbone tidak berjalan sesuai target &plane pasti ada kerikil-kerikil kecil yang menghalangi kita harus selesai sesuai deadline. Masalah – masalah yang seperti tadi contohnya.Site terpending itu bisa terjadi karena kurang material, terus kurang komunikasi dengan PIC , barangnya delay, community case. Site itu kan berhubungan dengan teknik engineering nah dari situ kita gak bisa langsung ambil keputusan kita harus koordinasi ke bagian enginering dari enginering internal GSPE dan eksternalnya yaitu engenering XL. Kita harus koordinasi ke mereka terkait dengan masalah teknik ada juga dari sales seperti solusi dari enginer yaitu membutuhkan tambahan material dan kita harus tanya ke sales POnya tercover atau enggak itu site itu dan kita bisa nagih gak untuk kelebihan materialnya itu. Informasi dari rekan kerja percaya atau tidaknya pasti aku gak denger dari satu pihak aja koordinasi juga dengan pihak-pihak lain ke bagian installasi ke bagian logistik, jadi gak satu pihak aja aku denger problemnya dari orang lain juga.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
117
4.2.3 Jenis Konflik Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar yang digunakan untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik atas dasar pembagian atas dasar pihak –pihak yang terlibat dalam
fungsinya serta ada
konflik. Pada kasus konflik internal yang terjadi di PT.Graha Sumber Prima Elektronik dalam Project XL Installasi Rectifier Backbone area Jawa Timur 2014, jenis konflik dapat diklasifikasikan berdasarkan fungsi serta pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik internal karyawan. Konflik internal karyawan pada PT.GSPE sudah menjadi hal yang biasa bagi para karyawan hal itu karena konflik selalu terjadi setiap project berlangsung. Saling ketergantungan pekerjaan pada setiap divisi dan karyawan menimbulkan interaksi komunikasi antara masing-masing karyawan dan divisi, tak dapat disangkal akan menimbukan konflik antar kelompok di PT.GSPE. Jenis konflik di PT.GSPE adalah konflik antar kelompok yaitu konflik antara divisi Project, Installasi, Subcont, Monitoring yang terjadi karena masing-masing kelompok memiliki tujuan pekerjaan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya. Bapak Agung Raharjo menyampaikan hal serupa seperti seperti yang dikemukakan peneliti. “Konflik antar karyawan dan divisi biasanya ada, divisi yang terlibat Divisi Project, PPIC selaku penyedia barang ke customer terus engiering, logistic dan Installasi Monitoring”.
Ibu Bella Siti Hawa juga berpendapat sama bahwa konflik antar karyawan selalu
http://digilib.mercubuana.ac.id/
118
muncul dan membutuhkan penyelesaian. “Konflik antar karyawan iya pastinya ada, divisi yang terlibat divisi monitoring installer, monitoring forwarder/ logistik, project dan warehouse. Menurut saya konflik ituharussegeradiselesaikan karena kita kerjanya target jadi semua harus selesai pada hari yang dijadwalkan jadi koordinasi ke atasan atau ke installer.” Hal serupa juga dinyatakan oleh Windha Septiani bahwa terdapat banyak konflik antar karyawan karena kurangnya komunikasi antara Divisi Subcont degan Divisi Pengiriman dan di dalam divisi logistik ternyata lebih mendukung forwarder dibanding team Installasi padahal forwarder merupakan vendor PT.GSPE dan bukan merupakan internal dari PT.GSPE. “Ya untuk internalnya untuk posisi saya dari pengiriman barang. Saya di bagian subcont monitoring installasi dari divisi yang lain seperti logistik banyak kabel yang masih indent jadi kita harus nunggu kabel dulu. Forwarder juga masih disubcontninjadibanyak vendor-vendor forwarder yang lama pengirimannya dateng ke kantornya juga lama, banyak alesannya sih. Kalau dari pengiriman itu biasasanya komunikasi. Jadi kitakan disini perdivisisaya divisi lebih ke installasi kalau pengiriman itu kan beda lagi managernya juga beda. Antara kita ke pengiriman itu komunikasinya kurang lancarjadi justru yang didivisi pengiriman itu lebih berpihak ke forwarder.Divisi yang terlibat konflik divisi pengiriman logistik dan installasi subcont.”
http://digilib.mercubuana.ac.id/
119
Siti Tri Setiarini menyetujui bahwa memang konflik antar divisi memang terjadi dan tidak hanya Divisi Intsallasi dengan Divisi Pengiriman tetapi Divisi Akunting juga ikut terlibat. “Konflik antar divisi pasti, misalnya team logistik dengan team monitoring.Team monitoring sudah siapin installernya tetapi team logistiknya belum siap dari forwardernya pun belum siap jadi kita harus sampai barang hari ini tapi belum siap. Pihak yang terkait seperti team monitoring, team logistik, PICnya yaitu orang-orang yangterlibat konfliktersebut dan faktornya yaitu ada miss.communication antara
mereka itu semua divisi
project, logistik, pengiriman”. Kalau dari divisi accounting itu bisa menimbulkan konflik antar karyawan /divisi , contohnya com.case kita ada keluarin uang untuk warga atau ormas yang minta jatah preman. Akunting pasti tanya kok bisa ada add cost kaya gini bayar ormaslah atau sewa kuli karena biaya bongkar muat itu kan mahal barangnya segede-gede kulkas dari sisi itu mereka akan adain meeting ke bagian project atau logistik. Konflik antar kelompok/ antar divisi di PT.GSPE tentunya mempunyai dampak/pengaruh yang buruk bagi perusahaan terlebih dalam menjalankan oprasional kerja. Konflik antar kelompok ini akan mempengaruhi jalannya Project XL installasi rectifier Backbone area Jawa Timur seperti terpendingnya site yang seharusnya sudah bisa dikerjakan tetapi pending karena masih menunggu barang datang, selanjutnya karena site belum ready sehingga barang belum bisa dileakan dan harus menyewa gudang atau ditarik kembali ke gudang forwarder.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
120
Bertambahnya waktu Installasi otomatis menambah biaya oprasional untuk para installer serta forwarder apabila melakukan pengiriman kembali. Agung Raharjo selaku pelaksana project XL menyatakan hal serupa : “Iya menggangukalau dari team installasi harusnya bisa dialihkan ke site lain karena sudah selesai (done install).Kita dapet target 10 misalnya terus terpending 5 site otomatis 5 sitenya lagi cuma selesai 5 site otomatis 5 sitenya lagi terpending.Jadi kita masih ada utang outstanding”.
Bella Siti Hawa juga mengungkapkan pernyataan yang sama bahwa memang pengaruh konflik akan menambah biaya forwarder. “Berpengaruh banget ya mba, karena kan kalau site belum ready otomatis barang balik dan perlu disiapin juga spacenya dan otomatis kita perlu inventory lagi dan kalau kita mau kirim lagi otomatis kita perlu nambah biaya juga untuk forwardernya”. Windha Septiani yang sama-sama berasal dari divisi Installasi menyetujui pendapat Bella Siti Hawa. “Kalau shelternya belum ready berarti rectifier belum tau taronya dimana, dan kalau disitu gak ada rumah tinggal atau rumah PICnya atau rumah keamanannya (security), rectifier gak bisa di onsite rectifier gak bisa diturunin dari mobil dibawa balik ke gudang forwarder. Siti Rini Setiarini berpendapat sama dengan ketiga informan memang terdapat pengaruh terutama dengan deadline installasi tetapi ia mempunyai pandangan sendiri bahwa memang pasti terdapat konflik terutama konflik antar
http://digilib.mercubuana.ac.id/
121
kelompok/divisi dalam menjalankan project apapun, maka konflik tersebut harus cepat diseleasikan agar tidak mengganggu pekerjaan yang lain dan tetap harus membagi fokus dalam melakukan pekerjaan sehingga konflik merupakan hal biasa dan bukan merupakan fokus bagi organisasi di PT.GSPE. “Saya memandang konflik itu kita liat dulu ukuran konflik itu bisa diselesaikan dengan team atau memang harus di eskalasi kepada atasan-atasan. Kita kan sudah biasa ngerjain project dan sudah pasti project kita sama dan konfliknya juga hampir sama semuanya.Jadi biarkan mereka berkreatifitas sendiri menyelesaikan problem. Kalau mereka gak bisa dan sudah buntu baru mereka eskalasi ke atasan-atasannya dan aku memandangya biarkan beri kebebasan mereka dulu kelarin konfliknya nanti baru eskalasi ke atasan. Pengaruhnya memang besar sih kalau kita deadline harusnya oprasional sampai hari ini kita akan nambah biaya oprasional sampai besok atau bahkan minggu depan. Problem itu harus diselesaikan kita gak mau tau walaupun ada site yang berjalan juga jadi kita mau gak mau kita bagi fokus kita antara site yang berjalan dan problem site yang harus diselesaikan.” Dampak atau pengaruh konflik dalam Organisasi di PT.GSPE sejauh ini peneliti melihat masih dalam batas wajar dan fungsional. Konflik belum sampai menimbulkan perdebatan panjang diluar hubungan kerja dan masuk menjadi konflik interpersonal. Konflik masih dapat diselesaikan dalam
diskusi dan
meeting. Siti Rini Setiarini memaparkan pernyataan yang sama dengan peneliti :
http://digilib.mercubuana.ac.id/
122
“Sejauh ini masih fungsional belum sampai disfungsional. Fungsional itu konflik bagus untuk perkembangan kita selanjutnya kedepan harus bagaimana ketika menghadapi masalah. Jadi kita sudah tau langkah-langkah apa yang harus kita ambil tapi kalau kita gak olah problemnya sudah pasti akan jadi disfungsional. Sejauh ini kalau untuk team –team yang stress pasti ada namanya pekerjaan yang banyak pasti stress tapi gak ada yang sampai resign karena tekanan pekerjaan mereka biasanya resign karena dapat pekerjaan yang lebih baik atau hamil , menikah dan lain-lain. Setiap konflik yang terjadi tentu ada bagian/divisi yang mendapat dampak paling terasa dalam konflik antar kelompok yang terjadi. Peneliti melihat divisi yang paling terkena feedback dari konflik antar kelompok yang terjadi yaitu divisi Project dan Divisi Intsllasi baik Intsaller maupun Subcont. Peneliti melihat divisi Project tentu mendapat dampak sebab apabila site pending maka akan menjadi outstanding bagi pekerjaan team project dan team Installasi sebagai orang yang berada di lapangan juga mendapatkan dampak yang besar karena mereka harus menunggu semua keputusan dari kantor. Dari keempat narasumber mereka berpendapat sama yaitu feedback yang paling terasa dari divisi Project. Agung Raharjo memaparkan pendapatnya. “Project, kita kan dapet SLA dari Customer yang harus selesai 30 hari kita dapet feedbacknya kita ditekankan sama bos GSPE harus selesai dalam 30hari,yang dikejar–kejar kita bukan team installasi. Bella Siti Hawa setuju bahwa divisi project mendapatkan feedback paling besar tetapi ia memaparkan bahwa selain project ada beberapa divisi lain yaitu
http://digilib.mercubuana.ac.id/
123
Divisi Installasi dan Divisi Subcont. “Divisi project, monitoring installer sama logistik, karena mereka yang menjalankan planning setiap hari nah planning itu kan udah ada beberapa site yang harus diselesaikan hari ini jadi tiga divisi itu yang sangat crowded”. 4.2.4 Pengelolaan Konflik Community case merupakan masalah yang terjadi antara PT.GSPE dengan warga/ ormas setempat karena terjadi pertentangan antara pihak PT.GSPE dengan warga. Hal ini disebabkan karena tuntutan warga/ ormas setempat tidak dipenuhi yaitu meminta jatah atau biasa disebut dengan uang keamanan untuk memasukan rectifier ke dalam shelter. Sehingga saat peletakan rectifier hingga installasi dilakukan warga tidak mengganggu jalannya oprasional team installer dan forwarder dari pihak PT.GSPE. Masalah ini akan menimbulkan konflik antar kelompok yang terjadi antara divisi logistik selaku penyedia dan pengirim rectifier , divisi installer dan divisi subcont dalam melakukan installasi serta divisi project sebagai penanggung jawab project yang sedang berjalan. Masing-masing divisi terkait harus mencari jalan keluar agar mencapai kesepakatan bersama serta dapat memenuhi permintaan warga tetapi tidak merugikan PT.GSPE. Sebab dalam mengambil dan menentukan keputusan harga bukan sepenuhnya wewenang dari PT.GSPE tetapi melibatkan pihak PT.XL Axiata sebagai otoritas tertinggi agar mau menyetujui Berita Acara Community case yang akan dilampirkan saat penagihan kepada PT.XL Axiata. Mengatasi konflik yang terjadi maka PT.GSPE akan melakukan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
124
serangkaian manajemen pengelolaan konflik agar konflik dapat terselesaikan dengan mempertimbangkan kepentingan berbagai pihak. Serta menggunakan teknik kolaborasi dengan melakukan pertemuan antara masing-masing Divisi walaupun berbeda lokasi tetapi dapat menggunakan media komunikasi Skype serta melibatkan pihak PT.XL. Tetapi untuk team yang berada di lapangan dalam berkoordinasi dengan pihak kantor dan engineering PT.XL di lapangan menggunakan media teleconference antara divisi logistic, installer, subcont, project serta engineering PT.XL agar informasi yang diterima dapat dipercaya dan dikonfirmasi langsung oleh pihak XL yang berada di lapangan. Pengelolaan konflik di PT.Graha Sumber Prima Elektronik menggunakan berbagai media komunikasi dalam memecahkan konflik. PT.GSPE juga menggunakan program internal yang disebut dengan MOM (minute of meeting) yang dijadikan sebagai cara untuk mengingatkan problem yang sedang berlangsung ataupun yang belum terselesaikan. Melalui MOM (minute of meeting) masing-masing divisi akan menginput masalah/konflik ke dalam program MOM setelah itu diadakan rapat seluruh divisi terkait konflik ke dalam meeting non rutin. Selain meeting non rutin diadakan juga meeting rutin agar semua divisi menjelaskan project installasi yang sedang berjalan walaupun konflik sedang tidak terjadi. Keempat informan menyatakan hal yang sama yaitu dalam memecahkan konflik antar kelompok di PT.GSPE menggunakan program MOM (Minute of Meeting). Sebelum meeting antar divisi dilakukan ada pemberitahuan melalui email ke semua divisi yang terlibat konflik, dan apabila konflik melibatkan PIC
http://digilib.mercubuana.ac.id/
125
XL dan team di lapangan maka mereka juga ikut dilibatkan melalui teleconference ataupun SKYPE jika memungkinkan. Windha Septiani menyatakan hal yang sama dengan peneliti ; “Pertama kita by email dulu kedua kita selalu ikut meeting dan meetingnya berkelanjutan misalkan meeting yang kedua belum selesai juga biasanya dari pihak atasan kita minta untuk skype dengan PIC terkait. Kalau kita masih satu kantor (gedung) ya kita komunikasinya langsung meeting tapi kalau orangnya diluar kantor kita bisa teleconference untuk yang di gudang werehouse di tekno itu biasanya pakai skype. Kumpulin orang-orang yang terlibat dalam problem apa sih keluhan mereka apa sih saran mereka kita kumpulin jadi satu dan kita ambil keputusan yang terbaik yang mana dari meeting itu. Biasanya ada meeting mingguan semua divisi ikut meeting dan biasanya skype /video call sama pihak PIC, ada juga meeting keluar tapi itu lebih ke project yang berhubungan dengan customer di tempat mereka. Biar kita gak lupa kita di kasih waktu 7 hari by program MOM (Minute of Meeting ) tentang case-case yang sedang terjadi dan diingatkan kapan deadinenya “. Siti Rini Setiarini memaparkan lebih detail terkait fungsi MOM (Minute of Meeting ) yang digunakan PT.GSPE dalam memecahkan konflik. “Kita dapat project bukan hanya satu area saja tetapi seluruh Indonesia kita pegang. Setiap area setiap site karena sering ada problem maka perusahan membuat program namanya MOM (minute of meeting). Program Komunikasi Internal dalam memecahkan konflik itu
http://digilib.mercubuana.ac.id/
126
namanya MOM (minute of meeting) jadi persite kita input problemnya apa dan kita harus kasih deadline,kalau kita gak selesaikan problem sebelum deadline itu harus ada reasons kenapa dan kita harus eskalasi. Selain itu kita juga harus meeting ada namanya meeting rutin dan nonrutin. Kalau yang rutin kita biasanya breafing setiap hari dengan installer untuk kasih tau plan site kemana dan meeting nonrutin dengan para divisi bisa seminggu sekali bisa 2 minggu sekali tergantung kebutuhan. Meeting dengan customer itu rutin 2 minggu sekali jadi problem yang belum selesai harus bagaimana.Setiap hari kita harus breafing kasih plan ke mereka hari ini apa yang harus di kerjain dan mereka juga harus kasih tau problem apa yang mereka hadapi.
Peneliti melihat dalam memecahkan konflik di PT.GSPE mereka menggunakan media komunikasi teleconference by phone, skype, email, blackberry messanger dan what’s up. Hal ini digunakan untuk mempercepat penyelesaian konflik yang terjadi sebab pihak-pihak yang terlibat dalam konflik bukan hanya dari internal PT.GSPE tetapi juga melibatkan enginering XL serta team installasi dan forwarder yang berada di lapangan. Keempat Informan sependapat dengan peneliti berikut pernyataan salah satu informan Siti Rini Setiarini selaku Project Manager di PT.GSPE. “Medianya banyak dalam menyelesaikan konflik pokoknya sebisa mungkin kita harus gunakan media apapun misalkan by email dengan customer. Internal menggunakan teleconference by phone dengan logistik,installer team monitoring dengan PIC mereka dikumpul jadi satu by phone teleconference.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
127
Bisa juga dengan Skype by face to face karena di GSPE ada dua gedung di intercom dengan di serpong jadi mau gak mau kita harus Skype buat selesain problem.Skype dari Logistik dengan Team Monitoring Installasi dan team Project untuk koordinasi material onsite atau enggaknya. Lebih banyak dipakai media telepon dan email untuk koordinasi. Terutama teleconference ya karena konflik gak cuma dua pihak pasti ada pihak ketiga jadi dari semua pihak bisa mendengar apa masalah dari masing-masing pihak. Tetapi sekarang karna medianya sudah gampang misalnya site belum ready kita tinggal minta foto kita langsung dapat foto dari whatsap atau BBM (Blackberry Messanger), misalkan PLN belum ready fotoin aja . Kalau dulu kita nunggu dari team dari lapangan ke kantor dulu baru kita liat bukti dari mereka karena mereka hanya dibekalin kamera dari kantor dan belum ada gadget canggih seperti sekarang. Windha Septiani menyatakan hal sebaliknya bahwa media teleconference kurang efektif dalam memecahkan masalah . “Kita lebih banyak pakai email sama by phone kalau meeting secara langsung cuman seminggu sekali. Biasanya sih by email karena historikal obrolan kita keliatan kadang kalau by phone namanya manusiawi dia bilangnya selesai tapi enggak jadi gak ada rekamannya”. Pengelolaan konflik antar kelompok tentu berkaitan dengan alur komunikasi yang terjadi di PT.GSPE. Peneliti melihat alur komunikasi terdapat dari atas ke bawah.Memang benar saat terjadi konflik karyawan memberitaukan atau eskalasi ke atasan tetapi dalam pengambilan keputusan tetap semua berpatokan dari atasan sehingga karyawan tidak bisa mengambil langkah sendiri
http://digilib.mercubuana.ac.id/
128
sebelum mendapat persetujuan dari Project Manager, Manager atau Direktur. Ketiga informan menyatakan hal yang sama dengan peneliti tetapi satu informan menyatakan hal sebaliknya. Berikut pernyataan dari Agung Raharjo, Bella Siti Hawa dan Windha Septiani. “Sesuai sama struktur aja mba dari atas ke bawah karena ada tingkatan-tingkatanya, misalkan saya project support ada atasannya namanya PM (Project Manager)misalkan ada konflik kita harus report ke PM gak boleh langsung ke GM atau Direkrut . Jadi kendalanya gak bisa ngambil keputusan langsung.Project ke monitoring installer, dari monitoring installer ke installernya kalau dari installer gak mungkin langsung ke project karena kan itu menyalahkan aturan itu namanya by pass. Kurang sih antara bawahan sama atasan sih kurang terbuka jadi kalau disini tergantung rasnya juga sih “. Pernyataan Siti Rini Setiarini selaku Project Manager bertentangan dengan ketiga informan : “Dari bawah ke atas jadi kalau ada konflik biarkan team monitoringnya kelarin masalahnya dulu baru eskalasi ke aku.” 4.2.5 Penyelesaian Konflik Konflik antar kelompok/antar divisi di PT.Graha Sumber Prima Elektronik harus segera diselesaikan agar project tetap berjalan dan tidak melewati batas waktu yang telah di tentukan oleh customer yang disebut dengan SLA (service level agreement). Manajer atau pemimpin berusaha mencari pemecahan masalah (problem solving) dalam menyelesaikan konflik antar kelompok. Pemecahan masalah disebut juga metode konfrontasi, karena berusaha
http://digilib.mercubuana.ac.id/
129
mengurangi konflik melalui pertemuan tatap muka dari kelompok-kelompok yang bertentangan. Kelompok yang saling bertentangan memperdebatkan masalahnya dengan mengumpulkan informasi yang relevan sampai tercapai suatu keputusan. Penyelesaian masalah di PT.GSPE diselesaikan melalui meeting internal maupun eksternal. Pihak-pihak yang terlibat konflik disatukan dan dibicarakan apa yang menjadi hambatan dalam Project XL rectifier Backbone dan atasan mencari solusi agar semua divisi yang terlibat dapat meneruskan pekerjaannya dan apabila belum mendapatkan solusi maka akan diadakan meeting selanjutnya. Keempat informan menyatakan hal yang sama yaitu untuk mendapatkan solusi dari konflik antar kelompok yang terjadi maka diadakan meeting semua bagian yang terkait konflik. Siti Rini Setiarini memaparkan hal yang sama dengan peneliti: “Komunikasi antara internal dengan eksternal kemudian eskalasi ke atasan atau dengan eskalasi ke customer.Biasanya kita langsung arrange meeting bersama divisi terkait. Melalui
meeting
kita
kumpulin
semua
orang
yang
berhubungan dengan konflikdan apabila beda gedung kita bisa Skype, Teleconference, by phone banyak cara untuk selesaikan problem. Keluhan mereka,saran dan masukan mereka kita kumpulin jadi satu . Kita ambil keputusan yang terbaik yang mana dari meeting itu.Karyawan dan headnya masing2dijadiin satu baru di cari solusinya. Meeting lagi mba kalau ada masalah kita selalu meeting karena gak bisa diselesaikan dengan satu divisi harus seluruh divisi ikut serta semua. Apabila satu site gak bisa dijalankankita harus koordinasi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
130
dengan semua divisi seperti installernya kurang, forwardernya gak ada jadi kita bisa cari solusi bersama. Apabila meeting yang kedua belum selesai juga biasanya dari pihak atasan kita minta untuk skype dengan PIC terkait.Biasanya kalau customer kan gak mau tau,tapi kita arrange meeting juga. Kita ke customer kita jelasin kendalanya apa di lapangan dan biasanya sih customernya mau.” Konflik yang sering muncul dalam setiap pekerjaan dalam berbagai project membuat manajemen mengambil langkah dalam mengantisipasi konflik yang sama. Setidaknya meminimalisir konflik walaupun sedikit sebab sumber konflik
kebanyakan
dari
eksternal
perusahaan
sehingga
harus
lebih
meninggkatkan serta memperbaiki komunikasi dengan customer agar konflik yang sering terjadi berulang-ulang dapat diminimalisir. Agung Raharjo dari bagian project XL mempunyai pernyataan yang sama dengan peneliti. “Menekankan sih team projectnya jadi kalau ada project baruteam projectnya harus bisa lebih jelas koordinasinya,misalkan saat survei site harus dipastikan bener-bener ready dan alamat site salah kirim atau enggak. Biasanya sih koordinasi bareng- bareng antar vendor disesuaikan schedule misalkan tgl 12 melakukan installasi dengan vendor rectifier, vendor RBS, vendor antena bareng – bareng jadi com.case akan tetep ada tapi kecil, kita ngeluarin add costnya kecil”. Bella Siti Hawa menyampaikan hal yang sama dengan Agung Raharjo. “Biasanya kita menekankan tim survey untuk kesiapan sitenya, PICnya suka bilang ready padahal enggak ready dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
131
biasanya team projectnya bantu untuk bilang ke PIC atau supervisior PIC biar data yang didapet itu akurat. Meeting dengan customer jadi apa masalahnya di customer apa masalahnya di kita dicarikan solusinya maka perlu banget kita meeting dengan customer itu minimal sebulan sekali itu meeting .
Windha Septiani menuturkan hal yang sama ia juga menyebutkan konflik yang timbul bukan saja bersumber dari internal dan sumber konflik yang berasal dari eksternal memang sulit untuk dihindari karena tidak mungkin memaksa dan tidak percaya kepada customer apabila mereka sudah memberikan informasi saat dilakukan survei karena hal itu akan menyulitkan karyawan melakukan koordinasi saat project sudah berjalan. Langkah selanjutnya bisa dilakukan dengan cara lain untuk memastikan kesiapan site yaitu meminta subcont yang berada dekat dengan site untuk mengecek langsung ke lapangan. “Kalau masalah shelter itu tergantung dari PICnya , kalau PIC bilang site ready masa kita mau ngepush2 PIC bener gak pak , kan gak mungkin banget. Ya kalau kaya gitu udah bukan wewenang kita lagi. Mungkin gini kalau di area deket sama subcont GSPE kita minta lihat subcont kami di sitenya ready atau enggak”. Lebih banyak komunikasi karena terkadang PIC site kurang komunikasi dengan PIC pusat mereka yang di jakarta jadi mungkin dengan adanya meeting mingguan kita juga tekankan ke PIC sitenya untuk lebih memperbaiki komunikasi mereka ke pusat karena kan kita terima PO dari pusat”.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
132
Siti Tri Setiarini menyampaikan hal yang sama dan lebih detail bahwa konflik
tidak
mungkin
dihindarkan
tetapi
dapat
diminimalisir
dengan
memperbaiki komunikasi dari internal maupun eksternal. “Karena kita sering installasi dan menghadapi problem yang hampir sama sering berulang-ulang kali nah itu lebih ke internalnya kita kesiapan kita bagaimana mengahadapi site-site yang notebennya pasti menghadapi problem seperti itu. Biasanya site-site yang rawan ormas customer pasti sudah kasih tau duluan jadi kita udah warning ke customer bagaimana solusinya.Ada customer XL atau Huawei mereka satu company , ada PIC yang mau bantu ada yang gak mau tau dan itu kita harus rajin dan baik-baik komunikasi kita sih itu membantu solve problem. Upaya manajemen dalam menangani konflik kita benahin internal kita komunikasi ke eksternal kita bagaimana komunikasi ke internal juga bagaimana dan selain itu disini ada rotasi bagian-bagian yang dipindahkan bagiannya untuk mengurangi konflik itu salah satunya”. 4.3 Pembahasan Pengelolaan Konflik Antar Kelompok/Konflik antar Divisi yang terjadi di PT.Graha Sumber Prima Elektronik pada kasus Installasi Rectifier Backbone Project XL area Jawa Timur 2014 membutuhkan serangkaian proses komunikasi. Manajemen melakukan tindakan untuk mengatur program komunikasi internal dalam menghadapi konflik yang terjadi. Pengelolaan konflik antar Divisi dilakukan dengan menggunakan berbagai media komunikasi serta menggunakan sistem progam yang dimiliki oleh PT.Graha Sumber Prima Elektronik sebagai pengingat konflik. Berikut merupakan pengelolaan manajemen PT.PT.Graha
http://digilib.mercubuana.ac.id/
133
Sumber Prima Elektronik dalam memecahkan konflik karyawan yang peneliti dapatkan dari para narasumber. 1. Unsur Konflik Unsur Konflik yang ditemukan peneliti
pada PT.GSPE
dalam Studi
Kasus Project XL rectifier Backbone area Jawa Timur 2014 merupakan keterlibatanantara anggota-anggota kelompok dari divisi project, divisi installasi, divisi subcont serta divisi logistik selama project berlangsung. Divisi Logistik lebih banyak berperan dalam timbulnya konflik internal antar divisi sebab divisi Logistik mempunyai peran
utama dalam berlangsungnya project Installasi
Backbone. Apabila divisi Logistik telat mengirim barang maka akan berdampak pada divisi Installasi maupun divisi Project. Oleh sebab itu keterlibatan divisi Logistik selalu hadir dalam bagian konflik internal karyawan PT.GSPE. Mengacu pada karakteristik kelompok dimana berkembangnya kelompok melalui berbagai tahap perkembangan, mereka mulai menunjukan karakterkarakter tertentu.Beberapa karakter yang di anggap penting adalah komposisi, hierarki status, peran, norma, kepemimpinan dan kohesivitas. Karakter kelompok yang dominan dimiliki oleh divisi Logistik di PT.GSPE adalah karakter peran (roles). Setiap jabatan dalam struktur kelompok memiliki peran yang menentukan perilaku yang diharapkan dari si pemegang jabatan. Peran yang diharapkan (expected role ) yaitu peran pada divisi Logistik yang seharusnya mempunyai kontrol yang baik dalam pengiriman barang agar project dapat berjalan dengan baik sehingga tidak hanya terletak pada pengiriman barang saja tetapi dapat memonitoring lamanya pengiriman barang serta
http://digilib.mercubuana.ac.id/
134
mengecek kembali barang yang hendak dikirim. Peran yang dipersepsikan (perceived role) dan peran yang dijalankan (enacted role).Peran yang dipersepsikan adalah seperangkat perilaku yang dalam keyakinan seseorang harus ia lakukan karena posisinya. Peran yang dijalankan disisi lain adalah perilaku yang benar-benar dijalankan oleh orang tersebut. Karena itu terdapat tiga kemungkinan peran. Konflik dan frustasi dapat muncul apabila sebagai akibat kesenjangan ketiga peran ini. Dalam kelompok-kelompok yang relative stabil dan permanen umunya terjadi kesepakatan antara peran-peran yang dharapkan dan dipersepsikan. Ketika peran yang dijalankan menyimpang terlalu banyak dari peran yang diharapkan dan dipersepsikan, orang tersebut dapat berperan semakin menyerupai peran yang diharapkan atau malah meninggalkan kelompok.
2. Sumber Konflik Sumber
konflik
yang
paling tinggi
terjadi
di
PT.GSPE
yaitu
miss.coordinations antara Divisi Logistik dengan Divisi Installasi karena keterlambatan barang datang pada lokasi shelter/site. Selain itu kesiapan site dan material yang akan sampai pada lokasi juga menyebabkan konflik antar divisi. Kurangnya koordinasi dari team survey dengan PIC XL saat melakukan survey site sehingga banyak site yang belum ready, PLN belum ready serta ada beberapa rectifier yang salah kirim seharusnya menggunakan tipe baru tetapi dikirim tipe lama.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
135
Kekurangan material juga sering terjadi seperti kurang kabel power. Penyebab kekurangan material khususnya kabel power karena PT.GSPE sudah mempunyai standar panjang kabel power dari rectifier backbone menuju PLN (sumber listrik) yaitu 15 meter tetapi keaadan lokasi dilapangan berbeda-beda seperti datarannya tinggi sehingga membutuhkan kabel power lebih panjang dari standar. Hal ini harus dikoordinasikan kembali ke PT.XL Axiata Tbk karena penambahan kabel power akan menambah biaya yang tidak termasuk ke dalam harga PO (Payment Order). Apabila PT.XL Axiata Tbk menyetujui baru dilakukan penambahan material yang dinamakan dengan Material Request Replacmentdan bukan Material Replacment Add. Material pergantian (MR Repacment) untuk material yang tidak bisa ditambah seperti kabel yang tidak bisa disambung sehingga dilakukan penukaran yaitu kabel 15 meter yang terkirim dibawa kembali ke kantor dan ditukar dengan kebutuhan kabel dilapangan. Material penambahan (Material Replacment Add) digunakan apabila terdapat kekurangan seperti modul yang seharusnya terkirim 4 tetapi hanya 2 yang terkirim. Kejadian kekurangan material seperti ini akan menimbulkan konflik antar divisi serta menambah waktu dalam pengerjaan installasi karena harus menunggu kekurangan material yang datang. Selain faktor kedua sumber tersebut terdapat juga sumber konflik yang sering mucul yaitu Community Case yaitu adanya pihak-pihak yang meminta uang dalam proses pengerjaan installasi. Apabila Com.Case terjadi maka membutuhkan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
136
koordinasi antara masing-masing divisi serta koordinasi juga dengan pihak eksternal yaitu PIC XL. Menurut Thimpson setiap kelompok pasti memiliki setidaknya konflik kecil dengan kelompok lain yang berinteraksi dengannya. Kecendrungan ini dikenal
sebagai
“hukum
konflik
antar
organisasi”
(in
the
law
of
interorganizational conflict ). 2Ketergantungan kerja (work interdependence) terjadi ketika dua atau lebih kelompok organisasi yang harus saling bergantung satu sama lain untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan mereka. Potensi konflik dalam situasi seperti ini terentang dari tingkat yang paling rendah hingga yang paling tinggi, tergantung karakteristik dasar ketergantungannya. PT.GSPE
memiliki
Ketergantungan
berurutan
(sequential
interdependence) yaitu mensyaratkan satu kelompok menyelesaikan tugastugasnya terlebih dahulu sebelum kelompok lain dapat menyelesaikan tugasnya. Tugas-tugas ini diselesaikan dalam cara berurutan. Dalam situasi seperti ini, konflik antar kelompok lebih mungkin terjadi karena hasil keluaran (output) satu kelompok menjadi masukan (input) bagi kelompok yang lain. Upaya mengkoordinasikan ketergantungan seperti ini melibatkan fungsi perencanaan yang efektif dari pihak manajemen. 3. Jenis Konflik Pada kasus konflik internal yang terjadi di PT.Graha Sumber Prima Elektronik dalam Project XL Installasi Rectifier Backbone area Jawa Timur 2014, 2
J.Thompson, Organizational in Actions (New York: McGraw-Hill, 1967)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
137
jenis konflik dapat diklasifikasikan berdasarkan fungsi serta pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik internal karyawan. Jenis konflik di PT.GSPE dilihat dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya ialah konflik antar kelompok yaitu konflik antara divisi Project, Installasi, Subcont, Monitoring yang terjadi karena masingmasing kelompok memiliki tujuan pekerjaan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya. Konflik apabila dilihat dari fungsinya merupakan konflik fungsional sebab walaupun terdapat banyak konflik terutama konflik antar kelompok/divisi dalam menjalankan project tetapi masih dapat teratasi sehingga project masih dapat dijalankan dan bukan merupakan suatu penghalang sehingga organisasi berhenti melakukan kegiatannya. Sebuah konflik fungsional (functional conflict) adalah konfrontasi antarkelompok yang dapat meningkatkan dan menguntungkan kinerja organisasi. Konflik fungsional dapat meningkatkan kesadaran organisasi akan masalahmasalah yang harus diatasi, mendorong pencarian solusi-solusi secara lebih luas dan lebih produktif, dan lazimnya memfasilitasi perubahan yang positif, adaptif, dan inovatif. Peneliti menemukan bahwa terdapat konflik atau perselisihan antar divisi finance dan divisi installasi, perdebatan tentang pengeluaran yang dilakukan oleh divisi Installasi selalu menjadi topik untuk diadakan meeting padah arijum’at, terlebih apabila ada pengeluaran besar dan cukup sering yang dilakukan oleh divisi installasi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
138
3. Pengelolaan Konflik Pengelolaan konflik antar kelomp/antar divisi di PT.Graha Sumber Prima Elektronik terkait konflik dengan community / community case. Manajemen menggunakan strategi manajemen konflik kolaborasi dalam menyelesaikan masalah melalui berbagai media komunikasi yang dapat digunakan. Keterlibatan pihak-pihak yang mengalami konflik terkait perbedaan letak geografis seperti tempat installasi berada di area jawa timur, gudang dan Divisi Logistik berada di Taman Tekno Serpong sedangkan Divisi Project, Divisi Intsallasi dan Divisi Subcont berada di Jakarta Barat berlokasi di Kebun Jeruk Meruya sehingga menyulitkan dan tidak memungkinkan untuk melakukan pertemuan tatap muka dalam menyelesaikan konflik. Manajemen melakukan strategi kolaborasi dengan menggunakan media komunikasi teleconference dan
skype agar masing-masing pihak yang
berkepentingan dapat menyampaikan kendala dan masukan mereka. Informasi berawal
dari team di lapangan yaitu team installer dan team forwarder
menyampaikan informasi bahwa terdapat kendala dalam memasukan barang dan melakukan installasi karena terdapat ormas/warga yang meminta pungutan liar. Mereka menyampaikan informasi kepada team monitoring divisi masing-masing yaitu Divisi Installasi untuk installer dan Divisi Logistik dari forwarder. Informasi yang mengalir dari team di lapangan lalu disampaikan ke Divisi Project dengan melibatkan Project Manajer. Setelah masing-masing divisi mengetahui bahwa terdapat kendala dalam menjalankan oprasional yaitu community case lalu Project Manajer mengirimkan email kepada semua divisi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
139
yang terlibat agar mengadakan meeting. Divisi yang berada dalam satu gedung dipertemukan yaitu Divisi Project, Installasi dan Subcont dan Divisi Logistik yang berada di Taman Tekno Serpong juga harus mengikuti meeting namun karena lokasi yang jauh maka menggunakan Skype untuk melakukan efisiensi waktu. Masing-masing divisi menyampaikan informasi yang telah mereka dapatkan dari team di lapangan lalu para monitoring melakukan teleconference dengan team dilapangan dan engineering XL untuk menawar harga yang diminta oleh warga serta untuk melakukan verifikasi kepada engineering XL di lapangan bahwa memang terdapat community case. Setelah team di lapangan melakukan tawarmenawar dengan warga, maka apabila telah mendapatkan kesepakatan diantara mereka. Team di lapangan langsung memberikan informasi kepada team monitoring sehingga team monitoring dapat meminta persetujuan dari Divisi Project dan project manajer melalui meeting. Project manajer memberikan persetujuan dengan syarat engineering XL mau menandatangani Berita Acara community case agar saat PT.GSPE melakukan penagihan kepada PT.XL maka Berita Acara community case juga dapat diikutsertakan. Setelah mendapatkan persetujuan team monitoring mengirimkan permintaan kasbon kepada divisi akunting agar segera melakukan pengiriman uang agar oprasional dapat segera dilakukan. Peneliti melihat dalam memecahkan konflik di PT.GSPE mereka menggunakan media komunikasi teleconference by phone, skype, email, blackberry messanger dan what’s up. Hal ini digunakan untuk mempercepat penyelesaian konflik yang terjadi sebab pihak-pihak yang terlibat dalam konflik
http://digilib.mercubuana.ac.id/
140
bukan hanya dari internal PT.GSPE tetapi juga melibatkan engenering XL serta team installasi dan forwarder yang berada di lapangan. 1. Program MOM (minute of meeting ) Peneliti menemukan bahwa konflik karyawan antar divisi yang terjadi dalam kasus ini akan mengganggu oprasional kerja installasi project lain dan area lain. Dimana ditemukan berbagai konflik mulai dari kesiapan site (shelter), pengiriman barang yang telat, salah kirim material karena banyaknya rectifier backbone yang harus di upgrade ke tipe A yaitu tipe terbaru, ijin (permit) yang sulit untuk memasuki shelter, membutuhkan tambahan PO (payment order ) karena banyaknya kekurangan material kabel power yang dibutuhkan oleh kondisi di lapangan tidak sesuai dengan standar shelter pada umumnya sehingga membutuhkan tambahan material tetapi tidak sesuai dengan harga PO yang sudah ditetapkan pada awalnya, serta banyaknya community case/ ormas-ormas/ jatah preman/ jatah warga yang meminta pungutan-pungutan liar agar bisa menurunkan dan memasuki barang yaitu rectifier backbone dengan bobot yang berat. Berbagai konflik yang terjadi manajemen membuat sistem program komunikasi sebagai pengingat konflik dengan membuat program MOM (minute of meeting) dalam sistem kerja karyawan. Setiap ada konflik yang terjadi karyawan wajib menginput permasalahan ke dalam sistem program MOM (minute of meeting), karyawan juga harus memberi tanggal deadline agar setiap masalah dapat dibawa meeting apabila belum dapat diselesaikan. Melalui program MOM (minute of meeting) karyawan diingatkan akan konflik yang belum terselesaikan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
141
sehingga sebisa mungkin tidak melewati SLA (service level agreement ) yang diberikan oleh customer. Penyelesaian konflik (problem solving) di PT.GSPE sering diselesaikan dengan meeting tatap muka antara -masing-masing divisi yang terlibat konflik. Kepentingan kedua belah pihak ikut dipertimbangkan dalam usaha penyelesaian masalah. Terkadang, proses penyelesaian masalah terbantu oleh upaya kedua belah pihak yang berfokus pada sebuah tujuan yang mencakup semua kepentingan. Pada kasus community case mencakup semua kepentingan yaitu turunnya barang dari divisi logistic dan mempengaruhi divisi Installasi kerena tidak bisa melakukan installasi dan akan sangat mempengaruhi deadline divisi Project. 2.SKYPE Skype dilakukan setiap pagi hari oleh divisi Logistik, divisi Project XL, divisi Monitoring Installasi, divisi Subcont. Perbedaan lokasi gudang (warehouse) yang berada di Taman Tekno Serpong sedangkan divisi project, divisi Monitoring Installasi, divisi Subcont berada di ruko Intercon Plaza menyebabkan kesulitan koordinasi antara masing-masing divisi maka untuk mengkoordinasikan antara plan yang berjalan dengan petugas intallasi serta forwarder yang membawa material menuju lokasi menggunakan media komunikasi SKYPE sehingga semua bagian/divisi dapat mengetahui personal in charge masing-masing bagian terutama apabila ada pergantian PIC maka setiap bagian dapat mengetahui.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
142
Skype juga dilakukan apabila terdapat konflik seperti community case, kekurangan material, forwarder yang belum tiba di site/ lokasi, kesalahan pengiriman modul, serta mendiskusikan kesulitan akses yang dihadapi untuk memasuki shelter. Skype hanya digunakan antara masing-masing divisi tetapi tidak digunakan untuk petugas installasi/ installer. Hal ini karena skype dilakukan di kantor sedangkan petugas installasi berada di lapangan dan tidak mempunyai sarana untuk menggunakan Skype. Skype juga digunakan dalam berkoordinasi dengan customer beserta bagian/ divisi- divisi di PT.GSPE terkait konflik apabila diperlukan sebab customer lebih sering menggunakan teleconference. Hal ini jua terjadi apabila koordinasi dilakukan dengan customer supervisior engineering
pusat maka
mereka biasanya menggunakan skype tetapi apabila koordinasi dilakukan dengan customer supervisior engineering yang terdapat disite maka mereka lebih sering menggunakan teleconference. 4. Teleconference Teleconference merupakan media komunikasi yang paling sering digunakan dalam menangani konfik di PT.Graha Sumber Prima Elektronik. Konflik internal karyawan antar divisi menggunakan teleconference karena pada umumnya konflik banyak melibatkan installer/petugas intsallasi maupun forwarder /petugas pengirim barang. Pada kasus ini community case menjadi konflik paling banyak ditemukan di lapangan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
143
Berikut data yang didapatkan dari project XL rectifier Backbone area Jawa Timur 2014 oleh Agung Raharjo.
Konflik community case melibatkan divisi Monitoring Installasi maupun Installasi Subcont, divisi Logistik dan Divisi Project XL sehingga akan lebih mudah berkomunikasi melalui media teleconference karena mereka yang terlibat dalam konflik berada di lokasi yang berbeda. Para petugas installasi dari installer maupun subcont serta forwarder berada di lapangan dengan alat komunikasi yang mereka andalkan yaitu handphone sedangkan admint monitoring installasi maupun project berada di kantor sehingga memang lebih cepat menggunakan teleconference untuk mempercepat koordinasi antara pihak-pihak yang terlibat konflik. Komunikasi tidak hanya melibatkan pihak internal PT.GSPE tetapi juga melibatkan pihak eksternal
yaitu customer pihak XL untuk memberikan
kebenaran bahwa memang terjadi konflik community case di daerah tersebut serta
http://digilib.mercubuana.ac.id/
144
meminta bantuan kepada pihak XL agar mau menandatangani Berita Acara community case setelah kesepakatan harga telah ditentukan dari hasil negoisasi pihak warga dan PT.GSPE. Sehingga biaya tersebut bisa ditagihkan ke pihak XL pada saat meeting customer dan penagihan. 5. Email Email juga termasuk media yang sering digunakan dalam penyelesaian konflik antar karyawan/divisi di PT.GSPE. Sebelum diadakan meeting setiap divisi maka pemberitahuan diberikan melalui email karena melalui email informasi dapat didistribusikan secara jelas dan tepat sasaran sehingga mereka yang terlibat konflik mendapatkan informasi yang sama dari atasan. Apabila konflik masih dapat diselesaikan menggunakan percakapan dalam email maka meeting tidak perlu diadakan. Ketidakjelasan informasi yang didapatkan oleh rekan kerja juga menjadi faktor email menjadi media dalam pengelolaan konflik di PT.GSPE. Mekanisme alur pekerjaan di PT.GSPE dimulai dari divisi Project menurunkan plan pada sore hari melalui email dan dikirim ke semua divisi agar mereka menyiapkan barang serta kelengkapan dokumen untuk keesokan harinya mengerjakan installasi. Alasan menggunakan media komunikasi email karena informasi lebih jelas dan pasti sehingga apabila ada pembatalan site secara tiba-tiba dari divisi project maka divisi lain mengetahui dengan jelas serta dapat melakukan tindakan lanjut dari pembatalan tersebut. Email juga sangat dibutuhkan setelah installasi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
145
selesai dikerjakan agar informasi terekam dengan baik dan bisa menjadi bukti saat pengaihan. Konflik surat ijin (permit) yang menjadi kendala untuk melakukan installasi juga menggunakan media email untuk mengkoordinasikan dengan customer.
Selain surat ijin yang paling sering ketidakpastian informasi yaitu ketidaksiapan shelter/site sehingga team dari PT.GSPE serta barang sudah sampai tetapi tidak dapat dilakukan installasi karena site belum ready.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
146
Untuk membuktikan bahwa site belum ready maka petugas installasi melakukan dokumentasi foto dan lewat monitoring email dikirim agar customer dapat melihat bukti yang akurat. Pernyataan Windha Septiani terkait keefektifan media komunikasi yang digunakan dalam pengelolaan konflik di PT.GSPE berbeda dengan ketiga informan yang mengatakan media komunikasi teleconference lebih efektif karena perbedaan geografis /tempat antara pihak-pihak yang terlibat konflik serta karena keterbatasan media yang digunakan untuk menyelesaikan konflik. Whinda Septiani mengatakan bahwa melalui email informasi lebih akurat karena terdapat rekaman obrolan sedangkan melalui media eleconference obrolan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
147
tidak terekam sehingga bisa saja apa yang menjadi keputusan sekarang berbeda dengan nantinya. Robert H.Lengel dan Richard L.Daft mengungkapkan bahwa contoh kekayaan informasi yang rendah adalah surat elektronik (e-mail) umum yang dikirimkan ke keseluruhan populasi (misalnya kepada seluruh departemen, ke seluruh tim proyek, atau ke seluruh anak perusahaan). Sifat impersonal dari jenis komunikasi ini tampak jelas, karena tidak adanya individu spesifik yang dirujuk, umpan balik cenderung tidak muncul dalam jenis komunikasi semacam ini.
Sumber. Diadaptasi dari Robert H.Lengel dan Richard L.Daft.”The Selections of Communication Media as an Executive Skill,”Academy of Management Executive 2,no 3(1988), hal.225-32.
Peneliti menemukan bahwa media email memang dibutuhkan dalam pengelolaan konflik di PT.GSPE karena keputusan yang telah disepakati oleh internal PT.GSPE dengan eksternal akan dimunculkan dalam Berita Acara dan dilampirkan dengan bukti konkrit terkait persetujuan oleh pihak customer yaitu pihal XL dan akan ditagihkan apabila selesai dilakukan installasi dan penagihan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
148
akan berlangsung dalam jangka panjang setelah installasi sebab akan di proses terlebih dahulu di PT.GSPE terkait kelengkapan dokumen. Dengan demikian pernyataan Windha Septiani memang benar sangat di perlukan historikal/riwayat pembicaraan sebagai lampiran penagihan tetapi media email bukan menjadi media utama dalam penyelesaian konflik. Pertama apabila penyelesaian hanya di lakukan menggunakan email maka komunikasi akan berjalan lama sementara pihak di lapangan belum tentu mempunyai email dan bisa mengakses email disebabkan sinyal dan tempat geografis mereka yang terpencil sehingga akan lebih mudah menggunaakan teleconferenceagar keputusan yang di ambil lebih cepat sehingga installasi juga bisa dilakukan dengan tepat waktu. Selain Whinda Septiani informan
Siti Rini Setiarini selaku Project
Manager juga memaparkan pendapatnya yang bertentangan dengan ketiga informan yang mengatakan alur komunikasi dalam pengelolaan konflik dari bawah ke atas. Gary Kreps seorang peneliti dalam bidang komunikasi organisasi, menemukan beberapa fungsi penting komunikasi ke atas (upward communication) diantaranya : 1. Komunikasi ke atas menyediakan umpan balik bagi para manajer mengenai isu-isu organisasi terbaru, masalah yang dihadapi, serta informasi mengenai operasi dari hari ke hari yang diperlukan untuk pengambilan keputusan mengenai bagaimana menjalankan organisasi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
149
2. Hal ini merupakan sumber utama bagi manajemen untuk mendapatkan umpan balik untuk menentukan seberapa efektif komunikasi ke bawah dalam organisasi. 3. Hal ini dapat mengurangi ketegangan pada karyawan dengan memberikan kesempatan pada anggota organisasi pada tingkat lebih rendah untuk membagikan informasi yang relevan dengan atasannya. 4. Hal ini mendorong partisipasi dan keterlibatan karyawan, dan karenanya meningkatkan kohesivitas organisasi. Diskusi terbuka biasanya dipengaruhi secara negative oleh beberapa faktor perilaku seperti tekanan untuk conform, pengaruh kepribadian yang dominan dalam kelompok, “status incongruity” atau ketidaksetaraan status yang mengakibatkan partisipan dengan status yang lebih rendah akan terhambat oleh partisipan dengan status yang lebih tinggi dan akhirnya hanya “mengekor”, meskipun mereka percaya bahwa ide mereka lebih baik dan adanya usaha dari partisipan tertentu untuk mempengaruhi yang lain karena mereka menganggap diri mereka ahli dalam bidang tersebut. 3 Peneliti melihat alur komunikasi di PT.GSPE dari atas ke bawah. Memang benar saat terjadi konflik karyawan menginformasikan atau eskalasi ke atasan tetapi dalam pengambilan keputusan tetap semua berpatokan dari atasan sehingga karyawan tidak bisa mengambil langkah sendiri sebelum mendapat persetujuan dari Project Manager, Manager atau Direktur. Pengambil keputusan bersifat intuitif lebih banyak menggunakan pengalaman, kepercayaan diri, dam motivasi 3
Richard A.Guzzo dan James A.Waters,”The Expression of Affect and the Performance of Decision-Making Groups,”Journal of Applied Psychology,Februari 1982,pp 67-74.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
150
dirinya dalam memproses informasi, data dan lingkungan atau mengatasi masalah atau sebuah kesempatan. Proses pengambilan keputusan intuitif melibatkan proses tidak sadar yang menggabungkan kepribadian pengambil keputusan dan pengalaman dalam mencapai keputusan. Walaupun ketidakpastian sangat tinggi, dengan adanya tenggat waktu (dealine) dan juga kompleksitas yang akan diambil adalah keputusan yang intuitif. Pengambil keputusan/ atasan kecendrungan menghindari risiko yang tinggi. Mereka mencoba memilih untuk mengambil keputusan dengan ketidakpastian yang rendah , dimana terdapat kepastian hasil yang tinggi. Peneliti menemukan tidak terdapat divisi Public Relations dalam PT.GSPE tetapi terdapat HRD yang menjalankan fungsi Public Relations walaupun tidak sepenuhnya menjalankan fungsi real dari Public Relations dan hanya terbatas seperti mendistibusikan kebijakan atau pesan dari Direktur ke semua departemen serta tidak terdapat program employee relations yang dapat membentuk hubungan interpersonal karyawan semakin erat yang diharapkan dapat membantu meningkatkan kinerja bagi keuntungan perusahaan. 5.2.5
Penyelesaian Konflik Penyelesaian masalah di PT.GSPE diselesaikan melalui meeting internal
maupun eksternal. Pihak-pihak yang terlibat konflik disatukan dan dibicarakan apa yang menjadi hambatan dalam Project XL rectifier Backbone dan atasan mencari solusi agar semua divisi yang terlibat dapat meneruskan pekerjaannya dan apabila belum mendapatkan solusi maka akan diadakan meeting selanjutnya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
151
Terkait penyelesaian konflik dalam pengambilan keputusan pernyataan Bella Siti Hawa dan Siti Rini Setiarini berbeda dengan pernyataan Agung Raharjo dan Whinda Septiani. Bella Siti Hawa dan Siti Rini Setiarini mengatakan bahwa pengambilan keputusan dalam menyelesaikan konflik di PT.GSPE keterlibatan atasan cepat tanggap, tidak bertele-tele dan atasan cepat mengambil keputusan. Pernyataan mereka tidak sesuai dengan informan Agung Raharjo dan Whinda Septiani bahwa keterlibatan atasan memang ada tetapi tidak secara keseluruhan terlebih para top manager, mereka turut terlibat tetapi tidak mengetahui detail kondisi di lapangan sehingga keputusan yang diambil lama dan mendorong para bawahan untuk melakukan negoisasi dengan pihak-pihak terkait baru mengambil keputusan. Hal ini sesuai dengan klasifikasi yang dikemukakan oleh Simon Herbet 4
membedakan tipe keputusan menjadi keputusan terprogram dan tidak
terprogram. Pengambilan keputusan di PT.GSPE masuk ke dalam tipe keputusan tidak terprogram. Keputusan tidak terprogramketika benar-benar baru dan belum terstruktur. Tidak ada prosedur yang pasti dalam menangani masalah tersebut, baik karena belum pernah ditemukan situasi yang sama sebelumnya, atau karena bersifat sangat kompleks atau sangat penting. Proses pengambilan keputusan di PT.GSPE menggunakan keputusan administratif
yaitu
menunjukan
pengambilan
keputusan
yang
memiliki
keterbatasan tetapi dapat diterima dan cukup baik. Keterbatasan yang dimaksud 4
Herbert A.Simon, The New Science of Management Decision. (New York: Harper & Row 1960),pp 5-6
http://digilib.mercubuana.ac.id/
152
adalah keterbatan informasi yang akurat dan real dari pihak lapangan dengan informasi yang diberikan ke kantor.Sehinga atasan mengikuti pengalaman yang ada serta berdasarkan logis atau tidaknya permintaan dari pihak lapangan. Sesuai dengan teori March dan Simon memberikan penjelasan sebuah pendekatan yang dapat digambarkan sebagai model pengambilan keputusan administratif.5Dalam metode ini, pengambilan keputusan digambarkan bertindak dengan informasi yang tidak lengkap dan dipengaruhi oleh kemampuan kognitifnya dan juga faktor psikologis dan sosiologis lainnya. Dalam pendekatan ini ada beberapa asumsi berikut : a) Manajer sangat jarang memiliki semua informasi yang mereka butuhkan dan mereka inginkan b) Pengambil keputusan tidak mengetahui seluruh kemunkinan alternative dan tidak dapat memprediksi konsekuennya. c) Alternatif dan solusi yang paling awal akan dipilih karena berbagai keterbatasan d) Tujuan organisasi membatasi pengambilan keputusan. e) Adanya tujuan yang saling berkonflik antar lembaga (contoh: pegawai, pemasok barang, konsumen, dan dewan direksi) dapat membatasi keputusan, memaksakan adanya sebuah kompromi. Asumsi menunjukan pengambilan keputusan yang memiliki keterbatasan tetapi dapat diterima dan cukup baik. Jenis keputusan seperti ini sering kali 5
James G.March dan Herbert A.Simon, Organizations (New York:Willey, 1958)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
153
disebut “keputusan yang memuaskan”, yaitu sebuah keputusan yang dapat diterima dan dianggap cukup baik, tetapi jika segalanya berada dalam kondisi ideal, hal ini bukan merupakan keputusan yang optimal Berdasarkan temuan yang peneliti temukan bahwa meskipun pengambilan keputusan itu bersifat sangat partisipatif (dengan keterlibatan penuh dari bawahan), manajerlah yang bertanggung jawab penuh terhadap hasil keputusan. atasan dan top manajer di PT.GSPE dalam mengambil keputusan belum terpusat pada SOP (Standard Operating Procedure ) yang mengatur konflik tersebut sebab memang tidak ditemukan SOP dalam konflik-konflik yang terjadi. Sehingga walaupun konflik sering terjadi tetapi keputusan yang di ambil berdasarkan pengalaman case by case yang sudah terjadi serta kepercayaan informasi yang didapatkan. Kelompok biasanya memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai sebuah keputusan dibandingkan jika dilakukan oleh individu, tetapi dengan
mengumpulkan
ahli
dan
spesialis
dari
berbagai
bidang
juga
menguntungkan karena ada dampak saling melengkapi dalam interaksi mereka yang akan menghasilkan keputusan yang lebih baik.
http://digilib.mercubuana.ac.id/